Runtuhnya Samurai Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Runtuhnya Samurai Iblis
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

Hamparan salju seakan tiada mereka hiraukan. Hari makin larut malam, jadi gelap pun kini menyelimuti tempat-tempat tersebut. Untung saja hamparan salju mampu memantulkan cahaya.

"Kita istirahat di sini," perintah Panglima Perang pertama pada rekan-rekannya. "Kusir, hentikan kereta."

Sang kusir tiada membantah, hentikan keretanya. "Apakah kita akan di sini sampai menunggu pagi?" tanyanya agak jengah, lebih-lebih Meimora.

"Tidak," jawab Panglima pertama, memberikan keyakinan. "Kan ada Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah di sini?" "Benar!" sambung Panglima kedua. "Tapi apakah kita akan dalam gelap?"

"Memang kita perlu api," ulas Jaka. "Apakah di sini suasana sangat dingin?" Semuanya mengangguki, lalu Jaka pun dibatalkan. "Di samping itu pula, kita pasti tidak ingin ada binatang buas mengusik diri kita."

"Tepat! Mari kita cari ranting kering."

"Di mana kita mencarinya, Kakak Mozeta?" tanya Perwira kedua. "Apakah sekarang saat musim salju?"

"Benar, benar."

Semua yang ada di situ tampak agak kecut, karena merasa bahwa usahanya untuk mendapatkan kayu-kayu kering akan mengalami kegagalan. Sementara Jaka Ndableg agaknya hanya diam, membiarkan mereka berpikir. Meimora sepertinya enggan untuk beranjak jauh dari Jaka, yang seakan merupakan perlindungan bagi dirinya. Entah karena apa, kini Meimora benarbenar merasakan adanya suatu getaran aneh di hatinya. Hati kecilnya sebagai seorang wanita merasakan hentakan untuk mengutarakan katakata. Namun begitu, keadaannyalah yang selalu menyembunyikan hal tersebut.

"Kalian carilah kayu-kayu itu, walau basah."

Tercengang dua Panglima dan Kusir mendengar perintah Jaka yang dirasa aneh. Ketiganya kerutkan kening, lalu Panglima pertama pun bertanya. "Untuk apa, Tuan Pendekar?"

"Yang jelas, tentunya untuk api unggun, bukan?" Jaka balik menanya, menjadikan ketiganya terbengong makin melongo tiada mengerti.

Dengan penuh ketidakmengertian akhirnya ketiganya pun pergi juga mencari kayu untuk api unggun. Sementara itu Jaka kini tinggal berdua dengan Meimora. Meimora nampak memandangnya dalam dan penuh arti. Mata Meimora berkaca-kaca, sepertinya hendak mengutarakan akan apa yang ada di hatinya. Bibirnya, bergerakgerak, namun tiada kata yang terucapkan.

Jaka yang tahu keadaan Meimora nampak kasihan. Di sisi lain, dirinya benar-benar ingin menjadi seorang lelaki yang setia pada seorang wanita yang pernah dan sampai kini masih ia cintai. Lelaki mana pun, tentunya akan begitu saja lupa pada kekasihnya bila digoda wanita. Apalagi wanita itu begitu cantik, pasrah padanya walau tiada terucap lewat kata. Jaka tahu itu, tapi ia benar-benar ingin setia pada kekasihnya.

"Oooooh....! Miranti, sedang apakah engkau di Tanah Jawa malam ini?" tanya Jaka dalam hati.

Lama keduanya diam, sampai akhirnya ketiga orang yang mencari kayu datang kembali ke tempat mereka. Ketiganya telah membawa sebopongan kayu basah.

"Braaak...!" Kayu-kayu itu dilempar begitu saja menjadi satu timbunan. Kini kelimanya terdiam, sebab kelimanya tiada yang membawa korek api.

"Bagaimana membakarnya? Sedangkan kita tidak seorang pun yang memiliki korek api?" tanya ketiganya bingung.

Jaka tersenyum, lalu katanya tenang. "Kalian menyingkirlah agak jauh, biarkan aku di sini sendiri."

"Mau apa?" tanya ketiganya kembali, tak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Jaka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar membawa korek api?"

Jaka Ndableg terdiam. Sebenarnya ia tidak ingin mengatakan bahwa dirinya akan menggunakan ajian Banyu Geni untuk menyalakan kayukayu basah tersebut, namun dikarenakan memang agak sukar juga, maka Jaka akhirnya berterus terang. "Kalian tahu apa yang telah terjadi denganku tadi sore tatkala menghalau musuh?"

Kesemuanya yang ada di situ saling pandang. "Ooooh, benar! Rupanya Tuan Pendekar hendak menggunakan ilmu yang Tuan miliki?" tanya Panglima kedua. "Wah, mengapa kita tidak berpikir sampai di situ?"

"Benar!" tambah Panglima pertama.

"Nah, kalian menyingkirlah agak jauh sebab aku tidak menghendaki kalian tersiksa oleh panasnya api yang aku keluarkan."

Tanpa banyak kata lagi keempatnya pun mundur beberapa tombak untuk menjaga jarak dari sengatan api Banyu Geni. Sementara Jaka Ndableg kini nampak terpekur duduk bersila. Tangannya menyilang di depan dada, sedangkan mulutnya nampak komat kamit membaca mantera-mantera yang dipelajarinya dari kitab Banyu Geni. Perlahan dari tubuh Jaka keluar asap mengepul. Tubuh Jaka Ndableg membara. Mulanya bara api yang keluar dari tubuh Jaka tidak terlalu panas, namun makin lama makin terasa panasnya, bahkan membara bagaikan tiada terkira.

"Hooooaaaarrrr...!"

Dewa Api mengoar, dari mulutnya dan mata semburkan api ke arah tumpukan kayu-kayu basah tersebut. Dan dikarenakan kayu-kayu itu basah, maka Dewa Aji benar-benar harus menguras tenaga benar-benar. Bara api terus menyembur dari mata dan mulutnya. Mengeringkan kayu-kayu yang berada di tempat tersebut. Hawa panas kini benar-benar terasa menyengat oleh keempat rekannya yang berdiri sepuluh tombak darinya. Semuanya terkesiap, mereka baru melihat kejadian yang seperti dalam dongeng saja. Mereka memang mengenal Dewa Api, namun baru kini mereka benar-benar berhadapan dengan Dewa Api sesungguhnya.

"Tidak aku sangka, ternyata aku dapat melihat Dewa Api," Meimora berkata dalam hati. Ia begitu kagum pada Jaka Ndableg, yang sebenarnya adalah Dewa Api menurutnya. Kini Meimora benar-benar bagaikan terhanyut oleh khayalan yang tercipat lewat kekagumannya pada Jaka serta cinta yang memang tumbuh. "Tapi, apakah aku akan diterimanya? Sedangkan menurut cerita, titisan Dewa Api tidaklah menghendaki gadis yang sudah tidak perawan...? Oooo...." Meimora hanya mampu mengeluh dalam hati.

Rupanya kekaguman pada Jaka Ndableg yang merupakan titisan Dewa Api bukan pada Meimora saja, akan tetapi semua yang kini menyaksikannya juga terkagum-kagum. Dalam hati ketiga lelaki tersebut berkata,

"Seandainya aku dapat mengabdi padanya, sungguh aku akan menunjukkan darma baktiku. Rupanya Dewa Api benar-benar datang dan menitis lewat seorang Pendekar muda yang tampan dan tidak sombong, yang berasal dari Tanah Jawa Dwipa."

Api kini membakar sedikit demi sedikit tumpukan kayu yang menjadi tumpahan serangan Jaka Ndableg si Dewa Api. Makin lama makin membara api tersebut, sehingga hawa dingin yang tadinya menggigil kini lambat laun menghilang berganti dengan rasa hangat yang mampu membuat orang-orang yang berada di situ seakan hilang keletihannya.

Sementara itu keempat orang yang berada sekitar sepuluh tombak tiada berani mendekat. Sedangkan Jaka Ndableg sendiri kini nampak masih terpaku bersemedi. Lambat laun api yang tadi menyelimuti tubuhnya hilang. Jaka Ndableg pun kembali ke bentuk asalnya, sebagai seorang pemuda tampan. Keberingasan sebagai Dewa Api kini menghilang, berganti dengan wajah penuh kasih Jaka Ndableg.

"Kalian ke marilah!" Jaka berseru, manakala melihat keempatnya masih nampak terpaku diam di tempatnya. "Kalian datanglah mendekat, kini tak akan kalian celaka."

Keempat orang Jepang itu segera mendekat, dan dengan tanpa diduga oleh Jaka, keempatnya segera menjura. Serempak keempatnya berkata.

"Terimalah sembah hormat kami, Dewa Api?"

"Ah.,.!" Jaka terpekik. "Mengapa kalian berbuat begitu?"

Namun ucapan Jaka bagaikan tiada terdengar oleh keempatnya, yang masih menjura. Bahkan kini mereka makin mendalamkan hormatnya. Hal tersebut makin menjadi rasa jengah bagi Jaka. Baru sekali ini ia mendapat penghormatan yang begitu tinggi dari orang-orang Jepang yang biasanya tidak mengenal rasa rendah diri. "Hem, mereka mengira aku benar-benar titisan Dewa Api. Seorang Dewa yang menurut mereka sangat berarti," gumam Jaka dalam hati.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanya Jaka.

"Kami tidak menghendaki apa-apa dari Pukulun. Kami hanya menghendaki sudilah Pukulun menerima kami sebagai hamba setia, Pukulun. Hingga dengan begitu, kiranya kami akan benar-benar telah mengabdi dengan tulus pada Pukulun Dewa Api. Dewa Agung bagi kehidupan," yang berkata Panglima pertama, sepertinya mewakili apa yang ada di dalam hati ketiga rekannya.

"Aku bukan Dewa," jawab Jaka.

"Ah, mengapa Pukulun mesti menyembunyikan diri?" keluh keempatnya bareng, makin menjadikan Jaka bertambah tidak mengerti saja.

Namun Jaka tidak mengingini mereka merasa disepelekan, maka dengan tersenyum-senyum menahan geli Jaka akhirnya berkata. "Baiklah, kalau kalian memang menganggap aku Dewa. Tapi, aku tidak ingin kalian melebihkan diriku. Saat ini, aku adalah teman kalian, maka kalian sepantasnyalah bersikap sebagai seorang teman biasa."

"Daulat, Pukulun " jawab mereka semua.

"Nah, karena kalian sudah mengakui, maka kalian aku perintahkan untuk memanggilku dengan sebutan namaku saja." Ke empatnya mengangguk. "Sekarang kalian istirahatlah."

Mendengar ucapan Jaka Ndableg, dengan tidak membangkang karena merasa yang bicara adalah Dewanya. Dengan bersender pada pohon-pohon pinus yang berada di situ, keempatnya melepas lelah. Namun begitu, keempatnya seperti tiada mau pejamkan mata, bahkan Meimora yang hatinya telah benar-benar terpaut oleh Jaka perlahan-lahan mendekati Jaka Ndableg yang tengah duduk.

Jaka yang sedang duduk tersentak kaget tatkala tanpa sepengetahuannya Meimora telah berdiri di sampingnya. "Nona Mei...?"

Meimora tersenyum manis penuh arti, menjadikan Jaka hanya mampu membalas senyumannya. "Boleh aku duduk...?" tanyanya merdu.

"Boleh, mengapa tidak?" jawab Jaka. "Tapi, apakah Nona tidak lelah?" tanya Jaka kemudian.

Meimora gelengkan kepala, lalu duduk di samping Jaka. Mata Meimora kini tajam memandang Jaka, sedangkan Jaka sendiri bagaikan tiada mengerti. Jaka Ndableg kini tengah asik dengan lamunannya, di mana kini bayangannya terlintas wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Namun dari sekian gadis yang pernah dikenalnya, hanya tiga gadis yang kini benar-benar melekat erat di hatinya. Gadis pertama adalah Ayu Sakiti, kedua Miranti, dan yang ketiga adalah gadis yang kini berada duduk di sampingnya.

Dengan Meimora Jaka hanyalah kasihan. Ya! Jaka merasa terpanggil untuk menyayanginya, dikarenakan kini hidup Meimora bagaikan hidup dalam liputan badai. Kalau hatinya tiada tentram, maka sudah dipastikan dirinya akan nekad. Meimora benar-benar merasakan hidupnya tiada arti lagi setelah diperkosa oleh kesepuluh orang Ninja anak buah Taka Nata.

"Kau melamun, Jaka...?" Tersentak Jaka ditanya begitu. "Siapa yang engkau lamuni? Apakah gadis-gadismu yang ada di Tanah Jawa sana?" kembali Meimora bertanya, nadanya terselip rasa cemburu.

Dan kembali Jaka tersenyum, rasa ingin menghibur hati Meimora menjadikan Jaka harus mampu membawa ketabahan hati gadis itu. "Aku...?" Jaka bertanya, diangguki oleh Meimora dengan matanya memandang tiada lepas ke arah Jaka. "Aku kini memikirkan dirimu, Mei."

Tersipu-sipu Meimora mendengar jawaban Jaka, sebab ia tiada mengira Jaka akan berkata begitu. "Mengapa mesti aku, Jaka? Tidakkah masih banyak gadis yang belum rusak sepertiku yang mencintai dirimu?"

Jaka tarik nafas panjang demi mendengar ucapan Meimora yang seakan tiada gairah untuk menikmati kehidupan. Rasa keputusasaan karena menganggap dirinya tiada harga menjadikan Meimora benar-benar menjadi seorang gadis yang sensitif dan cepat perasa. Hal tersebut dilukiskannya dengan tetesan air mata di kedua belah pipinya yang putih. Hal tersebut makin trenyuh menyengat di hati Jaka yang benar-benar merasa kasihan pada nasib Meimora.

"Mengapa engkau mesti menangis?" Disapunya air mata Meimora hingga menjadikan Meimora tatap kembali wajahnya. Pelan jari jemarinya Meimora yang halus itu menempel di tangan Jaka, dan pelan-pelan juga tangan Meimora hentikan ulasan tangan Jaka. Ditekankannya tangan Jaka di pipinya, lalu tanpa memperhatikan Jaka dikecupnya tangan Jaka mesra.

Ketiga lelaki lainnya sebenarnya tidak tidur. Mereka pura-pura tidur dikarenakan mereka tidak ingin mengganggu kedua muda mudi yang diketahui mereka tengah terjerat api cinta. Maka sebagai seorang sepuh yang mengerti, ketiga lelaki itu pun pura-pura tidur dengan palingkan muka ke arah lain.

"Benarkah kau mau menerima diriku yang sudah tiada arti?"

Jaka tersenyum, gelengkan kepala dan berkata. "Kau masih memiliki arti, Mei. Mungkin di mata manusia, kesucian seorang gadis sangat berarti. Tapi di mata Tuhan, segalanya sama. Dan bukankah semua itu bukan engkau yang menghendaki?"

"Oooooh.... Jaka...." Meimora mendesis, rebahkan kepala di pundak Jaka Ndableg. "Baru kali ini aku melihat seorang lelaki gagah yang berjiwa gagah pula."

Meimora terus genggam tangan Jaka. Perlahan, muka Meimora mendekat dan makin lama makin dekat. Jaka tiada mampu untuk menolak, sebab dia sendiri tiada ingin membuat Meimora kecewa. Maka manakala Meimora tempelkan bibirnya ke bibir Jaka, Jaka pun hanya membalas dengan lembut. Tiada terasa, kini keduanya benar-benar terhanyut dalam alunan syair. Malam pun makin mengerti, desahkan lagu lewat angin yang sejuk. Sedangkan api kini membara, seakan memberi semangat cinta pada keduanya.

Jaka tersentak, lepaskan pelukan Meimora yang juga tersentak kaget. Namun kekagetan keduanya berbeda. Jaka kaget dikarenakan mendengar gemereseknya suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, sedangkan Meimora kaget karena Jaka melepaskan pelukannya.

"Ada apa, Jaka?" tanya Meimora, matanya memandang tajam ke arah pandangan Jaka. Namun matanya tiada melihat apa-apa. dan hanya gelap saja yang terpampang di sana.

Sedangkan Jaka, dengan mata batinnya yang tajam mampu melihat bayangan yang berdiri agak jauh dari mereka. Bayangan tersebut, merupakan wujud dari seorang lelaki tua. Bukan hanya Meimora dan Jaka yang tersentak, akan tetapi ketiga lelaki yang tadinya pura-pura tidur pun kini terbangun demi mendengar gesekan langkah berat. Namun seperti Meirmora, ketiga lelaki itu pun tiada melihat wujud dari orang yang melangkah.

"Ada apakah, Tuan Pendekar?" tanya Panglima pertama.

"Ya! Sepertinya Tuan Pendekar tengah memperhatikan sesuatu," lanjut Panglima kedua, dan keduanya pancarkan mata mereka ke arah yang dipandang Jaka Ndableg. Namun sampai mata mereka dibuat mendelik, keduanya tiada mampu melihat apa yang sebenarnya kini dilihat oleh Jaka.

Keempatnya makin belalakkan mata, manakala Jaka perlahan bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah yang dipandanginya sejak tadi. Keempatnya hanya terpaku dengan ketakutan yang teramat sangat, namun bila mengingat bahwa di situ ada Pendekar Pedang Siluman Darah yang mereka anggap Dewa, ketakutan mereka pun hilang dengan sendirinya.

Jaka makin mendekat ke tempat yang dituju, lalu setelah jarak tinggal dua tombak Jaka pun berkata. "Siapakah engkau adanya, Ki?"

"Aku Penguasa hutan ini, Tuan Pendekar," jawab bayangan tua yang berpakaian serba merah menyala. "Aku sengaja datang menemuimu, Tuan Pendekar. Aku diutus oleh Siluman Darah dari Tanah Jawa untuk mengawasi dan membantumu."

"Terimakasih sebelumnya," jawab Jaka hormat. "Lalu siapakah sebenarnya dirimu, Ki?"

Lelaki tua renta berpakaian merah menyala dehem sesaat, kemudian menjawab. "Aku Ki Daetokoyono, atau si Siluman Api."

"Hem, tentunya engkau telah mengenalku. Nah, apa yang menjadikan engkau tampakkan ujud, Siluman Api?" tanya Jaka masih menghormat. "Kalau kau ingin menolongku, tentunya kau mau mengatakannya padaku apa yang akan kau lakukan, bukan?"

"Demi engkau si Dewa Api, atau Pendekar Pedang Siluman Darah, aku sebagai abdimu, bermaksud memberikan sebuah kabar pada engkau Dewa Api. Kabar itu, tidak lain bahwa sesaat lagi, musuh akan datang menjarah tempat ini."

"Oooooh, benarkah?"

"Sungguh aku tiada berani mendusta padamu."

"Lalu apa yang perlu aku lakukan?" tanya Jaka kembali.

"Musuh akan datang bersama seorang sakti yang bergelar Iblis Kebal Pukulan. Hadapilah dia dengan senjatamu, niscaya dia akan dapat engkau kalahkan. Nah, hati-hatilah. Aku hanya membantu memberikan informasi, sedangkan penjalanannya terserah padamu, Pendekar Pedang Siluman Darah." Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Siluman Api pun hilang dari pandangan, sementara Jaka kini kembali melangkah menuju ke tempat di mana rekan-rekannya berada.

"Ada apakah? Seperti Tuan bercakap-cakap?" tanya ketiga lelaki Jepang tersebut.

"Tidak ada apa-apa. Sekarang kalian di sini dulu, aku akan pergi menangkap hewan hutan yang akan dapat menjadi pengganjal perut kita yang telah kosong ini."

Belum juga keempatnya menjawab, tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi meninggalkan mereka. Keempat orang Nippon tersebut hanya mampu bengong. Namun kebengongan mereka hanya sesaat, manakala tiada begitu lama Jaka telah kembali dengan empat ekor burung hutan.

"Nah, kiranya burung-burung ini akan mampu menangkal lapar kalian," ucap Jaka seraya duduk kembali di tempatnya.

Diambilnya cabang pohon yang berada di situ, lalu diputuskannya ranting-ranting cabang pinus tersebut. Dengan dibantu oleh keempatnya Jaka mengkulit bulu-bulu burung tersebut. Sebenarnya bukan karena perut lapar hingga Jaka mencari burung-burung hutan yang besarnya sebesar ayam, akan tetapi Jaka sengaja hendak mengundang musuh yang dikatakan oleh Siluman Api datang. Dengan mencium bau bakaran daging, tentunya para musuh akan mudah mengetahui keberadaan dirinya.

"Tuan Pendekar, kami merasa heran dengan Tuan," celoteh Kusir kereta.

"Mengapa?" tanya Jaka tak mengerti. "Bagaimana mungkin dalam waktu cepat Tuan mampu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman ini?"

Jaka tersenyum, sepertinya menertawakan dirinya sendiri. Memang benar akan apa yang dikatakan Kusir kereta tersebut. Bagaimana mungkin dalam secepat itu Jaka mampu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman? Dan bukankah di hutan pinus ini tiada suara burung seekor pun?

Sebenarnya Jaka tidak mencari burung ayam-ayaman. Dan sebenarnya yang kini tengah mereka bakar adalah ayam kampung. Waktu Jaka pamit mencari burung, dengan menggunakan ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka mendatangi rumah-rumah penduduk yang jaraknya hampir dua puluh mil. Namun dikarenakan Jaka lari bagaikan terbang dengan ajian Angin Puyuh tingkat pamungkas, maka hanya dalam waktu lima menit saja Jaka telah sampai di perkampungan dan mencuri lima ekor ayam tersebut. Di samping itu pula, maksud Jaka sebenarnya hanya ingin berjaga, dan ingin mengawasi kedatangan musuh.

Manakala Jaka melihat bahwa musuhnya masih belum nampak, Jaka kembali lagi dengan membawa ayam-ayam tersebut. Jaka beranggapan bahwa musuhnya mungkin tiada tahu tempat mereka, sehingga dengan cara membakar daging baunya akan menyebar ke seantero tempat tersebut, juga akan terbawa angin. Namun untuk menutupi bahwa dirinya telah berpatroli, Jaka pun menjawab kalem.

"Yah, kebetulan burung-burung tersebut tengah tidur, sehingga aku tidak sulit menangkapnya."

Jawaban Jaka memang masuk akal, sehingga keempatnya tiada lagi bertanya-tanya. Kini mereka pun disibukkan oleh ayam-ayam yang kini mereka panggang. Bau ayam panggang benarbenar menjadikan kelimanya kini leletkan lidah. Rasa lapar pun seketika mengucak perut mereka.

Sedangkan asap dari pembakaran tersebut benar-benar tersebar ke segenap penjuru hutan. Bahkan asap bakaran tersebut tersebar sampai di luar hutan, di mana alam gelap menghampar menyelimuti muka bumi. Asap bakaran daging memang mampu menjadikan hidung yang menciumnya akan dapat segera mengetahui di mana keberadaan tempat tersebut.

Seperti halnya orang-orang yang nampak berlari-lari dengan ringannya, seakan mereka tengah terburu-buru oleh waktu. Orang-orang tersebut berpakaian hitam dengan tutup muka yang juga berwarna hitam. Di pundak mereka nampak samurai melekat, sedangkan di tangan mereka tergenggam senjata lain yang beraneka ragamnya. Jumlah mereka hampir mencapai lima puluh orang. Mereka tiada lain dari pasukan Ninja yang diperintahkan oleh Taka Nata untuk menyerang orang-orang kerajaan.

Sebenarnya para Ninja tersebut belum mengerti apa yang telah terjadi dengan rekan-rekannya yang mati di tangan Jaka Ndableg sore itu. Mereka hanya diutus untuk membantu para Ninja yang menghadang kepergian setiap prajurit kerajaan, atau pun para pendekar yang hendak mendatangi pertemuan di sebelah Timur Gunung Fujiyama.

"Kawan-kawan, apakah kalian mencium bau bakaran daging?" tanya pimpinan Ninja seraya hentikan larinya, hingga semua anak buahnya pun seketika turut menghentikan lari mereka. Hidung mereka kembang kempis, merasakan aroma yang sangat merangsang selera mereka.

"Hem, rupa-rupanya bau ini dari dalam hutan."

"Benar!" jawab Ninja yang berdiri di sampingnya.

"Mari kita ke sana."

Dengan segera kelima puluh Ninja tersebut kembali berlari ke arah datangnya aroma bakaran daging. Kelima puluh Ninja tersebut kini menyembunyikan diri mereka ke dalam tanah, dan ada pula yang berlompatan naik ke atas pohon.

Jaka Ndableg yang sudah mendapat petunjuk dari Siluman Api kini nampak waspada, walaupun ia kini nampak menyantap makannya dengan tanpa berpaling ke mana pun. Di sisi kanan kirinya keempat orang Nippon juga kini menyantap makan. Namun seketika kedua Panglima kerajaan tersebut tersentak.

"Kreseeek...!"

"Tuan Pendekar, apakah Tuan mendengar suara gemeresek?"

Jaka Ndableg dengan pura-pura tak mendengar segera pasang telinganya untuk mampu menangkap suara tersebut, namun sebenarnya Jaka telah mendengar terlebih dahulu. Jaka sunggingkan senyum, sepertinya mengiyakan akan apa kata Panglima pertama.

"Rupanya mereka benar-benar datang," gumam Jaka dalam hati.

"Bagaimana, Jaka?" Meimora nampak agak ketakutan. Namun menakala melihat Jaka tersenyum, nampak agak sedikit memiliki ketenangan. Meimora percaya bahwa Jaka tidak akan membiarkan dirinya dan ketiga orang istana itu begitu saja. Tentunya Pendekar Tanah Jawa yang titisan Dewa tersebut akan berusaha mereka.

"Hai orang-orang yang ada di atas pohon, mengapa kalian tidak cepat turun?!" tiba-tiba Jaka dengan keras berseru, menjadikan kedua Panglima dan Kusir serta Meimora tersentak kaget. "Kalau kalian benar-benar orang baik-baik, tentunya kalian akan berbuat baik pula. Janganlah kalian bertingkah laku begitu!"

"Suiiiitttt…!" terdengar suitan

"Hem, kalian rupanya ingin mempermainkan kami!" bentak Jaka.

"Suuuuuiiiiiittttt...!" kali ini kembali terdengar suitan panjang, dan bersamaan dengan akhir suitan tersebut, beberapa sosok tubuh hitam berkelebat menghadang di hadapan kelima orang tersebut.

Keempat orang Jepang yang berdiri di samping Jaka nampak agak gemetaran. Namun Jaka berusaha memberikan ketenangan bagi keempatnya dengan berkata, "Kalian tidaklah perlu takut, sebab mereka aku rasa hanyalah cecurut-cecurut yang lapar."

"Bejero!" bentak pimpinan Ninja marah, demi mendengar ucapan Jaka yang menyebut dirinya cecurut atau tikus. "Siapa kau, Bajero! Bukankah engkau orang asing, hah!!"

Jaka Ndableg kembali tersenyum, lalu dengan masih tenang kembali berkata, "Kalau kalian tidak mau dianggap cecurut, mengapa kalian bertindak mirip cecurut!"

"Bajero! Orang asing tidak tahu adat! Seraaaaanggg...!"

Mendengar seruan pimpinannya, seketika beberapa Ninja yang tadinya belum nampak, ikut nongol ke permukaan. Semua Ninja yang berjumlah lima puluh orang tersebut dengan cepat mengurung kelima orang utusan kerajaan.

"Kalian tentunya orang-orang istana, maka kalian akan kami jadikan jalan pertama bagi tujuan kami!" kata ketua Ninja, nampaknya merendahkan kelima orang di situ. Sementara kelima puluh anak buahnya kini dengan tangan siap menggenggam samurai masih mengurung.

"Jangan asal ngomong!" balik membentak Jaka.

"Heh, rupanya kau ingin jadi pahlawan, Orang asing!"

"Kalianlah Iblis-iblis yang harus dibasmi!" Jaka nampak benar-benar tidak ingin main-main. Kini Jaka berdiri dengan berusaha melindungi keempatnya.

Sedangkan Meimora nampak dengan tubuh ketakutan dan disertai kebencian yang amat sangat. Mata Meimora liar memandang ke arah Ninja-Ninja, sedangkan di antara kelima puluh Ninja tersebut nampak ada sekitar enam orang yang mengawasi dirinya. Rupanya Ninjaninja tersebut orang yang pernah memperkosanya.

"Jaka, keenam orang tersebut...." Meimora tak meneruskan kata-kata.

Namun begitu Jaka mampu menangkap apa yang sebenarnya berada di dalam hati Meimora. Sebenarnya Meimora ingin memberitahukan padanya tentang siapa adanya keenam orang yang nampak memandang terus ke arahnya. Rasa kemanusiaan Jaka seketika bagaikan terbakar, sehingga kini Jaka Ndableg tatapkan mata ke arah keenam orang tersebut.

"Hua, ha, ha....! Rupanya di antara kalian ada Iblis-iblis yang terlalu rakus melebihi kalian semua," Jaka berkata bagaikan tiada hiraukan ucapan pimpinan Ninja. "Aku akan mendahului memenggal kepala mereka daripada kalian semua!"

"Bajero? Jangan biarkan pemuda gila itu...!" orang yang merasa tertuduh membentak marah, lalu tanpa diperintah terlebih dahulu oleh ketuanya, keenam orang tersebut seketika berkelebat menyerang.

"Wuuuuuttt...!" Samurai mereka berkelebat.

"Awas...!" Jaka Ndableg segera dorongkan keempatnya, lalu dirinya sendiri melompat hindari serangan. Kakinya dijulurkan menendang ke arah musuh.

"Wuuuuttt...!"

Samurai keenam Ninja itu membabat kaki Jaka yang menyerang, sehingga mau tidak mau Jaka pun tarik kembali serangan. Manakala kaki ditarik, dengan cepat tangannya mengaju ke muka. Keenam musuhnya terjengah, dan dengan cepat kembali babatkan samurai.

"Wuuuuttt...!"

"Kalian minggirlah dulu, dan jaga Nona Meimora!" Jaka perintahkan pada keempat rekannya untuk menepi.

Keempat rekannya tanpa banyak kata segera menurut, namun dengan cepat Ninja-ninja yang lainnya segera menghadang. Walaupun begitu, kedua Panglima utama kerajaan bukanlah orang-orang sembarangan. Keduanya merupakan tokoh-tokoh samurai yang sudah mumpuni. Melihat dirinya dihadang, dengan cepat kedua Panglima itu tarik samurainya.

"Wuuuuuttt...!"

Samurai kedua Panglima bergerak cepat, menjadikan orang-orang yang menghadangnya tersentak, melompat mundur ke belakang mengelak.

"Bajero! Kalian menantang!" maki Ninja yang menjadi pimpinan. Dengan sebat pimpinan Ninja itu segera kirim tendangan ke arah Panglima pertama.

Panglima yang merupakan orang-orang seleksian kerajaan nampak dengan entengnya mengimbangi. Kakinya digerakkan ke samping. Tubuhnya sesuai dengan arah kaki, mengegos ke samping menghindar. Dan manakala samurai lawan berkelebat di sebelah kirinya, dengan cepat kaki kanan berkelebat menendang.

Melihat musuhnya hendak menendang, segera pimpinan Ninja itu tarik samurai dan kibaskan ke arah kaki. Tujuannya hanya satu, membabat kaki Panglima. Tapi dugaannya meleset, sebab ternyata Panglima menendang hanya tipuan belaka, sedang serangan yang sebenarnya tidak lain dari kekuatan tangan kanannya. Dengan Jodang Ukai, atau pukulan lurus ke arah muka, tangan kanan Panglima melesat ke muka.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug...!"

"Ah...!" Pimpinan Ninja itu memekik, manakala jotosan Jodang Ukai yang dilancarkan Panglima pertama mendarat telak di mukanya. Hal tersebut menjadikan pimpinan Ninja terhuyung-huyung, dengan pipinya terasa sakit. Sedangkan dari mulut dan hidungnya keluar darah meleleh. "Bajero! Kubunuh, kau!"

Pimpinan Ninja segera bangkit, lalu dengan gerakan cepat kembali berkelebat babatkan samurainya ke arah musuh. Namun kiranya segala gerakan lawan telah diketahui kuncinya oleh Panglima pertama, maka pada saat samurai lawan menyerang, dengan cepat Panglima pertama babatkan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuutttt!"

"Craaaasss!"

"Aaaaaaa....!" Pimpinan Ninja itu memekik, manakala samurai Panglima pertama membabat lengan tangan kanannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan pimpinan Ninja seketika puntung jatuh ke tanah. Pimpinan Ninja menggerug-gerung kesakitan, darah keluar deras dari puntungan tangannya. Dan karena banyak darah keluar, menjadikan pimpinan Ninja itu seketika pingsan.

Terbelalak semua anak buahnya menyaksikan pimpinannya dapat dengan mudah ditundukkan. Namun sebagai seorang yang telah disumpah, para Ninja tersebut tiada mau mengalah. Dengan bareng anak buahnya segera menyerang ke arah Panglima pertama.

Di pihak lain, Jaka Ndableg yang dikeroyok oleh enam orang Ninja nampaknya tidak mengalami kesulitan. Keenamnya bagaikan tiada arti bagi Jaka. Setiap tebasan-tebasan samurai mereka, dengan mudah dielakkan oleh Jaka Ndableg. Tapi rupanya keenamnya tidak menyadari siapa adanya orang yang dikeroyok, mereka terus berusaha mencerca Jaka.

"Wuuuuutttt...!"

Enam samurai itu bareng menyerang, menjadikan desingan yang mampu kejutkan orang yang diserang. Jaka segera lompat ke udara, tendangkan kaki ke arah mereka dengan jurus Sapuan Angin. Kaki Jaka Ndableg begitu cepat, sukar untuk diikuti oleh pandangan keenam musuhnya.

"Wuuuuttt...!"

"Hiiiaaaattt...!" Jaka memekik balik menyerang, kakinya bergerak menyambar.

"Bug! Bug! Bug...!"

Kaki Jaka menyepak keenam musuhnya. Seketika musuhnya tersentak, lalu mereka pun berusaha memapakinya dengan tebasan samurai. Namun rupanya gerakan mereka kalah cepat, sehingga tanpa ayal lagi kaki Jaka pun mendarat telak ke muka mereka. Bagaikan dihantam godam, muka mereka seketika melenguh manakala kaki Jaka berhasil menghantam.

Keenam Ninja itu sempoyongan. Melihat hal tersebut, Meimora yang memang mendendam dengan tanpa diduga berhasil merampas salah satu samurai di tangan mereka, lalu bagaikan kesetanan Meimora pun babatkan samurainya ke tubuh Ninja-ninja tersebut.

"Kalian harus mati...!"

"Wuuuuttt.,.! Wuuuutt..! Wuuuuuuttt...!"

"Bret! Bret! Bret...!"

Enam kali terdengar suara sabetan samurai di tangan Meimora ke tubuh mereka.

"Wuuuuuaaa...!" Keenam orang itu pun seketika memekik. Darah muncrat dari punggung mereka, sepertinya punggung mereka kini tak mampu untuk pertahankan keseimbangan. Dan karena banyaknya darah yang keluar, sehingga keenamnya seketika terluka. Dan hal tersebut rupanya tidak disia-siakan oleh Meimora. Dengan sadis kembali Meimora kibaskan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

"Cras! Cras! Cras...!"

Enam kali Meimora sebatkan samurai ke leher mereka, dan enam kali pula leher Ninjaninja tersebut puntung. Darah makin membanjir saja. Keenamnya hanya memekik sesaat, sebelum akhirnya mati dengan kepala memisah dari badannya.

Jaka tak mampu mencegah, dan rupanya Jaka tidak bermaksud mencegah, Jaka tahu kalau tindakan Meimora dilandasi oleh rasa dendam dan emosi. Dan manakala semuanya berhasil dibunuh, seketika Meimora menangis sesenggukan. Kenangan pahit atas tindakan biadab mereka sukar untuk dihapuskan walau keenam Ninja tersebut telah mati.

Melihat keenam temannya mati, para Ninja yang masih hidup segera bermaksud menyerang. Namun Jaka Ndableg segera papaki serangan mereka. Kalau saja Jaka tidak mampu, maka sudah pasti nyawa Meimorlah yang sebagai gantinya. Dan manakala lima orang hendak menjarah tubuh Meimora dengan Samurai, secepat itu pula Jaka papaki mereka dengan sabetan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Awas, Nona Mei...!" Jaka peringatkan Meimora, sementara tangan kirinya segera dorong tubuh Meimora. Sedangkan tangan kanannya dengan cepat tebaskan Pedang Siluman.

"Wuuuuuutttt!"

"Trang, trang, trang!"

"Prak, prak, prak!"

Empat kali terdengar suara beradunya senjata, dan empat kali terdengar suara senjata patah. Empat Ninja itu belalakkan matanya kaget, manakala melihat samurainya dengan enteng dibabat putus oleh pedang di tangan Jaka Ndableg. Belum juga keempatnya sadar, dengan cepat samurai di tangan Meimora kembali berkelebat. Tanpa ampun lagi...

"Wuuuuutttt...!"

"Bret! Bret! Bret!"

"Aaaaaaaa....!" empat orang itu memekik sesaat, lalu tubuh mereka pun ambruk. Perut mereka sobek terkoyak oleh samurai di tangan Meimora. Meimora benar-benar bagaikan Dewi Kematian saja. Samurai di tangannya sungguh sangat sadis, tanpa kenal ampun untuk Ninja-ninja tersebut.

Kini para Ninja itu benar-benar kalang kabut dibikin repot dan terdesak oleh keempat orang utusan istana tersebut. Satu persatu para Ninja itu berguguran, terbabat oleh senjata yang berada di tangan mereka. Dan manakala hari menginjak pagi, tinggallah hanya tiga dari lima puluh Ninja tersebut yang masih hidup! Ketiganya dibiarkan hidup untuk mengadukan segalanya pada ketua mereka Taka Nata si Iblis Nippon.

DUA

Betapa gusar dan marahnya Taka Nata mendengar penuturan ketiga anak buahnya tentang kegagalan mereka. Taka Nata kini betapa mendendam sekali pada pemuda pendekar yang orang asing tersebut. Taka Nata juga sangat gusar pada kerajaan yang mengundang pendekar tersebut.

"Mumpung para pendekar termasuk pendekar muda itu berada di tempat Eyang guru, maka hari ini juga kita mesti mengadakan pembalasan pada pihak kerajaan!" Taka Nata berkata dengan suara berapi-api penuh dendam. Ya, dendamnya sangat mendalam pada orang-orang yang dianggapnya telah merintangi cita-citanya. "Pendekar itu harus aku singkirkan!"

Semua anak buahnya tiada berani yang bicara, semuanya diam.

"Kau Maitzo. Pimpin pasukan, serang kerajaan. Dan sebagian lagi, ikut aku untuk membuat keributan di mana-mana agar seluruh pendekar terpecah pikirannya!"

"Daulat, Ketua," jawab Maitzo.

"Sekarang laksanakan! Ingat! Jangan sampai gagal untuk yang ketiga kalinya!"

"Daulat, Pimpinan!" Maitzo sebagai tangan kanan Taka Nata dengan tanpa banyak komentar lagi segera pergi ke luar untuk mengumpulkan setiap prajurit. Kini tekad yang ada di hati para Ninja hanya satu, menggulingkan kekaisaran.

"Prajuriiiiiittt... kumpuuuuuulll...!"

Mendengar seruan wakil pimpinannya, para Ninja yang mempunyai disiplin tinggi tersebut dengan segera berkumpul. Semuanya bagaikan tiada mengeluh, tanpa tanya bakalan apa yang ditugaskan pada mereka.

"Kalian tahu apa yang akan kami tugaskan?" tanya Maitzo.

"Belum...!" jawab prajurit Ninja.

Maitzo berjalan perlahan memeriksa pasukannya yang mencapai ratusan prajurit Ninja yang sudah dididik dan dilatih. "Kalian hari ini juga akan ditugaskan untuk melakukan apa yang selama ini kita rencanakan," Maitzo memberitahukan. "Tentunya kalian telah mengerti, bukan?"

"Mengertiiii...!" kembali mereka serempak menjawab.

"Nah, kali ini kami uji kesetiaan kalian pada pimpinan. Tunjukkan apa yang kalian mampu! Tunjukkan pula bahwa kalian bukanlah prajurit sembarangan!"

Ucapan Maitzo bagaikan penyebar semangat. Hal tersebut terlihat jelas dari keceriaan para Ninja, yang seakan hendak mendapatkan bonus saja. Itulah kepatriotan Ninja, serta rasa kedisiplinan yang tinggi.

"Nah, ucapkan janji kalian!"

"Janji Ninja! Kami akan selalu menjunjung tinggi setiap amanat pimpinan! Kami rela mati untuk keberhasilan cita-cita semuanya! Kami tak akan mau menyerah pada musuh, kecuali hanya kematian!"

