Utusan Dari Neraka - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Utusan Dari Neraka
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Hutan yang terdapat di lereng sebelah utara Gunung Merbuk memang tidak terlalu luas. Rapatnya semak belukar yang meranggas liar serta pohon-pohon tua yang tumbuh menjulang tinggi dan nyaris tak terlihat pucuknya membuat hutan kecil itu cukup menyeramkan.

Terlebih binatang-binatang buas banyak berkeliaran bagai penjaga-penjaga hutan. Hutan itu hampir tidak pernah didatangi manusia. Kalaupun ada, mereka pasti tidak akan pernah kembali lagi. Hutan kecil itu dianggap keramat dan sebagai tempat bertahtanya bangsa siluman.

Rupanya tidak semua orang mempunyai anggapan demikian. Pagi hari itu, saat sekitar lereng Gunung Merbuk masih terselimuti kabut, tampak sesosok tubuh bergerak menuju hutan kecil di lereng sebelah utara, ia menunggang seekor kuda berbulu hitam pekat.

"Hyeeehh...!"

Setelah menyeberangi sebuah sungai, tiba-tiba kuda berbulu hitam yang ditunggangi lelaki itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

"Hei! Tenang Hitam, tenang...!" Penunggang kuda itu berseru menenangkan binatang tunggangannya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu. Tapi, usahanya tidak berhasil. Binatang itu malah bergerak semakin liar, melompat-lompat sambil meringkik keras.

"Binatang celaka!" Penunggang kuda memaki jengkel. Lalu, dengan gerakan yang ringan dan indah tubuhnya melenting ke udara, berputaran beberapa kali sebelum mendarat di tanah. Gerakan yang menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. Tubuhnya melayang seringan kapas dan tidak menimbulkan suara ketika mendarat.

"Hm…" Penunggang kuda yang berusia lima puluh lima tahun itu memperdengarkan geraman gusar. Sepasang matanya berkilat menatap seekor ular sanca sebesar paha orang dewasa. Ular itu merayap di tanah. Mengertilah lelaki itu mengapa binatang tunggangannya demikian kalap.

"Rupanya ada orang yang ingin bermain-main dengan Algojo Cakar Siluman...!" Lelaki itu menggeram dengan menyebutkan julukannya. Pandangannya diedarkan kesekeliling tempat itu. Kemudian, beralih ke arah makhluk mengerikan yang tengah melata di tanah. Seiring dengan dengusan kasar mengejek sebelah tangannya melakukan gerakan menebas.

Tas! Tas! Tas!

Hebat bukan main gerakan tokoh yang mengaku berjuluk Argojo Cakar Siluman. Sewaktu tangannya bergerak tiga sinar putih berkilau membentuk telapak tangan yang sama, lalu menyambar tubuh ular sanca hingga terputus menjadi tiga bagian.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar gelak tawa. Gemanya bergaung keseluruh penjuru. Angin keras berhembus membuat lapisan kabut tipis yang menyelimuti tempat itu sirna beterbangan. Perbuatan yang hanya bisa dilakukan seorang tokoh yang memiliki tenaga dalam luar biasa. Suara tawanya saja sanggup membuat lawan menggeloso tewas!

Algojo Cakar Siluman mendengus keras, ia mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga dan bagian dalam tubuhnya yang bergetar. "Kurang ajar...!" Algojo Cakar Siluman mendesis gusar. Kepalanya ditengadahkan menatap langit. Sebentar kemudian, terdengar lengkingan panjang meluncur dari kerongkongannya.

Apa yang dilakukan Algojo Cakar Siluman tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh gelak tawa tanpa wujud itu. Lengkingan panjang membuat pepohonan di sekitar tempat itu bergetar keras! Dedaunan pohon berguguran. Burung-burung yang terbang di udara terkejut dan mendadak tak bisa terbang, seolah tertahan suatu kekuatan tak tampak. Burung-burung itu kemudian meluncur jatuh dalam keadaan mati!

Binatang tunggangan Algojo Cakar Siluman meringkik keras dan melompat-lompat liar. Tapi, itu cuma berlangsung beberapa saat. Kuda hitam itu kemudian roboh tak bernyawa. Lengkingan panjang dan suara tawa yang saling tindih itu membuat jantungnya pecah.

Adu kekuatan tenaga dalam itu kian lama kian memuncak. Malah, pemilik suara tawa melayang turun dari pohon tempatnya bersembunyi, ia berdiri dalam jarak tiga tombak di depan Algojo Cakar Siluman. Wajahnya merah bagai terbakar. Semakin memuncaknya kekuatan lengkingan lawan memaksa sosok itu membuat gerakan-gerakan dengan kedua tangannya. Gerakan yang dilakukannya sangat lambat namun harus mengerahkan tenaga yang kuat.

Algojo Cakar Siluman terkejut merasakan serangan lawan membuat kekuatannya terdesak. Bergegas ia mengempos semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Lalu, sambil mendorongkan kedua tangan ke depan dengan gerak perlahan, kekuatan lengkingan yang keluar dari kerongkongannya terdengar semakin berlipat ganda. Asap tipis mengepul dari ubun-ubun. Algojo Cakar Siluman telah mengerahkan tenaga dalam hingga ke puncaknya.

Hal serupa juga terjadi pada diri lawannya. Kenyataan itu membuat keduanya sadar sekarang yang mereka lakukan bukan main-main lagi. Mereka sudah merasa telanjur. Masing-masing tidak ingin menarik kekuatannya. Hal itu berarti kematian bagi siapa saja yang menarik pulang serangannya. Selain kekuatannya sendiri akan membalik juga ditambah dengan kekuatan lawan.

"Hua ha ha...! Siapa sangka kehadiranku mendapat suguhan tontonan yang sangat menarik...!"

Di tengah sengitnya pertempuran tenaga dalam itu terdengar tawa keras yang memekakkan telinga. Belum lagi gema tawa itu lenyap tahu-tahu telah berdiri sesosok tubuh seorang kakek tinggi kurus, ia melangkah lebar mendekati arena pertarungan.

Pendatang baru itu jelas bukan orang sembarangan. Seperti orang yang menonton pertandingan, kakek tinggi kurus duduk bersila tidak jauh dari arena. Sepasang matanya berbinar menunjukkan kegembiraan. Tapi beberapa saat kemuudian keningnya tampak berkerut. Kekhawatiran membayang pada sorot matanya sewaktu melihat Algojo Cakar Siluman terdesak. Wajah Algojo Cakar Siluman semakin memucat dan dibanjiri keringat. Ia kepayahan membendung serangan lawan.

Kakek tinggi kurus kelihatan berpikir keras. Matanya menatap bergantian wajah dua orang yang tengah bertarung. Tatapannya berhenti agak lama pada wajah lawan Algojo Cakar Siluman. Kakek tinggi kurus tahu betul siapa lawan Algojo Cakar Siluman, ia adalah Telapak Lidah Halilintar, seorang tokoh golongan putih. Sedangkan Algojo Cakar Siluman tokoh yang segolongan dengannya.

Maka, setelah mempertimbangkan untung ruginya, kakek tinggi kurus mengambil keputusan untuk membantu Algojo Cakar Siluman. Dengan sekali lompat saja, kakek tinggi kurus sudah berada di belakang Algojo Cakar Siluman. Sebentar ia mengempos semangatnya. Kemudian kedua telapak tangannya dilekatkan ke punggung Algojo Cakar Siluman.

"Haiiitt..!"

Bersamaan dengan melekatnya kedua telapak tangan kakek tinggi kurus, lawan Algojo Cakar Siluman membentak nyaring. Tubuhnya dilempar ke samping sambil menarik pulang serangannya. Sehingga, ketika bantuan tenaga bagi Algojo Cakar Siluman bekerja, ia sudah lebih dulu menyelamatkan diri. Akibatnya, gabungan tenaga dua tokoh sesat itu menghantam pohon besar yang kemudian berderak dan langsung tumbang.

"Sungguh berbahaya...!" desis Telapak Lidah Halilintar sambil menyusut keringat dingin di keningnya, ia mengatur pernapasannya untuk mempersiapkan diri menghadapi keroyokan tokoh-tokoh sesat itu.

********************

Bagi kalangan persilatan nama Algojo Cakar Siluman bukanlah nama yang asing. Julukan itu sudah sangat terkenal dan menggetarkan hati setiap tokoh di wilayah timur. Terutama tokoh-tokoh golongan putih. Algojo Cakar Siluman merupakan datuk kaum golongan hitam yang menguasai wilayah timur.

Kepandaiannya sangat tinggi Boleh dibilang selama ini tak tertandingi. Andalannya adalah Ilmu 'Cakar Siluman' yang membuat namanya terkenal dan ditakuti lawan. Ilmu yang dimiliki datuk sesat wilayah timur itu memang sangat sesuai dengan namanya. Apabila Algojo Cakar Siluman menggunakan ilmu andalannya dapat dikatakan mustahil lawan akan bisa selamat.

Sepasang lengan yang memiliki jari-jari sekuat baja itu dengan sekali bergerak saja bisa membuat nyawa lawan yang sangat lihai putus seketika. Gerakan yang dilakukannya nyaris tidak terlihat. Seolah kedua lengannya menjadi puluhan banyaknya yang terlontar dalam bentuk cakar. Meski tokoh itu baru dua tahun belakangan ini muncul. Algojo Cakar Siluman langsung menguasai wilayah timur dan diakui sebagai datuk golongan hitam di wilayah itu.

Setan Ular Tertawa pun bukanlah tokoh sembarangan. Selain memiliki Ilmu 'Setan Tertawa' yang dapat membunuh musuh hanya dengan memperdengarkan suara tawanya, tokoh ini pun dikenal sebagai pawang segala jenis ular berbisa. Setan Ular Tertawa adalah bangsa pendatang yang berasal dari daratan Hindustan. Tokoh ini seorang petualang yang sangat gemar dengan ilmu silat.

Dalam waktu singkat saja nama Setan Ular Tertawa yang diperkenalkannya langsung melambung tinggi. Tokoh-tokoh terkenal di wilayah barat habis dibabatnya. Tidak peduli baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Tokoh berusia hampir tujuh puluh tahun ini memiliki satu sifat yang membuat lawan-lawannya bergidik ngeri dan mencercanya sebagai manusia paling kejam.

Setiap lawan yang dikalahkannya akan dijadikan umpan ular-ular berbisa peliharaannya. Kekejaman itu membuat namanya kian menggetarkan. Terutama bagi mereka yang tinggal di daerah barat dan separo daerah utara, ia diakui sebagai dedengkot tokoh sesat nomor satu di wilayah itu.

"Apa sebenarnya maksud kalian datang ke tempat ini?" terdengar pertanyaan Telapak Lidah Halilintar.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa saling bertukar pandang sesaat setelah meneliti sosok kakek kurus itu.

"Hm.... Kau pasti tokoh yang berjuluk Telapak Lidah Halilintar...," ucapan itu keluar dari mulut Algojo Cakar Siluman.

"Dasar manusia bego!" Kakek kurus itu mengumpat kasar, meski raut wajahnya tidak menunjukkan kemarahan. "Terus terang kukatakan dugaanmu itu tidak meleset alias betul, Algojo Cakar Siluman!" lanjutnya menegasi, masih dengan nada kasar dan tajam.

Algojo Cakar Siluman tidak kelihatan tersinggung, ia sudah cukup mengenal nama dan watak tokoh berjuluk Telapak Lidah Halilintar yang memiliki kebiasaan mengumpat dan memaki. Tak peduli berhadapan dengan siapa, Telapak Lidah Halilintar selalu menyertai ucapannya dengan makian. Dan, Algojo Cakar Siluman serta Setan Ular Tertawa nampaknya sudah sangat maklum.

"Sekarang biar aku yang bicara...." Tiba-tiba, sebelum Algojo Cakar Siluman membuka mulutnya, Setan Ular Tertawa sudah keburu menyela. "Nah, Telapak Lidah Halilintar, kau pasanglah telingamu baik-baik! Kedatangan kami ke tempat ini adalah untuk memastikan kebenaran tentang adanya seorang bocah yang disebut-sebut sebagai Utusan Dari Neraka..."

Telapak Lidah Halilintar kembali mengumpat. Lalu, kepalanya didongakkan. Terdengarlah tawa mengekehnya yang berkepanjangan. "Tidak mengherankan kalau berita itu sampai juga ke telinga babi-babi busuk seperti kalian...," ujar Telapak Lidah Halilintar di antara kekehnya. Nampaknya, kakek kurus ini maklum akan ketajaman pendengaran tokoh-tokoh kaum rimba persilatan, yang memang tak pernah ketinggalan terhadap segala sesuatu yang terjadi. "Tapi, kutegaskan di sini bahwa berita itu tidak benar. Dan kalaupun benar, apa yang hendak kalian perbuat? Ingin menumpasnya, atau cuma ingin sekadar mengetahui kebenarannya?"

"Jangan main-main denganku, Telapak Lidah Halilintar! Aku bisa saja langsung membunuhmu tanpa perlu meminta kepastian darimu!" Setan Ular Tertawa menggeram gusar, ia tidak senang mendapat perlakuan demikian dari Telapak Lidah Halilintar yang seolah memandang remeh kepadanya.

"Siapa yang sudi main-main denganmu, Ular Buntung!" Tanpa rasa gentar sedikit pun Telapak Lidah Halilintar balas membentak. "Katakan saja berita itu benar! Lalu, apa maumu sekarang?"

"Cuma itu tujuanku jauh-jauh datang ke tempat ini. Sekarang aku hendak melihat sendiri buktinya. Seperti apa sebenarnya rupa dan bentuk Utusan Dari Neraka itu? Apakah ia seseram setan neraka, atau cuma berupa bocah manusia biasa...?" sambil berkata demikian, Setan Ular Tertawa memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.

"Tahan langkahmu. Ular Buntung...!" Begitu seruannya terdengar, tubuh Telapak Lidah Halilintar melayang dengan kecepatan luar biasa. Setan Ular Tertawa dan Algojo Cakar Siluman hanya melihat berkelebatnya sesosok bayangan. Tahu-tahu Telapak Lidah Halilintar sudah berdiri menghadang jalan.

"Mengapa kau menghalangiku, Telapak Lidah Halilintar? Menyingkirlah, sebelum aku lupa kalau yang menghadangku cuma seorang kakek peot yang sudah bau tanah...!" Setan Ular Tertawa mengancam dengan sorot mata berkilat.

"Aku tidak ingin ada orang tolol merusak rencana dan jerih payahku! Dengar nasihatku baik-baik, Setan Ular Tertawa. Dan kau juga, Algojo Cakar Siluman!" ujar Telapak Lidah Halilintar menatap kedua tokoh sesat itu bergantian. "Sebaiknya kalian segera angkat kaki dari tempat ini. Jangan teruskan niat kalian yang kelak hanya akan membuat bencana bagi seluruh isi muka bumi ini...!"

"Kau menyuruh kami mengangkat kaki?" Algojo Cakar Siluman menukas dengan kepala ditelengkan. Seolah ia hendak menegaskan ucapan Telapak Lidah Halilintar.

Meski dengan kening berkerut. Telapak Lidah Halilintar mengangguk juga.

"Satu atau kedua-duanya...?" Algojo Cakar Siluman melanjutkan pertanyaannya.

"Maksudmu...?!"

"Kau menyuruh kami mengangkat kaki, bukan?" Algojo Cakar Siluman mengulang pertanyaannya.

"Betul!" Telapak Lidah Halilintar mengangguk cepat.

"Nah, sekarang aku tanya lagi. Satu kaki atau kedua-duanya?" Algojo Cakar Siluman tersenyum mengejek.

"Babi buntung!" Sadar dirinya telah ditipu mentah-mentah, Telapak Lidah Halilintar memaki gusar. "Kau berani mempermainkan aku, Algojo Cakar Siluman! Kau benar-benar manusia tolol yang tidak tahu diuntung. Diberi peringatan malah berbalik mengejek. Sekarang terserah apa mau kalian. Yang jelas, aku akan tetap menghalangi dan menentang niat kalian itu!"

"Hm...." Sambil mengusap-usap dagunya, Setan Ular Tertawa bergumam dengan senyum penuh ejekan. "Aku tahu sekarang!" lanjutnya dengan suara menghina. "Rupanya kau hendak mengangkangi Utusan Dari Neraka itu sendirian...!"

"Itu bukan hal yang aneh, Setan Ular Tertawa...," Algojo Cakar Siluman menyambung dengan nada yang tidak kalah menyakitkan. "Sebagai seorang pangeran pelarian yang selama puluhan tahun hidup terlunta-lunta karena negerinya kalah perang, tentu sampai saat ini ia masih mengharapkan akan dapat duduk di atas singgasana berlapis emas. Adanya Utusan Dari Neraka itu hendak dijadikan jalan untuk mewujudkan cita-cita gilanya. Ha ha ha...!"

"Diam!" Telapak Lidah Halilintar membentak keras. Selebar parasnya merah padam. Tubuhnya gemetar menahan gejolak amarah yang bagai hendak meledakkan dada. Ucapan Algojo Cakar Siluman jelas sangat mengena. Telapak Lidah Halilintar memang seorang pangeran yang terpaksa melarikan diri sewaktu negerinya kalah.

Bertahun-tahun ia harus menyembunyikan diri di hutan-hutan lebat dan pegunungan yang jarang didatangi manusia. Selama dalam pelariannya ia terus berlatih silat, selain untuk menjaga diri dari sergapan tentara musuh apabila kepergok juga untuk menghadapi keganasan hidup yang dijalaninya. Dalam pelariannya tidak jarang ia menghadapi ancaman binatang buas yang kelaparan.

Pengejaran terhadap Telapak Lidah Halilintar yang pada waktu itu bernama Pangeran Danutirto akhirnya terhenti. Pihak musuh mulai melupakannya setelah dalam pengejaran tak lagi menemukan jejak Pangeran Danutirto. Ia kemudian dianggap telah tewas. Padahal, Pangeran Danutirto yang melarikan diri ke dalam hutan lebat di lereng sebelah utara Gunung Merbuk masih hidup.

Pangeran Danutirto sendiri tidak tahu kalau pengejaran terhadap dirinya telah lama dihentikan. Ia menetap di dalam hutan itu dan melatih diri dengan tekun selama puluhan tahun. Karena keinginannya untuk dapat merebut kembali tahta kerajaan ayahnya masih menghantui pikirannya.

Keinginan itu pula yang membuatnya keluar dari tempat persembunyian setelah lebih tiga puluh tahun menyembunyikan diri. Tapi, keinginan itu padam dengan sendirinya ketika melihat rakyat hidup dalam ketenteraman dan kedamaian dalam pemerintahan tangan penjajah. Akhirnya, Pangeran Danutirto membaktikan ilmunya untuk kebaikan orang banyak. Hingga, ia dikenal dengan julukan Telapak Lidah Halilintar.

Saat namanya semakin besar dan dikenal orang, Telapak Lidah Halilintar mendengar tentang munculnya seorang bocah yang mendapat julukan Utusan Dari Neraka, karena perbuatannya yang sangat kejam dan mendirikan bulu roma. Ia pun bertekad untuk menghentikan bocah Utusan Dari Neraka itu.

DUA

"Eh, kenapa kau jadi marah-marah seperti itu, Telapak Lidah Halilintar?" Setan Ular Tertawa merasa senang melihat kakek kurus itu mencak-mencak. "Apa itu berarti kata-kata Algojo Cakar Siluman benar...?" lanjutnya, ia sengaja hendak membalas sikap Telapak Lidah Halilintar yang sempat memancing kedongkolan hatinya.

"Ular buntung keparat! Kau benar-benar membuat kesabaranku habis...!" Telapak Lidah Halilintar melompat ke depan. Sepasang tangannya bergerak membacok dan menusuk dengan kecepatan kilat!

Bed! Syuttt!

Dua serangan maut yang mengarah jalan darah kematian itu dielakkan Setan Ular Tertawa dengan menarik mundur tubuhnya dua langkah. Lalu, dengan tidak kalah cepat dan ganasnya, Setan Ular Tertawa melontarkan serangan balasan dengan dua ekor ular sendok yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah melibat kedua pergelangan tangannya.

Kedua ekor ular sendok itu mematuk- matuk ganas, membuat Telapak Lidah Halilintar terpaksa berlompatan menghindar. Ia tahu betul racun ular sendok sangatlah berbahaya dan mematikan. Maka, untuk mengimbangi serangan lawan jurus 'Telapak Lidah Halilintar' yang menjadi andalannya pun langsung digunakan. Setan Ular Tertawa terpaksa harus mengerahkan ilmu-ilmu andalannya pula.

Menyaksikan Setan Ular Tertawa dan Telapak Lidah Halilintar sudah terlibat dalam perkelahian sengit, Algojo Cakar Siluman tersenyum mengejek. Kesempatan itu segera dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Mula-mula ia menggeser langkahnya perlahan menjauhi arena perkelahian. Kemudian, dengan liciknya ia pun melesat meninggalkan tempat itu.

Tapi, kedua tokoh yang sedang bertarung rupanya sempat menangkap bayangan Algojo Cakar Siluman. Meskipun tanpa kata, keduanya ternyata memiliki pikiran yang sama. Begitu bayangan Algojo Cakar Siluman berkelebat pergi, keduanya langsung menahan serangan dan berlompatan mundur. Lalu, melesat dengan kecepatan tinggi mengejar Algojo Cakar Siluman.

"Jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini, Algojo Cakar Siluman...!" Setan Ular Tertawa terseru keras sambil melontarkan pukulan mautnya, sementara tubuhnya melayang di udara. Kedua ekor ular sendok yang semula melibat kedua pergelangan tangannya sudah lenyap.

"Siluman licik! Sebaiknya kau segera minggat ke neraka...!" Telapak Lidah Halilintar mengumpat. Seperti halnya Setan Ular Tertawa, dengan tubuh melayang di udara ia melontarkan pukulan 'Telapak lidah Halilintar'.

Perbuatan kedua orang itu tentu saja sangat mengejutkan Algojo Cakar Siluman. Sungguh tak disangkanya kedua orang yang tadi bertarung mati-matian kini berbalik mengejar dan mengeroyoknya. Karuan saja ia jadi kelabakan dan pontang-panting menyelamatkan diri dari pukulan maut kedua tokoh itu, dengan melompat tubuhnya ke samping dan terus bergulingan di tanah. Untung Algojo Cakar Siluman bertindak cepat. Kalau tidak, niscaya ia sudah tewas oleh kedua pukulan maut itu.

Setelah dapat menyelamatkan diri, Algojo Cakar Siluman langsung melenting bangkit. Dengan sigapnya ia berdiri tegak sambil memasang kuda-kuda siap tempur. Tapi, justru saat itu baik Setan Ular Tertawa maupun Telapak Lidah Halilintar tidak melanjutkan serangannya. Untuk beberapa saat ketiganya berdiri tegak di tempat masing-masing dan saling berpandangan satu sama lain.

"Setan Ular Tertawa." Setelah beberapa saat dicekam keheningan, Algojo Cakar Siluman membuka suara. "Kita adalah orang segolongan yang menguasai daerah timur dan barat. Untuk itu aku menawarkan kerja sama kepadamu. Kita habisi kakek peot ini. Setelah itu, baru kita sama-sama mencari goa tempat Utusan Dari Neraka itu berada...," lanjutnya mengajukan usul licik. Tentu saja karena pertimbangan untung rugi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Setan Ular Tertawa kelihatan ragu. Keningnya berkerut memikirkan usul Algojo Cakar Siluman. Tapi, ia tidak memerlukan banyak waktu. Usul itu dianggapnya cukup baik. Ia melihat sisi baik bagi keuntungan dirinya.

"Baiklah," jawab Setan Ular Tertawa mantap. "Aku suka dengan usulmu, Algojo Cakar Siluman...!" Kemudian, tanpa menunggu lagi, langsung diterjangnya Telapak Lidah Halilintar dengan serangkaian serangan maut!

Telapak Lidah Halilintar tidak terlalu kaget dengan sikap licik kedua datuk golongan hitam itu. Ketika Setan Ular Tertawa menyerangnya, ia segera menghindar dan balas menyerang dengan Ilmu 'Telapak Lidah Halilintar". Untuk pertarungan kali ini Telapak Lidah Halilintar benar-benar harus menguras seluruh kemampuannya.

Pengeroyoknya adalah datuk-datuk sesat yang selain memiliki kepandaian tinggi juga berwatak licik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kepandaian Telapak Lidah Halilintar sendiri sudah sangat tinggi. Selama ini belum pernah menemui tandingan. Tapi menghadapi keroyokan dua datuk sesat itu, yang masing-masing memiliki kepandaian tidak berselisih jauh dengannya, membuat kakek itu agak repot.

Lewat dari tiga puluh jurus, Telapak Lidah Halilintar mulai merasakan tekanan-tekanan berat dari kedua orang lawannya, ia terdesak dan hanya bisa bermain mundur. Untuk balas menyerang, kakek kurus itu tidak lagi mempunyai peluang. Kedua pengeroyoknya selalu lebih dulu menutup setiap celah yang memungkinkannya untuk balas menyerang. Telapak Lidah Halilintar semakin mati langkah, sementara ruang geraknya semakin dipersempit.

Duk!

Plakk!

Telapak Lidah Halilintar yang baru saja menghindar dari sergapan Setan Ular Tertawa terpaksa menangkis ketika serangan Algojo Cakar Siluman datang. Kedudukannya yang kurang menguntungkan membuat kuda-kudanya tergempur. Tubuhnya terjajar limbung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan kedua lawannya untuk menerjang!

"Hyaaahh...!"

Algojo Cakar Siluman membentak sambil melompat maju. Sepasang tangannya bergerak cepat. Bayangan cakarnya yang berubah banyak terlontar mengarah empat jalan darah besar di tubuh Telapak Lidah Halilintar.

"Yeaaattt...!"

Setan Ular Tertawa tidak mau ketinggalan. Tubuhnya meluncur deras seraya mengibaskan kedua lengannya bergantian. Dua buah benda hitam panjang meluncur cepat menuju jantung dan leher Telapak Lidah Halilintar.

Desss! Crabbb! Crabbb!

"Aaa...!"

Telapak Lidah Halilintar tak mampu lagi menyelamatkan diri. Terdengar raungannya yang panjang mendirikan bulu roma. Dua bayangan cakar Algojo Cakar Siluman merobek lambung dan dada kanannya. Sementara, dua ekor ular hitam yang dilontarkan Setan Ular Tertawa lenyap ke dalam dada kiri dan tenggorokannya, membuat lubang sebesar jari kelingking mengalirkan darah hitam pekat!

Tanpa ampun lagi, tubuh Telapak Lidah Halilintar, tokoh ternama yang sebenarnya juga seorang ahli sihir terlempar roboh bermandikan darah. Telapak Lidah Halilintar tidak mendapatkan kesempatan untuk menggunakan ilmu sihirnya. Setan Ular Tertawa dan Algojo Cakar Siluman sudah mengetahui rahasia kelemahan ilmu sihir.

Mereka selalu menghindari bentrokan pandangan dengan Telapak Lidah Halilintar. Sehingga, ia tidak mendapatkan peluang untuk mengerahkan ilmu sihirnya melalui pandangan mata. Melalui cara itu ia dapat mempengaruhi penglihatan dan pikiran lawan. Tapi, kesempatan itu tidak pernah didapat. Sampai akhirnya ia harus mati penasaran di tangan kedua datuk sesat itu.

Setelah menewaskan Telapak Lidah Halilintar, kedua datuk sesat itu saling bertukar pandang sejenak. Ada kilatan curiga pada sorot mata mereka. Keduanya sadar akan kelicikan dan kecurangan masing-masing.

"Sebaiknya persekutuan ini terus kita lanjutkan, Algojo Cakar Siluman...." Setan Ular Tertawa lebih dulu membuka suara, memecah keheningan yang menegangkan diantara mereka. "Dengan bersatu segala halangan akan lebih mudah kita singkirkan. Dan, apa yang kita inginkan akan segera terwujud!" lanjutnya sambil mengepalkan tinju dengan penuh semangat.

"Aku setuju...!" Algojo Cakar Siluman menyambut baik usul kawannya. Dengan tersenyum dikepalkannya tinjunya erat-erat. Mereka saling berjabat tangan. Kemudian, melangkah pergi tanpa mempedulikan mayat Telapak Lidah Halilintar.

********************

"Hh... Panas bukan main udara hari ini," keluh salah satu dari tiga orang lelaki gagah itu. Sambil berkata demikian, ia mengusap wajah brewoknya yang berpeluh.

"Sebaiknya di depan sana kita beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Aku mendengar suara gemericik air mengalir. Kurasa di sana ada aliran sungai..." Lelaki kedua menimpali. Kulit wajahnya yang putih tampak kemerahan terpanggang matahari. Sosok lelaki kedua ini sangat gagah. Tubuhnya tinggi tegap dengan dada bidang. Sosoknya masih kelihatan sangat menarik meski dalam usia yang telah mencapai empat puluh tahun.

Sedangkan lelaki ketiga tidak berkata apa-apa. Ia juga merasakan hal yang sama dengan kedua kawannya. Sikapnya tampak lebih tenang. Usianya sedikit lebih muda dari kedua kawannya. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah terhias kumis tipis. Dari sorot matanya yang tajam, jelas menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi.

Ketiga lelaki gagah itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang cukup ternama dan mendapat julukan Tiga Harimau Dari Timur. Mereka memang berasal dari Jawa Timur. Tepatnya Lembah Sungai Brantas. Sebagaimana kabar yang tersebar di kalangan persilatan, ketiga tokoh ini pun merasa berkewajiban untuk menghentikan keganasan Utusan Dari Neraka yang menggemparkan itu.

Tiga Harimau Dari Timur baru saja bergerak menuruni dinding sungai ketika mereka dikejutkan oleh suara makian. Ketiga tokoh itu langsung menoleh dengan sikap waspada. Tapi, ketiganya kemudian melengos. Yang mengeluarkan lengkingan itu ternyata seorang nenek yang tengah membuang hajat. Saat ketiganya menoleh tadi, mereka melihat nenek itu tengah sibuk menutupi auratnya yang sudah keriput.

"Hih hih hih...!"

Anehnya, begitu Tiga Harimau Dari Timur berpaling, nenek itu malah tertawa cekikikan memperlihatkan mulutnya yang tak bergigi lagi.

"Enak ya, kalian bisa menyaksikan tontonan cuma-cuma," ujar nenek itu. Sepertinya ia memiliki otak kurang beres. Biarpun sudah tua aku masih perawan ting-ting, tahu. Perbuatan kalian telah membuat mukaku tercoreng aib. Selama ini baru kalian bertiga yang menyaksikan keindahan tubuhku. Untuk itu, mata kalian harus kucongkel keluar!"

"Nenek sinting...!" Harimau Pertama yang berwajah brewok mengumpat jengkel. Pemandangan tadi bukan mendatangkan keuntungan, malah rugi besar. "Aku lebih suka melihat pantat kuda daripada tubuh peotmu!" Tentu saja sumpah serapah itu dilontarkan dengan suara pelan. Tapi, Harimau Pertama menjadi kaget. Nenek sinting itu ternyata mendengar umpatannya.

"Hik hik hik...! Sebenarnya aku suka melihat lelaki yang mempunyai brewok sepertimu. Tapi, mulutmu yang telah berani menghina keindahan Tubuhku harus kubuat mengok!" ujar nenek sinting itu, yang telah selesai membereskan pakaiannya. Dengan gerakan yang ringan tubuhnya melayang mengejar Tiga Harimau Dari Timur yang sudah naik ke daratan.

Whuttt...!

Belum lagi kakinya menginjak tanah, tangan nenek itu sudah menderu ke arah mulut Harimau Pertama. Tentu saja Harimau Pertama tidak sudi mulutnya dibuat mengok. Cepat ia menarik tubuhnya dua langkah ke belakang. Tapi, alangkah kaget hatinya ketika melihat tamparan itu masih juga mengejarnya.

Dukkk!

Tangkisan lengan kanannya malah membuat tubuh Harimau Pertama terhuyung limbung. Sedangkan telapak tangan nenek sinting terus bergerak mengincar mulutnya.

"Aaah...!" Saking kagetnya, Harimau Pertama memekik. Beruntung, Harimau Kedua dan Harimau Ketiga datang memberikan bantuan.

Nenek sinting itu terpaksa harus merubah gerakannya. Sasarannya kini beralih pada Harimau Kedua dan Harimau Ketiga. Tapi, Harimau Kedua dan Harimau Ketiga yang saat itu sudah mengenakan senjata berupa sarung tangan kuku harimau segera memapaki untuk mencengkeram telapak tangan nenek sinting!

Weettt! Weettt!

Cengkeraman Harimau Kedua dan Harimau Ketiga kehilangan sasaran. Telapak tangan nenek sinting tahu-tahu telah berputar cepat sekali. Dan, meluncur datang mengancam pelipis Harimau Kedua.

Plakkk!

Harimau Kedua tak sempat menghindar. Tamparan keras itu membuat tubuhnya terpelanting dan tercebur ke dalam sungai. Tepalak tangan nenek sinting terus berputar dan kini mengancam dada Harimau Ketiga.

Dukkk!

Harimau Ketiga memalangkan lengannya sehingga lengan mereka berbenturan. Akibatnya, tubuh Harimau Ketiga terpelanting dan nyaris mengalami nasib yang sama seperti Harimau Kedua. Untung ia keburu melempar tubuhnya ke samping dan terus bergulingan.

"Nenek gila! Terima balasanku...!"

Harimau Pertama yang menyaksikan kehebatan nenek sinting kini tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya melompat dengan gaya harimau menerkam mangsa. Sepasang tangannya yang telah mengenakan sarung tangan cakar harimau terjulur ke muka. Siap mencabik-cabik tubuh keriput nenek gila.

Serangan Harimau Pertama memang cukup berbahaya. Tapi, dengan lincahnya semua serangan itu dapat dihindari nenek gila. Malah, ketika Harimau Ketiga ikut mengeroyok maju, nenek gila tetap tidak merasa kewalahan. Lewat belasan jurus kemudian, serangan-serangan balasannya justru membuat kedua lawannya kalang kabut. Serangan nenek itu datang bertubi-tubi dengan kecepatan tinggi. Hingga, kedua lawannya berjumpalitan menyelamatkan diri.

Desss...!

Harimau Pertama mengalami nasib sial. Sebuah tendangan sisi telapak kaki mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, ia terjengkang di tanah. Menyusul kemudian Harimau Ketiga yang terpental uleh gedoran telapak tangan nenek gila. Tokoh muda itu jatuh terduduk dengan wajah pucat.

"Hih hih hih...! Kiranya kepandaian Tiga Harimau Dari Timur cuma begitu saja. Kecill!...!" Nenek lila mengejek sambil menjentikkan ujung kuku kelingkingnya. "Dari pada dengan kepandaian seperti ini kalian nekat hendak mencari Utusan Dari Neraka, lebih baik kalian bertiga menjadi suamiku saja. Biarpun wajah kalian jelek-jelek, tapi aku terima sebagai suamiku."

"Gila...!" Harimau Pertama memaki pelan, ia belum gila untuk menerima permintaan sinting itu. Harimau Pertama bergerak bangkit. Bekas tendangan nenek itu terasa sakit bukan main.

Tiga Harimau Dari Timur bergabung kembali. Wajah ketiganya tampak agak pucat. Mereka sadar nenek itu bukanlah tandingan mereka. Bukan mustahil nenek itu dapat memaksakan kehendaknya. Dan, memang sesungguhnyalah nenek sinting itu bukan tandingan mereka. Dia berjuluk Putri Perayu, karena sifatnya yang genit dan suka merayu kaum lelaki. Nenek ini memiliki kepandaian yang tinggi.

"Aku akan menghadiahkan obat kuat kepada kalian. Jadi, tidak perlu takut kalah kuat denganku." Seperti sangat yakin kalau Tiga Harimau Dari Timur bersedia menerima tawarannya, Putri Perayu segera mengeluarkan kantung obat dari balik pakaiannya. Tiga butir pil berwarna merah yang besarnya tak lebih dari ujung jari kelingking disodorkan ke hadapan Tiga Harimau Dari Timur.

"Telanlah sendiri olehmu, Nenek Gila!" Harimau Pertama memaki sambil menepiskan pil. Tapi, lanya dengan memutar telapak tangan tamparan Harimau Pertama luput.

"Kalau begitu, kalian akan kupaksa untuk menelan pil-pil ini. Dalam waktu singkat kalian boleh lihat pengaruhnya. Jangankan perempuan cantik, yang wajahnya buruk dan tubuhnya gudikan pun akan kalian sikat Hih hih hih...!"

Tiga Harimau Dari Timur terbelalak mendengar kedahsyatan pengaruh pil-pil berwarna merah itu. Membayangkan apa yang digambarkan Putri Perayu, mereka merasa ngeri dan jijik. Ketiganya segera berlompatan menjauh.

"Nah, aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk menerima tawaranku. Kalau tidak..." Putri Perayu kembali membuka telapak tangannya, menunjukkan pil-pil merah yang bagi Tiga Harimau Dari Timur kini terlihat sangat menakutkan.

Tiga Harimau Dari Timur terus bergerak mundur dengan wajah pucat. Keringat dingin mengalir membasahi wajah dan tubuh mereka. Sementara Putri Perayu terus melangkah maju sambil tertawa-tawa.

"Memaksakan kehendak kepada orang lain adalah sikap yang tidak terpuji...."

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan langkah lebar, pemuda yang tidak lain Panji menghadang langkah nenek gila. Putri Perayu, menyeringai memamerkan mulutnya yang tidak bergigi. Mungkin maksudnya hendak tersenyum manis. Tapi, yang terlihat justru seringai yang menggelikan.

Kemunculan pemuda tampan berjubah putih membuat Tiga Harimau Dari Timur memutar tubuhnya. Mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Dan, langsung pulang kampung! Rupanya, ancaman pil-pil merah telah melenyapkan keberanian mereka.

"Hm.... Kau harus menggantikan Tiga Harimau Dari Timur yang melarikan diri, Bocah Bagus!" Putri Perayu berkata dengan sorot mata mengancam. Tapi, meskipun wajahnya dibuat seseram mungkin, bagi Panji malah kelihatan lucu.

