Bocah Kembaran Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Bocah Kembar Setan
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

GOA itu nampak sunyi, bagaikan mati tiada berpenghuni. Angin menderu-deru, berputar-putar mengelilingi atas goa, sepertinya ada sebuah kekuatan yang menyetir angin tersebut untuk terus berputar makin cepat dan cepat di atas goa. Hembusannya menderu-deru, laksana badai topan yang hendak membongkah goa tersebut.

Sayup-sayup bersamaan dengan hembusan angin, terdengar suara seseorang wanita menggema. Suara itu keras, keras bagaikan berteriak. Namun orang yang mengucapkannya tak nampak batang hidungnya.

"Nok Jenah... Nok Jenah, bangunlah! Bangun dari semedimu. Bangun...! Anak yang engkau kehendaki, yang kelak akan membantu dirimu telah lahir. Bangunlah! Cari anak tersebut!"

"Duar! Duar! Duar...!"

Bersamaan dengan habisnya suara gema tersebut, terdengar ledakan bebatuan yang sangat dahsyat. Lalu dari dalam ledakan bebatuan tersebut, seorang wanita cantik muncul seraya tertawa bergelak-gelak.

"Hua, ha, ha...! Sri Ratu memanggil hamba?!"

"Ya!" kembali terdengar suara seorang wanita berkata. "Aku memang memanggilmu, Jenah!"

"Ada gerangan apa. Sri Ratu?!"

"Nok Jenah, Bayi Kembaran Setan telah lahir. Bayi tersebut telah lahir ke muka bumi ini. Carilah olehmu... cari dia sampai ketemu."

"Hanya itu yang Sri Ratu maksudkan?" Nok Jenah miringkan kepalanya, seakan telinga kanannya yang mampu mendengar. Dan memang telinga kanannya yang mendengar, sedang telinga kirinya sudah tak berfungsi lagi. Telinga kiri tersebut rusak oleh hantaman musuhnya. Itu pula yang mengakibatkan Nok Jenah harus melakukan tapa Brata terpendam dalam batu-batuan selama hampir dua puluh lima tahun. "Apakah aku boleh menuntut balas pada Pramanayuda, Sri Ratu?"

"Tidak usahlah! Dengar, Jenah! Kalau pun engkau tidak menuntut balas pada Pramana, kelak pun Pramana akan menanggung akibatnya. Dunia persilatan akan geger oleh Bayi Kembaran Setan. Orang-orang persilatan telah mengetahui bahwa Bayi Kembaran Setan adalah cucu Pramana. Bukankah dengan kau menggunakan bocah tersebut kau telah secara tidak langsung membalas kekalahanmu padanya?" suara Sri Ratu kembali menggema di antara bebatuan. "Bila kau membalas secara langsung, pastilah banyak orang-orang persilatan yang akan mencerca dirimu. Namun bila engkau menggunakan Bocah Kembaran Setan, tentunya orang-orang persilatan yang tahu siapa adanya pemilik bocah tersebut akan menuduh bahwa Pramana dan keluarganyalah yang telah berbuat. Bukankah begitu, Jenah?"

Nok Jenah nampak terdiam, sepertinya ia tengah memikirkan tentang apa yang pernah terjadi dengan dirinya. Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang pendek. Dua puluh lima tahun pula ia harus mendekam dalam bebatuan untuk mendapatkan ajian yang ia inginkan dan sebuah senjata sakti berupa cambuk bergagang perak. Cambuk tersebut bernama cambuk Rambut Perak Seribu, milik Nyai Kencono Weni, gurunya yang telah tiada. Dengan kekalahannya ketika bertarung dengan Pramana, mengakibatkan dirinya kini harus menjadi murid dan pengikut Ratu Siluman Ular.

"Bagaimana, Jenah?" suara Ratu Siluman Ular kembali bergema, menyentakan Nok Jenah dari lamunannya. "Nampaknya engkau tengah melamunkan sesuatu. Apa yang engkau lamunkan?"

"Hamba sedang merenungkan diri hamba," jawab Nok Jenah dengan kembali memiringkan kepala ke kiri, sehingga kuping kanannya berada di atas.

"Tentang apa...?"

"Hamba sedang berpikir bagaimana hamba dapatkan seorang lelaki?"

Bergelak Ratu Siluman Ular mendengar ucapan Nok Jenah. Ia pun menyadari, bagaimanapun juga Nok Jenah memang masih mengharapkan kehadiran seorang lelaki. Sejak cintanya ditolak oleh Pramana, Nok Jenah memang sering berbuat yang tidak-tidak. Dia seakan putus asa, atau boleh dikatakan frustasi berat seperti layaknya seorang anak remaja. Dan sejak cintanya ditolak tersebut, tingkah laku Nok Jenah sungguh sangat berbahaya. Dia menjadi seorang wanita nakal, pengganggu dan perusak rumah tangga orang.

Dan akhir dari segalanya, Pramana turun tangan menghajarnya sampai telinga yang sebelah kiri pecah gendangnya hingga Nok Jenah tak mampu mendengar lagi. Hanya kuping sebelah kanan saja yang masih dapat dipergunakan, itu pun harus dengan cara memiringkannya ke atas. Jadilah Nok Jenah yang cantik itu seorang wanita yang cacat, yang harus menengkelehkan kepalanya bila ingin mendengarkan ucapan orang lain.

Sri Ratu masih tertawa bergelak-gelak, sehingga menjadikan Nok Jenah kerutkan kening tidak mengerti akan apa yang menjadi bahan ketawaan Sri Ratu. Dengan masih memiringkan kepalanya, Nok Jenah pun bertanya.

"Sri Ratu, mengapa Sri Ratu tertawa? Apakah ada hal yang lucu dalam ucapanku?"

"Nok Jenah, memang kau masih berhak untuk memikirkan seorang lelaki yang kelak mendampingi dirimu. Kau masih cantik jelita layaknya seorang gadis. Kau masih dapat mencari seorang lelaki yang juga muda dan tampan. Itu semua memang harus kau dapatkan. Tapi apakah engkau akan mendahulukan kemauan hatimu dan mengesampingkan tujuanmu yang sebenarnya? Kuburlah dulu keinginanmu untuk dapat bersanding dengan seorang pria. Kelak pun, kau tentunya akan mendapatkan pria tersebut setelah kau dapat menjadi seorang tokoh yang disegani. Bukankah itu tujuanmu? Menjadi seorang tokoh yang disegani, Jenah?"

"Benar, Sri Ratu. Memang tujuan utama hamba adalah menjadi seorang tokoh yang disegani oleh orang-orang persilatan. Hamba ingin menjadi seorang yang mampu mendirikan sebuah perguruan yang akan ditakuti oleh perguruan-perguruan lainnya."

"Hua, ha, ha...! Mudah Jenah! Itu sangat mudah bila kau telah mampu menguasai bocah tersebut. Untuk itulah, cari bocah tersebut dan bawalah ke tempatku. Bocah itu akan aku didik agar menurut padamu."

"Daulat, Sri Ratu," Nok Jenah menyahut, lalu setelah menjura Nok Jenah pun berkelebat terbang dengan pecut Rambut Perat Seribunya mencelat pergi.

********************

Jaka Ndableg yang tengah mengejar Bocah Kembaran Setan, malam itu tidak tidur sekejap pun. Matanya bagaikan tak mau dipicingkan. Bila terdengar suara lenguhan, Jaka Ndableg segera mencelat memburu ke asal suara tersebut.

"Wah, ke mana aku harus mencari Bocah Kembaran Setan?" gumam Jaka seperti terjengah setelah mendapatkan bahwa yang melenguh bukannya manusia tapi seekor sapi. "Sialan! Gara-gara Bocah Iblis itu aku dibuat kalang kabut, sapi yang melenguh, eh aku kira lenguhan bocah iblis. Kalau aku tak mampu menemukan bocah tersebut, sungguh akan menjadi petaka di dunia persilatan. Apa lagi jika bocah tersebut dapat dikuasai oleh tokoh sesat, wah... apa tidak akan dipergunakan untuk kejahatan yang makin merajalela?"

Jaka Ndableg hanya mampu gelengkan kepala menerima kenyataan tersebut. Sungguh ia benar-benar telah dibuat kalang kabut oleh seorang bocah. Memang bocah tersebut sangat berbahaya. Kalau dalam sehari saja tidak minum darah, entah apa jadinya. Dua ratus orang habis dalam sehari saja, mati dihisap darahnya.

"Ke mana aku harus mencari Bocah Setan tersebut?" Jaka melenguh, seakan ada rasa berat yang mendera di dalam kalbunya. Kalbu seorang pendekar yang berdiri kokoh dalam membela kebenaran dan keadilan, yang pantang untuk mengalah pada segala macam kejahatan dan kemungkaran. "Aku tak boleh putus asa. Bila aku putus asa, tentunya aku ini telah menjadi seorang yang lemah. Ah, sungguh tantangan hidup. Dan tantangan hidup ini semampuku harus aku hadapi, walau apapun yang bakal menimpa diriku."

"Anak muda! Sedang apakah engkau malam-malam begini terbengong melamun sambil berjalan?" terdengar suara seorang tua terarah pada Jaka.

Seketika itu Jaka tersentak dari lamunannya, tengokan kepala pada suara tersebut. "Sungguh hanya manusia-manusia bodoh dan tak tahu jalan saja yang mesti merenungi nasibnya. Dan hanya manusia-manusia pintar serta tabah saja yang tahu akan jalan yang sebenarnya terbentang luas di hadapannya."

Tersentak Jaka seraya kerutkan kening mendengar penuturan seorang lelaki tua berjanggut merah. "Sungguh aneh orang ini. Jarang aku temui orang berjanggut merah, atau barang kali rambut janggutnya disemir?" Jaka menanya dalam hati. "Ah, dia begitu mengerti apa yang ada di dalam hatiku."

"Kakek! Siapakah engkau adanya?" Jaka bertanya. "Dan apa tujuanmu menerka-nerka hatiku?"

"Aku hanyalah seorang gembel belaka. Namaku tak terkenal seperti namamu," orang tua berjanggut merah ngomong sendiri, seperti bertutur kata bahwa dirinya tak terkenal seperti nama pendekar Pedang Siluman yang tersohor. "Sungguh engkau adalah seorang pendekar yang sejati. Kau banyak teman, tapi maut pun akan selalu mengintaimu di mana-mana. Hidupmu tak pernah menetap, berkeliaran dari satu tempat ke tempat lainnya, apa yang sebenarnya engkau cari, Pendekar?"

Jaka makin jadi terkejut mendengar tutur kata lelaki tua berjanggut merah. Betapa segala apa yang ada di dalam dirinya lelaki berjanggut merah mengetahuinya. "Apakah dia seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia?" gumam Jaka dalam hati.

"Kakek, apakah engkau seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk menemui diriku?" tanya Jaka dengan ketidakmengertiannya. "Kau benar begitu, untuk tujuan apakah? Apakah engkau diutus untuk mencabut nyawaku? Biarlah, daripada aku hidup harus selalu begini. Hidupku telah aku korbankan untuk jalan Tuhan, namun aku selalu mendapat tantangan dan tantangan yang tiada henti-hentinya. Kalau sekiranya Tuhan berkehendak mengambilku, aku rela."

"Hua, ha, ha...! Lucu... lucu!" Kakek berjanggut merah tertawa bergelak-gelak demi mendengar ucapan Jaka yang seperti anak kecil. Hal itu menjadikan Pendekar Pedang Siluman Darah makin tak mengerti saja. "Lucu sekali dirimu, Pendekar! Ketahuilah, bahwa dirimu akan selalu diberi kehidupan dan lindungan yang lama oleh Tuhanmu. Dirimu akan menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan. Tapi ingat, kelak pada masa sepuluh tahun mendatang, yaitu masa kelahiran Iblis Laknat dari dasar neraka, kau akan mengalami kesulitan yang akan menjadikan dirimu harus berjuang antara hidup dan mati. Iblis itu akan lahir sepuluh tahun kemudian, di mana usiamu telah menginjak usia yang semakin tua. Kini usiamu masih terlalu muda, baru dua puluh dua tahun."

"Kakek, kau sungguh Paninggal benar. Siapakah dirimu adanya, Kek?" Jaka terus bertanya mendesak.

"Sudah aku katakan, aku hanyalah seorang gembel bulukan yang tak terkenal seperti dirimu. Namun aku ingin sekali menolong dirimu. Aku ingin meringankan bebanmu." Kakek berjanggut merah berkata: "Ketahuilah olehmu, Pendekar. Aku sering kali merenungkan tentang dirimu. Bila aku tidur, dirimu seolah-olah ikut dalam mimpiku. Bila aku bertapa, dirimu seolah-olah ada dalam khayalanku. Karena itulah, aku merasa bahwa aku memang harus berbuat sesuatu untuk dirimu. Aku ingin berusaha meringankan bebanmu. Namun aku sendiri tak akan selalu hadir di sisimu, aku akan datang bila kau benar-benar memerlukan diriku. Semua orang menyebutku telah berbuat yang merugikan mereka. Aku telah dituduh oleh mereka, bahwa akulah pembuat bencana di Gunung Slamet."

Jaka terdiam tanpa kata mendengarkan penuturan yang diucapkan oleh kakek berjanggut merah. Jaka sendiri belum tahu siapa adanya kakek berjanggut merah yang ingin membantunya, dan telah menceritakan siapa adanya dirinya yang sebenarnya. Jaka makin tak mengerti setelah si kakek mengatakan bahwa dirinya telah dikecam oleh orang-orang persilatan. Siapa sebenarnya kakek berjanggut merah? Mengapa dia tak mau menampakkan dirinya terus menerus? Dan mengapa ia ingin membantu pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah? Semuanya itu akan saya beberkan pada bab-bab selanjutnya, yang ada sangkut pautnya dengan Nok Jenah yang kini tengah mencari Bocah Kembaran Setan.

"Dapatkah kakek menceritakan siapa adanya kakek? Lalu apa yang menjadikan kakek ingin membantuku? Dan benarkah kakek bukan seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk mencabut nyawaku?" tanya Jaka.

"Hua, ha, ha...! Lucu! Mana ada malaikat mengeluh sepertiku? Hanya orang-orang lemah saja yang mengeluh, termasuk diriku. Kau sebenarnya tak pantas untuk mengeluh, sebab kau orang kuat."

"Tidak juga, Kek!" Jaka membantah. "Aku juga manusia seperti dirimu. Aku merasakan lapar bila belum makan, juga merasakan sakit bila luka. Setiap orang yang merasakan segalanya, tentulah ia akan pernah mengeluh."

Kakek berjanggut merah angguk-anggukan kepala, mengerti akan apa yang dikatakan oleh Jaka. Kini ia menyadari bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah bukan saja tinggi ilmunya, namun tinggi pula budi pekertinya. Jarang sekali seorang pendekar yang mau mengakui dirinya masih rendah. Dan biasanya, seorang pendekar tentulah mencari-cari kesalahan seseorang untuk dapat menjatuhkan orang tersebut. Tetapi pendekar ini, jauh berbeda dengan kebanyakan. Pendekar ini sangat menghindari hal-hal yang sekiranya dapat merenggangkan hubungan timbal balik seseorang. Kakek janggut merah masih terdiam, memandang kagum ke arah Jaka Ndableg.

"Baiklah, Anak muda," katanya kemudian. "Aku akan berusaha membantu dirimu, walau aku tahu kau mungkin tidak memerlukannya."

"Ah, mengapa kakek berkata begitu?" lagi-lagi Jaka membantah, seakan ia tak suka kalau dirinya harus disejajarkan dengan para Nabi. Ia bukanlah Nabi, ia juga bukannya malaikat yang tidak membutuhkan bantuan. Ia adalah manusia, manusia yang memerlukan uluran tangan orang lain. "Kakek, apapun bentuknya manusia, tentunya ia akan memerlukan bantuan seperti diriku. Diriku pun memerlukan uluran tangan dari manusia lainnya, termasuk darimu. Janganlah engkau mensejajarkan aku dengan para malaikat Tuhan, atau nabi-nabi Tuhan yang memang sudah dikodratkan olehNya untuk dapat berdiri sendiri."

"Ooh... sungguh tinggi budi pekertimu, Pendekar." puji kakek berjanggut merah. "Makin aku kagum dan salut padamu. Aku makin ingin secepatnya dapat membantu dirimu, ataupun berkorban untuk dirimu."

"Terima kasih sebelumnya, Kek," Jaka berkata: "Sungguh sebenarnya saya tak ingin merepotkan dirimu, namun karena itu semua engkau yang minta, aku pun tak dapat menolaknya. Nah, bukankah engkau belum menceritakan siapa adanya dirimu, Kek? Kalau mengenai diriku, tentunya engkau telah mengetahuinya, bukan?"

Kakek Janggut Merah tampak terdiam, tercenung dalam hening menatap lekat ke arah Jaka Ndableg. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu kemudian kembali berkata; "Baiklah, memang kita perlu adanya saling mengenal. Aku akan menceritakan siapa adanya diriku yang sebenarnya."

Kembali kakek Janggut Merah hentikan ucapan, menarik napas panjang. Sementara Jaka masih terdiam, dengan sekali-kali matanya memandang sekeliling, siapa tahu dalam kesempatan itu ia dapat menemukan adanya Bayi Kembaran Setan.

DUA

Setelah sesaat terdiam, saling jaga kalau-kalau ada orang jahat yang bakal datang, atau Bocah Kembaran Setan datang, kakek Jenggot Merah akhirnya bercerita siapa adanya dirinya.

Tiga puluh tahun yang lalu, dia adalah seorang pendekar bernama Gelang Kemulang. Dia adalah seorang tokoh silat aliran lurus yang sepak terjangnya selalu membuat tokoh-tokoh aliran sesat banyak yang berusaha mengalahkannya. Suatu hari...

"Gelang! Aku minta, kau janganlah ikut campur urusanku!" Kumilir Seta yang mendatangi Gelang Kemulang adalah seorang pendekar aliran sesat. Dia bermaksud hendak mengadakan pertemuan para tokoh sesat untuk mendirikan sebuah perserikatan dengan nama Perserikatan Segala Iblis.

"Apa keperluanmu hingga mengancamku begitu, Seta!" balas Gelang tak mau mengalah begitu saja. "Sebagai seorang tokoh persilatan, kita sama-sama mempunyai tugas masing-masing. Kau dari aliran sesat, tentunya kau pun memiliki tugas sendiri. Sebaliknya aku, aku pun sebagai pembela kebenaran akan mempunyai tugas sendiri yaitu menumpas segala kejahatan yang hendak bercokol di muka bumi ini."

"Jadi kau masih tetap membandel dan bermaksud menghalangi niatku untuk mendirikan Perserikatan Segala Iblis!"

"Tergantung kenyataannya, Seta."

"Apa maksudmu!"

Gelang Kemulang tersenyum, seakan memberikan sebuah gambaran nyata yang tergurat dari goresan ulasan senyum di bibirnya. Senyum itu, adalah senyum sebuah arti yang mengisyaratkan agar Seta harus hati-hati. "Aku tak akan mengganggu perserikatanmu, asalkan engkau dan seluruh rekan-rekanmu tidak membuat segalanya berubah. Biarkan hidup ini berjalan semestinya."

"Jadi kau akan bertindak bila kami mengadakan sebuah perubahan total ataupun sebagian dari kehidupan?"

"Ya!" jawab Gelang pendek.

"Kau tak akan mampu," Kumilir Seta sunggingkan senyum sinis penuh ejekan, lalu mengulang katanya: "Kau tak akan mampu, sebab di dalam Perserikatan Segala Iblis banyak terdapat tokoh sakti aliran sesat."

"Kita akan buktikan, Seta."

Mendengar ucapan Gelang, seketika Kumilir Seta tak bicara lagi. Ia diam, lalu dengan memandang tajam seperti hendak menembus jantung Gelang, Seta pun berkelebat pergi meninggalkannya. Gelang hanya dapat geleng kepala, seakan tak mengerti dengan apa yang sebenarnya ada di dalam hati Seta. Tanpa banyak bicara Gelang pun akhirnya kembali masuk ke dalam padepokannya menemui kembali para muridnya.

"Siapakah gerangan yang datang, Guru?" tanya salah seorang muridnya. Murid Gelang Kemulang atau Pendekar Bedah Jagad ada tiga orang. Yang pertama adalah anak Kadipaten, bernama Purbaya Anjasmara. Yang kedua anak seorang pembesar istana, bernama Kemang Bende Dewa. Sementara yang terakhir, dia anak angkatnya sendiri. Bocah itu ditemukan olehnya manakala terjadi perampokan di desa Sanggana.

"Sepertinya mereka mengancam guru. Benarkah begitu, Guru?" yang bertanya ini Bende Dewa.

"Begitulah, Muridku."

"Mengapa ia mengancam, Guru?" kembali Bende Dewa bertanya.

"Apakah mungkin ia orang jahat, Guru?" kini Purbaya yang ambil kata. "Atau mungkin ia mendendam pada guru? Kalau memang ya, begaimana jika kami yang menanganinya, Guru?"

Gelang atau Pendekar Bedah Jagad hanya mampu gelengkan kepala mendengar ucapan murid-muridnya yang masih muda-muda. Memang ia menyadari bahwa seusia muridm-uridnyalah, masa-masa orang menunjukkan gejolak kemauannya. Dan ia sebagai guru, patutlah memberikan wawasan yang luas agar murid-muridnya itu tidak salah langkah. Sebab bila murid-muridnya salah langkah, sudah dapat dipastikan gejolak mudanya yang bicara, bukan rasio dan pikiran yang baik yang menentukannya.

"Tidak begitu, Murid-muridku. Kita memang boleh merasa tidak senang bila diri kita diancam atau disakiti oleh orang lain. Tetapi, kita juga perlu melihat kenyataan sebagai apa kita ini? Bila kita melihat diri kita sebagai manusia, tentunya kita akan menuruti kehendak manusia yang telah dikodratkan pada diri kita. Tetapi jika kita melihat dari sudut masyarakat, tentunya kita akan menjadikan segala tindakan diri kita sebagai bagian masyarakat. Nah, karena aku berdiri pada bagian masyarakat, aku pun harus memikirkan masyarakat di sekitar kita. Coba kalian bertanya pada diri kalian. Apa yang kalian akan lakukan jika kalian sebagai masyarakat, melihat masyarakat lainnya tercengkeram oleh tindakan orang atau golongan."

"Jelas kami akan menghalanginya, Guru," kedua orang muridnya menjawab, hanya seorang muridnya yang tak menjawabnya, dialah Nok Jenah. Dan dikarenakan Nok Jenah tak menjawab, maka sang guru pun bertanya padanya.

"Kenapa engkau terdiam, Jenah?"

"A... ampun, Guru. Hamba, belum mengerti," tergagap Nok Jenah manakala menjawab.

Hal itu jelas membuat gurunya Si Pendekar Bedah Jagad kerutkan kening tak mengerti, memandangkan matanya tajam ke arah Nok Jenah. "Sepertinya kau tengah melamun, Jenah?"

"Ti-tidak, Guru," Nok Jenah mencoba menutupi.

"Kau mulai berani mendusta padaku, Jenah?"

"Am... ampun, Guru," Jenah menangis sesenggukan. Hatinya merasa berdosa telah mendustai gurunya yang sekaligus orang tua angkatnya. "Oh, mengapa aku telah berani menentang orang yang telah menolongku serta mendidikku sejak kecil? Kenapa...?" Nok Jenah mengeluh dalam hati, sementara ia terus menangis tundukan kepala tak berani menentang pandang pada gurunya.

"Kenapa engkau menangis, Jenah?"

Nok Jenah tak dapat berkata-kata, ia bingung harus mulai dari yang mana. Sebenarnya dalam hati Nok Jenah terhampar ratusan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu ia jawab dan selesaikan. Pertanyaan mengenai kehidupan, juga mengenai mengapa cintanya ditolak oleh seorang pendekar?

"Mengapa cintaku yang tulus harus bertepuk sebelah tangan? Mengapa Pramana tidak mau menerima diriku sebagai kekasih, padahal aku sangat menyintainya?" keluh hati Nok Jenah.

"Kau terus melamun, Jenah?"

Tersentak Nok Jenah seketika dari lamunannya. Bayang-bayang Pramanayuda menghilang, bersamaan dengan suara gurunya. Dendamnya pada Pramanayuda yang telah menolak cintanya, menjadikan Nok Jenah harus mencari jalan untuk dapat menjatuhkannya.

"Hamba... hamba prustasi, Guru."

Tersentak guru dan kedua kakak seperguruannya demi mendengar ucapan Jenah. Ketiganya seketika memandang lekat ke arah Jenah, seakan  ketiganya ingin  mengorek hati Nok Jenah yang dalam. Hati seorang gadis, yang kini terlunta-lunta akibat cintanya yang suci harus dilakukan bertepuk sebelah tangan.

"Jenah! Apa artinya ucapanmu...?" Gelang tergetar berkata, seakan ada sebuah kekuatan yang dahsyat mengguncang diri dan hatinya. Kekuatan yang mampu menggoyahkan persendiannya. Gadis yang sedari kecil diangkat menjadi anaknya, ternyata telah menjadikan segalanya berubah. Gadis itu seakan meluluh-lantahkan harapannya untuk kelak menggantikan dirinya sebagai seorang pendekar aliran lurus, yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan. Kalau gadis ini sudah prustasi, jelas jiwa kewanitaannya akan membawa dirinya ke jurang kebencian dan dendam pada orang yang dianggapnya telah membuatnya putus asa. Tapi selaku orang tua, apalagi sudah terkenal namanya sebagai orang bijaksana, Gelang tak mau begitu saja mendamprat atau memarahi sang anak angkat. Ditariknya napas panjang, seakan hendak membuang keberatan beban yang ada di hati.

"Kau telah jatuh cinta, Jenah?"

"Benar, Guru," jawab Jenah masih tertunduk.

"Siapakah orang yang engkau cintai?" Jenah memandang pada kedua kakak seperguruannya, seakan minta bantuan untuk mengatakannya. Namun rupanya kedua kakak seperguruannya pun tak tahu menahu dirinya, sehingga Jenah dengan kesendirian akhirnya berkata menjawab.

"Pemuda itu... pemuda itu adalah Pramanayuda, Guru."

Sang guru hanya mampu menarik napas kembali. Ia tahu, siapa adanya Pramanayuda. Seorang pendekar yang memang saat itu namanya telah melangit dengan sebutan Pendekar Pedang Sukma Layung. Namun bukannya ia takut pada orang tersebut, tapi dirinya juga tak dapat harus memaksakan kehendak anak angkatnya untuk memaksa Pramanayuda agar dia mau menerima cinta anak angkatnya.

"Apakah ia menerima cintamu?" Nok Jenah menggeleng. "Mengapa engkau harus prustasi? Bukankah engkau cantik, Anakku?" Gelang bertanya: "Bukankah engkau mampu mencari lelaki lainnya? Mengapa engkau mesti menuruti kemauan syetan?"

"Guru...!" Jenah membentak, sepertinya ada kekuatan yang mendorongnya untuk bertindak demikian.

Hal itu menjadikan kedua kakak seperguruannya tersentak dari duduknya, lalu kedua pemuda itu dengan sewot karena gurunya diperlakukan seenaknya oleh Nok Jenah membentak.

"Anak tak tahu diri! Berani lancang mulutmu membentak guru sendiri! Kau harus dihajar, Jenah!"

"Sabar, Anak-anakku."

Kedua murid laki-laki Gelang menurut, turunkan tangannya yang sudah siap hendak dihantamkan ke arah Nok Jenah yang seperti pasrah. Bahkan kini Nok Jenah memandang tajam pada keduanya dengan pandangan seperti menyala. Dari mulutnya sunggingkan senyum mengejek, lalu dengan lantang tanpa mengenal rasa takut ia berseru.

"Lakukan bila kalian berani! Sejak saat ini, aku bukan adik seperguruan kalian!"

"Anak setan!" bentak Purbaya sewot. "Bedebah! Anak tak tahu diri! Minggat kau dari sini!" Bentak Dewa tak kalah marahnya, merasa gurunya telah diinjak seenak udel oleh Jenah. "Kalau kau tak minta ampun pada guru, jangan salahkan tanganku ini akan menghancurkan batok kepalamu!"

"Anak-anakku, sudahlah. Mungkin ia belum dewasa."

"Tidak guru. Dia bukan karena dewasa atau belum. Tapi dia memang sudah bukan manusia lagi! Dia adalah iblis! Itulah mengapa Pramana yang tadinya mencintainya kini memalingkan muka!"

Terbelalak marah Nok Jenah, memandang tajam penuh permusuhan pada Bende Dewa. Begitu juga dengan Pendekar Bedah Jagad, ia pun tak kalah kagetnya. Ia tidak menyangka kalau anak angkatnya itu telah benar-benar melakukan kesalahan yang besar, kesalahan sebagai manusia yang tidak mau menerima kodratnya.

"Benar apa yang dikatakan oleh kakakmu, Jenah?"

"Ya!" Jenah menjawab dengan ketus, sepertinya tak ada rasa takut setitik pun pada darahnya untuk menghormati sang guru yang sekaligus ayah angkatnya. "Memang aku telah bersekutu dengan Siluman Ular Sanca!"

Bagaikan disengat halilintar di siang bolong, Gelang atau Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget, sampai-sampai ia bangkit dari duduknya dengan mata melotot ke arah Nok Jenah. "Kau...! Kau telah mencoreng arang di mukaku. Minggat kau dari sini!" bentak Pendekar Bedah Jagad dengan marahnya, karena merasa dirinya telah diberi malu besar oleh anak yang dari kecil telah diasuhnya. Ternyata dia telah salah mengasuh. Dia telah mengasuh anak macan, yang setiap saat pastilah akan menerkam dirinya sendiri. "Minggat kau dari sini, cepat!"

Jenah tersenyum sinis, bagaikan tiada dosa. Matanya tajam memandang pada sang guru, sepertinya sang guru hanyalah orang yang tiada arti. Dengan senyum sinis Jenah berkata. "Baik! Memang hal inilah yang aku tunggu-tunggu. Ingat, Gelang! Kelak kau dan dua orang muridmu ini akan menerima hukumannya!"

"Bangsat!" Purbaya berkelebat, dia sudah tak mampu menahan amarahnya. Tangannya yang telah dialiri tenaga dalam menjurus ke arah batok kepala Nok Jenah.

Namun belum juga tangan itu sampai, tiba-tiba tangan Jenah telah berkelebat menangkis dan sekaligus menyerang balik. Tak ayal lagi, tubuh Purbaya seketika mental ke belakang terhantam serangan yang begitu tiba-tiba. Mata Bende Dewa dan gurunya terbelalak, manakala melihat serangan yang dilakukan oleh Nok Jenah. Serangan itu bukanlah jurus yang mereka miliki, tapi sebuah jurus yang aneh. Gerakannya begitu cepat, hampir tak dapat diikuti oleh mata yang melihatnya. Bende Dewa hendak menyusul menyerang Nok Jenah manakala dengan cepat sang guru menghalanginya seraya berseru.

"Jangan! Jangan kau lakukan, Bende."

"Kenapa, Guru?" Bende Dewa protes, seakan dirinya tak mau menerima ucapan gurunya yang membiarkan murid durhaka itu harus berlalu dengan seenaknya. "Dia telah menyakiti kakang Purbaya, Guru."

"Biarkan dia pergi, Bende. Kau tolonglah kakakmu."

Sebagai seorang murid yang baik Bende Dewa pun akhirnya menuruti kata-kata gurunya. Dibiarkannya Nok Jenah berlalu meninggalkan padepokan, sementara dirinya sendiri kini mengurusi tubuh kakaknya yang tergeletak pingsan akibat hantaman Nok Jenah yang begitu kerasnya. Sementara itu, Gelang sebagai seorang guru hanya mampu mendesah panjang. Sulit baginya untuk menentukan tindakan. Kekecewaan merenggut hatinya, menjadikan Gelang hanya bengong tanpa reaksi.

********************

TIGA

Sejak meninggalkan perguruan, makin tampak nyatalah siapa sebenarnya Nok Jenah. Dia makin telengas dan tak mengenai rasa bersahabat bagi siapa saja yang dianggapnya sebagai musuh. Dia juga tak segan-segan membuat keonaran di muka bumi untuk memuaskan nafsu angkara murkanya. Karena ganasnya segala tindakan Nok Jenah, jadilah ia dijuluki Wanita Srigala Liar. Bukan hanya perbuatannya yang telengas pada setiap orang yang dianggapnya musuh, tetapi Nok Jenah pun kini seperti seorang gila. Gila dalam arti kata, bukan gila sebenarnya. Tindakannya sangat memalukan, yaitu mengganggu dan merusak rumah tangga orang.

"Aku harus dapat menjadikan semua lelaki menjadi budakku! Aku harus dapat... hua, ha, ha...!" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, menjadikan anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang wanita itu terdiam tiada kata. "Kau, Srigala Ungu. Cari lelaki muda yang banyak. biar kita dapat berpesta pora."

"Daulat, Pimpinan."

"Jebak mereka dengan segala bujuk rayu. Bila memang membandel, janganlah kalian segan-segan lagi. Bunuh dia!"

"Daulat, Ketua!" Srigala Ungu, selaku ketua pengganti hanya mengiyakannya. Ia takut pada ketuanya Nok Jenah yang sudah diketahui berilmu tinggi.

"Kalian sekarang berangkatlah! Cepat...!" Nok Jenah memerintah dengan bengis, tetapi di balik kebengisannya itu terdapat sebuah keputusasaan. Putus asa karena cintanya ditolak mentah-mentah.

"Jenah! Keluar kau...!"

Terdengar suara seseorang berseru, menjadikan Nok Jenah dan dua puluh anak buahnya seketika tersentak dan menghambur ke luar untuk menemui orang yang berteriak tersebut. Mata Nok Jenah seketika melotot, manakala melihat siapa adanya yang datang.

"Kau...! Untuk apa engkau datang, hah!" bentak Nok Jenah tanpa hormat, padahal yang datang itu tak lain gurunya sekaligus ayah angkatnya yang telah mengasuh dan mendidiknya sejak kecil.

"Ya! Aku, Jenah!"

"Kenapa engkau datang, Tua Bangka!" kembali Jenah membentak marah, seakan Pendekar Bedah Jagad tak lain seorang musuh yang sangat ia benci. "Pergilah! Jangan sekali-kali engkau datang bila nyawamu tidak ingin aku remukkan!"

"Anak durhaka! Aku tak akan pergi sebelum engkau mau menyadari segala tindakanmu yang keliru. Karena ulahmu, maka kedua muridku harus menjadi korban. Maka aku tak akan mau menjadi korban karena keberangasanmu!"

"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasanku, Tua bangka!" Nok Jenah bergelak tawa seperti tak merasa bersalah.

Memang sejak Jenah berbuat sewenang-wenang, maka Padepokan Sanggrah Buana milik Pendekar Bedah Jagad telah banyak didatangi oleh para tokoh persilatan baik dari golongan lurus maupun golongan sesat yang menuduh dirinya telah tidak mampu mengurus salah seorang muridnya. Kedua muridnya yaitu Purbaya dan Bende Dewa, tak mau gurunya dituduh sembarangan. Maka kedua murid setia itu pun akhirnya harus mati demi membela nama baik sang guru. Sementara Pendekar Bedah Jagad sendiri, harus mengalami luka-Iuka karena serangan yang datangnya bersamaan. Hampir saja nyawanya lenyap, kalau saja tidak datang seorang pendekar yang menolongnya. Pendekar itu tak lain Pramanayuda adanya, atau Pendekar Pedang Layung Sukma.

"Bedebah! Anak setan! Kalau kau tak mengakhiri segala tindakanmu dan tak mau menyerah, maka aku tak akan segan-segan untuk menghukummu!"

"Hua, ha, ha...! Lakukan bila engkau mampu, Tua bangka!"

