Gerombolan Setan Merah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Gerombolan Setan Merah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih

PROLOG

Hampir setiap malam terjadi pembunuhan di Desa Palasari, korban selalu tewas dengan tanda tiga buah jari yang melubangi kening!

Bagaimanakah sikap Kepala Desa Palasari, Ki Kaligandii ketika mengetahui pelaku pembunuhan di desanya adalah Gerombolan Setan Merah? Gerombolan kaum sesat yang memiliki ilmu-ilmu hitam mengerikan! Bahkan sanggup membangkitkan mayat dari dalam kuburnya!

Mampukah Pendekar Naga Putih mengatasi tokoh-tokoh puncak Gerombolan Setan Merah yang sangat sakti dan mengerikan itu?

********************

SATU

Matahari sudah jauh bergeser ke barat Sinarnya kian redup, berganti dengan semburat cahaya merah. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Seiring dengan itu, terdengar nyanyian binatang-binatang malam yang saling bersahutan. Malam telah jatuh.

Langit dihiasi bulan sabit Sinarnya yang redup tak mampu menembus kegelapan malam yang semakin pekat Terlebih di daerah pekuburan yang terletak jauh di luar Desa Palasari. Pantulan cahaya samar sang Dewi Malam, jatuh di beberapa batu nisan. Dan, membentuk gambaran-gambaran seram yang membuat bulu kuduk meremang. Ditambah lagi adanya kepulan asap tipis laksana lapisan kabut Daerah pekuburan itu tampak semakin menyeramkan.

"Hhh.... Malam ini tidak seperti biasanya. Dingin sekali...," desah seorang penjaga pekuburan sambil menaikkan kain sarungnya hingga ke leher. Kemudian melipat kedua tangannya. Seolah dengan sikapnya itu kebenaran ucapannya ingin diperlihatkan.

Lelaki berselimut kain sarung itu melangkah perlahan keluar dari pos jaganya. Menilik wajahnya, usianya kira-kira lima puluh tahun. Bertubuh kurus dan agak bungkuk. Langkahnya tertatih-tatih mendekati sosok lain yang tengah berjongkok di dekat perapian.

"Kurang ajar...! Udara dingin malam ini membuat kayu jadi lembab dan sulit terbakar...," lelaki yang tengah sibuk membuat api unggun mengomel panjang pendek. Rupanya, merasa jengkel apinya tak juga mau membesar.

"Heh heh heh.... Kau mengomel pada siapa, Adi Lajang...?" tegur lelaki kurus itu sambil berjongkok di dekat kawannya. Hatinya merasa geli melihat kelakuan kawannya yang mengomel sendirian.

"Ah. Kau rupanya, Kakang Jasman!" seru lelaki beralis tebal agak terkejut mendengar teguran itu. "Mengapa tidak tidur? Biar aku saja yang berjaga-jaga sampai lewat tengah malam nanti."

Setelah berkata begitu, tatapan lelaki beralis tebal yang ternyata bernama Lajang itu kembali beralih pada api unggun yang menyala kecil. Lalu sibuk mengatur kayu bakar di atas jilatan api.

"Hhh.... Udara dingin begini masa bisa tidur, Adi...," sungut Ki Jasman, ikut sibuk membantu kawannya memperbesar api. Selain untuk menghangatkan tubuh, api itu pun digunakan sebagai pengusir nyamuk.

"Ya. Udara malam ini memang tidak seperti biasanya. Kalau tidak ingat akan tugas, aku lebih suka pulang dan tidur sepuas-puasnya...," timpal Lajang. Rupanya, dia pun merasakan dinginnya udara malam itu. "Malam apa ini, Kakang...?"

Kata-kata itu diucapkan Lajang sambil tetap sibuk mengurus api unggun di depannya. Sepertinya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi saja.

Tapi pertanyaan itu sempat membuat kening Ki Jasman berkerut agak dalam. Bahkan, sepasang matanya mengitari daerah pekuburan di depannya. Sebentar kemudian, wajahnya terlihat menegang.

"Hm.... Kalau tidak salah, malam Jumat Kliwon, Adi Lajang," sahutnya dengan suara agak kering.

"Kalau malam Jumat Kliwon memangnya kenapa, Kakang...?" tanya Lajang yang tidak membedakan soal nama-nama malam. Lelaki beralis tebal itu tetap acuh dan tidak mempedulikan ketegangan kawannya.

"Tidak apa-apa, Adi," sahut Ki Jasman, berusaha menyembunyikan ketegangan hatinya. Mungkin merasa malu bila Lajang yang usianya lebih muda darinya itu sampai mengetahui perasaannya saat itu.

Sementara itu, api sudah mulai membesar. Rupanya, usaha Lajang tidak sia-sia. Mereka mulai merasakan kehangatan yang menyerap ke dalam tubuh. Lajang menoleh dan tersenyum pada kawannya. Tapi sebentar kemudian senyumnya pudar.

"Kau seperti tengah memikirkan sesuatu, Kakang...?" tanya Lajang, seolah dapat membaca keanehan pada wajah lelaki setengah baya di sampingnya, yang juga tengah bangkit berdiri.

Ki Jasman sedikit tersentak mendengar pertanyaan Lajang. Dihelanya napas panjang. Kakinya melangkah lalu duduk di bangku kayu, yang ada di depan pos jaga. Tampaknya lelaki setengah baya itu berusaha menghindar dan menyembunyikan perasaannya.

"Ada apa, Kakang...?" Lajang menjadi penasaran. Dan, berusaha mendesak kawannya agar memberikan jawaban Ki Jasman kembali menghela napas panjang dan mengedarkan pandangannya ke daerah pekuburan. Sepertinya, orang tua itu tengah mencari jawaban yang tepat

"Kau ingat peristiwa beberapa minggu yang lalu..?" Ki Jasman balik bertanya sambil menatap wajah Lajang yang mengerutkan kening.

"Maksud, Kakang...?" Lajang agaknya belum mengerti arah pertanyaan Ki Jasman. Ditatapnya wajah orang tua itu lekat-lekat

"Ah.... Masa kau lupa dengan kejadian pembongkaran makam pada beberapa minggu lalu...?" Ki Jasman mencoba mengingatkan Lajang akan peristiwa itu.

"Hm.„. Ya, aku ingat!" sahut Lajang setelah berpikir sesaat "Lalu...?"

"Ah...! Bebal sekali otakmu, Lajang!" umpat Ki Jasman jengkel. Perasaan itu terpancar pada sepasang mata tuanya. "Kau ingat! Kejadiannya pada malam seperti ini...!"

"Ooo.... Jadi itu yang mengganggu pikiran Kakang...?" Lajang membulatkan mulutnya begitu ingat apa yang dikatakan Ki Jasman. Sehingga, orang tua itu kelihatan bertambah kesal.

”Peristiwa itu sungguh tidak mengganggu pikiranmu?" tegur Ki Jasman. Kelihatan sekali kalau lelaki tua itu tidak puas dengan jawaban Lajang.

"Mula-mula memang agak sedikit mengganggu. Tapi, untuk apa kita memikirkannya? Lagi pula, kejadian itu sudah cukup lama terjadi...," tukas Lajang.

"Bodoh kau!" rutuk Ki Jasman seraya menampar kepala Lajang perlahan karena kejengkelannya yang memuncak. "Aku khawatir peristiwa itu akan terulang lagi malam ini...!"

Lajang yang hampir terjatuh dari bangku tertegun sesaat. Semula hatinya agak penasaran dengan perbuatan Ki Jasman. Tapi begitu mendengar kekhawatiran orang tua itu, Lajang jadi berpikir.

"Jadi itu yang mengganggu pikiranmu...?" Lajang meminta ketegasan KiJasman.

"Kau kira apa yang terpikir dalam kepalaku selain soal keamanan tempat ini, hah?!" tukas Ki Jasman setengah membentak.

Lajang terkekeh perlahan. Lelaki beralis tebal itu tidak tersinggung dibentak Ki Jasman. Malah kelihatan geli sendiri melihat ringkah orang tua itu

"Auuung...!"

"Hei...?!" Ki Jasman terlonjak bangkit dari duduknya mendengar raungan anjing malam itu. Wajahnya terlihat agak pucat!

"Anjing sialan...!" rutuk Ki Jasman menyumpah-nyumpah. "Jantungku hampir copot dibuatnya...!"

"Kau kelihatan sangat tegang, Ki..," tegur Lajang dengan pandangan menyelidik, karena dirinya sendiri tidak terkejut dengan lolongan anjing malam itu. Menurutnya, suara itu tidak aneh. Karena memang sering terdengar pada saat-saat seperti itu.

Srekkk! Srekkk!

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menginjak dedaunan kering. Wajah Ki Jasman semakin pucat! Dengan sigap, golok di pinggangnya langsung dicabut

Srat!

"Kau dengar suara itu, Lajang..?" bisik Ki Jasman. Goloknya digenggam erat-erat

Lajang tidak mengeluarkan suara. Dia hanya menganggukkan kepala. Sedangkan tangannya sudah meraba gagang golok. Meskipun senjata itu belum keluar dari sarungnya, tapi Lajang telah mempersiapkan segalanya.

"Sepertinya dari belakang pos jaga kita...," bisik Ki Jasman tegang. "Jangan-jangan kawanan pencuri yang hendak membongkar makam baru"

Sesaat keduanya saling bertukar pandang. Kemudian, sama-sama mengangguk dan berpencar ke kiri dan kanan dengan senjata tergenggam di tangan kanan. Sedangkan tangan kiri mereka memegang kayu bakar menyala sebagai penerangan.

"Anjing keparat...!"

Lagi-lagi Ki Jasman mengutuk. Ternyata hanya seekor serigala. Rupanya, binatang itulah yang menimbulkan suara langkah lembut di atas dedaunan kering. Karena kejengkelan yang memuncak, kayu bakar yang berada di tangannya segera disodorkan ke arah serigala itu. Maka, binatang buas itu pun langsung mengambil langkah seribu.

"He he he!" Lajang terkekeh melihat wajah Ki Jasman yang kemerahan. Tingkah kawannya itu tampak semakin janggal dan lucu. Lajang sendiri tidak begitu heran melihat binatang-binatang itu berkeliaran di pekuburan. Pemandangan itu bukan sesuatu yang bani bagi mereka berdua. Terasa aneh bila orang tua itu terlihat sangat tegang.

"Jangan mengejekku, Lajang!" bentak Ki Jasman jengkel karena ditertawakan kawannya. "Kalau tubuhmu sudah dirobek-robek taringnya, baru kau tahu rasa!" Sambil bersungut-sungut, Ki Jasman bergegas meninggalkan tempat itu. Sementara, Lajang masih terkekeh sambil memegangi perutnya.

"Aaa...?!"

Tiba-tiba terdengar lolong kematian yang panjang dan mendirikan bulu kuduk. Lajang yang saat itu masih berada di belakang pos jaga terkejut setengah mati, karena mengenali suara jeritan itu.

"Kakang...!" desis Lajang segera menghambur ke depan pos jaga. Tapi....

"Ahhh?!" Lajang terbelalak pucat melihat pemandangan yang terbentang di depan matanya. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur. Butir-butir keringat dingin membasahi wajahnya.

"Ki Jasman?!"

Lelaki beralis tebal itu merintih parau. Betapa tidak? Begitu tiba di depan pos jaga, dilihatnya tubuh Ki Jasman telah tergeletak tanpa nyawa. Darah segar memancur keluar dari batang lehernya. Sedangkan kepala orang tua itu entah ke mana.

"Ahhh...?!" Lajang terbelalak pucat melihat tubuh Ki Jasman tergeletak tanpa nyawa. "Kakang..?!"

Lelaki beralis tebal itu merintih parau. Betapa tidak? Pemandangan di hadapannya sangat mengerikan! Darah segar memancur keluar dari batang leher Ki Jasman. Sedangkan kepala orang tua itu entah berada di mana!

Lajang menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan perasaannya yang terguncang. Sebagai penjaga pemakaman umum, lelaki itu sudah terbiasa melihat segala macam bentuk mayat Karena keberaniannyalah ia diterima dan dipercaya penduduk Desa Palasari untuk menjaga keamanan makam warga desa itu.

Tapi, pemandangan kali ini terasa lain. Darah segar yang terus memancur keluar dari batang leher Ki Jasman, dan kepala yang lenyap entah ke mana, membuat tubuh Lajang menggigil hebat. Bahkan hampir jatuh pingsan. Untung ia masih sanggup berdiri dalam kesadaran utuh!

Setelah terdiam cukup lama dan berhasil menenangkan hatinya, Lajang bergerak mendekat. Dicarinya kepala Ki Jasman yang terpental entah ke mana. Kayu bernyala di tangan kirinya bergerak kian kemari. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam golok telanjang.

"Ahhh...?!" Lajang terlonjak ke belakang ketika menemukan kepala Ki Jasman tergantung tepat di depannya. Sepasang mata kepala itu menatap wajah Lajang. Hingga hati lelaki itu berdebar keras. Darah yang masih menetes dari batang leher itu membuat kepala Ki Jasman terlihat demikian menakutkan. Keheranan besar melanda hati Lajang. Kepala itu tergantung setinggi wajahnya, tanpa ada sesuatu pun yang menyangga. Membuat Lajang penasaran untuk memeriksanya. Didekatkannya kayu bernyala di tangannya. Dan....

"Aaa?!" Lagi-lagi Lajang memekik kaget ketika menemukan jari-jari tangan kekar mencengkeram rambut Ki Jasman. Tangan itulah yang membuat kepala lelaki tua itu tergantung di udara. Ketika Lajang menyusuri jari-jari tangan itu, kembali kakinya melangkah mundur. Di sebelah kanan kepala Ki Jasman berdiri sesosok tubuh tinggi kurus dengan wajah menyeramkan.

"Sssi... siapa... kau...?" desis Lajang segera menjauh dengan golok menyilang di depan dada. Lelaki itu berusaha bersikap tenang dengan menekan segala rasa takut dan ngeri yang mendera hatinya.

Tapi sosok tubuh yang tingginya melebihi ukuran manusia biasa itu, melangkah maju menenteng kepala Ki Jasman. Langkahnya perlahan dengan tangan kiri terulur ke depan. Kuku-kuku jarinya panjang melengkung, menambah sosoknya semakin terlihat menyeramkan. Belum lagi wajahnya yang putih seperti dicat Benar-benar sosok yang sanggup membuat orang penakut pingsan seketika!

"Berhenti...!" Dengan sisa-sisa keberaniannya, Lajang membentak. Goloknya dikibaskan untuk menghalau sosok itu agar menjauh dari dirinya.

"Hmhhh..." Bukannya berhenti, sosok itu malah mempercepat langkahnya. Bahkan, mengeluarkan geraman parau yang membuat hati Lajang bergetar. Sehingga kedua kakinya sukar digerakkan.

"Haaat..!"

Untuk melenyapkan rasa tegang dan ngeri di hatinya, Lajang memekik kuat-kuat. Kemudian, melemparkan kayu bernyala di tangannya. Dan terus melompat sambil mengibaskan goloknya ke arah sosok jangkung itu.

Bettt!

"Hei...?!" Terkejut bukan main hati Lajang ketika sambaran goloknya mengenai angin kosong. Sedangkan sosok jangkung di depannya telah lenyap entah ke mana.

"Iblisss...!" desis Lajang yang mulai lenyap keberaniannya. Lajang bergegas membalikkan tubuh ketika mendengar dengus napas berat di belakangnya. Sayang, gerakannya terlambat! Pada saat itu terdengar sambaran angin keras. Dan....

Brett!

"Aaa...!" Terdengar raung kematian yang membelah keheningan malam. Bersamaan dengan itu, tubuh Lajang terlempar ke tanah dan tewas dengan luka di leher.

Saat berikutnya, kepala lelaki itu direnggut secara paksa dari tubuhnya. Darah segar menyembur keluar membasahi tanah merah yang kering. Dalam waktu singkat, dua penjaga makam itu tewas secara mengerikan. Keheningan malam adalah saksi bisu peristiwa itu. Angin dingin bertiup semakin keras membawa butir-butir air yang berjatuhan ke bumi. Rembulan dan bintang-bintang telah lenyap tertutup awan hitam pekat Gerimis pun turun perlahan membasahi bumi.

"He he he...!"

Sosok jangkung berwajah putih tanpa mengenakan pakaian atas itu, terkekeh parau. Dengan menenteng dua kepala di kanan dan kirinya, sosok itu bergerak melewati makam- makam yang berjejer. Meskipun tanah yang dipijaknya telah basah oleh tetesan air hujan, tapi tidak meninggalkan jejak sedikit pun saat sosok jangkung itu melangkah.

Rintik hujan bertambah deras saat sosok jangkung itu semakin jauh memasuki daerah pekuburan. Sosok itu tidak mempedulikan air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Langkahnya tetap tenang dan tidak terlihat tergesa-gesa. Cukup lama sosok jangkung itu melangkah di sisi makam yang berjejer di kiri dan kanannya. Semak perdu banyak tumbuh di atas makam-makam tak terurus. Mungkin karena letaknya terlalu jauh dari pintu gerbang, maka sanak keluarganya enggan mengurus. Sehingga dibiarkan telantar begitu saja.

Saat hampir mencapai ujung pemakaman, sosok jangkung itu tiba-tiba meloncat ke dalam sebuah liang lahat yang menganga lebar. Kemudian lenyap bersama suara gemuruh yang ditimbulkannya.

"Hieh heh heh...!"

Suara parau yang menyakitkan telinga berkumandang memenuhi pelosok daerah pe kuburan itu. Semakin lama kian mengecil hingga lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya tawa parau yang menyeramkan itu, rintik hujan pun berhenti. Rembulan kembali muncul, ditemani bintang- bintang yang berkedip jenaka. Suasana pekuburan kembali hening dan sunyi. Hembusan angin sesekali bertiup keras.

********************

DUA

Hari masih pagi Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang redup. Tiupan angin pun masih terasa dingin menyentuh kulit Kicauan burung yang terdengar sesekali, membuat suasana pagi itu terasa cerah. Dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki mulut Desa Palasari. Mendadak kening mereka berkerut dengan wajah menggambarkan keheranan. Sejenak keduanya saling pandang, kemudian kembali menatap penduduk desa yang terlihat berduyun-duyun menuju ke satu arah.

"Ada apa ya, Kakang? Melihat wajah-wajah mereka, sepertinya ada suatu peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi...," ujar dara jelita berpakaian serba hitam. Matanya memperhatikan penduduk Desa Palasari yang hampir semua menyiratkan ketegangan diwajahnya.

Pemuda tampan berpakaian serba putih, yang berjalan di sebelah kanan dara jelita itu menggeleng perlahan. Pemuda itu tengah memandang orang-orang yang berduyun-duyun menuju utara desa.

"Entahlah. Aku belum bisa menduganya. Tapi melihat wajah-wajah mereka, rasanya memang ada suatu peristiwa yang menghebohkan," sahut pemuda berjubah putih itu setelah terdiam beberapa saat.

"Mungkin ada perampok yang mengganas di desa ini semalam. Lalu ada keluarga yang menjadi korban...," duga dara jelita itu seraya berpaling dan menatap pemuda tampan di sebelahnya. Seolah hendak meminta tanggapan atas dugaannya.

"Hm.... Mungkin dugaanmu benar...," jawab pemuda itu tanpa berpikir lagi. Kemudian langkah kakinya dipercepat untuk menyusul rombongan orang-orang itu.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang...?!" seru dara jelita itu, bergegas mengikuti langkah kawannya.

"Aku hendak bertanya pada salah seorang dari mereka...," jawab pemuda tampan berjubah putih, tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak berkata apa-apa lagi. Langkahnya dipercepat untuk menjajari langkah pemuda tampan yang tidak lain Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.

"Paman, boleh aku bertanya sedikit..?" sapa Panji, setelah dapat menyusul langkah seorang lelaki berusia empat puluh tahun, yang wajahnya kecoklatan.

Lelaki itu tidak berusaha menghentikan langkahnya. Bahkan, semakin dipercepat seraya menatap pemuda tampan berjubah putih dengan sinar mata tajam menyelidik. Ada kilatan curiga di mata petani itu.

"Kau siapa, Kisanak? Dari mana asalmu...?" Lelaki berwajah kecoklatan itu malah melemparkan pertanyaan kepada Panji. Nada suaranya memperlihatkan kecurigaan yang nyata.

Tapi Pendekar Naga Putih tidak memperlihatkan sikap tersinggung. Bahkan senyumnya mengembang. Seolah ingin mengatakan bahwa kecurigaan petani itu tidak beralasan. Berbeda dengan dara jelita berpakaian serba hijau yang tak lain Kenanga. Sepasang matanya yang bulat dan jernih berkilat sejenak. Dan, kembali biasa saat melihat gelengan pemuda berjubah putih itu. Tampaknya, Kenanga tidak ingin membantah isyarat kekasihnya, hingga memilih diam.

"Kami berdua adalah pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal. Kebetulan pagi ini tiba di Desa Palasari. Melihat para penduduk berduyun-duyun menuju utara desa, kami jadi tertarik dan ingin menanyakannya pada Paman. Kami akan sangat berterima kasih bila Paman mau memberitahukannya...," sahut Panji dengan halus dan sopan.

Kecurigaan petani itu tampak agak berkurang. Sikap dan cara berbicara pemuda itu agaknya telah menimbulkan rasa suka di hatinya. "Hm„.. Sebetulnya aku pun belum tahu jelas, Kisanak. Tapi, kalau memang ingin mengetahui, lebih baik kau ikut dengan rombongan ini...," jawab petani itu agak malu.

"Huh! Kalau tidak tahu, mengapa mencurigai orang segala...?!" omel Kenanga jengkel. Untung ucapan itu agak pelan, sehingga tidak tertangkap jelas oleh petani itu.

Mendengar jawaban petani berwajah kecoklatan itu, Panji dan Kenanga yang mengaku sebagai pengembara, tidak berbicara lagi. Mereka segera mengikuti rombongan orang desa.

Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba di depan sebuah rumah sederhana yang dipenuhi orang. Rasanya, sangat sulit untuk melihat isi rumah. Pagar halaman depannya pun tidak dapat dilihat lagi Orang yang memadati tempat itu terlalu banyak.

Merasa penasaran. Panji dan Kenanga menyeruak kerumunan orang itu. Aneh, penduduk yang berkerumun tidak menghalangi perbuatan mereka. Entah pengaruh apa yang dimiliki pasangan muda ini. Dengan mudah mereka bergerak maju sampai pagar halaman depan rumah itu

"Siapa mereka...? Mengapa begitu mudah menyeruak kerumunan orang banyak...?"

Petani berwajah kecoklatan merasa heran karena sewaktu berusaha menyeruak seperti pasangan muda itu, tubuhnya terombang-ambing ke kiri dan kanan. Bahkan terjepit padatnya orang-orang yang berada di tempat itu. Sehingga, ia kembali bergerak ke luar. Itu pun dilakukan dengan susah-payah sampai wajahnya berkeringat. Padahal kalau melihat bentuk tubuhnya yang tegap dan biasa bekerja keras, dia jauh lebih kuat dari dara jelita berpakaian hijau. Tapi, kenyataannya lain. Petani itu pun menggeleng tak habis mengerti.

Sementara itu, Panji dan Kenanga telah berada di barisan depan. Mereka dapat melihat dengan jelas pemandangan yang terbentang di depan matanya. Benda seukuran tubuh manusia itu ditutupi selembar tikar dari kaki hingga kepala. Tapi, Panji tahu benda itu adalah sesosok mayat Di halaman depan rumah sedernaha itu masih terdapat tiga lainnya, yang ukurannya berbeda-beda.

"Rupanya keluarga ini terbunuh semalam, Kakang..," gumam Kenanga yang berdiri di sebelah kekasihnya.

"Aku rasa juga demikian. Kemungkinan besar perampok yang melakukannya. Tapi aku heran. Mengapa tidak keluarga kaya yang menjadi sasaran mereka? Keluarga sederhana seperti ini tentu tidak memiliki banyak harta. Untuk hidup pun mereka harus bekerja keras membanting tulang...," tukas Panji, membantah dugaannya sendiri.

Memang sulit dipercaya bila keluarga yang sangat sederhana itu didatangi perampok. Padahal, keluarga-keluarga kaya di Desa Palasari tidak sedikit jumlahnya.

"Kalian pasti bukan orang desa ini...," ujar seorang lelaki kurus berusia lima puluh tahun yang berdiri di sebelah Kenanga. Tampaknya dia mendengarkan percakapan pasangan muda itu. Kemudian gagal menahan diri untuk tidak ikut campur.

"Memang bukan, Paman. Kami berdua kebetulan singgah di desa ini. Tapi penduduk yang berbondong-bondong menuju tempat ini, mengundang rasa ingin tahu kami. Hingga, sampailah kami di tempat ini...," sahut Panji seraya tersenyum ramah kepada lelaki kurus itu.

"Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga ini, Paman? Rasanya tidak mungkin mereka terbunuh oleh perampok...," tanya Kenanga. Kesempatan itu segera dimanfaatkan dara jelita itu untuk mencari keterangan mengenai peristiwa ini.

"Mari ikut aku..," bisik lelaki separuh baya, segera menyeruak kerumunan orang. Kemudian, melangkah meninggalkan tempat itu

Pasangan muda itu jadi penasaran. Tanpa banyak cakap lagi, keduanya bergerak keluar dari kerumunan penduduk dan mengikuti langkah lelaki kurus itu.

"Jangan terlalu dekat! Kalian harus berpura-pura tidak sedang mengikuti aku! Itu bisa berbahaya...," bisik lelaki separuh baya bertubuh kurus itu. Langkahnya dipercepat, sehingga pasangan muda itu tertinggal hampir satu tombak.

Bisikan lelaki kurus itu menimbulkan rasa heran keduanya. Tapi, mereka tidak membantah dan segera memperlambat langkahnya. Mereka terpisah empat tombak jauhnya. Banyaknya penduduk yang lalu-lalang, membuat mereka tidak begitu diperhatikan orang.

"Hm.... Peristiwa ini semakin bertambah aneh saja, Kakang...," bisik Kenanga.

"Ya. Rupanya, ada suatu misteri yang menyelimuti desa ini. Lelaki tua itu kelihatannya tahu banyak. Mudah-mudahan kita bisa memperoleh keterangan darinya...," sahut Panji, berbisik. Mereka menjaga pembicaraan agar tidak sampai terdengar orang lain, seperti pesan orang tua bertubuh kurus itu.

Lelaki tua bertubuh kurus terus bergerak meninggalkan Desa Palasari. Dan, terus melangkah tanpa menoleh. Setelah cukup jauh meninggalkan mulut desa, lelaki kurus itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan langkahnya. Sedangkan pasangan muda yang mengikutinya, mulai mengerutkan kening. Mereka heran melihat orang tua itu belum juga mau berhenti. Agaknya, dia sengaja menjauhi Desa Palasari untuk membicarakan peristiwa tadi.

"Hendak dibawa ke mana kita, Kakang...? Apa ini tidak mencurigakan...?" bisik Kenanga yang mulai tidak sabar. Setelah cukup jauh berjalan, orang tua itu masih terus saja melangkah.

"Hm.... Kita lihat saja nanti. Mungkin yang akan dibicarakannya memang sangat penting dan rahasia. Sehingga, memilih tempat yang aman dan tidak diketahui orang...," sahut Panji tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun.

Tidak berapa lama kemudian, mereka menyeberangi sebuah sungai yang cukup deras. Lelaki separuh baya bertubuh kurus itu telah berada diseberang, dan tengah duduk di sebuah batu di tepi sungai.

"Berjalanlah ke sebelah kiri kira-kira enam tombak Di sana kalian akan menemukan sebuah jembatan dari batang pohon kelapa...!" seru lelaki tua itu.

Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera mengikuti petunjuk yang diberikan lelaki tua itu. Benar saja. Sekitar enam tombak dari tempat semula, terdapat sebuah jembatan dari batang pohon kelapa. Keduanya bergegas menyeberang.

Lelaki tua bertubuh kurus memandangi cara pasangan muda itu menyeberang. Meskipun tidak terlalu cepat namun mereka tidak mengalamai kesulitan. Bahkan, kelihatan seperti tengah berjalan di atas tanah datar saja.

"Hm.... Sudah kuduga. Pasangan muda itu pasti merupakan kaum rimba persilatan. Dari cara mereka menyeberang, kelihatan ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi...," gumam lelaki kurus itu. Ada sinar kekaguman di matanya melihat cara pasangan muda itu menyeberang.

"Bagaimana, Orang Tua? Apakah tempat ini sudah cukup aman dari orang-orang yang kau khawatirkan...?" tanya Panji langsung, begitu tiba di depan orang tua itu.

"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sabar, Kisanak...?" senyum tipis di bibir lelaki tua itu terukir. Dia bergerak bangkit menyambut kedatangan pasangan muda itu.

"Bukan aku tidak sabar, Orang Tua. Tapi aku merasa heran. Semula aku menganggap persoalan yang menimpa penduduk Desa Palasari merupakan hal sepele. Tapi melihat kau sangat berhati-hati membicarakannya, aku mulai berpikir lain. Mungkin apa yang akan kau ceritakan pada kami sangat berbahaya," tukas Panji tenang.

"Hm.... Apa sebenarnya yang ingin kalian ketahui...?" tanya lelaki tua itu yang kembali duduk di atas sebuah batu. Sikapnya seperti orang yang tidak tahu maksud pasangan muda itu.

"Hm..." Kenanga kelihatan sangat tersinggung karena merasa dipermainkan. Ingin rasanya menempeleng pipi lelaki tua itu. Tapi niatnya terpaksa dibatalkan karena Panji keburu mencegahnya. Dan mengambil alih persoalan.

"Terlebih dulu, silakan perkenalkan nama kalian...," ujar lelaki kurus itu saat melihat Panji hendak berbicara.

"Baiklah...," ucap pemuda tampan itu masih tetap tenang dan sabar. "Namaku Panji. Sedangkan gadis ini tunanganku. Namanya Kenanga."

"Hm.... Panji dan Kenanga. Nama yang bagus dan gagah," puji lelaki kurus itu perlahan. Kemudian, menoleh dan mengulurkan telapak tangannya ke arah Panji.

"Apa ini..?" tanya Panji meminta ketegasan atas sikap orang tua itu.

"Kalian hendak mencari keterangan dariku, bukan?" tegas lelaki tua itu Keningnya berkerut saat mendengar pertanyaan Panji yang dianggapnya pertanyaan bodoh.

"Hm.... Maksudmu kau ingin meminta imbalan atas jawaban-jawaban yang akan kau berikan kepada kami...?" tanpa Panji menegasi.

"Tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di atas dunia ini, Anak Muda. Kau memerlukan keterangan, aku memerlukan uang. Adil, bukan?" jelas lelaki kurus itu sambil memperlihatkan senyum liciknya.

Ucapan orang tua itu membuat Panji tertegun. Setelah bersusah-payah mengikuti langkahnya, ternyata mereka hanya dipermainkan. Pemuda itu menghela napas panjang menahan kejengkelan hatinya. Tapi tidak dengan Kenanga. Begitu mendengar ucapan lelaki kurus itu, dia langsung saja bangkit Dan tahu-tahu, tangan kanannya telah mencengkeram leher baju lelaki tua itu.

"Kurang ajar! Kau pikir siapa kami sehingga bisa kau permainkan seperti ini?!" geram dara jelita itu Tubuh kurus itu kemudian dilemparkan ke tanah berumput

"Hei...?!" Kaget bukan main lelaki tua bertubuh kurus itu. Sungguh tak disangkanya kalau gadis jelita yang kelihatan lemah lembut itu, ternyata mampu melemparkan tubuhnya. Padahal dia sendiri bukan orang lemah. Meski tak terlalu lihai, tapi soal ilmu silat sedikit-sedikit dikuasainya. Kemarahannya pun bangkit. Tampaknya, dia belum yakin kalau gadis jelita itu yang telah melemparkannya barusan.

"Hm.... Jangan kira aku dapat kau paksa. Gadis Liar! Aku Ki Sola, pantang dihina orang! Apalagi oleh seorang gadis!" geram lelaki tua bertubuh kurus itu seraya memperlihatkan jurusnya. Siap untuk menyerang Kenanga.

Melihat gelagat yang tak menyenangkan itu, Panji segera menengahi. Pemuda itu berpaling ke arah kekasihnya, dan membujuk dara jelita itu agar menahan kemarahannya.

"Ki Sola," ujar Panji setelah dapat membujuk kekasihnya. "Kami akan membayar jika keterangan yang kau berikan benar. Tapi ingat! Kalau ternyata keteranganmu bohong, aku akan memberikan pelajaran padamu..." Ancaman pemuda itu membuat hati Ki Sola bergetar. Apalagi, sinar mata pemuda itu demikian tajam. Hingga dadanya berdebar keras.

"Baik..., baik...," sahut lelaki tua itu mendadak gugup.

"Nah, duduklah. Lalu jelaskan kepada kami apa-apa yang kau ketahui," ujar Panji.

Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sola melangkah dan duduk di sebelah pemuda tampan berjubah putih itu.

"Sebenarnya peristiwa itu bukan baru kali ini terjadi. Sudah ada empat keluarga yang menjadi korban, sebelum yang kalian saksikan tadi. Mereka bukan perampok, karena tak satu pun harta yang diambil dari rumah korban. Yang lebih aneh adalah cara korban-korban itu menemui ajalnya. Pada bagian dahi mereka terdapat tanda tiga jari, yang langsung menembus batok kepala!"

Ki Sola menghentikan ceritanya, seperti hendak melihat tanggapan Panji dan Kenanga. Tapi, kedua erang muda itu tidak memperlihatkan sikap kaget atau ngeri Ki Sola menjadi heran.

"Apakah keteranganmu hanya sekian...?" tanya Panji. Setelah menunggu beberapa saat, orang tua itu belum juga melanjutkan ceritanya.

"Apa lagi yang ingin kau ketahui, Panji...?" tanya Ki Sola yang rupanya sudah kehabisan cerita.

"Mengenai pembunuh itu. Apa sudah ada orang yang pernah memergokinya?" tanya Panji seraya menatap wajah orang tua itu lekat-lekat

"Aku sendiri belum pernah bertemu atau melihatnya...," sahut Ki Sola seraya mengalihkan pandang ke tempat lain. Lelaki tua itu merasa ngeri menentang pandang mata Panji yang demikian tajam bagaikan mengiris-iris jantung.

"Bagaimana dengan orang lain? Dan, apakah pembunuhan itu hanya terjadi pada malam hari saja?" desak Panji. Pemuda itu mulai dapat menebak, Ki Sola hanya mendengar dari orang lain dan tidak mengetahui secara pasti kejadian yang sebenarnya.

"Menurutku, belum ada orang yang memergoki pembunuh itu. Sedangkan kejadiannya memang selalu malam hari. Itu pun tidak setiap malam...," jelas Ki Sola tak berani mengangkat wajah. Rupanya, ia telah salah menilai orang. Semula ia hendak memeras pasangan muda itu dengan keterangan-keterangan palsu. Kini keadaan berbalik, dirinya yang tunduk dan takluk kepada pemuda tampan berjubah putih itu.

"Hm.... Tidak adakah orang-orang yang patut dicurigai di desa itu...?" tanya Panji, berusaha memancing pendapat Ki Sola mengenai pelaku pembunuhan.

"Rasanya tidak. Kalaupun ada, kepala desa kami pasti telah menyelidikinya dengan cermat. Tapi, sampai saat ini belum nampak tanda-tanda siapa pembunuh keji itu"

"Terima kasih, Ki Sola. Keteranganmu rasanya sudah cukup. Nah! Terimalah hadiahmu...," ujar Panji sambil memberikan lima keping uang kepada lelaki tua itu, yang langsung menerimanya dengan wajah cerah.

"Terima kasih...," ucap Ki Sola. Kemudian menyimpan uang itu ke dalam kantung di pinggangnya.

"Kami pergi dulu...," pamit Panji segera mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.

Kali ini Panji tidak menggunakan jempatan batang pohon kelapa untuk menyeberangi sungai. Tubuhnya langsung melayang di atas air. Pada saat meluncur turun, kakinya menotol permukaan air hingga kembali melayang. Kemudian menjejakkan kakinya di seberang sungai.

Lain lagi yang dilakukan Kenanga. Dara jelita itu membawa dua batang ranting. Tubuhnya melompat ke tengah sungai Pada saat meluncur turun, kayu di tangannya dilemparkan dan digunakan gadis itu sebagai landasan berpijak. Tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau itu kembali melayang dan menjejakkan kakinya di dekat Panji.

"Gila...?! Setankah mereka...? Atau seorang dewa dan dewi...?!" desis Ki Sola sangat kaget menyaksikan perbuatan pasangan muda itu Mulutnya menganga lebar. Dan, matanya terbelalak bagai melihat hantu di siang hari.

Panji serta Kenanga memang sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi pelajaran pada Ki Sola, agar lain kati tidak meremehkan orang yang baru dikenalnya. Tanpa mempedulikan keheranan lelaki kurus itu, mereka meninggalkan tepi sungai. Sebentar kemudian, tubuh keduanya lenyap dari pandangan Ki Sola.

"Aaa...!"

Mendengar jerit kematian Ki Sola, Panji dan Kenanga menahan langkah. Mereka tampak sangat terkejut Sungguh tak pernah disangka kalau ditempat itu ada orang jahat yang tengah mengincar Ki Sola.

"Hm... Jangan-jangan ini permainan saja, Kakang," ujar Kenanga ragu.

"Kita lihat saja dulu. Jika benar ini hanya permainan Ki Sola, tidak ada sulitnya meninggalkan lelaki tua itu," bantah Panji yang merasa berat meninggalkan Ki Sola setelah mendengar jerit kema-tian lelaki tua itu.

Kenanga terpaksa mengalah. Mereka segera kembali ke tempat Ki Sola. Dan, yang mereka temukan benar-benar sesuatu yang mengejutkan. Tubuh Ki Sola terbujur tewas dengan dahi berlubang.

