Pengantin Ratu Pesolek - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pengantin Ratu Pesolek
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Kakek itu duduk bersandar pada sebatang pohon. Matanya terpejam rapat. Kedua tangannya terlipat menyilang ke atas perut, mengempit sebatang tongkat kayu butut berwama hitam pekat. Pakaian yang dikenakannya berupa lembaran kain putih yang dilibat-libatkan di sekujur tubuh.

Tampaknya, kakek itu seorang pertapa. Usianya sukar ditaksir. Karena, meski kumis dan jenggotnya telah berwarna putih dan panjang menjuntai ke dada, namun wajahnya masih terlihat segar. Kakek itu memang tengah beristirahat. Belaian angin yang lembut membuatnya terlena.

Keberadaan kakek pertapa itu, yang tertidur di tengah hutan sunyi, telah menarik perhatian seorang pemuda tampan yang kebetulan melintas di hutan itu. Melihat betapa kakek pertapa tertidur dengan pulasnya, pemuda berjubah putih itu memperingan langkahnya. Sepertinya, ia tidak ingin menggannggu ketenangan tidur kakek pertapa.

Tapi, sewaktu hendak melintas di depan kakek pertapa, tiba-tiba si pemuda mengerutkan kening dengan wajah keheranan. Ada suatu gelombang aneh yang menahan tubuhnya. Ia tidak dapat bergerak maju. Tentu saja pemuda itu merasa heran. Bergegas kepalanya menoleh ke arah kakek itu. Ia merasa curiga. Kejadian itu dialaminya tepat sewaktu ia berjalan di hadapan kakek pertapa.

"Kakek. Kalau memang sikapku yang lewat tanpa permisi kau anggap tidak sopan, harap maafkan aku." Pemuda tampan itu berkata dengan sopan. Setelah memperhatikan sekeliling, ia tidak melihat orang lain kecuali kakek itu. la merasa kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dan, ia tidak benar-benar sedang tidur.

Pemuda tampan berjubah putih itu kemudian menunggu beberapa saat. Tapi, yang ditunggu kelihatannya tidak tahu apa-apa dan tetap tertidur pulas. Malah, suara dengkurnya terdengar semakin keras. Merasa perkataannya tidak ditanggapi, pemuda itu hanya bisa mengangkat bahu. la kembali mengayun langkah hendak melanjutkan perjalanannya.

Tapi, lagi-lagi ia merasakan hal yang sama! Bahkan, gelombang tenaga yang tak tampak itu semakin kuat. Sehingga, meskipun ia memaksa maju, tetap saja tubuhnya tertahan. Sampai akhirnya pemuda itu menghela napas jengkel, setelah berkali-kali mencoba tapi tetap gagal. Sekali lagi pemuda berjubah putih itu menoleh ke arah kakek pertapa. Wajahnya yang semula putih kini tampak kemerahan. Butir-butir keringat menghiasi keningnya.

"Baiklah, aku menyerah...." Akhirnya, pemuda tampan itu berkata sambil menghela napas berat. Karena, kakek pertapa itu tetap tidak menggubrisnya dan tetap tertidur dengan wajah tanpa dosa. Tanpa menoleh lagi, pemuda itu memutar tubuhnya. Ia bermaksud mengambil Jalan lain.

"Eh...?!" Pemuda tampan itu tak dapat menahan seruan kagetnya. Dinding tenaga gaib itu sekarang bukan cuma berada di depannya. Di belakangnya pun terdapat dinding serupa. Tentu saja ia merasa dipermainkan! Keheranannya berubah menjadi kejengkelan.

"Seingatku tidak ada kesalahan yang kuperbuat terhadapmu, Kakek Pertapa. Tapi, kalau kau mempermainkan diriku seperti ini dan tetap berpura-pura tidur bagai orang mati, aku tidak bisa terima...," usai berkata, pemuda tampan yang tidak lain Panji atau Pendekar Naga Putih, segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya yang terkenal. Sekejap saja, sekujur tubuhnya telah terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menye barkan hawa dingin menusuk.

"Oaahemmm...."

Tapi, sebelum Panji mendorongkan kedua telapak tangannya untuk menggempur dinding gaib, tiba-tiba kakek pertapa itu menguap panjang seraya menggeliatkan tubuhnya.

"Wah.... Pantas saja tiba-tiba udara di tempat ini berubah dingin. Kiranya kau penyebabnya, Orang Muda. Hahh.... Keterlaluan sekali. Apa kau sengaja hendak mengganggu tidurku?" Kakek pertapa itu bersungut-sungut seraya bergerak bangkit.

Panji bergegas menarik kembali tenaga saktinya. Diputarnya tubuhnya menghadap kakek itu. Panji tak dapat menyembunyikan kekagumann ketika melihat sosok pertapa itu. Mereka berdiri berhadap-hadapan dalam jarak setengah tombak. Kakek itu bertubuh tinggi besar. Panji sendiri cuma setinggi bahunya. Menurut penglihatan Panji, kakek itu sekitar enam puluh tahun.

"Maaf, Kakek Pertapa." Sekali lagi Panji meminta maaf seraya membungkukkan tubuhnya "Sebenarnya aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu, Kek. Tapi, dinding-dinding gaib yang sengaja kau ciptakan untuk menghalangi jalanku membuat aku tidak mempunyai pilihan lain."

Kakek pertapa itu tidak berkata apa-apa. Ditelitinya sekujur tubuh Panji. Panji terpaksa diam saja. Ditunggunya kakek itu selesai menilai dirinya.

"Cocok!" Tiba-tiba kakek itu berkata seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang kau bersiaplah untuk mati, Orang Muda...!"

Whuttt..!

Begitu ucapannya selesai, kakek itu membabatkan tongkatnya memenggal leher Panji. Beruntung, sejak semula Panji sudah menaruh curiga. Sambaran tongkat itu dapat dihindarinya dengan melempar tubuh kebelakang.

"Bagus...!" Kakek pertapa itu memuji kesigapan Panji. Ia tidak melanjutkan serangannya. Setelah melemparkan tongkatnya, kakek itu melangkah menghampiri sebatang pohon yang cukup besar. dipeluknya batang pohon itu. Lalu, dengan sebuah hentakan keras, disentakkannya pohon itu.

Brolll...!

Hebat bukan main kekuatan yang dimiliki kakek itu. Sekali sentak saja batang pohon besar itu tercabut hingga ke akar-akarnya! Panji sampai terbengong-bengong menyaksikan kedahsyatan tenaga dalam itu. Terlebih ketika kakek itu memondong batang pohon dan melangkah menghampirinya.

"Lakukan seperti apa yang kuperbuat, Orang Muda. Terserah bagaimana cara kau melakukannya..," ujar kakek itu. Batang pohon dipondongnya dengan kedua tangan.

"Apa... apa maksudmu, Kakek Pertapa...?" tanya Panji tidak mengerti.

"Tidak perlu banyak tanya! Lakukan saja apa yang kukatakan tadi Kecuali, kalau kau memang ingln menjadi mayat di pulau yang masih asing bagimu ini!" Kakek pertapa itu membentak dengan sorot mata tajam menusuk.

Sadar kalau kakek itu bersungguh-sungguh, Panji segera melakukan keinginannya. Untuk mencabut pohoh beserta akar-akarnya seperti yang dilakukan kakek pertapa itu, jelas tidak mungkin. Selain ia tidak memiliki dasar tenaga luar yang besar, sepasang lengannya pun tak cukup panjang untuk memeluk batang pohon sebesar itu. Tapi, Panji tidak kehilangan akal. Dengan tenaga gabungannya, digedornya pohon besar itu hingga patah dan roboh.

"Bagus!" Kakek pertapa itu kembali memuji. "Kau cukup cerdik, meski tidak memiliki kekuatan seperti yang kumiliki. Nah, sekarang marilah kita bertarung dengan menggunakan batang pohon ini. Anggap saja sebagai tongkat...."

"Kau ini benar-benar aneh, Kakek Pertapa," ujar Panji heran bukan main. Tapi, Panji tidak mempunyai pilihan lain. Ia juga merasa penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan kakek pertapa itu.

"Jaga seranganku, Orang Muda! Hyaaatt..!"

Whuukkk...!

Hampir bersamaan dengan seruannya, ka kek itu mengayunkan batang pohonnya ke arah Panji Menghindari serangan itu jelas tidak mungkin, Panji tak mungkin melompat sambil memondong batang pohon. Sedangkan untuk bergerak mundur, akan sangat berbahaya. Dengan membawa-bawa batang pohon, gerakannya pasti lebih lambat. Sementara, serangan itu sudah semakin dekat ke arahnya. Satu-satunya jalan, Panji harus melakukan hal yang sama seperti kakek pertapa itu. Batang pohon di tangannya segera diayunkan untuk menghalau serangan maut itu.

Derrr...!

Untuk menangkis serangan kakek pertapa, Panji pun terpaksa harus mengayunkan batang pohon yang berada di tangannya.

Derrr...!

Benturan keras yang tak terhindarkan lagi membuat tubuh Panji terhuyung mundur hampir satu tombak. Kakek pertapa itu pun mengalami hal serupa. Hanya jaraknya lebih pendek. Kenyataan itu jelas menunjukkan tenaga kakek itu masih satu tingkat di atas Panji.

Pertarungan unik itu kembali berlanjut. Serangan-serangan kakek pertapa demikian gencar dan ganas. Panji yang semula bertahan kini mulai melancarkan serangan balasan. Meskipun agak sulit karena harus menggunakan batang pohon sebaga senjata, namun karena kakek pertapa itu seperti menghendaki kematiannya, Panji berusaha membiasakan diri.

Cukup lama pertarungan unik itu berlangsung Sejauh itu belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Sedangkan tubuh keduanya sudah bermandi peluh. Terlebih Panji, yang selama hidupnya baru pertama kali mengalami pertempuran unik seperti ini. Tidak aneh kalau Panji terlihat kepayahan. Deru napasnya mendengus-dengus bagai kuda pacu. la harus mengerahkan tenaga gabungannya terus-menerus. Tentu saja dengan begitu ia menjadi cepat lelah.

Tapi, untuk mengalah terhadap kakek pertapa itu Panji tidak sudi. Menyerah kalah sama saja dengan menyerahkan nyawanya. Panji tidak ingin mati percuma tanpa sebab-sebab yang jelas. Terlebih di pulau yang asing dan baru pertama kali didatanginya ini.

Hampir seratus jurus sudah pertempuran itu berlangsung. Pagi telah berganti siang. Sementara, baik Panji maupun kakek pertapa itu sudah semakin lelah. Tubuh dan pakaian mereka basah kuyup oleh peluh, seperti habis tercebur di sungai. Kuda-kuda mereka semakin goyah, hampir tak kuat memondong batang pohon.

"Hh... hh... hh...! Kau benar-benar tidak mengecewakan, Orang Muda...."

Setelah lewat seratus jurus, kakek pertapa itu tiba-tiba melempar batang pohon di tangannya, kemudian melompat jauh ke belakang. Ia jatuh terduduk dengan napas terengah-engah.

Panji tidak saja terkejut. Batang pohon yang dilemparkan kakek pertapa itu melayang deras ke arahnya. Panji tahu kakek itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Panji pun sadar ia tidak akan kuat menahannya. Maka, sambil membentak keras, dilemparkannya batang pohon di tangannya. Lalu, melempar tubuh bergulingan ke samping.

Di udara, dua batang pohon itu saling bertumbukan keras. Kemudian, jatuh berdebum menggetarkan tanah sekitar tempat itu. Sementara, Panji dan kakek itu terduduk di tanah dengan napas tersengal-sengal. Keduanya saling berpandangan.

Setelah agak lama, kakek pertapa itu mengulapkan tangannya kepada Panji. Panji tidak segera menuruti permintaan kakek itu untuk maju mendekatinya. Tapi, setelah kakek itu memintanya beberapa kali, akhirnya Panji merangkak menghampiri dengan hati curiga.

"Siapa kau sebenarnya, Kakek Pertapa? Mengapa kau hendak mencelakaiku?" tanya Panji setelah mereka duduk berdekatan.

"Orang Muda..." Kakek pertapa itu berkata dengan wajah semakin pucat dan napas satu-satu. "Aku tahu kedatanganmu ke Pulau Bali ini dengan tujuan untuk menghentikan keganasan Ratu Pesolek. Untuk itu, dari daerah Tirta empul ini, kau berjalanlah ke arah timur laut. Kelak kau akan tiba di Gunung Abang. Di lereng gunung itulah Ratu Pesolek dapat kau temui...."

Panji tertegun mendengar ucapan kakek pertapa itu. Dugaannya memang tepat. "Siapa kau sebenarnya, Kek?"

Pertanyaan Panji tidak mendapat jawaban. Kakek pertapa itu tidak membuka matanya lagi, yang dipejamkan setelah memberikan keterangan pada Panji. Setelah mengulangi pertanyaan dan tidak juga mendapat jawaban, Panji menjadi heran. Dan keheranannya berubah menjadi kekagetan. Kakek pertapa itu ternyata telah menghembuskan napasnya yang terakhir dengan masih duduk bersila!

"Siapa pun kau adanya, aku percaya kau tidak bermaksud buruk terhadapku, Kek," desah Panji usai menguburkan mayat kakek per tapa itu.

"Aku mengucapkan terima kasih atas petunjukmu...," Panji kemudian bergerak bangkit, dan melesat ke arah timur laut sesuai petunjuk kakek pertapa yang misterius itu.

********************

Bayangan samar sebuah puncak gunung yang membentang jauh di depan membuat Pendekar Naga Putih semakin mempercepat langkahnya.

"Itu pasti puncak Gunung Abang, desis Panji dengan desahan napas lega. "Kakek misterius itu memang tidak berdusta...," lanjutnya sambil terus bergerak mendekati bayangan pucak gunung.

"Tahan langkahmu, Orang Muda!"

Sebuah seruan halus yang disertai berkelebatnya sesosok bayangan hitam memaksa langkah Panji terhenti. Sementara sosok bayangan itu sudah mendaratkan kakinya satu tombak lebih dari hadapan Panji. Gerakan sosok itu membuat Panji ternganga kagum. Itu adalah ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Panji segera tahu kepandaian ilmu meringankan tubuh sosok bayangan hitam itu. Paling tidak satu tingkat berada di atasnya. Tentu saja kenyataan itu mengejutkan Panji.

"Hm.... Lagi-lagi seorang kakek-kakek...," Panji bergumam dengan kening berkerut ketika wajah sosok bayangan hitam itu terlihat jelas. "Heran, bagaimana mungkin Ratu Pesolek dapat merajalela di pulau ini? Padahal, melihat gerakan yang diperlihatkan kakek itu, aku sendiri ragu akan dapat mengunggulinya? Tapi, mengapa mereka membiarkan Ratu Pesolek berbuat seenaknya? Atau... jangan-jangan kakek ini dan kakek yang kemarin merupakan kaki tangan Ratu Pesolek yang sengaja dikirim untuk membunuhku? Jika benar begitu, artinya kedatanganku di pulau ini telah tercium oleh Ratu Pesolek...?!"

"Tentunya kau bukan penduduk asli pulau ini, bukan? Jelaskan, siapa nama mu dan dari mana kau berasal, Orang Muda?" Kakek kurus yang mengenakan pakaian pertapa itu segera bertanya setelah memperharikan sekujur tubuh Panji. Sikap dan nada suaranya tidak ramah. Bahkan menunjukkan kesan sinis dan meremehkan.

Panji tidak menjadi gusar. Sebagai orang asing di pulau itu, ia harus menunjukkan sikap yang ramah. Maka, sambil tersenyum, Panji merangkapkan kedua tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. "Orang Tua...."

Bwettt!

Meski dalam posisi agak membungkuk, Panji tidak kehilangan kewaspadaannya. Suara sambaran angin yang menderu ke arah batok kepalanya cepat dihindari dengan lompatan panjang ke belakang.

"Orang Tua, mengapa kau menyerangku tanpa sebab?!" Panji menegur dengan wajah gusar.

"Dunia persilatan penuh dengan tipu muslihat, Orang Muda. Siapa lengah, ia akan celaka...."

"Tapi..., apa salahku...?!"

"Kedatanganmu ke pulau ini untuk mencari Ratu Pesolek, bukan?" Bukannya menjawab, kakek kurus itu malah bertanya.

Meskl kaget dan heran, Panji mengangguk juga

"Jika demikian, langkahi dulu mayatku...," lanjut kakek kurus itu tanpa mempedulikan keheranan Panji.

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian! Ayo, ikut aku!" tukas kakek kurus itu. Ia memberikan isyarat agar Panji mengikuti.

Semula Panji tidak mau. Tapi, melihat sikap dan kesungguhan kakek itu, akhirnya Panji terpaksa mengikuti. Ia juga ingin mengetahui apakah antara kakek pertapa kurus ini dengan kakek pertapa bertubuh tinggi besar mempunyai hubungan. Mungkinkah keduanya utusan Ratu Pesolek yang ditugaskan untuk membunuhnya? Alasan-alasan itu memaksa Panji mengikuti kakek ini.

Keheranan Panji semakin menjadi-jadi. Kakek pertapa kurus ini membawanya ke sebuah tanah lapang yang dipenuhi tonggak-tonggak kayu runcing. Tonggak-tonggak kayu itu disusun sedemikian rupa dengan ukuran panjang yang berbeda-beda.

"Tonggak-tonggak itu seperti sebuah arena maut..," ujar Panji setelah memperharikan beberapa saat lamanya.

Kakek pertapa kurus itu menoleh sekilas ke arah Panji. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melenting ke udara. Setelah berputar beberapa kali dengan gerakan yang mengagumkan, tubuhnya meluncur ringan dan mendarat di atas dua batang tonggak yang paling tinggi.

"Hebat...!" Pertunjukan itu membuat Panji berdesis kagum. Meski ia mampu melakukannya, tapi gerakan yang diperlihatkan kakek kurus itu memang benar-benar luar biasa.

"Kau boleh pilih, Orang Muda," Kakek kurus itu berkata seraya berdiri di atas tonggak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Menerima tantanganku. Atau, segera angkat kaki dari Pulau Bali ini..."

Panji menghela napas sesaat Ditatapnya wajah kakek itu lekat-lekat. "Jelaskan alasanmu, Orang Tua?"

"Cerewet! Sudah kukatakan kalau kau hanya bisa menjumpai Ratu Pesolek setelah melangkahi mayatku! Apa alasan itu belum cukup?!" Kakek pertapa kurus itu menghardik tak sabar.

"Hm. Baiklah...," Panji mengalah. Pemuda itu segera melayang naik dan hinggap pada dua batang tonggak yang sedikit lebih pendek dari tonggak yang dipijak kakek pertapa.

DUA

"Hyaaat...!"

Bwet! Bwettt!

Baru saja Panji menempatkan kedua kakinya di batang tonggak berujung runcing itu, kakek pertapa itu sudah melontarkan dua buah serangan berbahaya!

"Licik...!" Panji mengumpat geram. Pemuda itu segera melompat ke samping. Kedua serangan Itu berhasil dielakkannya. Tapi, karena kedudukannya belum mantap, lompatannya pun tidak begitu terarah. Pijakan kaki kanannya pada salah satu mata tonggak meleset!

Brettt!

"Akh...!" Panji menjerit kesakitan. Kaki kanannya tergelincir dan termakan mata tonggak. Celana bagian bawah berikut kulitnya terkoyak ujung tonggak. Luka seperti torehan mata pisau itu cukup dalam. Darah mehgalir deras. Sambil menggigit bibir menahan nyeri, Panji bergegas menotok kakinya untuk menghentikan darah yang ke luar. Kemudian, ia melenting ke belakang. Berputar dua kali di udara sebelum mendarat di ujung-ujung tonggak yang lain.

"Hmh...!" Panji mendengus geram. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sepasang matanya nyorot tajam menatap wajah lawannya yang melontarkan serangan berikutnya.

Dibarengi bentakan keras, kakek per tapa kembali menerjang maju. Langkah-langkahnya tampak gesit dan ringan. Tidak terlihat ia mengalami kesulitan meski yang dipijaknya ujung-ujung tonggak yang runcing.

"Hm.... Nampaknya ia telah terbiasa bergerak di ujung-ujung tonggak ini. Pantas ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi. Rupanya, bertarung di atas tonggak-tonggak runcing ini merupakan keahliannya. Aku harus hatl-hati menghadapinya. Sedikit saja lengah, ujung-ujung tonggak ini akan memangang tubuhku..," gumam Panji. Pemuda tampan itu segera mempersiapkan 'Ilmu Silat Naga Saktl'-nya untuk menghadapi serangan kakek pertapa kurus.

Bed! Bed!

Dua pukulan pertapa itu menderu mengancam kepala dan dada. Bergegas Panji memiringkan tubuh seraya mendorongkan kedu lengannya untuk mematahkan serangan itu. Tapi gerakan itu rupanya hanya tipuan belaka. Sebelum tiba, kedua serangan itu sudah ditarik pulang. Dan sebagai gantinya, kakek pertapa kurus menggeser langkah dan melepaskan tendangan lurus yang mengarah ulu hati.

Dukkk!

Lengan dan kaki saling berbenturan keras. Panji merasakan tubuhnya bergetar. Benturan itu membuat beban tubuhnya bertambah. Ujung-ujung tonggak tempatnya berpijak menembus alas kaki dan melukal telapak kakinya. Bergegas Panji menggeser langkah dan memindahkan kedua kakinya mencari pijakan lain.

Sementara, kakek pertapa kurus itu menggunakan tenaga benturan untuk melempar tubuhnya ke udara. Cara kakek itu bertarung jelas menunjukkan kecerdikan dan pengalamannya. Ia lebih mengandalkan keringanan tubuh daripada kekuatan. Berbeda dengan Panji yang memang baru pertama kali Ini merasakan bertarung di atas tonggak-tonggak bermata runcing.

"Heh heh heh...! Kalau kau bertarung dengan mengandalkan ilmu silat dan tenaga dalam saja, Jangan harap akan dapat selamat dari arena maut ini, Orang Muda...." Kakek pertapa kurus itu mengejek Panji.

Pemuda itu cuma mendengus. Kemudian, mempersiapkan jurus-jurus serangannya. Tidak dipedulikannya rasa nyeri dan lelehan darah yang keluar dari luka di kedua telapak kakinya. Ketika kakek pertapa kurus kembali melancarkan serangan, Panji segera menyambut dengan jurus-jurus andalannya.

Pertarungan berlangsung cepat dan seru. Jurus demi jurus berlalu. Tubuh keduanya bergerak dengan keeepatan yang sulit ditangkap mata. Hanya tampak bayangan-bayangan hitam dan putih yang saling desak dan gempur dengan hebatnya.

Bagi Panji, pertarungan ini terasa berat, meski kepandaiannya tidak kalah dengan kakek pertapa kurus itu. Bertarung di atas tonggak-tonggak kayu berujung runcing seperti ini memang bukanlah hal yang mudah bagi Panji. Ia tidak terbiasa. Untuk melakukan pertarungan, ia harus membagi perhatian. Di satu pihak ia menghadapi gempuran-gempuran lawan, sementara di pihak lain ia harus mengatur kakinya sewaktu melangkah. Sebab, salah melangkah bisa berakibat kematian baginya.

Keadaan itu membuat Panji tidak selincah dan segarang di tanah. Ia lebih banyak menghindar daripada menyerang. Bertarung di tempat seperti ini diperlukan pembagian tenaga. Untuk menyerang dan untuk meringankan bobot tubuh. Itu semua memerlukan pemusatan pikiran yang tinggi. Kesulitan-kesulitan itu membuat Panji kian lama kian terdesak. Beberapa kali pijakannya meleset, hingga celananya sudah tidak karuan. Terkoyak-koyak dan dipenuhi noda darah dari luka-luka di kakinya.

Bukkk!

Pada jurus keenam puluh, kembali salah satu kepalan kakek pertapa singgah di dada Panji. Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda itu melambung terpental kebelakang. Sementara, ujung-ujung tonggak sudah menunggu. Siap memanggang tubuh Pendekar Naga Putih.

"Haiiitt...!"

Pada saat tubuhnya meluncur ke bawah, Panji membentak nyaring. Tubuhnya berputar. Kini ia meluncur dengan kepala di bawah. Kedua tangannya segera mencengkeram dua batang tonggak, tepat di bawah ujungnya yang runcing. Untuk sesaat, Panji berdiri dengan kedua kaki di atas.

Beeddd!

Merasakan ada angin keras menerpa punggungnya, bergegas Panji menekuk kedua kakinya ke belakang dengan kedudukan menyilang.

Dukkk!

Gerakan kedua kaki menyilang yang dilakukan Panji memang sangat tepat. Ia berhasil menggagalkan tendangan lawan yang mengancam punggungnya. Bahkan, dengan menggunakan tenaga benturan itu, Panji melenting berputar. Dari udara ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.

Bresssh...!

"Aaakh.,.!" Tubuh kurus kakek pertapa itu tersentak deras. Pukulan udara kosong Panji telah menghantamnya. Tapi, meskipun sempat memuntahkan darah, dengan gerakan berputar yang mengagumkan, kakek pertapa itu dapat menyelamatkan tubuhnya dari rajaman ujung-ujung tonggak. Tubuhnya mendarat ringan berpijak pada dua batang tonggak setinggi setengah tombak.

Pukulan udara kosong yang dilancarkan Panji memang tidak membahayakan nyawa lawan. Pukulan itu dilepaskan menggunakan kurang dari separo tenaganya. Itu dilakukan Panji karena ia telah menemukan jawaban atas ejekan yang tadi dilontarkan lawan. Ejekan pertapa kurus itu membuat Panji sadar bahwa bertarung di atas tonggak-tonggak lebih menitik beratkan pada keringanan tubuh.

Jawaban itu baru didapatkan Panji ketika ia memutar tubuh dan menahan jatuh tubuhnya dengan mencengkeram bagian bawah mata tonggak. Panji sadar sesungguhnya kakek itu telah memberikan petunjuk kepadanya, tentang bagaimana seharusnya bertarung di atas tonggak. Tapi, Panji tidak bisa berpikir lebih jauh mengapa ia seperti memberitahukan rahasia itu kepadanya. Sebelum ia sempat bertanya, kakek pertapa kurus itu sudah menerjangnya kembali.

Tapi, pada pertempuran kali ini Panji tidak lagi kerepotan. Dua puluh jurus setelah pertarungan berlanjut, Panji mulai dapat mendesak lawan. Itu karena dasar atau inti 'Ilmu Silat Naga Sakti' memang menitik beratkan pada kekuatan dan keringanan tubuh. Dalam memainkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' haruslah memusatkan pikiran pada keringanan tubuh. Sementara, tenaga dipusatkan pada kedua lengan. Sehingga, setiap serangan yang dilontarkan, mengandung kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Itulah yang dilakukan Panji kali ini.

Meskipun serangan-serangannya selalu menemui kegagalan, namun kakek pertapa itu tidak menjadi putus asa. Ia terus berusaha bertahan seraya sesekali membalas. Tapi, usahanya untuk melepaskan diri dari kepungan gempuran-gempuran lawan tidak berhasil dengan baik. Dalam hal kekuatan, kakek pertapa itu masih berada satu tingkat di bawah Panji. Sehingga, setiap kali lengan mereka berbenturan, tubuh kakek pertapa itu selalu terpental mundur. Akibatnya, kakek pertapa itu pun semakin terdesak hebat!

"Hyaaatt..!"

Lewat lima puluh Jurus kemudian, saat kakek pertapa itu sudah tidak sanggup lagi untuk membalas, tiba-tiba Panji mengeluarkan bentakan mengejutkan. Tubuhnya melesat cepat

Whuttt, whuttt!

Sambaran angin menderu keras mengiringi dua buah tamparan Panji. Kakek pertapa itu tampak sedikit gugup. Tamparan yang mengarah kepala dan dada itu berusaha dielakkan sebisa-bisanya. Kepala dan tubuhnya diliukkan ke kiri-kanan. Kedua tamparan itu memang berhasil dihindarinya. Tapi, bukan berarti bahaya telah lewat. Saat itu juga Panji sudah menyusuli serangannya dengan sebuah hantaman telapak tangan kanan.

Bresssh...!

"Hukh...!"

Dorongan telapak tangan Panji memang terlihat hanya mengandung ke cepatan saja. Tapi, begitu singgah pada sasarannya, Panji segera menambahkan kekuatan pukulannya. Tubuh kurus lawannya pun terjungkal muntah darah!

Melihat lawannya melayang tanpa daya, sementara ujung-ujung tonggak yang runcing di bawahnya siap menanti tubuh kurus itu, bergegas Pendekar Naga Putih melesat dan menyambar tubuh kakek pertapa itu. Kemudian meluncur turun di atas tanah setelah berputaran di udara lima kali. Direbahkannya tubuh lemah itu di atas tanah berumput tebal

"Maafkan aku, Kek...," desah Panji iba melihat wajah tua yang pucat itu.

Kakek pertapa itu terlihat berusaha tersenyum. Kepalanya menggeleng. Ditariknya napas dalam-dalam. "Kau... tidak... perlu menyesal, Orang Muda," ujar kakek itu terputus-putus karena harus menarik napas berulang-ulang untuk menyelesaikan bicaranya. "Lanjutkan... perjalananmu.... Nanti... kau akan... me... ne... mui ssse... buah... da... nau...," suara kakek itu kian melemah. Perlahan kemudian matanya terpejam rapat

"Kek...!" Panji mengguncang-guncangkan tubuh kurus pertapa itu. Tapi, nyawa kakek itu telah pergj meninggalkan raga. Panji hanya bisa menghela napas

********************

Selesai menguburkan mayat kakek pertapa itu, Panji tidak langsung melanjutkan perjalanan. Dipandanginya sosok samar puncak gunung di depannya lama-lama. Sementara keningnya berkerut memikirkan dua kakek pertapa misterius yang telah tewas di tangannya.

"Kejadian ini pasti bukan suatu kebetulan...," gumam Panji. "Pertama, kakek pertapa bertubuh tinggi besar yang memiliki tenaga luar biasa. Lalu, kakek pertapa bertubuh kurus yang memiliki keahlian dalam hal ilmu meringankan tubuh. Keduanya seperti sengaja menunggu kedatanganku. Mereka memaksaku untuk bertarung. Tampaknya keduanya memang menginginkan kematianku. Tapi anehnya, mereka malah seperti hendak mengujiku. Pertama kekuatan, lalu yang kedua kecepatan!" sampai di sini Panji terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang.

"Mungkinkah meraka sengaja mengujiku? Jika benar demikian, mengapa sampai harus mengorbankan nyawa?"

Pertanyaan itu membuat Panji termenung. Pikiranhya kembali menerawang pada kejadian pertama sewaktu ia dihadang di sebuah hutan di daerah Tirtaempul. Kakek pertapa bertubuh tinggi besar itu tewas. Padahal, kakek itu tidak teruka sedikit pun! Panji memang belum sempat menyarangkan satu pukulan pun!

"Hm... Benar-benar aneh dan tidak masuk di akal...!" Panji berdesis dengan hati penasaran. la tetap tidak dapat menemukan jawaban. Kedua kakek pertapa itu masih tetap merupakan misteri yang belum terpecahkan. Tapi meskipun begitu, Panji merasa yakin mereka bukanlah utusan Ratu Pesolek.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Panji tiba di sebuah danau yang terletak di kaki gunung. Seraya melangkah perlahan, ditelitinya sekitar danau itu. Seluruh tepian danau telah dikelilingjnya, tapi Panji tidak menemukan satu bangunan pun. Panji tidak habis pikir.

"Hm.... Mungkinkah kakek pertapa kurus itu membohongiku...?" gumam Panji. Ia tidak mengerti mengapa seorang pertapa seperti kakek kurus itu sampai bisa berbohong. Tapi setelah dipikir-pikir, Panji tidak dapat menyalahkan pertapa itu. Kakek itu cuma mengatakan ia akan menemui sebuah danau, bukan tempat tinggal Ratu Pesolek!

"Kakek pertapa itu tidak bohong. Aku saja yang bodoh, kurang memperhatikan perkataannya...," Panji mendesah. Dihelanya napas kuat-kuat

"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Orang Muda?" Sebuah teguran halus membuat Panji tersentak dari lamunan. Dengan sigap Panji memutar tubuh penuh kewaspadaan.

"Ditanya baik-balk kok begitu kagetnya," ujar seorang kakek bertubuh sedang, yang lagi-lagi mengenakan pakaian seperti seorang pertapa. Kakek itu tersenyum tipis seolah menertawakan kekagetan Panji.

Tapi, meskipun sikap kakek itu berbeda dengan kedua pertapa sebelumnya, Panji tetap menatap dengan penuh curiga. "Hm.... Lagi-lagi seorang kakek pertapa...," GumambPanji. Diperhatikannya sosok kakek itu. Kemudian, Panji menggeser tubuhnya empat langkah. Sementara pandangannya tetap tertuju kepada kakek itu

Sama seperti yang dilakukan Panji, pertapa itu pun menatap sosok Panji dengan teliti. Sebentar kemudian, kepalanya mengangguk-angguk. "Pasti inilah orangnya...," gumamnya pelan.

"Apa maksudmu, Orang Tua...?" Panji yang mendengar gumaman kakek itu langsung saja bertanya penasaran. Ditentangnya pandang mata kakek itu dengan sorot curiga.

"Dengan sampainya kau ke tempat ini, berarti kau telah bertemu dengan kedua saudaraku, bukan? Dan, kau berhasil mengalahkan mereka..." Kakek pertapa itu berkata lembut seraya mengelus Jenggotnya yang panjang menjuntai hingga ke dada.

"Tepat seperti yang kuduga!" Panji menukas dalam hati. Ditatapnya wajah kakek pertapa di depannya lekat-lekat. "Jawablah pertanyaanku, Orang Tua. Siapa sebenarnya kau dan dua orang saudaramu itu? Apa maksud kalian terhadapku? Kalau memang hendak sekadar menguji kepandaian, mengapa sampai mempertaruhkan nyawa? Jawablah, Orang Tua. Jangan buat kepalaku pusing memikirkannya!"

"Kau pasti bukan penduduk asli pulau ini. Kedatanganmu pasti ada hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan Ratu Pesolek. Aku tahu itu. Dan, itu pasti!"

Panji membanting kakinya ke tanah dengan kesal. Lagi-lagi ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Seperti dua pertapa lainnya, pertapa ini pun tidak menjawab pertanyaannya.

"Ketahuilah, Orang Muda." Kakek pertapa itu kembali berkata. "Saudaraku memang sengaja menunjukkan jalan yang salah kepadamu. Baik Kakek Tenaga Gajah maupun Kakek Tanpa Bayangan. Keduanya adalah saudara-saudaraku. Aku sendiri dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Kami berttga dikenal sebagai Tiga Kakek Gunung Batur, tempat kau sekarang berada. Inilah Danau dan Gunung Batur. Itu sebabnya mengapa kau tidak menemukan tempat tinggal Ratu Pesolek. Tokoh wanita sesat itu memang tidak bermarkas di sekitar tempat ini."

"Mengapa... mengapa kalian berbuat demikian? Apa maksud kalian sebenamya?" Panji semakin tidak mengerti.

"Tentu saja untuk mencegahmu bertemu dengan Ratu Pesolek. Daripada kau tertangkap dan dijadikan korban oleh Ratu Pesolek, lebih baik kami membunuhmu. Sayang, kedua saudaraku gagal melenyapkanmu. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu bertemu dengan wanita sesat yang keji dan biadab Itu. Kecuali kalau kau bisa mengalahkanku!" Kakek perta pa yang mengaku berjuluk Kakek Tanpa Tanding itu berkata kandas. Sikapnya berubah sungguh-sungguh.

"Tidak!" Panji menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan melayani kesintinganmu, Orang Tua! Aku lebih baik mati di tangan Ratu Pesolek daripada melayani kegilaanmu. Aku tidak ingin membunuh tanpa alasan yang kuat Dan, aku tidak ingin kejadian yang dialami dua orang saudaramu terulang lagi!" Panji kemudian bergegas memutar tubuhnya hendak meninggalkan Kakek Tanpa Tanding.

"Bukan kau yang membunuh mereka, Orang Muda. Mereka mati karena memang sudah waktunya!"

Ucapan Kakek Tanpa Tanding membuat Panji menahan langkah. Tubuhnya berbalik menghadar kakek itu. "Apa maksudmu, Orang Tua?" Panji menuntut penjelasan. Ia belum mengerti ke mana arah perkataan Kakek Tanpa Tanding.

"Maksudnya..., kau tidak punya pilihan lain selain menghadapiku!"

Belum lagi gema suaranya lenyap, Kakek Tanpa Tanding sudah melesat dan melancarkan serangkaian pukulan maut ke arah Panji.

"Gila...!" Panji berteriak mengumpat. Ia melompat mundur menjauhi Kakek Tanpa Tanding! Diputarnya tubuhnya dan berlari meninggalkan Gunung Batur.

"Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa meninggalkan tempat ini...!" Kakek Tanpa Tanding melesat mengejar seraya melepaskan puku lan jarak jauhnya.

Merasakan ada deruan angin keras di belakangnya, Panji bergegas berlompatan menyelamatkan diri. Kesempatan itu dipergunakan Kakek Tanpa Tanding untuk melesat ke udara. Kemudian, meluncur turun di hadapan Panji.

"Sudah kubilang bahwa untuk meninggalkan tempat in! kau harus melangkahi mayatku dulu...," ujar Kakek Tanpa Tanding. Tampak ia segera mempersiapkan serangan berikutnya.

Merasa tidak mempunyai pilihan lain, Panji bergegas melompat mundur. Panji pun langsung menyiapkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'-nya menghadapi pertapa itu.

TIGA

"Hiyaaa...!"

Kakek Tanpa Tanding membuka serangan dengan tiga buah pukulan berturut-turut. Satu mengarah leher, sedang lainnya mengancam dada kiri dan lambung. Kecepatan gerak dan deruan angin keras yang menyertai serangan beruntun itu mengejutkan Panji. Ia segera tahu kalau kepandaian Kakek Tanpa Tanding berada di atas Kakek Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa Bayangan! Tapi, karena ia tidak ingin menjadi mayat, dihadapinya serangkaian serangan hebat itu.

Pukulan pertama dielakkan Panji dengan memiringkan kepalanya. Sementara dua lainnya dipatahkan dengan menyusupkan kedua lengannya yang dirangkapkan di antara serangan itu. Kemudian, dengan dibarengi bentakan nyaring, Panji membuka kedua lengannya. Kuda-kuda direndahkan dengan kedudukan agak doyong ke belakang

Plakk! Plakkk!

Tidak percuma pertapa itu mendapat julukan Kakek Tanpa Tanding. Tangkisan Panji malah digunakan untuk melanjutkan serangannya! Kakek Tanpa Tanding membiarkan kedua lengannya terpental. Lalu, diputar cepat dan langsung mengancam ke arah kedua sisi kepala Panji. Sebuah serangan maut yang mematikan! Karena, pada dua sisi kepala manusia merupakan Jalan darah kematian!

Untuk mematahkan serangan maut itu Panji menjatuhkan tubuhnya. Dan, dilanjutkan dengan mengirimkan tendangan lurus yang menderu ke arah perut lawan. Kakek Tanpa Tanding terpaksa melompat ke belakang untuk menghindari serangan itu.

"Pantas kedua saudaraku dapat kau lewati. ternyata kau memang memiliki kepandaian yang tinggi, Orang Muda...." Kakek Tanpa Tanding memuji kehebatan lawannya. "Tapi, Jangan besar kepala dulu. Kau harus berjuang keras untuk dapat meninggalkan tempat ini...."

Panji mengurungkan niatnya untuk menyahuti. Karena begitu selesai berkata, Kakek Tanpa Tanding kembali menerjang dengan serangan-serangan yang lebih hebat dan lebih ganas! Pertarungan kembali berlanjut, lebih seru dari semula. Kakek Tanpa Tanding mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menggempur Panji.

Lima puluh jurus berlalu cepat. Menginjak pada Jurus keenam puluh, Kakek Tanpa Tanding semakin memperhebat gempurannya. Panji dipaksa bermain mundur dan tidak diberikan kesempatan untuk balas menyerang!

Sekarang Panji baru mengerti mengapa pertapa itu dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Ilmu kakek ini memang hebat dan banyak sekali ragamnya. Perubahan-perubahan gerak yang dilakukan demikian tiba-tiba dan sukar ditebak. Tapi, Panji tidak kehilangan akal serta patah semangat. Dibiarkannya kakek itu terus menggempurnya, sementara ia hanya bertahan sambil mencari-cari kesempatan untuk mengirimkan balasan.

Pada jurus kedelapan puluh, tiba-tiba Kakek Tanpa Tanding membentak nyaring. Tubuhnya melompat ke udara disertai dorongan kedua tangannya.

"Haahhh...!"

Bresssh...!

Perbuatan Kakek Tanpa Tanding sedikitpun tidak diduga Panji. Akibatnya, gelombang pukulan yang menderu itu menghantam tubuhnya. Panji terpental memuntahkan darah segar. Ia terbanting dan jatuh terguling-guling sejauh lima tombak.

"Tamat riwayatmu, Orang Muda...!" Kakek Tanpa Tanding menyusuli dengan ayunan telapak tangan kanan. Sebentuk gelombang angin dahsyat menderu bagai amukan topan!

Blarrr...!