"Kecuali...," Nenek sinting itu tampak ragu dan tampak malu-malu melanjutkan ucapannya. Terdengar tawa mengekeh yang disertai kerdipan mata. Menurut Panji, persis orang cacingan. Tapi Putri Perayu tidak peduli dengan apa yang ada dalam pikiran Panji. Tubuhnya bergoyang ke kiri kanan sambil meremas-remas ujung pakaiannya. Kemudian, digigit-gigitnya dengan mulutnya yang tak bergigi. Sikap nenek itu persis seorang gadis pingitan yang tengah berhadapan dengan pemuda idamannya.

"Kecuali apa, Nek..?" Panji yang memang tidak mengetahui duduk perkaranya dengan jelas, bertanya ramah. Hatinya mendadak berdebar aneh ketika menyaksikan tingkah nenek sinting. Satu pikiran yang membuat hatinya bergidik tiba-tiba melintas di benaknya. Segera diusirnya pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Kecuali..., jika kau bersedia menjadi... suamiku...." Akhirnya Putri Perayu menjawab sambil tersipu. Wajahnya ditundukkan. Ekor matanya mengerling genit ke arah Panji.

"Hahhh...?!" Kalau saja saat itu petir meledak di dekat telinganya, rasanya Panji tidak akan sekaget sekarang. Jawaban nenek sinting benar-benar membuat dirinya berjingkrak kaget. "Gila...!" Panji mengumpat dalam hati. "Nenek ini ternyata bukan orang waras. Mana mungkin ia sampai mempunyai pikiran gila seperti itu? Edan!"

"Kaget ya, Bocah Bagus?" Nenek sinting berkata dengan wajah tanpa dosa. "Aku yakin kau tidak akan menyesal. Sampai saat ini aku masih perawan. Kau boleh membuktikannya kalau tidak percaya...."

Lagi-iagi Panji menggeleng. Dihelanya napas kuat-kuat. Panji menatap wajah nenek sinting itu lekat-lekat. "Maaf, Nek," ucapnya sambil menahan kejengkelan. "Aku sudah mempunyai calon istri. Jadi, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Dan aku tidak punya waktu lagi untuk meladenimu...," usai berkata, Panji segera meninggalkan tempat itu. Nenek ini ternyata orang gila. Gila kawin!

"Hik hik hik..!"

Panji yang sudah siap hendak melesat pergi segera menahan ayunan langkahnya. Suara tawa lain tiba-tiba terdengar. Suara tawa perempuan. Panji segera menduga pemilik suara tawa itu pasti telah mendengar semua pembicaraannya dengan Putri Perayu. Belum lagi gema tawa mengikik itu lenyap dari balik sebatang pohon, kira-kira tiga tombak di sebelah kanannya, muncullah sesosok tubuh perempuan. Dari bentuk wajahnya kelihatannya seorang perempuan muda. Ia melangkah dengan sikap menggoda. Tatapannya tertuju kepada Panji.

"Ayo, Nek, mengapa kau tidak segera mencium pengantin lelakimu? Peluk dan ciumlah dengan penuh kasih sayang. Aku percaya dia sudah bersedia untuk menjadi suamimu..." Perempuan yang berjalan melenggang itu berkata sambil menahan rasa geli.

"Eh, jadi dia sudah bersedia?!" Putri Perayu berkata sambil membelalakkan mata. Wajahnya tampak berseri-seri. Ditatapnya perempuan yang kini sudah berdiri didekatnya. Lalu menatap Panji dengan sorot mata berbinar. Dengan langkah dibuat-buat meniru langkah perempuan yang baru tiba, nenek sinting mendekati Panji dengan kedua tangan terulur.

TIGA

"Gila...! Siapa perempuan usil yang sama gilanya itu...?!" geram Panji, menumpahkan kejengkelannya kepada perempuan yang baru tiba dan memanas-manasi Putri Perayu. Tanpa menunggu lagi, Panji melesat pergi meninggalkan tempat itu.

"Kejar, Nek. Cepat kejar...!" Perempuan berpakaian merah muda yang usianya sekitar delapan belas tahun itu berseru sambil menahan tawa. "Pengantin lelakimu hendak mengajakmu bermain kejar-kejaran. Ayo, lekas tangkap...!" tambahnya. Kali ini diakhiri dengan melepas tawa berderai.

"Kurang ajar betul perempuan itu!" Panji mengumpat-umpat ketika dilihatnya nenek sinting melesat mengejarnya. Alangkah terkejutnya Panji ketika dengan beberapa kali lompatan saja tubuh Putri Perayu melambung melampaui kepalanya dan mendarat menghadang jalan.

"Wah, Nek, rupanya mempelai lelakimu hendak menguji kepandaian. Hayo lawan, Nek! Kalau kau berhasil mengalahkannya, baru dia bersedia kau boyong...!" Lagi-lagi perempuan usil berpakaian merah muda berseru, ia bertepuk tangan keras-keras memberi semangat Nenek sinting itu tentu saja menjadi kegirangan.

"Bagus kalau begitu!" Putri Perayu semakin berseri wajahnya. "Hadapilah seranganku, Suamiku...." Nenek sinting kemudian menerjang Panji dengan pukulan lurus ke dada. Tangan lainnya dengan telapak terbuka siap menyusul dengan tebasan miring.

Bedd!

Panji yang menghindar dengan melompat pendek ke samping terkejut merasakan betapa hebat tenaga pukulan yang terkandung dalam serangan itu. Cepat ia menggeser tubuhnya waktu tangan kiri nenek sinting membacok dengan diiringi suara bercicitan.

Whuttt...!

Ketika Panji masih juga dapat menghindari serangan kedua, Putri Perayu membentak nyaring. Dengan kedua tangan ia melancarkan totokan ke arah jalan darah di bagian atas dada Panji. Kali ini sangat sulit bagi Panji untuk menghindar. Kecepatan gerak nenek sinting benar-benar di luar dugaan. Tahu-tahu, totokan jari-jari tangannya sudah tiba dekat.

Plak! Plak!

Semakin kaget Panji sewaktu merasakan lengannya bergetar ketika menangkis lengan berkulit keriput itu. Sedangkan serangan nenek sinting terus meluncur dengan totokannya.

"Hyaaah...!"

Seraya membentak keras, Panji melempar tubuhnya dan berputaran di udara. Sengaja ia mengerahkan kecepatan geraknya, khawatir akan kalah cepat dengan nenek sinting. Apa yang dikhawatirkannya memang tidak berlebihan. Begitu kakinya menginjak tanah, serangan Putri Perayu kembali datang memburu. Merasa penasaran, Panji kembali membentak. Kali ini ia tidak melambung ke udara, malah sebaliknya, ia menjatuhkan tubuhnya dengan kuda-kuda rendah dan berputar melingkar. Kaki kanannya terjulur lurus ke depan menyapu kuda-kuda nenek sinting.

Desss!

Yang dilakukan Panji rupanya di luar perhitungan Putri Perayu. Sapuan kaki Panji telak menghajar kuda-kudanya. Nenek itu memekik kaget sewaktu kakinya kena jegal. Tubuhnya melambung dengan kedua kaki terangkat ke atas. Beruntung Putri Perayu memiliki kepandaian tinggi. Meski keadaannya sangat sulit, ia masih dapat melakukan gerak berputar. Nenek sinting itu dapat menyelamatkan diri secara mengagumkan! Ia menjatuhkan diri ke tanah dengan kedua tangan lebih dulu. Dan, terus bergulingan untuk kemudian melenting bangkit.

"Awaass...!"

Putri Perayu membentak nyaring. Kedua tangannya melontarkan pukulan bergantian. Serangkum angin keras menderu mengiringi datangnya pukulan. Setelah lewat belasan jurus tampaknya nenek sinting itu mulai melupakan tujuannya semula. Serangan-serangan yang dilancarkannya bukan lagi sekadar untuk menguji. Serangan itu sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan luka dalam yang parah. Nampaknya, hawa bertempur mulai dirasakan Putri Perayu sebagai pertarungan hidup dan mati!

"Celaka...!" Perempuan muda berpakaian merah muda yang berwajah manis berseru kaget. Ia tidak menduga nenek sinting memiliki kepandaian vnng sedemikian hebat. Kalau semula ia hanya hendak menggoda, kini menjadi khawatir akan keselamatan pemuda berjubah putih. Ketika melihat Panji kewalahan, perempuan itu berseru keras sambil melayang ke tengah arena.

Melihat perempuan yang memanas-manasi Putri Perayu ikut terjun ke arena, Panji semakin bertambah jengkel. Ia menduga perempuan itu hendak membantu nenek sinting untuk menangkapnya. Maka, bergegas Panji melompat jauh ke belakang untuk mempersiapkan diri menghadapi keroyokan kedua perempuan itu. Tapi, dugaan Panji ternyata keliru. Terjunnya perempuan berpakaian merah muda ke arena bukanlah untuk membantu nenek sinting, melainkan hendak menyelamatkan Panji dari serangan maut lawannya.

Duk! Plak! Bukkk!

Hebat dan cepat sekali gerakan Putri Perayu. Dua kali serangannya ditangkis perempuan muda itu, yang langsung tergetar mundur sambil meringis kesakitan. Sedangkan nenek sinting sudah mengirimkan hantaman kilat dengan telapak tangan tebuka. Pukulan itu telak menghajar perut perempuan muda. Ia terpelanting ke tanah, meski dapat langsung bangkit dan menyiapkan jurus-jurusnya. Pada sudut bibir perempuan itu terlihat cairan merah. Pukulan nenek sinting telah melukai bagian dalam tubuhnya.

"Minggir kau, Kuntilanak Genit! Jangan ambil suamiku...!" Putri Perayu itu berteriak-teriak. Kembali ia mengirimkan pukulan-pukulan dan tamparan yang mendatangkan deruan angin keras.

Perempuan berpakaian merah muda kelihatan kaget dan agak gugup melihat datangnya serangan. Kendati demikian, ia masih dapat menyelamatkan diri dengan susah payah. Tubuhnya terhuyung mundur tidak bisa mengatur kuda-kudanya karena serangan beruntun yang dilancarkan Putri Perayu.

"Nona, menyingkirlah...!"

Panji yang melihat perempuan muda itu, jelas-jelas hendak membelanya, segera berseru ketika Putri Perayu melanjutkan serangan mautnya. Cepat bagai kilat, tubuhnya melesat dan disambutnya serangan nenek itu dengan kibasan kedua lengan. Panji membentuk perisai sinar putih berhawa dingin yang menusuk tulang. Tenaga mukjizat 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang ketangguhannya telah terkenal di kalangan persilatan.

Kembali dua pasang lengan beradu memperdengarkan suara keras. Kali ini karena Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya, benturan itu menyebabkan tubuhnya dan Putri Perayu terpental balik. Tubuh Panji terlempar lebih jauh dari lawannya, bahkan nyaris terpelanting. Itu menandakan tenaga dalamnya masih berada di bawah nenek sinting. Benar-benar sebuah kenyataan yang mengejutkan Panji!

"Tuan...!" Perempuan berpakaian merah muda bergegas menghampiri Panji yang baru saja memperbaiki kuda-kudanya. Panji menoleh dan tersenyum ketika melihat kekhawatiran di wajah perempuan itu. "Maafkan aku, Tuan. Sungguh tak kusangka nenek sinting itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi," ucap perempuan itu dengan nada sesal. "Sebaiknya kita menghindar saja. Tidak ada gunanya meladeni manusia sinting seperu nenek itu...," lanjutnya mengusulkan.

Panji tersenyum menerima pernyataan maaf. Kemudian, menganggukkan kepala menyetujui usul itu. Ia sendiri enggan memperpanjang urusan dengan Putri Perayu. "Kau pergilah lebih dulu, Nona. Aku akan mencoba menahannya. Ilmu lari cepatnya sungguh luar biasa. Aku sudah merasakannya tadi," ujar Panji perlahan, namun mengandung ketegasan yang tidak ingin dibantah.

Perempuan itu berusaha tersenyum. Meski yang dilihat Panji adalah seringai ngeri. Tahulah Panji kalau perempuan itu telah menderita luka dalam. Sekilas dipandanginya sosok perempuan yang berlari meninggalkan arena pertempuran.

Putri Perayu sepertinya tidak peduli dengan perempuan berpakaian merah muda yang melesai pergi, ia cuma mengerutkan kening sesaat. Lalu perhatiannya kembali terpusat kepada Panji. Nenek sinting itu sudah mempersiapkan jurusnya untuk melanjutkan perkelahian.

Panji mengempos semangatnya dan mengerahkan tenaga gabungan. Sebentar kemudian, di sekeliling tubuhnya muncul cahaya putih keperakan, dan sinar kuning keemasan yang membelah tubuhnya.

"Hei...!" Putri Perayu berseru kaget melihat dua sinar mukjizat yang melapisi tubuh Panji. Tapi, dengan cepat ia kembali memperoleh kesadarannya. Ia bersiap menerjang Panji. Namun, Panji telah mendahuluinya dengan mendorongkan kedua telapak tangan.

Whusss...!

Sinar kuning keemasan dan cahaya putih keperakan yang menyilaukan mata melesat dari kedua telapak tangan Panji. Putri Perayu segera menunda gerakannya begitu merasakan hembusan hawa panas dan dingin yang berasal dari dua rangkum sinar itu.

Buummm...!

Terdengar suara ledakan membahana, membuat tanah tempat Putri Perayu berpijak berhamburan disertai kepulan debu tebal. Sebagian dedaunan pohon yang berada di sekitar nenek sinting berguguran ke tanah. Sementara sebagian lagi layu bagai terbakar. Bahkan, ada yang diselimuti butiran-butiran salju. Kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimiliki Panji tampaknya telah mengalami kemajuan.

Putri Perayu sendiri sudah keburu menjejak tanah sewaktu menyadari kedahsyatan pukulan Panji. Ketika pukulan dahsyat itu membongkar tanah tempatnya berpijak, tubuh nenek sinting sudah melambung ke udara berjumpalitan lima kali ke belakang. Dan, saat mendarat di tanah suasana di depannya terlihat gelap sehingga ia tidak bisa melihat sosok Panji, yang begitu melepaskan pukulan langsung melesat pergi meninggalkan tempat itu. Pukulan itu memang dimaksudkan Panji hanya untuk mengelabui Putri Perayu.

********************

"Hh.... Untunglah kita dapat melepaskan di dari nenek sinting itu, Panji..." Panji menoleh sambil menghembuskan napas lega. Saat itu mereka sudah berlari hampir setengah hari untuk menghindari kejaran Putri Perayu.

Selama dalam perjalanan keduanya sudah saling memperkenalkan diri. Mereka melakukan perjalanan sama karena kebetulan arah yang mereka tuju sama. Panji tidak merasa keberatan melakukan perjalanan dengan gadis itu. Panji menceritakan awal pertemuannya dengan nenek itu. Sedangkan Karina, perempuan berpakaian merah muda, cuma mengetahui sewaktu nenek sinting meminta Panji untuk menjadi suaminya.

"Kemunculannya jelas bukan tanpa sebab. Pasti ada sesuatu yang membawa langkahnya ke daerah ini...," ujar Panji. "Kau sendiri bagaimana tahu-tahu bisa muncul di tempat itu, Karina...?"

"Kurasa alasan kita tidak berbeda, Panji. Seperti juga alasan tokoh-tokoh persilatan yang saat ini banyak bermunculan. Kabar tentang munculnya seorang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka demikian menghebohkan. Hingga, Guru menugaskan aku untuk menyelidiki kebenarannya. Ketika melihat kau berselisih dengan nenek sinting itu, aku sebetulnya sedang dalam penyelidikan," ujar Karina sejujurnya.

"Artinya, sampai saat ini kau belum mendapatkan petunjuk tentang benar tidaknya berita itu?" tegas Panji menyimpulkan penuturan Karina.

"Begitulah..," Karina mengangkat bahunya disertai helaan napas berat.

"Lalu, penjelasan gurumu tentang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka itu bagaimana? Apakah dia laki-laki atau perempuan? Tua atau muda?"

Karina tertawa lirih mendengar pertanyaan Panji yang beruntun. "Sejak tadi selalu aku yang menjawab," Karina seperti keberatan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. "Bagaimana kalau mengenai hal itu kau saja yang menjawabnya, Panji. Menurutku, orang yang memiliki kepandaian sepertimu pastilah tahu lebih banyak ketimbang perempuan bodoh seperti aku...."

Ucapan Karina membuat Panji mengulum senyum. Beberapa saat keduanya dicekam keheningan. Panji tidak segera memenuhi permintaan Karina. Sampai akhirnya Karina bergerak menghadang di depan Panji. Sepasang mata bulat dan bening itu menghujam tepat di bola mata Panji, penuh tuntutan!

"Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui...," Panji menghela napas, mengalah. "Dari keterangan yang kuperoleh dan setelah menyaksikan korban-korban keganasan tokoh Utusan Dari Neraka, dapat diperkirakan tokoh itu seorang bocah. Entah kekuatan apa yang dimiliki hingga mampu melakukan pembunuhan dengan sangat kejinya. Korbannya kebanyakan ibu-ibu muda yang tengah menyusui. Meski kabarnya belum ada seorang pun yang pernah melihat rupa Utusan Dari Neraka, tapi aku merasa yakin tokoh itu seorang bocah. Kemungkinan ia diperalat seorang ahli sihir yang bertujuan hendak mengacaukan dunia persilatan, di samping tentu saja mempunyai maksud-maksud tertentu," jelas Panji panjang lebar.

Karina mengangguk-angguk merasa sependapat dengan Panji, ia sendiri pernah menyaksikan korban-korban keganasan Utusan Dari Neraka. Korbannya rata-rata perempuan. Mereka ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Karina tidak bisa memastikan apakah mereka perempuan muda atau nenek-nenek. Korban tewas dengan seluruh kulit tubuh mengeriput dan hitam seperti hangus terbakar.

Penjelasan Panji membuat pikiran Karina terbuka. Ia baru menyadari perbedaan antara orang yang mati terbakar dengan korban Utusan Dari Neraka. Orang yang tewas terbakar kulit tubuhnya pasti melepuh dan kemerahan. Jika lebih hebat lagi akan gosong dan kering. Tidak seperti korban-korban Utusan Dari Neraka. Kulit tubuhnya mengeriput seolah seluruh darah dan sari kehidupan di dalam tubuh korban terhisap habis! Padahal, menurut penglihatan tokoh-tokoh ahli tak ada sedikit pun luka. Itu yang menimbulkan pertanyaan dan masih merupakan misteri yang belum terpecahkan.

********************

EMPAT

Di lereng sebelah utara Gunung Merbuk, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa duduk bersila menghadap sebuah mulut goa yang tingginya kira-kira setengah tombak dari atas permukaan tanah. Dua pasang mata datuk sesat itu menatap tajam ke arah mulut goa. Mereka duduk diam di atas sebuah batu besar, hingga tempat mereka sejajar tingginya dengan letak mulut goa.

Sesekali dari dalam goa terdengar geraman-geraman marah yang mirip suara binatang buas. Orang yang bernyali kecil tentu sudah jatuh pingsan mendengar suara yang mendirikan bulu roma dan menggetarkan jantung itu. Suara parau itu seolah datang dari alam lain.

Kalau orang lain mungkin akan lari terbirit-birit ketakutan, tapi bagi dua datuk sesat seperti Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa geraman-geraman itu justru membuat wajah mereka berseri. Untuk pemilik suara itulah mereka datang ke Gunung Merbuk. Suara Utusan Dari Neraka!

"Hm.... Sudah dua belas hari kita duduk menunggu di sini, Setan Ular Tertawa. Namun, pagar gaib yang dibuat Telapak Lidah Halilintar pada mulut goa belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sirna. Entah berapa lama lagi kita harus menunggu...," ucapan yang diawali dengan helaan napas panjang itu keluar dari mulut Algojo Cakar Siluman.

Tidak terdengar sahutan dari Setan Ular Tertawa, ia menanggapi keluhan rekannya dengan kening berkerut. Mereka memang telah dua belas hari lamanya berada di tempat itu. Hampir pada setiap malam mereka melihat sesosok makhluk hitam legam merangkak ke mulut goa. Tapi, selalu saja berhenti di mulut goa. Kemudian menggeram-geram dan menghilang masuk ke dalam. Setiap kali makhluk itu hendak mencoba keluar, tiba-tiba muncul cahaya putih yang membentuk pagar. Sosok makhluk itu meraung kesakitan dan akhirnya kembali lenyap ke dalam goa. Selalu pemandangan itu yang disaksikan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa.

Apa yang disaksikan pada setiap malam itu membuat Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mau tidak mau harus mempercayai kebenaran selentingan kabar itu. Sebelumnya mereka memang belum bisa mempercayai tersiarnya kabar tentang apa yang telah dilakukan Telapak Lidah Halilintar terhadap Utusan Dari Neraka.

Telapak Lidah Halilintar setelah mendengar pembunuhan-pembunuhan keji dan mengerikan yang dilakukan seorang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka segera melakukan penyelidikan. Ia tokoh golongan putih yang selain memiliki kepandaian silat tinggi juga mempunyai kekuatan ilmu sihir. Itu sebabnya, begitu mendengar kalau Utusan Dari Neraka menggunakan ilmu gaib dalam menghabisi korban-korbannya, Telapak Lidah Halilintar segera mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mencari petunjuk. Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil memergoki Utusan Dari Neraka sewaktu tengah menghabisi korbannya.

Bukan kepalang terkejutnya Telapak Lidah Halilintar ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa tokoh yang karena kekejamannya hingga dijuluki Utusan Dari Neraka ternyata seorang bocah berusia tiga tahun! Bocah itu membunuh seperti bukan karena hendak membunuh, tapi karena kehausan. Rasa haus itu membuat setiap ibu muda yang tengah dalam masa menyusui dijadikan korbannya.

Bocah Utusan Dari Neraka akan mengisap habis air susu berikut darah sang ibu muda yang malang. Anehnya, setiap korbannya tidak pernah menjerit-jerit. Mereka terkena pengaruh aneh yang memancar dari sepasang mata Utusan Dari Neraka, tubuh korban baru dilepaskan setelah tidak ada lagi air susu bercampur darah. Korban ditinggalkan dalam keadaan sekujur kulit tubuh mengering. Karena, cairan di seluruh tubuhnya telah diisap habis oleh Utusan Dari Neraka!

Saat memergoki bocah yang bertubuh hitam legam dan berkilat-kilat itu. Telapak Lidah Halilintar mengerahkan ilmu andalannya untuk memusnahkan bocah itu. Namun, kekuatan pukulan Ilmu 'Telapak Halilintar' malah berbalik dan nyaris mencelakai dirinya. Akhirnya, Telapak Lidah Halilintar mengerahkan seluruh ilmu sihirnya untuk menaklukkan Utusan Dari Neraka. Merasakan kekuatan gaib pada diri bocah itu melemah akibat rasa hausnya, Telapak Lidah Halilintar segera membelenggu dengan menggunakan mantera-mantera sihir. Lalu, dibawanya pergi ke tempat kediamannya selama ini, di lereng sebelah utara Gunung Merbuk.

Dengan perbuatannya itu bukan berarti Telapak Lidah Halilintar telah berhasil mengalahkan Utusan Dari Neraka. Kekuatan belenggu mantera sihirnya hanya mampu bertahan sampai empat puluh hari. Lewat dari batas itu, Telapak Lidah Halilintar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Bocah Utusán Dari Neraka seolah tidak bisa dimusnahkan. Tubuh hitam legam bocah itu bukan saja mampu mengembalikan setiap serangan yang mengancamnya, bahkan mampu menyerang tenaga pukulan yang bagaimanapun kerasnya.

Apa yag akan terjadi setelah empat puluh hari berikutnya benar-benar membuat Telapak Lidah Halilintar dilanda kecemasan. Yang bisa dilakukannya cuma menunggu datangnya hari keempat puluh satu, setelah memenjarakan Utusan Dari Neraka di sebuah goa yang telah diberikan mantera pada mulut goa. Selama empat puluh hari empat puluh malam Utusan Dari Neraka tidak akan bisa keluar dari dalam goa itu.

Telapak Lidah Halilintar bukannya tidak tahu perbuatannya telah tercium tokoh-tokoh persilatan. Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan terutama kaum golongan hitam, terpaksa dibunuhnya. Mereka hendak merebut bocah pembawa bencana itu dari tangannya. Tapi, ketika dua orang de dengkot golongan sesat yang tidak lain Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa datang untuk mengambil bocah itu, Telapak Lidah Halilintar terpaksa harus merelakan nyawanya.

Kesaktian kedua datuk sesat itu tak sanggup ditandingi. Telapak Lidah Halilintar tewas dengan membawa rasa penasaran karena belum menemukan cara untuk memusnahkan Urusan Dari Neraka. Malah, bocah itu jatuh ke tangan manusia-manusia kejam yang sudah pasti akan memperalatnya untuk kepentingan pribadi.

********************

"Ada orang datang...!"

Tiba-tiba Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa berlompatan bangkit berdiri. Alangkah kaget kedua datuk kaum sesat itu melihat kemunculan seorang kakek jangkung yang mengenakan jubah lebar berwarna hijau dan pakaian dalam putih.

"Sssi... apa kau...?" Pengaruh yang memancar dari wajah dan sorot mata lembut kakek jangkung ternyata mampu membuat seorang datuk sesat seperti Algojo Cakar Siluman mendadak gugup. Algojo Cakar Siluman sendiri terkejut dan hampir tidak mengenali suaranya. Tapi, perbawa yang memancar dari kakek jangkung benar-benar tak mampu dibantahnya!

Hal serupa juga dialami Setan Ular Tertawa. Tokoh itu mendadak merasakan lidahnya kelu dan sukar diajak bicara, ia hanya menatap dengan sepasang mata terbelalak.

"Assalamu'alaikum, wahai sahabat-sahabatku…," Demikian lembut serta diiringi senyum salam itu diucapkan kakek jangkung. Ia mengangkat sebelah tangannya memberi hormat.

Tapi, Algojo Cakar Siluman maupun Setan Ular Tertawa yang masih belum hilang rasa gugupnya cuma bisa mengangguk-angguk persis orang-orangan sawah. Baru setelah agak lama, dan berusaha keras mengatasi kegugupannya, kedua datuk yang ditakuti tokoh-tokoh persilatan itu memperoleh ketenangan kembali. Tapi meskipun begitu mereka tetap tak dapat melenyapkan rasa segan dan hormatnya kepada kakek jangkung.

"Ada kepentingan apa kau datang ke tempat ini...?" Algojo Cakar Siluman bertanya dengan suara diberat-beratkan agar terdengar menyeramkan. Ketika bertanya ia tidak berani memandang wajah kakek jangkung berlama-lama. Algojo Cakar Siluman sendiri tidak mengerti apa penyebabnya.

"Aku datang dari tempat yang jauh dengan membawa itikad baik, Sahabatku." Lembut dan tetap dihiasi senyum penuh kesabaran jawaban kakek jangkung.

"Itikad baik seperti apa yang kau maksudkan itu...?" Setan Ular Tertawa mendesak ketika kakek jangkung tidak menyebutkan secara rinci keperluannya. Seperti halnya Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa pun tidak berani memandang wajah kakek itu terlalu lama. Setelah bertanya ia buru-buru menunduk, tak kuat menentang sorot mata dan wajah yang memancarkan pengaruh luar biasa itu.

"Sebenarnya aku seorang penyebar agama. Tapi, karena keangkaramurkaan tengah merajalela mengancam keselamatan umat manusia, aku merasa berkewajiban untuk ikut mencegahnya. Jelasnya, kedatanganku kemari adalah untuk membawa bocah yang disebut-sebut sebagai Utusan Dari Neraka. Dari kabar terakhir yang kudengar, Utusan Dari Neraka berada di sekitar kaki Gunung Merbuk ini," jelas kakek jangkung yang mengenakan sorban di kepalanya. Ia berhenti sebentar memandang Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa berganti-ganti. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya.

"Dari yang kuketahui melalui mimpi, bocah itu terlahir dengan membawa kutuk berupa kekuatan jahat yang luar biasa. Kekuatan jahat itu telah membunuh ibunya di saat melahirkannya ke dunia. Bocah itu mengisap habis seluruh darah di tubuh ibunya. Kemudian, membunuh dukun yang menolong kelahiran dengan memakan jantungnya. Ayahnya yang melihat perbuatan putranya bermaksud hendak membunuhnya. Tapi, lelaki malang yang seharusnya berbahagia itu juga tewas tercabik-cabik bagai diamuk binatang buas." Kakek jangkung melanjutkan penjelasannya, karena Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa masih membisu dengan pertanyaan yang mengganggu kepalanya. Tentang siapa sebenarnya kakek jangkung yang memiliki perbawa luar biasa itu.

"Maaf," ujar Algojo Cakar Siluman setelah kakek jangkung tidak berbicara lagi. "Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa...."

"Ya. Karena kami lebih dulu tiba di tepat ini dan telah menunggu selama dua belas hari." Setan Ular Tertawa menyambung. "Lebih jelasnya, kami berdualah yang lebih berhak atas diri Utusan Dari Neraka itu. Harap kau suka pergi dari tempat ini. Lanjutkan tugasmu menyebarkan agama. Mengenai bocah itu, biar kami berdua yang mengurusnya...."

Kakek jangkung berjubah panjang dan longgar itu tetap tersenyum sabar, meski perkataan Setan Ular Tertawa jelas-jelas menolak itikad baiknya. "Sebenarnya aku mempunyai firasat bahwa campur tanganku tidak akan menyelesaikan persoalan. Telah ditakdirkan akan ada orang lain yang kelak mengurus dan menyelesaikan persoalan ini. Tapi sebagai manusia biasa, dengan tidak mengenyampingkan ketentuan dari Yang Maha Kuasa, tidak ada salahnya aku berusaha. Persoalan takdir itu merupakan rahasia Allah. Tak satu makhluk pun yang dapat mengetahuinya secara pasti. Itu sebabnya aku masih hendak berusaha. Karena takdir ada yang bisa kita rubah dan ada yang tidak bisa," ujar kakek jangkung, membuat Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa kembali saling bertukar pandang. Penjelasan kakek itu terlalu rumit dan mereka agak sulit menangkap maknanya.

"Terserahlah apa katamu. Yang jelas, siapa pun yang hendak mengambil bocah itu akan kami tentang!" Akhirnya Algojo Cakar Siluman berkata tegas dan tandas.

Masih dengan mulut tersenyum kakek jangkung menghela napas panjang beberapa kali. Sesaat dipandanginya langit sore yang masih cerah, seolah hendak mencari petunjuk apa yang harus dilakukannya. "Haruskah setiap persoalan diselesaikan dengan perkelahian. Mengapa manusia tidak berupaya mencari jalan damai yang jauh lebih baik ...?" Kakek jangkung itu bergumam lirih. Tapi, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mendengar jelas ucapan itu.

"Dunia ini adalah belantara liar. Siapa kuat dialah yang menang!" lantang dan keras kata-kata yang diucapkan Setan Ular Tertawa, di dalamnya tersembunyi tantangan.

Kakek jangkung menggeleng dengan senyum duka. Langkahnya terayun menuju mulut goa. Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa bergegas menghadang dari dua arah. Ketika mereka mencoba memperingatkan dan kakek jangkung tetap melanjutkan langkahnya, Algojo Cakar Siluman mengeluarkan bentakan nyaring. Tubuhnya mencelat dengan lontaran pukulan yang menderu hebat.

Debb!

"Aakh...?!" Algojo Cakar Siluman memekik kaget. Pukulannya membentur suatu kekuatan yang tak tampak, yang membuat tenaga pukulannya membalik. Tubuh Algojo Cakar Siluman terlempar hingga hampir dua tombak jauhnya. Tapi, sebagai seorang datuk rimba persilatan Algojo Cakar Siluman segera dapat menguasai diri. Dengan lentingan berputar tubuhnya mendarat ringan di tanah. Tampak jelas betapa wajah datuk sesat itu menggambarkan rasa penasaran dan kaget. Wajah tokoh itu agak pucat!

Setan Ular Tertawa juga kaget melihat tubuh kawannya yang menyerang justru terpental balik. Tapi, pandangannya yang tajam sebagai seorang ahli silat sempat melihat tubuh Algojo Cakar Siluman tertahan sebentar sebelum terlempar, seolah ada kekuatan tak tampak yang melindungi kakek jangkung. Rasa penasarannya yang jauh lebih besar membuat Setan Ular Tertawa tidak menjadi gentar. Sambil mengeluarkan gelak tawa bergema, ia melontarkan dua buah pukulan sekaligus. Sasarannya adalah batok kepala dan lambung kakek jangkung.

Serangan maut Setan Ular Tertawa sedikit pun tidak membuat langkah kakek jangkung tertahan. Ia terus bergerak maju tanpa menoleh, seakan tidak tahu akan datangnya ancaman bahaya itu. Seperti halnya Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa pun mengalami nasib yang sama. Saat kedua pukulannya tinggal setengah tombak lagi dari tubuh kakek jangkung tiba-tiba Setan Ular Tertawa memekik keras. Tenaga pukulannya seperti membentur suatu dinding yang sangat kuat. Tubuhnya tertahan untuk sesaat. Kemudian, bertolak balik seperti yang dialami Algojo Cakar Siluman.

"Gila...!" Setan Ular Tertawa mengumpat dengan napas memburu, setelah berhasil mematahkan daya tolak dengan berputaran beberapa kali di udara. "Siapa sebenarnya kakek jangkung itu? Rasanya aku belum pernah menyaksikan kepandaian luar biasa seperti ini. Hanya orang-orang yang telah meyakini ilmu tenaga dalam secara sempurna yang dapat mcnciptakan benteng pelindung di sekeliling tubuhnya. Tapi anehnya, mengapa benteng pelindung itu dapat membuat pukulan kita berbalik?! Padahal, aku telah mengerahkan tiga perempat tenaga dalamku. Ini benar-benar tidak masuk di akal!"

Rasa penasaran Setan Ular Tertawa tidak ditanggapi Algojo Cakar Siluman. Saat itu ia tengah sibuk memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Tidak aneh memang kalau keduanya merasa sangat penasaran dan menganggap semua itu tidak masuk akal. Mereka tokoh-tokoh puncak rimba persilatan. Dan, orang-orang yang memiliki kepandaian sejajar dengan mereka bisa dihitung dengan jari! Tapi, menghadapi kakek jangkung yang tak dikenal itu ternyata mereka tak berdaya. Wajar kalau Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tidak habis mengerti dibuatnya.

Seolah telah mendapat kata sepakat, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa saling bertukar pandang. Saat itu juga keduanya mengambil keputusan untuk menyerang bersama-sama dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki. Algojo Cakar Siluman menggeram keras. Asap tipis mengepul dari ubun-ubun kepalanya. Tanda Algojo Cakar Siluman telah mengerahkan tenaga dalam hingga ke puncaknya. Sepasang tangannya diputar sedemikian rupa membuat gerakan-gerakan yang menimbulkan gelombang angin ribut. Datuk sesat itu hendak menggunakan Ilmu 'Cakar Setan' yang keampuhannya sangat ditakuti lawan.

Sementara, Setan Ular Tertawa mengumandangkan gelak tawanya yang membahana. Gelombang angin berputaran laksana angin puyuh, membuat pepohonan di sekitar tempat itu berderak-derak bagai hendak runtuh. Bebatuan kecil beterbangan. Di kedua lengan Setan Ular Tertawa terlihat empat ekor ular sendok mendesis-desis ganas, siap mengirim kakek jangkung ke neraka.

Kali ini kakek jangkung menoleh. Rona kedukaan semakin nyata terbayang di wajahnya. Sepasang matanya memandang sayu, menyesali keputusan kedua datuk sesat itu. Bibirnya menggerimit perlahan. Tangan kanannya yang memegang tasbih tampak bergetar sesaat. Jari-jari tangan kakek itu tak berhenti menghitung biji-biji tasbih.

"Hyaaattt...!"

Dengan bentakan mengguntur Algojo Cakar Siluman menerjang maju. Dari putaran sepasang lengannya berkelebatan puluhan bayang-bayang cakar siluman yang mengarah jalan-jalan darah kematian di tubuh kakek jangkung. Bukan main dahsyat dan mengerikannya serangan datuk sesat itu. Selama malang-melintang di rimba persilatan baru kali ini ia mengerahkan seluruh kedahsyatan ilmunya.

Bersamaan dengan bentakan Algojo Cakar Siluman, gelak tawa Setan Ular Tertawa menyerang kakek jangkung. Itu pun masih dibarengi dengan luncuran empat ekor ular sendok di kedua lengannya. Keempat makhluk melata itu meluncur dengan kecepatan kilat. Meliuk-liuk di udara mencari sasaran pada kedua mata, jantung dan tenggorokan kakek jangkung. Serangan Setan Ular Tertawa tidak kalah dahsyatnya. Bahkan, lebih mengerikan dari se angan Algojo Cakar Siluman.

Tapi, kakek jangkung itu tidak memperlihatkan sikap gentar. Bibirnya terus menggerimit, sementara tangan kanannya bergetar semakin keras. Serangan yang mengarah kedua telinga dan bagian dalam dadanya yang berasal dari gema gelak tawa Setan Ular Tertawa kelihatannya tidak berpengaruh apa-apa. Ketika serangan-serangan kedua datuk sesat itu tiba semakin dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanan kakek jangkung menggenggam tasbihnya erat-erat. Kemudian, tangan yang memegang tasbih itu mengibas ke depan dengan kecepatan luar biasa!

Whusss...!

Seiring dengan kibasan tasbihnya cahaya putih tercipta dan langsung membentur cakar-cakar Siluman yang mengancamnya. Terdengar ledakan keras berturut-turut disertai percikan cahaya terang yang menyilaukan mata. Cakar-cakar siluman Algojo Cakar Siluman lenyap dengan meninggalkan kepulan asap tipis. Algojo Cakar Siluman sendiri meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar terguling-guling disertai muntahan darah dari mulutnya. Kemudian, ia terkapar lemas dengan napas satu-satu.

