Kitab Serat Biru - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Joko Sableng Dalam Episode Kitab Serat Biru

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131


BAB 1

DATUK Hitam tegak di atas tanah ruangan gua dengan air muka berubah beringas. Sepasang bola matanya mendelik angker bergerak liar ke seluruh ruangan dan keluar mulut gua. Tapi kakek ini makin dibuat terhenyak, karena dia tidak menangkap adanya seseorang!

"Pendengaranku jelas baru saja mendengar suara orang! Jahanam betul! Mana bangsat manusianya?!" sang datuk perdengarkan makian keras. Sementara sepasang matanya terus perhatikan keadaan sekeliling. Namun sejauh ini dia tetap tak bisa menangkap adanya seseorang, hingga seraya palingkan kepala ke arah Dewa Sukma yang tetap memejamkan mata seolah tak hiraukan bahaya sedang mengancam, Datuk Hitam menenangkan diri sendiri dengan bergumam pelan.

"Mungkin telingaku yang tergoda... Lagi pula perlu apa turuti ucapan orang kalau hendak membunuh bangsat ini?!"

Namun meski si kakek telah berusaha menenangkan diri, jelas wajahnya masih membayangkan kebimbangan. Hingga untuk sekian kalinya, sang datuk edarkan pandangannya sekali lagi. Ketika yakin bahwa sepasang matanya memang tidak melihat adanya orang, dia angkat kedua tangannya kembali siap lepaskan pukulan maut pada Dewa Sukma.

Belum sampai kedua tangan sang datuk bergerak lepaskan pukulan, kembali terdengar suara teguran. Malah kali ini terngiang jelas di telinga si kakek seolah suara itu diperdengarkan di depan teli-nganya!

"Aneh. Orang telah menyuruhnya pergi. Tapi masih tegak melotot bahkan hendak teruskan niat lepaskan pukulan. Hik hik hik...! Apakah dia mengira sebagai malaikat maut yang seenaknya saja bisa cabut nyawa orang?!"

Datuk hitam cepat sentakkan kepala dengan kedua tangan bergerak memukul ke samping, hingga saat itu juga lamping ruangan gua bagian sisi kanan berantakan dan untuk beberapa saat ruangan gua itu bergetar keras! Seraya angkat kembali kedua tangannya Datuk Hitam membentak.

"Bertampang apa pun kau adanya, kenapa tak berani tampakkan diri, hah?!"

Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar ucapan. "Tampangku mungkin akan membuatmu kecewa. Tapi agar kau tak penasaran, kuturuti kata-katamu! Hik hik hik...!"

Suara tawa orang belum lenyap, tahu-tahu ruangan gua disesaki bau busuk. Namun sesaat kemudian berubah menjadi bau luar biasa harum. Tatkala Datuk Hitam menoleh ke samping kiri, terlihat tegak seorang nenek mengenakan jubah warna merah menyala sepuluh langkah dari tempatnya berdiri.

Nenek ini berambut putih sebatas tengkuk. Sepasang kelopak matanya besar tapi matanya yang menjorok masuk amat sipit. Mulutnya selalu bergerak-gerak memainkan gumpalan tembakau hitam keluar masuk!

"Ratu Malam!" desis Datuk Hitam mengenali siapa adanya nenek berjubah merah. "Kemunculannya pasti untuk urusan peta itu!" duga Datuk Hitam lalu turunkan kedua tangannya.

"Untung kau masih mengenali tampangku, Datuk Hitam...! Kuharap kau tak kecewa dengan tampang ini! Hik hik hik...! Lebih dari itu, mudah-mudahan rasa penasaranmu sirna..."

"Ratu Malam! Terangkan apa hubunganmu dengan manusia tergantung ini sampai kau menghalangi urusanku?!"

Ratu Malam tertawa lebih dulu sebelum berkata. "Seribu keterangan tak akan membuatmu mengerti! Lebih baik segera tinggalkan tempat ini!"

"Aku yang punya urusan dahulu. Aku berhak melakukan apa yang kumau! Harap kau jangan mengganggu urusanku! Dan lekas angkat kaki dari hadapanku!"

"Wah. Bagaimana bisa begitu?! Kau boleh punya urusan dahulu, tapi tidak berarti kau berhak melakukan apa yang kau mau!"

Habis berkata begitu Ratu Malam putar tubuh membelakangi Datuk Hitam. Kepalanya ditengadahkan, lalu dari mulutnya terdengar siulan dendangkan nyanyian. Kedua kakinya pun ikut bergerak-gerak seakan mengikuti irama siulan.

Untuk sesaat Datuk Hitam pandangi punggung si nenek. Dan setelah ditunggu agak lama Ratu Malam tetap bersiul malah kini dengan goyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan kiri, Datuk Hitam keluarkan bentakan keras. "Ratu Malam! Kau benar-benar ingin berurusan denganku!"

Ratu Malam putuskan siulannya, tapi kepalanya masih tetap bergoyang-goyang. Lalu terdengar nenek ini berujar. "Itu dugaanmu! Aku punya urusan dengan orang yang digantung, bukan dengan kau!"

Sejurus Datuk Hitam terdiam. Namun sepasang mata kakek ini berkilat, rahangnya mengembang. Mulutnya bergerak membuka, namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu Malam telah berujar lagi.

"Harap kau dengar ucapanku, tinggalkan tempat ini, atau..."

"Jahanam!" potong Datuk Hitam. "Urusanku belum selesai!" sentaknya dengan sepasang mata di-pentangkan besar pandangi bagian belakang tubuh Ratu Malam.

"Selesai atau belum bukan urusanku! Hik hik hik...! Yang kuminta kau lekas angkat kaki dari belakangku!"

Meski dadanya bergemuruh mendengar kata-kata Ratu Malam, namun kakek ini cepat berpikir. "Meski mulut gua berantakan, lalu pemuda bangsat yang menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur barusan dari sini, tapi aku belum mendapat jawaban pasti dari mulut Dewa Sukma sendiri tentang peta itu. Hemmm... Siapa tahu Dewa Sukma sebenarnya masih menyimpan peta itu. Aku harus membawanya dan mengorek keterangan dari mulutnya!"

Datuk Hitam segera putar diri menghadap Dewa Sukma. Lalu kedua tangannya bergerak menjulur menakup pada pinggang Dewa Sukma. Kejap kemudian sang datuk sentakkan tubuh Dewa Sukma yang menggantung. Namun kakek ini jadi terkesiap. Jangankan sosok Dewa Sukma melorot jatuh, bergeming pun tidak! Bahkan saat itu juga Datuk Hitam segera lepaskan kedua tangannya dari pinggang Dewa Sukma dan mundur dua langkah. Sepasang matanya membeliak menatap pada kedua tangannya yang baru saja memegang pinggang Dewa Sukma. Ternyata kedua telapak tangan sang datuk telah menggembung!

"Laknat! Sinar apa sebenarnya yang menggantung dan membelit tubuh Dewa Sukma ini?!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya yang menggembung dan terasa luar biasa panas.

Selagi Datuk Hitam dilanda keheranan dengan apa yang baru saja dialami, Ratu Malam yang tegak membelakangi tiba-tiba menegur. "Datuk! Apakah perlu kuulangi lagi ucapanku?!"

"Persetan! Urusanku belum tuntas. Jangan harap aku tinggalkan tempat ini tanpa mendapat apa-apa!"

Lalu tanpa acuhkan ucapan Ratu Malam, Datuk Hitam kerahkan tenaga dalam dan cepat kedua tangannya menakup pinggang Dewa Sukma. Mula-mula sang datuk merasakan hawa hangat masuk melalui kedua telapak tangannya. Sadar akan apa yang hendaK terjadi, kakek ini segera lipat gandakan tenaga dalam. Hingga hawa hangat itu meski pelan-pelan berubah panas namun si kakek masih mampu untuk menahannya.

Tak menunggu lama, Datuk Hitam segera lorot-kan sepasang kakinya ke bawah. Serentak kedua tangannya membetot. Namun hingga keringat keluar membasahi tubuhnya, tali berupa sinar yang menggantung tubuh Dewa Sukma tak juga lepas.

"Gila! Aku tak bisa menunggu lama-lama!" seru Datuk Hitam. Lalu dia lepaskan telapak tangannya dari pinggang Dewa Sukma. Kejap lain kedua tangannya bergerak menghantam ke atas, ke arah tali berupa sinar hitam yang menggantung tubuh Dewa Sukma.

"Beettt! Beettt!" Pukulan Datuk Hitam menyambar tali berupa sinar, namun sang datuk jadi melengak. Walau pukulannya mengenai sasaran, namun tali itu hanya bergoyang-goyang!

"Setan keparat!" maki sang datuk. Cepat dia kembali kerahkan tenaga dalam. Mendadak sentak kedua telapak tangannya mengembang dan didorong keras ke atas, lepaskan pukulan sakti 'Puspa Jagat'. Suasana pekat kejap itu segera menyungkup ruangan gua. Lalu terdengar suara...

"Tass! Tasss!" Berulangkah, disusul dengan suara bergedebukan benda jatuh.

Saat suasana terang kembali, tampak sosok Dewa Sukma telentang di lantai gua dengan mata terpejam rapat dan napas megap-megap. Perlahan-lahan Dewa Sukma buka kelopak matanya. Lalu hendak bergerak bangkit. Namun kakek ini jadi kernyitkan dahi, sementara sepasang matanya perhatikan Datuk Hitam.

Datuk Hitam tertawa mengekeh. "Dewa Sukma. Maaf, untuk sementara waktu tubuhmu kubuat tidak bisa bergerak!"

Ternyata seraya menarik pinggang Dewa Sukma selagi hendak dibetot ke bawah, Datuk Hitam lancarkan totokan, hingga saat tubuh Dewa Sukma telah jatuh di lantai gua, orang tua itu tak bisa membuat gerakan! Bahkan suaranya pun laksana tersumbat di tenggorokan! Tanpa berkata-kata lagi, Datuk Hitam melangkah dua tindak ke depan. Tangan kiri kanan bergerak hendak meraih tubuh Dewa Sukma yang masih dalam keadaan tertotok.

Namun baru saja kedua tangannya menyentuh pinggang, Ratu Malam perdengarkan ucapan. "Harap tinggalkan tempat ini sendirian, Datuk Hitam!"

Datuk Hitam tarik pulang kedua tangannya. Lalu dengan mata melotot besar dia angkat kepalanya dan putar diri menghadap Ratu Malam. Raut wajahnya yang berwarna hitam makin mengelam. Dari hidungnya terdengar dengusan keras. Jelas pertanda kakek berwajah hitam angker ini sedang menahan marah besar.

Tapi kembali dada Datuk Hitam diusik urusan peta. Jika turuti hawa kemarahan ingin rasanya sang datuk segera lepaskan pukulan pada Ratu Malam. Namun kakek berwajah hitam ini sekali lagi masih berpikir. Dia sadar, siapa adanya Ratu Malam. Kalau pun dia dapat mengimbangi tak urung pasti akan mengalami cedera, padahal dia harus membawa tubuh Dewa Sukma. Berpikir sampai di situ akhirnya Datuk Hitam berujar.

"Ratu Malam! Kalau kau punya urusan dengan anak manusia ini, cepat selesaikan!"

Ratu Malam balikkan tubuh. Sepasang matanya sejenak berputar bergantian menatap ke arah Dewa Sukma dan Datuk Hitam. Kejap kemudian terdengar dia tertawa panjang sebelum akhirnya berkata.

"Urusanku dengannya tak boleh dilihat dan didengar orang lain! Jadi harap angkat kaki dari sini!"

Tubuh Datuk Hitam tampak bergetar menahan marah. "Kau manusia serakah tak tahu diuntung! Jangan berani ucapkan perintah dan berani bergerak dari tempatmu, kau cari mampus!"

Habis berkata demikian, Datuk Hitam bergerak memutar. Tubuhnya sedikit membungkuk, sementara tangan kanannya bergerak ke bawah. Saat sang datuk kembali menghadap Ratu Malam, tubuh Dewa Sukma telah berada di pundaknya! Tanpa memandang lagi pada Ratu Malam, Datuk Hitam segera berkelebat. Tapi langkah sang datuk tertahan tatkala tiba-tiba Ratu Malam gerakkan jubahnya dan tahu-tahu sosoknya tegak menghadang empat langkah di hadapan Datuk Hitam!

"Kau cari mati berani hadang langkahku!" gertak Datuk Hitam. Kedua telapak tangannya dikembangkan. Kakek ini tahu siapa lawan yang dihadapi, hingga dia langsung siapkan pukulan sakti 'Puspa Ja-gat'.

Begitu mengetahui Ratu Malam tetap tak beranjak dari hadapannya, Datuk Hitam segera dorong kedua tangannya kirimkan pukulan 'Puspa Jagat'! Ruangan gua kembali diselimuti kegelapan. Lalu menghampar udara luar biasa panas disusul dengan menggebraknya gelombang angin kencang!

Ratu Malam tak tinggal diam. Begitu keadaan gelap, nenek ini segera pukulkan kedua tangannya ke depan. Di antara kegelapan suasana terlihat cahaya menyeruak. Lalu menghampar hawa luar biasa dingin yang tak lama kemudian menindih lenyap hawa panas yang keluar dari pukulan Datuk Hitam. Gelombang angin kencang yang melesat dari telapak tangan sang datuk laksana ditekan kekuatan hebat dari sebelah atas, hingga bukan saja membuat gelombang angin itu tertahan namun kejap itu juga menukik deras ke bawah menghantam lantai ruangan gua.

"Bummm!" Lantai ruangan gua pecah berantakan membentuk lobang menganga lebar. Di sebelah depan sana, sosok Datuk Hitam tampak tersapu deras ke belakang sebelum terhenti setelah menghantam bagian samping ruangan gua. Sosok Dewa Sukma yang tadi ada di pundaknya mencelat mental dan jatuh bergedebukan di lantai.

Di seberang, sosok Ratu Malam terhuyung-huyung. Tapi sebelum tubuhnya menghantam bagian samping ruangan gua. si nenek dapat kuasai diri. Seraya memainkan gumpalan tembakau hitam di mulutnya, Ratu Malam tertawa pendek lantas melangkah maju tiga tindak.

Sambil bersandar punggung pada bagian samping ruangan gua, Datuk Hitam sibakkan rambut yang menghalangi sepasang matanya. Kedua tangan kakek ini tampak bergetar. Dadanya bergerak turun naik tak karuan. Dan samar-samar dari balik rambut yang menutupi sebagian wajahnya tampak darah kehitaman keluar dari sela mulutnya.

"Jahanam! Ini gara-gara Malaikat Penggali Kubur keparat! Jika saja tidak bentrok lebih dulu dengannya, tak mungkin aku terluka begini rupa! Sialan betul!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dadanya.

Seperti diketahui, sebelum ini Datuk Hitam sempat bentrok dengan Malaikat Penggali Kubur. (Lebih jelasnya baca episode Malaikat Penggali Kubur). Meski saat itu tak mengalami cedera, namun mau tak mau membawa pengaruh saat pukulan yang dilepaskan bentrok dengan pukulan Ratu Malam.

"Jika urusan ini tak cepat selesai, bisa-bisa aku yang akan celaka!" bisik Datuk Hitam. Serta-merta kakek ini alirkan tenaga dalamnya kembali pada kedua telapak tangan dan sepasang kakinya.

Di lain kejap tiba-tiba tubuh Datuk Hitam melenting satu tombak ke atas. Membuat gerakan telentang di udara. Masih dengan telentang sosoknya berputar-putar melesat ke arah Ratu Malam. Kedua tangannya pun serta-merta mendorong lepaskan pukulan. Kakek ini telah kerahkan jurus 'Mendera Bayu' sekaligus kirimkan pukulan 'Puspa Jagat'. Selama malang melintang dalam rimba persilatan hanya beberapa orang yang benar-benar berilmu tinggi yang dapat lolos jika Datuk Hitam telah kerahkan gabungan jurus 'Mendera Bayu' dan 'Puspa Jagat'.

Ratu Malam sendiri sejenak tampak terpana dengan sepasang mata dibeliakkan dan mulut terkancing rapat. Nenek ini bukan hanya merasakan hawa panas dan menderunya gelombang angin yang luar biasa dahsyat, namun juga tak dapat memastikan di «ana beradanya sosok Datuk Hitam, karena ruangan gua telah berubah gelap gulita!

Sambil menggerendeng panjang pendek, akhirnya Ratu Malam membuat gerakan berputar-putar. Terdengar deruan mendesis-desis. Lalu tampak kabut putih membungkus tubuh si nenek laksana pembatas yang memagari. Gelombang angin menebar hawa panas dan sepasang kaki Datuk Hitam terus mendekat. Sejengkal lagi gelombang angin dan tendangan kaki menggebrak tubuh Ratu Malam yang terbungkus kabut putih, sang datuk keluarkan bentakan keras.

"Braakkk! Bummm!" Terdengar benturan keras yang disusul dengan dentuman menggelegar. Ruangan gua bergetar keras. Mulut gua yang berantakan tampak ambrol menganga. Langit-langit ruangan gua rontok menaburkan batu-batu kecil.

Sosok Datuk Hitam terlihat mental balik laksana menghantam benda keras. Begitu kerasnya mentalan tubuhnya, sampai tak sempat bagi sang datuk untuk berusaha hentikan laju tubuhnya, hingga kejap kemudian sosoknya menghantam bagian samping ruangan gua. Perlahan-lahan tubuh Datuk Hitam melorot jatuh dengan punggung bersandar pada bagian samping ruangan gua. Darah kehitaman kini mengalir dari mulut dan hidungnya pertanda luka dalamnya cukup parah.

Di seberang, sosok Ratu Malam tampak bersandar pada bagian samping ruangan gua. Meski masih terlihat berdiri, namun tubuhnya agak melorot. Wajahnya pun berubah pias. Jubah merahnya bagian samping hangus hitam. Untuk beberapa saat nenek berambut putih sebatas tengkuk ini usap-usap dadanya dengan mulut komat-kamit mainkan gumpalan tembakau hitam di dalamnya. Malah beberapa kali tampak menghela napas seraya menghisap gumpalan tembakau di mulutnya.

"Puluhan tahun terjun dalam kancah persilatan, baru kali ini aku menemui lawan yang tak mempan gabungan pukulanku! Jahanam betul! Meneruskan bentrok hanya akan membawa celaka..." gumam Datuk Hitam. Sejurus dia memandang ke arah Ratu Malam yang kini telah tegak dan hendak melangkah. Lalu alihkan pandangannya pada sosok Dewa Sukma yang ternyata telah mental jauh dari tempat semula.

"Hem... Kalau aku tetap ingin membawa Dewa Sukma, nenek tua itu tidak bisa kulewati hari ini. Terpaksa aku pergi bertangan kosong!" Datuk Hitam bergerak bangkit. Sambil arahkan pandangan matanya keluar gua, sang datuk berucap. "Tua bangka Ratu Malam! Saat ini aku bersumpah. Siapa pun tak akan kubiarkan menyentuh nyawamu! Raga dan nyawamu kelak akulah yang menentukan!"

Di seberang, mendengar sumpah Datuk Hitam, Ratu Malam tertawa panjang. "Aku tahu. Ucapanmu hanya untuk menghindar. Namun aku ingin buktikan juga, apakah kelak ucapanmu akan jadi kenyataan. Hik hik hik...!"

Dagu Datuk Hitam di balik uraian rambutnya yang menutupi wajahnya tampak mengembang. Kedua kakinya bergetar keras. Tapi daripada mencari celaka jika perturutkan kemarahan, akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi Datuk Hitam berkelebat tinggalkan ruangan gua.

Ratu Malam pandangi kepergian Datuk Hitam dengan tertawa mengekeh panjang. Lalu begitu sosok sang datuk lenyap, si nenek melangkah mendekai ke arah Dewa Sukma yang masih tergeletak diam dengan mata terpejam dan napas megap-megap.

BAB 2

SI nenek cepat duduk bersila disamping tubuh Dewa Sukma. Tangan kanan kirinya bergerak cepat membuat ketukan beberapa kali di bagian tertentu dari tubuh Dewa Sukma. Seketika itu juga Dewa Sukma buka kelopak matanya. Tubuhnya ikut bergerak-gerak. Mulutnya perlahan-lahan membuka seolah hendak bicara. Namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu Malam telah mendahului.

"Nanti saja bicara. Sekarang bantu aku mengembalikan tenagamu!"

"Sekar Mayang..." bisik Dewa Sukma memanggil nama asli Ratu Malam. "Kau ini bagaimana? Tubuhku laksana tak bertenaga. Bagaimana mungkin aku bisa membantumu?!"

Sejurus Ratu Malam perhatikan sekujur tubuh Dewa Sukma. Ternyata tubuh kakek ini telah mengembung di beberapa bagian dan membentuk libatan di balik pakaiannya yang ternyata juga telah robek tak karuan.

"Hemm... Ini akibat libatan sinar celaka itu! Hanya ada satu orang yang punya pekerjaan seperti ini. Apakah memang dia orangnya...? Ah, bisa bahaya jika benar-benar dia!" kata Ratu Malam dalam hati. Lalu tanpa bicara lagi dia balikkan tubuh Dewa Sukma. Kedua tangannya ditempelkan pada punggung si kakek yang juga adalah kakak seperguruannya itu.

Dewa Sukma tampak keluarkan keluhan, sosoknya berguncang-guncang. Namun Ratu Malam tak hiraukan keluhan orang. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya, hingga untuk beberapa saat sosok Dewa Sukma terlihat naik turun sejengkal dari lantai gua! Tapi beberapa saat kemudian, tubuh Dewa Sukma tampak diam, dan bersamaan dengan itu napasnya bergerak teratur.

Ratu Malam buka kelopak matanya dan menarik napas lega. Lalu kedua tangannya mengusap bagian yang mengembung dari tubuh Dewa Sukma. Sedikit demi sedikit bagian yang mengembung dan membentuk libatan itu mengempis. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewa Sukma perdengarkan batuk berulang kali. Ratu Malam tarik pulang kedua tangannya. Lalu menatap pada Dewa Sukma yang perlahan-lahan membuat gerakan hendak bangkit. Tapi tubuhnya oleng dan sebentar kemudian jatuh kembali telengkup di atas lantai gua.

"Jalu Paksi..." ucap Ratu Malam dengan sebut nama asli Dewa Sukma. "Alirkan tenaga dalammu untuk pulihkan tenaga. Aliran darahmu masih tersumbat!"

Dewa Sukma segera balikkan tubuh menelentang. Kedua tangannya merangkap di atas dada. Sementara sepasang matanya dipejamkan rapat. Dari mulutnya terdengar gumaman pelan tak jelas. Setelah merasa aliran darahnya normal, Dewa Sukma buka matanya. Lalu pelan-pelan bergerak bangkit dan duduk bersila dengan kedua tangan diletakkan di atas paha kiri kanan.

“Sekar Mayang... Tumben kau menyambangi diriku! Kukira kau telah menganggapku tidak ada!"

Ratu Malam komat-kamitkan mulut mainkan gumpalan tembakau hitam. Sepasang matanya dilebarkan pandangi sosok Dewa Sukma “Dasar Tua bangka tak tahu diri! Sudah ditolong masih juga mengomel bicara tidak karuan!" gerendengnya lalu berkata.

"Siapa manusia yang membuatmu tak berkutik kaki di atas kepala di bawah, he?!"

Dewa Sukma tak memberi jawaban. Kakek ini terlihat arahkan pandangannya keluar gua: Lalu beralih pada mulut gua sebelah kiri yang porak poranda.

"Jalu Paksi!" kata Ratu Malam setelah agak lama ditunggu Dewa Sukma tidak juga buka mulut. "Sesuatu telah terjadi di luaran sana! Aku melihat beberapa orang berkeliaran dan aku menduga mereka memegang rahasia yang selama ini kita simpan! Jangan-jangan kau memberikan pada orang yang salah..."

"Rupanya kau tahu banyak, Sekar Mayang..."

"Eh. Apa maksudmu?!"

"Penggalan peta itu memang telah jatuh pada orang yang salah! Tapi itu bukan salahku!"

"Sialan! Sudah jelas berbuat salah masih juga berdalih!" maki Ratu Malam setengah berteriak. Lalu menyambung. "Siapa keparatnya yang mengambil peta itu? Katakan cepat!"

Dewa Sukma gelengkan kepala. "Aku tak bisa pastikan siapa dia..."

"Setan!" tukas Ratu Malam. "Bagaimana bisa begitu?!"

"Kau tak juga berubah, Mayang... Selalu marah-marah..." gumam Dewa Sukma sambil menarik napas dalam-dalam.

"Bagaimana aku akan enak-enakan. Sedang penggalan peta itu adalah pesan mendiang guru yang harus dijaga dan diserahkan pada orang yang telah ditentukan! Dunia persilatan akan mengalami kiamat jika peta itu sampai berada di tangan orang lain. Apa kau berani tanggung jawab, heh?!”

"Tapi..."

Belum usai ucapan Dewa Sukma, kembali Ratu Malam telah memotong. "Tidak ada tapi! Meski kau tak bisa memastikan siapa adanya orang itu, setidak-tidaknya kau bisa menduga! Ayo katakan!"

"Hemm... Melihat pukulannya serta sinar hitam yang menggantungku, aku menduga dia adalah Durga Ratih. Tapi menilik pakaian yang dikenakan, aku jadi ragu-ragu!"

"Apa pakaian yang dikenakan? Apakah potongan pakaiannya merangsang sampai kau bertekuk lutut? Dadanya terbuka, pahanya ternganga?!”

Dewa Sukma yang tahu bagaimana sifat adik seperguruannya hanya geleng-geieng kepala. "Kau salah besar, Mayang. Justru orang itu menutup seluruh anggota tubuhnya. Malah wajahnya pun ditutup dengan cadar hitam!"

"Kau tadi menduga siapa?!" tanya Ratu Malam. "Durga Ratih...!"

"Persis! Aku pun menduga dialah pembuat ulah ini! Tapi bagaimana tahu-tahunya banyak orang yang berkeliaran dan seoiah-olah tahu betul seluk-beluk urusan peta itu?"

"Tak ada jawaban yang pasti daripada mencari tahu sendiri, Mayang!"

"Hem... Jika begitu, kita cepat pergi dari sini!" ujar Ratu Malam seraya bangkit berdiri. "Hei, ada apa denganmu, hah? Kau menyembunyikan sesuatu! Wajahmu berubah!" kata Ratu Malam begitu bangkit dan dilihatnya Dewa Sukma tak juga beranjak dari tempatnya.

"Dengar, Mayang..."

"Sialan! Kau kira sejak tadi aku tuli, heh?!"

"Ada urusan lain yang harus kau ketahui, Mayang..."

"Urusan penggalan peta dan menyelamatkannya jauh lebih penting! Urusan lain belakangan!" sahut Ratu Malam seraya sedikit pelototkan sepasang matanya.

"Justru urusan ini ada sangkut-pautnya dengan penggalan peta itu!"

"Hemm... Aku pasang telinga. Katakan apa urusannya!"

Beberapa saat Dewa Sukma diam. Namun sesaat kemudian dia buka mulut. "Mendiang Eyang guru memberikan sebuah kotak padaku. Kotak itu berisi peta sempurna yang menunjukkan arah ke Pulau Biru. Eyang sengaja memberikan padaku untuk menjaga kemungkinan jika salah satu di antara kita berlima ada yang mendapat halangan dan tak bisa sampaikan penggalan peta di tangannya pada orang yang ditentukan."

"Mana sekarang kotak itu?! Orang yang ditentukan itu sekarang sudah muncul! Daripada dia mencari penggalan peta, lebih baik kotak itu kita serahkan. Seperti kukatakan, telah banyak orang berkeliaran. Jika tidak bertindak cepat, tidak mustahil akan kedahuluan orang, apalagi peta di tanganmu telah raib!"

"Kotak itu juga telah raib, Mayang..."

"Apa?!" teriak Ratu Malam keras. Nenek ini tersentak kaget dan maju satu tindak dengan sepasang mata mendelik menatap lekat pada Dewa Sukma. "Kau jangan bercanda, Jalu Paksi!" "Aku tahu mana tempat bercanda, dan mana tempat harus bersungguh-sungguh!"

"Kiamat! Benar-benar kiamat!" gerendeng Ratu Malam seraya melangkah mondar-mandir dengan kedua tangan mengepal dan sesekali dipukulkan satu sama lain. "Apakah perempuan keparat itu juga yang menggondolnya?!"

"Bukan. Dia seorang pemuda yang menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur. Dia mengaku murid Bayu Bajra..."

"Sialan! Betul-betul sialan! Berarti makin banyak orang telah tahu rahasia Pulau Biru! Ini semua akibat kesalahanmu, Jalu Paksi! Kesalahanmu!" kata Ratu Malam sambil bantingkan kedua kakinya.

"Aku tertipu, Mayang..."

"Alasan! Bagaimanapun cerdiknya orang menipu, kalau kau berpegang teguh pada pesan Eyang guru tak mungkin kotak itu jatuh pada orang! Apalagi urusan kotak itu hanya kau satu-satunya dari kelima murid Eyang guru yang dipercaya menyimpannya! Atau karena dia murid dari adik kandungmu hingga kau begitu gampang menyerah-kannya?!"

"Mayang! Kau jangan menduga yang tidak-tidak! Sudah kukatakan aku ditipu!" kata Dewa Sukma dengan suara sedikit keras.

"Aku tidak menduga buruk, Jalu Paksi. Tapi saat itu tidak ada orang lain yang melihat! Hanya kau dan orang berjuluk Malaikat Penggali Kubur. Jadi hanya kalian berdua yang tahu pasti apa yang terjadi!"

"Nada ucapanmu masih mencurigaiku!"

Ratu Malam tertawa pendek. "Terus terang, meski aku tak mendapat kepercayaan Eyang guru, tapi setidak-tidaknya aku punya kewajiban untuk ikut campur. Apakah salah jika muncul satu dugaan karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi?!"

"Mayang! Tak ada gunanya kita berdebat!"

"Lantas?!"

"Kita menemui Iblis Ompong, Gendeng Panuntun, dan Dewi Es!"

Untuk beberapa saat Ratu Malam tegak diam. Sepasang matanya memandang keluar gua. "Aku kini mengkhawatirkan pemuda itu! Jangan-jangan dia mendapat halangan sebelum berhasil menemukan penggalan peta itu!"

"Siapa namanya?" tanya Dewa Sukma seraya bangkit.

"Seperti ciri-ciri yang dikatakan Eyang guru, karena dia memiliki Pedang Tumpu! 131 maka rimba persilatan menggelarinya Pendekar Pedang Tumpul 131."

"Kalau begitu, hem...bBagaimana kalau kita berpencar, aku menemui Iblis Ompong, Gendeng Panuntun dan Dewi Es, sementara kau menyusur jalan mencari pemuda itu! Bukankah kau sedikit banyak tahu ke mana arah pemuda itu?"

Ratu Malam tampak berpikir. Lalu berpaling pada Dewa Sukma dan berkata. "Baik. Berhasil atau tidak setengah purnama di depan kau kutunggu di tempatku!"

Setelah berkata begitu, Ratu Malam melangkah ke arah mulut gua. Sejurus dia berhenti di mulut gua dan perhatikan mulut gua sebelah kiri yang porak-poranda. Nenek berjubah merah menyala ini terdengar bergumam tak jelas. Lalu menoleh ke arah Dewa Sukma.

Seakan dapat menangkap apa yang ada dalam benak Ratu Malam, Dewa Sukma segera berucap. "Jangan mengajak berdebat lagi. Mayang! Semuanya sudah terjadi!"

Ucapan Dewa Sukma belum selesai, Ratu Malam telah kembali berpaling keluar gua. Lalu sekali berkelebat, sosoknya lenyap dari pandangan kakak seperguruannya. Dewa Sukma menarik napas panjang. Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan gua yang berantakan. Kejap lain sosoknya melesat keluar dari gua!

********************

BAB 3

MATAHARI mulai menggelincir turun dari titik tengahnya. Satu sosok bayangan putih berkelebatan cepat laksana dikejar hantu gentayangan. Pada satu tempat si sosok hentikan larinya Kepalanya berputar dengan sepasang mata menyapu seantero tempat tak jauh dari tempatnya berdiri Ternyata dia berada di lereng sebuah bukit kecil.

"Hemm... Tempat ini agaknya aman..." gumam si sosok yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan berpakaian putih-putih dengan rambut sedikit acak-acakan dibalut ikat kepala yang juga berwarna putih.

Sang pemuda berpaling ke sebelah kanan, di mana pada bahu kanannya tampak sesosok tubuh. Setelah meyakinkan sekali lagi bahwa tempat di mana dia berada aman, sang pemuda perlahan-lahan turunkan sosok yang ada di bahunya.

Dihadapan si pemuda kini tampak telentang seorang gadis muda berwajah jelita mengenakan pakaian warna merah dengan rambut panjang hitam lebat yang dikuncir tinggi menggunakan ikat kepala warna putih. Hidungnya mancung dengan bulu mata lentik dan ditingkahi bibir membentuk bagus.

Perlahan-lahan si gadis buka kelopak matanya. Sejenak tampak rasa terkejut membayang pada raut wajahnya. Namun kejap kemudian berubah malah bibirnya sunggingkan senyum meski parasnya agak kemerahan.

"Pendekar 131... Terima kasih..." ucap si gadis dengan sepasang mata menatap tajam pada pemuda yang jongkok di sampingnya.

Si pemuda menggeleng pelan. "Dewi Seribu Bunga. Simpan dulu ucapan itu. Aku perlu memeriksa lukamu..."

Seperti dituturkan dalam episode Malaikat Penggali Kubur, saat terjadi pertemuan antara Pendekar 131 Joko Sableng dengan Ayu Laksmi tiba-tiba muncullah Dewi Seribu Bunga. Karena menuruti pesan gurunya Dewi Siluman yang harus menyingkirkan siapa saja yang bertemu di jalan dan diduga berat memburu Kitab Serat Biru, Ayu Laksmi segera lepaskan pukulan.

Karena Ayu Laksmi merasa geram dengan ucapan Dewi Seribu Bunga, gadis ini langsung lepaskan pukulan pertamanya pada Dewi Seribu Bunga. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga yang diam-diam merasa cemburu dengan Ayu Laksmi karena melihat gadis itu berdua-dua dengan pemuda yang diam-diam juga dirindukannya, tak tinggal diam. Akhirnya terjadilah bentrok.

Saat itulah muncul Wulandari, salah seorang saudara seperguruan Ayu Laksmi. Kedua gadis ini segera lepaskan pukulan bersama-sama pada Pendekar 131 yang saat itu menolong Dewi Seribu Bunga. Karena tak mau dirinya celaka juga untuk selamatkan Dewi Seribu Bunga, murid Pendeta Sinting segera pula menangkis dengan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Begitu bentrok pukulan terjadi, Pendekar 131 cepat menyahut sosok Dewi Seribu Bunga dan berkelebat tinggalkan tempat.

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala seraya bangkit. "Aku tak apa-apa... Maaf, aku mengganggu. Seharusnya aku tak muncul di tempat mana kau berada dengan gadis itu..." kata si gadis dengan sura agak tersendat sambil arahkan pandangannya pada jurusan lain.

"Dewi... Harap jangan menduga terlalu jauh. Dia..."

Belum habis kata-kata Pendekar 131, Dewi Seribu Bunga telah menukas. "Sebagai seorang gadis, aku tahu kenapa gadis berjubah biru itu mengucapkan kata-kata kasar padaku. Lebih dari itu dia menginginkan nyawaku!"

"Tidak hanya kau. Tapi dia juga menginginkan selembar nyawaku..."

Dewi Seribu Bunga sunggingkan senyum seraya tertawa perlahan. Kepalanya dipalingkan menghadap murid Pendeta Sinting. Menatap sejurus lalu berkata. "Itu karena kehadiranku di tempat itu dan karena kau menolongku."

Murid Pendeta Sinting balas menatap ke bola mata si gadis. Seraya ganti tersenyum dia berujar. "Dengar, Dewi! Aku memang dua kali bertemu dengan gadis itu. Namun sejauh ini aku belum tahu apa maksudnya! Yang jelas dia selalu menginginkan nyawaku!"

Dewi Seribu Bunga sedikit arahkan kepalanya ke samping. Tapi raut wajahnya masih membayangkan keraguan dengan ucapan yang baru saja didengarnya. Sejenak gadis berpakaian merah ini menarik napas dalam, lalu berkata pelan.

"Namun nada ucapannya sepertinya dia menyimpan sesuatu padamu..."

Joko tertawa membuat Dewi Seribu Bunga menoleh kembali dengan dahi mengernyit. Puas tertawa murid Pendeta Sinting ini segera berujar. "Dewi... Boleh saja kau menduga, tapi..." Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapannya mendadak terdengar orang melantunkan bait-bait syair.

Tataplah hari ini. Hari ini adalah kehidupan dari segala kehidupan. Hari kemarin tak lain hanyalah mimpi. Sedang hari esok adalah merupakan bayangan. Menatap hari ini, membuat hari kemarin berubah jadi mimpi indah.

Menatap hari ini, membuat hari esok berubah bayangan penuh harapan. Hari ini, petunjuk datang untuk menghadapi badai, keangkaramurkaan, dan kesombongan. Buatlah hari ini yang terindah dalam hidup.

Sebelum kita ditantang kelaliman orang-orang sesat. Sebelum kita turun ke dalam tanah. Dari tanah menjadi tanah, di bawah tanah kita terbaring. Tanpa anyelir, tanpa syair, dan tanpa akhir.


Joko dan Dewi Seribu Bunga untuk sesaat saling berpandangan satu sama lain. Namun murid Pendeta Sinting segera tengadahkan kepala.

"Hari ini petunjuk datang..." gumamnya dalam hati mengulangi bait-bait syair yang baru saja terdengar. "Hemm... Jangan-jangan syair tadi ada hubungannya dengan apa yang selama ini sedang kuhadapi. Petunjuk! Mungkin ada kaitannya dengan penggalan peta!"

"Dewi..." ucapnya setelah agak lama berpikir. "Tunggulah di sini. Aku akan melihat ke sana! Jangan pergi sebelum aku datang kembali. Aku tahu kau masih terluka. Gadis-gadis tadi tidak tertutup kemungkinan masih mencari kita. Kalau ada apa-apa cepat beri tanda!"

"Joko...!" seru Dewi Seribu Bunga dengan nada khawatir. Namun yang diteriaki sudah berkelebat ke arah puncak bukit dari mana suara syair terdengar. "Ah... Dia masih memperhatikan diriku. Tapi apakah perhatiannya itu hanya cuma perhatian? Apakah dia menyimpan rindu selama tidak berjumpa seperti apa yang kualami?"

Gadis berbaju merah murid Maut Mata Satu ini sejenak tengadahkan kepala memandang ke arah puncak bukit. "Aneh. Kenapa Pendekar 131 sepertinya tertarik dengan lantunan syair-syair itu. Menilik suaranya, orang yang perdengarkan syair adalah seorang perempuan. Hemmm... Apakah aku harus ikut ke sana? Gadis yang tadi menginginkan nyawanya adalah seorang perempuan. Lalu orang di atas sana juga perempuan. Jangan-jangan..."

Dewi Seribu Bunga sekali lagi tajamkan sepasang matanya memandang ke arah puncak bukit. Tapi karena bukit itu ditumbuhi pohon-pohon besar serta rimbun semak belukar, hingga meski gadis ini sampai pelototkan mata dan kepalanya berputar, dia tak bisa menangkap keadaan di puncak bukit.

Dan tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga, diam-diam sejak tadi sesosok tubuh tampak mendekam di balik sebuah pohon dengan sepasang mata tak berkedip memperhatikan ke arah Dewi Seribu Bunga. "Gadis beruntung..." gumam orang di balik pohon pelan. "Mendapat perhatian dari seorang pemuda yang bukan hanya tampan namun juga berbudi. Seandainya aku bukan..." gumam orang di balik pohon terputus.

Sepasang matanya yang ternyata ada di balik cadar berlobang kecil-kecil membelalak dengan dahi mengernyit. Menatap lurus ke arah mana Dewi Seribu Bunga tegak berdiri dengan wajah dibalut kebimbangan.

Di depan sana, Dewi Seribu Bunga yang diliputi keragu-raguan dan kecemasan tersurut mundur satu langkah ketika tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan tegak dengan sikap menghadang lima langkah di hadapannya! Mungkin karena terkejut dengan kedatangan orang apalagi baru saja bentrok dengan Ayu Laksmi dan Wulandari, tanpa melihat siapa adanya orang, gadis berpakaian merah ini cepat angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan seraya berteriak menegur.

"Jangan berani berbuat macam-macam atau kuputus kepalamu!"

Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga tak membuat gerakan. Sebaliknya dia perdengarkan tawa pendek sambil alihkan pandangan. Namun jelas jika wajahnya berubah bahkan kedua tangannya terlihat mengepal keluarkan suara berkeretekan.

Mendadak Dewi Seribu Bunga turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya membelalak menyipit. Tanpa pikir panjang tiba-tiba si gadis membuat gerakan berkelebat ke depan menghambur pada orang seraya menjura dalam-dalam.

"Guru..."

Terdengar dengusan keras. Tanpa memandang pada Dewi Seribu Bunga orang yang dipanggil guru ini membentak keras. "Larasati! Kau benar-benar murid tak tahu diuntung! Apa kau lupa akan ucapanku tempo hari, hah?!"

"Maafkan, Guru..."

Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga berpaling. Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat besar dilapis kulit tipis dan pucat. Rambutnya putih dan dikuncir ke belakang. Raut wajahnya hanya tampak samar-samar karena sebagian wajah itu tertutup jambang, kumis dan jenggot lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang berwarna kuning. Matanya yang hanya sebelah, semen-tara sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah kulit bundar yang dikaitkan dengan tali ke belakang kepalanya membuat kakek ini tambah angker.

"Aku tanya padamu. Apa kau lupa dengan ucapanku tempo hari! Jawab!" bentak si kakek bermata satu yang bukan lain adalah seorang tokoh dan momok rimba persilatan yang tak asing lagi di kalangan dunia persilatan. Yakni seorang tokoh yang bergelar Maut Mata Satu.

Tentang Maut Mata Satu, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Ratu Pemikat.

Dewi Seribu Bunga untuk beberapa saat tak juga buka mulut memberi jawaban. Tapi tatkala Maut Mata Satu perdengarkan lagi dengusan keras, si gadis cepat angkat bicara meski dengan kepala menunduk. "Aku tidak lupa dengan ucapan Guru...!”

"Hemm... Lantas kenapa kau berkeliaran di tempat ini, hah?! Apa yang kau cari?! Jawab cepat!"

"Maaf, Guru. Selama kepergianmu, aku selalu cemas akan keselamatanmu. Apalagi kau tak juga kunjung kembali..."

"Teruskan kata-katamu. Tapi ingat. Sekali tak masuk akal jangan kira aku enggan menampar mulutmu!" sela Maut Mata Satu.

"Guru. Apa maksudmu?"

"Sejak kita gagal mendapatkan Pedang Tumpul 131 dan kembali ke Teluk Panarukan, kulihat sikapmu berubah! Kau sering menyendiri dan termenung! Aku menduga bukan keselamatanku yang membuatmu cemas dan meninggalkan Teluk Panarukan. Ada hal lain lebih dari itu! Jangan mendustaiku, Larasati!"

Larasati alias Dewi Seribu Bunga parasnya berubah. Dadanya berdebar keras. Dia tampak menunduk lebih dalam. Diam-diam gadis ini berkata dalam hati. "Aku tak boleh mengatakannya. Guru pasti tidak menyukai pemuda itu! Dan aku juga tidak boleh mengatakan jika pemuda itu ada di sini. Tapi bagaimana kalau tiba-tiba Pendekar 131 muncul? Ah... Ini pasti akan membuatku celaka! Lebih-lebih Pendekar 131. Aku harus..."

"Eh. Kenapa kau diam?! Apa jawabmu dengan ucapanku tadi, heh?!" kata Maut Mata Satu dengan suara masih keras memutus kata hati Dewi Seribu Bunga.

Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. Menatap lekat-lekat pada gurunya lalu berkata. "Guru. Kau telah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri. Apa gunanya berkata dusta padamu?"

Maut Mata Satu tertawa pelan. "Larasati! Perubahan sikapmu tak bisa menipu pandanganku! Tapi. Hemmm... Aku tanya padamu, siapa saja yang sempat kau temui sejak kau meninggalkan Teluk Pa-narukan?!"

Sesaat pandangan Dewi Seribu Bunga melirik ke arah puncak bukit. Namun kali ini si gadis coba menindih perasaan agar raut kecemasan tak membayang di air mukanya. "Aku hanya sempat jumpa dengan dua orang gadis. Mereka tak sebutkan siapa adanya. Tapi yang membuatku heran, mereka sepertinya ingin membunuhku!"

"Selain dua gadis itu?!"

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Hanya mereka yang sempat kutemui!"

"Pemuda itu?!" tanya Maut Mata Satu.

Meski Dewi Seribu Bunga sudah tegarkan hati, namun saat gurunya ajukan tanya tentang pemuda yang dimaksud bukan lain Pendekar Pedang Tumpul 131, mau tak mau membuat gadis berpakaian merah ini terkesiap kaget.

"Kau sempat jumpa dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 bukan?!" Maut Mata Satu ulangi tanyanya.

"Tidak!" kata Dewi Seribu Bunga dengan suara bergetar agar keras. "Hanya..."

"Katakan! Kenapa kau putus kata-katamu?!" sahut Maut Mata Satu.

"Aku menangkap kelebatan tubuhnya saat aku bentrok dengan dua gadis itu! Dia menuju arah selatan!"

"Bagus! Kau sebelah sana, aku lewat sini!" kata Maut Mata Satu seraya arahkan telunjuk tangannya. "Kita bertemu sebelum petang!"

"Aku belum mengerti maksud Guru...!"

Maut Mata Satu pelototkan matanya yang hanya sebelah. "Kejar dia! Ingat ucapanku tempo hari. Rebut pedangnya dengan cara apa pun! Dengar?!"

Meski dengan berat akhirnya kepala Dewi Seribu Bunga membuat gerakan mengangguk. Setelah melirik sejurus ke arah puncak bukit, Dewi Seribu Bunga menjura. "Aku berangkat sekarang, Guru..."

Maut Mata Satu menyeringai. "Ingat! Jika kejadian dahulu terulang lagi, bukan saja tak kuizinkan kau tinggalkan Teluk Panarukan, tapi kau akan tinggalkan dunia ini selamanya!"

Dada Dewi Seribu Bunga membuncah dengan berbagai perasaan mendengar ucapan gurunya. Namun karena berpikir tak ada gunanya berdebat mencari perkara, akhirnya gadis ini segera berkelebat tinggalkan iereng bukit menuju arah selatan seperti yang ditunjuk Maut Mata Satu.

"Heemmm... Anak itu tampak sangat cemas. Berulangkali kulihat matanya memandang ke arah puncak bukit..." desis Maut Mata Satu begitu sosok Dewi Seribu Bunga telah lenyap. "Jangan-jangan dia masih menyembunyikan sesuatu padaku..."

Maut Mata Satu untuk beberapa lama tidak segera beranjak dari tempatnya. Malah seraya bergumam tak jelas sebelah matanya mendelik angker memandang ke arah puncak bukit. Malah kini perlahan-lahan dia melangkah menuju puncak bukit.

Orang di balik pohon pentangkan sepasang matanya dari balik cadar. "Jelas orang ini punya niat jahat! Gadis itu juga! Hemm... Meski aku belum tahu apa sebenarnya yang terjadi di puncak bukit, tapi aku harus mencegah orang bermata satu itu!" kata orang yang mendekam di balik pohon dalam hati seraya alirkan tenaga dalam siapkan satu pukulan. Dia segera bergerak hendak bangkit keluar dari balik pohon. Tapi gerakannya tertahan malah dia rundukkan kembali tubuhnya ke balik pohon.