Maitzo tersenyum, dan katanya. "Bagus! Nah, aku mohon, ketiga prajurit Ninja yang kemarin gagal segera maju ke muka,"

Dengan tegar bagaikan tak mengenal rasa takut, ketiganya segera melangkah ke muka. Wajah mereka tidak mencerminkan adanya rasa takut, bahkan di wajah mereka kini nampak ketenangan. Mereka tahu dan sadar, bahwa diri mereka kini tiada lagi artinya bagi kehidupan seorang Ninja.

Tiga orang temannya yang dengan tangan siap menghunus samurai berjalan di belakangnya. Wajah ketiga Ninja lainnya seakan tiada ekspresi. Bagi mereka, hukuman semacam itu bukanlah sebuah pemandangan yang baru, akan tetapi sering mereka saksikan. Dan kadangkala mereka sendiri yang menjadi algojonya.

"Kalian telah siaaaappp...!?" tanya Maitzo.

"Siaaaappp...!" jawab ketiga algojo. "Nah! Hari ini kalian semua akan melihat bagaimana ketiga orang anggota kita yang pengecut akan menerima hukuman! Kalian jadikanlah ini semua sebagai pelajaran!"

Semuanya terdiam, tanpa ada seorang pun yang menjawab. Maitzo kembali meneruskan ucapannya, "Sebagai seorang Ninja, tak patut jika kalian mengalah pada musuh, takut mati! Maka, jika kalian menemui musuh yang berat dan sekiranya tidak mampu kalian hadapi, lebih baik kalian lakukan harakiri, mengerti...!"

"Mengerti !" jawab semuanya.

Tiga orang Ninja tersebut kini jongkok, tundukkan kepala seperti siap menerima hukuman. Sementara ketiga algojo yang akan melakukan hukumannya, nampak masih berdiri di sisisisi mereka. Samurainya kini nampak mengangkat ke atas, pertanda bahwa mereka benar-benar telah siap untuk menerima perintah.

"Lakukan!"

Bersamaan dengan akhir dari kata-kata Maitzo, maka tangan ketiga Ninja yang memegang senjata samurai itu berkelebat ke bawah tanpa dapat dicegah.

"Wuuuuutttt!"

"Crraaaaaasssssss!"

"Aaaaaaaaaaaa...!" ketiga orang terhukum itu memekik panjang, sebelum akhirnya kepala mereka puntung dan menggelinding dari pangkal lehernya. Sungguh tragis kematian mereka, dan rupanya itulah hukum yang mesti berlaku bagi para Ninja. Walaupun begitu, nampak Ninja yang lainnya tundukkan kepala. Mereka benar-benar menghormati rekan-rekannya. Khidmat mereka tundukkan kepala, seperti sedih untuk berpisah selama-lamanya.

"Itulah hukum kita." Maitzo kembali berkata. "Nah, kalian harus tahu itu. Kini kita akan mengadakan sebuah gerakan gerilya untuk dapat merongrong kerajaan. Seperti biasanya, kita akan melakukan perampokan dan pemerasan. Dan mulai hari ini, operasi kita akan langsung dipimpin oleh ketua kita, Taka Nata!"

"Hidup Taka Nata...!"

"Hidup Samurai Iblis...!"

Sorak pekikan menggema manakala Taka Nata keluar dari tempat kediamannya untuk memeriksa pasukannya yang berjumlah ratusan Ninja tersebut. Taka Nata dengan pakaian kebesarannya yang berwarna putih perak itu melangkah dengan diapit dua tangan kanannya memeriksa para prajuritnya.

"Kalian tahu mengapa kalian dikumpulkan?"

"Tahu, Ketua...!" jawab Ninja-ninja tersebut.

"Hem, bagus! Hari ini, adalah puncak dari Revolusi kita!" Taka Nata menerangkan. "Revolusi Ninja, yang kelak akan mengukir sejarah. Dan bila kita berhasil, maka kalian akan menjadi orang-orang yang disegani dan dihormati. Jadi, kalian hendaknya berjuang dengan sungguh-sungguh. Kalian harus percaya, bahwa akulah orang yang paling sakti di tanah Nippon ini!"

"Hidup Ketua Taka Nata...!"

"Hidup Samurai Iblis...!"

"Nah, kalian akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, ikut dengan Maitzo menyerang kerajaan. Sedangkan bagian kedua, ikut dengan aku membuat kerusuhan."

Hari itu juga dua kelompok prajurit yang tergabung dalam Persekutuan Samurai Iblis dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama dengan dipimpin oleh Maitzo akan menyerang kerajaan, dan bagian kedua yang dipimpin oleh Taka Nata, akan membuat kerusuhan di dunia persilatan. Tujuan mereka hanya satu, menjadi pimpinan di setiap sektor yang memegang peranan penting di tanah Nippon.

"Nah, sekarang juga, bagian yang ikut Maitzo berangkat! Serang kerajaan.... Bila perlu, bunuh Kaisar...!" suara Taka Nata berapi-api, memberikan semangat pada para prajuritnya. "Jangan kalian gagal, sebab kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Gunakan segala cara untuk dapat menguasai kerajaan!"

"Siiiiiiaaappp...!" jawab semuanya.

"Maitzo berangkatlah!"

"Daulat, Pimpinan." Maitzo menjura, lalu pada prajuritnya ia pun berkata. "Prajurit...! Siiiiiaaaap! Kita jalan...!"

"Siiiiiaaaapp...!" jawab mereka.

Setelah memberikan penghormatan pada Taka Nata, maka hari itu juga anak buah Taka Nata yang dipimpin oleh Maitzo berangkat menuju arah Barat di mana kerajaan berada. Jarak kerajaan dengan markas mereka memang cukup jauh. Seminggu bila ditempuh dengan jalan kaki, tapi bagi mereka tiada masalah. Di hati mereka yang ada hanyalah rasa ingin menang.

Taka Nata nampak sunggingkan senyum demi melihat sebagian pasukannya telah berjalan untuk menunaikan tugas. Sedangkan dia sendiri kini akan langsung mengepalai sebagian pasukan lainnya guna mengaco para pendekar. Tak berapa lama kemudian, "Pasukan, kita berangkat! Kita jadikan wilayah sekitar kerajaan untuk ajang kita. Kita bikin semua penduduk resah!"

"Akuuuuuuurrr...!" jawab semua Ninja.

Taka Nata kembali tersenyum, lalu dengan tanpa kata lagi ia pun melangkah pergi diikuti oleh anak buahnya. Tempat markas Samurai Iblis pun kini sepi, hanya tinggal tiga orang Ninja yang ditugasi untuk menjaganya.

********************

"Masih jauhkah tempat pertemuan para Pendekar?" tanya Jaka pada kedua Panglima kerajaan yang mengikutinya untuk menemui para Pendekar yang saat itu tengah berkumpul dalam usahanya mencari jalan keluar mengatasi Taka Nata.

"Kita tinggal memerlukan waktu dua hari perjalanan lagi, Tuan Pendekar," jawab Panglima pertama.

Terbelalak mata Jaka Ndableg demi mendengar jawaban dari Panglima perang kerajaan tersebut. Hingga karena saking kagetnya, sampai-sampai Jaka bergumam, "Dua hari perjalanan...?"

"Ya," jawab Panglima pertama lagi.

"Apa tidak dapat dipercepat?"

"Tidak, Tuan." Sebenarnya Jaka dapat saja mengambil jalan cepat untuk mencapai tempat tersebut, bukankah ia memiliki ilmu lari Angin Puyuh yang tiada tandingannya? Namun jika ia ingat bahwa dirinya sangat diperlukan oleh keempat orang Nippon tersebut, Jaka urungkan niatnya dan tetap menurut ikut bersama mereka.

"Kalau aku tahu tempatnya, tidak perlu aku harus meminta mereka menemaniku," Jaka membatin. "Tapi jika aku meninggalkan mereka, aku khawatir mereka akan mendapat tantangan dari para Ninja anak buah Tak Nata."

Kereta melaju dengan kencang, sehingga bila kereta tersebut berguncang, maka kelima orang yang berada di dalamnya pun ikut terguncang-guncang pula.

"Tuan Pendekar, benarkah Jawa Dwipa terkenal dengan keramah-tamahan penduduknya?" tanya Meimora memecahkan kebisuan.

"Benar," jawab Jaka.

"Tapi kami mendengar bahwa para Ninja hitam banyak yang mati oleh pendekar-pendekar Tanah Jawa," Panglima pertama menyambung sepertinya ingin mengetahui hal kebenaran cerita dari mulut ke mulut yang ia dengar. "Sebab menurut yang saya dengar. Para Ninja tersebut menemui kematian di Tanah Jawa oleh para Pendekar Tanah Jawa."

Jaka tarik nafas panjang, sepertinya ingin menggambarkan pada mereka bahwa segalanya memang benar. Dan sebagai jawabnya Jaka kini tersenyum. Hal tersebut menambah keyakinan para sahabatnya yang berada di dalam kereta.

"Apakah Ninja-ninja tersebut atas perintah Kaisar?" tanya Jaka, seakan ingin mengorek berita yang mampu menjadi bukti.

"Bukan! Kaisar tadinya melarang, namun dikarenakan mereka memaksa, maka Kaisar pun meluluskannya," Panglima kedua menjawab, mewakili rekannya. "Sungguh, kami sebenarnya menganggap orang-orang Tanah Jawa sebagai saudara kami sendiri."

Jaka Ndableg angguk-anggukkan kepalanya. Kembali kebisuan menyelimuti, sepertinya perjalanan mereka tiada tersirat kegembiraan. Masih terbayang di benak mereka Ninja-ninja yang sewaktu-waktu akan menghadang perjalanan mereka. Namun bila keempat orang tersebut ingat bahwa di situ ada Jaka, maka keempatnya tampak aman.

Kereta terus melaju, menyusuri jalanan salju yang kian menebal hingga terasa kereta jalan lamban. Roda-roda kereta nampak mencakarcakar, menjadikan lukisan garis tebal yang tertekan kuat. Rasa dingin terus menyelimuti, dan makin naik ke Gunung Fuji, hawa dingin makin menjadi-jadi. Hal tersebut menjadikan keempatnya nampak menggigil, tinggal Jaka saja yang nampaknya tiada terpengaruh sama sekali, bahkan pendekar kita itu tanpa sehelai benang pun yang menutup tubuhnya.

"Dingin...?" tanyanya.

Keempat orang Jepang itu mengangguk, malah Meimora makin merapat tanpa malu-malu ke tubuh Jaka Ndableg. Jaka yang melihatnya secara diam-diam salurkan hawa panas, menjadikan ruangan kereta tersebut tiba-tiba menjadi hangat kembali. Hal tersebut menjadikan keempatnya terjerengah, mata mereka membeliak tak yakin pada keadaan seketika itu. Namun manakala mereka memandang pada Jaka Ndableg yang masih terdiam, mereka pun kini sadar bahwa karena pendekar tersebut mereka merasakan kehangatan.

"Tentunya Pendekar muda ini yang memberikan kehangatan." gumam Panglima pertama dalam hati. Begitu juga dengan ketiga orang lainnya, mereka yakin bahwa Jakalah yang telah membuat hawa hangat di dalam kereta. Tengah kereta melaju, tiba-tiba kuda-kuda penarik kereta meringkik. Kuda-kuda tersebut bagaikan ketakutan saja, angkat kaki-kaki mereka dengan ringkikkan keras.

"Hanyeeee...! Hanyeeee...!"

"Hai! Ada apakah, Kusir?" tanya Panglima kedua. "Sepertinya kuda-kuda itu ketakutan?"

Sang Kusir masih berusaha mengendalikan kuda-kudanya dengan menarik kaisnya kuat-kuat. Namun nampaknya kuda-kuda itu benar-benar ketakutan hingga sang Kusir terpelanting jatuh. Melihat hal itu, secepat kilat Jaka Ndableg yang waktu itu tengah berkonsentrasi penuh salurkan hawa panas tersentak. Tanpa banyak kata segera Jaka pun berkelebat ke depan. Ditariknya kais, lalu berusaha mengendalikan kuda-kuda tersebut. Kedua mahluk itu pun saling tarik untuk menentukan kemenangan emosi mereka. Namun tampaknya tenaga Jaka jauh lebih besar, sehingga kuda-kuda tersebut pun dapat dihentikannya

"Hia, hia...!"

"Hanyeeee....!" Kuda-kuda itu meringkik, lalu ambruk dengan nafas yang memburu, Jaka dengan cepat turun, periksa keadaan kuda yang kini tergeletak. Mata Jaka seketika terpancang pada tubuh kuda-kuda tersebut. Di tubuh kuda-kuda itu kini tertancap dua senjata rahasia yang menjadikan lambang khusus para Ninja.

"Ninja...! Hem, ternyata mereka telah datang ke mari." gumam Jaka dalam hati, diambilnya dua buah senjata berbentuk bintang tersebut, menjadikan kuda-kuda itu merintih kesakitan. Darah keluar dari tubuh kuda-kuda itu. Seketika kuda-kuda itu mengejang, lalu akhirnya mati tergolek. Dengan ambruknya kuda-kuda tersebut, maka ambruk pula kereta yang mereka tumpangi. Seketika keempat orang yang berada di dalam pun melompat ke luar.

"Ada apa, Tuan Pendekar?" tanya mereka.

Jaka tunjukkan senjata rahasia di  tangannya. "Ninja-ninja itu kini berada di sekitar tempat ini, maka hati-hatilah."

"Seraaaang!" kedua Panglima itu cabut samurainya. "Kita harus menumpasnya!" Panglima pertama berkata, langkahkan kaki hendak mencari. Namun sebelum jauh, dengan cepat Jaka pun melarangnya.

"Tuan Panglima, jangan!"

"Kenapa, Tuan Pendekar?" tanya keduanya, sedangkan Meimora yang nampak ketakutan kini makin menempel dekat dengan Jaka, Meimora kini benar-benar merasakan bahwa dia sangat membutuhkan diri pendekar muda tersebut.

"Bukankah mereka harus dibasmi?" lanjut Panglima kedua.

"Benar! Tapi bukan cara nekad seperti kalian! Kalian tentu tidak mau menjadi korban seperti kuda-kuda ini, bukan?" Jaka kembali berkata, menyadarkan kedua Panglima Perang tersebut yang seketika itu juga menurut dan balik ke tempatnya.

"Suuuuuuiiiiiiittttt!" Suitan terdengar panjang, yang menjadikan kelima orang tersebut belalakkan mata.

"Hati-hati, mereka datang!" ucap Jaka.

"Benar, Tuan. Aku rasa, mereka sebentar lagi tunjukkan diri mereka!" Panglima kedua nampak menggertak marah. Kekesalannya atas tindakan-tindakan Ninja yang telah berusaha merongrong kerajaan membuatnya tak mampu menahan kekesalannya. Sebagai pembela kerajaan, jelas ia sangat membenci tindakan-tindakan para Ninja tersebut. "Hem, jangan harapkan kami akan membiarkan mereka hidup!" tambahnya.

Ketiga pendekar itu nampak memasang mata tajam ke arah datangnya suara suitan tersebut. Kedua Panglima kerajaan tersebut telah siap dengan samurainya, sementara Jaka Ndableg nampak masih berusaha tenang. Pedang Siluman Darah masih tergantung di dalam sarungnya di pundak, hanya mata dan telinga Jaka saja yang tajam memperhatikan sekelilingnya.

"Suuuuuuuiiiiiitttt...!" kembali terdengar suitan panjang, dan bersamaan itu berkelebat sosok-sosok bercadar ala Ninja mengurung mereka. Namun orang-orang ini jelas menunjukkan perbedaan para Ninja yang menjadi anak buah Tak Nata. Kalau biasanya anak buah Taka Nata menggunakan pakaian serba hitam, akan tetapi orang-orang ini terdiri dari beraneka ragam pakaiannya. Hal tersebut menjadikan kedua Panglima kerajaan makin kebingungan, menjadikan Jaka yang melihatnya sempat terheran-heran dan bertanya.

"Apa yang menjadikan Tuan Panglima terkejut?"

"Mereka bukan anak buah Taka Nata," jawab Panglima pertama.

"Ah, mengapa bisa begitu?" Jaka belum mengerti.

"Kau bisa lihat, Tuan. Bukankah pakaian mereka menunjukkan corak lain?"

Jaka Ndableg pandang tajam orang-orang Ninja yang jumlahnya mencapai lima puluh orang tersebut. Memang pakaian mereka beraneka ragam. Hal itu memang berlainan dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh Ninja anak buah Samurai Iblis yang selalu menggunakan warna hitam legam.

"Mungkin ini sebuah taktik," Jaka berkata pada diri sendiri dalam hati. "Dari cara-cara mereka keluar, jelas cara mereka sama persis. Hem, jangan kira aku mudah kalian kibuli."

"Bajero! Seraaaanggg....!" terdengar teriakan pimpinan Ninja.

"Hiiiiiiiiaaaaatttttt...!"

Seketika kelima puluh Ninja tersebut berkelebat menyerang ke arah mereka. Samuraisamurai di tangan mereka bagaikan haus darah membabat ke arah lawan.

"Wuuuuttt...!"

Jaka Ndableg tersentak, elakkan serangan dan segera melompat ke arah Meimora yang nampaknya ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa. "Tenang, Nona. Kau jangan khawatir dan takut, aku akan berusaha menjagamu. Nah, aku akan mengambil pedang mereka." Jaka kembali berkelebat menyerang.

"Wuuuuuutttt...!"

"Wuuuuuuuttttt...!"

Dua orang Ninja menyerang ke arahnya, segera Jaka Ndableg elakkan. Tubuhnya dorong ke samping hingga samurai Ninja tersebut mendesing di samping tubuhnya. Habis mengelak, segera Jaka ayunkan kakinya menendang.

"Hiiiiiaaattt!"

"Wet! Dest!"

Tendangan kaki Jaka telak menghantam ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang yang terkena seketika terpental dengan dada remuk. Hal itu menjadikan rekannya tersentak kaget, yang segera babatkan samurainya untuk melindungi diri dari serangan tendangan kaki Jaka Ndableg.

"Wuuuuutttt...!"

Samurai melesat, membabat ke arah kaki Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samurai lawan membabat, segera Jaka pun tarik kembali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan kiri serta sikut.

"Wes...!"

"Dug! Bug...!"

"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pipinya terasa remuk tersikut dan terpukul tangan Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut samurainya.

"Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lemparkan samurai ke arah Meimora yang dengan cepat menangkapnya.

Dengan samurai di tangannya Meimora bagaikan orang kalap, dengan liar dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat menyerang para Ninja tersebut. Babatan samurainya begitu liar, dengan jeritan-jeritan pelampias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya. Diincarnya salah seorang dari empat orang yang ia kenal adalah mereka yang memperkosanya. Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orangorang itulah yang dulu memperkosanya. Juga dari tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya memandang ke arahnya.

Jaka sebenarnya sangat meragukan tindakan Meimora yang nampaknya begitu nekad. Namun untuk menghalangi atau mencegah, jelas Jaka tidak berani. Ia yang menghargai setiap emosional orang lain yang terdorong oleh faktor kebencian dan dendam sukar untuk bertindak. Ia juga tidak ingin dikatakan sebagai seorang yang terlalu meninggi diri. Namun bila dibiarkan berlarut-larut, jelas hal ini akan menjadikan bahaya bagi diri Meimora. Jaka Ndableg terus mencoba menuju ke arah di mana Meimora dan Kusir kereta yang bernama Takasima Jucaba yang kini tengah membabi buta menyerang musuh.

"Wuuuuuutttt...!"

Jaka Ndableg tersentak manakala sebuah samurai lawan berkelebat menyerang. Hampir saja tubuhnya menjadi sasaran, kalau saja Jaka tidak segera lompat ke belakang. Demi dua orang tersebut, kini Jaka Ndableg harus melompat-lompat bagaikan katak melepaskan terkaman ular beracun. Samurai lawan-lawannya terus mencerca menjadikan Jaka harus menepiskan perhatiannya pada kedua orang tersebut.

"Wuuuuutttt...!" kembali samurai lawan menderu.

Jaka miringkan tubuh, tangkis serangan dengan kebatan tangannya yang mampu menimbulkan angin besar. Kelima Ninja penyerangnya tersentak, tarik serangan mundur. Hal tersebut tidak disia-siakan Jaka, yang dengan segera kembali mencercanya dengan serangan kilat pukulan Dewa Badai.

"Hiiiiiiaaaatttt...!"

"Wuuuuuttt...!"

Tangan Jaka bergerak memutar, lalu dengan cepat bergerak lurus ke arah lima orang musuhnya.

"Wuuuuussss...!"

Angin menderu, manakala tangan Jaka mengkiblat ke arah musuh. Angin itu untuk kedua kalinya menggoyahkan kelima musuhnya. Kelima Ninja itu seketika tersurut mundur, mata mereka melotot kaget. Namun belum juga mereka mampu berbuat, dengan cepat Jaka sodokkan kaki kanannya menendang dengan gaya Elang Mencakar.

"Wuuuuuttt..!"

"Dest!" Bret!"

"Aaaaaaaaaaaaaaa...!" satu dari kelimanya memekik, manakala sepatu Jaka menghantam perutnya. Perut Ninja itu seketika koyak dan darah pun menyembur ke luar. Keempat rekannya tersentak, namun dengan cepat keempatnya kembali menyerang Jaka. Dibabatkannya samurai mereka ke arah Jaka.

"Wuuuuuttt!"

Empat samurai itu kembali mencerca, namun Jaka bagaikan tidak ada mengalami kesulitan dengan cepat mengelak. Sementara keempat rekannya yang juga masih bertarung nampak mengalami kesulitan. Keempat orang tersebut walaupun membabi buta, namun mereka tidak menyadari kalau serangan mereka yang membabi buta itu malah menjadikan tenaga mereka berkurang. Hal itu diketahui musuh, yang dengan cepat merangseknya.

Dua Panglima perang kerajaan seperti tidak mau mengalah begitu saja. Samurai di tangan keduanya yang memang jago-jago dalam penggunaan samurai terus menderu-deru menyerang balik. Namun dikarenakan tenaga mereka telah terkuras, menjadikan mereka kini bagaikan singa yang ompong. Serangan mereka makin lama makin melemah, bahkan kini tiada arti sama sekali.

"Wuuuuuutttt...!"

"Trang!"

Samurai di tangan Panglima pertama mental, tertangkis oleh pimpinan Ninja yang dengan keenam anak buahnya menyerang.

"Ah...!" Panglima pertama memekik, melompat mundur hindari serangan.

Namun rupanya pimpinan Ninja itu tidak mau memberikan kesempatan sedikit pun pada Panglima tersebut. Dengan samurainya ketujuh Ninja itu terus mencerca Panglima pertama yang hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.

"Bahaya...!" Jaka berseru dalam hati, segera dengan cepat ia kibaskan tangannya menyerang dengan maksud merampas salah sebuah samurai musuh.

"Wuuuuuttt...!"

"Yap! Tap...!"

Jaka dengan gerak cepat rampas samurai lawan, sehingga orang tersebut beliakkan mata kaget. Betapa pun, gerakan Jaka yang begitu cepatnya sukar diikuti atau dielakkan oleh musuh. Dan bukan hanya orang tersebut saja yang kaget, akan tetapi kelima orang temannya juga membeliakkan mata juga. Belum juga kelimanya sempat hilang kagetnya, segera Jaka pun hantamkan tangannya dengan Jurus Tangan Dewa Menghantam Karang. Gerakan tangan Jaka begitu cepat, menjadikan tangannya bagaikan berubah banyak.

"Wuuuutt! Wuuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug!"

Lima kali suara hantaman menggema, dan lima kali itu pula tangan Jaka mendarat ke muka musuhnya. Seketika kelima musuhnya menjerit, berguling-guling di atas tanah bersalju yang dingin. Melihat musuhnya dapat dikalahkan, Jaka bermaksud membantu keempat rekannya, namun belum juga Jaka mampu bertindak, tiba-tiba terdengar pekikkan menyayat.

"Wuaaaaaa...!"

"Wuuuuttt!"

"Breett!"

Panglima pertama menjerit, samurai lawan telah mampu membeset tubuhnya. Seketika tubuh Panglima pertama goyah, sempoyongan dengan perut menganga oleh besetan samurai. Jaka yang melihatnya begitu gusar, sehingga dengan penuh amarah dicabutnya Pedang Siluman Darah.

"Sraaaangg !"

"Bedebah! Kalian memang harus mampus, hiiiiaaaattt !"

Jaka melompat ke arah Panglima pertama yang telah terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Namun begitu para Ninja tersebut tiada hentikan serangannya. Kembali Samurai-samurai mereka membabat tubuh Panglima pertama.

"Wuuuuutttt,..!"

"Cras! Cras! Cras!"

"Wuuuuaaa...!" Tiga kali samurai ketiga Ninja itu menggores tubuh Panglima pertama, menjadikan Panglima pertama benar-benar tak mampu pertahankan nyawanya. Panglima pertama yang telah banyak mengeluarkan darah ambruk seketika.

"Bajero kerajaan! Mampus! Hiiiiiaaaatttt....!" Samurai para Ninja yang mengeroyok Panglima hendak mengakhiri hidupnya, manakala dengan cepat Jaka berkelebat.

"Bangsat! Hiaaaaattttt!"

"Wuuuuuusssss!"

"Trang! Trang! Trang....!"

Enam kali terdengar beradunya suara benda-benda logam. Keenam Ninja yang tadinya bermaksud mencincang tubuh Panglima seketika melompat mundur. Mata mereka membeliak, tatkala melihat samurai-samurai di tangannya. Samurai-samurai di tangan mereka puntung menjadi dua.

"Kalian harus mampus! Hiaaat!"

"Ah...! Mundur...!"

Jaka yang sudah marah oleh rasa tanggung jawabnya untuk melindungi Panglima tak hiraukan keenam Ninja yang tersentak kaget. Dan manakala keenamnya hendak mundur, dengan ganas dan cepat Jaka babatkan Pedang Siluman Darahnya. Gerakan Pedang Siluman Darah yang mempunyai kekuatan magis itu begitu cepat, sehingga sukar bagi keenamnya untuk mengelakkannya.

"Wuuuuutttt...!" Pedang Siluman darah menderu, lalu...!

"Wuuuuuuaaaa...!"

keenam orang itu memekik, tubuh mereka seketika ambruk. Tubuh mereka sesaat kejang, sebelum akhirnya tidak berkutik dan mati. Kepala mereka tanggal, dengan darah yang telah mengering terhisap oleh Pedang Siluman Darah.

Jaka bermaksud menolong Panglima pertama, namun belum juga berhasil, terdengar pekikkan dari arah lain. Dan manakala Jaka menengok, tampak tukang Kusir saat itu menjadi bulan-bulanan para Ninja. Tubuh Tukang Kusir itu terbeset-beset oleh sabetan-sabetan samurai di tangan Ninja-ninja tersebut. Darah Jaka Ndableg benar-benar mendidih. Bersamaan dengan ambruknya tubuh Kusir kereta, seketika itu pula Jaka yang memegang Pedang Siluman Darah melompat menyerang.

"Bedebah! Hiiiiaaaattt...!"

Ketujuh Ninja yang mengeroyok Tukang Kusir itu tersentak, palingkan muka memandang pada teriakan seseorang yang berada di belakangnya. Namun ketika mereka menengok, dengan cepat Jaka yang sudah benar-benar marah babatkan Pedang Siluman Darahnya. Dua orang dari mereka dapat meloloskan diri, namun lima orang lainnya tanpa mampu menghindar. Hingga...!

"Wuuuuuttt...!"

"Dest...!"

"Cras! Cras! Cras!"

"Wuuuuaaaaaaaa...!"

Lima orang Ninja puntung kepalanya, tergolek lepas dari leher. Mata kelima orang Ninja itu membeliak, sepertinya mereka tiada kuat menahan siksa manakala Pedang Siluman Darah membabat leher mereka. Dua orang lainnya segera nekad menyerang, sebatkan samurai ke arah Jaka.

"Bajero! Hiiiaaat!"

"Wuuuuttt!"

Jaka melompat mundur, lalu dibalasnya serangan mereka dengan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuttt!"

"Trang!"

"Prak! Prak!"

Dua pedang samurai di tangan musuhnya patah, manakala keduanya bertemu dengan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka. Belum juga keduanya hilang kaget, dengan cepat Jaka kembali babatkan pedangnya ke arah mereka.

"Wuuuuut...!" Gerakan Pedang Siluman Darah yang cepat sukar untuk dihindari mereka. Hingga tanpa ampun lagi...

"Cras! Cras!"

"Wuuuuuaaaa...!" kedua orang Ninja itu memekik untuk yang terakhir, sebelum kemudian tubuh mereka terkulai dengan tubuh puntung menjadi dua. Dua puluh lima lebih, dan bahkan kini tiga puluh dua lebih Ninja-ninja tersebut menemui ajalnya di tangan Jaka Ndableg.

Sedangkan Panglima kedua telah menewaskan tujuh orang Ninja, sementara kini Meimora tampak menghadapi musuh-musuh yang bukan sembarangan. Keempat orang Ninja tersebut yang telah memperkosanya serta membunuh keluarganya. Tekad di hati Meimora untuk membunuh keempatnya, seakan tiada bakal tercapai. Dan kini malah dirinya sendiri yang terdesak hebat.

"Wuuuuutt...!"

Samurai di tangan keempat Ninja tersebut menyabet ke arah tubuh Meimora.

"Ah...!" Meimora tersentak.

"Bret...!"

Beruntung Meimora masih mampu melompat mundur, kalau tidak, tentunya daging perutnya akan terbeset. Namun tak urung, kini pakaiannya yang tersobek lebar, menjadikan keempat Ninja tersebut kini memandang ke arah tubuh yang sensitif itu dengan liar. Keempatnya kini teringat kembali akan apa yang pernah mereka lakukan.

"Hua, ha, ha...! Nona, janganlah engkau galak-galak. Lebih baik menurutlah dengan kami!" salah seorang dari keempatnya berkata, kakinya melangkah mendekat. Tangannya perlahan hendak membeset makin lebar sobekan kain Meimora. Namun belum juga tangan itu berhasil, tibatiba sebuah bayangan berkelebat.

"Wuuuuuusssttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

"Cras! Cras! Cras...!" Sebuah sinar kuning kemerah-merahan berkelebat membabat tangan orang tersebut. Tanpa dapat dihindari, sehingga tangan orang tersebut pun seketika puntung. Orang itu pun menjerit menahan sakit, darah muncrat dari tangan yang puntung. Dan mungkin karena terlalu banyak darah keluar, menjadikan orang tersebut seketika itu pula pingsan. Melihat semuanya jatuh, tiga Ninja lainnya dengan segera mendekap tubuh Meimora.

"Mundur engkau, atau Nona ini yang akan kami gorok, hah!"

Mendengar ancaman orang yang menyandera Meimora, Jaka nampak hentikan langkahnya. Sementara ketiga Ninja itu perlahan menyurut mundur dengan masih menyandera tubuh Meimora. Kini Jaka benar-benar serba salah harus berbuat apa. "Hem, jangan kira aku akan membiarkan kalian bertindak semaunya," gerutu Jaka dalam hati. Dipalingkan mukanya memandang pada Panglima kedua yang kini masih dikeroyok oleh sepuluh Ninja.

"Aku akan membantu Panglima dulu, baru nanti mengejar mereka!" Bagaikan tidak memperdulikan Meimora yang meronta-ronta minta tolong, Jaka Ndableg berkelebat menuju ke tempat pertarungan Panglima.

"Jakaaaaaaaa.... Toloooooonggg...!" Meimora terus berteriak-teriak sambil memberontak. Namun ketiga Ninja itu bagaikan tiada perduli, dan terus saja mereka menyeret tubuh Meimora pergi.

Konsentrasi Jaka kini bercabang, antara membebaskan Meimora dengan membantu Panglima. Hingga pada saat sebuah samurai lawan yang tiba-tiba menyerangnya berkelebat membabat, tanpa ampun lagi Jaka Ndableg tak dapat hindari.

"Wuuuuuuttttt...!"

"Sreeeettt...!"

"Aaaah...!" Jaka memekik, dilihatnya pundak tangan kanannya terbeset, darah mengucur ke luar. Kemarahan Jaka Ndableg seketika membludak. Hingga karena marahnya, sampai-sampai Jaka keluarkan Ajian Banyu Geni tingkat pamungkas. "Goooooaaaaarrrr...!" suara Jaka membahana, bersamaan dengan itu, tubuhnya berubah menjadi Dewa Api.

Terbelalak semua yang mencoba mengeroyok Panglima kedua, manakala melihat Jaka telah berubah menjadi Dewa Api. Api seketika menyambar-nyambar tubuh ketujuh Ninja tersebut. Tujuh Ninja itu segera melompat mengelak, namun tidak urung, satu di antara mereka kena juga.

"Wuuuuusssss...!"

"Blas...!"

"Wuuuuuuaaaaaa..,.!" orang yang terkena memekik, tubuhnya seketika terbakar. Melihat kepanikan keenam Ninja lainnya, dengan cepat Panglima kedua serang mereka. Tanpa ampun lagi, keenam Ninja yang kini tengah kalut oleh Jaka Ndableg tanpa dapat menangkis serangan Panglima yang cepat. Samurai di tangan Panglima kedua berkelebat, dan...

"Wuuuuuuaaaaa!" Dua Ninja menjerit, terbabat samurai di tangan Panglima.

"Wuuuuuuuaaaaa!"

Bareng dengan dua rekannya yang menjerit terbabat samurai di tangan Panglima Perang kedua, dua rekannya juga menjerit dengan tubuh terbakar api Dewa Api. Kini tinggal dua orang Ninja yang tertinggal. Dua Ninja itu kini benarbenar ngeri dan gentar menghadapi Dewa Api. Keduanya hendak lari, namun api dari mulut Dewa Api tiba-tiba menghantam tubuh mereka.

"Wuuuussss! Besssttt!"

"Wuuuuuaaaaaaa.....!" Keduanya menjerit. Tubuh mereka terbakar oleh Inti Api. Mereka mencoba memadamkannya dengan berguling-guling di atas salju, namun ternyata api yang tercipta oleh intinya. Karena mereka terus berguling, hingga mereka tidak menyadari bahwa tubuh mereka semakin mendekati jurang. Dan manakala mereka terus berguling, tubuh mereka pun seketika terjatuh ke bawah jurang.

"Aaaaaaaaaa!" Dan akhirnya habis tertelan dalamnya jurang Fuji.

Sementara itu Jaka telah kembali dalam bentuk asalnya.

"Kau tidak apa-apa, Tuan Panglima?"

"Tidak, Tuan Pendekar."

"Kita harus menolong Nona Meimora," ucap Jaka

"Benar! Ayo kita memburu mereka!"

Dengan segera keduanya pun berkelebat menuju ke arah di mana ketiga Ninja tersebut menuju. Namun ternyata jejak Ninja-ninja itu kini telah hilang entah ke mana, menjadikan Jaka benar-benar mengalami kekesalan. Jaka tahu apa yang akan dilakukan ketiga Ninja tersebut pada Nona Meimora.

"Kita cari berpencar," Jaka menyarankan.

"Baiklah!" jawab Panglima kedua.

"Hati-hati, Panglima!"

Jaka kemudian berkelebat pergi dengan mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang ditempuh Panglima kedua. Senja pun telah datang, terbukti hari tampak remang-remang. Salju turun dengan derasnya, membasahi alam itu dengan damai nan bisu.

********************

TIGA

Di kerajaan, nampak Kaisar dengan didampingi oleh para sesepuh istana tengah mengadakan rapat yang membahas tentang usaha-usaha untuk mengakhiri sepak terjang Taka Nata si Iblis Nippon. Sang Kaisar nampak duduk dengan agungnya di singgasana, sementara para sesepuh istana berdiri di samping kiri dan kanannya. Sedangkan para Panglima Perang dan Perdana Mentrinya duduk di bawah, di atas permadani.

"Taka Nata dan perkumpulannya samurai Iblis harus segera di hentikan," Kaisar membuka kata, sementara yang lainnya nampak hanya terdiam tiada berkata. "Bagaimana menurut pendapatmu, Kakek Meizora?"

Meizora terdiam, dia adalah sesepuh utama Kaisar yang telah mengabdi pada Kaisar hampir dua puluh lima tahun. Dan selama itu pula Meizora tiada pernah membuat kesalahan dalam menentukan tindakan yang dianggap benar. "Hamba rasa, kita perlu secepatnya menangkapi mereka," jawab Meizora setelah terdiam beberapa lama. "Kalau kita tidak segera bertindak, hamba takut mereka akan mendahului."

Sang Kaisar termangu-mangu mendengar ucapan Meizora. "Lalu rencana apa yang hendak kita lakukan, Kek?" tanya Kaisar kembali.

"Besok sebelum mentari musim panas muncul, kita harus segera melakukan penyergapan!"

Terbelalak mata semua yang hadir, mereka tidak menyangka kalau harus segera menerima perintah yang mendadak tersebut. "Apakah tidak terburu-buru, Kek?" kembali Kaisar bertanya.

"Aku rasa tidak, Kaisar."

"Hem, bagaimana dengan Perdana Mentri?" Kaisar bertanya pada Perdana Mentrinya. "Apakah siap untuk menjalankannya?"

"Kami selalu siap membela Kaisar," jawab Perdana Mentri.

"Baiklah kalau begitu," Sang Kaisar tampak terdiam berpikir menganalisa kembali apa yang menjadi saran Meizora.

Memang Meizora selama ini mempunyai wawasan yang jitu. Tetapi, untuk mengadakan peperangan tidak begitu mudah. Biaya peperangan bukanlah sedikit. Hal itu yang kini menjadi pemikiran sang Kaisar. Kaisar memang terkenal kikirnya, sehingga banyak orang-orang istana yang membenci dirinya termasuk Ketiga Naga dan Taka Nata. Tengah semuanya sepi karena tiada seorang pun yang berani, dari luar terdengar suara riuh. Beberapa orang prajurit nampak berserabutan dengan senjata di tangan masing-masing.

"Musuh menyerang...!"

Terkejut semua yang hadir demi mendengar seruan tersebut, lebih-lebih sang Kaisar. Ternyata dugaan yang dijadikan argumentasi Eyang Meizora benar adanya, bahkan lebih cepat dari dugaannya.

"Siapkan pasukan, kita balas serangan mereka!" Kaisar pelit yang membuat banyak orang yang memusuhinya, akhirnya memberikan perintah. Kini rasa takut lebih banyak menyadarkan dirinya bahwa segalanya memang harus dilakukan. "Cepat! Laksanakan...!"

"Daulat, Kaisar!" Perdana Mentri segera laksanakan tugasnya, ia segera berkelebat ke luar. Di luar telah menanti para prajurit Pendekar Samurai, menanti dirinya dan sekaligus menanti perintahnya.

"Paman Mentri, bagaimana ini?" tanya para prajuritnya dengan rasa was-was. Musuh sebentar lagi akan tiba, sehingga tanpa dapat mereka mempersiapkan segalanya. "Musuh sebentar lagi datang!"

"Siapkan seluruhnya, kita sambut mereka. Kaisar mengijinkan kita perang...!"

"Benarkah, Paman Mentri?" Tanya mereka tidak yakin.

"Aku bicara atas Kaisar...!"

"Horeeeeee...! Ganyang musuh...!"

Bagaikan minyak mendapatkan api, seketika semua prajurit itu bersorak gembira. Dengan samurai di tangan, mereka pun tanpa dipimpin bergerak maju untuk menghadang prajurit Ninja. Tekad di hati mereka hanya satu, menunjukkan darma bakti pada Kaisar yang mereka anggap turunan Dewa.

Dua pasukan itu seketika bertemu, lalu ambruk menjadi satu dalam kancah peperangan. Ya, peperangan tidak dapat dihindari lagi oleh mereka. Nyawa kini tiada arti, bertumpah rumpah untuk membela idiologi masing-masing.

Alun-alun kerajaan Nippon kini benar-benar membara, diikuti oleh pekik jeritan orang-orang yang meregang nyawa. Senjata kini yang bicara, bukan lagi mulut-mulut mereka. Itulah perang, yang melupakan segalanya. Di antara itu, semuanya tiada memandang siapa mereka. Entah itu keturunan Brahmana, Satria, maupun Sudra. Yang ada di tempat perang hanyalah kemenangan atau kematian yang akan menjadikan diri mereka berubah segalanya.

"Hiiiiiiaaaattt...!"

"Ganyang musuh...!"

"Wuuuuutttt...! Wuuuuttt...!"

"Trang! Trangg...!"

Senjata-senjata tradisional mereka yang lebih banyak menggunakan samurai saling beradu, memercikkan amarah dan dendam serta nafsu saling membunuh, dan memang itulah ketentuan perang.

"Aaaah...!"

Tubuh-tubuh yang menjadi korban, seakan tiada arti. Tubuh-tubuh itu terinjak, bahkan tertendang-tendang oleh teman maupun lawan yang masih hidup. Dua kekuatan yang jumlahnya tidak seimbang itu terus saling serang dan berusaha mendesak. Namun walaupun jumlah Ninja penyerang itu kecil, tapi semangat di hati merekalah yang menjadikan Ninja-ninja tersebut bagaikan kesetanan. Samurai-samurai di tangan mereka bagaikan memiliki mata, membabat ke sana ke mari.