"Kurang ajar! Pembunuh itu rupanya telah mengetahui kedatangan kita...," desis Panji setelah melihat cara kematian Ki Sola yang sama dengan korban-korban pembunuhan di Desa Palasari.

"Kita kejar saja, Kakang...," usul Kenanga sangat penasaran melihat pembunuh keji itu

"Percuma. Pembunuh itu pasti telah lari jauh. Sebaiknya kita kembali ke desa," ajak Panji. Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.

Dan tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun menyusul. Sebentar saja, tubuh pasangan pendekar muda itu segera lenyap ditelan rimbunan pohon.

********************

TIGA

Rombongan penduduk Desa Palasari yang berjumlah cukup besar, bergerak melintasi jalan utama desa. Paling depan tampak seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun Wajahnya agak pucat dengan sepasang mata merah, pertanda kurang tidur. Lelaki itu jadi terlihat lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Dia adalah Ki Kaligandi, Kepala Desa Palasari.

Lelaki tua bertubuh gagah itu dikawal oleh dua orang lelaki berbadan tegap. Yang seorang berkumis lebat, sedangkan yang satu berhidung besar. Keduanya tampak gagah, meskipun wajah mereka kelihatan agak pucat Di belakang ketiga lelaki Sesepuh Desa Palasari itu terlihat empat buah keranda yang dipikul enam belas orang. Mereka sedang menuju pekuburan tempat pemakaman sanak keluarganya.

Saat itu matahari sudah naik agak tinggi. Sinarnya yang kuning keemasan menerobos dedaunan dan menerangi tanah di bawahnya. Untung udara tidak terlalu panas. Sehingga, mereka tidak epat lelah menempuh perjalanan yang cukup sulit itu. Menjelang setengah perjalanan, para pemikul keranda diganti.

Hal itu memungkinkan, karena jumlah mereka sekitar lima puluh orang, dan kebanyakan laki-laki. Yang wanitanya bisa dihitung dengan jari tangan. Saat matahari sudah semakin tinggi, rombongan itu pun tiba di daerah pekuburan. Hembusan angin terasa agak keras. Tempat itu memang merupakan tanah lapang yang sangat luas. Itu salah satu penyebab, mengapa daerah itu dibuat untuk tanah pemakaman.

"Hm.... Ke mana Lajang dan Ki Jasman...?" gumam Ki Kaligandi heran ketika melihat kedua penjaga pemakaman tidak muncul menyambut mereka. "Bukankah mereka yang bertugas menjagai tanah pemakaman ini..?"

"Benar, Ki," sahut lelaki berhidung besar yang berdiri di sebelah kiri Ki Kaligandi. "Mungkin mereka masih tertidur dalam pos."

"Hm.... Coba kalian lihat. Apa benar mereka masih tertidur sesiang ini...?" perintah Ki Kaligandi kepada dua pembantu utamanya. Kepala desa itu! merasa ada sesuatu yang meresahkan hatinya.

"Baik, Ki!" sahut mereka seraya melangkahi pergi.

Ki Kaligandi menghentikan rombongan. Dan, menyuruh mereka beristirahat sejenak sambil menunggu kedua pembantu utama kepala desa itu. Saat Ki Kaligandi baru saja duduk dibawah sebatang pohon rindang, tiba-tiba terdengar teriakan kaget. Cepat lelaki itu bangkit dan memandang heran dua orang pembantu utamanya yang berlarian menghampirinya.

"Ada apa...? Apa yang terjadi...?!" tegur Ki Kaligandi. Keningnya berkerut melihat wajah kedua orang pembantunya sangat pucat.

Kedua lelaki tegap itu tidak bisa menjawab pertanyaan kepala desanya. Napas mereka sedang memburu, sehingga sulit memberikan jawaban. "Ada apa, Bagola?" tanya Ki Kaligandi setengah membentak. Lelaki itu sudah tidak sabar ingin segera mengetahui apa yang dilihat kedua pembantunya. Bagola, lelaki tegap berhidung besar terpaksa mengangkat kepala. Tampak jelas dia terkejut mendengar bentakan kepala desanya.

"Lajang..., dan Ki Jasman..., telah tewas dengan leher putus! Kepala mereka..., hilang entah ke mana...," lapor Bagola dengan napas memburu. Kendati demikian, ucapan itu tertangkap jelas oleh Ki Kaligandi

"Apa kalian tidak salah lihat..?" Ki Kaligandi mencoba menegasi. Mungkin saja kedua pembantu utamanya itu salah melihat karena terlalu terburu-buru.

"Kami yakin, Ki...," tegas Bagola tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan, berani menentang pandang mata lelaki tua itu untuk meyakinkannya.

"Hm.... Ayo ikut aku...!" ajak Ki Kaligandi melihat mayat-mayat yang telah mereka temukan.

Kepala Desa Palasari itu tampaknya belum yakin dengan laporan kedua pembantunya. Ki Kaligandi melangkah perlahan dengan jari-jari siap di hulu pedang, siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

"Itu mayat mereka, Ki...!" seru Bagola. Jari telunjuknya diarahkan pada dua sosok mayat yang terbujur kaku tanpa kepala. Mayat Lajang dan Ki Jasman, yang bertugas menjaga tanah pekuburan.

"Iblis keji...!" geram Ki Kaligandi ketika melihat dua anak buahnya yang tewas tanpa kepala. Kelihatan sekali orang tua itu sangat terguncang. Peristiwa yang satu belum terungkap, kini jatuh korban lagi yang keadaannya jauh lebih mengerikan dari mayat-mayat yang mereka bawa. Penemuan dua mayat itu membuat kepalanya semakin pening. Mendadak terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan suara dentang senjata. Ki Kaligandi dan kedua orang pembantunya tersentak kaget

"Kurang ajar! Siapa lagi yang membuat kekacauan itu?!" geram Ki Kaligandi marah bukan main. Cepat tubuhnya melayang dengan pedang terhunus. Dan, langsung menceburkan diri dalam kancah pertempuran.

Bagola dan lelaki tegap berkumis lebat tidak mau ketinggalan. Keduanya segera menghunus senjata dan membantu kawan-kawannya menggempur lawan. Ki Kaligandi dan kedua pembantunya kelihatan sangat terkejut. Orang yang menyerang rombongan mereka berdandan sangat aneh. Warna wajah-wajah mereka berbeda-beda. Mereka jelas bukan perampok-perampok biasa.

"Aaa...!"

Dua orang anggota rombongan tersungkur tewas dengan tubuh bermandikan darah. Terkena sambaran senjata lawan yang berupa golok besar bergerigi. Keadaan jadi semakin kacau. Warga desa yang tidak memiliki kepandaian silat, berlarian kian kemari sambil berteriak-teriak ketakutan

"Bagola, Dinta! Lindungi para penduduk itu!" teriak Ki Kaligandi yang tengah menghadapi dua orang berwajah merah.

Bettt, bettt!

Kesempatan itu segera digunakan lawan untuk menerjang maju. Untunglah Kepala Desa Palasari itu cukup tangguh dan gesit Sehingga berhasil lolos dari sambaran golok lawan.

"Yeaaah...!"

Ki Kaligandi yang terkejut melihat kelihaian lawan memekik keras, sambil melancarkan serangkaian serangan maut yang berdesing tajam. Namun, kedua lawannya yang berwajah merah memang benar-benar tangguh. Serangkaian serangan yang dilancarkan Ki Kaligandi dapat mereka hadapi dengan baik. Bahkan, mampu melepaskan serangan balasan yang sangat cepat dan berbahaya.

"Kurang ajar! Orang-orang gila dari mana mereka ini? Mengapa memusuhi warga desaku...?" desis Ki Kaligandi seraya memutar senjatanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan lawan. Pertempuran tampak semakin hebat, saat Ki Kaligandi mengerahkan seluruh kemampuannya. Lelaki tua itu ingin segera merobohkan lawan. Karena masih banyak orang yang harus diselamatkan dari keganasan gerombolan aneh itu.

Sementara itu, Bagola dan Dinta menemui lawan yang seimbang! Sehingga, tidak mempunyai kesempatan membantu kawan-kawannya. Mereka sendiri pun harus mempertahankan nyawanya dengan sekuat tenaga.

Di saat warga Desa Palasari sudah tidak mempunyai harapan lagi, tiba-tiba melayang dua sosok bayangan putih dan hijau. Kedua sosok itu langsung menerjunkan diri ke dalam kancah pertarungan.

"Hiaaat..!"

Sosok tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau, langsung mengibaskan pedang bersinar putih keperakan yang memancarkan hawa dingin. Sekali bergerak, pedang di tangannya menewaskan seorang lawan dengan usus terburai!

Lain lagi dengan sosok bertubuh sedang yang terbungkus jubah putih. Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu membagi-bagi pukulan dan tendangannya ke arah empat orang lawan yang berada di dekatnya. Hebat dan benar-benar mengagumkan sepak terjangnya. Dalam waktu singkat, keempat pengeroyoknya dapat dirobohkan hanya dengan tangan kosong.

Melihat ada bala bantuan, Ki Kaligandi dan kedua pembantunya jadi tambah bersemangat. Sehingga, kepala desa itu dapat merobohkan seorang lawan dengan sabetan pedangnya. Keadaan pun berbalik secara mengejutkan. Gerombolan orang-orang aneh berwajah merah menjadi terdesak. Jumlah mereka berkurang separuh setelah munculnya dua sosok tubuh berkepandaian hebat itu Salah seorang anggota gerombolan segera berteriak memerintahkan kawan-kawannya mundur. Jumlah mereka yang tinggal sepuluh orang, bergerak mundur sambil melindungi tubuh dengan golok besarnya.

"Heaaat..!"

Pemuda tampan berjubah putih rupanya tidak ingin membiarkan gerombolan itu melarikan diri. Dengan sebuah lesatan panjang, pemuda itu mengejar lawan-lawannya. Kaki dan tangannya bergerak cepat menerbitkan hawa dingin menusuk tulang. Lawan-lawannya pun menjadi semakin gentar.

Plakkk! Bukkk!

Dua orang gerombolan berwajah merah tersungkur mencium tanah. Mereka tewas dengan kepala retak, serta dada remuk oleh tendangan dan tamparan keras pemuda tampan itu.

"Hiaaat..!"

Tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi. Disusul munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah. Wajahnya ditutupi cadar merah, seperti halnya gerombolan liar itu. Begitu tiba, serangkaian serangan kilat dilancarkan ke arah pemuda tampan berjubah putih, yang telah memporak-porandakan gerombolan liar itu.

Bak! Plak!

Terdengar benturan keras yang menulikan telinga sebanyak dua kali. Tubuh ramping terbungkus pakaian serba merah tersentak ke belakang. Namun dengan sebuah putaran yang indah, tubuhnya melambung ke udara dan meluncurturun. Pemuda tampan berjubah putih terlihat mengerutkan kening dengan wajah heran. Pemuda itu mencium bau asap pendupaan. Dugaannya, bau itu berasal dari sosok tubuh ramping berpakaian serba merah, yang barusan memapak! serangannya.

Sosok ramping berpakaian serba merah, yang sebagian wajahnya tertutup cadar dengan warna sama, menatap sosok pemuda tampan berjubah putih penuh selidik. Kemudian, berbalik dan memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk segera pergi dari tempat itu. Agaknya, sosok ramping berpakaian serba merah merupakan pimpinan gerombolan liar itu.

"Berhenti...!"

Melihat gerombolan berwajah merah hendak melarikan diri, pemuda berjubah putih melesat melakukan pengejaran. Tubuhnya melayang bagai seekor burung besar. Sosok berpakaian merah yang dari bentuk tubuhnya adalah seorang wanita, bergegas mempersiapkan jurusnya untuk mencegah.

"Biarkan mereka pergi...!" desis wanita itu seraya melepaskan sebuah pukulan lurus ke depan menyambut datangnya tubuh lawan.

"Heaaah...!"

Pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji, membentak perlahan. Tangan kirinya dikibaskan ke samping dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Namun, wanita berpakaian serba merah itu rupanya cukup gesit. Merasa kekuatannya di bawah lawan, maka arah pukulannya segera diubah. Kali ini dengan bacokan sisi telapak tangan yang mengincar iga lawan.

Dukkk!

Gerakan tangan Pendekar Naga Putih ternyata tidak kalah cepat dengan pembahan gerak wanita itu. Bacokan sisi telapak tangan lawan dapat dipapaki dengan lengan kirinya. Benturan pun tak dapat dihindari lagi!

"Aaah...!" Wanita berpakaian serba merah itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah. Tenaga dalamnya memang kalah kuat oleh lawan.

Srattt..!

Mendadak wanita berpakaian serba merah itu mencabut sebatang pedang yang berbentuk melengkung. Sinar kemerahan berpendar menyebarkan bau harum memabukkan. Jelas, senjata itu telah dilumuri racun mematikan!

"Nisanak! Siapa kau sebenarnya? Mengapa memusuhi penduduk Desa Palasari...?" tanya Panji yang bergerak mundur setelah mengetahui senjata lawan mengandung racun ganas. Pemuda itu menatap tajam, seolah hendak menembus cadar merah yang menutup sebagian wajah lawannya.

"Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku dan tujuanku, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya, tinggalkan desa ini. Lanjutkan perjalananmu tanpa harus mengganggu kami...!" tukas wanita bercadar merah seraya menentang pandang mata Panji dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, terlihat ada kilatan aneh pada sepasang mata yang sekelilingnya dilingkari garis hitam. Persis mata mayat

"Hm.... Pancaran mata wanita berpakaian serba merah itu mengandung kekuatan sihir...," gumam Panji.

Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan batinnya, agar tidak terpengaruh ilmu sihir lawan yang disalurkan melalui pandang mata. Untung tenaga dalamnya lebih tinggi dari wanita bercadar merah. Kalau tidak sudah pasti dirinya akan terkena pengaruh sihir lawan.

Wanita berpakaian merah sedikit terkejut ketika merasakan betapa kuat pengaruh yang terpancar dari sepasang mata pemuda tampan itu. Sadarlah ia bahwa Pendekar Naga Putih tidak termakan tatapan sihirnya.

"Hmhhh...," Kesadaran itu membuat wanita bercadar merah ini geram. Pedang di tangannya bergerak menyilang menimbulkan suara mengaung tajam. Dan....

"Heaaat..!"

Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh wanita bercadar merah melesat ke depan dengan sambaran sinar merah yang berasal dari badan pedang.

Bettt..!

Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya tiga langkah. Kemudian menggeser ke samping, menghindari serangan susulan lawan. Pemuda itu menahan napas saat ujung pedang lawan lewat di depan tubuhnya. Hawa beracun yang keluar dari badan pedang itu bisa membuat kepalanya pening.

"Heaaah...!"

Sambil membentak keras, Panji melepaskan pukulan ke samping yang mengarah iga lawan.

Bukkk!

"Ukhhh...!" Wanita bercadar merah tidak sempat menghindar. Hantaman pada iganya membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Jelas, pukulan keras itu telah membuat dadanya sesak.

"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Tunggulah pembalasanku...!" desis wanita bercadar merah itu. Setelah berkata demikian, tangannya dipukulkan ke bawah tubuhnya. Dan....

Besss!

Seketika itu juga, asap berwarna merah muncul menutupi sekujur tubuhnya.

"Celaka! Asap beracun! Cepat menyingkir!” teriak Panji pada Ki Kaligandi dan yang lainnya! Pemuda itu sendiri melepaskan pukulan jarak jauh dengan kedua tangannya. Maksudnya hendak mengusir asap beracun itu.

Whusss!

Seketika itu juga, asap merah yang berbau harum itu buyar oleh pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih. Namun, sosok wanita berpakaian serba merah itu telah lenyap tanpa bekas.

"Kenanga! Lindungi mereka! Aku akan mencoba mengejar orang-orang itu!" seru Panji.

Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya, Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan. Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, tubuhnya melelaksana terbang. Kedua kakinya tidak menjejak mi Sekilas pandang, pemuda tampan berjubah putih itu seperti tengah melayang di atas tanah. Tapi, sosok wanita bercadar merah maupun gerombolan liar itu, tidak dapat ditemukan. Mereka lenyap ditelan bumi.

"Hm.... Tidak mungkin mereka hilang begitu saja? Menurutku mereka pasti belum lari jauh...," gumam Panji seraya menghentikan larinya sesaat, dan berdiri tegak memperhatikan sekelilingnya yang semakin rapat ditumbuhi pepohonan. Kemudian, melesat mengelilingi sekitar daerah itu. Tapi, orang-orang yang dicarinya tidak nampak batang hidungnya, akhirnya, Panji memutuskan kembali ke rombongan Ki Kaligandi.

"Bagaimana, Kakang...?" Kenanga langsung nenyambut kedatangan kekasihnya dengan pertanyaan.

Panji menggeleng lemah. Gadis jelita itu segera tahu arti gelengan itu. Kemudian, mereka melangkah mendekati Ki Kaligandi dan rombongan yang sudah berkumpul kembali.

EMPAT

"Siapa orang-orang aneh itu, Ki...?" tanya Panji begitu ia dan Kenanga tiba di hadapan Ki Kaligandi, yang menyongsong kedatangan pasangan pendekar muda itu dengan sikap hormat

"Aku tidak tahu pasti, Anak Muda. Tapi, aku akan menceritakan sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan gerombolan orang-orang seram itu. Sebelum itu, sebaiknya kita kuburkan dulu mayat-mayat ini...," ujar Ki Kaligandi

Panji langsung menyetujui usul Kepala Desa Palasari itu. Pasangan pendekar muda itu membantu mengobati penduduk yang terluka. Dan, mengantar Ki Kaligandi serta rombongannya ke pekuburan.

"Mari singgah ke tempat tinggalku, Panji." Ki Kaligandi mengajak Panji dan Kenanga, setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat itu. Rupanya, mereka telah saling mengenalkan diri. Panji merasa lebih enak jika di antara mereka saling menyebut nama. Ucapan itu menurutnya terdengar lebih akrab.

"Baiklah, Ki. Kami merasa tertarik dengan kejadian yang menimpa Desa Palasari. Mudah- mudahan kami dapat membantu meringankan beban di pundakmu..." sahut Panji menerima ajakan Kepala Desa Palasari karena ingin membongkar misteri pembunuhan di desa itu.

Tanpa banyak cakap lagi, rombongan itu pun bergerak meninggalkan tanah pekuburan yang kembali lengang Mereka tiba di Desa Palasari saat hari menjelang senja. Ki Kaligandi langsung membawa Panji dan Kenanga ke tempat tinggalnya. Lelaki tua itu memang sangat mengharapkan bantuan pasangan muda itu, yang diduganya pendekar penegak keadilan. Ia merasa yakin Panji dan Kenanga dapat membantunya menyelesaikan masalah ini. Apalagi, ia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehebatan pasangan pendekar muda itu.

"Beberapa belas tahun yang lalu, semasa ayahku menjabat Kepala Desa Palasari, peristiwa ini pernah terjadi. Kemudian mereka lenyap begitu saja, setelah menimbulkan korban yang tidak sedikit termasuk ayahku. Kabarnya, kejahatan Gerombolan Setan Merah itu telah berpindah ke desa lain. Lalu, aku mengajak penduduk untuk membangun desa yang telah hancur ini. Tapi siapa sangka sekarang mereka muncul kembali, dan menyebarkan bencana di desa ini. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menanggulangi mereka. Kalau tadi kalian tidak cepat muncul, mungkin kami semua sudah tidak bernyawa lagi...," jelas Ki Kaligandi Saat itu mereka bertiga sedang duduk di ruang tengah kediaman kepala desa itu.

"Apakah tidak ada orang-orang gagah yang mengetahui dan mengulurkan tangan untuk membasmi Gerombolan Setan Merah?" tanya Kenanga.

"Tentu saja ada. Tapi, Gerombolan Setan Merah sangat kuat. Selain itu, jumlah mereka tidak sedikit, dan rata-rata berkepandaian tinggi. Kita membutuhkan banyak orang gagah untuk menghancurkan mereka...," sahut Ki Kaligandi

"Hm... Kira-kira apa tujuan mereka, Ki...?" tanya Panji. Pemuda itu menduga ada tujuan tersembunyi dari gerombolan itu Kalau tidak, mana mungkin mereka melakukan kejahatan yang keji seperti itu.

"Aku sendiri tidak tahu jelas, Panji. Tapi, ayahku pernah bercerita bahwa Gerombolan Setan Merah merupakan penganut ilmu hitam yang mengerikan. Apa yang mereka lakukan selama ini adalah untuk memperdalam ilmu-ilmu yang mereka miliki. Bahkan, kabarnya mereka sanggup membangkitkan mayat-mayat dari dalam kubur...," jelas Ki Kaligandi yang terlihat agak ngeri sewaktu mengatakannya.

Tapi, tidak bagi Panji dan Kenanga. Sebagai pendekar-pendekar perantau, mereka tidak merasa aneh lagi dengan ilmu-ilmu golongan sesat. Sehingga, ucapan Ki Kaligandi tidak membuat mereka terkejut. Sebaliknya, Kepala Desa Palasari yang merasa heran melihat ketenangan dua tamunya.

"Kalian tidak terkejut mendengar ilmu-ilmu mengerikan Gerombolan Setan Merah...?" tanya Ki Kafigandi yang rupanya tidak bisa menyembunyikan keheranannya.

"Sebagai pengembara, kami telah sering mendengar ilmu-ilmu kaum sesat yang memang mengerikan. Jadi, ini bukan sesuatu yang baru bagi kami..," sahut Kenanga mewakili kekasihnya menjawab pertanyaan Kepala Desa Palasari.

Ki Kaligandi mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. Melihat kepandaian pasangan pendekar muda itu, Ki Kaligandi tidak menyangsikannya lagi. Tapi, lelaki tua itu tidak berani menanyakan julukan pasangan pendekar muda itu. Disimpannya dalam kepala untuk menunggu waktu yang tepat. Ia ragu jika menanyakannya saat itu. Panji dan Kenanga tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan. Kepala desa itu tahu sifat orang-orang gagah yang berbudi tinggi. Mereka tidak suka menggembar- gemborkan nama besarnya.

"Hm.... Apa kalian mempunyai rencana untuk memberantas mereka...?" tanya Ki Kaligandi setelah beberapa saat suasana hening.

"Untuk sementara ini rasanya kami belum mempunyai rencana apa-apa, Ki. Bagaimana denganmu? Apakah kau mempunyai gagasan?" tanya Panji balik bertanya.

"Entahlah, Panji. Rasanya aku sudah kehabisan cara untuk memberantas mereka...," sahut Ki Kaligandi dengan suara lemah. Terdengar helaan napas beratnya.

"Jangan putus asa, Ki. Biar bagaimanapun, kebathilan tidak akan abadi di muka bumi ini. Selalu saja ada orang yang akan meruntuhkan kejayaan mereka...," hibur Panji melihat lelaki tua itu kehingan semangat untuk memberantas Gerombolan Setan Merah, yang membuat warga desa itu selalu dibayangi ketakutan.

"Yahhh.... Mudah-mudahan kalian berdualah orang yang akan meruntuhkan kejayaan Gerombolan Setan Merah...," desah Ki Kaligandi disertai hembusan napas panjang.

"Kami pun berharap demikian, Ki. Dengan bekerja sama, mudah-mudahan kita dapat melenyapkan keganasan Gerombolan Setan Merah," sahut Panji tanpa sikap takabur sedikit pun.

"Kami berdua akan membantu sekuat tenaga” sambung Kenanga yang kelihatan sangat bersemangat untuk menghancurkan Gerombolan Setan Merah.

"Hhh.... Rasanya malam sudah semakin larut baiknya kalian beristirahat Tempat untuk kalian dah kusediakan" Setelah beberapa saat terdiam, Ki Kaligandi mempersilakan Panji dan Kenanga untuk beristirahat melepas lelah.

"Sebentar, Ki...," cegah Panji membuat Ki Kaligandi menahan gerakannya. Dan, menoleh ke arah pemuda tampan berjubah putih itu.

"Ada yang ingin kau tanyakan, Panji...?" tanya j orang tua itu kembali duduk dan menatap wajah tampan di depannya.

"Pada waktu kami tiba di desa ini, ada seorang lelaki tua bernama Ki Sola. Apakah Aki mengenalnya...?" tanya Panji ketika teringat lelaki tua yang memberi sedikit keterangan kepada mereka dengan imbalan uang.

"Hm.... Apa manusia pemalas yang licik itu mengganggu kalian?"

Dalam suara Ki Kaligandi tersirat kegeraman yang berusaha disembunyikan. Tapi, Panji dan Kenanga menangkap nada kegeraman itu.

"Tidak. Bahkan, dia telah memberi beberapa keterangan tentang peristiwa yang terjadi di desa ini...," sahut Panji yang tentu tidak ingin mengadukan perbuatan Ki Sola.

"Lelaki tua itu tentu meminta imbalan atas jasanya yang tidak seberapa itu, bukan? Kalian tidak perlu segan-segan menceritakannya padaku. Aki sudah hafal dengan sifat Ki Sola. Mungkin saat in dia tengah mabuk-mabukan di kedai minum...,' tukas Ki Kaligandi yang rupanya telah mengenal baik Ki Sola.

"Maksudnya memang demikian, Ki. Tapi, aku memberikannya dengan sukarela. Sayang dia keburu tewas sebelum sempat menikmati uangnya...," jelas Panji.

Wajah Ki Kaligandi agak berubah. Kelihatan sekali orang tua itu cukup terkejut mendengar kematian Ki Sola. Tapi, berusaha menyembunyikannya dari pandangan pasangan pendekar muda itu. Tapi, Panji tidak bisa dikelabui. Meskipun hanya sekilas, kekagetan sinar mata lelaki tua itu dapat ditangkapnya.

"Kau tidak ingin mengetahui, bagaimana dan mengapa Ki Sola tewas?" tanya Panji menegasi. Pemuda itu ingin mengetahui bagaimana tanggapan Ki Kaligandi atas kematian Ki Sola.

"Sebenarnya aku memang tidak suka dengannya. Tapi, apa kira-kira yang menyebabkan kemasannya...?" akhirnya Ki Kaligandi ingin mengetahui juga, meski kelihatan tidak sepenuh hati.

"Cara kematian Ki Sola sama dengan korban-korban pembunuhan di desa ini...," sahut Panji yang membuat wajah Ki Kaligandi kali ini agak pucat

"Maksudmu..., keningnya berlubang oleh tiga kuah jari...?!" tanya Ki Kaligandi menegasi. Lelaki itu menjadi tertarik mendengar cara kematian Ki Sola.

"Tepat!" jawab Panji cepat. Panji kemudian menceritakan awal mula kejadian itu. Sehingga, Ki Kaligandi kelihatan agak termenung setelah mendengar penuturan Panji.

"Hm.... Benar-benar lihai pembunuh itu. Menurutku, dia pasti salah seorang pentolan Gerombolan Setan Merah. Kalau tidak, mana mungkin pembunuh itu tidak terkejar olehmu...," ujar Ki Kaligandi.

"Tidak seluruhnya betul, Ki. Kelihaian pembunuh itu memang harus kuakui. Satu hal yang membuatku masih belum mengerti. Setiap anggota Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu lari cepat atau sejenis ilmu melenyapkan diri yang sangat hebat. Sewaktu aku mengejar Gerombolan Setan Merah yang menyerang rombonganmu, aku kehilangan jejak. Padahal, aku telah berusaha dengan seluruh kemampuanku. Nyatanya aku tidak berhasil menyusul mereka. Bahkan, jejaknya pun tidak kutemukan. Entah ilmu apa yang mereka pergunakan....," jelas Panji yang rupanya masih memikirkan kejadian siang tadi. Dan, sampai saat ini belum juga menemukan jawabannya.

"Itulah yang membuatku putus asa, Panji Mereka dapat lolos dari kejaran kita, meskipun di tempat terbuka. Aku pun pernah mengalaminya saat terjadi pembunuhan beberapa hari yang lalu. Buruanku lenyap tanpa jejak. Padahal, saat itu mereka tengah berlari di sebuah lapangan rumput luas. Bisa kau bayangkan, betapa penasaran hatiku"

Ki Kaligandi rupanya pernah mengalami hal serupa. Hanya saja tidak terlalu dipikirkannya. Lelaki tua itu tahu Gerombolan Setan Merah memang memiliki ilmu yang tinggi dan mengerikan. Mungkin itu sebabnya mengapa gerombolan itu mendapat julukan setan. Mereka memang dapat menghilang seperti setan!

"Aku akan menyelidiki masalah ini...," gumam Panji yang merasa penasaran terhadap gerombolan itu.

"Jangan terburu nafsu, Panji. Aku khawatir kau akan celaka." Ki Kaligandi berusaha mengingatkan Panji. Kekhawatiran orang tua itu tulus dan benar-benar keluar dari hati yang bersih. Sehingga, Panji terharu mendengarnya.

"Terima kasih, Ki. Aku akan mengingat pesanmu baik-baik," ucap Panji seraya tersenyum.

Setelah memberi tahu kamar untuk Panji dan Kenanga, lelaki tua itu meninggalkan ruang tengah. Panji mengatakan malam ini akan meronda desa. Ki Kaligandi tidak bisa mencegah niat pemuda itu, sebab akan sia-sia saja. Dengan menghela napas panjang, ditinggalkannya pasangan pendekar muda itu.

"Beristirahatlah, Kenanga. Nanti aku menyusul. Malam ini aku ingin meronda desa. Siapa tahu mereka muncul untuk mencari korban...," ujar Panji, setelah tubuh Ki Kaligandi lenyap di balik pintu kamarnya.

"Biar aku menemanimu, Kakang. Rasanya aku belum mengantuk...," bantah Kenanga yang ingin menemani kekasihnya meronda desa malam itu.

"Hm.... Bukan aku tidak mempercayai kemampuanmu, Kenanga. Tapi, biarlah malam ini aku meronda sendiri. Besok baru kita lakukan bersama-sama. Bagaimana?"

"Kalau memang itu kemauan Kakang. Baiklah. Hati-hati. Musuh yang kita hadapi belum jelas...," pesan Kenanga dan bergegas memasuki kamar yang telah disediakan Ki Kaligandi.

Setelah tubuh Kenanga tidak terlihat lagi, Panji bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah keluar. Kegelapan malam langsung menyambut pandang mata Panji.

"Hendak ke mana, Tuan Pendekar...?" sapa seorang penjaga, ketika melihat tamu kepala desanya melangkah ke halaman depan, tempat lelaki tegap itu berjaga bersama seorang kawannya.

"Hm... Malam ini tampaknya cuaca sangat baik. Aku ingin berjalan-jalan sebentar sambil menikmati keindahan malam...," sahut Panji membalas anggukan penjaga itu. Kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri jalan utama desa. Setelah agak jauh dari kediaman Ki Kaligandi, tubuh pemuda itu langsung melesat dengan kecepatan tinggi. Kemudian melayang naik ke atas atap rumah penduduk, dan berlompatan dari satu atap ke atap lainnya.

Setibanya di batas desa, Panji menghentikan larinya. Pemuda itu berdiri di atas sebuah dataran yang agak tinggi. Dari tempat itu dipandangnya arah selatan Desa Palasari yang merupakan daerahpekuburan. Panji mencurigai daerah pekuburan itu. Kecurigaan Panji bukan tidak beralasan.

Pikiran itu timbul ketika teringat bau harum asapdupayang berasal dari tubuh wanita bercadar merah. Bau itu mengingatkannya pada kematian. Dan, kematian membuat pikirannya melayang ke tanah pekuburan. Tapi, kecurigaan itu belum mempunyai bukti yang kuat. Apalagi, Gerombolan Setan Merah melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan arah kuburan. Panji menemui jalan buntu.

Setelah puas memandang, Panji segera membalikkan tubuh. Kali ini dia berlari agak lambat menuju desa. Beberapa kali langkahnya berhenti di atas atap rumah penduduk dan memperhatikan sekeliling. Dan, kembali bergerak setelah memastikan tidak ada sesuatu yang dicurigai

"Hm.... Agaknya malam ini pembunuh itu tidak menunjukkan aksinya. Kalau memang ingin mencari korban, waktu tengah malam seperti ini sungguh tepat sekail. Atau mungkin memang tidak akan muncul, menunggu keadaan menjadi tenang...," gumam Panji seraya bergerak turun dari atap, dan melangkah perlahan menyusuri jalan utama desa yang lengang dan sunyi.

Tapi baru saja Panji ingin kembali ke tempat kediaman Ki Kaligandi, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah jeritan panjang yang merobek kesunyian malam.

"itu jeritan orang yang melihat sesuatu yang sangat mengerikan...!" desis Panji.

Dan tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah suara jeritan itu. Bagaikan seberkas sinar putih yang melayang di atas tanah, tubuhnya meluncur pesat, mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak ingin kehilangan jejak pembunuh, yang diduganya tengah beraksi di salah satu rumah penduduk.

Ketika tiba di tempat itu, Panji melihat empat orang keamanan desa tengah bertarung dengan seorang lelaki kurus. Tubuhnya segera melayang ke tengah arena. Di tempat itu tampak dua sosok mayat keamanan desa terkapar berlumuran darah. Korban di pihak keamanan desa telah jatuh!

"Haiiit..!"

Panji memekik nyaring sambil melontarkan pukulan jarak jauh, ketika melihat seorang keamanan desa terancam maut' Pendekar Naga Putih berusaha menyelamatkan orang itu dengan melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lelaki bertubuh kurus.

Buggg!

"Aaarghhh...!"

Sosok bertubuh kurus memekik parau mendirikan bulu roma. Tubuhnya terpelanting ke kanan sejauh satu tombak, terkena pukulan Panji yang menghantam punggungnya. Keamanan desa itu pun selamat dari kematian.

"Panji..?!" seru para keamanan desa yang merasa lega melihat kemunculan pemuda itu. Mereka telah mengetahui ketangguhan pemuda tampan berjubah pitih itu, sewaktu membantu mereka menghadapi Gerombolan Setan Merah.

"Apa yang telah dilakukannya...?" tanya Panji setelah membalas penghormatan keempat orang keamanan desa itu.

"Orang itu belum melakukan sesuatu. Kami memergokinya saat ia hendak memasuki rumah itu...," sahut salah seorang keamanan desa seraya menunjuk sebuah rumah yang terletak empat tombak dari arena pertempuran.

"Hm...," Panji bergumam mendengar jawaban itu. Meskipun belum membunuh calon korbannya, namun lelaki kurus itu telah menewaskan dua orang keamanan desa. Itu sudah merupakan kejahatan yang tidak bisa diampuni.

"Hati-hati, Panji. Orang itu sangat kuat. Beberapa bacokan kami ditepiskan dengan lengan telanjang...," kata seorang keamanan desa, mengingatkan pemuda tampan perjubah putih itu

"Maksudmu orang itu kebal terhadap senjata tajam...?" tanya Panji menegasi.

"Kurasa begitu..," sahut lelaki bertubuh gemuk itu, terlihat agak ragu

"Heaaahk...!"

Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar teriakan parau lelaki bertubuh kurus. Cepat Panji berbalik menghadapi orang yang diduganya sebagai pelaku pembunuhan di desa itu.

"Hm.... Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, Manusia Jahat..!" desis Panji seraya bergerak maju dengan langkah menyilang. Pendekar Naga Putih agak berhati-hati menghadapi sosok bertubuh kurus. Pukulan jarak jauh yang dilancarkannya tadi, seperti tidak dirasakan lawan. Itu hanya mempunyai satu arti. Lawannya bukan tokoh sembarangan.

Lelaki bertubuh kurus seperti tak peduli dengan ucapan Panji. Dengan langkah berat, kakinya bergerak maju. Sepasang tangannya terentang ke kiri dan kanan, seperti hendak mencekik leher pemuda tampan berjubah putih itu.

"Hm.... Majulah! Aku ingin lihat sampai di mana kekebalan tubuhmu...," ujar Panji, berusaha menegasi wajah lelaki kurus itu. Sayang, ia tidak dapat melihat dengan jelas. Lelaki kurus itu berdiri di bawah pohon lebat Sehingga, sosoknya tidak terkena sinar bulan yang redup.

LIMA

"Eaaakhhh...!"

Sosok bertubuh kurus membuka serangan dengan gerak yang kaku. Meski demikian, sambaran anginnya terasa sangat kuat Panji agak kaget juga. Selain lambat, ilmu silat lawan pun terlihat aneh dan tidak lumrah. Bahkan, tanpa pertahanan sedikitpun.

Bettt..!

Cengkeraman tangan kanan lelaki kurus itu meluncur ke arah kepala Panji. Dari angin pukulan yang ditumbulkannya, rasanya sambaran itu mampu menghancurkan sebongkah batu karang. Serangan itu sangat berbahaya.

"Haiiit..!"

Gerakan itu terlampau lambat bagi Panji. Tangan kirinya segera diangkat untuk memapaki dan mengukur kekuatan lawan. Sehingga....

Dukkk!

Panji tersentak ketika merasakan lengan yang dingin dan keras seperti besi. Untung ia tidak gegabah dan mengerahkan hampir separuh tenaga dalamnya. Kalau tidak, kuda-kudanya pasti akan tergempur.

"Heaaah!"

Tangkisan itu masih disusul Panji dengan sebuah hantaman telapak tangan kanannya ke tubuh lawan.

Buggg!

Tanpa ampun lagi, tubuh kurus itu terjengkang kebelakang dan jatuh berdebuk di tanah. Kendati demikian, tidak sedikit pun terdengar keluhan dari mulut lawan. Bahkan begitu jatuh, lelaki kurus itu langsung bergerak bangkit Seolah pukulan telapak tangan Panji tidak berarti apa-apa baginya.

