Pembunuh Bayaran - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pembunuh Bayaran
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih karya T. Hidayat

SATU

SAAT itu matahari menampakkan sinar jingga di sudut cakrawala timur, menggantikan tugas malam yang baru saja usai. Semilir angin sejuk yang membawa kesegaran, menemani munculnya sang Raja Siang. Cericit burung sesekali terdengar dari rimbun pepohonan, membuat suasana pagi bertambah indah dan hidup.

“Kadipaten Balaraja...”

Ucapan itu keluar dari bibir seorang gadis bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau. Wajahnya demikian memancarkan pesona. Membuat mata lelaki tidak akan sudi melewatkannya, meski hanya untuk menatap sekilas.

Sepasang mata bulat berbulu lentik miliknya, demikian terang laksana bintang pagi. Perpaduan kulit yang putih halus laksana gumpalan salju dengan pakaian berwarna hijau yang dikenakan, semakin menambah cahaya pada kulit tubuhnya. Benar-benar seorang dara yang luar biasa. Tentunya mampu membuat lelaki sudi bertekuk lutut di bawah pesonanya.

Dara jelita itu rupanya tidak seorang diri. Di sebelah kanannya terlihat pemuda bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Penampilannya pun tidak kalah menarik dengan dara jelita di sisinya. Meskipun tubuhnya tidak terlalu kekar, namun terlihat padat dan kokoh.

Sepasang matanya bersinar tajam, memancarkan perbawa yang kuat. Wajahnya yang bersih tampan dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Jelas, bahwa dia pun seorang pemuda pilihan yang sangat menarik hati wanita. Keduanya berdiri tegak menatap tembok batu setinggi bahu, yang bertuliskan huruf-huruf besar dan indah, sebagai tanda perbatasan sebuah kadipaten.

“Kita akan melewati Kota Kadipaten Balaraja. Ayolah kita bergegas, mumpung hari masih pagi,” ujar pemuda tampan itu sambil menoleh ke arah dara jelita di sebelahnya. Melihat nada bicara dan caranya menatap, jelas hubungan di antara mereka bukan sekadar teman seperjalanan. Sudah pasti lebih dari itu.

“Ayolah, Kakang...,” sahut dara jelita itu bernada riang serta menyiratkan kemanjaan. Sepasang bola matanya berkedip jenaka ketika berkata demikian.

Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, menyentuh wajah jelita yang begitu membakar asmara di hatinya. Jelas, dia agak terpengaruh menyaksikan wajah yang semakin mempesona itu.

“Kau cantik sekali...,” desahnya sambil membelai wajah dara berpakaian serba hijau itu.

Dara itu sendiri tidak berusaha mengelak. Bahkan tangannya diangkat, lalu ditekannya punggung tangan pemuda itu kuat-kuat ke wajahnya yang halus. Terlihat pancaran kebahagiaan pada sepasang bola matanya mendengar pujian tadi.

“Betulkah ucapanmu itu, Kakang...?” tanyanya manja dengan senyum meruntuhkan iman lelaki.

“Hm.... Untuk apa aku harus berdusta...?” sahut pemuda tampan sambil menarik tubuh ramping itu dalam pelukan. Bibir merah merekah dan penuh pesona itu dikecupnya sepenuh kasih. Dalam sekejap, keduanya terlena dalam buaian dewi asmara.

Cukup lama keduanya terlupa keadaan sekitar. Akhirnya pemuda tampan itu melepas pelukannya perlahan, saat disadarinya gelora nafsu yang semakin membakar dada. Kalau tidak segera dicegah, mereka bisa terperosok semakin dalam. Perbuatannya menjadi tanda kalau dia adalah pemuda yang digembleng matang, sehingga mampu menahan keinginan yang tidak baik dalam dirinya.

“Kau terlalu cantik, Kenanga. Aku takut terperosok apabila kita tidak segera menghentikannya...,” desahnya dengan suara bergetar, karena pengaruh buaian dewi asmara yang melenakan barusan.

“Kau benar, Kakang. Aku pun hampir lupa diri...,” aku dara jelita itu sejujurnya. Wajahnya tampak kemerahan. Entah perasaan apa yang terkandung dalam hatinya saat itu.

“Sudahlah. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan ini...,” sergah pemuda tampan, yang tak lain dari Panji, seraya melangkah menyusuri jalan berbatu yang cukup lebar. Di sebelahnya, Kenanga mengikuti tanpa kata.

Tidak lama kemudian, mereka tiba di gerbang Kota Kadipaten Balaraja. Keduanya agak heran melihat ketatnya penjagaan gerbang masuk itu. Terlihat dari pemeriksaan yang dilakukan para prajurit kadipaten terhadap beberapa pendatang.

“Entah sudah terjadi apa di Kota Kadipaten Balaraja, sehingga penjagaan demikian ketat, dan harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu...?” gumam Panji sambil melangkah lambat, mendekati gerbang kota kadipaten.

Sedangkan Kenanga sama sekali tidak berkata-kata. Dara jelita itu menjadi sedikit gelisah ketika disadari kalau di pinggangnnya terselip senjata. Sebab, kalau memang ucapan Panji barusan benar, ada kemungkinan pedangnya akan dilucuti dan disita penjaga gerbang. Walaupun begitu, kakinya tetap melangkah mengikuti kekasihnya, karena mereka memang berniat memasuki kota kadipaten itu.

“Kalian harap berhenti sebentar...!” seru seorang prajurit sambil melangkah menghadang jalan, menahan Panji dan Kenanga. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya menuruti kehendak prajurit itu.

“Hm... Kalian bukan penduduk Kota Kadipaten Balaraja...?” tanya prajurit bertubuh sedang sambil meneliti wajah dan penampilan kedua orang muda itu. Sepasang matanya terhenti agak lama pada wajah dan tubuh sintal Kenanga. Jelas, tersirat kekaguman yang tidak bisa disembunyikannya.

“Kami memang bukan penduduk kota kadipaten ini, Tuan. Tapi, apa ada larangan bagi orang luar untuk memasuki kota ini...?” sahut Panji, sekaligus melontarkan pertanyaan kepada prajurit tadi.

“Sebenarnya tidak, kecuali kali ini. Karena kalian adalah orang asing, maka kami terpaksa menahan kalian untuk sementara...,” ujar prajurit yang tampak mencurigai Panji dan Kenanga.

Wajah Panji tidak menunjukkan perubahan. Dimakluminya kalau prajurit itu hanya melaksanakan tugas. Jadi, dia tidak bisa disalahkan. Selain itu, Panji melihat ada beberapa pendatang lain yang juga ditahan untuk diperiksa. Jadi, Panji pun tidak keberatan untuk diperiksa.

“Mari kalian ikut kami menghadap komandan jaga,” kata prajurit itu lagi, bermaksud menggiring pasangan pendekar itu ke pos jaganya.

“Hey...! Kami bukan penjahat, kenapa harus ditahan dan diperiksa seperti pesakitan? Aku keberatan...!” Kenanga yang tidak bersedia untuk diperiksa, langsung mengemukakan perasaannya tanpa kenal takut. Sebab, dia merasa tidak bersalah apa-apa.

“Maaf, Nisanak. Kami hanya melaksanakan tugas dari senapati. Kuharap kalian tidak memperberat tugas kami ,” ujar prajurit bertubuh sedang itu.

“Sudahlah, Kenanga. Tak ada salahnya mengikuti peraturan yang berlaku di kadipaten ini, selama tidak menyusahkan kita,” bujuk Panji menenangkan kekasihnya.

“Tapi, Kakang. Biasanya kalau kita menurut saja, mereka akan berbuat sesuka hati...,” bantah Kenanga tidak menuruti bujukan Panji. Tentu saja Panji tidak tahu kekhawatiran kekasihnya jika Pedang Sinar Rembulan yang melingkar di pinggangnya disita oleh prajurit kadipaten. Itu alasan mengapa Kenanga merasa keberatan.

“Kenanga. Selama kita tidak berbuat macam-macam, mereka tetap akan memperlakukan kita dengan baik. Kalaupun mereka berbuat kasar, mengapa kita harus takut...?” bujuk Panji lagi dengan suara perlahan.

“Baiklah, Kakang,” Kenanga akhirnya mengalah. “Tapi Kakang harus berjanji untuk tidak mencegahku apabila mereka melakukan hal yang tidak kuinginkan...”

“Aku berjanji...,” jawab Panji, merasa tidak ada ruginya mengabulkan syarat yang diajukan Kenanga. Karena Kenanga sudah berhasil dibujuk, keduanya pun digiring prajurit bertubuh sedang itu menuju pos jaga untuk dihadapkan kepada komandan jaga mereka.

“Tuan Komandan. Mereka adalah orang asing yang hendak memasuki kota kadipaten. Kami menahan mereka untuk diperiksa...,” lapor prajurit itu kepada seorang komandan bertubuh gemuk dengan wajah bulat dihiasi sepasang mata sipit, karena wajahnya kebanyakan lemak.

“Hm.„. Kau boleh kembali ke tempatmu...,” perintah komandan itu kepada prajurit yang membawa Kenanga dan Panji.

Sesaat setelah kepergian prajurit tadi, komandan itu beringsut bangkit dari kursi. Kakinya melangkah terseret, mengitari Panji dan Kenanga. Sikapnya terlihat demikian angkuh, seolah sedang memeriksa pesakitan yang melakukan kesalahan.

“Kalian siapa, dan berasal dari mana...?” tanya komandan bermata sipit itu dengan nada sinis.

Mulutnya berkata demikian, tapi sepasang matanya menjilati sekujur tubuh ramping Kenanga dengan lahap. Sehingga, bulu-bulu di tubuh dara jelita itu meremang. Kenanga merasa bukan sedang berhadapan dengan manusia, melainkan seekor serigala lapar yang tergiur kijang muda. Kalau saja di tempat itu tidak ada Panji, mungkin sudah dicongkelnya sepasang mata kurang ajar itu.

“Nama hamba Panji, Tuan Komandan. Sedangkan sahabat hamba ini bernama Kenanga. Kami adalah perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal...,” jawab Panji dengan nada hormat.

“Hm...!” Komandan bermata sipit itu hanya bergumam tak jelas mendengar jawaban Panji. “Lalu, apa tujuan kalian ke kota kadipaten ini...?” lanjutnya penuh selidik.

“Seperti yang hamba kemukakan tadi, kami adalah pengembara yang mengikuti ke mana kaki kami melangkah. Datang ke Kota Kadipaten Balaraja ini sekadar singgah, tanpa maksud tertentu,” urai Panji, tetap dengan sikap hormat.

“Kalian tidak mempunyai sanak keluarga di kota ini...?”

“Tidak, Tuan Komandan”

Sambil mengangguk-anggukkan kepala, kaki komandan bermata sipit itu kembali bergerak mengitari Panji dan Kenanga. Sepasang matanya menjelajahi sekujur tubuh Panji maupun Kenanga. Wajahnya bersinar kaget saat melihat sembulan gagang pedang di pinggang bagian depan Kenanga. Langkahnya terhenti tiba-tiba di depan dara jelita itu.

Kenanga menarik napas perlahan, menekan kemarahan yang meletup-letup dalam dadanya. Sebenarnya, dia sudah begitu jengkel dan muak pada komandan bermata sipit itu. Tapi, karena komandan itu belum memperlihatkan sikap kurang ajar, Kenanga masih menahan luapan amarah. Diam-diam hatinya berharap agar orang menyebalkan itu berbuat di luar batas, agar ada alasan untuk melabraknya.

“Kalian orang-orang rimba persilatan, heh...?!” dengus komandan bermata sipit itu agak kasar. Kali ini pertanyaannya ditujukan kepada Kenanga.

“Tepatnya kami adalah”

“Diam! Aku tidak bertanya padamu...!” bentaknya menggelegar, memotong kalimat Panji yang belum selesai. “Aku bertanya kepada gadis ini, bukan kau! Mengerti?! Jadi, gadis ini yang harus menjawab, tidak perlu kau wakili!”

Bentakan itu membuat hati Panji tidak senang. Kepalanya kemudian diangkat, dan ditentangnya pandangan komandan itu dengan sinar mencorong menggetarkan jantung. “Tuan Komandan! Pertanyaan tadi menggunakan kata ‘kalian’. Jadi jelas, siapa pun dari kami yang menjawabnya tidak menjadi soal. Selain itu, Tuan pun tidak berhak membentak salah seorang dari kami. Kami bukan pesakitan yang dapat dihina dengan sesuka hati,” bantah Panji dengan suara mengandung perbawa menggetarkan hati komandan bermata sipit itu.

Sehingga, tubuhnya sempat beringsut mundur tanpa sadar. Empat orang prajurit dalam ruangan cukup besar itu langsung menggenggam gagang pedang masing-masing. Mereka serentak maju melihat ketegangan terjadi antara kedua orang asing dengan komandannya. Tampaknya mereka siap turun tangan bila terjadi sesuatu.

Semula komandan bermata sipit itu agak gentar dengan sorot mata dan sikap menentang yang ditunjukkan Panji. Namun, ketika teringat posisinya sebagai komandan, sikap angkuhnya kembali muncul, mengubur kegentarannya.

“Hei, Orang Asing!” geramnya seraya menudingkan jari telunjuk ke wajah Panji. “Aku bisa saja menghukum mu karena begitu lancang melawan petugas! Sikap memberontak mu itu bisa membawamu ke dalam penjara, tahu?!”

Melihat kekasihnya mulai bersitegang dengan komandan bermata sipit, Kenanga tidak menyia-nyiakannya. Dengan wajah berang, kakinya digerakkan mendekati komandan gemuk yang telah membuatnya muak sejak pertama kali melihat caranya memandang dirinya.

“Kau pikir kami akan menurut diancam seperti itu? Kau salah, Tuan Komandan. Jangankan seorang komandan, kalaupun Adipati Balaraja sendiri melontarkan ancaman, kami sama sekali tidak takut! Mau dianggap pemberontak, silakan! Mau ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, boleh! Tegasnya, kami tidak suka caramu dan kami tidak sudi lagi diperiksa seperti pesakitan!” seru Kenanga dengan sepasang mata berkilat penuh kejengkelan.

Setelah berkata demikian, dara jelita itu langsung mengajak Panji meninggalkan tempat itu. “Ayo kita pergi dari sini, Kakang...!”

Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan Kenanga. Dia pun tidak suka dengan komandan bermata sipit itu. Kalau pada mulanya mau diperiksa, hal itu karena Panji mengira akan diperlakukan secara baik.

“Hei, tunggu...! Jangan harap kalian dapat pergi begitu saja dari sini...!” bentak komandan bermata sipit itu. Tubuh gemuknya melesat ke depan, bermaksud mencegah kepergian pasangan pendekar muda itu.

Mulanya, baik Panji maupun Kenanga tidak mempedulikan seruan tadi. Tapi, ketika mereka dikepung belasan prajurit kadipaten, terpaksa keduanya menunda langkah.

“Tangkap mereka...!” perintah komandan itu kepada para prajurit yang mengepung Panji dan Kenanga. Sepertinya dia tidak ingin banyak bicara lagi.

“Baik.... Jangan salahkan jika kami melawan. Kalian terlalu memaksa...!” ujar Panji seraya mengedarkan pandang satu demi satu pada wajah tegang para pengepung. Lalu berhenti pada wajah penuh lemak yang bermata sipit.

“Hm.... Kalian berdua memang sangat mencurigakan. Patut dikaitkan dengan kejadian semalam,” geram komandan bermata sipit itu tanpa berani menentang pandangan Panji. “Tangkap mereka hidup-hidup, terutama gadis itu...!”

Sambil berkata demikian, jari telunjuk lelaki gemuk bermata sipit itu menunjuk ke arah Kenanga. Maka, tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit Kadipaten Balaraja itu langsung menerjang dengan senjata di tangan.

“Kurang ajar! Monyet gendut ini benar-benar licik! Bisanya hanya memerintah prajuritnya saja untuk menyerang kita, sedang dia sendiri enak-enakan berdiri menonton. Akan kuberi pelajaran monyet gendut kurang ajar itu...!” umpat Kenanga berang, melihat kelicikan komandan bermata sipit itu. Tanpa dapat dicegah, tubuhnya melayang menuju sasaran.

“Hei...?!” Bukan main terkejutnya komandan bermata sipit itu ketika melihat sekelebat bayangan hijau meluncur deras ke arahnya. Merasa ada sambaran angin kuat datang mengancam kepalanya, tubuh gemuknya dengan susah payah menghindar ke belakang.

Kenanga yang sangat ingin memberi pelajaran kepada komandan memuakkan itu, tak berhenti sampai di situ. Tamparan-tamparannya datang bertubi-tubi diiringi sambaran angin menderu, membuat komandan bermata sipit itu menjadi kalang-kabut!

“Rasakan akibat kesombonganmu...!” bentak Kenanga. Kakinya melontarkan sebuah tendangan kilat, menyusul tamparan yang masih sempat dihindari lawan.

Bukkk!

“Hegkh…!”

Tendangan dara jelita itu singgah telak di perut gendut lawannya. Tanpa dapat ditahan, tubuh gemuk itu pun jatuh terguling-guling bermandi debu. Tapi, meski tubuhnya kelihatan sulit bergerak, komandan itu ternyata mampu bertindak gesit. Terbukti tubuhnya dapat langsung melenting bangkit, dan segera bersiap menghadapi gempuran Kenanga berikutnya.

“Gila! Tidak kusangka kalau dara cantik yang terlihat lembut ini memiliki kepandaian tinggi...!” desis komandan bermata sipit itu.

Kini pedangnya sudah diloloskan. Senjata itu diputar demikian rupa membentuk gulungan sinar putih yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Menilik dari gerakan dan deru angin yang ditimbulkan, jelas dia memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, meski tentu saja masih jauh di bawah Kenanga.

“Rasakan pedangku, Gadis Binal...!” bentak komandan bermata sipit itu. Kali ini, serangannya dibuka lebih dulu.

Bettt! Bettt!

Pedang di tangan komandan bertubuh gemuk itu berkelebatan cepat mencari sasarannya. Namun serangan-serangan pedang itu sama sekali tidak membuat Kenanga menjadi kewalahan. Hanya mengandalkan kegesitan, setiap sambaran pedang lawan selalu saja dapat dihindari. Bahkan tangan dan kaki dara itu terlihat lebih berbahaya ketimbang serangan pedang lawannya. Sehingga, komandan itu malah menjadi kewalahan ketika tangan dan kaki dara jelita itu melancarkan serangan balasan.

Bukkk! Desss!

“Aaakh...!”

Pukulan dan tendangan Kenanga kembali singgah di tubuh lawan. Kali ini kekuatannya telah ditambah. Sehingga akibatnya pun lebih parah ketimbang tendangan pertama tadi. Komandan bertubuh gemuk itu merangkak bangkit dengan tubuh terasa remuk. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Kenyataan itu membuatnya menjadi gentar.

“Hm.... Kurasa pelajaran hari ini cukup membuatmu lain kali lebih berhati-hati...,” ujar Kenanga, puas dengan hasil perbuatannya. Setelah berkata demikian, tubuhnya berbalik lalu melayang ke arah pertempuran lain yang masih berlangsung.

“Kakang, ayo tinggalkan tempat ini...!” seru dara jelita itu kepada Panji yang masih menghadapi keroyokan para prajurit.

Panji yang tidak sungguh-sungguh menghadapi lawan-lawannya, segera saja melesat bersama Kenanga meninggalkan ajang pertempuran.

“Kejar...!” perintah seorang prajurit dibarengi lompatan untuk melakukan pengejaran.

Tapi, mana mereka mampu mengimbangi kecepatan gerak pasangan pendekar muda yang sakti itu. Sebentar saja mereka telah kehilangan buruannya. Sedangkan kedua sosok yang dikejar sudah demikian jauh dari jangkauan mereka.

DUA

“Kita harus cari tahu, sebenarnya apa yang terjadi di Kota Kadipaten Balaraja, Kakang. Kalau perlu, akan kudatangi Adipati Balaraja untuk melaporkan sikap prajuritnya yang mencoreng citra kadipaten itu,” ucap Kenanga, mengungkapkan rasa penasaran yang mengganjal hatinya. Saat itu mereka duduk pada sebuah batu besar, dalam kerimbunan hutan kecil.

“Untuk menghadap adipati, tidak semudah perkiraan kita, Kenanga. Selain harus menuruti peraturan yang rumit, kita pun harus punya alasan tepat. Belum lagi kalau di antara penjaga istana kadipaten meminta uang pelicin. Lebih baik buang saja pikiran untuk menemui Adipati Balaraja. Mengenai kejadian yang mungkin menggegerkan kadipaten itu, sudah menjadi kewajiban kita menyelidikinya. Susahnya, mungkin kini kita jadi buronan kadipaten,” jawab Panji, menimpali ucapan Kenanga.

“Ah! Apa sulitnya bagi kita memasuki sebuah kadipaten? Saat hari gelap, kita bisa menyusup masuk dan mencari tahu apa yang terjadi di sana. Bagaimana menurut Kakang...?”

“Hm.... Kalau hanya menyelinap ke dalam kota kadipaten, tentu saja tidak sulit. Tapi, apa mungkin semua penduduk tahu tentang kejadian di dalam kotanya? Sebab, seingatku komandan bermata sipit yang memeriksa kita sama sekali tidak menjelaskan tujuannya mengadakan pemeriksaan. Hal itu membuktikan kalau kejadian menggemparkan itu terjadi dalam istana kadipaten. Mereka sengaja merahasiakan...,” urai Panji lagi yang rupanya sangat teliti menghadapi segala sesuatu, sampai-sampai ucapan komandan bermata sipit yang memeriksa mereka masih dapat diingatnya dengan baik.

“Kalau begitu, kejadiannya pasti menyangkut keamanan Kadipaten Balaraja. Tidak mustahil kalau yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang penting,” ujar Kenanga setelah terdiam beberapa saat, untuk mencerna ucapan kekasihnya.

“Menurutku pun demikian...,” timpal Panji yang rupanya punya perkiraan serupa dengan Kenanga. “Biar bagaimanapun kita harus tahu kejadian yang membuat kadipaten itu geger”

“Aku setuju, Kakang. Bagaimana kalau nanti malam kita langsung menyelinap ke dalam istana kadipaten? Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah lagi bertanya ke sana-sini...,” usul Kenanga penuh semangat.

“Hhh...” Panji hanya menghela napas panjang. Diam-diam Pendekar Naga Putih merasa bangga dengan semangat petualangan Kenanga. “Sebaiknya kita pikirkan dulu masak-masak segala tindakan yang akan kita ambil. Selain itu, mungkin kita tidak bisa mendapat keterangan dalam waktu singkat. Kuharap kau tidak terburu-buru dalam menyelidiki persoalan yang masih gelap ini...,” nasihat Panji kepada dara jelita di sisinya.

Kenanga langsung mengerti. Terbukti dari anggukan kepalanya perlahan. “Percayalah, Kakang. Aku akan berhati-hati dan mencoba sabar menghadapi segala sesuatunya.”

Bibir Panji tersenyum melihat sikap Kenanga. Kemudian, mulai mengatur rencana untuk menyelidiki pergolakan yang mungkin terjadi di Kota Kadipaten Balaraja.

“Ada orang datang ,” bisik Panji tiba-tiba.

Saat keduanya membicarakan rencana penyusupan ke dalam istana kadipaten, telinga Panji menangkap langkah kaki menuju tempat mereka berada.

“Mungkin hanya pencari kayu yang hendak lewat, Kakang...,” sergah Kenanga seperti tidak menaruh curiga.

“Biar bagaimanapun, kita harus tetap waspada. Kau ingat, kita baru saja membuat keributan di gerbang kadipaten? Siapa tahu yang datang itu utusan kadipaten yang sengaja diperintah membekuk kita...,” ujar Panji membantah dugaan Kenanga. Sekaligus mengingatkan dara jelita itu bahwa mereka kini merupakan buronan Kadipaten Balaraja.

“Maaf aku lupa, Kakang ,” sesal dara jelita itu perlahan. Kemudian, Kenanga ikut menajamkan indera pendengarannya. Wajahnya berubah sungguh-sungguh, setelah telinganya menangkap langkah kaki itu. “Langkah kaki mereka demikian ringan, Kakang. Jelas orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah,” tuturnya lagi setengah berbisik.

Kepala Panji mengangguk sebagai tanggapan atas ucapan kekasihnya. Satu jarinya digerakkan, memberi isyarat pada Kenanga agar mereka pindah ke tempat yang lebih tersembunyi. Tanpa suara, tubuh Panji melenting ringan ke sebuah dahan pohon besar. Kenanga lalu menyusulnya.

Tidak lama kemudian, muncul tiga lelaki yang berlari melewati tempat Panji dan Kenanga semula duduk. Celakanya, ketiga lelaki itu menghentikan larinya, tak jauh dari persembunyian pasangan pendekar muda itu. Sehingga, baik Panji maupun Kenanga mengatur pernapasan sehalus mungkin agar tidak tertangkap indera pendengaran ketiga orang itu. Sebab, keduanya yakin kalau mereka bukan orang-orang sembarangan.

“Hm.... Ke mana perginya mereka? Hampir seluruh pelosok hutan kecil ini telah kita jelajahi. Tapi, hasilnya tetap nol!” gerutu lelaki gemuk dan kekar, yang hanya mengenakan rompi sebagai penutup tubuh sebelas atas. Suara lelaki itu parau dan berat, dengan sepasang mata tajam mencorong, pertanda kalau dirinya seorang ahli tenaga dalam.

“Mungkin kedua orang itu sudah pergi jauh meninggalkan daerah ini, Kakang Dawanta. “Sebaiknya kita kembali saja melaporkan seadanya...,” sahut orang kedua, bertubuh agak kurus dan sedikit lebih tinggi dari orang pertama. Dia mengenakan jubah berwarna biru tua, yang terbuka pada bagian dadanya. Dari, balik jubah itu terlihat pisau-pisau kecil berbaris rapi. Mudah ditebak, kalau lelaki berwajah agak pucat itu seorang ahli senjata rahasia.

“Benar apa yang dikatakan Adi Songgara barusan. Sebaiknya kita kembali saja dan melaporkan hal ini,” timpal orang ketiga.

Tubuhnya jauh lebih pendek dari kedua orang kawannya. Bahkan bisa dikatakan kalau orang ketiga itu bertubuh cebol. Meskipun demikian, baik Dawanta maupun Songgara terlihat menaruh rasa segan kepadanya. Mungkin karena lelaki cebol itu lebih tua di antara mereka bertiga, sekaligus merupakan pemimpin ketiganya.

Mendengar ucapan itu, Dawanta tidak segera menyahut. Lelaki kekar dan kokoh bagai batu karang itu malah terdiam sambil mengawasi sekitarnya dengan mata menyipit. Kedua orang kawannya hanya bisa saling pandang melihat tingkah Dawanta.

“Siapa ketiga orang itu, Kakang...?” Kenanga yang mengintip dari sela-sela dedaunan, berbisik kepada Panji di sebelahnya. Sejak tadi diperhatikannya ketiga orang itu, dan dicoba untuk mengenalinya. Setelah memutar otak tanpa bisa mengenali mereka, akhirnya Kenanga bertanya kepada Panji.

“Entahlah. Aku belum mengenal mereka, Kenanga. Mungkin ketiga orang itu baru keluar dari tempat tinggalnya,” sahut Panji yang juga tidak bisa mengetahui siapa adanya ketiga orang lelaki yang kelihatan memiliki tatapan mata dingin yang menyembunyikan kekejaman mengerikan itu.

Sedangkan tiga orang itu sepertinya sudah mengambil keputusan untuk pergi. Terlihat mereka melangkah melewati pohon tempat Panji dan Kenanga bersembunyi. Sehingga, pasangan pendekar muda itu terpaksa menahan napas kembali. Tapi sesuatu di luar perhitungan terjadi.

“Aaah...! Setan...!” pekik Kenanga tiba-tiba. Tubuhnya serabutan tak terkendali sambil mengumpat jengkel.

Panji tentu saja terkejut ketika melihat kekasihnya sibuk mengebut-ngebutkan pakaian. Pemuda tampan berjubah putih itu tidak perlu bertanya lagi ketika sepasang matanya mengerling ke dahan yang diduduki, dilihatnya semut-semut merah berduyun-duyun menuju ke arahnya.

“Hm.... Rupanya binatang ini penyebabnya,” desis Panji. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya meluncur turun dari atas pohon itu, menyusul Kenanga yang lebih dahulu meluruk panik.

Sedangkan tiga orang lelaki yang hendak meninggalkan tempat itu mendadak membalikkan tubuh saat mendengar teriakan seorang gadis dari atas pohon. Kaki mereka serentak mundur melihat tubuh ramping meluncur turun dari atas pohon yang sibuk mengebut-ngebutkan pakaiannya. Sehingga, ketiganya terpaku beberapa saat. Mereka baru sadar ketika melihat tubuh lain berjubah panjang yang berwarna putih menyusul turun.

“Setan! Kiranya mereka bersembunyi di atas pohon...!” geram Dawanta, menjadi marah karena merasa dipermainkan.

"Tahan, Kisanak...!” cegah Panji. Langsung saja dia bergerak maju untuk melindungi kekasihnya. Sementara, Kenanga masih sibuk membersihkan pakaian dari rayapan semut-semut merah.

Dawanta menahan langkah ketika melihat pemuda tampan berjubah putih itu berdiri menghadang. Sepasang matanya menatap penuh selidik. “Hm..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” tanya Dawanta sinis, seperti tidak percaya kalau pemuda tampan di depannya adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

“Hm Bagaimana kalau kalian lebih dulu memperkenalkan diri. Setelah itu, baru aku dan kawanku akan memperkenalkan nama kami. Cukup adil, bukan?” ujar Panji, lebih dulu ingin mengetahui dengan siapa dia berhadapan.

Tentu saja jawaban yang tak diharapkan itu membuat Dawanta naik darah. Songgara dan Malingga melangkah maju dengan mata dingin menusuk jantung, lalu berdiri mendampingi Dawanta. Tiga pasang mata mereka menjelajah sekujur tubuh Panji dari ujung kaki sampai ujung rambut.

“Bocah...,” desis Malingga dengan suara serak, sambil menentang pandangan Panji. “Jawab saja pertanyaan kami atau kau akan menyesal telah dilahirkan ibumu ke dunia ini.!”

Panji sama sekali tidak marah atau kelihatan gentar, bahkan tatapan Malingga dibalas dengan sikap tenang. Pemuda itu tersenyum sambil menghela napas perlahan. “Kisanak. Seingatku kita belum pernah bertemu sebelumnya. Mengapa kalian bertiga tampak sangat membenci dan memusuhiku? Mungkin kalian keliru mengenali orang,” sahut Panji. Masih juga belum menjawab pertanyaan ketiga orang itu.

“Mau apa mereka, Kakang? Apakah kita yang mereka cari?” Kenanga yang baru selesai dengan urusannya, bertanya kepada Panji. Sepasang mata dara jelita itu meneliti tiga orang di depannya.

“He he he! Kau betul-betul beruntung, Bocah. Dari mana kau dapatkan bidadari itu...? Boleh kami meminjamnya barang semalam?” Songgara yang rupanya seorang lelaki mata keranjang, langsung tergiur melihat kejelitaan dan kemolekan Kenanga. Lelaki kurus bermata dingin itu sampai meneguk air liur yang hampir menetes.

“Kurang ajar...!” desis Kenanga yang tidak bisa lagi menahan kemarahannya mendengar ucapan tak beradat itu.

“Sabar, Kenanga...,” cegah Panji sambil memegang lengan kekasihnya untuk mencegah melabrak lelaki kurus berwajah pucat itu.

“Untuk apa berdebat dengan iblis-iblis seperti mereka, Kakang. Kalau mereka hendak mencelakai kita, mengapa tidak kita layani saja? Kalau dibiarkan, sikap mereka pasti akan semakin kurang ajar...,” bantah Kenanga dengan kemarahan yang meluruk sampai ke ubun-ubun.

“Bagus, Bidadari Cantik. Kau pasti tidak akan menyesal bila melayaniku di ranjang...,” cemooh Songgara lagi, membuat Kenanga memberontak dari cekalan tangan kekasihnya. Panji tidak bisa mencegah lagi, justru pegangannya sengaja dikendurkan. Dianggapnya kata-kata Songgara telah melewati batas.

“Pecah mulutmu...!” bentak Kenanga yang langsung melakukan tamparan ke wajah Songgara.

Whuuut...!

Songgara tentu saja tidak sudi wajahnya dibuat cacat oleh dara jelita itu. Cepat tubuhnya ditarik mundur satu langkah, sambil menyiapkan serangan balasan. Kenanga tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya untuk membalas. Begitu tamparannya luput, tangannya kembali menurunkan tamparan-tamparan kuat.

“Hebat..!” Songgara mau tak mau memuji kecepatan gerak dan kelincahan dara jelita itu. Sadar dia akan celaka kalau terus-menerus mengelak, maka tamparan berikutnya ditangkis.

Plakkk!

“Akh...?!” Bukan main terkejut hati Songgara ketika lengan yang digunakan untuk menangkis terpental balik! Bahkan terasa nyeri dan membuat kuda-kudanya terseret sejauh empat langkah.

Kenanga tak kalah terkejut merasakan telapak tangannya panas akibat benturan itu. Dia lantas paham kalau lelaki kurus berwajah pucat itu ternyata memiliki tenaga dalam kuat. Mungkin hanya setingkat di bawahnya, karena dia sendiri tidak sampai, terjajar mundur akibat benturan keras tadi.

Untuk sesaat, pertempuran itu terhenti. Songgara telah menggeser langkah ke samping kanan, siap menghadapi serangan lawan berikut. Kenanga sendiri mempersiapkan jurus-jurusnya. Disadari kalau lawannya tidak bisa dipandang ringan.

“Haiiit...!”

Diiringi sebuah pekik melengking, Kenanga mencelat ke depan dengan serangan-serangan yang jauh lebih hebat dari sebelumnya. Kaki dan tangannya bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan dan tendan- gan yang menerbitkan deruan angin tajam!

“Heaaa...!”

Songgara tidak tinggal diam. Tubuhnya bergerak maju menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar saja keduanya sudah saling terjang dengan jurus-jurus pilihan.

Melihat kekasihnya terlibat dalam sebuah pertarungan sengit, Panji sadar kalau keadaan memang tidak mungkin bisa diubah lagi. Dengan langkah tenang, pemuda tampan itu bergerak mendekati dua orang lainnya, Dawanta dan Malingga. Kedua lelaki bermata dingin itu sepertinya sudah bersiap untuk menggebrak Panji. Begitu melihat pemuda berjubah putih itu melangkah maju, Dawanta dan Malingga merenggang ke kiri dan kanan. Jelas, kedua orang itu hendak mengeroyok Panji dari dua arah.

“Jawablah pertanyaan kami yang terakhir, Bocah! Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?!” bentak Malingga kasar. Rupanya dia masih penasaran karena belum mendapat kepastian tentang jati diri pemuda tampan berjubah putih itu. Itu sebabnya, sebelum bertarung, pertanyaan itu kembali dilontarkan.

“Hm.... Siapa pun aku, itu tidak penting. Katakan dulu, siapa kalian bertiga, dan apa maksud kalian mencariku...?” sahut Panji, masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Malingga. Pemuda itu sengaja hendak membuat lawannya penasaran.

“Keparat! Bocah keras kepala! Rupanya kau lebih suka mampus daripada memperkenalkan namamu...!” geram Malingga jengkel bukan main. Dia merasa dipermainkan oleh seorang pemuda seperti Panji. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja tubuh cebolnya melesat dengan sebuah serangan maut mematikan ke arah kepala Panji.

“Remuk kepalamu, Bocah...!” teriak Malingga beringas. Bibir Panji memperlihatkan senyum meledek mendengar teriakan lawan. Pendekar Naga Putih hanya menggeser kaki kanannya seraya memutar tubuh. Disusul satu kibasan lengan ke punggung lawan.

“Yeaaah...!”

Malingga kaget melihat kecepatan gerak lawan yang hampir tidak bisa ditangkap oleh matanya itu. Segera dia membentak nyaring sambil memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah. Tangan kanannya dilintangkan ke depan, memapaki kibasan lengan Panji yang disertai tenaga dalam kuat. Akibatnya....

Dukkk!

“Ahhh.?!” Bukan main terperanjatnya Malingga ketika tangkisannya justru membuat tubuhnya hampir terjengkang ke tanah. Untunglah tubuhnya masih sempat dikuasai dengan melambung ke udara dan berputar beberapa kali sebelum kakinya menjejak tanah.

“Hmhhh...!” Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, Malingga menggereng keras. Kedua lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan bersama bentakan lantang. Gerakan itu dilakukannya untuk mengusir hawa dingin yang membekukan aliran darah di tubuhnya.

“Keparat! Tenaga yang kau gunakan itu pasti ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Tidak salah lagi, kau memang benar-benar Pendekar Naga Putih. Tapi, mengapa kau begitu pengecut untuk mengakuinya?” desis Malingga dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu membunuh.

“Hm..., aku tidak mengenal siapa kalian. Aku juga tidak tahu apa maksud kalian mencari serta memusuhiku. Jadi untuk apa aku memperkenalkan nama kalau akhirnya kita akan bertarung juga...?” jawab Panji dengan raut wajah yang tetap tenang, membuat kemarahan Malingga semakin menjadi-jadi.

“Bocah sombong! Kau tidak perlu tahu julukan kami! Yang jelas, kami datang untuk membunuhmu!” bentak Malingga. Kembali disiapkannya jurus baru untuk menggempur Pendekar Naga Putih.

Wunggg!

Tiba-tiba saja telinga Panji menangkap deruan tajam dari belakang. Cepat kepalanya menoleh, dan langsung merunduk ketika melihat sebuah benda bulat meluncur menuju kepalanya. Ketika benda bulat itu hanya lewat satu jengkal di atas kepala Panji, benda itu langsung berputar balik, lalu kembali mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.

Blarrr...!

Terdengar ledakan keras bagai mengguncang bumi ketika, benda bulat itu menghantam tanah tempat Panji berpijak. Untunglah pemuda itu telah melempar tubuh ke udara dan langsung berputar sebelum mendarat di permukaan tanah.

