Senopati Pamungkas Bagian 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 15

Seperti halnya Lintang Lumbung, bintang yang membentuk gubuk untuk menyimpan padi yang sudah kering. Bintang itu, bila nampak di langit, pertanda tanaman di sawah mulai mengeluarkan akarnya. Kekuatan akar menembus tanah, berbeda dari kekuatan burung meninggalkan sarang seperti jurus Lintang Sapi Gumarang, juga berbeda dari kekuatan biji-bijian yang sedang tumbuh. Hanya mereka yang mampu meresapi kejadian-kejadian dalam alam semesta bisa menguasai lebih mahir.

Yang tidak diketahui atau kurang diperhitungkan Mpu Nambi ialah bahwa Galih Kaliki melatih jurus-jurus tadi tanpa pengertian yang mendalam. Galih Kaliki boleh dikatakan belajar sendiri. Walau agak kagok, ilmu silat bukan semata-mata hafalan atau pengertian. Melainkan juga latihan. Di sinilah keunggulan utama Galih Kaliki. Dalam keadaan terdesak, ilmu itu muncul dengan sendirinya.

Mpu Sora justru melihat bahwa Mpu Nambi agaknya sengaja menyuruh Dyah Palasir dan Dyah Pamasi untuk maju. Karena di samping menjajal Galih Kaliki, Mpu Nambi lebih merasa aman, andai Dyah Pamasi dan Palasir terluka atau binasa. Ini taktik dalam telik sandi yang terkenal sebagai istilah Sekul Seta atau Nasi Putih.

Permaisuri Rajapatni Muncul

Dalam menangani masalah yang bersifat rahasia, prajurit telik sandi selalu berhadapan dengan taktik Sekul Seta atau Nasi Putih. Istilah ini menunjukkan bahwa bagian telik sandi selalu diharuskan memberikan hasil yang sempurna. Umpama kata berhasil menghidangkan nasi putih secara utuh dalam piring. Ini berarti kalau di dalam piring itu masih terdapat nasi warna lain, atau bahkan masih ada kulit padi, nasi berwarna lain, atau bahkan gabah tadi, harus dibuang. Agar dengan demikian memberikan hasil yang sempurna.

Dalam arti lain, sewaktu menjalankan tugas rahasia, prajurit telik sandi akan selalu menemukan masalah yang membuat tidak sempurna, dan harus tegas serta tega membuang. Karena yang dibuang adalah nasi yang tidak putih, atau bahkan gabah, yang tidak berarti. Mpu Nambi sedang melakukan upaya ini. Karena, menurut perkiraan Mpu Sora yang kini tak bisa mengerem jalan pikirannya untuk mencurigai orang lain, Dyah Palasir dan Dyah Pamasi adalah bawahan Mpu Nambi. Yang mengetahui tugas-tugas rahasia. Yang diketahui situasi berubah, untuk menjaga "kesempurnaan nasi putih", mereka berdua harus dilenyapkan! Dengan cara menghadapkan kepada Galih Kaliki!

Dugaan Mpu Sora ini berdasarkan perkiraan bahwa Mpu Nambi tidak memerlukan mereka. Dan atau mereka berdua bisa membocorkan rahasia. Mungkin saja mengenai tugas ini, atau mengenai hilangnya Permaisuri Gayatri. Sebab Mpu Sora masih menduga-duga ada hubungannya ketika ia menabrak salah seorang dari mereka ketika mengejar Klikamuka!

Di lapangan pertempuran, apa yang dikuatirkan terjadi. Dua tombak Dyah Pamasi terbetot lepas dari tangan dan meluncur ke arah Dyah Palasir. Yang sama sekali tak mengira.

"Busuk!"

Palasir mengira bahwa Pamasi sengaja mencurangi. Mempergunakan kesempatan untuk melepaskan tombak. Maka kini justru gadanya terayun ke samping. Dyah Pamasi tak sempat menghindar ketika dadanya kena hantam.

"Kamu... kamu!"

Palasir sendiri terjengkang dengan tombak menancap di dadanya.

"Tongkring! Sungguh memalukan!" Apa yang diteriakkan Adipati Lawe menampar Mpu Nambi.

Mereka berdua yang menjadi korban dari bagiannya. Bahwa mereka gugur dalam menjalankan tugas, sudah menjadi bagian dari jiwa keprajuritannya. Hanya saja bahwa mereka terbunuh karena saling curiga, sungguh memalukan. Agaknya, kehidupan dalam bagian telik sandi adalah kehidupan untuk saling mencurigai. Setidaknya dari bukti yang bisa disaksikan.

Mpu Renteng sendiri memperhitungkan, walaupun kedua Dyah itu terdesak dan kalut, tidak perlu berakhir setragis ini. Karena luncuran tombak tak sengaja itu bisa tetap ditangkis oleh Palasir. Bahwa dengan kemudian posisinya agak goyah, dan Pamasi terguncang, itu memang tak bisa lain. Akan tetapi itu belum berarti kekalahan. Apalagi kematian. Karena saat itu Galih Kaliki tidak segera melanjutkan serangan.

Galih Kaliki kurang mampu membaca posisinya yang unggul. Ia mengulang menyerang dari awal lagi. Posisi itu yang diambil, sehingga justru Galih Kaliki menyiapkan kuda-kuda dari arah utara-selatan, kembali ke posisi seperti jurus Lintang Sapi Gumarang. Lebih ke arah berjaga daripada ke arah bertempur.

"Memang memalukan prajurit Majapahit ini. Bukannya menyerang aku, malah saling bunuh. Bagaimanapun aku tak bisa dibilang menang." Galih Kaliki menggelengkan kepalanya. "Ayo, siapa lagi?"

Adipati Lawe mengertakkan giginya. "Sobat Kaliki, kamu sungguh laki-laki perkasa. Suatu kali nanti, aku bersumpah akan menjajal kamu."

"Untuk apa tunggu nanti? Sekarang atau nanti toh sama saja?"

"Aku tak mau mengambil keuntungan. Kamu baru saja bertempur, mana mungkin sebagai lelaki gagah aku mencurangi tenagamu?"

"Bagus, bagus. Kuterima tantanganmu. Tapi aku masih belum puas membalaskan dendam adikku Upasara. Ayo, siapa lagi yang maju?"

Terdengar erangan. Gendhuk Tri siuman sebentar, mengerang, dan lagi-lagi memuntahkan darah kebiru-biruan. Galih Kaliki menjadi bingung.

"Lain kali semua utang akan kuselesaikan," jawab Mpu Nambi. "Kutunggu kapan saja."

"Bagus. Kamu harus ingat janji itu."

Galih Kaliki mendekati Gendhuk Tri. "Apanya yang sakit?"

Gendhuk Tri tak bereaksi.

"Wah, kalau soal racun atau sebangsa itu, mana aku tahu? Paman Wilanda, bagaimana sebaiknya?"

Wilanda, yang sejak tadi berdiam diri, maju ke tengah. "Senopati Agung Nambi, kami semua masih berada di sini. Kalau ingin membasmi Perguruan Awan, jangan tunda lain waktu."

Mpu Nambi mendongak. "Aku kemari menjalankan tugas. Kalau ada yang tidak mengenakkan, sudah kukatakan aku yang bertanggung jawab. Kalau hari ini aku ingin membasmi Perguruan Awan, masih lebih banyak diperlukan tenaga untuk membalik telapak tangan. Wilanda, catatlah baik-baik. Aku akan tetap mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Hari ini aku tak mempunyai waktu lagi."

Mpu Nambi membalik, meloncat ke arah punggung kuda, dan segera diiringkan oleh para prajuritnya, sambil membawa mayat Dyah Pamasi, Dyah Palasir, serta klika yang berisi Tumbal Bantala Parwa.

Adipati Lawe memberi hormat kepada Jaghana yang berusaha duduk, lalu memberi hormat kepada Mpu Sora. "Keponakan yang kasar, mohon pamit." Tanpa memperpanjang kalimat, Adipati Lawe mencemplak kuda hitamnya. Para prajurit Tuban segera mengiringkan.

Sejenak Mpu Renteng menduga bahwa Adipati Lawe akan menyertai Mpu Nambi ke Keraton. Agar Mpu Nambi tak mengarang cerita secara sepihak.

Wilanda memanggul Gendhuk Tri, sementara Galih Kaliki membopong Upasara, dan Jaghana berusaha berjalan dengan tongkat Galih Kaliki.

Mpu Sora, Mpu Renteng, serta Senopati Anabrang hanya bisa menyaksikan tanpa mengucapkan kata sepatah pun sampai rombongan lenyap di balik dedaunan.

"Apakah benar Kakangmas telah meninggal?"

Mpu Sora segera menunduk bersila dan menghaturkan sembah. Demikian juga Mpu Renteng serta Senopati Anabrang.

"Apakah berita itu benar, Paman?"

Benar, yang didengar adalah suara Permaisuri Gayatri! Bagaimana mungkin bisa muncul secara tiba-tiba?

"Benar, Permaisuri."

"Saya tidak percaya."

"Sesungguhnya hamba tidak berani berdusta. Saat ini Upasara Wulung sedang luka parah, tanpa tenaga dalam lagi."

Mpu Sora dan Mpu Renteng tidak berani mendongak atau menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi. Karena tiba-tiba saja Permaisuri Gayatri sudah berada di lapangan, seakan baru bangun dari tidurnya.

"Siapa yang membunuh?"

Mpu Sora menghaturkan sembah. "Keinginan Upasara sendiri untuk memusnahkan tenaga dalamnya."

"Benar begitu?"

Sembah kedua senopati Majapahit lebih dari sekadar anggukan.

"Kalau begitu, memang Kakangmas tidak mau bertemu dengan saya lagi. Untuk apa kita menunggu di sini?"

Mpu Renteng segera memerintahkan disediakan joli untuk membawa Permaisuri Gayatri. Yang sejak masuk di dalam, tak pernah mengucapkan sepatah kata. Bahkan sewaktu berhenti dalam perjalanan, tak mau menyentuh makanan, minuman. Tak mengajak bicara.

Biarpun terbakar rasa ingin tahu, akan tetapi sebagai seorang abdi, sebagai bawahan, Mpu Sora tak berani bertanya. Hanya menduga-duga sendiri. Bahkan dengan rontoknya Perguruan Awan, pertikaian masih akan membuka lebih luas. Persoalan siapa yang akan diangkat menjadi mahapatih masih tetap merupakan teka-teki yang memprihatinkan. Di samping permusuhan antara Perguruan Awan dan Keraton meninggalkan bekas luka yang menganga.

Sementara teka-teki Keraton dan dugaan siapa yang memainkan peranan di samping Baginda masih merupakan pertanyaan, kemunculan Klikamuka juga belum terjawab. Dengan pemunculan mendadak, di mana sebenarnya posisi Klikamuka?

Kiai Sumelang Gandring

BELUM setengah hari perjalanan, rombongan Mpu Sora menemukan bekas-bekas pertempuran. Sehingga segera memerintahkan agar para prajuritnya siaga. Joli yang memuat Permaisuri Gayatri berada di tengah, sehingga lebih aman. Mpu Renteng sendiri mengawal dari kanan, sementara Mpu Sora dari sisi kiri joli. Senopati Anabrang yang bergabung berada di bagian depan.

Sisa-sisa pertempuran bisa dilihat dari banyaknya bekas pohon dan ranting yang putus. Bahkan beberapa senjata tergeletak begitu saja. Sewaktu rombongan terus berjalan, belum sampai beberapa lama, bekas-bekas pertempuran terlihat lagi. Kali ini lebih jelas lagi. Beberapa senjata, yang bisa dikenali sebagian milik prajurit Majapahit tertinggal.

Mpu Renteng mendehem kecil. "Kakang Sora, agaknya kita sedang melewati tempat yang membuat sibuk Kakang Nambi."

"Agaknya ada tetamu yang menghadang."

Perhitungan mereka adalah bahwa belum lama berselang rombongan Mpu Nambi yang melewati jalan tersebut. Kemudian juga disusul oleh rombongan Adipati Lawe. Dengan mengatakan ada "tetamu yang menghadang" Mpu Sora ingin membuang gagasan bahwa terjadi perselisihan antara Adipati Lawe dan Mpu Nambi. Suatu hal yang selama ini mengganggu Mpu Sora. Mengingat bahwa adat Adipati Lawe sangat keras dan cepat bertindak, sementara Mpu Nambi juga tak pernah memberi kesan mau mengalah dalam menjalankan tugas yang dianggap tak boleh diganggu gugat. Hal yang paling sepele pun bisa membuat keduanya bentrok.

"Tetamu dari mana lagi?"

"Cepat atau lambat kita akan mengetahui."

Belum selesai kalimat Mpu Sora, di bagian depan barisan berhenti. Tanpa ayal lagi Mpu Renteng meloncat ke depan. Sementara Mpu Sora berjaga-jaga di sekitar joli yang minta diturunkan dan ditempatkan di dalam penjagaan ketat.

Sewaktu Mpu Renteng sampai di bagian depan, Senopati Anabrang sudah turun dari kudanya. Dengan gagah menghadapi sembilan lelaki yang berdiri menghadang. Mpu Renteng melihat bahwa kesembilan penghadang sudah mengambil sikap bersiap. Dan dilihat selintasan, mereka semua tanpa kecuali memperlihatkan kemampuan untuk bermain silat. Mpu Renteng mengambil tempat di dekat Senopati Anabrang.

"Tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa sobat-sobat berdiri menghadang?"

"Berjalan, cepat atau lambat, akan sampai ke tujuan. Apa artinya sejenak untuk menyerahkan kulit kayu yang bukan haknya?" Jawaban ini terdengar agak ketus.

Senopati Anabrang tetap dingin. "Maaf, ini pembicaraan model apa? Kalau mau mengatakan merampok, kenapa bilang panen? Saya harus mengatakan bahwa sobat-sobat salah alamat. Kami tidak membawa harta benda yang pantas untuk direbut. Kami membawa tombak dan keris." Jawaban yang sekaligus berupa tantangan. Dengan mengatakan membawa tombak dan keris berarti siap menghadapi pertempuran.

"Aha, keris air laut apa yang mau dibanggakan?"

Senopati Anabrang maju dua tindak. Kedua tangannya bertolak pinggang. Ada dua hal yang membuat Senopati Anabrang tersinggung. Yang pertama cukup beralasan. Yaitu sebutan "keris yang dibuat dari air laut". Memang selama ini semua senjata prajurit Majapahit dibuat oleh para empu dengan air yang ada di sekitarnya. Walau tidak betul-betul racikannya dari air laut, akan tetapi julukan bernada ejekan sudah memasyarakat di kalangan jago silat.

Air laut, karena asin dan mengandung garam, bukan air yang bagus dipakai untuk mendinginkan baja atau besi. Berbeda dari air pucuk gunung atau daerah pedalaman. Tetapi yang membuat gusar Senopati Anabrang, adalah bahwa penghadang ini meremehkan air laut. Sebagai senopati yang dalam perjalanannya hidup di laut, cara meremehkan ini membuat Senopati Anabrang bertolak pinggang.

"Laut terlalu luas membentang dibandingkan dengan selokan. Katakan nama dan maksud sobat semua, agar para ahli waris yang ingin memberi sesaji di belakang hari tidak keliru dengan kuburan binatang."

"Lancang ucapanmu, para perampok budiman. Kami datang dengan baik-baik untuk meminta Tumbal Bantala Parwa yang jelas-jelas kalian bawa, masih mau berlagak. Untuk menghadapi kalian semua, sejak berangkat kami telah mempersiapkan diri."

Mpu Renteng maju sambil membetulkan letak kain putih yang tersampir di pundaknya. "Siapa bilang kami bawa kitab tak berharga itu?"

"Kami telah menunggu lama. Beberapa kali ada rombongan lewat, dan kami memaksa untuk menyerahkan kitab milik leluhur kami, selalu dikatakan dibawa rombongan di belakang. Nah, apakah kini kalian mau mengatakan hal yang sama? Apakah kami perlu menggeledah?"

Mpu Renteng menduga bahwa baik rombongan Mpu Nambi dan rombongan Adipati Lawe sudah disatroni sembilan penghadang ini. Barangkali saja mereka tak mau ambil peduli sehingga mengatakan dibawa rombongan di belakang. Dan mereka menduga kali inilah rombongan yang dicari. Karena membawa joli.

"Kalau bisa menggeledah, kenapa tidak dicoba?"

Sret!

Dengan gerakan yang sama kesembilan penghadang mencabut kerisnya. Dengan gerakan yang sama pula mereka membentuk barisan. Satu di depan, dua di belakang, tiga di dua baris terakhir. Semacam barisan yang sudah lama dilatih. Yang membuat Mpu Renteng sedikit terkesiap ialah kenyataan bahwa sembilan penghadang ini mempunyai gerak yang sama. Cara melangkah, cara meletakkan kaki, dilakukan secara bersama-sama. Sehingga seakan ada satu orang dengan delapan bayangan. Bahkan bentuk keris yang diperlihatkan sama. Sama-sama memantulkan cahaya.

"Sobat-sobat datang dari jauh untuk memamerkan permainan anak-anak kecil seperti ini? Sungguh nama besar Kiai Sumelang Gandring sudah lama dipendam di lumpur."

"Kalau mengenal nama leluhur kami, kenapa tidak menyerah saja dengan baik-baik?"

Mpu Renteng tertawa dingin. Senopati Anabrang memuji pengamatan Mpu Renteng. Hanya dengan melihat tangguh, yaitu melihat perkiraan bahan serta ciri-ciri bentuk keris, bisa mengenali asal-usul kesembilan penghadang. Dari bentuk pamor atau ketajaman keris, bisa dilihat seberapa jauh kasar atau halusnya. Ketajaman keris bukan hanya di bagian ujung, melainkan juga di sisi kiri dan kanan, serta bilahnya. Pamor mengkilap memang menunjukkan jenis keris yang berasal dari tlatah Pajajaran. Dengan bentuk keris yang lebih besar dari kebanyakan keris buatan Majapahit, serta lekuk yang tidak begitu berkelok, Mpu Renteng yakin bahwa ini semua dari seorang empu yang kesohor, Kiai Sumelang Gandring.

Nama Kiai Sumelang Gandring bisa dihubungkan dengan Mpu Gandring karena konon memang mempunyai persamaan nama dan kemampuan yang sama dalam membuat keris. Hanya saja Kiai Sumelang Gandring dikabarkan mengembara ke tlatah kulon atau wilayah barat untuk mencari tempat yang sesuai dengan pilihan hatinya. Selama itu pula hanya tinggal cerita-cerita bahwa Kiai Sumelang Gandring terus mengembangkan cara membuat keris pusaka serta ilmu silat. Dengan ciri utama semua keris dari tradisi ini lurus tidak memakai lekukan, dan imbang antara sebelah kiri dan kanan. Sogokan yang berada di tengah bagai urat nadi, kalau diukur dengan rambut sekalipun, akan persis berada di tengah. Inilah ciri utama tradisi Kiai Sumelang Gandring, yang konon menolak sebutan empu.