Di depan sana, Maut Mata Satu tiba-tiba hentikan langkah. Satu matanya memperhatikan berkeliling lalu ke puncak bukit. "Sialan! Kenapa aku turuti rasa curiga yang belum pasti? Larasati mengatakan pemuda itu menuju arah selatan. Hemm... Meski urusan Kitab Serat Biru kali ini lebih penting, tapi adalah satu kebanggaan tersendiri jika Pedang Tumpul 131 berhasil jatuh ke tanganku!" Berpikir sampai di situ, Maut Mata Satu segera putar diri.

Hal inilah yang membuat sosok di balik pohon urungkan niat untuk keluar. Malah makin rundukkan diri ketika mata Maut Mata Satu mengedar berkeliling. "Hemm... Jangan-jangan dia tahu dan urungkan niat menuju puncak bukit!" kata sosok di balik pohon dalam hati.

Tapi sosok ini segera menarik napas lega ketika di depan sana dilihatnya Maut Mata Satu membuat gerakan berputar lalu berkelebat tinggalkan lereng bukit. "Aku akan menunggu sampai Pendekar 131 turun. Aku harus mengatakan padanya siapa sebenarnya gadis berbaju merah itu! Gadis liar! Berkedok cinta untuk satu tujuan busuk! Tak akan kubiarkan jika aku bertemu dengannya lagi!"

Sosok ini segera bangkit dan keluar dari balik pohon. Ternyata dia adalah seorang perempuan mengenakan pakaian panjang. Wajahnya mengenakan cadar berlobang-lobang kecil, sementara di punggungnya tampak punuk besar!

********************

BAB 4

PENDEKAR 131 terus berkelebat ke puncak bukit. Namun mendadak murid Pendeta Sinting ini hentikan larinya dengan kening berkerut dan kepala berputar. Karena nyanyian bait-bait syair itu terdengar kembali. Namun bukan karena suara itu Joko Sableng hentikan langkah. Melainkan suara bait-bait syair itu laksana datang dari arah sebelah kanan lamping bukit. Namun kejap kemudian beralih ke lamping bukit sebelah kiri. Saat lain laksana terdengar dari puncak bukit.

"Heran. Jika bukan orang berkepandaian tinggi, tak mungkin bisa lakukan hal seperti ini. Aku akan terus menuju puncak. Dari sebelah sana mungkin agak mudah menentukan di mana beradanya orang itu..." Joko segera teruskan langkah mendaki ke puncak bukit. Saat itulah kembali terdengar lantunan bait-bait syair. Tapi kali ini jelas datangnya dari arah puncak bukit.

Hari penentuan telah datang. Hilangkan rasa ragu dan bimbang. Di hati yang bersih dan cemerlang. Di sana petunjuk itu akan menjelang

Gelombang arakan awan hitam telah menghadang. Laskar maut telah memekik meradang Hanya dengan kuasa yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sang penentu dapat membuat jalan terang.


Untuk beberapa lama, Joko simak baik-baik bait syair yang didengarnya. "Apakah ini betul-betul ada kaitannya dengan petunjuk penggalan peta itu? Hemm... Aku belum sempat melihat penggalan peta yang diberikan orang tua yang sebutkan dirinya Gendeng Panun-tun. Jangan-jangan aku salah jalan dan tertipu..."

Murid Pendeta Sinting segera ambil gulungan kulit dari balik pakaiannya. Gulungan kulit berwarna coklat dari Ratu Malam, iblis Ompong, serta Gendeng Panuntun itu segera dibuka dan diletakkan bersambung satu sama lain. Tiba-tiba Joko mendelik besar dengan putar kepalanya berkeliling.

"Astaga! Peta terakhir ini menunjukkan tempat ini! Jadi lantunan syair tadi betul-betul ada kaitannya dengan penggalan peta ini!"

Joko cepat masukkan kembali tiga gulungan kulit di balik pakaiannya. Lalu berkelebat ke arah puncak bukit. Begitu sampai puncak bukit murid Pendeta Sinting ini merasakan keanehan.

Puncak bukit yang tidak berapa luas itu terasa dingin luar biasa. Malah sempat membuat sepasang kaki Joko bergetar menggigil. Rahangnya pun mengatup rapat. Dan sepasang matanya menangkap kepulan asap di seluruh puncak bukit!

Dan ketika sepasang matanya terbiasa dengan asap yang menyelimuti puncak bukit, murid Pendeta Sinting ini makin membeliak. Ternyata rimbun dedaunan di puncak bukit bukanlah dedaunan biasa, melainkan gumpalan es! Selagi dada Joko disesaki keheranan, tiba-tiba terdengar suara teguran.

"Anak manusia! Harap sebutkan nama dan gelarmu!"

Sesaat Joko terkesiap. Karena dia belum bisa melihat orang yang keluarkan suara teguran, sepasang matanya dibeliakkan jelalatan menembusi kepulan asap.

"Anak manusia!" kembali satu teguran terdengar. "Harap suka jawab pertanyaanku atau lekas tinggalkan puncak bukit!"

"Aku... Aku Joko Sableng..."

Dari tengah kepulan asap puncak bukit terdengar gumaman ulangi nama Joko. Lalu terdengar suara agak keras. "Kau belum sebutkan siapa gelarmu!"

Seraya menahan rasa dingin, Joko gelengkan kepala, lalu berujar. "Aku tidak punya gelar. Hanya orang-orang kampung memberi julukan padaku Pendekar Pedang Tumpul 131. Padahal..."

"Adakah kau ke sini membawa bekal?" suara di tengah kepulan asap menukas terlebih dahulu sebelum ucapan Joko selesai.

"Aku tak mengerti bekal yang kau maksud!" ujar murid Pendeta Sinting setelah agak lama terdiam.

"Melihat keadaanmu, tentu kau telah mengadakan perjalanan cukup jauh. Adakah puncak bukit ini jadi tujuanmu ataukah kau hanya anak manusia yang tersesat jalan?!"

"Dikatakan tujuan bisa, namun dikatakan tersesat jalan juga boleh!"

"Hemm... Bisa jelaskan padaku apa maksud ucapanmu itu?!"

"Sebenarnya aku sampai di tempat ini secara kebetulan. Namun ternyata setelah kulihat dengan seksama, tempat inilah yang harus kutuju!"

"Apa tujuanmu ke tempat ini?!"

"Aku mendapat tugas dari Eyang guru Pendeta Sinting serta Manusia Dewa untuk menyelidik ke Pulau Biru yang diduga keras menyimpan Kitab Serat Biru yang sekarang dibicarakan dan diburu beberapa tokoh rimba persilatan. Baik Eyang guru maupun Manusia Dewa tak memberi petunjuk apa-apa mengenai Pulau Biru, hingga akhirnya aku berjalan menurutkan langkahan kaki seraya tanya sana tanya sini. Tapi pada satu tempat aku bertemu dengan seorang nenek yang terakhir kuketahui bergelar Ratu Malam. Dari padanya aku mendapatkan penggalan peta. Lalu ketika aku teruskan perjalanan, aku berjumpa dengan seorang tokoh yang berjuluk Iblis Ompong. Dari tokoh ini aku juga mendapatkan penggalan peta. Terakhir kali, aku bersua dengan orang aneh yang sebutkan diri Gendeng Panuntun. Dari orang ini, aku juga mendapatkan penggalan peta. Saat aku mendengar bait-bait syair dari puncak bukit ini seakan aku merasa bahwa bait-bait itu ada kaitannya dengan penggalan peta yang ada padaku. Dan ketika penggalan-penggalan peta itu kusambung, ternyata berakhir di puncak bukit ini."

"Aku tanya!" kata suara dari tengah kepulan asap dingin. "Mengapa kau bersedia mengemban tugas yang bukan hanya berat namun satu-satunya nyawamu juga akan jadi taruhannya?!"

"Menurut penuturan Eyang dan Manusia Dewa, Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab sakti. Jika kitab itu sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab, maka rimba persilatan akan ditimpa malapetaka besar! Demi keselamatan rimba persilatan, aku bersedia mengemban tugas dan aku rela satu-satunya nyawa milikku dipertaruhkan!"

Dari tengah kepulan asap dingin terdengar lantunan bait-bait syair yang tadi didengar Joko. Setelah lantunan syair itu selesai, terdengar suara.

"Kemarilah, Anak muda!" Ucapan orang belum selesai, tiba-tiba dari lamping bukit sebelah kanan menyambar gelombang angin pelan. Anehnya kepulan asap dingin di puncak bukit laksana dihantam gelombang luar biasa dahsyat dan seketika ambyar lalu membumbung ke angkasa!

Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta Sinting melihat seorang perempuan yang wajahnya hanya tampak samar-samar, karena dari atas kepalanya tampak curahan air rintik-rintik yang menyelimuti sekujur tubuhnya! Anehnya, baik wajah maupun jubah putih yang dikenakan serta tubuhnya tidak basah! Rambutnya panjang bergerai hitam dan lebat. Perempuan ini duduk bersila di atas sebuah altar batu. Curahan air dari atas kepala si perempuan begitu sampai di altar batu langsung meresap, dan sesaat kemudian lenyap. Hingga altar batu yang diduduki si perempuan tetap kering!

"Anak muda! Aku tidak suka bicara berulang-ulang! Harap segera turuti ucapanku atau putar diri dan turun bukit!" Tiba-tiba si perempuan buka mulut.

Murid Pendeta Sinting sekali lagi pentangkan sepasang matanya. Perlahan-lahan dia rasakan hawa dingin di sekitar puncak bukit berganti hangat. Dan dengan benak masih diliputi rasa heran, Joko perlahan maju mendekat ke arah si perempuan.

Lima langkah dari tempat si perempuan, Joko Sableng hentikan langkah. Kini agak jelas raut wajah si perempuan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berparas cantik jelita meski umurnya tidak muda lagi. Sepasang matanya lembut ditingkah bulu mata lentik. Hidungnya sedikit mancung dengan bi-Wr merah.

"Pendekar 131! Aku telah lama menunggu kedatanganmu! Tiap hari aku selalu lantunkan bait-bait syair yang tadi kau dengar. Memang banyak anak manusia yang datang ke tempat ini. Namun mereka tidak membawa bekal seperti yang kau miliki. Dan sejak hari ini aku sudah tidak akan lagi lantunkan syair itu!"

"Berarti apakah kau salah seorang saudara seperguruan Ratu Malam?" tanya Joko dengan mata memandang tak berkedip.

Si perempuan anggukkan kepala. "Betul! Akulah yang termuda di antara lima saudara seperguruan!"

"Boleh aku tahu siapa namamu?!"

"Anak muda! Untuk namaku, biarlah hanya empat saudara seperguruanku yang tahu..."

Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya seraya menggeleng perlahan. "Lalu harus bagaimana aku memanggilmu?!"

"Selama ini orang-orang memanggilku Dewi Es!"

Hening sejenak. Tiba-tiba si perempuan berjubah putih yang mengaku bernama Dewi Es ulurkan kedua tangannya ke depan. "Tunjukkan padaku barang yang kau miliki dari tiga orang yang kau sebutkan tadi!"

Joko terlihat ragu-ragu. Lenyapnya Pedang Tumpul 131 dari tangannya membuat murid Pendeta Sinting ini selalu dihantui perasaan khawatir pada setiap orang yang baru dikenalnya.

"Pendekar 131! Harap ingat peringatanku. Aku tak suka bicara berulang kali!" kata Dewi Es tetap dengan kedua tangan terulur ke depan.

Dengan sikap waspada, perlahan-lahan Joko keluarkan tiga gulungan kulit dari balik pakaiannya. Dan dengan kerahkan tenaga dalam untuk menjaga segala kemungkinan, murid Pendeta Sinting melangkah maju. Di depan sana, Dewi Es perdengarkan suara tawa perlahan.

"Tak perlu siapkan pukulan 'Lembur Kuning', Anak muda! Dan simpan kembali kulit itu!"

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget mendapati orang tahu dirinya siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Dengan air muka berubah, Joko cepat masukkan kembali gulungan kulit ke balik pakaiannya dan beringsut mundur. Tapi Joko terkesiap. Sepasang kakinya laksana dipantek tak bisa digerakkan meski dia coba dengan kerahkan tenaga dalamnya.

"Dewi! Apa yang kau lakukan? Jangan coba-coba memuslihatiku!" teriak Joko dengan angkat kepalanya menatap tajam pada Dewi Es.

Dewi Es tidak membuka mulut. Malah kini bangkit lalu melangkah ke arah Joko. Dua langkah di hadapan Pendekar 131, Dewi Es hentikan langkah. Kedua tangannya kembali menjulur ke depan. Menangkap gelagat tidak baik, murid Pendeta Sinting cepat membuka gerakan dengan angkat kedua tangannya. Namun darah Joko laksana sirap. Kedua tangannya kejang kaku tak bisa digerakkan!

"Celaka jika sampai perempuan ini mengambil gulungan kulit itu!” keluh Joko dalam hati. Diam-diam dia coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun aliran tenaga dalamnya laksana beku tak bisa diarahkan! "Ilmu apa yang dimiliki perempuan ini?! Tangan dan kakiku kejang kaku. Tenaga dalamku membeku! Benar-benar celaka!"

"Dewi!" teriak Joko Sableng. Namun sepasang mata Joko jadi membelalak besar karena suaranya tidak terdengar! Suara itu seperti tersekat di tenggo-rokan!

"Jika dia berani bertindak macam-macam, tak akan kuampuni nyawanya!" kata Joko dalam hati dengan rahang mengembung dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak pertanda menindih hawa marah.

Kedua tangan Dewi Es terus menjulur ke depan. Lalu menangkap kedua telapak tangan Joko. Sepasang mata sang Dewi mendadak terpejam rapat. Belum tahu apa yang hendak diperbuat Dewi Es. Pendekar 131 merasakan kedua telapak tangannya di-aliri hawa luar biasa dingin hingga tubuhnya bergetar menggigil. Ketika Joko melirik, nyawanya laksana terbang.

Ternyata sekujur tubuhnya perlahan-lahan diselimuti cairan membeku! Bahkan sedikit demi sedikit sepasang matanya terasa berat. Murid Pendeta Sinting merasakan matanya dialiri cairan, hingga mau tak mau dia segera pejamkan sepasang matanya. Bersamaan dengan terpejamnya mata, murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya laksana ditimpa beban berat yang sangat dingin. Lalu dia rasakan tubuhnya terhuyung dan kakinya melipat. Kejap lain tubuhnya jatuh berdebam ke atas tanah!

Dewi Es tarik kedua tangannya dari telapak tangan Joko. Dan sekali bergerak tubuhnya melesat mundur dan tahu-tahu telah duduk bersila kembali di atas batu altar. Sesaat kedua tangannya bergerak ke atas mengusap keringat yang membasahi wajah dan lehernya. Lalu menarik napas dalam-dalam dengan sepasang mata memandang tajam ke arah sosok Joko yang telentang.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewi Es tengadahkan kepala. Kedua tangannya mendorong ke depan ke arah Joko. Dari telapak tangan sang Dewi muncrat cairan bening namun mengepulkan asap.

"Buusss!" Gumpalan es yang membungkus sekujur tubuh Pendekar 131 mendadak mencair dan murid Pendeta Sinting ini rasakan hawa hangat menjalari tubuh. Hingga dia perlahan-lahan buka kelopak matanya. Joko sejurus terkesima. Pandangan matanya terasa tambah tajam Dan saat dia bergerak bangkit, dia juga tersentak. Gerakannya begitu ringan dan cepat!

"Jangan-jangan ini karena..." Joko segera arahkan pandangannya pada Dewi Es. Perempuan berjubah putih ini tampak tetap duduk bersila dengan sekujur tubuh laksana dicurahi rintik-rintik air.

"Pendekar 131!" ucap Dewi Es sebelum murid Pendeta Sinting sempat buka mulut. "Dalam dirimu sekarang ada satu kekuatan. Jika kau kerahkan tenaga dalam pada pangkal lenganmu lalu kedua tanganmu kau dorong menghantam, maka dari kedua tanganmu akan keluar satu gelombang kekuatan yang luar biasa dingin. Jika kau memegang sesuatu, maka barang yang kau pegang akan membatu! Jika tenaga dalam kau kerahkan pada dada, maka pukulan lawan akan mental atau setidak-tidaknya meski mengena namun tidak akan mencederaimu! Kau sekarang telah memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'!"

Entah karena terpesona dengan ucapan orang, hingga untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting Ini masih tegak terpaku dengan mata tak berkedip menatap pada Dewi Es. Begitu tersadar Pendekar 131 segera menjura dalam-dalam.

"Maaf atas dugaanku yang terlalu jauh, Dewi..."

Dewi Es gelengkan kepala. "Kita bukan sebagai murid dan guru. Harap kau tidak membuatku malu dengan peradatan begitu rupa!"

Murid Pendeta Sinting tarik pulang tubuhnya dan angkat kepalanya. "Terima kasih, Dewi..."

"Pendekar 131! Perjalananmu sudah dekat. Namun justru di situlah tantangan dan rintangan makin berat. Terimalah penggalan peta terakhir ini!" kata Dewi Es seraya ulurkan tangan kanannya yang memegang gulungan kulit.

Joko melangkah maju. Lalu menyambuti gulungan kulit dari tangan Dewi Es. Begitu gulungan kulit berada di tangan Joko, mendadak puncak bukit diselimuti asap. Namun kali ini Joko tidak merasakan dingin, hanya sepasang matanya tidak bisa lagi menangkap sosok Dewi Es!

"Selamat jalan, Pendekar 131!"

Joko pentangkan sepasang matanya menembusi asap yang menyungkup puncak bukit, tapi tetap saja matanya tidak bisa menangkap sosok Dewi Es. Hingga pada akhirnya murid Pendeta Sinting ini hanya menjura seraya berkata.

"Terima kasih, Dewi... Aku berangkat meneruskan perjalanan!"

Habis berkata begitu, Joko putar diri lalu berkelebat menuruni puncak bukit. Mendadak murid Pendeta Sinting ini hentikan langkah. Kepalanya berputar dengan mata memandang sekeliling. Di kanan kirinya tampak berjajar pohon-pohon besar dan rangasan semak belukar lebat.

"Hemmm... Dewi Es mengatakanbyaku memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'. Aku ingin buktikan bagaimana pukulan 'Sukma Es' itu!" kata Joko dalam hati lalu kerahkan tenaga dalam pada pangkal lengan tangan kanan kirinya. Kejap kemudian kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah sebatang pohon besar.

"Wuuuttt! Wuuttt!"

Dari kedua tangan Joko menyambar gelombang angin dahsyat yang taburkan hawa luar biasa dingin. Lalu terdengar suara berderak. Kejap lain pohon besar di hadapan Joko tumbang dengan batang hancur berantakan dibungkus gumpalan-gumpalan es!

Murid Pendeta Sinting jadi terperangah sendiri. Saat Itulah tiba-tiba dia teringat pada Dewi Seribu Bunga yang ditinggal di lereng bukit. Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat kembali menuruni bukit. Sampai di tempat tadi Dewi Seribu Bunga ditinggalkan, murid Pendeta Sinting jadi tidak enak ketika dia tidak melihat si gadis.

"Ke mana dia? Jangan-jangan dua gadis yang mengejar itu menemukannya. Atau barangkali..."

"Pendekar 131...!" satu suara membuat murid Pendeta Sinting putuskan kata hatinya dan cepat putar tubuh ke arah datangnya suara.

"Kau..." gumam Joko memandang lurus ke depan di mana di bawah sebatang pohon agak besar tegak berdiri seorang perempuan yang wajahnya ditutup menggunakan cadar berlobang-lobang kecil dan di punggungnya terlihat punuk besar.

BAB 5

"Heran. Bagaimana perempuan ini bisa berada di sini? Mungkinkah dia mengikuti langkahku? Melihat sikapnya sepertinya dia sengaja menungguku! Tapi ke mana gerangan Dewi Seribu Bunga?"

"Pendekar 131! Kau mencari atau menunggu seseorang?" tanya perempuan berpunuk.

"Hemm.. Perempuan ini sengaja menekan nada suaranya. Siapa sebenarnya perempuan ini? Tempo hari dia menolongku dan tidak mau sebutkan diri. Sekarang muncul lagi tapi bersamaan itu Dewi Seribu Bunga lenyap! Jangan-jangan perempuan ini..."

"Kau tak mau jawab pertanyaanku..." ujar perempuan berpunuk menukas kata hati Joko. "Mungkin keberadaanku tidak berkenan di hatimu."

Wajah di balik cadar perempuan berpunuk sejurus terlihat berubah. Setelah sepasang mata dari balik cadar menatap tajam, sosok perempuan berpunuk itu putar dirinya setengah lingkaran lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Tunggu!" teriak murid Pendeta Sinting membuat kelebatan perempuan berpunuk tertahan.

"Aku memang mencari seseorang!" ujar Joko. "Seorang gadis mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya dikuncir..."

"Kenapa kau mencari disini?!" tanya perempuan berpunuk sambil hadapkan kembali sosoknya ke arah Joko.

"Hemm... Dia tadi kutinggalkan ditempat ini sendirian..."

Joko tidak teruskan keterangannya karena perempuan berpunuk terdengar tertawa perlahan lalu berkata. "Tentu gadis berbaju merah berambut dikuncir itu seorang gadis jelita. Kau terlalu sembrono tinggalkan seorang gadis jelita sendirian di tempat sunyi seperti ini!"

"Dia masih dalam keadaan terluka. Aku coba mencari daun-daunan untuk obat..." kata Joko sengaja sembunyikan apa sebenarnya yang dialami di puncak bukit.

"Pemuda ini pandai juga berkata bohong. Aku tadi jelas mendengar suara orang lantunkan bait-bait syair dari puncak bukit. Tapi... Itu bukan hal penting bagiku..." Perempuan berpunuk diam-diam membatin.

"Harap kau tunjukkan di mana gadis itu!" Mendadak Joko berujar dengan tatapan menyelidik ke arah perempuan berpunuk. "Aku tadi pergi tidak lama. Kalau sekarang tiba-tiba dia tidak ada pasti ada orang yang usil!"

Air muka di balik cadar tampak tegang. "Nada bicaramu sepertinya menuduh padaku!"

"Di sini tidak ada orang lain! Jadi harap jangan membuat urusan meski aku pernah berhutang budi padamu!"

"Pendekar 131! Jangan sebut-sebut lagi hutang budi! Dan harap jangan pula menduga yang bukan-bukan!"

"Jika tidak mau dituduh, katakan di mana gadis itu berada!"

"Kau tetap menuduhku menyimpan gadismu itu!" kata perempuan berpunuk dengan suara agak keras. "Dengar, Pendekar 131! Tidak ada gunanya aku menyimpan seorang gadis!"

Joko Sableng tegak dengan mulut terkancing diam. Di depan sana perempuan berpunuk tampak tengadahkan sedikit kepalanya. Dari mulutnya terdengar ucapan tak jelas. Tak selang lama, si perempuan berpunuk luruskan kepalanya menghadap Pendekar 131.

"Maaf. Mungkin ucapanku terlalu keras dan kasar. Tapi aku memang tidak sembunyikan gadis berbaju merah itu. Aku..." Perempuan berpunuk tak lanjutkan ucapannya, hanya kepalanya terlihat menggeleng.

Melihat perubahan sikap si perempuan cepat-cepat Pendekar 131 menyahut. "Ah. Seharusnya aku yang minta maaf. Dan terlalu lancang menuduhmu yang bukan-bukan..."

Sepasang mata di balik cadar berlobang-lobang kecil menatap tajam pada Pendekar 131. "Haruskah kukatakan apa yang kudengar dan kulihat tentang gadis berbaju itu? Kalau dia tidak mempercayaiku? Ah... Percaya atau tidak dia harus tahu! Ini demi keselamatan dirinya meski aku sendiri tahu bahwa Pedang Tumpul 131 saat ini berada di tangan Dewi Siluman..." pikir perempuan berpunuk lalu berkata.

"Pendekar 131. Waktu aku sampai di sini, aku memang melihat seorang gadis berbaju merah. Namun tiba-tiba saja muncul seorang kakek mengenakan rompi panjang warna kuning. Dari percakapan mereka berdua, aku menangkap gelagat bahwa gadis itu punya niat tersembunyi padamu!"

Untuk sesaat murid Pendeta Sinting tampak terkejut mendengar ucapan si perempuan. "Kakek berompi kuning. Hemm... Siapa? Dewi Seribu Bunga menyimpan niat tersembunyi? Ah. Apakah mungkin?"

Melihat bayang kebimbangan di wajah si pemuda, perempuan berpunuk segera lanjutkan ucapannya. "Aku tak berharap kau percaya begitu saja ucapanku! Namun setidaknya kau harus berhati-hati! Jika kau ingin menyusul, dia pergi menuju arah selatan. Selamat tinggal...!"

"Tunggu!" kembali Joko Sableng berteriak menahan kelebatan perempuan berpunuk. Tapi kali ini si perempuan teruskan kelebatan tubuhnya dan kejap kemudian sosoknya lenyap dari pandangan Pendekar 131.

"Apakah ucapannya tidak mengada-ada? Tapi apakah mungkin Dewi Seribu Bunga betul-betul menyimpan sesuatu padaku? Apakah urusan Pedang Tumpul 131 seperti halnya beberapa waktu yang lalu? Hemm... Siapa pula kakek yang disebutkan perempuan tadi? Ah. Aku jadi bingung! Tapi ada baiknya aku turuti ucapan perempuan tadi. Siapa tahu Dewi Seribu Bunga memang hendak teruskan urusannya yang gagal pada beberapa waktu yang silam..."

Seperti dituturkan dalam episode Ratu Pemikat, Dewi Seribu Bunga mendapat tugas dari gurunya si Maut Mata Satu untuk merebut Pedang Tumpul 131. Namun pada akhirnya Dewi Seribu Bunga gagal melaksanakan tugas gurunya bahkan kalau saja tidak ditolong Pendekar 131, mungkin malapetaka akan menimpa si gadis.

Memikir sampai di situ, murid Pendeta Sinting segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika dari arah puncak bukit terdengar lantunan bait-bait syair.

Manusia tak akan bisa lari menghindar dari belenggu asmara jika telah mengejar. Pada sang rembulan segalanya di tumpahkan. Pada gelombang laut semuanya dicurahkan. Cinta suci tidak mengharap imbalan. Meski nyawa harus lepas dari badan

Joko Sableng arahkan kepalanya ke puncak bukit. Sepasang matanya menatap tajam dengan kening mengernyit seolah berusaha menembus rimbun dedaunan dan semak belukar serta mengetahui arti bait-bait syair yang baru didengar.

"Hemm... Belum bisa kuselami arti bait-bait syair tadi..." gumam Joko seraya terus memandang ke puncak bukit. Dia seolah menunggu orang lantunkan syair kembali. Tapi hingga sepasang kakinya terasa pegal, murid Pendeta Sinting tidak lagi mendengar lantunan syair.

"Heemmm... Sudah waktunya aku teruskan perjalanan..." Joko Sableng segera keluarkan gulungan kulit yang baru saja diberikan Dewi Es. Setelah menyimak sebentar dia masukkan kembali gulungan kulit ke balik pakaiannya dan segera berkelebat tinggalkan lereng bukit.

********************

BAB 6

PEMUDA berjubah putih itu berkelebat laksana angin. Beberapa saat lalu dia berada di kawasan hutan kecil, namun dalam beberapa saat kemudian sosoknya lenyap dan tahu-tahu telah berada di ujung hutan yang jarang ditumbuhi semak belukar. Kejap kemudian sosoknya sudah jauh meninggalkan kawasan hutan kecil. Ketika memasuki kawasan yang tanahnya agak berpasir, si pemuda baru memperlambat larinya. Malah dia tampak mendekati sebatang pohon besar lalu bersandar punggung duduk berselonjor kaki.

"Heemmm... Menurut peta, kawasan ini sudah tidak jauh lagi dari Pulau Biru!" gumam si pemuda dengan kepala berputar dan sepasang matanya yang tajam liar memperhatikan. "Mudah-mudahan peta ini bukan palsu! Jika nanti terbukti palsu, aku tak segan kembali ke Watugedeg dan membungkam mulut Dewa Sukma!"

Dari balik jubahnya si pemuda keluarkan gulungan kain putih. Sepasang matanya kini tertuju pada kain yang dibentangkan di depan matanya. Kejap kemudian tampak kepalanya mengangguk dengan bibir sunggingkan senyum aneh.

"Kitab Serat Biru! Hemm... Menurut Eyang guru adalah kitab maha sakti. Yang berhasil mendapatkannya pasti akan jadi raja di raja dunia persilatan! Sebuah cita-cita yang sekian tahun kupendam!" Pemuda yang bersandar pada batang pohon kepalkan kedua tangannya.

Saat itulah mendadak si pemuda dikejutkan dengan terdengarnya suara orang tertawa mengekeh panjang. Makin lama suara kekehan tawa makin keras pertanda orang makin dekat. Kertakkan rahang, si pemuda cepat selinapkan kain putih ke balik jubahnya, lalu dengan mata mendelik angker kepalanya disentakkan ke samping kanan, dari arah mana suara tawa orang terdengar.

"Akan kubuat mulutnya pecah jika orang gila ini tak mau hentikan ulahnya!" desis si pemuda dengan sepasang mata tak berkesip memandang ke depan.

Dari tempatnya duduk, si pemuda melihat seorang bertubuh besar mengenakan pakaian gom-brong duduk bersandar pada batu yang tidak begitu besar. Kepalanya mendongak sementara tangan kanannya mengusap-usap perutnya, di mana dari bagian yang diusap-usap itu terlihat cahaya memantul.

Si pemuda kernyitkan kening dengan mata makin terpentang besar. Orang yang duduk bersandar pada batu tampak sudah kancingkan mulut, namun suara tawanya masih juga terdengar keras! Pertanda siapa pun dia orangnya, pasti memiliki kepan-daian tinggi. Mungkin karena terburu geram merasa terganggu dengan suara tawa, si pemuda sampai berpikir sejauh itu! Malah dengan suara keras dia membentak.

"Hai! Tutup mulutmu atau kuhancurkan dan kubetot lidahmu!"

Orang bertubuh besar luruskan kepala ke arah si pemuda. Sepasang matanya untuk beberapa lama mengerjap. Ternyata bola mata orang ini hanya tampak putih, pertanda jika orang ini buta.

"Ah... Rupanya ada seorang sobat ditempat ini. Maaf jika aku mengganggu..." Habis berkata begitu, orang bertubuh besar dan matanya buta ini buka mulut perdengarkan tawa!

"Sialan! Orang ini sengaja bertingkah atau benar-benar orang gila?! Kalau orang gila kenapa mengerti ucapan orang?!" Si pemuda menduga-duga dengan mata tak berkesip memperhatikan.

Sementara orang bertubuh besar terus buka mulut perdengarkan tawa, membuat si pemuda makin geram dan untuk kedua kalinya si pemuda berteriak keras.

"Hai! Aku tidak main-main! Kau dengar ucapanku, tutup mulutmu dan minggat dari sini atau mulutmu kubuat tidak bisa tertawa lagi!"

Orang di depan sana putuskan suara tawanya. Namun cuma sekejap. Kejap lain mulutnya kembali membuka dan perdengarkan tawa! Membuat si pemuda putus kesabarannya. Seraya kertakkan rahang pemuda ini bergerak bangkit dan sekali lompat, dia telah tegak lima langkah di hadapan orang yang tertawa.

"Orang ini sepertinya bukan orang gila! Dan pasti dia sengaja mengumbar tawa!" batin si pemuda dengan perhatikan lebih seksama pada orang di hadapannya yang tetap buka mulut tertawa. Namun kali ini suara tawanya makin lama makin lemah. Tapi pada saat bersamaan, si pemuda tersentak. Tanah di mana dia berpijak terasa bergetar!

"Orang muda!" Mendadak orang bertubuh besar bermata buta di hadapan si pemuda berucap. "Mungkin kau hendak teruskan perjalanan, silakan! Aku pun akan teruskan langkahan kaki. Jika ada umur panjang kelak aku ingin berkata sepatah kata denganmu..."

Selesai berkata begitu, orang bertubuh besar yang mengenakan pakaian gombrong besar berwarna hijau ini tertatih-tatih bangkit. Setelah membungkuk sejenak kepalanya tengadah lalu mulai melangkah dengan tangan kanan mengusap-usap pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan perutnya yang ternyata adalah sebuah cermin bulat.

"Orang aneh. Meski sepasang matanya buta, namun dia tahu bahwa aku adalah orang muda. Lalu dia juga seolah tahu bahwa aku hendak mengadakan perjalanan! Hemm... Siapa orang tua ini? Jangan-jangan dia seorang..." Si pemuda cepat berkelebat lalu tegak menghadang langkah si orang bertubuh besar dan bermata buta.

"Ada apa Anak muda? Bukankah kau tadi memerintahku minggat dari tempat ini?!"

"Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!" si pemuda balik bertanya.

Tetap dengan kepala tengadah, orang di hadapan si pemuda berucap. "Anak muda. Sebenarnya aku ingin berbincang denganmu pada suatu waktu kelak, bukan sekarang. Tapi karena kau telah ajukan tanya, tidak baik berdiam diri..."

Sejurus orang itu hentikan ucapannya. Kepalanya kini lurus menghadap ke arah si pemuda. Sepasang matanya mengerjap. Lalu dia melanjutkan. "Orang-orang memanggilku Gendeng Panuntun. Orang tua yang melangkah turutkan kemana kaki membawa dan berteman dengan sebuah cermin... Anak muda... Kau telah tahu siapa aku, tidak keberatan sebutkan dirimu?"

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" jawab si pemuda seraya perhatikan cermin bulat di depan perut orang bertubuh besar bermata buta yang bukan lain memang Gendeng Panuntun adanya.

"Ah. Nama bagus. Tentu kau banyak mendapat rezeki bagus pula! Tapi..." Gendeng Panuntun menggantung ucapannya, membuat si pemuda yang bukan lain memang Malaikat Penggali Kubur cepat menyahut.

"Tapi apa?!"

"Aku melihat kabut menghalangi langkahmu!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek dengan bibir menyeringai. Seraya arahkan pandangannya pada jurusan lain dia berkata. "Orang buta kadang-kadang ucapannya aneh. Aku yang tidak buta saja tidak melihat kabut, bagaimana mungkin orang tua seperti mu melihat kabut?!"

Gendeng Panuntun balik tertawa pendek. "Anak muda. Bentuk mata kita berbeda. Jadi jangan heran jika pandangan kita juga jadi berbeda! Kau bisa melihat apa yang tak bisa kulihat, tapi kau tak bisa melihat apa yang bisa kulihat! Dan jangan lupa, penglihatan orang sepertiku kadangkala lebih tajam dari penglihatan orang bermata biasa..."

"Katakan padaku, kabut apa yang menghalang langkahku!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Anak muda. Seperti ucapanku tadi, namamu bagus, rezekimu juga bagus. Tapi karena ada penghalang, pada akhirnya kau tidak akan mendapat apa-apa!"

Malaikat Penggali Kubur terdiam beberapa saat mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Entah karena apa, mendadak pemuda ini merasa dadanya berdebar. Namun pemuda ini tidak begitu saja perturutkan ucapan orang. Seraya tersenyum aneh, dia berkata dengan nada sedikit keras.

"Orang tua! Kau mengatakan rezekiku bagus. Coba katakan, rezeki apa yang kau maksud!"

Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepala. "Tidak Anak muda. Aku tidak mau usil beberkan rezeki orang. Apalagi rezeki itu (tak layak didengar orang lain."

Malaikat Penggali Kubur makin tidak enak perasaan. Namun karena penasaran dia segera berucap. "Orang tua! Kalau kau tidak mau disebut pembual besar, katakan apa yang kau maksud dengan rezeki bagus itu! Di sini tidak ada orang lain, jadi jangan berdalih!"

Kembali kepala Gendeng Panuntun bergerak menggeleng. "Anak muda. Tidak baik membuka aib orang. Aku malu, apalagi nanti jika kau mendengarnya! Harap jangan memaksakan diri ingin tahu. Karena kau telah tahu!"

"Orang tua!" kata MalaikatbPenggali Kubur membentak. "Jangan membuat kesabaranku habis. Kau tak perlu malu. Aku juga tak merasa malu mendengarnya! Lekas katakan!"

"Hemm... kau mau pegang kata-katamu, Anak muda?"

"Jangan banyak mulut lagi!" sentak Maiaikat Penggali Kubur tak sabar.

"Baiklah. Aku hanya turuti kemauanmu..." kata Gendeng Panuntun pada akhirnya. Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin, lalu mulutnya membuka berucap. "Kau baru saja mendapat rezeki bagus, karena mendapatkan sesuatu yang tersimpan selama puluhan tahun lamanya. Lebih dari itu, sesuatu itu menunjukkan tempat yang saat ini banyak dibicarakan kahngan orang-orang yang menamakan diri sebagai orang persilatan. Hanya karena kau mendapatkannya dengan cara tidak wajar, kelak aku menduga kau tidak akan mendapatkan apa-apa! Tapi Ingat. Itu bukan karena perbuatanmu, melainkan karena kau bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkannya..."

Paras Malaikat Penggali Kubur kontan berubah. Matanya terpentang angker dengan rahang sedikit terangkat. "Gila! Siapa sebenarnya orang buta ini? Semua ucapannya benar! Apakah dugaannya juga akan terbukti?" Selagi Malaikat Penggali Kubur tegak dengan dada dibungkus berbagai tanya, Gendeng Panuntun telah kembali buka mulut.

"Anak muda. Kalau boleh kusarankan. Kembalikan saja barang tipuan itu! Dan lebih baik jangan teruskan perjalanan sia-sia ini!"

Dada Malaikat Penggali Kubur menggemuruh mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Kalau saja perturutkan gemuruhnya hawa marah yang menggelegak, ingin dia bungkam mulut orang di hadapannya, namun Malaikat Penggali Kubur adalah pemuda licik dan tidak mau begitu saja percaya pada ucapan orang. Diam-diam pemuda murid Bayu Bajra ini membatin.

"Orang buta ini bilang aku bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkan. Pasti yang dimaksud adalah mendapatkan Kitab Serat Biru! Hemm. Berarti peta ini asli adanya dan Kitab Serat Biru benar-benar ada! Lebih dari itu, pasti ada orang yang ditentukan mendapatkan kitab itu! Aku harus tahu siapa adanya orang itu! Orang ini tentu tahu!"

Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur lalu berujar. "Orang tua. Ucapanmu memang ada benarnya. Sebaiknya aku memang mengembalikan barang yang ada padaku ini, juga memutuskan perjalanan sampai di sini"

"Ah, aku gembira mendengar ucapanmu, Anak muda"

"Orang tua. Sebelum aku kembalikan barang ini, lalu pergi tak meneruskan perjalanan yang kau sebut sia-sia ini, maukah kau jawab beberapa tanyaku?"

"Hemm..." Gendeng Panuntun bergumam. "Sebenarnya... Tapi tak apalah. Silakan tanya, tapi aku tidak menjamin bisa jawab semua pertanyaanmu, Anak muda!"

"Kau tadi sebutkan aku bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkannya. Apakah yang kau maksud Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan dalam Pulau Biru? Jika aku bukan orang yang ditentukan, pasti ada orang lain yang ditentukan mendapatkannya. Siapa dia?!"

Sesaat Gendeng Panuntun tampak terkejut dengan pertanyaan Malaikat Penggali Kubur. Namun kejap kemudian dia tertawa perlahan dan berujar. "Aku tidak dapat memastikan berupa apa yang tak bisa kau dapatkan itu! Tentang siapa orang yang kelak ditentukan mendapatkannya, aku juga kesulitan untuk mengetahuinya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Kalau kau tidak dapat menjawab tanyaku, percuma aku turuti saranmu! Aku malah curiga padamu, jangan-jangan kau punya urusan yang sama denganku, lalu berpura-pura jadi tukang bual untuk melapangkan jalanmu!"

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. "Anak muda! Aku orang buta. Segala yang ada di muka bumi seindah dan semahal apa pun harganya tidak akan ada artinya! Kau paham yang kumaksud bukan?!"

Malaikat Penggali Kubur sengatkan sepasang matanya menusuk tajam pada kedua mata Gendeng Panuntun yang berwarna putih seolah ingin meyakinkan bahwa orang di hadapannya benar-benar buta.

"Nah, Anak muda. Kita telah banyak bicara. Sudah saatnya aku lanjutkan langkahan kaki ini! Selamat jalan..."

Gendeng Panuntun menyisi ke samping, lalu melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Tapi ternyata Malaikat Penggali Kubur tidak tinggal diam. Sebelum Gendeng Panuntun teruskan langkah, dia melompat dan lagi-lagi tegak dengan sikap menghadang.

"Ada apalagi, Anak muda?" tanya Gendeng Panuntun sambil hentikan langkah dan kibas-kibaskan pakaiannya yang gombrong.

Malaikat Penggali Kubur kepalkan kedua tangannya dan rahangnya tampak mengembang dan cepat kerahkan tenaga dalam, karena bersamaan dengan kibasan tangan Gendeng Panuntun, pemuda murid Bayu Bajra ini rasakan sambaran angin deras!

"Orang tua! Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi sebutkan dulu siapa orangnya yang kelak mendapatkan kitab itu!"

"Jangan memaksakan hati, Anak Muda..."

"Dengar, Orang tua! Kau mau sebutkan atau nyawamu akan dikubur di sini!" hardik Malaikat Penggali Kubur.

Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau orang muda yang keras kepala. Baiklah. Tentang siapa orang yang kelak mendapatkannya, menurut dugaanku adalah seorang anak manusia berkepandaian tinggi dan pukulan sakti yang kau miliki dapat diatasinya! Orang itulah yang ditentukan mewarisi apa yang terpendam dalam Pulau Biru!"

Malaikat Penggali Kubur tegak di atas tanah dengan sepasang mata berkilat-kilat. "Jahanam! Siapa yang bisa mengatasi pukulan sakti 'Tegala Surya'-ku?" desis si pemuda dengan kepala mendongak dan dahi mengernyit.

Saat itulah terdengar orang tertawa panjang. Malaikat Penggali Kubur cepat sentakkan kepalanya ke depan. Pemuda ini melengak. Gendeng Panuntun ternyata sudah berada jauh dari tempatnya berdiri, dan melangkah perlahan-lahan menuju arah selatan.

"Hem... Pasti orang itu bukan orang yang bisa dipandang enteng... Kalau maubingin kuremukkan mulutnya sekarang juga. Tapi siapa tahu kelak orang seperti dia kubutuhkan..." gumam Malaikat Penggali Kubur seraya kembali tengadah.

Saat itulah mendadak suara tawa Gendeng Panuntun diputus laksana direnggut setan! Malaikat Penggali Kubur cepat arahkan kepalanya kembali. Untuk kedua kalinya dia terkejut. Sosok Gendeng Panuntun ternyata sudah lenyap! Belum hilang rasa kejut Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba satu deruan keras terdengar menyambar dari samping. Di lain kejap satu gelombang angin melanggar ganas ke arahnya!

BAB 7

SAMBIL kertakkan rahang, cepat Malaikat Penggali Kubur menyingkir dengan melompat ke samping, lalu berpaling ke arah asal datangnya sambaran angin. Sepasang matanya mendelik menyipit, lalu bibirnya sunggingkan senyum aneh. Enam tombak dari tempatnya berdiri murid Bayu Bajra melihat seorang gadis berwajah cantik mengenakan jubah warna kuning tegak dengan sepasang mata memperhatikan tak berkesip ke arahnya.

Sejenak Malaikat Penggali Kubur perhatikan tampang si gadis. Lalu kepalanya mendongak. "Lima belas tahun lamanya dilatih guru hanya berteman gelombang pantai. Hem... Rezekiku memang bagus. Tanpa bersusah payah mencari, muncul gadis cantik yang tentu membawa kehangatan..." desisnya dengan bibir tersenyum.

Namun kejap kemudian senyumnya pupus saat dia teringat ucapan Gendeng Panuntun. "Orang tua itu tidak mengatakan siapa orangnya yang kelak bakal mendapatkan Kitab Serat Biru. Tapi dia mengatakan bahwa orang itu dapat mengatasi pukulanku. Jangan-jangan gadis ini orang yang dikatakan orangtua itu... Hemm... Harus kucoba, apakah dia dapat menangkis pukulan sakti 'Telaga Surya'-ku!"

Berpikir sampai di sana, Malaikat Penggali Kubur segera melangkah mendekat. Sepasang matanya tak berkesip perhatikan si gadis dari bawah hingga atas. "Gadis cantik!" teriak Malaikat Penggali Kubur. "Katakan siapa kau!"

Gadis berjubah kuning tunjukkan tampang angker tatkala mendengar dirinya disebut gadis cantik. Seraya tertawa pendek, dia berucap dengan suara keras. "Siapa aku, kau tak perlu tahu! Yang jelas aku butuhkan selembar nyawamu!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak-gelak. "Rupanya kau belum tahu siapa yang tegak di hadapanmu! Ha ha ha...! Kau butuh nyawaku, heemm... Bagaimana kalau sebelum kuserahkan nyawaku padamu, serahkan dulu tubuhmu padaku?!"

Paras wajah gadis berjubah kuning yang bukan lain adalah Wulandari, salah seorang murid Dewi Siluman berubah mengelam. Sepasang matanya membeliak. Seperti dituturkan, Dewi Siluman memerintahkan pada ketiga muridnya untuk meneruskan perjalanan menuju arah selatan. Dan harus menyingkirkan siapa saja yang ditemui di tengah jalan.

Wulandari yang selain itu mendapat tugas mengikuti gerak-gerik Sitoresmi pada satu tempat kehilangan jejak Sitoresmi. Hingga akhirnya dia melanjutkan perjalanan seraya terus mencari Sitoresmi. Saat itulah dia mendengar suara orang tertawa. Cepat dia berkelebat ke arah datangnya suara. Ketika sampai yang terlihat adalah pemuda berjubah putih.

Wulandari yang tak sabaran segera saja melompat ke depan begitu mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur. Serentak dia buat putaran dengan kaki kiri terpacak sebagai tumpuan tubuh, sedangkan kaki kanan lepaskan satu tendangan keras. Satu gelombang angin menderu mendahului kaki yang menendang, pertanda tendangan itu dilepas dengan tenaga dalam kuat!

Malaikat Penggali Kubur tidak membuat gerakan menghindar, bahkan tidak bergerak menangkis ketika tendangan si gadis berada dihadapannya, hingga mau tak mau tendangan kaki kanan Wulandari menghantam bahu kirinya!

"Bukkk!" Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya bergoyang-goyang dan mundur setengah langkah. Kejap lain tubuhnya telah tegak diam.

"Hemm... Tenaga dalamnya tidak seberapa! Tapi siapa tahu dia masih menyimpan tenaga sesungguhnya..." gumam Malaikat Penggali Kubur dalam hati. Dia memang sengaja tidak membuat gerakan menghindar atau menangkis tendangan yang dilepas gadis berjubah kuning. Dia ingin tahu sampai di mana tenaga dalam yang dimiliki si gadis. Dari sana dia mungkin akan segera bisa menduga apakah orang kelak dapat mengatasi pukulan saktinya Telaga Surya'.

"Gadis sialan!" bentak Malaikat Penggali Kubur dengan bibir tersenyum aneh. "Kau telah berlaku kurang ajar pada Malaikat Penggali Kubur. Kalau tadi aku hanya inginkan tubuhmu, sekarang nyawamu sekalian!"

Entah karena sadar bahwa pemuda yang dihadapi memiliki kepandaian yang tidak sembarangan, Wulandari segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Dan serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan.

"Wuuttt! Wuuuttt!" Gelombang kabut berwarna kuning tampak melesat ke arah Malaikat Penggali Kubur dengan hamparkan hawa luar biasa panas. Di depan sana, Malaikat Penggali Kubur angkat tangan kirinya yang mengepal. Lalu sekonyong-konyong tangan kiri itu bergerak memukul ke depan.