“He he he...! Sebentar lagi kepalamu pasti akan remuk oleh bola bajaku ini, Pendekar Naga Putih...!” ujar Dawanta seraya tertawa parau. Rupanya lelaki kekar berotot itu yang menyerang Pendekar Naga Putih secara licik. Dawanta memutar senjata andalannya yang berbentuk rantai dengan ujung bola berduri di atas kepalanya.

Panji mengangkat kepala menatap bola berduri yang menderu di atas kepala lawannya yang bertubuh kekar. Disadari kalau senjata lawan sangat berbahaya. Terbukti tanah tempatnya berpijak tadi telah berlubang besar terhantam bola baja berduri itu. Pendekar Naga Putih memutar otak untuk mencari cara menghadapi lawan bersenjata aneh yang baru kali ini ditemuinya.

TIGA

“Yeaaah...!” Disertai bentakan nyaring, Dawanta melontarkan bola berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.

Whusss...!

Senjata maut yang mengerikan itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Panji yang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi senjata maut itu, baru menggeser tubuh saat bola itu tinggal satu jengkal dari tubuhnya. Gerakan menghindar secepat kilat tadi tidak sulit dilakukan Panji, karena ilmu meringankan tubuhnya memang telah mencapai tingkat kesempurnaan. Baru saja terhindar dari serangan yang satu, serangan lainnya sudah datang mengancam.

Jtarrr... ctarrr...!

Suara ledakan cambuk yang menyakitkan telinga itu, datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Rupanya, Malingga pun telah mempergunakan senjata andalan untuk mengeroyok Panji. Tentu saja pemuda itu semakin terkejut dan kagum melihat kehebatan lawan-lawannya. Hatinya bertanya-tanya, siapa gerangan tiga lelaki bermata dingin yang berkepandaian tinggi itu? Dan, mengapa mereka memusuhiku?

Tapi, Pendekar Naga Putih tidak sempat memikirkan jawaban semua pertanyaan yang memenuhi benaknya. Karena dia harus menyelamatkan diri dari ancaman ujung cambuk yang mengincar setiap jalan darah besar di tubuhnya. Ketika ujung cambuk datang mengancam untuk kesekian kalinya, Panji yang ingin mengetahui kekuatan lawan secara pasti, langsung mengibaskan lengan, memapaki patukan ujung cambuk. Dan....

Prattt!

“Aaah!” Malingga terpekik saat ujung cambuknya terpental balik akibat kibasan lengan lawan. Bahkan, hawa dingin yang mengalir dari telapak tangan lawan sampai pada telapak tangannya. Membuat lengannya menjadi kaku beberapa saat lamanya.

“Heaaah !” Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Segera saja jarinya menusuk deras ke tubuh lawan.

Tukkk!

“Aaakh!” Tusukan jari tangan Pendekar Naga Putih telak mengenai sasaran. Akibatnya, tubuh Malingga ter jengkang ke belakang, lalu jatuh berguling-guling. Jelas hantaman yang dilontarkan Panji terlalu kuat baginya, karena pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari separoh.

“Uhhh...!” Meskipun dengan tulang iga terasa remuk, Malingga berusaha bangkit untuk melanjutkan pertarungan. Darah segar mengalir turun dari sudut bibirnya, pertanda kalau hantaman jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mengakibatkan luka dalam yang lumayan parah.

“Hiaaat!” Bagai tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita, Malingga kembali melesat ke tengah arena. Saat itu Panji berusaha keras melumpuhkan senjata maut di tangan Dawanta yang menerjang bertubi-tubi.

Wunggg!

Untuk kesekian kalinya bola maut itu mengancam batok kepala Pendekar Naga Putih. Kali ini Panji hanya merunduk, dan segera mengangkat tangan saat bola maut itu lewat di atas kepalanya. Dan....

Wrettt!

Rantai maut Dawanta langsung terjerat di pergelangan tangan Panji. Lalu secepat kilat tangannya mencengkeram rantai senjata maut itu, membuat Dawanta terperangah melihat senjatanya dapat dilumpuhkan lawan.

“Hahhh!” Disertai bentakan menggeledek, Dawanta mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot rantai di tangannya.

Rrrttt..!

Rantai baja itu menegang ketika Panji mempererat genggamannya serta menambah kekuatannya ketika merasakan tenaga lawan benar-benar sangat kuat. Terjadilah adu tarik yang menegangkan, membuat rantai baja yang menjadi ajang adu kekuatan itu berderak-derak.

“Haiiit!”

Saat Dawanta mengerahkan segenap kekuatannya agar dapat merebut senjata mautnya kembali, tiba-tiba saja Panji mengendurkan tarikannya, dan membiarkan dirinya melayang terbawa sentakan lawan. Hal itu bukan berarti kalau kekuatan Dawanta lebih besar. Namun, Panji memang menghendaki hal itu. Dengan memanfaatkan tenaga sentakan lawan, tubuh Panji melesat bagai anak panah menuju Dawanta. Sebelum Dawanta sempat menyadari yang terjadi, tendangan Panji telah mengancam dadanya.

Desss!

Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak kaki Panji yang dialiri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, mendarat telak didada Dawanta!

“Huakhhh...!”

Tanpa ampun, tubuh kekar itu terpental deras kebelakang. Darah segar termuntah, membasahi tanah di bawahnya. Kendati demikian, rantai berujung bola berduri itu tidak terlepas juga dari tangannya. Karena ujung lainnya terikat erat di pergelangan lengan kanan Dawanta.

Semula Panji hendak memutuskan rantai yang terikat di pergelangan tangannya. Tapi, terpaksa niatnya itu ditunda, karena saat itu Malingga merangsek kembali dengan serangan pecutnya. Sehingga, Panji terpaksa harus menggeser tubuh untuk menghindari lecutan cambuk lawan.

“Hiaaah...!” Tanpa terlepas dari libatan rantai pada pergelangan tangannya, Panji bergerak menghindar dan secepat kilat melangkah maju begitu ujung cambuk lawan luput. Kemudian, kaki kanannya mencelat ke iga kanan lawan.

Bukkk!

“Huakkkh...!” Untuk kedua kalinya, tubuh Malingga terpental ke belakang. Kali ini mulutnya memuntahkan darah segar akibat tendangan sekeras palu godam yang menimpa tubuhnya. Untuk kesekian kalinya tubuh cebol itu jatuh terguling-guling. Bahkan kali ini mendapat kesukaran untuk dapat segera bangkit.

“Aaakh...!” Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Malingga, terdengar jerit kesakitan lain. Kemudian disusul dengan melayangnya sesosok tubuh kurus yang kemudian terbanting di atas tanah, tidak jauh dari tempat Malingga terjatuh.

“Adi Songgara...?!” rintih Malingga melihat siapa yang terbanting itu. Lelaki cebol itu nampak kaget melihat cairan merah termuntah juga dari mulut rekannya itu.

“Lari...!” Setelah berseru begitu, Malingga terseok-seok melarikan diri dari tempat itu. Disusul oleh Dawanta yang terpaksa harus melepaskan senjatanya. Melihat kedua rekannya telah melarikan diri, Songgara bergegas bangkit dan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.

“Hei! Jangan harap kalian dapat lolos begitu saja...!” Kenanga yang tak sudi melepaskan lawan-lawannya, melesat untuk melakukan pengejaran.

“Kenanga, tahan...!” cegah Panji. Dia sadar kalau ketiga orang itu adalah tokoh-tokoh golongan hitam. Bisa saja mereka berbuat licik untuk melepaskan diri dari kejaran Kenanga.

Apa yang diduga Panji ternyata tidak meleset Pemuda itu melihat Songgara mendadak berbalik, dan mengibaskan lengannya ke arah Kenanga.

Syuuut... syuuut..!

Terdengar desingan halus diiringi kilatan sinar putih yang meluncur ke arah Kenanga yang berada dua tombak dari Songgara.

“Hait..!”

Sadar kalau benda berkilau itu adalah pisau-pisau terbang sebagai senjata rahasia Songgara, Kenanga langsung melolos Pedang Sinar Rembulan dari pinggangnya. Kemudian, dengan gerakan menyilang, dihalaunya ketiga pisau kecil itu.

Darrr... darrr..!

Hati Kenanga terkejut bukan main ketika benda itu mendadak meledak saat berbenturan dengan senjatanya. Asap tipis yang harum menebar di sekitar tubuh dara jelita itu. Sesaat kemudian Kenanga jatuh tak sadarkan diri. Kedua bagian lengan pakaiannya terkoyak, seperti terbakar api.

“Kenanga...!” seru Panji khawatir. Tubuhnya segera melesat menghampiri kekasihnya yang tergeletak pingsan.

“Kenanga...,” desis Panji sambil memeriksa keadaan kekasihnya. Wajah Pendekar Naga Putih terlihat agak cemas ketika mengetahui kekasihnya terkena jenis racun ganas yang mematikan.

Setelah menotok beberapa bagian tubuh kekasihnya, Panji mengangkat tubuh lunglai dara jelita yang dicintainya itu. Kemudian, dibawanya ke tempat yang lebih aman, agar dapat mengobatinya dengan tenang. Sementara itu, kegelapan merayap perlahan, menyelimuti permukaan bumi. Angin dingin berdesir lembut, menyambut datangnya dewi malam di cakrawala yang mulai menampakkan keanggunan cahayanya.

********************

Bayangan putih itu bergerak menerobos sepinya malam di bawah sinar bulan yang redup. Jubah putihnya berkibar mengikuti gerakannya yang cepat bagai bayangan hantu. Di bahu kanannya terlihat sesosok tubuh lain, tergantung lemah tak berdaya. Sosok berjubah putih itu terus melesat ke selatan dengan cahaya rembulan sebagai penerang jalan. Tidak berapa lama kemudian, sosok berjubah putih itu menghentikan larinya. Setelah terdiam sesaat sambil menatap tajam sebuah pondok sederhana di depannya, kakinya melangkah perlahan mendekati pintu pondok.

Tok, tok, tok!

Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, sosok yang ternyata pemuda berjubah putih itu mundur dua tindak. Dinantinya sang Empunya rumah membukakan pintu baginya.

“Siapa di luar...?” tanya suara gemetar dari dalam rumah.

“Maaf kalau aku mengganggu. Aku seorang pengembara yang membutuhkan pertolongan. Tidak usah cemas, aku bukan orang jahat..,” sahut pemuda berjubah putih dengan lantang dan jelas hingga terdengar ke dalam rumah.

“Carilah tempat lain. Kami tidak mempunyai apa-apa yang bisa menolongmu...!” sahut pemilik rumah sederhana itu, belum juga mau membukakan pintu. Rupanya dia belum mempercayai jawaban yang barusan didengarnya.

“Bukalah! Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat Temanku sedang sakit, dan dia harus segera ditolong...!” pinta pemuda berjubah putih, setengah memaksa. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah, lalu telapak tangannya ditempelkan pada daun pintu.

Kreeek...!

Tanpa kesulitan sedikit pun, daun pintu itu langsung terdorong, padahal pemuda berjubah putih itu sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga.

“Ahhh...!” Terdengar jeritan tertahan dari dalam rumah. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang sejak tadi telah menunggu dengan jantung berdetak tegang, langsung menyambar sebilah golok di bilik rumahnya. Kemudian, diserbunya bayangan putih yang menyembul dari balik daun pintu.

“Perampok keparat! Mampus kau...!” bentaknya bergetar. Disusul kelebatan sinar putih yang meluncur ke arah tamu tak diundang itu. Orang yang dirangsek hanya memiringkan tubuh, dan menerima bacokan itu dengan pangkal lengan.

Trakkk!

Bacokan mata golok itu memang tepat mengenai sasaran. Tapi, yang terjadi justru sangat mengejutkan si pemilik rumah. Sebab, orang yang diserangnya sama sekali tidak berteriak kesakitan, apalagi sampai mengeluarkan darah. Malah golok di genggamannya terlempar begitu saja ke tanah. Tubuh pemilik rumah itu terjajar mundur sambil meringis memegangi pergelangan tangan yang terasa sakit bukan main.

“Maaf, Paman. Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti. Aku hanya butuh tempat yang baik untuk mengobati sahabatku yang keracunan...,” ujar pemuda berjubah putih itu. Kakinya kembali melangkah tenang, lalu tangannya diulurkan kepada si pemilik rumah. Ketika wajah pemuda berjubah putih itu tertimpa sinar lampu minyak, hati pemilik rumah itu agak sedikit lega. Sebab, dilihatnya wajah pemuda itu tidak menggambarkan sifat-sifat jahat.

Pemuda tampan yang tak lain dari Panji itu, tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kemudian tangannya yang terulur itu, memijat lengan orang tua di depannya dengan pengerahan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Hawa dingin tiba-tiba mengalir dari jari-jari pemuda itu, membuat rasa nyeri pada pergelangan pemilik rumah langsung lenyap.

“Ohhh...?!” Mulut lelaki tua itu sampai ternganga ketika merasakan semua itu. Apalagi ketika dirasakan betapa nikmatnya pijatan itu.

“Kau..., kau siapakah...?” tanya orang tua itu tergagap. Sepertinya dia menduga kalau tamunya sebangsa siluman. Tentu saja Panji yang melihat gelagat itu menjaditersenyum.

“Namaku Panji, Paman. Dan aku membutuhkan tempat untuk mengobati luka kawanku ini. Aku seorang manusia biasa, sama seperti Paman,” jelas Panji, membuat orang tua itu mengangguk-angguk, menyadari kekeliruannya.

“Silakan, Nak Panji...,” ujar orang tua itu, sudah merasa yakin kalau pemuda tampan berjubah putih itu bukan orang jahat, atau sebangsa siluman. Segera diajaknya Panji ke sebuah kamar, dan mengizinkannya untuk digunakan.

“Terima kasih, Paman...,” ucap Panji. Segera tubuh Kenanga direbahkannya di atas balai-balai bambu yang kelihatan sudah cukup tua itu.

“Kalau kau memerlukan sesuatu, silakan ambil sendiri di belakang. Aku hendak beristirahat...,” pamit orang tua itu. Rupanya dia tidak mau mencampuri urusan tamunya. Kemudian, bergerak keluar dari dalam kamar itu.

Sepeninggal orang tua itu, Panji mulai melakukan pengobatan terhadap kekasihnya. Setelah merasa yakin kalau keadaan Kenanga sudah tidak terlalu berbahaya, Panji pun melepaskan lelah sambil bersemadi. Hal itu lebih berguna ketimbang tidur. Karena dengan melakukan semadi, tubuhnya akan cepat terasa segar.

“Uhhh...”

Panji sudah menyelesaikan semadi dan menunggu kekasihnya siuman. Dihampirinya balai-balai bambu tempat Kenanga terbaring, dan duduk di tepinya. Perlahan-lahan sepasang mata indah dara jelita itu terbuka. Bibirnya bergerak ketika melihat seraut wajah tampan tengah tersenyum kepadanya.

“Kaukah itu, Kakang...?” tanya Kenanga yang rupanya masih samar-samar mengenali Panji.

“Benar, Kenanga. Tetaplah berbaring, kau masih terlalu lemah,” cegah Panji seraya menekan perlahan kedua bahu kekasihnya yang hendak bangkit Dara jelita itu kembali berbaring.

Yakin kalau orang yang berada di sisinya adalah Panji, Kenanga kembali memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya. Perlahan-lahan, ingatannya kembali pada kejadian yang telah menimpa dirinya.

“Pisau terbang itu pasti mengandung racun ganas, hingga tubuhku terasa lemah dibuatnya...,” ucap Kenanga perlahan. Kemudian dara jelita itu membuka matanya dan menatap Panji, seakan meminta penjelasan.

“Racun yang terhisap olehmu memang tidak terlalu berbahaya, Kenanga. Tapi, untuk beberapa hari peredaran darahmu akan terganggu. Meskipun tidak akan menyebabkan kematian, tapi racun itu sanggup melumpuhkan daya pikir seseorang. Itu sebabnya mengapa kau masih belum bisa berpikir secara baik, dan tenagamu pun masih belum pulih seluruhnya. Untuk memulihkan kesehatanmu, kau harus beristirahat setidaknya tiga hari...,” jelas Panji, membuat Kenanga menghela napas menyesali kecerobohannya waktu itu.

“Jadi, Kakang akan menyelidiki Istana Kadipaten Balaraja seorang diri? Sedangkan aku harus berbaring di sini menunggumu...?” tanya Kenanga, sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan Panji.

“Kau tidak perlu berbaring terus-menerus, Kenanga. Bisa saja kau berlatih ataupun bersemadi guna mempercepat pemulihan tenagamu. Mengenai penyelidikan itu, kelihatannya memang aku harus melakukannya sendiri. Kalau tidak, mungkin saja kita terlambat. Dan keadaan berubah semakin sulit..,” ujar Panji lagi, meminta pengertian kekasihnya.

“Yaaah.... Baiklah, Kakang. Kalau memang aku sudah sehat betul, aku akan menyusul...,” sahut Kenanga, memaklumi kekhawatiran kekasihnya.

Setelah menitipkan Kenanga kepada pemilik rumah, Panji pun meninggalkan tempat itu menuju Kadipaten Balaraja.

********************

EMPAT

Di Istana Kadipaten Balaraja saat itu terjadi kesibukan. Atas perintah Senapati Marganta, para pejabat kadipaten berkumpul di ruang pertemuan. Tujuannya untuk menenangkan suasana istana yang dilanda keresahan.

“Saudara-saudara sekalian...!” Terdengar seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahun membuka pertemuan. “Aku berharap agar peristiwa ini tidak tersebar luas. Kalau sampai hal itu terjadi, kemungkinan besar masyarakat akan menjadi resah. Selain itu, bahaya yang lebih besar mungkin akan melanda kadipaten ini. Salah satunya adalah serangan dari luar dengan maksud merebut istana ini dari tangan kita. Untuk itu, kuharap kalian semua dapat mengerti...,” lanjut lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Marganta.

“Tuan Senapati! Boleh kami mengajukan pendapat..?” seorang pejabat yang berada di sudut, mohon izin untuk berbicara.

“Silakan...,” ujar Senapati Marganta dengan suara berwibawa. Sepasang mata lelaki gagah itu agak menyipit, seolah menilai perwira yang ingin mengajukan pendapatnya itu.

“Karena kejadian ini menyangkut kewibawaan Kadipaten Balaraja, tidakkah sebaiknya kalau diam-diam kita memerintahkan pasukan untuk melakukan penyelidikan? Siapa tahu manusia jahanam itu belum lari jauh dari daerah ini. Dengan begitu, kita akan mudah menangkapnya. Sebab kalau hal ini dibiarkan, kita bisa celaka. Mungkin di antara kita tidak akan ada yang membocorkan rahasia ini. Tapi, apakah mulut manusia laknat itu dapat kita jaga pula? Bagaimana kalau dia sendiri yang akan menyebarluaskan berita ini...?” tutur perwira berwajah brewok yang memiliki sepasang mata tajam itu dengan suara yang lantang, hingga terdengar oleh semua orang yang hadir di ruangan itu.

Terdengar kasak-kusuk yang membuat ruangan itu menjadi bising. Beberapa pejabat tampak mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan perwira bertubuh kekar tadi.

“Benar apa yang dikemukakan Perwira Duranta itu, Tuan Senapati. Rasanya kita tidak bisa berdiam diri setelah mengetahui perbuatan manusia jahat itu terhadap kadipaten yang kita cintai ini. Aku ikut mendukung pendapat Perwira Duranta...,” timpal lelaki tinggi kurus yang wajahnya terhias kumis tipis. Dia pun berpangkat perwira, seperti halnya Duranta.

“Hm...,” Senapati Marganta tidak segera menyahuti ataupun menyetujui pendapat kedua perwira itu. Dia hanya bergumam sambil mempermainkan jenggotnya yang tercukur rapi. Pandang matanya menerawang jauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Saudara-saudara sekalian. Aku bukan tidak setuju dengan pendapat Perwira Duranta maupun Perwira Sanggira. Tapi, apakah di antara kita ada yang menyaksikan kejadian itu, dan sempat mengenali manusia laknat itu? Kalau kita mengirim sepasukan prajurit untuk menyelidiki, bukankah hal itu hanya buang-buang tenaga? Sebab, siapa orang yang harus kita cari itu? Adakah di antara kalian yang mengetahuinya...?”

Para pejabat kadipaten yang berkumpul di ruang pertemuan itu kembali saling berbicara satu sama lain. Kepala mereka tertunduk lesu. Sebab, apa yang dikatakan Senapati Marganta memang tidak bisa dibantah! Tak seorang pun tahu ke mana dan siapa yang harus mereka cari?

“Tuan Senapati, menurut laporan beberapa prajurit penjaga gerbang, kemarin ada seorang pemuda yang ciri-cirinya sangat cocok dengan pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Bahkan setelah mendengar laporan, hamba merasa yakin kalau pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih. Nah, bagaimana kalau kita meminta bantuannya untuk mengungkapkan rahasia yang masih gelap ini...?” Duranta tampak belum putus harapan. Maksud hatinya dikemukakan tanpa keraguan sedikitpun.

“Aku pun sudah mendengar peristiwa yang terjadi digerbang barat kemarin. Tapi, mengingat para prajurit telah bentrok dengannya, rasanya aku kurang yakin kalau pendekar muda itu masih berada di sekitar daerah ini Kemungkinan besar pendekar itu telah melanjutkan perjalanannya, dan tidak jadi singgah di kadipaten ini. Jadi buanglah keinginan yang tidak mungkin terwujud itu, Perwira Duranta. Sebaiknya kita perketat saja penjagaan di istana. Dan berharap agar bangsat itu muncul kembali di tempat ini...,” jawab Senapati Marganta, menyelesaikan pertemuan. Langsung saja ditutupnya pertemuan itu, karena tidak menghasilkan jalan keluar yang diharapkan.

Setelah Senapati Marganta mengetukkan palu di tangannya sebagai tanda pertemuan telah berakhir, para pejabat istana kadipaten pun bubar menuju tempatnya masing-masing. Beberapa di antara para pejabat itu ada yang merasa belum puas dengan keputusan pertemuan itu. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menerima dengan terpaksa.

********************

Malam sudah lama turun membasahi permukaan bumi. Suara jangkrik dan serangga-serangga malam menyemarakkan suasana. Bulan yang menggantung separuh di langit kelam, tak mampu menerobos kegelapan. Seiring berhembusnya angin malam yang sesekali keras, tampak tiga tubuh bergerak ringan melompati tembok yang mengelilingi Kadipaten Balaraja. Dan terus melesat di atap rumah penduduk yang tengah terbuai mimpi.

Ketiga sosok hitam yang memiliki kepandaian tinggi itu, terus bergerak menuju Istana Kadipaten Balaraja. Dengan memilih jalan yang terlindung bayang- bayang pohon maupun tembok gelap, ketiga sosok hitam itu tenis menyelinap ke istana, tanpa seorang penjaga pun menyadarinya. Ketiganya terus bergerak menuju bagian belakang, tempat para jawara Kadipaten Balaraja tinggal.

“Kita habisi mereka di tempat ini, atau kita pancing ke luar, Kakang...?” tanya sosok bertubuh tinggi kurus dan mengenakan jubah panjang hingga ke lutut.

“Tidak perlu memancing. Kita habisi saja di sini...,” sahut lelaki bertubuh gemuk namun kekar berotot, juga dengan suara berbisik perlahan.

Tapi, meski ketiga sosok itu telah melangkah hati-hati, tetap saja langkah dan dengus napas mereka tertangkap oleh penghuni rumah. Buktinya terdengar suara orang bertanya dari dalam rumah itu.

“Siapa di luar...?!” tegur suara lantang. Disusul berkelebatnya sesosok tubuh tegap dari dalam rumah yang cukup besar itu.

Karuan saja ketiganya menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka bergerak menyelinap ke tempat yang terlindung dari sinar obor yang tertempel di dinding rumah.

“Hm...,” gumam sosok tegap itu perlahan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Meskipun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, sosok tegap itu menanti beberapa saat untuk memastikan bahwa sekeliling rumahnya memang aman. Tapi....

“Eh...?!” sosok tegap itu menahan seruannya saat mendengar desiran angin tajam menuju ke arahnya dari belakang.

“Haiiit..!”

Seiring teriakan nyaring, sosok tegap itu melenting ke udara, menghindari sambaran tiga pisau terbang yang sekaligus mengancam tiga jalan darah kematian ditubuhnya. Meskipun telah berhasil menghindari serangan gelap itu, tak urung sosok tegap itu kecolongan juga.Sebuah tendangan keras yang datang cepat, membuatnya terlempar keras, memuntahkan darah segar!

Sadar kalau dirinya dalam bahaya besar, lelaki tegap yang merupakan salah satu jawara kadipaten, langsung menggulingkan tubuhnya ke tempat yang lebih aman. Baru saja tubuhnya melenting bangkit, dan belum sempat mengatur kuda-kuda, terdengar desingan tajam yang mengancam kepalanya.

Whuuut...!

“Aaah...!”

Meski agak gugup, lelaki tegap itu masih sempat menundukkan kepalanya. Sehingga, sambaran mata pedang itu lewat satu jengkal di atas kepalanya. Namun bukan berarti dia sudah terlepas dari bahaya. Penyerang berpedang itu ternyata memiliki gerakan yang gesit. Begitu bacokan pedangnya luput, kakinya lang- sung melancarkan tendangan kilat yang mengenai punggung lawan.

Desss...!

Tendangan berputar yang dilancarkan sosok kekar berotot itu, membuat tubuh lawan terjerembab mencium tanah. Sebelum tubuhnya sempat bangkit, sebatang pedang berkelebat di antara sinar obor, menyambar cepat memutuskan batang lehernya!

Crakkk!

Darah segar menyembur saat kepala lelaki tegap itu terpental dari badannya. Tewaslah jawara Kadipaten Balaraja itu, tanpa sempat berteriak lagi.

“Hei...! Siapa kalian?!”

Tiba-tiba terdengar teguran dari belakang ketiga sosok hitam yang berkumpul di dekat mayat korbannya. Cepat mereka menoleh ke belakang.

“Pendekar Golok Sakti...?!” desis sosok yang bertubuh cebol ketika melihat seorang lelaki tinggi tegap yang barusan menegur mereka.

“Untuk apa menunggu lagi? Habisi dia...!” seru lelaki bertubuh kekar berotot seraya menerjang lelaki tegap yang berjuluk Pendekar Golok Sakti.

“Yeaaah...!”

Bettt..!

Sambaran mata pedang berkeredep, dibarengi suara mengaung mengerikan yang mengancam lelaki tadi, segera dielakkannya dengan menggeser tubuh ke kanan.

Tranggg!

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di tangan lelaki tegap itu telah tergenggam sebatang golok berwarna putih mengkilat, yang langsung digunakan untuk memapaki serangan lawan berikutnya. Akibatnya, kedua orang itu terdorong mundur sejauh empat langkah. Hal itu membuktikan kalau kekuatan mereka berimbang.

“Keparat! Siapa kalian...?! Apa maksud kalian mendatangi tempat ini?!” geram Pendekar Golok Sakti sambil mengelebatkan goloknya dengan gerak menyilang di depan dada.

“Hm.... Kami adalah malaikat maut yang akan membunuhmu...!” dengus lelaki tinggi kurus berjubah panjang yang langsung mengibaskan kedua lengannya bergantian. Terdengarlah desingan yang berasal dari enam bilah pisau terbang yang dilepaskannya.

“Hait..!”

Pendekar Golok Sakti ternyata sangat hati-hati. Dia tidak menyambut serangan senjata rahasia itu dengan tebasan goloknya. Tapi, memilih menghindar dengan cara melambung ke udara.

“Haaat...!”

Selagi tubuh Pendekar Golok Sakti melayang di udara, lelaki kekar yang menggunakan pedang langsung melesat dan mengirimkan serangannya sekuat tenaga.

“Yeaaah...!”

Sadar kalau berusaha menghindar jelas sangat su- lit, Pendekar Golok Sakti tak segan-segan menyambut tebasan pedang lawan dengan kelebatan senjatanya. Sehingga....

Trang! Trang!

Tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras pun terjadi, membuat percikan bunga api menerangi arena pertarungan itu. Tubuh keduanya terpental balik, dan sama-sama berputar beberapa kali sebelum menyentuh permukaan tanah.

“Kalian Tiga Setan Lembah Mayat...?! Siapa. , siapa yang membayar kalian untuk membunuhku...?” desis Pendekar Golok Sakti.

Rupanya lelaki bertubuh tegap itu mengenali ketiga lawannya. Dia pun tahu pula kalau ketiga orang itu merupakan pembunuh bayaran yang bersedia melakukan apa saja demi beberapa kantong uang. Tentu saja Pendekar Golok Sakti menjadi terkejut setelah mengetahui siapa ketiga orang lawannya itu.

“Hm.... Setelah mengetahui siapa kami, kau harus mati, Pendekar Golok Sakti...!” geram orang pertama dari Tiga Setan Lembah Mayat, yang tidak lain dari Malingga.

“Suiiit !”

Tiba-tiba Pendekar Golok Sakti memperdengarkan siulan panjang yang melengking tinggi, membuat ketga orang lawannya terkejut. Mereka menduga kalau Pendekar Golok Sakti tengah memanggil bala bantuan.

“Keparat! Mampus kau...!” geram Songgara menjadi marah. Langsung dilepaskannya tiga bilah pisau terbang ke arah lelaki tegap itu.

Syuuut...!

Belum lagi benda-benda tajam itu benar-benar dekat, lelaki bertubuh kekar berotot bernama Dawanta sudah menyusul dengan serangan pedangnya. Membuat, Pendekar Golok Sakti kerepotan oleh serangan-serangan maut itu. Merasa agak kaget mendapat serangan yang cukup mendadak itu, Pendekar Golok Sakti segera saja mengayunkan golok, menyambut datangnya sebilah pisau terbang yang mengarah tenggorokannya. Dan....

Darrr! “Aaah….!”

Pendekar Golok Sakti yang tak menduga kalau senjata rahasia itu akan meledak akibat tangkisannya, memekik tertahan. Tubuhnya terlempar balik di antara kepulan asap tipis beraroma memabukkan.

“Tamat riwayatmu!”

Sebelum Pendekar Golok Sakti sempat berbuat sesuatu, Dawanta sudah tiba dengan satu sabetan pedang, yang langsung merobek sepanjang dada lelaki gagah itu.

Breeet!

“Aaa...!” Jeritan menyayat terdengar saat mata pedang Dawanta menghabisi nyawa Pendekar Golok Sakti. Seiring robohnya tubuh jawara kadipaten itu, terdengar derap langkah banyak orang mendatangi tempat pertarungan maut itu. Dari kejauhan terlihat sinar terang berasal dari obor yang dibawa serombongan prajurit kadipaten.

“Lari...!” perintah Malingga, mengetahui sepasukan prajurit berlarian memandangi mereka.

Tanpa diperintah dua kali, Dawanta dan Songgara segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dalam sekejap, tubuh Tiga Setan Lembah Mayat melambung ke atas atap, dan terus berkelebat menuju keluar lingkungan istana kadipaten.

“Kejar...!” teriak seorang lelaki gagah berpakaian senapati.

Seketika itu juga, tidak kurang dari seratus orang prajurit di bawah pimpinannya, bergerak menyebar untuk melakukan pengejaran. Namun, Tiga Setan Lembah Mayat tidak bodoh. Mereka lari berpencar untuk mengacaukan para penge- jarnya. Sehingga, para prajurit kadipaten menjadi bin- gung dan berlarian ke sana kemari.

“Kejar salah seorang dari mereka...!”

Lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Marganta, kembali memberi perintah kepada pasukannya yang kacau-balau itu. Setelah memberi perintah tadi, tubuhnya sendiri melesat melakukan pengejaran, mendahului para prajuritnya. Senapati Marganta sepertinya tidak ingin kehilangan buruan hanya karena kelambatan para prajuritnya dalam melakukan pengejaran.

“Hm.... Mau lari ke mana kau, Keparat...?!” geram Senapati Marganta.

Saat itu, dilihatnya sesosok bayangan berkelebat dalam jarak satu tombak lebih. Cepat Senapati Marganta melakukan pengejaran, dengan membawa sebatang obor yang disambarnya dari dinding bangunan.

“Hei! Berhenti...!” bentak Senapati Marganta sambil melayang ke depan dengan berputar di udara beberapa kali.

Sedangkan sosok tubuh yang dikejar, terlihat menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke belakang, saat menyadari sesosok tubuh berputaran di udara ke arahnya. Dia pun melangkah mundur dua tindak

“Menyerahlah, Pembunuh Keji...!” bentak Senapati Marganta begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah, beberapa langkah di hadapan sosok bertubuh sedang berjubah panjang yang berwarna putih.

Sosok bertubuh sedang itu tampak agak tertegun mendengar perkataan Senapati Marganta. Namun, lelaki gagah itu berpikir lain. Khawatir kalau-kalau sosok berjubah putih itu berbuat curang, Senapati Marganta bergegas melolos senjatanya, lalu maju menerjang. Sebelumnya dia bersiul panjang, sebagai isyarat kepada pasukannya untuk datang ke tempat itu.

“Hei! Ada apa ini...?!” seru sosok berjubah putih yang segera menarik tubuhnya ke belakang, untuk menghindari sambaran pedang lawannya.

“Tidak perlu banyak cakap! Menyerahlah, atau kau kubunuh di tempat ini...?!” ancam Senapati Marganta penuh kegeraman. Kembali pedangnya dibabatkan dengan gerakan mendatar.

Bettt...!

Sosok berjubah putih itu kembali melompat mundur, menghindari sambaran pedang yang nyaris merobek perutnya. Kemudian, kaki depannya mencuat dengan maksud melumpuhkan pedang lawan.

Dukkk!

Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Tubuh Senapati Marganta terjajar mundur sejauh enam langkah. Sedangkan sosok berjubah putih itu tetap tegak tanpa bergeming sedikit pun dari tempatnya semula. Kenyataan itu tentu saja membuat Senapati Marganta menjadi terkejut.

“Bangsat! Pantas saja kau berani mati mengacau didalam istana kadipaten. Rupanya kau memiliki kepandaian tinggi.... Walau begitu, jangan harap kau dapat lolos dari tempat ini...!” geram Senapati Marganta. Kembali pedangnya disilangkan di depan dada, dan bersiap menghadapi pertarungan selanjutnya.

Tapi, sebelum keduanya saling menggebrak, terdengar derap langkah dari empat penjuru. Sosok berjubah putih itu kelihatan kaget begitu menyaksikan puluhan prajurit kadipaten muncul mengepung dirinya.

“Tuan Senapati, harap jangan teruskan kesalahpahaman ini. Hamba hanya kebetulan tengah berkeliling disekitar istana kadipaten. Karena hamba mendengar terjadi sesuatu yang menggemparkan di dalam lingkungan istana. Itu sebabnya, hamba berada di tempat ini...,” sosok berjubah putih itu berusaha menjelaskan duduk persoalannya.

“Hm... Jadi kau tetap tidak mau mengakui perbuatanmu yang telah menewaskan dua orang jawara kadipaten...?” ujar Senapati Marganta dengan wajah sinis. Jelas sekali kalau lelaki gagah itu tidak mempercayai omongan orang yang dianggapnya sebagai pembunuh keji.

“Membunuh jawara kadipaten? Apa maksud Tuan? Hamba sama sekali tidak mengerti...,” bantah sosok berjubah putih itu yang tetap tidak menerima tuduhan Senapati Marganta kepadanya.

“Tidak usah berpura-pura lagi, Manusia Keji! Beberapa hari yang lalu kau telah membunuh Adipati Balaraja secara keji! Malam ini kau kembali menewaskan dua orang jawara yang sangat dipercaya oleh Gusti Adipati. Apa sebenarnya maksudmu? Mengapa kau berbuat sekeji itu?!” Senapati Marganta tetap berkeras menuduh orang itu telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.

Tanpa mau mendengar bantahan-bantahan pemuda berjubah putih itu, Senapati Marganta segera saja memerintahkan para prajuritnya untuk mengepung dan menangkap sosok berjubah putih itu untuk dihu- kum atas segala perbuatannya.

LIMA

“Tuan Senapati. Percayalah, hamba sama sekali tidak melakukan perbuatan keji itu. Bahkan hamba siap membantu sepenuh tenaga apabila diperlukan...,” pemuda berjubah putih itu masih berusaha untuk meyakinkan Senapati Marganta kalau dirinya sama sekali tidak bersalah.

Tapi, senapati gagah itu sama sekali tidak mempedulikan ucapan tersebut. Kakinya malah melangkah mundur untuk memberikan tempat kepada para prajurit yang siap menangkap pemuda berjubah putih itu.

“Hujani dengan anak panah...!” perintah Senapati Marganta dengan suara menggelegar.

Mendengar perintah itu, pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji itu tentu saja menjadi terkejut. Sadar kalau dirinya terancam bahaya besar, segera dikerahkannya ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian, hawa dingin menusuk tulang menebar seiring munculnya lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

“Ahhh...! Dia..., Pendekar Naga Putih...?!” teriak beberapa orang perwira yang rupanya pernah mendengar tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih. Karena itu, begitu melihat tubuh pemuda berjubah putih itu diselimuti kabut berhawa dingin, mereka langsung mengenalinya.

“Pendekar Naga Putih...?!” desis Senapati Marganta dengan wajah penuh tanda tanya.

Senapati Kadipaten Balaraja itu sama terkejutnya ketika menyaksikan lapisan kabut menyelimuti sekujur tubuh orang yang semula dituduh sebagai pembunuh itu. Enam orang perwira yang ikut di dalam pengepungan itu, menoleh ke arah Senapati Marganta. Tampak mereka meminta pendapat Senapati Marganta, setelah mengetahui jati diri pemuda berjubah putih yang mereka kepung itu.