Sedangkan cahaya putih yang melebar dan mengeluarkan hawa panas langsung memanggang hangus empat ekor ular sendok yang tengah meluncur ke tempat bagian tubuh kakek jangkung. Cahaya itu terus menghantam tubuh Setan Ular Tertawa, yang saking cepatnya tak sempat lagi dielakkan. Setan Ular Tertawa menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar bagai selembar daun kering yang dihempaskan angin. Ia jatuh berdebuk dan terguling-guling tiga tombak lebih!

Begitu tubuhnya terhenti, Setan Ular Tertawa memuntahkan darah kental. Keadaannya jauh lebih parah dari Algojo Cakar Siluman. Bagian depan tubuh Setan Ular Tertawa ditandai jalur hitam yang menebarkan bau sangit. Kulit dan daging pada bagian itu terbakar hangus oleh kilatan cahaya putih yang berasal dari kibasan tasbih kakek jangkung. Luka yang sangat parah itu membuat Setan Ular Tertawa terbujur sekarat dengan wajah pucat. Kecil sekali kemungkinan datuk sesat itu akan dapat selamat dari kematian.

Kakek jangkung menghela napas melihat keadaan kedua lawannya. Dengan langkah lebar dihampirinya Setan Ular Tertawa lebih dulu. Tanpa berkata sepatah pun telapak tangannya ditempelkan ke bagian kulit yang hangus, sebelumnya ia mengangkat kedua tangannya ke atas dengan bibir menggerimit. Beberapa saat kemudian, asap tipis mengepul seiring dengan mengecilnya luka bakar di tubuh Setan Ular Tertawa. Sampai akhirnya lenyap sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikit pun!

Setan Ular Tertawa hampir tak mempercayai penglihatannya. Bukan main takjubnya datuk sesat itu menyaksikan suatu kepandaian yang luar biasa. Kenyataan yang baginya serasa mimpi itu membuatnya sadar kalau kakek jangkung seorang tokoh luar biasa. Menurutnya, mungkin tidak ada duanya di atas muka bumi.

"Kakek jangkung itu pasti bukan manusia biasa...!" desis Setan Ular Tertawa lirih ketika kakek jangkung melangkah lebar menghampiri Algojo Cakar Siuman. Ada sorot iri pada sepasang mata Setan Ular Tertawa, selain juga perasaan dendam. Kepandaian kakek jangkung jelas sangat jauh berada di atasnya.

"Hm.... Dikiranya aku akan berterima kasih dengan pertolongannya ini. Huh! Dialah yang menyebabkan aku terluka. Sudah sepantasnya kalau dia pula yang menyembuhkan...!" gumam Setan Ular Tertawa. Tentu saja hanya diucapkan di dalam hati. Ia kemudian bergerak duduk untuk memulihkan tenaganya!

Seperti halnya Setan Ular Tertawa, Algojo Cakar Siluman pun mendapat pertolongan dari kakek jangkung. Rasa nyeri yang diakibatkan luka di dalam tubuhnya lenyap setelah beberapa saat telapak tangan kakek jangkung melekat di atas dadanya. Tapi, tak sepatah ucapan terima kasih pun diucapkan Algojo Cakar Siluman, walau ia merasa takjub dengan kepandaian kakek jangkung dan lega karena luka dalamnya telah sembuh. Tanpa mempedulikan kakek jangkung, Algojo Cakar Siluman duduk bersemadi untuk memulihkan tenaganya.

LIMA

"Hua ha ha...! Sungguh suatu pertunjukan yang hebat dan mengharukan sekali...! Hua ha ha...!"

Kakek jangkung yang sudah melangkah menuju mulut goa terpaksa menunda gerakannya. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling tempat itu. Wajah kakek jangkung tetap terlihat tenang dengan senyum kesabaran. Tapi, sorot matanya jelas membayangkan keterkejutan. Suara tanpa wujud itu menimbulkan angin keras yang berputaran, membuat pepohonan berderak keras. Suara itu seolah datang dari segala penjuru. Sehingga sulit diketahui sumbernya.

"Kaget mendengar suaraku, Kyai Sanca Wilang?!"

Suara itu berubah menjadi lengkingan tinggi yang menusuk-nusuk telinga. Kakek jangkung kembali memutar kepalanya. Kekagetan sekilas membayang pada sorot matanya. Pemilik suara itu mengenal namanya dengan baik!

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tengah memulihkan tenaganya sampai berjingkrak bangkit dari semadinya dan terbanting jatuh berdebuk dengan keras. Demikian dahsyat pengaruh suara tanpa wujud itu. Betul kekuatan mereka memang belum pulih seluruhnya, tapi sewaktu suara tanpa wujud terdengar mereka telah dapat memulihkan tiga perempat bagian dari tenaga dalamnya. Dapat dibayangkan bukan main terkejutnya Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang untuk kedua kali mengalami kejadian tak terduga.

"Celaka...!" Algojo Cakar Siluman berdesah dengan wajah pucat. "Kemunculan Utusan Dari Neraka ternyata telah mengundang kedatangan manusia-manusia sakti. Kalau saja tidak mengalami sendiri, aku tidak akan pernah percaya di atas muka bumi ini ternyata masih banyak tokoh-tokoh yang kepandaiannya sangat jauh di atas kita...!"

Setan Ular Tertawa yang jatuh berdekatan dengan Algojo Cakar Siluman masih tampak pucat wajahnya. Ia tidak habis mengerti dengan kejadian-kejadian luar biasa yang dialaminya. Akalnya masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Sukar baginya untuk percaya bahwa dirinya yang telah diakui sebagai datuk golongan sesat di hampir dua wilayah ternyata dapat dikalahkan dengan mudah oleh kakek jangkung yang tak dikenal. Malah, kini muncul lagi tokoh baru yang juga memiliki kepandaian luar biasa.

Kenyataan-kenyataan yang tak pernah terbayangkan itu benar-benar membuat Setan Ular Tertawa sangat terpukul. Dalam mimpi pun rasanya Setan Ular Tertawa tak pernah membayangkan kepandaiannya yang tinggi ternyata tak berarti apa-apa.

"Dunia sudah gila. Dunia sudah edan...!" karena belum bisa menerima kenyataan pahit itu, Setan Ular Tertawa mengumpat sambil menggeleng berkali-kali.

"Kenyataan ini memang sangat menyakitkan bagi kita, Setan Ular Tertawa." Algojo Cakar Siluman menanggapi keluhan kawannya. "Tapi, sebaiknya kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Firasatku mengatakan pemilik suara yang belum menampakkan diri itu adalah lawan kakek jangkung yang bernama Kyai Sanca Wilang. Kita saksikan saja. Kemudian, kita ambil apa yang kira-kira bisa mendatangkan keuntungan buat kita...," lanjutnya, bukan cuma untuk menghibur hati Setan Ular Tertawa, tapi juga dirinya sendiri.

Setan Ular Tertawa hanya menjawab dengan anggukkan kepala perlahan. Sorot matanya jelas memancarkan harapan agar tokoh yang baru terdengar suaranya itu merupakan lawan Kyai Sanca Wilang.

Kyai Sanca Wilang yang mendengar pemilik suara itu telah mengenalnya dengan baik kini menujukan pandangannya pada satu arah. "Hm.... Rasanya aku dapat menduga siapa dirimu, Sahabat...!" Kyai Sanca Wilang berkata halus. Namun, terdengar lantang dan bergema hingga ke seluruh pelosok tempat itu.

Sesaat kemudian, ucapan Kyai Sanca Wilang disambut oleh suara daun-daun pohon yang seperti diterjang suatu benda. Suara berkerosokan itu berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lain di seputar tempat itu. Akhirnya, dengan disertai suara mengaung meluncurlah sesosok tubuh yang bergerak berputaran bagai seekor burung.

Sosok yang memiliki perawakan sama dengan Kyai Sanca Wilang, jangkung dan kurus, menjejakkan kaki di tanah dengan memperdengarkan suara keras. Sosok itu seperti sengaja hendak menunjukkan kekuatannya. Meski tubuhnya jangkung dan kurus, sewaktu kakinya menjejak tanah sekitar tempat itu berguncang keras laksana digoyang gempa. Perbuatan itu jelas menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat!

"Sudah kuduga kaulah pemilik suara itu, Sahabat Biang Segala Jahat..." Kyai Sanca Wilang menyapa sosok yang berperawakan sama dengan dirinya. Bedanya, sosok yang berjuluk Biang Segala Jahat itu mengenakan jubah panjang hitam. Lapisan sebelah dalamnya berwarna merah darah. Tokoh luar biasa itu hanya tertawa ketika julukannya disebut.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa menahan pekik kagetnya mendengar Kyai Sanca Wilang menyebut julukan Biang Segala Jahat. Julukan itu pernah mereka dengar dan menganggap keberadaan tokoh itu cuma ada di dalam dongeng. Bagi tokoh-tokoh golongan hitam tingkat tinggi, nama Biang Segala Jahat dijadikan sebagai lambang kekejaman dan kejahatan. Nama Biang Segala Jahat hanya terdengar dari mulut ke mulut tanpa seorang pun yang pernah bertemu atau melihatnya. Tidak heran kalau Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa demikian terkejut.

"Firasatmu ternyata benar, Algojo Cakar Siluman...!" Setan Ular Tertawa berkata lirih dan bergetar oleh perasaan gembira. "Tokoh yang menjadi lambang dan pegangan golongan kita itu akan mendatangkan keuntungan buat seluruh golongan sesat!"

"Benar-benar sebuah pengalaman yang luar biasa...!" Algojo Cakar Siluman berdesah sambil tak hentinya menggeleng takjub. Kalau kekalahannya tadi sempat membuatnya terpukul, kini ia merasa gembira dan ingin melihat apa yang dapat dilakukan Kyai Sanca Wilang terhadap Biang Segala Jahat.

Sosok jangkung agak kurus yang mengenakan jubah hitam pekat itu memang cocok sekali kalau dijuluki Biang Segala Jahat. Seluruh anggota wajahnya memancarkan pengaruh jahat yang membuat orang bergidik. Sepasang matanya tajam berkilat menyorotkan warna merah. Dalam sekejap mata itu tercermin watak penuh kelicikan, kebengisan, dan kekejaman tiada tara. Begitu juga dengan alis matanya yang hitam tebal dan bercabang pada ujungnya. Hidungnya yang melengkung tajam dan tarikan bibirnya benar-benar melambangkan segala nafsu angkara murka.

Usianya memang sudah tidak muda lagi. Kira-kira enam puluh lima tahun. Padahal sesungguhnya usia tokoh berjuluk Biang Segala Jahat itu telah mencapai seratus dua puluh lima tahun. Kalaupun sosoknya terlihat separo lebih muda dari usia sebenarnya, itu karena ramuan-ramuan obat ciptaannya. Juga karena 'Air Keabadian' tempatnya merendam tubuh.

Mengenai Kyai Sanca Wilang, boleh dibilang tidak ada orang yang tahu berapa usianya. Rupa dan namanya pun hampir tidak dikenal tokoh-tokoh persilatan. Itu karena Kyai Sanca Wilang hampir tidak pernah melibatkan diri dalam dunia persilatan. Ia seorang penyebar agama yang selalu melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman yang boleh dikatakan terpisah jauh dari keramaian dan sulit didatangi. Hanya sedikit sekali tokoh persilatan yang mengenal Kyai Sanca Wilang. Tokoh-tokoh yang sedikitnya berusia di atas sembilan puluh tahun, termasuk Biang Segala Jahat.

"Sungguh suatu pertemuan yang sangat menggembirakan. Bukan begitu, Kyai?" Ramah dan lembut suara Biang Segala Jahat Sangat berbeda dengan kebanyakan tokoh-tokoh jahat. Tapi, justru di balik keramahan dan kelembutan itu tersembunyi watak jahat yang luar biasa. "Seingatku, wajahmu tetap tidak, berubah seperti kita pertama kali bertemu pada puluhan tahun silam," lanjutnya sambil tersenyum. Tapi, anehnya dalam senyuman itu orang yang melihatnya dapat merasakan bayangan kekejaman yang mengerikan. Itu salah satu keanehan yang sulit diterima akal.

Kyai Sanca Wilang mengangguk-angguk dengan bibir tetap tersenyum. Bayangan ketegangan sudah lenyap dari matanya sejak Biang Segala Jahat menampakkan diri. Sikapnya tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Seolah ia tengah berhadapan dengan seorang sahabat baik yang telah lama tak berjumpa.

"Kau pun kelihatan tetap awet muda, Biang Segala Jahat. Aku merasa gembira bisa berjumpa lagi denganmu. Ini adalah takdir dari Allah, Biang Segala Jahat...," ujar Kyai Sanca Wilang menyahuti.

"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak ingat siapa aku, Kyai. Di hadapanku jangan sekali-kali Kyai menyebut takdir. Apalagi nama sesembahanmu. Itu pantangan bagiku, Kyai. Anehnya, kau selalu lupa dengan hal itu" Meski ucapan itu jelas menunjukkan ketidaksenangan hatinya, tapi raut wajah Biang Segala Jahat tidak berubah. Itu bukan sesuatu yang aneh. Sebagai biangnya segala bentuk kejahatan, Biang Segala Jahat tentu saja dapat menguasai perasaan dan sikapnya.

"Kau pun rupanya lupa siapa aku, Biang Segala Jahat. Aku seorang penyebar agama yang tentu saja tidak bisa terlepas dari semua itu." Kyai Sanca Wilang menukas tanpa meninggalkan senyumnya.

"Yah..., sudahlah...!" Biang Segala Jahat menepiskan telapak tangannya di udara. "Sekarang kita telah bertemu. Dan, kita sama-sama tahu untuk kepentingan apa berada di tempat ini. Kau mempunyai usul, Kyai...?"

Mendengar Biang Segala Jahat telah menyinggung ke pokok persoalan, Kyai Sanca Wilang tidak segera memberikan jawaban, ia membisu beberapa saat. "Hm.... Untuk memperebutkan Utusan Dari Neraka itu...," ujar Kyai Sanca Wilang kemudian. "Kupikir sebaiknya kita mengadakan pertandingan melalui sebuah permainan. Kurasa itu lebih baik. Tentu kau masih ingat dengan perjumpaan kita dulu. Kau terpaksa harus pergi setelah dapat kukalahkan dalam permainan catur yang memakan waktu dua hari dua malam. Bagaimana? Kau setuju? Atau kau takut kalah lagi denganku?" tantang Kyai Sanca Wilang.

Biang Segala Jahat tertawa sambil mengangguk-angguk. Ia tidak segera menerima usul Kyai Sanca Wilang. Mungkin karena takut mengulang kekalahannya di waktu silam. "Kita cari permainan lain yang lebih menarik dan lebih mengutamakan kepandaian daripada pikiran. Tapi, usulmu itu boleh juga. Anggaplah permainan catur itu merupakan bagian pertama. Kau setuju, Kyai?"

"Sesukamulah, Biang Segala Jahat... " Kyai Sanca Wilang menyerahkan keputusan kepada Biang Segala Jahat.

"Kalau begitu, mari kita mulai permainan yang pertama...."

Usai berkata demikian, Biang Segala Jahat tahu-tahu lenyap. Sebentar kemudian ia sudah kembali dengan membawa ranting pohon yang panjang dan besarnya sama dengan lengan orang dewasa. Kyai Sanca Wilang sudah duduk bersila di atas tanah. Dengan menggunakan kedua telapak tangannya, Kyai Sanca Wilang mengebut-ngebutkan tanah. Gerakan Kyai Sanca Wilang demikian cepat dan tak tertangkap oleh mata. Tahu-tahu saja tanah di depannya telah rata dan halus, membentuk kotak-kotak dengan dua warna, persis papan catur.

Biang Segala Jahat dengan tanpa menggunakan benda tajam, hanya dengan kedua tangannya, bekerja cepat membawa biji-biji catur dari ranting pohon. Kedua tangannya bergerak dengan kecepatan luar biasa, memapas dan membentuk potongan ranting menjadi biji-biji catur yang berupa bulatan seperti kepingan uang. Untuk membedakan warna biji-biji catur, Biang Segala Jahat cukup menggenggam separo dari jumlah biji catur, yang begitu dilepaskan telah berubah hitam dengan masih mengepulkan asap tipis. Hebat dan cepat sekali pekerjaan itu dilakukannya. Dalam waktu singkat biji-biji catur telah siap.

"Aku memilih warna hitam, Kyai. Karena dulu pun kau lebih menyukai warna putih, bukan?" ujar Biang Segala Jahat, yang tanpa membuang-buang waktu lagi segera mengatur buah-buah caturnya.

Perbuatan kedua tokoh sakti itu tentu saja mengundang keheranan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Meski agak kecewa karena kedua kakek itu tidak bertarung seperti harapan mereka, namun keduanya merasa tertarik dan bergegas mendekat untuk menyaksikan jalannya pertandingan.

Mulanya Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mengira permainan akan berlangsung seperti yang mereka ketahui. Tapi, setelah pertandingan dimulai barulah kedua datuk sesat itu terkejut. Permainan kedua manusia sakti itu benar-benar tidak lumrah. Mereka tidak menjalankan buah-buah catur seperti umumnya, melainkan saling berebutan untuk segera menghabisi buah catur lawan. Kecepatan gerak, penggunaan tenaga dalam, dan kejelian mata jelas sangat diperlukan.

Kemenangan ditentukan bagi mereka yang lebih dulu menghabisi buah catur lawan dengan tanpa merubah letak duduk, Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat duduk bersila berseberangan. Sementara dua pasang mata mereka saling tantang.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa kaget bukan main ketika kepala mereka mendadak pening sewaktu mengerling ke arah raut wajah kedua tokoh sakti itu. Kenyataan ini membuat keduanya sadar kalau Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat telah mengerahkan kekuatan sihir dalam permainan itu. Kelengahan sedikit saja bisa mengakibatkan luka dalam.

Menyadari hal itu, berdebarlah hati Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Mereka terpaksa bergerak mundur dan menyaksikan permainan dari tempat yang agak jauh. Lama-kelamaan pertarungan kedua tokoh sakti itu bisa berakibat buruk buat mereka. Dalam hal kecepatan dan ketepatan gerak, Kyai Sanca Wilang masih lebih unggul dari Biang Segala Jahat. Setelah agak lama permainan berlangsung, Kyai Sanca Wilang berhasil mencuri tiga buah biji catur lawan dengan gerak tipu.

"Bagus sekali gerak tipumu, Kyai..." Biang Segala Jahat memuji seraya menghentikan gerakannya. Sepasang matanya tidak berpindah dari wajah Kyai Sanca Wilang, yang tersenyum-senyum meletakkan tiga buah biji catur curian di hadapannya.

Saat itu Kyai Sanca Wilang kelihatan agak lengah. Namun, sewaktu Biang Segala Jahat mengulurkan kedua tangan dengan cepat untuk mencuri buah-buah caturnya, kakek jangkung itu dapat menggagalkannya. Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti mata, Biang Segala Jahat meliukkan tangan kanannya yang tertangkis lengan lawan. Sekali sambar saja, dua buah biji catur telah berada dalam genggaman.

"Hua ha ha...!" Biang Segala Jahat memperdengarkan tawa bergelak seraya memperlihatkan dua buah biji catur curiannya di depan wajah Kyai Sanca Wilang. Tapi, alangkah kagetnya ia ketika Kyai Sanca Wilang membuka telapak tangannya. Terlihat dua buah biji catur berwarna hitam. Rupanya pada saat yang hampir bersamaan Kyai Sanca Wilang berhasil mencuri buah catur lawan.

"Kita sama-sama mendapat dua biji catur, Biang Segala Jahat...," Kyai Sanca Wilang berkata dengan tersenyum.

"Kau curang, Kyai...!" Biang Segala Jahat menggeram gusar, ia mengumpat karena tidak melihat kapan Kyai Sanca Wilang bergerak mengambil buah caturnya.

"Curang bagaimana, Biang Segala Jahat?" tukas Kyai Sanca Wilang masih tetap tersenyum. "Buah catur ini kuambil dari hadapanmu, bagaimana bisa dibilang curang?"

Biang Segala Jahat tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak liar merayapi biji-biji catur di depannya. Kemudian, dengan kecepatan kilat Biang Segala Jahat mengulurkan tangan kanan. Tapi bukan biji catur yang ditujunya, melainkan dua biji mata Kyai Sanca Wilang. Dua jari tangan Biang Segala Jahat memperdengarkan suara mencicit sewaktu meluncur membelah udara.

Kecurangan lawan tidak membuat Kyai Sanca Wilang menjadi kaget, ia tahu betul siapa lawan yang dihadapinya. Seorang tokoh yang terkenal paling licik dan paling jahat. Sewaktu-waktu ia bisa saja tidak mempedulikan aturan permainan yang telah disepakati sebelumnya. Dengan tenang Kyai Sanca Wilang menunggu jari-jari maut itu tiba dekat. Ia sudah bisa menebak perbuatan Biang Segala Jahat cuma tipuan belaka.

Apa yang diperkirakan Kyai Sanca Wilang ternyata tidak meleset. Biang Segala Jahat yang melihat Kyai Sanca Wilang belum juga menggerakkan tangan, mendadak mengulurkan tangan kirinya menyambar biji-biji catur lawan. Tapi, alangkah heran hatinya melihat Kyai Sanca Wilang masih tenang-tenang saja. Kekecewaan tampak jelas pada wajah dan sorot mata Biang Segala Jahat. Ternyata lawan sama sekali tidak peduli.

"Hahhh...!"

Sambil membentak tertahan, Biang Segala Jahat merubah gerakannya. Tangan kanan yang semula menusuk ke arah kedua mata, meliuk turun. Sebaliknya, tangan kiri yang hendak menyambar biji-biji catur lawan bergerak melesat ke arah mata Kyai Sanca Wilang! Rupanya, itulah yang menjadi penyebab mengapa Kyai Sanca Wilang belum juga bergerak.

Plak! Dukk!

Tubuh kedua tokoh sakti yang tengah duduk bersila itu bergetar sewaktu kedua pasang lengan mereka berbenturan. Kendati demikian, benturan itu tidak membuat tubuh keduanya bergeser. Padahal benturan yang terjadi cukup keras. Hal seperti itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan tokoh lain. Agaknya, selain mengerahkan tenaga pada kedua lengan, mereka juga mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh masing-masing bagai tertanam dan melekat pada bumi.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya menyaksikan kejadian itu. Mereka menggeleng dan berdecak berkali-kali. Apa yang mereka saksikan benar-benar menunjukkan kesaktian yang sukar diukur! Lain halnya kalau kedua tokoh sakti itu memiliki perbedaan tingkat kepandaian. Tapi, mereka justru seimbang.

ENAM

Permainan catur yang tidak sewajarnya itu terus berlanjut. Segala kelicikan dan tipu muslihat telah dilakukan Biang Segala Jahat. Tapi, ia tetap ketinggalan oleh Kyai Sanca Wilang dalam mengumpulkan biji-biji catur. Sampai akhirnya, setelah semalaman suntuk, permainan pun berakhir. Kemenangan berada di pihak Kyai Sanca Wilang dan biji-biji caturnya masih tersisa hampir separo. Sedangkan biji-biji catur Biang Segala Jahat telah licin tandas!

"Kau menang, Kyai..," ucap Biang Segala Jahat terdengar getir. Tampaknya ia kecewa. "Sekarang kita meningkat pada permainan berikutnya. Karena permainan pertama kau yang memilih, maka pada permainan kedua ini akulah yang memilih," lanjutnya menyembunyikan kelicikan.

"Silakan... silakan...." Hanya itu yang diucapkan Kyai Sanca Wilang seraya mengangguk-anggukkan kepala. Ia bergerak mengikuti langkah Biang Segala Jahat, yang di tangan kanannya telah tergenggam dua batang ranting kecil sepanjang satu setengah jengkal. Besarnya tak lebih dari jari kelingking.

Biang Segala Jahat menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon besar yang pucuknya nyaris tak terlihat, ia menengadahkan kepala merayapi batang pohon besar itu. "Kau lihat daun pada ranting itu, Kyai?" Biang Segala Jahat meluruskan jari telunjuknya pada selembar daun yang terpisah dari daun-daun lain. Ia melekat pada ranting sebesar lengan. Tingginya kira-kira sepuluh tombak dari atas tanah. "Itulah pilihanku, Kyai. Sedangkan untukmu... Nah, daun yang sedikit berada di atas daun pilihanku..."

Kyai Sanca Wilang tersenyum mendengar kata sedikit lebih tinggi yang diucapkan Biang Segala Jahat. Karena sesungguhnya, daun yang dipilihkan untuknya berada lima sampai enam tombak di atas daun pilihan Biang Segala Jahat. Daun itu lebih kecil dan batang tempat daun itu melekat pun jauh lebih besar. Bagi mata orang awam daun yang ditunjuk Biang Segala Jahat nyaris tak terlihat. Tapi, bagi mata kedua tokoh sakti itu kelihatan sangat jelas. Mereka mengerahkan tenaga dalam pada kedua matanya untuk melihat daun-daun itu.

"Hm... Lalu, bagaimana peraturan permainannya, Biang Segala Jahat?" tanya Kyai Sanca Wilang. Ia tidak membantah meski jelas-jelas dicurangi Biang Segala Jahat.

"Dengan menggunakan potongan ranting kecil ini." Biang Segala Jahat memperlihatkan dua potong ranting telapak tangannya. Lalu, diberikannya potongan ranting yang lebih kecil kepada Kyai Sanca Wilang. "Kita berdua harus dapat mengambil daun itu tanpa membuat cacat ranting tempat daun melekat. Tentu kau paham maksudku, bukan? Kalau kau takut kalah, silakan pilih daun yang lebih muda untuk dijadikan sasaran. Kau pasti takut sasaranmu meleset. Dan, tidak bisa memenangkan permainan ini dariku. Perlu kau ingat, dalam permainan ini akulah yang berhak mengaturnya!" Dengan licik Biang Segala Jahat sengaja mengulang-ulang kata takut dalam perkataannya. Ia pun menekankan tentang haknya untuk mengatur permainan.

"Mulailah, Biang Segala Jahat" Meskipun sadar dirinya dicurangi mentah-mentah, Kyai Sanca Wilang tetap tersenyum. Sejak semula ia sudah telanjur terjebak kata-kata Biang Segala Jahat. Kyai Sanca Wilang tidak bisa mundur lagi. "Tentunya kau hendak memulai lebih dulu, bukan?" lanjutnya mendahului, ia tidak ingin membuang-buang waktu dan kembali terjebak dalam kelicikan Biang Segala Jahat.

Biang Segala Jahat tertawa bergelak. Sesaat kepalanya mengadah dengan sorot mata mencorong tajam. Kemudian, ranting di tangan kanannya dilontarkan dengan menggunakan tenaga dalam. Potongan ranting meluncur dan menyambar tepat di batang daun tanpa merobek daun itu. Demikian hebat pengaturan tenaga dalam Biang Segala Jahat, hingga dapat mencopot daun utuh berikut batangnya. Potongan ranting kemudian meluncur turun dan disambut dengan telapak tangan Biang Segala Jahat.

"Sekarang giliranmu, Kyai...," ujar Biang Segala Jahat setelah memperdengarkan tawa.

Kyai Sanca Wilang segera melemparkan potongan ranting di tangannya. Potongan ranting itu lebih kecil daripada yang digunakan Biang Segala Jahat. Berarti, Kyai Sanca Wilang harus menggunakan lebih banyak tenaga dalam agar potongan ranting tidak melenceng oleh hembusan angin sore yang berhembus keras.

Tapi, Biang Segala Jahat telah mempersiapkan segalanya untuk memperoleh kemenangan. Diam-diam mengerahkan tenaga dalam hingga hambusan angin semakin keras. Potongan ranting yang dilontarkan Kyai Sanca Wilang pun bergoyang-goyang hingga bergeser dari sasaran. Tentu saja Kyai Sanca Wilang tahu itu adalah perbuatan Biang Segala Jahat.

"Hm.... Kau curang, Biang Segala Jahat..," ucapan itu biasa saja. Namun, jelas terkandung ejekan bagi Biang Segala Jahat.

"Mengapa kau berkata begitu, Kyai? Bukankah dalam permainan ini aku tidak mengatakan kita harus bermain jujur? Itu artinya, aku atau kau boleh saja mencegah jika memang mau...." Dengan licik Biang Segala Jahat mengelakkan tuduhan Kyai Sanca Wilang, yang tentu saja tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apa yang dikatakan Biang Segala Jahat memang tidak salah.

Setelah memberikan alasan atas perbuatannya, Biang Segala Jahat malah menambah tenaganya. Potongan ranting yang dilemparkan Kyai Sanca Wilang bukan lagi bergoyang-goyang dan melenceng jauh dari sasaran, malah tertahan dan terkatung-katung di udara.

Perbuatan licik Biang Segala Jahat membuat Kyai Sanca Wilang mendengus. Kekuatannya dilipatgandakan, sehingga potongan ranting kembali bergerak naik mencari sasaran. Tapi, baru tiga jengkal potongan ranting kembali tertahan, bahkan bergerak turun satu jengkal lebih.

"Hmm..." Lagi-lagi Kyai Sanca Wilang mendengus. Lalu, telapak tangan kanannya bergerak naik dengan mengerahkan tenaga dalam yang kian berlipat.

"Hehh...!" Biang Segala Jahat menghembuskan napas keras-keras. Seperti halnya Kyai Sanca Wilang, Biang Segala Jahat pun segera mendorongkan telapak tangan kanannya ke arah potongan ranting. Benda yang dijadikan sasaran adu tenaga dalam itu bergetar keras. Tak bisa naik dan tak bisa turun.

Krassh...!

Karena dua kekuatan itu demikian kuat menghimpit, akhirnya potongan ranting tak kuat bertahan lebih lama. Dengan memperdengarkan suara yang cukup keras potongan ranting itu meledak, pecah menjadi serbuk kayu yang akhirnya sirna terbawa angin.

"Kau kalah, Kyai...," Biang Segala Jahat tergelak melihat potongan ranting hancur.

"Hm.... Bagaimana dengan permainan selanjutnya? Kita masih seimbang, bukan? Tentu harus ada permainan ketiga untuk menentukan siapa di antara kita yang berhak atas diri Utusan Dari Neraka ...," ujar Kyai Sanca Wilang seraya menghela napas panjang. Ditahannya kejengkelan yang mulai meliputi hatinya.

Biang Segala Jahat tidak segera menjawab, ia berpikir keras mencari bentuk permainan ketiga. Sekaligus memikirkan cara untuk mengalahkan Kyai Sanca Wilang.

"Usul mengadakan permainan ini datangnya darimu, Kyai." Tiba-tiba Biang Segala Jahat berkata dengan wajah penuh tipu muslihat. "Kau juga yang menghendaki adanya permainan ketiga sebagai penentuan. Artinya..., dalam permainan ketiga nanti aku jugalah yang berhak menentukan bentuk dan aturannya...."

"Tidak bisa, Biang Segala Jahat!" Kali ini Kyai Sanca Wilang menolak keras.

"Mengapa tidak? Sebagai seorang yang berhati bersih seharusnya kau berlaku adil, Kyai!" Biang Segala Jahat bersikeras dengan mengungkit-ungkit siapa Kyai Sanca Wilang dan bagaimana seharusnya bersikap.

"Apa maksudmu, Biang Segala Jahat...?" Kening Kyai Sanca Wilang terkejut ketika dirinya dituduh telah berlaku tidak adil.

"Hm...." Biang Segala Jahat tersenyum licik. "Hitunglah, Kyai, sudah berapa permintaan yang kau ajukan sejak kita berhadapan? Jauh lebih banyak dariku, bukan? Bagaimana kau bisa dibilang berlaku adil kalau permintaanmu selalu kuturuti sedang permintaanku selalu saja kau bantah..."

"Sudahlah, Biang Segala Jahat!" Kyai Sanca Wilang mengangkat tangan kanannya. "Aku tidak ingin berbantahan lagi denganmu, dan tidak mau menjadi korban kelicikan serta kecuranganmu. Aku yakin dalam permainan ketiga nanti pun kau akan berlaku curang demi memperoleh kemenangan... "

"Hm.... Lalu, apa maumu, Kyai?" Biang Segala Jahat malah menantang dengan sorot mata merahnya yang memperlihatkan kebengisan. "Pihakku lebih kuat, Kyai. Kau lihatlah kedua cecunguk itu...," lanjutnya menunjuk ke arah Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tengah menyaksikan pertengkaran kedua tokoh sakti itu.

Seolah terpengaruh gerakan jari Biang Segala Jahat yang menunjuk ke belakangnya, Kyai Sanca Wilang menoleh. Tapi, alangkah kaget ia ketika saat itu juga terdengar sambaran angin menderu tajam dari depan. Sadarlah Kyai Sanca Wilang bahwa dirinya kembali terjebak kelicikan Biang Segala Jahat. Dia menggunakan kesempatan untuk menyerang selagi dirinya menoleh.

"Licik..!" sambil mendesis jengkel, Kyai Sanca Wilang segera memecah kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya. Sebagian disalurkan ke kedua tangan yang langsung dikibaskan menyilang sewaktu berbalik, sedang sebagian lagi digunakan untuk melindungi tubuhnya.

Prasssh...!

Meskipun hanya memiliki sedikit waktu, Kyai Sanca Wilang dapat berpikir dengan cepat. Dari kibasan tangannya yang menyilang, membersit cahaya putih yang melebar dan langsung memapaki pukulan maut Biang Segala Jahat. Terdengarlah benturan keras. Kakek sakti itu tergempur kuda-kudanya. Tubuhnya terdorong dalam kedudukan semula. Hanya telapak kakinya saja yang terseret dan menimbulkan guratan dalam ditanah. Guratan memanjang pada tanah itu mengepulkan asap tipis. Agaknya, Kyai Sanca Wilang telah mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan kuda-kudanya.

"Hei...?!" Tiba-tiba, sebelum pertarungan kedua tokoh luar biasa itu berlanjut, terdengar seruan kaget yang berasal dari Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Kedua datuk sesat itu memandang ke satu arah dengan mata terbelalak.

Seruan kaget itu membuat Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang memalingkan wajah. Menyaksikan sikap Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang menggambarkan kekagetan dan ketegangan, kedua tokoh luar biasa itu segera memutar kepalanya. Dan.... Biang Segala Jahat serta Kyai Sanca Wilang menahan seruannya.

Yang mereka lihat adalah sosok seorang bocah berkepala gundul dengan kulit tubuh hitam legam. Kaki-kaki mungilnya melangkah tertatih meninggalkan mulut goa. Rupanya, hari itu adalah hari keempat puluh satu. Batas terakhir bagi pintu gaib yang dibuat Telapak Lidah Halilintar. Bocah Utusan Dari Neraka telah terbebas dari kungkungan pintu gaib yang selama empat puluh hari membuatnya terkurung di dalam goa.

Bocah berkepala gundul dan berkulit hitam legam yang hanya mengenakan cawat itu memang cukup pantas dijuluki sebagai Utusan Dari Neraka. Sosoknya sanggup untuk menggetarkan hati setiap orang yang memandangnya. Sepasang matanya bulat dan mengeluarkan sinar mencorong tajam. Bocah itu mempunyai alis mata yang hitam tebal dan bercabang tiga pada ujungnya. Giginya lengkap seperti gigi orang dewasa. Raut wajahnya memancarkan perbawa aneh serta menggidikkan bagi siapa saja yang melihatnya.

"Utusan Dari Neraka...?" Menyaksikan keseluruhan sosok bocah itu, Biang Segala Jahat berdesis perlahan. Wajahnya menampakkan keheranan, tapi juga kegembiraan. Biang Segala Jahat jelas sangat puas dapat menyaksikan bocah yang menggemparkan itu dengan mata kepala sendiri.

Ucapan Biang Segala Jahat tampaknya terdengar oleh bocah yang berjuluk Utusan Dari Neraka. Bocah itu seperti mengerti. Dia memalingkan wajahnya menatap Biang Segala Jahat dengan sorot matanya yang tajam dan memancarkan pengaruh iblis.

Biang Segala Jahat adalah seorang tokoh sakti luar biasa, ia sangat ditakuti dan dipuja-puja kaum golongan hitam. Namanya dianggap keramat. Tidak ada tokoh kaum golongan hitam yang berani membicarakannya. Ada anggapan bahwa apabila nama Biang Segala Jahat disebut, maka saat itu juga sosoknya akan muncul di hadapan orang-orang yang membicarakannya. Tentu saja anggapan itu cuma dongeng belaka. Tapi, raja dari segala raja tokoh sesat itu ternyata tergetar hatinya sewaktu ditatap sedemikian rupa oleh Utusan Dari Neraka.

"Luar biasa...!" Meskipun saat itu terselip perasaan ngeri dan segan yang aneh, Biang Segala Jahat masih sempat mengeluarkan pujian. "Jangan-jangan bocah itu titisan dari Penguasa Alam Kegelapan...!"

Kyai Sanca Wilang mengangguk-anggukkan kepala sambil mempermainkan jenggotnya yang menjuntai di dada. Keningnya berkerut dalam. Keresahan membayang di wajahnya. Seperti halnya Biang Segala Jahat, hati Kyai Sanca Wilang pun sempat tergetar oleh sorot mata dan raut wajah Utusan Dari Neraka.

Sekarang, setelah ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sosok bocah yang menggemparkan itu, sadarlah Kyai Sanca Wilang kalau bocah itu memang memiliki kekuatan jahat yang luar biasa. Kekuatan batinnya merasakan hal itu. Ia pun maklum kalau bocah itu merupakan ancaman bagi keselamatan orang banyak. Menurutnya, bukan mustahil kemunculan Utusan Dari Neraka akan membuat golongan hitam berjaya di atas muka bumi ini.

Dengan langkah tertatih Utusan Dari Neraka bergerak menuju tempat Biang Segala Jahat berdiri. Biang Segala Jahat sendiri tidak menunggu bocah itu sampai mendekat. Ia sudah bergerak menyambut. Tapi, sebelum keduanya bertemu, tiba-tiba Kyai Sanca Wilang membentak!