"Sejak kapan kalian orang-orang gelandangan berani mengaku memiliki Kitab Penolak Bumi? Sampai kapan pun kalian tak pernah bisa membaca kidung dan menulis. Bagaimana leluhur kalian memiliki kitab?"

Sret-sret.

Sembilan keris bergerak bersamaan, mengiris angin. Ini memang tak bisa main-main. Tak bisa dipandang enteng. Kalau sembilan ksatria mampu memadukan rasa, kekuatan mereka bisa berlipat ganda. Sementara Mpu Renteng menghitung bahwa dalam barisannya hanya ada tiga orang yang bisa diandalkan. Dirinya sendiri, Mpu Sora yang perkasa berjaga dekat joli, serta Senopati Anabrang.

Sret!

Kali ini malah hanya menimbulkan satu desisan angin. Kesembilan keris menuding ke depan, sementara tangan kiri tertekuk di atas kepala, dengan kedua kaki menekuk. Secara bersamaan.

Mpu Renteng pernah melihat tiga bersaudara yang dikenal sebagai Tiga Pengelana Gunung Semeru. Namun jumlah mereka hanya bertiga. Bukan sembilan seperti sekarang ini. Senopati Anabrang meloloskan dua pedang. Dipegang di kedua tangan. Dengan satu tarikan, pedang sebelah kiri memberi aba-aba agar prajurit mengundurkan diri untuk menjauh. Mpu Renteng melepaskan kain di pundaknya, begitu melihat kesembilan bayangan menyerbu bersamaan ke arahnya.

Nyai Demang

MPU RENTENG menggerung keras. Ujung kainnya mengebas ke barisan terdepan dengan sabetan keras. Berusaha menggulung langsung dengan jurus-jurus Bujangga Andrawina. Satu yang digempur, delapan yang lain tiba-tiba melesak ikut masuk ke dalam serangan. Dua barisan bagian belakang justru bisa lebih dulu maju mengepung. Berarti enam penyerang bergerak secara serentak dan bersamaan.

Senopati Anabrang meloncat ke tengah. Dua pedang di tangan kanan dan kiri bergerak cepat sekali. Menebas kanan, menusuk kiri, mencungkil atas, menyabet ke bawah. Kesembilan penyerang nampak bagai luwes dalam mengubah barisan. Satu saat seperti mengepung Senopati Anabrang, akan tetapi pada saat berikutnya justru membuat repot Mpu Renteng. Beberapa kali Senopati Anabrang bisa menerobos maju, akan tetapi bagai Jala yang mengembang dan mengempis, sembilan penghadang mengubah bentuk dengan gerak cepat dan bersamaan.

"Jiwandana Jiwana." Terdengar aba-aba nyaring dan genit.

Mendadak sembilan ujung keris bergerak cepat. Berpindah dari tangan kiri ke tangan kanan, berpindah lagi dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga dalam serangan yang makin merangsek tak bisa ditebak mana yang menyerang dan mana yang memancing.

Berada di dua sisi yang berlainan tempatnya, Senopati Anabrang dan Mpu Renteng seperti keteter atau terdesak. Bukan hanya tak bisa menerobos masuk, untuk bisa bertahan saja sangat sulit. Bahkan dua pedang Senopati Anabrang beberapa kali menebas angin, sementara sembilan keris seperti datang dan pergi.

"Bagus, bagus. Teruskan, teruskan." Suara aba-aba nyaring dan genit kembali terdengar, disertai dengan tawa cekikikan.

Mpu Sora bergerak agak maju ke depan. Kini jelas bisa menyaksikan pertempuran, dan melihat bahwa yang memberi aba-aba penyerangan dari jauh adalah Nyai Demang. Nada suaranya yang renyah, gembira, dan sekaligus genit, cara mengucapkan kata "bagus" yang ditiru oleh Galih Kaliki memang tak bisa ditiru yang lain.

Jiwandana adalah nama siasat perang yang juga berarti tembang. Sedangkan Jiwana berarti hidup. Dengan aba-aba itu, Nyai Demang yang nampaknya menikmati pertempuran bisa menggerakkan sembilan penyerang dengan sangat tepat. Melihat Senopati Anabrang dan Mpu Renteng tak bisa memberikan perlawanan berarti, Nyai Demang makin terkekeh.

"Bagus. Sekarang desak terus dengan Jiwandana Jiwagra."

Jiwagra bisa diartikan sebagai ujung lidah. Dan memang itu yang terjadi. Mendadak barisan terdepan menyatukan keris dan menggempur keras Senopati Anabrang yang terpaksa menggulung diri dalam dua pedang sebagai perisai. Terdengar bunyi keras benturan keris dan pedang. Sebelum Senopati Anabrang sadar, keris sudah berpindah seluruhnya ke bagian lain, dan bret, giliran selendang Mpu Renteng tersobek. Begitu Senopati Anabrang menyerang, sembilan keris telah terbagi rata kembali di tangan sembilan penyerang. Betul-betul luar biasa.

"Bagus, kan? Jangan sobek kainnya kalau bisa ulu hatinya." Nyai Demang tertawa gembira.

"Aha, kenapa terlalu memikirkan besi Sombra?"

Nyai Demang melihat ke arah Mpu Sora. "Hei, orang tua dari mana ikutan berteriak di sini?"

"Aku hanya ingin mengatakan bahwa besi Sombra akan dingin dengan sendirinya. Apakah karena sesama wanita Nyai Demang merasa tersinggung?"

Mpu Sora sengaja keras-keras meneriakkan kalimatnya. Mpu Renteng dan Senopati Anabrang sadar. Bahwa sebenarnya Mpu Sora sedang memperlihatkan jalan keluar dari serangan sembilan penghadang. Dengan meneriakkan Sombra, itu mengingatkan nama empu pembuat keris dari Pajajaran. Sekaligus menunjukkan bahwa Mpu Sombra adalah satu-satunya empu wanita yang mampu membuat keris pusaka. Tapi juga sekaligus memberikan jalan terang!

Menghadapi wanita, tidak harus dengan melawan sama kerasnya. Makin diperangi, makin terlibat ke dalam, dan tak bisa membedakan mana yang Serangan sebetulnya dan mana serangan yang berupa tipuan. Seperti menghadapi "ujung lidah" wanita. Itulah yang dikatakan Mpu Sora. Dan Nyai Demang juga bisa menangkap pesan di balik kata-kata Mpu Sora. Bahwa sebenarnya kalau sedikit bersabar, serangan sembilan keris ini akan lebih bisa diungguli.

Sebenarnya yang terakhir ini Senopati Anabrang maupun Mpu Renteng bisa mengetahui. Seperti juga semua jago silat. Karena sembilan penyerang ini bergerak bersamaan dan selalu berpindah tempat, berarti memerlukan tenaga yang lebih banyak. Dan dalam pertarungan yang terulur panjang, mereka lebih mudah dipukul. Apalagi, meskipun kelihatannya sekilas luar biasa geraknya, tenaga dalam mereka tak terlalu istimewa.

"Kalau memang merasa jagoan, ayo terjun ke gelanggang."

"Nyai Demang, saya sudah tua. Sudah tidak kuat bertarung."

Bagi Mpu Sora lebih menguntungkan berada di luar pertempuran. Selain bisa menjaga Permaisuri Gayatri, terutama juga bisa mengawasi jalannya pertempuran. Seperti juga Nyai Demang yang bisa membaca dan menunjukkan arah pertempuran. Karena sebelum dikomando langsung, kesembilan penyerang ini belum menunjukkan keunggulan.

"Mulutmu bau, Sora."

"Begitulah kata orang yang hidungnya busuk." Mpu Sora sengaja terus menimpali semua kata-kata Nyai Demang yang terkenal pandai mengecoh.

"Jadi kamu sudah membauiku, ya? Kenapa kemarin-kemarin bilang harum dan sekarang ini bilang busuk?"

Inilah keunggulan Nyai Demang. Pandai bersilat lidah. Bisa dimengerti kalau menghadapi Nyai Demang, Galih Kaliki menjadi pemuja yang tiada habisnya. Ibarat kata disuruh menari di jalanan pun akan dilakukan.

Mpu Sora juga mengakui bahwa Nyai Demang bukan hanya pandai bersilat lidah, akan tetapi mempunyai pengalaman yang sangat luas sekali. Nyatanya secara aneh sekali bisa mengerti jurus-jurus dari Pajajaran. Bahkan secara langsung bisa memberi komando. Ini memang luar biasa. Ditambah dengan kemontokan tubuhnya serta caranya menggoda lelaki, Nyai Demang sebenarnya bisa sangat membahayakan! Ini yang kurang diperhitungkan. Sewaktu penyerbuan ke Perguruan Awan, Nyai Demang sama sekali tidak kelihatan. Kini bisa tiba-tiba muncul dan memberi perintah jagoan dari tlatah kulon. Apa ini tidak hebat?

Mpu Sora tak habis pikir bagaimana semua hal ini bisa terjadi. Tetapi satu hal ia merasa yakin. Bahwa kesembilan penyerang ini sekadar diperalat saja oleh Nyai Demang yang susah ditebak maksudnya. Susah ditebak, karena sebenarnya kalau ia ingin membalas dendam karena keadaan Upasara Wulung, ia bisa langsung menyerang secara membabi buta. Ataukah sesungguhnya Nyai Demang belum tahu keadaan Upasara? Mpu Sora bisa berpikiran lebih luas dibandingkan dengan Mpu Renteng. Ia bisa lebih jauh memikirkan taktik-taktik yang tak nampak.

"Nyai Demang, kenapa kamu permainkan ksatria yang datang dari jauh? Untuk apa Nyai Demang goda dengan mengatakan kami membawa Kitab Penolak Bumi?"

"Pak Tua, kamu ini cerdik. Masa kamu tidak tahu bahwa aku ingin memberi pelajaran kepada Gayatri yang tak bisa main silat tapi bisa menyebabkan Kakang Upasara membebaskannya. Biarlah sekali ini tubuhnya digeledah oleh sembilan orang yang tak dikenal. Biar tahu rasa. Ia bukan wanita paling suci di dunia ini. Masa begini saja kamu tanya."

Mpu Sora benar-benar kaget. Tak nyana sedikit pun bahwa sebenarnya sudah ada pertemuan antara Upasara Wulung dan Permaisuri. Pertemuan yang diketahui oleh Nyai Demang. Bahkan sebenarnya yang membebaskan Permaisuri Gayatri adalah Upasara Wulung! Ini berarti Upasara Wulung bisa mengungguli Klikamuka yang sanggup meremas ujung tombak, sanggup menarik kembali cundhuk tanpa menyentuh, mampu melemparkan potongan tombak amblas ke dalam pohon besar!

Agaknya Upasara juga membebaskan Permaisuri secara diam-diam. Tanpa berusaha menemui secara langsung. Dugaan ini dikaitkan dengan kemarahan Permaisuri yang mengatakan bahwa ternyata Upasara tidak mau menemuinya! Aneh, dunia ini sungguh!

Mpu Sora merasa tak habis pikir. Upasara membebaskan putri yang pernah dicintai, tapi tak mau menemui. Sementara kini, Nyai Demang justru melampiaskan dendamnya kepada Gayatri. Dendam Nyai Demang tak jauh bedanya dengan kecemburuan Gendhuk Tri! Yang tak diketahui oleh Mpu Sora ialah bahwa sebenarnya dulu Upasara pernah tertarik kepada Nyai Demang. Jadi sesungguhnya apa yang terjadi ketika Permaisuri lenyap terculik tadi?

Tenaga Penolak Bumi

SEMENTARA itu, medan pertempuran makin seru. Para prajurit masih berjaga-jaga karena belum ada isyarat dari Mpu Sora. Yang terakhir ini masih tercenung, seperti juga Nyai Demang yang berdiam diri. Sebaliknya Mpu Renteng merasa segala ganjalan dalam hatinya makin membengkak. Sebagai senopati yang dipilih menjadi utusan raja, begitu muncul ia terdesak.

Pertama kena sodok Klikamuka dalam gebrakan pertama. Kini menghadapi sembilan penghadang tak dikenal, kainnya bisa dirobek. Bukan penampilan yang baik. Maka kini, dengan mengempos semangatnya, Mpu Renteng menggertak maju. Kainnya berkibaran, sementara kedua tangannya meraup, memagut, dengan gerakan kaki yang enteng, menyerang maju, mendesak.

Tanpa terasa Mpu Renteng telah memainkan jurus Bujangga Kapisa, atau jurus Ular Merah. Tenaga panas menyambar dari kedua belah tangannya. Beberapa kali secara sengaja tangannya memapaki keris lawan. Tangan penyerang dipatuk dengan sentilan tinggi. Ujung jari Mpu Renteng berwarna merah.

Akan tetapi semakin Mpu Renteng merangsek maju, semakin keras ia berbenturan. Sudah beberapa jurus dimainkan, akan tetapi tetap saja tak bisa menerobos maju. Padahal sekali bisa mematahkan serangan, kombinasi sembilan penyerang ini bisa dipatahkan. Anak-cucu Kiai Sumelang Gandring bisa mengimbangi dengan barisan yang bisa mulur-mungkret, menjulur-mengerut. Sehingga Mpu Renteng seperti ombak yang bisa datang-pergi menurut iramanya sendiri.

Senopati Anabrang sendiri mencoba menahan diri untuk tidak terlalu menggertak. Akan tetapi ternyata keadaannya tidak membaik. Justru sebaliknya tekanan makin bertambah. Tekanan mengencang dan mengendor silih berganti. Terpaksa Senopati Anabrang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tidak ditindih.

Mpu Renteng menjadi tidak sabar. Dengan menggerung keras, kain yang ujungnya lepas, mengempas ke depan. Kedua tangannya terentang. Tubuhnya melayang ke tengah barisan! Bujangga Karakap yang merupakan bagian dari jurus paling berbahaya dimainkan. Karakap adalah nama jenis cecak terbang atau juga disebut kendik. Hanya kali ini Mpu Renteng memainkan dengan tenaga seperti seekor ular terbang. Langsung ke tengah. Ke pusat lawan.

Ini berarti Mpu Renteng ingin segera menyelesaikan pertarungan. Dengan kemenangan di tangannya karena bisa membuat barisan lawan kocar-kacir. Atau sebaliknya ia terkurung dalam perangkap. Gerakan tubuh Mpu Renteng menjadi sangat enteng. Melayang rendah, menyambar sekitar.

"Jiwandana Multak!"

Teriakan Nyai Demang mendadak mengubah situasi. Sembilan bayangan bergerak bersama meloncat jauh. Jiwandana Multak adalah siasat perang mengalir ke luar. Ini ternyata berarti seluruh serangan berganti arah. Menghantam Senopati Anabrang! Sembilan bayangan berloncatan secara bersamaan, ada yang rendah, ada yang setengah tinggi, ada yang tertinggi. Tanpa terkecuali, semuanya disertai keris terhunus, menusuk Senopati Anabrang. Kalau Mpu Renteng menemukan tanah kosong, sebaliknya maut menyongsong Senopati Anabrang. Nyai Demang sungguh luar biasa menganalisa pertempuran!

Tidak menyangka bahwa lawan bisa mengubah gempuran dalam sekejap, Senopati Anabrang jadi bertahan. Kedua pedangnya menutup. Namun tusukan sembilan keris dari berbagai sudut membuat tangannya pegal-pegal. Tanpa terasa satu pedang terlepas. Sabetan kedua, pedang kedua terlepas. Sembilan bayangan masih terus berloncatan saling berganti tempat, sebelum mengeluarkan teriakan tinggi dan menyerbu masuk! Bukannya Mpu Renteng, alih-alih malah Senopati Anabrang yang terkepung.

Mpu Sora berteriak dingin sambil melayang ke atas. Ia terpaksa meninggalkan sarang penjagaannya atas Permaisuri. Mpu Renteng masih terkesima karena cara bergerak lawan yang bolak-balik dan serba berubah. Dalam keadaan terjepit, Senopati Anabrang tidak menjadi hilang akal. Walaupun nggragap, Senopati Anabrang merapatkan kedua tangan, mengalirkan tenaga untuk menahan tusukan dengan gerakan Dwara Pala atau gerakan Penjaga Pintu. Dengan demikian, kalaupun terkena serangan, bukanlah serangan yang membahayakan.

Karena ia telah menarik seluruh tenaganya untuk berjaga. Tusukan pertama mana yang datang, itu yang akan ditangkis lebih dulu sekuatnya. Senopati Anabrang sadar bahwa di depannya ada sembilan keris. Satu bisa dienyahkan, akan tetapi delapan bilah yang lain bisa amblas menyusup. Akan tetapi jurus ini juga mengandung keampuhan. Kalau satu tertangkis, bisa membuyarkan cublesan yang lain.

Mendadak terdengar teriakan nyaring. Mpu Renteng hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Mpu Sora yang turun terpaku di tempat. Karena sembilan penyerang yang begitu garang tiba-tiba saja seperti tertolak dengan tenaga dahsyat. Bahkan penyerang pertama terlempar jauh. Luar biasa. Dalam sekejap sembilan penyerang dibikin jumpalitan. Barisan menjadi kacau. Dua penyerang terlempar jauh.

Senopati Anabrang sendiri tak menduga bahwa tenaganya bisa membuyarkan lawan. Ketika berupaya memainkan jurus Penjaga Pintu, Senopati Anabrang hanya bisa memperkecil bahaya yang datang. Hanya saja ketika bahaya makin mendekat, ada tenaga bergumpal dalam dadanya yang mendesak, menggerakkan tangannya lebih mantap. Sehingga gerakan jurus Penjaga Pintu menjadi bertenaga. Dan begitu melihat hasilnya, Senopati Anabrang sendiri merasa heran. Seakan tak percaya apa yang dilakukannya.

"Anabrang, tukang bawa perempuan, sejak kapan kamu mencuri Tenaga Penolak Bumi?"

Ini yang tak diketahui oleh Senopati Anabrang. Ia rela dimaki—apalagi hanya oleh Nyai Demang sebagai pembawa perempuan dari seberang. Karena memang begitulah adanya. Ia membawa dua putri ayu dari Melayu. Akan tetapi dituduh mencuri tenaga Penolak Bumi membuatnya beringas. Sebagai ksatria, adalah pantangan besar untuk mempelajari secara mencuri-curi ilmu dari perguruan lain. Itu suatu tindakan yang sangat tercela. Tak ada kehinaan yang lebih nista bagi ksatria kalau sampai ketahuan mencuri ilmu orang lain.

"Perempuan busuk, jaga mulutmu baik-baik. Aku Senopati Anabrang tak nanti mencuri ilmu dari perguruan lain."

"Oho, kamu kira aku ini buta? Jelas sekali kamu menggunakan tenaga Tumbal Bantala. Cara melatih tenaga semacam itu kamu pikir bisa diperoleh di laut? Seekor cacing akan tertawa sampai sakit perut. Kamu bisa membodohi cecurut mana pun, tapi tentu bukan aku. Nah, agar hukumanmu bisa diperingan, bagaimana kalau kamu mengaku saja?"