"Hebat..!" desis Panji kagum melihat lawan kembali siap bertarung. "Lelaki kurus ini memang memiliki ilmu kebal yang cukup tinggi. Untuk melumpuhkannya aku harus menggunakan tenaga yang lebih kuat..." Panji mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Sepasang tangannya berputaran di depan dada, hingga menerbitkan angin dingin menusuk tulang yang memenuhi arena pertarungan.

Lelaki kurus itu tampaknya mulai sadar akan ketangguhan Pendekar Naga Putih. Gerakannya segera diubah. Kali ini langkahnya agak cepat, meskipun masih tetap kaku. Demikian pula dengan sepasang lengannya. Dengan tetap membentuk cakar, jari-jari tangan lelaki kurus itu digerakkan susul-menyusul dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Bettt, bettt!

Panji berkelit ke kiri dan kanan dengan menggunakan kelincahan tubuhnya. Sehingga, serangan lawan selalu mengenai tempat kosong. Kemudian melontarkan serangan balasan dengan tenaga tinggi. Pertahanan lawan yang sangat lemah, membuat dua pukulan Panji telak bersarang di tubuh lelaki kurus itu.

"Hahhh?!" Panji ternganga melihat tubuh lawan kembali bangkit. Pukulan yang dilancarkannya tadi tidak dirasakan lawan. Padahal, pukulan itu sanggup membuat tokoh persilatan tangguh mengalami luka dalam yang parah. Tapi, lelaki kurus itu ternyata tidak merasakannya. Bahkan mengeluh pun tidak. Panji menjadi heran bukan main!

"Gila! Terbuat dari apa tubuh lelaki kurus itu?! Apa aku mesti menggunakan seluruh kekuatanku untuk merobohkannya?" desis Panji tak percaya dengan apa yang dialaminya.

Jika tenaga dalamnya dikerahkan sepenuhnya, itu berarti lawan merupakan gembong tokoh sesat yang setingkat dengan seorang datuk persilatan. Padahal kalau melihat gerakannya, lelaki kurus itu tak lebih dari seorang yang baru beberapa bulan berlatih ilmu silat Hanya kekuatan tubuhnya saja yang luar biasa. Dan, hampir tidak mungkin! Karena setiap jago silat yang telah mahir, pasti akan memiliki kekuatan tenaga dalam yang seimbang dengan ilmunya. Sedangkan lelaki kurus itu hanya memiliki kekuatan tubuh yang sulit dimengerti.

Melihat lawan kembali bergerak maju, Pendekar Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Rasa penasaran membuatnya ingin mengetahui sampai di mana kekuatan tubuh lelaki kurus itu. Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menggunakan seluruh tenaga dalamnya dalam melancarkan serangan selanjutnya.

Kali ini Panji tidak perlu berkelit lagi. Serangan lawan yang berupa tepukan kedua belah tangan, memaksa pemuda itu mengangkat kedua tangannya ke atas kepala untuk melindungi telinga. Titik lemah yang mematikan itulah yang menjadi sasaran serangan lawan.

Plak! Plakkk!

Sekejap sepasang lengan lawan tergantung di udara terkena tangkisan Panji. Tanpa menunggu lagi, Pendekar Naga Putih langsung memutar kedua tangannya dan dihantamkan ke dada lawan yang terbuka dengan sepenuh tenaga

Bresssh...!"

Sungguh hebat pukulan yang dilakukan Pendekar Naga Putih. Tubuh lawan terlempar deras sejauh tiga tombak. Dan terus terguling-guling di atas tanah. Rasanya, kali ini tidak mungkin tubuh kurus itu dapat bangkit lagi. Masih untung kalau tubuhnya tidak remuk oleh hantaman dahsyat itu.

"Ibliiss...?!" Panji mendesis dengan sepasang mata terbelalak. Lawan yang menurutnya sudah pasti tewas, ternyata mampu bangkit berdiri. Dan melangkah maju dengan gerak lambat mendekati Pendekar Naga Putih, yang terpaku bagai tengah bermimpi.

"Panji, awasss...!" teriak seorang keamanan desa yang melihat pemuda berjubah putih itu hanya berdiri mematung.

Meskipun Panji tampak seperti orang yang kehilangan kesadaran, tapi pemuda itu tahu kalau lawan tengah mendekatinya. Pemuda itu bergerak mundur. Hidungnya mencium bau busuk yang datangnya dari arah lawan. Bau itu demikian menusuk hingga perutnya terasa mual. Melihat Panji bergerak mundur, keempat keamanan Desa Palasari segera melangkah maju untuk membantunya. Seorang di antaranya memegang obor untuk menerangi jalan. Dan....

"Ki Sola...?!" desis Panji ketika melihat sosok lelaki kurus itu terkena cahaya obor.

Pendekar Naga Putih tersentak kaget karena mengetahui kalau Ki Sola telah tewas, la menyaksikan mayat lelaki tua itu dengan mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin kini lelaki tua itu berdiri di hadapannya dan siap mencekiknya?! Panji benar-benar tak percaya dengan penglihatannya. Pemuda itu mulai berpikir lain ketika melihat tubuh bagian depan Ki Sola berlubang. Jelas, lubang itu adalah akibat pukulannya tadi. Tapi, yang keluar dari luka itu bukan darah. Melainkan cairan kuning yang menyebarkan bau busuk. Sadarlah Panji kalau lawan yang dihadapinya sesosok mayat' Mayat Ki Sola!

"Cepat kalian menyingkir. Yang kita hadapi bukan manusia biasa. Lelaki kurus itu sesosok mayat yang telah dibangkitkan tokoh sesat berwatak keji!" ujar Panji memperingatkan keempat keamanan desa agar menyingkir jauh-jauh. Karena ia belum menemukan cara untuk melumpuhkan mayat Ki Sola.

Sementara itu, mayat ki Sola dengan perlahan terus bergerak maju. Sepasang tangannya terentang. Siap melumatkan siapa saja yang mendekatinya. Panji memutuskan mundur dan mencari cara untuk melumpuhkan mayat hidup itu.

Keempat keamanan Desa Palasari menggigil ketakutan, setelah mengetahui yang dihadapinya sesosok mayat hidup. Hati mereka menjadi kecut membayangkan tadi sempat bertarung dengan mayat itu. Keberanian mereka langsung terbang. Melihat mayat Ki Sola, jelas sangat sukar ditundukkan. Panji yang kepandaiannya telah mereka ketahui saja tidak sanggup merobohkan mayat lelaki kurus itu. Apalagi mereka yang memiliki ilmu silat tidak

"Bagaimana ini..., Panji..? Kalau mayat Ki Sola sampai memasuki rumah penduduk, pasti akan terjadi kegemparan...," ujar salah seorang keamanan desa dengan suara kering dan susah sekali diucapkan

"Tenanglah. Aku akan memancing mayat lelaki tua itu menjauhi desa. Mudah-mudahan ia dapat kukelabui...," jawab Panji kembali bergerak mendekati mayat Ki Sola. Kemudian, melancarkan pukulan dengan bacokan sisi telapak tangan ke leher mayat itu.

Desss...!

Tanpa ampun lagi, mayat bertubuh kurus itu terpelanting ke tanah. Dan, segera bangkit mengejar Pendekar Naga Putih. Melihat pancingannya berhasil, Panji bergerak mundur dan menjauhi tempat itu.

"Ayo! Seranglah aku, Makhluk Keparat..!" tantang Panji sambil terus bergerak mundur, membawa mayat Ki Sola keluar dari Desa Palasari.

Melihat pemuda itu terus bergerak mundur, mayat Ki Sola berhenti sejenak Kemudian berbalik pergi. Tentu saja kelakuan mayat itu membuat Pendekar Naga Putih gemas!

"Kurang ajar! Rupanya pengendali mayat itu tahu perbuatanku! Hm.... Mestikah aku menggunakan tenaga gabungan untuk menghancurkannya...?" gumam Panji geram ketika melihat pancingannya gagal. Pendekar Naga Putih mulai mencari jalan lain. Jika mayat hidup itu dibiarkan, penduduk Desa Palasari akan gempar!

Melihat tidak ada jala lain, Panji segera menghimpun dua kekuatan tenaga ampuh yang dimilikinya. Lalu, digabungkannya untuk menghancurkan mayat Ki Sola. Kali ini Panji merasa yakin usahanya akan berhasil. Jangankan sesosok mayat, tubuh manusia hidup pun akan lebur bila terkena hantaman tenaga gabungan itu

Beberapa saat kemudian, terlihat sinar putih keperakan menyelimuti tubuh bagian kiri Pendekar Naga Putih. Sedangkan tubuh bagian kanan diselimuti lapisan sinar kuning keemasan yang menerbitkan hawa panas menggigit. Itulah gabungan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang tidak ada tandingannya di atas jagat'

"Haaat..!"

Dibarengi pekik mengguntur, tubuh Pendekar Naga Putih melambung ke udara dan berputaran melewati kepala mayat itu. Kemudian, meluncur turun tepat beberapa langkah di hadapan mayat Ki Sola. Dan....

Whusss!

Angin dingin dan panas berhembus keras, saat Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan!

Blarrr!

Terdengar ledakan dahsyat laksana mengguncang jagat. Tanpa ampun lagi, sosok mayat Ki Sola hancur menjadi serpihan yang tidak mungkin dapat hidup lagi. Panji menghela napas panjang. Kali ini ia benar-benar yakin. Mayat Ki Sola tidak mungkin dapat bangkit kembali.

Keempat keamanan desa yang tadi terjengkang oleh getaran pukulan Panji, bergegas bangkit mendekati pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka benar-benar takjub dengan kepandaian pemuda itu. Menyaksikan kedahsyatan pukulan Panji, mereka semakin yakin kalau pemuda itu adalah dewa penolong yang akan menyelamatkan penduduk Desa Palasari dari malapetaka mengerikan.

"Hm.... Kurasa malam ini tidak akan ada kekacauan lagi. Sebaiknya kalian urus mayat kawan-kawan kalian. Setelah itu bertugaslah seperti biasa. Aku akan kembali ke rumah Ki Kaligandi...," ujar Panji yang merasa yakin kalau malam itu Gerombolan Setan Merah tidak akan membuat ulah.

Menurutnya, tokoh yang mengendalikan mayat Ki Sola hanya sekadar menguji kepandaiannya saja. Setelah melumpuhkan mayat hidup itu, kemungkinan besar Gerombolan Setan Merah akan lebih berhati-hati.

Setelah keempat keamanan desa itu pergi, Panji bergerak meninggalkan tempat itu. Sosoknya melesat menerobos kegelapan malam. Sinar bulan sabit yang menggantung di langit pekat tampak mulai cerah. Ditemani bintang-bintang yang bertaburan dengan kerli-kerlipnya yang indah. Malam sudah mendekati fajar.

********************

"Panji, benarkah semalam kau berhadapan dengan mayat Ki Sola yang tewas kemarin...?" Ki Kaligandi langsung melontarkan pertanyaan itu. Saat itu mereka selesai sarapan dan tengah duduk di taman belakang rumah Ki Kaligandi. Rupanya, lelaki tua itu telah mendapat laporan dari para peronda semalam.

"Benar, Ki. Bahkan, aku nyaris dibuat tak berdaya oleh mayat itu. Kelihatannya, pimpinan Gerombolan Setan Merah mulai turun tangan. Mereka pasti sudah mengetahui kehadiranku di desa ini...," sahut Panji tanpa merasa perlu untuk menceritakan bagaimana caranya menundukkan mayat itu Panji tidak ingin membanggakan perbuatannya kepada orang lain.

"Hm.... Ternyata 'Ilmu Membangkitkan Mayat' itu benar-benar ada. Bukan sekadar dongeng belaka. Padahal selama ayahku masih hidup, kejadian ini belum pernah terjadi. Kalau sekarang pimpinan Gerombolan Setan Merah menggunakan ilmu yang sangat mengerikan itu, pasti ada sesuatu yang dikhawatirkannya...," gumam Ki Kaligandi seraya menatap Panji dengan penuh selidik.

Panji tidak menanggapi ucapan orang tua itu, yang telah diketahui maksudnya. Dilihatnya orang tua itu berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang. Jelas, lelaki tua itu tengah berpikir keras.

"Panji..." Tiba-tiba Ki Kaligandi menghentikan perbuatannya. Dan, menatap pemuda tampan berjubah putih itu dengan sinar mata tajam.

"Boleh aku tahu, siapa kau sebenarnya?" Akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut Ki Kaligandi. Rupanya, orang tua itu tidak sanggup menahan rasa penasaran di hatinya.

"Apa maksudmu, Ki...?" Panji balik bertanya seperti orang bodoh.

"Melihat 'Ilmu Membangkitkan Mayat' telah mereka pergunakan, aku menduga kalau pimpinan gerombolan itu merasa khawatir terhadapmu. Mungkinkah kau...," Ki Kaligandi menggantung kalimatnya. Sehingga, Panji tidak tega melihat lelaki tua itu kebingungan.

"Benar, Ki...," jawab Panji yang sepertinya sudah bisa membaca jalan pikiran orang tua itu. Hingga langsung membenarkan dugaan Ki Kaligandi

"Jadi.., kau..., Pendekar Naga Putih yang menggemparkan itu...?!" seru Ki Kaligandi hampir berteriak. Jelas, lelaki tua itu tidak pernah menyangka kalau Panji adalah Pendekar Naga Putih.

Panji mengangguk seraya tersenyum lebar. Kemudian bangkit dari duduknya dan menghadapi Ki Kaligandi yang masih terbelalak. Seolah belum mempercayai penglihatannya saat itu.

"Ahhh..." Lagi-lagi orang tua itu berdesah panjang. Matanya tak lepas menatap sosok Pendekar Naga Putih. Sampai beberapa saat lamanya, lelaki tua itu belum sanggup mengeluarkan suara, kecuali desahan saja.

"Ki Kaligandi! Apakah aku kalah menarik dengan pemuda di hadapanmu itu?" Menyaksikan tingkah Kepala Desa Palasari itu, Kenanga tidak dapat menahan mulutnya untuk menggoda. Sehingga, Ki Kaligandi tersadar dari perbuatannya. Lelaki tua itu sedikit tersipu mendengar teguran Kenanga.

"Maaf, Kenanga. Aku terlalu gembira. Tidak pernah kusangka kalau Panji adalah Pendekar Naga Putih yang namanya menjulang tinggi. Aku tidak menyalahkan kaum rimba persilatan golongan putih yang demikian memuja nama besarnya...," ujar Ki Kaligandi membela diri, membuat Panji dan Kenanga tersenyum lebar.

"Tolong hentikan pujianmu yang setinggi langit itu, Ki aku khawatir kepala ini akan menjadi besar. Tentu akan sulit sekali membawanya berjalan..." gurau Panji, membuat Ki Kaligandi kembali tersipu malu

"Ahhh.... Kau benar-benar seorang pendekar sejati, Panji Sungguh patut dijadikan contoh tokoh-tokoh tua lainnya...," ucap Ki Kaligandi kembali kelepasan bicara. Karena, kata-katanya masih tetap memuji pemuda itu.

"Wah.... Baru saja kuingatkan, sudah mulai lagi...," tukas Panji.

"Maaf..., maaf...," ujar Ki Kaligandi menyadari ucapannya. Lelaki tua itu masih belum terbebas dari rasa gembiranya, setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih yang menjadi tamunya itu.

"Ingat, Ki. Musuh kita masih tetap berkeliaran. Tanpa kita ketahui di mana sarang mereka. Setelah kejadian semalam, tindakan mereka mungkin akan semakin ganas. Untuk itu kita harus siap menghadapi bila sewaktu-waktu mereka muncul tanpa diduga...," ujar Panji mengingatkan bahaya yang masih mengintai mereka.

"Hhh..." Ki Kaligandi menghela napas panjang berulang- ulang. Ingatan tentang Gerombolan Setan Merah, membuat lelaki tua itu kembali teringat akan bencana yang mengincar penduduk desanya. Kendati demikian, wajahnya tidak lagi terlihat murung. Tidak seperti waktu belum mengetahui siapa pemuda berjubah putih itu sebenarnya.

Panji merasa lega melihat perubahan pada diri lelaki tua itu. Sekarang terlihat gambaran semangat di wajah orang tua itu. Ki Kaligandi jelas menggantungkan harapan pada dirinya. Dan itu merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul Panji.

"Kalau demikian, kita harus menyusun rencana untuk menghadapi Gerombolan Setan Merah," ujar Ki Kaligandi setelah terdiam beberapa saat lamanya. "Untuk itu aku mempercayakannya padamu, Panji. Aku yakin kau jauh lebih berpengalaman dariku. Tentu dalam pengembaraanmu telah banyak ditemukan berbagai macam bentuk kejahatan, dan ilmu-ilmu sesat yang tinggi. Aku sendiri merasa tak berdaya menghadapi ilmu-ilmu mengerikan Gerombolan Setan Merah. Kuharap kau tidak segan-segan memberi petunjuk padaku"

"Hm.... Meskipun aku tidak membantah perkataanmu, tapi biar bagaimanapun kaulah yang lebih tahu daerah ini. Aku pun mengharapkan petunjuk darimu. tempat mana yang kira-kira pantas untuk dijadikan markas Gerombolan Setan Merah. Pilihlah tempat-tempat yang menurutmu angker dan hampir tidak pernah dilalui orang," ujar Panji yang tidak ingin menyepelekan orang tua itu. Selain itu, ia ingin Ki Kaligandi merasa ikut menanamkan jasa bila mereka berhasil memberantas Gerombolan Setan Merah.

Mendengar ucapan Panji, Ki Kaligandi tampak berpikir keras. Ucapan pemuda itu harus diakui kebenarannya. Maka, ia tidak membantah sedikit pun. Karena sudah pasti dirinya lebih mengetahuivdaerah di sekitar Desa Palasari.

"Hm... Rasanya sulit sekali aku menduganya, Panji Sepanjang pengetahuanku, tidak ada tempat di sekitar Desa Palasari yang dianggap angker dan jarang dilalui orang. Apakah tidak sebaiknya kita menunggu kedatangan mereka. Lalu, lata tangkap salah seorang anggota gerombolan itu hidup-hidup. Dengan begitu, kita bisa mengorek keterangan mengenai markas mereka...," usul Ki Kaligandi, setelah terdiam beberapa saat untuk mencari tempat-tempat angker yang dikatakan Panji.

"Hm... Itu pun kurasa cukup baik. Jika demikian kita harus benar-benar siap untuk menyambut kedatangan mereka. Tolong kau kumpulkan semua keamanan desa dan beri pengarahan. Pagi ini juga aku akan mencoba mencari tempat persembunyian mereka," tukas Panji menerima baik usul Ki Kabgandi. Wajah orang tua itu kelihatan semakin cerah. Rupanya, ia merasa bangga usulnya ditanggapi pemuda perkasa itu.

"Aku ikut, Kakang...," Kenanga langsung bergerak bangkit mendengar kekasihnya akan pergi menyelidiki.

Panji tidak berusaha mencegah. Pemuda itu segera berpamitan pada Ki Kaligandi. Kemudian, bersama Kenanga bergerak meninggalkan kediaman Kepala Desa Palasari. Ki Kaligandi mengiringi kepergian pasangan pendekar muda itu dengan tatapan mata. Hati kecilnya berdoa agar mereka dapat menemukan tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.

********************

ENAM

Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat, Panji dan Kenanga menyusuri jalan utama Desa Palasari. Orang-orang desa yang telah mendengar kehebatan Panji, mengangguk hormat saat berpapasan. Rupanya, peristiwa semalam telah menyebar cepat. Sehingga pasangan pendekar muda itu menjadi agak risih dengan sambutan penduduk, yang terkesan sangat berlebihan.

"Hm.... Rupanya, keempat peronda itu telah menceritakan kehebatanmu pada seluruh penduduk desa ini. Sambutan mereka sangat jauh berbeda dengan sebelumnya...," bisik Kenanga pada kekasihnya. Terselip rasa bangga di hati dara jelita itu. Sebagai manusia biasa, wajar bila ada perasaan ingin dihormati. Dan, Kenanga merasakannya saat itu.

"Meskipun begitu, jangan membuat kita menjadi takabur. Perasaan seperti itu harus kita buang jauh-jauh. Kalau tidak akan semakin berkembang, dan membuat kita lupa diri. Ingat itu, Kenanga...," sahut Panji, mengingatkan dara jelita itu agar tidak melupakan wejangan guru mereka.

”Terima kasih telah mengingatkan aku, Kakang. Saat ini aku hampir terpengaruh...," aku Kenanga terus-terang.

Panji tersenyum. Ucapan itu membuktikan kekasihnya memiliki batin yang cukup kuat. Dan, ia semakin percaya kalau Kenanga tidak akan terpengaruh dan menjadi takabur.

Keduanya terdiam ketika telah melewati batas Desa Palasari. Jalan yang mereka lewati jarang dilalui penduduk desa. Mereka pun menggunakan ilmu lari cepat. Berlari di dalam desa akan mengundang perhatian orang. Itu sebabnya, mereka berjalan saat menyusuri jalan utama Desa Palasari.

"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita itu dapat mengimbangi Panji yang tidak mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya.

"Hm.... Bagaimana menurutmu bila kita menyelidiki tanah pekuburan? Aku mencurigai tempat itu sebagai markas Gerombolan Setan Merah...," sahut Panji meminta pendapat kekasihnya.

Kenanga tidak segera menjawab. Dara jelita itu tengah membayangkan daerah pekuburan yang kemarin didatanginya. Keningnya berkerut mempertimbangkan usul Panji.

"Aku tidak melihat sebuah bangunan pun di daerah pekuburan itu, Kakang. Apa alasanmu mencurigai pekuburan itu sebagai tempat persembunyian mereka...?" tanya Kenanga yang agak heran mendengar kekasihnya mencurigai daerah pekuburan sebagai markas Gerombolan Setan Merah. Ia sendiri tidak pernah berpikir seperti itu.

Panji menceritakan saat ia bertarung dengan wanita bercadar merah. Bau asap pedupaan yang keluar dari tubuh wanita bercadar merah itu yang menjadi dasar alasan mencurigai pekuburan sunyi itu, sebagai markas Gerombolan Setan Merah.

"Alasan itu tidak tepat, Kakang. Tidak mungkin gerombolan menakutkan itu bermarkas di daerah pekuburan. Bau asap dupa yang kau katakan berasal dari tubuh wanita bercadar merah, bukan merupakan bukti bahwa ia tinggal di pekuburan...," bantah Kenanga. Dara jelita tidak sependapat dengan Panji.

"Hm.... Meskipun itu baru berupa dugaan, tapi jangan lupa, gerombolan itu dapat menghilang seperti setan. Bahkan menurut Ki Kaligandi, pimpinan Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu mengerikan yang bisa membangkitkan mayat-mayat dari dalam kubur. Mungkin saja mereka senang berkawan dengan mayat-mayat..," tukas Panji yang kelihatannya tetap mencurigai tanah pekuburan sebagai tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.

"Kalau begitu, ayo kita periksa daerah pemakaman itu..," sahut Kenanga ingin membuktikan dugaan kekasihnya. Meskipun belum yakin sepenuhnya, dara jelita itu tampak mulai terpengaruh dugaan Panji.

Melihat kekasihnya telah melesat lebih dulu, Panji segera mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mengejar dara jelita itu. Sebentar saja, keduanya sudah merupakan bayang-bayang samar. Untuk mencapai tempat itu, pasangan pendekar muda ini tidak membutuhkan waktu lama. Keduanya segera tiba di pintu gerbang pekuburan yang sunyi dan lengang Suara-suara binatang menyambut kedatangan mereka.

Tanpa ragu-ragu, keduanya bergerak memasuki daerah pekuburan. Dengan tatapan tajam, mereka melangkah perlahan seraya memperhatikan sekeliling. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hati pasangan pendekar muda itu, saat memasuki daerah pekuburan semakin jauh.

"Hm... Tempat ini sangat menyeramkan, Kakang. Ada hawa aneh yang membuatku merasa ngeri. Padahal, sebelumnya perasaan ini tidak pernah muncul. Meski aku tahu tempat yang kudatangi sangat menyeramkan...," desis Kenanga.

"Aku juga merasakannya. Tapi, aku tidak tahu apa yang membuat rasa ngeri ini muncul tanpa terkendali? Tempat ini memang sangat pantas untuk dijadikan sarang penjahat. Terutama Gerombolan Setan Merah, yang sangat menyukai hal-hal menyeramkan. Itu dapat dilihat dari julukan, cara berdandan dan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Sayang, di sini tidak terdapat sebuah bangunan pun...," ujar Panji.

Mereka terus melangkah menyusuri jalan yang tidak terlalu lebar. Yang terdapat di antara makam-makam yang berjajar di kiri dan kanan mereka. Setelah semakin jauh memasuki daerah pekuburan, tiba-tiba Panji menyentuh lengan kekasihnya. Kenanga agak tersentak. Hati dara jelita itu rupanya tengah diliputi ketegangan. Sentuhan Panji yang perlahan itu telah membuatnya kaget

"Kau mengejutkanku, Kakang...," cetus Kenanga. Tubuhnya terasa agak lemas karena rasa kaget yang menyentak hatinya.

"Aku mendengar suara orang bertempur. Mungkin tidak jauh dari tempat ini...," ucap Pa tidak menanggapi keterkejutan kekasihnya. Pendengarannya dipertajam agar dapat menangkap lebih jelas.

"Dari mana kira-kira suara pertempuran itu, Kakang...?" tanya Kenanga, karena Panji kelihatan bersungguh-sungguh, hingga membuatnya tertarik untuk mengetahuinya.

"Mari ikut aku...," ajak Panji.

Kemudian Pendekar Naga Putih melangkah ke kanan, melompati makam-makam yang berjajar malang-melintang tak beraturan. Kenanga segera mengikuti langkah kekasihnya. Langkah Panji semakin cepat Karena suara pertempuran yang semula samar, kini semakin bertambah jelas. Sampai akhirnya pemuda itu berlari cepat menuju utara pekuburan.

Kenanga terus mengikuti di belakang panji. Tubuhnya berloncatan melewati gundukan tanah pekuburan. Hingga meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, dan melewati daerah yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Tidak berapa lama kemudian, pasangan pendekar itu pun tiba di tempat pertempuran.

Panji tampak agak kecewa ketika tidak menemukan seorang pun anggota Gerombolan Setan Merah, dari belasan orang yang tengah bertarung. Kendati demikian, pemuda itu tetap melanjutkan langkahnya mendekati arena pertempuran. Sudah menjadi tugasnya untuk membela orang-orang lemah dan teraniaya.

Plakkk! Plakkk!

Begitu memasuki arena pertempuran, Panji langsung memapaki sambaran sepasang pedang yang mengancam nyawa seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh lima tahun. Sehingga lelaki brewok yang memegang sepasang pedang itu terjajar mundur beberapa langkah.

"Kurang ajar...!" geram lelaki brewok itu seraya menatap pemuda berjubah putih di depannya. Ada kilatan nafsu membunuh pada sepasang matanya.

Panji yang memutuskan untuk membantu lelaki tua itu, merasa tidak salah pilih. Melihat ada kereta kuda di tempat itu, Panji yakin kalau lelaki tua itu tengah menghadapi perampok.

"Hm.... Dalam suasana kacau seperti ini memang tidak aneh bila ada orang berhati culas yang memanfaatkan keadaan. Orang-orang seperti kalian sudah semestinya diberi pelajaran agar lain kali tidak mengulangi lagi," ujar Panji balas menatap lelaki brewok yang diduganya pimpinan belasan orang kasar itu. Mereka berkumpul untuk menghadapi Panji dan Kenanga.

"Benar, Kenanga. Orang-orang seperti mereka pantas untuk dibunuh. Perbuatan mereka meresahkan orang banyak...," timpal lelaki tua yang diam-diam merasa bersyukur. Jika pemuda berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak segera muncul, mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka.

"Ha ha ha...!" Lelaki itu tertawa tergelak-gelak. Sedikit pun tidak merasa gentar dengan Panji la merasa tidak mungkin kalah melawan pemuda itu. Jika tadi sempat terjajar mundur, itu karena kedudukannya kurang menguntungkan, dan tidak tahu ada serangan mendadak.

"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir. Aku akan mencoba sampai di mana kehebatan lelaki bermulut besar itu. Apakah sudah sebanding dengan sesumbarnya...?" desis Panji segera mendekati lawan yang sudah siap melumpatkan tubuhnya.

Kenanga mengajak yang lain untuk menyaksikan perkelahian dari tempat yang agak jauh. Dara jelita itu menyerahkan persoalan ini kepada Panji.

"Heaaat..!"

Belum lagi sampai, lelaki brewok itu sudah bergerak sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan cukup tinggi. Meski terlihat lambat bagi orang seperti Panji. Tanpa kesulitan sedikit pun, pemuda itu dapat mengatasi serangan lawan dengan baik. Bahkan, melontarkan serangan balasan dengan kecepatan mengejutkan. Pukulan pertama Panji berhasil dielakkan lawan Tapi, luncuran kepalan kanannya telak bersarang di tubuh lawan.

Buggg!

"Hukhhh...!"

Karuan saja tubuh lelaki brewok itu tersentak kebelakang. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya terbanting di tanah berumput Kendati tubuhnya terasa nyeri, namun ia berusaha bangkit sambil menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor. Lelehan darah tampak pada ujung bibirnya. Agaknya, bagian dalam tubuh lelaki brewok itu terguncang oleh pukulan telak Panji.

Saat itu, Panji tengah menghadapi enam belas orang perampok yang mengeroyoknya. Namun, itu tidak membuatnya kewalahan. Hanya dengan tangan kosong, para perampok itu dibuatnya kalang-kabut. Tubuh mereka berjatuhan susul- menyusul terkena tamparan dan tendangan pemuda perkasa itu. Dalam waktu singkat keenam belas perampok itu bertumbangan sambil mengaduh kesakitan.

"Bocah keparat..!" Marah bukan main lelaki brewok itu ketika melihat semua pengikutnya dibuat tak berdaya dalam waktu singkat Kejadian itu bukan membuatnya menjadi gentar. Malah menerjang maju dengan kalap!

"Yeaaat..!"

Sepasang pedang di tangan lelaki brewok itu berkelebatan menerbitkan desingan tajam. Panji berkelit dengan langkah bersilangan. Kemudian, membalas serangan lawan dengan tendangan keras.

Desss...!

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu terjungkal keras. Terdengar suara berdebuk nyaring ketika tubuhnya menimpa tanah. Kali ini, lelaki brewok itu tidak segera bangkit Tendangan Panji, membuatnya sulit bernapas.

"Hm.... Sebaiknya segera pergi dari tempat ini. Tinggalkan pekerjaan buruk yang selama ini kalian lakukan! Jika aku melihat kalian masih belum mengubah cara hidup selama ini, aku akan datang dan mencabut nyawa kalian semua...!" ancam Panji. Ucapan itu sama sekali tidak diduga lelaki brewok yang menjadi kepala kawanan perampok.

Belum yakin akan pendengarannya barusan, lelaki brewok itu menatap Panji. Menunggu ucapan selanjutnya dari pemuda tampan berjubah putih yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sehingga, ia dan belasan orang kawannya tak berdaya hanya dalam beberapa gebrakan saja.

"Hm... Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran, dan melenyapkan nyawa kalian sekarang juga!" bentak Panji, membuat kawanan perampok itu pucat

Tanpa membuang waktu lagi, lelaki brewok itu bergegas bangkit dan mengajak kawan-kawannya pergi dari tempat itu. Panji memandang kepergian perampok itu, sampai bayangan mereka lenyap dari pandangan matanya.

"Mengapa kau lepaskan mereka, Kisanak? Tidakkah sebaiknya kau memberi hukuman berat agar mereka tidak lagi mengulangi perbuatannya?" tanya lelaki tua bertubuh sedang. Wajahnya terhias kumis tipis. Lelaki tua itu kurang begitu setuju dengan tindakan penolongnya.

"Hm.... Mudah-mudahan mereka sadar akan perbuatan jahatnya selama ini. Ancaman itu sudah cukup membuat mereka berpikir dua kali bila hendak melakukan kejahatan lagi..," sahut Panji yakin kalau kawanan perampok itu tidak akan mengulangi perbuatannya lagi

Lelaki berkumis tipis menghela napas panjang. Kendati ada perasaan khawatir kalau kawanan perampok itu tidak juga mau sadar. Namun ia ikut berdoa agar mereka benar-benar insyaf dan meninggalkan jalan sesat

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Kami berhutang budi kepadamu. Entah dengan cara bagaimana kami bisa membalasnya...," ujar lelaki tua itu setelah terdiam beberapa saat

"Jangan terlalu dipikirkan, Paman. Rasanya setiap orang akan melakukan hal itu. Jadi, lupakan saja apa yang telah kulakukan...," tukas Panji Kemudian berbaHk dan melangkah ke arah kereta kuda. Di dekat kereta kuda itu berdiri berjajar enam orang lelaki, kawan lelaki tua berkumis tipis itu.

"Kami mengawal majikan yang hendak ke kota kadipaten. Juragan kami, Ki Banara, hendak mengungsi. Karena menurut kabar Gerombolan Setan Merah kembali mengganas dan mencari korban...," jelas lelaki berkumis tipis tanpa diminta.

"Rupanya, kau cukup banyak tahu tentang gerombolan itu, Paman...?" tanya Panji, mencoba menyelidiki sampai seberapa jauh lelaki berkumis tipis itu mengetahui tentang Gerombolan Setan Merah.

"Tidak seperti yang kau duga, Kisanak. Aku dan kawan-kawanku bukan penduduk asli daerah ini. Kami datang dari selatan dua tahun yang lalu. Tentang Gerombolan Setan Merah, memang telah tersebar hampir ke seluruh desa di wilayah ini. Untuk itu, aku mohon maaf...," sahut lelaki tua berkumis tipis itu dengan wajah agak menyesal. Karena tidak dapat membantu penolongnya.

"Tidak mengapa, Paman. Silakan lanjurkan perjalanan Mudah-mudahan tidak ada gangguan lagi di jalan," ujar Panji.

"Terima kasih, Anak Muda. Aku sekeluarga tidak akan melupakan budi baikmu," ujar seorang lelaki berwajah bulat dengan kumis dan jenggot tercukur rapi.

Lelaki itu menjulurkan kepalanya dari dalam kereta ketika lewat di dekat Panji dan Kenanga. Wajah yang terkesan ramah dan baik hati itu membuat Panji tidak menyesal telah mengulurkan tangan memberi pertolongan. Menurutnya, lelaki yang bernama Juragan Banara itu merupakan seorang hartawan yang baik hati dan suka menolong.

"Selamat jalan, Ki Banara...," ujar Panji seraya melambaikan tangan pada lelaki berwajah bulat itu. Panji dan Kenanga mengawasi rombongan kecil itu yang bergerak semakin jauh. Mereka membayanginya dari jarak beberapa belas tombak. Khawatir akan muncul gangguan lain yang mungkin saja datang dari Gerombolan Setan Merah. Keduanya baru merasa lega setelah rombongan semakin jauh meninggalkan tempat itu.

"Kurasa Gerombolan Setan Merah tidak akan muncul di tempat ini, Kakang..," ucap Kenanga saat rombongan Juragan Banara sudah hilang dari pandangan mereka.

"Mengapa kau menduga demikian...?" tanya Panji menatap wajah kekasihnya yang juga tengah memandang ke arahnya.

"Menurutku, setiap langkah kita selalu diawasi oleh mereka. Peristiwa semalam pasti dimaksudkan untuk memancing tindakan kita. Bukankah mereka sudah mengetahui siapa Kakang?" jawab Kenanga memberikan alasan yang cukup masuk akal. Sehingga, Panji dapat menerimanya.

"Hm.... Kalau benar demikian, berarti tempati persembunyian mereka tidak jauh dari daerah ini...?" gumam Panji setelah mendengar alasan kekasihnya. "Sungguh lihai sekali Gerombolan Setan Merah itu. Hingga dapat memata-matai tanpa kita ketahui di mana mereka bersembunyi."

Pendekar Naga Putih kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Seolah hendak mencari di mana orang-orang yang saat iri mungkin tengah memperhatikannya.

"Bagaimana kalau kita kembali ke desa, Kakang? Kita tunggu saja kedatangan mereka. Seperi yang dikatakan Ki Kaligandi tadi pagi..," usul Kenanga.

"Hm.... Gerombolan Setan Merah benar-benar membuat hatiku penasaran. Rasanya aku ingin segera berhadapan dengan pemimpin gerombolan sesat itu...!" dengus Panji jengkel. Karena tidak tahu di mana lawan berada. Sedangkan lawan tahu keadaan mereka, dan dapat memata-matai dengan leluasa segala tindak-tanduk mereka berdua.

"Aku yakin, suatu saat kita dapat menemukan tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah. Aku pun penasaran ingin merasakan kehebatan ilmu pemimpinnya, yang menurut sangat tinggi dan banyak ragamnya, terutama ilmu hitam yang mengerikan itu...," timpal Kenanga. Tapi seperti juga kekasihnya, Kenanga tidak bisa berbuat apa-apa. Gerombolan Setan Merah masih merupakan misteri yang harus mereka pecahkan bersama.

"Ayo kita kembali ke desa. Siapa tahu Ki Kaligandi tengah menunggu kabar dari kita"

Panji mengajak kekasihnya kembali ke Desa Palasari. Setelah mereka gagal menemukan tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah. Tapi, kegagalan itu tidak membuat Panji dan Kenanga putus asa. Mereka malah semakin penasaran. Dan, akan tetap meneruskan penyelidikan sampai dapat menemukan gerombolan yang sangat lihai itu.

Matahari sudah tinggi saat pasangan pendekar muda itu bergerak menuju Desa Palasari. Saat lewat di dekat daerah pekuburan, keduanya berhenti beberapa saat dan memperhatikan tempat yang menyeramkan itu. Mereka merasa yakin kalau di daerah pekuburan itu ada sesuatu yang aneh. Hanya mereka tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan pekuburan itu menyebarkan hawa menyeramkan di hati mereka berdua. Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka sepakat untuk menyelidiki hawa aneh yang menimbulkan kengerian itu.