"Beettt!" Sekejap tampak sinar terang. Kejap lain terdengar deru hebat yang disusul dengan menggebraknya gelombang angin luar biasa dahsyat. Kabut dan hawa panas pukulan Wulandari tersapu, sesaat kemudian terdengar ledakan keras mengguncang tempat itu. Sosok Wulandari tampak terhuyung-huyung dan tersapu mundur sampai satu tombak. Parasnya berubah pucat dengan mulut mengatup rapat. Tubuhnya bergetar keras sementara jubah yang dikenakannya berkibar-kibar.

Di seberang, Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum seringai. Sosoknya hanya mundur satu langkah. Dari bentrok pukulan tadi, murid Bayu Bajra ini sudah dapat menebak jika gadis berjubah kuning bukankan orang yang ditentukan mendapatkan Kitab Serat Biru, karena si gadis tidak dapat menahas pukulan yang dilancarkan, padahal pukulan itu masih dilancarkan dengan tangan kiri dan tenaga dalam belum setengahnya.

Di lain pihak, Wulandari tampak kertakkan rahang. Setelah dapat kuasai diri dia cepat arahkan tenaga dalam pada kedua matanya. Didahului bentakan keras membahana, sepasang kakinya bergerak menghentak tanah. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya yang terpentang besar melesat sinar berwarna kuning.

Malaikat Penggali Kubur terperangah kaget. Tanah dihadapan si gadis tampak membentuk jalur panjang dan rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus bergerak cepat ke arahnya!

"Gadis sialan! Benar-benar minta mampus!" teriak Malaikat Penggali Kubur lalu mundur dua langkah. Kedua tangannya dikepalkan lalu dipukulkan ke depan. Sejurus dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tampak sinar terang, lalu terdengar deru dahsyat yang kemudian disusul dengan menghamparnya gelombang angin luar biasa kencang.

Wulandari yang saat itu lepaskan kilatan 'Sinar Setan' dari kedua matanya perdengarkan seruan tertahan. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang. Namun kejap kemudian sosoknya tersapu mental ke belakang lalu jatuh telentang dengan mulut keluarkan darah.

Gadis berbaju kuning salah seorang murid Dewi Siluman ini cepat bergerak bangkit. Tapi begitu tegak, tubuhnya limbung dengan kedua kaki melipat. Dan tak lama kemudian sosoknya jatuh terduduk! Paras wajah gadis ini semakin pias. Sementara mulutnya makin banyak keluarkan darah pertanda dia terluka bagian dalam. Dan ketika Wulandari meneliti, gadis ini tersentak. Jubah kuningnya robek besar di bagian depan dan hangus!

Di seberang, meski sosok Wulandari mencelat mental terhantam pukulan 'Telaga Surya', namun kilatan Sinar Setan yang dilepaskannya melesat ke atas tanah dan terus melabrak ke arah Malaikat Penggali Kubur. Jalur rengkahan tanah bergerak cepat laksana alunan gelombang ombak. Dan saat sosok Wulandari mental, rengkahan tanah telah sampai ke Malaikat Penggali Kubur dan perdengarkan gelegar hebat!

Malaikat Penggali Kubur segera berkelebat selamatkan diri. Tapi tak urung kakinya tersambar pukulan Wulandari. Malaikat Penggali Kubur terlihat sunggingkan senyum tatkala kakinya tak mengalami cedera. Tapi kejap kemudian dia merasakan perubahan pada kedua kakinya. Hawa luar biasa panas perlahan-lahan merasuki tubuh bermula dari kedua kakinya. Ketika dia meneliti kembali, sepasang matanya membelalak besar. Ternyata kedua kakinya mulai mengembung dan panas laksana dipanggang bara!

"Benar-benar gadis keparat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Lalu cepat kerahkan tenaga dalam dan menotok jalur darah pada kedua kakinya. Perlahan-lahan gembungan pada kedua kakinya mengempis meski rasa panas masih terasa. Tatkala Malaikat Penggali Kubur kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi cedera pada kakinya, di seberang sana Wulandari cepat lemparkan sesuatu ke udara. Di atas sana mendadak tampak sinar terang berwarna kuning.

"Apa yang dilakukan gadis jahanam itu?!" desis Malaikat Penggali Kubur sambil angkat kepalanya. "Hem... Mungkin itu satu isyarat menunjukkan di mana dia berada!"

Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum aneh. Lalu gerakkan tubuh. Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan kepala tengadah lima langkah di hadapan Wulandari! Di hadapannya, Wulandari yang baru saja memberi isyarat segera kerahkan sisa tenaga dalamnya.

"Kalau mulutmu tak bicara muluk dihadapan Malaikat Penggali Kubur, tentu kau tak akan mengalami nasib buruk!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu luruskan kepalanya ke arah Wulandari.

"Jangan kira aku telah kalah!" sentak Wulandari dengan mata menatap tajam.

Malaikat Penggali Kubur tertawa gelak-gelak. "Aku ingin tahu, apakah ucapanmu benar!"

Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak terangkat ke atas membuat Wulandari katupkan mulut rapat-rapat dengan kuduk merinding. Gadis ini sadar, sisa tenaga dalamnya tidak mungkin bisa menahan pukulan si pemuda apalagi dirinya telah terluka. Tapi gadis berjubah kuning ini tidak mau begitu saja menyerah. Saat dilihatnya tangan kanan Malaikat Penggali Kubur terangkat, dia sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'.

Namun karena keadaannya udah terluka, lesatan kabut yang keluar dari kedua tangannya kalah cepat dengan gelombang angin dahsyat yang menggebrak dari tangan kanan Malaikat Penggali Kubur, membuat Wulandari hanya bisa berteriak tanpa bisa membuat gerakan menghindar!

Sesaat lagi gelombang angin dahsyat pukulan Malaikat Penggali Kubur melabrak sosok Wulandari yang tak bisa menghindar, mendadak terdengar satu teriakan yang disusul dengan terdengarnya deruan keras.

Malaikat Penggali Kubur merasakan ada sambaran angin deras memangkas pukulannya, tidak saja membuat gelombang angin pukulannya melenceng namun juga sempat membuat sosoknya terjajar dua langkah!

Selagi Malaikat Penggali Kubur hendak berpaling ke arah datangnya gelombang angin yang memangkas pukulannya, terdengar lagi satu bentakan lalu terdengar orang bantingkan kaki ke atas tanah. Kejap lain tiba-tiba satu sinar biru menggebrak ke arahnya dengan didahului rengkahnya tanah di hadapan si pemuda murid Bayu Bajra ini!

Tahu gelagat buruk, Malaikat Penggali Kubur tak mau lagi bertindak ayal. Sebelum rengkahan tanah sampai, dia cepat jatuhkan diri bergulingan. Pada gulingan kelima, kedua tangannya segera lepaskan pukulan. Sinar terang yang hanya sekejap tampak berkiblat. Lalu disusul menggebraknya gelombang angin dahsyat, pertanda Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.

Tiba-tiba dari arah seberang terdengar orang memekik. Lalu tampak satu sosok mental sejauh dua tombak ke belakang dan bergedebukan di atas tanah. Malaikat Penggali Kubur cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat ke depan. Di depan sana satu sosok biru tampak menggeliat. Lalu bergerak-gerak akan bangkit. Tapi gerakan tubuhnya tertahan tatkala mendadak satu telapak kaki dari sosok berjubah putih menekan bagian perutnya, membuat sosok biru tak mampu berbuat banyak.

Orang yang menekankan satu kakinya ke perut sosok biru yang bukan lain adalah Malaikat Penggali Kubur sejenak pentangkan sepasang matanya perhatikan orang di bawahnya yang tak bisa bergerak. Ternyata orang itu adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah besar warna biru. Rambutnya sebatas bahu dengan mata bulat.

"Hem... Melihat wajah dan pakaian yang dikenakan, berat dugaan dia masih ada hubungan dengan gadis berjubah kuning itu!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu berpaling ke samping.

Sejarak lima belas langkah dari tempatnya terlihat Wulandari tergeletak dengan napas megap-megap dan mulut keluarkan erangan. Gadis berjubah kuning ini sosoknya mencelat saat pukulan orang dari arah samping sempat menyambar tubuhnya.

"Keparat! Angkat kakimu!" Mendadak ada suara dari bawah, membuat Malaikat Penggali Kubur menoleh namun tak juga angkat kakinya dari perut sigadis.

“Hmm... Kukira kau sudah mampus tak bisa bicara” ucap Malaikat Penggali Kubur seraya sunggingkan senyum.

Gadis berjubah biru yang perutnya ditekan kaki Malaikat Penggali Kubur, dan bukan lain adalah Ayu Laksmi angkat tangan kanan kirinya. Serta-merta dia pukulkan kedua tangannya ke arah kaki Malaikat Penggali Kubur. Tapi setengah jalan, Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan dua kali.

"Bukkk! Bukkk!" Kedua tangan Ayu Laksmi mental balik menghantam tanah, dan bersamaan dengan itu sosoknya mencelat lalu terkapar lima langkah dari tempatnya semula.

Wulandari yang telah bisa bangkit duduk segera keluarkan pekikan saat melihat sosok Ayu Laksmi mencelat terkena tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur.

"Setan alas! Siapa kau?!" teriak Ayu Laksmi begitu bangkit duduk seraya pelototkan mata ke arah Malaikat Penggali Kubur.

Yang ditanya menjawab dengan tertawa bergelak dan melangkah mendekat, membuat Ayu Laksmi cepat salurkan tenaga dalamnya. Namun gadis berjubah biru yang juga salah satu murid Dewi Siluman ini tersentak. Kedua tangannya seraya lunglai. Dan ketika dia meneliti ternyata kedua tangannya telah berubah warna menjadi kehitaman!

Dua langkah di hadapan Ayu Laksmi, Malaikat Penggali Kubur berhenti. Menatapi sejenak sekujur tubuh si gadis, lalu berujar dengan senyum aneh. "Bila ingin tahu siapa yang berdiri di hadapanmu, nanti bisa kau tanyakan pada gadis sialan berjubah kuning itu. Kau dengar?! Sekarang aku tanya siapa kau?!"

"Aku tak mau jawab pertanyaanmu!" jawab Ayu Laksmi dengan balas menatap.

"Baik. Kau dan gadis berjubah kuning itu sama sialnya! Kau tak mau beri keterangan, berarti minta dipercepat untuk mampus!" Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur angkat kedua tangannya. "Masih ada kesempatan untuk bicara!" ujar Malaikat Penggali Kubur.

"Jangan kira aku takut dengan gertakanmu!" kata Ayu Laksmi dengan salurkan tenaga dalamnya pada sepasang matanya siap lepaskan pukulan 'Sinar Setan'. Namun gadis ini tampak bingung, karena jika hendak lepaskan pukulan sakti 'Sinar Setan' terlebih dahulu sepasang kakinya harus menggebrak tanah. Sedangkan dia kini dalam posisi duduk.

Sementara dihadapannya, pelipis kanan kiri Malaikat Penggali Kubur bergerak-gerak, rahangnya mengembang dan terangkat pertanda amarahnya telah sampai pada puncak.

"Jahanam! Kenapa hanya berani turunkan tangan maut pada orang tak berdaya?!" Tiba-tiba dari arah samping terdengar ucapan.

Malaikat Penggali Kubur tengadahkan kepala. Jari telunjuknya bergerak lurus ke arah Wulandari yang baru saja keluarkan ucapan. "Tutup mulutmu, Gadis Sialan! Habis gadis ini, baru kau menyusul!"

Habis berucap begitu tangannya yang menunjuk pada Wulandari cepat ditarik pulang. Sosoknya lantas berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya telah dua langkah di belakang Ayu Laksmi. Seraya menyeringai, kedua tangannya bergerak lepaskan jotosan ke arah kepala Ayu Laksmi

Wulandari perdengarkan seruan tertahan. Sementara Ayu Laksmi yang kebingungan untuk lepaskan pukulan 'Sinar Setan' segera gulingkan tubuh alamatkan diri. Namun gadis berjubah biru ini jadi tercekat, karena baru saja hendak bangkit, dua tangan telah melabrak ganas ke arah kepalanya! Namun gadis ini tak mau menyerah begitu saja, dia segera pula angkat kedua tangannya.

Namun gerakan kedua tangan Ayu Laksmi tertahan tatkala dari arah samping melabrak sinar hitam pekat yang kemudian disusul dengan datangnya gelombang angin dahsyat dari seberang. Sinar hitam dan gelombang yang datang dari dua arah ini langsung memangkas gerakan kedua lengan Malaikat Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur tarik kedua tangannya, lalu membuat gerakan berputar sambil melompat mundur. Belum sampai kakinya menginjak tanah, kedua tangannya telah lepaskan pukulan!

"Bummm! Buummm!" Dua ledakan keras segera mengguncang tempat itu tatkala pukulan Malaikat Penggali Kubur bentrok dengan dua pukulan yang tadi memangkas gerakan tangannya yang hendak menghantam rengkah kepala Ayu Laksmi.

BAB 8

TANAH terlihat muncrat menghalangi pandangan. Dan samar-samar di antara pekatnya suasana taburan tanah, sosok Ayu Laksmi yang dekat dengan terjadinya ledakan mencelat lalu Jatuh bergulingan. Sedangkan sosok Malaikat Penggali Kubur terjajar lima langkah. Terhuyung-huyung sebentar, namun cepat membuat gerakan melejit satu tombak ke udara dan melayang turun dengan kaki terpentang dan sosok tegak!

Pada saat bersamaan, terdengar suara bergemeretakan dan hentakan kaki kuda. Ketika Malaikat Penggali Kubur berpaling, tampak sebuah kereta bergerak ke arahnya. Di atas bangku kusir tampak duduk seorang kakek berwajah pucat dan tirus. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang besar dan dalam. Rambutnya putih panjang disanggul ke atas.

Kakek kusir ini mengenakan jubah besar berwarna hitam. Sebelah tangannya tampak memegang tali kekang kuda penarik kereta sedangkan tangan sebelahnya lagi masuk ke dalam saku jubahnya. Di belakang tempat duduk kusir tampak sebuah peti persegi panjang dari kayu berwarna putih mengkilat, membuat Malaikat Penggali Kubur yang tegak mengawasi pentangkan sepasang matanya. Bukan pada peti di bagian belakang karena melainkan pada sosok yang tegak dengan kepala tengadah dan tangan merangkap di depan dada di atas peti!

Sosok yang tegak tengadah di atas peti adalah seorang perempuan berambut pirang. Mengenakan jubeh panjang sebatas lutut. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada terlihat dibungkus dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam. Perempuan ini tak bisa diduga umurnya, karena mengenakan cadar hitam menutupi wajahnya. Dari wajah yang tertutup cadar itu yang tampak ha-nyalah sepasang matanya yang tajam menyengat dan berbulu lentik!

"Heran. Suara gemeretak roda kereta dan ladam kaki kuda sebelumnya tidak terdengar. Tapi tiba-tiba muncul di sini! Dan pasti yang memangkas pukul-anku tadi adalah salah seorang atau kedua-duanya orang di atas kereta itu! Hemm... Siapa mereka ini? Apakah masih ada sangkut-pautnya dengan kedua gadis itu?!"

Diam-diam Malaikat Penggali Kubur menduga-duga dengan sepasang mata tak beranjak memandangi kedua orang silih berganti di atas kerela. "Hemmm... Di tempat ini ternyata telah banyak manusia berkeliaran. Pasti mereka memburu Kitab Herat Biru! Seandainya orang tua bermata buta itu sebutkan dengan jelas manusia yang kelak mendapatkan kitab itu, aku tidak usah bersusah-susah mencari tahu dengan lepaskan pukulan ‘Telaga Surya'! Tapi apa boleh buat. Aku harus coba semua orang yang kutemui dengan pukulan 'Telaga Surya', karena hanya orang yang dapat menahan pukulanku Itulah ciri orang yang kelak mendapatkan kitab itu!"

"Orang di atas kereta!" teriak Malaikat Penggali Kubur setelah untuk beberapa saat diam berpikir. “Sebutkan diri kalian! Juga katakan apa sangkut-paut kalian dengan dua gadis sialan itu!"

"Anak muda!" Yang menjawab adalah kakek yang duduk di bangku kusir kereta. "Kau belum layak tahu siapa kami! Juga tak pantas tahu apa sangkut-paut kami dengan kedua gadis itu! Yang layak dan pantas bagimu menerima kematian!"

Meski nada suara si kakek terdengar pelan, namun mampu menusuk gendang telinga! Hal ini menyadarkan pemuda murid Bayu Bajra ini bahwa orang di atas kereta memiliki tenaga dalam tinggi. Namun karena merasa dirinya berbekal ilmu kepandaian, juga karena ingin coba orang apakah mampu menangkis pukulan 'Telaga Surya'-nya untuk mencari tahu orang yang kelak mendapatkan Kitab Serat Biru, Malaikat Penggali Kubur tidak unjukkan paras takut. Dia tetap memandang tajam tak berkeslp, malah kini bibirnya sunggingkan senyum aneh!

"Kakek!" kata Malaikat Penggali Kubur. "Sebelum bicara soal kematian, pasang mata baik-baik dan lihat dulu apa akibatnya jika ngomong sembarangan di hadapanku!"

Sambil berkata, telunjuk Malaikat Penggali Kubur mengarah silih berganti pada sosok Ayu Laksmi dan Wulandari yang masih tak bisa bangkit berdiri.

Kakek di atas kereta tertawa panjang. "Anak muda! Buka matamu besar-besar! Kami bukan mereka!"

"Ki Buyut!" Tiba-tiba terdengar orang di belakang kakek kusir berucap. "Jangan terlalu banyak bicara!"

Sebelum ucapan orang perempuan berjubah dan bercadar hitam yang bukan lain adalah Dewi Siluman selesai, kakek kusir yang dipanggil Ki Buyut dan memang Ki Buyut Pagar Alam adanya lepaskan tali kekang kereta dan goyangkan bahunya.

Malaikat Penggali Kubur tampak tersirap kaget, karena kakek berjubah hitam kusir kereta itu teiah tidak ada lagi di bangku kusir! Yang masih tampak adalah perempuan berjubah dan bercadar hitam yang tetap tegak di atas peti.

"Heemmm..." Malaikat Penggali Kubur bergumam. Lalu bola matanya berputar liar. Namun pemuda ini tidak mengetahui di mana beradanya si kakek. Entah karena khawatir, dia segera palingkan kepala ke samping kanan. Saat itulah dari arah samping kiri Malaikat Penggali Kubur mendengar suara orang tertawa pelan. Secepat kitat Malaikat Penggali Kubur tarik pulang kepalanya disentakkan ke samping kiri.

Tujuh langkah dari tempatnya tegak, terlihat kakek berjubah hitam berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jubahnya. "Kau mencariku?!" kata Ki Buyut Pagar Alam dengan sunggingkan senyum.

Meski terkejut, namun Malaikat Penggali Kubur segera dapat kuasai diri. Bahkan dia cepat pula sunggingkan senyum seraya menggeleng dan berkata. "Orang berbau mayat tak perlu dicari! Dia akan datang sendiri!"

"Hemm... Begitu? Mau sebutkan dulu siapa kau sebelumnya..."

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" tukas si pemuda sebelum ucapan Ki Buyut selesai.

"Gelaran indah!" ujar Ki Buyut tanpa sedikit pun tampakkan rasa kaget. "Hanya sayang tidak seindah nasib penyandangnya! Kasihan...!"

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membeliak angker. Mulutnya membuka hendak bicara, tapi sebelum terdengar ucapannya, Ki Buyut Pagar Alam telah menyambung kata-katanya.

"Mendengar gelaran yang kau sandang, tentu kau anak manusia yang baru saja berpijak di atas rimba persilatan! Melihat kemunculanmu di tempat ini, berat dugaan kau salah seorang yang kini sedang memburu barang sakti! Betul?!"

Malaikat Penggali Kubur alihkan pandangannya dengan seringai buruk. "Kau tak berhak mendengar jawaban dari mulutku! Kau nanti bisa cari jawaban di liang kubur!"

"Baiklah. Aku akan cari jawaban di sana, tapi kau harus tunjukkan dulu jalannya!"

"Kuturuti ucapanmu!" sentak Malaikat Penggali Kubur seraya meloncat ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kedua tangannya seketika bergerak lepaskan satu pukulan.

Ki Buyut Pagar Alam hanya melihat kelebatan dan menderunya gelombang angin. Kejap lain tahu-tahu kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah berada dua jengkal di depan kepalanya. Ki Buyut Pagar Alam tarik pulang sedikit kepalanya ke belakang. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang masuk ke dalam saku jubahnya berkelebat ke atas.

"Bukkk! Buukkk!" Sepasang tangan Malaikat Penggali Kubur beradu dengan tangan kanan Ki Buyut. Malaikat Penggali Kubur tampak kernyitkan kening dan buru-buru tarik pulang kedua tangannya. Lalu membuat putaran dengan kaki kanan langsung lepas satu tendangan.

Ki Buyut Pagar Alam tak menangkis tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur. Malah ia masukkan tangan kanannya kembali ke dalam saku jubahnya. Lalu dengan busungkan dada dan menatap tajam dia tegak menunggu.

"Buukkk!" Kaki kanan Malaikat Penggali Kubur telak menghantam dada Ki Buyut Pagar Alam. Namun pemuda ini terkesiap. Sosok si kakek tidak bergeming dari tempatnya! Malah sesaat kemudian perdengarkan tawa panjang!

"Anak muda! Inikah jalan yang kau katakan itu?!" ujar Ki Buyut, lalu kembali tertawa mengekeh.

Malaikat Penggali Kubur diam-diam menindih rasa kejut. Kalau orang bisa menahan tendangan kakinya yang bukan tendangan biasa, bisa dibayangkan bagaimana daya tahan orang itu. Tapi Malaikat Penggali Kubur tidak begitu saja mudah terkecoh. Meski orang dapat menahan tendangan kakinya belum tentu orang itu bisa membendung pukulan Telaga Surya'-nya.

Berpikir sampai di sana, Malaikat Penggali Kubur cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu diangkat ke atas dan serta-merta dipukulkan dengan telapak mengepal ke arah Ki Buyut. Sinar terang sekejap tampak berkiblat pertanda murid Bayu Bajra ini hendak lepaskan pukulan Telaga Surya'.

Di depannya, Ki Buyut Pagar Alam tampak kerutkan dahi. Sepasang matanya tak berkesip memperhatikan Malaikat Penggali Kubur. "Tunggu!" Mendadak Ki Buyut berseru. "Anak muda! Apa hubunganmu dengan Bayu Bajra?!"

Dengan tangan masih di atas dan siap teruskan lepaskan pukulan, Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Lalu berucap. "Aku Malaikat Penggali Kubur! Tak ada hubungngan siapa pun! Dengar?!"

“Heemm... Selama aku malang melintang dalam rimba persilatan, orang yang kuketahui memiliki pukulan seperti pemuda ini adalah Bayu Bajra! Pasti pemuda ini masih ada hubungan dengan tokoh itu. Hemm... Bayu Bajra adalah adik kandung Dewa Sukma. Sementara Dewa Sukma adalah pemegang penggalan peta itu. Jangan-jangan pemuda ini..." Ki Buyut Pagar Alam manggut-manggut. Saat itulah mendadak Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya.

"Wuuttt! Wuuttt!" Cahaya terang berkiblat sekejap, disusul dengan deruan keras dan menggebraknya gelombang angin luar biasa dahsyat!

Seakan tahu kehebatan pukulan si pemuda, begitu deruan keras terdengar, Ki Buyut cepat keluarkan kedua tangannya lalu diangkat sejajar dada. Kejap lain kedua tangannya didorong ke depan. Tidak ada sambaran angin, juga tidak terdengar deruan, namun pada saat bersamaan, gelombang angin dahsyat pukulan Malaikat Penggali Kubur laksana disedot kekuatan dahsyat, dan perlahan-lahan gelombang angin itu mengarah pada kedua tangan Ki Buyut.

Malaikat Penggali Kubur sesaat jadi terkesiap melihat bagaimana pukulannya tersedot hendak masuk ke tangan lawan. Selain itu diam-diam pula dia terkejut mengetahui si kakek mengenali Bayu Bajra yang bukan lain adalah gurunya. Merasa gelagat buruk, Malaikat Penggali Kubur cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. Sosok pemuda ini terlihat bergetar keras pertanda dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Dan untuk kedua kalinya Malaikat Penggali Kubur pukulkan kedua tangannya lepaskan pukulan Telaga Surya'.

Mendapati hal demikian, Ki Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Dia segera sentakkan kedua tangannya, hingga gelombang angin dahsyat pukulan Telaga Surya' Malaikat Penggali Kubur yang pertama tertahan dan kejap kemudian berbalik dan kini memapak pukulan Telaga Surya' yang dilepas Malaikat Penggali Kubur untuk yang kedua kalinya.

Belum sampai dua pukulan 'Telaga Surya' itu bentrok di udara, mendadak dari arah kereta terdengar suara bentakan. Lalu terlihat cahaya hitam menggebrak setelah terlebih dahulu membuat tanah rengkah membentuk jalur panjang!

"Bummm! Bummm! Bummm!"

Tiga ledakan berturut-turut membuat tempat itu laksana dihantam gempa hebat. Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun sebelum kakinya melipat, bahunya bergerak dua kali. Kejap itu juga tubuhnya laksana mental. Membumbung ke udara setinggi dua tombak. Tanpa membuat gerakan berputar, kakek ini melayang turun dan menjejak tanah dengan kaki tegak dan kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya.

Di seberang, sosok Malaikat Penggali Kubur tampak terjengkang dan terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah. Jubah putihnya berubah menjadi kehitaman hangus. Namun pemuda ini segera bangkit tatkala yakin bahwa luka dalamnya tidak begitu parah. Tapi baru saja tubuhnya tegak, satu bayangan hitam berkelebat dan belum sempat pemuda ini membuat gerakan, satu tendangan keras menghantam dadanya.

"Bukkk!" Malaikat Penggali Kubur berseru tertahan. Tubuhnya tersapu sampai dua tombak ke belakang. Meski murid Bayu Bajra ini mampu bertahan tidak sampai roboh namun tak urung dadanya terasa sesak dan sesaat kemudian dia batuk-batuk sebelum akhirnya meludah keluarkan darah hitam!

"Jahanam keparat!" maki Malaikat Penggali Kubur sambil usap-usap dadanya dan berpaling ke samping kanan. Sejarak tiga tombak, tampak perempuan berjubah dan bercadar hitam tegak dengan kedua tangan tetap melipat di depan dada.

"Hem... Orang-orang ini memang mampu menangkis pukulanku. Tapi belum bisa kupastikan apakah dapat mengatasi pukulanku! Mereka hanya menangkis dengan mengembalikan pukulanku! Berarti bukan orang-orang ini yang kelak mendapatkan kitab itu! Kalau kuteruskan urusan ini, perjalananku akan tertunda. Dan bukan tak mungkin ada orang yang mendahului! Hemm... Daripada berurusan dengan orang-orang tak berguna, lebih baik aku teruskan perjalanan!"

"Kalian dengar!" kata Malaikat Penggali Kubur. "Urusan ini belum selesai! Kelak Malaikat Penggali Kubur akan mencari kalian!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur putar diri. Namun gerakan tubuhnya yang hendak berkelebat tinggalkan tempat itu tertahan ketika De wi Siluman tiba-tiba perdengarkan tawa panjang yang mendadak pula diputus.

"Urusan memang belum selesai. Dan tak ada waktu lagi kelak!"

Dewi Siluman angkat kedua tangannya, sementara sepasang kakinya dibantingkan ke tanah. Pertanda perempuan berjubah dan bercadar hitam ini siap lepaskan pukulan 'Kabbt Neraka' sekaligus dengan pukulan 'Sinar Setan! Namun sebelum sempat lepaskan pukulan, Ki Buyut telah berkelebat dan mencekal kedua tangan Dewi Siluman.

"Dewi... Tahan pukulan. Kita memerlukan pemuda itu!" bisik Ki Buyut Pagar Alam.

Dewi Siluman berpaling dengan mendengus. "Apa maksudmu Ki Buyut?!"

"Biarkan dia pergi dulu!" ujar Ki Buyut Pagar Alam seraya terus pegangi kedua tangan Dewi Siluman. Meski menahan rasa geram, tapi akhirnya Dewi Siluman turuti ucapan si kakek. Sementara di depan sana, begitu tak ada pukulan atau ucapan lagi, Malaikat Penggali Kubur teruskan berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Dewi..." kata Ki Buyut Pagar Alam setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu. "Aku yakin pemuda itu masih ada hubungan dengan Bayu Bajra. Sedangkan Bayu Bajra adalah adik kandung Dewa Sukma, orang yang memegang penggalan peta yang berhasil Dewi rebut. Kalau dia sampai di daerah sini, tidak tertutup kemungkinan dia memegang peta menuju arah Pulau Biru!"

"Hemm... Lalu?!" tanya Dewi Siluman dengan sepasang mata memandang ke arah mana Malaikat Penggali Kubur berkelebat.

"Kita ikuti pemuda itu! Kereta kita serahkan pada Wulandari dan Ayu Laksmi!" Tanpa menunggu ucapan Dewi Siluman, Ki Buyut Pagar Alam melesat ke arah Wulandari yang masih terduduk.

"Ki Buyut..." kata Wulandari dengan suara pelan. Ki Buyut Pagar Alam tidak buka mulut. Kakek ini hanya ulurkan kantong kecil ke arah Wulandari yang segera disambut oleh gadis berjubah kuning ini.

"Telan obat di dalam kantong ini dua butir. Ayu Laksmi juga beri dua butir. Setelah itu kalian bawa kereta menuju tempat yang telah ditentukan!"

Habis memberikan kantong, Ki Buyut Pagar Alam kembali berkelebat mendekat Dewi Siluman. "Dewi. Kita harus bergerak cepat!"

"Hemm... Aku heran. Dua kali ini Sitoresmi tak kutemui bersama dua saudara seperguruannya! Jangan-jangan anak itu berlaku bodoh!" kata Dewi Siluman sambil melirik ke arah Wulandari.

"Dewi... itu bisa kita urus belakangan! Ini kesempatan baik. Kalau dugaanku tidak meleset, tanpa harus mencari penggalan sisa, kita bisa sampai ke Pulau Biru!"

"Tapi..."

"Dewi!" tukas Ki Buyut Pagar Alam. "Urusan yang kita hadapi membutuhkan gerak cepat. Siapa yang pandai manfaatkan situasi dan waktu dialah yang akan berhasil! Sekali kesempatan lolos, kita akan kecewa!"

Tanpa pedulikan Dewi Siluman yang masih tegak berpikir, Ki Buyut Pagar Alam telah berkelebat mendahului ke arah mana Malaikat Penggali Kubur pergi. Meski masih diliputi tanda tanya dengan dugaan Ki Buyut Pagar Alam, namun sesaat kemudian Dewi Siluman juga berkelebat menyusul.

Tak berapa lama setelah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam pergi, Wulandari tampak bergerak bangkit, lalu melangkah ke arah Ayu Laksmi. Gadis berjubah kuning ini segera berikan dua butir obat pada Ayu Laksmi. Lantas menolong gadis berjubah biru itu untuk bergerak bangkit dan menuntunnya ke arah kereta.

Tak berselang lama, di tempat itu terdengar gemeretak roda kereta ditingkah suara derap ladam kaki kuda. Kereta yang tadi dikusiri oleh Ki Buyut Pagar Alam itu kini bergerak ke arah selatan dengan dikusiri oleh Wulandari, sementara Ayu Laksmi tampak duduk di sebelahnya dengan sesekali mengusap dadanya.

********************

BAB 9

MATAHARI telah tenggelam di ujung laut sebelah barat ketika Joko jejakkan kaki di pesisir Laut Selatan. Namun karena saat itu rembulan bersinar terang, murid Pendeta Sinting ini masih dengan jelas bisa melihat kawasan pesisir laut.

"Peta terakhir yang kuperoleh dari Dewi Es menunjuk tempat ini. Lalu di situ tertera perahu. Hem... Berarti aku harus menyeberangi laut...! Joko Sableng arahkan pandangannya ke tengah laut.

Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta Sinting ini melihat gundukan hitam nun jauh di tengah laut. Lalu terlihat pula kelap-kelip perahu nelayan di seberang. "Pulau Biru... Dalam situasi begini, sulit menentukan di mana pulau itu berada. Terpaksa aku harus menunggu sampai suasana terang. Sementara menunggu waktu, aku akan membuat rakit..."

Ketika ujung laut di sebelah timur terlihat mulai agak terang berwarna kekuningan pertanda sang matahari tak lama lagi akan muncul menerangi hamparan bumi, tampak sebuah rakit meluncur deras membelah ombak Laut Selatan. Tegak di atas rakit adalah seorang pemuda .berpakaian putih rambut panjang diikat dengan ikat kepala warna putih. Di tangannya tampak sebatang kayu yang sesekali diayunkan ke dalam air laut.

"Meski belum dapat kupastikan mana Pulau Biru, tapi aku akan menuju salah satu pulau itu!" kata sang pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 seraya arahkan pandangannya jauh ke tengah laut, di mana tampak dua gugusan pulau yang dari tempatnya murid Pendeta Sinting berdiri terlihat hitam.

"Mudah-mudahan aku tidak salah alamat..." gumam Joko Sableng lalu ayunkan kayu di tangan kanannya ke dalam air laut. Rakit yang ditumpangi makin kencang melaju membelah gelombang menuju salah satu gugusan pulau di depan sana.

Sang mentari hampir tepat di titik tengahnya tatkala rakit yang ditumpangi murid Pendeta Sinting sampai pada bagian pinggiran pulau. Sebelum rakit merapat, Joko Sableng telah berkelebat dan tegak dipinggiran pulau dengan mata memandang berkeliling ke seantero pulau.

Ternyata pulau itu tidak begitu besar. Tidak tampak adanya pohon atau tumbuhan. Yang terlihat hanyalah gugusan batu-batu padas dan tanah berpasir. Anehnya, gugusan batu-batu padas dan pasir yang bertebaran di tempat itu berwarna biru!

"Melihat keadaannya, aku tidak datang ke tempat yang salah! Semua yang ada di tempat ini berwarna biru!" kata Joko dalam hati seraya sekali lagi putar kepala dengan sepasang mata memperhatikan.

Tiba-tiba kening murid Pendeta Sinting ini berkerut. Sepasang matanya menebar sementara telinganya dipasang baik-baik. "Aneh..." gumamnya. "Mataku tak melihat adanya orang. Telingaku tidak menangkap suara gerakan. Namun kenapa tanah yang kupijak terasa bergetar! Ini bukan karena gelombang ombak. Ada sesuatu yang lain!"

"Astaga!" murid Pendeta Sinting ini tepuk jidatnya sendiri. "Bukankah Manusia Dewa pernah mengatakan Kitab Serat Biru ada di tangan seorang sakti bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya? Jangan-jangan ini adalah..."

Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 segera berkelebat menuju tengah pulau. Namun sesaat Joko jadi bingung sendiri. Karena hingga matanya lelah mencari, ia tak menemukan siapa-siapa. Sementara getaran-getaran itu makin lama makin keras.

"Pulau ini tampaknya kosong tak berpenghuni! Lalu ke mana aku harus mencari kitab itu? Peta itu hanya menunjukkan jalan menuju Pulau. Tidak ada petunjuk lebih lanjut ke mana aku harus menuju setelah sampai di pulau! Hem... Tapi kenapa getaran-getaran ini makin keras?!”

Joko tengadahkan kepala. "Aku akan menelusur dari pinggiran pulau!"

Murid Pendeta Sinting segera berkelebat dan kini dengan mata nyalang ia melangkah menyusur pinggiran pulau berpasir biru itu. Namun hingga tidak ada celah yang tertinggal, dia tetap tak menemukan siapa-siapa!

"Ah. Mungkin benar apa yang dikatakan sebagian orang. Cerita Kitab Serat Biru hanyalah isapan jempol belaka! Atau... Mungkin ada orang yang mendahuluiku sampai di tempat ini. Bertemu dengan orang sakti itu, lalu orang sakti yang dikatakan Manusia Dewa itu pergi tinggalkan pulau! Tapi kenapa orang-orang aneh seperti Ratu Malam, Gendeng Panuntun mengisyaratkan bahwa..." Murid dari jurang Tlatah Perak ini tidak teruskan kata hatinya karena saat itu terdengar orang lantunkan nyanyian.

Suratan telah ditulis, takdir sudah digurat. Tidak satu kekuatan pun yang bisa merobah dan menggugat. Bahkan hingga air mata kering dan tubuh melipat. Kecuali dengan izin Tuhan Sang Penguasa Jagat. Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat. Akankah semuanya jadi sia-sia karena kebimbangan yang menjerat. Padahal penantian ini telah lama berkarat. Hanya pada Tuhan tempat manusia memanjat.

Suara nyanyian itu terdengar amat aneh di telinga murid Pendeta Sinting, memantul jauh namun menggema laksana diperdengarkan orang dari dasar jurang yang sangat dalam. Joko memandang jauh ke tengah laut dengan coba mengulang nyanyian yang baru didengar lalu coba menyimak arti nyanyian.

"Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat. Eh. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan peta yang kudapat dari beberapa tokoh itu! Padahal penantian ini telah berkarat. Hem... Jangan-jangan orang ini tokoh yang dikatakan Manusia Dewa! Tapi di mana aku harus mencarinya? Seluruh pulau telah kutelusuri, tapi tidak ada seorang pun! Dan suara itu sepertinya datang dari jauh tapi menggema laksana di dalam jurang. Mungkinkah di bawah pulau ini?!" Sekali lagi sepasang mata Joko memperhatikan berkeliling.

Saat itulah matanya menangkap gugusan batu padas yang bergetar keras dan tak lama kemudian pecah berantakan! Anehnya, bersamaan dengan pecahnya gugusan batu padas itu, getaran-getaran di pulau itu berhenti! Murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke arah gugusan batu padas yang pecah. Sampai di situ, sepasang matanya jadi membelalak besar. Pada bagian pecahan batu padas tampak sebuah lobang menganga!

Baru saja Pendekar 131 gerakkan kepala melongok, satu kekuatan dahsyat menyedot dari dalam lobang, hingga meski Joko coba menahan dengan kerahkan tenaga dalam namun sia-sia. Tubuhnya melipat ke depan lalu melayang masuk ke dalam lobang!

"Bukkk!" Joko rasakan tubuhnya menghantam tanah keras. Ketika dia buka kelopak matanya dia berada pada satu ruangan agak besar yang seluruh bagian dinding dan langit-langitnya dari batu berwarna kebiru-biruan. Dengan dada dipenuhi berbagai tanya, murid Pendeta Sinting ini cepat bergerak bangkit. Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tapi di sini dia tak juga melihat seseorang.

Di saat Joko masih mencari-cari dengan rasa heran, tiba-tiba terdengar lagi nyanyian seperti yang tadi didengarnya di atas pulau! Tapi lagi-lagi suara itu laksana datang dari tempat yang jauh di dalam jurang. Namun kali ini Joko dapat menentukan dari mana sumber arah suara itu.

Perlahan-lahan Joko melangkah ke bagian samping kanan dinding ruangan arah mana suara nyanyian tadi terdengar. Sejenak murid Pendeta Sinting ini perhatikan dinding ruangan bagian kanan itu. Lalu merabanya.

"Tak ada pintu... Tapi jelas suara tadi bersumber dari sini!" gumam Joko Sableng seraya gelengkan kepala. Entah karena tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya dia berteriak.

"Siapa pun adanya orang, katakan di mana kau berada!"

Joko menunggu. Tapi tidak ada suara jawaban atau terdengarnya nyanyian. Murid Pendeta Sinting kembali ulangi teriakannya. Namun tidak juga ada suara jawaban.

"Eh. Jangan-jangan telingaku yang menipu karena aku terpengaruh dengan nyanyian di luar tadi..." Joko lalu melangkah dan duduk bersandar pada dinding ruangan. Baru saja punggungnya bersandar, dari bagian kanan dinding terdengar suara.

"Aku di sini, Anak muda...!"

Joko terkesiap, serentak dia bangkit lalu melompat ke dinding ruangan sebelah kanan. Tapi kembali dia dilanda kebingungan. Dinding itu tak berpintu dan tak ada satu celah pun!

"Aku ingin menemuimu! Bagaimana aku harus ke tempatmu?!" seru Joko pada akhirnya.

"Hantam dinding sebelah kanan!" terdengar jawaban dari dalam.

"Jika dinding ini kuhantam, jangan-jangan orang di dalam sana itu akan terkena juga. Padahal kemungkinan besar dialah orang sakti yang dikatakan Manusia Dewa!"

Sesaat murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan. Antara menuruti ucapan orang atau mencari jalan lain yang lebih aman. Karena bukan tidak mungkin jika turuti ucapan orang maka orang yang ada di dalam sana akan turut cedera. Padahal dari nyanyian yang didengarnya, Pendekar 131 sudah hampir merasa yakin bahwa orang itulah yang ada sangkut-pautnya dengan Kitab Serat Biru.

"Anak muda. Apalagi yang kau tunggu?!" terdengar ucapan dari balik dinding.

"Baiklah. Aku akan menghantam dinding ini. Tapi harap kau menyingkir!" kata Joko.

Terdengar orang tertawa. Sesaat kemudian terdengar ucapan. "Jika kau melihat sendiri, tak mungkin kau mengatakan begitu, Anak Muda!"

"Apa maksudmu?!" tanya Joko.

"Jangankan menyingkir, menggerakkan tangan pun aku tak bisa!"

"Kenapa bisa begitu?" tanya Joko pula.

"Sekarang bukan saat yang baik untuk tanya jawab, Anak muda! Turuti saja kata-kataku!"

Murid Pendeta Sinting masih tampak ragu-ragu. Sepasang matanya perhatikan dinding ruangan dengan seksama. "Sekali kuhantam aku yakin akan ambrol. Hemmm... Orang di dalam sana itu tidak bisa bergerak. Aku harus tahu, apakah jaraknya jauh dengan dinding ini...!" Joko lalu kembali berteriak.

"Apakah tempatmu cukup jauh dengan dinding ini?!" Sejenak tidak ada jawaban. Tapi tak lama kemudian terdengar suara.

"Anak muda! Tempatku berada tak lebih cuma dua langkah dari dinding!"

"Gila! Bagaimana ini? Tak mungkin orang itu selamat jika dinding ini ambrol!" kata Joko dalam hati lalu melangkah mondar-mandir.

"Ah, bagaimana kalau yang kuhantam sebelah sini?!" ujar Joko pelan seraya melihat dinding sebelah kanan yang agak ke tepi.

"Anak muda. Kau masih di situ?!" terdengar ucapan dari dalam dinding.

"Hemm... Betul. Aku akan hantam dinding ini, tapi agak ke tepi! Dengan begitu kau tidak akan terkena jebolan dinding!"

Dari dalam terdengar orang tertawa. "Percuma Anak muda. Kalau yang kau hantam tidak yang paling tengah, kau hanya akan buang-buang waktu dan tenaga!"

"Walah! Bagaimana ini!" Kembali Joko dilanda kebingungan. Karena tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya Joko bertanya lagi.

"Apakah tidak ada jalan lain selain menghantam jebol dinding ini?!"

"Anak muda! Jangan banyak tanya! Hantam dinding atau keluarlah dari ruangan ini!" Kali ini suara dari balik dinding agak keras.

"Baiklah. Aku hanya turuti ucapanmu! Harap kau nanti tidak menyesal!"

"Tak ada penyesalan, Anak muda! Penantian ini sudah terlalu lama..."

"Siapa yang menanti?" ujar Joko Sableng dengan melangkah mundur.

"Aku tidak bisa jawab tanyamu sekarang! Karena kau bukan satu-satunya anak manusia yang datang ke tempat ini!"

"Jadi?!”

"Kau terlalu banyak tanya, Anak muda!" potong suara dari balik dinding.

"Berarti telah banyak orang yang sebelumnya datang ke tempat ini. Dan mereka tak sanggup menjebol dinding itu!" pikir Pendekar 131 pada akhirnya. Setelah menarik napas dalam, murid Pendeta Sinting ini angkat kedua tangannya dan sekaligus dihantamkan pada dinding tepat bagian paling tengah.

"Beekkk! Beekkk!" Terdengar dua kali benda terhantam. Tapi murid Pendeta Sinting jadi terkesiap sendiri. Jangankan hancur, satu pecahan kecil pun tidak! Malah kejap itu juga Joko berseru tertahan sambil kibas-kibas-kan kedua tangannya. Bahkan dia membelalak saat meneliti ternyata kedua tangannya lecet dan mengembung bengkak!

"Anak muda! Kau sudah lakukan apa yang kuucapkan?!" Dari dalam dinding terdengar tanya.

Joko tidak menjawab ucapan orang. Sebaliknya perhatikan dinding dengan mata mendelik tak berkesip. "Anak muda! Kerahkan segenap tenaga dalammu dan lepaskan pukulan andalan yang kau miliki!"

"Edan! Aku tak percaya jika menjebol dinding begini sampai harus kerahkan tenaga dalam penuh dan lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Akan kucoba sekali lagi!"

Murid Pendeta Sinting mundur satu langkah. Dengan kerahkan separo tenaga dalamnya dia hantam dinding itu dengan kedua tangannya. Untuk kedua kalinya Pendekar 131 berseru tertahan. Kedua tangannya mental balik! Bahkan tubuhnya ikut terseret mundur sampai tiga langkah! Kedua tangannya tambah lecet dan makin bengkak besar!

"Aku hampir tak percaya!" gumam Joko seraya pentangkan matanya. Dinding itu bergeming pun tidak! "Terpaksa aku turuti ucapan orang itu! Akan kuhantam dengan pukulan 'Lembur Kuning'!"

Murid Pendeta Sinting segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap kemudian kedua tangannya berubah menjadi kekuningan pertanda dia siap lepaskan pukulan andalan 'Lembur Kuning'. Didahului bentakan keras, Joko melompat ke depan dan serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah dinding.

Dua sinar kuning mencorong terlihat menggebrak ke depan, lalu terdengar dentuman keras. Ruangan terbuat dari batu berwarna biru itu bergetar hebat laksana dilanggar gempa. Hingga sosok murid Pendeta Sinting tampak terpental dan jatuh terduduk di tengah ruangan. Meski merasa kesakitan, Joko cepat bergerak bangkit dan serta-merta menghambur ke depan, ke arah dinding yang baru saja dihantam. Sepasang mata Joko terpentang besar dan dari mulutnya ter-dengar gumaman tak jelas. Ternyata dinding itu tetap seperti sedia kala!

"Heran. Bagaimana mungkin pukulan 'Lembur Kuning' tidak mampu menjebol! Jangan-jangan ini satu isyarat bahwa kitab itu..." Kata hati Joko belum selesai, dari balik dinding terdengar orang berucap.

"Aku mendengar ledakan. Berarti kau telah menghantam dinding itu. Aku tanya padamu, Anak muda. Bagaimana hasilnya?!"

"Seperti yang kau dengar, aku memang telah menghantam dinding itu, tapi jangankan jebol, rengkah pun tidak! Apa yang harus kulakukan sekarang?!"

Terdengar keluhan dari balik dinding. Lalu terdengar suara. "Kau telah berusaha, Anak muda! Dan ternyata kau sama seperti beberapa orang yang datang sebelumnya! Itu telah menjadi jawaban apa yang harus kau ^kukan sekarang!"

"Jadi aku harus meninggalkan tempat ini?!" ujar Joko seraya gelengkan kepala.

"Bukan harus. Tapi apa gunanya kau berada di situ?! Kukira masih banyak yang bisa kau nikmati diluaran sana. Bukankah begitu?!"

"Tapi aku tak akan keluar dari pulau ini sebelum mendapatkan apa yang kucari!"

"Apa yang kau cari di sini, Anak muda?!"

