Senopati Pamungkas Bagian 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 08

KEESOKAN harinya, setelah semalam melihat sendiri harimau Keraton berlumuran darah, Arya Genggong melaporkan kepada Mahapatih. Arya Genggong menceritakan secara lengkap seluruh urutan kejadian.

Mahapatih mendengarkan tanpa bereaksi.

Saat itu juga Arya Bangkong memberikan laporan bahwa Senamata Karmuka tidak beranjak dari kamarnya. Sampai pagi ini masih ada prajurit yang ditugaskan untuk mengamati.

"Lakukan terus, sampai aku memerintahkan mencabut perintah."

"Sendika dawuh, Mahapatih."

"Genggong, kau temui anakku Bagus Respati. Katakan bahwa perkawinannya dengan Maduwani tak usah dirayakan besar-besaran di Keraton. Aku tidak setuju hal itu. Maduwani hanya salah satu selir baginya. Aku tak ingin punya menantu dia. Jangan coba mengemukakan hal itu padaku lagi." Mahapatih berdecak dan melambaikan tangannya, sebelum berlalu.

"Ini tugas yang berat," kata Arya Genggong perlahan setelah suasana sepi. "Bagaimana aku harus menyampaikannya. Raden Mas Bagus Respati sama kerasnya dengan ayahandanya."

"Adik Genggong, sebagai prajurit kita harus menjalankan perintah. Itulah yang menyelamatkan nyawa kita hingga hari ini. Kalaupun kita mati karenanya, kematian kita karena menjalankan perintah. Itulah harga terpenting dari diri kita sebagai prajurit. Dengan sikap seperti ini, apakah Adik Genggong masih ragu?"

"Kakang Bangkong, kenapa kita juga yang harus melakukan ini? Sebagai prajurit, dalam bayangan saya adalah berperang. Mengabdi kepada Keraton dengan darah. Memberikan nyawa dan kehidupan untuk kemuliaan Keraton. Bukan menjadi pesuruh urusan yang sama sekali tidak bersifat ksatria semacam ini."

"Prajurit tidak memilih tugas. Kalau sekarang ini saya ditugaskan menjaga kaputren atau memandikan harimau, akan saya lakukan juga."

"Terima kasih atas petunjuk Kakang."

"Saya selalu mengulang pengertian itu. Karena saya pun merasa kurang enak harus memata-matai Senamata Karmuka. Sesuatu yang menyakitkan hati saya sendiri. Tapi saya akan menjalankan perintah itu. Apa pun juga perintah Mahapatih. Hanya Baginda Raja yang berhak mengubah. Selama Baginda Raja tidak memerintahkan yang lain, tak menjadi soal. Adik, kita masih ingin menikmati kebahagiaan, pangkat, dan harta yang kita peroleh dari pekerjaan kita. Selama kita belum bosan hidup, kita masih akan terus menjalankan perintah."

"Terima kasih banyak, Kakang."

"Silakan, Adik."

"Silakan, Kakang."

Arya Genggong menuju ke bagian samping dalem kepatihan. Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja. Langsung ia menghadap Bagus Respati dan mengutarakan apa yang menjadi keputusan Mahapatih. Bagi Arya Genggong, hubungannya dengan Bagus Respati boleh dikatakan sangat akrab. Hubungan antara seorang paman dan keponakannya. Bukan hanya dalam kata-kata. Sejak Respati belum lahir, Arya Genggong dan Arya Bangkong sudah mengabdi kepada Mahapatih. Sejak kecil Respati sudah diasuh oleh Arya Genggong. Hubungan mereka agak renggang sebentar ketika Respati masuk ke Ksatria Pingitan.

"Saya hanya menyampaikan dawuh Ramanda."

Respati menggebrak meja, hingga meja berukir dari kayu jati yang utuh itu somplak bagian pinggirnya. "Aku tak tahu apa maksud Ayah. Dilarang atau tidak, direstui atau dikutuk, aku tetap akan mempersunting Muning Maduwani. Sampaikan ini kepada Ayah."

"Anakmas..."

"Paman Genggong, aku sudah dewasa. Aku bisa menentukan sendiri apa yang seharusnya kulakukan. Dalam Sayembara Mantu, aku sama sekali tidak meminta bantuan Ayah. Bahkan kepada Paman Genggong dan Paman Bangkong, aku tidak minta bantuan. Dyah Muning Maduwani kurebut dengan tanganku sendiri. Sejak kecil aku tak pernah merepotkan Ayah. Aku hidup di sini dari hasil karyaku sendiri. Tidak mengemis pada Ayah."

"Anakmas... Ayahanda bukannya melarang. Hanya Ayahanda tidak berkenan bila Dyah Muning Maduwani dipermaisurikan."

"Omong kosong. Kalau yang ini hanya sebagai selir, kepada siapa lagi aku mencari yang lebih? Paman Genggong tahu sendiri bahwa ketika diadakan Sayembara Mantu, seluruh ksatria Keraton, para raden mas, para gusti mengadu nyawa. Dan aku, biar bagaimana juga, keluar sebagai pemenangnya. Katakan, Paman, apakah itu tidak pantas untuk dirayakan? Ini juga bukan sembarangan. Bukan asal perempuan. Dyah Muning Maduwani adalah putri Kiai Sangga Langit. Kalau aku memperlakukan putrinya dengan baik-baik, Kiai Sangga Langit tak akan curiga kepadaku. Justru sebaliknya. Kepercayaannya berlipat. Saat itu ada kemungkinan aku diangkat menjadi muridnya. Berhasil mempelajari ilmu silatnya. Dengan kemampuan ini saja, di seluruh Keraton ini siapa yang bisa menandingiku? Aku tidak sembarangan, Paman. Aku cukup bisa berpikir dewasa dan jauh ke depan, walau aku tidak memiliki penasihat Kakek Tua Waisesa Sagara. Aku tak perlu dukun semacam itu. Apakah hal yang begini saja Ayah tidak bisa mengerti?"

"Anakmas..."

"Jangan mencoba menasihatiku, Paman. Sampaikan kepada Ayah. Katakan apa yang kukatakan. Bahwa aku, Bagus Respati, tetap akan mempersunting Dyah Muning Maduwani. Pesta tetap akan kurayakan di dalam ksatrianku sendiri. Kalau Paman merasa berat, aku akan menghadap Ayah sendiri. Tanyakan kapan Ayah bersedia menerimaku. Paman bisa melihat sendiri. Sekarang ini rombongan Kiai Sangga Langit sudah berada di sini. Kalau ia mendengar hal ini, kalau ia mengetahui perlakuan Ayah kepadaku, di mana aku harus menegakkan kepala? Aku kan bukan anak kecil yang bisa diusir dan diperintahkan begitu saja. Tidak, Paman. Sebagai seorang ksatria, sebagai seorang lelaki, aku tak mau dipermalukan. Apa pun hukuman Ayah, aku akan menerima sebagai ksatria."

Tak urung berita mengenai pertentangan ayah dan anak ini menjalar. Dari sekitar dalem kepatihan, berita ini menjalar ke luar. Nyai Demang melepaskan burung merpati yang membawa rahasia ke markas Rawikara di Banyu Urip. Dari sana laporan yang sama diteruskan ke Gelang-Gelang. Berita ini disampaikan kepada Maharesi Ugrawe, yang hari itu juga menghadap Raja Muda Gelang-Gelang.

"Susah. Susah. Saya tidak menghendaki perkembangan setajam ini. Meskipun ini baik, akan tetapi bisa merusak rencana Sinuwun. Semua sudah berjalan sesuai dengan rencana, kenapa tiba-tiba harus terjadi sifat keras kepala Respati? Susah, susah. Saya tidak memperhitungkan bahwa di Keraton masih ada anak berani kepada ayahnya."

"Bagaimana kalau pesta perkawinan Respati diadakan di sini saja?"

Maharesi Ugrawe menghaturkan sembah. "Sungguh Sinuwun sangat bijaksana. Dengan memindahkan perjamuan di sini, sebagian besar ksatria Keraton akan berada di sini. Dan Keraton akan kosong. Saat itulah kita melancarkan serangan terakhir. Kita bisa mengatur sedikit rencana, agar bisa memancing senopati lebih banyak."

"Semua saya serahkan kepada Paman Guru."

"Beribu terima kasih atas kepercayaan Sinuwun. Ketika saya menyerap para pendekar ke Perguruan Awan sebagai langkah pertama, ketika saya mengadakan Sayembara Mantu untuk menyerap para ksatria dan bangsawan sebagai langkah kedua, dan rencana terakhir menyerbu Keraton, saya sudah yakin bahwa Dewa Yang Maha Benar berada di pihak kita. Tindakan dan perjuangan kita untuk mengembalikan takhta kepada yang berhak direstui oleh Dewa Penguasa Jagat. Sinuwun, atas perkenan Paduka, saya akan mulai mengadakan persiapan. Sekarang ini para pendekar yang tersisa berada dalam tawanan kita. Sekarang ini para bangsawan dan ksatria sudah banyak yang terluka. Ketika sebagian terbesar datang kemari untuk mengadakan pesta, kita harus menyerbu ke Keraton. Saat itu, sejarah kembali kepada jalan yang sebenarnya. Masalah kecil hanyalah soal Kiai Sangga Langit."

"Menurut Paman Wiraraja, setelah peristiwa ini selesai, Kiai Sangga Langit baru diselesaikan. Ia sendirian dan Paman Guru bisa menghadapinya."

"Akan segera saya laksanakan, Sinuwun."

Maharesi Ugrawe segera mengirimkan berita ke desa Banyu Urip. Burung merpati yang sama terbang balik. Hanya saja burung merpati ini sebelum sampai ke kandangnya di Banyu Urip terjerat oleh Kawung Sen ketika ia tengah berlatih jurus-jurus Kartika Parwa. Ketika menebarkan Jala sambil berloncatan itulah Kawung Sen menangkap merpati.

"Kena!" teriaknya kegirangan. Sewaktu burung merpati itu diambil, perhatiannya tertuju pada sesobek kain kecil di kaki. Kawung Sen memaki panjang-pendek. Percuma juga. Ia tak bisa membaca.

Akan tetapi walau tidak bisa membaca, Kawung Sen bukannya tidak mengerti bahwa burung merpati itu pasti kiriman dari Maharesi Ugrawe. Dan ia teringat akan Upasara kakangnya! Budi baiknya dan keinginannya mengetahui rahasia tiga gerakan yang dilancarkan Ugrawe. Kawung Sen menyalin sekenanya, sebisanya. Lalu melepaskan burung itu kembali. Ia sendiri, dengan salinan tulisan itu langsung berangkat ke Keraton Singasari, melewati hutan buatan.

Bagi Kawung Sen menuju ke Keraton tidak masalah. Perjalanan itu bisa ditempuh dengan nyaman dan lancar. Akan tetapi dari segi persoalan pribadi termasuk berat juga. Ia dikenal sebagai pemberontak Keraton. Pemberontak yang pernah menyelusup masuk Keraton. Pernah menyerbu Keraton hingga berada dalam dinding. Namanya sangat buruk di Keraton. Kini ia harus masuk ke sana kembali dengan risiko dikenali. Bisa-bisa sebelum masuk sudah harus ditelikung.

Namun Kawung Sen sudah memperhitungkan hal ini. Hubungannya dengan Upasara akrab secara lahir dan batin. Entah mengapa ia merasa sangat hormat sekali. Selama ini yang mengasihi dan memperhatikan hanya dua saudara kandungnya Kawung Benggol dan, terutama, Kawung Ketip. Mereka berdualah yang mengajari. Yang memberitahu soal kitab-kitab. Keduanya sudah meninggal. Dan kemudian Upasara-lah yang menggantikan peran itu. Lebih dari sekadar saudara, Upasara memberikan sesuatu yang sangat diperlukan tanpa merendahkan diri.

Kawung Sen tidak merasa paling bodoh jika berhadapan dengan Upasara. Justru karena Upasara tidak pernah menyinggung soal tidak bisa membaca dan menulis. Bagi orang biasa, mungkin hal ini bukan sesuatu tindakan yang terlalu istimewa. Tapi bagi Kawung Sen pribadi seperti melindungi cacatnya. Apalagi sikap Upasara dinilai sangat ksatria oleh Kawung Sen. Upasara bisa menghina dengan mengencingi tapi toh tidak melakukannya. Upasara bisa membiarkan ia mati dikeroyok semut, tapi toh Upasara malah menolong. Maka putusan Kawung Sen untuk mencari Upasara ke Keraton mempunyai alasan yang kuat.

"Kalau aku harus mati karena menyampaikan hal ini, tak menjadi soal. Toh sebelum ini pun aku sudah mati kalau tidak ditolong Kakang Upasara. Kalau sebagai adik aku tak berbakti kepada kakaknya, bagaimana aku bisa merasa diriku lelaki?"

Mantap sekali Kawung Sen menuju pintu gerbang Keraton. Kepada prajurit yang menjaga, Kawung Sen bersikap hormat.

"Tolong sampaikan kepada Upasara Wulung bahwa adiknya ingin bertemu dengannya. Sangat penting sekali."

Tentu saja para prajurit yang menjaga gerbang jadi kaget. Mengira bahwa yang ditemui orang gila. "Siapa itu Upasara Wulung?"

Pertanyaan ini tidak mengada-ada. Upasara Wulung bukan nama yang populer di dalam Keraton. Hanya beberapa nama tertentu yang mengetahui.

Ganti Kawung Sen yang melengak. Kalau tidak mengingat bahwa ia tak ingin membuat gara-gara, pasti prajurit itu sudah dijerat dan dikencingi.

"Upasara adalah kakak saya."

"Apakah ia seorang prajurit?"

"Mana aku tahu?"

"Hei, jangan bicara sembarangan. Jangan mengganggu kami yang sedang menjalankan tugas. Hukumannya berat sekali. Kau bilang mau menemui Upasara, tapi ditanyai apakah Upasara prajurit atau bukan malah menjawab: Mana aku tahu. Di seluruh dunia ini yang bernama Upasara banyak sekali. Di semua hutan juga banyak yang disebut banteng hitam."

Upasara Wulung memang berarti banteng hitam.

"Astaga. Kalian prajurit biasa saja berani bertingkah. Upasara adalah utusan dari Keraton. Ia orang penting. Kalian bisa dipecat kalau tak mengetahui siapa dia."

"Kau boleh menggertak. Aku sudah bertugas di sini puluhan tahun. Tak pernah kudengar nama Upasara Wulung sebagai demang, lurah, akuwu, mantri praja, bupati, atau prajurit."

"Baiklah. Kau yang memaksa aku bertindak kasar."

Berhenti suaranya, Kawung Sen mengayunkan dua tangannya. Dua prajurit itu jelas bukan tandingannya. Dengan sekali gebrak saja dua bahu bisa dicengkeram. Ditambahi sedikit saja, dua prajurit itu menjerit kesakitan.

"Katakan atau kupatahkan tangan kalian."

Belum ada jawaban, Kawung Sen menggertak dan dua prajurit itu berteriak kesakitan. Masing-masing menjerit dan tangannya terkulai. Ini malah mengundang prajurit-prajurit yang lain serentak mengepung Kawung Sen. Dikepung belasan prajurit, Kawung Sen malah tertawa lebar.

"Kalian ini cicak-cicak yang tahu kucing. Aku tanya baik-baik malah kalian paksa menggunakan tenaga. Ayo, siapa yang ingin patah tulangnya, silakan maju. Ayo, maju, jangan menunggu."

Sebat Kawung Sen menggebrak maju. Sekali loncat dua tangan bisa disentakkan. Sekejap saja prajurit yang mengepung menjerit kesakitan. Sebagian berlari melaporkan ke dalam. Dengan gagah Kawung Sen melangkah ke dalam.

Mendengar kegaduhan, Arya Genggong menuju ke pelataran. Melihat seorang lelaki memanggul jala berjalan seenaknya, ia langsung menyongsong.

"Sebentar, Kisanak. Ada perselisihan bisa dilerai. Ada silang-sengketa bisa dibicarakan. Kenapa Kisanak berlaku kasar di Keraton?"

Kawung Sen terbahak. "Keraton atau kuburan apa bedanya? Siapa yang berlaku kasar? Yang mulai atau yang mengikuti? Kalian para prajurit yang hidup untuk sesuap nasi mengerti apa tentang negara? Apa pangkatmu berani tanya segala macam?"

Arya Genggong melengak. "Kalau memang tak mau diatur jangan salahkan aku." Tapi belum sempat Arya Genggong bisa menyerang barang dua-tiga jurus, tubuhnya telah terdorong mundur. Bagai diempos angin dahsyat. Bagai disapu ombak. Dengan sekali gebrak!

Apakah Kawung Sen dalam waktu sekejap saja telah menjadi sangat lihai? Apakah Arya Genggong bisa disapu dengan sekali gebrak?

"Bisa... bisa... ilmu... ilmu ini bisa dipakai. Ayo maju lagi. Biar aku bisa latihan sepuasnya."

Kawung Sen mempraktekkan beberapa bagian dari Bantala Parwa. Dan ternyata sangat jitu! Kawung Sen sendiri tak tahu persis jurus mana yang digunakan, dan menjadi rada heran. Kok bisanya begitu cepat membuat lawan tercecer. Satu hal yang tak disadari baik oleh Kawung Sen dan Arya Genggong adalah kenyataan bahwa mukjizat ini terjadi secara kebetulan. Jurus-jurus dalam Bantala Parwa memang untuk mematahkan perlawanan yang mengganas. Kalau dalam praktek dulu Kawung Sen tak merasa puas, bisa dimaklumi. Karena tak ada tenaga yang menyerang ke arahnya. Dan kini, Arya Genggong menyerang ke arahnya. Ada tenaga yang bisa dibalikkan. Tenaga Arya Genggong menghantam dirinya sendiri. Akibatnya memang telak, karena ditambah tenaga Kawung Sen!

"Ayo, maju lagi."

Kawung Sen berlagak sendirian. Tak ada yang berani menyerang. Bahkan mendekati pun tidak. Dengan gagah Kawung Sen melangkah ke dalam Keraton. Tanpa peduli.

Mendengar keributan yang tak terselesaikan, Patih Angragani melangkah ke luar. Begitu melihat Kawung Sen, Patih Angragani mendecakkan bibirnya. Dengan tiga kali gerakan tangan, semua prajurit pilihan telah mengepung.

