Tumbal Perkawinan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Tumbal Perkawinan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih

SATU

MATAHARI sudah naik tinggi. Penduduk Desa Angkeran berbondong-bondong menuju sebuah rumah sederhana yang sudah mulai ramai. Pada bagian depan halaman rumah itu, terhias semarak. Sepertinya di rumah sederhana itu tengah diadakan suatu pesta.

"Terima kasih..., terima kasih...," seorang lelaki kurus berpakaian sederhana dan bersih, menyambut para tamu dengan senyum di bibir. Di sebelah kirinya, terlihat seorang wanita berusia empat puluh tahun mendampingi lelaki itu. Mudah ditebak kalau wanita itu adalah istri dari lelaki kurus, yang saat itu tengah menyelenggarakan pesta perkawinan putri tunggalnya.

Tampak seorang pemuda berwajah tampan dengan bentuk tubuh kokoh, menyambut undangan. Demikian pula halnya dengan wanita muda berwajah manis yang berkulit tubuh kuning langsat. Gadis itu menyalami para tamu sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Pasangan pengantin itu tampak berbahagia sekali. Semua itu tercermin dari raut muka maupun dari sinar mata mereka yang berbinar-binar, penuh cahaya bahagia. Bahkan tak jarang pasangan pengantin itu saling melempar pandang, penuh getaran cinta dan kehangatan.

Para undangan nampaknya tidak kalah bahagia dengan pasangan pengantin itu. Sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan, sesekali mereka melempar pandang kepada pasangan pengantin sederhana itu. Meskipun pakaian yang mereka kenakan tidak semewah putra-putri bangsawan, namun pasangan pengantin itu kelihatan sangat menarik, dan menimbulkan rasa iri bagi pemuda-pemuda dan gadis-gadis desa itu. Yang wanita mengagumi pengantin pria. Sedangkan yang pemuda sering melemparkan pandang secara sembunyi-sembunyi kepada pengantin wanita yang manis dan bertubuh ramping itu.

Namun suasana bahagia itu tiba-tiba terusik. Para tamu menoleh dengan wajah tegang, ketika tuan rumah berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan seorang lelaki berpakaian mewah. Wajah lelaki itu tidak menarik sama sekali. Tubuhnya pendek gemuk. Sedangkan kulit tubuhnya agak kehitaman. Rambut kepalanya telah botak sebagian, dan wajahnya masam.

"Ah..., Juragan Surya Denta...?! Sungguh tidak kusangka kalau Tuan akan mengunjungi pesta pernikahan yang sederhana ini. Maaf, kalau sambutan saya kurang berkenan di hati Tuan," ujar orangtua pengantin wanita itu. Meskipun lelaki kurus itu bersikap setenang mungkin, tapi para tamu melihat betapa wajahnya agak pucat. Bahkan, suaranya terdengar patah-patah.

"Hm.... Kau bilang tidak punya uang, tapi mengadakan pesta. Dari mana kau peroleh biaya untuk menyelenggarakan pesta ini, Jarawa?" tanya lelaki gemuk pendek itu tidak senang.

Ternyata lelaki itu adalah seorang juragan kaya. Dan kedatangannya jelas bukan untuk memberi ucapan selamat kepada pengantin. Tentu saja beberapa orang tamu yang hadir dalam pesta itu memperlihatkan wajah tak senang. Tapi, empat orang tukang pukul berwajah bengis yang berdiri di belakang Juragan Surya Denta membuat para undangan tidak berani ikut campur.

"Tapi..., biaya pesta ini hasil sumbangan dari para penduduk. Tuan Juragan...," Ki Jarawa berusaha menjelaskan kesalahpahaman Juragan Surya Derita mengenai biaya pernikahan putrinya dengan wajah semakin pucat.

"Bohong...!"

Ki Jarawa terlompat mundur karena bentakan keras itu. Wajah lelaki tua itu tampak bertambah pucat. Bahkan kedua tangannya gemetar, dan butir-butir keringat mulai menitik membasahi keningnya.

"Benar, Tuan Juragan...," tiba-tiba terdengar suara jawaban yang ternyata datangnya dari pengantin pria.

Lelaki muda bertubuh kokoh itu sepertinya tidak tega melihat ayah mertuanya yang ketakutan setengah mati menghadapi Juragan Surya Denta. "Akulah yang mengumpulkan uang bantuan dari saudara-saudara sesama petani untuk membiayai perkawinan ini," lanjut pemuda gagah itu lagi menerangkan kepada Juragan Surya Denta yang dikenal serakah dan bermata keranjang.

"Hm..., kaukah yang menjadi menantu dari lelaki kurus tak tahu diuntung ini...?" tanya Juragan Surya Denta seraya menatap tak senang kepada pemuda bertubuh kokoh itu. Sekilas matanya melirik ke arah pengantin wanita yang tampak ketakutan melihat lirikan penuh ancaman itu.

"Benar, akulah menantu Ki Jarawa...," sahut pemuda itu dengan sikap gagah.

"Hm..., kalau begitu, sekarang juga kau lunasi hutang-hutang ayah mertuamu itu! Kalau tidak, terpaksa aku akan membawa putri Ki Jarawa sebagai penggantinya, sampai kau bisa melunasi hutang-hutang cecak kering itu!" geram Juragan Surya Denta dengan wajah beringas.

Melihat gelagat yang tidak baik itu, para undangan bergegas bangkit dan menonton dari tempat agak jauh. Jelas mereka tidak ingin melibatkan diri dengan masalah yang dihadapi tuan rumah.

"Oh, sekarang aku tahu apa maksud kedatanganmu kemari, Bandot Tua! Rupanya selama ini kau mengincar calon istriku untuk kau jadikan gundikmu! Tapi, kami sudah tahu akan niat kotormu itu. Dan,itu pula yang menyebabkan aku berniat lekas-lekas mengawini Nurati, agar ia terlepas dari incaran kebuasanmu!" ujar lelaki muda bertubuh kokoh itu tanpa mengenal rasa takut sedikit pun.

Pemuda itu memang sudah mengetahui sifat Juragan Surya Denta, yang selalu mencari gadis-gadis muda untuk dijadikan pemuas nafsu. Kesadaran itulah yang membuatnya segera mengawini kekasihnya. Kendati untuk itu ia harus meminta bantuan kepada para petani lainnya, yang juga tidak suka kepada Juragan Surya Denta.

"Bangsat! Kalau kau memang tidak mampu untuk melunasi hutang-hutang cecak kering itu sekarang juga, aku akan membawa Nurati. Kau sengaja melemparkan fitnah terhadapku, agar orang-orang desa ini bersimpati kepadamu. Tapi biar bagaimanapun, aku akan tetap membuktikan ucapanku. Bawa gadis putri cecak kering itu...!" perintah Juragan Surya Denta kepada dua orang tukang pukulnya yang sejak tadi memasang wajah angker dan menatap tamu dengan tajam. Sehingga nyali para undangan itu menjadi ciut.

"Baik, Juragan...," jawab seorang lelaki kekar berpakaian hitam, yang berkumis tebal. Dengan diikuti seorang kawannya, lelaki galak berkumis tebal itu segera melangkah untuk membawa pengantin wanita.

"Tahan!" seru pemuda bertubuh kokoh itu seraya berdiri menghadang jalan kedua tukang pukul itu dengan sikap gagah. Jelas ia hendak melindungi istrinya dengan taruhan nyawa, dan tidak mau membiarkan istrinya digondol orang.

"Hm..., minggir kau, Kerbau Dungu! Kalau tidak, kau pun akan kulemparkan ke luar...!" ancam lelaki kekar berkumis tebal itu seraya meraba gagang pedang yang tersembul di pinggangnya. Tindakannya jelas untuk membuat hati pengantin pria itu menjadi ketakutan.

Sayang dugaan lelaki berkumis tebal itu meleset. Pengantin pria itu tetap berdiri tegak dengan gagah dan jantan melindungi istrinya. Sehingga dara cantik yang berdiri di kerumunan para tamu itu menatapnya penuh kagum.

"Bangsat!" maki lelaki kasar berkumis tebal itu sambil menampar kepala pengantin pria yang menghadang jalannya.

Whuttt...!

Tamparan keras itu ternyata luput. Karena lelaki bertubuh kokoh itu sudah melangkah mundur. Sehingga, lelaki berkumis tebal itu semakin marah dan kalap.

"Setan...! Nah, kau hindarilah yang ini...!" ujarnya dengan kemarahan yang meluap-luap.

Lelaki kekar berkumis tebal itu melompat dan mengirimkan tamparan dan tendangan bertubi-tubi Tentu saja hal ini membuat lawannya tidak bisa menghindar. Meskipun tubuh pengantin pria itu terlihat kokoh, tapi ia sama sekali tidak memiliki ilmu silat seperti lelaki berkumis tebal itu. Tidak mengherankan kalau ia menjadi bulan-bulanan tukang pukul Juragan Surya Denta yang kejam itu.

Desss...!

"Aaakh...!" Untuk kesekian kalinya, tubuh lelaki muda itu terpelanting akibat tendangan keras yang menghantam perutnya. Karuan saja tubuh pengantin pria itu terbungkuk-bungkuk kesakitan ketika ia berusaha bangkit.

"Jangan sakiti suamiku...!" teriak pengantin wanita yang tidak tega melihat penderitaan suaminya. Cepat ia berlari dan menubruk tubuh suaminya. Sehingga, lelaki kekar berkumis tebal yang semula siap menjejak tubuh pengantin pria itu, terpaksa menahan gerakannya.

"Sungka...! Bawa gadis itu...!" perintah Juragan Surya Denta dengan suara menggelegar.

"Tuan..., jangan, Tuan. Biarlah kami yang melunasi hutang-hutang itu saat panen nanti...," ratap lelaki kurus yang bernama Ki Jarawa itu sambil menubruk kedua kaki Juragan Surya Denta.

"Hm... Baik. Aku beri keringanan. Tapi, putrimu tetap akan kubawa sebagai jaminannya. Kelak kalau kau sudah mendapatkan hasil panen itu, baru kau boleh mengambilnya kembali.," ujar Juragan Surya Denta seraya menendang tubuh Ki Jarawa.

Bukkk!

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu terjengkang ke belakang. Juragan Surya Denta sendiri mengebut-ngebutkan celananya. Seolah-olah tubuh Ki Jarawa telah mengotori pakaiannya. Hati lelaki gemuk pendek itu sama sekali tidak tergerak melihat istri Ki Jarawa menangis sambil memeluk tubuh suaminya yang telah pingsan itu. Hal itu membuktikan kalau Juragan Surya Denta bukan orang lemah. Kalau tidak, mana mungkin ia dapat membuat orang pingsan hanya dengan sekali tendang saja.

"Kakang...!" pengantin wanita berwajah manis itu menjerit-jerit, ketika lelaki kekar berkumis tebal bernama Sungka itu mengulurkan tangan memondong tubuhnya.

Mendengar teriakan istrinya, petani muda bertubuh kokoh itu segera bangkit, meskipun sekujur tubuhnya dirasakan remuk akibat tendangan dan pukulan Sungka tadi. "Keparat busuk! Hendak kau bawa ke mana istriku...?!" bentak petani muda itu sambil menerjang seperti singa lapar. Sungka hanya bergumam jengkel. Kaki kanannya langsung mencelat saat tubuh petani muda itu datang menyerbunya.

Plak...!

"Aaah...?!" Tepat pada saat telapak kaki Sungka akan mendarat di tubuh petani muda itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan langsing menepiskan tendangan lelaki kekar berkumis tebal itu. Akibatnya, tubuh Sungka berputar seraya menjerit kesakitan.

Belum lagi Sungka menyadari apa yang terjadi dengan dirinya, tiba-tiba terlihat sosok tubuh ramping, yang menyelamatkan pengantin pria itu, mengulurkan kedua tangannya. Dan sekejap saja, tubuh pengantin wanita dalam pondongan lelaki kekar itu berpindah tangan.

"Hm..., kau bawa istrimu ke tepi. Biar aku yang akan memberikan pelajaran kepada manusia-manusia jahat berhati busuk itu..,," terdengar suara merdu dari sosok tubuh ramping berpakaian biru muda itu. Kemudian ia menyerahkan tubuh pengantin wanita di pondongannya kepada petani muda, dan langsung dibawa menjauh.

Juragan Surya Denta menoleh ketika ia mendengar teriakan tukang pukulnya. Dan, sepasang matanya yang berminyak itu langsung terbelalak. Lelaki gemuk pendek itu menelan air liurnya begitu melihat sosok yang hampir membuat Sungka terjatuh.

"Hm..., siapakah kau, Nisanak? Apa hubunganmu dengan Ki Jarawa...?" tanya Juragan Surya Denta seraya menjelajahi lekuk tubuh sosok ramping yang baru datang itu.

"Bangsat...!" desis bibir mungil dari sosok ramping berpakaian biru muda itu geram. Wajahnya yang cantik manis dengan tahi lalat di sebelah kiri dagu itu tampak merah ketika tubuhnya dijilati oleh mata Juragan Surya Denta. Yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadapnya. Namun, kejengkelan dan kemarahan itu ditahannya.

"Aku sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Ki Jarawa atau siapa pun yang ada di tempat ini. Tapi, aku tidak suka melihat tindakanmu yang sewenang-wenang itu, Botak Jelek! Untuk itu, aku akan memberikan pelajaran terhadapmu agar dapat bersikap baik lain kali...," lanjut gadis cantik itu mengandung ancaman.

"Ha ha ha...! Hebat..., kau benar-benar hebat, Nisanak. Biarlah aku akan membebaskan mereka, asalkan kau bersedia ikut denganku. Bagaimana...?" ujar Juragan Surya Denta yang terpikat dengan dara cantik manis itu. "Aku pun akan menceraikan semua istriku yang berjumlah tujuh orang, apabila kau bersedia menggantikan tempatnya. Selama ini aku hanya mendapatkan wanita-wanita yang lemah dan tolol. Alangkah baiknya seandainya kau bersedia menerima ajakanku ini."

"Keparat! Manusia berotak kotor sepertimu memang sepantasnya diberi pelajaran...!" geram dara cantik manis itu yang tidak mampu lagi menahan kemarahannya.

Usai berkata demikian, tubuh ramping itu langsung berkelebat menerjang Juragan Surya Denta. Namun, tidak percuma lelaki gemuk pendek itu memelihara tukang pukul untuk menjaga keselamatannya. Sebab, sebelum serangan dara cantik manis itu datang mengenai tubuhnya, empat orang tukang pukulnya langsung bergerak melindungi majikan mereka. Tentu saja hal itu membuat kemarahan dara berpakaian biru muda itu semakin memuncak. Cepat ia melontarkan tamparan-tamparannya ke arah empat orang tukang pukul Juragan Surya Denta.

Whuttt. , plakkk! Plakkk!

Dua orang tukang pukul Juragan Surya Denta yang memapaki tamparan telapak tangan halus itu, langsung terjengkang ke belakang. Jelas tenaga dalam gadis cantik itu berada jauh di atas mereka.

"Heaaat. !"

Sungka dan seorang kawannya yang bercambang bauk, langsung melesat menerjang. Kepalan dan tendangan mereka bertubi-tubi datang mengepung tubuh gadis berpakaian biru muda itu. Namun, semua serangan itu sama sekali tidak membuat lawannya kerepotan. Bahkan, serangan-serangan balasan dari gadis cantik manis itu mulai mengincar tubuh lawan-lawannya.

Desss. !

"Huaaakh. !"

Tanpa ampun lagi, lelaki bercambang bauk yang ikut mengeroyoknya, langsung terjungkal muntah darah! Bahkan, tubuhnya tidak mampu lagi bergerak. Ia langsung pingsan akibat tendangan keras dari gadis cantik manis itu. Sungka benar-benar terkejut melihat kehebatan gadis cantik itu. Cepat-cepat pedangnya dihunus, dan langsung membabat secara mendatar, begitu melihat dara cantik itu mengincarnya.

Bettt.!

"Hm...," dara cantik manis yang berusia sekitar delapan belas tahun itu mendengus perlahan. Kemudian dadanya membungkuk saat pedang lawan hendak membeset dadanya. Lalu, kaki kanannya bergerak menyapu kaki kanan lawan yang berada di depan.

Duggg!

"Akh...?!" Sungka menjerit kaget. Tubuhnya yang kekar langsung terpelanting ke tanah. Belum lagi ia sempat bangkit, telapak kaki mungil dara cantik manis itu kembali bergerak menimpa dadanya.

Desss...!

"Hugkh...!" Sungka terbatuk hebat, memuntahkan darah segar. Lelaki kasar berkumis lebat itu berkelojotan sesaat, sebelum melepaskan nyawanya ke alam baka. Karena injakan telapak kaki mungil itu telah meremukkan tulang- tulang dadanya, bahkan membuat isi dadanya pecah!

"Kurang ajar...!" maki Juragan Surya Denta tatkala melihat empat orang tukang pukulnya tidak berdaya menghadapi gadis cantik manis itu. Cepat ia melompat dan menerjang ke depan. Sayang, meskipun gerakannya cukup cepat dan mantap, tapi semua itu belum menjamin bahwa ia dapat menandingi kehebatan dara berpakaian biru muda itu.

Plak! Plak!

Dua buah pukulan yang dilancarkan Juragan Surya Denta, langsung dipapaki telapak tangan berkulit halus itu. Akibatnya, tubuh pendek gemuk itu hampir terpelanting ke tanah. Untunglah dua orang tukang pukulnya sudah bangkit, dan langsung menyambut tubuh majikannya. Sehingga, tubuh pendek gemuk itu jatuh menindih tubuh kedua tukang pukulnya.

Juragan Surya Denta sama sekali tidak mempedulikan nasib kedua tukang pukulnya, yang merasa sesak karena tertimpa tubuh majikannya. Lelaki gemuk itu langsung bangkit dengan wajah merah. Sayang, dara cantik manis berpakaian biru muda itu tidak mau memberikan kesempatan lagi kepada Juragan Surya Denta. Saat itu juga tubuh ramping itu berkelebat.

Plak!

"Aaakh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki setengah baya yang pendek gemuk itu langsung terjungkal disertai jerit kesakitan.

Para tamu yang menyaksikan kejadian itu langsung bersorak tanpa sadar. Jelas mereka sangat gembira melihat lelaki gemuk yang selama ini berbuat sewenang-wenang di desa itu, mendapatkan ganjaran setimpal.

Desss...!

Juragan Surya Denta kembali terlempar dan terjerembab ke tanah. Darah segar mengucur dari hidung dan sudut bibirnya. Lelaki pendek gemuk itu berusaha bergerak bangkit dengan merangkak-rangkak. Orang-orang desa menyorakinya. Sehingga, wajah Juragan Surya Denta menjadi pucat ketakutan. Seolah-olah ia melihat orang-orang desa itu bagaikan sekumpulan iblis yang siap merencah tubuhnya.

"Ampuuun..., ampunkan aku, Nisanak..," ratap Juragan Sury aDenta. Dan tanpa malu-malu lagi, lelaki gemuk itu langsung menjatuhkan tubuhnya bersimpuh dengan wajah bersimbah air mata. Tentu saja hal itu membuat dara cantik itu menjadi muak.

"Hm..., orang sepertimu tidak pantas untuk diberikan ampunan. Sikapmu jelas tidak akan pernah berubah. Kalau kau dibiarkan hidup, gadis-gadis desa ini akan merasa terancam olehmu...!" ujar dara cantik manis itu yang siap menurunkan tangan mautnya untuk mencabut nyawa Juragan Surya Denta.

"Nisanak, tahan...!" tiba-tiba saja, Ki Jarawa, yang sudah tersadar dari pingsannya, langsung bersimpuh di depan dara cantik manis itu. Dia memohon agar Juragan Surya Denta diberi ampunan.

"Hei, apa-apaan kalian...? Mengapa kalian meminta ampunan untuk lelaki jahat ini...?" tanya dara cantik berpakaian biru muda itu terheran-heran.

"Sebenarnya Juragan Surya Denta tidak terlalu jahat, Nisanak. Ia sering membantu para penduduk yang tidak mempunyai benih untuk bertani. Kalaupun ia jahat, itu hanya karena sifat mata keranjangnya yang tidak pernah sembuh. Tapi, kami yakin setelah kejadian ini ia akan menyadari segala kejahatannya...," ujar Ki Jarawa menjelaskan kepada dara cantik manis itu.

Melihat banyaknya orang-orang desa yang kemudian ikut-ikutan memintakan ampun untuk Juragan Surya Denta, dara cantik itu membatalkan niatnya untuk menghabisi nyawa Juragan Surya Denta. Juragan Surya Denta sendiri tidak menyangka kalau orang yang semula dianiayanya, justru menyelamatkan dirinya dari kematian. Diam-diam lelaki gemuk pendek itu merasa terharu ketika ia melihat orang-orang lain pun ikut memintakan pengampunan bagi dirinya. Bahkan, pasangan pengantin itu pun juga ikut memintakan ampun kepada dara cantik manis itu.

"Hm..., baiklah. Kali ini aku mengampunimu, Orang Tua! Tapi, apabila lain kali kau berbuat kesalahan yang sama, aku akan datang untuk mengambil kepalamu yang botak itu...!" ancam dara cantik manis itu dengan tatapan tajam. Jelas ia tidak main-main dengan ancamannya itu.

Mendengar ucapan dara cantik manis itu, Juragan Surya Denta menjadi lega hatinya. Kemudian, ia menyuruh Ki Jarawa untuk melanjutkan pesta perkawinan putrinya lebih meriah atas biaya lelaki kaya itu. Sementara, dara cantik berpakaian biru muda itu sudah melesat pergi, tanpa mengharapkan imbalan atas pertolongannya. Bahkan ucapan terima kasih pun sepertinya tidak diinginkan. Maka, para penduduk desa mengiringi kepergian dara penolong itu dengan memintakan keselamatan kepada Sang Maha Pencipta.

DUA

Gadis cantik manis berpakaian biru muda itu terus bergerak menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja, bayangannya telah cukup jauh meninggalkan Desa Angkeran. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke belakang, ketika hendak menyeberangi sebuah aliran sungai kecil. Sekilas terlihat senyuman sinis membayang di bibirnya yang merah itu.

"Hm...," dara cantik itu bergumam seorang diri. Senyum nakalnya membayang. Seolah-olah ia menemukan suatu pikiran yang baik. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah meloncat menyeberangi sungai. Dan lenyap ditelan timbunan pohon.

Tidak berapa lama kemudian, tampak sesosok tubuh tegap berlari mendekati sungai, ia berdiri beberapa saat sebelum menyeberangi sungai kecil itu. Dengan pandang matanya yang tajam, sosok tubuh yang ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu merayapi seberang sungai. Setelah memastikan bahwa di depannya tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu segera melesat menyeberangi sungai.

Melihat dari gerakan dan caranya menyeberangi sungai, jelas pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya cukup sempurna. Sehingga, sebentar saja ia telah berada di seberang sungai, dan melanjutkan langkahnya dengan berlari-lari kecil.

Namun, tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tampak menghentikan larinya, dan memandang berkeliling dengan kening berkerut. Sesaat kemudian, ia kembali melesat ke depan bagaikan sebatang anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Setelah agak jauh berlari dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, pemuda itu kembali menahan langkahnya. Jelas sekali terlihat rasa heran pada wajahnya.

"Aneh...? Ke mana perginya gadis itu...? Mustahil ia bisa bergerak demikian cepatnya...?" gumam pemuda itu seorang diri seraya tangannya mengelus-elus ujung dagu. Keningnya tampak berkerut semakin dalam. Jelas ia tengah berpikir keras untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya itu.

"Haiiit…!"

Mendadak terdengar suara teriakan melengking mengandung tenaga dalam yang kuat. Belum lagi gema lengkingan itu lenyap, sesosok tubuh ramping melayang dari atas pohon, dan langsung melancarkan serangan maut kepada pemuda gagah yang tengah berdiri kebingungan itu.

Bettt! Bettt!

"Aihhh...?!" Pemuda itu memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan berputar ke belakang, guna menghindari serangan yang cepat dan kuat itu. Kemudian, meluncur turun sejauh dua tombak dari tempatnya berdiri semula.

"Nisanak, sabar dulu....!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang gadis cantik manis berpakaian serba biru muda.

"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan! Kau pikir aku tidak tahu kalau kau telah membuntutiku sejak dari Desa Angkeran! Sekarang terimalah hukumanmu...!" bentak gadis cantik itu sambil menerjang, tanpa memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk berbicara lebih banyak.

Untuk kesekian kalinya, pemuda itu kembali berloncatan guna menghindari serangan maut lawan. Namun, ketika dara cantik yang galak itu semakin mempergencar serangannya, pemuda itu tampak mulai kerepotan. Sehingga, ia terpaksa menangkis ketika sebuah bacokan sisi telapak tangan gadis galak itu datang mengancam pelipisnya.

Dukkk!

Pertemuan kedua lengan yang sama-sama terisi tenaga sakti itu membuat keduanya sama-sama terdorong mundur beberapa langkah. Hal itu justru makin menambah kemarahan dara cantik berpakaian biru muda itu.

"Hm..., rupanya kau memiliki kepandaian. Pantas kau berani membuntutiku. Baiklah! Sekarang coba kau tahan seranganku selanjutnya. Bersungguh-sungguhlah! Kalau tidak, nyawamu akan melayang...!" ancam dara cantik itu. Tampak gadis itu sudah menyilangkan kedua tangannya ke atas kepala. Jari-jari dara itu terlihat agak bergetar. Jelas kalau ia tengah mengerahkan kekuatan tenaga saktinya secara utuh untuk penyerangan kali ini.

"Nisanak, sabar dulu! Aku memang telah membuntutmu sejak dari Desa Angkeran, Tapi, kalaupun itu merupakan suatu kesalahan, apakah pantas dibalas dengan nyawaku? Percayalah. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat. Bahkan aku sangat kagum alas tindakanmu yang menyelamatkan keluarga pengantin tadi. Karena itu aku ingin mengenalmu, dan terpaksa mengikutimu hingga sampai ke tempat ini...," ujar pemuda tegap berwajah tampan dengan sebaris kumis tipis yang menambah kejantanannya itu.

Suara pemuda ini terdengar mengandung kecemasan. Karena ia sadar bahwa serangan gadis itu pastilah akan sangat berbahaya. Sedangkan ia sama sekali tidak ingin bertarung dengan gadis cantik yang telah menimbulkan kekaguman di hatinya itu.

"Nisanak, sabar dulu...!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang gadis cantik manis berpakaian biru muda.

"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan!" bentak gadis cantik itu sambil bersiap-siap ingin menyerang kembali. "Hm..., kalaupun ucapanmu benar, kau harus melayani seranganku kali ini. Dan, kalau kau sanggup bertahan selama lima jurus, biarlah kesalahanmu ku ampuni, dan kau boleh pergi dari tempat ini!" kembali terdengar jawaban gadis cantik manis itu, yang rupanya masih ingin melanjutkan serangannya. Meskipun nadanya tidak segalak semula. Tapi, ia tetap saja belum mempercayai sepenuhnya ucapan pemuda itu.

"Tapi...," pemuda tegap berwajah tampan itu berusaha mencegah perkelahian yang sama sekali tidak diinginkannya itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat lain ketika tubuh gadis itu sudah meluncur dengan serangan yang lebih hebat lagi.

"Cerewet, sambut setanganku...!" bentak gadis cantik yang galak itu seraya melancarkan serangan- serangannya yang menimbulkan deruan angin tajam.

Whuuut! Whuuut!

Mau tak mau pemuda tegap itu terpaksa menghindari serangan gadis cantik itu. Sesekali ia mencoba memapaki sambaran tangan lawannya, yang dianggap sangat berbahaya itu. Meskipun demikian, pemuda itu belum terlihat melontarkan serangan balasan. Sepertinya ia memusatkan perhatian pada pertahanan, agar bisa melayani serangan gadis galak itu selama lima jurus tanpa terluka.

"Hait...!"

Plak! Plak!

Terdengar dua kali benturan keras berturut-turut, ketika pemuda tampan bertubuh tegap itu memapaki tamparan dan tendangan lawan. Keduanya kembali terjajar mundur untuk kesekian kalinya. Tapi, gadis cantik itu kembali melesat menerjang dengan kecepatan gerak yang mengagumkan. Sehingga, pemuda itu mengeluarkan kata-kata pujian di luar kesadarannya.

"Jurus kelima...!" dara cantik berpakaian biru muda itu berseru mengingatkan jurus serangan yang dilontarkannya.

"Akh...!"

Jurus terakhir yang dijanjikan dara cantik itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Pemuda itu sampai terpekik kaget ketika cengkeraman jari-jari tangan lawan hampir saja merobek bagian iga kanannya. Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuh sambil menggeser kaki kanannya ke belakang. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan iganya akan terluka. Setidaknya, kulit dan dagingnya akan terkelupas oleh cengkeraman yang mendatangkan deruan angin tajam itu.

"Cukup...!" ketika serangan jurus kelima itu berakhir, pemuda tampan itu berseru mengingatkan seraya melompat ke belakang dan meluncur turun, setelah berputar beberapa kali di udara.

"Hm..., kau ternyata sangat tangguh, Kisanak. Baiklah. Sesuai dengan janjiku, sekarang kau boleh pergi meninggalkan tempat ini. Jangan ikuti aku lagi...," ujar dara cantik itu.

Diam-diam dalam hati dara cantik ini timbul rasa kagum kepada pemuda tampan bertubuh tegap itu. Sebab, jarang ia menemukan seorang pemuda yang mampu menahan serangannya sampai sepuluh jurus lebih. Bahkan serangan lima jurus terakhir dengan mempergunakan ilmu andalannya pun dapat pula dihadapi oleh pemuda itu. Tapi, kekaguman itu hanya disimpannya dalam hati, tanpa mengucapkannya kepada pemuda itu.

"Tapi, adakah undang-undang yang melarang kita untuk mengikuti seseorang? Sedangkan orang itu sama sekali tidak berniat jahat terhadap orang yang diikutinya? Nah, apa jawabanmu, Nisanak...?" bantah pemuda itu yang kelihatannya mulai berani menjawab ucapan-ucapan gadis cantik yang galak itu.

"Memang tidak ada undang-undang yang melarangmu untuk membuntuti orang lain. Tapi, tidak adakah pekerjaan lain yang lebih baik ketimbang membuntuti orang? Atau kau memang mempunyai kebiasaan aneh mengikuti setiap gadis yang kau kagumi, begitu? Hm..., kalau memang itu merupakan pekerjaanmu, jelas kau seorang pemuda yang tidak mempunyai tata kesopanan...," balas dara cantik itu tidak mau kalah. Jelas selain galak dan berkepandaian tinggi, dara itu pun pandai berdebat. Sehingga, untuk sesaat lamanya, pemuda tampan berkumis tipis itu tidak bisa menjawab.

"Mmm..., tuduhanmu jelas keliru, Nisanak. Percayalah, baru kali ini aku membuntuti seorang gadis. Dan, karena pekerjaan ini terasa sangat menyenangkan hatiku, maka aku berniat untuk melanjutkannya. Apakah kau keberatan...?" balas pemuda itu setelah terdiam beberapa saat lamanya. Kali ini ditatapnya wajah cantik manis itu dengan senyum lebar.

"Hm..., apakah kau tidak mempertimbangkan perasaan orang lain dalam melakukan pekerjaanmu yang aneh itu...?" tanya dara cantik manis itu seraya bertolak pinggang.

"Maksudmu...?" tanya pemuda itu seolah-olah belum mengerti arah pertanyaan dara cantik yang dikaguminya itu.

"Hm..., aku jelas tidak suka kau buntuti, Kisanak. Oleh karena itu, aku akan menerjangmu mati-matian kalau kau masih hendak melanjutkan pekerjaanmu itu. Nah, silakan kau pilih. Pergi dengan selamat, atau bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang tewas...!" dingin dan tegas sekali suara dara cantik itu.

Mendengar ucapan si dara cantik, pemuda tampan berkumis tipis itu menjadi bengong, seolah-olah tak percaya dengan pendengarannya.

"Nah, ternyata kau masih bisa berpikir waras…," ucap dara cantik yang galak itu ketika melihat pemuda di depannya berdiri bengong memandangi kepergiannya. Setelah melemparkan senyum penuh kemenangan, dara cantik itu pun berkelebat lenyap dari tempat itu.

"Gila...! Gadis itu benar-benar keras kepala, dan sulit sekali untuk diajak berteman. Tapi…, biar bagaimanapun aku akan tetap membuntutinya dari kejauhan. Aku tidak akan pernah berhenti sebelum dapat mengenalnya...," gumam pemuda tampan itu berkata kepada dirinya sendiri. Jelas ia sangat tertarik dengan dara cantik berpakaian biru muda yang galak itu. Ia pun memutuskan untuk tetap mengikutinya tanpa sepengetahuan gadis cantik yang telah membuat kagum hatinya.

********************

"Hm..., perlahan langkahmu, Nisanak...!" tiba-tiba terdengar sebuah teguran yang membuat dara cantik manis berpakaian biru muda itu menunda langkahnya. Sepasang mata dara itu berkilat curiga ketika melihat ada lima orang lelaki berwajah bengis, berdiri menghadang jalannya. Dengan sikap tenang, dara cantik manis itu melangkah maju beberapa tindak. Keningnya tampak berkerut ketika mengenali lelaki bercambang bauk yang menjadi tukang pukul Juragan Surya Denta.

"Hm..., rupanya kau belum puas dengan kejadian kemarin, Kerbau Dungu! Dan, sekarang mengajak teman-temanmu untuk mengeroyokku," tegur dara cantik itu tersenyum mengejek ke arah lelaki bercambang bauk, yang bentuk tubuhnya memang gemuk seperti kerbau.

"Hm..., perempuan liar inikah yang telah membunuh kakangmu, Bunggali...?!" tanya seorang lelaki tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Sikap lelaki itu terlihat keren dan memancarkan perbawa. Jelas ia bukan orang sembarangan.

"Benar, Guru. Iblis betina inilah yang telah menewaskan Kakang Sungka kemarin," jawab lelaki bercambang bauk yang bernama Bunggali itu. Jelas ia masih mendendam atas peristiwa kemarin di Desa Angkeran, dan mengundang guru serta kawan-kawan seperguruannya untuk membalas perbuatan gadis cantik itu.

"Nisanak. Dengan membunuh salah seorang murid kami, berarti kau telah menanamkan bibit permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa. Sebaiknya kau menyerahlah untuk diadili oleh para tetua perguruan kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu yang rupanya merasa enggan untuk melakukan kekerasan, ketika melihat usia gadis itu yang pantas menjadi putrinya.

Sayang, dara cantik berpakaian biru muda itu menganggap ucapan calon lawannya sebagai suatu penghinaan. Hal itu terlihat jelas dari sepasang matanya yang memancarkan sinar berkilat.

"Orang tua! Seharusnya kau berpikir lebih jauh, sebelum mengambil keputusan untuk membela murid- muridmu. Bagaimana kalau ternyata yang berbuat salah adalah muridmu? Apakah kau akan tetap berkeras untuk membelanya...?" tegur dara cantik manis itu tanpa rasa gentar sedikit pun. Bahkan ia kembali melangkah maju dua tindak. Sikap itu jelas-jelas merupakan tantangan.

"Perlu apa berbaik hati kepada iblis betina itu, Guru. Lihat saja sikapnya yang sombong, dan menganggap dirinya manusia tersakti di atas permukaan bumi ini. Gadis liar seperti dia, harus segera diberi pelajaran biar jera...," Bunggali yang sudah tidak sabar kembali menggosok hati gurunya. Sepasang mata lelaki bercambang bauk itu melotot, seperti hendak menelan tubuh dara cantik itu bulat-bulat.

"Sabarlah, Bunggali...," ujar lelaki tinggi kurus itu mengibaskan lengannya perlahan, mencegah Bunggali yang sudah siap maju. Kemudian, berpaling kepada dara cantik itu. "Nisanak. Sekali lagi kutegaskan. Biar bagaimanapun, aku harus membawamu ke perguruan untuk diadili. Menyerahlah, atau aku terpaksa menggunakan kekerasan!"

"Hm..., jelas kalian ini adalah orang-orang jahat. Orang-orang seperti kalian memang harus diberi pelajaran, agar lain kali lebih berhati-hati, dan tidak meremehkan orang lain!" sahut dara cantik manis itu dengan nada menantang, sehingga wajah lelaki kurus itu menjadi gelap.

"Hm...," gumam lelaki kurus itu sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri kanan.

Seketika empat orang lainnya, termasuk Bunggali, langsung menyebar mengepung dara cantik berpakaian biru muda itu. Keempatnya telah mencabut senjata masing-masing, siap mengeroyok bila gadis itu hendak melarikan diri.

"Hi hi hi...! Kalian ini betul-betul kerbau tolol! Kalian pikir aku mau melarikan diri dari pertempuran? Huh! Jangan sombong dulu, Orang-orang Tolol! Kalian lihatlah, aku akan membuat guru kalian lari terbirit- birit...!" ejek dara cantik manis itu terkekeh seperti merasa geli melihat tingkah-polah musuh-musuhnya.

"Kurang ajar...!" maki lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat orang muridnya itu. Ia marah karena mendengar ejekan calon lawannya. Cepat ia melompat ke depan, dan langsung melancarkan sebuah pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam. "Sambut seranganku...!" seru lelaki tinggi kurus itu membentak.

"Hm...," dara cantik itu bergumam pelan, seraya menggeser kaki kanannya ke samping. Kemudian disusul dengan gerakan tubuh meliuk indah. Ketika pukulan telah lewat di sampingnya, tubuh dara cantik itu langsung berputar dengan sebuah tendangan belakang yang mengincar pelipis lawan.

Plak!

Terdengar suara benturan keras ketika lelaki tinggi kurus itu mengangkat lengan kirinya memapaki tendangan lawan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Terlihat lelaki tinggi kurus itu agak terkejut, ketika merasakan kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi dalam tendangan gadis itu.

"Hm..., pantas kau demikian sombong. Rupanya kepandaianmu memang cukup hebat...," ujar lelaki tinggi kurus itu yang mau tak mau terpaksa memuji kekuatan tenaga sakti lawannya, "Tapi, jangan besar kepala dulu. Sambutlah seranganku selanjutnya. " Dan sesaat setelah ucapannya selesai, tubuh lelaki tinggi kurus itu sudah melayang dengan sebuah serangan yang jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.

Bettt! Bettt!

Melihat serangan lawannya semakin berbahaya, dara cantik berpakaian biru muda itu segera menyilangkan kedua tangannya dan langsung dijulurkan ke depan. Terdengar sambaran angin berkesiutan ketika sepasang lengan yang mengepal itu berputaran membentuk gerakan-gerakan yang indah dan kuat.

"Haittt..!"

Dibarengi sebuah seruan melengking, tubuh ramping yang terbungkus pakaian biru muda itu langsung menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar saja, keduanya telah saling serang dengan jurus-jurus ampuh. Pukulan keduanya menimbulkan deru angin yang tajam. Namun, setelah lewat dua puluh jurus lebih, terlihat sosok bayangan biru muda mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawannya. Tampak sosok tinggi kurus yang menjadi lawannya itu mulai terdesak, dan hanya bisa bergerak mundur.

Plak! Plak!

"Aaah...!?"

Meskipun dua buah pukulan lawan masih dapat ditangkis, namun lelaki tinggi kurus itu terdengar memekik kesakitan. Dan, tubuhnya terpental keluar dari dalam arena pertempuran.

"Terimalah pukulanku!" seru dara cantik berpakaian biru muda itu sambil melesat mengejar tubuh lawannya. Dan....

Desss!

Tanpa ampun lagi, lawannya yang tidak mampu mengelak itu langsung kembali terpental. Kali ini darah segar muntah dari mulutnya. Jelas kepalan mungil yang menghantam bagian dadanya itu sangat kuat, sehingga menimbulkan luka yang tidak bisa dipandang enteng.

"Haittt!"

Dara cantik itu sepertinya tidak mau tanggung-tanggung dalam menuntaskan pertempuran. Terlihat ia kembali melesat dengan telapak kaki yang siap menjejak tubuh lawan yang tengah tergeletak hendak bangkit berdiri.

Derrr...!

"Aaah...!" Untunglah dalam saat yang gawat itu lawannya masih sempat menyadari datangnya bahaya maut. Sebisa-bisanya ia langsung bergulingan menghindari telapak kaki mungil yang jelas bisa mendatangkan kematian bagi dirinya.

"Hm..., rupanya kau masih sempat juga menyelamatkan dirimu, Orang Tua. Tapi, kali ini kau coba saja menghindarinya...," ancam dara cantik itu yang kali ini memberikan kesempatan kepada lawannya untuk berdiri tegak. Kemudian, tubuhnya langsung meluncur ketika lelaki kurus itu sudah memasang kuda-kudanya, meskipun dengan tubuh agak goyah.