Debu dan batu batuan kecil beterbangan seiring dengan ledakan keras itu. Tapi sebelum pukulan maut itu tiba, Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya ke samping. Dan, terus bergulingan menjauhi lawan.

Dengan kuda-kuda yang agak goyah dan napas terengah, Panji bergegas bangkit. Ngeri hatinya melihat tanah bekas tempat ia berpijak. Di tempat itu tercipta sebuah lubang seperti kubangan kerbau. Debu tipis tampak mengepul hangat. Itulah akibat pukulan yang dilontarkan Kakek Tanpa Tanding.

"Hm.... Untung kau masih sempat mengelak, Orang Muda. Kalau tidak, sekarang kau pasti sudah menjadi orang panggang!" Kakek Tanpa Tanding tertawa mengejek.

Panji tidak meladeni. la tengah mengerahkan 'Tenaga Inti Panas Bumi' untuk membakar luka di bagian dalam tubuhnya. Setelah rasa nyeri di dalam dadanya agak berkurang, Panji segera menggabungkan kedua tenaga mukjizatnya.

"Ah.... Benar-benar cocok!" Kakek Tanpa Tanding berseru kaget bercampur takjub. "Sekarang aku semakin yakin kaulah orang yang kami tunggu-tunggu...!"

Panji tertegun sesaat. Ditatapnya wajah Kakek Tanpa Tanding dengan sorot mata bingung. "Apa maksudmu, Orang Tua...?"

"Artinya, perkelahian ini harus segera kita selesaikan!" Begitu ucapannya selesai, Kakek Tanpa Tanding kembali melesat dengan serangan-serangannya.

Panji benar-benar geram dan jengkel! Ia merasa dipermainkan! Pikiran dan hatinya seperti sengaja dibuat kacau oleh kakek itu.

"Kurang ajar! Sungguh licik sekali pertapa palsu ini? Ia sengaja hendak mengganggu pemusatan pikiranku agar gerakanku kacau dan tidak terarah. Dengan begitu ia akan dapat mengalahkanku. Benar-benar keparat..!" Panji mengutuk dan menyumpah-nyumpah kelicikan lawannya.

Pikiran itu membuat Panji mengempos semangatnya. Kalau sejak semula ia merasa enggan melayani kakek pertapa itu, kini ia bertekad untuk mengalahkannya. Dengan melenyapkan segala gangguan pada pikiran maupun hatinya, Panji menghadapi serangan-serangan maut Kakek Tanpa Tanding. Pemusatan pikirannya yang kuat membuat Panji memperoleh kembali ketenangannya.

Hasilnya pun segera terlihat. Perlahan tapi pasti Panji mulai dapat mendesak lawannya. Sikap tenang membuat lontaran-lontaran pukulannya terarah dengan baik. Dan, setiap serangan lawan dapat dipatahkannya dengan langsung mengirimkan balasan. Tapi anehnya, Kakek Tanpa Tanding malah terlihat berseri-seri wajahnya. Padahal, serangan-serangan Panji yang membawa deruan angin panas dan dingin sangat membahayakan jiwanya. Tapi, Kakek Tanpa Tanding udak kelihatan gentar sedikit pun!

"Yeahhh...!"

Lewat tiga puluh jurus setelah pertempuran berlanjut, Kakek Tanpa Tanding kembali membentak. Tamparan ke arah telinga dan pukulan lurus ke ulu hati segera dilancarkannya. Kedua serangan itu menderu menuju sasaran. Namun Panji tetap bersikap tenang. Ditunggunya sampai serangan itu tiba dekat,

"Hyahhh!"

Begitu serangan Kakek Tanpa Tanding tinggal satu jengkal lagi dari telinga dan ulu hatinya, Panji membentak seraya menjatuhkan tubuhnya. Gerakan itu dibarengi dengan tendangan kedua kakinya.

Desss...!

Demikian cepat dan tak terduga gerakan yang dilakukan Panji. Kakek Tanpa Tanding tak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Tendangan itu telak menggedor perutnya. Tubuh Kakek Tanpa Tanding pun tersentak deras ke belakang. Darah menyembur ke luar. Tubuh kakek itu jatuh berdebuk di tanah. Panji bergegas menyusul. Kakek Tanpa Tanding yang mengira Panji hendak menyusuli serangannya segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tlnggi.

"Cukup... cukup...," ujar kakek itu. Ia kemudian bangkit duduk bersila.

"Aku bukanlah manusia keji yang tega menghabisi lawan yang terluka, Orang Tua...," tukas Panji tersenyum getir. "Aku bermaksud ingin mengobati lukamu...."

"Tidak perlu... tidak perlu...," Kakek Tanpa Tanding menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Kemunculanmu merupakan tanda bahwa hidupku akan berakhir..."

Panji mengerutkan kening mendengar ucapan itu. Tapi, ia tidak berkata apa-apa. Dilihatnya Kakek Tanpa Tanding hendak melanjutkan ucapannya.

"Coba kau terka, berapa kira-kira umurku?" Kakek Tanpa Tanding menatap Panji dengan mata sayu.

"Mungkin delapan puluh lebih...," tebak Panji setelah memperhatikan wajah Kakek Tanpa Tanding beberapa saat Kakek Tanpa Tanding menggeleng lemah.

"Usiaku sudah seratus dua puluh tahun, Pendekar Naga Putih. Jangan kaget kalau aku tahu julukanmu," ujar Kakek Tanpa Tanding dengan tersenyum tipis. "Demikian pula dengan kedua saudaraku. Mereka berusia lebih dari seratus tahun. Kami tidak tahu mengapa umur kami demikian panjang. Rahasia itu baru terungkap ketika sepuluh tahun silam kami bertiga mendapat mimpi yang sama. Dalam mimpi itu datang seorang kakek berpakaian serba putih. Kakek itu mengatakan bahwa ajal kami akan datang apabila kami telah berjumpa dengan seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih," Kakek Tanpa Tanding berhenti sebentar untuk mengambil napas.

Panji menganggukkan kepala. Sekarang ia baru mengerti, mengapa Kakek Tenaga Gajah tewas meski ia tidak melukainya. Dan, mengapa Kakek Tanpa Bayangan bisa menemui ajal meski lukanya tidak terlalu parah.

"Pendekar Naga Putih..." Kakek Tanpa Tanding kembali berkata. "Tahukah kau berapa usia Ratu Pesolek? Dan, siapa tokoh wanita sesat itu sebenarnya?" tanyanya seraya menatap wajah Panji lekat-lekat

Panji menggeleng. Jangankan usia, bertemu dengan tokoh sesat itu pun ia belum pernah.

"Ratu Pesolek adalah seorang perempuan yang usianya tidak berselisih jauh dengan kami bertiga. Tapi, tubuh maupun wajahnya tak ubahnya seorang wanita berusia dua puluh tahun. Ia adalah adik seperguruanku!"

"Mengapa Kakek bertiga tidak berusaha mencegah perbuatannya...?" tanya Panji heran.

"Itulah yang membuat hati kami susah," Kakek tanpa Tanding menggeleng seraya menghela napas berat. "Sebenarnya sangat memalukan sekali untuk diceritakan. Tapi, biarlah kau ketahui aib yang telah kami perbuat di masa lalu...." Lagi-lagi kakeh itu menghela napas. Tampaknya, apa yang akan disampaikannya itu sangatlah berat.

"Waktu itu kami sama-sama masih muda. Guru kami berjuluk Dewa Gunung Batur. Beliau menurunkan semua kepandaiannya kepada kami berempat. Segala macam ilmu boleh kami pelajari, kecuali satu. Kitab yang berisikan Ilmu Lebah Hitam. Beliau melarang dengan keras, setelah menunjukkannya kepada kami dan menceritakan tentang bahayanya mempelajari kitab itu. Dewa Gunung Batur sengaja tidak memusnahkan kitab itu. Karena, dalam kitab itu juga terkandung ilmu pengobatan yang sangat langka. Sedangkan salah satu keistimewaan Ilmu Lebah Hitam, dapat membuat orang yang meyakininya menjadi tetap muda dan segar. Siapa sangka kalau Diah, adik seperguruan kami yang paling bungsu, ternyata sangat tertarik dengan kitab itu. Rupanya ia ingin tetap kelihatan muda dan cantik. Tapi, untuk meminta atau mencuri kitab itu ia tidak berani. Guru kami bisa murka. Padahal, keinginannya untuk mempelajari Ilmu Lebah Hitam sangat besar." Kakek Tanpa Tanding berhenti sebentar. Ditariknya napas berat berulang-ulang. Wajahnya membayangkan kedukaan yang dalam.

"Terus terang, aku maupun kedua adik seperguruanku menaruh hati kepadanya. Diah memang sangat cantik dan begitu sempurna sebagai seorang perempuan. Kepada kami bertiga dia sangat manja. Mungkin ia mengetahui perasaan kami kepadanya. Sikapnya semakin manis dan sangat menggoda. Kami sungguh tidak menduga kalau Diah sengaja hendak menjebak kami bertiga. Kami semakin tergila-gila, dan saling bersaing untuk merebut cinta Diah. Rupanya itulah yang diinginkan Diah. Dia buat kami tergila-gila. Lalu, satu persatu kami dijebaknya. Malam terkutuk itu pun datang. Diah datang kepadaku saat diriku tengah membayangkan dirinya. Aku tidak begitu ingat awal mulanya. Tapi, yang jelas malam itu Diah menyerahkan dirinya kepadaku. Mulanya aku memang sangat bahagia sekali. Tapi, ternyata bukan cuma aku seorang yang pernah berhubungan dengannya. Kedua adik seperguruanku pun berhubungan dengan Diah. Semua itu baru terbongkar ketika guru kami pergi mengunjungi salah seorang sahabatnya di pulau seberang..."

Panji tidak berusaha memotong. Dibiarkannya Kakek Tanpa Tanding menunda ceritanya yang belum selesai

"Diah mengambil Kitab Ilmu Lebah Hitam. Kami bertiga tidak bisa berbuat apa-apa. Diah mengancam akan membeberkan rahasia kami kepada guru. la mengingatkan akan sumpah yang kami ucapkan sewaktu berhubungan dengannya. Aku dan kadua adik seperguruanku ternyata telah mengucapkan sumpah yang sama. Kami akan menuruti segala permintaan Diah, apa pun bentuknya. Saat itulah kami baru sadar kalau Diah telah menjebak kami! Dengan membawa kitab itu, Diah pergi meninggalkan Gunung Batur. Sebelum pergi, ia meminta kepada kami agar menutup mulut. Baik tentang kitab, maupun dirinya. Sepulang dari kepergiannya, guru marah besar. Kami yang sudah terikat sumpah. terpaksa berbohong. Kami dihukum dan dipaksa untuk memberitahukan ke mana perginya Diah dan Kitab Ilmu Lebah Hitam. Tapi kami tetap bungkam. Karena, kami memang tidak tahu ke mana perginya Diah. Guru merasa putus asa dan berduka sekali. Beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sebelum menghembuskan napas terakhir, beliau sempat mengutuk kami bertiga. Kami akan menanggung derita berkepanjangan. Kutuk guru kami kini terbukti. Untuk menebus dosa, kami lalu menjadi pertapa. Tapi, dosa di malam terkutuk itu tidak pernah lepas dari pikiran kami. Dan, meski usia kami telah mencapai seratus tahun lebih, kematian masih juga belum datang menjemput. Sampai akhirnya kami mendapat mimpi seperti yang kuceritakan kepadamu tadi..." Kakek Tanpa Tanding mengakhiri ceritanya dengan helaan napas berat dan panjang.

"Jadi, itukah sebabnya mengapa kalian bertiga tidak mencegah perbuatan Ratu Pesolek?" tanya Panji setelah agak lama Kakek Tanpa Tanding terdiam.

"Kami terikat sumpah dan juga kutukan. Namun kedatanganmu membuat hatiku lega, Pendekar Naga Putih. Itu berarti ajalku sudah tiba. Aku akan segera terlepas dari belenggu dosa yang tak berkesudahan ini...," usai berkata, Kakek Tanpa Tanding memejamkan kedua matanya.

"Kek, tunggu...!" Panji yang sudah menduga apa yang akan terjadi dengan Kakek Tanpa Tanding, berseru seraya mengguncangkan tubuh kakek itu.

"Dari sini, kau berjalan ke arah tenggara..." Tanpa membuka matanya, Kakek Tanpa Tanding berkata. "Pertama, kau akan menemui Gunung Danang. Setelah itu, barulah kau akan melihat Gunung Abang..."

"Terima kasih, Kek...," ucap Panji lega. la telah mendapat petunjuk jalan yang benar untuk dapat menemui Ratu Pesolek

Tidak seperti sewaktu menyaksikan kematian Kakek Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa Bayangan, kematian Kakek Tanpa Tanding tidak membuat Panji bersedih atau menyesal. Malah, ia merasa lega. Kematian itu telah membuat Kakek Tanpa Tanding menemukan ketenangan hidup di alam lain.

********************

Gunung Abang menjulang megah, mengalahkan gunung-gunung yang terdapat di Pulau Bali, Gunung Abang memang merupakan gunung tertinggi di pulau itu. Di kaki gunung itulah Ratu Pesolek mendirikan markasnya.

Nama Ratu Pesolek telah sangat dikenal dan menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh penduduk di Pulau Bali. Sudah sejak puluhan tahun silam nama besarnya bergaung di seluruh penjuru pulau. Ratu Pesolek bukan saja melakukan penculikan terhadap pemuda-pemuda tampan. Tapi, gadis-gadis muda dan cantik pun tidak luput dari incarannya, meski tidak sesering lenyapnya pemuda pemuda tampan.

Perbuatan Ratu Pesolek banyak ditentang oleh kaum golongan putih. Tapi, sampai sebegitu jauh belum ada seorang pun yang sanggup menghentikan kejahatannya. Jangankan menghadapi Ratu Pesolek, melawan pembantu-pembantunya saja sudah banyak tokoh-tokoh persilatan yang bertumbangan. Sehingga, sampai puluhan tahun Ratu Pesolek tetap berkuasa. Bahkan, kuku-kukunya semakin mencengkeram seluruh daratan Pulau Bali.

Usaha tokoh-tokoh golongan putih untuk menumpasnya masih terus dilakukan, Walau Ratu Pesolek maupun pembantu-pembantunya tidak segan-segan membunuh setiap tokoh yang berani datang mengusik ketenangannya. Terutama kaum golongan tua. Mereka akan dibunuh tanpa ampun. Lain halnya dengan pendekar-pendekar muda. Terlebih yang memiliki wajah tampan. Ratu Pesolek tidak akan membunuh begitu saja. Mereka akan mendapatkan perlakuan yang istimewa, dan ditempatkan di kamar-kamar mewah.

Pada setiap bulan pumama barulah mereka dikeluarkan satu persatu untuk melayani keinginan Ratu Pesolek, setelah melalui sebuah upacara dan pesta semalam suntuk. Setelah itu, korban akan dibunuh. Perbuatan Ratu Pesolek memang tidak berbeda dengan lebah-lebah ratu yang membunuh pejantannya setelah masa kawin.

Saat itu hari masih pagi. Dua sosok tubuh bergerak hati-hati mendekati sebuah bangunan megah yang mirip istana raja. Itulah tempat kediaman Ratu Pesolek dan para pengikutnya. Tampaknya, hari ini Ratu Pesolek kedatangan tamu yang tak diundang!

"Hih hih hih...! Apa yang sedang kalian intip, hah?"

Dua orang lelaki berusia sekitar empat puluh dan lima puluh tahun, yang tengah mengintai tempat kediaman Ratu Pesolek dari balik rimbunan semak, berjingkrak kaget. Cepat bagai kilat keduanya memutar tubuh. Namun, si pemilik suara yang mereka cari tidak dapat mereka temukan! Karuan saja keduanya saling bertukar pandang dengan penuh heran.

"Kau mendengar suara tadi, Narottama...?" Laki-laki yang berusia lima puluh tahun bertanya kepada kawannya. Sepertinya, ia meragukan pendengarannya.

"Ya. Aku memang mendengar suara tawa mengikik...!" Meskipun ucapannya tandas, namun nada suaranya terdengar agak bimbang. Jelas, Narottama pun meragukan pendengarannya. Kare na, mereka tidak menemukan seorang manusia pun disekitar tempat itu.

"Hih hih hih...! Dasar kampret-kampret tolol! Ditanya bukannya menjawab malah celingak-celinguk seperti orang hendak buang ingus!"

Narottama dan Udayana berjingkrak mundur. Mereka mendongakkan kepala. Suara itu terdengai jelas di atas kepala mereka. Tampaklah sesosok tubuh terbungkus pakaian hitam yang bergantung dengan kepala di bawah. Narottama dan Udayana tidak bisa mengenali sosok itu.

EMPAT

"Hih hih hih...!"

Sekali lagi sosok yang bergelantungan itu memperdengarkan tawanya. la melayang turun dan mendarat ringan di hadapan Narottama dan Udayana.

"Hei, mengapa bengong? Kalian lupa ya denganku?" Sosok yang ternyata seorang nenek buruk berkulit hitam legam menegur dengan suaranya yang seperti kaleng rombeng, Ia menuding-nuding kening Narottama dan Udayana yang masih terbengong-bengong di tempatnya.

"Maaf, Nek. Seingatku kita belum pernah bertemu, apalagi berkenalan...." Udayana, yang lebih tua dan lebih berpengalaman daripada Narottama, sudah dapat menguasai kekagetannya. Ia melangkah maju dan membungkuk hormat. Kata-katanya pun sopan dan lembut

"Na-nek-nak-nek! Kapan aku pernah kawin dengan kakekmu? Lagipula, siapa yang bilang kalau kita pernah berkenalan? Kau kira aku perempuan murahan. Huh, tidak sudi aku berkenalan dengan kalian!" Nenek muka hitam menghardik dan mencibirkan bibirnya. Kemudian, tubuhnya diputar seperti jual mahal. Karuan saja sikap nenek itu membuat Narottama dan Udayana keheranan.

"Sinting...!" Narottama berdesis pelan.

"Apa katamu? Apa perempuan tidak boleh memakai anting-anting? Itu sudah kodrat, tahu! Dasar lelaki sinting! Biar wajahmu gagah tapi kalau otakmu kurang beres, mana ada perempuan yang sudi mendekatimu!" Nenek muka hitam mengomel panjang lebar, membentak-bentak Narottama.

"Dasar gendeng...!" Udayana bergumam menahan rasa geli.

"Kau suka, ya?" Nenek muka hitam memandang Udayana dengan mata berbinar. Dielus-elusnya andeng-andeng (tahi lalat besar) yang melekat di cuping hidungnya sebelah kanan. "Ini namanya pemanis, tahu," lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan badannya, persis gadis remaja yang malu-malu karena ditegur pemuda idamannya.

"Ya... ya... ya.... Aku suka dengan andeng-andengmu itu. Wajahmu memang kelihatan jadi lebih manis...."

Merasa nenek itu agak tuli, Udayana pun mengalah. Ia mengangguk-angguk dan mengikuti ucapan nenek muka hitam. Padahal dalam hatinya ia berkata, "Suka dengkulmu peyot! Andeng-andeng hitam, wajahmu juga hitam, mana bisa dibilang pemanis. Wajah hangus seperti pantat dandang begitu dibilang manis..."

"Nenek ini memang manis, Udayana." Narottama berbisik di telinga Udayana. "Tapi, kalau memandangnya dari atas puncak gunung...," sambungnya tak dapat menahan kegelian hatinya. Narrottama menahan kekehnya. Ditutupnya mulutnya dengan telapak tangan.

"Apa bisik-bisik! Menceritakan aku, ya? Mentertawakan aku, ya?"

"Tidaaak...!" Narottama dan Udayana menyahut bersamaan seraya menggeleng keras-keras.

"Lalu, bisik-bisik itu apa yang kalian bicarakan?" Nenek muka hitam mendesak curiga.

"Kawanku bilang kau cantik..." Udayana berbohong. Bukan karena ia takut nenek muka hitam akan marah. Tapi, Udayana telah menyaksikan bagaimana tadi nenek itu meluncur turun dengan sangat ringannya. la menduga nenek muka hitam ini pasti bukan orang sembarangan. Ia lebih suka tidak mencari penyakit yang akan menyusahkan diri sendiri. Bahkan, Udayana berpikir akan menarik nenek itu ke pihaknya. Ini akan menguntungkannya.

"Benar." Narottama segera dapat membaca maksud kawannya. la pun menambahi. "Dengan andeng-andeng itu, kau kelihatan semakin manis...," pujinya, meski dalam hati tertawa terbahak-bahak.

"Kurang ajar! Celaka dua ratus! Rupanya kalian berdua tukang merayu perempuan, ya? Dasar buaya-buaya darat keparat! Sudah jelek dan melarat masih juga mencari sekarat!" Nenek muka hitam membanting-banting kaki kanannya ke tanah. la menuding-nuding hidung Narottama dan Udayana.

"Wah, celaka! Susah juga kalau menghadapi orang gila. Tidak diikuti salah. Diikuti juga salah..." Di tengah kecemasan dan keheranannya, Udayana menggerutu jengkel.

"Dasar nenek-nenek jelek. Sudah hitam, peot, keriting, hidup lagi!" Dari heran, Narottama menjadi jengkel. Ia mengumpat tak karuan.

"Hayo, pergi... pergi kalian...!" Kemarahan nenek muka hitam masih berkepanjangan. Ia mengusir Narottama dan Udayana seraya mengebut-ngebutkan telapak tangannya.

Gerakan nenek itu kelihatan sembarangan saja. Tapi, Udayana dan Narottama kaget setengah mati. Dari kebutan tangan nenek muka hitam, menyambar deruan angin keras. Bergegas Narottama dan Udayana melompat mundur.

"Kita harus menjauhi nenek sinting itu, Narottama. Kalau tidak, bisa-bisa kedatangan kita akan diketahui pengikut-pengikut Ratu Pesolek..." Udayana berbisik kepada Narottama tanpa melepaskan pandangannya dari sosok nenek muka hitam.

"Sebaiknya memang begitu. Nenek sinting itu bisa membuat kita celaka...." Narottama la ngsung setuju. Diputamya tubuhnya dan berlari mengikuti Udayana yang sudah bergerak meninggalkan tempat itu lebih dulu.

"Hei, mau ke mana kalian...? Pegang... pegang...! Hih hih hih...!" Melihat Udayana dan Narottama meninggalkan tempat itu, nenek muka hitam berteriak-teriak sambil tertawa.

"Benar-benar kurang ajar nenek jelek itu...!" Narottama menggerutu dengan hati cemas. Ia khawatir teriakan nenek muka hitam sampai terdengar orang-orang Ratu Pesolek

"Jangan pedulikan nenek sinting itu, Narottama. Menuruti dia bisa-bisa kita celaka...." Udayana segera mengingatkan ketika melihat Narottama hendak berbalik arah.

Narottama menggerutu tak jelas. Tinjunya dikepalkan erat-erat. Niatnya terpaksa diurungkan. Ia. terus berlari mengikuti Udayana menerobos semak-semak. Mereka menjauhi bangunan markas Ratu Pesolek. Gangguan nenek muka hitam itu membuat mereka terpaksa menangguhkan rencana semula. Dan, bersepakat untuk menyelundup ke dalam pada waktu malam.

Kekhawatiran Narottama dan Udayana memang beralasan. Teriakan nenek muka hitam telah menarik perhatian orang-orang Ratu Pesolek. Sebentar saja, enam orang perempuan muda yang rata rata berwajah cantik sudah berlarian mendatangi tempat itu

"Hei, siapa kau, Nenek Hitam? Apa yang sedang kau lakukan di daerah kekuasaan kami?" Salah satu dari enam perempuan cantik itu menegur nenek muka hitam. Ujung tombaknya ditodongkan ke wajah nenek muka hitam.

"Setan, mengapa aku yang kalian tanya?" Nenek muka hitam tidak kalah gertak "Seharusnya kalian cari dua orang telaki buaya darat yang lari ke sana itu. Aku sudah capek-capek teriak, eh, malah aku yang disalahkan. Dasar perempuan jelek! Pakaian saja sepotong-sepotong, bertingkah seperti penguasa lagi!"

Nenek muka hitam memang tidak salah bicara. Keenam perempuan cantik itu hanya mengenakan pelindung dada dan kain yang tingginya satu jengkal lebih di atas lutut. Berbeda dengan nenek muka hitam yang mengenakan pakaian lengkap dan agak kebesaran.

"Jangan sembarangan bicara kau, Nenek Muka Arang! Tahukah kau bahwa yang kau hadapi adalah orang-orang kepercayaan Ratu Pesolek? Atau, kau memang sengaja mencari maut?" Perempuan yang ada tahi lalat di pipi kanannya mengancam.

"Ratu Pesolek...?!" Nenek muka hitam mengulang nama itu dengan kening berkerut. "Jadi kalian ini tengah mencari madu, ya? Apa sudah dapat? Boleh aku cicipi sedikit saja. Ingat madu, air liurku jadi keluar...."

Keenam perempuan itu menarik wajah ke belakang. Diperhatikannya sosok nenek muka hitam dengan sorot curiga. Mereka menduga nenek itu hanya berpura-pura gila untuk mengelabui mereka. Perempuan yang bertahi lalat di pipi kanan memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Sebentar saja, nenek muka hitam terkepung rapat.

"Benar, kau mau mencicipi madu, Nek?" Perempuan bertahi lalat bertanya menegasi.

"Mau... mau...." Nenek muka hitam mengangguk-angguk dengan mata berbinar. Bibirnya dijilat-jilat seolah ia merasakan kelezatan madu itu.

"Nih, kau cicipilah sepuasmu!"

Whuttt..!

"Aiii...?!" Nenek muka hitam terpekik kaget. Dengan sangat ketakutan, ia berlari ke depan menyambut datangnya ujung tombak

Brettt..!

"Aaa...!" Terdengar suara kain robek dan jerit kesakitan nenek muka hitam. Aneh, meskipun mata tombak lelah menembus tubuh nenek itu, tak setetes darah pun yang keluar.

Kenyataan itu sangat mengherankan penyerangnya. Kepalanya bergerak ke kiri kanan mencari-cari tetesan darah. Tapi, sulit sekali untuk melihatnya. Nenek muka hitam menggerak-gerakkan tubuhnya sambil mendekap perut. Tapi sesaat kemudian, perempuan muda bertahi lalat itu melenggak kaget Ketika nenek itu melepaskan dekapan tangan pada perutnya, ternyata tusukan tombak hanya merobek pakaiannya yang kebesaran. Sedang kulit tubuhnya tidak terluka sedikit pun!

"Hih hih hih...! Kaget, ya? Nih, tombakmu kukembalikan...!" sambil berkata demikian, nenek muka hitam memutar tombak dan mengarahkan matanya ke tubuh pemiliknya. Lalu, dilemparkannya tombak itu dengan gerakan sembarangan.

Cappp!

Mata tombak meluncur deras dan langsung menembus tubuh mulus perempuan itu hingga ke punggung. Tentu saja keberhasilan serangan itu bukan karena kepandaian nenek muka hitam sangat tinggi. Atau, karena kepandaian perempuan bertahi lalat itu rendah. Tapi, orang kepercayaan Ratu Pesolek itu terlalu memandang remeh. Akibatnya sikap itu harus ditebus dengan nyawanya!

"Nenek keparat!"

"Bedebah...!"

Lima perempuan cantik lainnya me maki dengan wajah merah padam. Tanpa ada yang memerintah, karena perempuan bertahi lalat yang tewas itu adalah pimpinan mereka, kelima perempuan cantik itu menyerbu nenek muka hitam dengan tombak di tangan.

"Hei hei hei...! Ini tidak adil... tidak adil...! Kalian beraninya cuma main keroyok! Kalau memang betina, ayo maju satu-satu...!"

Nenek muka hitam berteriak-teriak. Ia melompat ke sana kemari dengan gerakan asal-asalan. Tapi hebatnya, tak satu pun dari serangan lima batang tombak itu yang dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan, mengenai pakaiannya pun tidak. Padahal, tombak-tombak itu digerakkan dengan kecepatan cukup tinggi. Karuan saja orang-orang Ratu Pesolek semakin marah dan penasaran! Mereka semakin memperhebat serangan-serangannya.

"Wah, celaka...!" Nenek muka hitam mengeluh seraya terus berlompatan menghindari ujung-ujung tombak yang mengancamhya. Ia kemudian berteriak-teriak berlari meninggalkan arena pertarungan. "Tolong... tolong...!" Nenek muka hitam terus berlari. Sesekali ia berhenti dan berjingkrak-jingkrak.

"Kejar...!" Salah satu dari kelima perempuan cantik itu memberi perintah. Ia melesat mengejar nenek muka hitam dengan diikuti keempat kawannya.

********************

"Narottama, dengar! Bukankah itu suara jeritan minta tolong nenek muka hitam? Mungkin ia dalam kesulitan. Ayo kita tolong...!" Udayana berkata kepada Narottama. Dan, tanpa menunggu jawaban lagi, langsung saja ia memutar tubuh dan melesat ke arah suara jeritan itu.

"Ah, jangan pedulikan nenek gila itu, Udayana!" Narottama tidak sependapat dengan Udayana. Narottama memang ikut menghentikan larinya. Tapi, ia tidak bergerak mengikuti. Udayana terpaksa menunda maksudnya.

"Siapa tahu nenek itu memang benar-benar dalam kesulitan, Narottama. Benar ia cuma seorang nenek sinting. Tapi siapa pun dia, kita harus melihatnya dulu." Udayana bersikeras mempertahankan pendapatnya.

"Hm.... Kita sudah cukup jauh berputar, Udayana. Beberapa tombak lagi kita akan segera tiba di bagian belakang markas Ratu Pesolek, Untuk apa bersusah payah kembali lagi hanya karena ingin menolong seorang nenek-nenek jelek berotak miring?" Narottama juga mempertahankan pendapatnya. Ia merasa tidak ada perlunya menyusahkan diri menolong nenek muka hitam.

"Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar." Udayana merendahkan suaranya. Diangkatnya kedua tangannya di depan dada. "Menurutku, sebaiknya kita lihat saja apa yang terjadi dengan nenek itu. Kalau memang ia tidak memerlukan bantuan, kita bisa melanjutkan rencana kita. Ingat, Narottama! Kita adalah orang-orang gagah yang mempunyai kewajiban untuk menolong kaum lemah!"

"Hhh.... Baiklah. Mari kita lihat..." Narottama akhirnya mengalah. la bergerak mengikuti Udayana.

Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat nenek muka hitam tengah berlari dikejar lima orang perempuan cantik yang bersenjata tombak. Melihat cara nenek itu berlari dengan sesekali berhenti jika pengejarnya tertinggal agak jauh, Udayana langsung tahu nenek muka hitam sengaja mempermainkan para pengejarnya. Entah apa maksud nenek itu. Udayana tidak mau ambil pusing. Yang pasti keselamatan nenek muka hitam tidak perlu dikhawatirkan.

"Mari kita pergi," ajak Udayana kepada Narottama yang tersenyum penuh kemenangan, karena dugaannya lebih benar. "Perbuatan nenek itu malah akan menguntungkan kita. Apalagi, kalau pengikut-pengikut Ratu Pesolek yang lainnya berdatangan dan ikut mengejar nenek sinting itu..."

Narottama tidak menanggapi Diam-diam ia pun mengharapkan hal yang sama. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya segera melesat meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, sepeninggal Udayana dan Narottama, nenek muka hitam menghentikan larinya. Sambil mengekeh senang, ia membalikkan tubuh. Ditunggunya kedatangan para pengejarnya seraya berkacak pinggang dan tertawa berkepanjangan. Gigi nenek itu tampak masih lengkap dan putih. Tidak seperti gigi nenek-nenek sewajarnya.

"Serbuuu...!"

Salah seorang dari kelima pengejar nenek muka hitam memberi perintah. Kelimanya segera meluruk maju dengan memutar tombak di tangan masing-masing. Tapi, sambil terkekeh-kekeh, nenek muka hitam malah bergerak maju. Disambutnya, datangnya serangan itu. Sekali mengibaskan kedua tangannya, dua batang tombak penyerangnya terpental patah menjadi dua. Kemudian, nenek itu menjatuhkan tubuh menelungkup di depan kedua perempuan yang kehilangan senjata. Seperti seekor kuda binal, nenek muka hitam menyentakkan kakinya telak mengenai dada mereka.

"Hih hih hih...! Bagus tidak jurus 'Kuda Binal' ku?" ejek nenek itu ke pada dua orang lawannya yang terpelanting jatuh terguling-guling. Dan, tidak dapat buru-buru bangkit

Nenek muka hitam masih saja terkekeh memandangi korban tendangannya. Ia seperti tidak sadar betapa tiga lawan lainnya tengah bergerak mengancam tubuhnya dari tiga arah.

Bed! Bed! Bed!

Tiga batang tombak itu menusuk tengkuk dan kiri kanan lehernya. Tapi, dengan gerakan yang manis, nenek muka hitam membungkukkan tubuh. Ia menekuk kepalanya ke depan dan mengembangkan kedua lengannya ke kiri-kanan. Ketiga mata tombak itu pun lewat di atas tengkuk dan kedua bahunya. Lalu, dengan gerakan yang tak terduga, nenek muka hitam memutar kedua lengannya dari belakang kedepan, dibarengi dengan putaran tubuhnya setengah lingkaran ke belakang.

Trak trak!

Des! Des! Des!

Hebat dan mengagumkan sekali gerakan nenek muka hitam. Dua batang tombak yang dikempitnya langsung patah seketika. Dan, tendangan berantai yang dilepaskan pada saat bersamaan telak menghajar ketiga wajah pengeroyoknya. Ketiga perempuan cantik itu pun terpelanting. Mereka mengaduh-aduh memegangi sebelah pipinya yang bengap!

"Hih hih hih...! Wajah kalian jadi kelihatan lucu! Persis monyet yang sedang makan!" Nenek muka hitam tertawa kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak.

"Nenek Keparat! Perbuatanmu ini kelak akan kau sesali seumur hidup!" Salah satu dari ketiga perempuan yang pipinya biru sembab mengancam nenek muka hitam.

"Eh, betulkah itu...?!" Nenek muka hitam memasang wajah bodoh dan ngeri. Wajahnya yang sudah jelek kelihatan semakin jelek.

Sikap nenek muka hitam membuat lawan-lawannya bungkam. Mereka tidak mau menanggapi. Orang-orang Ratu Pesolek itu hanya bisa mendengus dan mengutuk dalam hati. Kelimanya kemudian bergerak bangkit. Tampaknya, mereka hendak nekat menghadapi nenek muka hitam dengan menggunakan tangan kosong.

"Hei, mengapa kalian mendadak bisu seperti kerbau kekenyangan? Hayo, tidak berani berkelahi lagi?" Nenek muka hitam menantang. Mulutnya tersenyum-senyum mengejek.

Tiba-tiba nenek itu menelengkan kepalanya. Mulutnya dimonyongkan sambil mengangguk-angguk. Telinganya yang tajam menangkap suara derap orang berlari menuju ke tempat itu.

"Wah, sayang aku terpaksa meninggalkan permainan yang menyenangkan ini...," sesal nenek muka hitam seraya menggelengkan kepalanya. "Lain waktu kita ketemu lagi, ya..."

Usai berkata, nenek muka hitam memutar tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Lawan-lawannya hanya bisa saling bertukar pandang. Mereka tidak berani mencegah kepergian nenek sinting itu.

Beberapa saat setelah sosok nenek muka hitam lenyap, muncullah serombongan pengikut Ratu Pesolek. Karena nenek muka hitam sudah pergi jauh, kepala rombongan segera mengajak kelima perempuan itu kembali ke markasnya.

********************

LIMA

"Gusti Yang Mulia Ratu Pesolek..."

Tiga orang perempuan ca ntik segera menjatuhkan diri berlutut di atas hamparan permadani. Perempuan cantik yang duduk di atas singgasana bergagang gading membalas dengan anggukan tipis.

Wanita cantik itu adalah Ratu Pesolek. Tokoh wanita sesat nomor satu di Pulau Bali. Melihat kulitnya yang masih kencang dan halus, sungguh sukar dipercaya kalau ia telah berusia seratus tahun lebih! Bentuk tubuh maupun paras Ratu Pesolek seperti gadis dua puluh tahunan. Itulah kemukjizatan yang didapat Diah, nama asli Ratu Pesolek, setelah ia mempelajari Kitab Ilmu Lebah Hitam.

"Ada keperluan apa kalian datang menghadapku sesore ini?" Ratu Pesolek yang selalu mengenakan pakaian sutera serba merah menegur ketiga pembantunya.

"Hamba bertiga mohon ampun, Ratu," Salah seorang dari tiga wanita cantik itu, yang bermata bulat dan jernih, menghaturkan sembah mewakili kedua kawannya.

Ratu Pesolek hanya bergumam tak jelas. Ia memberikan isyarat dengan gerakan tangan agar pembantunya itu segera mengutarakan maksud kedatangannya.

"Kami memergoki dua orang lelaki menyelundup masuk melalui taman belakang, Ratu. Kedua orang itu mempunyai kepandaian tinggi. Beberapa kawan kami menjadi korban keganasan mereka. Tapi, sekarang mereka sudah terkepung. Kami mohon Ratu sudi memberi petunjuk, apa yang harus kami lakukan terhadap kedua penyelundup itu," lapor perempuan bermata bulat itu. la kemudian kembali bergerak mundur dan me nundukkan wajahnya, setelah menghaturkan sembah lebih dulu.

"Berapa usia mereka? Dan, bagaimana paras mereka?" suara Ratu Pesolek terdengar angkuh. Padahal, pertanyaan itu jelas menunjukkan wataknya yang cabul.

"Mereka berusia empat puluh dan lima puluh tahun. Yang lebih muda memiliki bentuk wajah ga...."

"Cukup!" Ratu Pesolek langsung memotong. "Bunuh mereka!" titahnya kemudian.

"Baik, Ratu...."

Ketiga perempuan cantik itu menjawab bersamaan. Mereka bergerak mengundurkan diri dari tempat itu setelah menghaturkan sembah.

********************

Di taman belakang markas Ratu Pesolek tampak dua orang lelaki tengah berusaha keras melepaskan diri dari kepungan belasan perempuan cantik. Namun setiap kali mencoba menerobos, mereka terpaksa harus berlompatan mundur kembali. Ujung-ujung tombak di tangan para pengepung itu datang mengancam dari sekeliling tubuh mereka.

"Celaka kita, Udayana!" Lelaki berwajah gagah yang tidak lain Narottama mengeluh cemas. "Sungguh tidak disangka penjagaan di tempat kediaman Ratu Pesolek ternyata sangat ketat. Kemungkinan untuk selamat dari tempat ini jelas sangat kecil..."

"Selain itu, kita tidak mungkin melukai perempuan-perempuan ini. Mereka adalah gadis-gadis tak berdosa yang diperalat Ratu Pesolek. Mereka pasti telah dicekoki semacam ramuan yang menghilangkan ingatan tentang diri mereka. Dan, hanya menurut perintah Ratu Pesolek laknat itu," ujar Udayana yang sudah mengetahui dari mana asal pengjkut-pengikut Ratu Pesolek.

Mereka adalah gadis-gadis yang diculik Ratu Pesolek, kemudian dijadikan pembantunya. Alasan itu membuat Udayana dan Narottama tidak sampai hati melukai gadis-gadis itu. Kalaupun sudah ada beberapa orang yang mereka robohkan, itu pun tidak sampai terluka. Udayana maupun Narottama telah memilih sasaran yang tepat. Korban-korban serangannya hanya mereka buat tak sadarkan diri. Tapi, kesempatan untuk melakukan hal itu sekarang sudah tertutup. Kedua lelaki gagah itu menjadi bingung, bagaimana cara menghadapi para pengepungnya.

Tengah Udayana dan Narottama mencari-cari cara untuk dapat lolos dari kepungan itu, tiga orang perempuan cantik yang selesai menghadap Ratu Pesolek telah tiba di tempat itu. Udayana dan Narottama saling bertukar pandang dengan sorot mata gelisah. Mereka dapat menduga ketiga perempuan yang baru tiba itu pastilah pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek. Dan, mereka sudah pasti memiliki kepandaian tinggi. Kedatangan ketiga perempuan itu membuat Udayana dan Narottama semakin merasa tidak dapat meloloskan diri.

"Biar aku yang menghadapi kedua cecunguk tak tahu diri itu." Perempuan cantik bermata bulat berkata kepada dua orang temannya. Lalu, tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya segera melayang ke tengah arena.

"Kemani, mundur kau...!"

Selagi tubuh perempuan bermata bulat yang bernma Kemani melayang di udara, tiba-tiba terdengar bentakan halus dan merdu. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan merah yang mendahului Kemani. Bayangan merah itu melayang turun di hadapan Udayana dan Narottama. Sosok itu ternyata Ratu Pesolek. Rupanya, ia telah berubah pikiran dan hendak menghadapi sendiri kedua penyelundup itu. Melihat kemunculan pimpinannya, Kemani yang sudah menjejakkan kaki di tanah segera bergerak mundur.

"Hm...." Ratu Pesolek menggumam pelan. Ditatapnya wajah Udayana dan Narottama lekat-lekat. Sikap tokoh wanita sesat itu terlihat sangat tenang. Ia melangkah mondar-mandir meneliti sosok kedua musuhnya tanpa merasa khawatir akan diserang secara tiba-tiba.

"Atas kehendak siapa kalian datang ke tempat ini?" tanya Ratu Pesolek setelah puas menaksir-naksir kedua musuhnya.