"Wuuuuttt...!"

"Bajero!"

"Anjing Kaisar! Aku bunuh kau, hiaaaat...!"

Dua orang Panglima Perang dari kedua pasukan itu kini saling berhadap-hadapan. Keduanya kini telah siap untuk mempertaruhkan nyawa mereka demi segala cita-cita. Bagi para Ninja, jelas keinginan mereka untuk dapat menggulingkan Kaisar, sedangkan bagi para Pendekar Samurai, tugas lebih utama. Mereka ingin membuktikan pada Kaisar mereka akan kesetiaan mereka.

"Ninja sinting! Aku lumatkan kalian!"

"Wuuuuuuuutttt....!"

Samurai-samurai mereka saling berserabutan, menyerang dengan membabi buta. Dalam pertempuran ini, tidak akan ada artinya lagi kehebatan individu, semua tercurah pada kekuatan persatuan yang kokoh. Dengan persatuan mereka akan menang, sedangkan dengan bercerai berai tentunya sukar untuk menang, walau jumlahnya lebih besar.

********************

Kita tinggalkan pertempuran yang terjadi di kerajaan, dan kita lihat di tempat para pendekar tengah mengadakan pertemuan. Tidak ubahnya ke kerajaan, di tempat itu juga tampak tengah terjadi pertarungan dua kekuatan. Antara para pendekar yang sedang mengadakan rapat yang sudah berjalan hampir tiga hari, dengan para anak buah Taka Nata yang tergabung dalam samurai Iblis.

Guru besar Ninja yang pro dengan Kaisar nampak kini bertarung menghadapi Taka Nata. Sementara itu, Takasima yang tadinya memihak gurunya, kini juga memusuhi. Bagaimana pun juga, Takasima juga mempunyai tujuan yang sama dengan Taka Nata. Di samping itu pula, kedua pendekar Ninja tersebut merupakan saudara sedarah. Jadi jelaslah kalau Takasima memihak pada Taka Nata yang masih saudara sepupu.

"Takasima penghianat!" bentak Murid Utama Ninja, yang marah demi melihat Takasima memihak Taka Nata. "Sudah aku duga, kalau akhirnya engkau memang memihak saudaramu!"

Dua orang kakak beradik seperguruan itu kini saling gempur untuk mempertahankan keyakinan masing-masing. Takasima tidak mau begitu saja mengalah, apalagi hal ini menyangkut cita-citanya untuk dapat pergi ke Tanah Jawa.

"Kau yang anjing Kaisar! Kau tidak menghormati leluhur! Juga guru kita!" balas Takasima tak kalah marahnya. "Kalian semua Ninja penghianat! Ninja yang mau tunduk pada Kaisar demi uang!"

"Bangsat! Aku rencah kepalamu, Takasima..."

"Aku sudah siap Penghianat! Hiaaatt...!"

Takasima terus berkelebat, babatkan samurainya. Takasima merupakan murid terkasih Maha Guru Fujita, sehingga dapat dipastikan kalau ilmu Takasima bukanlah ilmu sembarangan. Maka kakak seperguruannya yang kini menjadi musuh sangat berhati-hati menghadapi Takasima. Pertempuran terus berjalan, apalagi dengan kehadiran Taka Nata. Kehadiran Taka Nata mampu memberikan semangat tinggi bagi para Ninja.

"Seraaaaaaannnnggg...!"

Suara Taka Nata membahana, dan dengan seketika dilaksanakan oleh anak buahnya yang berjumlah ratusan. Para pendekar kini dikerubuti oleh Ninja-ninja yang dididik oleh Taka Nata. Para Ninja tersebut bagaikan tiada mengenal takut. Taka Nata sendiri kini berhadapan dengan bekas gurunya, yaitu Suhu Besar Fujita. Pertarungan guru dan murid berjalan dengan seru, masingmasing memiliki ilmu yang dapat diandalkan.

"Murid durhaka! Berani engkau melawan Guru!"

"Kini kau bukan guruku! Kau telah menyalahi apa yang menjadi petuah Kakek Guru!" balas Taka Nata membentak. "Kaulah Ninja gadungan yang mau membela Kaisar!"

"Bajero! Hiiiiiiatttt !"

"Wuuuuuuuttt!"

Walau usianya telah begitu tua, namun serangan sang Maha Guru tidak lemah, bahkan masih keras dan cepat. Taka Nata tersentak tak kira kalau gurunya masih memiliki tenaga yang begitu besar. Dan ketika samurai gurunya berkelebat membabat, dengan cepat Taka Nata lompat ke belakang.

"Bangsat! Kau berani melawanku!" hardik Taka Nata yang sombong. Taka Nata yakin kalau Samurai Iblisnya akan mampu mengalahkan gurunya.

"Sraaaang...!" Taka Nata cabut samurainya.

"Samurai Iblis!" sang Guru membeliak kaget, manakala melihat samurai di tangan Taka Nata. Samurai di tangan Tak Nata mampu menyedot tenaganya, "Bahaya!"

"Wuuuuuttt....!"

Taka Nata kibaskan samurainya, dan dari kibasan tersebut keluar asap lebat hitam bergulung-gulung menyerang sang Guru. Asap itu terus membesar, makin lama makin menyelimuti tempat tersebut. Takasima yang sudah tahu kehebatan samurai di tangan saudara sepupunya dengan cepat melompat, begitu juga anak buah Taka Nata dan anak buah Takasima, mereka melompat ke belakang Taka Nata. Kini asap makin menyelubungi tempat tersebut, menjadikan para pendekar benar-benar mengalami sesak nafas.

"Duuuuuaaar...!"

Terdengar ledakan dahsyat, dan berbarengan dengan itu Taka Nata dan anak buahnya tibatiba telah lenyap dari hadapan mereka. Para pendekar banyak yang jatuh pingsan, tak kuat menghadapi serangan asap yang keluar dari Samurai Iblis. Asap itu ternyata mengandung racun ganas, yang mampu melumpuhkan urat syaraf. Tengah mereka semua tersentak dari gulungan Asap Iblis, tiba-tiba mereka tersentak kaget.

"Swiiiiiiinnggg...!"

"Awas senjata...!" Maha Guru berseru memperingatkan.

"Swiiiiinggg...!" kembali senjata rahasia mendesing ke arah mereka, yang dengan cepat segera mengelakkannya. Senjata-senjata rahasia itu menderu-deru, lalu menghunjam di bebatuan.

"Duuuaaar...!" Batu itu meledak manakala senjata rahasia Bulu Landak Maut menghantamnya.

"Taka Nata pengecut! Keluarlah kau dari persembunyianmu!"

Tak ada jawaban dari seruan Maha Guru.

"Swing! Swing, swing...!" itulah jawaban dari seruan Maha Guru, yang berupa sepuluh batang Bulu Landak Maut.

"Awaaaaaasssss...!"

Dengan cepat para pendekar bergerak menghindar sembari tebaskan samurai mereka ke arah datangnya Bulu Landak Maut tersebut.

"Traaaaanng...!"

"Aaaahhh...!" salah seorang pendekar nekad memapaki serangan Bulu Landak Maut. Namun hasilnya dirinya sendiri yang menjadi korban. Manakala Bulu Landak Maut itu beradu dengan samurai di tangannya, secepat itu pula racun Fuji Hitam beraksi. Dan lewat samurai itu pula racun Fuji Hitam merambat menyerang dirinya. Tanpa ampun lagi, seketika itu orang tersebut memekik. Dari pergelangan tangan hingga pangkal lengan seketika membiru, busuk bagaikan benar-benar terserang racun ganas.

"Racun Fuji Hitam!" Maha Guru memekik "Biadab! Sungguh biadab tingkahmu, Taka Nata!"

"Hua, ha, ha...! Itulah hukuman bagi orang-orang yang menentangku!" terdengar jawaban dari Taka Nata, namun orangnya sendiri tidak tampakkan ujudnya. "Kalian memang patut dihukum, sebab kalian adalah orang-orang Ninja Murtad!"

"Swiiiiiitttt...!"

Berbarengan dengan habisnya ucapan Taka Nata, saat itu juga puluhan bahkan ratusan Bulu Landak Maut berdesing-desing menyerang ke arah mereka. Mereka tiada lagi berani memapakinya, setelah tahu akan racun ganas yang terkandung oleh Bulu Landak Maut tersebut. Kini mereka hanya menghindar, dan menghindar saja. Namun sungguh pekerjaan yang menguras tenaga bila hal itu mereka lakukan terus menerus. Sebagai pelampiasan marahnya, sang Maha Guru hantamkan pukulan tenaga dalamnya memapaki serangan tersebut.

"Wuuuuusss...!"

"Suuuuuiiiiittt...!"

"Des, des, des...!"

Pukulan sang Maha Guru ternyata mampu menyapu serangan Bulu Landak Maut. Namun manakala sang Maha Guru tengah bertarung menyapu Bulu Landak Maut, tiba-tiba sebuah bayangan putih perak berkelebat menyerang dengan Samurai Iblisnya. Taka Nata kembali keluar setelah melihat gurunya tengah kerepotan.

"Hiiiiiaaaaaaaatttttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

"Kurang ajar! Hiiiiiaaaattt...!" Sang Guru dengan marah segera papaki serangan.

"Wuuuuuuttt...!"

"Trangg!"

"Prak...!"

Mata sang Guru melotot lebar, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Samurai di tangannya tiada arti sama sekali untuk menghadapi samurai di tangan Taka Nata. Samurai di tangannya kini telah puntung menjadi dua, terbabat oleh Samurai Iblis.

"Huaaaa... ha, ha, ha,..,! Kalau engkau tidak segera meminta ampun, maka jangan salahkan aku mengakhiri hidupmu! Kakek bau tanah!" ucap Taka Nata sombong.

"Taka Nata! Aku harap engkau tidak bermimpi!" balas gurunya yang segera mencegah manakala murid-muridnya hendak menghajar Taka Nata. "Biarkan aku menghadapinya! Kalian bersiaplah, sebab mereka akan kembali muncul!"

"Hem, aku tak pernah bermimpi, Kakek keriput bau tanah!" Kembali Taka Nata mengejek. "Akan aku buktikan bahwa aku akan mengirim nyawa busukmu ke akherat! Hiiiiaaat...!"

"Wuuuuuttt...!" Taka Nata babatkan samurainya.

Sang Guru segera melompat menghindar, sebab ia tidak ingin nyawanya begitu saja diserahkan. Sang Guru terus menghindar, dengan sekali-sekali balas menyerang dengan hantaman tangannya.

"Wuuuuttt...!"

"Mampuslah engkau, Tua Bangka!"

Taka Nata terus mencerca dengan Samurai Iblisnya. Asap yang keluar dari Samurai Iblis bergulung-gulung, menyelimuti tempat tersebut. Sang Guru kini benar-benar tersentak kaget. Jalan nafasnya kini bagaikan tersumbat, dan terasa berat. Sang Guru berusaha menyumbat pernafasannya. Mulanya memang mampu. Sang Guru bertarung benar-benar bagaikan orang mati, tanpa bernafas. Namun lama kelamaan tak kuat juga ia melakukan semua itu. Hal tersebut sungguh sangat membahayakannya. Asap Iblis yang keluar dari Samurai Iblis di tangan Taka Nata kini menyerang ke arahnya. Nafas tua Maha Guru itu kini benar tersendat berat.

"Mati aku!" pekiknya tertahan dalam hati.

Melihat Gurunya dalam keadaan bahaya, dengan nekad salah seorang muridnya berkelebat menyerang. Disapukannya samurai ke arah gulungan asap tersebut, namun sungguh sangat bahaya, sebab bukannya asap maut itu hilang, akan tetapi dirinya sendiri yang kini menjadi tujuan serangan Taka Nata.

"Wuuuuttt...! Wuuuuuttt..!" Orang itu papaki serangan.

"Trang...!"

"Prak!" terdengar suara patahan, dan ternyata samurai di tangan orang itulah yang patah. Saudara seperguruan Taka Nata yang mencoba bela gurunya terbelalak matanya demi mendapatkan samurainya telah patah menjadi dua.

"Wuuuuuttt...!"

"Awwwwaaasss....!" Sang Guru berseru kaget memperingatkan pada muridnya yang masih tersentak manakala Samurai Iblis berkelebat menyerang kembali.

"Ah...!" Walau orang tersebut telah menghindar, namun Samurai Iblis kini terus mencerca dengan cepatnya. Tebasan-tebasannya sungguh membahayakan. Tebasan-tebasannya mencari titik kematian lawan.

"Wuuuuttt...!"

"Hiiiiiaaaattt....!" Saudara seperguruannya berkelebat papaki serangan Taka Nata.

"Wuuuuttt...!"

"Trang...!"

"Prak!" Orang yang menyerang menyurut mundur, matanya melotot kaget. Samurai di tangannya seperti kakak seperguruannya juga patah menjadi dua. Tengah semuanya tercekam dalam kepanikan, tiba-tiba apa yang ditakutkan oleh Sang Guru terbukti. Dari balik semak-semak kembali para Ninja keluar, menyerang. Maka dapat dipastikan, para pendekar yang panik itu pun makin panik dan nekad. Akan tetapi, kenekadan mereka benar-benar tidak berguna, sebab jumlah mereka tiadalah sebanding.

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuuuttt...!" Samurai para Ninja terus mencari mangsa.

"Wuuuuuttt..!" Taka Nata dan Takasima benar-benar bagaikan singa lapar, setiap kelebatan samurainya mampu membuat salah seorang Pendekar menjerit dan ambruk dengan tubuh berantakan. Tangan puntung, kepala, maupun tubuh tercabik-cabik.

Kini para Pendekar benar-benar keteter, maka dengan penuh perhitungan sisa-sisa mereka yang hidup segera hendak mengambil langkah seribu. Tapi para Ninja anak buah Taka Nata dan Takasima tidak membiarkan mereka begitu saja. Sebelum mereka jauh, dengan sadis tanpa mengenal belas kasihan mereka pun menyerangnya.

"Wuuuuuttt !" Samurai Ninja beterbangan, melesat menyerang orang-orang yang bermaksud melarikan diri. Maka...!

"Wuuuuaaaa...!"

Tiga orang yang bermaksud melarikan diri itu, tanpa ampun lagi menjerit. Samurai Ninja anak buah Takasima berhasil menyate tubuh mereka. Ketiganya ambruk, kejang sesaat sebelum kemudian terdiam tanpa nyawa lagi.

EMPAT

Kekalahan yang dialami oleh para pendekar, juga dialami oleh para prajurit kerajaan. Para prajurit kerajaan nampak banyak yang mati, bergelimpangan tanpa nyawa. Sementara para Ninja kini nampak bergembira ria merayakan kemenangannya.

"Bunuh Kaisar...!"

"Pancung kepalanya...!"

Serta merta semua prajurit Ninja berkelebat masuk dengan tujuan mencari Kaisar. Tapi rupanya Kaisar dan orang-orang pembesar istana kini telah meninggalkan istana.

"Tidak adaaaa...!"

"Ke mana...?!" tanya pimpinan Ninja. "Mungkin melarikan diri!" jawab yang ditanya.

"Kita beritahu pada pimpinan Taka Nata, bahwa kita telah menang!"

Sebagian dari para Ninja itu segera menuju kembali ke tempat di mana pimpinan mereka berada. Kini mereka tidak memerlukan jalan kaki lagi, akan tetapi mereka kini menempuh perjalanan dengan menunggang kuda.

********************

Kita tinggalkan para Ninja anak buah Taka Nata si Iblis Nippon yang hendak merayakan kemenangannya atas Kekaisaran. Kita tengok bagaimana dengan pendekar kita Jaka Ndableg yang tengah berusaha mencari Meimora yang diculik ketiga Ninja Samurai Iblis.

Jaka Ndableg dengan segenap kemampuannya, dipasang panca indranya untuk mencari jejak Meimora dan ketiga Ninja penculiknya. Jaka kini nampak masih berlari dengan menggunakan ajian Kupuh Puyu atau Angin Puyuh. Maka sudah dapat diduga, pendekar kita ini lari bagaikan kesetanan, dan hampir dapat dikatakan terbang karena kakinya tiada menginjak rumput barang sekali pun.

"Ke mana aku harus mencari mereka?" tanya Jaka dalam hati, sepertinya ada keraguan akan kemampuan dirinya.. "Aku di sini orang baru, asing! Manalah mungkin aku akan mampu menemukan mereka?"

Jaka terus berlari dan berlari, tanpa hiraukan kekalutan hatinya yang semakin tak tentu. Kini ia telah jauh meninggalkan tempat semula. "Haruskah aku tersesat di daerah orang?" Jaka bertanya-tanya pada diri sendiri. "Oh, mengapa aku begitu tolol nekad berkeliaran sendiri?"

Mungkin karena capai Jaka pun dengan segera mencari tempat yang sekiranya dapat digunakan untuk mengaso. Dicarinya sebuah kedai. "Di mana akan aku temui kedai?"

Kembali Jaka memperoleh kebingungan. Ia tidak tahu arah mana yang sekiranya kini ia tuju, dan tidak tahu desa apa yang kini tengah ia jejaki kakinya. Dan orang-orang yang ditemuinya, rata-rata tidak ia kenal. Jaka Ndableg terus melangkah, memasuki kampung yang ramai oleh kedatangan para pengunjung tersebut. Jaka jadi bertanya-tanya dalam hati melihat keramaian kampung tersebut. Orangorang yang datang dan pergi nampak berwajah muram, seakan mereka tengah mengalami kesedihan.

"Hai, ada gerangan apakah?" tanya Jaka dalam hati. "Coba aku akan menanya."

Dihampirinya seorang pemuda sebayanya. Dengan menggunakan bahasa isyarat, Jaka bertanya dengan pemuda tersebut tentang mengapa banyak orang yang datang dan pergi dengan wajah muram. Pemuda itu yang tahu kalau Jaka bukan orang asli Nippon, menjawab dengan bahasa isyarat pula. Hal tersebut mampu dengan mudah ditangkap oleh Jaka yang seketika terperanjat kaget.

"Ada gadis mati, setelah diperkosa!" Jaka terus mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemuda tersebut. "Hem, gadis itu cantik."

Pemuda Jepang itu terus menceritakan segala apa yang ia ketahui dengan gerakan-gerakan tangannya. Sementara Jaka terus mengikutinya dengan menerjemahkan dalam tata bahasa.

"Tidak salah, Meimora adanya? Dia bercerita kalau gadis itu mengenakan gaun warna hitam pertanda duka!" Jaka kini makin tegang. Setelah menjura pada pemuda tersebut, dengan segera Jaka berkelebat pergi menuju ke arah yang ditunjuk oleh pemuda tersebut.

Orang-orang tampak berkumpul di tepi pantai. Mereka sepertinya tengah melihat sesuatu. Ya! Orang-orang tersebut memang tengah melihat sesosok tubuh tanpa nyawa. Tubuh itu milik seorang gadis cantik. Wajah gadis itu benar-benar mirip dengan Meimora hingga Jaka Ndableg menafsirkan ucapan gerakan pemuda itu sebagai Meimora adanya.

Jaka Ndableg tampak berlari-lari menuju ke tempat tersebut. Dengan berusaha meminta jalan, segera Jaka menyeruak tempat tersebut. Jaka mulanya kaget, manakala melihat muka gadis itu. Gadis itu memang persis sama dengan Meimora, akan tetapi tatkala dilihat seksama, jelas ada banyak perbedaannya.

"Oh, Meimora! Di manakah kini dia?" keluh Jaka, lalu beranjak pergi tinggalkan tempat tersebut. Dengan melamun memikirkan Meimora, Jaka melangkah tanpa tujuan arah yang pasti. Pikirannya kini merawang pada Meimora.

"Ke mana aku mencarinya? Aku tidak tahu markas mereka." keluh Jaka sendiri.

Tanpa terasa Jaka terus berlalu meninggalkan desa tersebut. Kini dirinya telah memasuki hutan belantara yang sepertinya belum terjamah oleh tengah manusia. Jaka terus berjalan, tiada hiraukan alam yang asing baginya yang kini dijejaki kakinya. Manakala Jaka terus melangkah, terdengar suara rintihan seseorang. Telinga Jaka yang tajam, seketika mampu mendengar suara rintihan tersebut.

"Hu, hu, hu, hu...!"

"Hai, sepertinya suara seseorang menangis." Jaka mereka-reka dan terus mendekat ke arah suara tersebut. "Ya! Benar! Suara seorang wanita. Tapi, bukankah ini hutan perawan. Jangan-jangan siluman yang mau menggangguku! Ah, mengapa mesti aku pikirkan? Bukankah Ayah dan Ibuku Siluman?"

Dengan melangkah perlahan Jaka terus mendekat. Kini matanya yang tajam melihat sebuah gubug berdiri tidak jauh dari dirinya berada. "Hem, benar manusia. Aku harus melihatnya. Hoooop...!"

Jaka melompat ke atas pohon, pusatkan pandangannya ke tempat di mana rumah tersebut berdiri. "Hem, tak aku duga, kalau akhirnya aku akan menemukan bajingan-bajingan ini di sini!" Jaka Ndableg terus mengawasi tempat tersebut.

"Plak!"

"Katakan siapa temanmu itu, hah!" terdengar suara bentakan.

"Tidaaaakkk...!"

"Bangsat!"

"Plak....!" tamparan kembali terdengar.

"Aaaaaaadddddduuuhhh,..!" terdengar jeritan seorang wanita.

Suara itu sangat Jaka kenal, suara itu tak lain milik Meimora. "Meimora!" ucap hati Jaka. "Aku harus menolongnya!" Bagaikan seekor monyet, Jaka Ndableg bergayut dari satu pohon ke pohon lainnya dengan bantuan akar-akar yang bergantungan dan tumbuh.

"Aku temannya, hiaaaaaaatttt...!"

Tersentak kedua orang yang menjaga di muka gubug itu. Dengan segera keduanya cabut samurai. "Siapa kau, hah!" bentak salah seorang dari mereka.

"Aku Malaikat yang akan mencabut nyawa kalian! Hiiiaaaattt!"

Belum juga keduanya mampu berbuat, Jaka telah mendahuluinya dengan menendangkan kaki ke arah mereka. Keduanya bermaksud menghindar, akan tetapi tendangan Jaka lebih cepat.

"Weeesssttt...!"

"Dug! Dug...!"

Kedua orang tersebut terpelanting ke belakang, tertendang oleh kaki Jaka Ndableg. Jaka tersenyum, biarkan keduanya bangkit dari duduknya. Nampaknya kedua orang Ninja tersebut beringas, manakala tahu siapa yang datang.

"Suuuuuiiiiiitttt...!" Salah seorang dari mereka bersuit, menjadikan Jaka kini harus benarbenar waspada.

Dari pepohonan dan semak belukar, nampak bermunculan beberapa orang yang memakai pakaian Ninja. Orang-orang tersebut yang jumlahnya mencapai tiga puluhan itu dengan cepat mengurung Jaka. Namun begitu Jaka nampak masih tenang, bahkan kini tersenyumsenyum sendiri.

"Hem rupanya di hutan ini banyak kecoa busuknya!" ucap Jaka.

"Seraaaanngg...!" terdengar suara perintah.

Tanpa menunggu dua kali perintah, dengan cepat ketiga puluh orang tersebut berkelebat menyerang Jaka. Namun bagaikan tidak merasakan hal apa-apa, Jaka yang tujuan pokoknya membebaskan Meimora segera berkelebat dengan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuh Jaka kini melenting ke udara, lalu dengan cepat manakala mereka terperangah Jaka segera turun dengan kaki dan tangan siap menyerang.

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuutttt...!"

Samurai-samurai di tangan mereka menderu, papaki tubuh Jaka yang melayang. Namun kiranya dugaan mereka salah, sebab Jaka rupanya tidak bermaksud menyerang. Tubuh Jaka meluncur deras, menembus masuk ke dalam rumah.

"Brooosss...!" bilik penutup rumah tersebut jebol, manakala tubuh Jaka menjebolnya.

Terkesiap orang yang saat itu tengah menanyai Meimora. Sedangkan Meimora yang tengah terikat kaki dan tangannya di wajahnya nampak ceria. Harapan untuk hidup kembali tumbuh, saat dilihatnya Jaka datang.

"Jaka...!"

Orang tersebut hendak menyerang, namun dengan cepat Jaka mendahuluinya dengan tendangan kaki serta hantaman tangannya.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug...!"

"Wuuuuuaaa...!" orang itu menjerit, muntahkan darah yang muncrat dari mulutnya. Mata orang tersebut membeliak sesaat, sebelum akhirnya tubuhnya terjerembab mati.

"Ayo..." Jaka segera menggendong tubuh Meimora yang lemas, dibawanya ke luar dari rumah tersebut. Namun belum juga keluar dari pintu, tiba-tiba ketiga puluh Ninja yang tadi memburunya menghadang langkahnya dengan samberan samurai mereka.

"Wuuuuuttt...!"

"Aih!" Jaka melompat mundur, mengambil ancang-ancang sekaligus elakkan serangan.

"Srang...!" Pedang Siluman Darah dicabutnya, karena merasa bahwa hanya dengan Pedang Siluman Darah sajalah yang mampu menghadapi serangan ketiga puluh Ninja tersebut.

"Kalian rupanya mencari mati!" maki Jaka marah, di pundaknya masih tergendong tubuh Meimora.

"Baiklah! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang harus menyingkir ke akherat!"

Para Ninja itu bagaikan tak mau tahu, kembali mereka babatkan samurainya ke arah Jaka,

"Wuuuuttt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Trang...!"

Membeliak mata Ninja yang di depan dan mendahului menyerang Jaka. Manakala dua pedang mereka bertemu, seketika samurai di tangannya bagaikan terbakar. Hawa panas keluar dari Pedang Siluman Darah.

"Aaahhh...!" Orang itu lepaskan pedangnya, namun tak urung tangannya kini melepuh. Dari pergelangan tangannya sampai ke pangkal lengan kini hangus terbakar. Mata orang tersebut mendelik, tak percaya pada apa yang dialaminya.

"Wuuuuuttt...!" Jaka kembali sabetkan Pedang Siluman Darah ke orang tersebut. Orang tersebut berusaha mengelak, namun gerakkan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka begitu cepat. Beruntung temannya segera memapakinya.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuuuaaa..." Kembali orang yang memapaki serangan Pedang Siluman Darah memekik. Orang itu seperti yang pertama segera lepaskan samurainya yang panas bagaikan mengandung bara manakala beradu dengan Pedang Siluman Darah.

"Jaka, jangan biarkan dia hidup!"

"Jangan khawatir, Nona Mei." jawab Jaka, lalu kembali babatkan Pedang Siluman Darah ke arah dua orang tersebut. Kini keduanya tak dapat berbuat apa-apa. Tangan mereka melepuh, terbakar oleh hawa panas yang dipancarkan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuuttt...! Wuuuuuutttt...!"

"Dest...!"

"Cras! Crasss...!"

"Wuuuuuuaaa...!" Kedua orang tersebut memekik, tak mampu lagi hindari sabetan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka yang bergerak dengan cepatnya. Seketika itu tubuh keduanya di perut terbeset. Usus dari dalam menjurai ke luar, menjadikan pemandangan yang mengerikan.

Melihat kedua rekannya telah mati, serta merta semua Ninja itu nampak ketakutan. Nyali mereka kini benar-benar ciut. Namun untuk menyerah, mereka jelas tidak mau, sebab mereka telah mendapat sumpah tidak akan mau menyerah pada lawan. Dengan nekad kedua puluh delapan Ninja itu berbarengan menyerang Jaka.

"Hiiiiiaaaattt...!"

"Wuuuuuutt..!"

Samurai-samurai di tangan mereka berkelebat-kelebat membabat ke arah Jaka. Jaka yang sudah marah, nampak tidak canggung-canggung meladeni mereka. Manakala Samurai mereka mengarah hendak membabat tubuhnya, dengan cepat Jaka sambut serangan mereka dengan babatan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Traaaang...!"

"Wuuuuaaa...!" Empat orang Ninja menjerit, tubuhnya kini benar-benar terbakar keseluruhannya. Ternyata tanpa setahu mereka Jaka telah menyalurkan Inti Geni ke segenap Pedang Siluman Darah. Tubuh keempatnya mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.

"Aku harus menyelamatkan Meimora! Sungguh bahaya bila aku harus selalu menggendong Meimora," Jaka membatin, kemudian dengan cepat kembali babatkan Pedang Siluman Darah ke arah para Ninja yang kini benar-benar ciut nyalinya.

Para Ninja yang telah ciut nyalinya kini tanpa menunggu Jaka minggat telah mendahului kabur. Rasa takut itulah yang menjadikan mereka melarikan diri. Jaka hanya dapat geleng kepala, bibirnya terurai senyum.

Niat Jaka untuk pergi dari tempat itu diurungkannya, sebab menurutnya di tempat tersebut dirinya akan aman. Setelah membersihkan rumah gubug tersebut dari mayat-mayat Ninja, Jaka pun dengan segera kembali ke gubug tersebut di mana Meimora berada ditinggalkannya.

********************

LIMA

Dengan kemenangannya atas Kaisar, maka Taka Nata kini mengangkat dirinya sebagai Kaisar di Kerajaan. Tercapailah segala cita-citanya untuk menjadikan dirinya Kaisar pertama yang dari Ninja. Dan setelah berhasil mengangkat dirinya menjadi Kaisar, maka program pertama adalah memburu orang-orang yang dulu menjadi tangan kanan Kaisar. Nama Kerajaan pun kini dirubah, dari Dai Nippon menjadi Kerajaan Samurai Iblis, sesuai dengan samurainya. Juga para anak buahnya, mereka diangkat menjadi prajurit-prajurit kerajaan.

Program utama Kaisar Taka Nata, yaitu memberantas bekas-bekas tangan kanan Kaisar yang entah ke mana kini. Dan hal yang lebih pokok, yaitu mencari Pendekar Tanah Jawa yang ditugaskan untuk datang ke Jepang.

"Pasang pengumuman! Barang siapa yang mampu menangkap Pendekar Tanah Jawa, maka dirinya akan mendapatkan kedudukan yang enak!" begitulah kata-kata yang diperintahkan oleh Taka Nata pada maha Patihnya Takasima, yang merupakan adik sepupunya.

"Jadi Pendekar Tanah Jawa itu telah ke sini?"

"Benar, Sima."

"Hem, untuk maksud apakah?"

"Jelas untuk menentang para Ninja yang telah mengirimkan pasukannya ke Tanah Jawa." jawab Taka Nata. "Maka itu, sebelum Pendekar Muda tersebut dapat disingkirkan, kedudukan kita akan benar-benar mendapatkan hambatan!"

"Baiklah! Aku akan mencarinya!"

Taka Nata tersentak demi mendengar ucapan Takasima. Ia tahu Takasima bukanlah orang sembarangan dari para Pendekar Ninja, namun ia juga tahu bahwa Pendekar muda itu juga bukanlah Pendekar kelas entengan. Percuma Raja Kerajaan Tanah Jawa Dwipa mengirimnya ke tanah Nippon kalau ia bukanlah pendekar pilih tanding.

"Sima, jangan gegabah!"

"Kenapa? Bukankah hanya Pendekar Muda itu saja yang engkau takuti?" tanya Takasima menyombong. "Aku Taksima, akan membuat semua mata orang Tanah Jawa Dwipa terbuka."

"Kau tidak bercanda, Sima?"

"Tidak!" jawab Takasima, menjadikan Taka Nata hanya tersenyum kecut. Taka Nata gelengkan kepala, menjadikan Takasima memandangnya dengan pertanyaan.

"Mengapa...?"

Taka Nata hela napasnya panjang, seakan ada ganjelan berat yang mengisi hatinya. Ia masih teringat akan segala berita yang ia terima dari Tanah Jawa Dwipa. Ninja Hitam, yang terkenal gagah pemberani tak ada artinya sama sekali di hadapan Pendekar Muda tersebut. Kebanyakan para Ninja di Tanah Jawa mati di tangan pendekar Muda tersebut. Juga menurut kabar anak buahnya, Pendekar muda tersebut merupakan titisan Dewa Api. Walaupun Taka Nata belum yakin, namun setidaknya ia mempunyai gambaran siapa adanya Pendekar Pedang Siluman Darah.

"Jangan engkau dulu, Sima. Sebar saja dulu pengumuman!"

Takasima yang belum tahu siapa adanya Jaka Ndableg, sepertinya tidak setuju. Ia benar-benar ingin membuktikan kebenaran segala cerita yang pernah ia dengar. Dendamnya pada Pendekar Muda tersebut telah menjalar. Sebagai seorang pimpinan Ninja Merah, jelas ia mendendam pada Jaka Ndableg dan para Pendekar Tanah Jawa yang telah menumpas anak buahnya. Bahkan menurut kabar, adiknya Taka Moro pun telah binasa.

"Tidak! Aku harus mampu memenggal kepala Pendekar itu!" gerutu hati Takasima marah. Bayangan tentang kegagalan misi Ninjanya, makin membebani dendam di hatinya. "Beri aku kesempatan, Nata," Takasima memohon.

"Aku tidak ingin saudaraku hilang," Taka Nata bergumam sendiri, setelah terlebih dahulu tarik napas panjang. Dalam napas berat Taka Nata, sepertinya ada rasa berat untuk mengijinkan diri Takasima menghadapi Jaka Ndableg.

"Bagaimana...? Kau menyetujuinya?"

Desakan Takasima menjadikan Taka Nata benar-benar serba salah. Ia sebenarnya bukan takut, namun ia sangat menyayangkan jika saudaranya yang tinggal satu-satunya harus pisah dari dirinya hanya mengikuti dendam.

"Bawalah seratus prajurit untuk membantumu." Akhirnya Taka Nata mengijinkan.

"Terimakasih. Aku akan menunjukkan padamu, bahwa aku mampu membuka mata para Pendekar Tanah Jawa. Aku akan membawa kepala Pendekar Muda itu ke mari."

Takasima menjura, lalu dengan senyum bagaikan merasa pasti Takasima keluar tinggalkan tempat tersebut. Di alun-alun dikumpulkannya anak buahnya yang terdiri dari Ninja Merah. Kini Takasima benar-benar ingin menunjukkan pada para Pendekar Tanah Jawa bahwa orang yang selama ini disegani telah mampu ia binasakan.

"Para prajurit... Kummpuuuuuull...!"

Berserabutan para prajurit Ninja Merah yang jumlahnya mencapai ribuan itu berkumpul. Dalam kekaisaran Taka Nata, Ninja Merah menjadikannya sebagai prajurit utama, atau prajurit elit, sebab keberanian dan kehebatan Ninja Merah telah diuji dengan baik. Dan memang Ninja Merah menjadikan Takasima bukanlah para prajurit Ninja biasa. Mereka pada umumnya memiliki kelebihan yang banyak dibandingkan dengan Ninja lainnya.

"Sebagai prajurit elite, kalian akan dicoba untuk menghadapi musuh yang berat. Kalian tentunya ingat akan berita-berita yang kalian terima dari Tanah Jawa, bukan?"

Semua Ninja Merah mengangguk. Takasima melanjutkan, "Pendekar tersebut kini berada di Tanah Nippon ini, tapi entah di mana. Untuk itu, maka aku akan mengajak seratus orang dari kalian untuk menemaniku mencarinya. Nah, aku minta, kalian mau membantu Kerajaan."

Takasima segera memilih anak buahnya. Tanpa mengalami kesulitan, Takasima pun dapat menyaring keseratus anak buahnya untuk mengikutinya. Setelah memeriksa segala peralatan yang bakal digunakan dengan teliti, maka keseratus Ninja itu pun yang langsung dipimpin oleh Takasima berangkat untuk memburu Pendekar Pedang Siluman Darah Jaka Ndableg yang masih berada di Tanah Nippon.

********************

Jaka yang masih bersama Meimora bersembunyi di hutan, saat itu tengah mencari buruan untuk makan siangnya. Jaka nampak mengendap-endap, tatkala dilihatnya seekor kijang besar tengah makan dengan santainya.

"Harus kena!" Diambilnya sebatang ranting, lalu dengan menggunakan tenaga dalam Jaka pun lemparkan ranting tersebut ke arah kijang yang tengah makan.

"Swiiiiiingg...!"

"Jlep...!"

"Eeee...!" kijang itu melenguh panjang, lalu ambruk ke tanah tertembus batang ranting yang dilemparkan Jaka. Dengan suka cita Jaka pun melompat hendak mengambil kijang tersebut, manakala seseorang juga melompat ke tempat tersebut.

"Hai! Itu milikku...!" bentak orang tersebut.

"Enak saja!" balas Jaka memaki. "Aku yang telah melempar ranting ini.... Kau...?" Jaka terbelalak, manakala dilihatnya orang tersebut.

Orang tersebut itu pun tak kalah kagetnya, manakala tahu siapa adanya pemuda yang hendak merebut kijang buruannya. Mulut orang itu yang tiada lain Perdana Menteri kerajaan ternganga. "Tuan Pendekar, rupanya Tuan berada di sini."

"Ya! Kau...?"

"Aku bersama Kaisar dan rombongan juga berada di hutan ini" Dan Perdana Menteri segera ajak Jaka untuk menemui Kaisar dan rombongan. "Ayo ikut aku!"

Dengan tanpa membantah, Jaka pun segera menurut mengikuti Perdana Mentri pergi meninggalkan kijang yang telah menjadi rebutan. Keduanya dengan bergegas menuju ke arah Timur hutan. Tak begitu lama kemudian, keduanya sampai juga di tempat yang mereka tuju. Di tempat tersebut berdiri beberapa tenda yang didirikan secara darurat.

"Kaisar! Kaisar...! Keluarlah!"

Dari dalam tenda seorang lelaki setengah baya keluar. Wajah lelaki itu kini nampak lebih tua, hal tersebut menunjukkan bahwa penderitaan telah menggores hidupnya. Jaka hampir tak percaya, bahwa orang yang kini tersenyum padanya tidak lain Kaisar. "Tuan Pendekar...!" seru Kaisar.

"Tuan Kaisar...!"

Keduanya saling berpelukan, lalu dengan penuh haru keduanya segera masuk ke dalam tenda Kaisar. "Mengapa Tuan ada di sini?" tanya Jaka, setelah keduanya duduk-duduk sambil menikmati makan siang. Wajah Kaisar nampak berubah sedih ditanya begitu oleh Jaka. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg kerutkan keningnya, tak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Sang Kaisar hela napas panjang, sebelum akhirnya bercerita.

"Aku telah tergulingkan."

"Tergulingkan...?" tanya Jaka heran. "Bagaimana mungkin?"

Dengan berurai air mata, Kaisar pun perlahan menceritakan segalanya yang telah menimpa dirinya. Ia juga mengakui bahwa semuanya adalah kesalahannya. Ya! Kesalahannya yang tidak mau mementingkan pertahanan, sehingga para prajuritnya tidak dapat melakukan segala cara dalam perang. Diakuinya, bahwa sebenarnya ia sendiri kurang suka untuk perang. Ia lebih mencintai damai, aman dan tentram. Tapi sejarah menyatakan lain, bahwa dengan perang seseorang akan mampu menunjukkan dirinyalah yang mampu menjadi tokoh pemimpin.

"Begitulah Tuan Pendekar."

"Janganlah Tuan Kaisar terlalu memikirkannya."

"Maksudmu?" tanya Kaisar tak mengerti.

Jaka tarik napas panjang, lalu katanya kemudian. "Baiklah, aku akan mengundang Nona Meimora terlebih dahulu, agar kita dapat bertemu dan berkumpul."

"Baiklah, memang sepantasnyalah Nona Meimora harus dilindungi."

Jaka segera menjura, lalu bergegas pergi tinggalkan tenda Kaisar untuk kembali ke tempat di mana Meimora berada. Dengan hati agak tak tenang, perasaannya seperti bergejolak demi mendengar penuturan Kaisar. Namun ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera pulang ke tempatnya. Sepertinya ada sebuah pesan misteri yang disampaikan oleh desahan-desahan angin.

Terbelalak mata Jaka, manakala melihat apa yang tengah terjadi. Seorang Ninja Merah kini tengah menguasai tubuh Meimora dengan samurai siap menggorok leher gadis itu. Ninja Merah lainnya nampak berjaga-jaga dan siap dengan samurainya.

"Ninja-Ninja anjing! Beraninya dengan seorang wanita!" bentak Jaka marah. "Kalau kalian memang laki-laki, lepaskan Nona itu dan hadapi aku!"

"Jakaaaa...!" Meimora memekik ketakutan. "Tolonglah aku!"

"Kalian tidak di mana-mana, selalu membuat keonaran! Rupanya kalian tidak jenuh dengan kejadian di Tanah Jawa!"