"Haittt... !"

Diiringi teriakan melengking panjang, tubuh dara cantik itu melayang ke arah lawannya. Bunggali dan ketiga orang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kepandaian mereka memang masih jauh untuk dapat menyelamatkan guru mereka.

"Heaaah...!"

Ketika serangan dara cantik itu sudah dekat, tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang merupakan seorang tokoh dari Perguruan Gunung Lawa itu mengibaskan tangan kanannya ke depan. Kemudian, ia langsung bergulingan ke samping guna menghindari serangan lawan.

"Aaah...?!"

Dara cantik manis itu memekik kaget ketika ia melihat kibasan tangan lawan menyemburkan gumpalan asap tipis berbau harum. Sadarlah dara cantik itu kalau lawannya berbuat curang dengan menebarkan bubuk beracun. Cepat ia melompat mundur dan berputaran ke udara sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh, guna mengusir asap putih yang berasal dari bubuk racun itu. Namun, bubuk yang sudah telanjur tercium tadi, membuat tubuh dara cantik itu tampak goyah ketika sepasang kakinya mendarat di atas tanah.

"Ohhh...! Dasar pengecut licik...!" umpat gadis itu sambil memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa pening yang membuat pandangannya kabur.

TIGA

"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kelihaian orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa, Perempuan Liar...!" lelaki tinggi kurus itu tertawa bergerak ketika melihat lawannya mulai goyah. Cepat ia memerintahkan murid-muridnya untuk membekuk dara cantik itu. Sedangkan ia sendiri sudah melompat maju seraya mengirimkan tamparan kilat ke bahu gadis itu.

Plak.

Meskipun kepalanya terasa pening dan pandangan kabur, namun dara cantik itu masih sempat mengangkat tangannya untuk memapak tamparan lawan. Sayang, gerakannya tidak lagi segesit semula. Akibatnya, sebuah tendangan salah seorang pengeroyok, menghajar telak punggungnya.

Desss...!

"Hugkh...!"

Kontan tubuh dara cantik itu terjerunuk ke depan. Kembali tubuh ramping itu terjengkang ketika sebuah pukulan keras mendarat diperutnya.

"Roboh...!" lelaki tinggi kurus itu membentak nyaring seraya melontarkan tamparan keras ke arah pelipis gadis cantik itu. Agaknya ia ingin membuat lawannya pingsan.

Whuttt..! Plakkk!

"Aih...!?"

Mendadak sesosok bayangan berkelebat memapak serangannya, saat tamparan lelaki kurus itu hampir mengenai sasarannya. Akibatnya, terdengarlah benturan keras disusul jeritan kaget dari lelaki kurus itu. Tubuhnya terpental balik dan hampir terpelanting.

"Bedebah...!" umpat lelaki tinggi kurus itu dengan wajah merah padam, ia kemudian bergerak bangkit seraya menatap tajam ke arah sosok tegap yang tengah dikeroyok empat orang muridnya. Hatinya kembali tercekat ketika dua orang muridnya terpelanting dan langsung pingsan, hanya dalam satu gebrakan saja. Karuan saja kemarahan lelaki tinggi kurus itu makin menggelegak.

"Haaat...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke arah pertarungan. Begitu tiba, ia langsung melancarkan serangan-serangan yang menimbulkan angin berkesiutan.

Namun, sosok tegap yang baru muncul itu benar-benar hebat sekali. Gerakannya demikian gesit dan sangat kuat. Sehingga, meskipun dikeroyok tiga orang, ia dengan mudah mengelakkan setiap sambaran senjata dan pukulan lawan-lawannya. Bahkan serangan balasannya justru jauh lebih hebat dari lawan-lawannya.

Plakkk!

Sosok tegap itu merunduk sambil memiringkan tangan kirinya, dan memapaki sebuah tendangan yang dilancarkan lelaki tinggi kurus itu. Kemudian, langsung meliuk dengan mengirimkan sebuah hantaman telapak tangannya yang tepat mendarat di dada kiri lawan.

Bukkk!

"Hugkh...!"

Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kurus itu langsung terpental menyemburkan darah segar. Gerakan sosok tegap itu terus berlanjut mematahkan serangan dua batang senjata pengeroyoknya. Dan, mengirimkan tendangan serta pukulan yang membuat kedua orang pengeroyok terakhir berpelantingan tersambar pukulan dan tendangannya.

"Bangsat! Siapa kau, Kisanak...?" desis lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat kawannya. "Kau telah membuat permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa! Hal itu akan membuatmu menyesal seumur hidup...!"

"Hm..., terserah kau, Orang Tua. Kalau kau menganggapnya demikian, aku pun tidak bisa menolak. Sekarang, tinggalkanlah tempat ini sebelum kesabaranku habis...!" ancam sosok tegap yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan dan gagah. Sikapnya tampak tenang, meskipun lawannya jelas-jelas mengancam. Malah ia balik mengancam dengan berani.

Sehingga, ganti lelaki tinggi kurus itulah yang menjadi gelisah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung mengajak kedua orang muridnya untuk membawa dua orang kawannya yang masih tak sadarkan diri itu. Kemudian mereka berlari meninggalkan tempat itu dengan hati penasaran dan penuh dendam.

"Sebutkan namamu, kalau kau benar-benar bukan seorang pengecut, Kisanak...?" ujar lelaki tinggi kurus itu, sebelum meninggalkan kedua orang lawannya. Sorot matanya terlihat penuh api dendam ketika menatap sosok pemuda bertampang gagah itu.

"Hm..., namaku Sasmita. Kalau kalian ingin membalas dendam, datanglah ke Bukit Harimau Putih...," jawab pemuda tampan itu tanpa gentar sedikit pun.

"Bukit Harimau Putih...?! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Macan Sakti...?" tanya lelaki tinggi kurus itu agak terkejut ketika mendengar jawaban pemuda itu.

Kini ia baru mengerti mengapa gerakan pemuda itu seperti pernah dikenalnya. Diam-diam hatinya agak bergetar ketika mendengar pemuda itu berasal dari Bukit Harimau Putih, yang merupakan tempat tinggal seorang tokoh besar golongan putih. Dinantinya jawaban pemuda itu dengan hati berdebar tegang.

"Aku adalah putra tunggalnya...," jawab pemuda gagah itu tanpa terkesan bahwa ia hendak mengandalkan ketenaran nama orangtuanya dalam menanggapi ancaman lawan.

"Hm..., kalau begitu orangtuamu harus diberi peringatan agar bisa mendidik putranya dengan baik. Tunggulah pembalasan kami! Persoalan ini masih belum selesai...," ujar lelaki kurus itu dengan nada mengancam.

Setelah berkata demikian, lelaki bertubuh tinggi kurus itu menyusul kawan-kawannya. Langkahnya terlihat limbung. Karena ia menderita luka dalam akibat pukulan Sasmita. Untunglah pemuda gagah itu tidak berniat menghabisi lawan-lawannya. Kalau tidak, rasanya kelima orang itu tidak mungkin bisa meninggalkan tempat itu dalam keadaan masih bernyawa.

Sepeninggal kelima orang itu, Sasmita segera melangkah menghampiri dara cantik berpakaian biru muda yang tergeletak pingsan. Jelas, bubuk beracun itu telah membuatnya tidak berdaya.

"Hm...," Sasmita bergumam perlahan. Kemudian dipondongnya tubuh ramping itu dan melesat pergi.

Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sasmita terus bergerak menyusuri hutan. Ia berniat hendak mencari pondok yang biasa dibuat oleh para pemburu untuk bermalam. Meskipun racun yang melumpuhkan tubuh gadis dalam pondongannya itu tidak berbahaya, tapi ia hendak mencari tempat yang aman dan terlindung. Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa akan kembali dengan membawa kawan-kawan yang lebih banyak. Hal itulah yang dikhawatirkan pemuda itu.

Tidak terlalu sulit bagi Sasmita untuk mencari tempat yang dimaksudkannya itu. Tidak berapa lama kemudian, di depannya terlihat sebuah pondok sederhana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda gagah itu langsung memasuki pondok itu setelah yakin tidak ada orang di dalamnya. Tubuh dara cantik berpakaian biru muda itu diletakkannya di aras balai-balai, ia sendiri kemudian melesat pergi untuk mencari air.

Setelah air sungai yang dijerangnya masak, Sasmita duduk di undakan tangga pondok sambil menanti dara cantik itu siuman. Tadi ia sudah mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh gadis itu, yang berguna untuk mempercepat bangkitnya kesadaran.

"Ouhhh...!"

Sasmita bergerak bangkit ketika mendengar keluhan lirih gadis cantik yang ditolongnya itu. Pemuda itu berdiri di samping balai-balai sambil memandang gadis cantik manis yang terlihat berkeringat itu. Diam-diam kekagumannya semakin bertambah, membuat hatinya bergetar aneh. Meskipun demikian. Sasmita sama sekali tidak berani menyentuhnya. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum menunggu pulihnya kesadaran dara cantik manis itu.

Tidak berapa lama kemudian, Sasmita melihat kelopak maia dara itu mulai terbuka. Pemuda gagah itu menahan debaran dalam dadanya ketika melihat sepasang mata gadis itu tampak mengerjap beberapa kali, sebelum terbuka lebar-lebar.

"Kau...?!" pekik dara cantik manis itu ketika melihat sosok pemuda yang dikenalnya, tengah berdiri menatapnya sambil tersenyum. "Apa yang kau lakukan...?"

Sasmita, hanya tersenyum lebar ketika melihat dara cantik yang telah menarik hatinya itu bangkit dengan wajah bersemu merah. Pemuda itu masih tetap berdiri tenang, meskipun dara cantik itu telah berdiri tegak di hadapannya.

"Ke mana manusia-manusia licik itu...?" tanya dara cantik itu seraya menoleh dan mencari-cari orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang telah mengeroyoknya.

"Mereka telah pergi...," sahut Sasmita sambil mengambil air obat yang telah dimasaknya. Diangsurkannya gelas bambu itu kepada dara cantik di depannya. "Tubuhmu masih agak lemah. Sebaiknya kau minumlah obat ini guna melancarkan darahmu yang terhambat akibat racun pembius orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu."

"Racun pembius...?" desis dara cantik itu mengerutkan kening. Dara cantik itu mencoba mengingat kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Perlahan-lahan, ia mulai dapat mengingat rangkaian peristiwa yang baru saja dialaminya.

"Kaukah yang menolongku dari tangan mereka...?" tanya dara cantik itu seraya memperhatikan wajah Sasmita.

Pemuda itu tersenyum lebar melihat dara itu menelusuri wajahnya, seperti hendak menilai dirinya. "Maaf kalau perbuatanku kau anggap lancang, Nisanak. Semua itu kulakukan karena aku tidak rela kau jatuh ke tangan mereka. Meskipun Perguruan Gunung Lawa bukan dari golongan sesat, tapi mereka pun tidak bisa dikatakan orang baik-baik," sahut Sasmita agak merendah. Tangannya masih tetap terulur mengangsurkan gelas bambu berisi air obat.

"Hm...," dara cantik manis itu bergumam pelan. Ada rasa kagum melihat sikap pemuda tampan itu yang berlaku sopan dan menghormati dirinya. Perlahan disambutnya gelas bambu di tangan pemuda itu. Sesaat dara cantik itu tertegun ketika ia merasakan getaran aneh saat jari-jari tangan mereka saling bersentuhan. Hal itu membuat hatinya berdebar-debar. Untuk mengalihkan perhatian, diteguknya air obat yang diberikan pemuda itu.

"Mmm..., kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui namamu, Nisanak? Aku sendiri bernama Sasmita...," tanya Sasmita seraya memperkenalkan namanya kepada gadis itu.

"Namaku Sari Asih...," sahut dara cantik manis itu setelah meneguk habis air obat di dalam gelas bambu, dan meletakkannya di atas balai-balai.

"Sari Asih.... Sebuah nama yang indah...," ujar Sasmita perlahan seperti hendak mengukir nama itu dalam hatinya. Ditatapnya wajah cantik manis yang menimbulkan kekaguman di hatinya.

Sari Asih merundukkan wajahnya ketika melihat pancaran kekaguman pada sepasang mata pemuda gagah itu. Ia merasa aneh tatkala debaran dalam dadanya semakin kuat. Padahal, bukan baru kali ini ia menemukan tatapan itu pada mata laki-laki. Tapi, kali ini ia benar-benar merasakan adanya kelainan dalam dirinya. Ada jalaran rasa nikmat dan bangga mendapat tatapan penuh kagum dari pemuda gagah yang menolongnya itu. Merasa agak jengah mendapat ratapan mata Sasmita, Sari Asih membalikkan tubuhnya dan melangkah ke pintu.

"Ah..., hari sudah mulai gelap...," desahnya perlahan seraya menatap ke luar pondok yang mulai diselimuti kegelapan.

"Kalau begitu, biarlah aku mencari makan malam untuk kita. Kuharap kau mau menunggu sebentar...," ujar Sasmita yang langsung melesat pergi, sebelum Sari Asih mengangguk menyetujuinya.

Dara cantik itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya perlahan. Sepeninggal Sasmita, Sari Asih duduk di tepi balai-balai menatap ke luar lewat jendela yang terbuka. Perhatian pemuda itu yang berlebihan terhadap dirinya, membuat Sari Asih termenung. Ia memang kagum dengan kegagahan dan kesopanan sikap Sasmita. Ditambah lagi, pemuda itu bukan orang lemah. Bahkan mungkin masih berada di aras kepandaiannya sendiri.

Sari Asih sadar bahwa pemuda seperti Sasmita sangat jarang ditemuinya. Diam-diam, ia mulai membayangkan andaikata pemuda itu menyukainya. Bagaimana ia harus bersikap? Karena ia sendiri pun tidak dapat menipu dirinya sendiri yang mulai merasa kagum dan suka kepada pemuda itu. Bahkan ada rasa damai dan aman berada di sisi pemuda itu.

Sari Asih tidak bisa memastikan apakah ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu atau hanya suka sebagai seorang kawan baik. Dara cantik itu belum berani memastikan. Menurutnya, hal itu masih terlalu pagi. Selain itu, Sari Asih belum tahu banyak tentang Sasmita, ia memutuskan untuk melihat bagaimana kelanjutan sikap pemuda itu. Dan ingin mengetahui mengapa pemuda itu selalu membuntutinya sejak dari Desa Angkeran. Meskipun ia sudah dapat meraba, tapi Sari Asih belum tahu pasti.

Sari Asih yang tengah termenung itu langsung bergerak bangkit ketika telinganya menangkap suara gerakan orang di luar. Cepat ia melesat ke pintu. Senyumnya mengembang ketika melihat Sasmita datang dengan membawa dua ekor ayam hutan di tangan kanannya.

"Lihat, Asih! Rupanya nasib kita memang sedang beruntung. Dua ekor ayam hutan ini cukup gemuk. Rasanya cukup untuk kita berdua," seru Sasmita seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Wajah pemuda itu berseri gembira. Nada suaranya pun terdengar sangat akrab, membuat senyum di bibir Sari Asih semakin lebar.

Tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih langsung menghampiri Sasmita, dan mengambil dua ekor ayam hutan di tangan pemuda tampan itu. Sedangkan Sasmita sendiri bagai mendapatkan sebuah karunia yang tiada taranya ketika melihat senyum manis di bibir gadis yang telah menawan hatinya itu.

"Hm..., kau sudah susah mencarinya. Sekarang biarlah aku yang memasakkannya untuk kita berdua. Tolong buatkan api untuk memanggang ayam ini..," ujar Sari Asih sambil melangkah menuju pondok.

Dara cantik manis itu sama sekali tidak memperhatikan betapa Sasmita seperti orang tolol. Pemuda itu bagaikan terkena sihir! Ia benar-benar terpesona dengan senyum manis yang diberikan Sari Asih. Kesadaran baru kembali mengisi pikiran pemuda itu ketika bayangan tubuh Sari Asih telah lenyap di balik pintu. Sasmita menggeleng berkali-kali sambil berdecak tak habis-habisnya. Kali ini hatinya benar-benar telah terpikat oleh kecantikan dan senyum manis Sari Asih.

"Ya,Tuhan. Makhluk yang kau ciptakan ini benar-benar tiada cacatnya. Rasanya aku mudah sekali jatuh cinta terhadap seorang dara seperti dia. ," gumam Sasmita sambil menatapi daun pintu pondok yang telah tertutup itu.

Teringat akan pesan Sari Asih, pemuda itu segera melangkah ke samping pondok, ia sepertinya sudah cukup hafal dengan kebiasaan para pemburu yang selalu menyiapkan kayu bakar di samping pondok. Harapan Sasmita memang tidak sia-sia. Ia melihat ada setumpuk kecil kayu bakar sisa para pemburu yang pernah melewatkan malam di pondok itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera mengumpulkan kayu bakar. Lalu, dibuatnya sebuah api unggun yang cukup besar, tidak sulit memang bagi seorang ahli silat untuk membuat api. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Sasmita membuat api guna menyalakan kayu-kayu bakar itu dengan api unggun. Sebentar saja terlihat lidah api menjilat-jilat kian kemari, dan sesekali menari tertiup angin.

Tidak berapa lama kemudian, muncul Sari Asih membawa ayam hutan yang bulunya sudah dibuang, dan diberi bumbu penyedap. Rupanya dara cantik manis itu telah merebus kedua ekor ayam itu, yang terlihat masih mengepulkan asap tipis, dan berwarna kekuningan.

"Ah, kau ternyata pandai memasak. Asih. Baru setengah matang, harumnya sudah membuat cacing-cacing di perutku memberontak...," puji Sasmita sambil menggerak-gerakkan hidungnya persis seperti kucing mencium ikan asin.

Tingkah pemuda itu membuat Sari Asih terkekeh lirih. Sehingga menampakkan rongga mulutnya yang kemerahan serta giginya yang putih laksana untaian mutiara. Dan, untuk kesekian kalinya, Sasmita merasakan dadanya berdebar menyaksikan pemandangan itu.

"Eh, kau kenapa, Sasmita...?" tegur Sari Asih yang menghentikan tawanya ketika melihat pemuda gagah itu tampak terbengong-bengong dengan mulut terbuka.

"Eh, oh..., tidak.... Tidak apa-apa...," sahut Sasmita yang menyadari ketololannya. Segera saja ia memperbaiki sikapnya.

Sari Asih yang sempat menangkap getar-getar asmara pada sepasang mara pemuda itu, berpura-pura bodoh. Dara cantik manis itu langsung saja duduk di samping Sasmita, dengan tangan kanan masih memegang ayam hutan yang siap dibakar.

"Biar aku saja yang mengerjakannya...," pinta Sasmita untuk menghilangkan kekakuan sikapnya.

Sari Asih tidak menolak, ia menyerahkan kedua ekor ayam hutan itu kepada Sasmita yang sudah mengangsurkan tangannya. Setelah itu, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Mereka seperti terhanyut dalam alam pikirannya masing-masing. Sasmita sendiri sampai tidak sadar kalau ayam yang dibakarnya telah gosong sebagian. Maka, meledaklah tawa kedua orang muda itu ketika mencium bau hangus yang menusuk hidung mereka.

"Ah, untunglah belum seluruhnya terbakar hangus...," ujar Sasmita seraya menatap Sari Asih penuh penyesalan.

Gadis cantik itu sendiri hanya tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa. Sari Asih langsung saja mengambil dan mencicipinya pada bagian yang tidak hangus. Sasmita meniru perbuatan dara cantik itu. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendapat kenyataan bahwa ayam bakar itu ternyata sangat gurih dan nikmat. Sari Asih sendiri hanya tersenyum melihat anggukan kepala pemuda itu.

Sebentar saja, suasasana menjadi hening. Baik Sasmita maupun Sari Asih sama-sama menikmati makanan itu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya dada mereka yang bergemuruh setiap kali bertemu pandang.

EMPAT

"Kemana tujuanmu sekarang, Asih...?" tanya Sasmita saat keduanya melangkah meninggalkan hutan pagi itu.

Tampaknya mereka sudah semakin akrab, meskipun belum lama saling mengenal. Hal itu dikarenakan keduanya merasa cocok, dan memiliki banyak persamaan.

"Hm..., sudah hampir satu tahun aku bertualang. Rasanya aku sudah rindu kepada ayahku. Jadi..., aku berniat hendak menjenguk beliau...," sahut Sari Asih tanpa mengalihkan tatapan matanya yang tertuju lurus kedepan.

"Ah, kebetulan sekali kalau begitu...," ujar Sasmita sambil menatap wajah cantik di sebelahnya. "Aku ingin sekali berkenalan dengan orangtuamu. Tentu saja kalau kau tidak keberatan. "

"Jangan, Sasmita. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa setelah bertemu ayahku. Ibuku sendiri sudah lama meninggal.," sahut Sari Asih seolah merasa khawatir kalau Sasmita tidak suka bergaul dengannya lagi setelah mengenal siapa ayahnya. Itulah sebabnya Sari Asih berusaha menolak permintaan sahabat barunya itu.

"Asih,... Aku tidak peduli siapa ayahmu, atau bagaimanapun buruknya sikap beliau. Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk merasa takut aku tidak menyukai orangtuamu...," Sasmita tetap bersikeras hendak mengenal orangtua Sari Asih.

Gadis cantik itu hanya bisa menghela napas panjang. Setelah mengenal Sasmita, ia sadar kalau pemuda itu memiliki kemauan yang keras. Buktinya pemuda itu terap saja membuntutinya walaupun sudah diberi peringatan keras.

"Terserah kaulah. Satu hal yang perlu kau ketahui. Ayahku selalu berbicara apa adanya. Bahkan tidak jarang ia menghina seseorang di depan orang itu sendiri. Kalau suka, ia langsung mengatakannya. Demikian juga sebaliknya. Jadi, penolakanku tadi bukan karena aku tidak suka kau berkenalan dengan ayahku, tapi, aku takut kalau kau tersinggung karena ucapan-ucapan ayahku yang kurang berkenan dihatimu," ujar Sari Asih mengingatkan sifat orangtuanya kepada Sasmita.

Sasmita mengangguk-angguk memaklumi penolakan dara cantik itu. "Kau tidak usah khawatir, Asih. Aku sudah hampir satu tahun lebih melakukan petualangan. Dan aku sering menjumpai orang-orang yang mempunyai sifat aneh. Jadi, rasanya aku tidak akan terkejut bila berjumpa dengan orangtuamu. Apalagi kau telah berbaik hati memberitahukannya," ujar Sasmita yang sepertinya terap ingin bertemu orangtua Sari Asih.

Ucapan itu membuat Sari Asih berpaling dan menatap mata sahabatnya lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menilai kebenaran ucapan Sasmita melalui sepasang mata yang merupakan jendela hati itu.

"Terserah kaulah...," desah Sari Asih ketika ia melihat sinar kejujuran dan kesungguhan di mata sahabatnya itu.

"Terima kasih, Asih. ," ujar Sasmita gembira. Pemuda itu langsung memegang kedua bahu Sari Asih.

Sehingga, dara cantik itu terlihat agak kaget, dan melangkah mundur dua tindak. Seolah-olah ia merasakan sesuatu yang aneh dari sentuhan tangan pemuda itu dibahunya.

Sasmita sendiri langsung menarik kedua tangannya dari bahu Sari Asih. Ia pun merasakan adanya getaran yang terasa nikmat menjalari kedua lengannya saat menyentuh bahu dara cantik itu. Kejadian itu membuat keduanya seperti terkena sihir. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri saling berpandangan tanpa tahu harus bersikap bagaimana.

"Maaf, Asih. Aku..., benar-benar gembira sekali mendengar jawabanmu...," ujar Sasmita yang lebih dulu dapat menguasai keadaan. Sasmita langsung saja minta maaf, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa permintaan maafnya itu. Tapi, paling tidak ucapannya telah membuat kekakuan di antara mereka kembali lenyap.

"Kau ini aneh, Sasmita. Aku sama sekali tidak melihat kesalahanmu, mengapa kau minta maaf?" tegur Sari Asih seraya melangkah menyusuri jalan berbatu.

"Yah..., untuk apa saja yang kau anggap salah ," sahut Sasmita sekenanya. Karena ia sendiri pun tidak tahu untuk apa ucapan maafnya tadi. Sari Asih sendiri sama sekali tidak menuduh perbuatan pemuda itu merupakan suatu kesalahan. Sesaat kemudian keduanya tertawa karena merasa aneh dan lucu dengan tingkah mereka berdua tadi.

Kali ini mereka tidak lagi banyak berbicara. Dan, untuk mempercepat perjalanan, mereka mulai menggunakan ilmu lari masing-masing. Sasmita yang sadar bahwa sahabatnya seperti hendak menguji ilmu larinya, sengaja tidak mengerahkan seluruh kekuatannya. Ia hanya menjajari langkah Sari Asih, takut kalau-kalau dara cantik itu tersinggung bila ia mendahuluinya.

Sementara Sari Asih sendiri menyadari kelebihan pemuda tampan yang menarik hatinya itu. Ia melihat Sasmita selalu saja berada di sebelahnya, tanpa kelihatan lelah. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu larinya, sampai-sampai butir-butir keringat menghiasi keningnya. Napasnya pun agak memburu. Tetapi, napas pemuda itu sama sekali tidak terlihat memburu. Bahkan wajah tampannya tetap tenang dihiasi senyum gembira. Tentu saja semua kenyataan itu membuat Sari Asih semakin kagum.

Setelah setengah harian lebih melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat, keduanya tiba di kaki Gunung Buntar. Kini mereka berlari menuju sebelah Barat kaki gunung itu.

"Ayah..., aku pulang...!" seru Sari Asih ketika mereka tiba di dekat sebuah pondok kayu sederhana, tempat tinggal orangtua Sari Asih.

Seorang lelaki berwajah brewok berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar, ia mengembangkan sepasang lengannya menyambut tubuh Sari Asih yang sudah langsung memeluk tubuh lelaki gemuk itu erat-erat.

"Asih, Anakku...," desah lelaki brewok itu seraya menciumi rambut putrinya.

Untuk beberapa saat lamanya, mereka seperti melupakan kehadiran Sasmita yang berdiri penuh haru menatap pertemuan ayah dan anak itu. Sekilas terlintas keinginannya untuk menemui kedua orangtuanya di Bukit Harimau Putih.

"Eh?! Siapakah pemuda gagah yang datang bersamamu itu, Asih? Dari mana dia berasal? Siapa gurunya, dan siapa pula orangtuanya?" lelaki gemuk berwajah brewok itu memberondongkan pertanyaan kepada putrinya, sambil merenggangkan pelukannya ketika sepasang matanya menangkap sosok Sasmita yang tersenyum dan mengangguk penuh hormat.

"Ah, aku sampai terlupa...!" seru Sari Asih sambil melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Dara cantik manis itu langsung menyeret lengan Sasmita dan dibawanya ke hadapan ayahnya.

"Ayah, pemuda ini sahabatku. Ia bernama Sasmita. Mengenai pertanyaan-pertanyaan Ayah, biarlah ia sendiri yang menjawabnya. Silakan, Sasmita. Inilah orangtuaku...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kegembiraan. Sepertinya dara cantik itu memang sangat bahagia sekali.

"Paman, aku bernama Sasmita. Sedangkan guruku adalah ayahku sendiri yang dikenal berjuluk Pendekar Macan Sakti. Maaf kalau kedatanganku telah mengganggu pertemuan antara keluarga...," dengan membungkuk hormat Sasmita menjawab pertanyaan-pertanyaan lelaki gemuk brewok itu. Suaranya mantap dan tegas, meskipun tidak menghilangkan kesan hormatnya kepada ayah Sari Asih.

"Ha ha ha...! Putra Pendekar Macan Sakti datang bersama putriku? Benar-benar luar biasa sekali!" ujar lelaki brewok itu seraya tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui siapa pemuda gagah yang datang bersama putrinya. "Hei, Anak Muda. Kau pasti suka terhadap putriku yang cantik manis itu, bukan? Aku senang..., aku senang. Ha ha ha...! Calon menantuku benar-benar tidak mengecewakan! Hai, Pendekar Macan Sakti, aku suka berbesan denganmu...!" Setelah berkata demikian, lelaki gemuk berwajah brewok itu menari-nari kegirangan.

"Ayah...!" Sari Asih yang sama sekali tidak menduga kalau ayahnya sampai berkata demikian, menjadi merah wajahnya. Dara cantik itu merasa malu sekali mendengar ucapan ayahnya yang langsung menjodohkan ia dengan Sasmita. Bukan karena ia merasa tidak suka terhadap pemuda gagah itu. Tapi, ia sendiri belum mengetahui isi hati Sasmita. Hal itulah yang membuat Sari Asih terisak, dan langsung berlari meninggalkan tempat itu.

"Ha ha ha...! Kejarlah, Sasmita! Ayo, kejar calon istrimu itu. Bujuk dia, dan bawa kemari! Kau pasti suka kepadanya, bukan? Kalau tidak, kau akan kubunuh karena telah berani datang bersama putriku...!" ujar lelaki brewok itu kepada Sasmita yang terkejut melihat Sari Asih berlari meninggalkan tempat itu. Ia maklum akan perasaan Sari Asih. Karena ia sendiri merasa jengah mendengar ucapan lelaki brewok itu yang seolah-olah menelanjangi dirinya.

Sasmita tertegun sesaat. Setelah itu, ia melesat mengejar Sari Asih yang lenyap di balik timbunan pepohonan. Pemuda itu melihat dara cantik yang menarik hatinya itu tengah menangis. Gadis itu duduk di sebuah batu besar seraya menundukkan kepalanya. Perlahan Sasmita melangkah mendekati sambil berusaha menekan langkah kakinya agar tidak mengganggu dara cantik itu. Kemudian, ia duduk di sebelah dara cantik itu tanpa bersuara.

"Asih..., aku maklum kau tentu merasa malu dengan ucapan ayahmu. Biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk menyampaikan perasaan hatiku yang mungkin telah dapat kau duga. Ucapan ayahmu sama sekali tidak salah, Asih. Aku memang mencintaimu. Aku suka kepadamu, dan ingin sekali berdekatan. Itulah sebabnya mengapa aku selalu membuntutimu, meski telah kau beri peringatan keras. Kuharap pengakuanku ini bisa mengurangi beban yang saat ini menekan hatimu...," perlahan sekali kata-kata itu meluncur dari bibir Sasmita.

Meskipun demikian, Sari Asih dapat menangkapnya dengan jelas. Kemudian, dara cantik itu memutar tubuhnya, dan menatap wajah Sasmita dengan mata basah. "Benarkah itu, Sasmita...? Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku? Kau sadar akan perbedaan kita yang sangat jauh. Aku adalah seorang putri tokoh sesat. Sedangkan kau adalah putri seorang pendekar besar. Perbedaan itu sangat sulit untuk ditembus. Kau sadar itu, Sasmita...?" ujar Sari Asih sambil menatap wajah Sasmita.

"Asih.... Setelah kau tahu isi hatiku, apakah kau mau menyambutnya dengan tangan terbuka. Ucapkanlah pengakuanmu sebelum aku menjawab semua rasa penasaran di hatimu, Asih...," pinta Sasmita dengan suara berdesah perlahan.

Sepasang mata Sasmita menghunjam tepat di bola mata bening milik gadis cantik itu. Dan, Sari Asih tahu betapa sepasang mata pemuda itu memancarkan kasih sayang yang tulus. Sari Asih merasa hatinya segar bagaikan pohon yang disirami air bening. Perlahan bibir yang merah basah itu merangkai senyum penuh kebahagiaan.

"Aku suka kepadamu. Sasmita. Aku kagum dan..., rasanya tidak bisa kupungkiri lagi kalau aku juga mencintaimu..., Kakang...," ucap Sari Asih tanpa malu-malu, seraya membalas tatapan mata Sasmita dengan pancaran kasih yang tulus.

"Asih..., demi kau, demi kebahagiaan kita, halangan apa pun akan kuhadapi. Aku tidak peduli siapa, atau dari mana kau berasal. Yang jelas, aku mencintaimu apa adanya. Bukan keluargamu, dan bukan pula hartamu. Aku menginginkan kau, Asih...," tanpa keraguan lagi, Sasmita memegang kedua bahu dara cantik yang selama ini dicintainya secara diam-diam itu. Kemudian mendekapnya dengan lembut. Dikecupnya bibir merah menantang itu dengan segenap perasaan kasih di hatinya. Sebentar saja kedua insan muda itu terlelap dalam buaian dewi asmara.

LIMA

"Ha ha ha...!" lelaki gemuk brewok yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Setan Gunung Buntar itu tertawa bergelak menyambut kedatangan Sasmita dan putrinya yang bergandengan tangan. Jelas sekali tokoh sesat ini sangat gembira melihat pasangan yang menurutnya sangat cocok dan serasi itu. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian, dan sama-sama cantik dan tampan.

"Kalian benar-benar pasangan yang serasi! Aku merasa sangat gembira, dan merestui hubungan kalian. Untuk itu, kau boleh bawa calon istrimu itu ke Bukit Harimau Putih guna meminta restu dari orang-tuamu, Sasmita. Pergilah sekarang juga agar pernikahan kalian bisa dipercepat...," ujar Setan Gunung Buntar sambil menghampiri Sasmita dan Sari Asih.

"Terima kasih, Paman. Aku pun telah mengatakan hal itu kepada Sari Asih. Kami mohon pamit, dan kami akan kembali selekasnya untuk mengabarkan kepada Paman...," ujar Sasmita yang rupanya memang hendak menghadap ayah dan ibunya di Bukit Harimau Putih. Hal itu telah dibicarkan bersama Sari Asih sebelum mereka menemui Setan Gunung Buntar. Meskipun ada sedikit kekhawatiran mengenai tanggapan ayah dan ibunya, namun Sasmita telah bertekad untuk mempersunting Sari Asih, dara yang telah membuatnya mabuk kepayang itu.

"Bagus..., bagus.... Pergilah, dan cepat-cepat kembali untuk segera merayakan pernikahan kalian. Katakan kepada orangtuamu agar pernikahan dilangsungkan di Bukit Harimau Putih. Ha ha ha...!" ujar Setan Gunung Buntar lagi yang kembali tergelak penuh kegembiraan. Lelaki brewok itu sama sekali tidak pernah bermimpi kalau ia akan berbesan dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Macan Sakti itu. Jelas, pernikahan putrinya akan membuat geger rimba persilatan.

Setelah berpamitan kepada ayah kekasihnya, berangkatlah Sasmita bersama Sari Asih ke tempat kediaman orangtuanya. Sebagai orang-orang persilatan yang telah terbiasa melakukan perantauan, tentu saja mereka tidak merasa terlalu lelah, meskipun belum lama tiba di kaki Gunung Buntar itu. Sepasang insan yang berbahagia itu bergerak meninggalkan tempat itu diiringi gelak tawa Setan Gunung Buntar, yang memang hatinya sangat gembira sekali.

Letak Bukit Harimau Putih dengan Gunung Buntar memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih berada di wilayah Selatan. Untuk mencapai Bukit Harimau Putih dari tempat tinggal Sari Asih hanya memerlukan waktu satu hari lebih, bila ditempuh dengan menunggang kuda. Sedangkan bagi orang-orang persilatan yang memiliki kepandaian tinggi seperti Sari Asih dan Sasmita, hanya memerlukan waktu setengah hari. Hal itu disebabkan, selain mereka menggunakan ilmu lari cepat, juga mampu melakukan perjalanan tanpa mengurangi kecepatan berlari, saat mendaki dan menerobos semak belukar.

Setelah menginap di sebuah desa untuk melewatkan malam, pagi-pagi sekali Sasmita dan Sari Asih meninggalkan penginapan untuk menuju Bukit Harimau Putih. Dan, saat matahari sudah mulai menyinari permukaan bumi, keduanya telah tiba di depan sebuah bangunan besar yang di sekelilingnya dipagari kayu bulat.

"Inikah tampat tinggal orangtuamu, Kakang...?" tanya Sari Asih dengan suara lirih.

Sepertinya dara cantik itu merasa tegang untuk berhadapan dengan orangtua Sasmita yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar itu. Sasmita menyadari ketegangan hati kekasihnya Pemuda itu menggenggam erat jemari Sari Asih seolah-olah ingin memberikan ketabahan di hati dara cantik itu. Padahal, Sasmita sendiri merasakan ketegangan yang sama. Hanya saja ia berusaha menyembunyikannya agar Sari Asih tidak terpengaruh.

"Tenanglah, Asih. Apa pun akan kita hadapi bersama untuk meraih kebahagiaan kita...," hibur Sasmita menekan ketegangan di hatinya agar suaranya terdengar tenang. Kemudian, pemuda itu membawa kekasihnya melewati pintu gerbang yang hanya dijaga oleh seorang pembantu rumah besar itu.

Pendekar Macan Sakti tidak mempunyai banyak murid, karena memang ia tidak menginginkannya. Meskipun demikian, para pembantunya telah dibekali ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga rumah besar itu.b Lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang membukakan pintu gerbang untuk majikan mudanya itu mengangguk hormat kepada Sasmita dan Sari Asih.

"Rupanya Tuan Muda sudah kembali...," sapa lelaki gagah itu dengan senyum lebar.

"Hm..., apakah ayah dan ibuku ada di dalam, Paman...?" tanya Sasmita setelah berbasa-basi sesaat Kemudian, Sasmita kembali melangkah sambil tetap menggenggam tangan Sari Aaih ketika penjaga itu memberitahukan bahwa ayah dan ibunya ada di taman belakang.

"Ayah.... Ibu...," panggil Sasmita ketika ia telah tiba di taman belakang, dan melihat sosok ayah dan ibunya tengah duduk menikmati belaian angin yang bersilir lembut.

"Sasmita...!" lelaki gagah dan wanita cantik berusia lima puluh tahun dan tiga puluh delapan tahun itu tersentak kaget ketika melihat putranya telah berdiri beberapa langkah di dekat mereka. Karena sudah satu tahun lebih Sasmita merantau, kerinduan kedua orang tua itu telah menutupi kesadarannya bahwa putra mereka datang bersama seorang gadis berpakaian biru muda yang cantik dan manis.

Nyi Sekar Galung, ibu Sasmita langsung saja memeluk tubuh putra tunggalnya itu dengan penuh kerinduan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang kelihatan masih cantik itu sama sekali tidak memperhatikan kehadiran Sari Asih. Lain halnya dengan Pendekar Macan Sakti yang berdiri dengan kening berkerut menatap sosok Sari Asih. Lelaki tinggi gagah itu hanya mengangguk sedikit ketika dara cantik itu tersenyum dan mengangguk hormat kepadanya.

"Sasmita...," panggil Pendekar Macan Sakti dengan suaranya yang berat dan berpengaruh. Sehingga ibu dan anak yang saling berpelukan itu menoleh ke arah asal suara.

"Ayah...," Sasmita langsung melangkah mendekati ayahnya.

Namun, langkah pemuda itu tertunda ketika melihat tatapan ayahnya yang tertuju ke arah Sari Asih. Segera saja Sasmita membawa dara cantik pilihan hatinya itu kepada orangtuanya.

"Asih, inilah kedua orangtuaku. Ayah, Ibu, gadis ini bernama Sari Asih. Ia sangat gagah dan berbudi luhur. Aku mencintainya, Ayah, Ibu...," ujar Sasmita memperkenalkan Sari Asih kepada kedua orangtuanya. Kemudian ia menanti jawaban dari mulut kedua orangtuanya.

"Hm..., orang-orang muda sekarang terlalu cepat mengambil keputusan. Baru kenal sebentar, sudah melakukan perjalanan bersama-sama. Apa maksudmu membawa dia kemari. Sasmita? Apakah kau sudah mengenal keluarganya dengan baik...?" tegur Pendekar Macan Sakti yang memang bersikap keras dalam mendidik putra tunggalnya itu.

Hati Sasmita menjadi tegang. Pemuda itu melirik ke ibunya, seolah-olah meminta bantuan. Sasmita kembali berpaling menatap ayahnya setelah melihat anggukan kepala ibunya.

"Kami saling mencinta. Ayah. Dan, kami berniat hendak melanjutkan ke pernikahan. Orangtua Sari Asih sudah merestui hubungan kami," jawab Sasmita tanpa menyebutkan nama ataupun julukan orangtua kekasihnya. Jelas pemuda itu kelihatan ragu-ragu untuk memberitahukan perihal orangtua Sari Asih.

"Hm..., bagus kalau kau telah mengenal orangtuanya. Sebutkan julukannya, mungkin aku kenal dengan orangtua gadis temanmu itu," ujar Pendekar Macan Sakti dengan suara keras.