"Jangan dekati bocah itu, Biang Segala Jahat! Menyingkirlah! Aku hendak melihat sampai di mana kekuatan jahat yang bersemayam di dalam tubuhnya...!" berkata demikian, Kyai Sanca Wilang mengangkat telapak tangannya ke atas. Mulutnya berkemak-kemik membaca sesuatu yang tak jelas terdengar. Lalu, seiring dengan bentakan telapak tangannya dihantamkan ke arah Utusan Dari Neraka. "Sirnalah kau, hai kekuatan jahat..!"

Whusss...!

Sebentuk sinar bulat berwarna putih yang menyilaukan mata melesat dari telapak tangan Kyai Sanca Wilang. Udara panas menyebar sewaktu bola putih itu meluncur dengan suara menderu. Tapi, sebelum sinar putih mengenai tubuh bocah yang berjuluk Utusan Dari Neraka, Biang Segala Jahat tiba-tiba memutar tubuh. Diiringi pekik mengguntur, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Tubuh Biang Segala Jahat tampak menggeletar, tanda ia tengah mengerahkan seluruh kekuatannya. Sesaat kemudian, Biang Segala Jahat mendorongkan kedua telapak tangan. Meluncurlah dua bola api berwarna merah menyala yang menyambut bulatan sinar putih!

Duarrr...!

Suara ledakan laksana gelegar selaksa guntur terdengar. Tanah di sekitar tempat itu berguncang keras. Batu-batu beterbangan. Beberapa batang pohdn besar berderak tumbang. Saat itu seakan Gunung Merbuk tengah meletus menumpahkan laharnya.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa sampai terpelanting jatuh, meski mereka telah berusaha mempertahankan kuda-kudanya. Sementara Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat terpental ke belakang. Keduanya segera melenting bangkit dengan wajah agak pucat dan napas sesak. Anehnya, Utusan Dari Neraka seperti tidak merasakan apa-apa. Bocah itu tetap berdiri di atas kedua kakinya. Sehingga, Biang Segala Jahat maupun Kyai Sanca Wilang memandang takjub kepada bocah itu.

"Lawanlah manusia tua sok suci itu, Biang Segala Jahat...!"

Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang menoleh ke kanan kiri mencari pemilik suara besar, parau, dan menggetar itu. Tapi, mereka tak menemukan orang lain di tempat itu kecuali Utusan Dari Neraka. Sedangkan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tengah sibuk mengurus dirinya. Baik Biang Segala Jahat maupun Kyai Sanca Wilang merasa sangat yakin suara itu bukan berasal dari kedua datuk sesat itu.

"Apa lagi yang kau tunggu. Biang Segala Jahat? Lawan dan bunuh manusia sok suci itu...!"

Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang tertegun dengan wajah berubah tegang. Suara itu berasal dari Utusan Dari Neraka! Sungguh suatu hal yang sangat tidak masuk akal. Mana mungkin seorang bocah sekecil itu sudah bisa berbicara lancar. Apalagi suaranya aneh dan mengerikan. Selain itu, bocah itu seolah menganggap dirinya lebih tinggi dari Biang Segala Jahat. Kalau tidak, mana mungkin bocah itu berani memerintah Biang Segala Jahat!

TUJUH

"Lakukan perintahku, Biang Segala Jahat! Lawan dan habisi manusia sok suci itu...!"

Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang masih tertegun dan belum bisa menerima kenyataan itu ketika Utusan Dari Neraka kembali mengulang perintahnya. Perintah itu disertai dengan gerakan tangannya yang menunjuk Biang Segala Jahat.

Gerakan menunjuk Utusan Dari Neraka ternyata bukan sembarangan. Dari ujung jari telunjuknya membersit sinar merah terang yang langsung lenyap masuk ke dalam tubuh Biang Segala Jahat. Sesaat tubuh kakek itu berguncang keras seolah dirasuki kekuatan dahsyat!

"Aaarkhh...!" Begitu guncangan tubuh terhenti, Biang Segala Jahat meraung. Ia merasakan kekuatannya tiba-tiba berlipat ganda. Kekuatan aneh itu menjalar ke seluruh jalan darahnya. Dan, menggelora di dalam tubuhnya bagai gelombang air lautan.

Kyai Sanca Wilang mengerutkan kening melihat sinar yang keluar dari ujung jari telunjuk Utusan Dari Neraka. Dan, menyaksikan keadaan Biang Segala Jahat, Kyai Sanca Wilang pun sadar Utusan Dari Neraka telah memberikan tambahan kekuatan kepada Biang Segala Jahat yang diperintahkan untuk melenyapkan dirinya. Kyai Sanca Wilang bergegas melangkah mundur untuk mempersiapkan diri.

Sementara itu, keanehan terjadi pada diri Biang Segala Jahat. Tubuh tokoh itu kembali berguncang dan bergetar. Seiring dengan raungan panjang yang mendirikan bulu roma, wujud Biang Segala Jahat perlahan-lahan berubah. Mula-mula dari tengah keningnya menyembul suatu benda runcing berupa tanduk yang melengkung ke atas. Kemudian pada sekujur tubuhnya, kecuali wajah, bulu-bulu lebat tumbuh dengan cepat Pada bagian belakang tubuhnya tumbuh ekor yang memanjang dengan bagian ujung berbentuk mata tombak. Dua buah gigi sampingnya memanjang runcing membentuk dua buah taring.

"Astagfirullah...!" Kyai Sanca Wilang mengucapkan kalimat permohonan ampun kepada Allah, pencipta seluruh makhluk. Disapunya wajah dengan kedua telapak tangan. Perubahan yang terjadi pada diri Biang Segala Jahat hampir tidak bisa diterima akal sehatnya. Tapi, sebagai seorang yang memiliki ilmu agama, Kyai Sanca Wilang sadar segala sesuatu bisa saja terjadi atas kekuasaan Allah. Apa yang disaksikannya itu disadari sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa.

"Earrrkhhh...!"

Dengan raungan panjang yang parau, Biang Segala Jahat yang telah berubah menjadi makhluk menyeramkan menerjang Kyai Sanca Wilang. Jari-jari tangannya yang panjang dan runcing bagai kuku harimau menyambar datang dengan kecepatan dan kekuatan menggetarkan. Cepat Kyai Sanca Wilang melompat mundur. Lalu, dengan tasbihnya yang digunakan sebagai senjata, Kyai Sanca Wilang balas menyerang. Dalam waktu singkat pertempuran sengit pun terjadi.

Makhluk jelmaan Biang Segala Jahat itu ternyata jauh lebih kuat dan tangguh dari aslinya. Itu dirasakan benar oleh Kyai Sanca Wilang, yang meskipun belum pernah bertarung secara terbuka dengan Biang Segala Jahat, namun sudah dapat mengukur kesaktiannya. Kyai Sanca Wilang mulai kewalahan menghadapi makhluk jelmaan Biang Segala Jahat setelah bertarung lebih tiga puluh jurus.

Makhluk itu memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa. Hantaman tasbihnya bajai tak berarti apa-apa. Tapi, Kyai Sanca Wilang tidak putus asa. Ia mulai memilih bagian-bagian tubuh lawan yang merupakan titik terlemah di tubuh manusia. Kyai Sanca Wilang menganggap tubuh makhluk itu tidak berbeda dengan manusia. Apalagi, pada dasarnya makhluk itu berasal dari seorang manusia biasa.

Desss!

Makluk mengerikan itu memekik dan terpental terkena hantaman tasbih Kyai Sanca Wilang yang mengenai saiah satu jalan darah besar di tubuhnya. Tapi, Kyai Sanca Wilang menjadi kecewa ketika melihat pukulannya tak bisa melumpuhkan. Makhluk itu kembali menerjangnya dengan lebih ganas.

Kreppp!

Suatu ketika, jari-jari yang kuat dan berkuku runcing itu berhasil mencengkeram kedua bahu Kyai Sanca Wilang. Kakek sakti itu meringis merasakan kuatnya cengkeraman jari-jari lawan. Sebelum ia dapat melepaskan cengkeraman itu tubuhnya telah diangkat dan dilemparkan kuat-kuat.

Meskipun kedua tulang bahunya serasa remuk, Kyai Sanca Wilang masih sanggup menyelamatkan diri agar tidak terbanting jatuh. Dengan berputaran beberapa kali di udara untuk mematahkan daya lempar, Kyai Sanca Wilang berhasil mendarat di tanah dengan selamat.

Makhluk jelmaan Biang Segala Jahat kembali menerjang disertai raungannya yang bagai hendak membelah langit Kyai Sanca Wilang berusaha menghindari serangan-serangan makhluk itu dengan loncatan-loncatan ringan. Ia belum bisa membalas karena rasa nyeri di kedua bahunya membuat lengannya tidak bisa digerakkan. Keadaan itu membuat dirinya didesak habis-habisan. Ketika kedua tangan masih bebas bergerak saja ia sudah kewalahan, apalagi dalam keadaan kedua tangan tergantung lumpuh seperti itu. Semakin kelabakanlah Kyai Sanca Wilang dibuatnya.

Beggg!

Kepalan yang besar dan kuat itu akhirnya tak sempat dielakkan dan telak menggedor dada kanannya. Kyai Sanca Wilang terjungkal muntah darah. Sedang makhluk jelmaan Biang Segala Jahat sudah menerkamnya dengan cakar yang siap merobek-robek tubuhnya. Kyai Sanca Wilang masih mempunyai kesadaran. Dia segera melempar tubuhnya bergulingan di tanah. Sehingga, terkaman makhluk itu luput!

Ketika terkamannya hanya mengenai tanah, makhluk mengerikan itu bergegas mencelat bangkit. Dikejarnya Kyai Sanca Wilang yang saat itu sudah bangkit berdiri dan tengah terhuyung limbung. Makhluk itu meluncur lurus bagai sebatang tombak. Kedua cakarnya berada di depan, siap merobek-robek tubuh Kyai Sanca Wilang.

Mendadak, sebelum sepasang cakar makhluk itu mengenai sasaran, terdengar lengkingan panjang yang disertai melayangnya sesosok bayangan. Sosok itu menerjang makhluk jelmaan Biang Segala Jahat. Terdengar sambaran angin mengaung-ngaung mengiringi datangnya serangan sosok bayangan.

Derrr...!

Dua kekuatan raksasa berbenturan. Tubuh makhluk jadi- jadian tertahan dan tertolak balik. Sementara sosok bayangan terpental dengan disertai suara jerit tertahan. Dengan dua kali lentingan tinggi di udara sosok bayangan itu mendaratkan kakinya di belakang Kyai Sanca Wilang.

Sosok yang menyelamatkan Kyai Sanca Wilang ternyata seorang kakek. Kalau dilihat dari raut wajah serta bentuk tubuhnya yang bongkok, usianya pasti sudah sangat tua. Kakek bongkok yang rambut, kumis, dan jenggotnya berwarna putih suram dan panjang menjuntai ke dada terbatuk beberapa kali. Ada darah yang terlompat keluar sewaktu ia terbatuk. Benturan tadi tampaknya telah mengakibatkan guncangan yang cukup keras di bagian dalam tubuhnya.

"Sahabat, kau terluka...!" Kyai Sanca Wilang yang saat itu merasakan kedua tangannya sudah bisa digerakkan lagi bergegas menghampiri sahabat lamanya, Ki Bongkok Guno.

"Uuh.... Makhluk apa itu? Dari mana dia datang? Kekuatannya luar biasa sekali...." Ki Bongkok Guno berkata dengan terengah-engah. Tatapannya tertuju ke arah makhluk jelmaan Biang Segala Jahat yang sudah siap hendak kembali menerjang.

"Makhluk itu jelmaan dari seorang tokoh yang berjuluk Biang Segala Jahat," jelas Kyai Sanca Wilang. "Utusan Dari Neraka itulah yang telah merubahnya."

"Biang Segala Jahat..." Kakek bongkok berkata lirih dengan kening berkerut "Jadi, tokoh itu benar-benar nyata...?" lanjutnya, bertanya setengah tak percaya. Rupanya, Ki Bongkok Guno termasuk salah satu tokoh yang pernah mendengar nama Biang Segala Jahat, dan menganggapnya sebagai dongeng. Sepanjang pengetahuannya nama Biang Segala Jahat merupakan lambang kekuatan golongan hitam.

"Biang Segala Jahat memang benar-benar nyata," tegas Kyai Sanca Wilang.

"Berbahaya sekali...!" Ki Bongkok Guno mendesah seraya menggelengkan kepala. "Jika Biang Segala Jahat yang selama ini dianggap sebagai tokoh dalam dongeng sudah menampakkan diri, kiamat rasanya telah berada di ambang pintu. Kemunculan Utusan Dari Neraka saja sudah membuat dunia ini serasa hancur. Haih... celaka... celaka...."

"Yah.... Kemunculan kekuatan-kekuatan jahat itu memang bisa diartikan sebagai kiamat Dalam arti bencana besar bagi seluruh umat manusia di belahan bumi ini. Firasatku mengatakan, kekuatan-kekuatan jahat itu akan segera menguasai dunia. Entah untuk berapa lama. Yang jelas, segala bentuk keangkaramurkaan tidak akan pernah kekal," ujar Kyai Sanca Wilang. Kemudian, bergegas dibawanya Ki Bongkok Guno menjauh. Saat itu makhluk jelmaan Biang Segala Jahat tengah memperdengarkan raungan panjang yang menggetarkan.

********************

"Kau dengar raungan itu, Karina...?"

Panji dan Karina yang baru saja menyeberangi aliran sungai di bawah kaki Gunung Merbuk menengadahkan kepala mencari-cari sumber raungan. Jantung Karina berdebar keras. Ia hanya bisa mengangguk dengan wajah agak memucat. Gadis itu terkejut mendengar raungan panjang yang mendirikan bulu roma.

Merasa yakin ada sesuatu yang tengah terjadi di salah satu lereng gunung, bergegas Panji meraih pergelangan tangan Karina dan dibawanya berlari menuju sumber suara raungan. Panji dapat dengan mudah menemukan tempat itu karena suara raungan terus berlanjut Dan mereka tidak di hutan kecil tempat pertarungan dahsyat antara makhluk jelmaan Biang Segala Jahat melawan Kyai Sanca Wilang yang dibantu kakek bongkok.

Panji terkejut bukan main menyaksikan sosok makhluk mengerikan yang menurutnya cuma ada dalam khayalan. Bahkan, Karina sampai terpekik dengan wajah pucat pasi. Tubuh gadis cantik itu gemetar dan tanpa sadar memeluk Panji.

"Tenanglah, Karina...," Panji menepuk-nepuk punggung gadis itu. "Makhluk itu pasti permainan seorang ahli sihir...," lanjutnya, meskipun sesungguhnya dia sendiri tidak yakin dengan dugaannya. Karena melihat kelihaian kedua kakek yang tengah bertarung dengan makhluk mengerikan itu, Panji tahu mereka tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang tidak mungkin bisa termakan permainan sihir. Kesaktian kedua kakek itu berada jauh di atas kepandaiannya.

Sementara itu, kemunculan Panji dan Karina tidak terlepas dari sepasang mata tajam Utusan Dari Neraka. Bocah yang bukan bocah biasa itu segera dapat menyimpulkan kalau kedua orang yang baru datang adalah lawan-lawan yang harus dilenyapkan. Ia menggeram lirih. Lalu, kepalanya ditolehkan menatap Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tidak tahu harus berbuat apa. Nyali kedua datuk yang biasanya bermulut besar itu sudah ciut sejak tadi.

"Hei...!"

Bagai disentakkan satu kekuatan yang tak tampak, kepala Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa menoleh cepat ke arah Utusan Dari Neraka. Kedua datuk sesat itu merasakan jantung mereka seperti diremas-remas sewaktu ditatap sorot mata tajam bocah aneh itu. Tubuh mereka gemetar tak kuasa melawan perbawa luar biasa yang memancar dari wajah dan sorot matanya.

"Algojo Cakar Siluman dan kau Setan Ular Tertawa!" Utusan Dari Neraka melanjutkan ucapannya. "Bunuh kedua orang yang baru datang itu...!"

Begitu perintah selesai diucapkan tiba-tiba Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa merasakan kekuatan mereka pulih kembali. Entah merasa diri mereka masih berguna atau karena pengaruh perintah Utusan Dari Neraka. Kedua datuk sesat itu tidak mau ambil pusing. Tanpa membantah lagi, Algojo Cakar Siluman serta Setan Ular Tertawa berloncatan menghampiri Panji dan Karina.

"Heh heh heh...! Kalian berdua bersiaplah untuk segera menghadap raja neraka...!" Algojo Cakar Siluman yang sudah memperoleh kembali watak dan kebiasaannya berkata sesumbar kepada Panji dan Karina.

"Ya. Kami ditugaskan Utusan Dari Neraka untuk melenyapkan kalian berdua...!" Setan Ular Tertawa menambahkan. Ucapan tokoh yang berasal dari tanah India ini terdengar agak aneh. Semula maksud kedatangannya ke tempat ini adalah untuk mendapatkan Utusan Dari Neraka yang kelak akan digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sungguh tidak pernah terpikir olehnya kalau yang terjadi justru kebalikannya. Bukan ia menjadi majikan Utusan Dari Neraka, malah dialah yang dijadikan budak bocah itu.

Kedatangan kedua tokoh rolongan sesat itu membuat Panji waspada. Ditariknya Karina ke belakang tubuhnya untuk melindungi gadis itu. Kemudian, dengan sorot mata tajam dihadapinya kedua calon lawannya.

"Siapa kalian? Dan, mengapa tanpa sebab hendak membunuh kami?" tanya Panji seraya meneliti sosok kedua tokoh itu.

"Hm... Kau dengarlah baik-baik agar tidak mati penasaran! Aku adalah Algojo Cakar Siluman!" ujarnya seraya menepuk dada keras-keras. "Sedangkan kawanku ini Setan Ular Tertawa. Cukup jelas?"

"Hm.... Pantas...," Panji mengangguk-angguk. "Rupanya kalian dedengkot manusia-manusia sesat..!"

"Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa, apakah kalian menunggu aku mencabut nyawa kalian!"

Suara Utusan Dari Neraka membuat kesombongan kedua datuk itu lenyap seketika. Ancaman yang mereka tahu bukan sekadar gertakan kosong itu membuat keduanya tak lagi banyak tingkah. Mereka segera menyiapkan jurus untuk menggempur Panji.

Mendengar suara parau dan dirasakannya mengandung pengaruh aneh, Panji segera menoleh. Sukar sekali baginya menerima kenyataan itu. Seorang bocah kecil dapat berbicara dengan tegas, bahkan memerintah! Suara yang dikeluarkan pun menurutnya lebih pantas diucapkan seorang kakek. Nadanya parau dan berat.

"Utusan Dari Neraka...!" Tiba-tiba pikiran itu terlintas di kepala Panji. Wajahnya seketika menegang. Panji merasa yakin akan dugaannya itu. Ciri-ciri bocah itu cocok dengan keterangan yang diperolehnya. Wajah dan sorot mata bocah itu pun memiliki pengaruh aneh yang luar biasa, membuat debaran dalam dadanya berdetak lebih cepat. Panji cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada dua datuk sesat di hadapannya, ia merasa tak sanggup menatap bocah itu lama-lama.

"Hyaaatt...!"

Algojo Cakar Siluman segera menerjang Panji karena takut akan ancaman Utusan Dari Neraka. Seolah hendak menunjukkan jasa, Algojo Cakar Siluman dalam gebrakan pertama langsung menggunakan jurus andalannya. Dia memang ingin melaksanakan tugas itu secepat mungkin untuk mendapatkan pujian Utusan Dari Neraka.

Setan Ular Tertawa tentu saja tidak mau ketinggalan. Dia segera membarengi tindakan kawannya. Tapi, ular-ular sendoknya tampaknya telah habis. Dalam menyerang Panji, Setan Ular Tertawa hanya menggunakan kedua tangan.

Panji sadar siapa kedua lawannya itu. Maka, setelah menyuruh Karina agar menyingkir, dihadapinya serangan kedua datuk sesat itu dengan Ilmu 'Silat Naga Sakti'. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Hawa dingin berhembus keras mengiringi setiap lontaran serangannya. Hawa dingin dan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang melapisi tubuh Panji membuat mata Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa terbuka. Lawannya ternyata Pendekar Naga Putih! Mereka kenal betul dengan ciri-ciri itu.

"Keparat! Kiranya kau pendekar muda yang sombong itu. Pantas kau berani berlagak di hadapan kami…!" sambil melontarkan serangan, Algojo Cakar Siluman berkata gusar. Dan karena telah mengetahui siapa pemuda berjubah putih itu, serangannya pun segera dilipatgandakan, baik kecepatan maupun kekuatannya. Hal serupa juga dilakukan Setan Ular Tertawa.

Tapi, Panji tidak menjadi gugup. Dengan tenang dihadapinya gempuran-gempuran kedua datuk sesat itu. Tentu saja untuk dapat mengimbangi kekuatan lawan, ia harus mengerahkan seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kalau tidak, akan sukar baginya melayani permainan kedua datuk sesat itu.

Dengan tenang Pendekar Naga Putih menghadapi gempuran gempuran kedua datuk sesat itu. Tentu saja untuk dapat mengimbangi kekuatan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa, ia harus mengerahkan seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kalau tidak, akan sukar baginya melayani permainan kedua datuk sesat itu!

DELAPAN

Kesaktian Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa ternyata di luar perkiraan Panji. Terlebih puluhan bayangan cakar yang dilontarkan Algojo Cakar Siluman benar-benar tak ubahnya dengan cakar siluman. Lewat empat puluh jurus Panji mulai terdesak.

Bret! Bret!

Karina yang menyaksikan perkelahian itu dari balik sebatang pohon menahan jeritnya ketika melihat tubuh Panji terpelanting. Pemuda itu terkena sambaran dua bayangan cakar lawan yang tak sempat dihindarinya lagi.

"Tamat riwayatmu, Pendekar Naga Putih...!" Setan Ular Tertawa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Panji terpelanting, ia segera menerkam dengan dua bacokan sisi telapak tangannya. Tapi, Panji masih sempat menggulingkan tubuh. Bacokan maut Setan Ular Tertawa menghantam tanah. Sedang Panji sudah melenting ke udara dan membentak keras. Tahu-tahu sebentuk sinar terang berwarna kuning keemasan berpendar di genggaman tangan kanannya. Itulah Pedang Pusaka Naga Langit!

"Heaaatt...!"

Brettt...!

Tubuh Setan Ular Tertawa tersentak ketika larikan sinar kuning keemasan menyambar iganya. Darah menyembur membasahi tanah seiring dengan jerit kematian Setan Ular Tertawa. Kibasan pedang Panji merobek dada Setan Ular Tertawa yang sekaligus mematahkan tiga tulang iganya. Setan Ular Tertawa terbanting dengan tubuh berlumuran darah. Datuk sesat itu tewas seketika tanpa sempat mengetahui apa penyebabnya.

Kematian Setan Ular Tertawa membuat Algojo Cakar Siluman tertegun tak percaya. Kenyataan yang membentang di depan matanya tak bisa dibantah iagi. Setan Ular Tertawa jelas terkapar tanpa nyawa. Dengan kemarahan yang meluap Algojo Cakar Siluman pun menerjang Panji dengan hebatnya.

Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan menghindari sambaran bayangan cakar-cakar siluman sambil sesekali menebaskan pedangnya. Sepuluh jurus kemudian Algojo Cakar Siluman mulai kewalahan menghadapi kilatan-kilatan sinar terang yang menyilaukan mata. Hingga akhirnya, ia terdesak dan dipaksa bermain mundur.

"Yeaaatt…!"

Pada jurus ketiga belas Panji membentak nyaring seraya melambung tinggi di udara. Kemudian meluncur turun dengan pedang berputar membentuk gulungan sinar terang Algojo Cakar Siluman memekik tertahan dan memalangkan lengannya untuk melindungi mata. Itulah kesalahan besarnya!

Cras! Bret! Bret!

Pedang Naga Langit kembali menghirup darah korbannya. 'Jurus Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' memang salah satu jurus terampuh yang sulit untuk dihindari lawan. Demikian pula yang dialami Algojo Cakar Siluman. Tubuhnya pontang-panting tersambar mata pedang yang tajam luar biasa. Darah menyembur keluar dari luka-luka yang membawanya pada kematian. Algojo Cakar Siluman roboh bermandi darah, ia melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya itu.

"Panji, syukurlah kau selamat..." Karina tahu-tahu saja sudah berada di belakang Panji dan memeluknya.

Panji terpaksa menggigit bibir kuat-kuat. Pelukan Karina demikian erat, membuat luka bekas cakaran di iga dan lambungnya bertambah nyeri. Tapi kegembiraan Karina dan kelegaan Panji lenyap seketika begitu keduanya mendengar suara parau berpengaruh yang diucapkan Urusan Dari Neraka.

"Tak satu makhluk pun yang akan selamat dari cengkeramanku...!"

Panji dan Karina bergegas mundur. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu Utusan Dari Neraka telah berada di hadapan mereka. Panji segera bergerak maju untuk melindungi Karina sambil melintangkan Pedang Naga Langit di depan dada.

"Khak khak khak...!"

Mulut Utusan Dari Neraka terbuka. Tenggorokannya bergerak-gerak mengeluarkan suara tawa ganjil yang membuat bulu kuduk Karina dan Panji berdiri. Suara tawa itu memang sangat menyeramkan dan hanya pantas datang dari setan-setan penghuni neraka.

"Bagiku pedang itu seperti barang rongsokan..!" ejek Utusan Dari Neraka. Matanya tetap menyorot tajam. Sedikit pun tidak kelihatan silau oleh pancaran sinar keemasan dari badan Pedang Naga Langit. "Kalau kau tidak percaya, buktikanlah! Pilih bagian tubuhku yang menurutmu paling empuk!" tantangnya sambil berkacak pinggang.

Sempat tergetar juga hati Panji melihat sikap Utusan Dari Neraka. Padahal, pedang pusaka itu merupakan senjata ampuh yang dapat menolak segala jenis racun dan ilmu gaib. Tapi tampaknya terhadap Utusan Dari Neraka, Pedang Naga Langit kalah pengaruh. Panji tidak hendak mencoba keampuhan pedangnya ke tubuh bocah itu. Biar bagaimanapun Panji tidak sampai hati membacok tubuh seorang bocah kecil.

"Hm.... Rupanya kau merasa enggan untuk membacok tubuhku," ujar Utusan Dari Neraka ketika melihat Panji belum juga bergerak." Sebaiknya, kau lihat wujud asliku...."

Baru saja ucapan Utusan Dari Neraka selesai, tubuh kecil berkulit hitam legam itu berubah dengan cepat. Bulu-bulu lebat bermunculan melapisi sekujur tubuhnya. Sebuah tanduk runcing tumbuh di tengah kening. Kuku-kuku jari tangannya memanjang cepat dan melengkung seperti kuku harimau. Kedua telapak kakinya membulat membentuk tapak kaki kuda. Makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka itu pun memiliki ekor. Sosoknya sama persis dengan makhluk jelmaan Biang Segala Jahat!

"Aaah...!"

Panji dan Karina menahan pekikan dan terjajar mundur. Kedua kaki Karina terasa lemas. Hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Sedang Panji merasakan dadanya berdebar kencang, ia tak bisa menahan perasaan ngeri yang seketika melanda. Terlebih, sosok makhluk yang sepantasnya tinggal di neraka itu berdiri di hadapannya dalam jarak kurang dari satu tombak. Sikap Panji dan Karina membuat makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka kehilangan kesabaran. Bocah itu menggeram lirih namun menggetarkan. Tampak dua buah taring yang tajam berkilat.

"Berikan pedang itu...!" ujar makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka parau seraya mengulurkan cakar hendak merampas Pedang Naga Langit. Tapi, makhluk tu buru-buru menarik pulang cakarnya ketika seberkas sinar menyambar datang mengancam cakarnya.

"Jangan bialkan pedang itu dileburnya, Paman...!"

Suara bening seorang bocah yang masih cadel membuat Panji dan Karina menoleh cepat. Sementara, makhluk jelmaan Urusan Dari Neraka mengeluarkan rintihan panjang seolah menunjukkan hati yang dilanda kegelisahan.

"Resi Baranca! Aryoguno...!" Panji berseru girang melihat kemunculan Resi Baranca yang menuntun seorang bocah kecil seusia Utusan Dari Neraka. Bocah itu memang Aryoguno, putra seorang pendekar, yang pernah menggegerkan kawasan Jawa Timur dan disebut-sebut sebagai Bocah Titisan Dewa.

"Jangan kaget, Pendekar Naga Putih..." Resi Baranca berkata dengan tersenyum. "Aku sengaja membawa Aryoguno kemari. Berita tentang keganasan Utusan Dari Neraka juga telah menggemparkan wilayah Jawa Timur. Dari petunjuk yang kuperoleh melalui semadi, hanya Aryogunolah yang dapat menghentikan Utusan Dari Neraka. Sayang, ia belum bisa menggunakan kekuatan mukjizatnya tanpa petunjuk," jelas Resi Baranca. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa dirinyalah yang akan menjadi petunjuk bagi Aryoguno si Bocah Titisan Dewa.

"Lalu, bagaimana cara kita menghadapi Utusan Dari Neraka...?" Panji agak bingung dan merasa khawatir Aryoguno akan celaka di tangan Utusan Dari Neraka.

"Kau hadapilah Utusan Dari Neraka itu, Pendekar Naga Putih. Aku dan Aryoguno akan membantumu...," jawab Resi Baranca. Resi itu menganggukkan kepala ketika melihat Panji masih ragu-ragu. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya menghadapi Utusan Dari Neraka.

"Selang dia dengan dengan pedangmu, Paman...!" Dengan petunjuk Resi Baranca, Aryoguno berseru sambil menunjuk belakang tubuh Panji.

Seberkas sinar kebiruan membersit dari ujung jari telunjuk Aryoguno. Sinar itu langsung lenyap begitu mengenai tubuh Panji. Agak tersentak Panji sewaktu sinar kebiruan itu lenyap ke dalam tubuhnya. Ada suatu getaran aneh yang menyebar ke seluruh jalan darah. Hawa aneh itu mendatangkan perasaan sejuk di hati. Tubuh Panji mendadak ringan dan pengaruh iblis yang memancar dari wajah serta sorot mata makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka tak lagi mempengaruhinya.

"Alahkan tenaga itu ke pedangmu, Paman...!" Kembali Aryoguno berseru.

Untuk melakukan hal itu tentu saja tidak sulit. Petunjuk itu segera diikutinya. Sinar Pedang Naga Langit yang pemula kuning keemasan kini terlapisi sinar kebiruan.

"Arrkhhh...!" Utusan Dari Neraka memekik keras. Diterjangnya Panji dengan cakar-cakar mautnya. Tapi, Panji sudah bergegas mengelak dengan menarik kakinya dua langkah ke belakang. Lalu, pedangnya dibabatkan ke depan mengancam tubuh Utusan Dari Neraka, yang dirasakan Panji kecepatan maupun kekuatannya agak menurun.

Ia mulai dapat melihat titik-titik kelemahan Utusan Dari Neraka. Panji menggerakkan pedangnya mengincar kelemahan-kelemahan lawan. Ia tidak sadar kalau Aryoguno sudah tidak lagi memberi petunjuk. Bocah Titisan Dewa itu tengah duduk bersila di samping Resi Baranca. Tidak nampak tanda-tanda kehidupan pada tubuh bocah itu. Jasad halusnya telah merasuk ke dalam tubuh Panji. Itulah sebabnya mengapa Panji tiba-tiba memiliki pikiran bagaimana cara menghadapi Utusan Dari Neraka.

Utusan Dari Neraka terdengar memekik-mekik sambil berlompatan menghindari sambaran sinar kuning dan biru yang keluar dari ujung pedang Pendekar Naga Putih. Panji tidak tahu kalau hal itu bisa terjadi berkat adanya jasad halus Bocah Titisan Dewa di dalam tubuhnya. Malah, ketika makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka melenyapkan diri dari pandangan, dengan mata batinnya Panji dapat mengetahui di mana bocah itu berada. Sinar-sinar kilat berwarna kuning dan biru yang menyambar keluar dari ujung pedangnya meluncur ke tempat bocah itu.

"Keparaaatt..!" Utusan Dari Neraka kembali menampakkan wujudnya. Ia melontarkan makian yang ditujukan kepada Aryoguno. Ilmu menghilangnya ternyata tak banyak membantu. Dengan kemarahan yang meluap- luap, bocah itu menggeram dan melancarkan serangan dengan sinar-sinar merah terang yang keluar dari kedua ujung jari telunjuknya.

Seperti tahu bagaimana cara menghadapi serangan itu, Pendekar Naga Putih pun dengan menggunakan jari telunjuk kirinya menyambut serangan lawan. Setiap kali Panji menggerakkan jari telunjuknya, seberkas sinar kebiruan membersit dan membentur sinar merah terang yang meluncur ke arahnya. Dan setiap kali kedua sinar itu berbenturan tubuh Utusan Dari Neraka terpelanting.

Itu terjadi bukan karena kekuatan Bocah Titisan Dewa lebih kuat. Karena menggunakan raga Panjilah maka Bocah Titisan Dewa menjadi lebih unggul dari Utusan Dari Neraka. Pendekar Naga Putih sendiri sudah memiliki dasar tenaga dalam yang tinggi. Bocah Titisan Dewa menyalurkan kekuatan mukjizatnya yang digabungkan dengan kekuatan dasar Panji. Sehingga Utusan Dari Neraka tak ubahnya dikeroyok oleh Panji dan Bocah Titisan Dewa.

"Haiiitt...!"

Setelah berpuluh-puluh kali benturan terjadi dan untuk kesekian kalinya tubuh makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka terpelanting, Panji membentak seraya menusukkan pedang dan menudingkan jari telunjuknya. Sinar kebiruan yang keluar dari jari telunjuk tangan kiri Panji meluncur cepat. Bersamaan dengan itu, kilatan sinar kuning dan biru menyambar keluar dari ujung pedangnya.

Bummm...!

"Aarkhhh...!" Utusan Dari Neraka meraung setinggi langit ketika tubuhnya yang baru saja bangkit terhantam dua sinar yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Terdengar suara ledakan keras yang disusul dengan membubungnya asap tebal menelan tubuh Utusan Dari Neraka. Seiring dengan itu terciumlah bau sangit daging terbakar. Ketika asap tebal sirna tertiup angin, tampaklah onggokan sisa-sisa tubuh Utusan Dari Neraka yang telah terbakar.

Musnahnya Utusan Dari Neraka membuat Panji tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya sangat lemas. Ada sesuatu yang dirasakan keluar dari dalam tubuhnya. Panji tidak tahu kalau saat itu jasad halus Bocah Titisan Dewa keluar dan kembali ke jasad aslinya.

Sementara itu, di arena pertarungan makhluk jelmaan Biang Segala Jahat yang menghadapi keroyokan Kyai Sanca Wilang, Ki Bongkok Guno dan satu sosok tubuh lain yang ternyata Putri Perayu terjadi sesuatu yang mengejutkan!

Bersamaan dengan musnahnya Utusan Dari Neraka, makhluk jelmaan Biang Segala Jahat meraung keras dan melonjak-lonjak tanpa sebab. Menyaksikan tingkah makhluk mengerikan itu, ketiga lawannya berloncatan mundur. Beberapa saat kemudian, di bawah tatapan enam pasang mata sosok makhluk itu perlahan lenyap dan kembali ke wujud aslinya. Wujud Biang Segala Jahat!

"Hi hi hi...!" Putri Perayu tertawa mengekeh sambil mempermainkan rambutnya ketika melihat wujud makhluk itu berubah menjadi manusia.

"Hm.... Pastilah Utusan Dari Neraka telah musnah." Kyai Sanca Wilang segera bisa menebak mengapa wujud Biang Segala Jahat kembali ke bentuk aslinya. "Siapa pun yang berhasil melenyapkannya, tanpa disadarinya ia telah menyelamatkan orang banyak..."

Ki Bongkok Guno cuma mengangguk-anggukkan kepala, ia tampak sangat lelah setelah bertarung sekian lama menghadapi makhluk jelmaan Biang Segala Jahat.

Sementara, Biang Segala Jahat yang telah sadar kembali dan mendapati tiga sosok tubuh tengah menatapnya tampak sangat terkejut. Tapi, perasaan itu cuma sekilas terlihat. Dengan cepat ia dapat menguasainya. Sambil tergelak Biang Segala Jahat menengadahkan kepala. Dan, selagi ketiga tokoh yang berdiri di hadapannya saling bertukar pandang, Biang Segala Jahat melesat dengan mengerahkan seluruh kecepatannya, ia melompat masuk ke dalam gerombolan semak yang tumbuh rapat.

Kyai Sanca Wilang hanya bisa menghela napas, ia tidak mengira Biang Segala Jahat akan melarikan diri. Sebelum sempat mengejar tokoh paling licik itu telah lolos. Setelah agak lama menatap gerombolan semak tempat lenyapnya Biang Segala Jahat, Kyai Sanca Wilang memutar tubuh. Bersama Ki Bongkok Guno dan Putri Perayu, mereka menghampiri Panji dan yang lainnya. Ketika melihat Aryoguno dan memperhatikannya beberapa saat, tahulah Kyai Sanca Wilang bahwa musnahnya Utusan Dari Neraka pasti ada kaitannya dengan bocah itu.

"Hai.... Suamiku ada di sini rupanya...!" Tiba-tiba Putri Perayu berseru ketika melihat Panji. "Mari, suamiku, peluklah aku erat-erat. Aku rindu sekali hangatnya pelukanmu...!" Nenek itu berlari ke arah Panji dengan kedua tangan dikembangkan.

Panji tentu saja kaget bukan main. Tanpa pamit lagi kepada yang lainnya, dia segera lari ketakutan.

"Kanda, tunggu Dindaaa...!" Putri Perayu berseru dan lari mengejar Panji yang tunggang-langgang. Terpaksa Panji harus mengerahkan seluruh kepandaian lari cepatnya agar tidak terkejar nenek sinting itu.

Peristiwa itu membuat orang-orang yang tinggal tertegun bingung, kecuali Karina. Gadis cantik itu geli bukan main melihat Panji lari terbirit-birit dikejar Putri Perayu.