Senopati Anabrang mengertakkan giginya. Tinjunya terkepal. "Kalau ingin menjajal ilmu, majulah."

"Oh ya? Untuk apa aku menjajal ilmu curian, kalau aku bisa menemukan yang aslinya? Hei, kalian yang mengaku anak-cucu Sumelang Gandring" teriak Nyai Demang kepada sembilan penyerang yang kini mulai menyusun barisan lagi. "Kalian sudah tahu sendiri. Sudah menemukan bukti bahwa mereka mempelajari kitab Penolak Bumi. Baru saja didemonstrasikan. Jadi terserah kalian. Apakah tetap mau mengambil kembali atau menyerah saja."

Di balik ucapannya, yang sepintas kedengarannya seperti menjelaskan, terasakan api yang membakar! Menyulut ke arah pertarungan yang mati-matian. Betapa tidak, kalau jauh-jauh mereka mencari Tumbal Bantala Parwa, dan sekarang ditunjukkan ada bukti-bukti, masa ditinggalkan begitu saja?

Mpu Sora mendongak. "Kisanak dari tlatah kulon, masih banyak waktu untuk menguji kebenaran. Untuk apa memaksa diri? Kami manusia yang mempunyai nama dan tempat tinggal. Kalau tidak sekarang, masih ada waktu lain. Jangan memaksa kami menggunakan keunggulan prajurit untuk menindak yang lemah." Dengan satu tangan memberi aba, prajurit yang ada menyiapkan serangan.

"Sora, kalian jelas orang-orang busuk. Setelah ketahuan mencuri cara melatih pernapasan milik Upasara, kini kalian mau menutupi diri dengan ilmu keroyokan Majapahit."

"Nyai Demang, kenapa kamu menuduhku mencuri Kitab Penolak Bumi yang belum pernah kulihat dan kusentuh?"

"Anabrang, kamu ksatria palsu. Kau kira kamu mampu melatih sendiri cara pernapasan seperti Tumbal Bantala? Bukankah tenaga itu hanya muncul ketika kamu terdesak? Ketika kamu bersedia menjadi tumbal?"

"Nyai Demang, sejauh ini aku berada di seberang. Sekian lama aku tidak menginjak bumi Jawa dari ujung barat sampai timur, dari ujung utara sampai selatan. Bagaimana mungkin aku mempelajarinya? Apalagi mencurinya? Pakailah otakmu barang secuil, Nyai!"

Delapan Jurus Nujum Bintang

NYAI DEMANG termangu sejenak..Apa yang dikatakan Senopati Anabrang masuk ke dalam benaknya. Menurut perhitungan, agak kurang masuk akal kalau secara diam-diam Senopati Anabrang mencuri ilmu cara mengatur tenaga dan pernapasan seperti yang tertulis dalam Kitab Penolak Bumi. Kemungkinan yang lain ialah mempelajari dari Dwidasa Nujum Kartika, kitab lain yang dianggap sangat dekat hubungannya dengan Kitab Penolak Bumi.

Seperti diketahui hampir semua tokoh persilatan mengenal Dwidasa Nujum Kartika, yang lebih dikenal sebagai Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Dalam hal ini menjadi teka-teki, justru karena selama ini dikenal nama awal dwidasa, dua puluh, akan tetapi yang dikenal luas hanya dua belas jurus. Hal ini sudah dianggap ada semacam kekeliruan yang tidak mengganggu.

Namun Nyai Demang mempunyai perkiraan lain, bahwa kemungkinan terbesar ada bagian dari kitab tersebut yang hilang. Nyai Demang pernah memperdebatkan secara sengit dengan Upasara Wulung beberapa waktu yang lalu. Upasara menganggap bahwa kitab Dwidasa Nujum Kartika memang hanya terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Tak ada jurus yang hilang. Dinamakan dwidasa justru karena delapan jurus sisanya sebenarnya termasuk dalam Tumbal Bantala Parwa, yang nyatanya memang terdiri atas Delapan Jurus Penolak Bumi, atau Delapan Kidung Penolak Bumi..Delapan Kidung ini merupakan cara-cara mematahkan serangan yang ada dalam Dua Belas Jurus Nujum Bintang, atau serangan sejenis dengan itu.

Ingatan Nyai Demang tergugah mengenali Delapan Jurus Nujum Bintang yang Hilang setelah melihat cara Senopati Anabrang mematahkan serangan sembilan penyerang. Bukan tidak mungkin bahwa selama ini Senopati Anabrang mempelajari. Delapan Jurus Nujum Bintang yang Hilang, mengingat kitab-kitab yang menjadi sumber berawal dari masa kejayaan Baginda Raja Sri Kertanegara! Pada zaman itulah semua kitab silat dan ilmu surat dari berbagai sumber di segenap jagat disalin. Ini lebih masuk akal dibandingkan menuduh Senopati Anabrang mencuri ilmu!

"Anabrang, kamu boleh berang karena aku mendakwamu mencuri. Akan tetapi sesungguhnya yang baru saja kamu tunjukkan adalah Tenaga Penolak Bumi. Aku bisa keliru, akan tetapi di sini ada Sora, ada Renteng, ada sembilan murid Sumelang Gandring yang sejak semula mempelajari kitab tersebut, karena merasa memiliki."

Mendengar kata-kata Nyai Demang yang melunak, Senopati Anabrang jadi berkurang marahnya. Senopati Anabrang mengakui kebenaran kata-kata Nyai Demang, akan tetapi ia sendiri tak bisa memberi penjelasan bagaimana hal itu bisa terjadi.

"Biar lebih jelas, aku akan mengatakan padamu. Pasang kupingmu baik-baik. Yang kalian hadapi ini para senopati pilihan dari Keraton Pajajaran di tlatah kulon, yang menjadi murid langsung dari ajaran Kiai Sumelang Gandring. Bahkan mereka semua ini memakai nama yang nunggak semi, atau ada kemiripannya dengan Kiai Sumelang Gandring. Mereka bersembilan ini namanya urut: Kartika Gandring, Pusa Gandring, Manggasri Gandring, Sitra Gandring, Manggakala Gandring, Naya Gandring, Palguna Gandring, Wisaka Gandring, serta Jita Gandring. Tak terlalu sulit mengingatnya, karena semua dimulai dari nomor kesatu, Kartika, hingga nomor kesembilan, Jita. Kalau semua muncul, tiga yang lainnya adalah Srawana Gandring, Padrawana Gandring, serta Asuji Gandring."

Sampai di sini kesembilan Gandring membungkuk hormat kepada Nyai Demang.

"Entah ke mana yang tiga lainnya. Nah, dari dua belas Gandring yang ada menunjukkan persamaan dengan Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang kita kenal. Berarti ada hubungan dengan kitab Dwidasa Nujum Kartika, kalau kita mau menerima kenyataan bahwa Kitab Penolak Bumi yang delapan jurus itu sebenarnya bagian dari keseluruhan. Anabrang, saya hanya ingin mengatakan bahwa hanya mereka yang merasa berlatih langsung mengenal Tumbal Bantala Parwa. Kalau kesembilan Gandring ini memainkan ilmu tersebut, saya tak akan menuduh mereka mencuri. Akan tetapi kamu yang mempertunjukkan ilmu itu. Katakan, apakah tuduhanku mengada-ada?"

Mpu Sora menelan ludahnya. Mpu Renteng tak bisa menahan sorot kekagumannya. Demikian juga Senopati Anabrang. Justru karena merasa mempunyai pengalaman luas menjelajah sampai tlatah seberang lautan, kekaguman makin tak bisa disembunyikan. Dalam perjalanannya ke tlatah Melayu ia sempat singgah di tlatah kulon. Serta sempat mengenal ilmu silat yang berkembang di daerah itu. Akan tetapi pengetahuannya tidak sampai seperberapanya Nyai Demang. Justru Nyai Demang yang kelihatan lebih menguasai.

Kekaguman Senopati Anabrang bisa dimengerti, karena tidak mengenal Nyai Demang. Namun Mpu Sora pun mengakui kelebihan Nyai Demang. Kelebihan yang selama ini belum ada tandingannya! Sebagai ksatria, nama Nyai Demang bukan nama yang harum. Sepak terjangnya bahkan jauh dari sebutan itu sejak dikabarkan main cinta dengan berbagai jago silat. Apalagi sikap dan tindak-tanduk Nyai Demang menunjukkan perilaku yang jauh dari susila. Sebagai jago silat, kemampuan Nyai Demang tidak terlalu luar biasa. Masih jauh di bawah Galih Kaliki.

Namun yang membuat Nyai Demang sangat disegani ialah karena kemampuan berbahasa yang tiada duanya. Nyai Demang-lah yang menjadi penyalin bahasa pasukan Tartar yang dulu datang. Dengan caranya sendiri, Nyai Demang mampu bercakap-cakap dengan para jago silat dari negeri Tartar. Bahkan bisa membaca kitab-kitab yang mereka bawa. Nyai Demang pula yang mampu berbicara dan berhubungan dengan para jago silat yang datang dari tlatah India. Entah sejauh mana penguasaan bahasa tersebut, akan tetapi nyatanya hanya Nyai Demang yang bisa berbicara langsung kepada mereka yang berasal dari budaya mancanegara. Itulah sebabnya, kehadiran Nyai Demang dalam dunia persilatan tak bisa disamai oleh siapa pun selama ini!

Maka kalau sekarang Nyai Demang bisa dengan jelas mengatakan siapa sembilan penyerang yang datang, adalah hal yang masuk akal sekali. Kalau kemudian Nyai Demang mempermainkan sembilan Gandring ini dengan mengatakan bahwa Tumbal Bantala Parwa ada di dalam joli, akan dipercaya. Seperti ketika menyudutkan Senopati Anabrang sekarang ini.

"Nyai Demang yang luas pandangannya, secara jujur saya akui, saya tidak mengerti tuduhan Nyai. Saya sendiri, saya akui secara jujur, merasa mujur bisa memorakporandakan barisan sembilan Gandring ini."

"Mustahil."

Senopati Anabrang ksatria yang jujur. Maka dengan rendah hati ia mengakui ketidaktahuannya. Dengan merendahkan diri, Senopati Anabrang membungkukkan tubuhnya "Mohon Nyai Demang sudi memberi petunjuk. Kalau ternyata saya bisa dibuktikan mencuri ilmu perguruan lain, saat ini juga saya lebih suka menjadi makanan cacing."

Nyai Demang terbatuk. "Susah, susah. Menghadapi manusia-manusia yang kosong ilmu surat, membuat saya harus menggurui."

"Sesungguhnyalah, saya, Senopati Anabrang, mohon petunjuk Nyai Demang."

Mpu Renteng tak menduga bahwa Senopati Anabrang bisa merendahkan diri begitu rata dengan tanah di depan Nyai Demang yang baru saja dicaci sebagai "perempuan busuk". Nyai Demang sendiri tergoda oleh kejujuran tulus yang diperlihatkan Senopati Anabrang. Yang tidak sungkan-sungkan memberi hormat padanya.

"Anggap saja gurumu memberi pengajaran."

Senopati Anabrang membungkuk hormat. "Hei, jangan kelewatan, Anabrang. Mana aku mau menerima murid segagah kamu? Menjadi gurumu bakal rugi! Aku akan dibilang tak punya susila kalau main-main dengan muridnya sendiri."

Mpu Sora bergidik hatinya. Sungguh keterlaluan cara bicara Nyai Demang. Di depan banyak telinga yang mendengar, di lapangan terbuka, seenaknya ia bicara soal asmara.

"Latihan pernapasan atau cara melatih tenaga dalam yang diajarkan dalam kidungan Tumbal Bantala Parwa lain dengan cara mengatur pernapasan dari berbagai kitab yang ada. Karena intinya adalah pernapasan jika terdesak. Bernapas bukan sesuatu yang seharusnya, bukan keadaan yang wajar. Dalam Kitab Penolak Bumi, bernapas hanya dilakukan kala keadaan sudah mendesak dan tak terhindarkan lagi. Cara semacam ini hanya mungkin kalau mempelajari secara langsung. Tak mungkin kalau tidak melatihnya sendiri. Kecuali kalau... kalau... ah, tapi itu tak mungkin. Sangat tidak mungkin." Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Berulang-ulang.

Mpu Renteng jadi berdebar.

"...kecuali kalau Upasara Wulung memberikan tenaga itu padamu. Dengan risiko ia kehilangan tenaga dalamnya yang murni yang selama ini dilatihnya."

Justru itu kemungkinan satu-satunya!

Kitab Bumi

MPU SORA menahan gumpalan dalam dadanya yang mendadak bergejolak! Ia bisa segera mengerti bahwa Senopati Anabrang secara tidak langsung menerima tenaga dalam murni dari Upasara Wulung. Yaitu saat ia terluka oleh racun Gendhuk Tri. Saat itulah Upasara menolongnya untuk mengusir racun tersebut. Tenaga dalam yang disalurkan oleh Upasara sebagian untuk mengusir racun. Akan tetapi sebagian lagi mengendap dalam tenaga murninya sendiri. Itulah yang keluar tanpa sengaja. Sehingga sembilan Gandring dengan barisannya bisa buyar!

Mpu Sora merasa dadanya lebih bergolak lagi. Kalau hanya sebagian dari tenaganya yang tersalur saja sudah seperti itu, sesungguhnya Upasara betul-betul menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat! Yang bisa untuk menandingi seluruh prajurit yang mengepungnya. Bahkan bukan tidak mungkin Upasara bakal mengungguli. Ini yang hebat.

Sangat masuk akal sekali kalau Baginda Raja menganggap permasalahannya sangat gawat. Sehingga dikerahkan segala daya dan taktik untuk memastikan Upasara di pihak mana. Sehingga Baginda Raja sampai tega mengirimkan Permaisuri. Atau kemudian Mpu Nambi atau utusan yang lain memaksakan Toikromo. Berarti segenap usaha yang paling besar dikerahkan. Kalau dilihat kemampuan Upasara yang begitu hebat, Baginda Raja memang tak bisa tidak harus memaksa dengan segala cara. Dan, nyatanya lebih hebat lagi. Upasara memilih menghancurkan dirinya sendiri. Ini yang belum diketahui oleh Nyai Demang. Kalau sudah tahu, ia akan bertanya-tanya seperti ini!

"Di antara gunung yang sangat tinggi, ternyata masih ada gunung yang lebih tinggi. Di antara samudra yang sangat luas, ternyata masih ada samudra yang lebih luas lagi. Sungguh, hari ini saya yang tua terbuka matanya. Dengan tulus saya menghaturkan terima kasih atas petunjuk Nyai Demang."

"Sora... Sora! Kamu akan lebih mengagumiku tujuh kali lipat kalau kamu tahu bahwa yang kukatakan hanyalah sekuku hitam dari yang kuketahui. Sebenarnya akulah yang harus diperhitungkan rajamu yang gemar wanita itu, bukan Upasara. Akulah yang bisa menentukan dan mengatur semua ksatria yang sebenarnya anak-anak kecil belaka."

Nyai Demang menghela napas. "Sayang aku tak tertarik menjadi jagoan yang tak terkalahkan. Aku lebih suka menikmati kesenangan duniawi. Kalau aku tidak mengobral asmara yang memperlemah tenaga dalamku, apakah kamu pikir ada yang mampu menandingiku?"

"Nyai Demang, aku mengagumimu. Akan tetapi aku tidak menyesal karenanya. Ini dunia yang kupilih."

Bibir Nyai Demang menyunggingkan senyuman. "Di seluruh jagat ini siapa yang mengetahui kitab babon dari semua kitab ilmu silat? Bahkan Upasara sendiri tak tahu secara persis. Akulah yang mengetahui bahwa kitab babon, induk dari segala kitab itu adalah Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Kitab ini juga disebut Dwidasa Nujum Kartika. Yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Kecuali kalau ada yang bisa menunjukkan Delapan Jurus Nujum Bintang yang dapat melengkapi Dwidasa Nujum Kartika. Tapi selama belum ada yang bisa menemukan dan memperlihatkan, pendapatku yang paling tepat. Nah, apakah kalian yang mendengar ini mau membantah?"

Tak ada jawaban.

"Akulah yang paling lengkap membaca semua kitab itu. Dengan begitu akulah yang paling dibutuhkan saat ini, oleh siapa pun yang ingin mencapai puncak tak tertandingi. Nah, masih ada yang berani menyanggah?"

Senyum Nyai Demang makin lebar. Akan tetapi mendadak berubah ketika Senopati Anabrang berkata, "Nyai Demang, sesungguhnya tenaga ini pemberian dari Upasara Wulung, ksatria sejati di jagat ini, Senopati Pamungkas Keraton Majapahit."

Nyai Demang terguncang. Tubuhnya yang montok bergoyang. Kedua tangannya memegangi kepalanya.

"Gusti..."

Tubuhnya makin keras bergoyang bagai kena gelombang. Terhuyung-huyung Nyai Demang seperti mabuk berat. Baru setelah menghela napas beberapa kali, wajahnya sedikit tenang.

"Siapa pun yang membuat Upasara menjadi cacat, aku tak akan pernah mengampuni. Harap kalian ingat baik-baik."

Nyai Demang berbalik. Sembilan Gandring mengikuti.

"Hari ini aku ada urusan gawat. Lebih baik kalian semua enyah dari depanku."

Sembilan Gandring berhenti. Menuruti setiap kata Nyai Demang. Yang mengerahkan kemampuannya berlari menuju Perguruan Awan. Tubuhnya tetap gesit, sehingga belum setengah hari sudah masuk ke dalam wilayah Perguruan Awan. Tanpa berhenti sekejap pun Nyai Demang terus masuk ke dalam. Bagi orang luar, Perguruan Awan termasuk membingungkan. Karena hutan ini tak ditandai dengan apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk. Akan tetapi Nyai Demang pernah berada di dalam dan sering keluar-masuk. Sehingga bisa mencari beberapa lokasi yang menjadi tempat pertemuan. Dugaan Nyai Demang tidak meleset.

Jaghana berada di sederetan pepohonan yang akar-akarnya membentuk semacam gua. Tapi Nyai Demang kaget. Pandangannya berkunang-kunang. Apa yang sekilas disaksikan membuat sukmanya seakan terbang! Pertama tadi dilihatnya Jaghana sedang duduk bersila. Di sampingnya terbujur tubuh Upasara yang tidak bergerak sedikit pun. Daya hidupnya hanya ditandai dengan napasnya yang kedengaran begitu berat. Ada luka menganga di bagian dada. Sementara di tempat yang tak ada satu tombak, Gendhuk Tri menggeletak. Di sekitarnya ada bekas-bekas muntahan darah. Wilanda menjaga dengan tubuh tak bergerak. Hanya melirik pasrah ketika melihat Nyai Demang datang.

Yang lebih luar biasa adalah Galih Kaliki. Seumur hidupnya belum pernah melihat Galih Kaliki tidak berjingkrakan melihat kemunculannya. Sejak pertama kali melihat Nyai Demang, Galih Kaliki sangat kesengsem, sehingga tak ubahnya seperti anak kecil. Namun sekarang ini pandangannya melotot. Tanpa berubah ketika Nyai Demang mendekat. Nyai Demang tertunduk. Matanya membasah. Terguguk. Untuk pertama kali pula Nyai Demang meneteskan air mata dengan perasaan sedikit lega.