Jaka terus membentak, memancing mereka agar marah. Juga tujuan Jaka berteriak-teriak, semata-mata agar rombongan Kaisar mendengarnya. Dan ternyata usaha Jaka memang berhasil. Di tempat lain, Kaisar dan para Panglima Perangnya mendengar suara Jaka memaki-maki.

"Sepertinya Pendekar itu tengah berperang mulut," gumam Kaisar pada Perdana Mentrinya yang juga mendengar.

"Benar, Kaisar."

"Siapkan pasukan! Aku dengar Pendekar dari Tanah Jawa itu menyebut-nyebut Ninja. Ayo siapkan pasukan segera!"

Perdana Mentri tanpa banyak bantah lagi segera mempersiapkan pasukannya. Pasukan yang terdiri dari orang-orang pendekar samurai itu dalam waktu singkat telah berkumpul. Kesemuanya berjumlah lebih dari dua ratus lima puluh orang. Setelah mendengar seruan tersebut, dengan cepat para prajurit Samurai bergegas memburu ke tempat suara Jaka. Para Prajurit samurai yang telah terlatih tanpa mengalami kesulitan menemukan tempat di mana Jaka dan Ninja Merah tengah bersitegang mulut.

"Jaka Ndableg! Kau telah banyak membunuh anak buahku!" Takasima membentak. "Kau harus mati oleh tanganku!"

Jaka Ndableg sunggingkan senyum, lalu katanya kalem. "Kaukah pimpinan Ninja Merah?"

"Ya!" jawab Takasima

"Sebegitu pengecutkah seorang Ninja, sehingga beraninya menyandera seorang wanita!" Jaka terus berusaha membikin amarah Ninja Merah. Dan memang berhasil, Takasima nampak mendengus marah merasa dirinya dihina sebagai seorang pengecut.

"Bajero! Aku tidak sebodoh itu, Anak Muda!"

"Kalau begitu, lepaskan Nona itu. Dan mari kita tentukan sebagai seorang persilatan!" Mata Jaka melirik, dan tahu kalau para Prajurit Kaisar telah berdatangan secara diam-diam. Hanya Jaka saja yang tahu isyarat mereka. "Lepaskanlah, dan mari kita buktikan siapa di antara kita yang hendak menyusul rekan-rekan kalian yang ada di Tanah Jawa sana!"

"Bajero! Lepaskan Nona itu...!" perintah Takasima yang merasa ditantang oleh Jaka. Hal tersebut dengan segera dijalankan oleh anak buahnya.

Manakala Meimora telah lepas, Jaka pun segera menyambutinya. Sebelum para Ninja tersebut menyerang, Jaka dengan cepat lentingkan tubuh seraya membopong tubuh Meimora.

"Swiiiiit...!" Jaka bersuit, yang menjadikan para pasukan Kaisar yang telah mengepung tempat tersebut seketika bermunculan ke luar.

Tersentak Takasima demi melihat hal yang tiada terduga sebelumnya. Maksud mereka mengejar Jaka kini terhadang oleh pasukan Kaisar yang merupakan pasukan pilihan. Walau Takasima tiada takut menghadapi mereka, namun jumlah mereka dua kali lebih banyak dibanding dengan jumlah anak buahnya. Takasima benar-benar merasa terjebak, kini ia tampak memikir mencari jalan keluarnya.

Tengah Takasima memikirkan jalan baiknya, para Pendekar Samurai tiba-tiba berkelebat menyerang. Tanpa dapat dicegah, pertarungan dua lawan satu pun akhirnya terjadi. Tiada jalan lain, kedua pasukan andalan itu harus bertempur untuk saling menentukan nasib mereka selanjutnya.

"Jaka, pergilah untuk selamatkan Nona Meimora!" perintah Perdana Mentri. "Cepatlah! Nanti bantulah kami memberesi mereka!"

Jaka pun tiada membantah, segera Jaka berkelebat meninggalkan tempat tersebut ke arah Timur di mana tenda-tenda Kaisar serta anak buahnya berada. Kedatangan Jaka yang membawa tubuh Meimora disambut dengan rasa persaudaraan yang tinggi.

"Kau di sinilah dulu, Nona Mei."

"Baiklah, Jaka."

"Kaisar, aku titip Nona Meimora," Jaka berkata pada Kaisar yang menganggukinya. "Aku akan segera membantu pasukan untuk menumpas Ninja Merah."

"Ninja Merah berada di sini?" tanya Kaisar terbengong.

"Ya! Aku pergi dulu." Jaka dengan cepat kembali berkelebat kembali menuju di mana pertempuran terus terjadi.

Pertarungan dua kekuatan yang bermusuhan itu terus berlangsung. Pertarungan tersebut sepertinya tidak seimbang, namun kenyataannya pasukan Ninja Merah yang dipimpin oleh pimpinannya Takasima mampu membuat para Pendekar Samurai kewalahan.

"Takasima, kaulah lawanku!" Jaka Ndableg yang datang berseru memecahkan pertempuran. "Bukankah engkau yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan Ninja-ninja Merah di Tanah Jawa?"

"Benar! Akulah musuhmu! Aku akan mencincangmu!" Takasima segera lompat ke arah Jaka, tinggalkan Perdana Mentri yang membiarkannya begitu saja. "Aku akan mencincangmu, seperti engkau membunuhi Ninja Merah dan anak buahku! Hiiiiiaaaaatttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

Takasima babatkan samurainya dengan cepat ke arah Jaka, sehingga mau tidak mau Jaka Ndableg harus mengelakkannya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Takasima yang merasa bahwa dirinya akan mampu mengalahkan Jaka Ndableg, terus mencercanya dengan sabetan-sabetan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

Jaka tolakkan tubuhnya ke belakang, manakala samurai di tangan Takasima menusuk ke perutnya. Namun belum juga tubuh Jaka hinggap ke atas tanah, dengan cepat Takasima telah kembali menyerangnya dengan sabetan samurainya.

"Wuuuuuttt...!"

Jaka yang hendak menepakkan kakinya, segera urungkan, lalu dengan lentingan lebih keras tubuhnya melenting ke udara tinggi. Manakala tubuhnya kembali turun, dengan cepat Jaka Ndableg serang Takasima dengan pukulan tangannya Dewa Menghantam Karang, sebuah pukulan yang dahsyat.

"Wuuuuuttt...!"

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuuusss...!"

Angin pukulan Dewa Menghantam Karang menderu, menyentakkan Takasima yang segera melompat elakkan. Pukulan yang dilontarkan Jaka pun melesat beberapa senti di samping tubuh Takasima. Takasima kembali merangsek tanpa memberi kesempatan pada Jaka Ndableg.

"Wuuuuttt...!"

Sementara di tempat lain, nampaknya dengan ditinggal Takasima para pasukan Ninja Merah makin menurun saja keberaniannya. Kini mereka benar-benar dicerca serangan-serangan gencar yang dilakukan oleh prajurit samurai yang memang sudah mahir dalam penggunaan samurai. Kini para prajurit samurai di bawah pimpinan langsung Perdana Mentrinya, makin tumbuh semangat untuk menumpas para Ninja Merah.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuuuttt...!"

"Aaaaaa!"

Korban di pihak Ninja Merah kini makin banyak berjatuhan. Ternyata Takasima mempunyai pengaruh besar bagi mereka. Sedangkan Takasima sendiri kini tengah menghadapi serangan yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg. Walaupun Jaka masih tangan kosong, namun tendangan dan pukulannya mampu mengejutkan Takasima bahkan mampu membuat Takasima harus menguras tenaganya untuk mampu menghindari serangan tangan kosong Jaka. Jaka Ndableg kini kembali hantamkan tangannya, berupaya mendaratkan pukulan ke muka Takasima. Namun segera Takasima balik babatkan samurainya, menghadang serangan tangan kosong yang dilakukan Jaka.

"Wuuuuttt...!"

Jaka tarik kembali tangannya, lalu dengan cepat sodorkan kakinya menendang. Untuk kedua kalinya Takasima kembali babatkan samurainya, dan kali ini ke arah di mana kaki Jaka hendak menyodok ke perut.

""Wuuuuttt...!"

Jaka kembali urungkan tendangannya. Jaka Ndableg benar-benar hendak menguras tenaga Takasima habis-habisan. Takasima kini membuka mata, siapa yang kini tengah dihadapinya. Ternyata ucapan Taka Nata benar adanya. Namun sebagai seorang Ninja sejati, sungguh malu besar bila harus mengalami kegagalan. Takasima tak hiraukan bahwa napasnya benar-benar sudah terkuras, ia terus berusaha menyerang Jaka. Namun setiap serangannya, selalu dengan mudah digagalkan oleh Jaka dengan kibasan pukulan tangannya yang mengandung angin besar.

"Wuuuuuttt...!"

Samurai di tangan Takasima membeset, Jaka tidak berusaha menghindar, malah kini ia tampak berdiri mematung diam, sepertinya Jaka siap untuk menjadi tumpuan samurai di tangan Takasima. Takasima yang melihat hal ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, segera Takasima babatkan samurainya cepat.

"Wuuuuttt...!"

"Bug!"

Takasima melotot matanya, manakala samurai di tangannya tak berarti sama sekali di tubuh Jaka. Tubuh itu masih utuh, tiada terlecet sedikit pun oleh babatan samurainya. Jaka Ndableg tersenyum, "Bagaimana? Apakah kau puas?" tanya Jaka mengejek. "Kalau kau memang puas, maka kini giliran aku yang akan menyerangmu. Terimalah pukulanku.

Hiaiiiiaaattt...!"

"Wuuuuutttt...!"

Takasima tersentak manakala tangan Jaka menghantam ke arahnya. Sebisanya ia berusaha menghindar, namun tangan Jaka bergerak dengan cepat, dan...!

"Bug! Bug! Bug...!"

"Wuuuuuuaaaa...!" Takasima memekik, tubuhnya gontai terhantam pukulan tangan Jaka. Pukulan Rajawali Menyapu Mega, menjadikan muka Takasima yang terhantam bagaikan dihantam ribuan kati. Mukanya bagaikan hancur tulang belulangnya, darah muncrat dari hidung dan mulutnya. Takasima masih terhuyung, manakala Jaka kini kembali melompat menyerang dengan tendangan geledeknya.

"Hiiiiiiiiiaaaaaaaaattttt...!" Mata Takasima membeliak kaget, manakala kaki Jaka bagaikan sebuah larikan sinar yang menderu ke arahnya. Kaki Jaka kini sukar untuk diterka. Namun begitu, Takasima tak mau tinggal diam begitu saja. Takasima kembali berusaha menangkis dengan babatan samurainya, namun gerakan Jaka ternyata lebih cepat.

"Bug!"

"Wuuuuuuaaaaa...!" Takasima menjerit, dadanya yang terkena tendangan terasa sesak. Darah muncrat dari mulutnya, menjadikan Takasima benar-benar sekarat. Tubuh Takasima menggelepar bagaikan ayam dipotong. Dadanya terasa sangat sesak, sementara matanya melotot memandang ke arah Jaka Ndableg.

"Pulanglah! Katakan pada Rajamu, Taka Nata. Aku akan datang dan menuntut dia turun dari tahta yang bukan haknya!"

Takasima tak banyak bicara, dengan tertatih-tatih sambil pegangi dadanya yang sakit Takasima menurut pergi tinggalkan hutan tersebut. Namun belum juga kakinya jauh melangkah, tiba-tiba sebuah pedang berkelebat membabat lehernya.

"Craaaaassss...!"

"Aaaaaaaaaaaaaaa..,.!" Takasima memekik, sedangkan Jaka tersentak kaget.

Kedatangan bayang tersebut sungguh begitu cepat, dan sukar untuk diikuti. Kepala Takasima menggelinding, tubuhnya sejenak kaku dan akhirnya ambruk tanpa nyawa. Sementara orang yang membabatkan samurainya kini telah berdiri di hadapan Jaka. Orang tersebut menjura hormat. Seorang lelaki setengah baya, berpakaian merah dengan dekoratif naga. Itulah Naga Merah, orang yang telah menghilang sejak kekalahannya melawan Taka Nata. Naga Merah kembali berkelebat, cepat tanpa mampu dicegah. Kini Naga Merah berkelebat ke arah para Ninja Merah bertempur. Pedangnya bergerak cepat, menyerang Ninja Merah yang makin terdesak saja.

"Wuuuuuuaaa...!"

Setiap samurai Naga Merah berkelebat, saat itu pula nyawa Ninja Merah lepas dari raganya. Tak begitu lama, satu persatu Ninja Merah berguguran. Dalam waktu singkat semua Ninja Merah habis terbantai. Jaka bermaksud menanya siapa adanya Ninja Merah, namun orang tersebut telah mendahului pergi. Jaka hanya mampu terjengah, diam, memandang ke arah tujuan Naga Merah. Tujuan Naga Merah adalah kerajaan. Naga Merah rupanya telah tahu kalau Taka Nata kini menjadi Kaisar setelah menggulingkan Kaisar pertama.

ENAM

Jaka Ndableg merasa bahwa orang yang baru saja membantu menumpas Ninja Merah, tentunya mempunyai hubungan dengan para Ninja tersebut. Entah hubungan permusuhan, atau hubungan sebagai seorang yang bertugas membunuh setiap Ninja yang kalah. Jaka merasa perlu untuk menguntit orang tersebut, maka dengan segera setelah orang berpakaian merah dengan gambar naga itu pergi, Jaka pun berkelebat mengikutinya.

"Aku harus menjaga jarak." ucap Jaka dalam hati. Jaka berlari dengan agak lamban, ia sengaja ingin menjaga jarak antara dirinya dengan orang tersebut.

Sementara itu, para prajurit yang melihat kepergian Jaka menuju ke Kerajaan segera melaporkannya kepada Kaisar tentang dugaannya.

"Kami rasa, Pendekar itu hendak mengadakan pemberontakan pada Taka Nata."

"Mengapa kau berkata begitu, Perdana Mentri?" tanya Kaisar. "Barusan tadi, ia menyuruh pada Takasima untuk memberitahukan pada Taka Nata bahwa dirinya akan mengambil kembali tahta yang bukan hak Taka Nata. Namun Takasima keburu dibunuh."

"Dibunuh...?"

"Benar, Kaisar. Takasima mati dibunuh oleh Naga Merah." tutur Perdana Mentri. "Dan rupanya Naga Merah pun hendak bertujuan sama. Naga Merah pun hendak mengadakan pembalasan pada Taka Nata, Kaisar."

"Kalau begitu, kita segera ke sana!"

Perdana Mentri segera siapkan pasukannya, lalu dengan penuh kesiap siagaan mereka pun berangkat menuju ke kerajaan. Dalam hati mereka hanya ada satu pilihan, kembali merebut tahta, atau mati bersama-sama Pendekar Pedang Siluman Darah. Dan mereka merasa besar hati manakala mengingat bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah berada di pihaknya. Mereka sangat mengharapkan Pendekar tersebut mau mengambil kembali tahta kerajaan.

********************

Naga Merah yang tengah berlari, segera hentikan langkahnya manakala dirinya merasa ada yang mengikuti. Naga Merah segera sapu pandangannya, mencari orang yang tengah menguntitnya. Namun orang tersebut tiada nampak olehnya, padahal kini dirinya tengah berada di padang yang tiada berpohon. Hanya hamparan salju saja yang tampak memutih.

"Hem, siapa yang mengikutiku?" tanya Naga Merah dalam hati, lalu dengan acuh kembali Naga Merah pun meneruskan perjalanannya.

Jaka yang bersembunyi nampak tertegun, ia tahu kalau orang yang diikutinya sangat tajam pendengarannya. Jaka tidak ingin dirinya diketahui, maka Jaka pun membiarkan Naga Merah mendahului menuju ke kerajaan. "Hem, biarlah orang tersebut pergi, toh nanti aku akan dapat menemuinya di kerajaan."

Setelah dirasa orang tersebut telah jauh, segera Jaka pun melanjutkan perjalanan menuju ke kerajaan. Langkahnya begitu cepat, dengan harapan akan segera dapat menyusul orang itu. Bila orang itu benar-benar utusan Taka Nata, maka ia akan bertindak mendahului. Jaka tahu, kalau orang tersebut adalah mata-mata Taka Nata, pastilah keberadaan Kaisar akan segera dapat diketahui.

Sementara itu Naga Merah yang merasakan bahwa orang yang menguntitnya telah tiada lagi terus berlari menuju ke kerajaan. Hatinya dipenuhi oleh tanda tanya akan siapa sebenarnya orang yang mengikutinya tersebut. Kalaulah orang itu bermaksud jahat, tentunya orang itu akan dengan mudah membinasakannya, mengingat ilmu yang dimiliki orang tersebut jauh lebih tinggi. Kalau saja orang itu ilmunya macam miliknya, tentu Naga Merah akan mampu melihat keberadaan orang yang menguntitnya.

"Hem. siapakah orang tersebut?" tanya Naga Merah dalam hati masih terus berlari. Sedangkan jaraknya dengan jaka kini makin jauh saja,

Tiada berapa lama kemudian, Naga Merah pun sampailah di alun-alun kerajaan. Dirinya yang sudah lama meninggalkan dunia persilatan, kini tiada dapat dikenali lagi oleh para pasukan Ninja yang berlalu lalang hingga dengan mudahnya Naga Merah pun sampai pada tempat yang dituju yaitu Kerajaan Samurai Iblis. Mata Naga Merah memancang pada larikan tulisan Kanji yang mengukir di depan alun-alun kerajaan. Tulisan besar, dengan pahatan indah bertuliskan "KERAJAAN SAMURAI IBLIS"

"Taka Nata, ternyata engkau benar-benar berhasil. Tapi, tak akan lama kau memegang tampuk pimpinan kerajaan ini! Aku akan mengakhirinya." gumam Naga Merah dalam hati. Kakinya kini makin melangkah masuk, menapaki jalanan indah menuju ke istana, menjadikan perhatian para Prajurit Ninja Merah yang melihatnya.

Dan para prajurit penjaga istana pun mendatanginya seraya bertanya. "Adakah Tuan mempunyai tujuan hingga Tuan datang ke mari?"

Naga Merah tiada menjawab, hanya matanya saja yang terus tajam mengawasi ketujuh Ninja yang menanya. Dan tanpa diterka oleh para Ninja itu, dengan cepat Naga Merah cabut samurainya.

"Wuuuuutttt...!"

"Aaaah....!" ketujuh Ninja Merah memekik tertahan melompat mundur hindari serangan Naga Merah.

"Bajero! Serang...!" salah seorang mengomando.

"Hiiiiiaaaaatttt...!"

Ketujuh Ninja Merah itu pun dengan cepat menyerang dan mencoba merangsek Naga Merah dengan sabetan-sabetan samurainya. Namun Naga Merah bukanlah orang sembarangan. Sejak kekalahannya dengan Taka Nata, ia berusaha mendalami ilmu yang dimiliki oleh Tiga Naga Dari Gunung Fuji. Kitab yang berada di tangan Naga Biru kini telah lengkap ia kuasai. Naga Kuning adiknya, tak tertolong dan mati keracunan. Tekadnya hanya satu, membalas kematian adik-adik seperguruannya. Dan Naga Merah telah tahu, hanya bekal ilmu yang tinggi saja ia akan mampu mengalahkan Taka Nata si Iblis Nippon.

"Wuuuuuutttt!"

Naga Merah lompat ke samping, elakkan serangan samurai ketujuh Ninja Merah. Setelah berhasil mengalahkan serangan, dengan cepat Naga Merah pun babatkan samurainya ke arah lawan.

"Wuuuuuutttt...!"

"Trang !"

"Aaah...! Ninja Merah lompat mundur, lepaskan samurainya manakala samurai di tangannya bagaikan tersedok oleh Samurai Naga Merah. Namun belum juga para Ninja Merah itu hilang kejutnya, Naga Merah telah berhasil kembali babatkan samurainya.

"Wuuuuuuttt!"

"Aaaaaa...!" Dua orang dari ketujuh Ninja Merah tak mampu elakkan serangan. Samurai di tangan Naga Merah deras membabat tubuh keduanya. Dan tanpa ampun lagi, keduanya menggeliat lalu mati dengan perut terbeset samurai.

"Bajero! Pemberontak.,.!" salah seorang Ninja berteriak, hal itu menjadikan semua prajurit Ninja yang ada di sekitar tempat itu berdatangan. Mereka segera membantu Ninja-ninja Merah lainnya yang nampak terdesak. Jadilah Naga Merah kini dikeroyok oleh para prajurit Ninja.

"Wuuuuutttt...!"

Naga Merah sabetkan samurainya, dan berusaha menghindari serangan musuh yang datangnya bersamaan. "Kalian minggirlah! Aku tiada urusan dengan kalian, tapi aku berurusan dengan pimpinan kalian! Taka Nata, keluar kau bangsat...!"

"Bajero! Kau berani memaki raja kami!" balik Ninja Merah membentak, dan tanpa perdulikan Naga Merah, Ninja Merah pun kembali mengeroyok. Sabetan-sabetan samurai di tangan mereka makin ganas dan cepat.

Namun begitu Naga Merah bukanlah pendekar kelas kroco yang gentar menghadapi mereka, setiap babatan samurainya mampu mengundang jeritan kematian bagi yang terkena. Korban pun berjatuhan di pihak para ninja Merah. Tapi para Ninja Merah bagaikan tiada mengenal rasa takut, walau temantemannya banyak yang mati jadi korban kemarahan Naga Merah. Mereka pada umumnya telah disumpah, sehingga dalam benak mereka tiada kata takut barang secuil pun.

Naga Merah terus mencerca, berusaha membuat kematian musuhnya sebanyak mungkin. Tujuannya agar supaya Taka Nata mau menampakkan diri menghadapinya. Kini Naga Merah tiada memberi ampun bagi para Ninja tersebut, dia terus mengamuk membabi buta. Namun jumlah Ninja Merah bukannya berkurang, malah kini makin bertambah banyak saja.

Jaka Ndableg yang juga sudah sampai di situ, segera berkelebat membantu manakala dilihatnya Naga Merah tengah dikeroyok oleh NinjaNinja Merah. Pedang Siluman Darah yang sudah siap di tangannya menjadikan kematian bagi yang terbabat.

"Wuuuuuttt...!"

"Wuuuuaaaaaa...!"

"Aku bantu, Sobat! Kau telah membantuku, maka aku pun ingin membantumu sebagai balasannya!" seru Jaka pada Naga Merah dan terus berusaha menghalau para Ninja. Kini Ninja-ninja Merah benar-benar terdesak dengan kehadiran Jaka Ndableg. Pedang Siluman Darah di tangan Jaka sangat membahayakan, bila dibandingkan dengan samurai di tangan Naga Merah.

"Wuuuuutttt!"

Tiga Ninja Merah menyerang, namun dengan cepat Jaka mengelak, sikutnya menyodok Ninja yang di belakang, menjadikan Ninja yang terkena menjerit kesakitan. Bukan hanya sikut tangan, tapi tumit kakinya juga bagaikan seekor kuda menyepak orang yang di belakangnya.

"Dug!"

"Wadaaaaaauuuuu....!" Ninja Merah yang berada di belakangnya menjerit, tangan Ninja tersebut pegangi telur burung untanya yang bagaikan hendak meledak. Perutnya melilit-lilit mulas, dan orang itu pun berguling-guling menahan sakit.

Jaka terus berusaha mengelak, ditebaskannya Pedang Siluman Darah ke arah samurai lawan yang mengancam dirinya.

"Wuuuuuttt...!"

"Traaaannngg...!"

"Prak! Prak! Prak...!" tiga kali terdengar benturan senjata dan tiga kali itu pula terdengar senjata patah. Mata ketiga Ninja yang menyerangnya membeliak kaget, manakala melihat samurai di tangannya telah puntung menjadi dua. Belum juga ketiganya dapat sadarkan diri karena kaget, Jaka telah kembali babatkan Pedang Siluman Darahnya ke arah mereka.

"Wuuuuutttt...!"

"Cras, cras, cras!"

"Wuuuuuuuaaaa....!" ketiganya memekik, pegangi leher mereka yang hampir puntung. Ketiganya mengejang berdiri, lalu ambruk tanpa nyawa lagi. Darah tiada keluar dari luka-luka mereka, kering terhisap oleh Pedang Siluman Darah. Melihat rekannya mati, sepuluh Ninja menyerang ke arah Jaka.

"Wuuuuuuttttt....!" sepuluh samurai bareng menyerang, menjadikan Jaka mau tidak mau harus melompat mundur. Tapi belum juga tubuhnya ke belakang, lima orang Ninja yang berada di belakangnya sodokkan samurainya. Jaka lentingkan tubuh ke udara, hal tersebut menjadi fatal bagi penyerangnya. Kesepuluh Ninja dan lima rekannya saling serang.

"Wuuuuusss...!"

"Cras! Cras!"

"Bles! Bles!"

"Wuuuuuuaaaaaa....!" Lima orang Ninja saling tusuk, mata mereka mendelik saling pandang. Hal itu berjalan sesaat, sebelum kemudian kesepuluh Ninja yang saling tusuk itu ambruk tanpa memiliki nyawa lagi.

Pertarungan dua dikeroyok oleh ratusan Ninja Merah terus berjalan. Bersamaan makin ramainya pertempuran tersebut, nampak datang pasukan samurai pembela Kaisar dipimpin langsung oleh Perdana Mentrinya. Pasukan samurai itu langsung amprok bertempur dalam arena peperangan. Makin serulah pertarungan tersebut, kini jumlah mereka seimbang.

Taka Nata yang mendengar keributan di luar nampak menggeram marah. Dengan menyiapkan segala yang dimiliki, Taka Nata segera berkelebat ke luar menemui para pasukannya yang kini tengah bertempur dengan pasukan musuh.

"Bajero! Pendekar Tanah Jawa, aku menemuimu!" Taka Nata berseru menantang, manakala dilihatnya Jaka Ndableg ada di antara prajurit Ninjanya.

Jaka Ndableg nampak tengah mengamuk, sehingga hampir setiap sabetan Pedang Siluman Darahnya membuat Ninja-ninja Merah meregang nyawa dan mati dengan darah mengering. Hal tersebut mampu membeliakkan mata Taka Nata. Ia selama menjadi Pendekar baru kali ini menemukan senjata aneh, sebuah senjata yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Dan yang lebih aneh, dari ujung pedang itu mengeluarkan darah membasahi batangnya.

"Pedang aneh! Sungguh benar apa yang dikabarkan rekan-rekanku di Tanah Jawa, bahwa Pendekar ini mempunyai pedang aneh yang mampu mengeluarkan darah. Tapi aku tidak takut, sebab aku memiliki samurai Iblis yang mampu membunuh dengan asap. Hiiiiiiiiaaaattt...!"

Jaka Ndableg tersentak, manakala dirasakannya sebuah sabetan pedang di atas kepalanya. Segera Jaka rundukan tubuhnya mengelak.

"Wuuuuuutttt...!"

Jaka Ndableg sabetkan Pedang Siluman Darah ke atas, tangkis serangan yang menyerangnya. Taka Nata rupanya tidak ingin mengadakan bentrokan pedang dengan Jaka, sehingga dengan cepat Taka Nata tarik kembali serangannya.

"Kau rupanya muncul juga, Taka Nata?"

"Hu, ha, ha...! Tak akan ada orang yang mampu mengalahkan aku! Akulah pendekar nomor wahid di dunia ini.,.!"

"Sombong!" Jaka menggertak.

"Kau Pendekar Jawa, apa hakmu ikut campur dalam urusan ini!"

"Aku berhak!" jawab Jaka. "Kau dan rekanmu telah membuat Tanah Jawa membara! Kau tiada lebihnya Iblis!"

"Bajero! Aku bunuh kau, hiiiiiiiaaaatt...!"

"Wuuuuuutttt....!"

Taka Nata sebatkan Samurai Iblisnya, dan dari sabetan tersebut keluar asap bergulung-gulung menyerang ke arah Jaka. Jaka Ndableg telah siap menghadapinya, segera Jaka pun kebaskan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Duuaaar!"

Dua kekuatan yang terpancar dari dua pedang bertemu, menjadikan ledakan hebat yang mampu mengguncang tanah di situ. Tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Taka Nata kembali dengan cepat kebatkan Samurai Iblisnya.

"Wuuuuutttt!"

"Wuuuuuutttt!"

Jaka Ndableg pun tak mau kalah, Pedang Siluman Darah berkelebat memapakinya. Dan seperti pertama, kembali terdengar suara ledakan manakala dua kekuatan itu kembali bertemu. Kedua pendekar beda haluan itu terus saling serang, sukma Ratu Siluman Darah dan Sukma Iblis Pranutu masuk ke dalam pedang mereka. Dan manakala pedang tersebut saling bertemu, tiba-tiba kedua pedang itu terbang dan lepas dari tangan keduanya. Keduanya tiada hiraukan, keduanya kini terlibat perkelahian tangan kosong tanpa senjata di tangan masing-masing.

Taka Nata ajukan jotosan ke muka, dengan jurus Musang Mencuri Ayam. Gerakan pukulan Taka Nata begitu cepat, licik dan ganas. Jaka tersentak, coba tepiskan serangan tersebut dengan jurus Kucing Menangkap Tikus.

"Hooop!"

"Hiiiiiaaa...!"

"Plek! Tap...!"

Jaka berhasil menangkap tangan Taka Nata, namun Taka Nata dengan cepat kibaskan tangannya yang tertangkap dengan jurus Musang Menjerat. Tangan Taka Nata bergerak cepat, sepertinya membuat jerat yang sukar dimengerti. Tangannya bergerak lurus, lalu tibatiba menyeruak ke muka Jaka. Hal itu tidak terduga sama sekali oleh Jaka, sehingga Jaka pun tersentak lompat mundur lepaskan tangan yang tergenggam.

Merasa serangannya berhasil, Taka Nata melipat gandakan serangan selanjutnya. Kini bukan jurus ringan lagi, akan tetapi jurus yang mematikan dikeluarkannya dalam usahanya segera menghentikan pertarungan dengan Jaka Ndableg. Jaka tersentak berusaha mengelak, namun !

"Hiiiiiaaaattt!"

"Wuuuuuttt!"

Tangan Taka Nata yang membentuk cakaran harimau merangsek ke muka Jaka. Dan  hal tersebut sukar sekali untuk dihindari Jaka, sehingga tanpa ayal lagi mukanya jadi sasaran. Beruntung Jaka masih bisa mengegoskan muka, sehingga hanya dadanya yang terkena cakaran tersebut. Mata Jaka membeliak marah, dan benar-benar Jaka kini marah demi melihat darah merembes dari luka di dadanya.

"Bangsat! Hiiiiiaaaattt....!" Jaka menggerang, dan dengan marahnya berkelebat menyerang. Jurus Elang Mengepak Sayap, Menyambar Mangsa, juga Mencakar Ayam terus dilancarkan berganti-ganti. Hal itu menjadikan Taka Nata kini yang kedodoran.

"Wuuuuttt...!"

"Plak...!"

Taka Nata dengan Harimau Menerkam Mangsanya berhasil menepiskan tangan Jaka yang mencercanya. Jaka kini benar-benar marah karena merasa serangannya tiada berhasil, dan kemarahannya dilampiaskan dengan ajian Banyu Geninya.

"Wooooooaaaarrrrr...!" suara Jaka menggelegar, menjadikan orang yang berada dekat dengannya mau tidak mau harus menutup telinganya. "Dewa Geni... Dewa Geni...!" Dalam sekejap saja tubuh Jaka telah berubah ujud. Tubuh Jaka yang tadinya mulus dan tampan, kini tertutup oleh kobaran api yang menyala-nyala.

Taka Nata tersentak, melompat mundur ke belakang. Sementara di udara nampak dua sinar tengah mengadakan pertarungan. Dua sinar yang satu putih perak dan yang lainnya kuning kemerah-merahan. Dua senjata tersebut kini dalam keadaan siap serang.

Seperti pemiliknya, Ratu Siluman Darah telah terhempas oleh serangan yang dilancarkan oleh Iblis Pranutu yang menghuni Samurai Iblis. Ratu Siluman Darah begitu marahnya, sehingga kini Pedang Siluman Darah benar-benar makin memerah saja nyalanya.

Dua senjata sakti itu saling serang, seperti apa yang kini dilakukan oleh pemiliknya. Dua senjata sakti kini melayang, keluarkan sinar dari ujungnya. Ratu Siluman Darah kini benar-benar murka hingga ajian intinya menggelegar menyerang ke arah Samurai Iblis. Tanpa ampun lagi. Samurai Iblis yang dihuni Iblis Pranutu pun seketika meledak.

"Duuuuuuuuaaaaaarrrr...!"

Seketika semua yang tengah bertarung hentikan pertarungan dan tengadahkan mata ke atas. Suara ledakan itu begitu kerasnya, sehingga mampu mengejutkan semuanya. Tampak larikan sinar putih melesat tinggalkan Samurai Iblis. Itulah yang sebagai tanda bahwa Iblis Pranutu telah menghilang. Namun Pedang Siluman Darah seakan tiada menghendaki musuhnya kabur begitu saja. Pedang Siluman Darah terus melesat memburu Samurai Iblis.

"Sroooooottt...!" Dari ujung Pedang Siluman Darah keluar sinar menyerang ke arah Samurai Iblis.

"Duuuuuuuaaaarrr...!" kembali ledakan terdengar menggelegar.

"Wuuuuuaaaaa!"

Bareng dengan hancurnya Samurai Iblis, saat itu juga Jaka Ndableg yang telah menjadi Dewa Api berhasil hantamkan Inti Apinya ke arah tubuh Iblis Taka Nata yang telah berubah ujud menjadi Makhluk Setengah Manusia. Api membakar muka Taka Nata yang berbentuk mengerikan itu, menjadikan Taka Nata tak mampu mengelakkannya. Namun walaupun begitu, Taka Nata nampak masih bertahan.

"Swiiiiiitttt!"

Pedang Siluman Darah yang telah berhasil membinasakan Iblis Pranutu melayang ke bawah menuju ke arah Jaka. Dengan segera Jaka, pun menerimanya.

"Tap!"

"Terimalah akhir dari gentayanganmu, Iblis!" Jaka Ndableg tanpa hiraukan Taka Nata yang masih mengerang-erang kesakitan segera kembali berkelebat. Tangannya telah siap dengan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuuutttt!"

Taka Nata yang masih mengerang kesakitan dengan api Inti melalap mukanya tak mampu mengelakkannya, hingga...

"Craaas!"

"Wuuuuuuaaaaa...!" Taka Nata memekik, kepalanya puntung dan menggelinding ke salju yang membawanya mengalir terus dan jatuh ke dalam jurang tak jauh dari mereka bertempur.

Jaka Ndableg angkat tubuh Taka Nata dan membawanya menuju ke kerajaan di mana para prajurit Ninja masih melakukan perlawanan. Perang masih berlangsung seru, korban terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Dengan cepatnya kematian menggema, manakala Samurai-samurai itu saling bertemu. Jaka Ndableg dengan menggunakan ilmu larinya terus melaju menuju ke kerajaan, Dan manakala sampai di kerajaan, dengan segera Jaka naik ke atas mimbar.

"Lihaaaaattt...! Lihaat oleh kalian! Ketua kalian telah mati! Apakah kalian semua masih terus ngotot...?!" Diangkatnya tubuh Taka Nata tinggi-tinggi, dan seketika itu juga semua mata tertuju ke podium.

Perang berhenti, para Ninja Merah kini benar-benar tercekam rasa takut. "Apakah kalian ingin seperti ketua kalian ini?" Jaka lemparkan tubuh tanpa kepala Taka Nata ke tengah-tengah arena pertempuran. Kini mereka semua benar-benar menyadari bahwa mereka bukan tandingan Pendekar Muda itu. Tanpa diperintah, keseluruh Ninja Merah akhirnya menekuk lutut menyerah. Dan hari itu juga Kaisar kembali diangkat untuk menduduki tahta yang telah ternoda oleh Taka Nata.

"Hidup Pendekar Tanah Jawa!"

"Hidup Jaka Ndableg!"

Rakyat bukannya mengelu-elukan Kaisarnya, malah sebaliknya mereka mengelu-elukan Pendekar yang kini menjadi pahlawan. Rakyat tahu kalau tidak ada Pendekar Muda Jaka Ndableg, tentunya Kekaisaran masih berada di tangan Taka Nata si Iblis Nippon yang kejam.

********************

Esok paginya, Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah minta pamit untuk kembali mengelana. Dengan diantar oleh sang Kaisar sendiri serta para pejabat pemerintah, Jaka diarak menuju ke pantai untuk meneruskan kembali perjalanannya dalam mengembara menegakkan keadilan dan kebenaran.

"Kalau kau memang ingin datang, berkunjunglah ke kerajaan, Tuan Pendekar." pinta sang Kaisar. "Kami sungguh akan terus mengenang jasamu. Kami akan selalu menganggapmu sebagai saudara yang baik. Jangan lupa, sampaikan kepada Raja Tanah Jawa, aku sampaikan terimakasih yang tiada terhingga atas bantuannya."

"Ah, sudah menjadi tugasku, Kaisar."

Meimora nampak masih dalam pelukan Jaka, sementara mata Meimora masih menitikkan air mata. Meimora menangis, sedih karena ia harus berpisah dengan orang yang dicintai "Jakaaaa....?"

Pandangan mata Meimora, menjadikan Jaka dan semua orang menjadi haru. Mereka benar-benar trenyuh melihat Meimora. Perlahan Jaka sapukan jemari ke mata lentik gadis malang itu, lalu dengan suara serak menahan tangis Jaka berkata:

"Meimora, bukankah kita masih akan dapat bertemu?"

Meimora mengangguk. "Kalau kau ingin berkunjung ke Tanah Jawa, mintalah pada Tuan Kaisar untuk mengantarkanmu," Jaka menambahkan, seraya memandang pada Kaisar yang tersenyum mengangguk.

"Benar, Nona. Dan mulai saat ini, engkau aku angkat menjadi anakku, karena kau banyak jasanya padaku."

Suka ria hati Meimora, namun ia lebih suka bila Jaka harus menetap di Tanah Nippon untuk selalu menemaninya. Kenangan di hutan selalu menempel lekat di kelopak matanya. Masih teringat manakala Jaka membelai rambutnya mesra.

"Jaaaaakkkkkaaaaa...!" Meimora tak dapat membendung tangisnya, dipeluknya Jaka dengan erat, menjadikan Jaka terdiam trenyuh tak mampu berkata. "Kau milik orang banyak! Kau bukan milikku seorang, Jaka. Tapi kau dengarlah, aku mencintaimu."

"Terimakasih, Mei."

"Pulanglah ke Tanah Jawa, sebab di sana masih banyak tugas yang harus engkau selesaikan. Terimalah ini, ini sekedar kenang-kenangan dariku. Bila kau ingat aku, maka bukalah dan bacalah syair tersebut."

Disodorkannya selipatan kertas bertuliskan bahasa Jawa. Entah dari siapa Meimora memahami tulisan Jawa, yang pasti di kertas itu tertulis tulisan Jawa, bukan tulisan huruf Kanji. Dengan perlahan-lahan Jaka membukanya, dan dibacanya larikan puisi yang tertera:

Cinta itu datang, begitu indah.
Aku sadar, kalau aku memang mencintaimu.
Namun aku juga sadar, bahwa kau milik orang banyak.
Bunga-bunga cinta akan aku sirami, meski sang kumbang jauh.
Jaka, Temaram hijau hutan belantara, adalah saksi kebisuan yang akan mengenangkanmu padaku, juga diriku padamu.
Aku hanya berucap, Selamat Berjuang!

Meimora.


Jaka kembali melipatnya, ada segores rasa syahdu menghanyut di pelupuk matanya. Tanpa sadar didekapnya erat tubuh Meimora, yang menerimanya dengan pasrah. Dipandanginya wajah Meimora, dan tanpa malu-malu dikecupnya bibir sang gadis yang seketika itu merona merah pipinya. Dibisikannya untai kata mesra di telinga sang gadis.

"Aku akan selalu mengingatmu, Mei?" Mesra suara Jaka terdengar di telinga Meimora.

"Jaga dirimu baik-baik," hanya itu yang mampu dikeluarkan oleh Meimora.

Jaka hanya menganggukinya. "Tuan Kaisar, aku titip dia."

"Aku aku perhatikan, Tuan Pendekar," jawab Kaisar.

Setelah menyalami semua yang ada di situ, Jaka Ndableg pun segera naik ke atas perahu yang telah disiapkan oleh penduduk untuk dirinya. Dilambaikannya tangan, yang dibalas dengan lambaian kagum bercampur sendu oleh rakyat Nippon. Perahu pun melaju, manakala tangan Jaka yang kokoh mendayung.

"Jaaaaaaaakkkkaaaaaaa.....!" Meimora berseru.

Jaka palingkan muka ke arah suara Meimora, lalu dengan perlahan dilambaikannya tangan setelah tangannya sendiri dikecupnya untuk menyatakan rasa cinta.... Perahu terus melaju, jauh dan makin jauh meninggalkan kerajaan

T A M A T

DAFTAR CERSIL LAINNYAPEDANG SILUMAN DARAH

Runtuhnya Samurai Iblis

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Runtuhnya Samurai Iblis
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

Hamparan salju seakan tiada mereka hiraukan. Hari makin larut malam, jadi gelap pun kini menyelimuti tempat-tempat tersebut. Untung saja hamparan salju mampu memantulkan cahaya.