“Hm.... Bagaimanapun juga, pendekar itu tetap harus ditangkap. Bisa saja pembunuhan di dalam lingkungan istana dilakukannya. Siapa lagi yang mampu membunuh Gusti Adipati tanpa seorang pun yang mengetahuinya? Kedua pengawal pribadi Gusti Adipati yang terbunuh pun bukan orang sembarangan. Mengapa keduanya dapat tewas demikian mudah? Bukankah semua itu berarti kalau pembunuhnya memang memiliki kepandaian sangat tinggi? Dan, pemuda ini salah satu dari sekian orang yang mampu melakukannya. Lebih baik dia dilenyapkan saja, sebelum menimbulkan bencana baru bagi kita semua...,” ujar Senapati Marganta, masih tetap pada pendiriannya semula.

“Seraaang...!” Setelah menetapkan keputusannya, Senapati Marganta segera memerintahkan pasukan panah yang telah bersiap-siap untuk segera menyerang Pendekar Naga Putih.

Singgg... zinggg...!

Puluhan anak panah meluncur menghujani Panji dengan kecepatan yang mengerikan. Sepertinya Pendekar Naga Putih akan segera tewas terhunjam puluhan batang anak panah.

“Hm...,” gumam Panji yang sama sekali tidak merasa gentar sedikit pun menghadapi hujan anak panah itu. Tanpa bergeser dari tempatnya, kedua tangannya digerakkan untuk menangkapi anak panah yang menuju kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya sama sekali tidak dipedulikan. Sebelum kulit tubuhnya tersentuh, anak panah itu berguguran dalam keadaan patah. Tentu saja. semua itu akibat lapisan kabut yang melindungi tubuhnya.

“Gila...?!” Senapati Marganta sampai memekik tertahan menyaksikan pemandangan itu. Kenyataan yang terjadi di depan matanya, membuat Senapati Marganta sadar kalau Pendekar Naga Putih benar-benar seorang yang sangat sakti. Dia sendiri telah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.

“Serbuuu...!” perintah senapati gagah itu kembali. Senapati Marganta sepertinya tidak berkecil hati. Menurutnya, betapapun saktinya pemuda berjubah putih itu, pasti ada batasnya. Jadi, kalau diserang terus-menerus, bukan tidak mungkin pemuda itu akan kehilangan banyak tenaga. Pikiran itulah yang membuat Senapati Marganta memerintahkan para prajuritnya untuk menerjang kembali.

Melihat para prajurit meluruk dengan senjata di tangan, Panji pun segera menyambutnya. Kaki dan tangannya bergerak kian kemari. Setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, selalu ada tubuh yang terjengkang tanpa mampu bangkit lagi. Pendekar Naga Putih memang tidak berniat membunuh para prajurit yang menurutnya hanya melaksanakan tugas dari atasannya. Maka, para pengeroyoknya hanya dibuat pingsan saja.

“Heaaat...!”

Dua perwira yang melihat Panji memporak-porandakan pasukannya, segera memasuki kancah pertempuran. Begitu tiba, pedangnya langsung berkelebat ke arah tubuh Pendekar Naga Putih.

Bettt! Bettt!

Panji bergegas menggeser tubuhnya untuk menghindari sambaran dua batang pedang perwira itu. Disusul tamparan balasan yang lebih kuat, ketika kedua batang pedang lawan kembali berputar mengancam tubuhnya.

Plakkk! Plakkk!

“Aaakh...!”

“Aaa...!”

Akibatnya, kedua perwira itu memekik kesakitan! Tubuh mereka terlempar deras ke belakang. Kesempatan itu digunakan Panji untuk menerobos kepungan. Sepasang tangannya bergerak mendorong kedepan.

Whusss...!

Angin dingin menusuk tulang yang berhembus dari sepasang telapak tangan pemuda itu, membuat belasan prajurit terhempas bagaikan daun-daun kering yang diterbangkan angin. Sedangkan tubuh mereka menggigil hebat.

“Haaat...!”

Senapati Marganta tentu saja tidak sudi membiarkan pemuda itu meloloskan diri. Cepat dia mencegah disertai tebasan pedang yang menimbulkan angin bercuitan!

Wuuut...!

Merasakan ada serangan berbahaya, Panji bergegas menarik mundur tubuhnya dua langkah. Setelah senjata lawan lewat di depan tubuhnya, pemuda itu langsung melenting ke udara seraya melontarkan pukulan jarak jauh yang mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

Senapati Marganta yang sadar akan kedahsyatan pukulan sakti pemuda itu, segera melempar tubuhnya lalu bergulingan menjauh. Kesempatan itu digunakan Panji kembali untuk menerobos kepungan, dan segera menghilang di kegelapan malam.

“Tidak perlu mengejar! Percuma, kalian tidak akan bisa menyusulnya...!” Senapati Marganta berteriak kepada para prajuritnya, ketika melihat Pendekar Naga Putih berhasil meloloskan diri dari kepungan.

“Seorang pemuda yang hebat dan sangat berbahaya...,” puji Senapati Marganta, merasa kagum bukan main dengan kesaktian Pendekar Naga Putih.

“Tapi, Tuan Senapati. Apakah mungkin Pendekar Naga Putih berbuat sejahat itu? Bukankah selama ini kita mendengar kalau pemuda itu adalah seorang pendekar yang budiman...?” ujar seorang perwira bertubuh tegap, yang tidak lain adalah Duranta.

Jelas perwira itu masih belum percaya kalau pendekar muda yang diagung-agungkan kaum rimba persilatan itu tega melakukan pembunuhan keji di dalam istana kadipaten. Kebimbangan hatinya langsung diutarakan kepada Senapati Marganta, yang secara tak langsung kini merupakan pimpinan tertinggi di Kadipaten Balaraja. Karena, Adipati Balaraja selaku pemimpin tertinggi telah tewas oleh pembunuh misterius. Sedangkan Pendekar Naga Putih dituduh sebagai pelakunya.

“Hhh...! Aku sendiri merasa heran, Duranta. Tapi, kau lihat sendiri buktinya, bukan? Mungkin saja pen- dekar muda itu adalah seorang dari ketiga pembunuh yang melarikan diri dengan jalan berpencar tadi. Mungkin juga semua ini siasat dari para pembunuh itu dengan cara menonjolkan Pendekar Naga Putih agar kita terkecoh. Hm.... Sayang mereka salah menduga kalau dapat mengelabuiku...,” ujar Senapati Marganta, mengajukan pikiran-pikirannya.

Perwira Duranta mengangguk-anggukkan kepala. Ucapan Senapati Marganta menurutnya memang masuk akal. “Lalu, apa yang harus kita lakukan setelah mengetahui jati diri seorang dari pembunuh itu, Tuan Senapati...?” tanya Duranta lagi, meminta pendapat pimpinannya.

“Sebaiknya kita tetap memperketat penjagaan. Kita tidak perlu mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka. Aku merasa yakin kalau para pembunuh itu pasti akan kembali menyatroni istana kadipaten ini. Bukan hal yang mustahil kalau incaran mereka selanjutnya adalah diriku”

Setelah berkata demikian, Senapati Marganta melangkah pergi, meninggalkan Duranta yang tertegun. Perwira gagah itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Karena sebelum meninggalkan tempat itu, Senapati Marganta memerintahkannya memimpin para prajurit untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Tanpa banyak cakap lagi, perwira gagah itu segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengobati mereka yang terluka dan merapikan tempat yang telah porak-poranda itu.

********************

Tiga sosok tubuh bergerak cepat menerobos lebatnya Hutan Pancawarna. Mereka adalah Tiga Setan Lembah Mayat, pembunuh-pembunuh bayaran yang telah melakukan tugasnya dengan baik. Tidak lama kemudian, ketiga manusia berhati iblis itu pun memperlambat larinya. Beberapa tombak di depan mereka tampak sebuah bangunan tua berdiri angker. Dinding bangunan tersebut nampak telah rusak dan berlumut di beberapa bagian. Sekali lihat saja, dapat diketahui kalau bangunan tua itu sama sekali tidak berpenghuni.

Tiga Setan Lembah Mayat bergerak mengitari bangunan. Sepertinya mereka ingin memastikan kalau tempat itu benar-benar aman. Setelah merasa yakin akan keadaan di sekelilingnya, mereka pun berkumpul di sebuah ruangan bangunan tua itu.

“Aku khawatir dia akan menyalahi janjinya.” Terdengar ucapan bernada berat milik Dawanta. Lelaki bertubuh kekar berotot itu menatap saudaranya yang tertua, seperti hendak meminta pendapat.

“Tidak mungkin, Adi. Kalau benar hal itu dilakukannya, sama artinya dengan bunuh diri. Tentunya dia tidak menginginkan kita membeberkan semua rahasianya ke kadipaten, bukan?” jawab Malingga. Kelihatannya dia sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu.

“Biar bagaimanapun kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Bukan tidak mungkin dia akan mengenyahkan kita untuk menghilangkan jejak,” sergah Songgara ikut menimpali pembicaraan kedua orang saudaranya.

“He he he...! Kita bukan orang bodoh yang baru sekali melakukan tugas seperti ini. Semua kekhawatiran kalian, telah ada dalam kepalaku. Jadi, tidak perlu lagi ada yang dikhawatirkan. Sebaiknya kita lihat saja nanti...,” kilah Malingga sambil memperdengar tawa parau. Kemudian, tubuhnya dihempaskan ke lantai bangunan tua itu.

Kekhawatiran Dawanta dan Songgara perlahan pudar, mendengar ucapan saudara tua mereka. Tapi, ba- ru saja keduanya hendak ikut duduk, Malingga tibatiba melompat bangkit.

“Dia sudah datang...!” seru Malingga, memberitahukan kedua saudaranya.

Dawanta dan Songgara saling berpandangan sejenak. Kemudian, keduanya melangkah dan berdiri di kiri dan kanan Malingga, menunggu munculnya orang yang mereka maksudkan.

“Ha ha ha...! Tidak percuma aku menyewa kalian, Tiga Setan Lembah Mayat! Kerja kalian benar-benar membuat hatiku puas...!” Terdengar gelak tawa memenuhi ruangan. Disusul bayangan hitam berkelebat menghampiri Tiga Setan Lembah Mayat.

“Hm.... Kami cukup lama menantimu di sini. Kupikir kau akan mengingkari perjanjian yang telah kita sepakati..,” sambut Malingga tanpa rasa hormat sedikit pun. Sikapnya terlihat amat angkuh. Membuat orang yang baru saja datang, terkekeh perlahan melihat Malingga yang dianggapnya bertingkah.

“Kau tidak mempercayaiku, Malingga? Bukankah pada tugas yang pertama kalian telah menerima bayaran tanpa kurang sepeser pun? Jadi, tidak ada alasan bagi kalian untuk mencurigaiku,” sahut orang bertubuh kurus itu sambil melangkah maju beberapa tindak, membuat jarak di antara mereka semakin dekat.

Rupanya Dawanta dan Songgara masih menyimpan sedikit kecurigaan kepada orang bertubuh kurus yang membayar mereka itu. Terbukti saat dia melangkah maju, keduanya sigap meraba senjata, siap bertindak apabila lawan berbuat curang. Malingga mengerling kepada dua saudaranya, sebagai isyarat agar mereka tenang. Sehingga, baik Dawanta maupun Songgara terpaksa menjauhkan lengannya dari gagang senjata.

“Tidak perlu banyak cakap lagi! Berikan saja apa yang sudah menjadi hak kami...!” geram Dawanta ingin lekas-lekas menerima bayarannya.

“He he he...! Jangan terlalu tegang, Dawanta. Lihatlah apa yang kubawa ini...,” ujar orang bertubuh tinggi kurus itu seraya menurunkan bungkusan besar yang tergantung di bahunya. Kemudian bungkusan itu dibuka dan diperlihatkan kepada Tiga Setan Lembah Mayat. Tampak enam kantong uang di dalamnya, membuat kecurigaan Dawanta dan Songgara pupus seketika.

“Keenam kantong uang ini akan menjadi milik kalian. Setelah itu, masih ada satu tugas lagi yang harus kalian lakukan untukku...,” ujar orang tinggi kurus itu dengan bibir tersenyum tipis.

“Tidak! Apa yang kami lakukan untukmu sudah cukup. Berikan saja uang itu! Kau boleh mencari orang lain untuk melakukan tugas selanjutnya. Karena menurut kami, sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan...!” tegas Songgara ikut angkat bicara, sebelum Malingga sempat menyahuti ucapan lelaki tinggi kurus itu.

“Maafkan kami, Kisanak. Sebaiknya hubungan ini memang harus kita akhiri. Sesuai dengan ucapanmu beberapa hari yang lalu, tugas kami semalam adalah tugas terakhir. Sebaiknya kau mencari orang lain untuk melakukan tugas selanjutnya. Semalam kami hampir tertangkap, dan mungkin juga kami sudah dapat dikenali. Itu sebabnya saudaraku menolak tawaranmu dan lebih suka kembali ke tempat kediaman kami...,” Malingga ikut mendukung ucapan Songgara, yang dirasanya cukup beralasan.

“Hm.... Kalau memang begitu keinginan kalian, baiklah. Nah, terimalah uang ini. Kalian bisa gunakan untuk bersenang-senang sampai puas...,” ujar lelaki tinggi kurus itu. Tangannya segera mengangkat bungkusan dan siap melemparkannya kepada Malingga.

“Tunggu...!” cegah Dawanta segera melangkah maju menjajari Malingga. “Sebaiknya keluarkan saja kantong-kantong uang itu lalu lemparkan kepada kami...!"

“Benar. Lemparkan saja keenam kantong uang itu kepada kami...!” Malingga ikut menimpali. Dia sepertinya dapat menebak pikiran Dawanta yang merasa khawatir kalau bungkusan itu mengandung racun ganas.

“He he he...!” sosok tinggi kurus itu kembali memperdengarkan tawa perlahan. Kemudian bungkusan itu dirogohnya, dan mengeluarkan enam kantong uang dari dalamnya. Terdengar suara gemerincing memenuhi ruangan tersebut, membuat Tiga Setan Lembah Mayat, terutama Dawanta semakin tak sabar.

Malingga langsung menyambut kantong uang pertama yang dilempar ke arahnya oleh lelaki tinggi kurus itu. Kemudian dilempar kembali pada Dawanta, yang kemudian melemparkannya pada Songgara. Demikian seterusnya, hingga tangan masing-masing Tiga Setan Lembah Mayat memegang dua kantong uang.

“Ha ha ha...!” Tiba-tiba saja lelaki bertubuh tinggi kurus itu tertawa keras, membuat Tiga Setan Lembah Mayat menjadi terkejut Tak lama kemudian, dirasakan kalau telapak tangan mereka panas dan gatal-gatal.

“Celaka...?!” pekik Songgara yang memang paling tahu tentang racun ketimbang dua orang saudaranya. Wajahnya yang memang agak pucat, semakin bertambah pias bagai kehilangan darah.

“Kantong uang ini dilapisi racun...!” desis Malingga geram. Baru disadarinya hal itu saat pengaruh racun mulai bekerja. Tokoh bertubuh cebol itu melangkah mundur seraya melemparkan dua kantong uang di tangannya ke tanah.

“Aaa….!” Malingga menatap kedua lengannya yang menghitam. Pada bagian telapak tangannya muncul gelembung-gelembung kecil yang kemudian pecah dan mengeluarkan cairan berbau busuk. Karuan saja tokoh itu menjadi ketakutan setengah mati.

Hal yang serupa juga dialami Dawanta dan Songgara. Kedua tokoh sesat itu pun menjerit-jerit penuh rasa ngeri. Apalagi ketika racun itu semakin menjalari lengan mereka dengan sangat cepat Sulit untuk dibayangkan, betapa ketakutannya ketiga tokoh sesat itu.

“Ha ha ha...! Kalian telah terkena ‘Racun Kelabang Hijau’ yang kerjanya sangat cepat dan mematikan. Sebentar lagi kalian bertiga akan berubah menjadi bangkai yang mengerikan...!” ujar lelaki di depan mereka. Mulutnya mengumbar tawa yang meledak-ledak melihat ketiga korbannya semakin ketakutan.

“Bangsat...!” maki Malingga yang tentu saja sadar kalau hidupnya tidak akan lama lagi. Kesadaran itu membuatnya nekat Tanpa mempedulikan pengaruh racun yang mulai menjalar ke pangkal lengan dan terus ke sekujur tubuhnya, tubuh lelaki cebol itu menerjang lawannya.

“He he he...! Perbuatanmu hanya mempercepat daya kerja racun itu, Malingga...,” ejek lelaki tinggi kurus itu tanpa niat mengingatkan Malingga.

Malingga sempat menahan langkahnya dengan mata terbelalak ngeri. Ucapan sosok tinggi kurus itu bukan sekadar menakut-nakuti. Karena saat tenaga dalamnya dikerahkan, pengaruh racun itu dirasakan semakin kuat. Malingga terpaksa membanting tubuhnya ke tanah ketika tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang menggeragoti sekujur tubuhnya.

“Aaarghhh...!” Terdengar raungan yang mengerikan bagai lolongan binatang buas yang menyambut datangnya ajal. Sebentar kemudian, ucapan lelaki tinggi kurus itu benar- benar terbukti. Tubuh Malingga mengejang seketika, dan tewas setelah kembali memperdengarkan raungan panjang yang mendirikan bulu roma! Setelah membanting-banting dirinya serta bergulingan kian kemari di atas tanah.

“Aaah...?!” Dawanta dan Songgara terpekik ngeri melihat tubuh saudara tua mereka terdiam kaku. Sementara, seluruh kulitnya berubah kehitaman. Yang lebih mengerikan lagi, sekujur tubuh Malingga dipenuhi gelembung-gelembung yang kemudian pecah dan menebarkan bau busuk memualkan perut

“He he he...! Jika kalian berdua ingin lekas mati, silakan mengikuti apa yang dilakukan Malingga...,” ejek lelaki tinggi kurus itu sambil terkekeh penuh kemenangan.

“Kau.... Kau benar-benar keparat...!” umpat Dawanta dengan hati penuh dendam, membuat rongga dadanya serasa hendak meledak. Sayang dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Karena malaikat maut sudah siap mencabut nyawanya.

“Ha ha ha...!” lelaki tinggi kurus itu kembali memperdengarkan tawa iblisnya saat menyaksikan Dawanta dan Songgara berkelojotan. Tubuh kedua orang itu pun ambruk ke tanah. Terus bergulingan diselingi raungan kesakitan yang susul-menyusul.

Seiring dengan berkumandangnya tawa menggelegar lelaki bertubuh tinggi kurus itu, nyawa Dawanta dan Songgara melayang ke akhirat. Kedua tokoh sesat itu tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan. Sambil tetap mengumandangkan tawanya, lelaki tinggi kurus itu mengumpulkan kembali enam kantong uang perak yang berserakan di tanah. Dan dimasukkannya ke dalam bungkusan besar. Kemudian tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

Pemuda berjubah putih itu menahan langkahnya saat mendengar raungan panjang yang menggetarkan. Meski telinganya hanya mendengar sayup-sayup, namun pemuda berjubah putih yang tidak lain dari Panji tahu kalau raungan itu adalah jerit seseorang yang sedang dilanda kesakitan hebat. Ketika raungan menjelang ajal itu kembali merasuk indera pendengarannya, tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya berkelebat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya.

Panji kehilangan jejak ketika raungan mengerikan itu mendadak lenyap. Segera diduganya kalau orang yang tadi melengkingkan raungan menyayat hati telah dijemput malaikat maut. Seketika Panji menghentikan larinya, dan dicobanya mengerahkan indera pendengaran. Sayang, dia tetap gagal. Suara raungan itu telah benar-benar lenyap.

“Hm.... Sebenarnya apa yang dialami orang malang itu? Dari jeritannya barusan, aku dapat menduga kalau dia sedang menghadapi sesuatu yang mengerikan dan sangat menyakitkan. Sayang aku kehilangan jejak. Kemungkinan besar orang itu telah tewas. Mungkin diterkam harimau atau binatang buas lain yang banyak berkeliaran di dalam Hutan Pancawarna ini...,” gumam Panji seorang diri.

Untuk beberapa saat, pemuda itu tetap tak bergerak di tempatnya. Pendekar Naga Putih benar-benar telah kehilangan jejak. Harapan yang semula lenyap, timbul kembali ketika Panji mendengar raungan panjang yang mendirikan bulu roma. Kali ini telinganya malah menangkap dua jeritan berlainan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih segera melesat seperti terbang menuju asal suara. Karena sudah dapat memastikan asal jeritan itu, tidak sulit bagi Panji untuk segera mencapainya. Dari kejauhan, dilihatnya sebuah bangunan tua berdiri di dalam hutan. Tanpa ragu-ragu lagi, Panji segera melesat kembali lalu memasuki sebuah ruangan besar dalam bangunan itu.

“Keji...!” desis pemuda itu ketika matanya menyaksikan tiga sosok tubuh menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan. Pemuda tampan berjubah putih itu bergerak men- dekat, meski hidungnya mencium bau busuk yang memualkan perut.

“Hm.... Peristiwa ini jelas baru saja terjadi. Kemungkinan besar pelakunya masih belum pergi jauh...,” duga Panji ketika melihat ketiga sosok tubuh itu benar-benar telah tewas, dan tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Maka, segera tubuhnya melesat dengan maksud menemukan jejak si pembunuh.

Sayang, Panji tidak tahu secara pasti arah yang harus ditempuhnya. Karena itu, dia hanya mengelilingi sekitar bangunan dalam jarak belasan tombak. Tapi, tak satu manusia pun yang ditemukannya. Sadar kalau telah terlambat, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk segera kembali ke tempat kejadian.

Kenyataan yang didapatnya benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Saat diperhatikannya pakaian dan bentuk tubuh ketiga mayat itu, Panji segera dapat menebak kalau mereka adalah orang-orang yang pernah bentrok dengannya beberapa hari lalu. Bahkan ketiga orang itu seperti sengaja mencarinya, dan hendak melenyapkan dirinya.

“Siapa sebenarnya ketiga orang ini? Mereka muncul untuk mencariku setelah aku berada di sekitar Kadipaten Balaraja. Mengingat ucapan-ucapan Senapati Kadipaten Balaraja yang menuduhku sebagai pembunuh, bisa jadi ketiga orang ini ikut terlibat di dalamnya. Tapi, mengapa mereka sampai terbunuh? Padahal kepandaian ketiga orang ini sangat tinggi, dan tidak mudah untuk dikalahkan? Jelas kalau si pembunuh adalah tokoh puncak yang memiliki kesaktian tinggi. Entah permusuhan apa yang membuat tokoh itu sampai membunuh mereka bertiga? Mungkin hal ini ada kaitannya dengan pembunuhan yang terjadi beberapa hari ini di dalam Istana Kadipaten Balaraja. Hm... Aku harus menyelidikinya...,” gumam Panji yang mulai menduga ada sesuatu yang tidak beres di dalam Istana Kadipaten Balaraja.

Panji baru saja hendak membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Ketika sepasang matanya sempat menangkap goresan-goresan di tanah, segera langkahnya ditahan. Cepat pemuda itu melangkah mendekati mayat bertubuh cebol, yang baunya sangat menyengat hidung.

“Hm.... Rupanya salah satu dari orang-orang malang ini sempat meninggalkan nama si pembunuh. Pasti dia hendak meninggalkan pesan kepada siapa saja yang kebetulan menemukan mayat mereka. Petunjuk yang diberikannya jelas sangat berarti sekali bagiku. Dengan begitu, kejadian-kejadian di istana kadipaten akan segera dapat terungkap...,” gumam Panji seraya mengangguk-angguk. Diam-diam dipujinya kecerdikan salah seorang dari korban pembunuhan keji itu.

Setelah mendapatkan petunjuk, yang meskipun masih sangat samar, Pendekar Naga Putih segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

********************

Saat malam merayap perlahan, Panji bergerak memasuki Kadipaten Balaraja secara sembunyi-sembunyi. Tujuannya hendak menemui Senapati Marganta untuk memperjelas masalah yang berkecamuk di dalam istana. Pemuda perkasa itu sudah bertekad untuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi. Dia tidak takut menghadapi bahaya maut, demi menegakkan keadilan.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sulit bagi Pendekar Naga Putih untuk menyelinap ke dalam wilayah istana kadipaten. Meskipun belum tahu pasti letak bangunan yang didiami Senapati Marganta, Panji tidak kehilangan akal. Pemuda itu bergerak ke bagian belakang istana kadipaten. Kemudian, dengan mudahnya menawan seorang pelayan yang tengah terbuai mimpi.

“Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kuminta kau menunjukkan, di mana Senapati Marganta tinggal?” tanya Panji kepada pelayan yang sekujur tubuhnya gemetar karena ketakutan. Rupanya pelayan itu menduga kalau Panji adalah pembunuh kejam yang selama beberapa waktu ini berkeliaran di lingkungan istana. Rasa takutnya membuatnya tidak dapat menahan kencing. Celananya perlahan menjadi basah.

“Jangan takut. Aku bukan seorang pembunuh. Malah aku berniat membantu Kadipaten Balaraja untuk menangkap manusia jahat itu,” bujuk Panji lagi, berharap agar pelayan itu dapat hilang rasa takutnya, dan mau berbicara.

“Sejak Adipati Balaraja terbunuh, Tuan Senapati tinggal di dalam salah satu kamar istana. Dia hendak melindungi Paduka Permaisuri dan putranya yang masih berusia enam tahun,” tuturnya dengan suara susah-payah.

“Terima kasih, Kisanak. Maaf, aku harus membungkammu agar tidak menyusahkanku...,” bisik Panji. Lalu satu jarinya menotok lumpuh tubuh pelayan itu. Kemudian melesat menuju tempat yang ditunjukkan pelayan itu.

Pada waktu hendak memasuki ruangan dalam istana, matanya menangkap delapan orang yang tampaknya sedang meronda. Panji terpaksa menyelinap ke dalam semak di taman bagian samping istana. Setelah mereka lewat, Pendekar Naga Putih kembali melesat bagaikan bayangan hantu menuju kamar yang menurut pelayan istana menjadi tempat tinggal Senapati Marganta sementara. Dengan mendorongkan telapak tangannya disertai pengerahan tenaga dalam, pintu yang terkunci itu berderit perlahan.

“Siapa...?” tegur sebuah suara dari dalam kamar. Membuat Panji memutuskan untuk langsung masuk.

Sebagai seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi, Senapati Marganta sempat melihat berkelebatnya sesosok bayangan memasuki kamarnya. Tapi, sebelum sempat bertindak apa-apa, seorang pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di hadapannya dalam jarak tiga langkah. Kenyataan itu membuat Senapati Marganta sadar akan kesaktian tamu tak diundang itu.

“Pendekar Naga Putih...?!” desis lelaki gagah itu dengan sepasang mata terbelalak lebar. Sungguh tak disangkanya kalau pendekar muda itu berani datang menyatroninya.

“Maaf kalau kedatanganku yang tidak pantas ini membuat Panglima terkejut...,” ujar Panji merendahkan suaranya, karena tidak ingin membuat seisi istana terbangun.

“Hm... Kau benar-benar telah tersesat jauh, Pendekar Naga Putih. Seharusnya kau sadar kalau perbuatanmu membunuhi orang-orang istana kadipaten akan membuat tokoh golongan putih marah besar dan akan memusuhimu. Tapi, jangan kau sangka aku sama dengan korban-korbanmu terdahulu. Kecerobohanmu ini akan membuat kau menyesal seumur hidup, Pendekar Naga Putih...!” geram Senapati Marganta sambil menggeser mundur langkahnya. Siap menghadapi Pendekar Naga Putih.

“Sabar, Panglima. Kedatanganku justru hendak melaporkan tentang pembunuh-pembunuh keji itu. Menurut dugaanku, pembunuh itu adalah orang-orang bayaran yang melakukannya demi uang. Dan, aku telah mengetahui siapa orang yang berada di belakang tiga orang pembunuh itu,” jelas Panji, membuat Senapati Marganta kelihatan sangat terkejut. Karuan saja lelaki gagah itu menarik gerakannya. Ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih setengah tidak percaya.

“Hm.... Dari mana kau mengetahui kalau pembunuh itu berjumlah tiga orang? Apa pula maksudmu dengan mengatakan kalau kau sudah mengetahui tokoh di belakang layar yang membayar ketiga orang itu?” tanya Senapati Marganta seraya menatap lekat-lekat wajah pemuda tampan di hadapannya. Panglima gagah itu merasa tertarik setelah mendengar keterangan Panji. Sehingga tidak lagi kelihatan siap tarung.

Panji sebenarnya hanya menduga saja tentang pembunuh-pembunuh itu. Tampaknya dia sudah berhasil memancing keterangan secara tidak langsung dari panglima gagah di hadapannya. Dia pun berusaha untuk menegasinya lagi.

“Jadi benar kalau pembunuh itu berjumlah tiga orang? Kalau begitu, mereka telah tewas di dalam Hutan Pancawarna di sebuah ruangan dalam bangunan tua. Tapi, meskipun racun ganas itu telah membuat mereka tewas, salah seorang dari mereka sempat mengguratkan sebuah nama pada tanah. Itu sebabnya mengapa aku memaksa diri untuk menghadap dalam keadaan seperti ini,” jelas Panji lagi, membuat Senapati Marganta kelihatan semakin kaget.

“Sebuah nama? Siapa nama yang ditulis salah seorang pembunuh itu sebelum kematiannya...?” tanya Senapati Marganta dengan wajah semakin menegang.

“Tokoh keji itu berjuluk Raja Racun Kelabang...,” sahut Panji dengan kata-kata yang jelas terdengar di telinga Senapati Marganta.

“Raja Racun Kelabang...?!” gumam panglima gagah itu mengulang julukan yang dikatakan Pendekar Naga Putih. Senapati Marganta seperti tidak mempercayai laporan Panji.

“Benar. Tokoh itulah yang telah menewaskan ketiga pembunuh bayaran yang disewanya. Rupanya dia sudah merasa sudah cukup dengan apa yang dilakukan ketiga pembunuh bayarannya. Apakah Tuan Panglima pernah mendengar nama tokoh jahat itu...?” tanya Panji ketika melihat Senapati Marganta terdiam menekuri lantai. Dengan sabar Panji menunggu ucapan yang bakal keluar dari mulut senapati itu.

“Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Naga Putih! Sayang orang yang hendak kau jadikan kambing hitam itu telah tewas beberapa tahun silam. Kau jelas-jelas telah dipermainkan orang...!” ejek Senapati Marganta.

Hal itu tentu saja membuat Panji terkejut bukan main. Padahal pemuda itu sudah memeriksa jenis racun yang terdapat di tubuh Tiga Setan Lembah Mayat. Dan diketahuinya pula kalau racun jahat itu bernama Racun Kelabang Hijau.

“Tapi, aku melihat dan memeriksa sendiri bukti-buktinya, Tuan Panglima,” bantah Panji.

Memang, Pendekar Naga Putih belum pernah lagi mendengar kabar tentang tokoh sesat berjuluk Raja Racun Kelabang. Mungkin tokoh sesat itu selalu menyembunyikan diri di pertapaannya, dan jarang muncul ke dunia ramai belakangan ini. Jadi, ada kemungkinan tokoh sesat itu benar-benar telah tewas.

“Kau hanya mengarang cerita usang, Pendekar Naga Putih! Sekarang aku bertambah yakin kalau kau adalah pembunuh biadab itu. Karena kau pernah tertangkap basah olehku, maka kau berusaha untuk mencari cara meloloskan diri dengan melemparkan fitnah kepada orang lain. Tidak kusangka kalau pendekar yang diagung-agungkan kaum rimba persilatan adalah seorang yang berhati keji dan licik!” geram Senapati Marganta.

Kembali Senapati Kadipaten Balaraja itu bersiap menghadapi Pendekar Naga Putih. Bahkan sudah mengeluarkan lengkingan panjang sebagai isyarat kepada seluruh prajurit kalau tengah berhadapan dengan pembunuh misterius yang beberapa hari ini telah menggemparkan Kadipaten Balaraja dengan kekejamannya.

“Tuan Senapati. Aku sama sekali bukan pembunuh keji yang kau maksudkan. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah berbuat sekeji itu. Izinkanlah aku membantu untuk mengungkapkan masalah yang masih gelap ini...,” pinta Panji yang menjadi terkejut melihat perubahan sikap panglima itu.

“Hm... Tidak perlu banyak cakap lagi, Pendekar Keji! Kau memang harus dilenyapkan agar umat manusia menjadi tenteram!” bentak Senapati Marganta. Setelah itu, tubuhnya langsung menerjang Panji dengan serangan-serangan yang menimbulkan deruan angin keras.

Plak! Plak!

“Sabar, Tuan Panglima...,” tahan Panji, setelah menepiskan dua buah serangan lawan yang mengancam jalan darah kematian di tubuhnya.

“Sambut saja seranganku, Pemuda Iblis...!” bentak Senapati Marganta penuh kemarahan. Sepertinya, dia sudah tidak bisa lagi diajak bicara baik-baik. Dibarengi sebuah pekikan nyaring, panglima gagah itu kembali menerjang hebat.

“Haiiit..!”

Brakkk!

Sadar jika tetap berada di dalam kamar itu akan sulit baginya untuk meloloskan diri, maka Panji terpaksa melesat ke luar dengan menjebol daun jendela. Dugaannya ternyata tidak meleset! Baru saja kedua kakinya menjejak tanah, beberapa batang tombak langsung menyambutnya.

Wuttt! Wuttt!

“Hiaaah...!” Cepat Panji membungkukkan tubuh sambil memutar sepasang lengannya, membuat tombak-tombak itu berpatahan dan terpental ke mana-mana.

“Jangan biarkan pendekar biadab itu lolos! Tidak perlu tanggung-tanggung, bunuh saja dia...!”

Senapati Marganta yang saat itu masih berada di dalam kamarnya memberi perintah. Kemudian, tubuhnya bergerak melompati jendela yang telah jebol, lalu terus meluncur untuk menerjang Panji. Meskipun semua kemungkinan itu telah diperhitungkan, tak urung Panji sempat menjadi bingung.

Pendekar Naga Putih tidak ingin menurunkan tangan kejam kepada para prajurit kadipaten yang hanya menuruti perintah pimpinannya itu. Sedangkan untuk dapat lolos dari kepungan ratusan prajurit itu, tidak mungkin tanpa melukai mereka. Hal itulah yang membuatnya menjadi bingung dan terdiam untuk beberapa saat.

Sedangkan para prajurit kadipaten sepertinya tidak ingin membiarkan pemuda itu lolos untuk yang kedua kalinya. Sehingga, mereka membuat kepungan berlapis-lapis, agar Pendekar Naga Putih tidak dapat lagi melarikan diri seperti beberapa malam lalu. Panji sendiri sempat terkejut menyaksikan bentuk barisan kepungan para prajurit itu.

Pada lapisan terdepan, masing-masing prajurit memegang golok terhunus di tangan. Sedangkan pada tangan kiri mereka terdapat sebuah perisai berbentuk bulat. Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau Senapati Marganta memang telah mempersiapkan cara khusus untuk menghadapinya.

“Hiaaat..!”

Saat Panji tertegun melihat barisan yang berlapis- lapis dan sangat teratur itu, tiba-tiba saja para prajurit di barisan terdepan berteriak keras. Separoh dari mereka yang semula dalam posisi berlutut, kini bergulingan di tanah sambil menyabetkan golok besar ke bagian tubuh Panji. Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih cepat bergerak mundur dengan satu lompatan pendek untuk menghindari serangan mereka.

“Hiaat..!”

Saat tubuh Panji melambung di udara, kembali terdengar teriakan nyaring serempak. Barisan prajurit pada lapisan kedua melesat ke udara sambil mengayunkan goloknya yang menderu mengancam tubuh pemuda tampan berjubah putih itu.

“Yeaaah...!”

Karena ingin mengetahui lebih jauh akan kehebatan pasukan itu, Pendekar Naga Putih mencoba melontarkan dua buah pukulan ke arah lawannya yang terdepan. Dan....

Bukkk! Bukkk!

Kaget bukan main hati Panji ketika kepalannya disambut dengan perisai yang terpasang di tangan kiri lawan. Yang membuat pemuda itu lebih terkejut adalah tenaga pukulannya dapat membalik. Seolah-olah perisai itu terbuat dari benda kenyal yang tahan pukul.

“Hebat...!” desis Panji dengan wajah yang tidak menyembunyikan rasa kagum melihat ketangguhan para prajurit Kadipaten Balaraja. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa gentar ataupun cemas. Karena tenaga pukulan yang dipergunakannya barusan masih dalam tingkat yang rendah. Entah kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya tadi dikerahkan untuk menghadapi barisan perisai itu.

“Yeaaah...!”

Whuttt! Whuttt!

Dua buah sambaran golok datang mengancam leher dan perut pemuda itu. Panji segera menggeser mundur tubuhnya, lalu melanjutkannya dengan gerak berputar. Begitu serangan lawan luput, tubuhnya sudah berbalik dan langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.

Bummm...!

“Aaa...!”

Terdengar pekik ngeri susul-menyusul ketika dari sepasang telapak tangan pemuda itu keluar deruan angin tajam, membuat para prajurit yang berada di depannya, langsung terpental bagaikan daun kering yang diterbangkan angin. Sebagian dari korban pukulan itu langsung menggeletak tak sadarkan diri. Panji memang masih membatasi penggunaan tenaga mukjizatnya agar tidak sampai menewaskan lawan.

TUJUH

Baru saja tubuh Panji melesat ke tempat lowong untuk dapat meloloskan diri, terdengar teriakan-teriakan nyaring diselingi kilatan ujung tombak. Ancaman- ancaman itu datang dari empat penjuru, membuat Pendekar Naga Putih terpaksa harus menahan langkahnya.

“Haaat...!”

Delapan kilatan mata tombak mengancam jalan darah penting di tubuhnya. Membuat Panji tidak bisa tinggal diam. Apalagi dari desingannya dapat ditebak kalau luncuran senjata itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

“Heaaah...!”

Karena tidak mau tubuhnya tertembus delapan mata tombak lawan, Pendekar Naga Putih terpaksa menunda niat untuk melarikan diri. Tubuhnya bergerak dengan mengandalkan kelincahan tubuh untuk menghindari ancaman maut itu. Dibarengi juga dengan putaran sepasang lengannya yang membuat kedelapan pelempar tombak itu berlompatan mundur. Kesempatan itu kembali dipergunakan Pendekar Naga Putih untuk menjejakkan kakinya ke tanah. Lalu dalam sekejap, tubuhnya melambung ke udara dan berputaran beberapa kali, melewati barisan prajurit yang menghadangnya.