"Aku mengemban tugas dari Eyang guruku Pendeta Sinting serta seorang tokoh rimba persilatan bergelar Manusia Dewa untuk menyelidik Kitab Serat Biru!"

"Hemm... Begitu? Mau turuti ucapanku, Anak muda?!"

"Harus kudengar dulu ucapanmu!"

"Tinggalkan ruangan itu! Kau tidak akan mendapat apa-apa!"

"Maaf. Kalau ini aku tidak bisa turuti ucapanmu. Aku akan tinggalkan ruangan ini dengan kitab di tangan!"

Terdengar orang di balik dinding tertawa panjang. "Tekadmu besar. Tapi sayang... Kau tidak akan mendapatkan yang kau inginkan!"

"Apakah orang lain telah mendapatkan kitab itu?!"

"Beberapa orang memang datang ke tempat ini. Sama dengan dirimu, mereka juga menginginkan kitab Itu. Tapi sama juga dengan kau, mereka akhirnya harus pulang dengan tangan hampa!"

"Apakah kitab itu benar-benar tidak ada?!" tanya Joko.

"Aku tidak berhak menjawab! Jawaban itu bisa kau dengar jika kau berhasil membuka dinding ini! Tapi sekaligus tidak membuatku tewas terkena bias pukulan!"

Hening sejenak. Murid Pendeta Sinting tampak duduk bersandar dengan kepala sesekali menggeleng. "Aku telah berusaha, dan nyatanya aku gagal menjebol dinding itu! Mungkinkah kitab itu tidak di-takdirkan untuk kumiliki?!"

"Anak muda! Kau telah menghantam dinding itu. Apakah kau tidak punya pukulan lain?"

"Astaga!" Joko bergerak bangkit. "Bukankah aku mendapatkan pukulan 'Sukma Es' dari orang yang sebutkan diri Dewi Es?! Hemm... Akan kucoba!" Tapi kembali Joko dilanda kebimbangan. "Kalau berhasil, tapi tidak mampu menyelamatkan orang itu...? Ah, susah!"

Setelah berpikir agak lama, akhirnya Joko berkata. "Orang di balik dinding! Aku memang punya satu pukulan. Tapi aku belum bisa pastikan apakah pukulan itu mampu menjebol dinding ini, juga aku tak bisa jamin apakah kau nanti bisa selamat jika pukulanku berhasil!"

"Dengar, Anak muda! Orang yang bisa menjebol dinding ini sekaligus dia pasti bisa meredam pukulannya agar aku bisa selamat! Jika hal itu tak bisa dilakukan, jangan harap bisa jebol dinding ini!"

"Ah, tambah sulit!" gumam Joko lalu kembali duduk bersandar. "Bisa menjebol sekaligus bisa meredam! Hem... Dewi Es mengatakan sesuatu yang kupegang akan membeku jika kukerahkan tenaga dalam ke lengan..."

Mendadak Pendekar Pedang Tumpul 131 berdiri dengan mata tak berkedip memperhatikan dinding di hadapannya. "Jika ucapan Dewi Es benar, maka bila dinding ini kuhantam dengan pukulan 'Lembur Kuning' dan berhasil jebol, maka tidak akan berantakan karena dinding ini akan membeku jika kukerahkan pukulan Sukma Es kearah lengan!”

Berpikir sampai di situ, murid Perdeta Sinting ini lantas melangkah ke arah dinding. Sesaat dia meraba dinding itu. Lalu mundur setengah langkah. Tenaga dalamnya dia kerahkan pada lengan. Serta merta dia merasakan hawa dingin luar biasa pada kedua tangannya. Ruangan itu pun perlahan-lahan dibungkus hawa dingin hebat. Tanpa menunggu lagi, Joko tempelkan kedua tangannya pada dinding. Serta-merta dinding itu laksana ditimbun es!

Aku merasakan hawa dingin, Apakah kau yang melakukan, Anak muda?!" tanya suara dari balik dinding.

"Aku akan mencoba! Harap kau siap-siap!"

"Siap apa?" suara dan balik dinding kembali bertanya.

"Walah, aku lupa kalau kau tak bisa bergerak!”

"Sudah lakukan saja apa yang hendak kau lakukan!" kata suara dari balik dinding.

Setelah melihat dinding itu dilapisi gumpalan es, tangan kanan Joko ditarik ke belakang, sementara tangan kirinya tetap menempel di dinding. Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting ini kerahkan tenaga dalam diarahkan pada tangan kanannya. Tiba-tiba tangan kanan itu berubah menjadi kekuningan. Lalu dengan pejamkan mata, tangan kanannya digerakkan menghantam dinding!

"Bukkk! Byaarrr!" Terdengar ledakan keras. Joko rasakan tubuhnya terhantam benda besar, hingga sosoknya mencelat dan menghantam dinding di seberang. Lalu jatuh dengan kepala berdenyut sakit. Wajahnya berubah pucat dengan kedua tangan bergetar. Tapi karena ingin melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting tidak rasakan denyutan di kepala dan rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Dia cepat bergerak bangkit dengan sepasang mata memandang tak berkesip ke depan.

"Berhasil...!" seru Joko ketika dia melihat lobang menganga di dinding yang baru saja dihantamnya. Tanpa berpikir lama dia cepat berkelebat, lalu tegak di samping dinding yang kini telah jebol.

Murid Pendeta Sinting ini seakan tak percaya dengan pandangan matanya. Dinding yang terkena hantamannya memang jebol dan anehnya jebolan dinding itu tidak berhamburan! Melainkan berserakan di tempat itu dan tampak masih dilapisi gumpalan-gumpalan es!

"Hem... Jadi gumpalan-gumpalan es ini yang bisa meredam muncratnya hamburan batu dinding ini! Tidak kusangka sama sekali..."

"Ah, ternyata kau berhasil, Anak muda!" terdengar suara pelan.

Seakan tersadar, Joko segera pentangkan matanya ke balik jebolan lobang dinding. Saat itulah matanya membentur sesuatu. Murid Pendeta Sinting ini tercekat dan makin belalakkan matanya. Dari tempatnya berdiri Pendekar 131 melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih. Rambutnya yang telah memutih tampak awut-awutan menutupi sebagian wajah dan bahunya. Sepasang matanya yang samar-samar terlihat dari ce-lah rambutnya tampak sayu.

Saat Joko melihat ke bawah, murid Pendeta Sinting jadi terkesiap. Karena ternyata tubuh bagian bawah kakek ini berada di dalam lantai batu! "Hem... Betul ucapan Manusia Dewa! Orang sakti yang dikatakannya sebagian tubuhnya di atas sedang sebagian lagi di dalam tanah! Berarti orang ini yang dimaksud Manusia Dewa..."

Joko segera masuk ke balik dinding yang telah jebol. Lalu jongkok di samping kakek yang tubuh bagian atasnya terlihat, namun tubuh bagian bawahnya masuk ke dalam lantai batu. "Kau tidak apa-apa, Kek?!"

Si orang tua angkat kepalanya. "Dengan pergunakan pukulan 'Sukma Es' kau berhasil meredam hamburan batu. Itu membuatku selamat tidak mengalami suatu apa!"

Diam-diam Joko jadi terkesiap mendengar si kakek tahu pukulan yang baru saja digunakan. Sebelum Joko buka mulut, si kakek telah berucap lagi. "Orang baru bisa menjebol dinding itu jika dia memiliki dua kekuatan. Kekuatan dingin untuk meredam, dan kekuatan panas untuk menghantam! Dan kau berhasil melakukannya dengan baik. Terima kasih, Anak muda..."

"Kek! Tubuhmu sebagian masih terpendam. Bagaimana aku harus mengeluarkanmu?!"

Sepasang mata sayu milik si kakek memandang dari sela rambutnya yang awut-awutan. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih jika kau masih ingin menolongku, Anak muda! Lakukanlah seperti kau menjebol dinding tadi! Hanya dengan cara itu tubuhku akan selamat..."

"Hemm... Jika begitu, akan kulakukan!" ujar Joko. Lalu cepat kerahkan tenaga dalam pada lengannya siapkan pukulan 'Sukma Es'. Tangan kirinya ditempelkan pada lantai batu sekitar tubuh kakek yang terpendam, lalu tangan kanannya diangkat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Lantai batu di mana kakek terpendam mendadak ditaburi gumpalan-gumpalan es. Serta-merta Pendekar 131 hantamkan tangan kanannya dengan kerahkan pukulan 'Lembur Kuning'.

"Brakkk!" Tempat itu bergetar keras. Sosok murid Pendeta Sinting terseret hingga tiga langkah. Saat dia memandang ke depan, tampak lantai batu di mana tubuh si kakek terpendam rengkah-rengkah dan sebagian berlobang. Namun hamburan lantai batu tidak sampai bertabur ke atas!

Si kakek tampak tarik kedua tangannya yang ikut terpendam ke atas. Dengan bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menekan sebagian lantai batu si kakek bergerak. Sosoknya melesat ke atas lalu tegak dua langkah ke samping Joko.

"Anak muda. Jerih payahmu tidak akan kulupakan. Mari kita bicara di ruangan sana!" sambil berkata si kakek mendahului melangkah menuju ruangan. Joko lalu menyusul dari belakang.

BAB 10

"Selama hampir seratus tahun aku menghuni pulau ini..." kata si kakek mulai buka mulut setelah dia dan Pendekar 131 duduk berhadap-hadapan di lantai ruangan yang dinding dan langit-langitnya terdiri dari batu berwarna biru itu.

"Entah sudah menjadi nasibku, setelah aku berguru pada seorang tokoh sakti, aku diberi tugas untuk mendiami pulau ini. Aku tak tahu apa maksudnya dia menyuruhku untuk diam di pulau ini. Yang Jelas dia memberikan sebuah kitab serta butiran merah padaku dengan pesan, kelak akan datang orang yang ditakdirkan memiliki kitab serta butiran merah itu. Dia tidak mengatakan siapa orangnya dan kapan dia akan datang. Selain itu dia berpesan agar aku tidak sekali-kali membuka kitab serta menelan butiran merah itu. Sebagai murid meski hal itu terasa berat, namun kulakukan juga. Tapi hingga dua puluh tahun berlalu, orang yang dikatakan guru tidak ada tanda-tanda akan muncul di tempat ini. Aku mulai gelisah dan khawatir. Tapi aku tetap menjalankan pesan guruku. Hingga pada suatu malam aku bermimpi..." Si kakek sejenak hentikan keterangannya, lalu melanjutkan.

“Seorang laki-laki berusia lanjut datang dalam mimpiku dan dia memberi pesan, persis seperti apa yang dikatakan guruku. Tapi sepuluh tahun setelah mimpi itu, orang yang dikatakan tidak juga muncul. Aku mulai was-was. Terutama mengingat usiaku yang mulai menginjak tua. Dan entah karena apa suatu hari aku tanpa sengaja melihat kitab yang diberikan guru. Dan tiba-tiba di hatiku tergerak untuk membukanya. Tapi sadar akan pesan guru dan orang tua dalam mimpi, akhirnya keinginanku kubatalkan. Hingga pada suatu hari dihadapanku muncullah seorang kakek, yang setelah kuamati dengan seksama ternyata dia adalah kakek yang muncul dalam mimpiku. Kakek itu mengatakan bahwa sudah menjadi suratanku untuk menunggu dan memberikan kitab itu serta butiran merah. Kakek itu juga mengatakan bahwa tidak lama lagi orang yang ditakdirkan mewarisi kitab serta butiran merah akan datang. Untuk memastikan orang yang ditakdirkan itu, aku diberi satu ilmu ‘Penembus Pagar’. Kelak orang yang dapat melewati ilmu ‘Penembus Pagar’ dialah orang yang berhak mewarisi kitab serta butiran merah. Begitu si kakek pergi, aku coba menjajal ilmu itu. Ternyata aku bisa melewati dinding serta dapat masuk ke lantai tanpa terlihat jebolan pada dinding serta lantai. Anehnya, begitu tubuhku masuk ke bawah lantai aku diserang kantuk yang luar biasa."

Untuk kedua kalinya si kakek hentikan keterangannya sebelum akhirnya melanjutkan. "Hingga aku tertidur. Aku baru bangun tatkala kurasa ada getaran-getaran keras. Saat itulah kuketahui ada orang datang di ruangan ini. Seperti halnya dirimu tadi, orang itu coba menjebol dinding, tapi tak berhasil. Dan begitu orang itu pergi, aku diserang kantuk lagi, lalu tertidur. Aku baru terbangun ketika ada getaran-getaran keras dan ada orang datang di ruangan ini. Begitu selanjutnya. Aku baru bangun saat terasa ada getaran-getaran yang menandakan akan datangnya seseorang. Namun hingga sejauh itu tidak satu pun yang berhasil menjebol dinding sampai akhirnya kau datang..."

"Jadi selama ini kau tak makan tak minum?"

"Aku tertidur! Mana merasa lapar dan haus? Aku hanya bangun sesekali. Itu kalau ada getaran pertanda orang datang. Tapi setelah itu aku sudah tertidur lagi!"

"Luar biasa!" gumam Joko seraya pandangi kakek di hadapannya. "Kek. Kudengar kau sempat sebutkan pukulanku. Bagaimana kau bisa tahu?"

Si kakek tengadahkan sedikit kepalanya sebelum berucap. "Tiga hari sebelum kedatanganmu, orang tua itu kembali muncul dalam mimpiku. Dia mengatakan bahwa penantian tidak akan lama lagi. Dia lalu mengajarkan padaku bait nyanyian. Dan mengatakan bahwa ilmu 'Penembus Pagar' bisa diatasi jika orang pergunakan pukulan 'Sukma Es' yang digabung dengan pukulan yang mengandung hawa panas!"

"Anak muda! Siapa namamu?!" tanya si kakek setelah terdiam agak lama.

"Joko Sableng, Kek... Aku murid seorang yang dalam rimba persilatan dikenal dengan gelar Pendeta Sinting. Kau sendiri siapa, Kek?"

"Aku Ageng Mangir Jayalaya..."

"Hm... Tepat ucapan Manusia Dewa!" kata Joko dalam hati.

"Joko. Menurut pesan, maka kaulah orangnya yang berhak atas kitab dan butiran merah yang sekarang ada padaku..!" Ki Ageng Mangir Jayalaya selinapkan kedua tangannya ke balik jubahnya. Saat kedua tangannya ditarik kembali, tampaklah sebuah kitab bersampul biru di tangan kanan, lalu butiran sebesar ibu jari berwarna merah di tangan kiri.

"Ambillah..." ujar Ki Ageng Mangir Jayalaya seraya ulurkan kedua tangannya pada Joko. Begitu benar-benar berhadapan dengan kitab yang dicari, bukannya Pendekar 131 cepat ulurkan kedua tangannya untuk mengambil. Dia seolah masih tidak percaya bahwa kitab yang kini diulurkan si kakek adalah kitab yang dicari!

"Kitab dan butiran merah ini sudah ditakdirkan menjadi milikmu!" kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.

Pada akhirnya dengan kedua tangan gemetar perlahan-lahan Joko menyambuti kitab dan butiran merah yang masih ada di tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Dan begitu tangannya menyentuh kitab bersampul biru serta butiran merah, Joko rasakan sekujur tubuhnya dirasuki hawa hangat. Pada saat bersamaan sepasang matanya terasa ditusuk-tusuk, hingga cepat Joko pejamkan sepasang matanya sambil menarik kitab dan butiran merah dari tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Ketika kitab dan butiran merah berada di tangannya, tusukan pada matanya lenyap. Saat dia buka lagi kelopak matanya, pandangannya terasa makin tajam!

"Ada apa, Anak muda?" tanya Ki Ageng Mangir Jayalaya tak tahu apa yang sedang dialami murid Pendeta Sinting ini.

"Hm... Dia tak merasakan dan tak tahu apa yang kualami!" membatin Joko lalu gelengkan kepala dan berkata. "Kepalaku sedikit sakit karena menghantam dinding itu tadi!"

Ki Ageng Mangir Jayalaya perhatikan Joko lebih seksama. "Aneh. Kurasa bukan karena sakit kepala anak ini berbuat begitu! Tapi kalau dia tak hendak mengatakan padaku, untuk apa aku memaksanya?" kata si kakek dalam hati, lalu berkata. "Telanlah butiran merah itu!"

Sejurus Joko pandangi orang tua di hadapannya. Dia tampak bimbang. Ki Ageng Mangir Jayalaya tersenyum. "Itu yang dikatakan orang tua dalam mimpiku! Telanlah!”

Dengan tangan gemetar. Joko pandangi butiran merah yang ada pada tangan kirinya. Lalu perlahan-lahan tangannya diangkat. Mulutnya bergerak membuka. Dan butiran merah itu segera ditelan. Tiba-tiba murid Pendeta Sinting rasakan sekujur tubuhnya laksana dipanggang dan kejang tak bisa digerakkan hingga tak lama kemudian kitab yang ada di tangan kanannya jatuh. Sepasang matanya terasa pedas sekali hingga keluarkan air mata sementara tubuhnya basah oleh keringat. Namun semua itu hanya sekejap. Di kejap lain mendadak rasa panas itu lenyap! Dan saat itu juga Pendekar 131 dapat gerakkan lagi tubuhnya.

Saat itulah, tiba-tiba ruangan di mana Pendekar 131 dan Ki Ageng Mangir Jayalaya berada terasa bergetar. Joko dan Ki Ageng Mangir Jayalaya sejurus saling berpandangan.

"Ada orang datang di pulau ini..." gumam si kakek. "Ambil dan simpan baik-baik kitab itu!"

Sejenak Joko perhatikan kitab yang ada di sampingnya. Kitab bersampul biru itu pada sampulnya bertuliskan Serat Biru.

"Orang yang datang pasti mempunyai tujuan-yang sama denganmu! Jangan cari urusan dengan memperlihatkan kitab itu!" kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.

Mendengar ucapan orang, Joko tersadar dan cepat ambil kitab lalu dimasukkan ke balik pakaiannya. "Kek! Kau tetap di sini! Aku akan ke atas!" kata Joko lalu menjura hormat.

Ki Ageng Mangir Jayalaya hanya anggukkan kepala sambil tersenyum. Joko bergerak bangkit lalu putar diri dan melangkah ke arah lobang yang tadi menyedot tubuhnya. Sejenak dia tengadah lalu kedua kakinya menjejak lantai ruangan. Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri, karena gerak lesatan tubuhnya luar biasa cepat! Hingga dalam kejap lain sosoknya telah tegak di luar lobang di permukaan pulau yang ditaburi pasir dan gugusan batu berwarna biru.

Namun baru saja sepasang kakinya menginjak tanah, satu bayangan berkelebat dan langsung tegak menghadang tujuh langkah di hadapannya!

BAB 11

UNTUK beberapa saat Joko Sableng perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah seorang pemuda mengenakan jubah putih. Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh dan rambut panjang lebat. Orang yang dipandang tengadahkan kepala.

"Hm... Ternyata ada anak manusia yang mendahului langkahku! Jahanam betul! Siapa dia?! Apakah telah berhasil mendapatkan kitab sakti itu?!" gumamnya lalu luruskan kepala.

Sesaat dua orang ini saling bentrok pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar dari mulutnya, pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur telah angkat tangan kanannya dan berkata dengan suara keras.

"Kau tak berhak bertanya! Aku yang berhak ajukan tanya!"

Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya, lalu garuk pantatnya seraya membatin. "Sombong betul! Tapi siapa pun dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi bisa sampai ke tempat ini!"

"Katakan siapa kau!" hardik Malaikat Penggali Kubur seraya melangkah maju satu tindak.

Pendekar 131 arahkan pandangannya pada deburan ombak jauh di depan sana. Lalu berujar. "Aku Pangeran Mendut-Mendut! Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu siapa kau adanya?!"

Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Matanya mendelik angker mengawasi pemuda di hadapannya. Namun tak lama kemudian tawanya meledak. "Setan laut pun tidak akan percaya jika tampang macammu adalah seorang pangeran!" kata Malaikat Penggali Kubur di sela suara tawanya. Namun mendadak suara tawanya diputus. Seraya berpaling pada Joko dia membentak.

"Jangan berani mengumbar bicara tak karuan! Lekas katakan siapa dirimu!"

"Silakan setan laut atau hantu pulau ini tidak percaya. Yang pasti aku adalah Pangeran Mendut-Mendut!" ujar Joko seraya senyum-senyum. Lalu melanjutkan. "Kau telah mengetahui siapa diriku. Sebagai penghuni puiau ini, aku ingin tahu siapa kau adanya!"

Malaikat Penggali Kubur keluarkan dengusan keras sebelum menjawab. "Aku Malaikat Penggali Kubur!"

"Ah... Kalau seorang malaikat datang jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti punya tujuan penting!"

"Penting atau tidak bukan urusanmu!" sentak Malaikat Penggali Kubur. "Aku tanya padamu, di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!"

"Apa...?!" tanya Joko sambil telengkan kepalanya.

"Kau tidak tuli! Orang tanya di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!"

"Kitab Serat Biru?" tanya Joko seraya kerutkan kening.

"Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan kalangan rimba persilatan dan tidak sedikit pula orang yang coba mencarinya. Kitab itu menurut kabar yang kupercaya berada di pulau ini!" kata Malaikat Penggali Kubur memberi keterangan.

"Kau tidak kesasar ke tempat yang salah?!" tanya Joko.

“Malaikat Penggali Kubur tidak akan datang ke tempat yang salah!"

"Dari mana kau tahu tempat ini?!"

"Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!" bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang pemuda murid Bayu Bajra ini mulai mengembung.

"Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat keadaan di luaran sana. Jadi harap dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa banyak orang rimba persilatan membicarakan kitab yang dikabarkan berada di pulau ini!"

"Hm... Jadi kau tak mengerti?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata berkilat.

"Bukan hanya tidak mengerti. Namun baru pertama kali ini mendengar kau sebutkan nama kitab itu!"

"Heran. Bagaimana mungkin? Apakah peta itu palsu? Tapi melihat gugusan batu padas serta pasir di pulau ini, aku yakin inilah Pulau Biru! Hm... Jangan-jangan pemuda ini mendustaiku!"

Untuk pertama kalinya Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi mana dia percaya begitu saja akan ucapan orang. Apalagi ketika matanya m -numbuk pada hamburan batu di dekat lobang.

"Jika mau kusarankan, lebih baik kau menuju pulau itu!" kata Joko setelah agak lama keduanya sama diam sambil menunjuk pada pulau di seberang. "Di sini kau tidak akan menemukan kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni, aku hafal seluk-beluk pulau ini serta apa saja yang ada di dalamnya!"

Malaikat Penggali Kubur tampak menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-diam ia membatin. “Melihat pakaian yang dikenakan, mengaku mengaku seorang Pangeran, sepertinya tidak masuk akal jika dia penghuni dan tidak pernah meninggalkan pulau ini!" Lalu pemuda berjubah Putih berkata,

"Aku datang Jauh-jauh percuma jika tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu! Dan sebelum menyelidik keseluruh pulau, bagaimana aku bisa menerima jika aku datang ke tempat yang salah!"

Tanpa memperdulikan pandangan Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur melangkah kearah lobang dari mana murid Pendeta Sinting, keluar.

“Tunggu!” seru Joko seraya tegak menghadang. “Ini tempatku. Aku...”

Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah. Lalu mamandang lekap pada Joko dan menukas ucapannya. "Dengar! Sekali kau bergerak dan tempatmu aku tak segan penggal kepalamu!” Lalu Malaikat Penggali Kubur teruskan langkah.

"Meski kitab telah berada di tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk ke bawah ,kata Joko dalam hati, lalu berkata. "Jika kau teruskan langkah, berarti kau tidak menghormati Pangeran Mendut-Mendut!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Persetan dengan Pangeran! Persetan dengan penghormatan!"

Pendekar 131 palangkan tangan kanan kirinya ke samping membuat gerakan penghadangan. "Persetan juga dengan Malaikat Penggali Kubur" Joko ikut-ikutan berkata.

"Kau mencari mampus!" bentak Malaikat Penggali Kubur seraya angkat tangan kanannya.

"Persetan dengan mampus!” Eh salah... Yang kumaksudkan..." Joko tak sempat lagi teruskan ucapannya, karena saat itu juga Malaikat Penggali Kubur telah gerakkan tangan kanannya.

Namun gerakan tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa bersahut-sahutan. Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131 serentak sama palingkan kepala ke arah datangnya suara tawa. Namun belum sampai kepala masing-masing orang berpaling, dua bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-tahu tegak terjajar beberapa langkah di samping Malaikat Penggali Kubur.

"Mereka!" desis Malaikat Penggali Kubur seraya pandangi satu persatu pada dua orang yang baru datang. Paras wajah pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap kemudian dia mendongak sambil keluarkan dengusan keras.

Pendekar 131 kernyitkan kening lalu memandang pada orang yang baru datang yang tegak di sebelah kanan. Di situ tegak seorang kakek mengenakan jubah hitam dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang besar dan dalam. Kakek ini tegak seraya sedikit tengadah dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya. Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada orang di sebelah si kakek. Mendadak air muka Joko berubah. Seraya pentangkan mata besar-besar dia perhatikan orang kedua ini baik-baik.

Dia adalah seorang perempuan berambut pirang bergerai sepanjang punggung. Mengenakan jubah panjang sebatas lutut juga berwarna hitam. Perempuan ini tidak bisa dikenali karena wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam yang berlobang di bagian kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak dibungkus dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam.

"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul 131! Hm... Kebetulan sekali! Tapi aku harus berhati-hati..."

Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak terkejut dengan kemunculan dua orang kakek dan perempuan bercadar yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi Siluman. Namun perempuan ini tidak terkejut dengan adanya Malaikat Penggali Kubur, hanya dia hampir tak percaya dengan keberadaan Pendekar 131 di tempat itu! Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut Pagar Alam.

"Bagaimana anak manusia ini bisa berada di tempat ini?!" gumam Dewi Siluman dengan menatap tajam Pendekar 131.

Seperti diketahui, waktu terjadi bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu Pemikat serta Iblis Ompong, Dewi Siluman tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid Pendeta Sinting yang sedang melayang hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-da akhirnya Dewi Siluman berhasil mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko. Lalu bersama dengan paman guru sekaligus pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi Siluman teruskan perjalanan menuju arah selatan.

Pada satu tempat mereka berdua bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur yang saat Ku juga sedang melakukan perjalanan menuju Pulau Biru setelah mendapatkan peta asli dari tangan Dewa Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman hendak lancarkan satu pukulan pada Malaikat Penggali Kubur yang hendak berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia lalu menyarankan pada Dewi Siluman untuk membiarkan Malaikat Penggali Kubur berkelbat pergi namun dengan diam-diam mereka mengikuti dari belakang.

"Kalian berdua!” Mendadak Malaikat Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. “Urusan kita belum usai! Jangan berani coba-coba menambah urusan dengan ikut campur urusanku dengan pemuda ini!”

sepasang mata Dewi Siluman terpentang besar mengarah pada Malaikat Penggali Kubur. ilmu kepandaianmu masih sebatas telapak kaki masih juga bermulut besar! Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan anak itu!

“Hmm... Rupanya kau telah mengenal Pangeran keparat ini!" desis Malaikat Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga masih membatin. "Ucapan perempuan bercadar ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku bernama Pangeran Mendut-Mendut ini sudah berkeliaran di luaran sana. Berarti dia juga bukan penghuni pulau ini! Jahanam betul! Dia telah menipuku”

Mendengar Malaikat Penggali Kubur sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi Siluman tertawa bergelak-gelak. "Apa kau bilang? Pangeran? Pangeran apa?! Dasar manusia sok tahu namun dungu! Dengar baik-baik agar kau tak penasaran jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau sebut Pangeran yang kini tegak di hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131 atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas aku punya urusan dengan dia dan jangan ikut campur!”

Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi Siluman yang sebutkan siapa dirinya sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin yakin bahwa perempuan berjubah dan bercadar hitam itulah orang yang membawa lari pedangnya. Namun sejauh ini dia belum mau mulai buka mulut untuk bertanya.

"Dasar manusia baru turun gunung! Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak dapat menentukan mana Pendekar mana Pangeran!" kata Dewi Siluman lalu perdengarkan tawa mengejek.

Rahang Malaikat Penggali Kubur mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Sepasang matanya mendelik angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua tangannya terlihat bergerak mengepal pertanda dia siap lepaskan pukulan.

"Tahan!" Tiba-tiba Ki Buyut Pagar Alam berseru demi melihat apa yang hendak dilakukan Malaikat Penggali Kubur. "Aku bicara terus terang saja. Kau dan kami datang ke tempat ini pasti dengan tujuan memburu kitab sakti Serat Biru. Betul?"

"Aku tak akan katakan tujuanku!” sahut Malaikat Penggali Kubur.

Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia melanjutkan kata-katanya. "Keinginan kita ternyata telah didahului orang. Dan bukan tidak mungkin orang yang mendahului kita telah mendapatkan kitab itu! Sekaang bagaimana kalau kita berbagi rezeki?!”

"Apa maksudmu?!" ujar Malaikat Penggali Kubur sambil memandang tajam pada Ki Buyut Pagar Alam.

"Kita buktikan bersama-sama apakah orang itu telah mendapatkan kitab itu! Lalu..."

"Bagaimana membuktikannya?!" potong Malaikat Penggali Kubur.

"Kita tanya baik-baik. Kalau keras kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa pendek. "Malaikat Penggali Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa orang! Aku punya kekuatan untuk melakukannya sendiri!"

Mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa panjang. "Anak muda! Kami telah buktikan, kekuatanmu masih jauh di bawah kami! Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang pendekar?!"

Rahang Malaikat Penggali Kubur makin mengembang dan terangkat. Pemuda ini hendak keluarkan suara membentak, namun Ki Buyut Pagar Alam telah mendahului.

"Anak muda. Jika nyawanya telah kita cabut dan begitu kitab benar-benar ada. Kita tentukan siapa yang berhak memilikinya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai sambil gelengkan kepala. "Usulmu baik. Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya tangan untuk mencabut nyawanya!"

"Hm... Baiklah. Kuberi kesempatan padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan lihat!"

Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan berbisik. "Aku memanas-manasi dia agar dia segera melenyapkan pemuda berbaju putih itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih ringan! Aku punya dugaan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemuda sembarangan! Bahkan kalau perlu kita cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa pemuda itu secara bersama-sama!"

Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua orang Ini lantas melangkah menjauh dan berdiri berjajar perhatikan ke arah Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar Pedang tumpul 131 Joko Sableng.

********************

BAB 12

KITA tinggalkan dulu keadaan di Pulau Biru. Kita kembali sejenak pada Ratu Pemikat dan laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar berkepala gundul yang mengenakan jubah toga warna putih hitam yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Merak Kawung.

Seperti dituturkan dalam episode Rahasia Pulau Biru, begitu Ratu Pemikat dan Merak Kawung gagal membunuh Pendekar Merak Kawung mengusulkan pada Ratu Pemikat untuk menemui seseorang yang diyakininya mengetahui seluk-beluk tentang Pulau Biru.

Ratu Pemikat akhirnya menyetujui. Namun sebenarnya dalam benak masing-masing orang ini punya ulat tersembunyi. Saat itu Ratu Pemikat dan Merak Kawung tiba pada suatu tempat yang gersang. Pohon-pohon yang tumbuh tidak berdaun, sementara semak belukar tampak kering. Tanahnya pun rengkah-rengkah.

"Kita sampai, Ratu..." gumam Merak Kawung seraya memandang lurus ke depan, di mana dari tempat mereka tampak sebuah gubuk berdinding jerami kering. Sambil bergumam tangan kanan Merak Kawung tampak tak henti-hentinya menelusuri ke balik pakaian Ratu Pemikat. Ratu Pemikat sendiri tampak tengadah sambil mendesah dengan mulut sedikit terbuka.

Melihat sikap Ratu Pemikat, Merak Kawung segera melangkah maju setengah tindak lalu berballk. Kedua tangannya cepat menyusup ke balik pakaian Ratu Pemikat. Lalu kepalanya menunduk dan mencium bibir sang Ratu. Sejenak Ratu Pemikat membalas ciuman-ciuman Merak Kawung. Namun begitu Merak Kawung terlihat terbuai dan nafsunya mengelegak, Ratu Pemikat cepat tarik pulang kepalanya.

"Kita selesaikan dulu urusan! Setelah itu kita bersenang-senang. Bukankah waktu kita masih banyak?" bisik Ratu Pemikat dengan dada turun naik.

Merak Kawung sepertinya tak pedulikan ucapan Ratu Pemikat. Dia kembali rundukkan kepalanya dan disusupkan di antara payudara sang Ratu.

“Kekasih... Aku sebenarnya sudah tak tahan. Namun harap kau mengerti. Urusan kita belum berhasil! Atau katu ingin aku tinggalkan tempat ini?”!" Seraya berkata, Ratu pemikat keluarkan kedua tangan MerAk Kawung dari balik pakaiannya.

Meski dengan dada bergetar keras dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas akhirnya Marak Kawung putar tubuh. Lalu melangkah mendahului Ratu Pemikat menuju gubuk. Tiga langkah di depan gubuk yang pintunya tertutup itu Merak Kawung berhenti. Sepasang matanya liar perhatikan sekeliling gubuk Lalu dia buka mulut.

Ki Jala Sutera! Adakah kau di dalam?!"

Merak Kawung menunggu. Sementara Ratu Pemikat telah berdiri di sampingnya dengan rapikan pakaiannya. Tidak ada jawaban dari dalam gubuk, membuat Merak Kawung kembali berteriak. Namun untuk kali ini belum juga terdengar suara jawaban. Merak Kawung mulai terlihat cemas. Dia kembali berteriak. Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar suara orang tertawa mengekeh.

"He he he... Rupanya ada orang memberi rezeki. Memang sudah lama tubuh renta ini tidak merasakan hangatnya rezeki. He he he... Masuklah!"

Ratu Pemikat sejenak menatap pada Merak Kawung dengan pandangan bertanya. Namun Merak Kawung tidak hiraukan pandangan Ratu Pemikat. Dia segera melangkah dan tangannya mendorong pintu gubuk. Lalu memberi isyarat pada Ratu Pemikat untuk mengikuti.

Begitu kedua orang ini masuk, dari tempat masing-masing mereka melihat sesosok tubuh rebah di pembaringan beralaskan jerami kering. Sosok itu kurus dan menggeletak hampir terbenam dalam alas jerami. Jika hanya dipandang sepintas lalu, orang menyangka sosok di pembaringan dipan adalah sosok manusia yang telah meninggal. Yang menandakan kehidupan dari sosok ini hanyalah dadanya yang bergerak pelan turun naik. Sementara sepasang matanya terpejam rapat. Mulutnya yang hampir memutih mengatup. Wajahnya hampir tidak tertutup daging sedikit pun. Dan lebih-lebih dia hanya mengenakan celana pendek dekil!

"Merak... Apakah..."

"Ratu!" tukas Merak Kawung pelan tanpa berpaling, "inilah orang yang kita cari! Memang hanya beberapa orang saja yang mengenalnya. Tapi bagi tokoh-tokoh rimba persilatan generasi dahulu, dia sudah tidak asing lagi! Beberapa puluh tahun yang silam namanya pernah menjadi hantu bagi siapa saja. Dia adalah sahabat mendiang guruku! Jadi tidak usah takut atau khawatir. Aku tahu siapa dia!"

Habis berkata begitu, Merak Kawung melangkah ke arah pembaringan. "Ki Jala Sutera! Aku Merak Kawung..."

Terdengar deheman pelan. Lalu perlahan-lahan sepasang mata sosok di atas pembaringan yang dipanggil Ki Jala Sutera bergerak membuka, memandang ke atas. "Aku membaui harum seorang perempuan! He he he...! Adakah kau bersama bidadari?!"

"Aku datang bersama seorang sahabat!"

Kepala Ki Jala Sutera membuat gerakan berpaling. Sejurus dia memandang pada Merak Kawung. Lalu melebar pada Ratu Pemikat yang berada dua langkah dibelakangnya. Serta-merta sepasang mata Ki Jala Sutera membelalak besar. Lalu dari mulutnya terdengar kekehan tawanya. Namun sejauh ini anggota tubuh lainnya tampak tidak bergerak.

"Mendatangi gubukku di tengah tanah gersang, apalagi bersama seorang bidadari cantik jelita, pasti kau punya urusan. He he he. Katakan terus terang, Merak Kawung...!"

Mendengar si kakek memuji dirinya, Ratu Pemikat menyumpah dalam hati. Tapi dia coba tersenyum meski kejap kemudian alihkan pandangannya ke jurusan lain. Merak Kawung tidak segera buka mulut lagi. Sebaliknya dia berpaling pada Ratu Pemikat. Namun sebelum dia sempat berkata, si kakek telah berucap.

"Merak Kawung! Katakanlah terus terang!"

"Hm... Rimba persilatan saat ini sedang ribut membicarakan sebuah kitab sakti..." Merak Kawung mulai bicara. "Namun tampaknya orang-orang persilatan itu kesulitan menentukan tempat di mana kitab sakti itu tersimpan!"

"He he he... Yang kau maksud tentu Kitab Serat Biru!"

"Benar, Ki! Menurut mendiang guru, kau adalah seorang yang tahu banyak tentang seluk-beluk kitab sakti itu!”

"Bukan hanya tahu seluk-beluknya, Tapi aku sudah pernah datang ke tempat di mana kitab itu diduga tersimpan..."

"Jadi kau tahu jalan menuju tempat itu?!" tanya Merak Kawung dengan wajah cerah dan bibir tersungging senyum.

“He he he Aku menulis jalan menuju lembah itu!”

Merak Kawung makin gembira, sementara Ratu Pemikat terlihat sunggingkan senyum dan melangkah mendekati Merak Kawung. "Ki..." kata Merak Kawung tapi ucapannya tidak diteruskan. Dia tampak bimbang dan melirik pada Ratu Pemikat.

"He he he...! Kau menginginkan tulisan yang menunjukkan tempat itu?!"

Merak Kawung anggukkan kepalanya. Ratu Pemikat tanpa sadar ikut-ikutan mengangguk. Lalu memandang lekat-lekat pada Ki Jala Sutera yang masih diam di atas dipan. Tiba-tiba Ki Jala Sutera memberi isyarat pada Merak Kawung agar mendekat. Merak Kawung cepat mendekat lalu condongkan kepalanya ke arah mulut Ki Jala Sutera. Ki Jala Sutera mengekeh sebentar lalu berbisik perlahan. Tiba-tiba wajah Merak Kawung berubah. Dan serentak berpaling ke arah Ratu Pemikat, membuat perempuan bertubuh bahenol dan berparas cantik ini merasa tidak enak.

"He he he...! Merak Kawung!" kata Ki Jala Sutera. "Aku tidak dapat menunggu lama-lama!"

Merak Kawung bergerak mundur mendekat kearah Ratu Pemikat. Sejurus dia pandangi wajah perempuan itu lekat-lekat. Merasa dirinya diperhatikan demikian rupa, Ratu Pemikat segera berkata.

"Cara memandangmu kali ini lain, Merak Kawung! Ada apa? Apa yang kalian bicarakan tadi?!"

Sesaat Merak Kawung tidak menjawab. Namun pada akhirnya laki-laki berkepala gundul ini berkata. "Ratu... Ki Jala Sutera akan memberikan tulisan menuju tempat di mana tersimpan kitab sakti itu. Tapi dengan syarat..."

Perasaan Ratu Pemikat makin tidak enak. Dia cepat menyahut. "Apa syarat yang diminta?!"

"Dia..." Merak Kawung masih menggantung ucapannya, membuat Ratu Pemikat tak sabar dan segera berseru dengan suara agak keras.

"Dia kenapa?!"

"Dia menginginkan dirimu!"

Ratu Pemikat kernyitkan dahi. "Maksudmu?!" katanya dengan dada berdebar.

"Kau diminta melayaninya bermesraan semalam!"

Paras Ratu Pemikat kontan berubah mengetam. Sepasang matanya mendelik besar dengan mulut mengatup rapat. Tiba-tiba dia berpaling pada Merak Kawung dan berkata. “Gila! Tak mungkin aku turuti syarat yang diminta!"

"Tapi... Itulah satu-satunya jalan jika kita ingin mendapatkan kitab sakti itu!"

"Gila! Ini gila! Bagaimana mungkin aku harus bergelut dengan tua bangka peot begitu rupa, he?!"

"Itu terserah bagaimana kau saja Ratu! Dan semua ini juga tergantung padamu. Kau bersedia berarti kita mendapatkan kitab itu, jika kau tidak bersedia, untuk apa dituruti!"

"Tidak! Aku tidak mau menuruti permintaan gila ini!" teriak Ratu Pemikat.

"Ratu..."

"Merak Kawung!" tukas Ratu Pemikat. "Sekali aku bilang tidak, tidak! Atau kau saja yang layani dia!"

Air muka Merak Kawung berubah. Tubuhnya tampak bergetar tanda ia menindih amarah. Saat itulah dari arah dipan terdengar suara kekehan tawa Ki Jala Sutera.

"He he he...! Syarat telah kuajukan. Jika tidak setuju harap lekas tinggalkan tempat ini!"

Merak Kawung berpaling pada Ratu Pemikat. "Ratu, Ini kesempatan paling berharga! Orang tua itu sering berubah pikiran dalam sekejap!"

Ratu Pemikat tampak bimbang. "Tapi... Ah, bagaimana aku harus..."

Merak Kawung segera menyahut. “Kau bukan orang bodoh, Ratu!" bisiknya seraya kedipkan mata sebelah.

"Baiklah! Aku terima syarat itu..." ucap Ratu Pemikat pada akhirnya.

“He he he...! Bagus! Merak Kawung! Untuk malam ini kau sementara tidur di luar!"

Merak Kawung memandang sekali lagi pada Ratu Pemikat. Ratu Pemikat anggukkan kepalanya. Tanpa berkata lagi, Merak Kawung balikkan tubuh lalu melangkah keluar.

Bersamaan dengan keluarnya Merak Kawung, tiba-tiba Ki Jala Sutera bergerak bangkit dan duduk dengan kedua tangan direntang-rentangkan. He he he... Apalagi yang kau tunggu, Bidadari?!"

Meski dalam hati menyumpah habis-habisan, namun perlahan-lahan Ratu Pemikat melangkah mendekati dipan. Sementara sepasang mata Ki Jala Sutera memandang tak berkesip dengan mulut komat-kamit. Begitu Ratu Pemikat dekat, kedua tangan Ki Jala Sutera segera merangkul sosok Ratu Pemikat dan kepalanya cepat pula bergerak menciumi wajah perempuan cantik itu.

Ratu Pemikat sejenak tidak membuat gerakan apa-apa, bahkan ketika kedua tangan Ki Jala Sutera membuka kancing-kancing pakaiannya. Malah sang ratu buka sedikit mulutnya dan perdengarkan desahan panjang. Sepasang mata si kakek makin terpentang besar tatkala pakaian Ratu Pemikat telah terbuka bagian atasnya dan dihadapannya tampak dua payudara besar, putih, dan kencang. Tak sabar, kedua tangan Ki Jala Sutera segera bergerak hendak menyentuh payudara sang Ratu, namun Ratu Pemikat cepat menangkap dan sambil duduk di atas dipan, sang Ratu berbisik.

"Aku tidak mau dibodohi. Tunjukkan dahulu tulisan yang kau maksud!"

Si kakek tampak kuasai dadanya yang bergerak cepat sebelum berkata. "Aku adalah manusia yang memegang janji!"

Ratu Pemikat tertawa pendek. "Janji di mulut mana bisa dipercaya! Tunjukkan tulisan itu atau kau tidak akan rasakan semua kenikmatan ini!"

Ki Jala Sutera gerakkan tangan kanannya menyingkap jerami kering yang menjadi alas pembaringan. Di situ tampaklah oleh Ratu Pemikat satu buku tipis.

"Buka dulu buku itu!" kata Ratu Pemikat.

“Kau percaya atau tinggalkan tempat ini!” Kini ganti Ki Jala Sutera yang keluarkan ancaman, lalu tertawa mengekeh.

Ratu Pemikat hanya bisa diam bahkan ketika kedua tangan Ki Jala Sutera melepas pakaiannya hingga perempuan bertubuh bahenol itu polos tanpa penutup lagi. Namun ketika kedua tangan si kakek hendak bergerak mencekal tubuhnya yang polos, Ratu Pemikat cepat berkelit. Dan kini sambil tertawa renyah Ratu Pemikat dorong tubuh si kakek hingga telentang di atas dipan.

"Kek..." kata Ratu Pemikat dengan suara setengah berbisik. "Aku akan membuatmu tidak melupakan malam ini seumur hidupmu!" sambil berkata kedua tangan Ratu Pemikat meraba tubuh yang tinggal tulang belulang itu.

Ki Jala Sutera tampak kesenangan. Napasnya makin memburu kencang. Malah ketika perlahan-lahan kedua tangan Ratu Pemikat membalikkan tubuhnya hingga menelungkup, kakek ini menurut saja.

"Kek... Tentu sudah lama kau tidak merasakanbkenikmatan seperti ini!" ujar Ratu Pemikat seraya terus gerakkan tangannya menelusuri punggung si kakek sementara tubuh polosnya duduk di paha sang kakek.

Ki Jala Sutera menggumam pelan tak jelas karena tertindih desah napasnya yang memburu kencang. Malah kakek ini tidak merasakan saat perempuan di atas tubuhnya angkat kedua tangannya. Dia baru tersadar tatkala merasakan desiran angin kencang melabrak dari samping kiri kanan kepalanya. Namun kesadarannya sudah terlambat. Sebelum sempat kakek ini tahu apa yang terjadi, kedua tangan Ratu Pemikat menghantam batok kepalanya bagian belakang.

“Plakkk!” Ki Jala Sutera hanya melengkuh pelan. Kepalanya rengkuh. Namun akibatnya begitu kedua tangan Ratu Pemikat menghantam rengkah kepalanya, kedua kaki si kakek melipat ke atas.

"Bukkk! Bukkk!" Ratu Pemikat merasakan punggungnya dihantam batangan kayu besar, hingga tubuhnya mencelat dari atas tubuh Ki Jala Sutera dan jatuh terjengkang ke bawah. Pada saat bersamaan sosok si kakek tampak bergerak bangkit. Darah tampak mengucur deras dari kepalanya membasahi punggung dan wajahnya.

Menangkap gelagat tidak baik, Ratu Pemikat cepat bangkit dan serta-merta kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit' hingga saat itu juga melesat dua sinar biru terang kearah si kakek. Meski Ki Jala Sutera adalah tokoh yang pernah ditakuti pada beberapa tahun silam, namun karena kepalanya telah rengkah membuat gerakannya lamban, hingga ketika dua sinar biru pukulan Ratu Pemikat menggebrak, dia tidak sempat lagi meng hindar.

"Brulll!" Dinding gubuk jebol terhantam sosok Ki Jela Sutera yang mencelat mental terkena pukulan Ratu Pemikat. Kakek ini hanya sempat terpekik, tapi tiba-tiba suara pekikannya terputus laksana direnggut setan. Sosoknya menghantam sebatang pohon di luar gubuk lalu jatuh di atas tanah dengan nyawa melayang!

Ratu Pemikat cepat berkelebat menyambar pakaiannya, dan secepat itu pula dia menyingkap jerami di atas dipan. Buku tipis di atas jerami disambarnya lalu berkelebat keluar gubuk.

"Ratu...!" teriak Merak Kawung.

Ratu Pemikat berpaling sejenak. Dia memberi isyarat pada laki-laki berkepala gundul itu. "Kita tinggalkan tempat ini, cepat!"

Merak Kawung sesaat meragu. Dia memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat. Ketika dia berpaling kebelakang gubuk dan melihat sosok Ki Jala Sutera tergeletak berlumur darah, dia segera angkat alis matanya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu menyusui Ratu Pemikat yang telah berkelebat lebih dulu...