"Sudahlah, Nyai..."

"Paman Jaghana, katakan apa yang terjadi."

"Seperti yang Nyai lihat, itulah yang terjadi. Marilah kita berdoa kepada Gusti Dewa yang Mahaagung. Agar perkenannya yang terjadi di dunia ini." Selesai berkata, Jaghana kembali bersemadi.

Nyai Demang memandang Wilanda. "Paman Wilanda, apakah Upasara..."

"Anakmas sedang istirahat. Atas kemauannya sendiri. Marilah kita sama-sama menunggu di sini, agar diberi jalan oleh Dewa dari segala Dewa yang kita muliakan."

Nyai Demang makin tak bisa menahan tangisnya. Wanita ini, yang baru saja berkata bahwa ia menguasai dan pernah membaca babon dari segala kitab yang diperebutkan, tetap seorang wanita yang halus perasaannya. Yang bisa meneteskan air mata dalam jangka waktu lama. Sampai bulan bersinar sempurna. Sampai matahari kemudian terbit keesokan harinya. Dan terbenam lagi. Selama itu pula Jaghana terus bersemadi di sampingnya. Demikian juga Wilanda. Hanya Galih Kaliki yang beberapa kali mencoba memusatkan pikirannya, akan tetapi selalu gagal.

"Kita tak bisa membantu apa-apa."

"Kakang jangan merasa gagal."

"Nyai, siapa yang bisa dilumatkan kalau akhirnya harus seperti ini? Kita ini kalau salah, salahnya apa? Kalau dosa, dosanya seberapa?"

Nyai Demang sadar. Bahwa yang bisa dilakukan hanyalah menunggu. Tubuh Upasara tak menunjukkan reaksi apa-apa ketika Nyai Demang berusaha mengirim tenaga dalam. Hanya Gendhuk Tri yang membuka mata ketika matahari terbit lagi. Tubuhnya lemah, bibirnya pucat.

"Bagaimana Kakang?"

Kawula Katuban Bala

NYAI DEMANG tergetar hatinya. Senyumnya mengembang. Bukan senyuman genit menggoda seperti biasanya. Melainkan senyuman seorang kakak, seorang ibu yang membesarkan hati anaknya. Nyai Demang tergetar justru karena begitu sadar yang ditanyakan Gendhuk Tri pertama kali adalah Upasara. Dalam keadaan begitu parah, Gendhuk Tri ternyata tetap memikirkan orang lain. Tangan Nyai Demang mengelus Gendhuk Tri. Hubungan akrab yang selama ini tak pernah terjadi.

Karena secara diam-diam Nyai Demang kurang menyukai Gendhuk Tri, yang dianggap sebagai anak kecil tak tahu adat, dan terus menempel Upasara. Sebaliknya Gendhuk Tri secara terang-terangan juga menyatakan kurang suka kepada Nyai Demang, yang dianggap sebagai wanita yang tak tahu adat, dan terus berusaha menggoda Upasara. Keduanya sama-sama menyadari bukan sahabat yang akrab. Namun kali ini, untuk pertama kalinya nampak saling melempar senyum. Saling memandang dengan membagi perasaan duka. Saling menyentuhkan tangan. Walaupun hanya terjadi dalam sekejap, namun membuat Galih Kaliki dan Wilanda yang menyaksikan tersenyum lega dalam hati.

Sementara Gendhuk Tri kembali menutup matanya dan mengatur pernapasannya, Nyai Demang duduk bersila. Wajahnya menunduk. Rambutnya yang panjang lebat terurai menutupi wajahnya, berkilat karena keringat. Galih Kaliki mendekat, ikut bersila.

Tiada doa yang sia-sia
tiada kesia-siaan tanpa dosa
tiada dosa yang sia-sia
dosa bukan doa
doa bukan sia-sia
jika dikepung gunung
saudaramu ada di kampung
jika dikepung kampung
saudaramu ada di gunung
gunung bukan kampung
kampung bisa di gunung
jika dikepung gunung
masih ada saudara
jika masih ada saudara
kenapa tidak berdoa
berdoa bukanlah dosa
doa bukan gunung
bukan kampung
bukan saudara
kenapa berdoa
kalau sia-sia
kenapa sia-sia...


Suara Nyai Demang berat mengalun, seolah terdengar dari bagian yang paling dalam yang selama ini tersembunyi. Menekan dan menenggelamkan pikiran-pikiran yang ada. Pikiran yang masih berkecamuk antara kebimbangan, keraguan, dibenamkan dalam-dalam. Inilah cara menembang kidungan Kawula Katuban Bala, kidungan kelima dalam Kitab Penolak Bumi.

Nyai Demang berhasil mengidungkan sesuai dengan tuntutan yang tersirat dalam lirik-lirik tembang yang tak terlalu sulit dihafalkan. Hanya saja Kitab Penolak Bumi tidak semata-mata untuk dihafalkan, melainkan untuk diresapi. Untuk tenggelam secara penuh. Karena kalau dibaca selintas Tumbal Bantala Parwa seperti tidak ada apa-apanya. Isinya hanya delapan kidungan yang kata-katanya saling belit-mengait. Hanya dengan kejernihan pikiran, seseorang bisa masuk dan menghayati arti kidungan tersebut.

Kawula Katuban Bala, secara harfiah bisa diartikan sebuah pribadi yang dikelilingi oleh bala, teman, harta benda, bangsawan, dan semua saudara. Dikelilingi dengan rasa cinta dan persahabatan. Akan tetapi justru dalam lirik-liriknya kidungan itu menunjukkan beberapa hal yang bertentangan. Gunung tak ada di kampung, akan tetapi kampung bisa berada digunung. Orang lain bisa menjadi saudara, akan tetapi saudara juga bisa berarti saudara, bisa berarti doa, bisa berarti sia-sia.

Delapan kidungan yang ada dalam Tumbal Bantala Parwa memang bernadakan suatu kekecewaan yang luar biasa dalamnya. Hampir semua liriknya dimulai dengan penolakan lebih dulu. Dengan pengandaian yang menghancurkan susunan jalan pikiran yang ada. Nalar yang biasa menjadi buyar. Mengajarkan berdoa, tetapi juga sekaligus menunjukkan bahwa doa bisa berarti sesuatu yang sia-sia. Doa sendiri juga bisa berarti dosa, namun dosa tetap bukan doa.

Nyai Demang bisa menghafal dengan baik, dan memilih kidungan Kawula Katuban Bala untuk menggambarkan suasana yang terjadi. Saat itu Upasara Wulung seperti yang digambarkan dalam tembang. Ia dikelilingi oleh orang lain, akan tetapi mereka semua terikat sebagai saudara. Bukan hanya saudara dalam pengertian saudara seperguruan. Akan tetapi saudara yang berarti berasal dari kelahiran yang sama. Semua yang mengelilingi adalah bala.

Dalam keadaan tanpa sadar terus-menerus, yang bisa dilakukan hanyalah berdoa. Tetapi doa juga mempunyai batas, yang akan menjadi dosa, andai memaksa Upasara yang telah sampai kepada janjinya! Dengan nada yang berat, Nyai Demang memang menyesuaikan dengan tuntutan cara mengatur napas seperti buah yang tumbuh di dalam tanah, dengan akar menembus bagian utara dan timur.

Bagi Jaghana, kidungan dalam Kitab Penolak Bumi adalah penolakan tetapi sekaligus penyerahan. Pengingkaran akan tetapi juga sekaligus rasa pasrah. Ini memang soal bagaimana memahami, membiarkan pikiran, rasa, mengikuti kidungan tersebut. Kalau kemudian diterjemahkan dalam gerakan silat, kidungan ini bisa menjadi jurus yang bisa saja dinamai jurus Kawula Katuban Bala dengan mengatur kuda-kuda mantap seperti buah dipendam dalam tanah. Meminjam kekuatan lawan yang mengelilingi, karena sebetulnya tenaga lawan yang asing itu adalah tenaganya sendiri, tenaga saudara kandungnya.

Bisa dibayangkan jika cara meminjam tenaga lawan ini benar-benar dikuasai. Akan tetapi sekaligus juga diingatkan bahwa tenaga yang dipakai ibaratnya bisa menjadi doa yang ampuh, akan tetapi juga dosa yang memilukan karena berarti digempur dalam tarikan napas yang sama yang dianggap sebagai saudara sehingga bisa dipinjam tenaganya.

Kitab Penolak Bumi sebenarnya kitab yang paling rumit tetapi juga sangat sederhana. Rumit karena penguasaan kekuatan dan cara mengatur napas serta perasaan serba bertentangan. Antara saudara dan musuh, antara doa dan dosa, antara kampung dan gunung. Sangat sederhana karena segalanya mudah dijelaskan. Bisa dimengerti tanpa salah, karena sebenarnya tidak berbelok atau perlu ditafsirkan lain. Gunung tetap berarti gunung, dosa tetap berarti dosa, bukan kampung, bukan doa.

Semakin sederhana, semakin bisa mengikuti kata-kata yang ditembangkan Nyai Demang, dan bisa hanyut. Galih Kaliki yang polos lebih cepat naik-turun hanyut terbawa. Sementara Jaghana juga bisa mengikuti karena sejak semula terus berlatih. Hanya Wilanda yang nampak tersengal-sengal. Sementara Gendhuk Tri antara sadar dan tidak berkumak-kumik bibirnya.

Nyai Demang terus mengulang, setiap kali baris-baris selesai dibacakan. Kemudian berganti dengan Galih Kaliki, dilanjutkan oleh Jaghana dengan suara yang lebih berat, di samping Wilanda, kumak-kumik Gendhuk Tri, dan akhirnya balik lagi ke Nyai Demang yang kembali mengulang. Entah berapa ratus kali kidungan diteruskan. Sampai akhirnya semua penghuni menembangkan secara bersama dalam hati. Menyatu dalam rasa. Termasuk Upasara!

Di hari ketiga Upasara membuka matanya, memandang sekeliling. Nyai Demang menghela napas.

"Kakang?" Suara Gendhuk Tri gemetar.

Upasara nampak masih sangat lemah. Hanya menggerakkan kelopak matanya, mungkin bermaksud tersenyum. Akan tetapi nampak seperti seringai halus. Wilanda mengumpulkan embun-embun di ujung daun untuk minum Upasara.

"Terima kasih, Paman." Upasara berusaha duduk. "Kamu sudah baik, Adik?"

Gendhuk Tri menghapus air matanya. "Aku baik-baik saja. Kakang tidak jadi mati?"

"Daun yang kering akan jatuh sendiri ke tanah dan menjadi pupuk. Kalau daun masih hijau dan jatuh, belum bisa menjadi pupuk yang baik. Ia hanya akan mengotori tanah saja. Mbakyu Demang, kidungan Mbakyu menyejukkan udara."

"Saya akan terus nembang kalau kamu mau mendengarkan."

Upasara meringis. Tangannya berusaha memegangi dadanya yang terluka. Akan tetapi tangannya begitu lemah tanpa kekuatan.

Undangan Bulan Purnama

GENDHUK TRI tertawa lepas. "Kakang ini sudah lumpuh, jangan macam-macam. Mana yang gatal? Saya yang menggaruk?"

Ketegangan cair. Tak ada yang menekan, walau suasana masih terasa betapa keprihatinan tetap menggantung. Kenakalan Gendhuk Tri pada hari berikutnya membuat suasana menjadi lebih hidup. Gendhuk Tri sendiri yang mencari madu dan bila Upasara menolak, Gendhuk Tri akan menjejalkan ke bibir.

"Ayo minum. Kalau tidak mau, saya paksa."

"Bagaimana kamu bisa memaksa?" tanya Galih Kaliki.

"Gampang saja. Madu ini saya minum dan saya paksa Kakang membuka bibirnya. Kalau tidak, saya akan menggigit lidahnya."

"Bagus. Bagus. Itu cara bagus."

"Bagus, aku juga mau melakukan," kata Nyai Demang.

Terpaksa Upasara mengikuti perintah Gendhuk Tri. Kadang secara sengaja Gendhuk Tri membuat wajah Upasara menjadi nyengir dan lidahnya menjulur.

"Hehehe... aku sengaja mencari madu buah maja. Pasti pahit sekali. Makin pahit makin baik."

"Jangan kurang ajar."

"Eee, mau membela, ya? Kakangmbok mau membela? Kalau begitu Kakangmbok yang mencari madu. Begini-begini juga saya harus mencicipi madu itu lebih dulu."

Gendhuk Tri memang mencicipi madu yang akan diberikan kepada Upasara. Dalam waktu lima hari, Gendhuk Tri telah mengenal berbagai jenis madu dan rasanya. Madu jeruk, madu apel, madu maja, madu mangga, madu mawar. Bahkan dari penciumannya saja Gendhuk Tri bisa membedakan dengan baik. Tapi yang lebih membuat Gendhuk Tri merasa bahagia ialah bahwa kini burung-burung hutan mau bertengger di tubuhnya. Bahkan beberapa ekor kera bermain-main di kepalanya mencari kutu!

Berarti racun dalam tubuh Gendhuk Tri telah terusir. Gendhuk Tri seperti menemukan keakraban dengan alam. Seperti bangkit dari kematian masa lampau. Walau tergolong jago silat, pada dasarnya Gendhuk Tri masih tetap seorang anak-anak. Hatinya masih hati anak-anak dengan segala kenakalan dan keinginan seorang anak-anak.

Hal ini merupakan penderitaan sejak racun bersarang di dalam tubuhnya. Dirinya menjadi hantu yang ditakuti. Tak ada yang berani bersentuhan dengannya. Bahkan binatang hutan pun tak berani mendekat. Seekor ular berbisa pun akan menggulung diri bila didekati. Gendhuk Tri seperti diasingkan. Akan tetapi sejak pengobatan paksa oleh Upasara, racun dalam tubuhnya berangsur-angsur dimuntahkan, Gendhuk Tri telah kembali normal. Dalam beberapa hari saja, dengan melatih pernapasannya, kekuatannya menjadi normal kembali.

Galih Kaliki pun diam-diam mulai berlatih di bawah petunjuk Nyai Demang yang bisa menghafal sekian banyak kitab yang pernah dibaca. Jaghana ikut memberikan petunjuk cara menafsirkan. Wilanda begitu juga. Hanya Upasara yang sama sekali tidak tertarik. Ia hanya berlatih berjalan, merawat luka di lambung sampai dada.

"Saya percaya persaudaraan kita tak bakal ternoda karena bisa-tidaknya saya bermain silat. Di sini saya akan tetap diterima, walau tak bisa main silat."

"Apa Kakang suka kalau sampai kakek-kakek nanti tetap memerlukan orang lain untuk mengusir nyamuk?"

"Kalau begini, alam tidak mengajari kita mengusir nyamuk."

"Nyamuk tidak soal. Kalau harimau?"

"Itu hukum alam. Harimau tidak akan memangsa kalau tidak dalam keadaan lapar. Dan kalau bisa membuat harimau kenyang, kenapa harus menyesal?"

"Kalau bukan harimau, bukan nyamuk, melainkan manusia jahat?"

"Ah, manusia tidak dilahirkan untuk berbuat jahat. Semua ingin berbuat baik, ingin menjadi sempurna."

"Ya, tetapi kan ada juga yang jahat."

"Itu karena belum tahu. Kita tak bisa menghukum orang yang tidak tahu."

"Susah bicara sama Kakang. Biar Paman Jaghana saja yang menasihati."

Jaghana menundukkan kepalanya. "Hanya yang arif yang bisa memberi nasihat. Kalau saya memberi nasihat, bisa kualat. Entah dosa macam apa yang harus saya panggul sepanjang sisa hidup ini."

Gendhuk Tri menggelengkan kepalanya. "Di sini memang lebih banyak manusia yang aneh. Lihat saja. Isinya manusia yang tidak sempurna. Kakang Upasara yang cacat. Yang bahkan berjalan pun tak bisa lurus. Ada Paman Jaghana yang biarpun langit terbalik di bawah dan bumi terbalik di atas, akan mengatakan begitulah kenyataannya. Ada Paman Wilanda yang lebih suka berdiam diri. Ada kuli kasar yang mengangkat tongkat ke mana-mana dan mulai lagi tergila-gila sama Kakangmbok yang tiap hari hanya memperhatikan tubuhnya terus. Mandi bunga mawar, madu dipakai luluran atau sebagai bedak tubuh. Heran, kalau di hutan ini lelakinya hanya segelintir, siapa yang mau dipameri? Kakang Upasara jelas tidak, Paman Jaghana dan Wilanda tak bakal menengok. Hanya Galih Kaliki. Toh nyatanya kalau didekati, malah pura-pura menolak."

"Pedas lidahmu. Kamu kira kamu sendiri bukan makhluk aneh? Setiap hari mengomel, menyalahkan ini dan itu, menyesali, tapi nyatanya tak mau pergi barang sepuluh tombak dari sisi Upasara."

"Itu urusanku. Kakangmbok tidak usah ikut campur."

"Itu juga urusanku. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti urusanku."

"Aku memang masih kecil. Masih pantas menjadi cucu. Tetapi untuk menghibur, aku memanggil Kakangmbok. Biar kamu merasa sedikit di atas usiaku. Biar kamu merasa masih muda. Makin tua seseorang, makin senang dikatakan masih muda."

Telak ucapan Gendhuk Tri. Nyai Demang memang memuja keindahan tubuhnya. Menjaga dan merawat secara sempurna. Maka cukup tersinggung juga oleh sebutan bahwa sebenarnya ia lebih pantas menjadi nenek Gendhuk Tri.

"Jangan kuatir, Kakangmbok. Kakangmbok tetap paling cantik di hutan ini. Dan akan tetap cantik, pun andai Dewa Maut nanti muncul."

"Eh, ke mana perginya Dewa Maut?" Wilanda mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kok ditanyakan. Yang menjadi kekasihnya yang lebih tahu. Mungkin sedang cari obat awet muda. Padahal sebenarnya tidak perlu. Sungguh menyenangkan punya kekasih yang sudah tua. Minta apa-apa bakal dituruti."

Selendang di pinggang sebelah kiri melayang. Nyai Demang mengegos ke samping. Tangannya ganti menampar pipi Gendhuk Tri. Berbeda dari Nyai Demang, Gendhuk Tri kurang bisa menguasai kemarahannya. Apalagi jika disinggung hubungannya dengan Dewa Maut. 

Tokoh yang satu ini memang aneh sejak kemunculannya di dunia persilatan. Selama hidupnya dihabiskan di atas perahu Kali Brantas. Malang melintang tiada yang sanggup menandingi. Konon ia hidup bersama seorang lelaki, sejak patah hati dengan putri idamannya. Baru kemudian turun ke darat setelah mendengar ada Tamu dari Seberang. Dan kemudian kerasan karena berteman akrab dengan Padmamuka, si wajah merah yang mengandung racun dalam tubuhnya...