"Bagus. Ini sambutan terhormat. Siapa kamu, orang gede?"

"Pangkat itu anugerah. Gede itu hanya perasaan. Siapa pun namamu, apa pangkatmu, untuk apa kamu mengacau kemari?"

"Namaku Kawung Sen. Aku datang kemari mau menemui kakakku, Kakang Upasara."

Patih Angragani merasa aneh. Bukan dari cara bersilatnya, tetapi mendadak Kawung Sen menanyakan Upasara Wulung. "Upasara Wulung sudah tak ada di tempat ini. Tak ada gunanya kamu cari. Kalau ada persoalan, katakan segera. Kalau mau mengacau, aku akan menghadapimu."

"Bagaimana kamu yakin Upasara tak ada di tempat ini? Kakangku itu tak pernah bohong dalam hidupnya. Ia bilang ke Keraton. Dan di Jawa ini ada berapa Keraton?"

"Aku telah memerintahkan untuk membunuh mati Upasara Wulung."

Belum selesai perkataan Patih Angragani, Kawung Sen melontarkan jalanya. Bersamaan dengan geraknya, para prajurit pilihan dari sisi kiri-kanan, depan-belakang langsung menyerbu ke arahnya. Tusukan, sabetan, dan gempuran menjadi satu. Patih Angragani sendiri menggeser sedikit kedudukan kakinya, kedua tangannya bergerak cepat. Satu mencabut keris satu lagi mendorong ke depan.

Jala Kawung Sen yang tertebar menyampok sekian banyak senjata yang tertuju ke arahnya. Tak bisa disendal dengan sekali betot. Jadinya malah terjadi tarik-menarik. Ketika itulah angin pukulan Patih Angragani menjotos ulu hatinya. Sebat Kawung Sen menyentak jalanya, tapi tetap tertahan. Tak ada jalan lain, jala dilepaskan dan dengan tangan kosong memapaki serangan. Satu lagi dari jurus Bantala Parwa muncul. Dua benturan tenaga keras. Patih Angragani tergusur mundur, tapi dengan cepat maju kembali. Kali ini gerakan tangannya lebih cepat, dan yang bergerak lebih dulu adalah prajurit pilihan. Langsung menghadang di depan Kawung Sen. Benturan tenaga begitu dahsyat tak terhindarkan. Dua prajurit pilihan langsung terjungkal. Sebelum menyentuh lantai pendopo, nyawa mereka sudah berpulang. Kalau saja Kawung Sen sudah menguasai cara mengatur tenaga, dengan sekali gebrak lebih banyak lagi korban berjatuhan.

Patih Angragani kaget. Sebelum ia sempat menghindar, tubuh Kawung Sen sudah menggelundung ke depannya. Benar-benar menggelundung. Bagi Kawung Sen yang mempunyai sifat angin-anginan, tak begitu peduli. Harus menyerang dengan cara ksatria atau cara semaunya. Menggelundung, mengencingi, menggigit tak jadi bahan pertimbangan. Kini pun demikian.

Dalam sekejap, Patih Angragani telah sibuk dengan usaha mempertahankan diri. Menyerang sekenanya. Justru di saat seperti itulah tenaganya berbalik ke arahnya. Kawung Sen bisa menangkis tikaman keris, dan memegang tangan Patih Angragani. Sekali kena pelintir, para prajurit yang mengepung pun undur ketakutan. Takut kalau-kalau melukai junjungannya.

"Aha, masih mau menyembunyikan Kakang Upasara?"

Luar biasa. Tokoh nomor dua di Keraton Singasari dipencet oleh seorang seperti Kawung Sen!

"Panggil Kakang Upasara atau kupatahkan tangan ini jadi tangkai daun singkong."

Biarpun dalam cengkeraman bahaya, walaupun dalam keadaan yang tak menguntungkan, Patih Angragani bukan seorang pengecut. "Aku sudah bilang bahwa Upasara Wulung telah mati. Atas perintahku. Mau patahkan tangan silakan, mau bunuh lakukan saja."

"Baik kalau itu yang kamu kehendaki." Kawung Sen mendongak. Menghimpun tenaga. "Kakang Upasara, aku tak bisa membalas budi baikmu. Di surga sana, biarlah orang ini menjadi pelayanmu, menjadi kuda tungganganmu."

Arya Bangkong secara tiba-tiba meloncat maju. Gerakannya memang tidak terlalu cepat, tetapi dengan memusatkan seluruh tenaga dalam mampu membuat Kawung Sen harus memperhitungkan juga. Sejak tadi Kawung Sen tidak menduga bahwa di antara para prajurit pilihan terdapat seorang yang kepandaiannya di atas rata-rata. Arya Bangkong yang berdiam diri sejak tadi melihat bahwa kini saatnya bertindak. Tanpa menghiraukan keselamatan pribadi, Arya Bangkong menyerang habis-habisan. Kawung Sen memang bisa mematahkan tangan Patih Angragani, namun harus secepatnya menangkis serangan.

Dan menurut perhitungan lumrah, Kawung Sen akan menangkis serangan lebih dulu. Dan itu memang yang dilakukan. Kedua tangan Arya Bangkong yang maju bersamaan ditangkis dengan tangan kiri. Dua benturan tenaga yang kelihatan sekilas tidak imbang. Kawung Sen seperti terdesak. Padahal memang sengaja menarik tubuh lawan ke depan. Serampangan kaki yang kuat membuat tubuh Arya Bangkong mencelat ke udara. Disusul dengan satu pukulan keras, tubuh Arya Bangkong terlempar ke arah tiang utama. Langsung ambruk dan tidak bangun lagi.

"Percuma kalian semua melawan. Tak bakal berumur panjang. Hanya dengan membawa kemari Kakang Upasara kalian akan selamat. Kalau tidak, Keraton ini akan kubakar sempurna!"

Dalam keadaan terluka, Arya Genggong menunjukkan kesetiaan yang tinggi. Tubuhnya menggelinding maju. Akan tetapi sekali kena sepak, tubuh itu mental. Terguling jauh. Keadaan sungguh gawat. Patih Angragani berada dalam bahaya. Mendadak muncul bayangan yang berkelebat datang.

"Tahan, Dimas."

Semua yang hadir terperanjat. Juga Patih Angragani. Karena sama sekali tak menyangka bahwa yang muncul adalah Upasara Wulung!

"Kakang!"

"Lepaskan Mahapatih, Dimas...."

Kawung Sen melepaskan cekalannya. Wajahnya nampak beringas karena sangat gembira. Dengan mata terbuka dan mulut memamerkan tawa lebar, Kawung Sen memburu ke arah Upasara Wulung. Saat itu di luar perhitungan siapa pun, Patih Angragani mencabut kerisnya dan langsung menusuk lambung Kawung Sen. Darah muncrat. Tubuh Kawung Sen menjadi limbung karenanya.

"Kau..."

Tusukan keris kedua kalinya terayun. Upasara Wulung berdiri, akan tetapi terlambat! Kawung Sen memegangi perutnya. Dua tusukan dari arah belakang kena sangat tepat. Dan sementara itu para prajurit pilihan sudah langsung menyerbu. Upasara mengembangkan tangannya untuk menangkis serangan yang datang sambil melindungi Kawung Sen.

"Tahan," teriak Upasara gusar.

Kawung Sen rebah ke tanah. Upasara merangkul. Perasaan gusar, amarah, dendam, bergejolak membanjir dan membuntu. Sulit dibayangkan kemurkaan yang telah sampai puncaknya. Adalah di luar pikirannya bahwa Patih Angragani akan menusuk dari belakang. Padahal sebelumnya begitu terancam jiwanya.

"Dimas..." Suara Upasara Wulung terdengar serak menyayat. Air matanya kering sebelum keluar. Bibirnya gemetar. Seluruh wajahnya keruh. "...Dimas..."

Berada dalam pangkuan Upasara Wulung, Kawung Sen merasa tenteram. Wajahnya berusaha menyembunyikan keperihan. "Kakang... ada surat... Kakang bisa baca... saya bodoh... Kakang..."

Upasara merangkul erat. Waktu berjalan begitu singkat untuk saling mengenal. Saling mengangkat saudara, dan kini harus berpisah dalam pelukan. Upasara mengheningkan cipta. Menutup mata Kawung Sen. Lalu meletakkan kepala Kawung Sen ke lantai pendopo. Ketika kemudian mendongak, wajahnya tetap muram.

Patih Angragani tetap berdiri teguh. "Umurmu panjang... Ksatria Pingitan.... Siapa yang menolongmu?"

"Mahapatih yang mulia... hamba menyayangkan kematian Dimas Kawung Sen... hamba menyayangkan Mahapatih yang mulia tidak melaporkan kepada Baginda Raja... semuanya sia-sia...."

Upasara Wulung berdiri. Mengambil jala Kawung Sen. Membuka di bagian simpul, membuka surat. Sekelebatan saja. Lalu mendongak ke langit.

"Dewa Yang Menguasai Jagat... hari ini adikku Kawung Sen sowan kepadamu.... Dewa memanggil dengan cara yang mulia...." Upasara Wulung menoleh ke Patih Angragani. "Dimas Kawung Sen menyampaikan berita. Berita dari Mpu Ugrawe kepada Raja Muda Gelang-Gelang dan para senopatinya. Perencanaan penyerangan ke Keraton. Entahlah, Mahapatih mau mendengar atau tidak." Upasara membungkuk. Menggendong mayat Kawung Sen. Di bagian wajah ditutupi dengan kainnya sendiri. Lalu berjalan ke luar.

"Akan pergi ke mana kamu?"

"Mengubur Dimas Kawung Sen sebagaimana layaknya seorang ksatria. Menghadang kedatangan prajurit Gelang-Gelang. Keraton harus tetap dipertahankan dari keangkaramurkaan."

Patih Angragani berdecak. "Tak begitu gampang datang dan pergi. "Upasara, aku adalah pemegang perintah mewakili Baginda Raja. Kalau kamu ingin pergi, silakan. Kamu masih hidup, itulah takdir. Akan tetapi katakan siapa yang menolongmu...."

"Mahapatih yang mulia... percuma semua gelar itu kalau tak bisa melihat kenyataan. Dalam Keraton ini bukankah Baginda Raja yang paling berkuasa? Siapa lagi yang bisa menolong hamba kalau bukan Baginda Raja sendiri?"

Jawaban Upasara membuat Patih Angragani melengak. Para prajurit yang mengepungnya mundur. Lima tindak Upasara Wulung melangkah, Patih Angragani berteriak.

"Anak kecil bisa kamu dustai, tapi pasti bukan aku. Kamu datang dan kulemparkan ke kandang harimau, Baginda Raja saja tak tahu. Bagaimana bisa menolongmu? Para prajurit... tangkap! Mati atau hidup."

Upasara menjejakkan kakinya. Melayang ke atas. Sambil membopong mayat Kawung Sen, kaki Upasara hinggap di dinding bagian atas. "Para prajurit, Keraton sedang diancam kehancuran. Benar atau tidak yang kukatakan, biar Baginda Raja yang mengambil keputusan." Tubuh Upasara memantul lagi. Meloncat ke balik dinding.

"Kejar!"

Sehabis memberikan perintah, Patih Angragani kembali ke dalem kepatihan. Semua prajurit utama dikerahkan. Semua prajurit disiagakan. Yang berada di rumah panggil. "Usut! Siapa yang menyelamatkan Upasara. Tangkap Senamata Karmuka. Penjarakan dia. Kalau sampai besok belum ketemu siapa bangsatnya, semua akan dihukum pecat."

* * *

UPASARA menguburkan Kawung Sen di luar dinding Keraton. Di tempat yang sepi. Lalu berdoa. Berlutut agak lama. Sampai bulan purnama muncul. Baru Upasara Wulung sadar sejak tadi ada bayangan yang mengawasi.

"Maafkan hamba... Eyang Raganata...."

"Inilah takdir dewata. Semua bisa diperhitungkan, tapi semua bisa terjadi. Itulah yang namanya takdir." Mpu Raganata berdiri tegak. Seolah berbicara dengan rembulan di langit. Sewaktu kamu ditangkap, aku sudah menduga bahwa akhirnya kamu akan dimasukkan ke dalam sarang Sardula. Maka aku lebih dulu ke sana, dan mengambil gigi harimau itu. Dan bisa menyelamatkanmu. Aku berusaha menyembunyikanmu. Tetapi Kawung Sen datang dan akhirnya kamu harus keluar juga. Semua ini, kalau bukan takdir, apa namanya? Baginda Raja terlalu mulia. Terlalu tinggi angan-angannya. Angan-angan seorang raja gung binathara, raja besar, seharusnya begitu. Raja besar bagai rembulan. Tinggi, agung, dan menyinari. Tetapi di bawah ada karang, ada pohon-pohon yang begitu bodoh menutup sinar rembulan. Segala peringatan tak ada gunanya."

Upasara menunduk.

"Sayang, kamu masih terlalu muda, Wulung... dan kamu terlalu berbakat. Hidup ini akan makin susah bagi yang muda, berbakat, dan mempunyai pengabdian."

"Maafkan hamba, Eyang... Bukankah Eyang masih bisa menyampaikan hal ini kepada Baginda Raja?"

Mpu Raganata tidak mengangguk, tidak menggeleng. "Aku bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Saat ini pun kalau Baginda Raja mempercayaiku, sudah terlambat. Di dalam Keraton sendiri terpecah belah tak menentu. Aku sudah bisa memperhitungkan. Bahwa Ugrawe akan mempercepat serbuannya, begitu melihat ada sesuatu yang tak beres. Begitu ada yang bocor seperti dibawa Kawung Sen, Ugrawe akan mengerahkan pasukannya. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Tetapi aku adalah bagian dari Keraton. Apa pun yang terjadi aku akan kembali ke Keraton. Angragani bisa menangkap aku. Bisa apa saja. Tetapi itulah bagianku. Wulung, kamu menyingkirlah. Sebelum fajar besok, sebelum kita beranjak dari sini, barangkali pasukan Jayakatwang sudah menyerbu. Menyingkirlah, cucuku. Hari depan masih bisa kauraih."

Mendadak Mpu Raganata membanting kakinya dengan geram.

"Wulung, kamu tuli apa bisu. Kalau masih mempunyai rasa hormat sedikit kepada orang tua ini, pergilah. Berangkatlah sekarang juga. Makin jauh makin baik."

Upasara Wulung menghaturkan sembah. Eyang yang dihormati secara tulus oleh para kawula... apakah ada perbedaan antara seorang yang tak berkepandaian apa-apa dengan seorang empu dalam membela Keraton? Bukankah semua mempunyai kewajiban yang sama?"

Mpu Raganata makin berjingkrakan. Memang aneh. Di satu saat berdiam diri. Di saat yang lain berbicara dengan lembut, seakan berbisik kepada yang rahasia. Di saat lain marah dengan membanting kakinya. Di saat berikutnya malah berloncatan.

"Kamu itu masih ingusan, Wulung. Kamu tahu apa tentang kewajiban? Ngabehi Pandu itu sama tololnya dengan kerbau dungu. Nasihatnya tak usah kamu hiraukan. Jangan merasa bisa menolong Keraton. Negara ini terlalu besar. Dan kamu ini bukan siapa-siapa. Lebih buruk dari apa-apa. Jangan ngomong ngawur. Negara tak tertolong olehmu. Segera minggat. Tolong jiwamu sendiri."

"Kalau hamba bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa dalam pengertian yang lebih tak berarti, untuk apa pergi jauh? Toh tak akan ada gunanya."

Mpu Raganata menggelengkan kepalanya. "Seumur hidupku ini, baru sekarang aku menjumpai orang yang isi kepalanya lumpur. Lumpur keras. Tak bisa berpikir sedikit pun. Wulung, kalau kamu mau menyelamatkan diri, masih ada sedikit kesempatan. Prajurit-prajurit Keraton pasti mencarimu. Dan sebentar lagi pun pasukan Gelang-Gelang akan mencarimu. Kalau aku bisa bertemu Ngabehi Pandu, ia akan kukuliti. Karena dialah yang berdosa membuat kamu seperti ini. Jangan salahkan aku yang tua ini tak memberi nasihat padamu."

Selesai berkata Mpu Raganata menghilang.

Tinggal Upasara sendiri. Menghadapi gundukan tanah. Tanah yang masih mengeluarkan bau tubuh Kawung Sen. Inilah perjalanan panjang yang diperoleh. Dari serbuan gencar Perguruan Awan, terlunta-lunta di Banyu Urip, tapi tak ada hasilnya. Bahkan sambutan yang menyenangkan pun tidak. Dan bahkan, kini saudara angkatnya Kawung Sen turut menjadi korban.

Bukan soal meloloskan diri. Kalau itu yang ingin dilakukan, ia sejak lama bisa meloloskan diri. Tak perlu bersusah payah ke Keraton! Kalau sekarang meloloskan diri, apa artinya?

Bagi Upasara ini bukan pertanyaan yang mengada-ada. Sebagai seorang yang sejak kecil tak mengenal siapa orangtuanya, Upasara hanya mengenal Keraton. Mengenal negara sebagai orangtuanya, tanah airnya, sekaligus bagian utama dari dirinya. Bagi Upasara Wulung, inilah nilai satu-satunya. Kalau sekarang harus meninggalkan dengan cara melarikan diri, siapa yang bisa memaafkan kepengecutannya? Sedikit atau banyak, apa-apa atau bukan apa-apa, masih ada yang bisa didarmabaktikan kepada Keraton. Mendapat ketetapan itu, Upasara menjadi tenang. Ia beristirahat sejenak. Berdoa lagi di makam Kawung Sen. Sampai fajar. Kemudian Upasara menyamar dan kembali ke jurusan Keraton. Ia tak berani muncul di tempat yang banyak dikunjungi orang. Karena memang dirinya dicari-cari. Ia tak mempunyai teman siapa-siapa.

Upasara menangkap pembicaraan yang didengar secara selintas. Bahwa Baginda Raja akan mengadakan pesta keagamaan. Bahwa Senamata Karmuka kini ditahan. Bahwa Patih Angragani mengadakan sapu bersih bagi prajurit yang dicurigai tidak setia. Mereka yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan lolosnya Upasara langsung mendapat hukuman.