“Hujani dengan anak panah,,.!” perintah Senapati Marganta. Segera saja kesempatan itu digunakannya selagi Panji berada di udara untuk menghujani dengan anak panah.

Belum lagi gema suara Senapati Marganta lenyap, menyusul desingan riuh bagai hendak meruntuhkan langit. Puluhan batang anak panah itu melesat deras ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih melayang di udara!

“Yeaaa….!”

Dengan mengandalkan kekuatan mukjizat yang dimilikinya, Panji menyapu anak-anak panah yang mengincar kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya sama sekali tidak dipedulikan. Pendekar Naga Putih yakin kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang melapisi tubuhnya mampu menghalau anak-anak panah itu.

Terdengar suara bergemeretak ramai ketika seluruh anak panah yang menghujani tubuh pemuda itu, langsung runtuh dalam keadaan patah! Beberapa batang di antaranya tergenggam erat di tangan Panji. Untung Pendekar Naga Putih tidak berniat membunuh. Kalau saja mau, tentu tidak akan sulit baginya untuk meloloskan diri.

Gagalnya serangan terakhir tadi tidak membuat semangat Senapati Marganta surut. Kemarahannya makin meledak-ledak, memenuhi rongga dadanya.

“Seraaang...!” perintah Senapati Marganta kembali dengan berapi-api sambil melesat maju. Dia sendiri merangsek dengan sabetan pedang yang mengincar titik-titik jalan darah kematian di tubuh Pendekar Naga Putih.

Bettt!

Panji menarik mundur tubuhnya dua langkah saat pedang di tangan Senapati Marganta datang mengancam. Dan, terus bergerak kian kemari dengan lompatan-lompatan pendek untuk menghindari sambaran ganas senjata para perwira kadipaten yang ikut menggempur.

“Hm.... Kalian terlalu memaksa...!” geram Panji di sela-sela sambaran senjata-senjata lawan. Usai berkata demikian, kedua tangannya dikembangkan, menghalau tebasan empat pedang lawan. Dan....

Bukkk! Desss!

“Aaakh!”

Tiga perwira dan dua prajurit yang menyerangnya, langsung terpental dengan mulut memuntahkan darah! Rupanya Pendekar Naga Putih mulai kehilangan kesabaran. Tentu saja keberangan Panji membuat lawan-lawannya menjadi terkejut dan gentar. Tanpa sadar, beberapa orang di antara mereka bergerak mundur dengan wajah berubah tegang!

“Jangan takut! Ayo, maju...!”

Senapati Marganta yang melihat belasan prajuritnya bergerak mundur dengan wajah pucat, kembali memberi perintah dengan lantang, seperti hendak membakar semangat anak buahnya. Dia sendiri menerjang Panji kembali yang saat itu bergerak ke kiri untuk meloloskan diri, karena kepungan di bagian itu terlihat lemah.

“Jangan harap kau dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup, Pemuda Keji...?!” bentak Senapati Marganta sambil menyusul lesatan tubuh Panji, lalu dikirimkannya tusukan pedang ke punggung pemuda itu.

Plakkk!

“Aihhh...?!”

Tanpa menoleh lagi, Panji mengibaskan lengan kanannya ke belakang. Kali ini Pendekar Naga Putih mengerahkan lebih dari separoh kekuatan saktinya. Akibatnya, tubuh Senapati Marganta terlempar mundur, tak sanggup mempertahankan kuda-kudanya yang memang dalam posisi lemah itu.

“Bangsat...!” umpat Senapati Marganta yang rupanya masih dapat menyelamatkan tubuhnya dengan melakukan tiga kali salto di udara.

Panji sendiri saat itu sudah tidak peduli lagi dengan korban pukulannya. Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagikan pukulan kepada para prajurit dan perwira yang mencoba mencegahnya. Akibatnya, para pengepung itu berpelantingan ke sana-sini. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang langsung tewas dengan kulit tubuh membiru.

“Ahhh...?!”

Tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Senapati Marganta agar mencegah kepergian pemuda itu, para prajurit yang dilabrak Panji bergerak mundur. Dengan demikian, jalan lolos bagi pemuda itu semakin terbuka lebar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata, lalu terus menghilang di kegelapan malam.

“Kejaaar...!” Melihat Panji berhasil lolos dari kepungan, segera saja Senapati Marganta memerintahkan para prajuritnya untuk melakukan pengejaran.

Para prajurit itu sesaat kelihatan ragu-ragu. Mereka sadar, untuk melakukan pengejaran terhadap seorang tokoh sakti seperti Pendekar Naga Putih, tentu saja akan sia-sia. Ilmu lari cepat pemuda itu tidak mungkin dapat ditandingi. Senapati Marganta yang dapat membaca pikiran anak buahnya, segera memerintah untuk menyiapkan kuda. Dengan kuda-kuda itulah, pengejaran akan dilakukan terhadap Pendekar Naga Putih.

********************

Panji terus berlari menerobos kegelapan malam. Untunglah bulan bersinar penuh, sehingga dia tidak mengalami kesulitan yang berarti, meski harus melewati perkebunan dan hutan-hutan kecil. Pendekar Naga Putih berniat menjauhi Kadipaten Balaraja untuk sementara waktu. Sementara telinganya samar-samar menangkap derap kaki kuda di belakangnya.

“Rupanya mereka benar-benar menginginkan kematianku. Benarkah Raja Racun Kelabang telah meninggal? Lalu, siapa pembunuh misterius yang menggunakan ‘Racun Kelabang Hijau’ untuk membunuh ketiga orang itu? Hhh.... Tidak kusangka kalau persoalannya semakin bertambah rumit...,” desah Panji sambil terus berlari menjauhi Kota Kadipaten Balaraja. Meskipun demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa jera. Tekadnya sudah bulat untuk mengungkap misteri itu.

Ketika pagi muncul menggantikan tugas sang Malam, Panji menghentikan larinya di tepian sungai berarus deras. Setelah membasuh wajahnya dengan air sungai yang bening dan menyegarkan itu, Panji duduk beristirahat pada sebuah batu di tepi sungai. Pendekar Naga Putih termenung memikirkan cara memulai kembali penyelidikannya.

Untuk kembali ke Kadipaten Balaraja jelas tidak mungkin. Di sana dirinya akan mendapatkan kebencian dan tuduhan keji. Tak seorang pun yang dapat diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai kejadian-kejadian itu. Satu-satunya jalan, harus mencari Raja Racun Kelabang. Jika benar tokoh itu telah tiada, berarti dia harus memulai segalanya dari awal.

Setelah hatinya mantap mengambil keputusan, Panji bangkit. Seingatnya, Raja Racun Kelabang tinggal cukup jauh dari Kadipaten Balaraja. Tepatnya di daerah Pegunungan Gedang. Ke tempat itulah tujuannya, untuk mengungkapkan misteri yang masih sangat gelap baginya. Dengan kepandaian yang tinggi, Panji dapat mempersingkat waktu perjalanan. Pada pagi hari berikutnya, Pendekar Naga Putih sudah menjejakkan kakinya di daerah Pegunungan Gedang.

Hawa yang segar dan pemandangan pegunungan di pagi hari yang indah, membuat pemuda itu menghentikan langkah sesaat. Tubuhnya berdiri tegak, menikmati keindahan alam dan keagungan sang Pencipta. Kemudian tubuhnya bergerak lagi untuk menyeberangi sungai selebar tiga tombak, yang membelah jalan menuju kaki Gunung Gedang.

Tapi, baru beberapa tindak kakinya menginjak kaki gunung itu, langkahnya dihentikan. Di depannya terlihat tiga sosok tubuh menghadang perjalanannya. Setelah saling bertatapan sejenak, Panji bergerak mendekati ketiga orang bertampang kasar itu. Mungkin ketiga lelaki kasar itu adalah murid Raja Racun Kelabang, pikir Panji.

“Maaf, Kisanak. Dapatkah kalian menunjukkan tempat tinggal Raja Racun Kelabang...?” tanya Panji dengan senyum ramah dan tubuh sedikit membungkuk, sebagai tanda penghormatan kepada ketiga orang itu.

“Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?”

Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan Panji, salah seorang dari mereka malah balik bertanya. Nadanya pun sama sekali tidak menujukkan sikap bersahabat. Bahkan ada nada sinis dalam pertanyaan itu. Panji tidak segera menjawab pertanyaan orang tadi, yang berwajah persegi empat dengan tarikan bibir menyunggingkan senyum mengejek. Mata pemuda itu merayapi wajah ketiga penghadangnya, tetap dengan sikap ramah dan tersenyum.

“Benar. Akulah yang dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih. Siapakah kalian? Apa kalian bertiga memang sengaja hendak menghadang perjalananku...?” tanya Panji setelah memberikan jawaban pasti kepada ketiga lelaki bertampang kasar itu.

“Kalau begitu, kau harus mati...!” desis lelaki berwajah persegi yang langsung saja meloloskan sepasang pedang dari punggungnya. Demikian juga dengan dua orang yang lain.

“Hm ... Tepat dugaanku. Kalian jelas sengaja hendak menghalangi perjalananku,” ujar Panji lagi yang mulai bersiaga ketika melihat ketiga orang itu merenggang membentuk kepungan dari tiga penjuru. “Seingatku kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Entah persoalan apa yang membuat kalian hendak melenyapkanku... ?”

Tak satu pun dari mereka menanggapi ucapan Panji. Mereka terus bergerak memutar, mengelilingi tubuh pemuda berjubah putih itu. Dan....

“Hiaaat..!” Lelaki berwajah persegi yang bibirnya selalu membentuk senyum mengejek itu, langsung membuka serangan dengan tebasan sepasang pedang. Kemudian disusul oleh dua orang lainnya berturut-turut.

Bettt! Bettt!

Panji merunduk saat sepasang pedang lawan bergerak mengancam leher dan dadanya. Dari posisi miring, tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah panjang, lalu sepasang tangannya bergerak hendak mendorong tubuh lawan.

“Yaaat..!”

Panji terpaksa menarik kedua lengannya, karena saat itu ada mata pedang lain yang datang mengancam kedua lengannya itu. Dan....

“Haiiit..!”

Dengan sebuah gerak berputar yang cepat, Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan sebuah tendangan keras yang telak menghantam perut lawan di kirinya.

Bukkk!

“Hugkh...!”

Tanpa ampun lagi, lelaki kurus yang menyerang dari sebelah kiri itu langsung jatuh terguling-guling ke belakang. Tendangan yang keras itu membuatnya memuntahkan darah segar. Dan tidak mampu bangkit untuk beberapa saat lamanya.

Lelaki berwajah persegi yang sepertinya menjadi pemimpin mereka, kembali mencecar Panji dengan kelebatan sepasang pedangnya. Bahkan satu lawan yang lain pun, sudah ikut menyerbu. Untuk sementara Panji hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Pemuda itu ingin meneliti gerak lawan agar dapat mengenali asal aliran ketiga orang itu.

“Heaaah...!”

Setelah cukup lama bertarung, dan belum bisa mengetahui sumber ilmu silat lawan, Pendekar Naga Putih mulai melancarkan serangan. Sekali tangannya bergerak, tubuh seorang lawan terbanting jatuh, memuntahkan darah segar. Sedang yang seorang lagi meluncur terkena tamparan kerasnya. Sehingga, kedua lawannya jatuh berdebuk di tanah.

“Yeaaah...!”

Lelaki bertubuh kurus yang tadi terkena tendangan Panji, sudah bangkit kembali. Dia berniat membokong Pendekar Naga Putih dengan tusukan pedangnya. Sayang maksud busuknya itu gagal. Panji yang mendengar teriakan dan desingan senjata, langsung saja membungkuk. Dengan kuda-kuda miring, dikirimkannya tusukan jari tangan kanan.

Akibatnya, tubuh lelaki curang itu terjajar mundur dengan wajah merah padam menahan sakit. Pedangnya terpaksa dilepaskan karena sepasang tangannya sibuk mendekap perut. Tampak darah segar merembes keluar dari sela-sela jarinya. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah. Nyawanya melayang saat itu juga.

“Ahhh...?!”

Dua orang lainnya menjadi terkejut bukan main. Tidak mereka sangka kalau pemuda tampan yang usianya masih sangat muda itu dapat merobohkan salah satu dari mereka dengan mudah. Kenyataan itu membuktikan kalau Pendekar Naga Putih memang memiliki kesaktian yang menggetarkan.

“Jika kalian tidak ingin mengalami nasib serupa, cepat katakan, mengapa kalian memusuhiku tanpa alasan? Kalau tidak, nasib kalian mungkin akan lebih buruk dari kawan kalian itu...!” ancam Panji dengan suara yang menggetarkan hati kedua orang itu.

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu bertukar pandang dengan wajah agak pucat. Lalu, keduanya sama-sama mengangguk bersepakat. Tiba-tiba....

“Haaat!”

Kedua orang itu tampaknya lebih suka mati di tangan Panji. Dengan sisa-sisa kemampuan, mereka menerjang Pendekar Naga Putih bagaikan sepasang banteng luka.

“Keras kepala...!” maki Panji melihat kebandelan kedua lawannya. Pemuda itu sadar kalau dia harus bertindak sedikit kejam untuk mengorek keterangan dari orang-orang itu.

Bettt!

Ketika tebasan pedang lawan datang, Panji sama sekali tidak menghindar. Dengan kekuatan tenaga saktinya, pemuda itu menahan sabetan pedang lawan pada tubuhnya.

Trakkk!

“Ahhh...?!”

Terdengar derak benda patah, ketika mata pedang itu berbenturan dengan tubuh Pendekar Naga Putih. Hal yang dianggap mustahil itu membuat lawannya terperangah. Sehingga, dengan mudah Panji mencengkeram batang leher lawan dengan jari tangan kanannya.

“Hmhhh...!” sambil mendengus kasar, Pendekar Naga Putih menghentakkan tangannya ke atas. Sehingga, tubuh lawan terangkat naik dari atas tanah.

“Aaa...!” Lelaki bertubuh sedang itu berteriak parau. Tenggo- rokannya dirasa seperti terjepit benda yang amat kuat Wajahnya memerah, dan sepasang matanya terbeliak hampir melompat ke luar.

“Ekhhh...!”

Sekali menggerakkan jari-jari tangannya, remuklah batang leher lelaki kasar itu. Kemudian, mayatnya dihempaskan ke tanah begitu saja, membuat lawan yang tinggal seorang lagi menjadi semakin pucat ketakutan.

“Kau akan mengalami nasib yang jauh lebih mengerikan apabila tidak mau menjawab pertanyaanku tadi...!” ancam Panji seraya melangkah perlahan.

Sementara, lelaki berwajah persegi itu bergerak mundur. Keberaniannya telah terbang melihat cara Pendekar Naga Putih meremukkan batang leher kawannya.

Plakkk!

“Akh...!” Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan. Tahu-tahu saja wajah lelaki itu telah tertampar keras, membuat tubuhnya terpelanting.

“Katakan! Mengapa kau hendak membunuhku? Kalau tidak, aku akan menyiksamu habis-habisan...!” ancam Panji lagi. Hatinya merasa jengkel karena tanpa sebab yang jelas orang-orang itu menghendaki kematiannya.

“Kami..., kami hanyalah orang-orang bayaran. Kami akan menerima bayaran yang besar apabila dapat melenyapkanmu,” akhirnya lelaki berwajah persegi itu terpaksa mengakui.

“Hm.... Dari mana kau tahu aku berada di tempat ini...?” desak Panji lagi, tetap dengan langkah lambat, menghampiri lawannya yang sudah kehilangan kebe- ranian itu.

“Orang..., yang membayar kami yang memberitahu kalau kau mungkin menuju tempat ini...,” jawab lelaki itu lagi. Tubuhnya kini terduduk, karena kedua kakinya tidak kuat lagi menyangga berat tubuhnya. Jelas, tatapan sepasang mata Panji yang mencorong menggetarkan jantung telah membuat lawannya seolah lumpuh.

“Siapa orang yang membayarmu untuk melakukan perbuatan ini?” desak Panji, lagi semakin mendekati sasarannya.

“Dia adalah...”

“Aaa...!” Belum lagi lelaki berwajah persegi itu mengatakan nama orang yang membayarnya untuk membunuh Panji, tiba-tiba dari lereng gunung terdengar jeritan panjang. Serentak keduanya menoleh ke lereng Gunung Gedang.

“Ahhh...?!” Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika sepasang bola matanya menangkap sesosok tubuh kurus menggelinding ke bawah dengan deras. Jelas orang itu terjatuh. Lereng Gunung Gedang memang terlihat agak licin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera melesat untuk menolong orang itu.

Melihat Pendekar Naga Putih lupa kepadanya, lelaki berwajah persegi itu langsung mengambil langkah seribu. Kabur!

DELAPAN

Panji yang mendengar suara orang berlari di belakangnya, terpaksa menghentikan langkahnya. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika melihat buronannya melarikan diri. Terjadilah pertentangan di hatinya, antara menyelamatkan orang yang terjatuh, atau menangkap tawanan yang sangat berarti baginya itu. Dengan berpikir kalau sosok lelaki kurus yang terjatuh itu kemungkinan besar tewas dan tidak mungkin tertolong, maka Panji mengambil keputusan untuk mengejar lelaki berwajah persegi yang hampir memberikan keterangan penting kepadanya.

“Haiiit...!”

Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan, lalu melambung tinggi melewati kepala lawannya. Kakinya menjejak ringan setelah berputaran beberapa kali di udara.

“Ahhh...?!” Bukan main terkejutnya hati lelaki berwajah persegi itu ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba saja berdiri tegak beberapa langkah di depannya.

“Hm.... Kau hendak melarikan diri rupanya...,” dengus Panji dengan sorot mata yang menggetarkan jantung. Secepat kilat tangannya menotok jalan darah buruannya. Dan, tubuh lelaki itu pun menggeloso ke tanah bagai sehelai karung basah.

Setelah melumpuhkan buruannya, Panji melesat kembali dengan maksud melihat orang yang terjatuh barusan. Ketika menemukan seorang kakek-kakek terduduk di dekat semak dengan napas satu-satu, Panji mendekatinya.

“Anak Muda...., tolonglah aku...,” suara kakek itu demikian lemah.

Hal itu membuat Panji menjadi iba. Dan tanpa curiga sedikit pun, kakek itu didekatinya dengan maksud untuk menolong. Ketika tiba di depan kakek itu, Panji berjongkok untuk memeriksa luka-luka yang dideritanya. Tapi..., baru saja mengulurkan tangan untuk memeriksa, tiba- tiba....

“Heaaah !”

Kakek itu membentak sambil mendorong sepasang telapak tangan ke depan. Karuan saja Panji terkejut setengah mati. Dia terlambat menyadarinya. Akibatnya, tidak bisa menghindar dari serangan licik itu. Dan....

Desss!

“Aaargh!”

Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar Naga Putih terlempar deras sejauh tiga tombak lebih, kemudian terguling-guling lebih dari satu setengah tombak. Pukulan licik yang mengandung kekuatan hebat itu, membuat mulutnya memuntahkan darah segar. Wajah Panji pucat seketika. Untunglah tenaga saktinya sedikit melindungi tubuhnya, meski agak terlambat. Kalau tidak, mungkin dada pendekar muda itu sudah remuk akibat pukulan yang luar biasa itu.

“Uhukkk! Uhukkk!” Panji terbatuk hebat dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Darah segar kembali menetes dari mulutnya. Tubuhnya terasa lemas, ditambah rasa gatal yang menyerang bagian dalam dadanya.

Sadarlah Panji kalau pukulan itu mengandung racun ganas. Sadar jika dibiarkan berlarut-larut racun itu akan segera menjalar, Panji segera memusatkan pikiran. Dikerahkannya ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ sebagai penjelmaan dari Pedang Naga Langit yang sanggup menawarkan jenis racun terkuat sekalipun. Tidak berapa lama kemudian, tubuh pemuda berju- bah putih itu bergetar hebat. Butiran keringat sebesar biji jagung bersembulan di wajahnya. Lapisan sinar kuning keemasan menyusul muncul, menebarkan hawa panas luar biasa dalam jarak satu tombak

“Gila...! Apa yang terjadi dengan pemuda itu?! Kekuatan apa yang dimilikinya? Benarkah dugaanku kalau lapisan sinar kuning keemasan itu tengah membakar racun pukulanku? Kalau benar demikian, jelas pemuda itu benar-benar sangat sakti! Aku jadi ragu untuk dapat menundukkannya...,” desis kakek bertubuh tinggi kurus yang rupanya hanya berpura-pura jatuh dari lereng gunung untuk menjebak Panji. Niat liciknya itu memang berhasil baik.

“Huakhhh...!”

Seiring dengan lenyapnya sinar kuning keemasan berhawa panas itu, Panji memuntahkan segumpal darah kental kehitaman. Setelah itu, tubuhnya terasa ringan kembali, dan kepalanya tidak lagi berdenyut-denyut. Bahkan rasa gatal di dadanya lenyap tanpa bekas. Jelas, racun di tubuhnya telah berhasil dipunahkan.

“Kau benar-benar seorang pemuda yang luar biasa, Pendekar Naga Putih. Betapa bangga hatiku seandainya kita bisa berkawan dan melenyapkan permusuhan. Maafkan tindakanku barusan. Aku hanya bermaksud mengujimu. Apa yang terjadi barusan merupakan peringatan sekaligus pengalaman buatmu, agar lain kali bisa lebih hati-hati...,” ujar kakek bertubuh tinggi kurus itu, menyembunyikan kelicikannya.

“Pukulanmu benar-benar hebat dan jahat, Kek. Tentu saja aku tidak akan menolak uluran persahabatanmu, meskipun kau hampir saja membuatku tewas. Tapi, sebelumnya kau harus menjawab pertanyaanku. Siapa sebenarnya dirimu? Kalau kita belum saling kenal, mana mungkin dapat menjadi sahabat..?” tim-pal Panji yang kali ini bersikap penuh kewaspadaan. Dia berusaha mengulur waktu dengan basa-basi itu, agar tubuhnya yang masih lemah dan kekuatannya yang berkurang dapat kembali pulih.

“He he he...! Mengapa kau masih berpura-pura, Pendekar Naga Putih. Aku sudah tahu tujuanmu datang ke Gunung Gedang ini. Nah! Sekarang kau telah berhadapan dengan penghuninya. Apa maksudmu mencariku, Pendekar Naga Putih...?” tanya kakek itu. Secara tidak langsung, mengakui dirinya sebagai Raja Racun Kelabang yang hendak dijumpai Panji.

“Hm.... Jadi kau yang berjuluk Raja Racun Kelabang...?” ujar Panji, meminta ketegasan.

“Benar. Akulah yang berjuluk Raja Racun Kelabang. Nah, apa yang kau inginkan dariku...?” tanya kakek itu lagi sambil menatap Panji dengan pandangan menyelidik tajam.

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah aku mengetahui bagaimana kau dapat menduga maksudku datang ke tempat ini? Mungkinkah ada seseorang yang mengabarkannya kepadamu...?” tanya Panji bernada menyelidik.

Wajar saja kalau Pendekar Naga Putih bertanya demikian. Sebab, menurutnya tak seorang pun tahu tentang kedatangannya ke Gunung Gedang. Lalu, bagaimana ketiga penghadang yang telah dilumpuhkannya itu bisa mengetahui kalau dia datang ke tempat ini? Bagaimana pula Raja Racun Kelabang bisa menebak maksud kedatangannya? Tentu saja semua pertanyaan itu sangat sulit dijawab Panji.

“He he he...! Tidak perlu aku menyembunyikan semua apa yang ku tahu, Pendekar Naga Putih. Aku sudah mendengar tentang tewasnya Tiga Setan Lembah Mayat di Hutan Pancawarna. Dan, ketiga orang yang kuketahui sebagai pembunuh bayaran itu, tewas oleh ‘Racun Kelabang Hijau’, bukan? Sedangkan aku belum pernah meninggalkan tempat ini. Jelasnya, ada seseorang yang hendak memfitnah dan menjatuhkan nama besarku. Bagaimana pendapatmu, Pendekar Naga Putih...?” tanya Raja Racun Kelabang menjelaskan apa yang diketahuinya.

Mendengar ucapan itu Panji langsung tertegun. Dengan adanya penjelasan itu, berarti dia telah gagal untuk menemukan petunjuk. “Ah, sebentar...!” Panji tersentak ketika ingat pada lelaki berwajah persegi yang dilumpuhkannya tadi Dengan agak tergesa, Panji membalikkan tubuhnya untuk membawa tawanannya ke hadapan Raja Racun Kelabang.

“Tunggu...!” sambil berseru, Raja Racun Kelabang melesat seperti hendak mencegah Panji mendekati tawanannya.

“Ada apa, Raja Racun Kelabang? Mengapa kau mencegahku...?” tegur Panji bernada curiga. Matanya menatap tajam wajah kakek itu.

“Sebaiknya lupakan saja tawananmu itu. Karena persoalan ini menyangkut nama baikku, biarlah aku saja yang mengurusnya,” pinta Raja Racun Kelabang. Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah mendahului Panji.

“Tidak. Aku sudah telanjur terlibat ke dalam persoalan ini!” bantah Panji yang memang belum percaya penuh pada keterangan Raja Racun Kelabang. Biar bagaimanapun, dia harus mempertahankan tawanannya. Sebab, hanya orang itu yang menjadi kunci jawaban dari semua peristiwa yang melibatkan namanya.

“Kalau begitu aku terpaksa harus merebutnya dari tanganmu!” Raja Racun Kelabang tidak mau kalah. Malah kakek itu tampak tidak ragu-ragu untuk merebutnya dengan jalan kekerasan.

“Hm.... Aku akan mempertahankannya dengan taruhan nyawaku, Raja Racun Kelabang...!” tegas Panji seraya melangkah mundur beberapa tindak. Pendekar Naga Putih tahu kalau kakek itu memiliki sifat yang sangat licik. Tentu dia tidak akan ragu-ragu berbuat curang demi mencapai kemenangan.

“Kurang ajar...!” geram Raja Racun Kelabang. Langsung saja dilontarkannya serangan kilat seganas serangan ular berbisa. Untung Panji waspada, membuat serangan Raja Racun Kelabang luput

“Heaaah...!”

Dengan sebuah bentakan keras, Pendekar Naga Putih melancarkan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya dengan serangan lawan. Kendati tenaganya belum pulih sepenuhnya, namun hati pemuda itu sama sekali tidak gentar. Bahkan mampu membuat lawannya kerepotan dengan serangkaian serangan maut.

Plak! Plak!

Terdengar ledakan keras saat kedua pasang lengan itu berbenturan. Tubuh keduanya terjajar mundur. Jelas hal itu membuktikan kekuatan mereka berimbang.

Panji menggeser mundur langkahnya. Kemudian disiapkannya ‘Ilmu Silat Naga Sakti’ untuk menghadapi Raja Racun Kelabang. Tenaga Pendekar Naga Putih sebenarnya belum pulih benar, namun berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi lawannya.

“He he he! Ke mana perginya tenaga sakti mukjizat yang kabarnya sangat hebat itu, Pendekar Naga Putih?” ejek Raja Racun Kelabang yang menyadari kalau kekuatan lawan banyak berkurang akibat pukulan beracun yang dilontarkan secara licik tadi.

“Hm.... Biar bagaimanapun aku tetap akan berusaha membekukmu, Raja Racun Kelabang ,” desis Panji yang membuka jurusnya kembali dan siap menghadapi lawan berat itu.

“Hiaaat!”

Kali ini Pendekar Naga Putih memulai serangan lebih dulu. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak kian kemari dengan menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Sehingga, Raja Racun Kelabang tidak berani menganggap enteng kekuatan pe-muda itu.

Bettt!

Raja Racun Kelabang menarik mundur tubuhnya untuk menghindari sambaran cakar naga Panji. Kemudian langsung dibalasnya dengan serangan yang tidak kalah berbahaya. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan.

“Yeaaat...!”

Untuk kesekian kalinya, Raja Racun Kelabang mencecar lawannya dengan serangkaian serangan maut Sepasang tangannya seolah berubah menjadi ratusan banyaknya. Setiap sambaran tangannya selalu diiringi suara mencicit tajam, pertanda tenaga sakti kakek itu telah mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, dalam jurus kesembilan puluh tujuh itu, Panji jadi sibuk menghindari serangan hebat lawannya.

Dukkk! Plakkk!

Terdengar suara benturan keras, membuat udara disekitar tempat itu bergetar. Untuk yang kesekian kalinya tubuh kedua tokoh itu terjajar mundur. Bahkan kali ini Panji terjajar agak jauh akibat tenaga saktinya yang kian melemah.

Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Raja Racun Kelabang. Diiringi teriakan melengking yang memekakkan telinga, kakek bertubuh tinggi kurus itu melesat bagai sambaran kilat. Pukulan-pukulannya meluncur deras, mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.

Panji terpaksa terus melangkah mundur untuk menyelamatkan dirinya. Tapi, untuk menghindar terus dari serangan lawan ternyata tidak mudah. Mau tak mau tangannya harus menepiskan beberapa pukulan lawan yang tidak bisa dihindarinya. Setiap kali lengan mereka berbenturan, tubuh Panji selalu tergetar mundur. Pada suatu saat....

Desss!

“Ughhh!” Tubuh Pendekar Naga Putih terpelanting akibat pukulan keras yang mendarat telak di tubuhnya. Darah segar kembali menetes dari sudut bibirnya. Meski begitu, Panji masih dapat berguling saat telapak kaki lawan hendak melumatnya.

Derrr!

Terdengar ledakan bagai mengguncangkan bumi ketika telapak kaki Raja Racun Kelabang hanya menjejak tanah kosong. Kalau saja pemuda itu tak sempat menghindari gempuran ganas itu, niscaya tubuhnya akan lumat seketika.

Sadar kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya sudah tidak mungkin diandalkan untuk menghadapi lawan, Pendekar Naga Putih segera memusatkan pikiran untuk mengeluarkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’.

“Aaarkkk!” Di awali sebuah pekikan keras, muncullah lapisan cahaya keemasan yang menebar hawa panas menyengat kulit.

Tentu saja Raja Racun Kelabang menjadi terkejut Sungguh tidak dimengertinya, bagaimana mungkin lawan yang sudah kehabisan tenaga itu masih bisa mengerahkan kekuatannya yang lain?

Raja Racun Kelabang memang tidak bisa memahami kekuatan tersembunyi di dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Tenaga yang kali ini digunakan Panji bukanlah tenaga yang didapat dari latihan yang bisa berkurang karena terlalu banyak dikerahkan. Sedangkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ adalah tenaga gaib jelmaan Pedang Naga Langit, maka kekuatannya pun tidak akan pernah berkurang. Hanya saja Panji jarang menggunakannya, kecuali dalam keadaan terpaksa seperti sekarang.

“Gila...!” desis Raja Racun Kelabang yang tak habis pikir dengan keanehan itu. Meskipun demikian, kakek itu sama sekali tidak terlihat gentar. Saat itu juga tubuhnya melayang ke depan sambil mendorong sepasang telapak tangannya.

"Whusss..!" Serangkum angin keras disertai bau amis, mengiringi terlepasnya pukulan maut Raja Racun Kelabang!

Melihat kedahsyatan serangan lawan, Panji pun tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya tenaga sakti itu ke kedua lengannya. Kemudian didorongkan kedepan untuk menyambut datangnya serangan lawan. Dan....

Blarrr!

Bumi di sekitar Gunung Gedang bagai dilanda gempa ketika dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu berbenturan di udara.

“Aaa!” Raja Racun Kelabang menjerit ngeri! Tubuhnya terlempar bagaikan daun kering yang diterbangkan angin, lalu menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. Tubuh Raja Racun Kelabang berikut pohon itu langsung terjerumus ke dalam sungai.

Panji yang hanya tergetar akibat beradunya tenaga itu, segera melompat untuk mengejar tubuh Raja Racun Kelabang yang terbawa arus. Pemuda itu langsung menyambarnya dan mengangkatnya naik. Hal itu dilakukan karena tokoh itu sangat penting sekali bagi Panji untuk membersihkan namanya dari tuduhan Senapati Marganta. Sambil membawa tubuh Raja Racun Kelabang yang pingsan dengan luka dalam yang parah, Pendekar Naga Putih menghampiri lelaki berwajah persegi yang sejak tadi di tinggalnya. Kemudian, jarinya bergerak untuk membebaskan totokan pada tubuh lelaki itu.

“Nah! Sekarang katakan, siapa yang membayar mu untuk membunuhku...?” tanya Panji kepada lelaki yang tampak ketakutan itu.

“Se..., Senapati Marganta. ,” jawab lelaki itu dengan suara patah-patah.

“Senapati Marganta...?!” seru Panji setengah tak percaya. Tapi ketika teringat betapa panglima itu sangat ingin melenyapkannya, Panji akhirnya dapat mempercayai juga. Kini Pendekar Naga Putih mengerti, mengapa Tiga Setan Lembah Mayat hendak membunuhnya pula. Rupanya tiga pembunuh bayaran itu pun dijanjikan imbalan tinggi untuk melenyapkan dirinya.

“Lalu, mengapa Tiga Setan Lembah Mayat menuduh Raja Racun Kelabang sebagai pembunuhnya...?” tanya Panji lagi, agak heran.

“Raja Racun Kelabang adalah guru Senapati Marganta. Senapati itu hendak menguasai Kadipaten Balaraja dengan bantuan gurunya...,” jelas lelaki itu lagi.

Membuat Panji mengerti mengapa persoalan itu jadi demikian rumit. Rupanya orang dalam istana kadipaten itu sendiri yang hendak berkhianat

“Hm.... Kalau begitu, aku juga akan membawamu ke Kadipaten Balaraja. Kali ini senapati pengkhianat itu akan merasakan akibat perbuatannya!”

********************

Kemunculan Panji di Kota Kadipaten Balaraja dengan membawa dua orang tawanan, benar-benar membuat gempar seisi kota itu. Penjaga pintu gerbang langsung melaporkan kedatangan pemuda itu. Tidak seorang pun berani mencegah. Apalagi ketika Panji mengatakan kalau kedua orang yang dibawanya adalah orang-orang yang telah mengacaukan Istana Kadipaten Balaraja. Saat itu kedatangan Panji didampingi oleh kekasihnya. Memang, pemuda itu sengaja menjemput Kenanga sebelum mendatangi kadipaten.

Ketika Panji dan Kenanga yang diiringi puluhan penduduk kota tiba di depan gerbang istana, puluhan prajurit menghadang dengan senjata terhunus. Mereka dipimpin oleh Perwira Duranta.

“Pendekar Naga Putih, apa maksudmu memasuki kadipaten dengan membawa dua orang tawanan itu?” tegur Perwira Duranta dengan sikap waspada. Jelas kalau perwira gagah itu masih mencurigai Panji.

“Tuan Perwira, kedua orang ini adalah orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di istana kadipaten. Apakah Tuan Perwira tidak kenal dengan kakek ini...?” ujar Panji. Ditatapnya wajah Perwira Duranta dengan sinar mata tajam. Dan Pendekar Naga Putih jadi kecewa ketika melihat perwira itu menggelengkan kepala.

“Hm... Kalau begitu, biar Saranta yang menjelaskannya,” ujar Panji sambil menoleh pada lelaki berwajah persegi, salah seorang dari pembunuh sewaan Senapati Marganta yang ditawannya.

Tanpa ragu-ragu lagi, Saranta segera menceritakan semua yang diketahuinya. Diakuinya kalau dirinya dibayar untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Dijelaskannya juga siapa kakek yang berjuluk Raja Racun Kelabang yang dibawa Panji. Perwira Duranta menjadi terkejut bukan main mendengar semua penjelasan itu.

“Jadi, Senapati Marganta yang menjadi biang keladi dari semua peristiwa ini?! Tidak kusangka kalau dia mempunyai niat jahat untuk menguasai kadipaten ini...,” ujar Perwira Duranta yang sejak semula memang tidak percaya kalau Pendekar Naga Putih adalah pelaku semua kejadian itu.

“Tuanku...!”

Perwira Duranta menoleh ketika mendengar suara panggilan yang ditujukan padanya. Kening lelaki gagah itu berkerut ketika melihat seorang prajurit berlari menghampirinya.

“Ada apa...?” tanya perwira gagah itu dengan suara berwibawa.

“Kami..., kami menemukan Senapati Marganta tewas. Dia.., dia bunuh diri, Tuanku...,” lapor prajurit yang bertugas menjaga istana kadipaten itu dengan napas memburu.

Perwira Duranta hanya bisa menghela napas panjang mendengar berita itu. Kemudian memandang Panji dan Kenanga dengan wajah menyesal. “Rupanya dia memilih mati daripada dihukum gantung di depan rakyat banyak...,” desah Perwira Duranta pelan namun terdengar cukup jelas bagi Panji dan Kenanga.

“Jika demikian, kami mohon diri. Kedua orang ini kami serahkan untuk diadili,” ujar Panji.

Kemudian, diserahkannya Raja Racun Kelabang dan Saranta kepada perwira gagah itu. Raja Racun Kelabang tampak sudah tidak berdaya, karena Panji telah melumpuhkan kesaktiannya dengan jalan melumpuhkan otot besar di kedua bahunya.

Tubuh Panji dan Kenanga tiba-tiba berkelebat cepat sebelum Perwira Duranta sempat membuka mulut, bahkan untuk sekadar mengucapkan terima kasih.

“Pendekar Naga Putih benar-benar seorang lelaki gagah berhati mulia. Dia sama sekali tidak mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya, meskipun hanya sekadar ucapan terima kasih...,” gumam Perwira Duranta yang semakin kagum kepada pemuda sakti itu.

Di kejauhan, dua sosok tubuh berlari menuju arah barat yang telah diwarnai oleh lembayung. Hari tampaknya akan bergulir dan terus bergulir, sementara dua pendekar sejati itu akan terus mengisinya dengan perjuangan untuk menancapkan bendera kebenaran.

