Joko Sableng - Karma Manusia SesatKarya : Zaenal Fanani |
Karena tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang, Pendekar 131 sempat terkejut dan cepat-cepat berkelebat hindarkan diri, walau dari dorongan kedua tangan Dewi Keabadian tidak terdengar adanya deruan atau berkiblatnya gelombang angin. Namun belum sampai Joko bergerak lebih jauh, dia merasakan sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa digerakkan! Saat bersamaan dia merasakan aliran hawa dingin menusuk hingga untuk beberapa saat sosok murid Pendeta Sinting menggigil dan terhuyung-huyung. Di seberang depan, Dewi Keabadian tarik pulang kedua tangannya. Hawa dingin dan huyungan sosok Pendekar 131 terhenti seketika.
“Ambil pedang itu, Pendekar 131!” Dewi Keabadian berucap. Joko menghela napas. Matanya memandang beberapa saat dengan pandangan bimbang. Tapi dia merasakan satu keanehan. Mendadak ada satu dorongan yang membuat kedua kakinya bergerak melangkah meski sebenarnya dia belum berniat untuk bertindak! “Ambil pedang itu, Pendekar 131!” Kembali Dewi Keabadian berkata saat langkah-langkah Joko mendekati Pedang Keabadian yang masih berada di atas tanah. Apa yang dilakukan sang Dewi membuat Joko sadar jika perempuan itu tidak berniat jahat. Maka dengan tangan sedikit bergetar, Joko bungkukkan tubuh. Lalu perlahan-lahan tangan kanannya dijulurkan ke arah pedang. Sesaat murid Pendeta Sinting masih terlihat ragu-ragu, khawatir masih belum mampu untuk kuasai hawa dingin yang memancar dari Pedang Keabadian. Hingga dia diam-diam kerahkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin. Lalu teruskan gerakan tangan kanan. Ketika tangan kanannya menyentuh Pedang Keabadian, sesaat hawa dingin memang masih terasa menjalar pada tangannya. Namun cuma sekejap. Saat lain Joko sudah tidak lagi merasakan hawa dingin. Hingga dengan tenang Joko mengambil Pedang Keabadian. Lalu melangkah ke arah kotak kuning berukir yang masuk amblas ke dalam tanah tidak jauh dari tergeletaknya Pedang Keabadian. Kotak kuning berukir dicabut dengan tangan kiri. Lalu perlahan-lahan ujung Pedang Keabadian dimasukkan ke dalam lobang yang ada pada salah satu sisi kotak kuning berukir. Untuk beberapa saat semua mata yang ada di tempat itu memandang tak berkesip. Mereka seolah hampir tak percaya jika kotak berukir yang hanya dua jengkal itu mampu menahan panjangnya tubuh pedang. Begitu ujung pedang sudah masuk, Dewi Keabadian arahkan pandang matanya pada Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah yang tetap duduk rangkapkan kaki. “Sahabat sekalian. Sebenarnya aku masih ingin berbincang dengan kalian. Namun rasanya waktunya kurang baik. Mudah-mudahan kita kelak akan dipertemukan lagi!” Habis berucap begitu, Dewi Keabadian putar pandangan ke arah sosok Nenek Selir dan berkata. “Nenek Selir... Maaf kalau aku tidak bisa membicarakan urusanmu. Tapi aku percaya. Apa yang selama ini menjadi ganjalan hidupmu akan segera berakhir!” Sebenarnya si nenek akan buka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, Dewi Keabadian sudah putar duduknya menghadap Pendekar 131 dan berucap. “Pendekar 131! Sekali lagi kutitipkan Pedang Keabadian padamu! Pergunakan pedang itu sebagaimana mestinya! Ingat... Pedang itu hanya titipan... Mungkin satu hari kelak pedang itu harus rela kau serahkan pada orang lain!” Joko anggukkan kepala. “Terima kasih, Dewi....” Dewi Keabadian tersenyum. Lalu putar pandangan berkeliling ke arah Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala, Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan Dayang Tiga Purnama. “Gadis-gadis cantik... Aku tidak bisa memberikan penjelasan panjang lebar. Aku hanya berpesan agar kalian mau menerima suratan kenyataan ini dengan lapang dada dan tabah! Kalian tidak bersalah dalam hal ini! Dan kalian harap menerima apa adanya Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera! Siapa pun mereka adanya, apa pun yang mereka lakukan, terimalah mereka sebagai manusia yang telah melahirkan kalian berlima!” Dewi Keabadian rangkapkan kedua tangannya. Lalu edarkan pandangan sekali lagi pada semua orang yang ada di tempat itu. “Aku harus segera pergi....” “Tunggu!” Nenek Selir menahan seraya melompat ke hadapan Dewi Keabadian. “Nenek Selir!” Dewi Keabadian sudah mendahului berkata sebelum si nenek sempat angkat suara. Siapa yang kau cari tidak jauh dari tempat ini! Percayalah dia akan muncul menemuimu dan menyelesaikan urusannya! Hanya satu hal yang dapat kukatakan. Jangan terburu mengambil keputusan! Karena kau masih ada hubungannya dengan peristiwa di tempat ini!” Si nenek tersentak kaget. “Apa hubungannya?!” “Orang yang selama ini kau cari ada di tempat ini!” “Aku sudah tahu! Aku sudah mencium bau bangkainya!” sahut Nenek Selir. Dewi Keabadian geleng kepala. “Maksudku bukan orang yang selama ini kau cari untuk membalas dendam. Tapi darah dagingmu sendiri yang hilang dari tanganmu pada beberapa puluh tahun silam!” Nenek Selir tegak dengan sosok bergetar dan mulut ternganga. Tanpa sadar sepasang matanya liar mengedar berkeliling. “Yang dimaksud perempuan ini pasti anakku! Tapi yangbmana...?! Menurut ucapannya, kelima gadis di tempat ini adalah anak-anak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera. Sementara sudah tidak ada perempuan lain yang sepertinya pantas menjadi anakku!” Diam-diam Nenek Selir membatin. Saat itulah pandang matanya tertumbuk pada sosok Bidadari Tujuh Langit. Dada si nenek jadi berdebar tidak enak. “Mungkinkah...? Mungkinkah dia?! Tapi tak mungkin....” Kepala si nenek bergerak menggeleng. Lalu berpaling pada Dewi Keabadian dan berkata dengan suara tersendat parau. “Dewi.... Kalau yang kau maksud ucapanmu adalah anakku, harap tunjuk yang mana!” Dewi Keabadian gelengkan kepala. “Sebagai orang yang telah melahirkan, firasatmu sudah dapat menebak. Lain daripada itu, kau tentu memiliki sesuatu yang tidak bisa kau lupakan dari darah daging yang telah kau lahirkan!” Habis berkata begitu, Dewi Keabadian membuat gerakan memutar duduknya. Mula-mula pelan. Namun makin lama putaran tubuhnya makin kencang hingga hanya beberapa saat sosoknya hanya merupakan putaran bayang-bayang. Kejap lain bayangan sosok Dewi Keabadian melesat dan lenyap dari tempat itu! “Sialan betul! Dia tinggalkan tempat ini dengan menggantung masalah! Tapi aku memang memiliki sesuatu yang tak bisa kulupakan dari tubuh anakku!” desis Nenek Selir seraya memperhatikan kelebatan sosok bayangan Dewi Keabadian. Hanya beberapa saat setelah lenyapnya sosok bayangan Dewi Keabadian, mendadak Putri Pusar Bumi angkat suara seraya arahkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama. “Cucuku.... Kau telah dengar sendiri ucapan Dewi Keabadian! Sekali lagi kuharap kau mau menerima kenyataan ini! Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera adalah orangtuamu! Enam belas tahun silam aku mengambilmu dari Lima Istana Bidadari, tempat tinggal kedua orangtuamu!” “Cucuku Bidadari Pedang Cinta....” Kali ini Iblis Pedang Kasih yang menyahut seraya arahkan matanya pada Bidadari Pedang Cinta. “Enam belas tahun lalu, aku juga mengambilmu dari Istana Lima Bidadari! Jadi terimalah Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sebagai kedua orang yang telah melahirkanmu ke atas dunia!” Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta sama berpaling pada Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih. Lalu saling berpandangan satu sama lain. Mereka berdua seolah masih belum percaya dengan keterangan Dewi Keabadian dan ucapan yang baru didengarnya. Kedua gadis ini seakan masih tak mau bergeming dengan kenyataan dihadapan mereka apalagi jika ingat akan tindakan Bidadari Tujuh Langit yang pernah hendak melakukan tindakan tidak senonoh pada mereka. Sementara diseberang depan, begitu sosok bayangan Dewi Keabadian lenyap, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama arahkan pandang mata masing-masing pada kelima gadis yang berada di tempat itu. Lalu begitu mendengar ucapan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih, keduanya serta merta arahkan pandang mata masing-masing pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta. Bidadari Tujuh Langit menghela napas panjang. Lalu terdengar dia berucap. “Bidadari Pedang Cinta... Dayang Tiga Purnama... Dari keterangan Dewi Keabadian dan Putri Pusar Bumi serta Iblis Pedang Kasih, aku percaya jika kalian berdua adalah dua dari kelima anakku... Tapi percayalah! Aku tidak merasa kecewa jika kalian berdua tidak mau mengakui aku dan Datuk Kala Sutera sebagai orangtuamu! Karena kami berdua memang tidak pantas dikatakan sebagai orangtua!” Bidadari Tujuh Langit hentikan ucapannya. Sepasang matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku dan Datuk Kala Sutera tidak akan ingkari kenyataan! Kami berdua memang telah bertindak licik dan jahat! Kami berdua terlalu serakah untuk mencari sesuatu yang memang bukan semestinya menjadi hak kami! Hingga akibatnya bukan saja kami berdua yang harus menanggung akibatnya, tapi kalian berdua juga harus menerima pahitnya... Kuharap kalian berdua mau memaafkan kami....” Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mendongak. Kedua bahunya tampak berguncang keras. Lalu terdengar isakannya. Saat kemudian dia luruskan kepala memandang silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. Tanpa pedulikan kaki kirinya yang kucurkan darah dan luka dalam yang dideritanya, perempuan yang kini telah berubah menjadi sosok seorang wanita paruh baya ini bergerak merangkak ke arah Bidadari Pedang Cinta. Anehnya, kalau sesaat tadi dia laksana tegang kaku tak bisa bergerak saat Dewi Keabadian berkata, kini dia kembali dapat menggerakkan anggota tubuhnya! Semua orang yang ada di tempat itu tegak tanpa ada yang buka suara atau membuat gerakan. Mata mereka tertuju pada gerakan Bidadari Tujuh Langit yang terus merangkak perlahan-lahan ke arah Bidadari Pedang Cinta. Begitu lima tindakan di hadapan Bidadari Pedang Cinta, mendadak Bidadari Tujuh Langit melompat lalu jatuhkan diri di kaki Bidadari Pedang Cinta. “Anakku....” Suara Bidadari Tujuh Langit laksana tenggelam dalam isakan tangisnya. Kedua tangannya pegangi pergelangan kedua kaki Bidadari Pedang Cinta. “Terakhir kalinya aku minta maaf padamu... Karena setelah ini kematian adalah hal terbaik yang akan kuambil.... Manusia sepertiku tidak layak lagi berada di atas dunia apalagi harus berhadapan dengan anak-anak yang kulahirkan tapi harus menerima derita sengsara akibat ulahku... Aku malu dengan apa yang pernah kulakukan padamu... Aku sekarang pasrahkan diri padamu... Seandainya kau mau, aku minta tanganmulah yang mengakhiri hidupku agar terlepas beban deritaku ini...” Bidadari Pedang Cinta mula-mula tidak bergeming dengan ucapan Bidadari Tujuh Langit. Malah gadis ini sempat hendak lepaskan dan tarik mundur kedua kakinya yang dipegang Bidadari Tujuh Langit. “Anakku... Kedua tanganku memang sudah tak pantas membelaimu... Tapi izinkanlah untuk terakhir kalinya aku memegang kedua kakimu...” Bidadari Tujuh Langit eratkan pegangannya pada kedua pergelangan kaki Bidadari Pedang Cinta. Saat kemudian dia sorongkan wajahnya lalu menciumi kedua kaki Bidadari Pedang Cinta dengan hamburkan tangis. Bagaimanapun tegar dan kokohnya hati Bidadari Pedang Cinta, melihat apa yang dilakukan Bidadari Tujuh Langit, perlahan-lahan hati gadis ini luluh juga. Dia tengadahkan kepala dengan mata dipejamkan. Lalu tekuk kedua kakinya dan bergerak melorot ke bawah dengan bahu berguncang dan sosok bergetar menahan tangis. Bidadari Pedang Cinta ulurkan kedua tangannya mengambil kepala Bidadari Tujuh Langit lalu diangkat tengadah. Saat kemudian dia bungkukkan wajah lalu menciumi wajah Bidadari Tujuh Langit dengan mata berlinang dan berkata terisak. “Ibu....” Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Bidadari Pedang Cinta meski sebenarnya mulutnya masih terbuka hendak mengucapkan kata-kata selanjutnya. Melihat apa yang terjadi, tampaknya Dayang Tiga Purnama tak bisa menahan diri. Dia berlari menghampiri Bidadari Tujuh Langit yang masih saling berciuman dengan Bidadari Pedang Cinta. Lalu ikut jatuhkan diri dan berkata. “Ibu... Aku mohon maaf... Aku...” Belum sampai suaranya berlanjut, tangisnya sudah menghambur. Bidadari Tujuh Langit tarik pulang wajahnya dari wajah Bidadari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga Purnama. Saat kemudian kedua orang ini sudah saling berpelukan dengan terisak-isak tanpa ada yang sempat buka suara. Ketika Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama saling berpelukan, di seberang sana Datuk Kala Sutera tampak mendongak dengan sosok bergetar. Sepasang matanya terpejam rapat. Walau laki-laki ini tidak perdengarkan tangisan, tapi sikapnya jelas jika dia tengah menahan diri. Kejap lain pemuda berjubah hitam yang kini telah berubah menjadi laki-laki paruh baya ini luruskan kepalanya memandang ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu perlahan-lahan menoleh pada Bidadari Delapan Samudera yang tegak dengan menghela napas panjang berulangkali. Tanpa buka mulut, Datuk Kala Sutera membuat gerakan seperti orang hendak merangkak. Lalu bergerak ke arah Bi- dadari Delapan Samudera. Namun baru mendapat beberapa langkah, Bidadari Delapan Samudera sudah berkelebat menghambur ke arah Datuk Kala Sutera dan tegak dua langkah di hadapannya dengan mata berkaca-kaca dan bahu berguncang keras. “Anakku....” Datuk Kala Sutera sekuat tenaga coba buka mulut seraya duduk tatapi sosok Bidadari Delapan Samudera. “Kau menginginkan nyawaku bukan?! Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!” Datuk Kala Sutera pejamkan sepasang matanya. “Dosa yang kulakukan telah melampaui batas... Aku bu-lkan saja telah membuatmu menderita. Namun juga telah membunuh orang yang mengasuhmu... Pantas kalau tanganmulah yang berhak untuk menghabisiku...” Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala. Mulutnya sudah terbuka. Namun justru bukan suara yang kemudian terdengar sebaliknya isakan tangis. Lalu kejap lain Bidadari Delapan Samudera sudah menghambur ke arah Datuk Kala Sutera dan merangkulnya dengan berbisik. “Ayah....” Bidadari Delapan Samudera tak kuasa lanjutkan ucapan. Sementara Datuk Kala Sutera perlahan-lahan buka sepasang matanya. Melihat Bidadari Delapan Samudera telah rangkul tubuhnya, laki-laki ini tak mampu lagi menahan diri. Sepasang matanya berlinang dengan kedua tangan bergerak membalas rangkulan Bidadari Delapan Samudera. “Terima kasih kau masih mau menyebutku sebagai Ayah meski sebenarnya hal itu tak pantas kuterima dan keluar dari mulutmu....” “Ayah... Jangan ucapkan kata-kata itu lagi... Sekarang kau harus menemui Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama...” Habis berbisik begitu, tiba-tiba Bidadari Delapan Samudera bergerak bangkit. Saat kemudian dia angkat sosok Datuk Kala Sutera. Lalu perlahan-lahan dia melangkah ke arah bidadari Tujuh Langit yang masih berpelukan dengan Dayang Tiga Purnama. Belum sampai langkah Bidadari Delapan Samudera mendekati tempat Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang Cinta sudah berpaling. Kejap lain gadis berbaju hijau ini bangkit lalu menghambur menyongsong sosok Datuk Kala Sutera yang berada dalam bopongan Bidadari Delapan Samudera. Saat kemudian terdengar lagi isakan tangis Bidadari Pedang Cinta begitu dia merangkul sosok Datuk Kala Sutera yang sudah didudukkan oleh Bidadari Delapan Samudera. Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama cepat menoleh. Melihat apa yang terjadi, kedua orang segera lepaskan pelukan masing-masing lalu laksana terbang. Dayang Tiga Purnama sudah melompat dan ikut memeluk sosok Datuk Kala Sutera. Sementara Bidadari Tujuh Langit merangkak menghampiri. Begitu dekat, Bidadari Delapan Samudera segera menyongsong lalu memeluk Bidadari Tujuh Langit. Hingga untuk beberapa saat tempat itu hanya dipenuhi dengan suara isakan tangis. Agak jauh di sebelah samping, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala pandang berlama-lama tanpa ada yang buka mulut. Mereka berdua seolah tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengar. Hingga pada satu saat, Galuh Sembilan Gerhana berbisik pada Galuh Empat Cakrawala. “Rasanya aku belum percaya dengan kejadian ini! Mungkinkah benar?!” “Jangan bertanya padaku... Aku sendiri masih tak bisa membayangkan... Bagaimana sikap kita seandainya dia benar-benar orangtua kita?! Padahal...” Galuh Empat Cakrawala tak mampu lanjutkan gumaman. Sebaliknya berpaling ke jurusan lain dengan mata berkaca-kaca. Dia teringat bagaimana dia telah diperlakukan secara tidak senonoh oleh Bidadari Tujuh Langit. “Tidak!!!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala berteriak histeris. Kedua tangannya diangkat ditakupkan pada wajahnya. Teriakan Galuh Empat Cakrawala membuat Bidadari Tujuh Langit lepaskan pelukan dari Bidadari Delapan Samu- dera. Lalu berpaling pada Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana. Sosok Bidadari Tujuh Langit terlihat bergetar hebat. Dia seolah tahu apa yang dirasakan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Hingga setelah memejamkan sepasang matanya, dia merangkak mendekati kedua gadis itu. “Galuh Empat Cakrawala... Galuh Sembilan Gerhana... Tak ada ucapan yang pantas kalian dengar dari mulutku... Bahkan tidak ada maaf yang layak kalian berikan padaku...” Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya begitu berhenti tiga langkah di hadapan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Sepasang matanya dibuka lalu memandang beberapa saat silih berganti pada kedua gadis dihadapannya. “Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala... Aku memang telah bertindak yang mungkin tidak bisa dimaafkan! Tapi kuharap kalian tidak segan mengakui Datuk Kala Sutera sebagai ayah kalian...” Habis berucap begitu, mendadak Bidadari Tujuh Langit hantamkan kedua tangannya ke arah kepalanya! “Ibu!” Bidadari Delapan Samudera berteriak seraya melompat dan menahan gerakan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang hendak menghantam kepalanya sendiri. “Anakku Bidadari Delapan Samudera...,” ucap Bidadari Tujuh Langit seraya pandangi sosok Bidadari Delapan Samudera yang tegak disampingnya. Kepalanya menggeleng. “Aku malu dengan apa yang telah kulakukan pada keduanya... Aku... Aku...” Bidadari Tujuh Langit tidak mampu lagi lanjutkan ucapan. Sebaliknya coba gerakkan lagi kedua tangannya yang ditahan Bidadari Delapan Samudera. “Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala...” Berkata Bidadari Delapan Samudera dengan suara setengah berbisik. “Kalau kalian masih mau mengakui aku sebagai saudara, kuharap kalian mau menerimanya sebagai Ibu, meski apa pun tindakan yang telah dilakukannya pada kalian...” Galuh Empat Cakrawala berpaling dengan mata berkaca-kaca dan dipentang besar-besar. Lalu melangkah satu tindak menghampiri Bidadari Tujuh Langit.
SEMBILAN
“Kau bisa berkata begitu karena kau tidak merasakan derita aib yang telah kualami!” Galuh Empat Cakrawala berteriak seraya menunjuk pada Bidadari Delapan Samudera. “Anakku Bidadari Delapan Samudera... Apa yang diucapkannya memang benar. Aku telah melakukan tindakan hitam yang rasanya sulit untuk dihapus! Begitu hitamnya tindakan yang telah kulakukan, ucapan pembelaan pun rasanya sudah tidak pada tempatnya lagi! Semua sudah telanjur terjadi... Dan ini semua memang karena aku sudah tenggelam dalam angkara nafsu. Sebenarnya aku ingin hidup lebih lama lagi apalagi aku telah menemukan kembali apa yang sudah hilang dari tanganku enam belas tahun lamanya. Namun kalau tewas lebih diinginkan oleh Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana, aku dengan senang hati akan menyerahkan diri pada mereka... Aku maklum, tewasnya diriku mungkin belum sebanding dengan aib yang telah kucorengkan. Tapi di atas semua itu, aku masih bersyukur. Karena pada akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan anak-anakku...” Bidadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada Galuh Empat Cakrawala yang tegak dua tindak dihadapannya. “Galuh Empat Cakrawala... Aku siap menghadapi apa yang akan kau lakukan... Ayo, lakukanlah anakku... Mampus di tanganmu kurasa lebih baik...” Bidadari Tujuh Langit tersenyum seraya anggukkan kepala. Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Datuk Kala Sutera saling lepaskan rangkulan. Lalu memandang pada Bidadari Tujuh Langit dan Galuh Empat Cakrawala. Sementara semua orang ditempat itu juga sama tujukan pandangan ke satu arah dengan dada berdebar. “Galuh Empat Cakrawala... Harap kau tidak bimbang, Percayalah, kau tidak salah jika membunuhku... Lakukanlah, Nak...” Galuh Empat Cakrawala gigit bibirnya sendiri. Sosoknya bergetar. Dia pandangi lekat-lekat sosok Bidadari Tujuh Langit. Sementara Galuh Sembilan Gerhana dan Bidadari Delapan Samudera saling pandang. “Anakku... Sekiranya...” Hanya sampai disitu ucapan Bidadari Tujuh Langit. Karena mendadak saja Galuh Empat Cakrawala melompat ke hadapan Bidadari Tujuh Langit dan memeluk tubuhnya dengan tangis melengking. Sesaat tadi Bidadari Delapan Samudera sempat membuat gerakan berjaga-jaga takut Galuh Empat Cakrawala turunkan tangan kasar lakukan ucapan Bidadari Tujuh Langit. Dia lepaskan kedua tangannya yang sedari tadi menahan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit. Lalu diam-diam kerahkan tenaga dalam untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu mendapati apa yang dilakukan Galuh Empat Cakrawala, Bidadari Delapan Samudera cepat surutkan langkah satu tindak dengan mata berlinang. Sementara Galuh Sembilan Gerhana segera berlari lalu ikut memeluk sosok Bidadari Tujuh Langit! Untuk beberapa saat kembali tempat itu dipecah dengan isak tangis dan helaan-helaan napas panjang. “Anak-anakku... Mari kita bergabung dengan mereka...” Datuk Kala Sutera berbisik pada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. Tanpa perdengarkan sahutan, Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama segera membopong sosok Datuk Kala Sutera lalu melangkah mendekati Bidadari Tujuh Langit yang tengah bertangis-tangisan dengan Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana. “Terima kasih, Anak-anakku...” Bidadari Tujuh Langit berucap dengan suara tersendat serak. “Di akhir usiaku ini, aku ingin menghabiskan dengan mensucikan diri dan merawat kalian... Aku ingin menebus apa yang selama ini tidak kulakukan sebagai seorang ibu...” “Dan sejak hari ini, kuharap tidak ada lagi kata berpisah diantara kita!” Tiba-tiba Datuk Kala Sutera yang sudah tidak jauh dari Bidadari Tujuh Langit menyahut. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berpaling. Saat berikutnya kedua gadis ini bangkit lalu menghampiri Datuk Kala Sutera. Sang Datuk tersenyum seraya lebarkan kedua tangannya.bGaluh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala bungkukkan tubuh lalu keduanya masuk dalam rengkuhan kedua tangan Datuk Kala Sutera tanpa ada yang buka suara.