Murka Pendekar Bedah Jagad mendengar ucapan Nok Jenah yang dirasa sudah bukan ucapan baik. Maka dengan mendengus marah, Pendekar Bedah Jagad pun berteriak menyerang bekas murid dan anak angkatnya. "Daripada seluruh tokoh persilatan menghukummu maka akulah yang akan menghukummu. Hiaat...!"

"Hua, ha, ha...! Jangan kira aku masih seperti anak kecil saja, Tua bangka busuk!" Nok Jenah masih tertawa-tawa, dan dengan penuh ejekan ia terus mengelitkan serangan Pendekar Bedah Jagad dengan sekali-kali membalik serangan.

Pertarungan antar guru dan bekas muridnya terus berjalan dengan jurus-jurus yang tinggi. Nampaknya memang Nok Jenah bukanlah Nok Jenah yang dulu dalam asuhan Pendekar Bedah Jagad. Terbukti serangan-serangannya jauh lebih keras dan cepat. Serangan Nok Jenah bukanlah menggunakan jurus-jurus yang diajarkan oleh gurunya, tetapi jurus-jurus yang aneh yang belum pernah Pendekar Bedah Jagad ketahui.

Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget, lompatkan tubuhnya ke belakang manakala melihat tangan Nok Jenah tiba-tiba menghitam laksana arang. Tangan itu kini bukanlah tangan lagi, tetapi berubah menjadi seekor ular yang besar dari ganas. Ular Sanca hitam legam, berbisa jahat.

"Ilmu iblis!" memekik Pendekar Bedah Jagad kaget.

Tak luput juga keduapuluh anak buahnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. Mata keduapuluh gadis cantik itu melotot geli dan takut, demi melihat tangan ketuanya tiba-tiba telah menjadi seekor ular yang hitam legam dan ganas.

"Hua, ha, ha...! Bagaimana, Tua Bangka? Apakah engkau masih hendak menghukumku?" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, seakan ia ingin menunjukkan kesombongannya.

"Apapun resikonya, aku akan tetap menghukummu, Anak Setan!"

"Lakukan bila engkau mampu, Tua bangka!"

"Bangsat!" Mata Pendekar Bedah Jagad membara penuh amarah, lalu dengan segera disilangkan kedua tangannya di depan dada. Dari silangan tangan tersebut, keluar asap mengepul putih bergulung-gulung menyelimuti tangannya. Dan dengan memekik, pendekar Bedah Jagad pun segera kembali menyerang dengan ajiannya Bedah Jagad.

Kini giliran Nok Jenah yang tersentak kaget, ternyata gulungan asap putih itu mampu memunahkan ilmu silumannya. Tangannya. kembali berubah menjadi tangan biasa, sementara kini musuhnya telah bergerak dengan cepat menuju ke arahnya dengan serangan yang sudah ia dengar sendiri kehebatannya. Ilmu Bedah Jagad, bukanlah ilmu sembarangan. Kalau ilmu tersebut sudah dikeluarkan niscaya siapa pun akan dapat diterka segala apa yang ada pada dirinya. Maka itu, sebelum asap Bedah Jagad menyerangnya, seketika Nok Jenah berkelebat melarikan diri. Ia sadar, kalau ia meneruskan perkelahian dengan bekas gurunya, niscaya ia tak akan mampu. Namun yang ia herankan, mengapa gurunya harus mengalah pada tokoh-tokoh persilatan?

Melihat ketuanya melarikan diri, segera kedua puluh anak buahnya pun berkelebat pergi mengikutinya. Pendekar Bedah Jagad terpaku diam. Ia sebenarnya juga masih memendam rasa kasihan pada anak angkatnya, itulah kenapa ia mau berkorban untuk mengalah pada para tokoh persilatan. Ia sengaja mengeluarkan Ajian Bedah Jagad, hanya karena ia tidak ingin Siluman Sanca turut campur. Dengan muka lesu, Pendekar Bedah Jagad pun kembali berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.

********************

Dua orang penunggang kuda nampak memacu kuda mereka dengan cepatnya menuju ke padepokan yang dihuni oleh Pendekar Bedah Jagad. Kedua penunggang kuda tersebut, memiliki wajah yang hampir sama. Mereka tak lain Sepasang Iblis dari Gunung Dieng. Kedatangannya ke padepokan milik Bedah Jagad, tak lain untuk menyampaikan undangan dari ketuanya yaitu Kumilir Seta yang bermaksud mendirikan Perserikatan Iblis.

Pendekar Bedah Jagad terpaku berdiri di teras padepokan yang kini sepi bagaikan tak berpenghuni. Sejak kematian dua orang muridnya, lan sejak ia dituduh oleh para tokoh persilatan bahwa dirinya melindungi Iblis Srigala Liar atau Nok Jenah, padepokannya sepi. Padepokan itu hanya dijadikan tempat mampirnya kalau ia tengah enggan untuk melanglang buana layaknya seorang pendekar.

"Mau apa mereka menuju ke mari," Pendekar Bedah Jagad terdiam tanpa reaksi menunggu kedatangan dua orang utusan Kumilir Seta. "Sepertinya mereka membawa surat. Mungkinkah surat itu untukku?"

Dua orang penunggang kuda yang sudah diketahui Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, terus mempercepat lari kuda mereka menuju ke padepokan di mana Pendekar Bedah Jagad berdiri menunggu kedatangan mereka. Wajah kedua Iblis tersebut tak seperti biasanya, yang memendam perasaan permusuhan. Tetapi wajah kedua Iblis tersebut kini menggambarkan persahabatan. Keduanya segera turun dari kuda, lalu dengan segera menjura hormat. Hal itu menjadikan Pendekar Bedah Jagat terheranheran kerutkan kening.

"Ada apa kalian datang ke mari?" tanya Pendekar Bedah Jagad pada keduanya yang masih menjura hormat. "Apakah kalian memang diutus oleh pimpinan kalian Kumilir Seta?"

"Benar, Tuan Pendekar," jawab Iblis Sepuh.

"Kami memang diutus untuk menyampaikan surat ini padamu, Tuan Pendekar," lanjut Iblis Kanoman. "Kami juga disuruh menunggu keputusan darimu."

Disodorkannya surat tersebut oleh iblis Sepuh pada Pendekar Bedah Jagad yang dengan segera menerimanya. Di hadapan kedua Iblis dari Gunung Dieng itu, Pendekar Bedah Jagad pun segera membacanya.

Bedah Jagad,

Aku mengharap engkau mau mengubah pendirianmu. Aku juga mengharapkan engkau mau bergabung bersamaku. Percuma kau masih menutupi dirimu sendiri. Muridmu juga telah ketahuan bersekutu dengan Siluman Ular Sanca, apakah engkau akan tetap menolak tuduhan dari para pendekar yang mengatakan bahwa engkaulah pelindungnya?

Bedah Jagad, lebih baik kau bergabunglah bersama kami. Mari kita dirikan bersama-sama Perserikatan Iblis. Bukankah dengan adanya Perserikatan Iblis engkau akan mendapat dukungan? Camkanlah, Bedah Jagad.

Kumilir Seta.


Dilipatnya kembali surat tersebut, lalu dengan mata tajam dipandangi kedua utusan Kumilir Seta tersebut yang nampak tak berani menentang pandang padanya. Kedua Iblis itu tahu siapa adanya Pendekar Bedah Jagad. Seorang pendekar yang akan mampu membaca ilmu yang dimiliki oleh lawan-lawannya.

"Katakan pada ketuamu, aku Bedah Jagad tak mau bergabung,"

"Tapi...!" Iblis Sepuh hendak berkata menyangkal, manakala Bedah Jagad segera memotong berkata.

"Tidak ada istilah tapi. Bagiku, aku lebih baik mati daripada harus mengikuti kemauan ketua kalian. Aku akan mengasingkan diriku, mencari ketenangan. Bilang juga pada ketua kalian, bahwa aku tak akan mengganggu kalian apabila kalian tidak mengganggu diriku. Nah, kembalilah kalian."

Dengan perasaan kecewa, kedua utusan Kumilir Seta pun memacu kudanya meninggalkan Pendekar Bedah Jagad yang masih berdiri mematung di teras padepokannya dengan mata memandang kosong ke arah larinya kuda-kuda mereka.

"Aku sudah terlalu tua, tak ada artinya sama sekali bila aku harus terus terlibat dalam dunia ramai," Bedah Jagad bergumam: "Biarlah mereka berjalan menurut kodrat Yang Wenang. Duh, Jagad Dewa Batara! sungguh sebuah perjalanan panjang telah aku lakukan. Kini tinggalah aku untuk mencari ketenangan."

Habis berkata begitu segera Bedah Jagad membakar padepokannya. Api menyala dengan tepatnya, berkobar-kobar laksana hendak melalap dunia. Setelah melihat padepokannya musnah terbakar, dengan secepat kilat Pendekar Bedah Jagad berkelebat masuk ke dalam api dengan maksud membakar dirinya. Namun ternyata suratan takdir berkata lain, tiba-tiba seorang lelaki tua renta telah menerobos masuk ke dalam dan menyeret tubuhnya ke luar dari kobaran api.

"Anak bodoh!" bentak lelaki tua renta dengan pakaian compang camping sembari menyeret tubuh Pendekar Bedah Jagad. "Untuk apa engkau bunuh diri! Dasar anak tolol!"

Bedah Jagad yang sudah terkulai pingsan, tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya dibopong oleh lelaki tua renta berpakaian compang camping pergi entah ke mana, meninggalkan Padepokannya yang sudah terlalap oleh api.

********************

"Sejak saat itulah aku digembleng oleh dia, yang akhirnya aku ketahui bernama Pengemis Sakti Muka Aneh."

"Jadi engkaukah yang bernama Pendekar Bedah Jagad?" tanya Jaka setelah Bedah Jagad mengakhiri ceritanya, yang diangguki oleh Pendekar Bedah Jagad. "Oh, kalau begitu, sungguh akulah orang yang bodoh, yang tidak mau mengerti siapa adanya orang yang kini tengah berdiri di hadapanku. Maafkan kelancanganku ini, Pendekar."

Kakek Berjenggot Merah atau Pendekar Bedah Jagad hanya gelengkan kepala mendengar penuturan Jaka. "Tidak harus begitu, Pendekar. Bagiku, kaulah orang yang patut dikatakan seorang Pendekar sejati. Kau tanpa keluh, tanpa putus asa dalam melakukan segala tugasmu yang tanpa pamrih. Musuhmu bertebaran di mana-mana, namun nyatanya engkau bagaikan tak mengenal rasa takut. Sedangkan aku..." Bedah Jagad menggeleng kepala kembali, lalu ia pun berkata meneruskan: "Aku seorang pendekar lemah. Aku tak mampu mengalahkan batinku sendiri, sampai-sampai aku hendak membakar diriku sendiri hanya karena masalah yang sepele."

"Ah, sudahlah, Ki. Tak perlu engkau renungkan masa silammu, masa yang akan menjadikan engkau sedih. Kini kau harus bersyukur telah dapat mewarisi ilmu-ilmu yang dimiliki Kakek Pengemis Sakti Muka Aneh. Dia adalah tokoh silat yang segalanya serba aneh, bukan saja mukanya, tapi juga tingkah lakunya."

"Hai, rupanya engkau lebih dalam mengerti keadaan guruku, Pendekar?!" Bedah Jagad tersentak kaget, demi mendengar penuturan Jaka Ndableg perihal gurunya. Penuturan Jaka Ndableg, ternyata benar adanya, menjadikan dia begitu tersentak. Memang gurunya memiliki serba keanehan pada diri gurunya. "Apakah engkau telah mengenalnya, Pendekar?"

Jaka tersenyum, matanya kembali memandang ke muka, sepertinya memandang pada hamparan desa yang ada di sana. Desa yang sudah sunyi dan sepi, padahal malam begitu masih belum larut. "Aku mengenalnya dari guruku," Jaka menjawab.

"Siapakah gurumu, Pendekar?"

"Guruku banyak. Guruku ada lima orang," kembali Jaka menjawab dengan mata yang terus memandang ke desa yang sudah begitu sunyi.

Jawaban Jaka seketika menjadikan kerut kening Pendekar Bedah Jagad yang tersentak kaget. Bagaimana mungkin ia mau mempercayai ucapan Jaka, yang diucapkan dengan acuh tak acuh. Tapi bila melihat ilmu si pemuda, itu semua dapat dimaklumi. Bukan tidak mustahil, karena gurunya banyak itulah sehingga Jaka menjadi orang sakti dalam usia yang semuda itu. "Kalau boleh aku tahu, siapakah guru-gurumu itu, Pendekar?"

"Guru-guruku tak lain adalah kakak-kakak seperguruan misan gurumu. Keempat guruku, terkenal dengan sebutan Empat Pendekar Sakti, di antaranya Ki Bayong, Nyi Rukmini, Ki Darsa, dan Ki Barwa."

"Apa...!" tersentak kaget Bedah Jagad demi mendengar Jaka menyebutkan nama-nama gurunya yang telah almarhum akibat kejahatan Iblis Prahista. "Jadi kau adalah murid keempat Pendekar itu?"

"Ya!" jawab Jaka. "Kenapa? Apakah ada sesuatu dengan guru-guruku?"

"Tidak! Pantas engkau semuda ini sakti, Pendekar. Oh, tak aku sangka, kalau akhirnya aku menemukan adik seperguruanku sendiri," gumam Pendekar Bedah Jagad, seakan ingin meyakinkan pada diri sendiri.

"Benarkah engkau kakak seperguruanku?" Jaka bertanya, seakan belum percaya. "Kalau benar, siapakah gurumu sebenarnya?"

"Guruku adalah kakak seperguruan guru-gurumu." Pendekar. Bedah Jagad menerangkan. "Guruku bernama Ki Sempani. Dialah yang memiliki Ajian Bedah Jagad. Guru juga pernah menceritakan tentang keempat adik-adik seperguruannya yang tak pernah mau saling mengerti, dan terus memburu nama..."

"Heh, benar!" Jaka berseru girang. "Teruskan ceritamu."

"Guruku juga semasa hidup pernah menerka, bahwa seandainya keempat adik seperguruannya masih bersikeras untuk mengadu ilmu, tentulah yang akan keluar sebagai pemenangnya tak lain hanya Ki Bayong."

"Eh, apa alasanmu berkata begitu?" Jaka yang sudah mengerti mencoba memancing kebenaran cerita Pendekar Bedah Jagad.

"Karena menurut guru, Ki Bayong memiliki ajian yang aneh bernama Ajian Buto Dewa Wisnu."

Tak dapat lagi Jaka menahan luapan kegembiraan demi mendengar penuturan Pendekar Bedah Jagad. Maka bagaikan orang gila Jaka pun berseru girang: "Kau benar! Kau benar! Seratus untukmu!"

Dipeluknya Pendekar Bedah Jagad yang hanya terbengong-bengong tak mengerti dengan tingkah laku Jaka. Dan belum juga Pendekar Bedah Jagad mengerti apa maksud Jaka, tiba-tiba Jaka telah berubah menjadi Buto Dewa Wisnu. Ditangkapnya tubuh Pendekar Bedah Jagad, yang seketika tersentak ketakutan melihat Jaka tiba-tiba telah meraksasa.

"Jagad Dewa Batara, inikah ajian tersebut?" Pendekar Bedah Jagad menggumam dalam hati dengan segenap ketakutan yang amat sangat. "Lepaskan aku! Lepaskan...!" Bedah Jagad memberontak berteriak-teriak, tubuhnya bagaikan remuk tergencet oleh jari-jari tangan sang Buto yang sebesar tubuhnya. "Ampun! Lepaskan aku!"

"Hua, ha, ha...! Kau ternyata kakak seperguruanku, maka aku ingin mengayun-ayun tubuhmu."

Tubuh Bedah Jagad diayun, dilempar ke sana ke mari. Sepertinya Buto Dewa Wisnu ingin membuat Pendekar Bedah Jagad terkencing-kencing ketakutan. Memang benar! Pendekar Bedah Jagad yang terkenal mampu menghadapi ilmu macam apa pun, kini harus ketakutan setengah mati dilempar-lempar ke sana ke mari oleh Buto Dewa Wisnu.

"Huah! Kenapa engkau ngompol, Kakang?"

"Aduh, aku takut jatuh. Lepaskan aku, taruhlah aku di tanah kembali," merengek-rengek Pendekar Bedah Jagad, dan air matanya pun seketika meleleh membasahi pipinya.

Segera Buto Dewa Wisnu menurunkannya. "Nah, sekarang engkau menyingkirlah dulu," Buto Dewa Wisnu segera kembali ke bentuk asalnya Jaka Ndableg yang benar-benar ndableg. Sesaat kemudian, perlahan-lahan tubuh raksasa itu mengecil dan mengecil hingga kembali ke bentuk asalnya Jaka Ndableg.

"Wah, Kakang. Sekarang apa rencanamu?" tanya Jaka kemudian. "Aku kini tengah menghadapi masalah dengan lahirnya Bocah Kembaran Setan."

"Bocah Kembaran Setan?"

"Ya!" jawab Jaka. "Bocah itu telah lahir, dan telah membawa korban dua ratus orang di Telaga Warna."

"Aku akan membantumu, Jaka."

"Terima kasih, Kakang. Mari kita pergi!"

Tanpa hiraukan celananya yang bau jengkol akibat air pancorannya mengalir deras karena takut manakala dalam genggaman tangan Buto Dewa Wisnu, Pendekar Bedah Jagat pun segera mengikuti ke mana Jaka berlalu. Keduanya segera meninggalkan desa yang sedari tadi diawasinya, yang dianggap Bocah Kembaran Setan akan menuju ke situ.

Malam terus merambat, menelan kedua tubuh kakak beradik perguruan yang bertemu tanpa diduga-duga dengan perbedaan usia yang jauh itu. Betapa pun usia mereka terpaut puluhan tahun, bahkan hampir setengah abad lebih, namun karena memang keduanya dasarnya saudara seperguruan hingga keduanya pun nampak setujuan hidup.

********************

EMPAT

Munculnya Bocah Kembaran Setan ternyata mengundang para tokoh persilatan khususnya aliran sesat berlomba untuk mendapatkannya. Mereka bermaksud mendapatkan bocah tersebut sebagai tameng bagi golongannya. Bocah tersebut menurut kabar adalah bocah sakti yang sukar ditandingi. Seperti halnya di Perguruan Bedak Begawa, di mana Karsa Warsana sebagai pimpinannya perguruan itu pun telah mendengar adanya Bocah Kembaran Setan. Sebagai perguruan aliran sesat, jelas Karsa Warsana tak mau menyianyiakan kesempatan ini. Apalagi saingannya begitu banyak, di antaranya Perguruan Lutung Sakti Bibit Iblis, Tengkorak Beracun serta perguruan-perguruan aliran sesat lainnya.

"Sumrah, kita harus mampu mendapatkan Bocah Kembaran Setan tersebut," Karsa Warsawa berkata pada anak buahnya yang sekaligus tangan kanannya. Anak buahnya yang sekaligus tangan kanannya adalah seorang lelaki berwajah panjang dengan mata biru dan hidung pesek besar, sehingga tampangnya mirip seperti tampang seekor kera raksasa. Tokoh ini yang bernama Sumrah, adalah tokoh aliran sesat yang ganas dan pantang untuk menyerah.

"Untuk apa, Pimpinan?" tanya Sumrah.

"Untuk apa! Apa kau belum tahu siapa adanya bocah tersebut?"

"Belum, Pimpinan!"

"Pantas!" Karsa Warsana berkata keras, seakan mentololi anak buahnya yang sekaligus tangan kanannya. "Maka itu, kau harus banyak mencari pengalaman! Kalau kau hanya ngendon di tempat ini, manalah mungkin engkau mengerti dunia luas!"

"Ampun, Pimpinan. Sungguh saya kurang senang bila bepergian. Pertama dikarenakan saya banyak musuh. Bukannya saya takut pada musuh-musuh saya, namun rasanya sekarang ini saya sedang enggan untuk bertarung."

"Sontoloyo! Bilang saja kau takut pada Pendekar Pedang Siluman!" sindir Karsa menjadikan Sumrah hanya mampu cengar cengir tak dapat berkata-kata lagi. "Iya kan?"

"He, he, he...! Pimpinan tahu saja," Sumrah terkekeh.

"Sekarang juga, kau bawa anak buahmu ke Lembah Bangkai."

"Untuk apa, Pimpinan?"

"Bodoh! Kau ternyata bodoh!" bentak Karsa jengkel melihat kebodohan anak buahnya. "Sudah aku katakan, hampir semua perguruan aliran sesat kini menuju ke sana untuk memperebutkan bocah tersebut. Bocah itu bukan bocah sembarangan. Barang siapa yang mendapatkannya, maka kita akan menjadi orang yang ditakuti dan disegani karena ada bocah tersebut. Bocah itu mempunyai ilmu yang tinggi, hampir sejajar dengan ilmu Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, bukankah dengan kita memiliki bocah tersebut kita akan yang ditakuti di antara golongan kita?"

Sumrah terdiam, sepertinya mengerti apa yang dikatakan oleh ketuanya.

"Kau mengerti sekarang, Sumrah?" kembali Karsa Warsana berkata, yang diangguki oleh Sumrah. "Bagus, sekarang juga kau persiapkan anak buahmu untuk menuju ke Lembah Bangkai. Sebisanya kau harus mendapatkan anak tersebut. Bila belum dapat, jangan coba-coba kalian pulang. Mengerti, Sumrah?"

"Daulat, Pimpinan," Sumrah menjura, lalu dengan segera keluar dari bangsal menuju ke tempat di mana para anak buahnya berkumpul. Setelah mengumpulkan hampir lima puluh anggotanya, saat itu juga Sumrah dan anak buahnya berangkat menuju ke Lembah Bangkai di mana menurut kabar Bocah Kembaran Setan berada.

********************

Lembah Bangkai adalah sebuah lembah yang sangat dikeramatkan bagi orang-orang dunia persilatan aliran sesat. Lembah itu telah banyak memakan korban manusia. Sejak banyaknya korban di tempat tersebut, maka para pendekar yang dulu berantusias untuk mencari Kitab Banyu Geni mengurungkan niatnya. Sudah banyak kejadian-kejadian yang akhirnya membuka mata mereka.

Sebenarnya kematian para pendekar sangat misterius. Kematiannya sungguh secara tiba-tiba. Entah karena apa, para pendekar yang bermaksud mencari kitab tersebut tiba-tiba mengalami sebuah guncangan berat dalam dirinya. Dan manakala memasuki daerah Lingkaran Kematian, tak seorang pun akan dapat keluar dengan keadaan selamat.

Konon menurut cerita, bahwa lembah tersebut dulu dihuni oleh seorang tokoh silat yang sakti mandraguna bernama Resi Kumara Geni. Resi itu menaruh kitab Banyu Geni yang terkenal mengandung segala macam ilmu di lembah tersebut. Sebelum sang Resi meninggal, terlebih dahulu ia membuat sebuah pagar gaib yang tidak dapat ditembus oleh mahluk apa pun kecuali oleh manusia berhati dan berbudi baik. Tapi sampai sedemikian jauh, tak ada yang mampu membuka tabir tersebut.

Kini Lembah Bangkai akan menjadi ajang pertarungan para tokoh persilatan aliran sesat untuk dapat menjadi pemilik Bocah Kembaran Setan. Apakah benar-benar Lembah Bangkai sudah terbebas dari pengaruh pagar gaib yang dipasang oleh sang Resi? Ternyata belum. Pagar gaib tersebut masih ada dan tetap memagari tempat yang dinamakan Lingkaran Kematian. Dan memang Bocah Kembaran Setan hendak menuju ke tempat itu karena dengan tujuan mencari kitab tersebut. Bocah itu seakan ada yang menyuruhnya untuk datang ke tempat tersebut.

Dari empat penjuru nampak berdatangan orang-orang yang hendak memperebutkan Bocah Setan tersebut, semuanya hampir sebagian besar merupakan perguruan-perguruan aliran sesat yang memiliki ilmu tinggi. Memang, bila hanya memiliki ilmu-ilmu setengah-setengah, tidak bakalan mungkin akan dapat bersaing memperebutkan bocah tersebut. Lembah Bangkai yang tadinya sepi, dan hanya berserakan tulang belulang manusia kini dipecahkan oleh keramaian orang-orang yang pada berdatangan.

Tampak dari arah Timur, rombongan dari Perguruan Cakra Gelap berjalan dengan langkah mantap. Perguruan tersebut merupakan perguruan yang sangat kondang namanya. Cakra Gelap dipimpin oleh seorang tokoh sesat yang sekaligus menjabat ketua Perserikatan Segala Iblis. Di dalam Cakra Gelap, terdapat tokoh-tokoh aliran sesat yang berilmu tinggi. Di antaranya Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, juga Iblis Laksa Bertuah, dan ada juga Setan Tengkorak Haus Darah.

Tiga tokoh utama itu nampak berjalan di belakang ketua mereka yaitu seorang lelaki berwajah menyeramkan dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya. Orang tersebut, tak lain Kumilir Seta adanya. Memang setelah hilangnya Pendekar Bedah Jagad, pertumbuhan Perserikatan Segala Iblis begitu cepat, karena orang yang biasa menghalanginya telah tiada.

"Lihat Ketua, nampaknya dari perguruan lain pun berdatangan menuju ke mari," yang berkata Sepasang Iblis yaitu Iblis Sepuh, yang menjadi tangan kanan Kumilir Seta. "Mereka menyangka akan mampu mendapatkan bocah tersebut. Hua, ha, ha...!"

"Memang mereka besar adat," Kumilir Seta menimpali. "Mereka mengira bahwa kita ini akan membiarkan mereka tumbuh dikira kita takut. Huh, apa yang ditakuti pada diri mereka. Bukan begitu, Laksa?"

"Hua, ha, ha...! Memang benar! Mereka mengira kita takut pada mereka. Tapi nanti, mereka akan tahu siapa adanya Iblis Laksa Bertuah, seorang Iblis yang segala ucapannya akan mengandung tuah hebat."

Sepuluh golongan dari aliran sesat itu terus merambat turun menuju ke Lembah Bangkai. Wajah mereka diliputi dengan ketegangan, sepertinya mereka hendak menghadapi masa-masa di mana para pendekar sakti yang mati tanpa ampun di tempat tersebut.

"Aku heran, mengapa Bocah Kembaran Setan menuju ke mari? Apakah bocah tersebut telah tahu bahwa kita akan datang ke sini?" tanya Setan Tengkorak Darah seperti pada diri sendiri.

"Bukan begitu, Setan. Bocah tersebut datang ke mari semata-mata ingin mencari kitab Banyu Geni. Entahlah, dari siapa bocah itu mengetahuinya," Iblis Sepuh menuturkan. "Sepertinya bocah tersebut ada yang menuntun untuk datang ke mari."

"Apakah tidak mungkin Pramanayuda yang menyuruhnya?" Tengkorak Darah kembali bertanya.

"Aku rasa tidak. Aku, walaupun dari aliran beda dengannya tahu persis siapa adanya dirinya. Dia adalah seorang tokoh yang tidak serakah, tidak mau mengambil milik orang lain kalau bukan miliknya sendiri." jawab Kumilir Seta.

"Mungkin juga ada mahluk lain yang mempengaruhi bocah tersebut, Ketua?" Laksa Bertuah ikut menanya. Ia pun tertarik juga dengan berita-berita yang mengatakan bahwa Bocah Kembaran Setan memiliki naluri tinggi, juga ilmu silat yang tinggi pula. "Kabarnya Bocah Kembaran Setan juga memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan. Dua ratus tokoh Silat wilayah Wetan habis dimangsanya hanya dalam sekejap, manakala mereka hendak mengadakan penyerangan pada ibunya si Penguasa Bukit Karang Bolong."

Tersenyum Kumilir Seta demi mendengar ucapan Laksa Bertuah. Ia kini mempunyai akal untuk dapat menaklukan Bocah Kembaran Setan, tanpa harus berkorban banyak. Maka setelah mengangguk-anggukkan kepalanya, Kumilir Seta pun berkata pada ketiga tangan kanannya. "Aku memiliki sebuah gagasan."

"Apa itu. Ketua...?" tanya ketiga tangan kanannya serempak.

"Begini!" Kumilir Seta pun menceritakan gagasannya. "Dengan kita salah satunya menyamar sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong, dan yang lainnya menjadi Pramana, mungkin bocah tersebut akan mau mengikuti kita."

"Bukankah Penguasa Bukit Karang Bolong masih muda?" Iblis Sepuh bertanya, nadanya ragu. "Sedangkan kita, mana ada yang secantik dia?"

"Itu gampang! Bukankah Laksa Tuah mampu melakukannya?"

"Benar, Ketua. Aku akan sanggup mengubah kalian menjadi mereka. Hua, ha, ha...! Memang ketua tajam otaknya."

Dalam sekejap saja, ketua-ketua Perserikatan Segala Iblis bergelak tawa. Tawa mereka yang kencang, seketika membahana hingga menyentakkan para perguruan lainnya. Melihat hal itu, perguruan lainnya tak mau kalah, mereka pun seketika bergelak tawa dengan mengencangkan tawa mereka yang dilandasi tenaga dalam yang tinggi. Seketika itu pula, Lembah Berkala Darah yang ada di hadapan mereka beberapa ratus tombak lagi tergetar oleh gelak tawa mereka. Dasar manusia-manusia iblis, sepertinya mereka tak hiraukan dengan ketenangan alam, dan mereka pun mengusiknya.

Tersentak para tokoh aliran sesat lainnya, manakala tiba-tiba dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis telah muncul dua orang yang sudah cukup mereka kenal. Dua orang tersebut tak lain Pramana atau Pendekar Pedang Layung, dengan anaknya Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bolong. Entah dari mana datangnya mereka, yang jelas setelah mereka menghilang dari bukit yang mengelilingi Lembah Bangkai, tiba-tiba dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis muncul dua tokoh tersebut.

"Iblis! Eh, bukankah kita juga Iblis?" seorang pimpinan golongan lain memaki. "Dasar mereka licik, dikiranya kita tidak tahu bahwa mereka adalah dua orang tangan kanan Kumilir Seta."

"Maksudmu, Kakang Begong?"

"Kau tahu, Adik Sungil. Di dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis, ada terdapat Laksa Tuah yang setiap katanya akan menjadi kenyataan. Tapi kita tak perlu takut, sebab ada aku. Aku tahu kelemahan ilmunya," menyombong Begong Damar.

"Apakah tidak mungkin Bocah Kembaran Setan akan terkecoh demi melihat ada induknya di sini?"

"Hua...! Mana mungkin!" Begong Damar menggeresah. "Bocah Kembaran Setan mempunyai naluri yang tinggi, sukar untuk dibohongi walau dia masih orok."

Mereka terus melangkah, menapaki satu demi satu kaki mereka turun ke bawah di mana Lembah Bangkai Berdarah berada. Sungguh tepat bila jarang pendekar yang mampu membebaskan diri mereka dari tempat tersebut, sebab lembah itu sungguh dalam bila harus dituruni. Dan hanya tokoh-tokoh silat yang memiliki ilmu tinggi saja yang akan mampu.

Terbukti kini banyak anak buah perguruan dari golongan sesat yang terpelanting jatuh dan tubuh mereka terus menuju ke tempat Lingkaran Kematian. Dan sudah dapat diterka apa yang akan mereka alami? Mereka seketika mengejang, lalu mati dengan lidah melelet dan mata melotot. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Tersirap darah para pimpinan melihat hal tersebut, yang dengan segera menyuruh mereka yang masih hidup untuk tetap saja di atas.

"Kalian janganlah turun! Kalian tetaplah diatas!"

Dan memang itu yang mereka ingini.  Mereka tampaknya juga ngeri bila harus mengalami nasib yang sama dengan teman-temannya yang lain. Kini hanya pimpinan-pimpinan mereka saja beserta tangan kanannya yang turun mengelilingi agak jauh Lingkaran Kematian. Mereka tidak berani untuk mendekati, sebab mereka tahu akan apa yang mereka alami jika mendekat, yaitu kematian!

LIMA

Lembah Bangkai kini telah penuh dikelilingi oleh pagar-pagar manusia. Di bawah, di mana terdapat Lingkaran Kematian para pimpinan dari kesepuluh perguruan dan perserikatan aliran sesat berjaga-jaga bersama para tangan kanannya. Sementara di atas, para anak buahnya yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh anggota seperguruan juga tengah berjaga-jaga.

Matahari yang tadinya nampak, lamatlamat makin menurun hingga akhirnya menghilang di ufuk sebelah Barat. Petang pun datang bersamaan datangnya hari gelap yang akan menyelimuti jagad raya. Manakala malam hendak beranjak datang, tiba-tiba terdengar jeritan di atas menggema.

"Aaah...!"

Satu persatu tubuh orang-orang yang berjaga-jaga di atas tergeletak mati dengan darah kering. Yang lainnya segera memburu, dan seketika itu juga mata mereka melotot tak percaya demi melihat seorang bayi tengah menghisap darah korbannya.

"Bocah Kembaran Setan...!" pekik mereka serentak kaget.

Bocah Kembaran Setan seketika lepaskan mangsanya, memandang ke arah orang-orang yang terpaku ngeri melihat. Mata bocah tersebut menyala, laksana kilatan api yang hendak membakar segala apa saja yang ada di situ. Bocah itu seketika menggeram, "Ooaaaaar...! Oaar! Geerrtt..! Ngiik!"

Bersamaan dengan bunyi suara bocah tersebut, seketika Bocah Kembaran Setan berkelebat dengan cepatnya merangsek ke arah mereka. Orang-orang yang tadinya terkesima, seketika itu berusaha memapaki serangan sang bocah. Tombak dan senjata lainnya berkelebat, namun sungguh membuat penyerangnya kini surut dan merasa takut sendiri. Tombak dan golok serta senjata mereka bagaikan tak ada artinya. Setiap kali tombak atau golok mereka beradu dengan tubuh si bocah, saat itu terdengar bunyi patahan.

"Plak!"

Tombak dan golok mereka yang terbuat dari besi pilihan patah menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Sedangkan tubuh Bocah Kembaran Setan tiada cacat sama sekali, bahkan tubuh si bocah makin lama makin bertambah besar.

"Ketua... tolong...! Bocah Kembaran Setan datang...!" mereka menjerit-jerit, menjadikan konsentrasi para ketuanya seketika pecah. Serentak para ketuanya pun berkelebat naik menuju ke atas.

Dari golongan Perserikatan Segala Iblis yang ada Ningrum dan Pramana segera mendekati, lalu Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bolong berseru pada si bocah yang masih asyik menghisap darah korbannya. "Anakku...! Anakku, kau dengar suara ibu, Nak?"

Bocah Kembaran Setan seketika tersentak, hentikan aksinya dan mengalihkan pandangannya ke arah datangnya suara tersebut. Mata bocah tersebut seketika memandang tajam, seakan ingin melihat kebenaran suara yang ia kenal benar.

"Oar...! Oaaar...!" bocah itu mengerang, seakan mencari-cari di mana adanya suara sang ibu, yang dengan segera Ningrum menjawabnya.

"Anakku, ini ibumu… Ini ibumu, Nak. Apakah engkau mendengar suara ibu?"

Bocah Kembaran Setan menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang panjang dan runcing. Seringaiannya seakan menunjukkan betapa kegembiraan si bocah. Bocah Kembaran Setan melayang, dan bermaksud mendekat ke arah Ningrum. Namun manakala bocah tersebut hampir sampai, tiba-tiba wajah Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bolong berubah menjadi wajah aslinya yaitu Setan Tengkorak Darah. Tersentak Bocah Kembaran Setan, ia kembali menggeram marah merasa dirinya telah dibohongi.

"Oaar...!"

"Bangsat! Siapa yang telah lancang berbuat begini!" maki Laksa Tuah, merasa ilmunya telah ada yang memecahkannya. "Awas! Bocah itu menyerang!"

Tersentak Tengkorak Darah, manakala Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang ke arahnya. Dengan segera Tengkorak Darah buangkan tubuh ke samping, dan hanya beberapa inci saja tangan Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerangnya.