********************

TUJUH

Langit di atas Desa Palasari sudah tampak kelam. Rembulan bersembunyi di balik gumpalan awan. Bintang-bintang pun tak lagi menampakkan kerlipnya. Pepohonan berderak ribut dipermainkan hembusan angin dingin yang bertiup keras. Suasana menyeramkan itu ditingkahi rintik-rintik air hujan yang luruh membasahi bumi.

"Malam yang mengerikan...!" desis Ki Kaligandi perlahan. Lelaki tua itu berdiri tegak di sisi pendopo dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Suasana menyeramkan malam itu membuat hatinya gelisah. Sepertinya, dia merasa akan terjadi suatu peristiwa mengerikan di Desa Palasari. Dan, akan kelihatan tidak ingin menyaksikan kejadian itu.

"Ya. Tampaknya suasana malam ini pertanda tidak baik. Dalam keadaan seperti ini, iblis akan bergentayangan mencari mangsa. Dongeng itu rasanya sangat tepat dalam cuaca malam seperti sekarang ini."

Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau yang berwajah jelita, menimpali ucapan Ki Kaligandi Seperti juga lelaki tua itu, Kenanga tengah menyaksikan suasana malam menyeramkan itu.

Di sebelah dara jelita itu, tampak Panji berdiri tegak sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Pemuda tampan berjubah putih itu pun tengah menyaksikan malam mengerikan di atas Desa Palasari.

"Kemungkinan besar Gerombolan Setan Me rah akan datang berkunjung malam ini. Firasatku mengatakan mereka akan datang dalam jumlah yang cukup besar. Tapi dengan rencana yang telah kita susun bersama, aku yakin iblis-iblis haus darah itu dapat kita halau," ujar Panji penuh keyakinan

"Aku pun berharap demikian, Panji...," gumam Ki Kaligandi yang keyakinannya semakin tebal

Pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu selalu membangkitkan semangat dan keyakinan dirinya yang semula telah pudar. Meski hanya melalui ucapan yang tidak ditujukan langsung kepadanya, tapi semua itu telah menggugah semangatnya. Sehingga Ki Kaligandi semakin kagum dan hormat pada pemuda tampan berjubah putih itu.

"Ki," panggil Kenanga tiba-tiba. "Apakah Bagola dan Dinta sudah siap di tempatnya?"

"Semua sudah siap, Kenanga. Kita tinggal menunggu gerakan Gerombolan Setan Merah...,' jawab Ki Kaligandi tanpa mengalihkan pandang matanya dari langit kelam di atas Desa Palasari.

"Hm! Sebaiknya kita segera berangkat. Saat ini sudah hampir tengah malam. Kalau perkiraanku tidak meleset, sebentar lagi iblis-iblis haus darah itu akan muncul...," ujar Panji mengingatkan Kenanga dan Ki Kaligandi dengan rencana yang telah mereka atur penuh perhitungan.

Ketika Panji bergerak meninggalkan pendopo, Ki Kaligandi dan Kenanga beranjak mengikutinya. Sosok mereka lenyap di balik pintu rumah yang terbuat dari kayu tebal. Rumah Kepala Desa Palasari kembali sunyi tanpa sesosok manusia pun yang tampak. Bahkan, dua orang keamanan desa yang biasanya berjaga di halaman depan tidak terlihat. Mungkin itu sebagian rencana yang telah diatur Panji bersama tetua-tetua desa.

Malam semakin larut Suasana menyeramkan masih menyelimuti Desa Palasari. Bahkan, hembusan angin terasa semakin bertambah keras. Pepohonan jadi makin berderak ribut, bagai hendak tumbang. Malam itu suasana Desa Palasari sungguh sangat mencekam penghuninya.

Saat waktu lewat tengah malam, terdengar suara ringkik melengking mirip lenguhan kuda. disusul suara tapaknya yang tidak wajar. Hanya sesekali dan terdengar demikian nyaring hingga menggema di sudut-sudut desa. Lebih tepat kalau dikatakan ketukan yang disengaja. Suasana semakin bertambah seram.

Kendati demikian, penduduk desa maupun para keamanan desa tidak terlihat. Jalan utama desa tetap sunyi dan lengang. Tak satu makhluk pun yang melintasinya. Hanya bayang pelita yang terlihat bergoyang-goyang di depan rumah-rumah penduduk. Angin mempermainkannya, menampakkan sosok-sosok memanjang di jalan desa itu.

"Kik kik kik...!"

Suara ringkik yang mirip lenguhan kuda kembali terdengar. Menggema, menggetarkan udara malam. Kemudian, terdengar suara langkah orang banyak yang sengaja diseret untuk menambah seram suasana. Tak berapa lama kemudian, sosok-sosok hitam yang seluruh wajahnya dicat merah, bergerak bagai setan-setan kelaparan yang bergentayangan mencari mangsa. Mereka mendatangi beberapa rumah penduduk.

"Aiiieee...!"

Disertai pekik ramai yang parau, sosok-sosok hitam itu mendobrak pintu-pintu rumah penduduk yang berada di bibir desa sebelah selatan. Tapi beberapa saat kemudian, sosok-sosok hitam itu berloncatan keluar sambil mengumpat kotor!

"Keparat! Ke mana perginya para penduduk desa...? Apakah mereka telah mengungsi...?.'" geram salah satu dari sosok-sosok hitam itu, yang bertubuh tinggi kurus. Selain wajahnya dicat merah, dada telanjang lelaki kurus itu pun dihiasi warna serupa. Rupanya, lelaki itu merupakan pemimpin dua puluh orang anggota Gerombolan Setan Merah, yang sudah memasuki Desa Palasari.

"Tidak mungkin itu mereka lakukan. Kami tidak pernah melihat ada rombongan pengungsi lewat dalam beberapa hari ini. Mereka pasti masih berada di dalam desa...," timpal sosok lainnya yang tidak percaya penduduk Desa Palasari telah pergi mengungsi.

"Kau yakin...?" tukas sosok tinggi kurus, seraya menatap wajah kawannya.

"Yakin! Aku telah mengamatinya dengan cermat..!" sahut lelaki itu yang juga bertubuh kurus. Hanya ia lebih pendek dari pemimpinnya. Pertanyaan itu langsung dijawab dengan cepat, tanpa keraguan sedikitpun.

"Hmhhh...!" Lelaki tinggi kurus itu mendengus sambil memberi isyarat kepada dua puluh orang pengikutnya agar terus bergerak ke dalam desa.

Puluhan sosok tubuh yang ternyata Gerombolan Setan Merah itu bergerak maju dengan mengendap-endap. Hingga suara langkah kaki mereka tidak terdengar. Gerombolan manusia sesaat itu merasa curiga, setelah mengetahui beberapa rumah penduduk yang mereka geledah ternyata kosong. Mereka menduga semua itu sudah dipersiapkan para Tetua Desa Palasari.

Saat puluhan sosok tubuh itu bergerak bagai setan-setan penasaran, tiba-tiba dari atap rumah penduduk di kedua sisi jalan menyembul beberapa sosok tubuh. Di tangan mereka terlihat busur dan anak panah yang siap dilontarkan. Satu lagi rencana yang diatur Pendekar Naga Putih dan para Tetua Desa Palasari.

Zinggg, zinggg, zinggg...!

Seiring dengan isyarat gerakan tangan salah seorang pemanah-pemanah gelap itu, terdengar suara berdesingan membeset udara malam yang dingin. Dan...

"Aaa...!"

"Aaakh...?!"

Terdengar pekik kesakitan disusul robohnya beberapa orang anggota Gerombolan Setan Merah. Anak panah itu menewaskan korban-korbannya seketika.

"Kurang ajar...!" Lelaki tinggi kurus pimpinan rombongan Gerombolan Setan Merah menggeram marah. Ia sendiri tak luput dari incaran anak panah. Tapi, semua dapat diruntuhkan dengan kibasan tangannya. Sehingga, tak satu anak panah pun yang menyentuh tubuhnya.

Sadar kalau rombongannya terjebak, lelaki tinggi kurus itu segera memerintah kawan-kawannya untuk mundur. Beberapa saat kemudian, Gerombolan Setan Merah yang berkurang hampir sepanahnya itu bergerak mundur, dan lenyap ditelan kegelapan malam.

"Hm.... Semua ini pasti ulah Pendekar Naga Putih! Sudah kuduga ia akan membantu penduduk Desa Palasari untuk menghadapi kita...," desis lelaki bertubuh sangat tinggi, melebihi ukuran manusia biasa.

Wajah dan dada lelaki itu dipenuhi warna merah. Lelaki itu adalah pemimpin Gerombolan Setan Merah. Laporan salah seorang anak buahnya membuat lelaki berwajah seram itu marah bukan main. Kepalanya menoleh ke kanan, ke arah sosok yang sama tinggi dengannya. Bedanya, sosok itu tidak mencat merah wajahnya. Melainkan putih seperti kapur. Sehingga, perbedaan keduanya tampak demikian nyata.

"Setan Muka Putih...," panggil lelaki berwajah merah yang wajahnya hampir tersembunyi oleh rambut yang meriap. Suaranya sember seperti ember bocor dipukul. Tatapan matanya sangat tajam dan berpengaruh. Sosok pemimpin Gerombolan Setan Merah dapat membuat seorang bocah mati mendadak bila melihatnya.

"Hmh..." Lelaki yang sama tingginya dengan pemimpin Gerombolan Setan Merah bergumam serak. Sosoknya yang tigak kalah mengerikan dengan sang Pemimpin berbalik, dan menatap wajah lelaki di hadapannya lekat-lekat. Sikapnya tidak menunjukkan bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang pemimpin. Tapi, lelaki berwajah merah tidak kelihatan marah. Di antara mereka memang tidak terikat peraturan seperti umumnya.

"Kita harus memberi pelajaran kepada penduduk desa ini yang telah berani kurang ajar melawan kita...!" geram pemimpin Gerombolan Setan Merah itu penuh dendam.

Tampaknya, ia benar-benar marah dengan kejadian itu. Lelaki jangkung bermuka putih memperdengarkan geraman, la mengerti apa yang diinginkan pemimpinnya yang berwajah mirip dengannya. Mereka adalah saudara seperguruan yang merupakan tokoh sesat tersembunyi, dan jarang menampakkan diri di dunia persilatan. Sehingga nama kedua tokoh mengiriskan itu jarang dikenal, kecuali oleh tokoh-tokoh angkatan tua.

Seperti juga Setan Muka Merah, usia Setan Muka Putih pun sukar ditebak. Wajah mereka terlindung oleh cat tebal. Dari kerutan wajah yang hampir tidak terlihat dapat diperkirakan usia mereka sekitar lima puluh tahun lebih. Setelah mendapat perintah Setan Muka Merah, kakak seperguruannya, Setan Muka Putih duduk bersila di bawah sebatang pohon. Matanya terpejam rapat dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Entah apa yang akan dilakukan tokoh menyeramkan itu. Hanya orang-orang Gerombolan Setan Merah saja yang mengetahuinya.

Apa yang dilakukan Setan Muka Putih kini dapat ditebak. Sosok-sosok anggota gerombolan yang tewas bergerak bangkit Setan Muka Putih telah mempergunakan 'Ilmu Pembangkit Mayatnya yang mengerikan. Setelah tahu di mana lawan-lawannya bersembunyi, mayat-mayat anggota Gerombolan Setan Merah yang berjumlah delapan orang bergerak menghampiri dua buah rumah di kiri dan kanannya. Apa yang mereka lakukan sangat sukar dipercaya!

Dua belas orang penduduk yang bersembunyi di atas atap kedua rumah itu terkejut bukan main. Mereka merasa ada getaran pada rumah yang digunakan untuk bersembunyi.

Kraaakkkh...!

"Hei...?! Ada apa ini...?!"

Pekik ketakutan mereka mulai terdengar. Getaran yang hampir merobohkan rumah itu membuat mereka berloncatan turun. Semua berlompatan ke tanah tanpa busur dan anak panah.

"Hmrrr...!"

"Aaah...?!"

Wajah dua belas penduduk desa itu sangat pucat Melihat tubuh-tubuh berlumuran darah dengan anak panah yang masih tertancap di tubuhnya, bergerak maju hendak mencekik mereka. Mayat-mayat hidup itulah yang telah mematahkan riang-riang penyangga rumah. Entah dari mana mereka memperoleh kekuatan yang demikian besar itu. Sehingga, mampu merobohkan rumah dengan tangan kosong.

"Bukankah..., bukankah mereka tadi telah menjadi korban anak panah kita...?" desis seorang penduduk dengan susah-payah. Orang itu mengenali anak panah yang tertancap di tubuh mayat Gerombolan Setan Merah.

"Celaka! Mayat-mayat hidup...?!" pekik yang lainnya dengan kedua kaki gemetar dan sukar digerakkan. Bahkan, karena takutnya sampai terkencing-kencing!

"Cepat beri tanda pada Pendekar Naga Putih...!" salah seorang yang masih mampu mengua--sai diri, segera mengingatkan kawan-kawannya akan nasihat Panji agar memberi tanda bila mereka menghadapi bahaya.

Tapi, tak satu pun yang sanggup melakukannya. Lelaki tegap yang memberi perintah segera mengeluarkan sebatang bambu sepanjang ibu jari tangan. Kemudian dilekatkannya ke bibir.

"Suiiit..!"

Terdengar lengkingan panjang menerobos kegelapan malam hingga menyelinap ke sudut-sudut desa. Tapi, suara lengkingan itu berhenti di tengah jalan. Karena leher lelaki yang meniupnya dicekik sepasang tengan sekuat jepitan baja!

"Hekhhh...?!"

Lidah lelaki tegap itu terjulur ketika sesosok mayat hidup mengangkat tubuhnya tinggi tinggi. Napasnya putus setelah tulang lehernya patah diremas mayat hidup itu. Dan, tubuhnya melorot ke tanah bagai sehelai kain basah.

"Ibliiisss...!" desis kawan-kawan lelaki tegap itu. Meski dengan tangan gemetar, mereka mencoba meloloskan senjata dari pinggang dan menghunusnya.

"Haaat..!" Dengan memberanikan diri, para penduduk bergerak maju sambil membabatkan senjatanya. Tapi...

Crakkk!

Bacokan itu telak mengenal tubuh mayat hidup. Tapi meskipun darah mengalir dari tubuhnya, mayat hidup itu tetap berdiri tegak. Seolah luka itu tidak membuatnya tewas untuk kedua kali.

"Aaakh...!" Tubuh yang tegak terpaku dengan sepasang mata terbelalak, tiba-tiba terangkat ke atas. Sepasang lengan yang kuat telah mencekik batang lehernya.

Ngekkk!

Lelaki sial itu menggelepar sekarat Tubuhnya dibanting ke tanah dengan kuat Hingga tulang- tulangnya remuk seketika. Seorang kawan lelaki sial itu bernasib sama. Kepala orang itu remuk oleh pukulan mayat hidup.

"Aaah...?!"

Mereka yang masih tersisa bergerak mundur dengan wajah pucat seperti lawan-lawannya. Keringat sebesar biji jagung meluncur turun membasahi wajahnya. Jelas, mereka tengah dilanda ketakutan hebat

"Haiiit..!"

Pada saat mereka hampir mati ketakutan, terdengar lengkingan tinggi yang menulikan telinga. Sesosok bayangan putih meluncur cepat laksana! sambaran kilat Dan meluncur turun di depan delapan sosok mayat hidup.

Whusss...!

Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok pemuda tampan berjubah putih itu langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya, yang mengeluarkan sinar putih keperakan dan sinar kuning keemasan sekaligus. Hingga....

Blarrr!

Ledakan keras terdengar ketika pukulan jarak jauh yang maha dahsyat itu menerpa dua tubuh mayat hidup. Tanpa ampun lagi, rubuh mayat hidup itu langsung hancur menjadi serpihan kecil.

"Hm.... Sekarang aku tahu bagaimana caranya melumpuhkan mayat-mayat hidup ini! Sepantasnya manusia pengecut yang bersembunyi di balik tubuh mayat-mayat hidup inilah yang harus kuhadapi Karena permainan anak-anaknya sudah tidak berguna lagi..!" ujar pemuda tampan berjubah putih yang bukan lain dari Panji.

Pendekar Naga Putih memang sengaja menantang orang yang menggerakkan mayat-mayat hidup itu. Menurut dugaannya, tokoh yang bersembunyi di balik tubuh mayat-mayat hidup itu tidak berada jauh dari tempat itu. Teriakan lantang Pendekar Naga Putih bergema terbawa hembusan angin malam. Hingga tertangkap telinga Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih. Teriakan itu dikeluarkan Panji dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.

Panji berdiri tegak menanti munculnya tokoh yang dimaksud Tapi, tantangannya belum mendapat sambutan. Enam mayat hidup itu masih tetap bergerak mendekatinya, membentuk kepungan. Kali ini, mayat-mayat hidup itu bergerak agak cepat dengan memperlihatkan jurus-jurus silat Kemudian, menerjang Panji secara bersamaan.

"Haaat..!"

Panji memekik nyaring. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan sambil melepaskan pukulan tenaga gabungan yang maha dahsyat Ledakan-ledakan keras terdengar susul-menyusul bersama hancurnya keenam mayat hidup itu. Meskipun tenaganya cukup banyak terkuras, namun Panji merasa puas. Mayat-mayat hidup itu dapat ditanggulanginya dengan baik. Kini pemuda tampan itu berdiri tegak menanti orang yang menggerakkan mayat-mayat itu.

DELAPAN

Brolll!

"Aaah...?!" Panji tersentak mundur ketika mendadak saja tanah tempatnya berdiri terangkat naik. Jebol bersamaan dengan munculnya tangan-tangan kurus berkuku runcing Bahkan bukan hanya di tempatnya semula berdiri. Tapi, di sekeliling pemuda itu telah bermunculan tubuh-tubuh kotor tanpa wajah. Kepala mereka hanya berupa tengkorak!

"Gila...?! Ilmu apa lagi yang digunakan iblis-iblis itu...?!" desis Panji.

Pendekar Naga Putih sempat tergetar hatinya menyaksikan sosok-sosok mayat yang mungkin telah lama terkubur dalam tanah. Kalau tidak mengalaminya sendiri, pemuda itu tidak akan percaya dengan kejadian itu. Beberapa penduduk yang selamat berkat pertolongan Panji, langsung pingsan. Pemandangan itu terlalu mengerikan bagi mereka.

Panji sendiri berusaha mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan kengerian yang menjalari hatinya. Tengkorak hidup yang pakaiannya telah hancur di sana-sini sangat banyak jumlahnya. Pendekar Naga Putih tidak mungkin menggunakan tenaga gabungannya terus-menerus. Karena hal itu akan membuatnya mari lemas kehabisan tenaga.

Otak pemuda perkasa itu cepat berputar mencari cara menghadapi lawan-lawan mengerikan itu. Panji segera mengambil keputusan kilat. Tengkorak-tengkorak hidup itu sudah bergerak maju dari segala arah. Siap merejam tubuhnya hidup-hidup!

"Hmh...," Panji bergumam lirih. Lalu, membentak perlahan memanggil keluar Pedang Naga Langit Sebentar kemudian, di genggaman pemuda itu telah muncul sebatang pedang bersinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas menyengat

Whukkk! Whukkk!

Terdengar dengungan bagai ratusan lebah marah, saat Panji memutar pedang keramat itu di atas kepalanya. Sinar kuning keemasan berhawa panas menyebar, memaksa tengkorak-tengkorak hidup itu menghentikan langkah. Makhluk-makhluk mengerikan itu ragu untuk bergerak maju

"Hm.... Ayo majulah, Ibtts-iblis Neraka!" tantang Panji sambil melintangkan pedang keramatnya di depan dada. Siap menghadapi keroyokan puluhan tengkorak-tengkorak hidup.

Tubuh tengkorak-tengkorak hidup itu tampak bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Kelihatan jelas kalau makhluk-makhluk mengerikan itu merasa bimbang, dan hendak membantah perintah orang yang menggerakkannya. Tapi beberapa saat kemudian, tengkorak-tengkorak hidup itu kembali bergerak maju. Rupanya, mereka tidak sanggup membantah perintah orang yang menguasainya.

"Heaaat..!"

Melihat lawan-lawannya bergerak mendekat, Pendekar Naga Putih tidak mau menunggu. Tubuhnya langsung melesat ke depan disertai kelebatan pedang keramatnya yang berhawa panas.

Plasss... plasss...!

Panji menahan seruan herannya ketika melihat dua sosok tengkorak hidup langsung lenyap menjadi gumpalan asap, ketika tersentuh ujung senjatanya. Asap putih tebal itu meluruk ke tanah, kemudian lenyap terserap bumi.

Melihat kenyataan itu Pendekar Naga Putih menjadi lega. Pedang Naga Langit kembali menunjukkan keampuhannya. Sebenarnya, bukan hanya karena keampuhan pedang itu lawan-lawannya dapat dilumpuhkan. Tenaga dalamnya pun ikut berperan di sana. Tanpa memiliki tenaga dalam yang tinggi, Pedang Naga Langit tidak akan banyak gunanya. Hanya jika berada dalam tangan seorang berhati bersih dan memiliki kepandaian tinggi sajalah pedang keramat itu akan menunjukkan keampuhannya.

"Haiiit..!"

Dengan semangat berlipat ganda, Pendekar Naga Putih kembali melesat ke arah makhluk- makhluk mengerikan itu. Pedang di tangannya berkelebatan membentuk gulungan sinar berhawa panas menyengat Dalam waktu singkat hampir separuh lebih tengkorak-tengkorak hidup itu kembali ke asalnya di dalam bumi.

Bettt.. bettt!

Untuk kesekian kafinya pedang keramat itu membabat tubuh yang terdiri dari tulang-belulang. Berkat keteguhan dan ketangguhannya, Panji berhasil melenyapkan tengkorak-tengkorak hidup itu kembali ke asalnya.

"Hhh...," Panji menghela napas panjang seraya menyusut peluh yang membasahi kening. Meskipun pertempuran itu tidak berlangsung lama, namun membuat agak lelah. Panji telah banyak menggunakan tenaga dalamnya untuk melenyapkan lawan-lawannya.

"Hm.... Sebelum iblis itu membuat ulah lagi, sebaiknya ia dipaksa keluar dari persembunyiannya...," desis Panji segera mengangkat pedang keramatnya di atas kepala.

"Haaah!" Dengan sebuah pekik mengguntur, Panji melepaskan Pedang Naga Langit dari genggamannya. Pendekar Naga Putih hendak memaksa keluar lawannya dengan menggunakan pedang keramat itu.

Whukkk..!

Ajaib sekali! Setelah lepas dari tangannya, Pedang Naga Langit berputaran menimbulkan deruan angin tajam. Seolah telah menemukan apa yang dicarinya, senjata keramat itu berhenti sesaat! dalam keadaan mengapung di udara. Kemudian meluncur cepat laksana kilatan sinar yang jatuh kebumi.

"Panji...!" Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat Panji menoleh ke belakang. Dilihatnya Kenanga, Ki Kaligandi, Bagola, dan Dinta tengah berlari ke arahnya. Di belakang mereka terdapat belasan orang keamanan desa, ditambah dua puluh lebih penduduk desa.

"Mengapa kalian melanggar rencana yang telah disepakati bersama...?" tegur Panji kaget melihat mereka meninggalkan tempat persembunyiannya. Menurutnya, tindakan mereka sangat berbahaya.

"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa menahan mereka yang mengkhawatirkan keselamatanmu...," jelas Kenanga. Pemuda itu hanya bisa menghela napas] panjang. Semua memang sudah telanjur.

"Yeaaat..!"

Mendadak dari depan dan kiri-kanan mereka! bermunculan orang-orang Gerombolan Setan Merah. Mereka rupanya telah berada di sekitar tempat itu sejak tadi, dan tengah menunggu kesempatan baik.

"Celaka! Mundur...!" seru Panji melihat Gerombolan Setan Merah datang menyerbu dengan senjata di tangan. Khawatir akan keselamatan penduduk desa, Pendekar Naga Putih langsung mengempos semangatnya, mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.

"Heaaah...!" Tanpa membuang waktu lagi, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.

Blarrr...!

Akibatnya sangat hebat! Belasan anggota Gerombolan Setan Merah beterbangan bagai dilanda badai salju dahsyat! Tidak sedikit dari mereka yang langsung tewas dengan kulit kebiruan. Amukan Pendekar Naga Putih sungguh menggiriskan. Pukulan-pukulan mautnya terus terlontar dan menewaskan lawan. Rasa khawatir akan nasib penduduk Desa Palasari, membuatnya terpaksa membantai lawan-lawannya. Memang hanya itu pilihan satu-satunya yang dimiliki Pendekar Naga Putih.

Meski bagaimanapun hebatnya amukan Panji, karena jumlah lawan terlampau banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi, beberapa di antaranya berhasil menerobos masuk dan menyerang rombongan Ki Kaligandi.

"Haiiit..!"

Melihat beberapa anggota Gerombolan Setan Merah berhasil melewati Panji, Kenanga langsung menyambutnya dengan sambaran Pedang Sinar Rembulan.

Crasss! Crasss!

"Auhhh...!" Dua orang lawan yang nekat menjerit parau. Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan darah. Tewas tanpa ampun.

"Ayo. Majulah, Ibfis-iblis Keparat..!" tantang Kenanga seraya memutar senjatanya, membentuk gulungan sinar putih keperakan berhawa dingin. Beberapa orang lawan kembali jadi korban ujung pedang dara jelita itu. Demikian pula Ki Kaligandi, Bagola, dan Dinta. Ketiga tetua desa itu, menyabetkan pedangnya menyambut kedatangan lawan. Pertempuran pun tidak bisa dielakkan lagi.

"Aaakh...!" Korban di pihak warga Desa Palasari mulai berjatuhan. Satu persatu mereka mulai roboh bermandikan darah. Mereka memang bukan lawan anggota Gerombolan Setan Merah.

"Mundur...!"

Melihat para penduduk mulai berjatuhan, Pendekar Naga Putih segera memerintahkan untuk menjauh. Tubuh pemuda itu melesat ke arah orang-orang desa yang tengah mati-matian mempertahankan nyawa dari incaran pedang lawan.

"Heaaah...!"

Buggg! Desss!

Tiga orang anggota Gerombolan Setan Merah terguling dengan dada remuk. Pukulan dan tendangan Panji membuat mereka tewas seketika. Tanpa banyak membuang waktu, Panji mengambil sebatang pedang dari korban pukulannya. Kemudian mengamuk bagai naga murka.

Penduduk Desa Palasari mulai dapat bernapas lega setelah Pendekar Naga Putih ikut bertarung di tempat itu. Pedang rampasannya bergerak membabat lawan, yang bertumbangan bagai rumput-rumput kering Sehingga jalan untuk mundur terbuka lebar.

"Ki Kaligandi! Bawa mereka mundur...!" seru Panji pada orang tua itu, yang tengah sibuk menghadapi dua orang lawannya. Panji segera melesat dan membabat habis lawan Ki Kaligandi, Bagola, serta Dinta. Kemudian, menyuruh tetua-tetua Desa Palasari itu untuk segera mundur menjauhi tempat itu.

Menyadari keadaan mereka memang sangat berbahaya, Ki Kaligandi segera mematuhi perintah Pendekar Naga Putih. Kepala Desa Palasari itu membawa warga desanya bergerak mundur, meninggalkan arena pertempuran. Tinggallah Panji dan Kenanga yang menghadang lawan-lawannya dengan pedang di tangan. Amukan sepasang pendekar muda itu membuat lawan-lawannya gentar dan bergerak mundur. Karena siapa saja mendekat, nyawanya pasti akan jalan-jalan ke akhirat

Cwittt! Cwittt!

Panji dan Kenanga memutar pedangnya dengan gerakan menyilang. Kemudian berhenti di depan dada ketika melihat lawan-lawannya tidak berani maju.

"Haiiit..!"

Baru saja pasangan pendekar muda itu menarik napas lega, terdengar sebuah lengkingan halus. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba merah. Wajahnya pun tertutup cadar yang juga berwarna merah. Wanita yang merupakan murid Setan Muka Merah itu sebelumnya sempat bertarung dengan Panji. Saat itu ia dan anggota Gerombolan Setan Merah menyerang rombongan Ki Kaligandi di daerah pekuburan Desa Palasari.

Melihat wanita bercadar merah, Kenanga langsung bergerak maju. Pedang di tangannya berputar dengan serangan cepat dan kuat Sehingga, wanita bercadar merah segera menarik tubuhnya ke belakang, kemudian membalas serangan Kenanga dengan tidak kalah ganasnya. Sebentar saja, kedua wanita itu telah bertempur sengit

Melihat kekasihnya bertarung dengan wanita bercadar merah, Panji menggeser langkahnya menjauhi arena. Pemuda itu merasa yakin kalau Kenanga akan sanggup menghadapi wanita bercadar merah itu. Pendekar Naga Putih menunggu kemunculan tokoh-tokoh puncak Gerombolan Setan Merah, yang tengah dipaksa keluar oleh Pedang Naga Langit

Panji yang tengah berdiri menanti kemunculan gembong Gerombolan Setan Merah, menengadahkan kepala. Pemuda berjubah putih itu mendengar suara desingan senjata yang ditingkahi makian parau.

"Pedang celaka...!"

Tidak berapa lama kemudian, tampak dua sosok tubuh yang tingginya tidak lumrah, berlarian sambil sesekali menoleh ke belakang. Kedua orang aneh itu adalah Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih!

'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' di tubuh Pendekar Naga Putih langsung menyebar ketika melihat kemunculan dua tokoh aneh itu. Sekali lihat saja Panji dapat menebak kalau mereka pimpinan Gerombolan Setan Merah. Di belakang kedua orang bertubuh jangkung itu terlihat Pedang Naga Langit melayang-layang di udara.

Zinggg...!

Pedang keramat itu tiba-tiba meluncur pesat mendahului Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih. Kemudian, melekat erat di telapak tangan majikannya, yang sudah terangkat di atas kepala.

"Hm.... Akhirnya kalian muncul juga, Iblis-iblis Pengecut...'" sambut Panji seraya menggenggam erat pedang keramatnya. Pemuda itu telah siap bertarung dengan dua orang gembong Gerombolan Setan Merah.

"Keparat! Ilmu apa yang kau gunakan, Pendekar Naga Putih? Rupanya, kau pun memiliki ilmu sihir...," ujar Setan Muka Putih yang langsung mengenali pemuda tampan berjubah putih itu.

"Aku tidak memiliki ilmu sihir seperti yang kau maksudkan, Orang Muka Putih. Meskipun demikian, jangan kira aku tidak mampu melakukan perbuatan aneh seperti ilmu-ilmu yang kalian miliki," sahut Panji sambil meneliti wajah dan sosok dua orang tokoh sesat itu.

"Hm.... Jangan takabur, Pendekar Naga Putih! Meskipun ilmu yang kau gunakan sempat mengejutkan kami, tapi jangan harap dapat mengalahkan kami."

Kali ini Setan Muka Merah yang menyahuti dengan suara sembemya. Sepasang matanya yang mengandung kekuatan sihir menyorot tajam. Sepertinya, tokoh sesat itu hendak melumpuhkan lawan dengan pandang matanya.

"Hm...," Panji menggumam perlahan. Disadari kalau dirinya tidak akan sanggup bertahan dari tatapan mata lawan yang mengandung kekuatan sihir tingkat tinggi itu. Diangkatnya Pedang Naga Langit di depan mata.

"Aaah...?!" Setan Muka Merah memekik kaget. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tampak dipejamkan. Saat Panji mengangkat senjatanya, terpancar sinar kurang keemasan yang langsung membentur kekuatan sihir Setan Muka Merah. Sehingga, sepasang mata tokoh sesat itu terasa sakit

Setan Muka Putih juga kelihatan kaget dengan kejadian itu. Timbul keinginannya untuk merebut pedang keramat itu dari tangan Pendekar Naga Putih. Maka, Setan Muka Putih segera melesat ke arah Panji dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya!

"Heaaah...!"

Bettt! Bettt!

Sambaran jari-jari tangan Setan Muka Putih bergerak susul-menyusul mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Dari suara sambaran angin yang bercicitan, dapat ditebak besarnya tenaga dalam yang dipergunakan lawan.

Melihat betapa hebat dan berbahaya serangan lawan, Panji berloncatan mundur menghindar. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan dengan lincah. Sehingga, setiap sambaran jari-jari tangan Setan Muka Putih mengenai tempat kosong. Setiap kali jari-jari tangannya tiba, tubuh lawan telah berpindah ke tempat lain.

"Keparat..!" desis Setan Muka Putih penasaran setelah serangan-serangannya selalu gagal. Bahkan beberapa tusukan pedang lawan nyaris membuat tubuhnya terluka. Untung ia masih bisa menghindari serangan balasan Pendekar Naga Putih.

"Haaat..!"

Ketika pertarungan Panji dan Setan Muka Putih berlangsung sengit. Setan Muka Merah yang telah mampu menguasai diri, melayang ke tengah arena. Sosok itu hendak mengeroyok Pendekar Naga Putih. Rupanya, pimpinan Gerombolan Setan Merah itu sadar, kepandaian Pendekar Naga Putih tidak bisa diremehkan.

Terjunnya Setan Muka Merah membantu saudara seperguruannya, membuat Panji bertambah repot Dalam jurus-jurus awal, Panji lebih banyak menghindar daripada memberikan serangan balasan. Pemuda itu agaknya hendak melihat sampai di mana kehebatan kedua tokoh sesat itu.

"Haiit..!"

Saat perkelahian menginjak jurus keseratus dua puluh, tiba-tiba Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. Tubuh pemuda itu bergerak lebih cepat dari semula. Kali ini Panji menggunakan jurus-jurus pedang pamungkas untuk menundukkan kedua lawannya.

Wuttt.. bettt...!

Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Putih meliuk-liuk bagai seekor naga emas mengamuk. Desingan tajam yang disertai pancaran sinar kuning keemasan mengaung tajam, laksana gemuruh air terjun. Suasana di sekitar arena pertempuran maut itu bagai tengah dilanda badai topan dahsyat!

Bukan main terkejutnya hati Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih ketika menyaksikan kedahsyatan ilmu lawan. Keduanya segera berloncatan mundur, dan mempersiapkan jurus baru untuk mengimbangi kehebatan jurus Pendekar Naga Putih.

"Ilmu Mayat Gila...!" desis Setan Muka Merah memberi isyarat kepada saudaranya untuk menggunakan jurus yang menyeramkan itu

"Heaaah...!"

Setan Muka Putih segera memainkan 'Jurus Mayat Gila'. Tubuh jangkung itu meliuk dengan gerakan aneh dan patah-patah. Meski demikian, sambaran angin yang ditimbulkannya terdengar berciutan. 'Jurus Mayat Gila' membutuhkah pengerahan tenaga yang tidak sedikit

"Aaat..!"

"Kaaak...!"

Dibarengi pekikan nyaring yang menulikan telinga, tubuh Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih bergerak ke depan dengan langkah-langkah kaku, bagai sesosok mayat Kedua pasang lengan mereka membentuk gerakan-gerakan melipat dan membuka. Kehebatan jurus itu ada pada sambaran angin yang amat kuat Hingga benda-benda di sekitarnya beterbangan bagai dilanda angin topan.

"Heaaat..!"

Melihat lawan telah menabah gerakannya dan menggunakan jurus baru yang aneh dan mengerikan, Panji segera melambung ke udara. Dari atas, tubuhnya meluncur turun dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Apalagi sinar putih keperakan dan snar kuning keemasan berpendaran, hingga lawan sukar untuk melihat sosok pemuda itu. Itulah 'Jurus Naga Sakti Melunak ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus ampuh dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Dan....

Breeet! Breeet!

"Aaargh...!"

"Aaa...!"

Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih meraung keras saat mata pedang Pendekar Naga Putih merobek bagian tengah tubuh mereka. Kedua sosok jangkung itu terlempar dan terbanting ke tanah. Darah segar mengucur deras dari luka memanjang di tubuh Setan Muka Putih dan Setan Muka Merah. Setelah meregang sesaat, tubuh kedua tokoh sesat yang mengerikan itu diam tak bergerak lagi. Mati.

Setelah menamatkan riwayat Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih, Panji berbalik menghadapi anggota Gerombolan Setan Merah. Puluhan lelaki kurus bermuka merah itu bergerak mundur dengan sinar mata gentar. Sedangkan Kenanga yang baru saja membereskan wanita bercadar merah, langsung bergabung dengan kekasihnya, menghadapi gerombolan yang baru saja kehilangan pemimpinnya.

"Ampunkan kami, Tuan Pendekar..." Ketika beberapa anggota gerombolan berlutut kepada Pendekar Naga Putih, yang lain segera mengikuti.

"Hm.... Hari ini aku masih mengampuni nyawa kalian. Tapi, kalian harus berjanji akan mengubah cara hidup kalian selama ini. Jika aku mendengar di antara kalian ada yang menyeleweng, aku akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua!" ujar Panji dengan suara lantang.

Anggota Gerombolan Setan Merah segera menyatakan kesediaannya untuk berjanji. Dan setelah itu, mereka kemudian bersujud dan menyatakan terima kasih.

"Sekarang pergilah dari tempat ini. Cari kehidupan yang lebih baik, tanpa harus berbuat jahat..," ujar Panji lagi.

Panji berdiri tegak di samping Kenanga, memandangi anggota Gerombolan Setan Merah yang meninggalkan tempat itu dengan berpencaran. Setelah sosok-sosok kurus itu lenyap, keduanya meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Kaligandi dan warga desanya yang berkumpul di balai desa.

Malam sudah menjelang pagi. Kokok ayam jantan terdengar menyambut datangnya fajar. Pagi itu merupakan hari baru bagi penduduk Desa Palasari. Mulai pagi hari itu desa mereka kembali tenteram dan damai.