Udayana dan Narottama terlihat agak gugup. Sorot mata indah dan paras yang cantik luar biasa, serta bentuk tubuh menggiurkan di balik pakaian ketat Ratu Pesolek, membuat Udayana dan Narottama kehilangan suara. Kelihatan sekali betapa kedua lelaki itu terpesona oleh sosok Ratu Pesolek.

Mereka memang sudah mendengar tentang kecantikan Ratu Pesolek. Tapi, sungguh tidak disangka kalau kenyataannya ternyata jauh lebih cantik dari yang mereka bayangkan. Meskipun usia mereka sudah cukup tua, namun sebagai laki-laki normal, pesona Ratu Pesolek membuat pikiran mereka melayang membayangkan yang tidak-tidak.

Melihat kedua musuhnya sangat terpesona dengan dirinya, Ratu Pesolek tersenyum sinis. Tatapan mata Narottama dan Udayana yang seperti harimau lapar itu tentu saja mendatangkan ke banggaan di hati Ratu Pesolek. Itu berarti dirinya masih tetap cantik dan mempesona.

"Kalian tidak pantas menjadi pengantinku! Jadi, sebaiknya buang saja jauh-jauh pikiran kotor yang ada dalam kepala kalian!"

Suara sinis dan angkuh Ratu Pesolek membuat kesadaran Udayana dan Narottama tergugah. Wajah keduanya merah bagai terbakar. Ucapan Ratu Pesolek seolah menelanjangi hasrat mereka.

"Ratu Pesolek!" Udayana yang sudah mencabut pedangnya, menyilangkan senjata itu di depan dada. "Kami datang untuk menumpas mu! Bersiaplah...!"

Begitu ucapannya selesai, Udayana menerjang maju disertai bentakan mengguntur. Senjata di tangannya berkelebatan membentuk kilatan-kilatan cahaya putih yang diiringi suara mengaung tajam. Rupanya, dalam jurus pertama Udayana langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Agaknya ia sudah banyak mendengar tentang ketinggian ilmu Ratu Pesolek.

Ratu Pesolek tersenyum sinis. Sambaran pedang Udayana dielakkan hanya dengan kelitan-kelitan tubuhnya. Tampaknya, Ratu Pesolek sangat yakin dengan kepandaiannya. la tidak terlihat buru-buru dalam menghindari serangan gencar Udayana. Tapi, kelitan-kelitan yang dilakukannya sangatlah tepat. Jangankan tubuh, ujung pakaiannya saja tidak dapat disentuh pedang Udayana. Hingga, lelaki setengah baya itu penasaran bukan main!

"Udayana, aku datang membantu...!"

Ketika Udayana mempergencar serangannya, Narottama berseru keras. Ia ikut menggempur Ratu Pesolek dengan seranga n-serangan yang cepat dan kuat. Tapi meskipun dikeroyok dua orang, Ratu Pesolek tetap enak saja menggerakkan tubuhnya menghindari kilatan-kilatan mata pedang kedua lawannya. Dua puluh jurus sudah Udayana dan Narottama menyerang tanpa hasil, tiba-tiba Ratu Pesolek melompat jauh ke belakang. Lalu, dengan sorot mata tajam berkilat Ratu Pesolek membentak nyaring.

"Berhenti...!"

Hebat sekali pengaruh yang terkandung dalam bentakan Ratu Pesolek. Tubuh Udayana dan Narottama bergetar. Kedua lelaki itu tampak terkejut. Ini membuktikan kalau ilmu tenaga dalam yang dimiliki Ratu Pesolek telah mencapai tingkat yang tinggi sekali!

"Dengar!" Ratu Pesolek kembali membentak dengan suara yang mengandung kekuatan sihir. "Kalian satu sama lain adalah musuh bebuyutan!"

Udayana dan Narottama terkejut ketika merasakan ada satu kekuatan aneh yang memaksa mereka saling berhadapan. Dua pasang mata mereka saling tentang. Ada kilatan dendam dan permusuhan dalam sorot mata keduanya. Namun, mereka hanya berdiri tegak. Udayana dan Narottama yang baru sadar mereka telah termakan pengaruh sihir, tengah berusaha keras untuk melawannya.

"Angkat senjata kalian...!" seru Ratu Pesolek kembali bergema. "Tidak ada jalan keluar bagi kalian kecuali saling bunuh!"

"Haaat..!"

Narottama yang tidak sanggup lagi menahan pengaruh kekuatan sihir Ratu Pesolek, segera berteriak menerjang Udayana. Senjata di tangannya menderu ganas.

Bed! Bed! Bed!

Udayana terpaksa berloncatan untuk menghindari serangkaian serangan Narottama. Seperti halnya Narottama, Udayana pun akhirnya kehilangan akal sehatnya. Serangan-serangan Narottama membuat pertahanannya untuk melawan pengaruh sihir melemah. Akhirnya, Udayana pun dapat dikuasai Ratu Pesolek. Dengan tidak kalah ganasnya, dibalasnya serangan Narottama. Udayana memutar tubuhnya dengan satu liukan manis ketika pedang Narottama hendak memapas batang lehernya Kemudian, langsung dibalas dengan sebuah tusukan cepat ke arah jantung!

Trang!

Bunga api memercik ketika Narottama memutar senjatanya memapaki serangan Udayana. Benturan itu membuat kuda-kuda keduanya tergempur. Udayana dan Narottama terjajar mundur. Tapi, Udayana masih lebih kuat dari Narottama. Ia lebih dulu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga, ia melesat dengan sebuah tendangan kilat ke ulu hati Narottama

Bukkk!

Narottama terpekik ngeri. Tendangan telak itu membuat tubuhnya terpental ke belakang. Udayana tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia melompat berputar sambil membabatkan pedangnya memapas batang leher Narottama.

Crakkk!

Darah segar menyembur tumpah ke tanah. Tak ada jeritan yang keluar dari mulut Narottama. Kepalanya langsung putus terbabat pedang Udayana. Narottama pun ambruk dengan nyawa melayang!

"Hi hi hi...!" Ratu Pesolek tertawa Iepas. Meskipun pertarungan cukup singkat, hanya memerlukan lima puluh jurus, namun Ratu Pesolek sangat puas. Ia tidak perlu bersusah payah mengotorkan tangannya

"Bagus... bagus...!" Ratu Pesolek menyambut kemenangan Udayana. Ditariknya pengaruh sihir yang menguasai pikiran Udayana. Lelaki itu mendapatkan kembali kesadarannya.

"Aaaah...!" Laksana melihat hantu di siang bolong, Udayana terpekik dengan wajah pucat! Tubuhnya gemetar menyaksikan mayat Narottama yang tanpa kepala. Sepasang matanya terbelalak bagai hendak keluar ketika melihat pedang di tangannya berlumuran darah.

"Tidak! Tidak mungkin aku yang membunuhnya! Aku belum gila untuk membunuh sahabat sendiri! Tidaaak...!" Bagai orang kemasukan setan, Udayana berteriak-teriak panik. Langkahnya terhuyung limbung seraya memandangi pedang berlumur darah di tangannya. Lalu, dilemparkannya pedang itu jauh-jauh. Seolah pedang itu sebuah benda yang mengerikan.

"Siapa lagi yang membunuh sahabatmu itu kalau bukan kau, lelaki tua yang kejam! Tega sekali kau memenggal kepala seorang sahabat yang sangat baik dan setia kepadamu. Arwahnya di alam baka pasti tidak akan pernah tenang. Arwah sahabatmu itu akan terus membayangimu sampai kau menyusulnya...!" Ratu Pesolek berkata dengan suara lantang.

Udayana memalingkan wajahnya menatap Ratu Pesolek. Kepalanya menggeleng keras, membantah tuduhan yang dijatuhkan kepadanya. Sesaat kemudian, Udayana menggeram bagai harimau luka.

"Kaulah yang menjadi penyebab kematian sahabatku itu, Ratu Pesolek! Ya..., pasti kaulah pembunuhnya. Bukan aku! Kaulah pembunuhnya, Ratu Pesolek! Aku akan menuntut balas atas kematian sahabatku itu. Hiyaaa...!"

Bagaikan singa luka, Udayana menerjang Ratu Pesolek dengan serangkaian pukulan maut. Tapi, Ratu Pesolek sedikit pun tidak bergeming dari tempatnya. Dengan tenang, disambutnya semua serangan Udayana.

Plak! Plak! Plak!

"Uuh...!" Tangkisan Ratu Pesolek membuat Udayana terhuyung mundur. Ia nyaris terpelanting jatuh. Udayana menggeram gusar. Tidak peduli meski kepandaiannya jelas-jelas kalah jauh dengan Ratu Pesolek, ia kembali menerjang maju!

"Haiiitt..!"

Tiba-tiba saja, sebelum serangan Udayana tiba dekat, Ratu Pesolek membentak nyaring seraya merendahkan tubuhnya. Tangan kanannya terayun ke depan. Sebentuk angin pukulan menderu ke arah Udayana yang tengah melayang di udara.

Bresssh...!

Kalau saja Udayana tidak menuruti kekalapan hatinya, belum tentu pukulan itu dapat mengenai tubuhnya. Tapi, karena ia sudah tidak peduli lagi dengan keselamatan dirinya, dan pikirannya tengah terguncang, pukulan dahsyat Ratu Pesolek tak dapat dihindari. Udayana menjerit ngeri, Tubuhnya tersentak dan terpental deras ke belakang. Kemudian, terbanting keras di tanah.

Sesaat Udayana masih menggeliat menahan rasa sakit pada dadanya yang menghitam dan mengepulkan asap tipis. Dan sebentar kemudian, tubuh lelaki gagah itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Udayana tewas terkena pukulan Racun Lebah yang dilancarkan Ratu Pesolek.

"Lemparkan mayat-mayat mereka ke hutan...!" perintah Ratu Pesolek. Kemudian, segera memutar tubuhnya dan bergerak meninggalkan tempat itu.

********************

Begitu tiba di lereng sebelah timur Gunung Abang, Panji terus mencari tempat kediaman Ratu Pesolek. la memang tidak bermaksud mengunjungi markas tokoh sesat itu. Lebih dulu ia hendak menyelidiki keadaannya dan berapa banyak pengikut Ratu Pesolek. Panji tidak ingin bertindak gegabah. ia sadar Ratu Pesolek tidaklah dapat disamakan dengan tokoh-tokoh sesat lainnya.

Ratu Pesolek telah meyakini sebuah ilmu mukjizat yang mampu membuat dirinya tampak awet muda. Begitu keterangan yang didapat Panji dari Kakek Tanpa Tanding. Beliau juga berpesan agar Panji berhati-hati. Salah-salah ia bisa menjadi korban keganasan Ratu Pesolek yang setiap purnama membutuhkan calon pengantin. Untuk lebih mudah melihat sekitar daerah itu, Panji mencari dataran yang agak tinggi. Dari atas ia memandang sekitar lereng sebelah timur.

"Hm... Itu pasti markas Ratu Pesolek...," gumam Panji ketika melihat sebuah bangunan yang menyeru pai istana. "Rupanya, Ratu Pesolek mendirikan kerajaan kecil di kawasan Gunung Abang ini..."

Setelah mengetahui secara pasti letak markas Ratu Pesolek. Panji segera mencari tempat yang baik untuk mengintai. la akan menunggu datangnya malam. Saat hari mulai gelap, barulah ia akan menyelundup ke dalam istana mungil Ratu Pesolek.

"Hih hih hih...! Sedang apa kau di situ, Bocah Bagus? Sedang mencari jangkerik, ya?"

Teguran itu membuat Panji terperanjat. Bergegas ia melompat mundur seraya mendongakkan kepalanya, memandang ke atas sebatang pohon.

"Gila...! Siapa sosok hitam yang bergelantungan di cabang pohon itu?! Mengapa aku sampai tidak mengetahui kedatangannya?" Panji berkata heran dalam hati.

"Hih hih hih...! Begitu saja kaget?" Sosok yang bergelantungan di atas pohon itu bergegas melayang turun. Siapa lagi sosok itu kalau bukan nenek muka hitam.

"Siapa kau, Nek? Apa yang sedang kau perbuat di tempat ini?" Panji bertanya seraya menatap penuh selidik. Hatinya agak tegang melihat cara nenek itu melayang turun. Gerakannya demikian ringan. Tapi, bukan cuma alasan itu yang membuat Panji mendadak tegang. Ia khawarir nenek muka hitam adalah salah seorang pengikut Ratu Pesolek. Jika benar demikian, jelas sangat berbahaya. berarti kedatangannya telah diketahui. Padahal Panji belum lagi tahu kekuatan yang dimiliki Ratu Pesolek.

"Cerewet! Ditanya kok malah bertanya!" Nenek muka hitam mengumpat seraya membanting kakinya ke tanah. Tapi, kemudian ia terdiam dan menarik kepalanya ke belakang. Dengan kepala miring-miring, ditelitinya wajah Panji.

"Hai... Wajahmu ternyata tampan sekali!" Nenek muka hitam berseru dengan mata berbinar. "Kau sangat cocok untuk menjadi pengantin Ratu Pesolek pada malam pumama tiga hari lagi. Eh, apakah kau sengaja datang untuk menemui Ratu Pesolek? Tetapi, mengapa harus mengintip-intip segala? Lebih baik kau langsung saja masuk dan menemuinya. Aku berani bertaruh Ratu Pesolek akan langsung setuju untuk mengambil kau sebagai pengantinnya. Kau pasti mau, bukan? Ratu Pesolek sangat cantik. Tubuhnya montok dan masih kencang, walaupun kabarnya ia telah berusia lebih seratus tahun. Wah, kau pasti akan ketagihan kalau sudah menjadi pengantinnya. Dan, aku yakin kau tidak akan menolak bila sudah berjumpa dengannya. Kau...."

"Nek, Nek, harap berhenti sebentar...." Panji buru-buru memotong perkataan nenek itu. Dihelanya napas seraya menggelengkan kepala. Panji menatap wajah nenek muka hitam lekat-lekat. Keningnya berkerut ketika ia membaui keharuman yang aneh. "Hm.... Genit sekali nenek muka hitam ini. Walaupun sudah peot, ia masih suka memakai wewangian. Benar-benar edan...!" desis Panji dalam hati. Sementara matanya tetap melekat pada wajah hitam berkilat seperti pantat dandang itu.

"Wah.... Sinting!" Nenek muka hitam yang kelihatan agak risih, mengumpat Panji "Mengapa kau memandangi aku sambil tersenyum-senyum? Apa wajahku seperti badut? Atau... kau naksir padaku, ya?"

Ucapan nenek muka hitam menyadarkan Panji dari lamunan. Pemuda itu menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, Nek. Langsung saja." Panji berkata seraya menatap tajam wajah nenek muka hitam. Tapi, pandangan itu segera dialihkannya ke tempat lain ketika melihat nenek itu agak risih oleh tatapannya. Kemudian, tanpa melihat, Panji melanjutkan ucapannya. "Sebenarnya apa maksudmu menggangguku, Nek? Apakah kau salah seorang pengikut Ratu Pesolek?"

"Aku tidak mau menjawab!"

"Eh?!" Panji tersentak kaget. Suara nenek muka hitam terdengar seperti orang sedang merajuk. "Mengapa begitu?!" tanya Panji heran. Ia benar-benar tidak mengerti. Nenek itu sebentar baik dan kemudian tiba-tiba berubah marah.

"Aku tidak suka begitu! Aku suka begini!" Lagi-lagi nenek muka hitam menukas ketus.

"Terserah kaulah, Nek...? Nah, katakanlah, mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaanku?"

"Karena aku bukan pohon, bukan dinding, dan juga bukan makhluk aneh! Aku tidak suka berbicara dengan orang yang tidak mau memandang mukaku!" sentak nenek muka hitam.

Panji tersenyum. "Baiklah," ujar Panji mengalah. Lalu, kepalanya diputar menghadapi nenek itu.

"Nah, begitu baru betul! Tapi, jangan terus-terusan kau pandangi wajahku seperti itu. Perasaanku jadi tidak karuan, tahu!"

"Wah, susah kalau begini..:?" gumam Panji menggeleng, tak tahu harus bagaimana berbicara dengan nenek itu. Dipandang salah, tidak dipandang apalagi.

"Apa! Aku susah untuk mendapat suami! Kurang ajar! Kau benar-benar merendahkan aku, Bocah Gendeng!" Nenek muka hitam yang kadang-kadang memang kurang dengar, mendadak marah. Ia salah menangkap perkataan Panji yang terdengar tidak begitu jelas.

"Aku tidak berkata demikian, Nek!" Panji membantah seraya melompat mundur. Karena, nenek muka hitam sudah menyiapkan serangannya

"Tidak bisa! Kau sudah menghina! Kau harus diajar sopan santun, biar lain kali tidak bicara sembarangan!"

Nenek muka hitam tidak bisa diajak berdamai. Ia langsung menerjang Panji dengan serangkaian pukulan yang cepat dan membawa deretan angin keras. Panji melompat jauh ke belakang menghindari serangan berbahaya itu.

"Jangan lari kau, pemuda kurang ajar...!" Nenek muka hitam yang mengira Panji hendak melarikan diri, bergegas mengejar. Ia kembali melancarkan serangkaian serangan dahsyat!

ENAM

Nenek muka hitam tampak sangat bernafsu untuk segera merobohkan Panji. Serangannya datang bertubi-tubi, membuat Panji agak kewalahan untuk menghindarinya.

Plak! Plak!

Ketika nenek muka hitam terus mendesak Panji terpaksa memapaki dua buah pukulan berbahaya yang mengancam pelipis dan dada kirinya. Tubuh nenek muka hitam terdorong mundur. Begitu pula dengan Panji. Keduanya sama-sama terkejut Kekuatan tenaga dalam mereka ternyata berimbang.

"Hm.... Pantas kau berani menyatroni tempat ini seorang diri, Bocah Bagus. Rupanya kau telah mempersiapkan bekal yang cukup...." Nenek muka hitam berkata setengah memuji. Tapi, sorot matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

Panji tidak berkata apa-apa. Pemuda itu kelihatan sedang berpikir. "Heran. Mata nenek itu demikian bening. Tak ubahnya mata seorang perempuan muda...?! Padahal, sepanjang pengetahuanku mata orang yang sudah tua akan terlihat agak pudar...?" Panji berkata dalam hati dengan menentang pandang mata nenek itu.

Dipandangi secara demikian, nenek muka hitam jadi salah tingkah. Ia kembali menerjang maju. Kali ini jurus-jurus yang digunakannya jauh lebih berbahaya. Mau tidak mau Panji terpaksa mengeluarkan ke pandaiannya untuk menandingi jurus-jurus lawan. Ia tentu saja tidak ingin celaka di tangan nenek itu.

"Hentikan pertarungan...!"

Di tengah pertarungan yang beriangsung sengit itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Panji dan nenek muka hitam terpaksa menunda gerakannya. Mereka berlompatan mundur. Lalu, menoleh ke arah tiga perempuan cantik berwajah dingin yang muncul dari balik semak-semak. Mereka adalah Kemani dan dua orang kawannya, yang merupakan pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek.

Sejak Udayana dan Narottama menyelundup masuk ke dalam markas mereka, Kema ni dan dua orang kawannya diperintahkan oleh Ratu Pesolek agar lebih berhati-hati. Bahkan, Ratu Pesolek memerintahkan ketiga pembantu utamanya itu untuk memeriksa sekitar tempat itu. Saat sedang melakukan pemeriksaan itulah, Kemani dan dua orang kawannya mendengar suara-suara orang bertempur. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat pertempuran Panji dan nenek muka hitam. Kedatangan Kemani dan kawan-kawannya memang tidak diketahui Panji maupun nenek muka hitam. Saat itu mereka tengah mencurahkan perhatian pada pertarungan.

"Siapa kalian? Sedang apa kalian berada di daerah kekuasaan kami?" Kemani bertanya seraya menatap Panji dan nenek muka hitam dengan sorot mata dingin.

"Wah, kasihan...." Nenek muka hitam bergumam pelan. Kepalanya menggeleng-geleng. Dipandangnya ketiga perempuan cantik itu dengan tatapan penuh iba. "Siapa sangka wanita cantik seperti kalian ternyata bermata buta."

Kemani dan kedua orang kawannya terperanjat. Tatapan mata mereka tampak membayangkan kemarahan. "Apa maksudmu, Nenek Muka Pantat Kuali? Sepantasnya kaulah yang buta, bukan kami!" Kemani menukas dengan ketus dan galak.

"Hm.... Jadi begitu, ya?" Nenek muka hitam manggut-manggut. Lalu sambil menyunggingkan senyum sinis, ia melangkah maju empat tindak. "Nah, sekarang coba kalian jawab. Sewaktu kalian datang kami sedang apa, hayo?!"

"Berkelahi." Tanpa periu berpikir lagi, Kemani langsung menjawab tandas.

"Bagus! Jawabanmu sangat tepat!" Nenek muka hitam mengacungkan ibu jarinya. "Kalau kalian sudah tahu kami tadi sedang berkelahi, mengapa harus bertanya lagi? Bukankah itu buta namanya?"

"Kemani..." Salah satu dari dua gadis lainnya memanggil Kemani. "Nenek jelek ini kelihatannya mempunyai otak yang kurang beres. Untuk apa meladeninya. Lebih baik kita habisi saja dia. Sedang pemuda tampan itu, sebaiknya kita tangkap dan kita serahkan kepada ratu. Beliau pasti akan senang sekali mendapat calon pengantin yang muda, tampan, dan memiliki kepandaian mengagumkan...," lanjutnya mengusulkan.

"Hm...." Kemani bergumam. Pandangannya beralih kearah Panji. "Tapi kita harus hati-hati, Ayu. Kelihatannya untuk menangkap pemuda itu tidaklah mudah." Kemani meneliti sekujur tubuh Panji

"Hih hih hih...!" Tiba-tiba nenek muka hitam tertawa seraya menutupi mulutnya. "Dasar perempuan-perempuan rakus! Begitu melihat pemuda tampan, mata kalian jadi hijau. Persis singa-singa betina kelaparan yang melihat kijang muda..."

"Keparat...!" Kemani dan kedua kawannya memaki dengan wajah merah padam.

"Biar kuhabisi nenek sial dangkalan itu...!" Ayu menggeram tak sabar. Tanpa menunggu persetujuan Kemani, ia langsung melompat maju dan mengirimkan sebuah pukulan maut!

Dukkk!

Nenek muka hitam tidak berusaha menghindar. Dipapakinya pukulan itu. Ayu menjerit kaget. Tubuhnya terpental balik. Meski tidak sampai terjatuh, namun kenyataan itu membuat Ayu sadar tenaga dalam nenek muka hitam berada beberapa tingkat di atasnya.

"Sukreni, bantu dia.:.!" Kemani memerintah perempuan yang berdiri di sampingnya.

Gadis berambut panjang tergerai hingga ke pinggang itu segera melayang ke tengah arena. Di tangannya tergenggam sebuah pecut yang terbuat dari kulit binatang.

"Ctar! Ctarr!" Pecut di tangan Sukreni meledak-ledak memekakkan telinga. Tapi, nenek muka hitam malah terkekeh.

"Hei! Kau, Kemani!" Nenek muka hitam berseru. "Kau majulah sekalian. Biar aku tidak perlu bekerja dua tiga kali...!" tantangnya. Kemudian, dilanjutkan dengan suara tawa mengikik berkepanjangan.

Kemani menggeram gusar. la tampak bimbang menerima tantangan nenek itu. Sesaat ia menoleh ke arah Panji. Kemudian, berputar memandang nenek muka hitam.

"Hih hih hih...! Kau takut menghadapiku, Kemani...?" Nenek muka hitam memanas-manasi Kemani yang tengah dilanda kebimbangan.

"Nenek Cerewet Keparat...!" Kemani mengumpat jengkel. Kebimbangan semakin nyata tergambar di wajahnya. Tapi, akhirnya la mengambil keputusan untuk menerima tantangan itu. Kemani pun melesat ke arena untuk mengeroyok nenek muka hitam.

"Nah, begitu baru bagus...!" Nenek muka hitam tampak semakin gembira. Disambutnya kedatangan Kemani dengan hangat

"Bersiaplah untuk mampus, Nenek Tak Tahu Diuntung...!" begitu ucapannya selesai, Kemani menerjang dengan pukulan tangan kosong.

Ayu dan Sukreni tidak mau ketinggalan. Keduanya yang berada di kiri-kanan nenek itu segera menyerbu dengan senjata masing-masing. Sukreni menggunakan pecut. Sedang Ayu berse njatakan se pasang trisula berwama perak.

Meskipun diserang dari tiga jurusan, tapi nenek muka hitam tampak tenang-tenang saja. la berdiri sambil berkacak pinggang. Panji yang menyaksikan sikap nenek muka hitam, mengerutkan keningnya dengan wajah cemas. Ia khawatir nenek itu akan celaka. Karena, serangan ketiga perempuan cantik itu tidak bisa dipandang ringan! Untuk bergerak membantu, Panji masih ragu. la takut nenek muka hitam akan berbalik marah padanya. Panji menjadi bimbang. Ia cuma berdiri dengan wajah tegang!

"Hyaaa...!"

Sewaktu serangan Kemani, Ayu, dan Sukreni sudah tiba dekat, tiba-tiba nenek muka hitam membentak nyaring. Berbarengan dengan itu kedua tangannya mengibas berputar!

Pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek tampak kaget bukan main. Pandangan mereka terhalang oleh bubuk-bubuk putih yang ditebarkan nenek muka hitam. Ketiganya terbatuk- batuk. Bubuk-bubuk putih yang berbau harum memabukkan itu terhirup hidung mereka, dan membuat kepala mereka mendadak pening Sesaat kemudian, ketiganya ambruk ke tanah tak ubahnya sehelai karung basah.

"Hih hih hih...!" Nenek muka hitam tertawa puas. Ia menoleh ke arah Panji "Mudah, ya?" ujarnya dengan mimik wajah lucu.

Panji hanya menarik napas lega. Ia kagum dengan sikap nenek itu. Perbuatan nenek muka hitam terlalu berbahaya dan membutuhkan ketenangan serta keberanian yang luar biasa. Karena, salah perhitungan sedikit saja, Panji yakin nenek itu pasti akan kehilangan nyawanya. Ternyata nenek muka hitam telah memperhitungkan tindakannya dengan tepat. Ia bukan saja berhasil mengecoh Kemani dan kawan-kawannya. Bahkan, dapat merobohkan mereka tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.

Panji tidak lagi merasa khawatir. Nenek muka hitam ternyata bukanlah di pihak musuh. Ia melangkah mendekati nenek itu yang tengah memeriksa ketiga korbannya yang menggeletak tak sadarkan diri.

"Kau suka kepada mereka?" Begitu Panji tiba dekat, nenek muka hitam bangkit berdiri dan bertanya.

Panji tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Untuk menjawab tidak, Panji merasa terlalu munafik. Ketiga perempuan itu memang cantik-cantik. Tapi, kalau pertanyaan itu dijawab suka, Panji khawatir nenek muka hitam akan marah. Hal itu tidak mustahil. Watak nenek muka hitam memang aneh dan sukar ditebak. Panji memutuskan untuk tidak menjawab.

"Huh, dasar laki-laki! Tidak bisa dipercaya! Munafik!" Nenek muka hitam mengumpat. Telapak tangannya kemudian dikibaskan di depan wajah Panji.

Panji terkejut Kibasan telapak tangan itu menyebarkan bubuk berwarna putih! Bau harum memabukkan yang tersedot masuk ke dalam jalan napasnya membuat Panji sedikit pening. Bergegas ia melompat mundur seraya mengibaskan tangannya mengusir bubuk-bubuk pembius. Tapi, nenek muka hitam ternyata tidak tinggal diam. Selesai mengibaskan bubuk pembius itu, ia langsung menyusupi dengan tebasan lengannya ke be lakang leher Panji.

Desss!

Karena tidak menyangka nenek muka hitam akan berbuat licik seperti itu, Panji tak sempat lagi menghindar. Terlebih saat itu ia masih disibukkan oleh bubuk pembius. Hantaman lengan nenek muka hitam membuat Panji seketika roboh pingsan!

"Hih hih hih...! Ternyata kau pun tidak sulit untuk dibohongi!..," ujar nenek muka hitam tertawa puas.

********************

Panji tersadar dari pingsannya dan menemukan dirinya berada di sebuah ruangan yang harum dan indah. Tubuhnya terbaring di atas pembaringan yang beralaskan sutera halus berwama merah muda. Bukan cuma alas pembaringan itu saja yang berwarna merah muda. Permadani yang terhampar menutupi seluruh lantai ruangan itu juga berwarna merah muda. Tempat itu tampak marak dan indah dipandang mata.

"Di manakah aku...? Siapakah pemilik kamar yang indah dan harum ini...?" Panji bergumam dengan penuh rasa heran. Perlahan ia bergerak bangkit. Alangkah kaget hatinya merasakan kejanggalan dalam dirinya. Kepalanya terasa berat. Jantungnya berdenyut dua kali lebih cepat dari biasa. Sekujur tubuh Panji terasa panas bagai terbakar.

"Hi Hi hi...! Rupanya kau sudah sadar, calon pengantinku yang tampan..."

Sebuah suara merdu merasuk telinganya. Panji mengangkat kepala. Mulutnya sampai ternganga ketika melihat seorang perempuan cantik menghampirinya dengan langkah gemulai. Perempuan itu sangat cantik dan mempesona. Terlebih dalam balutan pakaian tipis yang tembus pandang, mencetak lekuk tubuhnya yang aduhai.

Panji menggoyang-goyangkan kepalanya yang terasa semakin berat. Aliran darahnya menggelora bagaikan amukan ombak. Panji merasakan sekujur tubuhnya semakin panas, hingga kulitnya memerah bagai udang rebus. Saat itu, Panji baru menyadari kalau tubuh bagian atasnya sama sekali tidak tertutup pakaian.

"Sssi... apa kau...?" Setelah meneguk air liur beberapa kali, akhirnya Panji dapat melontarkan pertanyaan. Itu pun terdengar gugup. Deru napasnya demikian deras mengalir. Seolah ia baru saja berlari cepat menempuh perjalan yang jauh.

"Aku?" Perempuan cantik itu menegasi. Jari telunjuknya menunjuk belahan dada yang terpentang nyata di balik pakaian tipisnya. "Aku adalah calon pengantinmu...," jawabnya dengan suara merdu.

Dengan perasaan tak karuan dan napas yang masih memburu, Panji tidak berusaha menolak ketika perempuan cantik itu mengulurkan tangan membelai wajah dan dadanya. Panji merasakan napasnya sesak. Pemuda itu pun mengulurkan tangan memeluk pinggang perempuan cantik itu. Keinginan itu tidak dapat dibantahnya, meskipun ia tahu hal itu tidak benar.

"Hi hi hi..! Kau harus bersabar, Sayangku." Perempuan cantik itu menolak dengan halus ketika lengan Panji menarik tubuhnya ke atas pembaringan. "Tunggulah sampai esok tengah malam. Saat itu, barulah kau boleh menikmatinya sepuasmu...," usai berkata, perempuan cantik itu melepaskan tangan Panji dari pinggangnya. Kemudian, ia bergerak bangkit dari atas pembaringan dan melangkah meninggalkan ruangan itu.

"Hendak ke mana kau...?" Panji berseru dan hendak melompat dari atas pembaringan untuk mencegah kepergian perempuan itu.

Tapi, Panji hanya bisa menggeser tubuhnya dan melorot turun dari atas pembaringan. Sesaat Panji terpaku seperti kebingungan. Ketika ia mencoba memusatkan pikiran, kepalanya semakin terasa pening. Ia tidak bisa berpikir dengan baik. Malah, ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Namanya sendiri pun ia tidak ingat! Panji tidak tahu bagaimana ia bisa berada di tempat itu. Tidak ingat lagi apa yang telah dialaminya. Ia bagaikan manusia yang baru lahir. Panji merasakan keanehan pada dirinya itu. Tapi, ia tidak mengerti mengapa.

"Siapakah aku...? Siapa perempuan cantik yang mempesona itu? Bagaimana aku bisa berada di tempat ini? Apakah ini rumahku? Milikkukah kamar yang harum dan indah ini?"

Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu membuat kepala Panji semakin pusing dan berat. Akhirnya, ia tidak mempedulikan semua pertanyaan itu. Tubuhnya direbahkan di atas pembaringan. Karena, perempuan cantik yang tidak bisa dicegahnya itu telah lenyap di balik pintu.

********************

"Hei, Tampan. Bangunlah...."

Panji membuka matanya ketika mendengar suara halus dan tepukan pelan pada kedua pipinya. Didapatinya seorang perempuan muda yang tengah tersenyum manis. Panji merasa tubuhnya bergetar. Ditangkapnya kedua pergelangan tangan perempuan muda itu, yang bukannya ketakutan malah tertawa senang.

"Hik hik hik...!"

Perempuan muda yang mengenakan pakaian seperti seorang pelayan itu tertawa merdu ketika tubuhnya berada dalam pelukan Panji. Perlakuan Panji malah dibalasnya dengan tidak kalah panas. Dari duduk, perempuan muda itu sampai terseret ke atas pembaringan. Panji mencium wajah perempuan itu dengan penuh nafsu. Tapi, ketika Panji dan perempuan itu hendak berbuat lebih jauh, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan menggelegar.

"Pelayan keparat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" Bentakan menggelegar itu berasal dari perempuan cantik yang mengenakan pakaian tipis, yang pertama kali mendatangi Panji. Tapi, kali ini wajah cantik itu tidak lagi terhias senyum memikat. Sebaliknya, terlihat bengis dan memancarkan hawa maut. Begitu bentakannya terdengar, tubuhnya melesat ke arah pembaringan. Sekali sentak saja, tubuh perempuan muda yang tengah bergumul dengan Panji itu langsung terenggut dan terlempar jatuh bergulingan di lantai.

Panji yang saat itu tengah dirasuk nafsu setan bergegas hendak bangkit. Tapi, sebuah totokan yang dilancarkan perempuan cantik itu membuat tubuh Panji kembali rebah. Sedang perempuan cantik itu memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri si pelayan. Perempuan muda itu tengah berlutut dengan tubuh gemetar ketakutan!

"Kau kuperintahkan untuk membawa makanan, bukan menggodanya, pelayan tak tahu diuntung!" Perempuan cantik berpakaian tjpis itu tampak marah besar.

"Ampunkan hamba, Gusti Yang Mulia Ratu Pesolek...." Pelayan itu merintih. Kedua tangannya dirangkapkan dan diangkat di atas kepala. Ia tidak berani menatap wajah junjungannya. "Hamba... hamba... melihat ketampanannya. Hamba tidak bisa menahan diri, Ratu. Ampunkan hamba...." ratapnya.

"Ampun?" dengus perempuan cantik yang tidak lain Ratu Pesolek itu. "Dosamu terlalu besar, Pelayan Busuk! Kau tahu siapa pemuda tampan itu? Ia adalah calon pengantinku pada malam purnama esok. Tahukah kau, apa akibatnya kalau sampai tadi kau telanjur berhubungan dengannya? Itu sama saja dengan membunuhku, Pelayan Keparat!"

Kemarahan yang meledak-ledak dalam dadanya membuat Ratu Pesolek tidak bisa menahan diri lagi. Dengan wajah bengis, telapak tangan kanannya diayunkan ke kepala pelayan itu.

Prokkk!

Tamparan Ratu Pesolek langsung meremukkan batok kepala pelayan yang malang itu. Tak ada jeritan yang keluar. Sesaat tubuh berlumuran darah itu menggelepar bagai ayam dipotong. Kemudian, diam tak bergerak-gerak lagi.

Ratu Pesolek bertepuk tangan tiga kali. Dua orang penjaga yang juga perempuan muncul dan menghaturkan sembah. Ratu Pesolek segera memerintahkan untuk melempar mayat pelayan itu ke dalam hutan. la sendiri kemudian bergegas pergi meninggalkan kamar setelah membebaskan totokannya pada tubuh Panji.

********************

TUJUH

Malam sudah semakin larut. Di langit bulan pumama menggantung dengan pendaran sinarnya yang menerangi jagad raya. Itulah malam yang ditunggu-tunggu Ratu Pesolek!

Di salah satu ruangan bagian belakang istana mungil Ratu Pesolek terlihat kesibukan. Seluruh pengikut Ratu Pesolek telah berkumpul di ruangan yang luas itu. Pada malam pumama seperti ini istana tidak lagi dijaga. Ratu Pesolek tidak merasa khawatir musuh akan menyelundup dan menyerbu istananya. Ratu Pesolek tampaknya sangat yakin tempat upacara itu tidak akan dapat ditemukan lawan.

Ruangan itu berada di dalam tanah. Selain tidak ada orang luar yang tahu kalau pada setiap malam bulan pumama istana tidak dijaga, yang mengetahui tempat upacara itu pun hanya para pengikutnya saja.

Ratu Pesolek memang tidak perlu merasa khawatir para pengikutnya akan berkhianat. Meskipun para pengikutnya, yang seluruhnya terdiri dari perempuan-perempuan muda dan cantik, diculik dari keluarganya, namun Ratu Pesolek telah memberikan mereka ramuan pelupa ingatan yang diberi mantera-mantera sihir agar mereka tunduk pada perintahnya. Setiap bulan pumama, sebelum upacara perkawinan berlangsung, Ratu Pesolek kembali memberikan ramuan pelupa ingatan kepada semua pengikutnya.

Malam terus merambat, Ratu Pesolek sudah berdandan secantik-cantiknya. Bau harum tubuhnya memenuhi seluruh ruangan. Malam itu Ratu Pesolek mengenakan pakaian tipis berwarna merah. la duduk bersila di atas sebuah altar batu berbentuk persegi panjang.

Seperti halnya Ratu Pesolek, Panji yang duduk bersila di samping kanannya tampak telah didandani sedemikian rupa. Panji duduk dengan tenang. Kedua matanya tertuju lurus ke depan.

"Hai, para pengikut setiaku...!" Ratu Pesolek berkata seraya mengedarkan pandangannya merayapi wajah pengikutnya satu persatu. "Sebelum acara dilanjutkan, seperti biasanya, aku telah menyediakan ramuan yang akan membuat kalian tetap muda sepertiku, dan tetap setia kepadaku...!"

Dengan isyarat tangannya, Ratu Pesolek memerintahkan para pengikutnya agar maju satu persatu. Mereka berjalan berputar melewati depan altar. Di hadapan Ratu Pesolek mereka meneguk ramuan yang diruangkan seorang pelayan ke dalam cangkir perak.

Sementara yang lainnya berbaris menunggu giliran. Kemani, Ayu, dan Sukreni yang berdiri di samping kiri Ratu Pesolek, menyaksikan kawan-kawannya meneguk ramuan. Namun, wajah mereka tampak diliputi kegelisahan. Ketegangan membayang jelas di wajah keriga wanita itu. Setiap kali seorang anggota maju dan meneguk ramuan di dalam cangkir perak, mereka menarik napas dan saling mencuri pandang. Semakin pendek barisan yang menunggu giliran, semakin nyatalah kegelisahan keriga pembantu utama Ratu Pesolek itu. Malah, wajah mereka mulai dibasahi peluh.

"Hei, tunggu...!"

Ketika barisan semakin pendek dan tinggal tiga orang lagi, tiba-tiba Ratu Pesolek berseru keras. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Saat itu, salah seorang pengikutnya berdiri di hadapannya dan tengah mengulur tangan untuk mengambil cangkir perak. Ratu Pesolek menahannya. Keningnya tampak berkerut. Matanya menyapu wajah perempuan muda dan cantik yang berdiri dihadapannya.

"Rasanya selama ini aku belum pernah melihatmu..?" Ratu Pesolek berkata bimbang.

"Siapa namamu?" tanyanya dengan sorot mata curiga.

"Ampunkan hamba, Ratu..." Perempuan cantik berwajah bulat telur itu menghaturkan sembah. "Orang seperti hamba mana pantas mendapat perhatian Ratu. Hamba hanyalah pengikut rendahan yang tidak berarti apa-apa. Adalah layak jika Ratu tidak mengenal wajah hamba...," ujarnya dengan tutur kata halus.

Jawaban yang masuk akal itu membuat Ratu Pesolek mengangguk-angguk. Tapi, sorot matanya tidak terlepas dari raut wajah di depannya. Ada sesuatu yang dirasakan Ratu Pesolek pada diri pengikutnya itu. Tidak seperti pengikutnya yang lain, perempuan ini tampak tidak memperlihatkan rasa takut. Ucapannya demikian tenang dan teratur. Terlalu tenang dan mencurigakan bagi Ratu Pesolek.

"Hm.... Dapatkah kau menunjukkan kesetiaan dan kepatuhanmu?" Setelah terdiam beberapa saat, Ratu Pesolek menemukan cara terbaik untuk menguji pengikutnya itu.

"Apa yang Ratu perintahkan akan hamba patuhi. Jika nyawa hamba yang Ratu minta, saat ini juga hamba serahkan." Tegas dan tidak ragu-ragu jawaban yang diberikan perempuan itu. Wajahnya membayangkan kesungguhan. Hingga, Ratu Pesolek menjadi bimbang.

"Kalau begitu, silakan kau penggal batang lehermu sebagai tanda kesetiaanmu kepadaku!" perintah Ratu Pesolek.