"Mmm.... Ia..., putri tunggal Setan Gunung Buntar, Ayah," jawab Sasmita memberanikan diri seraya menggenggam erat jemari tangan kekasihnya.

"Putri tunggal Setan Gunung Buntar? Apa maksudmu, Sasmita? Kau hendak mencoreng nama ayah dengan mengambil gadis putri tokoh sesat itu sebagai istrimu? Gila! Bocah gila!" bentak Pendekar Macan Sakti dengan suara menggelegar. Sehingga, baik Sasmita maupun Sari Asih tergetar mundur dengan wajah pucat.

"Tapi..., Sari Asih sama sekali tidak mempunyai sifat jahat, Ayah. Bahkan ia selalu bertindak seperti seorang pendekar wanita yang selalu membela kaum lemah. Itulah sebabnya aku memilih Sari Asih sebagai teman hidupku kelak. Harap Ayah dan Ibu dapat lebih bijaksana dalam menilai seseorang. Tidak semua keturunan seorang tokoh sesat mengikuti jejak orangtuanya. Demikian pula dengan para pendekar beraliran putih, yang bisa saja memiliki putra ataupun putri berhati jahat seperti seorang tokoh sesat...," Sasmita membantah ucapan ayahnya, dan membela Sari Asih yang wajahnya memerah akibat ucapan lelaki gagah itu. Kalau saja orang tua itu bukan ayah dari kekasihnya, rasanya Sari Asih akan menerjangnya dan bertarung mati- matian.

"Jangan menasihatiku, Sasmita. Aku dan ibumu lebih tahu bagaimana memilihkan jodoh yang tepat untukmu! Dan kau, Gadis Muda. Sebaiknya pergilah, cari pemuda lain yang sebanding denganmu," ujar Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas tidak merestui anaknya berhubungan dengan seorang putri tokoh sesat. Kalau hal itu sampai terjadi, ia merasa malu terhadap sahabat-sahabatnya yang sudah pasti akan mentertawakannya.

"Baiklah, Tuan pendekar besar yang berhati bersih seperti malaikat. Aku memang keturunan orang jahat yang tidak pantas menjadi pendamping putramu. Sekarang aku pergi. Dan, jangan salahkan aku kalau sampai jatuh cinta dengan putramu. Sebab, cinta adalah karunia Tuhan, dan bukan kekuasaan manusia...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata yang mulai basah. "Kakang, aku pergi. Semoga kau mendapatkan seorang gadis baik-baik yang melebihiku..."

Setelah berkata demikian, Sari Asih langsung berbalik meninggalkan tempat itu. Entah ke mana tujuannya. Yang pasti, hatinya kini telah hancur akibat ulah orangtua Sasmita yang menganggap dirinya bersih dan berhati seperti malaikat.

"Asih, tunggu...!" seru Sasmita yang melihat gadis itu berbalik dan melesat pergi. Namun, Sari Asih tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari ke luar.

"Sasmita...!" Pendekar Macan Sakti berseru memanggil putranya. Sehingga pemuda gagah itu terpaksa menunda gerakannya, dan berbalik menatap kedua orangtuanya.

"Ayah dan Ibu ternyata sangat kejam. Sari Asih tentu merasa sakit hati dengan ucapan Ayah tadi. Kasihan dia, Ayah. Ia seorang gadis yang baik dan gagah...," ujar Sasmita dengan suara parau. Wajah pemuda itu tampak pucat dengan sepasang mata yang meredup bagaikan kehilangan semangat hidup.

"Sasmita. Kau boleh cari gadis mana pun asalkan bukan dari golongan sesat. Dan, kalau kau tetap menghendakinya, pergilah! Tapi, kami tidak sudi mengakuimu sebagai putra kami lagi! Jangan bawa-bawa nama kami dalam setiap tindakanmu!" tegas Pendekar Macan Sakti seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk rumah. Nampaknya keputusan lelaki gagah itu sudah tidak bisa dirubah lagi.

"Sasmita...," panggil Nyi Segar Galung seraya menyentuh bahu putranya. "Kau jangan membikin malu keluarga kita. Banyak gadis-gadis pendekar yang cantik dan gagah melebihi putri tokoh sesat itu. Lupakanlah gadis itu, ia tidak pantas untuk menjadi istrimu. Kau lihat saja sifatnya yang liar dan berani melawan ayahmu" Nyi Segar Galung membujuk putranya dengan suara yang lemah lembut. Meskipun demikian, tetap saja wanita cantik itu merendahkan Sari Asih. Sehingga, Sasmita semakin bertambah kecewa.

"Ibu, cinta tidak bisa dipaksakan. Dan, aku telah mencintainya. Aku tidak akan bisa melupakan Sari Asih. ," desis Sasmita. Tapi, ia sama sekali tak menolak ketika wanita cantik itu membimbingnya masuk.

"Kau harus bisa melupakannya, Anakku. Ibu akan mencarikan pengganti yang lebih baik bagimu. Percayalah. ," ujar Nyi Segar Galung membujuk putranya agar melupakan putri tokoh sesat itu.

"Tidak mungkin, Ibu..., tidak mungkin aku bisa melupakannya," desah Sasmita sambil menggeleng- gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.

Hati Sasmita terasa nyeri bila teringat betapa hancur hati Sari Asih ketika mendengar kata-kata ayahnya yang bernada menghina dan merendahkan tokoh sesat. Tapi, pemuda itu pun tidak ingin membuat kedua orangtuanya menjadi murka dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai anak. Sasmita benar-benar bingung, dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

*******************

ENAM

Sari Asih terus berlari dengan wajah bersimbah air mata. Hati dara cantik itu itu benar-benar merasa remuk. Kalau saja hinaan-hinaan itu datangnya bukan dari orangtua Sasmita, mungkin ia akan mengadu nyawa dengan orang itu. Tapi, teringat betapa orang tua itu adalah ayah kandung kekasihnya, Sari Asih tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa takut yang semula mencemaskan hatinya, benar-benar menjadi kenyataan. Teringat akan nasib buruknya, tangis Sari Asih semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon besar.

"Kakang...," desis dara cantik itu seraya menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya. Butir-butir air bening mengalir dari celah-celah jemari lentik gadis bernasib malang itu.

"He he he!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh yang membuat Sari Asih mengangkat kepalanya dan menatap kesekelilingnya. Kedukaan yang dalam membuat kewaspadaannya berkurang. Sehingga, tahu-tahu saja ia telah dikepung oleh delapan orang lelaki berpakaian serba hitam.

"Keparat-keparat Gunung Lawa! Untuk apa kalian mengangguku! Pergilah sebelum kesabaranku hilang dan membasmi kalian semua!" geram Sari Asih menumpahkan kekesalan serta kekecewaan hatinya kepada delapan orang laki-laki berseragam hitam, yang tidak lain adalah tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.

"He he he! Perempuan liar ini benar-benar sombong sekali, ia harus diberi pelajaran agar lain kali bisa bersikap lebih sopan terhadap orangtua sepertiaku.," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun. Kepalanya yang gundul tampak berkilat tertimpa cahaya matahari. Kumis dan jenggotnya yang telah memutih terlihat menghias wajahnya. Menilik dari ucapan dan sikapnya, lelaki ini adalah pimpinan orang-orang berpakaian serba hitam itu.

"Keparat! Rupanya kalian masih saja merasa penasaran dan menaruh dendam kepadaku! Baiklah. Hari ini juga kita selesaikan persoalan ini...!" Sari Asih yang merasa benar-benar marah itu segera menghunus pedangnya. Seketika, seberkas sinar putih berkelebat menyilaukan mata.

Swing!

Dengan menyilangkan senjatanya di depan dada, Sari Asih siap menghadapi pertarungan. Sepasang matanya yang masih merah karena terlalu banyak menangis itu menyorot tajam dan bengis. Terlihat pancaran nafsu membunuh pada sepasang mata dara cantik itu.

"He he he...! Bagus..., ingin kulihat bagaimana permainanmu, dan siapa sebenarnya orang yang telah mendidikmu. Marilah kita bermain-main sebentar, Perempuan Liar...," ujar lelaki botak itu terkekeh penuh ejekan.

Pada saat itu seorang lelaki kurus yang dikenali Sari Asih sebagai orang yang pernah menebarkan racun kepadanya, tampak mendekat dan berbisik kepada lelaki botak bersenjata tongkat itu.

"Hm..., jangan khawatir. Aku hanya ingin bermain-main sebentar, tanpa harus membunuhnya...," ujar lelaki berkepala botak itu dengan lagak sombong. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak mengingatkan pimpinannya untuk menawan gadis muda itu hidup-hidup.

"Sambut pedangku...!" Sari Asih berteriak tidak sabar. Langsung dia maju menerjang sambil memutar pedangnya. Terdengar angin berkesiutan saat pedang di tangan dara cantik itu berubah menjadi gulungan sinar putih yang melindungi sekujur tubuhnya.

Trang! Trang!

"Uhhh...?!" Sari Asih mengeluh tertahan ketika lawannya memapaki tusukan pedangnya dengan tongkat. Benturan keras itu membuat tubuhnya terdorong balik. Tentu saja Sari Asih menjadi terkejut bukan main ketika merasakan kekuatan tenaga dalam lawan.

"He he he...! Mengapa berhenti, Gadis Cantik...? Apakah kau ingin agar aku yang menyerangmu kali ini...?" ejek lelaki botak yang ternyata memiliki tenaga dalam yang amat kuat dan berada di atas kekuatan Sari Asih. Setelah berkata demikian, lelaki botak itu langsung merangsek maju dengan putaran tongkat kayu hitam di tangannya.

Whuttt! Whuttt..!

Kali ini Sari Asih tidak mau lagi bertindak ceroboh. Dara cantik manis itu bergerak menghindar seraya membalas dengan sabetan pedangnya yang mengaung tajam. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru. Merasakan jurus-jurus lawannya benar-benar hebat, Sari Asih mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi permainan lawan. Sayang, meskipun dara cantik itu telah menggunakan seluruh kekuatan serta kelincahannya, tetap saja ia dapat didesak oleh lawannya.

Serangan-serangan tongkat hitam lawan benar-benar sulit untuk ditebak. Bahkan, beberapa kali nyaris tubuh dara cantik itu menjadi sasaran senjata lawan. Untunglah Sari Asih masih sempat melindungi tubuhnya dengan putaran pedang, meskipun setiap kali menangkis ia merasakan lengannya nyeri. Namun, dara cantik itu tetap gigih dalam melakukan perlawanan.

"Haiiit..!" Untuk kesekian kalinya, lelaki botak itu berseru sambil mengayunkan tongkatnya, dan diputar mengincar tubuh lawan. Terdengar suara mengaung tajam saat senjata itu meluncur ke arah tubuh Sari Asih.

"Hiahhh...!" Sari Asih membentak sambil menyabetkan senjatanya dengan menarik mundur kaki kanannya.

Trang...!

Untuk kesekian kalinya, tubuh dara cantik itu kembali tergetar mundur ketika menangkis hantaman tongkat lawan. Bahkan, kali ini ia hampir terpelanting saking kerasnya daya luncur tongkat hitam lawannya.

"Hm..., pantas saja ilmu kepandaianmu sangat tinggi. Rupanya kau memiliki hubungan dengan Setan Gunung Buntar. Apakah kau murid tunggal tokoh itu...?" ujar lelaki botak itu yang rupanya sudah bisa mengenali dasar-dasar serta jurus-jurus yang digunakan Sari Asih. Kemampuan lelaki berkepala botak itu melihat jurus lawan, jelas mencerminkan kalau ia bukanlah seorang tokoh sembarangan. Lagi pula, ia tidak merasa gentar sedikit pun ketika menyebutkan julukan ayah Sari Asih.

"Aku adalah putrinya! Dan, kalau sampai ayahku tahu tentang perbuatan kalian ini, rasanya beliau pasti akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua...!" gertak Sari Asih yang kali ini terpaksa menggunakan nama ayahnya. Karena selain lawannya yang berkepala botak itu berkepandaian tinggi, di tempat itu masih pula terdapat tujuh orang lainnya yang mungkin saja memiliki kepandaian tinggi, kecuali lelaki tinggi kurus yang pernah bentrok dengannya.

Lelaki kurus itu hanya berbahaya karena memiliki keahlian dalam menggunakan racun. Sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih berada di bawah Sari Asih. Pandang mata Sari Asih kembali ke sosok lelaki botak bersenjata tongkat hitam yang menjadi lawanya. Kakinya melangkah perlahan ketika melihat lawannya telah kembali bersiap untuk menerjangnya.

"He he he...! Jadi kau adalah putri Setan Gunung Buntar? Bagus. Kalau begitu aku akan menahanmu agar ayahmu datang sendiri untuk mengambilmu dari tangan kami...," ujar lelaki tua berkepala botak itu yang rupanya tidak gentar sama sekali, meskipun Sari Asih telah menyebutkan nama ayahnya.

Hal ini membuktikan kepandaian lelaki botak itu jelas tidak berada di bawah tingkat kepandaian ayahnya. Menyadari hal itu, Sari Asih memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan. Namun, sebelum pertarungan kembali berlanjut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang mengejutkan semua orang di tempat itu.

"Hm..., sungguh tidak adil kalau seorang gadis muda harus menghadapi keroyokan banyak lelaki gagah..."

Suara perlahan itu terdengar sangat jelas, bahkan sanggup membuat dada orang-orang yang berada di tempat itu berdebar. Jelas si pengirim suara itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur!

"Keparat! Siapa berani main-main dengan Ganjalu si Tongkat Iblis! Tunjukkan rupamu kalau memang kau seorang jantan...!" lelaki berkepala botak yang mengaku bernama Ganjalu itu berseru keras sambil mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga suaranya bergema ke empat penjuru.

Jelas, lelaki botak yang berjuluk Tongkat Iblis itu hendak menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, yang memang sangat tinggi itu. Sambil berteriak demikian, Ganjalu mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Karena ia sama sekali tidak bisa menebak dari mana suara teguran itu berasal.

Suasana pun semakin bertambah tegang ketika dari kegelapan bayang-bayang pepohonan di sebelah kanan Ganjalu, muncul dua sosok tubuh yang melangkah tenang mendatangi arena pertarungan itu.

"Hm.... Bagaimana, Tongkat Iblis? Apakah kau sudah puas setelah melihat rupaku...?" tegur sosok tubuh pertama, yakni seorang pemuda tampan mengenakan jubah panjang berwarna putih.

Wajah pemuda itu tampak tenang tanpa ada sorot kegentaran. Sehingga, Ganjalu dan kawan-kawannya segera bergabung. Sedangkan di sebelah kiri pemuda tampan itu tampak seorang gadis berparas jelita berjalan perlahan. Gadis yang sekujur tubuhnya terbungkus pakaian berwarna hijau itu benar-benar cantik sekali. Tak ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit. Ganjalu dan ketujuh orang kawannya terpesona dengan kecantikan gadis berpakaian serba hijau itu.

"Kau..., siapakah, Anak Muda? Rasanya, kami orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa tidak mempunyai urusan denganmu...?" tanya Ganjalu seraya meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu. Ia tampak merasa tegang. Pertanyaannya pun bernada ingin meminta kepastian tentang siapa sesungguhnya pemuda itu.

"Hm..., apalah arti sebuah nama, Ki Ganjalu? Di antara kita memang tidak ada permasalahan secara langsung, tapi secara tidak langsung kau telah memulai masalah itu. Sebab, aku paling tidak suka dengan ketidakadilan...," jawab pemuda tampan itu tegas dan menimbulkan perbawa kuat. Bahkan sorot matanya tampak mencorong tajam laksana mata seekor naga dikegelapan!

"Anak muda! Jawablah dengan jujur. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Ganjalu lagi yang kali ini langsung menebak jari diri pemuda itu Sebab, tidak banyak pemuda tampan yang ciri-cirinya seperti Pendekar Naga Putih. Dan, sebagai orang persilatan, ia pun telah lama mendengar nama pendekar besar itu. Itulah sebabnya mengapa Ki Ganjalu segera menduga kalau pemuda yang berani menegurnya itu sebagai Pendekar Naga Putih.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Kakinya tampak masih melangkah mendekati ke arah delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu. "Baiklah, Ki Ganjalu. Kalau kau memang merasa penasaran, akan kujawab pertaanyaanmu. Apa yang kau duga, betul sekali. Aku memang Pendekar Naga Putih. Nah, kuharap kau mau meninggalkan tempat ini, dan persoalan habis sampai di sini...," ujar pemuda berjubah putih yang tidak lain adalah Panji. Langkahnya terhenti dalam jarak setengah tombak dari Ki Ganjalu dan kawan-kawannya. Mereka tampak berang mendengar ucapan pemuda tampan itu.

"Hm..., Pendekar Naga Putih! Rupanya kau hendak menggertak kami dengan kebesaran namamu! Tapi, jangan harap kami akan gentar! Orang-orang Perguruan Gunung Lawa pantang menyerah!" ujar Ki Ganjalu geram sambil memutar tongkat hitamnya, siap untuk bertarung.

Panji hanya tersenyum melihat Ki Ganjalu yang siap untuk bertempur. Bahkan ketika tujuh orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang lainnya mulai bergerak menyebar, pemuda itu pun belum membuat gerakan.

"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang...," pinta dara jelita berpakaian hijau yang tak lain adalah Kenanga, kekasih Panji. Sambil berkata demikian, kaki dara jelita itu melangkah maju, siap menghadapi delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang hendak mengeroyok kekasihnya.

"Tahan, Kenanga. Biar aku saja yang menghadapi mereka...," cegah Panji yang mengetahui kalau kedelapan lelaki berseragam hitam itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

Pendekar Naga Putih bukan tidak percaya dengan kemampuan kekasihnya. Tapi, ia khawatir kalau-kalau Kenanga akan menurunkan jurus maut dalam menghadapi keroyokan. Hal itulah yang membuat Panji mencegah keinginan kekasihnya. Sebab, untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa itu, sulit sekali untuk tidak menurunkan jurus maut. Kekhawatiran akan nasib orang-orang Perguruan Gunung Lawa itulah yang membuat Panji tidak mengabulkan permintaan Kenanga.

Dan, dara itu itu pun tahu jalan pikiran kekasihnya. Kenanga sama sekali tidak membantah. Pedang Sinar Bulan yang semula hampir terlolos dari pinggangnya, kembali dilibatkan. Dara jelita itu pun melangkah mundur membiarkan kekasihnya menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.

Sari Asih terlihat berdiri di tepi arena. Gadis berparas cantik manis itu sempat terkejut ketika mengetahui pemuda yang menolongnya ternyata seorang pendekar besar yang sangat terkenal dan ditakuti. Nama Panji bukan hal yang asing di telinga Sari Asih. Ayahnya sendiri seringkali mengungkapkan kekaguman dan kegentarannya terhadap pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Diam-diam dara cantik itu merasa beruntung dapat berjumpa dengan pendekar besar yang sangat terkenal itu. Sebab, ayahnya sendiri belum pernah berjumpa dengan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu.

Sepasang mata bening Sari Asih bergerak mengikuti langkah kaki pemuda tampan berjubah putih itu, yang telah bersiap untuk menghadapi pertarungan. Pancaran kekaguman semakin terlihat jelas dari sorot matanya, ia melihat pemuda itu sangat gagah dan kokoh kuda-kudanya. Sari Asih pun rasanya tak keberatan dengan julukan yang diberikan kepada pemuda itu. Sebab, sosok pemuda tampan berjubah putih itu persis laksana seekor naga yang gagah perkasa!

"Mungkinkah ia akan mempergunakan ilmu-ilmu mukjizatnya yang terkenal itu untuk menghadapi lawan-lawannya? Hm..., ingin kulihat dengan mata kepala sendiri ilmu pendekar muda itu yang kabarnya sangat jarang menemui tandingan...," gumam Sari Asih yang rupanya telah mendengar tentang ilmu-ilmu mukjizat yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Hatinya berdebar agak tegang ketika membayangkan ilmu-ilmu langka yang kemungkinan akan disaksikannya.

Sementara saat itu Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa. Menyadari lawan-lawannya cukup berbahaya, Panji mempersiapkan kuda-kuda yang kokoh dan terlihat sangat kuat Pemuda itu menanti lawan memulai serangan

"Heaaat..!"

Ganjalu berteriak nyaring membuka serangan. Tubuhnya yang gemuk itu melesat seperti terbang dengan disertai putaran tongkatnya, yang menimbulkan deruan angin tajam. Panji sendiri sama sekali belum bergerak. Pemuda itu menanti hingga serangan lawan tiba.

Bettt...!

Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ke kanan menghindari sambaran tongkat lawan. Kemudian memutar langkahnya setengah lingkaran ketika dari sebelah kanannya datang sambaran pedang yang berdesing tajam.

"Hait...!"

Plak! Plak!

Dua buah sambaran pedang itu langsung dipapaki dengan telapak tangan. Akibatnya kedua orang pengeroyok itu terpelanting karena kuatnya tangkisan Pendekar Naga Putih. Panji sendiri tidak mau berusaha untuk mengejar. Sebab, pada saat itu para pengeroyok yang lainnya sudah menerjang dengan serangan-serangan maut. Bahkan, Panji mencium adanya racun-racun ganas yang mengiringi serangan-serangan para pengeroyoknya.

"Hm..., manusia-manusia keji...," desis Panji. Pendekar Naga Putih geram setelah mengetahui lawan-lawannya menggunakan racun-racun ganas dalam menyerang. Hal itu memang tidak terlalu mengejutkan, karena Panji telah lama mendengar bahwa Perguruan Gunung Lawa banyak mempunyai ahli-ahli racun. Itulah sebabnya perguruan itu dianggap sebagai kaum golongan sesat. Karena kaum golongan putih sendiri sangat menentang penggunaan racun dalam pertempuran.

Setelah mengetahui keganasan racun-racun yang dipergunakan lawannya, Panji mulai mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang segera saja menyelimuti sekujur tubuhnya. Sehingga, racun-racun yang digunakan lawan tidak bisa menembus benteng pertahanan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih.

Sadar bahwa para pengeroyoknya adalah orang-orang yang berbahaya dan berhati kejam, Panji segera mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Hawa dingin mulai berhembus menghantam balik hawa beracun yang memenuhi arena pertempuran. Bahkan, Panji kini mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawan-lawannya.

"Hait..!"

Si Tongkat Iblis dan kawan-kawannya benar-benar terkejut ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat laksana bayangan hantu! Jangankan untuk melukai tubuhnya, menyentuh jubah pemuda itu pun tak mampu mereka lakukan. Setiap kali senjata mereka berkelebat, selalu saja menghantam angin kosong. Sebab, tubuh pemuda itu telah berkelebat lenyap di antara sambaran-sambaran senjata lawan.

"Uhhh...?!"

Dua orang pengeroyok yang rupanya memiliki tenaga dalam paling rendah, mulai mengeluh kedinginan. Serbuan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka membuat gerakan menjadi kaku, dan tidak lagi segesit semula. Sehingga, kedua orang itu tak mampu lagi untuk menghindari tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih.

Plak! Bukkk!

"Aaakh...!"

"Hugkh...!"

Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terlempar ke belakang, dan jatuh dengan tubuh menggigil laksana orang terserang demam. Sebentar saja kedua orang itu telah menggeletak pingsan. Mereka tak sanggup mengusir hawa dingin yang menyiksanya.

"Bangsat..!" Tongkat Iblis yang menjadi pimpinan kawan-kawannya itu menjadi geram bukan main.

Meskipun demikian, ia tidak mampu berbuat banyak. Jangankan untuk menekan lawan, untuk melindungi dirinya sendiri saja ia sudah kewalahan. Tokoh berkepala gundul itu hanya bisa menggertakkan gigi, ketika melihat dua orang kawannya kembali terlempar keluar dari arena pertarungan. Kini ia hanya tinggal berempat dengan tiga orang kawannya yang masih dapat bertahan dari tekanan Pendekar Naga Putih.

"Yeaaa...!"

Kemarahan dan rasa penasaran memenuhi dadanya, membuat Ki Ganjalu menjadi nekat. Tongkat hitam di tangannya diputar sedemikian rupa dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Seketika terdengarlah suara mengaung tajam, yang timbul dari bulatan sinar hitam akibat putaran tongkat Ki Ganjalu.

Panji menggeser ke kanan dengan lompatan pendek ketika tongkat hitam lawan mengancam tubuhnya. Kemudian la langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah iga lawannya. Gerakan yang cepat laksana sambaran kilat itu, tak sempat lagi dielakkan Ki Ganjalu. Sehingga...

Desss. !

"Huakhhh!" Darah segar langsung menyembur dari mulut Ki Ganjalu. Tubuh gemuk itu sendiri terlempar sejauh satu setengah tombak. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh tua berkepala botak itu pun tidak mengetahui lagi keadaan sekelilingnya. Ki Ganjalu pingsan dengan luka dalam yang cukup parah.

Melihat pimpinannya telah menggeletak pingsan, tiga orang tokoh lainnya berloncatan mundur dengan wajah pucat. Panji tidak berusaha mengejar. Pemuda tampan itu hanya berdiri tegak menatapi ketiga orang lawannya yang sepertinya sudah kehilangan keberanian untuk melanjutkan pertarungan.

Untuk beberapa saat lamanya suasana menjadi hening. Ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa itu mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari jalan untuk lolos. Panji yang dapat menebak gelagat itu, melangkah maju beberapa tindak. Sehingga membuat ketiga lawannya surut ke belakang. Jelas mereka merasa gentar dengan Pendekar Naga Putih.

"Kisanak...," ujar Panji seraya menatap wajah ketiga orang lawannya. "Aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa. Untuk itu, kalian bawalah kawan-kawan kalian yang terluka, dan segera tinggalkan tempat ini. Sampaikan kepada Ketua Perguruan Gunung Lawa agar tidak memperpanjang urusan ini"

Ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kelihatan sangat terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Panji akan melepaskan mereka begitu saja. Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, sepertinya belum yakin akan ucapan yang barusan mereka dengar dari mulut pemuda tampan itu.

"Hm..., apa lagi yang kalian tunggu? Kakang Panji sudah bermurah hati kepada kalian, mengapa tidak segera meninggalkan tempat ini...?" ucap Kenanga, yang sudah melangkah maju dan berdiri di samping kekasihnya. Sepasang mata dara jelita itu tampak berkilat, menyiratkan ancaman. Sehingga, ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kembali menatap Pendekar Naga Putih, seolah-olah mereka hendak meminta kepastian.

"Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka...," ucap Panji melenyapkan keraguan di hati ketiga orangitu. Dan tanpa banyak cakap, ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa bergegas meninggalkan tempat itu de- ngan membawa kawan-kawan mereka yang tertuka.

"Husy..., husy...!"

Sari Asih yang sejak tadi memendam kejengkelannya kepada orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa, mengejek dengan mengusir ketiga orang itu seperti mengusir ayam. Sehingga, ketiga orang itu semakin mempercepat larinya. Gadis cantik itu tertawa geli penuh kepuasan. Pandangannya baru beralih kepada Panji, setelah bayangan orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu lenyap dari pandangannya.

"Pendekar Naga Putih, aku Sari Asih mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Aku telah lama mendengar nama besarmu. Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang pendekar besar yang telah menggegerkan rimba persilatan. Aku benar-benar kagum dan hormat kepadamu...," ucap Sari Asih seraya membungkuk hormat. Kemudian, kembali kepalanya diangkat dan matanya meneliti wajah pemuda tampan yang telah menolongnya itu.

"Nisanak jangan terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan barusan, juga dilakukan tokoh-tokoh persilatan golongan putih lainnya yang berjiwa pendekar. Jadi, kau tidak perlu merasa telah berhutang budi kepadaku...," ujar Panji seraya tersenyum. Pendekar Naga Putih juga merasa kagum dengan gadis muda yang gagah dan berani itu.

"Benar apa yang dikatakan Kakang Panji, Sari Asih," timpal Kenanga yang rupanya tertarik dengan dara cantik manis itu. "Kalau aku boleh tahu, mengapa kau sampai bentrok dengan mereka?"

"Ah, hanya kesalahpahaman saja. Senang sekali dapat berjumpa dan berkenalan dengan kalian. Sayang aku harus segera pergi...," pamit Sari Asih yang sepertinya tidak ingin melibatkan orang lain dalam persoalannya. Karena, menurutnya memang tidak perlu. Sebab, ia sendiri sama sekali tidak merasakan bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah berkata demikian, Sari Asih membalikkan tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat itu.

Panji dan Kenanga hanya bisa menatap kepergian dara cantik itu dengan helaan napas perlahan. Keduanya memaklumi mengapa dara cantik itu tidak mengungkapkan masalahnya. Mereka tahu masalah yang dihadapi gadis itu merupakan persoalan ptibadi. Hanya saja mereka harus lebih berhati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa masih merasa penasaran dan mendendam atas kejadian tadi. Setelah bayangan Sari Asih lenyap dari pandangan, pasangan pendekar muda itu segera bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.

********************

TUJUH

Dua sosok bayangan itu bergerak cepat melintasi padang rumput yang cukup luas. Menilik dari cara mereka berlari, jelas kedua sosok bayangan itu merupakan orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi. Bahkan kaki-kaki mereka seperti udak pernah menyentuh permukaan tanah. Tentu sosok itu memiliki ilmu lari cepat yang sukar diukur.

Tidak berapa lama kemudian, mereka pun mulai menyeberangi sungai kecil yang melintang memotong jalan menuju kaki Gunung Buntar. Jelas, tujuan mereka adalah Gunung Buntar, yang menjulang tinggi ke angkasa itu. Setelah menyeberangi sungai, kedua sosok bayangan itu terus bergerak menuju ke sebelah Barat kaki Gunung Buntar. Langkah keduanya agak diperlambat, ketika di sebelah depan mereka samar-samar terlihat sebuah pondok sederhana dikelilingi pepohonan rindang.

"Setan Gunung Buntar! Tunjukkan rupamu, aku ingin berjumpa denganmu...!" sosok pertama yang ternyata adalah seorang lelaki gagah berusia separuh baya itu, berteriak mengguntur. Menilik dari raut wajahnya yang gelap, mudah diketahui kalau lelaki gagah itu tengah memendam kemarahan.

Sedangkan sosok kedua adalah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh delapan tahun. Wajah cantik itu pun tampak tidak sedap untuk dipandang. Kulit wajahnya yang kemerahan, pertanda bahwa wanita cantik itu tengah memendam rasa penasaran dan kemarahan yang siap meledak.

"Ah, rupanya Pendekar Macan Sakti dan istrinya yang datang berkunjung. Silakan..., silakan...," seorang lelaki yang juga berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk dan berwajah brewok muncul dengan wajah cerah menyambut kedatangan kedua tamu itu. Namun, wajah cerah itu terlihat berubah ketika menyaksikan sikap serta raut wajah kedua tamunya itu tampak berang.

"Hm..., kau jangan berpura-pura bodoh, Setan Gunung Buntar! Aku datang untuk menjemput putraku, yang telah kau guna-gunai agar tertarik dengan putrimu yang liar dan jahat itu! Kembalikan putraku, dan jangan coba-coba main gila denganku...!" geram lelaki gagah yang ternyata adalah Pendekar Macan Sakti dengan sepasang mata tajam. Jelas kedatangan kedua tokoh sakti itu bukanlah berniat baik.

"Apa maksudmu, Pendekar Macan Sakti? Kau jangan sembarangan menuduhku! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan itu! Bukankah putriku tengah pergi ke Bukit Harimau Putih bersama putramu yang tergila-gila ingin mempersunting putriku? Mengapa, kau langsung menuduhku yang bukan-bukan? Aku tidak bisa terima penghinaan ini...!" ujar Setan Gunung Buntar yang menjadi marah ketika mendengar tuduhan Pendekar Macan Sakti. Meskipun ia sadar lelaki gagah itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia sama sekali tidak gentar.

"Bedebah! Kau memang perlu diajar adat...!" wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Sekar Galung tak bisa lagi memendam kemarahannya, ia langsung saja melesat dengan tamparan mautnya.

"Hei, tunggu...!" Setan Gunung Buntar berusaha untuk mencegah pertarungan. Lelaki brewok itu menggeser tubuhnya dengan lompatan ke samping. Sehingga, serangan Nyi Sekar Galung mengenai angin kosong.

Namun, wanita cantik itu sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya. Serangannya kembali terlontar. Bahkan kali ini jauh lebih hebat dan berbahaya dari serangan semula.

Whuttt! Plak! Plak!

Dua buah tamparan keras yang dikirimkan Nyi Sekar Galung dipapaki oleh Setan Gunung Buntar. Keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Jelas dalam pertemuan tenaga pertama itu mereka masih terlihat berimbang.

"Pendekar Macan Sakti! Rupanya kaulah yang hendak main gila denganku! Putriku belum lagi kembali, kau sudah menuduh yang bukan-bukan! Jelas kau hendak memutarbalikkan kenyataan. Kau sengaja melemparkan fitnah, agar perbuatanmu yang mungkin telah mencelakakan putriku tidak diketahui orang. Hm..., kau benar-benar seorang pendekar sombong yang berhati keji...!" umpat Setan Gunung Buntar yang jelas-jelas marah dengan tuduhan itu. Usai berkata demikian, lelaki brewok itu menghunus sebilah golok besar yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, memutarnya sedemikian rupa, sehingga menimbulkan deruan angin tajam.

"Hm.., kau mundurlah, Istriku. Biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran kepadanya...!" ujar Pendekar Macan Sakti yang memang tidak menyukai orang-orang golongan sesat.

Pendekar Macan Sakti menganggap golongan sesat tak ubahnya gundukan sampah yang mengotori bumi. Itulah sebabnya, mengapa lelaki gagah itu tidak merestui hubungan putranya dengan putri Setan Gunung Buntar. Selain bisa membuat nama besarnya cacat, ia pun mempunyai cita-cita untuk menjodohkan putranya dengan gadis dari kalangan pendekar.

Memang tak mengherankan kalau Pendekar Macan Sakti sangat berang ketika Sasmita meninggalkan rumah, setelah ia mengusir putri tokoh sesat itu. Maka, ia langsung saja mendatangi Setan Gunung Buntar yang mungkin saja telah bersepakat dengan putrinya untuk menculik dan,mengajak pergi Sasmita. Dan, keterangan seorang tokoh sesat seperti Setan Gunung Buntar, jelas tidak bisa dipercaya lagi. Untuk itu ia harus memaksanya dengan kekerasan.

Nyi Sekar Galung yang sebenarnya merasa penasaran dengan lelaki brewok itu, terpaksa melangkah mundur. Wanita cantik itu tidak ingin membantah ucapan suaminya. Karena ia sadar akan kekerasan hati lelaki yang dicintainya itu. Sekali mengatakan tidak sulit sekali untuk merubahnya. Maka, Nyi Sekar Galung pun melangkah mundur, dan menyerahkan persoalan itu kepada suaminya.

"Hm..., kau pasti menyembunyikan mereka karena ingin mendapatkan mantu seorang pemuda gagah seperti putraku itu. Aku akan memaksamu untuk menyerahkan kembali putraku itu...!" ujar Pendekar Macan Sakti yang segera bersiap untuk menggempur Setan Gunung Buntar.

"Hmhhh...!" Setan Gunung Buntar menggeram marah. Golok besar di tangan kanan tokoh sesat itu kembali berputar, dan menyilang di depan dada. Sadar kalau yang dihadapinya adalah seorang tokoh tingkat atas, Setan Gunung Buntar mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi lawan.

"Sambut seranganku...!" Pendekar Macan Sakti mengingatkan lawannya seraya menerjang maju dengan menggunakan tangan kosong. Meskipun demikian, sambaran angin pukulannya sangat berbahaya, dan tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam. Sehingga, Setan Gunung Buntar yang menyadari hal itu segera memutar golok besarnya untuk menyambut serangan lawan.

"Yeaaah...!" Dibarengi sebuah pekikan parau, tubuh lelaki brewok itu bergerak menyambut serangan lawan. Golok besar mengaung bagaikan ratusan lebah yang marah.

Bettt…!

Tebasan sisi telapak tangan Pendekar Macan Sakti yang menimbulkan angin berciutan, dielakkan lawannya dengan membungkukkan tubuh sambil memutar langkah, dan langsung membalas tebasan senjatanya.

Plakkk!

Rupanya Pendekar Macan Sakti tidak ingin berlama-lama. Maka, ketika tebasan golok besar lawannya datang, lelaki gagah itu langsung memapak dengan telapak tangannya. Akibatnya, tubuh Setan Gunung Buntar terdorong mundur dan hampir terpelanting. Kalau saja tokoh itu tidak segera melemparkan tubuhnya ke belakang, dan berjumpalitan ke udara.

"Gila...?!" umpat Setan Gunung Buntar yang merasakan lengan kanannya ngilu. Namun, lelaki gemuk berwajah brewok itu tidak sempat berpikir lebih lama. Karena saat itu lawannya telah kembali menyerbu dengan serangan-serangan yang lebih berbahaya.

Pertarungan pun kembali berlanjut dengan sengit Setan Gunung Buntar benar-benar harus menguras seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, meskipun golok besarnya mengaung dan berkelebatan kian kemari dengan kecepatan menggetarkan, tetap saja lawannya sanggup menekan dengan jurus- jurus berbahaya. Sehingga, Setan Gunung Buntar semakin kelabakan dibuatnya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa kedua tokoh itu telah bertarung selama empat puluh jurus lebih. Dan selama itu, Setan Gunung Buntar harus mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran sepasang tangan Pendekar Macan Sakti yang telah menggunakan ilmu andalannya untuk melawan tokoh sesat itu.

"Yeaaah...!"

Setan Gunung Buntar yang semakin merasakan beratnya tekanan lawan, mengibaskan golok besarnya secara ngawur. Sebab, permainan ilmu silat lawan benar-benar hebat dan sukar untuk diduga ke mana arah sasarannya. Jadi, tidaklah aneh kalau tokoh berwajah brewok itu berkali-kali menerima hajaran lawannya.

Desss...!

"Hugkh...!" Tubuh lelaki brewok itu terpental kebelakang, ketika sebuah tendangan keras telak menghajar perutnya yang gendut. Dan darah segar pun mengalir dari mulutnya. Meskipun demikian, tokoh sesat itu cepat bergerak bangkit, dan kembali melakukan perlawanan mati-matian.

Namun, Pendekar Macan Sakti benar-benar ingin segera menghabisi lawannya. Terbukti ia sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada Setan Gunung Buntar untuk dapat menarik napas lega. Serangan-serangannya kembali datang bertubi-tubi menghujani tokoh sesat itu.

"Heaaah...!"

Setan Gunung Buntar melompat pendek ke belakang seraya mengibaskan goloknya untuk melindungi tubuh dari cengkeraman maut lawan. Tapi, serangan itu dengan mudah dipatahkan oleh Pendekar Macan Sakti melalui sebuah tendangan kilat, dan tepat mengenai siku lawannya. Belum lagi rasa sakit yang menyengat sikunya sempat lenyap, tahu-tahu sebuah sambaran cakar kiri lawan telah merobek tubuhnya.

Brettt!

"Aaakh...!"

Sambaran cakar yang cepat dan kuat itu membuat Setan Gunung Buntar meraung keras. Untuk kesekian kalinya, tubuh tokoh sesat itu kembali terlempar sejauh satu tombak lebih. Darah segar mengalir dari luka memanjang akibat cakaran lawan. Dan, selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Macan Sakti langsung melompat dengan sebuah tendangan geledek!

Desss!

"Aaa...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Setan Gunung Buntar terpental keras. Tubuh gemuk itu terus menghantam sebatang pohon besar, sebelum jatuh ke atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh sesat itu pun tewas! Karena isi perutnya hancur akibat tendangan maut lawannya.

Dengan langkah perlahan dan penuh kewaspadaan, Pendekar Macan Sakti mendekati tubuh lawannya. Lelaki setengah baya itu menarik napas lega ketika melihat lawannya telah menghembuskan napas yang terakhir.

"Kakang, kita harus segera menemukan Sasmita. Mungkin manusia jahat itu telah menyembunyikannya di sekitar tempat ini...," ujar Nyi Sekar Galung mengajak suaminya untuk segera mencari putra mereka, setelah memastikan Setan Gunung Buntartewas.

Pendekar Macan Sakti hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, pasangan suami istri itu bergegas mencari putra mereka di sekitar tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Tapi, bukan main kecewanya hati mereka karena tidak menemukan Sasmita. Setelah mencari dan menjelajahi sekitar tempat itu, Sasmita masih belum ditemukan, keduanya pun menjadi bingung dan geram. Terutama Nyi Sekar Galung yang memang sangat mencintai putra tunggalnya itu.