S E L E S A I

Gerombolan Setan Merah

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Gerombolan Setan Merah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih

PROLOG

Hampir setiap malam terjadi pembunuhan di Desa Palasari, korban selalu tewas dengan tanda tiga buah jari yang melubangi kening!

Bagaimanakah sikap Kepala Desa Palasari, Ki Kaligandii ketika mengetahui pelaku pembunuhan di desanya adalah Gerombolan Setan Merah? Gerombolan kaum sesat yang memiliki ilmu-ilmu hitam mengerikan! Bahkan sanggup membangkitkan mayat dari dalam kuburnya!

Mampukah Pendekar Naga Putih mengatasi tokoh-tokoh puncak Gerombolan Setan Merah yang sangat sakti dan mengerikan itu?

********************

SATU

Matahari sudah jauh bergeser ke barat Sinarnya kian redup, berganti dengan semburat cahaya merah. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Seiring dengan itu, terdengar nyanyian binatang-binatang malam yang saling bersahutan. Malam telah jatuh.

Langit dihiasi bulan sabit Sinarnya yang redup tak mampu menembus kegelapan malam yang semakin pekat Terlebih di daerah pekuburan yang terletak jauh di luar Desa Palasari. Pantulan cahaya samar sang Dewi Malam, jatuh di beberapa batu nisan. Dan, membentuk gambaran-gambaran seram yang membuat bulu kuduk meremang. Ditambah lagi adanya kepulan asap tipis laksana lapisan kabut Daerah pekuburan itu tampak semakin menyeramkan.

"Hhh.... Malam ini tidak seperti biasanya. Dingin sekali...," desah seorang penjaga pekuburan sambil menaikkan kain sarungnya hingga ke leher. Kemudian melipat kedua tangannya. Seolah dengan sikapnya itu kebenaran ucapannya ingin diperlihatkan.

Lelaki berselimut kain sarung itu melangkah perlahan keluar dari pos jaganya. Menilik wajahnya, usianya kira-kira lima puluh tahun. Bertubuh kurus dan agak bungkuk. Langkahnya tertatih-tatih mendekati sosok lain yang tengah berjongkok di dekat perapian.

"Kurang ajar...! Udara dingin malam ini membuat kayu jadi lembab dan sulit terbakar...," lelaki yang tengah sibuk membuat api unggun mengomel panjang pendek. Rupanya, merasa jengkel apinya tak juga mau membesar.

"Heh heh heh.... Kau mengomel pada siapa, Adi Lajang...?" tegur lelaki kurus itu sambil berjongkok di dekat kawannya. Hatinya merasa geli melihat kelakuan kawannya yang mengomel sendirian.

"Ah. Kau rupanya, Kakang Jasman!" seru lelaki beralis tebal agak terkejut mendengar teguran itu. "Mengapa tidak tidur? Biar aku saja yang berjaga-jaga sampai lewat tengah malam nanti."

Setelah berkata begitu, tatapan lelaki beralis tebal yang ternyata bernama Lajang itu kembali beralih pada api unggun yang menyala kecil. Lalu sibuk mengatur kayu bakar di atas jilatan api.

"Hhh.... Udara dingin begini masa bisa tidur, Adi...," sungut Ki Jasman, ikut sibuk membantu kawannya memperbesar api. Selain untuk menghangatkan tubuh, api itu pun digunakan sebagai pengusir nyamuk.

"Ya. Udara malam ini memang tidak seperti biasanya. Kalau tidak ingat akan tugas, aku lebih suka pulang dan tidur sepuas-puasnya...," timpal Lajang. Rupanya, dia pun merasakan dinginnya udara malam itu. "Malam apa ini, Kakang...?"

Kata-kata itu diucapkan Lajang sambil tetap sibuk mengurus api unggun di depannya. Sepertinya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi saja.

Tapi pertanyaan itu sempat membuat kening Ki Jasman berkerut agak dalam. Bahkan, sepasang matanya mengitari daerah pekuburan di depannya. Sebentar kemudian, wajahnya terlihat menegang.

"Hm.... Kalau tidak salah, malam Jumat Kliwon, Adi Lajang," sahutnya dengan suara agak kering.

"Kalau malam Jumat Kliwon memangnya kenapa, Kakang...?" tanya Lajang yang tidak membedakan soal nama-nama malam. Lelaki beralis tebal itu tetap acuh dan tidak mempedulikan ketegangan kawannya.

"Tidak apa-apa, Adi," sahut Ki Jasman, berusaha menyembunyikan ketegangan hatinya. Mungkin merasa malu bila Lajang yang usianya lebih muda darinya itu sampai mengetahui perasaannya saat itu.

Sementara itu, api sudah mulai membesar. Rupanya, usaha Lajang tidak sia-sia. Mereka mulai merasakan kehangatan yang menyerap ke dalam tubuh. Lajang menoleh dan tersenyum pada kawannya. Tapi sebentar kemudian senyumnya pudar.

"Kau seperti tengah memikirkan sesuatu, Kakang...?" tanya Lajang, seolah dapat membaca keanehan pada wajah lelaki setengah baya di sampingnya, yang juga tengah bangkit berdiri.

Ki Jasman sedikit tersentak mendengar pertanyaan Lajang. Dihelanya napas panjang. Kakinya melangkah lalu duduk di bangku kayu, yang ada di depan pos jaga. Tampaknya lelaki setengah baya itu berusaha menghindar dan menyembunyikan perasaannya.

"Ada apa, Kakang...?" Lajang menjadi penasaran. Dan, berusaha mendesak kawannya agar memberikan jawaban Ki Jasman kembali menghela napas panjang dan mengedarkan pandangannya ke daerah pekuburan. Sepertinya, orang tua itu tengah mencari jawaban yang tepat

"Kau ingat peristiwa beberapa minggu yang lalu..?" Ki Jasman balik bertanya sambil menatap wajah Lajang yang mengerutkan kening.

"Maksud, Kakang...?" Lajang agaknya belum mengerti arah pertanyaan Ki Jasman. Ditatapnya wajah orang tua itu lekat-lekat

"Ah.... Masa kau lupa dengan kejadian pembongkaran makam pada beberapa minggu lalu...?" Ki Jasman mencoba mengingatkan Lajang akan peristiwa itu.

"Hm.„. Ya, aku ingat!" sahut Lajang setelah berpikir sesaat "Lalu...?"

"Ah...! Bebal sekali otakmu, Lajang!" umpat Ki Jasman jengkel. Perasaan itu terpancar pada sepasang mata tuanya. "Kau ingat! Kejadiannya pada malam seperti ini...!"

"Ooo.... Jadi itu yang mengganggu pikiran Kakang...?" Lajang membulatkan mulutnya begitu ingat apa yang dikatakan Ki Jasman. Sehingga, orang tua itu kelihatan bertambah kesal.

”Peristiwa itu sungguh tidak mengganggu pikiranmu?" tegur Ki Jasman. Kelihatan sekali kalau lelaki tua itu tidak puas dengan jawaban Lajang.

"Mula-mula memang agak sedikit mengganggu. Tapi, untuk apa kita memikirkannya? Lagi pula, kejadian itu sudah cukup lama terjadi...," tukas Lajang.

"Bodoh kau!" rutuk Ki Jasman seraya menampar kepala Lajang perlahan karena kejengkelannya yang memuncak. "Aku khawatir peristiwa itu akan terulang lagi malam ini...!"

Lajang yang hampir terjatuh dari bangku tertegun sesaat. Semula hatinya agak penasaran dengan perbuatan Ki Jasman. Tapi begitu mendengar kekhawatiran orang tua itu, Lajang jadi berpikir.

"Jadi itu yang mengganggu pikiranmu...?" Lajang meminta ketegasan KiJasman.

"Kau kira apa yang terpikir dalam kepalaku selain soal keamanan tempat ini, hah?!" tukas Ki Jasman setengah membentak.

Lajang terkekeh perlahan. Lelaki beralis tebal itu tidak tersinggung dibentak Ki Jasman. Malah kelihatan geli sendiri melihat ringkah orang tua itu

"Auuung...!"

"Hei...?!" Ki Jasman terlonjak bangkit dari duduknya mendengar raungan anjing malam itu. Wajahnya terlihat agak pucat!

"Anjing sialan...!" rutuk Ki Jasman menyumpah-nyumpah. "Jantungku hampir copot dibuatnya...!"

"Kau kelihatan sangat tegang, Ki..," tegur Lajang dengan pandangan menyelidik, karena dirinya sendiri tidak terkejut dengan lolongan anjing malam itu. Menurutnya, suara itu tidak aneh. Karena memang sering terdengar pada saat-saat seperti itu.

Srekkk! Srekkk!

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menginjak dedaunan kering. Wajah Ki Jasman semakin pucat! Dengan sigap, golok di pinggangnya langsung dicabut

Srat!

"Kau dengar suara itu, Lajang..?" bisik Ki Jasman. Goloknya digenggam erat-erat

Lajang tidak mengeluarkan suara. Dia hanya menganggukkan kepala. Sedangkan tangannya sudah meraba gagang golok. Meskipun senjata itu belum keluar dari sarungnya, tapi Lajang telah mempersiapkan segalanya.

"Sepertinya dari belakang pos jaga kita...," bisik Ki Jasman tegang. "Jangan-jangan kawanan pencuri yang hendak membongkar makam baru"

Sesaat keduanya saling bertukar pandang. Kemudian, sama-sama mengangguk dan berpencar ke kiri dan kanan dengan senjata tergenggam di tangan kanan. Sedangkan tangan kiri mereka memegang kayu bakar menyala sebagai penerangan.

"Anjing keparat...!"

Lagi-lagi Ki Jasman mengutuk. Ternyata hanya seekor serigala. Rupanya, binatang itulah yang menimbulkan suara langkah lembut di atas dedaunan kering. Karena kejengkelan yang memuncak, kayu bakar yang berada di tangannya segera disodorkan ke arah serigala itu. Maka, binatang buas itu pun langsung mengambil langkah seribu.

"He he he!" Lajang terkekeh melihat wajah Ki Jasman yang kemerahan. Tingkah kawannya itu tampak semakin janggal dan lucu. Lajang sendiri tidak begitu heran melihat binatang-binatang itu berkeliaran di pekuburan. Pemandangan itu bukan sesuatu yang bani bagi mereka berdua. Terasa aneh bila orang tua itu terlihat sangat tegang.

"Jangan mengejekku, Lajang!" bentak Ki Jasman jengkel karena ditertawakan kawannya. "Kalau tubuhmu sudah dirobek-robek taringnya, baru kau tahu rasa!" Sambil bersungut-sungut, Ki Jasman bergegas meninggalkan tempat itu. Sementara, Lajang masih terkekeh sambil memegangi perutnya.

"Aaa...?!"

Tiba-tiba terdengar lolong kematian yang panjang dan mendirikan bulu kuduk. Lajang yang saat itu masih berada di belakang pos jaga terkejut setengah mati, karena mengenali suara jeritan itu.

"Kakang...!" desis Lajang segera menghambur ke depan pos jaga. Tapi....

"Ahhh?!" Lajang terbelalak pucat melihat pemandangan yang terbentang di depan matanya. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur. Butir-butir keringat dingin membasahi wajahnya.

"Ki Jasman?!"

Lelaki beralis tebal itu merintih parau. Betapa tidak? Begitu tiba di depan pos jaga, dilihatnya tubuh Ki Jasman telah tergeletak tanpa nyawa. Darah segar memancur keluar dari batang lehernya. Sedangkan kepala orang tua itu entah ke mana.

"Ahhh...?!" Lajang terbelalak pucat melihat tubuh Ki Jasman tergeletak tanpa nyawa. "Kakang..?!"

Lelaki beralis tebal itu merintih parau. Betapa tidak? Pemandangan di hadapannya sangat mengerikan! Darah segar memancur keluar dari batang leher Ki Jasman. Sedangkan kepala orang tua itu entah berada di mana!

Lajang menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan perasaannya yang terguncang. Sebagai penjaga pemakaman umum, lelaki itu sudah terbiasa melihat segala macam bentuk mayat Karena keberaniannyalah ia diterima dan dipercaya penduduk Desa Palasari untuk menjaga keamanan makam warga desa itu.

Tapi, pemandangan kali ini terasa lain. Darah segar yang terus memancur keluar dari batang leher Ki Jasman, dan kepala yang lenyap entah ke mana, membuat tubuh Lajang menggigil hebat. Bahkan hampir jatuh pingsan. Untung ia masih sanggup berdiri dalam kesadaran utuh!

Setelah terdiam cukup lama dan berhasil menenangkan hatinya, Lajang bergerak mendekat. Dicarinya kepala Ki Jasman yang terpental entah ke mana. Kayu bernyala di tangan kirinya bergerak kian kemari. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam golok telanjang.

"Ahhh...?!" Lajang terlonjak ke belakang ketika menemukan kepala Ki Jasman tergantung tepat di depannya. Sepasang mata kepala itu menatap wajah Lajang. Hingga hati lelaki itu berdebar keras. Darah yang masih menetes dari batang leher itu membuat kepala Ki Jasman terlihat demikian menakutkan. Keheranan besar melanda hati Lajang. Kepala itu tergantung setinggi wajahnya, tanpa ada sesuatu pun yang menyangga. Membuat Lajang penasaran untuk memeriksanya. Didekatkannya kayu bernyala di tangannya. Dan....

"Aaa?!" Lagi-lagi Lajang memekik kaget ketika menemukan jari-jari tangan kekar mencengkeram rambut Ki Jasman. Tangan itulah yang membuat kepala lelaki tua itu tergantung di udara. Ketika Lajang menyusuri jari-jari tangan itu, kembali kakinya melangkah mundur. Di sebelah kanan kepala Ki Jasman berdiri sesosok tubuh tinggi kurus dengan wajah menyeramkan.

"Sssi... siapa... kau...?" desis Lajang segera menjauh dengan golok menyilang di depan dada. Lelaki itu berusaha bersikap tenang dengan menekan segala rasa takut dan ngeri yang mendera hatinya.

Tapi sosok tubuh yang tingginya melebihi ukuran manusia biasa itu, melangkah maju menenteng kepala Ki Jasman. Langkahnya perlahan dengan tangan kiri terulur ke depan. Kuku-kuku jarinya panjang melengkung, menambah sosoknya semakin terlihat menyeramkan. Belum lagi wajahnya yang putih seperti dicat Benar-benar sosok yang sanggup membuat orang penakut pingsan seketika!

"Berhenti...!" Dengan sisa-sisa keberaniannya, Lajang membentak. Goloknya dikibaskan untuk menghalau sosok itu agar menjauh dari dirinya.

"Hmhhh..." Bukannya berhenti, sosok itu malah mempercepat langkahnya. Bahkan, mengeluarkan geraman parau yang membuat hati Lajang bergetar. Sehingga kedua kakinya sukar digerakkan.

"Haaat..!"

Untuk melenyapkan rasa tegang dan ngeri di hatinya, Lajang memekik kuat-kuat. Kemudian, melemparkan kayu bernyala di tangannya. Dan terus melompat sambil mengibaskan goloknya ke arah sosok jangkung itu.

Bettt!

"Hei...?!" Terkejut bukan main hati Lajang ketika sambaran goloknya mengenai angin kosong. Sedangkan sosok jangkung di depannya telah lenyap entah ke mana.

"Iblisss...!" desis Lajang yang mulai lenyap keberaniannya. Lajang bergegas membalikkan tubuh ketika mendengar dengus napas berat di belakangnya. Sayang, gerakannya terlambat! Pada saat itu terdengar sambaran angin keras. Dan....

Brett!

"Aaa...!" Terdengar raung kematian yang membelah keheningan malam. Bersamaan dengan itu, tubuh Lajang terlempar ke tanah dan tewas dengan luka di leher.

Saat berikutnya, kepala lelaki itu direnggut secara paksa dari tubuhnya. Darah segar menyembur keluar membasahi tanah merah yang kering. Dalam waktu singkat, dua penjaga makam itu tewas secara mengerikan. Keheningan malam adalah saksi bisu peristiwa itu. Angin dingin bertiup semakin keras membawa butir-butir air yang berjatuhan ke bumi. Rembulan dan bintang-bintang telah lenyap tertutup awan hitam pekat Gerimis pun turun perlahan membasahi bumi.

"He he he...!"

Sosok jangkung berwajah putih tanpa mengenakan pakaian atas itu, terkekeh parau. Dengan menenteng dua kepala di kanan dan kirinya, sosok itu bergerak melewati makam- makam yang berjejer. Meskipun tanah yang dipijaknya telah basah oleh tetesan air hujan, tapi tidak meninggalkan jejak sedikit pun saat sosok jangkung itu melangkah.

Rintik hujan bertambah deras saat sosok jangkung itu semakin jauh memasuki daerah pekuburan. Sosok itu tidak mempedulikan air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Langkahnya tetap tenang dan tidak terlihat tergesa-gesa. Cukup lama sosok jangkung itu melangkah di sisi makam yang berjejer di kiri dan kanannya. Semak perdu banyak tumbuh di atas makam-makam tak terurus. Mungkin karena letaknya terlalu jauh dari pintu gerbang, maka sanak keluarganya enggan mengurus. Sehingga dibiarkan telantar begitu saja.

Saat hampir mencapai ujung pemakaman, sosok jangkung itu tiba-tiba meloncat ke dalam sebuah liang lahat yang menganga lebar. Kemudian lenyap bersama suara gemuruh yang ditimbulkannya.

"Hieh heh heh...!"

Suara parau yang menyakitkan telinga berkumandang memenuhi pelosok daerah pe kuburan itu. Semakin lama kian mengecil hingga lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya tawa parau yang menyeramkan itu, rintik hujan pun berhenti. Rembulan kembali muncul, ditemani bintang- bintang yang berkedip jenaka. Suasana pekuburan kembali hening dan sunyi. Hembusan angin sesekali bertiup keras.

********************

DUA

Hari masih pagi Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang redup. Tiupan angin pun masih terasa dingin menyentuh kulit Kicauan burung yang terdengar sesekali, membuat suasana pagi itu terasa cerah. Dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki mulut Desa Palasari. Mendadak kening mereka berkerut dengan wajah menggambarkan keheranan. Sejenak keduanya saling pandang, kemudian kembali menatap penduduk desa yang terlihat berduyun-duyun menuju ke satu arah.

"Ada apa ya, Kakang? Melihat wajah-wajah mereka, sepertinya ada suatu peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi...," ujar dara jelita berpakaian serba hitam. Matanya memperhatikan penduduk Desa Palasari yang hampir semua menyiratkan ketegangan diwajahnya.

Pemuda tampan berpakaian serba putih, yang berjalan di sebelah kanan dara jelita itu menggeleng perlahan. Pemuda itu tengah memandang orang-orang yang berduyun-duyun menuju utara desa.

"Entahlah. Aku belum bisa menduganya. Tapi melihat wajah-wajah mereka, rasanya memang ada suatu peristiwa yang menghebohkan," sahut pemuda berjubah putih itu setelah terdiam beberapa saat.

"Mungkin ada perampok yang mengganas di desa ini semalam. Lalu ada keluarga yang menjadi korban...," duga dara jelita itu seraya berpaling dan menatap pemuda tampan di sebelahnya. Seolah hendak meminta tanggapan atas dugaannya.

"Hm.... Mungkin dugaanmu benar...," jawab pemuda itu tanpa berpikir lagi. Kemudian langkah kakinya dipercepat untuk menyusul rombongan orang-orang itu.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang...?!" seru dara jelita itu, bergegas mengikuti langkah kawannya.

"Aku hendak bertanya pada salah seorang dari mereka...," jawab pemuda tampan berjubah putih, tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak berkata apa-apa lagi. Langkahnya dipercepat untuk menjajari langkah pemuda tampan yang tidak lain Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.

"Paman, boleh aku bertanya sedikit..?" sapa Panji, setelah dapat menyusul langkah seorang lelaki berusia empat puluh tahun, yang wajahnya kecoklatan.

Lelaki itu tidak berusaha menghentikan langkahnya. Bahkan, semakin dipercepat seraya menatap pemuda tampan berjubah putih dengan sinar mata tajam menyelidik. Ada kilatan curiga di mata petani itu.

"Kau siapa, Kisanak? Dari mana asalmu...?" Lelaki berwajah kecoklatan itu malah melemparkan pertanyaan kepada Panji. Nada suaranya memperlihatkan kecurigaan yang nyata.

Tapi Pendekar Naga Putih tidak memperlihatkan sikap tersinggung. Bahkan senyumnya mengembang. Seolah ingin mengatakan bahwa kecurigaan petani itu tidak beralasan. Berbeda dengan dara jelita berpakaian serba hijau yang tak lain Kenanga. Sepasang matanya yang bulat dan jernih berkilat sejenak. Dan, kembali biasa saat melihat gelengan pemuda berjubah putih itu. Tampaknya, Kenanga tidak ingin membantah isyarat kekasihnya, hingga memilih diam.

"Kami berdua adalah pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal. Kebetulan pagi ini tiba di Desa Palasari. Melihat para penduduk berduyun-duyun menuju utara desa, kami jadi tertarik dan ingin menanyakannya pada Paman. Kami akan sangat berterima kasih bila Paman mau memberitahukannya...," sahut Panji dengan halus dan sopan.

Kecurigaan petani itu tampak agak berkurang. Sikap dan cara berbicara pemuda itu agaknya telah menimbulkan rasa suka di hatinya. "Hm„.. Sebetulnya aku pun belum tahu jelas, Kisanak. Tapi, kalau memang ingin mengetahui, lebih baik kau ikut dengan rombongan ini...," jawab petani itu agak malu.

"Huh! Kalau tidak tahu, mengapa mencurigai orang segala...?!" omel Kenanga jengkel. Untung ucapan itu agak pelan, sehingga tidak tertangkap jelas oleh petani itu.

Mendengar jawaban petani berwajah kecoklatan itu, Panji dan Kenanga yang mengaku sebagai pengembara, tidak berbicara lagi. Mereka segera mengikuti rombongan orang desa.

Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba di depan sebuah rumah sederhana yang dipenuhi orang. Rasanya, sangat sulit untuk melihat isi rumah. Pagar halaman depannya pun tidak dapat dilihat lagi Orang yang memadati tempat itu terlalu banyak.

Merasa penasaran. Panji dan Kenanga menyeruak kerumunan orang itu. Aneh, penduduk yang berkerumun tidak menghalangi perbuatan mereka. Entah pengaruh apa yang dimiliki pasangan muda ini. Dengan mudah mereka bergerak maju sampai pagar halaman depan rumah itu

"Siapa mereka...? Mengapa begitu mudah menyeruak kerumunan orang banyak...?"

Petani berwajah kecoklatan merasa heran karena sewaktu berusaha menyeruak seperti pasangan muda itu, tubuhnya terombang-ambing ke kiri dan kanan. Bahkan terjepit padatnya orang-orang yang berada di tempat itu. Sehingga, ia kembali bergerak ke luar. Itu pun dilakukan dengan susah-payah sampai wajahnya berkeringat. Padahal kalau melihat bentuk tubuhnya yang tegap dan biasa bekerja keras, dia jauh lebih kuat dari dara jelita berpakaian hijau. Tapi, kenyataannya lain. Petani itu pun menggeleng tak habis mengerti.

Sementara itu, Panji dan Kenanga telah berada di barisan depan. Mereka dapat melihat dengan jelas pemandangan yang terbentang di depan matanya. Benda seukuran tubuh manusia itu ditutupi selembar tikar dari kaki hingga kepala. Tapi, Panji tahu benda itu adalah sesosok mayat Di halaman depan rumah sedernaha itu masih terdapat tiga lainnya, yang ukurannya berbeda-beda.

"Rupanya keluarga ini terbunuh semalam, Kakang..," gumam Kenanga yang berdiri di sebelah kekasihnya.

"Aku rasa juga demikian. Kemungkinan besar perampok yang melakukannya. Tapi aku heran. Mengapa tidak keluarga kaya yang menjadi sasaran mereka? Keluarga sederhana seperti ini tentu tidak memiliki banyak harta. Untuk hidup pun mereka harus bekerja keras membanting tulang...," tukas Panji, membantah dugaannya sendiri.

Memang sulit dipercaya bila keluarga yang sangat sederhana itu didatangi perampok. Padahal, keluarga-keluarga kaya di Desa Palasari tidak sedikit jumlahnya.

"Kalian pasti bukan orang desa ini...," ujar seorang lelaki kurus berusia lima puluh tahun yang berdiri di sebelah Kenanga. Tampaknya dia mendengarkan percakapan pasangan muda itu. Kemudian gagal menahan diri untuk tidak ikut campur.

"Memang bukan, Paman. Kami berdua kebetulan singgah di desa ini. Tapi penduduk yang berbondong-bondong menuju tempat ini, mengundang rasa ingin tahu kami. Hingga, sampailah kami di tempat ini...," sahut Panji seraya tersenyum ramah kepada lelaki kurus itu.

"Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga ini, Paman? Rasanya tidak mungkin mereka terbunuh oleh perampok...," tanya Kenanga. Kesempatan itu segera dimanfaatkan dara jelita itu untuk mencari keterangan mengenai peristiwa ini.

"Mari ikut aku..," bisik lelaki separuh baya, segera menyeruak kerumunan orang. Kemudian, melangkah meninggalkan tempat itu

Pasangan muda itu jadi penasaran. Tanpa banyak cakap lagi, keduanya bergerak keluar dari kerumunan penduduk dan mengikuti langkah lelaki kurus itu.

"Jangan terlalu dekat! Kalian harus berpura-pura tidak sedang mengikuti aku! Itu bisa berbahaya...," bisik lelaki separuh baya bertubuh kurus itu. Langkahnya dipercepat, sehingga pasangan muda itu tertinggal hampir satu tombak.

Bisikan lelaki kurus itu menimbulkan rasa heran keduanya. Tapi, mereka tidak membantah dan segera memperlambat langkahnya. Mereka terpisah empat tombak jauhnya. Banyaknya penduduk yang lalu-lalang, membuat mereka tidak begitu diperhatikan orang.

"Hm.... Peristiwa ini semakin bertambah aneh saja, Kakang...," bisik Kenanga.

"Ya. Rupanya, ada suatu misteri yang menyelimuti desa ini. Lelaki tua itu kelihatannya tahu banyak. Mudah-mudahan kita bisa memperoleh keterangan darinya...," sahut Panji, berbisik. Mereka menjaga pembicaraan agar tidak sampai terdengar orang lain, seperti pesan orang tua bertubuh kurus itu.

Lelaki tua bertubuh kurus terus bergerak meninggalkan Desa Palasari. Dan, terus melangkah tanpa menoleh. Setelah cukup jauh meninggalkan mulut desa, lelaki kurus itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan langkahnya. Sedangkan pasangan muda yang mengikutinya, mulai mengerutkan kening. Mereka heran melihat orang tua itu belum juga mau berhenti. Agaknya, dia sengaja menjauhi Desa Palasari untuk membicarakan peristiwa tadi.

"Hendak dibawa ke mana kita, Kakang...? Apa ini tidak mencurigakan...?" bisik Kenanga yang mulai tidak sabar. Setelah cukup jauh berjalan, orang tua itu masih terus saja melangkah.

"Hm.... Kita lihat saja nanti. Mungkin yang akan dibicarakannya memang sangat penting dan rahasia. Sehingga, memilih tempat yang aman dan tidak diketahui orang...," sahut Panji tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun.

Tidak berapa lama kemudian, mereka menyeberangi sebuah sungai yang cukup deras. Lelaki separuh baya bertubuh kurus itu telah berada diseberang, dan tengah duduk di sebuah batu di tepi sungai.

"Berjalanlah ke sebelah kiri kira-kira enam tombak Di sana kalian akan menemukan sebuah jembatan dari batang pohon kelapa...!" seru lelaki tua itu.

Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera mengikuti petunjuk yang diberikan lelaki tua itu. Benar saja. Sekitar enam tombak dari tempat semula, terdapat sebuah jembatan dari batang pohon kelapa. Keduanya bergegas menyeberang.

Lelaki tua bertubuh kurus memandangi cara pasangan muda itu menyeberang. Meskipun tidak terlalu cepat namun mereka tidak mengalamai kesulitan. Bahkan, kelihatan seperti tengah berjalan di atas tanah datar saja.

"Hm.... Sudah kuduga. Pasangan muda itu pasti merupakan kaum rimba persilatan. Dari cara mereka menyeberang, kelihatan ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi...," gumam lelaki kurus itu. Ada sinar kekaguman di matanya melihat cara pasangan muda itu menyeberang.

"Bagaimana, Orang Tua? Apakah tempat ini sudah cukup aman dari orang-orang yang kau khawatirkan...?" tanya Panji langsung, begitu tiba di depan orang tua itu.

"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sabar, Kisanak...?" senyum tipis di bibir lelaki tua itu terukir. Dia bergerak bangkit menyambut kedatangan pasangan muda itu.

"Bukan aku tidak sabar, Orang Tua. Tapi aku merasa heran. Semula aku menganggap persoalan yang menimpa penduduk Desa Palasari merupakan hal sepele. Tapi melihat kau sangat berhati-hati membicarakannya, aku mulai berpikir lain. Mungkin apa yang akan kau ceritakan pada kami sangat berbahaya," tukas Panji tenang.

"Hm.... Apa sebenarnya yang ingin kalian ketahui...?" tanya lelaki tua itu yang kembali duduk di atas sebuah batu. Sikapnya seperti orang yang tidak tahu maksud pasangan muda itu.

"Hm..." Kenanga kelihatan sangat tersinggung karena merasa dipermainkan. Ingin rasanya menempeleng pipi lelaki tua itu. Tapi niatnya terpaksa dibatalkan karena Panji keburu mencegahnya. Dan mengambil alih persoalan.

"Terlebih dulu, silakan perkenalkan nama kalian...," ujar lelaki kurus itu saat melihat Panji hendak berbicara.

"Baiklah...," ucap pemuda tampan itu masih tetap tenang dan sabar. "Namaku Panji. Sedangkan gadis ini tunanganku. Namanya Kenanga."

"Hm.... Panji dan Kenanga. Nama yang bagus dan gagah," puji lelaki kurus itu perlahan. Kemudian, menoleh dan mengulurkan telapak tangannya ke arah Panji.

"Apa ini..?" tanya Panji meminta ketegasan atas sikap orang tua itu.

"Kalian hendak mencari keterangan dariku, bukan?" tegas lelaki tua itu Keningnya berkerut saat mendengar pertanyaan Panji yang dianggapnya pertanyaan bodoh.

"Hm.... Maksudmu kau ingin meminta imbalan atas jawaban-jawaban yang akan kau berikan kepada kami...?" tanpa Panji menegasi.

"Tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di atas dunia ini, Anak Muda. Kau memerlukan keterangan, aku memerlukan uang. Adil, bukan?" jelas lelaki kurus itu sambil memperlihatkan senyum liciknya.

Ucapan orang tua itu membuat Panji tertegun. Setelah bersusah-payah mengikuti langkahnya, ternyata mereka hanya dipermainkan. Pemuda itu menghela napas panjang menahan kejengkelan hatinya. Tapi tidak dengan Kenanga. Begitu mendengar ucapan lelaki kurus itu, dia langsung saja bangkit Dan tahu-tahu, tangan kanannya telah mencengkeram leher baju lelaki tua itu.

"Kurang ajar! Kau pikir siapa kami sehingga bisa kau permainkan seperti ini?!" geram dara jelita itu Tubuh kurus itu kemudian dilemparkan ke tanah berumput

"Hei...?!" Kaget bukan main lelaki tua bertubuh kurus itu. Sungguh tak disangkanya kalau gadis jelita yang kelihatan lemah lembut itu, ternyata mampu melemparkan tubuhnya. Padahal dia sendiri bukan orang lemah. Meski tak terlalu lihai, tapi soal ilmu silat sedikit-sedikit dikuasainya. Kemarahannya pun bangkit. Tampaknya, dia belum yakin kalau gadis jelita itu yang telah melemparkannya barusan.

"Hm.... Jangan kira aku dapat kau paksa. Gadis Liar! Aku Ki Sola, pantang dihina orang! Apalagi oleh seorang gadis!" geram lelaki tua bertubuh kurus itu seraya memperlihatkan jurusnya. Siap untuk menyerang Kenanga.

Melihat gelagat yang tak menyenangkan itu, Panji segera menengahi. Pemuda itu berpaling ke arah kekasihnya, dan membujuk dara jelita itu agar menahan kemarahannya.

"Ki Sola," ujar Panji setelah dapat membujuk kekasihnya. "Kami akan membayar jika keterangan yang kau berikan benar. Tapi ingat! Kalau ternyata keteranganmu bohong, aku akan memberikan pelajaran padamu..." Ancaman pemuda itu membuat hati Ki Sola bergetar. Apalagi, sinar mata pemuda itu demikian tajam. Hingga dadanya berdebar keras.

"Baik..., baik...," sahut lelaki tua itu mendadak gugup.

"Nah, duduklah. Lalu jelaskan kepada kami apa-apa yang kau ketahui," ujar Panji.

Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sola melangkah dan duduk di sebelah pemuda tampan berjubah putih itu.

"Sebenarnya peristiwa itu bukan baru kali ini terjadi. Sudah ada empat keluarga yang menjadi korban, sebelum yang kalian saksikan tadi. Mereka bukan perampok, karena tak satu pun harta yang diambil dari rumah korban. Yang lebih aneh adalah cara korban-korban itu menemui ajalnya. Pada bagian dahi mereka terdapat tanda tiga jari, yang langsung menembus batok kepala!"

Ki Sola menghentikan ceritanya, seperti hendak melihat tanggapan Panji dan Kenanga. Tapi, kedua erang muda itu tidak memperlihatkan sikap kaget atau ngeri Ki Sola menjadi heran.

"Apakah keteranganmu hanya sekian...?" tanya Panji. Setelah menunggu beberapa saat, orang tua itu belum juga melanjutkan ceritanya.

"Apa lagi yang ingin kau ketahui, Panji...?" tanya Ki Sola yang rupanya sudah kehabisan cerita.

"Mengenai pembunuh itu. Apa sudah ada orang yang pernah memergokinya?" tanya Panji seraya menatap wajah orang tua itu lekat-lekat

"Aku sendiri belum pernah bertemu atau melihatnya...," sahut Ki Sola seraya mengalihkan pandang ke tempat lain. Lelaki tua itu merasa ngeri menentang pandang mata Panji yang demikian tajam bagaikan mengiris-iris jantung.

"Bagaimana dengan orang lain? Dan, apakah pembunuhan itu hanya terjadi pada malam hari saja?" desak Panji. Pemuda itu mulai dapat menebak, Ki Sola hanya mendengar dari orang lain dan tidak mengetahui secara pasti kejadian yang sebenarnya.

"Menurutku, belum ada orang yang memergoki pembunuh itu. Sedangkan kejadiannya memang selalu malam hari. Itu pun tidak setiap malam...," jelas Ki Sola tak berani mengangkat wajah. Rupanya, ia telah salah menilai orang. Semula ia hendak memeras pasangan muda itu dengan keterangan-keterangan palsu. Kini keadaan berbalik, dirinya yang tunduk dan takluk kepada pemuda tampan berjubah putih itu.

"Hm.... Tidak adakah orang-orang yang patut dicurigai di desa itu...?" tanya Panji, berusaha memancing pendapat Ki Sola mengenai pelaku pembunuhan.

"Rasanya tidak. Kalaupun ada, kepala desa kami pasti telah menyelidikinya dengan cermat. Tapi, sampai saat ini belum nampak tanda-tanda siapa pembunuh keji itu"

"Terima kasih, Ki Sola. Keteranganmu rasanya sudah cukup. Nah! Terimalah hadiahmu...," ujar Panji sambil memberikan lima keping uang kepada lelaki tua itu, yang langsung menerimanya dengan wajah cerah.

"Terima kasih...," ucap Ki Sola. Kemudian menyimpan uang itu ke dalam kantung di pinggangnya.

"Kami pergi dulu...," pamit Panji segera mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.

Kali ini Panji tidak menggunakan jempatan batang pohon kelapa untuk menyeberangi sungai. Tubuhnya langsung melayang di atas air. Pada saat meluncur turun, kakinya menotol permukaan air hingga kembali melayang. Kemudian menjejakkan kakinya di seberang sungai.

Lain lagi yang dilakukan Kenanga. Dara jelita itu membawa dua batang ranting. Tubuhnya melompat ke tengah sungai Pada saat meluncur turun, kayu di tangannya dilemparkan dan digunakan gadis itu sebagai landasan berpijak. Tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau itu kembali melayang dan menjejakkan kakinya di dekat Panji.

"Gila...?! Setankah mereka...? Atau seorang dewa dan dewi...?!" desis Ki Sola sangat kaget menyaksikan perbuatan pasangan muda itu Mulutnya menganga lebar. Dan, matanya terbelalak bagai melihat hantu di siang hari.

Panji serta Kenanga memang sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi pelajaran pada Ki Sola, agar lain kati tidak meremehkan orang yang baru dikenalnya. Tanpa mempedulikan keheranan lelaki kurus itu, mereka meninggalkan tepi sungai. Sebentar kemudian, tubuh keduanya lenyap dari pandangan Ki Sola.

"Aaa...!"

Mendengar jerit kematian Ki Sola, Panji dan Kenanga menahan langkah. Mereka tampak sangat terkejut Sungguh tak pernah disangka kalau ditempat itu ada orang jahat yang tengah mengincar Ki Sola.

"Hm... Jangan-jangan ini permainan saja, Kakang," ujar Kenanga ragu.

"Kita lihat saja dulu. Jika benar ini hanya permainan Ki Sola, tidak ada sulitnya meninggalkan lelaki tua itu," bantah Panji yang merasa berat meninggalkan Ki Sola setelah mendengar jerit kema-tian lelaki tua itu.

Kenanga terpaksa mengalah. Mereka segera kembali ke tempat Ki Sola. Dan, yang mereka temukan benar-benar sesuatu yang mengejutkan. Tubuh Ki Sola terbujur tewas dengan dahi berlubang.