Sementara itu Bagus Respati dengan nekat mengadakan pesta perkawinan secara besar-besaran. Pada saat itulah prajurit Gelang-Gelang datang ke Keraton. Raja Muda Jayakatwang sendiri berada di depan. Diapit oleh Ugrawe dan Kiai Sangga Langit! Dengan seluruh pasukannya lengkap bersenjata. Benar dugaan Mpu Raganata! Ugrawe akan menyerang lebih cepat dari dugaan siapa pun. Di depan gerbang Keraton, Raja Muda Gelang-Gelang memerintahkan para prajuritnya mengibarkan panji-panji. Disusul oleh terompet dan genderang. Ugrawe memimpin prajurit langsung mengepung.

"Kalau Baginda Raja bersedia datang menghaturkan sembah kepada aku, Raja Muda Gelang-Gelang, aku akan mengampuninya. Jika tidak, takhta yang bukan haknya harus kembali kepadaku! Patih Angragani, sampaikan hal ini kepada Baginda Raja. Kalau tidak, akan kubuka gerbang sekarang juga."

Sewaktu ancaman itu disampaikan, Patih Angragani sangat murka. Seluruh prajuritnya yang pilihan disiapkan. Dalam sekejap semua telah bersiap. Patih Angragani keluar menyambut.

"Kamu keliru. Jayakatwang, kamu anak bawang. Anak ayam tak bisa melawan garuda. Anjing kecil yang dipelihara tak akan kuat melawan harimau. Akulah panglima perang. Akulah senopati utama Keraton Singasari. Hadapilah aku lebih dulu."

"Hahaha...." Ugrawe tertawa bergelak. "Sungguh tolol manusia satu ini. Kamu tak punya apa-apa lagi. Prajuritmu cuma beberapa gelintir. Para ksatria sudah kubasmi di Perguruan Awan. Bantuan dari raja muda di sekitar tak akan datang, karena semua jalan keluar sudah ditutup. Pasukanmu yang terbesar sedang mengadakan pesta di kediaman kami. Bagus Respati sedang berfoya-foya, bermimpi menjadi pengantin. Pengantin yang celaka. Angragani, kamu tak punya kesempatan. Bahkan untuk meminta ampun telah terlambat. Panggil dukunmu, dan aku akan menyuruhmu menjilati pantat kuda."

"Kamu terlalu omong besar!"

"Kupuji sedikit kegagahanmu. Tapi itu terlambat. Dalam penyerbuan ke Perguruan Awan, kami sedikit keliru. Ada yang lolos. Sekarang ini tak mungkin lagi."

Ugrawe menyembah ke arah Raja Muda Gelang-Gelang. "Izinkanlah hamba mengembalikan takhta, Raja Muda...."

Jayakatwang mengangguk.

Dan penyerbuan besar-besaran pun terjadilah. Prajurit pilihan dari Keraton Singasari mencoba mengadakan perlawanan. Akan tetapi gelombang pasukan yang dipimpin oleh Ugrawe bagaikan gelombang menyapu pasir pantai. Ugrawe sendiri memimpin langsung pertempuran di tengah. Dari sayap kiri muncul Rawikara memimpin penyerbuan. Dari sayap kanan, Kiai Sangga Langit melabrak siapa saja. Patih Angragani sendiri tak sempat masuk ke dalam ketika dengan geram Ugrawe, dengan pukulan Sindhung Aliwawar, membuatnya rubuh.

Di tengah berkecamuknya pertempuran, Upasara Wulung menerjang masuk dari belakang. Lewat bawah tanah tempat kandang harimau, Upasara masuk ke dalam Keraton. Masuk ke dalam bagian utama Keraton. Di depan pintu, Mpu Raganata berdiri.

Seorang raja adalah penguasa

Mati dan hidup, itu biasa...

Seorang raja adalah penguasa yang bijaksana

Tak seharusnya meninggal di dalam pesta...


Upasara baru mengerti bahwa Mpu Raganata mencoba menyadarkan Baginda Raja yang masih berada di ruangan dalam.

Seorang raja, seharusnya bijaksana dalam perang dalam ranjang

Seorang raja, seharusnya tidak meninggal dalam pakaian pesta...


Pintu terbuka. Baginda Raja keluar. Langkahnya tetap gagah berwibawa. Pandangannya tetap tajam, keras, dan menguasai. "Paman tak usah bernyanyi dua kali. Aku raja yang tahu di mana harus beristirahat. Aku tahu bahwa pengkhianat yang paling busuk, manusia yang paling hina di dunia, adalah seorang yang membalas budi kebaikan dengan pengkhianatan. Jayakatwang, temuilah aku. Tataplah aku kalau berani."

Di ruangan dalam Keraton, pertempuran tak seimbang pun terjadi. Ugrawe menyerbu masuk, bersama dengan Kiai Sangga Langit, dan Rawikara serta para pendekar. Baginda Raja mempertahankan diri bersama dengan Mpu Raganata yang terus-menerus melindungi. Upasara berusaha untuk merangsek maju, akan tetapi setiap kali terdesak mundur.

Ugrawe telah merencanakan penyerbuan dengan jitu. Dengan memancing para ksatria berkumpul di Perguruan Awan. Lalu menyikat habis. Dengan Sayembara Mantu, para bangsawan pun disikat habis. Keraton Singasari diisolir dari bantuan sekitarnya. Situasi dalam Keraton dibikin keruh. Saat itu kemudian ia menyerbu. Dalam penyerbuan itu pun Ugrawe telah memakai perhitungan. Begitu mendobrak masuk dengan membawa Raja Muda Gelang-Gelang, pintu gerbang akan dibukanlangsung mengadakan bumi hangus. Segala benda dirusak, dibakar, dihancurkan. Terus melabrak hingga ke ruang dalam. Pada suasana pesta, persiapan tak akan sepenuhnya. Dengan keperkasaan ilmunya, ditambah kelicikan yang luar biasa, kini tinggal mengambil langkah terakhir.

Mpu Raganata bertarung dengan gagah berani. Sendirian, tokoh tua ini melindas siapa pun yang berusaha mendekat. Namun serbuan makin lama makin kuat. Kiai Sangga Langit sendiri langsung terjun ke medan pertempuran. Ugrawe juga menggunting dari sisi lain.

Menghadapi dua keroyokan, Mpu Raganata makin keteter. Apalagi Mpu Raganata berusaha mati-matian untuk melindungi Baginda Raja. Sehingga perhatiannya terpecah. Bertarung habis-habisan Mpu Raganata akhirnya terdesak mundur.

Upasara mencoba bergabung. Dengan Banteng Ketaton ia menyerbu masuk. Kiai Sangga Langit langsung memapaki. Satu demi satu prajurit Keraton jatuh berguguran. Hujan anak panah makin mengganas. Ugrawe sendiri kemudian melontarkan bubuk racun sehingga tanpa peduli prajuritnya sendiri atau prajurit lawan bisa disapu bersih. Ia sendiri dengan Kiai Sangga Langit dan Rawikara telah membekali diri dengan obat pemunah. Sehingga terbebas dari pengaruh racun!

Upasara merasa dadanya tertekan keras. Rasa sakit yang dulu menyerang ulu hatinya makin membuatnya sesak. Mpu Raganata pun terdesak. Tinggal waktu saja. Dan memang itulah yang terjadi. Baginda Raja terluka, tersungkur. Raja diraja Keraton Singasari, raja yang berpandangan luas, gugur di keratonnya sendiri. Mpu Raganata mulai sempoyongan karena tubuhnya dipenuhi dengan anak panah. Upasara sendiri sudah sempoyongan.

Ugrawe tak bisa melupakan Upasara. "Ini bagianku," teriaknya lantang. Kedua tangan berputar di atas kepala. Langsung menyerang.

Dalam keadaan biasa pun, Upasara bukan tandingan Ugrawe. Maka kali ini hanya bisa memasrahkan diri. Tapi sedetik itu, Mpu Raganata meloncat tinggi dan menahan gempuran. Akibatnya, tubuh Mpu Raganata terpental jauh. Ugrawe sendiri terlempar tiga tombak. Hingga punggungnya menghantam dinding yang langsung jebol! Benturan tenaga maha dahsyat! Hanya saja Ugrawe bisa bangkit kembali. Sementara Mpu Raganata tetap rebah.

"Empu..."

"Eyang..."

"Sudah saya bilang, kamu lebih baik lari. Di belakang hari masih bisa melawan."

Ugrawe berdiri di depannya. Kiai Sangga Langit bersiap. Rawikara menghunus pedangnya.

"Upasara... hari ini kamu akan mati di tanganku. Selesailah sudah seluruh kisahmu."

Upasara Wulung berdiri tegap. "Majulah bersama. Keroyoklah."

"Kami tak peduli keroyokan atau tidak. Kalau bisa merebut takhta Keraton, orang lain yang puas. Tapi membunuhmu, aku yang paling puas. Akulah orang paling sakti di jagat raya...."

"Siapa berani begitu sombong? Bukankah aku sudah memotong telinganya?"

Suara siapa lagi kalau bukan suara Gendhuk Tri? Bocah yang masih memakai kemben dengan rambut terurai itu berjalan masuk. Dalam kepungan dua pendekar besar dan seorang seperti Rawikara, Gendhuk Tri ternyata tak gentar. Berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan, di antara simbahan darah, ternyata tak membuat kalimatnya berubah.

"Dewa mengirimmu kemari untuk mati bersama."

"Memang aku sengaja kemari. Cuma susah masuk tadi. Di luar terlalu banyak orang." Suara kenesnya tetap menggema.

Gendhuk Tri melihat sekeliling. Melihat ke Upasara. Dan kepada Mpu Raganata. "Rama Guru, kenapa kamu di situ?"

Baru sekarang Upasara sadar bahwa Rama Guru yang disebut-sebut itu adalah Mpu Raganata! Jadi Jagaddhita dan Gendhuk Tri termasuk murid langsung Mpu Raganata! Pantas saja Mpu Raganata tahu banyak hal! Pantas saja Rama Guru begitu membenci raja tetapi sekaligus juga memuja!

"Kamu luka, Rama Guru...."

Mpu Raganata berusaha duduk. "Aku ngantuk, anak manis."

"Mbakyu mati karena dikubur hidup-hidup orang-orang ini... aku disuruh kemari. Rama Guru, orang-orang ini akan kuhabisi. Yang satu itu pernah kupotong telinganya."

"Bagus. Bagus. Tak percuma jadi muridku...." Suara Mpu Raganata makin lemah.

Rawikara merasa paling panas. Resi Ugrawe adalah guru yang sangat dikagumi. Mana mungkin dihina begitu saja? Mana mungkin seorang bocah awut-awutan mengatakan telah memotong telinga mahagurunya? Ini kesempatan buat membalas dendam! Pedang Rawikara bergerak cepat. Gendhuk Tri mengegos pendek, pergelangan tangannya bergerak cepat. Mencengkeram tangan Rawikara. Kalaupun tangan itu bisa ditarik kembali, mata Rawikara membelalak. Tubuhnya menjadi hitam seketika. Dua tindak saja, langsung tubuhnya tersungkur! Meninggal seketika.

Ugrawe melangkah mundur. Kiai Sangga Langit mengerutkan keningnya. Ilmu hitam apa pula ini? Sekali sentuh langsung menyebarkan racun?

Bahkan Rama Guru pun takkan bisa menerangkan dengan cepat. Hanya Upasara yang tahu. Karena ia bersama Gendhuk Tri di dalam gua. Ia mendengar cerita bahwa mayat Padmamuka dan Pu'un dimasukkan ke dalam gua! Dua tubuh yang sangat beracun! Dan racun itulah yang berpindah ke tubuh Gendhuk Tri. Gendhuk Tri sendiri tak mungkin keracunan karena sebelumnya telah kena ilmu sirep Pu'un!

Boleh dikatakan semua kejadian luar biasa ini terjadi secara kebetulan. Semua memang ulah Gendhuk Tri sendiri. Sejak ia muncul dan memamerkan diri dengan omongan Tamu dari Seberang, ia diincar. Salah satu yang mengincarnya adalah Pu'un yang menggunakan ilmu sirep. Bahkan Jagaddhita sendiri tak berhasil membebaskan ilmu yang aneh ini.

Ketika Gendhuk Tri dan Jagaddhita terkubur dalam lubang gua, keadaannya sangat menyedihkan. Sepeninggal Upasara Wulung, mereka berdua cuma bisa pasrah. Jagaddhita dalam keadaan terluka parah, Gendhuk Tri masih terkena pengaruh sirep Pu'un. Kejadian menjadi lebih buruk lagi ketika mayat Pu'un dan Padmamuka dimasukkan ke dalam gua. Hal ini didengar oleh Upasara. Bisa diduga ini semua memang rencana Ugrawe. Agar mereka yang masih tersisa, bisa bertahan dalam gua yang ditimbun kalaupun bisa bertahan, akan mati terkena racun dahsyat Padmamuka.

Memang itulah yang terjadi. Mayat Padmamuka dan Pu'un menggembung, membusuk. Dan mengeluarkan gas beracun kuat ketika tubuh yang menggembung itu pecah. Kejadian ini terjadi pada setiap mayat. Hanya bedanya, gas yang keluar sekarang ini adalah gas maha racun. Bisa dibayangkan kalau sekujur tubuh Padmamuka sendiri sebenarnya gumpalan dari racun sepenuhnya. Upasara mengetahui secara langsung bagaimana hebatnya racun dalam tubuh Padmamuka yang mengalir dalam setiap tetes darahnya. Bahkan obat pun menjadi racun bagi tubuhnya yang penuh racun! Dan mengenai Pu'un dengan ilmu yang misterius, dalam banyak hal sama gawatnya.

Gumpalan asap dari tubuh kedua tokoh beracun inilah yang diisap oleh Gendhuk Tri dan Jagaddhita. Gendhuk Tri bisa bertahan karena telah mempunyai dasar yang diberikan oleh Pu'un. Sedangkan Jagaddhita tak bisa bertahan. Begitu asap racun terisap ia merasa kesadarannya hilang dalam waktu cepat. Sebelum meninggal Jagaddhita berpesan agar Gendhuk Tri menyusul ke Keraton.

Dan Gendhuk Tri masuk ke dalam Keraton di saat yang genting. Bahwa ia bisa leluasa masuk, itu karena memang kepandaiannya cukup tinggi. Bahwa racun dalam ruangan tak mempengaruhi dirinya, karena dalam tubuhnya sendiri sudah mengalir berbagai racun. Makanya ketika Rawikara kena tergores pergelangan tangannya, usianya tak bisa dipertahankan lagi.

Kiai Sangga Langit menggeram pendek. Tubuhnya yang perkasa meloncat ke depan. Gendhuk Tri meloncat menghindar. Tetapi tenaga dorongan lawan sangat kuat. Beberapa kali Gendhuk Tri berusaha maju, akan tetapi seperti berhadapan dengan tembok kuat. Kiai Sangga Langit sendiri agaknya tak mau menjamah tubuh Gendhuk Tri. Ia bertempur menjaga jarak. Pukulan jarak jauh.

Upasara bangkit kembali. "Ini bagianku, Gendhuk," seru Upasara sambil memapak maju. "Kamu selesaikan si tua itu."

Upasara masih berpikir untuk menghadapi dengan strategi kilat. Dalam beberapa hal, Upasara mengerti gerakan Kiai Sangga Langit. Pernah mengenal. Juga secara teori mempelajari apa yang dilisankan oleh Nyai Demang. Jadi untuk sementara bisa mengimbangi. Sementara Ugrawe akan dibikin repot oleh Gendhuk Tri.

Akan tetapi bukan Ugrawe kalau menyerah begitu saja. Sekali lagi Ugrawe mengibaskan tangannya ke atas. "Ratakan seluruh Keraton."

Perintahnya segera disambut dengan teriakan dan gemuruh keras. Puluhan prajurit menyerbu masuk. Mengeroyok dengan membabi buta. Anak panah, api, tombak, pedang bagai hujan yang dituang dari langit-langit. Tak ada pilihan lain. Upasara meloncat mundur. Bersama dengan Gendhuk Tri melarikan diri lewat bagian bawah Keraton.

Pekik kemenangan terdengar di mana-mana. Raja Muda Gelang-Gelang telah berhasil mengalahkan Baginda Raja dengan gilang-gemilang. Tak ada lagi sisa perlawanan. Berakhirlah pula sebutan Keraton Singasari. Raja Jayakatwang yang menaklukkan Keraton Singasari memang masih menyebutnya Keraton. Akan tetapi sebagai keraton bawahan, yang diperintah langsung dari Daha, Kediri.

Untuk selanjutnya, keraton yang sama pun disebut Keraton Daha, karena dianggap oleh Raja Jayakatwang sebagai bagian dari kebesaran Daha. Kebesarannya. Berakhirnya Keraton Singasari bukan hanya ditandai dengan berakhirnya nama dan diucapkan dengan nama baru, akan tetapi juga membawa perubahan yang lain.

* * *

SEMENTARA itu, Upasara Wulung bersama dengan Gendhuk Tri melanjutkan perjalanan. Menghindari usaha pencarian besar-besaran. Keduanya berjalan bersama, menempuh perjalanan dari satu desa ke desa yang lain.

"Selama Kakang tidak ada luka, racun saya tidak akan masuk ke tubuh Kakang."

"Gendhuk... entah kapan kita bisa selalu bersama-sama. Makin lama kita makin tersudut. Satu-satunya harapan adalah mencari Bagus Respati. Putra Patih Angragani ini bisa diharapkan tampil. Ayolah kita cari dia."

Perhitungan Upasara adalah bahwa dengan Bagus Respati perlawanan bisa lebih diorganisir. Apalagi Bagus Respati sendiri adalah menantu Kiai Sangga Langit. Hubungan darah secara langsung ini akan membuat gerakan yang dilakukan terlindungi. Namun justru perhitungan Upasara meleset besar!

Ketika mengetahui di mana Bagus Respati berada, Upasara mengendap mendatangi tempat tersebut. Bersama Gendhuk Tri mereka masuk ke dalem kepatihan yang berada di luar dinding Keraton. Yang menyambut kedatangan mereka adalah penjagaan yang luar biasa rapatnya. Malam hari Upasara meloncati dinding dan masuk ke dalam ruangan. Akan tetapi begitu tubuhnya melayang masuk, dalam sekejap saja telah dikepung rapat.

"Cocok semua perhitungan, kamu akan datang kemari," terdengar suara merdu mendayu.