S E L E S A I

Pembunuh Bayaran

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pembunuh Bayaran
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih karya T. Hidayat

SATU

SAAT itu matahari menampakkan sinar jingga di sudut cakrawala timur, menggantikan tugas malam yang baru saja usai. Semilir angin sejuk yang membawa kesegaran, menemani munculnya sang Raja Siang. Cericit burung sesekali terdengar dari rimbun pepohonan, membuat suasana pagi bertambah indah dan hidup.

“Kadipaten Balaraja...”

Ucapan itu keluar dari bibir seorang gadis bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau. Wajahnya demikian memancarkan pesona. Membuat mata lelaki tidak akan sudi melewatkannya, meski hanya untuk menatap sekilas.

Sepasang mata bulat berbulu lentik miliknya, demikian terang laksana bintang pagi. Perpaduan kulit yang putih halus laksana gumpalan salju dengan pakaian berwarna hijau yang dikenakan, semakin menambah cahaya pada kulit tubuhnya. Benar-benar seorang dara yang luar biasa. Tentunya mampu membuat lelaki sudi bertekuk lutut di bawah pesonanya.

Dara jelita itu rupanya tidak seorang diri. Di sebelah kanannya terlihat pemuda bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Penampilannya pun tidak kalah menarik dengan dara jelita di sisinya. Meskipun tubuhnya tidak terlalu kekar, namun terlihat padat dan kokoh.

Sepasang matanya bersinar tajam, memancarkan perbawa yang kuat. Wajahnya yang bersih tampan dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Jelas, bahwa dia pun seorang pemuda pilihan yang sangat menarik hati wanita. Keduanya berdiri tegak menatap tembok batu setinggi bahu, yang bertuliskan huruf-huruf besar dan indah, sebagai tanda perbatasan sebuah kadipaten.

“Kita akan melewati Kota Kadipaten Balaraja. Ayolah kita bergegas, mumpung hari masih pagi,” ujar pemuda tampan itu sambil menoleh ke arah dara jelita di sebelahnya. Melihat nada bicara dan caranya menatap, jelas hubungan di antara mereka bukan sekadar teman seperjalanan. Sudah pasti lebih dari itu.

“Ayolah, Kakang...,” sahut dara jelita itu bernada riang serta menyiratkan kemanjaan. Sepasang bola matanya berkedip jenaka ketika berkata demikian.

Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, menyentuh wajah jelita yang begitu membakar asmara di hatinya. Jelas, dia agak terpengaruh menyaksikan wajah yang semakin mempesona itu.

“Kau cantik sekali...,” desahnya sambil membelai wajah dara berpakaian serba hijau itu.

Dara itu sendiri tidak berusaha mengelak. Bahkan tangannya diangkat, lalu ditekannya punggung tangan pemuda itu kuat-kuat ke wajahnya yang halus. Terlihat pancaran kebahagiaan pada sepasang bola matanya mendengar pujian tadi.

“Betulkah ucapanmu itu, Kakang...?” tanyanya manja dengan senyum meruntuhkan iman lelaki.

“Hm.... Untuk apa aku harus berdusta...?” sahut pemuda tampan sambil menarik tubuh ramping itu dalam pelukan. Bibir merah merekah dan penuh pesona itu dikecupnya sepenuh kasih. Dalam sekejap, keduanya terlena dalam buaian dewi asmara.

Cukup lama keduanya terlupa keadaan sekitar. Akhirnya pemuda tampan itu melepas pelukannya perlahan, saat disadarinya gelora nafsu yang semakin membakar dada. Kalau tidak segera dicegah, mereka bisa terperosok semakin dalam. Perbuatannya menjadi tanda kalau dia adalah pemuda yang digembleng matang, sehingga mampu menahan keinginan yang tidak baik dalam dirinya.

“Kau terlalu cantik, Kenanga. Aku takut terperosok apabila kita tidak segera menghentikannya...,” desahnya dengan suara bergetar, karena pengaruh buaian dewi asmara yang melenakan barusan.

“Kau benar, Kakang. Aku pun hampir lupa diri...,” aku dara jelita itu sejujurnya. Wajahnya tampak kemerahan. Entah perasaan apa yang terkandung dalam hatinya saat itu.

“Sudahlah. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan ini...,” sergah pemuda tampan, yang tak lain dari Panji, seraya melangkah menyusuri jalan berbatu yang cukup lebar. Di sebelahnya, Kenanga mengikuti tanpa kata.

Tidak lama kemudian, mereka tiba di gerbang Kota Kadipaten Balaraja. Keduanya agak heran melihat ketatnya penjagaan gerbang masuk itu. Terlihat dari pemeriksaan yang dilakukan para prajurit kadipaten terhadap beberapa pendatang.

“Entah sudah terjadi apa di Kota Kadipaten Balaraja, sehingga penjagaan demikian ketat, dan harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu...?” gumam Panji sambil melangkah lambat, mendekati gerbang kota kadipaten.

Sedangkan Kenanga sama sekali tidak berkata-kata. Dara jelita itu menjadi sedikit gelisah ketika disadari kalau di pinggangnnya terselip senjata. Sebab, kalau memang ucapan Panji barusan benar, ada kemungkinan pedangnya akan dilucuti dan disita penjaga gerbang. Walaupun begitu, kakinya tetap melangkah mengikuti kekasihnya, karena mereka memang berniat memasuki kota kadipaten itu.

“Kalian harap berhenti sebentar...!” seru seorang prajurit sambil melangkah menghadang jalan, menahan Panji dan Kenanga. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya menuruti kehendak prajurit itu.

“Hm... Kalian bukan penduduk Kota Kadipaten Balaraja...?” tanya prajurit bertubuh sedang sambil meneliti wajah dan penampilan kedua orang muda itu. Sepasang matanya terhenti agak lama pada wajah dan tubuh sintal Kenanga. Jelas, tersirat kekaguman yang tidak bisa disembunyikannya.

“Kami memang bukan penduduk kota kadipaten ini, Tuan. Tapi, apa ada larangan bagi orang luar untuk memasuki kota ini...?” sahut Panji, sekaligus melontarkan pertanyaan kepada prajurit tadi.

“Sebenarnya tidak, kecuali kali ini. Karena kalian adalah orang asing, maka kami terpaksa menahan kalian untuk sementara...,” ujar prajurit yang tampak mencurigai Panji dan Kenanga.

Wajah Panji tidak menunjukkan perubahan. Dimakluminya kalau prajurit itu hanya melaksanakan tugas. Jadi, dia tidak bisa disalahkan. Selain itu, Panji melihat ada beberapa pendatang lain yang juga ditahan untuk diperiksa. Jadi, Panji pun tidak keberatan untuk diperiksa.

“Mari kalian ikut kami menghadap komandan jaga,” kata prajurit itu lagi, bermaksud menggiring pasangan pendekar itu ke pos jaganya.

“Hey...! Kami bukan penjahat, kenapa harus ditahan dan diperiksa seperti pesakitan? Aku keberatan...!” Kenanga yang tidak bersedia untuk diperiksa, langsung mengemukakan perasaannya tanpa kenal takut. Sebab, dia merasa tidak bersalah apa-apa.

“Maaf, Nisanak. Kami hanya melaksanakan tugas dari senapati. Kuharap kalian tidak memperberat tugas kami ,” ujar prajurit bertubuh sedang itu.

“Sudahlah, Kenanga. Tak ada salahnya mengikuti peraturan yang berlaku di kadipaten ini, selama tidak menyusahkan kita,” bujuk Panji menenangkan kekasihnya.

“Tapi, Kakang. Biasanya kalau kita menurut saja, mereka akan berbuat sesuka hati...,” bantah Kenanga tidak menuruti bujukan Panji. Tentu saja Panji tidak tahu kekhawatiran kekasihnya jika Pedang Sinar Rembulan yang melingkar di pinggangnya disita oleh prajurit kadipaten. Itu alasan mengapa Kenanga merasa keberatan.

“Kenanga. Selama kita tidak berbuat macam-macam, mereka tetap akan memperlakukan kita dengan baik. Kalaupun mereka berbuat kasar, mengapa kita harus takut...?” bujuk Panji lagi dengan suara perlahan.

“Baiklah, Kakang,” Kenanga akhirnya mengalah. “Tapi Kakang harus berjanji untuk tidak mencegahku apabila mereka melakukan hal yang tidak kuinginkan...”

“Aku berjanji...,” jawab Panji, merasa tidak ada ruginya mengabulkan syarat yang diajukan Kenanga. Karena Kenanga sudah berhasil dibujuk, keduanya pun digiring prajurit bertubuh sedang itu menuju pos jaga untuk dihadapkan kepada komandan jaga mereka.

“Tuan Komandan. Mereka adalah orang asing yang hendak memasuki kota kadipaten. Kami menahan mereka untuk diperiksa...,” lapor prajurit itu kepada seorang komandan bertubuh gemuk dengan wajah bulat dihiasi sepasang mata sipit, karena wajahnya kebanyakan lemak.

“Hm.„. Kau boleh kembali ke tempatmu...,” perintah komandan itu kepada prajurit yang membawa Kenanga dan Panji.

Sesaat setelah kepergian prajurit tadi, komandan itu beringsut bangkit dari kursi. Kakinya melangkah terseret, mengitari Panji dan Kenanga. Sikapnya terlihat demikian angkuh, seolah sedang memeriksa pesakitan yang melakukan kesalahan.

“Kalian siapa, dan berasal dari mana...?” tanya komandan bermata sipit itu dengan nada sinis.

Mulutnya berkata demikian, tapi sepasang matanya menjilati sekujur tubuh ramping Kenanga dengan lahap. Sehingga, bulu-bulu di tubuh dara jelita itu meremang. Kenanga merasa bukan sedang berhadapan dengan manusia, melainkan seekor serigala lapar yang tergiur kijang muda. Kalau saja di tempat itu tidak ada Panji, mungkin sudah dicongkelnya sepasang mata kurang ajar itu.

“Nama hamba Panji, Tuan Komandan. Sedangkan sahabat hamba ini bernama Kenanga. Kami adalah perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal...,” jawab Panji dengan nada hormat.

“Hm...!” Komandan bermata sipit itu hanya bergumam tak jelas mendengar jawaban Panji. “Lalu, apa tujuan kalian ke kota kadipaten ini...?” lanjutnya penuh selidik.

“Seperti yang hamba kemukakan tadi, kami adalah pengembara yang mengikuti ke mana kaki kami melangkah. Datang ke Kota Kadipaten Balaraja ini sekadar singgah, tanpa maksud tertentu,” urai Panji, tetap dengan sikap hormat.

“Kalian tidak mempunyai sanak keluarga di kota ini...?”

“Tidak, Tuan Komandan”

Sambil mengangguk-anggukkan kepala, kaki komandan bermata sipit itu kembali bergerak mengitari Panji dan Kenanga. Sepasang matanya menjelajahi sekujur tubuh Panji maupun Kenanga. Wajahnya bersinar kaget saat melihat sembulan gagang pedang di pinggang bagian depan Kenanga. Langkahnya terhenti tiba-tiba di depan dara jelita itu.

Kenanga menarik napas perlahan, menekan kemarahan yang meletup-letup dalam dadanya. Sebenarnya, dia sudah begitu jengkel dan muak pada komandan bermata sipit itu. Tapi, karena komandan itu belum memperlihatkan sikap kurang ajar, Kenanga masih menahan luapan amarah. Diam-diam hatinya berharap agar orang menyebalkan itu berbuat di luar batas, agar ada alasan untuk melabraknya.

“Kalian orang-orang rimba persilatan, heh...?!” dengus komandan bermata sipit itu agak kasar. Kali ini pertanyaannya ditujukan kepada Kenanga.

“Tepatnya kami adalah”

“Diam! Aku tidak bertanya padamu...!” bentaknya menggelegar, memotong kalimat Panji yang belum selesai. “Aku bertanya kepada gadis ini, bukan kau! Mengerti?! Jadi, gadis ini yang harus menjawab, tidak perlu kau wakili!”

Bentakan itu membuat hati Panji tidak senang. Kepalanya kemudian diangkat, dan ditentangnya pandangan komandan itu dengan sinar mencorong menggetarkan jantung. “Tuan Komandan! Pertanyaan tadi menggunakan kata ‘kalian’. Jadi jelas, siapa pun dari kami yang menjawabnya tidak menjadi soal. Selain itu, Tuan pun tidak berhak membentak salah seorang dari kami. Kami bukan pesakitan yang dapat dihina dengan sesuka hati,” bantah Panji dengan suara mengandung perbawa menggetarkan hati komandan bermata sipit itu.

Sehingga, tubuhnya sempat beringsut mundur tanpa sadar. Empat orang prajurit dalam ruangan cukup besar itu langsung menggenggam gagang pedang masing-masing. Mereka serentak maju melihat ketegangan terjadi antara kedua orang asing dengan komandannya. Tampaknya mereka siap turun tangan bila terjadi sesuatu.

Semula komandan bermata sipit itu agak gentar dengan sorot mata dan sikap menentang yang ditunjukkan Panji. Namun, ketika teringat posisinya sebagai komandan, sikap angkuhnya kembali muncul, mengubur kegentarannya.

“Hei, Orang Asing!” geramnya seraya menudingkan jari telunjuk ke wajah Panji. “Aku bisa saja menghukum mu karena begitu lancang melawan petugas! Sikap memberontak mu itu bisa membawamu ke dalam penjara, tahu?!”

Melihat kekasihnya mulai bersitegang dengan komandan bermata sipit, Kenanga tidak menyia-nyiakannya. Dengan wajah berang, kakinya digerakkan mendekati komandan gemuk yang telah membuatnya muak sejak pertama kali melihat caranya memandang dirinya.

“Kau pikir kami akan menurut diancam seperti itu? Kau salah, Tuan Komandan. Jangankan seorang komandan, kalaupun Adipati Balaraja sendiri melontarkan ancaman, kami sama sekali tidak takut! Mau dianggap pemberontak, silakan! Mau ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, boleh! Tegasnya, kami tidak suka caramu dan kami tidak sudi lagi diperiksa seperti pesakitan!” seru Kenanga dengan sepasang mata berkilat penuh kejengkelan.

Setelah berkata demikian, dara jelita itu langsung mengajak Panji meninggalkan tempat itu. “Ayo kita pergi dari sini, Kakang...!”

Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan Kenanga. Dia pun tidak suka dengan komandan bermata sipit itu. Kalau pada mulanya mau diperiksa, hal itu karena Panji mengira akan diperlakukan secara baik.

“Hei, tunggu...! Jangan harap kalian dapat pergi begitu saja dari sini...!” bentak komandan bermata sipit itu. Tubuh gemuknya melesat ke depan, bermaksud mencegah kepergian pasangan pendekar muda itu.

Mulanya, baik Panji maupun Kenanga tidak mempedulikan seruan tadi. Tapi, ketika mereka dikepung belasan prajurit kadipaten, terpaksa keduanya menunda langkah.

“Tangkap mereka...!” perintah komandan itu kepada para prajurit yang mengepung Panji dan Kenanga. Sepertinya dia tidak ingin banyak bicara lagi.

“Baik.... Jangan salahkan jika kami melawan. Kalian terlalu memaksa...!” ujar Panji seraya mengedarkan pandang satu demi satu pada wajah tegang para pengepung. Lalu berhenti pada wajah penuh lemak yang bermata sipit.

“Hm.... Kalian berdua memang sangat mencurigakan. Patut dikaitkan dengan kejadian semalam,” geram komandan bermata sipit itu tanpa berani menentang pandangan Panji. “Tangkap mereka hidup-hidup, terutama gadis itu...!”

Sambil berkata demikian, jari telunjuk lelaki gemuk bermata sipit itu menunjuk ke arah Kenanga. Maka, tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit Kadipaten Balaraja itu langsung menerjang dengan senjata di tangan.

“Kurang ajar! Monyet gendut ini benar-benar licik! Bisanya hanya memerintah prajuritnya saja untuk menyerang kita, sedang dia sendiri enak-enakan berdiri menonton. Akan kuberi pelajaran monyet gendut kurang ajar itu...!” umpat Kenanga berang, melihat kelicikan komandan bermata sipit itu. Tanpa dapat dicegah, tubuhnya melayang menuju sasaran.

“Hei...?!” Bukan main terkejutnya komandan bermata sipit itu ketika melihat sekelebat bayangan hijau meluncur deras ke arahnya. Merasa ada sambaran angin kuat datang mengancam kepalanya, tubuh gemuknya dengan susah payah menghindar ke belakang.

Kenanga yang sangat ingin memberi pelajaran kepada komandan memuakkan itu, tak berhenti sampai di situ. Tamparan-tamparannya datang bertubi-tubi diiringi sambaran angin menderu, membuat komandan bermata sipit itu menjadi kalang-kabut!

“Rasakan akibat kesombonganmu...!” bentak Kenanga. Kakinya melontarkan sebuah tendangan kilat, menyusul tamparan yang masih sempat dihindari lawan.

Bukkk!

“Hegkh…!”

Tendangan dara jelita itu singgah telak di perut gendut lawannya. Tanpa dapat ditahan, tubuh gemuk itu pun jatuh terguling-guling bermandi debu. Tapi, meski tubuhnya kelihatan sulit bergerak, komandan itu ternyata mampu bertindak gesit. Terbukti tubuhnya dapat langsung melenting bangkit, dan segera bersiap menghadapi gempuran Kenanga berikutnya.

“Gila! Tidak kusangka kalau dara cantik yang terlihat lembut ini memiliki kepandaian tinggi...!” desis komandan bermata sipit itu.

Kini pedangnya sudah diloloskan. Senjata itu diputar demikian rupa membentuk gulungan sinar putih yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Menilik dari gerakan dan deru angin yang ditimbulkan, jelas dia memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, meski tentu saja masih jauh di bawah Kenanga.

“Rasakan pedangku, Gadis Binal...!” bentak komandan bermata sipit itu. Kali ini, serangannya dibuka lebih dulu.

Bettt! Bettt!

Pedang di tangan komandan bertubuh gemuk itu berkelebatan cepat mencari sasarannya. Namun serangan-serangan pedang itu sama sekali tidak membuat Kenanga menjadi kewalahan. Hanya mengandalkan kegesitan, setiap sambaran pedang lawan selalu saja dapat dihindari. Bahkan tangan dan kaki dara itu terlihat lebih berbahaya ketimbang serangan pedang lawannya. Sehingga, komandan itu malah menjadi kewalahan ketika tangan dan kaki dara jelita itu melancarkan serangan balasan.

Bukkk! Desss!

“Aaakh...!”

Pukulan dan tendangan Kenanga kembali singgah di tubuh lawan. Kali ini kekuatannya telah ditambah. Sehingga akibatnya pun lebih parah ketimbang tendangan pertama tadi. Komandan bertubuh gemuk itu merangkak bangkit dengan tubuh terasa remuk. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Kenyataan itu membuatnya menjadi gentar.

“Hm.... Kurasa pelajaran hari ini cukup membuatmu lain kali lebih berhati-hati...,” ujar Kenanga, puas dengan hasil perbuatannya. Setelah berkata demikian, tubuhnya berbalik lalu melayang ke arah pertempuran lain yang masih berlangsung.

“Kakang, ayo tinggalkan tempat ini...!” seru dara jelita itu kepada Panji yang masih menghadapi keroyokan para prajurit.

Panji yang tidak sungguh-sungguh menghadapi lawan-lawannya, segera saja melesat bersama Kenanga meninggalkan ajang pertempuran.

“Kejar...!” perintah seorang prajurit dibarengi lompatan untuk melakukan pengejaran.

Tapi, mana mereka mampu mengimbangi kecepatan gerak pasangan pendekar muda yang sakti itu. Sebentar saja mereka telah kehilangan buruannya. Sedangkan kedua sosok yang dikejar sudah demikian jauh dari jangkauan mereka.

DUA

“Kita harus cari tahu, sebenarnya apa yang terjadi di Kota Kadipaten Balaraja, Kakang. Kalau perlu, akan kudatangi Adipati Balaraja untuk melaporkan sikap prajuritnya yang mencoreng citra kadipaten itu,” ucap Kenanga, mengungkapkan rasa penasaran yang mengganjal hatinya. Saat itu mereka duduk pada sebuah batu besar, dalam kerimbunan hutan kecil.

“Untuk menghadap adipati, tidak semudah perkiraan kita, Kenanga. Selain harus menuruti peraturan yang rumit, kita pun harus punya alasan tepat. Belum lagi kalau di antara penjaga istana kadipaten meminta uang pelicin. Lebih baik buang saja pikiran untuk menemui Adipati Balaraja. Mengenai kejadian yang mungkin menggegerkan kadipaten itu, sudah menjadi kewajiban kita menyelidikinya. Susahnya, mungkin kini kita jadi buronan kadipaten,” jawab Panji, menimpali ucapan Kenanga.

“Ah! Apa sulitnya bagi kita memasuki sebuah kadipaten? Saat hari gelap, kita bisa menyusup masuk dan mencari tahu apa yang terjadi di sana. Bagaimana menurut Kakang...?”

“Hm.... Kalau hanya menyelinap ke dalam kota kadipaten, tentu saja tidak sulit. Tapi, apa mungkin semua penduduk tahu tentang kejadian di dalam kotanya? Sebab, seingatku komandan bermata sipit yang memeriksa kita sama sekali tidak menjelaskan tujuannya mengadakan pemeriksaan. Hal itu membuktikan kalau kejadian menggemparkan itu terjadi dalam istana kadipaten. Mereka sengaja merahasiakan...,” urai Panji lagi yang rupanya sangat teliti menghadapi segala sesuatu, sampai-sampai ucapan komandan bermata sipit yang memeriksa mereka masih dapat diingatnya dengan baik.

“Kalau begitu, kejadiannya pasti menyangkut keamanan Kadipaten Balaraja. Tidak mustahil kalau yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang penting,” ujar Kenanga setelah terdiam beberapa saat, untuk mencerna ucapan kekasihnya.

“Menurutku pun demikian...,” timpal Panji yang rupanya punya perkiraan serupa dengan Kenanga. “Biar bagaimanapun kita harus tahu kejadian yang membuat kadipaten itu geger”

“Aku setuju, Kakang. Bagaimana kalau nanti malam kita langsung menyelinap ke dalam istana kadipaten? Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah lagi bertanya ke sana-sini...,” usul Kenanga penuh semangat.

“Hhh...” Panji hanya menghela napas panjang. Diam-diam Pendekar Naga Putih merasa bangga dengan semangat petualangan Kenanga. “Sebaiknya kita pikirkan dulu masak-masak segala tindakan yang akan kita ambil. Selain itu, mungkin kita tidak bisa mendapat keterangan dalam waktu singkat. Kuharap kau tidak terburu-buru dalam menyelidiki persoalan yang masih gelap ini...,” nasihat Panji kepada dara jelita di sisinya.

Kenanga langsung mengerti. Terbukti dari anggukan kepalanya perlahan. “Percayalah, Kakang. Aku akan berhati-hati dan mencoba sabar menghadapi segala sesuatunya.”

Bibir Panji tersenyum melihat sikap Kenanga. Kemudian, mulai mengatur rencana untuk menyelidiki pergolakan yang mungkin terjadi di Kota Kadipaten Balaraja.

“Ada orang datang ,” bisik Panji tiba-tiba.

Saat keduanya membicarakan rencana penyusupan ke dalam istana kadipaten, telinga Panji menangkap langkah kaki menuju tempat mereka berada.

“Mungkin hanya pencari kayu yang hendak lewat, Kakang...,” sergah Kenanga seperti tidak menaruh curiga.

“Biar bagaimanapun, kita harus tetap waspada. Kau ingat, kita baru saja membuat keributan di gerbang kadipaten? Siapa tahu yang datang itu utusan kadipaten yang sengaja diperintah membekuk kita...,” ujar Panji membantah dugaan Kenanga. Sekaligus mengingatkan dara jelita itu bahwa mereka kini merupakan buronan Kadipaten Balaraja.

“Maaf aku lupa, Kakang ,” sesal dara jelita itu perlahan. Kemudian, Kenanga ikut menajamkan indera pendengarannya. Wajahnya berubah sungguh-sungguh, setelah telinganya menangkap langkah kaki itu. “Langkah kaki mereka demikian ringan, Kakang. Jelas orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah,” tuturnya lagi setengah berbisik.

Kepala Panji mengangguk sebagai tanggapan atas ucapan kekasihnya. Satu jarinya digerakkan, memberi isyarat pada Kenanga agar mereka pindah ke tempat yang lebih tersembunyi. Tanpa suara, tubuh Panji melenting ringan ke sebuah dahan pohon besar. Kenanga lalu menyusulnya.

Tidak lama kemudian, muncul tiga lelaki yang berlari melewati tempat Panji dan Kenanga semula duduk. Celakanya, ketiga lelaki itu menghentikan larinya, tak jauh dari persembunyian pasangan pendekar muda itu. Sehingga, baik Panji maupun Kenanga mengatur pernapasan sehalus mungkin agar tidak tertangkap indera pendengaran ketiga orang itu. Sebab, keduanya yakin kalau mereka bukan orang-orang sembarangan.

“Hm.... Ke mana perginya mereka? Hampir seluruh pelosok hutan kecil ini telah kita jelajahi. Tapi, hasilnya tetap nol!” gerutu lelaki gemuk dan kekar, yang hanya mengenakan rompi sebagai penutup tubuh sebelas atas. Suara lelaki itu parau dan berat, dengan sepasang mata tajam mencorong, pertanda kalau dirinya seorang ahli tenaga dalam.

“Mungkin kedua orang itu sudah pergi jauh meninggalkan daerah ini, Kakang Dawanta. “Sebaiknya kita kembali saja melaporkan seadanya...,” sahut orang kedua, bertubuh agak kurus dan sedikit lebih tinggi dari orang pertama. Dia mengenakan jubah berwarna biru tua, yang terbuka pada bagian dadanya. Dari, balik jubah itu terlihat pisau-pisau kecil berbaris rapi. Mudah ditebak, kalau lelaki berwajah agak pucat itu seorang ahli senjata rahasia.

“Benar apa yang dikatakan Adi Songgara barusan. Sebaiknya kita kembali saja dan melaporkan hal ini,” timpal orang ketiga.

Tubuhnya jauh lebih pendek dari kedua orang kawannya. Bahkan bisa dikatakan kalau orang ketiga itu bertubuh cebol. Meskipun demikian, baik Dawanta maupun Songgara terlihat menaruh rasa segan kepadanya. Mungkin karena lelaki cebol itu lebih tua di antara mereka bertiga, sekaligus merupakan pemimpin ketiganya.

Mendengar ucapan itu, Dawanta tidak segera menyahut. Lelaki kekar dan kokoh bagai batu karang itu malah terdiam sambil mengawasi sekitarnya dengan mata menyipit. Kedua orang kawannya hanya bisa saling pandang melihat tingkah Dawanta.

“Siapa ketiga orang itu, Kakang...?” Kenanga yang mengintip dari sela-sela dedaunan, berbisik kepada Panji di sebelahnya. Sejak tadi diperhatikannya ketiga orang itu, dan dicoba untuk mengenalinya. Setelah memutar otak tanpa bisa mengenali mereka, akhirnya Kenanga bertanya kepada Panji.

“Entahlah. Aku belum mengenal mereka, Kenanga. Mungkin ketiga orang itu baru keluar dari tempat tinggalnya,” sahut Panji yang juga tidak bisa mengetahui siapa adanya ketiga orang lelaki yang kelihatan memiliki tatapan mata dingin yang menyembunyikan kekejaman mengerikan itu.

Sedangkan tiga orang itu sepertinya sudah mengambil keputusan untuk pergi. Terlihat mereka melangkah melewati pohon tempat Panji dan Kenanga bersembunyi. Sehingga, pasangan pendekar muda itu terpaksa menahan napas kembali. Tapi sesuatu di luar perhitungan terjadi.

“Aaah...! Setan...!” pekik Kenanga tiba-tiba. Tubuhnya serabutan tak terkendali sambil mengumpat jengkel.

Panji tentu saja terkejut ketika melihat kekasihnya sibuk mengebut-ngebutkan pakaian. Pemuda tampan berjubah putih itu tidak perlu bertanya lagi ketika sepasang matanya mengerling ke dahan yang diduduki, dilihatnya semut-semut merah berduyun-duyun menuju ke arahnya.

“Hm.... Rupanya binatang ini penyebabnya,” desis Panji. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya meluncur turun dari atas pohon itu, menyusul Kenanga yang lebih dahulu meluruk panik.

Sedangkan tiga orang lelaki yang hendak meninggalkan tempat itu mendadak membalikkan tubuh saat mendengar teriakan seorang gadis dari atas pohon. Kaki mereka serentak mundur melihat tubuh ramping meluncur turun dari atas pohon yang sibuk mengebut-ngebutkan pakaiannya. Sehingga, ketiganya terpaku beberapa saat. Mereka baru sadar ketika melihat tubuh lain berjubah panjang yang berwarna putih menyusul turun.

“Setan! Kiranya mereka bersembunyi di atas pohon...!” geram Dawanta, menjadi marah karena merasa dipermainkan.

"Tahan, Kisanak...!” cegah Panji. Langsung saja dia bergerak maju untuk melindungi kekasihnya. Sementara, Kenanga masih sibuk membersihkan pakaian dari rayapan semut-semut merah.

Dawanta menahan langkah ketika melihat pemuda tampan berjubah putih itu berdiri menghadang. Sepasang matanya menatap penuh selidik. “Hm..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” tanya Dawanta sinis, seperti tidak percaya kalau pemuda tampan di depannya adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

“Hm Bagaimana kalau kalian lebih dulu memperkenalkan diri. Setelah itu, baru aku dan kawanku akan memperkenalkan nama kami. Cukup adil, bukan?” ujar Panji, lebih dulu ingin mengetahui dengan siapa dia berhadapan.

Tentu saja jawaban yang tak diharapkan itu membuat Dawanta naik darah. Songgara dan Malingga melangkah maju dengan mata dingin menusuk jantung, lalu berdiri mendampingi Dawanta. Tiga pasang mata mereka menjelajah sekujur tubuh Panji dari ujung kaki sampai ujung rambut.

“Bocah...,” desis Malingga dengan suara serak, sambil menentang pandangan Panji. “Jawab saja pertanyaan kami atau kau akan menyesal telah dilahirkan ibumu ke dunia ini.!”

Panji sama sekali tidak marah atau kelihatan gentar, bahkan tatapan Malingga dibalas dengan sikap tenang. Pemuda itu tersenyum sambil menghela napas perlahan. “Kisanak. Seingatku kita belum pernah bertemu sebelumnya. Mengapa kalian bertiga tampak sangat membenci dan memusuhiku? Mungkin kalian keliru mengenali orang,” sahut Panji. Masih juga belum menjawab pertanyaan ketiga orang itu.

“Mau apa mereka, Kakang? Apakah kita yang mereka cari?” Kenanga yang baru selesai dengan urusannya, bertanya kepada Panji. Sepasang mata dara jelita itu meneliti tiga orang di depannya.

“He he he! Kau betul-betul beruntung, Bocah. Dari mana kau dapatkan bidadari itu...? Boleh kami meminjamnya barang semalam?” Songgara yang rupanya seorang lelaki mata keranjang, langsung tergiur melihat kejelitaan dan kemolekan Kenanga. Lelaki kurus bermata dingin itu sampai meneguk air liur yang hampir menetes.

“Kurang ajar...!” desis Kenanga yang tidak bisa lagi menahan kemarahannya mendengar ucapan tak beradat itu.

“Sabar, Kenanga...,” cegah Panji sambil memegang lengan kekasihnya untuk mencegah melabrak lelaki kurus berwajah pucat itu.

“Untuk apa berdebat dengan iblis-iblis seperti mereka, Kakang. Kalau mereka hendak mencelakai kita, mengapa tidak kita layani saja? Kalau dibiarkan, sikap mereka pasti akan semakin kurang ajar...,” bantah Kenanga dengan kemarahan yang meluruk sampai ke ubun-ubun.

“Bagus, Bidadari Cantik. Kau pasti tidak akan menyesal bila melayaniku di ranjang...,” cemooh Songgara lagi, membuat Kenanga memberontak dari cekalan tangan kekasihnya. Panji tidak bisa mencegah lagi, justru pegangannya sengaja dikendurkan. Dianggapnya kata-kata Songgara telah melewati batas.

“Pecah mulutmu...!” bentak Kenanga yang langsung melakukan tamparan ke wajah Songgara.

Whuuut...!

Songgara tentu saja tidak sudi wajahnya dibuat cacat oleh dara jelita itu. Cepat tubuhnya ditarik mundur satu langkah, sambil menyiapkan serangan balasan. Kenanga tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya untuk membalas. Begitu tamparannya luput, tangannya kembali menurunkan tamparan-tamparan kuat.

“Hebat..!” Songgara mau tak mau memuji kecepatan gerak dan kelincahan dara jelita itu. Sadar dia akan celaka kalau terus-menerus mengelak, maka tamparan berikutnya ditangkis.

Plakkk!

“Akh...?!” Bukan main terkejut hati Songgara ketika lengan yang digunakan untuk menangkis terpental balik! Bahkan terasa nyeri dan membuat kuda-kudanya terseret sejauh empat langkah.

Kenanga tak kalah terkejut merasakan telapak tangannya panas akibat benturan itu. Dia lantas paham kalau lelaki kurus berwajah pucat itu ternyata memiliki tenaga dalam kuat. Mungkin hanya setingkat di bawahnya, karena dia sendiri tidak sampai, terjajar mundur akibat benturan keras tadi.

Untuk sesaat, pertempuran itu terhenti. Songgara telah menggeser langkah ke samping kanan, siap menghadapi serangan lawan berikut. Kenanga sendiri mempersiapkan jurus-jurusnya. Disadari kalau lawannya tidak bisa dipandang ringan.

“Haiiit...!”

Diiringi sebuah pekik melengking, Kenanga mencelat ke depan dengan serangan-serangan yang jauh lebih hebat dari sebelumnya. Kaki dan tangannya bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan dan tendan- gan yang menerbitkan deruan angin tajam!

“Heaaa...!”

Songgara tidak tinggal diam. Tubuhnya bergerak maju menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar saja keduanya sudah saling terjang dengan jurus-jurus pilihan.

Melihat kekasihnya terlibat dalam sebuah pertarungan sengit, Panji sadar kalau keadaan memang tidak mungkin bisa diubah lagi. Dengan langkah tenang, pemuda tampan itu bergerak mendekati dua orang lainnya, Dawanta dan Malingga. Kedua lelaki bermata dingin itu sepertinya sudah bersiap untuk menggebrak Panji. Begitu melihat pemuda berjubah putih itu melangkah maju, Dawanta dan Malingga merenggang ke kiri dan kanan. Jelas, kedua orang itu hendak mengeroyok Panji dari dua arah.

“Jawablah pertanyaan kami yang terakhir, Bocah! Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?!” bentak Malingga kasar. Rupanya dia masih penasaran karena belum mendapat kepastian tentang jati diri pemuda tampan berjubah putih itu. Itu sebabnya, sebelum bertarung, pertanyaan itu kembali dilontarkan.

“Hm.... Siapa pun aku, itu tidak penting. Katakan dulu, siapa kalian bertiga, dan apa maksud kalian mencariku...?” sahut Panji, masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Malingga. Pemuda itu sengaja hendak membuat lawannya penasaran.

“Keparat! Bocah keras kepala! Rupanya kau lebih suka mampus daripada memperkenalkan namamu...!” geram Malingga jengkel bukan main. Dia merasa dipermainkan oleh seorang pemuda seperti Panji. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja tubuh cebolnya melesat dengan sebuah serangan maut mematikan ke arah kepala Panji.

“Remuk kepalamu, Bocah...!” teriak Malingga beringas. Bibir Panji memperlihatkan senyum meledek mendengar teriakan lawan. Pendekar Naga Putih hanya menggeser kaki kanannya seraya memutar tubuh. Disusul satu kibasan lengan ke punggung lawan.

“Yeaaah...!”

Malingga kaget melihat kecepatan gerak lawan yang hampir tidak bisa ditangkap oleh matanya itu. Segera dia membentak nyaring sambil memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah. Tangan kanannya dilintangkan ke depan, memapaki kibasan lengan Panji yang disertai tenaga dalam kuat. Akibatnya....

Dukkk!

“Ahhh.?!” Bukan main terperanjatnya Malingga ketika tangkisannya justru membuat tubuhnya hampir terjengkang ke tanah. Untunglah tubuhnya masih sempat dikuasai dengan melambung ke udara dan berputar beberapa kali sebelum kakinya menjejak tanah.

“Hmhhh...!” Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, Malingga menggereng keras. Kedua lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan bersama bentakan lantang. Gerakan itu dilakukannya untuk mengusir hawa dingin yang membekukan aliran darah di tubuhnya.

“Keparat! Tenaga yang kau gunakan itu pasti ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Tidak salah lagi, kau memang benar-benar Pendekar Naga Putih. Tapi, mengapa kau begitu pengecut untuk mengakuinya?” desis Malingga dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu membunuh.

“Hm..., aku tidak mengenal siapa kalian. Aku juga tidak tahu apa maksud kalian mencari serta memusuhiku. Jadi untuk apa aku memperkenalkan nama kalau akhirnya kita akan bertarung juga...?” jawab Panji dengan raut wajah yang tetap tenang, membuat kemarahan Malingga semakin menjadi-jadi.

“Bocah sombong! Kau tidak perlu tahu julukan kami! Yang jelas, kami datang untuk membunuhmu!” bentak Malingga. Kembali disiapkannya jurus baru untuk menggempur Pendekar Naga Putih.

Wunggg!

Tiba-tiba saja telinga Panji menangkap deruan tajam dari belakang. Cepat kepalanya menoleh, dan langsung merunduk ketika melihat sebuah benda bulat meluncur menuju kepalanya. Ketika benda bulat itu hanya lewat satu jengkal di atas kepala Panji, benda itu langsung berputar balik, lalu kembali mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.

Blarrr...!

Terdengar ledakan keras bagai mengguncang bumi ketika, benda bulat itu menghantam tanah tempat Panji berpijak. Untunglah pemuda itu telah melempar tubuh ke udara dan langsung berputar sebelum mendarat di permukaan tanah.

