Ratu Maksiat Telaga Warna - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Ratu Maksiat Telaga Warna
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

TUBUH tua renta dengan pundak memanggul sesosok tubuh seorang gadis itu, nampak berlari dengan cepatnya laksana seekor kijang yang muda. Sekali-kali melompati sungai, sepertinya tubuh nenek tua itu terbang bukannya melompat. Dan kali lebar itu pun dengan mudah dilangkahinya hanya dengan sekali genjot. Tubuh itu terus berlari dan berlari, yang terkadang mendaki bukit lalu menuruninya.

"Anak itu harus aku tolong! Anak inilah yang dimaksudkan oleh mimpiku," nenek tua renta itu terus bergumam sendiri. "Ya, anak ini kudapat seperti apa yang tersirap dalam mimpiku. Anak ini pingsan akibat serangan kakaknya. Ah, sungguh-sungguh aku bagaikan tak bermimpi. Sepertinya aku ini benar-benar mengalami kenyataan."

Tubuh gadis dalam gendongannya, sama sekali tidak bergerak dalam pingsannya. Gadis itu tidak segera sadar, sepertinya ia benar-benar mengalami goncangan jiwa yang kuat, yang menjadikan dirinya lemah. Gadis itu yang tak lain Ningrum, yang secara tiba-tiba lenyap. Ternyata kelenyapannya karena diambil oleh sang nenek sakti tersebut.

Ningrum memang terkapar pingsan sewaktu kakaknya Tegalaras bentrok dengannya. Ningrum yang waktu itu dalam pengaruh Dewi Lanjut Ayu, seketika terkulai lemas dihantam oleh ajian yang dilontarkan Tegalaras. (Baca Penguasa Bukit Karang Bolong)

Si nenek terus berlari, makin jauh dan jauh meninggalkan Bukit Karang Bolong ke sebuah tempat yang terpencil. Dan manakala sampai pada sebuah telaga, nenek itu pun menghentikan larinya. Telaga itu begitu indah, warnanya beraneka ragam, bak warna pelangi.

Menurut dongeng, Telaga itu dulu untuk mandi para bidadari dari khayangan. Dan ketika salah seorang bidadari kehilangan permatanya, menangislah sang bidadari karena tak mampu kembali ke Khayangan. Air matanya itulah yang menjadikan air telaga itu berwarna, ditambah lagi dengan permata-permata yang terkandung di dalamnya.

Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, dengan tubuh ringan si nenek pun melompat ke tengah-tengah telaga yang ada di situ sehampar tanah dengan gubug reot di tengahnya. Tanah itulah tempat kediaman si nenek. Maka karena bertempat tinggal di tengah telaga, nenek itu pun bergelar Nenek Sakti Peri Telaga Warna.

Nenek itu sebenarnya seorang tokoh silat yang pernah kondang namanya. Ia merupakan seorang pendekar wanita yang beraliran sesat, yang memiliki ilmu-ilmu iblis. Dulu ketika masa jayanya, si nenek merupakan tokoh silat yang paling ditakuti karena ketelengasannya dalam bertindak. Ilmu racunnya sungguh tiada yang dapat menandingi, bernama Ilmu Selaksa Racun. Maka karena kehebatan racun tersebut, si nenek pun mendapat sebutan Iblis Racun Telaga Warna, di samping sebutan yang pertama sebagai Nenek Sakti Peri Telaga Warna. Entah apa mulanya, tahu-tahu si nenek yang tadinya beraliran lurus itu membelot pada aliran sesat.

Nenek Iblis Racun nampak sibuk sendiri. Ia nampak bolak balik ke tempatnya dan keluar untuk mencari daun dan akar-akaran yang dapat dijadikan obat. Tubuh nenek itu melesat bagaikan terbang, mencelat menyeberangi telaga dan dengan kedua kaki ringan berhenti menclok di atas sebuah cabang pohon. Matanya yang tajam memandang bagaikan mata burung elang, sepertinya ingin mengawasi keadaan sekelilingnya.

"Hem, aku bingung harus mencari daun dan akar-akaran itu. Aku tak menemukan daun dan akar-akaran di tempat ini," guman si nenek seakan putus asa. "Apakah aku harus kembali ke Bukit Karang Bolong untuk mencari dedaunan itu dan sekaligus menunjukkan diriku pada khalayak ramai?"

Nenek itu masih saja tercenung bingung. Ia bingung harus berbuat apa. Kalau ia harus kembali menuju ke Bukit Karang Bolong, setidaknya ia akan bertemu dengan masyarakat. Sedangkan si nenek sendiri merasa enggan bila harus bertemu dengan massa yang telah mengetahui siapa adanya dirinya. Setidaknya kehadirannya kembali ke dunia persilatan akan mengundang para musuh-musuhnya datang dan mencari-cari dirinya lagi. Tapi bila ia tidak mencari daun dan akarakaran tersebut, maka nyawa seorang gadis yang kelak akan menjadi muridnya harus melayang.

"Ya, apa pun resikonya, aku harus mencari obat-obatan tersebut."

Tubuh si nenek pun kembali melompat turun, lalu dengan langkah bagaikan seekor kijang, si nenek berlari melintasi hutan belukar dengan harapan kedatangannya tidak diketahui oleh orang-orang yang menjadi musuh-musuhnya. Tubuh si nenek terus melesat, tiada henti ia berlari. Sepertinya si nenek sangat memburu waktu. Waktu baginya merupakan segala keputusan. Terlambat saja ia menolong, maka tak ayal lagi nyawa Ningrum akan melayang.

Demi mengingat hal itu, maka si nenek tak hiraukan kaki-kakinya terseret oleh semak dan tusukan duri-duri yang tajam. Ia juga tak hiraukan oleh semak yang menghalanginya, atau pun suara-suara binatang liar berserabutan lari pontang panting mendengar suara angin larinya. Tekadnya hanya satu, mencari obat-obatan untuk sang gadis calon murid tunggalnya.

Ya, selama ia menjadi seorang pendekar, ia belum pernah sekali pun mengangkat seorang murid. Walau nama besarnya telah malang melintang, namun karena dirinya selalu mengembara maka tak seorang pun manusia diangkat olehnya menjadi murid. Dan manakala ia mengasingkan di Telaga Warna itulah maka ia mendapat wangsit untuk mengangkat Ningrum sebagai muridnya.

Sebenarnya si nenek hendak mengangkat Ningrum menjadi murid sejak lama, sebelum Ningrum terdampar oleh kenistaan akibat diperkosa Tiga Hantu Kelangit atas suruhan Rengkana. Namun untuk memintanya secara terus terang pada Pramana, jelas ia tidak berani sebab ia tahu sendiri siapa adanya Pramana. Pramana adalah tokoh persilatan beraliran lurus, yang sangat menentang para aliran sesat. Maka sudah dapat dibayangkan bagaimana bila dirinya meminta pada Pramana secara terus terang. Bukannya akan menimbulkan kebaikan, malah mungkin akan menimbulkan bentrokan berdarah.

Sebenarnya si nenek mudah saja menghadapi Pramana, asalkan Pramana tidak memiliki pedang pusaka Sukma Layung. Ya, dengan pedang pusaka Sukma Layungnya Pramana akan mampu menghadapi tokoh-tokoh persilatan aliran sesat. Jangankan diri si nenek, Datuk Raja Karang yang merupakan tokoh sesat yang ditakuti saja harus mengakui keunggulan Pramana. Memang bila dibandingkan dengan ilmu Datuk Raja Karang, si nenek berada setingkat di atasnya. Karena terkait oleh aturan golongan saja, menjadikan keduanya tak dapat saling menjajagi ilmu mereka.

Kini gadis itu telah berada di tangannya, maka sebisa-bisanya ia harus mampu menolong nyawa si gadis. Jalan satu-satunya ia harus mampu mencarikan obat-obatan dari pohon Lempuyang Sakti. Sebuah pohon obat-obatan yang sangat aneh. Lempuyang itu hanya ada dalam sekali bulan purnama. Dan biasanya banyaklah orang yang berdatangan ke Bukit Karang Bolong untuk mencarinya. Tidak mungkin tidak, maka nantinya pun si nenek harus menghadapi orang-orang yang juga menghendaki Lempuyang Sakti tersebut.

Nanti malam adalah malam bulan purnama, maka tepatlah waktunya di mana Lempuyang Sakti akan menampakkan diri. Dan hal itu rupanya sudah diperhitungkan oleh si nenek. Entah mengapa, yang jelas kesemuanya seakan bertepatan. Runtuhnya Penguasa Bukit Karang Bolong, tepat waktunya ketika hendak menginjak bulan purnama, sehingga si nenek tak lama-lama menunggu untuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

"Biarlah kehadiranku di dunia persilatan diketahui oleh mereka, asalkan aku mampu mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut," si nenek berkata sendiri. "Aku tak akan mengijinkan siapa pun untuk dapat memiliki Lempuyang tersebut."

Langkah larinya makin dipercepat, seakan si nenek benar-benar tak ingin Lempuyang Sakti itu dapat dikuasai oleh orang lain, selain dirinya. Si nenek terus menyelusuri hutan, sengaja ia tidak ingin dirinya lebih dini dikenal oleh orang. Ia nampak begitu terburu, sehingga ia lupa untuk mengenakan topeng buat menjaga dirinya supaya tidak dikenal oleh orang. Tapi sudah terlambat, dan ia harus mau tak mau menunjukkan mukanya.

Muka yang sudah sangat dikenal benar oleh para kawan dan lawannya. Muka yang menggambarkan akhir kejayaannya, di mana sebuah goresan lebar membuat mukanya yang dulu cantik harus cacat. Bila ingat itu semua, kembali ia pun teringat pada seorang pendekar yang tengah menjadi buah bibir. Pendekar tersebut wajahnya benar-benar mirip dengan orang yang dulu pernah dicintainya, namun bahkan merusak mukanya. Orang tersebut tak lain si Eka Bilawa.

"Siapakah adanya pendekar muda itu?" tanya hati si nenek manakala dulu ia pernah melihat Jaka. "Wajahnya sungguh mirip dan sama dengan Eka Bilawa. Adakah ia mempunyai tali ikatan? Atau barangkali ia titisan Eka Bilawa? Ah, tak mungkin Eka Bilawa menitis pada seseorang. Tapi, bukankah Eka Bilawa kekasih siluman?"

Sebenarnya dugaan si nenek Iblis Racun benar adanya, bahwa Jaka Ndableg memang keturunan Eka Bilawa, dialah anak satu-satunya Eka Bilawa. Seorang lelaki yang sangat dicintainya, namun telah menggores hatinya dengan luka. Luka karena cintanya bertepuk sebelah tangan, juga luka nyata yang mengukir mukanya hingga menjadi buruk dan tak secantik dulu.

********************

Hari telah berganti dari siang menjadi sore manakala si nenek sampai pada tempat yang dituju. Panorama di pinggir pantai Bukit Karang Bolong nampak indah, hal itulah yang sering mengundang para orang-orang persilatan untuk menikmati keindahan alam sekaligus mencari Lempuyang Sakti. Keindahan Bukit Karang Bolong sempat hilang dan berganti dengan misteri yang mengambil korban nyawa seseorang manakala dalam genggaman Datuk Raja Karang dan istrinya. Juga manakala dalam genggaman Setan Rambut Putih dan Ningrum, yang kini dalam kuasa si nenek Racun Iblis.

Samar-samar dari arah yang berlawanan dengan si nenek beberapa orang berdatangan, juga dari arah lainnya. Mereka setelah hilangnya Setan Rambut Putih dan Ningrum, kembali dengan keberanian mereka bermaksud mencari Lempuyang Sakti. Memang pohon itu sangat berguna sekali bagi mereka. Pohon itu mampu menyembuhkan segala penyakit, baik itu oleh keracunan, maupun luka-luka akibat bertarung.

Bila pohon Lempuyang Sakti berada di tangan mereka, niscaya mereka akan menjadi seorang yang tahan terhadap segala macam racun. Itulah mengapa mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan pohon tersebut, walaupun mereka harus membuang nyawa untuk bersaing memperebutkan Lempuyang Sakti.

Si nenek segera sembunyikan dirinya, manakala rombongan-rombongan itu makin dekat ke arahnya. Rombongan-rombongan yang terdiri dari enam rombongan, ternyata merupakan rombongan orang-orang persilatan. Dari arah Timur, nampak rombongan Naga Sakti, disusul oleh rombongan Bangau Putih. Keduanya merupakan perguruan persilatan aliran lurus. Naga Sakti dipimpin oleh ketua tiganya yang bernama Sukala Kerta atau Naga Biru. Sedangkan dari Bangau Putih dipimpin oleh Atmaka Bisku atau Pendekar dari Bangau Emas.

Dari arah Selatan, nampak dua rombongan yang terdiri dari Perguruan Sangsak Layang, dan perguruan Bengkek Moyang.  Dua perguruan itu merupakan dua perguruan yang dipimpin oleh dua kakak beradik dari Nanking. Kedua kakak beradik Pendekar China tersebut, datang ke Pulau Jawa semata ingin berguru pada seorang tokoh silat yang berilmu tinggi bernama Andika Budha, yaitu seorang pendeta.

Namun di balik kesemuanya, ternyata mereka berdua memendam keinginan yang lain. Maka manakala keduanya telah mampu menguasai ilmuilmu yang diwariskan oleh Andika Bhuda, dengan tanpa mengenal kasihan keduanya menghukum sang Pendeta. Dan sejak saat itu, kepemimpinan perguruan pun berada di tangan keduanya.

Dasar keduanya orang-orang yang serakah, tak berapa lama kemudian keduanya pun terjadi silang sengketa yang isinya hanyalah memperebutkan kedudukan sebagai ketua utama. Namun nampaknya kedua pendekar China itu masih mempunyai rasa persaudaraan, sehingga keduanya tak menghadapi perpecahan tali persaudaraan. Keduanya sepakat untuk menjadikan dua bagian perguruan tersebut, dan jadilah perguruan itu menjadi dua.

Yang satu bernama Sangsak Layang, sementara yang lainnya bernama Bengkek Moyang. Nama-nama itu diambil dari nama kedua pimpinannya. Kedua pimpinan yang merupakan pendekar China, yang seorang bernama San-Ak-Siong, sementara yang satunya Beng-IkMo-Ang. Namun karena lidah orang Jawa sukar untuk menyebutkan nama-nama mereka, jadilah mereka menyebutnya Sangsak Layang dan Bengkek Moyang.

Sementara dari arah Utara, nampak serombongan orang-orang yang terdiri dari kaum wanita adanya. Rombongan tersebut tak lain dari perguruan, Srigala Betina. Sebuah perguruan yang sangat berhaluan aneh. Perguruan tersebut tak menentu kedudukannya. Bila dirasa aliran lurus yang dapat membantu mereka, ya, mereka akan mengikuti segala yang diperintahkan oleh aliran lurus. Namun, bila aliran sesat yang dianggap mampu melindungi mereka, sudah pasti mereka akan memihak ke aliran sesat. Maka karena sifat mereka begitu, mereka pun mendapat sebutan sebagai perserikatan orang plinpan dan tak mempunyai prinsip hidup.

Sementara dari arah Barat, di mana si nenek Racun Iblis datang, nampak serombongan orang yang juga datang dan menuju ke Bukit Karang Bolong. Mereka tak lain dari Perguruan Pelangi Putri, yaitu sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang wanita yang mengaku namanya sebagai Bidadari Pelangi Sakti. Memang kesaktian Bidadari Pelangi Sakti bukanlah isapan jempol belaka, ditunjang oleh sebuah kerajaan yang rajanya adalah suami sang Bidadari, makin kuatlah kedudukan Perguruan Pelangi Sakti. Para anggotanya juga bukan orang-orang sembarangan, di dalamnya ada beberapa tokoh persilatan yang sudah banyak makan asam garam kehidupan.

Di antara yang saat itu ada Sumogung atau Pendekar Kipas Emas, Asmoro Lukito atau Pendekar Tongkat Tengkorak, juga Sedya Kamayit atau Pendekar Tanduk Menjangan Merah. Orang yang paling akhir inilah yang beruntung dapat memiliki Tanduk Menjangan Merah, sebuah senjata sakti dari tanduk menjangan yang berwarna merah menyala. Senjata tersebut, mampu menghancurkan apa saja termasuk Bukit Karang Bolong yang nampak kokoh.

Orang-orang tersebut makin mendekat, menuju ke sebuah tempat di sekitar Bukit Karang Bolong. Tempat tersebut tak jauh dari sebuah pondok yang sudah tiada berpenghuni. Pondok tersebut dulu digunakan oleh Ningrum dan Setan Rambut Putih untuk menggerakkan anak buahnya manakala mereka menjadi Penguasa Bukit Karang Bolong. Kini orang-orang tersebut makin mendekat, lalu mereka dengan tanpa saling tegur sapa duduk bersilah mengelilingi sebuah pohon lontar besar, yang di sampingnya berdiri pohon beringin yang tidak kalah besarnya.

Si nenek nampak meragu sehingga ia terdiam di persembunyiannya. Ia nampak berpikir keras, bagaimana sebaiknya yang harus ia lakukan. Bila dirinya menampakkan diri, secara langsung akan membawa kesusahan bagi dirinya untuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

"Hem, aku ada akal!" pekiknya dalam hati. "Biarkan mereka bertarung. Dan manakala mereka bertarung, sudah pasti mereka akan tak hiraukan kedatanganku."

Mata sang nenek yang tua itu memandang tiada kedip ke dua pohon yang tengah mereka semua kelilingi. Dua pohon yang sungguh dikeramatkan oleh para tokoh persilatan karena mampu mengeluarkan Lempuyang Sakti. Mata tua itu, sesaat memandang satu persatu pada orang-orang yang ada di situ.

"Sungguh mereka bukanlah orang-orang sembarangan!" batin si nenek. "Mereka tak lain tokoh-tokoh persilatan yang tak boleh dianggap enteng. Seperti kedua pendekar China itu, mereka adalah murid-murid Andika Bhuda yang ilmu kesaktiannya sudah menggempar dunia persilatan. Lalu pendekar dari Pelangi Sakti, mereka bertiga juga bukan pendekar kelas kripik. Huh, kalau aku harus menghadapi mereka, sungguhpun aku mampu, namun aku harus menguras seluruh tenagaku untuk dapat mengalahkannya."

Waktu terus memacu, berganti dari sore menjadi malam. Si nenek masih terus bertengger di atas cabang sebuah pohon yang letaknya agak jauh dari tempat mereka berkumpul. Nampak mata mereka terpejam, seakan mereka tengah melakukan do'a. Ya, mereka memang tengah melakukan do'a untuk supaya mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

Angin Laut Kidul berhembus, menerpa tubuh-tubuh diam dalam hening. Rasa dingin menggigil menyentak tulang sungsum di tubuh mereka semua, tetapi sepertinya mereka tak hiraukan. Mata mereka masih tertutup, rapat seakan tak ingin menghilangkan bayangan keberhasilan.

Ketika hari telah larut, dan manakala rembulan purnama telah seatas kepala yang menjadikan bayangan mereka jauh lebih pendek dari yang sebenarnya, nampak sinar menyala terang berwarna merah keluar dari akar-akar pohon lontar di depan mereka. Bagai terbangun dari tidur, mata mereka seketika memanah ke arah sinar tersebut. Tak luput juga mata si nenek. Mata itu memandang kaget ke arah datangnya sinar.

"Inikah Lempuyang Sakti itu?" gumam hati si nenek takjub.

"Lempuyang Sakti...!" semua yang ada di situ memekik.

Serentak semuanya loncat berdiri dengan mata tak pindah dari tempat datangnya sinar membara. Angin menerpa tubuh mereka makin kencang, sehingga tubuh si nenek yang berada di atas pohon nampak bergoyang-goyang seirama dengan ayunan gerak pohon. Angin terus menderu-deru, sepertinya hendak menerbangkan apa saja yang berada di situ.

Dan memang benar, orang-orang yang berilmu jauh di bawah, langsung melesat tertiup angin. Orang-orang tersebut menjerit-jerit minta tolong, namun tidak seorang pun yang mampu menolong mereka. Orang-orang itu sendiri tengah menghadapi maut yang akan merenggut nyawa mereka bila mereka tidak waspada.

Bersamaan dengan makin membesarnya angin tersebut, makin bertambah pula sinar merah yang menyala. Tanah di sekitar tempat itu membongkah, retak dan pecah. Dari dalam pecahan tanah, muncul sesosok tubuh tinggi besar dan menyeramkan berbareng dengan munculnya Lempuyang Sakti yang berada di depannya.

"Hua, ha, ha...! Apakah kalian semua ingin memiliki Lempuyang Sakti ini?" tawanya membahana, menjadikan alam yang seketika itu hening pecah seketika. "Kalian boleh memilikinya, asalkan kalian mampu mengalahkan diriku."

"Siapakah kau adanya!" bentak Sedya Kamayit si Pendekar Tanduk Menjangan Merah. "Kenapa kau tiba-tiba mengangkangi pohon tersebut?!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata kau seorang pemberani! Ayo, ambillah pohon ini, bila memang engkau pemberani!" mahluk menyeramkan itu berkata: "Namaku Wuling Genta. Akulah Iblis Pulau Kembar. Dan apa bila kalian ingin memiliki pohon ini, maka kalian harus mengalahkan aku terlebih dahulu. Aku akan mengucapkan terima kasih pada kalian yang mampu mengalahkan aku, sehingga aku dapat diampuni oleh rajaku."

"Wuling Genta, mengapa kau bertindak macam-macam!" kembali Pendekar Menjangan Merah membentak. "Kalau kau ingin diampuni oleh rajamu, mengapa kau tidak minta ampun? Lalu apa hubungannya dengan bangsa manusia?"

"Hua, ha, ha...! Ketahuilah oleh kalian, bangsa manusia. Aku telah mendapat sebuah petaka, dikarenakan aku telah melanggar larangan yang dibuat oleh bangsamu. Karena rajaku pernah berhutang budi pada bangsamu, maka rajaku akan mengampuni diriku dan mau menerima diriku bila aku telah terkena ajian yang dimiliki oleh manusia. Dan menurut rajaku, kelak aku akan dapat dikalahkan hanya oleh seorang wanita yang mempunyai ajian tersebut," Wuling Genta menerangkan, menjadikan semua yang ada di situ seketika terpaku diam. "Nah, bagi siapa yang merasa wanita dan memiliki Ajian Racun Kelabang, maka aku akan menyerahkan pohon itu untuknya!"

"Bedebah! Rupanya kau banyak membuang waktu, Wuling!" Pendekar Tanduk Menjangan Merah nampak tak sabar. Diambilnya senjata Tanduk Menjangan Merah, lalu dengan tanpa banyak ngomong lagi tubuhnya melesat menyerang. "Akulah yang akan mengirimu ke tempat asalmu. Hiat...!"

"Manusia bodoh!" bentak Wuling Genta marah, sehingga matanya nampak menyorot bagaikan menyala. "Kau tak akan mampu menghadapi diriku walau kau memiliki Tanduk Menjangan Merah. Senjata itu tiada artinya bagiku. Nah, terimalah Laksa Iblisku. Hiat...!"

Tersentak kaget semua yang ada di situ termasuk si nenek Iblis Racun yang mengerti bahwa hanya Ningrumlah yang memiliki ajian tersebut bersama gurunya. Dalam hati si nenek seketika membatin, "Bagaimana ini? Apakah mungkin aku membawa Ningrum ke mari? Ah, percuma!" Si nenek tampak berpikir untuk mencari akal, ia tak hiraukan pekikan-pekikan orangorang yang berada di situ yang kini tengah bertarung dengan Iblis-iblis ciptaan Wuling Genta.

Memang dahsyat ajian yang dilontarkan Wuling Genta. Dari sinar hitam pekat itu keluar selaksa atau sepuluh ribu mahluk-mahluk menyeramkan yang langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi, mereka yang berada di situ pun kocar kacir dibuatnya.

"Aku ada akal!" pekik si nenek girang dalam hati. "Aku akan mencoba merayu Iblis itu, semoga iblis itu mempercayai ucapanku."

Tengah mereka semua dalam kepanikan diserang oleh Iblis-iblis yang seperti tiada bakal mati, seketika tubuh si nenek berkelebat seraya membentak: "Hentikan!"

"Siapa kau adanya, Nenek butut!" bentak Wuling Genta.

"Nenek Iblis Racun!" tersentak semua yang ada di situ.

"Itulah namaku," jawab si nenek tanpa menerangkan siapa adanya dirinya, karena ia merasa seruan orang-orang yang melihatnya sudah terasa cukup untuk menjawab.

"Apa yang engkau inginkan, Nenek Butut!"

"Aku akan menunjukkan orang yang mampu menyempurnakan dirimu untuk dapat diterima di kerajaanmu lagi!"

"Kau tidak mendusta, Nenek Butut?!"

"Tidak!"

Wuling Genta nampak terdiam, seakan ia tengah berusaha membaca jalan pikiran yang ada pada benak si nenek. Matanya memandang tajam, sepertinya hendak menembus mata si nenek yang telah tua. "Siapa dia, Nenek Butut?!" kembali Wuling Genta bertanya.

"Dia adalah Penguasa Bukit Karang Bolong ini. Dia bernama Ningrum. yang kini tergeletak luka dalam oleh hantaman ajian yang dilancarkan kakaknya."

Membelalak mata Wuling Genta mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Memang kedatangannya ke Bukit Karang Bolong untuk menemui orang tersebut. Dikarenakan orang yang dicari telah tiada, maka Wuling Genta pun segera menunggu Lempuyang Sakti dengan harapan ada seseorang yang mampu menunjukkan keberadaan Penguasa Bukit Karang Bolong

"Baiklah, aku percaya padamu. Tapi ingat, bila kau mendusta, maka kau tahu sendiri apa yang bakalan engkau peroleh dari dustamu!" Wuling Genta mengancam. "Nah, ayo tunjukkan di mana Penguasa Bukit Karang Bolong berada?"

"Baik! Baik akan aku tunjukkan, namun apakah engkau akan terus membiarkan anak buahmu merajalela? Dan apakah engkau akan meninggalkan Lempuyang Sakti yang memang diperlukan oleh Penguasa Bukit Karang Bolong?" si nenek mengingatkan. "Sebaiknya perintahkan pada anak buahmu untuk menghentikan pertarungan itu, dan secepatnya pergi dari sini."

"Baiklah kalau itu yang engkau mau," Wuling Genta segera menarik kembali ajiannya, maka dalam sekejap saja 10.000 prajuritnya lenyap dengan seketika. "Ayo, kita berangkat sekarang."

"Baiklah! Mari kita berangkat," jawab si nenek.

Tanpa memperdulikan lagi orang-orang yang hanya terbengong sendiri melihat kepergian keduanya, si nenek dan Wuling Genta pun segera melesat pergi dengan membawa Lempuyang Sakti yang memang diperlukan untuk mengobati Ningrum.

Orang-orang tersebut dengan penuh kelesuhan dan luka-luka akibat serangan para Iblis yang jumlahnya selaksa segera pula meninggalkan tempat tersebut tanpa membawa hasil. Dan Bukit Karang Bolong yang angker itu pun kembali sepi, bagaikan menelan segala keindahan yang ada.

********************

DUA

Tubuh kedua orang itu bergerak bagaikan tiupan angin malam, merambah malam yang pekat menuju ke sebuah tempat. Tempat yang keduanya tuju tidak lain dari tempat di mana sang nenek tinggal. Tempat tersebut tidak lain Telaga Warna. Dan kedua orang tersebut tak lain si nenek bersama Wuling Genta yang membawa Lempuyang Sakti.

"Masih jauhkah, Nenek?"

"Tidak! Sebentar lagi kita sampai," jawab si nenek.

Wuling Genta tak menanya lagi, dan dengan segera keduanya kembali berkelebat. Langkah mereka kini bukannya lari lagi, namun langkah mereka kini bagaikan terbang.

"Itu dia tempatku," si nenek menunjukkan jarinya ke sebuah telaga yang airnya berwarna hingga memantulkan cahaya bulan bagaikan sinar pelangi beraneka ragam.

"Telaga Warna...!"

"Ya, Telaga Warna."

"Di mana gadis itu, Nek?"

"Dia tengah terbaring di gubugku yang ada di tengah telaga itu," si nenek menerangkan. "Kita harus melompati telaga ini untuk sampai di tengah."

Tercengang juga Wuling Genta mendengar ucapan si nenek. Bagaimanapun, sungguh sulit bagi orang biasa untuk mampu menyampaikan dirinya di tengah telaga yang luas itu hingga tiba di sebuah pulau. Kini Wuling Genta tahu, bahwa si nenek bukanlah tokoh silat dari golongan manusia biasa. Dirinya sendiri kini tengah berpikir bagaimana untuk melompat sebegitu jauhnya, padahal dirinya adalah Iblis. Kalau si nenek ini mampu, sungguh ilmu meringankan tubuhnya bukan lagi ilmu yang sempurna, bahkan jauh paling sempurna hingga sukar untuk ditandingi.

"Kenapa?" si nenek bertanya demi melihat Wuling Genta terdiam bengong. Rupanya si nenek mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh Iblis yang kini menjelma menjadi manusia karena kesalahan yang dilakukannya. "Apakah engkau masih memikirkan bahwa aku telah berbohong padamu? Dan kau menganggap aku mengada-ada?"

"Ya!"

"Hi, hi, hi...!"

"Mengapa engkau tertawa, Nenek Peot?!" bentak Wuling Genta agak tersinggung.

"Lucu! Sungguh lucu!" nenek itu bergumam sendiri, menjadikan Wuling Genta seketika pelototkan matanya makin bertambah sewot karena menyangka si nenek benar-benar hendak mempermainkannya. Maka dengan agak marah Wuling Genta kembali membentak.

"Ingat, Nenek Peot! Bila kau ternyata berdusta, maka kau tahu apa akibatnya, bukan?!"

"Hi, hi, hi...!" si nenek kembali cekikikan. "Aku tidak berdusta. Aku hanya geli melihat kau yang sebagai Iblis terkejut melihat telaga ini. Nah, kalau kau tidak mempercayaiku, maka aku akan menunjukkan pada dirimu bahwa aku mampu menuju ke tengah telaga di mana pulau itu berada."

Setelah berkata begitu, si nenek tanpa hiraukan Wuling Genta segera melompat. Dan bagaikan terbang saja, si nenek berlari di atas air, tanpa kakinya menginjak air barang sekali pun. Hal itu menjadikan Wuling Genta terlonglong longlong keheranan.

"Apakah aku mampu?" tanyanya kurang yakin.

"Ayo, Wuling Genta. Apakah kau takut?" Wuling Genta terdiam. Ia bimbang dengan kemampuan dirinya.

"Akan aku coba. Bila aku harus di sini terus, mana mungkin aku mampu menemui Penguasa Bukit Karang Bolong?" Bagaikan diberi keberanian, tiba-tiba Wuling Genta tanpa pikir panjang lagi segera melompatkan dirinya ke atas air. Namun sungguh tidak ia duga, ternyata air telaga itu bagaikan sebuah tanah saja menerima tubuhnya. Hal ini mengakibatkan Wuling Genta kembali terheran-heran tak mengerti.

Si nenek rupanya mengerti apa yang menjadikan keheranan Iblis berbentuk manusia itu. Maka dengan didahului oleh tawa cekikikan, si nenek kembali berseru: "Ketahuilah olehmu, bahwa air telaga ini akulah yang mengatur. Bila engkau tidak aku kehendaki, maka dengan sendirinya tubuhmu akan amblas ke dalam air, lalu mati dengan tubuh terkoyak-koyak oleh hiu-hiu dan buaya-buaya Iblisku. Hi, hi, hi...!"

Kini Wuling Genta sadar, bahwasannya nenek ini tidak boleh di anggap enteng. Ilmu nenek ini ternyata jauh melebihi ilmu yang ia miliki sebagai iblis. Kini Wuling Genta pun menurut, ia dengan cepat melaju mengejar si nenek yang telah jauh meninggalkannya.

Kedua orang itu segera melompat naik ke atas pulau yang berada di tengah telaga. Mereka segera melangkahkan kaki mereka menuju ke sebuah gubug reot yang terbuat dari anyaman rumput yang tumbuh di sekitar pulau tersebut.

"Itu rumahku."

"Jadi Penguasa Bukit Karang Bolong ada disana?"

"Ya...!" jawab si nenek pendek, melangkahkan kakinya seiring dengan Wuling Genta yang kini nampak tidak banyak tingkah setelah menyadari siapa adanya si nenek yang ternyata memiliki ilmu tinggi.

Keduanya memasuki gubug tersebut. Kini Wuling Genta dapat melihat isi gubug tersebut. Di salah satu dipan tergeletak pingsan seorang gadis cantik, yang diketahuinya adalah Penguasa Bukit Karang Bolong.

"Diakah orangnya. Nek?"

"Benar! Dialah orang yang engkau cari," jawab si nenek dengan wajah lesu. "Mana Lempuyang Sakti itu biar aku racik dulu untuk obatnya. Dia tak akan dapat tertolong bila telah sehari mengalami luka tersebut."

"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan dirinya?"

Si nenek tarik napas berat demi mendengar pertanyaan Wuling Genta. Matanya memandang pada tubuh Ningrum yang masih tergeletak dalam keadaan pingsan karena ditotok jalan darahnya. Lalu dengan singkat si nenek pun menceritakan hal apa yang telah terjadi pada Ningrum dari awal hingga akhir.

"Kalau begitu, aku akan mencari orang yang bernama Jaka Ndableg, sebab dialah yang harus bertanggung jawab atas hancurnya Kekuasaan Penguasa Bukit Karang Bolong."

"Untuk apa?" si nenek bertanya tak mengerti. Di dalam nada pertanyaannya, jelas tersimpan sebuah nada yang berat.

Ya! Si nenek merasakan betapa Jaka Ndableg mirip dengan Eka Bilawa, kekasihnya. Walau ia telah terluka oleh Eka Bilawa, namun hatinya mengatakan bahwa rasa cintanya masih membekas. Dan bila ia melihat Jaka, timbullah rasa rindu dan dendam pada Eka Bilawa. Rindu akan cintanya, dendam akan perbuatan Eka Bilawa yang telah membuat mukanya jadi rusak. Memang semua karena salahnya sendiri. Ia tidak mau menuruti kata-kata Eka Bilawa agar ia jangan menurunkan tangan setannya.

Hanya karena ia telah berbuat jahat pada orang yang telah membuat keluarganya menderita, Eka Bilawa tak mau menerimanya kembali bahkan menghukumnya. Jelas ia menentang. Namun sungguh tentangan dia itulah yang mengakibatkan segalanya terjadi. Dia terus mengumbar nafsu setan, membunuh dan menyiksa setiap lelaki. Sampai akhirnya Eka Bilawa kembali datang dan langsung menghukumnya kembali. Corengan bekas luka itu, sampai kini tiada hilang. Corengan tersebut sengaja ia biarkan untuk mengenang segala pahit dan manisnya kehidupan dirinya.

"Agar dia kapok, dan tidak seenaknya bertindak."

"Apakah kau mampu?" tanya si nenek dengan nada tak yakin.

"Hua, ha, ha...! Wuling Genta tak akan dapat terkalahkan oleh manusia!" jawab Wuling Genta menyombong, menjadikan si nenek hanya mampu kulum senyum. "Kau tak percaya?"

"Bukannya aku tak percaya. Namun dia bukanlah orang sembarangan. Ayahnya saja mampu mengalahkan aku."

"Hua, ha, ha...! Ayahnya kalau masih hidup pun akan aku hadapi. Biar mereka tahu siapa adanya aku. Hua, ha, ha...!" Wuling Genta bergelak sombong.

Si nenek hanya terdiam bisu, ia tak dapat mengatakan apa-apa, sebab ia tahu sendiri siapa adanya Wuling Genta. Tapi ia pun tidak mau menghadapi Jaka Ndableg dengan begitu saja, sebab yang pasti ilmu pemuda itu katanya tinggi. Hal kedua karena ia melihat sesuatu di wajah Jaka. Wajah yang mengingatkan dirinya kembali mengingat pada seorang bekas kekasihnya, yaitu Eka Bilawa. Namun untuk mencegah Wuling Genta, rasanya ia juga tidak mungkin. Maka hanya desahan pasrah si nenek akhirnya berkata:

"Itu terserah kamu."

"Baiklah! Aku akan membuktikannya padamu, juga pada Penguasa Bukit Karang Bolong bahwa aku akan mampu membuatnya mengakui kehebatanku. Dan perlu kau ketahui, bahwa adikku, Setan Rambut Putih telah dibinasakan olehnya."