"Hm..., mungkin Setan Gunung Buntar telah menyuruh putrinya membawa pergi Sasmita dari tempat ini. Tapi, kita harus mencarinya sampai dapat...," gumam Pendekar Macan Sakti sambil mengajak istrinya untuk mencari Sasmita dan Sari Asih. Kedua pendekar sakti itu bergegas meninggalkan Gunung Buntar untuk mencari jejak putra mereka.

Tidak berapa lama setelah kepergian Pendekar Macan Sakti dan istrinya, tampak sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Sepasang mata sosok tubuh ramping yang ternyata adalah Sari Asih itu tampak liar ketika menyaksikan adanya bekas-bekas pertarungan yang hebat. Tentu saja hal itu membuat hatinya gelisah.

"Ayah...!" Sari Asih berseru memanggil ayahnya sambil melangkah menuju pondok. Hari dara cantik itu kian tegang, ketika tidak menemukan sosok ayahnya di dalam pondok. Cepat ia melesat keluar dan mencari-cari ayahnya.

Tiba di luar pondok. Sari Asih mengamati bekas-bekas pertarungan itu. Sepasang matanya tampak terbelalak ketika melihat sesosok tubuh gemuk tergeletak di dekat pohon. Yang berada di samping kanan pondok sejarak enam tombak.

"Ayaaah...!" tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih yang mengenal sosok ayahnya, langsung menghambur dengan air mata bercucuran.

"Ayah..., oh Ayah. Apa yang sudah terjadi denganmu.,.? Siapa yang telah membunuhmu demikian kejam, Ayah ?" Sari Asih menangis pilu di atas tubuh ayahnya. Air mata gadis itu meluncur deras membasahi wajahnya yang pucat. Beberapa kali Sari Asih meng- guncang tubuh Setan Gunung Buntar, seolah-olah tidak yakin bahwa ayahnya telah tewas. Tangisnya kembali meledak ketika kesadarannya mengatakan bahwa ayahnya memang benar-benar telah tewas.

"Keparat keji...! Semua ini pastilah perbuatan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah tidak berhasil membunuhku, mereka mencari ayahku sebagai pelampiasan dendam mereka. Hm..., akan kucari pembunuh-pembunuh biadab itu! Akan kuhirup darah mereka satu persatu!" geram Sari Asih dengan wajah penuh dendam.

Sepasang matanya yang indah itu tampak berkilat menakutkan. Jelas ia tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Dengan wajah yang dibasahi air mata, dara cantik berwajah pucat itu menguburkan jenazah ayahnya. Kemudian, ia bergerak meninggalkan tempat itu, setelah mengucapkan janji di depan makam ayahnya.

Angin senja bersilir lembut mengiringi langkah kaki Sari Asih, yang meninggalkan kaki gunung Buntar dengan hati dipenuhi dendam membara. Luka hati akibat perjodohannya tidak disetujui orangtua kekasihnya, kini semakin parah. Hanya api dendam yang membuat Sari Asih bertahan untuk hidup. Dan, hanya satu tujuannya dalam menempuh kehidupan dunia yang dirasanya sangat kejam ini. Yaitu, membalas kematian ayahnya!

********************

"Nisanak..! Harap berhenti sebentar...!"

Terdengar seruan perlahan, namun cukup membuat langkah Sari Asih terhenti. Dara cantik manis yang tengah dirundung duka itu menoleh ke arah asal suara. Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang kakek berusia tujuh puluh tahun, menghampirinya dengan langkah tertatih-tatih.

"Kakek memanggilku...?" tanya Sari Asih menegasi. Karena ia memang tidak mengenal kakek yang memanggilnya itu.

"Betul, Cucuku…," sahut kakek itu tanpa menghentikan langkahnya yang dibantu sebatang tongkat. Sari Asih melangkah menghampiri karena merasa kasihan melihat kakek itu.

"Betulkah kau yang bernama Sari Asih, putri dari Setan Gunung Buntar ...?" tanya kakek itu lagi seperti hendak meyakinkan hatinya bahwa ia tidak salah mengenali orang.

"Betul, Kek. Dari mana kau mengetahui namaku serta julukan ayahku...?" tanya Sari Asih yang masih belum hilang rasa herannya. "Apakah Kakek hendak menjumpai ayahku...?"

"Tidak, Cucuku. Justru aku ingin berjumpa denganmu, Hhh..., cukup lama aku mencari-carimu. Beruntung sekali kita bisa berjumpa secara kebetulan di tempat ini. Aku adalah sahabat Sasmita, putra tunggal Pendekar Macan Sakti. Tuan Muda Sasmita menyuruhku untuk menjumpaimu, dan menemuinya di sebuah tempat yang cukup tersembunyi. Ah..., kasihan sekali Tuan Muda Sasmita. Entah siapa yang telah melukainya...," desah kakek itu setelah menerangkan siapa dia sebenarnya, dan untuk apa ia mencari Sari Asih.

"Kakang Sasmita...?! Di mana dia, Kek? Siapa yang telah melukainya? Parahkah luka-lukanya...?" tanya Sari Asih tanpa sadar memegang kedua bahu kakek itu. Dara cantik itu baru menyadari perbuatannya ketika melihat wajah kakek itu meringis kesakitan. Cepat- cepat Sari Asih meminta maaf dan melepaskan cekalan tangannya.

"Sabarlah, Cucuku. Aku tidak tahu pasti apakah lukanya parah atau tidak. Kalau kau ingin menemuinya, berjalanlah terus. Apabila kau telah menemukan gerombolan pohon bambu kuning, berbeloklah ke kanan. Di sana ada sebuah pondok tua. Nah, di dalam pondok itulah aku menyembunyikannya. Karena menurutnya, ia tengah dicari-cari oleh musuh yang berkepandaian tinggi...," jelas kakek itu sambil menghela napas panjang berulang-ulang. Tampak kakek itu sangat lelah sekali. Sehingga, ia langsung saja duduk di hamparan rumput tebal di bawah pohon rindang.

"Kalau begitu, cepat antarkan aku, Kek...," ajak Sari Asih yang tentu saja merasa cemas mendengar kekasihnya berada di tempat jauh dari kediaman orangtuanya, dan pula tengah menderita luka. Gadis itu langsung saja menduga kalau Sasmita pasti lari dari rumah untuk mencarinya. Entah apa yang dialami kekasihnya itu sampai terluka parah.

"Maafkan Kakek, Cucuku. Kakek rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Ikutilah petunjukku. Tuan Muda Sasmita memerlukan bantuanmu. Biarlah Kakek akan menyusul, setelah beristirahat nanti. Cepatlah kau pergi. Kakek khawatir orang-orang jahat yang melukainya akan datang ke tempat itu...," ujar kakek itu menolak ajakan Sari Asih karena lelah.

Sari Asih yang melihat kakek itu memang tengah kelelahan, segera saja mengucapkan terima kasih, dan melesat mengikuti petunjuk yang diberikan kakek itu kepadanya.

"Hhh..., orang-orang muda sekarang seperti hantu saja. Mereka dapat menghilang demikian cepat..," desah kakek itu yang melihat sosok Sari Asih tinggal bayang-bayang samar di kejauhan. Kemudian ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Sebentar saja, kakek itu telah tertidur dengan tubuh bersandar pada sebatang pohon.

Sari Asih terus berlari mengikuti petunjuk kakek bertongkat itu. Harinya cemas bukan main mengingat keadaan kekasihnya yang tengah terluka. Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan tempat yang dimaksud kakek itu. Keterangannya yang jelas, membuat Sari Asih segera dapat menemukan pondok tua yang dimaksud. Tanpa memeriksa keadaan di sekitarnya, Sari Asih langsung melompat ke dalam pondok. Dan, apa yang dikatakan kakek bertongkat butut itu memang benar. Di atas pembaringan tampak Sasmita tengah menggeletak lemah.

"Kakang Sasmita...!" panggil Sari Asih yang segera saja memeluk tubuh pemuda itu. Dara cantik itu sama sekali tidak peduli meskipun tubuh bagian atas pemuda itu telah basah oleh keringat. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika melihat betapa kulit wajah dan tubuh pemuda itu tampak kemerahan seperti udang rebus. Dengan bersimbah air mata, Sari Asih memeluk dan menciumi wajah Sasmita yang tampak tengah tak sadarkan diri itu.

"Kakang.... Ini aku, Sari Asih...!", kembali Sari Asih memanggil ketika mendengar keluhan dari mulut pemuda itu.

Beberapa saat kemudian, sepasang mata Sasmita membuka perlahan. Warna merah saga pada sepasang mata kekasihnya itu, membuat Sari Asih merasa semakincemas. "Kau..., Asih...!?" ucap Sasmita dengan suara bergetar.

Belum sempat Sari Asih mengangguk, pemuda itu langsung saja merangkul tubuh kekasihnya. Bahkan, dengan bernafsu, Sasmita menghujani gadis itu dengan ciuman-ciuman yang panas bagaikan hendak membakar tubuh Sari Asih. Berkali-kali bibir pemuda itu menyebut-nyebut nama Sari Asih dengan napas memburu. Sebagai seorang putri tokoh sesat, Sari Asih sadar kalau kekasihnya telah menderita keracunan hebat.

"Kakang.... Kau..., kenapa...?" tanya Sari Asih yang tidak menolak perbuatan pemuda itu, karena ia merasa terharu melihat keadaan kekasihnya. Bahkan, Sari Asih tidak juga menolak ketika Sasmita berbuat semakin jauh. Hal itu karena ia sadar bahwa hanya itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun yang mengeram di tubuh kekasihnya. Sehingga, Sari Asih pun pasrah, bahkan membalas cumbuan Sasmita dengan sepenuh cintanya. Sebentar saja, kedua insan itu telah terbuai dalam gelombang asmara yang menggebu-gebu.

********************

"Iiieee...!"

Suara lengkingan halus yang semakin lama kian meninggi itu membuat langkah dua sosok tubuh terhenti. Keduanya saling bertukar pandang sejenak. Kemudian, mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu yang ditumbuhi pepohonan besar.

"Suara apa itu, Kakang...?" tanya wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun itu kepada pria tinggi gagah di sebelah kanannya. Jelas tergambar keheranan besar pada wajah wanita cantik itu.

"Hm..., entahlah. Tapi, sepertinya suara itu sengaja diperdengarkan untuk kita...," sahut lelaki gagah berusia setengah baya itu seraya memutar pandang mencari asal suara, yang masih saja terdengar berkepanjangan.

Belum lagi wanita cantik itu sempat bertanya lagi, lelaki gagah yang sepertinya telah menemukan sumber suara, langsung saja bergerak ke Selatan.

"Ikuti aku...," ajaknya tanpa menunggu jawaban. Wanita cantik itu pun segera melesat mengikuti langkah lelaki gagah itu. Keduanya bergerak cepat dengan menggunakan ilmu larinya untuk mencari sumber suara lengkingan panjang itu.

"Kakang, lihat..!" wanita cantik itu tiba-tiba berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke satu arah, di mana ada sesosok bayangan putih berkelebat menjauhi mereka.

Tanpa banyak bicara lagi, lelaki gagah itu pun segera melesat mengejar dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun, meskipun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya, sosok bayangan putih itu tetap saja tidak bisa didekati. Bahkan mereka kehilangan jejak, setelah cukup jauh melakukan pengejaran.

"Gila! Kepandaian orang itu tinggi sekali. Entah ke mana lenyapnya dia...?" desis lelaki gagah itu dengan wajah membayangkan rasa penasaran. Keningnya tampak berkerut ketika pandang matanya menangkap sebuah pondok tua beberapa tombak di sebelah kanannya.

Cepat keduanya mendekati pondok, karena mengira bahwa sosok bayangan putih itu pasti bersembunyi di dalam. Lelaki gagah dan wanita cantik itu meringankan langkahnya ketika telah dekat dengan pondok.

"Kau tunggulah di sini...," ucap lelaki gagah itu kepada wanita cantik di sebelahnya. Dan sebelum wanita itu menjawab, lelaki gagah itu telah berkelebat menerjang pintu pondok.

"Hah...?! Anak keparat..!" maki lelaki gagah itu. Sebentar kemudian, tubuhnya kembali melesat ke luar. Rupanya yang ia temukan adalah dua sosok tubuh setengah telanjang yang terbaring di atas pembaringan.

"Ada apa, Kakang...?" tanya wanita cantik itu dengan wajah heran ketika melihat wajah lelaki gagah itu tampak merah padam. Jelas ia tengah dilanda kemurkaan hebat.

"Sasmita, keluar kau...!"

Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, lelaki tinggi, gagah itu berteriak dengan suara mengguntur! Jangankan orang lain, wanita cantik di sebelahnya pun sampai terlonjak kaget, dan hampir jatuh. Karena teriakan itu dikerahkan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi.

Wanita cantik yang tidak lain adalah Nyi Sekar Galung itu baru mengerti ketika melihat dua sosok tubuh muncul dari dalam pondok. Wajah keduanya tampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Jelas kalau keduanya merasa gentar melihat kemarahan lelaki gagah yang tak lain adalah Pendekar Macan Sakti.

"Bedebah! Perbuatan kalian benar-benar tidak bisa diampuni!" geram Pendekar Macan Sakti menggereng bagaikan singa luka. Sepasang matanya menyorot tajam, siap menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda yang tak lain dari Sasmita dan Sari Asih.

"Ayah..., aku..."

"Hm..., apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri sudah cukup! Kalian tidak perlu lagi membela diri! Tidak ada gunanya!" bentak Pendekar Macan Sakti tidak memberi kesempatan kepada Sasmita untuk membela diri. Dan begitu ucapannya selesai, tubuh lelaki gagah itu langsung melayang ke arah putranya yang dianggap telah menyeleweng dari kebenaran itu.

Plak!

"Ughhh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Sasmita langsung terpelanting akibat tamparan yang keras pada wajahnya. Darah segar langsung saja mengucur dari bibir pemuda itu.

"Kematian adalah hukuman yang paling baik bagimu...!" geram Pendekar Macan Sakti seraya menerjang dengan lebih ganas.

Plakkkk!

"Aaah...!" Sari Asih yang tidak sudi melihat kekasihnya tewas, segera menyambut serangan maut Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh dara cantik itu terpelanting dan terbanting jatuh dengan kerasnya.

Nyi Sekar Galung sendiri terpaku dengan wajah pucat, ia pun sadar apa yang telah dilakukan putranya itu. Mereka hanya berdua saja di dalam pondok itu, membuat Nyi Sekar Galung dapat menduga apa yang telah diperbuat kedua orang muda itu. Itulah sebabnya, mengapa ia tidak berusaha untuk mencegah suaminya yang memang berpendirian keras itu.

"Hmhhh...," Pendekar Macan Sakti menggereng murka ketika melihat Sari Asih berani memapaki serangannya. Pandangan laki-laki setengah baya itu kini beralih kepada Sari Asih. "Kau rupanya ingin segera menyusul ayahmu, Gadis Binal...!"

Sambil berkata demikian, Pendekar Macan Sakti langsung melesat menampar kepala Sari Asih. Dari sambaran angin yang bercuitan tajam, dapat ditebak kalau kepala dara cantik itu pasti akan hancur.

"Haitt...!"

Plarrr...!

Pada saat nyawa Sari Asih hampir putus, tiba-tiba melesat sesosok bayangan bersinar putih keperakan, yang langsung memapaki tamparan Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terpental balik. Meskipun begitu, Pendekar Macan Sakti segera dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan sebuah putaran manis, tubuh lelaki gagah itu meluncur turun.

"Pendekar Naga Putih...?!" Sari Asih yang langsung mengenali sosok penolongnya, berseru dengan wajah penuh harap. Jelas dara cantik manis itu melihat adanya harapan untuk selamat ketika mengetahui siapa orang yang menolongnya dari kematian itu.

"Kurang ajar...!" Nyi Sekar Galung rupanya merasa jengkel melihat serangan suaminya yang hendak melenyapkan Sari Asih ada yang menggagalkan. Cepat tubuh wanita cantik itu melesat dengan sepasang tangan berputaran menerjang Pendekar Naga Putih.

Tapi, yang menyambut serangan itu justru bukan Pendekar Naga Putih. Sebab, saat itu ada sesosok bayangan hijau yang bergerak menyambut serangan Nyi Sekar Galung. Dan....

Plak! Plak...!

Terdengar benturan keras mengiringi tubuh Nyi Sekar Galung yang terpental balik. Jelas tenaga dalam wanita cantik itu masih berada di bawah sosok bayangan hijau yang tak lain adalah Kenanga.

"Perempuan setan..!" maki Nyi Sekar Galung yang telah bersiap untuk menerjang kembali. Namun, niat itu diurungkannya ketika mendengar seruan suaminya.

"Sabarlah, Istriku...," ujar Pendekar Macan Sakti yang tengah menatap wajah pemuda tampan di depannya lekat-lekat.

Hati laki-laki setengah baya itu sempat terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Naga Putih. Dan, ia pun sudah pula merasakan adanya hawa dingin yang menyusup ke lengannya saat berbenturan dengan pemuda tampan berjubah putih itu. Karena yang dihadapinya kali ini adalah seorang pendekar besar yang banyak mengundang kekaguman orang, maka Pendekar Macan Sakti menekan kemarahannya.

"Maaf, kalau aku telah mencampuri urusan ini, Paman. Tapi, harap Paman bersabar, dan mau memecahkannya dengan kepala dingin. Apa pun persoalannya, rasanya tidak ada salahnya kalau kita mendengar pembelaan diri mereka ," ujar Panji seraya membungkuk hormat kepada lelaki gagah itu yang tentu saja sudah pernah didengar nama besarnya.

"Hm..., tahukah kau, Pendekar Naga Putih? Mereka berdua telah melakukan dosa besar, dan mencoreng mukaku," bantah Pendekar Macan Sakti sambil melemparkan pandang ke arah Sasmita dan Sari Asih yang tengah saling rangkul itu.

"Cobalah beri mereka kesempatan untuk menjelaskannya, Paman. Kalau memang setelah itu Paman anggap mereka tidak bisa diampuni, itu terserah Paman..." Panji masih mencoba untuk menyabarkan Pendekar Macan Sakti dan memberikan kesempatan kepada kedua insan muda itu untuk membela diri.

"Baiklah. Aku terima saranmu, Pendekar Naga Putih. Nah! Sekarang, siapa di antara kalian berdua yang akan menjelaskan perbuatan kalian...?" Pendekar Macan Sakti akhirnya mengalah, dan memberikan peluang kepada Sari Asih dan Sasmita untuk membela diri.

Sari Asih maju ke muka lebih dulu. Setelah memandang penuh rasa terima kasih kepada Pendekar Naga Putih, dara cantik itu menjelaskan persoalan dirinya, mulai dari bertemu dengan seorang kakek, sampai berjumpa Sasmita di pondok dalam keadaan keracunan.

"Hanya itulah yang dapat kujelaskan. Selebihnya, mungkin Kakang Sasmita dapat menjelaskan apa yang menyebabkan ia menderita keracunan...," Sari Asih mengakhiri keterangannya. Karena menganggap itulah yang ia ketahui.

"Ayah...," ucap Sasmita perlahan. "Setelah kepergian Asih, keesokan harinya aku pergi meninggalkan rumah dengan maksud untuk mencarinya. Tapi, di perjalanan aku berjumpa dengan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa, yang dipimpin langsung oleh ketuanya. Selain mengeroyok, mereka juga menggunakan racun untuk menawanku. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa lagi, sampai kemudian mendapatkan Asih yang tengah memelukku di dalam pondok. Rupanya mereka telah melolohkan racun terkutuk ke dalam tubuhku, dan memancing Asih untuk menemuiku. Dan, apa yang terjadi di antara kami berdua, memang merupakan jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun jahat itu. Kalau tidak, aku akan tetap dipengaruhi racun itu sampai kapan pun, kecuali dengan jalan yang telah kami lakukan. Untuk itu, harap Ayah dan Ibu bisa mengerti kesulitan kami..."

"Hm ," Pendekar Macan Sakti menggeram setelah mendengar penjelasan putranya dan Sari Asih.

Kini timbul penyesalan dalam diri Pendekar Macan Sakti yang telah berbuat gegabah membunuh Setan Gunung Buntar. Padahal, tokoh sesat itu sama sekali tidak bersalah. Dan, hampir saja ia berbuat kesalahan yang lebih parah dengan membunuh putranya, dan juga putri Setan Gunung Buntar. Diam-diam Pendekar Macan Sakti sangat berterima kasih sekali kepada Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, entah bagaimana ia dapat memaafkan dirinya dengan kesalahan-kesalahan yang demikian beratitu.

"Kalau begitu, sebaiknya kita meminta pertanggungjawaban dari orang-orang Perguruan Gunung Lawa," usul Panji setelah mendengar semua penjelasan itu. Yang lainnya langsung mengangguk setuju.Sebab, mereka pun memang mempunyai pikiran yang sama dengan Panji.

DELAPAN

"Iieee...!"

Baru saja Panji dan yang lainnya hendak bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi menusuk telinga, yang membuat Pendekar Macan Saka dan istrinya terkejut.

"Bedebah! Baru aku mengerti sekarang! Lengkingan itu rupanya sengaja membawa kami ke tempat ini, agar aku dan istriku menemukan Sasmita dan Sari Asih di tempat ini...!" geram Pendekar Macan Sakti. Lelaki setengah baya ini baru menyadari bahwa dirinya dipancing datang ke pondok itu agar bisa melihat putranya dan Sari Asih yang juga terjebak.

"Hm..., suara lengkingan itu pastilah berasal dari Dewa Gunung Lawa...," gumam Panji yang rupanya mengenali pemilik lengkingan tinggi yang menyakitkan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji pun mengerahkan tenaga saktinya untuk mengeluarkan suara lengkingan halus guna menindih suara itu.

Tidak berapa lama kemudian, suara lengkingan itu pun lenyap. Berbarengan dengan lenyapnya lengkingan tinggi itu, muncullah belasan sosok tubuh berpakaian serba hitam yang langsung mengurung orang-orang yang berada di tempat itu.

"Sepasang Algojo Gunung Lawa...?!" desis Pendekar Macan Sakti melihat dua orang berkepala botak yang memimpin belasan orang itu.

"He he he...! Selamat bertemu, Pendekar Macan Sakti. Sebenarnya kami tidak ingin mengusikmu. Tapi, perbuatan putramu dan dara cantik itulah yang membuat kami terpaksa harus melenyapkanmu dari permukaan bumi ini...," ujar salah seorang dari kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu.

Tangan lelaki itu memegang kapak bergagang panjang yang tampak terangkat perlahan. Begitu pula yang dilakukan orang kedua yang memiliki ciri-ciri serupa dengan kawannya. Mereka itulah yang terkenal dengan julukan Sepasang Algojo Gunung Lawa.

Pendekar Macan Sakti dan istrinya sadar akan kesaktian lawan. Cepat keduanya melangkah maju guna menghadapi Sepasang Algojo Gunung Lawa, yang memang selalu bersama-sama dalam menghadapi setiap pertempuran. Kesaktian dan kekejaman lawannya yang memang sudah sangat terkenal itu, membuat Nyi Sekar Galung telah menghunus pedang. Sedangkan Pendekar Macan Sakti telah mengeluarkan senjata andalannya berupa sarung tangan berwarna emas. Sepasang suami istri itu telah siap menghadapi gempuran lawan.

"Heaaat..!"

Sepasang Algojo Gunung Lawa langsung membuka serangan dengan teriakan parau. Tubuh keduanya yang sama tinggi besar itu melayang disertai ayunan senjatanya yang menimbulkan deruan angin tajam.

"Hait..!"

Pendekar Macan Sakti dan istrinya langsung saja bergerak menyambut serangan lawan. Sebentar saja keempat tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.

Panji dan Kenanga sendiri saat itu telah dikeroyok oleh belasan orang berseragam hitam yang dipimpin oleh Ganjalu yang berjuluk si Tongkat Iblis. Pasangan pendekar muda itu tentu saja tidak gentar. Dengan gerakan yang sukar ditangkap mata biasa, keduanya melesat kian kemari sambil melemparkan tamparan dan tendangan yang cepat dan kuat.

Sebentar saja, empat orang pengeroyoknya roboh dan tewas, akibat terjangan sepasang pendekar muda itu. Jelas kali ini Panji tidak lagi memberi hati kepada orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Sebab, mereka ternyata sangat licik dan jahat!

Di bagian lain, Sari Asih tampak sibuk menghadapi serbuan delapan orang lawannya. Dara cantik itu telah menghunus senjatanya. Karena, selain harus menghadapi keroyokan, ia pun masih harus melindungi kekasihnya dari incaran senjata lawan. Sebab, Sasmita yang masih lemah itu, belum bisa mempertahankan dirinya dari keroyokan lawan.

Panji yang sempat melirik ke arah Sasmita dan Sari Asih, segera meminta Kenanga untuk membantu kedua orang muda itu. Tanpa membantah lagi, Kenanga langsung saja menerjunkan diri ke arena pertarungan itu, dan langsung menerjang orang-orang yang mengeroyok Sari Asih dan Sasmita.

"Terima kasih. Kalian berdua telah berkali-kali menolongku...," ucap Sari Asih yang merasa terharu dengan kebaikan Kenanga dari Panji. Karena telah berkali-kali nyawanya diselamatkan oleh pasangan pendekar besar itu.

"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Adik Manis...," sahut Kenanga yang kembali merobohkan dua orang pengeroyoknya.

Sebentar saja, keadaan menjadi berbalik. Kini orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu harus mati-matian menyelamatkan diri dari incaran Pedang Sinar Rembulan di tangan dara jelita itu.

"Iiieee...!"

Saat Kenanga hendak membabat dua orang pengeroyoknya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi yang membuat dada dara itu berdebar keras. Belum lagi ia sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu sesosok bayangan telah melontarkan sebuah tamparan ke kepalanya.

Bukkk!

"Aaah...!" Kenanga memekik kesakitan. Untunglah pada saat yang amat gawat itu ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, yang menjadi sasaran tamparan lawan adalah bahunya. Meskipun demikian, Kenanga merasakan lengan kanannya lumpuh. Jelas tamparan itu mengandung kekuatan yang hebat.

"Kau...?!" Sari Asih yang melihat seorang kakek-kakek memegang sebatang tongkat bambu butut, langsung menjadi terkejut la mengenali kakek itu sebagai orang yang menghadangnya di perjalanan, dan memberitahukan keadaan serta tempat di mana kekasihnya berada. Sadarlah dara cantik itu bahwa ia memang sengaja dijebak, dan di adu domba oleh orang-orang Perguruan Gunung Lawa.

"Keparat! Kakek jahat! Kubunuh kau...!" teriak Sari Asih yang tanpa berpikir panjang lagi, langsung saja menusukkan pedangnya ke tubuh kakek itu.

Dukkk!

"Aaahk...!" Sari Asih memekik kesakitan. Pedangnya memang tepat mengenai sasaran. Tapi, jangankan untuk membunuh kakek itu, melukainya pun ternyata tidak sanggup. Tentu saja Sari Asih menjadi tekejut melihat kehebatan kekebalan tubuh lawannya, ia tidak menyadari sama sekali ketika lengan kiri kakek itu telah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepalanya.

Plak!

Namun, saat itu juga terdengar benturan keras memekakkan telinga. Sesosok bayangan bersinar putih keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat kakek itu untuk membunuh Sari Asih. Bahkan, tubuh kakek itu sampai terdorong mundur sejauh empat langkah!

"He he he...! Pendekar Naga Putih...!" ujar kakek itu terkekeh ketika melihat sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di depannya, dalam jarak satu tombak.

"Hm..., Dewa Gunung Lawa! Sebagai orang tua, seharusnya kau lebih banyak mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan bukannya malah semakin mengumbar hawa nafsumu!" ucap Panji seraya membalas tatapan orang tua yang berjuluk Dewa Gunung Lawa itu dengan sorot mata yang tidak kalah tajam. Untuk beberapa saat lamanya, kedua tokoh sakti itu saling bertatapan dengan tajamnya.

"Hiyaaat..!"

Tiba-tiba saja Dewa Gunung Lawa berteriak keras. Tongkat bambu di tangannya dilemparkan ke udara, yang langsung meliuk dan berputar, tak ubahnya sebuah benda bernyawa. Jelas kalau Dewa Gunung Lawa mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.

"Hm...," Panji hanya bergumam perlahan ketika melihat tongkat bambu itu meluncur turun menyerang dirinya.

Bettt!

Cepat Panji memiringkan tubuhnya, menghindari sambaran tongkat bambu butut yang menimbulkan angin bercuitan tajam itu. Pendekar Naga Putih terus melompat ke kanan, ketika ujung tongkat itu menusuk dengan kecepatan kilat.

Whuttt! Kraaakkk!

Sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa langsung berderak patah ketika sodokan ujung tongkat yang dihindari Panji menghantamnya. Diam-diam Panji terkejut melihat kehebatan yang tersembunyi di dalam tongkat bambu butut itu. Dan, ketika tongkat itu berputar membabat tubuhnya, Pendekar Naga Putih mencoba untuk menyambut datangnya badan tongkat.

Duggg!

Bukan main terkejutnya hari Panji ketika merasakan lengannya kesemutan akibat berbenturan dengan tongkat bambu butut itu. Sadarlah Panji kalau tongkat bambu butut itu telah dipengaruhi kekuatan sihir yang dahsyat. Bahkan, ujung tongkat itu sempat menyemburkan asap berwarna merah ketika membentur tubuh Panji. Pendekar Naga Putih cepat-cepat melompat jauh kebelakang sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya, guna mengusir asap berwarna merah yang berbau harum itu.

"Hm...," untuk kesekian kalinya Panji kembali bergumam.

Lengan kakek itu sudah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepala Sari Asih. Namun...

Plak!

Saat itu juga terdengar benturan keras yang memekakkan telinga. Sesosok bayangan putih keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat Dewa Gunung Lawa untuk membunuh Sari Asih. Kali ini Pendekar Naga Putih terlihat menyilangkan sepasang lengannya di depan dada. Kemudian membuka ke depan seperti orang membopong sebuah benda. Sesaat kemudian, kedua tangannya diputar, dan disatukan di atas kepala, sambil membentak nyaring!

"Naga Langit...!" bentakan yang keras itu disusul dengan berpendarnya seberkas sinar kuning keemasan di atas kepala Pendekar Naga Putih, Sinar kuning keemasan itu tidak lain dari Pedang Pusaka Naga Langit yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya guna menghadapi tongkat butut Dewa Gunung Lawa.

"Hebat..!" Dewa Gunung Lawa sendiri berseru memuji Pendekar Naga Putih, yang dikiranya juga memiliki ilmu sihir. Maka, kakek itu segera memejamkan kedua matanya guna memperkuat kekuatan sihir pada tongkatnya.

Sebentar kemudian, Pedang Naga Langit itu telah bergerak menyambut datangnya tongkat bambu butut Dewa Gunung Lawa. Pertarungan tidak masuk akal itu tidak berlangsung lama. Sebab, Pedang Naga Langit yang memang memiliki kekuatan tanpa bantuan dari Panji, langsung membabat tongkat bambu butut itu hingga menjadi enam bagian. Tentu saja potongan-potongan tongkat itu langsung runtuh ketanah.

"Aaah...!?" Dewa Gunung Lawa terkejut ketika merasakan tubuhnya bagaikan terpukul sebuah kekuatan dahsyat. Cepat-cepat tokoh sakti itu menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya memejamkan mata. Kemudian, sepasang lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan sambil membentak keras. Jelas maksudnya hendak menghilangkan pengaruh aneh yang menyergap tubuhnya, tepat pada saat bambu bututnya terpotong oleh pedang lawan.

"Hm..., sekarang hadapilah jurus-jurusku, Pendekar Naga Putih...," geram Dewa Gunung Lawa yang segera menggerakkan kedau tangannya yang siap menggempur Panji. Jelas ia telah merasa tidak ada gunanya menggunakan ilmu sihir.

Panji yang sudah menarik pulang Pedang Naga Langit, segera mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang merupakan ilmu pamungkasnya. Berbarengan dengan itu, ia pun menambahkan kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sehingga, hembusan angin dingin semakin kuat, membuat orang-orang di sekitarnya bergegas menjauhkan diri dari arena pertarungan maut itu.

"Haaat..!"

"Yeaaah...!"

Dibarengi pekikan mengguntur, kedua tokoh sakti itu saling terjang dengan hebatnya! Debu dan dedaunan kering beterbangan bagaikan dilanda badai topan yang hebat. Sebentar saja suasana di sekitar arena pertarungan itu menjadi gelap oleh debu dan dedaunan yang bertebaran kian kemari.

Dukkk! Dukkk! Plak!

Terdengar benturan keras berkali-kali membuat tubuh keduanya tampak berpencar, kemudian menyatu kembali dan saling terjang dengan dahsyatnya. Hebat luar biasa pertarungan yang terjadi di tempat itu. Sehingga, dalam jarak tiga tombak masih terasa getaran jejakan kaki kedua tokoh itu yang berdebum-debum menimpa bumi.

Beberapa batang pohon yang berada di sekitar satu tombak dari tempat kedua tokoh sakti itu bertarung, terangkat dari atas tanah, dan roboh bersama akar-akarnya! Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan kedua orang tokoh sakti itu.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa pertarungan telah berjalan selama seratus dua puluh jurus. Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang di antara mereka ada yang kalah. Keduanya masih sama kuat dan sama cepat.

"Yeaaat..!"

Dewa Gunung Lawa yang merasa penasaran terhadap lawan yang pantas menjadi cucunya itu, suatu saat mengeluarkan bentakan nyaring. Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya berputar menciptakan deruan angin topan yang hebat. Kemudian mendorongnya ke depan ke arah Pendekar Naga Putih.

Whusss...! Blarrr...!

Mengerikan sekali akibat terpaan angin pukulan Dewa Gunung Lawa. Sebuah batu besar yang berada di belakang Panji, langsung hancur berantakan dengan suara ledakan keras. Terdengar jerit-jerit kematian yang menyayat, dibarengi terlemparnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Jelas mereka adalah orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang secara tak sadar telah menjadi sasaran pukulan maut ketuanya sendiri.

Panji yang berputaran di udara guna menghindari pukulan maut lawannya, langsung meluruk dengan kecepatan kilat. 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus mautnya itu, langsung dipegunakan saat itu juga. Seketika terciptalah gelombang lingkaran sinar putih keperakan yang menyilaukan mata. Sedangkan sepasang tangan pemuda itu terkadang menyembul dari sisi lingkaran yang diciptakannya.

"Hiaaa...!"

Bret! Bret! Desss...!

"Aaaiii..!" Dewa Gunung Lawa memekik keras ketika cakar naga serta hantaman telapak tangan pemuda itu mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh Dewa Gunung Lawa terlempar deras disertai semburan darah segar membasahi tanah.

Bukkk!

Sebatang pohon besar yang menahan luncuran tubuh Dewa Gunung Lawa berderak patah, seiring dengan melayangnya nyawa kakek itu meninggalkan raganya yang telah remuk akibat hantaman telapak tangan, serta cakar naga Panji.

"Hhh...," Panji menghela napas panjang melihat tubuh Dewa Gunung Lawa yang telah tewas di tangannya.

Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya berlarian mendatangi Pendekar Naga Putih. Jelas mereka pun telah menyelesaikan lawan-lawannya pada saat Panji tengah bertempur dengan Dewa Gunung Lawa.

"Hm..., akhirnya tokoh sakti yang sombong itu harus menyerah di tangan seorang pendekar muda yang sama sekali tidak pernah diimpikannya...," gumam Pendekar Macan Sakti.

Panji yang berada di sebelah kanan Pendekar Macan Sakti menoleh dengan kening berkerut ketika melihat lengan kanan laki-laki setengah baya itu nampak terluka.

"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Bidadari jelitamu itulah yang telah mengobatiku. Kalau tidak, mungkin aku pun telah melayat ke akhirat. Karena luka ini ternyata mengandung racun," jelas Pendekar Macan Sakti tersenyum melihat kekhawatiran di mata pemuda itu.

"Syukurlah kalau begitu, Paman...," ucap Panji merasa lega mendengar keterangan Pendekar Macan Sakit.

"Hm..., pada kesempatan ini, biarlah aku berterus terang untuk mengakui dosaku...," tiba-tiba saja lelaki tinggi gagah itu menundukkan kepalanya dengan wajah penuh sesal. Sepasang mata Pendekar Macan Sakti melirik sekejap ke arah Sari Asih. Sehingga, dara cantik manis itu menjadi berdebar tegang. Jelas ia menduga bahwa pendekar gagah itu telah menyadari kesalahannya untuk memisahkan dia dengan Sasmita.

"Asih...," Pendekar Macan Sakti mengangkat wajahnya menatap dara cantik manis itu. "Akulah yang telah membunuh orangtuamu, karena aku menyangka ayahmu telah melarikan putraku. Sayang penyesalan ini datangnya terlambat. Aku benar-benar menyesal telah bertindak ceroboh dan terburu-buru...," aku Pendekar Macan Sakti yang membuat wajah Sari Asih dan Sasmita pucat pasi.

"Ayah, kau...!" Sasmita terpekik kaget mendengar penjelasan ayahnya. Pemuda itu menatap wajah orang tuanya dengan mata membelalak lebar.

Sari Asih sendiri melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Cepat ia mengangkat pedang yang masih tergenggam di tangan kanannya. Jelas dara cantik itu telah siap untuk membalas kematian orangtuanya.

"Lakukanlah, Asih. Aku tidak akan melawan. Aku siap menebus kesalahanku itu...," desah Pendekar Macan Sakti dengan wajah penuh sesal.

"Asih, tahan...!" Panji yang melihat Sari Asih sudah bersiap untuk menerjang Pendekar Macan Sakti, segera saja berkelebat menangkap pergelangan tangan dara cantik itu.

"Aku harus menebus kematian orangtuaku, Pendekar Naga Putih! Dan, aku telah bersumpah di depan makam ayah...," bantah Sari Asih dengan wajah bersimbah air mata. Jelas kalau dara cantik itu pun tengah dilanda keraguan. Sepasang matanya yang bening dan basah oleh air mata, menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan Sasmita berganti-ganti. Jelas Sari Asih tidak bisa menjatuhkan pilihannya untuk melakukan hal itu.

"Asih..., semua itu sudah lewat. Jadi, janganlan kau buat masalah baru dengan membunuh Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas telah menyesali perbuatannya. Aku mulai dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi di antara kedua keluarga kalian. Bukankah kau mencintai Sasmita...?" tanya Panji menuntut jawaban tegas.

"Ya..., aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin dapat hidup tanpa Kakang Sasmita...," jawab Sari Asih setelah terdiam sesaat.

"Hm..., apakah kalian akan hidup berdampingan apabila kau membunuh Pendekar Macan Sakti, yang menjadi ayah dari kekasihmu itu? Rasanya, ayahmu pun akan tenang di alam sana apabila kalian dapat menyatu dalam tali perkawinan. Anggaplah kematian ayahmu sebagai tumbal perkawinan buat kalian berdua Nah, bukankah hal itu jauh lebih baik...," nasihat Panji kepada Sari Asih yang mulai terbuka matanya.

Dara itu menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan istrinya, seolah-olah meminta jawaban mereka atas ucapan Panji.

"Kami setuju, Asih. Pendekar Naga Putih benar-benar telah membuat aku merasa malu. Pemuda itu ternyata jauh lebih bijaksana ketimbang aku yang tua ini. Yah, aku akan merestui hubungan kalian," tegas dan mantap kata-kata Pendekar Macan Sakti yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Nyi Sekar Galung. Jelas kalau wanita cantik itu pun setuju bermantukan Sari Asih.

Sasmita dan Sari Asih saling berpandangan. Ketika melihat Sasmita menganggukkan kepala, Sari Asih langsung berlari ke dalam pelukan pemuda gagah itu. Ia menangis bahagia di dada bidang Sasmita.

"Nah, karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon pamit," pinta Panji kepada Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya. Kemudian, pemuda itu mengajak Kenanga untuk melanjutkan petualangan.

"Pendekar Naga Putih! Kuharap kau dapat hadir pada pesta pernikahan kami...!" seru Sasmita dengan suara lantang.

"Datanglah pada tanggal dua bulan depan ke Bukit Harimau Putih...!" Pendekar Macan Sakti menyambung ucapan, Sasmita.

"Kami pasti akan hadir untuk memberi selamat kepada mereka berdua, Paman...!" sahut Panji, yang kembali membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap bersama kekasihnya di balik pepohonan lebat.

"Seorang pemuda yang hebat. Sifatnya pun penuh ketenangan dan kesabaran...," gumam Pendekar Macan Sakti sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu, diiringi hembusan angin senja yang membuat hati mereka menjadi damai.