"Titah Ratu akan hamba laksanakan...!" Lantang dan penuh kepatuhan jawaban perempuan itu. Sepasang matanya tampak berbinar. Permintaan Ratu Pesolek seperti menimbulkan kebanggaan baginya. Tidak terlihat rasa takut sedikit pun pada wajah perempuan muda itu. Tapi, tidak demikian halnya dengan Kemani, Ayu, dan Sukreni. Wajah ketiga pembantu utama Ratu Pesolek itu tampak memucat. Lagi-lagi mereka saling mencuri pandang.

"Ampunkan hamba, Ratu...." Tiba-tiba Kemani membuka suara seraya menghaturkan sembah kepada junjungannya.

"Hm...." Ratu Pesolek bergumam tak jelas. Kepalanya menoleh ke arah Kemani. Kening Ratu Pesolek berkerut ketika menatap wajah Kemani. Nalurinya membaui sesuatu yang mencurigakan. Tapi, ia ragu. Kemani adalah orang kepercayaannya.

"Apa yang hendak kau sampaikan, Kemani?!" Ratu Pesolek bertanya ketus. Tampak jelas ia tidak senang dengan perbuatan Kemani.

"Hamba rasa kesetiaan dan kepatuhan yang diucapkannya tidak perlu diwujudkan dengan perbuatan, Ratu." Dengan wajah tertunduk, Kemani mengutarakan pendapatnya.

"Mengapa begitu...?!" Kening Ratu Pesolek semakin berkerut dalam. "Jelaskan alasanmu, Kemani!" suara Ratu Pesolek meninggi.

"Karena... karena... dari wajah dan kata-katanya, terbayang jelas kesungguhan hatinya, Ratu. Orang seperti itu kalau diberi kesempatan untuk mengabdi akan sangat berguna sekali." Meskipun agak gugup dan terpatah-patah, Kemani dapat juga mengajukan alasannya.

"Hm...." Lagi-lagi Ratu Pesolek hanya bergumam tak jelas. la menyadari betul kebenaran ucapan pembantu utamanya itu. Tapi, karena nalurinya masih membaui sesuatu yang tidak beres, Ratu Pesolek tidak merubah pendiriannya. Ia tetap menghendaki agar perempuan itu menunjukkan kesetiaan dan kepatuhannya.

Tanpa setahu Ratu Pesolek, perempuan yang tengah diributkan itu mengerjapkan sebelah matanya kepada Kemani, saat ekor mata Kemani melirik ke arahnya.

"Hamba siap menjalankan perintah...." Perempuan itu mengalihkan perhatian Ratu Pesolek dari Kemani. Dan, tanpa menunggu lagi, ia meminta sebatang pedang dari salah seorang kawannya.

Ratu Pesolek memandang tanpa berkedip ketika perempuan itu memalangkan mata pedang di tenggorokannya. Sedang perempuan itu memandang Ratu Pesolek dengan bibir tersenyum. Sesaat kemudian, pedang yang melekat di tenggorokannya itu pun digerakkan!

Cwiittt!

Disertai suara bercuitan, pedang di tangan perempuan itu membabat cepat. Bukan ke arah lehernya, tapi ke arah leher Ratu Pesolek yang berada tepat setengah tombak di depannya!

"Keparat..!" Ratu Pesolek gusar bukan main. Ia terkejut menyaksikan kecepatan dan kekuatan serangan itu. Begitu ujung pedang tiba dekat, Ratu Pesolek bergegas memiringkan kepalanya. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya mencuat ke arah lambung perempuan itu

"Haiittt...!"

Plakkk!

Serangan balasan Ratu Pesolek tidak membuat perempuan itu gugup. Dengan gerakan yang indah disertai bentakan nyaring, ditepiskannya tendangan Ratu Pesolek dengan menggunakan telapak tangan kiri. Dan, benturan itu digunakan untuk melambungkan tubuhnya ke udara, tepat di atas kepala Ratu Pesolek. Dari atas, ujung pedangnya ditusukkan ke arah ubun-ubun Ratu Pesolek!

Crakkk!

Ujung pedang menancap di batu altar sampai dua jengkal lebih. Sedangkan tubuh Ratu Pesolek sudah menggelinding meninggalkan altar.

"Hyahhh...!"

Sebelum perempuan itu sempat mencabut senjatanya yang tertanam di batu altar, Ratu Pesolek sudah melenting dan melompat dengan se buah tendangan kilat!

Desss...!

Meskipun sudah berusaha menghindar, tak urung tendangan kilat itu singgah di pangkal lengan kanannya. Perempuan itu terlempar dan jatuh terguling-guling di lantai. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah. Namun, dengan sigap perempuan itu melenting bangkit. Pedangnya dilintangkan didepan dada, siap melanjutkan perkelahian.

"Keparat! Apa hubunganmu dengan Bidadari Kintamani?" Rupanya, meski baru bergebrak beberapa jurus, Ratu Pesolek segera dapat mengenali dasar ilmu perempuan itu.

"Akulah Bidadari Kintamani..." Perempuan itu menjawab tegas. Tidak ada kesan main-main pada nada suaranya.

"Jangan coba mempermainkan aku, Bangsat Kecil! Bidadari Kintamani sudah kulenyapkan lima tahun silam, sewaktu ia bersama tokoh-tokoh silat lainnya datang menyerbu istana ini. Jadi sebaiknya kau mengaku saja, sebelum menghadap malaikat maut!" ujar Ratu Pesolek dengan sepasang mata mencorong tajam.

"Untuk apa aku berbohong kepadamu, Ratu Pesolek. Bidadari Kintamani adalah guruku. Beliau memang tewas di tempat ini bersama suami dan beberapa orang tokoh persilatan. Itulah sebabnya mengapa aku memusuhimu! Kematian guru harus kubalaskan!" Murid Bidadari Kintamani yang menamakan dirinya sama seperti nama gurunya menjelaskan secara singkat. Lalu, ia menoleh kepada Kemani, Ayu, dan Sukreni yang saat itu berada tidak jauh di belakangnya.

"Kemani, bawa Pendekar Naga Putih pergi dari tempat ini! Minumkan ramuan ini kepadanya...!" Bidadari Kintamani berseru seraya melemparkan sebuah bungkusan kain yang langsung ditangkap Kemani

"Ayu, Sukreni, lindungi aku...!" Kemani berkata kepada kedua kawannya. Ia melompat ke arah Panji yang masih duduk bersila seperti patung dengan ratapan mata lurus ke depan.

Ayu dan Sukreni tidak membuang-buang waktu lagi. Kedua perempuan cantik itu bergegas melindungi Kemani dari serangan para pengikut Ratu Pesolek, yang telah bergerak maju untuk mencegah perbuatan Kemani dan kedua kawannya.

"Pengkhianat-pengkhianat busuk. Kupecahkan batok kepala kalian...!" Ratu Pesolek murka bukan main. Ia tentu saja tidak akan membiarkan calon pengantinnya dibawa pergi. Dengan sebuah lengkingan panjang, Ratu Pesolek melayang disertai ayunan telapak tangan kirinya. Ia mengirimkan pukulan udara kosong yang sangat dahsyat!

"Akulah lawanmu, Ratu Laknat...!" Bidadari Kintamani segera melesat memotong jalan Ratu Pesolek. la mengirimkan serangkaian serangan yang langsung mengancam tiga jalan darah kematian di tubuh Ratu Pesolek!

Derrr...!

Pukulan udara kosong Ratu Pesolek tidak mengenai sasaran. Kemani sudah keburu menghindar dengan menggulingkan tubuhnya di lantai. Sedangkan pukulan maut itu terus menderu menghajar dinding hingga bergetar. Langit-langit ruangan rontok berjatuhan ke lantai.

Ratu Pesolek segera disibukkan oleh serangan Bidadari Kintamani. Tokoh wanita sesat nomor satu yang sangat ditakuti di seluruh Pulau Bali itu menggeram murka. Ia tidak menduga perempuan cantik yang menyamar sebagai pengikutnya itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Biar tak satu pun dari serangan itu yang mengenai tubuhnya, namun untuk beberapa jurus, Ratu Pesolek terdesak dan tidak diberi kesempatan untuk membalas.

"Bangsaaat! Kelak akan kubeset kulitmu, Perempuan Sialan...!" Ratu Pesolek menyumpah-nyumpah. Serangan-serangan Bidadari Kintamani benar-benar membuatnya kelabakan! Ia tidak dapat menyelamatkan calon pengantinnya. Jangankan mencegah perbuatan Kemani, untuk melirik saja ia tidak sempat!

"Heaaat...!"

Karena kesempatan yang ditunggu-tunggu tak juga didapat, Ratu Pesolek menjadi nekat. Sambaran pedang Bidadari Kintamani yang mengaung menuju lambungnya langsung dipapaki dengan tamparan telapak tangan kanan!

Ratu Pesolek tertipu. Bidadari Kintamani ternyata tidak meneruskan serangannya. Tamparan Ratu Pesolek menerpa angin kosong. Karena, Bidadari Kintamani sudah memutar pedangnya dengan gerakan yang tak terduga, dan terus dibabatkan ke arah leher!

Crasss!

"Akh...!" Ratu Pesolek menjerit ngeri. Meskipun ia telah berusaha menghindar dengan menarik kepalanya kebelakang, tapi bahu kanannya tergores mata pedang. Luka yang cukup dalam itu membuat Ratu Pesolek menggigit bibirnya kuat-kuat. Sepasang matanya berkilat menyeramkan ketika melihat lelehan darah yang mengalir membasahi lengannya.

"Hih hih hih...! Malam ini ajalmu akan tiba, Ratu Jalang...!" Bidadari Kintamani tertawa mengejek. Ia segcra kembali mempersiapkan serangan berikutnya.

Ratu Pesolek tidak mempedulikan ejekan lawannya. Kesempatan yang hanya beberapa saat itu digunakan untuk melirik ke arah calon pengantinnya. Tapi, Panji telah lenyap dari tempat itu. Juga Kemani dan Sukreni.

"Kemaniii...!" Ratu Pesolek berteriak melengking menumpahkan k emarahan yang me nyesakkan dadanya. "Tunggu pembalasanku! Akan kuhirup darahmu! Akan kukeluarkan jantungmu!" usai berkata, Ratu Pesolek memutar tubuhnya melesat pergi meninggalkan Bidadari Kintamani

"Mau lari ke mana kau, Ratu Mesum...?" Bidadari Kintamani bergerak ingin mengejar. Tapi, niat itu terpaksa ditundanya. Sewaktu ia melirik ke belakang, dilihatnya Ayu tengah terdesak oleh keroyokan lawan-lawannya. Perempuan itu tengah berusaha mati-matian mempertahankan selembar nyawanya.

Untuk sesaat, Bidadari Kintamani tertegun bimbang, la menoleh ke arah lenyapnya sosok Ratu Pesolek. Lalu, menatap Ayu yang tampak semakin kewalahan. Bidadari Kintamani mendengus. Ia segera melayang ke arah pertempuran. Bidadari Kintamani memutuskan untuk menyelamatkan Ayu lebih dulu.

Dalam pertempuran itu, Bidadari Kintamani tidak menggunakan pedang. Senjata itu tidak lagi diperlukannya. la memang tidak bermaksud membunuh para pengikut Ratu Pesolek yang adalah gadis-gadis desa yang diculik Ratu Pesolek.

"Ayu, jangan bunuh mereka. Lumpuhkah saja...!" Sambil melancarkan tamparan dan totokan, Bidadari Kintamani mengingatkan Ayu. Bersamaan dengan itu, Bidadari Kintamani merobohkan tiga orang pengeroyoknya yang langsung terpelanting roboh tak sadarkan diri.

"Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Bidadari!" seraya melontarkan serangan dengan jurus-jurus tangan kosong, Ayu berteriak mengingatkan.

"Usulmu sangat baik, Ayu...!" jawab Bidadari Kintamani setelah mempertimbangkan sesaat. Ia menerobos kepungan dan memerintahkan Ayu agar lebih dulu menyelamatkan diri.

"Hiaaah...!"

Setelah Ayu terbebas dari kepungan dan melesat keluar dari tempat itu, Bidadari Kintamani membentak Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan untuk membe ndung lawan-lawan yang hendak mengejar.

Bresss...!

Pukulan itu tentu saja tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga. Bidadari Kintamani sudah mengukurnya, agar tidak sampai mencederai lawan-lawannya, apalagi menewaskan. Setelah itu, ia melesat pergi menyusul Ayu. Keduanya bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk menemui Kemani dan Sukreni.

********************

Panji memandangi empat orang perempuan cantik yang mengelilinginya. Sementara yang dipandang cuma tersenyum-senyum. Saat itu Panji memang terlihat lucu. Wajahnya menggambarkan ke bingungan yang sangat. Pandangannya tampak seperti orang tolol.

"Kalian... mengapa kalian tidak menyerangku? Dan..., mengapa aku bisa berada di tempat ini...?" tanya Panji keheranan. Ia membuang pandangannya menatap riak air sungai.

Panji berusaha mengingat-ingat apa yang telah di alaminya. Seketika terbayang wajah seorang nenek-nenek yang hitam seperti pantat kuali. Tiga orang perempuan cantik yang dirobohkan nenek muka hitam itu kini tengah duduk memandangi dirinya.

"Seingatku, nenek muka hitam menyerangku dengan licik. Ia menggunakan bubuk pembius. Mungkinkah aku tak sadarkan diri...," gumam Panji pada dirinya sendiri. la berpaling dan dipandanginya keempat perempuan cantik itu satu persatu.

"Kami sudah bukan pengikut Ratu Pesolek lagi, Pendekar Naga Putih...." Kemani rupanya tidak tega membiarkan Panji dalam kebingungan

"Ya, kami sudah sadar sekarang. Selama ini Ratu Pesolek membelenggu ingatan kami dengan ramuan pelupa ingatan yang telah diberi mantera sihir. Untunglah nenek muka hitam menolong kami." Sukreni menyambung dengan bibir tersenyum.

"Lalu, ke mana nenek muka hitam itu sekarang? Hm... Ia telah menyerangku secara licik. Kelak aku akan membalasnya...," ujar Panji.

"Nenek muka hitam sudah tidak ada lagi di dunia ini...." Bidadari Kintamani memberi tahu.

"Lalu, siapa yang membawa aku ke tempat ini?" Pertanyaan Panji membuat keempat perempuan cantik itu tersenyum-senyum.

"Hai...?!" Panji terpekik ketika melirik pakaian yang melekat di tubuhnya. "Siapa... siapa yang mengenakan pakaian ini ke tubuhku...?"

Kemani, Ayu, Sukreni, dan Bidadari Kintamani malah tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata.

"Kurang ajar! Ini pasti ulah nenek licik itu...!" Panji menggeram dengan wajah merah. Ia merasa jengah membayangkan bagaimana pakaian itu bisa melekat ke tubuhnya. Ini bukan pakaiannya. Apalagi ada bau wewangian yang menyengat hidung.

"Sudahlah..." Bidadari Kintamani berkata menengahi. "Sebaiknya lupakan saja dulu persoalanmu dengan nenek muka hitam. Yang terpenting sekarang adalah melenyapkan Ratu Pesolek. Saat ini kekuatan yang dimilikinya berkurang banyak. Kita harus segera kembali ke istana untuk membunuhnya. Apabila ia mendapatkan pengganti pengantin yang lenyap dan telah menyelesaikan upacara perkawinan, kita harus menunggu purnama depan untuk dapat membunuhnya." Bidadari Kintamani bergegas bangkit.

Kemani, Ayu, dan Sukreni ikut bangkit berdiri. Cuma Panji yang masih terduduk bingung. la tak mengerti dengan pembicaraan perempuan cantik yang mengenakan pakaian merah muda itu. Baru beberapa saat kemudian, setelah teringat sebagian perkataan Bidadari Kintamani yang menyinggung tentang penyerangan ke tempat Ratu Pesolek, Panji segera bangkit berdiri. Meskipun tidak mengerti mengapa tubuhnya terasa agak lemas, Panji segera berlari mengikuti keempat perempuan cantik yang baginya masih misterius itu

********************

DELAPAN

Istana Ratu Pesolek tampak sunyi Halaman bagian depan gelap tanpa ada penerangan cahaya obor. Selain itu tak terlihat seorang pun pengikut Ratu Pesolek yang berjaga-jaga. Suasana di sekitar istana sepi mencekam bagai telah ditinggalkan penghuninya.

"Kesunyian yang mencurigakan...." Bidadari Kintamani bergumam lirih. Sepasang matanya merayapi sekitar halaman depan istana. Saat itu Bidadari Kintamani, Pendekar Naga Putih, dan tiga orang pembantu utama Ratu Pesolek yang telah disadarkan dari kesesatannya tengah mengintai dari balik semak-semak.

"Sebaiknya kita berpencar...." Panji yang berada di samping Bidadari Kintamani mengajukan usul.

Bidadari Kintamani memandang Kemani, Ayu, dan Sukreni. Ketiga gadis cantik itu mengangguk setuju. Bidadari Kintamani tersenyum manis dan menoleh ke arah Panji.

"Aku bersama Ayu dan Sukreni akan masuk dari pintu depan. Kau bersama Kemani masuk lewat pintu belakang. Kau setuju? Atau masih mempunyai usul yang lebih baik?" Bidadari Kintamani berkata kepada Panji

"Usulmu sudah cukup baik...," jawab Panji. Kemudian, pemuda itu mengajak Kemani. Keduanya segera berari mengitari halaman luar istana menuju bagian belakang.

Bidadari Kintamani bergerak bersama Ayu dan Sukreni. Dengan hati-hati, ketiga wanita cantik itu menyelinap masuk melalui pintu depan. Terus memasuki bagian dalam istana. Tapi, meskipun seluruh kamar-kamar telah mereka periksa, namun tak seorang manusia pun mereka temukan.

"Kurang ajar! Apakah Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya telah minggat meninggalkan istana ini..?!" Bidadari Kintamani menggeram gusar. la mengajak Ayu dan Sukreni memeriksa ruangan bawah tanah yang biasa dijadikan tempat untuk mengadakan upacara. Ketiga wanita itu kembali tertegun heran. Ruangan itu pun kosong. Bahkan, beberapa peralatan yang berada di dalam ruangan lenyap!

"Celaka...!" Ayu dan Sukreni berdesis pucat. Mereka menatap Bidadari Kintamani dengan wajah ketakutan.

"Mengapa... apa... yang kalian pikirkan...?" Bidadari Kintamani jadi gugup, terpengaruh sikap Ayu dan Sukreni.

"Jangan... jangan...." Ayu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia memandang Sukreni dengan napas sedikit memburu.

"Upacara pemikahan dilanjutkan di tempat lain...," Sukreni berdesis ragu.

"Apakah Ratu Pesolek masih mempunyai calon pengantin lain? Dan, selain di ruangan ini, di mana lagi biasanya upacara diadakan?" Bidadari Kintamani bertanya cemas. "Kalau sampai Ratu Pesolek..." menyelesaikan upacara pemikahan pada pumama malam itu, akan sulit sekali untuk menandingi kesaktiannya.

"Pada setiap purnama, sedikitnya Ratu Pesolek telah menyiapkan tiga orang pemuda untuk dijadikan pengantinnya. la memilih yang terbaik. Sedang dua lainnya hanya untuk memuaskan keinginan gilanya saja. Mengenai tempat untuk upacara pernikahan, selain ruangan bawah tanah ini, kami tidak tahu lagi. Setahu kami, hanya ruangan inilah yang digunakan pada setiap malam purnama...," jelas Sukreni

Ketiga perempuan itu serentak berpaling ketika mendengar suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Sesaat kemudian, muncullah Panji dan Kemani. Keduanya mengangkat bahu, tanda mereka pun tidak menemukan Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya.

"Mungkin masih ada ruangan bawah tanah yang lain di sekitar istana ini...." Panji menduga-duga.

Suasana hening sesaat. Bidadari Kintamani yang lainnya memikirkan dugaan Panji. Tapi, sebelum mereka sempat bergerak mencari ruangan lainnya, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang mendirikan buiu roma.

"Hi hi hi...!"

"Ratu Pesolek...!" Ayu, Sukreni, dan Kemani berseru dengan wajah pucat Seketika tubuh mereka gemetar ketakutan. Mereka langsung bisa menebak si pemilik suara.

"Celaka...! Ayo, kita keluar dari tempat ini..!" Panji langsung tanggap dengan keadaan itu. la segera berkelebat menuju pintu.

Blammm!

Terlambat! Sebelum Panji mencapai pintu, lempengan baja itu bergerak menutup dengan suara berdentam keras. Dari celah-celah pintu baja tampak asap tipis berwarna kekuningan menerobos masuk

"Asap Kematian...!"

Kemani, Ayu, dan Sukreni yang telah mengenal baik asap beracun itu berteriak seraya melompat jauh ke belakang. Wajah mereka yang dibanjiri keringat dingin terlihat pucat bagai mayat.

Bidadari Kintamani pun seperti kehilangan akal. Ia sudah pernah mendengar tentang 'Asap Kematian'. Suatu asap beracun yang dapat membuat kulit menjadi rusak seperti terkena penyakit cacar. Kemudian, daging-daging di tubuh akan membusuk perlahan-lahan, mengembung dan berisikan cairan berbau busuk. Sampai akhirnya, si korban menemui kematian dengan sekujur badan rusak. Bidadari Kintamani tak dapat membayangkan dirinya akan menemui ajal sedemikian menakutkan.

"Aku... aku tidak mempunyai cara untuk menangkal racun itu. Pendekar Naga Putih...." Bidadari Kintamani mengeluh dengan wajah pucat

Rupanya, sehebat-hebatnya ke pandaian Bidadari Kintamani, ia masih saja seorang perempuan yang sangat takut kulit wajah dan tubuhnya menjadi rusak. Terlebih cara kerja racun 'Asap Kematian' sangat hebat sekali. Korban keganasannya baru akan menemui ajal setelah menjalani azab kira-kira setengah tahun. Selama itu ia akan hidup dengan keadaan tubuh yang menjijikkan. Kalau menghadapi maut, Bidadari Kintamani tidak akan gentar. Tapi, ancaman 'Asap Kematian' benar-benar telah meruntuhkan keberanian wanita perkasa itu.

"Mari ikut aku...." Setelah berpikir beberapa saat, Panji menarik lengan Bidadari Kintamani untuk berkumpul bersama Kemani, Ayu, dan Sukreni. "Aku akan mencoba sesuatu. Tapi, aku belum yakin akan berhasil. Aku belum pernah melakukannya...," jelas Panji yang segera duduk bersila. la memberi isyarat agar yang lainnya mengikuti.

"Sekarang kosongkan pikiran kalian. Jangan coba melawan apabila ada hawa panas yang menerobos masuk..." Panji memberi penjelasan seraya memejamkan matanya. Lalu, dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.

Sebentar kemudian, saat asap berwama kuning itu semakin mendekati mereka, sinar kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuh Panji. Lalu, menjalar ke tubuh Bidadari Kintamani dan Kemani melalui tangan Panji yang saling bergenggaman dengan kedua gadis yang duduk bersila di kiri-kanannya. Terus menjalar ke tubuh Ayu dan Sukreni. Sukreni berpegangan tangan dengan Bidadari Kintamani. Sedang Ayu berpegangan pada lengan Kemani.

Terlihatlah sebuah pemandangan yang aneh. Sinar kuning keemasan yang berasal dari tenaga mukjizat Panji menyebar dan membungkus tubuh kelima orang itu. Usaha percobaan Panji ternyata tidak sia-sia. Meskipun ia harus menguras banyak tenaga, namun mukjizat 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang memang merupakan penolak segala jenis racun mampu memusnahkan asap-asap berwarna kuning yang memenuhi ruangan.

Lapisan sinar kuning keemasan itu seperti sebuah besi sembrani. Ia membuat asap-asap itu bagai besi-besi yang tertarik mendekatinya. Asap-asap yang mendekat sinar kuning keemasan lenyap entah ke mana. Seolah tersedot masuk ke dalam terowongan. Sehingga, lama-kelamaan, asap-asap mengerikan itu pun lenyap tanpa sisa.

Setelah ruangan itu kembali bersih, secara perlahan sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuh kelima orang itu lenyap dan masuk ke dalam tubuh Panji. Sesaat kemudian, Panji membuka matanya. Ia menekan genggamannya pada telapak tangan Bidadari Kintamani dan Kemani.

"Aah...." Bidadari Kintamani menghela napas lega begitu membuka kedua matanya. "Bagaimana cara kau melenyapkan asap-asap maut itu, Pendekar Naga Putih?" tanyanya hampir tak percaya dirinya dapat selamat dari ancaman 'Asap Kematian'.

Panji hanya tersenyum tipis. Tapi, ketika melihat keempat gadis cantik itu memandangnya penuh tuntutan, Panji pun memberikan keterangan seperlunya. "Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana asap-asap beracun itu bisa lenyap. Tapi yang jelas aku mendapat anugerah suatu kekuatan ajaib yang mampu menolak dan memusnahkan segala jenis racun. Nah, kekuatan itulah yang tadi kugunakan untuk melindungi kita semua. Kekuatan ajaib itu membentuk sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuh kita. Puas?" tanya Panji tersenyum akhir penjelasannya.

"Hmm.... Kalau begitu, sekarang kita tinggal menunggu kemunculan Ratu Pesolek" Semangat Bidadari Kintamani timbul kembali. "Sepanjang yang kudengar, belum ada seorang tokoh pun yang dapat selamat dari 'Asap Kematian'. Ratu Pesolek pasti mengira kita semua tidak akan dapat selamat dari asap maut itu. Aku yakin sebentar lagi dia akan datang...."

Baru saja Bidadari Kintamani menyelesaikan ucapannya, Panji mendengar suara langkah kaki banyak orang menuju ke tempat itu. Bidadari Kintamani pun mendengarnya. Keduanya saling bertukar pandang. Mereka segera mengajak Kemani, Ayu, dan Sukreni untuk menyambut kedatangan Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya.

"Selamat berjumpa lagi, Ratu Pesolek...." Begitu pintu baja dibuka dari luar, Bidadari Kintamani langsung menyambut kedatangan Ratu Pesolek dan sisa-sisa pengikutnya.

"Mustahil...?!" Ratu Pesolek tersurut mundur dengan wajah kaget luar biasa. Sungguh tidak masuk di akal musuh-musuhnya masih tetap segar-bugar setelah ia memasukkan 'Asap Kematian' ke dalam ruangan.

"Tuhan masih memberikan kami waktu untuk hidup, Ratu Pesolek. Kau tidak perlu kaget atau pun heran. Tidak selamanya kejahatan dapat berkuasa di muka bumi ini...." Bidadari Kintamani tersenyum penuh kemenangan. Tokoh wanita dari Kintamani ini tampaknya sangat puas dapat membuat Ratu Pesolek kaget daan penasaran.

"Seraaang...!" Ratu Pesolek tidak lagi mempedulikan ucapan Bidadari Kintamani. Ia segera memerintahkan para pengikutnya untuk menyerbu masuk.

"Kemani, Ayu, dan Sukreni. Kalian hadapi mereka. Biar aku dan Pendekar Naga Putih yang akan membekuk Ratu Pesolek...!" Bidadari Kintamani bertindak cepat memberi perintah kepada ketiga kawannya. Lalu, ia menoleh kepada Panji. "Ayo kita gempur iblis betina itu bersama-sama, Pendekar Naga Putih...."

Bidadari Kintamani langsung menerjang Ratu Pesolek dengan pukulan mautnya. Panji segera menyusul. Agak risih juga Panji karena harus mengeroyok Ratu Pesolek. Meskipun kabarnya tokoh wanita sesat itu memiliki kepandaian tinggi, namun ia sendiri belum pernah merasakannya. Sehingga, dalam melakukan pengeroyokan Panji tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. la lebih banyak bertindak sebagai pelindung Bidadari Kintamani.

Tapi, setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, barulah Panji merasakan kedahsyatan ilmu tokoh sesat wanita nomor satu di Pulau Bali itu. Melihat kenyataan itu, Panji mulai bersungguh-sungguh. Seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dikerahkan untuk membantu Bidadari Kintamani menggempur Ratu Pesolek.

"Hiaaa...!"

Memasuki jurus yang keenam puluh, tiba-tiba Ratu Pesolek mengeluarkan teriakan melengking tinggi. Tubuhnya berkelebatan dengan kecepatan yang menakjubkan. Gerakan tokoh wanita itu benar-benar mirip seekor lebah yang mengitari mangsanya. Kedua tangan dan kakinya melontarkan serangan laksana sengat-sengat beracun yang berbahaya.

Panji dan Bidadari Kintamani tampak kaget bukan main. Kecepatan gerak Ratu Pesolek membuat kepala mereka pening. Keduanya terdesak hebat. Mereka berusaha membentuk jurus-jurus pertahanan untuk melindungi tubuh.

Desss...!

Pertahanan Bidadari Kintamani ternyata tidak sanggup menahan gempuran Ratu Pesolek. Sebuah hantaman telapak tangan Ratu Pesolek tak dapat dihindarinya lagi. Bidadari Kintamani menjerit ngeri. Tubuhnya tedempar jatuh bergulingan, dan baru terhenti setelah membentur dinding ruangan. Bidadari Kintamani mengeluh merasakan sesak pada dadanya. Kepalanya pening. Sehingga, ia tidak dapat segera bangkit berdiri.

Sementara itu, Panji yang kini harus menghadapi gempuran-gempuran Ratu Pesolek seorang diri merasa kewalahan bukan main. Sungguh tak pernah terbayang ia akan berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki kepandaian demikian hebat. Meskipun ia telah berusaha membentengi dirinya dengan jurus-jurus pertahanan yang ampuh, tetap saja gempuran Ratu Pesolek dapat menyelinap menghantam lambungnya.

Bukkk!

Panji menjerit kesakitan. Tubuhnya terpelanting jatuh. Lambungnya yang terkena tendangan Ratu Pesolek terasa sakit bukan main. Tapi, Panji berusaha untuk segera bangkit. Saat itu Ratu Pesolek sudah meluruk datang dengan sebuah pukulan maut yang disertai deruan angin mengerikan. Sadar untuk mengelak sudah terlambat, Panji mengempos semangatnya. Dengan mengerahkan tenaga gabungan, disambutnya serangan maut Ratu Pesolek

Blarrr...!

Seluruh dinding ruangan bergetar ketika dua tenaga dahsyat itu saling berbenturan di udara. Atap ruangan berderak. Pecahan-pecahan atap berguguran mengotori lantai. Tubuh Panji terlempar deras hingga membentur dinding. Beruntung tubuhnya masih terlapisi tenaga gabungan. Kalau tidak, bukan mustahil tubuh Panji akan remuk sewaktu membentur dinding yang jebol disertai suara hiruk-pikuk.

Ratu Pesolek sendiri tidak terlepas dari akibat benturan itu. Tubuhnya tersentak balik. Namun, dengan sebuah bentakan nyaring, Ratu Pesolek berputar di udara beberapa kali. Dan, meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Kendati wajahnya agak pucat dan tubuhnya terhuyung, Ratu Pesolek terlihat tidak mengalami kerugian yang berarti. Namun, wajah Ratu Pesolek memperlihatkan rasa kaget.

"Hm.... Rupanya, kau jauh lebih hebat dari sangkaanku...." Ratu Pesolek mendesis seraya menatap Panji dengan sorot mata tajam menusuk.

Panji sudah bergerak bangkit meski bagian dalam dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Tapi, Panji tidak merasa khawatir dengan luka dalam itu. 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' akan langsung bekerja untuk membakar dan menyembuhkan luka dalam di tubuh majikannya.

Ratu Pesolek menunda serangan yang sudah dipersiapkannya. Mulutnya ternganga melihat tubuh lawannya dilapisi pendaran sinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas menyengat. Ratu Pesolek berdiri takjub. Pemandangan itu merupakan hal baru baginya. Ilmu mukjizat seperri 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi memang bukan ilmu sembarangan, dan tak ada duanya di dunia. Panji sendiri mendapatkannya bukan karena belajar. Tapi, karena jodoh dan keberuntungan.

Saking takjubnya dan tidak mengerti mengapa tubuh Panji terbungkus sinar seperti itu, Ratu Pesolek terus memandangi. Sampai akhirnya, sinar yang membungkus tubuh Panji perlahan lenyap. Ratu Pesolek tidak sadar bahwa perbuatannya itu sangat menguntungkan Panji. Ratu Pesolek baru menyadari kesalahannya ketika sinar kuning itu lenyap dan Panji tampak segar kembali. Kini di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang memiliki perbawa luar biasa.

"Aaah...!" Ratu Pesolek yang tatapan matanya mengandung kekuatan sihir, menjerit kesakitan. Pedang yang tahu-tahu muncul dan tergenggam di tangan lawan membuat matanya terasa sakit dan panas. Ratu Pesolek segera sadar kalau pedang di tangan lawannya mempunyai daya tolak terhadap ilmu sihir. Kenyataan itu membuat Ratu Pesolek terlihat agak tegang. Tanpa kekuatan sihir, ketangguhannya akan berkurang. Sedangkan lawannya telah menghunus pedang yang sangat dahsyat

"Keparat! Tampaknya malam ini aku benar-benar sedang sial...!" Ratu Pesolek menggeram gusar.

"Pendekar Naga Putih, mari kita gempur lagi iblis betina itu...!"

Suara di belakangnya membuat Ratu Pesolek memutar tubuh. Dilihatnya Bidadari Kintamani sudah siap melanjutkan pertempuran. Ratu Pesolek tersenyum sinis. Ia tahu Bidadari Kintamani sudah menderita luka dalam.

"Tampaknya malam ini kita harus bertarung mati-matian, Bidadari Kintamani...!" Panji berseru seraya bergerak maju. Pedang Naga Langit di tangannya mengaung sewaktu diputar di sekeliling tubuhnya.

"Hiaaat..!"

Bidadari Kintamani sudah membuka serangan lebih dulu. Melihat itu, Panji bergegas melesat disertai sambaran pedangnya. Panji tidak ingin Bidadari Kintamani yang sedang terluka akan mendapat celaka di tangan Ratu Pesolek. Maka, ia berusaha mendahului Bidadari Kintamani.

Whuttt!

Ratu Pesolek terpekik seraya melompat jauh ke samping menghindari serangan Panji. Tokoh wanita sesat itu terlihat pucat. Tubuhnya agak gemetar. Ia terus berlompatan mundur menyelamatkan diri ketika Panji melanjutkan serangan.

Semula Pendekar Naga Putih merasa agak heran melihat sikap Ratu Pesolek. la baru mengerti setelah teringat keampuhan Pedang Naga Langit. Panji langsung tahu kalau ilmu yang dimiliki Ratu Pesolek sebagian besar berintikan kekuatan gaib. Itu sebabnya Ratu Pesolek ketakutan ketika Panji menyerangnya dengan Pedang Naga Langit.

"Heaaatt...!"

Ketika menyadari Ratu Pesolek semakin tidak berdaya, Panji terus mencecarnya. Ratu Pesolek berloncatan menghindar. Tapi, gerakannya makin lama semakin lambat. Hawa yang keluar dari Pedang Naga Langit telah menyedot kekuatannya sedikit demi sedikit. Sehingga, lama-kelamaan ia menjadi lemah. Ratu Pesolek tidak dapat lagi menyelamatkan diri ketika Panji menusukkan Pedang Naga Langit ke perutnya.

"Aaa...!" Ratu Pesolek meraung setinggi langit ketika pedang di tangan Pendekar Naga Putih menembus perutnya.

Terjadilah suatu pemandangan yang luar biasa! Tubuh Ratu Pesolek mengerut disertai lolongan panjang yang mendirikan bulu roma. Pada bagian perutnya, tempat Pedang Naga Langit masih terbenam, tampak mengeluarkan asap kehitaman yang berbau busuk.

Panji dan Bidadari Kintamani melangkah mundur seraya memandangi sosok Ratu Pesolek yang kulit tubuhnya terus mengeriput. Rambutnya yang semula hitam berkilat perlahan memutih. Dalam beberapa saat saja, sosok Ratu Pesolek yang cantik telah berubah menjadi perempuan tua. Dalam kematiannya, Ratu Pesolek kembali pada kodratnya, seorang nenek-nenek yang sudah sangat tua.

********************

Panji, Bidadari Kintamani, Kemani, Ayu, dan Sukreni melepas ke pergian para pengikut Ratu Pesolek yang telah dibebaskan dari pengaruh ramuan sihir. Mereka kembali ke desa masing-masing. Karena, pada awalnya mereka adalah gadis-gadis desa yang menjadi korban penculikan Ratu Pesolek.

"Kemani...." Setelah rombongan gadis-gadis itu lenyap, Panji berpaling kepada Kemani. "Aku masih merasa penasaran dengan nenek muka hitam. Di pihak mana sebenarnya nenek itu berada? Mengapa ia tidak muncul-muncul lagi? Apakah ia sudah tewas oleh Ratu Pesolek?"

Kemani tidak segera menjawab. Gadis itu berpaling menatap Ayu dan Sukreni. Lalu, ketiga gadis cantik itu menatap Panji bersamaan.

"Kami harus pergi," ujar Kemani mengejutkan Panji. "Mengenai nenek muka hitam, kau boleh tanyakan kepada Bidadari Kintamani...."

Usai berkata, Kemani, Ayu, dan Sukreni tertawa. Ketiganya kemudian melesat pergi meninggalkan Panji yang kebingungan. Bidadari Kintamani hanya tersenyum-senyum seraya melambaikan tangan kepada ketiga gadis itu.

Sepeninggal ketiga gadis itu, Panji menatap Bidadari Kintamani lurus-lurus. Pandangan mereka saling melekat. Kening Panji berkerut ketika ia merasa seolah pernah melihat mata bening Bidadari Kintamani.

"Akulah nenek muka hitam yang kau cari-cari, Pendekar Naga Putih...." Seperti dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Panji, Bidadari Kintamani menjelaskan.

"Kau...?!" Panji tersurut mundur dengan wajah berubah. Dengan ratapan tidak percaya, dipandanginya sekujur tubuh Bidadari Kintamani. Lalu, Panji tersenyum masam seraya menggelengkan kepala.

"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih," ucap Bidadari Kintamani. Kepalanya tertunduk saat mengucapkan itu. Sesaat kemudian, ia kembali mengangkat kepalanya. "Ketika melihatmu, aku merasa telah menemukan orang yang tepat untuk menjalankan rencanaku. Agar rencanaku dapat berjalan lancar, aku terpaksa membokongmu. Aku sudah lama mengintai istana Ratu Pesolek. Aku menemukan satu kejanggalan dalam diri pengikut-pengikutnya. Lama aku menyelidiki sampai akhirnya aku mengetahui kalau para pengikut Ratu Pesolek ternyata berada dalam pengaruh ramuan pelupa ingatan. Itu sebabnya, mengapa aku tidak membunuh Kemani dan kedua temannya. Mereka kubuat pingsan. Lalu, kusadarkan dari pengaruh ramuan. Penyamaranku sebagai nenek muka hitam kubuka dihadapan mereka bertiga. Mereka kupesan agar tetap bersikap seperti biasanya. Dengan bantuan mereka, kau yang dalam keadaan pingsan kami persembankan kehadapan Ratu Pesolek. Aku sendiri menyamar sebagai salah seorang pengikutnya. Hal itu tidak sulit. Ratu Pesolek tidak begitu memperhatikan wajah pengikut-pengikutnya, kecuali mereka yang menjadi pembantu-pembantu utamanya," ujar Bidadari Kintamani

Ketika Bidadari Kintamani menunda ceritanya, Panji tidak berkata apa-apa. la menunggu kelanjutan cerita wanita cantik itu.

"Aku tahu Ratu Pesolek akan lengah begitu melihat pemuda yang kami persembahkan kepadanya. Ratu Pesolek terlalu gembira. Pemuda yang kami persembahkan menurutnya sangat istimewa. Tanpa memperhatikan diriku, Ratu Pesolek segera membawamu ke kamarnya. Ia langsung menjatuhkan pilihan kepadamu untuk dijadikan pengantinnya." Sampai di situ, Bidadari Kintamani menghentikan ceritanya.

"Hm.... Sungguh berbahaya sekali...," Panji bergumam seraya menghela napas. "Bagaimana kalau rencanamu ternyata gagal...?"

Bidadari Kintamani tersenyum manis. Lalu, sambil berlari kecil meninggalkan Panji, ia berkata, "Terpaksa kau jadi pengantin Ratu Pesolek sungguhan...!"

"Brengsek...!" umpat Panji tanpa berusaha mengejar Bidadari Kintamani.

Sepeninggal Bidadari Kintamani, Panji mengayun langkahnya ke arah barat. "Aku harus segera menemui Kenanga. Mudah-mudahan tugasnya di Pulau Jawa tidak mendapat halangan besar...," gumam Panji kepada dirinya sendiri.

Kedatangan Panji ke Pulau Bali memang bukanlah tanpa alasan. Seorang sahabat yang dikenalnya dalam pengembaraan mengundangnya untuk datang ke pulau itu. Sayang, setibanya di tempat tujuan, ia hanya mendapatkan kabar tentang kematian sahabatnya yang tewas di tangan Ratu Pesolek.

Kini tugasnya di pulau itu sudah selesai. Ia akan menemui Kenanga yang ditinggalkannya di Pulau Jawa bagian timur. Untuk mempercepat perjalanannya, Panji mengerahkan kepandaian ilmu lari cepat. Panji melesat meninggalkan kawasan Gunung Abang.