"Kunyuk Busuk! Ternyata kau telah menggagalkan rencana kami!" bentak Kumilir Seta marah, yang ditujukan pada siapa adanya yang telah berbuat demikian. Kumilir Seta melihat selarik sinar ungu berkelebat ke arah Tengkorak Darah dan Iblis Sepuh, manakala keduanya hampir mendapatkan hasil. Kini bukannya hasil yang mereka peroleh, malah nyawa kedua tangan kanannya hampir saja lepas oleh serangan si bocah yang cepat.

"Hua, ha, ha...! Jangan kalian pingin enaknya sendiri!" bergelak tawa Begong Damar, merasa usahanya untuk menggagalkan mereka berhasil.

"Begong Damar! Tunggulah kematianmu bila masalah bocah ini telah beres!" menggeretak Kumilir Seta. "Awas! Bocah itu!"

"Oaaar...!" Bocah Kembaran Setan terus menggeram, lalu kembali berkelebat menyerang mereka. Merasa bahwa mereka tak akan mampu menghadapi sang bocah, serta merta mereka pun lancarkan pukulan jarak jauhnya ke arah si Bocah Kembaran Setan.

"Aji Api Berkala. Hiat...!" Iblis Sepuh menggeretak.

"Aji Pusaran Setan, hiat...!" Setan Tengkorak Darah tak mau kalah.

"Aji Sempal Raga, hiat..!" Kumilir Seta pun turut, dan yang terakhir adalah Laksa Tuah dengan ajiannya Tuah Sakti yang biasanya akan menjadi kenyataan segala ucapannya. "Nurut kau...!"

"Duar...!"

Ledakan itu menggelegar, tepat manakala tubuh Bocah Kembaran Setan berada tiga tombak mendekat ke arah mereka. Namun mata mereka seketika terbelalak, manakala ledakan itu hilang. Ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak hancur, bahkan kini bertambah besar. Bocah Kembaran Setan yang tadinya bayi, kini menjelma menjadi seorang bocah berumur setahun yang telah mampu berjalan. Kini bocah tersebut tidak lagi menengkurap, namun berjalan dalam udara. Kaki-kakinya yang kecil, bergerak cepat laksana lari di atas angin. Kaki-kaki kecil itu tak menapak tanah barang sekalipun.

"Menurutlah, Bocah! Menurutlah kau padaku!" Laksa Tuah menggemakan suaranya.

Nampak Bocah Kembaran Setan tercenung diam, seakan ucapan telah mampu menguasai dirinya. "Kau harus menurut padaku. Nurut... kalau tidak, maka aku akan menjadikan dirimu kodok."

Bocah Kembaran Setan benar-benar menurut, namun kembali tiba-tiba selarik sinar berkelebat ke arah tubuh si bocah yang menjadikan si Bocah Kembaran Setan tersentak sadar. Betapa marahnya si bocah manakala dirinya merasa telah tersihir, serta merta ia menggerang kembali marah. "Oaaar...!"

"Bedebah! Orang itu harus dibunuh dulu!" bentak marah Laksa Tuah pada teman-temannya, memerintahkan agar mereka menyelesaikan dulu Begong Damar yang telah selalu menggagalkannya. "Kalau Begong kunyuk itu tak mati, maka gagallah kita. Bahkan diri kita yang akan menjadi korban."

"Setan Tengkorak dan kau, Iblis Sepuh, bunuh dia!" perintah Kumilir Seta dengan nada geram. Tanpa banyak kata lagi, kedua tangan kanan Kumilir Seta berkelebat ke arah Begong Damar.

"Begong Damar keparat! Kau harus mampus!" bentak Setan Tengkorak Darah gusar, lalu dengan tanpa menunggu jawaban dari Begong Damar ia pun berkelebat menyerang.

"Kalianlah yang keparat! Kalian telah berlaku licik!" balas Begong Damar tak mau kalah.

"Bangsat! Kau telah banyak membuang-buang waktu! Kaulah yang licik, hiat...!"

Tengkorak Darah dengan sengitnya menyerang Begong Damar. Sementara Iblis Sepuh kini menghadapi adik seperguruan Begong Damar yaitu Sungil Sumur. Maka pertarungan keempat tokoh aliran sesat itu pun tak dapat dihindari, sementara yang lainnya nampak hanya menonton tak ada yang ikut campur. Mereka rupanya menunggu, siapa yang akan menjadi pemenangnya yang akan mereka hadapi.

Melihat pimpinan-pimpinan mereka bertarung, seketika para anak buahnya pun tak mau ketinggalan. Serentak tanpa dikomando mereka pun saling serang. Makin bertambah serulah pertarungan kedua Persekutuan Sesat tersebut. Jerit kematian para anak buah mereka menggema, seakan nyawa mereka sudah tiada arti sama sekali. Hanya karena memperebutkan hal yang belum tentu mereka dapati, mereka telah membuang-buang nyawa.

Laksa Tuah dibantu dengan Kumilir Seta terus berusaha menjinakkan Bocah Kembaran Setan. Laksa Tuah merasa bahwa usahanya mendekati hasil kalau saja tidak diganggu oleh Begong Damar tak mau putus asa. Kembali Laksa Tuah dengan mengandalkan Tuah ucapannya berusaha mendapatkan sang bocah.

"Bocah... kau dengar ucapanku? Menurutlah! Menurutlah...!"

Mendengar suara Laksa Tuah yang menggema, seketika Bocah Kembaran Setan tersentak diam. Matanya yang tadinya menyala berapi-api memendam sinar kematian, kini nampak agak redup. "Oaar...! Oaar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, suaranya tidak segarang tadi, tapi suaranya kini makin melembut seakan menuruti apa kata Laksa Tuah.

"Bagus! Kau memang harus menurut padaku. Mari... marilah ke sini! Aku adalah rajamu, aku adalah sahabatmu! Kau harus menuruti segala perintahku."

Betapa girangnya Kumilir Seta melihat Bocah Kembaran Setan nampak menurut. Bocah tersebut berjalan mengambang di udara, mendekat ke arah Laksa Tuah berada. Makin lama makin mendekat, dan dekat...!

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan terus melangkah, dan...!

"Wuss...!"

Tersentak Laksa Tuah, manakala tiba-tiba Bocah Kembaran Setan garang menyerang ke arahnya. Ternyata ajiannya yaitu Tuah Sakti tak ada fungsi sama sekali bagi si bocah. Tak alang kepalang kagetnya Laksa Tuah juga Kumilir Seta. Laksa Tuah berusaha mengelak. Namun...!

"Oaaaar...!"

Gerakan Bocah Kembaran Setan begitu cepat, sehingga sulit bagi Laksa Tuah untuk dapat menghindari serangannya. Tanpa ampun lagi, tangan Bocah Kembaran Setan yang berkuku panjang hitam dan runcing itu mencengkeram lehernya. Laksa Tuah berusaha melepaskannya dengan hantamkan tangan ke arah tangan si bocah, tapi malah cengkeraman tangan Bocah Kembaran Setan makin keras menghunjam lehernya. Laksa Tuah tak mau mengalah begitu saja, ia kembali hantamkan tangan ke kepala si bocah.

"Dug!"

Tangan Laksa Tuah mendarat telak di kepala botak si bocah. Kalau kepala orang biasa, tentunya akan pecah berantakan seperti batu granit bila dihantam tangan Laksa Tuah. Tapi kepala si Bocah Kembaran Setan tiada apa-apa, bahkan kini tangan Laksa Tuahlah yang hancur dengan tulang-tulang remuk.

"Oaaar...! Nyit...! Nyit !"

Melihat tangan kanannya terancam bahaya, dengan segera Kumilir Seta berkelebat menyerang tubuh si bocah. Namun sungguh terkejutnya Kumilir Seta, manakala melihat serangannya tak ada arti sama sekali bagi si bocah. Bahkan kini tangannya yang melepuh bagaikan dibakar oleh api yang beribu-ribu panasnya.

"Oaar...!" kembali Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Aaaah...!" menjerit seketika Laksa Tuah, manakala taring Bocah Kembaran Setan menghunjam di lehernya. Jeritan Laksa Tuah hanya sesaat, lalu hilang dengan terdengarnya suara desisan darah yang terhisap.

"Bocah Iblis! Aku bunuh kau!" menggeretak marah Kumilir Seta. Segera ia rapalkan ajiannya Iblis Tangan Seribu. Dengan ajian tersebut, yang menjadikan tangan Kumilir Seta berubah menjadi banyak, Kumilir Seta dengan garang menyerang. "Hiat...!"

Bocah Kembaran Setan menyeringai, lepaskan mangsa yang sudah kering darahnya terhisap. Segera Kumilir Seta bergerak, menyerang dengan Tangan Seribunya. Tangan itu begitu banyak, menjadikan si bocah nampak kebingungan. Namun ternyata Bocah Kembaran Setan kebingungan untuk sementara, kemudian dengan ganas bocah tersebut segera menyerang.

Pertarungan dua mahluk yang samasama memiliki kesaktian lebih itu terus berjalan. Dua mahluk yang berbentuk manusia, dengan yang satu berbentuk bocah dan yang lainnya berbentuk orang tua. Serangan-serangan mereka begitu cepat, laksana kilatan-kilatan cahaya yang menerangi gelapnya malam.

Tertegun semuanya melihat pertarungan keduanya, sebab belum pernah mereka menyaksikan pertarungan yang dilandasi dengan semua ilmu-ilmu Iblis. Maka mereka yang dari tadi bertarung, seketika hentikan pertarungan dan mengalihkan pandangan mereka pada dua mahluk tersebut yang kini tengah terlibat pertempuran satu lawan satu.

Bocah Kembaran Setan terus merangsek dengan cepat, namun begitu Kumilir Seta pun tak mau mengalah. Kini kedua mahluk itu makin meningkatkan serangannya, lalu keduanya bagaikan terbang saling memapaki dengan ilmu-ilmu mereka.

"Oaar...!"

"Hiat...!"

"Duar...!"

Dua tangan yang berbeda keadaannya itu saling beradu, melontarkan segenap ilmu yang mereka miliki hingga menjadikan sebuah ledakan yang sangat dahsyat. Dan tubuh itu terpelanting ke belakang. Tubuh Kumilir Seta sepuluh tombak mental, sementara Bocah Kembaran Setan nampak hanya berjumpalitan di udara hingga dengan entengnya mengambangkan tubuhnya tanpa menginjak tanah. Ya, kaki Bocah Kembaran Setan tak pernah sekali pun menginjak tanah. Mungkin itu kelemahannya. Bila ia menginjak tanah, pastilah segala kekuatannya akan hilang. Namun rupanya Kumilir Seta dan yang lainnya tidak menyadari hal itu, sehingga mereka pun tak begitu menghiraukan. Kalau mereka menghiraukan, niscaya mereka akan menyadari bahwa kaki si Bocah Kembaran Setan ada di atas tanah setinggi satu meter.

"Oaar...! Nyit, nyit, nyit...!" Bocah Kembaran Setan kembali keluarkan suara mengoarnya yang diikuti dengan suara aneh.

Sementara Kumilir Seta nampak terduduk bersilah, dan dari tubuhnya keluar sebuah bayangan yang tak mampu dilihat oleh mata biasa. Melihat hal tersebut, nampak si Bocah Kembaran Setan pun tak mau mengalah begitu saja. Bocah kecil berumur kira-kira setahun itu pun segera melakukan meditasi dengan tubuh masih mengambang. Dari tubuh Bocah Kembaran Setan, keluar sebuah bayangan pula. Bayangan tersebut menyerupai seorang pemuda tampan, menghambur menghadapi bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir Seta.

"Genjati, menyingkirlah engkau dari sini!" bentak bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir Seta.

"Hua, ha, ha...! Wumo Geran, kaulah yang harus menyingkir! Kedudukanmu jauh berada di bawahku. Ilmumu pun jauh berada di bawahku. Akulah yang akan mampu mengatasi jagad raya ini."

"Tidak bisa! Kau terlalu telengas! Kau akan menjadikan cita-cita Ratu berantakan!" kembali Wumo Geran membentak.

"Apa perdulimu! Aku kini bukan pengikut Ratumu! Aku kini pengikut Ratu Sanca!"

"Bedebah! Rupanya kau telah berkhianat! Kau harus mati, Genjati! Kau akan menerima hukuman dari Sang Ratu!" marah dan gusar beraduk pada diri Wumo Geran, manakala mendengar penuturan Genjati yang mengakui bahwa dirinya kini telah bersekutu dengan Ratu Sanca yang menjadi musuhnya. "Pengkhianat! Jangan kira aku takut menghadapimu!"

"Hua, ha, ha...! Kau tak akan mampu, Wumo Geran! Kau tak akan mampu mengalahkan aku!"

"Kita buktikan! Hiat...!" Wumo Geran yang sudah marah, dengan segera berkelebat menyerang Genjati.

Keduanya tak lain Iblis-iblis Penghuni Kawah Draka, di mana berdiri kerajaan iblis bernama Kercaka Maruta yang dipimpin oleh Raja Gelerang Sengger. Pertarungan dua iblis yang telah kembali dalam bentuk ujud mereka, yaitu dengan cara meninggalkan raga-raganya terus berjalan dengan serunya. Namun tampaknya memang Genjati  jauh berada dua tingkat ilmunya bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Wumo Geran. Maka dalam beberapa jurus saja, Genjati dapat segera mendesak Wumo Geran.

"Wumo Geran, terimalah kehancuranmu! Ajian Kilat Senggana, hiat...!"

Larikan sinar biru berkelebat cepat mengarah ke Wumo Geran keluar dari telapak tangan Genjati. Segera Wumo Geran pun membalasnya dengan ajian yang ia miliki. Namun ternyata dengan ilmu yang ada pada Genjati lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu yang ada pada diri Wumo Geran. Maka tak ayal lagi, sirnalah Wumo Geran manakala larikan sinar biru yang bernama Ajian Kilat Senggana menghantam tubuhnya. Bersamaan dengan sirnanya sukma Wumo Geran, tubuh Kumilir Seta pun seketika itu meledak dahsyat.

"Duar! Dum...!"

Terbelalak semua mata melihat kejadian tersebut, sehingga dengan seketika mereka pun melompat menghindari ledakan tersebut. Dan tanpa banyak membuang waktu, mereka yang tadinya berkeinginan mendapatkan Bocah Kembaran Setan segera lari serabutan tanpa hiraukan bayi tersebut.

ENAM

Melihat musuh-musuhnya berlarian meninggalkannya, Genjati yang saat itu belum kembali masuk ke dalam tubuh si bocah tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia pun tak menghiraukan mereka yang berlarian meninggalkannya. Memang tujuan sebenarnya bukan untuk menghisapi darah mereka, tetapi tujuan sebenarnya adalah mencari Kitab Banyu Geni yang berada di situ.

Genjati segera kembali ke tempatnya, yaitu tubuh bayi yang nampak masih mengambang di udara. Setelah ia kembali pada tubuh bayi tersebut, Genjati segera melesat ke bawah di mana Lingkaran Kematian berada. Mata Iblisnya seketika tersentak kaget, manakala melihat ratusan mahluk-mahluk jin Marakayangan nampak berjaga-jaga mengelilingi sebuah batu yang berdiri kokoh di tengah-tengah para Jin yang berjumlah banyak tersebut.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, seakan membentak pada para jin Marakayangan yang tampak tenang dan setia menjaga apa yang telah diperintahkan oleh tuannya.

Ya, keempat puluh Jin tersebut adalah utusan Resi Kumara Geni. Para Jin tersebut adalah prajurit-prajurit sang Resi, dan para Jin tersebut memiliki ilmu yang tiada taranya. Jin itu telah dipesan, agar jangan sekali-kali meninggalkan tempat tersebut sebelum orang yang dimaksud oleh sang resi datang. Para Jin itu juga tak tahu siapa adanya orang yang akan mengambil kitab Banyu Geni yang mereka jaga. Resi Kumara Geni hanya mengatakan, bahwa dirinya akan memberitahukan pada mereka bila orang tersebut datang. Maka para Jin penjaga yang setia itu tak mau memberikan pada pendekar-pendekar yang bermaksud mengambilnya dikarenakan belum ada kabar dari Sang Resi. Dan bagi mereka yang berani mendekat lebih dari dua tombak, maka kematianlah yang mereka peroleh.

Kini Bocah Kembaran Setan telah mendekat. Jaraknya dengan para Jin penjaga Lingkaran Maut makin lama makin mendekat. Para Jin tersebut masih tampak tenang, sedangkan Bocah Kembaran Setan nampak mengerang marah seperti membentak agar para Jin itu mau menyingkir dan membiarkan dirinya dapat mengambil kitab tersebut. "Oar...!"

Bocah Kembaran Setan nampak mengerang, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menuju di mana para Jin itu berada. Bocah Kembaran Setan dengan nekad berusaha menerobos putaran jin-jin tersebut, namun sungguh bukanlah hal yang mudah untuk melakukannya. Manakala tubuh Bocah Kembaran Setan hendak menerobos, secepat kilat salah seorang Jin yang dekat dengannya hantamkan pukulan.

"Bug!"

Tubuh Bocah Kembaran Setan mental, lalu jatuh melayang di udara. Namun Bocah Kembaran Setan tak mau mengalah begitu saja, dan kembali ia pun bangkit. Dengan mengerang marah, Bocah Kembaran Setan berkelebat kembali menyerang. "Oar...!"

Mata Jin-jin penunggu itu melotot marah, lalu salah satu Jin itu dengan gusar membentak. "Genjati, minggat kau dari sini!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, yang dimengerti oleh Jin tersebut sebagai kata-kata penolakan.

"Genjati! Kalau kau menolak, maka janganlah menyesal bila aku akan menghukummu. Minggat dari sini, atau dengan terpaksa aku akan menjadikan sukmamu sengsara seumur-umur!" bentak Jin yang mungkin pimpinan para Jin tersebut.

Genjati tampak terdiam dengan mata memandang tak berkedip pada Raja Jin, sepertinya ia hendak memberikan isyarat bahwa dirinya tak akan mau mengakui kekalahan tersebut. Namun ketika ia hendak mengadakan serangan lagi, tiba-tiba terdengar desahan angin menerpa tubuhnya. Angin tersebut datangnya dari seorang kakek tua yang berpakaian serba putih dengan janggut dan rambut putih pula.

"Bocah iblis! Apakah engkau akan terus memaksa!" orang tua renta itu membentak, suaranya begitu menggelegar laksana badai prahara yang mampu meruntuhkan gunung batu. "Kalau kau tak mau minggat, maka jangan salahkan kalau kau akan menjadi sukma layangan!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bocah dungu! Iblis dungu! Kau akan mampus bila Pendekar tersebut datang ke mari! Kau akan mampus, iblis sombong!" kembali lelaki tua renta itu membentak.

Ternyata bentakan lelaki tua renta itu berpengaruh juga, sebab Bocah Kembaran Setan kembali mengoar. "Oar...!"

"Aku tidak mendustaimu! Pendekar Pedang Siluman Darah akan datang ke mari untuk mengusirmu dari dunia ini!"

Bersamaan dengan habisnya suara lelaki tua renta itu, terdengar derap langkah kaki dua orang manusia berlari bagaikan kilat menuju ke tempat tersebut. Dua orang lelaki yang satu muda belia dan satunya lagi tua renta, berlari dengan cepatnya laksana kelebatan angin menuju ke tempat di mana Bocah Kembaran Setan dan lelaki tua renta berpakaian serba putih juga keempat puluh Jin itu berada.

"Itu Bocah Kembaran Setan tersebut!" pemuda yang tak lain Pendekar Pedang Siluman Darah, menunjukkan telunjuknya ke arah Bocah Kembaran Setan pada Pendekar Bedah Jagad yang diketahui adalah kakak seperguruannya. "Ayo kita cepat ke sana."

Kedua pendekar tersebut makin mempercepat larinya menuju ke Lembah Bangkai yang jaraknya tidak begitu jauh lagi. Hanya karena mata Jaka yang tajam, sehingga ia mampu memandang jarak yang masih agak jauhan.

"Apakah engkau akan tetap membandel, Bocah Iblis!" kembali lelaki tua serba putih itu membentak. "Kalau kau membandel inginkan Kitab ini, maka kau akan berhadapan dengan Pendekar Pedang Siluman Darah. Dialah pewaris Kitab Banyu Geni milikku, yang sesungguhnya milik kakeknya Paksi Anom"

"Jadi Pendekar itukah yang kami dengar anak angkat Ratu Siluman Darah, Tuan?" tanya Raja Jin pada lelaki tua renta serba putih yang tak lain Resi Kumala Geni.

"Benar! Dialah anak angkat Ratu Siluman Darah."

Tersentak Bocah Kembaran Setan, manakala mendengar penuturan Resi Kumala Geni yang mengatakan bahwa pemuda yang kini menuju ke arahnya adalah anak angkat Ratu Siluman Darah, Ratu kehidupan bagi para siluman dan roh-roh halus macamnya. Mata Bocah Kembaran Setan seketika meredup, hatinya seketika itu pula bergumam.

"Bahaya! Sungguh bahaya kalau memang ia anak angkat Ratu kehidupan umat siluman. Tapi aku belum percaya! Aku tak akan mau percaya sebelum aku membuktikannya!"

"Kau belum minggat! Hem, rupanya kau hendak menantangnya. Jangan kira kau akan menang, Bocah Iblis!" Resi Kumala Geni membentak. Sebagai Resi, ia sebenarnya tak ingin mahluk apapun akan binasa di hadapannya. Tapi rupanya Bocah Kembaran Setan telah nekad dan berani menghadang Pendekar Pedang Siluman Darah yang sudah kesohor tersebut. "Kenapa kau begitu nekad, Bocah Iblis!"

"Oaar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, yang dimengerti oleh sang Resi arti koaran tersebut. Koaran itu adalah bentakan agar sang Resi diam.

Bukan alang kepalang marahnya para Jin anak buah sang Resi mendengar bentakan yang dilontarkan oleh Bocah Kembaran Setan yang mereka kenal dengan nama Genjati. Hampir saja keempat puluh Jin itu menghajar Bocah Kembaran Setan, kalau saja sang Resi tidak segera mencegahnya dan berkata,

"Biarkan dia dengan kemauannya! Dia sendiri yang akan menerima hasilnya!"

Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad telah sampai di tempat Lembah Bangkai, manakala secara tiba-tiba Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang mereka.

"Awas Kakang...! Bocah itu menyerang!" Jaka berteriak mengingatkan Pendekar Bedah Jagad. Dengan segera keduanya berkelebat menghindari serangan Bocah Kembaran Setan. Keduanya lemparkan tubuh ke samping, sehingga lolos dari cakaran kuku-kuku sang bocah yang hitam panjang dan tajam.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar. Matanya memandang penuh berapi-api, sepertinya ada kemarahan yang mendalam pada kedua pendekar tersebut.

"Bocah iblis!" bentak Pendekar Bedah Jagad. "Aku tahu siapa adanya engkau! Mengapa engkau mesti menggunakan bocah yang tidak berdosa?! Keluarlah kau dengan ujud aslimu."

"Oaar...!"

"Bocah iblis! Kalau kau tak mau menyerah, jangan salahkan aku Jaka Ndableg menghukummu!" Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah pun membentak. "Sebenarnya aku tak tega untuk menyakitimu, namun tindakanmu sudah tak dapat dibiarkan. Kau telah membuat bencana di dunia ini. Tapi jika kau mau menyerah maka aku akan mengampunimu!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali mengoar, lalu dengan cepat kembali berkelebat menyerang kedua pendekar kakak beradik seperguruan.

"Awas, Kakang! Bocah itu menyerang!" Dengan cepat keduanya kiblatkan tangan mereka ke arah datangnya Bocah Kembaran Setan, yang saat itu tengah melayang menuju ke arah mereka.

"Ajian Petir Sewu, hiat...!" Jaka mengeluarkan Petir Sewu.

"Ajian Bedah Sukma, hiat...!" Pendekar Bedah Jagad pun tak mau tinggal diam. Ia keluarkan ajian andalannya yaitu Bedah Sukma menyerang ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Duar...!"

"Bletar! Bletar! Bletar...!"

Petir Sewu membahana, membentuk kilatan-kilatan yang seketika menerangi tempat tersebut. Tubuh Bocah Kembaran Setan terhantam dua ajian dahsyat hingga terpental ke belakang. Namun tubuh itu bagaikan tak mengalami apa-apa. Petir Sewu dan Bedah Sukma, tak ada artinya sama sekali bagi tubuh Bocah Kembaran Setan. Bahkan bocah tersebut kini menyeringai penuh ejekan, lalu dengan cepat berkelebat menyerang keduanya yang tengah terbengongbengong tak yakin pada apa yang mereka lihat. Jaka tersentak, lalu berseru memperingatkan pada Pendekar Bedah Jagad.

"Awas, serangan...!"

Kembali keduanya berjumpalitan, menghindari serangan Bocah Kembaran Setan yang makin mengganas dengan penuh amarah. Bocah itu sepertinya tak takut pada Jaka Ndableg, dan menganggap bahwa ucapan Resi Kumala Geni hanyalah omong kosong.

"Tuan, nampaknya Pendekar muda itu kewalahan," Raja Jin yang merasa khawatir bermaksud membantu Jaka dan Pendekar Bedah Jagad. Namun, dengan segera sang Resi mencegahnya.

"Kalian tidak perlu turut campur. Kalian tak usah mengkhawatirkan diri mereka khususnya pendekar muda itu. Mungkin ilmu dan kesaktian yang kalian miliki masih jauh bila dibandingkan dengan ilmu dan kesaktian yang pemuda itu miliki," Resi Kumala Geni menuturkan. "Percayalah, bahwa pendekar muda itu tak akan dapat dikalahkan oleh Genjati. Ilmu Genjati belum seberapa dengan ilmu yang dimiliki oleh keduanya."

Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad masih terus berusaha mengelakan serangan yang dilancarkan oleh Bocah Kembaran Setan. Namun nampaknya Bocah Kembaran Setan yang merasa ajian yang dilancarkan Jaka tak berarti apa-apa bagi dirinya, terus merangsek keduanya. Jaka yang tak ingin kakak seperguruannya akan menjadi korban segera berseru:

"Kakang Bedah Jagad, aku minta kakang minggirlah dulu, biar aku yang menghadapinya."

"Baiklah Jaka."

Bedah Jagad segera mencelat meninggalkan Jaka yang terus melesat membawa tubuh Bocah Kembaran Setan untuk mengikutinya menuju ke tanah yang agak rata. Dan ternyata pancingan Jaka mengena, sebab Bocah Kembaran Setan yang merasa bahwa dirinya akan mampu mengalahkan Jaka Ndableg terus mengejarnya. Jaka segera berbalik, lalu dengan cepat memapaki serangan Bocah Kembaran Setan itu dengan ajian Tapak Praharanya.

"Tapak Prahara, hiat...!" Tangan Jaka seketika membara bagaikan berapi, melesat tubuh Jaka menghadang serangan Bocah Kembaran Setan.

Tersentak Bocah Kembaran Setan dan berusaha mengelak, namun serangan Jaka ternyata datangnya lebih cepat. Maka tak ayal lagi, ajian Tapak Prahara yang dilancarkan Jaka pun menderu dan telak menghantam tubuh Bocah Kembaran Setan. Api berkorbar, melalap tubuh Bocah Kembaran Setan. Api tersebut adalah api intinya, yang mampu membuat tubuh yang terkena hancur menjadi abu.

Tapi...! Mata Jaka kembali tersentak tak percaya, sebab ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak mengalami apaapa. Jangankan lebur jadi abu, gosong pun tidak. Bahkan Bocah Kembaran Setan kini nampak makin melebarkan seringaiannya, menunjukkan taringnya yang panjang dan runcing.

"Oar...!"

"Gusti Allah, ternyata bukan sembarangan iblis!" Jaka membatin. "Apakah aku harus mengeluarkan ajian yang mampu mengundang para siluman panik? Hem, kalau aku gunakan Ajian Jamus Kalimusada, tentulah aku telah merusak alam ini dengan ketidak tentraman. Tidak! Lebih baik aku menggunakan Pedang Siluman Darah. Ya! Aku akan memanggil Ratu Siluman Darah."

Tubuh Bocah Kembaran Setan melaju menuju ke arah Jaka dengan mata menyorot beringas penuh api kematian. Jaka nampak masih tenang, diam mengheningkan cipta. Dan manakala tubuh Bocah Kembaran Setan hampir sampai... "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

Melompat mundur Bocah Kembaran Setan, demi mendengar ucapan Jaka menyebut nama ibu angkatnya. Dan lebih-lebih kagetnya Bocah Kembaran Setan, manakala secara tiba-tiba di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang menyala terang kuning kemerahmerahan. Dari ujung pedang itu, mengalir darah membasahi batang pedang tersebut.

"Oar...!" memekik Bocah Kembaran Setan, lalu dengan ketakutan melesat terbang meninggalkan Jaka Ndableg yang segera mengejar. Namun belum juga Jaka jauh, tiba-tiba seorang lelaki tua renta berjanggut serta berpakaian serba putih berseru memanggilnya.

"Jaka Ndableg!"

Jaka yang bermaksud mengejar, segera menghentikan langkah dan menengokkan kepalanya ke arah suara tersebut. Pedang Siluman Darah masih tergenggam di tangannya, lalu dengan ringan Jaka pun melangkah menuju ke orang tua renta berpakaian putih yang mengawehnya dengan tangan.

"Kau memanggilku, Ki? Siapakah engkau adanya?" tanya Jaka setelah mendekat ke arah lelaki tua renta tersebut, yang tersenyum ramah.

"Ya! Aku memang memanggilmu," jawab Resi Kumala Geni.

"Heh, bukankah tadi aku tak melihatmu, Ki?" Jaka terheran-heran sendiri. "Kenapa engkau tiba-tiba muncul? Dari manakah engkau datang?"

Resi Kumala Geni lebarkan senyum, lalu dengan nada suara yang masih ramah berkata: "Namaku Resi Kumala Geni "

"Apa...?!" tersentak Jaka dan Pendekar Bedah Jagad demi mendengar lelaki tua renta itu menyebutkan namanya.

"Ya, akulah Resi Kumala Geni. Akulah teman kakekmu, Jaka. Dulu aku dititipi oleh kakekmu sebuah kitab pusaka, yang kini menjadi bahan rebutan para tokoh persilatan. Karena kau telah dewasa, maka kitab ini aku serahkan kembali padamu. Gunakanlah kitab Banyu Geni ini baik-baik, sebab kitab ini akan mendatangkan bahaya bila berada di tangan orang-orang jahat. Maka itu, aku sengaja menjaganya dengan menyuruh keempat puluh Jinku."

Makin terheran-heran Jaka dan Bedah Jagad mendengar penuturan Resi Kumala Geni. Keheranan Jaka dan Bedah Jagad ternyata diketahui oleh sang Resi yang kembali berkata:

"Kalau kalian tak percaya, kalian mungkin sering mendengar banyak para pendekar yang mati manakala hendak mencari kitab tersebut, bukan?"

"Benar," jawab Jaka.

"Nah, kalian akan tahu siapa yang telah berkorban untuk menjaga kitab tersebut:"

Resi Kumala Geni segera sapukan tangan ke depan mata Jaka dan Bedah Jagad, seketika itu kedua pendekar kakak beradik seperguruan mampu melihat alam gaib. Keduanya kini melihat empat puluh jin tengah mengelilingi sebuah batu yang berdiri menjulang di tengah-tengah.

"Apakah kalian yakin?"

Jaka dan Bedah Jagad tak berkata. Keduanya hanya mampu menganggukkan kepala. Resi Kumala Geni pun segera melangkah menuju ke tempat di mana keempat puluh jin tersebut masih berdiri, diikuti oleh Jaka dan Bedah Jagad. Sang Resi segera mencabut batu itu dengan ringan, padahal batu tersebut dalam menghujam ke tanah. Dari batu itu, tampak sinar menyala. Ternyata kitab Banyu Geni disimpan oleh sang Resi di dalam batu tersebut.

"Ini kitabnya. Kembali aku minta, kau harus mampu mempertahankan kitab ini dari tangan orang-orang jahat. Karena aku telah menemukan dirimu, maka aku dan keempat puluh kadangku ini minta pamit padamu, Jaka." Disodorkannya kitab Banyu Geni itu kepada Jaka yang menerimanya dengan rasa haru.

"Terima kasih atas jasa Bapak Resi yang sudi menjaga milik kakek dalam jangka waktu yang begitu lama. Dengan apakah aku nanti mampu membalas budi baik ini."

"Jaka, aku tidak meminta balas jasa. Aku hanya minta padamu agar engkau mau selalu menjaga kitab tersebut dan mempelajarinya, sebab kitab itu akan makin menambah ilmu yang engkau miliki sebagai bekal dirimu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Di dalam kitab ini, kau akan mendapatkan ajian dan jurus-jurus yang belum ada tandingannya di jagad raya ini." Resi Kumala Geni menerangkan. "Pelajarilah baik-baik, sebab kelak ada manfaatnya untukmu. Kalau engkau sudah mempelajari, maka aku mohon simpanlah di tempat yang tidak mudah dijamah oleh orang jahat atau kau bakar."

"Baiklah Bapak Resi, segala petuahmu akan menjadi guru bagi diriku," jawab Jaka hormat, tangannya mendekap erat kitab Banyu Geni.

"Nah Jaka, aku akan pergi. Kau cepatlah menghentikan sepak terjang Bocah Kembaran Setan tersebut, yang kini telah dalam kuasa seorang wanita jahat bernama Nok Jenah."

Tersentak Bedah Jagad mendengar nama murid durhakanya diucapkan oleh sang Resi. Ia bermaksud bertanya, namun tubuh sang Resi telah menghilang entah ke mana. "Ayo Jaka, kita mencari Bocah durhaka itu yang kini telah menguasai Bocah Kembaran Setan. Kalau kita terlambat, entah bencana apa lagi yang bakal terjadi."

Dengan tanpa menolak lagi, Jaka segera mengikuti kakak seperguruannya setelah menyimpan kitab Banyu Geni dalam bajunya di antara ikat pinggangnya. Hari telah berganti, dari malam beranjak menuju pagi. Dari kejauhan kokok ayam jantan menggema, bersamaan dengan menyingsingnya sinar mentari. Dan Lembah Bangkai pun kembali senyap, hanya bangkai-bangkai manusia korban Bocah Kembaran Setan saja yang masih bergelimpangan di atas tanah.

********************

TUJUH

Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan nampak berlari menerabas malam yang pekat. Nok Jenah yang kini telah menguasai Bocah Kembaran Setan, bermaksud memperalat bocah tersebut untuk kepentingannya membalas dendam pada para tokoh aliran lurus yang telah membuatnya menderita terutama Pramana. Tapi Nok Jenah tak melakukan pada Pramana, dikarenakan ia mungkin akan menemui kesulitan.

Bukankah ibu Bocah Kembaran Setan itu anak dari Pramana sendiri? Secara tidak langsung, bila ia menyerang keluarga Pramana tentulah ia akan mengalami kesulitan. Bocah Kembaran Setan pasti akan membela keluarga tersebut, di mana ibunya berada.

"Bocah, kita akan berpesta sesaat lagi," Nok Jenah berkata pada si Bocah Kembaran Setan yang terbang di sampingnya dengan cepat, mengimbangi langkah lari Nok Jenah yang melesat bagaikan terbang. "Sudah siapkah engkau?"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bagus! Kau akan pesta darah! Kita akan menuju Perguruan Gunung Muria. Di sana kau akan mendapatkan darah yang engkau inginkan, Bocah."

"Ngik, ngik, ngik! Oar...!"

Keduanya kembali berlari merambah malam, memotong semak belukar di depannya. Langkah keduanya begitu cepat, melesat laksana terbang. Tengah keduanya berlari menuju ke arah Wetan, tiba-tiba Nok Jenah hentikan langkah dan miringkan kepala ke kiri.