"Jadi Setan Rambut Putih adikmu?" tanya si nenek dengan mata berkerut kaget. Tidak disangka, kalau Wuling Genta adalah kakak dari Setan Rambut Putih. Kalau adiknya saja sudah sedemikian tinggi ilmunya, apalagi dengan Wuling Genta sendiri?

"Ya! Aku adalah kakaknya."

"Kalau memang begitu, memang kau perlu menuntut balas," ucap si nenek pasrah. Kini di hatinya bukan rasa rindu lagi, namun rasa dendamnya yang muncul. Kebencian bila mengingat apa yang telah dilakukan Eka Bilawa padanya, menjadikan si nenek darahnya bagaikan menggeletar-geletar. "Kalau engkau mampu, maka secara tidak langsung kau telah mengobati sakit hati Penguasa Bukit Karang Bolong akibat suaminya mati di tangan pendekar tersebut."

"Baiklah. Aku akan pergi dulu. Sampaikan pada Adik iparku ini bila dia telah siuman bahwa aku akan mencari Jaka Ndableg."

Setelah berkata begitu, secara kilat Wuling Genta berkelebat meninggalkan si nenek yang masih terpaku menuju ke luar. Si nenek hanya dapat menarik napas panjang, membiarkan Wuling Genta dengan segala dendamnya akan mencari Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah. Nama yang telah menjadikan adiknya binasa, yang merupakan musuh bebuyutan para Iblis. Bagi Wuling Genta, Jaka harus disingkirkan dari dunia. Ya, Jaka harus disingkirkan agar para Iblis mampu mencengkeramkan kuku-kukunya di dunia.

********************

Setelah kepergian Wuling Genta, segera si nenek pun menuju ke dapur untuk meracik obatobatan yang dibuat dari Lempuyang Sakti. Sinar Lempuyang Sakti terus menyorot tajam, menjadikan mata si nenek harus menyipit sempit tertimpa sinar tersebut hingga silau. Bara api menyala, menjilat-jilat sebuah kuali yang terpanggang di atasnya. Nenek tua renta itu duduk sabar sambil sekali-kali tangannya mengaduk-aduk isi kuali tersebut. Walau telah direbus, namun sinar yang keluar dari Lempuyang Sakti itu masih saja nampak. Bahkan semakin panas, semakin besar sinar yang keluar.

"Sungguh bukan obat sembarangan. Hem, pantas banyak orang yang berusaha mendapatkannya," gumam si nenek dengan tangan kembali mengaduk-aduk isi kuali. Mulutnya sesekali komat kamit, entah apa yang tengah dibacakan pada kuali tersebut.

Sementara di balai depan, nampak sesosok gadis Ningrum masih terbaring dalam keadaan menggeletak. Ningrum nampaknya masih pingsan. Sebenarnya Ningrum harus telah sadar dari tadi, namun dikarenakan si nenek sengaja mentotoknya hingga Ningrum pun masih dalam keadaan pingsan. Memang tepat apa yang dilakukan si nenek, sebab bila tidak begitu niscaya aliran darah Ningrum akan mampu membunuh diri Ningrum hanya dalam waktu singkat.

Dari belakang nampak si nenek berjalan mendekati tubuh Ningrum yang masih tergeletak. Di tangan si nenek terdapat sebuah batok kelapa yang berisikan ramuan obat tersebut. Bibir tua renta itu menguarai senyum, lalu berkata: "Ningrum, kau akan sembuh. Kau akan menjadi muridku. Teruskan segala apa yang telah aku lakukan di masa-masa mudaku dulu. Hi, hi...! Kau cantik, anggun bak ratu bidadari."

Ningrum sebenarnya mendengar apa yang dikatakan oleh si nenek, tapi karena ia dalam keadaan tertotok hingga ia tak mampu berkatakata. Matanya perlahan membuka, memandang pada si nenek yang tersenyum senang.

"Sabar, Anakku. Kau akan sehat, dan tentunya kau akan mau menjadi muridku, bukan?" ucap si nenek. "Akan aku turunkan segala ilmu yang aku miliki padamu. Aku berharap kau akan menjadi seorang ratu. Ya, seorang ratu yang sakti."

"Tuk, tuk, tuk!"

Tak disadari oleh Ningrum, seketika tangan si nenek bergerak dengan cepat membuka totokan yang ada di leher dan tubuh Ningrum. Saat itu juga Ningrum nampak menggeliat. Tubuhnya terasa ngilu, dan bila bernapas dadanya terasa sesak. Darahnya bagaikan terserang oleh salju yang dingin, lalu berubah menjadi panas yang membahana. Hal itu menjadikan Ningrum meringis menahan sakit, lalu dengan suara berat ia pun berkata:

"Nenek, siapakah engkau adanya? Lalu kenapa dengan diriku?"

"Hi, hi, hi! Kau ada di tempatku. Kau aku tolong manakala tempatmu Bukit Karang Bolong diporak porandakan oleh Tegalaras kakakmu dengan Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah."

"Bagaimana dengan nasib Setan Rambut Putih, Nek?"

"Dia mati oleh Pendekar Siluman Darah," jawab si nenek.

Nampak keterkejutan di wajah, Ningrum demi mendengar bahwa Setan Rambut Putih yang berilmu tinggi dapat dengan mudah dibinasakan oleh Pendekar Pedang Siluman Darah. "Ah...!" dengan berat Ningrum mendesah.

"Untuk itulah, mengapa kakaknya datang. Wuling Genta namanya. Ia datang untuk meminta pertolonganmu. Dia minta agar engkau mau menyempurnakan dirinya agar dapat kembali ke alamnya."

"Hoak, hoak, hoak...!" Ningrum seketika muntah-muntah, menjadikan si nenek seketika kerutkan keningnya.

Si nenek walau pun tidak pernah nikah, namun sebagai seorang tua ia tahu bahwa Ningrum kini telah hamil. Ya, Ningrum ternyata telah hamil dalam kesehatannya yang sangat tidak menguntungkan.

"Kau hamil rupanya," si nenek berkata. Ningrum hanya mampu mengangguk mengiyakan.

"Ah, mengapa hal itu mesti terjadi?" keluh si nenek seperti pada diri sendiri. "Apakah engkau melakukannya dengan Setan Rambut Putih, Nak?"

Ningrum kembali mengangguk. Tak terasa air matanya meleleh, membasahi pipinya yang nampak pucat. "Sungguh aku tak menyadarinya, sebab waktu itu aku dalam keadaan terbelenggu. Batinku dalam guncangan berat. Aku begitu terpukul dengan apa yang telah menimpa diriku. Hem, Rengkana keparat, aku akan menghukumnya! Ya, aku akan menghukumnya. Walau aku kini sealiran dan masih mempunyai ikatan seperguruan, tapi tindakannya padaku harus aku balas."

Si nenek hanya tersenyum. Ia berjalan makin mendekat, lalu dengan penuh kasih dibelainya rambut Ningrum dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memegang batok berisi ramuan obat yang telah dipersiapkan.

"Kau boleh melakukan apa semua, tapi kau harus sembuh dari sakitmu. Bila kau telah sembuh, dan memiliki ilmu-ilmuku, maka kau akan menjadi seorang pendekar wanita yang sukar untuk ditandingi oleh siapa pun. Nah, untuk itu minumlah ini, Cah ayu."

"Apa itu, Nek?"

"Ini obat untuk menyegarkan dirimu. Dan obat ini sangat berguna bagi dirimu untuk menangkal racun apapun juga. Minumlah, jangan kau takut aku akan menipumu, sebab aku sendiri ingin menjadikan dirimu sebagai pewaris ilmu-ilmuku."

Disodorkannya batok berisi ramuan obatobatan itu ke Ningrum yang segera menerimanya walau dengan mata memandang pada si nenek. Sesaat Ningrum mencium bau obat tersebut, lalu setelah kembali memandang pada si nenek, Ningrum pun segera meminum obat tersebut.

"Aaah...!" Ningrum memekik, badannya terasa bagaikan dibakar oleh api, panas dan terasa menyengat.

Hal itu menjadikan si nenek tersentak kaget. Namun si nenek tak mampu berbuat apa-apa, sebab ia sendiri bingung. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba wajah Ningrum berubah memerah laksana membara. Matanya tajam memandang bagaikan memendam bara api.

Si nenek tersentak, manakala tiba-tiba Ningrum bangkit dan langsung menyerang dengan ajian Racun Kelabang. Sungguh ajian tersebut begitu dahsyat, sehingga si nenek yang tahu kehebatannya tak mau main-main. Segera dilemparkannya tubuh kering tua itu menghindar.

"Duar...!"

Bergidig juga si nenek menyaksikan apa yang terjadi. Seekor tikus yang waktu itu tengah berjalan, seketika mencicit terhantam ajian tersebut. Dari sinar ungu itu, seketika muncul berpuluh-puluh kelabang yang langsung menggerogoti tubuh tikus itu. Sungguh pemandangan yang mampu menegaknya bulu kuduk bagi yang melihatnya. Bersamaan dengan itu pula, tubuh Ningrum kembali terkulai pingsan, kalau saja Ningrum tidak pingsan lagi, niscaya si nenek akan kembali diserangnya. Dan bukan mustahil, si nenek harus menguras tenaga untuk menghindari atau balas menyerang yang akhirnya sia-sia belaka.

"Sungguh bukan ilmu sembarangan," gumam si nenek. Perlahan ia mendekati tubuh Ningrum yang terkulai, lalu dengan hati-hati sekali dirabanya getaran jantung Ningrum. "Dia masih hidup. Hem, ternyata dia hanya mengalami rasa panas yang teramat sangat akibat obat tersebut bekerja."

Dengan sabar dan penuh rasa kasih si nenek menunggui Ningrum yang masih tergeletak. Waktu begitu berjalan, seakan cepat merambat, menjadikan hari pun akan segera berganti dengan hari lagi. Dan manakala ayam jantan dari kejauhan lamat-lamat terdengar, nampak Ningrum kembali siuman. Kini cahaya matanya tidak lagi redup, namun menyala penuh semangat.

"Maafkan kelakuanku, Nek?"

"Tidak mengapa. Aku menyadari kalau kau mengalami begitu karena hawa panas yang teramat sangat akibat obat tersebut bekerja," jawab si nenek. "Kini kau telah sembuh, dan mulai hari ini kau resmi menjadi muridku. Aku akan menurunkan segala apa yang aku miliki padamu. Sejak saat ini pula, resmilah engkau aku beri nama Ratu Telaga Warna."

"Oh, terimakasih, Nek. Terimalah sembahku sebagai rasa terimaka kasihku padamu yang telah sudi menerima diriku sebagai muridmu.  Aku berjanji akan meneruskan apa yang menjadi kehendakmu."

"Ah, tak usahlah kau berlaku begitu, Anakku. Bukankah kita senasib?" tanya si nenek yang menjadikan Ningrum seketika itu kerutkan kening tak mengerti. Mata Ningrum yang jeli dan lentik indah itu memaku pandangannya pada wajah si nenek.

"Maksudmu, Nek?"

"Kita senasib. Dulu aku pun sepertimu. Aku terseret oleh arus kehidupan, oleh kebejadan orang lelaki yang telah memperkosaku. Aku dendam, namun kekasihku menghendaki agar aku tak perlu membalas. Tapi segalanya tak aku hiraukan. Aku membunuh lelaki tersebut, menjadikan kekasihku marah dan akhirnya membuat luka bagi diriku. Ya luka hati, ya luka fisikku. Kau lihat bekas luka ini bukan?"

Ningrum mengangguk menginyakan. "Inilah luka yang aku alami. Memang semua kesalahanku, tapi aku merasa bahwa semua lelaki pada umumnya sama, yaitu ingin menang sendiri. Dan menganggap bahwa wanita harus mengalah. Ah, sungguh pikiran picik," si nenek berkata bagaikan mengeluh akan nasib dirinya sendiri. Sementara Ningrum nampak tiada reaksi, dia diam tanpa kata. "Bagaimana, Anakku? Apakah kau mau meneruskan cita-citaku menghukum kaum lelaki?"

Ningrum kembali tercengang diam. Memang benar semua lelaki pada umumnya sama, egois dan tidak mau mengerti hati wanita. Tapi untuk menghukum, sungguh ia tidak mampu. Ia juga masih mendambakan kasih sayang dari seorang lelaki. Seorang lelaki yang pernah ditemuinya manakala ia tengah dalam kuasa Nyi Lanjut Ayu, saat dirinya membela sang guru. Tanpa disadari olehnya, bibirnya seketika menggumam sebuah nama:

"Jaka... Jaka Ndableg."

"Kenapa, Anakku?"

"Ah, ti-tidak. Baiklah, aku akan menuruti apa katamu, Nek."

"Oh, sungguh kau anak yang baik." Dengan penuh rasa kasih dipeluk dan diciumnya Ningrum. Tak terasa, air mata nenek Racun Iblis menangis, menitikkan air mata kegembiraan. Ternyata usahanya untuk mendapatkan orang yang akan mewarisi segala ilmunya juga mau meneruskan cita-citanya kini telah ia ketemukan.

********************

TIGA

Wuling Genta yang tengah mencari Jaka Ndableg, nampak masih berjalan menyusuri pematang sungai yang membentang panjang. Dendamnya pada Jaka Ndableg yang telah membunuh adiknya, Setan Rambut Putih, menjadikan dirinya tak hiraukan siapa adanya dirinya sebenarnya. Tengah ia berjalan menyusuri sungai, tiba-tiba lima orang berloncatan menghadang dirinya. Hal ini menjadikan Wuling Genta tersentak kaget seraya melompat mundur.

"Siapakah kalian adanya? Mengapa kalian mencegat jalanku?"

Kelima orang bertopeng angker itu nampak tersenyum cibirkan bibirnya, yang sengaja diarahkan pada Wuling Genta. Perlahan kelima orang itu melangkah, mendekat ke arah Wuling Genta yang terdiam tanpa reaksi.

"Kau mau lewat di sini?" tanya seorang dari kelimanya.

"Ya!" jawab Wuling Genta.

"Kau punya kuncinya?" kembali orang tersebut bertanya.

Wuling Genta kerutkan kening, tak tahu apa yang dimaksudkan oleh kelima orang yang meng-hadangnya. "Hem, aku yakin kalau mereka ini adalah para begal. Mereka rupanya tak tahu siapa adanya diriku sebenarnya," gumam hati Wuling Genta. "Tapi biarlah, biar mereka hendak mau apa padaku."

"Aku tidak mengerti ucapanmu, Ki Sanak," Wuling Genta berkata. "Aku hanyalah seorang pengelana, manalah mungkin aku membawa kunci segala macam? Kalaulah kalian hendak meminta sesuatu, katakanlah apa yang kalian minta."

Seketika kelima begal itu tertawa bergelakgelak demi mendengar ucapan Wuling Genta yang dianggapnya lucu. Dan memang ucapan Wuling Genta bagi mereka adalah hal kelucuan. Jarang orang yang dihadang mereka mau mengatakan apa yang mereka minta, tetapi, orang ini sungguh-sungguh lancang.

"Ketahuilah olehmu, orang tolol! Kami adalah Panca Ruba Merah. Kami bekerja sehari-hari sebagai pemungut pajak bagi siapa saja yang hendak melewati daerah ini," orang pertama tadi kembali berkata. "Ya! Kami memang dari dinas pajak," orang kedua dari Ruba Merah menyambung. "Maka itu, berikan apa yang kau bawa pada kami. Atau kalau tidak, maka nyawamulah yang harus ditinggalkan."

"Hem, kalian kira kalian mampu menggeretakku!"

"Kami tidak menggeretakmu. Kami akan melakukannya bila kau ngebandel!" bentak Ruba pertama. "Kami juga tak akan segan-segan mencincangmu!"

"Lakukanlah bila kalian mampu," Wuling Genta tersenyum mengejek, menjadikan kelima Ruba Merah itu saling pandang dan salah seorang dari kelimanya dengan gusar membentak.

"Bedebah! Monyet busuk, rupanya kau mencari mampus!"

"Aku bukanlah monyet. Tapi kalianlah monyet."

Tersentak seketika kelima Ruba Merah, manakala dengan tiba-tiba wajah mereka berubah menjadi wajah kera yang menyeramkan. Maka dengan kemarahan yang meluap-luap, kelimanya dengan mengukuk seperti monyet serentak menyerang dengan golok yang ada di tangan mereka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Wuling Genta gentar atau pun takut. Bahkan dengan bergelak-gelak tawa ia terus mengelakkan serangan mereka. Dan manakala ada kesempatan, dengan tanpa mengenal rasa kasihan Wuling Genta pun hantamkan ajiannya. Tanpa ampun lagi, kini kelimanya harus dikeroyok habis-habisan oleh selaksa Iblis yang keluar dari sinar milik Wuling Genta.

"Masihkah kalian akan melawanku?" Wuling Genta berkata. "Aku akan mengampuni kalian, asalkan kalian mau menjadi pengikut-pengikutku. Akulah Wuling Genta, Iblis Bukit Gundul. Hua, ha, ha...!"

Mendengar Wuling Genta menyebutkan siapa adanya dirinya, serta merta kelima Ruba Merah pun segera meminta ampun. Kelimanya segera sujudkan tubuh mereka, menyembah ke hadapan Wuling Genta yang masih tertawa bergelak-gelak penuh kemenangan. Dan dengan segera kembali ditarik ilmunya, yang dengan segera pula mahluk-mahluk iblis itu lenyap seketika.

"Nah, kembalilah kalian pada bentuk semula."

Bareng dengan habisnya ucapan Wuling Genta seketika kelima orang begal tersebut kembali berubah ujud menjadi orang lagi. Kelimanya masih nampak menyembah, seakan kelimanya telah pasrah pada apa yang bakal Wuling Genta lakukan. Kelimanya masih menundukkan kepala, tak berani untuk menentang pandang pada Wuling Genta.

"Kalian mau menjadi pengikutku?" tanya Wuling Genta. "Kalau kalian mau, niscaya kalian tidak akan ada yang mengalahkan."

"Benarkah itu?" tanya Rupa pertama.

"Aku tak akan membohongi kalian," jawab Wuling Genta meyakinkan mereka. "Bila kalian menjadi hambaku, niscaya kesaktian kalian akan bertambah dengan sendirinya. Bagaimana, apakah kalian mau menerima?"

Ditatapnya lekat-lekat satu persatu dari kelima Ruba Merah yang masih menunduk. Ditunggunya segala apa yang akan keluar dari mulut kelima Ruba Merah tersebut.

"Baiklah, kami menerima menjadi hambamu," jawab kelimanya serentak.

Wuling Genta seketika keluarkan gelak tawanya, demi mendengar pengakuan kelima Ruba Merah yang mau menjadi hamba-hambanya. Bukankah dengan demikian ia akan mampu menggantikan adiknya menjadi penguasa di dunia ini? Ya, memang itulah yang ia kehendaki, menjadi penguasa di bumi. Tapi kini ia harus terlebih dahulu menyingkirkan Jaka Ndableg bila ingin citacitanya berjalan dengan tenang dan mulus, sebab tidak mungkin tidak bahwa Jaka Ndableg pastilah akan menghalangi cita-citanya.

"Jaka Ndableg, aku harus menyingkirkannya!" rengutnya penuh kebencian. "Adakah kalian yang mengetahui di mana adanya Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" tanyanya pada kelima Ruba Merah.

"Ampun, Tuan. Pendekar itu tak menentu tempatnya."

"Hem, bagaimana kalau kita cari."

"Untuk apa, Tuan? Bukankah kita akan sia-sia saja? Sebab tidak mungkin kita dapat mengalahkannya," Ruba kedua angkat bicara, menjadikan Wuling Genta seketika melotot marah. Ia merasa bahwa dirinya begitu direndahkan dengan Jaka Ndableg.

"Bodoh?!" bentaknya marah. Seketika semua Ruba Merah terdiam tak berani kembali membuka kata. "Aku yang akan melenyapkan dirinya dari muka bumi ini. Apakah kalian tak ingin ketenangan untuk bertindak?"

"Ingin, Tuan...!" jawab mereka serempak.

"Nah, kalau begitu, aku akan menyingkirkannya. Kalian tak perlu khawatir, bahwa aku Wuling Genta akan kalah olehnya. Dia boleh saja mampu membinasakan adikku, tapi padaku... dialah yang akan menemui kebinasaan, sebab aku adalah Iblis yang tidak mungkin dapat ditaklukan oleh manusia."

"Sombong!" maki kelima Ruba Merah dalam hati. Dan walaupun di hati mereka berkata begitu, namun di mulut mereka yang takut jelas sebaliknya. Maka bagaikan seorang yang sudah terkena sihir kelimanya hanya mengangguk mengiyakan.

"Bagaimana, apakah kalian masih belum yakin bahwa aku akan mampu membinasakannya?" kembali Wuling Genta bertanya.

"Percaya. Kami percaya bahwa tuan akan mampu membinasakannya."

"Hua, ha, ha...! Bagus! Rupanya kalian adalah hamba-hamba yang baik. Mari, kita cari Jaka Ndableg. Dan nanti kalian boleh melihat siapa yang bakal hancur. Aku atau dia."

Tanpa berani membantah, kelimanya pun dengan menurut segera mengikuti tuannya pergi untuk mencari Jaka Ndableg. Walau dalam hati mereka bimbang, namun dikarenakan rasa takut, mereka pun hanya menurut mengikuti ke mana tuannya pergi. Mereka sebenarnya tak percaya, bahwa tuannya akan mampu mengalahkan Jaka Ndableg walau tuannya merupakan Iblis. Sebab Jaka Ndableg bukanlah pendekar sembarangan. Adiknya saja sudah kalah, mengapa Jaka tak akan mampu mengalahkannya?

********************

Jaka Ndableg saat itu tengah duduk-duduk merenung di sebuah pohon rambutan. Tangannya sesekali mengibas-kibaskan semut yang dengan nakalnya telah mengganggu keenakannya makan buah rambutan yang telah masak.

"Semut sialan! Apakah engkau kira aku ini pencuri!" rungutnya marah, dan kembali tangannya mengibaskan seekor semut yang nakal. "Setan! Rupanya semut-semut ini bandel!"

Segera Jaka memetik kembali buah rambutan yang telah berwarna merah. Dikupas kulitnya, lalu dengan enaknya Jaka menyantap rambutan tersebut. Karena keasyikan makan rambutan, sehingga Jaka sampai tidak menghiraukan bahwa sejak tadi ada seseorang tua renta berpakaian serba putih dengan jenggot putih pula memperhatikannya. Jaka terus saja asyik memetik buah rambutan, dengan sesekali tangannya mengibas semut yang nemplok.

"Hem...!"

Jaka tersentak dan memandang ke arah datangnya suara deheman tersebut. Matanya yang tajam seketika memandang seorang lelaki tua yang tengah berdiri di bawahnya, dengan memperhatikan dirinya.

"Oh, Ki Gedong Wulung. Maafkan atas ketidaktahuan saya," Jaka berkata, lalu dengan segera tubuhnya melayang turun bagaikan terbang dan hinggap di tanah dengan entengnya. "Terimalah salam hormatku." Jaka menjura hormat.

"Jaka, apakah engkau tidak mendengar adanya bahaya?"

"Maksudmu, Ki?" Jaka balik bertanya.

"Apakah kau tidak mendengar adanya seseorang dari bangsa Iblis yang kini mencarimu?"

Bagaikan cuek Jaka terus melalap rambutan yang sengaja dibawanya turun. Ucapan Ki Gedong Wulung bagaikan berlalu begitu saja, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu gelengkan kepala. Batin Ki Gedong Wulung bergumam.

"Dasar anak ndableg. Dengan orang tua saja dia bagaikan acuh. Hem, sungguh-sungguh pemuda aneh."

"Ah, maaf, Ki. Bukannya aku tidak mendengar ucapanmu, tapi sungguh sayang rambutan ini. Ya, terpaksa aku harus makan dulu, bukan?"

Ucapan Jaka begitu seenaknya, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu gelengkan kepala kembali. Sungguh ndableg, dan memang benar nama yang diberikan oleh guru-guru mereka yaitu Jaka Ndableg atau Jaka yang suka ndableg.

"Wah enak benar rambutannya, Ki," gumam Jaka sendiri.

"Jaka, aku bukan ingin membicarakan masalah rambutan, tetapi aku ingin memberikan padamu sebuah berita." Ki Gedong Wulung sudah agak mangkel melihat tingkah Jaka. "Kau dengar aku ingin membicarakan berita, Jaka?!"

Jaka tersentak mendengar seruan Ki Gedong Wulung, sehingga dengan seketika Jaka berkata: "Waduh, Ki. Mengapa berteriak-teriak begitu? Aku belum tuli, Ki."

"Aku tahu, bahwa engkau belum tuli, namun ndablegmu sudah kelewatan. Apakah engkau akan membiarkan semua bencana dan maut, menimpa dirimu, Jaka?"

"Wah, jelas tidak dong, Ki."

"Nah, untuk itulah aku ingin memberitahukan padamu bahwa kini petaka tengah terjadi di desa Kenanga. Desa tersebut kini telah dijarah oleh seorang Iblis yang tak lain kakak Setan Rambut Putih. Tujuannya mencari petaka, tidak lain untuk mengundangmu datang. Dia bertekad hendak membinasakan dirimu, Jaka."

"Wah, apakah dia itu Tuhan, sehingga dengan sendirinya dapat menentukan hidup matinya diriku, Ki?" tanya Jaka dengan kalem, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya gelengkan kepala. Sudah terasa susah ia mengajak omong dengan Jaka. "Ah, kehidupan di dunia memang macammacam saja ya, Ki?"

"Untuk itulah, Jaka. Kalau kau tidak segera datang, niscaya korban makin akan bertambah banyak."

"Baiklah, Ki. Kalau memang dia menghendaki diriku, memang selayaknya akulah yang menemuinya."

Habis berkata begitu, bagaikan kilat Jaka tiba-tiba telah menghilang dari pandangan Ki Gedong Wulung yang hanya mampu gelengkan kepala. Ia begitu terkesima dengan apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Dalam sekejap saja tubuh Jaka tiba-tiba telah lenyap dari hadapannya.

"Sungguh pemuda luar biasa. Ilmunya sangat tinggi, tapi kendablegannya benar-benar kelewatan," Ki Gedong Wulung hanya dapat gelengkan kepala lagi dan dengan kembali terus menggelengkan kepala manakala ingat Jaka, Ki Gedong Wulung pun berlalu meninggalkan tempat kebunnya.

********************

Jaka Ndableg terus berlari menuju ke kampung yang diceritakan oleh Ki Gedong Wulung yaitu desa Kenanga. Desa yang menjadi sasaran Wuling Genta untuk menarik perhatiannya. Hari itu hujan gerimis menyirami bumi, menjadikan malam makin bertambah larut dan gelap, sepertinya malam itu ingin mengabadikan sesuatu kepekatan yang selalu menyelimuti hidup setiap manusia.

"Sungguh-sungguh tak ada habisnya bencana di muka bumi bila hari belum kiamat. Tapi aku tak mau tinggal diam, sebab sudah menjadi tugasku sebagai umat manusia untuk memberantas Iblis," Jaka bergumam dalam hati. Langkahnya makin dipercepat, sebab ia tidak ingin malam akan menghambat dirinya. Kini dengan ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka melesat laksana angin yang bertiup dengan cepatnya.

Hujan masih turun rintik-rintik, menjadikan tubuh Jaka seketika basah terguyur oleh siraman air. Namun hal itu bukannya menjadikan Jaka harus menyerah pada keadaan. Dalam benaknya hanya ada satu tujuan, yaitu secepatnya menanggulangi segala kegelisahan rakyat desa Kenanga akibat teror dan bencana yang dilakukan oleh Wuling Genta.

"Ternyata yang namanya Iblis tak akan ada mau mengerti dan mengalah. Hilang satu, muncul lainnya. Huh, dasar Iblis. Apapun alasannya, dia toh berkehendak menyesatkan manusia." Jaka merungut-rungut sendiri sembari terus berlari.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Kilat dan ledakan halilintar, seketika menerangi bumi. Hal itu menjadikan Jaka seketika mampu melihat bayangan lima orang berkelebat memasuki desa Kenanga. Segera Jaka pun berkelebat cepat menyusul bayangan kelima orang tersebut. Tak lama antaranya, terdengar teriakan orang meminta tolong.

"Tolong...!"

"Sudah aku duga, memang mereka pasti akan berbuat kurang ajar pada gadis! Hem, dasar setan belang hidungnya. Eh, setan hidung belang!" umpat Jaka memaki sendiri. Jaka segera menyelinap di balik rumpun bambu lebat, bersembunyi dan mengintai kelima orang tersebut yang terus menyeret seorang gadis untuk menuruti ajakan mereka.

"Kau harus ikut aku!" terdengar seseorang membentak.

"Tidak! Aku tidak mau!" gadis itu memekik.

"Kau harus mau, sebab bila tidak maka kau akan kami, bunuh!"

"Bunuh saja aku! Ayo, bunuh!" gadis itu nampak keberaniannya, menantang pada kelima orang yang menyeretnya. Sementara dari penjuru desa berhamburan warga lainnya ke luar dari rumah demi mendengar teriakan sang gadis.

"Itu mereka! Itu mereka!"

"Jangan biarkan para penculik itu hidup!"

"Cincang...!"

"Bakar...!"

Warga yang sudah marah itu dengan senjata apa adanya segera merangsek, dan dengan membabi buta menyerang kelima orang tersebut. Namun bagaikan melayani anak kecil, kelima orang tersebut dengan gampangnya menjatuhkan satu demi satu warga desa Kenanga. Tapi semangat warga desa Kenanga patut mendapat acungan jempol, sebab mereka bagaikan tak mengenal rasa takut. Satu nyawa melayang, sepuluh orang merangsek menyerang.

"Suit...!"

Terdengar suitan manakala mereka tengah terlibat pertempuran. Dan bersamaan dengan habisnya suitan nyaring melengking tersebut, sebuah bayangan dari balik rumpun bambu berkelebat dan langsung menyerang kelima orang yang segera melompat mundur. Wajah keempat orang lainnya seketika memerah, manakala tahu siapa adanya orang yang datang. Dari mulut mereka seketika terdengar seruan kaget.

"Jaka Ndableg!"

"Inikah orangnya?" tanya orang yang bertubuh tinggi besar, yang tidak lain Wuling Genta. "Kebetulan! Memang aku tengah mencarimu, Anak muda! Kau telah membunuh adikku, maka aku pun kini yang akan membunuhmu. Bersiaplah!"

Jaka tersenyum kecut dan berkata: "Siapapun adanya kau, dan apapun alasanmu, aku akan tetap menghukum kalian yang telah berlaku sewenang-wenang pada rakyat yang tak berdosa."

"Sombong!" gertak Wuling Genta.

"Wah, rasanya aku sebagai manusia tidak kenal sombong. Mungkin kaulah yang sebagai iblis. Bukankah Iblis itu mempunyai watak sombong dan congkak seperti dirimu. Hem, jangan harap selama aku masih hidup bangsamu mampu menjadi raja di muka bumi ini."

"Bedebah!" betapa gusar dan marahnya Wuling Genta mendengar ucapan Jaka yang terasa menyudutkan bangsanya. "Kau harus mati, Anak sombong!"

"Oh, apakah kematianku ada di tanganmu? Aku rasa tidak, Iblis. Kematianku hanyalah Tuhan yang menentukan, bukan dirimu. Kau adalah biang kemungkaran dan kekafiran, maka Tuhan akan selalu mengutukmu!"

"Bangsat!" Wuling Genla bukan alang kepalang marahnya pada Jaka. Dia yang sudah terbakar oleh api dendam dan marah, tanpa banyak omong lagi segera berkelebat menyerang Jaka. Tak ayal, segala serangannya kini langsung mengeluarkan segenap ajian yang dimiliki.

Jaka yang sudah tahu siapa adanya Wuling Genta pun tak mau main-main. Segera ia pun memapaki serangan Wuling Genta dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya.

"Terimalah kematianmu, Anak sombong!" Wuling Genta sudah tak terkira lagi marahnya. "Terimalah ajianku ini! Ajian Selaksa Iblis. Hiat...!"

"Hem, rupanya engkau hendak main-main, Iblis!" rungut Jaka menimpali. "Baiklah, aku akan melayani segala permainan Iblis mu. Nah, terimalah ini. Petir Sewu, hiat...!"

Dua larikan sinar berkelebat cepat. Sinar pecah-pecah laksana petir dan memang petir adanya keluar dari telapak tangan Jaka menjadikan ledakan-ledakan hebat.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Bunyi petir menyambar-nyambar pada larikan sinar hitam legam, yang keluar dari telapak tangan Wuling Genta. Tapi rupanya ajian Petir Sewu bagaikan tiada arti untuk menghadapi Selaksa Iblis. Jaka tersentak kaget, manakala dari larikan sinar hitam legam itu keluar ribuan mahluk mirip tuyul menyerang ke arahnya.

"Setan! Jangan kira engkau akan mampu menakut-nakuti aku! Nah, ini aku sembahkan untuk kalian. Ajian Tapak Bahana. Hiat!" Tangan Jaka tiba-tiba merah membara bagaikan menyala bara. Seketika tangan itu diputar, dan...!

"Wuut, wuut, wuut...!"

"Aung...!" terdengar pekikan mahluk mirip tuyul itu manakala ajian Tapak Bahana mendarat pada tubuhnya. Seketika tubuh mahluk tersebut hancur, sirna dari pandangan. Namun manakala Jaka tengah dalam keadaan dikeroyok, serta merta Wuling Genta berkelebat dan hantamkan pukulan tenaga dalamnya. Tanpa ayal lagi tubuh Jaka pun mental ke belakang beberapa tombak. Dari mulutnya kini melelehkan darah segar.

Betapa murkanya Jaka seketika itu, sehingga ia pun nampak beringas. Kemarahannya seketika tersalur menuju ke benaknya, yang langsung mendera otaknya. Maka manakala tuyul-tuyul itu hendak kembali menyerangnya, serentak Jaka menggeretak membahana. Dan berbareng dengan hal itu, tiba-tiba tubuh Jaka membesar laksana raksasa. Ya, memang Jaka kini telah menjadi ujud seorang raksasa yang sungguh besar dan dahsyat. Itulah Buto Dewa Wisnu. Tangannya yang besar, seketika meraup sepuluh ribu kurang lima mahluk-mahluk menyerupai tuyul. Dan dengan beringas, dilumatkan kesepuluh ribu mahluk tersebut hingga benar-benar lumat.

Setelah mampu melumatkan tuyul-tuyul tersebut, serta merta Jaka segera melangkah mendekati Wuling Genta. Wuling Genta mencoba menyerang, namun dengan cepat Buto Dewa Wisnu mendahuluinya. Tubuh Wuling Genta dicengkeramnya, lalu dengan menggeretak tubuh itu digigitnya hingga hancur. Dan ketika merasa Wuling Genta memang benar-benar telah mati, Jaka segera melemparkannya ke Laut Selatan. Ya, di sanalah tubuh Wuling Genta tak akan dapat muncul lagi, sebab di Laut Selatan itulah kuburan bagi para dedemit, iblis dan segalanya.

Semua orang yang berada di situ seketika minggir, hanya seorang gadis saja yang masih memegangi kaki Jaka yang gedenya bukan alang kepalang. Jaka seketika memungut gadis itu, lalu disingkirkannya agak jauh. Setelah menyingkirkan tubuh gadis itu Jaka pun segera kembali tiwikrama. Tanpa dapat dicegah, Jaka yang telah kembali pada keadaan semula segera melesat pergi setelah melihat para warga tengah mengarak keempat Ruba Merah.

********************

EMPAT

Pagi begitu cerah, manakala terdengar dari kejauhan suara seorang wanita memekik-mekik. Bersamaan dengan pekikan tersebut, tubuh wanita itu berkelebat-kelebat laksana burung seriti. Sejenak gadis cantik yang tak lain Ningrum adanya melayangkan tubuhnya ke udara, lalu dengan menukik kepala di bawah dan kaki di atas serta tangan melurus Ningrum hantamkan dua tangannya ke arah sebuah batu.

"Hiat...!"

"Duar!"

Ledakan dahsyat seketika menggema, berbarengan dengan meledaknya batu sebesar kerbau itu hancur berkeping-keping hingga serpihannya berhamburan ke udara. Sungguh dahsyat sekali hantaman yang dilakukan oleh Ningrum. Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau manusia yang terkena pukulan tersebut, pastilah tubuhnya akan menjadi abu.

"Bagaimana, Nek?"

"Hebat! Sungguh hebat!" puji si nenek yang melihatnya dari kejauhan. "Tak aku sangka, kalau kau secepat ini menguasai ilmu-ilmu yang aku ajarkan. Kini kau boleh bangga, sebab dengan kau menguasai ajian Lebur Jagad, kau tak akan tertandingi lagi. Di samping itu pula, ajian Racun Kelabang Ungumu sangat menunjang. Nah, sekarang kau boleh melaksanakan apa yang telah aku perintahkan padamu. Carilah mangsa sebanyak-banyaknya."