S E L E S A I

Pengantin Ratu Pesolek

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pengantin Ratu Pesolek
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Kakek itu duduk bersandar pada sebatang pohon. Matanya terpejam rapat. Kedua tangannya terlipat menyilang ke atas perut, mengempit sebatang tongkat kayu butut berwama hitam pekat. Pakaian yang dikenakannya berupa lembaran kain putih yang dilibat-libatkan di sekujur tubuh.

Tampaknya, kakek itu seorang pertapa. Usianya sukar ditaksir. Karena, meski kumis dan jenggotnya telah berwarna putih dan panjang menjuntai ke dada, namun wajahnya masih terlihat segar. Kakek itu memang tengah beristirahat. Belaian angin yang lembut membuatnya terlena.

Keberadaan kakek pertapa itu, yang tertidur di tengah hutan sunyi, telah menarik perhatian seorang pemuda tampan yang kebetulan melintas di hutan itu. Melihat betapa kakek pertapa tertidur dengan pulasnya, pemuda berjubah putih itu memperingan langkahnya. Sepertinya, ia tidak ingin menggannggu ketenangan tidur kakek pertapa.

Tapi, sewaktu hendak melintas di depan kakek pertapa, tiba-tiba si pemuda mengerutkan kening dengan wajah keheranan. Ada suatu gelombang aneh yang menahan tubuhnya. Ia tidak dapat bergerak maju. Tentu saja pemuda itu merasa heran. Bergegas kepalanya menoleh ke arah kakek itu. Ia merasa curiga. Kejadian itu dialaminya tepat sewaktu ia berjalan di hadapan kakek pertapa.

"Kakek. Kalau memang sikapku yang lewat tanpa permisi kau anggap tidak sopan, harap maafkan aku." Pemuda tampan itu berkata dengan sopan. Setelah memperhatikan sekeliling, ia tidak melihat orang lain kecuali kakek itu. la merasa kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dan, ia tidak benar-benar sedang tidur.

Pemuda tampan berjubah putih itu kemudian menunggu beberapa saat. Tapi, yang ditunggu kelihatannya tidak tahu apa-apa dan tetap tertidur pulas. Malah, suara dengkurnya terdengar semakin keras. Merasa perkataannya tidak ditanggapi, pemuda itu hanya bisa mengangkat bahu. la kembali mengayun langkah hendak melanjutkan perjalanannya.

Tapi, lagi-lagi ia merasakan hal yang sama! Bahkan, gelombang tenaga yang tak tampak itu semakin kuat. Sehingga, meskipun ia memaksa maju, tetap saja tubuhnya tertahan. Sampai akhirnya pemuda itu menghela napas jengkel, setelah berkali-kali mencoba tapi tetap gagal. Sekali lagi pemuda berjubah putih itu menoleh ke arah kakek pertapa. Wajahnya yang semula putih kini tampak kemerahan. Butir-butir keringat menghiasi keningnya.

"Baiklah, aku menyerah...." Akhirnya, pemuda tampan itu berkata sambil menghela napas berat. Karena, kakek pertapa itu tetap tidak menggubrisnya dan tetap tertidur dengan wajah tanpa dosa. Tanpa menoleh lagi, pemuda itu memutar tubuhnya. Ia bermaksud mengambil Jalan lain.

"Eh...?!" Pemuda tampan itu tak dapat menahan seruan kagetnya. Dinding tenaga gaib itu sekarang bukan cuma berada di depannya. Di belakangnya pun terdapat dinding serupa. Tentu saja ia merasa dipermainkan! Keheranannya berubah menjadi kejengkelan.

"Seingatku tidak ada kesalahan yang kuperbuat terhadapmu, Kakek Pertapa. Tapi, kalau kau mempermainkan diriku seperti ini dan tetap berpura-pura tidur bagai orang mati, aku tidak bisa terima...," usai berkata, pemuda tampan yang tidak lain Panji atau Pendekar Naga Putih, segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya yang terkenal. Sekejap saja, sekujur tubuhnya telah terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menye barkan hawa dingin menusuk.

"Oaahemmm...."

Tapi, sebelum Panji mendorongkan kedua telapak tangannya untuk menggempur dinding gaib, tiba-tiba kakek pertapa itu menguap panjang seraya menggeliatkan tubuhnya.

"Wah.... Pantas saja tiba-tiba udara di tempat ini berubah dingin. Kiranya kau penyebabnya, Orang Muda. Hahh.... Keterlaluan sekali. Apa kau sengaja hendak mengganggu tidurku?" Kakek pertapa itu bersungut-sungut seraya bergerak bangkit.

Panji bergegas menarik kembali tenaga saktinya. Diputarnya tubuhnya menghadap kakek itu. Panji tak dapat menyembunyikan kekagumann ketika melihat sosok pertapa itu. Mereka berdiri berhadap-hadapan dalam jarak setengah tombak. Kakek itu bertubuh tinggi besar. Panji sendiri cuma setinggi bahunya. Menurut penglihatan Panji, kakek itu sekitar enam puluh tahun.

"Maaf, Kakek Pertapa." Sekali lagi Panji meminta maaf seraya membungkukkan tubuhnya "Sebenarnya aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu, Kek. Tapi, dinding-dinding gaib yang sengaja kau ciptakan untuk menghalangi jalanku membuat aku tidak mempunyai pilihan lain."

Kakek pertapa itu tidak berkata apa-apa. Ditelitinya sekujur tubuh Panji. Panji terpaksa diam saja. Ditunggunya kakek itu selesai menilai dirinya.

"Cocok!" Tiba-tiba kakek itu berkata seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang kau bersiaplah untuk mati, Orang Muda...!"

Whuttt..!

Begitu ucapannya selesai, kakek itu membabatkan tongkatnya memenggal leher Panji. Beruntung, sejak semula Panji sudah menaruh curiga. Sambaran tongkat itu dapat dihindarinya dengan melempar tubuh kebelakang.

"Bagus...!" Kakek pertapa itu memuji kesigapan Panji. Ia tidak melanjutkan serangannya. Setelah melemparkan tongkatnya, kakek itu melangkah menghampiri sebatang pohon yang cukup besar. dipeluknya batang pohon itu. Lalu, dengan sebuah hentakan keras, disentakkannya pohon itu.

Brolll...!

Hebat bukan main kekuatan yang dimiliki kakek itu. Sekali sentak saja batang pohon besar itu tercabut hingga ke akar-akarnya! Panji sampai terbengong-bengong menyaksikan kedahsyatan tenaga dalam itu. Terlebih ketika kakek itu memondong batang pohon dan melangkah menghampirinya.

"Lakukan seperti apa yang kuperbuat, Orang Muda. Terserah bagaimana cara kau melakukannya..," ujar kakek itu. Batang pohon dipondongnya dengan kedua tangan.

"Apa... apa maksudmu, Kakek Pertapa...?" tanya Panji tidak mengerti.

"Tidak perlu banyak tanya! Lakukan saja apa yang kukatakan tadi Kecuali, kalau kau memang ingln menjadi mayat di pulau yang masih asing bagimu ini!" Kakek pertapa itu membentak dengan sorot mata tajam menusuk.

Sadar kalau kakek itu bersungguh-sungguh, Panji segera melakukan keinginannya. Untuk mencabut pohoh beserta akar-akarnya seperti yang dilakukan kakek pertapa itu, jelas tidak mungkin. Selain ia tidak memiliki dasar tenaga luar yang besar, sepasang lengannya pun tak cukup panjang untuk memeluk batang pohon sebesar itu. Tapi, Panji tidak kehilangan akal. Dengan tenaga gabungannya, digedornya pohon besar itu hingga patah dan roboh.

"Bagus!" Kakek pertapa itu kembali memuji. "Kau cukup cerdik, meski tidak memiliki kekuatan seperti yang kumiliki. Nah, sekarang marilah kita bertarung dengan menggunakan batang pohon ini. Anggap saja sebagai tongkat...."

"Kau ini benar-benar aneh, Kakek Pertapa," ujar Panji heran bukan main. Tapi, Panji tidak mempunyai pilihan lain. Ia juga merasa penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan kakek pertapa itu.

"Jaga seranganku, Orang Muda! Hyaaatt..!"

Whuukkk...!

Hampir bersamaan dengan seruannya, ka kek itu mengayunkan batang pohonnya ke arah Panji Menghindari serangan itu jelas tidak mungkin, Panji tak mungkin melompat sambil memondong batang pohon. Sedangkan untuk bergerak mundur, akan sangat berbahaya. Dengan membawa-bawa batang pohon, gerakannya pasti lebih lambat. Sementara, serangan itu sudah semakin dekat ke arahnya. Satu-satunya jalan, Panji harus melakukan hal yang sama seperti kakek pertapa itu. Batang pohon di tangannya segera diayunkan untuk menghalau serangan maut itu.

Derrr...!

Untuk menangkis serangan kakek pertapa, Panji pun terpaksa harus mengayunkan batang pohon yang berada di tangannya.

Derrr...!

Benturan keras yang tak terhindarkan lagi membuat tubuh Panji terhuyung mundur hampir satu tombak. Kakek pertapa itu pun mengalami hal serupa. Hanya jaraknya lebih pendek. Kenyataan itu jelas menunjukkan tenaga kakek itu masih satu tingkat di atas Panji.

Pertarungan unik itu kembali berlanjut. Serangan-serangan kakek pertapa demikian gencar dan ganas. Panji yang semula bertahan kini mulai melancarkan serangan balasan. Meskipun agak sulit karena harus menggunakan batang pohon sebaga senjata, namun karena kakek pertapa itu seperti menghendaki kematiannya, Panji berusaha membiasakan diri.

Cukup lama pertarungan unik itu berlangsung Sejauh itu belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Sedangkan tubuh keduanya sudah bermandi peluh. Terlebih Panji, yang selama hidupnya baru pertama kali mengalami pertempuran unik seperti ini. Tidak aneh kalau Panji terlihat kepayahan. Deru napasnya mendengus-dengus bagai kuda pacu. la harus mengerahkan tenaga gabungannya terus-menerus. Tentu saja dengan begitu ia menjadi cepat lelah.

Tapi, untuk mengalah terhadap kakek pertapa itu Panji tidak sudi. Menyerah kalah sama saja dengan menyerahkan nyawanya. Panji tidak ingin mati percuma tanpa sebab-sebab yang jelas. Terlebih di pulau yang asing dan baru pertama kali didatanginya ini.

Hampir seratus jurus sudah pertempuran itu berlangsung. Pagi telah berganti siang. Sementara, baik Panji maupun kakek pertapa itu sudah semakin lelah. Tubuh dan pakaian mereka basah kuyup oleh peluh, seperti habis tercebur di sungai. Kuda-kuda mereka semakin goyah, hampir tak kuat memondong batang pohon.

"Hh... hh... hh...! Kau benar-benar tidak mengecewakan, Orang Muda...."

Setelah lewat seratus jurus, kakek pertapa itu tiba-tiba melempar batang pohon di tangannya, kemudian melompat jauh ke belakang. Ia jatuh terduduk dengan napas terengah-engah.

Panji tidak saja terkejut. Batang pohon yang dilemparkan kakek pertapa itu melayang deras ke arahnya. Panji tahu kakek itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Panji pun sadar ia tidak akan kuat menahannya. Maka, sambil membentak keras, dilemparkannya batang pohon di tangannya. Lalu, melempar tubuh bergulingan ke samping.

Di udara, dua batang pohon itu saling bertumbukan keras. Kemudian, jatuh berdebum menggetarkan tanah sekitar tempat itu. Sementara, Panji dan kakek itu terduduk di tanah dengan napas tersengal-sengal. Keduanya saling berpandangan.

Setelah agak lama, kakek pertapa itu mengulapkan tangannya kepada Panji. Panji tidak segera menuruti permintaan kakek itu untuk maju mendekatinya. Tapi, setelah kakek itu memintanya beberapa kali, akhirnya Panji merangkak menghampiri dengan hati curiga.

"Siapa kau sebenarnya, Kakek Pertapa? Mengapa kau hendak mencelakaiku?" tanya Panji setelah mereka duduk berdekatan.

"Orang Muda..." Kakek pertapa itu berkata dengan wajah semakin pucat dan napas satu-satu. "Aku tahu kedatanganmu ke Pulau Bali ini dengan tujuan untuk menghentikan keganasan Ratu Pesolek. Untuk itu, dari daerah Tirta empul ini, kau berjalanlah ke arah timur laut. Kelak kau akan tiba di Gunung Abang. Di lereng gunung itulah Ratu Pesolek dapat kau temui...."

Panji tertegun mendengar ucapan kakek pertapa itu. Dugaannya memang tepat. "Siapa kau sebenarnya, Kek?"

Pertanyaan Panji tidak mendapat jawaban. Kakek pertapa itu tidak membuka matanya lagi, yang dipejamkan setelah memberikan keterangan pada Panji. Setelah mengulangi pertanyaan dan tidak juga mendapat jawaban, Panji menjadi heran. Dan keheranannya berubah menjadi kekagetan. Kakek pertapa itu ternyata telah menghembuskan napasnya yang terakhir dengan masih duduk bersila!

"Siapa pun kau adanya, aku percaya kau tidak bermaksud buruk terhadapku, Kek," desah Panji usai menguburkan mayat kakek per tapa itu.

"Aku mengucapkan terima kasih atas petunjukmu...," Panji kemudian bergerak bangkit, dan melesat ke arah timur laut sesuai petunjuk kakek pertapa yang misterius itu.

********************

Bayangan samar sebuah puncak gunung yang membentang jauh di depan membuat Pendekar Naga Putih semakin mempercepat langkahnya.

"Itu pasti puncak Gunung Abang, desis Panji dengan desahan napas lega. "Kakek misterius itu memang tidak berdusta...," lanjutnya sambil terus bergerak mendekati bayangan pucak gunung.

"Tahan langkahmu, Orang Muda!"

Sebuah seruan halus yang disertai berkelebatnya sesosok bayangan hitam memaksa langkah Panji terhenti. Sementara sosok bayangan itu sudah mendaratkan kakinya satu tombak lebih dari hadapan Panji. Gerakan sosok itu membuat Panji ternganga kagum. Itu adalah ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Panji segera tahu kepandaian ilmu meringankan tubuh sosok bayangan hitam itu. Paling tidak satu tingkat berada di atasnya. Tentu saja kenyataan itu mengejutkan Panji.

"Hm.... Lagi-lagi seorang kakek-kakek...," Panji bergumam dengan kening berkerut ketika wajah sosok bayangan hitam itu terlihat jelas. "Heran, bagaimana mungkin Ratu Pesolek dapat merajalela di pulau ini? Padahal, melihat gerakan yang diperlihatkan kakek itu, aku sendiri ragu akan dapat mengunggulinya? Tapi, mengapa mereka membiarkan Ratu Pesolek berbuat seenaknya? Atau... jangan-jangan kakek ini dan kakek yang kemarin merupakan kaki tangan Ratu Pesolek yang sengaja dikirim untuk membunuhku? Jika benar begitu, artinya kedatanganku di pulau ini telah tercium oleh Ratu Pesolek...?!"

"Tentunya kau bukan penduduk asli pulau ini, bukan? Jelaskan, siapa nama mu dan dari mana kau berasal, Orang Muda?" Kakek kurus yang mengenakan pakaian pertapa itu segera bertanya setelah memperharikan sekujur tubuh Panji. Sikap dan nada suaranya tidak ramah. Bahkan menunjukkan kesan sinis dan meremehkan.

Panji tidak menjadi gusar. Sebagai orang asing di pulau itu, ia harus menunjukkan sikap yang ramah. Maka, sambil tersenyum, Panji merangkapkan kedua tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. "Orang Tua...."

Bwettt!

Meski dalam posisi agak membungkuk, Panji tidak kehilangan kewaspadaannya. Suara sambaran angin yang menderu ke arah batok kepalanya cepat dihindari dengan lompatan panjang ke belakang.

"Orang Tua, mengapa kau menyerangku tanpa sebab?!" Panji menegur dengan wajah gusar.

"Dunia persilatan penuh dengan tipu muslihat, Orang Muda. Siapa lengah, ia akan celaka...."

"Tapi..., apa salahku...?!"

"Kedatanganmu ke pulau ini untuk mencari Ratu Pesolek, bukan?" Bukannya menjawab, kakek kurus itu malah bertanya.

Meskl kaget dan heran, Panji mengangguk juga

"Jika demikian, langkahi dulu mayatku...," lanjut kakek kurus itu tanpa mempedulikan keheranan Panji.

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian! Ayo, ikut aku!" tukas kakek kurus itu. Ia memberikan isyarat agar Panji mengikuti.

Semula Panji tidak mau. Tapi, melihat sikap dan kesungguhan kakek itu, akhirnya Panji terpaksa mengikuti. Ia juga ingin mengetahui apakah antara kakek pertapa kurus ini dengan kakek pertapa bertubuh tinggi besar mempunyai hubungan. Mungkinkah keduanya utusan Ratu Pesolek yang ditugaskan untuk membunuhnya? Alasan-alasan itu memaksa Panji mengikuti kakek ini.

Keheranan Panji semakin menjadi-jadi. Kakek pertapa kurus ini membawanya ke sebuah tanah lapang yang dipenuhi tonggak-tonggak kayu runcing. Tonggak-tonggak kayu itu disusun sedemikian rupa dengan ukuran panjang yang berbeda-beda.

"Tonggak-tonggak itu seperti sebuah arena maut..," ujar Panji setelah memperharikan beberapa saat lamanya.

Kakek pertapa kurus itu menoleh sekilas ke arah Panji. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melenting ke udara. Setelah berputar beberapa kali dengan gerakan yang mengagumkan, tubuhnya meluncur ringan dan mendarat di atas dua batang tonggak yang paling tinggi.

"Hebat...!" Pertunjukan itu membuat Panji berdesis kagum. Meski ia mampu melakukannya, tapi gerakan yang diperlihatkan kakek kurus itu memang benar-benar luar biasa.

"Kau boleh pilih, Orang Muda," Kakek kurus itu berkata seraya berdiri di atas tonggak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Menerima tantanganku. Atau, segera angkat kaki dari Pulau Bali ini..."

Panji menghela napas sesaat Ditatapnya wajah kakek itu lekat-lekat. "Jelaskan alasanmu, Orang Tua?"

"Cerewet! Sudah kukatakan kalau kau hanya bisa menjumpai Ratu Pesolek setelah melangkahi mayatku! Apa alasan itu belum cukup?!" Kakek pertapa kurus itu menghardik tak sabar.

"Hm. Baiklah...," Panji mengalah. Pemuda itu segera melayang naik dan hinggap pada dua batang tonggak yang sedikit lebih pendek dari tonggak yang dipijak kakek pertapa.

DUA

"Hyaaat...!"

Bwet! Bwettt!

Baru saja Panji menempatkan kedua kakinya di batang tonggak berujung runcing itu, kakek pertapa itu sudah melontarkan dua buah serangan berbahaya!

"Licik...!" Panji mengumpat geram. Pemuda itu segera melompat ke samping. Kedua serangan Itu berhasil dielakkannya. Tapi, karena kedudukannya belum mantap, lompatannya pun tidak begitu terarah. Pijakan kaki kanannya pada salah satu mata tonggak meleset!

Brettt!

"Akh...!" Panji menjerit kesakitan. Kaki kanannya tergelincir dan termakan mata tonggak. Celana bagian bawah berikut kulitnya terkoyak ujung tonggak. Luka seperti torehan mata pisau itu cukup dalam. Darah mehgalir deras. Sambil menggigit bibir menahan nyeri, Panji bergegas menotok kakinya untuk menghentikan darah yang ke luar. Kemudian, ia melenting ke belakang. Berputar dua kali di udara sebelum mendarat di ujung-ujung tonggak yang lain.

"Hmh...!" Panji mendengus geram. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sepasang matanya nyorot tajam menatap wajah lawannya yang melontarkan serangan berikutnya.

Dibarengi bentakan keras, kakek per tapa kembali menerjang maju. Langkah-langkahnya tampak gesit dan ringan. Tidak terlihat ia mengalami kesulitan meski yang dipijaknya ujung-ujung tonggak yang runcing.

"Hm.... Nampaknya ia telah terbiasa bergerak di ujung-ujung tonggak ini. Pantas ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi. Rupanya, bertarung di atas tonggak-tonggak runcing ini merupakan keahliannya. Aku harus hatl-hati menghadapinya. Sedikit saja lengah, ujung-ujung tonggak ini akan memangang tubuhku..," gumam Panji. Pemuda tampan itu segera mempersiapkan 'Ilmu Silat Naga Saktl'-nya untuk menghadapi serangan kakek pertapa kurus.

Bed! Bed!

Dua pukulan pertapa itu menderu mengancam kepala dan dada. Bergegas Panji memiringkan tubuh seraya mendorongkan kedu lengannya untuk mematahkan serangan itu. Tapi gerakan itu rupanya hanya tipuan belaka. Sebelum tiba, kedua serangan itu sudah ditarik pulang. Dan sebagai gantinya, kakek pertapa kurus menggeser langkah dan melepaskan tendangan lurus yang mengarah ulu hati.

Dukkk!

Lengan dan kaki saling berbenturan keras. Panji merasakan tubuhnya bergetar. Benturan itu membuat beban tubuhnya bertambah. Ujung-ujung tonggak tempatnya berpijak menembus alas kaki dan melukal telapak kakinya. Bergegas Panji menggeser langkah dan memindahkan kedua kakinya mencari pijakan lain.

Sementara, kakek pertapa kurus itu menggunakan tenaga benturan untuk melempar tubuhnya ke udara. Cara kakek itu bertarung jelas menunjukkan kecerdikan dan pengalamannya. Ia lebih mengandalkan keringanan tubuh daripada kekuatan. Berbeda dengan Panji yang memang baru pertama kali Ini merasakan bertarung di atas tonggak-tonggak bermata runcing.

"Heh heh heh...! Kalau kau bertarung dengan mengandalkan ilmu silat dan tenaga dalam saja, Jangan harap akan dapat selamat dari arena maut ini, Orang Muda...." Kakek pertapa kurus itu mengejek Panji.

Pemuda itu cuma mendengus. Kemudian, mempersiapkan jurus-jurus serangannya. Tidak dipedulikannya rasa nyeri dan lelehan darah yang keluar dari luka di kedua telapak kakinya. Ketika kakek pertapa kurus kembali melancarkan serangan, Panji segera menyambut dengan jurus-jurus andalannya.

Pertarungan berlangsung cepat dan seru. Jurus demi jurus berlalu. Tubuh keduanya bergerak dengan keeepatan yang sulit ditangkap mata. Hanya tampak bayangan-bayangan hitam dan putih yang saling desak dan gempur dengan hebatnya.

Bagi Panji, pertarungan ini terasa berat, meski kepandaiannya tidak kalah dengan kakek pertapa kurus itu. Bertarung di atas tonggak-tonggak kayu berujung runcing seperti ini memang bukanlah hal yang mudah bagi Panji. Ia tidak terbiasa. Untuk melakukan pertarungan, ia harus membagi perhatian. Di satu pihak ia menghadapi gempuran-gempuran lawan, sementara di pihak lain ia harus mengatur kakinya sewaktu melangkah. Sebab, salah melangkah bisa berakibat kematian baginya.

Keadaan itu membuat Panji tidak selincah dan segarang di tanah. Ia lebih banyak menghindar daripada menyerang. Bertarung di tempat seperti ini diperlukan pembagian tenaga. Untuk menyerang dan untuk meringankan bobot tubuh. Itu semua memerlukan pemusatan pikiran yang tinggi. Kesulitan-kesulitan itu membuat Panji kian lama kian terdesak. Beberapa kali pijakannya meleset, hingga celananya sudah tidak karuan. Terkoyak-koyak dan dipenuhi noda darah dari luka-luka di kakinya.

Bukkk!

Pada jurus keenam puluh, kembali salah satu kepalan kakek pertapa singgah di dada Panji. Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda itu melambung terpental kebelakang. Sementara, ujung-ujung tonggak sudah menunggu. Siap memanggang tubuh Pendekar Naga Putih.

"Haiiitt...!"

Pada saat tubuhnya meluncur ke bawah, Panji membentak nyaring. Tubuhnya berputar. Kini ia meluncur dengan kepala di bawah. Kedua tangannya segera mencengkeram dua batang tonggak, tepat di bawah ujungnya yang runcing. Untuk sesaat, Panji berdiri dengan kedua kaki di atas.

Beeddd!

Merasakan ada angin keras menerpa punggungnya, bergegas Panji menekuk kedua kakinya ke belakang dengan kedudukan menyilang.

Dukkk!

Gerakan kedua kaki menyilang yang dilakukan Panji memang sangat tepat. Ia berhasil menggagalkan tendangan lawan yang mengancam punggungnya. Bahkan, dengan menggunakan tenaga benturan itu, Panji melenting berputar. Dari udara ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.

Bresssh...!

"Aaakh.,.!" Tubuh kurus kakek pertapa itu tersentak deras. Pukulan udara kosong Panji telah menghantamnya. Tapi, meskipun sempat memuntahkan darah, dengan gerakan berputar yang mengagumkan, kakek pertapa itu dapat menyelamatkan tubuhnya dari rajaman ujung-ujung tonggak. Tubuhnya mendarat ringan berpijak pada dua batang tonggak setinggi setengah tombak.

Pukulan udara kosong yang dilancarkan Panji memang tidak membahayakan nyawa lawan. Pukulan itu dilepaskan menggunakan kurang dari separo tenaganya. Itu dilakukan Panji karena ia telah menemukan jawaban atas ejekan yang tadi dilontarkan lawan. Ejekan pertapa kurus itu membuat Panji sadar bahwa bertarung di atas tonggak-tonggak lebih menitik beratkan pada keringanan tubuh.

Jawaban itu baru didapatkan Panji ketika ia memutar tubuh dan menahan jatuh tubuhnya dengan mencengkeram bagian bawah mata tonggak. Panji sadar sesungguhnya kakek itu telah memberikan petunjuk kepadanya, tentang bagaimana seharusnya bertarung di atas tonggak. Tapi, Panji tidak bisa berpikir lebih jauh mengapa ia seperti memberitahukan rahasia itu kepadanya. Sebelum ia sempat bertanya, kakek pertapa kurus itu sudah menerjangnya kembali.

Tapi, pada pertempuran kali ini Panji tidak lagi kerepotan. Dua puluh jurus setelah pertarungan berlanjut, Panji mulai dapat mendesak lawan. Itu karena dasar atau inti 'Ilmu Silat Naga Sakti' memang menitik beratkan pada kekuatan dan keringanan tubuh. Dalam memainkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' haruslah memusatkan pikiran pada keringanan tubuh. Sementara, tenaga dipusatkan pada kedua lengan. Sehingga, setiap serangan yang dilontarkan, mengandung kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Itulah yang dilakukan Panji kali ini.

Meskipun serangan-serangannya selalu menemui kegagalan, namun kakek pertapa itu tidak menjadi putus asa. Ia terus berusaha bertahan seraya sesekali membalas. Tapi, usahanya untuk melepaskan diri dari kepungan gempuran-gempuran lawan tidak berhasil dengan baik. Dalam hal kekuatan, kakek pertapa itu masih berada satu tingkat di bawah Panji. Sehingga, setiap kali lengan mereka berbenturan, tubuh kakek pertapa itu selalu terpental mundur. Akibatnya, kakek pertapa itu pun semakin terdesak hebat!

"Hyaaatt..!"

Lewat lima puluh Jurus kemudian, saat kakek pertapa itu sudah tidak sanggup lagi untuk membalas, tiba-tiba Panji mengeluarkan bentakan mengejutkan. Tubuhnya melesat cepat

Whuttt, whuttt!

Sambaran angin menderu keras mengiringi dua buah tamparan Panji. Kakek pertapa itu tampak sedikit gugup. Tamparan yang mengarah kepala dan dada itu berusaha dielakkan sebisa-bisanya. Kepala dan tubuhnya diliukkan ke kiri-kanan. Kedua tamparan itu memang berhasil dihindarinya. Tapi, bukan berarti bahaya telah lewat. Saat itu juga Panji sudah menyusuli serangannya dengan sebuah hantaman telapak tangan kanan.

Bresssh...!

"Hukh...!"

Dorongan telapak tangan Panji memang terlihat hanya mengandung ke cepatan saja. Tapi, begitu singgah pada sasarannya, Panji segera menambahkan kekuatan pukulannya. Tubuh kurus lawannya pun terjungkal muntah darah!

Melihat lawannya melayang tanpa daya, sementara ujung-ujung tonggak yang runcing di bawahnya siap menanti tubuh kurus itu, bergegas Pendekar Naga Putih melesat dan menyambar tubuh kakek pertapa itu. Kemudian meluncur turun di atas tanah setelah berputaran di udara lima kali. Direbahkannya tubuh lemah itu di atas tanah berumput tebal

"Maafkan aku, Kek...," desah Panji iba melihat wajah tua yang pucat itu.

Kakek pertapa itu terlihat berusaha tersenyum. Kepalanya menggeleng. Ditariknya napas dalam-dalam. "Kau... tidak... perlu menyesal, Orang Muda," ujar kakek itu terputus-putus karena harus menarik napas berulang-ulang untuk menyelesaikan bicaranya. "Lanjutkan... perjalananmu.... Nanti... kau akan... me... ne... mui ssse... buah... da... nau...," suara kakek itu kian melemah. Perlahan kemudian matanya terpejam rapat

"Kek...!" Panji mengguncang-guncangkan tubuh kurus pertapa itu. Tapi, nyawa kakek itu telah pergj meninggalkan raga. Panji hanya bisa menghela napas

********************

Selesai menguburkan mayat kakek pertapa itu, Panji tidak langsung melanjutkan perjalanan. Dipandanginya sosok samar puncak gunung di depannya lama-lama. Sementara keningnya berkerut memikirkan dua kakek pertapa misterius yang telah tewas di tangannya.

"Kejadian ini pasti bukan suatu kebetulan...," gumam Panji. "Pertama, kakek pertapa bertubuh tinggi besar yang memiliki tenaga luar biasa. Lalu, kakek pertapa bertubuh kurus yang memiliki keahlian dalam hal ilmu meringankan tubuh. Keduanya seperti sengaja menunggu kedatanganku. Mereka memaksaku untuk bertarung. Tampaknya keduanya memang menginginkan kematianku. Tapi anehnya, mereka malah seperti hendak mengujiku. Pertama kekuatan, lalu yang kedua kecepatan!" sampai di sini Panji terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang.

"Mungkinkah meraka sengaja mengujiku? Jika benar demikian, mengapa sampai harus mengorbankan nyawa?"

Pertanyaan itu membuat Panji termenung. Pikiranhya kembali menerawang pada kejadian pertama sewaktu ia dihadang di sebuah hutan di daerah Tirtaempul. Kakek pertapa bertubuh tinggi besar itu tewas. Padahal, kakek itu tidak teruka sedikit pun! Panji memang belum sempat menyarangkan satu pukulan pun!

"Hm... Benar-benar aneh dan tidak masuk di akal...!" Panji berdesis dengan hati penasaran. la tetap tidak dapat menemukan jawaban. Kedua kakek pertapa itu masih tetap merupakan misteri yang belum terpecahkan. Tapi meskipun begitu, Panji merasa yakin mereka bukanlah utusan Ratu Pesolek.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Panji tiba di sebuah danau yang terletak di kaki gunung. Seraya melangkah perlahan, ditelitinya sekitar danau itu. Seluruh tepian danau telah dikelilingjnya, tapi Panji tidak menemukan satu bangunan pun. Panji tidak habis pikir.

"Hm.... Mungkinkah kakek pertapa kurus itu membohongiku...?" gumam Panji. Ia tidak mengerti mengapa seorang pertapa seperti kakek kurus itu sampai bisa berbohong. Tapi setelah dipikir-pikir, Panji tidak dapat menyalahkan pertapa itu. Kakek itu cuma mengatakan ia akan menemui sebuah danau, bukan tempat tinggal Ratu Pesolek!

"Kakek pertapa itu tidak bohong. Aku saja yang bodoh, kurang memperhatikan perkataannya...," Panji mendesah. Dihelanya napas kuat-kuat

"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Orang Muda?" Sebuah teguran halus membuat Panji tersentak dari lamunan. Dengan sigap Panji memutar tubuh penuh kewaspadaan.

"Ditanya baik-balk kok begitu kagetnya," ujar seorang kakek bertubuh sedang, yang lagi-lagi mengenakan pakaian seperti seorang pertapa. Kakek itu tersenyum tipis seolah menertawakan kekagetan Panji.

Tapi, meskipun sikap kakek itu berbeda dengan kedua pertapa sebelumnya, Panji tetap menatap dengan penuh curiga. "Hm.... Lagi-lagi seorang kakek pertapa...," GumambPanji. Diperhatikannya sosok kakek itu. Kemudian, Panji menggeser tubuhnya empat langkah. Sementara pandangannya tetap tertuju kepada kakek itu

Sama seperti yang dilakukan Panji, pertapa itu pun menatap sosok Panji dengan teliti. Sebentar kemudian, kepalanya mengangguk-angguk. "Pasti inilah orangnya...," gumamnya pelan.

"Apa maksudmu, Orang Tua...?" Panji yang mendengar gumaman kakek itu langsung saja bertanya penasaran. Ditentangnya pandang mata kakek itu dengan sorot curiga.

"Dengan sampainya kau ke tempat ini, berarti kau telah bertemu dengan kedua saudaraku, bukan? Dan, kau berhasil mengalahkan mereka..." Kakek pertapa itu berkata lembut seraya mengelus Jenggotnya yang panjang menjuntai hingga ke dada.

"Tepat seperti yang kuduga!" Panji menukas dalam hati. Ditatapnya wajah kakek pertapa di depannya lekat-lekat. "Jawablah pertanyaanku, Orang Tua. Siapa sebenarnya kau dan dua orang saudaramu itu? Apa maksud kalian terhadapku? Kalau memang hendak sekadar menguji kepandaian, mengapa sampai mempertaruhkan nyawa? Jawablah, Orang Tua. Jangan buat kepalaku pusing memikirkannya!"

"Kau pasti bukan penduduk asli pulau ini. Kedatanganmu pasti ada hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan Ratu Pesolek. Aku tahu itu. Dan, itu pasti!"

Panji membanting kakinya ke tanah dengan kesal. Lagi-lagi ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Seperti dua pertapa lainnya, pertapa ini pun tidak menjawab pertanyaannya.

"Ketahuilah, Orang Muda." Kakek pertapa itu kembali berkata. "Saudaraku memang sengaja menunjukkan jalan yang salah kepadamu. Baik Kakek Tenaga Gajah maupun Kakek Tanpa Bayangan. Keduanya adalah saudara-saudaraku. Aku sendiri dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Kami berttga dikenal sebagai Tiga Kakek Gunung Batur, tempat kau sekarang berada. Inilah Danau dan Gunung Batur. Itu sebabnya mengapa kau tidak menemukan tempat tinggal Ratu Pesolek. Tokoh wanita sesat itu memang tidak bermarkas di sekitar tempat ini."

"Mengapa... mengapa kalian berbuat demikian? Apa maksud kalian sebenamya?" Panji semakin tidak mengerti.

"Tentu saja untuk mencegahmu bertemu dengan Ratu Pesolek. Daripada kau tertangkap dan dijadikan korban oleh Ratu Pesolek, lebih baik kami membunuhmu. Sayang, kedua saudaraku gagal melenyapkanmu. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu bertemu dengan wanita sesat yang keji dan biadab Itu. Kecuali kalau kau bisa mengalahkanku!" Kakek perta pa yang mengaku berjuluk Kakek Tanpa Tanding itu berkata kandas. Sikapnya berubah sungguh-sungguh.

"Tidak!" Panji menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan melayani kesintinganmu, Orang Tua! Aku lebih baik mati di tangan Ratu Pesolek daripada melayani kegilaanmu. Aku tidak ingin membunuh tanpa alasan yang kuat Dan, aku tidak ingin kejadian yang dialami dua orang saudaramu terulang lagi!" Panji kemudian bergegas memutar tubuhnya hendak meninggalkan Kakek Tanpa Tanding.

"Bukan kau yang membunuh mereka, Orang Muda. Mereka mati karena memang sudah waktunya!"

Ucapan Kakek Tanpa Tanding membuat Panji menahan langkah. Tubuhnya berbalik menghadar kakek itu. "Apa maksudmu, Orang Tua?" Panji menuntut penjelasan. Ia belum mengerti ke mana arah perkataan Kakek Tanpa Tanding.

"Maksudnya..., kau tidak punya pilihan lain selain menghadapiku!"

Belum lagi gema suaranya lenyap, Kakek Tanpa Tanding sudah melesat dan melancarkan serangkaian pukulan maut ke arah Panji.

"Gila...!" Panji berteriak mengumpat. Ia melompat mundur menjauhi Kakek Tanpa Tanding! Diputarnya tubuhnya dan berlari meninggalkan Gunung Batur.

"Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa meninggalkan tempat ini...!" Kakek Tanpa Tanding melesat mengejar seraya melepaskan puku lan jarak jauhnya.

Merasakan ada deruan angin keras di belakangnya, Panji bergegas berlompatan menyelamatkan diri. Kesempatan itu dipergunakan Kakek Tanpa Tanding untuk melesat ke udara. Kemudian, meluncur turun di hadapan Panji.

"Sudah kubilang bahwa untuk meninggalkan tempat in! kau harus melangkahi mayatku dulu...," ujar Kakek Tanpa Tanding. Tampak ia segera mempersiapkan serangan berikutnya.

Merasa tidak mempunyai pilihan lain, Panji bergegas melompat mundur. Panji pun langsung menyiapkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'-nya menghadapi pertapa itu.

TIGA

"Hiyaaa...!"

Kakek Tanpa Tanding membuka serangan dengan tiga buah pukulan berturut-turut. Satu mengarah leher, sedang lainnya mengancam dada kiri dan lambung. Kecepatan gerak dan deruan angin keras yang menyertai serangan beruntun itu mengejutkan Panji. Ia segera tahu kalau kepandaian Kakek Tanpa Tanding berada di atas Kakek Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa Bayangan! Tapi, karena ia tidak ingin menjadi mayat, dihadapinya serangkaian serangan hebat itu.

Pukulan pertama dielakkan Panji dengan memiringkan kepalanya. Sementara dua lainnya dipatahkan dengan menyusupkan kedua lengannya yang dirangkapkan di antara serangan itu. Kemudian, dengan dibarengi bentakan nyaring, Panji membuka kedua lengannya. Kuda-kuda direndahkan dengan kedudukan agak doyong ke belakang

Plakk! Plakkk!

Tidak percuma pertapa itu mendapat julukan Kakek Tanpa Tanding. Tangkisan Panji malah digunakan untuk melanjutkan serangannya! Kakek Tanpa Tanding membiarkan kedua lengannya terpental. Lalu, diputar cepat dan langsung mengancam ke arah kedua sisi kepala Panji. Sebuah serangan maut yang mematikan! Karena, pada dua sisi kepala manusia merupakan Jalan darah kematian!

Untuk mematahkan serangan maut itu Panji menjatuhkan tubuhnya. Dan, dilanjutkan dengan mengirimkan tendangan lurus yang menderu ke arah perut lawan. Kakek Tanpa Tanding terpaksa melompat ke belakang untuk menghindari serangan itu.

"Pantas kedua saudaraku dapat kau lewati. ternyata kau memang memiliki kepandaian yang tinggi, Orang Muda...." Kakek Tanpa Tanding memuji kehebatan lawannya. "Tapi, Jangan besar kepala dulu. Kau harus berjuang keras untuk dapat meninggalkan tempat ini...."

Panji mengurungkan niatnya untuk menyahuti. Karena begitu selesai berkata, Kakek Tanpa Tanding kembali menerjang dengan serangan-serangan yang lebih hebat dan lebih ganas! Pertarungan kembali berlanjut, lebih seru dari semula. Kakek Tanpa Tanding mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menggempur Panji.

Lima puluh jurus berlalu cepat. Menginjak pada Jurus keenam puluh, Kakek Tanpa Tanding semakin memperhebat gempurannya. Panji dipaksa bermain mundur dan tidak diberikan kesempatan untuk balas menyerang!

Sekarang Panji baru mengerti mengapa pertapa itu dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Ilmu kakek ini memang hebat dan banyak sekali ragamnya. Perubahan-perubahan gerak yang dilakukan demikian tiba-tiba dan sukar ditebak. Tapi, Panji tidak kehilangan akal serta patah semangat. Dibiarkannya kakek itu terus menggempurnya, sementara ia hanya bertahan sambil mencari-cari kesempatan untuk mengirimkan balasan.

Pada jurus kedelapan puluh, tiba-tiba Kakek Tanpa Tanding membentak nyaring. Tubuhnya melompat ke udara disertai dorongan kedua tangannya.

"Haahhh...!"

Bresssh...!

Perbuatan Kakek Tanpa Tanding sedikitpun tidak diduga Panji. Akibatnya, gelombang pukulan yang menderu itu menghantam tubuhnya. Panji terpental memuntahkan darah segar. Ia terbanting dan jatuh terguling-guling sejauh lima tombak.

"Tamat riwayatmu, Orang Muda...!" Kakek Tanpa Tanding menyusuli dengan ayunan telapak tangan kanan. Sebentuk gelombang angin dahsyat menderu bagai amukan topan!

Blarrr...!