*******************
Yang paling resah dan gelisah melihat pemandangan bertemunya anak dan orangtua itu adalah Nenek Selir. Sedari tadi sepasang matanya terus memperhatikan sosok Bidadari Tujuh Langit. Namun beberapa kali kepala nenek ini membuat gerakan menggeleng. Lalu saat lain bergumam tak jelas. Saat itulah ekor mata Nenek Selir menangkap gerakan satu sosok tubuh keluar dari balik rumpun bambu. Hanya dengan ekor mata, tampaknya si nenek sudah bisa menebak siapa gerangan adanya sosok yang muncul. Laksana orang kalap, sambil berteriak tinggi Nenek Selir melompat dan menghadang gerakan orang yang baru muncul. Teriakan si nenek membuat Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana lepaskan pelukannya pada sosok Datuk Kala Sutera. Saat bersamaan, semua mata berpaling pada sosok yang baru muncul. Dia adalah seorang kakek berambut putih mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. “Bagus! Tampaknya kau bukan laki-laki pengecut yang takut unjuk tampang!” Nenek Selir membentak. Tangan kirinya yang masih memegang pedang diangkat keudara. Sementara tangan kanannya diletakkan di atas pinggang dengan mata membeliak angker. “Sahabatku Nenek Selir... Kau ingat ucapan Dewi Keabadian?! Aku takut untuk mengulanginya. Tapi rasanya kau masih tidak lupa...” Paduka Seribu Masalah angkat suara. Nenek Selir mendengus lalu tanpa berpaling ke arah Paduka Seribu Masalah, dia berteriak. “Jangan ada yang berani buka suara ikut campur! Dan jangan mimpi aku percaya membabi buta dengan ucapan keterangan orang! Di tempat ini tidak ada urusan yang ada hubungannya dengan masalahku! Kalaupun ada, itu adalah urusan selembar nyawa manusia bangsat ini!” Pedang di tangan Nenek Selir bergerak lurus menunjuk ke arah wajah laki-laki berjubah abu-abu tanpa lengan yang bukan lain adalah Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah, kekasih Nenek Selir semasa masih muda. Paduka Seribu Masalah perdengarkan tawa pendek lalu berucap. “Sahabatku Nenek Selir... Percaya membabi-buta memang tidak baik. Tapi tidak ada salahnya kalau kau membuktikan dahulu... Siapa tahu kau menemukan satu kebenaran!” “Apa yang perlu dibuktikan, hah?!” bentak Nenek Selir seraya sentakkan wajah berpaling ke arah Paduka Seribu Masalah. “Aku tak berani mengatakannya. Karena kau tentu sudah tahu apa yang seharusnya kau buktikan!” “Tidak ada yang perlu dibuktikan di tempat ini! Tidak ada manusia yang layak mendapat pembuktian di tempat ini! Kaudengar?!” “Tapi....” “Sialan! Kau pikir di tempat ini ada makhluk yang dikatakan Dewi sialan tadi?! Coba tunjuk! Yang mana?! Yang mana?! Dia..?!” Tangan kiri Nenek Selir yang memegang pedang bergerak memutar menunjuk lurus ke arah Putri Pusar Bumi seraya perdengarkan cekikikan. Lalu sambungi ucapannya. “Kau kira dia pantas menjadi anakku, hah...?! Coba angkat kepalamu dari belakang rangkapan kedua kakimu! Lalu lihat baik-baik! Apa kesamaan antara aku dengan dia?! Wajahnya...?! Gumpalan dagingnya?! Atau potongan tubuhnya?!” “Yu Sin Yin...” Manusia Tanah Merah buka mulut dengan suara pelan. “Aku telah dengar apa yang diucapkan Dewi Keabadian. Harap maafkan aku kalau aku sendiri tidak tahu bagaimana mengenali anak yang kau lahirkan meski itu adalah darah dagingku. Karena aku tidak menyaksikannya saat kau melahirkan.... Jadi kuharap....” “Tutup mulutmu, Wang Su Ji! Urusanmu denganku adalah masalah nyawa!Bukan masalah anak yang kulahirkan!” “Seperti sudah kukatakan, aku memang bersalah padamu... Tapi kau harus sadar, bagaimanapun juga yang kau lahirkan adalah anakku!” “Hem.... Begitu kau sudah tidak laku lagi, lalu kau merengek-rengek padaku dengan alasan anak! Jangan mimpi! Jangan berharap!” “Jangan salah duga, Yu Sin Yin... Kalaupun aku berharap bisa bertemu dengan anak kita, hal itu karena aku ingin menebus kesalahanku... Aku akan minta maaf... Setelah itu mati pun aku akan tenang.” “Kau terlalu bermimpi, Wang Su Ji!” Nenek Selir putar arah pedangnya pada sosok Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah. Di lain pihak, entah karena apa Manusia Tanah Merah tenang-tenang saja menghadapi acungan pedang Nenek Selir. Bahkan kakek ini hanya memandang sekilas. Lalu arahkan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit. “Hem.... Pandanglah sepuasmu perempuan itu! Karena hari ini terakhir kalinya kau dapat memandang perempuan cantik!” “Ah... Ah... Tampaknya dia masih cemburu! Hik Hik Hik...!” Tiba-tiba Putri Pusar Bumi angkat suara seraya tertawa cekikikan. Tampang Nenek Selir berubah merah mengelam. Sepasang matanya mendelik. Namun sebelum nenek ini sempat buka mulut, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara. “Sahabatku Nenek Selir... Sebenarnya aku takut untuk berkata. Tapi demi mendengar keterangan Dewi Keabadian, aku percaya di tempat ini ada seseorang yang selama ini kau cari!” “Jahanam! Sedari tadi kau hanya bicara tapi tak mau tunjuk orang!” bentak Nenek Selir. “Sahabatku... Seandainya aku tunjuk orang, kau mau percaya?!” Nenek Selir terdiam dengan dada berdebar. Entah karena apa mendadak dia ikut arahkan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit yang saat itu duduk di antara Bidadari Delapan Samudera, serta Bidadari Pedang Cinta, dan Dayang Tiga Purnama. Bidadari Tujuh Langit tampak tersentak kaget mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah serta mendapati tatapan Manusia Tanah Merah dan Nenek Selir. Dia balas menatap silih berganti pada Manusia Tanah Merah dan Nenek Selir dengan menghela napas panjang. “Bidadari Tujuh Langit!” Mendadak Nenek Selir berucap dengan suara lantang. “Siapa kau sebenarnya?!” Yang ditanya berpaling sesaat pada anak-anaknya. Lalu berucap pelan. “Apa maksudmu, Nek?!” “Bodoh! Aku tanya siapa kau sebenarnya?! Dari mana asal-usulmu! Siapa orangtuamu!”
SEPULUH
Bidadari Tujuh Langit terdiam beberapa saat dengan kepala ditengadahkan. Lalu berucap dengan suara agak parau. “Waktu masih kecil aku hidup bersama seorang laki-laki tua dan seorang nenek. Pada mulanya aku menduga mereka berdua adalah orangtuaku. Tapi begitu si laki-laki akan meninggalkan dunia, dia sempat memberi tahu kalau sebenarnya diriku bukanlah anak kandungnya....” Bidadari Tujuh Langit hentikan ucapan dengan kepala diluruskan dan pandang matanya menerawang jauh. Saat kemudian dia lanjutkan ucapannya. “Aku berusaha bertanya pada nenek. Tapi aku tidak memperoleh jawaban pasti. Dia tidak tahu-menahu soal diriku. Yang jelas ketika suaminya pulang, dia telah membawaku. Sang suami mengatakan aku adalah anak dari sahabatnya! Aku telah berusaha mencari tahu. Namun hingga aku besar, aku tidak mampu menyingkap siapa kedua orangtuaku sebenarnya....” Nenek Selir tampak tercekat diam dengan mata melotot tak berkesip. Dada nenek ini laksana dihimpit beban berat hingga untuk beberapa lama dia tak kuasa buka mulut meski mulutnya telah terbuka hendak berucap. “Yu Sin Yin....” Manusia Tanah Merah berkata pada Nenek Selir dengan menyebut nama asli si nenek. “Bukankah kau bisa mengenali anakmu?!” Nenek Selir berpaling pada Manusia Tanah Merah. Untuk beberapa lama kedua orang tua ini saling perang pandang. Dendam yang sudah tertanam di dasar hati si nenek memang sukar dihapus begitu saja. Namun entah mengapa, begitu agak lama saling berpandangan, perlahan-lahan hati si nenek berubah. Malah kejap lain dia berpaling dengan bahu sedikit terguncang. Manusia Tanah Merah memberanikan diri melangkah mendekati. Dan begitu mendapati si nenek tidak buka mulut atau membuat gerakan, Manusia Tanah Merah pegang lengan kanan Nenek Selir seraya berkata. “Yu Sin Yin.... Kau jangan merasa bersalah dalam hal ini. Semuanya adalah berpulang pada diriku! Akulah yang harus menanggung semua dosa ini! Sekarang harap kau tidak keberatan untuk membuktikan siapa sebenarnya Bidadari Tujuh Langit... Kau tidak menolak permintaanku, bukan...?! Percayalah. Setelah kita tahu siapa anak kita, aku akan menepati ucapanku rela mati ditanganmu...” Nenek Selir menghela napas panjang. Perlahan dia luruhkan pegangan tangan Manusia Tanah Merah. Lalu melangkah ke arah Bidadari Tujuh Langit yang duduk dengan sosok bergetar. “Bidadari Tujuh Langit..,” kata Nenek Selir begitu tegak hanya beberapa langkah di hadapan Bidadari Tujuh Langit. “Kau tidak keberatan kalau aku....” “Nenek Selir...” ujar Bidadari Tujuh Langit sebelum si nenek selesaikan ucapan. “Aku telah menemukan anak-anakku dengan bantuan beberapa orang. Sekarang aku tidak akan keberatan untuk membantumu! Katakan apa yang akan kau lakukan....” “Berbaliklah! Lalu singkapkan rambutmu hingga tengkukmu kelihatan!” Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala. Tanpa buka mulut dia putar diri. Kedua tangannya diangkat kebelakang lalu sibakkan uraian rambutnya yang telah memutih hingga tengkuknya kelihatan. Sepasang mata si nenek tampak membeliak besar begitu melihat tepat pada tengkuk Bidadari Tujuh Langit sebuah lingkaran hitam menyerupai tahi lalat. “Aku tidak akan pernah lupa! Anakku memiliki tanda lingkaran hitam pada tengkuknya! Jadi...” Sosok Nenek Selir bergetar. Kedua lututnya goyah. Pedang di tangan kirinya perlahan-lahan jatuh ke atas tanah. Saat bersamaan dia melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. “Aku percaya... Aku percaya... Kau adalah anakku!” desis Nenek Selir seraya pandangi lingkaran hitam di tengkuk Bidadari Tujuh Langit. Saat kemudian dia ulurkan kedua tangannya membalikkan sosok Bidadari Tujuh Langit. Begitu Bidadari Tujuh Langit berputar menghadap si nenek, Nenek Selir segera saja merangkulnya lalu menciumi dengan tangis meledak! “Anakku... Maafkan aku yang selama ini tidak...” Bidadari Tujuh Langit tercekat dengan kedua tangan membalas pelukan tangan si nenek. “Tak ada yang harus dimaafkan, Ibu...” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit berhasil buka suara. Sepasang matanya berlinang. “Kalau anak-anakku mau mengakui dan memaafkan aku, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama pada dirimu?” Melihat apa yang terjadi, Manusia Tanah Merah tegak termangu dengan mulut terkancing. Dia seolah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga pada akhirnya Nenek Selir berpaling seraya berkata. “Wang Su Ji.... Mengapa kau masih tegak seperti patung?!” Manusia Tanah Merah usap mukanya. Lalu perlahan melangkah mendekat. Namun belum sampai ke hadapan Nenek Selir yang masih memeluk Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari Delapan Samudera sudah mendahului menghambur menyongsong Manusia Tanah Merah lalu sama berebutan memeluk. “Kek...!” Hampir bersamaan ketiga gadis itu berucap. Manusia Tanah Merah tak kuasa lagi menahan gejolak dadanya. Seraya membelai rambut ketiga gadis yang memeluknya, kakek ini tersedu-sedu seraya berucap. “Cucu-cucuku.... Aku tak tahu harus berkata apa atas pengakuan kalian ini....” “Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala...” Datuk Kala Sutera berkata pada kedua gadis yang berada di sampingnya. “Kau juga adalah cucu kakek itu....” Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera bergerak bangkit. Lalu berlari dan ikut menghambur dalam pelukan Manusia TanahMerah. Begitu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala menghambur ke arah Manusia Tanah Merah, Datuk Kala Sutera perlahan-lahan seret dirinya dengan duduk ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu jatuhkan diri berlutut dihadapan Nenek Selir. “Ibu... Aku juga minta maaf... Terimalah juga salam hormatku...” Nenek Selir berpaling dengan anggukkan kepala. Lalu pegangi bahu Datuk Kala Sutera dan membantunya untuk bergerak angkat wajahnya. "Menantuku... Jangan ucapkan permintaan maaf. Diri kita semua memiliki andil dosa dalam hal ini...” Bidadari Tujuh Langit ikut menoleh pada Datuk Kala Sutera. Keduanya sesaat saling pandang. Lalu secara bersamaan tangan keduanya bergerak dan saling genggam dengan mata sama linangkan air mata. “Bidadari Tujuh Langit... Mari kita sambut Ayah kita...,” kata Datuk Kala Sutera. Bidadari Tujuh Langit tersenyum dengan anggukkan kepala. Saat kemudian, masih dengan berpegangan tangan, kedua orang ini bergerak seret diri masing-masing ke arah Manusia Tanah Merah. “Cucu-cucuku... Aku harus menemui ibu dan ayahmu dahulu...” Manusia Tanah Merah berbisik begitu melihat Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera bergerak ke arahnya. Kelima gadis yang tengah merangkul sosok Manusia Tanah Merah sama lepaskan pelukan masing-masing. Saat kemudian Manusia Tanah Merah melompat ke hadapan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera. Lalu memeluk keduanya. Mungkin gembira dan haru, ketiga orang itu tidak ada yang sempat buka suara. Ketiganya hanya berpelukan dengan sama terisak-isak. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar orang bersuara. “Nenek... Mulai saat ini kuharap tidak ada lagi kebencian di hatimu pada Kakek! Dan kami semua ingin lihat kalian berdua saling berpelukan...” Yang bersuara adalah Bidadari Delapan Samudera. “Aku tak mau!” Nenek Selir menyahut dengan tampang merah padam dan cemberut. “Cucu-cucuku... Harap jangan terlalu banyak meminta pada nenekmu... Semua kejadian ini berpangkal pada diriku yang tidak menghiraukan Nenek dan Ibu kalian. Pengakuan kalian semua pada diriku sudah merupakan sesuatu yang lebih. Dan dengan peristiwa ini, rasanya mati pun aku tersenyum. Dan tak ada yang lebih berhak atas nyawaku selain nenekmu...” Berkata Manusia Tanah Merah seraya lepaskan pelukan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera. Lalu perlahan-lahan melangkah ke arah Nenek Selir. Manusia Tanah Merah berhenti tiga langkah dihadapan si nenek. Dia memandang sesaat lalu menunduk dan berkata. “Yu Sin Yin... Tuhan telah memberiku lebih dari apa yang selama ini selalu kuminta... Seperti ucapanku, sekarang aku pasrahkan diri ini padamu...” Nenek Selir menatap tajam. Dia tidak menyahut ucapan orang. Lalu alihkan pandangannya pada Bidadari Tujuh Langit dan kelima cucunya. “Sahabat sekalian... Apa yang selama ini tertutup sudah terbuka jelas. Rasanya kurang bijaksana kalau semua ini masih harus dicampuri dengan balas dendam dan kesombongan diri... Bukankah lebih baik kita melupakan apa yang telah terjadi dan menebus semuanya dengan hidup berdampingan secara damai? Kita semua tidak tahu kapan datangnya ajal. Sebelum hal itu terjadi, kurasa tidak ada yang lebih baik daripada saling memaafkan....” Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara. “Nek... Harap tidak usah malu-malu... Kalau seandainya kakek di depanmu harus mati, aku yakin kau akan terus tersiksa seumur-umur...” Pendekar 131 yang sedari tadi hanya diam ikut buka suara. “Lagi pula rasanya tidak mungkin orang akan menemukan cinta di kala usia sudah bau tanah begitu rupa! Hik Hik Hik...! Jika kesempatan ini disia-siakan, hanya ada satu kemungkinan yang terjadi...” Putri Pusar Bumi menyahut. “Betul!” Joko kembali buka mulut menimpali. “Kemungkinannya adalah pasti sudah ada orang ketiga yang menunggu dengan membawakan sekeranjang cinta... Cuma aku tidak begitu yakin. Masalahnya, kakek-kakek yang jatuh cinta biasanya hanya mencari sesuatu! Lebih dari itu, aku khawatir. Seandainya kakek yang menunggu Nenek Selir tahu bagaimana paras kelima cucunya, jangan-jangan dia nanti berpaling....” Nenek Selir berpaling dengan pasang tampang angker. “Kau pikir aku punya laki-laki lain, hah?!” “Kalau tidak, mengapa kau tidak memaafkan sahabatku itu?!” Iblis Pedang Kasih berujar. “Siapa tidak memaafkan?!” Si nenek balik bertanya. “Nah, apa lagi yang kau tunggu Kakek Manusia Tanah Merah?!” Joko menyahut. Manusia Tanah Merah melirik ke arah murid Pendeta Sinting. Lalu perlahan bergerak mendekati Nenek Selir. Yang didekati alihkan pandangan ke jurusan lain dengan wajah berubah. Manusia Tanah Merah berbisik seraya pegang kedua lengan si nenek. “Yu Sin Yin... Terima kasih kau mau memaafkan diriku...” Nenek Selir tidak menjawab. Namun sikapnya jelas kalau dia sudah mampu melupakan perasaan dendam kesumatnya yang telah mendera dirinya selama berpuluh-puluh tahun. “Wan Su Ji! Jangan berbuat memalukan di depan orang!” Tiba-tiba Nenek Selir mendesis tajam begitu merasakan wajah Manusia Tanah Merah mendekati wajahnya. “Ah... Ah... Tampaknya kita tidak jadi melihat adegan seru....” Putri Pusar Bumi berteriak lalu tertawa cekikikan hingga gumpalan daging pada wajah dan perutnya berguncang-guncang. “Ah, Itu karena di sini banyak mata yang melihat. Kelak kalau sudah berduaan, aku percaya, bukan si kakek yang mendekat tapi si nenek yang minta!” Joko menimpali lalu ikut tertawa. “Sialan! Kau kira aku masih memimpikan hal-hal begitu, hah?!” Nenek Selir membentak sambil luruhkan kedua tangan Manusia Tanah Merah yang memegangi bahunya. “Ah Sudahlah... Apa yang nanti akan dilakukan keduanya, itu menjadi urusan mereka! Yang jelas urusan di tempat ini kurasa sudah selesai! Dan tiba waktunya aku mohon diri!” Paduka Seribu Masalah buka suara. Lalu putar duduknya menghadap murid Pendeta Sinting dan berkata. “Pendekar 131! Sampaikan salam perkenalanku pada semua sahabat di negeri asalmu. Kalau nanti ada waktu dan takdir menuliskan, bukan tak mungkin kita akan bertemu lagi....” “Paduka Seribu Masalah... Sebenarnya aku ingin mengajakmu sekarang juga! Aku bukan saja mempunyai banyak kenalan sahabat. Tapi juga memiliki beberapa nenek-nenek yang wajahnya masih sedap untuk dilihat! Bodi yang layak untuk memikat!” “Terima kasih, Anak Muda... Sebenarnya itu tawaran bagus. Tapi aku masih punya pekerjaan. Jadi untuk sementara waktu aku harus menunggu hingga saat yang baik untuk berkunjung ke negeri asalmu!” Habis berucap begitu, Paduka Seribu Masalah putar duduknya. “Sahabat sekalian. Aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal...” Paduka Seribu Masalah membuat satu kali gerakan. Sosoknya melesat dengan masih duduk rangkapkan kaki tinggalkan tempat itu. Hanya sesaat setelah Paduka Seribu Masalah berlalu, Putri Pusar Bumi buka mulut seraya memandang pada Dayang Tiga Purnama. “Cucuku Dayang Tiga Purnama... Hari ini kau telah menemukan apa yang selama ini kau cari. Dengan begitu tugasku telah selesai....” “Eyang...!” Dayang Tiga Purnama yang selama ini menjadi murid dan diasuh oleh Putri Pusar Bumi berlari mendekati. “Sebenarnya....” “Aku tahu....” Putri Pusar Bumi sudah memotong ucapan Dayang Tiga Purnama. “Sekarang yang penting kau telah bertemu dengan kedua orangtua dan kakek nenekmu. Jangan terburu mengambil keputusan... Dan kalaupun kau ingin bertemu denganku, kau tahu di mana dapat menemuiku...” Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala. “Eyang... Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Setelah aku menghabiskan hari bersama kedua orangtua, nenek-kakek, dan saudara-saudaraku, aku akan datang menemuimu...” Putri Pusar Bumi anggukkan kepala. Lalu berpaling pada saudaranya Iblis Pedang Kasih. Saat itulah Bidadari Pedang Cinta berkelebat dan tegak dihadapan Iblis Pedang Kasih seraya berucap. “Eyang... Kalau kau tidak keberatan, kuharap kau mau ikut bersama kami...” Iblis Pedang Kasih yang selama ini mengasuh Bidadari Pedang Cinta geleng kepala. “Cucuku Bidadari Pedang Cinta... Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Lagi pula kau telah bertemu dengan orang yang lebih berhak atas dirimu... Aku ikut gembira dengan peristiwa ini meski sebenarnya aku juga berat untuk berpisah denganmu... Jagalah dirimu baik-baik. Dan kalau ada kesempatan, aku akan senang jika kau datang berkunjung ketempatku...” “Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih... Kuucapkan terima kasih atas semua waktu dan jerih payahmu untuk membesarkan anak-anakku. Jika nanti ada kesempatan, kami semua akan berkunjung ke tempat kalian berdua...” Bidadari Tujuh Langit berucap seraya menjura hormat. “Aku juga mengucapkan terima kasih!” Nenek Selir menyahut. “Aku berharap kalian berdua cepat dapat pasangan! Untuk sementara waktu sebaiknya kalian berdua menerima tawaran Pendekar 131! Di negeri asing, tentunya kalian akan mudah untuk mendapatkan pasangan! Karena biasanya orang baru akan menjadi pusat perhatian... Apalagi jika kalian bertindak gila-gilaan!” Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tertawa. “Aku bukannya unjuk kesombongan. Kalau hanya untuk cari pasangan, tidak usah jauh-jauh harus ke negeri orang. Apalagi ditambah dengan bertindak gila-gilaan! Di sini saja kalau aku mau, banyak kakek-kakek yang antri menunggu jawaban!” Putri Pusar Bumi berkata. Lalu menoleh pada Iblis Pedang Kasih. “Rasanya waktu kita sudah cukup! Kita harus segera pergi!” Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sudah putar diri. Namun belum sampai keduanya bergerak lebih jauh, Pendekar 131 berteriak. “Tunggu!” Berbarengan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih berpaling. “Jangan menawarkan yang tidak-tidak, Sahabat Muda..!” Iblis Pedang Kasih yang angkat suara. “Kalau masalah pasangan, di negeri ini kami berdua sudah banyak yang naksir!” “Bukan itu masalahnya!” ujar Pendekar 131. “Lalu?!” tanya Iblis Pedang Kasih. “Aku datang ke negeri ini tanpa sengaja. Aku belum tahu seluk-beluk negeri ini dengan baik. Jika kalian tidak keberatan, aku minta petunjuk pada kalian untuk memberi keterangan mana jalan yang harus kuambil agar cepat mencapai pesisir!” “Sayang sekali, Anak Muda.... Bukannya aku tidak mau memberi keterangan. Namun kurasa nantinya ada orang yang lebih berhak memberi petunjuk!” Putri Pusar Bumi menyahut. Lalu melirik pada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. Saat lain dia menarik tangan Iblis Pedang Kasih dan menyeretnya berkelebat tinggalkan tempat itu. Begitu sosok Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tidak kelihatan lagi, Joko arahkan pandang matanya pada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. Sebenarnya Pendekar 131 hendak berkata. Namun entah karena apa dia batalkan niat untuk buka mulut. Sebaliknya buru-buru balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu tanpa bicara. “Hai! Kau kira urusanmu di tempat ini sudah selesai, hah?!” Mendadak Nenek Selir berteriak. Joko tersentak kaget. Lalu putar diri menghadap Nenek Selir dengan tampang berubah heran. “Apa maksudmu, Nek?!” tanya Joko sambil sapukan pandangan berkeliling. “Kau pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa, hah?!” “Nek! Bukankah urusanmu dengan kakek itu sudah selesai?! Kurasa di antara kita sudah tidak ada yang perlu diselesaikan! Atau barangkali kau ingin pesan sesuatu padaku?! Maaf, Nek... Bukannya aku tidak mau membawa pesanmu. Aku takut.. Seandainya saja kau masih sendirian, mungkin aku tak segan menawarkan beberapa sahabatku....” “Sialan! Ini urusanmu!” “Hah.... Urusan apa, Nek?!” Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya berpaling silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Delapan Samudera serta Dayang Tiga Purnama. Gerakan kepala Nenek Selir membuat Joko tersentak kaget. “Astaga! Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan persoalan ketiga gadis itu! Ah... Aku harus segera tinggalkan tempat ini! Urusannya akan jadi ruwet dan tak karuan!” Diam-diam Pendekar 131 membatin. Lalu tanpa buka mulut lagi dia berlari tinggalkan tempat itu.