BAGIAN 14CERSIL LAINNYABAGIAN 16

Senopati Pamungkas Bagian 15

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 15

Seperti halnya Lintang Lumbung, bintang yang membentuk gubuk untuk menyimpan padi yang sudah kering. Bintang itu, bila nampak di langit, pertanda tanaman di sawah mulai mengeluarkan akarnya. Kekuatan akar menembus tanah, berbeda dari kekuatan burung meninggalkan sarang seperti jurus Lintang Sapi Gumarang, juga berbeda dari kekuatan biji-bijian yang sedang tumbuh. Hanya mereka yang mampu meresapi kejadian-kejadian dalam alam semesta bisa menguasai lebih mahir.

Yang tidak diketahui atau kurang diperhitungkan Mpu Nambi ialah bahwa Galih Kaliki melatih jurus-jurus tadi tanpa pengertian yang mendalam. Galih Kaliki boleh dikatakan belajar sendiri. Walau agak kagok, ilmu silat bukan semata-mata hafalan atau pengertian. Melainkan juga latihan. Di sinilah keunggulan utama Galih Kaliki. Dalam keadaan terdesak, ilmu itu muncul dengan sendirinya.

Mpu Sora justru melihat bahwa Mpu Nambi agaknya sengaja menyuruh Dyah Palasir dan Dyah Pamasi untuk maju. Karena di samping menjajal Galih Kaliki, Mpu Nambi lebih merasa aman, andai Dyah Pamasi dan Palasir terluka atau binasa. Ini taktik dalam telik sandi yang terkenal sebagai istilah Sekul Seta atau Nasi Putih.

Permaisuri Rajapatni Muncul

Dalam menangani masalah yang bersifat rahasia, prajurit telik sandi selalu berhadapan dengan taktik Sekul Seta atau Nasi Putih. Istilah ini menunjukkan bahwa bagian telik sandi selalu diharuskan memberikan hasil yang sempurna. Umpama kata berhasil menghidangkan nasi putih secara utuh dalam piring. Ini berarti kalau di dalam piring itu masih terdapat nasi warna lain, atau bahkan masih ada kulit padi, nasi berwarna lain, atau bahkan gabah tadi, harus dibuang. Agar dengan demikian memberikan hasil yang sempurna.

Dalam arti lain, sewaktu menjalankan tugas rahasia, prajurit telik sandi akan selalu menemukan masalah yang membuat tidak sempurna, dan harus tegas serta tega membuang. Karena yang dibuang adalah nasi yang tidak putih, atau bahkan gabah, yang tidak berarti. Mpu Nambi sedang melakukan upaya ini. Karena, menurut perkiraan Mpu Sora yang kini tak bisa mengerem jalan pikirannya untuk mencurigai orang lain, Dyah Palasir dan Dyah Pamasi adalah bawahan Mpu Nambi. Yang mengetahui tugas-tugas rahasia. Yang diketahui situasi berubah, untuk menjaga "kesempurnaan nasi putih", mereka berdua harus dilenyapkan! Dengan cara menghadapkan kepada Galih Kaliki!

Dugaan Mpu Sora ini berdasarkan perkiraan bahwa Mpu Nambi tidak memerlukan mereka. Dan atau mereka berdua bisa membocorkan rahasia. Mungkin saja mengenai tugas ini, atau mengenai hilangnya Permaisuri Gayatri. Sebab Mpu Sora masih menduga-duga ada hubungannya ketika ia menabrak salah seorang dari mereka ketika mengejar Klikamuka!

Di lapangan pertempuran, apa yang dikuatirkan terjadi. Dua tombak Dyah Pamasi terbetot lepas dari tangan dan meluncur ke arah Dyah Palasir. Yang sama sekali tak mengira.

"Busuk!"

Palasir mengira bahwa Pamasi sengaja mencurangi. Mempergunakan kesempatan untuk melepaskan tombak. Maka kini justru gadanya terayun ke samping. Dyah Pamasi tak sempat menghindar ketika dadanya kena hantam.

"Kamu... kamu!"

Palasir sendiri terjengkang dengan tombak menancap di dadanya.

"Tongkring! Sungguh memalukan!" Apa yang diteriakkan Adipati Lawe menampar Mpu Nambi.

Mereka berdua yang menjadi korban dari bagiannya. Bahwa mereka gugur dalam menjalankan tugas, sudah menjadi bagian dari jiwa keprajuritannya. Hanya saja bahwa mereka terbunuh karena saling curiga, sungguh memalukan. Agaknya, kehidupan dalam bagian telik sandi adalah kehidupan untuk saling mencurigai. Setidaknya dari bukti yang bisa disaksikan.

Mpu Renteng sendiri memperhitungkan, walaupun kedua Dyah itu terdesak dan kalut, tidak perlu berakhir setragis ini. Karena luncuran tombak tak sengaja itu bisa tetap ditangkis oleh Palasir. Bahwa dengan kemudian posisinya agak goyah, dan Pamasi terguncang, itu memang tak bisa lain. Akan tetapi itu belum berarti kekalahan. Apalagi kematian. Karena saat itu Galih Kaliki tidak segera melanjutkan serangan.

Galih Kaliki kurang mampu membaca posisinya yang unggul. Ia mengulang menyerang dari awal lagi. Posisi itu yang diambil, sehingga justru Galih Kaliki menyiapkan kuda-kuda dari arah utara-selatan, kembali ke posisi seperti jurus Lintang Sapi Gumarang. Lebih ke arah berjaga daripada ke arah bertempur.

"Memang memalukan prajurit Majapahit ini. Bukannya menyerang aku, malah saling bunuh. Bagaimanapun aku tak bisa dibilang menang." Galih Kaliki menggelengkan kepalanya. "Ayo, siapa lagi?"

Adipati Lawe mengertakkan giginya. "Sobat Kaliki, kamu sungguh laki-laki perkasa. Suatu kali nanti, aku bersumpah akan menjajal kamu."

"Untuk apa tunggu nanti? Sekarang atau nanti toh sama saja?"

"Aku tak mau mengambil keuntungan. Kamu baru saja bertempur, mana mungkin sebagai lelaki gagah aku mencurangi tenagamu?"

"Bagus, bagus. Kuterima tantanganmu. Tapi aku masih belum puas membalaskan dendam adikku Upasara. Ayo, siapa lagi yang maju?"

Terdengar erangan. Gendhuk Tri siuman sebentar, mengerang, dan lagi-lagi memuntahkan darah kebiru-biruan. Galih Kaliki menjadi bingung.

"Lain kali semua utang akan kuselesaikan," jawab Mpu Nambi. "Kutunggu kapan saja."

"Bagus. Kamu harus ingat janji itu."

Galih Kaliki mendekati Gendhuk Tri. "Apanya yang sakit?"

Gendhuk Tri tak bereaksi.

"Wah, kalau soal racun atau sebangsa itu, mana aku tahu? Paman Wilanda, bagaimana sebaiknya?"

Wilanda, yang sejak tadi berdiam diri, maju ke tengah. "Senopati Agung Nambi, kami semua masih berada di sini. Kalau ingin membasmi Perguruan Awan, jangan tunda lain waktu."

Mpu Nambi mendongak. "Aku kemari menjalankan tugas. Kalau ada yang tidak mengenakkan, sudah kukatakan aku yang bertanggung jawab. Kalau hari ini aku ingin membasmi Perguruan Awan, masih lebih banyak diperlukan tenaga untuk membalik telapak tangan. Wilanda, catatlah baik-baik. Aku akan tetap mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Hari ini aku tak mempunyai waktu lagi."

Mpu Nambi membalik, meloncat ke arah punggung kuda, dan segera diiringkan oleh para prajuritnya, sambil membawa mayat Dyah Pamasi, Dyah Palasir, serta klika yang berisi Tumbal Bantala Parwa.

Adipati Lawe memberi hormat kepada Jaghana yang berusaha duduk, lalu memberi hormat kepada Mpu Sora. "Keponakan yang kasar, mohon pamit." Tanpa memperpanjang kalimat, Adipati Lawe mencemplak kuda hitamnya. Para prajurit Tuban segera mengiringkan.

Sejenak Mpu Renteng menduga bahwa Adipati Lawe akan menyertai Mpu Nambi ke Keraton. Agar Mpu Nambi tak mengarang cerita secara sepihak.

Wilanda memanggul Gendhuk Tri, sementara Galih Kaliki membopong Upasara, dan Jaghana berusaha berjalan dengan tongkat Galih Kaliki.

Mpu Sora, Mpu Renteng, serta Senopati Anabrang hanya bisa menyaksikan tanpa mengucapkan kata sepatah pun sampai rombongan lenyap di balik dedaunan.

"Apakah benar Kakangmas telah meninggal?"

Mpu Sora segera menunduk bersila dan menghaturkan sembah. Demikian juga Mpu Renteng serta Senopati Anabrang.

"Apakah berita itu benar, Paman?"

Benar, yang didengar adalah suara Permaisuri Gayatri! Bagaimana mungkin bisa muncul secara tiba-tiba?

"Benar, Permaisuri."

"Saya tidak percaya."

"Sesungguhnya hamba tidak berani berdusta. Saat ini Upasara Wulung sedang luka parah, tanpa tenaga dalam lagi."

Mpu Sora dan Mpu Renteng tidak berani mendongak atau menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi. Karena tiba-tiba saja Permaisuri Gayatri sudah berada di lapangan, seakan baru bangun dari tidurnya.

"Siapa yang membunuh?"

Mpu Sora menghaturkan sembah. "Keinginan Upasara sendiri untuk memusnahkan tenaga dalamnya."

"Benar begitu?"

Sembah kedua senopati Majapahit lebih dari sekadar anggukan.

"Kalau begitu, memang Kakangmas tidak mau bertemu dengan saya lagi. Untuk apa kita menunggu di sini?"

Mpu Renteng segera memerintahkan disediakan joli untuk membawa Permaisuri Gayatri. Yang sejak masuk di dalam, tak pernah mengucapkan sepatah kata. Bahkan sewaktu berhenti dalam perjalanan, tak mau menyentuh makanan, minuman. Tak mengajak bicara.

Biarpun terbakar rasa ingin tahu, akan tetapi sebagai seorang abdi, sebagai bawahan, Mpu Sora tak berani bertanya. Hanya menduga-duga sendiri. Bahkan dengan rontoknya Perguruan Awan, pertikaian masih akan membuka lebih luas. Persoalan siapa yang akan diangkat menjadi mahapatih masih tetap merupakan teka-teki yang memprihatinkan. Di samping permusuhan antara Perguruan Awan dan Keraton meninggalkan bekas luka yang menganga.

Sementara teka-teki Keraton dan dugaan siapa yang memainkan peranan di samping Baginda masih merupakan pertanyaan, kemunculan Klikamuka juga belum terjawab. Dengan pemunculan mendadak, di mana sebenarnya posisi Klikamuka?

Kiai Sumelang Gandring

BELUM setengah hari perjalanan, rombongan Mpu Sora menemukan bekas-bekas pertempuran. Sehingga segera memerintahkan agar para prajuritnya siaga. Joli yang memuat Permaisuri Gayatri berada di tengah, sehingga lebih aman. Mpu Renteng sendiri mengawal dari kanan, sementara Mpu Sora dari sisi kiri joli. Senopati Anabrang yang bergabung berada di bagian depan.

Sisa-sisa pertempuran bisa dilihat dari banyaknya bekas pohon dan ranting yang putus. Bahkan beberapa senjata tergeletak begitu saja. Sewaktu rombongan terus berjalan, belum sampai beberapa lama, bekas-bekas pertempuran terlihat lagi. Kali ini lebih jelas lagi. Beberapa senjata, yang bisa dikenali sebagian milik prajurit Majapahit tertinggal.

Mpu Renteng mendehem kecil. "Kakang Sora, agaknya kita sedang melewati tempat yang membuat sibuk Kakang Nambi."

"Agaknya ada tetamu yang menghadang."

Perhitungan mereka adalah bahwa belum lama berselang rombongan Mpu Nambi yang melewati jalan tersebut. Kemudian juga disusul oleh rombongan Adipati Lawe. Dengan mengatakan ada "tetamu yang menghadang" Mpu Sora ingin membuang gagasan bahwa terjadi perselisihan antara Adipati Lawe dan Mpu Nambi. Suatu hal yang selama ini mengganggu Mpu Sora. Mengingat bahwa adat Adipati Lawe sangat keras dan cepat bertindak, sementara Mpu Nambi juga tak pernah memberi kesan mau mengalah dalam menjalankan tugas yang dianggap tak boleh diganggu gugat. Hal yang paling sepele pun bisa membuat keduanya bentrok.

"Tetamu dari mana lagi?"

"Cepat atau lambat kita akan mengetahui."

Belum selesai kalimat Mpu Sora, di bagian depan barisan berhenti. Tanpa ayal lagi Mpu Renteng meloncat ke depan. Sementara Mpu Sora berjaga-jaga di sekitar joli yang minta diturunkan dan ditempatkan di dalam penjagaan ketat.

Sewaktu Mpu Renteng sampai di bagian depan, Senopati Anabrang sudah turun dari kudanya. Dengan gagah menghadapi sembilan lelaki yang berdiri menghadang. Mpu Renteng melihat bahwa kesembilan penghadang sudah mengambil sikap bersiap. Dan dilihat selintasan, mereka semua tanpa kecuali memperlihatkan kemampuan untuk bermain silat. Mpu Renteng mengambil tempat di dekat Senopati Anabrang.

"Tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa sobat-sobat berdiri menghadang?"

"Berjalan, cepat atau lambat, akan sampai ke tujuan. Apa artinya sejenak untuk menyerahkan kulit kayu yang bukan haknya?" Jawaban ini terdengar agak ketus.

Senopati Anabrang tetap dingin. "Maaf, ini pembicaraan model apa? Kalau mau mengatakan merampok, kenapa bilang panen? Saya harus mengatakan bahwa sobat-sobat salah alamat. Kami tidak membawa harta benda yang pantas untuk direbut. Kami membawa tombak dan keris." Jawaban yang sekaligus berupa tantangan. Dengan mengatakan membawa tombak dan keris berarti siap menghadapi pertempuran.

"Aha, keris air laut apa yang mau dibanggakan?"

Senopati Anabrang maju dua tindak. Kedua tangannya bertolak pinggang. Ada dua hal yang membuat Senopati Anabrang tersinggung. Yang pertama cukup beralasan. Yaitu sebutan "keris yang dibuat dari air laut". Memang selama ini semua senjata prajurit Majapahit dibuat oleh para empu dengan air yang ada di sekitarnya. Walau tidak betul-betul racikannya dari air laut, akan tetapi julukan bernada ejekan sudah memasyarakat di kalangan jago silat.

Air laut, karena asin dan mengandung garam, bukan air yang bagus dipakai untuk mendinginkan baja atau besi. Berbeda dari air pucuk gunung atau daerah pedalaman. Tetapi yang membuat gusar Senopati Anabrang, adalah bahwa penghadang ini meremehkan air laut. Sebagai senopati yang dalam perjalanannya hidup di laut, cara meremehkan ini membuat Senopati Anabrang bertolak pinggang.

"Laut terlalu luas membentang dibandingkan dengan selokan. Katakan nama dan maksud sobat semua, agar para ahli waris yang ingin memberi sesaji di belakang hari tidak keliru dengan kuburan binatang."

"Lancang ucapanmu, para perampok budiman. Kami datang dengan baik-baik untuk meminta Tumbal Bantala Parwa yang jelas-jelas kalian bawa, masih mau berlagak. Untuk menghadapi kalian semua, sejak berangkat kami telah mempersiapkan diri."

Mpu Renteng maju sambil membetulkan letak kain putih yang tersampir di pundaknya. "Siapa bilang kami bawa kitab tak berharga itu?"

"Kami telah menunggu lama. Beberapa kali ada rombongan lewat, dan kami memaksa untuk menyerahkan kitab milik leluhur kami, selalu dikatakan dibawa rombongan di belakang. Nah, apakah kini kalian mau mengatakan hal yang sama? Apakah kami perlu menggeledah?"

Mpu Renteng menduga bahwa baik rombongan Mpu Nambi dan rombongan Adipati Lawe sudah disatroni sembilan penghadang ini. Barangkali saja mereka tak mau ambil peduli sehingga mengatakan dibawa rombongan di belakang. Dan mereka menduga kali inilah rombongan yang dicari. Karena membawa joli.

"Kalau bisa menggeledah, kenapa tidak dicoba?"

Sret!

Dengan gerakan yang sama kesembilan penghadang mencabut kerisnya. Dengan gerakan yang sama pula mereka membentuk barisan. Satu di depan, dua di belakang, tiga di dua baris terakhir. Semacam barisan yang sudah lama dilatih. Yang membuat Mpu Renteng sedikit terkesiap ialah kenyataan bahwa sembilan penghadang ini mempunyai gerak yang sama. Cara melangkah, cara meletakkan kaki, dilakukan secara bersama-sama. Sehingga seakan ada satu orang dengan delapan bayangan. Bahkan bentuk keris yang diperlihatkan sama. Sama-sama memantulkan cahaya.

"Sobat-sobat datang dari jauh untuk memamerkan permainan anak-anak kecil seperti ini? Sungguh nama besar Kiai Sumelang Gandring sudah lama dipendam di lumpur."

"Kalau mengenal nama leluhur kami, kenapa tidak menyerah saja dengan baik-baik?"

Mpu Renteng tertawa dingin. Senopati Anabrang memuji pengamatan Mpu Renteng. Hanya dengan melihat tangguh, yaitu melihat perkiraan bahan serta ciri-ciri bentuk keris, bisa mengenali asal-usul kesembilan penghadang. Dari bentuk pamor atau ketajaman keris, bisa dilihat seberapa jauh kasar atau halusnya. Ketajaman keris bukan hanya di bagian ujung, melainkan juga di sisi kiri dan kanan, serta bilahnya. Pamor mengkilap memang menunjukkan jenis keris yang berasal dari tlatah Pajajaran. Dengan bentuk keris yang lebih besar dari kebanyakan keris buatan Majapahit, serta lekuk yang tidak begitu berkelok, Mpu Renteng yakin bahwa ini semua dari seorang empu yang kesohor, Kiai Sumelang Gandring.

Nama Kiai Sumelang Gandring bisa dihubungkan dengan Mpu Gandring karena konon memang mempunyai persamaan nama dan kemampuan yang sama dalam membuat keris. Hanya saja Kiai Sumelang Gandring dikabarkan mengembara ke tlatah kulon atau wilayah barat untuk mencari tempat yang sesuai dengan pilihan hatinya. Selama itu pula hanya tinggal cerita-cerita bahwa Kiai Sumelang Gandring terus mengembangkan cara membuat keris pusaka serta ilmu silat. Dengan ciri utama semua keris dari tradisi ini lurus tidak memakai lekukan, dan imbang antara sebelah kiri dan kanan. Sogokan yang berada di tengah bagai urat nadi, kalau diukur dengan rambut sekalipun, akan persis berada di tengah. Inilah ciri utama tradisi Kiai Sumelang Gandring, yang konon menolak sebutan empu.