S E L E S A I

Kitab Serat Biru

Serial Joko Sableng Dalam Episode Kitab Serat Biru

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131


BAB 1

DATUK Hitam tegak di atas tanah ruangan gua dengan air muka berubah beringas. Sepasang bola matanya mendelik angker bergerak liar ke seluruh ruangan dan keluar mulut gua. Tapi kakek ini makin dibuat terhenyak, karena dia tidak menangkap adanya seseorang!

"Pendengaranku jelas baru saja mendengar suara orang! Jahanam betul! Mana bangsat manusianya?!" sang datuk perdengarkan makian keras. Sementara sepasang matanya terus perhatikan keadaan sekeliling. Namun sejauh ini dia tetap tak bisa menangkap adanya seseorang, hingga seraya palingkan kepala ke arah Dewa Sukma yang tetap memejamkan mata seolah tak hiraukan bahaya sedang mengancam, Datuk Hitam menenangkan diri sendiri dengan bergumam pelan.

"Mungkin telingaku yang tergoda... Lagi pula perlu apa turuti ucapan orang kalau hendak membunuh bangsat ini?!"

Namun meski si kakek telah berusaha menenangkan diri, jelas wajahnya masih membayangkan kebimbangan. Hingga untuk sekian kalinya, sang datuk edarkan pandangannya sekali lagi. Ketika yakin bahwa sepasang matanya memang tidak melihat adanya orang, dia angkat kedua tangannya kembali siap lepaskan pukulan maut pada Dewa Sukma.

Belum sampai kedua tangan sang datuk bergerak lepaskan pukulan, kembali terdengar suara teguran. Malah kali ini terngiang jelas di telinga si kakek seolah suara itu diperdengarkan di depan teli-nganya!

"Aneh. Orang telah menyuruhnya pergi. Tapi masih tegak melotot bahkan hendak teruskan niat lepaskan pukulan. Hik hik hik...! Apakah dia mengira sebagai malaikat maut yang seenaknya saja bisa cabut nyawa orang?!"

Datuk hitam cepat sentakkan kepala dengan kedua tangan bergerak memukul ke samping, hingga saat itu juga lamping ruangan gua bagian sisi kanan berantakan dan untuk beberapa saat ruangan gua itu bergetar keras! Seraya angkat kembali kedua tangannya Datuk Hitam membentak.

"Bertampang apa pun kau adanya, kenapa tak berani tampakkan diri, hah?!"

Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar ucapan. "Tampangku mungkin akan membuatmu kecewa. Tapi agar kau tak penasaran, kuturuti kata-katamu! Hik hik hik...!"

Suara tawa orang belum lenyap, tahu-tahu ruangan gua disesaki bau busuk. Namun sesaat kemudian berubah menjadi bau luar biasa harum. Tatkala Datuk Hitam menoleh ke samping kiri, terlihat tegak seorang nenek mengenakan jubah warna merah menyala sepuluh langkah dari tempatnya berdiri.

Nenek ini berambut putih sebatas tengkuk. Sepasang kelopak matanya besar tapi matanya yang menjorok masuk amat sipit. Mulutnya selalu bergerak-gerak memainkan gumpalan tembakau hitam keluar masuk!

"Ratu Malam!" desis Datuk Hitam mengenali siapa adanya nenek berjubah merah. "Kemunculannya pasti untuk urusan peta itu!" duga Datuk Hitam lalu turunkan kedua tangannya.

"Untung kau masih mengenali tampangku, Datuk Hitam...! Kuharap kau tak kecewa dengan tampang ini! Hik hik hik...! Lebih dari itu, mudah-mudahan rasa penasaranmu sirna..."

"Ratu Malam! Terangkan apa hubunganmu dengan manusia tergantung ini sampai kau menghalangi urusanku?!"

Ratu Malam tertawa lebih dulu sebelum berkata. "Seribu keterangan tak akan membuatmu mengerti! Lebih baik segera tinggalkan tempat ini!"

"Aku yang punya urusan dahulu. Aku berhak melakukan apa yang kumau! Harap kau jangan mengganggu urusanku! Dan lekas angkat kaki dari hadapanku!"

"Wah. Bagaimana bisa begitu?! Kau boleh punya urusan dahulu, tapi tidak berarti kau berhak melakukan apa yang kau mau!"

Habis berkata begitu Ratu Malam putar tubuh membelakangi Datuk Hitam. Kepalanya ditengadahkan, lalu dari mulutnya terdengar siulan dendangkan nyanyian. Kedua kakinya pun ikut bergerak-gerak seakan mengikuti irama siulan.

Untuk sesaat Datuk Hitam pandangi punggung si nenek. Dan setelah ditunggu agak lama Ratu Malam tetap bersiul malah kini dengan goyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan kiri, Datuk Hitam keluarkan bentakan keras. "Ratu Malam! Kau benar-benar ingin berurusan denganku!"

Ratu Malam putuskan siulannya, tapi kepalanya masih tetap bergoyang-goyang. Lalu terdengar nenek ini berujar. "Itu dugaanmu! Aku punya urusan dengan orang yang digantung, bukan dengan kau!"

Sejurus Datuk Hitam terdiam. Namun sepasang mata kakek ini berkilat, rahangnya mengembang. Mulutnya bergerak membuka, namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu Malam telah berujar lagi.

"Harap kau dengar ucapanku, tinggalkan tempat ini, atau..."

"Jahanam!" potong Datuk Hitam. "Urusanku belum selesai!" sentaknya dengan sepasang mata di-pentangkan besar pandangi bagian belakang tubuh Ratu Malam.

"Selesai atau belum bukan urusanku! Hik hik hik...! Yang kuminta kau lekas angkat kaki dari belakangku!"

Meski dadanya bergemuruh mendengar kata-kata Ratu Malam, namun kakek ini cepat berpikir. "Meski mulut gua berantakan, lalu pemuda bangsat yang menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur barusan dari sini, tapi aku belum mendapat jawaban pasti dari mulut Dewa Sukma sendiri tentang peta itu. Hemmm... Siapa tahu Dewa Sukma sebenarnya masih menyimpan peta itu. Aku harus membawanya dan mengorek keterangan dari mulutnya!"

Datuk Hitam segera putar diri menghadap Dewa Sukma. Lalu kedua tangannya bergerak menjulur menakup pada pinggang Dewa Sukma. Kejap kemudian sang datuk sentakkan tubuh Dewa Sukma yang menggantung. Namun kakek ini jadi terkesiap. Jangankan sosok Dewa Sukma melorot jatuh, bergeming pun tidak! Bahkan saat itu juga Datuk Hitam segera lepaskan kedua tangannya dari pinggang Dewa Sukma dan mundur dua langkah. Sepasang matanya membeliak menatap pada kedua tangannya yang baru saja memegang pinggang Dewa Sukma. Ternyata kedua telapak tangan sang datuk telah menggembung!

"Laknat! Sinar apa sebenarnya yang menggantung dan membelit tubuh Dewa Sukma ini?!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya yang menggembung dan terasa luar biasa panas.

Selagi Datuk Hitam dilanda keheranan dengan apa yang baru saja dialami, Ratu Malam yang tegak membelakangi tiba-tiba menegur. "Datuk! Apakah perlu kuulangi lagi ucapanku?!"

"Persetan! Urusanku belum tuntas. Jangan harap aku tinggalkan tempat ini tanpa mendapat apa-apa!"

Lalu tanpa acuhkan ucapan Ratu Malam, Datuk Hitam kerahkan tenaga dalam dan cepat kedua tangannya menakup pinggang Dewa Sukma. Mula-mula sang datuk merasakan hawa hangat masuk melalui kedua telapak tangannya. Sadar akan apa yang hendaK terjadi, kakek ini segera lipat gandakan tenaga dalam. Hingga hawa hangat itu meski pelan-pelan berubah panas namun si kakek masih mampu untuk menahannya.

Tak menunggu lama, Datuk Hitam segera lorot-kan sepasang kakinya ke bawah. Serentak kedua tangannya membetot. Namun hingga keringat keluar membasahi tubuhnya, tali berupa sinar yang menggantung tubuh Dewa Sukma tak juga lepas.

"Gila! Aku tak bisa menunggu lama-lama!" seru Datuk Hitam. Lalu dia lepaskan telapak tangannya dari pinggang Dewa Sukma. Kejap lain kedua tangannya bergerak menghantam ke atas, ke arah tali berupa sinar hitam yang menggantung tubuh Dewa Sukma.

"Beettt! Beettt!" Pukulan Datuk Hitam menyambar tali berupa sinar, namun sang datuk jadi melengak. Walau pukulannya mengenai sasaran, namun tali itu hanya bergoyang-goyang!

"Setan keparat!" maki sang datuk. Cepat dia kembali kerahkan tenaga dalam. Mendadak sentak kedua telapak tangannya mengembang dan didorong keras ke atas, lepaskan pukulan sakti 'Puspa Jagat'. Suasana pekat kejap itu segera menyungkup ruangan gua. Lalu terdengar suara...

"Tass! Tasss!" Berulangkah, disusul dengan suara bergedebukan benda jatuh.

Saat suasana terang kembali, tampak sosok Dewa Sukma telentang di lantai gua dengan mata terpejam rapat dan napas megap-megap. Perlahan-lahan Dewa Sukma buka kelopak matanya. Lalu hendak bergerak bangkit. Namun kakek ini jadi kernyitkan dahi, sementara sepasang matanya perhatikan Datuk Hitam.

Datuk Hitam tertawa mengekeh. "Dewa Sukma. Maaf, untuk sementara waktu tubuhmu kubuat tidak bisa bergerak!"

Ternyata seraya menarik pinggang Dewa Sukma selagi hendak dibetot ke bawah, Datuk Hitam lancarkan totokan, hingga saat tubuh Dewa Sukma telah jatuh di lantai gua, orang tua itu tak bisa membuat gerakan! Bahkan suaranya pun laksana tersumbat di tenggorokan! Tanpa berkata-kata lagi, Datuk Hitam melangkah dua tindak ke depan. Tangan kiri kanan bergerak hendak meraih tubuh Dewa Sukma yang masih dalam keadaan tertotok.

Namun baru saja kedua tangannya menyentuh pinggang, Ratu Malam perdengarkan ucapan. "Harap tinggalkan tempat ini sendirian, Datuk Hitam!"

Datuk Hitam tarik pulang kedua tangannya. Lalu dengan mata melotot besar dia angkat kepalanya dan putar diri menghadap Ratu Malam. Raut wajahnya yang berwarna hitam makin mengelam. Dari hidungnya terdengar dengusan keras. Jelas pertanda kakek berwajah hitam angker ini sedang menahan marah besar.

Tapi kembali dada Datuk Hitam diusik urusan peta. Jika turuti hawa kemarahan ingin rasanya sang datuk segera lepaskan pukulan pada Ratu Malam. Namun kakek berwajah hitam ini sekali lagi masih berpikir. Dia sadar, siapa adanya Ratu Malam. Kalau pun dia dapat mengimbangi tak urung pasti akan mengalami cedera, padahal dia harus membawa tubuh Dewa Sukma. Berpikir sampai di situ akhirnya Datuk Hitam berujar.

"Ratu Malam! Kalau kau punya urusan dengan anak manusia ini, cepat selesaikan!"

Ratu Malam balikkan tubuh. Sepasang matanya sejenak berputar bergantian menatap ke arah Dewa Sukma dan Datuk Hitam. Kejap kemudian terdengar dia tertawa panjang sebelum akhirnya berkata.

"Urusanku dengannya tak boleh dilihat dan didengar orang lain! Jadi harap angkat kaki dari sini!"

Tubuh Datuk Hitam tampak bergetar menahan marah. "Kau manusia serakah tak tahu diuntung! Jangan berani ucapkan perintah dan berani bergerak dari tempatmu, kau cari mampus!"

Habis berkata demikian, Datuk Hitam bergerak memutar. Tubuhnya sedikit membungkuk, sementara tangan kanannya bergerak ke bawah. Saat sang datuk kembali menghadap Ratu Malam, tubuh Dewa Sukma telah berada di pundaknya! Tanpa memandang lagi pada Ratu Malam, Datuk Hitam segera berkelebat. Tapi langkah sang datuk tertahan tatkala tiba-tiba Ratu Malam gerakkan jubahnya dan tahu-tahu sosoknya tegak menghadang empat langkah di hadapan Datuk Hitam!

"Kau cari mati berani hadang langkahku!" gertak Datuk Hitam. Kedua telapak tangannya dikembangkan. Kakek ini tahu siapa lawan yang dihadapi, hingga dia langsung siapkan pukulan sakti 'Puspa Ja-gat'.

Begitu mengetahui Ratu Malam tetap tak beranjak dari hadapannya, Datuk Hitam segera dorong kedua tangannya kirimkan pukulan 'Puspa Jagat'! Ruangan gua kembali diselimuti kegelapan. Lalu menghampar udara luar biasa panas disusul dengan menggebraknya gelombang angin kencang!

Ratu Malam tak tinggal diam. Begitu keadaan gelap, nenek ini segera pukulkan kedua tangannya ke depan. Di antara kegelapan suasana terlihat cahaya menyeruak. Lalu menghampar hawa luar biasa dingin yang tak lama kemudian menindih lenyap hawa panas yang keluar dari pukulan Datuk Hitam. Gelombang angin kencang yang melesat dari telapak tangan sang datuk laksana ditekan kekuatan hebat dari sebelah atas, hingga bukan saja membuat gelombang angin itu tertahan namun kejap itu juga menukik deras ke bawah menghantam lantai ruangan gua.

"Bummm!" Lantai ruangan gua pecah berantakan membentuk lobang menganga lebar. Di sebelah depan sana, sosok Datuk Hitam tampak tersapu deras ke belakang sebelum terhenti setelah menghantam bagian samping ruangan gua. Sosok Dewa Sukma yang tadi ada di pundaknya mencelat mental dan jatuh bergedebukan di lantai.

Di seberang, sosok Ratu Malam terhuyung-huyung. Tapi sebelum tubuhnya menghantam bagian samping ruangan gua. si nenek dapat kuasai diri. Seraya memainkan gumpalan tembakau hitam di mulutnya, Ratu Malam tertawa pendek lantas melangkah maju tiga tindak.

Sambil bersandar punggung pada bagian samping ruangan gua, Datuk Hitam sibakkan rambut yang menghalangi sepasang matanya. Kedua tangan kakek ini tampak bergetar. Dadanya bergerak turun naik tak karuan. Dan samar-samar dari balik rambut yang menutupi sebagian wajahnya tampak darah kehitaman keluar dari sela mulutnya.

"Jahanam! Ini gara-gara Malaikat Penggali Kubur keparat! Jika saja tidak bentrok lebih dulu dengannya, tak mungkin aku terluka begini rupa! Sialan betul!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dadanya.

Seperti diketahui, sebelum ini Datuk Hitam sempat bentrok dengan Malaikat Penggali Kubur. (Lebih jelasnya baca episode Malaikat Penggali Kubur). Meski saat itu tak mengalami cedera, namun mau tak mau membawa pengaruh saat pukulan yang dilepaskan bentrok dengan pukulan Ratu Malam.

"Jika urusan ini tak cepat selesai, bisa-bisa aku yang akan celaka!" bisik Datuk Hitam. Serta-merta kakek ini alirkan tenaga dalamnya kembali pada kedua telapak tangan dan sepasang kakinya.

Di lain kejap tiba-tiba tubuh Datuk Hitam melenting satu tombak ke atas. Membuat gerakan telentang di udara. Masih dengan telentang sosoknya berputar-putar melesat ke arah Ratu Malam. Kedua tangannya pun serta-merta mendorong lepaskan pukulan. Kakek ini telah kerahkan jurus 'Mendera Bayu' sekaligus kirimkan pukulan 'Puspa Jagat'. Selama malang melintang dalam rimba persilatan hanya beberapa orang yang benar-benar berilmu tinggi yang dapat lolos jika Datuk Hitam telah kerahkan gabungan jurus 'Mendera Bayu' dan 'Puspa Jagat'.

Ratu Malam sendiri sejenak tampak terpana dengan sepasang mata dibeliakkan dan mulut terkancing rapat. Nenek ini bukan hanya merasakan hawa panas dan menderunya gelombang angin yang luar biasa dahsyat, namun juga tak dapat memastikan di «ana beradanya sosok Datuk Hitam, karena ruangan gua telah berubah gelap gulita!

Sambil menggerendeng panjang pendek, akhirnya Ratu Malam membuat gerakan berputar-putar. Terdengar deruan mendesis-desis. Lalu tampak kabut putih membungkus tubuh si nenek laksana pembatas yang memagari. Gelombang angin menebar hawa panas dan sepasang kaki Datuk Hitam terus mendekat. Sejengkal lagi gelombang angin dan tendangan kaki menggebrak tubuh Ratu Malam yang terbungkus kabut putih, sang datuk keluarkan bentakan keras.

"Braakkk! Bummm!" Terdengar benturan keras yang disusul dengan dentuman menggelegar. Ruangan gua bergetar keras. Mulut gua yang berantakan tampak ambrol menganga. Langit-langit ruangan gua rontok menaburkan batu-batu kecil.

Sosok Datuk Hitam terlihat mental balik laksana menghantam benda keras. Begitu kerasnya mentalan tubuhnya, sampai tak sempat bagi sang datuk untuk berusaha hentikan laju tubuhnya, hingga kejap kemudian sosoknya menghantam bagian samping ruangan gua. Perlahan-lahan tubuh Datuk Hitam melorot jatuh dengan punggung bersandar pada bagian samping ruangan gua. Darah kehitaman kini mengalir dari mulut dan hidungnya pertanda luka dalamnya cukup parah.

Di seberang, sosok Ratu Malam tampak bersandar pada bagian samping ruangan gua. Meski masih terlihat berdiri, namun tubuhnya agak melorot. Wajahnya pun berubah pias. Jubah merahnya bagian samping hangus hitam. Untuk beberapa saat nenek berambut putih sebatas tengkuk ini usap-usap dadanya dengan mulut komat-kamit mainkan gumpalan tembakau hitam di dalamnya. Malah beberapa kali tampak menghela napas seraya menghisap gumpalan tembakau di mulutnya.

"Puluhan tahun terjun dalam kancah persilatan, baru kali ini aku menemui lawan yang tak mempan gabungan pukulanku! Jahanam betul! Meneruskan bentrok hanya akan membawa celaka..." gumam Datuk Hitam. Sejurus dia memandang ke arah Ratu Malam yang kini telah tegak dan hendak melangkah. Lalu alihkan pandangannya pada sosok Dewa Sukma yang ternyata telah mental jauh dari tempat semula.

"Hem... Kalau aku tetap ingin membawa Dewa Sukma, nenek tua itu tidak bisa kulewati hari ini. Terpaksa aku pergi bertangan kosong!" Datuk Hitam bergerak bangkit. Sambil arahkan pandangan matanya keluar gua, sang datuk berucap. "Tua bangka Ratu Malam! Saat ini aku bersumpah. Siapa pun tak akan kubiarkan menyentuh nyawamu! Raga dan nyawamu kelak akulah yang menentukan!"

Di seberang, mendengar sumpah Datuk Hitam, Ratu Malam tertawa panjang. "Aku tahu. Ucapanmu hanya untuk menghindar. Namun aku ingin buktikan juga, apakah kelak ucapanmu akan jadi kenyataan. Hik hik hik...!"

Dagu Datuk Hitam di balik uraian rambutnya yang menutupi wajahnya tampak mengembang. Kedua kakinya bergetar keras. Tapi daripada mencari celaka jika perturutkan kemarahan, akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi Datuk Hitam berkelebat tinggalkan ruangan gua.

Ratu Malam pandangi kepergian Datuk Hitam dengan tertawa mengekeh panjang. Lalu begitu sosok sang datuk lenyap, si nenek melangkah mendekai ke arah Dewa Sukma yang masih tergeletak diam dengan mata terpejam dan napas megap-megap.

BAB 2

SI nenek cepat duduk bersila disamping tubuh Dewa Sukma. Tangan kanan kirinya bergerak cepat membuat ketukan beberapa kali di bagian tertentu dari tubuh Dewa Sukma. Seketika itu juga Dewa Sukma buka kelopak matanya. Tubuhnya ikut bergerak-gerak. Mulutnya perlahan-lahan membuka seolah hendak bicara. Namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu Malam telah mendahului.

"Nanti saja bicara. Sekarang bantu aku mengembalikan tenagamu!"

"Sekar Mayang..." bisik Dewa Sukma memanggil nama asli Ratu Malam. "Kau ini bagaimana? Tubuhku laksana tak bertenaga. Bagaimana mungkin aku bisa membantumu?!"

Sejurus Ratu Malam perhatikan sekujur tubuh Dewa Sukma. Ternyata tubuh kakek ini telah mengembung di beberapa bagian dan membentuk libatan di balik pakaiannya yang ternyata juga telah robek tak karuan.

"Hemm... Ini akibat libatan sinar celaka itu! Hanya ada satu orang yang punya pekerjaan seperti ini. Apakah memang dia orangnya...? Ah, bisa bahaya jika benar-benar dia!" kata Ratu Malam dalam hati. Lalu tanpa bicara lagi dia balikkan tubuh Dewa Sukma. Kedua tangannya ditempelkan pada punggung si kakek yang juga adalah kakak seperguruannya itu.

Dewa Sukma tampak keluarkan keluhan, sosoknya berguncang-guncang. Namun Ratu Malam tak hiraukan keluhan orang. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya, hingga untuk beberapa saat sosok Dewa Sukma terlihat naik turun sejengkal dari lantai gua! Tapi beberapa saat kemudian, tubuh Dewa Sukma tampak diam, dan bersamaan dengan itu napasnya bergerak teratur.

Ratu Malam buka kelopak matanya dan menarik napas lega. Lalu kedua tangannya mengusap bagian yang mengembung dari tubuh Dewa Sukma. Sedikit demi sedikit bagian yang mengembung dan membentuk libatan itu mengempis. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewa Sukma perdengarkan batuk berulang kali. Ratu Malam tarik pulang kedua tangannya. Lalu menatap pada Dewa Sukma yang perlahan-lahan membuat gerakan hendak bangkit. Tapi tubuhnya oleng dan sebentar kemudian jatuh kembali telengkup di atas lantai gua.

"Jalu Paksi..." ucap Ratu Malam dengan sebut nama asli Dewa Sukma. "Alirkan tenaga dalammu untuk pulihkan tenaga. Aliran darahmu masih tersumbat!"

Dewa Sukma segera balikkan tubuh menelentang. Kedua tangannya merangkap di atas dada. Sementara sepasang matanya dipejamkan rapat. Dari mulutnya terdengar gumaman pelan tak jelas. Setelah merasa aliran darahnya normal, Dewa Sukma buka matanya. Lalu pelan-pelan bergerak bangkit dan duduk bersila dengan kedua tangan diletakkan di atas paha kiri kanan.

“Sekar Mayang... Tumben kau menyambangi diriku! Kukira kau telah menganggapku tidak ada!"

Ratu Malam komat-kamitkan mulut mainkan gumpalan tembakau hitam. Sepasang matanya dilebarkan pandangi sosok Dewa Sukma “Dasar Tua bangka tak tahu diri! Sudah ditolong masih juga mengomel bicara tidak karuan!" gerendengnya lalu berkata.

"Siapa manusia yang membuatmu tak berkutik kaki di atas kepala di bawah, he?!"

Dewa Sukma tak memberi jawaban. Kakek ini terlihat arahkan pandangannya keluar gua: Lalu beralih pada mulut gua sebelah kiri yang porak poranda.

"Jalu Paksi!" kata Ratu Malam setelah agak lama ditunggu Dewa Sukma tidak juga buka mulut. "Sesuatu telah terjadi di luaran sana! Aku melihat beberapa orang berkeliaran dan aku menduga mereka memegang rahasia yang selama ini kita simpan! Jangan-jangan kau memberikan pada orang yang salah..."

"Rupanya kau tahu banyak, Sekar Mayang..."

"Eh. Apa maksudmu?!"

"Penggalan peta itu memang telah jatuh pada orang yang salah! Tapi itu bukan salahku!"

"Sialan! Sudah jelas berbuat salah masih juga berdalih!" maki Ratu Malam setengah berteriak. Lalu menyambung. "Siapa keparatnya yang mengambil peta itu? Katakan cepat!"

Dewa Sukma gelengkan kepala. "Aku tak bisa pastikan siapa dia..."

"Setan!" tukas Ratu Malam. "Bagaimana bisa begitu?!"

"Kau tak juga berubah, Mayang... Selalu marah-marah..." gumam Dewa Sukma sambil menarik napas dalam-dalam.

"Bagaimana aku akan enak-enakan. Sedang penggalan peta itu adalah pesan mendiang guru yang harus dijaga dan diserahkan pada orang yang telah ditentukan! Dunia persilatan akan mengalami kiamat jika peta itu sampai berada di tangan orang lain. Apa kau berani tanggung jawab, heh?!”

"Tapi..."

Belum usai ucapan Dewa Sukma, kembali Ratu Malam telah memotong. "Tidak ada tapi! Meski kau tak bisa memastikan siapa adanya orang itu, setidak-tidaknya kau bisa menduga! Ayo katakan!"

"Hemm... Melihat pukulannya serta sinar hitam yang menggantungku, aku menduga dia adalah Durga Ratih. Tapi menilik pakaian yang dikenakan, aku jadi ragu-ragu!"

"Apa pakaian yang dikenakan? Apakah potongan pakaiannya merangsang sampai kau bertekuk lutut? Dadanya terbuka, pahanya ternganga?!”

Dewa Sukma yang tahu bagaimana sifat adik seperguruannya hanya geleng-geieng kepala. "Kau salah besar, Mayang. Justru orang itu menutup seluruh anggota tubuhnya. Malah wajahnya pun ditutup dengan cadar hitam!"

"Kau tadi menduga siapa?!" tanya Ratu Malam. "Durga Ratih...!"

"Persis! Aku pun menduga dialah pembuat ulah ini! Tapi bagaimana tahu-tahunya banyak orang yang berkeliaran dan seoiah-olah tahu betul seluk-beluk urusan peta itu?"

"Tak ada jawaban yang pasti daripada mencari tahu sendiri, Mayang!"

"Hem... Jika begitu, kita cepat pergi dari sini!" ujar Ratu Malam seraya bangkit berdiri. "Hei, ada apa denganmu, hah? Kau menyembunyikan sesuatu! Wajahmu berubah!" kata Ratu Malam begitu bangkit dan dilihatnya Dewa Sukma tak juga beranjak dari tempatnya.

"Dengar, Mayang..."

"Sialan! Kau kira sejak tadi aku tuli, heh?!"

"Ada urusan lain yang harus kau ketahui, Mayang..."

"Urusan penggalan peta dan menyelamatkannya jauh lebih penting! Urusan lain belakangan!" sahut Ratu Malam seraya sedikit pelototkan sepasang matanya.

"Justru urusan ini ada sangkut-pautnya dengan penggalan peta itu!"

"Hemm... Aku pasang telinga. Katakan apa urusannya!"

Beberapa saat Dewa Sukma diam. Namun sesaat kemudian dia buka mulut. "Mendiang Eyang guru memberikan sebuah kotak padaku. Kotak itu berisi peta sempurna yang menunjukkan arah ke Pulau Biru. Eyang sengaja memberikan padaku untuk menjaga kemungkinan jika salah satu di antara kita berlima ada yang mendapat halangan dan tak bisa sampaikan penggalan peta di tangannya pada orang yang ditentukan."

"Mana sekarang kotak itu?! Orang yang ditentukan itu sekarang sudah muncul! Daripada dia mencari penggalan peta, lebih baik kotak itu kita serahkan. Seperti kukatakan, telah banyak orang berkeliaran. Jika tidak bertindak cepat, tidak mustahil akan kedahuluan orang, apalagi peta di tanganmu telah raib!"

"Kotak itu juga telah raib, Mayang..."

"Apa?!" teriak Ratu Malam keras. Nenek ini tersentak kaget dan maju satu tindak dengan sepasang mata mendelik menatap lekat pada Dewa Sukma. "Kau jangan bercanda, Jalu Paksi!" "Aku tahu mana tempat bercanda, dan mana tempat harus bersungguh-sungguh!"

"Kiamat! Benar-benar kiamat!" gerendeng Ratu Malam seraya melangkah mondar-mandir dengan kedua tangan mengepal dan sesekali dipukulkan satu sama lain. "Apakah perempuan keparat itu juga yang menggondolnya?!"

"Bukan. Dia seorang pemuda yang menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur. Dia mengaku murid Bayu Bajra..."

"Sialan! Betul-betul sialan! Berarti makin banyak orang telah tahu rahasia Pulau Biru! Ini semua akibat kesalahanmu, Jalu Paksi! Kesalahanmu!" kata Ratu Malam sambil bantingkan kedua kakinya.

"Aku tertipu, Mayang..."

"Alasan! Bagaimanapun cerdiknya orang menipu, kalau kau berpegang teguh pada pesan Eyang guru tak mungkin kotak itu jatuh pada orang! Apalagi urusan kotak itu hanya kau satu-satunya dari kelima murid Eyang guru yang dipercaya menyimpannya! Atau karena dia murid dari adik kandungmu hingga kau begitu gampang menyerah-kannya?!"

"Mayang! Kau jangan menduga yang tidak-tidak! Sudah kukatakan aku ditipu!" kata Dewa Sukma dengan suara sedikit keras.

"Aku tidak menduga buruk, Jalu Paksi. Tapi saat itu tidak ada orang lain yang melihat! Hanya kau dan orang berjuluk Malaikat Penggali Kubur. Jadi hanya kalian berdua yang tahu pasti apa yang terjadi!"

"Nada ucapanmu masih mencurigaiku!"

Ratu Malam tertawa pendek. "Terus terang, meski aku tak mendapat kepercayaan Eyang guru, tapi setidak-tidaknya aku punya kewajiban untuk ikut campur. Apakah salah jika muncul satu dugaan karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi?!"

"Mayang! Tak ada gunanya kita berdebat!"

"Lantas?!"

"Kita menemui Iblis Ompong, Gendeng Panuntun, dan Dewi Es!"

Untuk beberapa saat Ratu Malam tegak diam. Sepasang matanya memandang keluar gua. "Aku kini mengkhawatirkan pemuda itu! Jangan-jangan dia mendapat halangan sebelum berhasil menemukan penggalan peta itu!"

"Siapa namanya?" tanya Dewa Sukma seraya bangkit.

"Seperti ciri-ciri yang dikatakan Eyang guru, karena dia memiliki Pedang Tumpu! 131 maka rimba persilatan menggelarinya Pendekar Pedang Tumpul 131."

"Kalau begitu, hem...bBagaimana kalau kita berpencar, aku menemui Iblis Ompong, Gendeng Panuntun dan Dewi Es, sementara kau menyusur jalan mencari pemuda itu! Bukankah kau sedikit banyak tahu ke mana arah pemuda itu?"

Ratu Malam tampak berpikir. Lalu berpaling pada Dewa Sukma dan berkata. "Baik. Berhasil atau tidak setengah purnama di depan kau kutunggu di tempatku!"

Setelah berkata begitu, Ratu Malam melangkah ke arah mulut gua. Sejurus dia berhenti di mulut gua dan perhatikan mulut gua sebelah kiri yang porak-poranda. Nenek berjubah merah menyala ini terdengar bergumam tak jelas. Lalu menoleh ke arah Dewa Sukma.

Seakan dapat menangkap apa yang ada dalam benak Ratu Malam, Dewa Sukma segera berucap. "Jangan mengajak berdebat lagi. Mayang! Semuanya sudah terjadi!"

Ucapan Dewa Sukma belum selesai, Ratu Malam telah kembali berpaling keluar gua. Lalu sekali berkelebat, sosoknya lenyap dari pandangan kakak seperguruannya. Dewa Sukma menarik napas panjang. Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan gua yang berantakan. Kejap lain sosoknya melesat keluar dari gua!

********************

BAB 3

MATAHARI mulai menggelincir turun dari titik tengahnya. Satu sosok bayangan putih berkelebatan cepat laksana dikejar hantu gentayangan. Pada satu tempat si sosok hentikan larinya Kepalanya berputar dengan sepasang mata menyapu seantero tempat tak jauh dari tempatnya berdiri Ternyata dia berada di lereng sebuah bukit kecil.

"Hemm... Tempat ini agaknya aman..." gumam si sosok yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan berpakaian putih-putih dengan rambut sedikit acak-acakan dibalut ikat kepala yang juga berwarna putih.

Sang pemuda berpaling ke sebelah kanan, di mana pada bahu kanannya tampak sesosok tubuh. Setelah meyakinkan sekali lagi bahwa tempat di mana dia berada aman, sang pemuda perlahan-lahan turunkan sosok yang ada di bahunya.

Dihadapan si pemuda kini tampak telentang seorang gadis muda berwajah jelita mengenakan pakaian warna merah dengan rambut panjang hitam lebat yang dikuncir tinggi menggunakan ikat kepala warna putih. Hidungnya mancung dengan bulu mata lentik dan ditingkahi bibir membentuk bagus.

Perlahan-lahan si gadis buka kelopak matanya. Sejenak tampak rasa terkejut membayang pada raut wajahnya. Namun kejap kemudian berubah malah bibirnya sunggingkan senyum meski parasnya agak kemerahan.

"Pendekar 131... Terima kasih..." ucap si gadis dengan sepasang mata menatap tajam pada pemuda yang jongkok di sampingnya.

Si pemuda menggeleng pelan. "Dewi Seribu Bunga. Simpan dulu ucapan itu. Aku perlu memeriksa lukamu..."

Seperti dituturkan dalam episode Malaikat Penggali Kubur, saat terjadi pertemuan antara Pendekar 131 Joko Sableng dengan Ayu Laksmi tiba-tiba muncullah Dewi Seribu Bunga. Karena menuruti pesan gurunya Dewi Siluman yang harus menyingkirkan siapa saja yang bertemu di jalan dan diduga berat memburu Kitab Serat Biru, Ayu Laksmi segera lepaskan pukulan.

Karena Ayu Laksmi merasa geram dengan ucapan Dewi Seribu Bunga, gadis ini langsung lepaskan pukulan pertamanya pada Dewi Seribu Bunga. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga yang diam-diam merasa cemburu dengan Ayu Laksmi karena melihat gadis itu berdua-dua dengan pemuda yang diam-diam juga dirindukannya, tak tinggal diam. Akhirnya terjadilah bentrok.

Saat itulah muncul Wulandari, salah seorang saudara seperguruan Ayu Laksmi. Kedua gadis ini segera lepaskan pukulan bersama-sama pada Pendekar 131 yang saat itu menolong Dewi Seribu Bunga. Karena tak mau dirinya celaka juga untuk selamatkan Dewi Seribu Bunga, murid Pendeta Sinting segera pula menangkis dengan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Begitu bentrok pukulan terjadi, Pendekar 131 cepat menyahut sosok Dewi Seribu Bunga dan berkelebat tinggalkan tempat.

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala seraya bangkit. "Aku tak apa-apa... Maaf, aku mengganggu. Seharusnya aku tak muncul di tempat mana kau berada dengan gadis itu..." kata si gadis dengan sura agak tersendat sambil arahkan pandangannya pada jurusan lain.

"Dewi... Harap jangan menduga terlalu jauh. Dia..."

Belum habis kata-kata Pendekar 131, Dewi Seribu Bunga telah menukas. "Sebagai seorang gadis, aku tahu kenapa gadis berjubah biru itu mengucapkan kata-kata kasar padaku. Lebih dari itu dia menginginkan nyawaku!"

"Tidak hanya kau. Tapi dia juga menginginkan selembar nyawaku..."

Dewi Seribu Bunga sunggingkan senyum seraya tertawa perlahan. Kepalanya dipalingkan menghadap murid Pendeta Sinting. Menatap sejurus lalu berkata. "Itu karena kehadiranku di tempat itu dan karena kau menolongku."

Murid Pendeta Sinting balas menatap ke bola mata si gadis. Seraya ganti tersenyum dia berujar. "Dengar, Dewi! Aku memang dua kali bertemu dengan gadis itu. Namun sejauh ini aku belum tahu apa maksudnya! Yang jelas dia selalu menginginkan nyawaku!"

Dewi Seribu Bunga sedikit arahkan kepalanya ke samping. Tapi raut wajahnya masih membayangkan keraguan dengan ucapan yang baru saja didengarnya. Sejenak gadis berpakaian merah ini menarik napas dalam, lalu berkata pelan.

"Namun nada ucapannya sepertinya dia menyimpan sesuatu padamu..."

Joko tertawa membuat Dewi Seribu Bunga menoleh kembali dengan dahi mengernyit. Puas tertawa murid Pendeta Sinting ini segera berujar. "Dewi... Boleh saja kau menduga, tapi..." Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapannya mendadak terdengar orang melantunkan bait-bait syair.

Tataplah hari ini. Hari ini adalah kehidupan dari segala kehidupan. Hari kemarin tak lain hanyalah mimpi. Sedang hari esok adalah merupakan bayangan. Menatap hari ini, membuat hari kemarin berubah jadi mimpi indah.

Menatap hari ini, membuat hari esok berubah bayangan penuh harapan. Hari ini, petunjuk datang untuk menghadapi badai, keangkaramurkaan, dan kesombongan. Buatlah hari ini yang terindah dalam hidup.

Sebelum kita ditantang kelaliman orang-orang sesat. Sebelum kita turun ke dalam tanah. Dari tanah menjadi tanah, di bawah tanah kita terbaring. Tanpa anyelir, tanpa syair, dan tanpa akhir.


Joko dan Dewi Seribu Bunga untuk sesaat saling berpandangan satu sama lain. Namun murid Pendeta Sinting segera tengadahkan kepala.

"Hari ini petunjuk datang..." gumamnya dalam hati mengulangi bait-bait syair yang baru saja terdengar. "Hemm... Jangan-jangan syair tadi ada hubungannya dengan apa yang selama ini sedang kuhadapi. Petunjuk! Mungkin ada kaitannya dengan penggalan peta!"

"Dewi..." ucapnya setelah agak lama berpikir. "Tunggulah di sini. Aku akan melihat ke sana! Jangan pergi sebelum aku datang kembali. Aku tahu kau masih terluka. Gadis-gadis tadi tidak tertutup kemungkinan masih mencari kita. Kalau ada apa-apa cepat beri tanda!"

"Joko...!" seru Dewi Seribu Bunga dengan nada khawatir. Namun yang diteriaki sudah berkelebat ke arah puncak bukit dari mana suara syair terdengar. "Ah... Dia masih memperhatikan diriku. Tapi apakah perhatiannya itu hanya cuma perhatian? Apakah dia menyimpan rindu selama tidak berjumpa seperti apa yang kualami?"

Gadis berbaju merah murid Maut Mata Satu ini sejenak tengadahkan kepala memandang ke arah puncak bukit. "Aneh. Kenapa Pendekar 131 sepertinya tertarik dengan lantunan syair-syair itu. Menilik suaranya, orang yang perdengarkan syair adalah seorang perempuan. Hemmm... Apakah aku harus ikut ke sana? Gadis yang tadi menginginkan nyawanya adalah seorang perempuan. Lalu orang di atas sana juga perempuan. Jangan-jangan..."

Dewi Seribu Bunga sekali lagi tajamkan sepasang matanya memandang ke arah puncak bukit. Tapi karena bukit itu ditumbuhi pohon-pohon besar serta rimbun semak belukar, hingga meski gadis ini sampai pelototkan mata dan kepalanya berputar, dia tak bisa menangkap keadaan di puncak bukit.

Dan tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga, diam-diam sejak tadi sesosok tubuh tampak mendekam di balik sebuah pohon dengan sepasang mata tak berkedip memperhatikan ke arah Dewi Seribu Bunga. "Gadis beruntung..." gumam orang di balik pohon pelan. "Mendapat perhatian dari seorang pemuda yang bukan hanya tampan namun juga berbudi. Seandainya aku bukan..." gumam orang di balik pohon terputus.

Sepasang matanya yang ternyata ada di balik cadar berlobang kecil-kecil membelalak dengan dahi mengernyit. Menatap lurus ke arah mana Dewi Seribu Bunga tegak berdiri dengan wajah dibalut kebimbangan.

Di depan sana, Dewi Seribu Bunga yang diliputi keragu-raguan dan kecemasan tersurut mundur satu langkah ketika tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan tegak dengan sikap menghadang lima langkah di hadapannya! Mungkin karena terkejut dengan kedatangan orang apalagi baru saja bentrok dengan Ayu Laksmi dan Wulandari, tanpa melihat siapa adanya orang, gadis berpakaian merah ini cepat angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan seraya berteriak menegur.

"Jangan berani berbuat macam-macam atau kuputus kepalamu!"

Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga tak membuat gerakan. Sebaliknya dia perdengarkan tawa pendek sambil alihkan pandangan. Namun jelas jika wajahnya berubah bahkan kedua tangannya terlihat mengepal keluarkan suara berkeretekan.

Mendadak Dewi Seribu Bunga turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya membelalak menyipit. Tanpa pikir panjang tiba-tiba si gadis membuat gerakan berkelebat ke depan menghambur pada orang seraya menjura dalam-dalam.

"Guru..."

Terdengar dengusan keras. Tanpa memandang pada Dewi Seribu Bunga orang yang dipanggil guru ini membentak keras. "Larasati! Kau benar-benar murid tak tahu diuntung! Apa kau lupa akan ucapanku tempo hari, hah?!"

"Maafkan, Guru..."

Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga berpaling. Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat besar dilapis kulit tipis dan pucat. Rambutnya putih dan dikuncir ke belakang. Raut wajahnya hanya tampak samar-samar karena sebagian wajah itu tertutup jambang, kumis dan jenggot lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang berwarna kuning. Matanya yang hanya sebelah, semen-tara sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah kulit bundar yang dikaitkan dengan tali ke belakang kepalanya membuat kakek ini tambah angker.

"Aku tanya padamu. Apa kau lupa dengan ucapanku tempo hari! Jawab!" bentak si kakek bermata satu yang bukan lain adalah seorang tokoh dan momok rimba persilatan yang tak asing lagi di kalangan dunia persilatan. Yakni seorang tokoh yang bergelar Maut Mata Satu.

Tentang Maut Mata Satu, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Ratu Pemikat.

Dewi Seribu Bunga untuk beberapa saat tak juga buka mulut memberi jawaban. Tapi tatkala Maut Mata Satu perdengarkan lagi dengusan keras, si gadis cepat angkat bicara meski dengan kepala menunduk. "Aku tidak lupa dengan ucapan Guru...!”

"Hemm... Lantas kenapa kau berkeliaran di tempat ini, hah?! Apa yang kau cari?! Jawab cepat!"

"Maaf, Guru. Selama kepergianmu, aku selalu cemas akan keselamatanmu. Apalagi kau tak juga kunjung kembali..."

"Teruskan kata-katamu. Tapi ingat. Sekali tak masuk akal jangan kira aku enggan menampar mulutmu!" sela Maut Mata Satu.

"Guru. Apa maksudmu?"

"Sejak kita gagal mendapatkan Pedang Tumpul 131 dan kembali ke Teluk Panarukan, kulihat sikapmu berubah! Kau sering menyendiri dan termenung! Aku menduga bukan keselamatanku yang membuatmu cemas dan meninggalkan Teluk Panarukan. Ada hal lain lebih dari itu! Jangan mendustaiku, Larasati!"

Larasati alias Dewi Seribu Bunga parasnya berubah. Dadanya berdebar keras. Dia tampak menunduk lebih dalam. Diam-diam gadis ini berkata dalam hati. "Aku tak boleh mengatakannya. Guru pasti tidak menyukai pemuda itu! Dan aku juga tidak boleh mengatakan jika pemuda itu ada di sini. Tapi bagaimana kalau tiba-tiba Pendekar 131 muncul? Ah... Ini pasti akan membuatku celaka! Lebih-lebih Pendekar 131. Aku harus..."

"Eh. Kenapa kau diam?! Apa jawabmu dengan ucapanku tadi, heh?!" kata Maut Mata Satu dengan suara masih keras memutus kata hati Dewi Seribu Bunga.

Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. Menatap lekat-lekat pada gurunya lalu berkata. "Guru. Kau telah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri. Apa gunanya berkata dusta padamu?"

Maut Mata Satu tertawa pelan. "Larasati! Perubahan sikapmu tak bisa menipu pandanganku! Tapi. Hemmm... Aku tanya padamu, siapa saja yang sempat kau temui sejak kau meninggalkan Teluk Pa-narukan?!"

Sesaat pandangan Dewi Seribu Bunga melirik ke arah puncak bukit. Namun kali ini si gadis coba menindih perasaan agar raut kecemasan tak membayang di air mukanya. "Aku hanya sempat jumpa dengan dua orang gadis. Mereka tak sebutkan siapa adanya. Tapi yang membuatku heran, mereka sepertinya ingin membunuhku!"

"Selain dua gadis itu?!"

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Hanya mereka yang sempat kutemui!"

"Pemuda itu?!" tanya Maut Mata Satu.

Meski Dewi Seribu Bunga sudah tegarkan hati, namun saat gurunya ajukan tanya tentang pemuda yang dimaksud bukan lain Pendekar Pedang Tumpul 131, mau tak mau membuat gadis berpakaian merah ini terkesiap kaget.

"Kau sempat jumpa dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 bukan?!" Maut Mata Satu ulangi tanyanya.

"Tidak!" kata Dewi Seribu Bunga dengan suara bergetar agar keras. "Hanya..."

"Katakan! Kenapa kau putus kata-katamu?!" sahut Maut Mata Satu.

"Aku menangkap kelebatan tubuhnya saat aku bentrok dengan dua gadis itu! Dia menuju arah selatan!"

"Bagus! Kau sebelah sana, aku lewat sini!" kata Maut Mata Satu seraya arahkan telunjuk tangannya. "Kita bertemu sebelum petang!"

"Aku belum mengerti maksud Guru...!"

Maut Mata Satu pelototkan matanya yang hanya sebelah. "Kejar dia! Ingat ucapanku tempo hari. Rebut pedangnya dengan cara apa pun! Dengar?!"

Meski dengan berat akhirnya kepala Dewi Seribu Bunga membuat gerakan mengangguk. Setelah melirik sejurus ke arah puncak bukit, Dewi Seribu Bunga menjura. "Aku berangkat sekarang, Guru..."

Maut Mata Satu menyeringai. "Ingat! Jika kejadian dahulu terulang lagi, bukan saja tak kuizinkan kau tinggalkan Teluk Panarukan, tapi kau akan tinggalkan dunia ini selamanya!"

Dada Dewi Seribu Bunga membuncah dengan berbagai perasaan mendengar ucapan gurunya. Namun karena berpikir tak ada gunanya berdebat mencari perkara, akhirnya gadis ini segera berkelebat tinggalkan iereng bukit menuju arah selatan seperti yang ditunjuk Maut Mata Satu.

"Heemmm... Anak itu tampak sangat cemas. Berulangkali kulihat matanya memandang ke arah puncak bukit..." desis Maut Mata Satu begitu sosok Dewi Seribu Bunga telah lenyap. "Jangan-jangan dia masih menyembunyikan sesuatu padaku..."

Maut Mata Satu untuk beberapa lama tidak segera beranjak dari tempatnya. Malah seraya bergumam tak jelas sebelah matanya mendelik angker memandang ke arah puncak bukit. Malah kini perlahan-lahan dia melangkah menuju puncak bukit.

Orang di balik pohon pentangkan sepasang matanya dari balik cadar. "Jelas orang ini punya niat jahat! Gadis itu juga! Hemm... Meski aku belum tahu apa sebenarnya yang terjadi di puncak bukit, tapi aku harus mencegah orang bermata satu itu!" kata orang yang mendekam di balik pohon dalam hati seraya alirkan tenaga dalam siapkan satu pukulan. Dia segera bergerak hendak bangkit keluar dari balik pohon. Tapi gerakannya tertahan malah dia rundukkan kembali tubuhnya ke balik pohon.