SEBELAS
Sebearnya Nenek Selir sudah hendak berkelebat mengejar. Namun Bidadari Delapan Samudera cepat melompat menghadang di depan si nenek dan berkata. “Nek.... Aku punya hal yang harus kubicarakan dengan pemuda itu! Harap nenek dan kakek menungguku di tempat ini! Demikian juga Ayah dan Ibu!” Tanpa menunggu sahutan, Bidadari Delapan Samudera sudah berkelebat mengejar ke arah mana Pendekar 131 berlari. Melihat apa yang dilakukan Bidadari Delapan Samudera, Bidadari Pedang Cinta jadi tidak enak hati. Dia berpaling sesaat pada Nenek Selir dan kedua orang-tuanya. “Aku harus menjelaskan semuanya! Aku tak ingin ada perselisihan!” membatin Bidadari Pedang Cinta. Dia sebenarnya hendak mengutarakan maksudnya pada Dayang Tiga Purnama yang tegak tidak jauh dari tempatnya. Namun setelah dipikir sejenak, gadis berbaju hijau ini urungkan niat. Hingga tanpa buka suara lagi, dia berkelebat mengejar Bidadari Delapan Samudera. Mendapati kelebatan Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta, diam-diam Dayang Tiga Purnama ikut-ikutan jadi merasa tidak enak. Hingga tanpa pikir panjang lagi, gadis yang pernah diasuh oleh Putri Pusar Bumi ini ikut berlari mengejar. “Ada apa ini?!” Manusia Tanah Merah bertanya pada Nenek Selir. “Sebelum peristiwa ini, aku telah berjumpa dengan mereka. Aku tahu, di antara mereka ada ganjalan hati yang harus diselesaikan! Kalau tidak, bukan tak mungkin nantinya akan menjadi penghalang persaudaraan!" “Maksudmu?!” “Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta serta Dayang Tiga Purnama sama-sama tertarik dengan pemuda asing sialan itu!” Seperti diketahui, ketika awal berjumpa dengan murid Pendeta Sinting, secara diam-diam Bidadari Pedang Cinta sudah tertarik. Hanya saja karena saat itu dia bersama Iblis Pedang Kasih dan baru saja berkenalan, Bidadari Pedang Cinta tidak berani berterus terang meski sikapnya sudah berubah. Namun begitu terjadi pertemuan dengan Bidadari Delapan Samudera, Bidadari Pedang Cinta salah duga. Dia menduga Bidadari Delapan Samudera adalah kekasih Pendekar 131. Apalagi saat itu Joko mengucapkan kata-kata yang seolah-olah Bidadari Delapan Samudera memang kekasihnya. Di lain pihak, begitu bertemu dengan Joko, diam-diam Bidadari Delapan Samudera sudah tertarik. Namun begitu mendengar ucapan Joko, Bidadari Delapan Samudera jadi salah tanggap. Dia menyangka Bidadari Pedang Cinta adalah kekasih Joko. Sementara itu, Dayang Tiga Purnama sendiri sebenarnya juga tertarik dengan murid Pendeta Sinting. Hanya saja gadis ini tidak mau menunjukkan sikap. Lain halnya dengan Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta yang terang-terangan tampak cemburu ketika mengetahui salah satunya berada berdua-duaan dengan Pendekar 131. “Ibu.... Jika benar keteranganmu, kita harus mengejar mereka! Mereka masih muda. Aku takut terjadi apa-apa... Aku tidak mau pertemuan ini dikacaukan dengan masalah pemuda itu!” Bidadari Tujuh Langit berkata pada Nenek Selir. Nenek Selir geleng kepala. “Tidak, Anakku.... Kalau kita ikut campur, justru bukan mustahil akan terjadi salah paham! Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dengan caranya sendiri! Aku percaya. Rasa persaudaraan mereka tentu lebih penting daripada urusan seorang laki-laki!” “Tapi....” “Sudahlah, Anakku! Percayalah pada mereka! Kita tunggu mereka di sini!” Sebenarnya Bidadari Tujuh Langit masih ingin mengejar anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu yang baru saja menemukan anak-anaknya, rasa khawatir lebih mendera dadanya. Apalagi dia maklum, anak-anaknya adalah perempuan sementara yang jadi persoalan adalah seorang laki-laki. Dia juga sadar kalau perempuan akan lebih mendahulukan perasaan daripada akal. Namun begitu sadar akan keadaan dirinya yang masih terluka dalam dan telapak kaki kirinya yang terputus separo, Bidadari Tujuh Langit terpaksa harus memendam keinginannya dan akhirnya dengan dada tidak enak dia tetap diam di tempat itu. Sementara itu, walau yakin Nenek Selir tidak mengejar namun Pendekar 131 tidak mau bertindak ayal. Dia kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya dan berlari sekuat yang diamampu. Pada satu tempat agak sepi jauh dari hutan bambu, ba-ru murid Pendeta Sinting memperlambat larinya setelah berulang kali pulang balikkan kepala menyiasati keadaan. Dan begitu merasa keadaan benar-benar aman, Joko hentikan larinya dan langsung menyelinap sembunyi di balik satu batangan pohon agak besar. Pendekar 131 tengadahkan kepala dengan mata dipejamkan dan kedua tangan mengusap wajah yang basah. “Aku harus segera ke pesisir! Aku tidak mau lagi terlibat dengan urusan di negeri ini! Apalagi urusannya berkaitan dengan perempuan! Lebih-lebih lagi mereka adalah saudara!” Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak satu sosok tubuh berkelebat dan tegak hanya beberapa langkah di balik mana Joko bersembunyi. “Pendekar 131! Harap keluar dari balik pohon! Kita perlu bicara!” Dalam kagetnya, Joko cepat berpaling. Dia melihat Bidadari Delapan Samudera tegak dengan mata memandang jauh ke depan. “Pendekar 131! Waktuku tidak banyak.... Kau sendiri tentu harus segera tinggalkan tempat ini. Maka kuharap kau segera keluar...!” Dengan sapukan pandangan berkeliling, perlahan Joko melangkah keluar dari balik pohon. Bidadari Delapan Samudera menoleh. Untuk beberapa saat gadis ini memandang tajam pada murid Pendeta Sinting. Lalu buka mulut dengan suara lirih dan bergetar. “Pendekar 131... Harap kau memaafkan atas semua sikapku padamu. Terus terang, aku memang tertarik padamu. Tapi aku tidak mau melukai hati saudaraku... Jadi kalaupun kau memang punya hubungan dengan saudaraku, kuharap kau mau menjelaskan bahwa di antara kita tidak ada hubungan apa-apa!” Bidadari Delapan Samudera masih menduga kalau antara Joko dan Bidadari Pedang Cinta benar-benar ada hubungan kekasih. “Bidadari Delapan Samudera... Ucapan itu tidak perlu kau katakan. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan....” “Pendekar 131!” Bidadari Delapan Samudera memotong. “Harap tidak menutup-nutupi! Ini demi kedamaian persaudaraanku... Sekali lagi kuharap kau mau mengerti!” Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera berpaling ke belakang. “Aku tahu. Bidadari Pedang Cinta mengejar mengikutiku! Aku harus segera pergi....” “Pendekar 131! Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Sekali lagi kuharap kau turuti permintaanku....” Bidadari Delapan Samudera arahkan pandang matanya pada Joko dengan paksakan diri sunggingkan senyum. Saat lain tanpa buka mulut lagi gadis berbaju biru ini berkelebat tinggalkan tempat itu. Joko hendak menahan, namun tampaknya dia bisa membaca gelagat kepala Bidadari Delapan Samudera. Hingga dia urungkan niat buru-buru berpaling. Saat itulah dari arah seberang terlihat satu sosok tubuh berlari cepat. “Bidadari Pedang Cinta...,” gumam Joko mengenali siapa adanya sosok yang berkelebat cepat ke arahnya. “Pendekar 131!” kata sosok yang baru muncul dan memang Bidadari Pedang Cinta adanya begitu tegak beberapa langkah di hadapan murid Pendeta Sinting. “Kau tentunya sudah tahu apa hubunganku dengan Bidadari Delapan Samudera. Untuk itu aku berharap kau tadi sudah menjelaskan padanya!” “Bidadari... Sebenarnya tidak ada yang perlu dijelaskan! Dan kuharap kau mau percaya. Aku tidak punya hubungan tertentu dengan Bidadari Delapan Samudera!” Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang seraya sedikit dongakkan kepala. “Aku tak bisa memastikan apakah ucapannya benar atau tidak! Seandainya saja hal ini tidak berkaitan dengan Bidadari Delapan Samudera yang ternyata adalah saudaraku sendiri... Tapi aku tidak mau mengambil risiko. Aku memang tertarik pada pemuda ini. Namun daripada nantinya terjadi hal-hal yang kurang enak dengan Bidadari Delapan Samudera, lebih baik aku berusaha melupakannya walau aku perlu waktu...” Diam-diam Bidadari Pedang Cinta berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata. “Pendekar 131.... Apa pun ucapanmu, seandainya kau memang punya hubungan, aku tetap meminta agar kau kelak mau menjelaskan sendiri pada Bidadari Delapan Samudera.” Mendengar ucapan Bidadari Pedang Cinta, Joko tertawa pelan. “Kau ini aneh... Kelak kapan yang kau maksud?! Kau tahu. Hari ini aku tengah dalam perjalanan pulang kampung!” Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Entah apa yang dirasakan gadis ini. Yang jelas dia menghela napas panjang beberapa kali seraya bergumam tak jelas. Dan saat lain tanpa buka suara lagi, gadis yang pernah diambil dari Istana Lima Bidadari oleh Iblis Pedang Kasih ini putar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Hanya beberapa saat setelah sosok Bidadari Pedang Cin- ta berkelebat, satu sosok tubuh berlari dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Joko. “Kau akan segera tinggalkan negeri ini?!” tanya sosok yang baru muncul dan tak lain adalah Dayang Tiga Purnama. “Rasanya memang begitu! Ada pesan untukku?!” Joko balik bertanya seraya menatap lekat-lekat gadis dihadapannya. Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya balas memandang. “Kau tak usah takut mengatakannya....” Dayang Tiga Purnama geleng kepala. Lalu berkata. “Aku menemui hanya untuk minta maaf atas tindakanku tempo hari!” “Hanya itu!” Dayang Tiga Purnama terdiam tidak buka suara atau memberi isyarat dengan gerakan anggota tubuhnya. Joko tertawa lalau berucap. “Seharusnya aku yang minta maaf. Karena sejak pertemuan kita pertama kali, aku telah berdusta padamu...” Dayang Tiga Purnama tersenyum. Lalu alihkan pandangan dan berujar. “Kuucapkan selamat jalan...” “Hanya itu?!” Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya segera berlari tinggalkan tempat itu tanpa buka suara. “Hai! Tunggu!” Joko berteriak menahan. Namun yang diteriaki seolah tidak mendengar. Dia terus saja berlari. “Mengejar gadis itu bukan tak mungkin akan mendatangkan bencana baru. Lebih baik aku segera teruskan perjalanan pulang. Negeri ini sudah memberikan beberapa urusan aneh yang sering tidak kumengerti! Tapi aku bersyukur karena bisa bertemu dengan gadis-gadis cantik yang anehnya ternyata adalah masih saudara!” Joko pandangi kelebatan sosok Dayang Tiga Purnama hingga lenyap. Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu dengan pikiran kembali melayang pada peristiwa yang menyebabkan dia sampai ke negeri Tibet hingga kejadian pertemuan antara anak, ibu, dan cucu yang baru saja terjadi. Setelah melakukan perjalanan sehari semalam dan bertanya kian kemari, pada akhirnya Pendekar 131 sampai juga di pesisir. Saat itulah Joko mulai sadar dan merasa kebingungan. “Bagaimana aku harus pulang?! Tak mungkin aku berenang melewati hamparan laut seluas ini! Aku perlu perahu! Tapi dari mana aku bisa mendapatkan?!” Joko layangkan pandangan ke bentangan laut luas dihadapannya. Saat itulah dia melihat sebuah perahu bergerak menepi lurus ke arahnya. Joko pentangkan mata besar-besar dengan sekali membuat gerakan yang serta-merta membawa sosoknya seakan menyongsong perahu yang tengah menepi. “Aneh... Perahu itu bergerak menuju kemari! Tapi aku tidak melihat penumpangnya!” Joko bergumam dengan memperhatikan gerakan perahu dan meneliti dengan seksama. Perahu yang tengah menuju lurus ke arah Pendekar 131 ternyata memang tidak kelihatan penumpangnya. “Keanehan apa lagi ini?! Jangan-jangan ini awal babak baru dari satu hadangan!” Kuduk Joko jadi dingin. “Kuucapkan selamat tinggal, Anak Muda!” Tiba-tiba terdengar satu suara. “Kalau ada waktu, negeri ini masih bersedia menerima kedatanganmu lagi!” Satu suara lain menyahut. Joko tercekat. Karena dua suara yang terdengar jelas datangnya dari arah perahu yang terus melaju ke arahnya! “Jangan-jangan dugaanku benar!” pikir Joko dengan mata makin dipentang. Baru saja Joko berpikir begitu, mendadak dari arah perahu muncul dua sosok tubuh tegak duduk di lantai perahu. “Astaga! Mereka tadi sengaja sembunyikan diri dengan menelentang di lantai perahu hingga batang hidungnya tidak kelihatan!” Joko mendesis dengan mata makin dijerengkan. “Sepertinya aku pernah melihat mereka!” Joko mendelik makin besar. “Dewa Asap Kayangan! Dewa Cadas Pangeran!” Joko berteriak begitu mampu mengenali siapa adanya kedua orang yang duduk di lantai perahu. “Terima kasih kau masih mengenaliku!” Berkata orang yang duduk di sebelah kanan. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Pada mulutnya terlihat sebuah pipa yang kepulkan asap putih. Sementara dipundaknya menyelempang sebuah ikat pinggang besar yang dihiasi beberapa pipa. Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh negeri Tibet yang dikenal dengan julukan Dewa Asap Kayangan. Duduk di sebelah Dewa Asap Kayangan adalah seorang kakek berpakaian compang-camping. Raut wajah kakek ini tidak kelihatan karena tepat di hadapan wajahnya terlihat sebuah batu putih yang digantungkan pada satu tambang yang berpangkal pada punggungnya. Kakek ini tidak bukan adalah Dewa Cadas Pangeran. Habis berkata, Dewa Asap Kayangan bergerak bangkit disusul kemudian oleh Dewa Cadas Pangeran. Kejap lain kedua kakek ini berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Pendekar 131. Sementara perahu yang ditumpangi keduanya tampak mengapung di dekat pesisir. “Pendekar 131!” kata Dewa Cadas Pangeran. “Kami berdua tidak bisa memberimu bekal apa-apa! Mungkin hanya perahu itu yang dapat kami berikan sebagai kenang-kenangan!” “Ah... Terima kasih! Sebenarnya benda itulah yang paling kubutuhkan saat ini!” “Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang hendak kau sampaikan?!” Yang bicara adalah Dewa Asap Kayangan. Joko terdiam dengan dada berdebar tidak enak. Dia maklum ke mana arah bicara Dewa Asap Kayangan. “Pasti ini ada hubungannya dengan tawaran mereka tempo hari yang memintaku untuk mengawini Dewi Bunga Asmara! Apa yang harus kukatakan pada mereka?” Selagi Joko membatin begitu, Dewa Cadas Pangeran sudah berkata. “Anak muda.... Lupakan urusan kawin tempo hari! Namun kau harus tahu. Seandainya saat itu kau mau menerima, mungkin kau tidak akan terlibat jauh dengan urusan para gadis-gadis Itu! Mereka tidak akan terlalu berharap padamu karena mereka tahu jika kau telah memiliki istri!” Sambil berkata kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak berputar. “Lihat! Mereka datang untuk mengucapkan selamat jalan padamu! Tapi aku tahu. Mereka sebenarnya ingin lebih daripada hanya mengucapkan selamat jalan....” Dewa Cadas Pangeran sambungi ucapannya. Pendekar 131 kernyitkan kening. Lalu gerakkan kepala mengikuti gerakan kepala Dewa Cadas Pangeran. Joko tersurut kaget ketika di ujung seberang utara sana dia melihat seorang gadis berbaju hijau tegak dengan mata memandang ke arahnya. “Bidadari Pedang Cinta...” Joko mendesis dalam hati mengenali siapa adanya gadis berbaju hijau. Joko menghela napas. Lalu teruskan gerakan kepala. Lagi-lagi dia tersentak ketika di ujung sebelah barat dia melihat seorang gadis berbaju biru tegak dengan kepala sedikit mendongak. “Bidadari Delapan Samudera!” gumam Joko dengan suara bergetar. “Masih ada satu lagi, Anak Muda!” ujar Dewa Cadas Pangeran ketika Joko hendak arahkan pandangannya kembali pada sosok Bidadari Pedang Cinta. Joko hentikan gerakan kepalanya yang akan berpaling pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu teruskan berpaling ke arah samping. Di sana tegak seorang gadis berwajah cantik mengenakan pakaian warna ungu. “Astaga! Dayang Tiga Purnama!” Joko mengenali siapa adanya gadis berbaju ungu. “Pendekar 131! Saatnya kau pulang!” Dewa Asap Kayangan berujar. “Mereka memang menarik. Tapi kalau kau turuti keinginan, aku tidak bisa menjamin apakah nanti kau bisa pulang ke negeri asalmu atau tidak!” Dewa Cadas Pangeran menimpali. Pendekar 131 anggukkan kepala. “Terima kasih atas nasihat kalian berdua. Sekarang aku harus pergi! Sampaikan salamku pada Dewi Bunga Asmara!” Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran sama anggukkan kepala. Joko menjura hormat. Lalu sapukan pandangan ke arah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan Dayang Tiga Purnama. Joko tersenyum lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah perahu. Begitu tegak di atas perahu, Joko lambaikan kedua tangannya. Bidadari Pedang Cinta perlahan angkat tangan kanannya lalu membalas lambaian tangan Joko. Saat bersamaan Bidadari Delapan Samudera ikut angkat tangan kanannya dan melambai. Sementara Dayang Tiga Purnama hanya tegak diam. Namun pandang matanya terus tak berkesip menatap pada sosok Pendekar 131 yang perlahan-lahan balikkan tubuh sebelum akhirnya dibawa melaju oleh perahu. |