"Bagaimana kalau Jaka turun tangan, Nek?" tanya Ningrum meragu.

"Kau tak perlu khawatir. Kau memiliki segalanya. Lawanlah bila ia memang harus kau lawan. Sementara pedang Sukma Layung, nanti malam aku akan mencurikannya untukmu."

"Tapi, apakah ayah tidak akan marah?"

Si nenek tersenyum kecut, lalu katanya kemudian: "Kenapa kau mesti takut, Anak manis? Kau adalah ratu, maka kau akan berkuasa atas segalanya."

Ningrum tersenyum mendengar ucapan gurunya. Memang dialah yang akan menjadi ratu, Ratu Telaga Warna. Sementara dikandungannya kini tampak membesar. Bayi yang ia kandung memang kini membesar saja.

"Pantaskah aku menjadi Ratu, Nek?"

"Kenapa tidak?" si nenek balik bertanya.

"Kau cantik dan memiliki ilmu yang tinggi. Lelaki mana pun pasti akan tergila-gila padamu. Bukankah bocah yang ada di kandunganmu meminta hal yang luar biasa? Bocah itu kelak akan menggegerkan dunia persilatan. Belum juga ia lahir, permintaanya sangat menggidikkan bulu kuduk. Dan mampu membuat semua lelaki tergetar bila mendengarnya!"

Ningrum tercenung diam, memikirkan tentang kandungannya yang aneh. Sejak perutnya makin besar, ngidamnya bukanlah ngidam yang wajar. Ningrum mengidam sesuatu yang mungkin dirasa aneh. Bayi dalam kandungannya meminta senjata laki-laki. Sungguh keterlaluan dan menyedihkan bagi laki-laki yang mendengarnya.

"Aku juga heran, Nek. Mengapa sejak perutku membesar aku ingin sekali selalu bersama laki-laki?" keluh Ningrum seakan menyesali keadaan dirinya. "Aku hamil, manalah mungkin aku akan bertualang, Nek?"

"Jangan khawatir. Akulah yang akan mencarikan mangsa."

Si nenek kedipkan mata dengan bibir tersenyum, yang lalu di sahuti oleh Ningrum dengan tersenyum pula. Setelah begitu, keduanya kembali melangkah menuju ke gubug. Dan kembali tepian pulau di Tengah Telaga pun sunyi-senyap.

********************

Malam itu nampak di rumah kediaman seorang pendekar yang namanya sudah cukup kondang berkelebat sesosok bayangan. Bayangan itu milik seorang yang berpakaian serba hitam dengan tali kepala yang sengaja diikat dengan warna putih. Di tengah tali pengikat kepala, nampak sebuah gambar seekor kelabang berwarna merah. Bayangan tersebut sesaat berhenti, menyembunyikan dirinya di balik pepohonan yang rimbun. Perlahan dengan langkah ringan bayangan tersebut melayang ke udara dan hinggap di atas sebuah wuwungan rumah tersebut.

"Tampaknya Pramana belum tidur. Hem, akan aku gunakan ajian penyirepku," bisik hati wanita pemilik tubuh tersebut, lalu dengan segera wanita itu pun mengheningkan cipta, dan...!

"Aji Sirep Sukma Tirep. Hiat...!"

"Oauh...!" terdengar suara seseorang menguap, sesaat lalu tak terdengar kata-kata lagi.

Perlahan tubuh terbungkus pakaian serba hitam itu membuka satu persatu genting yang ada di bawah pijakan kakinya. Dan dengan tubuh ringan wanita itu melayang ke bawah. Matanya memandang sekeliling sesaat, lalu bergegas wanita itu melompat ke sebuah ruangan di mana biasanya Pramana menyimpan pedang pusakanya, yaitu pedang Sukma Layung.

Wanita itu tertegun di kamar tempat penyimpanan pusaka-pusaka milik Pramana. Di kamar tersebut banyak terdapat lemari, namun di lemari yang manakah senjata pusaka tersebut disimpan? Mata wanita yang hanya nampak dalam lobang kain hitam penutup mukanya jalang mengawasi satu persatu almari tersebut.

"Mungkin ini," gumamnya.. Segera ia pun menghampiri lemari yang berada paling ujung. Perlahan lemari itu dibongkarnya. Namun tidak urung bunyi congkelan itu pun menggema. Beruntung semua yang ada di rumah itu telah terlelap tidur akibat aji sirep yang dilontarkannya, kalau tidak. Sungguh sebuah petaka bagi dirinya.

Kembali wanita bercadar hitam itu mencongkel pintu lemari tersebut. Dan dengan segenap susah payah, akhirnya wanita itu pun berhasil juga membongkar lemari tersebut. Sejenak dipandanginya segala macam senjata yang ada. Matanya seketika menghunjam pada sebuah pedang yang memancarkan sinar kuning.

"Ini dia!" pekiknya dalam hati. Tanpa banyak memilih lagi, diambilnya pedang tersebut. "Aku harus segera pergi dari sini."

Dengan hasil sebuah pedang pusaka Sukma Layung, segera maling tersebut mencelat lewat pintu belakang dan pergi meninggalkan rumah tersebut.

********************

Betapa alang kepalang kagetnya Pramana, manakala melihat pintu lemari pedang pusakanya telah terbongkar. Tanpa banyak tanya, segera Pramana menghambur dan mencari-cari gerangan apa yang telah hilang.

"Maling bangsat! Rupanya Pedang Pusaka Sukma Layung yang digondolnya! Awas kalau aku tahu, jangan harap akan dapat aku maafkan!" memaki dan mengumpat Pramana penuh amarah.

"Ada apa, Kang mas?" tanya sang istri, yang terjaga dari tidurnya demi mendengar suaminya mencak-mencak. "Mengapa sepagi ini engkau marah-marah, Kakang?"

"Kau lihat sendiri."

Melotot mata istri Pramana melihat apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupanya maling semalam telah masuk dan membobol lemari tempat menyimpan barang-barang pusaka. "Sudah pasti, malingnya tak lain orang-orang persilatan juga, Kakang?"

"Memang, Dinda. Malingnya memang orang-orang persilatan. Tapi siapa?" Pramana berkata seakan hendak menangis. Bagaimana tidak, senjata tersebut adalah warisan kakek gurunya yang harus dijaga baik-baik. Kembali Pramana teringat akan pesan gurunya, manakala kakek gurunya hendak menyerahkan pedang tersebut padanya.

"Pramana, pedang ini jangan sampai berada di tokoh sesat, sebab tidak mungkin kalau pedang pusaka ini akan mereka gunakan untuk kebaikan. Dan bila pedang pusaka ini untuk berbuat jahat, niscaya dia akan meminta korban, yaitu korban dari keluarga yang memegangnya. Ingat pesanku baik-baik! Bila pedang ini hilang dan digunakan untuk kejahatan, maka salah seorang keluargamu akan menjadi korbannya."

"Oh, bencana apa lagi yang akan menimpa keluargaku?" keluh Pramana, menjadikan sang istri seketika tersentak kaget. Ia yakin bahwa ucapan suaminya bukanlah ucapan sembarangan, namun ucapan seorang yang benar-benar mendalami arti sesungguhnya benda pusaka.

"Sudahlah, Kang mas. Janganlah kakang terlalu memikirkannya. Bukankah lebih baik kakang mencarinya?" istrinya berkata mencoba menghibur. "Kalau kakang hanya merenung dan menyesali, manalah benda tersebut akan pulang dengan sendirinya?"

Pramana tak dapat berkata, ia diam memaku berdiri. Omongan istrinya dirasa benar adanya. Ya, kalau dia hanya merenung dan memikir saja, manalah pedang tersebut akan kembali. Dia harus mencarinya, mencari siapa adanya yang telah mencuri pedang miliknya. "Baiklah, Dinda. Kakang akan mencoba mencarinya. Kakang minta do'a darimu."

"Dinda selalu berharap kang mas dalam kebaikan."

Setelah mencium istrinya, dengan diiringi istrinya sampai di pintu rumah Pramana pun meninggalkan rumah untuk mencari orang yang belum diketahui siapa adanya. Namun tekadnya membulat, bisa atau tidak ia harus menemukan pedang tersebut walau nyawanya sebagai taruhannya.

********************

LIMA

Setiap hal yang nantinya buruk, tentunya awal mulanya akan baik dan menyenangkan hingga orang yang tak sadar akan terlarut di dalamnya. Semua itu hanyalah perbuatan setan belaka, yang ingin menjerat manusia agar turut bersamanya....

Begitu juga halnya yang dialami oleh Kamto, seorang warga desa Kemanyar yang telah berguru pada Ratu Telaga Warna. Kamto berguru pada Ratu tersebut, semata-mata mendengar berita bahwa Ratu itu mampu memberikan sebuah ajian yang sangat hebat dengan cara yang menggiurkan. Sebagai seorang pemuda normal, jelas Kamto pun ingin membuktikan kebenaran apa yang dijadikan dengang dengung kabar burung. Maka dengan bekal semangat untuk dapat menjadi orang sakti mandra guna, Kamto pun berangkat menuju tempat yang telah diketahui olehnya melalui tanya sana tanya sini.

"Betapa aku akan menjadi orang sakti dengan cara yang nikmat. Sungguh sebuah kesempatan yang tak akan ada lagi," gumam Kamto sembari terus melangkahkan kakinya menuju ketempat yang telah dijadikan tujuannya, yaitu Telaga Warna.

Sebenarnya Kamto mendengar kabar tersebut, manakala ia tengah melamun seorang diri memikirkan keadaan kampungnya yang kini makin rawan oleh perampokan dan begal. Hampir setiap malam kampungnya di jarah oleh rampok dan begal. Sebagai warga yang baik, ingin sekali Kamto dapat menunjukkan darma baktinya pada desa. Namun ternyata garong-garong tersebut bukanlah orang sembarangan, mereka hampir seluruhnya menguasai ilmu silat. Bila hanya ilmu silat saja yang dia miliki, jelas sia-sia.

Terbukti Ki Kamsin, ia memiliki ilmu beladiri, namun ternyata ia tak mampu menghadapi kesepuluh garong yang menjarah rumahnya. Dan sudah tentu diketahui hasilnya. Tubuh Ki Kamsin bagaikan sebuah daging cincang, rapat dengan bacokan-bacokan golok dan tusukan-tusukan keris. Bukan hanya Ki Kamsin saja yang mempunyai ilmu beladiri namun akhirnya mati di tangan para garong. Bapaknya juga, mati digorok oleh para garong. Juga pamannya, Suroso mati oleh kekejaman para garong tersebut.

"Garong-garong biadab! Tunggulah nanti pembalasanku!" pekik Kamto penuh kebencian, sambil terus melangkah Kamto terus menghayal bagaimana jika ia telah memperoleh ajian yang mampu menahan segala bacokan atau hantaman lawan. Bila ingat semuanya, seketika Kamto menggeretak penuh amarah. Dikepalkannya tangan, meninju tangan sebelahnya. Perjalanan dari rumahnya ke Telaga Warna bukanlah jarak yang pendek.

Namun karena didasari oleh semangat yang tinggi, menjadikan Kamto bagaikan tak mengenal rasa capai sedikit pun. Tak hiraukan semak berduri yang menghalanginya, ia terus saja mantapkan langkah. Ketika sore telah tiba, Kamto pun sampailah pada tempat yang dituju. Namun seketika hatinya bimbang, bagaimana mungkin dirinya akan mampu menyeberangi telaga yang begitu luas? Salah-salah dirinya tak jadi berhasil malah akan mati. Kamto bermaksud membalikkan tubuhnya hendak kembali, manakala terdengar seruan seorang wanita yang diseru dari jarak yang jauh, tempatnya di tengah telaga warna.

"Anak muda, kenapa engkau urungkan niatmu? Apakah engkau akan menyia-nyiakan segala apa yang menjadi tujuanmu?!"

"Heh, benar juga apa yang diserukan oleh wanita tua itu," gumam Kamto. "Tapi, aku tak mampu untuk mengarungi telaga yang begini luas."

"Kenapa engkau terdiam, Anak muda! Cepatlah kemari! Turunkan tubuhmu ke air, pasti kau akan mampu menuju ke sini!" kembali wanita tua itu berteriak, menjadikan Kamto terbengong. Bagaimana mungkin nenek itu berkata seenaknya. Ia mencebur? Ya kalau dangkal, tapi kalau dalam? Apakah tidak namanya dia sengaja bunuh diri?

"Bagaimana aku dapat menuju ke situ, Nek?"

"Gampang! Terjunkan dirimu, air itu tak akan mau menenggelamkan tubuhmu!"

"Ah...!" Kamto memekik, nampak masih ragu. "Kau jangan bercanda, Nek!"

"Hi, hi, hi...!" nenek itu cekikikan. "Percayalah pada Ratu yang hendak menjadikan dirimu pendampingnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh sang Ratu, kau tak akan tenggelam. Nah, boleh kau coba sekarang."

Dengan setengah takut-takut Kamto segera menurunkan dirinya untuk mencebur. Dalam benaknya hanya ada satu pilihan, ia harus mampu sampai dan dapat mengeloni tubuh Ratu Telaga Warna yang menurut kabar cantik jelita. Dan sungguh-sungguh membuat Kamto seketika membelalakkan mata. Bagaimana tidak! Air telaga itu dirasakannya sangat keras menopang tubuhnya, sehingga tubuh Kamto pun seperti berjalan biasa. Kamto malah kini berlari, sepertinya ia merasakan sebuah pengalaman yang baru kali ini ia alami.

"Aneh. Mengapa air ini tak ubahnya seperti tanah?" bertanya-tanya Kamto pada diri sendiri. Dicobanya menyauk dengan tangan, dan ternyata memang benar-benar air adanya. "Heh, apakah aku tidak sedang bermimpi?"

"Jangan kaget, Anak muda. Itu semua karena Sri Ratu menghendaki dirimu. Jika Sri Ratu tidak menghendakimu, niscaya sudah dari semula kau akan tenggelam!" nenek tua itu kembali berseru.

Kamto yang tengah tercengang makin tercengang saja demi mendengar ucapan si nenek yang mengatakan bahwa Sri Ratu memang menghendaki dirinya. Jadi kalau begitu ia tak akan mengalami kesusahan lagi untuk mendapatkan segala apa yang diimpikannya. Kamto tak menyangka bahwa suara gaib itu memang benar adanya. Tengah Kamto masih terbengong dalam ketidak mengertiannya, kembali terdengar si nenek berkata:

"Cepatlah datang, sungguh engkau lelaki yang menjadi pilihan Sri Ratu. Dan engkaulah yang menjadi pemuda paling beruntung."

Kini makin terlintas saja khayalankhayalan indah di benak Kamto. Khayalan bagimana ia akan menggulati tubuh Sri Ratu yang cantik jelita. Tubuh Sri Ratu yang sudah pasti mulus dan elok. Ah, sungguh dirinya memang beruntung. Sudah akan mendapatkan kenikmatan, ia juga akan mendapatkan ilmu yang sangat tinggi.

Tak berapa lama kemudian Kamto pun telah mendarat di pulau, dimana berada di tengahtengah tegalan tersebut. Kehadirannya di sambut hangat oleh si nenek yang langsung membawanya menuju ke dalam bangunan yang cukup besar. Seketika mata Kamto melotot bagaikan mau keluar saja layaknya, manakala keduanya masuk lebih dalam dan menemui sang ratu. Bagaimana mata Kamto sebagai seorang anak muda tidak melotot? Bagaimana darah lelakinya tidak mendidih saat itu juga? Dihadapan Kamto kini terpapar sesosok tubuh indah menggiurkan tanpa mengenakan sehelai benangpun, tersenyum ke arahnya.

"Tuan Putri, inilah pemuda tersebut," si  nenek berkata setelah terlebih dahulu menjura hormat. "Semoga Tuan Putri berkenan menerimanya."

"Aku menerimanya, dan tinggalkan kami berdua, Nek."

"Daulat, Tuan Putri, hamba mohon pamit undur." Si nenek untuk kedua kalinya menghormat, lalu setelah begitu ia pun meninggalkan wanita cantik tersebut bersama Kamto yang masih terpaku ditempatnya dengan tubuh bagaikan diserang demam yang hebat.

Kamto makin menggigil tatkala tubuh wanita cantik jelita itu bangun dari tempat tidurnya, melangkah menuju ke arahnya dengan bibir masih menggerai senyum. Tubuh wanita itu benar-benar sempurna, tanpa cacat cela sedikit pun. Tubuh tanpa tertutup sehelai kain pun kini melangkah ringan, berlenggak lenggok mendekati Kamto. Namun seketika mata Kamto mengarah pada perutnya. Perut itu melenting bagaikan orang bunting. Kamto ingin bertanya, namun seketika hatinya menolak. Dia takut kalau-kalau nantinya Sri Ratu akan marah besar padanya. Tak disadari oleh Kamto, Sri Ratu Telaga Warna tiba-tiba menggelantungkan tangannya di leher Kamto.

"Siapa namamu, pemuda ganteng?"

"Nama hamba, Sukamto."

"Kau ingin menjadi seorang yang sakti mandra guna, Kamto?"

Kamto tak segera menjawabnya. Kini ia benar-benar telah terlelap dalam pelukan mesra yang dilakukan oleh Sri Ratu. Kamto kini benarbenar terhanyut dalam khayal-khayal yang indah. Khayalan seorang pemuda yang baru pertama kalinya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami istri. Tangan Sri Ratu Telaga Warna bergerak, dan dengan perlahan satu persatu pakaian Kamto pun melesat jatuh ke bawah.

"Bagaimana, Kamto? Apakah kau ingin menjadi seorang yang sakti mandra guna?" kembali Sri Ratu berkata, kali ini sangat lembut suaranya. Tubuh Sri Ratu menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan, bergesek dengan tubuh Kamto yang juga telah telanjang bulat.

Bagai disengat aliran listrik jutaan volt, tubuh Kamto seketika turut tersedot oleh irama permainan yang. dilakukan oleh Sri Ratu Telaga Warna.

"Kenapa engkau terdiam, Kamto? Tidakah engkau menghendaki ilmu yang sangat tinggi?"

"Sa... saya, menginginkannya, Sri Ratu," Kamto berkata terbata-bata. Matanya terus menghunjam liar, menyelusuri tubuh Sri Ratu yang berdiri telanjang di depan matanya. Tubuh yang sepertinya hendak memberikan segala apa saja pada Kamto. Ya, ilmu yang akan menjadikan dirinya sakti, juga kenikmatan yang tanpa batas akan dapat Kamto renggut.

"Menginginkan apa, sayang?" Sri Ratu berkata manja. Tubuhnya bergerak liar, kekanan dan kekiri, sepertinya tubuh Sri Ratu menari, sehingga Kamto yang tergesek pun seketika merasakan kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang baru sekali ini dirasakan oleh Kamto.

Mata Sri Ratu yang tajam, seketika beradu pandang dengan mata Kamto. Kamto merasakan sebuah letupan-letupan timbul di dalam sanubarinya. Letupan itu menggejolak, menjadikan nafas Kamto seketika menggerek bagaikan berat. Sri Ratu tersenyum, dan masih dalam gerakan-gerakan yang liar, yang mampu menjadikan Kamto memejamkan dan memelekkan mata merasa nikmat.

"Kamto, kalau kau ingin mendapatkan apa yang engkau mau, maka kau harus mau menuruti segala apa yang menjadi aturankau di sini. Bagaimana, apakah kau akan sanggup?" tanya Sri Ratu masih terus berbuat begitu, menggoyangkan tubuhnya melenggak lenggok bergesek dengan tubuh Kamto. Perlahan dibimbingnya tubuh Kamto, melangkah menuju ke tempat di mana tadi dirinya berbaring. Kamto tetap saja diam, menuruti apa yang dihendaki oleh Sri Ratu.

"Apa yang harus hamba lakukan, Tuan Putri?" tanya Kamto dengan napas memburu. "Demi Sri Ratu, hamba akan menjalankan segalanya asalkan hamba diberi bekal ilmu yang mampu untuk hamba pergunakan."

"Benar, Kamto?" tanya Sri Ratu manja.

"Adakah hamba dirasa berdusta?" Kamto balik bertanya. Kini tangannya yang kokoh dan kekar telah mendekap erat tubuh Sri Ratu yang menggelinjang-gelinjang di bawah dekapan Kamto.

Sri Ratu tersenyum, lalu katanya: "Aku percaya, Kamto. Nah, dengarlah. Sejak saat ini, kau dalam kuasaku. Kau harus menuruti apa kataku. Seminggu kau harus di sini dulu, agar ilmu yang engkau inginkan dapat segera engkau dapatkan."

"Seminggu, Sri Ratu?" tanya Kamto setengah heran.

"Ya, kenapa?" Sri Ratu balik bertanya. "Apakah engkau keberatan bila harus di tempat ini seminggu. Apakah engkau tak suka untuk memberikan kepuasan padaku selama seminggu?"

"Bu... bukan itu. Hamba akan mau dan dengan senang hati akan memberikan segala kenikmatan yang Sri Ratu kehendaki sampai kapanpun. Jadi, jelasnya hamba tidak menolak untuk tinggal di sini selama seminggu."

"Lalu, mengapa engkau seperti keheranan, Kamto?"

"Hamba tadinya mengira kalau hamba akan diberikan waktu yang lamanya 40 hari, seperti orang-orang lain melakukan tapa Brata."

Sri Ratu Telaga Warna tersenyum, mendengar ucapan Kamto. "Padaku, tidak! Kau cukup melayani saja apa yang aku inginkan hanya dalam waktu seminggu. Setelah itu, kau akan mendapatkan apa yang engkau cita-citakan," Sri Ratu berkata: "Ah, sudahlah, yang penting kita nikmati dulu segalanya dalam seminggu. Setelah itu, kau harus mampu menarik pemuda-pemuda kampungmu dan pemuda kampung lain ke mari. Kau sanggup, Kamto?"

"Sanggup, Sri Ratu," Kamto menjawab. "Apapun akan hamba lakukan demi Sri Ratu, asalkan hamba selalu dapat menjadi pendampingmu. Hamba sungguh mencintai Sri Ratu."

Tersentak Ratu Telaga Warna mendengar ucapan Kamto. Bagaimanapun juga ia tidak menyangka kalau Kamto akan berkata terus terang begitu. Namun demi membahagiakan Kamto, Ratu Telaga Warna pun mengangguk dan berkata: "Baiklah, aku akan mengangkatmu sebagai pendampingku, tapi kau harus menjalankan tugasmu terlebih dahulu. Dan setelah anak dalam kandunganku ini lahir, Kau mau?"

Kamto tak berkata menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ratu Telaga Warna. Ia hanya mengeratkan dekapannya, lalu mendenguskan napasnya dengan tajam, seakan mengisyaratkan pada Ratu Telaga Warna untuk segera memulai. Sri Ratu nampak masih tersenyum, lalu dengan penuh semangat membalas dekapan Kamto dengan diikuti oleh tarian pantatnya. Tak ayal lagi, Kamto seketika menggigit bibirnya menahan gejolak nafsu yang menggebu-gebu.

"Sri Ratu, Oah...!"

"Kau sudah bersedia, Kamto?"

"Apapun hamba telah bersedia, Sri Ratu."

"Baiklah, Kamto. Ingat! Kalau kau bermaksud membantah, maka kau akan tahu sendiri apa akibatnya!" Ratu Telaga Warna akhirnya terdiam membisu, seperti juga Kamto. Kedua mahluk yang dinamakan manusia itu akhirnya saling memacu dalam segalanya. Kamto melototkan mata, lalu mengerang bagaikan disetrom oleh ribuan watt arus. Tubuh Kamto sejenak terdiam, lalu terkulai di sisi tubuh Sri Ratu yang tak mau membiarkan Kamto terkulai begitu saja.

Rupanya Sri Ratu belum mendapatkan kepuasan. Maka dengan segera ditubruknya tubuh Kamto yang terkangkang, dan dengan liar Ratu Telaga Warna segera menggoyangkan tubuhnya. Sungguh adegan yang mendirikan bulu kuduk. Walau pun adegan tersebut bukan adegan horor, tapi cara Ratu Telaga Warna mencari kepuasan mampu menjadikan pemuda Kamto terintih-rintih menahan segala siksa.

********************

ENAM

Tujuh hari sudah Kamto menghilang, sehingga orang-orang desanya menyangka bahwa Kamto telah menjadi korban Ratu Telaga Warna. Tapi ternyata dugaan semua pemuda di kampungnya seketika meleset, manakala sore itu Kamto nampak berjalan dengan lesu pulang ke desanya.

"Kamto...! Hai itu Kamto datang!" seru seorang rekannya pada temannya yang lain, yang segera mengalihkan pandangannya ke arah di mana Kamto muncul.

"Benar! Itu Kamto. Ayo kita sambut!" Dengan penuh rasa bangga seluruh pemuda yang sore itu tengah nongkrong segera berhamburan menghampiri Kamto yang tersenyum menyambut kedatangan rekan-rekannya.

"Wah, Kam. Sudah kami kira engkau menjadi korban," seorang temannya langsung membuka kata.

"Ya, kami kira engkau telah mati, sebab kau lama benar menghilang. Bagaimana, apakah engkau telah mendapatkan ilmu yang engkau inginkan tersebut?"

"Kalian nanti malam boleh menyaksikannya. Kamto sekarang bukanlah Kamto yang dulu. Kamto sekarang adalah Kamto yang mempunyai ilmu yang tinggi. Hua, ha, ha...!" Kamto berkata menyombong, menjadikan semua rekannya seketika kerutkan kening. "Kalian akan tahu kehebatan ilmuku. Nanti malam, para garong itu akan menerimanya. Hua, ha, ha...!"

"Kau tidak berdusta, Kam?" tanya temannya penuh keheranan.

"Hem, Jupri. Apakah kau tak yakin?" Kamto balik bertanya, menjadikan Jupri terdiam. "Kau ikutlah denganku, biar nanti malam engkau dapat melihatnya. Dan kalian semua pun dapat ikut denganku."

"Baik! Kami akan mengikutimu!" serentak semuanya menjawab.

Dengan tenang diiringi oleh puluhan pemuda kampungnya Kamto melangkah menuju ke rumahnya. Rumah yang sudah seminggu ditinggalkannya. Pemuda-pemuda desa itu pun mengikuti, bahkan kini bertambah banyak pemuda itu. Mereka ingin mendengarkan apa yang telah dialami Kamto selama seminggu.

"Kalian tahu, heh. Bagaimana mulusnya seorang gadis cantik? Jauh lebih mulus milik Sri Ratu."

Semua tercengang mendengar penuturan Kamto. Dalam benak semua pemuda itu terpampang bayangan indah yang menjadikan diri mereka seketika terhanyut. Tak terasa lidah mereka melelet, menahan kelu yang terjadi akibat rangsangan cerita Kamto.

"Kalian akan memiliki ilmu yang seperti aku miliki, hanya dengan cara kalian mau melakukan persetubuhan dengan sang Ratu selama seminggu."

"Ah...!" mereka memekik tertahan.

"Kenapa?" Kamto menanya.

"Enak benar? Sudah mendapatkan kepuasan dari seorang cewek cakep, kita mendapatkan ilmu yang tinggi," gumam seorang pemuda yang nampak meleletkan lidahnya terus menerus, sampai-sampai air liurnya meleleh.

"Ya! Kalian boleh membuktikan sendiri, bagaimana nanti ilmu yang aku miliki!" Kamto masih mencerca cerita, sehingga makin menjadikan semua pemuda desanya seketika makin terjerumus masuk ke dalam khayal. "Kalian akan aku antar bila ada yang hendak mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, kalian dapat merasakan nikmat surga dunia. Keuntungan kedua, kalian akan sendirinya mampu memiliki ilmu yang sungguh hebat."

"Aku mau!"

"Aku mau!"

"Aku ikut, Kam!"

"Aku juga!"

Riuh seketika rumah Kamto oleh pekikan pemuda-pemuda itu yang telah tertarik oleh cerita Kamto. Dan memang nampaknya semua pemuda tersebut menuruti apa yang saat itu telah menggelegar di hati mereka. Dalam benak mereka hanya ada bayangan-bayangan keindahan.

"Baiklah, kalian akan aku antar satu persatu ke sana. Maka itu kalian harus aku urut," Kamto berkata: "Warna...!"

"Saya Kam!" Warna menyahut.

"Surip...!"

"Ya...!"

"Gempol...!"

"Saya...!"

"Enteng...!"

"Saya, Kam!"

Dan lain-lainnya pun dengan segera menyambut setiap seruan yang dilakukan oleh Kamto. Lengkap sudah seratus pemuda yang telah mendaftarkan. Kini tugasnya telah selesai, tugas yang dibebankan oleh Ratu Telaga Warna untuk mencari pemuda sebanyak-banyaknya. Kamto sunggingkan senyum, sebetulnya senyum itu adalah senyum sinis, namun karena mereka dalam luapan khayalan yang indah menjadikan mereka seketika lupa pada keadaan.

********************

Malam pun kini mendendang, tiba dengan segala kepekatan yang menyelimuti desa tersebut. Keadaan seketika sunyi bagaikan mati, hanya di rumah Kamto saja yang tampak masih ramai. Tak seorang pemuda pun yang berkeinginan pulang, sebab mereka ingin menyaksikan bagaimana ilmu yang dimiliki oleh Kamto, dan bagaimana pula Kamto akan membekuk semua garong yang sering menjarah kampungnya. Semuanya tampak tak seorang pun tidur, mereka asyik main gaple cepe-cepe. Setiap bantingan kartu, seketika meledaklah tawa ria semuanya.

"Wah, sudah malam para garong itu belum nongol juga, Kam?"

"Mungkin mereka takut kali melihat kedatangan Kamto." timpal yang lainnya seraya membanting gaple. "Atau barang kali mereka tak berani karena melihat kita berkumpul."

"Ah, aku rasa tidak. Aku merasa garong-garong itu memang benar-benar takut melihat kedatangan Kamto."

Tengah mereka bercakap-cakap dengan main gaple, seketika terdengar dari kejauhan seseorang menabuh kentongan. Sementara yang lainnya berteriak-teriak.

"Tolong...! Garong datang...!"

Tong, tong, tong!

Mata keseratus teman Kamto seketika membelalak kaget. Ada rasa ngeri terlintas di wajah mereka, apa lagi di lihatnya Kamto masih tenang-tenang saja.

"Kam, bagaimana ini?"

"Tenang sajalah, Juf. Nanti mereka akan tahu siapa aku," jawab Kamto masih tenang, sementara keseratus pemuda itu nampak sudah blingsatan ketakutan. "Apakah kalian tak mau percaya padaku? Biarkan saja garong-garong itu menjarah rumah orang, toh nanti mereka datang ke mari, bukan?"

"Tapi kasihan Mang Kimpul, Kam? Diakan sudah tua," yang bicara Jufri. Mendengar nama Mang Kimpul disebut-sebut, seketika Kamto segera bangkit, lalu dengan lagak seorang pimpinan ia pun mengajak keseratus temannya berangkat.

"Ayo kita ke sana!"

Dengan langkah pasti bagaikan tak mengenal rasa takut Kamto berjalan paling depan, mendahului keseratus rekannya yang nampak menyurut di belakangnya ketakutan. Wajah Kamto bagaikan tiada reaksi, beda dengan wajah rekan-rekannya yang tegang dan diselimuti oleh rasa ketakutan yang teramat sangat. Langkah Kamto begitu tegap, matanya tajam memandang ke muka, seakan ingin menghujamkan pandangan matanya pada para garong yang selalu saja menjarah kampungnya.

********************

"Jangan tuan, jangan!" memekik seorang gadis terseret paksa oleh seorang garong yang memiliki tubuh kekar. "Lepaskan!"

"Hua, ha, ha...! Kau harus ikut denganku, manis! Kau harus mau melayani diriku," garong itu menyeringai, menjadikan sang gadis makin tampak ketakutan. Namun sang garong tak mau ambil peduli, ia kini dengan paksa menggendong tubuh gadis tersebut yang meronta-ronta minta dilepaskan.

"Diamlah!"

"Tidak! Aku tidak mau menjadi istrimu!" gadis itu kini nampak nekad, memberontak dan meludahi muka orang yang membopong tubuhnya. "Cuh...! Tak sudi aku menjadi istri garong!"

"Bangsat! Aku bunuh kau!" maki marah garong itu, seraya tangannya mengelap ludah yang gelepotan di mukanya. Tanpa mengenal kasihan, dilemparkan tubuh si gadis ke rerumputan. Dan bagaikan seekor serigala kelaparan, sang garong segera menubruk tubuh gadis itu yang kini tersentak dan segera beringsut mencoba menghindar. Namun rupanya tubrukan sang garong lebih cepat, sehingga si gadis tak mampu lagi mengelakannya. Tubuh si gadis akhirnya tertindih oleh tubuh besar si garong.

Kedua tubuh tersebut saling berusaha merangsek. Si garong berusaha membuka pakaian yang dikenakan si gadis, sementara si gadis berusaha menendang dan mencakar sang garong dengan harapan dapat terlepas dari dekapannya. Namun rupanya dekapan sang garong lebih kuat dibandingkan dengan berontakan sang gadis, sehingga kini si gadis pun akhirnya terdiam. Manakala lelaki tersebut hendak melampiaskan nafsunya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghantam tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh si garong pun seketika berguling-guling menahan rasa sakit.

"Bangsat! Siapa kunyuk yang hendak berlagu dengan gerombolan garong Munik Wangi, hah!" bentaknya marah.

Pemuda yang tak lain Kamto nampak tersenyum menyeringai, lalu dengan sinis berkata: "Minggatlah kalian dari desa ini! Dan jangan sekali-kali berusaha menginjakkan kaki di sini selama masih ada aku!"

"Cuih...! Pantang bagiku untuk menyerah!"

"Hem, begitukah?" Kamto berkata sinis. Senyumnya mengembang.

"Sudah, Kam. Jangan diberi hati, beri saja rempela!" pekik teman-temannya.

"Hai, garong tengik! Katakan pada ketua kalian, bahwa kami akan menjerat lehernya bila berani lagi pada warga desa ini, mengerti! Kau lihat, keempat rekanmu telah menjadi bangkai, mati oleh Kamto!" Pak Lurah turut berkata.

"Bohong!"

"Hem, kau memang ingin digorok rupanya!" Pak Lurah yang melihat Kamto ada di situ timbul keberaniannya. "Lihat dengan matamu, noh di sono!"

Sang garong segera mengikuti arah yang ditunjuk oleh Pak Lurah. Dan manakala ia sudah pasti bahwa rekan-rekannya telah mati, maka tanpa banyak kata lagi ia pun melesat dengan diikuti ancaman yang ditujukan pada warga desa tersebut, kususnya Kamto yang dirasa telah mampu membuat rekan-rekannya tak berdaya.

"Kalian tunggulah pembalasan ketua kami!"

"Katakan pada ketuamu, bahwa aku Kamto masih menunggu kedatangannya secepat mungkin!" Kamto tak kalah berseru.

"Ayo Kamto, kita adakan syukuran atas keberhasilanmu mendapatkan ilmu yang tinggi tersebut," Pak Lurah mengajak, lalu dengan diikuti warga desa lainnya yang seketika mengelu-elukan nama Kamto mereka pun meninggalkan batas desa. Dengan penuh kegembiraan semuanya segera menuju ke rumah kepala desa.

********************

TUJUH

Ancaman garong tersebut rupanya bukan main-main, terbukti esok malamnya datang serombongan garong yang langsung dipimpin oleh ketuanya. Mereka datang bukan untuk menggarong, melainkan untuk membalas dendam atas kematian empat orang anak buahnya.

"Mana yang namanya Kamto. Keluarlah kunyuk kecil!" Kamto yang mendengar seruan ketua garong, dengan gagah berani berkelebat diikuti seluruh warga desa menemui pimpinan garong dan anak buahnya yang jumlahnya banyak tersebut.

"Aku yang bernama Kamto. Siapa kau adanya, hah!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata orang yang berlagak itu hanyalah seekor tikus kecil bau busuk!" Ketua garong itu menggeretak penuh kebencian. Matanya menghujam pandang pada Kamto yang tampak masih tersenyum tenang. "Hanya dengan tikus bau ini kalian tak berani? Bodoh!"

"Hai, monyet jelek! Kalau kau masih saja berani menyuruh anak buahmu menjarah ke mari, jangan harap kami akan membiarkannya. Kami akan menggantung anak buahmu satu persatu!" Kepala desa tampil dengan segala keberanian.