Hati Upasara guncang. Ia pernah mendengar suara yang sangat merdu itu. Siapa? Seorang lelaki, tampan, putih wajahnya, menatap ke arahnya.

"Kamu pasti datang kemari, Upasara. Senang bertemu kembali denganmu."

Upasara menggelengkan kepalanya. "Kamu Dyah Muning... suaramu tetap merdu."

"Ya, akulah mempelai wanita yang diperebutkan. Aku sengaja menyamar sebagai wanita untuk memancing kalian para bangsawan berbunuhan. Sayang kamu tak mau menjadi 'suamiku'. Kalau kamu bersedia, masalahmu sudah selesai."

"Kalian memang busuk."

"Kami ingin balas dendam. Kebetulan Ugrawe memberi kesempatan ini. Apakah kamu masih mau menanyakan nasib Bagus Respati?"

Upasara tak bisa membayangkan bagaimana kejadian yang dialami Bagus Respati. Pada saat masuk pelaminan sebagai pengantin, mengetahui bahwa yang ditemui adalah seorang lelaki! Yang sengaja menjebaknya.

"Hanya ada satu perintah dari Ugrawe yang belum terselesaikan. Yaitu membunuh atau menangkapmu hidup-hidup. Terserah kamu mau menyerahkan diri atau aku memaksamu."

Gendhuk Tri langsung beraksi. Dengan berjumpalitan ia menyerbu maju. Agaknya berita bahwa Gendhuk Tri menyimpan racun telah terdengar luas. Sehingga para penyerang melakukan serangan jarak jauh. Upasara sendiri bisa memaksa lawan mundur, akan tetapi tak bisa mendesakkan kemenangan. Mengingat lawan terus mendesak tanpa peduli, Upasara dan Gendhuk Tri terpaksa melakukan penyerangan mati-matian. Korban terus berjatuhan, akan tetapi lawan juga terus bertambah. Sampai fajar pertempuran terus terjadi.

Sampai "si suara merdu" memerintahkan prajuritnya untuk mundur dan meminta bantuan. Saat itulah Upasara dan Gendhuk Tri meninggalkan pergi. Bergandengan.

Selama itu pula pencarian terus-menerus dilakukan. Suasana Keraton yang kini dipenuhi pesta pora kemenangan tak pernah mengendurkan usaha pencarian atas Upasara dan Gendhuk Tri. Tak ada bayangan mereka berdua. Beberapa anggota sandi melaporkan mereka muncul di satu tempat, tapi ketika diserbu tak ketahuan rimbanya.

Sebagian kecil mengatakan mereka sering melihat sepasang manusia— satu lelaki muda dan satu bocah perempuan—di Perguruan Awan. Tetapi tak ada yang memastikan apakah mereka Upasara dan Gendhuk Tri atau bukan. Tak ada yang memastikan apakah mereka itu bayangan saja atau benar-benar manusia.

Tak ada. Sampai waktu yang agak lama.

di lautan asmara

gelombang rindu menyapu

pada batu karang kesetiaan

tersisa pasir penantian

di pantai kemesraan

membadai kenangan

menjilati bersama pasang laut

mencumbu lumut birahi

meniti buih

saat purnama

kau tiba

karena begitulah

aku garam putih

tak mungkin pisah

dari laut birumu


TULISAN itu terpahat di dinding benteng Keraton. Yang luar biasa adalah pahatan itu pada bagian dinding yang paling tinggi. Dan cara menuliskannya terbalik. Jadi saat penulis memahatkan dengan tubuh menghadap ke tanah!

Ini sungguh luar biasa. Dinding Keraton yang didiami Raja Jayakatwang berada dalam pengawalan yang ketat. Tak sembarang hewan terbang bisa melintas di sekitarnya. Dinding benteng Keraton itu sendiri tegak berdiri sekitar empat meter dari tanah. Susunan batu bata direkat erat dengan tanah liat yang telah mengeras, karena untuk menyatukan diperlukan perasan buah aren. Pengorbanan yang besar karena biasanya dipakai untuk gula, sebagai pemanis. Makanya bukan hanya lengket, tapi juga mengilat.

Ternyata, tanpa diketahui sebelumnya, tulisan itu sudah ada di situ. Lolos dari pengamatan. Mula pertama diketahui oleh penjaga pintu gerbang yang melihat ada sesuatu yang salah dalam pandangannya. Ada sesuatu yang rusak di bagian atas dinding benteng Keraton. Barulah kemudian diketahui bahwa itu suatu coretan. Lebih mengejutkan lagi bahwa ternyata tulisan yang bisa dibaca. Untuk bisa membacanya, orang harus memanjat dinding, berada di atasnya, dengan bertiarap menghadap ke tanah, sejajar dengan dinding.

Lebih keheranan lagi, ternyata si pemahat dinding agaknya mempunyai perhitungan yang matang. Tulisan itu akhirnya akan terbaca oleh masyarakat ramai. Karena persis di depan dinding benteng Keraton ada kubangan air hujan. Di musim penghujan seperti ini, air penuh. Air itulah yang menelan bayangan tulisan di dinding. Meskipun si pembaca harus mengeja dari kanan ke kiri. Sebenarnya ini pula yang menyebabkan seluruh masyarakat ramai memperbincangkan!

Pembicaraan berkembang ke arah tak menentu. Semuanya ditambahi bumbu. Sebagian mengartikan bahwa itu sekadar perbuatan orang gila. Menuliskan sajak percintaan di dinding benteng Keraton. Sebagian lagi secara diam-diam, mengartikan sebagai akan munculnya pembalasan.

Tak bisa dipungkiri. Bahwa sejak Jayakatwang, Raja Muda Gelang-Gelang, naik takhta di Singasari dengan menyingkirkan Baginda Raja Kertanegara, banyak sekali perubahan yang terjadi. Sebagai senopati utama yang menjadi tangan kanan Raja Jayakatwang, Ugrawe melakukan pembersihan umum. Sisa-sisa bangsawan yang menjadi pengikut Kertanegara disikat habis. Atau mereka yang dicurigai akan membangkitkan kekuasaan lama, disingkirkan. Beberapa pejabat memenuhi tempat penahanan. Selebihnya diselesaikan dengan hukuman mati di alun-alun utama. Ugrawe yang naik pamor, bersama dengan Kiai Sangga Langit bagai sepasang tangan dan kaki yang jauh lebih kejam dan lebih berkuasa dari Raja Jayakatwang. Apalagi Ugrawe memegang komando secara langsung.

Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Ugrawe-lah yang memerintahkan ini dan itu. Mulai dari pemilihan prajurit utama sampai dengan menunjuk siapa yang harus dihukum mati hari ini. Pemerintahan Jayakatwang sedang menanamkan fondasi kekuasaan baru. Dengan cara yang keras. Dalam keadaan memegang semua posisi yang menentukan, Ugrawe bisa mematahkan setiap usaha untuk mengacaukan pemerintahan. Walaupun gangguan masih muncul, akan tetapi dianggap tak mengganggu roda pemerintahan.

Ugrawe telah merencanakan dengan dahsyat sebelum merebut takhta Keraton Singasari. Beberapa ksatria telah dikumpulkan ke Perguruan Awan untuk dilenyapkan dengan cara apa saja. Para bangsawan yang ada di sekitar Keraton telah dipancing untuk mengikuti Sayembara Mantu, dengan memperebutkan Dyah Muning Maduwani, yang ternyata adalah seorang lelaki, putra dan sekaligus murid Kiai Sangga Langit. Sebagian lain dipaksa untuk berpihak dengannya. Sebagian yang lain lagi malah sudah mengikuti jejak, untuk langsung berpihak.

Dalam perhitungan Ugrawe, tak mungkin ada lagi yang pantas diperhitungkan. Artinya yang setakar dengan kemampuannya. Dalam kamus Ugrawe, semua lawan utama sudah dilenyapkannya. Maka tak urung kerutnya bertambah ketika menyaksikan sendiri pahatan di dinding benteng Keraton.

"Sungguh hebat. Di saat seperti ini masih ada yang berani mati berbuat onar. Nyawa siapa yang telah begitu gerah? Aha, sekian lama istirahat ada juga permainan baru."

Walaupun kelihatan tetap tenang, senopati yang tinggi dan misalnya yang bergerak karena tiupan angin ini tak urung berpikir keras juga.

"Selama ini semua jago, semua pendekar, semua ksatria telah berhasil kukalahkan. Meskipun apa yang dicoretkan di dinding lebih merupakan demonstrasi kepandaian yang sesungguhnya, akan tetapi jelas bukan orang sembarangan. Di saat lalu, hanya tokoh sejajar dengan Mpu Raganata yang bisa melakukan itu dengan enteng tanpa mungkin diketahui orang lain. Akan tetapi dalam penyerbuan ke Keraton, empu tua itu telah terbunuh. Memang ia dikenal juga sebagai Rama Guru yang mempunyai sekian banyak siswi di dunia dan salah satu yang berhasil melukai telingaku, namun rasanya selama ini tak ada yang begitu tinggi ilmunya. Kecuali Jagaddhita yang telah terkubur.

"Gendhuk Tri, kalaupun maju pesat, tak mungkin bisa melakukan itu. Tulisannya sangat bagus, dan huruf-hurufnya juga bagus. Pastilah seorang yang cukup terpelajar. Ada satu tokoh lagi. Yang bernama Upasara Wulung. Ia sangat cerdas, penuh bakat, elok, dan bersifat ksatria. Mempunyai pendidikan Keraton yang baik. Namun, kalaupun ia bisa menulis seperti itu, masih juga harus diperhitungkan bahwa caranya mengentengkan tubuh tak semudah itu. Ini menunjukkan kelasnya yang sudah prima.

"Kalau tak salah, dulu di Keraton Singasari ada seorang prajurit yang paling tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Ia digelari sebagai capung dan bernama Wilanda. Ia satu-satunya orang yang bisa melayang di angkasa. Akan tetapi bahkan sejak pertempuran di Perguruan Awan, ia sudah terluka parah. Hanya malaikat penyembuh yang mampu mengembalikan kekuatannya. Dan malaikat itu tak pernah ada.

"Satu-satunya kemungkinan adalah munculnya seorang ksatria baru. Tak bisa tidak. Dalam dunia persilatan yang begini luas, sangat mungkin sekali lahir keajaiban. Boleh jadi ini pertanda bakal ramai lagi. Merebut Keraton, menggulingkan raja, lebih mudah dibandingkan mengurusi para ksatria. Hmmmmm, ilmu silat ada yang tinggi, ada yang tertinggi. Tapi para ksatria semua merasa tinggi tak bisa dikalahkan. Kejadian ini sendiri tak seharusnya merampas perhatianku. Aku harus lebih keras berlatih. Agar suatu hari, kalau Kiai Sangga Langit ingin berbuat yang tidak-tidak, aku bisa mengatasi."

Sebagai seorang panglima perang, Ugrawe tak begitu kuatir. Ia merasa kekuasaannya cukup besar dan bisa menguasai keadaan dengan baik. Akan tetapi sebagai seorang jago silat, perhitungannya agak sedikit berbeda. Sebagai jago silat kesohor yang merasa dirinya nomor satu, Ugrawe tak mau melihat tumbuhnya jago lain yang bisa menjadi saingannya di belakang hari.

Meskipun puncak kekuasaan bagi dirinya telah tercapai, akan tetapi pada dasarnya Ugrawe adalah seorang jago silat. Kebanggaan yang memenuhi rongga dadanya bukan pangkat dan kekuasaan, melainkan keunggulan silatnya. Itulah sebabnya, ia memperhitungkan kehadiran Kiai Sangga Langit. Bagi Ugrawe kehadiran Kiai Sangga Langit masih menyimpan teka-teki. Ia yang aslinya bernama Bok Mo Jin adalah seorang pendeta yang termasuk kelas tinggi di daratan Cina. Ilmunya bukan hanya berbeda, tetapi juga menunjukkan kelebihan yang luar biasa. Bahwa Kiai Sangga Langit tak mau pulang kembali, itu juga karena ambisi darahnya sebagai pesilat.

Untuk sementara urusan negara bisa ditunda. Karena ingin mengeduk lebih banyak lagi. Bersama dengan Bok Mo Ing yang menyamar sebagai Dyah Muning Maduwani. Mo Ing cukup jago. Belum pernah bertemu secara langsung, akan tetapi dengan Pangeran Muda Rawikara kelihatan seimbang. Bagi Ugrawe ini perlu diperhitungkan. Rawikara adalah muridnya secara langsung dan adalah putra Raja Jayakatwang. Mempunyai keleluasaan luar biasa dan digembleng sendiri secara keras. Akan tetapi kenyataannya belum tentu bisa mengungguli Mo Ing dengan mutlak. Ini saja menjadi pertanda bahwa Kiai Sangga Langit bukan sembarangan.

Apalagi bagi mereka berdua lebih banyak waktu untuk terus-menerus berlatih ilmu silat, mempertajam indriawi, dan memperdalam tenaga dalam. Sementara Ugrawe harus disibukkan dengan urusan pemerintahan. Tadinya Ugrawe menduga bahwa tulisan di dinding Keraton ini ulah Kiai Sangga Langit, kalau mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi agak mustahil, karena Kiai Sangga Langit tidak begitu paham huruf serta bahasa setempat.

Yang lebih mungkin adalah Mo Ing. Anak muda ini dengan cepat dan fasih menguasai bahasa sehari-hari, dan bisa lebih cepat lagi mempelajari dari berbagai kitab. Sangat mungkin sekali adalah Mo Ing, mengingat ia bisa leluasa berada dalam Keraton, atau keluyuran di sekitarnya. Dan kehadirannya tak mencurigakan jika pun suatu ketika berada di dinding Keraton atau bahkan berada di dalam Keraton sekalipun.

Kesimpulan terakhir ini membuat Ugrawe merasa lebih senang. Jika benar Mo Ing yang melakukan, ini berarti intrik dari dalam. Bukannya tidak membahayakan, akan tetapi bisa dengan cepat dikuasai. Ugrawe memanggil Rawikara untuk menemuinya di depan senopaten utama. Tempat kediaman resmi senopati utama, panglima angkatan perang Keraton.

"Ada persoalan mendadak apa yang menyebabkan Pujangga Terakhir memanggil hamba?" sembah Rawikara dengan hormat.

"Pangeran Anom yang akan menguasai jagat di kemudian hari, saya ingin menghaturkan sesuatu. Harap Pangeran Anom tak tersinggung...."

Ugrawe walaupun resminya adalah guru Rawikara, akan tetapi secara kebangsawanan masih tetap di bawah Rawikara. Biar bagaimanapun, Rawikara adalah putra mahkota raja yang sedang berkuasa. Sedang Ugrawe hanyalah panglima perang, yang statusnya tetap sebagai abdi.

Maka dalam pembicaraan sehari-hari, keduanya nampak saling menghormat. Ugrawe menempatkan diri sebagai seorang prajurit yang siap menerima perintah, sedangkan Rawikara menempatkan dirinya sebagai seorang murid. Hubungan semacam ini mungkin membuat Kiai Sangga Langit heran dan sulit mengerti. Akan tetapi memang tatanan dan adat-istiadat kebudayaan Jawa mencerminkan sikap merendah untuk posisi dirinya.

"Silakan, Bapa Guru, hamba menunggu...."

"Pangeran Anom telah melihat apa yang menjadi pokok persoalan sekarang ini. Yaitu ada tulisan di dinding benteng Keraton. Apakah Pangeran Anom mempunyai dugaan siapa yang melakukan ini?"

"Hamba tak cukup pengetahuan, Bapa Guru. Tetapi kalau dilihat dari kemampuan yang diperlihatkan, jelas bukan sembarangan. Pemahatnya mempunyai pengetahuan sastra yang tinggi, kemampuan mengentengkan tubuh yang luar biasa, dan mengenal seluk-beluk Keraton dengan baik. Hamba ingin menebak Mo Ing, akan tetapi ini hanya dugaan bodoh yang bisa keliru."

"Pangeran Anom mempunyai wawasan yang luas dan tajam. Itu sangat diperlukan sebagai calon pemegang kekuasaan tinggi di belakang hari. Saya mempunyai dugaan yang sama. Akan tetapi agak sulit untuk menjebaknya. Raja tidak berkenan untuk melakukan tindakan ke dalam."

Raja Jayakatwang semenjak naik takhta, memang lebih banyak kelihatan berdiam diri. Menahan emosi, dan menghabiskan waktunya buat bermenung. Sungguh berbeda dari ketika merebut Keraton. Walau dulu ada warna kebimbangan, akan tetapi pada saat mengambil keputusan, Raja Muda Gelang-Gelang ini tak bimbang dan ragu. Akan tetapi justru setelah berhasil merebut takhta dan menyingkirkan Baginda Raja Kertanegara, Raja Jayakatwang seperti merasa bersalah.

Pembantaian besar-besaran, banjir darah di Keraton, korban yang berjatuhan, agaknya di luar perhitungannya. Rasa bersalah ini demikian keras menghantui dan menekan pikirannya. Sehingga usaha pembersihan lawan-lawan politik pun tak sekeras yang diusulkan Ugrawe. Juga mengenai tulisan di dinding benteng Keraton, Raja Jayakatwang tidak ingin mempersoalkan lebih panjang.

"Kita mesti berhati-hati, Paman.... Kekuatan kita sudah berkurang banyak. Banyak senopati kita yang hilang. Kalau kita harus mengurangi lagi kekuatan yang ada, apakah ini tidak akan memperlemah?"

"Sabda Raja adalah hukum," sembah Ugrawe. "Kami semua akan menjalankan sepenuh hati."

"Lakukan pengusutan, dan laporkan hasilnya. Jangan bertindak terlebih dahulu...."

Ketentuan ini membuat Ugrawe tak bisa menjalankan aksinya untuk mendatangi rumah Kiai Sangga Langit dan mengobrak-abrik isinya. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menunggu hasil pengusutan. Ini bertentangan dengan cara kerja Ugrawe yang biasanya. Ia akan mengatur rapi seteliti mungkin untuk suatu rencana besar seperti juga penyerbuan ke Keraton. Akan tetapi untuk hal-hal yang praktis, Ugrawe akan mengesampingkan tata cara yang merepotkan: Ugrawe bisa bertindak tanpa perlu menghiraukan perasaan orang lain...