"Sejak kapan kalian orang-orang gelandangan berani mengaku memiliki Kitab Penolak Bumi? Sampai kapan pun kalian tak pernah bisa membaca kidung dan menulis. Bagaimana leluhur kalian memiliki kitab?"

Sret-sret.

Sembilan keris bergerak bersamaan, mengiris angin. Ini memang tak bisa main-main. Tak bisa dipandang enteng. Kalau sembilan ksatria mampu memadukan rasa, kekuatan mereka bisa berlipat ganda. Sementara Mpu Renteng menghitung bahwa dalam barisannya hanya ada tiga orang yang bisa diandalkan. Dirinya sendiri, Mpu Sora yang perkasa berjaga dekat joli, serta Senopati Anabrang.

Sret!

Kali ini malah hanya menimbulkan satu desisan angin. Kesembilan keris menuding ke depan, sementara tangan kiri tertekuk di atas kepala, dengan kedua kaki menekuk. Secara bersamaan.

Mpu Renteng pernah melihat tiga bersaudara yang dikenal sebagai Tiga Pengelana Gunung Semeru. Namun jumlah mereka hanya bertiga. Bukan sembilan seperti sekarang ini. Senopati Anabrang meloloskan dua pedang. Dipegang di kedua tangan. Dengan satu tarikan, pedang sebelah kiri memberi aba-aba agar prajurit mengundurkan diri untuk menjauh. Mpu Renteng melepaskan kain di pundaknya, begitu melihat kesembilan bayangan menyerbu bersamaan ke arahnya.

Nyai Demang

MPU RENTENG menggerung keras. Ujung kainnya mengebas ke barisan terdepan dengan sabetan keras. Berusaha menggulung langsung dengan jurus-jurus Bujangga Andrawina. Satu yang digempur, delapan yang lain tiba-tiba melesak ikut masuk ke dalam serangan. Dua barisan bagian belakang justru bisa lebih dulu maju mengepung. Berarti enam penyerang bergerak secara serentak dan bersamaan.

Senopati Anabrang meloncat ke tengah. Dua pedang di tangan kanan dan kiri bergerak cepat sekali. Menebas kanan, menusuk kiri, mencungkil atas, menyabet ke bawah. Kesembilan penyerang nampak bagai luwes dalam mengubah barisan. Satu saat seperti mengepung Senopati Anabrang, akan tetapi pada saat berikutnya justru membuat repot Mpu Renteng. Beberapa kali Senopati Anabrang bisa menerobos maju, akan tetapi bagai Jala yang mengembang dan mengempis, sembilan penghadang mengubah bentuk dengan gerak cepat dan bersamaan.

"Jiwandana Jiwana." Terdengar aba-aba nyaring dan genit.

Mendadak sembilan ujung keris bergerak cepat. Berpindah dari tangan kiri ke tangan kanan, berpindah lagi dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga dalam serangan yang makin merangsek tak bisa ditebak mana yang menyerang dan mana yang memancing.

Berada di dua sisi yang berlainan tempatnya, Senopati Anabrang dan Mpu Renteng seperti keteter atau terdesak. Bukan hanya tak bisa menerobos masuk, untuk bisa bertahan saja sangat sulit. Bahkan dua pedang Senopati Anabrang beberapa kali menebas angin, sementara sembilan keris seperti datang dan pergi.

"Bagus, bagus. Teruskan, teruskan." Suara aba-aba nyaring dan genit kembali terdengar, disertai dengan tawa cekikikan.

Mpu Sora bergerak agak maju ke depan. Kini jelas bisa menyaksikan pertempuran, dan melihat bahwa yang memberi aba-aba penyerangan dari jauh adalah Nyai Demang. Nada suaranya yang renyah, gembira, dan sekaligus genit, cara mengucapkan kata "bagus" yang ditiru oleh Galih Kaliki memang tak bisa ditiru yang lain.

Jiwandana adalah nama siasat perang yang juga berarti tembang. Sedangkan Jiwana berarti hidup. Dengan aba-aba itu, Nyai Demang yang nampaknya menikmati pertempuran bisa menggerakkan sembilan penyerang dengan sangat tepat. Melihat Senopati Anabrang dan Mpu Renteng tak bisa memberikan perlawanan berarti, Nyai Demang makin terkekeh.

"Bagus. Sekarang desak terus dengan Jiwandana Jiwagra."

Jiwagra bisa diartikan sebagai ujung lidah. Dan memang itu yang terjadi. Mendadak barisan terdepan menyatukan keris dan menggempur keras Senopati Anabrang yang terpaksa menggulung diri dalam dua pedang sebagai perisai. Terdengar bunyi keras benturan keris dan pedang. Sebelum Senopati Anabrang sadar, keris sudah berpindah seluruhnya ke bagian lain, dan bret, giliran selendang Mpu Renteng tersobek. Begitu Senopati Anabrang menyerang, sembilan keris telah terbagi rata kembali di tangan sembilan penyerang. Betul-betul luar biasa.

"Bagus, kan? Jangan sobek kainnya kalau bisa ulu hatinya." Nyai Demang tertawa gembira.

"Aha, kenapa terlalu memikirkan besi Sombra?"

Nyai Demang melihat ke arah Mpu Sora. "Hei, orang tua dari mana ikutan berteriak di sini?"

"Aku hanya ingin mengatakan bahwa besi Sombra akan dingin dengan sendirinya. Apakah karena sesama wanita Nyai Demang merasa tersinggung?"

Mpu Sora sengaja keras-keras meneriakkan kalimatnya. Mpu Renteng dan Senopati Anabrang sadar. Bahwa sebenarnya Mpu Sora sedang memperlihatkan jalan keluar dari serangan sembilan penghadang. Dengan meneriakkan Sombra, itu mengingatkan nama empu pembuat keris dari Pajajaran. Sekaligus menunjukkan bahwa Mpu Sombra adalah satu-satunya empu wanita yang mampu membuat keris pusaka. Tapi juga sekaligus memberikan jalan terang!

Menghadapi wanita, tidak harus dengan melawan sama kerasnya. Makin diperangi, makin terlibat ke dalam, dan tak bisa membedakan mana yang Serangan sebetulnya dan mana serangan yang berupa tipuan. Seperti menghadapi "ujung lidah" wanita. Itulah yang dikatakan Mpu Sora. Dan Nyai Demang juga bisa menangkap pesan di balik kata-kata Mpu Sora. Bahwa sebenarnya kalau sedikit bersabar, serangan sembilan keris ini akan lebih bisa diungguli.

Sebenarnya yang terakhir ini Senopati Anabrang maupun Mpu Renteng bisa mengetahui. Seperti juga semua jago silat. Karena sembilan penyerang ini bergerak bersamaan dan selalu berpindah tempat, berarti memerlukan tenaga yang lebih banyak. Dan dalam pertarungan yang terulur panjang, mereka lebih mudah dipukul. Apalagi, meskipun kelihatannya sekilas luar biasa geraknya, tenaga dalam mereka tak terlalu istimewa.

"Kalau memang merasa jagoan, ayo terjun ke gelanggang."

"Nyai Demang, saya sudah tua. Sudah tidak kuat bertarung."

Bagi Mpu Sora lebih menguntungkan berada di luar pertempuran. Selain bisa menjaga Permaisuri Gayatri, terutama juga bisa mengawasi jalannya pertempuran. Seperti juga Nyai Demang yang bisa membaca dan menunjukkan arah pertempuran. Karena sebelum dikomando langsung, kesembilan penyerang ini belum menunjukkan keunggulan.

"Mulutmu bau, Sora."

"Begitulah kata orang yang hidungnya busuk." Mpu Sora sengaja terus menimpali semua kata-kata Nyai Demang yang terkenal pandai mengecoh.

"Jadi kamu sudah membauiku, ya? Kenapa kemarin-kemarin bilang harum dan sekarang ini bilang busuk?"

Inilah keunggulan Nyai Demang. Pandai bersilat lidah. Bisa dimengerti kalau menghadapi Nyai Demang, Galih Kaliki menjadi pemuja yang tiada habisnya. Ibarat kata disuruh menari di jalanan pun akan dilakukan.

Mpu Sora juga mengakui bahwa Nyai Demang bukan hanya pandai bersilat lidah, akan tetapi mempunyai pengalaman yang sangat luas sekali. Nyatanya secara aneh sekali bisa mengerti jurus-jurus dari Pajajaran. Bahkan secara langsung bisa memberi komando. Ini memang luar biasa. Ditambah dengan kemontokan tubuhnya serta caranya menggoda lelaki, Nyai Demang sebenarnya bisa sangat membahayakan! Ini yang kurang diperhitungkan. Sewaktu penyerbuan ke Perguruan Awan, Nyai Demang sama sekali tidak kelihatan. Kini bisa tiba-tiba muncul dan memberi perintah jagoan dari tlatah kulon. Apa ini tidak hebat?

Mpu Sora tak habis pikir bagaimana semua hal ini bisa terjadi. Tetapi satu hal ia merasa yakin. Bahwa kesembilan penyerang ini sekadar diperalat saja oleh Nyai Demang yang susah ditebak maksudnya. Susah ditebak, karena sebenarnya kalau ia ingin membalas dendam karena keadaan Upasara Wulung, ia bisa langsung menyerang secara membabi buta. Ataukah sesungguhnya Nyai Demang belum tahu keadaan Upasara? Mpu Sora bisa berpikiran lebih luas dibandingkan dengan Mpu Renteng. Ia bisa lebih jauh memikirkan taktik-taktik yang tak nampak.

"Nyai Demang, kenapa kamu permainkan ksatria yang datang dari jauh? Untuk apa Nyai Demang goda dengan mengatakan kami membawa Kitab Penolak Bumi?"

"Pak Tua, kamu ini cerdik. Masa kamu tidak tahu bahwa aku ingin memberi pelajaran kepada Gayatri yang tak bisa main silat tapi bisa menyebabkan Kakang Upasara membebaskannya. Biarlah sekali ini tubuhnya digeledah oleh sembilan orang yang tak dikenal. Biar tahu rasa. Ia bukan wanita paling suci di dunia ini. Masa begini saja kamu tanya."

Mpu Sora benar-benar kaget. Tak nyana sedikit pun bahwa sebenarnya sudah ada pertemuan antara Upasara Wulung dan Permaisuri. Pertemuan yang diketahui oleh Nyai Demang. Bahkan sebenarnya yang membebaskan Permaisuri Gayatri adalah Upasara Wulung! Ini berarti Upasara Wulung bisa mengungguli Klikamuka yang sanggup meremas ujung tombak, sanggup menarik kembali cundhuk tanpa menyentuh, mampu melemparkan potongan tombak amblas ke dalam pohon besar!

Agaknya Upasara juga membebaskan Permaisuri secara diam-diam. Tanpa berusaha menemui secara langsung. Dugaan ini dikaitkan dengan kemarahan Permaisuri yang mengatakan bahwa ternyata Upasara tidak mau menemuinya! Aneh, dunia ini sungguh!

Mpu Sora merasa tak habis pikir. Upasara membebaskan putri yang pernah dicintai, tapi tak mau menemui. Sementara kini, Nyai Demang justru melampiaskan dendamnya kepada Gayatri. Dendam Nyai Demang tak jauh bedanya dengan kecemburuan Gendhuk Tri! Yang tak diketahui oleh Mpu Sora ialah bahwa sebenarnya dulu Upasara pernah tertarik kepada Nyai Demang. Jadi sesungguhnya apa yang terjadi ketika Permaisuri lenyap terculik tadi?

Tenaga Penolak Bumi

SEMENTARA itu, medan pertempuran makin seru. Para prajurit masih berjaga-jaga karena belum ada isyarat dari Mpu Sora. Yang terakhir ini masih tercenung, seperti juga Nyai Demang yang berdiam diri. Sebaliknya Mpu Renteng merasa segala ganjalan dalam hatinya makin membengkak. Sebagai senopati yang dipilih menjadi utusan raja, begitu muncul ia terdesak.

Pertama kena sodok Klikamuka dalam gebrakan pertama. Kini menghadapi sembilan penghadang tak dikenal, kainnya bisa dirobek. Bukan penampilan yang baik. Maka kini, dengan mengempos semangatnya, Mpu Renteng menggertak maju. Kainnya berkibaran, sementara kedua tangannya meraup, memagut, dengan gerakan kaki yang enteng, menyerang maju, mendesak.

Tanpa terasa Mpu Renteng telah memainkan jurus Bujangga Kapisa, atau jurus Ular Merah. Tenaga panas menyambar dari kedua belah tangannya. Beberapa kali secara sengaja tangannya memapaki keris lawan. Tangan penyerang dipatuk dengan sentilan tinggi. Ujung jari Mpu Renteng berwarna merah.

Akan tetapi semakin Mpu Renteng merangsek maju, semakin keras ia berbenturan. Sudah beberapa jurus dimainkan, akan tetapi tetap saja tak bisa menerobos maju. Padahal sekali bisa mematahkan serangan, kombinasi sembilan penyerang ini bisa dipatahkan. Anak-cucu Kiai Sumelang Gandring bisa mengimbangi dengan barisan yang bisa mulur-mungkret, menjulur-mengerut. Sehingga Mpu Renteng seperti ombak yang bisa datang-pergi menurut iramanya sendiri.

Senopati Anabrang sendiri mencoba menahan diri untuk tidak terlalu menggertak. Akan tetapi ternyata keadaannya tidak membaik. Justru sebaliknya tekanan makin bertambah. Tekanan mengencang dan mengendor silih berganti. Terpaksa Senopati Anabrang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tidak ditindih.

Mpu Renteng menjadi tidak sabar. Dengan menggerung keras, kain yang ujungnya lepas, mengempas ke depan. Kedua tangannya terentang. Tubuhnya melayang ke tengah barisan! Bujangga Karakap yang merupakan bagian dari jurus paling berbahaya dimainkan. Karakap adalah nama jenis cecak terbang atau juga disebut kendik. Hanya kali ini Mpu Renteng memainkan dengan tenaga seperti seekor ular terbang. Langsung ke tengah. Ke pusat lawan.

Ini berarti Mpu Renteng ingin segera menyelesaikan pertarungan. Dengan kemenangan di tangannya karena bisa membuat barisan lawan kocar-kacir. Atau sebaliknya ia terkurung dalam perangkap. Gerakan tubuh Mpu Renteng menjadi sangat enteng. Melayang rendah, menyambar sekitar.

"Jiwandana Multak!"

Teriakan Nyai Demang mendadak mengubah situasi. Sembilan bayangan bergerak bersama meloncat jauh. Jiwandana Multak adalah siasat perang mengalir ke luar. Ini ternyata berarti seluruh serangan berganti arah. Menghantam Senopati Anabrang! Sembilan bayangan berloncatan secara bersamaan, ada yang rendah, ada yang setengah tinggi, ada yang tertinggi. Tanpa terkecuali, semuanya disertai keris terhunus, menusuk Senopati Anabrang. Kalau Mpu Renteng menemukan tanah kosong, sebaliknya maut menyongsong Senopati Anabrang. Nyai Demang sungguh luar biasa menganalisa pertempuran!

Tidak menyangka bahwa lawan bisa mengubah gempuran dalam sekejap, Senopati Anabrang jadi bertahan. Kedua pedangnya menutup. Namun tusukan sembilan keris dari berbagai sudut membuat tangannya pegal-pegal. Tanpa terasa satu pedang terlepas. Sabetan kedua, pedang kedua terlepas. Sembilan bayangan masih terus berloncatan saling berganti tempat, sebelum mengeluarkan teriakan tinggi dan menyerbu masuk! Bukannya Mpu Renteng, alih-alih malah Senopati Anabrang yang terkepung.

Mpu Sora berteriak dingin sambil melayang ke atas. Ia terpaksa meninggalkan sarang penjagaannya atas Permaisuri. Mpu Renteng masih terkesima karena cara bergerak lawan yang bolak-balik dan serba berubah. Dalam keadaan terjepit, Senopati Anabrang tidak menjadi hilang akal. Walaupun nggragap, Senopati Anabrang merapatkan kedua tangan, mengalirkan tenaga untuk menahan tusukan dengan gerakan Dwara Pala atau gerakan Penjaga Pintu. Dengan demikian, kalaupun terkena serangan, bukanlah serangan yang membahayakan.

Karena ia telah menarik seluruh tenaganya untuk berjaga. Tusukan pertama mana yang datang, itu yang akan ditangkis lebih dulu sekuatnya. Senopati Anabrang sadar bahwa di depannya ada sembilan keris. Satu bisa dienyahkan, akan tetapi delapan bilah yang lain bisa amblas menyusup. Akan tetapi jurus ini juga mengandung keampuhan. Kalau satu tertangkis, bisa membuyarkan cublesan yang lain.

Mendadak terdengar teriakan nyaring. Mpu Renteng hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Mpu Sora yang turun terpaku di tempat. Karena sembilan penyerang yang begitu garang tiba-tiba saja seperti tertolak dengan tenaga dahsyat. Bahkan penyerang pertama terlempar jauh. Luar biasa. Dalam sekejap sembilan penyerang dibikin jumpalitan. Barisan menjadi kacau. Dua penyerang terlempar jauh.

Senopati Anabrang sendiri tak menduga bahwa tenaganya bisa membuyarkan lawan. Ketika berupaya memainkan jurus Penjaga Pintu, Senopati Anabrang hanya bisa memperkecil bahaya yang datang. Hanya saja ketika bahaya makin mendekat, ada tenaga bergumpal dalam dadanya yang mendesak, menggerakkan tangannya lebih mantap. Sehingga gerakan jurus Penjaga Pintu menjadi bertenaga. Dan begitu melihat hasilnya, Senopati Anabrang sendiri merasa heran. Seakan tak percaya apa yang dilakukannya.

"Anabrang, tukang bawa perempuan, sejak kapan kamu mencuri Tenaga Penolak Bumi?"

Ini yang tak diketahui oleh Senopati Anabrang. Ia rela dimaki—apalagi hanya oleh Nyai Demang sebagai pembawa perempuan dari seberang. Karena memang begitulah adanya. Ia membawa dua putri ayu dari Melayu. Akan tetapi dituduh mencuri tenaga Penolak Bumi membuatnya beringas. Sebagai ksatria, adalah pantangan besar untuk mempelajari secara mencuri-curi ilmu dari perguruan lain. Itu suatu tindakan yang sangat tercela. Tak ada kehinaan yang lebih nista bagi ksatria kalau sampai ketahuan mencuri ilmu orang lain.

"Perempuan busuk, jaga mulutmu baik-baik. Aku Senopati Anabrang tak nanti mencuri ilmu dari perguruan lain."

"Oho, kamu kira aku ini buta? Jelas sekali kamu menggunakan tenaga Tumbal Bantala. Cara melatih tenaga semacam itu kamu pikir bisa diperoleh di laut? Seekor cacing akan tertawa sampai sakit perut. Kamu bisa membodohi cecurut mana pun, tapi tentu bukan aku. Nah, agar hukumanmu bisa diperingan, bagaimana kalau kamu mengaku saja?"