"Setan bangkotan! Selama engkau masih menjadi kepala desa, tak akan aku biarkan kau tenang! Kau licik! Kau manusia yang tidak tahu malu!" ketua garong itu membentak bengis. "Kau telah menjadikan hidupku terlunta. Cincang tua bangka licik itu!"

Kamto tersentak bingung harus bagaimana ia berbuat. Ia merasa bahwa ucapan ketua garong itu benar adanya. Namun sebagai seorang warga, ia harus membelanya. Tak ayal lagi, pertarungan pun seketika meledak.

"Turunlah kau, Monyet!" bentak Kamto pada ketua garong yang masih bertengger di atas kudanya. "Apakah kau takut menghadapi diriku?"

Betapa gusarnya hati ketua garong tersebut, demi mendengar ejekan yang dilontarkan oleh Kamto. Napasnya seketika mendengus penuh marah, lalu sekali genjot ia pun melesat turun dari kudanya dan menghadapi Kamto. "Tikus busuk! Apakah kau sudah punya taring, sehingga berani berkoar di hadapanku. Hah!"

"Janganlah kau terlalu berkoar! Kalau kau memang lelaki, maka hadapilah aku! Aku bukan membela kepala desaku, namun aku hanya ingin membasmi kejahatan yang telah sekian tahun menteror warga desaku!"

"Dungu! Kau ternyata dungu! Kepala desamu, tak lain hanyalah seorang bajingan yang bertampang baik. Dia adalah lebih jahat dari diriku! Dia telah menghancurkan kehidupanku. Dia rebut istriku dengan rayuan-rayuan gombalnya. Nah, apakah engkau masih saja akan membelanya?!"

"Sekali lagi aku katakan, aku bukan hendak membela dia. Kalau kau memang ada masalah dengan dirinya, mengapa engkau mesti membawa bencana bagi rakyat yang tidak berdosa? Aku tak akan ikut campur, asalkan engkau tidak membawa bencana bagi warga di sini!"

Pimpinan garong itu mendengus marah, rupanya ia sudah tak dapat lagi menenangkan hatinya. Ucapan Kamto dirasakannya adalah sebuah tantangan, tantangan yang menyuruhnya untuk membuktikan siapa adanya Munik Wangi. Seorang pimpinan garong yang namanya telah disegani oleh orang-orang persilatan. Maka dengan didahului dengusan marah, Munik Wangi berkelebat menyerang Kamto.

Pertarungan pun seketika menjalar cepat. Pertarungan antara warga desa yang menghendaki keamanan dan ketentraman dirinya dengan para garong yang tidak ingin mata pencahariannya terputus. Dalam beberapa gebrak saja, para warga yang tak memiliki ilmu tersebut dengan mudah dapat dijatuhkan. Jeritan-jeritan akibat tebasan golok di tangan para garong itu menggema, diselingi dengan bergedebugnya tubuh korban.

"Lurah bejad! Kau harus mati, Hiat...!" maki sang garong yang menghadapi Kepala Desa.

"Jangan harap semudah itu kau berbuat padaku!"

"Hem, aku akan membuktikan dan membuat matamu melotot siapa adanya aku. Tentunya kau masih mendengar suaraku, bukan!"

"Kau... kau Rastini?!" terbata Kepala Desa menyebut nama seorang garong yang mukanya tertutup dengan kain, yang dengan gencar menyerangnya.

"Rupanya kau masih belum pikun! Nah, kini bersiaplah kau menerima kematianmu yang busuk! Kau harus mati di tanganku, sebab kau dulu pernah membuatku merana oleh rayuan bejadmu! Kau rebut diriku dari tangan kakang Munik Wangi, tapi setelah kau nodai diriku, kau telantarkan diriku begitu saja."

"Aku tidak bermaksud menelantarkan dirimu. Kaulah yang lari meninggalkan diriku!"

Rastini cibirkan mulut, demi mendengar ucapan Kepala Desa, yang sangat bertentangan dengan hal yang pernah terjadi sebenarnya. "Manusia pengecut! Dulu engkau menyia-nyiakan diriku, tapi kini setelah maut diambang pintu, kau berusaha merayuku lagi. Huh, tak akan aku berikan ampun padamu. Nah, bersiaplah kau untuk mati, Hiat...!"

Secepat kilat tubuh Rastini berkelebat. Golok di tangannya seketika berselewangan bagaikan mempunyai mata. Golok tersebut dilihat oleh Kepala Desa bagaikan sebuah maut yang siap merajah dirinya. Dan memang benar, golok itu akhirnya bergerak cepat, menghujam ke kepala Kepala Desa.

"Aaah...!" Kepala Desa memekik sesaat, lalu ambruk dengan nyawa terputus dari raga. Kepalanya pecah menjadi dua, terbelah menyemburkan darah yang seketika membanjir berbaur dengan otaknya yang meleleh putih.

"Kakang...! Aku telah membunuhnya!" Rastini memekik histeris, menjadikan semuanya seketika terhenti diam. Mata mereka seketika melihat ke tempat di mana tubuh Lurah desanya tergeletak tanpa nyawa dengan darah berbaur otak keluar dari belahan kepala yang menganga terpancong golok. "Kini dendamku sudah terlunasi, kita pergi kakang! Kita pergi, hi, hi, hi...!"

Tanpa memeperdulikan warga desa yang masih terbengong-bengong dalam keterkejutannya, para garong itu pun segera minggat meninggalkan desa itu. Tinggallah semua warga yang menghampiri tubuh kepala desanya yang sudah menjadi mayat.

"Hem, semua adalah ulahnya sendiri," gumam Kamto dalam hati. Ia telah mendengar sendiri siapa adanya kepala desanya. Kini tugasnya telah selesai, dia hanya memerlukan pemuda-pemuda desa untuk menjadi pengikutnya sebagai pemuas nafsu Sang Ratu Telaga Warna.

********************

Pagi masih begitu cerah, mentari pun masih samar-samar menampakan dirinya untuk kembali mengedarkan dirinya ke orbitnya. Dari perbatasan desa, nampak serombongan anak muda berjalan meninggalkan desanya menuju ke arah Barat. Paling depan berjalan seorang pemuda yang tidak lain Kamto adanya.

"Kita akan berkemah di pinggir Telaga," Kamto berkata.

"Kenapa tidak sekalian kita menuju ke tempat tersebut?" tanya salah seorang dari temannya.

"Bukankah aku tidak mengijinkan kalian semua datang bareng, tapi kalau Sri Ratu tidak berkenan, bagaimana?"

"Iya, ya...!"

"Bagaimana?" kembali Kamto bertanya.

"Akur, deh!" jawab mereka serempak.

Semua pemuda itu akhirnya dengan membisu kembali berjalan, menuju ke tempat di mana Kamto mendapatkan ilmu yang tinggi. Tak berapa lama antaranya, mereka pun akhirnya sampailah di tempat yang dituju. Tempat yang indah dan asri, di mana terpampang luas sebuah telaga yang airnya beraneka warna.

"Kalian di sini dulu, dirikan kemah!"

"Kau mau kemana, Kam?" tanya Jufri.

"Aku hendak menemui Sri Ratu," jawab Kamto singkat. "Nah, aku harap kalian bersabar di sini."

Dengan segera Kamto pun berkelebat menuju ke Telaga Warna, lalu dengan tanpa merasa takut akan tenggelam Kamto pun turun ke permukaan air. Seketika mata keseratus temannya membelalak kaget. Mereka baru tahu, kalau Kamto mampu berjalan di atas air.

"Wah! Apakah aku tak salah lihat?" tanya Jufri terheran-heran. "Atau barangkali aku bermimpi?"

"Iya-ya. Mengapa Kamto mampu melakukan itu semua? Sungguh Ratu itu sakti bukan alang kepalang," gumam yang lainnya.

Mata mereka terus memandang ke arah Kamto yang berjalan dengan santainya, seperti Kamto berjalan di atas tanah saja. Malah semuanya makin membelalak kaget, tatkala Kamto dilihat oleh mereka berlari. Makin percaya saja mereka pada kehebatan ilmu Sri Ratu. Bayangan mereka kini tertuju pada bayangan segala keindahan yang bakal didapat oleh mereka dari Sri Ratu. Kepuasan batin, juga ilmu yang sungguh-sungguh luar biasa.

"Kau telah datang, Kamto?" terdengar suara seorang wanita menyambut kedatangan Kamto.

"Benar, Sri Ratu. Hamba telah membawa apa yang dipesankan oleh Sri Ratu."

"Hi, hi, hi...! Kau ternyata benar-benar setia padaku, sayang? Kaulah seorang calon suami yang baik, yang mengerti akan apa yang menjadi keinginan istrinya." Sri Ratu Telaga Warna seketika manja, bergayut di pundak Kamto yang menyambutnya dengan penuh bara nafsu.

"Demi engkau, apa pun akan aku penuhi," bisiknya di telinga Sri Ratu mesra, menjadikan Sri Ratu kembali tersenyum. "Seandainya kau minta nyawaku pun, aku akan memberikannya untukmu, asal kau benar-benar setia dan cinta padaku."

"Aku tidak memerlukan itu, Kamto. Aku hanya minta pengertianmu untuk selalu memberikan padaku kebebasan dalam melaksanakan niat yang telah terpendam di hati."

"Aku juga mengerti apa yang sebenarnya terkandung dalam tubuh sang bayi. Aku rela tubuhmu di jamah oleh lelaki lain, asalkan hati dan cintamu hanya untukku."

"Ooh... sungguh kau seorang lelaki yang penuh pengertian," lenguh Sri Ratu. "Mana pemuda-pemuda itu, Kamto?"

"Bukankah aku belum mendapat jatah darimu, sayang?"

Tanpa meghiraukan Sri Ratu yang melenguh-lenguh penuh rasa dahaga, Kamto terus mencerca sekujur tubuh Sri Ratu dengan ciumanciuman yang mampu membuat mabuk bagi Sri Ratu. Sri Ratu menggelinjang, dan tak lama kemudian satu persatu pakaian yang dikenakan oleh mereka pun lepas menggelorot ke bawah tubuh keduanya. Kini tubuh keduanya tak tertutup sehelai benang pun, polos.

Keduanya kembali bergulat, saling serang dan terjang dengan segenap nafsu membara di dalam benak mereka. Tak lama kemudian, Kamto pun meregang, lalu menggelo-sot rebah terlentang di samping Sri Ratu, yang dengan buas tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bagaikan orang kelaparan saja Sri Ratu Telaga Warna kembali mencerca tubuh  Kamto dan menggulatinya dengan disertai erangan-erangan yang menyayat.

Satu persatu dari keseratus anak muda itu berdatangan menuju ke pulau di tengah Telaga. Pulau yang bagi mereka yang tidak tahu adalah pulau Surga. Ya, memang di situlah pulau Surga, dimana mereka akan mendapatkan kepuasan batin yang tak pernah mereka temukan di alam yang bebas.

Jufri kini yang melesat menuju ke tempat di mana pulau itu berada. Mulanya Jufri takut, tatkala Kamto mengajaknya turun dan melangkah di atas air. Namun setelah dirasakannya mampu, secepat kilat Jufri pun tertawa bergelak-gelak kegirangan.

"Hai...! Lihat Kam, aku ternyata dapat berjalan sepertimu."

Kamto hanya tersenyum-senyum.

"Itu karena Sri Ratu berkenan menerima kehadiranmu, Juf."

"Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Sri Ratu mau menerima kedatanganku. Benarkah apa yang engkau katakan, Kam?" Jufri yang hatinya berbunga-bunga bertanya ingin memastikan.

"Kalau aku tidak benar, niscaya tubuhmu telah amblas ke dalam air ini dan dimakan oleh hiu-hiu dan buaya-buaya Iblis yang ada di dalamnya."

Bergidik juga Jufri mendengar Kamto berkata bahwa di dasar telaga warna tersebut ada binatang-binatang buas yang setiap kali mampu mencincang tubuhnya. "Hiiii...!"

"Kenapa, Juf?" Kamto bertanya. "Kau takut?"

Jufri tak dapat berkata, ia hanya menganggukan kepala saja.

"Jangan takut, semua hiu dan buaya di sini akan tunduk dengan perintah Sri Ratu," Kamto kembali berkata, mencoba menenangkan Jufri. "Ayo Jufri, kita sebentar lagi nyampai."

Digeretnya tangan Jufri, berlari dengan cepatnya, menjadikan Jufri hanya mampu memejamkan mata rapat-rapat. Ia takut kalau-kalau tubuhnya amblas ke dasar telaga. Sungguh tak dapat di bayangkan bagaimana jadinya tubuhnya bila harus menjadi santapan lezat ikan-ikan dan buaya-buaya liar tersebut.

Kamto tak hiraukan Jufri yang masih ketakutan, ia terus menggeret tangan Jufri berlari melintasi jalan air dengan kencangnya, sehingga keduanya bagaikan terbang. Jufri sendiri kini makin merapatkan pejaman matanya, tak berani membuka barang sekejap pun untuk menyaksikan apa yang tengah terjadi dengan dirinya.

"Juf, bukalah matamu, kita telah sampai."

Perlahan Jufri membuka matanya, dan betapa tersentaknya dia demi melihat apa yang dilihatnya. Di hadapannya kini terpampang sebuah rumah yang besar, mirip seperti istana. Hal itu menjadikan Jufri kembali terbengong-bengong, tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Belum juga Jufri hilang dari keterbengongannya, tiba-tiba ketujuh puluh lima temannya datang dan menghampirinya. Namun sungguh menjadikan Jufri tak mengerti, sebab ketujuh puluh lima temannya ternyata kini tak mengenal dirinya lagi.

"Kenapa mereka? Sepertinya mereka sombong padaku. Apakah karena mereka telah memiliki ilmu tersebut?" hati Jufri bertanya-tanya penuh keheranan.

"Ayo Jufri, Sri Ratu telah menunggumu."

Jufri tersentak dari terbengongnya, manakala terdengar suara Kamto berkata mengejutkan dirinya. Dengan masih menyimpan rasa bingung Jufri pun akhirnya menuruti ajakan Kamto. Matanya masih terus memandang pada ketujuh puluh lima temannya yang tampak diam tak hiraukan dirinya. "Hem, apa yang sebenarnya mereka lakukan?" gumam hatinya masih bertanya-tanya.

Kamto telah menarik tangannya, mengajak Jufri untuk terus menuruti langkahnya. Jufri seketika makin tersentak, lidahnya melelet tatkala melihat apa yang tengah ada di hadapannya. Seorang wanita cantik jelita, memandang ke arahnya dengan pandangan seakan meminta. Tubuh wanita itu polos, tiada sehelai benang pun yang menutupinya.

"Ini Sri Ratu," Kamto berkata.

"Kemari sayang... bukankah engkau menghendaki ilmu dariku?" suara Sri Ratu begitu mendayu, mampu menggetarkan hati Jufri. Sorot mata Sri Ratu seketika menyentakkannya untuk mau menuruti apa saja yang hendak diminta oleh Sri Ratu darinya. Kamto segera meninggalkannya.

Perlahan Sri Ratu bangkit, menghampiri Jufri yang nampak masih terdiam tanpa reaksi. Dan manakala tangan Sri Ratu membuka pakaiannya, Jufri pun hanya diam dan diam. Matanya terus memandang ke arah bawah tubuh Sri Ratu yang tak tertutup sehelai benangpun.

Tak berapa lama kemudian, kedua manusia itu pun akhirnya terlibat pergumulan. Baru kemudian terdengar erangan menyayat yang keluar dari mulut Jufri. Dan manakala Jufri menggelosot ke samping, sungguh telah berubah keadaan fisiknya. Kini Jufri bukanlah seorang lelaki lagi, sebab miliknya telah hilang terbetot entah kemana. Namun anehnya, dari pangkal itu tak keluar darah setetespun. Sri Ratu hanya tersenyum, senyum kecut melihat Jufri terkapar dengan merintih-rintih.

Sri Ratu tercenung, bangkit duduk dari tidurnya. Entah perasaan apa, tiba-tiba ia menyesal telah melakukan segala desakan yang menggebu-gebu dari dalam rahimnya. Dari luar si nenek masuk, hanya tersenyum pada Ningrum yang hanya mendesah berat.

"Nek, sampai kapankah aku harus menanggung semua ini?"

"Sampai bayi itu lahir, Anakku," jawab si nenek kalem. Si nenek sejenak memperhatikan tubuh Jufri, dan si nenek pun seketika tersenyum penuh kemenangan. Dendamnya pada lelaki telah dapat terbalas.

Apa yang sebenarnya dikandung oleh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna, sehingga mengidam milik semua pria. Lalu kemana hilangnya barang antik Jufri dan rekan-rekannya? Apa sebenarnya yang ada di rahim Ningrum? Untuk mejawabnya, silahkan kalian ikuti serial Jaka Ndableg Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya, dalam judul Bocah Kembaran Setan.

********************

DELAPAN

Jaka yang saat itu sedang berjalan-jalan, seketika nalurinya mengajak dirinya untuk mengawasi perut yang nampaknya memang ingin diisi. "Wah, rupanya cacing-cacing ini tidak mau diajak kompromi," keluh Jaka. "Baiklah, aku sekaligus hendak istirahat dulu."

Segera Jaka pun berkelebat menuju ke sebuah kedai, di mana tampak tak begitu jauh dari tempatnya berjalan. Kedai itu bukan kedai biasa, besar dan penuh pelayan yang cantik. Rupanya kedai itu tidak hanya dijadikan tempat makan belaka, namun dijadikan pula tempat yang lainnya.

Jaka perlahan memasuki kedai tersebut, seketika matanya melihat beberapa wanita penghibur sedang bercanda ria dengan laki-laki hidung belang. "Hem, jelas ini bukan kedai biasa, tapi kedai maksiat! Heran, mengapa baru sekarang aku menemukan kedai ini?" Jaka terus melangkah berat, memasuki ruangan kedai. Serta merta seorang gadis cantik berkelebat dan langsung menubruk dirinya.

"Oh, inikah dewa yang baru turun dari kayangan?" gadis itu merajuk. "Sungguh tampan wajahmu, sayang?"

Jaka tak hiraukan belaian-belaian tangan gadis tersebut, dia tetap saja melangkah mencari tempat duduk. Matanya seketika memandang pada seorang pemuda yang benar-benar ia kenal benar. "Tegalaras...!"

Orang yang merasa disebut namanya seketika menengok, dan nampak Tegalaras tersentak demi melihat Jaka pun ada di tempat maksiat ini. "Jaka...! Oh, tak aku sangka kalau aku akhirnya dapat menemukan dirimu di sini!" pekik Tegalaras yang dengan segera bangkit dari duduknya, menghambur ke arah Jaka. "Kapan kau tiba di daerah ini, Jaka?"

"Aku datang secara tak sengaja, Tega. Kau...?" Jaka balik menanya.

Tegalaras tak segera menjawab, ditariknya lengan Jaka keluar dari kedai. Jaka yang tadinya perutnya sudah keroncongan, akhirnya menuruti juga apa yang menjadi ajakan Tegalaras. Sesampai di luar, Tegalaras segera mengajak Jaka untuk beristirahat di bawah sebuah pohon beringin yang cukup rindang. Kemudian Tegalaras pun menceritakan maksud kedatangannya ke tempat tersebut, yang tak lain untuk membuktikan desas-desus adanya Ratu Maksiat Telaga Warna, yang mencari korbannya semua pemuda.

"Kau tahu Jaka, bahwa kedai ini baru berdiri sejak Ratu Maksiat Telaga Warna berkuasa."

"Hem, begitu?" Jaka bertanya. "Lalu, apakah selama ini belum ada yang tahu di mana keberadaan Ratu Maksiat tersebut?"

"Itulah, Jaka. Aku sendiri datang ke mari atas seruan ayahku untuk mencarikan Pedangnya, yang katanya hilang dicuri oleh seseorang. Dan menurut pendapatku, orang tersebut tentunya ada sangkut pautnya dengan Ratu Maksiat ini."

"Kau yakin, Tega?"

"Ya!" jawab Tegalaras pendek dan pasti. "Darimana kau dapat keyakinan tersebut?" Jaka kembali bertanya.

"Aku mendengar dari seseorang yang menyebutkan dirinya Ki Gedong Wulung."

"Ki Gedong Wulung!" Jaka memekik kaget, menjadikan Tegalaras kembali bertanya.

"Kenapa Jaka, sepertinya kau telah mengenal adanya siapa Ki Gedong Wulung?"

"Ya! Dia adalah tokoh tua yang sakti. Kalau begitu, jelas benar adanya. Kini kita tinggal bagaimana caranya mendapatkan keberadaan Ratu Maksiat tersebut!" Jaka berkata. "Mari kita mencoba mengoreknya dari pemilik kedai itu."

Dengan segera kedua pendekar itu pun berkelebat kembali masuk ke dalam kedai. Keduanya dengan tenang duduk di sebuah kursi, lalu menyantap makanan yang dihidangkan. Sementara dari arah lain dua gadis cantik datang menghampiri mereka, menggelayutkan tubuh mereka pada pundak Jaka dan Tegalaras.

Jaka dan Tegalaras yang memang bermaksud mencari informasi adanya Ratu Maksiat Telaga Warna, kini dengan pura-pura melayani kedua gadis tersebut. Dibiarkan kedua gadis itu menjarahkan bibir-bibir mereka keseluruh tubuh dan muka.

"Siapakah namanu, manis?" Jaka merayu.

"Kau ingin tahu?" tanya gadis itu manja.

"Tentu! Untuk apa aku bergaul dengan orang yang tidak aku ketahui namanya?"

"Boleh!"

"Siapa...?"

"Namaku...?" gadis itu balik menanya.

"Ya, namamu," jawab Jaka meyakinkan.

"Namaku, Ayu Sari."

"Wow, nama yang indah. Ayu berarti cantik, persis orang yang memilikinya. Sedangkan sari, berarti inti. Jadi Ayu Sari, bermakna Kecantikan yang lestari, pusat dari segala kecantikan."

Jaka ngegombal dengan seenaknya, menjadikan Ayu Sari merona merah pipinya. Makin bertambahlah keanggunan gadis itu, manakala pipinya merona merah. "Kau sendiri, siapa namamu Dewa?" Ayu Sari makin manja.

"Aku bukan Dewa, aku manusia biasa."

"Kau tampan, melebihi tampannya manusia."

Jaka tak mampu berkata-kata mendengar penuturan Ayu Sari yang polos tentang dirinya. Jaka hanya dapat menunduk, sembunyikan senyumnya yang dalam.

"Kenapa?" Ayu Sari kembali menanya. "Siapakah namamu, Dewa?"

Jaka tercenung memikirkan siapa kira-kira nama untuk dirinya agar tidak dikenal pada setiap orang yang datang. Setelah berpikir sesaat, Jaka pun akhirnya berkata menjawabnya. "Namaku yang telah engkau sebut."

"Kau bohong," Ayu Sari kembali merajuk.

"Aku tidak berbohong, Ayu."

"Benar?" Ayu Sari masih belum mau percaya, Jaka segera menganggukinya. "Aku cinta padamu, Dewa."

"Ah..."

"Kenapa, Dewa?" Ayu Sari kerutkan keningnya demi mendengar desahan Jaka. "Apakah kau tidak suka padaku?"

"Bukan itu, aku suka padamu. Tapi aku ingin menanya padamu, tahukah engkau di mana adanya Ratu Telaga Warna?"

Mendengar pertanyaan Jaka, seketika Ayu Sari terdiam. Matanya yang lentik memandang pada Jaka, sehingga Jaka mau tak mau harus menerima pandangan tersebut. Tangan Ayu Sari perlahan menjalar, lalu dengan lembut mengusap dada Jaka yang bidang. Tangan itu begitu lembut, menyelusup dengan mesra kesegenap dada Jaka.

"Kau ingin kesana, Dewa?" tanya Ayu Sari, nadanya seakan gelisah. Ya, Ayu Sari merasa gelisah, kasihan bila Jaka yang tampan itu harus menjadi korban Ratu Maksiat Telaga Warna.

"Ya!" jawab Jaka singkat.

"Jangan, Dewa."

"Kenapa...?" Jaka menanya tak mengerti.

"Kau tahu mengapa di sini banyak wanita-wanita seperti diriku?" tanya Ayu Sari kembali, yang dijawab oleh Jaka dengan gelengan kepala. "Itu semua karena kaum lelakinya jadi korban."

"Korban...!" Jaka dan Tegalaras memekik kaget. "Korban bagaimana, Ayu?" Jaka kembali menanya.

"Setiap orang lelaki yang menuju ke Telaga Warna, ia tak akan pernah kembali. Kalau pun kembali, keadaannya sungguh mengerikan. Barang miliknya buntung, menjadikan lelaki tersebut harus mengalami goncangan jiwa yang berat hingga akhirnya gila."

"Oh, Gusti Allah. Bencana apa yang akan melanda dunia!" Jaka mengeluh, tak sadar ia berucap menyebut nama Tuhan. "Katakanlah di mana tempatnya, Ayu?!"

Ayu memandang pada temannya sesaat, lalu setelah temannya mengangguk, Ayu Sari pun akhirnya dengan nada berbisik menunjukkan tempat di mana Sri Ratu Maksiat berada. "Dia sesuai dengan julukannya, berada di Telaga Warna."

Jaka saling pandang dengan Tegalaras sesaat, lalu kembali memandang pada Ayu Sari dan katanya kemudian: "Ayu, aku harus ke sana. Maafkan aku tak bisa lama-lama menemanimu. Kalau memang umur kita panjang, kita akan bertemu lagi. Ayo Tegalaras, kita segera ke sana!"

Setelah membayar makanan yang mereka makan, serta memberikan uang tip pada kedua gadis tersebut, segera kedua pendekar itu melesat pergi meninggalkan kedai.

********************

SEMBILAN

Ratu Maksiat Telaga Warna nampak terbaring dengan lesu di atas pembaringannya. Kehamilannya yang telah sampai masanya di rasakan telah melilit-lilit. Mungkin bayi yang akan dikandung akan keluar. Di situ nampak pula nenek Racun Iblis, juga keseratus lelaki yang telah menjadi abdinya.

"Nek, mengapa perutku terasa sakit?" keluh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna sembari meringis-ringis.

"Tenanglah, Nak. Mungkin sebentar lagi anakmu akan lahir," si nenek mencoba menghibur.

"Benar Sri Ratu, mungkin bayi Sri Ratu akan lahir," keseratus abdinya yang telah menjadi orang-orang tak berarti itu turut menghibur. "Walau kami laki-laki, namun kami sering mendengar bahwa kelahiran bayi pertama memang terasa sakit."

Ratu Maksiat Telaga Warna masih terus merintih-rintih kesakitan, perutnya dirasa melilit bukan alang kepalang, sepertinya perut tersebut hendak meledak-ledak saja. Tengah sang Ratu dalam keadaan meringis-ringis kesakitan, tiba-tiba terdengar suara seseorang kakek dari luar berseru memanggil nama si nenek.

"Nenek Iblis Racun! Keluar, kau!"

"Bangsat! Siapa yang telah lancang mengumbar mulut seenaknya di sini!" si nenek menggeretak penuh marah. "Ayo, kalian semua ikut aku, biar Ratu kalian ditunggui oleh Kamto."

Dengan bergegas mereka pun berlari keluar, menemui asal suara yang ternyata milik seorang kakek tua renta berjanggut panjang putih. Si nenek cibirkan mulutnya, manakala melihat siapa adanya orang yang datang.

"Mau apa kau datang kemari, Ki?"

Ki Gedong Wulung tampak tenang, lalu menjawab berkata. "Aku ingin menghentikan sepak terjangmu, Iblis!"

"Hi, hi, hi...! Apa pedulimu, kakek peot!"

"Karena kau telah mengambil korban kaumku, maka aku pun tak akan membiarkan hal ini berlarut-larut. Kau harus mengakhiri sepak terjangmu yang sudah kelewatan!" Ki Gedong Wulung nampak mendengus. Tasbih di tangannya berputar-putar.

Bersamaan dengan ketegangan yang memuncak antara dua tokoh tua beda aliran tersebut, serombongan orang persilatan yang dari aliran lurus tiba. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak sabar menerima beritaberita tentang hilangnya para lelaki muda yang katanya hilang di pulau Telaga Warna.

"Suruh keluar Ratu kalian. Biar kami mencincangnya!" orang-orang tersebut tak mampu redakan amarah, dan berseru-seru dengan dilandasi kemarahan.

"Tenang saudara-saudara. Kalian jangan terburu emosi. Kalian tak tahu sebenarnya siapa yang berada di balik ini semua." Ki Gedong Wulung mencoba menyabarkan para tokoh persilatan yang nampaknya sudah tak dapat lagi menahan amarah.

"Kenapa kami harus tenang, Ki? Bukankah kalau dibiarkan berlarut akan mengakibatkan tindakan Ratu Maksiat itu menjadi-jadi?" salah seorang dari pendekar tersebut memprotes.

"Aku tahu. Tapi janganlah kalian sebagai seorang pendekar menuduh pada hal yang belum kalian ketahui benar. Anak Pramana sebenarnya tak salah, ia sebenarnya telah sadar. Tapi karena nenek Iblis Racun inilah ia jadi seorang wanita liar. Kandungannya yang tadinya tidak apa-apa, kini meminta korban banyak pria. Kalian tahu, bayi apa yang kini terkandung oleh Ningrum si Penguasa Bukit Karang Bolong?"

Semua yang ada di situ terdiam, tak ada yang berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Gedong Wulung. Demi melihat hal tersebut, segera Ki Gedong Wulung kembali meneruskan ucapannya sekaligus menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri.

"Bayi yang ada dalam rahim Ningrum, kini telah dipengaruhi oleh nenek Iblis ini. Bayi itu sungguh sangat disayangkan, harus mau menuruti apa kata si nenek Iblis. Dendamnya pada Eka Bilawa ternyata telah menjadikan dia dendam pada lelaki. Dan tubuh anak Pramana yang cantik itulah yang dijadikan simbol dari kejahatannya."

"Bohong!" si nenek membentak marah.

"Siapa yang bohong!" tanya. Ki Gedong Wulung. "Sebagai orang tua, pantang bagiku untuk mendusta. Kecuali kau!"

"Bedebah! Jangan kira kalian akan mampu berbuat sesuka kalian di sini, Tua bangka!" nenek Iblis Racun nampak menggeretak marah. Dan tanpa di duga sebelumnya, tangannya telah mengisyaratkan pada keseratus anak buahnya untuk menyerang. Dan bagaikan sebuah robot saja keseratus lelaki malang itu pun segera berkelebat menyerang para tokoh persilatan.

Pertarungan pun terjadi, kini pekikan-pekikan pun menggema mewarnai suasana pulau Telaga Warna. Si nenek Iblis Racun segera berkelebat menyerang membabi buta pada Ki Gedong Wulung. Tangannya yang tampak berkuku panjang dan beracun mencerca pada Ki Gedong Wulung bagaikan tak menghendaki lelaki tua renta tersebut dapat membalasnya.

"Mengapa mereka tak dimangsa binatang peliharaanku?" tanya si nenek dalam hati bimbang. "Apakah mungkin binatang-binatang tersebut telah dibunuh oleh mereka?"

Belum juga si nenek mampu menjawabnya, tiba-tiba Ki Gedong Wulung telah berkelebat menyerang balik dengan tasbih saktinya. Mau tak mau si nenek harus dengan cepat menghindari serangan tersebut kalau dirinya tak ingin hancur seperti batu yang terkena serangan tersebut. Melihat dirinya tak mampu mencerca si Kakek dengan mengandalkan racunnya, segera si nenek cabut pedang yang sedari tadi tergantung di pundaknya. Seketika semua pendekar yang berada di situ memekik manakala tahu pedang apa yang kini berada di tangan si nenek.

"Pedang Sukma Layung!"

"Pencuri Busuk!" maki Ki Gedong Wulung marah bercampur geram. Serangannya kini makin ditingkatkan. Walaupun si nenek menggunakan pedang pusaka yang sudah terkenal, namun karena ia tak memiliki dasar-dasarnya, sehingga pedang tersebut bagaikan tak ada arti sama sekali di tangannya. Malah Tasbih maut yang berada di tangan Ki Gedong Wulung dapat dengan segera mencercanya. Tengah tubuh si nenek terdesak, tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar jeritan yang menyayat.

"Aaah...!"

"Tidak...! Tidak...!" suara Ningrum memekik.

Tanpa hiraukan mereka yang sedang bertempur, segera mereka yang bertempur hentikan pertempuran. Serentak mereka pun berkelebat menuju ke arah suara Ningrum menjerit.

"Bayi Kembaran Setan...!"

Memekik semua yang ada di situ, manakala melihat sesosok bayi yang berwajah sangat menakutkan dengan taring panjang tengah menggerogoti tubuh Kamto yang sudah acak-acakan. Tetapi anehnya sang bayi tidak jahat pada ibunya. Bahkan matanya seketika menyala-nyala, manakala melihat orang-orang datang.

"Oaaar...!" bayi itu memekik, lalu bagaikan terbang melesat kearah mereka yang ada di situ. Tanpa ayal lagi, semua seketika dibikin repot. Mereka berusaha menghindar, tapi tak ayal gerakan bayi tersebut begitu cepatnya, menjadikan mereka tak kuasa untuk mengelakannya.

Satu persatu dari orang-orang hamba Ratu Maksiat Telaga Warna meninggal dengan darah terhisap oleh sang bayi. Dan setelah melihat keseratus orang itu mati, sang bayi kini mencerca pada para tokoh persilatan. Gerakannya begitu liar dan ganas, hampir menyerupai gerakan tokoh silat kelas tinggi.

Kembali korban berjatuhan, salah seorang tokoh persilatan berusaha menghadangnya dengan pedang. Tapi sungguh tak disangka, kalau pedangnya bahkan seketika patah menjadi dua tatkala menghantam tubuh sang bayi. Tanpa banyak kesulitan BAYI KEMBARAN SETAN tersebut memuaskan nafsunya dengan membunuh satu persatu dari tokoh-tokoh persilatan yang bagaikan tak berarti apa-apa. Kini mata sang Bayi Kembaran Setan yang bagaikan menyala memandang pada nenek Iblis Racun dan Ki Gedong Wulung.

"Itulah akibat ulahmu, Nenek busuk!" menggeretak marah Ki Gedong Wulung.

"Enak saja kau menuduhku!" balas membentak si nenek. Namun hanya sesaat mereka tokoh tua itu bersitegang, sebab Bayi Kembaran Setan telah berkelebat menyerang mereka.

"Anak Setan!" maki si nenek menghindar.

"Anak Iblis!" si kakek pun tak kalah kaget.

"Kita bekerja sama untuk menghadapinya, Ki."

"Ya! Tanpa kerja sama, kita sendiri yang akan menjadi korbannya."

Akhirnya kedua tokoh tua yang beda haluan itu pun saling bahu membahu untuk menghadapi Bayi Kembaran Setan yang tak mengenal kompromi. Serangan bayi itu begitu ganas, hampir saja kedua tokoh tua tersebut kalang kabut. Ternyata segala ilmu yang dimiliki oleh kedua tokoh tua tersebut bagaikan tiada arti. Maka dalam sekejap saja, sang Bayi Kembaran Setan telah mampu membuat keduanya terkapar bermandikan darah.

"Hoaar...!" bayi itu menggelegar, sepertinya penuh kemenangan, lalu dengan cepat melesat pergi entah ke mana.

Tak lama setelah kepergian bayi tersebut, Jaka dan Tegalaras tiba di tempat tersebut. Mata mereka seketika menyipit, manakala ia melihat tubuh berlumuran darah tergeletak tanpa nyawa. Mata Jaka yang tajam seketika melihat desah napas seorang yang sudah ia kenal benar.

"Ki Gedong Wulung!" Jaka segera menghampiri tubuh tersebut, lalu dengan segera mengangkat tubuh itu. "Ki, apa yang telah terjadi?"

"Bayi Kembaran Setan telah lahir. Semua telah menjadi korbannya." Ki Gedong Wulung terbata menceritakan apa yang terjadi, yang telah menimpa dirinya, juga diri semua orang yang tampak tergeletak.

"Hem, kalau begitu bayi yang diramalkan tersebut telah lahir. Aku harus segera mengejarnya." Jaka tiba-tiba berkelebat ke arah Timur, di mana bayi tersebut minggat. "Tegalaras, kau temui saja adikmu, biar aku yang mengejar bayi Iblis tersebut...!"

Tegalaras melangkah pelan, meninggalkan mayat-mayat yang tercecer di sana-sini, masuk ke dalam rumah. Matanya seketika melihat tubuh adiknya terkulai pingsan. Dengan penuh haru, dibopongnya tubuh Ningrum. Dan setelah mengambil Pedang milik ayahnya Tegalaras pun segera membawa tubuh Ningrum berlalu dari tempat itu.