BAGIAN 07CERSIL LAINNYABAGIAN 09

Senopati Pamungkas Bagian 08

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 08

KEESOKAN harinya, setelah semalam melihat sendiri harimau Keraton berlumuran darah, Arya Genggong melaporkan kepada Mahapatih. Arya Genggong menceritakan secara lengkap seluruh urutan kejadian.

Mahapatih mendengarkan tanpa bereaksi.

Saat itu juga Arya Bangkong memberikan laporan bahwa Senamata Karmuka tidak beranjak dari kamarnya. Sampai pagi ini masih ada prajurit yang ditugaskan untuk mengamati.

"Lakukan terus, sampai aku memerintahkan mencabut perintah."

"Sendika dawuh, Mahapatih."

"Genggong, kau temui anakku Bagus Respati. Katakan bahwa perkawinannya dengan Maduwani tak usah dirayakan besar-besaran di Keraton. Aku tidak setuju hal itu. Maduwani hanya salah satu selir baginya. Aku tak ingin punya menantu dia. Jangan coba mengemukakan hal itu padaku lagi." Mahapatih berdecak dan melambaikan tangannya, sebelum berlalu.

"Ini tugas yang berat," kata Arya Genggong perlahan setelah suasana sepi. "Bagaimana aku harus menyampaikannya. Raden Mas Bagus Respati sama kerasnya dengan ayahandanya."

"Adik Genggong, sebagai prajurit kita harus menjalankan perintah. Itulah yang menyelamatkan nyawa kita hingga hari ini. Kalaupun kita mati karenanya, kematian kita karena menjalankan perintah. Itulah harga terpenting dari diri kita sebagai prajurit. Dengan sikap seperti ini, apakah Adik Genggong masih ragu?"

"Kakang Bangkong, kenapa kita juga yang harus melakukan ini? Sebagai prajurit, dalam bayangan saya adalah berperang. Mengabdi kepada Keraton dengan darah. Memberikan nyawa dan kehidupan untuk kemuliaan Keraton. Bukan menjadi pesuruh urusan yang sama sekali tidak bersifat ksatria semacam ini."

"Prajurit tidak memilih tugas. Kalau sekarang ini saya ditugaskan menjaga kaputren atau memandikan harimau, akan saya lakukan juga."

"Terima kasih atas petunjuk Kakang."

"Saya selalu mengulang pengertian itu. Karena saya pun merasa kurang enak harus memata-matai Senamata Karmuka. Sesuatu yang menyakitkan hati saya sendiri. Tapi saya akan menjalankan perintah itu. Apa pun juga perintah Mahapatih. Hanya Baginda Raja yang berhak mengubah. Selama Baginda Raja tidak memerintahkan yang lain, tak menjadi soal. Adik, kita masih ingin menikmati kebahagiaan, pangkat, dan harta yang kita peroleh dari pekerjaan kita. Selama kita belum bosan hidup, kita masih akan terus menjalankan perintah."

"Terima kasih banyak, Kakang."

"Silakan, Adik."

"Silakan, Kakang."

Arya Genggong menuju ke bagian samping dalem kepatihan. Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja. Langsung ia menghadap Bagus Respati dan mengutarakan apa yang menjadi keputusan Mahapatih. Bagi Arya Genggong, hubungannya dengan Bagus Respati boleh dikatakan sangat akrab. Hubungan antara seorang paman dan keponakannya. Bukan hanya dalam kata-kata. Sejak Respati belum lahir, Arya Genggong dan Arya Bangkong sudah mengabdi kepada Mahapatih. Sejak kecil Respati sudah diasuh oleh Arya Genggong. Hubungan mereka agak renggang sebentar ketika Respati masuk ke Ksatria Pingitan.

"Saya hanya menyampaikan dawuh Ramanda."

Respati menggebrak meja, hingga meja berukir dari kayu jati yang utuh itu somplak bagian pinggirnya. "Aku tak tahu apa maksud Ayah. Dilarang atau tidak, direstui atau dikutuk, aku tetap akan mempersunting Muning Maduwani. Sampaikan ini kepada Ayah."

"Anakmas..."

"Paman Genggong, aku sudah dewasa. Aku bisa menentukan sendiri apa yang seharusnya kulakukan. Dalam Sayembara Mantu, aku sama sekali tidak meminta bantuan Ayah. Bahkan kepada Paman Genggong dan Paman Bangkong, aku tidak minta bantuan. Dyah Muning Maduwani kurebut dengan tanganku sendiri. Sejak kecil aku tak pernah merepotkan Ayah. Aku hidup di sini dari hasil karyaku sendiri. Tidak mengemis pada Ayah."

"Anakmas... Ayahanda bukannya melarang. Hanya Ayahanda tidak berkenan bila Dyah Muning Maduwani dipermaisurikan."

"Omong kosong. Kalau yang ini hanya sebagai selir, kepada siapa lagi aku mencari yang lebih? Paman Genggong tahu sendiri bahwa ketika diadakan Sayembara Mantu, seluruh ksatria Keraton, para raden mas, para gusti mengadu nyawa. Dan aku, biar bagaimana juga, keluar sebagai pemenangnya. Katakan, Paman, apakah itu tidak pantas untuk dirayakan? Ini juga bukan sembarangan. Bukan asal perempuan. Dyah Muning Maduwani adalah putri Kiai Sangga Langit. Kalau aku memperlakukan putrinya dengan baik-baik, Kiai Sangga Langit tak akan curiga kepadaku. Justru sebaliknya. Kepercayaannya berlipat. Saat itu ada kemungkinan aku diangkat menjadi muridnya. Berhasil mempelajari ilmu silatnya. Dengan kemampuan ini saja, di seluruh Keraton ini siapa yang bisa menandingiku? Aku tidak sembarangan, Paman. Aku cukup bisa berpikir dewasa dan jauh ke depan, walau aku tidak memiliki penasihat Kakek Tua Waisesa Sagara. Aku tak perlu dukun semacam itu. Apakah hal yang begini saja Ayah tidak bisa mengerti?"

"Anakmas..."

"Jangan mencoba menasihatiku, Paman. Sampaikan kepada Ayah. Katakan apa yang kukatakan. Bahwa aku, Bagus Respati, tetap akan mempersunting Dyah Muning Maduwani. Pesta tetap akan kurayakan di dalam ksatrianku sendiri. Kalau Paman merasa berat, aku akan menghadap Ayah sendiri. Tanyakan kapan Ayah bersedia menerimaku. Paman bisa melihat sendiri. Sekarang ini rombongan Kiai Sangga Langit sudah berada di sini. Kalau ia mendengar hal ini, kalau ia mengetahui perlakuan Ayah kepadaku, di mana aku harus menegakkan kepala? Aku kan bukan anak kecil yang bisa diusir dan diperintahkan begitu saja. Tidak, Paman. Sebagai seorang ksatria, sebagai seorang lelaki, aku tak mau dipermalukan. Apa pun hukuman Ayah, aku akan menerima sebagai ksatria."

Tak urung berita mengenai pertentangan ayah dan anak ini menjalar. Dari sekitar dalem kepatihan, berita ini menjalar ke luar. Nyai Demang melepaskan burung merpati yang membawa rahasia ke markas Rawikara di Banyu Urip. Dari sana laporan yang sama diteruskan ke Gelang-Gelang. Berita ini disampaikan kepada Maharesi Ugrawe, yang hari itu juga menghadap Raja Muda Gelang-Gelang.

"Susah. Susah. Saya tidak menghendaki perkembangan setajam ini. Meskipun ini baik, akan tetapi bisa merusak rencana Sinuwun. Semua sudah berjalan sesuai dengan rencana, kenapa tiba-tiba harus terjadi sifat keras kepala Respati? Susah, susah. Saya tidak memperhitungkan bahwa di Keraton masih ada anak berani kepada ayahnya."

"Bagaimana kalau pesta perkawinan Respati diadakan di sini saja?"

Maharesi Ugrawe menghaturkan sembah. "Sungguh Sinuwun sangat bijaksana. Dengan memindahkan perjamuan di sini, sebagian besar ksatria Keraton akan berada di sini. Dan Keraton akan kosong. Saat itulah kita melancarkan serangan terakhir. Kita bisa mengatur sedikit rencana, agar bisa memancing senopati lebih banyak."

"Semua saya serahkan kepada Paman Guru."

"Beribu terima kasih atas kepercayaan Sinuwun. Ketika saya menyerap para pendekar ke Perguruan Awan sebagai langkah pertama, ketika saya mengadakan Sayembara Mantu untuk menyerap para ksatria dan bangsawan sebagai langkah kedua, dan rencana terakhir menyerbu Keraton, saya sudah yakin bahwa Dewa Yang Maha Benar berada di pihak kita. Tindakan dan perjuangan kita untuk mengembalikan takhta kepada yang berhak direstui oleh Dewa Penguasa Jagat. Sinuwun, atas perkenan Paduka, saya akan mulai mengadakan persiapan. Sekarang ini para pendekar yang tersisa berada dalam tawanan kita. Sekarang ini para bangsawan dan ksatria sudah banyak yang terluka. Ketika sebagian terbesar datang kemari untuk mengadakan pesta, kita harus menyerbu ke Keraton. Saat itu, sejarah kembali kepada jalan yang sebenarnya. Masalah kecil hanyalah soal Kiai Sangga Langit."

"Menurut Paman Wiraraja, setelah peristiwa ini selesai, Kiai Sangga Langit baru diselesaikan. Ia sendirian dan Paman Guru bisa menghadapinya."

"Akan segera saya laksanakan, Sinuwun."

Maharesi Ugrawe segera mengirimkan berita ke desa Banyu Urip. Burung merpati yang sama terbang balik. Hanya saja burung merpati ini sebelum sampai ke kandangnya di Banyu Urip terjerat oleh Kawung Sen ketika ia tengah berlatih jurus-jurus Kartika Parwa. Ketika menebarkan Jala sambil berloncatan itulah Kawung Sen menangkap merpati.

"Kena!" teriaknya kegirangan. Sewaktu burung merpati itu diambil, perhatiannya tertuju pada sesobek kain kecil di kaki. Kawung Sen memaki panjang-pendek. Percuma juga. Ia tak bisa membaca.

Akan tetapi walau tidak bisa membaca, Kawung Sen bukannya tidak mengerti bahwa burung merpati itu pasti kiriman dari Maharesi Ugrawe. Dan ia teringat akan Upasara kakangnya! Budi baiknya dan keinginannya mengetahui rahasia tiga gerakan yang dilancarkan Ugrawe. Kawung Sen menyalin sekenanya, sebisanya. Lalu melepaskan burung itu kembali. Ia sendiri, dengan salinan tulisan itu langsung berangkat ke Keraton Singasari, melewati hutan buatan.

Bagi Kawung Sen menuju ke Keraton tidak masalah. Perjalanan itu bisa ditempuh dengan nyaman dan lancar. Akan tetapi dari segi persoalan pribadi termasuk berat juga. Ia dikenal sebagai pemberontak Keraton. Pemberontak yang pernah menyelusup masuk Keraton. Pernah menyerbu Keraton hingga berada dalam dinding. Namanya sangat buruk di Keraton. Kini ia harus masuk ke sana kembali dengan risiko dikenali. Bisa-bisa sebelum masuk sudah harus ditelikung.

Namun Kawung Sen sudah memperhitungkan hal ini. Hubungannya dengan Upasara akrab secara lahir dan batin. Entah mengapa ia merasa sangat hormat sekali. Selama ini yang mengasihi dan memperhatikan hanya dua saudara kandungnya Kawung Benggol dan, terutama, Kawung Ketip. Mereka berdualah yang mengajari. Yang memberitahu soal kitab-kitab. Keduanya sudah meninggal. Dan kemudian Upasara-lah yang menggantikan peran itu. Lebih dari sekadar saudara, Upasara memberikan sesuatu yang sangat diperlukan tanpa merendahkan diri.

Kawung Sen tidak merasa paling bodoh jika berhadapan dengan Upasara. Justru karena Upasara tidak pernah menyinggung soal tidak bisa membaca dan menulis. Bagi orang biasa, mungkin hal ini bukan sesuatu tindakan yang terlalu istimewa. Tapi bagi Kawung Sen pribadi seperti melindungi cacatnya. Apalagi sikap Upasara dinilai sangat ksatria oleh Kawung Sen. Upasara bisa menghina dengan mengencingi tapi toh tidak melakukannya. Upasara bisa membiarkan ia mati dikeroyok semut, tapi toh Upasara malah menolong. Maka putusan Kawung Sen untuk mencari Upasara ke Keraton mempunyai alasan yang kuat.

"Kalau aku harus mati karena menyampaikan hal ini, tak menjadi soal. Toh sebelum ini pun aku sudah mati kalau tidak ditolong Kakang Upasara. Kalau sebagai adik aku tak berbakti kepada kakaknya, bagaimana aku bisa merasa diriku lelaki?"

Mantap sekali Kawung Sen menuju pintu gerbang Keraton. Kepada prajurit yang menjaga, Kawung Sen bersikap hormat.

"Tolong sampaikan kepada Upasara Wulung bahwa adiknya ingin bertemu dengannya. Sangat penting sekali."

Tentu saja para prajurit yang menjaga gerbang jadi kaget. Mengira bahwa yang ditemui orang gila. "Siapa itu Upasara Wulung?"

Pertanyaan ini tidak mengada-ada. Upasara Wulung bukan nama yang populer di dalam Keraton. Hanya beberapa nama tertentu yang mengetahui.

Ganti Kawung Sen yang melengak. Kalau tidak mengingat bahwa ia tak ingin membuat gara-gara, pasti prajurit itu sudah dijerat dan dikencingi.

"Upasara adalah kakak saya."

"Apakah ia seorang prajurit?"

"Mana aku tahu?"

"Hei, jangan bicara sembarangan. Jangan mengganggu kami yang sedang menjalankan tugas. Hukumannya berat sekali. Kau bilang mau menemui Upasara, tapi ditanyai apakah Upasara prajurit atau bukan malah menjawab: Mana aku tahu. Di seluruh dunia ini yang bernama Upasara banyak sekali. Di semua hutan juga banyak yang disebut banteng hitam."

Upasara Wulung memang berarti banteng hitam.

"Astaga. Kalian prajurit biasa saja berani bertingkah. Upasara adalah utusan dari Keraton. Ia orang penting. Kalian bisa dipecat kalau tak mengetahui siapa dia."

"Kau boleh menggertak. Aku sudah bertugas di sini puluhan tahun. Tak pernah kudengar nama Upasara Wulung sebagai demang, lurah, akuwu, mantri praja, bupati, atau prajurit."

"Baiklah. Kau yang memaksa aku bertindak kasar."

Berhenti suaranya, Kawung Sen mengayunkan dua tangannya. Dua prajurit itu jelas bukan tandingannya. Dengan sekali gebrak saja dua bahu bisa dicengkeram. Ditambahi sedikit saja, dua prajurit itu menjerit kesakitan.

"Katakan atau kupatahkan tangan kalian."

Belum ada jawaban, Kawung Sen menggertak dan dua prajurit itu berteriak kesakitan. Masing-masing menjerit dan tangannya terkulai. Ini malah mengundang prajurit-prajurit yang lain serentak mengepung Kawung Sen. Dikepung belasan prajurit, Kawung Sen malah tertawa lebar.

"Kalian ini cicak-cicak yang tahu kucing. Aku tanya baik-baik malah kalian paksa menggunakan tenaga. Ayo, siapa yang ingin patah tulangnya, silakan maju. Ayo, maju, jangan menunggu."

Sebat Kawung Sen menggebrak maju. Sekali loncat dua tangan bisa disentakkan. Sekejap saja prajurit yang mengepung menjerit kesakitan. Sebagian berlari melaporkan ke dalam. Dengan gagah Kawung Sen melangkah ke dalam.

Mendengar kegaduhan, Arya Genggong menuju ke pelataran. Melihat seorang lelaki memanggul jala berjalan seenaknya, ia langsung menyongsong.

"Sebentar, Kisanak. Ada perselisihan bisa dilerai. Ada silang-sengketa bisa dibicarakan. Kenapa Kisanak berlaku kasar di Keraton?"

Kawung Sen terbahak. "Keraton atau kuburan apa bedanya? Siapa yang berlaku kasar? Yang mulai atau yang mengikuti? Kalian para prajurit yang hidup untuk sesuap nasi mengerti apa tentang negara? Apa pangkatmu berani tanya segala macam?"

Arya Genggong melengak. "Kalau memang tak mau diatur jangan salahkan aku." Tapi belum sempat Arya Genggong bisa menyerang barang dua-tiga jurus, tubuhnya telah terdorong mundur. Bagai diempos angin dahsyat. Bagai disapu ombak. Dengan sekali gebrak!

Apakah Kawung Sen dalam waktu sekejap saja telah menjadi sangat lihai? Apakah Arya Genggong bisa disapu dengan sekali gebrak?

"Bisa... bisa... ilmu... ilmu ini bisa dipakai. Ayo maju lagi. Biar aku bisa latihan sepuasnya."

Kawung Sen mempraktekkan beberapa bagian dari Bantala Parwa. Dan ternyata sangat jitu! Kawung Sen sendiri tak tahu persis jurus mana yang digunakan, dan menjadi rada heran. Kok bisanya begitu cepat membuat lawan tercecer. Satu hal yang tak disadari baik oleh Kawung Sen dan Arya Genggong adalah kenyataan bahwa mukjizat ini terjadi secara kebetulan. Jurus-jurus dalam Bantala Parwa memang untuk mematahkan perlawanan yang mengganas. Kalau dalam praktek dulu Kawung Sen tak merasa puas, bisa dimaklumi. Karena tak ada tenaga yang menyerang ke arahnya. Dan kini, Arya Genggong menyerang ke arahnya. Ada tenaga yang bisa dibalikkan. Tenaga Arya Genggong menghantam dirinya sendiri. Akibatnya memang telak, karena ditambah tenaga Kawung Sen!

"Ayo, maju lagi."

Kawung Sen berlagak sendirian. Tak ada yang berani menyerang. Bahkan mendekati pun tidak. Dengan gagah Kawung Sen melangkah ke dalam Keraton. Tanpa peduli.

Mendengar keributan yang tak terselesaikan, Patih Angragani melangkah ke luar. Begitu melihat Kawung Sen, Patih Angragani mendecakkan bibirnya. Dengan tiga kali gerakan tangan, semua prajurit pilihan telah mengepung.