S E L E S A I

Utusan Dari Neraka

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Utusan Dari Neraka
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Hutan yang terdapat di lereng sebelah utara Gunung Merbuk memang tidak terlalu luas. Rapatnya semak belukar yang meranggas liar serta pohon-pohon tua yang tumbuh menjulang tinggi dan nyaris tak terlihat pucuknya membuat hutan kecil itu cukup menyeramkan.

Terlebih binatang-binatang buas banyak berkeliaran bagai penjaga-penjaga hutan. Hutan itu hampir tidak pernah didatangi manusia. Kalaupun ada, mereka pasti tidak akan pernah kembali lagi. Hutan kecil itu dianggap keramat dan sebagai tempat bertahtanya bangsa siluman.

Rupanya tidak semua orang mempunyai anggapan demikian. Pagi hari itu, saat sekitar lereng Gunung Merbuk masih terselimuti kabut, tampak sesosok tubuh bergerak menuju hutan kecil di lereng sebelah utara, ia menunggang seekor kuda berbulu hitam pekat.

"Hyeeehh...!"

Setelah menyeberangi sebuah sungai, tiba-tiba kuda berbulu hitam yang ditunggangi lelaki itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

"Hei! Tenang Hitam, tenang...!" Penunggang kuda itu berseru menenangkan binatang tunggangannya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu. Tapi, usahanya tidak berhasil. Binatang itu malah bergerak semakin liar, melompat-lompat sambil meringkik keras.

"Binatang celaka!" Penunggang kuda memaki jengkel. Lalu, dengan gerakan yang ringan dan indah tubuhnya melenting ke udara, berputaran beberapa kali sebelum mendarat di tanah. Gerakan yang menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. Tubuhnya melayang seringan kapas dan tidak menimbulkan suara ketika mendarat.

"Hm…" Penunggang kuda yang berusia lima puluh lima tahun itu memperdengarkan geraman gusar. Sepasang matanya berkilat menatap seekor ular sanca sebesar paha orang dewasa. Ular itu merayap di tanah. Mengertilah lelaki itu mengapa binatang tunggangannya demikian kalap.

"Rupanya ada orang yang ingin bermain-main dengan Algojo Cakar Siluman...!" Lelaki itu menggeram dengan menyebutkan julukannya. Pandangannya diedarkan kesekeliling tempat itu. Kemudian, beralih ke arah makhluk mengerikan yang tengah melata di tanah. Seiring dengan dengusan kasar mengejek sebelah tangannya melakukan gerakan menebas.

Tas! Tas! Tas!

Hebat bukan main gerakan tokoh yang mengaku berjuluk Argojo Cakar Siluman. Sewaktu tangannya bergerak tiga sinar putih berkilau membentuk telapak tangan yang sama, lalu menyambar tubuh ular sanca hingga terputus menjadi tiga bagian.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar gelak tawa. Gemanya bergaung keseluruh penjuru. Angin keras berhembus membuat lapisan kabut tipis yang menyelimuti tempat itu sirna beterbangan. Perbuatan yang hanya bisa dilakukan seorang tokoh yang memiliki tenaga dalam luar biasa. Suara tawanya saja sanggup membuat lawan menggeloso tewas!

Algojo Cakar Siluman mendengus keras, ia mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga dan bagian dalam tubuhnya yang bergetar. "Kurang ajar...!" Algojo Cakar Siluman mendesis gusar. Kepalanya ditengadahkan menatap langit. Sebentar kemudian, terdengar lengkingan panjang meluncur dari kerongkongannya.

Apa yang dilakukan Algojo Cakar Siluman tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh gelak tawa tanpa wujud itu. Lengkingan panjang membuat pepohonan di sekitar tempat itu bergetar keras! Dedaunan pohon berguguran. Burung-burung yang terbang di udara terkejut dan mendadak tak bisa terbang, seolah tertahan suatu kekuatan tak tampak. Burung-burung itu kemudian meluncur jatuh dalam keadaan mati!

Binatang tunggangan Algojo Cakar Siluman meringkik keras dan melompat-lompat liar. Tapi, itu cuma berlangsung beberapa saat. Kuda hitam itu kemudian roboh tak bernyawa. Lengkingan panjang dan suara tawa yang saling tindih itu membuat jantungnya pecah.

Adu kekuatan tenaga dalam itu kian lama kian memuncak. Malah, pemilik suara tawa melayang turun dari pohon tempatnya bersembunyi, ia berdiri dalam jarak tiga tombak di depan Algojo Cakar Siluman. Wajahnya merah bagai terbakar. Semakin memuncaknya kekuatan lengkingan lawan memaksa sosok itu membuat gerakan-gerakan dengan kedua tangannya. Gerakan yang dilakukannya sangat lambat namun harus mengerahkan tenaga yang kuat.

Algojo Cakar Siluman terkejut merasakan serangan lawan membuat kekuatannya terdesak. Bergegas ia mengempos semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Lalu, sambil mendorongkan kedua tangan ke depan dengan gerak perlahan, kekuatan lengkingan yang keluar dari kerongkongannya terdengar semakin berlipat ganda. Asap tipis mengepul dari ubun-ubun. Algojo Cakar Siluman telah mengerahkan tenaga dalam hingga ke puncaknya.

Hal serupa juga terjadi pada diri lawannya. Kenyataan itu membuat keduanya sadar sekarang yang mereka lakukan bukan main-main lagi. Mereka sudah merasa telanjur. Masing-masing tidak ingin menarik kekuatannya. Hal itu berarti kematian bagi siapa saja yang menarik pulang serangannya. Selain kekuatannya sendiri akan membalik juga ditambah dengan kekuatan lawan.

"Hua ha ha...! Siapa sangka kehadiranku mendapat suguhan tontonan yang sangat menarik...!"

Di tengah sengitnya pertempuran tenaga dalam itu terdengar tawa keras yang memekakkan telinga. Belum lagi gema tawa itu lenyap tahu-tahu telah berdiri sesosok tubuh seorang kakek tinggi kurus, ia melangkah lebar mendekati arena pertarungan.

Pendatang baru itu jelas bukan orang sembarangan. Seperti orang yang menonton pertandingan, kakek tinggi kurus duduk bersila tidak jauh dari arena. Sepasang matanya berbinar menunjukkan kegembiraan. Tapi beberapa saat kemuudian keningnya tampak berkerut. Kekhawatiran membayang pada sorot matanya sewaktu melihat Algojo Cakar Siluman terdesak. Wajah Algojo Cakar Siluman semakin memucat dan dibanjiri keringat. Ia kepayahan membendung serangan lawan.

Kakek tinggi kurus kelihatan berpikir keras. Matanya menatap bergantian wajah dua orang yang tengah bertarung. Tatapannya berhenti agak lama pada wajah lawan Algojo Cakar Siluman. Kakek tinggi kurus tahu betul siapa lawan Algojo Cakar Siluman, ia adalah Telapak Lidah Halilintar, seorang tokoh golongan putih. Sedangkan Algojo Cakar Siluman tokoh yang segolongan dengannya.

Maka, setelah mempertimbangkan untung ruginya, kakek tinggi kurus mengambil keputusan untuk membantu Algojo Cakar Siluman. Dengan sekali lompat saja, kakek tinggi kurus sudah berada di belakang Algojo Cakar Siluman. Sebentar ia mengempos semangatnya. Kemudian kedua telapak tangannya dilekatkan ke punggung Algojo Cakar Siluman.

"Haiiitt..!"

Bersamaan dengan melekatnya kedua telapak tangan kakek tinggi kurus, lawan Algojo Cakar Siluman membentak nyaring. Tubuhnya dilempar ke samping sambil menarik pulang serangannya. Sehingga, ketika bantuan tenaga bagi Algojo Cakar Siluman bekerja, ia sudah lebih dulu menyelamatkan diri. Akibatnya, gabungan tenaga dua tokoh sesat itu menghantam pohon besar yang kemudian berderak dan langsung tumbang.

"Sungguh berbahaya...!" desis Telapak Lidah Halilintar sambil menyusut keringat dingin di keningnya, ia mengatur pernapasannya untuk mempersiapkan diri menghadapi keroyokan tokoh-tokoh sesat itu.

********************

Bagi kalangan persilatan nama Algojo Cakar Siluman bukanlah nama yang asing. Julukan itu sudah sangat terkenal dan menggetarkan hati setiap tokoh di wilayah timur. Terutama tokoh-tokoh golongan putih. Algojo Cakar Siluman merupakan datuk kaum golongan hitam yang menguasai wilayah timur.

Kepandaiannya sangat tinggi Boleh dibilang selama ini tak tertandingi. Andalannya adalah Ilmu 'Cakar Siluman' yang membuat namanya terkenal dan ditakuti lawan. Ilmu yang dimiliki datuk sesat wilayah timur itu memang sangat sesuai dengan namanya. Apabila Algojo Cakar Siluman menggunakan ilmu andalannya dapat dikatakan mustahil lawan akan bisa selamat.

Sepasang lengan yang memiliki jari-jari sekuat baja itu dengan sekali bergerak saja bisa membuat nyawa lawan yang sangat lihai putus seketika. Gerakan yang dilakukannya nyaris tidak terlihat. Seolah kedua lengannya menjadi puluhan banyaknya yang terlontar dalam bentuk cakar. Meski tokoh itu baru dua tahun belakangan ini muncul. Algojo Cakar Siluman langsung menguasai wilayah timur dan diakui sebagai datuk golongan hitam di wilayah itu.

Setan Ular Tertawa pun bukanlah tokoh sembarangan. Selain memiliki Ilmu 'Setan Tertawa' yang dapat membunuh musuh hanya dengan memperdengarkan suara tawanya, tokoh ini pun dikenal sebagai pawang segala jenis ular berbisa. Setan Ular Tertawa adalah bangsa pendatang yang berasal dari daratan Hindustan. Tokoh ini seorang petualang yang sangat gemar dengan ilmu silat.

Dalam waktu singkat saja nama Setan Ular Tertawa yang diperkenalkannya langsung melambung tinggi. Tokoh-tokoh terkenal di wilayah barat habis dibabatnya. Tidak peduli baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Tokoh berusia hampir tujuh puluh tahun ini memiliki satu sifat yang membuat lawan-lawannya bergidik ngeri dan mencercanya sebagai manusia paling kejam.

Setiap lawan yang dikalahkannya akan dijadikan umpan ular-ular berbisa peliharaannya. Kekejaman itu membuat namanya kian menggetarkan. Terutama bagi mereka yang tinggal di daerah barat dan separo daerah utara, ia diakui sebagai dedengkot tokoh sesat nomor satu di wilayah itu.

"Apa sebenarnya maksud kalian datang ke tempat ini?" terdengar pertanyaan Telapak Lidah Halilintar.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa saling bertukar pandang sesaat setelah meneliti sosok kakek kurus itu.

"Hm.... Kau pasti tokoh yang berjuluk Telapak Lidah Halilintar...," ucapan itu keluar dari mulut Algojo Cakar Siluman.

"Dasar manusia bego!" Kakek kurus itu mengumpat kasar, meski raut wajahnya tidak menunjukkan kemarahan. "Terus terang kukatakan dugaanmu itu tidak meleset alias betul, Algojo Cakar Siluman!" lanjutnya menegasi, masih dengan nada kasar dan tajam.

Algojo Cakar Siluman tidak kelihatan tersinggung, ia sudah cukup mengenal nama dan watak tokoh berjuluk Telapak Lidah Halilintar yang memiliki kebiasaan mengumpat dan memaki. Tak peduli berhadapan dengan siapa, Telapak Lidah Halilintar selalu menyertai ucapannya dengan makian. Dan, Algojo Cakar Siluman serta Setan Ular Tertawa nampaknya sudah sangat maklum.

"Sekarang biar aku yang bicara...." Tiba-tiba, sebelum Algojo Cakar Siluman membuka mulutnya, Setan Ular Tertawa sudah keburu menyela. "Nah, Telapak Lidah Halilintar, kau pasanglah telingamu baik-baik! Kedatangan kami ke tempat ini adalah untuk memastikan kebenaran tentang adanya seorang bocah yang disebut-sebut sebagai Utusan Dari Neraka..."

Telapak Lidah Halilintar kembali mengumpat. Lalu, kepalanya didongakkan. Terdengarlah tawa mengekehnya yang berkepanjangan. "Tidak mengherankan kalau berita itu sampai juga ke telinga babi-babi busuk seperti kalian...," ujar Telapak Lidah Halilintar di antara kekehnya. Nampaknya, kakek kurus ini maklum akan ketajaman pendengaran tokoh-tokoh kaum rimba persilatan, yang memang tak pernah ketinggalan terhadap segala sesuatu yang terjadi. "Tapi, kutegaskan di sini bahwa berita itu tidak benar. Dan kalaupun benar, apa yang hendak kalian perbuat? Ingin menumpasnya, atau cuma ingin sekadar mengetahui kebenarannya?"

"Jangan main-main denganku, Telapak Lidah Halilintar! Aku bisa saja langsung membunuhmu tanpa perlu meminta kepastian darimu!" Setan Ular Tertawa menggeram gusar, ia tidak senang mendapat perlakuan demikian dari Telapak Lidah Halilintar yang seolah memandang remeh kepadanya.

"Siapa yang sudi main-main denganmu, Ular Buntung!" Tanpa rasa gentar sedikit pun Telapak Lidah Halilintar balas membentak. "Katakan saja berita itu benar! Lalu, apa maumu sekarang?"

"Cuma itu tujuanku jauh-jauh datang ke tempat ini. Sekarang aku hendak melihat sendiri buktinya. Seperti apa sebenarnya rupa dan bentuk Utusan Dari Neraka itu? Apakah ia seseram setan neraka, atau cuma berupa bocah manusia biasa...?" sambil berkata demikian, Setan Ular Tertawa memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.

"Tahan langkahmu. Ular Buntung...!" Begitu seruannya terdengar, tubuh Telapak Lidah Halilintar melayang dengan kecepatan luar biasa. Setan Ular Tertawa dan Algojo Cakar Siluman hanya melihat berkelebatnya sesosok bayangan. Tahu-tahu Telapak Lidah Halilintar sudah berdiri menghadang jalan.

"Mengapa kau menghalangiku, Telapak Lidah Halilintar? Menyingkirlah, sebelum aku lupa kalau yang menghadangku cuma seorang kakek peot yang sudah bau tanah...!" Setan Ular Tertawa mengancam dengan sorot mata berkilat.

"Aku tidak ingin ada orang tolol merusak rencana dan jerih payahku! Dengar nasihatku baik-baik, Setan Ular Tertawa. Dan kau juga, Algojo Cakar Siluman!" ujar Telapak Lidah Halilintar menatap kedua tokoh sesat itu bergantian. "Sebaiknya kalian segera angkat kaki dari tempat ini. Jangan teruskan niat kalian yang kelak hanya akan membuat bencana bagi seluruh isi muka bumi ini...!"

"Kau menyuruh kami mengangkat kaki?" Algojo Cakar Siluman menukas dengan kepala ditelengkan. Seolah ia hendak menegaskan ucapan Telapak Lidah Halilintar.

Meski dengan kening berkerut. Telapak Lidah Halilintar mengangguk juga.

"Satu atau kedua-duanya...?" Algojo Cakar Siluman melanjutkan pertanyaannya.

"Maksudmu...?!"

"Kau menyuruh kami mengangkat kaki, bukan?" Algojo Cakar Siluman mengulang pertanyaannya.

"Betul!" Telapak Lidah Halilintar mengangguk cepat.

"Nah, sekarang aku tanya lagi. Satu kaki atau kedua-duanya?" Algojo Cakar Siluman tersenyum mengejek.

"Babi buntung!" Sadar dirinya telah ditipu mentah-mentah, Telapak Lidah Halilintar memaki gusar. "Kau berani mempermainkan aku, Algojo Cakar Siluman! Kau benar-benar manusia tolol yang tidak tahu diuntung. Diberi peringatan malah berbalik mengejek. Sekarang terserah apa mau kalian. Yang jelas, aku akan tetap menghalangi dan menentang niat kalian itu!"

"Hm...." Sambil mengusap-usap dagunya, Setan Ular Tertawa bergumam dengan senyum penuh ejekan. "Aku tahu sekarang!" lanjutnya dengan suara menghina. "Rupanya kau hendak mengangkangi Utusan Dari Neraka itu sendirian...!"

"Itu bukan hal yang aneh, Setan Ular Tertawa...," Algojo Cakar Siluman menyambung dengan nada yang tidak kalah menyakitkan. "Sebagai seorang pangeran pelarian yang selama puluhan tahun hidup terlunta-lunta karena negerinya kalah perang, tentu sampai saat ini ia masih mengharapkan akan dapat duduk di atas singgasana berlapis emas. Adanya Utusan Dari Neraka itu hendak dijadikan jalan untuk mewujudkan cita-cita gilanya. Ha ha ha...!"

"Diam!" Telapak Lidah Halilintar membentak keras. Selebar parasnya merah padam. Tubuhnya gemetar menahan gejolak amarah yang bagai hendak meledakkan dada. Ucapan Algojo Cakar Siluman jelas sangat mengena. Telapak Lidah Halilintar memang seorang pangeran yang terpaksa melarikan diri sewaktu negerinya kalah.

Bertahun-tahun ia harus menyembunyikan diri di hutan-hutan lebat dan pegunungan yang jarang didatangi manusia. Selama dalam pelariannya ia terus berlatih silat, selain untuk menjaga diri dari sergapan tentara musuh apabila kepergok juga untuk menghadapi keganasan hidup yang dijalaninya. Dalam pelariannya tidak jarang ia menghadapi ancaman binatang buas yang kelaparan.

Pengejaran terhadap Telapak Lidah Halilintar yang pada waktu itu bernama Pangeran Danutirto akhirnya terhenti. Pihak musuh mulai melupakannya setelah dalam pengejaran tak lagi menemukan jejak Pangeran Danutirto. Ia kemudian dianggap telah tewas. Padahal, Pangeran Danutirto yang melarikan diri ke dalam hutan lebat di lereng sebelah utara Gunung Merbuk masih hidup.

Pangeran Danutirto sendiri tidak tahu kalau pengejaran terhadap dirinya telah lama dihentikan. Ia menetap di dalam hutan itu dan melatih diri dengan tekun selama puluhan tahun. Karena keinginannya untuk dapat merebut kembali tahta kerajaan ayahnya masih menghantui pikirannya.

Keinginan itu pula yang membuatnya keluar dari tempat persembunyian setelah lebih tiga puluh tahun menyembunyikan diri. Tapi, keinginan itu padam dengan sendirinya ketika melihat rakyat hidup dalam ketenteraman dan kedamaian dalam pemerintahan tangan penjajah. Akhirnya, Pangeran Danutirto membaktikan ilmunya untuk kebaikan orang banyak. Hingga, ia dikenal dengan julukan Telapak Lidah Halilintar.

Saat namanya semakin besar dan dikenal orang, Telapak Lidah Halilintar mendengar tentang munculnya seorang bocah yang mendapat julukan Utusan Dari Neraka, karena perbuatannya yang sangat kejam dan mendirikan bulu roma. Ia pun bertekad untuk menghentikan bocah Utusan Dari Neraka itu.

DUA

"Eh, kenapa kau jadi marah-marah seperti itu, Telapak Lidah Halilintar?" Setan Ular Tertawa merasa senang melihat kakek kurus itu mencak-mencak. "Apa itu berarti kata-kata Algojo Cakar Siluman benar...?" lanjutnya, ia sengaja hendak membalas sikap Telapak Lidah Halilintar yang sempat memancing kedongkolan hatinya.

"Ular buntung keparat! Kau benar-benar membuat kesabaranku habis...!" Telapak Lidah Halilintar melompat ke depan. Sepasang tangannya bergerak membacok dan menusuk dengan kecepatan kilat!

Bed! Syuttt!

Dua serangan maut yang mengarah jalan darah kematian itu dielakkan Setan Ular Tertawa dengan menarik mundur tubuhnya dua langkah. Lalu, dengan tidak kalah cepat dan ganasnya, Setan Ular Tertawa melontarkan serangan balasan dengan dua ekor ular sendok yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah melibat kedua pergelangan tangannya.

Kedua ekor ular sendok itu mematuk- matuk ganas, membuat Telapak Lidah Halilintar terpaksa berlompatan menghindar. Ia tahu betul racun ular sendok sangatlah berbahaya dan mematikan. Maka, untuk mengimbangi serangan lawan jurus 'Telapak Lidah Halilintar' yang menjadi andalannya pun langsung digunakan. Setan Ular Tertawa terpaksa harus mengerahkan ilmu-ilmu andalannya pula.

Menyaksikan Setan Ular Tertawa dan Telapak Lidah Halilintar sudah terlibat dalam perkelahian sengit, Algojo Cakar Siluman tersenyum mengejek. Kesempatan itu segera dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Mula-mula ia menggeser langkahnya perlahan menjauhi arena perkelahian. Kemudian, dengan liciknya ia pun melesat meninggalkan tempat itu.

Tapi, kedua tokoh yang sedang bertarung rupanya sempat menangkap bayangan Algojo Cakar Siluman. Meskipun tanpa kata, keduanya ternyata memiliki pikiran yang sama. Begitu bayangan Algojo Cakar Siluman berkelebat pergi, keduanya langsung menahan serangan dan berlompatan mundur. Lalu, melesat dengan kecepatan tinggi mengejar Algojo Cakar Siluman.

"Jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini, Algojo Cakar Siluman...!" Setan Ular Tertawa terseru keras sambil melontarkan pukulan mautnya, sementara tubuhnya melayang di udara. Kedua ekor ular sendok yang semula melibat kedua pergelangan tangannya sudah lenyap.

"Siluman licik! Sebaiknya kau segera minggat ke neraka...!" Telapak Lidah Halilintar mengumpat. Seperti halnya Setan Ular Tertawa, dengan tubuh melayang di udara ia melontarkan pukulan 'Telapak lidah Halilintar'.

Perbuatan kedua orang itu tentu saja sangat mengejutkan Algojo Cakar Siluman. Sungguh tak disangkanya kedua orang yang tadi bertarung mati-matian kini berbalik mengejar dan mengeroyoknya. Karuan saja ia jadi kelabakan dan pontang-panting menyelamatkan diri dari pukulan maut kedua tokoh itu, dengan melompat tubuhnya ke samping dan terus bergulingan di tanah. Untung Algojo Cakar Siluman bertindak cepat. Kalau tidak, niscaya ia sudah tewas oleh kedua pukulan maut itu.

Setelah dapat menyelamatkan diri, Algojo Cakar Siluman langsung melenting bangkit. Dengan sigapnya ia berdiri tegak sambil memasang kuda-kuda siap tempur. Tapi, justru saat itu baik Setan Ular Tertawa maupun Telapak Lidah Halilintar tidak melanjutkan serangannya. Untuk beberapa saat ketiganya berdiri tegak di tempat masing-masing dan saling berpandangan satu sama lain.

"Setan Ular Tertawa." Setelah beberapa saat dicekam keheningan, Algojo Cakar Siluman membuka suara. "Kita adalah orang segolongan yang menguasai daerah timur dan barat. Untuk itu aku menawarkan kerja sama kepadamu. Kita habisi kakek peot ini. Setelah itu, baru kita sama-sama mencari goa tempat Utusan Dari Neraka itu berada...," lanjutnya mengajukan usul licik. Tentu saja karena pertimbangan untung rugi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Setan Ular Tertawa kelihatan ragu. Keningnya berkerut memikirkan usul Algojo Cakar Siluman. Tapi, ia tidak memerlukan banyak waktu. Usul itu dianggapnya cukup baik. Ia melihat sisi baik bagi keuntungan dirinya.

"Baiklah," jawab Setan Ular Tertawa mantap. "Aku suka dengan usulmu, Algojo Cakar Siluman...!" Kemudian, tanpa menunggu lagi, langsung diterjangnya Telapak Lidah Halilintar dengan serangkaian serangan maut!

Telapak Lidah Halilintar tidak terlalu kaget dengan sikap licik kedua datuk golongan hitam itu. Ketika Setan Ular Tertawa menyerangnya, ia segera menghindar dan balas menyerang dengan Ilmu 'Telapak Lidah Halilintar". Untuk pertarungan kali ini Telapak Lidah Halilintar benar-benar harus menguras seluruh kemampuannya.

Pengeroyoknya adalah datuk-datuk sesat yang selain memiliki kepandaian tinggi juga berwatak licik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kepandaian Telapak Lidah Halilintar sendiri sudah sangat tinggi. Selama ini belum pernah menemui tandingan. Tapi menghadapi keroyokan dua datuk sesat itu, yang masing-masing memiliki kepandaian tidak berselisih jauh dengannya, membuat kakek itu agak repot.

Lewat dari tiga puluh jurus, Telapak Lidah Halilintar mulai merasakan tekanan-tekanan berat dari kedua orang lawannya, ia terdesak dan hanya bisa bermain mundur. Untuk balas menyerang, kakek kurus itu tidak lagi mempunyai peluang. Kedua pengeroyoknya selalu lebih dulu menutup setiap celah yang memungkinkannya untuk balas menyerang. Telapak Lidah Halilintar semakin mati langkah, sementara ruang geraknya semakin dipersempit.

Duk!

Plakk!

Telapak Lidah Halilintar yang baru saja menghindar dari sergapan Setan Ular Tertawa terpaksa menangkis ketika serangan Algojo Cakar Siluman datang. Kedudukannya yang kurang menguntungkan membuat kuda-kudanya tergempur. Tubuhnya terjajar limbung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan kedua lawannya untuk menerjang!

"Hyaaahh...!"

Algojo Cakar Siluman membentak sambil melompat maju. Sepasang tangannya bergerak cepat. Bayangan cakarnya yang berubah banyak terlontar mengarah empat jalan darah besar di tubuh Telapak Lidah Halilintar.

"Yeaaattt...!"

Setan Ular Tertawa tidak mau ketinggalan. Tubuhnya meluncur deras seraya mengibaskan kedua lengannya bergantian. Dua buah benda hitam panjang meluncur cepat menuju jantung dan leher Telapak Lidah Halilintar.

Desss! Crabbb! Crabbb!

"Aaa...!"

Telapak Lidah Halilintar tak mampu lagi menyelamatkan diri. Terdengar raungannya yang panjang mendirikan bulu roma. Dua bayangan cakar Algojo Cakar Siluman merobek lambung dan dada kanannya. Sementara, dua ekor ular hitam yang dilontarkan Setan Ular Tertawa lenyap ke dalam dada kiri dan tenggorokannya, membuat lubang sebesar jari kelingking mengalirkan darah hitam pekat!

Tanpa ampun lagi, tubuh Telapak Lidah Halilintar, tokoh ternama yang sebenarnya juga seorang ahli sihir terlempar roboh bermandikan darah. Telapak Lidah Halilintar tidak mendapatkan kesempatan untuk menggunakan ilmu sihirnya. Setan Ular Tertawa dan Algojo Cakar Siluman sudah mengetahui rahasia kelemahan ilmu sihir.

Mereka selalu menghindari bentrokan pandangan dengan Telapak Lidah Halilintar. Sehingga, ia tidak mendapatkan peluang untuk mengerahkan ilmu sihirnya melalui pandangan mata. Melalui cara itu ia dapat mempengaruhi penglihatan dan pikiran lawan. Tapi, kesempatan itu tidak pernah didapat. Sampai akhirnya ia harus mati penasaran di tangan kedua datuk sesat itu.

Setelah menewaskan Telapak Lidah Halilintar, kedua datuk sesat itu saling bertukar pandang sejenak. Ada kilatan curiga pada sorot mata mereka. Keduanya sadar akan kelicikan dan kecurangan masing-masing.

"Sebaiknya persekutuan ini terus kita lanjutkan, Algojo Cakar Siluman...." Setan Ular Tertawa lebih dulu membuka suara, memecah keheningan yang menegangkan diantara mereka. "Dengan bersatu segala halangan akan lebih mudah kita singkirkan. Dan, apa yang kita inginkan akan segera terwujud!" lanjutnya sambil mengepalkan tinju dengan penuh semangat.

"Aku setuju...!" Algojo Cakar Siluman menyambut baik usul kawannya. Dengan tersenyum dikepalkannya tinjunya erat-erat. Mereka saling berjabat tangan. Kemudian, melangkah pergi tanpa mempedulikan mayat Telapak Lidah Halilintar.

********************

"Hh... Panas bukan main udara hari ini," keluh salah satu dari tiga orang lelaki gagah itu. Sambil berkata demikian, ia mengusap wajah brewoknya yang berpeluh.

"Sebaiknya di depan sana kita beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Aku mendengar suara gemericik air mengalir. Kurasa di sana ada aliran sungai..." Lelaki kedua menimpali. Kulit wajahnya yang putih tampak kemerahan terpanggang matahari. Sosok lelaki kedua ini sangat gagah. Tubuhnya tinggi tegap dengan dada bidang. Sosoknya masih kelihatan sangat menarik meski dalam usia yang telah mencapai empat puluh tahun.

Sedangkan lelaki ketiga tidak berkata apa-apa. Ia juga merasakan hal yang sama dengan kedua kawannya. Sikapnya tampak lebih tenang. Usianya sedikit lebih muda dari kedua kawannya. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah terhias kumis tipis. Dari sorot matanya yang tajam, jelas menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi.

Ketiga lelaki gagah itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang cukup ternama dan mendapat julukan Tiga Harimau Dari Timur. Mereka memang berasal dari Jawa Timur. Tepatnya Lembah Sungai Brantas. Sebagaimana kabar yang tersebar di kalangan persilatan, ketiga tokoh ini pun merasa berkewajiban untuk menghentikan keganasan Utusan Dari Neraka yang menggemparkan itu.

Tiga Harimau Dari Timur baru saja bergerak menuruni dinding sungai ketika mereka dikejutkan oleh suara makian. Ketiga tokoh itu langsung menoleh dengan sikap waspada. Tapi, ketiganya kemudian melengos. Yang mengeluarkan lengkingan itu ternyata seorang nenek yang tengah membuang hajat. Saat ketiganya menoleh tadi, mereka melihat nenek itu tengah sibuk menutupi auratnya yang sudah keriput.

"Hih hih hih...!"

Anehnya, begitu Tiga Harimau Dari Timur berpaling, nenek itu malah tertawa cekikikan memperlihatkan mulutnya yang tak bergigi lagi.

"Enak ya, kalian bisa menyaksikan tontonan cuma-cuma," ujar nenek itu. Sepertinya ia memiliki otak kurang beres. Biarpun sudah tua aku masih perawan ting-ting, tahu. Perbuatan kalian telah membuat mukaku tercoreng aib. Selama ini baru kalian bertiga yang menyaksikan keindahan tubuhku. Untuk itu, mata kalian harus kucongkel keluar!"

"Nenek sinting...!" Harimau Pertama yang berwajah brewok mengumpat jengkel. Pemandangan tadi bukan mendatangkan keuntungan, malah rugi besar. "Aku lebih suka melihat pantat kuda daripada tubuh peotmu!" Tentu saja sumpah serapah itu dilontarkan dengan suara pelan. Tapi, Harimau Pertama menjadi kaget. Nenek sinting itu ternyata mendengar umpatannya.

"Hik hik hik...! Sebenarnya aku suka melihat lelaki yang mempunyai brewok sepertimu. Tapi, mulutmu yang telah berani menghina keindahan Tubuhku harus kubuat mengok!" ujar nenek sinting itu, yang telah selesai membereskan pakaiannya. Dengan gerakan yang ringan tubuhnya melayang mengejar Tiga Harimau Dari Timur yang sudah naik ke daratan.

Whuttt...!

Belum lagi kakinya menginjak tanah, tangan nenek itu sudah menderu ke arah mulut Harimau Pertama. Tentu saja Harimau Pertama tidak sudi mulutnya dibuat mengok. Cepat ia menarik tubuhnya dua langkah ke belakang. Tapi, alangkah kaget hatinya ketika melihat tamparan itu masih juga mengejarnya.

Dukkk!

Tangkisan lengan kanannya malah membuat tubuh Harimau Pertama terhuyung limbung. Sedangkan telapak tangan nenek sinting terus bergerak mengincar mulutnya.

"Aaah...!" Saking kagetnya, Harimau Pertama memekik. Beruntung, Harimau Kedua dan Harimau Ketiga datang memberikan bantuan.

Nenek sinting itu terpaksa harus merubah gerakannya. Sasarannya kini beralih pada Harimau Kedua dan Harimau Ketiga. Tapi, Harimau Kedua dan Harimau Ketiga yang saat itu sudah mengenakan senjata berupa sarung tangan kuku harimau segera memapaki untuk mencengkeram telapak tangan nenek sinting!

Weettt! Weettt!

Cengkeraman Harimau Kedua dan Harimau Ketiga kehilangan sasaran. Telapak tangan nenek sinting tahu-tahu telah berputar cepat sekali. Dan, meluncur datang mengancam pelipis Harimau Kedua.

Plakkk!

Harimau Kedua tak sempat menghindar. Tamparan keras itu membuat tubuhnya terpelanting dan tercebur ke dalam sungai. Tepalak tangan nenek sinting terus berputar dan kini mengancam dada Harimau Ketiga.

Dukkk!

Harimau Ketiga memalangkan lengannya sehingga lengan mereka berbenturan. Akibatnya, tubuh Harimau Ketiga terpelanting dan nyaris mengalami nasib yang sama seperti Harimau Kedua. Untung ia keburu melempar tubuhnya ke samping dan terus bergulingan.

"Nenek gila! Terima balasanku...!"

Harimau Pertama yang menyaksikan kehebatan nenek sinting kini tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya melompat dengan gaya harimau menerkam mangsa. Sepasang tangannya yang telah mengenakan sarung tangan cakar harimau terjulur ke muka. Siap mencabik-cabik tubuh keriput nenek gila.

Serangan Harimau Pertama memang cukup berbahaya. Tapi, dengan lincahnya semua serangan itu dapat dihindari nenek gila. Malah, ketika Harimau Ketiga ikut mengeroyok maju, nenek gila tetap tidak merasa kewalahan. Lewat belasan jurus kemudian, serangan-serangan balasannya justru membuat kedua lawannya kalang kabut. Serangan nenek itu datang bertubi-tubi dengan kecepatan tinggi. Hingga, kedua lawannya berjumpalitan menyelamatkan diri.

Desss...!

Harimau Pertama mengalami nasib sial. Sebuah tendangan sisi telapak kaki mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, ia terjengkang di tanah. Menyusul kemudian Harimau Ketiga yang terpental uleh gedoran telapak tangan nenek gila. Tokoh muda itu jatuh terduduk dengan wajah pucat.

"Hih hih hih...! Kiranya kepandaian Tiga Harimau Dari Timur cuma begitu saja. Kecill!...!" Nenek lila mengejek sambil menjentikkan ujung kuku kelingkingnya. "Dari pada dengan kepandaian seperti ini kalian nekat hendak mencari Utusan Dari Neraka, lebih baik kalian bertiga menjadi suamiku saja. Biarpun wajah kalian jelek-jelek, tapi aku terima sebagai suamiku."

"Gila...!" Harimau Pertama memaki pelan, ia belum gila untuk menerima permintaan sinting itu. Harimau Pertama bergerak bangkit. Bekas tendangan nenek itu terasa sakit bukan main.

Tiga Harimau Dari Timur bergabung kembali. Wajah ketiganya tampak agak pucat. Mereka sadar nenek itu bukanlah tandingan mereka. Bukan mustahil nenek itu dapat memaksakan kehendaknya. Dan, memang sesungguhnyalah nenek sinting itu bukan tandingan mereka. Dia berjuluk Putri Perayu, karena sifatnya yang genit dan suka merayu kaum lelaki. Nenek ini memiliki kepandaian yang tinggi.

"Aku akan menghadiahkan obat kuat kepada kalian. Jadi, tidak perlu takut kalah kuat denganku." Seperti sangat yakin kalau Tiga Harimau Dari Timur bersedia menerima tawarannya, Putri Perayu segera mengeluarkan kantung obat dari balik pakaiannya. Tiga butir pil berwarna merah yang besarnya tak lebih dari ujung jari kelingking disodorkan ke hadapan Tiga Harimau Dari Timur.

"Telanlah sendiri olehmu, Nenek Gila!" Harimau Pertama memaki sambil menepiskan pil. Tapi, lanya dengan memutar telapak tangan tamparan Harimau Pertama luput.

"Kalau begitu, kalian akan kupaksa untuk menelan pil-pil ini. Dalam waktu singkat kalian boleh lihat pengaruhnya. Jangankan perempuan cantik, yang wajahnya buruk dan tubuhnya gudikan pun akan kalian sikat Hih hih hih...!"

Tiga Harimau Dari Timur terbelalak mendengar kedahsyatan pengaruh pil-pil berwarna merah itu. Membayangkan apa yang digambarkan Putri Perayu, mereka merasa ngeri dan jijik. Ketiganya segera berlompatan menjauh.

"Nah, aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk menerima tawaranku. Kalau tidak..." Putri Perayu kembali membuka telapak tangannya, menunjukkan pil-pil merah yang bagi Tiga Harimau Dari Timur kini terlihat sangat menakutkan.

Tiga Harimau Dari Timur terus bergerak mundur dengan wajah pucat. Keringat dingin mengalir membasahi wajah dan tubuh mereka. Sementara Putri Perayu terus melangkah maju sambil tertawa-tawa.

"Memaksakan kehendak kepada orang lain adalah sikap yang tidak terpuji...."

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan langkah lebar, pemuda yang tidak lain Panji menghadang langkah nenek gila. Putri Perayu, menyeringai memamerkan mulutnya yang tidak bergigi. Mungkin maksudnya hendak tersenyum manis. Tapi, yang terlihat justru seringai yang menggelikan.

Kemunculan pemuda tampan berjubah putih membuat Tiga Harimau Dari Timur memutar tubuhnya. Mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Dan, langsung pulang kampung! Rupanya, ancaman pil-pil merah telah melenyapkan keberanian mereka.

"Hm.... Kau harus menggantikan Tiga Harimau Dari Timur yang melarikan diri, Bocah Bagus!" Putri Perayu berkata dengan sorot mata mengancam. Tapi, meskipun wajahnya dibuat seseram mungkin, bagi Panji malah kelihatan lucu.