S E L E S A I

Ratu Maksiat Telaga Warna

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Ratu Maksiat Telaga Warna
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

TUBUH tua renta dengan pundak memanggul sesosok tubuh seorang gadis itu, nampak berlari dengan cepatnya laksana seekor kijang yang muda. Sekali-kali melompati sungai, sepertinya tubuh nenek tua itu terbang bukannya melompat. Dan kali lebar itu pun dengan mudah dilangkahinya hanya dengan sekali genjot. Tubuh itu terus berlari dan berlari, yang terkadang mendaki bukit lalu menuruninya.

"Anak itu harus aku tolong! Anak inilah yang dimaksudkan oleh mimpiku," nenek tua renta itu terus bergumam sendiri. "Ya, anak ini kudapat seperti apa yang tersirap dalam mimpiku. Anak ini pingsan akibat serangan kakaknya. Ah, sungguh-sungguh aku bagaikan tak bermimpi. Sepertinya aku ini benar-benar mengalami kenyataan."

Tubuh gadis dalam gendongannya, sama sekali tidak bergerak dalam pingsannya. Gadis itu tidak segera sadar, sepertinya ia benar-benar mengalami goncangan jiwa yang kuat, yang menjadikan dirinya lemah. Gadis itu yang tak lain Ningrum, yang secara tiba-tiba lenyap. Ternyata kelenyapannya karena diambil oleh sang nenek sakti tersebut.

Ningrum memang terkapar pingsan sewaktu kakaknya Tegalaras bentrok dengannya. Ningrum yang waktu itu dalam pengaruh Dewi Lanjut Ayu, seketika terkulai lemas dihantam oleh ajian yang dilontarkan Tegalaras. (Baca Penguasa Bukit Karang Bolong)

Si nenek terus berlari, makin jauh dan jauh meninggalkan Bukit Karang Bolong ke sebuah tempat yang terpencil. Dan manakala sampai pada sebuah telaga, nenek itu pun menghentikan larinya. Telaga itu begitu indah, warnanya beraneka ragam, bak warna pelangi.

Menurut dongeng, Telaga itu dulu untuk mandi para bidadari dari khayangan. Dan ketika salah seorang bidadari kehilangan permatanya, menangislah sang bidadari karena tak mampu kembali ke Khayangan. Air matanya itulah yang menjadikan air telaga itu berwarna, ditambah lagi dengan permata-permata yang terkandung di dalamnya.

Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, dengan tubuh ringan si nenek pun melompat ke tengah-tengah telaga yang ada di situ sehampar tanah dengan gubug reot di tengahnya. Tanah itulah tempat kediaman si nenek. Maka karena bertempat tinggal di tengah telaga, nenek itu pun bergelar Nenek Sakti Peri Telaga Warna.

Nenek itu sebenarnya seorang tokoh silat yang pernah kondang namanya. Ia merupakan seorang pendekar wanita yang beraliran sesat, yang memiliki ilmu-ilmu iblis. Dulu ketika masa jayanya, si nenek merupakan tokoh silat yang paling ditakuti karena ketelengasannya dalam bertindak. Ilmu racunnya sungguh tiada yang dapat menandingi, bernama Ilmu Selaksa Racun. Maka karena kehebatan racun tersebut, si nenek pun mendapat sebutan Iblis Racun Telaga Warna, di samping sebutan yang pertama sebagai Nenek Sakti Peri Telaga Warna. Entah apa mulanya, tahu-tahu si nenek yang tadinya beraliran lurus itu membelot pada aliran sesat.

Nenek Iblis Racun nampak sibuk sendiri. Ia nampak bolak balik ke tempatnya dan keluar untuk mencari daun dan akar-akaran yang dapat dijadikan obat. Tubuh nenek itu melesat bagaikan terbang, mencelat menyeberangi telaga dan dengan kedua kaki ringan berhenti menclok di atas sebuah cabang pohon. Matanya yang tajam memandang bagaikan mata burung elang, sepertinya ingin mengawasi keadaan sekelilingnya.

"Hem, aku bingung harus mencari daun dan akar-akaran itu. Aku tak menemukan daun dan akar-akaran di tempat ini," guman si nenek seakan putus asa. "Apakah aku harus kembali ke Bukit Karang Bolong untuk mencari dedaunan itu dan sekaligus menunjukkan diriku pada khalayak ramai?"

Nenek itu masih saja tercenung bingung. Ia bingung harus berbuat apa. Kalau ia harus kembali menuju ke Bukit Karang Bolong, setidaknya ia akan bertemu dengan masyarakat. Sedangkan si nenek sendiri merasa enggan bila harus bertemu dengan massa yang telah mengetahui siapa adanya dirinya. Setidaknya kehadirannya kembali ke dunia persilatan akan mengundang para musuh-musuhnya datang dan mencari-cari dirinya lagi. Tapi bila ia tidak mencari daun dan akarakaran tersebut, maka nyawa seorang gadis yang kelak akan menjadi muridnya harus melayang.

"Ya, apa pun resikonya, aku harus mencari obat-obatan tersebut."

Tubuh si nenek pun kembali melompat turun, lalu dengan langkah bagaikan seekor kijang, si nenek berlari melintasi hutan belukar dengan harapan kedatangannya tidak diketahui oleh orang-orang yang menjadi musuh-musuhnya. Tubuh si nenek terus melesat, tiada henti ia berlari. Sepertinya si nenek sangat memburu waktu. Waktu baginya merupakan segala keputusan. Terlambat saja ia menolong, maka tak ayal lagi nyawa Ningrum akan melayang.

Demi mengingat hal itu, maka si nenek tak hiraukan kaki-kakinya terseret oleh semak dan tusukan duri-duri yang tajam. Ia juga tak hiraukan oleh semak yang menghalanginya, atau pun suara-suara binatang liar berserabutan lari pontang panting mendengar suara angin larinya. Tekadnya hanya satu, mencari obat-obatan untuk sang gadis calon murid tunggalnya.

Ya, selama ia menjadi seorang pendekar, ia belum pernah sekali pun mengangkat seorang murid. Walau nama besarnya telah malang melintang, namun karena dirinya selalu mengembara maka tak seorang pun manusia diangkat olehnya menjadi murid. Dan manakala ia mengasingkan di Telaga Warna itulah maka ia mendapat wangsit untuk mengangkat Ningrum sebagai muridnya.

Sebenarnya si nenek hendak mengangkat Ningrum menjadi murid sejak lama, sebelum Ningrum terdampar oleh kenistaan akibat diperkosa Tiga Hantu Kelangit atas suruhan Rengkana. Namun untuk memintanya secara terus terang pada Pramana, jelas ia tidak berani sebab ia tahu sendiri siapa adanya Pramana. Pramana adalah tokoh persilatan beraliran lurus, yang sangat menentang para aliran sesat. Maka sudah dapat dibayangkan bagaimana bila dirinya meminta pada Pramana secara terus terang. Bukannya akan menimbulkan kebaikan, malah mungkin akan menimbulkan bentrokan berdarah.

Sebenarnya si nenek mudah saja menghadapi Pramana, asalkan Pramana tidak memiliki pedang pusaka Sukma Layung. Ya, dengan pedang pusaka Sukma Layungnya Pramana akan mampu menghadapi tokoh-tokoh persilatan aliran sesat. Jangankan diri si nenek, Datuk Raja Karang yang merupakan tokoh sesat yang ditakuti saja harus mengakui keunggulan Pramana. Memang bila dibandingkan dengan ilmu Datuk Raja Karang, si nenek berada setingkat di atasnya. Karena terkait oleh aturan golongan saja, menjadikan keduanya tak dapat saling menjajagi ilmu mereka.

Kini gadis itu telah berada di tangannya, maka sebisa-bisanya ia harus mampu menolong nyawa si gadis. Jalan satu-satunya ia harus mampu mencarikan obat-obatan dari pohon Lempuyang Sakti. Sebuah pohon obat-obatan yang sangat aneh. Lempuyang itu hanya ada dalam sekali bulan purnama. Dan biasanya banyaklah orang yang berdatangan ke Bukit Karang Bolong untuk mencarinya. Tidak mungkin tidak, maka nantinya pun si nenek harus menghadapi orang-orang yang juga menghendaki Lempuyang Sakti tersebut.

Nanti malam adalah malam bulan purnama, maka tepatlah waktunya di mana Lempuyang Sakti akan menampakkan diri. Dan hal itu rupanya sudah diperhitungkan oleh si nenek. Entah mengapa, yang jelas kesemuanya seakan bertepatan. Runtuhnya Penguasa Bukit Karang Bolong, tepat waktunya ketika hendak menginjak bulan purnama, sehingga si nenek tak lama-lama menunggu untuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

"Biarlah kehadiranku di dunia persilatan diketahui oleh mereka, asalkan aku mampu mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut," si nenek berkata sendiri. "Aku tak akan mengijinkan siapa pun untuk dapat memiliki Lempuyang tersebut."

Langkah larinya makin dipercepat, seakan si nenek benar-benar tak ingin Lempuyang Sakti itu dapat dikuasai oleh orang lain, selain dirinya. Si nenek terus menyelusuri hutan, sengaja ia tidak ingin dirinya lebih dini dikenal oleh orang. Ia nampak begitu terburu, sehingga ia lupa untuk mengenakan topeng buat menjaga dirinya supaya tidak dikenal oleh orang. Tapi sudah terlambat, dan ia harus mau tak mau menunjukkan mukanya.

Muka yang sudah sangat dikenal benar oleh para kawan dan lawannya. Muka yang menggambarkan akhir kejayaannya, di mana sebuah goresan lebar membuat mukanya yang dulu cantik harus cacat. Bila ingat itu semua, kembali ia pun teringat pada seorang pendekar yang tengah menjadi buah bibir. Pendekar tersebut wajahnya benar-benar mirip dengan orang yang dulu pernah dicintainya, namun bahkan merusak mukanya. Orang tersebut tak lain si Eka Bilawa.

"Siapakah adanya pendekar muda itu?" tanya hati si nenek manakala dulu ia pernah melihat Jaka. "Wajahnya sungguh mirip dan sama dengan Eka Bilawa. Adakah ia mempunyai tali ikatan? Atau barangkali ia titisan Eka Bilawa? Ah, tak mungkin Eka Bilawa menitis pada seseorang. Tapi, bukankah Eka Bilawa kekasih siluman?"

Sebenarnya dugaan si nenek Iblis Racun benar adanya, bahwa Jaka Ndableg memang keturunan Eka Bilawa, dialah anak satu-satunya Eka Bilawa. Seorang lelaki yang sangat dicintainya, namun telah menggores hatinya dengan luka. Luka karena cintanya bertepuk sebelah tangan, juga luka nyata yang mengukir mukanya hingga menjadi buruk dan tak secantik dulu.

********************

Hari telah berganti dari siang menjadi sore manakala si nenek sampai pada tempat yang dituju. Panorama di pinggir pantai Bukit Karang Bolong nampak indah, hal itulah yang sering mengundang para orang-orang persilatan untuk menikmati keindahan alam sekaligus mencari Lempuyang Sakti. Keindahan Bukit Karang Bolong sempat hilang dan berganti dengan misteri yang mengambil korban nyawa seseorang manakala dalam genggaman Datuk Raja Karang dan istrinya. Juga manakala dalam genggaman Setan Rambut Putih dan Ningrum, yang kini dalam kuasa si nenek Racun Iblis.

Samar-samar dari arah yang berlawanan dengan si nenek beberapa orang berdatangan, juga dari arah lainnya. Mereka setelah hilangnya Setan Rambut Putih dan Ningrum, kembali dengan keberanian mereka bermaksud mencari Lempuyang Sakti. Memang pohon itu sangat berguna sekali bagi mereka. Pohon itu mampu menyembuhkan segala penyakit, baik itu oleh keracunan, maupun luka-luka akibat bertarung.

Bila pohon Lempuyang Sakti berada di tangan mereka, niscaya mereka akan menjadi seorang yang tahan terhadap segala macam racun. Itulah mengapa mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan pohon tersebut, walaupun mereka harus membuang nyawa untuk bersaing memperebutkan Lempuyang Sakti.

Si nenek segera sembunyikan dirinya, manakala rombongan-rombongan itu makin dekat ke arahnya. Rombongan-rombongan yang terdiri dari enam rombongan, ternyata merupakan rombongan orang-orang persilatan. Dari arah Timur, nampak rombongan Naga Sakti, disusul oleh rombongan Bangau Putih. Keduanya merupakan perguruan persilatan aliran lurus. Naga Sakti dipimpin oleh ketua tiganya yang bernama Sukala Kerta atau Naga Biru. Sedangkan dari Bangau Putih dipimpin oleh Atmaka Bisku atau Pendekar dari Bangau Emas.

Dari arah Selatan, nampak dua rombongan yang terdiri dari Perguruan Sangsak Layang, dan perguruan Bengkek Moyang.  Dua perguruan itu merupakan dua perguruan yang dipimpin oleh dua kakak beradik dari Nanking. Kedua kakak beradik Pendekar China tersebut, datang ke Pulau Jawa semata ingin berguru pada seorang tokoh silat yang berilmu tinggi bernama Andika Budha, yaitu seorang pendeta.

Namun di balik kesemuanya, ternyata mereka berdua memendam keinginan yang lain. Maka manakala keduanya telah mampu menguasai ilmuilmu yang diwariskan oleh Andika Bhuda, dengan tanpa mengenal kasihan keduanya menghukum sang Pendeta. Dan sejak saat itu, kepemimpinan perguruan pun berada di tangan keduanya.

Dasar keduanya orang-orang yang serakah, tak berapa lama kemudian keduanya pun terjadi silang sengketa yang isinya hanyalah memperebutkan kedudukan sebagai ketua utama. Namun nampaknya kedua pendekar China itu masih mempunyai rasa persaudaraan, sehingga keduanya tak menghadapi perpecahan tali persaudaraan. Keduanya sepakat untuk menjadikan dua bagian perguruan tersebut, dan jadilah perguruan itu menjadi dua.

Yang satu bernama Sangsak Layang, sementara yang lainnya bernama Bengkek Moyang. Nama-nama itu diambil dari nama kedua pimpinannya. Kedua pimpinan yang merupakan pendekar China, yang seorang bernama San-Ak-Siong, sementara yang satunya Beng-IkMo-Ang. Namun karena lidah orang Jawa sukar untuk menyebutkan nama-nama mereka, jadilah mereka menyebutnya Sangsak Layang dan Bengkek Moyang.

Sementara dari arah Utara, nampak serombongan orang-orang yang terdiri dari kaum wanita adanya. Rombongan tersebut tak lain dari perguruan, Srigala Betina. Sebuah perguruan yang sangat berhaluan aneh. Perguruan tersebut tak menentu kedudukannya. Bila dirasa aliran lurus yang dapat membantu mereka, ya, mereka akan mengikuti segala yang diperintahkan oleh aliran lurus. Namun, bila aliran sesat yang dianggap mampu melindungi mereka, sudah pasti mereka akan memihak ke aliran sesat. Maka karena sifat mereka begitu, mereka pun mendapat sebutan sebagai perserikatan orang plinpan dan tak mempunyai prinsip hidup.

Sementara dari arah Barat, di mana si nenek Racun Iblis datang, nampak serombongan orang yang juga datang dan menuju ke Bukit Karang Bolong. Mereka tak lain dari Perguruan Pelangi Putri, yaitu sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang wanita yang mengaku namanya sebagai Bidadari Pelangi Sakti. Memang kesaktian Bidadari Pelangi Sakti bukanlah isapan jempol belaka, ditunjang oleh sebuah kerajaan yang rajanya adalah suami sang Bidadari, makin kuatlah kedudukan Perguruan Pelangi Sakti. Para anggotanya juga bukan orang-orang sembarangan, di dalamnya ada beberapa tokoh persilatan yang sudah banyak makan asam garam kehidupan.

Di antara yang saat itu ada Sumogung atau Pendekar Kipas Emas, Asmoro Lukito atau Pendekar Tongkat Tengkorak, juga Sedya Kamayit atau Pendekar Tanduk Menjangan Merah. Orang yang paling akhir inilah yang beruntung dapat memiliki Tanduk Menjangan Merah, sebuah senjata sakti dari tanduk menjangan yang berwarna merah menyala. Senjata tersebut, mampu menghancurkan apa saja termasuk Bukit Karang Bolong yang nampak kokoh.

Orang-orang tersebut makin mendekat, menuju ke sebuah tempat di sekitar Bukit Karang Bolong. Tempat tersebut tak jauh dari sebuah pondok yang sudah tiada berpenghuni. Pondok tersebut dulu digunakan oleh Ningrum dan Setan Rambut Putih untuk menggerakkan anak buahnya manakala mereka menjadi Penguasa Bukit Karang Bolong. Kini orang-orang tersebut makin mendekat, lalu mereka dengan tanpa saling tegur sapa duduk bersilah mengelilingi sebuah pohon lontar besar, yang di sampingnya berdiri pohon beringin yang tidak kalah besarnya.

Si nenek nampak meragu sehingga ia terdiam di persembunyiannya. Ia nampak berpikir keras, bagaimana sebaiknya yang harus ia lakukan. Bila dirinya menampakkan diri, secara langsung akan membawa kesusahan bagi dirinya untuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

"Hem, aku ada akal!" pekiknya dalam hati. "Biarkan mereka bertarung. Dan manakala mereka bertarung, sudah pasti mereka akan tak hiraukan kedatanganku."

Mata sang nenek yang tua itu memandang tiada kedip ke dua pohon yang tengah mereka semua kelilingi. Dua pohon yang sungguh dikeramatkan oleh para tokoh persilatan karena mampu mengeluarkan Lempuyang Sakti. Mata tua itu, sesaat memandang satu persatu pada orang-orang yang ada di situ.

"Sungguh mereka bukanlah orang-orang sembarangan!" batin si nenek. "Mereka tak lain tokoh-tokoh persilatan yang tak boleh dianggap enteng. Seperti kedua pendekar China itu, mereka adalah murid-murid Andika Bhuda yang ilmu kesaktiannya sudah menggempar dunia persilatan. Lalu pendekar dari Pelangi Sakti, mereka bertiga juga bukan pendekar kelas kripik. Huh, kalau aku harus menghadapi mereka, sungguhpun aku mampu, namun aku harus menguras seluruh tenagaku untuk dapat mengalahkannya."

Waktu terus memacu, berganti dari sore menjadi malam. Si nenek masih terus bertengger di atas cabang sebuah pohon yang letaknya agak jauh dari tempat mereka berkumpul. Nampak mata mereka terpejam, seakan mereka tengah melakukan do'a. Ya, mereka memang tengah melakukan do'a untuk supaya mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

Angin Laut Kidul berhembus, menerpa tubuh-tubuh diam dalam hening. Rasa dingin menggigil menyentak tulang sungsum di tubuh mereka semua, tetapi sepertinya mereka tak hiraukan. Mata mereka masih tertutup, rapat seakan tak ingin menghilangkan bayangan keberhasilan.

Ketika hari telah larut, dan manakala rembulan purnama telah seatas kepala yang menjadikan bayangan mereka jauh lebih pendek dari yang sebenarnya, nampak sinar menyala terang berwarna merah keluar dari akar-akar pohon lontar di depan mereka. Bagai terbangun dari tidur, mata mereka seketika memanah ke arah sinar tersebut. Tak luput juga mata si nenek. Mata itu memandang kaget ke arah datangnya sinar.

"Inikah Lempuyang Sakti itu?" gumam hati si nenek takjub.

"Lempuyang Sakti...!" semua yang ada di situ memekik.

Serentak semuanya loncat berdiri dengan mata tak pindah dari tempat datangnya sinar membara. Angin menerpa tubuh mereka makin kencang, sehingga tubuh si nenek yang berada di atas pohon nampak bergoyang-goyang seirama dengan ayunan gerak pohon. Angin terus menderu-deru, sepertinya hendak menerbangkan apa saja yang berada di situ.

Dan memang benar, orang-orang yang berilmu jauh di bawah, langsung melesat tertiup angin. Orang-orang tersebut menjerit-jerit minta tolong, namun tidak seorang pun yang mampu menolong mereka. Orang-orang itu sendiri tengah menghadapi maut yang akan merenggut nyawa mereka bila mereka tidak waspada.

Bersamaan dengan makin membesarnya angin tersebut, makin bertambah pula sinar merah yang menyala. Tanah di sekitar tempat itu membongkah, retak dan pecah. Dari dalam pecahan tanah, muncul sesosok tubuh tinggi besar dan menyeramkan berbareng dengan munculnya Lempuyang Sakti yang berada di depannya.

"Hua, ha, ha...! Apakah kalian semua ingin memiliki Lempuyang Sakti ini?" tawanya membahana, menjadikan alam yang seketika itu hening pecah seketika. "Kalian boleh memilikinya, asalkan kalian mampu mengalahkan diriku."

"Siapakah kau adanya!" bentak Sedya Kamayit si Pendekar Tanduk Menjangan Merah. "Kenapa kau tiba-tiba mengangkangi pohon tersebut?!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata kau seorang pemberani! Ayo, ambillah pohon ini, bila memang engkau pemberani!" mahluk menyeramkan itu berkata: "Namaku Wuling Genta. Akulah Iblis Pulau Kembar. Dan apa bila kalian ingin memiliki pohon ini, maka kalian harus mengalahkan aku terlebih dahulu. Aku akan mengucapkan terima kasih pada kalian yang mampu mengalahkan aku, sehingga aku dapat diampuni oleh rajaku."

"Wuling Genta, mengapa kau bertindak macam-macam!" kembali Pendekar Menjangan Merah membentak. "Kalau kau ingin diampuni oleh rajamu, mengapa kau tidak minta ampun? Lalu apa hubungannya dengan bangsa manusia?"

"Hua, ha, ha...! Ketahuilah oleh kalian, bangsa manusia. Aku telah mendapat sebuah petaka, dikarenakan aku telah melanggar larangan yang dibuat oleh bangsamu. Karena rajaku pernah berhutang budi pada bangsamu, maka rajaku akan mengampuni diriku dan mau menerima diriku bila aku telah terkena ajian yang dimiliki oleh manusia. Dan menurut rajaku, kelak aku akan dapat dikalahkan hanya oleh seorang wanita yang mempunyai ajian tersebut," Wuling Genta menerangkan, menjadikan semua yang ada di situ seketika terpaku diam. "Nah, bagi siapa yang merasa wanita dan memiliki Ajian Racun Kelabang, maka aku akan menyerahkan pohon itu untuknya!"

"Bedebah! Rupanya kau banyak membuang waktu, Wuling!" Pendekar Tanduk Menjangan Merah nampak tak sabar. Diambilnya senjata Tanduk Menjangan Merah, lalu dengan tanpa banyak ngomong lagi tubuhnya melesat menyerang. "Akulah yang akan mengirimu ke tempat asalmu. Hiat...!"

"Manusia bodoh!" bentak Wuling Genta marah, sehingga matanya nampak menyorot bagaikan menyala. "Kau tak akan mampu menghadapi diriku walau kau memiliki Tanduk Menjangan Merah. Senjata itu tiada artinya bagiku. Nah, terimalah Laksa Iblisku. Hiat...!"

Tersentak kaget semua yang ada di situ termasuk si nenek Iblis Racun yang mengerti bahwa hanya Ningrumlah yang memiliki ajian tersebut bersama gurunya. Dalam hati si nenek seketika membatin, "Bagaimana ini? Apakah mungkin aku membawa Ningrum ke mari? Ah, percuma!" Si nenek tampak berpikir untuk mencari akal, ia tak hiraukan pekikan-pekikan orangorang yang berada di situ yang kini tengah bertarung dengan Iblis-iblis ciptaan Wuling Genta.

Memang dahsyat ajian yang dilontarkan Wuling Genta. Dari sinar hitam pekat itu keluar selaksa atau sepuluh ribu mahluk-mahluk menyeramkan yang langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi, mereka yang berada di situ pun kocar kacir dibuatnya.

"Aku ada akal!" pekik si nenek girang dalam hati. "Aku akan mencoba merayu Iblis itu, semoga iblis itu mempercayai ucapanku."

Tengah mereka semua dalam kepanikan diserang oleh Iblis-iblis yang seperti tiada bakal mati, seketika tubuh si nenek berkelebat seraya membentak: "Hentikan!"

"Siapa kau adanya, Nenek butut!" bentak Wuling Genta.

"Nenek Iblis Racun!" tersentak semua yang ada di situ.

"Itulah namaku," jawab si nenek tanpa menerangkan siapa adanya dirinya, karena ia merasa seruan orang-orang yang melihatnya sudah terasa cukup untuk menjawab.

"Apa yang engkau inginkan, Nenek Butut!"

"Aku akan menunjukkan orang yang mampu menyempurnakan dirimu untuk dapat diterima di kerajaanmu lagi!"

"Kau tidak mendusta, Nenek Butut?!"

"Tidak!"

Wuling Genta nampak terdiam, seakan ia tengah berusaha membaca jalan pikiran yang ada pada benak si nenek. Matanya memandang tajam, sepertinya hendak menembus mata si nenek yang telah tua. "Siapa dia, Nenek Butut?!" kembali Wuling Genta bertanya.

"Dia adalah Penguasa Bukit Karang Bolong ini. Dia bernama Ningrum. yang kini tergeletak luka dalam oleh hantaman ajian yang dilancarkan kakaknya."

Membelalak mata Wuling Genta mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Memang kedatangannya ke Bukit Karang Bolong untuk menemui orang tersebut. Dikarenakan orang yang dicari telah tiada, maka Wuling Genta pun segera menunggu Lempuyang Sakti dengan harapan ada seseorang yang mampu menunjukkan keberadaan Penguasa Bukit Karang Bolong

"Baiklah, aku percaya padamu. Tapi ingat, bila kau mendusta, maka kau tahu sendiri apa yang bakalan engkau peroleh dari dustamu!" Wuling Genta mengancam. "Nah, ayo tunjukkan di mana Penguasa Bukit Karang Bolong berada?"

"Baik! Baik akan aku tunjukkan, namun apakah engkau akan terus membiarkan anak buahmu merajalela? Dan apakah engkau akan meninggalkan Lempuyang Sakti yang memang diperlukan oleh Penguasa Bukit Karang Bolong?" si nenek mengingatkan. "Sebaiknya perintahkan pada anak buahmu untuk menghentikan pertarungan itu, dan secepatnya pergi dari sini."

"Baiklah kalau itu yang engkau mau," Wuling Genta segera menarik kembali ajiannya, maka dalam sekejap saja 10.000 prajuritnya lenyap dengan seketika. "Ayo, kita berangkat sekarang."

"Baiklah! Mari kita berangkat," jawab si nenek.

Tanpa memperdulikan lagi orang-orang yang hanya terbengong sendiri melihat kepergian keduanya, si nenek dan Wuling Genta pun segera melesat pergi dengan membawa Lempuyang Sakti yang memang diperlukan untuk mengobati Ningrum.

Orang-orang tersebut dengan penuh kelesuhan dan luka-luka akibat serangan para Iblis yang jumlahnya selaksa segera pula meninggalkan tempat tersebut tanpa membawa hasil. Dan Bukit Karang Bolong yang angker itu pun kembali sepi, bagaikan menelan segala keindahan yang ada.

********************

DUA

Tubuh kedua orang itu bergerak bagaikan tiupan angin malam, merambah malam yang pekat menuju ke sebuah tempat. Tempat yang keduanya tuju tidak lain dari tempat di mana sang nenek tinggal. Tempat tersebut tidak lain Telaga Warna. Dan kedua orang tersebut tak lain si nenek bersama Wuling Genta yang membawa Lempuyang Sakti.

"Masih jauhkah, Nenek?"

"Tidak! Sebentar lagi kita sampai," jawab si nenek.

Wuling Genta tak menanya lagi, dan dengan segera keduanya kembali berkelebat. Langkah mereka kini bukannya lari lagi, namun langkah mereka kini bagaikan terbang.

"Itu dia tempatku," si nenek menunjukkan jarinya ke sebuah telaga yang airnya berwarna hingga memantulkan cahaya bulan bagaikan sinar pelangi beraneka ragam.

"Telaga Warna...!"

"Ya, Telaga Warna."

"Di mana gadis itu, Nek?"

"Dia tengah terbaring di gubugku yang ada di tengah telaga itu," si nenek menerangkan. "Kita harus melompati telaga ini untuk sampai di tengah."

Tercengang juga Wuling Genta mendengar ucapan si nenek. Bagaimanapun, sungguh sulit bagi orang biasa untuk mampu menyampaikan dirinya di tengah telaga yang luas itu hingga tiba di sebuah pulau. Kini Wuling Genta tahu, bahwa si nenek bukanlah tokoh silat dari golongan manusia biasa. Dirinya sendiri kini tengah berpikir bagaimana untuk melompat sebegitu jauhnya, padahal dirinya adalah Iblis. Kalau si nenek ini mampu, sungguh ilmu meringankan tubuhnya bukan lagi ilmu yang sempurna, bahkan jauh paling sempurna hingga sukar untuk ditandingi.

"Kenapa?" si nenek bertanya demi melihat Wuling Genta terdiam bengong. Rupanya si nenek mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh Iblis yang kini menjelma menjadi manusia karena kesalahan yang dilakukannya. "Apakah engkau masih memikirkan bahwa aku telah berbohong padamu? Dan kau menganggap aku mengada-ada?"

"Ya!"

"Hi, hi, hi...!"

"Mengapa engkau tertawa, Nenek Peot?!" bentak Wuling Genta agak tersinggung.

"Lucu! Sungguh lucu!" nenek itu bergumam sendiri, menjadikan Wuling Genta seketika pelototkan matanya makin bertambah sewot karena menyangka si nenek benar-benar hendak mempermainkannya. Maka dengan agak marah Wuling Genta kembali membentak.

"Ingat, Nenek Peot! Bila kau ternyata berdusta, maka kau tahu apa akibatnya, bukan?!"

"Hi, hi, hi...!" si nenek kembali cekikikan. "Aku tidak berdusta. Aku hanya geli melihat kau yang sebagai Iblis terkejut melihat telaga ini. Nah, kalau kau tidak mempercayaiku, maka aku akan menunjukkan pada dirimu bahwa aku mampu menuju ke tengah telaga di mana pulau itu berada."

Setelah berkata begitu, si nenek tanpa hiraukan Wuling Genta segera melompat. Dan bagaikan terbang saja, si nenek berlari di atas air, tanpa kakinya menginjak air barang sekali pun. Hal itu menjadikan Wuling Genta terlonglong longlong keheranan.

"Apakah aku mampu?" tanyanya kurang yakin.

"Ayo, Wuling Genta. Apakah kau takut?" Wuling Genta terdiam. Ia bimbang dengan kemampuan dirinya.

"Akan aku coba. Bila aku harus di sini terus, mana mungkin aku mampu menemui Penguasa Bukit Karang Bolong?" Bagaikan diberi keberanian, tiba-tiba Wuling Genta tanpa pikir panjang lagi segera melompatkan dirinya ke atas air. Namun sungguh tidak ia duga, ternyata air telaga itu bagaikan sebuah tanah saja menerima tubuhnya. Hal ini mengakibatkan Wuling Genta kembali terheran-heran tak mengerti.

Si nenek rupanya mengerti apa yang menjadikan keheranan Iblis berbentuk manusia itu. Maka dengan didahului oleh tawa cekikikan, si nenek kembali berseru: "Ketahuilah olehmu, bahwa air telaga ini akulah yang mengatur. Bila engkau tidak aku kehendaki, maka dengan sendirinya tubuhmu akan amblas ke dalam air, lalu mati dengan tubuh terkoyak-koyak oleh hiu-hiu dan buaya-buaya Iblisku. Hi, hi, hi...!"

Kini Wuling Genta sadar, bahwasannya nenek ini tidak boleh di anggap enteng. Ilmu nenek ini ternyata jauh melebihi ilmu yang ia miliki sebagai iblis. Kini Wuling Genta pun menurut, ia dengan cepat melaju mengejar si nenek yang telah jauh meninggalkannya.

Kedua orang itu segera melompat naik ke atas pulau yang berada di tengah telaga. Mereka segera melangkahkan kaki mereka menuju ke sebuah gubug reot yang terbuat dari anyaman rumput yang tumbuh di sekitar pulau tersebut.

"Itu rumahku."

"Jadi Penguasa Bukit Karang Bolong ada disana?"

"Ya...!" jawab si nenek pendek, melangkahkan kakinya seiring dengan Wuling Genta yang kini nampak tidak banyak tingkah setelah menyadari siapa adanya si nenek yang ternyata memiliki ilmu tinggi.

Keduanya memasuki gubug tersebut. Kini Wuling Genta dapat melihat isi gubug tersebut. Di salah satu dipan tergeletak pingsan seorang gadis cantik, yang diketahuinya adalah Penguasa Bukit Karang Bolong.

"Diakah orangnya. Nek?"

"Benar! Dialah orang yang engkau cari," jawab si nenek dengan wajah lesu. "Mana Lempuyang Sakti itu biar aku racik dulu untuk obatnya. Dia tak akan dapat tertolong bila telah sehari mengalami luka tersebut."

"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan dirinya?"

Si nenek tarik napas berat demi mendengar pertanyaan Wuling Genta. Matanya memandang pada tubuh Ningrum yang masih tergeletak dalam keadaan pingsan karena ditotok jalan darahnya. Lalu dengan singkat si nenek pun menceritakan hal apa yang telah terjadi pada Ningrum dari awal hingga akhir.

"Kalau begitu, aku akan mencari orang yang bernama Jaka Ndableg, sebab dialah yang harus bertanggung jawab atas hancurnya Kekuasaan Penguasa Bukit Karang Bolong."

"Untuk apa?" si nenek bertanya tak mengerti. Di dalam nada pertanyaannya, jelas tersimpan sebuah nada yang berat.

Ya! Si nenek merasakan betapa Jaka Ndableg mirip dengan Eka Bilawa, kekasihnya. Walau ia telah terluka oleh Eka Bilawa, namun hatinya mengatakan bahwa rasa cintanya masih membekas. Dan bila ia melihat Jaka, timbullah rasa rindu dan dendam pada Eka Bilawa. Rindu akan cintanya, dendam akan perbuatan Eka Bilawa yang telah membuat mukanya jadi rusak. Memang semua karena salahnya sendiri. Ia tidak mau menuruti kata-kata Eka Bilawa agar ia jangan menurunkan tangan setannya.

Hanya karena ia telah berbuat jahat pada orang yang telah membuat keluarganya menderita, Eka Bilawa tak mau menerimanya kembali bahkan menghukumnya. Jelas ia menentang. Namun sungguh tentangan dia itulah yang mengakibatkan segalanya terjadi. Dia terus mengumbar nafsu setan, membunuh dan menyiksa setiap lelaki. Sampai akhirnya Eka Bilawa kembali datang dan langsung menghukumnya kembali. Corengan bekas luka itu, sampai kini tiada hilang. Corengan tersebut sengaja ia biarkan untuk mengenang segala pahit dan manisnya kehidupan dirinya.

"Agar dia kapok, dan tidak seenaknya bertindak."

"Apakah kau mampu?" tanya si nenek dengan nada tak yakin.

"Hua, ha, ha...! Wuling Genta tak akan dapat terkalahkan oleh manusia!" jawab Wuling Genta menyombong, menjadikan si nenek hanya mampu kulum senyum. "Kau tak percaya?"

"Bukannya aku tak percaya. Namun dia bukanlah orang sembarangan. Ayahnya saja mampu mengalahkan aku."

"Hua, ha, ha...! Ayahnya kalau masih hidup pun akan aku hadapi. Biar mereka tahu siapa adanya aku. Hua, ha, ha...!" Wuling Genta bergelak sombong.

Si nenek hanya terdiam bisu, ia tak dapat mengatakan apa-apa, sebab ia tahu sendiri siapa adanya Wuling Genta. Tapi ia pun tidak mau menghadapi Jaka Ndableg dengan begitu saja, sebab yang pasti ilmu pemuda itu katanya tinggi. Hal kedua karena ia melihat sesuatu di wajah Jaka. Wajah yang mengingatkan dirinya kembali mengingat pada seorang bekas kekasihnya, yaitu Eka Bilawa. Namun untuk mencegah Wuling Genta, rasanya ia juga tidak mungkin. Maka hanya desahan pasrah si nenek akhirnya berkata:

"Itu terserah kamu."

"Baiklah! Aku akan membuktikannya padamu, juga pada Penguasa Bukit Karang Bolong bahwa aku akan mampu membuatnya mengakui kehebatanku. Dan perlu kau ketahui, bahwa adikku, Setan Rambut Putih telah dibinasakan olehnya."