"Bagus. Ini sambutan terhormat. Siapa kamu, orang gede?"

"Pangkat itu anugerah. Gede itu hanya perasaan. Siapa pun namamu, apa pangkatmu, untuk apa kamu mengacau kemari?"

"Namaku Kawung Sen. Aku datang kemari mau menemui kakakku, Kakang Upasara."

Patih Angragani merasa aneh. Bukan dari cara bersilatnya, tetapi mendadak Kawung Sen menanyakan Upasara Wulung. "Upasara Wulung sudah tak ada di tempat ini. Tak ada gunanya kamu cari. Kalau ada persoalan, katakan segera. Kalau mau mengacau, aku akan menghadapimu."

"Bagaimana kamu yakin Upasara tak ada di tempat ini? Kakangku itu tak pernah bohong dalam hidupnya. Ia bilang ke Keraton. Dan di Jawa ini ada berapa Keraton?"

"Aku telah memerintahkan untuk membunuh mati Upasara Wulung."

Belum selesai perkataan Patih Angragani, Kawung Sen melontarkan jalanya. Bersamaan dengan geraknya, para prajurit pilihan dari sisi kiri-kanan, depan-belakang langsung menyerbu ke arahnya. Tusukan, sabetan, dan gempuran menjadi satu. Patih Angragani sendiri menggeser sedikit kedudukan kakinya, kedua tangannya bergerak cepat. Satu mencabut keris satu lagi mendorong ke depan.

Jala Kawung Sen yang tertebar menyampok sekian banyak senjata yang tertuju ke arahnya. Tak bisa disendal dengan sekali betot. Jadinya malah terjadi tarik-menarik. Ketika itulah angin pukulan Patih Angragani menjotos ulu hatinya. Sebat Kawung Sen menyentak jalanya, tapi tetap tertahan. Tak ada jalan lain, jala dilepaskan dan dengan tangan kosong memapaki serangan. Satu lagi dari jurus Bantala Parwa muncul. Dua benturan tenaga keras. Patih Angragani tergusur mundur, tapi dengan cepat maju kembali. Kali ini gerakan tangannya lebih cepat, dan yang bergerak lebih dulu adalah prajurit pilihan. Langsung menghadang di depan Kawung Sen. Benturan tenaga begitu dahsyat tak terhindarkan. Dua prajurit pilihan langsung terjungkal. Sebelum menyentuh lantai pendopo, nyawa mereka sudah berpulang. Kalau saja Kawung Sen sudah menguasai cara mengatur tenaga, dengan sekali gebrak lebih banyak lagi korban berjatuhan.

Patih Angragani kaget. Sebelum ia sempat menghindar, tubuh Kawung Sen sudah menggelundung ke depannya. Benar-benar menggelundung. Bagi Kawung Sen yang mempunyai sifat angin-anginan, tak begitu peduli. Harus menyerang dengan cara ksatria atau cara semaunya. Menggelundung, mengencingi, menggigit tak jadi bahan pertimbangan. Kini pun demikian.

Dalam sekejap, Patih Angragani telah sibuk dengan usaha mempertahankan diri. Menyerang sekenanya. Justru di saat seperti itulah tenaganya berbalik ke arahnya. Kawung Sen bisa menangkis tikaman keris, dan memegang tangan Patih Angragani. Sekali kena pelintir, para prajurit yang mengepung pun undur ketakutan. Takut kalau-kalau melukai junjungannya.

"Aha, masih mau menyembunyikan Kakang Upasara?"

Luar biasa. Tokoh nomor dua di Keraton Singasari dipencet oleh seorang seperti Kawung Sen!

"Panggil Kakang Upasara atau kupatahkan tangan ini jadi tangkai daun singkong."

Biarpun dalam cengkeraman bahaya, walaupun dalam keadaan yang tak menguntungkan, Patih Angragani bukan seorang pengecut. "Aku sudah bilang bahwa Upasara Wulung telah mati. Atas perintahku. Mau patahkan tangan silakan, mau bunuh lakukan saja."

"Baik kalau itu yang kamu kehendaki." Kawung Sen mendongak. Menghimpun tenaga. "Kakang Upasara, aku tak bisa membalas budi baikmu. Di surga sana, biarlah orang ini menjadi pelayanmu, menjadi kuda tungganganmu."

Arya Bangkong secara tiba-tiba meloncat maju. Gerakannya memang tidak terlalu cepat, tetapi dengan memusatkan seluruh tenaga dalam mampu membuat Kawung Sen harus memperhitungkan juga. Sejak tadi Kawung Sen tidak menduga bahwa di antara para prajurit pilihan terdapat seorang yang kepandaiannya di atas rata-rata. Arya Bangkong yang berdiam diri sejak tadi melihat bahwa kini saatnya bertindak. Tanpa menghiraukan keselamatan pribadi, Arya Bangkong menyerang habis-habisan. Kawung Sen memang bisa mematahkan tangan Patih Angragani, namun harus secepatnya menangkis serangan.

Dan menurut perhitungan lumrah, Kawung Sen akan menangkis serangan lebih dulu. Dan itu memang yang dilakukan. Kedua tangan Arya Bangkong yang maju bersamaan ditangkis dengan tangan kiri. Dua benturan tenaga yang kelihatan sekilas tidak imbang. Kawung Sen seperti terdesak. Padahal memang sengaja menarik tubuh lawan ke depan. Serampangan kaki yang kuat membuat tubuh Arya Bangkong mencelat ke udara. Disusul dengan satu pukulan keras, tubuh Arya Bangkong terlempar ke arah tiang utama. Langsung ambruk dan tidak bangun lagi.

"Percuma kalian semua melawan. Tak bakal berumur panjang. Hanya dengan membawa kemari Kakang Upasara kalian akan selamat. Kalau tidak, Keraton ini akan kubakar sempurna!"

Dalam keadaan terluka, Arya Genggong menunjukkan kesetiaan yang tinggi. Tubuhnya menggelinding maju. Akan tetapi sekali kena sepak, tubuh itu mental. Terguling jauh. Keadaan sungguh gawat. Patih Angragani berada dalam bahaya. Mendadak muncul bayangan yang berkelebat datang.

"Tahan, Dimas."

Semua yang hadir terperanjat. Juga Patih Angragani. Karena sama sekali tak menyangka bahwa yang muncul adalah Upasara Wulung!

"Kakang!"

"Lepaskan Mahapatih, Dimas...."

Kawung Sen melepaskan cekalannya. Wajahnya nampak beringas karena sangat gembira. Dengan mata terbuka dan mulut memamerkan tawa lebar, Kawung Sen memburu ke arah Upasara Wulung. Saat itu di luar perhitungan siapa pun, Patih Angragani mencabut kerisnya dan langsung menusuk lambung Kawung Sen. Darah muncrat. Tubuh Kawung Sen menjadi limbung karenanya.

"Kau..."

Tusukan keris kedua kalinya terayun. Upasara Wulung berdiri, akan tetapi terlambat! Kawung Sen memegangi perutnya. Dua tusukan dari arah belakang kena sangat tepat. Dan sementara itu para prajurit pilihan sudah langsung menyerbu. Upasara mengembangkan tangannya untuk menangkis serangan yang datang sambil melindungi Kawung Sen.

"Tahan," teriak Upasara gusar.

Kawung Sen rebah ke tanah. Upasara merangkul. Perasaan gusar, amarah, dendam, bergejolak membanjir dan membuntu. Sulit dibayangkan kemurkaan yang telah sampai puncaknya. Adalah di luar pikirannya bahwa Patih Angragani akan menusuk dari belakang. Padahal sebelumnya begitu terancam jiwanya.

"Dimas..." Suara Upasara Wulung terdengar serak menyayat. Air matanya kering sebelum keluar. Bibirnya gemetar. Seluruh wajahnya keruh. "...Dimas..."

Berada dalam pangkuan Upasara Wulung, Kawung Sen merasa tenteram. Wajahnya berusaha menyembunyikan keperihan. "Kakang... ada surat... Kakang bisa baca... saya bodoh... Kakang..."

Upasara merangkul erat. Waktu berjalan begitu singkat untuk saling mengenal. Saling mengangkat saudara, dan kini harus berpisah dalam pelukan. Upasara mengheningkan cipta. Menutup mata Kawung Sen. Lalu meletakkan kepala Kawung Sen ke lantai pendopo. Ketika kemudian mendongak, wajahnya tetap muram.

Patih Angragani tetap berdiri teguh. "Umurmu panjang... Ksatria Pingitan.... Siapa yang menolongmu?"

"Mahapatih yang mulia... hamba menyayangkan kematian Dimas Kawung Sen... hamba menyayangkan Mahapatih yang mulia tidak melaporkan kepada Baginda Raja... semuanya sia-sia...."

Upasara Wulung berdiri. Mengambil jala Kawung Sen. Membuka di bagian simpul, membuka surat. Sekelebatan saja. Lalu mendongak ke langit.

"Dewa Yang Menguasai Jagat... hari ini adikku Kawung Sen sowan kepadamu.... Dewa memanggil dengan cara yang mulia...." Upasara Wulung menoleh ke Patih Angragani. "Dimas Kawung Sen menyampaikan berita. Berita dari Mpu Ugrawe kepada Raja Muda Gelang-Gelang dan para senopatinya. Perencanaan penyerangan ke Keraton. Entahlah, Mahapatih mau mendengar atau tidak." Upasara membungkuk. Menggendong mayat Kawung Sen. Di bagian wajah ditutupi dengan kainnya sendiri. Lalu berjalan ke luar.

"Akan pergi ke mana kamu?"

"Mengubur Dimas Kawung Sen sebagaimana layaknya seorang ksatria. Menghadang kedatangan prajurit Gelang-Gelang. Keraton harus tetap dipertahankan dari keangkaramurkaan."

Patih Angragani berdecak. "Tak begitu gampang datang dan pergi. "Upasara, aku adalah pemegang perintah mewakili Baginda Raja. Kalau kamu ingin pergi, silakan. Kamu masih hidup, itulah takdir. Akan tetapi katakan siapa yang menolongmu...."

"Mahapatih yang mulia... percuma semua gelar itu kalau tak bisa melihat kenyataan. Dalam Keraton ini bukankah Baginda Raja yang paling berkuasa? Siapa lagi yang bisa menolong hamba kalau bukan Baginda Raja sendiri?"

Jawaban Upasara membuat Patih Angragani melengak. Para prajurit yang mengepungnya mundur. Lima tindak Upasara Wulung melangkah, Patih Angragani berteriak.

"Anak kecil bisa kamu dustai, tapi pasti bukan aku. Kamu datang dan kulemparkan ke kandang harimau, Baginda Raja saja tak tahu. Bagaimana bisa menolongmu? Para prajurit... tangkap! Mati atau hidup."

Upasara menjejakkan kakinya. Melayang ke atas. Sambil membopong mayat Kawung Sen, kaki Upasara hinggap di dinding bagian atas. "Para prajurit, Keraton sedang diancam kehancuran. Benar atau tidak yang kukatakan, biar Baginda Raja yang mengambil keputusan." Tubuh Upasara memantul lagi. Meloncat ke balik dinding.

"Kejar!"

Sehabis memberikan perintah, Patih Angragani kembali ke dalem kepatihan. Semua prajurit utama dikerahkan. Semua prajurit disiagakan. Yang berada di rumah panggil. "Usut! Siapa yang menyelamatkan Upasara. Tangkap Senamata Karmuka. Penjarakan dia. Kalau sampai besok belum ketemu siapa bangsatnya, semua akan dihukum pecat."

* * *

UPASARA menguburkan Kawung Sen di luar dinding Keraton. Di tempat yang sepi. Lalu berdoa. Berlutut agak lama. Sampai bulan purnama muncul. Baru Upasara Wulung sadar sejak tadi ada bayangan yang mengawasi.

"Maafkan hamba... Eyang Raganata...."

"Inilah takdir dewata. Semua bisa diperhitungkan, tapi semua bisa terjadi. Itulah yang namanya takdir." Mpu Raganata berdiri tegak. Seolah berbicara dengan rembulan di langit. Sewaktu kamu ditangkap, aku sudah menduga bahwa akhirnya kamu akan dimasukkan ke dalam sarang Sardula. Maka aku lebih dulu ke sana, dan mengambil gigi harimau itu. Dan bisa menyelamatkanmu. Aku berusaha menyembunyikanmu. Tetapi Kawung Sen datang dan akhirnya kamu harus keluar juga. Semua ini, kalau bukan takdir, apa namanya? Baginda Raja terlalu mulia. Terlalu tinggi angan-angannya. Angan-angan seorang raja gung binathara, raja besar, seharusnya begitu. Raja besar bagai rembulan. Tinggi, agung, dan menyinari. Tetapi di bawah ada karang, ada pohon-pohon yang begitu bodoh menutup sinar rembulan. Segala peringatan tak ada gunanya."

Upasara menunduk.

"Sayang, kamu masih terlalu muda, Wulung... dan kamu terlalu berbakat. Hidup ini akan makin susah bagi yang muda, berbakat, dan mempunyai pengabdian."

"Maafkan hamba, Eyang... Bukankah Eyang masih bisa menyampaikan hal ini kepada Baginda Raja?"

Mpu Raganata tidak mengangguk, tidak menggeleng. "Aku bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Saat ini pun kalau Baginda Raja mempercayaiku, sudah terlambat. Di dalam Keraton sendiri terpecah belah tak menentu. Aku sudah bisa memperhitungkan. Bahwa Ugrawe akan mempercepat serbuannya, begitu melihat ada sesuatu yang tak beres. Begitu ada yang bocor seperti dibawa Kawung Sen, Ugrawe akan mengerahkan pasukannya. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Tetapi aku adalah bagian dari Keraton. Apa pun yang terjadi aku akan kembali ke Keraton. Angragani bisa menangkap aku. Bisa apa saja. Tetapi itulah bagianku. Wulung, kamu menyingkirlah. Sebelum fajar besok, sebelum kita beranjak dari sini, barangkali pasukan Jayakatwang sudah menyerbu. Menyingkirlah, cucuku. Hari depan masih bisa kauraih."

Mendadak Mpu Raganata membanting kakinya dengan geram.

"Wulung, kamu tuli apa bisu. Kalau masih mempunyai rasa hormat sedikit kepada orang tua ini, pergilah. Berangkatlah sekarang juga. Makin jauh makin baik."

Upasara Wulung menghaturkan sembah. Eyang yang dihormati secara tulus oleh para kawula... apakah ada perbedaan antara seorang yang tak berkepandaian apa-apa dengan seorang empu dalam membela Keraton? Bukankah semua mempunyai kewajiban yang sama?"

Mpu Raganata makin berjingkrakan. Memang aneh. Di satu saat berdiam diri. Di saat yang lain berbicara dengan lembut, seakan berbisik kepada yang rahasia. Di saat lain marah dengan membanting kakinya. Di saat berikutnya malah berloncatan.

"Kamu itu masih ingusan, Wulung. Kamu tahu apa tentang kewajiban? Ngabehi Pandu itu sama tololnya dengan kerbau dungu. Nasihatnya tak usah kamu hiraukan. Jangan merasa bisa menolong Keraton. Negara ini terlalu besar. Dan kamu ini bukan siapa-siapa. Lebih buruk dari apa-apa. Jangan ngomong ngawur. Negara tak tertolong olehmu. Segera minggat. Tolong jiwamu sendiri."

"Kalau hamba bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa dalam pengertian yang lebih tak berarti, untuk apa pergi jauh? Toh tak akan ada gunanya."

Mpu Raganata menggelengkan kepalanya. "Seumur hidupku ini, baru sekarang aku menjumpai orang yang isi kepalanya lumpur. Lumpur keras. Tak bisa berpikir sedikit pun. Wulung, kalau kamu mau menyelamatkan diri, masih ada sedikit kesempatan. Prajurit-prajurit Keraton pasti mencarimu. Dan sebentar lagi pun pasukan Gelang-Gelang akan mencarimu. Kalau aku bisa bertemu Ngabehi Pandu, ia akan kukuliti. Karena dialah yang berdosa membuat kamu seperti ini. Jangan salahkan aku yang tua ini tak memberi nasihat padamu."

Selesai berkata Mpu Raganata menghilang.

Tinggal Upasara sendiri. Menghadapi gundukan tanah. Tanah yang masih mengeluarkan bau tubuh Kawung Sen. Inilah perjalanan panjang yang diperoleh. Dari serbuan gencar Perguruan Awan, terlunta-lunta di Banyu Urip, tapi tak ada hasilnya. Bahkan sambutan yang menyenangkan pun tidak. Dan bahkan, kini saudara angkatnya Kawung Sen turut menjadi korban.

Bukan soal meloloskan diri. Kalau itu yang ingin dilakukan, ia sejak lama bisa meloloskan diri. Tak perlu bersusah payah ke Keraton! Kalau sekarang meloloskan diri, apa artinya?

Bagi Upasara ini bukan pertanyaan yang mengada-ada. Sebagai seorang yang sejak kecil tak mengenal siapa orangtuanya, Upasara hanya mengenal Keraton. Mengenal negara sebagai orangtuanya, tanah airnya, sekaligus bagian utama dari dirinya. Bagi Upasara Wulung, inilah nilai satu-satunya. Kalau sekarang harus meninggalkan dengan cara melarikan diri, siapa yang bisa memaafkan kepengecutannya? Sedikit atau banyak, apa-apa atau bukan apa-apa, masih ada yang bisa didarmabaktikan kepada Keraton. Mendapat ketetapan itu, Upasara menjadi tenang. Ia beristirahat sejenak. Berdoa lagi di makam Kawung Sen. Sampai fajar. Kemudian Upasara menyamar dan kembali ke jurusan Keraton. Ia tak berani muncul di tempat yang banyak dikunjungi orang. Karena memang dirinya dicari-cari. Ia tak mempunyai teman siapa-siapa.

Upasara menangkap pembicaraan yang didengar secara selintas. Bahwa Baginda Raja akan mengadakan pesta keagamaan. Bahwa Senamata Karmuka kini ditahan. Bahwa Patih Angragani mengadakan sapu bersih bagi prajurit yang dicurigai tidak setia. Mereka yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan lolosnya Upasara langsung mendapat hukuman.