"Kita istirahat di sini," perintah Panglima Perang pertama pada rekan-rekannya. "Kusir, hentikan kereta."

Sang kusir tiada membantah, hentikan keretanya. "Apakah kita akan di sini sampai menunggu pagi?" tanyanya agak jengah, lebih-lebih Meimora.

"Tidak," jawab Panglima pertama, memberikan keyakinan. "Kan ada Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah di sini?" "Benar!" sambung Panglima kedua. "Tapi apakah kita akan dalam gelap?"

"Memang kita perlu api," ulas Jaka. "Apakah di sini suasana sangat dingin?" Semuanya mengangguki, lalu Jaka pun dibatalkan. "Di samping itu pula, kita pasti tidak ingin ada binatang buas mengusik diri kita."

"Tepat! Mari kita cari ranting kering."

"Di mana kita mencarinya, Kakak Mozeta?" tanya Perwira kedua. "Apakah sekarang saat musim salju?"

"Benar, benar."

Semua yang ada di situ tampak agak kecut, karena merasa bahwa usahanya untuk mendapatkan kayu-kayu kering akan mengalami kegagalan. Sementara Jaka Ndableg agaknya hanya diam, membiarkan mereka berpikir. Meimora sepertinya enggan untuk beranjak jauh dari Jaka, yang seakan merupakan perlindungan bagi dirinya. Entah karena apa, kini Meimora benarbenar merasakan adanya suatu getaran aneh di hatinya. Hati kecilnya sebagai seorang wanita merasakan hentakan untuk mengutarakan katakata. Namun begitu, keadaannyalah yang selalu menyembunyikan hal tersebut.

"Kalian carilah kayu-kayu itu, walau basah."

Tercengang dua Panglima dan Kusir mendengar perintah Jaka yang dirasa aneh. Ketiganya kerutkan kening, lalu Panglima pertama pun bertanya. "Untuk apa, Tuan Pendekar?"

"Yang jelas, tentunya untuk api unggun, bukan?" Jaka balik menanya, menjadikan ketiganya terbengong makin melongo tiada mengerti.

Dengan penuh ketidakmengertian akhirnya ketiganya pun pergi juga mencari kayu untuk api unggun. Sementara itu Jaka kini tinggal berdua dengan Meimora. Meimora nampak memandangnya dalam dan penuh arti. Mata Meimora berkaca-kaca, sepertinya hendak mengutarakan akan apa yang ada di hatinya. Bibirnya, bergerakgerak, namun tiada kata yang terucapkan.

Jaka yang tahu keadaan Meimora nampak kasihan. Di sisi lain, dirinya benar-benar ingin menjadi seorang lelaki yang setia pada seorang wanita yang pernah dan sampai kini masih ia cintai. Lelaki mana pun, tentunya akan begitu saja lupa pada kekasihnya bila digoda wanita. Apalagi wanita itu begitu cantik, pasrah padanya walau tiada terucap lewat kata. Jaka tahu itu, tapi ia benar-benar ingin setia pada kekasihnya.

"Oooooh....! Miranti, sedang apakah engkau di Tanah Jawa malam ini?" tanya Jaka dalam hati.

Lama keduanya diam, sampai akhirnya ketiga orang yang mencari kayu datang kembali ke tempat mereka. Ketiganya telah membawa sebopongan kayu basah.

"Braaak...!" Kayu-kayu itu dilempar begitu saja menjadi satu timbunan. Kini kelimanya terdiam, sebab kelimanya tiada yang membawa korek api.

"Bagaimana membakarnya? Sedangkan kita tidak seorang pun yang memiliki korek api?" tanya ketiganya bingung.

Jaka tersenyum, lalu katanya tenang. "Kalian menyingkirlah agak jauh, biarkan aku di sini sendiri."

"Mau apa?" tanya ketiganya kembali, tak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Jaka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar membawa korek api?"

Jaka Ndableg terdiam. Sebenarnya ia tidak ingin mengatakan bahwa dirinya akan menggunakan ajian Banyu Geni untuk menyalakan kayukayu basah tersebut, namun dikarenakan memang agak sukar juga, maka Jaka akhirnya berterus terang. "Kalian tahu apa yang telah terjadi denganku tadi sore tatkala menghalau musuh?"

Kesemuanya yang ada di situ saling pandang. "Ooooh, benar! Rupanya Tuan Pendekar hendak menggunakan ilmu yang Tuan miliki?" tanya Panglima kedua. "Wah, mengapa kita tidak berpikir sampai di situ?"

"Benar!" tambah Panglima pertama.

"Nah, kalian menyingkirlah agak jauh sebab aku tidak menghendaki kalian tersiksa oleh panasnya api yang aku keluarkan."

Tanpa banyak kata lagi keempatnya pun mundur beberapa tombak untuk menjaga jarak dari sengatan api Banyu Geni. Sementara Jaka Ndableg kini nampak terpekur duduk bersila. Tangannya menyilang di depan dada, sedangkan mulutnya nampak komat kamit membaca mantera-mantera yang dipelajarinya dari kitab Banyu Geni. Perlahan dari tubuh Jaka keluar asap mengepul. Tubuh Jaka Ndableg membara. Mulanya bara api yang keluar dari tubuh Jaka tidak terlalu panas, namun makin lama makin terasa panasnya, bahkan membara bagaikan tiada terkira.

"Hooooaaaarrrr...!"

Dewa Api mengoar, dari mulutnya dan mata semburkan api ke arah tumpukan kayu-kayu basah tersebut. Dan dikarenakan kayu-kayu itu basah, maka Dewa Aji benar-benar harus menguras tenaga benar-benar. Bara api terus menyembur dari mata dan mulutnya. Mengeringkan kayu-kayu yang berada di tempat tersebut. Hawa panas kini benar-benar terasa menyengat oleh keempat rekannya yang berdiri sepuluh tombak darinya. Semuanya terkesiap, mereka baru melihat kejadian yang seperti dalam dongeng saja. Mereka memang mengenal Dewa Api, namun baru kini mereka benar-benar berhadapan dengan Dewa Api sesungguhnya.

"Tidak aku sangka, ternyata aku dapat melihat Dewa Api," Meimora berkata dalam hati. Ia begitu kagum pada Jaka Ndableg, yang sebenarnya adalah Dewa Api menurutnya. Kini Meimora benar-benar bagaikan terhanyut oleh khayalan yang tercipat lewat kekagumannya pada Jaka serta cinta yang memang tumbuh. "Tapi, apakah aku akan diterimanya? Sedangkan menurut cerita, titisan Dewa Api tidaklah menghendaki gadis yang sudah tidak perawan...? Oooo...." Meimora hanya mampu mengeluh dalam hati.

Rupanya kekaguman pada Jaka Ndableg yang merupakan titisan Dewa Api bukan pada Meimora saja, akan tetapi semua yang kini menyaksikannya juga terkagum-kagum. Dalam hati ketiga lelaki tersebut berkata,

"Seandainya aku dapat mengabdi padanya, sungguh aku akan menunjukkan darma baktiku. Rupanya Dewa Api benar-benar datang dan menitis lewat seorang Pendekar muda yang tampan dan tidak sombong, yang berasal dari Tanah Jawa Dwipa."

Api kini membakar sedikit demi sedikit tumpukan kayu yang menjadi tumpahan serangan Jaka Ndableg si Dewa Api. Makin lama makin membara api tersebut, sehingga hawa dingin yang tadinya menggigil kini lambat laun menghilang berganti dengan rasa hangat yang mampu membuat orang-orang yang berada di situ seakan hilang keletihannya.

Sementara itu keempat orang yang berada sekitar sepuluh tombak tiada berani mendekat. Sedangkan Jaka Ndableg sendiri kini nampak masih terpaku bersemedi. Lambat laun api yang tadi menyelimuti tubuhnya hilang. Jaka Ndableg pun kembali ke bentuk asalnya, sebagai seorang pemuda tampan. Keberingasan sebagai Dewa Api kini menghilang, berganti dengan wajah penuh kasih Jaka Ndableg.

"Kalian ke marilah!" Jaka berseru, manakala melihat keempatnya masih nampak terpaku diam di tempatnya. "Kalian datanglah mendekat, kini tak akan kalian celaka."

Keempat orang Jepang itu segera mendekat, dan dengan tanpa diduga oleh Jaka, keempatnya segera menjura. Serempak keempatnya berkata.

"Terimalah sembah hormat kami, Dewa Api?"

"Ah.,.!" Jaka terpekik. "Mengapa kalian berbuat begitu?"

Namun ucapan Jaka bagaikan tiada terdengar oleh keempatnya, yang masih menjura. Bahkan kini mereka makin mendalamkan hormatnya. Hal tersebut makin menjadi rasa jengah bagi Jaka. Baru sekali ini ia mendapat penghormatan yang begitu tinggi dari orang-orang Jepang yang biasanya tidak mengenal rasa rendah diri. "Hem, mereka mengira aku benar-benar titisan Dewa Api. Seorang Dewa yang menurut mereka sangat berarti," gumam Jaka dalam hati.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanya Jaka.

"Kami tidak menghendaki apa-apa dari Pukulun. Kami hanya menghendaki sudilah Pukulun menerima kami sebagai hamba setia, Pukulun. Hingga dengan begitu, kiranya kami akan benar-benar telah mengabdi dengan tulus pada Pukulun Dewa Api. Dewa Agung bagi kehidupan," yang berkata Panglima pertama, sepertinya mewakili apa yang ada di dalam hati ketiga rekannya.

"Aku bukan Dewa," jawab Jaka.

"Ah, mengapa Pukulun mesti menyembunyikan diri?" keluh keempatnya bareng, makin menjadikan Jaka bertambah tidak mengerti saja.

Namun Jaka tidak mengingini mereka merasa disepelekan, maka dengan tersenyum-senyum menahan geli Jaka akhirnya berkata. "Baiklah, kalau kalian memang menganggap aku Dewa. Tapi, aku tidak ingin kalian melebihkan diriku. Saat ini, aku adalah teman kalian, maka kalian sepantasnyalah bersikap sebagai seorang teman biasa."

"Daulat, Pukulun " jawab mereka semua.

"Nah, karena kalian sudah mengakui, maka kalian aku perintahkan untuk memanggilku dengan sebutan namaku saja." Ke empatnya mengangguk. "Sekarang kalian istirahatlah."

Mendengar ucapan Jaka Ndableg, dengan tidak membangkang karena merasa yang bicara adalah Dewanya. Dengan bersender pada pohon-pohon pinus yang berada di situ, keempatnya melepas lelah. Namun begitu, keempatnya seperti tiada mau pejamkan mata, bahkan Meimora yang hatinya telah benar-benar terpaut oleh Jaka perlahan-lahan mendekati Jaka Ndableg yang tengah duduk.

Jaka yang sedang duduk tersentak kaget tatkala tanpa sepengetahuannya Meimora telah berdiri di sampingnya. "Nona Mei...?"

Meimora tersenyum manis penuh arti, menjadikan Jaka hanya mampu membalas senyumannya. "Boleh aku duduk...?" tanyanya merdu.

"Boleh, mengapa tidak?" jawab Jaka. "Tapi, apakah Nona tidak lelah?" tanya Jaka kemudian.

Meimora gelengkan kepala, lalu duduk di samping Jaka. Mata Meimora kini tajam memandang Jaka, sedangkan Jaka sendiri bagaikan tiada mengerti. Jaka Ndableg kini tengah asik dengan lamunannya, di mana kini bayangannya terlintas wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Namun dari sekian gadis yang pernah dikenalnya, hanya tiga gadis yang kini benar-benar melekat erat di hatinya. Gadis pertama adalah Ayu Sakiti, kedua Miranti, dan yang ketiga adalah gadis yang kini berada duduk di sampingnya.

Dengan Meimora Jaka hanyalah kasihan. Ya! Jaka merasa terpanggil untuk menyayanginya, dikarenakan kini hidup Meimora bagaikan hidup dalam liputan badai. Kalau hatinya tiada tentram, maka sudah dipastikan dirinya akan nekad. Meimora benar-benar merasakan hidupnya tiada arti lagi setelah diperkosa oleh kesepuluh orang Ninja anak buah Taka Nata.

"Kau melamun, Jaka...?" Tersentak Jaka ditanya begitu. "Siapa yang engkau lamuni? Apakah gadis-gadismu yang ada di Tanah Jawa sana?" kembali Meimora bertanya, nadanya terselip rasa cemburu.

Dan kembali Jaka tersenyum, rasa ingin menghibur hati Meimora menjadikan Jaka harus mampu membawa ketabahan hati gadis itu. "Aku...?" Jaka bertanya, diangguki oleh Meimora dengan matanya memandang tiada lepas ke arah Jaka. "Aku kini memikirkan dirimu, Mei."

Tersipu-sipu Meimora mendengar jawaban Jaka, sebab ia tiada mengira Jaka akan berkata begitu. "Mengapa mesti aku, Jaka? Tidakkah masih banyak gadis yang belum rusak sepertiku yang mencintai dirimu?"

Jaka tarik nafas panjang demi mendengar ucapan Meimora yang seakan tiada gairah untuk menikmati kehidupan. Rasa keputusasaan karena menganggap dirinya tiada harga menjadikan Meimora benar-benar menjadi seorang gadis yang sensitif dan cepat perasa. Hal tersebut dilukiskannya dengan tetesan air mata di kedua belah pipinya yang putih. Hal tersebut makin trenyuh menyengat di hati Jaka yang benar-benar merasa kasihan pada nasib Meimora.

"Mengapa engkau mesti menangis?" Disapunya air mata Meimora hingga menjadikan Meimora tatap kembali wajahnya. Pelan jari jemarinya Meimora yang halus itu menempel di tangan Jaka, dan pelan-pelan juga tangan Meimora hentikan ulasan tangan Jaka. Ditekankannya tangan Jaka di pipinya, lalu tanpa memperhatikan Jaka dikecupnya tangan Jaka mesra.

Ketiga lelaki lainnya sebenarnya tidak tidur. Mereka pura-pura tidur dikarenakan mereka tidak ingin mengganggu kedua muda mudi yang diketahui mereka tengah terjerat api cinta. Maka sebagai seorang sepuh yang mengerti, ketiga lelaki itu pun pura-pura tidur dengan palingkan muka ke arah lain.

"Benarkah kau mau menerima diriku yang sudah tiada arti?"

Jaka tersenyum, gelengkan kepala dan berkata. "Kau masih memiliki arti, Mei. Mungkin di mata manusia, kesucian seorang gadis sangat berarti. Tapi di mata Tuhan, segalanya sama. Dan bukankah semua itu bukan engkau yang menghendaki?"

"Oooooh.... Jaka...." Meimora mendesis, rebahkan kepala di pundak Jaka Ndableg. "Baru kali ini aku melihat seorang lelaki gagah yang berjiwa gagah pula."

Meimora terus genggam tangan Jaka. Perlahan, muka Meimora mendekat dan makin lama makin dekat. Jaka tiada mampu untuk menolak, sebab dia sendiri tiada ingin membuat Meimora kecewa. Maka manakala Meimora tempelkan bibirnya ke bibir Jaka, Jaka pun hanya membalas dengan lembut. Tiada terasa, kini keduanya benar-benar terhanyut dalam alunan syair. Malam pun makin mengerti, desahkan lagu lewat angin yang sejuk. Sedangkan api kini membara, seakan memberi semangat cinta pada keduanya.

Jaka tersentak, lepaskan pelukan Meimora yang juga tersentak kaget. Namun kekagetan keduanya berbeda. Jaka kaget dikarenakan mendengar gemereseknya suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, sedangkan Meimora kaget karena Jaka melepaskan pelukannya.

"Ada apa, Jaka?" tanya Meimora, matanya memandang tajam ke arah pandangan Jaka. Namun matanya tiada melihat apa-apa. dan hanya gelap saja yang terpampang di sana.

Sedangkan Jaka, dengan mata batinnya yang tajam mampu melihat bayangan yang berdiri agak jauh dari mereka. Bayangan tersebut, merupakan wujud dari seorang lelaki tua. Bukan hanya Meimora dan Jaka yang tersentak, akan tetapi ketiga lelaki yang tadinya pura-pura tidur pun kini terbangun demi mendengar gesekan langkah berat. Namun seperti Meirmora, ketiga lelaki itu pun tiada melihat wujud dari orang yang melangkah.

"Ada apakah, Tuan Pendekar?" tanya Panglima pertama.

"Ya! Sepertinya Tuan Pendekar tengah memperhatikan sesuatu," lanjut Panglima kedua, dan keduanya pancarkan mata mereka ke arah yang dipandang Jaka Ndableg. Namun sampai mata mereka dibuat mendelik, keduanya tiada mampu melihat apa yang sebenarnya kini dilihat oleh Jaka.

Keempatnya makin belalakkan mata, manakala Jaka perlahan bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah yang dipandanginya sejak tadi. Keempatnya hanya terpaku dengan ketakutan yang teramat sangat, namun bila mengingat bahwa di situ ada Pendekar Pedang Siluman Darah yang mereka anggap Dewa, ketakutan mereka pun hilang dengan sendirinya.

Jaka makin mendekat ke tempat yang dituju, lalu setelah jarak tinggal dua tombak Jaka pun berkata. "Siapakah engkau adanya, Ki?"

"Aku Penguasa hutan ini, Tuan Pendekar," jawab bayangan tua yang berpakaian serba merah menyala. "Aku sengaja datang menemuimu, Tuan Pendekar. Aku diutus oleh Siluman Darah dari Tanah Jawa untuk mengawasi dan membantumu."

"Terimakasih sebelumnya," jawab Jaka hormat. "Lalu siapakah sebenarnya dirimu, Ki?"

Lelaki tua renta berpakaian merah menyala dehem sesaat, kemudian menjawab. "Aku Ki Daetokoyono, atau si Siluman Api."

"Hem, tentunya engkau telah mengenalku. Nah, apa yang menjadikan engkau tampakkan ujud, Siluman Api?" tanya Jaka masih menghormat. "Kalau kau ingin menolongku, tentunya kau mau mengatakannya padaku apa yang akan kau lakukan, bukan?"

"Demi engkau si Dewa Api, atau Pendekar Pedang Siluman Darah, aku sebagai abdimu, bermaksud memberikan sebuah kabar pada engkau Dewa Api. Kabar itu, tidak lain bahwa sesaat lagi, musuh akan datang menjarah tempat ini."

"Oooooh, benarkah?"

"Sungguh aku tiada berani mendusta padamu."

"Lalu apa yang perlu aku lakukan?" tanya Jaka kembali.

"Musuh akan datang bersama seorang sakti yang bergelar Iblis Kebal Pukulan. Hadapilah dia dengan senjatamu, niscaya dia akan dapat engkau kalahkan. Nah, hati-hatilah. Aku hanya membantu memberikan informasi, sedangkan penjalanannya terserah padamu, Pendekar Pedang Siluman Darah." Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Siluman Api pun hilang dari pandangan, sementara Jaka kini kembali melangkah menuju ke tempat di mana rekan-rekannya berada.

"Ada apakah? Seperti Tuan bercakap-cakap?" tanya ketiga lelaki Jepang tersebut.

"Tidak ada apa-apa. Sekarang kalian di sini dulu, aku akan pergi menangkap hewan hutan yang akan dapat menjadi pengganjal perut kita yang telah kosong ini."

Belum juga keempatnya menjawab, tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi meninggalkan mereka. Keempat orang Nippon tersebut hanya mampu bengong. Namun kebengongan mereka hanya sesaat, manakala tiada begitu lama Jaka telah kembali dengan empat ekor burung hutan.

"Nah, kiranya burung-burung ini akan mampu menangkal lapar kalian," ucap Jaka seraya duduk kembali di tempatnya.

Diambilnya cabang pohon yang berada di situ, lalu diputuskannya ranting-ranting cabang pinus tersebut. Dengan dibantu oleh keempatnya Jaka mengkulit bulu-bulu burung tersebut. Sebenarnya bukan karena perut lapar hingga Jaka mencari burung-burung hutan yang besarnya sebesar ayam, akan tetapi Jaka sengaja hendak mengundang musuh yang dikatakan oleh Siluman Api datang. Dengan mencium bau bakaran daging, tentunya para musuh akan mudah mengetahui keberadaan dirinya.

"Tuan Pendekar, kami merasa heran dengan Tuan," celoteh Kusir kereta.

"Mengapa?" tanya Jaka tak mengerti. "Bagaimana mungkin dalam waktu cepat Tuan mampu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman ini?"

Jaka tersenyum, sepertinya menertawakan dirinya sendiri. Memang benar akan apa yang dikatakan Kusir kereta tersebut. Bagaimana mungkin dalam secepat itu Jaka mampu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman? Dan bukankah di hutan pinus ini tiada suara burung seekor pun?

Sebenarnya Jaka tidak mencari burung ayam-ayaman. Dan sebenarnya yang kini tengah mereka bakar adalah ayam kampung. Waktu Jaka pamit mencari burung, dengan menggunakan ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka mendatangi rumah-rumah penduduk yang jaraknya hampir dua puluh mil. Namun dikarenakan Jaka lari bagaikan terbang dengan ajian Angin Puyuh tingkat pamungkas, maka hanya dalam waktu lima menit saja Jaka telah sampai di perkampungan dan mencuri lima ekor ayam tersebut. Di samping itu pula, maksud Jaka sebenarnya hanya ingin berjaga, dan ingin mengawasi kedatangan musuh.

Manakala Jaka melihat bahwa musuhnya masih belum nampak, Jaka kembali lagi dengan membawa ayam-ayam tersebut. Jaka beranggapan bahwa musuhnya mungkin tiada tahu tempat mereka, sehingga dengan cara membakar daging baunya akan menyebar ke seantero tempat tersebut, juga akan terbawa angin. Namun untuk menutupi bahwa dirinya telah berpatroli, Jaka pun menjawab kalem.

"Yah, kebetulan burung-burung tersebut tengah tidur, sehingga aku tidak sulit menangkapnya."

Jawaban Jaka memang masuk akal, sehingga keempatnya tiada lagi bertanya-tanya. Kini mereka pun disibukkan oleh ayam-ayam yang kini mereka panggang. Bau ayam panggang benarbenar menjadikan kelimanya kini leletkan lidah. Rasa lapar pun seketika mengucak perut mereka.

Sedangkan asap dari pembakaran tersebut benar-benar tersebar ke segenap penjuru hutan. Bahkan asap bakaran tersebut tersebar sampai di luar hutan, di mana alam gelap menghampar menyelimuti muka bumi. Asap bakaran daging memang mampu menjadikan hidung yang menciumnya akan dapat segera mengetahui di mana keberadaan tempat tersebut.

Seperti halnya orang-orang yang nampak berlari-lari dengan ringannya, seakan mereka tengah terburu-buru oleh waktu. Orang-orang tersebut berpakaian hitam dengan tutup muka yang juga berwarna hitam. Di pundak mereka nampak samurai melekat, sedangkan di tangan mereka tergenggam senjata lain yang beraneka ragamnya. Jumlah mereka hampir mencapai lima puluh orang. Mereka tiada lain dari pasukan Ninja yang diperintahkan oleh Taka Nata untuk menyerang orang-orang kerajaan.

Sebenarnya para Ninja tersebut belum mengerti apa yang telah terjadi dengan rekan-rekannya yang mati di tangan Jaka Ndableg sore itu. Mereka hanya diutus untuk membantu para Ninja yang menghadang kepergian setiap prajurit kerajaan, atau pun para pendekar yang hendak mendatangi pertemuan di sebelah Timur Gunung Fujiyama.

"Kawan-kawan, apakah kalian mencium bau bakaran daging?" tanya pimpinan Ninja seraya hentikan larinya, hingga semua anak buahnya pun seketika turut menghentikan lari mereka. Hidung mereka kembang kempis, merasakan aroma yang sangat merangsang selera mereka.

"Hem, rupa-rupanya bau ini dari dalam hutan."

"Benar!" jawab Ninja yang berdiri di sampingnya.

"Mari kita ke sana."

Dengan segera kelima puluh Ninja tersebut kembali berlari ke arah datangnya aroma bakaran daging. Kelima puluh Ninja tersebut kini menyembunyikan diri mereka ke dalam tanah, dan ada pula yang berlompatan naik ke atas pohon.

Jaka Ndableg yang sudah mendapat petunjuk dari Siluman Api kini nampak waspada, walaupun ia kini nampak menyantap makannya dengan tanpa berpaling ke mana pun. Di sisi kanan kirinya keempat orang Nippon juga kini menyantap makan. Namun seketika kedua Panglima kerajaan tersebut tersentak.

"Kreseeek...!"

"Tuan Pendekar, apakah Tuan mendengar suara gemeresek?"

Jaka Ndableg dengan pura-pura tak mendengar segera pasang telinganya untuk mampu menangkap suara tersebut, namun sebenarnya Jaka telah mendengar terlebih dahulu. Jaka sunggingkan senyum, sepertinya mengiyakan akan apa kata Panglima pertama.

"Rupanya mereka benar-benar datang," gumam Jaka dalam hati.

"Bagaimana, Jaka?" Meimora nampak agak ketakutan. Namun menakala melihat Jaka tersenyum, nampak agak sedikit memiliki ketenangan. Meimora percaya bahwa Jaka tidak akan membiarkan dirinya dan ketiga orang istana itu begitu saja. Tentunya Pendekar Tanah Jawa yang titisan Dewa tersebut akan berusaha mereka.

"Hai orang-orang yang ada di atas pohon, mengapa kalian tidak cepat turun?!" tiba-tiba Jaka dengan keras berseru, menjadikan kedua Panglima dan Kusir serta Meimora tersentak kaget. "Kalau kalian benar-benar orang baik-baik, tentunya kalian akan berbuat baik pula. Janganlah kalian bertingkah laku begitu!"

"Suiiiitttt…!" terdengar suitan

"Hem, kalian rupanya ingin mempermainkan kami!" bentak Jaka.

"Suuuuuiiiiiittttt...!" kali ini kembali terdengar suitan panjang, dan bersamaan dengan akhir suitan tersebut, beberapa sosok tubuh hitam berkelebat menghadang di hadapan kelima orang tersebut.

Keempat orang Jepang yang berdiri di samping Jaka nampak agak gemetaran. Namun Jaka berusaha memberikan ketenangan bagi keempatnya dengan berkata, "Kalian tidaklah perlu takut, sebab mereka aku rasa hanyalah cecurut-cecurut yang lapar."

"Bejero!" bentak pimpinan Ninja marah, demi mendengar ucapan Jaka yang menyebut dirinya cecurut atau tikus. "Siapa kau, Bajero! Bukankah engkau orang asing, hah!!"

Jaka Ndableg kembali tersenyum, lalu dengan masih tenang kembali berkata, "Kalau kalian tidak mau dianggap cecurut, mengapa kalian bertindak mirip cecurut!"

"Bajero! Orang asing tidak tahu adat! Seraaaaanggg...!"

Mendengar seruan pimpinannya, seketika beberapa Ninja yang tadinya belum nampak, ikut nongol ke permukaan. Semua Ninja yang berjumlah lima puluh orang tersebut dengan cepat mengurung kelima orang utusan kerajaan.

"Kalian tentunya orang-orang istana, maka kalian akan kami jadikan jalan pertama bagi tujuan kami!" kata ketua Ninja, nampaknya merendahkan kelima orang di situ. Sementara kelima puluh anak buahnya kini dengan tangan siap menggenggam samurai masih mengurung.

"Jangan asal ngomong!" balik membentak Jaka.

"Heh, rupanya kau ingin jadi pahlawan, Orang asing!"

"Kalianlah Iblis-iblis yang harus dibasmi!" Jaka nampak benar-benar tidak ingin main-main. Kini Jaka berdiri dengan berusaha melindungi keempatnya.

Sedangkan Meimora nampak dengan tubuh ketakutan dan disertai kebencian yang amat sangat. Mata Meimora liar memandang ke arah Ninja-Ninja, sedangkan di antara kelima puluh Ninja tersebut nampak ada sekitar enam orang yang mengawasi dirinya. Rupanya Ninjaninja tersebut orang yang pernah memperkosanya.

"Jaka, keenam orang tersebut...." Meimora tak meneruskan kata-kata.

Namun begitu Jaka mampu menangkap apa yang sebenarnya berada di dalam hati Meimora. Sebenarnya Meimora ingin memberitahukan padanya tentang siapa adanya keenam orang yang nampak memandang terus ke arahnya. Rasa kemanusiaan Jaka seketika bagaikan terbakar, sehingga kini Jaka Ndableg tatapkan mata ke arah keenam orang tersebut.

"Hua, ha, ha....! Rupanya di antara kalian ada Iblis-iblis yang terlalu rakus melebihi kalian semua," Jaka berkata bagaikan tiada hiraukan ucapan pimpinan Ninja. "Aku akan mendahului memenggal kepala mereka daripada kalian semua!"

"Bajero? Jangan biarkan pemuda gila itu...!" orang yang merasa tertuduh membentak marah, lalu tanpa diperintah terlebih dahulu oleh ketuanya, keenam orang tersebut seketika berkelebat menyerang.

"Wuuuuuttt...!" Samurai mereka berkelebat.

"Awas...!" Jaka Ndableg segera dorongkan keempatnya, lalu dirinya sendiri melompat hindari serangan. Kakinya dijulurkan menendang ke arah musuh.

"Wuuuuttt...!"

Samurai keenam Ninja itu membabat kaki Jaka yang menyerang, sehingga mau tidak mau Jaka pun tarik kembali serangan. Manakala kaki ditarik, dengan cepat tangannya mengaju ke muka. Keenam musuhnya terjengah, dan dengan cepat kembali babatkan samurai.

"Wuuuuttt...!"

"Kalian minggirlah dulu, dan jaga Nona Meimora!" Jaka perintahkan pada keempat rekannya untuk menepi.

Keempat rekannya tanpa banyak kata segera menurut, namun dengan cepat Ninja-ninja yang lainnya segera menghadang. Walaupun begitu, kedua Panglima utama kerajaan bukanlah orang-orang sembarangan. Keduanya merupakan tokoh-tokoh samurai yang sudah mumpuni. Melihat dirinya dihadang, dengan cepat kedua Panglima itu tarik samurainya.

"Wuuuuuttt...!"

Samurai kedua Panglima bergerak cepat, menjadikan orang-orang yang menghadangnya tersentak, melompat mundur ke belakang mengelak.

"Bajero! Kalian menantang!" maki Ninja yang menjadi pimpinan. Dengan sebat pimpinan Ninja itu segera kirim tendangan ke arah Panglima pertama.

Panglima yang merupakan orang-orang seleksian kerajaan nampak dengan entengnya mengimbangi. Kakinya digerakkan ke samping. Tubuhnya sesuai dengan arah kaki, mengegos ke samping menghindar. Dan manakala samurai lawan berkelebat di sebelah kirinya, dengan cepat kaki kanan berkelebat menendang.

Melihat musuhnya hendak menendang, segera pimpinan Ninja itu tarik samurai dan kibaskan ke arah kaki. Tujuannya hanya satu, membabat kaki Panglima. Tapi dugaannya meleset, sebab ternyata Panglima menendang hanya tipuan belaka, sedang serangan yang sebenarnya tidak lain dari kekuatan tangan kanannya. Dengan Jodang Ukai, atau pukulan lurus ke arah muka, tangan kanan Panglima melesat ke muka.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug...!"

"Ah...!" Pimpinan Ninja itu memekik, manakala jotosan Jodang Ukai yang dilancarkan Panglima pertama mendarat telak di mukanya. Hal tersebut menjadikan pimpinan Ninja terhuyung-huyung, dengan pipinya terasa sakit. Sedangkan dari mulut dan hidungnya keluar darah meleleh. "Bajero! Kubunuh, kau!"

Pimpinan Ninja segera bangkit, lalu dengan gerakan cepat kembali berkelebat babatkan samurainya ke arah musuh. Namun kiranya segala gerakan lawan telah diketahui kuncinya oleh Panglima pertama, maka pada saat samurai lawan menyerang, dengan cepat Panglima pertama babatkan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuutttt!"

"Craaaasss!"

"Aaaaaaa....!" Pimpinan Ninja itu memekik, manakala samurai Panglima pertama membabat lengan tangan kanannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan pimpinan Ninja seketika puntung jatuh ke tanah. Pimpinan Ninja menggerug-gerung kesakitan, darah keluar deras dari puntungan tangannya. Dan karena banyak darah keluar, menjadikan pimpinan Ninja itu seketika pingsan.

Terbelalak semua anak buahnya menyaksikan pimpinannya dapat dengan mudah ditundukkan. Namun sebagai seorang yang telah disumpah, para Ninja tersebut tiada mau mengalah. Dengan bareng anak buahnya segera menyerang ke arah Panglima pertama.

Di pihak lain, Jaka Ndableg yang dikeroyok oleh enam orang Ninja nampaknya tidak mengalami kesulitan. Keenamnya bagaikan tiada arti bagi Jaka. Setiap tebasan-tebasan samurai mereka, dengan mudah dielakkan oleh Jaka Ndableg. Tapi rupanya keenamnya tidak menyadari siapa adanya orang yang dikeroyok, mereka terus berusaha mencerca Jaka.

"Wuuuuutttt...!"

Enam samurai itu bareng menyerang, menjadikan desingan yang mampu kejutkan orang yang diserang. Jaka segera lompat ke udara, tendangkan kaki ke arah mereka dengan jurus Sapuan Angin. Kaki Jaka Ndableg begitu cepat, sukar untuk diikuti oleh pandangan keenam musuhnya.

"Wuuuuttt...!"

"Hiiiaaaattt...!" Jaka memekik balik menyerang, kakinya bergerak menyambar.

"Bug! Bug! Bug...!"

Kaki Jaka menyepak keenam musuhnya. Seketika musuhnya tersentak, lalu mereka pun berusaha memapakinya dengan tebasan samurai. Namun rupanya gerakan mereka kalah cepat, sehingga tanpa ayal lagi kaki Jaka pun mendarat telak ke muka mereka. Bagaikan dihantam godam, muka mereka seketika melenguh manakala kaki Jaka berhasil menghantam.

Keenam Ninja itu sempoyongan. Melihat hal tersebut, Meimora yang memang mendendam dengan tanpa diduga berhasil merampas salah satu samurai di tangan mereka, lalu bagaikan kesetanan Meimora pun babatkan samurainya ke tubuh Ninja-ninja tersebut.

"Kalian harus mati...!"

"Wuuuuttt.,.! Wuuuutt..! Wuuuuuuttt...!"

"Bret! Bret! Bret...!"

Enam kali terdengar suara sabetan samurai di tangan Meimora ke tubuh mereka.

"Wuuuuuaaa...!" Keenam orang itu pun seketika memekik. Darah muncrat dari punggung mereka, sepertinya punggung mereka kini tak mampu untuk pertahankan keseimbangan. Dan karena banyaknya darah yang keluar, sehingga keenamnya seketika terluka. Dan hal tersebut rupanya tidak disia-siakan oleh Meimora. Dengan sadis kembali Meimora kibaskan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

"Cras! Cras! Cras...!"

Enam kali Meimora sebatkan samurai ke leher mereka, dan enam kali pula leher Ninjaninja tersebut puntung. Darah makin membanjir saja. Keenamnya hanya memekik sesaat, sebelum akhirnya mati dengan kepala memisah dari badannya.

Jaka tak mampu mencegah, dan rupanya Jaka tidak bermaksud mencegah, Jaka tahu kalau tindakan Meimora dilandasi oleh rasa dendam dan emosi. Dan manakala semuanya berhasil dibunuh, seketika Meimora menangis sesenggukan. Kenangan pahit atas tindakan biadab mereka sukar untuk dihapuskan walau keenam Ninja tersebut telah mati.

Melihat keenam temannya mati, para Ninja yang masih hidup segera bermaksud menyerang. Namun Jaka Ndableg segera papaki serangan mereka. Kalau saja Jaka tidak mampu, maka sudah pasti nyawa Meimorlah yang sebagai gantinya. Dan manakala lima orang hendak menjarah tubuh Meimora dengan Samurai, secepat itu pula Jaka papaki mereka dengan sabetan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Awas, Nona Mei...!" Jaka peringatkan Meimora, sementara tangan kirinya segera dorong tubuh Meimora. Sedangkan tangan kanannya dengan cepat tebaskan Pedang Siluman.

"Wuuuuuutttt!"

"Trang, trang, trang!"

"Prak, prak, prak!"

Empat kali terdengar suara beradunya senjata, dan empat kali terdengar suara senjata patah. Empat Ninja itu belalakkan matanya kaget, manakala melihat samurainya dengan enteng dibabat putus oleh pedang di tangan Jaka Ndableg. Belum juga keempatnya sadar, dengan cepat samurai di tangan Meimora kembali berkelebat. Tanpa ampun lagi...

"Wuuuuutttt...!"

"Bret! Bret! Bret!"

"Aaaaaaaa....!" empat orang itu memekik sesaat, lalu tubuh mereka pun ambruk. Perut mereka sobek terkoyak oleh samurai di tangan Meimora. Meimora benar-benar bagaikan Dewi Kematian saja. Samurai di tangannya sungguh sangat sadis, tanpa kenal ampun untuk Ninja-ninja tersebut.

Kini para Ninja itu benar-benar kalang kabut dibikin repot dan terdesak oleh keempat orang utusan istana tersebut. Satu persatu para Ninja itu berguguran, terbabat oleh senjata yang berada di tangan mereka. Dan manakala hari menginjak pagi, tinggallah hanya tiga dari lima puluh Ninja tersebut yang masih hidup! Ketiganya dibiarkan hidup untuk mengadukan segalanya pada ketua mereka Taka Nata si Iblis Nippon.

DUA

Betapa gusar dan marahnya Taka Nata mendengar penuturan ketiga anak buahnya tentang kegagalan mereka. Taka Nata kini betapa mendendam sekali pada pemuda pendekar yang orang asing tersebut. Taka Nata juga sangat gusar pada kerajaan yang mengundang pendekar tersebut.

"Mumpung para pendekar termasuk pendekar muda itu berada di tempat Eyang guru, maka hari ini juga kita mesti mengadakan pembalasan pada pihak kerajaan!" Taka Nata berkata dengan suara berapi-api penuh dendam. Ya, dendamnya sangat mendalam pada orang-orang yang dianggapnya telah merintangi cita-citanya. "Pendekar itu harus aku singkirkan!"

Semua anak buahnya tiada berani yang bicara, semuanya diam.

"Kau Maitzo. Pimpin pasukan, serang kerajaan. Dan sebagian lagi, ikut aku untuk membuat keributan di mana-mana agar seluruh pendekar terpecah pikirannya!"

"Daulat, Ketua," jawab Maitzo.

"Sekarang laksanakan! Ingat! Jangan sampai gagal untuk yang ketiga kalinya!"

"Daulat, Pimpinan!" Maitzo sebagai tangan kanan Taka Nata dengan tanpa banyak komentar lagi segera pergi ke luar untuk mengumpulkan setiap prajurit. Kini tekad yang ada di hati para Ninja hanya satu, menggulingkan kekaisaran.

"Prajuriiiiiittt... kumpuuuuuulll...!"

Mendengar seruan wakil pimpinannya, para Ninja yang mempunyai disiplin tinggi tersebut dengan segera berkumpul. Semuanya bagaikan tiada mengeluh, tanpa tanya bakalan apa yang ditugaskan pada mereka.

"Kalian tahu apa yang akan kami tugaskan?" tanya Maitzo.

"Belum...!" jawab prajurit Ninja.

Maitzo berjalan perlahan memeriksa pasukannya yang mencapai ratusan prajurit Ninja yang sudah dididik dan dilatih. "Kalian hari ini juga akan ditugaskan untuk melakukan apa yang selama ini kita rencanakan," Maitzo memberitahukan. "Tentunya kalian telah mengerti, bukan?"

"Mengertiiii...!" kembali mereka serempak menjawab.

"Nah, kali ini kami uji kesetiaan kalian pada pimpinan. Tunjukkan apa yang kalian mampu! Tunjukkan pula bahwa kalian bukanlah prajurit sembarangan!"

Ucapan Maitzo bagaikan penyebar semangat. Hal tersebut terlihat jelas dari keceriaan para Ninja, yang seakan hendak mendapatkan bonus saja. Itulah kepatriotan Ninja, serta rasa kedisiplinan yang tinggi.

"Nah, ucapkan janji kalian!"

"Janji Ninja! Kami akan selalu menjunjung tinggi setiap amanat pimpinan! Kami rela mati untuk keberhasilan cita-cita semuanya! Kami tak akan mau menyerah pada musuh, kecuali hanya kematian!"