"Rupanya ada cecunguk yang ingin mengganggu ketenangan kita nantinya," Nok Jenah bergumam. "Hem, ini kesempatan bagimu. Lakukan apa yang dapat engkau lakukan. Ada kira-kira dua puluh orang, kiranya cukup untukmu minum, bukan?"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bagus! Kau laksanakan segera!"

Bocah Kembaran Setan melesat menuju ke arah datangnya gemerisik di balik semak-semak. Matanya berkilat membara, lalu dengan cepat melesat ke arah datangnya suara gemerisik. Walau dalam gelapnya malam, tetapi mata Bocah Kembaran Setan tampak tajam hingga mengetahui di mana adanya orang tersebut.

"Aaaah...!" memekik salah seorang yang bersembunyi di balik semak-semak, manakala tangan kecil si Bocah Kembaran Setan mencengkeramnya. Dan dengan ganas Bocah Kembaran Setan tancapkan gigi taringnya, menghisap darah orang tersebut.

"Oar...!"

Tersentak yang lainnya, demi melihat temannya menjadi korban. Dengan segera orang-orang yang tadinya bersembunyi, melompat ke luar dari persembunyiannya dengan golok siap di tangan masing-masing.

Bocah Kembaran Setan yang telah menyelesaikan tugasnya menyedot darah salah seorang dari kedua puluh orang begal itu segera kembali melesat ke arah orang-orang lainnya, yang seketika membelalakan mata kaget demi apa yang mereka lihat.

"Bocah Kembaran Setan!" pekik mereka.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu dengan gesit mengelakan hantaman golok kedua puluh orang yang mengeroyoknya. Kemudian dengan secepat kilat pula, bocah Kembaran Setan pun menyerang ke arah mereka.

"Bug, bug, bug!"

Terdengar bunyi beradunya golok-golok mereka dengan tubuh Bocah Kembaran Setan. Bukannya tubuh sang Bocah yang patah tertebas golok mereka, tetapi sebaliknya golok merekalah yang poil dan patah. Mereka terkesima diam, menjadikan kesempatan Bocah Kembaran Setan untuk menyerang.

Tubuh Bocah Kembaran Setan melesat cepat, lalu dengan beringas ditangkapnya leher salah seorang dari mereka. Dan dengan segera digigitnya leher orang tersebut, darahnya pun seketika muncrat. Melihat darah muncrat, Bocah Kembaran Setan nampak makin bernafsu. Dihisapnya darah yang keluar dari leher orang tersebut, kemudian setelah di leher habis Bocah Kembaran Setan menyedot darah di tubuh orang tersebut.

"Hi, hi, hi...! Bocah, kau ternyata hebat!" terdengar suara seorang wanita tertawa cekikikan, menjadikan kedelapan belas para begal alihkan mata mereka memandang ke arah datangnya suara wanita tersebut. "Lakukan dengan cepat, biar kita cepat sampai pada tujuan kita, bocah!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, sepertinya mengiyakan apa kata Nok Jenah. Kemudian dengan mata tajam menghujam, Bocah Kembaran Setan secepat kilat kembali menerkam salah seorang dari mereka.

"Bocah Iblis! Mampus kau, hiat...!" Pimpinan begal nampak begitu marah. Dengan cepat ia hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Bug! Bug! Bug!"

Tubuh Bocah Kembaran Setan hanya tergoncang sesaat, lalu Bocah Kembaran Setan menyeringai, menunjukkan taringnya yang bergelepotan darah. Terbelalak pimpinan begal, demi dilihatnya ajian yang ia miliki tak berarti sama sekali bagi Bocah tersebut.

Nok Jenah tampak mengulum senyum melihat Bocah Kembaran Setan terus menyerang mereka. Namun ketika mereka tinggal beberapa orang saja, Nok Jenah nampak was-was dan mengeluh sendiri. "Sayang... sayang bila kesempatan ini tidak aku pergunakan sebaik-baiknya. Hem, bukankah pimpinan begal itu tampan juga, walau mukanya tertutup oleh cambang bawuk awut-awutan?"

Segera Nok Jenah yang sudah kehausan akan kebutuhan biologisnya berkelebat cepat, menotok pimpinan begal dengan gerakan yang cepat hingga sukar untuk dielakan.

"Tok, tok, tok!"

"Bocah, kau selesaikan kelima orang itu, biar aku menyelesaikan orang ini dulu." Habis berkata begitu pada Bocah Kembaran Setan, segera Nok Jenah melesat pergi dengan membawa tubuh pimpinan begal yang dalam keadaan pingsan.

Bocah Kembaran Setan masih terus menyerang tanpa mengenai ampun bagi kelima orang yang tersisa. Maka dalam sekejap mata saja, kelima orang begal-begal tersebut akhirnya satu persatu menemui ajal dengan darah kering terhisap dari tubuhnya dan mata melotot.

Bareng dengan orang yang terakhir memekik, terdengar pula lenguhan panjang dari balik semak-semak. Lenguhan kenikmatan yang keluar dari mulut Nok Jenah yang saat itu entah sedang berbuat apa.

Mendengar lenguhan panjang, seketika Bocah Kembaran Setan melesat ke arah datangnya suara tersebut. Nampak oleh Bocah Kembaran Setan pemandangan yang begitu mengesankan dirinya. Pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, di mana tubuh mulus nan indah milik seorang wanita selain ibunya terpampang di depan matanya.

"Bocah! Mengapa engkau ke mari?!" tanya Nok Jenah kaget sambil berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu dengan cepat menuju ke arah Nok Jenah berdiri mematung. Setelah jaraknya agak dekat, Bocah Kembaran Setan tiba-tiba berubah menjadi seorang pemuda tampan yang tak lain Genjati adanya. Mata Genjati memandang nanar pada tubuh Nok Jenah yang telanjang, napasnya memburu.

"Kau...! Kaukah bocah itu?" Nok Jenah terpana, demi melihat seorang pemuda tampan tiba-tiba muncul di hadapannya. Karena saking kagetnya Nok Jenah pun lupa pada keadaan tubuhnya. Kedua tangan yang menutupi auratnya terbuka, sehingga kini Genjati makin nampak melototkan mata dengan meleletkan lidah.

"Nok Jenah, kau cantik sekali," puji Genjati seraya mendekat ke arah Nok Jenah yang masih terpana dalam diam. Ia tak menyangka kalau Bocah Kembaran Setan, ternyata seorang pemuda tampan. Kini Nok Jenah tak dapat berkata-kata, dirinya terpaku diam dengan sesekali melenguh.

Genjati yang kini menjadi ujud seorang dewasa, tak dapat lagi menahan nafsunya. Begitu pula dengan Nok Jenah, ia nampak dengan senang menerima kemesraan yang dilancarkan oleh Genjati. Tak lama kemudian, kedua tubuh itu telah menjadi satu saling gumul dalam keheningan. Dan akhir dari semuanya, adalah erangan dan lenguhan nikmat Nok Jenah.

********************

"Orang ini harus aku bunuh, Jenah," Genjati berkata setelah kembali ke asalnya Bocah Kembaran Setan.

Dan Nok Jenahpun kini telah kembali mengenakan pakaiannya. "Memang, Genjati. Kalau ia tidak dibunuh, aku takut dia akan membocorkan rahasia kita."

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu tubuhnya melesat mencengkeram tubuh pimpinan begal diangkatnya tubuh pimpinan begal yang masih dalam keadaan tertotok, dan dengan cepat digigitnya leher orang tersebut hingga tembus.

"Crooot...!"

Darah segar muncrat dari leher pimpinan begal, yang segera disambut dengan cepat oleh Bocah Kembaran Setan. Dalam sekejap saja, tubuh pimpinan begal itu lemas dengan darah kering dari tubuhnya.

"Bagus!" Nok Jenah berseru girang.

"Nok Jenah, aku minta kau jangan melakukan apa yang engkau inginkan dengan orang lain," terdengar suara Genjati berkata, sepertinya ia cemburu bila melihat Nok Jenah mengadakan persetubuhan dengan lelaki Iain. "Aku menginginkan hanya padaku saja kau pasrahkan segalanya, Jenah."

"Baik, aku akan memasrahkan segalanya padamu. Asalkan engkau pun berjanji padaku pula."

"Janji apakah itu, Jenah?"

"Kau harus mau membantuku."

"Oh, bukankah aku selalu membantumu"

"Ya! Tapi ini masalah yang menyangkut kakek bocah yang engkau tumpangi," Nok Jenah menerangkan. "Aku memendam sakit hati pada kakeknya bocah yang engkau tumpangi. Kakeknya bayi itu bernama Pramanayuda, seorang pendekar yang sakti dengan senjatanya berupa pedang bernama Sukma Layung. Karena kehebatan pedang tersebut, Pramana digelari Pendekar Pedang Sukma Layung."

Bocah Kembaran Setan terdiam mendengarkan penuturan Nok Jenah. Matanya berbinar-binar, sepertinya ia merasakan adanya sesuatu getaran hebat dalam hatinya. Getaran pertarungan antara rasa harus berterima kasih pada keluarga si bocah yang tubuhnya digunakan untuk sukmanya, dengan getaran cinta yang dilandasi nafsu menggebu pada seorang wanita cantik Nok Jenah yang telah ia setubuhi.

"Haruskah aku memilih di antara keduanya," gumam Bocah Kembaran Setan dalam hati. Matanya masih memandang redup pada Nok Jenah. "Kalau aku tak mengikuti kehendaknya, pastilah aku tak akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Tapi jika aku mengikuti kemauannya, tentunya aku sebuah mahluk yang tak mengerti balas budi."

"Sebenarnya pada siapa dendammu itu, Jenah?" tanya Genjati setelah lama terdiam merenung. "Apakah hanya pada Pramana saja?"

"Sebenarnya aku ingin semua keluarga Pramana. Tetapi mungkin kau tidak tega dengan ibu angkatmu yang bergelar Ratu Maksiat Telaga Warna atau Penguasa Bukit Karang Bolong, bukan?"

"Ya! Dia telah mengandung diriku selama sembilan bulan."

"Baiklah! Aku hanya minta nyawa Pramanayuda saja."

"Hem, begitu?" tanya Genjati ingin kepastian.

Nok Jenah menganggukinya. "Kalau hanya itu, ayo kita segera ke sana!" ajak Genjati.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua manusia beda bentuk itu melesat dengan cepatnya laksana terbang. Bocah Kembaran Setan terbang, menjajari diri Nok Jenah yang berlari dengan cepatnya. Cambuk Perak Seribu masih tergenggam di tangannya. Dan cambuk itulah yang bakal mengalahkan Pedang Sukma Layung. Kedua tubuh itu melesat, menerobos malam yang pekat. Angin malam pun berderak, menerpa antara pepohonan.

********************

DELAPAN

Rumah Pramanayuda kini nampak berseri dengan kembalinya dua anak-anaknya. Rumah yang dulu sepi dan senyap, dan hanya ada suara-suara murid-murid Pramanayuda yang berlatih kini terpecah dengan gelak tawa keluarga Pramanayuda. Tegalaras dan Ningrum atau si Penguasa Bukit Karang Bolong telah kembali berkumpul dengan keluarganya.

Malam itu nampak di ruang tamu, seluruh keluarga Pramanayuda berkumpul. Duduk di kursi besar Pramanayuda, di sampingnya duduk pula sang istri. Sementara kedua anak-anaknya yang tidak lain Tegalaras dan Ningrum duduk di depan mereka.

"Ningrum, bagaimana dengan Bocah tersebut? Apakah engkau akan membiarkan bocah tersebut berbuat semaunya?" Pramana berlanjut setelah untuk sekian lama hanya diam duduk merenung.

"Benar adikku. Kalau bocah terus dibiarkan, niscaya korban akan terus berjatuhan," Tegalaras turut menyambungi ucapan ayahnya. "Namun aku belum berani bertindak, sebab semuanya telah ditangani oleh Jaka."

"Siapa Jaka itu, Kakang?" Ningrum yang bertanya. Ia sepertinya pernah mendengar nama tersebut. Ia lupa-lupa ingat, di mana ia pernah bertemu dengan orang yang bernama Jaka? "Apakah dia seorang pemuda, Kakang?"

Mata Tegalaras membeliak, begitu juga mata ayah dan ibunya. Mereka tersentak kaget demi mendengar Ningrum menebak siapa adanya pendekar muda sakti. Sebenarnya Ningrum sendiri tengah memikirkan di mana dirinya pernah mendengar nama Jaka. (Baca Penguasa Bukit Karang Bolong) di mana Ningrum pernah bersua dengan Jaka manakala ia dengan gurunya menghajar paman gurunya, yang tak lain guru Tiga Iblis Kelangit.

"Kau seperti telah mengetahuinya, adikku?"

"Ya! Aku memang pernah berjumpa dengan pemuda tampan yang menyebut dirinya Jaka... Jaka Ndableg, bukan?" Ningrum balik bertanya

"Eh rupanya kau mengenal nama panjangnya Adikku," terheran-heran Tegalaras mendengar ucapan Ningrum yang telah menerka nama Jaka Ndableg. "Bagaimana kau mengenalnya, Adikku? Sedangkan di Bukit Karang Bolong kau dalam keadaan tak sadar manakala pendekar itu menghancurkan suamimu si Setan Rambut Putih yang tak lain iblis tersebut?"

"Aku mengenalnya bukan di Bukit Karang Bolong, Dan waktu itu pun aku dalam keadaan sadar sepenuhnya." Ningrum kembali merenung, berpikir di mana dia pernah menjumpai Jaka Ndableg yang kini ia ketahui adalah sahabat kakaknya. Sesaat setelah tercenung Ningrum pun. berkata kembali: "Ya, aku ingat sekarang. Aku mengenalnya dan sekaligus merasakan jatuh cinta manakala aku dengan guruku Ratu Kelabang Ungu menggempur paman guruku yang ternyata guru dari Serangkai Iblis Kelangit yang telah memperkosaku. Oh, aku lupa tidak menghukum Rengkana biadab itu."

"Dia sudah mendapatkan hukumannya, Adikku," Tegalaras menghibur adiknya yang tibatiba kembali sedih. "Kini mukanya telah hancur terkena oleh pukulanku."

"Benarkah itu kakang?"

"Benar, adikku..."

Kembali ruangan itu hening untuk sesaat, lalu kembali terdengar suara Pramanayuda berkata: "Kini pendekar muda itu di mana, Tegal?"

"Entahlah, Ayah," jawab Tegalaras . "Dia hanya berpesan padaku waktu kejadian gegernya Ratu Maksiat Telaga Warna, agar aku mengurusi Ningrum dan dia akan memburu Bocah Kembaran Setan tersebut."

"Hem, sungguh dia seorang pendekar sejati, Anakku. Dia tanpa pamrih dalam menjalankan tugasnya. Ilmunya sungguh tiada tanding untuk sekarang ini, atau di masa-masa kemudian," Pramanayuda menggumam sendiri.

"Sungguh aku ingin sekali berkenalan dengannya. Aku memang telah mendengar namanya, namun aku belum dapat melihat pemuda itu dalam arti wajahnya."

"Dia berwajah tampan ayah," Ningrum yang menjawab, menjadikan Pramanayuda dan anak lelakinya Tegalaras serta ibunya memandang terbengong ke arahnya. Ningrum tersipusipu malu. "Maafkan Ningrum. Ningrum memang...." Ningrum tak meneruskan ucapannya. Seketika Ningrum tundukkan kepala, tak berani memperlihatkan roman merah dan binar-binar keceriaan di wajahnya.

Pramanayuda yang memahami hati anaknya, nampak menarik napas panjang. Ditatapnya lekat sesaat Ningrum yang tertunduk, lalu berpindah ke arah Tegalaras. Kemudian berganti pada istrinya, dan berkata: "Kau mencintainya, Anakku?"

Ningrum terjengah, tengadahkan wajah. Dari kedua matanya seketika melelehkan air bening. Ningrum menangis, menjadikan kakak dan kedua orang tuanya tersentak kaget. Tegalaras yang tak tega bertanya menghiburnya.

"Adikku, kenapa engkau menangis?"

"Aku sedih, kenapa diriku hancur? Manalah mungkin Jaka mau menerima diriku?" Ningrum makin mengeraskan isak tangisnya.

"Kau tidak boleh berkata begitu, Adikku. Itu namanya putus asa. Dan bila orang telah putus asa, bukankah engkau pernah mengalaminya sendiri? Iblis akan dengan mudah merasuki jiwamu. Janganlah kau bersedih, aku akan berusaha agar Jaka mau menerima dirimu."

"Benarkah itu, Kakang?" Ningrum sedikit tenang mendengar ucapan kakaknya. "Benarkah engkau akan meminta pada Jaka agar dia mau menerima diriku?"

"Akan aku lakukan, Ningrum."

Tanpa sadar Ningrum yang diliputi rasa gembira segera menghambur memeluk tubuh Tegalaras. Keceriaan kembali tergambar di wajahnya. Keceriaan Ningrum, menjadikan keceriaan di wajah seluruh keluarganya.

Tengah keluarga Pramana dalam luapan kegembiraan, tiba-tiba di luar terdengar keributan. Pramana dan seluruh anaknya nampak tersentak, apalagi ketika terdengar jeritan dari murid-muridnya.

"Aaaah...!"

"Guru...! Bencana datang...!"

"Ada apakah di luar?!"

Pramana segera berkelebat ke luar diikuti oleh kedua anak-anaknya. Betapa terkejutnya Primanayuda, manakala melihat dua orang manusia yang telah ia kenal benar siapa adanya tengah melakukan pengacauan. Salah seorang dari manusia tersebut, tak lain Nok Jenah. Sedangkan yang satunya adalah Bocah Kembaran Setan.

"Hentikan!" bentak Pramanayuda.

Seketika semua yang tengah bertarung menghentikan pertarungannya. Mata mereka seketika memandang ke arah di mana datangnya suara bentakan tersebut. Nok Jenah yang tahu Pramana nampak cibirkan bibir sinis, lalu dengan congkaknya ia bergelak tawa dan berkata.

"Hua, ha, ha...! Pramanayuda, dua puluh lima tahun aku mendekam dalam himpitan batu. Dua puluh lima tahun pula aku mencari ilmu dan senjata yang mampu menghadapi senjata milikmu. Kini aku datang untuk menuntut hutangmu padaku, sekaligus bunganya."

"Perempuan Iblis! Rupanya engkau tiada jemu melakukan keonaran. Apakah engkau masih penasaran dengan penolakan cintaku?" Pramanayuda balik sinis berkata: "Aku sudah tua, untuk apa lagi engkau mendendam. Bukankah dengan ilmu iblismu engkau mampu mendapatkan pria yang engkau kehendaki?"

Merah seketika wajah Nok Jenah mendengar sindiran Pramanayuda. Matanya tajam memandang bengis ke arah Pramanayuda dan dua orang anaknya yang sudah kesohor namanya. Tapi dengan Cambuk Perak Seribu di tangannya, seakan kebesaran nama Pramanayuda dan kedua orang anaknya bagaikan tiada arti. Sepertinya Cambuk Perak Seribu akan mampu menghadapi mereka semuanya.

Sementara itu Bocah Kembaran Setan nampak terdiam mengambang di angkasa. Ia mulai meragu, manakala melihat Ningrum yang merupakan ibu angkatnya berdiri memandang ke arahnya dengan pandangan sayu. Tak terasa Bocah Kembaran Setan seketika menangis, layaknya tangisan seorang bocah yang rindu pada ibunya.

"Cuih! Aku datang ke sini bukan untuk mengemis cinta bulukan darimu! Aku datang ke sini untuk mengambil nyawamu yang telah tua dan rapuh itu, Pramana!" bentak Nok Jenah sengit.

"Hem, begitu?" Pramanayuda masih nampak tenang. "Kalau itu yang engkau mau, mengapa engkau membawa-bawa bocah itu ke mari dan mesti membunuh anak muridku yang tiada dosa!"

"Hi, hi, hi...! Kau rupanya takut pada cucumu sendiri, Pramana. Baik! Aku tak akan menyuruhnya menyerangmu. Mari kita lanjutkan kejadian dua puluh lima tahun yang silam."

"Apa maumu aku turuti, iblis!"

Pramana segera melompat masuk ke rumah, sementara kedua anaknya nampak masih berjaga-jaga. Sebenarnya Tegalaras sudah tak sabar hendak menghajar perempuan iblis tersebut, begitu juga halnya dengan Ningrum si Penguasa Bukit Karang Bolong. Tapi karena ia menyadari bahwa si nenek yang cantik itu menghendaki ayahnya, maka sebagai anak dan sebagai seorang pendekar ia tidak mau gegabah turut campur dengan urusan orang tua mereka.

Tak lama kemudian dari dalam rumah Pramanayuda kembali melompat ke luar. Pedang Sukma Layung telah tergenggam di tangannya. Dengan pedang tersebut, kini Pramanayuda telah siap menghadapi segala resiko apapun.

"Mari kita mulai!" Pramanayuda mencelat, pergi menjauh menuju ke lapangan yang biasanya digunakan untuk berlatih murid-muridnya diikuti oleh Nok Jenah yang tangannya sudah siap dengan Cambuk Perak Seribunya.

Dua orang musuh bebuyutan karena cinta itu kini berhadap-hadapan dengan senjata masing-masing. Sejenak keduanya saling pandang, seakan ingin menjajagi ilmu yang mereka miliki masing-masing.

"Siapa yang akan mendahului, Jenah?"

"Kau! Sebab kaulah tuan rumahnya," jawab Jenah menyombong.

"Baik! Bersiaplah! Jangan sampai kau kalah untuk yang kedua kalinya, sebab sia-sia engkau menimba ilmu pada Ratu Siluman Ular Sanca."

Nok Jenah mendengus marah, manakala Pramanayuda menyebut nama Ratu Siluman Ular Sanca. Ternyata Pramanayuda telah mengetahui siapa adanya orang yang kini mendampinginya. Maka untuk menutupi kekagetannya Nok Jenah membentak: "Diam! Jangan engkau sebut Ratuku! Apakah engkau takut, Pramana?"

"Pantang bagiku untuk mengenal takut, Jenah."

Setelah berkata begitu, segera Pramanayuda dengan pedang pusaka Sukma Layung berkelebat, menyerang ke arah Nok Jenah. Serangannya begitu cepat, tak ubahnya manakala masih remaja saja. Hal itu menjadikan Nok Jenah terkesiap kaget, hampir pedang Layung Sukma menghantam dirinya kalau saja Nok Jenah tidak segera mencelat menghindar.

"Edan! Ternyata ilmu Pramana makin bertambah," gumam Nok Jenah membatin. Segera ia kibaskan Cambuk Perak Seribunya, yang tibatiba berubah menjadi ular kecil-kecil beracun. "Pramana, terimalah kematianmu, hiat...!"

Nok Jenah berkelebat dengan Cambuk Perak Seribunya yang telah berubah menjadi ular berjumlah ribuan. Ular-ular itu mendesis-desis, menyerang ke arah Pramana. Pramana yang sudah banyak makan garam, tak mau begitu saja mengalah. Segera ia kibaskan Pedang Sukma Layung. Asap keluar mengepul, bergulung-gulung menutupi dirinya.

Ular-ular kecil berjumlah seribu itu teriak kaget, mendesis panjang dan akhirnya lenyap.  Hal itu menjadikan Nok Jenah kaget bukan alang kepalang, ternyata asap yang keluar dari Pedang Sukma Layung mampu menghilangkan ilmu sihirnya. Namun Nok Jenah tak mau mengalah begitu saja, kini tangannya yang sebelah kiri berubah menjadi seekor ular besar dan panjang. Ular tersebut mendesis-desis, mematuk-matuk ke arah Pramanayuda.

Pramanayuda kembali kibaskan pedang nya, kali ini makin cepat. Asap hitam legam kembali mengepul, makin banyak hingga menyerupai benteng yang sukar untuk ditembus. Hal itu menjadikan Ular yang terjadi dari tangan Nok Jenah tak mampu menembus kabut tebal itu, bahkan kini ular tersebut merasakan adanya sesuatu keanehan. Ular itu menggelepar-gelepar dan hilang berubah kembali pada asalnya.

"Bedebah! Jangan kira kau akan menang, Pramana!" bentak Nok Jenah marah. Segera ia sabetkan Cambuk Perak Seribunya, menjadikan kabut penghalang itu seketika hilang. Nok Jenah tak hanya sampai di situ. Ia segera kembali hantamkan Cambuk Perak Seribu ke arah Pramana. Larikan jarum-jarum kecil menderu, menyeruak ke arah Pramanayuda.

"Ah...!" Pramanayuda tersentak dan berusaha menghindar. Namun jarum-jarum beracun itu melesat dengan cepatnya. Dan manakala jarum-jarum itu hendak menghantam tubuh Pramana, tiba-tiba sebuah petir menggelegar berkali-kali. Petir itu seketika meluluh lantakan jarumjarum tersebut.

"Bangsat! Siapa yang telah berani kurang ajar!" maki Nok Jenah marah. Nok Jenah lemparkan tubuh ke belakang, hindari serangan petir yang menyala.

"Duar! Bletar, bletar! Bletar!"

"Keluar kau, kunyuk!" Nok Jenah memaki-maki.

Akan tetapi orang yang dimaksudkannya tak segera menampakkan dirinya. Betapa gusar Nok Jenah seketika, yang dengan segera hantamkan ajiannya ke asal suara petir.

"Wuuut...!"

Angin pukulan yang dilontarkan Nok Jenah menderu, melesat dengan cepatnya ke arah sebuah pohon yang rindang. Dan sesaat kemudian, terdengar ledakan dahsyat yang menjadikan pepohonan itu hancur berantakan.

"Duar...! Bum...!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata kalian harus mampus juga!" Nok Jenah bergelak tawa, menyangka kalaulah orang tersebut telah binasa bersama hancurnya pepohonan itu. "Bocah! Cari kedua kunyuk-kunyuk pengecut itu!"

Bocah Kembaran Setan yang adalah Genjati adanya segera melesat menuju di mana pepohonan itu hancur berantakan. Namun seketika Bocah Kembaran Setan mental kembali sebelum tubuhnya sampai ke tempat tersebut bagaikan ada yang mendorongnya. Marahlah Bocah Kembaran Setan bukan alang kepalang.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali melesat menuju ke tempat yang telah mengeluarkan dorongan angin besar, yang telah mampu melontarkan tubuhnya.

"Bocah iblis! Rupanya kau masih berani menuju ke mari!" terdengar bentakan seorang pemuda. "Terimalah ini untukmu, Bayu Dewa. Hiat...!"

Wut...! kembali angin menderu dengan kencang dan besar, menerpa tubuh Bocah Kembaran Setan yang saat itu tengah melayang menuju ke arah datangnya angin tersebut. Tak ayal lagi, tubuh Bocah Kembaran Setan kembali balik mental ke belakang. Hampir saja tubuh bocah tersebut jatuh ke tanah, kalau saja tidak segera Nok Jenah menangkapnya.

"Kunyuk-kunyuk pengecut, keluar kalian!" Nok Jenah tak hiraukan lagi Pramanayuda. Ia dengan geram kembali hantamkan pukulannya ke arah datangnya angin topan yang mampu menerpa tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Wut...! Duar..!"

Kembali pohon yang terkena hantaman meledak, lalu tumbang dengan keadaan hancur berkeping-keping. Tapi ternyata orang yang dituju tak terkena, malah kini terdengar gelak tawa dari seorang pemuda.

"Hua, ha, ha...! Perempuan tolol! Kenapa kau rusak pepohonan yang tidak bersalah! Aku ada di belakangmu!"

Tersentak semua yang ada di situ termasuk Nok Jenah, manakala dengan secara tiba-tiba di belakang tubuhnya telah berdiri seorang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya. Jaka Ndableg tersenyum, seakan ingin menunjukkan kendablegannya.

"Siapa kau, anak muda!" bentak Nok Jenah setengah kaget.

"Aku... ha, ha, ha...! Aku adalah Jaka Ndableg. Seorang pemuda klontang klantung, yang suka usilan pada orang-orang usil sepertimu."

Mata Bocah Kembaran Setan yang berada dalam gendongan Nok Jenah nampak ketakutan. Dia telah tahu sendiri siapa adanya pemuda tersebut. Seorang pemuda yang merupakan anak angkat Ratu Kehidupan bangsa lelembut.

"Oaar...!"

"Jangan takut, bocah! Aku akan menghancurkannya."

"Oaar..!" Bocah Kembaran Setan kembali mengoar, sepertinya memberitahukan bahwa pemuda itu bukanlah musuh mereka. Tapi Nok Jenah yang sudah marah tak mau perduli.

"Ayo kita serang dia!" perintah Nok Jenah. Dengan agak takut-takut Bocah Kembaran Setan pun segera melesat berbareng dengan Nok Jenah menyerang Jaka Ndableg. Namun belum juga tubuh mereka sampai, sebuah bayangan berkelebat menghadangnya. Tak ayal lagi tubuh keduanya mental ke belakang, tertimpa oleh angin yang besar dari tangan orang yang baru datang. Mata Nok Jenah seketika membelalak kaget, manakala tahu siapa adanya yang datang.

"Guru...! Ayah !"

"Aku bukan ayahmu, iblis!" menderak lelaki tua tersebut.

"Ki Bedah Jagad!" Pramana tak kalah kagetnya. "Ah, rupanya kabar itu hanya isu belaka. Ternyata engkau masih hidup, Ki? Sungguh aku merasa bersyukur."

"Saudara Pramana, biarkanlah kami berdua menangani mahluk-mahluk iblis ini," meminta Bedah Jagad. "Ayo, Jaka...!"

Tanpa menunggu jawaban dari Pramanayuda, segera keduanya berkelebat menyerang. Jaka Ndableg menyerang Bocah Kembaran Setan, sementara Bedah Jagad yang sudah merasa marah pada bekas anak angkatnya menyerang Nok Jenah. Serangan kedua pendekar kakak beradik seperguruan itu begitu cepat, menjadikan kedua iblis berbentuk manusia tak mampu untuk membalas menyerang.

"Ayah! Kalau engkau terus menyerang, jangan salahkan aku bertindak!" ancam Nok Jenah marah.

"Lakukan bila kau mampu!" balas Bedah Jagad.

"Kau lihat ini, bukan?!"

Tersentak Bedah Jagad, manakala melihat senjata milik istrinya. Ia tahu, kalau dirinya tak akan mampu menghadapi senjata tersebut. "Cambuk Perak Sewu! Dari mana kau mendapatkannya, iblis!"

"Hi, hi, hi...! Aku mendapatkannya dari istrimu. Istrimu sebenarnya akulah yang meracuni. Hi, hi, hi....! Tapi waktu itu dia tidak memberitahukan di mana adanya cambuk ini," Nok Jenah cekikikan, mengacungkan cambuk tersebut ke arah Bedah Jagad yang segera mundur. "Kini cambuk ini akan menghabiskan nyawamu!"

"Kakang, minggirlah! Biarkan aku menghadapi kedua-duanya!"

Jaka Ndableg segera mencelat, menghadang Nok Jenah yang telah siap dengan cambuknya. Sementara Bedah Jagad yang mengerti keadaan tidak mau mengotot. Segera ia pun berkelebat mencelat ke belakang dan berdiri di samping Pramanayuda menonton.

"Ayo kalian berdua majulah, biar aku dengan segera membereskan tikus-tikus busuk macam kalian!"

Gusar dan marah Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan demi mendengar nama mereka disebut oleh Jaka Ndableg tikus-tikus busuk. Dengan menggeram, keduanya berkelebat menyerang Jaka berbarengan. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka kebingungan. Malah dengan gelak tawa Jaka menghindar dan balik menyerang.

"Oar...!"

"Aku hancurkan tubuhmu pemuda sombong!" bentak Nok Jenah. Dengan bareng kedua mahluk iblis berbentuk manusia itu berkelebat menyerang Jaka.

Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, melenting bersalto. Kemudian setelah dirinya tinggi di angkasa, Jaka segera hantamkan ajiannya. "Tapak Prahara, hiat...!"

Kedua musuhnya hanya tersenyum mendengar Jaka lontarkan ajiannya yang dahsyat tersebut. Bahkan keduanya kini bergelak tawa. "Hua, ha, ha...! Keluarkan ribuan ajian macam itu, anak sombong!"

"Oar...!"

Bocah Kembaran Setan nekad menghadang laju gumpalan api yang keluar dari tangan Jaka Ndableg, hingga dalam sekejap saja tubuh Bocah tersebut terkurung oleh api yang menyala-nyala.

Mata semua yang ada di situ terperanjat melihat Jaka telah mengeluarkan ajiannya. Lebih terperanjat lagi manakala melihat api inti itu menyelimuti tubuh Bocah Kembaran Setan yang nampaknya tidak mengalami apa-apa. Manakala kesemuanya dalam keterkejutan, tiba-tiba Jaka berseru:

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Sebuah Pedang bersinar kuning kemerah-merahan tiba-tiba telah berada di tangan Jaka Ndableg. "Hiat...!" Jaka Ndableg berkelebat dengan Pedang Siluman Darah siap menyerang. Tubuh Jaka melompat bagaikan terbang, lalu dengan cepat babatkan pedang Siluman Darah ke arah gulungan api tersebut.

"Aaaah....!" terdengar lengkingan menyayat bersamaan dengan musnahnya api. Tubuh Bocah itu tidak mengalami apa-apa, namun kini tubuh bocah tersebut merosok turun ke bawah. Jaka dengan segera menyambar dan membawanya ke arah keluarga Pramana masih tegak berdiri.

"Bocah sombong! Kau telah membunuh kekasihku!" Nok Jenah mencak-mencak marah, lalu berkelebat dengan Cambuk Perak Sewunya menyerang Jaka yang tengah menuju ke keluarga Pramanayuda.

Jaka yang tidak ingin orang lain menjadi sasaran, segera berkelebat menghindar. Jaka urungkan menyerahkan bayi itu ke Ningrum, dan kini ia masih membopong bayi dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menggenggam Pedang Siluman Darah. Jaka segera berkelebat cepat memapaki serangan jarum-jarum yang akan mengancam orang-orang yang berada di belakangnya.

Wuuut...!

Jaka babatkan pedang. Seketika luluh lantahlah jarum-jarum maut yang keluar dan Cambuk Perak Sewu. Hal itu menjadikan Nok Jenah membeliakkan mata kaget, tak percaya bahwa senjata yang sangat diagung-agungkan ternyata tak berarti apa-apa bila harus berhadapan dengan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka.

"Nok Jenah, bersiaplah. Hiat...!"

Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan menggenggam pedang Jaka berkelebat kiblatkan Pedang Siluman Darah ke arah Nok Jenah. Laju Pedang Siluman Darah yang berada di tangan Jaka begitu cepat, sehingga Nok Jenah yang bermaksud menghindar tak mampu bergerak. Nok Jenah mati langkah, sehingga tanpa ampun lagi...

"Aaaaah...!" Nok Jenah menjerit, tubuhnya terpangkal jadi dua. Darahnya mengering terhisap dari tubuhnya oleh Pedang Siluman Darah. Tubuh itu seketika mengepulkan asap. Setelah asap menghilang, tampaklah wajah keriput yang menakutkan. Itulah wajah asli Nok Jenah, yang tidak lain Iblis Ular Sanca.

Jaka melangkah lemah menuju ke Ningrum. Bayi dalam gendongannya tertidur pulas, sepertinya sang bayi tengah mengalami mimpi yang panjang. "Ini anakmu,"

Jaka sodorkan bayi dalam dukungannya ke ibunya yang memandang dengan mata penuh arti. Jaka tersentak kaget melihat tatapan mata Ningrum yang kini menjadi seorang gadis cantik jelita, bukan Ningrum Penguasa Bukit Karang Bolong atau Ningrum Ratu Maksiat Telaga Warna.

"Kau...?" lidah Jaka kelu.

Ningrum hanya mampu menundukkan kepala, tak berani memandang Jaka. Suasana haru dan sendu pun seketika menyelimuti mereka. Semuanya diam, membisu bagaikan menghayati diri mereka sendiri.