S E L E S A I

Tumbal Perkawinan

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Tumbal Perkawinan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih

SATU

MATAHARI sudah naik tinggi. Penduduk Desa Angkeran berbondong-bondong menuju sebuah rumah sederhana yang sudah mulai ramai. Pada bagian depan halaman rumah itu, terhias semarak. Sepertinya di rumah sederhana itu tengah diadakan suatu pesta.

"Terima kasih..., terima kasih...," seorang lelaki kurus berpakaian sederhana dan bersih, menyambut para tamu dengan senyum di bibir. Di sebelah kirinya, terlihat seorang wanita berusia empat puluh tahun mendampingi lelaki itu. Mudah ditebak kalau wanita itu adalah istri dari lelaki kurus, yang saat itu tengah menyelenggarakan pesta perkawinan putri tunggalnya.

Tampak seorang pemuda berwajah tampan dengan bentuk tubuh kokoh, menyambut undangan. Demikian pula halnya dengan wanita muda berwajah manis yang berkulit tubuh kuning langsat. Gadis itu menyalami para tamu sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Pasangan pengantin itu tampak berbahagia sekali. Semua itu tercermin dari raut muka maupun dari sinar mata mereka yang berbinar-binar, penuh cahaya bahagia. Bahkan tak jarang pasangan pengantin itu saling melempar pandang, penuh getaran cinta dan kehangatan.

Para undangan nampaknya tidak kalah bahagia dengan pasangan pengantin itu. Sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan, sesekali mereka melempar pandang kepada pasangan pengantin sederhana itu. Meskipun pakaian yang mereka kenakan tidak semewah putra-putri bangsawan, namun pasangan pengantin itu kelihatan sangat menarik, dan menimbulkan rasa iri bagi pemuda-pemuda dan gadis-gadis desa itu. Yang wanita mengagumi pengantin pria. Sedangkan yang pemuda sering melemparkan pandang secara sembunyi-sembunyi kepada pengantin wanita yang manis dan bertubuh ramping itu.

Namun suasana bahagia itu tiba-tiba terusik. Para tamu menoleh dengan wajah tegang, ketika tuan rumah berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan seorang lelaki berpakaian mewah. Wajah lelaki itu tidak menarik sama sekali. Tubuhnya pendek gemuk. Sedangkan kulit tubuhnya agak kehitaman. Rambut kepalanya telah botak sebagian, dan wajahnya masam.

"Ah..., Juragan Surya Denta...?! Sungguh tidak kusangka kalau Tuan akan mengunjungi pesta pernikahan yang sederhana ini. Maaf, kalau sambutan saya kurang berkenan di hati Tuan," ujar orangtua pengantin wanita itu. Meskipun lelaki kurus itu bersikap setenang mungkin, tapi para tamu melihat betapa wajahnya agak pucat. Bahkan, suaranya terdengar patah-patah.

"Hm.... Kau bilang tidak punya uang, tapi mengadakan pesta. Dari mana kau peroleh biaya untuk menyelenggarakan pesta ini, Jarawa?" tanya lelaki gemuk pendek itu tidak senang.

Ternyata lelaki itu adalah seorang juragan kaya. Dan kedatangannya jelas bukan untuk memberi ucapan selamat kepada pengantin. Tentu saja beberapa orang tamu yang hadir dalam pesta itu memperlihatkan wajah tak senang. Tapi, empat orang tukang pukul berwajah bengis yang berdiri di belakang Juragan Surya Denta membuat para undangan tidak berani ikut campur.

"Tapi..., biaya pesta ini hasil sumbangan dari para penduduk. Tuan Juragan...," Ki Jarawa berusaha menjelaskan kesalahpahaman Juragan Surya Derita mengenai biaya pernikahan putrinya dengan wajah semakin pucat.

"Bohong...!"

Ki Jarawa terlompat mundur karena bentakan keras itu. Wajah lelaki tua itu tampak bertambah pucat. Bahkan kedua tangannya gemetar, dan butir-butir keringat mulai menitik membasahi keningnya.

"Benar, Tuan Juragan...," tiba-tiba terdengar suara jawaban yang ternyata datangnya dari pengantin pria.

Lelaki muda bertubuh kokoh itu sepertinya tidak tega melihat ayah mertuanya yang ketakutan setengah mati menghadapi Juragan Surya Denta. "Akulah yang mengumpulkan uang bantuan dari saudara-saudara sesama petani untuk membiayai perkawinan ini," lanjut pemuda gagah itu lagi menerangkan kepada Juragan Surya Denta yang dikenal serakah dan bermata keranjang.

"Hm..., kaukah yang menjadi menantu dari lelaki kurus tak tahu diuntung ini...?" tanya Juragan Surya Denta seraya menatap tak senang kepada pemuda bertubuh kokoh itu. Sekilas matanya melirik ke arah pengantin wanita yang tampak ketakutan melihat lirikan penuh ancaman itu.

"Benar, akulah menantu Ki Jarawa...," sahut pemuda itu dengan sikap gagah.

"Hm..., kalau begitu, sekarang juga kau lunasi hutang-hutang ayah mertuamu itu! Kalau tidak, terpaksa aku akan membawa putri Ki Jarawa sebagai penggantinya, sampai kau bisa melunasi hutang-hutang cecak kering itu!" geram Juragan Surya Denta dengan wajah beringas.

Melihat gelagat yang tidak baik itu, para undangan bergegas bangkit dan menonton dari tempat agak jauh. Jelas mereka tidak ingin melibatkan diri dengan masalah yang dihadapi tuan rumah.

"Oh, sekarang aku tahu apa maksud kedatanganmu kemari, Bandot Tua! Rupanya selama ini kau mengincar calon istriku untuk kau jadikan gundikmu! Tapi, kami sudah tahu akan niat kotormu itu. Dan,itu pula yang menyebabkan aku berniat lekas-lekas mengawini Nurati, agar ia terlepas dari incaran kebuasanmu!" ujar lelaki muda bertubuh kokoh itu tanpa mengenal rasa takut sedikit pun.

Pemuda itu memang sudah mengetahui sifat Juragan Surya Denta, yang selalu mencari gadis-gadis muda untuk dijadikan pemuas nafsu. Kesadaran itulah yang membuatnya segera mengawini kekasihnya. Kendati untuk itu ia harus meminta bantuan kepada para petani lainnya, yang juga tidak suka kepada Juragan Surya Denta.

"Bangsat! Kalau kau memang tidak mampu untuk melunasi hutang-hutang cecak kering itu sekarang juga, aku akan membawa Nurati. Kau sengaja melemparkan fitnah terhadapku, agar orang-orang desa ini bersimpati kepadamu. Tapi biar bagaimanapun, aku akan tetap membuktikan ucapanku. Bawa gadis putri cecak kering itu...!" perintah Juragan Surya Denta kepada dua orang tukang pukulnya yang sejak tadi memasang wajah angker dan menatap tamu dengan tajam. Sehingga nyali para undangan itu menjadi ciut.

"Baik, Juragan...," jawab seorang lelaki kekar berpakaian hitam, yang berkumis tebal. Dengan diikuti seorang kawannya, lelaki galak berkumis tebal itu segera melangkah untuk membawa pengantin wanita.

"Tahan!" seru pemuda bertubuh kokoh itu seraya berdiri menghadang jalan kedua tukang pukul itu dengan sikap gagah. Jelas ia hendak melindungi istrinya dengan taruhan nyawa, dan tidak mau membiarkan istrinya digondol orang.

"Hm..., minggir kau, Kerbau Dungu! Kalau tidak, kau pun akan kulemparkan ke luar...!" ancam lelaki kekar berkumis tebal itu seraya meraba gagang pedang yang tersembul di pinggangnya. Tindakannya jelas untuk membuat hati pengantin pria itu menjadi ketakutan.

Sayang dugaan lelaki berkumis tebal itu meleset. Pengantin pria itu tetap berdiri tegak dengan gagah dan jantan melindungi istrinya. Sehingga dara cantik yang berdiri di kerumunan para tamu itu menatapnya penuh kagum.

"Bangsat!" maki lelaki kasar berkumis tebal itu sambil menampar kepala pengantin pria yang menghadang jalannya.

Whuttt...!

Tamparan keras itu ternyata luput. Karena lelaki bertubuh kokoh itu sudah melangkah mundur. Sehingga, lelaki berkumis tebal itu semakin marah dan kalap.

"Setan...! Nah, kau hindarilah yang ini...!" ujarnya dengan kemarahan yang meluap-luap.

Lelaki kekar berkumis tebal itu melompat dan mengirimkan tamparan dan tendangan bertubi-tubi Tentu saja hal ini membuat lawannya tidak bisa menghindar. Meskipun tubuh pengantin pria itu terlihat kokoh, tapi ia sama sekali tidak memiliki ilmu silat seperti lelaki berkumis tebal itu. Tidak mengherankan kalau ia menjadi bulan-bulanan tukang pukul Juragan Surya Denta yang kejam itu.

Desss...!

"Aaakh...!" Untuk kesekian kalinya, tubuh lelaki muda itu terpelanting akibat tendangan keras yang menghantam perutnya. Karuan saja tubuh pengantin pria itu terbungkuk-bungkuk kesakitan ketika ia berusaha bangkit.

"Jangan sakiti suamiku...!" teriak pengantin wanita yang tidak tega melihat penderitaan suaminya. Cepat ia berlari dan menubruk tubuh suaminya. Sehingga, lelaki kekar berkumis tebal yang semula siap menjejak tubuh pengantin pria itu, terpaksa menahan gerakannya.

"Sungka...! Bawa gadis itu...!" perintah Juragan Surya Denta dengan suara menggelegar.

"Tuan..., jangan, Tuan. Biarlah kami yang melunasi hutang-hutang itu saat panen nanti...," ratap lelaki kurus yang bernama Ki Jarawa itu sambil menubruk kedua kaki Juragan Surya Denta.

"Hm... Baik. Aku beri keringanan. Tapi, putrimu tetap akan kubawa sebagai jaminannya. Kelak kalau kau sudah mendapatkan hasil panen itu, baru kau boleh mengambilnya kembali.," ujar Juragan Surya Denta seraya menendang tubuh Ki Jarawa.

Bukkk!

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu terjengkang ke belakang. Juragan Surya Denta sendiri mengebut-ngebutkan celananya. Seolah-olah tubuh Ki Jarawa telah mengotori pakaiannya. Hati lelaki gemuk pendek itu sama sekali tidak tergerak melihat istri Ki Jarawa menangis sambil memeluk tubuh suaminya yang telah pingsan itu. Hal itu membuktikan kalau Juragan Surya Denta bukan orang lemah. Kalau tidak, mana mungkin ia dapat membuat orang pingsan hanya dengan sekali tendang saja.

"Kakang...!" pengantin wanita berwajah manis itu menjerit-jerit, ketika lelaki kekar berkumis tebal bernama Sungka itu mengulurkan tangan memondong tubuhnya.

Mendengar teriakan istrinya, petani muda bertubuh kokoh itu segera bangkit, meskipun sekujur tubuhnya dirasakan remuk akibat tendangan dan pukulan Sungka tadi. "Keparat busuk! Hendak kau bawa ke mana istriku...?!" bentak petani muda itu sambil menerjang seperti singa lapar. Sungka hanya bergumam jengkel. Kaki kanannya langsung mencelat saat tubuh petani muda itu datang menyerbunya.

Plak...!

"Aaah...?!" Tepat pada saat telapak kaki Sungka akan mendarat di tubuh petani muda itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan langsing menepiskan tendangan lelaki kekar berkumis tebal itu. Akibatnya, tubuh Sungka berputar seraya menjerit kesakitan.

Belum lagi Sungka menyadari apa yang terjadi dengan dirinya, tiba-tiba terlihat sosok tubuh ramping, yang menyelamatkan pengantin pria itu, mengulurkan kedua tangannya. Dan sekejap saja, tubuh pengantin wanita dalam pondongan lelaki kekar itu berpindah tangan.

"Hm..., kau bawa istrimu ke tepi. Biar aku yang akan memberikan pelajaran kepada manusia-manusia jahat berhati busuk itu..,," terdengar suara merdu dari sosok tubuh ramping berpakaian biru muda itu. Kemudian ia menyerahkan tubuh pengantin wanita di pondongannya kepada petani muda, dan langsung dibawa menjauh.

Juragan Surya Denta menoleh ketika ia mendengar teriakan tukang pukulnya. Dan, sepasang matanya yang berminyak itu langsung terbelalak. Lelaki gemuk pendek itu menelan air liurnya begitu melihat sosok yang hampir membuat Sungka terjatuh.

"Hm..., siapakah kau, Nisanak? Apa hubunganmu dengan Ki Jarawa...?" tanya Juragan Surya Denta seraya menjelajahi lekuk tubuh sosok ramping yang baru datang itu.

"Bangsat...!" desis bibir mungil dari sosok ramping berpakaian biru muda itu geram. Wajahnya yang cantik manis dengan tahi lalat di sebelah kiri dagu itu tampak merah ketika tubuhnya dijilati oleh mata Juragan Surya Denta. Yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadapnya. Namun, kejengkelan dan kemarahan itu ditahannya.

"Aku sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Ki Jarawa atau siapa pun yang ada di tempat ini. Tapi, aku tidak suka melihat tindakanmu yang sewenang-wenang itu, Botak Jelek! Untuk itu, aku akan memberikan pelajaran terhadapmu agar dapat bersikap baik lain kali...," lanjut gadis cantik itu mengandung ancaman.

"Ha ha ha...! Hebat..., kau benar-benar hebat, Nisanak. Biarlah aku akan membebaskan mereka, asalkan kau bersedia ikut denganku. Bagaimana...?" ujar Juragan Surya Denta yang terpikat dengan dara cantik manis itu. "Aku pun akan menceraikan semua istriku yang berjumlah tujuh orang, apabila kau bersedia menggantikan tempatnya. Selama ini aku hanya mendapatkan wanita-wanita yang lemah dan tolol. Alangkah baiknya seandainya kau bersedia menerima ajakanku ini."

"Keparat! Manusia berotak kotor sepertimu memang sepantasnya diberi pelajaran...!" geram dara cantik manis itu yang tidak mampu lagi menahan kemarahannya.

Usai berkata demikian, tubuh ramping itu langsung berkelebat menerjang Juragan Surya Denta. Namun, tidak percuma lelaki gemuk pendek itu memelihara tukang pukul untuk menjaga keselamatannya. Sebab, sebelum serangan dara cantik manis itu datang mengenai tubuhnya, empat orang tukang pukulnya langsung bergerak melindungi majikan mereka. Tentu saja hal itu membuat kemarahan dara berpakaian biru muda itu semakin memuncak. Cepat ia melontarkan tamparan-tamparannya ke arah empat orang tukang pukul Juragan Surya Denta.

Whuttt. , plakkk! Plakkk!

Dua orang tukang pukul Juragan Surya Denta yang memapaki tamparan telapak tangan halus itu, langsung terjengkang ke belakang. Jelas tenaga dalam gadis cantik itu berada jauh di atas mereka.

"Heaaat. !"

Sungka dan seorang kawannya yang bercambang bauk, langsung melesat menerjang. Kepalan dan tendangan mereka bertubi-tubi datang mengepung tubuh gadis berpakaian biru muda itu. Namun, semua serangan itu sama sekali tidak membuat lawannya kerepotan. Bahkan, serangan-serangan balasan dari gadis cantik manis itu mulai mengincar tubuh lawan-lawannya.

Desss. !

"Huaaakh. !"

Tanpa ampun lagi, lelaki bercambang bauk yang ikut mengeroyoknya, langsung terjungkal muntah darah! Bahkan, tubuhnya tidak mampu lagi bergerak. Ia langsung pingsan akibat tendangan keras dari gadis cantik manis itu. Sungka benar-benar terkejut melihat kehebatan gadis cantik itu. Cepat-cepat pedangnya dihunus, dan langsung membabat secara mendatar, begitu melihat dara cantik itu mengincarnya.

Bettt.!

"Hm...," dara cantik manis yang berusia sekitar delapan belas tahun itu mendengus perlahan. Kemudian dadanya membungkuk saat pedang lawan hendak membeset dadanya. Lalu, kaki kanannya bergerak menyapu kaki kanan lawan yang berada di depan.

Duggg!

"Akh...?!" Sungka menjerit kaget. Tubuhnya yang kekar langsung terpelanting ke tanah. Belum lagi ia sempat bangkit, telapak kaki mungil dara cantik manis itu kembali bergerak menimpa dadanya.

Desss...!

"Hugkh...!" Sungka terbatuk hebat, memuntahkan darah segar. Lelaki kasar berkumis lebat itu berkelojotan sesaat, sebelum melepaskan nyawanya ke alam baka. Karena injakan telapak kaki mungil itu telah meremukkan tulang- tulang dadanya, bahkan membuat isi dadanya pecah!

"Kurang ajar...!" maki Juragan Surya Denta tatkala melihat empat orang tukang pukulnya tidak berdaya menghadapi gadis cantik manis itu. Cepat ia melompat dan menerjang ke depan. Sayang, meskipun gerakannya cukup cepat dan mantap, tapi semua itu belum menjamin bahwa ia dapat menandingi kehebatan dara berpakaian biru muda itu.

Plak! Plak!

Dua buah pukulan yang dilancarkan Juragan Surya Denta, langsung dipapaki telapak tangan berkulit halus itu. Akibatnya, tubuh pendek gemuk itu hampir terpelanting ke tanah. Untunglah dua orang tukang pukulnya sudah bangkit, dan langsung menyambut tubuh majikannya. Sehingga, tubuh pendek gemuk itu jatuh menindih tubuh kedua tukang pukulnya.

Juragan Surya Denta sama sekali tidak mempedulikan nasib kedua tukang pukulnya, yang merasa sesak karena tertimpa tubuh majikannya. Lelaki gemuk itu langsung bangkit dengan wajah merah. Sayang, dara cantik manis berpakaian biru muda itu tidak mau memberikan kesempatan lagi kepada Juragan Surya Denta. Saat itu juga tubuh ramping itu berkelebat.

Plak!

"Aaakh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki setengah baya yang pendek gemuk itu langsung terjungkal disertai jerit kesakitan.

Para tamu yang menyaksikan kejadian itu langsung bersorak tanpa sadar. Jelas mereka sangat gembira melihat lelaki gemuk yang selama ini berbuat sewenang-wenang di desa itu, mendapatkan ganjaran setimpal.

Desss...!

Juragan Surya Denta kembali terlempar dan terjerembab ke tanah. Darah segar mengucur dari hidung dan sudut bibirnya. Lelaki pendek gemuk itu berusaha bergerak bangkit dengan merangkak-rangkak. Orang-orang desa menyorakinya. Sehingga, wajah Juragan Surya Denta menjadi pucat ketakutan. Seolah-olah ia melihat orang-orang desa itu bagaikan sekumpulan iblis yang siap merencah tubuhnya.

"Ampuuun..., ampunkan aku, Nisanak..," ratap Juragan Sury aDenta. Dan tanpa malu-malu lagi, lelaki gemuk itu langsung menjatuhkan tubuhnya bersimpuh dengan wajah bersimbah air mata. Tentu saja hal itu membuat dara cantik itu menjadi muak.

"Hm..., orang sepertimu tidak pantas untuk diberikan ampunan. Sikapmu jelas tidak akan pernah berubah. Kalau kau dibiarkan hidup, gadis-gadis desa ini akan merasa terancam olehmu...!" ujar dara cantik manis itu yang siap menurunkan tangan mautnya untuk mencabut nyawa Juragan Surya Denta.

"Nisanak, tahan...!" tiba-tiba saja, Ki Jarawa, yang sudah tersadar dari pingsannya, langsung bersimpuh di depan dara cantik manis itu. Dia memohon agar Juragan Surya Denta diberi ampunan.

"Hei, apa-apaan kalian...? Mengapa kalian meminta ampunan untuk lelaki jahat ini...?" tanya dara cantik berpakaian biru muda itu terheran-heran.

"Sebenarnya Juragan Surya Denta tidak terlalu jahat, Nisanak. Ia sering membantu para penduduk yang tidak mempunyai benih untuk bertani. Kalaupun ia jahat, itu hanya karena sifat mata keranjangnya yang tidak pernah sembuh. Tapi, kami yakin setelah kejadian ini ia akan menyadari segala kejahatannya...," ujar Ki Jarawa menjelaskan kepada dara cantik manis itu.

Melihat banyaknya orang-orang desa yang kemudian ikut-ikutan memintakan ampun untuk Juragan Surya Denta, dara cantik itu membatalkan niatnya untuk menghabisi nyawa Juragan Surya Denta. Juragan Surya Denta sendiri tidak menyangka kalau orang yang semula dianiayanya, justru menyelamatkan dirinya dari kematian. Diam-diam lelaki gemuk pendek itu merasa terharu ketika ia melihat orang-orang lain pun ikut memintakan pengampunan bagi dirinya. Bahkan, pasangan pengantin itu pun juga ikut memintakan ampun kepada dara cantik manis itu.

"Hm..., baiklah. Kali ini aku mengampunimu, Orang Tua! Tapi, apabila lain kali kau berbuat kesalahan yang sama, aku akan datang untuk mengambil kepalamu yang botak itu...!" ancam dara cantik manis itu dengan tatapan tajam. Jelas ia tidak main-main dengan ancamannya itu.

Mendengar ucapan dara cantik manis itu, Juragan Surya Denta menjadi lega hatinya. Kemudian, ia menyuruh Ki Jarawa untuk melanjutkan pesta perkawinan putrinya lebih meriah atas biaya lelaki kaya itu. Sementara, dara cantik berpakaian biru muda itu sudah melesat pergi, tanpa mengharapkan imbalan atas pertolongannya. Bahkan ucapan terima kasih pun sepertinya tidak diinginkan. Maka, para penduduk desa mengiringi kepergian dara penolong itu dengan memintakan keselamatan kepada Sang Maha Pencipta.

DUA

Gadis cantik manis berpakaian biru muda itu terus bergerak menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja, bayangannya telah cukup jauh meninggalkan Desa Angkeran. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke belakang, ketika hendak menyeberangi sebuah aliran sungai kecil. Sekilas terlihat senyuman sinis membayang di bibirnya yang merah itu.

"Hm...," dara cantik itu bergumam seorang diri. Senyum nakalnya membayang. Seolah-olah ia menemukan suatu pikiran yang baik. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah meloncat menyeberangi sungai. Dan lenyap ditelan timbunan pohon.

Tidak berapa lama kemudian, tampak sesosok tubuh tegap berlari mendekati sungai, ia berdiri beberapa saat sebelum menyeberangi sungai kecil itu. Dengan pandang matanya yang tajam, sosok tubuh yang ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu merayapi seberang sungai. Setelah memastikan bahwa di depannya tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu segera melesat menyeberangi sungai.

Melihat dari gerakan dan caranya menyeberangi sungai, jelas pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya cukup sempurna. Sehingga, sebentar saja ia telah berada di seberang sungai, dan melanjutkan langkahnya dengan berlari-lari kecil.

Namun, tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tampak menghentikan larinya, dan memandang berkeliling dengan kening berkerut. Sesaat kemudian, ia kembali melesat ke depan bagaikan sebatang anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Setelah agak jauh berlari dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, pemuda itu kembali menahan langkahnya. Jelas sekali terlihat rasa heran pada wajahnya.

"Aneh...? Ke mana perginya gadis itu...? Mustahil ia bisa bergerak demikian cepatnya...?" gumam pemuda itu seorang diri seraya tangannya mengelus-elus ujung dagu. Keningnya tampak berkerut semakin dalam. Jelas ia tengah berpikir keras untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya itu.

"Haiiit…!"

Mendadak terdengar suara teriakan melengking mengandung tenaga dalam yang kuat. Belum lagi gema lengkingan itu lenyap, sesosok tubuh ramping melayang dari atas pohon, dan langsung melancarkan serangan maut kepada pemuda gagah yang tengah berdiri kebingungan itu.

Bettt! Bettt!

"Aihhh...?!" Pemuda itu memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan berputar ke belakang, guna menghindari serangan yang cepat dan kuat itu. Kemudian, meluncur turun sejauh dua tombak dari tempatnya berdiri semula.

"Nisanak, sabar dulu....!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang gadis cantik manis berpakaian serba biru muda.

"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan! Kau pikir aku tidak tahu kalau kau telah membuntutiku sejak dari Desa Angkeran! Sekarang terimalah hukumanmu...!" bentak gadis cantik itu sambil menerjang, tanpa memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk berbicara lebih banyak.

Untuk kesekian kalinya, pemuda itu kembali berloncatan guna menghindari serangan maut lawan. Namun, ketika dara cantik yang galak itu semakin mempergencar serangannya, pemuda itu tampak mulai kerepotan. Sehingga, ia terpaksa menangkis ketika sebuah bacokan sisi telapak tangan gadis galak itu datang mengancam pelipisnya.

Dukkk!

Pertemuan kedua lengan yang sama-sama terisi tenaga sakti itu membuat keduanya sama-sama terdorong mundur beberapa langkah. Hal itu justru makin menambah kemarahan dara cantik berpakaian biru muda itu.

"Hm..., rupanya kau memiliki kepandaian. Pantas kau berani membuntutiku. Baiklah! Sekarang coba kau tahan seranganku selanjutnya. Bersungguh-sungguhlah! Kalau tidak, nyawamu akan melayang...!" ancam dara cantik itu. Tampak gadis itu sudah menyilangkan kedua tangannya ke atas kepala. Jari-jari dara itu terlihat agak bergetar. Jelas kalau ia tengah mengerahkan kekuatan tenaga saktinya secara utuh untuk penyerangan kali ini.

"Nisanak, sabar dulu! Aku memang telah membuntutmu sejak dari Desa Angkeran, Tapi, kalaupun itu merupakan suatu kesalahan, apakah pantas dibalas dengan nyawaku? Percayalah. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat. Bahkan aku sangat kagum alas tindakanmu yang menyelamatkan keluarga pengantin tadi. Karena itu aku ingin mengenalmu, dan terpaksa mengikutimu hingga sampai ke tempat ini...," ujar pemuda tegap berwajah tampan dengan sebaris kumis tipis yang menambah kejantanannya itu.

Suara pemuda ini terdengar mengandung kecemasan. Karena ia sadar bahwa serangan gadis itu pastilah akan sangat berbahaya. Sedangkan ia sama sekali tidak ingin bertarung dengan gadis cantik yang telah menimbulkan kekaguman di hatinya itu.

"Nisanak, sabar dulu...!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang gadis cantik manis berpakaian biru muda.

"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan!" bentak gadis cantik itu sambil bersiap-siap ingin menyerang kembali. "Hm..., kalaupun ucapanmu benar, kau harus melayani seranganku kali ini. Dan, kalau kau sanggup bertahan selama lima jurus, biarlah kesalahanmu ku ampuni, dan kau boleh pergi dari tempat ini!" kembali terdengar jawaban gadis cantik manis itu, yang rupanya masih ingin melanjutkan serangannya. Meskipun nadanya tidak segalak semula. Tapi, ia tetap saja belum mempercayai sepenuhnya ucapan pemuda itu.

"Tapi...," pemuda tegap berwajah tampan itu berusaha mencegah perkelahian yang sama sekali tidak diinginkannya itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat lain ketika tubuh gadis itu sudah meluncur dengan serangan yang lebih hebat lagi.

"Cerewet, sambut setanganku...!" bentak gadis cantik yang galak itu seraya melancarkan serangan- serangannya yang menimbulkan deruan angin tajam.

Whuuut! Whuuut!

Mau tak mau pemuda tegap itu terpaksa menghindari serangan gadis cantik itu. Sesekali ia mencoba memapaki sambaran tangan lawannya, yang dianggap sangat berbahaya itu. Meskipun demikian, pemuda itu belum terlihat melontarkan serangan balasan. Sepertinya ia memusatkan perhatian pada pertahanan, agar bisa melayani serangan gadis galak itu selama lima jurus tanpa terluka.

"Hait...!"

Plak! Plak!

Terdengar dua kali benturan keras berturut-turut, ketika pemuda tampan bertubuh tegap itu memapaki tamparan dan tendangan lawan. Keduanya kembali terjajar mundur untuk kesekian kalinya. Tapi, gadis cantik itu kembali melesat menerjang dengan kecepatan gerak yang mengagumkan. Sehingga, pemuda itu mengeluarkan kata-kata pujian di luar kesadarannya.

"Jurus kelima...!" dara cantik berpakaian biru muda itu berseru mengingatkan jurus serangan yang dilontarkannya.

"Akh...!"

Jurus terakhir yang dijanjikan dara cantik itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Pemuda itu sampai terpekik kaget ketika cengkeraman jari-jari tangan lawan hampir saja merobek bagian iga kanannya. Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuh sambil menggeser kaki kanannya ke belakang. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan iganya akan terluka. Setidaknya, kulit dan dagingnya akan terkelupas oleh cengkeraman yang mendatangkan deruan angin tajam itu.

"Cukup...!" ketika serangan jurus kelima itu berakhir, pemuda tampan itu berseru mengingatkan seraya melompat ke belakang dan meluncur turun, setelah berputar beberapa kali di udara.

"Hm..., kau ternyata sangat tangguh, Kisanak. Baiklah. Sesuai dengan janjiku, sekarang kau boleh pergi meninggalkan tempat ini. Jangan ikuti aku lagi...," ujar dara cantik itu.

Diam-diam dalam hati dara cantik ini timbul rasa kagum kepada pemuda tampan bertubuh tegap itu. Sebab, jarang ia menemukan seorang pemuda yang mampu menahan serangannya sampai sepuluh jurus lebih. Bahkan serangan lima jurus terakhir dengan mempergunakan ilmu andalannya pun dapat pula dihadapi oleh pemuda itu. Tapi, kekaguman itu hanya disimpannya dalam hati, tanpa mengucapkannya kepada pemuda itu.

"Tapi, adakah undang-undang yang melarang kita untuk mengikuti seseorang? Sedangkan orang itu sama sekali tidak berniat jahat terhadap orang yang diikutinya? Nah, apa jawabanmu, Nisanak...?" bantah pemuda itu yang kelihatannya mulai berani menjawab ucapan-ucapan gadis cantik yang galak itu.

"Memang tidak ada undang-undang yang melarangmu untuk membuntuti orang lain. Tapi, tidak adakah pekerjaan lain yang lebih baik ketimbang membuntuti orang? Atau kau memang mempunyai kebiasaan aneh mengikuti setiap gadis yang kau kagumi, begitu? Hm..., kalau memang itu merupakan pekerjaanmu, jelas kau seorang pemuda yang tidak mempunyai tata kesopanan...," balas dara cantik itu tidak mau kalah. Jelas selain galak dan berkepandaian tinggi, dara itu pun pandai berdebat. Sehingga, untuk sesaat lamanya, pemuda tampan berkumis tipis itu tidak bisa menjawab.

"Mmm..., tuduhanmu jelas keliru, Nisanak. Percayalah, baru kali ini aku membuntuti seorang gadis. Dan, karena pekerjaan ini terasa sangat menyenangkan hatiku, maka aku berniat untuk melanjutkannya. Apakah kau keberatan...?" balas pemuda itu setelah terdiam beberapa saat lamanya. Kali ini ditatapnya wajah cantik manis itu dengan senyum lebar.

"Hm..., apakah kau tidak mempertimbangkan perasaan orang lain dalam melakukan pekerjaanmu yang aneh itu...?" tanya dara cantik manis itu seraya bertolak pinggang.

"Maksudmu...?" tanya pemuda itu seolah-olah belum mengerti arah pertanyaan dara cantik yang dikaguminya itu.

"Hm..., aku jelas tidak suka kau buntuti, Kisanak. Oleh karena itu, aku akan menerjangmu mati-matian kalau kau masih hendak melanjutkan pekerjaanmu itu. Nah, silakan kau pilih. Pergi dengan selamat, atau bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang tewas...!" dingin dan tegas sekali suara dara cantik itu.

Mendengar ucapan si dara cantik, pemuda tampan berkumis tipis itu menjadi bengong, seolah-olah tak percaya dengan pendengarannya.

"Nah, ternyata kau masih bisa berpikir waras…," ucap dara cantik yang galak itu ketika melihat pemuda di depannya berdiri bengong memandangi kepergiannya. Setelah melemparkan senyum penuh kemenangan, dara cantik itu pun berkelebat lenyap dari tempat itu.

"Gila...! Gadis itu benar-benar keras kepala, dan sulit sekali untuk diajak berteman. Tapi…, biar bagaimanapun aku akan tetap membuntutinya dari kejauhan. Aku tidak akan pernah berhenti sebelum dapat mengenalnya...," gumam pemuda tampan itu berkata kepada dirinya sendiri. Jelas ia sangat tertarik dengan dara cantik berpakaian biru muda yang galak itu. Ia pun memutuskan untuk tetap mengikutinya tanpa sepengetahuan gadis cantik yang telah membuat kagum hatinya.

********************

"Hm..., perlahan langkahmu, Nisanak...!" tiba-tiba terdengar sebuah teguran yang membuat dara cantik manis berpakaian biru muda itu menunda langkahnya. Sepasang mata dara itu berkilat curiga ketika melihat ada lima orang lelaki berwajah bengis, berdiri menghadang jalannya. Dengan sikap tenang, dara cantik manis itu melangkah maju beberapa tindak. Keningnya tampak berkerut ketika mengenali lelaki bercambang bauk yang menjadi tukang pukul Juragan Surya Denta.

"Hm..., rupanya kau belum puas dengan kejadian kemarin, Kerbau Dungu! Dan, sekarang mengajak teman-temanmu untuk mengeroyokku," tegur dara cantik itu tersenyum mengejek ke arah lelaki bercambang bauk, yang bentuk tubuhnya memang gemuk seperti kerbau.

"Hm..., perempuan liar inikah yang telah membunuh kakangmu, Bunggali...?!" tanya seorang lelaki tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Sikap lelaki itu terlihat keren dan memancarkan perbawa. Jelas ia bukan orang sembarangan.

"Benar, Guru. Iblis betina inilah yang telah menewaskan Kakang Sungka kemarin," jawab lelaki bercambang bauk yang bernama Bunggali itu. Jelas ia masih mendendam atas peristiwa kemarin di Desa Angkeran, dan mengundang guru serta kawan-kawan seperguruannya untuk membalas perbuatan gadis cantik itu.

"Nisanak. Dengan membunuh salah seorang murid kami, berarti kau telah menanamkan bibit permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa. Sebaiknya kau menyerahlah untuk diadili oleh para tetua perguruan kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu yang rupanya merasa enggan untuk melakukan kekerasan, ketika melihat usia gadis itu yang pantas menjadi putrinya.

Sayang, dara cantik berpakaian biru muda itu menganggap ucapan calon lawannya sebagai suatu penghinaan. Hal itu terlihat jelas dari sepasang matanya yang memancarkan sinar berkilat.

"Orang tua! Seharusnya kau berpikir lebih jauh, sebelum mengambil keputusan untuk membela murid- muridmu. Bagaimana kalau ternyata yang berbuat salah adalah muridmu? Apakah kau akan tetap berkeras untuk membelanya...?" tegur dara cantik manis itu tanpa rasa gentar sedikit pun. Bahkan ia kembali melangkah maju dua tindak. Sikap itu jelas-jelas merupakan tantangan.

"Perlu apa berbaik hati kepada iblis betina itu, Guru. Lihat saja sikapnya yang sombong, dan menganggap dirinya manusia tersakti di atas permukaan bumi ini. Gadis liar seperti dia, harus segera diberi pelajaran biar jera...," Bunggali yang sudah tidak sabar kembali menggosok hati gurunya. Sepasang mata lelaki bercambang bauk itu melotot, seperti hendak menelan tubuh dara cantik itu bulat-bulat.

"Sabarlah, Bunggali...," ujar lelaki tinggi kurus itu mengibaskan lengannya perlahan, mencegah Bunggali yang sudah siap maju. Kemudian, berpaling kepada dara cantik itu. "Nisanak. Sekali lagi kutegaskan. Biar bagaimanapun, aku harus membawamu ke perguruan untuk diadili. Menyerahlah, atau aku terpaksa menggunakan kekerasan!"

"Hm..., jelas kalian ini adalah orang-orang jahat. Orang-orang seperti kalian memang harus diberi pelajaran, agar lain kali lebih berhati-hati, dan tidak meremehkan orang lain!" sahut dara cantik manis itu dengan nada menantang, sehingga wajah lelaki kurus itu menjadi gelap.

"Hm...," gumam lelaki kurus itu sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri kanan.

Seketika empat orang lainnya, termasuk Bunggali, langsung menyebar mengepung dara cantik berpakaian biru muda itu. Keempatnya telah mencabut senjata masing-masing, siap mengeroyok bila gadis itu hendak melarikan diri.

"Hi hi hi...! Kalian ini betul-betul kerbau tolol! Kalian pikir aku mau melarikan diri dari pertempuran? Huh! Jangan sombong dulu, Orang-orang Tolol! Kalian lihatlah, aku akan membuat guru kalian lari terbirit- birit...!" ejek dara cantik manis itu terkekeh seperti merasa geli melihat tingkah-polah musuh-musuhnya.

"Kurang ajar...!" maki lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat orang muridnya itu. Ia marah karena mendengar ejekan calon lawannya. Cepat ia melompat ke depan, dan langsung melancarkan sebuah pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam. "Sambut seranganku...!" seru lelaki tinggi kurus itu membentak.

"Hm...," dara cantik itu bergumam pelan, seraya menggeser kaki kanannya ke samping. Kemudian disusul dengan gerakan tubuh meliuk indah. Ketika pukulan telah lewat di sampingnya, tubuh dara cantik itu langsung berputar dengan sebuah tendangan belakang yang mengincar pelipis lawan.

Plak!

Terdengar suara benturan keras ketika lelaki tinggi kurus itu mengangkat lengan kirinya memapaki tendangan lawan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Terlihat lelaki tinggi kurus itu agak terkejut, ketika merasakan kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi dalam tendangan gadis itu.

"Hm..., pantas kau demikian sombong. Rupanya kepandaianmu memang cukup hebat...," ujar lelaki tinggi kurus itu yang mau tak mau terpaksa memuji kekuatan tenaga sakti lawannya, "Tapi, jangan besar kepala dulu. Sambutlah seranganku selanjutnya. " Dan sesaat setelah ucapannya selesai, tubuh lelaki tinggi kurus itu sudah melayang dengan sebuah serangan yang jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.

Bettt! Bettt!

Melihat serangan lawannya semakin berbahaya, dara cantik berpakaian biru muda itu segera menyilangkan kedua tangannya dan langsung dijulurkan ke depan. Terdengar sambaran angin berkesiutan ketika sepasang lengan yang mengepal itu berputaran membentuk gerakan-gerakan yang indah dan kuat.

"Haittt..!"

Dibarengi sebuah seruan melengking, tubuh ramping yang terbungkus pakaian biru muda itu langsung menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar saja, keduanya telah saling serang dengan jurus-jurus ampuh. Pukulan keduanya menimbulkan deru angin yang tajam. Namun, setelah lewat dua puluh jurus lebih, terlihat sosok bayangan biru muda mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawannya. Tampak sosok tinggi kurus yang menjadi lawannya itu mulai terdesak, dan hanya bisa bergerak mundur.

Plak! Plak!

"Aaah...!?"

Meskipun dua buah pukulan lawan masih dapat ditangkis, namun lelaki tinggi kurus itu terdengar memekik kesakitan. Dan, tubuhnya terpental keluar dari dalam arena pertempuran.

"Terimalah pukulanku!" seru dara cantik berpakaian biru muda itu sambil melesat mengejar tubuh lawannya. Dan....

Desss!

Tanpa ampun lagi, lawannya yang tidak mampu mengelak itu langsung kembali terpental. Kali ini darah segar muntah dari mulutnya. Jelas kepalan mungil yang menghantam bagian dadanya itu sangat kuat, sehingga menimbulkan luka yang tidak bisa dipandang enteng.

"Haittt!"

Dara cantik itu sepertinya tidak mau tanggung-tanggung dalam menuntaskan pertempuran. Terlihat ia kembali melesat dengan telapak kaki yang siap menjejak tubuh lawan yang tengah tergeletak hendak bangkit berdiri.

Derrr...!

"Aaah...!" Untunglah dalam saat yang gawat itu lawannya masih sempat menyadari datangnya bahaya maut. Sebisa-bisanya ia langsung bergulingan menghindari telapak kaki mungil yang jelas bisa mendatangkan kematian bagi dirinya.

"Hm..., rupanya kau masih sempat juga menyelamatkan dirimu, Orang Tua. Tapi, kali ini kau coba saja menghindarinya...," ancam dara cantik itu yang kali ini memberikan kesempatan kepada lawannya untuk berdiri tegak. Kemudian, tubuhnya langsung meluncur ketika lelaki kurus itu sudah memasang kuda-kudanya, meskipun dengan tubuh agak goyah.