"Kurang ajar! Pembunuh itu rupanya telah mengetahui kedatangan kita...," desis Panji setelah melihat cara kematian Ki Sola yang sama dengan korban-korban pembunuhan di Desa Palasari.

"Kita kejar saja, Kakang...," usul Kenanga sangat penasaran melihat pembunuh keji itu

"Percuma. Pembunuh itu pasti telah lari jauh. Sebaiknya kita kembali ke desa," ajak Panji. Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.

Dan tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun menyusul. Sebentar saja, tubuh pasangan pendekar muda itu segera lenyap ditelan rimbunan pohon.

********************

TIGA

Rombongan penduduk Desa Palasari yang berjumlah cukup besar, bergerak melintasi jalan utama desa. Paling depan tampak seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun Wajahnya agak pucat dengan sepasang mata merah, pertanda kurang tidur. Lelaki itu jadi terlihat lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Dia adalah Ki Kaligandi, Kepala Desa Palasari.

Lelaki tua bertubuh gagah itu dikawal oleh dua orang lelaki berbadan tegap. Yang seorang berkumis lebat, sedangkan yang satu berhidung besar. Keduanya tampak gagah, meskipun wajah mereka kelihatan agak pucat Di belakang ketiga lelaki Sesepuh Desa Palasari itu terlihat empat buah keranda yang dipikul enam belas orang. Mereka sedang menuju pekuburan tempat pemakaman sanak keluarganya.

Saat itu matahari sudah naik agak tinggi. Sinarnya yang kuning keemasan menerobos dedaunan dan menerangi tanah di bawahnya. Untung udara tidak terlalu panas. Sehingga, mereka tidak epat lelah menempuh perjalanan yang cukup sulit itu. Menjelang setengah perjalanan, para pemikul keranda diganti.

Hal itu memungkinkan, karena jumlah mereka sekitar lima puluh orang, dan kebanyakan laki-laki. Yang wanitanya bisa dihitung dengan jari tangan. Saat matahari sudah semakin tinggi, rombongan itu pun tiba di daerah pekuburan. Hembusan angin terasa agak keras. Tempat itu memang merupakan tanah lapang yang sangat luas. Itu salah satu penyebab, mengapa daerah itu dibuat untuk tanah pemakaman.

"Hm.... Ke mana Lajang dan Ki Jasman...?" gumam Ki Kaligandi heran ketika melihat kedua penjaga pemakaman tidak muncul menyambut mereka. "Bukankah mereka yang bertugas menjagai tanah pemakaman ini..?"

"Benar, Ki," sahut lelaki berhidung besar yang berdiri di sebelah kiri Ki Kaligandi. "Mungkin mereka masih tertidur dalam pos."

"Hm.... Coba kalian lihat. Apa benar mereka masih tertidur sesiang ini...?" perintah Ki Kaligandi kepada dua pembantu utamanya. Kepala desa itu! merasa ada sesuatu yang meresahkan hatinya.

"Baik, Ki!" sahut mereka seraya melangkahi pergi.

Ki Kaligandi menghentikan rombongan. Dan, menyuruh mereka beristirahat sejenak sambil menunggu kedua pembantu utama kepala desa itu. Saat Ki Kaligandi baru saja duduk dibawah sebatang pohon rindang, tiba-tiba terdengar teriakan kaget. Cepat lelaki itu bangkit dan memandang heran dua orang pembantu utamanya yang berlarian menghampirinya.

"Ada apa...? Apa yang terjadi...?!" tegur Ki Kaligandi. Keningnya berkerut melihat wajah kedua orang pembantunya sangat pucat.

Kedua lelaki tegap itu tidak bisa menjawab pertanyaan kepala desanya. Napas mereka sedang memburu, sehingga sulit memberikan jawaban. "Ada apa, Bagola?" tanya Ki Kaligandi setengah membentak. Lelaki itu sudah tidak sabar ingin segera mengetahui apa yang dilihat kedua pembantunya. Bagola, lelaki tegap berhidung besar terpaksa mengangkat kepala. Tampak jelas dia terkejut mendengar bentakan kepala desanya.

"Lajang..., dan Ki Jasman..., telah tewas dengan leher putus! Kepala mereka..., hilang entah ke mana...," lapor Bagola dengan napas memburu. Kendati demikian, ucapan itu tertangkap jelas oleh Ki Kaligandi

"Apa kalian tidak salah lihat..?" Ki Kaligandi mencoba menegasi. Mungkin saja kedua pembantu utamanya itu salah melihat karena terlalu terburu-buru.

"Kami yakin, Ki...," tegas Bagola tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan, berani menentang pandang mata lelaki tua itu untuk meyakinkannya.

"Hm.... Ayo ikut aku...!" ajak Ki Kaligandi melihat mayat-mayat yang telah mereka temukan.

Kepala Desa Palasari itu tampaknya belum yakin dengan laporan kedua pembantunya. Ki Kaligandi melangkah perlahan dengan jari-jari siap di hulu pedang, siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

"Itu mayat mereka, Ki...!" seru Bagola. Jari telunjuknya diarahkan pada dua sosok mayat yang terbujur kaku tanpa kepala. Mayat Lajang dan Ki Jasman, yang bertugas menjaga tanah pekuburan.

"Iblis keji...!" geram Ki Kaligandi ketika melihat dua anak buahnya yang tewas tanpa kepala. Kelihatan sekali orang tua itu sangat terguncang. Peristiwa yang satu belum terungkap, kini jatuh korban lagi yang keadaannya jauh lebih mengerikan dari mayat-mayat yang mereka bawa. Penemuan dua mayat itu membuat kepalanya semakin pening. Mendadak terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan suara dentang senjata. Ki Kaligandi dan kedua orang pembantunya tersentak kaget

"Kurang ajar! Siapa lagi yang membuat kekacauan itu?!" geram Ki Kaligandi marah bukan main. Cepat tubuhnya melayang dengan pedang terhunus. Dan, langsung menceburkan diri dalam kancah pertempuran.

Bagola dan lelaki tegap berkumis lebat tidak mau ketinggalan. Keduanya segera menghunus senjata dan membantu kawan-kawannya menggempur lawan. Ki Kaligandi dan kedua pembantunya kelihatan sangat terkejut. Orang yang menyerang rombongan mereka berdandan sangat aneh. Warna wajah-wajah mereka berbeda-beda. Mereka jelas bukan perampok-perampok biasa.

"Aaa...!"

Dua orang anggota rombongan tersungkur tewas dengan tubuh bermandikan darah. Terkena sambaran senjata lawan yang berupa golok besar bergerigi. Keadaan jadi semakin kacau. Warga desa yang tidak memiliki kepandaian silat, berlarian kian kemari sambil berteriak-teriak ketakutan

"Bagola, Dinta! Lindungi para penduduk itu!" teriak Ki Kaligandi yang tengah menghadapi dua orang berwajah merah.

Bettt, bettt!

Kesempatan itu segera digunakan lawan untuk menerjang maju. Untunglah Kepala Desa Palasari itu cukup tangguh dan gesit Sehingga berhasil lolos dari sambaran golok lawan.

"Yeaaah...!"

Ki Kaligandi yang terkejut melihat kelihaian lawan memekik keras, sambil melancarkan serangkaian serangan maut yang berdesing tajam. Namun, kedua lawannya yang berwajah merah memang benar-benar tangguh. Serangkaian serangan yang dilancarkan Ki Kaligandi dapat mereka hadapi dengan baik. Bahkan, mampu melepaskan serangan balasan yang sangat cepat dan berbahaya.

"Kurang ajar! Orang-orang gila dari mana mereka ini? Mengapa memusuhi warga desaku...?" desis Ki Kaligandi seraya memutar senjatanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan lawan. Pertempuran tampak semakin hebat, saat Ki Kaligandi mengerahkan seluruh kemampuannya. Lelaki tua itu ingin segera merobohkan lawan. Karena masih banyak orang yang harus diselamatkan dari keganasan gerombolan aneh itu.

Sementara itu, Bagola dan Dinta menemui lawan yang seimbang! Sehingga, tidak mempunyai kesempatan membantu kawan-kawannya. Mereka sendiri pun harus mempertahankan nyawanya dengan sekuat tenaga.

Di saat warga Desa Palasari sudah tidak mempunyai harapan lagi, tiba-tiba melayang dua sosok bayangan putih dan hijau. Kedua sosok itu langsung menerjunkan diri ke dalam kancah pertarungan.

"Hiaaat..!"

Sosok tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau, langsung mengibaskan pedang bersinar putih keperakan yang memancarkan hawa dingin. Sekali bergerak, pedang di tangannya menewaskan seorang lawan dengan usus terburai!

Lain lagi dengan sosok bertubuh sedang yang terbungkus jubah putih. Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu membagi-bagi pukulan dan tendangannya ke arah empat orang lawan yang berada di dekatnya. Hebat dan benar-benar mengagumkan sepak terjangnya. Dalam waktu singkat, keempat pengeroyoknya dapat dirobohkan hanya dengan tangan kosong.

Melihat ada bala bantuan, Ki Kaligandi dan kedua pembantunya jadi tambah bersemangat. Sehingga, kepala desa itu dapat merobohkan seorang lawan dengan sabetan pedangnya. Keadaan pun berbalik secara mengejutkan. Gerombolan orang-orang aneh berwajah merah menjadi terdesak. Jumlah mereka berkurang separuh setelah munculnya dua sosok tubuh berkepandaian hebat itu Salah seorang anggota gerombolan segera berteriak memerintahkan kawan-kawannya mundur. Jumlah mereka yang tinggal sepuluh orang, bergerak mundur sambil melindungi tubuh dengan golok besarnya.

"Heaaat..!"

Pemuda tampan berjubah putih rupanya tidak ingin membiarkan gerombolan itu melarikan diri. Dengan sebuah lesatan panjang, pemuda itu mengejar lawan-lawannya. Kaki dan tangannya bergerak cepat menerbitkan hawa dingin menusuk tulang. Lawan-lawannya pun menjadi semakin gentar.

Plakkk! Bukkk!

Dua orang gerombolan berwajah merah tersungkur mencium tanah. Mereka tewas dengan kepala retak, serta dada remuk oleh tendangan dan tamparan keras pemuda tampan itu.

"Hiaaat..!"

Tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi. Disusul munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah. Wajahnya ditutupi cadar merah, seperti halnya gerombolan liar itu. Begitu tiba, serangkaian serangan kilat dilancarkan ke arah pemuda tampan berjubah putih, yang telah memporak-porandakan gerombolan liar itu.

Bak! Plak!

Terdengar benturan keras yang menulikan telinga sebanyak dua kali. Tubuh ramping terbungkus pakaian serba merah tersentak ke belakang. Namun dengan sebuah putaran yang indah, tubuhnya melambung ke udara dan meluncurturun. Pemuda tampan berjubah putih terlihat mengerutkan kening dengan wajah heran. Pemuda itu mencium bau asap pendupaan. Dugaannya, bau itu berasal dari sosok tubuh ramping berpakaian serba merah, yang barusan memapak! serangannya.

Sosok ramping berpakaian serba merah, yang sebagian wajahnya tertutup cadar dengan warna sama, menatap sosok pemuda tampan berjubah putih penuh selidik. Kemudian, berbalik dan memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk segera pergi dari tempat itu. Agaknya, sosok ramping berpakaian serba merah merupakan pimpinan gerombolan liar itu.

"Berhenti...!"

Melihat gerombolan berwajah merah hendak melarikan diri, pemuda berjubah putih melesat melakukan pengejaran. Tubuhnya melayang bagai seekor burung besar. Sosok berpakaian merah yang dari bentuk tubuhnya adalah seorang wanita, bergegas mempersiapkan jurusnya untuk mencegah.

"Biarkan mereka pergi...!" desis wanita itu seraya melepaskan sebuah pukulan lurus ke depan menyambut datangnya tubuh lawan.

"Heaaah...!"

Pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji, membentak perlahan. Tangan kirinya dikibaskan ke samping dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Namun, wanita berpakaian serba merah itu rupanya cukup gesit. Merasa kekuatannya di bawah lawan, maka arah pukulannya segera diubah. Kali ini dengan bacokan sisi telapak tangan yang mengincar iga lawan.

Dukkk!

Gerakan tangan Pendekar Naga Putih ternyata tidak kalah cepat dengan pembahan gerak wanita itu. Bacokan sisi telapak tangan lawan dapat dipapaki dengan lengan kirinya. Benturan pun tak dapat dihindari lagi!

"Aaah...!" Wanita berpakaian serba merah itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah. Tenaga dalamnya memang kalah kuat oleh lawan.

Srattt..!

Mendadak wanita berpakaian serba merah itu mencabut sebatang pedang yang berbentuk melengkung. Sinar kemerahan berpendar menyebarkan bau harum memabukkan. Jelas, senjata itu telah dilumuri racun mematikan!

"Nisanak! Siapa kau sebenarnya? Mengapa memusuhi penduduk Desa Palasari...?" tanya Panji yang bergerak mundur setelah mengetahui senjata lawan mengandung racun ganas. Pemuda itu menatap tajam, seolah hendak menembus cadar merah yang menutup sebagian wajah lawannya.

"Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku dan tujuanku, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya, tinggalkan desa ini. Lanjutkan perjalananmu tanpa harus mengganggu kami...!" tukas wanita bercadar merah seraya menentang pandang mata Panji dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, terlihat ada kilatan aneh pada sepasang mata yang sekelilingnya dilingkari garis hitam. Persis mata mayat

"Hm.... Pancaran mata wanita berpakaian serba merah itu mengandung kekuatan sihir...," gumam Panji.

Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan batinnya, agar tidak terpengaruh ilmu sihir lawan yang disalurkan melalui pandang mata. Untung tenaga dalamnya lebih tinggi dari wanita bercadar merah. Kalau tidak sudah pasti dirinya akan terkena pengaruh sihir lawan.

Wanita berpakaian merah sedikit terkejut ketika merasakan betapa kuat pengaruh yang terpancar dari sepasang mata pemuda tampan itu. Sadarlah ia bahwa Pendekar Naga Putih tidak termakan tatapan sihirnya.

"Hmhhh...," Kesadaran itu membuat wanita bercadar merah ini geram. Pedang di tangannya bergerak menyilang menimbulkan suara mengaung tajam. Dan....

"Heaaat..!"

Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh wanita bercadar merah melesat ke depan dengan sambaran sinar merah yang berasal dari badan pedang.

Bettt..!

Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya tiga langkah. Kemudian menggeser ke samping, menghindari serangan susulan lawan. Pemuda itu menahan napas saat ujung pedang lawan lewat di depan tubuhnya. Hawa beracun yang keluar dari badan pedang itu bisa membuat kepalanya pening.

"Heaaah...!"

Sambil membentak keras, Panji melepaskan pukulan ke samping yang mengarah iga lawan.

Bukkk!

"Ukhhh...!" Wanita bercadar merah tidak sempat menghindar. Hantaman pada iganya membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Jelas, pukulan keras itu telah membuat dadanya sesak.

"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Tunggulah pembalasanku...!" desis wanita bercadar merah itu. Setelah berkata demikian, tangannya dipukulkan ke bawah tubuhnya. Dan....

Besss!

Seketika itu juga, asap berwarna merah muncul menutupi sekujur tubuhnya.

"Celaka! Asap beracun! Cepat menyingkir!” teriak Panji pada Ki Kaligandi dan yang lainnya! Pemuda itu sendiri melepaskan pukulan jarak jauh dengan kedua tangannya. Maksudnya hendak mengusir asap beracun itu.

Whusss!

Seketika itu juga, asap merah yang berbau harum itu buyar oleh pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih. Namun, sosok wanita berpakaian serba merah itu telah lenyap tanpa bekas.

"Kenanga! Lindungi mereka! Aku akan mencoba mengejar orang-orang itu!" seru Panji.

Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya, Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan. Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, tubuhnya melelaksana terbang. Kedua kakinya tidak menjejak mi Sekilas pandang, pemuda tampan berjubah putih itu seperti tengah melayang di atas tanah. Tapi, sosok wanita bercadar merah maupun gerombolan liar itu, tidak dapat ditemukan. Mereka lenyap ditelan bumi.

"Hm.... Tidak mungkin mereka hilang begitu saja? Menurutku mereka pasti belum lari jauh...," gumam Panji seraya menghentikan larinya sesaat, dan berdiri tegak memperhatikan sekelilingnya yang semakin rapat ditumbuhi pepohonan. Kemudian, melesat mengelilingi sekitar daerah itu. Tapi, orang-orang yang dicarinya tidak nampak batang hidungnya, akhirnya, Panji memutuskan kembali ke rombongan Ki Kaligandi.

"Bagaimana, Kakang...?" Kenanga langsung nenyambut kedatangan kekasihnya dengan pertanyaan.

Panji menggeleng lemah. Gadis jelita itu segera tahu arti gelengan itu. Kemudian, mereka melangkah mendekati Ki Kaligandi dan rombongan yang sudah berkumpul kembali.

EMPAT

"Siapa orang-orang aneh itu, Ki...?" tanya Panji begitu ia dan Kenanga tiba di hadapan Ki Kaligandi, yang menyongsong kedatangan pasangan pendekar muda itu dengan sikap hormat

"Aku tidak tahu pasti, Anak Muda. Tapi, aku akan menceritakan sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan gerombolan orang-orang seram itu. Sebelum itu, sebaiknya kita kuburkan dulu mayat-mayat ini...," ujar Ki Kaligandi

Panji langsung menyetujui usul Kepala Desa Palasari itu. Pasangan pendekar muda itu membantu mengobati penduduk yang terluka. Dan, mengantar Ki Kaligandi serta rombongannya ke pekuburan.

"Mari singgah ke tempat tinggalku, Panji." Ki Kaligandi mengajak Panji dan Kenanga, setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat itu. Rupanya, mereka telah saling mengenalkan diri. Panji merasa lebih enak jika di antara mereka saling menyebut nama. Ucapan itu menurutnya terdengar lebih akrab.

"Baiklah, Ki. Kami merasa tertarik dengan kejadian yang menimpa Desa Palasari. Mudah- mudahan kami dapat membantu meringankan beban di pundakmu..." sahut Panji menerima ajakan Kepala Desa Palasari karena ingin membongkar misteri pembunuhan di desa itu.

Tanpa banyak cakap lagi, rombongan itu pun bergerak meninggalkan tanah pekuburan yang kembali lengang Mereka tiba di Desa Palasari saat hari menjelang senja. Ki Kaligandi langsung membawa Panji dan Kenanga ke tempat tinggalnya. Lelaki tua itu memang sangat mengharapkan bantuan pasangan muda itu, yang diduganya pendekar penegak keadilan. Ia merasa yakin Panji dan Kenanga dapat membantunya menyelesaikan masalah ini. Apalagi, ia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehebatan pasangan pendekar muda itu.

"Beberapa belas tahun yang lalu, semasa ayahku menjabat Kepala Desa Palasari, peristiwa ini pernah terjadi. Kemudian mereka lenyap begitu saja, setelah menimbulkan korban yang tidak sedikit termasuk ayahku. Kabarnya, kejahatan Gerombolan Setan Merah itu telah berpindah ke desa lain. Lalu, aku mengajak penduduk untuk membangun desa yang telah hancur ini. Tapi siapa sangka sekarang mereka muncul kembali, dan menyebarkan bencana di desa ini. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menanggulangi mereka. Kalau tadi kalian tidak cepat muncul, mungkin kami semua sudah tidak bernyawa lagi...," jelas Ki Kaligandi Saat itu mereka bertiga sedang duduk di ruang tengah kediaman kepala desa itu.

"Apakah tidak ada orang-orang gagah yang mengetahui dan mengulurkan tangan untuk membasmi Gerombolan Setan Merah?" tanya Kenanga.

"Tentu saja ada. Tapi, Gerombolan Setan Merah sangat kuat. Selain itu, jumlah mereka tidak sedikit, dan rata-rata berkepandaian tinggi. Kita membutuhkan banyak orang gagah untuk menghancurkan mereka...," sahut Ki Kaligandi

"Hm... Kira-kira apa tujuan mereka, Ki...?" tanya Panji. Pemuda itu menduga ada tujuan tersembunyi dari gerombolan itu Kalau tidak, mana mungkin mereka melakukan kejahatan yang keji seperti itu.

"Aku sendiri tidak tahu jelas, Panji. Tapi, ayahku pernah bercerita bahwa Gerombolan Setan Merah merupakan penganut ilmu hitam yang mengerikan. Apa yang mereka lakukan selama ini adalah untuk memperdalam ilmu-ilmu yang mereka miliki. Bahkan, kabarnya mereka sanggup membangkitkan mayat-mayat dari dalam kubur...," jelas Ki Kaligandi yang terlihat agak ngeri sewaktu mengatakannya.

Tapi, tidak bagi Panji dan Kenanga. Sebagai pendekar-pendekar perantau, mereka tidak merasa aneh lagi dengan ilmu-ilmu golongan sesat. Sehingga, ucapan Ki Kaligandi tidak membuat mereka terkejut. Sebaliknya, Kepala Desa Palasari yang merasa heran melihat ketenangan dua tamunya.

"Kalian tidak terkejut mendengar ilmu-ilmu mengerikan Gerombolan Setan Merah...?" tanya Ki Kafigandi yang rupanya tidak bisa menyembunyikan keheranannya.

"Sebagai pengembara, kami telah sering mendengar ilmu-ilmu kaum sesat yang memang mengerikan. Jadi, ini bukan sesuatu yang baru bagi kami..," sahut Kenanga mewakili kekasihnya menjawab pertanyaan Kepala Desa Palasari.

Ki Kaligandi mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. Melihat kepandaian pasangan pendekar muda itu, Ki Kaligandi tidak menyangsikannya lagi. Tapi, lelaki tua itu tidak berani menanyakan julukan pasangan pendekar muda itu. Disimpannya dalam kepala untuk menunggu waktu yang tepat. Ia ragu jika menanyakannya saat itu. Panji dan Kenanga tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan. Kepala desa itu tahu sifat orang-orang gagah yang berbudi tinggi. Mereka tidak suka menggembar- gemborkan nama besarnya.

"Hm.... Apa kalian mempunyai rencana untuk memberantas mereka...?" tanya Ki Kaligandi setelah beberapa saat suasana hening.

"Untuk sementara ini rasanya kami belum mempunyai rencana apa-apa, Ki. Bagaimana denganmu? Apakah kau mempunyai gagasan?" tanya Panji balik bertanya.

"Entahlah, Panji. Rasanya aku sudah kehabisan cara untuk memberantas mereka...," sahut Ki Kaligandi dengan suara lemah. Terdengar helaan napas beratnya.

"Jangan putus asa, Ki. Biar bagaimanapun, kebathilan tidak akan abadi di muka bumi ini. Selalu saja ada orang yang akan meruntuhkan kejayaan mereka...," hibur Panji melihat lelaki tua itu kehingan semangat untuk memberantas Gerombolan Setan Merah, yang membuat warga desa itu selalu dibayangi ketakutan.

"Yahhh.... Mudah-mudahan kalian berdualah orang yang akan meruntuhkan kejayaan Gerombolan Setan Merah...," desah Ki Kaligandi disertai hembusan napas panjang.

"Kami pun berharap demikian, Ki. Dengan bekerja sama, mudah-mudahan kita dapat melenyapkan keganasan Gerombolan Setan Merah," sahut Panji tanpa sikap takabur sedikit pun.

"Kami berdua akan membantu sekuat tenaga” sambung Kenanga yang kelihatan sangat bersemangat untuk menghancurkan Gerombolan Setan Merah.

"Hhh.... Rasanya malam sudah semakin larut baiknya kalian beristirahat Tempat untuk kalian dah kusediakan" Setelah beberapa saat terdiam, Ki Kaligandi mempersilakan Panji dan Kenanga untuk beristirahat melepas lelah.

"Sebentar, Ki...," cegah Panji membuat Ki Kaligandi menahan gerakannya. Dan, menoleh ke arah pemuda tampan berjubah putih itu.

"Ada yang ingin kau tanyakan, Panji...?" tanya j orang tua itu kembali duduk dan menatap wajah tampan di depannya.

"Pada waktu kami tiba di desa ini, ada seorang lelaki tua bernama Ki Sola. Apakah Aki mengenalnya...?" tanya Panji ketika teringat lelaki tua yang memberi sedikit keterangan kepada mereka dengan imbalan uang.

"Hm.... Apa manusia pemalas yang licik itu mengganggu kalian?"

Dalam suara Ki Kaligandi tersirat kegeraman yang berusaha disembunyikan. Tapi, Panji dan Kenanga menangkap nada kegeraman itu.

"Tidak. Bahkan, dia telah memberi beberapa keterangan tentang peristiwa yang terjadi di desa ini...," sahut Panji yang tentu tidak ingin mengadukan perbuatan Ki Sola.

"Lelaki tua itu tentu meminta imbalan atas jasanya yang tidak seberapa itu, bukan? Kalian tidak perlu segan-segan menceritakannya padaku. Aki sudah hafal dengan sifat Ki Sola. Mungkin saat in dia tengah mabuk-mabukan di kedai minum...,' tukas Ki Kaligandi yang rupanya telah mengenal baik Ki Sola.

"Maksudnya memang demikian, Ki. Tapi, aku memberikannya dengan sukarela. Sayang dia keburu tewas sebelum sempat menikmati uangnya...," jelas Panji.

Wajah Ki Kaligandi agak berubah. Kelihatan sekali orang tua itu cukup terkejut mendengar kematian Ki Sola. Tapi, berusaha menyembunyikannya dari pandangan pasangan pendekar muda itu. Tapi, Panji tidak bisa dikelabui. Meskipun hanya sekilas, kekagetan sinar mata lelaki tua itu dapat ditangkapnya.

"Kau tidak ingin mengetahui, bagaimana dan mengapa Ki Sola tewas?" tanya Panji menegasi. Pemuda itu ingin mengetahui bagaimana tanggapan Ki Kaligandi atas kematian Ki Sola.

"Sebenarnya aku memang tidak suka dengannya. Tapi, apa kira-kira yang menyebabkan kemasannya...?" akhirnya Ki Kaligandi ingin mengetahui juga, meski kelihatan tidak sepenuh hati.

"Cara kematian Ki Sola sama dengan korban-korban pembunuhan di desa ini...," sahut Panji yang membuat wajah Ki Kaligandi kali ini agak pucat

"Maksudmu..., keningnya berlubang oleh tiga kuah jari...?!" tanya Ki Kaligandi menegasi. Lelaki itu menjadi tertarik mendengar cara kematian Ki Sola.

"Tepat!" jawab Panji cepat. Panji kemudian menceritakan awal mula kejadian itu. Sehingga, Ki Kaligandi kelihatan agak termenung setelah mendengar penuturan Panji.

"Hm.... Benar-benar lihai pembunuh itu. Menurutku, dia pasti salah seorang pentolan Gerombolan Setan Merah. Kalau tidak, mana mungkin pembunuh itu tidak terkejar olehmu...," ujar Ki Kaligandi.

"Tidak seluruhnya betul, Ki. Kelihaian pembunuh itu memang harus kuakui. Satu hal yang membuatku masih belum mengerti. Setiap anggota Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu lari cepat atau sejenis ilmu melenyapkan diri yang sangat hebat. Sewaktu aku mengejar Gerombolan Setan Merah yang menyerang rombonganmu, aku kehilangan jejak. Padahal, aku telah berusaha dengan seluruh kemampuanku. Nyatanya aku tidak berhasil menyusul mereka. Bahkan, jejaknya pun tidak kutemukan. Entah ilmu apa yang mereka pergunakan....," jelas Panji yang rupanya masih memikirkan kejadian siang tadi. Dan, sampai saat ini belum juga menemukan jawabannya.

"Itulah yang membuatku putus asa, Panji Mereka dapat lolos dari kejaran kita, meskipun di tempat terbuka. Aku pun pernah mengalaminya saat terjadi pembunuhan beberapa hari yang lalu. Buruanku lenyap tanpa jejak. Padahal, saat itu mereka tengah berlari di sebuah lapangan rumput luas. Bisa kau bayangkan, betapa penasaran hatiku"

Ki Kaligandi rupanya pernah mengalami hal serupa. Hanya saja tidak terlalu dipikirkannya. Lelaki tua itu tahu Gerombolan Setan Merah memang memiliki ilmu yang tinggi dan mengerikan. Mungkin itu sebabnya mengapa gerombolan itu mendapat julukan setan. Mereka memang dapat menghilang seperti setan!

"Aku akan menyelidiki masalah ini...," gumam Panji yang merasa penasaran terhadap gerombolan itu.

"Jangan terburu nafsu, Panji. Aku khawatir kau akan celaka." Ki Kaligandi berusaha mengingatkan Panji. Kekhawatiran orang tua itu tulus dan benar-benar keluar dari hati yang bersih. Sehingga, Panji terharu mendengarnya.

"Terima kasih, Ki. Aku akan mengingat pesanmu baik-baik," ucap Panji seraya tersenyum.

Setelah memberi tahu kamar untuk Panji dan Kenanga, lelaki tua itu meninggalkan ruang tengah. Panji mengatakan malam ini akan meronda desa. Ki Kaligandi tidak bisa mencegah niat pemuda itu, sebab akan sia-sia saja. Dengan menghela napas panjang, ditinggalkannya pasangan pendekar muda itu.

"Beristirahatlah, Kenanga. Nanti aku menyusul. Malam ini aku ingin meronda desa. Siapa tahu mereka muncul untuk mencari korban...," ujar Panji, setelah tubuh Ki Kaligandi lenyap di balik pintu kamarnya.

"Biar aku menemanimu, Kakang. Rasanya aku belum mengantuk...," bantah Kenanga yang ingin menemani kekasihnya meronda desa malam itu.

"Hm.... Bukan aku tidak mempercayai kemampuanmu, Kenanga. Tapi, biarlah malam ini aku meronda sendiri. Besok baru kita lakukan bersama-sama. Bagaimana?"

"Kalau memang itu kemauan Kakang. Baiklah. Hati-hati. Musuh yang kita hadapi belum jelas...," pesan Kenanga dan bergegas memasuki kamar yang telah disediakan Ki Kaligandi.

Setelah tubuh Kenanga tidak terlihat lagi, Panji bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah keluar. Kegelapan malam langsung menyambut pandang mata Panji.

"Hendak ke mana, Tuan Pendekar...?" sapa seorang penjaga, ketika melihat tamu kepala desanya melangkah ke halaman depan, tempat lelaki tegap itu berjaga bersama seorang kawannya.

"Hm... Malam ini tampaknya cuaca sangat baik. Aku ingin berjalan-jalan sebentar sambil menikmati keindahan malam...," sahut Panji membalas anggukan penjaga itu. Kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri jalan utama desa. Setelah agak jauh dari kediaman Ki Kaligandi, tubuh pemuda itu langsung melesat dengan kecepatan tinggi. Kemudian melayang naik ke atas atap rumah penduduk, dan berlompatan dari satu atap ke atap lainnya.

Setibanya di batas desa, Panji menghentikan larinya. Pemuda itu berdiri di atas sebuah dataran yang agak tinggi. Dari tempat itu dipandangnya arah selatan Desa Palasari yang merupakan daerahpekuburan. Panji mencurigai daerah pekuburan itu. Kecurigaan Panji bukan tidak beralasan.

Pikiran itu timbul ketika teringat bau harum asapdupayang berasal dari tubuh wanita bercadar merah. Bau itu mengingatkannya pada kematian. Dan, kematian membuat pikirannya melayang ke tanah pekuburan. Tapi, kecurigaan itu belum mempunyai bukti yang kuat. Apalagi, Gerombolan Setan Merah melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan arah kuburan. Panji menemui jalan buntu.

Setelah puas memandang, Panji segera membalikkan tubuh. Kali ini dia berlari agak lambat menuju desa. Beberapa kali langkahnya berhenti di atas atap rumah penduduk dan memperhatikan sekeliling. Dan, kembali bergerak setelah memastikan tidak ada sesuatu yang dicurigai

"Hm.... Agaknya malam ini pembunuh itu tidak menunjukkan aksinya. Kalau memang ingin mencari korban, waktu tengah malam seperti ini sungguh tepat sekail. Atau mungkin memang tidak akan muncul, menunggu keadaan menjadi tenang...," gumam Panji seraya bergerak turun dari atap, dan melangkah perlahan menyusuri jalan utama desa yang lengang dan sunyi.

Tapi baru saja Panji ingin kembali ke tempat kediaman Ki Kaligandi, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah jeritan panjang yang merobek kesunyian malam.

"itu jeritan orang yang melihat sesuatu yang sangat mengerikan...!" desis Panji.

Dan tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah suara jeritan itu. Bagaikan seberkas sinar putih yang melayang di atas tanah, tubuhnya meluncur pesat, mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak ingin kehilangan jejak pembunuh, yang diduganya tengah beraksi di salah satu rumah penduduk.

Ketika tiba di tempat itu, Panji melihat empat orang keamanan desa tengah bertarung dengan seorang lelaki kurus. Tubuhnya segera melayang ke tengah arena. Di tempat itu tampak dua sosok mayat keamanan desa terkapar berlumuran darah. Korban di pihak keamanan desa telah jatuh!

"Haiiit..!"

Panji memekik nyaring sambil melontarkan pukulan jarak jauh, ketika melihat seorang keamanan desa terancam maut' Pendekar Naga Putih berusaha menyelamatkan orang itu dengan melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lelaki bertubuh kurus.

Buggg!

"Aaarghhh...!"

Sosok bertubuh kurus memekik parau mendirikan bulu roma. Tubuhnya terpelanting ke kanan sejauh satu tombak, terkena pukulan Panji yang menghantam punggungnya. Keamanan desa itu pun selamat dari kematian.

"Panji..?!" seru para keamanan desa yang merasa lega melihat kemunculan pemuda itu. Mereka telah mengetahui ketangguhan pemuda tampan berjubah pitih itu, sewaktu membantu mereka menghadapi Gerombolan Setan Merah.

"Apa yang telah dilakukannya...?" tanya Panji setelah membalas penghormatan keempat orang keamanan desa itu.

"Orang itu belum melakukan sesuatu. Kami memergokinya saat ia hendak memasuki rumah itu...," sahut salah seorang keamanan desa seraya menunjuk sebuah rumah yang terletak empat tombak dari arena pertempuran.

"Hm...," Panji bergumam mendengar jawaban itu. Meskipun belum membunuh calon korbannya, namun lelaki kurus itu telah menewaskan dua orang keamanan desa. Itu sudah merupakan kejahatan yang tidak bisa diampuni.

"Hati-hati, Panji. Orang itu sangat kuat. Beberapa bacokan kami ditepiskan dengan lengan telanjang...," kata seorang keamanan desa, mengingatkan pemuda tampan perjubah putih itu

"Maksudmu orang itu kebal terhadap senjata tajam...?" tanya Panji menegasi.

"Kurasa begitu..," sahut lelaki bertubuh gemuk itu, terlihat agak ragu

"Heaaahk...!"

Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar teriakan parau lelaki bertubuh kurus. Cepat Panji berbalik menghadapi orang yang diduganya sebagai pelaku pembunuhan di desa itu.

"Hm.... Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, Manusia Jahat..!" desis Panji seraya bergerak maju dengan langkah menyilang. Pendekar Naga Putih agak berhati-hati menghadapi sosok bertubuh kurus. Pukulan jarak jauh yang dilancarkannya tadi, seperti tidak dirasakan lawan. Itu hanya mempunyai satu arti. Lawannya bukan tokoh sembarangan.

Lelaki bertubuh kurus seperti tak peduli dengan ucapan Panji. Dengan langkah berat, kakinya bergerak maju. Sepasang tangannya terentang ke kiri dan kanan, seperti hendak mencekik leher pemuda tampan berjubah putih itu.

"Hm.... Majulah! Aku ingin lihat sampai di mana kekebalan tubuhmu...," ujar Panji, berusaha menegasi wajah lelaki kurus itu. Sayang, ia tidak dapat melihat dengan jelas. Lelaki kurus itu berdiri di bawah pohon lebat Sehingga, sosoknya tidak terkena sinar bulan yang redup.

LIMA

"Eaaakhhh...!"

Sosok bertubuh kurus membuka serangan dengan gerak yang kaku. Meski demikian, sambaran anginnya terasa sangat kuat Panji agak kaget juga. Selain lambat, ilmu silat lawan pun terlihat aneh dan tidak lumrah. Bahkan, tanpa pertahanan sedikitpun.

Bettt..!

Cengkeraman tangan kanan lelaki kurus itu meluncur ke arah kepala Panji. Dari angin pukulan yang ditumbulkannya, rasanya sambaran itu mampu menghancurkan sebongkah batu karang. Serangan itu sangat berbahaya.

"Haiiit..!"

Gerakan itu terlampau lambat bagi Panji. Tangan kirinya segera diangkat untuk memapaki dan mengukur kekuatan lawan. Sehingga....

Dukkk!

Panji tersentak ketika merasakan lengan yang dingin dan keras seperti besi. Untung ia tidak gegabah dan mengerahkan hampir separuh tenaga dalamnya. Kalau tidak, kuda-kudanya pasti akan tergempur.

"Heaaah!"

Tangkisan itu masih disusul Panji dengan sebuah hantaman telapak tangan kanannya ke tubuh lawan.

Buggg!

Tanpa ampun lagi, tubuh kurus itu terjengkang kebelakang dan jatuh berdebuk di tanah. Kendati demikian, tidak sedikit pun terdengar keluhan dari mulut lawan. Bahkan begitu jatuh, lelaki kurus itu langsung bergerak bangkit Seolah pukulan telapak tangan Panji tidak berarti apa-apa baginya.