S E L E S A I

Bocah Kembaran Setan

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Bocah Kembar Setan
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

GOA itu nampak sunyi, bagaikan mati tiada berpenghuni. Angin menderu-deru, berputar-putar mengelilingi atas goa, sepertinya ada sebuah kekuatan yang menyetir angin tersebut untuk terus berputar makin cepat dan cepat di atas goa. Hembusannya menderu-deru, laksana badai topan yang hendak membongkah goa tersebut.

Sayup-sayup bersamaan dengan hembusan angin, terdengar suara seseorang wanita menggema. Suara itu keras, keras bagaikan berteriak. Namun orang yang mengucapkannya tak nampak batang hidungnya.

"Nok Jenah... Nok Jenah, bangunlah! Bangun dari semedimu. Bangun...! Anak yang engkau kehendaki, yang kelak akan membantu dirimu telah lahir. Bangunlah! Cari anak tersebut!"

"Duar! Duar! Duar...!"

Bersamaan dengan habisnya suara gema tersebut, terdengar ledakan bebatuan yang sangat dahsyat. Lalu dari dalam ledakan bebatuan tersebut, seorang wanita cantik muncul seraya tertawa bergelak-gelak.

"Hua, ha, ha...! Sri Ratu memanggil hamba?!"

"Ya!" kembali terdengar suara seorang wanita berkata. "Aku memang memanggilmu, Jenah!"

"Ada gerangan apa. Sri Ratu?!"

"Nok Jenah, Bayi Kembaran Setan telah lahir. Bayi tersebut telah lahir ke muka bumi ini. Carilah olehmu... cari dia sampai ketemu."

"Hanya itu yang Sri Ratu maksudkan?" Nok Jenah miringkan kepalanya, seakan telinga kanannya yang mampu mendengar. Dan memang telinga kanannya yang mendengar, sedang telinga kirinya sudah tak berfungsi lagi. Telinga kiri tersebut rusak oleh hantaman musuhnya. Itu pula yang mengakibatkan Nok Jenah harus melakukan tapa Brata terpendam dalam batu-batuan selama hampir dua puluh lima tahun. "Apakah aku boleh menuntut balas pada Pramanayuda, Sri Ratu?"

"Tidak usahlah! Dengar, Jenah! Kalau pun engkau tidak menuntut balas pada Pramana, kelak pun Pramana akan menanggung akibatnya. Dunia persilatan akan geger oleh Bayi Kembaran Setan. Orang-orang persilatan telah mengetahui bahwa Bayi Kembaran Setan adalah cucu Pramana. Bukankah dengan kau menggunakan bocah tersebut kau telah secara tidak langsung membalas kekalahanmu padanya?" suara Sri Ratu kembali menggema di antara bebatuan. "Bila kau membalas secara langsung, pastilah banyak orang-orang persilatan yang akan mencerca dirimu. Namun bila engkau menggunakan Bocah Kembaran Setan, tentunya orang-orang persilatan yang tahu siapa adanya pemilik bocah tersebut akan menuduh bahwa Pramana dan keluarganyalah yang telah berbuat. Bukankah begitu, Jenah?"

Nok Jenah nampak terdiam, sepertinya ia tengah memikirkan tentang apa yang pernah terjadi dengan dirinya. Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang pendek. Dua puluh lima tahun pula ia harus mendekam dalam bebatuan untuk mendapatkan ajian yang ia inginkan dan sebuah senjata sakti berupa cambuk bergagang perak. Cambuk tersebut bernama cambuk Rambut Perak Seribu, milik Nyai Kencono Weni, gurunya yang telah tiada. Dengan kekalahannya ketika bertarung dengan Pramana, mengakibatkan dirinya kini harus menjadi murid dan pengikut Ratu Siluman Ular.

"Bagaimana, Jenah?" suara Ratu Siluman Ular kembali bergema, menyentakan Nok Jenah dari lamunannya. "Nampaknya engkau tengah melamunkan sesuatu. Apa yang engkau lamunkan?"

"Hamba sedang merenungkan diri hamba," jawab Nok Jenah dengan kembali memiringkan kepala ke kiri, sehingga kuping kanannya berada di atas.

"Tentang apa...?"

"Hamba sedang berpikir bagaimana hamba dapatkan seorang lelaki?"

Bergelak Ratu Siluman Ular mendengar ucapan Nok Jenah. Ia pun menyadari, bagaimanapun juga Nok Jenah memang masih mengharapkan kehadiran seorang lelaki. Sejak cintanya ditolak oleh Pramana, Nok Jenah memang sering berbuat yang tidak-tidak. Dia seakan putus asa, atau boleh dikatakan frustasi berat seperti layaknya seorang anak remaja. Dan sejak cintanya ditolak tersebut, tingkah laku Nok Jenah sungguh sangat berbahaya. Dia menjadi seorang wanita nakal, pengganggu dan perusak rumah tangga orang.

Dan akhir dari segalanya, Pramana turun tangan menghajarnya sampai telinga yang sebelah kiri pecah gendangnya hingga Nok Jenah tak mampu mendengar lagi. Hanya kuping sebelah kanan saja yang masih dapat dipergunakan, itu pun harus dengan cara memiringkannya ke atas. Jadilah Nok Jenah yang cantik itu seorang wanita yang cacat, yang harus menengkelehkan kepalanya bila ingin mendengarkan ucapan orang lain.

Sri Ratu masih tertawa bergelak-gelak, sehingga menjadikan Nok Jenah kerutkan kening tidak mengerti akan apa yang menjadi bahan ketawaan Sri Ratu. Dengan masih memiringkan kepalanya, Nok Jenah pun bertanya.

"Sri Ratu, mengapa Sri Ratu tertawa? Apakah ada hal yang lucu dalam ucapanku?"

"Nok Jenah, memang kau masih berhak untuk memikirkan seorang lelaki yang kelak mendampingi dirimu. Kau masih cantik jelita layaknya seorang gadis. Kau masih dapat mencari seorang lelaki yang juga muda dan tampan. Itu semua memang harus kau dapatkan. Tapi apakah engkau akan mendahulukan kemauan hatimu dan mengesampingkan tujuanmu yang sebenarnya? Kuburlah dulu keinginanmu untuk dapat bersanding dengan seorang pria. Kelak pun, kau tentunya akan mendapatkan pria tersebut setelah kau dapat menjadi seorang tokoh yang disegani. Bukankah itu tujuanmu? Menjadi seorang tokoh yang disegani, Jenah?"

"Benar, Sri Ratu. Memang tujuan utama hamba adalah menjadi seorang tokoh yang disegani oleh orang-orang persilatan. Hamba ingin menjadi seorang yang mampu mendirikan sebuah perguruan yang akan ditakuti oleh perguruan-perguruan lainnya."

"Hua, ha, ha...! Mudah Jenah! Itu sangat mudah bila kau telah mampu menguasai bocah tersebut. Untuk itulah, cari bocah tersebut dan bawalah ke tempatku. Bocah itu akan aku didik agar menurut padamu."

"Daulat, Sri Ratu," Nok Jenah menyahut, lalu setelah menjura Nok Jenah pun berkelebat terbang dengan pecut Rambut Perat Seribunya mencelat pergi.

********************

Jaka Ndableg yang tengah mengejar Bocah Kembaran Setan, malam itu tidak tidur sekejap pun. Matanya bagaikan tak mau dipicingkan. Bila terdengar suara lenguhan, Jaka Ndableg segera mencelat memburu ke asal suara tersebut.

"Wah, ke mana aku harus mencari Bocah Kembaran Setan?" gumam Jaka seperti terjengah setelah mendapatkan bahwa yang melenguh bukannya manusia tapi seekor sapi. "Sialan! Gara-gara Bocah Iblis itu aku dibuat kalang kabut, sapi yang melenguh, eh aku kira lenguhan bocah iblis. Kalau aku tak mampu menemukan bocah tersebut, sungguh akan menjadi petaka di dunia persilatan. Apa lagi jika bocah tersebut dapat dikuasai oleh tokoh sesat, wah... apa tidak akan dipergunakan untuk kejahatan yang makin merajalela?"

Jaka Ndableg hanya mampu gelengkan kepala menerima kenyataan tersebut. Sungguh ia benar-benar telah dibuat kalang kabut oleh seorang bocah. Memang bocah tersebut sangat berbahaya. Kalau dalam sehari saja tidak minum darah, entah apa jadinya. Dua ratus orang habis dalam sehari saja, mati dihisap darahnya.

"Ke mana aku harus mencari Bocah Setan tersebut?" Jaka melenguh, seakan ada rasa berat yang mendera di dalam kalbunya. Kalbu seorang pendekar yang berdiri kokoh dalam membela kebenaran dan keadilan, yang pantang untuk mengalah pada segala macam kejahatan dan kemungkaran. "Aku tak boleh putus asa. Bila aku putus asa, tentunya aku ini telah menjadi seorang yang lemah. Ah, sungguh tantangan hidup. Dan tantangan hidup ini semampuku harus aku hadapi, walau apapun yang bakal menimpa diriku."

"Anak muda! Sedang apakah engkau malam-malam begini terbengong melamun sambil berjalan?" terdengar suara seorang tua terarah pada Jaka.

Seketika itu Jaka tersentak dari lamunannya, tengokan kepala pada suara tersebut. "Sungguh hanya manusia-manusia bodoh dan tak tahu jalan saja yang mesti merenungi nasibnya. Dan hanya manusia-manusia pintar serta tabah saja yang tahu akan jalan yang sebenarnya terbentang luas di hadapannya."

Tersentak Jaka seraya kerutkan kening mendengar penuturan seorang lelaki tua berjanggut merah. "Sungguh aneh orang ini. Jarang aku temui orang berjanggut merah, atau barang kali rambut janggutnya disemir?" Jaka menanya dalam hati. "Ah, dia begitu mengerti apa yang ada di dalam hatiku."

"Kakek! Siapakah engkau adanya?" Jaka bertanya. "Dan apa tujuanmu menerka-nerka hatiku?"

"Aku hanyalah seorang gembel belaka. Namaku tak terkenal seperti namamu," orang tua berjanggut merah ngomong sendiri, seperti bertutur kata bahwa dirinya tak terkenal seperti nama pendekar Pedang Siluman yang tersohor. "Sungguh engkau adalah seorang pendekar yang sejati. Kau banyak teman, tapi maut pun akan selalu mengintaimu di mana-mana. Hidupmu tak pernah menetap, berkeliaran dari satu tempat ke tempat lainnya, apa yang sebenarnya engkau cari, Pendekar?"

Jaka makin jadi terkejut mendengar tutur kata lelaki tua berjanggut merah. Betapa segala apa yang ada di dalam dirinya lelaki berjanggut merah mengetahuinya. "Apakah dia seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia?" gumam Jaka dalam hati.

"Kakek, apakah engkau seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk menemui diriku?" tanya Jaka dengan ketidakmengertiannya. "Kau benar begitu, untuk tujuan apakah? Apakah engkau diutus untuk mencabut nyawaku? Biarlah, daripada aku hidup harus selalu begini. Hidupku telah aku korbankan untuk jalan Tuhan, namun aku selalu mendapat tantangan dan tantangan yang tiada henti-hentinya. Kalau sekiranya Tuhan berkehendak mengambilku, aku rela."

"Hua, ha, ha...! Lucu... lucu!" Kakek berjanggut merah tertawa bergelak-gelak demi mendengar ucapan Jaka yang seperti anak kecil. Hal itu menjadikan Pendekar Pedang Siluman Darah makin tak mengerti saja. "Lucu sekali dirimu, Pendekar! Ketahuilah, bahwa dirimu akan selalu diberi kehidupan dan lindungan yang lama oleh Tuhanmu. Dirimu akan menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan. Tapi ingat, kelak pada masa sepuluh tahun mendatang, yaitu masa kelahiran Iblis Laknat dari dasar neraka, kau akan mengalami kesulitan yang akan menjadikan dirimu harus berjuang antara hidup dan mati. Iblis itu akan lahir sepuluh tahun kemudian, di mana usiamu telah menginjak usia yang semakin tua. Kini usiamu masih terlalu muda, baru dua puluh dua tahun."

"Kakek, kau sungguh Paninggal benar. Siapakah dirimu adanya, Kek?" Jaka terus bertanya mendesak.

"Sudah aku katakan, aku hanyalah seorang gembel bulukan yang tak terkenal seperti dirimu. Namun aku ingin sekali menolong dirimu. Aku ingin meringankan bebanmu." Kakek berjanggut merah berkata: "Ketahuilah olehmu, Pendekar. Aku sering kali merenungkan tentang dirimu. Bila aku tidur, dirimu seolah-olah ikut dalam mimpiku. Bila aku bertapa, dirimu seolah-olah ada dalam khayalanku. Karena itulah, aku merasa bahwa aku memang harus berbuat sesuatu untuk dirimu. Aku ingin berusaha meringankan bebanmu. Namun aku sendiri tak akan selalu hadir di sisimu, aku akan datang bila kau benar-benar memerlukan diriku. Semua orang menyebutku telah berbuat yang merugikan mereka. Aku telah dituduh oleh mereka, bahwa akulah pembuat bencana di Gunung Slamet."

Jaka terdiam tanpa kata mendengarkan penuturan yang diucapkan oleh kakek berjanggut merah. Jaka sendiri belum tahu siapa adanya kakek berjanggut merah yang ingin membantunya, dan telah menceritakan siapa adanya dirinya yang sebenarnya. Jaka makin tak mengerti setelah si kakek mengatakan bahwa dirinya telah dikecam oleh orang-orang persilatan. Siapa sebenarnya kakek berjanggut merah? Mengapa dia tak mau menampakkan dirinya terus menerus? Dan mengapa ia ingin membantu pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah? Semuanya itu akan saya beberkan pada bab-bab selanjutnya, yang ada sangkut pautnya dengan Nok Jenah yang kini tengah mencari Bocah Kembaran Setan.

"Dapatkah kakek menceritakan siapa adanya kakek? Lalu apa yang menjadikan kakek ingin membantuku? Dan benarkah kakek bukan seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk mencabut nyawaku?" tanya Jaka.

"Hua, ha, ha...! Lucu! Mana ada malaikat mengeluh sepertiku? Hanya orang-orang lemah saja yang mengeluh, termasuk diriku. Kau sebenarnya tak pantas untuk mengeluh, sebab kau orang kuat."

"Tidak juga, Kek!" Jaka membantah. "Aku juga manusia seperti dirimu. Aku merasakan lapar bila belum makan, juga merasakan sakit bila luka. Setiap orang yang merasakan segalanya, tentulah ia akan pernah mengeluh."

Kakek berjanggut merah angguk-anggukan kepala, mengerti akan apa yang dikatakan oleh Jaka. Kini ia menyadari bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah bukan saja tinggi ilmunya, namun tinggi pula budi pekertinya. Jarang sekali seorang pendekar yang mau mengakui dirinya masih rendah. Dan biasanya, seorang pendekar tentulah mencari-cari kesalahan seseorang untuk dapat menjatuhkan orang tersebut. Tetapi pendekar ini, jauh berbeda dengan kebanyakan. Pendekar ini sangat menghindari hal-hal yang sekiranya dapat merenggangkan hubungan timbal balik seseorang. Kakek janggut merah masih terdiam, memandang kagum ke arah Jaka Ndableg.

"Baiklah, Anak muda," katanya kemudian. "Aku akan berusaha membantu dirimu, walau aku tahu kau mungkin tidak memerlukannya."

"Ah, mengapa kakek berkata begitu?" lagi-lagi Jaka membantah, seakan ia tak suka kalau dirinya harus disejajarkan dengan para Nabi. Ia bukanlah Nabi, ia juga bukannya malaikat yang tidak membutuhkan bantuan. Ia adalah manusia, manusia yang memerlukan uluran tangan orang lain. "Kakek, apapun bentuknya manusia, tentunya ia akan memerlukan bantuan seperti diriku. Diriku pun memerlukan uluran tangan dari manusia lainnya, termasuk darimu. Janganlah engkau mensejajarkan aku dengan para malaikat Tuhan, atau nabi-nabi Tuhan yang memang sudah dikodratkan olehNya untuk dapat berdiri sendiri."

"Ooh... sungguh tinggi budi pekertimu, Pendekar." puji kakek berjanggut merah. "Makin aku kagum dan salut padamu. Aku makin ingin secepatnya dapat membantu dirimu, ataupun berkorban untuk dirimu."

"Terima kasih sebelumnya, Kek," Jaka berkata: "Sungguh sebenarnya saya tak ingin merepotkan dirimu, namun karena itu semua engkau yang minta, aku pun tak dapat menolaknya. Nah, bukankah engkau belum menceritakan siapa adanya dirimu, Kek? Kalau mengenai diriku, tentunya engkau telah mengetahuinya, bukan?"

Kakek Janggut Merah tampak terdiam, tercenung dalam hening menatap lekat ke arah Jaka Ndableg. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu kemudian kembali berkata; "Baiklah, memang kita perlu adanya saling mengenal. Aku akan menceritakan siapa adanya diriku yang sebenarnya."

Kembali kakek Janggut Merah hentikan ucapan, menarik napas panjang. Sementara Jaka masih terdiam, dengan sekali-kali matanya memandang sekeliling, siapa tahu dalam kesempatan itu ia dapat menemukan adanya Bayi Kembaran Setan.

DUA

Setelah sesaat terdiam, saling jaga kalau-kalau ada orang jahat yang bakal datang, atau Bocah Kembaran Setan datang, kakek Jenggot Merah akhirnya bercerita siapa adanya dirinya.

Tiga puluh tahun yang lalu, dia adalah seorang pendekar bernama Gelang Kemulang. Dia adalah seorang tokoh silat aliran lurus yang sepak terjangnya selalu membuat tokoh-tokoh aliran sesat banyak yang berusaha mengalahkannya. Suatu hari...

"Gelang! Aku minta, kau janganlah ikut campur urusanku!" Kumilir Seta yang mendatangi Gelang Kemulang adalah seorang pendekar aliran sesat. Dia bermaksud hendak mengadakan pertemuan para tokoh sesat untuk mendirikan sebuah perserikatan dengan nama Perserikatan Segala Iblis.

"Apa keperluanmu hingga mengancamku begitu, Seta!" balas Gelang tak mau mengalah begitu saja. "Sebagai seorang tokoh persilatan, kita sama-sama mempunyai tugas masing-masing. Kau dari aliran sesat, tentunya kau pun memiliki tugas sendiri. Sebaliknya aku, aku pun sebagai pembela kebenaran akan mempunyai tugas sendiri yaitu menumpas segala kejahatan yang hendak bercokol di muka bumi ini."

"Jadi kau masih tetap membandel dan bermaksud menghalangi niatku untuk mendirikan Perserikatan Segala Iblis!"

"Tergantung kenyataannya, Seta."

"Apa maksudmu!"

Gelang Kemulang tersenyum, seakan memberikan sebuah gambaran nyata yang tergurat dari goresan ulasan senyum di bibirnya. Senyum itu, adalah senyum sebuah arti yang mengisyaratkan agar Seta harus hati-hati. "Aku tak akan mengganggu perserikatanmu, asalkan engkau dan seluruh rekan-rekanmu tidak membuat segalanya berubah. Biarkan hidup ini berjalan semestinya."

"Jadi kau akan bertindak bila kami mengadakan sebuah perubahan total ataupun sebagian dari kehidupan?"

"Ya!" jawab Gelang pendek.

"Kau tak akan mampu," Kumilir Seta sunggingkan senyum sinis penuh ejekan, lalu mengulang katanya: "Kau tak akan mampu, sebab di dalam Perserikatan Segala Iblis banyak terdapat tokoh sakti aliran sesat."

"Kita akan buktikan, Seta."

Mendengar ucapan Gelang, seketika Kumilir Seta tak bicara lagi. Ia diam, lalu dengan memandang tajam seperti hendak menembus jantung Gelang, Seta pun berkelebat pergi meninggalkannya. Gelang hanya dapat geleng kepala, seakan tak mengerti dengan apa yang sebenarnya ada di dalam hati Seta. Tanpa banyak bicara Gelang pun akhirnya kembali masuk ke dalam padepokannya menemui kembali para muridnya.

"Siapakah gerangan yang datang, Guru?" tanya salah seorang muridnya. Murid Gelang Kemulang atau Pendekar Bedah Jagad ada tiga orang. Yang pertama adalah anak Kadipaten, bernama Purbaya Anjasmara. Yang kedua anak seorang pembesar istana, bernama Kemang Bende Dewa. Sementara yang terakhir, dia anak angkatnya sendiri. Bocah itu ditemukan olehnya manakala terjadi perampokan di desa Sanggana.

"Sepertinya mereka mengancam guru. Benarkah begitu, Guru?" yang bertanya ini Bende Dewa.

"Begitulah, Muridku."

"Mengapa ia mengancam, Guru?" kembali Bende Dewa bertanya.

"Apakah mungkin ia orang jahat, Guru?" kini Purbaya yang ambil kata. "Atau mungkin ia mendendam pada guru? Kalau memang ya, begaimana jika kami yang menanganinya, Guru?"

Gelang atau Pendekar Bedah Jagad hanya mampu gelengkan kepala mendengar ucapan murid-muridnya yang masih muda-muda. Memang ia menyadari bahwa seusia muridm-uridnyalah, masa-masa orang menunjukkan gejolak kemauannya. Dan ia sebagai guru, patutlah memberikan wawasan yang luas agar murid-muridnya itu tidak salah langkah. Sebab bila murid-muridnya salah langkah, sudah dapat dipastikan gejolak mudanya yang bicara, bukan rasio dan pikiran yang baik yang menentukannya.

"Tidak begitu, Murid-muridku. Kita memang boleh merasa tidak senang bila diri kita diancam atau disakiti oleh orang lain. Tetapi, kita juga perlu melihat kenyataan sebagai apa kita ini? Bila kita melihat diri kita sebagai manusia, tentunya kita akan menuruti kehendak manusia yang telah dikodratkan pada diri kita. Tetapi jika kita melihat dari sudut masyarakat, tentunya kita akan menjadikan segala tindakan diri kita sebagai bagian masyarakat. Nah, karena aku berdiri pada bagian masyarakat, aku pun harus memikirkan masyarakat di sekitar kita. Coba kalian bertanya pada diri kalian. Apa yang kalian akan lakukan jika kalian sebagai masyarakat, melihat masyarakat lainnya tercengkeram oleh tindakan orang atau golongan."

"Jelas kami akan menghalanginya, Guru," kedua orang muridnya menjawab, hanya seorang muridnya yang tak menjawabnya, dialah Nok Jenah. Dan dikarenakan Nok Jenah tak menjawab, maka sang guru pun bertanya padanya.

"Kenapa engkau terdiam, Jenah?"

"A... ampun, Guru. Hamba, belum mengerti," tergagap Nok Jenah manakala menjawab.

Hal itu jelas membuat gurunya Si Pendekar Bedah Jagad kerutkan kening tak mengerti, memandangkan matanya tajam ke arah Nok Jenah. "Sepertinya kau tengah melamun, Jenah?"

"Ti-tidak, Guru," Nok Jenah mencoba menutupi.

"Kau mulai berani mendusta padaku, Jenah?"

"Am... ampun, Guru," Jenah menangis sesenggukan. Hatinya merasa berdosa telah mendustai gurunya yang sekaligus orang tua angkatnya. "Oh, mengapa aku telah berani menentang orang yang telah menolongku serta mendidikku sejak kecil? Kenapa...?" Nok Jenah mengeluh dalam hati, sementara ia terus menangis tundukan kepala tak berani menentang pandang pada gurunya.

"Kenapa engkau menangis, Jenah?"

Nok Jenah tak dapat berkata-kata, ia bingung harus mulai dari yang mana. Sebenarnya dalam hati Nok Jenah terhampar ratusan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu ia jawab dan selesaikan. Pertanyaan mengenai kehidupan, juga mengenai mengapa cintanya ditolak oleh seorang pendekar?

"Mengapa cintaku yang tulus harus bertepuk sebelah tangan? Mengapa Pramana tidak mau menerima diriku sebagai kekasih, padahal aku sangat menyintainya?" keluh hati Nok Jenah.

"Kau terus melamun, Jenah?"

Tersentak Nok Jenah seketika dari lamunannya. Bayang-bayang Pramanayuda menghilang, bersamaan dengan suara gurunya. Dendamnya pada Pramanayuda yang telah menolak cintanya, menjadikan Nok Jenah harus mencari jalan untuk dapat menjatuhkannya.

"Hamba... hamba prustasi, Guru."

Tersentak guru dan kedua kakak seperguruannya demi mendengar ucapan Jenah. Ketiganya seketika memandang lekat ke arah Jenah, seakan  ketiganya ingin  mengorek hati Nok Jenah yang dalam. Hati seorang gadis, yang kini terlunta-lunta akibat cintanya yang suci harus dilakukan bertepuk sebelah tangan.

"Jenah! Apa artinya ucapanmu...?" Gelang tergetar berkata, seakan ada sebuah kekuatan yang dahsyat mengguncang diri dan hatinya. Kekuatan yang mampu menggoyahkan persendiannya. Gadis yang sedari kecil diangkat menjadi anaknya, ternyata telah menjadikan segalanya berubah. Gadis itu seakan meluluh-lantahkan harapannya untuk kelak menggantikan dirinya sebagai seorang pendekar aliran lurus, yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan. Kalau gadis ini sudah prustasi, jelas jiwa kewanitaannya akan membawa dirinya ke jurang kebencian dan dendam pada orang yang dianggapnya telah membuatnya putus asa. Tapi selaku orang tua, apalagi sudah terkenal namanya sebagai orang bijaksana, Gelang tak mau begitu saja mendamprat atau memarahi sang anak angkat. Ditariknya napas panjang, seakan hendak membuang keberatan beban yang ada di hati.

"Kau telah jatuh cinta, Jenah?"

"Benar, Guru," jawab Jenah masih tertunduk.

"Siapakah orang yang engkau cintai?" Jenah memandang pada kedua kakak seperguruannya, seakan minta bantuan untuk mengatakannya. Namun rupanya kedua kakak seperguruannya pun tak tahu menahu dirinya, sehingga Jenah dengan kesendirian akhirnya berkata menjawab.

"Pemuda itu... pemuda itu adalah Pramanayuda, Guru."

Sang guru hanya mampu menarik napas kembali. Ia tahu, siapa adanya Pramanayuda. Seorang pendekar yang memang saat itu namanya telah melangit dengan sebutan Pendekar Pedang Sukma Layung. Namun bukannya ia takut pada orang tersebut, tapi dirinya juga tak dapat harus memaksakan kehendak anak angkatnya untuk memaksa Pramanayuda agar dia mau menerima cinta anak angkatnya.

"Apakah ia menerima cintamu?" Nok Jenah menggeleng. "Mengapa engkau harus prustasi? Bukankah engkau cantik, Anakku?" Gelang bertanya: "Bukankah engkau mampu mencari lelaki lainnya? Mengapa engkau mesti menuruti kemauan syetan?"

"Guru...!" Jenah membentak, sepertinya ada kekuatan yang mendorongnya untuk bertindak demikian.

Hal itu menjadikan kedua kakak seperguruannya tersentak dari duduknya, lalu kedua pemuda itu dengan sewot karena gurunya diperlakukan seenaknya oleh Nok Jenah membentak.

"Anak tak tahu diri! Berani lancang mulutmu membentak guru sendiri! Kau harus dihajar, Jenah!"

"Sabar, Anak-anakku."

Kedua murid laki-laki Gelang menurut, turunkan tangannya yang sudah siap hendak dihantamkan ke arah Nok Jenah yang seperti pasrah. Bahkan kini Nok Jenah memandang tajam pada keduanya dengan pandangan seperti menyala. Dari mulutnya sunggingkan senyum mengejek, lalu dengan lantang tanpa mengenal rasa takut ia berseru.

"Lakukan bila kalian berani! Sejak saat ini, aku bukan adik seperguruan kalian!"

"Anak setan!" bentak Purbaya sewot. "Bedebah! Anak tak tahu diri! Minggat kau dari sini!" Bentak Dewa tak kalah marahnya, merasa gurunya telah diinjak seenak udel oleh Jenah. "Kalau kau tak minta ampun pada guru, jangan salahkan tanganku ini akan menghancurkan batok kepalamu!"

"Anak-anakku, sudahlah. Mungkin ia belum dewasa."

"Tidak guru. Dia bukan karena dewasa atau belum. Tapi dia memang sudah bukan manusia lagi! Dia adalah iblis! Itulah mengapa Pramana yang tadinya mencintainya kini memalingkan muka!"

Terbelalak marah Nok Jenah, memandang tajam penuh permusuhan pada Bende Dewa. Begitu juga dengan Pendekar Bedah Jagad, ia pun tak kalah kagetnya. Ia tidak menyangka kalau anak angkatnya itu telah benar-benar melakukan kesalahan yang besar, kesalahan sebagai manusia yang tidak mau menerima kodratnya.

"Benar apa yang dikatakan oleh kakakmu, Jenah?"

"Ya!" Jenah menjawab dengan ketus, sepertinya tak ada rasa takut setitik pun pada darahnya untuk menghormati sang guru yang sekaligus ayah angkatnya. "Memang aku telah bersekutu dengan Siluman Ular Sanca!"

Bagaikan disengat halilintar di siang bolong, Gelang atau Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget, sampai-sampai ia bangkit dari duduknya dengan mata melotot ke arah Nok Jenah. "Kau...! Kau telah mencoreng arang di mukaku. Minggat kau dari sini!" bentak Pendekar Bedah Jagad dengan marahnya, karena merasa dirinya telah diberi malu besar oleh anak yang dari kecil telah diasuhnya. Ternyata dia telah salah mengasuh. Dia telah mengasuh anak macan, yang setiap saat pastilah akan menerkam dirinya sendiri. "Minggat kau dari sini, cepat!"

Jenah tersenyum sinis, bagaikan tiada dosa. Matanya tajam memandang pada sang guru, sepertinya sang guru hanyalah orang yang tiada arti. Dengan senyum sinis Jenah berkata. "Baik! Memang hal inilah yang aku tunggu-tunggu. Ingat, Gelang! Kelak kau dan dua orang muridmu ini akan menerima hukumannya!"

"Bangsat!" Purbaya berkelebat, dia sudah tak mampu menahan amarahnya. Tangannya yang telah dialiri tenaga dalam menjurus ke arah batok kepala Nok Jenah.

Namun belum juga tangan itu sampai, tiba-tiba tangan Jenah telah berkelebat menangkis dan sekaligus menyerang balik. Tak ayal lagi, tubuh Purbaya seketika mental ke belakang terhantam serangan yang begitu tiba-tiba. Mata Bende Dewa dan gurunya terbelalak, manakala melihat serangan yang dilakukan oleh Nok Jenah. Serangan itu bukanlah jurus yang mereka miliki, tapi sebuah jurus yang aneh. Gerakannya begitu cepat, hampir tak dapat diikuti oleh mata yang melihatnya. Bende Dewa hendak menyusul menyerang Nok Jenah manakala dengan cepat sang guru menghalanginya seraya berseru.

"Jangan! Jangan kau lakukan, Bende."

"Kenapa, Guru?" Bende Dewa protes, seakan dirinya tak mau menerima ucapan gurunya yang membiarkan murid durhaka itu harus berlalu dengan seenaknya. "Dia telah menyakiti kakang Purbaya, Guru."

"Biarkan dia pergi, Bende. Kau tolonglah kakakmu."

Sebagai seorang murid yang baik Bende Dewa pun akhirnya menuruti kata-kata gurunya. Dibiarkannya Nok Jenah berlalu meninggalkan padepokan, sementara dirinya sendiri kini mengurusi tubuh kakaknya yang tergeletak pingsan akibat hantaman Nok Jenah yang begitu kerasnya. Sementara itu, Gelang sebagai seorang guru hanya mampu mendesah panjang. Sulit baginya untuk menentukan tindakan. Kekecewaan merenggut hatinya, menjadikan Gelang hanya bengong tanpa reaksi.

********************

TIGA

Sejak meninggalkan perguruan, makin tampak nyatalah siapa sebenarnya Nok Jenah. Dia makin telengas dan tak mengenai rasa bersahabat bagi siapa saja yang dianggapnya sebagai musuh. Dia juga tak segan-segan membuat keonaran di muka bumi untuk memuaskan nafsu angkara murkanya. Karena ganasnya segala tindakan Nok Jenah, jadilah ia dijuluki Wanita Srigala Liar. Bukan hanya perbuatannya yang telengas pada setiap orang yang dianggapnya musuh, tetapi Nok Jenah pun kini seperti seorang gila. Gila dalam arti kata, bukan gila sebenarnya. Tindakannya sangat memalukan, yaitu mengganggu dan merusak rumah tangga orang.

"Aku harus dapat menjadikan semua lelaki menjadi budakku! Aku harus dapat... hua, ha, ha...!" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, menjadikan anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang wanita itu terdiam tiada kata. "Kau, Srigala Ungu. Cari lelaki muda yang banyak. biar kita dapat berpesta pora."

"Daulat, Pimpinan."

"Jebak mereka dengan segala bujuk rayu. Bila memang membandel, janganlah kalian segan-segan lagi. Bunuh dia!"

"Daulat, Ketua!" Srigala Ungu, selaku ketua pengganti hanya mengiyakannya. Ia takut pada ketuanya Nok Jenah yang sudah diketahui berilmu tinggi.

"Kalian sekarang berangkatlah! Cepat...!" Nok Jenah memerintah dengan bengis, tetapi di balik kebengisannya itu terdapat sebuah keputusasaan. Putus asa karena cintanya ditolak mentah-mentah.

"Jenah! Keluar kau...!"

Terdengar suara seseorang berseru, menjadikan Nok Jenah dan dua puluh anak buahnya seketika tersentak dan menghambur ke luar untuk menemui orang yang berteriak tersebut. Mata Nok Jenah seketika melotot, manakala melihat siapa adanya yang datang.

"Kau...! Untuk apa engkau datang, hah!" bentak Nok Jenah tanpa hormat, padahal yang datang itu tak lain gurunya sekaligus ayah angkatnya yang telah mengasuh dan mendidiknya sejak kecil.

"Ya! Aku, Jenah!"

"Kenapa engkau datang, Tua Bangka!" kembali Jenah membentak marah, seakan Pendekar Bedah Jagad tak lain seorang musuh yang sangat ia benci. "Pergilah! Jangan sekali-kali engkau datang bila nyawamu tidak ingin aku remukkan!"

"Anak durhaka! Aku tak akan pergi sebelum engkau mau menyadari segala tindakanmu yang keliru. Karena ulahmu, maka kedua muridku harus menjadi korban. Maka aku tak akan mau menjadi korban karena keberangasanmu!"

"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasanku, Tua bangka!" Nok Jenah bergelak tawa seperti tak merasa bersalah.

Memang sejak Jenah berbuat sewenang-wenang, maka Padepokan Sanggrah Buana milik Pendekar Bedah Jagad telah banyak didatangi oleh para tokoh persilatan baik dari golongan lurus maupun golongan sesat yang menuduh dirinya telah tidak mampu mengurus salah seorang muridnya. Kedua muridnya yaitu Purbaya dan Bende Dewa, tak mau gurunya dituduh sembarangan. Maka kedua murid setia itu pun akhirnya harus mati demi membela nama baik sang guru. Sementara Pendekar Bedah Jagad sendiri, harus mengalami luka-Iuka karena serangan yang datangnya bersamaan. Hampir saja nyawanya lenyap, kalau saja tidak datang seorang pendekar yang menolongnya. Pendekar itu tak lain Pramanayuda adanya, atau Pendekar Pedang Layung Sukma.

"Bedebah! Anak setan! Kalau kau tak mengakhiri segala tindakanmu dan tak mau menyerah, maka aku tak akan segan-segan untuk menghukummu!"

"Hua, ha, ha...! Lakukan bila engkau mampu, Tua bangka!"