"Haittt... !"

Diiringi teriakan melengking panjang, tubuh dara cantik itu melayang ke arah lawannya. Bunggali dan ketiga orang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kepandaian mereka memang masih jauh untuk dapat menyelamatkan guru mereka.

"Heaaah...!"

Ketika serangan dara cantik itu sudah dekat, tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang merupakan seorang tokoh dari Perguruan Gunung Lawa itu mengibaskan tangan kanannya ke depan. Kemudian, ia langsung bergulingan ke samping guna menghindari serangan lawan.

"Aaah...?!"

Dara cantik manis itu memekik kaget ketika ia melihat kibasan tangan lawan menyemburkan gumpalan asap tipis berbau harum. Sadarlah dara cantik itu kalau lawannya berbuat curang dengan menebarkan bubuk beracun. Cepat ia melompat mundur dan berputaran ke udara sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh, guna mengusir asap putih yang berasal dari bubuk racun itu. Namun, bubuk yang sudah telanjur tercium tadi, membuat tubuh dara cantik itu tampak goyah ketika sepasang kakinya mendarat di atas tanah.

"Ohhh...! Dasar pengecut licik...!" umpat gadis itu sambil memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa pening yang membuat pandangannya kabur.

TIGA

"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kelihaian orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa, Perempuan Liar...!" lelaki tinggi kurus itu tertawa bergerak ketika melihat lawannya mulai goyah. Cepat ia memerintahkan murid-muridnya untuk membekuk dara cantik itu. Sedangkan ia sendiri sudah melompat maju seraya mengirimkan tamparan kilat ke bahu gadis itu.

Plak.

Meskipun kepalanya terasa pening dan pandangan kabur, namun dara cantik itu masih sempat mengangkat tangannya untuk memapak tamparan lawan. Sayang, gerakannya tidak lagi segesit semula. Akibatnya, sebuah tendangan salah seorang pengeroyok, menghajar telak punggungnya.

Desss...!

"Hugkh...!"

Kontan tubuh dara cantik itu terjerunuk ke depan. Kembali tubuh ramping itu terjengkang ketika sebuah pukulan keras mendarat diperutnya.

"Roboh...!" lelaki tinggi kurus itu membentak nyaring seraya melontarkan tamparan keras ke arah pelipis gadis cantik itu. Agaknya ia ingin membuat lawannya pingsan.

Whuttt..! Plakkk!

"Aih...!?"

Mendadak sesosok bayangan berkelebat memapak serangannya, saat tamparan lelaki kurus itu hampir mengenai sasarannya. Akibatnya, terdengarlah benturan keras disusul jeritan kaget dari lelaki kurus itu. Tubuhnya terpental balik dan hampir terpelanting.

"Bedebah...!" umpat lelaki tinggi kurus itu dengan wajah merah padam, ia kemudian bergerak bangkit seraya menatap tajam ke arah sosok tegap yang tengah dikeroyok empat orang muridnya. Hatinya kembali tercekat ketika dua orang muridnya terpelanting dan langsung pingsan, hanya dalam satu gebrakan saja. Karuan saja kemarahan lelaki tinggi kurus itu makin menggelegak.

"Haaat...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke arah pertarungan. Begitu tiba, ia langsung melancarkan serangan-serangan yang menimbulkan angin berkesiutan.

Namun, sosok tegap yang baru muncul itu benar-benar hebat sekali. Gerakannya demikian gesit dan sangat kuat. Sehingga, meskipun dikeroyok tiga orang, ia dengan mudah mengelakkan setiap sambaran senjata dan pukulan lawan-lawannya. Bahkan serangan balasannya justru jauh lebih hebat dari lawan-lawannya.

Plakkk!

Sosok tegap itu merunduk sambil memiringkan tangan kirinya, dan memapaki sebuah tendangan yang dilancarkan lelaki tinggi kurus itu. Kemudian, langsung meliuk dengan mengirimkan sebuah hantaman telapak tangannya yang tepat mendarat di dada kiri lawan.

Bukkk!

"Hugkh...!"

Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kurus itu langsung terpental menyemburkan darah segar. Gerakan sosok tegap itu terus berlanjut mematahkan serangan dua batang senjata pengeroyoknya. Dan, mengirimkan tendangan serta pukulan yang membuat kedua orang pengeroyok terakhir berpelantingan tersambar pukulan dan tendangannya.

"Bangsat! Siapa kau, Kisanak...?" desis lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat kawannya. "Kau telah membuat permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa! Hal itu akan membuatmu menyesal seumur hidup...!"

"Hm..., terserah kau, Orang Tua. Kalau kau menganggapnya demikian, aku pun tidak bisa menolak. Sekarang, tinggalkanlah tempat ini sebelum kesabaranku habis...!" ancam sosok tegap yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan dan gagah. Sikapnya tampak tenang, meskipun lawannya jelas-jelas mengancam. Malah ia balik mengancam dengan berani.

Sehingga, ganti lelaki tinggi kurus itulah yang menjadi gelisah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung mengajak kedua orang muridnya untuk membawa dua orang kawannya yang masih tak sadarkan diri itu. Kemudian mereka berlari meninggalkan tempat itu dengan hati penasaran dan penuh dendam.

"Sebutkan namamu, kalau kau benar-benar bukan seorang pengecut, Kisanak...?" ujar lelaki tinggi kurus itu, sebelum meninggalkan kedua orang lawannya. Sorot matanya terlihat penuh api dendam ketika menatap sosok pemuda bertampang gagah itu.

"Hm..., namaku Sasmita. Kalau kalian ingin membalas dendam, datanglah ke Bukit Harimau Putih...," jawab pemuda tampan itu tanpa gentar sedikit pun.

"Bukit Harimau Putih...?! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Macan Sakti...?" tanya lelaki tinggi kurus itu agak terkejut ketika mendengar jawaban pemuda itu.

Kini ia baru mengerti mengapa gerakan pemuda itu seperti pernah dikenalnya. Diam-diam hatinya agak bergetar ketika mendengar pemuda itu berasal dari Bukit Harimau Putih, yang merupakan tempat tinggal seorang tokoh besar golongan putih. Dinantinya jawaban pemuda itu dengan hati berdebar tegang.

"Aku adalah putra tunggalnya...," jawab pemuda gagah itu tanpa terkesan bahwa ia hendak mengandalkan ketenaran nama orangtuanya dalam menanggapi ancaman lawan.

"Hm..., kalau begitu orangtuamu harus diberi peringatan agar bisa mendidik putranya dengan baik. Tunggulah pembalasan kami! Persoalan ini masih belum selesai...," ujar lelaki kurus itu dengan nada mengancam.

Setelah berkata demikian, lelaki bertubuh tinggi kurus itu menyusul kawan-kawannya. Langkahnya terlihat limbung. Karena ia menderita luka dalam akibat pukulan Sasmita. Untunglah pemuda gagah itu tidak berniat menghabisi lawan-lawannya. Kalau tidak, rasanya kelima orang itu tidak mungkin bisa meninggalkan tempat itu dalam keadaan masih bernyawa.

Sepeninggal kelima orang itu, Sasmita segera melangkah menghampiri dara cantik berpakaian biru muda yang tergeletak pingsan. Jelas, bubuk beracun itu telah membuatnya tidak berdaya.

"Hm...," Sasmita bergumam perlahan. Kemudian dipondongnya tubuh ramping itu dan melesat pergi.

Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sasmita terus bergerak menyusuri hutan. Ia berniat hendak mencari pondok yang biasa dibuat oleh para pemburu untuk bermalam. Meskipun racun yang melumpuhkan tubuh gadis dalam pondongannya itu tidak berbahaya, tapi ia hendak mencari tempat yang aman dan terlindung. Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa akan kembali dengan membawa kawan-kawan yang lebih banyak. Hal itulah yang dikhawatirkan pemuda itu.

Tidak terlalu sulit bagi Sasmita untuk mencari tempat yang dimaksudkannya itu. Tidak berapa lama kemudian, di depannya terlihat sebuah pondok sederhana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda gagah itu langsung memasuki pondok itu setelah yakin tidak ada orang di dalamnya. Tubuh dara cantik berpakaian biru muda itu diletakkannya di aras balai-balai, ia sendiri kemudian melesat pergi untuk mencari air.

Setelah air sungai yang dijerangnya masak, Sasmita duduk di undakan tangga pondok sambil menanti dara cantik itu siuman. Tadi ia sudah mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh gadis itu, yang berguna untuk mempercepat bangkitnya kesadaran.

"Ouhhh...!"

Sasmita bergerak bangkit ketika mendengar keluhan lirih gadis cantik yang ditolongnya itu. Pemuda itu berdiri di samping balai-balai sambil memandang gadis cantik manis yang terlihat berkeringat itu. Diam-diam kekagumannya semakin bertambah, membuat hatinya bergetar aneh. Meskipun demikian. Sasmita sama sekali tidak berani menyentuhnya. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum menunggu pulihnya kesadaran dara cantik manis itu.

Tidak berapa lama kemudian, Sasmita melihat kelopak maia dara itu mulai terbuka. Pemuda gagah itu menahan debaran dalam dadanya ketika melihat sepasang mata gadis itu tampak mengerjap beberapa kali, sebelum terbuka lebar-lebar.

"Kau...?!" pekik dara cantik manis itu ketika melihat sosok pemuda yang dikenalnya, tengah berdiri menatapnya sambil tersenyum. "Apa yang kau lakukan...?"

Sasmita, hanya tersenyum lebar ketika melihat dara cantik yang telah menarik hatinya itu bangkit dengan wajah bersemu merah. Pemuda itu masih tetap berdiri tenang, meskipun dara cantik itu telah berdiri tegak di hadapannya.

"Ke mana manusia-manusia licik itu...?" tanya dara cantik itu seraya menoleh dan mencari-cari orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang telah mengeroyoknya.

"Mereka telah pergi...," sahut Sasmita sambil mengambil air obat yang telah dimasaknya. Diangsurkannya gelas bambu itu kepada dara cantik di depannya. "Tubuhmu masih agak lemah. Sebaiknya kau minumlah obat ini guna melancarkan darahmu yang terhambat akibat racun pembius orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu."

"Racun pembius...?" desis dara cantik itu mengerutkan kening. Dara cantik itu mencoba mengingat kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Perlahan-lahan, ia mulai dapat mengingat rangkaian peristiwa yang baru saja dialaminya.

"Kaukah yang menolongku dari tangan mereka...?" tanya dara cantik itu seraya memperhatikan wajah Sasmita.

Pemuda itu tersenyum lebar melihat dara itu menelusuri wajahnya, seperti hendak menilai dirinya. "Maaf kalau perbuatanku kau anggap lancang, Nisanak. Semua itu kulakukan karena aku tidak rela kau jatuh ke tangan mereka. Meskipun Perguruan Gunung Lawa bukan dari golongan sesat, tapi mereka pun tidak bisa dikatakan orang baik-baik," sahut Sasmita agak merendah. Tangannya masih tetap terulur mengangsurkan gelas bambu berisi air obat.

"Hm...," dara cantik manis itu bergumam pelan. Ada rasa kagum melihat sikap pemuda tampan itu yang berlaku sopan dan menghormati dirinya. Perlahan disambutnya gelas bambu di tangan pemuda itu. Sesaat dara cantik itu tertegun ketika ia merasakan getaran aneh saat jari-jari tangan mereka saling bersentuhan. Hal itu membuat hatinya berdebar-debar. Untuk mengalihkan perhatian, diteguknya air obat yang diberikan pemuda itu.

"Mmm..., kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui namamu, Nisanak? Aku sendiri bernama Sasmita...," tanya Sasmita seraya memperkenalkan namanya kepada gadis itu.

"Namaku Sari Asih...," sahut dara cantik manis itu setelah meneguk habis air obat di dalam gelas bambu, dan meletakkannya di atas balai-balai.

"Sari Asih.... Sebuah nama yang indah...," ujar Sasmita perlahan seperti hendak mengukir nama itu dalam hatinya. Ditatapnya wajah cantik manis yang menimbulkan kekaguman di hatinya.

Sari Asih merundukkan wajahnya ketika melihat pancaran kekaguman pada sepasang mata pemuda gagah itu. Ia merasa aneh tatkala debaran dalam dadanya semakin kuat. Padahal, bukan baru kali ini ia menemukan tatapan itu pada mata laki-laki. Tapi, kali ini ia benar-benar merasakan adanya kelainan dalam dirinya. Ada jalaran rasa nikmat dan bangga mendapat tatapan penuh kagum dari pemuda gagah yang menolongnya itu. Merasa agak jengah mendapat ratapan mata Sasmita, Sari Asih membalikkan tubuhnya dan melangkah ke pintu.

"Ah..., hari sudah mulai gelap...," desahnya perlahan seraya menatap ke luar pondok yang mulai diselimuti kegelapan.

"Kalau begitu, biarlah aku mencari makan malam untuk kita. Kuharap kau mau menunggu sebentar...," ujar Sasmita yang langsung melesat pergi, sebelum Sari Asih mengangguk menyetujuinya.

Dara cantik itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya perlahan. Sepeninggal Sasmita, Sari Asih duduk di tepi balai-balai menatap ke luar lewat jendela yang terbuka. Perhatian pemuda itu yang berlebihan terhadap dirinya, membuat Sari Asih termenung. Ia memang kagum dengan kegagahan dan kesopanan sikap Sasmita. Ditambah lagi, pemuda itu bukan orang lemah. Bahkan mungkin masih berada di aras kepandaiannya sendiri.

Sari Asih sadar bahwa pemuda seperti Sasmita sangat jarang ditemuinya. Diam-diam, ia mulai membayangkan andaikata pemuda itu menyukainya. Bagaimana ia harus bersikap? Karena ia sendiri pun tidak dapat menipu dirinya sendiri yang mulai merasa kagum dan suka kepada pemuda itu. Bahkan ada rasa damai dan aman berada di sisi pemuda itu.

Sari Asih tidak bisa memastikan apakah ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu atau hanya suka sebagai seorang kawan baik. Dara cantik itu belum berani memastikan. Menurutnya, hal itu masih terlalu pagi. Selain itu, Sari Asih belum tahu banyak tentang Sasmita, ia memutuskan untuk melihat bagaimana kelanjutan sikap pemuda itu. Dan ingin mengetahui mengapa pemuda itu selalu membuntutinya sejak dari Desa Angkeran. Meskipun ia sudah dapat meraba, tapi Sari Asih belum tahu pasti.

Sari Asih yang tengah termenung itu langsung bergerak bangkit ketika telinganya menangkap suara gerakan orang di luar. Cepat ia melesat ke pintu. Senyumnya mengembang ketika melihat Sasmita datang dengan membawa dua ekor ayam hutan di tangan kanannya.

"Lihat, Asih! Rupanya nasib kita memang sedang beruntung. Dua ekor ayam hutan ini cukup gemuk. Rasanya cukup untuk kita berdua," seru Sasmita seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Wajah pemuda itu berseri gembira. Nada suaranya pun terdengar sangat akrab, membuat senyum di bibir Sari Asih semakin lebar.

Tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih langsung menghampiri Sasmita, dan mengambil dua ekor ayam hutan di tangan pemuda tampan itu. Sedangkan Sasmita sendiri bagai mendapatkan sebuah karunia yang tiada taranya ketika melihat senyum manis di bibir gadis yang telah menawan hatinya itu.

"Hm..., kau sudah susah mencarinya. Sekarang biarlah aku yang memasakkannya untuk kita berdua. Tolong buatkan api untuk memanggang ayam ini..," ujar Sari Asih sambil melangkah menuju pondok.

Dara cantik manis itu sama sekali tidak memperhatikan betapa Sasmita seperti orang tolol. Pemuda itu bagaikan terkena sihir! Ia benar-benar terpesona dengan senyum manis yang diberikan Sari Asih. Kesadaran baru kembali mengisi pikiran pemuda itu ketika bayangan tubuh Sari Asih telah lenyap di balik pintu. Sasmita menggeleng berkali-kali sambil berdecak tak habis-habisnya. Kali ini hatinya benar-benar telah terpikat oleh kecantikan dan senyum manis Sari Asih.

"Ya,Tuhan. Makhluk yang kau ciptakan ini benar-benar tiada cacatnya. Rasanya aku mudah sekali jatuh cinta terhadap seorang dara seperti dia. ," gumam Sasmita sambil menatapi daun pintu pondok yang telah tertutup itu.

Teringat akan pesan Sari Asih, pemuda itu segera melangkah ke samping pondok, ia sepertinya sudah cukup hafal dengan kebiasaan para pemburu yang selalu menyiapkan kayu bakar di samping pondok. Harapan Sasmita memang tidak sia-sia. Ia melihat ada setumpuk kecil kayu bakar sisa para pemburu yang pernah melewatkan malam di pondok itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera mengumpulkan kayu bakar. Lalu, dibuatnya sebuah api unggun yang cukup besar, tidak sulit memang bagi seorang ahli silat untuk membuat api. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Sasmita membuat api guna menyalakan kayu-kayu bakar itu dengan api unggun. Sebentar saja terlihat lidah api menjilat-jilat kian kemari, dan sesekali menari tertiup angin.

Tidak berapa lama kemudian, muncul Sari Asih membawa ayam hutan yang bulunya sudah dibuang, dan diberi bumbu penyedap. Rupanya dara cantik manis itu telah merebus kedua ekor ayam itu, yang terlihat masih mengepulkan asap tipis, dan berwarna kekuningan.

"Ah, kau ternyata pandai memasak. Asih. Baru setengah matang, harumnya sudah membuat cacing-cacing di perutku memberontak...," puji Sasmita sambil menggerak-gerakkan hidungnya persis seperti kucing mencium ikan asin.

Tingkah pemuda itu membuat Sari Asih terkekeh lirih. Sehingga menampakkan rongga mulutnya yang kemerahan serta giginya yang putih laksana untaian mutiara. Dan, untuk kesekian kalinya, Sasmita merasakan dadanya berdebar menyaksikan pemandangan itu.

"Eh, kau kenapa, Sasmita...?" tegur Sari Asih yang menghentikan tawanya ketika melihat pemuda gagah itu tampak terbengong-bengong dengan mulut terbuka.

"Eh, oh..., tidak.... Tidak apa-apa...," sahut Sasmita yang menyadari ketololannya. Segera saja ia memperbaiki sikapnya.

Sari Asih yang sempat menangkap getar-getar asmara pada sepasang mara pemuda itu, berpura-pura bodoh. Dara cantik manis itu langsung saja duduk di samping Sasmita, dengan tangan kanan masih memegang ayam hutan yang siap dibakar.

"Biar aku saja yang mengerjakannya...," pinta Sasmita untuk menghilangkan kekakuan sikapnya.

Sari Asih tidak menolak, ia menyerahkan kedua ekor ayam hutan itu kepada Sasmita yang sudah mengangsurkan tangannya. Setelah itu, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Mereka seperti terhanyut dalam alam pikirannya masing-masing. Sasmita sendiri sampai tidak sadar kalau ayam yang dibakarnya telah gosong sebagian. Maka, meledaklah tawa kedua orang muda itu ketika mencium bau hangus yang menusuk hidung mereka.

"Ah, untunglah belum seluruhnya terbakar hangus...," ujar Sasmita seraya menatap Sari Asih penuh penyesalan.

Gadis cantik itu sendiri hanya tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa. Sari Asih langsung saja mengambil dan mencicipinya pada bagian yang tidak hangus. Sasmita meniru perbuatan dara cantik itu. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendapat kenyataan bahwa ayam bakar itu ternyata sangat gurih dan nikmat. Sari Asih sendiri hanya tersenyum melihat anggukan kepala pemuda itu.

Sebentar saja, suasasana menjadi hening. Baik Sasmita maupun Sari Asih sama-sama menikmati makanan itu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya dada mereka yang bergemuruh setiap kali bertemu pandang.

EMPAT

"Kemana tujuanmu sekarang, Asih...?" tanya Sasmita saat keduanya melangkah meninggalkan hutan pagi itu.

Tampaknya mereka sudah semakin akrab, meskipun belum lama saling mengenal. Hal itu dikarenakan keduanya merasa cocok, dan memiliki banyak persamaan.

"Hm..., sudah hampir satu tahun aku bertualang. Rasanya aku sudah rindu kepada ayahku. Jadi..., aku berniat hendak menjenguk beliau...," sahut Sari Asih tanpa mengalihkan tatapan matanya yang tertuju lurus kedepan.

"Ah, kebetulan sekali kalau begitu...," ujar Sasmita sambil menatap wajah cantik di sebelahnya. "Aku ingin sekali berkenalan dengan orangtuamu. Tentu saja kalau kau tidak keberatan. "

"Jangan, Sasmita. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa setelah bertemu ayahku. Ibuku sendiri sudah lama meninggal.," sahut Sari Asih seolah merasa khawatir kalau Sasmita tidak suka bergaul dengannya lagi setelah mengenal siapa ayahnya. Itulah sebabnya Sari Asih berusaha menolak permintaan sahabat barunya itu.

"Asih,... Aku tidak peduli siapa ayahmu, atau bagaimanapun buruknya sikap beliau. Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk merasa takut aku tidak menyukai orangtuamu...," Sasmita tetap bersikeras hendak mengenal orangtua Sari Asih.

Gadis cantik itu hanya bisa menghela napas panjang. Setelah mengenal Sasmita, ia sadar kalau pemuda itu memiliki kemauan yang keras. Buktinya pemuda itu terap saja membuntutinya walaupun sudah diberi peringatan keras.

"Terserah kaulah. Satu hal yang perlu kau ketahui. Ayahku selalu berbicara apa adanya. Bahkan tidak jarang ia menghina seseorang di depan orang itu sendiri. Kalau suka, ia langsung mengatakannya. Demikian juga sebaliknya. Jadi, penolakanku tadi bukan karena aku tidak suka kau berkenalan dengan ayahku, tapi, aku takut kalau kau tersinggung karena ucapan-ucapan ayahku yang kurang berkenan dihatimu," ujar Sari Asih mengingatkan sifat orangtuanya kepada Sasmita.

Sasmita mengangguk-angguk memaklumi penolakan dara cantik itu. "Kau tidak usah khawatir, Asih. Aku sudah hampir satu tahun lebih melakukan petualangan. Dan aku sering menjumpai orang-orang yang mempunyai sifat aneh. Jadi, rasanya aku tidak akan terkejut bila berjumpa dengan orangtuamu. Apalagi kau telah berbaik hati memberitahukannya," ujar Sasmita yang sepertinya terap ingin bertemu orangtua Sari Asih.

Ucapan itu membuat Sari Asih berpaling dan menatap mata sahabatnya lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menilai kebenaran ucapan Sasmita melalui sepasang mata yang merupakan jendela hati itu.

"Terserah kaulah...," desah Sari Asih ketika ia melihat sinar kejujuran dan kesungguhan di mata sahabatnya itu.

"Terima kasih, Asih. ," ujar Sasmita gembira. Pemuda itu langsung memegang kedua bahu Sari Asih.

Sehingga, dara cantik itu terlihat agak kaget, dan melangkah mundur dua tindak. Seolah-olah ia merasakan sesuatu yang aneh dari sentuhan tangan pemuda itu dibahunya.

Sasmita sendiri langsung menarik kedua tangannya dari bahu Sari Asih. Ia pun merasakan adanya getaran yang terasa nikmat menjalari kedua lengannya saat menyentuh bahu dara cantik itu. Kejadian itu membuat keduanya seperti terkena sihir. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri saling berpandangan tanpa tahu harus bersikap bagaimana.

"Maaf, Asih. Aku..., benar-benar gembira sekali mendengar jawabanmu...," ujar Sasmita yang lebih dulu dapat menguasai keadaan. Sasmita langsung saja minta maaf, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa permintaan maafnya itu. Tapi, paling tidak ucapannya telah membuat kekakuan di antara mereka kembali lenyap.

"Kau ini aneh, Sasmita. Aku sama sekali tidak melihat kesalahanmu, mengapa kau minta maaf?" tegur Sari Asih seraya melangkah menyusuri jalan berbatu.

"Yah..., untuk apa saja yang kau anggap salah ," sahut Sasmita sekenanya. Karena ia sendiri pun tidak tahu untuk apa ucapan maafnya tadi. Sari Asih sendiri sama sekali tidak menuduh perbuatan pemuda itu merupakan suatu kesalahan. Sesaat kemudian keduanya tertawa karena merasa aneh dan lucu dengan tingkah mereka berdua tadi.

Kali ini mereka tidak lagi banyak berbicara. Dan, untuk mempercepat perjalanan, mereka mulai menggunakan ilmu lari masing-masing. Sasmita yang sadar bahwa sahabatnya seperti hendak menguji ilmu larinya, sengaja tidak mengerahkan seluruh kekuatannya. Ia hanya menjajari langkah Sari Asih, takut kalau-kalau dara cantik itu tersinggung bila ia mendahuluinya.

Sementara Sari Asih sendiri menyadari kelebihan pemuda tampan yang menarik hatinya itu. Ia melihat Sasmita selalu saja berada di sebelahnya, tanpa kelihatan lelah. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu larinya, sampai-sampai butir-butir keringat menghiasi keningnya. Napasnya pun agak memburu. Tetapi, napas pemuda itu sama sekali tidak terlihat memburu. Bahkan wajah tampannya tetap tenang dihiasi senyum gembira. Tentu saja semua kenyataan itu membuat Sari Asih semakin kagum.

Setelah setengah harian lebih melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat, keduanya tiba di kaki Gunung Buntar. Kini mereka berlari menuju sebelah Barat kaki gunung itu.

"Ayah..., aku pulang...!" seru Sari Asih ketika mereka tiba di dekat sebuah pondok kayu sederhana, tempat tinggal orangtua Sari Asih.

Seorang lelaki berwajah brewok berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar, ia mengembangkan sepasang lengannya menyambut tubuh Sari Asih yang sudah langsung memeluk tubuh lelaki gemuk itu erat-erat.

"Asih, Anakku...," desah lelaki brewok itu seraya menciumi rambut putrinya.

Untuk beberapa saat lamanya, mereka seperti melupakan kehadiran Sasmita yang berdiri penuh haru menatap pertemuan ayah dan anak itu. Sekilas terlintas keinginannya untuk menemui kedua orangtuanya di Bukit Harimau Putih.

"Eh?! Siapakah pemuda gagah yang datang bersamamu itu, Asih? Dari mana dia berasal? Siapa gurunya, dan siapa pula orangtuanya?" lelaki gemuk berwajah brewok itu memberondongkan pertanyaan kepada putrinya, sambil merenggangkan pelukannya ketika sepasang matanya menangkap sosok Sasmita yang tersenyum dan mengangguk penuh hormat.

"Ah, aku sampai terlupa...!" seru Sari Asih sambil melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Dara cantik manis itu langsung menyeret lengan Sasmita dan dibawanya ke hadapan ayahnya.

"Ayah, pemuda ini sahabatku. Ia bernama Sasmita. Mengenai pertanyaan-pertanyaan Ayah, biarlah ia sendiri yang menjawabnya. Silakan, Sasmita. Inilah orangtuaku...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kegembiraan. Sepertinya dara cantik itu memang sangat bahagia sekali.

"Paman, aku bernama Sasmita. Sedangkan guruku adalah ayahku sendiri yang dikenal berjuluk Pendekar Macan Sakti. Maaf kalau kedatanganku telah mengganggu pertemuan antara keluarga...," dengan membungkuk hormat Sasmita menjawab pertanyaan-pertanyaan lelaki gemuk brewok itu. Suaranya mantap dan tegas, meskipun tidak menghilangkan kesan hormatnya kepada ayah Sari Asih.

"Ha ha ha...! Putra Pendekar Macan Sakti datang bersama putriku? Benar-benar luar biasa sekali!" ujar lelaki brewok itu seraya tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui siapa pemuda gagah yang datang bersama putrinya. "Hei, Anak Muda. Kau pasti suka terhadap putriku yang cantik manis itu, bukan? Aku senang..., aku senang. Ha ha ha...! Calon menantuku benar-benar tidak mengecewakan! Hai, Pendekar Macan Sakti, aku suka berbesan denganmu...!" Setelah berkata demikian, lelaki gemuk berwajah brewok itu menari-nari kegirangan.

"Ayah...!" Sari Asih yang sama sekali tidak menduga kalau ayahnya sampai berkata demikian, menjadi merah wajahnya. Dara cantik itu merasa malu sekali mendengar ucapan ayahnya yang langsung menjodohkan ia dengan Sasmita. Bukan karena ia merasa tidak suka terhadap pemuda gagah itu. Tapi, ia sendiri belum mengetahui isi hati Sasmita. Hal itulah yang membuat Sari Asih terisak, dan langsung berlari meninggalkan tempat itu.

"Ha ha ha...! Kejarlah, Sasmita! Ayo, kejar calon istrimu itu. Bujuk dia, dan bawa kemari! Kau pasti suka kepadanya, bukan? Kalau tidak, kau akan kubunuh karena telah berani datang bersama putriku...!" ujar lelaki brewok itu kepada Sasmita yang terkejut melihat Sari Asih berlari meninggalkan tempat itu. Ia maklum akan perasaan Sari Asih. Karena ia sendiri merasa jengah mendengar ucapan lelaki brewok itu yang seolah-olah menelanjangi dirinya.

Sasmita tertegun sesaat. Setelah itu, ia melesat mengejar Sari Asih yang lenyap di balik timbunan pepohonan. Pemuda itu melihat dara cantik yang menarik hatinya itu tengah menangis. Gadis itu duduk di sebuah batu besar seraya menundukkan kepalanya. Perlahan Sasmita melangkah mendekati sambil berusaha menekan langkah kakinya agar tidak mengganggu dara cantik itu. Kemudian, ia duduk di sebelah dara cantik itu tanpa bersuara.

"Asih..., aku maklum kau tentu merasa malu dengan ucapan ayahmu. Biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk menyampaikan perasaan hatiku yang mungkin telah dapat kau duga. Ucapan ayahmu sama sekali tidak salah, Asih. Aku memang mencintaimu. Aku suka kepadamu, dan ingin sekali berdekatan. Itulah sebabnya mengapa aku selalu membuntutimu, meski telah kau beri peringatan keras. Kuharap pengakuanku ini bisa mengurangi beban yang saat ini menekan hatimu...," perlahan sekali kata-kata itu meluncur dari bibir Sasmita.

Meskipun demikian, Sari Asih dapat menangkapnya dengan jelas. Kemudian, dara cantik itu memutar tubuhnya, dan menatap wajah Sasmita dengan mata basah. "Benarkah itu, Sasmita...? Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku? Kau sadar akan perbedaan kita yang sangat jauh. Aku adalah seorang putri tokoh sesat. Sedangkan kau adalah putri seorang pendekar besar. Perbedaan itu sangat sulit untuk ditembus. Kau sadar itu, Sasmita...?" ujar Sari Asih sambil menatap wajah Sasmita.

"Asih.... Setelah kau tahu isi hatiku, apakah kau mau menyambutnya dengan tangan terbuka. Ucapkanlah pengakuanmu sebelum aku menjawab semua rasa penasaran di hatimu, Asih...," pinta Sasmita dengan suara berdesah perlahan.

Sepasang mata Sasmita menghunjam tepat di bola mata bening milik gadis cantik itu. Dan, Sari Asih tahu betapa sepasang mata pemuda itu memancarkan kasih sayang yang tulus. Sari Asih merasa hatinya segar bagaikan pohon yang disirami air bening. Perlahan bibir yang merah basah itu merangkai senyum penuh kebahagiaan.

"Aku suka kepadamu. Sasmita. Aku kagum dan..., rasanya tidak bisa kupungkiri lagi kalau aku juga mencintaimu..., Kakang...," ucap Sari Asih tanpa malu-malu, seraya membalas tatapan mata Sasmita dengan pancaran kasih yang tulus.

"Asih..., demi kau, demi kebahagiaan kita, halangan apa pun akan kuhadapi. Aku tidak peduli siapa, atau dari mana kau berasal. Yang jelas, aku mencintaimu apa adanya. Bukan keluargamu, dan bukan pula hartamu. Aku menginginkan kau, Asih...," tanpa keraguan lagi, Sasmita memegang kedua bahu dara cantik yang selama ini dicintainya secara diam-diam itu. Kemudian mendekapnya dengan lembut. Dikecupnya bibir merah menantang itu dengan segenap perasaan kasih di hatinya. Sebentar saja kedua insan muda itu terlelap dalam buaian dewi asmara.

LIMA

"Ha ha ha...!" lelaki gemuk brewok yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Setan Gunung Buntar itu tertawa bergelak menyambut kedatangan Sasmita dan putrinya yang bergandengan tangan. Jelas sekali tokoh sesat ini sangat gembira melihat pasangan yang menurutnya sangat cocok dan serasi itu. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian, dan sama-sama cantik dan tampan.

"Kalian benar-benar pasangan yang serasi! Aku merasa sangat gembira, dan merestui hubungan kalian. Untuk itu, kau boleh bawa calon istrimu itu ke Bukit Harimau Putih guna meminta restu dari orang-tuamu, Sasmita. Pergilah sekarang juga agar pernikahan kalian bisa dipercepat...," ujar Setan Gunung Buntar sambil menghampiri Sasmita dan Sari Asih.

"Terima kasih, Paman. Aku pun telah mengatakan hal itu kepada Sari Asih. Kami mohon pamit, dan kami akan kembali selekasnya untuk mengabarkan kepada Paman...," ujar Sasmita yang rupanya memang hendak menghadap ayah dan ibunya di Bukit Harimau Putih. Hal itu telah dibicarkan bersama Sari Asih sebelum mereka menemui Setan Gunung Buntar. Meskipun ada sedikit kekhawatiran mengenai tanggapan ayah dan ibunya, namun Sasmita telah bertekad untuk mempersunting Sari Asih, dara yang telah membuatnya mabuk kepayang itu.

"Bagus..., bagus.... Pergilah, dan cepat-cepat kembali untuk segera merayakan pernikahan kalian. Katakan kepada orangtuamu agar pernikahan dilangsungkan di Bukit Harimau Putih. Ha ha ha...!" ujar Setan Gunung Buntar lagi yang kembali tergelak penuh kegembiraan. Lelaki brewok itu sama sekali tidak pernah bermimpi kalau ia akan berbesan dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Macan Sakti itu. Jelas, pernikahan putrinya akan membuat geger rimba persilatan.

Setelah berpamitan kepada ayah kekasihnya, berangkatlah Sasmita bersama Sari Asih ke tempat kediaman orangtuanya. Sebagai orang-orang persilatan yang telah terbiasa melakukan perantauan, tentu saja mereka tidak merasa terlalu lelah, meskipun belum lama tiba di kaki Gunung Buntar itu. Sepasang insan yang berbahagia itu bergerak meninggalkan tempat itu diiringi gelak tawa Setan Gunung Buntar, yang memang hatinya sangat gembira sekali.

Letak Bukit Harimau Putih dengan Gunung Buntar memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih berada di wilayah Selatan. Untuk mencapai Bukit Harimau Putih dari tempat tinggal Sari Asih hanya memerlukan waktu satu hari lebih, bila ditempuh dengan menunggang kuda. Sedangkan bagi orang-orang persilatan yang memiliki kepandaian tinggi seperti Sari Asih dan Sasmita, hanya memerlukan waktu setengah hari. Hal itu disebabkan, selain mereka menggunakan ilmu lari cepat, juga mampu melakukan perjalanan tanpa mengurangi kecepatan berlari, saat mendaki dan menerobos semak belukar.

Setelah menginap di sebuah desa untuk melewatkan malam, pagi-pagi sekali Sasmita dan Sari Asih meninggalkan penginapan untuk menuju Bukit Harimau Putih. Dan, saat matahari sudah mulai menyinari permukaan bumi, keduanya telah tiba di depan sebuah bangunan besar yang di sekelilingnya dipagari kayu bulat.

"Inikah tampat tinggal orangtuamu, Kakang...?" tanya Sari Asih dengan suara lirih.

Sepertinya dara cantik itu merasa tegang untuk berhadapan dengan orangtua Sasmita yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar itu. Sasmita menyadari ketegangan hati kekasihnya Pemuda itu menggenggam erat jemari Sari Asih seolah-olah ingin memberikan ketabahan di hati dara cantik itu. Padahal, Sasmita sendiri merasakan ketegangan yang sama. Hanya saja ia berusaha menyembunyikannya agar Sari Asih tidak terpengaruh.

"Tenanglah, Asih. Apa pun akan kita hadapi bersama untuk meraih kebahagiaan kita...," hibur Sasmita menekan ketegangan di hatinya agar suaranya terdengar tenang. Kemudian, pemuda itu membawa kekasihnya melewati pintu gerbang yang hanya dijaga oleh seorang pembantu rumah besar itu.

Pendekar Macan Sakti tidak mempunyai banyak murid, karena memang ia tidak menginginkannya. Meskipun demikian, para pembantunya telah dibekali ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga rumah besar itu.b Lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang membukakan pintu gerbang untuk majikan mudanya itu mengangguk hormat kepada Sasmita dan Sari Asih.

"Rupanya Tuan Muda sudah kembali...," sapa lelaki gagah itu dengan senyum lebar.

"Hm..., apakah ayah dan ibuku ada di dalam, Paman...?" tanya Sasmita setelah berbasa-basi sesaat Kemudian, Sasmita kembali melangkah sambil tetap menggenggam tangan Sari Aaih ketika penjaga itu memberitahukan bahwa ayah dan ibunya ada di taman belakang.

"Ayah.... Ibu...," panggil Sasmita ketika ia telah tiba di taman belakang, dan melihat sosok ayah dan ibunya tengah duduk menikmati belaian angin yang bersilir lembut.

"Sasmita...!" lelaki gagah dan wanita cantik berusia lima puluh tahun dan tiga puluh delapan tahun itu tersentak kaget ketika melihat putranya telah berdiri beberapa langkah di dekat mereka. Karena sudah satu tahun lebih Sasmita merantau, kerinduan kedua orang tua itu telah menutupi kesadarannya bahwa putra mereka datang bersama seorang gadis berpakaian biru muda yang cantik dan manis.

Nyi Sekar Galung, ibu Sasmita langsung saja memeluk tubuh putra tunggalnya itu dengan penuh kerinduan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang kelihatan masih cantik itu sama sekali tidak memperhatikan kehadiran Sari Asih. Lain halnya dengan Pendekar Macan Sakti yang berdiri dengan kening berkerut menatap sosok Sari Asih. Lelaki tinggi gagah itu hanya mengangguk sedikit ketika dara cantik itu tersenyum dan mengangguk hormat kepadanya.

"Sasmita...," panggil Pendekar Macan Sakti dengan suaranya yang berat dan berpengaruh. Sehingga ibu dan anak yang saling berpelukan itu menoleh ke arah asal suara.

"Ayah...," Sasmita langsung melangkah mendekati ayahnya.

Namun, langkah pemuda itu tertunda ketika melihat tatapan ayahnya yang tertuju ke arah Sari Asih. Segera saja Sasmita membawa dara cantik pilihan hatinya itu kepada orangtuanya.

"Asih, inilah kedua orangtuaku. Ayah, Ibu, gadis ini bernama Sari Asih. Ia sangat gagah dan berbudi luhur. Aku mencintainya, Ayah, Ibu...," ujar Sasmita memperkenalkan Sari Asih kepada kedua orangtuanya. Kemudian ia menanti jawaban dari mulut kedua orangtuanya.

"Hm..., orang-orang muda sekarang terlalu cepat mengambil keputusan. Baru kenal sebentar, sudah melakukan perjalanan bersama-sama. Apa maksudmu membawa dia kemari. Sasmita? Apakah kau sudah mengenal keluarganya dengan baik...?" tegur Pendekar Macan Sakti yang memang bersikap keras dalam mendidik putra tunggalnya itu.

Hati Sasmita menjadi tegang. Pemuda itu melirik ke ibunya, seolah-olah meminta bantuan. Sasmita kembali berpaling menatap ayahnya setelah melihat anggukan kepala ibunya.

"Kami saling mencinta. Ayah. Dan, kami berniat hendak melanjutkan ke pernikahan. Orangtua Sari Asih sudah merestui hubungan kami," jawab Sasmita tanpa menyebutkan nama ataupun julukan orangtua kekasihnya. Jelas pemuda itu kelihatan ragu-ragu untuk memberitahukan perihal orangtua Sari Asih.

"Hm..., bagus kalau kau telah mengenal orangtuanya. Sebutkan julukannya, mungkin aku kenal dengan orangtua gadis temanmu itu," ujar Pendekar Macan Sakti dengan suara keras.