"Hebat..!" desis Panji kagum melihat lawan kembali siap bertarung. "Lelaki kurus ini memang memiliki ilmu kebal yang cukup tinggi. Untuk melumpuhkannya aku harus menggunakan tenaga yang lebih kuat..." Panji mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Sepasang tangannya berputaran di depan dada, hingga menerbitkan angin dingin menusuk tulang yang memenuhi arena pertarungan.

Lelaki kurus itu tampaknya mulai sadar akan ketangguhan Pendekar Naga Putih. Gerakannya segera diubah. Kali ini langkahnya agak cepat, meskipun masih tetap kaku. Demikian pula dengan sepasang lengannya. Dengan tetap membentuk cakar, jari-jari tangan lelaki kurus itu digerakkan susul-menyusul dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Bettt, bettt!

Panji berkelit ke kiri dan kanan dengan menggunakan kelincahan tubuhnya. Sehingga, serangan lawan selalu mengenai tempat kosong. Kemudian melontarkan serangan balasan dengan tenaga tinggi. Pertahanan lawan yang sangat lemah, membuat dua pukulan Panji telak bersarang di tubuh lelaki kurus itu.

"Hahhh?!" Panji ternganga melihat tubuh lawan kembali bangkit. Pukulan yang dilancarkannya tadi tidak dirasakan lawan. Padahal, pukulan itu sanggup membuat tokoh persilatan tangguh mengalami luka dalam yang parah. Tapi, lelaki kurus itu ternyata tidak merasakannya. Bahkan mengeluh pun tidak. Panji menjadi heran bukan main!

"Gila! Terbuat dari apa tubuh lelaki kurus itu?! Apa aku mesti menggunakan seluruh kekuatanku untuk merobohkannya?" desis Panji tak percaya dengan apa yang dialaminya.

Jika tenaga dalamnya dikerahkan sepenuhnya, itu berarti lawan merupakan gembong tokoh sesat yang setingkat dengan seorang datuk persilatan. Padahal kalau melihat gerakannya, lelaki kurus itu tak lebih dari seorang yang baru beberapa bulan berlatih ilmu silat Hanya kekuatan tubuhnya saja yang luar biasa. Dan, hampir tidak mungkin! Karena setiap jago silat yang telah mahir, pasti akan memiliki kekuatan tenaga dalam yang seimbang dengan ilmunya. Sedangkan lelaki kurus itu hanya memiliki kekuatan tubuh yang sulit dimengerti.

Melihat lawan kembali bergerak maju, Pendekar Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Rasa penasaran membuatnya ingin mengetahui sampai di mana kekuatan tubuh lelaki kurus itu. Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menggunakan seluruh tenaga dalamnya dalam melancarkan serangan selanjutnya.

Kali ini Panji tidak perlu berkelit lagi. Serangan lawan yang berupa tepukan kedua belah tangan, memaksa pemuda itu mengangkat kedua tangannya ke atas kepala untuk melindungi telinga. Titik lemah yang mematikan itulah yang menjadi sasaran serangan lawan.

Plak! Plakkk!

Sekejap sepasang lengan lawan tergantung di udara terkena tangkisan Panji. Tanpa menunggu lagi, Pendekar Naga Putih langsung memutar kedua tangannya dan dihantamkan ke dada lawan yang terbuka dengan sepenuh tenaga

Bresssh...!"

Sungguh hebat pukulan yang dilakukan Pendekar Naga Putih. Tubuh lawan terlempar deras sejauh tiga tombak. Dan terus terguling-guling di atas tanah. Rasanya, kali ini tidak mungkin tubuh kurus itu dapat bangkit lagi. Masih untung kalau tubuhnya tidak remuk oleh hantaman dahsyat itu.

"Ibliiss...?!" Panji mendesis dengan sepasang mata terbelalak. Lawan yang menurutnya sudah pasti tewas, ternyata mampu bangkit berdiri. Dan melangkah maju dengan gerak lambat mendekati Pendekar Naga Putih, yang terpaku bagai tengah bermimpi.

"Panji, awasss...!" teriak seorang keamanan desa yang melihat pemuda berjubah putih itu hanya berdiri mematung.

Meskipun Panji tampak seperti orang yang kehilangan kesadaran, tapi pemuda itu tahu kalau lawan tengah mendekatinya. Pemuda itu bergerak mundur. Hidungnya mencium bau busuk yang datangnya dari arah lawan. Bau itu demikian menusuk hingga perutnya terasa mual. Melihat Panji bergerak mundur, keempat keamanan Desa Palasari segera melangkah maju untuk membantunya. Seorang di antaranya memegang obor untuk menerangi jalan. Dan....

"Ki Sola...?!" desis Panji ketika melihat sosok lelaki kurus itu terkena cahaya obor.

Pendekar Naga Putih tersentak kaget karena mengetahui kalau Ki Sola telah tewas, la menyaksikan mayat lelaki tua itu dengan mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin kini lelaki tua itu berdiri di hadapannya dan siap mencekiknya?! Panji benar-benar tak percaya dengan penglihatannya. Pemuda itu mulai berpikir lain ketika melihat tubuh bagian depan Ki Sola berlubang. Jelas, lubang itu adalah akibat pukulannya tadi. Tapi, yang keluar dari luka itu bukan darah. Melainkan cairan kuning yang menyebarkan bau busuk. Sadarlah Panji kalau lawan yang dihadapinya sesosok mayat' Mayat Ki Sola!

"Cepat kalian menyingkir. Yang kita hadapi bukan manusia biasa. Lelaki kurus itu sesosok mayat yang telah dibangkitkan tokoh sesat berwatak keji!" ujar Panji memperingatkan keempat keamanan desa agar menyingkir jauh-jauh. Karena ia belum menemukan cara untuk melumpuhkan mayat Ki Sola.

Sementara itu, mayat ki Sola dengan perlahan terus bergerak maju. Sepasang tangannya terentang. Siap melumatkan siapa saja yang mendekatinya. Panji memutuskan mundur dan mencari cara untuk melumpuhkan mayat hidup itu.

Keempat keamanan Desa Palasari menggigil ketakutan, setelah mengetahui yang dihadapinya sesosok mayat hidup. Hati mereka menjadi kecut membayangkan tadi sempat bertarung dengan mayat itu. Keberanian mereka langsung terbang. Melihat mayat Ki Sola, jelas sangat sukar ditundukkan. Panji yang kepandaiannya telah mereka ketahui saja tidak sanggup merobohkan mayat lelaki kurus itu. Apalagi mereka yang memiliki ilmu silat tidak

"Bagaimana ini..., Panji..? Kalau mayat Ki Sola sampai memasuki rumah penduduk, pasti akan terjadi kegemparan...," ujar salah seorang keamanan desa dengan suara kering dan susah sekali diucapkan

"Tenanglah. Aku akan memancing mayat lelaki tua itu menjauhi desa. Mudah-mudahan ia dapat kukelabui...," jawab Panji kembali bergerak mendekati mayat Ki Sola. Kemudian, melancarkan pukulan dengan bacokan sisi telapak tangan ke leher mayat itu.

Desss...!

Tanpa ampun lagi, mayat bertubuh kurus itu terpelanting ke tanah. Dan, segera bangkit mengejar Pendekar Naga Putih. Melihat pancingannya berhasil, Panji bergerak mundur dan menjauhi tempat itu.

"Ayo! Seranglah aku, Makhluk Keparat..!" tantang Panji sambil terus bergerak mundur, membawa mayat Ki Sola keluar dari Desa Palasari.

Melihat pemuda itu terus bergerak mundur, mayat Ki Sola berhenti sejenak Kemudian berbalik pergi. Tentu saja kelakuan mayat itu membuat Pendekar Naga Putih gemas!

"Kurang ajar! Rupanya pengendali mayat itu tahu perbuatanku! Hm.... Mestikah aku menggunakan tenaga gabungan untuk menghancurkannya...?" gumam Panji geram ketika melihat pancingannya gagal. Pendekar Naga Putih mulai mencari jalan lain. Jika mayat hidup itu dibiarkan, penduduk Desa Palasari akan gempar!

Melihat tidak ada jala lain, Panji segera menghimpun dua kekuatan tenaga ampuh yang dimilikinya. Lalu, digabungkannya untuk menghancurkan mayat Ki Sola. Kali ini Panji merasa yakin usahanya akan berhasil. Jangankan sesosok mayat, tubuh manusia hidup pun akan lebur bila terkena hantaman tenaga gabungan itu

Beberapa saat kemudian, terlihat sinar putih keperakan menyelimuti tubuh bagian kiri Pendekar Naga Putih. Sedangkan tubuh bagian kanan diselimuti lapisan sinar kuning keemasan yang menerbitkan hawa panas menggigit. Itulah gabungan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang tidak ada tandingannya di atas jagat'

"Haaat..!"

Dibarengi pekik mengguntur, tubuh Pendekar Naga Putih melambung ke udara dan berputaran melewati kepala mayat itu. Kemudian, meluncur turun tepat beberapa langkah di hadapan mayat Ki Sola. Dan....

Whusss!

Angin dingin dan panas berhembus keras, saat Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan!

Blarrr!

Terdengar ledakan dahsyat laksana mengguncang jagat. Tanpa ampun lagi, sosok mayat Ki Sola hancur menjadi serpihan yang tidak mungkin dapat hidup lagi. Panji menghela napas panjang. Kali ini ia benar-benar yakin. Mayat Ki Sola tidak mungkin dapat bangkit kembali.

Keempat keamanan desa yang tadi terjengkang oleh getaran pukulan Panji, bergegas bangkit mendekati pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka benar-benar takjub dengan kepandaian pemuda itu. Menyaksikan kedahsyatan pukulan Panji, mereka semakin yakin kalau pemuda itu adalah dewa penolong yang akan menyelamatkan penduduk Desa Palasari dari malapetaka mengerikan.

"Hm.... Kurasa malam ini tidak akan ada kekacauan lagi. Sebaiknya kalian urus mayat kawan-kawan kalian. Setelah itu bertugaslah seperti biasa. Aku akan kembali ke rumah Ki Kaligandi...," ujar Panji yang merasa yakin kalau malam itu Gerombolan Setan Merah tidak akan membuat ulah.

Menurutnya, tokoh yang mengendalikan mayat Ki Sola hanya sekadar menguji kepandaiannya saja. Setelah melumpuhkan mayat hidup itu, kemungkinan besar Gerombolan Setan Merah akan lebih berhati-hati.

Setelah keempat keamanan desa itu pergi, Panji bergerak meninggalkan tempat itu. Sosoknya melesat menerobos kegelapan malam. Sinar bulan sabit yang menggantung di langit pekat tampak mulai cerah. Ditemani bintang-bintang yang bertaburan dengan kerli-kerlipnya yang indah. Malam sudah mendekati fajar.

********************

"Panji, benarkah semalam kau berhadapan dengan mayat Ki Sola yang tewas kemarin...?" Ki Kaligandi langsung melontarkan pertanyaan itu. Saat itu mereka selesai sarapan dan tengah duduk di taman belakang rumah Ki Kaligandi. Rupanya, lelaki tua itu telah mendapat laporan dari para peronda semalam.

"Benar, Ki. Bahkan, aku nyaris dibuat tak berdaya oleh mayat itu. Kelihatannya, pimpinan Gerombolan Setan Merah mulai turun tangan. Mereka pasti sudah mengetahui kehadiranku di desa ini...," sahut Panji tanpa merasa perlu untuk menceritakan bagaimana caranya menundukkan mayat itu Panji tidak ingin membanggakan perbuatannya kepada orang lain.

"Hm.... Ternyata 'Ilmu Membangkitkan Mayat' itu benar-benar ada. Bukan sekadar dongeng belaka. Padahal selama ayahku masih hidup, kejadian ini belum pernah terjadi. Kalau sekarang pimpinan Gerombolan Setan Merah menggunakan ilmu yang sangat mengerikan itu, pasti ada sesuatu yang dikhawatirkannya...," gumam Ki Kaligandi seraya menatap Panji dengan penuh selidik.

Panji tidak menanggapi ucapan orang tua itu, yang telah diketahui maksudnya. Dilihatnya orang tua itu berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang. Jelas, lelaki tua itu tengah berpikir keras.

"Panji..." Tiba-tiba Ki Kaligandi menghentikan perbuatannya. Dan, menatap pemuda tampan berjubah putih itu dengan sinar mata tajam.

"Boleh aku tahu, siapa kau sebenarnya?" Akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut Ki Kaligandi. Rupanya, orang tua itu tidak sanggup menahan rasa penasaran di hatinya.

"Apa maksudmu, Ki...?" Panji balik bertanya seperti orang bodoh.

"Melihat 'Ilmu Membangkitkan Mayat' telah mereka pergunakan, aku menduga kalau pimpinan gerombolan itu merasa khawatir terhadapmu. Mungkinkah kau...," Ki Kaligandi menggantung kalimatnya. Sehingga, Panji tidak tega melihat lelaki tua itu kebingungan.

"Benar, Ki...," jawab Panji yang sepertinya sudah bisa membaca jalan pikiran orang tua itu. Hingga langsung membenarkan dugaan Ki Kaligandi

"Jadi.., kau..., Pendekar Naga Putih yang menggemparkan itu...?!" seru Ki Kaligandi hampir berteriak. Jelas, lelaki tua itu tidak pernah menyangka kalau Panji adalah Pendekar Naga Putih.

Panji mengangguk seraya tersenyum lebar. Kemudian bangkit dari duduknya dan menghadapi Ki Kaligandi yang masih terbelalak. Seolah belum mempercayai penglihatannya saat itu.

"Ahhh..." Lagi-lagi orang tua itu berdesah panjang. Matanya tak lepas menatap sosok Pendekar Naga Putih. Sampai beberapa saat lamanya, lelaki tua itu belum sanggup mengeluarkan suara, kecuali desahan saja.

"Ki Kaligandi! Apakah aku kalah menarik dengan pemuda di hadapanmu itu?" Menyaksikan tingkah Kepala Desa Palasari itu, Kenanga tidak dapat menahan mulutnya untuk menggoda. Sehingga, Ki Kaligandi tersadar dari perbuatannya. Lelaki tua itu sedikit tersipu mendengar teguran Kenanga.

"Maaf, Kenanga. Aku terlalu gembira. Tidak pernah kusangka kalau Panji adalah Pendekar Naga Putih yang namanya menjulang tinggi. Aku tidak menyalahkan kaum rimba persilatan golongan putih yang demikian memuja nama besarnya...," ujar Ki Kaligandi membela diri, membuat Panji dan Kenanga tersenyum lebar.

"Tolong hentikan pujianmu yang setinggi langit itu, Ki aku khawatir kepala ini akan menjadi besar. Tentu akan sulit sekali membawanya berjalan..." gurau Panji, membuat Ki Kaligandi kembali tersipu malu

"Ahhh.... Kau benar-benar seorang pendekar sejati, Panji Sungguh patut dijadikan contoh tokoh-tokoh tua lainnya...," ucap Ki Kaligandi kembali kelepasan bicara. Karena, kata-katanya masih tetap memuji pemuda itu.

"Wah.... Baru saja kuingatkan, sudah mulai lagi...," tukas Panji.

"Maaf..., maaf...," ujar Ki Kaligandi menyadari ucapannya. Lelaki tua itu masih belum terbebas dari rasa gembiranya, setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih yang menjadi tamunya itu.

"Ingat, Ki. Musuh kita masih tetap berkeliaran. Tanpa kita ketahui di mana sarang mereka. Setelah kejadian semalam, tindakan mereka mungkin akan semakin ganas. Untuk itu kita harus siap menghadapi bila sewaktu-waktu mereka muncul tanpa diduga...," ujar Panji mengingatkan bahaya yang masih mengintai mereka.

"Hhh..." Ki Kaligandi menghela napas panjang berulang- ulang. Ingatan tentang Gerombolan Setan Merah, membuat lelaki tua itu kembali teringat akan bencana yang mengincar penduduk desanya. Kendati demikian, wajahnya tidak lagi terlihat murung. Tidak seperti waktu belum mengetahui siapa pemuda berjubah putih itu sebenarnya.

Panji merasa lega melihat perubahan pada diri lelaki tua itu. Sekarang terlihat gambaran semangat di wajah orang tua itu. Ki Kaligandi jelas menggantungkan harapan pada dirinya. Dan itu merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul Panji.

"Kalau demikian, kita harus menyusun rencana untuk menghadapi Gerombolan Setan Merah," ujar Ki Kaligandi setelah terdiam beberapa saat lamanya. "Untuk itu aku mempercayakannya padamu, Panji. Aku yakin kau jauh lebih berpengalaman dariku. Tentu dalam pengembaraanmu telah banyak ditemukan berbagai macam bentuk kejahatan, dan ilmu-ilmu sesat yang tinggi. Aku sendiri merasa tak berdaya menghadapi ilmu-ilmu mengerikan Gerombolan Setan Merah. Kuharap kau tidak segan-segan memberi petunjuk padaku"

"Hm.... Meskipun aku tidak membantah perkataanmu, tapi biar bagaimanapun kaulah yang lebih tahu daerah ini. Aku pun mengharapkan petunjuk darimu. tempat mana yang kira-kira pantas untuk dijadikan markas Gerombolan Setan Merah. Pilihlah tempat-tempat yang menurutmu angker dan hampir tidak pernah dilalui orang," ujar Panji yang tidak ingin menyepelekan orang tua itu. Selain itu, ia ingin Ki Kaligandi merasa ikut menanamkan jasa bila mereka berhasil memberantas Gerombolan Setan Merah.

Mendengar ucapan Panji, Ki Kaligandi tampak berpikir keras. Ucapan pemuda itu harus diakui kebenarannya. Maka, ia tidak membantah sedikit pun. Karena sudah pasti dirinya lebih mengetahuivdaerah di sekitar Desa Palasari.

"Hm... Rasanya sulit sekali aku menduganya, Panji Sepanjang pengetahuanku, tidak ada tempat di sekitar Desa Palasari yang dianggap angker dan jarang dilalui orang. Apakah tidak sebaiknya kita menunggu kedatangan mereka. Lalu, lata tangkap salah seorang anggota gerombolan itu hidup-hidup. Dengan begitu, kita bisa mengorek keterangan mengenai markas mereka...," usul Ki Kaligandi, setelah terdiam beberapa saat untuk mencari tempat-tempat angker yang dikatakan Panji.

"Hm... Itu pun kurasa cukup baik. Jika demikian kita harus benar-benar siap untuk menyambut kedatangan mereka. Tolong kau kumpulkan semua keamanan desa dan beri pengarahan. Pagi ini juga aku akan mencoba mencari tempat persembunyian mereka," tukas Panji menerima baik usul Ki Kabgandi. Wajah orang tua itu kelihatan semakin cerah. Rupanya, ia merasa bangga usulnya ditanggapi pemuda perkasa itu.

"Aku ikut, Kakang...," Kenanga langsung bergerak bangkit mendengar kekasihnya akan pergi menyelidiki.

Panji tidak berusaha mencegah. Pemuda itu segera berpamitan pada Ki Kaligandi. Kemudian, bersama Kenanga bergerak meninggalkan kediaman Kepala Desa Palasari. Ki Kaligandi mengiringi kepergian pasangan pendekar muda itu dengan tatapan mata. Hati kecilnya berdoa agar mereka dapat menemukan tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.

********************

ENAM

Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat, Panji dan Kenanga menyusuri jalan utama Desa Palasari. Orang-orang desa yang telah mendengar kehebatan Panji, mengangguk hormat saat berpapasan. Rupanya, peristiwa semalam telah menyebar cepat. Sehingga pasangan pendekar muda itu menjadi agak risih dengan sambutan penduduk, yang terkesan sangat berlebihan.

"Hm.... Rupanya, keempat peronda itu telah menceritakan kehebatanmu pada seluruh penduduk desa ini. Sambutan mereka sangat jauh berbeda dengan sebelumnya...," bisik Kenanga pada kekasihnya. Terselip rasa bangga di hati dara jelita itu. Sebagai manusia biasa, wajar bila ada perasaan ingin dihormati. Dan, Kenanga merasakannya saat itu.

"Meskipun begitu, jangan membuat kita menjadi takabur. Perasaan seperti itu harus kita buang jauh-jauh. Kalau tidak akan semakin berkembang, dan membuat kita lupa diri. Ingat itu, Kenanga...," sahut Panji, mengingatkan dara jelita itu agar tidak melupakan wejangan guru mereka.

”Terima kasih telah mengingatkan aku, Kakang. Saat ini aku hampir terpengaruh...," aku Kenanga terus-terang.

Panji tersenyum. Ucapan itu membuktikan kekasihnya memiliki batin yang cukup kuat. Dan, ia semakin percaya kalau Kenanga tidak akan terpengaruh dan menjadi takabur.

Keduanya terdiam ketika telah melewati batas Desa Palasari. Jalan yang mereka lewati jarang dilalui penduduk desa. Mereka pun menggunakan ilmu lari cepat. Berlari di dalam desa akan mengundang perhatian orang. Itu sebabnya, mereka berjalan saat menyusuri jalan utama Desa Palasari.

"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita itu dapat mengimbangi Panji yang tidak mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya.

"Hm.... Bagaimana menurutmu bila kita menyelidiki tanah pekuburan? Aku mencurigai tempat itu sebagai markas Gerombolan Setan Merah...," sahut Panji meminta pendapat kekasihnya.

Kenanga tidak segera menjawab. Dara jelita itu tengah membayangkan daerah pekuburan yang kemarin didatanginya. Keningnya berkerut mempertimbangkan usul Panji.

"Aku tidak melihat sebuah bangunan pun di daerah pekuburan itu, Kakang. Apa alasanmu mencurigai pekuburan itu sebagai tempat persembunyian mereka...?" tanya Kenanga yang agak heran mendengar kekasihnya mencurigai daerah pekuburan sebagai markas Gerombolan Setan Merah. Ia sendiri tidak pernah berpikir seperti itu.

Panji menceritakan saat ia bertarung dengan wanita bercadar merah. Bau asap pedupaan yang keluar dari tubuh wanita bercadar merah itu yang menjadi dasar alasan mencurigai pekuburan sunyi itu, sebagai markas Gerombolan Setan Merah.

"Alasan itu tidak tepat, Kakang. Tidak mungkin gerombolan menakutkan itu bermarkas di daerah pekuburan. Bau asap dupa yang kau katakan berasal dari tubuh wanita bercadar merah, bukan merupakan bukti bahwa ia tinggal di pekuburan...," bantah Kenanga. Dara jelita tidak sependapat dengan Panji.

"Hm.... Meskipun itu baru berupa dugaan, tapi jangan lupa, gerombolan itu dapat menghilang seperti setan. Bahkan menurut Ki Kaligandi, pimpinan Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu mengerikan yang bisa membangkitkan mayat-mayat dari dalam kubur. Mungkin saja mereka senang berkawan dengan mayat-mayat..," tukas Panji yang kelihatannya tetap mencurigai tanah pekuburan sebagai tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.

"Kalau begitu, ayo kita periksa daerah pemakaman itu..," sahut Kenanga ingin membuktikan dugaan kekasihnya. Meskipun belum yakin sepenuhnya, dara jelita itu tampak mulai terpengaruh dugaan Panji.

Melihat kekasihnya telah melesat lebih dulu, Panji segera mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mengejar dara jelita itu. Sebentar saja, keduanya sudah merupakan bayang-bayang samar. Untuk mencapai tempat itu, pasangan pendekar muda ini tidak membutuhkan waktu lama. Keduanya segera tiba di pintu gerbang pekuburan yang sunyi dan lengang Suara-suara binatang menyambut kedatangan mereka.

Tanpa ragu-ragu, keduanya bergerak memasuki daerah pekuburan. Dengan tatapan tajam, mereka melangkah perlahan seraya memperhatikan sekeliling. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hati pasangan pendekar muda itu, saat memasuki daerah pekuburan semakin jauh.

"Hm... Tempat ini sangat menyeramkan, Kakang. Ada hawa aneh yang membuatku merasa ngeri. Padahal, sebelumnya perasaan ini tidak pernah muncul. Meski aku tahu tempat yang kudatangi sangat menyeramkan...," desis Kenanga.

"Aku juga merasakannya. Tapi, aku tidak tahu apa yang membuat rasa ngeri ini muncul tanpa terkendali? Tempat ini memang sangat pantas untuk dijadikan sarang penjahat. Terutama Gerombolan Setan Merah, yang sangat menyukai hal-hal menyeramkan. Itu dapat dilihat dari julukan, cara berdandan dan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Sayang, di sini tidak terdapat sebuah bangunan pun...," ujar Panji.

Mereka terus melangkah menyusuri jalan yang tidak terlalu lebar. Yang terdapat di antara makam-makam yang berjajar di kiri dan kanan mereka. Setelah semakin jauh memasuki daerah pekuburan, tiba-tiba Panji menyentuh lengan kekasihnya. Kenanga agak tersentak. Hati dara jelita itu rupanya tengah diliputi ketegangan. Sentuhan Panji yang perlahan itu telah membuatnya kaget

"Kau mengejutkanku, Kakang...," cetus Kenanga. Tubuhnya terasa agak lemas karena rasa kaget yang menyentak hatinya.

"Aku mendengar suara orang bertempur. Mungkin tidak jauh dari tempat ini...," ucap Pa tidak menanggapi keterkejutan kekasihnya. Pendengarannya dipertajam agar dapat menangkap lebih jelas.

"Dari mana kira-kira suara pertempuran itu, Kakang...?" tanya Kenanga, karena Panji kelihatan bersungguh-sungguh, hingga membuatnya tertarik untuk mengetahuinya.

"Mari ikut aku...," ajak Panji.

Kemudian Pendekar Naga Putih melangkah ke kanan, melompati makam-makam yang berjajar malang-melintang tak beraturan. Kenanga segera mengikuti langkah kekasihnya. Langkah Panji semakin cepat Karena suara pertempuran yang semula samar, kini semakin bertambah jelas. Sampai akhirnya pemuda itu berlari cepat menuju utara pekuburan.

Kenanga terus mengikuti di belakang panji. Tubuhnya berloncatan melewati gundukan tanah pekuburan. Hingga meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, dan melewati daerah yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Tidak berapa lama kemudian, pasangan pendekar itu pun tiba di tempat pertempuran.

Panji tampak agak kecewa ketika tidak menemukan seorang pun anggota Gerombolan Setan Merah, dari belasan orang yang tengah bertarung. Kendati demikian, pemuda itu tetap melanjutkan langkahnya mendekati arena pertempuran. Sudah menjadi tugasnya untuk membela orang-orang lemah dan teraniaya.

Plakkk! Plakkk!

Begitu memasuki arena pertempuran, Panji langsung memapaki sambaran sepasang pedang yang mengancam nyawa seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh lima tahun. Sehingga lelaki brewok yang memegang sepasang pedang itu terjajar mundur beberapa langkah.

"Kurang ajar...!" geram lelaki brewok itu seraya menatap pemuda berjubah putih di depannya. Ada kilatan nafsu membunuh pada sepasang matanya.

Panji yang memutuskan untuk membantu lelaki tua itu, merasa tidak salah pilih. Melihat ada kereta kuda di tempat itu, Panji yakin kalau lelaki tua itu tengah menghadapi perampok.

"Hm.... Dalam suasana kacau seperti ini memang tidak aneh bila ada orang berhati culas yang memanfaatkan keadaan. Orang-orang seperti kalian sudah semestinya diberi pelajaran agar lain kali tidak mengulangi lagi," ujar Panji balas menatap lelaki brewok yang diduganya pimpinan belasan orang kasar itu. Mereka berkumpul untuk menghadapi Panji dan Kenanga.

"Benar, Kenanga. Orang-orang seperti mereka pantas untuk dibunuh. Perbuatan mereka meresahkan orang banyak...," timpal lelaki tua yang diam-diam merasa bersyukur. Jika pemuda berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak segera muncul, mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka.

"Ha ha ha...!" Lelaki itu tertawa tergelak-gelak. Sedikit pun tidak merasa gentar dengan Panji la merasa tidak mungkin kalah melawan pemuda itu. Jika tadi sempat terjajar mundur, itu karena kedudukannya kurang menguntungkan, dan tidak tahu ada serangan mendadak.

"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir. Aku akan mencoba sampai di mana kehebatan lelaki bermulut besar itu. Apakah sudah sebanding dengan sesumbarnya...?" desis Panji segera mendekati lawan yang sudah siap melumpatkan tubuhnya.

Kenanga mengajak yang lain untuk menyaksikan perkelahian dari tempat yang agak jauh. Dara jelita itu menyerahkan persoalan ini kepada Panji.

"Heaaat..!"

Belum lagi sampai, lelaki brewok itu sudah bergerak sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan cukup tinggi. Meski terlihat lambat bagi orang seperti Panji. Tanpa kesulitan sedikit pun, pemuda itu dapat mengatasi serangan lawan dengan baik. Bahkan, melontarkan serangan balasan dengan kecepatan mengejutkan. Pukulan pertama Panji berhasil dielakkan lawan Tapi, luncuran kepalan kanannya telak bersarang di tubuh lawan.

Buggg!

"Hukhhh...!"

Karuan saja tubuh lelaki brewok itu tersentak kebelakang. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya terbanting di tanah berumput Kendati tubuhnya terasa nyeri, namun ia berusaha bangkit sambil menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor. Lelehan darah tampak pada ujung bibirnya. Agaknya, bagian dalam tubuh lelaki brewok itu terguncang oleh pukulan telak Panji.

Saat itu, Panji tengah menghadapi enam belas orang perampok yang mengeroyoknya. Namun, itu tidak membuatnya kewalahan. Hanya dengan tangan kosong, para perampok itu dibuatnya kalang-kabut. Tubuh mereka berjatuhan susul- menyusul terkena tamparan dan tendangan pemuda perkasa itu. Dalam waktu singkat keenam belas perampok itu bertumbangan sambil mengaduh kesakitan.

"Bocah keparat..!" Marah bukan main lelaki brewok itu ketika melihat semua pengikutnya dibuat tak berdaya dalam waktu singkat Kejadian itu bukan membuatnya menjadi gentar. Malah menerjang maju dengan kalap!

"Yeaaat..!"

Sepasang pedang di tangan lelaki brewok itu berkelebatan menerbitkan desingan tajam. Panji berkelit dengan langkah bersilangan. Kemudian, membalas serangan lawan dengan tendangan keras.

Desss...!

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu terjungkal keras. Terdengar suara berdebuk nyaring ketika tubuhnya menimpa tanah. Kali ini, lelaki brewok itu tidak segera bangkit Tendangan Panji, membuatnya sulit bernapas.

"Hm.... Sebaiknya segera pergi dari tempat ini. Tinggalkan pekerjaan buruk yang selama ini kalian lakukan! Jika aku melihat kalian masih belum mengubah cara hidup selama ini, aku akan datang dan mencabut nyawa kalian semua...!" ancam Panji. Ucapan itu sama sekali tidak diduga lelaki brewok yang menjadi kepala kawanan perampok.

Belum yakin akan pendengarannya barusan, lelaki brewok itu menatap Panji. Menunggu ucapan selanjutnya dari pemuda tampan berjubah putih yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sehingga, ia dan belasan orang kawannya tak berdaya hanya dalam beberapa gebrakan saja.

"Hm... Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran, dan melenyapkan nyawa kalian sekarang juga!" bentak Panji, membuat kawanan perampok itu pucat

Tanpa membuang waktu lagi, lelaki brewok itu bergegas bangkit dan mengajak kawan-kawannya pergi dari tempat itu. Panji memandang kepergian perampok itu, sampai bayangan mereka lenyap dari pandangan matanya.

"Mengapa kau lepaskan mereka, Kisanak? Tidakkah sebaiknya kau memberi hukuman berat agar mereka tidak lagi mengulangi perbuatannya?" tanya lelaki tua bertubuh sedang. Wajahnya terhias kumis tipis. Lelaki tua itu kurang begitu setuju dengan tindakan penolongnya.

"Hm.... Mudah-mudahan mereka sadar akan perbuatan jahatnya selama ini. Ancaman itu sudah cukup membuat mereka berpikir dua kali bila hendak melakukan kejahatan lagi..," sahut Panji yakin kalau kawanan perampok itu tidak akan mengulangi perbuatannya lagi

Lelaki berkumis tipis menghela napas panjang. Kendati ada perasaan khawatir kalau kawanan perampok itu tidak juga mau sadar. Namun ia ikut berdoa agar mereka benar-benar insyaf dan meninggalkan jalan sesat

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Kami berhutang budi kepadamu. Entah dengan cara bagaimana kami bisa membalasnya...," ujar lelaki tua itu setelah terdiam beberapa saat

"Jangan terlalu dipikirkan, Paman. Rasanya setiap orang akan melakukan hal itu. Jadi, lupakan saja apa yang telah kulakukan...," tukas Panji Kemudian berbaHk dan melangkah ke arah kereta kuda. Di dekat kereta kuda itu berdiri berjajar enam orang lelaki, kawan lelaki tua berkumis tipis itu.

"Kami mengawal majikan yang hendak ke kota kadipaten. Juragan kami, Ki Banara, hendak mengungsi. Karena menurut kabar Gerombolan Setan Merah kembali mengganas dan mencari korban...," jelas lelaki berkumis tipis tanpa diminta.

"Rupanya, kau cukup banyak tahu tentang gerombolan itu, Paman...?" tanya Panji, mencoba menyelidiki sampai seberapa jauh lelaki berkumis tipis itu mengetahui tentang Gerombolan Setan Merah.

"Tidak seperti yang kau duga, Kisanak. Aku dan kawan-kawanku bukan penduduk asli daerah ini. Kami datang dari selatan dua tahun yang lalu. Tentang Gerombolan Setan Merah, memang telah tersebar hampir ke seluruh desa di wilayah ini. Untuk itu, aku mohon maaf...," sahut lelaki tua berkumis tipis itu dengan wajah agak menyesal. Karena tidak dapat membantu penolongnya.

"Tidak mengapa, Paman. Silakan lanjurkan perjalanan Mudah-mudahan tidak ada gangguan lagi di jalan," ujar Panji.

"Terima kasih, Anak Muda. Aku sekeluarga tidak akan melupakan budi baikmu," ujar seorang lelaki berwajah bulat dengan kumis dan jenggot tercukur rapi.

Lelaki itu menjulurkan kepalanya dari dalam kereta ketika lewat di dekat Panji dan Kenanga. Wajah yang terkesan ramah dan baik hati itu membuat Panji tidak menyesal telah mengulurkan tangan memberi pertolongan. Menurutnya, lelaki yang bernama Juragan Banara itu merupakan seorang hartawan yang baik hati dan suka menolong.

"Selamat jalan, Ki Banara...," ujar Panji seraya melambaikan tangan pada lelaki berwajah bulat itu. Panji dan Kenanga mengawasi rombongan kecil itu yang bergerak semakin jauh. Mereka membayanginya dari jarak beberapa belas tombak. Khawatir akan muncul gangguan lain yang mungkin saja datang dari Gerombolan Setan Merah. Keduanya baru merasa lega setelah rombongan semakin jauh meninggalkan tempat itu.

"Kurasa Gerombolan Setan Merah tidak akan muncul di tempat ini, Kakang..," ucap Kenanga saat rombongan Juragan Banara sudah hilang dari pandangan mereka.

"Mengapa kau menduga demikian...?" tanya Panji menatap wajah kekasihnya yang juga tengah memandang ke arahnya.

"Menurutku, setiap langkah kita selalu diawasi oleh mereka. Peristiwa semalam pasti dimaksudkan untuk memancing tindakan kita. Bukankah mereka sudah mengetahui siapa Kakang?" jawab Kenanga memberikan alasan yang cukup masuk akal. Sehingga, Panji dapat menerimanya.

"Hm.... Kalau benar demikian, berarti tempati persembunyian mereka tidak jauh dari daerah ini...?" gumam Panji setelah mendengar alasan kekasihnya. "Sungguh lihai sekali Gerombolan Setan Merah itu. Hingga dapat memata-matai tanpa kita ketahui di mana mereka bersembunyi."

Pendekar Naga Putih kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Seolah hendak mencari di mana orang-orang yang saat iri mungkin tengah memperhatikannya.

"Bagaimana kalau kita kembali ke desa, Kakang? Kita tunggu saja kedatangan mereka. Seperi yang dikatakan Ki Kaligandi tadi pagi..," usul Kenanga.

"Hm.... Gerombolan Setan Merah benar-benar membuat hatiku penasaran. Rasanya aku ingin segera berhadapan dengan pemimpin gerombolan sesat itu...!" dengus Panji jengkel. Karena tidak tahu di mana lawan berada. Sedangkan lawan tahu keadaan mereka, dan dapat memata-matai dengan leluasa segala tindak-tanduk mereka berdua.

"Aku yakin, suatu saat kita dapat menemukan tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah. Aku pun penasaran ingin merasakan kehebatan ilmu pemimpinnya, yang menurut sangat tinggi dan banyak ragamnya, terutama ilmu hitam yang mengerikan itu...," timpal Kenanga. Tapi seperti juga kekasihnya, Kenanga tidak bisa berbuat apa-apa. Gerombolan Setan Merah masih merupakan misteri yang harus mereka pecahkan bersama.

"Ayo kita kembali ke desa. Siapa tahu Ki Kaligandi tengah menunggu kabar dari kita"

Panji mengajak kekasihnya kembali ke Desa Palasari. Setelah mereka gagal menemukan tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah. Tapi, kegagalan itu tidak membuat Panji dan Kenanga putus asa. Mereka malah semakin penasaran. Dan, akan tetap meneruskan penyelidikan sampai dapat menemukan gerombolan yang sangat lihai itu.

Matahari sudah tinggi saat pasangan pendekar muda itu bergerak menuju Desa Palasari. Saat lewat di dekat daerah pekuburan, keduanya berhenti beberapa saat dan memperhatikan tempat yang menyeramkan itu. Mereka merasa yakin kalau di daerah pekuburan itu ada sesuatu yang aneh. Hanya mereka tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan pekuburan itu menyebarkan hawa menyeramkan di hati mereka berdua. Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka sepakat untuk menyelidiki hawa aneh yang menimbulkan kengerian itu.