Murka Pendekar Bedah Jagad mendengar ucapan Nok Jenah yang dirasa sudah bukan ucapan baik. Maka dengan mendengus marah, Pendekar Bedah Jagad pun berteriak menyerang bekas murid dan anak angkatnya. "Daripada seluruh tokoh persilatan menghukummu maka akulah yang akan menghukummu. Hiaat...!"

"Hua, ha, ha...! Jangan kira aku masih seperti anak kecil saja, Tua bangka busuk!" Nok Jenah masih tertawa-tawa, dan dengan penuh ejekan ia terus mengelitkan serangan Pendekar Bedah Jagad dengan sekali-kali membalik serangan.

Pertarungan antar guru dan bekas muridnya terus berjalan dengan jurus-jurus yang tinggi. Nampaknya memang Nok Jenah bukanlah Nok Jenah yang dulu dalam asuhan Pendekar Bedah Jagad. Terbukti serangan-serangannya jauh lebih keras dan cepat. Serangan Nok Jenah bukanlah menggunakan jurus-jurus yang diajarkan oleh gurunya, tetapi jurus-jurus yang aneh yang belum pernah Pendekar Bedah Jagad ketahui.

Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget, lompatkan tubuhnya ke belakang manakala melihat tangan Nok Jenah tiba-tiba menghitam laksana arang. Tangan itu kini bukanlah tangan lagi, tetapi berubah menjadi seekor ular yang besar dari ganas. Ular Sanca hitam legam, berbisa jahat.

"Ilmu iblis!" memekik Pendekar Bedah Jagad kaget.

Tak luput juga keduapuluh anak buahnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. Mata keduapuluh gadis cantik itu melotot geli dan takut, demi melihat tangan ketuanya tiba-tiba telah menjadi seekor ular yang hitam legam dan ganas.

"Hua, ha, ha...! Bagaimana, Tua Bangka? Apakah engkau masih hendak menghukumku?" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, seakan ia ingin menunjukkan kesombongannya.

"Apapun resikonya, aku akan tetap menghukummu, Anak Setan!"

"Lakukan bila engkau mampu, Tua bangka!"

"Bangsat!" Mata Pendekar Bedah Jagad membara penuh amarah, lalu dengan segera disilangkan kedua tangannya di depan dada. Dari silangan tangan tersebut, keluar asap mengepul putih bergulung-gulung menyelimuti tangannya. Dan dengan memekik, pendekar Bedah Jagad pun segera kembali menyerang dengan ajiannya Bedah Jagad.

Kini giliran Nok Jenah yang tersentak kaget, ternyata gulungan asap putih itu mampu memunahkan ilmu silumannya. Tangannya. kembali berubah menjadi tangan biasa, sementara kini musuhnya telah bergerak dengan cepat menuju ke arahnya dengan serangan yang sudah ia dengar sendiri kehebatannya. Ilmu Bedah Jagad, bukanlah ilmu sembarangan. Kalau ilmu tersebut sudah dikeluarkan niscaya siapa pun akan dapat diterka segala apa yang ada pada dirinya. Maka itu, sebelum asap Bedah Jagad menyerangnya, seketika Nok Jenah berkelebat melarikan diri. Ia sadar, kalau ia meneruskan perkelahian dengan bekas gurunya, niscaya ia tak akan mampu. Namun yang ia herankan, mengapa gurunya harus mengalah pada tokoh-tokoh persilatan?

Melihat ketuanya melarikan diri, segera kedua puluh anak buahnya pun berkelebat pergi mengikutinya. Pendekar Bedah Jagad terpaku diam. Ia sebenarnya juga masih memendam rasa kasihan pada anak angkatnya, itulah kenapa ia mau berkorban untuk mengalah pada para tokoh persilatan. Ia sengaja mengeluarkan Ajian Bedah Jagad, hanya karena ia tidak ingin Siluman Sanca turut campur. Dengan muka lesu, Pendekar Bedah Jagad pun kembali berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.

********************

Dua orang penunggang kuda nampak memacu kuda mereka dengan cepatnya menuju ke padepokan yang dihuni oleh Pendekar Bedah Jagad. Kedua penunggang kuda tersebut, memiliki wajah yang hampir sama. Mereka tak lain Sepasang Iblis dari Gunung Dieng. Kedatangannya ke padepokan milik Bedah Jagad, tak lain untuk menyampaikan undangan dari ketuanya yaitu Kumilir Seta yang bermaksud mendirikan Perserikatan Iblis.

Pendekar Bedah Jagad terpaku berdiri di teras padepokan yang kini sepi bagaikan tak berpenghuni. Sejak kematian dua orang muridnya, lan sejak ia dituduh oleh para tokoh persilatan bahwa dirinya melindungi Iblis Srigala Liar atau Nok Jenah, padepokannya sepi. Padepokan itu hanya dijadikan tempat mampirnya kalau ia tengah enggan untuk melanglang buana layaknya seorang pendekar.

"Mau apa mereka menuju ke mari," Pendekar Bedah Jagad terdiam tanpa reaksi menunggu kedatangan dua orang utusan Kumilir Seta. "Sepertinya mereka membawa surat. Mungkinkah surat itu untukku?"

Dua orang penunggang kuda yang sudah diketahui Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, terus mempercepat lari kuda mereka menuju ke padepokan di mana Pendekar Bedah Jagad berdiri menunggu kedatangan mereka. Wajah kedua Iblis tersebut tak seperti biasanya, yang memendam perasaan permusuhan. Tetapi wajah kedua Iblis tersebut kini menggambarkan persahabatan. Keduanya segera turun dari kuda, lalu dengan segera menjura hormat. Hal itu menjadikan Pendekar Bedah Jagat terheranheran kerutkan kening.

"Ada apa kalian datang ke mari?" tanya Pendekar Bedah Jagad pada keduanya yang masih menjura hormat. "Apakah kalian memang diutus oleh pimpinan kalian Kumilir Seta?"

"Benar, Tuan Pendekar," jawab Iblis Sepuh.

"Kami memang diutus untuk menyampaikan surat ini padamu, Tuan Pendekar," lanjut Iblis Kanoman. "Kami juga disuruh menunggu keputusan darimu."

Disodorkannya surat tersebut oleh iblis Sepuh pada Pendekar Bedah Jagad yang dengan segera menerimanya. Di hadapan kedua Iblis dari Gunung Dieng itu, Pendekar Bedah Jagad pun segera membacanya.

Bedah Jagad,

Aku mengharap engkau mau mengubah pendirianmu. Aku juga mengharapkan engkau mau bergabung bersamaku. Percuma kau masih menutupi dirimu sendiri. Muridmu juga telah ketahuan bersekutu dengan Siluman Ular Sanca, apakah engkau akan tetap menolak tuduhan dari para pendekar yang mengatakan bahwa engkaulah pelindungnya?

Bedah Jagad, lebih baik kau bergabunglah bersama kami. Mari kita dirikan bersama-sama Perserikatan Iblis. Bukankah dengan adanya Perserikatan Iblis engkau akan mendapat dukungan? Camkanlah, Bedah Jagad.

Kumilir Seta.


Dilipatnya kembali surat tersebut, lalu dengan mata tajam dipandangi kedua utusan Kumilir Seta tersebut yang nampak tak berani menentang pandang padanya. Kedua Iblis itu tahu siapa adanya Pendekar Bedah Jagad. Seorang pendekar yang akan mampu membaca ilmu yang dimiliki oleh lawan-lawannya.

"Katakan pada ketuamu, aku Bedah Jagad tak mau bergabung,"

"Tapi...!" Iblis Sepuh hendak berkata menyangkal, manakala Bedah Jagad segera memotong berkata.

"Tidak ada istilah tapi. Bagiku, aku lebih baik mati daripada harus mengikuti kemauan ketua kalian. Aku akan mengasingkan diriku, mencari ketenangan. Bilang juga pada ketua kalian, bahwa aku tak akan mengganggu kalian apabila kalian tidak mengganggu diriku. Nah, kembalilah kalian."

Dengan perasaan kecewa, kedua utusan Kumilir Seta pun memacu kudanya meninggalkan Pendekar Bedah Jagad yang masih berdiri mematung di teras padepokannya dengan mata memandang kosong ke arah larinya kuda-kuda mereka.

"Aku sudah terlalu tua, tak ada artinya sama sekali bila aku harus terus terlibat dalam dunia ramai," Bedah Jagad bergumam: "Biarlah mereka berjalan menurut kodrat Yang Wenang. Duh, Jagad Dewa Batara! sungguh sebuah perjalanan panjang telah aku lakukan. Kini tinggalah aku untuk mencari ketenangan."

Habis berkata begitu segera Bedah Jagad membakar padepokannya. Api menyala dengan tepatnya, berkobar-kobar laksana hendak melalap dunia. Setelah melihat padepokannya musnah terbakar, dengan secepat kilat Pendekar Bedah Jagad berkelebat masuk ke dalam api dengan maksud membakar dirinya. Namun ternyata suratan takdir berkata lain, tiba-tiba seorang lelaki tua renta telah menerobos masuk ke dalam dan menyeret tubuhnya ke luar dari kobaran api.

"Anak bodoh!" bentak lelaki tua renta dengan pakaian compang camping sembari menyeret tubuh Pendekar Bedah Jagad. "Untuk apa engkau bunuh diri! Dasar anak tolol!"

Bedah Jagad yang sudah terkulai pingsan, tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya dibopong oleh lelaki tua renta berpakaian compang camping pergi entah ke mana, meninggalkan Padepokannya yang sudah terlalap oleh api.

********************

"Sejak saat itulah aku digembleng oleh dia, yang akhirnya aku ketahui bernama Pengemis Sakti Muka Aneh."

"Jadi engkaukah yang bernama Pendekar Bedah Jagad?" tanya Jaka setelah Bedah Jagad mengakhiri ceritanya, yang diangguki oleh Pendekar Bedah Jagad. "Oh, kalau begitu, sungguh akulah orang yang bodoh, yang tidak mau mengerti siapa adanya orang yang kini tengah berdiri di hadapanku. Maafkan kelancanganku ini, Pendekar."

Kakek Berjenggot Merah atau Pendekar Bedah Jagad hanya gelengkan kepala mendengar penuturan Jaka. "Tidak harus begitu, Pendekar. Bagiku, kaulah orang yang patut dikatakan seorang Pendekar sejati. Kau tanpa keluh, tanpa putus asa dalam melakukan segala tugasmu yang tanpa pamrih. Musuhmu bertebaran di mana-mana, namun nyatanya engkau bagaikan tak mengenal rasa takut. Sedangkan aku..." Bedah Jagad menggeleng kepala kembali, lalu ia pun berkata meneruskan: "Aku seorang pendekar lemah. Aku tak mampu mengalahkan batinku sendiri, sampai-sampai aku hendak membakar diriku sendiri hanya karena masalah yang sepele."

"Ah, sudahlah, Ki. Tak perlu engkau renungkan masa silammu, masa yang akan menjadikan engkau sedih. Kini kau harus bersyukur telah dapat mewarisi ilmu-ilmu yang dimiliki Kakek Pengemis Sakti Muka Aneh. Dia adalah tokoh silat yang segalanya serba aneh, bukan saja mukanya, tapi juga tingkah lakunya."

"Hai, rupanya engkau lebih dalam mengerti keadaan guruku, Pendekar?!" Bedah Jagad tersentak kaget, demi mendengar penuturan Jaka Ndableg perihal gurunya. Penuturan Jaka Ndableg, ternyata benar adanya, menjadikan dia begitu tersentak. Memang gurunya memiliki serba keanehan pada diri gurunya. "Apakah engkau telah mengenalnya, Pendekar?"

Jaka tersenyum, matanya kembali memandang ke muka, sepertinya memandang pada hamparan desa yang ada di sana. Desa yang sudah sunyi dan sepi, padahal malam begitu masih belum larut. "Aku mengenalnya dari guruku," Jaka menjawab.

"Siapakah gurumu, Pendekar?"

"Guruku banyak. Guruku ada lima orang," kembali Jaka menjawab dengan mata yang terus memandang ke desa yang sudah begitu sunyi.

Jawaban Jaka seketika menjadikan kerut kening Pendekar Bedah Jagad yang tersentak kaget. Bagaimana mungkin ia mau mempercayai ucapan Jaka, yang diucapkan dengan acuh tak acuh. Tapi bila melihat ilmu si pemuda, itu semua dapat dimaklumi. Bukan tidak mustahil, karena gurunya banyak itulah sehingga Jaka menjadi orang sakti dalam usia yang semuda itu. "Kalau boleh aku tahu, siapakah guru-gurumu itu, Pendekar?"

"Guru-guruku tak lain adalah kakak-kakak seperguruan misan gurumu. Keempat guruku, terkenal dengan sebutan Empat Pendekar Sakti, di antaranya Ki Bayong, Nyi Rukmini, Ki Darsa, dan Ki Barwa."

"Apa...!" tersentak kaget Bedah Jagad demi mendengar Jaka menyebutkan nama-nama gurunya yang telah almarhum akibat kejahatan Iblis Prahista. "Jadi kau adalah murid keempat Pendekar itu?"

"Ya!" jawab Jaka. "Kenapa? Apakah ada sesuatu dengan guru-guruku?"

"Tidak! Pantas engkau semuda ini sakti, Pendekar. Oh, tak aku sangka, kalau akhirnya aku menemukan adik seperguruanku sendiri," gumam Pendekar Bedah Jagad, seakan ingin meyakinkan pada diri sendiri.

"Benarkah engkau kakak seperguruanku?" Jaka bertanya, seakan belum percaya. "Kalau benar, siapakah gurumu sebenarnya?"

"Guruku adalah kakak seperguruan guru-gurumu." Pendekar. Bedah Jagad menerangkan. "Guruku bernama Ki Sempani. Dialah yang memiliki Ajian Bedah Jagad. Guru juga pernah menceritakan tentang keempat adik-adik seperguruannya yang tak pernah mau saling mengerti, dan terus memburu nama..."

"Heh, benar!" Jaka berseru girang. "Teruskan ceritamu."

"Guruku juga semasa hidup pernah menerka, bahwa seandainya keempat adik seperguruannya masih bersikeras untuk mengadu ilmu, tentulah yang akan keluar sebagai pemenangnya tak lain hanya Ki Bayong."

"Eh, apa alasanmu berkata begitu?" Jaka yang sudah mengerti mencoba memancing kebenaran cerita Pendekar Bedah Jagad.

"Karena menurut guru, Ki Bayong memiliki ajian yang aneh bernama Ajian Buto Dewa Wisnu."

Tak dapat lagi Jaka menahan luapan kegembiraan demi mendengar penuturan Pendekar Bedah Jagad. Maka bagaikan orang gila Jaka pun berseru girang: "Kau benar! Kau benar! Seratus untukmu!"

Dipeluknya Pendekar Bedah Jagad yang hanya terbengong-bengong tak mengerti dengan tingkah laku Jaka. Dan belum juga Pendekar Bedah Jagad mengerti apa maksud Jaka, tiba-tiba Jaka telah berubah menjadi Buto Dewa Wisnu. Ditangkapnya tubuh Pendekar Bedah Jagad, yang seketika tersentak ketakutan melihat Jaka tiba-tiba telah meraksasa.

"Jagad Dewa Batara, inikah ajian tersebut?" Pendekar Bedah Jagad menggumam dalam hati dengan segenap ketakutan yang amat sangat. "Lepaskan aku! Lepaskan...!" Bedah Jagad memberontak berteriak-teriak, tubuhnya bagaikan remuk tergencet oleh jari-jari tangan sang Buto yang sebesar tubuhnya. "Ampun! Lepaskan aku!"

"Hua, ha, ha...! Kau ternyata kakak seperguruanku, maka aku ingin mengayun-ayun tubuhmu."

Tubuh Bedah Jagad diayun, dilempar ke sana ke mari. Sepertinya Buto Dewa Wisnu ingin membuat Pendekar Bedah Jagad terkencing-kencing ketakutan. Memang benar! Pendekar Bedah Jagad yang terkenal mampu menghadapi ilmu macam apa pun, kini harus ketakutan setengah mati dilempar-lempar ke sana ke mari oleh Buto Dewa Wisnu.

"Huah! Kenapa engkau ngompol, Kakang?"

"Aduh, aku takut jatuh. Lepaskan aku, taruhlah aku di tanah kembali," merengek-rengek Pendekar Bedah Jagad, dan air matanya pun seketika meleleh membasahi pipinya.

Segera Buto Dewa Wisnu menurunkannya. "Nah, sekarang engkau menyingkirlah dulu," Buto Dewa Wisnu segera kembali ke bentuk asalnya Jaka Ndableg yang benar-benar ndableg. Sesaat kemudian, perlahan-lahan tubuh raksasa itu mengecil dan mengecil hingga kembali ke bentuk asalnya Jaka Ndableg.

"Wah, Kakang. Sekarang apa rencanamu?" tanya Jaka kemudian. "Aku kini tengah menghadapi masalah dengan lahirnya Bocah Kembaran Setan."

"Bocah Kembaran Setan?"

"Ya!" jawab Jaka. "Bocah itu telah lahir, dan telah membawa korban dua ratus orang di Telaga Warna."

"Aku akan membantumu, Jaka."

"Terima kasih, Kakang. Mari kita pergi!"

Tanpa hiraukan celananya yang bau jengkol akibat air pancorannya mengalir deras karena takut manakala dalam genggaman tangan Buto Dewa Wisnu, Pendekar Bedah Jagat pun segera mengikuti ke mana Jaka berlalu. Keduanya segera meninggalkan desa yang sedari tadi diawasinya, yang dianggap Bocah Kembaran Setan akan menuju ke situ.

Malam terus merambat, menelan kedua tubuh kakak beradik perguruan yang bertemu tanpa diduga-duga dengan perbedaan usia yang jauh itu. Betapa pun usia mereka terpaut puluhan tahun, bahkan hampir setengah abad lebih, namun karena memang keduanya dasarnya saudara seperguruan hingga keduanya pun nampak setujuan hidup.

********************

EMPAT

Munculnya Bocah Kembaran Setan ternyata mengundang para tokoh persilatan khususnya aliran sesat berlomba untuk mendapatkannya. Mereka bermaksud mendapatkan bocah tersebut sebagai tameng bagi golongannya. Bocah tersebut menurut kabar adalah bocah sakti yang sukar ditandingi. Seperti halnya di Perguruan Bedak Begawa, di mana Karsa Warsana sebagai pimpinannya perguruan itu pun telah mendengar adanya Bocah Kembaran Setan. Sebagai perguruan aliran sesat, jelas Karsa Warsana tak mau menyianyiakan kesempatan ini. Apalagi saingannya begitu banyak, di antaranya Perguruan Lutung Sakti Bibit Iblis, Tengkorak Beracun serta perguruan-perguruan aliran sesat lainnya.

"Sumrah, kita harus mampu mendapatkan Bocah Kembaran Setan tersebut," Karsa Warsawa berkata pada anak buahnya yang sekaligus tangan kanannya. Anak buahnya yang sekaligus tangan kanannya adalah seorang lelaki berwajah panjang dengan mata biru dan hidung pesek besar, sehingga tampangnya mirip seperti tampang seekor kera raksasa. Tokoh ini yang bernama Sumrah, adalah tokoh aliran sesat yang ganas dan pantang untuk menyerah.

"Untuk apa, Pimpinan?" tanya Sumrah.

"Untuk apa! Apa kau belum tahu siapa adanya bocah tersebut?"

"Belum, Pimpinan!"

"Pantas!" Karsa Warsana berkata keras, seakan mentololi anak buahnya yang sekaligus tangan kanannya. "Maka itu, kau harus banyak mencari pengalaman! Kalau kau hanya ngendon di tempat ini, manalah mungkin engkau mengerti dunia luas!"

"Ampun, Pimpinan. Sungguh saya kurang senang bila bepergian. Pertama dikarenakan saya banyak musuh. Bukannya saya takut pada musuh-musuh saya, namun rasanya sekarang ini saya sedang enggan untuk bertarung."

"Sontoloyo! Bilang saja kau takut pada Pendekar Pedang Siluman!" sindir Karsa menjadikan Sumrah hanya mampu cengar cengir tak dapat berkata-kata lagi. "Iya kan?"

"He, he, he...! Pimpinan tahu saja," Sumrah terkekeh.

"Sekarang juga, kau bawa anak buahmu ke Lembah Bangkai."

"Untuk apa, Pimpinan?"

"Bodoh! Kau ternyata bodoh!" bentak Karsa jengkel melihat kebodohan anak buahnya. "Sudah aku katakan, hampir semua perguruan aliran sesat kini menuju ke sana untuk memperebutkan bocah tersebut. Bocah itu bukan bocah sembarangan. Barang siapa yang mendapatkannya, maka kita akan menjadi orang yang ditakuti dan disegani karena ada bocah tersebut. Bocah itu mempunyai ilmu yang tinggi, hampir sejajar dengan ilmu Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, bukankah dengan kita memiliki bocah tersebut kita akan yang ditakuti di antara golongan kita?"

Sumrah terdiam, sepertinya mengerti apa yang dikatakan oleh ketuanya.

"Kau mengerti sekarang, Sumrah?" kembali Karsa Warsana berkata, yang diangguki oleh Sumrah. "Bagus, sekarang juga kau persiapkan anak buahmu untuk menuju ke Lembah Bangkai. Sebisanya kau harus mendapatkan anak tersebut. Bila belum dapat, jangan coba-coba kalian pulang. Mengerti, Sumrah?"

"Daulat, Pimpinan," Sumrah menjura, lalu dengan segera keluar dari bangsal menuju ke tempat di mana para anak buahnya berkumpul. Setelah mengumpulkan hampir lima puluh anggotanya, saat itu juga Sumrah dan anak buahnya berangkat menuju ke Lembah Bangkai di mana menurut kabar Bocah Kembaran Setan berada.

********************

Lembah Bangkai adalah sebuah lembah yang sangat dikeramatkan bagi orang-orang dunia persilatan aliran sesat. Lembah itu telah banyak memakan korban manusia. Sejak banyaknya korban di tempat tersebut, maka para pendekar yang dulu berantusias untuk mencari Kitab Banyu Geni mengurungkan niatnya. Sudah banyak kejadian-kejadian yang akhirnya membuka mata mereka.

Sebenarnya kematian para pendekar sangat misterius. Kematiannya sungguh secara tiba-tiba. Entah karena apa, para pendekar yang bermaksud mencari kitab tersebut tiba-tiba mengalami sebuah guncangan berat dalam dirinya. Dan manakala memasuki daerah Lingkaran Kematian, tak seorang pun akan dapat keluar dengan keadaan selamat.

Konon menurut cerita, bahwa lembah tersebut dulu dihuni oleh seorang tokoh silat yang sakti mandraguna bernama Resi Kumara Geni. Resi itu menaruh kitab Banyu Geni yang terkenal mengandung segala macam ilmu di lembah tersebut. Sebelum sang Resi meninggal, terlebih dahulu ia membuat sebuah pagar gaib yang tidak dapat ditembus oleh mahluk apa pun kecuali oleh manusia berhati dan berbudi baik. Tapi sampai sedemikian jauh, tak ada yang mampu membuka tabir tersebut.

Kini Lembah Bangkai akan menjadi ajang pertarungan para tokoh persilatan aliran sesat untuk dapat menjadi pemilik Bocah Kembaran Setan. Apakah benar-benar Lembah Bangkai sudah terbebas dari pengaruh pagar gaib yang dipasang oleh sang Resi? Ternyata belum. Pagar gaib tersebut masih ada dan tetap memagari tempat yang dinamakan Lingkaran Kematian. Dan memang Bocah Kembaran Setan hendak menuju ke tempat itu karena dengan tujuan mencari kitab tersebut. Bocah itu seakan ada yang menyuruhnya untuk datang ke tempat tersebut.

Dari empat penjuru nampak berdatangan orang-orang yang hendak memperebutkan Bocah Setan tersebut, semuanya hampir sebagian besar merupakan perguruan-perguruan aliran sesat yang memiliki ilmu tinggi. Memang, bila hanya memiliki ilmu-ilmu setengah-setengah, tidak bakalan mungkin akan dapat bersaing memperebutkan bocah tersebut. Lembah Bangkai yang tadinya sepi, dan hanya berserakan tulang belulang manusia kini dipecahkan oleh keramaian orang-orang yang pada berdatangan.

Tampak dari arah Timur, rombongan dari Perguruan Cakra Gelap berjalan dengan langkah mantap. Perguruan tersebut merupakan perguruan yang sangat kondang namanya. Cakra Gelap dipimpin oleh seorang tokoh sesat yang sekaligus menjabat ketua Perserikatan Segala Iblis. Di dalam Cakra Gelap, terdapat tokoh-tokoh aliran sesat yang berilmu tinggi. Di antaranya Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, juga Iblis Laksa Bertuah, dan ada juga Setan Tengkorak Haus Darah.

Tiga tokoh utama itu nampak berjalan di belakang ketua mereka yaitu seorang lelaki berwajah menyeramkan dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya. Orang tersebut, tak lain Kumilir Seta adanya. Memang setelah hilangnya Pendekar Bedah Jagad, pertumbuhan Perserikatan Segala Iblis begitu cepat, karena orang yang biasa menghalanginya telah tiada.

"Lihat Ketua, nampaknya dari perguruan lain pun berdatangan menuju ke mari," yang berkata Sepasang Iblis yaitu Iblis Sepuh, yang menjadi tangan kanan Kumilir Seta. "Mereka menyangka akan mampu mendapatkan bocah tersebut. Hua, ha, ha...!"

"Memang mereka besar adat," Kumilir Seta menimpali. "Mereka mengira bahwa kita ini akan membiarkan mereka tumbuh dikira kita takut. Huh, apa yang ditakuti pada diri mereka. Bukan begitu, Laksa?"

"Hua, ha, ha...! Memang benar! Mereka mengira kita takut pada mereka. Tapi nanti, mereka akan tahu siapa adanya Iblis Laksa Bertuah, seorang Iblis yang segala ucapannya akan mengandung tuah hebat."

Sepuluh golongan dari aliran sesat itu terus merambat turun menuju ke Lembah Bangkai. Wajah mereka diliputi dengan ketegangan, sepertinya mereka hendak menghadapi masa-masa di mana para pendekar sakti yang mati tanpa ampun di tempat tersebut.

"Aku heran, mengapa Bocah Kembaran Setan menuju ke mari? Apakah bocah tersebut telah tahu bahwa kita akan datang ke sini?" tanya Setan Tengkorak Darah seperti pada diri sendiri.

"Bukan begitu, Setan. Bocah tersebut datang ke mari semata-mata ingin mencari kitab Banyu Geni. Entahlah, dari siapa bocah itu mengetahuinya," Iblis Sepuh menuturkan. "Sepertinya bocah tersebut ada yang menuntun untuk datang ke mari."

"Apakah tidak mungkin Pramanayuda yang menyuruhnya?" Tengkorak Darah kembali bertanya.

"Aku rasa tidak. Aku, walaupun dari aliran beda dengannya tahu persis siapa adanya dirinya. Dia adalah seorang tokoh yang tidak serakah, tidak mau mengambil milik orang lain kalau bukan miliknya sendiri." jawab Kumilir Seta.

"Mungkin juga ada mahluk lain yang mempengaruhi bocah tersebut, Ketua?" Laksa Bertuah ikut menanya. Ia pun tertarik juga dengan berita-berita yang mengatakan bahwa Bocah Kembaran Setan memiliki naluri tinggi, juga ilmu silat yang tinggi pula. "Kabarnya Bocah Kembaran Setan juga memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan. Dua ratus tokoh Silat wilayah Wetan habis dimangsanya hanya dalam sekejap, manakala mereka hendak mengadakan penyerangan pada ibunya si Penguasa Bukit Karang Bolong."

Tersenyum Kumilir Seta demi mendengar ucapan Laksa Bertuah. Ia kini mempunyai akal untuk dapat menaklukan Bocah Kembaran Setan, tanpa harus berkorban banyak. Maka setelah mengangguk-anggukkan kepalanya, Kumilir Seta pun berkata pada ketiga tangan kanannya. "Aku memiliki sebuah gagasan."

"Apa itu. Ketua...?" tanya ketiga tangan kanannya serempak.

"Begini!" Kumilir Seta pun menceritakan gagasannya. "Dengan kita salah satunya menyamar sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong, dan yang lainnya menjadi Pramana, mungkin bocah tersebut akan mau mengikuti kita."

"Bukankah Penguasa Bukit Karang Bolong masih muda?" Iblis Sepuh bertanya, nadanya ragu. "Sedangkan kita, mana ada yang secantik dia?"

"Itu gampang! Bukankah Laksa Tuah mampu melakukannya?"

"Benar, Ketua. Aku akan sanggup mengubah kalian menjadi mereka. Hua, ha, ha...! Memang ketua tajam otaknya."

Dalam sekejap saja, ketua-ketua Perserikatan Segala Iblis bergelak tawa. Tawa mereka yang kencang, seketika membahana hingga menyentakkan para perguruan lainnya. Melihat hal itu, perguruan lainnya tak mau kalah, mereka pun seketika bergelak tawa dengan mengencangkan tawa mereka yang dilandasi tenaga dalam yang tinggi. Seketika itu pula, Lembah Berkala Darah yang ada di hadapan mereka beberapa ratus tombak lagi tergetar oleh gelak tawa mereka. Dasar manusia-manusia iblis, sepertinya mereka tak hiraukan dengan ketenangan alam, dan mereka pun mengusiknya.

Tersentak para tokoh aliran sesat lainnya, manakala tiba-tiba dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis telah muncul dua orang yang sudah cukup mereka kenal. Dua orang tersebut tak lain Pramana atau Pendekar Pedang Layung, dengan anaknya Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bolong. Entah dari mana datangnya mereka, yang jelas setelah mereka menghilang dari bukit yang mengelilingi Lembah Bangkai, tiba-tiba dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis muncul dua tokoh tersebut.

"Iblis! Eh, bukankah kita juga Iblis?" seorang pimpinan golongan lain memaki. "Dasar mereka licik, dikiranya kita tidak tahu bahwa mereka adalah dua orang tangan kanan Kumilir Seta."

"Maksudmu, Kakang Begong?"

"Kau tahu, Adik Sungil. Di dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis, ada terdapat Laksa Tuah yang setiap katanya akan menjadi kenyataan. Tapi kita tak perlu takut, sebab ada aku. Aku tahu kelemahan ilmunya," menyombong Begong Damar.

"Apakah tidak mungkin Bocah Kembaran Setan akan terkecoh demi melihat ada induknya di sini?"

"Hua...! Mana mungkin!" Begong Damar menggeresah. "Bocah Kembaran Setan mempunyai naluri yang tinggi, sukar untuk dibohongi walau dia masih orok."

Mereka terus melangkah, menapaki satu demi satu kaki mereka turun ke bawah di mana Lembah Bangkai Berdarah berada. Sungguh tepat bila jarang pendekar yang mampu membebaskan diri mereka dari tempat tersebut, sebab lembah itu sungguh dalam bila harus dituruni. Dan hanya tokoh-tokoh silat yang memiliki ilmu tinggi saja yang akan mampu.

Terbukti kini banyak anak buah perguruan dari golongan sesat yang terpelanting jatuh dan tubuh mereka terus menuju ke tempat Lingkaran Kematian. Dan sudah dapat diterka apa yang akan mereka alami? Mereka seketika mengejang, lalu mati dengan lidah melelet dan mata melotot. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Tersirap darah para pimpinan melihat hal tersebut, yang dengan segera menyuruh mereka yang masih hidup untuk tetap saja di atas.

"Kalian janganlah turun! Kalian tetaplah diatas!"

Dan memang itu yang mereka ingini.  Mereka tampaknya juga ngeri bila harus mengalami nasib yang sama dengan teman-temannya yang lain. Kini hanya pimpinan-pimpinan mereka saja beserta tangan kanannya yang turun mengelilingi agak jauh Lingkaran Kematian. Mereka tidak berani untuk mendekati, sebab mereka tahu akan apa yang mereka alami jika mendekat, yaitu kematian!

LIMA

Lembah Bangkai kini telah penuh dikelilingi oleh pagar-pagar manusia. Di bawah, di mana terdapat Lingkaran Kematian para pimpinan dari kesepuluh perguruan dan perserikatan aliran sesat berjaga-jaga bersama para tangan kanannya. Sementara di atas, para anak buahnya yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh anggota seperguruan juga tengah berjaga-jaga.

Matahari yang tadinya nampak, lamatlamat makin menurun hingga akhirnya menghilang di ufuk sebelah Barat. Petang pun datang bersamaan datangnya hari gelap yang akan menyelimuti jagad raya. Manakala malam hendak beranjak datang, tiba-tiba terdengar jeritan di atas menggema.

"Aaah...!"

Satu persatu tubuh orang-orang yang berjaga-jaga di atas tergeletak mati dengan darah kering. Yang lainnya segera memburu, dan seketika itu juga mata mereka melotot tak percaya demi melihat seorang bayi tengah menghisap darah korbannya.

"Bocah Kembaran Setan...!" pekik mereka serentak kaget.

Bocah Kembaran Setan seketika lepaskan mangsanya, memandang ke arah orang-orang yang terpaku ngeri melihat. Mata bocah tersebut menyala, laksana kilatan api yang hendak membakar segala apa saja yang ada di situ. Bocah itu seketika menggeram, "Ooaaaaar...! Oaar! Geerrtt..! Ngiik!"

Bersamaan dengan bunyi suara bocah tersebut, seketika Bocah Kembaran Setan berkelebat dengan cepatnya merangsek ke arah mereka. Orang-orang yang tadinya terkesima, seketika itu berusaha memapaki serangan sang bocah. Tombak dan senjata lainnya berkelebat, namun sungguh membuat penyerangnya kini surut dan merasa takut sendiri. Tombak dan golok serta senjata mereka bagaikan tak ada artinya. Setiap kali tombak atau golok mereka beradu dengan tubuh si bocah, saat itu terdengar bunyi patahan.

"Plak!"

Tombak dan golok mereka yang terbuat dari besi pilihan patah menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Sedangkan tubuh Bocah Kembaran Setan tiada cacat sama sekali, bahkan tubuh si bocah makin lama makin bertambah besar.

"Ketua... tolong...! Bocah Kembaran Setan datang...!" mereka menjerit-jerit, menjadikan konsentrasi para ketuanya seketika pecah. Serentak para ketuanya pun berkelebat naik menuju ke atas.

Dari golongan Perserikatan Segala Iblis yang ada Ningrum dan Pramana segera mendekati, lalu Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bolong berseru pada si bocah yang masih asyik menghisap darah korbannya. "Anakku...! Anakku, kau dengar suara ibu, Nak?"

Bocah Kembaran Setan seketika tersentak, hentikan aksinya dan mengalihkan pandangannya ke arah datangnya suara tersebut. Mata bocah tersebut seketika memandang tajam, seakan ingin melihat kebenaran suara yang ia kenal benar.

"Oar...! Oaaar...!" bocah itu mengerang, seakan mencari-cari di mana adanya suara sang ibu, yang dengan segera Ningrum menjawabnya.

"Anakku, ini ibumu… Ini ibumu, Nak. Apakah engkau mendengar suara ibu?"

Bocah Kembaran Setan menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang panjang dan runcing. Seringaiannya seakan menunjukkan betapa kegembiraan si bocah. Bocah Kembaran Setan melayang, dan bermaksud mendekat ke arah Ningrum. Namun manakala bocah tersebut hampir sampai, tiba-tiba wajah Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bolong berubah menjadi wajah aslinya yaitu Setan Tengkorak Darah. Tersentak Bocah Kembaran Setan, ia kembali menggeram marah merasa dirinya telah dibohongi.

"Oaar...!"

"Bangsat! Siapa yang telah lancang berbuat begini!" maki Laksa Tuah, merasa ilmunya telah ada yang memecahkannya. "Awas! Bocah itu menyerang!"

Tersentak Tengkorak Darah, manakala Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang ke arahnya. Dengan segera Tengkorak Darah buangkan tubuh ke samping, dan hanya beberapa inci saja tangan Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerangnya.