Maitzo tersenyum, dan katanya. "Bagus! Nah, aku mohon, ketiga prajurit Ninja yang kemarin gagal segera maju ke muka,"

Dengan tegar bagaikan tak mengenal rasa takut, ketiganya segera melangkah ke muka. Wajah mereka tidak mencerminkan adanya rasa takut, bahkan di wajah mereka kini nampak ketenangan. Mereka tahu dan sadar, bahwa diri mereka kini tiada lagi artinya bagi kehidupan seorang Ninja.

Tiga orang temannya yang dengan tangan siap menghunus samurai berjalan di belakangnya. Wajah ketiga Ninja lainnya seakan tiada ekspresi. Bagi mereka, hukuman semacam itu bukanlah sebuah pemandangan yang baru, akan tetapi sering mereka saksikan. Dan kadangkala mereka sendiri yang menjadi algojonya.

"Kalian telah siaaaappp...!?" tanya Maitzo.

"Siaaaappp...!" jawab ketiga algojo. "Nah! Hari ini kalian semua akan melihat bagaimana ketiga orang anggota kita yang pengecut akan menerima hukuman! Kalian jadikanlah ini semua sebagai pelajaran!"

Semuanya terdiam, tanpa ada seorang pun yang menjawab. Maitzo kembali meneruskan ucapannya, "Sebagai seorang Ninja, tak patut jika kalian mengalah pada musuh, takut mati! Maka, jika kalian menemui musuh yang berat dan sekiranya tidak mampu kalian hadapi, lebih baik kalian lakukan harakiri, mengerti...!"

"Mengerti !" jawab semuanya.

Tiga orang Ninja tersebut kini jongkok, tundukkan kepala seperti siap menerima hukuman. Sementara ketiga algojo yang akan melakukan hukumannya, nampak masih berdiri di sisisisi mereka. Samurainya kini nampak mengangkat ke atas, pertanda bahwa mereka benar-benar telah siap untuk menerima perintah.

"Lakukan!"

Bersamaan dengan akhir dari kata-kata Maitzo, maka tangan ketiga Ninja yang memegang senjata samurai itu berkelebat ke bawah tanpa dapat dicegah.

"Wuuuuutttt!"

"Crraaaaaasssssss!"

"Aaaaaaaaaaaa...!" ketiga orang terhukum itu memekik panjang, sebelum akhirnya kepala mereka puntung dan menggelinding dari pangkal lehernya. Sungguh tragis kematian mereka, dan rupanya itulah hukum yang mesti berlaku bagi para Ninja. Walaupun begitu, nampak Ninja yang lainnya tundukkan kepala. Mereka benar-benar menghormati rekan-rekannya. Khidmat mereka tundukkan kepala, seperti sedih untuk berpisah selama-lamanya.

"Itulah hukum kita." Maitzo kembali berkata. "Nah, kalian harus tahu itu. Kini kita akan mengadakan sebuah gerakan gerilya untuk dapat merongrong kerajaan. Seperti biasanya, kita akan melakukan perampokan dan pemerasan. Dan mulai hari ini, operasi kita akan langsung dipimpin oleh ketua kita, Taka Nata!"

"Hidup Taka Nata...!"

"Hidup Samurai Iblis...!"

Sorak pekikan menggema manakala Taka Nata keluar dari tempat kediamannya untuk memeriksa pasukannya yang berjumlah ratusan Ninja tersebut. Taka Nata dengan pakaian kebesarannya yang berwarna putih perak itu melangkah dengan diapit dua tangan kanannya memeriksa para prajuritnya.

"Kalian tahu mengapa kalian dikumpulkan?"

"Tahu, Ketua...!" jawab Ninja-ninja tersebut.

"Hem, bagus! Hari ini, adalah puncak dari Revolusi kita!" Taka Nata menerangkan. "Revolusi Ninja, yang kelak akan mengukir sejarah. Dan bila kita berhasil, maka kalian akan menjadi orang-orang yang disegani dan dihormati. Jadi, kalian hendaknya berjuang dengan sungguh-sungguh. Kalian harus percaya, bahwa akulah orang yang paling sakti di tanah Nippon ini!"

"Hidup Ketua Taka Nata...!"

"Hidup Samurai Iblis...!"

"Nah, kalian akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, ikut dengan Maitzo menyerang kerajaan. Sedangkan bagian kedua, ikut dengan aku membuat kerusuhan."

Hari itu juga dua kelompok prajurit yang tergabung dalam Persekutuan Samurai Iblis dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama dengan dipimpin oleh Maitzo akan menyerang kerajaan, dan bagian kedua yang dipimpin oleh Taka Nata, akan membuat kerusuhan di dunia persilatan. Tujuan mereka hanya satu, menjadi pimpinan di setiap sektor yang memegang peranan penting di tanah Nippon.

"Nah, sekarang juga, bagian yang ikut Maitzo berangkat! Serang kerajaan.... Bila perlu, bunuh Kaisar...!" suara Taka Nata berapi-api, memberikan semangat pada para prajuritnya. "Jangan kalian gagal, sebab kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Gunakan segala cara untuk dapat menguasai kerajaan!"

"Siiiiiiaaappp...!" jawab semuanya.

"Maitzo berangkatlah!"

"Daulat, Pimpinan." Maitzo menjura, lalu pada prajuritnya ia pun berkata. "Prajurit...! Siiiiiaaaap! Kita jalan...!"

"Siiiiiaaaapp...!" jawab mereka.

Setelah memberikan penghormatan pada Taka Nata, maka hari itu juga anak buah Taka Nata yang dipimpin oleh Maitzo berangkat menuju arah Barat di mana kerajaan berada. Jarak kerajaan dengan markas mereka memang cukup jauh. Seminggu bila ditempuh dengan jalan kaki, tapi bagi mereka tiada masalah. Di hati mereka yang ada hanyalah rasa ingin menang.

Taka Nata nampak sunggingkan senyum demi melihat sebagian pasukannya telah berjalan untuk menunaikan tugas. Sedangkan dia sendiri kini akan langsung mengepalai sebagian pasukan lainnya guna mengaco para pendekar. Tak berapa lama kemudian, "Pasukan, kita berangkat! Kita jadikan wilayah sekitar kerajaan untuk ajang kita. Kita bikin semua penduduk resah!"

"Akuuuuuuurrr...!" jawab semua Ninja.

Taka Nata kembali tersenyum, lalu dengan tanpa kata lagi ia pun melangkah pergi diikuti oleh anak buahnya. Tempat markas Samurai Iblis pun kini sepi, hanya tinggal tiga orang Ninja yang ditugasi untuk menjaganya.

********************

"Masih jauhkah tempat pertemuan para Pendekar?" tanya Jaka pada kedua Panglima kerajaan yang mengikutinya untuk menemui para Pendekar yang saat itu tengah berkumpul dalam usahanya mencari jalan keluar mengatasi Taka Nata.

"Kita tinggal memerlukan waktu dua hari perjalanan lagi, Tuan Pendekar," jawab Panglima pertama.

Terbelalak mata Jaka Ndableg demi mendengar jawaban dari Panglima perang kerajaan tersebut. Hingga karena saking kagetnya, sampai-sampai Jaka bergumam, "Dua hari perjalanan...?"

"Ya," jawab Panglima pertama lagi.

"Apa tidak dapat dipercepat?"

"Tidak, Tuan." Sebenarnya Jaka dapat saja mengambil jalan cepat untuk mencapai tempat tersebut, bukankah ia memiliki ilmu lari Angin Puyuh yang tiada tandingannya? Namun jika ia ingat bahwa dirinya sangat diperlukan oleh keempat orang Nippon tersebut, Jaka urungkan niatnya dan tetap menurut ikut bersama mereka.

"Kalau aku tahu tempatnya, tidak perlu aku harus meminta mereka menemaniku," Jaka membatin. "Tapi jika aku meninggalkan mereka, aku khawatir mereka akan mendapat tantangan dari para Ninja anak buah Tak Nata."

Kereta melaju dengan kencang, sehingga bila kereta tersebut berguncang, maka kelima orang yang berada di dalamnya pun ikut terguncang-guncang pula.

"Tuan Pendekar, benarkah Jawa Dwipa terkenal dengan keramah-tamahan penduduknya?" tanya Meimora memecahkan kebisuan.

"Benar," jawab Jaka.

"Tapi kami mendengar bahwa para Ninja hitam banyak yang mati oleh pendekar-pendekar Tanah Jawa," Panglima pertama menyambung sepertinya ingin mengetahui hal kebenaran cerita dari mulut ke mulut yang ia dengar. "Sebab menurut yang saya dengar. Para Ninja tersebut menemui kematian di Tanah Jawa oleh para Pendekar Tanah Jawa."

Jaka tarik nafas panjang, sepertinya ingin menggambarkan pada mereka bahwa segalanya memang benar. Dan sebagai jawabnya Jaka kini tersenyum. Hal tersebut menambah keyakinan para sahabatnya yang berada di dalam kereta.

"Apakah Ninja-ninja tersebut atas perintah Kaisar?" tanya Jaka, seakan ingin mengorek berita yang mampu menjadi bukti.

"Bukan! Kaisar tadinya melarang, namun dikarenakan mereka memaksa, maka Kaisar pun meluluskannya," Panglima kedua menjawab, mewakili rekannya. "Sungguh, kami sebenarnya menganggap orang-orang Tanah Jawa sebagai saudara kami sendiri."

Jaka Ndableg angguk-anggukkan kepalanya. Kembali kebisuan menyelimuti, sepertinya perjalanan mereka tiada tersirat kegembiraan. Masih terbayang di benak mereka Ninja-ninja yang sewaktu-waktu akan menghadang perjalanan mereka. Namun bila keempat orang tersebut ingat bahwa di situ ada Jaka, maka keempatnya tampak aman.

Kereta terus melaju, menyusuri jalanan salju yang kian menebal hingga terasa kereta jalan lamban. Roda-roda kereta nampak mencakarcakar, menjadikan lukisan garis tebal yang tertekan kuat. Rasa dingin terus menyelimuti, dan makin naik ke Gunung Fuji, hawa dingin makin menjadi-jadi. Hal tersebut menjadikan keempatnya nampak menggigil, tinggal Jaka saja yang nampaknya tiada terpengaruh sama sekali, bahkan pendekar kita itu tanpa sehelai benang pun yang menutup tubuhnya.

"Dingin...?" tanyanya.

Keempat orang Jepang itu mengangguk, malah Meimora makin merapat tanpa malu-malu ke tubuh Jaka Ndableg. Jaka yang melihatnya secara diam-diam salurkan hawa panas, menjadikan ruangan kereta tersebut tiba-tiba menjadi hangat kembali. Hal tersebut menjadikan keempatnya terjerengah, mata mereka membeliak tak yakin pada keadaan seketika itu. Namun manakala mereka memandang pada Jaka Ndableg yang masih terdiam, mereka pun kini sadar bahwa karena pendekar tersebut mereka merasakan kehangatan.

"Tentunya Pendekar muda ini yang memberikan kehangatan." gumam Panglima pertama dalam hati. Begitu juga dengan ketiga orang lainnya, mereka yakin bahwa Jakalah yang telah membuat hawa hangat di dalam kereta. Tengah kereta melaju, tiba-tiba kuda-kuda penarik kereta meringkik. Kuda-kuda tersebut bagaikan ketakutan saja, angkat kaki-kaki mereka dengan ringkikkan keras.

"Hanyeeee...! Hanyeeee...!"

"Hai! Ada apakah, Kusir?" tanya Panglima kedua. "Sepertinya kuda-kuda itu ketakutan?"

Sang Kusir masih berusaha mengendalikan kuda-kudanya dengan menarik kaisnya kuat-kuat. Namun nampaknya kuda-kuda itu benar-benar ketakutan hingga sang Kusir terpelanting jatuh. Melihat hal itu, secepat kilat Jaka Ndableg yang waktu itu tengah berkonsentrasi penuh salurkan hawa panas tersentak. Tanpa banyak kata segera Jaka pun berkelebat ke depan. Ditariknya kais, lalu berusaha mengendalikan kuda-kuda tersebut. Kedua mahluk itu pun saling tarik untuk menentukan kemenangan emosi mereka. Namun tampaknya tenaga Jaka jauh lebih besar, sehingga kuda-kuda tersebut pun dapat dihentikannya

"Hia, hia...!"

"Hanyeeee....!" Kuda-kuda itu meringkik, lalu ambruk dengan nafas yang memburu, Jaka dengan cepat turun, periksa keadaan kuda yang kini tergeletak. Mata Jaka seketika terpancang pada tubuh kuda-kuda tersebut. Di tubuh kuda-kuda itu kini tertancap dua senjata rahasia yang menjadikan lambang khusus para Ninja.

"Ninja...! Hem, ternyata mereka telah datang ke mari." gumam Jaka dalam hati, diambilnya dua buah senjata berbentuk bintang tersebut, menjadikan kuda-kuda itu merintih kesakitan. Darah keluar dari tubuh kuda-kuda itu. Seketika kuda-kuda itu mengejang, lalu akhirnya mati tergolek. Dengan ambruknya kuda-kuda tersebut, maka ambruk pula kereta yang mereka tumpangi. Seketika keempat orang yang berada di dalam pun melompat ke luar.

"Ada apa, Tuan Pendekar?" tanya mereka.

Jaka tunjukkan senjata rahasia di  tangannya. "Ninja-ninja itu kini berada di sekitar tempat ini, maka hati-hatilah."

"Seraaaang!" kedua Panglima itu cabut samurainya. "Kita harus menumpasnya!" Panglima pertama berkata, langkahkan kaki hendak mencari. Namun sebelum jauh, dengan cepat Jaka pun melarangnya.

"Tuan Panglima, jangan!"

"Kenapa, Tuan Pendekar?" tanya keduanya, sedangkan Meimora yang nampak ketakutan kini makin menempel dekat dengan Jaka, Meimora kini benar-benar merasakan bahwa dia sangat membutuhkan diri pendekar muda tersebut.

"Bukankah mereka harus dibasmi?" lanjut Panglima kedua.

"Benar! Tapi bukan cara nekad seperti kalian! Kalian tentu tidak mau menjadi korban seperti kuda-kuda ini, bukan?" Jaka kembali berkata, menyadarkan kedua Panglima Perang tersebut yang seketika itu juga menurut dan balik ke tempatnya.

"Suuuuuuiiiiiiittttt!" Suitan terdengar panjang, yang menjadikan kelima orang tersebut belalakkan mata.

"Hati-hati, mereka datang!" ucap Jaka.

"Benar, Tuan. Aku rasa, mereka sebentar lagi tunjukkan diri mereka!" Panglima kedua nampak menggertak marah. Kekesalannya atas tindakan-tindakan Ninja yang telah berusaha merongrong kerajaan membuatnya tak mampu menahan kekesalannya. Sebagai pembela kerajaan, jelas ia sangat membenci tindakan-tindakan para Ninja tersebut. "Hem, jangan harapkan kami akan membiarkan mereka hidup!" tambahnya.

Ketiga pendekar itu nampak memasang mata tajam ke arah datangnya suara suitan tersebut. Kedua Panglima kerajaan tersebut telah siap dengan samurainya, sementara Jaka Ndableg nampak masih berusaha tenang. Pedang Siluman Darah masih tergantung di dalam sarungnya di pundak, hanya mata dan telinga Jaka saja yang tajam memperhatikan sekelilingnya.

"Suuuuuuuiiiiiitttt...!" kembali terdengar suitan panjang, dan bersamaan itu berkelebat sosok-sosok bercadar ala Ninja mengurung mereka. Namun orang-orang ini jelas menunjukkan perbedaan para Ninja yang menjadi anak buah Tak Nata. Kalau biasanya anak buah Taka Nata menggunakan pakaian serba hitam, akan tetapi orang-orang ini terdiri dari beraneka ragam pakaiannya. Hal tersebut menjadikan kedua Panglima kerajaan makin kebingungan, menjadikan Jaka yang melihatnya sempat terheran-heran dan bertanya.

"Apa yang menjadikan Tuan Panglima terkejut?"

"Mereka bukan anak buah Taka Nata," jawab Panglima pertama.

"Ah, mengapa bisa begitu?" Jaka belum mengerti.

"Kau bisa lihat, Tuan. Bukankah pakaian mereka menunjukkan corak lain?"

Jaka Ndableg pandang tajam orang-orang Ninja yang jumlahnya mencapai lima puluh orang tersebut. Memang pakaian mereka beraneka ragam. Hal itu memang berlainan dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh Ninja anak buah Samurai Iblis yang selalu menggunakan warna hitam legam.

"Mungkin ini sebuah taktik," Jaka berkata pada diri sendiri dalam hati. "Dari cara-cara mereka keluar, jelas cara mereka sama persis. Hem, jangan kira aku mudah kalian kibuli."

"Bajero! Seraaaanggg....!" terdengar teriakan pimpinan Ninja.

"Hiiiiiiiiaaaaatttttt...!"

Seketika kelima puluh Ninja tersebut berkelebat menyerang ke arah mereka. Samuraisamurai di tangan mereka bagaikan haus darah membabat ke arah lawan.

"Wuuuuttt...!"

Jaka Ndableg tersentak, elakkan serangan dan segera melompat ke arah Meimora yang nampaknya ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa. "Tenang, Nona. Kau jangan khawatir dan takut, aku akan berusaha menjagamu. Nah, aku akan mengambil pedang mereka." Jaka kembali berkelebat menyerang.

"Wuuuuuutttt...!"

"Wuuuuuuuttttt...!"

Dua orang Ninja menyerang ke arahnya, segera Jaka Ndableg elakkan. Tubuhnya dorong ke samping hingga samurai Ninja tersebut mendesing di samping tubuhnya. Habis mengelak, segera Jaka ayunkan kakinya menendang.

"Hiiiiiaaattt!"

"Wet! Dest!"

Tendangan kaki Jaka telak menghantam ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang yang terkena seketika terpental dengan dada remuk. Hal itu menjadikan rekannya tersentak kaget, yang segera babatkan samurainya untuk melindungi diri dari serangan tendangan kaki Jaka Ndableg.

"Wuuuuutttt...!"

Samurai melesat, membabat ke arah kaki Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samurai lawan membabat, segera Jaka pun tarik kembali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan kiri serta sikut.

"Wes...!"

"Dug! Bug...!"

"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pipinya terasa remuk tersikut dan terpukul tangan Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut samurainya.

"Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lemparkan samurai ke arah Meimora yang dengan cepat menangkapnya.

Dengan samurai di tangannya Meimora bagaikan orang kalap, dengan liar dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat menyerang para Ninja tersebut. Babatan samurainya begitu liar, dengan jeritan-jeritan pelampias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya. Diincarnya salah seorang dari empat orang yang ia kenal adalah mereka yang memperkosanya. Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orangorang itulah yang dulu memperkosanya. Juga dari tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya memandang ke arahnya.

Jaka sebenarnya sangat meragukan tindakan Meimora yang nampaknya begitu nekad. Namun untuk menghalangi atau mencegah, jelas Jaka tidak berani. Ia yang menghargai setiap emosional orang lain yang terdorong oleh faktor kebencian dan dendam sukar untuk bertindak. Ia juga tidak ingin dikatakan sebagai seorang yang terlalu meninggi diri. Namun bila dibiarkan berlarut-larut, jelas hal ini akan menjadikan bahaya bagi diri Meimora. Jaka Ndableg terus mencoba menuju ke arah di mana Meimora dan Kusir kereta yang bernama Takasima Jucaba yang kini tengah membabi buta menyerang musuh.

"Wuuuuuutttt...!"

Jaka Ndableg tersentak manakala sebuah samurai lawan berkelebat menyerang. Hampir saja tubuhnya menjadi sasaran, kalau saja Jaka tidak segera lompat ke belakang. Demi dua orang tersebut, kini Jaka Ndableg harus melompat-lompat bagaikan katak melepaskan terkaman ular beracun. Samurai lawan-lawannya terus mencerca menjadikan Jaka harus menepiskan perhatiannya pada kedua orang tersebut.

"Wuuuuutttt...!" kembali samurai lawan menderu.

Jaka miringkan tubuh, tangkis serangan dengan kebatan tangannya yang mampu menimbulkan angin besar. Kelima Ninja penyerangnya tersentak, tarik serangan mundur. Hal tersebut tidak disia-siakan Jaka, yang dengan segera kembali mencercanya dengan serangan kilat pukulan Dewa Badai.

"Hiiiiiiaaaatttt...!"

"Wuuuuuttt...!"

Tangan Jaka bergerak memutar, lalu dengan cepat bergerak lurus ke arah lima orang musuhnya.

"Wuuuuussss...!"

Angin menderu, manakala tangan Jaka mengkiblat ke arah musuh. Angin itu untuk kedua kalinya menggoyahkan kelima musuhnya. Kelima Ninja itu seketika tersurut mundur, mata mereka melotot kaget. Namun belum juga mereka mampu berbuat, dengan cepat Jaka sodokkan kaki kanannya menendang dengan gaya Elang Mencakar.

"Wuuuuuttt..!"

"Dest!" Bret!"

"Aaaaaaaaaaaaaaa...!" satu dari kelimanya memekik, manakala sepatu Jaka menghantam perutnya. Perut Ninja itu seketika koyak dan darah pun menyembur ke luar. Keempat rekannya tersentak, namun dengan cepat keempatnya kembali menyerang Jaka. Dibabatkannya samurai mereka ke arah Jaka.

"Wuuuuuttt!"

Empat samurai itu kembali mencerca, namun Jaka bagaikan tidak ada mengalami kesulitan dengan cepat mengelak. Sementara keempat rekannya yang juga masih bertarung nampak mengalami kesulitan. Keempat orang tersebut walaupun membabi buta, namun mereka tidak menyadari kalau serangan mereka yang membabi buta itu malah menjadikan tenaga mereka berkurang. Hal itu diketahui musuh, yang dengan cepat merangseknya.

Dua Panglima perang kerajaan seperti tidak mau mengalah begitu saja. Samurai di tangan keduanya yang memang jago-jago dalam penggunaan samurai terus menderu-deru menyerang balik. Namun dikarenakan tenaga mereka telah terkuras, menjadikan mereka kini bagaikan singa yang ompong. Serangan mereka makin lama makin melemah, bahkan kini tiada arti sama sekali.

"Wuuuuuutttt...!"

"Trang!"

Samurai di tangan Panglima pertama mental, tertangkis oleh pimpinan Ninja yang dengan keenam anak buahnya menyerang.

"Ah...!" Panglima pertama memekik, melompat mundur hindari serangan.

Namun rupanya pimpinan Ninja itu tidak mau memberikan kesempatan sedikit pun pada Panglima tersebut. Dengan samurainya ketujuh Ninja itu terus mencerca Panglima pertama yang hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.

"Bahaya...!" Jaka berseru dalam hati, segera dengan cepat ia kibaskan tangannya menyerang dengan maksud merampas salah sebuah samurai musuh.

"Wuuuuuttt...!"

"Yap! Tap...!"

Jaka dengan gerak cepat rampas samurai lawan, sehingga orang tersebut beliakkan mata kaget. Betapa pun, gerakan Jaka yang begitu cepatnya sukar diikuti atau dielakkan oleh musuh. Dan bukan hanya orang tersebut saja yang kaget, akan tetapi kelima orang temannya juga membeliakkan mata juga. Belum juga kelimanya sempat hilang kagetnya, segera Jaka pun hantamkan tangannya dengan Jurus Tangan Dewa Menghantam Karang. Gerakan tangan Jaka begitu cepat, menjadikan tangannya bagaikan berubah banyak.

"Wuuuutt! Wuuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug!"

Lima kali suara hantaman menggema, dan lima kali itu pula tangan Jaka mendarat ke muka musuhnya. Seketika kelima musuhnya menjerit, berguling-guling di atas tanah bersalju yang dingin. Melihat musuhnya dapat dikalahkan, Jaka bermaksud membantu keempat rekannya, namun belum juga Jaka mampu bertindak, tiba-tiba terdengar pekikkan menyayat.

"Wuaaaaaa...!"

"Wuuuuttt!"

"Breett!"

Panglima pertama menjerit, samurai lawan telah mampu membeset tubuhnya. Seketika tubuh Panglima pertama goyah, sempoyongan dengan perut menganga oleh besetan samurai. Jaka yang melihatnya begitu gusar, sehingga dengan penuh amarah dicabutnya Pedang Siluman Darah.

"Sraaaangg !"

"Bedebah! Kalian memang harus mampus, hiiiiaaaattt !"

Jaka melompat ke arah Panglima pertama yang telah terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Namun begitu para Ninja tersebut tiada hentikan serangannya. Kembali Samurai-samurai mereka membabat tubuh Panglima pertama.

"Wuuuuutttt,..!"

"Cras! Cras! Cras!"

"Wuuuuaaa...!" Tiga kali samurai ketiga Ninja itu menggores tubuh Panglima pertama, menjadikan Panglima pertama benar-benar tak mampu pertahankan nyawanya. Panglima pertama yang telah banyak mengeluarkan darah ambruk seketika.

"Bajero kerajaan! Mampus! Hiiiiiaaaatttt....!" Samurai para Ninja yang mengeroyok Panglima hendak mengakhiri hidupnya, manakala dengan cepat Jaka berkelebat.

"Bangsat! Hiaaaaattttt!"

"Wuuuuuusssss!"

"Trang! Trang! Trang....!"

Enam kali terdengar beradunya suara benda-benda logam. Keenam Ninja yang tadinya bermaksud mencincang tubuh Panglima seketika melompat mundur. Mata mereka membeliak, tatkala melihat samurai-samurai di tangannya. Samurai-samurai di tangan mereka puntung menjadi dua.

"Kalian harus mampus! Hiaaat!"

"Ah...! Mundur...!"

Jaka yang sudah marah oleh rasa tanggung jawabnya untuk melindungi Panglima tak hiraukan keenam Ninja yang tersentak kaget. Dan manakala keenamnya hendak mundur, dengan ganas dan cepat Jaka babatkan Pedang Siluman Darahnya. Gerakan Pedang Siluman Darah yang mempunyai kekuatan magis itu begitu cepat, sehingga sukar bagi keenamnya untuk mengelakkannya.

"Wuuuuutttt...!" Pedang Siluman darah menderu, lalu...!

"Wuuuuuuaaaa...!"

keenam orang itu memekik, tubuh mereka seketika ambruk. Tubuh mereka sesaat kejang, sebelum akhirnya tidak berkutik dan mati. Kepala mereka tanggal, dengan darah yang telah mengering terhisap oleh Pedang Siluman Darah.

Jaka bermaksud menolong Panglima pertama, namun belum juga berhasil, terdengar pekikkan dari arah lain. Dan manakala Jaka menengok, tampak tukang Kusir saat itu menjadi bulan-bulanan para Ninja. Tubuh Tukang Kusir itu terbeset-beset oleh sabetan-sabetan samurai di tangan Ninja-ninja tersebut. Darah Jaka Ndableg benar-benar mendidih. Bersamaan dengan ambruknya tubuh Kusir kereta, seketika itu pula Jaka yang memegang Pedang Siluman Darah melompat menyerang.

"Bedebah! Hiiiiaaaattt...!"

Ketujuh Ninja yang mengeroyok Tukang Kusir itu tersentak, palingkan muka memandang pada teriakan seseorang yang berada di belakangnya. Namun ketika mereka menengok, dengan cepat Jaka yang sudah benar-benar marah babatkan Pedang Siluman Darahnya. Dua orang dari mereka dapat meloloskan diri, namun lima orang lainnya tanpa mampu menghindar. Hingga...!

"Wuuuuuttt...!"

"Dest...!"

"Cras! Cras! Cras!"

"Wuuuuaaaaaaaa...!"

Lima orang Ninja puntung kepalanya, tergolek lepas dari leher. Mata kelima orang Ninja itu membeliak, sepertinya mereka tiada kuat menahan siksa manakala Pedang Siluman Darah membabat leher mereka. Dua orang lainnya segera nekad menyerang, sebatkan samurai ke arah Jaka.

"Bajero! Hiiiaaat!"

"Wuuuuttt!"

Jaka melompat mundur, lalu dibalasnya serangan mereka dengan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuttt!"

"Trang!"

"Prak! Prak!"

Dua pedang samurai di tangan musuhnya patah, manakala keduanya bertemu dengan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka. Belum juga keduanya hilang kaget, dengan cepat Jaka kembali babatkan pedangnya ke arah mereka.

"Wuuuuut...!" Gerakan Pedang Siluman Darah yang cepat sukar untuk dihindari mereka. Hingga tanpa ampun lagi...

"Cras! Cras!"

"Wuuuuuaaaa...!" kedua orang Ninja itu memekik untuk yang terakhir, sebelum kemudian tubuh mereka terkulai dengan tubuh puntung menjadi dua. Dua puluh lima lebih, dan bahkan kini tiga puluh dua lebih Ninja-ninja tersebut menemui ajalnya di tangan Jaka Ndableg.

Sedangkan Panglima kedua telah menewaskan tujuh orang Ninja, sementara kini Meimora tampak menghadapi musuh-musuh yang bukan sembarangan. Keempat orang Ninja tersebut yang telah memperkosanya serta membunuh keluarganya. Tekad di hati Meimora untuk membunuh keempatnya, seakan tiada bakal tercapai. Dan kini malah dirinya sendiri yang terdesak hebat.

"Wuuuuutt...!"

Samurai di tangan keempat Ninja tersebut menyabet ke arah tubuh Meimora.

"Ah...!" Meimora tersentak.

"Bret...!"

Beruntung Meimora masih mampu melompat mundur, kalau tidak, tentunya daging perutnya akan terbeset. Namun tak urung, kini pakaiannya yang tersobek lebar, menjadikan keempat Ninja tersebut kini memandang ke arah tubuh yang sensitif itu dengan liar. Keempatnya kini teringat kembali akan apa yang pernah mereka lakukan.

"Hua, ha, ha...! Nona, janganlah engkau galak-galak. Lebih baik menurutlah dengan kami!" salah seorang dari keempatnya berkata, kakinya melangkah mendekat. Tangannya perlahan hendak membeset makin lebar sobekan kain Meimora. Namun belum juga tangan itu berhasil, tibatiba sebuah bayangan berkelebat.

"Wuuuuuusssttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

"Cras! Cras! Cras...!" Sebuah sinar kuning kemerah-merahan berkelebat membabat tangan orang tersebut. Tanpa dapat dihindari, sehingga tangan orang tersebut pun seketika puntung. Orang itu pun menjerit menahan sakit, darah muncrat dari tangan yang puntung. Dan mungkin karena terlalu banyak darah keluar, menjadikan orang tersebut seketika itu pula pingsan. Melihat semuanya jatuh, tiga Ninja lainnya dengan segera mendekap tubuh Meimora.

"Mundur engkau, atau Nona ini yang akan kami gorok, hah!"

Mendengar ancaman orang yang menyandera Meimora, Jaka nampak hentikan langkahnya. Sementara ketiga Ninja itu perlahan menyurut mundur dengan masih menyandera tubuh Meimora. Kini Jaka benar-benar serba salah harus berbuat apa. "Hem, jangan kira aku akan membiarkan kalian bertindak semaunya," gerutu Jaka dalam hati. Dipalingkan mukanya memandang pada Panglima kedua yang kini masih dikeroyok oleh sepuluh Ninja.

"Aku akan membantu Panglima dulu, baru nanti mengejar mereka!" Bagaikan tidak memperdulikan Meimora yang meronta-ronta minta tolong, Jaka Ndableg berkelebat menuju ke tempat pertarungan Panglima.

"Jakaaaaaaaa.... Toloooooonggg...!" Meimora terus berteriak-teriak sambil memberontak. Namun ketiga Ninja itu bagaikan tiada perduli, dan terus saja mereka menyeret tubuh Meimora pergi.

Konsentrasi Jaka kini bercabang, antara membebaskan Meimora dengan membantu Panglima. Hingga pada saat sebuah samurai lawan yang tiba-tiba menyerangnya berkelebat membabat, tanpa ampun lagi Jaka Ndableg tak dapat hindari.

"Wuuuuuuttttt...!"

"Sreeeettt...!"

"Aaaah...!" Jaka memekik, dilihatnya pundak tangan kanannya terbeset, darah mengucur ke luar. Kemarahan Jaka Ndableg seketika membludak. Hingga karena marahnya, sampai-sampai Jaka keluarkan Ajian Banyu Geni tingkat pamungkas. "Goooooaaaaarrrr...!" suara Jaka membahana, bersamaan dengan itu, tubuhnya berubah menjadi Dewa Api.

Terbelalak semua yang mencoba mengeroyok Panglima kedua, manakala melihat Jaka telah berubah menjadi Dewa Api. Api seketika menyambar-nyambar tubuh ketujuh Ninja tersebut. Tujuh Ninja itu segera melompat mengelak, namun tidak urung, satu di antara mereka kena juga.

"Wuuuuusssss...!"

"Blas...!"

"Wuuuuuuaaaaaa..,.!" orang yang terkena memekik, tubuhnya seketika terbakar. Melihat kepanikan keenam Ninja lainnya, dengan cepat Panglima kedua serang mereka. Tanpa ampun lagi, keenam Ninja yang kini tengah kalut oleh Jaka Ndableg tanpa dapat menangkis serangan Panglima yang cepat. Samurai di tangan Panglima kedua berkelebat, dan...

"Wuuuuuuaaaaa!" Dua Ninja menjerit, terbabat samurai di tangan Panglima.

"Wuuuuuuuaaaaa!"

Bareng dengan dua rekannya yang menjerit terbabat samurai di tangan Panglima Perang kedua, dua rekannya juga menjerit dengan tubuh terbakar api Dewa Api. Kini tinggal dua orang Ninja yang tertinggal. Dua Ninja itu kini benarbenar ngeri dan gentar menghadapi Dewa Api. Keduanya hendak lari, namun api dari mulut Dewa Api tiba-tiba menghantam tubuh mereka.

"Wuuuussss! Besssttt!"

"Wuuuuuaaaaaaa.....!" Keduanya menjerit. Tubuh mereka terbakar oleh Inti Api. Mereka mencoba memadamkannya dengan berguling-guling di atas salju, namun ternyata api yang tercipta oleh intinya. Karena mereka terus berguling, hingga mereka tidak menyadari bahwa tubuh mereka semakin mendekati jurang. Dan manakala mereka terus berguling, tubuh mereka pun seketika terjatuh ke bawah jurang.

"Aaaaaaaaaa!" Dan akhirnya habis tertelan dalamnya jurang Fuji.

Sementara itu Jaka telah kembali dalam bentuk asalnya.

"Kau tidak apa-apa, Tuan Panglima?"

"Tidak, Tuan Pendekar."

"Kita harus menolong Nona Meimora," ucap Jaka

"Benar! Ayo kita memburu mereka!"

Dengan segera keduanya pun berkelebat menuju ke arah di mana ketiga Ninja tersebut menuju. Namun ternyata jejak Ninja-ninja itu kini telah hilang entah ke mana, menjadikan Jaka benar-benar mengalami kekesalan. Jaka tahu apa yang akan dilakukan ketiga Ninja tersebut pada Nona Meimora.

"Kita cari berpencar," Jaka menyarankan.

"Baiklah!" jawab Panglima kedua.

"Hati-hati, Panglima!"

Jaka kemudian berkelebat pergi dengan mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang ditempuh Panglima kedua. Senja pun telah datang, terbukti hari tampak remang-remang. Salju turun dengan derasnya, membasahi alam itu dengan damai nan bisu.

********************

TIGA

Di kerajaan, nampak Kaisar dengan didampingi oleh para sesepuh istana tengah mengadakan rapat yang membahas tentang usaha-usaha untuk mengakhiri sepak terjang Taka Nata si Iblis Nippon. Sang Kaisar nampak duduk dengan agungnya di singgasana, sementara para sesepuh istana berdiri di samping kiri dan kanannya. Sedangkan para Panglima Perang dan Perdana Mentrinya duduk di bawah, di atas permadani.

"Taka Nata dan perkumpulannya samurai Iblis harus segera di hentikan," Kaisar membuka kata, sementara yang lainnya nampak hanya terdiam tiada berkata. "Bagaimana menurut pendapatmu, Kakek Meizora?"

Meizora terdiam, dia adalah sesepuh utama Kaisar yang telah mengabdi pada Kaisar hampir dua puluh lima tahun. Dan selama itu pula Meizora tiada pernah membuat kesalahan dalam menentukan tindakan yang dianggap benar. "Hamba rasa, kita perlu secepatnya menangkapi mereka," jawab Meizora setelah terdiam beberapa lama. "Kalau kita tidak segera bertindak, hamba takut mereka akan mendahului."

Sang Kaisar termangu-mangu mendengar ucapan Meizora. "Lalu rencana apa yang hendak kita lakukan, Kek?" tanya Kaisar kembali.

"Besok sebelum mentari musim panas muncul, kita harus segera melakukan penyergapan!"

Terbelalak mata semua yang hadir, mereka tidak menyangka kalau harus segera menerima perintah yang mendadak tersebut. "Apakah tidak terburu-buru, Kek?" kembali Kaisar bertanya.

"Aku rasa tidak, Kaisar."

"Hem, bagaimana dengan Perdana Mentri?" Kaisar bertanya pada Perdana Mentrinya. "Apakah siap untuk menjalankannya?"

"Kami selalu siap membela Kaisar," jawab Perdana Mentri.

"Baiklah kalau begitu," Sang Kaisar tampak terdiam berpikir menganalisa kembali apa yang menjadi saran Meizora.

Memang Meizora selama ini mempunyai wawasan yang jitu. Tetapi, untuk mengadakan peperangan tidak begitu mudah. Biaya peperangan bukanlah sedikit. Hal itu yang kini menjadi pemikiran sang Kaisar. Kaisar memang terkenal kikirnya, sehingga banyak orang-orang istana yang membenci dirinya termasuk Ketiga Naga dan Taka Nata. Tengah semuanya sepi karena tiada seorang pun yang berani, dari luar terdengar suara riuh. Beberapa orang prajurit nampak berserabutan dengan senjata di tangan masing-masing.

"Musuh menyerang...!"

Terkejut semua yang hadir demi mendengar seruan tersebut, lebih-lebih sang Kaisar. Ternyata dugaan yang dijadikan argumentasi Eyang Meizora benar adanya, bahkan lebih cepat dari dugaannya.

"Siapkan pasukan, kita balas serangan mereka!" Kaisar pelit yang membuat banyak orang yang memusuhinya, akhirnya memberikan perintah. Kini rasa takut lebih banyak menyadarkan dirinya bahwa segalanya memang harus dilakukan. "Cepat! Laksanakan...!"

"Daulat, Kaisar!" Perdana Mentri segera laksanakan tugasnya, ia segera berkelebat ke luar. Di luar telah menanti para prajurit Pendekar Samurai, menanti dirinya dan sekaligus menanti perintahnya.

"Paman Mentri, bagaimana ini?" tanya para prajuritnya dengan rasa was-was. Musuh sebentar lagi akan tiba, sehingga tanpa dapat mereka mempersiapkan segalanya. "Musuh sebentar lagi datang!"

"Siapkan seluruhnya, kita sambut mereka. Kaisar mengijinkan kita perang...!"

"Benarkah, Paman Mentri?" Tanya mereka tidak yakin.

"Aku bicara atas Kaisar...!"

"Horeeeeee...! Ganyang musuh...!"

Bagaikan minyak mendapatkan api, seketika semua prajurit itu bersorak gembira. Dengan samurai di tangan, mereka pun tanpa dipimpin bergerak maju untuk menghadang prajurit Ninja. Tekad di hati mereka hanya satu, menunjukkan darma bakti pada Kaisar yang mereka anggap turunan Dewa.

Dua pasukan itu seketika bertemu, lalu ambruk menjadi satu dalam kancah peperangan. Ya, peperangan tidak dapat dihindari lagi oleh mereka. Nyawa kini tiada arti, bertumpah rumpah untuk membela idiologi masing-masing.

Alun-alun kerajaan Nippon kini benar-benar membara, diikuti oleh pekik jeritan orang-orang yang meregang nyawa. Senjata kini yang bicara, bukan lagi mulut-mulut mereka. Itulah perang, yang melupakan segalanya. Di antara itu, semuanya tiada memandang siapa mereka. Entah itu keturunan Brahmana, Satria, maupun Sudra. Yang ada di tempat perang hanyalah kemenangan atau kematian yang akan menjadikan diri mereka berubah segalanya.

"Hiiiiiiaaaattt...!"

"Ganyang musuh...!"

"Wuuuuutttt...! Wuuuuttt...!"

"Trang! Trangg...!"

Senjata-senjata tradisional mereka yang lebih banyak menggunakan samurai saling beradu, memercikkan amarah dan dendam serta nafsu saling membunuh, dan memang itulah ketentuan perang.

"Aaaah...!"

Tubuh-tubuh yang menjadi korban, seakan tiada arti. Tubuh-tubuh itu terinjak, bahkan tertendang-tendang oleh teman maupun lawan yang masih hidup. Dua kekuatan yang jumlahnya tidak seimbang itu terus saling serang dan berusaha mendesak. Namun walaupun jumlah Ninja penyerang itu kecil, tapi semangat di hati merekalah yang menjadikan Ninja-ninja tersebut bagaikan kesetanan. Samurai-samurai di tangan mereka bagaikan memiliki mata, membabat ke sana ke mari.