Senopati Anabrang mengertakkan giginya. Tinjunya terkepal. "Kalau ingin menjajal ilmu, majulah."

"Oh ya? Untuk apa aku menjajal ilmu curian, kalau aku bisa menemukan yang aslinya? Hei, kalian yang mengaku anak-cucu Sumelang Gandring" teriak Nyai Demang kepada sembilan penyerang yang kini mulai menyusun barisan lagi. "Kalian sudah tahu sendiri. Sudah menemukan bukti bahwa mereka mempelajari kitab Penolak Bumi. Baru saja didemonstrasikan. Jadi terserah kalian. Apakah tetap mau mengambil kembali atau menyerah saja."

Di balik ucapannya, yang sepintas kedengarannya seperti menjelaskan, terasakan api yang membakar! Menyulut ke arah pertarungan yang mati-matian. Betapa tidak, kalau jauh-jauh mereka mencari Tumbal Bantala Parwa, dan sekarang ditunjukkan ada bukti-bukti, masa ditinggalkan begitu saja?

Mpu Sora mendongak. "Kisanak dari tlatah kulon, masih banyak waktu untuk menguji kebenaran. Untuk apa memaksa diri? Kami manusia yang mempunyai nama dan tempat tinggal. Kalau tidak sekarang, masih ada waktu lain. Jangan memaksa kami menggunakan keunggulan prajurit untuk menindak yang lemah." Dengan satu tangan memberi aba, prajurit yang ada menyiapkan serangan.

"Sora, kalian jelas orang-orang busuk. Setelah ketahuan mencuri cara melatih pernapasan milik Upasara, kini kalian mau menutupi diri dengan ilmu keroyokan Majapahit."

"Nyai Demang, kenapa kamu menuduhku mencuri Kitab Penolak Bumi yang belum pernah kulihat dan kusentuh?"

"Anabrang, kamu ksatria palsu. Kau kira kamu mampu melatih sendiri cara pernapasan seperti Tumbal Bantala? Bukankah tenaga itu hanya muncul ketika kamu terdesak? Ketika kamu bersedia menjadi tumbal?"

"Nyai Demang, sejauh ini aku berada di seberang. Sekian lama aku tidak menginjak bumi Jawa dari ujung barat sampai timur, dari ujung utara sampai selatan. Bagaimana mungkin aku mempelajarinya? Apalagi mencurinya? Pakailah otakmu barang secuil, Nyai!"

Delapan Jurus Nujum Bintang

NYAI DEMANG termangu sejenak..Apa yang dikatakan Senopati Anabrang masuk ke dalam benaknya. Menurut perhitungan, agak kurang masuk akal kalau secara diam-diam Senopati Anabrang mencuri ilmu cara mengatur tenaga dan pernapasan seperti yang tertulis dalam Kitab Penolak Bumi. Kemungkinan yang lain ialah mempelajari dari Dwidasa Nujum Kartika, kitab lain yang dianggap sangat dekat hubungannya dengan Kitab Penolak Bumi.

Seperti diketahui hampir semua tokoh persilatan mengenal Dwidasa Nujum Kartika, yang lebih dikenal sebagai Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Dalam hal ini menjadi teka-teki, justru karena selama ini dikenal nama awal dwidasa, dua puluh, akan tetapi yang dikenal luas hanya dua belas jurus. Hal ini sudah dianggap ada semacam kekeliruan yang tidak mengganggu.

Namun Nyai Demang mempunyai perkiraan lain, bahwa kemungkinan terbesar ada bagian dari kitab tersebut yang hilang. Nyai Demang pernah memperdebatkan secara sengit dengan Upasara Wulung beberapa waktu yang lalu. Upasara menganggap bahwa kitab Dwidasa Nujum Kartika memang hanya terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Tak ada jurus yang hilang. Dinamakan dwidasa justru karena delapan jurus sisanya sebenarnya termasuk dalam Tumbal Bantala Parwa, yang nyatanya memang terdiri atas Delapan Jurus Penolak Bumi, atau Delapan Kidung Penolak Bumi..Delapan Kidung ini merupakan cara-cara mematahkan serangan yang ada dalam Dua Belas Jurus Nujum Bintang, atau serangan sejenis dengan itu.

Ingatan Nyai Demang tergugah mengenali Delapan Jurus Nujum Bintang yang Hilang setelah melihat cara Senopati Anabrang mematahkan serangan sembilan penyerang. Bukan tidak mungkin bahwa selama ini Senopati Anabrang mempelajari. Delapan Jurus Nujum Bintang yang Hilang, mengingat kitab-kitab yang menjadi sumber berawal dari masa kejayaan Baginda Raja Sri Kertanegara! Pada zaman itulah semua kitab silat dan ilmu surat dari berbagai sumber di segenap jagat disalin. Ini lebih masuk akal dibandingkan menuduh Senopati Anabrang mencuri ilmu!

"Anabrang, kamu boleh berang karena aku mendakwamu mencuri. Akan tetapi sesungguhnya yang baru saja kamu tunjukkan adalah Tenaga Penolak Bumi. Aku bisa keliru, akan tetapi di sini ada Sora, ada Renteng, ada sembilan murid Sumelang Gandring yang sejak semula mempelajari kitab tersebut, karena merasa memiliki."

Mendengar kata-kata Nyai Demang yang melunak, Senopati Anabrang jadi berkurang marahnya. Senopati Anabrang mengakui kebenaran kata-kata Nyai Demang, akan tetapi ia sendiri tak bisa memberi penjelasan bagaimana hal itu bisa terjadi.

"Biar lebih jelas, aku akan mengatakan padamu. Pasang kupingmu baik-baik. Yang kalian hadapi ini para senopati pilihan dari Keraton Pajajaran di tlatah kulon, yang menjadi murid langsung dari ajaran Kiai Sumelang Gandring. Bahkan mereka semua ini memakai nama yang nunggak semi, atau ada kemiripannya dengan Kiai Sumelang Gandring. Mereka bersembilan ini namanya urut: Kartika Gandring, Pusa Gandring, Manggasri Gandring, Sitra Gandring, Manggakala Gandring, Naya Gandring, Palguna Gandring, Wisaka Gandring, serta Jita Gandring. Tak terlalu sulit mengingatnya, karena semua dimulai dari nomor kesatu, Kartika, hingga nomor kesembilan, Jita. Kalau semua muncul, tiga yang lainnya adalah Srawana Gandring, Padrawana Gandring, serta Asuji Gandring."

Sampai di sini kesembilan Gandring membungkuk hormat kepada Nyai Demang.

"Entah ke mana yang tiga lainnya. Nah, dari dua belas Gandring yang ada menunjukkan persamaan dengan Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang kita kenal. Berarti ada hubungan dengan kitab Dwidasa Nujum Kartika, kalau kita mau menerima kenyataan bahwa Kitab Penolak Bumi yang delapan jurus itu sebenarnya bagian dari keseluruhan. Anabrang, saya hanya ingin mengatakan bahwa hanya mereka yang merasa berlatih langsung mengenal Tumbal Bantala Parwa. Kalau kesembilan Gandring ini memainkan ilmu tersebut, saya tak akan menuduh mereka mencuri. Akan tetapi kamu yang mempertunjukkan ilmu itu. Katakan, apakah tuduhanku mengada-ada?"

Mpu Sora menelan ludahnya. Mpu Renteng tak bisa menahan sorot kekagumannya. Demikian juga Senopati Anabrang. Justru karena merasa mempunyai pengalaman luas menjelajah sampai tlatah seberang lautan, kekaguman makin tak bisa disembunyikan. Dalam perjalanannya ke tlatah Melayu ia sempat singgah di tlatah kulon. Serta sempat mengenal ilmu silat yang berkembang di daerah itu. Akan tetapi pengetahuannya tidak sampai seperberapanya Nyai Demang. Justru Nyai Demang yang kelihatan lebih menguasai.

Kekaguman Senopati Anabrang bisa dimengerti, karena tidak mengenal Nyai Demang. Namun Mpu Sora pun mengakui kelebihan Nyai Demang. Kelebihan yang selama ini belum ada tandingannya! Sebagai ksatria, nama Nyai Demang bukan nama yang harum. Sepak terjangnya bahkan jauh dari sebutan itu sejak dikabarkan main cinta dengan berbagai jago silat. Apalagi sikap dan tindak-tanduk Nyai Demang menunjukkan perilaku yang jauh dari susila. Sebagai jago silat, kemampuan Nyai Demang tidak terlalu luar biasa. Masih jauh di bawah Galih Kaliki.

Namun yang membuat Nyai Demang sangat disegani ialah karena kemampuan berbahasa yang tiada duanya. Nyai Demang-lah yang menjadi penyalin bahasa pasukan Tartar yang dulu datang. Dengan caranya sendiri, Nyai Demang mampu bercakap-cakap dengan para jago silat dari negeri Tartar. Bahkan bisa membaca kitab-kitab yang mereka bawa. Nyai Demang pula yang mampu berbicara dan berhubungan dengan para jago silat yang datang dari tlatah India. Entah sejauh mana penguasaan bahasa tersebut, akan tetapi nyatanya hanya Nyai Demang yang bisa berbicara langsung kepada mereka yang berasal dari budaya mancanegara. Itulah sebabnya, kehadiran Nyai Demang dalam dunia persilatan tak bisa disamai oleh siapa pun selama ini!

Maka kalau sekarang Nyai Demang bisa dengan jelas mengatakan siapa sembilan penyerang yang datang, adalah hal yang masuk akal sekali. Kalau kemudian Nyai Demang mempermainkan sembilan Gandring ini dengan mengatakan bahwa Tumbal Bantala Parwa ada di dalam joli, akan dipercaya. Seperti ketika menyudutkan Senopati Anabrang sekarang ini.

"Nyai Demang yang luas pandangannya, secara jujur saya akui, saya tidak mengerti tuduhan Nyai. Saya sendiri, saya akui secara jujur, merasa mujur bisa memorakporandakan barisan sembilan Gandring ini."

"Mustahil."

Senopati Anabrang ksatria yang jujur. Maka dengan rendah hati ia mengakui ketidaktahuannya. Dengan merendahkan diri, Senopati Anabrang membungkukkan tubuhnya "Mohon Nyai Demang sudi memberi petunjuk. Kalau ternyata saya bisa dibuktikan mencuri ilmu perguruan lain, saat ini juga saya lebih suka menjadi makanan cacing."

Nyai Demang terbatuk. "Susah, susah. Menghadapi manusia-manusia yang kosong ilmu surat, membuat saya harus menggurui."

"Sesungguhnyalah, saya, Senopati Anabrang, mohon petunjuk Nyai Demang."

Mpu Renteng tak menduga bahwa Senopati Anabrang bisa merendahkan diri begitu rata dengan tanah di depan Nyai Demang yang baru saja dicaci sebagai "perempuan busuk". Nyai Demang sendiri tergoda oleh kejujuran tulus yang diperlihatkan Senopati Anabrang. Yang tidak sungkan-sungkan memberi hormat padanya.

"Anggap saja gurumu memberi pengajaran."

Senopati Anabrang membungkuk hormat. "Hei, jangan kelewatan, Anabrang. Mana aku mau menerima murid segagah kamu? Menjadi gurumu bakal rugi! Aku akan dibilang tak punya susila kalau main-main dengan muridnya sendiri."

Mpu Sora bergidik hatinya. Sungguh keterlaluan cara bicara Nyai Demang. Di depan banyak telinga yang mendengar, di lapangan terbuka, seenaknya ia bicara soal asmara.

"Latihan pernapasan atau cara melatih tenaga dalam yang diajarkan dalam kidungan Tumbal Bantala Parwa lain dengan cara mengatur pernapasan dari berbagai kitab yang ada. Karena intinya adalah pernapasan jika terdesak. Bernapas bukan sesuatu yang seharusnya, bukan keadaan yang wajar. Dalam Kitab Penolak Bumi, bernapas hanya dilakukan kala keadaan sudah mendesak dan tak terhindarkan lagi. Cara semacam ini hanya mungkin kalau mempelajari secara langsung. Tak mungkin kalau tidak melatihnya sendiri. Kecuali kalau... kalau... ah, tapi itu tak mungkin. Sangat tidak mungkin." Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Berulang-ulang.

Mpu Renteng jadi berdebar.

"...kecuali kalau Upasara Wulung memberikan tenaga itu padamu. Dengan risiko ia kehilangan tenaga dalamnya yang murni yang selama ini dilatihnya."

Justru itu kemungkinan satu-satunya!

Kitab Bumi

MPU SORA menahan gumpalan dalam dadanya yang mendadak bergejolak! Ia bisa segera mengerti bahwa Senopati Anabrang secara tidak langsung menerima tenaga dalam murni dari Upasara Wulung. Yaitu saat ia terluka oleh racun Gendhuk Tri. Saat itulah Upasara menolongnya untuk mengusir racun tersebut. Tenaga dalam yang disalurkan oleh Upasara sebagian untuk mengusir racun. Akan tetapi sebagian lagi mengendap dalam tenaga murninya sendiri. Itulah yang keluar tanpa sengaja. Sehingga sembilan Gandring dengan barisannya bisa buyar!

Mpu Sora merasa dadanya lebih bergolak lagi. Kalau hanya sebagian dari tenaganya yang tersalur saja sudah seperti itu, sesungguhnya Upasara betul-betul menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat! Yang bisa untuk menandingi seluruh prajurit yang mengepungnya. Bahkan bukan tidak mungkin Upasara bakal mengungguli. Ini yang hebat.

Sangat masuk akal sekali kalau Baginda Raja menganggap permasalahannya sangat gawat. Sehingga dikerahkan segala daya dan taktik untuk memastikan Upasara di pihak mana. Sehingga Baginda Raja sampai tega mengirimkan Permaisuri. Atau kemudian Mpu Nambi atau utusan yang lain memaksakan Toikromo. Berarti segenap usaha yang paling besar dikerahkan. Kalau dilihat kemampuan Upasara yang begitu hebat, Baginda Raja memang tak bisa tidak harus memaksa dengan segala cara. Dan, nyatanya lebih hebat lagi. Upasara memilih menghancurkan dirinya sendiri. Ini yang belum diketahui oleh Nyai Demang. Kalau sudah tahu, ia akan bertanya-tanya seperti ini!

"Di antara gunung yang sangat tinggi, ternyata masih ada gunung yang lebih tinggi. Di antara samudra yang sangat luas, ternyata masih ada samudra yang lebih luas lagi. Sungguh, hari ini saya yang tua terbuka matanya. Dengan tulus saya menghaturkan terima kasih atas petunjuk Nyai Demang."

"Sora... Sora! Kamu akan lebih mengagumiku tujuh kali lipat kalau kamu tahu bahwa yang kukatakan hanyalah sekuku hitam dari yang kuketahui. Sebenarnya akulah yang harus diperhitungkan rajamu yang gemar wanita itu, bukan Upasara. Akulah yang bisa menentukan dan mengatur semua ksatria yang sebenarnya anak-anak kecil belaka."

Nyai Demang menghela napas. "Sayang aku tak tertarik menjadi jagoan yang tak terkalahkan. Aku lebih suka menikmati kesenangan duniawi. Kalau aku tidak mengobral asmara yang memperlemah tenaga dalamku, apakah kamu pikir ada yang mampu menandingiku?"

"Nyai Demang, aku mengagumimu. Akan tetapi aku tidak menyesal karenanya. Ini dunia yang kupilih."

Bibir Nyai Demang menyunggingkan senyuman. "Di seluruh jagat ini siapa yang mengetahui kitab babon dari semua kitab ilmu silat? Bahkan Upasara sendiri tak tahu secara persis. Akulah yang mengetahui bahwa kitab babon, induk dari segala kitab itu adalah Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Kitab ini juga disebut Dwidasa Nujum Kartika. Yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Kecuali kalau ada yang bisa menunjukkan Delapan Jurus Nujum Bintang yang dapat melengkapi Dwidasa Nujum Kartika. Tapi selama belum ada yang bisa menemukan dan memperlihatkan, pendapatku yang paling tepat. Nah, apakah kalian yang mendengar ini mau membantah?"

Tak ada jawaban.

"Akulah yang paling lengkap membaca semua kitab itu. Dengan begitu akulah yang paling dibutuhkan saat ini, oleh siapa pun yang ingin mencapai puncak tak tertandingi. Nah, masih ada yang berani menyanggah?"

Senyum Nyai Demang makin lebar. Akan tetapi mendadak berubah ketika Senopati Anabrang berkata, "Nyai Demang, sesungguhnya tenaga ini pemberian dari Upasara Wulung, ksatria sejati di jagat ini, Senopati Pamungkas Keraton Majapahit."

Nyai Demang terguncang. Tubuhnya yang montok bergoyang. Kedua tangannya memegangi kepalanya.

"Gusti..."

Tubuhnya makin keras bergoyang bagai kena gelombang. Terhuyung-huyung Nyai Demang seperti mabuk berat. Baru setelah menghela napas beberapa kali, wajahnya sedikit tenang.

"Siapa pun yang membuat Upasara menjadi cacat, aku tak akan pernah mengampuni. Harap kalian ingat baik-baik."

Nyai Demang berbalik. Sembilan Gandring mengikuti.

"Hari ini aku ada urusan gawat. Lebih baik kalian semua enyah dari depanku."

Sembilan Gandring berhenti. Menuruti setiap kata Nyai Demang. Yang mengerahkan kemampuannya berlari menuju Perguruan Awan. Tubuhnya tetap gesit, sehingga belum setengah hari sudah masuk ke dalam wilayah Perguruan Awan. Tanpa berhenti sekejap pun Nyai Demang terus masuk ke dalam. Bagi orang luar, Perguruan Awan termasuk membingungkan. Karena hutan ini tak ditandai dengan apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk. Akan tetapi Nyai Demang pernah berada di dalam dan sering keluar-masuk. Sehingga bisa mencari beberapa lokasi yang menjadi tempat pertemuan. Dugaan Nyai Demang tidak meleset.

Jaghana berada di sederetan pepohonan yang akar-akarnya membentuk semacam gua. Tapi Nyai Demang kaget. Pandangannya berkunang-kunang. Apa yang sekilas disaksikan membuat sukmanya seakan terbang! Pertama tadi dilihatnya Jaghana sedang duduk bersila. Di sampingnya terbujur tubuh Upasara yang tidak bergerak sedikit pun. Daya hidupnya hanya ditandai dengan napasnya yang kedengaran begitu berat. Ada luka menganga di bagian dada. Sementara di tempat yang tak ada satu tombak, Gendhuk Tri menggeletak. Di sekitarnya ada bekas-bekas muntahan darah. Wilanda menjaga dengan tubuh tak bergerak. Hanya melirik pasrah ketika melihat Nyai Demang datang.

Yang lebih luar biasa adalah Galih Kaliki. Seumur hidupnya belum pernah melihat Galih Kaliki tidak berjingkrakan melihat kemunculannya. Sejak pertama kali melihat Nyai Demang, Galih Kaliki sangat kesengsem, sehingga tak ubahnya seperti anak kecil. Namun sekarang ini pandangannya melotot. Tanpa berubah ketika Nyai Demang mendekat. Nyai Demang tertunduk. Matanya membasah. Terguguk. Untuk pertama kali pula Nyai Demang meneteskan air mata dengan perasaan sedikit lega.