"Jadi Setan Rambut Putih adikmu?" tanya si nenek dengan mata berkerut kaget. Tidak disangka, kalau Wuling Genta adalah kakak dari Setan Rambut Putih. Kalau adiknya saja sudah sedemikian tinggi ilmunya, apalagi dengan Wuling Genta sendiri?

"Ya! Aku adalah kakaknya."

"Kalau memang begitu, memang kau perlu menuntut balas," ucap si nenek pasrah. Kini di hatinya bukan rasa rindu lagi, namun rasa dendamnya yang muncul. Kebencian bila mengingat apa yang telah dilakukan Eka Bilawa padanya, menjadikan si nenek darahnya bagaikan menggeletar-geletar. "Kalau engkau mampu, maka secara tidak langsung kau telah mengobati sakit hati Penguasa Bukit Karang Bolong akibat suaminya mati di tangan pendekar tersebut."

"Baiklah. Aku akan pergi dulu. Sampaikan pada Adik iparku ini bila dia telah siuman bahwa aku akan mencari Jaka Ndableg."

Setelah berkata begitu, secara kilat Wuling Genta berkelebat meninggalkan si nenek yang masih terpaku menuju ke luar. Si nenek hanya dapat menarik napas panjang, membiarkan Wuling Genta dengan segala dendamnya akan mencari Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah. Nama yang telah menjadikan adiknya binasa, yang merupakan musuh bebuyutan para Iblis. Bagi Wuling Genta, Jaka harus disingkirkan dari dunia. Ya, Jaka harus disingkirkan agar para Iblis mampu mencengkeramkan kuku-kukunya di dunia.

********************

Setelah kepergian Wuling Genta, segera si nenek pun menuju ke dapur untuk meracik obatobatan yang dibuat dari Lempuyang Sakti. Sinar Lempuyang Sakti terus menyorot tajam, menjadikan mata si nenek harus menyipit sempit tertimpa sinar tersebut hingga silau. Bara api menyala, menjilat-jilat sebuah kuali yang terpanggang di atasnya. Nenek tua renta itu duduk sabar sambil sekali-kali tangannya mengaduk-aduk isi kuali tersebut. Walau telah direbus, namun sinar yang keluar dari Lempuyang Sakti itu masih saja nampak. Bahkan semakin panas, semakin besar sinar yang keluar.

"Sungguh bukan obat sembarangan. Hem, pantas banyak orang yang berusaha mendapatkannya," gumam si nenek dengan tangan kembali mengaduk-aduk isi kuali. Mulutnya sesekali komat kamit, entah apa yang tengah dibacakan pada kuali tersebut.

Sementara di balai depan, nampak sesosok gadis Ningrum masih terbaring dalam keadaan menggeletak. Ningrum nampaknya masih pingsan. Sebenarnya Ningrum harus telah sadar dari tadi, namun dikarenakan si nenek sengaja mentotoknya hingga Ningrum pun masih dalam keadaan pingsan. Memang tepat apa yang dilakukan si nenek, sebab bila tidak begitu niscaya aliran darah Ningrum akan mampu membunuh diri Ningrum hanya dalam waktu singkat.

Dari belakang nampak si nenek berjalan mendekati tubuh Ningrum yang masih tergeletak. Di tangan si nenek terdapat sebuah batok kelapa yang berisikan ramuan obat tersebut. Bibir tua renta itu menguarai senyum, lalu berkata: "Ningrum, kau akan sembuh. Kau akan menjadi muridku. Teruskan segala apa yang telah aku lakukan di masa-masa mudaku dulu. Hi, hi...! Kau cantik, anggun bak ratu bidadari."

Ningrum sebenarnya mendengar apa yang dikatakan oleh si nenek, tapi karena ia dalam keadaan tertotok hingga ia tak mampu berkatakata. Matanya perlahan membuka, memandang pada si nenek yang tersenyum senang.

"Sabar, Anakku. Kau akan sehat, dan tentunya kau akan mau menjadi muridku, bukan?" ucap si nenek. "Akan aku turunkan segala ilmu yang aku miliki padamu. Aku berharap kau akan menjadi seorang ratu. Ya, seorang ratu yang sakti."

"Tuk, tuk, tuk!"

Tak disadari oleh Ningrum, seketika tangan si nenek bergerak dengan cepat membuka totokan yang ada di leher dan tubuh Ningrum. Saat itu juga Ningrum nampak menggeliat. Tubuhnya terasa ngilu, dan bila bernapas dadanya terasa sesak. Darahnya bagaikan terserang oleh salju yang dingin, lalu berubah menjadi panas yang membahana. Hal itu menjadikan Ningrum meringis menahan sakit, lalu dengan suara berat ia pun berkata:

"Nenek, siapakah engkau adanya? Lalu kenapa dengan diriku?"

"Hi, hi, hi! Kau ada di tempatku. Kau aku tolong manakala tempatmu Bukit Karang Bolong diporak porandakan oleh Tegalaras kakakmu dengan Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah."

"Bagaimana dengan nasib Setan Rambut Putih, Nek?"

"Dia mati oleh Pendekar Siluman Darah," jawab si nenek.

Nampak keterkejutan di wajah, Ningrum demi mendengar bahwa Setan Rambut Putih yang berilmu tinggi dapat dengan mudah dibinasakan oleh Pendekar Pedang Siluman Darah. "Ah...!" dengan berat Ningrum mendesah.

"Untuk itulah, mengapa kakaknya datang. Wuling Genta namanya. Ia datang untuk meminta pertolonganmu. Dia minta agar engkau mau menyempurnakan dirinya agar dapat kembali ke alamnya."

"Hoak, hoak, hoak...!" Ningrum seketika muntah-muntah, menjadikan si nenek seketika kerutkan keningnya.

Si nenek walau pun tidak pernah nikah, namun sebagai seorang tua ia tahu bahwa Ningrum kini telah hamil. Ya, Ningrum ternyata telah hamil dalam kesehatannya yang sangat tidak menguntungkan.

"Kau hamil rupanya," si nenek berkata. Ningrum hanya mampu mengangguk mengiyakan.

"Ah, mengapa hal itu mesti terjadi?" keluh si nenek seperti pada diri sendiri. "Apakah engkau melakukannya dengan Setan Rambut Putih, Nak?"

Ningrum kembali mengangguk. Tak terasa air matanya meleleh, membasahi pipinya yang nampak pucat. "Sungguh aku tak menyadarinya, sebab waktu itu aku dalam keadaan terbelenggu. Batinku dalam guncangan berat. Aku begitu terpukul dengan apa yang telah menimpa diriku. Hem, Rengkana keparat, aku akan menghukumnya! Ya, aku akan menghukumnya. Walau aku kini sealiran dan masih mempunyai ikatan seperguruan, tapi tindakannya padaku harus aku balas."

Si nenek hanya tersenyum. Ia berjalan makin mendekat, lalu dengan penuh kasih dibelainya rambut Ningrum dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memegang batok berisi ramuan obat yang telah dipersiapkan.

"Kau boleh melakukan apa semua, tapi kau harus sembuh dari sakitmu. Bila kau telah sembuh, dan memiliki ilmu-ilmuku, maka kau akan menjadi seorang pendekar wanita yang sukar untuk ditandingi oleh siapa pun. Nah, untuk itu minumlah ini, Cah ayu."

"Apa itu, Nek?"

"Ini obat untuk menyegarkan dirimu. Dan obat ini sangat berguna bagi dirimu untuk menangkal racun apapun juga. Minumlah, jangan kau takut aku akan menipumu, sebab aku sendiri ingin menjadikan dirimu sebagai pewaris ilmu-ilmuku."

Disodorkannya batok berisi ramuan obatobatan itu ke Ningrum yang segera menerimanya walau dengan mata memandang pada si nenek. Sesaat Ningrum mencium bau obat tersebut, lalu setelah kembali memandang pada si nenek, Ningrum pun segera meminum obat tersebut.

"Aaah...!" Ningrum memekik, badannya terasa bagaikan dibakar oleh api, panas dan terasa menyengat.

Hal itu menjadikan si nenek tersentak kaget. Namun si nenek tak mampu berbuat apa-apa, sebab ia sendiri bingung. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba wajah Ningrum berubah memerah laksana membara. Matanya tajam memandang bagaikan memendam bara api.

Si nenek tersentak, manakala tiba-tiba Ningrum bangkit dan langsung menyerang dengan ajian Racun Kelabang. Sungguh ajian tersebut begitu dahsyat, sehingga si nenek yang tahu kehebatannya tak mau main-main. Segera dilemparkannya tubuh kering tua itu menghindar.

"Duar...!"

Bergidig juga si nenek menyaksikan apa yang terjadi. Seekor tikus yang waktu itu tengah berjalan, seketika mencicit terhantam ajian tersebut. Dari sinar ungu itu, seketika muncul berpuluh-puluh kelabang yang langsung menggerogoti tubuh tikus itu. Sungguh pemandangan yang mampu menegaknya bulu kuduk bagi yang melihatnya. Bersamaan dengan itu pula, tubuh Ningrum kembali terkulai pingsan, kalau saja Ningrum tidak pingsan lagi, niscaya si nenek akan kembali diserangnya. Dan bukan mustahil, si nenek harus menguras tenaga untuk menghindari atau balas menyerang yang akhirnya sia-sia belaka.

"Sungguh bukan ilmu sembarangan," gumam si nenek. Perlahan ia mendekati tubuh Ningrum yang terkulai, lalu dengan hati-hati sekali dirabanya getaran jantung Ningrum. "Dia masih hidup. Hem, ternyata dia hanya mengalami rasa panas yang teramat sangat akibat obat tersebut bekerja."

Dengan sabar dan penuh rasa kasih si nenek menunggui Ningrum yang masih tergeletak. Waktu begitu berjalan, seakan cepat merambat, menjadikan hari pun akan segera berganti dengan hari lagi. Dan manakala ayam jantan dari kejauhan lamat-lamat terdengar, nampak Ningrum kembali siuman. Kini cahaya matanya tidak lagi redup, namun menyala penuh semangat.

"Maafkan kelakuanku, Nek?"

"Tidak mengapa. Aku menyadari kalau kau mengalami begitu karena hawa panas yang teramat sangat akibat obat tersebut bekerja," jawab si nenek. "Kini kau telah sembuh, dan mulai hari ini kau resmi menjadi muridku. Aku akan menurunkan segala apa yang aku miliki padamu. Sejak saat ini pula, resmilah engkau aku beri nama Ratu Telaga Warna."

"Oh, terimakasih, Nek. Terimalah sembahku sebagai rasa terimaka kasihku padamu yang telah sudi menerima diriku sebagai muridmu.  Aku berjanji akan meneruskan apa yang menjadi kehendakmu."

"Ah, tak usahlah kau berlaku begitu, Anakku. Bukankah kita senasib?" tanya si nenek yang menjadikan Ningrum seketika itu kerutkan kening tak mengerti. Mata Ningrum yang jeli dan lentik indah itu memaku pandangannya pada wajah si nenek.

"Maksudmu, Nek?"

"Kita senasib. Dulu aku pun sepertimu. Aku terseret oleh arus kehidupan, oleh kebejadan orang lelaki yang telah memperkosaku. Aku dendam, namun kekasihku menghendaki agar aku tak perlu membalas. Tapi segalanya tak aku hiraukan. Aku membunuh lelaki tersebut, menjadikan kekasihku marah dan akhirnya membuat luka bagi diriku. Ya luka hati, ya luka fisikku. Kau lihat bekas luka ini bukan?"

Ningrum mengangguk menginyakan. "Inilah luka yang aku alami. Memang semua kesalahanku, tapi aku merasa bahwa semua lelaki pada umumnya sama, yaitu ingin menang sendiri. Dan menganggap bahwa wanita harus mengalah. Ah, sungguh pikiran picik," si nenek berkata bagaikan mengeluh akan nasib dirinya sendiri. Sementara Ningrum nampak tiada reaksi, dia diam tanpa kata. "Bagaimana, Anakku? Apakah kau mau meneruskan cita-citaku menghukum kaum lelaki?"

Ningrum kembali tercengang diam. Memang benar semua lelaki pada umumnya sama, egois dan tidak mau mengerti hati wanita. Tapi untuk menghukum, sungguh ia tidak mampu. Ia juga masih mendambakan kasih sayang dari seorang lelaki. Seorang lelaki yang pernah ditemuinya manakala ia tengah dalam kuasa Nyi Lanjut Ayu, saat dirinya membela sang guru. Tanpa disadari olehnya, bibirnya seketika menggumam sebuah nama:

"Jaka... Jaka Ndableg."

"Kenapa, Anakku?"

"Ah, ti-tidak. Baiklah, aku akan menuruti apa katamu, Nek."

"Oh, sungguh kau anak yang baik." Dengan penuh rasa kasih dipeluk dan diciumnya Ningrum. Tak terasa, air mata nenek Racun Iblis menangis, menitikkan air mata kegembiraan. Ternyata usahanya untuk mendapatkan orang yang akan mewarisi segala ilmunya juga mau meneruskan cita-citanya kini telah ia ketemukan.

********************

TIGA

Wuling Genta yang tengah mencari Jaka Ndableg, nampak masih berjalan menyusuri pematang sungai yang membentang panjang. Dendamnya pada Jaka Ndableg yang telah membunuh adiknya, Setan Rambut Putih, menjadikan dirinya tak hiraukan siapa adanya dirinya sebenarnya. Tengah ia berjalan menyusuri sungai, tiba-tiba lima orang berloncatan menghadang dirinya. Hal ini menjadikan Wuling Genta tersentak kaget seraya melompat mundur.

"Siapakah kalian adanya? Mengapa kalian mencegat jalanku?"

Kelima orang bertopeng angker itu nampak tersenyum cibirkan bibirnya, yang sengaja diarahkan pada Wuling Genta. Perlahan kelima orang itu melangkah, mendekat ke arah Wuling Genta yang terdiam tanpa reaksi.

"Kau mau lewat di sini?" tanya seorang dari kelimanya.

"Ya!" jawab Wuling Genta.

"Kau punya kuncinya?" kembali orang tersebut bertanya.

Wuling Genta kerutkan kening, tak tahu apa yang dimaksudkan oleh kelima orang yang meng-hadangnya. "Hem, aku yakin kalau mereka ini adalah para begal. Mereka rupanya tak tahu siapa adanya diriku sebenarnya," gumam hati Wuling Genta. "Tapi biarlah, biar mereka hendak mau apa padaku."

"Aku tidak mengerti ucapanmu, Ki Sanak," Wuling Genta berkata. "Aku hanyalah seorang pengelana, manalah mungkin aku membawa kunci segala macam? Kalaulah kalian hendak meminta sesuatu, katakanlah apa yang kalian minta."

Seketika kelima begal itu tertawa bergelakgelak demi mendengar ucapan Wuling Genta yang dianggapnya lucu. Dan memang ucapan Wuling Genta bagi mereka adalah hal kelucuan. Jarang orang yang dihadang mereka mau mengatakan apa yang mereka minta, tetapi, orang ini sungguh-sungguh lancang.

"Ketahuilah olehmu, orang tolol! Kami adalah Panca Ruba Merah. Kami bekerja sehari-hari sebagai pemungut pajak bagi siapa saja yang hendak melewati daerah ini," orang pertama tadi kembali berkata. "Ya! Kami memang dari dinas pajak," orang kedua dari Ruba Merah menyambung. "Maka itu, berikan apa yang kau bawa pada kami. Atau kalau tidak, maka nyawamulah yang harus ditinggalkan."

"Hem, kalian kira kalian mampu menggeretakku!"

"Kami tidak menggeretakmu. Kami akan melakukannya bila kau ngebandel!" bentak Ruba pertama. "Kami juga tak akan segan-segan mencincangmu!"

"Lakukanlah bila kalian mampu," Wuling Genta tersenyum mengejek, menjadikan kelima Ruba Merah itu saling pandang dan salah seorang dari kelimanya dengan gusar membentak.

"Bedebah! Monyet busuk, rupanya kau mencari mampus!"

"Aku bukanlah monyet. Tapi kalianlah monyet."

Tersentak seketika kelima Ruba Merah, manakala dengan tiba-tiba wajah mereka berubah menjadi wajah kera yang menyeramkan. Maka dengan kemarahan yang meluap-luap, kelimanya dengan mengukuk seperti monyet serentak menyerang dengan golok yang ada di tangan mereka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Wuling Genta gentar atau pun takut. Bahkan dengan bergelak-gelak tawa ia terus mengelakkan serangan mereka. Dan manakala ada kesempatan, dengan tanpa mengenal rasa kasihan Wuling Genta pun hantamkan ajiannya. Tanpa ampun lagi, kini kelimanya harus dikeroyok habis-habisan oleh selaksa Iblis yang keluar dari sinar milik Wuling Genta.

"Masihkah kalian akan melawanku?" Wuling Genta berkata. "Aku akan mengampuni kalian, asalkan kalian mau menjadi pengikut-pengikutku. Akulah Wuling Genta, Iblis Bukit Gundul. Hua, ha, ha...!"

Mendengar Wuling Genta menyebutkan siapa adanya dirinya, serta merta kelima Ruba Merah pun segera meminta ampun. Kelimanya segera sujudkan tubuh mereka, menyembah ke hadapan Wuling Genta yang masih tertawa bergelak-gelak penuh kemenangan. Dan dengan segera kembali ditarik ilmunya, yang dengan segera pula mahluk-mahluk iblis itu lenyap seketika.

"Nah, kembalilah kalian pada bentuk semula."

Bareng dengan habisnya ucapan Wuling Genta seketika kelima orang begal tersebut kembali berubah ujud menjadi orang lagi. Kelimanya masih nampak menyembah, seakan kelimanya telah pasrah pada apa yang bakal Wuling Genta lakukan. Kelimanya masih menundukkan kepala, tak berani untuk menentang pandang pada Wuling Genta.

"Kalian mau menjadi pengikutku?" tanya Wuling Genta. "Kalau kalian mau, niscaya kalian tidak akan ada yang mengalahkan."

"Benarkah itu?" tanya Rupa pertama.

"Aku tak akan membohongi kalian," jawab Wuling Genta meyakinkan mereka. "Bila kalian menjadi hambaku, niscaya kesaktian kalian akan bertambah dengan sendirinya. Bagaimana, apakah kalian mau menerima?"

Ditatapnya lekat-lekat satu persatu dari kelima Ruba Merah yang masih menunduk. Ditunggunya segala apa yang akan keluar dari mulut kelima Ruba Merah tersebut.

"Baiklah, kami menerima menjadi hambamu," jawab kelimanya serentak.

Wuling Genta seketika keluarkan gelak tawanya, demi mendengar pengakuan kelima Ruba Merah yang mau menjadi hamba-hambanya. Bukankah dengan demikian ia akan mampu menggantikan adiknya menjadi penguasa di dunia ini? Ya, memang itulah yang ia kehendaki, menjadi penguasa di bumi. Tapi kini ia harus terlebih dahulu menyingkirkan Jaka Ndableg bila ingin citacitanya berjalan dengan tenang dan mulus, sebab tidak mungkin tidak bahwa Jaka Ndableg pastilah akan menghalangi cita-citanya.

"Jaka Ndableg, aku harus menyingkirkannya!" rengutnya penuh kebencian. "Adakah kalian yang mengetahui di mana adanya Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" tanyanya pada kelima Ruba Merah.

"Ampun, Tuan. Pendekar itu tak menentu tempatnya."

"Hem, bagaimana kalau kita cari."

"Untuk apa, Tuan? Bukankah kita akan sia-sia saja? Sebab tidak mungkin kita dapat mengalahkannya," Ruba kedua angkat bicara, menjadikan Wuling Genta seketika melotot marah. Ia merasa bahwa dirinya begitu direndahkan dengan Jaka Ndableg.

"Bodoh?!" bentaknya marah. Seketika semua Ruba Merah terdiam tak berani kembali membuka kata. "Aku yang akan melenyapkan dirinya dari muka bumi ini. Apakah kalian tak ingin ketenangan untuk bertindak?"

"Ingin, Tuan...!" jawab mereka serempak.

"Nah, kalau begitu, aku akan menyingkirkannya. Kalian tak perlu khawatir, bahwa aku Wuling Genta akan kalah olehnya. Dia boleh saja mampu membinasakan adikku, tapi padaku... dialah yang akan menemui kebinasaan, sebab aku adalah Iblis yang tidak mungkin dapat ditaklukan oleh manusia."

"Sombong!" maki kelima Ruba Merah dalam hati. Dan walaupun di hati mereka berkata begitu, namun di mulut mereka yang takut jelas sebaliknya. Maka bagaikan seorang yang sudah terkena sihir kelimanya hanya mengangguk mengiyakan.

"Bagaimana, apakah kalian masih belum yakin bahwa aku akan mampu membinasakannya?" kembali Wuling Genta bertanya.

"Percaya. Kami percaya bahwa tuan akan mampu membinasakannya."

"Hua, ha, ha...! Bagus! Rupanya kalian adalah hamba-hamba yang baik. Mari, kita cari Jaka Ndableg. Dan nanti kalian boleh melihat siapa yang bakal hancur. Aku atau dia."

Tanpa berani membantah, kelimanya pun dengan menurut segera mengikuti tuannya pergi untuk mencari Jaka Ndableg. Walau dalam hati mereka bimbang, namun dikarenakan rasa takut, mereka pun hanya menurut mengikuti ke mana tuannya pergi. Mereka sebenarnya tak percaya, bahwa tuannya akan mampu mengalahkan Jaka Ndableg walau tuannya merupakan Iblis. Sebab Jaka Ndableg bukanlah pendekar sembarangan. Adiknya saja sudah kalah, mengapa Jaka tak akan mampu mengalahkannya?

********************

Jaka Ndableg saat itu tengah duduk-duduk merenung di sebuah pohon rambutan. Tangannya sesekali mengibas-kibaskan semut yang dengan nakalnya telah mengganggu keenakannya makan buah rambutan yang telah masak.

"Semut sialan! Apakah engkau kira aku ini pencuri!" rungutnya marah, dan kembali tangannya mengibaskan seekor semut yang nakal. "Setan! Rupanya semut-semut ini bandel!"

Segera Jaka memetik kembali buah rambutan yang telah berwarna merah. Dikupas kulitnya, lalu dengan enaknya Jaka menyantap rambutan tersebut. Karena keasyikan makan rambutan, sehingga Jaka sampai tidak menghiraukan bahwa sejak tadi ada seseorang tua renta berpakaian serba putih dengan jenggot putih pula memperhatikannya. Jaka terus saja asyik memetik buah rambutan, dengan sesekali tangannya mengibas semut yang nemplok.

"Hem...!"

Jaka tersentak dan memandang ke arah datangnya suara deheman tersebut. Matanya yang tajam seketika memandang seorang lelaki tua yang tengah berdiri di bawahnya, dengan memperhatikan dirinya.

"Oh, Ki Gedong Wulung. Maafkan atas ketidaktahuan saya," Jaka berkata, lalu dengan segera tubuhnya melayang turun bagaikan terbang dan hinggap di tanah dengan entengnya. "Terimalah salam hormatku." Jaka menjura hormat.

"Jaka, apakah engkau tidak mendengar adanya bahaya?"

"Maksudmu, Ki?" Jaka balik bertanya.

"Apakah kau tidak mendengar adanya seseorang dari bangsa Iblis yang kini mencarimu?"

Bagaikan cuek Jaka terus melalap rambutan yang sengaja dibawanya turun. Ucapan Ki Gedong Wulung bagaikan berlalu begitu saja, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu gelengkan kepala. Batin Ki Gedong Wulung bergumam.

"Dasar anak ndableg. Dengan orang tua saja dia bagaikan acuh. Hem, sungguh-sungguh pemuda aneh."

"Ah, maaf, Ki. Bukannya aku tidak mendengar ucapanmu, tapi sungguh sayang rambutan ini. Ya, terpaksa aku harus makan dulu, bukan?"

Ucapan Jaka begitu seenaknya, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu gelengkan kepala kembali. Sungguh ndableg, dan memang benar nama yang diberikan oleh guru-guru mereka yaitu Jaka Ndableg atau Jaka yang suka ndableg.

"Wah enak benar rambutannya, Ki," gumam Jaka sendiri.

"Jaka, aku bukan ingin membicarakan masalah rambutan, tetapi aku ingin memberikan padamu sebuah berita." Ki Gedong Wulung sudah agak mangkel melihat tingkah Jaka. "Kau dengar aku ingin membicarakan berita, Jaka?!"

Jaka tersentak mendengar seruan Ki Gedong Wulung, sehingga dengan seketika Jaka berkata: "Waduh, Ki. Mengapa berteriak-teriak begitu? Aku belum tuli, Ki."

"Aku tahu, bahwa engkau belum tuli, namun ndablegmu sudah kelewatan. Apakah engkau akan membiarkan semua bencana dan maut, menimpa dirimu, Jaka?"

"Wah, jelas tidak dong, Ki."

"Nah, untuk itulah aku ingin memberitahukan padamu bahwa kini petaka tengah terjadi di desa Kenanga. Desa tersebut kini telah dijarah oleh seorang Iblis yang tak lain kakak Setan Rambut Putih. Tujuannya mencari petaka, tidak lain untuk mengundangmu datang. Dia bertekad hendak membinasakan dirimu, Jaka."

"Wah, apakah dia itu Tuhan, sehingga dengan sendirinya dapat menentukan hidup matinya diriku, Ki?" tanya Jaka dengan kalem, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya gelengkan kepala. Sudah terasa susah ia mengajak omong dengan Jaka. "Ah, kehidupan di dunia memang macammacam saja ya, Ki?"

"Untuk itulah, Jaka. Kalau kau tidak segera datang, niscaya korban makin akan bertambah banyak."

"Baiklah, Ki. Kalau memang dia menghendaki diriku, memang selayaknya akulah yang menemuinya."

Habis berkata begitu, bagaikan kilat Jaka tiba-tiba telah menghilang dari pandangan Ki Gedong Wulung yang hanya mampu gelengkan kepala. Ia begitu terkesima dengan apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Dalam sekejap saja tubuh Jaka tiba-tiba telah lenyap dari hadapannya.

"Sungguh pemuda luar biasa. Ilmunya sangat tinggi, tapi kendablegannya benar-benar kelewatan," Ki Gedong Wulung hanya dapat gelengkan kepala lagi dan dengan kembali terus menggelengkan kepala manakala ingat Jaka, Ki Gedong Wulung pun berlalu meninggalkan tempat kebunnya.

********************

Jaka Ndableg terus berlari menuju ke kampung yang diceritakan oleh Ki Gedong Wulung yaitu desa Kenanga. Desa yang menjadi sasaran Wuling Genta untuk menarik perhatiannya. Hari itu hujan gerimis menyirami bumi, menjadikan malam makin bertambah larut dan gelap, sepertinya malam itu ingin mengabadikan sesuatu kepekatan yang selalu menyelimuti hidup setiap manusia.

"Sungguh-sungguh tak ada habisnya bencana di muka bumi bila hari belum kiamat. Tapi aku tak mau tinggal diam, sebab sudah menjadi tugasku sebagai umat manusia untuk memberantas Iblis," Jaka bergumam dalam hati. Langkahnya makin dipercepat, sebab ia tidak ingin malam akan menghambat dirinya. Kini dengan ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka melesat laksana angin yang bertiup dengan cepatnya.

Hujan masih turun rintik-rintik, menjadikan tubuh Jaka seketika basah terguyur oleh siraman air. Namun hal itu bukannya menjadikan Jaka harus menyerah pada keadaan. Dalam benaknya hanya ada satu tujuan, yaitu secepatnya menanggulangi segala kegelisahan rakyat desa Kenanga akibat teror dan bencana yang dilakukan oleh Wuling Genta.

"Ternyata yang namanya Iblis tak akan ada mau mengerti dan mengalah. Hilang satu, muncul lainnya. Huh, dasar Iblis. Apapun alasannya, dia toh berkehendak menyesatkan manusia." Jaka merungut-rungut sendiri sembari terus berlari.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Kilat dan ledakan halilintar, seketika menerangi bumi. Hal itu menjadikan Jaka seketika mampu melihat bayangan lima orang berkelebat memasuki desa Kenanga. Segera Jaka pun berkelebat cepat menyusul bayangan kelima orang tersebut. Tak lama antaranya, terdengar teriakan orang meminta tolong.

"Tolong...!"

"Sudah aku duga, memang mereka pasti akan berbuat kurang ajar pada gadis! Hem, dasar setan belang hidungnya. Eh, setan hidung belang!" umpat Jaka memaki sendiri. Jaka segera menyelinap di balik rumpun bambu lebat, bersembunyi dan mengintai kelima orang tersebut yang terus menyeret seorang gadis untuk menuruti ajakan mereka.

"Kau harus ikut aku!" terdengar seseorang membentak.

"Tidak! Aku tidak mau!" gadis itu memekik.

"Kau harus mau, sebab bila tidak maka kau akan kami, bunuh!"

"Bunuh saja aku! Ayo, bunuh!" gadis itu nampak keberaniannya, menantang pada kelima orang yang menyeretnya. Sementara dari penjuru desa berhamburan warga lainnya ke luar dari rumah demi mendengar teriakan sang gadis.

"Itu mereka! Itu mereka!"

"Jangan biarkan para penculik itu hidup!"

"Cincang...!"

"Bakar...!"

Warga yang sudah marah itu dengan senjata apa adanya segera merangsek, dan dengan membabi buta menyerang kelima orang tersebut. Namun bagaikan melayani anak kecil, kelima orang tersebut dengan gampangnya menjatuhkan satu demi satu warga desa Kenanga. Tapi semangat warga desa Kenanga patut mendapat acungan jempol, sebab mereka bagaikan tak mengenal rasa takut. Satu nyawa melayang, sepuluh orang merangsek menyerang.

"Suit...!"

Terdengar suitan manakala mereka tengah terlibat pertempuran. Dan bersamaan dengan habisnya suitan nyaring melengking tersebut, sebuah bayangan dari balik rumpun bambu berkelebat dan langsung menyerang kelima orang yang segera melompat mundur. Wajah keempat orang lainnya seketika memerah, manakala tahu siapa adanya orang yang datang. Dari mulut mereka seketika terdengar seruan kaget.

"Jaka Ndableg!"

"Inikah orangnya?" tanya orang yang bertubuh tinggi besar, yang tidak lain Wuling Genta. "Kebetulan! Memang aku tengah mencarimu, Anak muda! Kau telah membunuh adikku, maka aku pun kini yang akan membunuhmu. Bersiaplah!"

Jaka tersenyum kecut dan berkata: "Siapapun adanya kau, dan apapun alasanmu, aku akan tetap menghukum kalian yang telah berlaku sewenang-wenang pada rakyat yang tak berdosa."

"Sombong!" gertak Wuling Genta.

"Wah, rasanya aku sebagai manusia tidak kenal sombong. Mungkin kaulah yang sebagai iblis. Bukankah Iblis itu mempunyai watak sombong dan congkak seperti dirimu. Hem, jangan harap selama aku masih hidup bangsamu mampu menjadi raja di muka bumi ini."

"Bedebah!" betapa gusar dan marahnya Wuling Genta mendengar ucapan Jaka yang terasa menyudutkan bangsanya. "Kau harus mati, Anak sombong!"

"Oh, apakah kematianku ada di tanganmu? Aku rasa tidak, Iblis. Kematianku hanyalah Tuhan yang menentukan, bukan dirimu. Kau adalah biang kemungkaran dan kekafiran, maka Tuhan akan selalu mengutukmu!"

"Bangsat!" Wuling Genla bukan alang kepalang marahnya pada Jaka. Dia yang sudah terbakar oleh api dendam dan marah, tanpa banyak omong lagi segera berkelebat menyerang Jaka. Tak ayal, segala serangannya kini langsung mengeluarkan segenap ajian yang dimiliki.

Jaka yang sudah tahu siapa adanya Wuling Genta pun tak mau main-main. Segera ia pun memapaki serangan Wuling Genta dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya.

"Terimalah kematianmu, Anak sombong!" Wuling Genta sudah tak terkira lagi marahnya. "Terimalah ajianku ini! Ajian Selaksa Iblis. Hiat...!"

"Hem, rupanya engkau hendak main-main, Iblis!" rungut Jaka menimpali. "Baiklah, aku akan melayani segala permainan Iblis mu. Nah, terimalah ini. Petir Sewu, hiat...!"

Dua larikan sinar berkelebat cepat. Sinar pecah-pecah laksana petir dan memang petir adanya keluar dari telapak tangan Jaka menjadikan ledakan-ledakan hebat.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Bunyi petir menyambar-nyambar pada larikan sinar hitam legam, yang keluar dari telapak tangan Wuling Genta. Tapi rupanya ajian Petir Sewu bagaikan tiada arti untuk menghadapi Selaksa Iblis. Jaka tersentak kaget, manakala dari larikan sinar hitam legam itu keluar ribuan mahluk mirip tuyul menyerang ke arahnya.

"Setan! Jangan kira engkau akan mampu menakut-nakuti aku! Nah, ini aku sembahkan untuk kalian. Ajian Tapak Bahana. Hiat!" Tangan Jaka tiba-tiba merah membara bagaikan menyala bara. Seketika tangan itu diputar, dan...!

"Wuut, wuut, wuut...!"

"Aung...!" terdengar pekikan mahluk mirip tuyul itu manakala ajian Tapak Bahana mendarat pada tubuhnya. Seketika tubuh mahluk tersebut hancur, sirna dari pandangan. Namun manakala Jaka tengah dalam keadaan dikeroyok, serta merta Wuling Genta berkelebat dan hantamkan pukulan tenaga dalamnya. Tanpa ayal lagi tubuh Jaka pun mental ke belakang beberapa tombak. Dari mulutnya kini melelehkan darah segar.

Betapa murkanya Jaka seketika itu, sehingga ia pun nampak beringas. Kemarahannya seketika tersalur menuju ke benaknya, yang langsung mendera otaknya. Maka manakala tuyul-tuyul itu hendak kembali menyerangnya, serentak Jaka menggeretak membahana. Dan berbareng dengan hal itu, tiba-tiba tubuh Jaka membesar laksana raksasa. Ya, memang Jaka kini telah menjadi ujud seorang raksasa yang sungguh besar dan dahsyat. Itulah Buto Dewa Wisnu. Tangannya yang besar, seketika meraup sepuluh ribu kurang lima mahluk-mahluk menyerupai tuyul. Dan dengan beringas, dilumatkan kesepuluh ribu mahluk tersebut hingga benar-benar lumat.

Setelah mampu melumatkan tuyul-tuyul tersebut, serta merta Jaka segera melangkah mendekati Wuling Genta. Wuling Genta mencoba menyerang, namun dengan cepat Buto Dewa Wisnu mendahuluinya. Tubuh Wuling Genta dicengkeramnya, lalu dengan menggeretak tubuh itu digigitnya hingga hancur. Dan ketika merasa Wuling Genta memang benar-benar telah mati, Jaka segera melemparkannya ke Laut Selatan. Ya, di sanalah tubuh Wuling Genta tak akan dapat muncul lagi, sebab di Laut Selatan itulah kuburan bagi para dedemit, iblis dan segalanya.

Semua orang yang berada di situ seketika minggir, hanya seorang gadis saja yang masih memegangi kaki Jaka yang gedenya bukan alang kepalang. Jaka seketika memungut gadis itu, lalu disingkirkannya agak jauh. Setelah menyingkirkan tubuh gadis itu Jaka pun segera kembali tiwikrama. Tanpa dapat dicegah, Jaka yang telah kembali pada keadaan semula segera melesat pergi setelah melihat para warga tengah mengarak keempat Ruba Merah.

********************

EMPAT

Pagi begitu cerah, manakala terdengar dari kejauhan suara seorang wanita memekik-mekik. Bersamaan dengan pekikan tersebut, tubuh wanita itu berkelebat-kelebat laksana burung seriti. Sejenak gadis cantik yang tak lain Ningrum adanya melayangkan tubuhnya ke udara, lalu dengan menukik kepala di bawah dan kaki di atas serta tangan melurus Ningrum hantamkan dua tangannya ke arah sebuah batu.

"Hiat...!"

"Duar!"

Ledakan dahsyat seketika menggema, berbarengan dengan meledaknya batu sebesar kerbau itu hancur berkeping-keping hingga serpihannya berhamburan ke udara. Sungguh dahsyat sekali hantaman yang dilakukan oleh Ningrum. Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau manusia yang terkena pukulan tersebut, pastilah tubuhnya akan menjadi abu.

"Bagaimana, Nek?"

"Hebat! Sungguh hebat!" puji si nenek yang melihatnya dari kejauhan. "Tak aku sangka, kalau kau secepat ini menguasai ilmu-ilmu yang aku ajarkan. Kini kau boleh bangga, sebab dengan kau menguasai ajian Lebur Jagad, kau tak akan tertandingi lagi. Di samping itu pula, ajian Racun Kelabang Ungumu sangat menunjang. Nah, sekarang kau boleh melaksanakan apa yang telah aku perintahkan padamu. Carilah mangsa sebanyak-banyaknya."