"Wuuuuttt...!"

"Bajero!"

"Anjing Kaisar! Aku bunuh kau, hiaaaat...!"

Dua orang Panglima Perang dari kedua pasukan itu kini saling berhadap-hadapan. Keduanya kini telah siap untuk mempertaruhkan nyawa mereka demi segala cita-cita. Bagi para Ninja, jelas keinginan mereka untuk dapat menggulingkan Kaisar, sedangkan bagi para Pendekar Samurai, tugas lebih utama. Mereka ingin membuktikan pada Kaisar mereka akan kesetiaan mereka.

"Ninja sinting! Aku lumatkan kalian!"

"Wuuuuuuuutttt....!"

Samurai-samurai mereka saling berserabutan, menyerang dengan membabi buta. Dalam pertempuran ini, tidak akan ada artinya lagi kehebatan individu, semua tercurah pada kekuatan persatuan yang kokoh. Dengan persatuan mereka akan menang, sedangkan dengan bercerai berai tentunya sukar untuk menang, walau jumlahnya lebih besar.

********************

Kita tinggalkan pertempuran yang terjadi di kerajaan, dan kita lihat di tempat para pendekar tengah mengadakan pertemuan. Tidak ubahnya ke kerajaan, di tempat itu juga tampak tengah terjadi pertarungan dua kekuatan. Antara para pendekar yang sedang mengadakan rapat yang sudah berjalan hampir tiga hari, dengan para anak buah Taka Nata yang tergabung dalam samurai Iblis.

Guru besar Ninja yang pro dengan Kaisar nampak kini bertarung menghadapi Taka Nata. Sementara itu, Takasima yang tadinya memihak gurunya, kini juga memusuhi. Bagaimana pun juga, Takasima juga mempunyai tujuan yang sama dengan Taka Nata. Di samping itu pula, kedua pendekar Ninja tersebut merupakan saudara sedarah. Jadi jelaslah kalau Takasima memihak pada Taka Nata yang masih saudara sepupu.

"Takasima penghianat!" bentak Murid Utama Ninja, yang marah demi melihat Takasima memihak Taka Nata. "Sudah aku duga, kalau akhirnya engkau memang memihak saudaramu!"

Dua orang kakak beradik seperguruan itu kini saling gempur untuk mempertahankan keyakinan masing-masing. Takasima tidak mau begitu saja mengalah, apalagi hal ini menyangkut cita-citanya untuk dapat pergi ke Tanah Jawa.

"Kau yang anjing Kaisar! Kau tidak menghormati leluhur! Juga guru kita!" balas Takasima tak kalah marahnya. "Kalian semua Ninja penghianat! Ninja yang mau tunduk pada Kaisar demi uang!"

"Bangsat! Aku rencah kepalamu, Takasima..."

"Aku sudah siap Penghianat! Hiaaatt...!"

Takasima terus berkelebat, babatkan samurainya. Takasima merupakan murid terkasih Maha Guru Fujita, sehingga dapat dipastikan kalau ilmu Takasima bukanlah ilmu sembarangan. Maka kakak seperguruannya yang kini menjadi musuh sangat berhati-hati menghadapi Takasima. Pertempuran terus berjalan, apalagi dengan kehadiran Taka Nata. Kehadiran Taka Nata mampu memberikan semangat tinggi bagi para Ninja.

"Seraaaaaaannnnggg...!"

Suara Taka Nata membahana, dan dengan seketika dilaksanakan oleh anak buahnya yang berjumlah ratusan. Para pendekar kini dikerubuti oleh Ninja-ninja yang dididik oleh Taka Nata. Para Ninja tersebut bagaikan tiada mengenal takut. Taka Nata sendiri kini berhadapan dengan bekas gurunya, yaitu Suhu Besar Fujita. Pertarungan guru dan murid berjalan dengan seru, masingmasing memiliki ilmu yang dapat diandalkan.

"Murid durhaka! Berani engkau melawan Guru!"

"Kini kau bukan guruku! Kau telah menyalahi apa yang menjadi petuah Kakek Guru!" balas Taka Nata membentak. "Kaulah Ninja gadungan yang mau membela Kaisar!"

"Bajero! Hiiiiiiatttt !"

"Wuuuuuuuttt!"

Walau usianya telah begitu tua, namun serangan sang Maha Guru tidak lemah, bahkan masih keras dan cepat. Taka Nata tersentak tak kira kalau gurunya masih memiliki tenaga yang begitu besar. Dan ketika samurai gurunya berkelebat membabat, dengan cepat Taka Nata lompat ke belakang.

"Bangsat! Kau berani melawanku!" hardik Taka Nata yang sombong. Taka Nata yakin kalau Samurai Iblisnya akan mampu mengalahkan gurunya.

"Sraaaang...!" Taka Nata cabut samurainya.

"Samurai Iblis!" sang Guru membeliak kaget, manakala melihat samurai di tangan Taka Nata. Samurai di tangan Tak Nata mampu menyedot tenaganya, "Bahaya!"

"Wuuuuuttt....!"

Taka Nata kibaskan samurainya, dan dari kibasan tersebut keluar asap lebat hitam bergulung-gulung menyerang sang Guru. Asap itu terus membesar, makin lama makin menyelimuti tempat tersebut. Takasima yang sudah tahu kehebatan samurai di tangan saudara sepupunya dengan cepat melompat, begitu juga anak buah Taka Nata dan anak buah Takasima, mereka melompat ke belakang Taka Nata. Kini asap makin menyelubungi tempat tersebut, menjadikan para pendekar benar-benar mengalami sesak nafas.

"Duuuuuaaar...!"

Terdengar ledakan dahsyat, dan berbarengan dengan itu Taka Nata dan anak buahnya tibatiba telah lenyap dari hadapan mereka. Para pendekar banyak yang jatuh pingsan, tak kuat menghadapi serangan asap yang keluar dari Samurai Iblis. Asap itu ternyata mengandung racun ganas, yang mampu melumpuhkan urat syaraf. Tengah mereka semua tersentak dari gulungan Asap Iblis, tiba-tiba mereka tersentak kaget.

"Swiiiiiiinnggg...!"

"Awas senjata...!" Maha Guru berseru memperingatkan.

"Swiiiiinggg...!" kembali senjata rahasia mendesing ke arah mereka, yang dengan cepat segera mengelakkannya. Senjata-senjata rahasia itu menderu-deru, lalu menghunjam di bebatuan.

"Duuuaaar...!" Batu itu meledak manakala senjata rahasia Bulu Landak Maut menghantamnya.

"Taka Nata pengecut! Keluarlah kau dari persembunyianmu!"

Tak ada jawaban dari seruan Maha Guru.

"Swing! Swing, swing...!" itulah jawaban dari seruan Maha Guru, yang berupa sepuluh batang Bulu Landak Maut.

"Awaaaaaasssss...!"

Dengan cepat para pendekar bergerak menghindar sembari tebaskan samurai mereka ke arah datangnya Bulu Landak Maut tersebut.

"Traaaaanng...!"

"Aaaahhh...!" salah seorang pendekar nekad memapaki serangan Bulu Landak Maut. Namun hasilnya dirinya sendiri yang menjadi korban. Manakala Bulu Landak Maut itu beradu dengan samurai di tangannya, secepat itu pula racun Fuji Hitam beraksi. Dan lewat samurai itu pula racun Fuji Hitam merambat menyerang dirinya. Tanpa ampun lagi, seketika itu orang tersebut memekik. Dari pergelangan tangan hingga pangkal lengan seketika membiru, busuk bagaikan benar-benar terserang racun ganas.

"Racun Fuji Hitam!" Maha Guru memekik "Biadab! Sungguh biadab tingkahmu, Taka Nata!"

"Hua, ha, ha...! Itulah hukuman bagi orang-orang yang menentangku!" terdengar jawaban dari Taka Nata, namun orangnya sendiri tidak tampakkan ujudnya. "Kalian memang patut dihukum, sebab kalian adalah orang-orang Ninja Murtad!"

"Swiiiiiitttt...!"

Berbarengan dengan habisnya ucapan Taka Nata, saat itu juga puluhan bahkan ratusan Bulu Landak Maut berdesing-desing menyerang ke arah mereka. Mereka tiada lagi berani memapakinya, setelah tahu akan racun ganas yang terkandung oleh Bulu Landak Maut tersebut. Kini mereka hanya menghindar, dan menghindar saja. Namun sungguh pekerjaan yang menguras tenaga bila hal itu mereka lakukan terus menerus. Sebagai pelampiasan marahnya, sang Maha Guru hantamkan pukulan tenaga dalamnya memapaki serangan tersebut.

"Wuuuuusss...!"

"Suuuuuiiiiittt...!"

"Des, des, des...!"

Pukulan sang Maha Guru ternyata mampu menyapu serangan Bulu Landak Maut. Namun manakala sang Maha Guru tengah bertarung menyapu Bulu Landak Maut, tiba-tiba sebuah bayangan putih perak berkelebat menyerang dengan Samurai Iblisnya. Taka Nata kembali keluar setelah melihat gurunya tengah kerepotan.

"Hiiiiiaaaaaaaatttttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

"Kurang ajar! Hiiiiiaaaattt...!" Sang Guru dengan marah segera papaki serangan.

"Wuuuuuuttt...!"

"Trangg!"

"Prak...!"

Mata sang Guru melotot lebar, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Samurai di tangannya tiada arti sama sekali untuk menghadapi samurai di tangan Taka Nata. Samurai di tangannya kini telah puntung menjadi dua, terbabat oleh Samurai Iblis.

"Huaaaa... ha, ha, ha,..,! Kalau engkau tidak segera meminta ampun, maka jangan salahkan aku mengakhiri hidupmu! Kakek bau tanah!" ucap Taka Nata sombong.

"Taka Nata! Aku harap engkau tidak bermimpi!" balas gurunya yang segera mencegah manakala murid-muridnya hendak menghajar Taka Nata. "Biarkan aku menghadapinya! Kalian bersiaplah, sebab mereka akan kembali muncul!"

"Hem, aku tak pernah bermimpi, Kakek keriput bau tanah!" Kembali Taka Nata mengejek. "Akan aku buktikan bahwa aku akan mengirim nyawa busukmu ke akherat! Hiiiiaaat...!"

"Wuuuuuttt...!" Taka Nata babatkan samurainya.

Sang Guru segera melompat menghindar, sebab ia tidak ingin nyawanya begitu saja diserahkan. Sang Guru terus menghindar, dengan sekali-sekali balas menyerang dengan hantaman tangannya.

"Wuuuuttt...!"

"Mampuslah engkau, Tua Bangka!"

Taka Nata terus mencerca dengan Samurai Iblisnya. Asap yang keluar dari Samurai Iblis bergulung-gulung, menyelimuti tempat tersebut. Sang Guru kini benar-benar tersentak kaget. Jalan nafasnya kini bagaikan tersumbat, dan terasa berat. Sang Guru berusaha menyumbat pernafasannya. Mulanya memang mampu. Sang Guru bertarung benar-benar bagaikan orang mati, tanpa bernafas. Namun lama kelamaan tak kuat juga ia melakukan semua itu. Hal tersebut sungguh sangat membahayakannya. Asap Iblis yang keluar dari Samurai Iblis di tangan Taka Nata kini menyerang ke arahnya. Nafas tua Maha Guru itu kini benar tersendat berat.

"Mati aku!" pekiknya tertahan dalam hati.

Melihat Gurunya dalam keadaan bahaya, dengan nekad salah seorang muridnya berkelebat menyerang. Disapukannya samurai ke arah gulungan asap tersebut, namun sungguh sangat bahaya, sebab bukannya asap maut itu hilang, akan tetapi dirinya sendiri yang kini menjadi tujuan serangan Taka Nata.

"Wuuuuttt...! Wuuuuuttt..!" Orang itu papaki serangan.

"Trang...!"

"Prak!" terdengar suara patahan, dan ternyata samurai di tangan orang itulah yang patah. Saudara seperguruan Taka Nata yang mencoba bela gurunya terbelalak matanya demi mendapatkan samurainya telah patah menjadi dua.

"Wuuuuuttt...!"

"Awwwwaaasss....!" Sang Guru berseru kaget memperingatkan pada muridnya yang masih tersentak manakala Samurai Iblis berkelebat menyerang kembali.

"Ah...!" Walau orang tersebut telah menghindar, namun Samurai Iblis kini terus mencerca dengan cepatnya. Tebasan-tebasannya sungguh membahayakan. Tebasan-tebasannya mencari titik kematian lawan.

"Wuuuuttt...!"

"Hiiiiiaaaattt....!" Saudara seperguruannya berkelebat papaki serangan Taka Nata.

"Wuuuuttt...!"

"Trang...!"

"Prak!" Orang yang menyerang menyurut mundur, matanya melotot kaget. Samurai di tangannya seperti kakak seperguruannya juga patah menjadi dua. Tengah semuanya tercekam dalam kepanikan, tiba-tiba apa yang ditakutkan oleh Sang Guru terbukti. Dari balik semak-semak kembali para Ninja keluar, menyerang. Maka dapat dipastikan, para pendekar yang panik itu pun makin panik dan nekad. Akan tetapi, kenekadan mereka benar-benar tidak berguna, sebab jumlah mereka tiadalah sebanding.

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuuuttt...!" Samurai para Ninja terus mencari mangsa.

"Wuuuuuttt..!" Taka Nata dan Takasima benar-benar bagaikan singa lapar, setiap kelebatan samurainya mampu membuat salah seorang Pendekar menjerit dan ambruk dengan tubuh berantakan. Tangan puntung, kepala, maupun tubuh tercabik-cabik.

Kini para Pendekar benar-benar keteter, maka dengan penuh perhitungan sisa-sisa mereka yang hidup segera hendak mengambil langkah seribu. Tapi para Ninja anak buah Taka Nata dan Takasima tidak membiarkan mereka begitu saja. Sebelum mereka jauh, dengan sadis tanpa mengenal belas kasihan mereka pun menyerangnya.

"Wuuuuuttt !" Samurai Ninja beterbangan, melesat menyerang orang-orang yang bermaksud melarikan diri. Maka...!

"Wuuuuaaaa...!"

Tiga orang yang bermaksud melarikan diri itu, tanpa ampun lagi menjerit. Samurai Ninja anak buah Takasima berhasil menyate tubuh mereka. Ketiganya ambruk, kejang sesaat sebelum kemudian terdiam tanpa nyawa lagi.

EMPAT

Kekalahan yang dialami oleh para pendekar, juga dialami oleh para prajurit kerajaan. Para prajurit kerajaan nampak banyak yang mati, bergelimpangan tanpa nyawa. Sementara para Ninja kini nampak bergembira ria merayakan kemenangannya.

"Bunuh Kaisar...!"

"Pancung kepalanya...!"

Serta merta semua prajurit Ninja berkelebat masuk dengan tujuan mencari Kaisar. Tapi rupanya Kaisar dan orang-orang pembesar istana kini telah meninggalkan istana.

"Tidak adaaaa...!"

"Ke mana...?!" tanya pimpinan Ninja. "Mungkin melarikan diri!" jawab yang ditanya.

"Kita beritahu pada pimpinan Taka Nata, bahwa kita telah menang!"

Sebagian dari para Ninja itu segera menuju kembali ke tempat di mana pimpinan mereka berada. Kini mereka tidak memerlukan jalan kaki lagi, akan tetapi mereka kini menempuh perjalanan dengan menunggang kuda.

********************

Kita tinggalkan para Ninja anak buah Taka Nata si Iblis Nippon yang hendak merayakan kemenangannya atas Kekaisaran. Kita tengok bagaimana dengan pendekar kita Jaka Ndableg yang tengah berusaha mencari Meimora yang diculik ketiga Ninja Samurai Iblis.

Jaka Ndableg dengan segenap kemampuannya, dipasang panca indranya untuk mencari jejak Meimora dan ketiga Ninja penculiknya. Jaka kini nampak masih berlari dengan menggunakan ajian Kupuh Puyu atau Angin Puyuh. Maka sudah dapat diduga, pendekar kita ini lari bagaikan kesetanan, dan hampir dapat dikatakan terbang karena kakinya tiada menginjak rumput barang sekali pun.

"Ke mana aku harus mencari mereka?" tanya Jaka dalam hati, sepertinya ada keraguan akan kemampuan dirinya.. "Aku di sini orang baru, asing! Manalah mungkin aku akan mampu menemukan mereka?"

Jaka terus berlari dan berlari, tanpa hiraukan kekalutan hatinya yang semakin tak tentu. Kini ia telah jauh meninggalkan tempat semula. "Haruskah aku tersesat di daerah orang?" Jaka bertanya-tanya pada diri sendiri. "Oh, mengapa aku begitu tolol nekad berkeliaran sendiri?"

Mungkin karena capai Jaka pun dengan segera mencari tempat yang sekiranya dapat digunakan untuk mengaso. Dicarinya sebuah kedai. "Di mana akan aku temui kedai?"

Kembali Jaka memperoleh kebingungan. Ia tidak tahu arah mana yang sekiranya kini ia tuju, dan tidak tahu desa apa yang kini tengah ia jejaki kakinya. Dan orang-orang yang ditemuinya, rata-rata tidak ia kenal. Jaka Ndableg terus melangkah, memasuki kampung yang ramai oleh kedatangan para pengunjung tersebut. Jaka jadi bertanya-tanya dalam hati melihat keramaian kampung tersebut. Orangorang yang datang dan pergi nampak berwajah muram, seakan mereka tengah mengalami kesedihan.

"Hai, ada gerangan apakah?" tanya Jaka dalam hati. "Coba aku akan menanya."

Dihampirinya seorang pemuda sebayanya. Dengan menggunakan bahasa isyarat, Jaka bertanya dengan pemuda tersebut tentang mengapa banyak orang yang datang dan pergi dengan wajah muram. Pemuda itu yang tahu kalau Jaka bukan orang asli Nippon, menjawab dengan bahasa isyarat pula. Hal tersebut mampu dengan mudah ditangkap oleh Jaka yang seketika terperanjat kaget.

"Ada gadis mati, setelah diperkosa!" Jaka terus mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemuda tersebut. "Hem, gadis itu cantik."

Pemuda Jepang itu terus menceritakan segala apa yang ia ketahui dengan gerakan-gerakan tangannya. Sementara Jaka terus mengikutinya dengan menerjemahkan dalam tata bahasa.

"Tidak salah, Meimora adanya? Dia bercerita kalau gadis itu mengenakan gaun warna hitam pertanda duka!" Jaka kini makin tegang. Setelah menjura pada pemuda tersebut, dengan segera Jaka berkelebat pergi menuju ke arah yang ditunjuk oleh pemuda tersebut.

Orang-orang tampak berkumpul di tepi pantai. Mereka sepertinya tengah melihat sesuatu. Ya! Orang-orang tersebut memang tengah melihat sesosok tubuh tanpa nyawa. Tubuh itu milik seorang gadis cantik. Wajah gadis itu benar-benar mirip dengan Meimora hingga Jaka Ndableg menafsirkan ucapan gerakan pemuda itu sebagai Meimora adanya.

Jaka Ndableg tampak berlari-lari menuju ke tempat tersebut. Dengan berusaha meminta jalan, segera Jaka menyeruak tempat tersebut. Jaka mulanya kaget, manakala melihat muka gadis itu. Gadis itu memang persis sama dengan Meimora, akan tetapi tatkala dilihat seksama, jelas ada banyak perbedaannya.

"Oh, Meimora! Di manakah kini dia?" keluh Jaka, lalu beranjak pergi tinggalkan tempat tersebut. Dengan melamun memikirkan Meimora, Jaka melangkah tanpa tujuan arah yang pasti. Pikirannya kini merawang pada Meimora.

"Ke mana aku mencarinya? Aku tidak tahu markas mereka." keluh Jaka sendiri.

Tanpa terasa Jaka terus berlalu meninggalkan desa tersebut. Kini dirinya telah memasuki hutan belantara yang sepertinya belum terjamah oleh tengah manusia. Jaka terus berjalan, tiada hiraukan alam yang asing baginya yang kini dijejaki kakinya. Manakala Jaka terus melangkah, terdengar suara rintihan seseorang. Telinga Jaka yang tajam, seketika mampu mendengar suara rintihan tersebut.

"Hu, hu, hu, hu...!"

"Hai, sepertinya suara seseorang menangis." Jaka mereka-reka dan terus mendekat ke arah suara tersebut. "Ya! Benar! Suara seorang wanita. Tapi, bukankah ini hutan perawan. Jangan-jangan siluman yang mau menggangguku! Ah, mengapa mesti aku pikirkan? Bukankah Ayah dan Ibuku Siluman?"

Dengan melangkah perlahan Jaka terus mendekat. Kini matanya yang tajam melihat sebuah gubug berdiri tidak jauh dari dirinya berada. "Hem, benar manusia. Aku harus melihatnya. Hoooop...!"

Jaka melompat ke atas pohon, pusatkan pandangannya ke tempat di mana rumah tersebut berdiri. "Hem, tak aku duga, kalau akhirnya aku akan menemukan bajingan-bajingan ini di sini!" Jaka Ndableg terus mengawasi tempat tersebut.

"Plak!"

"Katakan siapa temanmu itu, hah!" terdengar suara bentakan.

"Tidaaaakkk...!"

"Bangsat!"

"Plak....!" tamparan kembali terdengar.

"Aaaaaaadddddduuuhhh,..!" terdengar jeritan seorang wanita.

Suara itu sangat Jaka kenal, suara itu tak lain milik Meimora. "Meimora!" ucap hati Jaka. "Aku harus menolongnya!" Bagaikan seekor monyet, Jaka Ndableg bergayut dari satu pohon ke pohon lainnya dengan bantuan akar-akar yang bergantungan dan tumbuh.

"Aku temannya, hiaaaaaaatttt...!"

Tersentak kedua orang yang menjaga di muka gubug itu. Dengan segera keduanya cabut samurai. "Siapa kau, hah!" bentak salah seorang dari mereka.

"Aku Malaikat yang akan mencabut nyawa kalian! Hiiiaaaattt!"

Belum juga keduanya mampu berbuat, Jaka telah mendahuluinya dengan menendangkan kaki ke arah mereka. Keduanya bermaksud menghindar, akan tetapi tendangan Jaka lebih cepat.

"Weeesssttt...!"

"Dug! Dug...!"

Kedua orang tersebut terpelanting ke belakang, tertendang oleh kaki Jaka Ndableg. Jaka tersenyum, biarkan keduanya bangkit dari duduknya. Nampaknya kedua orang Ninja tersebut beringas, manakala tahu siapa yang datang.

"Suuuuuiiiiiitttt...!" Salah seorang dari mereka bersuit, menjadikan Jaka kini harus benarbenar waspada.

Dari pepohonan dan semak belukar, nampak bermunculan beberapa orang yang memakai pakaian Ninja. Orang-orang tersebut yang jumlahnya mencapai tiga puluhan itu dengan cepat mengurung Jaka. Namun begitu Jaka nampak masih tenang, bahkan kini tersenyumsenyum sendiri.

"Hem rupanya di hutan ini banyak kecoa busuknya!" ucap Jaka.

"Seraaaanngg...!" terdengar suara perintah.

Tanpa menunggu dua kali perintah, dengan cepat ketiga puluh orang tersebut berkelebat menyerang Jaka. Namun bagaikan tidak merasakan hal apa-apa, Jaka yang tujuan pokoknya membebaskan Meimora segera berkelebat dengan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuh Jaka kini melenting ke udara, lalu dengan cepat manakala mereka terperangah Jaka segera turun dengan kaki dan tangan siap menyerang.

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuutttt...!"

Samurai-samurai di tangan mereka menderu, papaki tubuh Jaka yang melayang. Namun kiranya dugaan mereka salah, sebab Jaka rupanya tidak bermaksud menyerang. Tubuh Jaka meluncur deras, menembus masuk ke dalam rumah.

"Brooosss...!" bilik penutup rumah tersebut jebol, manakala tubuh Jaka menjebolnya.

Terkesiap orang yang saat itu tengah menanyai Meimora. Sedangkan Meimora yang tengah terikat kaki dan tangannya di wajahnya nampak ceria. Harapan untuk hidup kembali tumbuh, saat dilihatnya Jaka datang.

"Jaka...!"

Orang tersebut hendak menyerang, namun dengan cepat Jaka mendahuluinya dengan tendangan kaki serta hantaman tangannya.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug...!"

"Wuuuuuaaa...!" orang itu menjerit, muntahkan darah yang muncrat dari mulutnya. Mata orang tersebut membeliak sesaat, sebelum akhirnya tubuhnya terjerembab mati.

"Ayo..." Jaka segera menggendong tubuh Meimora yang lemas, dibawanya ke luar dari rumah tersebut. Namun belum juga keluar dari pintu, tiba-tiba ketiga puluh Ninja yang tadi memburunya menghadang langkahnya dengan samberan samurai mereka.

"Wuuuuuttt...!"

"Aih!" Jaka melompat mundur, mengambil ancang-ancang sekaligus elakkan serangan.

"Srang...!" Pedang Siluman Darah dicabutnya, karena merasa bahwa hanya dengan Pedang Siluman Darah sajalah yang mampu menghadapi serangan ketiga puluh Ninja tersebut.

"Kalian rupanya mencari mati!" maki Jaka marah, di pundaknya masih tergendong tubuh Meimora.

"Baiklah! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang harus menyingkir ke akherat!"

Para Ninja itu bagaikan tak mau tahu, kembali mereka babatkan samurainya ke arah Jaka,

"Wuuuuttt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Trang...!"

Membeliak mata Ninja yang di depan dan mendahului menyerang Jaka. Manakala dua pedang mereka bertemu, seketika samurai di tangannya bagaikan terbakar. Hawa panas keluar dari Pedang Siluman Darah.

"Aaahhh...!" Orang itu lepaskan pedangnya, namun tak urung tangannya kini melepuh. Dari pergelangan tangannya sampai ke pangkal lengan kini hangus terbakar. Mata orang tersebut mendelik, tak percaya pada apa yang dialaminya.

"Wuuuuuttt...!" Jaka kembali sabetkan Pedang Siluman Darah ke orang tersebut. Orang tersebut berusaha mengelak, namun gerakkan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka begitu cepat. Beruntung temannya segera memapakinya.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuuuaaa..." Kembali orang yang memapaki serangan Pedang Siluman Darah memekik. Orang itu seperti yang pertama segera lepaskan samurainya yang panas bagaikan mengandung bara manakala beradu dengan Pedang Siluman Darah.

"Jaka, jangan biarkan dia hidup!"

"Jangan khawatir, Nona Mei." jawab Jaka, lalu kembali babatkan Pedang Siluman Darah ke arah dua orang tersebut. Kini keduanya tak dapat berbuat apa-apa. Tangan mereka melepuh, terbakar oleh hawa panas yang dipancarkan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuuttt...! Wuuuuuutttt...!"

"Dest...!"

"Cras! Crasss...!"

"Wuuuuuuaaa...!" Kedua orang tersebut memekik, tak mampu lagi hindari sabetan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka yang bergerak dengan cepatnya. Seketika itu tubuh keduanya di perut terbeset. Usus dari dalam menjurai ke luar, menjadikan pemandangan yang mengerikan.

Melihat kedua rekannya telah mati, serta merta semua Ninja itu nampak ketakutan. Nyali mereka kini benar-benar ciut. Namun untuk menyerah, mereka jelas tidak mau, sebab mereka telah mendapat sumpah tidak akan mau menyerah pada lawan. Dengan nekad kedua puluh delapan Ninja itu berbarengan menyerang Jaka.

"Hiiiiiaaaattt...!"

"Wuuuuuutt..!"

Samurai-samurai di tangan mereka berkelebat-kelebat membabat ke arah Jaka. Jaka yang sudah marah, nampak tidak canggung-canggung meladeni mereka. Manakala Samurai mereka mengarah hendak membabat tubuhnya, dengan cepat Jaka sambut serangan mereka dengan babatan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Traaaang...!"

"Wuuuuaaa...!" Empat orang Ninja menjerit, tubuhnya kini benar-benar terbakar keseluruhannya. Ternyata tanpa setahu mereka Jaka telah menyalurkan Inti Geni ke segenap Pedang Siluman Darah. Tubuh keempatnya mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.

"Aku harus menyelamatkan Meimora! Sungguh bahaya bila aku harus selalu menggendong Meimora," Jaka membatin, kemudian dengan cepat kembali babatkan Pedang Siluman Darah ke arah para Ninja yang kini benar-benar ciut nyalinya.

Para Ninja yang telah ciut nyalinya kini tanpa menunggu Jaka minggat telah mendahului kabur. Rasa takut itulah yang menjadikan mereka melarikan diri. Jaka hanya dapat geleng kepala, bibirnya terurai senyum.

Niat Jaka untuk pergi dari tempat itu diurungkannya, sebab menurutnya di tempat tersebut dirinya akan aman. Setelah membersihkan rumah gubug tersebut dari mayat-mayat Ninja, Jaka pun dengan segera kembali ke gubug tersebut di mana Meimora berada ditinggalkannya.

********************

LIMA

Dengan kemenangannya atas Kaisar, maka Taka Nata kini mengangkat dirinya sebagai Kaisar di Kerajaan. Tercapailah segala cita-citanya untuk menjadikan dirinya Kaisar pertama yang dari Ninja. Dan setelah berhasil mengangkat dirinya menjadi Kaisar, maka program pertama adalah memburu orang-orang yang dulu menjadi tangan kanan Kaisar. Nama Kerajaan pun kini dirubah, dari Dai Nippon menjadi Kerajaan Samurai Iblis, sesuai dengan samurainya. Juga para anak buahnya, mereka diangkat menjadi prajurit-prajurit kerajaan.

Program utama Kaisar Taka Nata, yaitu memberantas bekas-bekas tangan kanan Kaisar yang entah ke mana kini. Dan hal yang lebih pokok, yaitu mencari Pendekar Tanah Jawa yang ditugaskan untuk datang ke Jepang.

"Pasang pengumuman! Barang siapa yang mampu menangkap Pendekar Tanah Jawa, maka dirinya akan mendapatkan kedudukan yang enak!" begitulah kata-kata yang diperintahkan oleh Taka Nata pada maha Patihnya Takasima, yang merupakan adik sepupunya.

"Jadi Pendekar Tanah Jawa itu telah ke sini?"

"Benar, Sima."

"Hem, untuk maksud apakah?"

"Jelas untuk menentang para Ninja yang telah mengirimkan pasukannya ke Tanah Jawa." jawab Taka Nata. "Maka itu, sebelum Pendekar Muda tersebut dapat disingkirkan, kedudukan kita akan benar-benar mendapatkan hambatan!"

"Baiklah! Aku akan mencarinya!"

Taka Nata tersentak demi mendengar ucapan Takasima. Ia tahu Takasima bukanlah orang sembarangan dari para Pendekar Ninja, namun ia juga tahu bahwa Pendekar muda itu juga bukanlah Pendekar kelas entengan. Percuma Raja Kerajaan Tanah Jawa Dwipa mengirimnya ke tanah Nippon kalau ia bukanlah pendekar pilih tanding.

"Sima, jangan gegabah!"

"Kenapa? Bukankah hanya Pendekar Muda itu saja yang engkau takuti?" tanya Takasima menyombong. "Aku Taksima, akan membuat semua mata orang Tanah Jawa Dwipa terbuka."

"Kau tidak bercanda, Sima?"

"Tidak!" jawab Takasima, menjadikan Taka Nata hanya tersenyum kecut. Taka Nata gelengkan kepala, menjadikan Takasima memandangnya dengan pertanyaan.

"Mengapa...?"

Taka Nata hela napasnya panjang, seakan ada ganjelan berat yang mengisi hatinya. Ia masih teringat akan segala berita yang ia terima dari Tanah Jawa Dwipa. Ninja Hitam, yang terkenal gagah pemberani tak ada artinya sama sekali di hadapan Pendekar Muda tersebut. Kebanyakan para Ninja di Tanah Jawa mati di tangan pendekar Muda tersebut. Juga menurut kabar anak buahnya, Pendekar muda tersebut merupakan titisan Dewa Api. Walaupun Taka Nata belum yakin, namun setidaknya ia mempunyai gambaran siapa adanya Pendekar Pedang Siluman Darah.

"Jangan engkau dulu, Sima. Sebar saja dulu pengumuman!"

Takasima yang belum tahu siapa adanya Jaka Ndableg, sepertinya tidak setuju. Ia benar-benar ingin membuktikan kebenaran segala cerita yang pernah ia dengar. Dendamnya pada Pendekar Muda tersebut telah menjalar. Sebagai seorang pimpinan Ninja Merah, jelas ia mendendam pada Jaka Ndableg dan para Pendekar Tanah Jawa yang telah menumpas anak buahnya. Bahkan menurut kabar, adiknya Taka Moro pun telah binasa.

"Tidak! Aku harus mampu memenggal kepala Pendekar itu!" gerutu hati Takasima marah. Bayangan tentang kegagalan misi Ninjanya, makin membebani dendam di hatinya. "Beri aku kesempatan, Nata," Takasima memohon.

"Aku tidak ingin saudaraku hilang," Taka Nata bergumam sendiri, setelah terlebih dahulu tarik napas panjang. Dalam napas berat Taka Nata, sepertinya ada rasa berat untuk mengijinkan diri Takasima menghadapi Jaka Ndableg.

"Bagaimana...? Kau menyetujuinya?"

Desakan Takasima menjadikan Taka Nata benar-benar serba salah. Ia sebenarnya bukan takut, namun ia sangat menyayangkan jika saudaranya yang tinggal satu-satunya harus pisah dari dirinya hanya mengikuti dendam.

"Bawalah seratus prajurit untuk membantumu." Akhirnya Taka Nata mengijinkan.

"Terimakasih. Aku akan menunjukkan padamu, bahwa aku mampu membuka mata para Pendekar Tanah Jawa. Aku akan membawa kepala Pendekar Muda itu ke mari."

Takasima menjura, lalu dengan senyum bagaikan merasa pasti Takasima keluar tinggalkan tempat tersebut. Di alun-alun dikumpulkannya anak buahnya yang terdiri dari Ninja Merah. Kini Takasima benar-benar ingin menunjukkan pada para Pendekar Tanah Jawa bahwa orang yang selama ini disegani telah mampu ia binasakan.

"Para prajurit... Kummpuuuuuull...!"

Berserabutan para prajurit Ninja Merah yang jumlahnya mencapai ribuan itu berkumpul. Dalam kekaisaran Taka Nata, Ninja Merah menjadikannya sebagai prajurit utama, atau prajurit elit, sebab keberanian dan kehebatan Ninja Merah telah diuji dengan baik. Dan memang Ninja Merah menjadikan Takasima bukanlah para prajurit Ninja biasa. Mereka pada umumnya memiliki kelebihan yang banyak dibandingkan dengan Ninja lainnya.

"Sebagai prajurit elite, kalian akan dicoba untuk menghadapi musuh yang berat. Kalian tentunya ingat akan berita-berita yang kalian terima dari Tanah Jawa, bukan?"

Semua Ninja Merah mengangguk. Takasima melanjutkan, "Pendekar tersebut kini berada di Tanah Nippon ini, tapi entah di mana. Untuk itu, maka aku akan mengajak seratus orang dari kalian untuk menemaniku mencarinya. Nah, aku minta, kalian mau membantu Kerajaan."

Takasima segera memilih anak buahnya. Tanpa mengalami kesulitan, Takasima pun dapat menyaring keseratus anak buahnya untuk mengikutinya. Setelah memeriksa segala peralatan yang bakal digunakan dengan teliti, maka keseratus Ninja itu pun yang langsung dipimpin oleh Takasima berangkat untuk memburu Pendekar Pedang Siluman Darah Jaka Ndableg yang masih berada di Tanah Nippon.

********************

Jaka yang masih bersama Meimora bersembunyi di hutan, saat itu tengah mencari buruan untuk makan siangnya. Jaka nampak mengendap-endap, tatkala dilihatnya seekor kijang besar tengah makan dengan santainya.

"Harus kena!" Diambilnya sebatang ranting, lalu dengan menggunakan tenaga dalam Jaka pun lemparkan ranting tersebut ke arah kijang yang tengah makan.

"Swiiiiiingg...!"

"Jlep...!"

"Eeee...!" kijang itu melenguh panjang, lalu ambruk ke tanah tertembus batang ranting yang dilemparkan Jaka. Dengan suka cita Jaka pun melompat hendak mengambil kijang tersebut, manakala seseorang juga melompat ke tempat tersebut.

"Hai! Itu milikku...!" bentak orang tersebut.

"Enak saja!" balas Jaka memaki. "Aku yang telah melempar ranting ini.... Kau...?" Jaka terbelalak, manakala dilihatnya orang tersebut.

Orang tersebut itu pun tak kalah kagetnya, manakala tahu siapa adanya pemuda yang hendak merebut kijang buruannya. Mulut orang itu yang tiada lain Perdana Menteri kerajaan ternganga. "Tuan Pendekar, rupanya Tuan berada di sini."

"Ya! Kau...?"

"Aku bersama Kaisar dan rombongan juga berada di hutan ini" Dan Perdana Menteri segera ajak Jaka untuk menemui Kaisar dan rombongan. "Ayo ikut aku!"

Dengan tanpa membantah, Jaka pun segera menurut mengikuti Perdana Mentri pergi meninggalkan kijang yang telah menjadi rebutan. Keduanya dengan bergegas menuju ke arah Timur hutan. Tak begitu lama kemudian, keduanya sampai juga di tempat yang mereka tuju. Di tempat tersebut berdiri beberapa tenda yang didirikan secara darurat.

"Kaisar! Kaisar...! Keluarlah!"

Dari dalam tenda seorang lelaki setengah baya keluar. Wajah lelaki itu kini nampak lebih tua, hal tersebut menunjukkan bahwa penderitaan telah menggores hidupnya. Jaka hampir tak percaya, bahwa orang yang kini tersenyum padanya tidak lain Kaisar. "Tuan Pendekar...!" seru Kaisar.

"Tuan Kaisar...!"

Keduanya saling berpelukan, lalu dengan penuh haru keduanya segera masuk ke dalam tenda Kaisar. "Mengapa Tuan ada di sini?" tanya Jaka, setelah keduanya duduk-duduk sambil menikmati makan siang. Wajah Kaisar nampak berubah sedih ditanya begitu oleh Jaka. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg kerutkan keningnya, tak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Sang Kaisar hela napas panjang, sebelum akhirnya bercerita.

"Aku telah tergulingkan."

"Tergulingkan...?" tanya Jaka heran. "Bagaimana mungkin?"

Dengan berurai air mata, Kaisar pun perlahan menceritakan segalanya yang telah menimpa dirinya. Ia juga mengakui bahwa semuanya adalah kesalahannya. Ya! Kesalahannya yang tidak mau mementingkan pertahanan, sehingga para prajuritnya tidak dapat melakukan segala cara dalam perang. Diakuinya, bahwa sebenarnya ia sendiri kurang suka untuk perang. Ia lebih mencintai damai, aman dan tentram. Tapi sejarah menyatakan lain, bahwa dengan perang seseorang akan mampu menunjukkan dirinyalah yang mampu menjadi tokoh pemimpin.

"Begitulah Tuan Pendekar."

"Janganlah Tuan Kaisar terlalu memikirkannya."

"Maksudmu?" tanya Kaisar tak mengerti.

Jaka tarik napas panjang, lalu katanya kemudian. "Baiklah, aku akan mengundang Nona Meimora terlebih dahulu, agar kita dapat bertemu dan berkumpul."

"Baiklah, memang sepantasnyalah Nona Meimora harus dilindungi."

Jaka segera menjura, lalu bergegas pergi tinggalkan tenda Kaisar untuk kembali ke tempat di mana Meimora berada. Dengan hati agak tak tenang, perasaannya seperti bergejolak demi mendengar penuturan Kaisar. Namun ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera pulang ke tempatnya. Sepertinya ada sebuah pesan misteri yang disampaikan oleh desahan-desahan angin.

Terbelalak mata Jaka, manakala melihat apa yang tengah terjadi. Seorang Ninja Merah kini tengah menguasai tubuh Meimora dengan samurai siap menggorok leher gadis itu. Ninja Merah lainnya nampak berjaga-jaga dan siap dengan samurainya.

"Ninja-Ninja anjing! Beraninya dengan seorang wanita!" bentak Jaka marah. "Kalau kalian memang laki-laki, lepaskan Nona itu dan hadapi aku!"

"Jakaaaa...!" Meimora memekik ketakutan. "Tolonglah aku!"

"Kalian tidak di mana-mana, selalu membuat keonaran! Rupanya kalian tidak jenuh dengan kejadian di Tanah Jawa!"