"Kunyuk Busuk! Ternyata kau telah menggagalkan rencana kami!" bentak Kumilir Seta marah, yang ditujukan pada siapa adanya yang telah berbuat demikian. Kumilir Seta melihat selarik sinar ungu berkelebat ke arah Tengkorak Darah dan Iblis Sepuh, manakala keduanya hampir mendapatkan hasil. Kini bukannya hasil yang mereka peroleh, malah nyawa kedua tangan kanannya hampir saja lepas oleh serangan si bocah yang cepat.

"Hua, ha, ha...! Jangan kalian pingin enaknya sendiri!" bergelak tawa Begong Damar, merasa usahanya untuk menggagalkan mereka berhasil.

"Begong Damar! Tunggulah kematianmu bila masalah bocah ini telah beres!" menggeretak Kumilir Seta. "Awas! Bocah itu!"

"Oaaar...!" Bocah Kembaran Setan terus menggeram, lalu kembali berkelebat menyerang mereka. Merasa bahwa mereka tak akan mampu menghadapi sang bocah, serta merta mereka pun lancarkan pukulan jarak jauhnya ke arah si Bocah Kembaran Setan.

"Aji Api Berkala. Hiat...!" Iblis Sepuh menggeretak.

"Aji Pusaran Setan, hiat...!" Setan Tengkorak Darah tak mau kalah.

"Aji Sempal Raga, hiat..!" Kumilir Seta pun turut, dan yang terakhir adalah Laksa Tuah dengan ajiannya Tuah Sakti yang biasanya akan menjadi kenyataan segala ucapannya. "Nurut kau...!"

"Duar...!"

Ledakan itu menggelegar, tepat manakala tubuh Bocah Kembaran Setan berada tiga tombak mendekat ke arah mereka. Namun mata mereka seketika terbelalak, manakala ledakan itu hilang. Ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak hancur, bahkan kini bertambah besar. Bocah Kembaran Setan yang tadinya bayi, kini menjelma menjadi seorang bocah berumur setahun yang telah mampu berjalan. Kini bocah tersebut tidak lagi menengkurap, namun berjalan dalam udara. Kaki-kakinya yang kecil, bergerak cepat laksana lari di atas angin. Kaki-kaki kecil itu tak menapak tanah barang sekalipun.

"Menurutlah, Bocah! Menurutlah kau padaku!" Laksa Tuah menggemakan suaranya.

Nampak Bocah Kembaran Setan tercenung diam, seakan ucapan telah mampu menguasai dirinya. "Kau harus menurut padaku. Nurut... kalau tidak, maka aku akan menjadikan dirimu kodok."

Bocah Kembaran Setan benar-benar menurut, namun kembali tiba-tiba selarik sinar berkelebat ke arah tubuh si bocah yang menjadikan si Bocah Kembaran Setan tersentak sadar. Betapa marahnya si bocah manakala dirinya merasa telah tersihir, serta merta ia menggerang kembali marah. "Oaaar...!"

"Bedebah! Orang itu harus dibunuh dulu!" bentak marah Laksa Tuah pada teman-temannya, memerintahkan agar mereka menyelesaikan dulu Begong Damar yang telah selalu menggagalkannya. "Kalau Begong kunyuk itu tak mati, maka gagallah kita. Bahkan diri kita yang akan menjadi korban."

"Setan Tengkorak dan kau, Iblis Sepuh, bunuh dia!" perintah Kumilir Seta dengan nada geram. Tanpa banyak kata lagi, kedua tangan kanan Kumilir Seta berkelebat ke arah Begong Damar.

"Begong Damar keparat! Kau harus mampus!" bentak Setan Tengkorak Darah gusar, lalu dengan tanpa menunggu jawaban dari Begong Damar ia pun berkelebat menyerang.

"Kalianlah yang keparat! Kalian telah berlaku licik!" balas Begong Damar tak mau kalah.

"Bangsat! Kau telah banyak membuang-buang waktu! Kaulah yang licik, hiat...!"

Tengkorak Darah dengan sengitnya menyerang Begong Damar. Sementara Iblis Sepuh kini menghadapi adik seperguruan Begong Damar yaitu Sungil Sumur. Maka pertarungan keempat tokoh aliran sesat itu pun tak dapat dihindari, sementara yang lainnya nampak hanya menonton tak ada yang ikut campur. Mereka rupanya menunggu, siapa yang akan menjadi pemenangnya yang akan mereka hadapi.

Melihat pimpinan-pimpinan mereka bertarung, seketika para anak buahnya pun tak mau ketinggalan. Serentak tanpa dikomando mereka pun saling serang. Makin bertambah serulah pertarungan kedua Persekutuan Sesat tersebut. Jerit kematian para anak buah mereka menggema, seakan nyawa mereka sudah tiada arti sama sekali. Hanya karena memperebutkan hal yang belum tentu mereka dapati, mereka telah membuang-buang nyawa.

Laksa Tuah dibantu dengan Kumilir Seta terus berusaha menjinakkan Bocah Kembaran Setan. Laksa Tuah merasa bahwa usahanya mendekati hasil kalau saja tidak diganggu oleh Begong Damar tak mau putus asa. Kembali Laksa Tuah dengan mengandalkan Tuah ucapannya berusaha mendapatkan sang bocah.

"Bocah... kau dengar ucapanku? Menurutlah! Menurutlah...!"

Mendengar suara Laksa Tuah yang menggema, seketika Bocah Kembaran Setan tersentak diam. Matanya yang tadinya menyala berapi-api memendam sinar kematian, kini nampak agak redup. "Oaar...! Oaar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, suaranya tidak segarang tadi, tapi suaranya kini makin melembut seakan menuruti apa kata Laksa Tuah.

"Bagus! Kau memang harus menurut padaku. Mari... marilah ke sini! Aku adalah rajamu, aku adalah sahabatmu! Kau harus menuruti segala perintahku."

Betapa girangnya Kumilir Seta melihat Bocah Kembaran Setan nampak menurut. Bocah tersebut berjalan mengambang di udara, mendekat ke arah Laksa Tuah berada. Makin lama makin mendekat, dan dekat...!

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan terus melangkah, dan...!

"Wuss...!"

Tersentak Laksa Tuah, manakala tiba-tiba Bocah Kembaran Setan garang menyerang ke arahnya. Ternyata ajiannya yaitu Tuah Sakti tak ada fungsi sama sekali bagi si bocah. Tak alang kepalang kagetnya Laksa Tuah juga Kumilir Seta. Laksa Tuah berusaha mengelak. Namun...!

"Oaaaar...!"

Gerakan Bocah Kembaran Setan begitu cepat, sehingga sulit bagi Laksa Tuah untuk dapat menghindari serangannya. Tanpa ampun lagi, tangan Bocah Kembaran Setan yang berkuku panjang hitam dan runcing itu mencengkeram lehernya. Laksa Tuah berusaha melepaskannya dengan hantamkan tangan ke arah tangan si bocah, tapi malah cengkeraman tangan Bocah Kembaran Setan makin keras menghunjam lehernya. Laksa Tuah tak mau mengalah begitu saja, ia kembali hantamkan tangan ke kepala si bocah.

"Dug!"

Tangan Laksa Tuah mendarat telak di kepala botak si bocah. Kalau kepala orang biasa, tentunya akan pecah berantakan seperti batu granit bila dihantam tangan Laksa Tuah. Tapi kepala si Bocah Kembaran Setan tiada apa-apa, bahkan kini tangan Laksa Tuahlah yang hancur dengan tulang-tulang remuk.

"Oaaar...! Nyit...! Nyit !"

Melihat tangan kanannya terancam bahaya, dengan segera Kumilir Seta berkelebat menyerang tubuh si bocah. Namun sungguh terkejutnya Kumilir Seta, manakala melihat serangannya tak ada arti sama sekali bagi si bocah. Bahkan kini tangannya yang melepuh bagaikan dibakar oleh api yang beribu-ribu panasnya.

"Oaar...!" kembali Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Aaaah...!" menjerit seketika Laksa Tuah, manakala taring Bocah Kembaran Setan menghunjam di lehernya. Jeritan Laksa Tuah hanya sesaat, lalu hilang dengan terdengarnya suara desisan darah yang terhisap.

"Bocah Iblis! Aku bunuh kau!" menggeretak marah Kumilir Seta. Segera ia rapalkan ajiannya Iblis Tangan Seribu. Dengan ajian tersebut, yang menjadikan tangan Kumilir Seta berubah menjadi banyak, Kumilir Seta dengan garang menyerang. "Hiat...!"

Bocah Kembaran Setan menyeringai, lepaskan mangsa yang sudah kering darahnya terhisap. Segera Kumilir Seta bergerak, menyerang dengan Tangan Seribunya. Tangan itu begitu banyak, menjadikan si bocah nampak kebingungan. Namun ternyata Bocah Kembaran Setan kebingungan untuk sementara, kemudian dengan ganas bocah tersebut segera menyerang.

Pertarungan dua mahluk yang samasama memiliki kesaktian lebih itu terus berjalan. Dua mahluk yang berbentuk manusia, dengan yang satu berbentuk bocah dan yang lainnya berbentuk orang tua. Serangan-serangan mereka begitu cepat, laksana kilatan-kilatan cahaya yang menerangi gelapnya malam.

Tertegun semuanya melihat pertarungan keduanya, sebab belum pernah mereka menyaksikan pertarungan yang dilandasi dengan semua ilmu-ilmu Iblis. Maka mereka yang dari tadi bertarung, seketika hentikan pertarungan dan mengalihkan pandangan mereka pada dua mahluk tersebut yang kini tengah terlibat pertempuran satu lawan satu.

Bocah Kembaran Setan terus merangsek dengan cepat, namun begitu Kumilir Seta pun tak mau mengalah. Kini kedua mahluk itu makin meningkatkan serangannya, lalu keduanya bagaikan terbang saling memapaki dengan ilmu-ilmu mereka.

"Oaar...!"

"Hiat...!"

"Duar...!"

Dua tangan yang berbeda keadaannya itu saling beradu, melontarkan segenap ilmu yang mereka miliki hingga menjadikan sebuah ledakan yang sangat dahsyat. Dan tubuh itu terpelanting ke belakang. Tubuh Kumilir Seta sepuluh tombak mental, sementara Bocah Kembaran Setan nampak hanya berjumpalitan di udara hingga dengan entengnya mengambangkan tubuhnya tanpa menginjak tanah. Ya, kaki Bocah Kembaran Setan tak pernah sekali pun menginjak tanah. Mungkin itu kelemahannya. Bila ia menginjak tanah, pastilah segala kekuatannya akan hilang. Namun rupanya Kumilir Seta dan yang lainnya tidak menyadari hal itu, sehingga mereka pun tak begitu menghiraukan. Kalau mereka menghiraukan, niscaya mereka akan menyadari bahwa kaki si Bocah Kembaran Setan ada di atas tanah setinggi satu meter.

"Oaar...! Nyit, nyit, nyit...!" Bocah Kembaran Setan kembali keluarkan suara mengoarnya yang diikuti dengan suara aneh.

Sementara Kumilir Seta nampak terduduk bersilah, dan dari tubuhnya keluar sebuah bayangan yang tak mampu dilihat oleh mata biasa. Melihat hal tersebut, nampak si Bocah Kembaran Setan pun tak mau mengalah begitu saja. Bocah kecil berumur kira-kira setahun itu pun segera melakukan meditasi dengan tubuh masih mengambang. Dari tubuh Bocah Kembaran Setan, keluar sebuah bayangan pula. Bayangan tersebut menyerupai seorang pemuda tampan, menghambur menghadapi bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir Seta.

"Genjati, menyingkirlah engkau dari sini!" bentak bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir Seta.

"Hua, ha, ha...! Wumo Geran, kaulah yang harus menyingkir! Kedudukanmu jauh berada di bawahku. Ilmumu pun jauh berada di bawahku. Akulah yang akan mampu mengatasi jagad raya ini."

"Tidak bisa! Kau terlalu telengas! Kau akan menjadikan cita-cita Ratu berantakan!" kembali Wumo Geran membentak.

"Apa perdulimu! Aku kini bukan pengikut Ratumu! Aku kini pengikut Ratu Sanca!"

"Bedebah! Rupanya kau telah berkhianat! Kau harus mati, Genjati! Kau akan menerima hukuman dari Sang Ratu!" marah dan gusar beraduk pada diri Wumo Geran, manakala mendengar penuturan Genjati yang mengakui bahwa dirinya kini telah bersekutu dengan Ratu Sanca yang menjadi musuhnya. "Pengkhianat! Jangan kira aku takut menghadapimu!"

"Hua, ha, ha...! Kau tak akan mampu, Wumo Geran! Kau tak akan mampu mengalahkan aku!"

"Kita buktikan! Hiat...!" Wumo Geran yang sudah marah, dengan segera berkelebat menyerang Genjati.

Keduanya tak lain Iblis-iblis Penghuni Kawah Draka, di mana berdiri kerajaan iblis bernama Kercaka Maruta yang dipimpin oleh Raja Gelerang Sengger. Pertarungan dua iblis yang telah kembali dalam bentuk ujud mereka, yaitu dengan cara meninggalkan raga-raganya terus berjalan dengan serunya. Namun tampaknya memang Genjati  jauh berada dua tingkat ilmunya bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Wumo Geran. Maka dalam beberapa jurus saja, Genjati dapat segera mendesak Wumo Geran.

"Wumo Geran, terimalah kehancuranmu! Ajian Kilat Senggana, hiat...!"

Larikan sinar biru berkelebat cepat mengarah ke Wumo Geran keluar dari telapak tangan Genjati. Segera Wumo Geran pun membalasnya dengan ajian yang ia miliki. Namun ternyata dengan ilmu yang ada pada Genjati lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu yang ada pada diri Wumo Geran. Maka tak ayal lagi, sirnalah Wumo Geran manakala larikan sinar biru yang bernama Ajian Kilat Senggana menghantam tubuhnya. Bersamaan dengan sirnanya sukma Wumo Geran, tubuh Kumilir Seta pun seketika itu meledak dahsyat.

"Duar! Dum...!"

Terbelalak semua mata melihat kejadian tersebut, sehingga dengan seketika mereka pun melompat menghindari ledakan tersebut. Dan tanpa banyak membuang waktu, mereka yang tadinya berkeinginan mendapatkan Bocah Kembaran Setan segera lari serabutan tanpa hiraukan bayi tersebut.

ENAM

Melihat musuh-musuhnya berlarian meninggalkannya, Genjati yang saat itu belum kembali masuk ke dalam tubuh si bocah tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia pun tak menghiraukan mereka yang berlarian meninggalkannya. Memang tujuan sebenarnya bukan untuk menghisapi darah mereka, tetapi tujuan sebenarnya adalah mencari Kitab Banyu Geni yang berada di situ.

Genjati segera kembali ke tempatnya, yaitu tubuh bayi yang nampak masih mengambang di udara. Setelah ia kembali pada tubuh bayi tersebut, Genjati segera melesat ke bawah di mana Lingkaran Kematian berada. Mata Iblisnya seketika tersentak kaget, manakala melihat ratusan mahluk-mahluk jin Marakayangan nampak berjaga-jaga mengelilingi sebuah batu yang berdiri kokoh di tengah-tengah para Jin yang berjumlah banyak tersebut.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, seakan membentak pada para jin Marakayangan yang tampak tenang dan setia menjaga apa yang telah diperintahkan oleh tuannya.

Ya, keempat puluh Jin tersebut adalah utusan Resi Kumara Geni. Para Jin tersebut adalah prajurit-prajurit sang Resi, dan para Jin tersebut memiliki ilmu yang tiada taranya. Jin itu telah dipesan, agar jangan sekali-kali meninggalkan tempat tersebut sebelum orang yang dimaksud oleh sang resi datang. Para Jin itu juga tak tahu siapa adanya orang yang akan mengambil kitab Banyu Geni yang mereka jaga. Resi Kumara Geni hanya mengatakan, bahwa dirinya akan memberitahukan pada mereka bila orang tersebut datang. Maka para Jin penjaga yang setia itu tak mau memberikan pada pendekar-pendekar yang bermaksud mengambilnya dikarenakan belum ada kabar dari Sang Resi. Dan bagi mereka yang berani mendekat lebih dari dua tombak, maka kematianlah yang mereka peroleh.

Kini Bocah Kembaran Setan telah mendekat. Jaraknya dengan para Jin penjaga Lingkaran Maut makin lama makin mendekat. Para Jin tersebut masih tampak tenang, sedangkan Bocah Kembaran Setan nampak mengerang marah seperti membentak agar para Jin itu mau menyingkir dan membiarkan dirinya dapat mengambil kitab tersebut. "Oar...!"

Bocah Kembaran Setan nampak mengerang, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menuju di mana para Jin itu berada. Bocah Kembaran Setan dengan nekad berusaha menerobos putaran jin-jin tersebut, namun sungguh bukanlah hal yang mudah untuk melakukannya. Manakala tubuh Bocah Kembaran Setan hendak menerobos, secepat kilat salah seorang Jin yang dekat dengannya hantamkan pukulan.

"Bug!"

Tubuh Bocah Kembaran Setan mental, lalu jatuh melayang di udara. Namun Bocah Kembaran Setan tak mau mengalah begitu saja, dan kembali ia pun bangkit. Dengan mengerang marah, Bocah Kembaran Setan berkelebat kembali menyerang. "Oar...!"

Mata Jin-jin penunggu itu melotot marah, lalu salah satu Jin itu dengan gusar membentak. "Genjati, minggat kau dari sini!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, yang dimengerti oleh Jin tersebut sebagai kata-kata penolakan.

"Genjati! Kalau kau menolak, maka janganlah menyesal bila aku akan menghukummu. Minggat dari sini, atau dengan terpaksa aku akan menjadikan sukmamu sengsara seumur-umur!" bentak Jin yang mungkin pimpinan para Jin tersebut.

Genjati tampak terdiam dengan mata memandang tak berkedip pada Raja Jin, sepertinya ia hendak memberikan isyarat bahwa dirinya tak akan mau mengakui kekalahan tersebut. Namun ketika ia hendak mengadakan serangan lagi, tiba-tiba terdengar desahan angin menerpa tubuhnya. Angin tersebut datangnya dari seorang kakek tua yang berpakaian serba putih dengan janggut dan rambut putih pula.

"Bocah iblis! Apakah engkau akan terus memaksa!" orang tua renta itu membentak, suaranya begitu menggelegar laksana badai prahara yang mampu meruntuhkan gunung batu. "Kalau kau tak mau minggat, maka jangan salahkan kalau kau akan menjadi sukma layangan!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bocah dungu! Iblis dungu! Kau akan mampus bila Pendekar tersebut datang ke mari! Kau akan mampus, iblis sombong!" kembali lelaki tua renta itu membentak.

Ternyata bentakan lelaki tua renta itu berpengaruh juga, sebab Bocah Kembaran Setan kembali mengoar. "Oar...!"

"Aku tidak mendustaimu! Pendekar Pedang Siluman Darah akan datang ke mari untuk mengusirmu dari dunia ini!"

Bersamaan dengan habisnya suara lelaki tua renta itu, terdengar derap langkah kaki dua orang manusia berlari bagaikan kilat menuju ke tempat tersebut. Dua orang lelaki yang satu muda belia dan satunya lagi tua renta, berlari dengan cepatnya laksana kelebatan angin menuju ke tempat di mana Bocah Kembaran Setan dan lelaki tua renta berpakaian serba putih juga keempat puluh Jin itu berada.

"Itu Bocah Kembaran Setan tersebut!" pemuda yang tak lain Pendekar Pedang Siluman Darah, menunjukkan telunjuknya ke arah Bocah Kembaran Setan pada Pendekar Bedah Jagad yang diketahui adalah kakak seperguruannya. "Ayo kita cepat ke sana."

Kedua pendekar tersebut makin mempercepat larinya menuju ke Lembah Bangkai yang jaraknya tidak begitu jauh lagi. Hanya karena mata Jaka yang tajam, sehingga ia mampu memandang jarak yang masih agak jauhan.

"Apakah engkau akan tetap membandel, Bocah Iblis!" kembali lelaki tua serba putih itu membentak. "Kalau kau membandel inginkan Kitab ini, maka kau akan berhadapan dengan Pendekar Pedang Siluman Darah. Dialah pewaris Kitab Banyu Geni milikku, yang sesungguhnya milik kakeknya Paksi Anom"

"Jadi Pendekar itukah yang kami dengar anak angkat Ratu Siluman Darah, Tuan?" tanya Raja Jin pada lelaki tua renta serba putih yang tak lain Resi Kumala Geni.

"Benar! Dialah anak angkat Ratu Siluman Darah."

Tersentak Bocah Kembaran Setan, manakala mendengar penuturan Resi Kumala Geni yang mengatakan bahwa pemuda yang kini menuju ke arahnya adalah anak angkat Ratu Siluman Darah, Ratu kehidupan bagi para siluman dan roh-roh halus macamnya. Mata Bocah Kembaran Setan seketika meredup, hatinya seketika itu pula bergumam.

"Bahaya! Sungguh bahaya kalau memang ia anak angkat Ratu kehidupan umat siluman. Tapi aku belum percaya! Aku tak akan mau percaya sebelum aku membuktikannya!"

"Kau belum minggat! Hem, rupanya kau hendak menantangnya. Jangan kira kau akan menang, Bocah Iblis!" Resi Kumala Geni membentak. Sebagai Resi, ia sebenarnya tak ingin mahluk apapun akan binasa di hadapannya. Tapi rupanya Bocah Kembaran Setan telah nekad dan berani menghadang Pendekar Pedang Siluman Darah yang sudah kesohor tersebut. "Kenapa kau begitu nekad, Bocah Iblis!"

"Oaar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, yang dimengerti oleh sang Resi arti koaran tersebut. Koaran itu adalah bentakan agar sang Resi diam.

Bukan alang kepalang marahnya para Jin anak buah sang Resi mendengar bentakan yang dilontarkan oleh Bocah Kembaran Setan yang mereka kenal dengan nama Genjati. Hampir saja keempat puluh Jin itu menghajar Bocah Kembaran Setan, kalau saja sang Resi tidak segera mencegahnya dan berkata,

"Biarkan dia dengan kemauannya! Dia sendiri yang akan menerima hasilnya!"

Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad telah sampai di tempat Lembah Bangkai, manakala secara tiba-tiba Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang mereka.

"Awas Kakang...! Bocah itu menyerang!" Jaka berteriak mengingatkan Pendekar Bedah Jagad. Dengan segera keduanya berkelebat menghindari serangan Bocah Kembaran Setan. Keduanya lemparkan tubuh ke samping, sehingga lolos dari cakaran kuku-kuku sang bocah yang hitam panjang dan tajam.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar. Matanya memandang penuh berapi-api, sepertinya ada kemarahan yang mendalam pada kedua pendekar tersebut.

"Bocah iblis!" bentak Pendekar Bedah Jagad. "Aku tahu siapa adanya engkau! Mengapa engkau mesti menggunakan bocah yang tidak berdosa?! Keluarlah kau dengan ujud aslimu."

"Oaar...!"

"Bocah iblis! Kalau kau tak mau menyerah, jangan salahkan aku Jaka Ndableg menghukummu!" Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah pun membentak. "Sebenarnya aku tak tega untuk menyakitimu, namun tindakanmu sudah tak dapat dibiarkan. Kau telah membuat bencana di dunia ini. Tapi jika kau mau menyerah maka aku akan mengampunimu!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali mengoar, lalu dengan cepat kembali berkelebat menyerang kedua pendekar kakak beradik seperguruan.

"Awas, Kakang! Bocah itu menyerang!" Dengan cepat keduanya kiblatkan tangan mereka ke arah datangnya Bocah Kembaran Setan, yang saat itu tengah melayang menuju ke arah mereka.

"Ajian Petir Sewu, hiat...!" Jaka mengeluarkan Petir Sewu.

"Ajian Bedah Sukma, hiat...!" Pendekar Bedah Jagad pun tak mau tinggal diam. Ia keluarkan ajian andalannya yaitu Bedah Sukma menyerang ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Duar...!"

"Bletar! Bletar! Bletar...!"

Petir Sewu membahana, membentuk kilatan-kilatan yang seketika menerangi tempat tersebut. Tubuh Bocah Kembaran Setan terhantam dua ajian dahsyat hingga terpental ke belakang. Namun tubuh itu bagaikan tak mengalami apa-apa. Petir Sewu dan Bedah Sukma, tak ada artinya sama sekali bagi tubuh Bocah Kembaran Setan. Bahkan bocah tersebut kini menyeringai penuh ejekan, lalu dengan cepat berkelebat menyerang keduanya yang tengah terbengongbengong tak yakin pada apa yang mereka lihat. Jaka tersentak, lalu berseru memperingatkan pada Pendekar Bedah Jagad.

"Awas, serangan...!"

Kembali keduanya berjumpalitan, menghindari serangan Bocah Kembaran Setan yang makin mengganas dengan penuh amarah. Bocah itu sepertinya tak takut pada Jaka Ndableg, dan menganggap bahwa ucapan Resi Kumala Geni hanyalah omong kosong.

"Tuan, nampaknya Pendekar muda itu kewalahan," Raja Jin yang merasa khawatir bermaksud membantu Jaka dan Pendekar Bedah Jagad. Namun, dengan segera sang Resi mencegahnya.

"Kalian tidak perlu turut campur. Kalian tak usah mengkhawatirkan diri mereka khususnya pendekar muda itu. Mungkin ilmu dan kesaktian yang kalian miliki masih jauh bila dibandingkan dengan ilmu dan kesaktian yang pemuda itu miliki," Resi Kumala Geni menuturkan. "Percayalah, bahwa pendekar muda itu tak akan dapat dikalahkan oleh Genjati. Ilmu Genjati belum seberapa dengan ilmu yang dimiliki oleh keduanya."

Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad masih terus berusaha mengelakan serangan yang dilancarkan oleh Bocah Kembaran Setan. Namun nampaknya Bocah Kembaran Setan yang merasa ajian yang dilancarkan Jaka tak berarti apa-apa bagi dirinya, terus merangsek keduanya. Jaka yang tak ingin kakak seperguruannya akan menjadi korban segera berseru:

"Kakang Bedah Jagad, aku minta kakang minggirlah dulu, biar aku yang menghadapinya."

"Baiklah Jaka."

Bedah Jagad segera mencelat meninggalkan Jaka yang terus melesat membawa tubuh Bocah Kembaran Setan untuk mengikutinya menuju ke tanah yang agak rata. Dan ternyata pancingan Jaka mengena, sebab Bocah Kembaran Setan yang merasa bahwa dirinya akan mampu mengalahkan Jaka Ndableg terus mengejarnya. Jaka segera berbalik, lalu dengan cepat memapaki serangan Bocah Kembaran Setan itu dengan ajian Tapak Praharanya.

"Tapak Prahara, hiat...!" Tangan Jaka seketika membara bagaikan berapi, melesat tubuh Jaka menghadang serangan Bocah Kembaran Setan.

Tersentak Bocah Kembaran Setan dan berusaha mengelak, namun serangan Jaka ternyata datangnya lebih cepat. Maka tak ayal lagi, ajian Tapak Prahara yang dilancarkan Jaka pun menderu dan telak menghantam tubuh Bocah Kembaran Setan. Api berkorbar, melalap tubuh Bocah Kembaran Setan. Api tersebut adalah api intinya, yang mampu membuat tubuh yang terkena hancur menjadi abu.

Tapi...! Mata Jaka kembali tersentak tak percaya, sebab ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak mengalami apaapa. Jangankan lebur jadi abu, gosong pun tidak. Bahkan Bocah Kembaran Setan kini nampak makin melebarkan seringaiannya, menunjukkan taringnya yang panjang dan runcing.

"Oar...!"

"Gusti Allah, ternyata bukan sembarangan iblis!" Jaka membatin. "Apakah aku harus mengeluarkan ajian yang mampu mengundang para siluman panik? Hem, kalau aku gunakan Ajian Jamus Kalimusada, tentulah aku telah merusak alam ini dengan ketidak tentraman. Tidak! Lebih baik aku menggunakan Pedang Siluman Darah. Ya! Aku akan memanggil Ratu Siluman Darah."

Tubuh Bocah Kembaran Setan melaju menuju ke arah Jaka dengan mata menyorot beringas penuh api kematian. Jaka nampak masih tenang, diam mengheningkan cipta. Dan manakala tubuh Bocah Kembaran Setan hampir sampai... "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

Melompat mundur Bocah Kembaran Setan, demi mendengar ucapan Jaka menyebut nama ibu angkatnya. Dan lebih-lebih kagetnya Bocah Kembaran Setan, manakala secara tiba-tiba di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang menyala terang kuning kemerahmerahan. Dari ujung pedang itu, mengalir darah membasahi batang pedang tersebut.

"Oar...!" memekik Bocah Kembaran Setan, lalu dengan ketakutan melesat terbang meninggalkan Jaka Ndableg yang segera mengejar. Namun belum juga Jaka jauh, tiba-tiba seorang lelaki tua renta berjanggut serta berpakaian serba putih berseru memanggilnya.

"Jaka Ndableg!"

Jaka yang bermaksud mengejar, segera menghentikan langkah dan menengokkan kepalanya ke arah suara tersebut. Pedang Siluman Darah masih tergenggam di tangannya, lalu dengan ringan Jaka pun melangkah menuju ke orang tua renta berpakaian putih yang mengawehnya dengan tangan.

"Kau memanggilku, Ki? Siapakah engkau adanya?" tanya Jaka setelah mendekat ke arah lelaki tua renta tersebut, yang tersenyum ramah.

"Ya! Aku memang memanggilmu," jawab Resi Kumala Geni.

"Heh, bukankah tadi aku tak melihatmu, Ki?" Jaka terheran-heran sendiri. "Kenapa engkau tiba-tiba muncul? Dari manakah engkau datang?"

Resi Kumala Geni lebarkan senyum, lalu dengan nada suara yang masih ramah berkata: "Namaku Resi Kumala Geni "

"Apa...?!" tersentak Jaka dan Pendekar Bedah Jagad demi mendengar lelaki tua renta itu menyebutkan namanya.

"Ya, akulah Resi Kumala Geni. Akulah teman kakekmu, Jaka. Dulu aku dititipi oleh kakekmu sebuah kitab pusaka, yang kini menjadi bahan rebutan para tokoh persilatan. Karena kau telah dewasa, maka kitab ini aku serahkan kembali padamu. Gunakanlah kitab Banyu Geni ini baik-baik, sebab kitab ini akan mendatangkan bahaya bila berada di tangan orang-orang jahat. Maka itu, aku sengaja menjaganya dengan menyuruh keempat puluh Jinku."

Makin terheran-heran Jaka dan Bedah Jagad mendengar penuturan Resi Kumala Geni. Keheranan Jaka dan Bedah Jagad ternyata diketahui oleh sang Resi yang kembali berkata:

"Kalau kalian tak percaya, kalian mungkin sering mendengar banyak para pendekar yang mati manakala hendak mencari kitab tersebut, bukan?"

"Benar," jawab Jaka.

"Nah, kalian akan tahu siapa yang telah berkorban untuk menjaga kitab tersebut:"

Resi Kumala Geni segera sapukan tangan ke depan mata Jaka dan Bedah Jagad, seketika itu kedua pendekar kakak beradik seperguruan mampu melihat alam gaib. Keduanya kini melihat empat puluh jin tengah mengelilingi sebuah batu yang berdiri menjulang di tengah-tengah.

"Apakah kalian yakin?"

Jaka dan Bedah Jagad tak berkata. Keduanya hanya mampu menganggukkan kepala. Resi Kumala Geni pun segera melangkah menuju ke tempat di mana keempat puluh jin tersebut masih berdiri, diikuti oleh Jaka dan Bedah Jagad. Sang Resi segera mencabut batu itu dengan ringan, padahal batu tersebut dalam menghujam ke tanah. Dari batu itu, tampak sinar menyala. Ternyata kitab Banyu Geni disimpan oleh sang Resi di dalam batu tersebut.

"Ini kitabnya. Kembali aku minta, kau harus mampu mempertahankan kitab ini dari tangan orang-orang jahat. Karena aku telah menemukan dirimu, maka aku dan keempat puluh kadangku ini minta pamit padamu, Jaka." Disodorkannya kitab Banyu Geni itu kepada Jaka yang menerimanya dengan rasa haru.

"Terima kasih atas jasa Bapak Resi yang sudi menjaga milik kakek dalam jangka waktu yang begitu lama. Dengan apakah aku nanti mampu membalas budi baik ini."

"Jaka, aku tidak meminta balas jasa. Aku hanya minta padamu agar engkau mau selalu menjaga kitab tersebut dan mempelajarinya, sebab kitab itu akan makin menambah ilmu yang engkau miliki sebagai bekal dirimu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Di dalam kitab ini, kau akan mendapatkan ajian dan jurus-jurus yang belum ada tandingannya di jagad raya ini." Resi Kumala Geni menerangkan. "Pelajarilah baik-baik, sebab kelak ada manfaatnya untukmu. Kalau engkau sudah mempelajari, maka aku mohon simpanlah di tempat yang tidak mudah dijamah oleh orang jahat atau kau bakar."

"Baiklah Bapak Resi, segala petuahmu akan menjadi guru bagi diriku," jawab Jaka hormat, tangannya mendekap erat kitab Banyu Geni.

"Nah Jaka, aku akan pergi. Kau cepatlah menghentikan sepak terjang Bocah Kembaran Setan tersebut, yang kini telah dalam kuasa seorang wanita jahat bernama Nok Jenah."

Tersentak Bedah Jagad mendengar nama murid durhakanya diucapkan oleh sang Resi. Ia bermaksud bertanya, namun tubuh sang Resi telah menghilang entah ke mana. "Ayo Jaka, kita mencari Bocah durhaka itu yang kini telah menguasai Bocah Kembaran Setan. Kalau kita terlambat, entah bencana apa lagi yang bakal terjadi."

Dengan tanpa menolak lagi, Jaka segera mengikuti kakak seperguruannya setelah menyimpan kitab Banyu Geni dalam bajunya di antara ikat pinggangnya. Hari telah berganti, dari malam beranjak menuju pagi. Dari kejauhan kokok ayam jantan menggema, bersamaan dengan menyingsingnya sinar mentari. Dan Lembah Bangkai pun kembali senyap, hanya bangkai-bangkai manusia korban Bocah Kembaran Setan saja yang masih bergelimpangan di atas tanah.

********************

TUJUH

Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan nampak berlari menerabas malam yang pekat. Nok Jenah yang kini telah menguasai Bocah Kembaran Setan, bermaksud memperalat bocah tersebut untuk kepentingannya membalas dendam pada para tokoh aliran lurus yang telah membuatnya menderita terutama Pramana. Tapi Nok Jenah tak melakukan pada Pramana, dikarenakan ia mungkin akan menemui kesulitan.

Bukankah ibu Bocah Kembaran Setan itu anak dari Pramana sendiri? Secara tidak langsung, bila ia menyerang keluarga Pramana tentulah ia akan mengalami kesulitan. Bocah Kembaran Setan pasti akan membela keluarga tersebut, di mana ibunya berada.

"Bocah, kita akan berpesta sesaat lagi," Nok Jenah berkata pada si Bocah Kembaran Setan yang terbang di sampingnya dengan cepat, mengimbangi langkah lari Nok Jenah yang melesat bagaikan terbang. "Sudah siapkah engkau?"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bagus! Kau akan pesta darah! Kita akan menuju Perguruan Gunung Muria. Di sana kau akan mendapatkan darah yang engkau inginkan, Bocah."

"Ngik, ngik, ngik! Oar...!"

Keduanya kembali berlari merambah malam, memotong semak belukar di depannya. Langkah keduanya begitu cepat, melesat laksana terbang. Tengah keduanya berlari menuju ke arah Wetan, tiba-tiba Nok Jenah hentikan langkah dan miringkan kepala ke kiri.