“He he he...! Sebentar lagi kepalamu pasti akan remuk oleh bola bajaku ini, Pendekar Naga Putih...!” ujar Dawanta seraya tertawa parau. Rupanya lelaki kekar berotot itu yang menyerang Pendekar Naga Putih secara licik. Dawanta memutar senjata andalannya yang berbentuk rantai dengan ujung bola berduri di atas kepalanya.

Panji mengangkat kepala menatap bola berduri yang menderu di atas kepala lawannya yang bertubuh kekar. Disadari kalau senjata lawan sangat berbahaya. Terbukti tanah tempatnya berpijak tadi telah berlubang besar terhantam bola baja berduri itu. Pendekar Naga Putih memutar otak untuk mencari cara menghadapi lawan bersenjata aneh yang baru kali ini ditemuinya.

TIGA

“Yeaaah...!” Disertai bentakan nyaring, Dawanta melontarkan bola berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.

Whusss...!

Senjata maut yang mengerikan itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Panji yang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi senjata maut itu, baru menggeser tubuh saat bola itu tinggal satu jengkal dari tubuhnya. Gerakan menghindar secepat kilat tadi tidak sulit dilakukan Panji, karena ilmu meringankan tubuhnya memang telah mencapai tingkat kesempurnaan. Baru saja terhindar dari serangan yang satu, serangan lainnya sudah datang mengancam.

Jtarrr... ctarrr...!

Suara ledakan cambuk yang menyakitkan telinga itu, datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Rupanya, Malingga pun telah mempergunakan senjata andalan untuk mengeroyok Panji. Tentu saja pemuda itu semakin terkejut dan kagum melihat kehebatan lawan-lawannya. Hatinya bertanya-tanya, siapa gerangan tiga lelaki bermata dingin yang berkepandaian tinggi itu? Dan, mengapa mereka memusuhiku?

Tapi, Pendekar Naga Putih tidak sempat memikirkan jawaban semua pertanyaan yang memenuhi benaknya. Karena dia harus menyelamatkan diri dari ancaman ujung cambuk yang mengincar setiap jalan darah besar di tubuhnya. Ketika ujung cambuk datang mengancam untuk kesekian kalinya, Panji yang ingin mengetahui kekuatan lawan secara pasti, langsung mengibaskan lengan, memapaki patukan ujung cambuk. Dan....

Prattt!

“Aaah!” Malingga terpekik saat ujung cambuknya terpental balik akibat kibasan lengan lawan. Bahkan, hawa dingin yang mengalir dari telapak tangan lawan sampai pada telapak tangannya. Membuat lengannya menjadi kaku beberapa saat lamanya.

“Heaaah !” Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Segera saja jarinya menusuk deras ke tubuh lawan.

Tukkk!

“Aaakh!” Tusukan jari tangan Pendekar Naga Putih telak mengenai sasaran. Akibatnya, tubuh Malingga ter jengkang ke belakang, lalu jatuh berguling-guling. Jelas hantaman yang dilontarkan Panji terlalu kuat baginya, karena pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari separoh.

“Uhhh...!” Meskipun dengan tulang iga terasa remuk, Malingga berusaha bangkit untuk melanjutkan pertarungan. Darah segar mengalir turun dari sudut bibirnya, pertanda kalau hantaman jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mengakibatkan luka dalam yang lumayan parah.

“Hiaaat!” Bagai tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita, Malingga kembali melesat ke tengah arena. Saat itu Panji berusaha keras melumpuhkan senjata maut di tangan Dawanta yang menerjang bertubi-tubi.

Wunggg!

Untuk kesekian kalinya bola maut itu mengancam batok kepala Pendekar Naga Putih. Kali ini Panji hanya merunduk, dan segera mengangkat tangan saat bola maut itu lewat di atas kepalanya. Dan....

Wrettt!

Rantai maut Dawanta langsung terjerat di pergelangan tangan Panji. Lalu secepat kilat tangannya mencengkeram rantai senjata maut itu, membuat Dawanta terperangah melihat senjatanya dapat dilumpuhkan lawan.

“Hahhh!” Disertai bentakan menggeledek, Dawanta mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot rantai di tangannya.

Rrrttt..!

Rantai baja itu menegang ketika Panji mempererat genggamannya serta menambah kekuatannya ketika merasakan tenaga lawan benar-benar sangat kuat. Terjadilah adu tarik yang menegangkan, membuat rantai baja yang menjadi ajang adu kekuatan itu berderak-derak.

“Haiiit!”

Saat Dawanta mengerahkan segenap kekuatannya agar dapat merebut senjata mautnya kembali, tiba-tiba saja Panji mengendurkan tarikannya, dan membiarkan dirinya melayang terbawa sentakan lawan. Hal itu bukan berarti kalau kekuatan Dawanta lebih besar. Namun, Panji memang menghendaki hal itu. Dengan memanfaatkan tenaga sentakan lawan, tubuh Panji melesat bagai anak panah menuju Dawanta. Sebelum Dawanta sempat menyadari yang terjadi, tendangan Panji telah mengancam dadanya.

Desss!

Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak kaki Panji yang dialiri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, mendarat telak didada Dawanta!

“Huakhhh...!”

Tanpa ampun, tubuh kekar itu terpental deras kebelakang. Darah segar termuntah, membasahi tanah di bawahnya. Kendati demikian, rantai berujung bola berduri itu tidak terlepas juga dari tangannya. Karena ujung lainnya terikat erat di pergelangan lengan kanan Dawanta.

Semula Panji hendak memutuskan rantai yang terikat di pergelangan tangannya. Tapi, terpaksa niatnya itu ditunda, karena saat itu Malingga merangsek kembali dengan serangan pecutnya. Sehingga, Panji terpaksa harus menggeser tubuh untuk menghindari lecutan cambuk lawan.

“Hiaaah...!” Tanpa terlepas dari libatan rantai pada pergelangan tangannya, Panji bergerak menghindar dan secepat kilat melangkah maju begitu ujung cambuk lawan luput. Kemudian, kaki kanannya mencelat ke iga kanan lawan.

Bukkk!

“Huakkkh...!” Untuk kedua kalinya, tubuh Malingga terpental ke belakang. Kali ini mulutnya memuntahkan darah segar akibat tendangan sekeras palu godam yang menimpa tubuhnya. Untuk kesekian kalinya tubuh cebol itu jatuh terguling-guling. Bahkan kali ini mendapat kesukaran untuk dapat segera bangkit.

“Aaakh...!” Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Malingga, terdengar jerit kesakitan lain. Kemudian disusul dengan melayangnya sesosok tubuh kurus yang kemudian terbanting di atas tanah, tidak jauh dari tempat Malingga terjatuh.

“Adi Songgara...?!” rintih Malingga melihat siapa yang terbanting itu. Lelaki cebol itu nampak kaget melihat cairan merah termuntah juga dari mulut rekannya itu.

“Lari...!” Setelah berseru begitu, Malingga terseok-seok melarikan diri dari tempat itu. Disusul oleh Dawanta yang terpaksa harus melepaskan senjatanya. Melihat kedua rekannya telah melarikan diri, Songgara bergegas bangkit dan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.

“Hei! Jangan harap kalian dapat lolos begitu saja...!” Kenanga yang tak sudi melepaskan lawan-lawannya, melesat untuk melakukan pengejaran.

“Kenanga, tahan...!” cegah Panji. Dia sadar kalau ketiga orang itu adalah tokoh-tokoh golongan hitam. Bisa saja mereka berbuat licik untuk melepaskan diri dari kejaran Kenanga.

Apa yang diduga Panji ternyata tidak meleset Pemuda itu melihat Songgara mendadak berbalik, dan mengibaskan lengannya ke arah Kenanga.

Syuuut... syuuut..!

Terdengar desingan halus diiringi kilatan sinar putih yang meluncur ke arah Kenanga yang berada dua tombak dari Songgara.

“Hait..!”

Sadar kalau benda berkilau itu adalah pisau-pisau terbang sebagai senjata rahasia Songgara, Kenanga langsung melolos Pedang Sinar Rembulan dari pinggangnya. Kemudian, dengan gerakan menyilang, dihalaunya ketiga pisau kecil itu.

Darrr... darrr..!

Hati Kenanga terkejut bukan main ketika benda itu mendadak meledak saat berbenturan dengan senjatanya. Asap tipis yang harum menebar di sekitar tubuh dara jelita itu. Sesaat kemudian Kenanga jatuh tak sadarkan diri. Kedua bagian lengan pakaiannya terkoyak, seperti terbakar api.

“Kenanga...!” seru Panji khawatir. Tubuhnya segera melesat menghampiri kekasihnya yang tergeletak pingsan.

“Kenanga...,” desis Panji sambil memeriksa keadaan kekasihnya. Wajah Pendekar Naga Putih terlihat agak cemas ketika mengetahui kekasihnya terkena jenis racun ganas yang mematikan.

Setelah menotok beberapa bagian tubuh kekasihnya, Panji mengangkat tubuh lunglai dara jelita yang dicintainya itu. Kemudian, dibawanya ke tempat yang lebih aman, agar dapat mengobatinya dengan tenang. Sementara itu, kegelapan merayap perlahan, menyelimuti permukaan bumi. Angin dingin berdesir lembut, menyambut datangnya dewi malam di cakrawala yang mulai menampakkan keanggunan cahayanya.

********************

Bayangan putih itu bergerak menerobos sepinya malam di bawah sinar bulan yang redup. Jubah putihnya berkibar mengikuti gerakannya yang cepat bagai bayangan hantu. Di bahu kanannya terlihat sesosok tubuh lain, tergantung lemah tak berdaya. Sosok berjubah putih itu terus melesat ke selatan dengan cahaya rembulan sebagai penerang jalan. Tidak berapa lama kemudian, sosok berjubah putih itu menghentikan larinya. Setelah terdiam sesaat sambil menatap tajam sebuah pondok sederhana di depannya, kakinya melangkah perlahan mendekati pintu pondok.

Tok, tok, tok!

Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, sosok yang ternyata pemuda berjubah putih itu mundur dua tindak. Dinantinya sang Empunya rumah membukakan pintu baginya.

“Siapa di luar...?” tanya suara gemetar dari dalam rumah.

“Maaf kalau aku mengganggu. Aku seorang pengembara yang membutuhkan pertolongan. Tidak usah cemas, aku bukan orang jahat..,” sahut pemuda berjubah putih dengan lantang dan jelas hingga terdengar ke dalam rumah.

“Carilah tempat lain. Kami tidak mempunyai apa-apa yang bisa menolongmu...!” sahut pemilik rumah sederhana itu, belum juga mau membukakan pintu. Rupanya dia belum mempercayai jawaban yang barusan didengarnya.

“Bukalah! Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat Temanku sedang sakit, dan dia harus segera ditolong...!” pinta pemuda berjubah putih, setengah memaksa. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah, lalu telapak tangannya ditempelkan pada daun pintu.

Kreeek...!

Tanpa kesulitan sedikit pun, daun pintu itu langsung terdorong, padahal pemuda berjubah putih itu sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga.

“Ahhh...!” Terdengar jeritan tertahan dari dalam rumah. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang sejak tadi telah menunggu dengan jantung berdetak tegang, langsung menyambar sebilah golok di bilik rumahnya. Kemudian, diserbunya bayangan putih yang menyembul dari balik daun pintu.

“Perampok keparat! Mampus kau...!” bentaknya bergetar. Disusul kelebatan sinar putih yang meluncur ke arah tamu tak diundang itu. Orang yang dirangsek hanya memiringkan tubuh, dan menerima bacokan itu dengan pangkal lengan.

Trakkk!

Bacokan mata golok itu memang tepat mengenai sasaran. Tapi, yang terjadi justru sangat mengejutkan si pemilik rumah. Sebab, orang yang diserangnya sama sekali tidak berteriak kesakitan, apalagi sampai mengeluarkan darah. Malah golok di genggamannya terlempar begitu saja ke tanah. Tubuh pemilik rumah itu terjajar mundur sambil meringis memegangi pergelangan tangan yang terasa sakit bukan main.

“Maaf, Paman. Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti. Aku hanya butuh tempat yang baik untuk mengobati sahabatku yang keracunan...,” ujar pemuda berjubah putih itu. Kakinya kembali melangkah tenang, lalu tangannya diulurkan kepada si pemilik rumah. Ketika wajah pemuda berjubah putih itu tertimpa sinar lampu minyak, hati pemilik rumah itu agak sedikit lega. Sebab, dilihatnya wajah pemuda itu tidak menggambarkan sifat-sifat jahat.

Pemuda tampan yang tak lain dari Panji itu, tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kemudian tangannya yang terulur itu, memijat lengan orang tua di depannya dengan pengerahan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Hawa dingin tiba-tiba mengalir dari jari-jari pemuda itu, membuat rasa nyeri pada pergelangan pemilik rumah langsung lenyap.

“Ohhh...?!” Mulut lelaki tua itu sampai ternganga ketika merasakan semua itu. Apalagi ketika dirasakan betapa nikmatnya pijatan itu.

“Kau..., kau siapakah...?” tanya orang tua itu tergagap. Sepertinya dia menduga kalau tamunya sebangsa siluman. Tentu saja Panji yang melihat gelagat itu menjaditersenyum.

“Namaku Panji, Paman. Dan aku membutuhkan tempat untuk mengobati luka kawanku ini. Aku seorang manusia biasa, sama seperti Paman,” jelas Panji, membuat orang tua itu mengangguk-angguk, menyadari kekeliruannya.

“Silakan, Nak Panji...,” ujar orang tua itu, sudah merasa yakin kalau pemuda tampan berjubah putih itu bukan orang jahat, atau sebangsa siluman. Segera diajaknya Panji ke sebuah kamar, dan mengizinkannya untuk digunakan.

“Terima kasih, Paman...,” ucap Panji. Segera tubuh Kenanga direbahkannya di atas balai-balai bambu yang kelihatan sudah cukup tua itu.

“Kalau kau memerlukan sesuatu, silakan ambil sendiri di belakang. Aku hendak beristirahat...,” pamit orang tua itu. Rupanya dia tidak mau mencampuri urusan tamunya. Kemudian, bergerak keluar dari dalam kamar itu.

Sepeninggal orang tua itu, Panji mulai melakukan pengobatan terhadap kekasihnya. Setelah merasa yakin kalau keadaan Kenanga sudah tidak terlalu berbahaya, Panji pun melepaskan lelah sambil bersemadi. Hal itu lebih berguna ketimbang tidur. Karena dengan melakukan semadi, tubuhnya akan cepat terasa segar.

“Uhhh...”

Panji sudah menyelesaikan semadi dan menunggu kekasihnya siuman. Dihampirinya balai-balai bambu tempat Kenanga terbaring, dan duduk di tepinya. Perlahan-lahan sepasang mata indah dara jelita itu terbuka. Bibirnya bergerak ketika melihat seraut wajah tampan tengah tersenyum kepadanya.

“Kaukah itu, Kakang...?” tanya Kenanga yang rupanya masih samar-samar mengenali Panji.

“Benar, Kenanga. Tetaplah berbaring, kau masih terlalu lemah,” cegah Panji seraya menekan perlahan kedua bahu kekasihnya yang hendak bangkit Dara jelita itu kembali berbaring.

Yakin kalau orang yang berada di sisinya adalah Panji, Kenanga kembali memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya. Perlahan-lahan, ingatannya kembali pada kejadian yang telah menimpa dirinya.

“Pisau terbang itu pasti mengandung racun ganas, hingga tubuhku terasa lemah dibuatnya...,” ucap Kenanga perlahan. Kemudian dara jelita itu membuka matanya dan menatap Panji, seakan meminta penjelasan.

“Racun yang terhisap olehmu memang tidak terlalu berbahaya, Kenanga. Tapi, untuk beberapa hari peredaran darahmu akan terganggu. Meskipun tidak akan menyebabkan kematian, tapi racun itu sanggup melumpuhkan daya pikir seseorang. Itu sebabnya mengapa kau masih belum bisa berpikir secara baik, dan tenagamu pun masih belum pulih seluruhnya. Untuk memulihkan kesehatanmu, kau harus beristirahat setidaknya tiga hari...,” jelas Panji, membuat Kenanga menghela napas menyesali kecerobohannya waktu itu.

“Jadi, Kakang akan menyelidiki Istana Kadipaten Balaraja seorang diri? Sedangkan aku harus berbaring di sini menunggumu...?” tanya Kenanga, sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan Panji.

“Kau tidak perlu berbaring terus-menerus, Kenanga. Bisa saja kau berlatih ataupun bersemadi guna mempercepat pemulihan tenagamu. Mengenai penyelidikan itu, kelihatannya memang aku harus melakukannya sendiri. Kalau tidak, mungkin saja kita terlambat. Dan keadaan berubah semakin sulit..,” ujar Panji lagi, meminta pengertian kekasihnya.

“Yaaah.... Baiklah, Kakang. Kalau memang aku sudah sehat betul, aku akan menyusul...,” sahut Kenanga, memaklumi kekhawatiran kekasihnya.

Setelah menitipkan Kenanga kepada pemilik rumah, Panji pun meninggalkan tempat itu menuju Kadipaten Balaraja.

********************

EMPAT

Di Istana Kadipaten Balaraja saat itu terjadi kesibukan. Atas perintah Senapati Marganta, para pejabat kadipaten berkumpul di ruang pertemuan. Tujuannya untuk menenangkan suasana istana yang dilanda keresahan.

“Saudara-saudara sekalian...!” Terdengar seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahun membuka pertemuan. “Aku berharap agar peristiwa ini tidak tersebar luas. Kalau sampai hal itu terjadi, kemungkinan besar masyarakat akan menjadi resah. Selain itu, bahaya yang lebih besar mungkin akan melanda kadipaten ini. Salah satunya adalah serangan dari luar dengan maksud merebut istana ini dari tangan kita. Untuk itu, kuharap kalian semua dapat mengerti...,” lanjut lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Marganta.

“Tuan Senapati! Boleh kami mengajukan pendapat..?” seorang pejabat yang berada di sudut, mohon izin untuk berbicara.

“Silakan...,” ujar Senapati Marganta dengan suara berwibawa. Sepasang mata lelaki gagah itu agak menyipit, seolah menilai perwira yang ingin mengajukan pendapatnya itu.

“Karena kejadian ini menyangkut kewibawaan Kadipaten Balaraja, tidakkah sebaiknya kalau diam-diam kita memerintahkan pasukan untuk melakukan penyelidikan? Siapa tahu manusia jahanam itu belum lari jauh dari daerah ini. Dengan begitu, kita akan mudah menangkapnya. Sebab kalau hal ini dibiarkan, kita bisa celaka. Mungkin di antara kita tidak akan ada yang membocorkan rahasia ini. Tapi, apakah mulut manusia laknat itu dapat kita jaga pula? Bagaimana kalau dia sendiri yang akan menyebarluaskan berita ini...?” tutur perwira berwajah brewok yang memiliki sepasang mata tajam itu dengan suara yang lantang, hingga terdengar oleh semua orang yang hadir di ruangan itu.

Terdengar kasak-kusuk yang membuat ruangan itu menjadi bising. Beberapa pejabat tampak mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan perwira bertubuh kekar tadi.

“Benar apa yang dikemukakan Perwira Duranta itu, Tuan Senapati. Rasanya kita tidak bisa berdiam diri setelah mengetahui perbuatan manusia jahat itu terhadap kadipaten yang kita cintai ini. Aku ikut mendukung pendapat Perwira Duranta...,” timpal lelaki tinggi kurus yang wajahnya terhias kumis tipis. Dia pun berpangkat perwira, seperti halnya Duranta.

“Hm...,” Senapati Marganta tidak segera menyahuti ataupun menyetujui pendapat kedua perwira itu. Dia hanya bergumam sambil mempermainkan jenggotnya yang tercukur rapi. Pandang matanya menerawang jauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Saudara-saudara sekalian. Aku bukan tidak setuju dengan pendapat Perwira Duranta maupun Perwira Sanggira. Tapi, apakah di antara kita ada yang menyaksikan kejadian itu, dan sempat mengenali manusia laknat itu? Kalau kita mengirim sepasukan prajurit untuk menyelidiki, bukankah hal itu hanya buang-buang tenaga? Sebab, siapa orang yang harus kita cari itu? Adakah di antara kalian yang mengetahuinya...?”

Para pejabat kadipaten yang berkumpul di ruang pertemuan itu kembali saling berbicara satu sama lain. Kepala mereka tertunduk lesu. Sebab, apa yang dikatakan Senapati Marganta memang tidak bisa dibantah! Tak seorang pun tahu ke mana dan siapa yang harus mereka cari?

“Tuan Senapati, menurut laporan beberapa prajurit penjaga gerbang, kemarin ada seorang pemuda yang ciri-cirinya sangat cocok dengan pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Bahkan setelah mendengar laporan, hamba merasa yakin kalau pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih. Nah, bagaimana kalau kita meminta bantuannya untuk mengungkapkan rahasia yang masih gelap ini...?” Duranta tampak belum putus harapan. Maksud hatinya dikemukakan tanpa keraguan sedikitpun.

“Aku pun sudah mendengar peristiwa yang terjadi digerbang barat kemarin. Tapi, mengingat para prajurit telah bentrok dengannya, rasanya aku kurang yakin kalau pendekar muda itu masih berada di sekitar daerah ini Kemungkinan besar pendekar itu telah melanjutkan perjalanannya, dan tidak jadi singgah di kadipaten ini. Jadi buanglah keinginan yang tidak mungkin terwujud itu, Perwira Duranta. Sebaiknya kita perketat saja penjagaan di istana. Dan berharap agar bangsat itu muncul kembali di tempat ini...,” jawab Senapati Marganta, menyelesaikan pertemuan. Langsung saja ditutupnya pertemuan itu, karena tidak menghasilkan jalan keluar yang diharapkan.

Setelah Senapati Marganta mengetukkan palu di tangannya sebagai tanda pertemuan telah berakhir, para pejabat istana kadipaten pun bubar menuju tempatnya masing-masing. Beberapa di antara para pejabat itu ada yang merasa belum puas dengan keputusan pertemuan itu. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menerima dengan terpaksa.

********************

Malam sudah lama turun membasahi permukaan bumi. Suara jangkrik dan serangga-serangga malam menyemarakkan suasana. Bulan yang menggantung separuh di langit kelam, tak mampu menerobos kegelapan. Seiring berhembusnya angin malam yang sesekali keras, tampak tiga tubuh bergerak ringan melompati tembok yang mengelilingi Kadipaten Balaraja. Dan terus melesat di atap rumah penduduk yang tengah terbuai mimpi.

Ketiga sosok hitam yang memiliki kepandaian tinggi itu, terus bergerak menuju Istana Kadipaten Balaraja. Dengan memilih jalan yang terlindung bayang- bayang pohon maupun tembok gelap, ketiga sosok hitam itu tenis menyelinap ke istana, tanpa seorang penjaga pun menyadarinya. Ketiganya terus bergerak menuju bagian belakang, tempat para jawara Kadipaten Balaraja tinggal.

“Kita habisi mereka di tempat ini, atau kita pancing ke luar, Kakang...?” tanya sosok bertubuh tinggi kurus dan mengenakan jubah panjang hingga ke lutut.

“Tidak perlu memancing. Kita habisi saja di sini...,” sahut lelaki bertubuh gemuk namun kekar berotot, juga dengan suara berbisik perlahan.

Tapi, meski ketiga sosok itu telah melangkah hati-hati, tetap saja langkah dan dengus napas mereka tertangkap oleh penghuni rumah. Buktinya terdengar suara orang bertanya dari dalam rumah itu.

“Siapa di luar...?!” tegur suara lantang. Disusul berkelebatnya sesosok tubuh tegap dari dalam rumah yang cukup besar itu.

Karuan saja ketiganya menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka bergerak menyelinap ke tempat yang terlindung dari sinar obor yang tertempel di dinding rumah.

“Hm...,” gumam sosok tegap itu perlahan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Meskipun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, sosok tegap itu menanti beberapa saat untuk memastikan bahwa sekeliling rumahnya memang aman. Tapi....

“Eh...?!” sosok tegap itu menahan seruannya saat mendengar desiran angin tajam menuju ke arahnya dari belakang.

“Haiiit..!”

Seiring teriakan nyaring, sosok tegap itu melenting ke udara, menghindari sambaran tiga pisau terbang yang sekaligus mengancam tiga jalan darah kematian ditubuhnya. Meskipun telah berhasil menghindari serangan gelap itu, tak urung sosok tegap itu kecolongan juga.Sebuah tendangan keras yang datang cepat, membuatnya terlempar keras, memuntahkan darah segar!

Sadar kalau dirinya dalam bahaya besar, lelaki tegap yang merupakan salah satu jawara kadipaten, langsung menggulingkan tubuhnya ke tempat yang lebih aman. Baru saja tubuhnya melenting bangkit, dan belum sempat mengatur kuda-kuda, terdengar desingan tajam yang mengancam kepalanya.

Whuuut...!

“Aaah...!”

Meski agak gugup, lelaki tegap itu masih sempat menundukkan kepalanya. Sehingga, sambaran mata pedang itu lewat satu jengkal di atas kepalanya. Namun bukan berarti dia sudah terlepas dari bahaya. Penyerang berpedang itu ternyata memiliki gerakan yang gesit. Begitu bacokan pedangnya luput, kakinya lang- sung melancarkan tendangan kilat yang mengenai punggung lawan.

Desss...!

Tendangan berputar yang dilancarkan sosok kekar berotot itu, membuat tubuh lawan terjerembab mencium tanah. Sebelum tubuhnya sempat bangkit, sebatang pedang berkelebat di antara sinar obor, menyambar cepat memutuskan batang lehernya!

Crakkk!

Darah segar menyembur saat kepala lelaki tegap itu terpental dari badannya. Tewaslah jawara Kadipaten Balaraja itu, tanpa sempat berteriak lagi.

“Hei...! Siapa kalian?!”

Tiba-tiba terdengar teguran dari belakang ketiga sosok hitam yang berkumpul di dekat mayat korbannya. Cepat mereka menoleh ke belakang.

“Pendekar Golok Sakti...?!” desis sosok yang bertubuh cebol ketika melihat seorang lelaki tinggi tegap yang barusan menegur mereka.

“Untuk apa menunggu lagi? Habisi dia...!” seru lelaki bertubuh kekar berotot seraya menerjang lelaki tegap yang berjuluk Pendekar Golok Sakti.

“Yeaaah...!”

Bettt..!

Sambaran mata pedang berkeredep, dibarengi suara mengaung mengerikan yang mengancam lelaki tadi, segera dielakkannya dengan menggeser tubuh ke kanan.

Tranggg!

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di tangan lelaki tegap itu telah tergenggam sebatang golok berwarna putih mengkilat, yang langsung digunakan untuk memapaki serangan lawan berikutnya. Akibatnya, kedua orang itu terdorong mundur sejauh empat langkah. Hal itu membuktikan kalau kekuatan mereka berimbang.

“Keparat! Siapa kalian...?! Apa maksud kalian mendatangi tempat ini?!” geram Pendekar Golok Sakti sambil mengelebatkan goloknya dengan gerak menyilang di depan dada.

“Hm.... Kami adalah malaikat maut yang akan membunuhmu...!” dengus lelaki tinggi kurus berjubah panjang yang langsung mengibaskan kedua lengannya bergantian. Terdengarlah desingan yang berasal dari enam bilah pisau terbang yang dilepaskannya.

“Hait..!”

Pendekar Golok Sakti ternyata sangat hati-hati. Dia tidak menyambut serangan senjata rahasia itu dengan tebasan goloknya. Tapi, memilih menghindar dengan cara melambung ke udara.

“Haaat...!”

Selagi tubuh Pendekar Golok Sakti melayang di udara, lelaki kekar yang menggunakan pedang langsung melesat dan mengirimkan serangannya sekuat tenaga.

“Yeaaah...!”

Sadar kalau berusaha menghindar jelas sangat su- lit, Pendekar Golok Sakti tak segan-segan menyambut tebasan pedang lawan dengan kelebatan senjatanya. Sehingga....

Trang! Trang!

Tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras pun terjadi, membuat percikan bunga api menerangi arena pertarungan itu. Tubuh keduanya terpental balik, dan sama-sama berputar beberapa kali sebelum menyentuh permukaan tanah.

“Kalian Tiga Setan Lembah Mayat...?! Siapa. , siapa yang membayar kalian untuk membunuhku...?” desis Pendekar Golok Sakti.

Rupanya lelaki bertubuh tegap itu mengenali ketiga lawannya. Dia pun tahu pula kalau ketiga orang itu merupakan pembunuh bayaran yang bersedia melakukan apa saja demi beberapa kantong uang. Tentu saja Pendekar Golok Sakti menjadi terkejut setelah mengetahui siapa ketiga orang lawannya itu.

“Hm.... Setelah mengetahui siapa kami, kau harus mati, Pendekar Golok Sakti...!” geram orang pertama dari Tiga Setan Lembah Mayat, yang tidak lain dari Malingga.

“Suiiit !”

Tiba-tiba Pendekar Golok Sakti memperdengarkan siulan panjang yang melengking tinggi, membuat ketga orang lawannya terkejut. Mereka menduga kalau Pendekar Golok Sakti tengah memanggil bala bantuan.

“Keparat! Mampus kau...!” geram Songgara menjadi marah. Langsung dilepaskannya tiga bilah pisau terbang ke arah lelaki tegap itu.

Syuuut...!

Belum lagi benda-benda tajam itu benar-benar dekat, lelaki bertubuh kekar berotot bernama Dawanta sudah menyusul dengan serangan pedangnya. Membuat, Pendekar Golok Sakti kerepotan oleh serangan-serangan maut itu. Merasa agak kaget mendapat serangan yang cukup mendadak itu, Pendekar Golok Sakti segera saja mengayunkan golok, menyambut datangnya sebilah pisau terbang yang mengarah tenggorokannya. Dan....

Darrr! “Aaah….!”

Pendekar Golok Sakti yang tak menduga kalau senjata rahasia itu akan meledak akibat tangkisannya, memekik tertahan. Tubuhnya terlempar balik di antara kepulan asap tipis beraroma memabukkan.

“Tamat riwayatmu!”

Sebelum Pendekar Golok Sakti sempat berbuat sesuatu, Dawanta sudah tiba dengan satu sabetan pedang, yang langsung merobek sepanjang dada lelaki gagah itu.

Breeet!

“Aaa...!” Jeritan menyayat terdengar saat mata pedang Dawanta menghabisi nyawa Pendekar Golok Sakti. Seiring robohnya tubuh jawara kadipaten itu, terdengar derap langkah banyak orang mendatangi tempat pertarungan maut itu. Dari kejauhan terlihat sinar terang berasal dari obor yang dibawa serombongan prajurit kadipaten.

“Lari...!” perintah Malingga, mengetahui sepasukan prajurit berlarian memandangi mereka.

Tanpa diperintah dua kali, Dawanta dan Songgara segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dalam sekejap, tubuh Tiga Setan Lembah Mayat melambung ke atas atap, dan terus berkelebat menuju keluar lingkungan istana kadipaten.

“Kejar...!” teriak seorang lelaki gagah berpakaian senapati.

Seketika itu juga, tidak kurang dari seratus orang prajurit di bawah pimpinannya, bergerak menyebar untuk melakukan pengejaran. Namun, Tiga Setan Lembah Mayat tidak bodoh. Mereka lari berpencar untuk mengacaukan para penge- jarnya. Sehingga, para prajurit kadipaten menjadi bin- gung dan berlarian ke sana kemari.

“Kejar salah seorang dari mereka...!”

Lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Marganta, kembali memberi perintah kepada pasukannya yang kacau-balau itu. Setelah memberi perintah tadi, tubuhnya sendiri melesat melakukan pengejaran, mendahului para prajuritnya. Senapati Marganta sepertinya tidak ingin kehilangan buruan hanya karena kelambatan para prajuritnya dalam melakukan pengejaran.

“Hm.... Mau lari ke mana kau, Keparat...?!” geram Senapati Marganta.

Saat itu, dilihatnya sesosok bayangan berkelebat dalam jarak satu tombak lebih. Cepat Senapati Marganta melakukan pengejaran, dengan membawa sebatang obor yang disambarnya dari dinding bangunan.

“Hei! Berhenti...!” bentak Senapati Marganta sambil melayang ke depan dengan berputar di udara beberapa kali.

Sedangkan sosok tubuh yang dikejar, terlihat menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke belakang, saat menyadari sesosok tubuh berputaran di udara ke arahnya. Dia pun melangkah mundur dua tindak

“Menyerahlah, Pembunuh Keji...!” bentak Senapati Marganta begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah, beberapa langkah di hadapan sosok bertubuh sedang berjubah panjang yang berwarna putih.

Sosok bertubuh sedang itu tampak agak tertegun mendengar perkataan Senapati Marganta. Namun, lelaki gagah itu berpikir lain. Khawatir kalau-kalau sosok berjubah putih itu berbuat curang, Senapati Marganta bergegas melolos senjatanya, lalu maju menerjang. Sebelumnya dia bersiul panjang, sebagai isyarat kepada pasukannya untuk datang ke tempat itu.

“Hei! Ada apa ini...?!” seru sosok berjubah putih yang segera menarik tubuhnya ke belakang, untuk menghindari sambaran pedang lawannya.

“Tidak perlu banyak cakap! Menyerahlah, atau kau kubunuh di tempat ini...?!” ancam Senapati Marganta penuh kegeraman. Kembali pedangnya dibabatkan dengan gerakan mendatar.

Bettt...!

Sosok berjubah putih itu kembali melompat mundur, menghindari sambaran pedang yang nyaris merobek perutnya. Kemudian, kaki depannya mencuat dengan maksud melumpuhkan pedang lawan.

Dukkk!

Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Tubuh Senapati Marganta terjajar mundur sejauh enam langkah. Sedangkan sosok berjubah putih itu tetap tegak tanpa bergeming sedikit pun dari tempatnya semula. Kenyataan itu tentu saja membuat Senapati Marganta menjadi terkejut.

“Bangsat! Pantas saja kau berani mati mengacau didalam istana kadipaten. Rupanya kau memiliki kepandaian tinggi.... Walau begitu, jangan harap kau dapat lolos dari tempat ini...!” geram Senapati Marganta. Kembali pedangnya disilangkan di depan dada, dan bersiap menghadapi pertarungan selanjutnya.

Tapi, sebelum keduanya saling menggebrak, terdengar derap langkah dari empat penjuru. Sosok berjubah putih itu kelihatan kaget begitu menyaksikan puluhan prajurit kadipaten muncul mengepung dirinya.

“Tuan Senapati, harap jangan teruskan kesalahpahaman ini. Hamba hanya kebetulan tengah berkeliling disekitar istana kadipaten. Karena hamba mendengar terjadi sesuatu yang menggemparkan di dalam lingkungan istana. Itu sebabnya, hamba berada di tempat ini...,” sosok berjubah putih itu berusaha menjelaskan duduk persoalannya.

“Hm... Jadi kau tetap tidak mau mengakui perbuatanmu yang telah menewaskan dua orang jawara kadipaten...?” ujar Senapati Marganta dengan wajah sinis. Jelas sekali kalau lelaki gagah itu tidak mempercayai omongan orang yang dianggapnya sebagai pembunuh keji.

“Membunuh jawara kadipaten? Apa maksud Tuan? Hamba sama sekali tidak mengerti...,” bantah sosok berjubah putih itu yang tetap tidak menerima tuduhan Senapati Marganta kepadanya.

“Tidak usah berpura-pura lagi, Manusia Keji! Beberapa hari yang lalu kau telah membunuh Adipati Balaraja secara keji! Malam ini kau kembali menewaskan dua orang jawara yang sangat dipercaya oleh Gusti Adipati. Apa sebenarnya maksudmu? Mengapa kau berbuat sekeji itu?!” Senapati Marganta tetap berkeras menuduh orang itu telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.

Tanpa mau mendengar bantahan-bantahan pemuda berjubah putih itu, Senapati Marganta segera saja memerintahkan para prajuritnya untuk mengepung dan menangkap sosok berjubah putih itu untuk dihu- kum atas segala perbuatannya.

LIMA

“Tuan Senapati. Percayalah, hamba sama sekali tidak melakukan perbuatan keji itu. Bahkan hamba siap membantu sepenuh tenaga apabila diperlukan...,” pemuda berjubah putih itu masih berusaha untuk meyakinkan Senapati Marganta kalau dirinya sama sekali tidak bersalah.

Tapi, senapati gagah itu sama sekali tidak mempedulikan ucapan tersebut. Kakinya malah melangkah mundur untuk memberikan tempat kepada para prajurit yang siap menangkap pemuda berjubah putih itu.

“Hujani dengan anak panah...!” perintah Senapati Marganta dengan suara menggelegar.

Mendengar perintah itu, pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji itu tentu saja menjadi terkejut. Sadar kalau dirinya terancam bahaya besar, segera dikerahkannya ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian, hawa dingin menusuk tulang menebar seiring munculnya lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

“Ahhh...! Dia..., Pendekar Naga Putih...?!” teriak beberapa orang perwira yang rupanya pernah mendengar tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih. Karena itu, begitu melihat tubuh pemuda berjubah putih itu diselimuti kabut berhawa dingin, mereka langsung mengenalinya.

“Pendekar Naga Putih...?!” desis Senapati Marganta dengan wajah penuh tanda tanya.

Senapati Kadipaten Balaraja itu sama terkejutnya ketika menyaksikan lapisan kabut menyelimuti sekujur tubuh orang yang semula dituduh sebagai pembunuh itu. Enam orang perwira yang ikut di dalam pengepungan itu, menoleh ke arah Senapati Marganta. Tampak mereka meminta pendapat Senapati Marganta, setelah mengetahui jati diri pemuda berjubah putih yang mereka kepung itu.