********************

TUJUH

Langit di atas Desa Palasari sudah tampak kelam. Rembulan bersembunyi di balik gumpalan awan. Bintang-bintang pun tak lagi menampakkan kerlipnya. Pepohonan berderak ribut dipermainkan hembusan angin dingin yang bertiup keras. Suasana menyeramkan itu ditingkahi rintik-rintik air hujan yang luruh membasahi bumi.

"Malam yang mengerikan...!" desis Ki Kaligandi perlahan. Lelaki tua itu berdiri tegak di sisi pendopo dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Suasana menyeramkan malam itu membuat hatinya gelisah. Sepertinya, dia merasa akan terjadi suatu peristiwa mengerikan di Desa Palasari. Dan, akan kelihatan tidak ingin menyaksikan kejadian itu.

"Ya. Tampaknya suasana malam ini pertanda tidak baik. Dalam keadaan seperti ini, iblis akan bergentayangan mencari mangsa. Dongeng itu rasanya sangat tepat dalam cuaca malam seperti sekarang ini."

Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau yang berwajah jelita, menimpali ucapan Ki Kaligandi Seperti juga lelaki tua itu, Kenanga tengah menyaksikan suasana malam menyeramkan itu.

Di sebelah dara jelita itu, tampak Panji berdiri tegak sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Pemuda tampan berjubah putih itu pun tengah menyaksikan malam mengerikan di atas Desa Palasari.

"Kemungkinan besar Gerombolan Setan Me rah akan datang berkunjung malam ini. Firasatku mengatakan mereka akan datang dalam jumlah yang cukup besar. Tapi dengan rencana yang telah kita susun bersama, aku yakin iblis-iblis haus darah itu dapat kita halau," ujar Panji penuh keyakinan

"Aku pun berharap demikian, Panji...," gumam Ki Kaligandi yang keyakinannya semakin tebal

Pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu selalu membangkitkan semangat dan keyakinan dirinya yang semula telah pudar. Meski hanya melalui ucapan yang tidak ditujukan langsung kepadanya, tapi semua itu telah menggugah semangatnya. Sehingga Ki Kaligandi semakin kagum dan hormat pada pemuda tampan berjubah putih itu.

"Ki," panggil Kenanga tiba-tiba. "Apakah Bagola dan Dinta sudah siap di tempatnya?"

"Semua sudah siap, Kenanga. Kita tinggal menunggu gerakan Gerombolan Setan Merah...,' jawab Ki Kaligandi tanpa mengalihkan pandang matanya dari langit kelam di atas Desa Palasari.

"Hm! Sebaiknya kita segera berangkat. Saat ini sudah hampir tengah malam. Kalau perkiraanku tidak meleset, sebentar lagi iblis-iblis haus darah itu akan muncul...," ujar Panji mengingatkan Kenanga dan Ki Kaligandi dengan rencana yang telah mereka atur penuh perhitungan.

Ketika Panji bergerak meninggalkan pendopo, Ki Kaligandi dan Kenanga beranjak mengikutinya. Sosok mereka lenyap di balik pintu rumah yang terbuat dari kayu tebal. Rumah Kepala Desa Palasari kembali sunyi tanpa sesosok manusia pun yang tampak. Bahkan, dua orang keamanan desa yang biasanya berjaga di halaman depan tidak terlihat. Mungkin itu sebagian rencana yang telah diatur Panji bersama tetua-tetua desa.

Malam semakin larut Suasana menyeramkan masih menyelimuti Desa Palasari. Bahkan, hembusan angin terasa semakin bertambah keras. Pepohonan jadi makin berderak ribut, bagai hendak tumbang. Malam itu suasana Desa Palasari sungguh sangat mencekam penghuninya.

Saat waktu lewat tengah malam, terdengar suara ringkik melengking mirip lenguhan kuda. disusul suara tapaknya yang tidak wajar. Hanya sesekali dan terdengar demikian nyaring hingga menggema di sudut-sudut desa. Lebih tepat kalau dikatakan ketukan yang disengaja. Suasana semakin bertambah seram.

Kendati demikian, penduduk desa maupun para keamanan desa tidak terlihat. Jalan utama desa tetap sunyi dan lengang. Tak satu makhluk pun yang melintasinya. Hanya bayang pelita yang terlihat bergoyang-goyang di depan rumah-rumah penduduk. Angin mempermainkannya, menampakkan sosok-sosok memanjang di jalan desa itu.

"Kik kik kik...!"

Suara ringkik yang mirip lenguhan kuda kembali terdengar. Menggema, menggetarkan udara malam. Kemudian, terdengar suara langkah orang banyak yang sengaja diseret untuk menambah seram suasana. Tak berapa lama kemudian, sosok-sosok hitam yang seluruh wajahnya dicat merah, bergerak bagai setan-setan kelaparan yang bergentayangan mencari mangsa. Mereka mendatangi beberapa rumah penduduk.

"Aiiieee...!"

Disertai pekik ramai yang parau, sosok-sosok hitam itu mendobrak pintu-pintu rumah penduduk yang berada di bibir desa sebelah selatan. Tapi beberapa saat kemudian, sosok-sosok hitam itu berloncatan keluar sambil mengumpat kotor!

"Keparat! Ke mana perginya para penduduk desa...? Apakah mereka telah mengungsi...?.'" geram salah satu dari sosok-sosok hitam itu, yang bertubuh tinggi kurus. Selain wajahnya dicat merah, dada telanjang lelaki kurus itu pun dihiasi warna serupa. Rupanya, lelaki itu merupakan pemimpin dua puluh orang anggota Gerombolan Setan Merah, yang sudah memasuki Desa Palasari.

"Tidak mungkin itu mereka lakukan. Kami tidak pernah melihat ada rombongan pengungsi lewat dalam beberapa hari ini. Mereka pasti masih berada di dalam desa...," timpal sosok lainnya yang tidak percaya penduduk Desa Palasari telah pergi mengungsi.

"Kau yakin...?" tukas sosok tinggi kurus, seraya menatap wajah kawannya.

"Yakin! Aku telah mengamatinya dengan cermat..!" sahut lelaki itu yang juga bertubuh kurus. Hanya ia lebih pendek dari pemimpinnya. Pertanyaan itu langsung dijawab dengan cepat, tanpa keraguan sedikitpun.

"Hmhhh...!" Lelaki tinggi kurus itu mendengus sambil memberi isyarat kepada dua puluh orang pengikutnya agar terus bergerak ke dalam desa.

Puluhan sosok tubuh yang ternyata Gerombolan Setan Merah itu bergerak maju dengan mengendap-endap. Hingga suara langkah kaki mereka tidak terdengar. Gerombolan manusia sesaat itu merasa curiga, setelah mengetahui beberapa rumah penduduk yang mereka geledah ternyata kosong. Mereka menduga semua itu sudah dipersiapkan para Tetua Desa Palasari.

Saat puluhan sosok tubuh itu bergerak bagai setan-setan penasaran, tiba-tiba dari atap rumah penduduk di kedua sisi jalan menyembul beberapa sosok tubuh. Di tangan mereka terlihat busur dan anak panah yang siap dilontarkan. Satu lagi rencana yang diatur Pendekar Naga Putih dan para Tetua Desa Palasari.

Zinggg, zinggg, zinggg...!

Seiring dengan isyarat gerakan tangan salah seorang pemanah-pemanah gelap itu, terdengar suara berdesingan membeset udara malam yang dingin. Dan...

"Aaa...!"

"Aaakh...?!"

Terdengar pekik kesakitan disusul robohnya beberapa orang anggota Gerombolan Setan Merah. Anak panah itu menewaskan korban-korbannya seketika.

"Kurang ajar...!" Lelaki tinggi kurus pimpinan rombongan Gerombolan Setan Merah menggeram marah. Ia sendiri tak luput dari incaran anak panah. Tapi, semua dapat diruntuhkan dengan kibasan tangannya. Sehingga, tak satu anak panah pun yang menyentuh tubuhnya.

Sadar kalau rombongannya terjebak, lelaki tinggi kurus itu segera memerintah kawan-kawannya untuk mundur. Beberapa saat kemudian, Gerombolan Setan Merah yang berkurang hampir sepanahnya itu bergerak mundur, dan lenyap ditelan kegelapan malam.

"Hm.... Semua ini pasti ulah Pendekar Naga Putih! Sudah kuduga ia akan membantu penduduk Desa Palasari untuk menghadapi kita...," desis lelaki bertubuh sangat tinggi, melebihi ukuran manusia biasa.

Wajah dan dada lelaki itu dipenuhi warna merah. Lelaki itu adalah pemimpin Gerombolan Setan Merah. Laporan salah seorang anak buahnya membuat lelaki berwajah seram itu marah bukan main. Kepalanya menoleh ke kanan, ke arah sosok yang sama tinggi dengannya. Bedanya, sosok itu tidak mencat merah wajahnya. Melainkan putih seperti kapur. Sehingga, perbedaan keduanya tampak demikian nyata.

"Setan Muka Putih...," panggil lelaki berwajah merah yang wajahnya hampir tersembunyi oleh rambut yang meriap. Suaranya sember seperti ember bocor dipukul. Tatapan matanya sangat tajam dan berpengaruh. Sosok pemimpin Gerombolan Setan Merah dapat membuat seorang bocah mati mendadak bila melihatnya.

"Hmh..." Lelaki yang sama tingginya dengan pemimpin Gerombolan Setan Merah bergumam serak. Sosoknya yang tigak kalah mengerikan dengan sang Pemimpin berbalik, dan menatap wajah lelaki di hadapannya lekat-lekat. Sikapnya tidak menunjukkan bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang pemimpin. Tapi, lelaki berwajah merah tidak kelihatan marah. Di antara mereka memang tidak terikat peraturan seperti umumnya.

"Kita harus memberi pelajaran kepada penduduk desa ini yang telah berani kurang ajar melawan kita...!" geram pemimpin Gerombolan Setan Merah itu penuh dendam.

Tampaknya, ia benar-benar marah dengan kejadian itu. Lelaki jangkung bermuka putih memperdengarkan geraman, la mengerti apa yang diinginkan pemimpinnya yang berwajah mirip dengannya. Mereka adalah saudara seperguruan yang merupakan tokoh sesat tersembunyi, dan jarang menampakkan diri di dunia persilatan. Sehingga nama kedua tokoh mengiriskan itu jarang dikenal, kecuali oleh tokoh-tokoh angkatan tua.

Seperti juga Setan Muka Merah, usia Setan Muka Putih pun sukar ditebak. Wajah mereka terlindung oleh cat tebal. Dari kerutan wajah yang hampir tidak terlihat dapat diperkirakan usia mereka sekitar lima puluh tahun lebih. Setelah mendapat perintah Setan Muka Merah, kakak seperguruannya, Setan Muka Putih duduk bersila di bawah sebatang pohon. Matanya terpejam rapat dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Entah apa yang akan dilakukan tokoh menyeramkan itu. Hanya orang-orang Gerombolan Setan Merah saja yang mengetahuinya.

Apa yang dilakukan Setan Muka Putih kini dapat ditebak. Sosok-sosok anggota gerombolan yang tewas bergerak bangkit Setan Muka Putih telah mempergunakan 'Ilmu Pembangkit Mayatnya yang mengerikan. Setelah tahu di mana lawan-lawannya bersembunyi, mayat-mayat anggota Gerombolan Setan Merah yang berjumlah delapan orang bergerak menghampiri dua buah rumah di kiri dan kanannya. Apa yang mereka lakukan sangat sukar dipercaya!

Dua belas orang penduduk yang bersembunyi di atas atap kedua rumah itu terkejut bukan main. Mereka merasa ada getaran pada rumah yang digunakan untuk bersembunyi.

Kraaakkkh...!

"Hei...?! Ada apa ini...?!"

Pekik ketakutan mereka mulai terdengar. Getaran yang hampir merobohkan rumah itu membuat mereka berloncatan turun. Semua berlompatan ke tanah tanpa busur dan anak panah.

"Hmrrr...!"

"Aaah...?!"

Wajah dua belas penduduk desa itu sangat pucat Melihat tubuh-tubuh berlumuran darah dengan anak panah yang masih tertancap di tubuhnya, bergerak maju hendak mencekik mereka. Mayat-mayat hidup itulah yang telah mematahkan riang-riang penyangga rumah. Entah dari mana mereka memperoleh kekuatan yang demikian besar itu. Sehingga, mampu merobohkan rumah dengan tangan kosong.

"Bukankah..., bukankah mereka tadi telah menjadi korban anak panah kita...?" desis seorang penduduk dengan susah-payah. Orang itu mengenali anak panah yang tertancap di tubuh mayat Gerombolan Setan Merah.

"Celaka! Mayat-mayat hidup...?!" pekik yang lainnya dengan kedua kaki gemetar dan sukar digerakkan. Bahkan, karena takutnya sampai terkencing-kencing!

"Cepat beri tanda pada Pendekar Naga Putih...!" salah seorang yang masih mampu mengua--sai diri, segera mengingatkan kawan-kawannya akan nasihat Panji agar memberi tanda bila mereka menghadapi bahaya.

Tapi, tak satu pun yang sanggup melakukannya. Lelaki tegap yang memberi perintah segera mengeluarkan sebatang bambu sepanjang ibu jari tangan. Kemudian dilekatkannya ke bibir.

"Suiiit..!"

Terdengar lengkingan panjang menerobos kegelapan malam hingga menyelinap ke sudut-sudut desa. Tapi, suara lengkingan itu berhenti di tengah jalan. Karena leher lelaki yang meniupnya dicekik sepasang tengan sekuat jepitan baja!

"Hekhhh...?!"

Lidah lelaki tegap itu terjulur ketika sesosok mayat hidup mengangkat tubuhnya tinggi tinggi. Napasnya putus setelah tulang lehernya patah diremas mayat hidup itu. Dan, tubuhnya melorot ke tanah bagai sehelai kain basah.

"Ibliiisss...!" desis kawan-kawan lelaki tegap itu. Meski dengan tangan gemetar, mereka mencoba meloloskan senjata dari pinggang dan menghunusnya.

"Haaat..!" Dengan memberanikan diri, para penduduk bergerak maju sambil membabatkan senjatanya. Tapi...

Crakkk!

Bacokan itu telak mengenal tubuh mayat hidup. Tapi meskipun darah mengalir dari tubuhnya, mayat hidup itu tetap berdiri tegak. Seolah luka itu tidak membuatnya tewas untuk kedua kali.

"Aaakh...!" Tubuh yang tegak terpaku dengan sepasang mata terbelalak, tiba-tiba terangkat ke atas. Sepasang lengan yang kuat telah mencekik batang lehernya.

Ngekkk!

Lelaki sial itu menggelepar sekarat Tubuhnya dibanting ke tanah dengan kuat Hingga tulang- tulangnya remuk seketika. Seorang kawan lelaki sial itu bernasib sama. Kepala orang itu remuk oleh pukulan mayat hidup.

"Aaah...?!"

Mereka yang masih tersisa bergerak mundur dengan wajah pucat seperti lawan-lawannya. Keringat sebesar biji jagung meluncur turun membasahi wajahnya. Jelas, mereka tengah dilanda ketakutan hebat

"Haiiit..!"

Pada saat mereka hampir mati ketakutan, terdengar lengkingan tinggi yang menulikan telinga. Sesosok bayangan putih meluncur cepat laksana! sambaran kilat Dan meluncur turun di depan delapan sosok mayat hidup.

Whusss...!

Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok pemuda tampan berjubah putih itu langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya, yang mengeluarkan sinar putih keperakan dan sinar kuning keemasan sekaligus. Hingga....

Blarrr!

Ledakan keras terdengar ketika pukulan jarak jauh yang maha dahsyat itu menerpa dua tubuh mayat hidup. Tanpa ampun lagi, rubuh mayat hidup itu langsung hancur menjadi serpihan kecil.

"Hm.... Sekarang aku tahu bagaimana caranya melumpuhkan mayat-mayat hidup ini! Sepantasnya manusia pengecut yang bersembunyi di balik tubuh mayat-mayat hidup inilah yang harus kuhadapi Karena permainan anak-anaknya sudah tidak berguna lagi..!" ujar pemuda tampan berjubah putih yang bukan lain dari Panji.

Pendekar Naga Putih memang sengaja menantang orang yang menggerakkan mayat-mayat hidup itu. Menurut dugaannya, tokoh yang bersembunyi di balik tubuh mayat-mayat hidup itu tidak berada jauh dari tempat itu. Teriakan lantang Pendekar Naga Putih bergema terbawa hembusan angin malam. Hingga tertangkap telinga Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih. Teriakan itu dikeluarkan Panji dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.

Panji berdiri tegak menanti munculnya tokoh yang dimaksud Tapi, tantangannya belum mendapat sambutan. Enam mayat hidup itu masih tetap bergerak mendekatinya, membentuk kepungan. Kali ini, mayat-mayat hidup itu bergerak agak cepat dengan memperlihatkan jurus-jurus silat Kemudian, menerjang Panji secara bersamaan.

"Haaat..!"

Panji memekik nyaring. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan sambil melepaskan pukulan tenaga gabungan yang maha dahsyat Ledakan-ledakan keras terdengar susul-menyusul bersama hancurnya keenam mayat hidup itu. Meskipun tenaganya cukup banyak terkuras, namun Panji merasa puas. Mayat-mayat hidup itu dapat ditanggulanginya dengan baik. Kini pemuda tampan itu berdiri tegak menanti orang yang menggerakkan mayat-mayat itu.

DELAPAN

Brolll!

"Aaah...?!" Panji tersentak mundur ketika mendadak saja tanah tempatnya berdiri terangkat naik. Jebol bersamaan dengan munculnya tangan-tangan kurus berkuku runcing Bahkan bukan hanya di tempatnya semula berdiri. Tapi, di sekeliling pemuda itu telah bermunculan tubuh-tubuh kotor tanpa wajah. Kepala mereka hanya berupa tengkorak!

"Gila...?! Ilmu apa lagi yang digunakan iblis-iblis itu...?!" desis Panji.

Pendekar Naga Putih sempat tergetar hatinya menyaksikan sosok-sosok mayat yang mungkin telah lama terkubur dalam tanah. Kalau tidak mengalaminya sendiri, pemuda itu tidak akan percaya dengan kejadian itu. Beberapa penduduk yang selamat berkat pertolongan Panji, langsung pingsan. Pemandangan itu terlalu mengerikan bagi mereka.

Panji sendiri berusaha mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan kengerian yang menjalari hatinya. Tengkorak hidup yang pakaiannya telah hancur di sana-sini sangat banyak jumlahnya. Pendekar Naga Putih tidak mungkin menggunakan tenaga gabungannya terus-menerus. Karena hal itu akan membuatnya mari lemas kehabisan tenaga.

Otak pemuda perkasa itu cepat berputar mencari cara menghadapi lawan-lawan mengerikan itu. Panji segera mengambil keputusan kilat. Tengkorak-tengkorak hidup itu sudah bergerak maju dari segala arah. Siap merejam tubuhnya hidup-hidup!

"Hmh...," Panji bergumam lirih. Lalu, membentak perlahan memanggil keluar Pedang Naga Langit Sebentar kemudian, di genggaman pemuda itu telah muncul sebatang pedang bersinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas menyengat

Whukkk! Whukkk!

Terdengar dengungan bagai ratusan lebah marah, saat Panji memutar pedang keramat itu di atas kepalanya. Sinar kuning keemasan berhawa panas menyebar, memaksa tengkorak-tengkorak hidup itu menghentikan langkah. Makhluk-makhluk mengerikan itu ragu untuk bergerak maju

"Hm.... Ayo majulah, Ibtts-iblis Neraka!" tantang Panji sambil melintangkan pedang keramatnya di depan dada. Siap menghadapi keroyokan puluhan tengkorak-tengkorak hidup.

Tubuh tengkorak-tengkorak hidup itu tampak bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Kelihatan jelas kalau makhluk-makhluk mengerikan itu merasa bimbang, dan hendak membantah perintah orang yang menggerakkannya. Tapi beberapa saat kemudian, tengkorak-tengkorak hidup itu kembali bergerak maju. Rupanya, mereka tidak sanggup membantah perintah orang yang menguasainya.

"Heaaat..!"

Melihat lawan-lawannya bergerak mendekat, Pendekar Naga Putih tidak mau menunggu. Tubuhnya langsung melesat ke depan disertai kelebatan pedang keramatnya yang berhawa panas.

Plasss... plasss...!

Panji menahan seruan herannya ketika melihat dua sosok tengkorak hidup langsung lenyap menjadi gumpalan asap, ketika tersentuh ujung senjatanya. Asap putih tebal itu meluruk ke tanah, kemudian lenyap terserap bumi.

Melihat kenyataan itu Pendekar Naga Putih menjadi lega. Pedang Naga Langit kembali menunjukkan keampuhannya. Sebenarnya, bukan hanya karena keampuhan pedang itu lawan-lawannya dapat dilumpuhkan. Tenaga dalamnya pun ikut berperan di sana. Tanpa memiliki tenaga dalam yang tinggi, Pedang Naga Langit tidak akan banyak gunanya. Hanya jika berada dalam tangan seorang berhati bersih dan memiliki kepandaian tinggi sajalah pedang keramat itu akan menunjukkan keampuhannya.

"Haiiit..!"

Dengan semangat berlipat ganda, Pendekar Naga Putih kembali melesat ke arah makhluk- makhluk mengerikan itu. Pedang di tangannya berkelebatan membentuk gulungan sinar berhawa panas menyengat Dalam waktu singkat hampir separuh lebih tengkorak-tengkorak hidup itu kembali ke asalnya di dalam bumi.

Bettt.. bettt!

Untuk kesekian kafinya pedang keramat itu membabat tubuh yang terdiri dari tulang-belulang. Berkat keteguhan dan ketangguhannya, Panji berhasil melenyapkan tengkorak-tengkorak hidup itu kembali ke asalnya.

"Hhh...," Panji menghela napas panjang seraya menyusut peluh yang membasahi kening. Meskipun pertempuran itu tidak berlangsung lama, namun membuat agak lelah. Panji telah banyak menggunakan tenaga dalamnya untuk melenyapkan lawan-lawannya.

"Hm.... Sebelum iblis itu membuat ulah lagi, sebaiknya ia dipaksa keluar dari persembunyiannya...," desis Panji segera mengangkat pedang keramatnya di atas kepala.

"Haaah!" Dengan sebuah pekik mengguntur, Panji melepaskan Pedang Naga Langit dari genggamannya. Pendekar Naga Putih hendak memaksa keluar lawannya dengan menggunakan pedang keramat itu.

Whukkk..!

Ajaib sekali! Setelah lepas dari tangannya, Pedang Naga Langit berputaran menimbulkan deruan angin tajam. Seolah telah menemukan apa yang dicarinya, senjata keramat itu berhenti sesaat! dalam keadaan mengapung di udara. Kemudian meluncur cepat laksana kilatan sinar yang jatuh kebumi.

"Panji...!" Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat Panji menoleh ke belakang. Dilihatnya Kenanga, Ki Kaligandi, Bagola, dan Dinta tengah berlari ke arahnya. Di belakang mereka terdapat belasan orang keamanan desa, ditambah dua puluh lebih penduduk desa.

"Mengapa kalian melanggar rencana yang telah disepakati bersama...?" tegur Panji kaget melihat mereka meninggalkan tempat persembunyiannya. Menurutnya, tindakan mereka sangat berbahaya.

"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa menahan mereka yang mengkhawatirkan keselamatanmu...," jelas Kenanga. Pemuda itu hanya bisa menghela napas] panjang. Semua memang sudah telanjur.

"Yeaaat..!"

Mendadak dari depan dan kiri-kanan mereka! bermunculan orang-orang Gerombolan Setan Merah. Mereka rupanya telah berada di sekitar tempat itu sejak tadi, dan tengah menunggu kesempatan baik.

"Celaka! Mundur...!" seru Panji melihat Gerombolan Setan Merah datang menyerbu dengan senjata di tangan. Khawatir akan keselamatan penduduk desa, Pendekar Naga Putih langsung mengempos semangatnya, mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.

"Heaaah...!" Tanpa membuang waktu lagi, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.

Blarrr...!

Akibatnya sangat hebat! Belasan anggota Gerombolan Setan Merah beterbangan bagai dilanda badai salju dahsyat! Tidak sedikit dari mereka yang langsung tewas dengan kulit kebiruan. Amukan Pendekar Naga Putih sungguh menggiriskan. Pukulan-pukulan mautnya terus terlontar dan menewaskan lawan. Rasa khawatir akan nasib penduduk Desa Palasari, membuatnya terpaksa membantai lawan-lawannya. Memang hanya itu pilihan satu-satunya yang dimiliki Pendekar Naga Putih.

Meski bagaimanapun hebatnya amukan Panji, karena jumlah lawan terlampau banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi, beberapa di antaranya berhasil menerobos masuk dan menyerang rombongan Ki Kaligandi.

"Haiiit..!"

Melihat beberapa anggota Gerombolan Setan Merah berhasil melewati Panji, Kenanga langsung menyambutnya dengan sambaran Pedang Sinar Rembulan.

Crasss! Crasss!

"Auhhh...!" Dua orang lawan yang nekat menjerit parau. Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan darah. Tewas tanpa ampun.

"Ayo. Majulah, Ibfis-iblis Keparat..!" tantang Kenanga seraya memutar senjatanya, membentuk gulungan sinar putih keperakan berhawa dingin. Beberapa orang lawan kembali jadi korban ujung pedang dara jelita itu. Demikian pula Ki Kaligandi, Bagola, dan Dinta. Ketiga tetua desa itu, menyabetkan pedangnya menyambut kedatangan lawan. Pertempuran pun tidak bisa dielakkan lagi.

"Aaakh...!" Korban di pihak warga Desa Palasari mulai berjatuhan. Satu persatu mereka mulai roboh bermandikan darah. Mereka memang bukan lawan anggota Gerombolan Setan Merah.

"Mundur...!"

Melihat para penduduk mulai berjatuhan, Pendekar Naga Putih segera memerintahkan untuk menjauh. Tubuh pemuda itu melesat ke arah orang-orang desa yang tengah mati-matian mempertahankan nyawa dari incaran pedang lawan.

"Heaaah...!"

Buggg! Desss!

Tiga orang anggota Gerombolan Setan Merah terguling dengan dada remuk. Pukulan dan tendangan Panji membuat mereka tewas seketika. Tanpa banyak membuang waktu, Panji mengambil sebatang pedang dari korban pukulannya. Kemudian mengamuk bagai naga murka.

Penduduk Desa Palasari mulai dapat bernapas lega setelah Pendekar Naga Putih ikut bertarung di tempat itu. Pedang rampasannya bergerak membabat lawan, yang bertumbangan bagai rumput-rumput kering Sehingga jalan untuk mundur terbuka lebar.

"Ki Kaligandi! Bawa mereka mundur...!" seru Panji pada orang tua itu, yang tengah sibuk menghadapi dua orang lawannya. Panji segera melesat dan membabat habis lawan Ki Kaligandi, Bagola, serta Dinta. Kemudian, menyuruh tetua-tetua Desa Palasari itu untuk segera mundur menjauhi tempat itu.

Menyadari keadaan mereka memang sangat berbahaya, Ki Kaligandi segera mematuhi perintah Pendekar Naga Putih. Kepala Desa Palasari itu membawa warga desanya bergerak mundur, meninggalkan arena pertempuran. Tinggallah Panji dan Kenanga yang menghadang lawan-lawannya dengan pedang di tangan. Amukan sepasang pendekar muda itu membuat lawan-lawannya gentar dan bergerak mundur. Karena siapa saja mendekat, nyawanya pasti akan jalan-jalan ke akhirat

Cwittt! Cwittt!

Panji dan Kenanga memutar pedangnya dengan gerakan menyilang. Kemudian berhenti di depan dada ketika melihat lawan-lawannya tidak berani maju.

"Haiiit..!"

Baru saja pasangan pendekar muda itu menarik napas lega, terdengar sebuah lengkingan halus. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba merah. Wajahnya pun tertutup cadar yang juga berwarna merah. Wanita yang merupakan murid Setan Muka Merah itu sebelumnya sempat bertarung dengan Panji. Saat itu ia dan anggota Gerombolan Setan Merah menyerang rombongan Ki Kaligandi di daerah pekuburan Desa Palasari.

Melihat wanita bercadar merah, Kenanga langsung bergerak maju. Pedang di tangannya berputar dengan serangan cepat dan kuat Sehingga, wanita bercadar merah segera menarik tubuhnya ke belakang, kemudian membalas serangan Kenanga dengan tidak kalah ganasnya. Sebentar saja, kedua wanita itu telah bertempur sengit

Melihat kekasihnya bertarung dengan wanita bercadar merah, Panji menggeser langkahnya menjauhi arena. Pemuda itu merasa yakin kalau Kenanga akan sanggup menghadapi wanita bercadar merah itu. Pendekar Naga Putih menunggu kemunculan tokoh-tokoh puncak Gerombolan Setan Merah, yang tengah dipaksa keluar oleh Pedang Naga Langit

Panji yang tengah berdiri menanti kemunculan gembong Gerombolan Setan Merah, menengadahkan kepala. Pemuda berjubah putih itu mendengar suara desingan senjata yang ditingkahi makian parau.

"Pedang celaka...!"

Tidak berapa lama kemudian, tampak dua sosok tubuh yang tingginya tidak lumrah, berlarian sambil sesekali menoleh ke belakang. Kedua orang aneh itu adalah Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih!

'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' di tubuh Pendekar Naga Putih langsung menyebar ketika melihat kemunculan dua tokoh aneh itu. Sekali lihat saja Panji dapat menebak kalau mereka pimpinan Gerombolan Setan Merah. Di belakang kedua orang bertubuh jangkung itu terlihat Pedang Naga Langit melayang-layang di udara.

Zinggg...!

Pedang keramat itu tiba-tiba meluncur pesat mendahului Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih. Kemudian, melekat erat di telapak tangan majikannya, yang sudah terangkat di atas kepala.

"Hm.... Akhirnya kalian muncul juga, Iblis-iblis Pengecut...'" sambut Panji seraya menggenggam erat pedang keramatnya. Pemuda itu telah siap bertarung dengan dua orang gembong Gerombolan Setan Merah.

"Keparat! Ilmu apa yang kau gunakan, Pendekar Naga Putih? Rupanya, kau pun memiliki ilmu sihir...," ujar Setan Muka Putih yang langsung mengenali pemuda tampan berjubah putih itu.

"Aku tidak memiliki ilmu sihir seperti yang kau maksudkan, Orang Muka Putih. Meskipun demikian, jangan kira aku tidak mampu melakukan perbuatan aneh seperti ilmu-ilmu yang kalian miliki," sahut Panji sambil meneliti wajah dan sosok dua orang tokoh sesat itu.

"Hm.... Jangan takabur, Pendekar Naga Putih! Meskipun ilmu yang kau gunakan sempat mengejutkan kami, tapi jangan harap dapat mengalahkan kami."

Kali ini Setan Muka Merah yang menyahuti dengan suara sembemya. Sepasang matanya yang mengandung kekuatan sihir menyorot tajam. Sepertinya, tokoh sesat itu hendak melumpuhkan lawan dengan pandang matanya.

"Hm...," Panji menggumam perlahan. Disadari kalau dirinya tidak akan sanggup bertahan dari tatapan mata lawan yang mengandung kekuatan sihir tingkat tinggi itu. Diangkatnya Pedang Naga Langit di depan mata.

"Aaah...?!" Setan Muka Merah memekik kaget. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tampak dipejamkan. Saat Panji mengangkat senjatanya, terpancar sinar kurang keemasan yang langsung membentur kekuatan sihir Setan Muka Merah. Sehingga, sepasang mata tokoh sesat itu terasa sakit

Setan Muka Putih juga kelihatan kaget dengan kejadian itu. Timbul keinginannya untuk merebut pedang keramat itu dari tangan Pendekar Naga Putih. Maka, Setan Muka Putih segera melesat ke arah Panji dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya!

"Heaaah...!"

Bettt! Bettt!

Sambaran jari-jari tangan Setan Muka Putih bergerak susul-menyusul mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Dari suara sambaran angin yang bercicitan, dapat ditebak besarnya tenaga dalam yang dipergunakan lawan.

Melihat betapa hebat dan berbahaya serangan lawan, Panji berloncatan mundur menghindar. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan dengan lincah. Sehingga, setiap sambaran jari-jari tangan Setan Muka Putih mengenai tempat kosong. Setiap kali jari-jari tangannya tiba, tubuh lawan telah berpindah ke tempat lain.

"Keparat..!" desis Setan Muka Putih penasaran setelah serangan-serangannya selalu gagal. Bahkan beberapa tusukan pedang lawan nyaris membuat tubuhnya terluka. Untung ia masih bisa menghindari serangan balasan Pendekar Naga Putih.

"Haaat..!"

Ketika pertarungan Panji dan Setan Muka Putih berlangsung sengit. Setan Muka Merah yang telah mampu menguasai diri, melayang ke tengah arena. Sosok itu hendak mengeroyok Pendekar Naga Putih. Rupanya, pimpinan Gerombolan Setan Merah itu sadar, kepandaian Pendekar Naga Putih tidak bisa diremehkan.

Terjunnya Setan Muka Merah membantu saudara seperguruannya, membuat Panji bertambah repot Dalam jurus-jurus awal, Panji lebih banyak menghindar daripada memberikan serangan balasan. Pemuda itu agaknya hendak melihat sampai di mana kehebatan kedua tokoh sesat itu.

"Haiit..!"

Saat perkelahian menginjak jurus keseratus dua puluh, tiba-tiba Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. Tubuh pemuda itu bergerak lebih cepat dari semula. Kali ini Panji menggunakan jurus-jurus pedang pamungkas untuk menundukkan kedua lawannya.

Wuttt.. bettt...!

Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Putih meliuk-liuk bagai seekor naga emas mengamuk. Desingan tajam yang disertai pancaran sinar kuning keemasan mengaung tajam, laksana gemuruh air terjun. Suasana di sekitar arena pertempuran maut itu bagai tengah dilanda badai topan dahsyat!

Bukan main terkejutnya hati Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih ketika menyaksikan kedahsyatan ilmu lawan. Keduanya segera berloncatan mundur, dan mempersiapkan jurus baru untuk mengimbangi kehebatan jurus Pendekar Naga Putih.

"Ilmu Mayat Gila...!" desis Setan Muka Merah memberi isyarat kepada saudaranya untuk menggunakan jurus yang menyeramkan itu

"Heaaah...!"

Setan Muka Putih segera memainkan 'Jurus Mayat Gila'. Tubuh jangkung itu meliuk dengan gerakan aneh dan patah-patah. Meski demikian, sambaran angin yang ditimbulkannya terdengar berciutan. 'Jurus Mayat Gila' membutuhkah pengerahan tenaga yang tidak sedikit

"Aaat..!"

"Kaaak...!"

Dibarengi pekikan nyaring yang menulikan telinga, tubuh Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih bergerak ke depan dengan langkah-langkah kaku, bagai sesosok mayat Kedua pasang lengan mereka membentuk gerakan-gerakan melipat dan membuka. Kehebatan jurus itu ada pada sambaran angin yang amat kuat Hingga benda-benda di sekitarnya beterbangan bagai dilanda angin topan.

"Heaaat..!"

Melihat lawan telah menabah gerakannya dan menggunakan jurus baru yang aneh dan mengerikan, Panji segera melambung ke udara. Dari atas, tubuhnya meluncur turun dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Apalagi sinar putih keperakan dan snar kuning keemasan berpendaran, hingga lawan sukar untuk melihat sosok pemuda itu. Itulah 'Jurus Naga Sakti Melunak ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus ampuh dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Dan....

Breeet! Breeet!

"Aaargh...!"

"Aaa...!"

Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih meraung keras saat mata pedang Pendekar Naga Putih merobek bagian tengah tubuh mereka. Kedua sosok jangkung itu terlempar dan terbanting ke tanah. Darah segar mengucur deras dari luka memanjang di tubuh Setan Muka Putih dan Setan Muka Merah. Setelah meregang sesaat, tubuh kedua tokoh sesat yang mengerikan itu diam tak bergerak lagi. Mati.

Setelah menamatkan riwayat Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih, Panji berbalik menghadapi anggota Gerombolan Setan Merah. Puluhan lelaki kurus bermuka merah itu bergerak mundur dengan sinar mata gentar. Sedangkan Kenanga yang baru saja membereskan wanita bercadar merah, langsung bergabung dengan kekasihnya, menghadapi gerombolan yang baru saja kehilangan pemimpinnya.

"Ampunkan kami, Tuan Pendekar..." Ketika beberapa anggota gerombolan berlutut kepada Pendekar Naga Putih, yang lain segera mengikuti.

"Hm.... Hari ini aku masih mengampuni nyawa kalian. Tapi, kalian harus berjanji akan mengubah cara hidup kalian selama ini. Jika aku mendengar di antara kalian ada yang menyeleweng, aku akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua!" ujar Panji dengan suara lantang.

Anggota Gerombolan Setan Merah segera menyatakan kesediaannya untuk berjanji. Dan setelah itu, mereka kemudian bersujud dan menyatakan terima kasih.

"Sekarang pergilah dari tempat ini. Cari kehidupan yang lebih baik, tanpa harus berbuat jahat..," ujar Panji lagi.

Panji berdiri tegak di samping Kenanga, memandangi anggota Gerombolan Setan Merah yang meninggalkan tempat itu dengan berpencaran. Setelah sosok-sosok kurus itu lenyap, keduanya meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Kaligandi dan warga desanya yang berkumpul di balai desa.

Malam sudah menjelang pagi. Kokok ayam jantan terdengar menyambut datangnya fajar. Pagi itu merupakan hari baru bagi penduduk Desa Palasari. Mulai pagi hari itu desa mereka kembali tenteram dan damai.

S E L E S A I