"Kecuali...," Nenek sinting itu tampak ragu dan tampak malu-malu melanjutkan ucapannya. Terdengar tawa mengekeh yang disertai kerdipan mata. Menurut Panji, persis orang cacingan. Tapi Putri Perayu tidak peduli dengan apa yang ada dalam pikiran Panji. Tubuhnya bergoyang ke kiri kanan sambil meremas-remas ujung pakaiannya. Kemudian, digigit-gigitnya dengan mulutnya yang tak bergigi. Sikap nenek itu persis seorang gadis pingitan yang tengah berhadapan dengan pemuda idamannya.

"Kecuali apa, Nek..?" Panji yang memang tidak mengetahui duduk perkaranya dengan jelas, bertanya ramah. Hatinya mendadak berdebar aneh ketika menyaksikan tingkah nenek sinting. Satu pikiran yang membuat hatinya bergidik tiba-tiba melintas di benaknya. Segera diusirnya pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Kecuali..., jika kau bersedia menjadi... suamiku...." Akhirnya Putri Perayu menjawab sambil tersipu. Wajahnya ditundukkan. Ekor matanya mengerling genit ke arah Panji.

"Hahhh...?!" Kalau saja saat itu petir meledak di dekat telinganya, rasanya Panji tidak akan sekaget sekarang. Jawaban nenek sinting benar-benar membuat dirinya berjingkrak kaget. "Gila...!" Panji mengumpat dalam hati. "Nenek ini ternyata bukan orang waras. Mana mungkin ia sampai mempunyai pikiran gila seperti itu? Edan!"

"Kaget ya, Bocah Bagus?" Nenek sinting berkata dengan wajah tanpa dosa. "Aku yakin kau tidak akan menyesal. Sampai saat ini aku masih perawan. Kau boleh membuktikannya kalau tidak percaya...."

Lagi-iagi Panji menggeleng. Dihelanya napas kuat-kuat. Panji menatap wajah nenek sinting itu lekat-lekat. "Maaf, Nek," ucapnya sambil menahan kejengkelan. "Aku sudah mempunyai calon istri. Jadi, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Dan aku tidak punya waktu lagi untuk meladenimu...," usai berkata, Panji segera meninggalkan tempat itu. Nenek ini ternyata orang gila. Gila kawin!

"Hik hik hik..!"

Panji yang sudah siap hendak melesat pergi segera menahan ayunan langkahnya. Suara tawa lain tiba-tiba terdengar. Suara tawa perempuan. Panji segera menduga pemilik suara tawa itu pasti telah mendengar semua pembicaraannya dengan Putri Perayu. Belum lagi gema tawa mengikik itu lenyap dari balik sebatang pohon, kira-kira tiga tombak di sebelah kanannya, muncullah sesosok tubuh perempuan. Dari bentuk wajahnya kelihatannya seorang perempuan muda. Ia melangkah dengan sikap menggoda. Tatapannya tertuju kepada Panji.

"Ayo, Nek, mengapa kau tidak segera mencium pengantin lelakimu? Peluk dan ciumlah dengan penuh kasih sayang. Aku percaya dia sudah bersedia untuk menjadi suamimu..." Perempuan yang berjalan melenggang itu berkata sambil menahan rasa geli.

"Eh, jadi dia sudah bersedia?!" Putri Perayu berkata sambil membelalakkan mata. Wajahnya tampak berseri-seri. Ditatapnya perempuan yang kini sudah berdiri didekatnya. Lalu menatap Panji dengan sorot mata berbinar. Dengan langkah dibuat-buat meniru langkah perempuan yang baru tiba, nenek sinting mendekati Panji dengan kedua tangan terulur.

TIGA

"Gila...! Siapa perempuan usil yang sama gilanya itu...?!" geram Panji, menumpahkan kejengkelannya kepada perempuan yang baru tiba dan memanas-manasi Putri Perayu. Tanpa menunggu lagi, Panji melesat pergi meninggalkan tempat itu.

"Kejar, Nek. Cepat kejar...!" Perempuan berpakaian merah muda yang usianya sekitar delapan belas tahun itu berseru sambil menahan tawa. "Pengantin lelakimu hendak mengajakmu bermain kejar-kejaran. Ayo, lekas tangkap...!" tambahnya. Kali ini diakhiri dengan melepas tawa berderai.

"Kurang ajar betul perempuan itu!" Panji mengumpat-umpat ketika dilihatnya nenek sinting melesat mengejarnya. Alangkah terkejutnya Panji ketika dengan beberapa kali lompatan saja tubuh Putri Perayu melambung melampaui kepalanya dan mendarat menghadang jalan.

"Wah, Nek, rupanya mempelai lelakimu hendak menguji kepandaian. Hayo lawan, Nek! Kalau kau berhasil mengalahkannya, baru dia bersedia kau boyong...!" Lagi-lagi perempuan usil berpakaian merah muda berseru, ia bertepuk tangan keras-keras memberi semangat Nenek sinting itu tentu saja menjadi kegirangan.

"Bagus kalau begitu!" Putri Perayu semakin berseri wajahnya. "Hadapilah seranganku, Suamiku...." Nenek sinting kemudian menerjang Panji dengan pukulan lurus ke dada. Tangan lainnya dengan telapak terbuka siap menyusul dengan tebasan miring.

Bedd!

Panji yang menghindar dengan melompat pendek ke samping terkejut merasakan betapa hebat tenaga pukulan yang terkandung dalam serangan itu. Cepat ia menggeser tubuhnya waktu tangan kiri nenek sinting membacok dengan diiringi suara bercicitan.

Whuttt...!

Ketika Panji masih juga dapat menghindari serangan kedua, Putri Perayu membentak nyaring. Dengan kedua tangan ia melancarkan totokan ke arah jalan darah di bagian atas dada Panji. Kali ini sangat sulit bagi Panji untuk menghindar. Kecepatan gerak nenek sinting benar-benar di luar dugaan. Tahu-tahu, totokan jari-jari tangannya sudah tiba dekat.

Plak! Plak!

Semakin kaget Panji sewaktu merasakan lengannya bergetar ketika menangkis lengan berkulit keriput itu. Sedangkan serangan nenek sinting terus meluncur dengan totokannya.

"Hyaaah...!"

Seraya membentak keras, Panji melempar tubuhnya dan berputaran di udara. Sengaja ia mengerahkan kecepatan geraknya, khawatir akan kalah cepat dengan nenek sinting. Apa yang dikhawatirkannya memang tidak berlebihan. Begitu kakinya menginjak tanah, serangan Putri Perayu kembali datang memburu. Merasa penasaran, Panji kembali membentak. Kali ini ia tidak melambung ke udara, malah sebaliknya, ia menjatuhkan tubuhnya dengan kuda-kuda rendah dan berputar melingkar. Kaki kanannya terjulur lurus ke depan menyapu kuda-kuda nenek sinting.

Desss!

Yang dilakukan Panji rupanya di luar perhitungan Putri Perayu. Sapuan kaki Panji telak menghajar kuda-kudanya. Nenek itu memekik kaget sewaktu kakinya kena jegal. Tubuhnya melambung dengan kedua kaki terangkat ke atas. Beruntung Putri Perayu memiliki kepandaian tinggi. Meski keadaannya sangat sulit, ia masih dapat melakukan gerak berputar. Nenek sinting itu dapat menyelamatkan diri secara mengagumkan! Ia menjatuhkan diri ke tanah dengan kedua tangan lebih dulu. Dan, terus bergulingan untuk kemudian melenting bangkit.

"Awaass...!"

Putri Perayu membentak nyaring. Kedua tangannya melontarkan pukulan bergantian. Serangkum angin keras menderu mengiringi datangnya pukulan. Setelah lewat belasan jurus tampaknya nenek sinting itu mulai melupakan tujuannya semula. Serangan-serangan yang dilancarkannya bukan lagi sekadar untuk menguji. Serangan itu sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan luka dalam yang parah. Nampaknya, hawa bertempur mulai dirasakan Putri Perayu sebagai pertarungan hidup dan mati!

"Celaka...!" Perempuan muda berpakaian merah muda yang berwajah manis berseru kaget. Ia tidak menduga nenek sinting memiliki kepandaian vnng sedemikian hebat. Kalau semula ia hanya hendak menggoda, kini menjadi khawatir akan keselamatan pemuda berjubah putih. Ketika melihat Panji kewalahan, perempuan itu berseru keras sambil melayang ke tengah arena.

Melihat perempuan yang memanas-manasi Putri Perayu ikut terjun ke arena, Panji semakin bertambah jengkel. Ia menduga perempuan itu hendak membantu nenek sinting untuk menangkapnya. Maka, bergegas Panji melompat jauh ke belakang untuk mempersiapkan diri menghadapi keroyokan kedua perempuan itu. Tapi, dugaan Panji ternyata keliru. Terjunnya perempuan berpakaian merah muda ke arena bukanlah untuk membantu nenek sinting, melainkan hendak menyelamatkan Panji dari serangan maut lawannya.

Duk! Plak! Bukkk!

Hebat dan cepat sekali gerakan Putri Perayu. Dua kali serangannya ditangkis perempuan muda itu, yang langsung tergetar mundur sambil meringis kesakitan. Sedangkan nenek sinting sudah mengirimkan hantaman kilat dengan telapak tangan tebuka. Pukulan itu telak menghajar perut perempuan muda. Ia terpelanting ke tanah, meski dapat langsung bangkit dan menyiapkan jurus-jurusnya. Pada sudut bibir perempuan itu terlihat cairan merah. Pukulan nenek sinting telah melukai bagian dalam tubuhnya.

"Minggir kau, Kuntilanak Genit! Jangan ambil suamiku...!" Putri Perayu itu berteriak-teriak. Kembali ia mengirimkan pukulan-pukulan dan tamparan yang mendatangkan deruan angin keras.

Perempuan berpakaian merah muda kelihatan kaget dan agak gugup melihat datangnya serangan. Kendati demikian, ia masih dapat menyelamatkan diri dengan susah payah. Tubuhnya terhuyung mundur tidak bisa mengatur kuda-kudanya karena serangan beruntun yang dilancarkan Putri Perayu.

"Nona, menyingkirlah...!"

Panji yang melihat perempuan muda itu, jelas-jelas hendak membelanya, segera berseru ketika Putri Perayu melanjutkan serangan mautnya. Cepat bagai kilat, tubuhnya melesat dan disambutnya serangan nenek itu dengan kibasan kedua lengan. Panji membentuk perisai sinar putih berhawa dingin yang menusuk tulang. Tenaga mukjizat 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang ketangguhannya telah terkenal di kalangan persilatan.

Kembali dua pasang lengan beradu memperdengarkan suara keras. Kali ini karena Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya, benturan itu menyebabkan tubuhnya dan Putri Perayu terpental balik. Tubuh Panji terlempar lebih jauh dari lawannya, bahkan nyaris terpelanting. Itu menandakan tenaga dalamnya masih berada di bawah nenek sinting. Benar-benar sebuah kenyataan yang mengejutkan Panji!

"Tuan...!" Perempuan berpakaian merah muda bergegas menghampiri Panji yang baru saja memperbaiki kuda-kudanya. Panji menoleh dan tersenyum ketika melihat kekhawatiran di wajah perempuan itu. "Maafkan aku, Tuan. Sungguh tak kusangka nenek sinting itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi," ucap perempuan itu dengan nada sesal. "Sebaiknya kita menghindar saja. Tidak ada gunanya meladeni manusia sinting seperu nenek itu...," lanjutnya mengusulkan.

Panji tersenyum menerima pernyataan maaf. Kemudian, menganggukkan kepala menyetujui usul itu. Ia sendiri enggan memperpanjang urusan dengan Putri Perayu. "Kau pergilah lebih dulu, Nona. Aku akan mencoba menahannya. Ilmu lari cepatnya sungguh luar biasa. Aku sudah merasakannya tadi," ujar Panji perlahan, namun mengandung ketegasan yang tidak ingin dibantah.

Perempuan itu berusaha tersenyum. Meski yang dilihat Panji adalah seringai ngeri. Tahulah Panji kalau perempuan itu telah menderita luka dalam. Sekilas dipandanginya sosok perempuan yang berlari meninggalkan arena pertempuran.

Putri Perayu sepertinya tidak peduli dengan perempuan berpakaian merah muda yang melesai pergi, ia cuma mengerutkan kening sesaat. Lalu perhatiannya kembali terpusat kepada Panji. Nenek sinting itu sudah mempersiapkan jurusnya untuk melanjutkan perkelahian.

Panji mengempos semangatnya dan mengerahkan tenaga gabungan. Sebentar kemudian, di sekeliling tubuhnya muncul cahaya putih keperakan, dan sinar kuning keemasan yang membelah tubuhnya.

"Hei...!" Putri Perayu berseru kaget melihat dua sinar mukjizat yang melapisi tubuh Panji. Tapi, dengan cepat ia kembali memperoleh kesadarannya. Ia bersiap menerjang Panji. Namun, Panji telah mendahuluinya dengan mendorongkan kedua telapak tangan.

Whusss...!

Sinar kuning keemasan dan cahaya putih keperakan yang menyilaukan mata melesat dari kedua telapak tangan Panji. Putri Perayu segera menunda gerakannya begitu merasakan hembusan hawa panas dan dingin yang berasal dari dua rangkum sinar itu.

Buummm...!

Terdengar suara ledakan membahana, membuat tanah tempat Putri Perayu berpijak berhamburan disertai kepulan debu tebal. Sebagian dedaunan pohon yang berada di sekitar nenek sinting berguguran ke tanah. Sementara sebagian lagi layu bagai terbakar. Bahkan, ada yang diselimuti butiran-butiran salju. Kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimiliki Panji tampaknya telah mengalami kemajuan.

Putri Perayu sendiri sudah keburu menjejak tanah sewaktu menyadari kedahsyatan pukulan Panji. Ketika pukulan dahsyat itu membongkar tanah tempatnya berpijak, tubuh nenek sinting sudah melambung ke udara berjumpalitan lima kali ke belakang. Dan, saat mendarat di tanah suasana di depannya terlihat gelap sehingga ia tidak bisa melihat sosok Panji, yang begitu melepaskan pukulan langsung melesat pergi meninggalkan tempat itu. Pukulan itu memang dimaksudkan Panji hanya untuk mengelabui Putri Perayu.

********************

"Hh.... Untunglah kita dapat melepaskan di dari nenek sinting itu, Panji..." Panji menoleh sambil menghembuskan napas lega. Saat itu mereka sudah berlari hampir setengah hari untuk menghindari kejaran Putri Perayu.

Selama dalam perjalanan keduanya sudah saling memperkenalkan diri. Mereka melakukan perjalanan sama karena kebetulan arah yang mereka tuju sama. Panji tidak merasa keberatan melakukan perjalanan dengan gadis itu. Panji menceritakan awal pertemuannya dengan nenek itu. Sedangkan Karina, perempuan berpakaian merah muda, cuma mengetahui sewaktu nenek sinting meminta Panji untuk menjadi suaminya.

"Kemunculannya jelas bukan tanpa sebab. Pasti ada sesuatu yang membawa langkahnya ke daerah ini...," ujar Panji. "Kau sendiri bagaimana tahu-tahu bisa muncul di tempat itu, Karina...?"

"Kurasa alasan kita tidak berbeda, Panji. Seperti juga alasan tokoh-tokoh persilatan yang saat ini banyak bermunculan. Kabar tentang munculnya seorang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka demikian menghebohkan. Hingga, Guru menugaskan aku untuk menyelidiki kebenarannya. Ketika melihat kau berselisih dengan nenek sinting itu, aku sebetulnya sedang dalam penyelidikan," ujar Karina sejujurnya.

"Artinya, sampai saat ini kau belum mendapatkan petunjuk tentang benar tidaknya berita itu?" tegas Panji menyimpulkan penuturan Karina.

"Begitulah..," Karina mengangkat bahunya disertai helaan napas berat.

"Lalu, penjelasan gurumu tentang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka itu bagaimana? Apakah dia laki-laki atau perempuan? Tua atau muda?"

Karina tertawa lirih mendengar pertanyaan Panji yang beruntun. "Sejak tadi selalu aku yang menjawab," Karina seperti keberatan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. "Bagaimana kalau mengenai hal itu kau saja yang menjawabnya, Panji. Menurutku, orang yang memiliki kepandaian sepertimu pastilah tahu lebih banyak ketimbang perempuan bodoh seperti aku...."

Ucapan Karina membuat Panji mengulum senyum. Beberapa saat keduanya dicekam keheningan. Panji tidak segera memenuhi permintaan Karina. Sampai akhirnya Karina bergerak menghadang di depan Panji. Sepasang mata bulat dan bening itu menghujam tepat di bola mata Panji, penuh tuntutan!

"Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui...," Panji menghela napas, mengalah. "Dari keterangan yang kuperoleh dan setelah menyaksikan korban-korban keganasan tokoh Utusan Dari Neraka, dapat diperkirakan tokoh itu seorang bocah. Entah kekuatan apa yang dimiliki hingga mampu melakukan pembunuhan dengan sangat kejinya. Korbannya kebanyakan ibu-ibu muda yang tengah menyusui. Meski kabarnya belum ada seorang pun yang pernah melihat rupa Utusan Dari Neraka, tapi aku merasa yakin tokoh itu seorang bocah. Kemungkinan ia diperalat seorang ahli sihir yang bertujuan hendak mengacaukan dunia persilatan, di samping tentu saja mempunyai maksud-maksud tertentu," jelas Panji panjang lebar.

Karina mengangguk-angguk merasa sependapat dengan Panji, ia sendiri pernah menyaksikan korban-korban keganasan Utusan Dari Neraka. Korbannya rata-rata perempuan. Mereka ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Karina tidak bisa memastikan apakah mereka perempuan muda atau nenek-nenek. Korban tewas dengan seluruh kulit tubuh mengeriput dan hitam seperti hangus terbakar.

Penjelasan Panji membuat pikiran Karina terbuka. Ia baru menyadari perbedaan antara orang yang mati terbakar dengan korban Utusan Dari Neraka. Orang yang tewas terbakar kulit tubuhnya pasti melepuh dan kemerahan. Jika lebih hebat lagi akan gosong dan kering. Tidak seperti korban-korban Utusan Dari Neraka. Kulit tubuhnya mengeriput seolah seluruh darah dan sari kehidupan di dalam tubuh korban terhisap habis! Padahal, menurut penglihatan tokoh-tokoh ahli tak ada sedikit pun luka. Itu yang menimbulkan pertanyaan dan masih merupakan misteri yang belum terpecahkan.

********************

EMPAT

Di lereng sebelah utara Gunung Merbuk, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa duduk bersila menghadap sebuah mulut goa yang tingginya kira-kira setengah tombak dari atas permukaan tanah. Dua pasang mata datuk sesat itu menatap tajam ke arah mulut goa. Mereka duduk diam di atas sebuah batu besar, hingga tempat mereka sejajar tingginya dengan letak mulut goa.

Sesekali dari dalam goa terdengar geraman-geraman marah yang mirip suara binatang buas. Orang yang bernyali kecil tentu sudah jatuh pingsan mendengar suara yang mendirikan bulu roma dan menggetarkan jantung itu. Suara parau itu seolah datang dari alam lain.

Kalau orang lain mungkin akan lari terbirit-birit ketakutan, tapi bagi dua datuk sesat seperti Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa geraman-geraman itu justru membuat wajah mereka berseri. Untuk pemilik suara itulah mereka datang ke Gunung Merbuk. Suara Utusan Dari Neraka!

"Hm.... Sudah dua belas hari kita duduk menunggu di sini, Setan Ular Tertawa. Namun, pagar gaib yang dibuat Telapak Lidah Halilintar pada mulut goa belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sirna. Entah berapa lama lagi kita harus menunggu...," ucapan yang diawali dengan helaan napas panjang itu keluar dari mulut Algojo Cakar Siluman.

Tidak terdengar sahutan dari Setan Ular Tertawa, ia menanggapi keluhan rekannya dengan kening berkerut. Mereka memang telah dua belas hari lamanya berada di tempat itu. Hampir pada setiap malam mereka melihat sesosok makhluk hitam legam merangkak ke mulut goa. Tapi, selalu saja berhenti di mulut goa. Kemudian menggeram-geram dan menghilang masuk ke dalam. Setiap kali makhluk itu hendak mencoba keluar, tiba-tiba muncul cahaya putih yang membentuk pagar. Sosok makhluk itu meraung kesakitan dan akhirnya kembali lenyap ke dalam goa. Selalu pemandangan itu yang disaksikan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa.

Apa yang disaksikan pada setiap malam itu membuat Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mau tidak mau harus mempercayai kebenaran selentingan kabar itu. Sebelumnya mereka memang belum bisa mempercayai tersiarnya kabar tentang apa yang telah dilakukan Telapak Lidah Halilintar terhadap Utusan Dari Neraka.

Telapak Lidah Halilintar setelah mendengar pembunuhan-pembunuhan keji dan mengerikan yang dilakukan seorang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka segera melakukan penyelidikan. Ia tokoh golongan putih yang selain memiliki kepandaian silat tinggi juga mempunyai kekuatan ilmu sihir. Itu sebabnya, begitu mendengar kalau Utusan Dari Neraka menggunakan ilmu gaib dalam menghabisi korban-korbannya, Telapak Lidah Halilintar segera mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mencari petunjuk. Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil memergoki Utusan Dari Neraka sewaktu tengah menghabisi korbannya.

Bukan kepalang terkejutnya Telapak Lidah Halilintar ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa tokoh yang karena kekejamannya hingga dijuluki Utusan Dari Neraka ternyata seorang bocah berusia tiga tahun! Bocah itu membunuh seperti bukan karena hendak membunuh, tapi karena kehausan. Rasa haus itu membuat setiap ibu muda yang tengah dalam masa menyusui dijadikan korbannya.

Bocah Utusan Dari Neraka akan mengisap habis air susu berikut darah sang ibu muda yang malang. Anehnya, setiap korbannya tidak pernah menjerit-jerit. Mereka terkena pengaruh aneh yang memancar dari sepasang mata Utusan Dari Neraka, tubuh korban baru dilepaskan setelah tidak ada lagi air susu bercampur darah. Korban ditinggalkan dalam keadaan sekujur kulit tubuh mengering. Karena, cairan di seluruh tubuhnya telah diisap habis oleh Utusan Dari Neraka!

Saat memergoki bocah yang bertubuh hitam legam dan berkilat-kilat itu. Telapak Lidah Halilintar mengerahkan ilmu andalannya untuk memusnahkan bocah itu. Namun, kekuatan pukulan Ilmu 'Telapak Halilintar' malah berbalik dan nyaris mencelakai dirinya. Akhirnya, Telapak Lidah Halilintar mengerahkan seluruh ilmu sihirnya untuk menaklukkan Utusan Dari Neraka. Merasakan kekuatan gaib pada diri bocah itu melemah akibat rasa hausnya, Telapak Lidah Halilintar segera membelenggu dengan menggunakan mantera-mantera sihir. Lalu, dibawanya pergi ke tempat kediamannya selama ini, di lereng sebelah utara Gunung Merbuk.

Dengan perbuatannya itu bukan berarti Telapak Lidah Halilintar telah berhasil mengalahkan Utusan Dari Neraka. Kekuatan belenggu mantera sihirnya hanya mampu bertahan sampai empat puluh hari. Lewat dari batas itu, Telapak Lidah Halilintar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Bocah Utusán Dari Neraka seolah tidak bisa dimusnahkan. Tubuh hitam legam bocah itu bukan saja mampu mengembalikan setiap serangan yang mengancamnya, bahkan mampu menyerang tenaga pukulan yang bagaimanapun kerasnya.

Apa yag akan terjadi setelah empat puluh hari berikutnya benar-benar membuat Telapak Lidah Halilintar dilanda kecemasan. Yang bisa dilakukannya cuma menunggu datangnya hari keempat puluh satu, setelah memenjarakan Utusan Dari Neraka di sebuah goa yang telah diberikan mantera pada mulut goa. Selama empat puluh hari empat puluh malam Utusan Dari Neraka tidak akan bisa keluar dari dalam goa itu.

Telapak Lidah Halilintar bukannya tidak tahu perbuatannya telah tercium tokoh-tokoh persilatan. Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan terutama kaum golongan hitam, terpaksa dibunuhnya. Mereka hendak merebut bocah pembawa bencana itu dari tangannya. Tapi, ketika dua orang de dengkot golongan sesat yang tidak lain Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa datang untuk mengambil bocah itu, Telapak Lidah Halilintar terpaksa harus merelakan nyawanya.

Kesaktian kedua datuk sesat itu tak sanggup ditandingi. Telapak Lidah Halilintar tewas dengan membawa rasa penasaran karena belum menemukan cara untuk memusnahkan Urusan Dari Neraka. Malah, bocah itu jatuh ke tangan manusia-manusia kejam yang sudah pasti akan memperalatnya untuk kepentingan pribadi.

********************

"Ada orang datang...!"

Tiba-tiba Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa berlompatan bangkit berdiri. Alangkah kaget kedua datuk kaum sesat itu melihat kemunculan seorang kakek jangkung yang mengenakan jubah lebar berwarna hijau dan pakaian dalam putih.

"Sssi... apa kau...?" Pengaruh yang memancar dari wajah dan sorot mata lembut kakek jangkung ternyata mampu membuat seorang datuk sesat seperti Algojo Cakar Siluman mendadak gugup. Algojo Cakar Siluman sendiri terkejut dan hampir tidak mengenali suaranya. Tapi, perbawa yang memancar dari kakek jangkung benar-benar tak mampu dibantahnya!

Hal serupa juga dialami Setan Ular Tertawa. Tokoh itu mendadak merasakan lidahnya kelu dan sukar diajak bicara, ia hanya menatap dengan sepasang mata terbelalak.

"Assalamu'alaikum, wahai sahabat-sahabatku…," Demikian lembut serta diiringi senyum salam itu diucapkan kakek jangkung. Ia mengangkat sebelah tangannya memberi hormat.

Tapi, Algojo Cakar Siluman maupun Setan Ular Tertawa yang masih belum hilang rasa gugupnya cuma bisa mengangguk-angguk persis orang-orangan sawah. Baru setelah agak lama, dan berusaha keras mengatasi kegugupannya, kedua datuk yang ditakuti tokoh-tokoh persilatan itu memperoleh ketenangan kembali. Tapi meskipun begitu mereka tetap tak dapat melenyapkan rasa segan dan hormatnya kepada kakek jangkung.

"Ada kepentingan apa kau datang ke tempat ini...?" Algojo Cakar Siluman bertanya dengan suara diberat-beratkan agar terdengar menyeramkan. Ketika bertanya ia tidak berani memandang wajah kakek jangkung berlama-lama. Algojo Cakar Siluman sendiri tidak mengerti apa penyebabnya.

"Aku datang dari tempat yang jauh dengan membawa itikad baik, Sahabatku." Lembut dan tetap dihiasi senyum penuh kesabaran jawaban kakek jangkung.

"Itikad baik seperti apa yang kau maksudkan itu...?" Setan Ular Tertawa mendesak ketika kakek jangkung tidak menyebutkan secara rinci keperluannya. Seperti halnya Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa pun tidak berani memandang wajah kakek itu terlalu lama. Setelah bertanya ia buru-buru menunduk, tak kuat menentang sorot mata dan wajah yang memancarkan pengaruh luar biasa itu.

"Sebenarnya aku seorang penyebar agama. Tapi, karena keangkaramurkaan tengah merajalela mengancam keselamatan umat manusia, aku merasa berkewajiban untuk ikut mencegahnya. Jelasnya, kedatanganku kemari adalah untuk membawa bocah yang disebut-sebut sebagai Utusan Dari Neraka. Dari kabar terakhir yang kudengar, Utusan Dari Neraka berada di sekitar kaki Gunung Merbuk ini," jelas kakek jangkung yang mengenakan sorban di kepalanya. Ia berhenti sebentar memandang Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa berganti-ganti. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya.

"Dari yang kuketahui melalui mimpi, bocah itu terlahir dengan membawa kutuk berupa kekuatan jahat yang luar biasa. Kekuatan jahat itu telah membunuh ibunya di saat melahirkannya ke dunia. Bocah itu mengisap habis seluruh darah di tubuh ibunya. Kemudian, membunuh dukun yang menolong kelahiran dengan memakan jantungnya. Ayahnya yang melihat perbuatan putranya bermaksud hendak membunuhnya. Tapi, lelaki malang yang seharusnya berbahagia itu juga tewas tercabik-cabik bagai diamuk binatang buas." Kakek jangkung melanjutkan penjelasannya, karena Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa masih membisu dengan pertanyaan yang mengganggu kepalanya. Tentang siapa sebenarnya kakek jangkung yang memiliki perbawa luar biasa itu.

"Maaf," ujar Algojo Cakar Siluman setelah kakek jangkung tidak berbicara lagi. "Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa...."

"Ya. Karena kami lebih dulu tiba di tepat ini dan telah menunggu selama dua belas hari." Setan Ular Tertawa menyambung. "Lebih jelasnya, kami berdualah yang lebih berhak atas diri Utusan Dari Neraka itu. Harap kau suka pergi dari tempat ini. Lanjutkan tugasmu menyebarkan agama. Mengenai bocah itu, biar kami berdua yang mengurusnya...."

Kakek jangkung berjubah panjang dan longgar itu tetap tersenyum sabar, meski perkataan Setan Ular Tertawa jelas-jelas menolak itikad baiknya. "Sebenarnya aku mempunyai firasat bahwa campur tanganku tidak akan menyelesaikan persoalan. Telah ditakdirkan akan ada orang lain yang kelak mengurus dan menyelesaikan persoalan ini. Tapi sebagai manusia biasa, dengan tidak mengenyampingkan ketentuan dari Yang Maha Kuasa, tidak ada salahnya aku berusaha. Persoalan takdir itu merupakan rahasia Allah. Tak satu makhluk pun yang dapat mengetahuinya secara pasti. Itu sebabnya aku masih hendak berusaha. Karena takdir ada yang bisa kita rubah dan ada yang tidak bisa," ujar kakek jangkung, membuat Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa kembali saling bertukar pandang. Penjelasan kakek itu terlalu rumit dan mereka agak sulit menangkap maknanya.

"Terserahlah apa katamu. Yang jelas, siapa pun yang hendak mengambil bocah itu akan kami tentang!" Akhirnya Algojo Cakar Siluman berkata tegas dan tandas.

Masih dengan mulut tersenyum kakek jangkung menghela napas panjang beberapa kali. Sesaat dipandanginya langit sore yang masih cerah, seolah hendak mencari petunjuk apa yang harus dilakukannya. "Haruskah setiap persoalan diselesaikan dengan perkelahian. Mengapa manusia tidak berupaya mencari jalan damai yang jauh lebih baik ...?" Kakek jangkung itu bergumam lirih. Tapi, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mendengar jelas ucapan itu.

"Dunia ini adalah belantara liar. Siapa kuat dialah yang menang!" lantang dan keras kata-kata yang diucapkan Setan Ular Tertawa, di dalamnya tersembunyi tantangan.

Kakek jangkung menggeleng dengan senyum duka. Langkahnya terayun menuju mulut goa. Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa bergegas menghadang dari dua arah. Ketika mereka mencoba memperingatkan dan kakek jangkung tetap melanjutkan langkahnya, Algojo Cakar Siluman mengeluarkan bentakan nyaring. Tubuhnya mencelat dengan lontaran pukulan yang menderu hebat.

Debb!

"Aakh...?!" Algojo Cakar Siluman memekik kaget. Pukulannya membentur suatu kekuatan yang tak tampak, yang membuat tenaga pukulannya membalik. Tubuh Algojo Cakar Siluman terlempar hingga hampir dua tombak jauhnya. Tapi, sebagai seorang datuk rimba persilatan Algojo Cakar Siluman segera dapat menguasai diri. Dengan lentingan berputar tubuhnya mendarat ringan di tanah. Tampak jelas betapa wajah datuk sesat itu menggambarkan rasa penasaran dan kaget. Wajah tokoh itu agak pucat!

Setan Ular Tertawa juga kaget melihat tubuh kawannya yang menyerang justru terpental balik. Tapi, pandangannya yang tajam sebagai seorang ahli silat sempat melihat tubuh Algojo Cakar Siluman tertahan sebentar sebelum terlempar, seolah ada kekuatan tak tampak yang melindungi kakek jangkung. Rasa penasarannya yang jauh lebih besar membuat Setan Ular Tertawa tidak menjadi gentar. Sambil mengeluarkan gelak tawa bergema, ia melontarkan dua buah pukulan sekaligus. Sasarannya adalah batok kepala dan lambung kakek jangkung.

Serangan maut Setan Ular Tertawa sedikit pun tidak membuat langkah kakek jangkung tertahan. Ia terus bergerak maju tanpa menoleh, seakan tidak tahu akan datangnya ancaman bahaya itu. Seperti halnya Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa pun mengalami nasib yang sama. Saat kedua pukulannya tinggal setengah tombak lagi dari tubuh kakek jangkung tiba-tiba Setan Ular Tertawa memekik keras. Tenaga pukulannya seperti membentur suatu dinding yang sangat kuat. Tubuhnya tertahan untuk sesaat. Kemudian, bertolak balik seperti yang dialami Algojo Cakar Siluman.

"Gila...!" Setan Ular Tertawa mengumpat dengan napas memburu, setelah berhasil mematahkan daya tolak dengan berputaran beberapa kali di udara. "Siapa sebenarnya kakek jangkung itu? Rasanya aku belum pernah menyaksikan kepandaian luar biasa seperti ini. Hanya orang-orang yang telah meyakini ilmu tenaga dalam secara sempurna yang dapat mcnciptakan benteng pelindung di sekeliling tubuhnya. Tapi anehnya, mengapa benteng pelindung itu dapat membuat pukulan kita berbalik?! Padahal, aku telah mengerahkan tiga perempat tenaga dalamku. Ini benar-benar tidak masuk di akal!"

Rasa penasaran Setan Ular Tertawa tidak ditanggapi Algojo Cakar Siluman. Saat itu ia tengah sibuk memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Tidak aneh memang kalau keduanya merasa sangat penasaran dan menganggap semua itu tidak masuk akal. Mereka tokoh-tokoh puncak rimba persilatan. Dan, orang-orang yang memiliki kepandaian sejajar dengan mereka bisa dihitung dengan jari! Tapi, menghadapi kakek jangkung yang tak dikenal itu ternyata mereka tak berdaya. Wajar kalau Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tidak habis mengerti dibuatnya.

Seolah telah mendapat kata sepakat, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa saling bertukar pandang. Saat itu juga keduanya mengambil keputusan untuk menyerang bersama-sama dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki. Algojo Cakar Siluman menggeram keras. Asap tipis mengepul dari ubun-ubun kepalanya. Tanda Algojo Cakar Siluman telah mengerahkan tenaga dalam hingga ke puncaknya. Sepasang tangannya diputar sedemikian rupa membuat gerakan-gerakan yang menimbulkan gelombang angin ribut. Datuk sesat itu hendak menggunakan Ilmu 'Cakar Setan' yang keampuhannya sangat ditakuti lawan.

Sementara, Setan Ular Tertawa mengumandangkan gelak tawanya yang membahana. Gelombang angin berputaran laksana angin puyuh, membuat pepohonan di sekitar tempat itu berderak-derak bagai hendak runtuh. Bebatuan kecil beterbangan. Di kedua lengan Setan Ular Tertawa terlihat empat ekor ular sendok mendesis-desis ganas, siap mengirim kakek jangkung ke neraka.

Kali ini kakek jangkung menoleh. Rona kedukaan semakin nyata terbayang di wajahnya. Sepasang matanya memandang sayu, menyesali keputusan kedua datuk sesat itu. Bibirnya menggerimit perlahan. Tangan kanannya yang memegang tasbih tampak bergetar sesaat. Jari-jari tangan kakek itu tak berhenti menghitung biji-biji tasbih.

"Hyaaattt...!"

Dengan bentakan mengguntur Algojo Cakar Siluman menerjang maju. Dari putaran sepasang lengannya berkelebatan puluhan bayang-bayang cakar siluman yang mengarah jalan-jalan darah kematian di tubuh kakek jangkung. Bukan main dahsyat dan mengerikannya serangan datuk sesat itu. Selama malang-melintang di rimba persilatan baru kali ini ia mengerahkan seluruh kedahsyatan ilmunya.

Bersamaan dengan bentakan Algojo Cakar Siluman, gelak tawa Setan Ular Tertawa menyerang kakek jangkung. Itu pun masih dibarengi dengan luncuran empat ekor ular sendok di kedua lengannya. Keempat makhluk melata itu meluncur dengan kecepatan kilat. Meliuk-liuk di udara mencari sasaran pada kedua mata, jantung dan tenggorokan kakek jangkung. Serangan Setan Ular Tertawa tidak kalah dahsyatnya. Bahkan, lebih mengerikan dari se angan Algojo Cakar Siluman.

Tapi, kakek jangkung itu tidak memperlihatkan sikap gentar. Bibirnya terus menggerimit, sementara tangan kanannya bergetar semakin keras. Serangan yang mengarah kedua telinga dan bagian dalam dadanya yang berasal dari gema gelak tawa Setan Ular Tertawa kelihatannya tidak berpengaruh apa-apa. Ketika serangan-serangan kedua datuk sesat itu tiba semakin dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanan kakek jangkung menggenggam tasbihnya erat-erat. Kemudian, tangan yang memegang tasbih itu mengibas ke depan dengan kecepatan luar biasa!

Whusss...!

Seiring dengan kibasan tasbihnya cahaya putih tercipta dan langsung membentur cakar-cakar Siluman yang mengancamnya. Terdengar ledakan keras berturut-turut disertai percikan cahaya terang yang menyilaukan mata. Cakar-cakar siluman Algojo Cakar Siluman lenyap dengan meninggalkan kepulan asap tipis. Algojo Cakar Siluman sendiri meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar terguling-guling disertai muntahan darah dari mulutnya. Kemudian, ia terkapar lemas dengan napas satu-satu.