"Mmm.... Ia..., putri tunggal Setan Gunung Buntar, Ayah," jawab Sasmita memberanikan diri seraya menggenggam erat jemari tangan kekasihnya.

"Putri tunggal Setan Gunung Buntar? Apa maksudmu, Sasmita? Kau hendak mencoreng nama ayah dengan mengambil gadis putri tokoh sesat itu sebagai istrimu? Gila! Bocah gila!" bentak Pendekar Macan Sakti dengan suara menggelegar. Sehingga, baik Sasmita maupun Sari Asih tergetar mundur dengan wajah pucat.

"Tapi..., Sari Asih sama sekali tidak mempunyai sifat jahat, Ayah. Bahkan ia selalu bertindak seperti seorang pendekar wanita yang selalu membela kaum lemah. Itulah sebabnya aku memilih Sari Asih sebagai teman hidupku kelak. Harap Ayah dan Ibu dapat lebih bijaksana dalam menilai seseorang. Tidak semua keturunan seorang tokoh sesat mengikuti jejak orangtuanya. Demikian pula dengan para pendekar beraliran putih, yang bisa saja memiliki putra ataupun putri berhati jahat seperti seorang tokoh sesat...," Sasmita membantah ucapan ayahnya, dan membela Sari Asih yang wajahnya memerah akibat ucapan lelaki gagah itu. Kalau saja orang tua itu bukan ayah dari kekasihnya, rasanya Sari Asih akan menerjangnya dan bertarung mati- matian.

"Jangan menasihatiku, Sasmita. Aku dan ibumu lebih tahu bagaimana memilihkan jodoh yang tepat untukmu! Dan kau, Gadis Muda. Sebaiknya pergilah, cari pemuda lain yang sebanding denganmu," ujar Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas tidak merestui anaknya berhubungan dengan seorang putri tokoh sesat. Kalau hal itu sampai terjadi, ia merasa malu terhadap sahabat-sahabatnya yang sudah pasti akan mentertawakannya.

"Baiklah, Tuan pendekar besar yang berhati bersih seperti malaikat. Aku memang keturunan orang jahat yang tidak pantas menjadi pendamping putramu. Sekarang aku pergi. Dan, jangan salahkan aku kalau sampai jatuh cinta dengan putramu. Sebab, cinta adalah karunia Tuhan, dan bukan kekuasaan manusia...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata yang mulai basah. "Kakang, aku pergi. Semoga kau mendapatkan seorang gadis baik-baik yang melebihiku..."

Setelah berkata demikian, Sari Asih langsung berbalik meninggalkan tempat itu. Entah ke mana tujuannya. Yang pasti, hatinya kini telah hancur akibat ulah orangtua Sasmita yang menganggap dirinya bersih dan berhati seperti malaikat.

"Asih, tunggu...!" seru Sasmita yang melihat gadis itu berbalik dan melesat pergi. Namun, Sari Asih tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari ke luar.

"Sasmita...!" Pendekar Macan Sakti berseru memanggil putranya. Sehingga pemuda gagah itu terpaksa menunda gerakannya, dan berbalik menatap kedua orangtuanya.

"Ayah dan Ibu ternyata sangat kejam. Sari Asih tentu merasa sakit hati dengan ucapan Ayah tadi. Kasihan dia, Ayah. Ia seorang gadis yang baik dan gagah...," ujar Sasmita dengan suara parau. Wajah pemuda itu tampak pucat dengan sepasang mata yang meredup bagaikan kehilangan semangat hidup.

"Sasmita. Kau boleh cari gadis mana pun asalkan bukan dari golongan sesat. Dan, kalau kau tetap menghendakinya, pergilah! Tapi, kami tidak sudi mengakuimu sebagai putra kami lagi! Jangan bawa-bawa nama kami dalam setiap tindakanmu!" tegas Pendekar Macan Sakti seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk rumah. Nampaknya keputusan lelaki gagah itu sudah tidak bisa dirubah lagi.

"Sasmita...," panggil Nyi Segar Galung seraya menyentuh bahu putranya. "Kau jangan membikin malu keluarga kita. Banyak gadis-gadis pendekar yang cantik dan gagah melebihi putri tokoh sesat itu. Lupakanlah gadis itu, ia tidak pantas untuk menjadi istrimu. Kau lihat saja sifatnya yang liar dan berani melawan ayahmu" Nyi Segar Galung membujuk putranya dengan suara yang lemah lembut. Meskipun demikian, tetap saja wanita cantik itu merendahkan Sari Asih. Sehingga, Sasmita semakin bertambah kecewa.

"Ibu, cinta tidak bisa dipaksakan. Dan, aku telah mencintainya. Aku tidak akan bisa melupakan Sari Asih. ," desis Sasmita. Tapi, ia sama sekali tak menolak ketika wanita cantik itu membimbingnya masuk.

"Kau harus bisa melupakannya, Anakku. Ibu akan mencarikan pengganti yang lebih baik bagimu. Percayalah. ," ujar Nyi Segar Galung membujuk putranya agar melupakan putri tokoh sesat itu.

"Tidak mungkin, Ibu..., tidak mungkin aku bisa melupakannya," desah Sasmita sambil menggeleng- gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.

Hati Sasmita terasa nyeri bila teringat betapa hancur hati Sari Asih ketika mendengar kata-kata ayahnya yang bernada menghina dan merendahkan tokoh sesat. Tapi, pemuda itu pun tidak ingin membuat kedua orangtuanya menjadi murka dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai anak. Sasmita benar-benar bingung, dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

*******************

ENAM

Sari Asih terus berlari dengan wajah bersimbah air mata. Hati dara cantik itu itu benar-benar merasa remuk. Kalau saja hinaan-hinaan itu datangnya bukan dari orangtua Sasmita, mungkin ia akan mengadu nyawa dengan orang itu. Tapi, teringat betapa orang tua itu adalah ayah kandung kekasihnya, Sari Asih tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa takut yang semula mencemaskan hatinya, benar-benar menjadi kenyataan. Teringat akan nasib buruknya, tangis Sari Asih semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon besar.

"Kakang...," desis dara cantik itu seraya menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya. Butir-butir air bening mengalir dari celah-celah jemari lentik gadis bernasib malang itu.

"He he he!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh yang membuat Sari Asih mengangkat kepalanya dan menatap kesekelilingnya. Kedukaan yang dalam membuat kewaspadaannya berkurang. Sehingga, tahu-tahu saja ia telah dikepung oleh delapan orang lelaki berpakaian serba hitam.

"Keparat-keparat Gunung Lawa! Untuk apa kalian mengangguku! Pergilah sebelum kesabaranku hilang dan membasmi kalian semua!" geram Sari Asih menumpahkan kekesalan serta kekecewaan hatinya kepada delapan orang laki-laki berseragam hitam, yang tidak lain adalah tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.

"He he he! Perempuan liar ini benar-benar sombong sekali, ia harus diberi pelajaran agar lain kali bisa bersikap lebih sopan terhadap orangtua sepertiaku.," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun. Kepalanya yang gundul tampak berkilat tertimpa cahaya matahari. Kumis dan jenggotnya yang telah memutih terlihat menghias wajahnya. Menilik dari ucapan dan sikapnya, lelaki ini adalah pimpinan orang-orang berpakaian serba hitam itu.

"Keparat! Rupanya kalian masih saja merasa penasaran dan menaruh dendam kepadaku! Baiklah. Hari ini juga kita selesaikan persoalan ini...!" Sari Asih yang merasa benar-benar marah itu segera menghunus pedangnya. Seketika, seberkas sinar putih berkelebat menyilaukan mata.

Swing!

Dengan menyilangkan senjatanya di depan dada, Sari Asih siap menghadapi pertarungan. Sepasang matanya yang masih merah karena terlalu banyak menangis itu menyorot tajam dan bengis. Terlihat pancaran nafsu membunuh pada sepasang mata dara cantik itu.

"He he he...! Bagus..., ingin kulihat bagaimana permainanmu, dan siapa sebenarnya orang yang telah mendidikmu. Marilah kita bermain-main sebentar, Perempuan Liar...," ujar lelaki botak itu terkekeh penuh ejekan.

Pada saat itu seorang lelaki kurus yang dikenali Sari Asih sebagai orang yang pernah menebarkan racun kepadanya, tampak mendekat dan berbisik kepada lelaki botak bersenjata tongkat itu.

"Hm..., jangan khawatir. Aku hanya ingin bermain-main sebentar, tanpa harus membunuhnya...," ujar lelaki berkepala botak itu dengan lagak sombong. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak mengingatkan pimpinannya untuk menawan gadis muda itu hidup-hidup.

"Sambut pedangku...!" Sari Asih berteriak tidak sabar. Langsung dia maju menerjang sambil memutar pedangnya. Terdengar angin berkesiutan saat pedang di tangan dara cantik itu berubah menjadi gulungan sinar putih yang melindungi sekujur tubuhnya.

Trang! Trang!

"Uhhh...?!" Sari Asih mengeluh tertahan ketika lawannya memapaki tusukan pedangnya dengan tongkat. Benturan keras itu membuat tubuhnya terdorong balik. Tentu saja Sari Asih menjadi terkejut bukan main ketika merasakan kekuatan tenaga dalam lawan.

"He he he...! Mengapa berhenti, Gadis Cantik...? Apakah kau ingin agar aku yang menyerangmu kali ini...?" ejek lelaki botak yang ternyata memiliki tenaga dalam yang amat kuat dan berada di atas kekuatan Sari Asih. Setelah berkata demikian, lelaki botak itu langsung merangsek maju dengan putaran tongkat kayu hitam di tangannya.

Whuttt! Whuttt..!

Kali ini Sari Asih tidak mau lagi bertindak ceroboh. Dara cantik manis itu bergerak menghindar seraya membalas dengan sabetan pedangnya yang mengaung tajam. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru. Merasakan jurus-jurus lawannya benar-benar hebat, Sari Asih mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi permainan lawan. Sayang, meskipun dara cantik itu telah menggunakan seluruh kekuatan serta kelincahannya, tetap saja ia dapat didesak oleh lawannya.

Serangan-serangan tongkat hitam lawan benar-benar sulit untuk ditebak. Bahkan, beberapa kali nyaris tubuh dara cantik itu menjadi sasaran senjata lawan. Untunglah Sari Asih masih sempat melindungi tubuhnya dengan putaran pedang, meskipun setiap kali menangkis ia merasakan lengannya nyeri. Namun, dara cantik itu tetap gigih dalam melakukan perlawanan.

"Haiiit..!" Untuk kesekian kalinya, lelaki botak itu berseru sambil mengayunkan tongkatnya, dan diputar mengincar tubuh lawan. Terdengar suara mengaung tajam saat senjata itu meluncur ke arah tubuh Sari Asih.

"Hiahhh...!" Sari Asih membentak sambil menyabetkan senjatanya dengan menarik mundur kaki kanannya.

Trang...!

Untuk kesekian kalinya, tubuh dara cantik itu kembali tergetar mundur ketika menangkis hantaman tongkat lawan. Bahkan, kali ini ia hampir terpelanting saking kerasnya daya luncur tongkat hitam lawannya.

"Hm..., pantas saja ilmu kepandaianmu sangat tinggi. Rupanya kau memiliki hubungan dengan Setan Gunung Buntar. Apakah kau murid tunggal tokoh itu...?" ujar lelaki botak itu yang rupanya sudah bisa mengenali dasar-dasar serta jurus-jurus yang digunakan Sari Asih. Kemampuan lelaki berkepala botak itu melihat jurus lawan, jelas mencerminkan kalau ia bukanlah seorang tokoh sembarangan. Lagi pula, ia tidak merasa gentar sedikit pun ketika menyebutkan julukan ayah Sari Asih.

"Aku adalah putrinya! Dan, kalau sampai ayahku tahu tentang perbuatan kalian ini, rasanya beliau pasti akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua...!" gertak Sari Asih yang kali ini terpaksa menggunakan nama ayahnya. Karena selain lawannya yang berkepala botak itu berkepandaian tinggi, di tempat itu masih pula terdapat tujuh orang lainnya yang mungkin saja memiliki kepandaian tinggi, kecuali lelaki tinggi kurus yang pernah bentrok dengannya.

Lelaki kurus itu hanya berbahaya karena memiliki keahlian dalam menggunakan racun. Sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih berada di bawah Sari Asih. Pandang mata Sari Asih kembali ke sosok lelaki botak bersenjata tongkat hitam yang menjadi lawanya. Kakinya melangkah perlahan ketika melihat lawannya telah kembali bersiap untuk menerjangnya.

"He he he...! Jadi kau adalah putri Setan Gunung Buntar? Bagus. Kalau begitu aku akan menahanmu agar ayahmu datang sendiri untuk mengambilmu dari tangan kami...," ujar lelaki tua berkepala botak itu yang rupanya tidak gentar sama sekali, meskipun Sari Asih telah menyebutkan nama ayahnya.

Hal ini membuktikan kepandaian lelaki botak itu jelas tidak berada di bawah tingkat kepandaian ayahnya. Menyadari hal itu, Sari Asih memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan. Namun, sebelum pertarungan kembali berlanjut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang mengejutkan semua orang di tempat itu.

"Hm..., sungguh tidak adil kalau seorang gadis muda harus menghadapi keroyokan banyak lelaki gagah..."

Suara perlahan itu terdengar sangat jelas, bahkan sanggup membuat dada orang-orang yang berada di tempat itu berdebar. Jelas si pengirim suara itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur!

"Keparat! Siapa berani main-main dengan Ganjalu si Tongkat Iblis! Tunjukkan rupamu kalau memang kau seorang jantan...!" lelaki berkepala botak yang mengaku bernama Ganjalu itu berseru keras sambil mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga suaranya bergema ke empat penjuru.

Jelas, lelaki botak yang berjuluk Tongkat Iblis itu hendak menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, yang memang sangat tinggi itu. Sambil berteriak demikian, Ganjalu mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Karena ia sama sekali tidak bisa menebak dari mana suara teguran itu berasal.

Suasana pun semakin bertambah tegang ketika dari kegelapan bayang-bayang pepohonan di sebelah kanan Ganjalu, muncul dua sosok tubuh yang melangkah tenang mendatangi arena pertarungan itu.

"Hm.... Bagaimana, Tongkat Iblis? Apakah kau sudah puas setelah melihat rupaku...?" tegur sosok tubuh pertama, yakni seorang pemuda tampan mengenakan jubah panjang berwarna putih.

Wajah pemuda itu tampak tenang tanpa ada sorot kegentaran. Sehingga, Ganjalu dan kawan-kawannya segera bergabung. Sedangkan di sebelah kiri pemuda tampan itu tampak seorang gadis berparas jelita berjalan perlahan. Gadis yang sekujur tubuhnya terbungkus pakaian berwarna hijau itu benar-benar cantik sekali. Tak ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit. Ganjalu dan ketujuh orang kawannya terpesona dengan kecantikan gadis berpakaian serba hijau itu.

"Kau..., siapakah, Anak Muda? Rasanya, kami orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa tidak mempunyai urusan denganmu...?" tanya Ganjalu seraya meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu. Ia tampak merasa tegang. Pertanyaannya pun bernada ingin meminta kepastian tentang siapa sesungguhnya pemuda itu.

"Hm..., apalah arti sebuah nama, Ki Ganjalu? Di antara kita memang tidak ada permasalahan secara langsung, tapi secara tidak langsung kau telah memulai masalah itu. Sebab, aku paling tidak suka dengan ketidakadilan...," jawab pemuda tampan itu tegas dan menimbulkan perbawa kuat. Bahkan sorot matanya tampak mencorong tajam laksana mata seekor naga dikegelapan!

"Anak muda! Jawablah dengan jujur. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Ganjalu lagi yang kali ini langsung menebak jari diri pemuda itu Sebab, tidak banyak pemuda tampan yang ciri-cirinya seperti Pendekar Naga Putih. Dan, sebagai orang persilatan, ia pun telah lama mendengar nama pendekar besar itu. Itulah sebabnya mengapa Ki Ganjalu segera menduga kalau pemuda yang berani menegurnya itu sebagai Pendekar Naga Putih.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Kakinya tampak masih melangkah mendekati ke arah delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu. "Baiklah, Ki Ganjalu. Kalau kau memang merasa penasaran, akan kujawab pertaanyaanmu. Apa yang kau duga, betul sekali. Aku memang Pendekar Naga Putih. Nah, kuharap kau mau meninggalkan tempat ini, dan persoalan habis sampai di sini...," ujar pemuda berjubah putih yang tidak lain adalah Panji. Langkahnya terhenti dalam jarak setengah tombak dari Ki Ganjalu dan kawan-kawannya. Mereka tampak berang mendengar ucapan pemuda tampan itu.

"Hm..., Pendekar Naga Putih! Rupanya kau hendak menggertak kami dengan kebesaran namamu! Tapi, jangan harap kami akan gentar! Orang-orang Perguruan Gunung Lawa pantang menyerah!" ujar Ki Ganjalu geram sambil memutar tongkat hitamnya, siap untuk bertarung.

Panji hanya tersenyum melihat Ki Ganjalu yang siap untuk bertempur. Bahkan ketika tujuh orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang lainnya mulai bergerak menyebar, pemuda itu pun belum membuat gerakan.

"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang...," pinta dara jelita berpakaian hijau yang tak lain adalah Kenanga, kekasih Panji. Sambil berkata demikian, kaki dara jelita itu melangkah maju, siap menghadapi delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang hendak mengeroyok kekasihnya.

"Tahan, Kenanga. Biar aku saja yang menghadapi mereka...," cegah Panji yang mengetahui kalau kedelapan lelaki berseragam hitam itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

Pendekar Naga Putih bukan tidak percaya dengan kemampuan kekasihnya. Tapi, ia khawatir kalau-kalau Kenanga akan menurunkan jurus maut dalam menghadapi keroyokan. Hal itulah yang membuat Panji mencegah keinginan kekasihnya. Sebab, untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa itu, sulit sekali untuk tidak menurunkan jurus maut. Kekhawatiran akan nasib orang-orang Perguruan Gunung Lawa itulah yang membuat Panji tidak mengabulkan permintaan Kenanga.

Dan, dara itu itu pun tahu jalan pikiran kekasihnya. Kenanga sama sekali tidak membantah. Pedang Sinar Bulan yang semula hampir terlolos dari pinggangnya, kembali dilibatkan. Dara jelita itu pun melangkah mundur membiarkan kekasihnya menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.

Sari Asih terlihat berdiri di tepi arena. Gadis berparas cantik manis itu sempat terkejut ketika mengetahui pemuda yang menolongnya ternyata seorang pendekar besar yang sangat terkenal dan ditakuti. Nama Panji bukan hal yang asing di telinga Sari Asih. Ayahnya sendiri seringkali mengungkapkan kekaguman dan kegentarannya terhadap pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Diam-diam dara cantik itu merasa beruntung dapat berjumpa dengan pendekar besar yang sangat terkenal itu. Sebab, ayahnya sendiri belum pernah berjumpa dengan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu.

Sepasang mata bening Sari Asih bergerak mengikuti langkah kaki pemuda tampan berjubah putih itu, yang telah bersiap untuk menghadapi pertarungan. Pancaran kekaguman semakin terlihat jelas dari sorot matanya, ia melihat pemuda itu sangat gagah dan kokoh kuda-kudanya. Sari Asih pun rasanya tak keberatan dengan julukan yang diberikan kepada pemuda itu. Sebab, sosok pemuda tampan berjubah putih itu persis laksana seekor naga yang gagah perkasa!

"Mungkinkah ia akan mempergunakan ilmu-ilmu mukjizatnya yang terkenal itu untuk menghadapi lawan-lawannya? Hm..., ingin kulihat dengan mata kepala sendiri ilmu pendekar muda itu yang kabarnya sangat jarang menemui tandingan...," gumam Sari Asih yang rupanya telah mendengar tentang ilmu-ilmu mukjizat yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Hatinya berdebar agak tegang ketika membayangkan ilmu-ilmu langka yang kemungkinan akan disaksikannya.

Sementara saat itu Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa. Menyadari lawan-lawannya cukup berbahaya, Panji mempersiapkan kuda-kuda yang kokoh dan terlihat sangat kuat Pemuda itu menanti lawan memulai serangan

"Heaaat..!"

Ganjalu berteriak nyaring membuka serangan. Tubuhnya yang gemuk itu melesat seperti terbang dengan disertai putaran tongkatnya, yang menimbulkan deruan angin tajam. Panji sendiri sama sekali belum bergerak. Pemuda itu menanti hingga serangan lawan tiba.

Bettt...!

Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ke kanan menghindari sambaran tongkat lawan. Kemudian memutar langkahnya setengah lingkaran ketika dari sebelah kanannya datang sambaran pedang yang berdesing tajam.

"Hait...!"

Plak! Plak!

Dua buah sambaran pedang itu langsung dipapaki dengan telapak tangan. Akibatnya kedua orang pengeroyok itu terpelanting karena kuatnya tangkisan Pendekar Naga Putih. Panji sendiri tidak mau berusaha untuk mengejar. Sebab, pada saat itu para pengeroyok yang lainnya sudah menerjang dengan serangan-serangan maut. Bahkan, Panji mencium adanya racun-racun ganas yang mengiringi serangan-serangan para pengeroyoknya.

"Hm..., manusia-manusia keji...," desis Panji. Pendekar Naga Putih geram setelah mengetahui lawan-lawannya menggunakan racun-racun ganas dalam menyerang. Hal itu memang tidak terlalu mengejutkan, karena Panji telah lama mendengar bahwa Perguruan Gunung Lawa banyak mempunyai ahli-ahli racun. Itulah sebabnya perguruan itu dianggap sebagai kaum golongan sesat. Karena kaum golongan putih sendiri sangat menentang penggunaan racun dalam pertempuran.

Setelah mengetahui keganasan racun-racun yang dipergunakan lawannya, Panji mulai mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang segera saja menyelimuti sekujur tubuhnya. Sehingga, racun-racun yang digunakan lawan tidak bisa menembus benteng pertahanan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih.

Sadar bahwa para pengeroyoknya adalah orang-orang yang berbahaya dan berhati kejam, Panji segera mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Hawa dingin mulai berhembus menghantam balik hawa beracun yang memenuhi arena pertempuran. Bahkan, Panji kini mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawan-lawannya.

"Hait..!"

Si Tongkat Iblis dan kawan-kawannya benar-benar terkejut ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat laksana bayangan hantu! Jangankan untuk melukai tubuhnya, menyentuh jubah pemuda itu pun tak mampu mereka lakukan. Setiap kali senjata mereka berkelebat, selalu saja menghantam angin kosong. Sebab, tubuh pemuda itu telah berkelebat lenyap di antara sambaran-sambaran senjata lawan.

"Uhhh...?!"

Dua orang pengeroyok yang rupanya memiliki tenaga dalam paling rendah, mulai mengeluh kedinginan. Serbuan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka membuat gerakan menjadi kaku, dan tidak lagi segesit semula. Sehingga, kedua orang itu tak mampu lagi untuk menghindari tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih.

Plak! Bukkk!

"Aaakh...!"

"Hugkh...!"

Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terlempar ke belakang, dan jatuh dengan tubuh menggigil laksana orang terserang demam. Sebentar saja kedua orang itu telah menggeletak pingsan. Mereka tak sanggup mengusir hawa dingin yang menyiksanya.

"Bangsat..!" Tongkat Iblis yang menjadi pimpinan kawan-kawannya itu menjadi geram bukan main.

Meskipun demikian, ia tidak mampu berbuat banyak. Jangankan untuk menekan lawan, untuk melindungi dirinya sendiri saja ia sudah kewalahan. Tokoh berkepala gundul itu hanya bisa menggertakkan gigi, ketika melihat dua orang kawannya kembali terlempar keluar dari arena pertarungan. Kini ia hanya tinggal berempat dengan tiga orang kawannya yang masih dapat bertahan dari tekanan Pendekar Naga Putih.

"Yeaaa...!"

Kemarahan dan rasa penasaran memenuhi dadanya, membuat Ki Ganjalu menjadi nekat. Tongkat hitam di tangannya diputar sedemikian rupa dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Seketika terdengarlah suara mengaung tajam, yang timbul dari bulatan sinar hitam akibat putaran tongkat Ki Ganjalu.

Panji menggeser ke kanan dengan lompatan pendek ketika tongkat hitam lawan mengancam tubuhnya. Kemudian la langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah iga lawannya. Gerakan yang cepat laksana sambaran kilat itu, tak sempat lagi dielakkan Ki Ganjalu. Sehingga...

Desss. !

"Huakhhh!" Darah segar langsung menyembur dari mulut Ki Ganjalu. Tubuh gemuk itu sendiri terlempar sejauh satu setengah tombak. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh tua berkepala botak itu pun tidak mengetahui lagi keadaan sekelilingnya. Ki Ganjalu pingsan dengan luka dalam yang cukup parah.

Melihat pimpinannya telah menggeletak pingsan, tiga orang tokoh lainnya berloncatan mundur dengan wajah pucat. Panji tidak berusaha mengejar. Pemuda tampan itu hanya berdiri tegak menatapi ketiga orang lawannya yang sepertinya sudah kehilangan keberanian untuk melanjutkan pertarungan.

Untuk beberapa saat lamanya suasana menjadi hening. Ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa itu mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari jalan untuk lolos. Panji yang dapat menebak gelagat itu, melangkah maju beberapa tindak. Sehingga membuat ketiga lawannya surut ke belakang. Jelas mereka merasa gentar dengan Pendekar Naga Putih.

"Kisanak...," ujar Panji seraya menatap wajah ketiga orang lawannya. "Aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa. Untuk itu, kalian bawalah kawan-kawan kalian yang terluka, dan segera tinggalkan tempat ini. Sampaikan kepada Ketua Perguruan Gunung Lawa agar tidak memperpanjang urusan ini"

Ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kelihatan sangat terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Panji akan melepaskan mereka begitu saja. Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, sepertinya belum yakin akan ucapan yang barusan mereka dengar dari mulut pemuda tampan itu.

"Hm..., apa lagi yang kalian tunggu? Kakang Panji sudah bermurah hati kepada kalian, mengapa tidak segera meninggalkan tempat ini...?" ucap Kenanga, yang sudah melangkah maju dan berdiri di samping kekasihnya. Sepasang mata dara jelita itu tampak berkilat, menyiratkan ancaman. Sehingga, ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kembali menatap Pendekar Naga Putih, seolah-olah mereka hendak meminta kepastian.

"Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka...," ucap Panji melenyapkan keraguan di hati ketiga orangitu. Dan tanpa banyak cakap, ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa bergegas meninggalkan tempat itu de- ngan membawa kawan-kawan mereka yang tertuka.

"Husy..., husy...!"

Sari Asih yang sejak tadi memendam kejengkelannya kepada orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa, mengejek dengan mengusir ketiga orang itu seperti mengusir ayam. Sehingga, ketiga orang itu semakin mempercepat larinya. Gadis cantik itu tertawa geli penuh kepuasan. Pandangannya baru beralih kepada Panji, setelah bayangan orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu lenyap dari pandangannya.

"Pendekar Naga Putih, aku Sari Asih mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Aku telah lama mendengar nama besarmu. Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang pendekar besar yang telah menggegerkan rimba persilatan. Aku benar-benar kagum dan hormat kepadamu...," ucap Sari Asih seraya membungkuk hormat. Kemudian, kembali kepalanya diangkat dan matanya meneliti wajah pemuda tampan yang telah menolongnya itu.

"Nisanak jangan terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan barusan, juga dilakukan tokoh-tokoh persilatan golongan putih lainnya yang berjiwa pendekar. Jadi, kau tidak perlu merasa telah berhutang budi kepadaku...," ujar Panji seraya tersenyum. Pendekar Naga Putih juga merasa kagum dengan gadis muda yang gagah dan berani itu.

"Benar apa yang dikatakan Kakang Panji, Sari Asih," timpal Kenanga yang rupanya tertarik dengan dara cantik manis itu. "Kalau aku boleh tahu, mengapa kau sampai bentrok dengan mereka?"

"Ah, hanya kesalahpahaman saja. Senang sekali dapat berjumpa dan berkenalan dengan kalian. Sayang aku harus segera pergi...," pamit Sari Asih yang sepertinya tidak ingin melibatkan orang lain dalam persoalannya. Karena, menurutnya memang tidak perlu. Sebab, ia sendiri sama sekali tidak merasakan bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah berkata demikian, Sari Asih membalikkan tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat itu.

Panji dan Kenanga hanya bisa menatap kepergian dara cantik itu dengan helaan napas perlahan. Keduanya memaklumi mengapa dara cantik itu tidak mengungkapkan masalahnya. Mereka tahu masalah yang dihadapi gadis itu merupakan persoalan ptibadi. Hanya saja mereka harus lebih berhati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa masih merasa penasaran dan mendendam atas kejadian tadi. Setelah bayangan Sari Asih lenyap dari pandangan, pasangan pendekar muda itu segera bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.

********************

TUJUH

Dua sosok bayangan itu bergerak cepat melintasi padang rumput yang cukup luas. Menilik dari cara mereka berlari, jelas kedua sosok bayangan itu merupakan orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi. Bahkan kaki-kaki mereka seperti udak pernah menyentuh permukaan tanah. Tentu sosok itu memiliki ilmu lari cepat yang sukar diukur.

Tidak berapa lama kemudian, mereka pun mulai menyeberangi sungai kecil yang melintang memotong jalan menuju kaki Gunung Buntar. Jelas, tujuan mereka adalah Gunung Buntar, yang menjulang tinggi ke angkasa itu. Setelah menyeberangi sungai, kedua sosok bayangan itu terus bergerak menuju ke sebelah Barat kaki Gunung Buntar. Langkah keduanya agak diperlambat, ketika di sebelah depan mereka samar-samar terlihat sebuah pondok sederhana dikelilingi pepohonan rindang.

"Setan Gunung Buntar! Tunjukkan rupamu, aku ingin berjumpa denganmu...!" sosok pertama yang ternyata adalah seorang lelaki gagah berusia separuh baya itu, berteriak mengguntur. Menilik dari raut wajahnya yang gelap, mudah diketahui kalau lelaki gagah itu tengah memendam kemarahan.

Sedangkan sosok kedua adalah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh delapan tahun. Wajah cantik itu pun tampak tidak sedap untuk dipandang. Kulit wajahnya yang kemerahan, pertanda bahwa wanita cantik itu tengah memendam rasa penasaran dan kemarahan yang siap meledak.

"Ah, rupanya Pendekar Macan Sakti dan istrinya yang datang berkunjung. Silakan..., silakan...," seorang lelaki yang juga berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk dan berwajah brewok muncul dengan wajah cerah menyambut kedatangan kedua tamu itu. Namun, wajah cerah itu terlihat berubah ketika menyaksikan sikap serta raut wajah kedua tamunya itu tampak berang.

"Hm..., kau jangan berpura-pura bodoh, Setan Gunung Buntar! Aku datang untuk menjemput putraku, yang telah kau guna-gunai agar tertarik dengan putrimu yang liar dan jahat itu! Kembalikan putraku, dan jangan coba-coba main gila denganku...!" geram lelaki gagah yang ternyata adalah Pendekar Macan Sakti dengan sepasang mata tajam. Jelas kedatangan kedua tokoh sakti itu bukanlah berniat baik.

"Apa maksudmu, Pendekar Macan Sakti? Kau jangan sembarangan menuduhku! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan itu! Bukankah putriku tengah pergi ke Bukit Harimau Putih bersama putramu yang tergila-gila ingin mempersunting putriku? Mengapa, kau langsung menuduhku yang bukan-bukan? Aku tidak bisa terima penghinaan ini...!" ujar Setan Gunung Buntar yang menjadi marah ketika mendengar tuduhan Pendekar Macan Sakti. Meskipun ia sadar lelaki gagah itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia sama sekali tidak gentar.

"Bedebah! Kau memang perlu diajar adat...!" wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Sekar Galung tak bisa lagi memendam kemarahannya, ia langsung saja melesat dengan tamparan mautnya.

"Hei, tunggu...!" Setan Gunung Buntar berusaha untuk mencegah pertarungan. Lelaki brewok itu menggeser tubuhnya dengan lompatan ke samping. Sehingga, serangan Nyi Sekar Galung mengenai angin kosong.

Namun, wanita cantik itu sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya. Serangannya kembali terlontar. Bahkan kali ini jauh lebih hebat dan berbahaya dari serangan semula.

Whuttt! Plak! Plak!

Dua buah tamparan keras yang dikirimkan Nyi Sekar Galung dipapaki oleh Setan Gunung Buntar. Keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Jelas dalam pertemuan tenaga pertama itu mereka masih terlihat berimbang.

"Pendekar Macan Sakti! Rupanya kaulah yang hendak main gila denganku! Putriku belum lagi kembali, kau sudah menuduh yang bukan-bukan! Jelas kau hendak memutarbalikkan kenyataan. Kau sengaja melemparkan fitnah, agar perbuatanmu yang mungkin telah mencelakakan putriku tidak diketahui orang. Hm..., kau benar-benar seorang pendekar sombong yang berhati keji...!" umpat Setan Gunung Buntar yang jelas-jelas marah dengan tuduhan itu. Usai berkata demikian, lelaki brewok itu menghunus sebilah golok besar yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, memutarnya sedemikian rupa, sehingga menimbulkan deruan angin tajam.

"Hm.., kau mundurlah, Istriku. Biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran kepadanya...!" ujar Pendekar Macan Sakti yang memang tidak menyukai orang-orang golongan sesat.

Pendekar Macan Sakti menganggap golongan sesat tak ubahnya gundukan sampah yang mengotori bumi. Itulah sebabnya, mengapa lelaki gagah itu tidak merestui hubungan putranya dengan putri Setan Gunung Buntar. Selain bisa membuat nama besarnya cacat, ia pun mempunyai cita-cita untuk menjodohkan putranya dengan gadis dari kalangan pendekar.

Memang tak mengherankan kalau Pendekar Macan Sakti sangat berang ketika Sasmita meninggalkan rumah, setelah ia mengusir putri tokoh sesat itu. Maka, ia langsung saja mendatangi Setan Gunung Buntar yang mungkin saja telah bersepakat dengan putrinya untuk menculik dan,mengajak pergi Sasmita. Dan, keterangan seorang tokoh sesat seperti Setan Gunung Buntar, jelas tidak bisa dipercaya lagi. Untuk itu ia harus memaksanya dengan kekerasan.

Nyi Sekar Galung yang sebenarnya merasa penasaran dengan lelaki brewok itu, terpaksa melangkah mundur. Wanita cantik itu tidak ingin membantah ucapan suaminya. Karena ia sadar akan kekerasan hati lelaki yang dicintainya itu. Sekali mengatakan tidak sulit sekali untuk merubahnya. Maka, Nyi Sekar Galung pun melangkah mundur, dan menyerahkan persoalan itu kepada suaminya.

"Hm..., kau pasti menyembunyikan mereka karena ingin mendapatkan mantu seorang pemuda gagah seperti putraku itu. Aku akan memaksamu untuk menyerahkan kembali putraku itu...!" ujar Pendekar Macan Sakti yang segera bersiap untuk menggempur Setan Gunung Buntar.

"Hmhhh...!" Setan Gunung Buntar menggeram marah. Golok besar di tangan kanan tokoh sesat itu kembali berputar, dan menyilang di depan dada. Sadar kalau yang dihadapinya adalah seorang tokoh tingkat atas, Setan Gunung Buntar mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi lawan.

"Sambut seranganku...!" Pendekar Macan Sakti mengingatkan lawannya seraya menerjang maju dengan menggunakan tangan kosong. Meskipun demikian, sambaran angin pukulannya sangat berbahaya, dan tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam. Sehingga, Setan Gunung Buntar yang menyadari hal itu segera memutar golok besarnya untuk menyambut serangan lawan.

"Yeaaah...!" Dibarengi sebuah pekikan parau, tubuh lelaki brewok itu bergerak menyambut serangan lawan. Golok besar mengaung bagaikan ratusan lebah yang marah.

Bettt…!

Tebasan sisi telapak tangan Pendekar Macan Sakti yang menimbulkan angin berciutan, dielakkan lawannya dengan membungkukkan tubuh sambil memutar langkah, dan langsung membalas tebasan senjatanya.

Plakkk!

Rupanya Pendekar Macan Sakti tidak ingin berlama-lama. Maka, ketika tebasan golok besar lawannya datang, lelaki gagah itu langsung memapak dengan telapak tangannya. Akibatnya, tubuh Setan Gunung Buntar terdorong mundur dan hampir terpelanting. Kalau saja tokoh itu tidak segera melemparkan tubuhnya ke belakang, dan berjumpalitan ke udara.

"Gila...?!" umpat Setan Gunung Buntar yang merasakan lengan kanannya ngilu. Namun, lelaki gemuk berwajah brewok itu tidak sempat berpikir lebih lama. Karena saat itu lawannya telah kembali menyerbu dengan serangan-serangan yang lebih berbahaya.

Pertarungan pun kembali berlanjut dengan sengit Setan Gunung Buntar benar-benar harus menguras seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, meskipun golok besarnya mengaung dan berkelebatan kian kemari dengan kecepatan menggetarkan, tetap saja lawannya sanggup menekan dengan jurus- jurus berbahaya. Sehingga, Setan Gunung Buntar semakin kelabakan dibuatnya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa kedua tokoh itu telah bertarung selama empat puluh jurus lebih. Dan selama itu, Setan Gunung Buntar harus mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran sepasang tangan Pendekar Macan Sakti yang telah menggunakan ilmu andalannya untuk melawan tokoh sesat itu.

"Yeaaah...!"

Setan Gunung Buntar yang semakin merasakan beratnya tekanan lawan, mengibaskan golok besarnya secara ngawur. Sebab, permainan ilmu silat lawan benar-benar hebat dan sukar untuk diduga ke mana arah sasarannya. Jadi, tidaklah aneh kalau tokoh berwajah brewok itu berkali-kali menerima hajaran lawannya.

Desss...!

"Hugkh...!" Tubuh lelaki brewok itu terpental kebelakang, ketika sebuah tendangan keras telak menghajar perutnya yang gendut. Dan darah segar pun mengalir dari mulutnya. Meskipun demikian, tokoh sesat itu cepat bergerak bangkit, dan kembali melakukan perlawanan mati-matian.

Namun, Pendekar Macan Sakti benar-benar ingin segera menghabisi lawannya. Terbukti ia sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada Setan Gunung Buntar untuk dapat menarik napas lega. Serangan-serangannya kembali datang bertubi-tubi menghujani tokoh sesat itu.

"Heaaah...!"

Setan Gunung Buntar melompat pendek ke belakang seraya mengibaskan goloknya untuk melindungi tubuh dari cengkeraman maut lawan. Tapi, serangan itu dengan mudah dipatahkan oleh Pendekar Macan Sakti melalui sebuah tendangan kilat, dan tepat mengenai siku lawannya. Belum lagi rasa sakit yang menyengat sikunya sempat lenyap, tahu-tahu sebuah sambaran cakar kiri lawan telah merobek tubuhnya.

Brettt!

"Aaakh...!"

Sambaran cakar yang cepat dan kuat itu membuat Setan Gunung Buntar meraung keras. Untuk kesekian kalinya, tubuh tokoh sesat itu kembali terlempar sejauh satu tombak lebih. Darah segar mengalir dari luka memanjang akibat cakaran lawan. Dan, selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Macan Sakti langsung melompat dengan sebuah tendangan geledek!

Desss!

"Aaa...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Setan Gunung Buntar terpental keras. Tubuh gemuk itu terus menghantam sebatang pohon besar, sebelum jatuh ke atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh sesat itu pun tewas! Karena isi perutnya hancur akibat tendangan maut lawannya.

Dengan langkah perlahan dan penuh kewaspadaan, Pendekar Macan Sakti mendekati tubuh lawannya. Lelaki setengah baya itu menarik napas lega ketika melihat lawannya telah menghembuskan napas yang terakhir.

"Kakang, kita harus segera menemukan Sasmita. Mungkin manusia jahat itu telah menyembunyikannya di sekitar tempat ini...," ujar Nyi Sekar Galung mengajak suaminya untuk segera mencari putra mereka, setelah memastikan Setan Gunung Buntartewas.

Pendekar Macan Sakti hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, pasangan suami istri itu bergegas mencari putra mereka di sekitar tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Tapi, bukan main kecewanya hati mereka karena tidak menemukan Sasmita. Setelah mencari dan menjelajahi sekitar tempat itu, Sasmita masih belum ditemukan, keduanya pun menjadi bingung dan geram. Terutama Nyi Sekar Galung yang memang sangat mencintai putra tunggalnya itu.