"Bagaimana kalau Jaka turun tangan, Nek?" tanya Ningrum meragu.

"Kau tak perlu khawatir. Kau memiliki segalanya. Lawanlah bila ia memang harus kau lawan. Sementara pedang Sukma Layung, nanti malam aku akan mencurikannya untukmu."

"Tapi, apakah ayah tidak akan marah?"

Si nenek tersenyum kecut, lalu katanya kemudian: "Kenapa kau mesti takut, Anak manis? Kau adalah ratu, maka kau akan berkuasa atas segalanya."

Ningrum tersenyum mendengar ucapan gurunya. Memang dialah yang akan menjadi ratu, Ratu Telaga Warna. Sementara dikandungannya kini tampak membesar. Bayi yang ia kandung memang kini membesar saja.

"Pantaskah aku menjadi Ratu, Nek?"

"Kenapa tidak?" si nenek balik bertanya.

"Kau cantik dan memiliki ilmu yang tinggi. Lelaki mana pun pasti akan tergila-gila padamu. Bukankah bocah yang ada di kandunganmu meminta hal yang luar biasa? Bocah itu kelak akan menggegerkan dunia persilatan. Belum juga ia lahir, permintaanya sangat menggidikkan bulu kuduk. Dan mampu membuat semua lelaki tergetar bila mendengarnya!"

Ningrum tercenung diam, memikirkan tentang kandungannya yang aneh. Sejak perutnya makin besar, ngidamnya bukanlah ngidam yang wajar. Ningrum mengidam sesuatu yang mungkin dirasa aneh. Bayi dalam kandungannya meminta senjata laki-laki. Sungguh keterlaluan dan menyedihkan bagi laki-laki yang mendengarnya.

"Aku juga heran, Nek. Mengapa sejak perutku membesar aku ingin sekali selalu bersama laki-laki?" keluh Ningrum seakan menyesali keadaan dirinya. "Aku hamil, manalah mungkin aku akan bertualang, Nek?"

"Jangan khawatir. Akulah yang akan mencarikan mangsa."

Si nenek kedipkan mata dengan bibir tersenyum, yang lalu di sahuti oleh Ningrum dengan tersenyum pula. Setelah begitu, keduanya kembali melangkah menuju ke gubug. Dan kembali tepian pulau di Tengah Telaga pun sunyi-senyap.

********************

Malam itu nampak di rumah kediaman seorang pendekar yang namanya sudah cukup kondang berkelebat sesosok bayangan. Bayangan itu milik seorang yang berpakaian serba hitam dengan tali kepala yang sengaja diikat dengan warna putih. Di tengah tali pengikat kepala, nampak sebuah gambar seekor kelabang berwarna merah. Bayangan tersebut sesaat berhenti, menyembunyikan dirinya di balik pepohonan yang rimbun. Perlahan dengan langkah ringan bayangan tersebut melayang ke udara dan hinggap di atas sebuah wuwungan rumah tersebut.

"Tampaknya Pramana belum tidur. Hem, akan aku gunakan ajian penyirepku," bisik hati wanita pemilik tubuh tersebut, lalu dengan segera wanita itu pun mengheningkan cipta, dan...!

"Aji Sirep Sukma Tirep. Hiat...!"

"Oauh...!" terdengar suara seseorang menguap, sesaat lalu tak terdengar kata-kata lagi.

Perlahan tubuh terbungkus pakaian serba hitam itu membuka satu persatu genting yang ada di bawah pijakan kakinya. Dan dengan tubuh ringan wanita itu melayang ke bawah. Matanya memandang sekeliling sesaat, lalu bergegas wanita itu melompat ke sebuah ruangan di mana biasanya Pramana menyimpan pedang pusakanya, yaitu pedang Sukma Layung.

Wanita itu tertegun di kamar tempat penyimpanan pusaka-pusaka milik Pramana. Di kamar tersebut banyak terdapat lemari, namun di lemari yang manakah senjata pusaka tersebut disimpan? Mata wanita yang hanya nampak dalam lobang kain hitam penutup mukanya jalang mengawasi satu persatu almari tersebut.

"Mungkin ini," gumamnya.. Segera ia pun menghampiri lemari yang berada paling ujung. Perlahan lemari itu dibongkarnya. Namun tidak urung bunyi congkelan itu pun menggema. Beruntung semua yang ada di rumah itu telah terlelap tidur akibat aji sirep yang dilontarkannya, kalau tidak. Sungguh sebuah petaka bagi dirinya.

Kembali wanita bercadar hitam itu mencongkel pintu lemari tersebut. Dan dengan segenap susah payah, akhirnya wanita itu pun berhasil juga membongkar lemari tersebut. Sejenak dipandanginya segala macam senjata yang ada. Matanya seketika menghunjam pada sebuah pedang yang memancarkan sinar kuning.

"Ini dia!" pekiknya dalam hati. Tanpa banyak memilih lagi, diambilnya pedang tersebut. "Aku harus segera pergi dari sini."

Dengan hasil sebuah pedang pusaka Sukma Layung, segera maling tersebut mencelat lewat pintu belakang dan pergi meninggalkan rumah tersebut.

********************

Betapa alang kepalang kagetnya Pramana, manakala melihat pintu lemari pedang pusakanya telah terbongkar. Tanpa banyak tanya, segera Pramana menghambur dan mencari-cari gerangan apa yang telah hilang.

"Maling bangsat! Rupanya Pedang Pusaka Sukma Layung yang digondolnya! Awas kalau aku tahu, jangan harap akan dapat aku maafkan!" memaki dan mengumpat Pramana penuh amarah.

"Ada apa, Kang mas?" tanya sang istri, yang terjaga dari tidurnya demi mendengar suaminya mencak-mencak. "Mengapa sepagi ini engkau marah-marah, Kakang?"

"Kau lihat sendiri."

Melotot mata istri Pramana melihat apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupanya maling semalam telah masuk dan membobol lemari tempat menyimpan barang-barang pusaka. "Sudah pasti, malingnya tak lain orang-orang persilatan juga, Kakang?"

"Memang, Dinda. Malingnya memang orang-orang persilatan. Tapi siapa?" Pramana berkata seakan hendak menangis. Bagaimana tidak, senjata tersebut adalah warisan kakek gurunya yang harus dijaga baik-baik. Kembali Pramana teringat akan pesan gurunya, manakala kakek gurunya hendak menyerahkan pedang tersebut padanya.

"Pramana, pedang ini jangan sampai berada di tokoh sesat, sebab tidak mungkin kalau pedang pusaka ini akan mereka gunakan untuk kebaikan. Dan bila pedang pusaka ini untuk berbuat jahat, niscaya dia akan meminta korban, yaitu korban dari keluarga yang memegangnya. Ingat pesanku baik-baik! Bila pedang ini hilang dan digunakan untuk kejahatan, maka salah seorang keluargamu akan menjadi korbannya."

"Oh, bencana apa lagi yang akan menimpa keluargaku?" keluh Pramana, menjadikan sang istri seketika tersentak kaget. Ia yakin bahwa ucapan suaminya bukanlah ucapan sembarangan, namun ucapan seorang yang benar-benar mendalami arti sesungguhnya benda pusaka.

"Sudahlah, Kang mas. Janganlah kakang terlalu memikirkannya. Bukankah lebih baik kakang mencarinya?" istrinya berkata mencoba menghibur. "Kalau kakang hanya merenung dan menyesali, manalah benda tersebut akan pulang dengan sendirinya?"

Pramana tak dapat berkata, ia diam memaku berdiri. Omongan istrinya dirasa benar adanya. Ya, kalau dia hanya merenung dan memikir saja, manalah pedang tersebut akan kembali. Dia harus mencarinya, mencari siapa adanya yang telah mencuri pedang miliknya. "Baiklah, Dinda. Kakang akan mencoba mencarinya. Kakang minta do'a darimu."

"Dinda selalu berharap kang mas dalam kebaikan."

Setelah mencium istrinya, dengan diiringi istrinya sampai di pintu rumah Pramana pun meninggalkan rumah untuk mencari orang yang belum diketahui siapa adanya. Namun tekadnya membulat, bisa atau tidak ia harus menemukan pedang tersebut walau nyawanya sebagai taruhannya.

********************

LIMA

Setiap hal yang nantinya buruk, tentunya awal mulanya akan baik dan menyenangkan hingga orang yang tak sadar akan terlarut di dalamnya. Semua itu hanyalah perbuatan setan belaka, yang ingin menjerat manusia agar turut bersamanya....

Begitu juga halnya yang dialami oleh Kamto, seorang warga desa Kemanyar yang telah berguru pada Ratu Telaga Warna. Kamto berguru pada Ratu tersebut, semata-mata mendengar berita bahwa Ratu itu mampu memberikan sebuah ajian yang sangat hebat dengan cara yang menggiurkan. Sebagai seorang pemuda normal, jelas Kamto pun ingin membuktikan kebenaran apa yang dijadikan dengang dengung kabar burung. Maka dengan bekal semangat untuk dapat menjadi orang sakti mandra guna, Kamto pun berangkat menuju tempat yang telah diketahui olehnya melalui tanya sana tanya sini.

"Betapa aku akan menjadi orang sakti dengan cara yang nikmat. Sungguh sebuah kesempatan yang tak akan ada lagi," gumam Kamto sembari terus melangkahkan kakinya menuju ketempat yang telah dijadikan tujuannya, yaitu Telaga Warna.

Sebenarnya Kamto mendengar kabar tersebut, manakala ia tengah melamun seorang diri memikirkan keadaan kampungnya yang kini makin rawan oleh perampokan dan begal. Hampir setiap malam kampungnya di jarah oleh rampok dan begal. Sebagai warga yang baik, ingin sekali Kamto dapat menunjukkan darma baktinya pada desa. Namun ternyata garong-garong tersebut bukanlah orang sembarangan, mereka hampir seluruhnya menguasai ilmu silat. Bila hanya ilmu silat saja yang dia miliki, jelas sia-sia.

Terbukti Ki Kamsin, ia memiliki ilmu beladiri, namun ternyata ia tak mampu menghadapi kesepuluh garong yang menjarah rumahnya. Dan sudah tentu diketahui hasilnya. Tubuh Ki Kamsin bagaikan sebuah daging cincang, rapat dengan bacokan-bacokan golok dan tusukan-tusukan keris. Bukan hanya Ki Kamsin saja yang mempunyai ilmu beladiri namun akhirnya mati di tangan para garong. Bapaknya juga, mati digorok oleh para garong. Juga pamannya, Suroso mati oleh kekejaman para garong tersebut.

"Garong-garong biadab! Tunggulah nanti pembalasanku!" pekik Kamto penuh kebencian, sambil terus melangkah Kamto terus menghayal bagaimana jika ia telah memperoleh ajian yang mampu menahan segala bacokan atau hantaman lawan. Bila ingat semuanya, seketika Kamto menggeretak penuh amarah. Dikepalkannya tangan, meninju tangan sebelahnya. Perjalanan dari rumahnya ke Telaga Warna bukanlah jarak yang pendek.

Namun karena didasari oleh semangat yang tinggi, menjadikan Kamto bagaikan tak mengenal rasa capai sedikit pun. Tak hiraukan semak berduri yang menghalanginya, ia terus saja mantapkan langkah. Ketika sore telah tiba, Kamto pun sampailah pada tempat yang dituju. Namun seketika hatinya bimbang, bagaimana mungkin dirinya akan mampu menyeberangi telaga yang begitu luas? Salah-salah dirinya tak jadi berhasil malah akan mati. Kamto bermaksud membalikkan tubuhnya hendak kembali, manakala terdengar seruan seorang wanita yang diseru dari jarak yang jauh, tempatnya di tengah telaga warna.

"Anak muda, kenapa engkau urungkan niatmu? Apakah engkau akan menyia-nyiakan segala apa yang menjadi tujuanmu?!"

"Heh, benar juga apa yang diserukan oleh wanita tua itu," gumam Kamto. "Tapi, aku tak mampu untuk mengarungi telaga yang begini luas."

"Kenapa engkau terdiam, Anak muda! Cepatlah kemari! Turunkan tubuhmu ke air, pasti kau akan mampu menuju ke sini!" kembali wanita tua itu berteriak, menjadikan Kamto terbengong. Bagaimana mungkin nenek itu berkata seenaknya. Ia mencebur? Ya kalau dangkal, tapi kalau dalam? Apakah tidak namanya dia sengaja bunuh diri?

"Bagaimana aku dapat menuju ke situ, Nek?"

"Gampang! Terjunkan dirimu, air itu tak akan mau menenggelamkan tubuhmu!"

"Ah...!" Kamto memekik, nampak masih ragu. "Kau jangan bercanda, Nek!"

"Hi, hi, hi...!" nenek itu cekikikan. "Percayalah pada Ratu yang hendak menjadikan dirimu pendampingnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh sang Ratu, kau tak akan tenggelam. Nah, boleh kau coba sekarang."

Dengan setengah takut-takut Kamto segera menurunkan dirinya untuk mencebur. Dalam benaknya hanya ada satu pilihan, ia harus mampu sampai dan dapat mengeloni tubuh Ratu Telaga Warna yang menurut kabar cantik jelita. Dan sungguh-sungguh membuat Kamto seketika membelalakkan mata. Bagaimana tidak! Air telaga itu dirasakannya sangat keras menopang tubuhnya, sehingga tubuh Kamto pun seperti berjalan biasa. Kamto malah kini berlari, sepertinya ia merasakan sebuah pengalaman yang baru kali ini ia alami.

"Aneh. Mengapa air ini tak ubahnya seperti tanah?" bertanya-tanya Kamto pada diri sendiri. Dicobanya menyauk dengan tangan, dan ternyata memang benar-benar air adanya. "Heh, apakah aku tidak sedang bermimpi?"

"Jangan kaget, Anak muda. Itu semua karena Sri Ratu menghendaki dirimu. Jika Sri Ratu tidak menghendakimu, niscaya sudah dari semula kau akan tenggelam!" nenek tua itu kembali berseru.

Kamto yang tengah tercengang makin tercengang saja demi mendengar ucapan si nenek yang mengatakan bahwa Sri Ratu memang menghendaki dirinya. Jadi kalau begitu ia tak akan mengalami kesusahan lagi untuk mendapatkan segala apa yang diimpikannya. Kamto tak menyangka bahwa suara gaib itu memang benar adanya. Tengah Kamto masih terbengong dalam ketidak mengertiannya, kembali terdengar si nenek berkata:

"Cepatlah datang, sungguh engkau lelaki yang menjadi pilihan Sri Ratu. Dan engkaulah yang menjadi pemuda paling beruntung."

Kini makin terlintas saja khayalankhayalan indah di benak Kamto. Khayalan bagimana ia akan menggulati tubuh Sri Ratu yang cantik jelita. Tubuh Sri Ratu yang sudah pasti mulus dan elok. Ah, sungguh dirinya memang beruntung. Sudah akan mendapatkan kenikmatan, ia juga akan mendapatkan ilmu yang sangat tinggi.

Tak berapa lama kemudian Kamto pun telah mendarat di pulau, dimana berada di tengahtengah tegalan tersebut. Kehadirannya di sambut hangat oleh si nenek yang langsung membawanya menuju ke dalam bangunan yang cukup besar. Seketika mata Kamto melotot bagaikan mau keluar saja layaknya, manakala keduanya masuk lebih dalam dan menemui sang ratu. Bagaimana mata Kamto sebagai seorang anak muda tidak melotot? Bagaimana darah lelakinya tidak mendidih saat itu juga? Dihadapan Kamto kini terpapar sesosok tubuh indah menggiurkan tanpa mengenakan sehelai benangpun, tersenyum ke arahnya.

"Tuan Putri, inilah pemuda tersebut," si  nenek berkata setelah terlebih dahulu menjura hormat. "Semoga Tuan Putri berkenan menerimanya."

"Aku menerimanya, dan tinggalkan kami berdua, Nek."

"Daulat, Tuan Putri, hamba mohon pamit undur." Si nenek untuk kedua kalinya menghormat, lalu setelah begitu ia pun meninggalkan wanita cantik tersebut bersama Kamto yang masih terpaku ditempatnya dengan tubuh bagaikan diserang demam yang hebat.

Kamto makin menggigil tatkala tubuh wanita cantik jelita itu bangun dari tempat tidurnya, melangkah menuju ke arahnya dengan bibir masih menggerai senyum. Tubuh wanita itu benar-benar sempurna, tanpa cacat cela sedikit pun. Tubuh tanpa tertutup sehelai kain pun kini melangkah ringan, berlenggak lenggok mendekati Kamto. Namun seketika mata Kamto mengarah pada perutnya. Perut itu melenting bagaikan orang bunting. Kamto ingin bertanya, namun seketika hatinya menolak. Dia takut kalau-kalau nantinya Sri Ratu akan marah besar padanya. Tak disadari oleh Kamto, Sri Ratu Telaga Warna tiba-tiba menggelantungkan tangannya di leher Kamto.

"Siapa namamu, pemuda ganteng?"

"Nama hamba, Sukamto."

"Kau ingin menjadi seorang yang sakti mandra guna, Kamto?"

Kamto tak segera menjawabnya. Kini ia benar-benar telah terlelap dalam pelukan mesra yang dilakukan oleh Sri Ratu. Kamto kini benarbenar terhanyut dalam khayal-khayal yang indah. Khayalan seorang pemuda yang baru pertama kalinya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami istri. Tangan Sri Ratu Telaga Warna bergerak, dan dengan perlahan satu persatu pakaian Kamto pun melesat jatuh ke bawah.

"Bagaimana, Kamto? Apakah kau ingin menjadi seorang yang sakti mandra guna?" kembali Sri Ratu berkata, kali ini sangat lembut suaranya. Tubuh Sri Ratu menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan, bergesek dengan tubuh Kamto yang juga telah telanjang bulat.

Bagai disengat aliran listrik jutaan volt, tubuh Kamto seketika turut tersedot oleh irama permainan yang. dilakukan oleh Sri Ratu Telaga Warna.

"Kenapa engkau terdiam, Kamto? Tidakah engkau menghendaki ilmu yang sangat tinggi?"

"Sa... saya, menginginkannya, Sri Ratu," Kamto berkata terbata-bata. Matanya terus menghunjam liar, menyelusuri tubuh Sri Ratu yang berdiri telanjang di depan matanya. Tubuh yang sepertinya hendak memberikan segala apa saja pada Kamto. Ya, ilmu yang akan menjadikan dirinya sakti, juga kenikmatan yang tanpa batas akan dapat Kamto renggut.

"Menginginkan apa, sayang?" Sri Ratu berkata manja. Tubuhnya bergerak liar, kekanan dan kekiri, sepertinya tubuh Sri Ratu menari, sehingga Kamto yang tergesek pun seketika merasakan kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang baru sekali ini dirasakan oleh Kamto.

Mata Sri Ratu yang tajam, seketika beradu pandang dengan mata Kamto. Kamto merasakan sebuah letupan-letupan timbul di dalam sanubarinya. Letupan itu menggejolak, menjadikan nafas Kamto seketika menggerek bagaikan berat. Sri Ratu tersenyum, dan masih dalam gerakan-gerakan yang liar, yang mampu menjadikan Kamto memejamkan dan memelekkan mata merasa nikmat.

"Kamto, kalau kau ingin mendapatkan apa yang engkau mau, maka kau harus mau menuruti segala apa yang menjadi aturankau di sini. Bagaimana, apakah kau akan sanggup?" tanya Sri Ratu masih terus berbuat begitu, menggoyangkan tubuhnya melenggak lenggok bergesek dengan tubuh Kamto. Perlahan dibimbingnya tubuh Kamto, melangkah menuju ke tempat di mana tadi dirinya berbaring. Kamto tetap saja diam, menuruti apa yang dihendaki oleh Sri Ratu.

"Apa yang harus hamba lakukan, Tuan Putri?" tanya Kamto dengan napas memburu. "Demi Sri Ratu, hamba akan menjalankan segalanya asalkan hamba diberi bekal ilmu yang mampu untuk hamba pergunakan."

"Benar, Kamto?" tanya Sri Ratu manja.

"Adakah hamba dirasa berdusta?" Kamto balik bertanya. Kini tangannya yang kokoh dan kekar telah mendekap erat tubuh Sri Ratu yang menggelinjang-gelinjang di bawah dekapan Kamto.

Sri Ratu tersenyum, lalu katanya: "Aku percaya, Kamto. Nah, dengarlah. Sejak saat ini, kau dalam kuasaku. Kau harus menuruti apa kataku. Seminggu kau harus di sini dulu, agar ilmu yang engkau inginkan dapat segera engkau dapatkan."

"Seminggu, Sri Ratu?" tanya Kamto setengah heran.

"Ya, kenapa?" Sri Ratu balik bertanya. "Apakah engkau keberatan bila harus di tempat ini seminggu. Apakah engkau tak suka untuk memberikan kepuasan padaku selama seminggu?"

"Bu... bukan itu. Hamba akan mau dan dengan senang hati akan memberikan segala kenikmatan yang Sri Ratu kehendaki sampai kapanpun. Jadi, jelasnya hamba tidak menolak untuk tinggal di sini selama seminggu."

"Lalu, mengapa engkau seperti keheranan, Kamto?"

"Hamba tadinya mengira kalau hamba akan diberikan waktu yang lamanya 40 hari, seperti orang-orang lain melakukan tapa Brata."

Sri Ratu Telaga Warna tersenyum, mendengar ucapan Kamto. "Padaku, tidak! Kau cukup melayani saja apa yang aku inginkan hanya dalam waktu seminggu. Setelah itu, kau akan mendapatkan apa yang engkau cita-citakan," Sri Ratu berkata: "Ah, sudahlah, yang penting kita nikmati dulu segalanya dalam seminggu. Setelah itu, kau harus mampu menarik pemuda-pemuda kampungmu dan pemuda kampung lain ke mari. Kau sanggup, Kamto?"

"Sanggup, Sri Ratu," Kamto menjawab. "Apapun akan hamba lakukan demi Sri Ratu, asalkan hamba selalu dapat menjadi pendampingmu. Hamba sungguh mencintai Sri Ratu."

Tersentak Ratu Telaga Warna mendengar ucapan Kamto. Bagaimanapun juga ia tidak menyangka kalau Kamto akan berkata terus terang begitu. Namun demi membahagiakan Kamto, Ratu Telaga Warna pun mengangguk dan berkata: "Baiklah, aku akan mengangkatmu sebagai pendampingku, tapi kau harus menjalankan tugasmu terlebih dahulu. Dan setelah anak dalam kandunganku ini lahir, Kau mau?"

Kamto tak berkata menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ratu Telaga Warna. Ia hanya mengeratkan dekapannya, lalu mendenguskan napasnya dengan tajam, seakan mengisyaratkan pada Ratu Telaga Warna untuk segera memulai. Sri Ratu nampak masih tersenyum, lalu dengan penuh semangat membalas dekapan Kamto dengan diikuti oleh tarian pantatnya. Tak ayal lagi, Kamto seketika menggigit bibirnya menahan gejolak nafsu yang menggebu-gebu.

"Sri Ratu, Oah...!"

"Kau sudah bersedia, Kamto?"

"Apapun hamba telah bersedia, Sri Ratu."

"Baiklah, Kamto. Ingat! Kalau kau bermaksud membantah, maka kau akan tahu sendiri apa akibatnya!" Ratu Telaga Warna akhirnya terdiam membisu, seperti juga Kamto. Kedua mahluk yang dinamakan manusia itu akhirnya saling memacu dalam segalanya. Kamto melototkan mata, lalu mengerang bagaikan disetrom oleh ribuan watt arus. Tubuh Kamto sejenak terdiam, lalu terkulai di sisi tubuh Sri Ratu yang tak mau membiarkan Kamto terkulai begitu saja.

Rupanya Sri Ratu belum mendapatkan kepuasan. Maka dengan segera ditubruknya tubuh Kamto yang terkangkang, dan dengan liar Ratu Telaga Warna segera menggoyangkan tubuhnya. Sungguh adegan yang mendirikan bulu kuduk. Walau pun adegan tersebut bukan adegan horor, tapi cara Ratu Telaga Warna mencari kepuasan mampu menjadikan pemuda Kamto terintih-rintih menahan segala siksa.

********************

ENAM

Tujuh hari sudah Kamto menghilang, sehingga orang-orang desanya menyangka bahwa Kamto telah menjadi korban Ratu Telaga Warna. Tapi ternyata dugaan semua pemuda di kampungnya seketika meleset, manakala sore itu Kamto nampak berjalan dengan lesu pulang ke desanya.

"Kamto...! Hai itu Kamto datang!" seru seorang rekannya pada temannya yang lain, yang segera mengalihkan pandangannya ke arah di mana Kamto muncul.

"Benar! Itu Kamto. Ayo kita sambut!" Dengan penuh rasa bangga seluruh pemuda yang sore itu tengah nongkrong segera berhamburan menghampiri Kamto yang tersenyum menyambut kedatangan rekan-rekannya.

"Wah, Kam. Sudah kami kira engkau menjadi korban," seorang temannya langsung membuka kata.

"Ya, kami kira engkau telah mati, sebab kau lama benar menghilang. Bagaimana, apakah engkau telah mendapatkan ilmu yang engkau inginkan tersebut?"

"Kalian nanti malam boleh menyaksikannya. Kamto sekarang bukanlah Kamto yang dulu. Kamto sekarang adalah Kamto yang mempunyai ilmu yang tinggi. Hua, ha, ha...!" Kamto berkata menyombong, menjadikan semua rekannya seketika kerutkan kening. "Kalian akan tahu kehebatan ilmuku. Nanti malam, para garong itu akan menerimanya. Hua, ha, ha...!"

"Kau tidak berdusta, Kam?" tanya temannya penuh keheranan.

"Hem, Jupri. Apakah kau tak yakin?" Kamto balik bertanya, menjadikan Jupri terdiam. "Kau ikutlah denganku, biar nanti malam engkau dapat melihatnya. Dan kalian semua pun dapat ikut denganku."

"Baik! Kami akan mengikutimu!" serentak semuanya menjawab.

Dengan tenang diiringi oleh puluhan pemuda kampungnya Kamto melangkah menuju ke rumahnya. Rumah yang sudah seminggu ditinggalkannya. Pemuda-pemuda desa itu pun mengikuti, bahkan kini bertambah banyak pemuda itu. Mereka ingin mendengarkan apa yang telah dialami Kamto selama seminggu.

"Kalian tahu, heh. Bagaimana mulusnya seorang gadis cantik? Jauh lebih mulus milik Sri Ratu."

Semua tercengang mendengar penuturan Kamto. Dalam benak semua pemuda itu terpampang bayangan indah yang menjadikan diri mereka seketika terhanyut. Tak terasa lidah mereka melelet, menahan kelu yang terjadi akibat rangsangan cerita Kamto.

"Kalian akan memiliki ilmu yang seperti aku miliki, hanya dengan cara kalian mau melakukan persetubuhan dengan sang Ratu selama seminggu."

"Ah...!" mereka memekik tertahan.

"Kenapa?" Kamto menanya.

"Enak benar? Sudah mendapatkan kepuasan dari seorang cewek cakep, kita mendapatkan ilmu yang tinggi," gumam seorang pemuda yang nampak meleletkan lidahnya terus menerus, sampai-sampai air liurnya meleleh.

"Ya! Kalian boleh membuktikan sendiri, bagaimana nanti ilmu yang aku miliki!" Kamto masih mencerca cerita, sehingga makin menjadikan semua pemuda desanya seketika makin terjerumus masuk ke dalam khayal. "Kalian akan aku antar bila ada yang hendak mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, kalian dapat merasakan nikmat surga dunia. Keuntungan kedua, kalian akan sendirinya mampu memiliki ilmu yang sungguh hebat."

"Aku mau!"

"Aku mau!"

"Aku ikut, Kam!"

"Aku juga!"

Riuh seketika rumah Kamto oleh pekikan pemuda-pemuda itu yang telah tertarik oleh cerita Kamto. Dan memang nampaknya semua pemuda tersebut menuruti apa yang saat itu telah menggelegar di hati mereka. Dalam benak mereka hanya ada bayangan-bayangan keindahan.

"Baiklah, kalian akan aku antar satu persatu ke sana. Maka itu kalian harus aku urut," Kamto berkata: "Warna...!"

"Saya Kam!" Warna menyahut.

"Surip...!"

"Ya...!"

"Gempol...!"

"Saya...!"

"Enteng...!"

"Saya, Kam!"

Dan lain-lainnya pun dengan segera menyambut setiap seruan yang dilakukan oleh Kamto. Lengkap sudah seratus pemuda yang telah mendaftarkan. Kini tugasnya telah selesai, tugas yang dibebankan oleh Ratu Telaga Warna untuk mencari pemuda sebanyak-banyaknya. Kamto sunggingkan senyum, sebetulnya senyum itu adalah senyum sinis, namun karena mereka dalam luapan khayalan yang indah menjadikan mereka seketika lupa pada keadaan.

********************

Malam pun kini mendendang, tiba dengan segala kepekatan yang menyelimuti desa tersebut. Keadaan seketika sunyi bagaikan mati, hanya di rumah Kamto saja yang tampak masih ramai. Tak seorang pemuda pun yang berkeinginan pulang, sebab mereka ingin menyaksikan bagaimana ilmu yang dimiliki oleh Kamto, dan bagaimana pula Kamto akan membekuk semua garong yang sering menjarah kampungnya. Semuanya tampak tak seorang pun tidur, mereka asyik main gaple cepe-cepe. Setiap bantingan kartu, seketika meledaklah tawa ria semuanya.

"Wah, sudah malam para garong itu belum nongol juga, Kam?"

"Mungkin mereka takut kali melihat kedatangan Kamto." timpal yang lainnya seraya membanting gaple. "Atau barang kali mereka tak berani karena melihat kita berkumpul."

"Ah, aku rasa tidak. Aku merasa garong-garong itu memang benar-benar takut melihat kedatangan Kamto."

Tengah mereka bercakap-cakap dengan main gaple, seketika terdengar dari kejauhan seseorang menabuh kentongan. Sementara yang lainnya berteriak-teriak.

"Tolong...! Garong datang...!"

Tong, tong, tong!

Mata keseratus teman Kamto seketika membelalak kaget. Ada rasa ngeri terlintas di wajah mereka, apa lagi di lihatnya Kamto masih tenang-tenang saja.

"Kam, bagaimana ini?"

"Tenang sajalah, Juf. Nanti mereka akan tahu siapa aku," jawab Kamto masih tenang, sementara keseratus pemuda itu nampak sudah blingsatan ketakutan. "Apakah kalian tak mau percaya padaku? Biarkan saja garong-garong itu menjarah rumah orang, toh nanti mereka datang ke mari, bukan?"

"Tapi kasihan Mang Kimpul, Kam? Diakan sudah tua," yang bicara Jufri. Mendengar nama Mang Kimpul disebut-sebut, seketika Kamto segera bangkit, lalu dengan lagak seorang pimpinan ia pun mengajak keseratus temannya berangkat.

"Ayo kita ke sana!"

Dengan langkah pasti bagaikan tak mengenal rasa takut Kamto berjalan paling depan, mendahului keseratus rekannya yang nampak menyurut di belakangnya ketakutan. Wajah Kamto bagaikan tiada reaksi, beda dengan wajah rekan-rekannya yang tegang dan diselimuti oleh rasa ketakutan yang teramat sangat. Langkah Kamto begitu tegap, matanya tajam memandang ke muka, seakan ingin menghujamkan pandangan matanya pada para garong yang selalu saja menjarah kampungnya.

********************

"Jangan tuan, jangan!" memekik seorang gadis terseret paksa oleh seorang garong yang memiliki tubuh kekar. "Lepaskan!"

"Hua, ha, ha...! Kau harus ikut denganku, manis! Kau harus mau melayani diriku," garong itu menyeringai, menjadikan sang gadis makin tampak ketakutan. Namun sang garong tak mau ambil peduli, ia kini dengan paksa menggendong tubuh gadis tersebut yang meronta-ronta minta dilepaskan.

"Diamlah!"

"Tidak! Aku tidak mau menjadi istrimu!" gadis itu kini nampak nekad, memberontak dan meludahi muka orang yang membopong tubuhnya. "Cuh...! Tak sudi aku menjadi istri garong!"

"Bangsat! Aku bunuh kau!" maki marah garong itu, seraya tangannya mengelap ludah yang gelepotan di mukanya. Tanpa mengenal kasihan, dilemparkan tubuh si gadis ke rerumputan. Dan bagaikan seekor serigala kelaparan, sang garong segera menubruk tubuh gadis itu yang kini tersentak dan segera beringsut mencoba menghindar. Namun rupanya tubrukan sang garong lebih cepat, sehingga si gadis tak mampu lagi mengelakannya. Tubuh si gadis akhirnya tertindih oleh tubuh besar si garong.

Kedua tubuh tersebut saling berusaha merangsek. Si garong berusaha membuka pakaian yang dikenakan si gadis, sementara si gadis berusaha menendang dan mencakar sang garong dengan harapan dapat terlepas dari dekapannya. Namun rupanya dekapan sang garong lebih kuat dibandingkan dengan berontakan sang gadis, sehingga kini si gadis pun akhirnya terdiam. Manakala lelaki tersebut hendak melampiaskan nafsunya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghantam tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh si garong pun seketika berguling-guling menahan rasa sakit.

"Bangsat! Siapa kunyuk yang hendak berlagu dengan gerombolan garong Munik Wangi, hah!" bentaknya marah.

Pemuda yang tak lain Kamto nampak tersenyum menyeringai, lalu dengan sinis berkata: "Minggatlah kalian dari desa ini! Dan jangan sekali-kali berusaha menginjakkan kaki di sini selama masih ada aku!"

"Cuih...! Pantang bagiku untuk menyerah!"

"Hem, begitukah?" Kamto berkata sinis. Senyumnya mengembang.

"Sudah, Kam. Jangan diberi hati, beri saja rempela!" pekik teman-temannya.

"Hai, garong tengik! Katakan pada ketua kalian, bahwa kami akan menjerat lehernya bila berani lagi pada warga desa ini, mengerti! Kau lihat, keempat rekanmu telah menjadi bangkai, mati oleh Kamto!" Pak Lurah turut berkata.

"Bohong!"

"Hem, kau memang ingin digorok rupanya!" Pak Lurah yang melihat Kamto ada di situ timbul keberaniannya. "Lihat dengan matamu, noh di sono!"

Sang garong segera mengikuti arah yang ditunjuk oleh Pak Lurah. Dan manakala ia sudah pasti bahwa rekan-rekannya telah mati, maka tanpa banyak kata lagi ia pun melesat dengan diikuti ancaman yang ditujukan pada warga desa tersebut, kususnya Kamto yang dirasa telah mampu membuat rekan-rekannya tak berdaya.

"Kalian tunggulah pembalasan ketua kami!"

"Katakan pada ketuamu, bahwa aku Kamto masih menunggu kedatangannya secepat mungkin!" Kamto tak kalah berseru.

"Ayo Kamto, kita adakan syukuran atas keberhasilanmu mendapatkan ilmu yang tinggi tersebut," Pak Lurah mengajak, lalu dengan diikuti warga desa lainnya yang seketika mengelu-elukan nama Kamto mereka pun meninggalkan batas desa. Dengan penuh kegembiraan semuanya segera menuju ke rumah kepala desa.

********************

TUJUH

Ancaman garong tersebut rupanya bukan main-main, terbukti esok malamnya datang serombongan garong yang langsung dipimpin oleh ketuanya. Mereka datang bukan untuk menggarong, melainkan untuk membalas dendam atas kematian empat orang anak buahnya.

"Mana yang namanya Kamto. Keluarlah kunyuk kecil!" Kamto yang mendengar seruan ketua garong, dengan gagah berani berkelebat diikuti seluruh warga desa menemui pimpinan garong dan anak buahnya yang jumlahnya banyak tersebut.

"Aku yang bernama Kamto. Siapa kau adanya, hah!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata orang yang berlagak itu hanyalah seekor tikus kecil bau busuk!" Ketua garong itu menggeretak penuh kebencian. Matanya menghujam pandang pada Kamto yang tampak masih tersenyum tenang. "Hanya dengan tikus bau ini kalian tak berani? Bodoh!"

"Hai, monyet jelek! Kalau kau masih saja berani menyuruh anak buahmu menjarah ke mari, jangan harap kami akan membiarkannya. Kami akan menggantung anak buahmu satu persatu!" Kepala desa tampil dengan segala keberanian.