“Hm.... Bagaimanapun juga, pendekar itu tetap harus ditangkap. Bisa saja pembunuhan di dalam lingkungan istana dilakukannya. Siapa lagi yang mampu membunuh Gusti Adipati tanpa seorang pun yang mengetahuinya? Kedua pengawal pribadi Gusti Adipati yang terbunuh pun bukan orang sembarangan. Mengapa keduanya dapat tewas demikian mudah? Bukankah semua itu berarti kalau pembunuhnya memang memiliki kepandaian sangat tinggi? Dan, pemuda ini salah satu dari sekian orang yang mampu melakukannya. Lebih baik dia dilenyapkan saja, sebelum menimbulkan bencana baru bagi kita semua...,” ujar Senapati Marganta, masih tetap pada pendiriannya semula.

“Seraaang...!” Setelah menetapkan keputusannya, Senapati Marganta segera memerintahkan pasukan panah yang telah bersiap-siap untuk segera menyerang Pendekar Naga Putih.

Singgg... zinggg...!

Puluhan anak panah meluncur menghujani Panji dengan kecepatan yang mengerikan. Sepertinya Pendekar Naga Putih akan segera tewas terhunjam puluhan batang anak panah.

“Hm...,” gumam Panji yang sama sekali tidak merasa gentar sedikit pun menghadapi hujan anak panah itu. Tanpa bergeser dari tempatnya, kedua tangannya digerakkan untuk menangkapi anak panah yang menuju kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya sama sekali tidak dipedulikan. Sebelum kulit tubuhnya tersentuh, anak panah itu berguguran dalam keadaan patah. Tentu saja. semua itu akibat lapisan kabut yang melindungi tubuhnya.

“Gila...?!” Senapati Marganta sampai memekik tertahan menyaksikan pemandangan itu. Kenyataan yang terjadi di depan matanya, membuat Senapati Marganta sadar kalau Pendekar Naga Putih benar-benar seorang yang sangat sakti. Dia sendiri telah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.

“Serbuuu...!” perintah senapati gagah itu kembali. Senapati Marganta sepertinya tidak berkecil hati. Menurutnya, betapapun saktinya pemuda berjubah putih itu, pasti ada batasnya. Jadi, kalau diserang terus-menerus, bukan tidak mungkin pemuda itu akan kehilangan banyak tenaga. Pikiran itulah yang membuat Senapati Marganta memerintahkan para prajuritnya untuk menerjang kembali.

Melihat para prajurit meluruk dengan senjata di tangan, Panji pun segera menyambutnya. Kaki dan tangannya bergerak kian kemari. Setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, selalu ada tubuh yang terjengkang tanpa mampu bangkit lagi. Pendekar Naga Putih memang tidak berniat membunuh para prajurit yang menurutnya hanya melaksanakan tugas dari atasannya. Maka, para pengeroyoknya hanya dibuat pingsan saja.

“Heaaat...!”

Dua perwira yang melihat Panji memporak-porandakan pasukannya, segera memasuki kancah pertempuran. Begitu tiba, pedangnya langsung berkelebat ke arah tubuh Pendekar Naga Putih.

Bettt! Bettt!

Panji bergegas menggeser tubuhnya untuk menghindari sambaran dua batang pedang perwira itu. Disusul tamparan balasan yang lebih kuat, ketika kedua batang pedang lawan kembali berputar mengancam tubuhnya.

Plakkk! Plakkk!

“Aaakh...!”

“Aaa...!”

Akibatnya, kedua perwira itu memekik kesakitan! Tubuh mereka terlempar deras ke belakang. Kesempatan itu digunakan Panji untuk menerobos kepungan. Sepasang tangannya bergerak mendorong kedepan.

Whusss...!

Angin dingin menusuk tulang yang berhembus dari sepasang telapak tangan pemuda itu, membuat belasan prajurit terhempas bagaikan daun-daun kering yang diterbangkan angin. Sedangkan tubuh mereka menggigil hebat.

“Haaat...!”

Senapati Marganta tentu saja tidak sudi membiarkan pemuda itu meloloskan diri. Cepat dia mencegah disertai tebasan pedang yang menimbulkan angin bercuitan!

Wuuut...!

Merasakan ada serangan berbahaya, Panji bergegas menarik mundur tubuhnya dua langkah. Setelah senjata lawan lewat di depan tubuhnya, pemuda itu langsung melenting ke udara seraya melontarkan pukulan jarak jauh yang mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

Senapati Marganta yang sadar akan kedahsyatan pukulan sakti pemuda itu, segera melempar tubuhnya lalu bergulingan menjauh. Kesempatan itu digunakan Panji kembali untuk menerobos kepungan, dan segera menghilang di kegelapan malam.

“Tidak perlu mengejar! Percuma, kalian tidak akan bisa menyusulnya...!” Senapati Marganta berteriak kepada para prajuritnya, ketika melihat Pendekar Naga Putih berhasil meloloskan diri dari kepungan.

“Seorang pemuda yang hebat dan sangat berbahaya...,” puji Senapati Marganta, merasa kagum bukan main dengan kesaktian Pendekar Naga Putih.

“Tapi, Tuan Senapati. Apakah mungkin Pendekar Naga Putih berbuat sejahat itu? Bukankah selama ini kita mendengar kalau pemuda itu adalah seorang pendekar yang budiman...?” ujar seorang perwira bertubuh tegap, yang tidak lain adalah Duranta.

Jelas perwira itu masih belum percaya kalau pendekar muda yang diagung-agungkan kaum rimba persilatan itu tega melakukan pembunuhan keji di dalam istana kadipaten. Kebimbangan hatinya langsung diutarakan kepada Senapati Marganta, yang secara tak langsung kini merupakan pimpinan tertinggi di Kadipaten Balaraja. Karena, Adipati Balaraja selaku pemimpin tertinggi telah tewas oleh pembunuh misterius. Sedangkan Pendekar Naga Putih dituduh sebagai pelakunya.

“Hhh...! Aku sendiri merasa heran, Duranta. Tapi, kau lihat sendiri buktinya, bukan? Mungkin saja pen- dekar muda itu adalah seorang dari ketiga pembunuh yang melarikan diri dengan jalan berpencar tadi. Mungkin juga semua ini siasat dari para pembunuh itu dengan cara menonjolkan Pendekar Naga Putih agar kita terkecoh. Hm.... Sayang mereka salah menduga kalau dapat mengelabuiku...,” ujar Senapati Marganta, mengajukan pikiran-pikirannya.

Perwira Duranta mengangguk-anggukkan kepala. Ucapan Senapati Marganta menurutnya memang masuk akal. “Lalu, apa yang harus kita lakukan setelah mengetahui jati diri seorang dari pembunuh itu, Tuan Senapati...?” tanya Duranta lagi, meminta pendapat pimpinannya.

“Sebaiknya kita tetap memperketat penjagaan. Kita tidak perlu mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka. Aku merasa yakin kalau para pembunuh itu pasti akan kembali menyatroni istana kadipaten ini. Bukan hal yang mustahil kalau incaran mereka selanjutnya adalah diriku”

Setelah berkata demikian, Senapati Marganta melangkah pergi, meninggalkan Duranta yang tertegun. Perwira gagah itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Karena sebelum meninggalkan tempat itu, Senapati Marganta memerintahkannya memimpin para prajurit untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Tanpa banyak cakap lagi, perwira gagah itu segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengobati mereka yang terluka dan merapikan tempat yang telah porak-poranda itu.

********************

Tiga sosok tubuh bergerak cepat menerobos lebatnya Hutan Pancawarna. Mereka adalah Tiga Setan Lembah Mayat, pembunuh-pembunuh bayaran yang telah melakukan tugasnya dengan baik. Tidak lama kemudian, ketiga manusia berhati iblis itu pun memperlambat larinya. Beberapa tombak di depan mereka tampak sebuah bangunan tua berdiri angker. Dinding bangunan tersebut nampak telah rusak dan berlumut di beberapa bagian. Sekali lihat saja, dapat diketahui kalau bangunan tua itu sama sekali tidak berpenghuni.

Tiga Setan Lembah Mayat bergerak mengitari bangunan. Sepertinya mereka ingin memastikan kalau tempat itu benar-benar aman. Setelah merasa yakin akan keadaan di sekelilingnya, mereka pun berkumpul di sebuah ruangan bangunan tua itu.

“Aku khawatir dia akan menyalahi janjinya.” Terdengar ucapan bernada berat milik Dawanta. Lelaki bertubuh kekar berotot itu menatap saudaranya yang tertua, seperti hendak meminta pendapat.

“Tidak mungkin, Adi. Kalau benar hal itu dilakukannya, sama artinya dengan bunuh diri. Tentunya dia tidak menginginkan kita membeberkan semua rahasianya ke kadipaten, bukan?” jawab Malingga. Kelihatannya dia sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu.

“Biar bagaimanapun kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Bukan tidak mungkin dia akan mengenyahkan kita untuk menghilangkan jejak,” sergah Songgara ikut menimpali pembicaraan kedua orang saudaranya.

“He he he...! Kita bukan orang bodoh yang baru sekali melakukan tugas seperti ini. Semua kekhawatiran kalian, telah ada dalam kepalaku. Jadi, tidak perlu lagi ada yang dikhawatirkan. Sebaiknya kita lihat saja nanti...,” kilah Malingga sambil memperdengar tawa parau. Kemudian, tubuhnya dihempaskan ke lantai bangunan tua itu.

Kekhawatiran Dawanta dan Songgara perlahan pudar, mendengar ucapan saudara tua mereka. Tapi, ba- ru saja keduanya hendak ikut duduk, Malingga tibatiba melompat bangkit.

“Dia sudah datang...!” seru Malingga, memberitahukan kedua saudaranya.

Dawanta dan Songgara saling berpandangan sejenak. Kemudian, keduanya melangkah dan berdiri di kiri dan kanan Malingga, menunggu munculnya orang yang mereka maksudkan.

“Ha ha ha...! Tidak percuma aku menyewa kalian, Tiga Setan Lembah Mayat! Kerja kalian benar-benar membuat hatiku puas...!” Terdengar gelak tawa memenuhi ruangan. Disusul bayangan hitam berkelebat menghampiri Tiga Setan Lembah Mayat.

“Hm.... Kami cukup lama menantimu di sini. Kupikir kau akan mengingkari perjanjian yang telah kita sepakati..,” sambut Malingga tanpa rasa hormat sedikit pun. Sikapnya terlihat amat angkuh. Membuat orang yang baru saja datang, terkekeh perlahan melihat Malingga yang dianggapnya bertingkah.

“Kau tidak mempercayaiku, Malingga? Bukankah pada tugas yang pertama kalian telah menerima bayaran tanpa kurang sepeser pun? Jadi, tidak ada alasan bagi kalian untuk mencurigaiku,” sahut orang bertubuh kurus itu sambil melangkah maju beberapa tindak, membuat jarak di antara mereka semakin dekat.

Rupanya Dawanta dan Songgara masih menyimpan sedikit kecurigaan kepada orang bertubuh kurus yang membayar mereka itu. Terbukti saat dia melangkah maju, keduanya sigap meraba senjata, siap bertindak apabila lawan berbuat curang. Malingga mengerling kepada dua saudaranya, sebagai isyarat agar mereka tenang. Sehingga, baik Dawanta maupun Songgara terpaksa menjauhkan lengannya dari gagang senjata.

“Tidak perlu banyak cakap lagi! Berikan saja apa yang sudah menjadi hak kami...!” geram Dawanta ingin lekas-lekas menerima bayarannya.

“He he he...! Jangan terlalu tegang, Dawanta. Lihatlah apa yang kubawa ini...,” ujar orang bertubuh tinggi kurus itu seraya menurunkan bungkusan besar yang tergantung di bahunya. Kemudian bungkusan itu dibuka dan diperlihatkan kepada Tiga Setan Lembah Mayat. Tampak enam kantong uang di dalamnya, membuat kecurigaan Dawanta dan Songgara pupus seketika.

“Keenam kantong uang ini akan menjadi milik kalian. Setelah itu, masih ada satu tugas lagi yang harus kalian lakukan untukku...,” ujar orang tinggi kurus itu dengan bibir tersenyum tipis.

“Tidak! Apa yang kami lakukan untukmu sudah cukup. Berikan saja uang itu! Kau boleh mencari orang lain untuk melakukan tugas selanjutnya. Karena menurut kami, sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan...!” tegas Songgara ikut angkat bicara, sebelum Malingga sempat menyahuti ucapan lelaki tinggi kurus itu.

“Maafkan kami, Kisanak. Sebaiknya hubungan ini memang harus kita akhiri. Sesuai dengan ucapanmu beberapa hari yang lalu, tugas kami semalam adalah tugas terakhir. Sebaiknya kau mencari orang lain untuk melakukan tugas selanjutnya. Semalam kami hampir tertangkap, dan mungkin juga kami sudah dapat dikenali. Itu sebabnya saudaraku menolak tawaranmu dan lebih suka kembali ke tempat kediaman kami...,” Malingga ikut mendukung ucapan Songgara, yang dirasanya cukup beralasan.

“Hm.... Kalau memang begitu keinginan kalian, baiklah. Nah, terimalah uang ini. Kalian bisa gunakan untuk bersenang-senang sampai puas...,” ujar lelaki tinggi kurus itu. Tangannya segera mengangkat bungkusan dan siap melemparkannya kepada Malingga.

“Tunggu...!” cegah Dawanta segera melangkah maju menjajari Malingga. “Sebaiknya keluarkan saja kantong-kantong uang itu lalu lemparkan kepada kami...!"

“Benar. Lemparkan saja keenam kantong uang itu kepada kami...!” Malingga ikut menimpali. Dia sepertinya dapat menebak pikiran Dawanta yang merasa khawatir kalau bungkusan itu mengandung racun ganas.

“He he he...!” sosok tinggi kurus itu kembali memperdengarkan tawa perlahan. Kemudian bungkusan itu dirogohnya, dan mengeluarkan enam kantong uang dari dalamnya. Terdengar suara gemerincing memenuhi ruangan tersebut, membuat Tiga Setan Lembah Mayat, terutama Dawanta semakin tak sabar.

Malingga langsung menyambut kantong uang pertama yang dilempar ke arahnya oleh lelaki tinggi kurus itu. Kemudian dilempar kembali pada Dawanta, yang kemudian melemparkannya pada Songgara. Demikian seterusnya, hingga tangan masing-masing Tiga Setan Lembah Mayat memegang dua kantong uang.

“Ha ha ha...!” Tiba-tiba saja lelaki bertubuh tinggi kurus itu tertawa keras, membuat Tiga Setan Lembah Mayat menjadi terkejut Tak lama kemudian, dirasakan kalau telapak tangan mereka panas dan gatal-gatal.

“Celaka...?!” pekik Songgara yang memang paling tahu tentang racun ketimbang dua orang saudaranya. Wajahnya yang memang agak pucat, semakin bertambah pias bagai kehilangan darah.

“Kantong uang ini dilapisi racun...!” desis Malingga geram. Baru disadarinya hal itu saat pengaruh racun mulai bekerja. Tokoh bertubuh cebol itu melangkah mundur seraya melemparkan dua kantong uang di tangannya ke tanah.

“Aaa….!” Malingga menatap kedua lengannya yang menghitam. Pada bagian telapak tangannya muncul gelembung-gelembung kecil yang kemudian pecah dan mengeluarkan cairan berbau busuk. Karuan saja tokoh itu menjadi ketakutan setengah mati.

Hal yang serupa juga dialami Dawanta dan Songgara. Kedua tokoh sesat itu pun menjerit-jerit penuh rasa ngeri. Apalagi ketika racun itu semakin menjalari lengan mereka dengan sangat cepat Sulit untuk dibayangkan, betapa ketakutannya ketiga tokoh sesat itu.

“Ha ha ha...! Kalian telah terkena ‘Racun Kelabang Hijau’ yang kerjanya sangat cepat dan mematikan. Sebentar lagi kalian bertiga akan berubah menjadi bangkai yang mengerikan...!” ujar lelaki di depan mereka. Mulutnya mengumbar tawa yang meledak-ledak melihat ketiga korbannya semakin ketakutan.

“Bangsat...!” maki Malingga yang tentu saja sadar kalau hidupnya tidak akan lama lagi. Kesadaran itu membuatnya nekat Tanpa mempedulikan pengaruh racun yang mulai menjalar ke pangkal lengan dan terus ke sekujur tubuhnya, tubuh lelaki cebol itu menerjang lawannya.

“He he he...! Perbuatanmu hanya mempercepat daya kerja racun itu, Malingga...,” ejek lelaki tinggi kurus itu tanpa niat mengingatkan Malingga.

Malingga sempat menahan langkahnya dengan mata terbelalak ngeri. Ucapan sosok tinggi kurus itu bukan sekadar menakut-nakuti. Karena saat tenaga dalamnya dikerahkan, pengaruh racun itu dirasakan semakin kuat. Malingga terpaksa membanting tubuhnya ke tanah ketika tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang menggeragoti sekujur tubuhnya.

“Aaarghhh...!” Terdengar raungan yang mengerikan bagai lolongan binatang buas yang menyambut datangnya ajal. Sebentar kemudian, ucapan lelaki tinggi kurus itu benar- benar terbukti. Tubuh Malingga mengejang seketika, dan tewas setelah kembali memperdengarkan raungan panjang yang mendirikan bulu roma! Setelah membanting-banting dirinya serta bergulingan kian kemari di atas tanah.

“Aaah...?!” Dawanta dan Songgara terpekik ngeri melihat tubuh saudara tua mereka terdiam kaku. Sementara, seluruh kulitnya berubah kehitaman. Yang lebih mengerikan lagi, sekujur tubuh Malingga dipenuhi gelembung-gelembung yang kemudian pecah dan menebarkan bau busuk memualkan perut

“He he he...! Jika kalian berdua ingin lekas mati, silakan mengikuti apa yang dilakukan Malingga...,” ejek lelaki tinggi kurus itu sambil terkekeh penuh kemenangan.

“Kau.... Kau benar-benar keparat...!” umpat Dawanta dengan hati penuh dendam, membuat rongga dadanya serasa hendak meledak. Sayang dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Karena malaikat maut sudah siap mencabut nyawanya.

“Ha ha ha...!” lelaki tinggi kurus itu kembali memperdengarkan tawa iblisnya saat menyaksikan Dawanta dan Songgara berkelojotan. Tubuh kedua orang itu pun ambruk ke tanah. Terus bergulingan diselingi raungan kesakitan yang susul-menyusul.

Seiring dengan berkumandangnya tawa menggelegar lelaki bertubuh tinggi kurus itu, nyawa Dawanta dan Songgara melayang ke akhirat. Kedua tokoh sesat itu tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan. Sambil tetap mengumandangkan tawanya, lelaki tinggi kurus itu mengumpulkan kembali enam kantong uang perak yang berserakan di tanah. Dan dimasukkannya ke dalam bungkusan besar. Kemudian tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

Pemuda berjubah putih itu menahan langkahnya saat mendengar raungan panjang yang menggetarkan. Meski telinganya hanya mendengar sayup-sayup, namun pemuda berjubah putih yang tidak lain dari Panji tahu kalau raungan itu adalah jerit seseorang yang sedang dilanda kesakitan hebat. Ketika raungan menjelang ajal itu kembali merasuk indera pendengarannya, tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya berkelebat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya.

Panji kehilangan jejak ketika raungan mengerikan itu mendadak lenyap. Segera diduganya kalau orang yang tadi melengkingkan raungan menyayat hati telah dijemput malaikat maut. Seketika Panji menghentikan larinya, dan dicobanya mengerahkan indera pendengaran. Sayang, dia tetap gagal. Suara raungan itu telah benar-benar lenyap.

“Hm.... Sebenarnya apa yang dialami orang malang itu? Dari jeritannya barusan, aku dapat menduga kalau dia sedang menghadapi sesuatu yang mengerikan dan sangat menyakitkan. Sayang aku kehilangan jejak. Kemungkinan besar orang itu telah tewas. Mungkin diterkam harimau atau binatang buas lain yang banyak berkeliaran di dalam Hutan Pancawarna ini...,” gumam Panji seorang diri.

Untuk beberapa saat, pemuda itu tetap tak bergerak di tempatnya. Pendekar Naga Putih benar-benar telah kehilangan jejak. Harapan yang semula lenyap, timbul kembali ketika Panji mendengar raungan panjang yang mendirikan bulu roma. Kali ini telinganya malah menangkap dua jeritan berlainan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih segera melesat seperti terbang menuju asal suara. Karena sudah dapat memastikan asal jeritan itu, tidak sulit bagi Panji untuk segera mencapainya. Dari kejauhan, dilihatnya sebuah bangunan tua berdiri di dalam hutan. Tanpa ragu-ragu lagi, Panji segera melesat kembali lalu memasuki sebuah ruangan besar dalam bangunan itu.

“Keji...!” desis pemuda itu ketika matanya menyaksikan tiga sosok tubuh menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan. Pemuda tampan berjubah putih itu bergerak men- dekat, meski hidungnya mencium bau busuk yang memualkan perut.

“Hm.... Peristiwa ini jelas baru saja terjadi. Kemungkinan besar pelakunya masih belum pergi jauh...,” duga Panji ketika melihat ketiga sosok tubuh itu benar-benar telah tewas, dan tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Maka, segera tubuhnya melesat dengan maksud menemukan jejak si pembunuh.

Sayang, Panji tidak tahu secara pasti arah yang harus ditempuhnya. Karena itu, dia hanya mengelilingi sekitar bangunan dalam jarak belasan tombak. Tapi, tak satu manusia pun yang ditemukannya. Sadar kalau telah terlambat, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk segera kembali ke tempat kejadian.

Kenyataan yang didapatnya benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Saat diperhatikannya pakaian dan bentuk tubuh ketiga mayat itu, Panji segera dapat menebak kalau mereka adalah orang-orang yang pernah bentrok dengannya beberapa hari lalu. Bahkan ketiga orang itu seperti sengaja mencarinya, dan hendak melenyapkan dirinya.

“Siapa sebenarnya ketiga orang ini? Mereka muncul untuk mencariku setelah aku berada di sekitar Kadipaten Balaraja. Mengingat ucapan-ucapan Senapati Kadipaten Balaraja yang menuduhku sebagai pembunuh, bisa jadi ketiga orang ini ikut terlibat di dalamnya. Tapi, mengapa mereka sampai terbunuh? Padahal kepandaian ketiga orang ini sangat tinggi, dan tidak mudah untuk dikalahkan? Jelas kalau si pembunuh adalah tokoh puncak yang memiliki kesaktian tinggi. Entah permusuhan apa yang membuat tokoh itu sampai membunuh mereka bertiga? Mungkin hal ini ada kaitannya dengan pembunuhan yang terjadi beberapa hari ini di dalam Istana Kadipaten Balaraja. Hm... Aku harus menyelidikinya...,” gumam Panji yang mulai menduga ada sesuatu yang tidak beres di dalam Istana Kadipaten Balaraja.

Panji baru saja hendak membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Ketika sepasang matanya sempat menangkap goresan-goresan di tanah, segera langkahnya ditahan. Cepat pemuda itu melangkah mendekati mayat bertubuh cebol, yang baunya sangat menyengat hidung.

“Hm.... Rupanya salah satu dari orang-orang malang ini sempat meninggalkan nama si pembunuh. Pasti dia hendak meninggalkan pesan kepada siapa saja yang kebetulan menemukan mayat mereka. Petunjuk yang diberikannya jelas sangat berarti sekali bagiku. Dengan begitu, kejadian-kejadian di istana kadipaten akan segera dapat terungkap...,” gumam Panji seraya mengangguk-angguk. Diam-diam dipujinya kecerdikan salah seorang dari korban pembunuhan keji itu.

Setelah mendapatkan petunjuk, yang meskipun masih sangat samar, Pendekar Naga Putih segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

********************

Saat malam merayap perlahan, Panji bergerak memasuki Kadipaten Balaraja secara sembunyi-sembunyi. Tujuannya hendak menemui Senapati Marganta untuk memperjelas masalah yang berkecamuk di dalam istana. Pemuda perkasa itu sudah bertekad untuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi. Dia tidak takut menghadapi bahaya maut, demi menegakkan keadilan.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sulit bagi Pendekar Naga Putih untuk menyelinap ke dalam wilayah istana kadipaten. Meskipun belum tahu pasti letak bangunan yang didiami Senapati Marganta, Panji tidak kehilangan akal. Pemuda itu bergerak ke bagian belakang istana kadipaten. Kemudian, dengan mudahnya menawan seorang pelayan yang tengah terbuai mimpi.

“Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kuminta kau menunjukkan, di mana Senapati Marganta tinggal?” tanya Panji kepada pelayan yang sekujur tubuhnya gemetar karena ketakutan. Rupanya pelayan itu menduga kalau Panji adalah pembunuh kejam yang selama beberapa waktu ini berkeliaran di lingkungan istana. Rasa takutnya membuatnya tidak dapat menahan kencing. Celananya perlahan menjadi basah.

“Jangan takut. Aku bukan seorang pembunuh. Malah aku berniat membantu Kadipaten Balaraja untuk menangkap manusia jahat itu,” bujuk Panji lagi, berharap agar pelayan itu dapat hilang rasa takutnya, dan mau berbicara.

“Sejak Adipati Balaraja terbunuh, Tuan Senapati tinggal di dalam salah satu kamar istana. Dia hendak melindungi Paduka Permaisuri dan putranya yang masih berusia enam tahun,” tuturnya dengan suara susah-payah.

“Terima kasih, Kisanak. Maaf, aku harus membungkammu agar tidak menyusahkanku...,” bisik Panji. Lalu satu jarinya menotok lumpuh tubuh pelayan itu. Kemudian melesat menuju tempat yang ditunjukkan pelayan itu.

Pada waktu hendak memasuki ruangan dalam istana, matanya menangkap delapan orang yang tampaknya sedang meronda. Panji terpaksa menyelinap ke dalam semak di taman bagian samping istana. Setelah mereka lewat, Pendekar Naga Putih kembali melesat bagaikan bayangan hantu menuju kamar yang menurut pelayan istana menjadi tempat tinggal Senapati Marganta sementara. Dengan mendorongkan telapak tangannya disertai pengerahan tenaga dalam, pintu yang terkunci itu berderit perlahan.

“Siapa...?” tegur sebuah suara dari dalam kamar. Membuat Panji memutuskan untuk langsung masuk.

Sebagai seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi, Senapati Marganta sempat melihat berkelebatnya sesosok bayangan memasuki kamarnya. Tapi, sebelum sempat bertindak apa-apa, seorang pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di hadapannya dalam jarak tiga langkah. Kenyataan itu membuat Senapati Marganta sadar akan kesaktian tamu tak diundang itu.

“Pendekar Naga Putih...?!” desis lelaki gagah itu dengan sepasang mata terbelalak lebar. Sungguh tak disangkanya kalau pendekar muda itu berani datang menyatroninya.

“Maaf kalau kedatanganku yang tidak pantas ini membuat Panglima terkejut...,” ujar Panji merendahkan suaranya, karena tidak ingin membuat seisi istana terbangun.

“Hm... Kau benar-benar telah tersesat jauh, Pendekar Naga Putih. Seharusnya kau sadar kalau perbuatanmu membunuhi orang-orang istana kadipaten akan membuat tokoh golongan putih marah besar dan akan memusuhimu. Tapi, jangan kau sangka aku sama dengan korban-korbanmu terdahulu. Kecerobohanmu ini akan membuat kau menyesal seumur hidup, Pendekar Naga Putih...!” geram Senapati Marganta sambil menggeser mundur langkahnya. Siap menghadapi Pendekar Naga Putih.

“Sabar, Panglima. Kedatanganku justru hendak melaporkan tentang pembunuh-pembunuh keji itu. Menurut dugaanku, pembunuh itu adalah orang-orang bayaran yang melakukannya demi uang. Dan, aku telah mengetahui siapa orang yang berada di belakang tiga orang pembunuh itu,” jelas Panji, membuat Senapati Marganta kelihatan sangat terkejut. Karuan saja lelaki gagah itu menarik gerakannya. Ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih setengah tidak percaya.

“Hm.... Dari mana kau mengetahui kalau pembunuh itu berjumlah tiga orang? Apa pula maksudmu dengan mengatakan kalau kau sudah mengetahui tokoh di belakang layar yang membayar ketiga orang itu?” tanya Senapati Marganta seraya menatap lekat-lekat wajah pemuda tampan di hadapannya. Panglima gagah itu merasa tertarik setelah mendengar keterangan Panji. Sehingga tidak lagi kelihatan siap tarung.

Panji sebenarnya hanya menduga saja tentang pembunuh-pembunuh itu. Tampaknya dia sudah berhasil memancing keterangan secara tidak langsung dari panglima gagah di hadapannya. Dia pun berusaha untuk menegasinya lagi.

“Jadi benar kalau pembunuh itu berjumlah tiga orang? Kalau begitu, mereka telah tewas di dalam Hutan Pancawarna di sebuah ruangan dalam bangunan tua. Tapi, meskipun racun ganas itu telah membuat mereka tewas, salah seorang dari mereka sempat mengguratkan sebuah nama pada tanah. Itu sebabnya mengapa aku memaksa diri untuk menghadap dalam keadaan seperti ini,” jelas Panji lagi, membuat Senapati Marganta kelihatan semakin kaget.

“Sebuah nama? Siapa nama yang ditulis salah seorang pembunuh itu sebelum kematiannya...?” tanya Senapati Marganta dengan wajah semakin menegang.

“Tokoh keji itu berjuluk Raja Racun Kelabang...,” sahut Panji dengan kata-kata yang jelas terdengar di telinga Senapati Marganta.

“Raja Racun Kelabang...?!” gumam panglima gagah itu mengulang julukan yang dikatakan Pendekar Naga Putih. Senapati Marganta seperti tidak mempercayai laporan Panji.

“Benar. Tokoh itulah yang telah menewaskan ketiga pembunuh bayaran yang disewanya. Rupanya dia sudah merasa sudah cukup dengan apa yang dilakukan ketiga pembunuh bayarannya. Apakah Tuan Panglima pernah mendengar nama tokoh jahat itu...?” tanya Panji ketika melihat Senapati Marganta terdiam menekuri lantai. Dengan sabar Panji menunggu ucapan yang bakal keluar dari mulut senapati itu.

“Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Naga Putih! Sayang orang yang hendak kau jadikan kambing hitam itu telah tewas beberapa tahun silam. Kau jelas-jelas telah dipermainkan orang...!” ejek Senapati Marganta.

Hal itu tentu saja membuat Panji terkejut bukan main. Padahal pemuda itu sudah memeriksa jenis racun yang terdapat di tubuh Tiga Setan Lembah Mayat. Dan diketahuinya pula kalau racun jahat itu bernama Racun Kelabang Hijau.

“Tapi, aku melihat dan memeriksa sendiri bukti-buktinya, Tuan Panglima,” bantah Panji.

Memang, Pendekar Naga Putih belum pernah lagi mendengar kabar tentang tokoh sesat berjuluk Raja Racun Kelabang. Mungkin tokoh sesat itu selalu menyembunyikan diri di pertapaannya, dan jarang muncul ke dunia ramai belakangan ini. Jadi, ada kemungkinan tokoh sesat itu benar-benar telah tewas.

“Kau hanya mengarang cerita usang, Pendekar Naga Putih! Sekarang aku bertambah yakin kalau kau adalah pembunuh biadab itu. Karena kau pernah tertangkap basah olehku, maka kau berusaha untuk mencari cara meloloskan diri dengan melemparkan fitnah kepada orang lain. Tidak kusangka kalau pendekar yang diagung-agungkan kaum rimba persilatan adalah seorang yang berhati keji dan licik!” geram Senapati Marganta.

Kembali Senapati Kadipaten Balaraja itu bersiap menghadapi Pendekar Naga Putih. Bahkan sudah mengeluarkan lengkingan panjang sebagai isyarat kepada seluruh prajurit kalau tengah berhadapan dengan pembunuh misterius yang beberapa hari ini telah menggemparkan Kadipaten Balaraja dengan kekejamannya.

“Tuan Senapati. Aku sama sekali bukan pembunuh keji yang kau maksudkan. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah berbuat sekeji itu. Izinkanlah aku membantu untuk mengungkapkan masalah yang masih gelap ini...,” pinta Panji yang menjadi terkejut melihat perubahan sikap panglima itu.

“Hm... Tidak perlu banyak cakap lagi, Pendekar Keji! Kau memang harus dilenyapkan agar umat manusia menjadi tenteram!” bentak Senapati Marganta. Setelah itu, tubuhnya langsung menerjang Panji dengan serangan-serangan yang menimbulkan deruan angin keras.

Plak! Plak!

“Sabar, Tuan Panglima...,” tahan Panji, setelah menepiskan dua buah serangan lawan yang mengancam jalan darah kematian di tubuhnya.

“Sambut saja seranganku, Pemuda Iblis...!” bentak Senapati Marganta penuh kemarahan. Sepertinya, dia sudah tidak bisa lagi diajak bicara baik-baik. Dibarengi sebuah pekikan nyaring, panglima gagah itu kembali menerjang hebat.

“Haiiit..!”

Brakkk!

Sadar jika tetap berada di dalam kamar itu akan sulit baginya untuk meloloskan diri, maka Panji terpaksa melesat ke luar dengan menjebol daun jendela. Dugaannya ternyata tidak meleset! Baru saja kedua kakinya menjejak tanah, beberapa batang tombak langsung menyambutnya.

Wuttt! Wuttt!

“Hiaaah...!” Cepat Panji membungkukkan tubuh sambil memutar sepasang lengannya, membuat tombak-tombak itu berpatahan dan terpental ke mana-mana.

“Jangan biarkan pendekar biadab itu lolos! Tidak perlu tanggung-tanggung, bunuh saja dia...!”

Senapati Marganta yang saat itu masih berada di dalam kamarnya memberi perintah. Kemudian, tubuhnya bergerak melompati jendela yang telah jebol, lalu terus meluncur untuk menerjang Panji. Meskipun semua kemungkinan itu telah diperhitungkan, tak urung Panji sempat menjadi bingung.

Pendekar Naga Putih tidak ingin menurunkan tangan kejam kepada para prajurit kadipaten yang hanya menuruti perintah pimpinannya itu. Sedangkan untuk dapat lolos dari kepungan ratusan prajurit itu, tidak mungkin tanpa melukai mereka. Hal itulah yang membuatnya menjadi bingung dan terdiam untuk beberapa saat.

Sedangkan para prajurit kadipaten sepertinya tidak ingin membiarkan pemuda itu lolos untuk yang kedua kalinya. Sehingga, mereka membuat kepungan berlapis-lapis, agar Pendekar Naga Putih tidak dapat lagi melarikan diri seperti beberapa malam lalu. Panji sendiri sempat terkejut menyaksikan bentuk barisan kepungan para prajurit itu.

Pada lapisan terdepan, masing-masing prajurit memegang golok terhunus di tangan. Sedangkan pada tangan kiri mereka terdapat sebuah perisai berbentuk bulat. Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau Senapati Marganta memang telah mempersiapkan cara khusus untuk menghadapinya.

“Hiaaat..!”

Saat Panji tertegun melihat barisan yang berlapis- lapis dan sangat teratur itu, tiba-tiba saja para prajurit di barisan terdepan berteriak keras. Separoh dari mereka yang semula dalam posisi berlutut, kini bergulingan di tanah sambil menyabetkan golok besar ke bagian tubuh Panji. Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih cepat bergerak mundur dengan satu lompatan pendek untuk menghindari serangan mereka.

“Hiaat..!”

Saat tubuh Panji melambung di udara, kembali terdengar teriakan nyaring serempak. Barisan prajurit pada lapisan kedua melesat ke udara sambil mengayunkan goloknya yang menderu mengancam tubuh pemuda tampan berjubah putih itu.

“Yeaaah...!”

Karena ingin mengetahui lebih jauh akan kehebatan pasukan itu, Pendekar Naga Putih mencoba melontarkan dua buah pukulan ke arah lawannya yang terdepan. Dan....

Bukkk! Bukkk!

Kaget bukan main hati Panji ketika kepalannya disambut dengan perisai yang terpasang di tangan kiri lawan. Yang membuat pemuda itu lebih terkejut adalah tenaga pukulannya dapat membalik. Seolah-olah perisai itu terbuat dari benda kenyal yang tahan pukul.

“Hebat...!” desis Panji dengan wajah yang tidak menyembunyikan rasa kagum melihat ketangguhan para prajurit Kadipaten Balaraja. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa gentar ataupun cemas. Karena tenaga pukulan yang dipergunakannya barusan masih dalam tingkat yang rendah. Entah kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya tadi dikerahkan untuk menghadapi barisan perisai itu.

“Yeaaah...!”

Whuttt! Whuttt!

Dua buah sambaran golok datang mengancam leher dan perut pemuda itu. Panji segera menggeser mundur tubuhnya, lalu melanjutkannya dengan gerak berputar. Begitu serangan lawan luput, tubuhnya sudah berbalik dan langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.

Bummm...!

“Aaa...!”

Terdengar pekik ngeri susul-menyusul ketika dari sepasang telapak tangan pemuda itu keluar deruan angin tajam, membuat para prajurit yang berada di depannya, langsung terpental bagaikan daun kering yang diterbangkan angin. Sebagian dari korban pukulan itu langsung menggeletak tak sadarkan diri. Panji memang masih membatasi penggunaan tenaga mukjizatnya agar tidak sampai menewaskan lawan.

TUJUH

Baru saja tubuh Panji melesat ke tempat lowong untuk dapat meloloskan diri, terdengar teriakan-teriakan nyaring diselingi kilatan ujung tombak. Ancaman- ancaman itu datang dari empat penjuru, membuat Pendekar Naga Putih terpaksa harus menahan langkahnya.

“Haaat...!”

Delapan kilatan mata tombak mengancam jalan darah penting di tubuhnya. Membuat Panji tidak bisa tinggal diam. Apalagi dari desingannya dapat ditebak kalau luncuran senjata itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

“Heaaah...!”

Karena tidak mau tubuhnya tertembus delapan mata tombak lawan, Pendekar Naga Putih terpaksa menunda niat untuk melarikan diri. Tubuhnya bergerak dengan mengandalkan kelincahan tubuh untuk menghindari ancaman maut itu. Dibarengi juga dengan putaran sepasang lengannya yang membuat kedelapan pelempar tombak itu berlompatan mundur. Kesempatan itu kembali dipergunakan Pendekar Naga Putih untuk menjejakkan kakinya ke tanah. Lalu dalam sekejap, tubuhnya melambung ke udara dan berputaran beberapa kali, melewati barisan prajurit yang menghadangnya.