Di depan sana, Maut Mata Satu tiba-tiba hentikan langkah. Satu matanya memperhatikan berkeliling lalu ke puncak bukit. "Sialan! Kenapa aku turuti rasa curiga yang belum pasti? Larasati mengatakan pemuda itu menuju arah selatan. Hemm... Meski urusan Kitab Serat Biru kali ini lebih penting, tapi adalah satu kebanggaan tersendiri jika Pedang Tumpul 131 berhasil jatuh ke tanganku!" Berpikir sampai di situ, Maut Mata Satu segera putar diri.

Hal inilah yang membuat sosok di balik pohon urungkan niat untuk keluar. Malah makin rundukkan diri ketika mata Maut Mata Satu mengedar berkeliling. "Hemm... Jangan-jangan dia tahu dan urungkan niat menuju puncak bukit!" kata sosok di balik pohon dalam hati.

Tapi sosok ini segera menarik napas lega ketika di depan sana dilihatnya Maut Mata Satu membuat gerakan berputar lalu berkelebat tinggalkan lereng bukit. "Aku akan menunggu sampai Pendekar 131 turun. Aku harus mengatakan padanya siapa sebenarnya gadis berbaju merah itu! Gadis liar! Berkedok cinta untuk satu tujuan busuk! Tak akan kubiarkan jika aku bertemu dengannya lagi!"

Sosok ini segera bangkit dan keluar dari balik pohon. Ternyata dia adalah seorang perempuan mengenakan pakaian panjang. Wajahnya mengenakan cadar berlobang-lobang kecil, sementara di punggungnya tampak punuk besar!

********************

BAB 4

PENDEKAR 131 terus berkelebat ke puncak bukit. Namun mendadak murid Pendeta Sinting ini hentikan larinya dengan kening berkerut dan kepala berputar. Karena nyanyian bait-bait syair itu terdengar kembali. Namun bukan karena suara itu Joko Sableng hentikan langkah. Melainkan suara bait-bait syair itu laksana datang dari arah sebelah kanan lamping bukit. Namun kejap kemudian beralih ke lamping bukit sebelah kiri. Saat lain laksana terdengar dari puncak bukit.

"Heran. Jika bukan orang berkepandaian tinggi, tak mungkin bisa lakukan hal seperti ini. Aku akan terus menuju puncak. Dari sebelah sana mungkin agak mudah menentukan di mana beradanya orang itu..." Joko segera teruskan langkah mendaki ke puncak bukit. Saat itulah kembali terdengar lantunan bait-bait syair. Tapi kali ini jelas datangnya dari arah puncak bukit.

Hari penentuan telah datang. Hilangkan rasa ragu dan bimbang. Di hati yang bersih dan cemerlang. Di sana petunjuk itu akan menjelang

Gelombang arakan awan hitam telah menghadang. Laskar maut telah memekik meradang Hanya dengan kuasa yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sang penentu dapat membuat jalan terang.


Untuk beberapa lama, Joko simak baik-baik bait syair yang didengarnya. "Apakah ini betul-betul ada kaitannya dengan petunjuk penggalan peta itu? Hemm... Aku belum sempat melihat penggalan peta yang diberikan orang tua yang sebutkan dirinya Gendeng Panun-tun. Jangan-jangan aku salah jalan dan tertipu..."

Murid Pendeta Sinting segera ambil gulungan kulit dari balik pakaiannya. Gulungan kulit berwarna coklat dari Ratu Malam, iblis Ompong, serta Gendeng Panuntun itu segera dibuka dan diletakkan bersambung satu sama lain. Tiba-tiba Joko mendelik besar dengan putar kepalanya berkeliling.

"Astaga! Peta terakhir ini menunjukkan tempat ini! Jadi lantunan syair tadi betul-betul ada kaitannya dengan penggalan peta ini!"

Joko cepat masukkan kembali tiga gulungan kulit di balik pakaiannya. Lalu berkelebat ke arah puncak bukit. Begitu sampai puncak bukit murid Pendeta Sinting ini merasakan keanehan.

Puncak bukit yang tidak berapa luas itu terasa dingin luar biasa. Malah sempat membuat sepasang kaki Joko bergetar menggigil. Rahangnya pun mengatup rapat. Dan sepasang matanya menangkap kepulan asap di seluruh puncak bukit!

Dan ketika sepasang matanya terbiasa dengan asap yang menyelimuti puncak bukit, murid Pendeta Sinting ini makin membeliak. Ternyata rimbun dedaunan di puncak bukit bukanlah dedaunan biasa, melainkan gumpalan es! Selagi dada Joko disesaki keheranan, tiba-tiba terdengar suara teguran.

"Anak manusia! Harap sebutkan nama dan gelarmu!"

Sesaat Joko terkesiap. Karena dia belum bisa melihat orang yang keluarkan suara teguran, sepasang matanya dibeliakkan jelalatan menembusi kepulan asap.

"Anak manusia!" kembali satu teguran terdengar. "Harap suka jawab pertanyaanku atau lekas tinggalkan puncak bukit!"

"Aku... Aku Joko Sableng..."

Dari tengah kepulan asap puncak bukit terdengar gumaman ulangi nama Joko. Lalu terdengar suara agak keras. "Kau belum sebutkan siapa gelarmu!"

Seraya menahan rasa dingin, Joko gelengkan kepala, lalu berujar. "Aku tidak punya gelar. Hanya orang-orang kampung memberi julukan padaku Pendekar Pedang Tumpul 131. Padahal..."

"Adakah kau ke sini membawa bekal?" suara di tengah kepulan asap menukas terlebih dahulu sebelum ucapan Joko selesai.

"Aku tak mengerti bekal yang kau maksud!" ujar murid Pendeta Sinting setelah agak lama terdiam.

"Melihat keadaanmu, tentu kau telah mengadakan perjalanan cukup jauh. Adakah puncak bukit ini jadi tujuanmu ataukah kau hanya anak manusia yang tersesat jalan?!"

"Dikatakan tujuan bisa, namun dikatakan tersesat jalan juga boleh!"

"Hemm... Bisa jelaskan padaku apa maksud ucapanmu itu?!"

"Sebenarnya aku sampai di tempat ini secara kebetulan. Namun ternyata setelah kulihat dengan seksama, tempat inilah yang harus kutuju!"

"Apa tujuanmu ke tempat ini?!"

"Aku mendapat tugas dari Eyang guru Pendeta Sinting serta Manusia Dewa untuk menyelidik ke Pulau Biru yang diduga keras menyimpan Kitab Serat Biru yang sekarang dibicarakan dan diburu beberapa tokoh rimba persilatan. Baik Eyang guru maupun Manusia Dewa tak memberi petunjuk apa-apa mengenai Pulau Biru, hingga akhirnya aku berjalan menurutkan langkahan kaki seraya tanya sana tanya sini. Tapi pada satu tempat aku bertemu dengan seorang nenek yang terakhir kuketahui bergelar Ratu Malam. Dari padanya aku mendapatkan penggalan peta. Lalu ketika aku teruskan perjalanan, aku berjumpa dengan seorang tokoh yang berjuluk Iblis Ompong. Dari tokoh ini aku juga mendapatkan penggalan peta. Terakhir kali, aku bersua dengan orang aneh yang sebutkan diri Gendeng Panuntun. Dari orang ini, aku juga mendapatkan penggalan peta. Saat aku mendengar bait-bait syair dari puncak bukit ini seakan aku merasa bahwa bait-bait itu ada kaitannya dengan penggalan peta yang ada padaku. Dan ketika penggalan-penggalan peta itu kusambung, ternyata berakhir di puncak bukit ini."

"Aku tanya!" kata suara dari tengah kepulan asap dingin. "Mengapa kau bersedia mengemban tugas yang bukan hanya berat namun satu-satunya nyawamu juga akan jadi taruhannya?!"

"Menurut penuturan Eyang dan Manusia Dewa, Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab sakti. Jika kitab itu sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab, maka rimba persilatan akan ditimpa malapetaka besar! Demi keselamatan rimba persilatan, aku bersedia mengemban tugas dan aku rela satu-satunya nyawa milikku dipertaruhkan!"

Dari tengah kepulan asap dingin terdengar lantunan bait-bait syair yang tadi didengar Joko. Setelah lantunan syair itu selesai, terdengar suara.

"Kemarilah, Anak muda!" Ucapan orang belum selesai, tiba-tiba dari lamping bukit sebelah kanan menyambar gelombang angin pelan. Anehnya kepulan asap dingin di puncak bukit laksana dihantam gelombang luar biasa dahsyat dan seketika ambyar lalu membumbung ke angkasa!

Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta Sinting melihat seorang perempuan yang wajahnya hanya tampak samar-samar, karena dari atas kepalanya tampak curahan air rintik-rintik yang menyelimuti sekujur tubuhnya! Anehnya, baik wajah maupun jubah putih yang dikenakan serta tubuhnya tidak basah! Rambutnya panjang bergerai hitam dan lebat. Perempuan ini duduk bersila di atas sebuah altar batu. Curahan air dari atas kepala si perempuan begitu sampai di altar batu langsung meresap, dan sesaat kemudian lenyap. Hingga altar batu yang diduduki si perempuan tetap kering!

"Anak muda! Aku tidak suka bicara berulang-ulang! Harap segera turuti ucapanku atau putar diri dan turun bukit!" Tiba-tiba si perempuan buka mulut.

Murid Pendeta Sinting sekali lagi pentangkan sepasang matanya. Perlahan-lahan dia rasakan hawa dingin di sekitar puncak bukit berganti hangat. Dan dengan benak masih diliputi rasa heran, Joko perlahan maju mendekat ke arah si perempuan.

Lima langkah dari tempat si perempuan, Joko Sableng hentikan langkah. Kini agak jelas raut wajah si perempuan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berparas cantik jelita meski umurnya tidak muda lagi. Sepasang matanya lembut ditingkah bulu mata lentik. Hidungnya sedikit mancung dengan bi-Wr merah.

"Pendekar 131! Aku telah lama menunggu kedatanganmu! Tiap hari aku selalu lantunkan bait-bait syair yang tadi kau dengar. Memang banyak anak manusia yang datang ke tempat ini. Namun mereka tidak membawa bekal seperti yang kau miliki. Dan sejak hari ini aku sudah tidak akan lagi lantunkan syair itu!"

"Berarti apakah kau salah seorang saudara seperguruan Ratu Malam?" tanya Joko dengan mata memandang tak berkedip.

Si perempuan anggukkan kepala. "Betul! Akulah yang termuda di antara lima saudara seperguruan!"

"Boleh aku tahu siapa namamu?!"

"Anak muda! Untuk namaku, biarlah hanya empat saudara seperguruanku yang tahu..."

Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya seraya menggeleng perlahan. "Lalu harus bagaimana aku memanggilmu?!"

"Selama ini orang-orang memanggilku Dewi Es!"

Hening sejenak. Tiba-tiba si perempuan berjubah putih yang mengaku bernama Dewi Es ulurkan kedua tangannya ke depan. "Tunjukkan padaku barang yang kau miliki dari tiga orang yang kau sebutkan tadi!"

Joko terlihat ragu-ragu. Lenyapnya Pedang Tumpul 131 dari tangannya membuat murid Pendeta Sinting ini selalu dihantui perasaan khawatir pada setiap orang yang baru dikenalnya.

"Pendekar 131! Harap ingat peringatanku. Aku tak suka bicara berulang kali!" kata Dewi Es tetap dengan kedua tangan terulur ke depan.

Dengan sikap waspada, perlahan-lahan Joko keluarkan tiga gulungan kulit dari balik pakaiannya. Dan dengan kerahkan tenaga dalam untuk menjaga segala kemungkinan, murid Pendeta Sinting melangkah maju. Di depan sana, Dewi Es perdengarkan suara tawa perlahan.

"Tak perlu siapkan pukulan 'Lembur Kuning', Anak muda! Dan simpan kembali kulit itu!"

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget mendapati orang tahu dirinya siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Dengan air muka berubah, Joko cepat masukkan kembali gulungan kulit ke balik pakaiannya dan beringsut mundur. Tapi Joko terkesiap. Sepasang kakinya laksana dipantek tak bisa digerakkan meski dia coba dengan kerahkan tenaga dalamnya.

"Dewi! Apa yang kau lakukan? Jangan coba-coba memuslihatiku!" teriak Joko dengan angkat kepalanya menatap tajam pada Dewi Es.

Dewi Es tidak membuka mulut. Malah kini bangkit lalu melangkah ke arah Joko. Dua langkah di hadapan Pendekar 131, Dewi Es hentikan langkah. Kedua tangannya kembali menjulur ke depan. Menangkap gelagat tidak baik, murid Pendeta Sinting cepat membuka gerakan dengan angkat kedua tangannya. Namun darah Joko laksana sirap. Kedua tangannya kejang kaku tak bisa digerakkan!

"Celaka jika sampai perempuan ini mengambil gulungan kulit itu!” keluh Joko dalam hati. Diam-diam dia coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun aliran tenaga dalamnya laksana beku tak bisa diarahkan! "Ilmu apa yang dimiliki perempuan ini?! Tangan dan kakiku kejang kaku. Tenaga dalamku membeku! Benar-benar celaka!"

"Dewi!" teriak Joko Sableng. Namun sepasang mata Joko jadi membelalak besar karena suaranya tidak terdengar! Suara itu seperti tersekat di tenggo-rokan!

"Jika dia berani bertindak macam-macam, tak akan kuampuni nyawanya!" kata Joko dalam hati dengan rahang mengembung dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak pertanda menindih hawa marah.

Kedua tangan Dewi Es terus menjulur ke depan. Lalu menangkap kedua telapak tangan Joko. Sepasang mata sang Dewi mendadak terpejam rapat. Belum tahu apa yang hendak diperbuat Dewi Es. Pendekar 131 merasakan kedua telapak tangannya di-aliri hawa luar biasa dingin hingga tubuhnya bergetar menggigil. Ketika Joko melirik, nyawanya laksana terbang.

Ternyata sekujur tubuhnya perlahan-lahan diselimuti cairan membeku! Bahkan sedikit demi sedikit sepasang matanya terasa berat. Murid Pendeta Sinting merasakan matanya dialiri cairan, hingga mau tak mau dia segera pejamkan sepasang matanya. Bersamaan dengan terpejamnya mata, murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya laksana ditimpa beban berat yang sangat dingin. Lalu dia rasakan tubuhnya terhuyung dan kakinya melipat. Kejap lain tubuhnya jatuh berdebam ke atas tanah!

Dewi Es tarik kedua tangannya dari telapak tangan Joko. Dan sekali bergerak tubuhnya melesat mundur dan tahu-tahu telah duduk bersila kembali di atas batu altar. Sesaat kedua tangannya bergerak ke atas mengusap keringat yang membasahi wajah dan lehernya. Lalu menarik napas dalam-dalam dengan sepasang mata memandang tajam ke arah sosok Joko yang telentang.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewi Es tengadahkan kepala. Kedua tangannya mendorong ke depan ke arah Joko. Dari telapak tangan sang Dewi muncrat cairan bening namun mengepulkan asap.

"Buusss!" Gumpalan es yang membungkus sekujur tubuh Pendekar 131 mendadak mencair dan murid Pendeta Sinting ini rasakan hawa hangat menjalari tubuh. Hingga dia perlahan-lahan buka kelopak matanya. Joko sejurus terkesima. Pandangan matanya terasa tambah tajam Dan saat dia bergerak bangkit, dia juga tersentak. Gerakannya begitu ringan dan cepat!

"Jangan-jangan ini karena..." Joko segera arahkan pandangannya pada Dewi Es. Perempuan berjubah putih ini tampak tetap duduk bersila dengan sekujur tubuh laksana dicurahi rintik-rintik air.

"Pendekar 131!" ucap Dewi Es sebelum murid Pendeta Sinting sempat buka mulut. "Dalam dirimu sekarang ada satu kekuatan. Jika kau kerahkan tenaga dalam pada pangkal lenganmu lalu kedua tanganmu kau dorong menghantam, maka dari kedua tanganmu akan keluar satu gelombang kekuatan yang luar biasa dingin. Jika kau memegang sesuatu, maka barang yang kau pegang akan membatu! Jika tenaga dalam kau kerahkan pada dada, maka pukulan lawan akan mental atau setidak-tidaknya meski mengena namun tidak akan mencederaimu! Kau sekarang telah memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'!"

Entah karena terpesona dengan ucapan orang, hingga untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting Ini masih tegak terpaku dengan mata tak berkedip menatap pada Dewi Es. Begitu tersadar Pendekar 131 segera menjura dalam-dalam.

"Maaf atas dugaanku yang terlalu jauh, Dewi..."

Dewi Es gelengkan kepala. "Kita bukan sebagai murid dan guru. Harap kau tidak membuatku malu dengan peradatan begitu rupa!"

Murid Pendeta Sinting tarik pulang tubuhnya dan angkat kepalanya. "Terima kasih, Dewi..."

"Pendekar 131! Perjalananmu sudah dekat. Namun justru di situlah tantangan dan rintangan makin berat. Terimalah penggalan peta terakhir ini!" kata Dewi Es seraya ulurkan tangan kanannya yang memegang gulungan kulit.

Joko melangkah maju. Lalu menyambuti gulungan kulit dari tangan Dewi Es. Begitu gulungan kulit berada di tangan Joko, mendadak puncak bukit diselimuti asap. Namun kali ini Joko tidak merasakan dingin, hanya sepasang matanya tidak bisa lagi menangkap sosok Dewi Es!

"Selamat jalan, Pendekar 131!"

Joko pentangkan sepasang matanya menembusi asap yang menyungkup puncak bukit, tapi tetap saja matanya tidak bisa menangkap sosok Dewi Es. Hingga pada akhirnya murid Pendeta Sinting ini hanya menjura seraya berkata.

"Terima kasih, Dewi... Aku berangkat meneruskan perjalanan!"

Habis berkata begitu, Joko putar diri lalu berkelebat menuruni puncak bukit. Mendadak murid Pendeta Sinting ini hentikan langkah. Kepalanya berputar dengan mata memandang sekeliling. Di kanan kirinya tampak berjajar pohon-pohon besar dan rangasan semak belukar lebat.

"Hemmm... Dewi Es mengatakanbyaku memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'. Aku ingin buktikan bagaimana pukulan 'Sukma Es' itu!" kata Joko dalam hati lalu kerahkan tenaga dalam pada pangkal lengan tangan kanan kirinya. Kejap kemudian kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah sebatang pohon besar.

"Wuuuttt! Wuuttt!"

Dari kedua tangan Joko menyambar gelombang angin dahsyat yang taburkan hawa luar biasa dingin. Lalu terdengar suara berderak. Kejap lain pohon besar di hadapan Joko tumbang dengan batang hancur berantakan dibungkus gumpalan-gumpalan es!

Murid Pendeta Sinting jadi terperangah sendiri. Saat Itulah tiba-tiba dia teringat pada Dewi Seribu Bunga yang ditinggal di lereng bukit. Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat kembali menuruni bukit. Sampai di tempat tadi Dewi Seribu Bunga ditinggalkan, murid Pendeta Sinting jadi tidak enak ketika dia tidak melihat si gadis.

"Ke mana dia? Jangan-jangan dua gadis yang mengejar itu menemukannya. Atau barangkali..."

"Pendekar 131...!" satu suara membuat murid Pendeta Sinting putuskan kata hatinya dan cepat putar tubuh ke arah datangnya suara.

"Kau..." gumam Joko memandang lurus ke depan di mana di bawah sebatang pohon agak besar tegak berdiri seorang perempuan yang wajahnya ditutup menggunakan cadar berlobang-lobang kecil dan di punggungnya terlihat punuk besar.

BAB 5

"Heran. Bagaimana perempuan ini bisa berada di sini? Mungkinkah dia mengikuti langkahku? Melihat sikapnya sepertinya dia sengaja menungguku! Tapi ke mana gerangan Dewi Seribu Bunga?"

"Pendekar 131! Kau mencari atau menunggu seseorang?" tanya perempuan berpunuk.

"Hemm.. Perempuan ini sengaja menekan nada suaranya. Siapa sebenarnya perempuan ini? Tempo hari dia menolongku dan tidak mau sebutkan diri. Sekarang muncul lagi tapi bersamaan itu Dewi Seribu Bunga lenyap! Jangan-jangan perempuan ini..."

"Kau tak mau jawab pertanyaanku..." ujar perempuan berpunuk menukas kata hati Joko. "Mungkin keberadaanku tidak berkenan di hatimu."

Wajah di balik cadar perempuan berpunuk sejurus terlihat berubah. Setelah sepasang mata dari balik cadar menatap tajam, sosok perempuan berpunuk itu putar dirinya setengah lingkaran lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Tunggu!" teriak murid Pendeta Sinting membuat kelebatan perempuan berpunuk tertahan.

"Aku memang mencari seseorang!" ujar Joko. "Seorang gadis mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya dikuncir..."

"Kenapa kau mencari disini?!" tanya perempuan berpunuk sambil hadapkan kembali sosoknya ke arah Joko.

"Hemm... Dia tadi kutinggalkan ditempat ini sendirian..."

Joko tidak teruskan keterangannya karena perempuan berpunuk terdengar tertawa perlahan lalu berkata. "Tentu gadis berbaju merah berambut dikuncir itu seorang gadis jelita. Kau terlalu sembrono tinggalkan seorang gadis jelita sendirian di tempat sunyi seperti ini!"

"Dia masih dalam keadaan terluka. Aku coba mencari daun-daunan untuk obat..." kata Joko sengaja sembunyikan apa sebenarnya yang dialami di puncak bukit.

"Pemuda ini pandai juga berkata bohong. Aku tadi jelas mendengar suara orang lantunkan bait-bait syair dari puncak bukit. Tapi... Itu bukan hal penting bagiku..." Perempuan berpunuk diam-diam membatin.

"Harap kau tunjukkan di mana gadis itu!" Mendadak Joko berujar dengan tatapan menyelidik ke arah perempuan berpunuk. "Aku tadi pergi tidak lama. Kalau sekarang tiba-tiba dia tidak ada pasti ada orang yang usil!"

Air muka di balik cadar tampak tegang. "Nada bicaramu sepertinya menuduh padaku!"

"Di sini tidak ada orang lain! Jadi harap jangan membuat urusan meski aku pernah berhutang budi padamu!"

"Pendekar 131! Jangan sebut-sebut lagi hutang budi! Dan harap jangan pula menduga yang bukan-bukan!"

"Jika tidak mau dituduh, katakan di mana gadis itu berada!"

"Kau tetap menuduhku menyimpan gadismu itu!" kata perempuan berpunuk dengan suara agak keras. "Dengar, Pendekar 131! Tidak ada gunanya aku menyimpan seorang gadis!"

Joko Sableng tegak dengan mulut terkancing diam. Di depan sana perempuan berpunuk tampak tengadahkan sedikit kepalanya. Dari mulutnya terdengar ucapan tak jelas. Tak selang lama, si perempuan berpunuk luruskan kepalanya menghadap Pendekar 131.

"Maaf. Mungkin ucapanku terlalu keras dan kasar. Tapi aku memang tidak sembunyikan gadis berbaju merah itu. Aku..." Perempuan berpunuk tak lanjutkan ucapannya, hanya kepalanya terlihat menggeleng.

Melihat perubahan sikap si perempuan cepat-cepat Pendekar 131 menyahut. "Ah. Seharusnya aku yang minta maaf. Dan terlalu lancang menuduhmu yang bukan-bukan..."

Sepasang mata di balik cadar berlobang-lobang kecil menatap tajam pada Pendekar 131. "Haruskah kukatakan apa yang kudengar dan kulihat tentang gadis berbaju itu? Kalau dia tidak mempercayaiku? Ah... Percaya atau tidak dia harus tahu! Ini demi keselamatan dirinya meski aku sendiri tahu bahwa Pedang Tumpul 131 saat ini berada di tangan Dewi Siluman..." pikir perempuan berpunuk lalu berkata.

"Pendekar 131. Waktu aku sampai di sini, aku memang melihat seorang gadis berbaju merah. Namun tiba-tiba saja muncul seorang kakek mengenakan rompi panjang warna kuning. Dari percakapan mereka berdua, aku menangkap gelagat bahwa gadis itu punya niat tersembunyi padamu!"

Untuk sesaat murid Pendeta Sinting tampak terkejut mendengar ucapan si perempuan. "Kakek berompi kuning. Hemm... Siapa? Dewi Seribu Bunga menyimpan niat tersembunyi? Ah. Apakah mungkin?"

Melihat bayang kebimbangan di wajah si pemuda, perempuan berpunuk segera lanjutkan ucapannya. "Aku tak berharap kau percaya begitu saja ucapanku! Namun setidaknya kau harus berhati-hati! Jika kau ingin menyusul, dia pergi menuju arah selatan. Selamat tinggal...!"

"Tunggu!" kembali Joko Sableng berteriak menahan kelebatan perempuan berpunuk. Tapi kali ini si perempuan teruskan kelebatan tubuhnya dan kejap kemudian sosoknya lenyap dari pandangan Pendekar 131.

"Apakah ucapannya tidak mengada-ada? Tapi apakah mungkin Dewi Seribu Bunga betul-betul menyimpan sesuatu padaku? Apakah urusan Pedang Tumpul 131 seperti halnya beberapa waktu yang lalu? Hemm... Siapa pula kakek yang disebutkan perempuan tadi? Ah. Aku jadi bingung! Tapi ada baiknya aku turuti ucapan perempuan tadi. Siapa tahu Dewi Seribu Bunga memang hendak teruskan urusannya yang gagal pada beberapa waktu yang silam..."

Seperti dituturkan dalam episode Ratu Pemikat, Dewi Seribu Bunga mendapat tugas dari gurunya si Maut Mata Satu untuk merebut Pedang Tumpul 131. Namun pada akhirnya Dewi Seribu Bunga gagal melaksanakan tugas gurunya bahkan kalau saja tidak ditolong Pendekar 131, mungkin malapetaka akan menimpa si gadis.

Memikir sampai di situ, murid Pendeta Sinting segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika dari arah puncak bukit terdengar lantunan bait-bait syair.

Manusia tak akan bisa lari menghindar dari belenggu asmara jika telah mengejar. Pada sang rembulan segalanya di tumpahkan. Pada gelombang laut semuanya dicurahkan. Cinta suci tidak mengharap imbalan. Meski nyawa harus lepas dari badan

Joko Sableng arahkan kepalanya ke puncak bukit. Sepasang matanya menatap tajam dengan kening mengernyit seolah berusaha menembus rimbun dedaunan dan semak belukar serta mengetahui arti bait-bait syair yang baru didengar.

"Hemm... Belum bisa kuselami arti bait-bait syair tadi..." gumam Joko seraya terus memandang ke puncak bukit. Dia seolah menunggu orang lantunkan syair kembali. Tapi hingga sepasang kakinya terasa pegal, murid Pendeta Sinting tidak lagi mendengar lantunan syair.

"Heemmm... Sudah waktunya aku teruskan perjalanan..." Joko Sableng segera keluarkan gulungan kulit yang baru saja diberikan Dewi Es. Setelah menyimak sebentar dia masukkan kembali gulungan kulit ke balik pakaiannya dan segera berkelebat tinggalkan lereng bukit.

********************

BAB 6

PEMUDA berjubah putih itu berkelebat laksana angin. Beberapa saat lalu dia berada di kawasan hutan kecil, namun dalam beberapa saat kemudian sosoknya lenyap dan tahu-tahu telah berada di ujung hutan yang jarang ditumbuhi semak belukar. Kejap kemudian sosoknya sudah jauh meninggalkan kawasan hutan kecil. Ketika memasuki kawasan yang tanahnya agak berpasir, si pemuda baru memperlambat larinya. Malah dia tampak mendekati sebatang pohon besar lalu bersandar punggung duduk berselonjor kaki.

"Heemmm... Menurut peta, kawasan ini sudah tidak jauh lagi dari Pulau Biru!" gumam si pemuda dengan kepala berputar dan sepasang matanya yang tajam liar memperhatikan. "Mudah-mudahan peta ini bukan palsu! Jika nanti terbukti palsu, aku tak segan kembali ke Watugedeg dan membungkam mulut Dewa Sukma!"

Dari balik jubahnya si pemuda keluarkan gulungan kain putih. Sepasang matanya kini tertuju pada kain yang dibentangkan di depan matanya. Kejap kemudian tampak kepalanya mengangguk dengan bibir sunggingkan senyum aneh.

"Kitab Serat Biru! Hemm... Menurut Eyang guru adalah kitab maha sakti. Yang berhasil mendapatkannya pasti akan jadi raja di raja dunia persilatan! Sebuah cita-cita yang sekian tahun kupendam!" Pemuda yang bersandar pada batang pohon kepalkan kedua tangannya.

Saat itulah mendadak si pemuda dikejutkan dengan terdengarnya suara orang tertawa mengekeh panjang. Makin lama suara kekehan tawa makin keras pertanda orang makin dekat. Kertakkan rahang, si pemuda cepat selinapkan kain putih ke balik jubahnya, lalu dengan mata mendelik angker kepalanya disentakkan ke samping kanan, dari arah mana suara tawa orang terdengar.

"Akan kubuat mulutnya pecah jika orang gila ini tak mau hentikan ulahnya!" desis si pemuda dengan sepasang mata tak berkesip memandang ke depan.

Dari tempatnya duduk, si pemuda melihat seorang bertubuh besar mengenakan pakaian gom-brong duduk bersandar pada batu yang tidak begitu besar. Kepalanya mendongak sementara tangan kanannya mengusap-usap perutnya, di mana dari bagian yang diusap-usap itu terlihat cahaya memantul.

Si pemuda kernyitkan kening dengan mata makin terpentang besar. Orang yang duduk bersandar pada batu tampak sudah kancingkan mulut, namun suara tawanya masih juga terdengar keras! Pertanda siapa pun dia orangnya, pasti memiliki kepan-daian tinggi. Mungkin karena terburu geram merasa terganggu dengan suara tawa, si pemuda sampai berpikir sejauh itu! Malah dengan suara keras dia membentak.

"Hai! Tutup mulutmu atau kuhancurkan dan kubetot lidahmu!"

Orang bertubuh besar luruskan kepala ke arah si pemuda. Sepasang matanya untuk beberapa lama mengerjap. Ternyata bola mata orang ini hanya tampak putih, pertanda jika orang ini buta.

"Ah... Rupanya ada seorang sobat ditempat ini. Maaf jika aku mengganggu..." Habis berkata begitu, orang bertubuh besar dan matanya buta ini buka mulut perdengarkan tawa!

"Sialan! Orang ini sengaja bertingkah atau benar-benar orang gila?! Kalau orang gila kenapa mengerti ucapan orang?!" Si pemuda menduga-duga dengan mata tak berkesip memperhatikan.

Sementara orang bertubuh besar terus buka mulut perdengarkan tawa, membuat si pemuda makin geram dan untuk kedua kalinya si pemuda berteriak keras.

"Hai! Aku tidak main-main! Kau dengar ucapanku, tutup mulutmu dan minggat dari sini atau mulutmu kubuat tidak bisa tertawa lagi!"

Orang di depan sana putuskan suara tawanya. Namun cuma sekejap. Kejap lain mulutnya kembali membuka dan perdengarkan tawa! Membuat si pemuda putus kesabarannya. Seraya kertakkan rahang pemuda ini bergerak bangkit dan sekali lompat, dia telah tegak lima langkah di hadapan orang yang tertawa.

"Orang ini sepertinya bukan orang gila! Dan pasti dia sengaja mengumbar tawa!" batin si pemuda dengan perhatikan lebih seksama pada orang di hadapannya yang tetap buka mulut tertawa. Namun kali ini suara tawanya makin lama makin lemah. Tapi pada saat bersamaan, si pemuda tersentak. Tanah di mana dia berpijak terasa bergetar!

"Orang muda!" Mendadak orang bertubuh besar bermata buta di hadapan si pemuda berucap. "Mungkin kau hendak teruskan perjalanan, silakan! Aku pun akan teruskan langkahan kaki. Jika ada umur panjang kelak aku ingin berkata sepatah kata denganmu..."

Selesai berkata begitu, orang bertubuh besar yang mengenakan pakaian gombrong besar berwarna hijau ini tertatih-tatih bangkit. Setelah membungkuk sejenak kepalanya tengadah lalu mulai melangkah dengan tangan kanan mengusap-usap pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan perutnya yang ternyata adalah sebuah cermin bulat.

"Orang aneh. Meski sepasang matanya buta, namun dia tahu bahwa aku adalah orang muda. Lalu dia juga seolah tahu bahwa aku hendak mengadakan perjalanan! Hemm... Siapa orang tua ini? Jangan-jangan dia seorang..." Si pemuda cepat berkelebat lalu tegak menghadang langkah si orang bertubuh besar dan bermata buta.

"Ada apa Anak muda? Bukankah kau tadi memerintahku minggat dari tempat ini?!"

"Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!" si pemuda balik bertanya.

Tetap dengan kepala tengadah, orang di hadapan si pemuda berucap. "Anak muda. Sebenarnya aku ingin berbincang denganmu pada suatu waktu kelak, bukan sekarang. Tapi karena kau telah ajukan tanya, tidak baik berdiam diri..."

Sejurus orang itu hentikan ucapannya. Kepalanya kini lurus menghadap ke arah si pemuda. Sepasang matanya mengerjap. Lalu dia melanjutkan. "Orang-orang memanggilku Gendeng Panuntun. Orang tua yang melangkah turutkan kemana kaki membawa dan berteman dengan sebuah cermin... Anak muda... Kau telah tahu siapa aku, tidak keberatan sebutkan dirimu?"

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" jawab si pemuda seraya perhatikan cermin bulat di depan perut orang bertubuh besar bermata buta yang bukan lain memang Gendeng Panuntun adanya.

"Ah. Nama bagus. Tentu kau banyak mendapat rezeki bagus pula! Tapi..." Gendeng Panuntun menggantung ucapannya, membuat si pemuda yang bukan lain memang Malaikat Penggali Kubur cepat menyahut.

"Tapi apa?!"

"Aku melihat kabut menghalangi langkahmu!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek dengan bibir menyeringai. Seraya arahkan pandangannya pada jurusan lain dia berkata. "Orang buta kadang-kadang ucapannya aneh. Aku yang tidak buta saja tidak melihat kabut, bagaimana mungkin orang tua seperti mu melihat kabut?!"

Gendeng Panuntun balik tertawa pendek. "Anak muda. Bentuk mata kita berbeda. Jadi jangan heran jika pandangan kita juga jadi berbeda! Kau bisa melihat apa yang tak bisa kulihat, tapi kau tak bisa melihat apa yang bisa kulihat! Dan jangan lupa, penglihatan orang sepertiku kadangkala lebih tajam dari penglihatan orang bermata biasa..."

"Katakan padaku, kabut apa yang menghalang langkahku!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Anak muda. Seperti ucapanku tadi, namamu bagus, rezekimu juga bagus. Tapi karena ada penghalang, pada akhirnya kau tidak akan mendapat apa-apa!"

Malaikat Penggali Kubur terdiam beberapa saat mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Entah karena apa, mendadak pemuda ini merasa dadanya berdebar. Namun pemuda ini tidak begitu saja perturutkan ucapan orang. Seraya tersenyum aneh, dia berkata dengan nada sedikit keras.

"Orang tua! Kau mengatakan rezekiku bagus. Coba katakan, rezeki apa yang kau maksud!"

Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepala. "Tidak Anak muda. Aku tidak mau usil beberkan rezeki orang. Apalagi rezeki itu (tak layak didengar orang lain."

Malaikat Penggali Kubur makin tidak enak perasaan. Namun karena penasaran dia segera berucap. "Orang tua! Kalau kau tidak mau disebut pembual besar, katakan apa yang kau maksud dengan rezeki bagus itu! Di sini tidak ada orang lain, jadi jangan berdalih!"

Kembali kepala Gendeng Panuntun bergerak menggeleng. "Anak muda. Tidak baik membuka aib orang. Aku malu, apalagi nanti jika kau mendengarnya! Harap jangan memaksakan diri ingin tahu. Karena kau telah tahu!"

"Orang tua!" kata MalaikatbPenggali Kubur membentak. "Jangan membuat kesabaranku habis. Kau tak perlu malu. Aku juga tak merasa malu mendengarnya! Lekas katakan!"

"Hemm... kau mau pegang kata-katamu, Anak muda?"

"Jangan banyak mulut lagi!" sentak Maiaikat Penggali Kubur tak sabar.

"Baiklah. Aku hanya turuti kemauanmu..." kata Gendeng Panuntun pada akhirnya. Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin, lalu mulutnya membuka berucap. "Kau baru saja mendapat rezeki bagus, karena mendapatkan sesuatu yang tersimpan selama puluhan tahun lamanya. Lebih dari itu, sesuatu itu menunjukkan tempat yang saat ini banyak dibicarakan kahngan orang-orang yang menamakan diri sebagai orang persilatan. Hanya karena kau mendapatkannya dengan cara tidak wajar, kelak aku menduga kau tidak akan mendapatkan apa-apa! Tapi Ingat. Itu bukan karena perbuatanmu, melainkan karena kau bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkannya..."

Paras Malaikat Penggali Kubur kontan berubah. Matanya terpentang angker dengan rahang sedikit terangkat. "Gila! Siapa sebenarnya orang buta ini? Semua ucapannya benar! Apakah dugaannya juga akan terbukti?" Selagi Malaikat Penggali Kubur tegak dengan dada dibungkus berbagai tanya, Gendeng Panuntun telah kembali buka mulut.

"Anak muda. Kalau boleh kusarankan. Kembalikan saja barang tipuan itu! Dan lebih baik jangan teruskan perjalanan sia-sia ini!"

Dada Malaikat Penggali Kubur menggemuruh mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Kalau saja perturutkan gemuruhnya hawa marah yang menggelegak, ingin dia bungkam mulut orang di hadapannya, namun Malaikat Penggali Kubur adalah pemuda licik dan tidak mau begitu saja percaya pada ucapan orang. Diam-diam pemuda murid Bayu Bajra ini membatin.

"Orang buta ini bilang aku bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkan. Pasti yang dimaksud adalah mendapatkan Kitab Serat Biru! Hemm. Berarti peta ini asli adanya dan Kitab Serat Biru benar-benar ada! Lebih dari itu, pasti ada orang yang ditentukan mendapatkan kitab itu! Aku harus tahu siapa adanya orang itu! Orang ini tentu tahu!"

Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur lalu berujar. "Orang tua. Ucapanmu memang ada benarnya. Sebaiknya aku memang mengembalikan barang yang ada padaku ini, juga memutuskan perjalanan sampai di sini"

"Ah, aku gembira mendengar ucapanmu, Anak muda"

"Orang tua. Sebelum aku kembalikan barang ini, lalu pergi tak meneruskan perjalanan yang kau sebut sia-sia ini, maukah kau jawab beberapa tanyaku?"

"Hemm..." Gendeng Panuntun bergumam. "Sebenarnya... Tapi tak apalah. Silakan tanya, tapi aku tidak menjamin bisa jawab semua pertanyaanmu, Anak muda!"

"Kau tadi sebutkan aku bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkannya. Apakah yang kau maksud Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan dalam Pulau Biru? Jika aku bukan orang yang ditentukan, pasti ada orang lain yang ditentukan mendapatkannya. Siapa dia?!"

Sesaat Gendeng Panuntun tampak terkejut dengan pertanyaan Malaikat Penggali Kubur. Namun kejap kemudian dia tertawa perlahan dan berujar. "Aku tidak dapat memastikan berupa apa yang tak bisa kau dapatkan itu! Tentang siapa orang yang kelak ditentukan mendapatkannya, aku juga kesulitan untuk mengetahuinya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Kalau kau tidak dapat menjawab tanyaku, percuma aku turuti saranmu! Aku malah curiga padamu, jangan-jangan kau punya urusan yang sama denganku, lalu berpura-pura jadi tukang bual untuk melapangkan jalanmu!"

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. "Anak muda! Aku orang buta. Segala yang ada di muka bumi seindah dan semahal apa pun harganya tidak akan ada artinya! Kau paham yang kumaksud bukan?!"

Malaikat Penggali Kubur sengatkan sepasang matanya menusuk tajam pada kedua mata Gendeng Panuntun yang berwarna putih seolah ingin meyakinkan bahwa orang di hadapannya benar-benar buta.

"Nah, Anak muda. Kita telah banyak bicara. Sudah saatnya aku lanjutkan langkahan kaki ini! Selamat jalan..."

Gendeng Panuntun menyisi ke samping, lalu melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Tapi ternyata Malaikat Penggali Kubur tidak tinggal diam. Sebelum Gendeng Panuntun teruskan langkah, dia melompat dan lagi-lagi tegak dengan sikap menghadang.

"Ada apalagi, Anak muda?" tanya Gendeng Panuntun sambil hentikan langkah dan kibas-kibaskan pakaiannya yang gombrong.

Malaikat Penggali Kubur kepalkan kedua tangannya dan rahangnya tampak mengembang dan cepat kerahkan tenaga dalam, karena bersamaan dengan kibasan tangan Gendeng Panuntun, pemuda murid Bayu Bajra ini rasakan sambaran angin deras!

"Orang tua! Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi sebutkan dulu siapa orangnya yang kelak mendapatkan kitab itu!"

"Jangan memaksakan hati, Anak Muda..."

"Dengar, Orang tua! Kau mau sebutkan atau nyawamu akan dikubur di sini!" hardik Malaikat Penggali Kubur.

Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau orang muda yang keras kepala. Baiklah. Tentang siapa orang yang kelak mendapatkannya, menurut dugaanku adalah seorang anak manusia berkepandaian tinggi dan pukulan sakti yang kau miliki dapat diatasinya! Orang itulah yang ditentukan mewarisi apa yang terpendam dalam Pulau Biru!"

Malaikat Penggali Kubur tegak di atas tanah dengan sepasang mata berkilat-kilat. "Jahanam! Siapa yang bisa mengatasi pukulan sakti 'Tegala Surya'-ku?" desis si pemuda dengan kepala mendongak dan dahi mengernyit.

Saat itulah terdengar orang tertawa panjang. Malaikat Penggali Kubur cepat sentakkan kepalanya ke depan. Pemuda ini melengak. Gendeng Panuntun ternyata sudah berada jauh dari tempatnya berdiri, dan melangkah perlahan-lahan menuju arah selatan.

"Hem... Pasti orang itu bukan orang yang bisa dipandang enteng... Kalau maubingin kuremukkan mulutnya sekarang juga. Tapi siapa tahu kelak orang seperti dia kubutuhkan..." gumam Malaikat Penggali Kubur seraya kembali tengadah.

Saat itulah mendadak suara tawa Gendeng Panuntun diputus laksana direnggut setan! Malaikat Penggali Kubur cepat arahkan kepalanya kembali. Untuk kedua kalinya dia terkejut. Sosok Gendeng Panuntun ternyata sudah lenyap! Belum hilang rasa kejut Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba satu deruan keras terdengar menyambar dari samping. Di lain kejap satu gelombang angin melanggar ganas ke arahnya!

BAB 7

SAMBIL kertakkan rahang, cepat Malaikat Penggali Kubur menyingkir dengan melompat ke samping, lalu berpaling ke arah asal datangnya sambaran angin. Sepasang matanya mendelik menyipit, lalu bibirnya sunggingkan senyum aneh. Enam tombak dari tempatnya berdiri murid Bayu Bajra melihat seorang gadis berwajah cantik mengenakan jubah warna kuning tegak dengan sepasang mata memperhatikan tak berkesip ke arahnya.

Sejenak Malaikat Penggali Kubur perhatikan tampang si gadis. Lalu kepalanya mendongak. "Lima belas tahun lamanya dilatih guru hanya berteman gelombang pantai. Hem... Rezekiku memang bagus. Tanpa bersusah payah mencari, muncul gadis cantik yang tentu membawa kehangatan..." desisnya dengan bibir tersenyum.

Namun kejap kemudian senyumnya pupus saat dia teringat ucapan Gendeng Panuntun. "Orang tua itu tidak mengatakan siapa orangnya yang kelak bakal mendapatkan Kitab Serat Biru. Tapi dia mengatakan bahwa orang itu dapat mengatasi pukulanku. Jangan-jangan gadis ini orang yang dikatakan orangtua itu... Hemm... Harus kucoba, apakah dia dapat menangkis pukulan sakti 'Telaga Surya'-ku!"

Berpikir sampai di sana, Malaikat Penggali Kubur segera melangkah mendekat. Sepasang matanya tak berkesip perhatikan si gadis dari bawah hingga atas. "Gadis cantik!" teriak Malaikat Penggali Kubur. "Katakan siapa kau!"

Gadis berjubah kuning tunjukkan tampang angker tatkala mendengar dirinya disebut gadis cantik. Seraya tertawa pendek, dia berucap dengan suara keras. "Siapa aku, kau tak perlu tahu! Yang jelas aku butuhkan selembar nyawamu!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak-gelak. "Rupanya kau belum tahu siapa yang tegak di hadapanmu! Ha ha ha...! Kau butuh nyawaku, heemm... Bagaimana kalau sebelum kuserahkan nyawaku padamu, serahkan dulu tubuhmu padaku?!"

Paras wajah gadis berjubah kuning yang bukan lain adalah Wulandari, salah seorang murid Dewi Siluman berubah mengelam. Sepasang matanya membeliak. Seperti dituturkan, Dewi Siluman memerintahkan pada ketiga muridnya untuk meneruskan perjalanan menuju arah selatan. Dan harus menyingkirkan siapa saja yang ditemui di tengah jalan.

Wulandari yang selain itu mendapat tugas mengikuti gerak-gerik Sitoresmi pada satu tempat kehilangan jejak Sitoresmi. Hingga akhirnya dia melanjutkan perjalanan seraya terus mencari Sitoresmi. Saat itulah dia mendengar suara orang tertawa. Cepat dia berkelebat ke arah datangnya suara. Ketika sampai yang terlihat adalah pemuda berjubah putih.

Wulandari yang tak sabaran segera saja melompat ke depan begitu mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur. Serentak dia buat putaran dengan kaki kiri terpacak sebagai tumpuan tubuh, sedangkan kaki kanan lepaskan satu tendangan keras. Satu gelombang angin menderu mendahului kaki yang menendang, pertanda tendangan itu dilepas dengan tenaga dalam kuat!

Malaikat Penggali Kubur tidak membuat gerakan menghindar, bahkan tidak bergerak menangkis ketika tendangan si gadis berada dihadapannya, hingga mau tak mau tendangan kaki kanan Wulandari menghantam bahu kirinya!

"Bukkk!" Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya bergoyang-goyang dan mundur setengah langkah. Kejap lain tubuhnya telah tegak diam.

"Hemm... Tenaga dalamnya tidak seberapa! Tapi siapa tahu dia masih menyimpan tenaga sesungguhnya..." gumam Malaikat Penggali Kubur dalam hati. Dia memang sengaja tidak membuat gerakan menghindar atau menangkis tendangan yang dilepas gadis berjubah kuning. Dia ingin tahu sampai di mana tenaga dalam yang dimiliki si gadis. Dari sana dia mungkin akan segera bisa menduga apakah orang kelak dapat mengatasi pukulan saktinya Telaga Surya'.

"Gadis sialan!" bentak Malaikat Penggali Kubur dengan bibir tersenyum aneh. "Kau telah berlaku kurang ajar pada Malaikat Penggali Kubur. Kalau tadi aku hanya inginkan tubuhmu, sekarang nyawamu sekalian!"

Entah karena sadar bahwa pemuda yang dihadapi memiliki kepandaian yang tidak sembarangan, Wulandari segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Dan serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan.

"Wuuttt! Wuuuttt!" Gelombang kabut berwarna kuning tampak melesat ke arah Malaikat Penggali Kubur dengan hamparkan hawa luar biasa panas. Di depan sana, Malaikat Penggali Kubur angkat tangan kirinya yang mengepal. Lalu sekonyong-konyong tangan kiri itu bergerak memukul ke depan.