Debu dan batu batuan kecil beterbangan seiring dengan ledakan keras itu. Tapi sebelum pukulan maut itu tiba, Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya ke samping. Dan, terus bergulingan menjauhi lawan.

Dengan kuda-kuda yang agak goyah dan napas terengah, Panji bergegas bangkit. Ngeri hatinya melihat tanah bekas tempat ia berpijak. Di tempat itu tercipta sebuah lubang seperti kubangan kerbau. Debu tipis tampak mengepul hangat. Itulah akibat pukulan yang dilontarkan Kakek Tanpa Tanding.

"Hm.... Untung kau masih sempat mengelak, Orang Muda. Kalau tidak, sekarang kau pasti sudah menjadi orang panggang!" Kakek Tanpa Tanding tertawa mengejek.

Panji tidak meladeni. la tengah mengerahkan 'Tenaga Inti Panas Bumi' untuk membakar luka di bagian dalam tubuhnya. Setelah rasa nyeri di dalam dadanya agak berkurang, Panji segera menggabungkan kedua tenaga mukjizatnya.

"Ah.... Benar-benar cocok!" Kakek Tanpa Tanding berseru kaget bercampur takjub. "Sekarang aku semakin yakin kaulah orang yang kami tunggu-tunggu...!"

Panji tertegun sesaat. Ditatapnya wajah Kakek Tanpa Tanding dengan sorot mata bingung. "Apa maksudmu, Orang Tua...?"

"Artinya, perkelahian ini harus segera kita selesaikan!" Begitu ucapannya selesai, Kakek Tanpa Tanding kembali melesat dengan serangan-serangannya.

Panji benar-benar geram dan jengkel! Ia merasa dipermainkan! Pikiran dan hatinya seperti sengaja dibuat kacau oleh kakek itu.

"Kurang ajar! Sungguh licik sekali pertapa palsu ini? Ia sengaja hendak mengganggu pemusatan pikiranku agar gerakanku kacau dan tidak terarah. Dengan begitu ia akan dapat mengalahkanku. Benar-benar keparat..!" Panji mengutuk dan menyumpah-nyumpah kelicikan lawannya.

Pikiran itu membuat Panji mengempos semangatnya. Kalau sejak semula ia merasa enggan melayani kakek pertapa itu, kini ia bertekad untuk mengalahkannya. Dengan melenyapkan segala gangguan pada pikiran maupun hatinya, Panji menghadapi serangan-serangan maut Kakek Tanpa Tanding. Pemusatan pikirannya yang kuat membuat Panji memperoleh kembali ketenangannya.

Hasilnya pun segera terlihat. Perlahan tapi pasti Panji mulai dapat mendesak lawannya. Sikap tenang membuat lontaran-lontaran pukulannya terarah dengan baik. Dan, setiap serangan lawan dapat dipatahkannya dengan langsung mengirimkan balasan. Tapi anehnya, Kakek Tanpa Tanding malah terlihat berseri-seri wajahnya. Padahal, serangan-serangan Panji yang membawa deruan angin panas dan dingin sangat membahayakan jiwanya. Tapi, Kakek Tanpa Tanding udak kelihatan gentar sedikit pun!

"Yeahhh...!"

Lewat tiga puluh jurus setelah pertempuran berlanjut, Kakek Tanpa Tanding kembali membentak. Tamparan ke arah telinga dan pukulan lurus ke ulu hati segera dilancarkannya. Kedua serangan itu menderu menuju sasaran. Namun Panji tetap bersikap tenang. Ditunggunya sampai serangan itu tiba dekat,

"Hyahhh!"

Begitu serangan Kakek Tanpa Tanding tinggal satu jengkal lagi dari telinga dan ulu hatinya, Panji membentak seraya menjatuhkan tubuhnya. Gerakan itu dibarengi dengan tendangan kedua kakinya.

Desss...!

Demikian cepat dan tak terduga gerakan yang dilakukan Panji. Kakek Tanpa Tanding tak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Tendangan itu telak menggedor perutnya. Tubuh Kakek Tanpa Tanding pun tersentak deras ke belakang. Darah menyembur ke luar. Tubuh kakek itu jatuh berdebuk di tanah. Panji bergegas menyusul. Kakek Tanpa Tanding yang mengira Panji hendak menyusuli serangannya segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tlnggi.

"Cukup... cukup...," ujar kakek itu. Ia kemudian bangkit duduk bersila.

"Aku bukanlah manusia keji yang tega menghabisi lawan yang terluka, Orang Tua...," tukas Panji tersenyum getir. "Aku bermaksud ingin mengobati lukamu...."

"Tidak perlu... tidak perlu...," Kakek Tanpa Tanding menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Kemunculanmu merupakan tanda bahwa hidupku akan berakhir..."

Panji mengerutkan kening mendengar ucapan itu. Tapi, ia tidak berkata apa-apa. Dilihatnya Kakek Tanpa Tanding hendak melanjutkan ucapannya.

"Coba kau terka, berapa kira-kira umurku?" Kakek Tanpa Tanding menatap Panji dengan mata sayu.

"Mungkin delapan puluh lebih...," tebak Panji setelah memperhatikan wajah Kakek Tanpa Tanding beberapa saat Kakek Tanpa Tanding menggeleng lemah.

"Usiaku sudah seratus dua puluh tahun, Pendekar Naga Putih. Jangan kaget kalau aku tahu julukanmu," ujar Kakek Tanpa Tanding dengan tersenyum tipis. "Demikian pula dengan kedua saudaraku. Mereka berusia lebih dari seratus tahun. Kami tidak tahu mengapa umur kami demikian panjang. Rahasia itu baru terungkap ketika sepuluh tahun silam kami bertiga mendapat mimpi yang sama. Dalam mimpi itu datang seorang kakek berpakaian serba putih. Kakek itu mengatakan bahwa ajal kami akan datang apabila kami telah berjumpa dengan seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih," Kakek Tanpa Tanding berhenti sebentar untuk mengambil napas.

Panji menganggukkan kepala. Sekarang ia baru mengerti, mengapa Kakek Tenaga Gajah tewas meski ia tidak melukainya. Dan, mengapa Kakek Tanpa Bayangan bisa menemui ajal meski lukanya tidak terlalu parah.

"Pendekar Naga Putih..." Kakek Tanpa Tanding kembali berkata. "Tahukah kau berapa usia Ratu Pesolek? Dan, siapa tokoh wanita sesat itu sebenarnya?" tanyanya seraya menatap wajah Panji lekat-lekat

Panji menggeleng. Jangankan usia, bertemu dengan tokoh sesat itu pun ia belum pernah.

"Ratu Pesolek adalah seorang perempuan yang usianya tidak berselisih jauh dengan kami bertiga. Tapi, tubuh maupun wajahnya tak ubahnya seorang wanita berusia dua puluh tahun. Ia adalah adik seperguruanku!"

"Mengapa Kakek bertiga tidak berusaha mencegah perbuatannya...?" tanya Panji heran.

"Itulah yang membuat hati kami susah," Kakek tanpa Tanding menggeleng seraya menghela napas berat. "Sebenarnya sangat memalukan sekali untuk diceritakan. Tapi, biarlah kau ketahui aib yang telah kami perbuat di masa lalu...." Lagi-lagi kakeh itu menghela napas. Tampaknya, apa yang akan disampaikannya itu sangatlah berat.

"Waktu itu kami sama-sama masih muda. Guru kami berjuluk Dewa Gunung Batur. Beliau menurunkan semua kepandaiannya kepada kami berempat. Segala macam ilmu boleh kami pelajari, kecuali satu. Kitab yang berisikan Ilmu Lebah Hitam. Beliau melarang dengan keras, setelah menunjukkannya kepada kami dan menceritakan tentang bahayanya mempelajari kitab itu. Dewa Gunung Batur sengaja tidak memusnahkan kitab itu. Karena, dalam kitab itu juga terkandung ilmu pengobatan yang sangat langka. Sedangkan salah satu keistimewaan Ilmu Lebah Hitam, dapat membuat orang yang meyakininya menjadi tetap muda dan segar. Siapa sangka kalau Diah, adik seperguruan kami yang paling bungsu, ternyata sangat tertarik dengan kitab itu. Rupanya ia ingin tetap kelihatan muda dan cantik. Tapi, untuk meminta atau mencuri kitab itu ia tidak berani. Guru kami bisa murka. Padahal, keinginannya untuk mempelajari Ilmu Lebah Hitam sangat besar." Kakek Tanpa Tanding berhenti sebentar. Ditariknya napas berat berulang-ulang. Wajahnya membayangkan kedukaan yang dalam.

"Terus terang, aku maupun kedua adik seperguruanku menaruh hati kepadanya. Diah memang sangat cantik dan begitu sempurna sebagai seorang perempuan. Kepada kami bertiga dia sangat manja. Mungkin ia mengetahui perasaan kami kepadanya. Sikapnya semakin manis dan sangat menggoda. Kami sungguh tidak menduga kalau Diah sengaja hendak menjebak kami bertiga. Kami semakin tergila-gila, dan saling bersaing untuk merebut cinta Diah. Rupanya itulah yang diinginkan Diah. Dia buat kami tergila-gila. Lalu, satu persatu kami dijebaknya. Malam terkutuk itu pun datang. Diah datang kepadaku saat diriku tengah membayangkan dirinya. Aku tidak begitu ingat awal mulanya. Tapi, yang jelas malam itu Diah menyerahkan dirinya kepadaku. Mulanya aku memang sangat bahagia sekali. Tapi, ternyata bukan cuma aku seorang yang pernah berhubungan dengannya. Kedua adik seperguruanku pun berhubungan dengan Diah. Semua itu baru terbongkar ketika guru kami pergi mengunjungi salah seorang sahabatnya di pulau seberang..."

Panji tidak berusaha memotong. Dibiarkannya Kakek Tanpa Tanding menunda ceritanya yang belum selesai

"Diah mengambil Kitab Ilmu Lebah Hitam. Kami bertiga tidak bisa berbuat apa-apa. Diah mengancam akan membeberkan rahasia kami kepada guru. la mengingatkan akan sumpah yang kami ucapkan sewaktu berhubungan dengannya. Aku dan kadua adik seperguruanku ternyata telah mengucapkan sumpah yang sama. Kami akan menuruti segala permintaan Diah, apa pun bentuknya. Saat itulah kami baru sadar kalau Diah telah menjebak kami! Dengan membawa kitab itu, Diah pergi meninggalkan Gunung Batur. Sebelum pergi, ia meminta kepada kami agar menutup mulut. Baik tentang kitab, maupun dirinya. Sepulang dari kepergiannya, guru marah besar. Kami yang sudah terikat sumpah. terpaksa berbohong. Kami dihukum dan dipaksa untuk memberitahukan ke mana perginya Diah dan Kitab Ilmu Lebah Hitam. Tapi kami tetap bungkam. Karena, kami memang tidak tahu ke mana perginya Diah. Guru merasa putus asa dan berduka sekali. Beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sebelum menghembuskan napas terakhir, beliau sempat mengutuk kami bertiga. Kami akan menanggung derita berkepanjangan. Kutuk guru kami kini terbukti. Untuk menebus dosa, kami lalu menjadi pertapa. Tapi, dosa di malam terkutuk itu tidak pernah lepas dari pikiran kami. Dan, meski usia kami telah mencapai seratus tahun lebih, kematian masih juga belum datang menjemput. Sampai akhirnya kami mendapat mimpi seperti yang kuceritakan kepadamu tadi..." Kakek Tanpa Tanding mengakhiri ceritanya dengan helaan napas berat dan panjang.

"Jadi, itukah sebabnya mengapa kalian bertiga tidak mencegah perbuatan Ratu Pesolek?" tanya Panji setelah agak lama Kakek Tanpa Tanding terdiam.

"Kami terikat sumpah dan juga kutukan. Namun kedatanganmu membuat hatiku lega, Pendekar Naga Putih. Itu berarti ajalku sudah tiba. Aku akan segera terlepas dari belenggu dosa yang tak berkesudahan ini...," usai berkata, Kakek Tanpa Tanding memejamkan kedua matanya.

"Kek, tunggu...!" Panji yang sudah menduga apa yang akan terjadi dengan Kakek Tanpa Tanding, berseru seraya mengguncangkan tubuh kakek itu.

"Dari sini, kau berjalan ke arah tenggara..." Tanpa membuka matanya, Kakek Tanpa Tanding berkata. "Pertama, kau akan menemui Gunung Danang. Setelah itu, barulah kau akan melihat Gunung Abang..."

"Terima kasih, Kek...," ucap Panji lega. la telah mendapat petunjuk jalan yang benar untuk dapat menemui Ratu Pesolek

Tidak seperti sewaktu menyaksikan kematian Kakek Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa Bayangan, kematian Kakek Tanpa Tanding tidak membuat Panji bersedih atau menyesal. Malah, ia merasa lega. Kematian itu telah membuat Kakek Tanpa Tanding menemukan ketenangan hidup di alam lain.

********************

Gunung Abang menjulang megah, mengalahkan gunung-gunung yang terdapat di Pulau Bali, Gunung Abang memang merupakan gunung tertinggi di pulau itu. Di kaki gunung itulah Ratu Pesolek mendirikan markasnya.

Nama Ratu Pesolek telah sangat dikenal dan menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh penduduk di Pulau Bali. Sudah sejak puluhan tahun silam nama besarnya bergaung di seluruh penjuru pulau. Ratu Pesolek bukan saja melakukan penculikan terhadap pemuda-pemuda tampan. Tapi, gadis-gadis muda dan cantik pun tidak luput dari incarannya, meski tidak sesering lenyapnya pemuda pemuda tampan.

Perbuatan Ratu Pesolek banyak ditentang oleh kaum golongan putih. Tapi, sampai sebegitu jauh belum ada seorang pun yang sanggup menghentikan kejahatannya. Jangankan menghadapi Ratu Pesolek, melawan pembantu-pembantunya saja sudah banyak tokoh-tokoh persilatan yang bertumbangan. Sehingga, sampai puluhan tahun Ratu Pesolek tetap berkuasa. Bahkan, kuku-kukunya semakin mencengkeram seluruh daratan Pulau Bali.

Usaha tokoh-tokoh golongan putih untuk menumpasnya masih terus dilakukan, Walau Ratu Pesolek maupun pembantu-pembantunya tidak segan-segan membunuh setiap tokoh yang berani datang mengusik ketenangannya. Terutama kaum golongan tua. Mereka akan dibunuh tanpa ampun. Lain halnya dengan pendekar-pendekar muda. Terlebih yang memiliki wajah tampan. Ratu Pesolek tidak akan membunuh begitu saja. Mereka akan mendapatkan perlakuan yang istimewa, dan ditempatkan di kamar-kamar mewah.

Pada setiap bulan pumama barulah mereka dikeluarkan satu persatu untuk melayani keinginan Ratu Pesolek, setelah melalui sebuah upacara dan pesta semalam suntuk. Setelah itu, korban akan dibunuh. Perbuatan Ratu Pesolek memang tidak berbeda dengan lebah-lebah ratu yang membunuh pejantannya setelah masa kawin.

Saat itu hari masih pagi. Dua sosok tubuh bergerak hati-hati mendekati sebuah bangunan megah yang mirip istana raja. Itulah tempat kediaman Ratu Pesolek dan para pengikutnya. Tampaknya, hari ini Ratu Pesolek kedatangan tamu yang tak diundang!

"Hih hih hih...! Apa yang sedang kalian intip, hah?"

Dua orang lelaki berusia sekitar empat puluh dan lima puluh tahun, yang tengah mengintai tempat kediaman Ratu Pesolek dari balik rimbunan semak, berjingkrak kaget. Cepat bagai kilat keduanya memutar tubuh. Namun, si pemilik suara yang mereka cari tidak dapat mereka temukan! Karuan saja keduanya saling bertukar pandang dengan penuh heran.

"Kau mendengar suara tadi, Narottama...?" Laki-laki yang berusia lima puluh tahun bertanya kepada kawannya. Sepertinya, ia meragukan pendengarannya.

"Ya. Aku memang mendengar suara tawa mengikik...!" Meskipun ucapannya tandas, namun nada suaranya terdengar agak bimbang. Jelas, Narottama pun meragukan pendengarannya. Kare na, mereka tidak menemukan seorang manusia pun disekitar tempat itu.

"Hih hih hih...! Dasar kampret-kampret tolol! Ditanya bukannya menjawab malah celingak-celinguk seperti orang hendak buang ingus!"

Narottama dan Udayana berjingkrak mundur. Mereka mendongakkan kepala. Suara itu terdengai jelas di atas kepala mereka. Tampaklah sesosok tubuh terbungkus pakaian hitam yang bergantung dengan kepala di bawah. Narottama dan Udayana tidak bisa mengenali sosok itu.

EMPAT

"Hih hih hih...!"

Sekali lagi sosok yang bergelantungan itu memperdengarkan tawanya. la melayang turun dan mendarat ringan di hadapan Narottama dan Udayana.

"Hei, mengapa bengong? Kalian lupa ya denganku?" Sosok yang ternyata seorang nenek buruk berkulit hitam legam menegur dengan suaranya yang seperti kaleng rombeng, Ia menuding-nuding kening Narottama dan Udayana yang masih terbengong-bengong di tempatnya.

"Maaf, Nek. Seingatku kita belum pernah bertemu, apalagi berkenalan...." Udayana, yang lebih tua dan lebih berpengalaman daripada Narottama, sudah dapat menguasai kekagetannya. Ia melangkah maju dan membungkuk hormat. Kata-katanya pun sopan dan lembut

"Na-nek-nak-nek! Kapan aku pernah kawin dengan kakekmu? Lagipula, siapa yang bilang kalau kita pernah berkenalan? Kau kira aku perempuan murahan. Huh, tidak sudi aku berkenalan dengan kalian!" Nenek muka hitam menghardik dan mencibirkan bibirnya. Kemudian, tubuhnya diputar seperti jual mahal. Karuan saja sikap nenek itu membuat Narottama dan Udayana keheranan.

"Sinting...!" Narottama berdesis pelan.

"Apa katamu? Apa perempuan tidak boleh memakai anting-anting? Itu sudah kodrat, tahu! Dasar lelaki sinting! Biar wajahmu gagah tapi kalau otakmu kurang beres, mana ada perempuan yang sudi mendekatimu!" Nenek muka hitam mengomel panjang lebar, membentak-bentak Narottama.

"Dasar gendeng...!" Udayana bergumam menahan rasa geli.

"Kau suka, ya?" Nenek muka hitam memandang Udayana dengan mata berbinar. Dielus-elusnya andeng-andeng (tahi lalat besar) yang melekat di cuping hidungnya sebelah kanan. "Ini namanya pemanis, tahu," lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan badannya, persis gadis remaja yang malu-malu karena ditegur pemuda idamannya.

"Ya... ya... ya.... Aku suka dengan andeng-andengmu itu. Wajahmu memang kelihatan jadi lebih manis...."

Merasa nenek itu agak tuli, Udayana pun mengalah. Ia mengangguk-angguk dan mengikuti ucapan nenek muka hitam. Padahal dalam hatinya ia berkata, "Suka dengkulmu peyot! Andeng-andeng hitam, wajahmu juga hitam, mana bisa dibilang pemanis. Wajah hangus seperti pantat dandang begitu dibilang manis..."

"Nenek ini memang manis, Udayana." Narottama berbisik di telinga Udayana. "Tapi, kalau memandangnya dari atas puncak gunung...," sambungnya tak dapat menahan kegelian hatinya. Narrottama menahan kekehnya. Ditutupnya mulutnya dengan telapak tangan.

"Apa bisik-bisik! Menceritakan aku, ya? Mentertawakan aku, ya?"

"Tidaaak...!" Narottama dan Udayana menyahut bersamaan seraya menggeleng keras-keras.

"Lalu, bisik-bisik itu apa yang kalian bicarakan?" Nenek muka hitam mendesak curiga.

"Kawanku bilang kau cantik..." Udayana berbohong. Bukan karena ia takut nenek muka hitam akan marah. Tapi, Udayana telah menyaksikan bagaimana tadi nenek itu meluncur turun dengan sangat ringannya. la menduga nenek muka hitam ini pasti bukan orang sembarangan. Ia lebih suka tidak mencari penyakit yang akan menyusahkan diri sendiri. Bahkan, Udayana berpikir akan menarik nenek itu ke pihaknya. Ini akan menguntungkannya.

"Benar." Narottama segera dapat membaca maksud kawannya. la pun menambahi. "Dengan andeng-andeng itu, kau kelihatan semakin manis...," pujinya, meski dalam hati tertawa terbahak-bahak.

"Kurang ajar! Celaka dua ratus! Rupanya kalian berdua tukang merayu perempuan, ya? Dasar buaya-buaya darat keparat! Sudah jelek dan melarat masih juga mencari sekarat!" Nenek muka hitam membanting-banting kaki kanannya ke tanah. la menuding-nuding hidung Narottama dan Udayana.

"Wah, celaka! Susah juga kalau menghadapi orang gila. Tidak diikuti salah. Diikuti juga salah..." Di tengah kecemasan dan keheranannya, Udayana menggerutu jengkel.

"Dasar nenek-nenek jelek. Sudah hitam, peot, keriting, hidup lagi!" Dari heran, Narottama menjadi jengkel. Ia mengumpat tak karuan.

"Hayo, pergi... pergi kalian...!" Kemarahan nenek muka hitam masih berkepanjangan. Ia mengusir Narottama dan Udayana seraya mengebut-ngebutkan telapak tangannya.

Gerakan nenek itu kelihatan sembarangan saja. Tapi, Udayana dan Narottama kaget setengah mati. Dari kebutan tangan nenek muka hitam, menyambar deruan angin keras. Bergegas Narottama dan Udayana melompat mundur.

"Kita harus menjauhi nenek sinting itu, Narottama. Kalau tidak, bisa-bisa kedatangan kita akan diketahui pengikut-pengikut Ratu Pesolek..." Udayana berbisik kepada Narottama tanpa melepaskan pandangannya dari sosok nenek muka hitam.

"Sebaiknya memang begitu. Nenek sinting itu bisa membuat kita celaka...." Narottama la ngsung setuju. Diputamya tubuhnya dan berlari mengikuti Udayana yang sudah bergerak meninggalkan tempat itu lebih dulu.

"Hei, mau ke mana kalian...? Pegang... pegang...! Hih hih hih...!" Melihat Udayana dan Narottama meninggalkan tempat itu, nenek muka hitam berteriak-teriak sambil tertawa.

"Benar-benar kurang ajar nenek jelek itu...!" Narottama menggerutu dengan hati cemas. Ia khawatir teriakan nenek muka hitam sampai terdengar orang-orang Ratu Pesolek

"Jangan pedulikan nenek sinting itu, Narottama. Menuruti dia bisa-bisa kita celaka...." Udayana segera mengingatkan ketika melihat Narottama hendak berbalik arah.

Narottama menggerutu tak jelas. Tinjunya dikepalkan erat-erat. Niatnya terpaksa diurungkan. Ia. terus berlari mengikuti Udayana menerobos semak-semak. Mereka menjauhi bangunan markas Ratu Pesolek. Gangguan nenek muka hitam itu membuat mereka terpaksa menangguhkan rencana semula. Dan, bersepakat untuk menyelundup ke dalam pada waktu malam.

Kekhawatiran Narottama dan Udayana memang beralasan. Teriakan nenek muka hitam telah menarik perhatian orang-orang Ratu Pesolek. Sebentar saja, enam orang perempuan muda yang rata rata berwajah cantik sudah berlarian mendatangi tempat itu

"Hei, siapa kau, Nenek Hitam? Apa yang sedang kau lakukan di daerah kekuasaan kami?" Salah satu dari enam perempuan cantik itu menegur nenek muka hitam. Ujung tombaknya ditodongkan ke wajah nenek muka hitam.

"Setan, mengapa aku yang kalian tanya?" Nenek muka hitam tidak kalah gertak "Seharusnya kalian cari dua orang telaki buaya darat yang lari ke sana itu. Aku sudah capek-capek teriak, eh, malah aku yang disalahkan. Dasar perempuan jelek! Pakaian saja sepotong-sepotong, bertingkah seperti penguasa lagi!"

Nenek muka hitam memang tidak salah bicara. Keenam perempuan cantik itu hanya mengenakan pelindung dada dan kain yang tingginya satu jengkal lebih di atas lutut. Berbeda dengan nenek muka hitam yang mengenakan pakaian lengkap dan agak kebesaran.

"Jangan sembarangan bicara kau, Nenek Muka Arang! Tahukah kau bahwa yang kau hadapi adalah orang-orang kepercayaan Ratu Pesolek? Atau, kau memang sengaja mencari maut?" Perempuan yang ada tahi lalat di pipi kanannya mengancam.

"Ratu Pesolek...?!" Nenek muka hitam mengulang nama itu dengan kening berkerut. "Jadi kalian ini tengah mencari madu, ya? Apa sudah dapat? Boleh aku cicipi sedikit saja. Ingat madu, air liurku jadi keluar...."

Keenam perempuan itu menarik wajah ke belakang. Diperhatikannya sosok nenek muka hitam dengan sorot curiga. Mereka menduga nenek itu hanya berpura-pura gila untuk mengelabui mereka. Perempuan yang bertahi lalat di pipi kanan memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Sebentar saja, nenek muka hitam terkepung rapat.

"Benar, kau mau mencicipi madu, Nek?" Perempuan bertahi lalat bertanya menegasi.

"Mau... mau...." Nenek muka hitam mengangguk-angguk dengan mata berbinar. Bibirnya dijilat-jilat seolah ia merasakan kelezatan madu itu.

"Nih, kau cicipilah sepuasmu!"

Whuttt..!

"Aiii...?!" Nenek muka hitam terpekik kaget. Dengan sangat ketakutan, ia berlari ke depan menyambut datangnya ujung tombak

Brettt..!

"Aaa...!" Terdengar suara kain robek dan jerit kesakitan nenek muka hitam. Aneh, meskipun mata tombak lelah menembus tubuh nenek itu, tak setetes darah pun yang keluar.

Kenyataan itu sangat mengherankan penyerangnya. Kepalanya bergerak ke kiri kanan mencari-cari tetesan darah. Tapi, sulit sekali untuk melihatnya. Nenek muka hitam menggerak-gerakkan tubuhnya sambil mendekap perut. Tapi sesaat kemudian, perempuan muda bertahi lalat itu melenggak kaget Ketika nenek itu melepaskan dekapan tangan pada perutnya, ternyata tusukan tombak hanya merobek pakaiannya yang kebesaran. Sedang kulit tubuhnya tidak terluka sedikit pun!

"Hih hih hih...! Kaget, ya? Nih, tombakmu kukembalikan...!" sambil berkata demikian, nenek muka hitam memutar tombak dan mengarahkan matanya ke tubuh pemiliknya. Lalu, dilemparkannya tombak itu dengan gerakan sembarangan.

Cappp!

Mata tombak meluncur deras dan langsung menembus tubuh mulus perempuan itu hingga ke punggung. Tentu saja keberhasilan serangan itu bukan karena kepandaian nenek muka hitam sangat tinggi. Atau, karena kepandaian perempuan bertahi lalat itu rendah. Tapi, orang kepercayaan Ratu Pesolek itu terlalu memandang remeh. Akibatnya sikap itu harus ditebus dengan nyawanya!

"Nenek keparat!"

"Bedebah...!"

Lima perempuan cantik lainnya me maki dengan wajah merah padam. Tanpa ada yang memerintah, karena perempuan bertahi lalat yang tewas itu adalah pimpinan mereka, kelima perempuan cantik itu menyerbu nenek muka hitam dengan tombak di tangan.

"Hei hei hei...! Ini tidak adil... tidak adil...! Kalian beraninya cuma main keroyok! Kalau memang betina, ayo maju satu-satu...!"

Nenek muka hitam berteriak-teriak. Ia melompat ke sana kemari dengan gerakan asal-asalan. Tapi hebatnya, tak satu pun dari serangan lima batang tombak itu yang dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan, mengenai pakaiannya pun tidak. Padahal, tombak-tombak itu digerakkan dengan kecepatan cukup tinggi. Karuan saja orang-orang Ratu Pesolek semakin marah dan penasaran! Mereka semakin memperhebat serangan-serangannya.

"Wah, celaka...!" Nenek muka hitam mengeluh seraya terus berlompatan menghindari ujung-ujung tombak yang mengancamhya. Ia kemudian berteriak-teriak berlari meninggalkan arena pertarungan. "Tolong... tolong...!" Nenek muka hitam terus berlari. Sesekali ia berhenti dan berjingkrak-jingkrak.

"Kejar...!" Salah satu dari kelima perempuan cantik itu memberi perintah. Ia melesat mengejar nenek muka hitam dengan diikuti keempat kawannya.

********************

"Narottama, dengar! Bukankah itu suara jeritan minta tolong nenek muka hitam? Mungkin ia dalam kesulitan. Ayo kita tolong...!" Udayana berkata kepada Narottama. Dan, tanpa menunggu jawaban lagi, langsung saja ia memutar tubuh dan melesat ke arah suara jeritan itu.

"Ah, jangan pedulikan nenek gila itu, Udayana!" Narottama tidak sependapat dengan Udayana. Narottama memang ikut menghentikan larinya. Tapi, ia tidak bergerak mengikuti. Udayana terpaksa menunda maksudnya.

"Siapa tahu nenek itu memang benar-benar dalam kesulitan, Narottama. Benar ia cuma seorang nenek sinting. Tapi siapa pun dia, kita harus melihatnya dulu." Udayana bersikeras mempertahankan pendapatnya.

"Hm.... Kita sudah cukup jauh berputar, Udayana. Beberapa tombak lagi kita akan segera tiba di bagian belakang markas Ratu Pesolek, Untuk apa bersusah payah kembali lagi hanya karena ingin menolong seorang nenek-nenek jelek berotak miring?" Narottama juga mempertahankan pendapatnya. Ia merasa tidak ada perlunya menyusahkan diri menolong nenek muka hitam.

"Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar." Udayana merendahkan suaranya. Diangkatnya kedua tangannya di depan dada. "Menurutku, sebaiknya kita lihat saja apa yang terjadi dengan nenek itu. Kalau memang ia tidak memerlukan bantuan, kita bisa melanjutkan rencana kita. Ingat, Narottama! Kita adalah orang-orang gagah yang mempunyai kewajiban untuk menolong kaum lemah!"

"Hhh.... Baiklah. Mari kita lihat..." Narottama akhirnya mengalah. la bergerak mengikuti Udayana.

Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat nenek muka hitam tengah berlari dikejar lima orang perempuan cantik yang bersenjata tombak. Melihat cara nenek itu berlari dengan sesekali berhenti jika pengejarnya tertinggal agak jauh, Udayana langsung tahu nenek muka hitam sengaja mempermainkan para pengejarnya. Entah apa maksud nenek itu. Udayana tidak mau ambil pusing. Yang pasti keselamatan nenek muka hitam tidak perlu dikhawatirkan.

"Mari kita pergi," ajak Udayana kepada Narottama yang tersenyum penuh kemenangan, karena dugaannya lebih benar. "Perbuatan nenek itu malah akan menguntungkan kita. Apalagi, kalau pengikut-pengikut Ratu Pesolek yang lainnya berdatangan dan ikut mengejar nenek sinting itu..."

Narottama tidak menanggapi Diam-diam ia pun mengharapkan hal yang sama. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya segera melesat meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, sepeninggal Udayana dan Narottama, nenek muka hitam menghentikan larinya. Sambil mengekeh senang, ia membalikkan tubuh. Ditunggunya kedatangan para pengejarnya seraya berkacak pinggang dan tertawa berkepanjangan. Gigi nenek itu tampak masih lengkap dan putih. Tidak seperti gigi nenek-nenek sewajarnya.

"Serbuuu...!"

Salah seorang dari kelima pengejar nenek muka hitam memberi perintah. Kelimanya segera meluruk maju dengan memutar tombak di tangan masing-masing. Tapi, sambil terkekeh-kekeh, nenek muka hitam malah bergerak maju. Disambutnya, datangnya serangan itu. Sekali mengibaskan kedua tangannya, dua batang tombak penyerangnya terpental patah menjadi dua. Kemudian, nenek itu menjatuhkan tubuh menelungkup di depan kedua perempuan yang kehilangan senjata. Seperti seekor kuda binal, nenek muka hitam menyentakkan kakinya telak mengenai dada mereka.

"Hih hih hih...! Bagus tidak jurus 'Kuda Binal' ku?" ejek nenek itu ke pada dua orang lawannya yang terpelanting jatuh terguling-guling. Dan, tidak dapat buru-buru bangkit

Nenek muka hitam masih saja terkekeh memandangi korban tendangannya. Ia seperti tidak sadar betapa tiga lawan lainnya tengah bergerak mengancam tubuhnya dari tiga arah.

Bed! Bed! Bed!

Tiga batang tombak itu menusuk tengkuk dan kiri kanan lehernya. Tapi, dengan gerakan yang manis, nenek muka hitam membungkukkan tubuh. Ia menekuk kepalanya ke depan dan mengembangkan kedua lengannya ke kiri-kanan. Ketiga mata tombak itu pun lewat di atas tengkuk dan kedua bahunya. Lalu, dengan gerakan yang tak terduga, nenek muka hitam memutar kedua lengannya dari belakang kedepan, dibarengi dengan putaran tubuhnya setengah lingkaran ke belakang.

Trak trak!

Des! Des! Des!

Hebat dan mengagumkan sekali gerakan nenek muka hitam. Dua batang tombak yang dikempitnya langsung patah seketika. Dan, tendangan berantai yang dilepaskan pada saat bersamaan telak menghajar ketiga wajah pengeroyoknya. Ketiga perempuan cantik itu pun terpelanting. Mereka mengaduh-aduh memegangi sebelah pipinya yang bengap!

"Hih hih hih...! Wajah kalian jadi kelihatan lucu! Persis monyet yang sedang makan!" Nenek muka hitam tertawa kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak.

"Nenek Keparat! Perbuatanmu ini kelak akan kau sesali seumur hidup!" Salah satu dari ketiga perempuan yang pipinya biru sembab mengancam nenek muka hitam.

"Eh, betulkah itu...?!" Nenek muka hitam memasang wajah bodoh dan ngeri. Wajahnya yang sudah jelek kelihatan semakin jelek.

Sikap nenek muka hitam membuat lawan-lawannya bungkam. Mereka tidak mau menanggapi. Orang-orang Ratu Pesolek itu hanya bisa mendengus dan mengutuk dalam hati. Kelimanya kemudian bergerak bangkit. Tampaknya, mereka hendak nekat menghadapi nenek muka hitam dengan menggunakan tangan kosong.

"Hei, mengapa kalian mendadak bisu seperti kerbau kekenyangan? Hayo, tidak berani berkelahi lagi?" Nenek muka hitam menantang. Mulutnya tersenyum-senyum mengejek.

Tiba-tiba nenek itu menelengkan kepalanya. Mulutnya dimonyongkan sambil mengangguk-angguk. Telinganya yang tajam menangkap suara derap orang berlari menuju ke tempat itu.

"Wah, sayang aku terpaksa meninggalkan permainan yang menyenangkan ini...," sesal nenek muka hitam seraya menggelengkan kepalanya. "Lain waktu kita ketemu lagi, ya..."

Usai berkata, nenek muka hitam memutar tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Lawan-lawannya hanya bisa saling bertukar pandang. Mereka tidak berani mencegah kepergian nenek sinting itu.

Beberapa saat setelah sosok nenek muka hitam lenyap, muncullah serombongan pengikut Ratu Pesolek. Karena nenek muka hitam sudah pergi jauh, kepala rombongan segera mengajak kelima perempuan itu kembali ke markasnya.

********************

LIMA

"Gusti Yang Mulia Ratu Pesolek..."

Tiga orang perempuan ca ntik segera menjatuhkan diri berlutut di atas hamparan permadani. Perempuan cantik yang duduk di atas singgasana bergagang gading membalas dengan anggukan tipis.

Wanita cantik itu adalah Ratu Pesolek. Tokoh wanita sesat nomor satu di Pulau Bali. Melihat kulitnya yang masih kencang dan halus, sungguh sukar dipercaya kalau ia telah berusia seratus tahun lebih! Bentuk tubuh maupun paras Ratu Pesolek seperti gadis dua puluh tahunan. Itulah kemukjizatan yang didapat Diah, nama asli Ratu Pesolek, setelah ia mempelajari Kitab Ilmu Lebah Hitam.

"Ada keperluan apa kalian datang menghadapku sesore ini?" Ratu Pesolek yang selalu mengenakan pakaian sutera serba merah menegur ketiga pembantunya.

"Hamba bertiga mohon ampun, Ratu," Salah seorang dari tiga wanita cantik itu, yang bermata bulat dan jernih, menghaturkan sembah mewakili kedua kawannya.

Ratu Pesolek hanya bergumam tak jelas. Ia memberikan isyarat dengan gerakan tangan agar pembantunya itu segera mengutarakan maksud kedatangannya.

"Kami memergoki dua orang lelaki menyelundup masuk melalui taman belakang, Ratu. Kedua orang itu mempunyai kepandaian tinggi. Beberapa kawan kami menjadi korban keganasan mereka. Tapi, sekarang mereka sudah terkepung. Kami mohon Ratu sudi memberi petunjuk, apa yang harus kami lakukan terhadap kedua penyelundup itu," lapor perempuan bermata bulat itu. la kemudian kembali bergerak mundur dan me nundukkan wajahnya, setelah menghaturkan sembah lebih dulu.

"Berapa usia mereka? Dan, bagaimana paras mereka?" suara Ratu Pesolek terdengar angkuh. Padahal, pertanyaan itu jelas menunjukkan wataknya yang cabul.

"Mereka berusia empat puluh dan lima puluh tahun. Yang lebih muda memiliki bentuk wajah ga...."

"Cukup!" Ratu Pesolek langsung memotong. "Bunuh mereka!" titahnya kemudian.

"Baik, Ratu...."

Ketiga perempuan cantik itu menjawab bersamaan. Mereka bergerak mengundurkan diri dari tempat itu setelah menghaturkan sembah.

********************

Di taman belakang markas Ratu Pesolek tampak dua orang lelaki tengah berusaha keras melepaskan diri dari kepungan belasan perempuan cantik. Namun setiap kali mencoba menerobos, mereka terpaksa harus berlompatan mundur kembali. Ujung-ujung tombak di tangan para pengepung itu datang mengancam dari sekeliling tubuh mereka.

"Celaka kita, Udayana!" Lelaki berwajah gagah yang tidak lain Narottama mengeluh cemas. "Sungguh tidak disangka penjagaan di tempat kediaman Ratu Pesolek ternyata sangat ketat. Kemungkinan untuk selamat dari tempat ini jelas sangat kecil..."

"Selain itu, kita tidak mungkin melukai perempuan-perempuan ini. Mereka adalah gadis-gadis tak berdosa yang diperalat Ratu Pesolek. Mereka pasti telah dicekoki semacam ramuan yang menghilangkan ingatan tentang diri mereka. Dan, hanya menurut perintah Ratu Pesolek laknat itu," ujar Udayana yang sudah mengetahui dari mana asal pengjkut-pengikut Ratu Pesolek.

Mereka adalah gadis-gadis yang diculik Ratu Pesolek, kemudian dijadikan pembantunya. Alasan itu membuat Udayana dan Narottama tidak sampai hati melukai gadis-gadis itu. Kalaupun sudah ada beberapa orang yang mereka robohkan, itu pun tidak sampai terluka. Udayana maupun Narottama telah memilih sasaran yang tepat. Korban-korban serangannya hanya mereka buat tak sadarkan diri. Tapi, kesempatan untuk melakukan hal itu sekarang sudah tertutup. Kedua lelaki gagah itu menjadi bingung, bagaimana cara menghadapi para pengepungnya.

Tengah Udayana dan Narottama mencari-cari cara untuk dapat lolos dari kepungan itu, tiga orang perempuan cantik yang selesai menghadap Ratu Pesolek telah tiba di tempat itu. Udayana dan Narottama saling bertukar pandang dengan sorot mata gelisah. Mereka dapat menduga ketiga perempuan yang baru tiba itu pastilah pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek. Dan, mereka sudah pasti memiliki kepandaian tinggi. Kedatangan ketiga perempuan itu membuat Udayana dan Narottama semakin merasa tidak dapat meloloskan diri.

"Biar aku yang menghadapi kedua cecunguk tak tahu diri itu." Perempuan cantik bermata bulat berkata kepada dua orang temannya. Lalu, tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya segera melayang ke tengah arena.

"Kemani, mundur kau...!"

Selagi tubuh perempuan bermata bulat yang bernma Kemani melayang di udara, tiba-tiba terdengar bentakan halus dan merdu. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan merah yang mendahului Kemani. Bayangan merah itu melayang turun di hadapan Udayana dan Narottama. Sosok itu ternyata Ratu Pesolek. Rupanya, ia telah berubah pikiran dan hendak menghadapi sendiri kedua penyelundup itu. Melihat kemunculan pimpinannya, Kemani yang sudah menjejakkan kaki di tanah segera bergerak mundur.

"Hm...." Ratu Pesolek menggumam pelan. Ditatapnya wajah Udayana dan Narottama lekat-lekat. Sikap tokoh wanita sesat itu terlihat sangat tenang. Ia melangkah mondar-mandir meneliti sosok kedua musuhnya tanpa merasa khawatir akan diserang secara tiba-tiba.

"Atas kehendak siapa kalian datang ke tempat ini?" tanya Ratu Pesolek setelah puas menaksir-naksir kedua musuhnya.