"Sudahlah, Nyai..."

"Paman Jaghana, katakan apa yang terjadi."

"Seperti yang Nyai lihat, itulah yang terjadi. Marilah kita berdoa kepada Gusti Dewa yang Mahaagung. Agar perkenannya yang terjadi di dunia ini." Selesai berkata, Jaghana kembali bersemadi.

Nyai Demang memandang Wilanda. "Paman Wilanda, apakah Upasara..."

"Anakmas sedang istirahat. Atas kemauannya sendiri. Marilah kita sama-sama menunggu di sini, agar diberi jalan oleh Dewa dari segala Dewa yang kita muliakan."

Nyai Demang makin tak bisa menahan tangisnya. Wanita ini, yang baru saja berkata bahwa ia menguasai dan pernah membaca babon dari segala kitab yang diperebutkan, tetap seorang wanita yang halus perasaannya. Yang bisa meneteskan air mata dalam jangka waktu lama. Sampai bulan bersinar sempurna. Sampai matahari kemudian terbit keesokan harinya. Dan terbenam lagi. Selama itu pula Jaghana terus bersemadi di sampingnya. Demikian juga Wilanda. Hanya Galih Kaliki yang beberapa kali mencoba memusatkan pikirannya, akan tetapi selalu gagal.

"Kita tak bisa membantu apa-apa."

"Kakang jangan merasa gagal."

"Nyai, siapa yang bisa dilumatkan kalau akhirnya harus seperti ini? Kita ini kalau salah, salahnya apa? Kalau dosa, dosanya seberapa?"

Nyai Demang sadar. Bahwa yang bisa dilakukan hanyalah menunggu. Tubuh Upasara tak menunjukkan reaksi apa-apa ketika Nyai Demang berusaha mengirim tenaga dalam. Hanya Gendhuk Tri yang membuka mata ketika matahari terbit lagi. Tubuhnya lemah, bibirnya pucat.

"Bagaimana Kakang?"

Kawula Katuban Bala

NYAI DEMANG tergetar hatinya. Senyumnya mengembang. Bukan senyuman genit menggoda seperti biasanya. Melainkan senyuman seorang kakak, seorang ibu yang membesarkan hati anaknya. Nyai Demang tergetar justru karena begitu sadar yang ditanyakan Gendhuk Tri pertama kali adalah Upasara. Dalam keadaan begitu parah, Gendhuk Tri ternyata tetap memikirkan orang lain. Tangan Nyai Demang mengelus Gendhuk Tri. Hubungan akrab yang selama ini tak pernah terjadi.

Karena secara diam-diam Nyai Demang kurang menyukai Gendhuk Tri, yang dianggap sebagai anak kecil tak tahu adat, dan terus menempel Upasara. Sebaliknya Gendhuk Tri secara terang-terangan juga menyatakan kurang suka kepada Nyai Demang, yang dianggap sebagai wanita yang tak tahu adat, dan terus berusaha menggoda Upasara. Keduanya sama-sama menyadari bukan sahabat yang akrab. Namun kali ini, untuk pertama kalinya nampak saling melempar senyum. Saling memandang dengan membagi perasaan duka. Saling menyentuhkan tangan. Walaupun hanya terjadi dalam sekejap, namun membuat Galih Kaliki dan Wilanda yang menyaksikan tersenyum lega dalam hati.

Sementara Gendhuk Tri kembali menutup matanya dan mengatur pernapasannya, Nyai Demang duduk bersila. Wajahnya menunduk. Rambutnya yang panjang lebat terurai menutupi wajahnya, berkilat karena keringat. Galih Kaliki mendekat, ikut bersila.

Tiada doa yang sia-sia
tiada kesia-siaan tanpa dosa
tiada dosa yang sia-sia
dosa bukan doa
doa bukan sia-sia
jika dikepung gunung
saudaramu ada di kampung
jika dikepung kampung
saudaramu ada di gunung
gunung bukan kampung
kampung bisa di gunung
jika dikepung gunung
masih ada saudara
jika masih ada saudara
kenapa tidak berdoa
berdoa bukanlah dosa
doa bukan gunung
bukan kampung
bukan saudara
kenapa berdoa
kalau sia-sia
kenapa sia-sia...


Suara Nyai Demang berat mengalun, seolah terdengar dari bagian yang paling dalam yang selama ini tersembunyi. Menekan dan menenggelamkan pikiran-pikiran yang ada. Pikiran yang masih berkecamuk antara kebimbangan, keraguan, dibenamkan dalam-dalam. Inilah cara menembang kidungan Kawula Katuban Bala, kidungan kelima dalam Kitab Penolak Bumi.

Nyai Demang berhasil mengidungkan sesuai dengan tuntutan yang tersirat dalam lirik-lirik tembang yang tak terlalu sulit dihafalkan. Hanya saja Kitab Penolak Bumi tidak semata-mata untuk dihafalkan, melainkan untuk diresapi. Untuk tenggelam secara penuh. Karena kalau dibaca selintas Tumbal Bantala Parwa seperti tidak ada apa-apanya. Isinya hanya delapan kidungan yang kata-katanya saling belit-mengait. Hanya dengan kejernihan pikiran, seseorang bisa masuk dan menghayati arti kidungan tersebut.

Kawula Katuban Bala, secara harfiah bisa diartikan sebuah pribadi yang dikelilingi oleh bala, teman, harta benda, bangsawan, dan semua saudara. Dikelilingi dengan rasa cinta dan persahabatan. Akan tetapi justru dalam lirik-liriknya kidungan itu menunjukkan beberapa hal yang bertentangan. Gunung tak ada di kampung, akan tetapi kampung bisa berada digunung. Orang lain bisa menjadi saudara, akan tetapi saudara juga bisa berarti saudara, bisa berarti doa, bisa berarti sia-sia.

Delapan kidungan yang ada dalam Tumbal Bantala Parwa memang bernadakan suatu kekecewaan yang luar biasa dalamnya. Hampir semua liriknya dimulai dengan penolakan lebih dulu. Dengan pengandaian yang menghancurkan susunan jalan pikiran yang ada. Nalar yang biasa menjadi buyar. Mengajarkan berdoa, tetapi juga sekaligus menunjukkan bahwa doa bisa berarti sesuatu yang sia-sia. Doa sendiri juga bisa berarti dosa, namun dosa tetap bukan doa.

Nyai Demang bisa menghafal dengan baik, dan memilih kidungan Kawula Katuban Bala untuk menggambarkan suasana yang terjadi. Saat itu Upasara Wulung seperti yang digambarkan dalam tembang. Ia dikelilingi oleh orang lain, akan tetapi mereka semua terikat sebagai saudara. Bukan hanya saudara dalam pengertian saudara seperguruan. Akan tetapi saudara yang berarti berasal dari kelahiran yang sama. Semua yang mengelilingi adalah bala.

Dalam keadaan tanpa sadar terus-menerus, yang bisa dilakukan hanyalah berdoa. Tetapi doa juga mempunyai batas, yang akan menjadi dosa, andai memaksa Upasara yang telah sampai kepada janjinya! Dengan nada yang berat, Nyai Demang memang menyesuaikan dengan tuntutan cara mengatur napas seperti buah yang tumbuh di dalam tanah, dengan akar menembus bagian utara dan timur.

Bagi Jaghana, kidungan dalam Kitab Penolak Bumi adalah penolakan tetapi sekaligus penyerahan. Pengingkaran akan tetapi juga sekaligus rasa pasrah. Ini memang soal bagaimana memahami, membiarkan pikiran, rasa, mengikuti kidungan tersebut. Kalau kemudian diterjemahkan dalam gerakan silat, kidungan ini bisa menjadi jurus yang bisa saja dinamai jurus Kawula Katuban Bala dengan mengatur kuda-kuda mantap seperti buah dipendam dalam tanah. Meminjam kekuatan lawan yang mengelilingi, karena sebetulnya tenaga lawan yang asing itu adalah tenaganya sendiri, tenaga saudara kandungnya.

Bisa dibayangkan jika cara meminjam tenaga lawan ini benar-benar dikuasai. Akan tetapi sekaligus juga diingatkan bahwa tenaga yang dipakai ibaratnya bisa menjadi doa yang ampuh, akan tetapi juga dosa yang memilukan karena berarti digempur dalam tarikan napas yang sama yang dianggap sebagai saudara sehingga bisa dipinjam tenaganya.

Kitab Penolak Bumi sebenarnya kitab yang paling rumit tetapi juga sangat sederhana. Rumit karena penguasaan kekuatan dan cara mengatur napas serta perasaan serba bertentangan. Antara saudara dan musuh, antara doa dan dosa, antara kampung dan gunung. Sangat sederhana karena segalanya mudah dijelaskan. Bisa dimengerti tanpa salah, karena sebenarnya tidak berbelok atau perlu ditafsirkan lain. Gunung tetap berarti gunung, dosa tetap berarti dosa, bukan kampung, bukan doa.

Semakin sederhana, semakin bisa mengikuti kata-kata yang ditembangkan Nyai Demang, dan bisa hanyut. Galih Kaliki yang polos lebih cepat naik-turun hanyut terbawa. Sementara Jaghana juga bisa mengikuti karena sejak semula terus berlatih. Hanya Wilanda yang nampak tersengal-sengal. Sementara Gendhuk Tri antara sadar dan tidak berkumak-kumik bibirnya.

Nyai Demang terus mengulang, setiap kali baris-baris selesai dibacakan. Kemudian berganti dengan Galih Kaliki, dilanjutkan oleh Jaghana dengan suara yang lebih berat, di samping Wilanda, kumak-kumik Gendhuk Tri, dan akhirnya balik lagi ke Nyai Demang yang kembali mengulang. Entah berapa ratus kali kidungan diteruskan. Sampai akhirnya semua penghuni menembangkan secara bersama dalam hati. Menyatu dalam rasa. Termasuk Upasara!

Di hari ketiga Upasara membuka matanya, memandang sekeliling. Nyai Demang menghela napas.

"Kakang?" Suara Gendhuk Tri gemetar.

Upasara nampak masih sangat lemah. Hanya menggerakkan kelopak matanya, mungkin bermaksud tersenyum. Akan tetapi nampak seperti seringai halus. Wilanda mengumpulkan embun-embun di ujung daun untuk minum Upasara.

"Terima kasih, Paman." Upasara berusaha duduk. "Kamu sudah baik, Adik?"

Gendhuk Tri menghapus air matanya. "Aku baik-baik saja. Kakang tidak jadi mati?"

"Daun yang kering akan jatuh sendiri ke tanah dan menjadi pupuk. Kalau daun masih hijau dan jatuh, belum bisa menjadi pupuk yang baik. Ia hanya akan mengotori tanah saja. Mbakyu Demang, kidungan Mbakyu menyejukkan udara."

"Saya akan terus nembang kalau kamu mau mendengarkan."

Upasara meringis. Tangannya berusaha memegangi dadanya yang terluka. Akan tetapi tangannya begitu lemah tanpa kekuatan.

Undangan Bulan Purnama

GENDHUK TRI tertawa lepas. "Kakang ini sudah lumpuh, jangan macam-macam. Mana yang gatal? Saya yang menggaruk?"

Ketegangan cair. Tak ada yang menekan, walau suasana masih terasa betapa keprihatinan tetap menggantung. Kenakalan Gendhuk Tri pada hari berikutnya membuat suasana menjadi lebih hidup. Gendhuk Tri sendiri yang mencari madu dan bila Upasara menolak, Gendhuk Tri akan menjejalkan ke bibir.

"Ayo minum. Kalau tidak mau, saya paksa."

"Bagaimana kamu bisa memaksa?" tanya Galih Kaliki.

"Gampang saja. Madu ini saya minum dan saya paksa Kakang membuka bibirnya. Kalau tidak, saya akan menggigit lidahnya."

"Bagus. Bagus. Itu cara bagus."

"Bagus, aku juga mau melakukan," kata Nyai Demang.

Terpaksa Upasara mengikuti perintah Gendhuk Tri. Kadang secara sengaja Gendhuk Tri membuat wajah Upasara menjadi nyengir dan lidahnya menjulur.

"Hehehe... aku sengaja mencari madu buah maja. Pasti pahit sekali. Makin pahit makin baik."

"Jangan kurang ajar."

"Eee, mau membela, ya? Kakangmbok mau membela? Kalau begitu Kakangmbok yang mencari madu. Begini-begini juga saya harus mencicipi madu itu lebih dulu."

Gendhuk Tri memang mencicipi madu yang akan diberikan kepada Upasara. Dalam waktu lima hari, Gendhuk Tri telah mengenal berbagai jenis madu dan rasanya. Madu jeruk, madu apel, madu maja, madu mangga, madu mawar. Bahkan dari penciumannya saja Gendhuk Tri bisa membedakan dengan baik. Tapi yang lebih membuat Gendhuk Tri merasa bahagia ialah bahwa kini burung-burung hutan mau bertengger di tubuhnya. Bahkan beberapa ekor kera bermain-main di kepalanya mencari kutu!

Berarti racun dalam tubuh Gendhuk Tri telah terusir. Gendhuk Tri seperti menemukan keakraban dengan alam. Seperti bangkit dari kematian masa lampau. Walau tergolong jago silat, pada dasarnya Gendhuk Tri masih tetap seorang anak-anak. Hatinya masih hati anak-anak dengan segala kenakalan dan keinginan seorang anak-anak.

Hal ini merupakan penderitaan sejak racun bersarang di dalam tubuhnya. Dirinya menjadi hantu yang ditakuti. Tak ada yang berani bersentuhan dengannya. Bahkan binatang hutan pun tak berani mendekat. Seekor ular berbisa pun akan menggulung diri bila didekati. Gendhuk Tri seperti diasingkan. Akan tetapi sejak pengobatan paksa oleh Upasara, racun dalam tubuhnya berangsur-angsur dimuntahkan, Gendhuk Tri telah kembali normal. Dalam beberapa hari saja, dengan melatih pernapasannya, kekuatannya menjadi normal kembali.

Galih Kaliki pun diam-diam mulai berlatih di bawah petunjuk Nyai Demang yang bisa menghafal sekian banyak kitab yang pernah dibaca. Jaghana ikut memberikan petunjuk cara menafsirkan. Wilanda begitu juga. Hanya Upasara yang sama sekali tidak tertarik. Ia hanya berlatih berjalan, merawat luka di lambung sampai dada.

"Saya percaya persaudaraan kita tak bakal ternoda karena bisa-tidaknya saya bermain silat. Di sini saya akan tetap diterima, walau tak bisa main silat."

"Apa Kakang suka kalau sampai kakek-kakek nanti tetap memerlukan orang lain untuk mengusir nyamuk?"

"Kalau begini, alam tidak mengajari kita mengusir nyamuk."

"Nyamuk tidak soal. Kalau harimau?"

"Itu hukum alam. Harimau tidak akan memangsa kalau tidak dalam keadaan lapar. Dan kalau bisa membuat harimau kenyang, kenapa harus menyesal?"

"Kalau bukan harimau, bukan nyamuk, melainkan manusia jahat?"

"Ah, manusia tidak dilahirkan untuk berbuat jahat. Semua ingin berbuat baik, ingin menjadi sempurna."

"Ya, tetapi kan ada juga yang jahat."

"Itu karena belum tahu. Kita tak bisa menghukum orang yang tidak tahu."

"Susah bicara sama Kakang. Biar Paman Jaghana saja yang menasihati."

Jaghana menundukkan kepalanya. "Hanya yang arif yang bisa memberi nasihat. Kalau saya memberi nasihat, bisa kualat. Entah dosa macam apa yang harus saya panggul sepanjang sisa hidup ini."

Gendhuk Tri menggelengkan kepalanya. "Di sini memang lebih banyak manusia yang aneh. Lihat saja. Isinya manusia yang tidak sempurna. Kakang Upasara yang cacat. Yang bahkan berjalan pun tak bisa lurus. Ada Paman Jaghana yang biarpun langit terbalik di bawah dan bumi terbalik di atas, akan mengatakan begitulah kenyataannya. Ada Paman Wilanda yang lebih suka berdiam diri. Ada kuli kasar yang mengangkat tongkat ke mana-mana dan mulai lagi tergila-gila sama Kakangmbok yang tiap hari hanya memperhatikan tubuhnya terus. Mandi bunga mawar, madu dipakai luluran atau sebagai bedak tubuh. Heran, kalau di hutan ini lelakinya hanya segelintir, siapa yang mau dipameri? Kakang Upasara jelas tidak, Paman Jaghana dan Wilanda tak bakal menengok. Hanya Galih Kaliki. Toh nyatanya kalau didekati, malah pura-pura menolak."

"Pedas lidahmu. Kamu kira kamu sendiri bukan makhluk aneh? Setiap hari mengomel, menyalahkan ini dan itu, menyesali, tapi nyatanya tak mau pergi barang sepuluh tombak dari sisi Upasara."

"Itu urusanku. Kakangmbok tidak usah ikut campur."

"Itu juga urusanku. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti urusanku."

"Aku memang masih kecil. Masih pantas menjadi cucu. Tetapi untuk menghibur, aku memanggil Kakangmbok. Biar kamu merasa sedikit di atas usiaku. Biar kamu merasa masih muda. Makin tua seseorang, makin senang dikatakan masih muda."

Telak ucapan Gendhuk Tri. Nyai Demang memang memuja keindahan tubuhnya. Menjaga dan merawat secara sempurna. Maka cukup tersinggung juga oleh sebutan bahwa sebenarnya ia lebih pantas menjadi nenek Gendhuk Tri.

"Jangan kuatir, Kakangmbok. Kakangmbok tetap paling cantik di hutan ini. Dan akan tetap cantik, pun andai Dewa Maut nanti muncul."

"Eh, ke mana perginya Dewa Maut?" Wilanda mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kok ditanyakan. Yang menjadi kekasihnya yang lebih tahu. Mungkin sedang cari obat awet muda. Padahal sebenarnya tidak perlu. Sungguh menyenangkan punya kekasih yang sudah tua. Minta apa-apa bakal dituruti."

Selendang di pinggang sebelah kiri melayang. Nyai Demang mengegos ke samping. Tangannya ganti menampar pipi Gendhuk Tri. Berbeda dari Nyai Demang, Gendhuk Tri kurang bisa menguasai kemarahannya. Apalagi jika disinggung hubungannya dengan Dewa Maut. 

Tokoh yang satu ini memang aneh sejak kemunculannya di dunia persilatan. Selama hidupnya dihabiskan di atas perahu Kali Brantas. Malang melintang tiada yang sanggup menandingi. Konon ia hidup bersama seorang lelaki, sejak patah hati dengan putri idamannya. Baru kemudian turun ke darat setelah mendengar ada Tamu dari Seberang. Dan kemudian kerasan karena berteman akrab dengan Padmamuka, si wajah merah yang mengandung racun dalam tubuhnya...

BAGIAN 14CERSIL LAINNYABAGIAN 16