"Beettt!" Sekejap tampak sinar terang. Kejap lain terdengar deru hebat yang disusul dengan menggebraknya gelombang angin luar biasa dahsyat. Kabut dan hawa panas pukulan Wulandari tersapu, sesaat kemudian terdengar ledakan keras mengguncang tempat itu. Sosok Wulandari tampak terhuyung-huyung dan tersapu mundur sampai satu tombak. Parasnya berubah pucat dengan mulut mengatup rapat. Tubuhnya bergetar keras sementara jubah yang dikenakannya berkibar-kibar.

Di seberang, Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum seringai. Sosoknya hanya mundur satu langkah. Dari bentrok pukulan tadi, murid Bayu Bajra ini sudah dapat menebak jika gadis berjubah kuning bukankan orang yang ditentukan mendapatkan Kitab Serat Biru, karena si gadis tidak dapat menahas pukulan yang dilancarkan, padahal pukulan itu masih dilancarkan dengan tangan kiri dan tenaga dalam belum setengahnya.

Di lain pihak, Wulandari tampak kertakkan rahang. Setelah dapat kuasai diri dia cepat arahkan tenaga dalam pada kedua matanya. Didahului bentakan keras membahana, sepasang kakinya bergerak menghentak tanah. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya yang terpentang besar melesat sinar berwarna kuning.

Malaikat Penggali Kubur terperangah kaget. Tanah dihadapan si gadis tampak membentuk jalur panjang dan rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus bergerak cepat ke arahnya!

"Gadis sialan! Benar-benar minta mampus!" teriak Malaikat Penggali Kubur lalu mundur dua langkah. Kedua tangannya dikepalkan lalu dipukulkan ke depan. Sejurus dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tampak sinar terang, lalu terdengar deru dahsyat yang kemudian disusul dengan menghamparnya gelombang angin luar biasa kencang.

Wulandari yang saat itu lepaskan kilatan 'Sinar Setan' dari kedua matanya perdengarkan seruan tertahan. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang. Namun kejap kemudian sosoknya tersapu mental ke belakang lalu jatuh telentang dengan mulut keluarkan darah.

Gadis berbaju kuning salah seorang murid Dewi Siluman ini cepat bergerak bangkit. Tapi begitu tegak, tubuhnya limbung dengan kedua kaki melipat. Dan tak lama kemudian sosoknya jatuh terduduk! Paras wajah gadis ini semakin pias. Sementara mulutnya makin banyak keluarkan darah pertanda dia terluka bagian dalam. Dan ketika Wulandari meneliti, gadis ini tersentak. Jubah kuningnya robek besar di bagian depan dan hangus!

Di seberang, meski sosok Wulandari mencelat mental terhantam pukulan 'Telaga Surya', namun kilatan Sinar Setan yang dilepaskannya melesat ke atas tanah dan terus melabrak ke arah Malaikat Penggali Kubur. Jalur rengkahan tanah bergerak cepat laksana alunan gelombang ombak. Dan saat sosok Wulandari mental, rengkahan tanah telah sampai ke Malaikat Penggali Kubur dan perdengarkan gelegar hebat!

Malaikat Penggali Kubur segera berkelebat selamatkan diri. Tapi tak urung kakinya tersambar pukulan Wulandari. Malaikat Penggali Kubur terlihat sunggingkan senyum tatkala kakinya tak mengalami cedera. Tapi kejap kemudian dia merasakan perubahan pada kedua kakinya. Hawa luar biasa panas perlahan-lahan merasuki tubuh bermula dari kedua kakinya. Ketika dia meneliti kembali, sepasang matanya membelalak besar. Ternyata kedua kakinya mulai mengembung dan panas laksana dipanggang bara!

"Benar-benar gadis keparat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Lalu cepat kerahkan tenaga dalam dan menotok jalur darah pada kedua kakinya. Perlahan-lahan gembungan pada kedua kakinya mengempis meski rasa panas masih terasa. Tatkala Malaikat Penggali Kubur kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi cedera pada kakinya, di seberang sana Wulandari cepat lemparkan sesuatu ke udara. Di atas sana mendadak tampak sinar terang berwarna kuning.

"Apa yang dilakukan gadis jahanam itu?!" desis Malaikat Penggali Kubur sambil angkat kepalanya. "Hem... Mungkin itu satu isyarat menunjukkan di mana dia berada!"

Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum aneh. Lalu gerakkan tubuh. Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan kepala tengadah lima langkah di hadapan Wulandari! Di hadapannya, Wulandari yang baru saja memberi isyarat segera kerahkan sisa tenaga dalamnya.

"Kalau mulutmu tak bicara muluk dihadapan Malaikat Penggali Kubur, tentu kau tak akan mengalami nasib buruk!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu luruskan kepalanya ke arah Wulandari.

"Jangan kira aku telah kalah!" sentak Wulandari dengan mata menatap tajam.

Malaikat Penggali Kubur tertawa gelak-gelak. "Aku ingin tahu, apakah ucapanmu benar!"

Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak terangkat ke atas membuat Wulandari katupkan mulut rapat-rapat dengan kuduk merinding. Gadis ini sadar, sisa tenaga dalamnya tidak mungkin bisa menahan pukulan si pemuda apalagi dirinya telah terluka. Tapi gadis berjubah kuning ini tidak mau begitu saja menyerah. Saat dilihatnya tangan kanan Malaikat Penggali Kubur terangkat, dia sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'.

Namun karena keadaannya udah terluka, lesatan kabut yang keluar dari kedua tangannya kalah cepat dengan gelombang angin dahsyat yang menggebrak dari tangan kanan Malaikat Penggali Kubur, membuat Wulandari hanya bisa berteriak tanpa bisa membuat gerakan menghindar!

Sesaat lagi gelombang angin dahsyat pukulan Malaikat Penggali Kubur melabrak sosok Wulandari yang tak bisa menghindar, mendadak terdengar satu teriakan yang disusul dengan terdengarnya deruan keras.

Malaikat Penggali Kubur merasakan ada sambaran angin deras memangkas pukulannya, tidak saja membuat gelombang angin pukulannya melenceng namun juga sempat membuat sosoknya terjajar dua langkah!

Selagi Malaikat Penggali Kubur hendak berpaling ke arah datangnya gelombang angin yang memangkas pukulannya, terdengar lagi satu bentakan lalu terdengar orang bantingkan kaki ke atas tanah. Kejap lain tiba-tiba satu sinar biru menggebrak ke arahnya dengan didahului rengkahnya tanah di hadapan si pemuda murid Bayu Bajra ini!

Tahu gelagat buruk, Malaikat Penggali Kubur tak mau lagi bertindak ayal. Sebelum rengkahan tanah sampai, dia cepat jatuhkan diri bergulingan. Pada gulingan kelima, kedua tangannya segera lepaskan pukulan. Sinar terang yang hanya sekejap tampak berkiblat. Lalu disusul menggebraknya gelombang angin dahsyat, pertanda Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.

Tiba-tiba dari arah seberang terdengar orang memekik. Lalu tampak satu sosok mental sejauh dua tombak ke belakang dan bergedebukan di atas tanah. Malaikat Penggali Kubur cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat ke depan. Di depan sana satu sosok biru tampak menggeliat. Lalu bergerak-gerak akan bangkit. Tapi gerakan tubuhnya tertahan tatkala mendadak satu telapak kaki dari sosok berjubah putih menekan bagian perutnya, membuat sosok biru tak mampu berbuat banyak.

Orang yang menekankan satu kakinya ke perut sosok biru yang bukan lain adalah Malaikat Penggali Kubur sejenak pentangkan sepasang matanya perhatikan orang di bawahnya yang tak bisa bergerak. Ternyata orang itu adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah besar warna biru. Rambutnya sebatas bahu dengan mata bulat.

"Hem... Melihat wajah dan pakaian yang dikenakan, berat dugaan dia masih ada hubungan dengan gadis berjubah kuning itu!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu berpaling ke samping.

Sejarak lima belas langkah dari tempatnya terlihat Wulandari tergeletak dengan napas megap-megap dan mulut keluarkan erangan. Gadis berjubah kuning ini sosoknya mencelat saat pukulan orang dari arah samping sempat menyambar tubuhnya.

"Keparat! Angkat kakimu!" Mendadak ada suara dari bawah, membuat Malaikat Penggali Kubur menoleh namun tak juga angkat kakinya dari perut sigadis.

“Hmm... Kukira kau sudah mampus tak bisa bicara” ucap Malaikat Penggali Kubur seraya sunggingkan senyum.

Gadis berjubah biru yang perutnya ditekan kaki Malaikat Penggali Kubur, dan bukan lain adalah Ayu Laksmi angkat tangan kanan kirinya. Serta-merta dia pukulkan kedua tangannya ke arah kaki Malaikat Penggali Kubur. Tapi setengah jalan, Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan dua kali.

"Bukkk! Bukkk!" Kedua tangan Ayu Laksmi mental balik menghantam tanah, dan bersamaan dengan itu sosoknya mencelat lalu terkapar lima langkah dari tempatnya semula.

Wulandari yang telah bisa bangkit duduk segera keluarkan pekikan saat melihat sosok Ayu Laksmi mencelat terkena tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur.

"Setan alas! Siapa kau?!" teriak Ayu Laksmi begitu bangkit duduk seraya pelototkan mata ke arah Malaikat Penggali Kubur.

Yang ditanya menjawab dengan tertawa bergelak dan melangkah mendekat, membuat Ayu Laksmi cepat salurkan tenaga dalamnya. Namun gadis berjubah biru yang juga salah satu murid Dewi Siluman ini tersentak. Kedua tangannya seraya lunglai. Dan ketika dia meneliti ternyata kedua tangannya telah berubah warna menjadi kehitaman!

Dua langkah di hadapan Ayu Laksmi, Malaikat Penggali Kubur berhenti. Menatapi sejenak sekujur tubuh si gadis, lalu berujar dengan senyum aneh. "Bila ingin tahu siapa yang berdiri di hadapanmu, nanti bisa kau tanyakan pada gadis sialan berjubah kuning itu. Kau dengar?! Sekarang aku tanya siapa kau?!"

"Aku tak mau jawab pertanyaanmu!" jawab Ayu Laksmi dengan balas menatap.

"Baik. Kau dan gadis berjubah kuning itu sama sialnya! Kau tak mau beri keterangan, berarti minta dipercepat untuk mampus!" Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur angkat kedua tangannya. "Masih ada kesempatan untuk bicara!" ujar Malaikat Penggali Kubur.

"Jangan kira aku takut dengan gertakanmu!" kata Ayu Laksmi dengan salurkan tenaga dalamnya pada sepasang matanya siap lepaskan pukulan 'Sinar Setan'. Namun gadis ini tampak bingung, karena jika hendak lepaskan pukulan sakti 'Sinar Setan' terlebih dahulu sepasang kakinya harus menggebrak tanah. Sedangkan dia kini dalam posisi duduk.

Sementara dihadapannya, pelipis kanan kiri Malaikat Penggali Kubur bergerak-gerak, rahangnya mengembang dan terangkat pertanda amarahnya telah sampai pada puncak.

"Jahanam! Kenapa hanya berani turunkan tangan maut pada orang tak berdaya?!" Tiba-tiba dari arah samping terdengar ucapan.

Malaikat Penggali Kubur tengadahkan kepala. Jari telunjuknya bergerak lurus ke arah Wulandari yang baru saja keluarkan ucapan. "Tutup mulutmu, Gadis Sialan! Habis gadis ini, baru kau menyusul!"

Habis berucap begitu tangannya yang menunjuk pada Wulandari cepat ditarik pulang. Sosoknya lantas berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya telah dua langkah di belakang Ayu Laksmi. Seraya menyeringai, kedua tangannya bergerak lepaskan jotosan ke arah kepala Ayu Laksmi

Wulandari perdengarkan seruan tertahan. Sementara Ayu Laksmi yang kebingungan untuk lepaskan pukulan 'Sinar Setan' segera gulingkan tubuh alamatkan diri. Namun gadis berjubah biru ini jadi tercekat, karena baru saja hendak bangkit, dua tangan telah melabrak ganas ke arah kepalanya! Namun gadis ini tak mau menyerah begitu saja, dia segera pula angkat kedua tangannya.

Namun gerakan kedua tangan Ayu Laksmi tertahan tatkala dari arah samping melabrak sinar hitam pekat yang kemudian disusul dengan datangnya gelombang angin dahsyat dari seberang. Sinar hitam dan gelombang yang datang dari dua arah ini langsung memangkas gerakan kedua lengan Malaikat Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur tarik kedua tangannya, lalu membuat gerakan berputar sambil melompat mundur. Belum sampai kakinya menginjak tanah, kedua tangannya telah lepaskan pukulan!

"Bummm! Buummm!" Dua ledakan keras segera mengguncang tempat itu tatkala pukulan Malaikat Penggali Kubur bentrok dengan dua pukulan yang tadi memangkas gerakan tangannya yang hendak menghantam rengkah kepala Ayu Laksmi.

BAB 8

TANAH terlihat muncrat menghalangi pandangan. Dan samar-samar di antara pekatnya suasana taburan tanah, sosok Ayu Laksmi yang dekat dengan terjadinya ledakan mencelat lalu Jatuh bergulingan. Sedangkan sosok Malaikat Penggali Kubur terjajar lima langkah. Terhuyung-huyung sebentar, namun cepat membuat gerakan melejit satu tombak ke udara dan melayang turun dengan kaki terpentang dan sosok tegak!

Pada saat bersamaan, terdengar suara bergemeretakan dan hentakan kaki kuda. Ketika Malaikat Penggali Kubur berpaling, tampak sebuah kereta bergerak ke arahnya. Di atas bangku kusir tampak duduk seorang kakek berwajah pucat dan tirus. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang besar dan dalam. Rambutnya putih panjang disanggul ke atas.

Kakek kusir ini mengenakan jubah besar berwarna hitam. Sebelah tangannya tampak memegang tali kekang kuda penarik kereta sedangkan tangan sebelahnya lagi masuk ke dalam saku jubahnya. Di belakang tempat duduk kusir tampak sebuah peti persegi panjang dari kayu berwarna putih mengkilat, membuat Malaikat Penggali Kubur yang tegak mengawasi pentangkan sepasang matanya. Bukan pada peti di bagian belakang karena melainkan pada sosok yang tegak dengan kepala tengadah dan tangan merangkap di depan dada di atas peti!

Sosok yang tegak tengadah di atas peti adalah seorang perempuan berambut pirang. Mengenakan jubeh panjang sebatas lutut. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada terlihat dibungkus dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam. Perempuan ini tak bisa diduga umurnya, karena mengenakan cadar hitam menutupi wajahnya. Dari wajah yang tertutup cadar itu yang tampak ha-nyalah sepasang matanya yang tajam menyengat dan berbulu lentik!

"Heran. Suara gemeretak roda kereta dan ladam kaki kuda sebelumnya tidak terdengar. Tapi tiba-tiba muncul di sini! Dan pasti yang memangkas pukul-anku tadi adalah salah seorang atau kedua-duanya orang di atas kereta itu! Hemm... Siapa mereka ini? Apakah masih ada sangkut-pautnya dengan kedua gadis itu?!"

Diam-diam Malaikat Penggali Kubur menduga-duga dengan sepasang mata tak beranjak memandangi kedua orang silih berganti di atas kerela. "Hemmm... Di tempat ini ternyata telah banyak manusia berkeliaran. Pasti mereka memburu Kitab Herat Biru! Seandainya orang tua bermata buta itu sebutkan dengan jelas manusia yang kelak mendapatkan kitab itu, aku tidak usah bersusah-susah mencari tahu dengan lepaskan pukulan ‘Telaga Surya'! Tapi apa boleh buat. Aku harus coba semua orang yang kutemui dengan pukulan 'Telaga Surya', karena hanya orang yang dapat menahan pukulanku Itulah ciri orang yang kelak mendapatkan kitab itu!"

"Orang di atas kereta!" teriak Malaikat Penggali Kubur setelah untuk beberapa saat diam berpikir. “Sebutkan diri kalian! Juga katakan apa sangkut-paut kalian dengan dua gadis sialan itu!"

"Anak muda!" Yang menjawab adalah kakek yang duduk di bangku kusir kereta. "Kau belum layak tahu siapa kami! Juga tak pantas tahu apa sangkut-paut kami dengan kedua gadis itu! Yang layak dan pantas bagimu menerima kematian!"

Meski nada suara si kakek terdengar pelan, namun mampu menusuk gendang telinga! Hal ini menyadarkan pemuda murid Bayu Bajra ini bahwa orang di atas kereta memiliki tenaga dalam tinggi. Namun karena merasa dirinya berbekal ilmu kepandaian, juga karena ingin coba orang apakah mampu menangkis pukulan 'Telaga Surya'-nya untuk mencari tahu orang yang kelak mendapatkan Kitab Serat Biru, Malaikat Penggali Kubur tidak unjukkan paras takut. Dia tetap memandang tajam tak berkeslp, malah kini bibirnya sunggingkan senyum aneh!

"Kakek!" kata Malaikat Penggali Kubur. "Sebelum bicara soal kematian, pasang mata baik-baik dan lihat dulu apa akibatnya jika ngomong sembarangan di hadapanku!"

Sambil berkata, telunjuk Malaikat Penggali Kubur mengarah silih berganti pada sosok Ayu Laksmi dan Wulandari yang masih tak bisa bangkit berdiri.

Kakek di atas kereta tertawa panjang. "Anak muda! Buka matamu besar-besar! Kami bukan mereka!"

"Ki Buyut!" Tiba-tiba terdengar orang di belakang kakek kusir berucap. "Jangan terlalu banyak bicara!"

Sebelum ucapan orang perempuan berjubah dan bercadar hitam yang bukan lain adalah Dewi Siluman selesai, kakek kusir yang dipanggil Ki Buyut dan memang Ki Buyut Pagar Alam adanya lepaskan tali kekang kereta dan goyangkan bahunya.

Malaikat Penggali Kubur tampak tersirap kaget, karena kakek berjubah hitam kusir kereta itu teiah tidak ada lagi di bangku kusir! Yang masih tampak adalah perempuan berjubah dan bercadar hitam yang tetap tegak di atas peti.

"Heemmm..." Malaikat Penggali Kubur bergumam. Lalu bola matanya berputar liar. Namun pemuda ini tidak mengetahui di mana beradanya si kakek. Entah karena khawatir, dia segera palingkan kepala ke samping kanan. Saat itulah dari arah samping kiri Malaikat Penggali Kubur mendengar suara orang tertawa pelan. Secepat kitat Malaikat Penggali Kubur tarik pulang kepalanya disentakkan ke samping kiri.

Tujuh langkah dari tempatnya tegak, terlihat kakek berjubah hitam berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jubahnya. "Kau mencariku?!" kata Ki Buyut Pagar Alam dengan sunggingkan senyum.

Meski terkejut, namun Malaikat Penggali Kubur segera dapat kuasai diri. Bahkan dia cepat pula sunggingkan senyum seraya menggeleng dan berkata. "Orang berbau mayat tak perlu dicari! Dia akan datang sendiri!"

"Hemm... Begitu? Mau sebutkan dulu siapa kau sebelumnya..."

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" tukas si pemuda sebelum ucapan Ki Buyut selesai.

"Gelaran indah!" ujar Ki Buyut tanpa sedikit pun tampakkan rasa kaget. "Hanya sayang tidak seindah nasib penyandangnya! Kasihan...!"

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membeliak angker. Mulutnya membuka hendak bicara, tapi sebelum terdengar ucapannya, Ki Buyut Pagar Alam telah menyambung kata-katanya.

"Mendengar gelaran yang kau sandang, tentu kau anak manusia yang baru saja berpijak di atas rimba persilatan! Melihat kemunculanmu di tempat ini, berat dugaan kau salah seorang yang kini sedang memburu barang sakti! Betul?!"

Malaikat Penggali Kubur alihkan pandangannya dengan seringai buruk. "Kau tak berhak mendengar jawaban dari mulutku! Kau nanti bisa cari jawaban di liang kubur!"

"Baiklah. Aku akan cari jawaban di sana, tapi kau harus tunjukkan dulu jalannya!"

"Kuturuti ucapanmu!" sentak Malaikat Penggali Kubur seraya meloncat ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kedua tangannya seketika bergerak lepaskan satu pukulan.

Ki Buyut Pagar Alam hanya melihat kelebatan dan menderunya gelombang angin. Kejap lain tahu-tahu kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah berada dua jengkal di depan kepalanya. Ki Buyut Pagar Alam tarik pulang sedikit kepalanya ke belakang. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang masuk ke dalam saku jubahnya berkelebat ke atas.

"Bukkk! Buukkk!" Sepasang tangan Malaikat Penggali Kubur beradu dengan tangan kanan Ki Buyut. Malaikat Penggali Kubur tampak kernyitkan kening dan buru-buru tarik pulang kedua tangannya. Lalu membuat putaran dengan kaki kanan langsung lepas satu tendangan.

Ki Buyut Pagar Alam tak menangkis tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur. Malah ia masukkan tangan kanannya kembali ke dalam saku jubahnya. Lalu dengan busungkan dada dan menatap tajam dia tegak menunggu.

"Buukkk!" Kaki kanan Malaikat Penggali Kubur telak menghantam dada Ki Buyut Pagar Alam. Namun pemuda ini terkesiap. Sosok si kakek tidak bergeming dari tempatnya! Malah sesaat kemudian perdengarkan tawa panjang!

"Anak muda! Inikah jalan yang kau katakan itu?!" ujar Ki Buyut, lalu kembali tertawa mengekeh.

Malaikat Penggali Kubur diam-diam menindih rasa kejut. Kalau orang bisa menahan tendangan kakinya yang bukan tendangan biasa, bisa dibayangkan bagaimana daya tahan orang itu. Tapi Malaikat Penggali Kubur tidak begitu saja mudah terkecoh. Meski orang dapat menahan tendangan kakinya belum tentu orang itu bisa membendung pukulan Telaga Surya'-nya.

Berpikir sampai di sana, Malaikat Penggali Kubur cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu diangkat ke atas dan serta-merta dipukulkan dengan telapak mengepal ke arah Ki Buyut. Sinar terang sekejap tampak berkiblat pertanda murid Bayu Bajra ini hendak lepaskan pukulan Telaga Surya'.

Di depannya, Ki Buyut Pagar Alam tampak kerutkan dahi. Sepasang matanya tak berkesip memperhatikan Malaikat Penggali Kubur. "Tunggu!" Mendadak Ki Buyut berseru. "Anak muda! Apa hubunganmu dengan Bayu Bajra?!"

Dengan tangan masih di atas dan siap teruskan lepaskan pukulan, Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Lalu berucap. "Aku Malaikat Penggali Kubur! Tak ada hubungngan siapa pun! Dengar?!"

“Heemm... Selama aku malang melintang dalam rimba persilatan, orang yang kuketahui memiliki pukulan seperti pemuda ini adalah Bayu Bajra! Pasti pemuda ini masih ada hubungan dengan tokoh itu. Hemm... Bayu Bajra adalah adik kandung Dewa Sukma. Sementara Dewa Sukma adalah pemegang penggalan peta itu. Jangan-jangan pemuda ini..." Ki Buyut Pagar Alam manggut-manggut. Saat itulah mendadak Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya.

"Wuuttt! Wuuttt!" Cahaya terang berkiblat sekejap, disusul dengan deruan keras dan menggebraknya gelombang angin luar biasa dahsyat!

Seakan tahu kehebatan pukulan si pemuda, begitu deruan keras terdengar, Ki Buyut cepat keluarkan kedua tangannya lalu diangkat sejajar dada. Kejap lain kedua tangannya didorong ke depan. Tidak ada sambaran angin, juga tidak terdengar deruan, namun pada saat bersamaan, gelombang angin dahsyat pukulan Malaikat Penggali Kubur laksana disedot kekuatan dahsyat, dan perlahan-lahan gelombang angin itu mengarah pada kedua tangan Ki Buyut.

Malaikat Penggali Kubur sesaat jadi terkesiap melihat bagaimana pukulannya tersedot hendak masuk ke tangan lawan. Selain itu diam-diam pula dia terkejut mengetahui si kakek mengenali Bayu Bajra yang bukan lain adalah gurunya. Merasa gelagat buruk, Malaikat Penggali Kubur cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. Sosok pemuda ini terlihat bergetar keras pertanda dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Dan untuk kedua kalinya Malaikat Penggali Kubur pukulkan kedua tangannya lepaskan pukulan Telaga Surya'.

Mendapati hal demikian, Ki Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Dia segera sentakkan kedua tangannya, hingga gelombang angin dahsyat pukulan Telaga Surya' Malaikat Penggali Kubur yang pertama tertahan dan kejap kemudian berbalik dan kini memapak pukulan Telaga Surya' yang dilepas Malaikat Penggali Kubur untuk yang kedua kalinya.

Belum sampai dua pukulan 'Telaga Surya' itu bentrok di udara, mendadak dari arah kereta terdengar suara bentakan. Lalu terlihat cahaya hitam menggebrak setelah terlebih dahulu membuat tanah rengkah membentuk jalur panjang!

"Bummm! Bummm! Bummm!"

Tiga ledakan berturut-turut membuat tempat itu laksana dihantam gempa hebat. Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun sebelum kakinya melipat, bahunya bergerak dua kali. Kejap itu juga tubuhnya laksana mental. Membumbung ke udara setinggi dua tombak. Tanpa membuat gerakan berputar, kakek ini melayang turun dan menjejak tanah dengan kaki tegak dan kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya.

Di seberang, sosok Malaikat Penggali Kubur tampak terjengkang dan terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah. Jubah putihnya berubah menjadi kehitaman hangus. Namun pemuda ini segera bangkit tatkala yakin bahwa luka dalamnya tidak begitu parah. Tapi baru saja tubuhnya tegak, satu bayangan hitam berkelebat dan belum sempat pemuda ini membuat gerakan, satu tendangan keras menghantam dadanya.

"Bukkk!" Malaikat Penggali Kubur berseru tertahan. Tubuhnya tersapu sampai dua tombak ke belakang. Meski murid Bayu Bajra ini mampu bertahan tidak sampai roboh namun tak urung dadanya terasa sesak dan sesaat kemudian dia batuk-batuk sebelum akhirnya meludah keluarkan darah hitam!

"Jahanam keparat!" maki Malaikat Penggali Kubur sambil usap-usap dadanya dan berpaling ke samping kanan. Sejarak tiga tombak, tampak perempuan berjubah dan bercadar hitam tegak dengan kedua tangan tetap melipat di depan dada.

"Hem... Orang-orang ini memang mampu menangkis pukulanku. Tapi belum bisa kupastikan apakah dapat mengatasi pukulanku! Mereka hanya menangkis dengan mengembalikan pukulanku! Berarti bukan orang-orang ini yang kelak mendapatkan kitab itu! Kalau kuteruskan urusan ini, perjalananku akan tertunda. Dan bukan tak mungkin ada orang yang mendahului! Hemm... Daripada berurusan dengan orang-orang tak berguna, lebih baik aku teruskan perjalanan!"

"Kalian dengar!" kata Malaikat Penggali Kubur. "Urusan ini belum selesai! Kelak Malaikat Penggali Kubur akan mencari kalian!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur putar diri. Namun gerakan tubuhnya yang hendak berkelebat tinggalkan tempat itu tertahan ketika De wi Siluman tiba-tiba perdengarkan tawa panjang yang mendadak pula diputus.

"Urusan memang belum selesai. Dan tak ada waktu lagi kelak!"

Dewi Siluman angkat kedua tangannya, sementara sepasang kakinya dibantingkan ke tanah. Pertanda perempuan berjubah dan bercadar hitam ini siap lepaskan pukulan 'Kabbt Neraka' sekaligus dengan pukulan 'Sinar Setan! Namun sebelum sempat lepaskan pukulan, Ki Buyut telah berkelebat dan mencekal kedua tangan Dewi Siluman.

"Dewi... Tahan pukulan. Kita memerlukan pemuda itu!" bisik Ki Buyut Pagar Alam.

Dewi Siluman berpaling dengan mendengus. "Apa maksudmu Ki Buyut?!"

"Biarkan dia pergi dulu!" ujar Ki Buyut Pagar Alam seraya terus pegangi kedua tangan Dewi Siluman. Meski menahan rasa geram, tapi akhirnya Dewi Siluman turuti ucapan si kakek. Sementara di depan sana, begitu tak ada pukulan atau ucapan lagi, Malaikat Penggali Kubur teruskan berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Dewi..." kata Ki Buyut Pagar Alam setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu. "Aku yakin pemuda itu masih ada hubungan dengan Bayu Bajra. Sedangkan Bayu Bajra adalah adik kandung Dewa Sukma, orang yang memegang penggalan peta yang berhasil Dewi rebut. Kalau dia sampai di daerah sini, tidak tertutup kemungkinan dia memegang peta menuju arah Pulau Biru!"

"Hemm... Lalu?!" tanya Dewi Siluman dengan sepasang mata memandang ke arah mana Malaikat Penggali Kubur berkelebat.

"Kita ikuti pemuda itu! Kereta kita serahkan pada Wulandari dan Ayu Laksmi!" Tanpa menunggu ucapan Dewi Siluman, Ki Buyut Pagar Alam melesat ke arah Wulandari yang masih terduduk.

"Ki Buyut..." kata Wulandari dengan suara pelan. Ki Buyut Pagar Alam tidak buka mulut. Kakek ini hanya ulurkan kantong kecil ke arah Wulandari yang segera disambut oleh gadis berjubah kuning ini.

"Telan obat di dalam kantong ini dua butir. Ayu Laksmi juga beri dua butir. Setelah itu kalian bawa kereta menuju tempat yang telah ditentukan!"

Habis memberikan kantong, Ki Buyut Pagar Alam kembali berkelebat mendekat Dewi Siluman. "Dewi. Kita harus bergerak cepat!"

"Hemm... Aku heran. Dua kali ini Sitoresmi tak kutemui bersama dua saudara seperguruannya! Jangan-jangan anak itu berlaku bodoh!" kata Dewi Siluman sambil melirik ke arah Wulandari.

"Dewi... itu bisa kita urus belakangan! Ini kesempatan baik. Kalau dugaanku tidak meleset, tanpa harus mencari penggalan sisa, kita bisa sampai ke Pulau Biru!"

"Tapi..."

"Dewi!" tukas Ki Buyut Pagar Alam. "Urusan yang kita hadapi membutuhkan gerak cepat. Siapa yang pandai manfaatkan situasi dan waktu dialah yang akan berhasil! Sekali kesempatan lolos, kita akan kecewa!"

Tanpa pedulikan Dewi Siluman yang masih tegak berpikir, Ki Buyut Pagar Alam telah berkelebat mendahului ke arah mana Malaikat Penggali Kubur pergi. Meski masih diliputi tanda tanya dengan dugaan Ki Buyut Pagar Alam, namun sesaat kemudian Dewi Siluman juga berkelebat menyusul.

Tak berapa lama setelah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam pergi, Wulandari tampak bergerak bangkit, lalu melangkah ke arah Ayu Laksmi. Gadis berjubah kuning ini segera berikan dua butir obat pada Ayu Laksmi. Lantas menolong gadis berjubah biru itu untuk bergerak bangkit dan menuntunnya ke arah kereta.

Tak berselang lama, di tempat itu terdengar gemeretak roda kereta ditingkah suara derap ladam kaki kuda. Kereta yang tadi dikusiri oleh Ki Buyut Pagar Alam itu kini bergerak ke arah selatan dengan dikusiri oleh Wulandari, sementara Ayu Laksmi tampak duduk di sebelahnya dengan sesekali mengusap dadanya.

********************

BAB 9

MATAHARI telah tenggelam di ujung laut sebelah barat ketika Joko jejakkan kaki di pesisir Laut Selatan. Namun karena saat itu rembulan bersinar terang, murid Pendeta Sinting ini masih dengan jelas bisa melihat kawasan pesisir laut.

"Peta terakhir yang kuperoleh dari Dewi Es menunjuk tempat ini. Lalu di situ tertera perahu. Hem... Berarti aku harus menyeberangi laut...! Joko Sableng arahkan pandangannya ke tengah laut.

Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta Sinting ini melihat gundukan hitam nun jauh di tengah laut. Lalu terlihat pula kelap-kelip perahu nelayan di seberang. "Pulau Biru... Dalam situasi begini, sulit menentukan di mana pulau itu berada. Terpaksa aku harus menunggu sampai suasana terang. Sementara menunggu waktu, aku akan membuat rakit..."

Ketika ujung laut di sebelah timur terlihat mulai agak terang berwarna kekuningan pertanda sang matahari tak lama lagi akan muncul menerangi hamparan bumi, tampak sebuah rakit meluncur deras membelah ombak Laut Selatan. Tegak di atas rakit adalah seorang pemuda .berpakaian putih rambut panjang diikat dengan ikat kepala warna putih. Di tangannya tampak sebatang kayu yang sesekali diayunkan ke dalam air laut.

"Meski belum dapat kupastikan mana Pulau Biru, tapi aku akan menuju salah satu pulau itu!" kata sang pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 seraya arahkan pandangannya jauh ke tengah laut, di mana tampak dua gugusan pulau yang dari tempatnya murid Pendeta Sinting berdiri terlihat hitam.

"Mudah-mudahan aku tidak salah alamat..." gumam Joko Sableng lalu ayunkan kayu di tangan kanannya ke dalam air laut. Rakit yang ditumpangi makin kencang melaju membelah gelombang menuju salah satu gugusan pulau di depan sana.

Sang mentari hampir tepat di titik tengahnya tatkala rakit yang ditumpangi murid Pendeta Sinting sampai pada bagian pinggiran pulau. Sebelum rakit merapat, Joko Sableng telah berkelebat dan tegak dipinggiran pulau dengan mata memandang berkeliling ke seantero pulau.

Ternyata pulau itu tidak begitu besar. Tidak tampak adanya pohon atau tumbuhan. Yang terlihat hanyalah gugusan batu-batu padas dan tanah berpasir. Anehnya, gugusan batu-batu padas dan pasir yang bertebaran di tempat itu berwarna biru!

"Melihat keadaannya, aku tidak datang ke tempat yang salah! Semua yang ada di tempat ini berwarna biru!" kata Joko dalam hati seraya sekali lagi putar kepala dengan sepasang mata memperhatikan.

Tiba-tiba kening murid Pendeta Sinting ini berkerut. Sepasang matanya menebar sementara telinganya dipasang baik-baik. "Aneh..." gumamnya. "Mataku tak melihat adanya orang. Telingaku tidak menangkap suara gerakan. Namun kenapa tanah yang kupijak terasa bergetar! Ini bukan karena gelombang ombak. Ada sesuatu yang lain!"

"Astaga!" murid Pendeta Sinting ini tepuk jidatnya sendiri. "Bukankah Manusia Dewa pernah mengatakan Kitab Serat Biru ada di tangan seorang sakti bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya? Jangan-jangan ini adalah..."

Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 segera berkelebat menuju tengah pulau. Namun sesaat Joko jadi bingung sendiri. Karena hingga matanya lelah mencari, ia tak menemukan siapa-siapa. Sementara getaran-getaran itu makin lama makin keras.

"Pulau ini tampaknya kosong tak berpenghuni! Lalu ke mana aku harus mencari kitab itu? Peta itu hanya menunjukkan jalan menuju Pulau. Tidak ada petunjuk lebih lanjut ke mana aku harus menuju setelah sampai di pulau! Hem... Tapi kenapa getaran-getaran ini makin keras?!”

Joko tengadahkan kepala. "Aku akan menelusur dari pinggiran pulau!"

Murid Pendeta Sinting segera berkelebat dan kini dengan mata nyalang ia melangkah menyusur pinggiran pulau berpasir biru itu. Namun hingga tidak ada celah yang tertinggal, dia tetap tak menemukan siapa-siapa!

"Ah. Mungkin benar apa yang dikatakan sebagian orang. Cerita Kitab Serat Biru hanyalah isapan jempol belaka! Atau... Mungkin ada orang yang mendahuluiku sampai di tempat ini. Bertemu dengan orang sakti itu, lalu orang sakti yang dikatakan Manusia Dewa itu pergi tinggalkan pulau! Tapi kenapa orang-orang aneh seperti Ratu Malam, Gendeng Panuntun mengisyaratkan bahwa..." Murid dari jurang Tlatah Perak ini tidak teruskan kata hatinya karena saat itu terdengar orang lantunkan nyanyian.

Suratan telah ditulis, takdir sudah digurat. Tidak satu kekuatan pun yang bisa merobah dan menggugat. Bahkan hingga air mata kering dan tubuh melipat. Kecuali dengan izin Tuhan Sang Penguasa Jagat. Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat. Akankah semuanya jadi sia-sia karena kebimbangan yang menjerat. Padahal penantian ini telah lama berkarat. Hanya pada Tuhan tempat manusia memanjat.

Suara nyanyian itu terdengar amat aneh di telinga murid Pendeta Sinting, memantul jauh namun menggema laksana diperdengarkan orang dari dasar jurang yang sangat dalam. Joko memandang jauh ke tengah laut dengan coba mengulang nyanyian yang baru didengar lalu coba menyimak arti nyanyian.

"Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat. Eh. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan peta yang kudapat dari beberapa tokoh itu! Padahal penantian ini telah berkarat. Hem... Jangan-jangan orang ini tokoh yang dikatakan Manusia Dewa! Tapi di mana aku harus mencarinya? Seluruh pulau telah kutelusuri, tapi tidak ada seorang pun! Dan suara itu sepertinya datang dari jauh tapi menggema laksana di dalam jurang. Mungkinkah di bawah pulau ini?!" Sekali lagi sepasang mata Joko memperhatikan berkeliling.

Saat itulah matanya menangkap gugusan batu padas yang bergetar keras dan tak lama kemudian pecah berantakan! Anehnya, bersamaan dengan pecahnya gugusan batu padas itu, getaran-getaran di pulau itu berhenti! Murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke arah gugusan batu padas yang pecah. Sampai di situ, sepasang matanya jadi membelalak besar. Pada bagian pecahan batu padas tampak sebuah lobang menganga!

Baru saja Pendekar 131 gerakkan kepala melongok, satu kekuatan dahsyat menyedot dari dalam lobang, hingga meski Joko coba menahan dengan kerahkan tenaga dalam namun sia-sia. Tubuhnya melipat ke depan lalu melayang masuk ke dalam lobang!

"Bukkk!" Joko rasakan tubuhnya menghantam tanah keras. Ketika dia buka kelopak matanya dia berada pada satu ruangan agak besar yang seluruh bagian dinding dan langit-langitnya dari batu berwarna kebiru-biruan. Dengan dada dipenuhi berbagai tanya, murid Pendeta Sinting ini cepat bergerak bangkit. Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tapi di sini dia tak juga melihat seseorang.

Di saat Joko masih mencari-cari dengan rasa heran, tiba-tiba terdengar lagi nyanyian seperti yang tadi didengarnya di atas pulau! Tapi lagi-lagi suara itu laksana datang dari tempat yang jauh di dalam jurang. Namun kali ini Joko dapat menentukan dari mana sumber arah suara itu.

Perlahan-lahan Joko melangkah ke bagian samping kanan dinding ruangan arah mana suara nyanyian tadi terdengar. Sejenak murid Pendeta Sinting ini perhatikan dinding ruangan bagian kanan itu. Lalu merabanya.

"Tak ada pintu... Tapi jelas suara tadi bersumber dari sini!" gumam Joko Sableng seraya gelengkan kepala. Entah karena tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya dia berteriak.

"Siapa pun adanya orang, katakan di mana kau berada!"

Joko menunggu. Tapi tidak ada suara jawaban atau terdengarnya nyanyian. Murid Pendeta Sinting kembali ulangi teriakannya. Namun tidak juga ada suara jawaban.

"Eh. Jangan-jangan telingaku yang menipu karena aku terpengaruh dengan nyanyian di luar tadi..." Joko lalu melangkah dan duduk bersandar pada dinding ruangan. Baru saja punggungnya bersandar, dari bagian kanan dinding terdengar suara.

"Aku di sini, Anak muda...!"

Joko terkesiap, serentak dia bangkit lalu melompat ke dinding ruangan sebelah kanan. Tapi kembali dia dilanda kebingungan. Dinding itu tak berpintu dan tak ada satu celah pun!

"Aku ingin menemuimu! Bagaimana aku harus ke tempatmu?!" seru Joko pada akhirnya.

"Hantam dinding sebelah kanan!" terdengar jawaban dari dalam.

"Jika dinding ini kuhantam, jangan-jangan orang di dalam sana itu akan terkena juga. Padahal kemungkinan besar dialah orang sakti yang dikatakan Manusia Dewa!"

Sesaat murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan. Antara menuruti ucapan orang atau mencari jalan lain yang lebih aman. Karena bukan tidak mungkin jika turuti ucapan orang maka orang yang ada di dalam sana akan turut cedera. Padahal dari nyanyian yang didengarnya, Pendekar 131 sudah hampir merasa yakin bahwa orang itulah yang ada sangkut-pautnya dengan Kitab Serat Biru.

"Anak muda. Apalagi yang kau tunggu?!" terdengar ucapan dari balik dinding.

"Baiklah. Aku akan menghantam dinding ini. Tapi harap kau menyingkir!" kata Joko.

Terdengar orang tertawa. Sesaat kemudian terdengar ucapan. "Jika kau melihat sendiri, tak mungkin kau mengatakan begitu, Anak Muda!"

"Apa maksudmu?!" tanya Joko.

"Jangankan menyingkir, menggerakkan tangan pun aku tak bisa!"

"Kenapa bisa begitu?" tanya Joko pula.

"Sekarang bukan saat yang baik untuk tanya jawab, Anak muda! Turuti saja kata-kataku!"

Murid Pendeta Sinting masih tampak ragu-ragu. Sepasang matanya perhatikan dinding ruangan dengan seksama. "Sekali kuhantam aku yakin akan ambrol. Hemmm... Orang di dalam sana itu tidak bisa bergerak. Aku harus tahu, apakah jaraknya jauh dengan dinding ini...!" Joko lalu kembali berteriak.

"Apakah tempatmu cukup jauh dengan dinding ini?!" Sejenak tidak ada jawaban. Tapi tak lama kemudian terdengar suara.

"Anak muda! Tempatku berada tak lebih cuma dua langkah dari dinding!"

"Gila! Bagaimana ini? Tak mungkin orang itu selamat jika dinding ini ambrol!" kata Joko dalam hati lalu melangkah mondar-mandir.

"Ah, bagaimana kalau yang kuhantam sebelah sini?!" ujar Joko pelan seraya melihat dinding sebelah kanan yang agak ke tepi.

"Anak muda. Kau masih di situ?!" terdengar ucapan dari dalam dinding.

"Hemm... Betul. Aku akan hantam dinding ini, tapi agak ke tepi! Dengan begitu kau tidak akan terkena jebolan dinding!"

Dari dalam terdengar orang tertawa. "Percuma Anak muda. Kalau yang kau hantam tidak yang paling tengah, kau hanya akan buang-buang waktu dan tenaga!"

"Walah! Bagaimana ini!" Kembali Joko dilanda kebingungan. Karena tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya Joko bertanya lagi.

"Apakah tidak ada jalan lain selain menghantam jebol dinding ini?!"

"Anak muda! Jangan banyak tanya! Hantam dinding atau keluarlah dari ruangan ini!" Kali ini suara dari balik dinding agak keras.

"Baiklah. Aku hanya turuti ucapanmu! Harap kau nanti tidak menyesal!"

"Tak ada penyesalan, Anak muda! Penantian ini sudah terlalu lama..."

"Siapa yang menanti?" ujar Joko Sableng dengan melangkah mundur.

"Aku tidak bisa jawab tanyamu sekarang! Karena kau bukan satu-satunya anak manusia yang datang ke tempat ini!"

"Jadi?!”

"Kau terlalu banyak tanya, Anak muda!" potong suara dari balik dinding.

"Berarti telah banyak orang yang sebelumnya datang ke tempat ini. Dan mereka tak sanggup menjebol dinding itu!" pikir Pendekar 131 pada akhirnya. Setelah menarik napas dalam, murid Pendeta Sinting ini angkat kedua tangannya dan sekaligus dihantamkan pada dinding tepat bagian paling tengah.

"Beekkk! Beekkk!" Terdengar dua kali benda terhantam. Tapi murid Pendeta Sinting jadi terkesiap sendiri. Jangankan hancur, satu pecahan kecil pun tidak! Malah kejap itu juga Joko berseru tertahan sambil kibas-kibas-kan kedua tangannya. Bahkan dia membelalak saat meneliti ternyata kedua tangannya lecet dan mengembung bengkak!

"Anak muda! Kau sudah lakukan apa yang kuucapkan?!" Dari dalam dinding terdengar tanya.

Joko tidak menjawab ucapan orang. Sebaliknya perhatikan dinding dengan mata mendelik tak berkesip. "Anak muda! Kerahkan segenap tenaga dalammu dan lepaskan pukulan andalan yang kau miliki!"

"Edan! Aku tak percaya jika menjebol dinding begini sampai harus kerahkan tenaga dalam penuh dan lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Akan kucoba sekali lagi!"

Murid Pendeta Sinting mundur satu langkah. Dengan kerahkan separo tenaga dalamnya dia hantam dinding itu dengan kedua tangannya. Untuk kedua kalinya Pendekar 131 berseru tertahan. Kedua tangannya mental balik! Bahkan tubuhnya ikut terseret mundur sampai tiga langkah! Kedua tangannya tambah lecet dan makin bengkak besar!

"Aku hampir tak percaya!" gumam Joko seraya pentangkan matanya. Dinding itu bergeming pun tidak! "Terpaksa aku turuti ucapan orang itu! Akan kuhantam dengan pukulan 'Lembur Kuning'!"

Murid Pendeta Sinting segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap kemudian kedua tangannya berubah menjadi kekuningan pertanda dia siap lepaskan pukulan andalan 'Lembur Kuning'. Didahului bentakan keras, Joko melompat ke depan dan serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah dinding.

Dua sinar kuning mencorong terlihat menggebrak ke depan, lalu terdengar dentuman keras. Ruangan terbuat dari batu berwarna biru itu bergetar hebat laksana dilanggar gempa. Hingga sosok murid Pendeta Sinting tampak terpental dan jatuh terduduk di tengah ruangan. Meski merasa kesakitan, Joko cepat bergerak bangkit dan serta-merta menghambur ke depan, ke arah dinding yang baru saja dihantam. Sepasang mata Joko terpentang besar dan dari mulutnya ter-dengar gumaman tak jelas. Ternyata dinding itu tetap seperti sedia kala!

"Heran. Bagaimana mungkin pukulan 'Lembur Kuning' tidak mampu menjebol! Jangan-jangan ini satu isyarat bahwa kitab itu..." Kata hati Joko belum selesai, dari balik dinding terdengar orang berucap.

"Aku mendengar ledakan. Berarti kau telah menghantam dinding itu. Aku tanya padamu, Anak muda. Bagaimana hasilnya?!"

"Seperti yang kau dengar, aku memang telah menghantam dinding itu, tapi jangankan jebol, rengkah pun tidak! Apa yang harus kulakukan sekarang?!"

Terdengar keluhan dari balik dinding. Lalu terdengar suara. "Kau telah berusaha, Anak muda! Dan ternyata kau sama seperti beberapa orang yang datang sebelumnya! Itu telah menjadi jawaban apa yang harus kau ^kukan sekarang!"

"Jadi aku harus meninggalkan tempat ini?!" ujar Joko seraya gelengkan kepala.

"Bukan harus. Tapi apa gunanya kau berada di situ?! Kukira masih banyak yang bisa kau nikmati diluaran sana. Bukankah begitu?!"

"Tapi aku tak akan keluar dari pulau ini sebelum mendapatkan apa yang kucari!"

"Apa yang kau cari di sini, Anak muda?!"