Udayana dan Narottama terlihat agak gugup. Sorot mata indah dan paras yang cantik luar biasa, serta bentuk tubuh menggiurkan di balik pakaian ketat Ratu Pesolek, membuat Udayana dan Narottama kehilangan suara. Kelihatan sekali betapa kedua lelaki itu terpesona oleh sosok Ratu Pesolek.

Mereka memang sudah mendengar tentang kecantikan Ratu Pesolek. Tapi, sungguh tidak disangka kalau kenyataannya ternyata jauh lebih cantik dari yang mereka bayangkan. Meskipun usia mereka sudah cukup tua, namun sebagai laki-laki normal, pesona Ratu Pesolek membuat pikiran mereka melayang membayangkan yang tidak-tidak.

Melihat kedua musuhnya sangat terpesona dengan dirinya, Ratu Pesolek tersenyum sinis. Tatapan mata Narottama dan Udayana yang seperti harimau lapar itu tentu saja mendatangkan ke banggaan di hati Ratu Pesolek. Itu berarti dirinya masih tetap cantik dan mempesona.

"Kalian tidak pantas menjadi pengantinku! Jadi, sebaiknya buang saja jauh-jauh pikiran kotor yang ada dalam kepala kalian!"

Suara sinis dan angkuh Ratu Pesolek membuat kesadaran Udayana dan Narottama tergugah. Wajah keduanya merah bagai terbakar. Ucapan Ratu Pesolek seolah menelanjangi hasrat mereka.

"Ratu Pesolek!" Udayana yang sudah mencabut pedangnya, menyilangkan senjata itu di depan dada. "Kami datang untuk menumpas mu! Bersiaplah...!"

Begitu ucapannya selesai, Udayana menerjang maju disertai bentakan mengguntur. Senjata di tangannya berkelebatan membentuk kilatan-kilatan cahaya putih yang diiringi suara mengaung tajam. Rupanya, dalam jurus pertama Udayana langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Agaknya ia sudah banyak mendengar tentang ketinggian ilmu Ratu Pesolek.

Ratu Pesolek tersenyum sinis. Sambaran pedang Udayana dielakkan hanya dengan kelitan-kelitan tubuhnya. Tampaknya, Ratu Pesolek sangat yakin dengan kepandaiannya. la tidak terlihat buru-buru dalam menghindari serangan gencar Udayana. Tapi, kelitan-kelitan yang dilakukannya sangatlah tepat. Jangankan tubuh, ujung pakaiannya saja tidak dapat disentuh pedang Udayana. Hingga, lelaki setengah baya itu penasaran bukan main!

"Udayana, aku datang membantu...!"

Ketika Udayana mempergencar serangannya, Narottama berseru keras. Ia ikut menggempur Ratu Pesolek dengan seranga n-serangan yang cepat dan kuat. Tapi meskipun dikeroyok dua orang, Ratu Pesolek tetap enak saja menggerakkan tubuhnya menghindari kilatan-kilatan mata pedang kedua lawannya. Dua puluh jurus sudah Udayana dan Narottama menyerang tanpa hasil, tiba-tiba Ratu Pesolek melompat jauh ke belakang. Lalu, dengan sorot mata tajam berkilat Ratu Pesolek membentak nyaring.

"Berhenti...!"

Hebat sekali pengaruh yang terkandung dalam bentakan Ratu Pesolek. Tubuh Udayana dan Narottama bergetar. Kedua lelaki itu tampak terkejut. Ini membuktikan kalau ilmu tenaga dalam yang dimiliki Ratu Pesolek telah mencapai tingkat yang tinggi sekali!

"Dengar!" Ratu Pesolek kembali membentak dengan suara yang mengandung kekuatan sihir. "Kalian satu sama lain adalah musuh bebuyutan!"

Udayana dan Narottama terkejut ketika merasakan ada satu kekuatan aneh yang memaksa mereka saling berhadapan. Dua pasang mata mereka saling tentang. Ada kilatan dendam dan permusuhan dalam sorot mata keduanya. Namun, mereka hanya berdiri tegak. Udayana dan Narottama yang baru sadar mereka telah termakan pengaruh sihir, tengah berusaha keras untuk melawannya.

"Angkat senjata kalian...!" seru Ratu Pesolek kembali bergema. "Tidak ada jalan keluar bagi kalian kecuali saling bunuh!"

"Haaat..!"

Narottama yang tidak sanggup lagi menahan pengaruh kekuatan sihir Ratu Pesolek, segera berteriak menerjang Udayana. Senjata di tangannya menderu ganas.

Bed! Bed! Bed!

Udayana terpaksa berloncatan untuk menghindari serangkaian serangan Narottama. Seperti halnya Narottama, Udayana pun akhirnya kehilangan akal sehatnya. Serangan-serangan Narottama membuat pertahanannya untuk melawan pengaruh sihir melemah. Akhirnya, Udayana pun dapat dikuasai Ratu Pesolek. Dengan tidak kalah ganasnya, dibalasnya serangan Narottama. Udayana memutar tubuhnya dengan satu liukan manis ketika pedang Narottama hendak memapas batang lehernya Kemudian, langsung dibalas dengan sebuah tusukan cepat ke arah jantung!

Trang!

Bunga api memercik ketika Narottama memutar senjatanya memapaki serangan Udayana. Benturan itu membuat kuda-kuda keduanya tergempur. Udayana dan Narottama terjajar mundur. Tapi, Udayana masih lebih kuat dari Narottama. Ia lebih dulu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga, ia melesat dengan sebuah tendangan kilat ke ulu hati Narottama

Bukkk!

Narottama terpekik ngeri. Tendangan telak itu membuat tubuhnya terpental ke belakang. Udayana tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia melompat berputar sambil membabatkan pedangnya memapas batang leher Narottama.

Crakkk!

Darah segar menyembur tumpah ke tanah. Tak ada jeritan yang keluar dari mulut Narottama. Kepalanya langsung putus terbabat pedang Udayana. Narottama pun ambruk dengan nyawa melayang!

"Hi hi hi...!" Ratu Pesolek tertawa Iepas. Meskipun pertarungan cukup singkat, hanya memerlukan lima puluh jurus, namun Ratu Pesolek sangat puas. Ia tidak perlu bersusah payah mengotorkan tangannya

"Bagus... bagus...!" Ratu Pesolek menyambut kemenangan Udayana. Ditariknya pengaruh sihir yang menguasai pikiran Udayana. Lelaki itu mendapatkan kembali kesadarannya.

"Aaaah...!" Laksana melihat hantu di siang bolong, Udayana terpekik dengan wajah pucat! Tubuhnya gemetar menyaksikan mayat Narottama yang tanpa kepala. Sepasang matanya terbelalak bagai hendak keluar ketika melihat pedang di tangannya berlumuran darah.

"Tidak! Tidak mungkin aku yang membunuhnya! Aku belum gila untuk membunuh sahabat sendiri! Tidaaak...!" Bagai orang kemasukan setan, Udayana berteriak-teriak panik. Langkahnya terhuyung limbung seraya memandangi pedang berlumur darah di tangannya. Lalu, dilemparkannya pedang itu jauh-jauh. Seolah pedang itu sebuah benda yang mengerikan.

"Siapa lagi yang membunuh sahabatmu itu kalau bukan kau, lelaki tua yang kejam! Tega sekali kau memenggal kepala seorang sahabat yang sangat baik dan setia kepadamu. Arwahnya di alam baka pasti tidak akan pernah tenang. Arwah sahabatmu itu akan terus membayangimu sampai kau menyusulnya...!" Ratu Pesolek berkata dengan suara lantang.

Udayana memalingkan wajahnya menatap Ratu Pesolek. Kepalanya menggeleng keras, membantah tuduhan yang dijatuhkan kepadanya. Sesaat kemudian, Udayana menggeram bagai harimau luka.

"Kaulah yang menjadi penyebab kematian sahabatku itu, Ratu Pesolek! Ya..., pasti kaulah pembunuhnya. Bukan aku! Kaulah pembunuhnya, Ratu Pesolek! Aku akan menuntut balas atas kematian sahabatku itu. Hiyaaa...!"

Bagaikan singa luka, Udayana menerjang Ratu Pesolek dengan serangkaian pukulan maut. Tapi, Ratu Pesolek sedikit pun tidak bergeming dari tempatnya. Dengan tenang, disambutnya semua serangan Udayana.

Plak! Plak! Plak!

"Uuh...!" Tangkisan Ratu Pesolek membuat Udayana terhuyung mundur. Ia nyaris terpelanting jatuh. Udayana menggeram gusar. Tidak peduli meski kepandaiannya jelas-jelas kalah jauh dengan Ratu Pesolek, ia kembali menerjang maju!

"Haiiitt..!"

Tiba-tiba saja, sebelum serangan Udayana tiba dekat, Ratu Pesolek membentak nyaring seraya merendahkan tubuhnya. Tangan kanannya terayun ke depan. Sebentuk angin pukulan menderu ke arah Udayana yang tengah melayang di udara.

Bresssh...!

Kalau saja Udayana tidak menuruti kekalapan hatinya, belum tentu pukulan itu dapat mengenai tubuhnya. Tapi, karena ia sudah tidak peduli lagi dengan keselamatan dirinya, dan pikirannya tengah terguncang, pukulan dahsyat Ratu Pesolek tak dapat dihindari. Udayana menjerit ngeri, Tubuhnya tersentak dan terpental deras ke belakang. Kemudian, terbanting keras di tanah.

Sesaat Udayana masih menggeliat menahan rasa sakit pada dadanya yang menghitam dan mengepulkan asap tipis. Dan sebentar kemudian, tubuh lelaki gagah itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Udayana tewas terkena pukulan Racun Lebah yang dilancarkan Ratu Pesolek.

"Lemparkan mayat-mayat mereka ke hutan...!" perintah Ratu Pesolek. Kemudian, segera memutar tubuhnya dan bergerak meninggalkan tempat itu.

********************

Begitu tiba di lereng sebelah timur Gunung Abang, Panji terus mencari tempat kediaman Ratu Pesolek. la memang tidak bermaksud mengunjungi markas tokoh sesat itu. Lebih dulu ia hendak menyelidiki keadaannya dan berapa banyak pengikut Ratu Pesolek. Panji tidak ingin bertindak gegabah. ia sadar Ratu Pesolek tidaklah dapat disamakan dengan tokoh-tokoh sesat lainnya.

Ratu Pesolek telah meyakini sebuah ilmu mukjizat yang mampu membuat dirinya tampak awet muda. Begitu keterangan yang didapat Panji dari Kakek Tanpa Tanding. Beliau juga berpesan agar Panji berhati-hati. Salah-salah ia bisa menjadi korban keganasan Ratu Pesolek yang setiap purnama membutuhkan calon pengantin. Untuk lebih mudah melihat sekitar daerah itu, Panji mencari dataran yang agak tinggi. Dari atas ia memandang sekitar lereng sebelah timur.

"Hm... Itu pasti markas Ratu Pesolek...," gumam Panji ketika melihat sebuah bangunan yang menyeru pai istana. "Rupanya, Ratu Pesolek mendirikan kerajaan kecil di kawasan Gunung Abang ini..."

Setelah mengetahui secara pasti letak markas Ratu Pesolek. Panji segera mencari tempat yang baik untuk mengintai. la akan menunggu datangnya malam. Saat hari mulai gelap, barulah ia akan menyelundup ke dalam istana mungil Ratu Pesolek.

"Hih hih hih...! Sedang apa kau di situ, Bocah Bagus? Sedang mencari jangkerik, ya?"

Teguran itu membuat Panji terperanjat. Bergegas ia melompat mundur seraya mendongakkan kepalanya, memandang ke atas sebatang pohon.

"Gila...! Siapa sosok hitam yang bergelantungan di cabang pohon itu?! Mengapa aku sampai tidak mengetahui kedatangannya?" Panji berkata heran dalam hati.

"Hih hih hih...! Begitu saja kaget?" Sosok yang bergelantungan di atas pohon itu bergegas melayang turun. Siapa lagi sosok itu kalau bukan nenek muka hitam.

"Siapa kau, Nek? Apa yang sedang kau perbuat di tempat ini?" Panji bertanya seraya menatap penuh selidik. Hatinya agak tegang melihat cara nenek itu melayang turun. Gerakannya demikian ringan. Tapi, bukan cuma alasan itu yang membuat Panji mendadak tegang. Ia khawarir nenek muka hitam adalah salah seorang pengikut Ratu Pesolek. Jika benar demikian, jelas sangat berbahaya. berarti kedatangannya telah diketahui. Padahal Panji belum lagi tahu kekuatan yang dimiliki Ratu Pesolek.

"Cerewet! Ditanya kok malah bertanya!" Nenek muka hitam mengumpat seraya membanting kakinya ke tanah. Tapi, kemudian ia terdiam dan menarik kepalanya ke belakang. Dengan kepala miring-miring, ditelitinya wajah Panji.

"Hai... Wajahmu ternyata tampan sekali!" Nenek muka hitam berseru dengan mata berbinar. "Kau sangat cocok untuk menjadi pengantin Ratu Pesolek pada malam pumama tiga hari lagi. Eh, apakah kau sengaja datang untuk menemui Ratu Pesolek? Tetapi, mengapa harus mengintip-intip segala? Lebih baik kau langsung saja masuk dan menemuinya. Aku berani bertaruh Ratu Pesolek akan langsung setuju untuk mengambil kau sebagai pengantinnya. Kau pasti mau, bukan? Ratu Pesolek sangat cantik. Tubuhnya montok dan masih kencang, walaupun kabarnya ia telah berusia lebih seratus tahun. Wah, kau pasti akan ketagihan kalau sudah menjadi pengantinnya. Dan, aku yakin kau tidak akan menolak bila sudah berjumpa dengannya. Kau...."

"Nek, Nek, harap berhenti sebentar...." Panji buru-buru memotong perkataan nenek itu. Dihelanya napas seraya menggelengkan kepala. Panji menatap wajah nenek muka hitam lekat-lekat. Keningnya berkerut ketika ia membaui keharuman yang aneh. "Hm.... Genit sekali nenek muka hitam ini. Walaupun sudah peot, ia masih suka memakai wewangian. Benar-benar edan...!" desis Panji dalam hati. Sementara matanya tetap melekat pada wajah hitam berkilat seperti pantat dandang itu.

"Wah.... Sinting!" Nenek muka hitam yang kelihatan agak risih, mengumpat Panji "Mengapa kau memandangi aku sambil tersenyum-senyum? Apa wajahku seperti badut? Atau... kau naksir padaku, ya?"

Ucapan nenek muka hitam menyadarkan Panji dari lamunan. Pemuda itu menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, Nek. Langsung saja." Panji berkata seraya menatap tajam wajah nenek muka hitam. Tapi, pandangan itu segera dialihkannya ke tempat lain ketika melihat nenek itu agak risih oleh tatapannya. Kemudian, tanpa melihat, Panji melanjutkan ucapannya. "Sebenarnya apa maksudmu menggangguku, Nek? Apakah kau salah seorang pengikut Ratu Pesolek?"

"Aku tidak mau menjawab!"

"Eh?!" Panji tersentak kaget. Suara nenek muka hitam terdengar seperti orang sedang merajuk. "Mengapa begitu?!" tanya Panji heran. Ia benar-benar tidak mengerti. Nenek itu sebentar baik dan kemudian tiba-tiba berubah marah.

"Aku tidak suka begitu! Aku suka begini!" Lagi-lagi nenek muka hitam menukas ketus.

"Terserah kaulah, Nek...? Nah, katakanlah, mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaanku?"

"Karena aku bukan pohon, bukan dinding, dan juga bukan makhluk aneh! Aku tidak suka berbicara dengan orang yang tidak mau memandang mukaku!" sentak nenek muka hitam.

Panji tersenyum. "Baiklah," ujar Panji mengalah. Lalu, kepalanya diputar menghadapi nenek itu.

"Nah, begitu baru betul! Tapi, jangan terus-terusan kau pandangi wajahku seperti itu. Perasaanku jadi tidak karuan, tahu!"

"Wah, susah kalau begini..:?" gumam Panji menggeleng, tak tahu harus bagaimana berbicara dengan nenek itu. Dipandang salah, tidak dipandang apalagi.

"Apa! Aku susah untuk mendapat suami! Kurang ajar! Kau benar-benar merendahkan aku, Bocah Gendeng!" Nenek muka hitam yang kadang-kadang memang kurang dengar, mendadak marah. Ia salah menangkap perkataan Panji yang terdengar tidak begitu jelas.

"Aku tidak berkata demikian, Nek!" Panji membantah seraya melompat mundur. Karena, nenek muka hitam sudah menyiapkan serangannya

"Tidak bisa! Kau sudah menghina! Kau harus diajar sopan santun, biar lain kali tidak bicara sembarangan!"

Nenek muka hitam tidak bisa diajak berdamai. Ia langsung menerjang Panji dengan serangkaian pukulan yang cepat dan membawa deretan angin keras. Panji melompat jauh ke belakang menghindari serangan berbahaya itu.

"Jangan lari kau, pemuda kurang ajar...!" Nenek muka hitam yang mengira Panji hendak melarikan diri, bergegas mengejar. Ia kembali melancarkan serangkaian serangan dahsyat!

ENAM

Nenek muka hitam tampak sangat bernafsu untuk segera merobohkan Panji. Serangannya datang bertubi-tubi, membuat Panji agak kewalahan untuk menghindarinya.

Plak! Plak!

Ketika nenek muka hitam terus mendesak Panji terpaksa memapaki dua buah pukulan berbahaya yang mengancam pelipis dan dada kirinya. Tubuh nenek muka hitam terdorong mundur. Begitu pula dengan Panji. Keduanya sama-sama terkejut Kekuatan tenaga dalam mereka ternyata berimbang.

"Hm.... Pantas kau berani menyatroni tempat ini seorang diri, Bocah Bagus. Rupanya kau telah mempersiapkan bekal yang cukup...." Nenek muka hitam berkata setengah memuji. Tapi, sorot matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

Panji tidak berkata apa-apa. Pemuda itu kelihatan sedang berpikir. "Heran. Mata nenek itu demikian bening. Tak ubahnya mata seorang perempuan muda...?! Padahal, sepanjang pengetahuanku mata orang yang sudah tua akan terlihat agak pudar...?" Panji berkata dalam hati dengan menentang pandang mata nenek itu.

Dipandangi secara demikian, nenek muka hitam jadi salah tingkah. Ia kembali menerjang maju. Kali ini jurus-jurus yang digunakannya jauh lebih berbahaya. Mau tidak mau Panji terpaksa mengeluarkan ke pandaiannya untuk menandingi jurus-jurus lawan. Ia tentu saja tidak ingin celaka di tangan nenek itu.

"Hentikan pertarungan...!"

Di tengah pertarungan yang beriangsung sengit itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Panji dan nenek muka hitam terpaksa menunda gerakannya. Mereka berlompatan mundur. Lalu, menoleh ke arah tiga perempuan cantik berwajah dingin yang muncul dari balik semak-semak. Mereka adalah Kemani dan dua orang kawannya, yang merupakan pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek.

Sejak Udayana dan Narottama menyelundup masuk ke dalam markas mereka, Kema ni dan dua orang kawannya diperintahkan oleh Ratu Pesolek agar lebih berhati-hati. Bahkan, Ratu Pesolek memerintahkan ketiga pembantu utamanya itu untuk memeriksa sekitar tempat itu. Saat sedang melakukan pemeriksaan itulah, Kemani dan dua orang kawannya mendengar suara-suara orang bertempur. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat pertempuran Panji dan nenek muka hitam. Kedatangan Kemani dan kawan-kawannya memang tidak diketahui Panji maupun nenek muka hitam. Saat itu mereka tengah mencurahkan perhatian pada pertarungan.

"Siapa kalian? Sedang apa kalian berada di daerah kekuasaan kami?" Kemani bertanya seraya menatap Panji dan nenek muka hitam dengan sorot mata dingin.

"Wah, kasihan...." Nenek muka hitam bergumam pelan. Kepalanya menggeleng-geleng. Dipandangnya ketiga perempuan cantik itu dengan tatapan penuh iba. "Siapa sangka wanita cantik seperti kalian ternyata bermata buta."

Kemani dan kedua orang kawannya terperanjat. Tatapan mata mereka tampak membayangkan kemarahan. "Apa maksudmu, Nenek Muka Pantat Kuali? Sepantasnya kaulah yang buta, bukan kami!" Kemani menukas dengan ketus dan galak.

"Hm.... Jadi begitu, ya?" Nenek muka hitam manggut-manggut. Lalu sambil menyunggingkan senyum sinis, ia melangkah maju empat tindak. "Nah, sekarang coba kalian jawab. Sewaktu kalian datang kami sedang apa, hayo?!"

"Berkelahi." Tanpa periu berpikir lagi, Kemani langsung menjawab tandas.

"Bagus! Jawabanmu sangat tepat!" Nenek muka hitam mengacungkan ibu jarinya. "Kalau kalian sudah tahu kami tadi sedang berkelahi, mengapa harus bertanya lagi? Bukankah itu buta namanya?"

"Kemani..." Salah satu dari dua gadis lainnya memanggil Kemani. "Nenek jelek ini kelihatannya mempunyai otak yang kurang beres. Untuk apa meladeninya. Lebih baik kita habisi saja dia. Sedang pemuda tampan itu, sebaiknya kita tangkap dan kita serahkan kepada ratu. Beliau pasti akan senang sekali mendapat calon pengantin yang muda, tampan, dan memiliki kepandaian mengagumkan...," lanjutnya mengusulkan.

"Hm...." Kemani bergumam. Pandangannya beralih kearah Panji. "Tapi kita harus hati-hati, Ayu. Kelihatannya untuk menangkap pemuda itu tidaklah mudah." Kemani meneliti sekujur tubuh Panji

"Hih hih hih...!" Tiba-tiba nenek muka hitam tertawa seraya menutupi mulutnya. "Dasar perempuan-perempuan rakus! Begitu melihat pemuda tampan, mata kalian jadi hijau. Persis singa-singa betina kelaparan yang melihat kijang muda..."

"Keparat...!" Kemani dan kedua kawannya memaki dengan wajah merah padam.

"Biar kuhabisi nenek sial dangkalan itu...!" Ayu menggeram tak sabar. Tanpa menunggu persetujuan Kemani, ia langsung melompat maju dan mengirimkan sebuah pukulan maut!

Dukkk!

Nenek muka hitam tidak berusaha menghindar. Dipapakinya pukulan itu. Ayu menjerit kaget. Tubuhnya terpental balik. Meski tidak sampai terjatuh, namun kenyataan itu membuat Ayu sadar tenaga dalam nenek muka hitam berada beberapa tingkat di atasnya.

"Sukreni, bantu dia.:.!" Kemani memerintah perempuan yang berdiri di sampingnya.

Gadis berambut panjang tergerai hingga ke pinggang itu segera melayang ke tengah arena. Di tangannya tergenggam sebuah pecut yang terbuat dari kulit binatang.

"Ctar! Ctarr!" Pecut di tangan Sukreni meledak-ledak memekakkan telinga. Tapi, nenek muka hitam malah terkekeh.

"Hei! Kau, Kemani!" Nenek muka hitam berseru. "Kau majulah sekalian. Biar aku tidak perlu bekerja dua tiga kali...!" tantangnya. Kemudian, dilanjutkan dengan suara tawa mengikik berkepanjangan.

Kemani menggeram gusar. la tampak bimbang menerima tantangan nenek itu. Sesaat ia menoleh ke arah Panji. Kemudian, berputar memandang nenek muka hitam.

"Hih hih hih...! Kau takut menghadapiku, Kemani...?" Nenek muka hitam memanas-manasi Kemani yang tengah dilanda kebimbangan.

"Nenek Cerewet Keparat...!" Kemani mengumpat jengkel. Kebimbangan semakin nyata tergambar di wajahnya. Tapi, akhirnya la mengambil keputusan untuk menerima tantangan itu. Kemani pun melesat ke arena untuk mengeroyok nenek muka hitam.

"Nah, begitu baru bagus...!" Nenek muka hitam tampak semakin gembira. Disambutnya kedatangan Kemani dengan hangat

"Bersiaplah untuk mampus, Nenek Tak Tahu Diuntung...!" begitu ucapannya selesai, Kemani menerjang dengan pukulan tangan kosong.

Ayu dan Sukreni tidak mau ketinggalan. Keduanya yang berada di kiri-kanan nenek itu segera menyerbu dengan senjata masing-masing. Sukreni menggunakan pecut. Sedang Ayu berse njatakan se pasang trisula berwama perak.

Meskipun diserang dari tiga jurusan, tapi nenek muka hitam tampak tenang-tenang saja. la berdiri sambil berkacak pinggang. Panji yang menyaksikan sikap nenek muka hitam, mengerutkan keningnya dengan wajah cemas. Ia khawatir nenek itu akan celaka. Karena, serangan ketiga perempuan cantik itu tidak bisa dipandang ringan! Untuk bergerak membantu, Panji masih ragu. la takut nenek muka hitam akan berbalik marah padanya. Panji menjadi bimbang. Ia cuma berdiri dengan wajah tegang!

"Hyaaa...!"

Sewaktu serangan Kemani, Ayu, dan Sukreni sudah tiba dekat, tiba-tiba nenek muka hitam membentak nyaring. Berbarengan dengan itu kedua tangannya mengibas berputar!

Pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek tampak kaget bukan main. Pandangan mereka terhalang oleh bubuk-bubuk putih yang ditebarkan nenek muka hitam. Ketiganya terbatuk- batuk. Bubuk-bubuk putih yang berbau harum memabukkan itu terhirup hidung mereka, dan membuat kepala mereka mendadak pening Sesaat kemudian, ketiganya ambruk ke tanah tak ubahnya sehelai karung basah.

"Hih hih hih...!" Nenek muka hitam tertawa puas. Ia menoleh ke arah Panji "Mudah, ya?" ujarnya dengan mimik wajah lucu.

Panji hanya menarik napas lega. Ia kagum dengan sikap nenek itu. Perbuatan nenek muka hitam terlalu berbahaya dan membutuhkan ketenangan serta keberanian yang luar biasa. Karena, salah perhitungan sedikit saja, Panji yakin nenek itu pasti akan kehilangan nyawanya. Ternyata nenek muka hitam telah memperhitungkan tindakannya dengan tepat. Ia bukan saja berhasil mengecoh Kemani dan kawan-kawannya. Bahkan, dapat merobohkan mereka tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.

Panji tidak lagi merasa khawatir. Nenek muka hitam ternyata bukanlah di pihak musuh. Ia melangkah mendekati nenek itu yang tengah memeriksa ketiga korbannya yang menggeletak tak sadarkan diri.

"Kau suka kepada mereka?" Begitu Panji tiba dekat, nenek muka hitam bangkit berdiri dan bertanya.

Panji tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Untuk menjawab tidak, Panji merasa terlalu munafik. Ketiga perempuan itu memang cantik-cantik. Tapi, kalau pertanyaan itu dijawab suka, Panji khawatir nenek muka hitam akan marah. Hal itu tidak mustahil. Watak nenek muka hitam memang aneh dan sukar ditebak. Panji memutuskan untuk tidak menjawab.

"Huh, dasar laki-laki! Tidak bisa dipercaya! Munafik!" Nenek muka hitam mengumpat. Telapak tangannya kemudian dikibaskan di depan wajah Panji.

Panji terkejut Kibasan telapak tangan itu menyebarkan bubuk berwarna putih! Bau harum memabukkan yang tersedot masuk ke dalam jalan napasnya membuat Panji sedikit pening. Bergegas ia melompat mundur seraya mengibaskan tangannya mengusir bubuk-bubuk pembius. Tapi, nenek muka hitam ternyata tidak tinggal diam. Selesai mengibaskan bubuk pembius itu, ia langsung menyusupi dengan tebasan lengannya ke be lakang leher Panji.

Desss!

Karena tidak menyangka nenek muka hitam akan berbuat licik seperti itu, Panji tak sempat lagi menghindar. Terlebih saat itu ia masih disibukkan oleh bubuk pembius. Hantaman lengan nenek muka hitam membuat Panji seketika roboh pingsan!

"Hih hih hih...! Ternyata kau pun tidak sulit untuk dibohongi!..," ujar nenek muka hitam tertawa puas.

********************

Panji tersadar dari pingsannya dan menemukan dirinya berada di sebuah ruangan yang harum dan indah. Tubuhnya terbaring di atas pembaringan yang beralaskan sutera halus berwama merah muda. Bukan cuma alas pembaringan itu saja yang berwarna merah muda. Permadani yang terhampar menutupi seluruh lantai ruangan itu juga berwarna merah muda. Tempat itu tampak marak dan indah dipandang mata.

"Di manakah aku...? Siapakah pemilik kamar yang indah dan harum ini...?" Panji bergumam dengan penuh rasa heran. Perlahan ia bergerak bangkit. Alangkah kaget hatinya merasakan kejanggalan dalam dirinya. Kepalanya terasa berat. Jantungnya berdenyut dua kali lebih cepat dari biasa. Sekujur tubuh Panji terasa panas bagai terbakar.

"Hi Hi hi...! Rupanya kau sudah sadar, calon pengantinku yang tampan..."

Sebuah suara merdu merasuk telinganya. Panji mengangkat kepala. Mulutnya sampai ternganga ketika melihat seorang perempuan cantik menghampirinya dengan langkah gemulai. Perempuan itu sangat cantik dan mempesona. Terlebih dalam balutan pakaian tipis yang tembus pandang, mencetak lekuk tubuhnya yang aduhai.

Panji menggoyang-goyangkan kepalanya yang terasa semakin berat. Aliran darahnya menggelora bagaikan amukan ombak. Panji merasakan sekujur tubuhnya semakin panas, hingga kulitnya memerah bagai udang rebus. Saat itu, Panji baru menyadari kalau tubuh bagian atasnya sama sekali tidak tertutup pakaian.

"Sssi... apa kau...?" Setelah meneguk air liur beberapa kali, akhirnya Panji dapat melontarkan pertanyaan. Itu pun terdengar gugup. Deru napasnya demikian deras mengalir. Seolah ia baru saja berlari cepat menempuh perjalan yang jauh.

"Aku?" Perempuan cantik itu menegasi. Jari telunjuknya menunjuk belahan dada yang terpentang nyata di balik pakaian tipisnya. "Aku adalah calon pengantinmu...," jawabnya dengan suara merdu.

Dengan perasaan tak karuan dan napas yang masih memburu, Panji tidak berusaha menolak ketika perempuan cantik itu mengulurkan tangan membelai wajah dan dadanya. Panji merasakan napasnya sesak. Pemuda itu pun mengulurkan tangan memeluk pinggang perempuan cantik itu. Keinginan itu tidak dapat dibantahnya, meskipun ia tahu hal itu tidak benar.

"Hi hi hi..! Kau harus bersabar, Sayangku." Perempuan cantik itu menolak dengan halus ketika lengan Panji menarik tubuhnya ke atas pembaringan. "Tunggulah sampai esok tengah malam. Saat itu, barulah kau boleh menikmatinya sepuasmu...," usai berkata, perempuan cantik itu melepaskan tangan Panji dari pinggangnya. Kemudian, ia bergerak bangkit dari atas pembaringan dan melangkah meninggalkan ruangan itu.

"Hendak ke mana kau...?" Panji berseru dan hendak melompat dari atas pembaringan untuk mencegah kepergian perempuan itu.

Tapi, Panji hanya bisa menggeser tubuhnya dan melorot turun dari atas pembaringan. Sesaat Panji terpaku seperti kebingungan. Ketika ia mencoba memusatkan pikiran, kepalanya semakin terasa pening. Ia tidak bisa berpikir dengan baik. Malah, ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Namanya sendiri pun ia tidak ingat! Panji tidak tahu bagaimana ia bisa berada di tempat itu. Tidak ingat lagi apa yang telah dialaminya. Ia bagaikan manusia yang baru lahir. Panji merasakan keanehan pada dirinya itu. Tapi, ia tidak mengerti mengapa.

"Siapakah aku...? Siapa perempuan cantik yang mempesona itu? Bagaimana aku bisa berada di tempat ini? Apakah ini rumahku? Milikkukah kamar yang harum dan indah ini?"

Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu membuat kepala Panji semakin pusing dan berat. Akhirnya, ia tidak mempedulikan semua pertanyaan itu. Tubuhnya direbahkan di atas pembaringan. Karena, perempuan cantik yang tidak bisa dicegahnya itu telah lenyap di balik pintu.

********************

"Hei, Tampan. Bangunlah...."

Panji membuka matanya ketika mendengar suara halus dan tepukan pelan pada kedua pipinya. Didapatinya seorang perempuan muda yang tengah tersenyum manis. Panji merasa tubuhnya bergetar. Ditangkapnya kedua pergelangan tangan perempuan muda itu, yang bukannya ketakutan malah tertawa senang.

"Hik hik hik...!"

Perempuan muda yang mengenakan pakaian seperti seorang pelayan itu tertawa merdu ketika tubuhnya berada dalam pelukan Panji. Perlakuan Panji malah dibalasnya dengan tidak kalah panas. Dari duduk, perempuan muda itu sampai terseret ke atas pembaringan. Panji mencium wajah perempuan itu dengan penuh nafsu. Tapi, ketika Panji dan perempuan itu hendak berbuat lebih jauh, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan menggelegar.

"Pelayan keparat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" Bentakan menggelegar itu berasal dari perempuan cantik yang mengenakan pakaian tipis, yang pertama kali mendatangi Panji. Tapi, kali ini wajah cantik itu tidak lagi terhias senyum memikat. Sebaliknya, terlihat bengis dan memancarkan hawa maut. Begitu bentakannya terdengar, tubuhnya melesat ke arah pembaringan. Sekali sentak saja, tubuh perempuan muda yang tengah bergumul dengan Panji itu langsung terenggut dan terlempar jatuh bergulingan di lantai.

Panji yang saat itu tengah dirasuk nafsu setan bergegas hendak bangkit. Tapi, sebuah totokan yang dilancarkan perempuan cantik itu membuat tubuh Panji kembali rebah. Sedang perempuan cantik itu memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri si pelayan. Perempuan muda itu tengah berlutut dengan tubuh gemetar ketakutan!

"Kau kuperintahkan untuk membawa makanan, bukan menggodanya, pelayan tak tahu diuntung!" Perempuan cantik berpakaian tjpis itu tampak marah besar.

"Ampunkan hamba, Gusti Yang Mulia Ratu Pesolek...." Pelayan itu merintih. Kedua tangannya dirangkapkan dan diangkat di atas kepala. Ia tidak berani menatap wajah junjungannya. "Hamba... hamba... melihat ketampanannya. Hamba tidak bisa menahan diri, Ratu. Ampunkan hamba...." ratapnya.

"Ampun?" dengus perempuan cantik yang tidak lain Ratu Pesolek itu. "Dosamu terlalu besar, Pelayan Busuk! Kau tahu siapa pemuda tampan itu? Ia adalah calon pengantinku pada malam purnama esok. Tahukah kau, apa akibatnya kalau sampai tadi kau telanjur berhubungan dengannya? Itu sama saja dengan membunuhku, Pelayan Keparat!"

Kemarahan yang meledak-ledak dalam dadanya membuat Ratu Pesolek tidak bisa menahan diri lagi. Dengan wajah bengis, telapak tangan kanannya diayunkan ke kepala pelayan itu.

Prokkk!

Tamparan Ratu Pesolek langsung meremukkan batok kepala pelayan yang malang itu. Tak ada jeritan yang keluar. Sesaat tubuh berlumuran darah itu menggelepar bagai ayam dipotong. Kemudian, diam tak bergerak-gerak lagi.

Ratu Pesolek bertepuk tangan tiga kali. Dua orang penjaga yang juga perempuan muncul dan menghaturkan sembah. Ratu Pesolek segera memerintahkan untuk melempar mayat pelayan itu ke dalam hutan. la sendiri kemudian bergegas pergi meninggalkan kamar setelah membebaskan totokannya pada tubuh Panji.

********************

TUJUH

Malam sudah semakin larut. Di langit bulan pumama menggantung dengan pendaran sinarnya yang menerangi jagad raya. Itulah malam yang ditunggu-tunggu Ratu Pesolek!

Di salah satu ruangan bagian belakang istana mungil Ratu Pesolek terlihat kesibukan. Seluruh pengikut Ratu Pesolek telah berkumpul di ruangan yang luas itu. Pada malam pumama seperti ini istana tidak lagi dijaga. Ratu Pesolek tidak merasa khawatir musuh akan menyelundup dan menyerbu istananya. Ratu Pesolek tampaknya sangat yakin tempat upacara itu tidak akan dapat ditemukan lawan.

Ruangan itu berada di dalam tanah. Selain tidak ada orang luar yang tahu kalau pada setiap malam bulan pumama istana tidak dijaga, yang mengetahui tempat upacara itu pun hanya para pengikutnya saja.

Ratu Pesolek memang tidak perlu merasa khawatir para pengikutnya akan berkhianat. Meskipun para pengikutnya, yang seluruhnya terdiri dari perempuan-perempuan muda dan cantik, diculik dari keluarganya, namun Ratu Pesolek telah memberikan mereka ramuan pelupa ingatan yang diberi mantera-mantera sihir agar mereka tunduk pada perintahnya. Setiap bulan pumama, sebelum upacara perkawinan berlangsung, Ratu Pesolek kembali memberikan ramuan pelupa ingatan kepada semua pengikutnya.

Malam terus merambat, Ratu Pesolek sudah berdandan secantik-cantiknya. Bau harum tubuhnya memenuhi seluruh ruangan. Malam itu Ratu Pesolek mengenakan pakaian tipis berwarna merah. la duduk bersila di atas sebuah altar batu berbentuk persegi panjang.

Seperti halnya Ratu Pesolek, Panji yang duduk bersila di samping kanannya tampak telah didandani sedemikian rupa. Panji duduk dengan tenang. Kedua matanya tertuju lurus ke depan.

"Hai, para pengikut setiaku...!" Ratu Pesolek berkata seraya mengedarkan pandangannya merayapi wajah pengikutnya satu persatu. "Sebelum acara dilanjutkan, seperti biasanya, aku telah menyediakan ramuan yang akan membuat kalian tetap muda sepertiku, dan tetap setia kepadaku...!"

Dengan isyarat tangannya, Ratu Pesolek memerintahkan para pengikutnya agar maju satu persatu. Mereka berjalan berputar melewati depan altar. Di hadapan Ratu Pesolek mereka meneguk ramuan yang diruangkan seorang pelayan ke dalam cangkir perak.

Sementara yang lainnya berbaris menunggu giliran. Kemani, Ayu, dan Sukreni yang berdiri di samping kiri Ratu Pesolek, menyaksikan kawan-kawannya meneguk ramuan. Namun, wajah mereka tampak diliputi kegelisahan. Ketegangan membayang jelas di wajah keriga wanita itu. Setiap kali seorang anggota maju dan meneguk ramuan di dalam cangkir perak, mereka menarik napas dan saling mencuri pandang. Semakin pendek barisan yang menunggu giliran, semakin nyatalah kegelisahan keriga pembantu utama Ratu Pesolek itu. Malah, wajah mereka mulai dibasahi peluh.

"Hei, tunggu...!"

Ketika barisan semakin pendek dan tinggal tiga orang lagi, tiba-tiba Ratu Pesolek berseru keras. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Saat itu, salah seorang pengikutnya berdiri di hadapannya dan tengah mengulur tangan untuk mengambil cangkir perak. Ratu Pesolek menahannya. Keningnya tampak berkerut. Matanya menyapu wajah perempuan muda dan cantik yang berdiri dihadapannya.

"Rasanya selama ini aku belum pernah melihatmu..?" Ratu Pesolek berkata bimbang.

"Siapa namamu?" tanyanya dengan sorot mata curiga.

"Ampunkan hamba, Ratu..." Perempuan cantik berwajah bulat telur itu menghaturkan sembah. "Orang seperti hamba mana pantas mendapat perhatian Ratu. Hamba hanyalah pengikut rendahan yang tidak berarti apa-apa. Adalah layak jika Ratu tidak mengenal wajah hamba...," ujarnya dengan tutur kata halus.

Jawaban yang masuk akal itu membuat Ratu Pesolek mengangguk-angguk. Tapi, sorot matanya tidak terlepas dari raut wajah di depannya. Ada sesuatu yang dirasakan Ratu Pesolek pada diri pengikutnya itu. Tidak seperti pengikutnya yang lain, perempuan ini tampak tidak memperlihatkan rasa takut. Ucapannya demikian tenang dan teratur. Terlalu tenang dan mencurigakan bagi Ratu Pesolek.

"Hm.... Dapatkah kau menunjukkan kesetiaan dan kepatuhanmu?" Setelah terdiam beberapa saat, Ratu Pesolek menemukan cara terbaik untuk menguji pengikutnya itu.

"Apa yang Ratu perintahkan akan hamba patuhi. Jika nyawa hamba yang Ratu minta, saat ini juga hamba serahkan." Tegas dan tidak ragu-ragu jawaban yang diberikan perempuan itu. Wajahnya membayangkan kesungguhan. Hingga, Ratu Pesolek menjadi bimbang.

"Kalau begitu, silakan kau penggal batang lehermu sebagai tanda kesetiaanmu kepadaku!" perintah Ratu Pesolek.