Sementara itu Bagus Respati dengan nekat mengadakan pesta perkawinan secara besar-besaran. Pada saat itulah prajurit Gelang-Gelang datang ke Keraton. Raja Muda Jayakatwang sendiri berada di depan. Diapit oleh Ugrawe dan Kiai Sangga Langit! Dengan seluruh pasukannya lengkap bersenjata. Benar dugaan Mpu Raganata! Ugrawe akan menyerang lebih cepat dari dugaan siapa pun. Di depan gerbang Keraton, Raja Muda Gelang-Gelang memerintahkan para prajuritnya mengibarkan panji-panji. Disusul oleh terompet dan genderang. Ugrawe memimpin prajurit langsung mengepung.

"Kalau Baginda Raja bersedia datang menghaturkan sembah kepada aku, Raja Muda Gelang-Gelang, aku akan mengampuninya. Jika tidak, takhta yang bukan haknya harus kembali kepadaku! Patih Angragani, sampaikan hal ini kepada Baginda Raja. Kalau tidak, akan kubuka gerbang sekarang juga."

Sewaktu ancaman itu disampaikan, Patih Angragani sangat murka. Seluruh prajuritnya yang pilihan disiapkan. Dalam sekejap semua telah bersiap. Patih Angragani keluar menyambut.

"Kamu keliru. Jayakatwang, kamu anak bawang. Anak ayam tak bisa melawan garuda. Anjing kecil yang dipelihara tak akan kuat melawan harimau. Akulah panglima perang. Akulah senopati utama Keraton Singasari. Hadapilah aku lebih dulu."

"Hahaha...." Ugrawe tertawa bergelak. "Sungguh tolol manusia satu ini. Kamu tak punya apa-apa lagi. Prajuritmu cuma beberapa gelintir. Para ksatria sudah kubasmi di Perguruan Awan. Bantuan dari raja muda di sekitar tak akan datang, karena semua jalan keluar sudah ditutup. Pasukanmu yang terbesar sedang mengadakan pesta di kediaman kami. Bagus Respati sedang berfoya-foya, bermimpi menjadi pengantin. Pengantin yang celaka. Angragani, kamu tak punya kesempatan. Bahkan untuk meminta ampun telah terlambat. Panggil dukunmu, dan aku akan menyuruhmu menjilati pantat kuda."

"Kamu terlalu omong besar!"

"Kupuji sedikit kegagahanmu. Tapi itu terlambat. Dalam penyerbuan ke Perguruan Awan, kami sedikit keliru. Ada yang lolos. Sekarang ini tak mungkin lagi."

Ugrawe menyembah ke arah Raja Muda Gelang-Gelang. "Izinkanlah hamba mengembalikan takhta, Raja Muda...."

Jayakatwang mengangguk.

Dan penyerbuan besar-besaran pun terjadilah. Prajurit pilihan dari Keraton Singasari mencoba mengadakan perlawanan. Akan tetapi gelombang pasukan yang dipimpin oleh Ugrawe bagaikan gelombang menyapu pasir pantai. Ugrawe sendiri memimpin langsung pertempuran di tengah. Dari sayap kiri muncul Rawikara memimpin penyerbuan. Dari sayap kanan, Kiai Sangga Langit melabrak siapa saja. Patih Angragani sendiri tak sempat masuk ke dalam ketika dengan geram Ugrawe, dengan pukulan Sindhung Aliwawar, membuatnya rubuh.

Di tengah berkecamuknya pertempuran, Upasara Wulung menerjang masuk dari belakang. Lewat bawah tanah tempat kandang harimau, Upasara masuk ke dalam Keraton. Masuk ke dalam bagian utama Keraton. Di depan pintu, Mpu Raganata berdiri.

Seorang raja adalah penguasa

Mati dan hidup, itu biasa...

Seorang raja adalah penguasa yang bijaksana

Tak seharusnya meninggal di dalam pesta...


Upasara baru mengerti bahwa Mpu Raganata mencoba menyadarkan Baginda Raja yang masih berada di ruangan dalam.

Seorang raja, seharusnya bijaksana dalam perang dalam ranjang

Seorang raja, seharusnya tidak meninggal dalam pakaian pesta...


Pintu terbuka. Baginda Raja keluar. Langkahnya tetap gagah berwibawa. Pandangannya tetap tajam, keras, dan menguasai. "Paman tak usah bernyanyi dua kali. Aku raja yang tahu di mana harus beristirahat. Aku tahu bahwa pengkhianat yang paling busuk, manusia yang paling hina di dunia, adalah seorang yang membalas budi kebaikan dengan pengkhianatan. Jayakatwang, temuilah aku. Tataplah aku kalau berani."

Di ruangan dalam Keraton, pertempuran tak seimbang pun terjadi. Ugrawe menyerbu masuk, bersama dengan Kiai Sangga Langit, dan Rawikara serta para pendekar. Baginda Raja mempertahankan diri bersama dengan Mpu Raganata yang terus-menerus melindungi. Upasara berusaha untuk merangsek maju, akan tetapi setiap kali terdesak mundur.

Ugrawe telah merencanakan penyerbuan dengan jitu. Dengan memancing para ksatria berkumpul di Perguruan Awan. Lalu menyikat habis. Dengan Sayembara Mantu, para bangsawan pun disikat habis. Keraton Singasari diisolir dari bantuan sekitarnya. Situasi dalam Keraton dibikin keruh. Saat itu kemudian ia menyerbu. Dalam penyerbuan itu pun Ugrawe telah memakai perhitungan. Begitu mendobrak masuk dengan membawa Raja Muda Gelang-Gelang, pintu gerbang akan dibukanlangsung mengadakan bumi hangus. Segala benda dirusak, dibakar, dihancurkan. Terus melabrak hingga ke ruang dalam. Pada suasana pesta, persiapan tak akan sepenuhnya. Dengan keperkasaan ilmunya, ditambah kelicikan yang luar biasa, kini tinggal mengambil langkah terakhir.

Mpu Raganata bertarung dengan gagah berani. Sendirian, tokoh tua ini melindas siapa pun yang berusaha mendekat. Namun serbuan makin lama makin kuat. Kiai Sangga Langit sendiri langsung terjun ke medan pertempuran. Ugrawe juga menggunting dari sisi lain.

Menghadapi dua keroyokan, Mpu Raganata makin keteter. Apalagi Mpu Raganata berusaha mati-matian untuk melindungi Baginda Raja. Sehingga perhatiannya terpecah. Bertarung habis-habisan Mpu Raganata akhirnya terdesak mundur.

Upasara mencoba bergabung. Dengan Banteng Ketaton ia menyerbu masuk. Kiai Sangga Langit langsung memapaki. Satu demi satu prajurit Keraton jatuh berguguran. Hujan anak panah makin mengganas. Ugrawe sendiri kemudian melontarkan bubuk racun sehingga tanpa peduli prajuritnya sendiri atau prajurit lawan bisa disapu bersih. Ia sendiri dengan Kiai Sangga Langit dan Rawikara telah membekali diri dengan obat pemunah. Sehingga terbebas dari pengaruh racun!

Upasara merasa dadanya tertekan keras. Rasa sakit yang dulu menyerang ulu hatinya makin membuatnya sesak. Mpu Raganata pun terdesak. Tinggal waktu saja. Dan memang itulah yang terjadi. Baginda Raja terluka, tersungkur. Raja diraja Keraton Singasari, raja yang berpandangan luas, gugur di keratonnya sendiri. Mpu Raganata mulai sempoyongan karena tubuhnya dipenuhi dengan anak panah. Upasara sendiri sudah sempoyongan.

Ugrawe tak bisa melupakan Upasara. "Ini bagianku," teriaknya lantang. Kedua tangan berputar di atas kepala. Langsung menyerang.

Dalam keadaan biasa pun, Upasara bukan tandingan Ugrawe. Maka kali ini hanya bisa memasrahkan diri. Tapi sedetik itu, Mpu Raganata meloncat tinggi dan menahan gempuran. Akibatnya, tubuh Mpu Raganata terpental jauh. Ugrawe sendiri terlempar tiga tombak. Hingga punggungnya menghantam dinding yang langsung jebol! Benturan tenaga maha dahsyat! Hanya saja Ugrawe bisa bangkit kembali. Sementara Mpu Raganata tetap rebah.

"Empu..."

"Eyang..."

"Sudah saya bilang, kamu lebih baik lari. Di belakang hari masih bisa melawan."

Ugrawe berdiri di depannya. Kiai Sangga Langit bersiap. Rawikara menghunus pedangnya.

"Upasara... hari ini kamu akan mati di tanganku. Selesailah sudah seluruh kisahmu."

Upasara Wulung berdiri tegap. "Majulah bersama. Keroyoklah."

"Kami tak peduli keroyokan atau tidak. Kalau bisa merebut takhta Keraton, orang lain yang puas. Tapi membunuhmu, aku yang paling puas. Akulah orang paling sakti di jagat raya...."

"Siapa berani begitu sombong? Bukankah aku sudah memotong telinganya?"

Suara siapa lagi kalau bukan suara Gendhuk Tri? Bocah yang masih memakai kemben dengan rambut terurai itu berjalan masuk. Dalam kepungan dua pendekar besar dan seorang seperti Rawikara, Gendhuk Tri ternyata tak gentar. Berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan, di antara simbahan darah, ternyata tak membuat kalimatnya berubah.

"Dewa mengirimmu kemari untuk mati bersama."

"Memang aku sengaja kemari. Cuma susah masuk tadi. Di luar terlalu banyak orang." Suara kenesnya tetap menggema.

Gendhuk Tri melihat sekeliling. Melihat ke Upasara. Dan kepada Mpu Raganata. "Rama Guru, kenapa kamu di situ?"

Baru sekarang Upasara sadar bahwa Rama Guru yang disebut-sebut itu adalah Mpu Raganata! Jadi Jagaddhita dan Gendhuk Tri termasuk murid langsung Mpu Raganata! Pantas saja Mpu Raganata tahu banyak hal! Pantas saja Rama Guru begitu membenci raja tetapi sekaligus juga memuja!

"Kamu luka, Rama Guru...."

Mpu Raganata berusaha duduk. "Aku ngantuk, anak manis."

"Mbakyu mati karena dikubur hidup-hidup orang-orang ini... aku disuruh kemari. Rama Guru, orang-orang ini akan kuhabisi. Yang satu itu pernah kupotong telinganya."

"Bagus. Bagus. Tak percuma jadi muridku...." Suara Mpu Raganata makin lemah.

Rawikara merasa paling panas. Resi Ugrawe adalah guru yang sangat dikagumi. Mana mungkin dihina begitu saja? Mana mungkin seorang bocah awut-awutan mengatakan telah memotong telinga mahagurunya? Ini kesempatan buat membalas dendam! Pedang Rawikara bergerak cepat. Gendhuk Tri mengegos pendek, pergelangan tangannya bergerak cepat. Mencengkeram tangan Rawikara. Kalaupun tangan itu bisa ditarik kembali, mata Rawikara membelalak. Tubuhnya menjadi hitam seketika. Dua tindak saja, langsung tubuhnya tersungkur! Meninggal seketika.

Ugrawe melangkah mundur. Kiai Sangga Langit mengerutkan keningnya. Ilmu hitam apa pula ini? Sekali sentuh langsung menyebarkan racun?

Bahkan Rama Guru pun takkan bisa menerangkan dengan cepat. Hanya Upasara yang tahu. Karena ia bersama Gendhuk Tri di dalam gua. Ia mendengar cerita bahwa mayat Padmamuka dan Pu'un dimasukkan ke dalam gua! Dua tubuh yang sangat beracun! Dan racun itulah yang berpindah ke tubuh Gendhuk Tri. Gendhuk Tri sendiri tak mungkin keracunan karena sebelumnya telah kena ilmu sirep Pu'un!

Boleh dikatakan semua kejadian luar biasa ini terjadi secara kebetulan. Semua memang ulah Gendhuk Tri sendiri. Sejak ia muncul dan memamerkan diri dengan omongan Tamu dari Seberang, ia diincar. Salah satu yang mengincarnya adalah Pu'un yang menggunakan ilmu sirep. Bahkan Jagaddhita sendiri tak berhasil membebaskan ilmu yang aneh ini.

Ketika Gendhuk Tri dan Jagaddhita terkubur dalam lubang gua, keadaannya sangat menyedihkan. Sepeninggal Upasara Wulung, mereka berdua cuma bisa pasrah. Jagaddhita dalam keadaan terluka parah, Gendhuk Tri masih terkena pengaruh sirep Pu'un. Kejadian menjadi lebih buruk lagi ketika mayat Pu'un dan Padmamuka dimasukkan ke dalam gua. Hal ini didengar oleh Upasara. Bisa diduga ini semua memang rencana Ugrawe. Agar mereka yang masih tersisa, bisa bertahan dalam gua yang ditimbun kalaupun bisa bertahan, akan mati terkena racun dahsyat Padmamuka.

Memang itulah yang terjadi. Mayat Padmamuka dan Pu'un menggembung, membusuk. Dan mengeluarkan gas beracun kuat ketika tubuh yang menggembung itu pecah. Kejadian ini terjadi pada setiap mayat. Hanya bedanya, gas yang keluar sekarang ini adalah gas maha racun. Bisa dibayangkan kalau sekujur tubuh Padmamuka sendiri sebenarnya gumpalan dari racun sepenuhnya. Upasara mengetahui secara langsung bagaimana hebatnya racun dalam tubuh Padmamuka yang mengalir dalam setiap tetes darahnya. Bahkan obat pun menjadi racun bagi tubuhnya yang penuh racun! Dan mengenai Pu'un dengan ilmu yang misterius, dalam banyak hal sama gawatnya.

Gumpalan asap dari tubuh kedua tokoh beracun inilah yang diisap oleh Gendhuk Tri dan Jagaddhita. Gendhuk Tri bisa bertahan karena telah mempunyai dasar yang diberikan oleh Pu'un. Sedangkan Jagaddhita tak bisa bertahan. Begitu asap racun terisap ia merasa kesadarannya hilang dalam waktu cepat. Sebelum meninggal Jagaddhita berpesan agar Gendhuk Tri menyusul ke Keraton.

Dan Gendhuk Tri masuk ke dalam Keraton di saat yang genting. Bahwa ia bisa leluasa masuk, itu karena memang kepandaiannya cukup tinggi. Bahwa racun dalam ruangan tak mempengaruhi dirinya, karena dalam tubuhnya sendiri sudah mengalir berbagai racun. Makanya ketika Rawikara kena tergores pergelangan tangannya, usianya tak bisa dipertahankan lagi.

Kiai Sangga Langit menggeram pendek. Tubuhnya yang perkasa meloncat ke depan. Gendhuk Tri meloncat menghindar. Tetapi tenaga dorongan lawan sangat kuat. Beberapa kali Gendhuk Tri berusaha maju, akan tetapi seperti berhadapan dengan tembok kuat. Kiai Sangga Langit sendiri agaknya tak mau menjamah tubuh Gendhuk Tri. Ia bertempur menjaga jarak. Pukulan jarak jauh.

Upasara bangkit kembali. "Ini bagianku, Gendhuk," seru Upasara sambil memapak maju. "Kamu selesaikan si tua itu."

Upasara masih berpikir untuk menghadapi dengan strategi kilat. Dalam beberapa hal, Upasara mengerti gerakan Kiai Sangga Langit. Pernah mengenal. Juga secara teori mempelajari apa yang dilisankan oleh Nyai Demang. Jadi untuk sementara bisa mengimbangi. Sementara Ugrawe akan dibikin repot oleh Gendhuk Tri.

Akan tetapi bukan Ugrawe kalau menyerah begitu saja. Sekali lagi Ugrawe mengibaskan tangannya ke atas. "Ratakan seluruh Keraton."

Perintahnya segera disambut dengan teriakan dan gemuruh keras. Puluhan prajurit menyerbu masuk. Mengeroyok dengan membabi buta. Anak panah, api, tombak, pedang bagai hujan yang dituang dari langit-langit. Tak ada pilihan lain. Upasara meloncat mundur. Bersama dengan Gendhuk Tri melarikan diri lewat bagian bawah Keraton.

Pekik kemenangan terdengar di mana-mana. Raja Muda Gelang-Gelang telah berhasil mengalahkan Baginda Raja dengan gilang-gemilang. Tak ada lagi sisa perlawanan. Berakhirlah pula sebutan Keraton Singasari. Raja Jayakatwang yang menaklukkan Keraton Singasari memang masih menyebutnya Keraton. Akan tetapi sebagai keraton bawahan, yang diperintah langsung dari Daha, Kediri.

Untuk selanjutnya, keraton yang sama pun disebut Keraton Daha, karena dianggap oleh Raja Jayakatwang sebagai bagian dari kebesaran Daha. Kebesarannya. Berakhirnya Keraton Singasari bukan hanya ditandai dengan berakhirnya nama dan diucapkan dengan nama baru, akan tetapi juga membawa perubahan yang lain.

* * *

SEMENTARA itu, Upasara Wulung bersama dengan Gendhuk Tri melanjutkan perjalanan. Menghindari usaha pencarian besar-besaran. Keduanya berjalan bersama, menempuh perjalanan dari satu desa ke desa yang lain.

"Selama Kakang tidak ada luka, racun saya tidak akan masuk ke tubuh Kakang."

"Gendhuk... entah kapan kita bisa selalu bersama-sama. Makin lama kita makin tersudut. Satu-satunya harapan adalah mencari Bagus Respati. Putra Patih Angragani ini bisa diharapkan tampil. Ayolah kita cari dia."

Perhitungan Upasara adalah bahwa dengan Bagus Respati perlawanan bisa lebih diorganisir. Apalagi Bagus Respati sendiri adalah menantu Kiai Sangga Langit. Hubungan darah secara langsung ini akan membuat gerakan yang dilakukan terlindungi. Namun justru perhitungan Upasara meleset besar!

Ketika mengetahui di mana Bagus Respati berada, Upasara mengendap mendatangi tempat tersebut. Bersama Gendhuk Tri mereka masuk ke dalem kepatihan yang berada di luar dinding Keraton. Yang menyambut kedatangan mereka adalah penjagaan yang luar biasa rapatnya. Malam hari Upasara meloncati dinding dan masuk ke dalam ruangan. Akan tetapi begitu tubuhnya melayang masuk, dalam sekejap saja telah dikepung rapat.

"Cocok semua perhitungan, kamu akan datang kemari," terdengar suara merdu mendayu.