"Hm..., mungkin Setan Gunung Buntar telah menyuruh putrinya membawa pergi Sasmita dari tempat ini. Tapi, kita harus mencarinya sampai dapat...," gumam Pendekar Macan Sakti sambil mengajak istrinya untuk mencari Sasmita dan Sari Asih. Kedua pendekar sakti itu bergegas meninggalkan Gunung Buntar untuk mencari jejak putra mereka.

Tidak berapa lama setelah kepergian Pendekar Macan Sakti dan istrinya, tampak sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Sepasang mata sosok tubuh ramping yang ternyata adalah Sari Asih itu tampak liar ketika menyaksikan adanya bekas-bekas pertarungan yang hebat. Tentu saja hal itu membuat hatinya gelisah.

"Ayah...!" Sari Asih berseru memanggil ayahnya sambil melangkah menuju pondok. Hari dara cantik itu kian tegang, ketika tidak menemukan sosok ayahnya di dalam pondok. Cepat ia melesat keluar dan mencari-cari ayahnya.

Tiba di luar pondok. Sari Asih mengamati bekas-bekas pertarungan itu. Sepasang matanya tampak terbelalak ketika melihat sesosok tubuh gemuk tergeletak di dekat pohon. Yang berada di samping kanan pondok sejarak enam tombak.

"Ayaaah...!" tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih yang mengenal sosok ayahnya, langsung menghambur dengan air mata bercucuran.

"Ayah..., oh Ayah. Apa yang sudah terjadi denganmu.,.? Siapa yang telah membunuhmu demikian kejam, Ayah ?" Sari Asih menangis pilu di atas tubuh ayahnya. Air mata gadis itu meluncur deras membasahi wajahnya yang pucat. Beberapa kali Sari Asih meng- guncang tubuh Setan Gunung Buntar, seolah-olah tidak yakin bahwa ayahnya telah tewas. Tangisnya kembali meledak ketika kesadarannya mengatakan bahwa ayahnya memang benar-benar telah tewas.

"Keparat keji...! Semua ini pastilah perbuatan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah tidak berhasil membunuhku, mereka mencari ayahku sebagai pelampiasan dendam mereka. Hm..., akan kucari pembunuh-pembunuh biadab itu! Akan kuhirup darah mereka satu persatu!" geram Sari Asih dengan wajah penuh dendam.

Sepasang matanya yang indah itu tampak berkilat menakutkan. Jelas ia tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Dengan wajah yang dibasahi air mata, dara cantik berwajah pucat itu menguburkan jenazah ayahnya. Kemudian, ia bergerak meninggalkan tempat itu, setelah mengucapkan janji di depan makam ayahnya.

Angin senja bersilir lembut mengiringi langkah kaki Sari Asih, yang meninggalkan kaki gunung Buntar dengan hati dipenuhi dendam membara. Luka hati akibat perjodohannya tidak disetujui orangtua kekasihnya, kini semakin parah. Hanya api dendam yang membuat Sari Asih bertahan untuk hidup. Dan, hanya satu tujuannya dalam menempuh kehidupan dunia yang dirasanya sangat kejam ini. Yaitu, membalas kematian ayahnya!

********************

"Nisanak..! Harap berhenti sebentar...!"

Terdengar seruan perlahan, namun cukup membuat langkah Sari Asih terhenti. Dara cantik manis yang tengah dirundung duka itu menoleh ke arah asal suara. Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang kakek berusia tujuh puluh tahun, menghampirinya dengan langkah tertatih-tatih.

"Kakek memanggilku...?" tanya Sari Asih menegasi. Karena ia memang tidak mengenal kakek yang memanggilnya itu.

"Betul, Cucuku…," sahut kakek itu tanpa menghentikan langkahnya yang dibantu sebatang tongkat. Sari Asih melangkah menghampiri karena merasa kasihan melihat kakek itu.

"Betulkah kau yang bernama Sari Asih, putri dari Setan Gunung Buntar ...?" tanya kakek itu lagi seperti hendak meyakinkan hatinya bahwa ia tidak salah mengenali orang.

"Betul, Kek. Dari mana kau mengetahui namaku serta julukan ayahku...?" tanya Sari Asih yang masih belum hilang rasa herannya. "Apakah Kakek hendak menjumpai ayahku...?"

"Tidak, Cucuku. Justru aku ingin berjumpa denganmu, Hhh..., cukup lama aku mencari-carimu. Beruntung sekali kita bisa berjumpa secara kebetulan di tempat ini. Aku adalah sahabat Sasmita, putra tunggal Pendekar Macan Sakti. Tuan Muda Sasmita menyuruhku untuk menjumpaimu, dan menemuinya di sebuah tempat yang cukup tersembunyi. Ah..., kasihan sekali Tuan Muda Sasmita. Entah siapa yang telah melukainya...," desah kakek itu setelah menerangkan siapa dia sebenarnya, dan untuk apa ia mencari Sari Asih.

"Kakang Sasmita...?! Di mana dia, Kek? Siapa yang telah melukainya? Parahkah luka-lukanya...?" tanya Sari Asih tanpa sadar memegang kedua bahu kakek itu. Dara cantik itu baru menyadari perbuatannya ketika melihat wajah kakek itu meringis kesakitan. Cepat- cepat Sari Asih meminta maaf dan melepaskan cekalan tangannya.

"Sabarlah, Cucuku. Aku tidak tahu pasti apakah lukanya parah atau tidak. Kalau kau ingin menemuinya, berjalanlah terus. Apabila kau telah menemukan gerombolan pohon bambu kuning, berbeloklah ke kanan. Di sana ada sebuah pondok tua. Nah, di dalam pondok itulah aku menyembunyikannya. Karena menurutnya, ia tengah dicari-cari oleh musuh yang berkepandaian tinggi...," jelas kakek itu sambil menghela napas panjang berulang-ulang. Tampak kakek itu sangat lelah sekali. Sehingga, ia langsung saja duduk di hamparan rumput tebal di bawah pohon rindang.

"Kalau begitu, cepat antarkan aku, Kek...," ajak Sari Asih yang tentu saja merasa cemas mendengar kekasihnya berada di tempat jauh dari kediaman orangtuanya, dan pula tengah menderita luka. Gadis itu langsung saja menduga kalau Sasmita pasti lari dari rumah untuk mencarinya. Entah apa yang dialami kekasihnya itu sampai terluka parah.

"Maafkan Kakek, Cucuku. Kakek rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Ikutilah petunjukku. Tuan Muda Sasmita memerlukan bantuanmu. Biarlah Kakek akan menyusul, setelah beristirahat nanti. Cepatlah kau pergi. Kakek khawatir orang-orang jahat yang melukainya akan datang ke tempat itu...," ujar kakek itu menolak ajakan Sari Asih karena lelah.

Sari Asih yang melihat kakek itu memang tengah kelelahan, segera saja mengucapkan terima kasih, dan melesat mengikuti petunjuk yang diberikan kakek itu kepadanya.

"Hhh..., orang-orang muda sekarang seperti hantu saja. Mereka dapat menghilang demikian cepat..," desah kakek itu yang melihat sosok Sari Asih tinggal bayang-bayang samar di kejauhan. Kemudian ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Sebentar saja, kakek itu telah tertidur dengan tubuh bersandar pada sebatang pohon.

Sari Asih terus berlari mengikuti petunjuk kakek bertongkat itu. Harinya cemas bukan main mengingat keadaan kekasihnya yang tengah terluka. Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan tempat yang dimaksud kakek itu. Keterangannya yang jelas, membuat Sari Asih segera dapat menemukan pondok tua yang dimaksud. Tanpa memeriksa keadaan di sekitarnya, Sari Asih langsung melompat ke dalam pondok. Dan, apa yang dikatakan kakek bertongkat butut itu memang benar. Di atas pembaringan tampak Sasmita tengah menggeletak lemah.

"Kakang Sasmita...!" panggil Sari Asih yang segera saja memeluk tubuh pemuda itu. Dara cantik itu sama sekali tidak peduli meskipun tubuh bagian atas pemuda itu telah basah oleh keringat. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika melihat betapa kulit wajah dan tubuh pemuda itu tampak kemerahan seperti udang rebus. Dengan bersimbah air mata, Sari Asih memeluk dan menciumi wajah Sasmita yang tampak tengah tak sadarkan diri itu.

"Kakang.... Ini aku, Sari Asih...!", kembali Sari Asih memanggil ketika mendengar keluhan dari mulut pemuda itu.

Beberapa saat kemudian, sepasang mata Sasmita membuka perlahan. Warna merah saga pada sepasang mata kekasihnya itu, membuat Sari Asih merasa semakincemas. "Kau..., Asih...!?" ucap Sasmita dengan suara bergetar.

Belum sempat Sari Asih mengangguk, pemuda itu langsung saja merangkul tubuh kekasihnya. Bahkan, dengan bernafsu, Sasmita menghujani gadis itu dengan ciuman-ciuman yang panas bagaikan hendak membakar tubuh Sari Asih. Berkali-kali bibir pemuda itu menyebut-nyebut nama Sari Asih dengan napas memburu. Sebagai seorang putri tokoh sesat, Sari Asih sadar kalau kekasihnya telah menderita keracunan hebat.

"Kakang.... Kau..., kenapa...?" tanya Sari Asih yang tidak menolak perbuatan pemuda itu, karena ia merasa terharu melihat keadaan kekasihnya. Bahkan, Sari Asih tidak juga menolak ketika Sasmita berbuat semakin jauh. Hal itu karena ia sadar bahwa hanya itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun yang mengeram di tubuh kekasihnya. Sehingga, Sari Asih pun pasrah, bahkan membalas cumbuan Sasmita dengan sepenuh cintanya. Sebentar saja, kedua insan itu telah terbuai dalam gelombang asmara yang menggebu-gebu.

********************

"Iiieee...!"

Suara lengkingan halus yang semakin lama kian meninggi itu membuat langkah dua sosok tubuh terhenti. Keduanya saling bertukar pandang sejenak. Kemudian, mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu yang ditumbuhi pepohonan besar.

"Suara apa itu, Kakang...?" tanya wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun itu kepada pria tinggi gagah di sebelah kanannya. Jelas tergambar keheranan besar pada wajah wanita cantik itu.

"Hm..., entahlah. Tapi, sepertinya suara itu sengaja diperdengarkan untuk kita...," sahut lelaki gagah berusia setengah baya itu seraya memutar pandang mencari asal suara, yang masih saja terdengar berkepanjangan.

Belum lagi wanita cantik itu sempat bertanya lagi, lelaki gagah yang sepertinya telah menemukan sumber suara, langsung saja bergerak ke Selatan.

"Ikuti aku...," ajaknya tanpa menunggu jawaban. Wanita cantik itu pun segera melesat mengikuti langkah lelaki gagah itu. Keduanya bergerak cepat dengan menggunakan ilmu larinya untuk mencari sumber suara lengkingan panjang itu.

"Kakang, lihat..!" wanita cantik itu tiba-tiba berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke satu arah, di mana ada sesosok bayangan putih berkelebat menjauhi mereka.

Tanpa banyak bicara lagi, lelaki gagah itu pun segera melesat mengejar dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun, meskipun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya, sosok bayangan putih itu tetap saja tidak bisa didekati. Bahkan mereka kehilangan jejak, setelah cukup jauh melakukan pengejaran.

"Gila! Kepandaian orang itu tinggi sekali. Entah ke mana lenyapnya dia...?" desis lelaki gagah itu dengan wajah membayangkan rasa penasaran. Keningnya tampak berkerut ketika pandang matanya menangkap sebuah pondok tua beberapa tombak di sebelah kanannya.

Cepat keduanya mendekati pondok, karena mengira bahwa sosok bayangan putih itu pasti bersembunyi di dalam. Lelaki gagah dan wanita cantik itu meringankan langkahnya ketika telah dekat dengan pondok.

"Kau tunggulah di sini...," ucap lelaki gagah itu kepada wanita cantik di sebelahnya. Dan sebelum wanita itu menjawab, lelaki gagah itu telah berkelebat menerjang pintu pondok.

"Hah...?! Anak keparat..!" maki lelaki gagah itu. Sebentar kemudian, tubuhnya kembali melesat ke luar. Rupanya yang ia temukan adalah dua sosok tubuh setengah telanjang yang terbaring di atas pembaringan.

"Ada apa, Kakang...?" tanya wanita cantik itu dengan wajah heran ketika melihat wajah lelaki gagah itu tampak merah padam. Jelas ia tengah dilanda kemurkaan hebat.

"Sasmita, keluar kau...!"

Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, lelaki tinggi, gagah itu berteriak dengan suara mengguntur! Jangankan orang lain, wanita cantik di sebelahnya pun sampai terlonjak kaget, dan hampir jatuh. Karena teriakan itu dikerahkan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi.

Wanita cantik yang tidak lain adalah Nyi Sekar Galung itu baru mengerti ketika melihat dua sosok tubuh muncul dari dalam pondok. Wajah keduanya tampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Jelas kalau keduanya merasa gentar melihat kemarahan lelaki gagah yang tak lain adalah Pendekar Macan Sakti.

"Bedebah! Perbuatan kalian benar-benar tidak bisa diampuni!" geram Pendekar Macan Sakti menggereng bagaikan singa luka. Sepasang matanya menyorot tajam, siap menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda yang tak lain dari Sasmita dan Sari Asih.

"Ayah..., aku..."

"Hm..., apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri sudah cukup! Kalian tidak perlu lagi membela diri! Tidak ada gunanya!" bentak Pendekar Macan Sakti tidak memberi kesempatan kepada Sasmita untuk membela diri. Dan begitu ucapannya selesai, tubuh lelaki gagah itu langsung melayang ke arah putranya yang dianggap telah menyeleweng dari kebenaran itu.

Plak!

"Ughhh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Sasmita langsung terpelanting akibat tamparan yang keras pada wajahnya. Darah segar langsung saja mengucur dari bibir pemuda itu.

"Kematian adalah hukuman yang paling baik bagimu...!" geram Pendekar Macan Sakti seraya menerjang dengan lebih ganas.

Plakkkk!

"Aaah...!" Sari Asih yang tidak sudi melihat kekasihnya tewas, segera menyambut serangan maut Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh dara cantik itu terpelanting dan terbanting jatuh dengan kerasnya.

Nyi Sekar Galung sendiri terpaku dengan wajah pucat, ia pun sadar apa yang telah dilakukan putranya itu. Mereka hanya berdua saja di dalam pondok itu, membuat Nyi Sekar Galung dapat menduga apa yang telah diperbuat kedua orang muda itu. Itulah sebabnya, mengapa ia tidak berusaha untuk mencegah suaminya yang memang berpendirian keras itu.

"Hmhhh...," Pendekar Macan Sakti menggereng murka ketika melihat Sari Asih berani memapaki serangannya. Pandangan laki-laki setengah baya itu kini beralih kepada Sari Asih. "Kau rupanya ingin segera menyusul ayahmu, Gadis Binal...!"

Sambil berkata demikian, Pendekar Macan Sakti langsung melesat menampar kepala Sari Asih. Dari sambaran angin yang bercuitan tajam, dapat ditebak kalau kepala dara cantik itu pasti akan hancur.

"Haitt...!"

Plarrr...!

Pada saat nyawa Sari Asih hampir putus, tiba-tiba melesat sesosok bayangan bersinar putih keperakan, yang langsung memapaki tamparan Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terpental balik. Meskipun begitu, Pendekar Macan Sakti segera dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan sebuah putaran manis, tubuh lelaki gagah itu meluncur turun.

"Pendekar Naga Putih...?!" Sari Asih yang langsung mengenali sosok penolongnya, berseru dengan wajah penuh harap. Jelas dara cantik manis itu melihat adanya harapan untuk selamat ketika mengetahui siapa orang yang menolongnya dari kematian itu.

"Kurang ajar...!" Nyi Sekar Galung rupanya merasa jengkel melihat serangan suaminya yang hendak melenyapkan Sari Asih ada yang menggagalkan. Cepat tubuh wanita cantik itu melesat dengan sepasang tangan berputaran menerjang Pendekar Naga Putih.

Tapi, yang menyambut serangan itu justru bukan Pendekar Naga Putih. Sebab, saat itu ada sesosok bayangan hijau yang bergerak menyambut serangan Nyi Sekar Galung. Dan....

Plak! Plak...!

Terdengar benturan keras mengiringi tubuh Nyi Sekar Galung yang terpental balik. Jelas tenaga dalam wanita cantik itu masih berada di bawah sosok bayangan hijau yang tak lain adalah Kenanga.

"Perempuan setan..!" maki Nyi Sekar Galung yang telah bersiap untuk menerjang kembali. Namun, niat itu diurungkannya ketika mendengar seruan suaminya.

"Sabarlah, Istriku...," ujar Pendekar Macan Sakti yang tengah menatap wajah pemuda tampan di depannya lekat-lekat.

Hati laki-laki setengah baya itu sempat terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Naga Putih. Dan, ia pun sudah pula merasakan adanya hawa dingin yang menyusup ke lengannya saat berbenturan dengan pemuda tampan berjubah putih itu. Karena yang dihadapinya kali ini adalah seorang pendekar besar yang banyak mengundang kekaguman orang, maka Pendekar Macan Sakti menekan kemarahannya.

"Maaf, kalau aku telah mencampuri urusan ini, Paman. Tapi, harap Paman bersabar, dan mau memecahkannya dengan kepala dingin. Apa pun persoalannya, rasanya tidak ada salahnya kalau kita mendengar pembelaan diri mereka ," ujar Panji seraya membungkuk hormat kepada lelaki gagah itu yang tentu saja sudah pernah didengar nama besarnya.

"Hm..., tahukah kau, Pendekar Naga Putih? Mereka berdua telah melakukan dosa besar, dan mencoreng mukaku," bantah Pendekar Macan Sakti sambil melemparkan pandang ke arah Sasmita dan Sari Asih yang tengah saling rangkul itu.

"Cobalah beri mereka kesempatan untuk menjelaskannya, Paman. Kalau memang setelah itu Paman anggap mereka tidak bisa diampuni, itu terserah Paman..." Panji masih mencoba untuk menyabarkan Pendekar Macan Sakti dan memberikan kesempatan kepada kedua insan muda itu untuk membela diri.

"Baiklah. Aku terima saranmu, Pendekar Naga Putih. Nah! Sekarang, siapa di antara kalian berdua yang akan menjelaskan perbuatan kalian...?" Pendekar Macan Sakti akhirnya mengalah, dan memberikan peluang kepada Sari Asih dan Sasmita untuk membela diri.

Sari Asih maju ke muka lebih dulu. Setelah memandang penuh rasa terima kasih kepada Pendekar Naga Putih, dara cantik itu menjelaskan persoalan dirinya, mulai dari bertemu dengan seorang kakek, sampai berjumpa Sasmita di pondok dalam keadaan keracunan.

"Hanya itulah yang dapat kujelaskan. Selebihnya, mungkin Kakang Sasmita dapat menjelaskan apa yang menyebabkan ia menderita keracunan...," Sari Asih mengakhiri keterangannya. Karena menganggap itulah yang ia ketahui.

"Ayah...," ucap Sasmita perlahan. "Setelah kepergian Asih, keesokan harinya aku pergi meninggalkan rumah dengan maksud untuk mencarinya. Tapi, di perjalanan aku berjumpa dengan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa, yang dipimpin langsung oleh ketuanya. Selain mengeroyok, mereka juga menggunakan racun untuk menawanku. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa lagi, sampai kemudian mendapatkan Asih yang tengah memelukku di dalam pondok. Rupanya mereka telah melolohkan racun terkutuk ke dalam tubuhku, dan memancing Asih untuk menemuiku. Dan, apa yang terjadi di antara kami berdua, memang merupakan jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun jahat itu. Kalau tidak, aku akan tetap dipengaruhi racun itu sampai kapan pun, kecuali dengan jalan yang telah kami lakukan. Untuk itu, harap Ayah dan Ibu bisa mengerti kesulitan kami..."

"Hm ," Pendekar Macan Sakti menggeram setelah mendengar penjelasan putranya dan Sari Asih.

Kini timbul penyesalan dalam diri Pendekar Macan Sakti yang telah berbuat gegabah membunuh Setan Gunung Buntar. Padahal, tokoh sesat itu sama sekali tidak bersalah. Dan, hampir saja ia berbuat kesalahan yang lebih parah dengan membunuh putranya, dan juga putri Setan Gunung Buntar. Diam-diam Pendekar Macan Sakti sangat berterima kasih sekali kepada Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, entah bagaimana ia dapat memaafkan dirinya dengan kesalahan-kesalahan yang demikian beratitu.

"Kalau begitu, sebaiknya kita meminta pertanggungjawaban dari orang-orang Perguruan Gunung Lawa," usul Panji setelah mendengar semua penjelasan itu. Yang lainnya langsung mengangguk setuju.Sebab, mereka pun memang mempunyai pikiran yang sama dengan Panji.

DELAPAN

"Iieee...!"

Baru saja Panji dan yang lainnya hendak bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi menusuk telinga, yang membuat Pendekar Macan Saka dan istrinya terkejut.

"Bedebah! Baru aku mengerti sekarang! Lengkingan itu rupanya sengaja membawa kami ke tempat ini, agar aku dan istriku menemukan Sasmita dan Sari Asih di tempat ini...!" geram Pendekar Macan Sakti. Lelaki setengah baya ini baru menyadari bahwa dirinya dipancing datang ke pondok itu agar bisa melihat putranya dan Sari Asih yang juga terjebak.

"Hm..., suara lengkingan itu pastilah berasal dari Dewa Gunung Lawa...," gumam Panji yang rupanya mengenali pemilik lengkingan tinggi yang menyakitkan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji pun mengerahkan tenaga saktinya untuk mengeluarkan suara lengkingan halus guna menindih suara itu.

Tidak berapa lama kemudian, suara lengkingan itu pun lenyap. Berbarengan dengan lenyapnya lengkingan tinggi itu, muncullah belasan sosok tubuh berpakaian serba hitam yang langsung mengurung orang-orang yang berada di tempat itu.

"Sepasang Algojo Gunung Lawa...?!" desis Pendekar Macan Sakti melihat dua orang berkepala botak yang memimpin belasan orang itu.

"He he he...! Selamat bertemu, Pendekar Macan Sakti. Sebenarnya kami tidak ingin mengusikmu. Tapi, perbuatan putramu dan dara cantik itulah yang membuat kami terpaksa harus melenyapkanmu dari permukaan bumi ini...," ujar salah seorang dari kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu.

Tangan lelaki itu memegang kapak bergagang panjang yang tampak terangkat perlahan. Begitu pula yang dilakukan orang kedua yang memiliki ciri-ciri serupa dengan kawannya. Mereka itulah yang terkenal dengan julukan Sepasang Algojo Gunung Lawa.

Pendekar Macan Sakti dan istrinya sadar akan kesaktian lawan. Cepat keduanya melangkah maju guna menghadapi Sepasang Algojo Gunung Lawa, yang memang selalu bersama-sama dalam menghadapi setiap pertempuran. Kesaktian dan kekejaman lawannya yang memang sudah sangat terkenal itu, membuat Nyi Sekar Galung telah menghunus pedang. Sedangkan Pendekar Macan Sakti telah mengeluarkan senjata andalannya berupa sarung tangan berwarna emas. Sepasang suami istri itu telah siap menghadapi gempuran lawan.

"Heaaat..!"

Sepasang Algojo Gunung Lawa langsung membuka serangan dengan teriakan parau. Tubuh keduanya yang sama tinggi besar itu melayang disertai ayunan senjatanya yang menimbulkan deruan angin tajam.

"Hait..!"

Pendekar Macan Sakti dan istrinya langsung saja bergerak menyambut serangan lawan. Sebentar saja keempat tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.

Panji dan Kenanga sendiri saat itu telah dikeroyok oleh belasan orang berseragam hitam yang dipimpin oleh Ganjalu yang berjuluk si Tongkat Iblis. Pasangan pendekar muda itu tentu saja tidak gentar. Dengan gerakan yang sukar ditangkap mata biasa, keduanya melesat kian kemari sambil melemparkan tamparan dan tendangan yang cepat dan kuat.

Sebentar saja, empat orang pengeroyoknya roboh dan tewas, akibat terjangan sepasang pendekar muda itu. Jelas kali ini Panji tidak lagi memberi hati kepada orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Sebab, mereka ternyata sangat licik dan jahat!

Di bagian lain, Sari Asih tampak sibuk menghadapi serbuan delapan orang lawannya. Dara cantik itu telah menghunus senjatanya. Karena, selain harus menghadapi keroyokan, ia pun masih harus melindungi kekasihnya dari incaran senjata lawan. Sebab, Sasmita yang masih lemah itu, belum bisa mempertahankan dirinya dari keroyokan lawan.

Panji yang sempat melirik ke arah Sasmita dan Sari Asih, segera meminta Kenanga untuk membantu kedua orang muda itu. Tanpa membantah lagi, Kenanga langsung saja menerjunkan diri ke arena pertarungan itu, dan langsung menerjang orang-orang yang mengeroyok Sari Asih dan Sasmita.

"Terima kasih. Kalian berdua telah berkali-kali menolongku...," ucap Sari Asih yang merasa terharu dengan kebaikan Kenanga dari Panji. Karena telah berkali-kali nyawanya diselamatkan oleh pasangan pendekar besar itu.

"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Adik Manis...," sahut Kenanga yang kembali merobohkan dua orang pengeroyoknya.

Sebentar saja, keadaan menjadi berbalik. Kini orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu harus mati-matian menyelamatkan diri dari incaran Pedang Sinar Rembulan di tangan dara jelita itu.

"Iiieee...!"

Saat Kenanga hendak membabat dua orang pengeroyoknya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi yang membuat dada dara itu berdebar keras. Belum lagi ia sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu sesosok bayangan telah melontarkan sebuah tamparan ke kepalanya.

Bukkk!

"Aaah...!" Kenanga memekik kesakitan. Untunglah pada saat yang amat gawat itu ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, yang menjadi sasaran tamparan lawan adalah bahunya. Meskipun demikian, Kenanga merasakan lengan kanannya lumpuh. Jelas tamparan itu mengandung kekuatan yang hebat.

"Kau...?!" Sari Asih yang melihat seorang kakek-kakek memegang sebatang tongkat bambu butut, langsung menjadi terkejut la mengenali kakek itu sebagai orang yang menghadangnya di perjalanan, dan memberitahukan keadaan serta tempat di mana kekasihnya berada. Sadarlah dara cantik itu bahwa ia memang sengaja dijebak, dan di adu domba oleh orang-orang Perguruan Gunung Lawa.

"Keparat! Kakek jahat! Kubunuh kau...!" teriak Sari Asih yang tanpa berpikir panjang lagi, langsung saja menusukkan pedangnya ke tubuh kakek itu.

Dukkk!

"Aaahk...!" Sari Asih memekik kesakitan. Pedangnya memang tepat mengenai sasaran. Tapi, jangankan untuk membunuh kakek itu, melukainya pun ternyata tidak sanggup. Tentu saja Sari Asih menjadi tekejut melihat kehebatan kekebalan tubuh lawannya, ia tidak menyadari sama sekali ketika lengan kiri kakek itu telah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepalanya.

Plak!

Namun, saat itu juga terdengar benturan keras memekakkan telinga. Sesosok bayangan bersinar putih keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat kakek itu untuk membunuh Sari Asih. Bahkan, tubuh kakek itu sampai terdorong mundur sejauh empat langkah!

"He he he...! Pendekar Naga Putih...!" ujar kakek itu terkekeh ketika melihat sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di depannya, dalam jarak satu tombak.

"Hm..., Dewa Gunung Lawa! Sebagai orang tua, seharusnya kau lebih banyak mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan bukannya malah semakin mengumbar hawa nafsumu!" ucap Panji seraya membalas tatapan orang tua yang berjuluk Dewa Gunung Lawa itu dengan sorot mata yang tidak kalah tajam. Untuk beberapa saat lamanya, kedua tokoh sakti itu saling bertatapan dengan tajamnya.

"Hiyaaat..!"

Tiba-tiba saja Dewa Gunung Lawa berteriak keras. Tongkat bambu di tangannya dilemparkan ke udara, yang langsung meliuk dan berputar, tak ubahnya sebuah benda bernyawa. Jelas kalau Dewa Gunung Lawa mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.

"Hm...," Panji hanya bergumam perlahan ketika melihat tongkat bambu itu meluncur turun menyerang dirinya.

Bettt!

Cepat Panji memiringkan tubuhnya, menghindari sambaran tongkat bambu butut yang menimbulkan angin bercuitan tajam itu. Pendekar Naga Putih terus melompat ke kanan, ketika ujung tongkat itu menusuk dengan kecepatan kilat.

Whuttt! Kraaakkk!

Sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa langsung berderak patah ketika sodokan ujung tongkat yang dihindari Panji menghantamnya. Diam-diam Panji terkejut melihat kehebatan yang tersembunyi di dalam tongkat bambu butut itu. Dan, ketika tongkat itu berputar membabat tubuhnya, Pendekar Naga Putih mencoba untuk menyambut datangnya badan tongkat.

Duggg!

Bukan main terkejutnya hari Panji ketika merasakan lengannya kesemutan akibat berbenturan dengan tongkat bambu butut itu. Sadarlah Panji kalau tongkat bambu butut itu telah dipengaruhi kekuatan sihir yang dahsyat. Bahkan, ujung tongkat itu sempat menyemburkan asap berwarna merah ketika membentur tubuh Panji. Pendekar Naga Putih cepat-cepat melompat jauh kebelakang sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya, guna mengusir asap berwarna merah yang berbau harum itu.

"Hm...," untuk kesekian kalinya Panji kembali bergumam.

Lengan kakek itu sudah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepala Sari Asih. Namun...

Plak!

Saat itu juga terdengar benturan keras yang memekakkan telinga. Sesosok bayangan putih keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat Dewa Gunung Lawa untuk membunuh Sari Asih. Kali ini Pendekar Naga Putih terlihat menyilangkan sepasang lengannya di depan dada. Kemudian membuka ke depan seperti orang membopong sebuah benda. Sesaat kemudian, kedua tangannya diputar, dan disatukan di atas kepala, sambil membentak nyaring!

"Naga Langit...!" bentakan yang keras itu disusul dengan berpendarnya seberkas sinar kuning keemasan di atas kepala Pendekar Naga Putih, Sinar kuning keemasan itu tidak lain dari Pedang Pusaka Naga Langit yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya guna menghadapi tongkat butut Dewa Gunung Lawa.

"Hebat..!" Dewa Gunung Lawa sendiri berseru memuji Pendekar Naga Putih, yang dikiranya juga memiliki ilmu sihir. Maka, kakek itu segera memejamkan kedua matanya guna memperkuat kekuatan sihir pada tongkatnya.

Sebentar kemudian, Pedang Naga Langit itu telah bergerak menyambut datangnya tongkat bambu butut Dewa Gunung Lawa. Pertarungan tidak masuk akal itu tidak berlangsung lama. Sebab, Pedang Naga Langit yang memang memiliki kekuatan tanpa bantuan dari Panji, langsung membabat tongkat bambu butut itu hingga menjadi enam bagian. Tentu saja potongan-potongan tongkat itu langsung runtuh ketanah.

"Aaah...!?" Dewa Gunung Lawa terkejut ketika merasakan tubuhnya bagaikan terpukul sebuah kekuatan dahsyat. Cepat-cepat tokoh sakti itu menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya memejamkan mata. Kemudian, sepasang lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan sambil membentak keras. Jelas maksudnya hendak menghilangkan pengaruh aneh yang menyergap tubuhnya, tepat pada saat bambu bututnya terpotong oleh pedang lawan.

"Hm..., sekarang hadapilah jurus-jurusku, Pendekar Naga Putih...," geram Dewa Gunung Lawa yang segera menggerakkan kedau tangannya yang siap menggempur Panji. Jelas ia telah merasa tidak ada gunanya menggunakan ilmu sihir.

Panji yang sudah menarik pulang Pedang Naga Langit, segera mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang merupakan ilmu pamungkasnya. Berbarengan dengan itu, ia pun menambahkan kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sehingga, hembusan angin dingin semakin kuat, membuat orang-orang di sekitarnya bergegas menjauhkan diri dari arena pertarungan maut itu.

"Haaat..!"

"Yeaaah...!"

Dibarengi pekikan mengguntur, kedua tokoh sakti itu saling terjang dengan hebatnya! Debu dan dedaunan kering beterbangan bagaikan dilanda badai topan yang hebat. Sebentar saja suasana di sekitar arena pertarungan itu menjadi gelap oleh debu dan dedaunan yang bertebaran kian kemari.

Dukkk! Dukkk! Plak!

Terdengar benturan keras berkali-kali membuat tubuh keduanya tampak berpencar, kemudian menyatu kembali dan saling terjang dengan dahsyatnya. Hebat luar biasa pertarungan yang terjadi di tempat itu. Sehingga, dalam jarak tiga tombak masih terasa getaran jejakan kaki kedua tokoh itu yang berdebum-debum menimpa bumi.

Beberapa batang pohon yang berada di sekitar satu tombak dari tempat kedua tokoh sakti itu bertarung, terangkat dari atas tanah, dan roboh bersama akar-akarnya! Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan kedua orang tokoh sakti itu.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa pertarungan telah berjalan selama seratus dua puluh jurus. Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang di antara mereka ada yang kalah. Keduanya masih sama kuat dan sama cepat.

"Yeaaat..!"

Dewa Gunung Lawa yang merasa penasaran terhadap lawan yang pantas menjadi cucunya itu, suatu saat mengeluarkan bentakan nyaring. Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya berputar menciptakan deruan angin topan yang hebat. Kemudian mendorongnya ke depan ke arah Pendekar Naga Putih.

Whusss...! Blarrr...!

Mengerikan sekali akibat terpaan angin pukulan Dewa Gunung Lawa. Sebuah batu besar yang berada di belakang Panji, langsung hancur berantakan dengan suara ledakan keras. Terdengar jerit-jerit kematian yang menyayat, dibarengi terlemparnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Jelas mereka adalah orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang secara tak sadar telah menjadi sasaran pukulan maut ketuanya sendiri.

Panji yang berputaran di udara guna menghindari pukulan maut lawannya, langsung meluruk dengan kecepatan kilat. 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus mautnya itu, langsung dipegunakan saat itu juga. Seketika terciptalah gelombang lingkaran sinar putih keperakan yang menyilaukan mata. Sedangkan sepasang tangan pemuda itu terkadang menyembul dari sisi lingkaran yang diciptakannya.

"Hiaaa...!"

Bret! Bret! Desss...!

"Aaaiii..!" Dewa Gunung Lawa memekik keras ketika cakar naga serta hantaman telapak tangan pemuda itu mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh Dewa Gunung Lawa terlempar deras disertai semburan darah segar membasahi tanah.

Bukkk!

Sebatang pohon besar yang menahan luncuran tubuh Dewa Gunung Lawa berderak patah, seiring dengan melayangnya nyawa kakek itu meninggalkan raganya yang telah remuk akibat hantaman telapak tangan, serta cakar naga Panji.

"Hhh...," Panji menghela napas panjang melihat tubuh Dewa Gunung Lawa yang telah tewas di tangannya.

Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya berlarian mendatangi Pendekar Naga Putih. Jelas mereka pun telah menyelesaikan lawan-lawannya pada saat Panji tengah bertempur dengan Dewa Gunung Lawa.

"Hm..., akhirnya tokoh sakti yang sombong itu harus menyerah di tangan seorang pendekar muda yang sama sekali tidak pernah diimpikannya...," gumam Pendekar Macan Sakti.

Panji yang berada di sebelah kanan Pendekar Macan Sakti menoleh dengan kening berkerut ketika melihat lengan kanan laki-laki setengah baya itu nampak terluka.

"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Bidadari jelitamu itulah yang telah mengobatiku. Kalau tidak, mungkin aku pun telah melayat ke akhirat. Karena luka ini ternyata mengandung racun," jelas Pendekar Macan Sakti tersenyum melihat kekhawatiran di mata pemuda itu.

"Syukurlah kalau begitu, Paman...," ucap Panji merasa lega mendengar keterangan Pendekar Macan Sakit.

"Hm..., pada kesempatan ini, biarlah aku berterus terang untuk mengakui dosaku...," tiba-tiba saja lelaki tinggi gagah itu menundukkan kepalanya dengan wajah penuh sesal. Sepasang mata Pendekar Macan Sakti melirik sekejap ke arah Sari Asih. Sehingga, dara cantik manis itu menjadi berdebar tegang. Jelas ia menduga bahwa pendekar gagah itu telah menyadari kesalahannya untuk memisahkan dia dengan Sasmita.

"Asih...," Pendekar Macan Sakti mengangkat wajahnya menatap dara cantik manis itu. "Akulah yang telah membunuh orangtuamu, karena aku menyangka ayahmu telah melarikan putraku. Sayang penyesalan ini datangnya terlambat. Aku benar-benar menyesal telah bertindak ceroboh dan terburu-buru...," aku Pendekar Macan Sakti yang membuat wajah Sari Asih dan Sasmita pucat pasi.

"Ayah, kau...!" Sasmita terpekik kaget mendengar penjelasan ayahnya. Pemuda itu menatap wajah orang tuanya dengan mata membelalak lebar.

Sari Asih sendiri melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Cepat ia mengangkat pedang yang masih tergenggam di tangan kanannya. Jelas dara cantik itu telah siap untuk membalas kematian orangtuanya.

"Lakukanlah, Asih. Aku tidak akan melawan. Aku siap menebus kesalahanku itu...," desah Pendekar Macan Sakti dengan wajah penuh sesal.

"Asih, tahan...!" Panji yang melihat Sari Asih sudah bersiap untuk menerjang Pendekar Macan Sakti, segera saja berkelebat menangkap pergelangan tangan dara cantik itu.

"Aku harus menebus kematian orangtuaku, Pendekar Naga Putih! Dan, aku telah bersumpah di depan makam ayah...," bantah Sari Asih dengan wajah bersimbah air mata. Jelas kalau dara cantik itu pun tengah dilanda keraguan. Sepasang matanya yang bening dan basah oleh air mata, menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan Sasmita berganti-ganti. Jelas Sari Asih tidak bisa menjatuhkan pilihannya untuk melakukan hal itu.

"Asih..., semua itu sudah lewat. Jadi, janganlan kau buat masalah baru dengan membunuh Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas telah menyesali perbuatannya. Aku mulai dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi di antara kedua keluarga kalian. Bukankah kau mencintai Sasmita...?" tanya Panji menuntut jawaban tegas.

"Ya..., aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin dapat hidup tanpa Kakang Sasmita...," jawab Sari Asih setelah terdiam sesaat.

"Hm..., apakah kalian akan hidup berdampingan apabila kau membunuh Pendekar Macan Sakti, yang menjadi ayah dari kekasihmu itu? Rasanya, ayahmu pun akan tenang di alam sana apabila kalian dapat menyatu dalam tali perkawinan. Anggaplah kematian ayahmu sebagai tumbal perkawinan buat kalian berdua Nah, bukankah hal itu jauh lebih baik...," nasihat Panji kepada Sari Asih yang mulai terbuka matanya.

Dara itu menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan istrinya, seolah-olah meminta jawaban mereka atas ucapan Panji.

"Kami setuju, Asih. Pendekar Naga Putih benar-benar telah membuat aku merasa malu. Pemuda itu ternyata jauh lebih bijaksana ketimbang aku yang tua ini. Yah, aku akan merestui hubungan kalian," tegas dan mantap kata-kata Pendekar Macan Sakti yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Nyi Sekar Galung. Jelas kalau wanita cantik itu pun setuju bermantukan Sari Asih.

Sasmita dan Sari Asih saling berpandangan. Ketika melihat Sasmita menganggukkan kepala, Sari Asih langsung berlari ke dalam pelukan pemuda gagah itu. Ia menangis bahagia di dada bidang Sasmita.

"Nah, karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon pamit," pinta Panji kepada Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya. Kemudian, pemuda itu mengajak Kenanga untuk melanjutkan petualangan.

"Pendekar Naga Putih! Kuharap kau dapat hadir pada pesta pernikahan kami...!" seru Sasmita dengan suara lantang.

"Datanglah pada tanggal dua bulan depan ke Bukit Harimau Putih...!" Pendekar Macan Sakti menyambung ucapan, Sasmita.

"Kami pasti akan hadir untuk memberi selamat kepada mereka berdua, Paman...!" sahut Panji, yang kembali membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap bersama kekasihnya di balik pepohonan lebat.

"Seorang pemuda yang hebat. Sifatnya pun penuh ketenangan dan kesabaran...," gumam Pendekar Macan Sakti sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu, diiringi hembusan angin senja yang membuat hati mereka menjadi damai.

S E L E S A I