"Rupanya ada cecunguk yang ingin mengganggu ketenangan kita nantinya," Nok Jenah bergumam. "Hem, ini kesempatan bagimu. Lakukan apa yang dapat engkau lakukan. Ada kira-kira dua puluh orang, kiranya cukup untukmu minum, bukan?"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bagus! Kau laksanakan segera!"

Bocah Kembaran Setan melesat menuju ke arah datangnya gemerisik di balik semak-semak. Matanya berkilat membara, lalu dengan cepat melesat ke arah datangnya suara gemerisik. Walau dalam gelapnya malam, tetapi mata Bocah Kembaran Setan tampak tajam hingga mengetahui di mana adanya orang tersebut.

"Aaaah...!" memekik salah seorang yang bersembunyi di balik semak-semak, manakala tangan kecil si Bocah Kembaran Setan mencengkeramnya. Dan dengan ganas Bocah Kembaran Setan tancapkan gigi taringnya, menghisap darah orang tersebut.

"Oar...!"

Tersentak yang lainnya, demi melihat temannya menjadi korban. Dengan segera orang-orang yang tadinya bersembunyi, melompat ke luar dari persembunyiannya dengan golok siap di tangan masing-masing.

Bocah Kembaran Setan yang telah menyelesaikan tugasnya menyedot darah salah seorang dari kedua puluh orang begal itu segera kembali melesat ke arah orang-orang lainnya, yang seketika membelalakan mata kaget demi apa yang mereka lihat.

"Bocah Kembaran Setan!" pekik mereka.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu dengan gesit mengelakan hantaman golok kedua puluh orang yang mengeroyoknya. Kemudian dengan secepat kilat pula, bocah Kembaran Setan pun menyerang ke arah mereka.

"Bug, bug, bug!"

Terdengar bunyi beradunya golok-golok mereka dengan tubuh Bocah Kembaran Setan. Bukannya tubuh sang Bocah yang patah tertebas golok mereka, tetapi sebaliknya golok merekalah yang poil dan patah. Mereka terkesima diam, menjadikan kesempatan Bocah Kembaran Setan untuk menyerang.

Tubuh Bocah Kembaran Setan melesat cepat, lalu dengan beringas ditangkapnya leher salah seorang dari mereka. Dan dengan segera digigitnya leher orang tersebut, darahnya pun seketika muncrat. Melihat darah muncrat, Bocah Kembaran Setan nampak makin bernafsu. Dihisapnya darah yang keluar dari leher orang tersebut, kemudian setelah di leher habis Bocah Kembaran Setan menyedot darah di tubuh orang tersebut.

"Hi, hi, hi...! Bocah, kau ternyata hebat!" terdengar suara seorang wanita tertawa cekikikan, menjadikan kedelapan belas para begal alihkan mata mereka memandang ke arah datangnya suara wanita tersebut. "Lakukan dengan cepat, biar kita cepat sampai pada tujuan kita, bocah!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, sepertinya mengiyakan apa kata Nok Jenah. Kemudian dengan mata tajam menghujam, Bocah Kembaran Setan secepat kilat kembali menerkam salah seorang dari mereka.

"Bocah Iblis! Mampus kau, hiat...!" Pimpinan begal nampak begitu marah. Dengan cepat ia hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Bug! Bug! Bug!"

Tubuh Bocah Kembaran Setan hanya tergoncang sesaat, lalu Bocah Kembaran Setan menyeringai, menunjukkan taringnya yang bergelepotan darah. Terbelalak pimpinan begal, demi dilihatnya ajian yang ia miliki tak berarti sama sekali bagi Bocah tersebut.

Nok Jenah tampak mengulum senyum melihat Bocah Kembaran Setan terus menyerang mereka. Namun ketika mereka tinggal beberapa orang saja, Nok Jenah nampak was-was dan mengeluh sendiri. "Sayang... sayang bila kesempatan ini tidak aku pergunakan sebaik-baiknya. Hem, bukankah pimpinan begal itu tampan juga, walau mukanya tertutup oleh cambang bawuk awut-awutan?"

Segera Nok Jenah yang sudah kehausan akan kebutuhan biologisnya berkelebat cepat, menotok pimpinan begal dengan gerakan yang cepat hingga sukar untuk dielakan.

"Tok, tok, tok!"

"Bocah, kau selesaikan kelima orang itu, biar aku menyelesaikan orang ini dulu." Habis berkata begitu pada Bocah Kembaran Setan, segera Nok Jenah melesat pergi dengan membawa tubuh pimpinan begal yang dalam keadaan pingsan.

Bocah Kembaran Setan masih terus menyerang tanpa mengenai ampun bagi kelima orang yang tersisa. Maka dalam sekejap mata saja, kelima orang begal-begal tersebut akhirnya satu persatu menemui ajal dengan darah kering terhisap dari tubuhnya dan mata melotot.

Bareng dengan orang yang terakhir memekik, terdengar pula lenguhan panjang dari balik semak-semak. Lenguhan kenikmatan yang keluar dari mulut Nok Jenah yang saat itu entah sedang berbuat apa.

Mendengar lenguhan panjang, seketika Bocah Kembaran Setan melesat ke arah datangnya suara tersebut. Nampak oleh Bocah Kembaran Setan pemandangan yang begitu mengesankan dirinya. Pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, di mana tubuh mulus nan indah milik seorang wanita selain ibunya terpampang di depan matanya.

"Bocah! Mengapa engkau ke mari?!" tanya Nok Jenah kaget sambil berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu dengan cepat menuju ke arah Nok Jenah berdiri mematung. Setelah jaraknya agak dekat, Bocah Kembaran Setan tiba-tiba berubah menjadi seorang pemuda tampan yang tak lain Genjati adanya. Mata Genjati memandang nanar pada tubuh Nok Jenah yang telanjang, napasnya memburu.

"Kau...! Kaukah bocah itu?" Nok Jenah terpana, demi melihat seorang pemuda tampan tiba-tiba muncul di hadapannya. Karena saking kagetnya Nok Jenah pun lupa pada keadaan tubuhnya. Kedua tangan yang menutupi auratnya terbuka, sehingga kini Genjati makin nampak melototkan mata dengan meleletkan lidah.

"Nok Jenah, kau cantik sekali," puji Genjati seraya mendekat ke arah Nok Jenah yang masih terpana dalam diam. Ia tak menyangka kalau Bocah Kembaran Setan, ternyata seorang pemuda tampan. Kini Nok Jenah tak dapat berkata-kata, dirinya terpaku diam dengan sesekali melenguh.

Genjati yang kini menjadi ujud seorang dewasa, tak dapat lagi menahan nafsunya. Begitu pula dengan Nok Jenah, ia nampak dengan senang menerima kemesraan yang dilancarkan oleh Genjati. Tak lama kemudian, kedua tubuh itu telah menjadi satu saling gumul dalam keheningan. Dan akhir dari semuanya, adalah erangan dan lenguhan nikmat Nok Jenah.

********************

"Orang ini harus aku bunuh, Jenah," Genjati berkata setelah kembali ke asalnya Bocah Kembaran Setan.

Dan Nok Jenahpun kini telah kembali mengenakan pakaiannya. "Memang, Genjati. Kalau ia tidak dibunuh, aku takut dia akan membocorkan rahasia kita."

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu tubuhnya melesat mencengkeram tubuh pimpinan begal diangkatnya tubuh pimpinan begal yang masih dalam keadaan tertotok, dan dengan cepat digigitnya leher orang tersebut hingga tembus.

"Crooot...!"

Darah segar muncrat dari leher pimpinan begal, yang segera disambut dengan cepat oleh Bocah Kembaran Setan. Dalam sekejap saja, tubuh pimpinan begal itu lemas dengan darah kering dari tubuhnya.

"Bagus!" Nok Jenah berseru girang.

"Nok Jenah, aku minta kau jangan melakukan apa yang engkau inginkan dengan orang lain," terdengar suara Genjati berkata, sepertinya ia cemburu bila melihat Nok Jenah mengadakan persetubuhan dengan lelaki Iain. "Aku menginginkan hanya padaku saja kau pasrahkan segalanya, Jenah."

"Baik, aku akan memasrahkan segalanya padamu. Asalkan engkau pun berjanji padaku pula."

"Janji apakah itu, Jenah?"

"Kau harus mau membantuku."

"Oh, bukankah aku selalu membantumu"

"Ya! Tapi ini masalah yang menyangkut kakek bocah yang engkau tumpangi," Nok Jenah menerangkan. "Aku memendam sakit hati pada kakeknya bocah yang engkau tumpangi. Kakeknya bayi itu bernama Pramanayuda, seorang pendekar yang sakti dengan senjatanya berupa pedang bernama Sukma Layung. Karena kehebatan pedang tersebut, Pramana digelari Pendekar Pedang Sukma Layung."

Bocah Kembaran Setan terdiam mendengarkan penuturan Nok Jenah. Matanya berbinar-binar, sepertinya ia merasakan adanya sesuatu getaran hebat dalam hatinya. Getaran pertarungan antara rasa harus berterima kasih pada keluarga si bocah yang tubuhnya digunakan untuk sukmanya, dengan getaran cinta yang dilandasi nafsu menggebu pada seorang wanita cantik Nok Jenah yang telah ia setubuhi.

"Haruskah aku memilih di antara keduanya," gumam Bocah Kembaran Setan dalam hati. Matanya masih memandang redup pada Nok Jenah. "Kalau aku tak mengikuti kehendaknya, pastilah aku tak akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Tapi jika aku mengikuti kemauannya, tentunya aku sebuah mahluk yang tak mengerti balas budi."

"Sebenarnya pada siapa dendammu itu, Jenah?" tanya Genjati setelah lama terdiam merenung. "Apakah hanya pada Pramana saja?"

"Sebenarnya aku ingin semua keluarga Pramana. Tetapi mungkin kau tidak tega dengan ibu angkatmu yang bergelar Ratu Maksiat Telaga Warna atau Penguasa Bukit Karang Bolong, bukan?"

"Ya! Dia telah mengandung diriku selama sembilan bulan."

"Baiklah! Aku hanya minta nyawa Pramanayuda saja."

"Hem, begitu?" tanya Genjati ingin kepastian.

Nok Jenah menganggukinya. "Kalau hanya itu, ayo kita segera ke sana!" ajak Genjati.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua manusia beda bentuk itu melesat dengan cepatnya laksana terbang. Bocah Kembaran Setan terbang, menjajari diri Nok Jenah yang berlari dengan cepatnya. Cambuk Perak Seribu masih tergenggam di tangannya. Dan cambuk itulah yang bakal mengalahkan Pedang Sukma Layung. Kedua tubuh itu melesat, menerobos malam yang pekat. Angin malam pun berderak, menerpa antara pepohonan.

********************

DELAPAN

Rumah Pramanayuda kini nampak berseri dengan kembalinya dua anak-anaknya. Rumah yang dulu sepi dan senyap, dan hanya ada suara-suara murid-murid Pramanayuda yang berlatih kini terpecah dengan gelak tawa keluarga Pramanayuda. Tegalaras dan Ningrum atau si Penguasa Bukit Karang Bolong telah kembali berkumpul dengan keluarganya.

Malam itu nampak di ruang tamu, seluruh keluarga Pramanayuda berkumpul. Duduk di kursi besar Pramanayuda, di sampingnya duduk pula sang istri. Sementara kedua anak-anaknya yang tidak lain Tegalaras dan Ningrum duduk di depan mereka.

"Ningrum, bagaimana dengan Bocah tersebut? Apakah engkau akan membiarkan bocah tersebut berbuat semaunya?" Pramana berlanjut setelah untuk sekian lama hanya diam duduk merenung.

"Benar adikku. Kalau bocah terus dibiarkan, niscaya korban akan terus berjatuhan," Tegalaras turut menyambungi ucapan ayahnya. "Namun aku belum berani bertindak, sebab semuanya telah ditangani oleh Jaka."

"Siapa Jaka itu, Kakang?" Ningrum yang bertanya. Ia sepertinya pernah mendengar nama tersebut. Ia lupa-lupa ingat, di mana ia pernah bertemu dengan orang yang bernama Jaka? "Apakah dia seorang pemuda, Kakang?"

Mata Tegalaras membeliak, begitu juga mata ayah dan ibunya. Mereka tersentak kaget demi mendengar Ningrum menebak siapa adanya pendekar muda sakti. Sebenarnya Ningrum sendiri tengah memikirkan di mana dirinya pernah mendengar nama Jaka. (Baca Penguasa Bukit Karang Bolong) di mana Ningrum pernah bersua dengan Jaka manakala ia dengan gurunya menghajar paman gurunya, yang tak lain guru Tiga Iblis Kelangit.

"Kau seperti telah mengetahuinya, adikku?"

"Ya! Aku memang pernah berjumpa dengan pemuda tampan yang menyebut dirinya Jaka... Jaka Ndableg, bukan?" Ningrum balik bertanya

"Eh rupanya kau mengenal nama panjangnya Adikku," terheran-heran Tegalaras mendengar ucapan Ningrum yang telah menerka nama Jaka Ndableg. "Bagaimana kau mengenalnya, Adikku? Sedangkan di Bukit Karang Bolong kau dalam keadaan tak sadar manakala pendekar itu menghancurkan suamimu si Setan Rambut Putih yang tak lain iblis tersebut?"

"Aku mengenalnya bukan di Bukit Karang Bolong, Dan waktu itu pun aku dalam keadaan sadar sepenuhnya." Ningrum kembali merenung, berpikir di mana dia pernah menjumpai Jaka Ndableg yang kini ia ketahui adalah sahabat kakaknya. Sesaat setelah tercenung Ningrum pun. berkata kembali: "Ya, aku ingat sekarang. Aku mengenalnya dan sekaligus merasakan jatuh cinta manakala aku dengan guruku Ratu Kelabang Ungu menggempur paman guruku yang ternyata guru dari Serangkai Iblis Kelangit yang telah memperkosaku. Oh, aku lupa tidak menghukum Rengkana biadab itu."

"Dia sudah mendapatkan hukumannya, Adikku," Tegalaras menghibur adiknya yang tibatiba kembali sedih. "Kini mukanya telah hancur terkena oleh pukulanku."

"Benarkah itu kakang?"

"Benar, adikku..."

Kembali ruangan itu hening untuk sesaat, lalu kembali terdengar suara Pramanayuda berkata: "Kini pendekar muda itu di mana, Tegal?"

"Entahlah, Ayah," jawab Tegalaras . "Dia hanya berpesan padaku waktu kejadian gegernya Ratu Maksiat Telaga Warna, agar aku mengurusi Ningrum dan dia akan memburu Bocah Kembaran Setan tersebut."

"Hem, sungguh dia seorang pendekar sejati, Anakku. Dia tanpa pamrih dalam menjalankan tugasnya. Ilmunya sungguh tiada tanding untuk sekarang ini, atau di masa-masa kemudian," Pramanayuda menggumam sendiri.

"Sungguh aku ingin sekali berkenalan dengannya. Aku memang telah mendengar namanya, namun aku belum dapat melihat pemuda itu dalam arti wajahnya."

"Dia berwajah tampan ayah," Ningrum yang menjawab, menjadikan Pramanayuda dan anak lelakinya Tegalaras serta ibunya memandang terbengong ke arahnya. Ningrum tersipusipu malu. "Maafkan Ningrum. Ningrum memang...." Ningrum tak meneruskan ucapannya. Seketika Ningrum tundukkan kepala, tak berani memperlihatkan roman merah dan binar-binar keceriaan di wajahnya.

Pramanayuda yang memahami hati anaknya, nampak menarik napas panjang. Ditatapnya lekat sesaat Ningrum yang tertunduk, lalu berpindah ke arah Tegalaras. Kemudian berganti pada istrinya, dan berkata: "Kau mencintainya, Anakku?"

Ningrum terjengah, tengadahkan wajah. Dari kedua matanya seketika melelehkan air bening. Ningrum menangis, menjadikan kakak dan kedua orang tuanya tersentak kaget. Tegalaras yang tak tega bertanya menghiburnya.

"Adikku, kenapa engkau menangis?"

"Aku sedih, kenapa diriku hancur? Manalah mungkin Jaka mau menerima diriku?" Ningrum makin mengeraskan isak tangisnya.

"Kau tidak boleh berkata begitu, Adikku. Itu namanya putus asa. Dan bila orang telah putus asa, bukankah engkau pernah mengalaminya sendiri? Iblis akan dengan mudah merasuki jiwamu. Janganlah kau bersedih, aku akan berusaha agar Jaka mau menerima dirimu."

"Benarkah itu, Kakang?" Ningrum sedikit tenang mendengar ucapan kakaknya. "Benarkah engkau akan meminta pada Jaka agar dia mau menerima diriku?"

"Akan aku lakukan, Ningrum."

Tanpa sadar Ningrum yang diliputi rasa gembira segera menghambur memeluk tubuh Tegalaras. Keceriaan kembali tergambar di wajahnya. Keceriaan Ningrum, menjadikan keceriaan di wajah seluruh keluarganya.

Tengah keluarga Pramana dalam luapan kegembiraan, tiba-tiba di luar terdengar keributan. Pramana dan seluruh anaknya nampak tersentak, apalagi ketika terdengar jeritan dari murid-muridnya.

"Aaaah...!"

"Guru...! Bencana datang...!"

"Ada apakah di luar?!"

Pramana segera berkelebat ke luar diikuti oleh kedua anak-anaknya. Betapa terkejutnya Primanayuda, manakala melihat dua orang manusia yang telah ia kenal benar siapa adanya tengah melakukan pengacauan. Salah seorang dari manusia tersebut, tak lain Nok Jenah. Sedangkan yang satunya adalah Bocah Kembaran Setan.

"Hentikan!" bentak Pramanayuda.

Seketika semua yang tengah bertarung menghentikan pertarungannya. Mata mereka seketika memandang ke arah di mana datangnya suara bentakan tersebut. Nok Jenah yang tahu Pramana nampak cibirkan bibir sinis, lalu dengan congkaknya ia bergelak tawa dan berkata.

"Hua, ha, ha...! Pramanayuda, dua puluh lima tahun aku mendekam dalam himpitan batu. Dua puluh lima tahun pula aku mencari ilmu dan senjata yang mampu menghadapi senjata milikmu. Kini aku datang untuk menuntut hutangmu padaku, sekaligus bunganya."

"Perempuan Iblis! Rupanya engkau tiada jemu melakukan keonaran. Apakah engkau masih penasaran dengan penolakan cintaku?" Pramanayuda balik sinis berkata: "Aku sudah tua, untuk apa lagi engkau mendendam. Bukankah dengan ilmu iblismu engkau mampu mendapatkan pria yang engkau kehendaki?"

Merah seketika wajah Nok Jenah mendengar sindiran Pramanayuda. Matanya tajam memandang bengis ke arah Pramanayuda dan dua orang anaknya yang sudah kesohor namanya. Tapi dengan Cambuk Perak Seribu di tangannya, seakan kebesaran nama Pramanayuda dan kedua orang anaknya bagaikan tiada arti. Sepertinya Cambuk Perak Seribu akan mampu menghadapi mereka semuanya.

Sementara itu Bocah Kembaran Setan nampak terdiam mengambang di angkasa. Ia mulai meragu, manakala melihat Ningrum yang merupakan ibu angkatnya berdiri memandang ke arahnya dengan pandangan sayu. Tak terasa Bocah Kembaran Setan seketika menangis, layaknya tangisan seorang bocah yang rindu pada ibunya.

"Cuih! Aku datang ke sini bukan untuk mengemis cinta bulukan darimu! Aku datang ke sini untuk mengambil nyawamu yang telah tua dan rapuh itu, Pramana!" bentak Nok Jenah sengit.

"Hem, begitu?" Pramanayuda masih nampak tenang. "Kalau itu yang engkau mau, mengapa engkau membawa-bawa bocah itu ke mari dan mesti membunuh anak muridku yang tiada dosa!"

"Hi, hi, hi...! Kau rupanya takut pada cucumu sendiri, Pramana. Baik! Aku tak akan menyuruhnya menyerangmu. Mari kita lanjutkan kejadian dua puluh lima tahun yang silam."

"Apa maumu aku turuti, iblis!"

Pramana segera melompat masuk ke rumah, sementara kedua anaknya nampak masih berjaga-jaga. Sebenarnya Tegalaras sudah tak sabar hendak menghajar perempuan iblis tersebut, begitu juga halnya dengan Ningrum si Penguasa Bukit Karang Bolong. Tapi karena ia menyadari bahwa si nenek yang cantik itu menghendaki ayahnya, maka sebagai anak dan sebagai seorang pendekar ia tidak mau gegabah turut campur dengan urusan orang tua mereka.

Tak lama kemudian dari dalam rumah Pramanayuda kembali melompat ke luar. Pedang Sukma Layung telah tergenggam di tangannya. Dengan pedang tersebut, kini Pramanayuda telah siap menghadapi segala resiko apapun.

"Mari kita mulai!" Pramanayuda mencelat, pergi menjauh menuju ke lapangan yang biasanya digunakan untuk berlatih murid-muridnya diikuti oleh Nok Jenah yang tangannya sudah siap dengan Cambuk Perak Seribunya.

Dua orang musuh bebuyutan karena cinta itu kini berhadap-hadapan dengan senjata masing-masing. Sejenak keduanya saling pandang, seakan ingin menjajagi ilmu yang mereka miliki masing-masing.

"Siapa yang akan mendahului, Jenah?"

"Kau! Sebab kaulah tuan rumahnya," jawab Jenah menyombong.

"Baik! Bersiaplah! Jangan sampai kau kalah untuk yang kedua kalinya, sebab sia-sia engkau menimba ilmu pada Ratu Siluman Ular Sanca."

Nok Jenah mendengus marah, manakala Pramanayuda menyebut nama Ratu Siluman Ular Sanca. Ternyata Pramanayuda telah mengetahui siapa adanya orang yang kini mendampinginya. Maka untuk menutupi kekagetannya Nok Jenah membentak: "Diam! Jangan engkau sebut Ratuku! Apakah engkau takut, Pramana?"

"Pantang bagiku untuk mengenal takut, Jenah."

Setelah berkata begitu, segera Pramanayuda dengan pedang pusaka Sukma Layung berkelebat, menyerang ke arah Nok Jenah. Serangannya begitu cepat, tak ubahnya manakala masih remaja saja. Hal itu menjadikan Nok Jenah terkesiap kaget, hampir pedang Layung Sukma menghantam dirinya kalau saja Nok Jenah tidak segera mencelat menghindar.

"Edan! Ternyata ilmu Pramana makin bertambah," gumam Nok Jenah membatin. Segera ia kibaskan Cambuk Perak Seribunya, yang tibatiba berubah menjadi ular kecil-kecil beracun. "Pramana, terimalah kematianmu, hiat...!"

Nok Jenah berkelebat dengan Cambuk Perak Seribunya yang telah berubah menjadi ular berjumlah ribuan. Ular-ular itu mendesis-desis, menyerang ke arah Pramana. Pramana yang sudah banyak makan garam, tak mau begitu saja mengalah. Segera ia kibaskan Pedang Sukma Layung. Asap keluar mengepul, bergulung-gulung menutupi dirinya.

Ular-ular kecil berjumlah seribu itu teriak kaget, mendesis panjang dan akhirnya lenyap.  Hal itu menjadikan Nok Jenah kaget bukan alang kepalang, ternyata asap yang keluar dari Pedang Sukma Layung mampu menghilangkan ilmu sihirnya. Namun Nok Jenah tak mau mengalah begitu saja, kini tangannya yang sebelah kiri berubah menjadi seekor ular besar dan panjang. Ular tersebut mendesis-desis, mematuk-matuk ke arah Pramanayuda.

Pramanayuda kembali kibaskan pedang nya, kali ini makin cepat. Asap hitam legam kembali mengepul, makin banyak hingga menyerupai benteng yang sukar untuk ditembus. Hal itu menjadikan Ular yang terjadi dari tangan Nok Jenah tak mampu menembus kabut tebal itu, bahkan kini ular tersebut merasakan adanya sesuatu keanehan. Ular itu menggelepar-gelepar dan hilang berubah kembali pada asalnya.

"Bedebah! Jangan kira kau akan menang, Pramana!" bentak Nok Jenah marah. Segera ia sabetkan Cambuk Perak Seribunya, menjadikan kabut penghalang itu seketika hilang. Nok Jenah tak hanya sampai di situ. Ia segera kembali hantamkan Cambuk Perak Seribu ke arah Pramana. Larikan jarum-jarum kecil menderu, menyeruak ke arah Pramanayuda.

"Ah...!" Pramanayuda tersentak dan berusaha menghindar. Namun jarum-jarum beracun itu melesat dengan cepatnya. Dan manakala jarum-jarum itu hendak menghantam tubuh Pramana, tiba-tiba sebuah petir menggelegar berkali-kali. Petir itu seketika meluluh lantakan jarumjarum tersebut.

"Bangsat! Siapa yang telah berani kurang ajar!" maki Nok Jenah marah. Nok Jenah lemparkan tubuh ke belakang, hindari serangan petir yang menyala.

"Duar! Bletar, bletar! Bletar!"

"Keluar kau, kunyuk!" Nok Jenah memaki-maki.

Akan tetapi orang yang dimaksudkannya tak segera menampakkan dirinya. Betapa gusar Nok Jenah seketika, yang dengan segera hantamkan ajiannya ke asal suara petir.

"Wuuut...!"

Angin pukulan yang dilontarkan Nok Jenah menderu, melesat dengan cepatnya ke arah sebuah pohon yang rindang. Dan sesaat kemudian, terdengar ledakan dahsyat yang menjadikan pepohonan itu hancur berantakan.

"Duar...! Bum...!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata kalian harus mampus juga!" Nok Jenah bergelak tawa, menyangka kalaulah orang tersebut telah binasa bersama hancurnya pepohonan itu. "Bocah! Cari kedua kunyuk-kunyuk pengecut itu!"

Bocah Kembaran Setan yang adalah Genjati adanya segera melesat menuju di mana pepohonan itu hancur berantakan. Namun seketika Bocah Kembaran Setan mental kembali sebelum tubuhnya sampai ke tempat tersebut bagaikan ada yang mendorongnya. Marahlah Bocah Kembaran Setan bukan alang kepalang.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali melesat menuju ke tempat yang telah mengeluarkan dorongan angin besar, yang telah mampu melontarkan tubuhnya.

"Bocah iblis! Rupanya kau masih berani menuju ke mari!" terdengar bentakan seorang pemuda. "Terimalah ini untukmu, Bayu Dewa. Hiat...!"

Wut...! kembali angin menderu dengan kencang dan besar, menerpa tubuh Bocah Kembaran Setan yang saat itu tengah melayang menuju ke arah datangnya angin tersebut. Tak ayal lagi, tubuh Bocah Kembaran Setan kembali balik mental ke belakang. Hampir saja tubuh bocah tersebut jatuh ke tanah, kalau saja tidak segera Nok Jenah menangkapnya.

"Kunyuk-kunyuk pengecut, keluar kalian!" Nok Jenah tak hiraukan lagi Pramanayuda. Ia dengan geram kembali hantamkan pukulannya ke arah datangnya angin topan yang mampu menerpa tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Wut...! Duar..!"

Kembali pohon yang terkena hantaman meledak, lalu tumbang dengan keadaan hancur berkeping-keping. Tapi ternyata orang yang dituju tak terkena, malah kini terdengar gelak tawa dari seorang pemuda.

"Hua, ha, ha...! Perempuan tolol! Kenapa kau rusak pepohonan yang tidak bersalah! Aku ada di belakangmu!"

Tersentak semua yang ada di situ termasuk Nok Jenah, manakala dengan secara tiba-tiba di belakang tubuhnya telah berdiri seorang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya. Jaka Ndableg tersenyum, seakan ingin menunjukkan kendablegannya.

"Siapa kau, anak muda!" bentak Nok Jenah setengah kaget.

"Aku... ha, ha, ha...! Aku adalah Jaka Ndableg. Seorang pemuda klontang klantung, yang suka usilan pada orang-orang usil sepertimu."

Mata Bocah Kembaran Setan yang berada dalam gendongan Nok Jenah nampak ketakutan. Dia telah tahu sendiri siapa adanya pemuda tersebut. Seorang pemuda yang merupakan anak angkat Ratu Kehidupan bangsa lelembut.

"Oaar...!"

"Jangan takut, bocah! Aku akan menghancurkannya."

"Oaar..!" Bocah Kembaran Setan kembali mengoar, sepertinya memberitahukan bahwa pemuda itu bukanlah musuh mereka. Tapi Nok Jenah yang sudah marah tak mau perduli.

"Ayo kita serang dia!" perintah Nok Jenah. Dengan agak takut-takut Bocah Kembaran Setan pun segera melesat berbareng dengan Nok Jenah menyerang Jaka Ndableg. Namun belum juga tubuh mereka sampai, sebuah bayangan berkelebat menghadangnya. Tak ayal lagi tubuh keduanya mental ke belakang, tertimpa oleh angin yang besar dari tangan orang yang baru datang. Mata Nok Jenah seketika membelalak kaget, manakala tahu siapa adanya yang datang.

"Guru...! Ayah !"

"Aku bukan ayahmu, iblis!" menderak lelaki tua tersebut.

"Ki Bedah Jagad!" Pramana tak kalah kagetnya. "Ah, rupanya kabar itu hanya isu belaka. Ternyata engkau masih hidup, Ki? Sungguh aku merasa bersyukur."

"Saudara Pramana, biarkanlah kami berdua menangani mahluk-mahluk iblis ini," meminta Bedah Jagad. "Ayo, Jaka...!"

Tanpa menunggu jawaban dari Pramanayuda, segera keduanya berkelebat menyerang. Jaka Ndableg menyerang Bocah Kembaran Setan, sementara Bedah Jagad yang sudah merasa marah pada bekas anak angkatnya menyerang Nok Jenah. Serangan kedua pendekar kakak beradik seperguruan itu begitu cepat, menjadikan kedua iblis berbentuk manusia tak mampu untuk membalas menyerang.

"Ayah! Kalau engkau terus menyerang, jangan salahkan aku bertindak!" ancam Nok Jenah marah.

"Lakukan bila kau mampu!" balas Bedah Jagad.

"Kau lihat ini, bukan?!"

Tersentak Bedah Jagad, manakala melihat senjata milik istrinya. Ia tahu, kalau dirinya tak akan mampu menghadapi senjata tersebut. "Cambuk Perak Sewu! Dari mana kau mendapatkannya, iblis!"

"Hi, hi, hi...! Aku mendapatkannya dari istrimu. Istrimu sebenarnya akulah yang meracuni. Hi, hi, hi....! Tapi waktu itu dia tidak memberitahukan di mana adanya cambuk ini," Nok Jenah cekikikan, mengacungkan cambuk tersebut ke arah Bedah Jagad yang segera mundur. "Kini cambuk ini akan menghabiskan nyawamu!"

"Kakang, minggirlah! Biarkan aku menghadapi kedua-duanya!"

Jaka Ndableg segera mencelat, menghadang Nok Jenah yang telah siap dengan cambuknya. Sementara Bedah Jagad yang mengerti keadaan tidak mau mengotot. Segera ia pun berkelebat mencelat ke belakang dan berdiri di samping Pramanayuda menonton.

"Ayo kalian berdua majulah, biar aku dengan segera membereskan tikus-tikus busuk macam kalian!"

Gusar dan marah Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan demi mendengar nama mereka disebut oleh Jaka Ndableg tikus-tikus busuk. Dengan menggeram, keduanya berkelebat menyerang Jaka berbarengan. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka kebingungan. Malah dengan gelak tawa Jaka menghindar dan balik menyerang.

"Oar...!"

"Aku hancurkan tubuhmu pemuda sombong!" bentak Nok Jenah. Dengan bareng kedua mahluk iblis berbentuk manusia itu berkelebat menyerang Jaka.

Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, melenting bersalto. Kemudian setelah dirinya tinggi di angkasa, Jaka segera hantamkan ajiannya. "Tapak Prahara, hiat...!"

Kedua musuhnya hanya tersenyum mendengar Jaka lontarkan ajiannya yang dahsyat tersebut. Bahkan keduanya kini bergelak tawa. "Hua, ha, ha...! Keluarkan ribuan ajian macam itu, anak sombong!"

"Oar...!"

Bocah Kembaran Setan nekad menghadang laju gumpalan api yang keluar dari tangan Jaka Ndableg, hingga dalam sekejap saja tubuh Bocah tersebut terkurung oleh api yang menyala-nyala.

Mata semua yang ada di situ terperanjat melihat Jaka telah mengeluarkan ajiannya. Lebih terperanjat lagi manakala melihat api inti itu menyelimuti tubuh Bocah Kembaran Setan yang nampaknya tidak mengalami apa-apa. Manakala kesemuanya dalam keterkejutan, tiba-tiba Jaka berseru:

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Sebuah Pedang bersinar kuning kemerah-merahan tiba-tiba telah berada di tangan Jaka Ndableg. "Hiat...!" Jaka Ndableg berkelebat dengan Pedang Siluman Darah siap menyerang. Tubuh Jaka melompat bagaikan terbang, lalu dengan cepat babatkan pedang Siluman Darah ke arah gulungan api tersebut.

"Aaaah....!" terdengar lengkingan menyayat bersamaan dengan musnahnya api. Tubuh Bocah itu tidak mengalami apa-apa, namun kini tubuh bocah tersebut merosok turun ke bawah. Jaka dengan segera menyambar dan membawanya ke arah keluarga Pramana masih tegak berdiri.

"Bocah sombong! Kau telah membunuh kekasihku!" Nok Jenah mencak-mencak marah, lalu berkelebat dengan Cambuk Perak Sewunya menyerang Jaka yang tengah menuju ke keluarga Pramanayuda.

Jaka yang tidak ingin orang lain menjadi sasaran, segera berkelebat menghindar. Jaka urungkan menyerahkan bayi itu ke Ningrum, dan kini ia masih membopong bayi dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menggenggam Pedang Siluman Darah. Jaka segera berkelebat cepat memapaki serangan jarum-jarum yang akan mengancam orang-orang yang berada di belakangnya.

Wuuut...!

Jaka babatkan pedang. Seketika luluh lantahlah jarum-jarum maut yang keluar dan Cambuk Perak Sewu. Hal itu menjadikan Nok Jenah membeliakkan mata kaget, tak percaya bahwa senjata yang sangat diagung-agungkan ternyata tak berarti apa-apa bila harus berhadapan dengan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka.

"Nok Jenah, bersiaplah. Hiat...!"

Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan menggenggam pedang Jaka berkelebat kiblatkan Pedang Siluman Darah ke arah Nok Jenah. Laju Pedang Siluman Darah yang berada di tangan Jaka begitu cepat, sehingga Nok Jenah yang bermaksud menghindar tak mampu bergerak. Nok Jenah mati langkah, sehingga tanpa ampun lagi...

"Aaaaah...!" Nok Jenah menjerit, tubuhnya terpangkal jadi dua. Darahnya mengering terhisap dari tubuhnya oleh Pedang Siluman Darah. Tubuh itu seketika mengepulkan asap. Setelah asap menghilang, tampaklah wajah keriput yang menakutkan. Itulah wajah asli Nok Jenah, yang tidak lain Iblis Ular Sanca.

Jaka melangkah lemah menuju ke Ningrum. Bayi dalam gendongannya tertidur pulas, sepertinya sang bayi tengah mengalami mimpi yang panjang. "Ini anakmu,"

Jaka sodorkan bayi dalam dukungannya ke ibunya yang memandang dengan mata penuh arti. Jaka tersentak kaget melihat tatapan mata Ningrum yang kini menjadi seorang gadis cantik jelita, bukan Ningrum Penguasa Bukit Karang Bolong atau Ningrum Ratu Maksiat Telaga Warna.

"Kau...?" lidah Jaka kelu.

Ningrum hanya mampu menundukkan kepala, tak berani memandang Jaka. Suasana haru dan sendu pun seketika menyelimuti mereka. Semuanya diam, membisu bagaikan menghayati diri mereka sendiri.

S E L E S A I