Hati Upasara guncang. Ia pernah mendengar suara yang sangat merdu itu. Siapa? Seorang lelaki, tampan, putih wajahnya, menatap ke arahnya.

"Kamu pasti datang kemari, Upasara. Senang bertemu kembali denganmu."

Upasara menggelengkan kepalanya. "Kamu Dyah Muning... suaramu tetap merdu."

"Ya, akulah mempelai wanita yang diperebutkan. Aku sengaja menyamar sebagai wanita untuk memancing kalian para bangsawan berbunuhan. Sayang kamu tak mau menjadi 'suamiku'. Kalau kamu bersedia, masalahmu sudah selesai."

"Kalian memang busuk."

"Kami ingin balas dendam. Kebetulan Ugrawe memberi kesempatan ini. Apakah kamu masih mau menanyakan nasib Bagus Respati?"

Upasara tak bisa membayangkan bagaimana kejadian yang dialami Bagus Respati. Pada saat masuk pelaminan sebagai pengantin, mengetahui bahwa yang ditemui adalah seorang lelaki! Yang sengaja menjebaknya.

"Hanya ada satu perintah dari Ugrawe yang belum terselesaikan. Yaitu membunuh atau menangkapmu hidup-hidup. Terserah kamu mau menyerahkan diri atau aku memaksamu."

Gendhuk Tri langsung beraksi. Dengan berjumpalitan ia menyerbu maju. Agaknya berita bahwa Gendhuk Tri menyimpan racun telah terdengar luas. Sehingga para penyerang melakukan serangan jarak jauh. Upasara sendiri bisa memaksa lawan mundur, akan tetapi tak bisa mendesakkan kemenangan. Mengingat lawan terus mendesak tanpa peduli, Upasara dan Gendhuk Tri terpaksa melakukan penyerangan mati-matian. Korban terus berjatuhan, akan tetapi lawan juga terus bertambah. Sampai fajar pertempuran terus terjadi.

Sampai "si suara merdu" memerintahkan prajuritnya untuk mundur dan meminta bantuan. Saat itulah Upasara dan Gendhuk Tri meninggalkan pergi. Bergandengan.

Selama itu pula pencarian terus-menerus dilakukan. Suasana Keraton yang kini dipenuhi pesta pora kemenangan tak pernah mengendurkan usaha pencarian atas Upasara dan Gendhuk Tri. Tak ada bayangan mereka berdua. Beberapa anggota sandi melaporkan mereka muncul di satu tempat, tapi ketika diserbu tak ketahuan rimbanya.

Sebagian kecil mengatakan mereka sering melihat sepasang manusia— satu lelaki muda dan satu bocah perempuan—di Perguruan Awan. Tetapi tak ada yang memastikan apakah mereka Upasara dan Gendhuk Tri atau bukan. Tak ada yang memastikan apakah mereka itu bayangan saja atau benar-benar manusia.

Tak ada. Sampai waktu yang agak lama.

di lautan asmara

gelombang rindu menyapu

pada batu karang kesetiaan

tersisa pasir penantian

di pantai kemesraan

membadai kenangan

menjilati bersama pasang laut

mencumbu lumut birahi

meniti buih

saat purnama

kau tiba

karena begitulah

aku garam putih

tak mungkin pisah

dari laut birumu


TULISAN itu terpahat di dinding benteng Keraton. Yang luar biasa adalah pahatan itu pada bagian dinding yang paling tinggi. Dan cara menuliskannya terbalik. Jadi saat penulis memahatkan dengan tubuh menghadap ke tanah!

Ini sungguh luar biasa. Dinding Keraton yang didiami Raja Jayakatwang berada dalam pengawalan yang ketat. Tak sembarang hewan terbang bisa melintas di sekitarnya. Dinding benteng Keraton itu sendiri tegak berdiri sekitar empat meter dari tanah. Susunan batu bata direkat erat dengan tanah liat yang telah mengeras, karena untuk menyatukan diperlukan perasan buah aren. Pengorbanan yang besar karena biasanya dipakai untuk gula, sebagai pemanis. Makanya bukan hanya lengket, tapi juga mengilat.

Ternyata, tanpa diketahui sebelumnya, tulisan itu sudah ada di situ. Lolos dari pengamatan. Mula pertama diketahui oleh penjaga pintu gerbang yang melihat ada sesuatu yang salah dalam pandangannya. Ada sesuatu yang rusak di bagian atas dinding benteng Keraton. Barulah kemudian diketahui bahwa itu suatu coretan. Lebih mengejutkan lagi bahwa ternyata tulisan yang bisa dibaca. Untuk bisa membacanya, orang harus memanjat dinding, berada di atasnya, dengan bertiarap menghadap ke tanah, sejajar dengan dinding.

Lebih keheranan lagi, ternyata si pemahat dinding agaknya mempunyai perhitungan yang matang. Tulisan itu akhirnya akan terbaca oleh masyarakat ramai. Karena persis di depan dinding benteng Keraton ada kubangan air hujan. Di musim penghujan seperti ini, air penuh. Air itulah yang menelan bayangan tulisan di dinding. Meskipun si pembaca harus mengeja dari kanan ke kiri. Sebenarnya ini pula yang menyebabkan seluruh masyarakat ramai memperbincangkan!

Pembicaraan berkembang ke arah tak menentu. Semuanya ditambahi bumbu. Sebagian mengartikan bahwa itu sekadar perbuatan orang gila. Menuliskan sajak percintaan di dinding benteng Keraton. Sebagian lagi secara diam-diam, mengartikan sebagai akan munculnya pembalasan.

Tak bisa dipungkiri. Bahwa sejak Jayakatwang, Raja Muda Gelang-Gelang, naik takhta di Singasari dengan menyingkirkan Baginda Raja Kertanegara, banyak sekali perubahan yang terjadi. Sebagai senopati utama yang menjadi tangan kanan Raja Jayakatwang, Ugrawe melakukan pembersihan umum. Sisa-sisa bangsawan yang menjadi pengikut Kertanegara disikat habis. Atau mereka yang dicurigai akan membangkitkan kekuasaan lama, disingkirkan. Beberapa pejabat memenuhi tempat penahanan. Selebihnya diselesaikan dengan hukuman mati di alun-alun utama. Ugrawe yang naik pamor, bersama dengan Kiai Sangga Langit bagai sepasang tangan dan kaki yang jauh lebih kejam dan lebih berkuasa dari Raja Jayakatwang. Apalagi Ugrawe memegang komando secara langsung.

Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Ugrawe-lah yang memerintahkan ini dan itu. Mulai dari pemilihan prajurit utama sampai dengan menunjuk siapa yang harus dihukum mati hari ini. Pemerintahan Jayakatwang sedang menanamkan fondasi kekuasaan baru. Dengan cara yang keras. Dalam keadaan memegang semua posisi yang menentukan, Ugrawe bisa mematahkan setiap usaha untuk mengacaukan pemerintahan. Walaupun gangguan masih muncul, akan tetapi dianggap tak mengganggu roda pemerintahan.

Ugrawe telah merencanakan dengan dahsyat sebelum merebut takhta Keraton Singasari. Beberapa ksatria telah dikumpulkan ke Perguruan Awan untuk dilenyapkan dengan cara apa saja. Para bangsawan yang ada di sekitar Keraton telah dipancing untuk mengikuti Sayembara Mantu, dengan memperebutkan Dyah Muning Maduwani, yang ternyata adalah seorang lelaki, putra dan sekaligus murid Kiai Sangga Langit. Sebagian lain dipaksa untuk berpihak dengannya. Sebagian yang lain lagi malah sudah mengikuti jejak, untuk langsung berpihak.

Dalam perhitungan Ugrawe, tak mungkin ada lagi yang pantas diperhitungkan. Artinya yang setakar dengan kemampuannya. Dalam kamus Ugrawe, semua lawan utama sudah dilenyapkannya. Maka tak urung kerutnya bertambah ketika menyaksikan sendiri pahatan di dinding benteng Keraton.

"Sungguh hebat. Di saat seperti ini masih ada yang berani mati berbuat onar. Nyawa siapa yang telah begitu gerah? Aha, sekian lama istirahat ada juga permainan baru."

Walaupun kelihatan tetap tenang, senopati yang tinggi dan misalnya yang bergerak karena tiupan angin ini tak urung berpikir keras juga.

"Selama ini semua jago, semua pendekar, semua ksatria telah berhasil kukalahkan. Meskipun apa yang dicoretkan di dinding lebih merupakan demonstrasi kepandaian yang sesungguhnya, akan tetapi jelas bukan orang sembarangan. Di saat lalu, hanya tokoh sejajar dengan Mpu Raganata yang bisa melakukan itu dengan enteng tanpa mungkin diketahui orang lain. Akan tetapi dalam penyerbuan ke Keraton, empu tua itu telah terbunuh. Memang ia dikenal juga sebagai Rama Guru yang mempunyai sekian banyak siswi di dunia dan salah satu yang berhasil melukai telingaku, namun rasanya selama ini tak ada yang begitu tinggi ilmunya. Kecuali Jagaddhita yang telah terkubur.

"Gendhuk Tri, kalaupun maju pesat, tak mungkin bisa melakukan itu. Tulisannya sangat bagus, dan huruf-hurufnya juga bagus. Pastilah seorang yang cukup terpelajar. Ada satu tokoh lagi. Yang bernama Upasara Wulung. Ia sangat cerdas, penuh bakat, elok, dan bersifat ksatria. Mempunyai pendidikan Keraton yang baik. Namun, kalaupun ia bisa menulis seperti itu, masih juga harus diperhitungkan bahwa caranya mengentengkan tubuh tak semudah itu. Ini menunjukkan kelasnya yang sudah prima.

"Kalau tak salah, dulu di Keraton Singasari ada seorang prajurit yang paling tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Ia digelari sebagai capung dan bernama Wilanda. Ia satu-satunya orang yang bisa melayang di angkasa. Akan tetapi bahkan sejak pertempuran di Perguruan Awan, ia sudah terluka parah. Hanya malaikat penyembuh yang mampu mengembalikan kekuatannya. Dan malaikat itu tak pernah ada.

"Satu-satunya kemungkinan adalah munculnya seorang ksatria baru. Tak bisa tidak. Dalam dunia persilatan yang begini luas, sangat mungkin sekali lahir keajaiban. Boleh jadi ini pertanda bakal ramai lagi. Merebut Keraton, menggulingkan raja, lebih mudah dibandingkan mengurusi para ksatria. Hmmmmm, ilmu silat ada yang tinggi, ada yang tertinggi. Tapi para ksatria semua merasa tinggi tak bisa dikalahkan. Kejadian ini sendiri tak seharusnya merampas perhatianku. Aku harus lebih keras berlatih. Agar suatu hari, kalau Kiai Sangga Langit ingin berbuat yang tidak-tidak, aku bisa mengatasi."

Sebagai seorang panglima perang, Ugrawe tak begitu kuatir. Ia merasa kekuasaannya cukup besar dan bisa menguasai keadaan dengan baik. Akan tetapi sebagai seorang jago silat, perhitungannya agak sedikit berbeda. Sebagai jago silat kesohor yang merasa dirinya nomor satu, Ugrawe tak mau melihat tumbuhnya jago lain yang bisa menjadi saingannya di belakang hari.

Meskipun puncak kekuasaan bagi dirinya telah tercapai, akan tetapi pada dasarnya Ugrawe adalah seorang jago silat. Kebanggaan yang memenuhi rongga dadanya bukan pangkat dan kekuasaan, melainkan keunggulan silatnya. Itulah sebabnya, ia memperhitungkan kehadiran Kiai Sangga Langit. Bagi Ugrawe kehadiran Kiai Sangga Langit masih menyimpan teka-teki. Ia yang aslinya bernama Bok Mo Jin adalah seorang pendeta yang termasuk kelas tinggi di daratan Cina. Ilmunya bukan hanya berbeda, tetapi juga menunjukkan kelebihan yang luar biasa. Bahwa Kiai Sangga Langit tak mau pulang kembali, itu juga karena ambisi darahnya sebagai pesilat.

Untuk sementara urusan negara bisa ditunda. Karena ingin mengeduk lebih banyak lagi. Bersama dengan Bok Mo Ing yang menyamar sebagai Dyah Muning Maduwani. Mo Ing cukup jago. Belum pernah bertemu secara langsung, akan tetapi dengan Pangeran Muda Rawikara kelihatan seimbang. Bagi Ugrawe ini perlu diperhitungkan. Rawikara adalah muridnya secara langsung dan adalah putra Raja Jayakatwang. Mempunyai keleluasaan luar biasa dan digembleng sendiri secara keras. Akan tetapi kenyataannya belum tentu bisa mengungguli Mo Ing dengan mutlak. Ini saja menjadi pertanda bahwa Kiai Sangga Langit bukan sembarangan.

Apalagi bagi mereka berdua lebih banyak waktu untuk terus-menerus berlatih ilmu silat, mempertajam indriawi, dan memperdalam tenaga dalam. Sementara Ugrawe harus disibukkan dengan urusan pemerintahan. Tadinya Ugrawe menduga bahwa tulisan di dinding Keraton ini ulah Kiai Sangga Langit, kalau mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi agak mustahil, karena Kiai Sangga Langit tidak begitu paham huruf serta bahasa setempat.

Yang lebih mungkin adalah Mo Ing. Anak muda ini dengan cepat dan fasih menguasai bahasa sehari-hari, dan bisa lebih cepat lagi mempelajari dari berbagai kitab. Sangat mungkin sekali adalah Mo Ing, mengingat ia bisa leluasa berada dalam Keraton, atau keluyuran di sekitarnya. Dan kehadirannya tak mencurigakan jika pun suatu ketika berada di dinding Keraton atau bahkan berada di dalam Keraton sekalipun.

Kesimpulan terakhir ini membuat Ugrawe merasa lebih senang. Jika benar Mo Ing yang melakukan, ini berarti intrik dari dalam. Bukannya tidak membahayakan, akan tetapi bisa dengan cepat dikuasai. Ugrawe memanggil Rawikara untuk menemuinya di depan senopaten utama. Tempat kediaman resmi senopati utama, panglima angkatan perang Keraton.

"Ada persoalan mendadak apa yang menyebabkan Pujangga Terakhir memanggil hamba?" sembah Rawikara dengan hormat.

"Pangeran Anom yang akan menguasai jagat di kemudian hari, saya ingin menghaturkan sesuatu. Harap Pangeran Anom tak tersinggung...."

Ugrawe walaupun resminya adalah guru Rawikara, akan tetapi secara kebangsawanan masih tetap di bawah Rawikara. Biar bagaimanapun, Rawikara adalah putra mahkota raja yang sedang berkuasa. Sedang Ugrawe hanyalah panglima perang, yang statusnya tetap sebagai abdi.

Maka dalam pembicaraan sehari-hari, keduanya nampak saling menghormat. Ugrawe menempatkan diri sebagai seorang prajurit yang siap menerima perintah, sedangkan Rawikara menempatkan dirinya sebagai seorang murid. Hubungan semacam ini mungkin membuat Kiai Sangga Langit heran dan sulit mengerti. Akan tetapi memang tatanan dan adat-istiadat kebudayaan Jawa mencerminkan sikap merendah untuk posisi dirinya.

"Silakan, Bapa Guru, hamba menunggu...."

"Pangeran Anom telah melihat apa yang menjadi pokok persoalan sekarang ini. Yaitu ada tulisan di dinding benteng Keraton. Apakah Pangeran Anom mempunyai dugaan siapa yang melakukan ini?"

"Hamba tak cukup pengetahuan, Bapa Guru. Tetapi kalau dilihat dari kemampuan yang diperlihatkan, jelas bukan sembarangan. Pemahatnya mempunyai pengetahuan sastra yang tinggi, kemampuan mengentengkan tubuh yang luar biasa, dan mengenal seluk-beluk Keraton dengan baik. Hamba ingin menebak Mo Ing, akan tetapi ini hanya dugaan bodoh yang bisa keliru."

"Pangeran Anom mempunyai wawasan yang luas dan tajam. Itu sangat diperlukan sebagai calon pemegang kekuasaan tinggi di belakang hari. Saya mempunyai dugaan yang sama. Akan tetapi agak sulit untuk menjebaknya. Raja tidak berkenan untuk melakukan tindakan ke dalam."

Raja Jayakatwang semenjak naik takhta, memang lebih banyak kelihatan berdiam diri. Menahan emosi, dan menghabiskan waktunya buat bermenung. Sungguh berbeda dari ketika merebut Keraton. Walau dulu ada warna kebimbangan, akan tetapi pada saat mengambil keputusan, Raja Muda Gelang-Gelang ini tak bimbang dan ragu. Akan tetapi justru setelah berhasil merebut takhta dan menyingkirkan Baginda Raja Kertanegara, Raja Jayakatwang seperti merasa bersalah.

Pembantaian besar-besaran, banjir darah di Keraton, korban yang berjatuhan, agaknya di luar perhitungannya. Rasa bersalah ini demikian keras menghantui dan menekan pikirannya. Sehingga usaha pembersihan lawan-lawan politik pun tak sekeras yang diusulkan Ugrawe. Juga mengenai tulisan di dinding benteng Keraton, Raja Jayakatwang tidak ingin mempersoalkan lebih panjang.

"Kita mesti berhati-hati, Paman.... Kekuatan kita sudah berkurang banyak. Banyak senopati kita yang hilang. Kalau kita harus mengurangi lagi kekuatan yang ada, apakah ini tidak akan memperlemah?"

"Sabda Raja adalah hukum," sembah Ugrawe. "Kami semua akan menjalankan sepenuh hati."

"Lakukan pengusutan, dan laporkan hasilnya. Jangan bertindak terlebih dahulu...."

Ketentuan ini membuat Ugrawe tak bisa menjalankan aksinya untuk mendatangi rumah Kiai Sangga Langit dan mengobrak-abrik isinya. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menunggu hasil pengusutan. Ini bertentangan dengan cara kerja Ugrawe yang biasanya. Ia akan mengatur rapi seteliti mungkin untuk suatu rencana besar seperti juga penyerbuan ke Keraton. Akan tetapi untuk hal-hal yang praktis, Ugrawe akan mengesampingkan tata cara yang merepotkan: Ugrawe bisa bertindak tanpa perlu menghiraukan perasaan orang lain...


BAGIAN 07CERSIL LAINNYABAGIAN 09