Jaka terus membentak, memancing mereka agar marah. Juga tujuan Jaka berteriak-teriak, semata-mata agar rombongan Kaisar mendengarnya. Dan ternyata usaha Jaka memang berhasil. Di tempat lain, Kaisar dan para Panglima Perangnya mendengar suara Jaka memaki-maki.

"Sepertinya Pendekar itu tengah berperang mulut," gumam Kaisar pada Perdana Mentrinya yang juga mendengar.

"Benar, Kaisar."

"Siapkan pasukan! Aku dengar Pendekar dari Tanah Jawa itu menyebut-nyebut Ninja. Ayo siapkan pasukan segera!"

Perdana Mentri tanpa banyak bantah lagi segera mempersiapkan pasukannya. Pasukan yang terdiri dari orang-orang pendekar samurai itu dalam waktu singkat telah berkumpul. Kesemuanya berjumlah lebih dari dua ratus lima puluh orang. Setelah mendengar seruan tersebut, dengan cepat para prajurit Samurai bergegas memburu ke tempat suara Jaka. Para Prajurit samurai yang telah terlatih tanpa mengalami kesulitan menemukan tempat di mana Jaka dan Ninja Merah tengah bersitegang mulut.

"Jaka Ndableg! Kau telah banyak membunuh anak buahku!" Takasima membentak. "Kau harus mati oleh tanganku!"

Jaka Ndableg sunggingkan senyum, lalu katanya kalem. "Kaukah pimpinan Ninja Merah?"

"Ya!" jawab Takasima

"Sebegitu pengecutkah seorang Ninja, sehingga beraninya menyandera seorang wanita!" Jaka terus berusaha membikin amarah Ninja Merah. Dan memang berhasil, Takasima nampak mendengus marah merasa dirinya dihina sebagai seorang pengecut.

"Bajero! Aku tidak sebodoh itu, Anak Muda!"

"Kalau begitu, lepaskan Nona itu. Dan mari kita tentukan sebagai seorang persilatan!" Mata Jaka melirik, dan tahu kalau para Prajurit Kaisar telah berdatangan secara diam-diam. Hanya Jaka saja yang tahu isyarat mereka. "Lepaskanlah, dan mari kita buktikan siapa di antara kita yang hendak menyusul rekan-rekan kalian yang ada di Tanah Jawa sana!"

"Bajero! Lepaskan Nona itu...!" perintah Takasima yang merasa ditantang oleh Jaka. Hal tersebut dengan segera dijalankan oleh anak buahnya.

Manakala Meimora telah lepas, Jaka pun segera menyambutinya. Sebelum para Ninja tersebut menyerang, Jaka dengan cepat lentingkan tubuh seraya membopong tubuh Meimora.

"Swiiiiit...!" Jaka bersuit, yang menjadikan para pasukan Kaisar yang telah mengepung tempat tersebut seketika bermunculan ke luar.

Tersentak Takasima demi melihat hal yang tiada terduga sebelumnya. Maksud mereka mengejar Jaka kini terhadang oleh pasukan Kaisar yang merupakan pasukan pilihan. Walau Takasima tiada takut menghadapi mereka, namun jumlah mereka dua kali lebih banyak dibanding dengan jumlah anak buahnya. Takasima benar-benar merasa terjebak, kini ia tampak memikir mencari jalan keluarnya.

Tengah Takasima memikirkan jalan baiknya, para Pendekar Samurai tiba-tiba berkelebat menyerang. Tanpa dapat dicegah, pertarungan dua lawan satu pun akhirnya terjadi. Tiada jalan lain, kedua pasukan andalan itu harus bertempur untuk saling menentukan nasib mereka selanjutnya.

"Jaka, pergilah untuk selamatkan Nona Meimora!" perintah Perdana Mentri. "Cepatlah! Nanti bantulah kami memberesi mereka!"

Jaka pun tiada membantah, segera Jaka berkelebat meninggalkan tempat tersebut ke arah Timur di mana tenda-tenda Kaisar serta anak buahnya berada. Kedatangan Jaka yang membawa tubuh Meimora disambut dengan rasa persaudaraan yang tinggi.

"Kau di sinilah dulu, Nona Mei."

"Baiklah, Jaka."

"Kaisar, aku titip Nona Meimora," Jaka berkata pada Kaisar yang menganggukinya. "Aku akan segera membantu pasukan untuk menumpas Ninja Merah."

"Ninja Merah berada di sini?" tanya Kaisar terbengong.

"Ya! Aku pergi dulu." Jaka dengan cepat kembali berkelebat kembali menuju di mana pertempuran terus terjadi.

Pertarungan dua kekuatan yang bermusuhan itu terus berlangsung. Pertarungan tersebut sepertinya tidak seimbang, namun kenyataannya pasukan Ninja Merah yang dipimpin oleh pimpinannya Takasima mampu membuat para Pendekar Samurai kewalahan.

"Takasima, kaulah lawanku!" Jaka Ndableg yang datang berseru memecahkan pertempuran. "Bukankah engkau yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan Ninja-ninja Merah di Tanah Jawa?"

"Benar! Akulah musuhmu! Aku akan mencincangmu!" Takasima segera lompat ke arah Jaka, tinggalkan Perdana Mentri yang membiarkannya begitu saja. "Aku akan mencincangmu, seperti engkau membunuhi Ninja Merah dan anak buahku! Hiiiiiaaaaatttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

Takasima babatkan samurainya dengan cepat ke arah Jaka, sehingga mau tidak mau Jaka Ndableg harus mengelakkannya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Takasima yang merasa bahwa dirinya akan mampu mengalahkan Jaka Ndableg, terus mencercanya dengan sabetan-sabetan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

Jaka tolakkan tubuhnya ke belakang, manakala samurai di tangan Takasima menusuk ke perutnya. Namun belum juga tubuh Jaka hinggap ke atas tanah, dengan cepat Takasima telah kembali menyerangnya dengan sabetan samurainya.

"Wuuuuuttt...!"

Jaka yang hendak menepakkan kakinya, segera urungkan, lalu dengan lentingan lebih keras tubuhnya melenting ke udara tinggi. Manakala tubuhnya kembali turun, dengan cepat Jaka Ndableg serang Takasima dengan pukulan tangannya Dewa Menghantam Karang, sebuah pukulan yang dahsyat.

"Wuuuuuttt...!"

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuuusss...!"

Angin pukulan Dewa Menghantam Karang menderu, menyentakkan Takasima yang segera melompat elakkan. Pukulan yang dilontarkan Jaka pun melesat beberapa senti di samping tubuh Takasima. Takasima kembali merangsek tanpa memberi kesempatan pada Jaka Ndableg.

"Wuuuuttt...!"

Sementara di tempat lain, nampaknya dengan ditinggal Takasima para pasukan Ninja Merah makin menurun saja keberaniannya. Kini mereka benar-benar dicerca serangan-serangan gencar yang dilakukan oleh prajurit samurai yang memang sudah mahir dalam penggunaan samurai. Kini para prajurit samurai di bawah pimpinan langsung Perdana Mentrinya, makin tumbuh semangat untuk menumpas para Ninja Merah.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuuuttt...!"

"Aaaaaa!"

Korban di pihak Ninja Merah kini makin banyak berjatuhan. Ternyata Takasima mempunyai pengaruh besar bagi mereka. Sedangkan Takasima sendiri kini tengah menghadapi serangan yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg. Walaupun Jaka masih tangan kosong, namun tendangan dan pukulannya mampu mengejutkan Takasima bahkan mampu membuat Takasima harus menguras tenaganya untuk mampu menghindari serangan tangan kosong Jaka. Jaka Ndableg kini kembali hantamkan tangannya, berupaya mendaratkan pukulan ke muka Takasima. Namun segera Takasima balik babatkan samurainya, menghadang serangan tangan kosong yang dilakukan Jaka.

"Wuuuuttt...!"

Jaka tarik kembali tangannya, lalu dengan cepat sodorkan kakinya menendang. Untuk kedua kalinya Takasima kembali babatkan samurainya, dan kali ini ke arah di mana kaki Jaka hendak menyodok ke perut.

""Wuuuuttt...!"

Jaka kembali urungkan tendangannya. Jaka Ndableg benar-benar hendak menguras tenaga Takasima habis-habisan. Takasima kini membuka mata, siapa yang kini tengah dihadapinya. Ternyata ucapan Taka Nata benar adanya. Namun sebagai seorang Ninja sejati, sungguh malu besar bila harus mengalami kegagalan. Takasima tak hiraukan bahwa napasnya benar-benar sudah terkuras, ia terus berusaha menyerang Jaka. Namun setiap serangannya, selalu dengan mudah digagalkan oleh Jaka dengan kibasan pukulan tangannya yang mengandung angin besar.

"Wuuuuuttt...!"

Samurai di tangan Takasima membeset, Jaka tidak berusaha menghindar, malah kini ia tampak berdiri mematung diam, sepertinya Jaka siap untuk menjadi tumpuan samurai di tangan Takasima. Takasima yang melihat hal ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, segera Takasima babatkan samurainya cepat.

"Wuuuuttt...!"

"Bug!"

Takasima melotot matanya, manakala samurai di tangannya tak berarti sama sekali di tubuh Jaka. Tubuh itu masih utuh, tiada terlecet sedikit pun oleh babatan samurainya. Jaka Ndableg tersenyum, "Bagaimana? Apakah kau puas?" tanya Jaka mengejek. "Kalau kau memang puas, maka kini giliran aku yang akan menyerangmu. Terimalah pukulanku.

Hiaiiiiaaattt...!"

"Wuuuuutttt...!"

Takasima tersentak manakala tangan Jaka menghantam ke arahnya. Sebisanya ia berusaha menghindar, namun tangan Jaka bergerak dengan cepat, dan...!

"Bug! Bug! Bug...!"

"Wuuuuuuaaaa...!" Takasima memekik, tubuhnya gontai terhantam pukulan tangan Jaka. Pukulan Rajawali Menyapu Mega, menjadikan muka Takasima yang terhantam bagaikan dihantam ribuan kati. Mukanya bagaikan hancur tulang belulangnya, darah muncrat dari hidung dan mulutnya. Takasima masih terhuyung, manakala Jaka kini kembali melompat menyerang dengan tendangan geledeknya.

"Hiiiiiiiiiaaaaaaaaattttt...!" Mata Takasima membeliak kaget, manakala kaki Jaka bagaikan sebuah larikan sinar yang menderu ke arahnya. Kaki Jaka kini sukar untuk diterka. Namun begitu, Takasima tak mau tinggal diam begitu saja. Takasima kembali berusaha menangkis dengan babatan samurainya, namun gerakan Jaka ternyata lebih cepat.

"Bug!"

"Wuuuuuuaaaaa...!" Takasima menjerit, dadanya yang terkena tendangan terasa sesak. Darah muncrat dari mulutnya, menjadikan Takasima benar-benar sekarat. Tubuh Takasima menggelepar bagaikan ayam dipotong. Dadanya terasa sangat sesak, sementara matanya melotot memandang ke arah Jaka Ndableg.

"Pulanglah! Katakan pada Rajamu, Taka Nata. Aku akan datang dan menuntut dia turun dari tahta yang bukan haknya!"

Takasima tak banyak bicara, dengan tertatih-tatih sambil pegangi dadanya yang sakit Takasima menurut pergi tinggalkan hutan tersebut. Namun belum juga kakinya jauh melangkah, tiba-tiba sebuah pedang berkelebat membabat lehernya.

"Craaaaassss...!"

"Aaaaaaaaaaaaaaa..,.!" Takasima memekik, sedangkan Jaka tersentak kaget.

Kedatangan bayang tersebut sungguh begitu cepat, dan sukar untuk diikuti. Kepala Takasima menggelinding, tubuhnya sejenak kaku dan akhirnya ambruk tanpa nyawa. Sementara orang yang membabatkan samurainya kini telah berdiri di hadapan Jaka. Orang tersebut menjura hormat. Seorang lelaki setengah baya, berpakaian merah dengan dekoratif naga. Itulah Naga Merah, orang yang telah menghilang sejak kekalahannya melawan Taka Nata. Naga Merah kembali berkelebat, cepat tanpa mampu dicegah. Kini Naga Merah berkelebat ke arah para Ninja Merah bertempur. Pedangnya bergerak cepat, menyerang Ninja Merah yang makin terdesak saja.

"Wuuuuuuaaa...!"

Setiap samurai Naga Merah berkelebat, saat itu pula nyawa Ninja Merah lepas dari raganya. Tak begitu lama, satu persatu Ninja Merah berguguran. Dalam waktu singkat semua Ninja Merah habis terbantai. Jaka bermaksud menanya siapa adanya Ninja Merah, namun orang tersebut telah mendahului pergi. Jaka hanya mampu terjengah, diam, memandang ke arah tujuan Naga Merah. Tujuan Naga Merah adalah kerajaan. Naga Merah rupanya telah tahu kalau Taka Nata kini menjadi Kaisar setelah menggulingkan Kaisar pertama.

ENAM

Jaka Ndableg merasa bahwa orang yang baru saja membantu menumpas Ninja Merah, tentunya mempunyai hubungan dengan para Ninja tersebut. Entah hubungan permusuhan, atau hubungan sebagai seorang yang bertugas membunuh setiap Ninja yang kalah. Jaka merasa perlu untuk menguntit orang tersebut, maka dengan segera setelah orang berpakaian merah dengan gambar naga itu pergi, Jaka pun berkelebat mengikutinya.

"Aku harus menjaga jarak." ucap Jaka dalam hati. Jaka berlari dengan agak lamban, ia sengaja ingin menjaga jarak antara dirinya dengan orang tersebut.

Sementara itu, para prajurit yang melihat kepergian Jaka menuju ke Kerajaan segera melaporkannya kepada Kaisar tentang dugaannya.

"Kami rasa, Pendekar itu hendak mengadakan pemberontakan pada Taka Nata."

"Mengapa kau berkata begitu, Perdana Mentri?" tanya Kaisar. "Barusan tadi, ia menyuruh pada Takasima untuk memberitahukan pada Taka Nata bahwa dirinya akan mengambil kembali tahta yang bukan hak Taka Nata. Namun Takasima keburu dibunuh."

"Dibunuh...?"

"Benar, Kaisar. Takasima mati dibunuh oleh Naga Merah." tutur Perdana Mentri. "Dan rupanya Naga Merah pun hendak bertujuan sama. Naga Merah pun hendak mengadakan pembalasan pada Taka Nata, Kaisar."

"Kalau begitu, kita segera ke sana!"

Perdana Mentri segera siapkan pasukannya, lalu dengan penuh kesiap siagaan mereka pun berangkat menuju ke kerajaan. Dalam hati mereka hanya ada satu pilihan, kembali merebut tahta, atau mati bersama-sama Pendekar Pedang Siluman Darah. Dan mereka merasa besar hati manakala mengingat bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah berada di pihaknya. Mereka sangat mengharapkan Pendekar tersebut mau mengambil kembali tahta kerajaan.

********************

Naga Merah yang tengah berlari, segera hentikan langkahnya manakala dirinya merasa ada yang mengikuti. Naga Merah segera sapu pandangannya, mencari orang yang tengah menguntitnya. Namun orang tersebut tiada nampak olehnya, padahal kini dirinya tengah berada di padang yang tiada berpohon. Hanya hamparan salju saja yang tampak memutih.

"Hem, siapa yang mengikutiku?" tanya Naga Merah dalam hati, lalu dengan acuh kembali Naga Merah pun meneruskan perjalanannya.

Jaka yang bersembunyi nampak tertegun, ia tahu kalau orang yang diikutinya sangat tajam pendengarannya. Jaka tidak ingin dirinya diketahui, maka Jaka pun membiarkan Naga Merah mendahului menuju ke kerajaan. "Hem, biarlah orang tersebut pergi, toh nanti aku akan dapat menemuinya di kerajaan."

Setelah dirasa orang tersebut telah jauh, segera Jaka pun melanjutkan perjalanan menuju ke kerajaan. Langkahnya begitu cepat, dengan harapan akan segera dapat menyusul orang itu. Bila orang itu benar-benar utusan Taka Nata, maka ia akan bertindak mendahului. Jaka tahu, kalau orang tersebut adalah mata-mata Taka Nata, pastilah keberadaan Kaisar akan segera dapat diketahui.

Sementara itu Naga Merah yang merasakan bahwa orang yang menguntitnya telah tiada lagi terus berlari menuju ke kerajaan. Hatinya dipenuhi oleh tanda tanya akan siapa sebenarnya orang yang mengikutinya tersebut. Kalaulah orang itu bermaksud jahat, tentunya orang itu akan dengan mudah membinasakannya, mengingat ilmu yang dimiliki orang tersebut jauh lebih tinggi. Kalau saja orang itu ilmunya macam miliknya, tentu Naga Merah akan mampu melihat keberadaan orang yang menguntitnya.

"Hem. siapakah orang tersebut?" tanya Naga Merah dalam hati masih terus berlari. Sedangkan jaraknya dengan jaka kini makin jauh saja,

Tiada berapa lama kemudian, Naga Merah pun sampailah di alun-alun kerajaan. Dirinya yang sudah lama meninggalkan dunia persilatan, kini tiada dapat dikenali lagi oleh para pasukan Ninja yang berlalu lalang hingga dengan mudahnya Naga Merah pun sampai pada tempat yang dituju yaitu Kerajaan Samurai Iblis. Mata Naga Merah memancang pada larikan tulisan Kanji yang mengukir di depan alun-alun kerajaan. Tulisan besar, dengan pahatan indah bertuliskan "KERAJAAN SAMURAI IBLIS"

"Taka Nata, ternyata engkau benar-benar berhasil. Tapi, tak akan lama kau memegang tampuk pimpinan kerajaan ini! Aku akan mengakhirinya." gumam Naga Merah dalam hati. Kakinya kini makin melangkah masuk, menapaki jalanan indah menuju ke istana, menjadikan perhatian para Prajurit Ninja Merah yang melihatnya.

Dan para prajurit penjaga istana pun mendatanginya seraya bertanya. "Adakah Tuan mempunyai tujuan hingga Tuan datang ke mari?"

Naga Merah tiada menjawab, hanya matanya saja yang terus tajam mengawasi ketujuh Ninja yang menanya. Dan tanpa diterka oleh para Ninja itu, dengan cepat Naga Merah cabut samurainya.

"Wuuuuutttt...!"

"Aaaah....!" ketujuh Ninja Merah memekik tertahan melompat mundur hindari serangan Naga Merah.

"Bajero! Serang...!" salah seorang mengomando.

"Hiiiiiaaaaatttt...!"

Ketujuh Ninja Merah itu pun dengan cepat menyerang dan mencoba merangsek Naga Merah dengan sabetan-sabetan samurainya. Namun Naga Merah bukanlah orang sembarangan. Sejak kekalahannya dengan Taka Nata, ia berusaha mendalami ilmu yang dimiliki oleh Tiga Naga Dari Gunung Fuji. Kitab yang berada di tangan Naga Biru kini telah lengkap ia kuasai. Naga Kuning adiknya, tak tertolong dan mati keracunan. Tekadnya hanya satu, membalas kematian adik-adik seperguruannya. Dan Naga Merah telah tahu, hanya bekal ilmu yang tinggi saja ia akan mampu mengalahkan Taka Nata si Iblis Nippon.

"Wuuuuuutttt!"

Naga Merah lompat ke samping, elakkan serangan samurai ketujuh Ninja Merah. Setelah berhasil mengalahkan serangan, dengan cepat Naga Merah pun babatkan samurainya ke arah lawan.

"Wuuuuuutttt...!"

"Trang !"

"Aaah...! Ninja Merah lompat mundur, lepaskan samurainya manakala samurai di tangannya bagaikan tersedok oleh Samurai Naga Merah. Namun belum juga para Ninja Merah itu hilang kejutnya, Naga Merah telah berhasil kembali babatkan samurainya.

"Wuuuuuuttt!"

"Aaaaaa...!" Dua orang dari ketujuh Ninja Merah tak mampu elakkan serangan. Samurai di tangan Naga Merah deras membabat tubuh keduanya. Dan tanpa ampun lagi, keduanya menggeliat lalu mati dengan perut terbeset samurai.

"Bajero! Pemberontak.,.!" salah seorang Ninja berteriak, hal itu menjadikan semua prajurit Ninja yang ada di sekitar tempat itu berdatangan. Mereka segera membantu Ninja-ninja Merah lainnya yang nampak terdesak. Jadilah Naga Merah kini dikeroyok oleh para prajurit Ninja.

"Wuuuuutttt...!"

Naga Merah sabetkan samurainya, dan berusaha menghindari serangan musuh yang datangnya bersamaan. "Kalian minggirlah! Aku tiada urusan dengan kalian, tapi aku berurusan dengan pimpinan kalian! Taka Nata, keluar kau bangsat...!"

"Bajero! Kau berani memaki raja kami!" balik Ninja Merah membentak, dan tanpa perdulikan Naga Merah, Ninja Merah pun kembali mengeroyok. Sabetan-sabetan samurai di tangan mereka makin ganas dan cepat.

Namun begitu Naga Merah bukanlah pendekar kelas kroco yang gentar menghadapi mereka, setiap babatan samurainya mampu mengundang jeritan kematian bagi yang terkena. Korban pun berjatuhan di pihak para ninja Merah. Tapi para Ninja Merah bagaikan tiada mengenal rasa takut, walau temantemannya banyak yang mati jadi korban kemarahan Naga Merah. Mereka pada umumnya telah disumpah, sehingga dalam benak mereka tiada kata takut barang secuil pun.

Naga Merah terus mencerca, berusaha membuat kematian musuhnya sebanyak mungkin. Tujuannya agar supaya Taka Nata mau menampakkan diri menghadapinya. Kini Naga Merah tiada memberi ampun bagi para Ninja tersebut, dia terus mengamuk membabi buta. Namun jumlah Ninja Merah bukannya berkurang, malah kini makin bertambah banyak saja.

Jaka Ndableg yang juga sudah sampai di situ, segera berkelebat membantu manakala dilihatnya Naga Merah tengah dikeroyok oleh NinjaNinja Merah. Pedang Siluman Darah yang sudah siap di tangannya menjadikan kematian bagi yang terbabat.

"Wuuuuuttt...!"

"Wuuuuaaaaaa...!"

"Aku bantu, Sobat! Kau telah membantuku, maka aku pun ingin membantumu sebagai balasannya!" seru Jaka pada Naga Merah dan terus berusaha menghalau para Ninja. Kini Ninja-ninja Merah benar-benar terdesak dengan kehadiran Jaka Ndableg. Pedang Siluman Darah di tangan Jaka sangat membahayakan, bila dibandingkan dengan samurai di tangan Naga Merah.

"Wuuuuutttt!"

Tiga Ninja Merah menyerang, namun dengan cepat Jaka mengelak, sikutnya menyodok Ninja yang di belakang, menjadikan Ninja yang terkena menjerit kesakitan. Bukan hanya sikut tangan, tapi tumit kakinya juga bagaikan seekor kuda menyepak orang yang di belakangnya.

"Dug!"

"Wadaaaaaauuuuu....!" Ninja Merah yang berada di belakangnya menjerit, tangan Ninja tersebut pegangi telur burung untanya yang bagaikan hendak meledak. Perutnya melilit-lilit mulas, dan orang itu pun berguling-guling menahan sakit.

Jaka terus berusaha mengelak, ditebaskannya Pedang Siluman Darah ke arah samurai lawan yang mengancam dirinya.

"Wuuuuuttt...!"

"Traaaannngg...!"

"Prak! Prak! Prak...!" tiga kali terdengar benturan senjata dan tiga kali itu pula terdengar senjata patah. Mata ketiga Ninja yang menyerangnya membeliak kaget, manakala melihat samurai di tangannya telah puntung menjadi dua. Belum juga ketiganya dapat sadarkan diri karena kaget, Jaka telah kembali babatkan Pedang Siluman Darahnya ke arah mereka.

"Wuuuuutttt...!"

"Cras, cras, cras!"

"Wuuuuuuuaaaa....!" ketiganya memekik, pegangi leher mereka yang hampir puntung. Ketiganya mengejang berdiri, lalu ambruk tanpa nyawa lagi. Darah tiada keluar dari luka-luka mereka, kering terhisap oleh Pedang Siluman Darah. Melihat rekannya mati, sepuluh Ninja menyerang ke arah Jaka.

"Wuuuuuuttttt....!" sepuluh samurai bareng menyerang, menjadikan Jaka mau tidak mau harus melompat mundur. Tapi belum juga tubuhnya ke belakang, lima orang Ninja yang berada di belakangnya sodokkan samurainya. Jaka lentingkan tubuh ke udara, hal tersebut menjadi fatal bagi penyerangnya. Kesepuluh Ninja dan lima rekannya saling serang.

"Wuuuuusss...!"

"Cras! Cras!"

"Bles! Bles!"

"Wuuuuuuaaaaaa....!" Lima orang Ninja saling tusuk, mata mereka mendelik saling pandang. Hal itu berjalan sesaat, sebelum kemudian kesepuluh Ninja yang saling tusuk itu ambruk tanpa memiliki nyawa lagi.

Pertarungan dua dikeroyok oleh ratusan Ninja Merah terus berjalan. Bersamaan makin ramainya pertempuran tersebut, nampak datang pasukan samurai pembela Kaisar dipimpin langsung oleh Perdana Mentrinya. Pasukan samurai itu langsung amprok bertempur dalam arena peperangan. Makin serulah pertarungan tersebut, kini jumlah mereka seimbang.

Taka Nata yang mendengar keributan di luar nampak menggeram marah. Dengan menyiapkan segala yang dimiliki, Taka Nata segera berkelebat ke luar menemui para pasukannya yang kini tengah bertempur dengan pasukan musuh.

"Bajero! Pendekar Tanah Jawa, aku menemuimu!" Taka Nata berseru menantang, manakala dilihatnya Jaka Ndableg ada di antara prajurit Ninjanya.

Jaka Ndableg nampak tengah mengamuk, sehingga hampir setiap sabetan Pedang Siluman Darahnya membuat Ninja-ninja Merah meregang nyawa dan mati dengan darah mengering. Hal tersebut mampu membeliakkan mata Taka Nata. Ia selama menjadi Pendekar baru kali ini menemukan senjata aneh, sebuah senjata yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Dan yang lebih aneh, dari ujung pedang itu mengeluarkan darah membasahi batangnya.

"Pedang aneh! Sungguh benar apa yang dikabarkan rekan-rekanku di Tanah Jawa, bahwa Pendekar ini mempunyai pedang aneh yang mampu mengeluarkan darah. Tapi aku tidak takut, sebab aku memiliki samurai Iblis yang mampu membunuh dengan asap. Hiiiiiiiiaaaattt...!"

Jaka Ndableg tersentak, manakala dirasakannya sebuah sabetan pedang di atas kepalanya. Segera Jaka rundukan tubuhnya mengelak.

"Wuuuuuutttt...!"

Jaka Ndableg sabetkan Pedang Siluman Darah ke atas, tangkis serangan yang menyerangnya. Taka Nata rupanya tidak ingin mengadakan bentrokan pedang dengan Jaka, sehingga dengan cepat Taka Nata tarik kembali serangannya.

"Kau rupanya muncul juga, Taka Nata?"

"Hu, ha, ha...! Tak akan ada orang yang mampu mengalahkan aku! Akulah pendekar nomor wahid di dunia ini.,.!"

"Sombong!" Jaka menggertak.

"Kau Pendekar Jawa, apa hakmu ikut campur dalam urusan ini!"

"Aku berhak!" jawab Jaka. "Kau dan rekanmu telah membuat Tanah Jawa membara! Kau tiada lebihnya Iblis!"

"Bajero! Aku bunuh kau, hiiiiiiiaaaatt...!"

"Wuuuuuutttt....!"

Taka Nata sebatkan Samurai Iblisnya, dan dari sabetan tersebut keluar asap bergulung-gulung menyerang ke arah Jaka. Jaka Ndableg telah siap menghadapinya, segera Jaka pun kebaskan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Duuaaar!"

Dua kekuatan yang terpancar dari dua pedang bertemu, menjadikan ledakan hebat yang mampu mengguncang tanah di situ. Tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Taka Nata kembali dengan cepat kebatkan Samurai Iblisnya.

"Wuuuuutttt!"

"Wuuuuuutttt!"

Jaka Ndableg pun tak mau kalah, Pedang Siluman Darah berkelebat memapakinya. Dan seperti pertama, kembali terdengar suara ledakan manakala dua kekuatan itu kembali bertemu. Kedua pendekar beda haluan itu terus saling serang, sukma Ratu Siluman Darah dan Sukma Iblis Pranutu masuk ke dalam pedang mereka. Dan manakala pedang tersebut saling bertemu, tiba-tiba kedua pedang itu terbang dan lepas dari tangan keduanya. Keduanya tiada hiraukan, keduanya kini terlibat perkelahian tangan kosong tanpa senjata di tangan masing-masing.

Taka Nata ajukan jotosan ke muka, dengan jurus Musang Mencuri Ayam. Gerakan pukulan Taka Nata begitu cepat, licik dan ganas. Jaka tersentak, coba tepiskan serangan tersebut dengan jurus Kucing Menangkap Tikus.

"Hooop!"

"Hiiiiiaaa...!"

"Plek! Tap...!"

Jaka berhasil menangkap tangan Taka Nata, namun Taka Nata dengan cepat kibaskan tangannya yang tertangkap dengan jurus Musang Menjerat. Tangan Taka Nata bergerak cepat, sepertinya membuat jerat yang sukar dimengerti. Tangannya bergerak lurus, lalu tibatiba menyeruak ke muka Jaka. Hal itu tidak terduga sama sekali oleh Jaka, sehingga Jaka pun tersentak lompat mundur lepaskan tangan yang tergenggam.

Merasa serangannya berhasil, Taka Nata melipat gandakan serangan selanjutnya. Kini bukan jurus ringan lagi, akan tetapi jurus yang mematikan dikeluarkannya dalam usahanya segera menghentikan pertarungan dengan Jaka Ndableg. Jaka tersentak berusaha mengelak, namun !

"Hiiiiiaaaattt!"

"Wuuuuuttt!"

Tangan Taka Nata yang membentuk cakaran harimau merangsek ke muka Jaka. Dan  hal tersebut sukar sekali untuk dihindari Jaka, sehingga tanpa ayal lagi mukanya jadi sasaran. Beruntung Jaka masih bisa mengegoskan muka, sehingga hanya dadanya yang terkena cakaran tersebut. Mata Jaka membeliak marah, dan benar-benar Jaka kini marah demi melihat darah merembes dari luka di dadanya.

"Bangsat! Hiiiiiaaaattt....!" Jaka menggerang, dan dengan marahnya berkelebat menyerang. Jurus Elang Mengepak Sayap, Menyambar Mangsa, juga Mencakar Ayam terus dilancarkan berganti-ganti. Hal itu menjadikan Taka Nata kini yang kedodoran.

"Wuuuuttt...!"

"Plak...!"

Taka Nata dengan Harimau Menerkam Mangsanya berhasil menepiskan tangan Jaka yang mencercanya. Jaka kini benar-benar marah karena merasa serangannya tiada berhasil, dan kemarahannya dilampiaskan dengan ajian Banyu Geninya.

"Wooooooaaaarrrrr...!" suara Jaka menggelegar, menjadikan orang yang berada dekat dengannya mau tidak mau harus menutup telinganya. "Dewa Geni... Dewa Geni...!" Dalam sekejap saja tubuh Jaka telah berubah ujud. Tubuh Jaka yang tadinya mulus dan tampan, kini tertutup oleh kobaran api yang menyala-nyala.

Taka Nata tersentak, melompat mundur ke belakang. Sementara di udara nampak dua sinar tengah mengadakan pertarungan. Dua sinar yang satu putih perak dan yang lainnya kuning kemerah-merahan. Dua senjata tersebut kini dalam keadaan siap serang.

Seperti pemiliknya, Ratu Siluman Darah telah terhempas oleh serangan yang dilancarkan oleh Iblis Pranutu yang menghuni Samurai Iblis. Ratu Siluman Darah begitu marahnya, sehingga kini Pedang Siluman Darah benar-benar makin memerah saja nyalanya.

Dua senjata sakti itu saling serang, seperti apa yang kini dilakukan oleh pemiliknya. Dua senjata sakti kini melayang, keluarkan sinar dari ujungnya. Ratu Siluman Darah kini benar-benar murka hingga ajian intinya menggelegar menyerang ke arah Samurai Iblis. Tanpa ampun lagi. Samurai Iblis yang dihuni Iblis Pranutu pun seketika meledak.

"Duuuuuuuuaaaaaarrrr...!"

Seketika semua yang tengah bertarung hentikan pertarungan dan tengadahkan mata ke atas. Suara ledakan itu begitu kerasnya, sehingga mampu mengejutkan semuanya. Tampak larikan sinar putih melesat tinggalkan Samurai Iblis. Itulah yang sebagai tanda bahwa Iblis Pranutu telah menghilang. Namun Pedang Siluman Darah seakan tiada menghendaki musuhnya kabur begitu saja. Pedang Siluman Darah terus melesat memburu Samurai Iblis.

"Sroooooottt...!" Dari ujung Pedang Siluman Darah keluar sinar menyerang ke arah Samurai Iblis.

"Duuuuuuuaaaarrr...!" kembali ledakan terdengar menggelegar.

"Wuuuuuaaaaa!"

Bareng dengan hancurnya Samurai Iblis, saat itu juga Jaka Ndableg yang telah menjadi Dewa Api berhasil hantamkan Inti Apinya ke arah tubuh Iblis Taka Nata yang telah berubah ujud menjadi Makhluk Setengah Manusia. Api membakar muka Taka Nata yang berbentuk mengerikan itu, menjadikan Taka Nata tak mampu mengelakkannya. Namun walaupun begitu, Taka Nata nampak masih bertahan.

"Swiiiiiitttt!"

Pedang Siluman Darah yang telah berhasil membinasakan Iblis Pranutu melayang ke bawah menuju ke arah Jaka. Dengan segera Jaka, pun menerimanya.

"Tap!"

"Terimalah akhir dari gentayanganmu, Iblis!" Jaka Ndableg tanpa hiraukan Taka Nata yang masih mengerang-erang kesakitan segera kembali berkelebat. Tangannya telah siap dengan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuuutttt!"

Taka Nata yang masih mengerang kesakitan dengan api Inti melalap mukanya tak mampu mengelakkannya, hingga...

"Craaas!"

"Wuuuuuuaaaaa...!" Taka Nata memekik, kepalanya puntung dan menggelinding ke salju yang membawanya mengalir terus dan jatuh ke dalam jurang tak jauh dari mereka bertempur.

Jaka Ndableg angkat tubuh Taka Nata dan membawanya menuju ke kerajaan di mana para prajurit Ninja masih melakukan perlawanan. Perang masih berlangsung seru, korban terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Dengan cepatnya kematian menggema, manakala Samurai-samurai itu saling bertemu. Jaka Ndableg dengan menggunakan ilmu larinya terus melaju menuju ke kerajaan, Dan manakala sampai di kerajaan, dengan segera Jaka naik ke atas mimbar.

"Lihaaaaattt...! Lihaat oleh kalian! Ketua kalian telah mati! Apakah kalian semua masih terus ngotot...?!" Diangkatnya tubuh Taka Nata tinggi-tinggi, dan seketika itu juga semua mata tertuju ke podium.

Perang berhenti, para Ninja Merah kini benar-benar tercekam rasa takut. "Apakah kalian ingin seperti ketua kalian ini?" Jaka lemparkan tubuh tanpa kepala Taka Nata ke tengah-tengah arena pertempuran. Kini mereka semua benar-benar menyadari bahwa mereka bukan tandingan Pendekar Muda itu. Tanpa diperintah, keseluruh Ninja Merah akhirnya menekuk lutut menyerah. Dan hari itu juga Kaisar kembali diangkat untuk menduduki tahta yang telah ternoda oleh Taka Nata.

"Hidup Pendekar Tanah Jawa!"

"Hidup Jaka Ndableg!"

Rakyat bukannya mengelu-elukan Kaisarnya, malah sebaliknya mereka mengelu-elukan Pendekar yang kini menjadi pahlawan. Rakyat tahu kalau tidak ada Pendekar Muda Jaka Ndableg, tentunya Kekaisaran masih berada di tangan Taka Nata si Iblis Nippon yang kejam.

********************

Esok paginya, Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah minta pamit untuk kembali mengelana. Dengan diantar oleh sang Kaisar sendiri serta para pejabat pemerintah, Jaka diarak menuju ke pantai untuk meneruskan kembali perjalanannya dalam mengembara menegakkan keadilan dan kebenaran.

"Kalau kau memang ingin datang, berkunjunglah ke kerajaan, Tuan Pendekar." pinta sang Kaisar. "Kami sungguh akan terus mengenang jasamu. Kami akan selalu menganggapmu sebagai saudara yang baik. Jangan lupa, sampaikan kepada Raja Tanah Jawa, aku sampaikan terimakasih yang tiada terhingga atas bantuannya."

"Ah, sudah menjadi tugasku, Kaisar."

Meimora nampak masih dalam pelukan Jaka, sementara mata Meimora masih menitikkan air mata. Meimora menangis, sedih karena ia harus berpisah dengan orang yang dicintai "Jakaaaa....?"

Pandangan mata Meimora, menjadikan Jaka dan semua orang menjadi haru. Mereka benar-benar trenyuh melihat Meimora. Perlahan Jaka sapukan jemari ke mata lentik gadis malang itu, lalu dengan suara serak menahan tangis Jaka berkata:

"Meimora, bukankah kita masih akan dapat bertemu?"

Meimora mengangguk. "Kalau kau ingin berkunjung ke Tanah Jawa, mintalah pada Tuan Kaisar untuk mengantarkanmu," Jaka menambahkan, seraya memandang pada Kaisar yang tersenyum mengangguk.

"Benar, Nona. Dan mulai saat ini, engkau aku angkat menjadi anakku, karena kau banyak jasanya padaku."

Suka ria hati Meimora, namun ia lebih suka bila Jaka harus menetap di Tanah Nippon untuk selalu menemaninya. Kenangan di hutan selalu menempel lekat di kelopak matanya. Masih teringat manakala Jaka membelai rambutnya mesra.

"Jaaaaakkkkkaaaaa...!" Meimora tak dapat membendung tangisnya, dipeluknya Jaka dengan erat, menjadikan Jaka terdiam trenyuh tak mampu berkata. "Kau milik orang banyak! Kau bukan milikku seorang, Jaka. Tapi kau dengarlah, aku mencintaimu."

"Terimakasih, Mei."

"Pulanglah ke Tanah Jawa, sebab di sana masih banyak tugas yang harus engkau selesaikan. Terimalah ini, ini sekedar kenang-kenangan dariku. Bila kau ingat aku, maka bukalah dan bacalah syair tersebut."

Disodorkannya selipatan kertas bertuliskan bahasa Jawa. Entah dari siapa Meimora memahami tulisan Jawa, yang pasti di kertas itu tertulis tulisan Jawa, bukan tulisan huruf Kanji. Dengan perlahan-lahan Jaka membukanya, dan dibacanya larikan puisi yang tertera:

Cinta itu datang, begitu indah.
Aku sadar, kalau aku memang mencintaimu.
Namun aku juga sadar, bahwa kau milik orang banyak.
Bunga-bunga cinta akan aku sirami, meski sang kumbang jauh.
Jaka, Temaram hijau hutan belantara, adalah saksi kebisuan yang akan mengenangkanmu padaku, juga diriku padamu.
Aku hanya berucap, Selamat Berjuang!

Meimora.


Jaka kembali melipatnya, ada segores rasa syahdu menghanyut di pelupuk matanya. Tanpa sadar didekapnya erat tubuh Meimora, yang menerimanya dengan pasrah. Dipandanginya wajah Meimora, dan tanpa malu-malu dikecupnya bibir sang gadis yang seketika itu merona merah pipinya. Dibisikannya untai kata mesra di telinga sang gadis.

"Aku akan selalu mengingatmu, Mei?" Mesra suara Jaka terdengar di telinga Meimora.

"Jaga dirimu baik-baik," hanya itu yang mampu dikeluarkan oleh Meimora.

Jaka hanya menganggukinya. "Tuan Kaisar, aku titip dia."

"Aku aku perhatikan, Tuan Pendekar," jawab Kaisar.

Setelah menyalami semua yang ada di situ, Jaka Ndableg pun segera naik ke atas perahu yang telah disiapkan oleh penduduk untuk dirinya. Dilambaikannya tangan, yang dibalas dengan lambaian kagum bercampur sendu oleh rakyat Nippon. Perahu pun melaju, manakala tangan Jaka yang kokoh mendayung.

"Jaaaaaaaakkkkaaaaaaa.....!" Meimora berseru.

Jaka palingkan muka ke arah suara Meimora, lalu dengan perlahan dilambaikannya tangan setelah tangannya sendiri dikecupnya untuk menyatakan rasa cinta.... Perahu terus melaju, jauh dan makin jauh meninggalkan kerajaan

T A M A T

DAFTAR CERSIL LAINNYAPEDANG SILUMAN DARAH