"Setan bangkotan! Selama engkau masih menjadi kepala desa, tak akan aku biarkan kau tenang! Kau licik! Kau manusia yang tidak tahu malu!" ketua garong itu membentak bengis. "Kau telah menjadikan hidupku terlunta. Cincang tua bangka licik itu!"

Kamto tersentak bingung harus bagaimana ia berbuat. Ia merasa bahwa ucapan ketua garong itu benar adanya. Namun sebagai seorang warga, ia harus membelanya. Tak ayal lagi, pertarungan pun seketika meledak.

"Turunlah kau, Monyet!" bentak Kamto pada ketua garong yang masih bertengger di atas kudanya. "Apakah kau takut menghadapi diriku?"

Betapa gusarnya hati ketua garong tersebut, demi mendengar ejekan yang dilontarkan oleh Kamto. Napasnya seketika mendengus penuh marah, lalu sekali genjot ia pun melesat turun dari kudanya dan menghadapi Kamto. "Tikus busuk! Apakah kau sudah punya taring, sehingga berani berkoar di hadapanku. Hah!"

"Janganlah kau terlalu berkoar! Kalau kau memang lelaki, maka hadapilah aku! Aku bukan membela kepala desaku, namun aku hanya ingin membasmi kejahatan yang telah sekian tahun menteror warga desaku!"

"Dungu! Kau ternyata dungu! Kepala desamu, tak lain hanyalah seorang bajingan yang bertampang baik. Dia adalah lebih jahat dari diriku! Dia telah menghancurkan kehidupanku. Dia rebut istriku dengan rayuan-rayuan gombalnya. Nah, apakah engkau masih saja akan membelanya?!"

"Sekali lagi aku katakan, aku bukan hendak membela dia. Kalau kau memang ada masalah dengan dirinya, mengapa engkau mesti membawa bencana bagi rakyat yang tidak berdosa? Aku tak akan ikut campur, asalkan engkau tidak membawa bencana bagi warga di sini!"

Pimpinan garong itu mendengus marah, rupanya ia sudah tak dapat lagi menenangkan hatinya. Ucapan Kamto dirasakannya adalah sebuah tantangan, tantangan yang menyuruhnya untuk membuktikan siapa adanya Munik Wangi. Seorang pimpinan garong yang namanya telah disegani oleh orang-orang persilatan. Maka dengan didahului dengusan marah, Munik Wangi berkelebat menyerang Kamto.

Pertarungan pun seketika menjalar cepat. Pertarungan antara warga desa yang menghendaki keamanan dan ketentraman dirinya dengan para garong yang tidak ingin mata pencahariannya terputus. Dalam beberapa gebrak saja, para warga yang tak memiliki ilmu tersebut dengan mudah dapat dijatuhkan. Jeritan-jeritan akibat tebasan golok di tangan para garong itu menggema, diselingi dengan bergedebugnya tubuh korban.

"Lurah bejad! Kau harus mati, Hiat...!" maki sang garong yang menghadapi Kepala Desa.

"Jangan harap semudah itu kau berbuat padaku!"

"Hem, aku akan membuktikan dan membuat matamu melotot siapa adanya aku. Tentunya kau masih mendengar suaraku, bukan!"

"Kau... kau Rastini?!" terbata Kepala Desa menyebut nama seorang garong yang mukanya tertutup dengan kain, yang dengan gencar menyerangnya.

"Rupanya kau masih belum pikun! Nah, kini bersiaplah kau menerima kematianmu yang busuk! Kau harus mati di tanganku, sebab kau dulu pernah membuatku merana oleh rayuan bejadmu! Kau rebut diriku dari tangan kakang Munik Wangi, tapi setelah kau nodai diriku, kau telantarkan diriku begitu saja."

"Aku tidak bermaksud menelantarkan dirimu. Kaulah yang lari meninggalkan diriku!"

Rastini cibirkan mulut, demi mendengar ucapan Kepala Desa, yang sangat bertentangan dengan hal yang pernah terjadi sebenarnya. "Manusia pengecut! Dulu engkau menyia-nyiakan diriku, tapi kini setelah maut diambang pintu, kau berusaha merayuku lagi. Huh, tak akan aku berikan ampun padamu. Nah, bersiaplah kau untuk mati, Hiat...!"

Secepat kilat tubuh Rastini berkelebat. Golok di tangannya seketika berselewangan bagaikan mempunyai mata. Golok tersebut dilihat oleh Kepala Desa bagaikan sebuah maut yang siap merajah dirinya. Dan memang benar, golok itu akhirnya bergerak cepat, menghujam ke kepala Kepala Desa.

"Aaah...!" Kepala Desa memekik sesaat, lalu ambruk dengan nyawa terputus dari raga. Kepalanya pecah menjadi dua, terbelah menyemburkan darah yang seketika membanjir berbaur dengan otaknya yang meleleh putih.

"Kakang...! Aku telah membunuhnya!" Rastini memekik histeris, menjadikan semuanya seketika terhenti diam. Mata mereka seketika melihat ke tempat di mana tubuh Lurah desanya tergeletak tanpa nyawa dengan darah berbaur otak keluar dari belahan kepala yang menganga terpancong golok. "Kini dendamku sudah terlunasi, kita pergi kakang! Kita pergi, hi, hi, hi...!"

Tanpa memeperdulikan warga desa yang masih terbengong-bengong dalam keterkejutannya, para garong itu pun segera minggat meninggalkan desa itu. Tinggallah semua warga yang menghampiri tubuh kepala desanya yang sudah menjadi mayat.

"Hem, semua adalah ulahnya sendiri," gumam Kamto dalam hati. Ia telah mendengar sendiri siapa adanya kepala desanya. Kini tugasnya telah selesai, dia hanya memerlukan pemuda-pemuda desa untuk menjadi pengikutnya sebagai pemuas nafsu Sang Ratu Telaga Warna.

********************

Pagi masih begitu cerah, mentari pun masih samar-samar menampakan dirinya untuk kembali mengedarkan dirinya ke orbitnya. Dari perbatasan desa, nampak serombongan anak muda berjalan meninggalkan desanya menuju ke arah Barat. Paling depan berjalan seorang pemuda yang tidak lain Kamto adanya.

"Kita akan berkemah di pinggir Telaga," Kamto berkata.

"Kenapa tidak sekalian kita menuju ke tempat tersebut?" tanya salah seorang dari temannya.

"Bukankah aku tidak mengijinkan kalian semua datang bareng, tapi kalau Sri Ratu tidak berkenan, bagaimana?"

"Iya, ya...!"

"Bagaimana?" kembali Kamto bertanya.

"Akur, deh!" jawab mereka serempak.

Semua pemuda itu akhirnya dengan membisu kembali berjalan, menuju ke tempat di mana Kamto mendapatkan ilmu yang tinggi. Tak berapa lama antaranya, mereka pun akhirnya sampailah di tempat yang dituju. Tempat yang indah dan asri, di mana terpampang luas sebuah telaga yang airnya beraneka warna.

"Kalian di sini dulu, dirikan kemah!"

"Kau mau kemana, Kam?" tanya Jufri.

"Aku hendak menemui Sri Ratu," jawab Kamto singkat. "Nah, aku harap kalian bersabar di sini."

Dengan segera Kamto pun berkelebat menuju ke Telaga Warna, lalu dengan tanpa merasa takut akan tenggelam Kamto pun turun ke permukaan air. Seketika mata keseratus temannya membelalak kaget. Mereka baru tahu, kalau Kamto mampu berjalan di atas air.

"Wah! Apakah aku tak salah lihat?" tanya Jufri terheran-heran. "Atau barangkali aku bermimpi?"

"Iya-ya. Mengapa Kamto mampu melakukan itu semua? Sungguh Ratu itu sakti bukan alang kepalang," gumam yang lainnya.

Mata mereka terus memandang ke arah Kamto yang berjalan dengan santainya, seperti Kamto berjalan di atas tanah saja. Malah semuanya makin membelalak kaget, tatkala Kamto dilihat oleh mereka berlari. Makin percaya saja mereka pada kehebatan ilmu Sri Ratu. Bayangan mereka kini tertuju pada bayangan segala keindahan yang bakal didapat oleh mereka dari Sri Ratu. Kepuasan batin, juga ilmu yang sungguh-sungguh luar biasa.

"Kau telah datang, Kamto?" terdengar suara seorang wanita menyambut kedatangan Kamto.

"Benar, Sri Ratu. Hamba telah membawa apa yang dipesankan oleh Sri Ratu."

"Hi, hi, hi...! Kau ternyata benar-benar setia padaku, sayang? Kaulah seorang calon suami yang baik, yang mengerti akan apa yang menjadi keinginan istrinya." Sri Ratu Telaga Warna seketika manja, bergayut di pundak Kamto yang menyambutnya dengan penuh bara nafsu.

"Demi engkau, apa pun akan aku penuhi," bisiknya di telinga Sri Ratu mesra, menjadikan Sri Ratu kembali tersenyum. "Seandainya kau minta nyawaku pun, aku akan memberikannya untukmu, asal kau benar-benar setia dan cinta padaku."

"Aku tidak memerlukan itu, Kamto. Aku hanya minta pengertianmu untuk selalu memberikan padaku kebebasan dalam melaksanakan niat yang telah terpendam di hati."

"Aku juga mengerti apa yang sebenarnya terkandung dalam tubuh sang bayi. Aku rela tubuhmu di jamah oleh lelaki lain, asalkan hati dan cintamu hanya untukku."

"Ooh... sungguh kau seorang lelaki yang penuh pengertian," lenguh Sri Ratu. "Mana pemuda-pemuda itu, Kamto?"

"Bukankah aku belum mendapat jatah darimu, sayang?"

Tanpa meghiraukan Sri Ratu yang melenguh-lenguh penuh rasa dahaga, Kamto terus mencerca sekujur tubuh Sri Ratu dengan ciumanciuman yang mampu membuat mabuk bagi Sri Ratu. Sri Ratu menggelinjang, dan tak lama kemudian satu persatu pakaian yang dikenakan oleh mereka pun lepas menggelorot ke bawah tubuh keduanya. Kini tubuh keduanya tak tertutup sehelai benang pun, polos.

Keduanya kembali bergulat, saling serang dan terjang dengan segenap nafsu membara di dalam benak mereka. Tak lama kemudian, Kamto pun meregang, lalu menggelo-sot rebah terlentang di samping Sri Ratu, yang dengan buas tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bagaikan orang kelaparan saja Sri Ratu Telaga Warna kembali mencerca tubuh  Kamto dan menggulatinya dengan disertai erangan-erangan yang menyayat.

Satu persatu dari keseratus anak muda itu berdatangan menuju ke pulau di tengah Telaga. Pulau yang bagi mereka yang tidak tahu adalah pulau Surga. Ya, memang di situlah pulau Surga, dimana mereka akan mendapatkan kepuasan batin yang tak pernah mereka temukan di alam yang bebas.

Jufri kini yang melesat menuju ke tempat di mana pulau itu berada. Mulanya Jufri takut, tatkala Kamto mengajaknya turun dan melangkah di atas air. Namun setelah dirasakannya mampu, secepat kilat Jufri pun tertawa bergelak-gelak kegirangan.

"Hai...! Lihat Kam, aku ternyata dapat berjalan sepertimu."

Kamto hanya tersenyum-senyum.

"Itu karena Sri Ratu berkenan menerima kehadiranmu, Juf."

"Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Sri Ratu mau menerima kedatanganku. Benarkah apa yang engkau katakan, Kam?" Jufri yang hatinya berbunga-bunga bertanya ingin memastikan.

"Kalau aku tidak benar, niscaya tubuhmu telah amblas ke dalam air ini dan dimakan oleh hiu-hiu dan buaya-buaya Iblis yang ada di dalamnya."

Bergidik juga Jufri mendengar Kamto berkata bahwa di dasar telaga warna tersebut ada binatang-binatang buas yang setiap kali mampu mencincang tubuhnya. "Hiiii...!"

"Kenapa, Juf?" Kamto bertanya. "Kau takut?"

Jufri tak dapat berkata, ia hanya menganggukan kepala saja.

"Jangan takut, semua hiu dan buaya di sini akan tunduk dengan perintah Sri Ratu," Kamto kembali berkata, mencoba menenangkan Jufri. "Ayo Jufri, kita sebentar lagi nyampai."

Digeretnya tangan Jufri, berlari dengan cepatnya, menjadikan Jufri hanya mampu memejamkan mata rapat-rapat. Ia takut kalau-kalau tubuhnya amblas ke dasar telaga. Sungguh tak dapat di bayangkan bagaimana jadinya tubuhnya bila harus menjadi santapan lezat ikan-ikan dan buaya-buaya liar tersebut.

Kamto tak hiraukan Jufri yang masih ketakutan, ia terus menggeret tangan Jufri berlari melintasi jalan air dengan kencangnya, sehingga keduanya bagaikan terbang. Jufri sendiri kini makin merapatkan pejaman matanya, tak berani membuka barang sekejap pun untuk menyaksikan apa yang tengah terjadi dengan dirinya.

"Juf, bukalah matamu, kita telah sampai."

Perlahan Jufri membuka matanya, dan betapa tersentaknya dia demi melihat apa yang dilihatnya. Di hadapannya kini terpampang sebuah rumah yang besar, mirip seperti istana. Hal itu menjadikan Jufri kembali terbengong-bengong, tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Belum juga Jufri hilang dari keterbengongannya, tiba-tiba ketujuh puluh lima temannya datang dan menghampirinya. Namun sungguh menjadikan Jufri tak mengerti, sebab ketujuh puluh lima temannya ternyata kini tak mengenal dirinya lagi.

"Kenapa mereka? Sepertinya mereka sombong padaku. Apakah karena mereka telah memiliki ilmu tersebut?" hati Jufri bertanya-tanya penuh keheranan.

"Ayo Jufri, Sri Ratu telah menunggumu."

Jufri tersentak dari terbengongnya, manakala terdengar suara Kamto berkata mengejutkan dirinya. Dengan masih menyimpan rasa bingung Jufri pun akhirnya menuruti ajakan Kamto. Matanya masih terus memandang pada ketujuh puluh lima temannya yang tampak diam tak hiraukan dirinya. "Hem, apa yang sebenarnya mereka lakukan?" gumam hatinya masih bertanya-tanya.

Kamto telah menarik tangannya, mengajak Jufri untuk terus menuruti langkahnya. Jufri seketika makin tersentak, lidahnya melelet tatkala melihat apa yang tengah ada di hadapannya. Seorang wanita cantik jelita, memandang ke arahnya dengan pandangan seakan meminta. Tubuh wanita itu polos, tiada sehelai benang pun yang menutupinya.

"Ini Sri Ratu," Kamto berkata.

"Kemari sayang... bukankah engkau menghendaki ilmu dariku?" suara Sri Ratu begitu mendayu, mampu menggetarkan hati Jufri. Sorot mata Sri Ratu seketika menyentakkannya untuk mau menuruti apa saja yang hendak diminta oleh Sri Ratu darinya. Kamto segera meninggalkannya.

Perlahan Sri Ratu bangkit, menghampiri Jufri yang nampak masih terdiam tanpa reaksi. Dan manakala tangan Sri Ratu membuka pakaiannya, Jufri pun hanya diam dan diam. Matanya terus memandang ke arah bawah tubuh Sri Ratu yang tak tertutup sehelai benangpun.

Tak berapa lama kemudian, kedua manusia itu pun akhirnya terlibat pergumulan. Baru kemudian terdengar erangan menyayat yang keluar dari mulut Jufri. Dan manakala Jufri menggelosot ke samping, sungguh telah berubah keadaan fisiknya. Kini Jufri bukanlah seorang lelaki lagi, sebab miliknya telah hilang terbetot entah kemana. Namun anehnya, dari pangkal itu tak keluar darah setetespun. Sri Ratu hanya tersenyum, senyum kecut melihat Jufri terkapar dengan merintih-rintih.

Sri Ratu tercenung, bangkit duduk dari tidurnya. Entah perasaan apa, tiba-tiba ia menyesal telah melakukan segala desakan yang menggebu-gebu dari dalam rahimnya. Dari luar si nenek masuk, hanya tersenyum pada Ningrum yang hanya mendesah berat.

"Nek, sampai kapankah aku harus menanggung semua ini?"

"Sampai bayi itu lahir, Anakku," jawab si nenek kalem. Si nenek sejenak memperhatikan tubuh Jufri, dan si nenek pun seketika tersenyum penuh kemenangan. Dendamnya pada lelaki telah dapat terbalas.

Apa yang sebenarnya dikandung oleh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna, sehingga mengidam milik semua pria. Lalu kemana hilangnya barang antik Jufri dan rekan-rekannya? Apa sebenarnya yang ada di rahim Ningrum? Untuk mejawabnya, silahkan kalian ikuti serial Jaka Ndableg Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya, dalam judul Bocah Kembaran Setan.

********************

DELAPAN

Jaka yang saat itu sedang berjalan-jalan, seketika nalurinya mengajak dirinya untuk mengawasi perut yang nampaknya memang ingin diisi. "Wah, rupanya cacing-cacing ini tidak mau diajak kompromi," keluh Jaka. "Baiklah, aku sekaligus hendak istirahat dulu."

Segera Jaka pun berkelebat menuju ke sebuah kedai, di mana tampak tak begitu jauh dari tempatnya berjalan. Kedai itu bukan kedai biasa, besar dan penuh pelayan yang cantik. Rupanya kedai itu tidak hanya dijadikan tempat makan belaka, namun dijadikan pula tempat yang lainnya.

Jaka perlahan memasuki kedai tersebut, seketika matanya melihat beberapa wanita penghibur sedang bercanda ria dengan laki-laki hidung belang. "Hem, jelas ini bukan kedai biasa, tapi kedai maksiat! Heran, mengapa baru sekarang aku menemukan kedai ini?" Jaka terus melangkah berat, memasuki ruangan kedai. Serta merta seorang gadis cantik berkelebat dan langsung menubruk dirinya.

"Oh, inikah dewa yang baru turun dari kayangan?" gadis itu merajuk. "Sungguh tampan wajahmu, sayang?"

Jaka tak hiraukan belaian-belaian tangan gadis tersebut, dia tetap saja melangkah mencari tempat duduk. Matanya seketika memandang pada seorang pemuda yang benar-benar ia kenal benar. "Tegalaras...!"

Orang yang merasa disebut namanya seketika menengok, dan nampak Tegalaras tersentak demi melihat Jaka pun ada di tempat maksiat ini. "Jaka...! Oh, tak aku sangka kalau aku akhirnya dapat menemukan dirimu di sini!" pekik Tegalaras yang dengan segera bangkit dari duduknya, menghambur ke arah Jaka. "Kapan kau tiba di daerah ini, Jaka?"

"Aku datang secara tak sengaja, Tega. Kau...?" Jaka balik menanya.

Tegalaras tak segera menjawab, ditariknya lengan Jaka keluar dari kedai. Jaka yang tadinya perutnya sudah keroncongan, akhirnya menuruti juga apa yang menjadi ajakan Tegalaras. Sesampai di luar, Tegalaras segera mengajak Jaka untuk beristirahat di bawah sebuah pohon beringin yang cukup rindang. Kemudian Tegalaras pun menceritakan maksud kedatangannya ke tempat tersebut, yang tak lain untuk membuktikan desas-desus adanya Ratu Maksiat Telaga Warna, yang mencari korbannya semua pemuda.

"Kau tahu Jaka, bahwa kedai ini baru berdiri sejak Ratu Maksiat Telaga Warna berkuasa."

"Hem, begitu?" Jaka bertanya. "Lalu, apakah selama ini belum ada yang tahu di mana keberadaan Ratu Maksiat tersebut?"

"Itulah, Jaka. Aku sendiri datang ke mari atas seruan ayahku untuk mencarikan Pedangnya, yang katanya hilang dicuri oleh seseorang. Dan menurut pendapatku, orang tersebut tentunya ada sangkut pautnya dengan Ratu Maksiat ini."

"Kau yakin, Tega?"

"Ya!" jawab Tegalaras pendek dan pasti. "Darimana kau dapat keyakinan tersebut?" Jaka kembali bertanya.

"Aku mendengar dari seseorang yang menyebutkan dirinya Ki Gedong Wulung."

"Ki Gedong Wulung!" Jaka memekik kaget, menjadikan Tegalaras kembali bertanya.

"Kenapa Jaka, sepertinya kau telah mengenal adanya siapa Ki Gedong Wulung?"

"Ya! Dia adalah tokoh tua yang sakti. Kalau begitu, jelas benar adanya. Kini kita tinggal bagaimana caranya mendapatkan keberadaan Ratu Maksiat tersebut!" Jaka berkata. "Mari kita mencoba mengoreknya dari pemilik kedai itu."

Dengan segera kedua pendekar itu pun berkelebat kembali masuk ke dalam kedai. Keduanya dengan tenang duduk di sebuah kursi, lalu menyantap makanan yang dihidangkan. Sementara dari arah lain dua gadis cantik datang menghampiri mereka, menggelayutkan tubuh mereka pada pundak Jaka dan Tegalaras.

Jaka dan Tegalaras yang memang bermaksud mencari informasi adanya Ratu Maksiat Telaga Warna, kini dengan pura-pura melayani kedua gadis tersebut. Dibiarkan kedua gadis itu menjarahkan bibir-bibir mereka keseluruh tubuh dan muka.

"Siapakah namanu, manis?" Jaka merayu.

"Kau ingin tahu?" tanya gadis itu manja.

"Tentu! Untuk apa aku bergaul dengan orang yang tidak aku ketahui namanya?"

"Boleh!"

"Siapa...?"

"Namaku...?" gadis itu balik menanya.

"Ya, namamu," jawab Jaka meyakinkan.

"Namaku, Ayu Sari."

"Wow, nama yang indah. Ayu berarti cantik, persis orang yang memilikinya. Sedangkan sari, berarti inti. Jadi Ayu Sari, bermakna Kecantikan yang lestari, pusat dari segala kecantikan."

Jaka ngegombal dengan seenaknya, menjadikan Ayu Sari merona merah pipinya. Makin bertambahlah keanggunan gadis itu, manakala pipinya merona merah. "Kau sendiri, siapa namamu Dewa?" Ayu Sari makin manja.

"Aku bukan Dewa, aku manusia biasa."

"Kau tampan, melebihi tampannya manusia."

Jaka tak mampu berkata-kata mendengar penuturan Ayu Sari yang polos tentang dirinya. Jaka hanya dapat menunduk, sembunyikan senyumnya yang dalam.

"Kenapa?" Ayu Sari kembali menanya. "Siapakah namamu, Dewa?"

Jaka tercenung memikirkan siapa kira-kira nama untuk dirinya agar tidak dikenal pada setiap orang yang datang. Setelah berpikir sesaat, Jaka pun akhirnya berkata menjawabnya. "Namaku yang telah engkau sebut."

"Kau bohong," Ayu Sari kembali merajuk.

"Aku tidak berbohong, Ayu."

"Benar?" Ayu Sari masih belum mau percaya, Jaka segera menganggukinya. "Aku cinta padamu, Dewa."

"Ah..."

"Kenapa, Dewa?" Ayu Sari kerutkan keningnya demi mendengar desahan Jaka. "Apakah kau tidak suka padaku?"

"Bukan itu, aku suka padamu. Tapi aku ingin menanya padamu, tahukah engkau di mana adanya Ratu Telaga Warna?"

Mendengar pertanyaan Jaka, seketika Ayu Sari terdiam. Matanya yang lentik memandang pada Jaka, sehingga Jaka mau tak mau harus menerima pandangan tersebut. Tangan Ayu Sari perlahan menjalar, lalu dengan lembut mengusap dada Jaka yang bidang. Tangan itu begitu lembut, menyelusup dengan mesra kesegenap dada Jaka.

"Kau ingin kesana, Dewa?" tanya Ayu Sari, nadanya seakan gelisah. Ya, Ayu Sari merasa gelisah, kasihan bila Jaka yang tampan itu harus menjadi korban Ratu Maksiat Telaga Warna.

"Ya!" jawab Jaka singkat.

"Jangan, Dewa."

"Kenapa...?" Jaka menanya tak mengerti.

"Kau tahu mengapa di sini banyak wanita-wanita seperti diriku?" tanya Ayu Sari kembali, yang dijawab oleh Jaka dengan gelengan kepala. "Itu semua karena kaum lelakinya jadi korban."

"Korban...!" Jaka dan Tegalaras memekik kaget. "Korban bagaimana, Ayu?" Jaka kembali menanya.

"Setiap orang lelaki yang menuju ke Telaga Warna, ia tak akan pernah kembali. Kalau pun kembali, keadaannya sungguh mengerikan. Barang miliknya buntung, menjadikan lelaki tersebut harus mengalami goncangan jiwa yang berat hingga akhirnya gila."

"Oh, Gusti Allah. Bencana apa yang akan melanda dunia!" Jaka mengeluh, tak sadar ia berucap menyebut nama Tuhan. "Katakanlah di mana tempatnya, Ayu?!"

Ayu memandang pada temannya sesaat, lalu setelah temannya mengangguk, Ayu Sari pun akhirnya dengan nada berbisik menunjukkan tempat di mana Sri Ratu Maksiat berada. "Dia sesuai dengan julukannya, berada di Telaga Warna."

Jaka saling pandang dengan Tegalaras sesaat, lalu kembali memandang pada Ayu Sari dan katanya kemudian: "Ayu, aku harus ke sana. Maafkan aku tak bisa lama-lama menemanimu. Kalau memang umur kita panjang, kita akan bertemu lagi. Ayo Tegalaras, kita segera ke sana!"

Setelah membayar makanan yang mereka makan, serta memberikan uang tip pada kedua gadis tersebut, segera kedua pendekar itu melesat pergi meninggalkan kedai.

********************

SEMBILAN

Ratu Maksiat Telaga Warna nampak terbaring dengan lesu di atas pembaringannya. Kehamilannya yang telah sampai masanya di rasakan telah melilit-lilit. Mungkin bayi yang akan dikandung akan keluar. Di situ nampak pula nenek Racun Iblis, juga keseratus lelaki yang telah menjadi abdinya.

"Nek, mengapa perutku terasa sakit?" keluh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna sembari meringis-ringis.

"Tenanglah, Nak. Mungkin sebentar lagi anakmu akan lahir," si nenek mencoba menghibur.

"Benar Sri Ratu, mungkin bayi Sri Ratu akan lahir," keseratus abdinya yang telah menjadi orang-orang tak berarti itu turut menghibur. "Walau kami laki-laki, namun kami sering mendengar bahwa kelahiran bayi pertama memang terasa sakit."

Ratu Maksiat Telaga Warna masih terus merintih-rintih kesakitan, perutnya dirasa melilit bukan alang kepalang, sepertinya perut tersebut hendak meledak-ledak saja. Tengah sang Ratu dalam keadaan meringis-ringis kesakitan, tiba-tiba terdengar suara seseorang kakek dari luar berseru memanggil nama si nenek.

"Nenek Iblis Racun! Keluar, kau!"

"Bangsat! Siapa yang telah lancang mengumbar mulut seenaknya di sini!" si nenek menggeretak penuh marah. "Ayo, kalian semua ikut aku, biar Ratu kalian ditunggui oleh Kamto."

Dengan bergegas mereka pun berlari keluar, menemui asal suara yang ternyata milik seorang kakek tua renta berjanggut panjang putih. Si nenek cibirkan mulutnya, manakala melihat siapa adanya orang yang datang.

"Mau apa kau datang kemari, Ki?"

Ki Gedong Wulung tampak tenang, lalu menjawab berkata. "Aku ingin menghentikan sepak terjangmu, Iblis!"

"Hi, hi, hi...! Apa pedulimu, kakek peot!"

"Karena kau telah mengambil korban kaumku, maka aku pun tak akan membiarkan hal ini berlarut-larut. Kau harus mengakhiri sepak terjangmu yang sudah kelewatan!" Ki Gedong Wulung nampak mendengus. Tasbih di tangannya berputar-putar.

Bersamaan dengan ketegangan yang memuncak antara dua tokoh tua beda aliran tersebut, serombongan orang persilatan yang dari aliran lurus tiba. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak sabar menerima beritaberita tentang hilangnya para lelaki muda yang katanya hilang di pulau Telaga Warna.

"Suruh keluar Ratu kalian. Biar kami mencincangnya!" orang-orang tersebut tak mampu redakan amarah, dan berseru-seru dengan dilandasi kemarahan.

"Tenang saudara-saudara. Kalian jangan terburu emosi. Kalian tak tahu sebenarnya siapa yang berada di balik ini semua." Ki Gedong Wulung mencoba menyabarkan para tokoh persilatan yang nampaknya sudah tak dapat lagi menahan amarah.

"Kenapa kami harus tenang, Ki? Bukankah kalau dibiarkan berlarut akan mengakibatkan tindakan Ratu Maksiat itu menjadi-jadi?" salah seorang dari pendekar tersebut memprotes.

"Aku tahu. Tapi janganlah kalian sebagai seorang pendekar menuduh pada hal yang belum kalian ketahui benar. Anak Pramana sebenarnya tak salah, ia sebenarnya telah sadar. Tapi karena nenek Iblis Racun inilah ia jadi seorang wanita liar. Kandungannya yang tadinya tidak apa-apa, kini meminta korban banyak pria. Kalian tahu, bayi apa yang kini terkandung oleh Ningrum si Penguasa Bukit Karang Bolong?"

Semua yang ada di situ terdiam, tak ada yang berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Gedong Wulung. Demi melihat hal tersebut, segera Ki Gedong Wulung kembali meneruskan ucapannya sekaligus menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri.

"Bayi yang ada dalam rahim Ningrum, kini telah dipengaruhi oleh nenek Iblis ini. Bayi itu sungguh sangat disayangkan, harus mau menuruti apa kata si nenek Iblis. Dendamnya pada Eka Bilawa ternyata telah menjadikan dia dendam pada lelaki. Dan tubuh anak Pramana yang cantik itulah yang dijadikan simbol dari kejahatannya."

"Bohong!" si nenek membentak marah.

"Siapa yang bohong!" tanya. Ki Gedong Wulung. "Sebagai orang tua, pantang bagiku untuk mendusta. Kecuali kau!"

"Bedebah! Jangan kira kalian akan mampu berbuat sesuka kalian di sini, Tua bangka!" nenek Iblis Racun nampak menggeretak marah. Dan tanpa di duga sebelumnya, tangannya telah mengisyaratkan pada keseratus anak buahnya untuk menyerang. Dan bagaikan sebuah robot saja keseratus lelaki malang itu pun segera berkelebat menyerang para tokoh persilatan.

Pertarungan pun terjadi, kini pekikan-pekikan pun menggema mewarnai suasana pulau Telaga Warna. Si nenek Iblis Racun segera berkelebat menyerang membabi buta pada Ki Gedong Wulung. Tangannya yang tampak berkuku panjang dan beracun mencerca pada Ki Gedong Wulung bagaikan tak menghendaki lelaki tua renta tersebut dapat membalasnya.

"Mengapa mereka tak dimangsa binatang peliharaanku?" tanya si nenek dalam hati bimbang. "Apakah mungkin binatang-binatang tersebut telah dibunuh oleh mereka?"

Belum juga si nenek mampu menjawabnya, tiba-tiba Ki Gedong Wulung telah berkelebat menyerang balik dengan tasbih saktinya. Mau tak mau si nenek harus dengan cepat menghindari serangan tersebut kalau dirinya tak ingin hancur seperti batu yang terkena serangan tersebut. Melihat dirinya tak mampu mencerca si Kakek dengan mengandalkan racunnya, segera si nenek cabut pedang yang sedari tadi tergantung di pundaknya. Seketika semua pendekar yang berada di situ memekik manakala tahu pedang apa yang kini berada di tangan si nenek.

"Pedang Sukma Layung!"

"Pencuri Busuk!" maki Ki Gedong Wulung marah bercampur geram. Serangannya kini makin ditingkatkan. Walaupun si nenek menggunakan pedang pusaka yang sudah terkenal, namun karena ia tak memiliki dasar-dasarnya, sehingga pedang tersebut bagaikan tak ada arti sama sekali di tangannya. Malah Tasbih maut yang berada di tangan Ki Gedong Wulung dapat dengan segera mencercanya. Tengah tubuh si nenek terdesak, tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar jeritan yang menyayat.

"Aaah...!"

"Tidak...! Tidak...!" suara Ningrum memekik.

Tanpa hiraukan mereka yang sedang bertempur, segera mereka yang bertempur hentikan pertempuran. Serentak mereka pun berkelebat menuju ke arah suara Ningrum menjerit.

"Bayi Kembaran Setan...!"

Memekik semua yang ada di situ, manakala melihat sesosok bayi yang berwajah sangat menakutkan dengan taring panjang tengah menggerogoti tubuh Kamto yang sudah acak-acakan. Tetapi anehnya sang bayi tidak jahat pada ibunya. Bahkan matanya seketika menyala-nyala, manakala melihat orang-orang datang.

"Oaaar...!" bayi itu memekik, lalu bagaikan terbang melesat kearah mereka yang ada di situ. Tanpa ayal lagi, semua seketika dibikin repot. Mereka berusaha menghindar, tapi tak ayal gerakan bayi tersebut begitu cepatnya, menjadikan mereka tak kuasa untuk mengelakannya.

Satu persatu dari orang-orang hamba Ratu Maksiat Telaga Warna meninggal dengan darah terhisap oleh sang bayi. Dan setelah melihat keseratus orang itu mati, sang bayi kini mencerca pada para tokoh persilatan. Gerakannya begitu liar dan ganas, hampir menyerupai gerakan tokoh silat kelas tinggi.

Kembali korban berjatuhan, salah seorang tokoh persilatan berusaha menghadangnya dengan pedang. Tapi sungguh tak disangka, kalau pedangnya bahkan seketika patah menjadi dua tatkala menghantam tubuh sang bayi. Tanpa banyak kesulitan BAYI KEMBARAN SETAN tersebut memuaskan nafsunya dengan membunuh satu persatu dari tokoh-tokoh persilatan yang bagaikan tak berarti apa-apa. Kini mata sang Bayi Kembaran Setan yang bagaikan menyala memandang pada nenek Iblis Racun dan Ki Gedong Wulung.

"Itulah akibat ulahmu, Nenek busuk!" menggeretak marah Ki Gedong Wulung.

"Enak saja kau menuduhku!" balas membentak si nenek. Namun hanya sesaat mereka tokoh tua itu bersitegang, sebab Bayi Kembaran Setan telah berkelebat menyerang mereka.

"Anak Setan!" maki si nenek menghindar.

"Anak Iblis!" si kakek pun tak kalah kaget.

"Kita bekerja sama untuk menghadapinya, Ki."

"Ya! Tanpa kerja sama, kita sendiri yang akan menjadi korbannya."

Akhirnya kedua tokoh tua yang beda haluan itu pun saling bahu membahu untuk menghadapi Bayi Kembaran Setan yang tak mengenal kompromi. Serangan bayi itu begitu ganas, hampir saja kedua tokoh tua tersebut kalang kabut. Ternyata segala ilmu yang dimiliki oleh kedua tokoh tua tersebut bagaikan tiada arti. Maka dalam sekejap saja, sang Bayi Kembaran Setan telah mampu membuat keduanya terkapar bermandikan darah.

"Hoaar...!" bayi itu menggelegar, sepertinya penuh kemenangan, lalu dengan cepat melesat pergi entah ke mana.

Tak lama setelah kepergian bayi tersebut, Jaka dan Tegalaras tiba di tempat tersebut. Mata mereka seketika menyipit, manakala ia melihat tubuh berlumuran darah tergeletak tanpa nyawa. Mata Jaka yang tajam seketika melihat desah napas seorang yang sudah ia kenal benar.

"Ki Gedong Wulung!" Jaka segera menghampiri tubuh tersebut, lalu dengan segera mengangkat tubuh itu. "Ki, apa yang telah terjadi?"

"Bayi Kembaran Setan telah lahir. Semua telah menjadi korbannya." Ki Gedong Wulung terbata menceritakan apa yang terjadi, yang telah menimpa dirinya, juga diri semua orang yang tampak tergeletak.

"Hem, kalau begitu bayi yang diramalkan tersebut telah lahir. Aku harus segera mengejarnya." Jaka tiba-tiba berkelebat ke arah Timur, di mana bayi tersebut minggat. "Tegalaras, kau temui saja adikmu, biar aku yang mengejar bayi Iblis tersebut...!"

Tegalaras melangkah pelan, meninggalkan mayat-mayat yang tercecer di sana-sini, masuk ke dalam rumah. Matanya seketika melihat tubuh adiknya terkulai pingsan. Dengan penuh haru, dibopongnya tubuh Ningrum. Dan setelah mengambil Pedang milik ayahnya Tegalaras pun segera membawa tubuh Ningrum berlalu dari tempat itu.

S E L E S A I