"Aku mengemban tugas dari Eyang guruku Pendeta Sinting serta seorang tokoh rimba persilatan bergelar Manusia Dewa untuk menyelidik Kitab Serat Biru!"

"Hemm... Begitu? Mau turuti ucapanku, Anak muda?!"

"Harus kudengar dulu ucapanmu!"

"Tinggalkan ruangan itu! Kau tidak akan mendapat apa-apa!"

"Maaf. Kalau ini aku tidak bisa turuti ucapanmu. Aku akan tinggalkan ruangan ini dengan kitab di tangan!"

Terdengar orang di balik dinding tertawa panjang. "Tekadmu besar. Tapi sayang... Kau tidak akan mendapatkan yang kau inginkan!"

"Apakah orang lain telah mendapatkan kitab itu?!"

"Beberapa orang memang datang ke tempat ini. Sama dengan dirimu, mereka juga menginginkan kitab Itu. Tapi sama juga dengan kau, mereka akhirnya harus pulang dengan tangan hampa!"

"Apakah kitab itu benar-benar tidak ada?!" tanya Joko.

"Aku tidak berhak menjawab! Jawaban itu bisa kau dengar jika kau berhasil membuka dinding ini! Tapi sekaligus tidak membuatku tewas terkena bias pukulan!"

Hening sejenak. Murid Pendeta Sinting tampak duduk bersandar dengan kepala sesekali menggeleng. "Aku telah berusaha, dan nyatanya aku gagal menjebol dinding itu! Mungkinkah kitab itu tidak di-takdirkan untuk kumiliki?!"

"Anak muda! Kau telah menghantam dinding itu. Apakah kau tidak punya pukulan lain?"

"Astaga!" Joko bergerak bangkit. "Bukankah aku mendapatkan pukulan 'Sukma Es' dari orang yang sebutkan diri Dewi Es?! Hemm... Akan kucoba!" Tapi kembali Joko dilanda kebimbangan. "Kalau berhasil, tapi tidak mampu menyelamatkan orang itu...? Ah, susah!"

Setelah berpikir agak lama, akhirnya Joko berkata. "Orang di balik dinding! Aku memang punya satu pukulan. Tapi aku belum bisa pastikan apakah pukulan itu mampu menjebol dinding ini, juga aku tak bisa jamin apakah kau nanti bisa selamat jika pukulanku berhasil!"

"Dengar, Anak muda! Orang yang bisa menjebol dinding ini sekaligus dia pasti bisa meredam pukulannya agar aku bisa selamat! Jika hal itu tak bisa dilakukan, jangan harap bisa jebol dinding ini!"

"Ah, tambah sulit!" gumam Joko lalu kembali duduk bersandar. "Bisa menjebol sekaligus bisa meredam! Hem... Dewi Es mengatakan sesuatu yang kupegang akan membeku jika kukerahkan tenaga dalam ke lengan..."

Mendadak Pendekar Pedang Tumpul 131 berdiri dengan mata tak berkedip memperhatikan dinding di hadapannya. "Jika ucapan Dewi Es benar, maka bila dinding ini kuhantam dengan pukulan 'Lembur Kuning' dan berhasil jebol, maka tidak akan berantakan karena dinding ini akan membeku jika kukerahkan pukulan Sukma Es kearah lengan!”

Berpikir sampai di situ, murid Perdeta Sinting ini lantas melangkah ke arah dinding. Sesaat dia meraba dinding itu. Lalu mundur setengah langkah. Tenaga dalamnya dia kerahkan pada lengan. Serta merta dia merasakan hawa dingin luar biasa pada kedua tangannya. Ruangan itu pun perlahan-lahan dibungkus hawa dingin hebat. Tanpa menunggu lagi, Joko tempelkan kedua tangannya pada dinding. Serta-merta dinding itu laksana ditimbun es!

Aku merasakan hawa dingin, Apakah kau yang melakukan, Anak muda?!" tanya suara dari balik dinding.

"Aku akan mencoba! Harap kau siap-siap!"

"Siap apa?" suara dan balik dinding kembali bertanya.

"Walah, aku lupa kalau kau tak bisa bergerak!”

"Sudah lakukan saja apa yang hendak kau lakukan!" kata suara dari balik dinding.

Setelah melihat dinding itu dilapisi gumpalan es, tangan kanan Joko ditarik ke belakang, sementara tangan kirinya tetap menempel di dinding. Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting ini kerahkan tenaga dalam diarahkan pada tangan kanannya. Tiba-tiba tangan kanan itu berubah menjadi kekuningan. Lalu dengan pejamkan mata, tangan kanannya digerakkan menghantam dinding!

"Bukkk! Byaarrr!" Terdengar ledakan keras. Joko rasakan tubuhnya terhantam benda besar, hingga sosoknya mencelat dan menghantam dinding di seberang. Lalu jatuh dengan kepala berdenyut sakit. Wajahnya berubah pucat dengan kedua tangan bergetar. Tapi karena ingin melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting tidak rasakan denyutan di kepala dan rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Dia cepat bergerak bangkit dengan sepasang mata memandang tak berkesip ke depan.

"Berhasil...!" seru Joko ketika dia melihat lobang menganga di dinding yang baru saja dihantamnya. Tanpa berpikir lama dia cepat berkelebat, lalu tegak di samping dinding yang kini telah jebol.

Murid Pendeta Sinting ini seakan tak percaya dengan pandangan matanya. Dinding yang terkena hantamannya memang jebol dan anehnya jebolan dinding itu tidak berhamburan! Melainkan berserakan di tempat itu dan tampak masih dilapisi gumpalan-gumpalan es!

"Hem... Jadi gumpalan-gumpalan es ini yang bisa meredam muncratnya hamburan batu dinding ini! Tidak kusangka sama sekali..."

"Ah, ternyata kau berhasil, Anak muda!" terdengar suara pelan.

Seakan tersadar, Joko segera pentangkan matanya ke balik jebolan lobang dinding. Saat itulah matanya membentur sesuatu. Murid Pendeta Sinting ini tercekat dan makin belalakkan matanya. Dari tempatnya berdiri Pendekar 131 melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih. Rambutnya yang telah memutih tampak awut-awutan menutupi sebagian wajah dan bahunya. Sepasang matanya yang samar-samar terlihat dari ce-lah rambutnya tampak sayu.

Saat Joko melihat ke bawah, murid Pendeta Sinting jadi terkesiap. Karena ternyata tubuh bagian bawah kakek ini berada di dalam lantai batu! "Hem... Betul ucapan Manusia Dewa! Orang sakti yang dikatakannya sebagian tubuhnya di atas sedang sebagian lagi di dalam tanah! Berarti orang ini yang dimaksud Manusia Dewa..."

Joko segera masuk ke balik dinding yang telah jebol. Lalu jongkok di samping kakek yang tubuh bagian atasnya terlihat, namun tubuh bagian bawahnya masuk ke dalam lantai batu. "Kau tidak apa-apa, Kek?!"

Si orang tua angkat kepalanya. "Dengan pergunakan pukulan 'Sukma Es' kau berhasil meredam hamburan batu. Itu membuatku selamat tidak mengalami suatu apa!"

Diam-diam Joko jadi terkesiap mendengar si kakek tahu pukulan yang baru saja digunakan. Sebelum Joko buka mulut, si kakek telah berucap lagi. "Orang baru bisa menjebol dinding itu jika dia memiliki dua kekuatan. Kekuatan dingin untuk meredam, dan kekuatan panas untuk menghantam! Dan kau berhasil melakukannya dengan baik. Terima kasih, Anak muda..."

"Kek! Tubuhmu sebagian masih terpendam. Bagaimana aku harus mengeluarkanmu?!"

Sepasang mata sayu milik si kakek memandang dari sela rambutnya yang awut-awutan. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih jika kau masih ingin menolongku, Anak muda! Lakukanlah seperti kau menjebol dinding tadi! Hanya dengan cara itu tubuhku akan selamat..."

"Hemm... Jika begitu, akan kulakukan!" ujar Joko. Lalu cepat kerahkan tenaga dalam pada lengannya siapkan pukulan 'Sukma Es'. Tangan kirinya ditempelkan pada lantai batu sekitar tubuh kakek yang terpendam, lalu tangan kanannya diangkat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Lantai batu di mana kakek terpendam mendadak ditaburi gumpalan-gumpalan es. Serta-merta Pendekar 131 hantamkan tangan kanannya dengan kerahkan pukulan 'Lembur Kuning'.

"Brakkk!" Tempat itu bergetar keras. Sosok murid Pendeta Sinting terseret hingga tiga langkah. Saat dia memandang ke depan, tampak lantai batu di mana tubuh si kakek terpendam rengkah-rengkah dan sebagian berlobang. Namun hamburan lantai batu tidak sampai bertabur ke atas!

Si kakek tampak tarik kedua tangannya yang ikut terpendam ke atas. Dengan bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menekan sebagian lantai batu si kakek bergerak. Sosoknya melesat ke atas lalu tegak dua langkah ke samping Joko.

"Anak muda. Jerih payahmu tidak akan kulupakan. Mari kita bicara di ruangan sana!" sambil berkata si kakek mendahului melangkah menuju ruangan. Joko lalu menyusul dari belakang.

BAB 10

"Selama hampir seratus tahun aku menghuni pulau ini..." kata si kakek mulai buka mulut setelah dia dan Pendekar 131 duduk berhadap-hadapan di lantai ruangan yang dinding dan langit-langitnya terdiri dari batu berwarna biru itu.

"Entah sudah menjadi nasibku, setelah aku berguru pada seorang tokoh sakti, aku diberi tugas untuk mendiami pulau ini. Aku tak tahu apa maksudnya dia menyuruhku untuk diam di pulau ini. Yang Jelas dia memberikan sebuah kitab serta butiran merah padaku dengan pesan, kelak akan datang orang yang ditakdirkan memiliki kitab serta butiran merah itu. Dia tidak mengatakan siapa orangnya dan kapan dia akan datang. Selain itu dia berpesan agar aku tidak sekali-kali membuka kitab serta menelan butiran merah itu. Sebagai murid meski hal itu terasa berat, namun kulakukan juga. Tapi hingga dua puluh tahun berlalu, orang yang dikatakan guru tidak ada tanda-tanda akan muncul di tempat ini. Aku mulai gelisah dan khawatir. Tapi aku tetap menjalankan pesan guruku. Hingga pada suatu malam aku bermimpi..." Si kakek sejenak hentikan keterangannya, lalu melanjutkan.

“Seorang laki-laki berusia lanjut datang dalam mimpiku dan dia memberi pesan, persis seperti apa yang dikatakan guruku. Tapi sepuluh tahun setelah mimpi itu, orang yang dikatakan tidak juga muncul. Aku mulai was-was. Terutama mengingat usiaku yang mulai menginjak tua. Dan entah karena apa suatu hari aku tanpa sengaja melihat kitab yang diberikan guru. Dan tiba-tiba di hatiku tergerak untuk membukanya. Tapi sadar akan pesan guru dan orang tua dalam mimpi, akhirnya keinginanku kubatalkan. Hingga pada suatu hari dihadapanku muncullah seorang kakek, yang setelah kuamati dengan seksama ternyata dia adalah kakek yang muncul dalam mimpiku. Kakek itu mengatakan bahwa sudah menjadi suratanku untuk menunggu dan memberikan kitab itu serta butiran merah. Kakek itu juga mengatakan bahwa tidak lama lagi orang yang ditakdirkan mewarisi kitab serta butiran merah akan datang. Untuk memastikan orang yang ditakdirkan itu, aku diberi satu ilmu ‘Penembus Pagar’. Kelak orang yang dapat melewati ilmu ‘Penembus Pagar’ dialah orang yang berhak mewarisi kitab serta butiran merah. Begitu si kakek pergi, aku coba menjajal ilmu itu. Ternyata aku bisa melewati dinding serta dapat masuk ke lantai tanpa terlihat jebolan pada dinding serta lantai. Anehnya, begitu tubuhku masuk ke bawah lantai aku diserang kantuk yang luar biasa."

Untuk kedua kalinya si kakek hentikan keterangannya sebelum akhirnya melanjutkan. "Hingga aku tertidur. Aku baru bangun tatkala kurasa ada getaran-getaran keras. Saat itulah kuketahui ada orang datang di ruangan ini. Seperti halnya dirimu tadi, orang itu coba menjebol dinding, tapi tak berhasil. Dan begitu orang itu pergi, aku diserang kantuk lagi, lalu tertidur. Aku baru terbangun ketika ada getaran-getaran keras dan ada orang datang di ruangan ini. Begitu selanjutnya. Aku baru bangun saat terasa ada getaran-getaran yang menandakan akan datangnya seseorang. Namun hingga sejauh itu tidak satu pun yang berhasil menjebol dinding sampai akhirnya kau datang..."

"Jadi selama ini kau tak makan tak minum?"

"Aku tertidur! Mana merasa lapar dan haus? Aku hanya bangun sesekali. Itu kalau ada getaran pertanda orang datang. Tapi setelah itu aku sudah tertidur lagi!"

"Luar biasa!" gumam Joko seraya pandangi kakek di hadapannya. "Kek. Kudengar kau sempat sebutkan pukulanku. Bagaimana kau bisa tahu?"

Si kakek tengadahkan sedikit kepalanya sebelum berucap. "Tiga hari sebelum kedatanganmu, orang tua itu kembali muncul dalam mimpiku. Dia mengatakan bahwa penantian tidak akan lama lagi. Dia lalu mengajarkan padaku bait nyanyian. Dan mengatakan bahwa ilmu 'Penembus Pagar' bisa diatasi jika orang pergunakan pukulan 'Sukma Es' yang digabung dengan pukulan yang mengandung hawa panas!"

"Anak muda! Siapa namamu?!" tanya si kakek setelah terdiam agak lama.

"Joko Sableng, Kek... Aku murid seorang yang dalam rimba persilatan dikenal dengan gelar Pendeta Sinting. Kau sendiri siapa, Kek?"

"Aku Ageng Mangir Jayalaya..."

"Hm... Tepat ucapan Manusia Dewa!" kata Joko dalam hati.

"Joko. Menurut pesan, maka kaulah orangnya yang berhak atas kitab dan butiran merah yang sekarang ada padaku..!" Ki Ageng Mangir Jayalaya selinapkan kedua tangannya ke balik jubahnya. Saat kedua tangannya ditarik kembali, tampaklah sebuah kitab bersampul biru di tangan kanan, lalu butiran sebesar ibu jari berwarna merah di tangan kiri.

"Ambillah..." ujar Ki Ageng Mangir Jayalaya seraya ulurkan kedua tangannya pada Joko. Begitu benar-benar berhadapan dengan kitab yang dicari, bukannya Pendekar 131 cepat ulurkan kedua tangannya untuk mengambil. Dia seolah masih tidak percaya bahwa kitab yang kini diulurkan si kakek adalah kitab yang dicari!

"Kitab dan butiran merah ini sudah ditakdirkan menjadi milikmu!" kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.

Pada akhirnya dengan kedua tangan gemetar perlahan-lahan Joko menyambuti kitab dan butiran merah yang masih ada di tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Dan begitu tangannya menyentuh kitab bersampul biru serta butiran merah, Joko rasakan sekujur tubuhnya dirasuki hawa hangat. Pada saat bersamaan sepasang matanya terasa ditusuk-tusuk, hingga cepat Joko pejamkan sepasang matanya sambil menarik kitab dan butiran merah dari tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Ketika kitab dan butiran merah berada di tangannya, tusukan pada matanya lenyap. Saat dia buka lagi kelopak matanya, pandangannya terasa makin tajam!

"Ada apa, Anak muda?" tanya Ki Ageng Mangir Jayalaya tak tahu apa yang sedang dialami murid Pendeta Sinting ini.

"Hm... Dia tak merasakan dan tak tahu apa yang kualami!" membatin Joko lalu gelengkan kepala dan berkata. "Kepalaku sedikit sakit karena menghantam dinding itu tadi!"

Ki Ageng Mangir Jayalaya perhatikan Joko lebih seksama. "Aneh. Kurasa bukan karena sakit kepala anak ini berbuat begitu! Tapi kalau dia tak hendak mengatakan padaku, untuk apa aku memaksanya?" kata si kakek dalam hati, lalu berkata. "Telanlah butiran merah itu!"

Sejurus Joko pandangi orang tua di hadapannya. Dia tampak bimbang. Ki Ageng Mangir Jayalaya tersenyum. "Itu yang dikatakan orang tua dalam mimpiku! Telanlah!”

Dengan tangan gemetar. Joko pandangi butiran merah yang ada pada tangan kirinya. Lalu perlahan-lahan tangannya diangkat. Mulutnya bergerak membuka. Dan butiran merah itu segera ditelan. Tiba-tiba murid Pendeta Sinting rasakan sekujur tubuhnya laksana dipanggang dan kejang tak bisa digerakkan hingga tak lama kemudian kitab yang ada di tangan kanannya jatuh. Sepasang matanya terasa pedas sekali hingga keluarkan air mata sementara tubuhnya basah oleh keringat. Namun semua itu hanya sekejap. Di kejap lain mendadak rasa panas itu lenyap! Dan saat itu juga Pendekar 131 dapat gerakkan lagi tubuhnya.

Saat itulah, tiba-tiba ruangan di mana Pendekar 131 dan Ki Ageng Mangir Jayalaya berada terasa bergetar. Joko dan Ki Ageng Mangir Jayalaya sejurus saling berpandangan.

"Ada orang datang di pulau ini..." gumam si kakek. "Ambil dan simpan baik-baik kitab itu!"

Sejenak Joko perhatikan kitab yang ada di sampingnya. Kitab bersampul biru itu pada sampulnya bertuliskan Serat Biru.

"Orang yang datang pasti mempunyai tujuan-yang sama denganmu! Jangan cari urusan dengan memperlihatkan kitab itu!" kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.

Mendengar ucapan orang, Joko tersadar dan cepat ambil kitab lalu dimasukkan ke balik pakaiannya. "Kek! Kau tetap di sini! Aku akan ke atas!" kata Joko lalu menjura hormat.

Ki Ageng Mangir Jayalaya hanya anggukkan kepala sambil tersenyum. Joko bergerak bangkit lalu putar diri dan melangkah ke arah lobang yang tadi menyedot tubuhnya. Sejenak dia tengadah lalu kedua kakinya menjejak lantai ruangan. Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri, karena gerak lesatan tubuhnya luar biasa cepat! Hingga dalam kejap lain sosoknya telah tegak di luar lobang di permukaan pulau yang ditaburi pasir dan gugusan batu berwarna biru.

Namun baru saja sepasang kakinya menginjak tanah, satu bayangan berkelebat dan langsung tegak menghadang tujuh langkah di hadapannya!

BAB 11

UNTUK beberapa saat Joko Sableng perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah seorang pemuda mengenakan jubah putih. Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh dan rambut panjang lebat. Orang yang dipandang tengadahkan kepala.

"Hm... Ternyata ada anak manusia yang mendahului langkahku! Jahanam betul! Siapa dia?! Apakah telah berhasil mendapatkan kitab sakti itu?!" gumamnya lalu luruskan kepala.

Sesaat dua orang ini saling bentrok pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar dari mulutnya, pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur telah angkat tangan kanannya dan berkata dengan suara keras.

"Kau tak berhak bertanya! Aku yang berhak ajukan tanya!"

Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya, lalu garuk pantatnya seraya membatin. "Sombong betul! Tapi siapa pun dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi bisa sampai ke tempat ini!"

"Katakan siapa kau!" hardik Malaikat Penggali Kubur seraya melangkah maju satu tindak.

Pendekar 131 arahkan pandangannya pada deburan ombak jauh di depan sana. Lalu berujar. "Aku Pangeran Mendut-Mendut! Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu siapa kau adanya?!"

Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Matanya mendelik angker mengawasi pemuda di hadapannya. Namun tak lama kemudian tawanya meledak. "Setan laut pun tidak akan percaya jika tampang macammu adalah seorang pangeran!" kata Malaikat Penggali Kubur di sela suara tawanya. Namun mendadak suara tawanya diputus. Seraya berpaling pada Joko dia membentak.

"Jangan berani mengumbar bicara tak karuan! Lekas katakan siapa dirimu!"

"Silakan setan laut atau hantu pulau ini tidak percaya. Yang pasti aku adalah Pangeran Mendut-Mendut!" ujar Joko seraya senyum-senyum. Lalu melanjutkan. "Kau telah mengetahui siapa diriku. Sebagai penghuni puiau ini, aku ingin tahu siapa kau adanya!"

Malaikat Penggali Kubur keluarkan dengusan keras sebelum menjawab. "Aku Malaikat Penggali Kubur!"

"Ah... Kalau seorang malaikat datang jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti punya tujuan penting!"

"Penting atau tidak bukan urusanmu!" sentak Malaikat Penggali Kubur. "Aku tanya padamu, di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!"

"Apa...?!" tanya Joko sambil telengkan kepalanya.

"Kau tidak tuli! Orang tanya di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!"

"Kitab Serat Biru?" tanya Joko seraya kerutkan kening.

"Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan kalangan rimba persilatan dan tidak sedikit pula orang yang coba mencarinya. Kitab itu menurut kabar yang kupercaya berada di pulau ini!" kata Malaikat Penggali Kubur memberi keterangan.

"Kau tidak kesasar ke tempat yang salah?!" tanya Joko.

“Malaikat Penggali Kubur tidak akan datang ke tempat yang salah!"

"Dari mana kau tahu tempat ini?!"

"Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!" bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang pemuda murid Bayu Bajra ini mulai mengembung.

"Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat keadaan di luaran sana. Jadi harap dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa banyak orang rimba persilatan membicarakan kitab yang dikabarkan berada di pulau ini!"

"Hm... Jadi kau tak mengerti?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata berkilat.

"Bukan hanya tidak mengerti. Namun baru pertama kali ini mendengar kau sebutkan nama kitab itu!"

"Heran. Bagaimana mungkin? Apakah peta itu palsu? Tapi melihat gugusan batu padas serta pasir di pulau ini, aku yakin inilah Pulau Biru! Hm... Jangan-jangan pemuda ini mendustaiku!"

Untuk pertama kalinya Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi mana dia percaya begitu saja akan ucapan orang. Apalagi ketika matanya m -numbuk pada hamburan batu di dekat lobang.

"Jika mau kusarankan, lebih baik kau menuju pulau itu!" kata Joko setelah agak lama keduanya sama diam sambil menunjuk pada pulau di seberang. "Di sini kau tidak akan menemukan kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni, aku hafal seluk-beluk pulau ini serta apa saja yang ada di dalamnya!"

Malaikat Penggali Kubur tampak menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-diam ia membatin. “Melihat pakaian yang dikenakan, mengaku mengaku seorang Pangeran, sepertinya tidak masuk akal jika dia penghuni dan tidak pernah meninggalkan pulau ini!" Lalu pemuda berjubah Putih berkata,

"Aku datang Jauh-jauh percuma jika tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu! Dan sebelum menyelidik keseluruh pulau, bagaimana aku bisa menerima jika aku datang ke tempat yang salah!"

Tanpa memperdulikan pandangan Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur melangkah kearah lobang dari mana murid Pendeta Sinting, keluar.

“Tunggu!” seru Joko seraya tegak menghadang. “Ini tempatku. Aku...”

Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah. Lalu mamandang lekap pada Joko dan menukas ucapannya. "Dengar! Sekali kau bergerak dan tempatmu aku tak segan penggal kepalamu!” Lalu Malaikat Penggali Kubur teruskan langkah.

"Meski kitab telah berada di tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk ke bawah ,kata Joko dalam hati, lalu berkata. "Jika kau teruskan langkah, berarti kau tidak menghormati Pangeran Mendut-Mendut!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Persetan dengan Pangeran! Persetan dengan penghormatan!"

Pendekar 131 palangkan tangan kanan kirinya ke samping membuat gerakan penghadangan. "Persetan juga dengan Malaikat Penggali Kubur" Joko ikut-ikutan berkata.

"Kau mencari mampus!" bentak Malaikat Penggali Kubur seraya angkat tangan kanannya.

"Persetan dengan mampus!” Eh salah... Yang kumaksudkan..." Joko tak sempat lagi teruskan ucapannya, karena saat itu juga Malaikat Penggali Kubur telah gerakkan tangan kanannya.

Namun gerakan tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa bersahut-sahutan. Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131 serentak sama palingkan kepala ke arah datangnya suara tawa. Namun belum sampai kepala masing-masing orang berpaling, dua bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-tahu tegak terjajar beberapa langkah di samping Malaikat Penggali Kubur.

"Mereka!" desis Malaikat Penggali Kubur seraya pandangi satu persatu pada dua orang yang baru datang. Paras wajah pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap kemudian dia mendongak sambil keluarkan dengusan keras.

Pendekar 131 kernyitkan kening lalu memandang pada orang yang baru datang yang tegak di sebelah kanan. Di situ tegak seorang kakek mengenakan jubah hitam dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang besar dan dalam. Kakek ini tegak seraya sedikit tengadah dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya. Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada orang di sebelah si kakek. Mendadak air muka Joko berubah. Seraya pentangkan mata besar-besar dia perhatikan orang kedua ini baik-baik.

Dia adalah seorang perempuan berambut pirang bergerai sepanjang punggung. Mengenakan jubah panjang sebatas lutut juga berwarna hitam. Perempuan ini tidak bisa dikenali karena wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam yang berlobang di bagian kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak dibungkus dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam.

"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul 131! Hm... Kebetulan sekali! Tapi aku harus berhati-hati..."

Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak terkejut dengan kemunculan dua orang kakek dan perempuan bercadar yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi Siluman. Namun perempuan ini tidak terkejut dengan adanya Malaikat Penggali Kubur, hanya dia hampir tak percaya dengan keberadaan Pendekar 131 di tempat itu! Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut Pagar Alam.

"Bagaimana anak manusia ini bisa berada di tempat ini?!" gumam Dewi Siluman dengan menatap tajam Pendekar 131.

Seperti diketahui, waktu terjadi bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu Pemikat serta Iblis Ompong, Dewi Siluman tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid Pendeta Sinting yang sedang melayang hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-da akhirnya Dewi Siluman berhasil mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko. Lalu bersama dengan paman guru sekaligus pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi Siluman teruskan perjalanan menuju arah selatan.

Pada satu tempat mereka berdua bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur yang saat Ku juga sedang melakukan perjalanan menuju Pulau Biru setelah mendapatkan peta asli dari tangan Dewa Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman hendak lancarkan satu pukulan pada Malaikat Penggali Kubur yang hendak berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia lalu menyarankan pada Dewi Siluman untuk membiarkan Malaikat Penggali Kubur berkelbat pergi namun dengan diam-diam mereka mengikuti dari belakang.

"Kalian berdua!” Mendadak Malaikat Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. “Urusan kita belum usai! Jangan berani coba-coba menambah urusan dengan ikut campur urusanku dengan pemuda ini!”

sepasang mata Dewi Siluman terpentang besar mengarah pada Malaikat Penggali Kubur. ilmu kepandaianmu masih sebatas telapak kaki masih juga bermulut besar! Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan anak itu!

“Hmm... Rupanya kau telah mengenal Pangeran keparat ini!" desis Malaikat Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga masih membatin. "Ucapan perempuan bercadar ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku bernama Pangeran Mendut-Mendut ini sudah berkeliaran di luaran sana. Berarti dia juga bukan penghuni pulau ini! Jahanam betul! Dia telah menipuku”

Mendengar Malaikat Penggali Kubur sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi Siluman tertawa bergelak-gelak. "Apa kau bilang? Pangeran? Pangeran apa?! Dasar manusia sok tahu namun dungu! Dengar baik-baik agar kau tak penasaran jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau sebut Pangeran yang kini tegak di hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131 atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas aku punya urusan dengan dia dan jangan ikut campur!”

Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi Siluman yang sebutkan siapa dirinya sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin yakin bahwa perempuan berjubah dan bercadar hitam itulah orang yang membawa lari pedangnya. Namun sejauh ini dia belum mau mulai buka mulut untuk bertanya.

"Dasar manusia baru turun gunung! Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak dapat menentukan mana Pendekar mana Pangeran!" kata Dewi Siluman lalu perdengarkan tawa mengejek.

Rahang Malaikat Penggali Kubur mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Sepasang matanya mendelik angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua tangannya terlihat bergerak mengepal pertanda dia siap lepaskan pukulan.

"Tahan!" Tiba-tiba Ki Buyut Pagar Alam berseru demi melihat apa yang hendak dilakukan Malaikat Penggali Kubur. "Aku bicara terus terang saja. Kau dan kami datang ke tempat ini pasti dengan tujuan memburu kitab sakti Serat Biru. Betul?"

"Aku tak akan katakan tujuanku!” sahut Malaikat Penggali Kubur.

Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia melanjutkan kata-katanya. "Keinginan kita ternyata telah didahului orang. Dan bukan tidak mungkin orang yang mendahului kita telah mendapatkan kitab itu! Sekaang bagaimana kalau kita berbagi rezeki?!”

"Apa maksudmu?!" ujar Malaikat Penggali Kubur sambil memandang tajam pada Ki Buyut Pagar Alam.

"Kita buktikan bersama-sama apakah orang itu telah mendapatkan kitab itu! Lalu..."

"Bagaimana membuktikannya?!" potong Malaikat Penggali Kubur.

"Kita tanya baik-baik. Kalau keras kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa pendek. "Malaikat Penggali Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa orang! Aku punya kekuatan untuk melakukannya sendiri!"

Mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa panjang. "Anak muda! Kami telah buktikan, kekuatanmu masih jauh di bawah kami! Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang pendekar?!"

Rahang Malaikat Penggali Kubur makin mengembang dan terangkat. Pemuda ini hendak keluarkan suara membentak, namun Ki Buyut Pagar Alam telah mendahului.

"Anak muda. Jika nyawanya telah kita cabut dan begitu kitab benar-benar ada. Kita tentukan siapa yang berhak memilikinya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai sambil gelengkan kepala. "Usulmu baik. Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya tangan untuk mencabut nyawanya!"

"Hm... Baiklah. Kuberi kesempatan padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan lihat!"

Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan berbisik. "Aku memanas-manasi dia agar dia segera melenyapkan pemuda berbaju putih itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih ringan! Aku punya dugaan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemuda sembarangan! Bahkan kalau perlu kita cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa pemuda itu secara bersama-sama!"

Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua orang Ini lantas melangkah menjauh dan berdiri berjajar perhatikan ke arah Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar Pedang tumpul 131 Joko Sableng.

********************

BAB 12

KITA tinggalkan dulu keadaan di Pulau Biru. Kita kembali sejenak pada Ratu Pemikat dan laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar berkepala gundul yang mengenakan jubah toga warna putih hitam yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Merak Kawung.

Seperti dituturkan dalam episode Rahasia Pulau Biru, begitu Ratu Pemikat dan Merak Kawung gagal membunuh Pendekar Merak Kawung mengusulkan pada Ratu Pemikat untuk menemui seseorang yang diyakininya mengetahui seluk-beluk tentang Pulau Biru.

Ratu Pemikat akhirnya menyetujui. Namun sebenarnya dalam benak masing-masing orang ini punya ulat tersembunyi. Saat itu Ratu Pemikat dan Merak Kawung tiba pada suatu tempat yang gersang. Pohon-pohon yang tumbuh tidak berdaun, sementara semak belukar tampak kering. Tanahnya pun rengkah-rengkah.

"Kita sampai, Ratu..." gumam Merak Kawung seraya memandang lurus ke depan, di mana dari tempat mereka tampak sebuah gubuk berdinding jerami kering. Sambil bergumam tangan kanan Merak Kawung tampak tak henti-hentinya menelusuri ke balik pakaian Ratu Pemikat. Ratu Pemikat sendiri tampak tengadah sambil mendesah dengan mulut sedikit terbuka.

Melihat sikap Ratu Pemikat, Merak Kawung segera melangkah maju setengah tindak lalu berballk. Kedua tangannya cepat menyusup ke balik pakaian Ratu Pemikat. Lalu kepalanya menunduk dan mencium bibir sang Ratu. Sejenak Ratu Pemikat membalas ciuman-ciuman Merak Kawung. Namun begitu Merak Kawung terlihat terbuai dan nafsunya mengelegak, Ratu Pemikat cepat tarik pulang kepalanya.

"Kita selesaikan dulu urusan! Setelah itu kita bersenang-senang. Bukankah waktu kita masih banyak?" bisik Ratu Pemikat dengan dada turun naik.

Merak Kawung sepertinya tak pedulikan ucapan Ratu Pemikat. Dia kembali rundukkan kepalanya dan disusupkan di antara payudara sang Ratu.

“Kekasih... Aku sebenarnya sudah tak tahan. Namun harap kau mengerti. Urusan kita belum berhasil! Atau katu ingin aku tinggalkan tempat ini?”!" Seraya berkata, Ratu pemikat keluarkan kedua tangan MerAk Kawung dari balik pakaiannya.

Meski dengan dada bergetar keras dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas akhirnya Marak Kawung putar tubuh. Lalu melangkah mendahului Ratu Pemikat menuju gubuk. Tiga langkah di depan gubuk yang pintunya tertutup itu Merak Kawung berhenti. Sepasang matanya liar perhatikan sekeliling gubuk Lalu dia buka mulut.

Ki Jala Sutera! Adakah kau di dalam?!"

Merak Kawung menunggu. Sementara Ratu Pemikat telah berdiri di sampingnya dengan rapikan pakaiannya. Tidak ada jawaban dari dalam gubuk, membuat Merak Kawung kembali berteriak. Namun untuk kali ini belum juga terdengar suara jawaban. Merak Kawung mulai terlihat cemas. Dia kembali berteriak. Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar suara orang tertawa mengekeh.

"He he he... Rupanya ada orang memberi rezeki. Memang sudah lama tubuh renta ini tidak merasakan hangatnya rezeki. He he he... Masuklah!"

Ratu Pemikat sejenak menatap pada Merak Kawung dengan pandangan bertanya. Namun Merak Kawung tidak hiraukan pandangan Ratu Pemikat. Dia segera melangkah dan tangannya mendorong pintu gubuk. Lalu memberi isyarat pada Ratu Pemikat untuk mengikuti.

Begitu kedua orang ini masuk, dari tempat masing-masing mereka melihat sesosok tubuh rebah di pembaringan beralaskan jerami kering. Sosok itu kurus dan menggeletak hampir terbenam dalam alas jerami. Jika hanya dipandang sepintas lalu, orang menyangka sosok di pembaringan dipan adalah sosok manusia yang telah meninggal. Yang menandakan kehidupan dari sosok ini hanyalah dadanya yang bergerak pelan turun naik. Sementara sepasang matanya terpejam rapat. Mulutnya yang hampir memutih mengatup. Wajahnya hampir tidak tertutup daging sedikit pun. Dan lebih-lebih dia hanya mengenakan celana pendek dekil!

"Merak... Apakah..."

"Ratu!" tukas Merak Kawung pelan tanpa berpaling, "inilah orang yang kita cari! Memang hanya beberapa orang saja yang mengenalnya. Tapi bagi tokoh-tokoh rimba persilatan generasi dahulu, dia sudah tidak asing lagi! Beberapa puluh tahun yang silam namanya pernah menjadi hantu bagi siapa saja. Dia adalah sahabat mendiang guruku! Jadi tidak usah takut atau khawatir. Aku tahu siapa dia!"

Habis berkata begitu, Merak Kawung melangkah ke arah pembaringan. "Ki Jala Sutera! Aku Merak Kawung..."

Terdengar deheman pelan. Lalu perlahan-lahan sepasang mata sosok di atas pembaringan yang dipanggil Ki Jala Sutera bergerak membuka, memandang ke atas. "Aku membaui harum seorang perempuan! He he he...! Adakah kau bersama bidadari?!"

"Aku datang bersama seorang sahabat!"

Kepala Ki Jala Sutera membuat gerakan berpaling. Sejurus dia memandang pada Merak Kawung. Lalu melebar pada Ratu Pemikat yang berada dua langkah dibelakangnya. Serta-merta sepasang mata Ki Jala Sutera membelalak besar. Lalu dari mulutnya terdengar kekehan tawanya. Namun sejauh ini anggota tubuh lainnya tampak tidak bergerak.

"Mendatangi gubukku di tengah tanah gersang, apalagi bersama seorang bidadari cantik jelita, pasti kau punya urusan. He he he. Katakan terus terang, Merak Kawung...!"

Mendengar si kakek memuji dirinya, Ratu Pemikat menyumpah dalam hati. Tapi dia coba tersenyum meski kejap kemudian alihkan pandangannya ke jurusan lain. Merak Kawung tidak segera buka mulut lagi. Sebaliknya dia berpaling pada Ratu Pemikat. Namun sebelum dia sempat berkata, si kakek telah berucap.

"Merak Kawung! Katakanlah terus terang!"

"Hm... Rimba persilatan saat ini sedang ribut membicarakan sebuah kitab sakti..." Merak Kawung mulai bicara. "Namun tampaknya orang-orang persilatan itu kesulitan menentukan tempat di mana kitab sakti itu tersimpan!"

"He he he... Yang kau maksud tentu Kitab Serat Biru!"

"Benar, Ki! Menurut mendiang guru, kau adalah seorang yang tahu banyak tentang seluk-beluk kitab sakti itu!”

"Bukan hanya tahu seluk-beluknya, Tapi aku sudah pernah datang ke tempat di mana kitab itu diduga tersimpan..."

"Jadi kau tahu jalan menuju tempat itu?!" tanya Merak Kawung dengan wajah cerah dan bibir tersungging senyum.

“He he he Aku menulis jalan menuju lembah itu!”

Merak Kawung makin gembira, sementara Ratu Pemikat terlihat sunggingkan senyum dan melangkah mendekati Merak Kawung. "Ki..." kata Merak Kawung tapi ucapannya tidak diteruskan. Dia tampak bimbang dan melirik pada Ratu Pemikat.

"He he he...! Kau menginginkan tulisan yang menunjukkan tempat itu?!"

Merak Kawung anggukkan kepalanya. Ratu Pemikat tanpa sadar ikut-ikutan mengangguk. Lalu memandang lekat-lekat pada Ki Jala Sutera yang masih diam di atas dipan. Tiba-tiba Ki Jala Sutera memberi isyarat pada Merak Kawung agar mendekat. Merak Kawung cepat mendekat lalu condongkan kepalanya ke arah mulut Ki Jala Sutera. Ki Jala Sutera mengekeh sebentar lalu berbisik perlahan. Tiba-tiba wajah Merak Kawung berubah. Dan serentak berpaling ke arah Ratu Pemikat, membuat perempuan bertubuh bahenol dan berparas cantik ini merasa tidak enak.

"He he he...! Merak Kawung!" kata Ki Jala Sutera. "Aku tidak dapat menunggu lama-lama!"

Merak Kawung bergerak mundur mendekat kearah Ratu Pemikat. Sejurus dia pandangi wajah perempuan itu lekat-lekat. Merasa dirinya diperhatikan demikian rupa, Ratu Pemikat segera berkata.

"Cara memandangmu kali ini lain, Merak Kawung! Ada apa? Apa yang kalian bicarakan tadi?!"

Sesaat Merak Kawung tidak menjawab. Namun pada akhirnya laki-laki berkepala gundul ini berkata. "Ratu... Ki Jala Sutera akan memberikan tulisan menuju tempat di mana tersimpan kitab sakti itu. Tapi dengan syarat..."

Perasaan Ratu Pemikat makin tidak enak. Dia cepat menyahut. "Apa syarat yang diminta?!"

"Dia..." Merak Kawung masih menggantung ucapannya, membuat Ratu Pemikat tak sabar dan segera berseru dengan suara agak keras.

"Dia kenapa?!"

"Dia menginginkan dirimu!"

Ratu Pemikat kernyitkan dahi. "Maksudmu?!" katanya dengan dada berdebar.

"Kau diminta melayaninya bermesraan semalam!"

Paras Ratu Pemikat kontan berubah mengetam. Sepasang matanya mendelik besar dengan mulut mengatup rapat. Tiba-tiba dia berpaling pada Merak Kawung dan berkata. “Gila! Tak mungkin aku turuti syarat yang diminta!"

"Tapi... Itulah satu-satunya jalan jika kita ingin mendapatkan kitab sakti itu!"

"Gila! Ini gila! Bagaimana mungkin aku harus bergelut dengan tua bangka peot begitu rupa, he?!"

"Itu terserah bagaimana kau saja Ratu! Dan semua ini juga tergantung padamu. Kau bersedia berarti kita mendapatkan kitab itu, jika kau tidak bersedia, untuk apa dituruti!"

"Tidak! Aku tidak mau menuruti permintaan gila ini!" teriak Ratu Pemikat.

"Ratu..."

"Merak Kawung!" tukas Ratu Pemikat. "Sekali aku bilang tidak, tidak! Atau kau saja yang layani dia!"

Air muka Merak Kawung berubah. Tubuhnya tampak bergetar tanda ia menindih amarah. Saat itulah dari arah dipan terdengar suara kekehan tawa Ki Jala Sutera.

"He he he...! Syarat telah kuajukan. Jika tidak setuju harap lekas tinggalkan tempat ini!"

Merak Kawung berpaling pada Ratu Pemikat. "Ratu, Ini kesempatan paling berharga! Orang tua itu sering berubah pikiran dalam sekejap!"

Ratu Pemikat tampak bimbang. "Tapi... Ah, bagaimana aku harus..."

Merak Kawung segera menyahut. “Kau bukan orang bodoh, Ratu!" bisiknya seraya kedipkan mata sebelah.

"Baiklah! Aku terima syarat itu..." ucap Ratu Pemikat pada akhirnya.

“He he he...! Bagus! Merak Kawung! Untuk malam ini kau sementara tidur di luar!"

Merak Kawung memandang sekali lagi pada Ratu Pemikat. Ratu Pemikat anggukkan kepalanya. Tanpa berkata lagi, Merak Kawung balikkan tubuh lalu melangkah keluar.

Bersamaan dengan keluarnya Merak Kawung, tiba-tiba Ki Jala Sutera bergerak bangkit dan duduk dengan kedua tangan direntang-rentangkan. He he he... Apalagi yang kau tunggu, Bidadari?!"

Meski dalam hati menyumpah habis-habisan, namun perlahan-lahan Ratu Pemikat melangkah mendekati dipan. Sementara sepasang mata Ki Jala Sutera memandang tak berkesip dengan mulut komat-kamit. Begitu Ratu Pemikat dekat, kedua tangan Ki Jala Sutera segera merangkul sosok Ratu Pemikat dan kepalanya cepat pula bergerak menciumi wajah perempuan cantik itu.

Ratu Pemikat sejenak tidak membuat gerakan apa-apa, bahkan ketika kedua tangan Ki Jala Sutera membuka kancing-kancing pakaiannya. Malah sang ratu buka sedikit mulutnya dan perdengarkan desahan panjang. Sepasang mata si kakek makin terpentang besar tatkala pakaian Ratu Pemikat telah terbuka bagian atasnya dan dihadapannya tampak dua payudara besar, putih, dan kencang. Tak sabar, kedua tangan Ki Jala Sutera segera bergerak hendak menyentuh payudara sang Ratu, namun Ratu Pemikat cepat menangkap dan sambil duduk di atas dipan, sang Ratu berbisik.

"Aku tidak mau dibodohi. Tunjukkan dahulu tulisan yang kau maksud!"

Si kakek tampak kuasai dadanya yang bergerak cepat sebelum berkata. "Aku adalah manusia yang memegang janji!"

Ratu Pemikat tertawa pendek. "Janji di mulut mana bisa dipercaya! Tunjukkan tulisan itu atau kau tidak akan rasakan semua kenikmatan ini!"

Ki Jala Sutera gerakkan tangan kanannya menyingkap jerami kering yang menjadi alas pembaringan. Di situ tampaklah oleh Ratu Pemikat satu buku tipis.

"Buka dulu buku itu!" kata Ratu Pemikat.

“Kau percaya atau tinggalkan tempat ini!” Kini ganti Ki Jala Sutera yang keluarkan ancaman, lalu tertawa mengekeh.

Ratu Pemikat hanya bisa diam bahkan ketika kedua tangan Ki Jala Sutera melepas pakaiannya hingga perempuan bertubuh bahenol itu polos tanpa penutup lagi. Namun ketika kedua tangan si kakek hendak bergerak mencekal tubuhnya yang polos, Ratu Pemikat cepat berkelit. Dan kini sambil tertawa renyah Ratu Pemikat dorong tubuh si kakek hingga telentang di atas dipan.

"Kek..." kata Ratu Pemikat dengan suara setengah berbisik. "Aku akan membuatmu tidak melupakan malam ini seumur hidupmu!" sambil berkata kedua tangan Ratu Pemikat meraba tubuh yang tinggal tulang belulang itu.

Ki Jala Sutera tampak kesenangan. Napasnya makin memburu kencang. Malah ketika perlahan-lahan kedua tangan Ratu Pemikat membalikkan tubuhnya hingga menelungkup, kakek ini menurut saja.

"Kek... Tentu sudah lama kau tidak merasakanbkenikmatan seperti ini!" ujar Ratu Pemikat seraya terus gerakkan tangannya menelusuri punggung si kakek sementara tubuh polosnya duduk di paha sang kakek.

Ki Jala Sutera menggumam pelan tak jelas karena tertindih desah napasnya yang memburu kencang. Malah kakek ini tidak merasakan saat perempuan di atas tubuhnya angkat kedua tangannya. Dia baru tersadar tatkala merasakan desiran angin kencang melabrak dari samping kiri kanan kepalanya. Namun kesadarannya sudah terlambat. Sebelum sempat kakek ini tahu apa yang terjadi, kedua tangan Ratu Pemikat menghantam batok kepalanya bagian belakang.

“Plakkk!” Ki Jala Sutera hanya melengkuh pelan. Kepalanya rengkuh. Namun akibatnya begitu kedua tangan Ratu Pemikat menghantam rengkah kepalanya, kedua kaki si kakek melipat ke atas.

"Bukkk! Bukkk!" Ratu Pemikat merasakan punggungnya dihantam batangan kayu besar, hingga tubuhnya mencelat dari atas tubuh Ki Jala Sutera dan jatuh terjengkang ke bawah. Pada saat bersamaan sosok si kakek tampak bergerak bangkit. Darah tampak mengucur deras dari kepalanya membasahi punggung dan wajahnya.

Menangkap gelagat tidak baik, Ratu Pemikat cepat bangkit dan serta-merta kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit' hingga saat itu juga melesat dua sinar biru terang kearah si kakek. Meski Ki Jala Sutera adalah tokoh yang pernah ditakuti pada beberapa tahun silam, namun karena kepalanya telah rengkah membuat gerakannya lamban, hingga ketika dua sinar biru pukulan Ratu Pemikat menggebrak, dia tidak sempat lagi meng hindar.

"Brulll!" Dinding gubuk jebol terhantam sosok Ki Jela Sutera yang mencelat mental terkena pukulan Ratu Pemikat. Kakek ini hanya sempat terpekik, tapi tiba-tiba suara pekikannya terputus laksana direnggut setan. Sosoknya menghantam sebatang pohon di luar gubuk lalu jatuh di atas tanah dengan nyawa melayang!

Ratu Pemikat cepat berkelebat menyambar pakaiannya, dan secepat itu pula dia menyingkap jerami di atas dipan. Buku tipis di atas jerami disambarnya lalu berkelebat keluar gubuk.

"Ratu...!" teriak Merak Kawung.

Ratu Pemikat berpaling sejenak. Dia memberi isyarat pada laki-laki berkepala gundul itu. "Kita tinggalkan tempat ini, cepat!"

Merak Kawung sesaat meragu. Dia memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat. Ketika dia berpaling kebelakang gubuk dan melihat sosok Ki Jala Sutera tergeletak berlumur darah, dia segera angkat alis matanya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu menyusui Ratu Pemikat yang telah berkelebat lebih dulu...

S E L E S A I