“Hujani dengan anak panah,,.!” perintah Senapati Marganta. Segera saja kesempatan itu digunakannya selagi Panji berada di udara untuk menghujani dengan anak panah.

Belum lagi gema suara Senapati Marganta lenyap, menyusul desingan riuh bagai hendak meruntuhkan langit. Puluhan batang anak panah itu melesat deras ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih melayang di udara!

“Yeaaa….!”

Dengan mengandalkan kekuatan mukjizat yang dimilikinya, Panji menyapu anak-anak panah yang mengincar kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya sama sekali tidak dipedulikan. Pendekar Naga Putih yakin kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang melapisi tubuhnya mampu menghalau anak-anak panah itu.

Terdengar suara bergemeretak ramai ketika seluruh anak panah yang menghujani tubuh pemuda itu, langsung runtuh dalam keadaan patah! Beberapa batang di antaranya tergenggam erat di tangan Panji. Untung Pendekar Naga Putih tidak berniat membunuh. Kalau saja mau, tentu tidak akan sulit baginya untuk meloloskan diri.

Gagalnya serangan terakhir tadi tidak membuat semangat Senapati Marganta surut. Kemarahannya makin meledak-ledak, memenuhi rongga dadanya.

“Seraaang...!” perintah Senapati Marganta kembali dengan berapi-api sambil melesat maju. Dia sendiri merangsek dengan sabetan pedang yang mengincar titik-titik jalan darah kematian di tubuh Pendekar Naga Putih.

Bettt!

Panji menarik mundur tubuhnya dua langkah saat pedang di tangan Senapati Marganta datang mengancam. Dan, terus bergerak kian kemari dengan lompatan-lompatan pendek untuk menghindari sambaran ganas senjata para perwira kadipaten yang ikut menggempur.

“Hm.... Kalian terlalu memaksa...!” geram Panji di sela-sela sambaran senjata-senjata lawan. Usai berkata demikian, kedua tangannya dikembangkan, menghalau tebasan empat pedang lawan. Dan....

Bukkk! Desss!

“Aaakh!”

Tiga perwira dan dua prajurit yang menyerangnya, langsung terpental dengan mulut memuntahkan darah! Rupanya Pendekar Naga Putih mulai kehilangan kesabaran. Tentu saja keberangan Panji membuat lawan-lawannya menjadi terkejut dan gentar. Tanpa sadar, beberapa orang di antara mereka bergerak mundur dengan wajah berubah tegang!

“Jangan takut! Ayo, maju...!”

Senapati Marganta yang melihat belasan prajuritnya bergerak mundur dengan wajah pucat, kembali memberi perintah dengan lantang, seperti hendak membakar semangat anak buahnya. Dia sendiri menerjang Panji kembali yang saat itu bergerak ke kiri untuk meloloskan diri, karena kepungan di bagian itu terlihat lemah.

“Jangan harap kau dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup, Pemuda Keji...?!” bentak Senapati Marganta sambil menyusul lesatan tubuh Panji, lalu dikirimkannya tusukan pedang ke punggung pemuda itu.

Plakkk!

“Aihhh...?!”

Tanpa menoleh lagi, Panji mengibaskan lengan kanannya ke belakang. Kali ini Pendekar Naga Putih mengerahkan lebih dari separoh kekuatan saktinya. Akibatnya, tubuh Senapati Marganta terlempar mundur, tak sanggup mempertahankan kuda-kudanya yang memang dalam posisi lemah itu.

“Bangsat...!” umpat Senapati Marganta yang rupanya masih dapat menyelamatkan tubuhnya dengan melakukan tiga kali salto di udara.

Panji sendiri saat itu sudah tidak peduli lagi dengan korban pukulannya. Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagikan pukulan kepada para prajurit dan perwira yang mencoba mencegahnya. Akibatnya, para pengepung itu berpelantingan ke sana-sini. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang langsung tewas dengan kulit tubuh membiru.

“Ahhh...?!”

Tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Senapati Marganta agar mencegah kepergian pemuda itu, para prajurit yang dilabrak Panji bergerak mundur. Dengan demikian, jalan lolos bagi pemuda itu semakin terbuka lebar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata, lalu terus menghilang di kegelapan malam.

“Kejaaar...!” Melihat Panji berhasil lolos dari kepungan, segera saja Senapati Marganta memerintahkan para prajuritnya untuk melakukan pengejaran.

Para prajurit itu sesaat kelihatan ragu-ragu. Mereka sadar, untuk melakukan pengejaran terhadap seorang tokoh sakti seperti Pendekar Naga Putih, tentu saja akan sia-sia. Ilmu lari cepat pemuda itu tidak mungkin dapat ditandingi. Senapati Marganta yang dapat membaca pikiran anak buahnya, segera memerintah untuk menyiapkan kuda. Dengan kuda-kuda itulah, pengejaran akan dilakukan terhadap Pendekar Naga Putih.

********************

Panji terus berlari menerobos kegelapan malam. Untunglah bulan bersinar penuh, sehingga dia tidak mengalami kesulitan yang berarti, meski harus melewati perkebunan dan hutan-hutan kecil. Pendekar Naga Putih berniat menjauhi Kadipaten Balaraja untuk sementara waktu. Sementara telinganya samar-samar menangkap derap kaki kuda di belakangnya.

“Rupanya mereka benar-benar menginginkan kematianku. Benarkah Raja Racun Kelabang telah meninggal? Lalu, siapa pembunuh misterius yang menggunakan ‘Racun Kelabang Hijau’ untuk membunuh ketiga orang itu? Hhh.... Tidak kusangka kalau persoalannya semakin bertambah rumit...,” desah Panji sambil terus berlari menjauhi Kota Kadipaten Balaraja. Meskipun demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa jera. Tekadnya sudah bulat untuk mengungkap misteri itu.

Ketika pagi muncul menggantikan tugas sang Malam, Panji menghentikan larinya di tepian sungai berarus deras. Setelah membasuh wajahnya dengan air sungai yang bening dan menyegarkan itu, Panji duduk beristirahat pada sebuah batu di tepi sungai. Pendekar Naga Putih termenung memikirkan cara memulai kembali penyelidikannya.

Untuk kembali ke Kadipaten Balaraja jelas tidak mungkin. Di sana dirinya akan mendapatkan kebencian dan tuduhan keji. Tak seorang pun yang dapat diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai kejadian-kejadian itu. Satu-satunya jalan, harus mencari Raja Racun Kelabang. Jika benar tokoh itu telah tiada, berarti dia harus memulai segalanya dari awal.

Setelah hatinya mantap mengambil keputusan, Panji bangkit. Seingatnya, Raja Racun Kelabang tinggal cukup jauh dari Kadipaten Balaraja. Tepatnya di daerah Pegunungan Gedang. Ke tempat itulah tujuannya, untuk mengungkapkan misteri yang masih sangat gelap baginya. Dengan kepandaian yang tinggi, Panji dapat mempersingkat waktu perjalanan. Pada pagi hari berikutnya, Pendekar Naga Putih sudah menjejakkan kakinya di daerah Pegunungan Gedang.

Hawa yang segar dan pemandangan pegunungan di pagi hari yang indah, membuat pemuda itu menghentikan langkah sesaat. Tubuhnya berdiri tegak, menikmati keindahan alam dan keagungan sang Pencipta. Kemudian tubuhnya bergerak lagi untuk menyeberangi sungai selebar tiga tombak, yang membelah jalan menuju kaki Gunung Gedang.

Tapi, baru beberapa tindak kakinya menginjak kaki gunung itu, langkahnya dihentikan. Di depannya terlihat tiga sosok tubuh menghadang perjalanannya. Setelah saling bertatapan sejenak, Panji bergerak mendekati ketiga orang bertampang kasar itu. Mungkin ketiga lelaki kasar itu adalah murid Raja Racun Kelabang, pikir Panji.

“Maaf, Kisanak. Dapatkah kalian menunjukkan tempat tinggal Raja Racun Kelabang...?” tanya Panji dengan senyum ramah dan tubuh sedikit membungkuk, sebagai tanda penghormatan kepada ketiga orang itu.

“Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?”

Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan Panji, salah seorang dari mereka malah balik bertanya. Nadanya pun sama sekali tidak menujukkan sikap bersahabat. Bahkan ada nada sinis dalam pertanyaan itu. Panji tidak segera menjawab pertanyaan orang tadi, yang berwajah persegi empat dengan tarikan bibir menyunggingkan senyum mengejek. Mata pemuda itu merayapi wajah ketiga penghadangnya, tetap dengan sikap ramah dan tersenyum.

“Benar. Akulah yang dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih. Siapakah kalian? Apa kalian bertiga memang sengaja hendak menghadang perjalananku...?” tanya Panji setelah memberikan jawaban pasti kepada ketiga lelaki bertampang kasar itu.

“Kalau begitu, kau harus mati...!” desis lelaki berwajah persegi yang langsung saja meloloskan sepasang pedang dari punggungnya. Demikian juga dengan dua orang yang lain.

“Hm ... Tepat dugaanku. Kalian jelas sengaja hendak menghalangi perjalananku,” ujar Panji lagi yang mulai bersiaga ketika melihat ketiga orang itu merenggang membentuk kepungan dari tiga penjuru. “Seingatku kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Entah persoalan apa yang membuat kalian hendak melenyapkanku... ?”

Tak satu pun dari mereka menanggapi ucapan Panji. Mereka terus bergerak memutar, mengelilingi tubuh pemuda berjubah putih itu. Dan....

“Hiaaat..!” Lelaki berwajah persegi yang bibirnya selalu membentuk senyum mengejek itu, langsung membuka serangan dengan tebasan sepasang pedang. Kemudian disusul oleh dua orang lainnya berturut-turut.

Bettt! Bettt!

Panji merunduk saat sepasang pedang lawan bergerak mengancam leher dan dadanya. Dari posisi miring, tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah panjang, lalu sepasang tangannya bergerak hendak mendorong tubuh lawan.

“Yaaat..!”

Panji terpaksa menarik kedua lengannya, karena saat itu ada mata pedang lain yang datang mengancam kedua lengannya itu. Dan....

“Haiiit..!”

Dengan sebuah gerak berputar yang cepat, Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan sebuah tendangan keras yang telak menghantam perut lawan di kirinya.

Bukkk!

“Hugkh...!”

Tanpa ampun lagi, lelaki kurus yang menyerang dari sebelah kiri itu langsung jatuh terguling-guling ke belakang. Tendangan yang keras itu membuatnya memuntahkan darah segar. Dan tidak mampu bangkit untuk beberapa saat lamanya.

Lelaki berwajah persegi yang sepertinya menjadi pemimpin mereka, kembali mencecar Panji dengan kelebatan sepasang pedangnya. Bahkan satu lawan yang lain pun, sudah ikut menyerbu. Untuk sementara Panji hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Pemuda itu ingin meneliti gerak lawan agar dapat mengenali asal aliran ketiga orang itu.

“Heaaah...!”

Setelah cukup lama bertarung, dan belum bisa mengetahui sumber ilmu silat lawan, Pendekar Naga Putih mulai melancarkan serangan. Sekali tangannya bergerak, tubuh seorang lawan terbanting jatuh, memuntahkan darah segar. Sedang yang seorang lagi meluncur terkena tamparan kerasnya. Sehingga, kedua lawannya jatuh berdebuk di tanah.

“Yeaaah...!”

Lelaki bertubuh kurus yang tadi terkena tendangan Panji, sudah bangkit kembali. Dia berniat membokong Pendekar Naga Putih dengan tusukan pedangnya. Sayang maksud busuknya itu gagal. Panji yang mendengar teriakan dan desingan senjata, langsung saja membungkuk. Dengan kuda-kuda miring, dikirimkannya tusukan jari tangan kanan.

Akibatnya, tubuh lelaki curang itu terjajar mundur dengan wajah merah padam menahan sakit. Pedangnya terpaksa dilepaskan karena sepasang tangannya sibuk mendekap perut. Tampak darah segar merembes keluar dari sela-sela jarinya. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah. Nyawanya melayang saat itu juga.

“Ahhh...?!”

Dua orang lainnya menjadi terkejut bukan main. Tidak mereka sangka kalau pemuda tampan yang usianya masih sangat muda itu dapat merobohkan salah satu dari mereka dengan mudah. Kenyataan itu membuktikan kalau Pendekar Naga Putih memang memiliki kesaktian yang menggetarkan.

“Jika kalian tidak ingin mengalami nasib serupa, cepat katakan, mengapa kalian memusuhiku tanpa alasan? Kalau tidak, nasib kalian mungkin akan lebih buruk dari kawan kalian itu...!” ancam Panji dengan suara yang menggetarkan hati kedua orang itu.

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu bertukar pandang dengan wajah agak pucat. Lalu, keduanya sama-sama mengangguk bersepakat. Tiba-tiba....

“Haaat!”

Kedua orang itu tampaknya lebih suka mati di tangan Panji. Dengan sisa-sisa kemampuan, mereka menerjang Pendekar Naga Putih bagaikan sepasang banteng luka.

“Keras kepala...!” maki Panji melihat kebandelan kedua lawannya. Pemuda itu sadar kalau dia harus bertindak sedikit kejam untuk mengorek keterangan dari orang-orang itu.

Bettt!

Ketika tebasan pedang lawan datang, Panji sama sekali tidak menghindar. Dengan kekuatan tenaga saktinya, pemuda itu menahan sabetan pedang lawan pada tubuhnya.

Trakkk!

“Ahhh...?!”

Terdengar derak benda patah, ketika mata pedang itu berbenturan dengan tubuh Pendekar Naga Putih. Hal yang dianggap mustahil itu membuat lawannya terperangah. Sehingga, dengan mudah Panji mencengkeram batang leher lawan dengan jari tangan kanannya.

“Hmhhh...!” sambil mendengus kasar, Pendekar Naga Putih menghentakkan tangannya ke atas. Sehingga, tubuh lawan terangkat naik dari atas tanah.

“Aaa...!” Lelaki bertubuh sedang itu berteriak parau. Tenggo- rokannya dirasa seperti terjepit benda yang amat kuat Wajahnya memerah, dan sepasang matanya terbeliak hampir melompat ke luar.

“Ekhhh...!”

Sekali menggerakkan jari-jari tangannya, remuklah batang leher lelaki kasar itu. Kemudian, mayatnya dihempaskan ke tanah begitu saja, membuat lawan yang tinggal seorang lagi menjadi semakin pucat ketakutan.

“Kau akan mengalami nasib yang jauh lebih mengerikan apabila tidak mau menjawab pertanyaanku tadi...!” ancam Panji seraya melangkah perlahan.

Sementara, lelaki berwajah persegi itu bergerak mundur. Keberaniannya telah terbang melihat cara Pendekar Naga Putih meremukkan batang leher kawannya.

Plakkk!

“Akh...!” Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan. Tahu-tahu saja wajah lelaki itu telah tertampar keras, membuat tubuhnya terpelanting.

“Katakan! Mengapa kau hendak membunuhku? Kalau tidak, aku akan menyiksamu habis-habisan...!” ancam Panji lagi. Hatinya merasa jengkel karena tanpa sebab yang jelas orang-orang itu menghendaki kematiannya.

“Kami..., kami hanyalah orang-orang bayaran. Kami akan menerima bayaran yang besar apabila dapat melenyapkanmu,” akhirnya lelaki berwajah persegi itu terpaksa mengakui.

“Hm.... Dari mana kau tahu aku berada di tempat ini...?” desak Panji lagi, tetap dengan langkah lambat, menghampiri lawannya yang sudah kehilangan kebe- ranian itu.

“Orang..., yang membayar kami yang memberitahu kalau kau mungkin menuju tempat ini...,” jawab lelaki itu lagi. Tubuhnya kini terduduk, karena kedua kakinya tidak kuat lagi menyangga berat tubuhnya. Jelas, tatapan sepasang mata Panji yang mencorong menggetarkan jantung telah membuat lawannya seolah lumpuh.

“Siapa orang yang membayarmu untuk melakukan perbuatan ini?” desak Panji, lagi semakin mendekati sasarannya.

“Dia adalah...”

“Aaa...!” Belum lagi lelaki berwajah persegi itu mengatakan nama orang yang membayarnya untuk membunuh Panji, tiba-tiba dari lereng gunung terdengar jeritan panjang. Serentak keduanya menoleh ke lereng Gunung Gedang.

“Ahhh...?!” Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika sepasang bola matanya menangkap sesosok tubuh kurus menggelinding ke bawah dengan deras. Jelas orang itu terjatuh. Lereng Gunung Gedang memang terlihat agak licin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera melesat untuk menolong orang itu.

Melihat Pendekar Naga Putih lupa kepadanya, lelaki berwajah persegi itu langsung mengambil langkah seribu. Kabur!

DELAPAN

Panji yang mendengar suara orang berlari di belakangnya, terpaksa menghentikan langkahnya. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika melihat buronannya melarikan diri. Terjadilah pertentangan di hatinya, antara menyelamatkan orang yang terjatuh, atau menangkap tawanan yang sangat berarti baginya itu. Dengan berpikir kalau sosok lelaki kurus yang terjatuh itu kemungkinan besar tewas dan tidak mungkin tertolong, maka Panji mengambil keputusan untuk mengejar lelaki berwajah persegi yang hampir memberikan keterangan penting kepadanya.

“Haiiit...!”

Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan, lalu melambung tinggi melewati kepala lawannya. Kakinya menjejak ringan setelah berputaran beberapa kali di udara.

“Ahhh...?!” Bukan main terkejutnya hati lelaki berwajah persegi itu ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba saja berdiri tegak beberapa langkah di depannya.

“Hm.... Kau hendak melarikan diri rupanya...,” dengus Panji dengan sorot mata yang menggetarkan jantung. Secepat kilat tangannya menotok jalan darah buruannya. Dan, tubuh lelaki itu pun menggeloso ke tanah bagai sehelai karung basah.

Setelah melumpuhkan buruannya, Panji melesat kembali dengan maksud melihat orang yang terjatuh barusan. Ketika menemukan seorang kakek-kakek terduduk di dekat semak dengan napas satu-satu, Panji mendekatinya.

“Anak Muda...., tolonglah aku...,” suara kakek itu demikian lemah.

Hal itu membuat Panji menjadi iba. Dan tanpa curiga sedikit pun, kakek itu didekatinya dengan maksud untuk menolong. Ketika tiba di depan kakek itu, Panji berjongkok untuk memeriksa luka-luka yang dideritanya. Tapi..., baru saja mengulurkan tangan untuk memeriksa, tiba- tiba....

“Heaaah !”

Kakek itu membentak sambil mendorong sepasang telapak tangan ke depan. Karuan saja Panji terkejut setengah mati. Dia terlambat menyadarinya. Akibatnya, tidak bisa menghindar dari serangan licik itu. Dan....

Desss!

“Aaargh!”

Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar Naga Putih terlempar deras sejauh tiga tombak lebih, kemudian terguling-guling lebih dari satu setengah tombak. Pukulan licik yang mengandung kekuatan hebat itu, membuat mulutnya memuntahkan darah segar. Wajah Panji pucat seketika. Untunglah tenaga saktinya sedikit melindungi tubuhnya, meski agak terlambat. Kalau tidak, mungkin dada pendekar muda itu sudah remuk akibat pukulan yang luar biasa itu.

“Uhukkk! Uhukkk!” Panji terbatuk hebat dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Darah segar kembali menetes dari mulutnya. Tubuhnya terasa lemas, ditambah rasa gatal yang menyerang bagian dalam dadanya.

Sadarlah Panji kalau pukulan itu mengandung racun ganas. Sadar jika dibiarkan berlarut-larut racun itu akan segera menjalar, Panji segera memusatkan pikiran. Dikerahkannya ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ sebagai penjelmaan dari Pedang Naga Langit yang sanggup menawarkan jenis racun terkuat sekalipun. Tidak berapa lama kemudian, tubuh pemuda berju- bah putih itu bergetar hebat. Butiran keringat sebesar biji jagung bersembulan di wajahnya. Lapisan sinar kuning keemasan menyusul muncul, menebarkan hawa panas luar biasa dalam jarak satu tombak

“Gila...! Apa yang terjadi dengan pemuda itu?! Kekuatan apa yang dimilikinya? Benarkah dugaanku kalau lapisan sinar kuning keemasan itu tengah membakar racun pukulanku? Kalau benar demikian, jelas pemuda itu benar-benar sangat sakti! Aku jadi ragu untuk dapat menundukkannya...,” desis kakek bertubuh tinggi kurus yang rupanya hanya berpura-pura jatuh dari lereng gunung untuk menjebak Panji. Niat liciknya itu memang berhasil baik.

“Huakhhh...!”

Seiring dengan lenyapnya sinar kuning keemasan berhawa panas itu, Panji memuntahkan segumpal darah kental kehitaman. Setelah itu, tubuhnya terasa ringan kembali, dan kepalanya tidak lagi berdenyut-denyut. Bahkan rasa gatal di dadanya lenyap tanpa bekas. Jelas, racun di tubuhnya telah berhasil dipunahkan.

“Kau benar-benar seorang pemuda yang luar biasa, Pendekar Naga Putih. Betapa bangga hatiku seandainya kita bisa berkawan dan melenyapkan permusuhan. Maafkan tindakanku barusan. Aku hanya bermaksud mengujimu. Apa yang terjadi barusan merupakan peringatan sekaligus pengalaman buatmu, agar lain kali bisa lebih hati-hati...,” ujar kakek bertubuh tinggi kurus itu, menyembunyikan kelicikannya.

“Pukulanmu benar-benar hebat dan jahat, Kek. Tentu saja aku tidak akan menolak uluran persahabatanmu, meskipun kau hampir saja membuatku tewas. Tapi, sebelumnya kau harus menjawab pertanyaanku. Siapa sebenarnya dirimu? Kalau kita belum saling kenal, mana mungkin dapat menjadi sahabat..?” tim-pal Panji yang kali ini bersikap penuh kewaspadaan. Dia berusaha mengulur waktu dengan basa-basi itu, agar tubuhnya yang masih lemah dan kekuatannya yang berkurang dapat kembali pulih.

“He he he...! Mengapa kau masih berpura-pura, Pendekar Naga Putih. Aku sudah tahu tujuanmu datang ke Gunung Gedang ini. Nah! Sekarang kau telah berhadapan dengan penghuninya. Apa maksudmu mencariku, Pendekar Naga Putih...?” tanya kakek itu. Secara tidak langsung, mengakui dirinya sebagai Raja Racun Kelabang yang hendak dijumpai Panji.

“Hm.... Jadi kau yang berjuluk Raja Racun Kelabang...?” ujar Panji, meminta ketegasan.

“Benar. Akulah yang berjuluk Raja Racun Kelabang. Nah, apa yang kau inginkan dariku...?” tanya kakek itu lagi sambil menatap Panji dengan pandangan menyelidik tajam.

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah aku mengetahui bagaimana kau dapat menduga maksudku datang ke tempat ini? Mungkinkah ada seseorang yang mengabarkannya kepadamu...?” tanya Panji bernada menyelidik.

Wajar saja kalau Pendekar Naga Putih bertanya demikian. Sebab, menurutnya tak seorang pun tahu tentang kedatangannya ke Gunung Gedang. Lalu, bagaimana ketiga penghadang yang telah dilumpuhkannya itu bisa mengetahui kalau dia datang ke tempat ini? Bagaimana pula Raja Racun Kelabang bisa menebak maksud kedatangannya? Tentu saja semua pertanyaan itu sangat sulit dijawab Panji.

“He he he...! Tidak perlu aku menyembunyikan semua apa yang ku tahu, Pendekar Naga Putih. Aku sudah mendengar tentang tewasnya Tiga Setan Lembah Mayat di Hutan Pancawarna. Dan, ketiga orang yang kuketahui sebagai pembunuh bayaran itu, tewas oleh ‘Racun Kelabang Hijau’, bukan? Sedangkan aku belum pernah meninggalkan tempat ini. Jelasnya, ada seseorang yang hendak memfitnah dan menjatuhkan nama besarku. Bagaimana pendapatmu, Pendekar Naga Putih...?” tanya Raja Racun Kelabang menjelaskan apa yang diketahuinya.

Mendengar ucapan itu Panji langsung tertegun. Dengan adanya penjelasan itu, berarti dia telah gagal untuk menemukan petunjuk. “Ah, sebentar...!” Panji tersentak ketika ingat pada lelaki berwajah persegi yang dilumpuhkannya tadi Dengan agak tergesa, Panji membalikkan tubuhnya untuk membawa tawanannya ke hadapan Raja Racun Kelabang.

“Tunggu...!” sambil berseru, Raja Racun Kelabang melesat seperti hendak mencegah Panji mendekati tawanannya.

“Ada apa, Raja Racun Kelabang? Mengapa kau mencegahku...?” tegur Panji bernada curiga. Matanya menatap tajam wajah kakek itu.

“Sebaiknya lupakan saja tawananmu itu. Karena persoalan ini menyangkut nama baikku, biarlah aku saja yang mengurusnya,” pinta Raja Racun Kelabang. Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah mendahului Panji.

“Tidak. Aku sudah telanjur terlibat ke dalam persoalan ini!” bantah Panji yang memang belum percaya penuh pada keterangan Raja Racun Kelabang. Biar bagaimanapun, dia harus mempertahankan tawanannya. Sebab, hanya orang itu yang menjadi kunci jawaban dari semua peristiwa yang melibatkan namanya.

“Kalau begitu aku terpaksa harus merebutnya dari tanganmu!” Raja Racun Kelabang tidak mau kalah. Malah kakek itu tampak tidak ragu-ragu untuk merebutnya dengan jalan kekerasan.

“Hm.... Aku akan mempertahankannya dengan taruhan nyawaku, Raja Racun Kelabang...!” tegas Panji seraya melangkah mundur beberapa tindak. Pendekar Naga Putih tahu kalau kakek itu memiliki sifat yang sangat licik. Tentu dia tidak akan ragu-ragu berbuat curang demi mencapai kemenangan.

“Kurang ajar...!” geram Raja Racun Kelabang. Langsung saja dilontarkannya serangan kilat seganas serangan ular berbisa. Untung Panji waspada, membuat serangan Raja Racun Kelabang luput

“Heaaah...!”

Dengan sebuah bentakan keras, Pendekar Naga Putih melancarkan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya dengan serangan lawan. Kendati tenaganya belum pulih sepenuhnya, namun hati pemuda itu sama sekali tidak gentar. Bahkan mampu membuat lawannya kerepotan dengan serangkaian serangan maut.

Plak! Plak!

Terdengar ledakan keras saat kedua pasang lengan itu berbenturan. Tubuh keduanya terjajar mundur. Jelas hal itu membuktikan kekuatan mereka berimbang.

Panji menggeser mundur langkahnya. Kemudian disiapkannya ‘Ilmu Silat Naga Sakti’ untuk menghadapi Raja Racun Kelabang. Tenaga Pendekar Naga Putih sebenarnya belum pulih benar, namun berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi lawannya.

“He he he! Ke mana perginya tenaga sakti mukjizat yang kabarnya sangat hebat itu, Pendekar Naga Putih?” ejek Raja Racun Kelabang yang menyadari kalau kekuatan lawan banyak berkurang akibat pukulan beracun yang dilontarkan secara licik tadi.

“Hm.... Biar bagaimanapun aku tetap akan berusaha membekukmu, Raja Racun Kelabang ,” desis Panji yang membuka jurusnya kembali dan siap menghadapi lawan berat itu.

“Hiaaat!”

Kali ini Pendekar Naga Putih memulai serangan lebih dulu. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak kian kemari dengan menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Sehingga, Raja Racun Kelabang tidak berani menganggap enteng kekuatan pe-muda itu.

Bettt!

Raja Racun Kelabang menarik mundur tubuhnya untuk menghindari sambaran cakar naga Panji. Kemudian langsung dibalasnya dengan serangan yang tidak kalah berbahaya. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan.

“Yeaaat...!”

Untuk kesekian kalinya, Raja Racun Kelabang mencecar lawannya dengan serangkaian serangan maut Sepasang tangannya seolah berubah menjadi ratusan banyaknya. Setiap sambaran tangannya selalu diiringi suara mencicit tajam, pertanda tenaga sakti kakek itu telah mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, dalam jurus kesembilan puluh tujuh itu, Panji jadi sibuk menghindari serangan hebat lawannya.

Dukkk! Plakkk!

Terdengar suara benturan keras, membuat udara disekitar tempat itu bergetar. Untuk yang kesekian kalinya tubuh kedua tokoh itu terjajar mundur. Bahkan kali ini Panji terjajar agak jauh akibat tenaga saktinya yang kian melemah.

Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Raja Racun Kelabang. Diiringi teriakan melengking yang memekakkan telinga, kakek bertubuh tinggi kurus itu melesat bagai sambaran kilat. Pukulan-pukulannya meluncur deras, mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.

Panji terpaksa terus melangkah mundur untuk menyelamatkan dirinya. Tapi, untuk menghindar terus dari serangan lawan ternyata tidak mudah. Mau tak mau tangannya harus menepiskan beberapa pukulan lawan yang tidak bisa dihindarinya. Setiap kali lengan mereka berbenturan, tubuh Panji selalu tergetar mundur. Pada suatu saat....

Desss!

“Ughhh!” Tubuh Pendekar Naga Putih terpelanting akibat pukulan keras yang mendarat telak di tubuhnya. Darah segar kembali menetes dari sudut bibirnya. Meski begitu, Panji masih dapat berguling saat telapak kaki lawan hendak melumatnya.

Derrr!

Terdengar ledakan bagai mengguncangkan bumi ketika telapak kaki Raja Racun Kelabang hanya menjejak tanah kosong. Kalau saja pemuda itu tak sempat menghindari gempuran ganas itu, niscaya tubuhnya akan lumat seketika.

Sadar kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya sudah tidak mungkin diandalkan untuk menghadapi lawan, Pendekar Naga Putih segera memusatkan pikiran untuk mengeluarkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’.

“Aaarkkk!” Di awali sebuah pekikan keras, muncullah lapisan cahaya keemasan yang menebar hawa panas menyengat kulit.

Tentu saja Raja Racun Kelabang menjadi terkejut Sungguh tidak dimengertinya, bagaimana mungkin lawan yang sudah kehabisan tenaga itu masih bisa mengerahkan kekuatannya yang lain?

Raja Racun Kelabang memang tidak bisa memahami kekuatan tersembunyi di dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Tenaga yang kali ini digunakan Panji bukanlah tenaga yang didapat dari latihan yang bisa berkurang karena terlalu banyak dikerahkan. Sedangkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ adalah tenaga gaib jelmaan Pedang Naga Langit, maka kekuatannya pun tidak akan pernah berkurang. Hanya saja Panji jarang menggunakannya, kecuali dalam keadaan terpaksa seperti sekarang.

“Gila...!” desis Raja Racun Kelabang yang tak habis pikir dengan keanehan itu. Meskipun demikian, kakek itu sama sekali tidak terlihat gentar. Saat itu juga tubuhnya melayang ke depan sambil mendorong sepasang telapak tangannya.

"Whusss..!" Serangkum angin keras disertai bau amis, mengiringi terlepasnya pukulan maut Raja Racun Kelabang!

Melihat kedahsyatan serangan lawan, Panji pun tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya tenaga sakti itu ke kedua lengannya. Kemudian didorongkan kedepan untuk menyambut datangnya serangan lawan. Dan....

Blarrr!

Bumi di sekitar Gunung Gedang bagai dilanda gempa ketika dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu berbenturan di udara.

“Aaa!” Raja Racun Kelabang menjerit ngeri! Tubuhnya terlempar bagaikan daun kering yang diterbangkan angin, lalu menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. Tubuh Raja Racun Kelabang berikut pohon itu langsung terjerumus ke dalam sungai.

Panji yang hanya tergetar akibat beradunya tenaga itu, segera melompat untuk mengejar tubuh Raja Racun Kelabang yang terbawa arus. Pemuda itu langsung menyambarnya dan mengangkatnya naik. Hal itu dilakukan karena tokoh itu sangat penting sekali bagi Panji untuk membersihkan namanya dari tuduhan Senapati Marganta. Sambil membawa tubuh Raja Racun Kelabang yang pingsan dengan luka dalam yang parah, Pendekar Naga Putih menghampiri lelaki berwajah persegi yang sejak tadi di tinggalnya. Kemudian, jarinya bergerak untuk membebaskan totokan pada tubuh lelaki itu.

“Nah! Sekarang katakan, siapa yang membayar mu untuk membunuhku...?” tanya Panji kepada lelaki yang tampak ketakutan itu.

“Se..., Senapati Marganta. ,” jawab lelaki itu dengan suara patah-patah.

“Senapati Marganta...?!” seru Panji setengah tak percaya. Tapi ketika teringat betapa panglima itu sangat ingin melenyapkannya, Panji akhirnya dapat mempercayai juga. Kini Pendekar Naga Putih mengerti, mengapa Tiga Setan Lembah Mayat hendak membunuhnya pula. Rupanya tiga pembunuh bayaran itu pun dijanjikan imbalan tinggi untuk melenyapkan dirinya.

“Lalu, mengapa Tiga Setan Lembah Mayat menuduh Raja Racun Kelabang sebagai pembunuhnya...?” tanya Panji lagi, agak heran.

“Raja Racun Kelabang adalah guru Senapati Marganta. Senapati itu hendak menguasai Kadipaten Balaraja dengan bantuan gurunya...,” jelas lelaki itu lagi.

Membuat Panji mengerti mengapa persoalan itu jadi demikian rumit. Rupanya orang dalam istana kadipaten itu sendiri yang hendak berkhianat

“Hm.... Kalau begitu, aku juga akan membawamu ke Kadipaten Balaraja. Kali ini senapati pengkhianat itu akan merasakan akibat perbuatannya!”

********************

Kemunculan Panji di Kota Kadipaten Balaraja dengan membawa dua orang tawanan, benar-benar membuat gempar seisi kota itu. Penjaga pintu gerbang langsung melaporkan kedatangan pemuda itu. Tidak seorang pun berani mencegah. Apalagi ketika Panji mengatakan kalau kedua orang yang dibawanya adalah orang-orang yang telah mengacaukan Istana Kadipaten Balaraja. Saat itu kedatangan Panji didampingi oleh kekasihnya. Memang, pemuda itu sengaja menjemput Kenanga sebelum mendatangi kadipaten.

Ketika Panji dan Kenanga yang diiringi puluhan penduduk kota tiba di depan gerbang istana, puluhan prajurit menghadang dengan senjata terhunus. Mereka dipimpin oleh Perwira Duranta.

“Pendekar Naga Putih, apa maksudmu memasuki kadipaten dengan membawa dua orang tawanan itu?” tegur Perwira Duranta dengan sikap waspada. Jelas kalau perwira gagah itu masih mencurigai Panji.

“Tuan Perwira, kedua orang ini adalah orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di istana kadipaten. Apakah Tuan Perwira tidak kenal dengan kakek ini...?” ujar Panji. Ditatapnya wajah Perwira Duranta dengan sinar mata tajam. Dan Pendekar Naga Putih jadi kecewa ketika melihat perwira itu menggelengkan kepala.

“Hm... Kalau begitu, biar Saranta yang menjelaskannya,” ujar Panji sambil menoleh pada lelaki berwajah persegi, salah seorang dari pembunuh sewaan Senapati Marganta yang ditawannya.

Tanpa ragu-ragu lagi, Saranta segera menceritakan semua yang diketahuinya. Diakuinya kalau dirinya dibayar untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Dijelaskannya juga siapa kakek yang berjuluk Raja Racun Kelabang yang dibawa Panji. Perwira Duranta menjadi terkejut bukan main mendengar semua penjelasan itu.

“Jadi, Senapati Marganta yang menjadi biang keladi dari semua peristiwa ini?! Tidak kusangka kalau dia mempunyai niat jahat untuk menguasai kadipaten ini...,” ujar Perwira Duranta yang sejak semula memang tidak percaya kalau Pendekar Naga Putih adalah pelaku semua kejadian itu.

“Tuanku...!”

Perwira Duranta menoleh ketika mendengar suara panggilan yang ditujukan padanya. Kening lelaki gagah itu berkerut ketika melihat seorang prajurit berlari menghampirinya.

“Ada apa...?” tanya perwira gagah itu dengan suara berwibawa.

“Kami..., kami menemukan Senapati Marganta tewas. Dia.., dia bunuh diri, Tuanku...,” lapor prajurit yang bertugas menjaga istana kadipaten itu dengan napas memburu.

Perwira Duranta hanya bisa menghela napas panjang mendengar berita itu. Kemudian memandang Panji dan Kenanga dengan wajah menyesal. “Rupanya dia memilih mati daripada dihukum gantung di depan rakyat banyak...,” desah Perwira Duranta pelan namun terdengar cukup jelas bagi Panji dan Kenanga.

“Jika demikian, kami mohon diri. Kedua orang ini kami serahkan untuk diadili,” ujar Panji.

Kemudian, diserahkannya Raja Racun Kelabang dan Saranta kepada perwira gagah itu. Raja Racun Kelabang tampak sudah tidak berdaya, karena Panji telah melumpuhkan kesaktiannya dengan jalan melumpuhkan otot besar di kedua bahunya.

Tubuh Panji dan Kenanga tiba-tiba berkelebat cepat sebelum Perwira Duranta sempat membuka mulut, bahkan untuk sekadar mengucapkan terima kasih.

“Pendekar Naga Putih benar-benar seorang lelaki gagah berhati mulia. Dia sama sekali tidak mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya, meskipun hanya sekadar ucapan terima kasih...,” gumam Perwira Duranta yang semakin kagum kepada pemuda sakti itu.

Di kejauhan, dua sosok tubuh berlari menuju arah barat yang telah diwarnai oleh lembayung. Hari tampaknya akan bergulir dan terus bergulir, sementara dua pendekar sejati itu akan terus mengisinya dengan perjuangan untuk menancapkan bendera kebenaran.

S E L E S A I