Sedangkan cahaya putih yang melebar dan mengeluarkan hawa panas langsung memanggang hangus empat ekor ular sendok yang tengah meluncur ke tempat bagian tubuh kakek jangkung. Cahaya itu terus menghantam tubuh Setan Ular Tertawa, yang saking cepatnya tak sempat lagi dielakkan. Setan Ular Tertawa menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar bagai selembar daun kering yang dihempaskan angin. Ia jatuh berdebuk dan terguling-guling tiga tombak lebih!

Begitu tubuhnya terhenti, Setan Ular Tertawa memuntahkan darah kental. Keadaannya jauh lebih parah dari Algojo Cakar Siluman. Bagian depan tubuh Setan Ular Tertawa ditandai jalur hitam yang menebarkan bau sangit. Kulit dan daging pada bagian itu terbakar hangus oleh kilatan cahaya putih yang berasal dari kibasan tasbih kakek jangkung. Luka yang sangat parah itu membuat Setan Ular Tertawa terbujur sekarat dengan wajah pucat. Kecil sekali kemungkinan datuk sesat itu akan dapat selamat dari kematian.

Kakek jangkung menghela napas melihat keadaan kedua lawannya. Dengan langkah lebar dihampirinya Setan Ular Tertawa lebih dulu. Tanpa berkata sepatah pun telapak tangannya ditempelkan ke bagian kulit yang hangus, sebelumnya ia mengangkat kedua tangannya ke atas dengan bibir menggerimit. Beberapa saat kemudian, asap tipis mengepul seiring dengan mengecilnya luka bakar di tubuh Setan Ular Tertawa. Sampai akhirnya lenyap sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikit pun!

Setan Ular Tertawa hampir tak mempercayai penglihatannya. Bukan main takjubnya datuk sesat itu menyaksikan suatu kepandaian yang luar biasa. Kenyataan yang baginya serasa mimpi itu membuatnya sadar kalau kakek jangkung seorang tokoh luar biasa. Menurutnya, mungkin tidak ada duanya di atas muka bumi.

"Kakek jangkung itu pasti bukan manusia biasa...!" desis Setan Ular Tertawa lirih ketika kakek jangkung melangkah lebar menghampiri Algojo Cakar Siuman. Ada sorot iri pada sepasang mata Setan Ular Tertawa, selain juga perasaan dendam. Kepandaian kakek jangkung jelas sangat jauh berada di atasnya.

"Hm.... Dikiranya aku akan berterima kasih dengan pertolongannya ini. Huh! Dialah yang menyebabkan aku terluka. Sudah sepantasnya kalau dia pula yang menyembuhkan...!" gumam Setan Ular Tertawa. Tentu saja hanya diucapkan di dalam hati. Ia kemudian bergerak duduk untuk memulihkan tenaganya!

Seperti halnya Setan Ular Tertawa, Algojo Cakar Siluman pun mendapat pertolongan dari kakek jangkung. Rasa nyeri yang diakibatkan luka di dalam tubuhnya lenyap setelah beberapa saat telapak tangan kakek jangkung melekat di atas dadanya. Tapi, tak sepatah ucapan terima kasih pun diucapkan Algojo Cakar Siluman, walau ia merasa takjub dengan kepandaian kakek jangkung dan lega karena luka dalamnya telah sembuh. Tanpa mempedulikan kakek jangkung, Algojo Cakar Siluman duduk bersemadi untuk memulihkan tenaganya.

LIMA

"Hua ha ha...! Sungguh suatu pertunjukan yang hebat dan mengharukan sekali...! Hua ha ha...!"

Kakek jangkung yang sudah melangkah menuju mulut goa terpaksa menunda gerakannya. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling tempat itu. Wajah kakek jangkung tetap terlihat tenang dengan senyum kesabaran. Tapi, sorot matanya jelas membayangkan keterkejutan. Suara tanpa wujud itu menimbulkan angin keras yang berputaran, membuat pepohonan berderak keras. Suara itu seolah datang dari segala penjuru. Sehingga sulit diketahui sumbernya.

"Kaget mendengar suaraku, Kyai Sanca Wilang?!"

Suara itu berubah menjadi lengkingan tinggi yang menusuk-nusuk telinga. Kakek jangkung kembali memutar kepalanya. Kekagetan sekilas membayang pada sorot matanya. Pemilik suara itu mengenal namanya dengan baik!

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tengah memulihkan tenaganya sampai berjingkrak bangkit dari semadinya dan terbanting jatuh berdebuk dengan keras. Demikian dahsyat pengaruh suara tanpa wujud itu. Betul kekuatan mereka memang belum pulih seluruhnya, tapi sewaktu suara tanpa wujud terdengar mereka telah dapat memulihkan tiga perempat bagian dari tenaga dalamnya. Dapat dibayangkan bukan main terkejutnya Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang untuk kedua kali mengalami kejadian tak terduga.

"Celaka...!" Algojo Cakar Siluman berdesah dengan wajah pucat. "Kemunculan Utusan Dari Neraka ternyata telah mengundang kedatangan manusia-manusia sakti. Kalau saja tidak mengalami sendiri, aku tidak akan pernah percaya di atas muka bumi ini ternyata masih banyak tokoh-tokoh yang kepandaiannya sangat jauh di atas kita...!"

Setan Ular Tertawa yang jatuh berdekatan dengan Algojo Cakar Siluman masih tampak pucat wajahnya. Ia tidak habis mengerti dengan kejadian-kejadian luar biasa yang dialaminya. Akalnya masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Sukar baginya untuk percaya bahwa dirinya yang telah diakui sebagai datuk golongan sesat di hampir dua wilayah ternyata dapat dikalahkan dengan mudah oleh kakek jangkung yang tak dikenal. Malah, kini muncul lagi tokoh baru yang juga memiliki kepandaian luar biasa.

Kenyataan-kenyataan yang tak pernah terbayangkan itu benar-benar membuat Setan Ular Tertawa sangat terpukul. Dalam mimpi pun rasanya Setan Ular Tertawa tak pernah membayangkan kepandaiannya yang tinggi ternyata tak berarti apa-apa.

"Dunia sudah gila. Dunia sudah edan...!" karena belum bisa menerima kenyataan pahit itu, Setan Ular Tertawa mengumpat sambil menggeleng berkali-kali.

"Kenyataan ini memang sangat menyakitkan bagi kita, Setan Ular Tertawa." Algojo Cakar Siluman menanggapi keluhan kawannya. "Tapi, sebaiknya kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Firasatku mengatakan pemilik suara yang belum menampakkan diri itu adalah lawan kakek jangkung yang bernama Kyai Sanca Wilang. Kita saksikan saja. Kemudian, kita ambil apa yang kira-kira bisa mendatangkan keuntungan buat kita...," lanjutnya, bukan cuma untuk menghibur hati Setan Ular Tertawa, tapi juga dirinya sendiri.

Setan Ular Tertawa hanya menjawab dengan anggukkan kepala perlahan. Sorot matanya jelas memancarkan harapan agar tokoh yang baru terdengar suaranya itu merupakan lawan Kyai Sanca Wilang.

Kyai Sanca Wilang yang mendengar pemilik suara itu telah mengenalnya dengan baik kini menujukan pandangannya pada satu arah. "Hm.... Rasanya aku dapat menduga siapa dirimu, Sahabat...!" Kyai Sanca Wilang berkata halus. Namun, terdengar lantang dan bergema hingga ke seluruh pelosok tempat itu.

Sesaat kemudian, ucapan Kyai Sanca Wilang disambut oleh suara daun-daun pohon yang seperti diterjang suatu benda. Suara berkerosokan itu berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lain di seputar tempat itu. Akhirnya, dengan disertai suara mengaung meluncurlah sesosok tubuh yang bergerak berputaran bagai seekor burung.

Sosok yang memiliki perawakan sama dengan Kyai Sanca Wilang, jangkung dan kurus, menjejakkan kaki di tanah dengan memperdengarkan suara keras. Sosok itu seperti sengaja hendak menunjukkan kekuatannya. Meski tubuhnya jangkung dan kurus, sewaktu kakinya menjejak tanah sekitar tempat itu berguncang keras laksana digoyang gempa. Perbuatan itu jelas menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat!

"Sudah kuduga kaulah pemilik suara itu, Sahabat Biang Segala Jahat..." Kyai Sanca Wilang menyapa sosok yang berperawakan sama dengan dirinya. Bedanya, sosok yang berjuluk Biang Segala Jahat itu mengenakan jubah panjang hitam. Lapisan sebelah dalamnya berwarna merah darah. Tokoh luar biasa itu hanya tertawa ketika julukannya disebut.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa menahan pekik kagetnya mendengar Kyai Sanca Wilang menyebut julukan Biang Segala Jahat. Julukan itu pernah mereka dengar dan menganggap keberadaan tokoh itu cuma ada di dalam dongeng. Bagi tokoh-tokoh golongan hitam tingkat tinggi, nama Biang Segala Jahat dijadikan sebagai lambang kekejaman dan kejahatan. Nama Biang Segala Jahat hanya terdengar dari mulut ke mulut tanpa seorang pun yang pernah bertemu atau melihatnya. Tidak heran kalau Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa demikian terkejut.

"Firasatmu ternyata benar, Algojo Cakar Siluman...!" Setan Ular Tertawa berkata lirih dan bergetar oleh perasaan gembira. "Tokoh yang menjadi lambang dan pegangan golongan kita itu akan mendatangkan keuntungan buat seluruh golongan sesat!"

"Benar-benar sebuah pengalaman yang luar biasa...!" Algojo Cakar Siluman berdesah sambil tak hentinya menggeleng takjub. Kalau kekalahannya tadi sempat membuatnya terpukul, kini ia merasa gembira dan ingin melihat apa yang dapat dilakukan Kyai Sanca Wilang terhadap Biang Segala Jahat.

Sosok jangkung agak kurus yang mengenakan jubah hitam pekat itu memang cocok sekali kalau dijuluki Biang Segala Jahat. Seluruh anggota wajahnya memancarkan pengaruh jahat yang membuat orang bergidik. Sepasang matanya tajam berkilat menyorotkan warna merah. Dalam sekejap mata itu tercermin watak penuh kelicikan, kebengisan, dan kekejaman tiada tara. Begitu juga dengan alis matanya yang hitam tebal dan bercabang pada ujungnya. Hidungnya yang melengkung tajam dan tarikan bibirnya benar-benar melambangkan segala nafsu angkara murka.

Usianya memang sudah tidak muda lagi. Kira-kira enam puluh lima tahun. Padahal sesungguhnya usia tokoh berjuluk Biang Segala Jahat itu telah mencapai seratus dua puluh lima tahun. Kalaupun sosoknya terlihat separo lebih muda dari usia sebenarnya, itu karena ramuan-ramuan obat ciptaannya. Juga karena 'Air Keabadian' tempatnya merendam tubuh.

Mengenai Kyai Sanca Wilang, boleh dibilang tidak ada orang yang tahu berapa usianya. Rupa dan namanya pun hampir tidak dikenal tokoh-tokoh persilatan. Itu karena Kyai Sanca Wilang hampir tidak pernah melibatkan diri dalam dunia persilatan. Ia seorang penyebar agama yang selalu melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman yang boleh dikatakan terpisah jauh dari keramaian dan sulit didatangi. Hanya sedikit sekali tokoh persilatan yang mengenal Kyai Sanca Wilang. Tokoh-tokoh yang sedikitnya berusia di atas sembilan puluh tahun, termasuk Biang Segala Jahat.

"Sungguh suatu pertemuan yang sangat menggembirakan. Bukan begitu, Kyai?" Ramah dan lembut suara Biang Segala Jahat Sangat berbeda dengan kebanyakan tokoh-tokoh jahat. Tapi, justru di balik keramahan dan kelembutan itu tersembunyi watak jahat yang luar biasa. "Seingatku, wajahmu tetap tidak, berubah seperti kita pertama kali bertemu pada puluhan tahun silam," lanjutnya sambil tersenyum. Tapi, anehnya dalam senyuman itu orang yang melihatnya dapat merasakan bayangan kekejaman yang mengerikan. Itu salah satu keanehan yang sulit diterima akal.

Kyai Sanca Wilang mengangguk-angguk dengan bibir tetap tersenyum. Bayangan ketegangan sudah lenyap dari matanya sejak Biang Segala Jahat menampakkan diri. Sikapnya tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Seolah ia tengah berhadapan dengan seorang sahabat baik yang telah lama tak berjumpa.

"Kau pun kelihatan tetap awet muda, Biang Segala Jahat. Aku merasa gembira bisa berjumpa lagi denganmu. Ini adalah takdir dari Allah, Biang Segala Jahat...," ujar Kyai Sanca Wilang menyahuti.

"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak ingat siapa aku, Kyai. Di hadapanku jangan sekali-kali Kyai menyebut takdir. Apalagi nama sesembahanmu. Itu pantangan bagiku, Kyai. Anehnya, kau selalu lupa dengan hal itu" Meski ucapan itu jelas menunjukkan ketidaksenangan hatinya, tapi raut wajah Biang Segala Jahat tidak berubah. Itu bukan sesuatu yang aneh. Sebagai biangnya segala bentuk kejahatan, Biang Segala Jahat tentu saja dapat menguasai perasaan dan sikapnya.

"Kau pun rupanya lupa siapa aku, Biang Segala Jahat. Aku seorang penyebar agama yang tentu saja tidak bisa terlepas dari semua itu." Kyai Sanca Wilang menukas tanpa meninggalkan senyumnya.

"Yah..., sudahlah...!" Biang Segala Jahat menepiskan telapak tangannya di udara. "Sekarang kita telah bertemu. Dan, kita sama-sama tahu untuk kepentingan apa berada di tempat ini. Kau mempunyai usul, Kyai...?"

Mendengar Biang Segala Jahat telah menyinggung ke pokok persoalan, Kyai Sanca Wilang tidak segera memberikan jawaban, ia membisu beberapa saat. "Hm.... Untuk memperebutkan Utusan Dari Neraka itu...," ujar Kyai Sanca Wilang kemudian. "Kupikir sebaiknya kita mengadakan pertandingan melalui sebuah permainan. Kurasa itu lebih baik. Tentu kau masih ingat dengan perjumpaan kita dulu. Kau terpaksa harus pergi setelah dapat kukalahkan dalam permainan catur yang memakan waktu dua hari dua malam. Bagaimana? Kau setuju? Atau kau takut kalah lagi denganku?" tantang Kyai Sanca Wilang.

Biang Segala Jahat tertawa sambil mengangguk-angguk. Ia tidak segera menerima usul Kyai Sanca Wilang. Mungkin karena takut mengulang kekalahannya di waktu silam. "Kita cari permainan lain yang lebih menarik dan lebih mengutamakan kepandaian daripada pikiran. Tapi, usulmu itu boleh juga. Anggaplah permainan catur itu merupakan bagian pertama. Kau setuju, Kyai?"

"Sesukamulah, Biang Segala Jahat... " Kyai Sanca Wilang menyerahkan keputusan kepada Biang Segala Jahat.

"Kalau begitu, mari kita mulai permainan yang pertama...."

Usai berkata demikian, Biang Segala Jahat tahu-tahu lenyap. Sebentar kemudian ia sudah kembali dengan membawa ranting pohon yang panjang dan besarnya sama dengan lengan orang dewasa. Kyai Sanca Wilang sudah duduk bersila di atas tanah. Dengan menggunakan kedua telapak tangannya, Kyai Sanca Wilang mengebut-ngebutkan tanah. Gerakan Kyai Sanca Wilang demikian cepat dan tak tertangkap oleh mata. Tahu-tahu saja tanah di depannya telah rata dan halus, membentuk kotak-kotak dengan dua warna, persis papan catur.

Biang Segala Jahat dengan tanpa menggunakan benda tajam, hanya dengan kedua tangannya, bekerja cepat membawa biji-biji catur dari ranting pohon. Kedua tangannya bergerak dengan kecepatan luar biasa, memapas dan membentuk potongan ranting menjadi biji-biji catur yang berupa bulatan seperti kepingan uang. Untuk membedakan warna biji-biji catur, Biang Segala Jahat cukup menggenggam separo dari jumlah biji catur, yang begitu dilepaskan telah berubah hitam dengan masih mengepulkan asap tipis. Hebat dan cepat sekali pekerjaan itu dilakukannya. Dalam waktu singkat biji-biji catur telah siap.

"Aku memilih warna hitam, Kyai. Karena dulu pun kau lebih menyukai warna putih, bukan?" ujar Biang Segala Jahat, yang tanpa membuang-buang waktu lagi segera mengatur buah-buah caturnya.

Perbuatan kedua tokoh sakti itu tentu saja mengundang keheranan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Meski agak kecewa karena kedua kakek itu tidak bertarung seperti harapan mereka, namun keduanya merasa tertarik dan bergegas mendekat untuk menyaksikan jalannya pertandingan.

Mulanya Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mengira permainan akan berlangsung seperti yang mereka ketahui. Tapi, setelah pertandingan dimulai barulah kedua datuk sesat itu terkejut. Permainan kedua manusia sakti itu benar-benar tidak lumrah. Mereka tidak menjalankan buah-buah catur seperti umumnya, melainkan saling berebutan untuk segera menghabisi buah catur lawan. Kecepatan gerak, penggunaan tenaga dalam, dan kejelian mata jelas sangat diperlukan.

Kemenangan ditentukan bagi mereka yang lebih dulu menghabisi buah catur lawan dengan tanpa merubah letak duduk, Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat duduk bersila berseberangan. Sementara dua pasang mata mereka saling tantang.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa kaget bukan main ketika kepala mereka mendadak pening sewaktu mengerling ke arah raut wajah kedua tokoh sakti itu. Kenyataan ini membuat keduanya sadar kalau Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat telah mengerahkan kekuatan sihir dalam permainan itu. Kelengahan sedikit saja bisa mengakibatkan luka dalam.

Menyadari hal itu, berdebarlah hati Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Mereka terpaksa bergerak mundur dan menyaksikan permainan dari tempat yang agak jauh. Lama-kelamaan pertarungan kedua tokoh sakti itu bisa berakibat buruk buat mereka. Dalam hal kecepatan dan ketepatan gerak, Kyai Sanca Wilang masih lebih unggul dari Biang Segala Jahat. Setelah agak lama permainan berlangsung, Kyai Sanca Wilang berhasil mencuri tiga buah biji catur lawan dengan gerak tipu.

"Bagus sekali gerak tipumu, Kyai..." Biang Segala Jahat memuji seraya menghentikan gerakannya. Sepasang matanya tidak berpindah dari wajah Kyai Sanca Wilang, yang tersenyum-senyum meletakkan tiga buah biji catur curian di hadapannya.

Saat itu Kyai Sanca Wilang kelihatan agak lengah. Namun, sewaktu Biang Segala Jahat mengulurkan kedua tangan dengan cepat untuk mencuri buah-buah caturnya, kakek jangkung itu dapat menggagalkannya. Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti mata, Biang Segala Jahat meliukkan tangan kanannya yang tertangkis lengan lawan. Sekali sambar saja, dua buah biji catur telah berada dalam genggaman.

"Hua ha ha...!" Biang Segala Jahat memperdengarkan tawa bergelak seraya memperlihatkan dua buah biji catur curiannya di depan wajah Kyai Sanca Wilang. Tapi, alangkah kagetnya ia ketika Kyai Sanca Wilang membuka telapak tangannya. Terlihat dua buah biji catur berwarna hitam. Rupanya pada saat yang hampir bersamaan Kyai Sanca Wilang berhasil mencuri buah catur lawan.

"Kita sama-sama mendapat dua biji catur, Biang Segala Jahat...," Kyai Sanca Wilang berkata dengan tersenyum.

"Kau curang, Kyai...!" Biang Segala Jahat menggeram gusar, ia mengumpat karena tidak melihat kapan Kyai Sanca Wilang bergerak mengambil buah caturnya.

"Curang bagaimana, Biang Segala Jahat?" tukas Kyai Sanca Wilang masih tetap tersenyum. "Buah catur ini kuambil dari hadapanmu, bagaimana bisa dibilang curang?"

Biang Segala Jahat tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak liar merayapi biji-biji catur di depannya. Kemudian, dengan kecepatan kilat Biang Segala Jahat mengulurkan tangan kanan. Tapi bukan biji catur yang ditujunya, melainkan dua biji mata Kyai Sanca Wilang. Dua jari tangan Biang Segala Jahat memperdengarkan suara mencicit sewaktu meluncur membelah udara.

Kecurangan lawan tidak membuat Kyai Sanca Wilang menjadi kaget, ia tahu betul siapa lawan yang dihadapinya. Seorang tokoh yang terkenal paling licik dan paling jahat. Sewaktu-waktu ia bisa saja tidak mempedulikan aturan permainan yang telah disepakati sebelumnya. Dengan tenang Kyai Sanca Wilang menunggu jari-jari maut itu tiba dekat. Ia sudah bisa menebak perbuatan Biang Segala Jahat cuma tipuan belaka.

Apa yang diperkirakan Kyai Sanca Wilang ternyata tidak meleset. Biang Segala Jahat yang melihat Kyai Sanca Wilang belum juga menggerakkan tangan, mendadak mengulurkan tangan kirinya menyambar biji-biji catur lawan. Tapi, alangkah heran hatinya melihat Kyai Sanca Wilang masih tenang-tenang saja. Kekecewaan tampak jelas pada wajah dan sorot mata Biang Segala Jahat. Ternyata lawan sama sekali tidak peduli.

"Hahhh...!"

Sambil membentak tertahan, Biang Segala Jahat merubah gerakannya. Tangan kanan yang semula menusuk ke arah kedua mata, meliuk turun. Sebaliknya, tangan kiri yang hendak menyambar biji-biji catur lawan bergerak melesat ke arah mata Kyai Sanca Wilang! Rupanya, itulah yang menjadi penyebab mengapa Kyai Sanca Wilang belum juga bergerak.

Plak! Dukk!

Tubuh kedua tokoh sakti yang tengah duduk bersila itu bergetar sewaktu kedua pasang lengan mereka berbenturan. Kendati demikian, benturan itu tidak membuat tubuh keduanya bergeser. Padahal benturan yang terjadi cukup keras. Hal seperti itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan tokoh lain. Agaknya, selain mengerahkan tenaga pada kedua lengan, mereka juga mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh masing-masing bagai tertanam dan melekat pada bumi.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya menyaksikan kejadian itu. Mereka menggeleng dan berdecak berkali-kali. Apa yang mereka saksikan benar-benar menunjukkan kesaktian yang sukar diukur! Lain halnya kalau kedua tokoh sakti itu memiliki perbedaan tingkat kepandaian. Tapi, mereka justru seimbang.

ENAM

Permainan catur yang tidak sewajarnya itu terus berlanjut. Segala kelicikan dan tipu muslihat telah dilakukan Biang Segala Jahat. Tapi, ia tetap ketinggalan oleh Kyai Sanca Wilang dalam mengumpulkan biji-biji catur. Sampai akhirnya, setelah semalaman suntuk, permainan pun berakhir. Kemenangan berada di pihak Kyai Sanca Wilang dan biji-biji caturnya masih tersisa hampir separo. Sedangkan biji-biji catur Biang Segala Jahat telah licin tandas!

"Kau menang, Kyai..," ucap Biang Segala Jahat terdengar getir. Tampaknya ia kecewa. "Sekarang kita meningkat pada permainan berikutnya. Karena permainan pertama kau yang memilih, maka pada permainan kedua ini akulah yang memilih," lanjutnya menyembunyikan kelicikan.

"Silakan... silakan...." Hanya itu yang diucapkan Kyai Sanca Wilang seraya mengangguk-anggukkan kepala. Ia bergerak mengikuti langkah Biang Segala Jahat, yang di tangan kanannya telah tergenggam dua batang ranting kecil sepanjang satu setengah jengkal. Besarnya tak lebih dari jari kelingking.

Biang Segala Jahat menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon besar yang pucuknya nyaris tak terlihat, ia menengadahkan kepala merayapi batang pohon besar itu. "Kau lihat daun pada ranting itu, Kyai?" Biang Segala Jahat meluruskan jari telunjuknya pada selembar daun yang terpisah dari daun-daun lain. Ia melekat pada ranting sebesar lengan. Tingginya kira-kira sepuluh tombak dari atas tanah. "Itulah pilihanku, Kyai. Sedangkan untukmu... Nah, daun yang sedikit berada di atas daun pilihanku..."

Kyai Sanca Wilang tersenyum mendengar kata sedikit lebih tinggi yang diucapkan Biang Segala Jahat. Karena sesungguhnya, daun yang dipilihkan untuknya berada lima sampai enam tombak di atas daun pilihan Biang Segala Jahat. Daun itu lebih kecil dan batang tempat daun itu melekat pun jauh lebih besar. Bagi mata orang awam daun yang ditunjuk Biang Segala Jahat nyaris tak terlihat. Tapi, bagi mata kedua tokoh sakti itu kelihatan sangat jelas. Mereka mengerahkan tenaga dalam pada kedua matanya untuk melihat daun-daun itu.

"Hm... Lalu, bagaimana peraturan permainannya, Biang Segala Jahat?" tanya Kyai Sanca Wilang. Ia tidak membantah meski jelas-jelas dicurangi Biang Segala Jahat.

"Dengan menggunakan potongan ranting kecil ini." Biang Segala Jahat memperlihatkan dua potong ranting telapak tangannya. Lalu, diberikannya potongan ranting yang lebih kecil kepada Kyai Sanca Wilang. "Kita berdua harus dapat mengambil daun itu tanpa membuat cacat ranting tempat daun melekat. Tentu kau paham maksudku, bukan? Kalau kau takut kalah, silakan pilih daun yang lebih muda untuk dijadikan sasaran. Kau pasti takut sasaranmu meleset. Dan, tidak bisa memenangkan permainan ini dariku. Perlu kau ingat, dalam permainan ini akulah yang berhak mengaturnya!" Dengan licik Biang Segala Jahat sengaja mengulang-ulang kata takut dalam perkataannya. Ia pun menekankan tentang haknya untuk mengatur permainan.

"Mulailah, Biang Segala Jahat" Meskipun sadar dirinya dicurangi mentah-mentah, Kyai Sanca Wilang tetap tersenyum. Sejak semula ia sudah telanjur terjebak kata-kata Biang Segala Jahat. Kyai Sanca Wilang tidak bisa mundur lagi. "Tentunya kau hendak memulai lebih dulu, bukan?" lanjutnya mendahului, ia tidak ingin membuang-buang waktu dan kembali terjebak dalam kelicikan Biang Segala Jahat.

Biang Segala Jahat tertawa bergelak. Sesaat kepalanya mengadah dengan sorot mata mencorong tajam. Kemudian, ranting di tangan kanannya dilontarkan dengan menggunakan tenaga dalam. Potongan ranting meluncur dan menyambar tepat di batang daun tanpa merobek daun itu. Demikian hebat pengaturan tenaga dalam Biang Segala Jahat, hingga dapat mencopot daun utuh berikut batangnya. Potongan ranting kemudian meluncur turun dan disambut dengan telapak tangan Biang Segala Jahat.

"Sekarang giliranmu, Kyai...," ujar Biang Segala Jahat setelah memperdengarkan tawa.

Kyai Sanca Wilang segera melemparkan potongan ranting di tangannya. Potongan ranting itu lebih kecil daripada yang digunakan Biang Segala Jahat. Berarti, Kyai Sanca Wilang harus menggunakan lebih banyak tenaga dalam agar potongan ranting tidak melenceng oleh hembusan angin sore yang berhembus keras.

Tapi, Biang Segala Jahat telah mempersiapkan segalanya untuk memperoleh kemenangan. Diam-diam mengerahkan tenaga dalam hingga hambusan angin semakin keras. Potongan ranting yang dilontarkan Kyai Sanca Wilang pun bergoyang-goyang hingga bergeser dari sasaran. Tentu saja Kyai Sanca Wilang tahu itu adalah perbuatan Biang Segala Jahat.

"Hm.... Kau curang, Biang Segala Jahat..," ucapan itu biasa saja. Namun, jelas terkandung ejekan bagi Biang Segala Jahat.

"Mengapa kau berkata begitu, Kyai? Bukankah dalam permainan ini aku tidak mengatakan kita harus bermain jujur? Itu artinya, aku atau kau boleh saja mencegah jika memang mau...." Dengan licik Biang Segala Jahat mengelakkan tuduhan Kyai Sanca Wilang, yang tentu saja tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apa yang dikatakan Biang Segala Jahat memang tidak salah.

Setelah memberikan alasan atas perbuatannya, Biang Segala Jahat malah menambah tenaganya. Potongan ranting yang dilemparkan Kyai Sanca Wilang bukan lagi bergoyang-goyang dan melenceng jauh dari sasaran, malah tertahan dan terkatung-katung di udara.

Perbuatan licik Biang Segala Jahat membuat Kyai Sanca Wilang mendengus. Kekuatannya dilipatgandakan, sehingga potongan ranting kembali bergerak naik mencari sasaran. Tapi, baru tiga jengkal potongan ranting kembali tertahan, bahkan bergerak turun satu jengkal lebih.

"Hmm..." Lagi-lagi Kyai Sanca Wilang mendengus. Lalu, telapak tangan kanannya bergerak naik dengan mengerahkan tenaga dalam yang kian berlipat.

"Hehh...!" Biang Segala Jahat menghembuskan napas keras-keras. Seperti halnya Kyai Sanca Wilang, Biang Segala Jahat pun segera mendorongkan telapak tangan kanannya ke arah potongan ranting. Benda yang dijadikan sasaran adu tenaga dalam itu bergetar keras. Tak bisa naik dan tak bisa turun.

Krassh...!

Karena dua kekuatan itu demikian kuat menghimpit, akhirnya potongan ranting tak kuat bertahan lebih lama. Dengan memperdengarkan suara yang cukup keras potongan ranting itu meledak, pecah menjadi serbuk kayu yang akhirnya sirna terbawa angin.

"Kau kalah, Kyai...," Biang Segala Jahat tergelak melihat potongan ranting hancur.

"Hm.... Bagaimana dengan permainan selanjutnya? Kita masih seimbang, bukan? Tentu harus ada permainan ketiga untuk menentukan siapa di antara kita yang berhak atas diri Utusan Dari Neraka ...," ujar Kyai Sanca Wilang seraya menghela napas panjang. Ditahannya kejengkelan yang mulai meliputi hatinya.

Biang Segala Jahat tidak segera menjawab, ia berpikir keras mencari bentuk permainan ketiga. Sekaligus memikirkan cara untuk mengalahkan Kyai Sanca Wilang.

"Usul mengadakan permainan ini datangnya darimu, Kyai." Tiba-tiba Biang Segala Jahat berkata dengan wajah penuh tipu muslihat. "Kau juga yang menghendaki adanya permainan ketiga sebagai penentuan. Artinya..., dalam permainan ketiga nanti aku jugalah yang berhak menentukan bentuk dan aturannya...."

"Tidak bisa, Biang Segala Jahat!" Kali ini Kyai Sanca Wilang menolak keras.

"Mengapa tidak? Sebagai seorang yang berhati bersih seharusnya kau berlaku adil, Kyai!" Biang Segala Jahat bersikeras dengan mengungkit-ungkit siapa Kyai Sanca Wilang dan bagaimana seharusnya bersikap.

"Apa maksudmu, Biang Segala Jahat...?" Kening Kyai Sanca Wilang terkejut ketika dirinya dituduh telah berlaku tidak adil.

"Hm...." Biang Segala Jahat tersenyum licik. "Hitunglah, Kyai, sudah berapa permintaan yang kau ajukan sejak kita berhadapan? Jauh lebih banyak dariku, bukan? Bagaimana kau bisa dibilang berlaku adil kalau permintaanmu selalu kuturuti sedang permintaanku selalu saja kau bantah..."

"Sudahlah, Biang Segala Jahat!" Kyai Sanca Wilang mengangkat tangan kanannya. "Aku tidak ingin berbantahan lagi denganmu, dan tidak mau menjadi korban kelicikan serta kecuranganmu. Aku yakin dalam permainan ketiga nanti pun kau akan berlaku curang demi memperoleh kemenangan... "

"Hm.... Lalu, apa maumu, Kyai?" Biang Segala Jahat malah menantang dengan sorot mata merahnya yang memperlihatkan kebengisan. "Pihakku lebih kuat, Kyai. Kau lihatlah kedua cecunguk itu...," lanjutnya menunjuk ke arah Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tengah menyaksikan pertengkaran kedua tokoh sakti itu.

Seolah terpengaruh gerakan jari Biang Segala Jahat yang menunjuk ke belakangnya, Kyai Sanca Wilang menoleh. Tapi, alangkah kaget ia ketika saat itu juga terdengar sambaran angin menderu tajam dari depan. Sadarlah Kyai Sanca Wilang bahwa dirinya kembali terjebak kelicikan Biang Segala Jahat. Dia menggunakan kesempatan untuk menyerang selagi dirinya menoleh.

"Licik..!" sambil mendesis jengkel, Kyai Sanca Wilang segera memecah kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya. Sebagian disalurkan ke kedua tangan yang langsung dikibaskan menyilang sewaktu berbalik, sedang sebagian lagi digunakan untuk melindungi tubuhnya.

Prasssh...!

Meskipun hanya memiliki sedikit waktu, Kyai Sanca Wilang dapat berpikir dengan cepat. Dari kibasan tangannya yang menyilang, membersit cahaya putih yang melebar dan langsung memapaki pukulan maut Biang Segala Jahat. Terdengarlah benturan keras. Kakek sakti itu tergempur kuda-kudanya. Tubuhnya terdorong dalam kedudukan semula. Hanya telapak kakinya saja yang terseret dan menimbulkan guratan dalam ditanah. Guratan memanjang pada tanah itu mengepulkan asap tipis. Agaknya, Kyai Sanca Wilang telah mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan kuda-kudanya.

"Hei...?!" Tiba-tiba, sebelum pertarungan kedua tokoh luar biasa itu berlanjut, terdengar seruan kaget yang berasal dari Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Kedua datuk sesat itu memandang ke satu arah dengan mata terbelalak.

Seruan kaget itu membuat Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang memalingkan wajah. Menyaksikan sikap Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang menggambarkan kekagetan dan ketegangan, kedua tokoh luar biasa itu segera memutar kepalanya. Dan.... Biang Segala Jahat serta Kyai Sanca Wilang menahan seruannya.

Yang mereka lihat adalah sosok seorang bocah berkepala gundul dengan kulit tubuh hitam legam. Kaki-kaki mungilnya melangkah tertatih meninggalkan mulut goa. Rupanya, hari itu adalah hari keempat puluh satu. Batas terakhir bagi pintu gaib yang dibuat Telapak Lidah Halilintar. Bocah Utusan Dari Neraka telah terbebas dari kungkungan pintu gaib yang selama empat puluh hari membuatnya terkurung di dalam goa.

Bocah berkepala gundul dan berkulit hitam legam yang hanya mengenakan cawat itu memang cukup pantas dijuluki sebagai Utusan Dari Neraka. Sosoknya sanggup untuk menggetarkan hati setiap orang yang memandangnya. Sepasang matanya bulat dan mengeluarkan sinar mencorong tajam. Bocah itu mempunyai alis mata yang hitam tebal dan bercabang tiga pada ujungnya. Giginya lengkap seperti gigi orang dewasa. Raut wajahnya memancarkan perbawa aneh serta menggidikkan bagi siapa saja yang melihatnya.

"Utusan Dari Neraka...?" Menyaksikan keseluruhan sosok bocah itu, Biang Segala Jahat berdesis perlahan. Wajahnya menampakkan keheranan, tapi juga kegembiraan. Biang Segala Jahat jelas sangat puas dapat menyaksikan bocah yang menggemparkan itu dengan mata kepala sendiri.

Ucapan Biang Segala Jahat tampaknya terdengar oleh bocah yang berjuluk Utusan Dari Neraka. Bocah itu seperti mengerti. Dia memalingkan wajahnya menatap Biang Segala Jahat dengan sorot matanya yang tajam dan memancarkan pengaruh iblis.

Biang Segala Jahat adalah seorang tokoh sakti luar biasa, ia sangat ditakuti dan dipuja-puja kaum golongan hitam. Namanya dianggap keramat. Tidak ada tokoh kaum golongan hitam yang berani membicarakannya. Ada anggapan bahwa apabila nama Biang Segala Jahat disebut, maka saat itu juga sosoknya akan muncul di hadapan orang-orang yang membicarakannya. Tentu saja anggapan itu cuma dongeng belaka. Tapi, raja dari segala raja tokoh sesat itu ternyata tergetar hatinya sewaktu ditatap sedemikian rupa oleh Utusan Dari Neraka.

"Luar biasa...!" Meskipun saat itu terselip perasaan ngeri dan segan yang aneh, Biang Segala Jahat masih sempat mengeluarkan pujian. "Jangan-jangan bocah itu titisan dari Penguasa Alam Kegelapan...!"

Kyai Sanca Wilang mengangguk-anggukkan kepala sambil mempermainkan jenggotnya yang menjuntai di dada. Keningnya berkerut dalam. Keresahan membayang di wajahnya. Seperti halnya Biang Segala Jahat, hati Kyai Sanca Wilang pun sempat tergetar oleh sorot mata dan raut wajah Utusan Dari Neraka.

Sekarang, setelah ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sosok bocah yang menggemparkan itu, sadarlah Kyai Sanca Wilang kalau bocah itu memang memiliki kekuatan jahat yang luar biasa. Kekuatan batinnya merasakan hal itu. Ia pun maklum kalau bocah itu merupakan ancaman bagi keselamatan orang banyak. Menurutnya, bukan mustahil kemunculan Utusan Dari Neraka akan membuat golongan hitam berjaya di atas muka bumi ini.

Dengan langkah tertatih Utusan Dari Neraka bergerak menuju tempat Biang Segala Jahat berdiri. Biang Segala Jahat sendiri tidak menunggu bocah itu sampai mendekat. Ia sudah bergerak menyambut. Tapi, sebelum keduanya bertemu, tiba-tiba Kyai Sanca Wilang membentak!