"Titah Ratu akan hamba laksanakan...!" Lantang dan penuh kepatuhan jawaban perempuan itu. Sepasang matanya tampak berbinar. Permintaan Ratu Pesolek seperti menimbulkan kebanggaan baginya. Tidak terlihat rasa takut sedikit pun pada wajah perempuan muda itu. Tapi, tidak demikian halnya dengan Kemani, Ayu, dan Sukreni. Wajah ketiga pembantu utama Ratu Pesolek itu tampak memucat. Lagi-lagi mereka saling mencuri pandang.

"Ampunkan hamba, Ratu...." Tiba-tiba Kemani membuka suara seraya menghaturkan sembah kepada junjungannya.

"Hm...." Ratu Pesolek bergumam tak jelas. Kepalanya menoleh ke arah Kemani. Kening Ratu Pesolek berkerut ketika menatap wajah Kemani. Nalurinya membaui sesuatu yang mencurigakan. Tapi, ia ragu. Kemani adalah orang kepercayaannya.

"Apa yang hendak kau sampaikan, Kemani?!" Ratu Pesolek bertanya ketus. Tampak jelas ia tidak senang dengan perbuatan Kemani.

"Hamba rasa kesetiaan dan kepatuhan yang diucapkannya tidak perlu diwujudkan dengan perbuatan, Ratu." Dengan wajah tertunduk, Kemani mengutarakan pendapatnya.

"Mengapa begitu...?!" Kening Ratu Pesolek semakin berkerut dalam. "Jelaskan alasanmu, Kemani!" suara Ratu Pesolek meninggi.

"Karena... karena... dari wajah dan kata-katanya, terbayang jelas kesungguhan hatinya, Ratu. Orang seperti itu kalau diberi kesempatan untuk mengabdi akan sangat berguna sekali." Meskipun agak gugup dan terpatah-patah, Kemani dapat juga mengajukan alasannya.

"Hm...." Lagi-lagi Ratu Pesolek hanya bergumam tak jelas. la menyadari betul kebenaran ucapan pembantu utamanya itu. Tapi, karena nalurinya masih membaui sesuatu yang tidak beres, Ratu Pesolek tidak merubah pendiriannya. Ia tetap menghendaki agar perempuan itu menunjukkan kesetiaan dan kepatuhannya.

Tanpa setahu Ratu Pesolek, perempuan yang tengah diributkan itu mengerjapkan sebelah matanya kepada Kemani, saat ekor mata Kemani melirik ke arahnya.

"Hamba siap menjalankan perintah...." Perempuan itu mengalihkan perhatian Ratu Pesolek dari Kemani. Dan, tanpa menunggu lagi, ia meminta sebatang pedang dari salah seorang kawannya.

Ratu Pesolek memandang tanpa berkedip ketika perempuan itu memalangkan mata pedang di tenggorokannya. Sedang perempuan itu memandang Ratu Pesolek dengan bibir tersenyum. Sesaat kemudian, pedang yang melekat di tenggorokannya itu pun digerakkan!

Cwiittt!

Disertai suara bercuitan, pedang di tangan perempuan itu membabat cepat. Bukan ke arah lehernya, tapi ke arah leher Ratu Pesolek yang berada tepat setengah tombak di depannya!

"Keparat..!" Ratu Pesolek gusar bukan main. Ia terkejut menyaksikan kecepatan dan kekuatan serangan itu. Begitu ujung pedang tiba dekat, Ratu Pesolek bergegas memiringkan kepalanya. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya mencuat ke arah lambung perempuan itu

"Haiittt...!"

Plakkk!

Serangan balasan Ratu Pesolek tidak membuat perempuan itu gugup. Dengan gerakan yang indah disertai bentakan nyaring, ditepiskannya tendangan Ratu Pesolek dengan menggunakan telapak tangan kiri. Dan, benturan itu digunakan untuk melambungkan tubuhnya ke udara, tepat di atas kepala Ratu Pesolek. Dari atas, ujung pedangnya ditusukkan ke arah ubun-ubun Ratu Pesolek!

Crakkk!

Ujung pedang menancap di batu altar sampai dua jengkal lebih. Sedangkan tubuh Ratu Pesolek sudah menggelinding meninggalkan altar.

"Hyahhh...!"

Sebelum perempuan itu sempat mencabut senjatanya yang tertanam di batu altar, Ratu Pesolek sudah melenting dan melompat dengan se buah tendangan kilat!

Desss...!

Meskipun sudah berusaha menghindar, tak urung tendangan kilat itu singgah di pangkal lengan kanannya. Perempuan itu terlempar dan jatuh terguling-guling di lantai. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah. Namun, dengan sigap perempuan itu melenting bangkit. Pedangnya dilintangkan didepan dada, siap melanjutkan perkelahian.

"Keparat! Apa hubunganmu dengan Bidadari Kintamani?" Rupanya, meski baru bergebrak beberapa jurus, Ratu Pesolek segera dapat mengenali dasar ilmu perempuan itu.

"Akulah Bidadari Kintamani..." Perempuan itu menjawab tegas. Tidak ada kesan main-main pada nada suaranya.

"Jangan coba mempermainkan aku, Bangsat Kecil! Bidadari Kintamani sudah kulenyapkan lima tahun silam, sewaktu ia bersama tokoh-tokoh silat lainnya datang menyerbu istana ini. Jadi sebaiknya kau mengaku saja, sebelum menghadap malaikat maut!" ujar Ratu Pesolek dengan sepasang mata mencorong tajam.

"Untuk apa aku berbohong kepadamu, Ratu Pesolek. Bidadari Kintamani adalah guruku. Beliau memang tewas di tempat ini bersama suami dan beberapa orang tokoh persilatan. Itulah sebabnya mengapa aku memusuhimu! Kematian guru harus kubalaskan!" Murid Bidadari Kintamani yang menamakan dirinya sama seperti nama gurunya menjelaskan secara singkat. Lalu, ia menoleh kepada Kemani, Ayu, dan Sukreni yang saat itu berada tidak jauh di belakangnya.

"Kemani, bawa Pendekar Naga Putih pergi dari tempat ini! Minumkan ramuan ini kepadanya...!" Bidadari Kintamani berseru seraya melemparkan sebuah bungkusan kain yang langsung ditangkap Kemani

"Ayu, Sukreni, lindungi aku...!" Kemani berkata kepada kedua kawannya. Ia melompat ke arah Panji yang masih duduk bersila seperti patung dengan ratapan mata lurus ke depan.

Ayu dan Sukreni tidak membuang-buang waktu lagi. Kedua perempuan cantik itu bergegas melindungi Kemani dari serangan para pengikut Ratu Pesolek, yang telah bergerak maju untuk mencegah perbuatan Kemani dan kedua kawannya.

"Pengkhianat-pengkhianat busuk. Kupecahkan batok kepala kalian...!" Ratu Pesolek murka bukan main. Ia tentu saja tidak akan membiarkan calon pengantinnya dibawa pergi. Dengan sebuah lengkingan panjang, Ratu Pesolek melayang disertai ayunan telapak tangan kirinya. Ia mengirimkan pukulan udara kosong yang sangat dahsyat!

"Akulah lawanmu, Ratu Laknat...!" Bidadari Kintamani segera melesat memotong jalan Ratu Pesolek. la mengirimkan serangkaian serangan yang langsung mengancam tiga jalan darah kematian di tubuh Ratu Pesolek!

Derrr...!

Pukulan udara kosong Ratu Pesolek tidak mengenai sasaran. Kemani sudah keburu menghindar dengan menggulingkan tubuhnya di lantai. Sedangkan pukulan maut itu terus menderu menghajar dinding hingga bergetar. Langit-langit ruangan rontok berjatuhan ke lantai.

Ratu Pesolek segera disibukkan oleh serangan Bidadari Kintamani. Tokoh wanita sesat nomor satu yang sangat ditakuti di seluruh Pulau Bali itu menggeram murka. Ia tidak menduga perempuan cantik yang menyamar sebagai pengikutnya itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Biar tak satu pun dari serangan itu yang mengenai tubuhnya, namun untuk beberapa jurus, Ratu Pesolek terdesak dan tidak diberi kesempatan untuk membalas.

"Bangsaaat! Kelak akan kubeset kulitmu, Perempuan Sialan...!" Ratu Pesolek menyumpah-nyumpah. Serangan-serangan Bidadari Kintamani benar-benar membuatnya kelabakan! Ia tidak dapat menyelamatkan calon pengantinnya. Jangankan mencegah perbuatan Kemani, untuk melirik saja ia tidak sempat!

"Heaaat...!"

Karena kesempatan yang ditunggu-tunggu tak juga didapat, Ratu Pesolek menjadi nekat. Sambaran pedang Bidadari Kintamani yang mengaung menuju lambungnya langsung dipapaki dengan tamparan telapak tangan kanan!

Ratu Pesolek tertipu. Bidadari Kintamani ternyata tidak meneruskan serangannya. Tamparan Ratu Pesolek menerpa angin kosong. Karena, Bidadari Kintamani sudah memutar pedangnya dengan gerakan yang tak terduga, dan terus dibabatkan ke arah leher!

Crasss!

"Akh...!" Ratu Pesolek menjerit ngeri. Meskipun ia telah berusaha menghindar dengan menarik kepalanya kebelakang, tapi bahu kanannya tergores mata pedang. Luka yang cukup dalam itu membuat Ratu Pesolek menggigit bibirnya kuat-kuat. Sepasang matanya berkilat menyeramkan ketika melihat lelehan darah yang mengalir membasahi lengannya.

"Hih hih hih...! Malam ini ajalmu akan tiba, Ratu Jalang...!" Bidadari Kintamani tertawa mengejek. Ia segcra kembali mempersiapkan serangan berikutnya.

Ratu Pesolek tidak mempedulikan ejekan lawannya. Kesempatan yang hanya beberapa saat itu digunakan untuk melirik ke arah calon pengantinnya. Tapi, Panji telah lenyap dari tempat itu. Juga Kemani dan Sukreni.

"Kemaniii...!" Ratu Pesolek berteriak melengking menumpahkan k emarahan yang me nyesakkan dadanya. "Tunggu pembalasanku! Akan kuhirup darahmu! Akan kukeluarkan jantungmu!" usai berkata, Ratu Pesolek memutar tubuhnya melesat pergi meninggalkan Bidadari Kintamani

"Mau lari ke mana kau, Ratu Mesum...?" Bidadari Kintamani bergerak ingin mengejar. Tapi, niat itu terpaksa ditundanya. Sewaktu ia melirik ke belakang, dilihatnya Ayu tengah terdesak oleh keroyokan lawan-lawannya. Perempuan itu tengah berusaha mati-matian mempertahankan selembar nyawanya.

Untuk sesaat, Bidadari Kintamani tertegun bimbang, la menoleh ke arah lenyapnya sosok Ratu Pesolek. Lalu, menatap Ayu yang tampak semakin kewalahan. Bidadari Kintamani mendengus. Ia segera melayang ke arah pertempuran. Bidadari Kintamani memutuskan untuk menyelamatkan Ayu lebih dulu.

Dalam pertempuran itu, Bidadari Kintamani tidak menggunakan pedang. Senjata itu tidak lagi diperlukannya. la memang tidak bermaksud membunuh para pengikut Ratu Pesolek yang adalah gadis-gadis desa yang diculik Ratu Pesolek.

"Ayu, jangan bunuh mereka. Lumpuhkah saja...!" Sambil melancarkan tamparan dan totokan, Bidadari Kintamani mengingatkan Ayu. Bersamaan dengan itu, Bidadari Kintamani merobohkan tiga orang pengeroyoknya yang langsung terpelanting roboh tak sadarkan diri.

"Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Bidadari!" seraya melontarkan serangan dengan jurus-jurus tangan kosong, Ayu berteriak mengingatkan.

"Usulmu sangat baik, Ayu...!" jawab Bidadari Kintamani setelah mempertimbangkan sesaat. Ia menerobos kepungan dan memerintahkan Ayu agar lebih dulu menyelamatkan diri.

"Hiaaah...!"

Setelah Ayu terbebas dari kepungan dan melesat keluar dari tempat itu, Bidadari Kintamani membentak Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan untuk membe ndung lawan-lawan yang hendak mengejar.

Bresss...!

Pukulan itu tentu saja tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga. Bidadari Kintamani sudah mengukurnya, agar tidak sampai mencederai lawan-lawannya, apalagi menewaskan. Setelah itu, ia melesat pergi menyusul Ayu. Keduanya bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk menemui Kemani dan Sukreni.

********************

Panji memandangi empat orang perempuan cantik yang mengelilinginya. Sementara yang dipandang cuma tersenyum-senyum. Saat itu Panji memang terlihat lucu. Wajahnya menggambarkan ke bingungan yang sangat. Pandangannya tampak seperti orang tolol.

"Kalian... mengapa kalian tidak menyerangku? Dan..., mengapa aku bisa berada di tempat ini...?" tanya Panji keheranan. Ia membuang pandangannya menatap riak air sungai.

Panji berusaha mengingat-ingat apa yang telah di alaminya. Seketika terbayang wajah seorang nenek-nenek yang hitam seperti pantat kuali. Tiga orang perempuan cantik yang dirobohkan nenek muka hitam itu kini tengah duduk memandangi dirinya.

"Seingatku, nenek muka hitam menyerangku dengan licik. Ia menggunakan bubuk pembius. Mungkinkah aku tak sadarkan diri...," gumam Panji pada dirinya sendiri. la berpaling dan dipandanginya keempat perempuan cantik itu satu persatu.

"Kami sudah bukan pengikut Ratu Pesolek lagi, Pendekar Naga Putih...." Kemani rupanya tidak tega membiarkan Panji dalam kebingungan

"Ya, kami sudah sadar sekarang. Selama ini Ratu Pesolek membelenggu ingatan kami dengan ramuan pelupa ingatan yang telah diberi mantera sihir. Untunglah nenek muka hitam menolong kami." Sukreni menyambung dengan bibir tersenyum.

"Lalu, ke mana nenek muka hitam itu sekarang? Hm... Ia telah menyerangku secara licik. Kelak aku akan membalasnya...," ujar Panji.

"Nenek muka hitam sudah tidak ada lagi di dunia ini...." Bidadari Kintamani memberi tahu.

"Lalu, siapa yang membawa aku ke tempat ini?" Pertanyaan Panji membuat keempat perempuan cantik itu tersenyum-senyum.

"Hai...?!" Panji terpekik ketika melirik pakaian yang melekat di tubuhnya. "Siapa... siapa yang mengenakan pakaian ini ke tubuhku...?"

Kemani, Ayu, Sukreni, dan Bidadari Kintamani malah tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata.

"Kurang ajar! Ini pasti ulah nenek licik itu...!" Panji menggeram dengan wajah merah. Ia merasa jengah membayangkan bagaimana pakaian itu bisa melekat ke tubuhnya. Ini bukan pakaiannya. Apalagi ada bau wewangian yang menyengat hidung.

"Sudahlah..." Bidadari Kintamani berkata menengahi. "Sebaiknya lupakan saja dulu persoalanmu dengan nenek muka hitam. Yang terpenting sekarang adalah melenyapkan Ratu Pesolek. Saat ini kekuatan yang dimilikinya berkurang banyak. Kita harus segera kembali ke istana untuk membunuhnya. Apabila ia mendapatkan pengganti pengantin yang lenyap dan telah menyelesaikan upacara perkawinan, kita harus menunggu purnama depan untuk dapat membunuhnya." Bidadari Kintamani bergegas bangkit.

Kemani, Ayu, dan Sukreni ikut bangkit berdiri. Cuma Panji yang masih terduduk bingung. la tak mengerti dengan pembicaraan perempuan cantik yang mengenakan pakaian merah muda itu. Baru beberapa saat kemudian, setelah teringat sebagian perkataan Bidadari Kintamani yang menyinggung tentang penyerangan ke tempat Ratu Pesolek, Panji segera bangkit berdiri. Meskipun tidak mengerti mengapa tubuhnya terasa agak lemas, Panji segera berlari mengikuti keempat perempuan cantik yang baginya masih misterius itu

********************

DELAPAN

Istana Ratu Pesolek tampak sunyi Halaman bagian depan gelap tanpa ada penerangan cahaya obor. Selain itu tak terlihat seorang pun pengikut Ratu Pesolek yang berjaga-jaga. Suasana di sekitar istana sepi mencekam bagai telah ditinggalkan penghuninya.

"Kesunyian yang mencurigakan...." Bidadari Kintamani bergumam lirih. Sepasang matanya merayapi sekitar halaman depan istana. Saat itu Bidadari Kintamani, Pendekar Naga Putih, dan tiga orang pembantu utama Ratu Pesolek yang telah disadarkan dari kesesatannya tengah mengintai dari balik semak-semak.

"Sebaiknya kita berpencar...." Panji yang berada di samping Bidadari Kintamani mengajukan usul.

Bidadari Kintamani memandang Kemani, Ayu, dan Sukreni. Ketiga gadis cantik itu mengangguk setuju. Bidadari Kintamani tersenyum manis dan menoleh ke arah Panji.

"Aku bersama Ayu dan Sukreni akan masuk dari pintu depan. Kau bersama Kemani masuk lewat pintu belakang. Kau setuju? Atau masih mempunyai usul yang lebih baik?" Bidadari Kintamani berkata kepada Panji

"Usulmu sudah cukup baik...," jawab Panji. Kemudian, pemuda itu mengajak Kemani. Keduanya segera berari mengitari halaman luar istana menuju bagian belakang.

Bidadari Kintamani bergerak bersama Ayu dan Sukreni. Dengan hati-hati, ketiga wanita cantik itu menyelinap masuk melalui pintu depan. Terus memasuki bagian dalam istana. Tapi, meskipun seluruh kamar-kamar telah mereka periksa, namun tak seorang manusia pun mereka temukan.

"Kurang ajar! Apakah Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya telah minggat meninggalkan istana ini..?!" Bidadari Kintamani menggeram gusar. la mengajak Ayu dan Sukreni memeriksa ruangan bawah tanah yang biasa dijadikan tempat untuk mengadakan upacara. Ketiga wanita itu kembali tertegun heran. Ruangan itu pun kosong. Bahkan, beberapa peralatan yang berada di dalam ruangan lenyap!

"Celaka...!" Ayu dan Sukreni berdesis pucat. Mereka menatap Bidadari Kintamani dengan wajah ketakutan.

"Mengapa... apa... yang kalian pikirkan...?" Bidadari Kintamani jadi gugup, terpengaruh sikap Ayu dan Sukreni.

"Jangan... jangan...." Ayu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia memandang Sukreni dengan napas sedikit memburu.

"Upacara pemikahan dilanjutkan di tempat lain...," Sukreni berdesis ragu.

"Apakah Ratu Pesolek masih mempunyai calon pengantin lain? Dan, selain di ruangan ini, di mana lagi biasanya upacara diadakan?" Bidadari Kintamani bertanya cemas. "Kalau sampai Ratu Pesolek..." menyelesaikan upacara pemikahan pada pumama malam itu, akan sulit sekali untuk menandingi kesaktiannya.

"Pada setiap purnama, sedikitnya Ratu Pesolek telah menyiapkan tiga orang pemuda untuk dijadikan pengantinnya. la memilih yang terbaik. Sedang dua lainnya hanya untuk memuaskan keinginan gilanya saja. Mengenai tempat untuk upacara pernikahan, selain ruangan bawah tanah ini, kami tidak tahu lagi. Setahu kami, hanya ruangan inilah yang digunakan pada setiap malam purnama...," jelas Sukreni

Ketiga perempuan itu serentak berpaling ketika mendengar suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Sesaat kemudian, muncullah Panji dan Kemani. Keduanya mengangkat bahu, tanda mereka pun tidak menemukan Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya.

"Mungkin masih ada ruangan bawah tanah yang lain di sekitar istana ini...." Panji menduga-duga.

Suasana hening sesaat. Bidadari Kintamani yang lainnya memikirkan dugaan Panji. Tapi, sebelum mereka sempat bergerak mencari ruangan lainnya, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang mendirikan buiu roma.

"Hi hi hi...!"

"Ratu Pesolek...!" Ayu, Sukreni, dan Kemani berseru dengan wajah pucat Seketika tubuh mereka gemetar ketakutan. Mereka langsung bisa menebak si pemilik suara.

"Celaka...! Ayo, kita keluar dari tempat ini..!" Panji langsung tanggap dengan keadaan itu. la segera berkelebat menuju pintu.

Blammm!

Terlambat! Sebelum Panji mencapai pintu, lempengan baja itu bergerak menutup dengan suara berdentam keras. Dari celah-celah pintu baja tampak asap tipis berwarna kekuningan menerobos masuk

"Asap Kematian...!"

Kemani, Ayu, dan Sukreni yang telah mengenal baik asap beracun itu berteriak seraya melompat jauh ke belakang. Wajah mereka yang dibanjiri keringat dingin terlihat pucat bagai mayat.

Bidadari Kintamani pun seperti kehilangan akal. Ia sudah pernah mendengar tentang 'Asap Kematian'. Suatu asap beracun yang dapat membuat kulit menjadi rusak seperti terkena penyakit cacar. Kemudian, daging-daging di tubuh akan membusuk perlahan-lahan, mengembung dan berisikan cairan berbau busuk. Sampai akhirnya, si korban menemui kematian dengan sekujur badan rusak. Bidadari Kintamani tak dapat membayangkan dirinya akan menemui ajal sedemikian menakutkan.

"Aku... aku tidak mempunyai cara untuk menangkal racun itu. Pendekar Naga Putih...." Bidadari Kintamani mengeluh dengan wajah pucat

Rupanya, sehebat-hebatnya ke pandaian Bidadari Kintamani, ia masih saja seorang perempuan yang sangat takut kulit wajah dan tubuhnya menjadi rusak. Terlebih cara kerja racun 'Asap Kematian' sangat hebat sekali. Korban keganasannya baru akan menemui ajal setelah menjalani azab kira-kira setengah tahun. Selama itu ia akan hidup dengan keadaan tubuh yang menjijikkan. Kalau menghadapi maut, Bidadari Kintamani tidak akan gentar. Tapi, ancaman 'Asap Kematian' benar-benar telah meruntuhkan keberanian wanita perkasa itu.

"Mari ikut aku...." Setelah berpikir beberapa saat, Panji menarik lengan Bidadari Kintamani untuk berkumpul bersama Kemani, Ayu, dan Sukreni. "Aku akan mencoba sesuatu. Tapi, aku belum yakin akan berhasil. Aku belum pernah melakukannya...," jelas Panji yang segera duduk bersila. la memberi isyarat agar yang lainnya mengikuti.

"Sekarang kosongkan pikiran kalian. Jangan coba melawan apabila ada hawa panas yang menerobos masuk..." Panji memberi penjelasan seraya memejamkan matanya. Lalu, dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.

Sebentar kemudian, saat asap berwama kuning itu semakin mendekati mereka, sinar kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuh Panji. Lalu, menjalar ke tubuh Bidadari Kintamani dan Kemani melalui tangan Panji yang saling bergenggaman dengan kedua gadis yang duduk bersila di kiri-kanannya. Terus menjalar ke tubuh Ayu dan Sukreni. Sukreni berpegangan tangan dengan Bidadari Kintamani. Sedang Ayu berpegangan pada lengan Kemani.

Terlihatlah sebuah pemandangan yang aneh. Sinar kuning keemasan yang berasal dari tenaga mukjizat Panji menyebar dan membungkus tubuh kelima orang itu. Usaha percobaan Panji ternyata tidak sia-sia. Meskipun ia harus menguras banyak tenaga, namun mukjizat 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang memang merupakan penolak segala jenis racun mampu memusnahkan asap-asap berwarna kuning yang memenuhi ruangan.

Lapisan sinar kuning keemasan itu seperti sebuah besi sembrani. Ia membuat asap-asap itu bagai besi-besi yang tertarik mendekatinya. Asap-asap yang mendekat sinar kuning keemasan lenyap entah ke mana. Seolah tersedot masuk ke dalam terowongan. Sehingga, lama-kelamaan, asap-asap mengerikan itu pun lenyap tanpa sisa.

Setelah ruangan itu kembali bersih, secara perlahan sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuh kelima orang itu lenyap dan masuk ke dalam tubuh Panji. Sesaat kemudian, Panji membuka matanya. Ia menekan genggamannya pada telapak tangan Bidadari Kintamani dan Kemani.

"Aah...." Bidadari Kintamani menghela napas lega begitu membuka kedua matanya. "Bagaimana cara kau melenyapkan asap-asap maut itu, Pendekar Naga Putih?" tanyanya hampir tak percaya dirinya dapat selamat dari ancaman 'Asap Kematian'.

Panji hanya tersenyum tipis. Tapi, ketika melihat keempat gadis cantik itu memandangnya penuh tuntutan, Panji pun memberikan keterangan seperlunya. "Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana asap-asap beracun itu bisa lenyap. Tapi yang jelas aku mendapat anugerah suatu kekuatan ajaib yang mampu menolak dan memusnahkan segala jenis racun. Nah, kekuatan itulah yang tadi kugunakan untuk melindungi kita semua. Kekuatan ajaib itu membentuk sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuh kita. Puas?" tanya Panji tersenyum akhir penjelasannya.

"Hmm.... Kalau begitu, sekarang kita tinggal menunggu kemunculan Ratu Pesolek" Semangat Bidadari Kintamani timbul kembali. "Sepanjang yang kudengar, belum ada seorang tokoh pun yang dapat selamat dari 'Asap Kematian'. Ratu Pesolek pasti mengira kita semua tidak akan dapat selamat dari asap maut itu. Aku yakin sebentar lagi dia akan datang...."

Baru saja Bidadari Kintamani menyelesaikan ucapannya, Panji mendengar suara langkah kaki banyak orang menuju ke tempat itu. Bidadari Kintamani pun mendengarnya. Keduanya saling bertukar pandang. Mereka segera mengajak Kemani, Ayu, dan Sukreni untuk menyambut kedatangan Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya.

"Selamat berjumpa lagi, Ratu Pesolek...." Begitu pintu baja dibuka dari luar, Bidadari Kintamani langsung menyambut kedatangan Ratu Pesolek dan sisa-sisa pengikutnya.

"Mustahil...?!" Ratu Pesolek tersurut mundur dengan wajah kaget luar biasa. Sungguh tidak masuk di akal musuh-musuhnya masih tetap segar-bugar setelah ia memasukkan 'Asap Kematian' ke dalam ruangan.

"Tuhan masih memberikan kami waktu untuk hidup, Ratu Pesolek. Kau tidak perlu kaget atau pun heran. Tidak selamanya kejahatan dapat berkuasa di muka bumi ini...." Bidadari Kintamani tersenyum penuh kemenangan. Tokoh wanita dari Kintamani ini tampaknya sangat puas dapat membuat Ratu Pesolek kaget daan penasaran.

"Seraaang...!" Ratu Pesolek tidak lagi mempedulikan ucapan Bidadari Kintamani. Ia segera memerintahkan para pengikutnya untuk menyerbu masuk.

"Kemani, Ayu, dan Sukreni. Kalian hadapi mereka. Biar aku dan Pendekar Naga Putih yang akan membekuk Ratu Pesolek...!" Bidadari Kintamani bertindak cepat memberi perintah kepada ketiga kawannya. Lalu, ia menoleh kepada Panji. "Ayo kita gempur iblis betina itu bersama-sama, Pendekar Naga Putih...."

Bidadari Kintamani langsung menerjang Ratu Pesolek dengan pukulan mautnya. Panji segera menyusul. Agak risih juga Panji karena harus mengeroyok Ratu Pesolek. Meskipun kabarnya tokoh wanita sesat itu memiliki kepandaian tinggi, namun ia sendiri belum pernah merasakannya. Sehingga, dalam melakukan pengeroyokan Panji tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. la lebih banyak bertindak sebagai pelindung Bidadari Kintamani.

Tapi, setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, barulah Panji merasakan kedahsyatan ilmu tokoh sesat wanita nomor satu di Pulau Bali itu. Melihat kenyataan itu, Panji mulai bersungguh-sungguh. Seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dikerahkan untuk membantu Bidadari Kintamani menggempur Ratu Pesolek.

"Hiaaa...!"

Memasuki jurus yang keenam puluh, tiba-tiba Ratu Pesolek mengeluarkan teriakan melengking tinggi. Tubuhnya berkelebatan dengan kecepatan yang menakjubkan. Gerakan tokoh wanita itu benar-benar mirip seekor lebah yang mengitari mangsanya. Kedua tangan dan kakinya melontarkan serangan laksana sengat-sengat beracun yang berbahaya.

Panji dan Bidadari Kintamani tampak kaget bukan main. Kecepatan gerak Ratu Pesolek membuat kepala mereka pening. Keduanya terdesak hebat. Mereka berusaha membentuk jurus-jurus pertahanan untuk melindungi tubuh.

Desss...!

Pertahanan Bidadari Kintamani ternyata tidak sanggup menahan gempuran Ratu Pesolek. Sebuah hantaman telapak tangan Ratu Pesolek tak dapat dihindarinya lagi. Bidadari Kintamani menjerit ngeri. Tubuhnya tedempar jatuh bergulingan, dan baru terhenti setelah membentur dinding ruangan. Bidadari Kintamani mengeluh merasakan sesak pada dadanya. Kepalanya pening. Sehingga, ia tidak dapat segera bangkit berdiri.

Sementara itu, Panji yang kini harus menghadapi gempuran-gempuran Ratu Pesolek seorang diri merasa kewalahan bukan main. Sungguh tak pernah terbayang ia akan berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki kepandaian demikian hebat. Meskipun ia telah berusaha membentengi dirinya dengan jurus-jurus pertahanan yang ampuh, tetap saja gempuran Ratu Pesolek dapat menyelinap menghantam lambungnya.

Bukkk!

Panji menjerit kesakitan. Tubuhnya terpelanting jatuh. Lambungnya yang terkena tendangan Ratu Pesolek terasa sakit bukan main. Tapi, Panji berusaha untuk segera bangkit. Saat itu Ratu Pesolek sudah meluruk datang dengan sebuah pukulan maut yang disertai deruan angin mengerikan. Sadar untuk mengelak sudah terlambat, Panji mengempos semangatnya. Dengan mengerahkan tenaga gabungan, disambutnya serangan maut Ratu Pesolek

Blarrr...!

Seluruh dinding ruangan bergetar ketika dua tenaga dahsyat itu saling berbenturan di udara. Atap ruangan berderak. Pecahan-pecahan atap berguguran mengotori lantai. Tubuh Panji terlempar deras hingga membentur dinding. Beruntung tubuhnya masih terlapisi tenaga gabungan. Kalau tidak, bukan mustahil tubuh Panji akan remuk sewaktu membentur dinding yang jebol disertai suara hiruk-pikuk.

Ratu Pesolek sendiri tidak terlepas dari akibat benturan itu. Tubuhnya tersentak balik. Namun, dengan sebuah bentakan nyaring, Ratu Pesolek berputar di udara beberapa kali. Dan, meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Kendati wajahnya agak pucat dan tubuhnya terhuyung, Ratu Pesolek terlihat tidak mengalami kerugian yang berarti. Namun, wajah Ratu Pesolek memperlihatkan rasa kaget.

"Hm.... Rupanya, kau jauh lebih hebat dari sangkaanku...." Ratu Pesolek mendesis seraya menatap Panji dengan sorot mata tajam menusuk.

Panji sudah bergerak bangkit meski bagian dalam dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Tapi, Panji tidak merasa khawatir dengan luka dalam itu. 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' akan langsung bekerja untuk membakar dan menyembuhkan luka dalam di tubuh majikannya.

Ratu Pesolek menunda serangan yang sudah dipersiapkannya. Mulutnya ternganga melihat tubuh lawannya dilapisi pendaran sinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas menyengat. Ratu Pesolek berdiri takjub. Pemandangan itu merupakan hal baru baginya. Ilmu mukjizat seperri 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi memang bukan ilmu sembarangan, dan tak ada duanya di dunia. Panji sendiri mendapatkannya bukan karena belajar. Tapi, karena jodoh dan keberuntungan.

Saking takjubnya dan tidak mengerti mengapa tubuh Panji terbungkus sinar seperti itu, Ratu Pesolek terus memandangi. Sampai akhirnya, sinar yang membungkus tubuh Panji perlahan lenyap. Ratu Pesolek tidak sadar bahwa perbuatannya itu sangat menguntungkan Panji. Ratu Pesolek baru menyadari kesalahannya ketika sinar kuning itu lenyap dan Panji tampak segar kembali. Kini di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang memiliki perbawa luar biasa.

"Aaah...!" Ratu Pesolek yang tatapan matanya mengandung kekuatan sihir, menjerit kesakitan. Pedang yang tahu-tahu muncul dan tergenggam di tangan lawan membuat matanya terasa sakit dan panas. Ratu Pesolek segera sadar kalau pedang di tangan lawannya mempunyai daya tolak terhadap ilmu sihir. Kenyataan itu membuat Ratu Pesolek terlihat agak tegang. Tanpa kekuatan sihir, ketangguhannya akan berkurang. Sedangkan lawannya telah menghunus pedang yang sangat dahsyat

"Keparat! Tampaknya malam ini aku benar-benar sedang sial...!" Ratu Pesolek menggeram gusar.

"Pendekar Naga Putih, mari kita gempur lagi iblis betina itu...!"

Suara di belakangnya membuat Ratu Pesolek memutar tubuh. Dilihatnya Bidadari Kintamani sudah siap melanjutkan pertempuran. Ratu Pesolek tersenyum sinis. Ia tahu Bidadari Kintamani sudah menderita luka dalam.

"Tampaknya malam ini kita harus bertarung mati-matian, Bidadari Kintamani...!" Panji berseru seraya bergerak maju. Pedang Naga Langit di tangannya mengaung sewaktu diputar di sekeliling tubuhnya.

"Hiaaat..!"

Bidadari Kintamani sudah membuka serangan lebih dulu. Melihat itu, Panji bergegas melesat disertai sambaran pedangnya. Panji tidak ingin Bidadari Kintamani yang sedang terluka akan mendapat celaka di tangan Ratu Pesolek. Maka, ia berusaha mendahului Bidadari Kintamani.

Whuttt!

Ratu Pesolek terpekik seraya melompat jauh ke samping menghindari serangan Panji. Tokoh wanita sesat itu terlihat pucat. Tubuhnya agak gemetar. Ia terus berlompatan mundur menyelamatkan diri ketika Panji melanjutkan serangan.

Semula Pendekar Naga Putih merasa agak heran melihat sikap Ratu Pesolek. la baru mengerti setelah teringat keampuhan Pedang Naga Langit. Panji langsung tahu kalau ilmu yang dimiliki Ratu Pesolek sebagian besar berintikan kekuatan gaib. Itu sebabnya Ratu Pesolek ketakutan ketika Panji menyerangnya dengan Pedang Naga Langit.

"Heaaatt...!"

Ketika menyadari Ratu Pesolek semakin tidak berdaya, Panji terus mencecarnya. Ratu Pesolek berloncatan menghindar. Tapi, gerakannya makin lama semakin lambat. Hawa yang keluar dari Pedang Naga Langit telah menyedot kekuatannya sedikit demi sedikit. Sehingga, lama-kelamaan ia menjadi lemah. Ratu Pesolek tidak dapat lagi menyelamatkan diri ketika Panji menusukkan Pedang Naga Langit ke perutnya.

"Aaa...!" Ratu Pesolek meraung setinggi langit ketika pedang di tangan Pendekar Naga Putih menembus perutnya.

Terjadilah suatu pemandangan yang luar biasa! Tubuh Ratu Pesolek mengerut disertai lolongan panjang yang mendirikan bulu roma. Pada bagian perutnya, tempat Pedang Naga Langit masih terbenam, tampak mengeluarkan asap kehitaman yang berbau busuk.

Panji dan Bidadari Kintamani melangkah mundur seraya memandangi sosok Ratu Pesolek yang kulit tubuhnya terus mengeriput. Rambutnya yang semula hitam berkilat perlahan memutih. Dalam beberapa saat saja, sosok Ratu Pesolek yang cantik telah berubah menjadi perempuan tua. Dalam kematiannya, Ratu Pesolek kembali pada kodratnya, seorang nenek-nenek yang sudah sangat tua.

********************

Panji, Bidadari Kintamani, Kemani, Ayu, dan Sukreni melepas ke pergian para pengikut Ratu Pesolek yang telah dibebaskan dari pengaruh ramuan sihir. Mereka kembali ke desa masing-masing. Karena, pada awalnya mereka adalah gadis-gadis desa yang menjadi korban penculikan Ratu Pesolek.

"Kemani...." Setelah rombongan gadis-gadis itu lenyap, Panji berpaling kepada Kemani. "Aku masih merasa penasaran dengan nenek muka hitam. Di pihak mana sebenarnya nenek itu berada? Mengapa ia tidak muncul-muncul lagi? Apakah ia sudah tewas oleh Ratu Pesolek?"

Kemani tidak segera menjawab. Gadis itu berpaling menatap Ayu dan Sukreni. Lalu, ketiga gadis cantik itu menatap Panji bersamaan.

"Kami harus pergi," ujar Kemani mengejutkan Panji. "Mengenai nenek muka hitam, kau boleh tanyakan kepada Bidadari Kintamani...."

Usai berkata, Kemani, Ayu, dan Sukreni tertawa. Ketiganya kemudian melesat pergi meninggalkan Panji yang kebingungan. Bidadari Kintamani hanya tersenyum-senyum seraya melambaikan tangan kepada ketiga gadis itu.

Sepeninggal ketiga gadis itu, Panji menatap Bidadari Kintamani lurus-lurus. Pandangan mereka saling melekat. Kening Panji berkerut ketika ia merasa seolah pernah melihat mata bening Bidadari Kintamani.

"Akulah nenek muka hitam yang kau cari-cari, Pendekar Naga Putih...." Seperti dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Panji, Bidadari Kintamani menjelaskan.

"Kau...?!" Panji tersurut mundur dengan wajah berubah. Dengan ratapan tidak percaya, dipandanginya sekujur tubuh Bidadari Kintamani. Lalu, Panji tersenyum masam seraya menggelengkan kepala.

"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih," ucap Bidadari Kintamani. Kepalanya tertunduk saat mengucapkan itu. Sesaat kemudian, ia kembali mengangkat kepalanya. "Ketika melihatmu, aku merasa telah menemukan orang yang tepat untuk menjalankan rencanaku. Agar rencanaku dapat berjalan lancar, aku terpaksa membokongmu. Aku sudah lama mengintai istana Ratu Pesolek. Aku menemukan satu kejanggalan dalam diri pengikut-pengikutnya. Lama aku menyelidiki sampai akhirnya aku mengetahui kalau para pengikut Ratu Pesolek ternyata berada dalam pengaruh ramuan pelupa ingatan. Itu sebabnya, mengapa aku tidak membunuh Kemani dan kedua temannya. Mereka kubuat pingsan. Lalu, kusadarkan dari pengaruh ramuan. Penyamaranku sebagai nenek muka hitam kubuka dihadapan mereka bertiga. Mereka kupesan agar tetap bersikap seperti biasanya. Dengan bantuan mereka, kau yang dalam keadaan pingsan kami persembankan kehadapan Ratu Pesolek. Aku sendiri menyamar sebagai salah seorang pengikutnya. Hal itu tidak sulit. Ratu Pesolek tidak begitu memperhatikan wajah pengikut-pengikutnya, kecuali mereka yang menjadi pembantu-pembantu utamanya," ujar Bidadari Kintamani

Ketika Bidadari Kintamani menunda ceritanya, Panji tidak berkata apa-apa. la menunggu kelanjutan cerita wanita cantik itu.

"Aku tahu Ratu Pesolek akan lengah begitu melihat pemuda yang kami persembahkan kepadanya. Ratu Pesolek terlalu gembira. Pemuda yang kami persembahkan menurutnya sangat istimewa. Tanpa memperhatikan diriku, Ratu Pesolek segera membawamu ke kamarnya. Ia langsung menjatuhkan pilihan kepadamu untuk dijadikan pengantinnya." Sampai di situ, Bidadari Kintamani menghentikan ceritanya.

"Hm.... Sungguh berbahaya sekali...," Panji bergumam seraya menghela napas. "Bagaimana kalau rencanamu ternyata gagal...?"

Bidadari Kintamani tersenyum manis. Lalu, sambil berlari kecil meninggalkan Panji, ia berkata, "Terpaksa kau jadi pengantin Ratu Pesolek sungguhan...!"

"Brengsek...!" umpat Panji tanpa berusaha mengejar Bidadari Kintamani.

Sepeninggal Bidadari Kintamani, Panji mengayun langkahnya ke arah barat. "Aku harus segera menemui Kenanga. Mudah-mudahan tugasnya di Pulau Jawa tidak mendapat halangan besar...," gumam Panji kepada dirinya sendiri.

Kedatangan Panji ke Pulau Bali memang bukanlah tanpa alasan. Seorang sahabat yang dikenalnya dalam pengembaraan mengundangnya untuk datang ke pulau itu. Sayang, setibanya di tempat tujuan, ia hanya mendapatkan kabar tentang kematian sahabatnya yang tewas di tangan Ratu Pesolek.

Kini tugasnya di pulau itu sudah selesai. Ia akan menemui Kenanga yang ditinggalkannya di Pulau Jawa bagian timur. Untuk mempercepat perjalanannya, Panji mengerahkan kepandaian ilmu lari cepat. Panji melesat meninggalkan kawasan Gunung Abang.

S E L E S A I