"Jangan dekati bocah itu, Biang Segala Jahat! Menyingkirlah! Aku hendak melihat sampai di mana kekuatan jahat yang bersemayam di dalam tubuhnya...!" berkata demikian, Kyai Sanca Wilang mengangkat telapak tangannya ke atas. Mulutnya berkemak-kemik membaca sesuatu yang tak jelas terdengar. Lalu, seiring dengan bentakan telapak tangannya dihantamkan ke arah Utusan Dari Neraka. "Sirnalah kau, hai kekuatan jahat..!"

Whusss...!

Sebentuk sinar bulat berwarna putih yang menyilaukan mata melesat dari telapak tangan Kyai Sanca Wilang. Udara panas menyebar sewaktu bola putih itu meluncur dengan suara menderu. Tapi, sebelum sinar putih mengenai tubuh bocah yang berjuluk Utusan Dari Neraka, Biang Segala Jahat tiba-tiba memutar tubuh. Diiringi pekik mengguntur, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Tubuh Biang Segala Jahat tampak menggeletar, tanda ia tengah mengerahkan seluruh kekuatannya. Sesaat kemudian, Biang Segala Jahat mendorongkan kedua telapak tangan. Meluncurlah dua bola api berwarna merah menyala yang menyambut bulatan sinar putih!

Duarrr...!

Suara ledakan laksana gelegar selaksa guntur terdengar. Tanah di sekitar tempat itu berguncang keras. Batu-batu beterbangan. Beberapa batang pohdn besar berderak tumbang. Saat itu seakan Gunung Merbuk tengah meletus menumpahkan laharnya.

Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa sampai terpelanting jatuh, meski mereka telah berusaha mempertahankan kuda-kudanya. Sementara Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat terpental ke belakang. Keduanya segera melenting bangkit dengan wajah agak pucat dan napas sesak. Anehnya, Utusan Dari Neraka seperti tidak merasakan apa-apa. Bocah itu tetap berdiri di atas kedua kakinya. Sehingga, Biang Segala Jahat maupun Kyai Sanca Wilang memandang takjub kepada bocah itu.

"Lawanlah manusia tua sok suci itu, Biang Segala Jahat...!"

Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang menoleh ke kanan kiri mencari pemilik suara besar, parau, dan menggetar itu. Tapi, mereka tak menemukan orang lain di tempat itu kecuali Utusan Dari Neraka. Sedangkan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tengah sibuk mengurus dirinya. Baik Biang Segala Jahat maupun Kyai Sanca Wilang merasa sangat yakin suara itu bukan berasal dari kedua datuk sesat itu.

"Apa lagi yang kau tunggu. Biang Segala Jahat? Lawan dan bunuh manusia sok suci itu...!"

Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang tertegun dengan wajah berubah tegang. Suara itu berasal dari Utusan Dari Neraka! Sungguh suatu hal yang sangat tidak masuk akal. Mana mungkin seorang bocah sekecil itu sudah bisa berbicara lancar. Apalagi suaranya aneh dan mengerikan. Selain itu, bocah itu seolah menganggap dirinya lebih tinggi dari Biang Segala Jahat. Kalau tidak, mana mungkin bocah itu berani memerintah Biang Segala Jahat!

TUJUH

"Lakukan perintahku, Biang Segala Jahat! Lawan dan habisi manusia sok suci itu...!"

Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang masih tertegun dan belum bisa menerima kenyataan itu ketika Utusan Dari Neraka kembali mengulang perintahnya. Perintah itu disertai dengan gerakan tangannya yang menunjuk Biang Segala Jahat.

Gerakan menunjuk Utusan Dari Neraka ternyata bukan sembarangan. Dari ujung jari telunjuknya membersit sinar merah terang yang langsung lenyap masuk ke dalam tubuh Biang Segala Jahat. Sesaat tubuh kakek itu berguncang keras seolah dirasuki kekuatan dahsyat!

"Aaarkhh...!" Begitu guncangan tubuh terhenti, Biang Segala Jahat meraung. Ia merasakan kekuatannya tiba-tiba berlipat ganda. Kekuatan aneh itu menjalar ke seluruh jalan darahnya. Dan, menggelora di dalam tubuhnya bagai gelombang air lautan.

Kyai Sanca Wilang mengerutkan kening melihat sinar yang keluar dari ujung jari telunjuk Utusan Dari Neraka. Dan, menyaksikan keadaan Biang Segala Jahat, Kyai Sanca Wilang pun sadar Utusan Dari Neraka telah memberikan tambahan kekuatan kepada Biang Segala Jahat yang diperintahkan untuk melenyapkan dirinya. Kyai Sanca Wilang bergegas melangkah mundur untuk mempersiapkan diri.

Sementara itu, keanehan terjadi pada diri Biang Segala Jahat. Tubuh tokoh itu kembali berguncang dan bergetar. Seiring dengan raungan panjang yang mendirikan bulu roma, wujud Biang Segala Jahat perlahan-lahan berubah. Mula-mula dari tengah keningnya menyembul suatu benda runcing berupa tanduk yang melengkung ke atas. Kemudian pada sekujur tubuhnya, kecuali wajah, bulu-bulu lebat tumbuh dengan cepat Pada bagian belakang tubuhnya tumbuh ekor yang memanjang dengan bagian ujung berbentuk mata tombak. Dua buah gigi sampingnya memanjang runcing membentuk dua buah taring.

"Astagfirullah...!" Kyai Sanca Wilang mengucapkan kalimat permohonan ampun kepada Allah, pencipta seluruh makhluk. Disapunya wajah dengan kedua telapak tangan. Perubahan yang terjadi pada diri Biang Segala Jahat hampir tidak bisa diterima akal sehatnya. Tapi, sebagai seorang yang memiliki ilmu agama, Kyai Sanca Wilang sadar segala sesuatu bisa saja terjadi atas kekuasaan Allah. Apa yang disaksikannya itu disadari sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa.

"Earrrkhhh...!"

Dengan raungan panjang yang parau, Biang Segala Jahat yang telah berubah menjadi makhluk menyeramkan menerjang Kyai Sanca Wilang. Jari-jari tangannya yang panjang dan runcing bagai kuku harimau menyambar datang dengan kecepatan dan kekuatan menggetarkan. Cepat Kyai Sanca Wilang melompat mundur. Lalu, dengan tasbihnya yang digunakan sebagai senjata, Kyai Sanca Wilang balas menyerang. Dalam waktu singkat pertempuran sengit pun terjadi.

Makhluk jelmaan Biang Segala Jahat itu ternyata jauh lebih kuat dan tangguh dari aslinya. Itu dirasakan benar oleh Kyai Sanca Wilang, yang meskipun belum pernah bertarung secara terbuka dengan Biang Segala Jahat, namun sudah dapat mengukur kesaktiannya. Kyai Sanca Wilang mulai kewalahan menghadapi makhluk jelmaan Biang Segala Jahat setelah bertarung lebih tiga puluh jurus.

Makhluk itu memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa. Hantaman tasbihnya bajai tak berarti apa-apa. Tapi, Kyai Sanca Wilang tidak putus asa. Ia mulai memilih bagian-bagian tubuh lawan yang merupakan titik terlemah di tubuh manusia. Kyai Sanca Wilang menganggap tubuh makhluk itu tidak berbeda dengan manusia. Apalagi, pada dasarnya makhluk itu berasal dari seorang manusia biasa.

Desss!

Makluk mengerikan itu memekik dan terpental terkena hantaman tasbih Kyai Sanca Wilang yang mengenai saiah satu jalan darah besar di tubuhnya. Tapi, Kyai Sanca Wilang menjadi kecewa ketika melihat pukulannya tak bisa melumpuhkan. Makhluk itu kembali menerjangnya dengan lebih ganas.

Kreppp!

Suatu ketika, jari-jari yang kuat dan berkuku runcing itu berhasil mencengkeram kedua bahu Kyai Sanca Wilang. Kakek sakti itu meringis merasakan kuatnya cengkeraman jari-jari lawan. Sebelum ia dapat melepaskan cengkeraman itu tubuhnya telah diangkat dan dilemparkan kuat-kuat.

Meskipun kedua tulang bahunya serasa remuk, Kyai Sanca Wilang masih sanggup menyelamatkan diri agar tidak terbanting jatuh. Dengan berputaran beberapa kali di udara untuk mematahkan daya lempar, Kyai Sanca Wilang berhasil mendarat di tanah dengan selamat.

Makhluk jelmaan Biang Segala Jahat kembali menerjang disertai raungannya yang bagai hendak membelah langit Kyai Sanca Wilang berusaha menghindari serangan-serangan makhluk itu dengan loncatan-loncatan ringan. Ia belum bisa membalas karena rasa nyeri di kedua bahunya membuat lengannya tidak bisa digerakkan. Keadaan itu membuat dirinya didesak habis-habisan. Ketika kedua tangan masih bebas bergerak saja ia sudah kewalahan, apalagi dalam keadaan kedua tangan tergantung lumpuh seperti itu. Semakin kelabakanlah Kyai Sanca Wilang dibuatnya.

Beggg!

Kepalan yang besar dan kuat itu akhirnya tak sempat dielakkan dan telak menggedor dada kanannya. Kyai Sanca Wilang terjungkal muntah darah. Sedang makhluk jelmaan Biang Segala Jahat sudah menerkamnya dengan cakar yang siap merobek-robek tubuhnya. Kyai Sanca Wilang masih mempunyai kesadaran. Dia segera melempar tubuhnya bergulingan di tanah. Sehingga, terkaman makhluk itu luput!

Ketika terkamannya hanya mengenai tanah, makhluk mengerikan itu bergegas mencelat bangkit. Dikejarnya Kyai Sanca Wilang yang saat itu sudah bangkit berdiri dan tengah terhuyung limbung. Makhluk itu meluncur lurus bagai sebatang tombak. Kedua cakarnya berada di depan, siap merobek-robek tubuh Kyai Sanca Wilang.

Mendadak, sebelum sepasang cakar makhluk itu mengenai sasaran, terdengar lengkingan panjang yang disertai melayangnya sesosok bayangan. Sosok itu menerjang makhluk jelmaan Biang Segala Jahat. Terdengar sambaran angin mengaung-ngaung mengiringi datangnya serangan sosok bayangan.

Derrr...!

Dua kekuatan raksasa berbenturan. Tubuh makhluk jadi- jadian tertahan dan tertolak balik. Sementara sosok bayangan terpental dengan disertai suara jerit tertahan. Dengan dua kali lentingan tinggi di udara sosok bayangan itu mendaratkan kakinya di belakang Kyai Sanca Wilang.

Sosok yang menyelamatkan Kyai Sanca Wilang ternyata seorang kakek. Kalau dilihat dari raut wajah serta bentuk tubuhnya yang bongkok, usianya pasti sudah sangat tua. Kakek bongkok yang rambut, kumis, dan jenggotnya berwarna putih suram dan panjang menjuntai ke dada terbatuk beberapa kali. Ada darah yang terlompat keluar sewaktu ia terbatuk. Benturan tadi tampaknya telah mengakibatkan guncangan yang cukup keras di bagian dalam tubuhnya.

"Sahabat, kau terluka...!" Kyai Sanca Wilang yang saat itu merasakan kedua tangannya sudah bisa digerakkan lagi bergegas menghampiri sahabat lamanya, Ki Bongkok Guno.

"Uuh.... Makhluk apa itu? Dari mana dia datang? Kekuatannya luar biasa sekali...." Ki Bongkok Guno berkata dengan terengah-engah. Tatapannya tertuju ke arah makhluk jelmaan Biang Segala Jahat yang sudah siap hendak kembali menerjang.

"Makhluk itu jelmaan dari seorang tokoh yang berjuluk Biang Segala Jahat," jelas Kyai Sanca Wilang. "Utusan Dari Neraka itulah yang telah merubahnya."

"Biang Segala Jahat..." Kakek bongkok berkata lirih dengan kening berkerut "Jadi, tokoh itu benar-benar nyata...?" lanjutnya, bertanya setengah tak percaya. Rupanya, Ki Bongkok Guno termasuk salah satu tokoh yang pernah mendengar nama Biang Segala Jahat, dan menganggapnya sebagai dongeng. Sepanjang pengetahuannya nama Biang Segala Jahat merupakan lambang kekuatan golongan hitam.

"Biang Segala Jahat memang benar-benar nyata," tegas Kyai Sanca Wilang.

"Berbahaya sekali...!" Ki Bongkok Guno mendesah seraya menggelengkan kepala. "Jika Biang Segala Jahat yang selama ini dianggap sebagai tokoh dalam dongeng sudah menampakkan diri, kiamat rasanya telah berada di ambang pintu. Kemunculan Utusan Dari Neraka saja sudah membuat dunia ini serasa hancur. Haih... celaka... celaka...."

"Yah.... Kemunculan kekuatan-kekuatan jahat itu memang bisa diartikan sebagai kiamat Dalam arti bencana besar bagi seluruh umat manusia di belahan bumi ini. Firasatku mengatakan, kekuatan-kekuatan jahat itu akan segera menguasai dunia. Entah untuk berapa lama. Yang jelas, segala bentuk keangkaramurkaan tidak akan pernah kekal," ujar Kyai Sanca Wilang. Kemudian, bergegas dibawanya Ki Bongkok Guno menjauh. Saat itu makhluk jelmaan Biang Segala Jahat tengah memperdengarkan raungan panjang yang menggetarkan.

********************

"Kau dengar raungan itu, Karina...?"

Panji dan Karina yang baru saja menyeberangi aliran sungai di bawah kaki Gunung Merbuk menengadahkan kepala mencari-cari sumber raungan. Jantung Karina berdebar keras. Ia hanya bisa mengangguk dengan wajah agak memucat. Gadis itu terkejut mendengar raungan panjang yang mendirikan bulu roma.

Merasa yakin ada sesuatu yang tengah terjadi di salah satu lereng gunung, bergegas Panji meraih pergelangan tangan Karina dan dibawanya berlari menuju sumber suara raungan. Panji dapat dengan mudah menemukan tempat itu karena suara raungan terus berlanjut Dan mereka tidak di hutan kecil tempat pertarungan dahsyat antara makhluk jelmaan Biang Segala Jahat melawan Kyai Sanca Wilang yang dibantu kakek bongkok.

Panji terkejut bukan main menyaksikan sosok makhluk mengerikan yang menurutnya cuma ada dalam khayalan. Bahkan, Karina sampai terpekik dengan wajah pucat pasi. Tubuh gadis cantik itu gemetar dan tanpa sadar memeluk Panji.

"Tenanglah, Karina...," Panji menepuk-nepuk punggung gadis itu. "Makhluk itu pasti permainan seorang ahli sihir...," lanjutnya, meskipun sesungguhnya dia sendiri tidak yakin dengan dugaannya. Karena melihat kelihaian kedua kakek yang tengah bertarung dengan makhluk mengerikan itu, Panji tahu mereka tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang tidak mungkin bisa termakan permainan sihir. Kesaktian kedua kakek itu berada jauh di atas kepandaiannya.

Sementara itu, kemunculan Panji dan Karina tidak terlepas dari sepasang mata tajam Utusan Dari Neraka. Bocah yang bukan bocah biasa itu segera dapat menyimpulkan kalau kedua orang yang baru datang adalah lawan-lawan yang harus dilenyapkan. Ia menggeram lirih. Lalu, kepalanya ditolehkan menatap Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tidak tahu harus berbuat apa. Nyali kedua datuk yang biasanya bermulut besar itu sudah ciut sejak tadi.

"Hei...!"

Bagai disentakkan satu kekuatan yang tak tampak, kepala Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa menoleh cepat ke arah Utusan Dari Neraka. Kedua datuk sesat itu merasakan jantung mereka seperti diremas-remas sewaktu ditatap sorot mata tajam bocah aneh itu. Tubuh mereka gemetar tak kuasa melawan perbawa luar biasa yang memancar dari wajah dan sorot matanya.

"Algojo Cakar Siluman dan kau Setan Ular Tertawa!" Utusan Dari Neraka melanjutkan ucapannya. "Bunuh kedua orang yang baru datang itu...!"

Begitu perintah selesai diucapkan tiba-tiba Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa merasakan kekuatan mereka pulih kembali. Entah merasa diri mereka masih berguna atau karena pengaruh perintah Utusan Dari Neraka. Kedua datuk sesat itu tidak mau ambil pusing. Tanpa membantah lagi, Algojo Cakar Siluman serta Setan Ular Tertawa berloncatan menghampiri Panji dan Karina.

"Heh heh heh...! Kalian berdua bersiaplah untuk segera menghadap raja neraka...!" Algojo Cakar Siluman yang sudah memperoleh kembali watak dan kebiasaannya berkata sesumbar kepada Panji dan Karina.

"Ya. Kami ditugaskan Utusan Dari Neraka untuk melenyapkan kalian berdua...!" Setan Ular Tertawa menambahkan. Ucapan tokoh yang berasal dari tanah India ini terdengar agak aneh. Semula maksud kedatangannya ke tempat ini adalah untuk mendapatkan Utusan Dari Neraka yang kelak akan digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sungguh tidak pernah terpikir olehnya kalau yang terjadi justru kebalikannya. Bukan ia menjadi majikan Utusan Dari Neraka, malah dialah yang dijadikan budak bocah itu.

Kedatangan kedua tokoh rolongan sesat itu membuat Panji waspada. Ditariknya Karina ke belakang tubuhnya untuk melindungi gadis itu. Kemudian, dengan sorot mata tajam dihadapinya kedua calon lawannya.

"Siapa kalian? Dan, mengapa tanpa sebab hendak membunuh kami?" tanya Panji seraya meneliti sosok kedua tokoh itu.

"Hm... Kau dengarlah baik-baik agar tidak mati penasaran! Aku adalah Algojo Cakar Siluman!" ujarnya seraya menepuk dada keras-keras. "Sedangkan kawanku ini Setan Ular Tertawa. Cukup jelas?"

"Hm.... Pantas...," Panji mengangguk-angguk. "Rupanya kalian dedengkot manusia-manusia sesat..!"

"Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa, apakah kalian menunggu aku mencabut nyawa kalian!"

Suara Utusan Dari Neraka membuat kesombongan kedua datuk itu lenyap seketika. Ancaman yang mereka tahu bukan sekadar gertakan kosong itu membuat keduanya tak lagi banyak tingkah. Mereka segera menyiapkan jurus untuk menggempur Panji.

Mendengar suara parau dan dirasakannya mengandung pengaruh aneh, Panji segera menoleh. Sukar sekali baginya menerima kenyataan itu. Seorang bocah kecil dapat berbicara dengan tegas, bahkan memerintah! Suara yang dikeluarkan pun menurutnya lebih pantas diucapkan seorang kakek. Nadanya parau dan berat.

"Utusan Dari Neraka...!" Tiba-tiba pikiran itu terlintas di kepala Panji. Wajahnya seketika menegang. Panji merasa yakin akan dugaannya itu. Ciri-ciri bocah itu cocok dengan keterangan yang diperolehnya. Wajah dan sorot mata bocah itu pun memiliki pengaruh aneh yang luar biasa, membuat debaran dalam dadanya berdetak lebih cepat. Panji cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada dua datuk sesat di hadapannya, ia merasa tak sanggup menatap bocah itu lama-lama.

"Hyaaatt...!"

Algojo Cakar Siluman segera menerjang Panji karena takut akan ancaman Utusan Dari Neraka. Seolah hendak menunjukkan jasa, Algojo Cakar Siluman dalam gebrakan pertama langsung menggunakan jurus andalannya. Dia memang ingin melaksanakan tugas itu secepat mungkin untuk mendapatkan pujian Utusan Dari Neraka.

Setan Ular Tertawa tentu saja tidak mau ketinggalan. Dia segera membarengi tindakan kawannya. Tapi, ular-ular sendoknya tampaknya telah habis. Dalam menyerang Panji, Setan Ular Tertawa hanya menggunakan kedua tangan.

Panji sadar siapa kedua lawannya itu. Maka, setelah menyuruh Karina agar menyingkir, dihadapinya serangan kedua datuk sesat itu dengan Ilmu 'Silat Naga Sakti'. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Hawa dingin berhembus keras mengiringi setiap lontaran serangannya. Hawa dingin dan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang melapisi tubuh Panji membuat mata Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa terbuka. Lawannya ternyata Pendekar Naga Putih! Mereka kenal betul dengan ciri-ciri itu.

"Keparat! Kiranya kau pendekar muda yang sombong itu. Pantas kau berani berlagak di hadapan kami…!" sambil melontarkan serangan, Algojo Cakar Siluman berkata gusar. Dan karena telah mengetahui siapa pemuda berjubah putih itu, serangannya pun segera dilipatgandakan, baik kecepatan maupun kekuatannya. Hal serupa juga dilakukan Setan Ular Tertawa.

Tapi, Panji tidak menjadi gugup. Dengan tenang dihadapinya gempuran-gempuran kedua datuk sesat itu. Tentu saja untuk dapat mengimbangi kekuatan lawan, ia harus mengerahkan seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kalau tidak, akan sukar baginya melayani permainan kedua datuk sesat itu.

Dengan tenang Pendekar Naga Putih menghadapi gempuran gempuran kedua datuk sesat itu. Tentu saja untuk dapat mengimbangi kekuatan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa, ia harus mengerahkan seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kalau tidak, akan sukar baginya melayani permainan kedua datuk sesat itu!

DELAPAN

Kesaktian Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa ternyata di luar perkiraan Panji. Terlebih puluhan bayangan cakar yang dilontarkan Algojo Cakar Siluman benar-benar tak ubahnya dengan cakar siluman. Lewat empat puluh jurus Panji mulai terdesak.

Bret! Bret!

Karina yang menyaksikan perkelahian itu dari balik sebatang pohon menahan jeritnya ketika melihat tubuh Panji terpelanting. Pemuda itu terkena sambaran dua bayangan cakar lawan yang tak sempat dihindarinya lagi.

"Tamat riwayatmu, Pendekar Naga Putih...!" Setan Ular Tertawa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Panji terpelanting, ia segera menerkam dengan dua bacokan sisi telapak tangannya. Tapi, Panji masih sempat menggulingkan tubuh. Bacokan maut Setan Ular Tertawa menghantam tanah. Sedang Panji sudah melenting ke udara dan membentak keras. Tahu-tahu sebentuk sinar terang berwarna kuning keemasan berpendar di genggaman tangan kanannya. Itulah Pedang Pusaka Naga Langit!

"Heaaatt...!"

Brettt...!

Tubuh Setan Ular Tertawa tersentak ketika larikan sinar kuning keemasan menyambar iganya. Darah menyembur membasahi tanah seiring dengan jerit kematian Setan Ular Tertawa. Kibasan pedang Panji merobek dada Setan Ular Tertawa yang sekaligus mematahkan tiga tulang iganya. Setan Ular Tertawa terbanting dengan tubuh berlumuran darah. Datuk sesat itu tewas seketika tanpa sempat mengetahui apa penyebabnya.

Kematian Setan Ular Tertawa membuat Algojo Cakar Siluman tertegun tak percaya. Kenyataan yang membentang di depan matanya tak bisa dibantah iagi. Setan Ular Tertawa jelas terkapar tanpa nyawa. Dengan kemarahan yang meluap Algojo Cakar Siluman pun menerjang Panji dengan hebatnya.

Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan menghindari sambaran bayangan cakar-cakar siluman sambil sesekali menebaskan pedangnya. Sepuluh jurus kemudian Algojo Cakar Siluman mulai kewalahan menghadapi kilatan-kilatan sinar terang yang menyilaukan mata. Hingga akhirnya, ia terdesak dan dipaksa bermain mundur.

"Yeaaatt…!"

Pada jurus ketiga belas Panji membentak nyaring seraya melambung tinggi di udara. Kemudian meluncur turun dengan pedang berputar membentuk gulungan sinar terang Algojo Cakar Siluman memekik tertahan dan memalangkan lengannya untuk melindungi mata. Itulah kesalahan besarnya!

Cras! Bret! Bret!

Pedang Naga Langit kembali menghirup darah korbannya. 'Jurus Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' memang salah satu jurus terampuh yang sulit untuk dihindari lawan. Demikian pula yang dialami Algojo Cakar Siluman. Tubuhnya pontang-panting tersambar mata pedang yang tajam luar biasa. Darah menyembur keluar dari luka-luka yang membawanya pada kematian. Algojo Cakar Siluman roboh bermandi darah, ia melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya itu.

"Panji, syukurlah kau selamat..." Karina tahu-tahu saja sudah berada di belakang Panji dan memeluknya.

Panji terpaksa menggigit bibir kuat-kuat. Pelukan Karina demikian erat, membuat luka bekas cakaran di iga dan lambungnya bertambah nyeri. Tapi kegembiraan Karina dan kelegaan Panji lenyap seketika begitu keduanya mendengar suara parau berpengaruh yang diucapkan Urusan Dari Neraka.

"Tak satu makhluk pun yang akan selamat dari cengkeramanku...!"

Panji dan Karina bergegas mundur. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu Utusan Dari Neraka telah berada di hadapan mereka. Panji segera bergerak maju untuk melindungi Karina sambil melintangkan Pedang Naga Langit di depan dada.

"Khak khak khak...!"

Mulut Utusan Dari Neraka terbuka. Tenggorokannya bergerak-gerak mengeluarkan suara tawa ganjil yang membuat bulu kuduk Karina dan Panji berdiri. Suara tawa itu memang sangat menyeramkan dan hanya pantas datang dari setan-setan penghuni neraka.

"Bagiku pedang itu seperti barang rongsokan..!" ejek Utusan Dari Neraka. Matanya tetap menyorot tajam. Sedikit pun tidak kelihatan silau oleh pancaran sinar keemasan dari badan Pedang Naga Langit. "Kalau kau tidak percaya, buktikanlah! Pilih bagian tubuhku yang menurutmu paling empuk!" tantangnya sambil berkacak pinggang.

Sempat tergetar juga hati Panji melihat sikap Utusan Dari Neraka. Padahal, pedang pusaka itu merupakan senjata ampuh yang dapat menolak segala jenis racun dan ilmu gaib. Tapi tampaknya terhadap Utusan Dari Neraka, Pedang Naga Langit kalah pengaruh. Panji tidak hendak mencoba keampuhan pedangnya ke tubuh bocah itu. Biar bagaimanapun Panji tidak sampai hati membacok tubuh seorang bocah kecil.

"Hm.... Rupanya kau merasa enggan untuk membacok tubuhku," ujar Utusan Dari Neraka ketika melihat Panji belum juga bergerak." Sebaiknya, kau lihat wujud asliku...."

Baru saja ucapan Utusan Dari Neraka selesai, tubuh kecil berkulit hitam legam itu berubah dengan cepat. Bulu-bulu lebat bermunculan melapisi sekujur tubuhnya. Sebuah tanduk runcing tumbuh di tengah kening. Kuku-kuku jari tangannya memanjang cepat dan melengkung seperti kuku harimau. Kedua telapak kakinya membulat membentuk tapak kaki kuda. Makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka itu pun memiliki ekor. Sosoknya sama persis dengan makhluk jelmaan Biang Segala Jahat!

"Aaah...!"

Panji dan Karina menahan pekikan dan terjajar mundur. Kedua kaki Karina terasa lemas. Hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Sedang Panji merasakan dadanya berdebar kencang, ia tak bisa menahan perasaan ngeri yang seketika melanda. Terlebih, sosok makhluk yang sepantasnya tinggal di neraka itu berdiri di hadapannya dalam jarak kurang dari satu tombak. Sikap Panji dan Karina membuat makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka kehilangan kesabaran. Bocah itu menggeram lirih namun menggetarkan. Tampak dua buah taring yang tajam berkilat.

"Berikan pedang itu...!" ujar makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka parau seraya mengulurkan cakar hendak merampas Pedang Naga Langit. Tapi, makhluk tu buru-buru menarik pulang cakarnya ketika seberkas sinar menyambar datang mengancam cakarnya.

"Jangan bialkan pedang itu dileburnya, Paman...!"

Suara bening seorang bocah yang masih cadel membuat Panji dan Karina menoleh cepat. Sementara, makhluk jelmaan Urusan Dari Neraka mengeluarkan rintihan panjang seolah menunjukkan hati yang dilanda kegelisahan.

"Resi Baranca! Aryoguno...!" Panji berseru girang melihat kemunculan Resi Baranca yang menuntun seorang bocah kecil seusia Utusan Dari Neraka. Bocah itu memang Aryoguno, putra seorang pendekar, yang pernah menggegerkan kawasan Jawa Timur dan disebut-sebut sebagai Bocah Titisan Dewa.

"Jangan kaget, Pendekar Naga Putih..." Resi Baranca berkata dengan tersenyum. "Aku sengaja membawa Aryoguno kemari. Berita tentang keganasan Utusan Dari Neraka juga telah menggemparkan wilayah Jawa Timur. Dari petunjuk yang kuperoleh melalui semadi, hanya Aryogunolah yang dapat menghentikan Utusan Dari Neraka. Sayang, ia belum bisa menggunakan kekuatan mukjizatnya tanpa petunjuk," jelas Resi Baranca. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa dirinyalah yang akan menjadi petunjuk bagi Aryoguno si Bocah Titisan Dewa.

"Lalu, bagaimana cara kita menghadapi Utusan Dari Neraka...?" Panji agak bingung dan merasa khawatir Aryoguno akan celaka di tangan Utusan Dari Neraka.

"Kau hadapilah Utusan Dari Neraka itu, Pendekar Naga Putih. Aku dan Aryoguno akan membantumu...," jawab Resi Baranca. Resi itu menganggukkan kepala ketika melihat Panji masih ragu-ragu. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya menghadapi Utusan Dari Neraka.

"Selang dia dengan dengan pedangmu, Paman...!" Dengan petunjuk Resi Baranca, Aryoguno berseru sambil menunjuk belakang tubuh Panji.

Seberkas sinar kebiruan membersit dari ujung jari telunjuk Aryoguno. Sinar itu langsung lenyap begitu mengenai tubuh Panji. Agak tersentak Panji sewaktu sinar kebiruan itu lenyap ke dalam tubuhnya. Ada suatu getaran aneh yang menyebar ke seluruh jalan darah. Hawa aneh itu mendatangkan perasaan sejuk di hati. Tubuh Panji mendadak ringan dan pengaruh iblis yang memancar dari wajah serta sorot mata makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka tak lagi mempengaruhinya.

"Alahkan tenaga itu ke pedangmu, Paman...!" Kembali Aryoguno berseru.

Untuk melakukan hal itu tentu saja tidak sulit. Petunjuk itu segera diikutinya. Sinar Pedang Naga Langit yang pemula kuning keemasan kini terlapisi sinar kebiruan.

"Arrkhhh...!" Utusan Dari Neraka memekik keras. Diterjangnya Panji dengan cakar-cakar mautnya. Tapi, Panji sudah bergegas mengelak dengan menarik kakinya dua langkah ke belakang. Lalu, pedangnya dibabatkan ke depan mengancam tubuh Utusan Dari Neraka, yang dirasakan Panji kecepatan maupun kekuatannya agak menurun.

Ia mulai dapat melihat titik-titik kelemahan Utusan Dari Neraka. Panji menggerakkan pedangnya mengincar kelemahan-kelemahan lawan. Ia tidak sadar kalau Aryoguno sudah tidak lagi memberi petunjuk. Bocah Titisan Dewa itu tengah duduk bersila di samping Resi Baranca. Tidak nampak tanda-tanda kehidupan pada tubuh bocah itu. Jasad halusnya telah merasuk ke dalam tubuh Panji. Itulah sebabnya mengapa Panji tiba-tiba memiliki pikiran bagaimana cara menghadapi Utusan Dari Neraka.

Utusan Dari Neraka terdengar memekik-mekik sambil berlompatan menghindari sambaran sinar kuning dan biru yang keluar dari ujung pedang Pendekar Naga Putih. Panji tidak tahu kalau hal itu bisa terjadi berkat adanya jasad halus Bocah Titisan Dewa di dalam tubuhnya. Malah, ketika makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka melenyapkan diri dari pandangan, dengan mata batinnya Panji dapat mengetahui di mana bocah itu berada. Sinar-sinar kilat berwarna kuning dan biru yang menyambar keluar dari ujung pedangnya meluncur ke tempat bocah itu.

"Keparaaatt..!" Utusan Dari Neraka kembali menampakkan wujudnya. Ia melontarkan makian yang ditujukan kepada Aryoguno. Ilmu menghilangnya ternyata tak banyak membantu. Dengan kemarahan yang meluap- luap, bocah itu menggeram dan melancarkan serangan dengan sinar-sinar merah terang yang keluar dari kedua ujung jari telunjuknya.

Seperti tahu bagaimana cara menghadapi serangan itu, Pendekar Naga Putih pun dengan menggunakan jari telunjuk kirinya menyambut serangan lawan. Setiap kali Panji menggerakkan jari telunjuknya, seberkas sinar kebiruan membersit dan membentur sinar merah terang yang meluncur ke arahnya. Dan setiap kali kedua sinar itu berbenturan tubuh Utusan Dari Neraka terpelanting.

Itu terjadi bukan karena kekuatan Bocah Titisan Dewa lebih kuat. Karena menggunakan raga Panjilah maka Bocah Titisan Dewa menjadi lebih unggul dari Utusan Dari Neraka. Pendekar Naga Putih sendiri sudah memiliki dasar tenaga dalam yang tinggi. Bocah Titisan Dewa menyalurkan kekuatan mukjizatnya yang digabungkan dengan kekuatan dasar Panji. Sehingga Utusan Dari Neraka tak ubahnya dikeroyok oleh Panji dan Bocah Titisan Dewa.

"Haiiitt...!"

Setelah berpuluh-puluh kali benturan terjadi dan untuk kesekian kalinya tubuh makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka terpelanting, Panji membentak seraya menusukkan pedang dan menudingkan jari telunjuknya. Sinar kebiruan yang keluar dari jari telunjuk tangan kiri Panji meluncur cepat. Bersamaan dengan itu, kilatan sinar kuning dan biru menyambar keluar dari ujung pedangnya.

Bummm...!

"Aarkhhh...!" Utusan Dari Neraka meraung setinggi langit ketika tubuhnya yang baru saja bangkit terhantam dua sinar yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Terdengar suara ledakan keras yang disusul dengan membubungnya asap tebal menelan tubuh Utusan Dari Neraka. Seiring dengan itu terciumlah bau sangit daging terbakar. Ketika asap tebal sirna tertiup angin, tampaklah onggokan sisa-sisa tubuh Utusan Dari Neraka yang telah terbakar.

Musnahnya Utusan Dari Neraka membuat Panji tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya sangat lemas. Ada sesuatu yang dirasakan keluar dari dalam tubuhnya. Panji tidak tahu kalau saat itu jasad halus Bocah Titisan Dewa keluar dan kembali ke jasad aslinya.

Sementara itu, di arena pertarungan makhluk jelmaan Biang Segala Jahat yang menghadapi keroyokan Kyai Sanca Wilang, Ki Bongkok Guno dan satu sosok tubuh lain yang ternyata Putri Perayu terjadi sesuatu yang mengejutkan!

Bersamaan dengan musnahnya Utusan Dari Neraka, makhluk jelmaan Biang Segala Jahat meraung keras dan melonjak-lonjak tanpa sebab. Menyaksikan tingkah makhluk mengerikan itu, ketiga lawannya berloncatan mundur. Beberapa saat kemudian, di bawah tatapan enam pasang mata sosok makhluk itu perlahan lenyap dan kembali ke wujud aslinya. Wujud Biang Segala Jahat!

"Hi hi hi...!" Putri Perayu tertawa mengekeh sambil mempermainkan rambutnya ketika melihat wujud makhluk itu berubah menjadi manusia.

"Hm.... Pastilah Utusan Dari Neraka telah musnah." Kyai Sanca Wilang segera bisa menebak mengapa wujud Biang Segala Jahat kembali ke bentuk aslinya. "Siapa pun yang berhasil melenyapkannya, tanpa disadarinya ia telah menyelamatkan orang banyak..."

Ki Bongkok Guno cuma mengangguk-anggukkan kepala, ia tampak sangat lelah setelah bertarung sekian lama menghadapi makhluk jelmaan Biang Segala Jahat.

Sementara, Biang Segala Jahat yang telah sadar kembali dan mendapati tiga sosok tubuh tengah menatapnya tampak sangat terkejut. Tapi, perasaan itu cuma sekilas terlihat. Dengan cepat ia dapat menguasainya. Sambil tergelak Biang Segala Jahat menengadahkan kepala. Dan, selagi ketiga tokoh yang berdiri di hadapannya saling bertukar pandang, Biang Segala Jahat melesat dengan mengerahkan seluruh kecepatannya, ia melompat masuk ke dalam gerombolan semak yang tumbuh rapat.

Kyai Sanca Wilang hanya bisa menghela napas, ia tidak mengira Biang Segala Jahat akan melarikan diri. Sebelum sempat mengejar tokoh paling licik itu telah lolos. Setelah agak lama menatap gerombolan semak tempat lenyapnya Biang Segala Jahat, Kyai Sanca Wilang memutar tubuh. Bersama Ki Bongkok Guno dan Putri Perayu, mereka menghampiri Panji dan yang lainnya. Ketika melihat Aryoguno dan memperhatikannya beberapa saat, tahulah Kyai Sanca Wilang bahwa musnahnya Utusan Dari Neraka pasti ada kaitannya dengan bocah itu.

"Hai.... Suamiku ada di sini rupanya...!" Tiba-tiba Putri Perayu berseru ketika melihat Panji. "Mari, suamiku, peluklah aku erat-erat. Aku rindu sekali hangatnya pelukanmu...!" Nenek itu berlari ke arah Panji dengan kedua tangan dikembangkan.

Panji tentu saja kaget bukan main. Tanpa pamit lagi kepada yang lainnya, dia segera lari ketakutan.

"Kanda, tunggu Dindaaa...!" Putri Perayu berseru dan lari mengejar Panji yang tunggang-langgang. Terpaksa Panji harus mengerahkan seluruh kepandaian lari cepatnya agar tidak terkejar nenek sinting itu.

Peristiwa itu membuat orang-orang yang tinggal tertegun bingung, kecuali Karina. Gadis cantik itu geli bukan main melihat Panji lari terbirit-birit dikejar Putri Perayu.

S E L E S A I