Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 40 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kwi Bi Lan hidup berdua saja dengan ibunya karena ayahnya telah meninggal dunia ketika ia masih kecil. Oleh pamanya, yaitu Lie Koan Tek adik kandung ibunya, ia dimasukkan ke dalam perguruan silat seorang murid Siauw-lim-pai, bahkan kemudian pamannya itu melanjutkan memberi pelajaran ilmu silat Siauw-Lim pai kepada keponakannya itu.

Bi Lan dan ibunya hidup di sebuah dusun sebagai petani. Biarpun agak jarang, namun Lie Koan Tek tentu singgah di dusun itu kalau dia kebetulan melakukan perjalanan melalui daerah itu sehingga hubungan antara paman dan keponakan itu cukup akrab. Akan tetapi, dua bulan yag lalu, ibu Bi Lan jatuh sakit dan meninggal dunia.

Tentu saja Bi Lan yang menjadi sebatangkara itu merasa berduka sekali. Hanya dibantu oleh para tetangga, ia mengurus penguburan jenazah Ibunya, dan setelah itu ia hidup menyendiri kesepian. Pamannya Lie Koan Tek yang sudah lama tidak pernah datang itu ditunggu-tunggunya, akan tetapi tidak pernah muncul. Akhirnya, Bi Lan mengambil keputusan nekat untuk mencari pamannya.

"Paman memberi dua alamatnya kepada kami, yaitu di kuil Siauw-lim-dan di kota raja. Karena kota raja lebih dekat, maka saya hendak menyusul dan mencarinya di sana, Lo-cian-pwe."

Liu Bhok Ki mengelus jenggotnya merasa iba kepada gadis ini. Bi Lan telah memiliki ilmu silat Siau lim-pai yang cukup tangguh namun kepandaian itu masih belum cukup untuk bekal seorang gadis muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri.

"Kota raja itu ramai dan luas, Bi Lan. Tahukah engkau di mana rumah tinggal Lie Koan Tek?"

Bi Lan menarik napas panjang. "Paman Lie Koan Tek tidak pernah memberitahu dengan jelas di mana letaknya hanya di kota raja saja. Saya akan mencari keterangan di sana."

"Aih, sungguh berbahaya sekali, Bi Lan. Perjalanan ke kota raja cukup jauh dan melalui daerah-daerah rawan, banyak sekali orang jahat di dunia ini engkau tentu akan menemui banyak halangan. Biarpun aku tahu bahwa engkau telah menguasai ilmu silat cukup baik, namun kiranya masih belum cukup untuk melindungi dirimu dari gangguan para tokoh sesat di dunia kang-ouw."

"Bagaimanapun juga, saya harus berani menghadapi bahaya itu, Lo-cian-pwe. Saya tidak mungkin hidup sebatangkara saja di dunia ini. Saya masih mempunyai seorang paman, maka saya akan menumpang hidup pada Paman Lie Koan Tek."

"Memang benar pendapatmu itu. Akan tetapi setelah engkau bertemu denganku, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya seperti itu? Bi Lan, terus terang saja, aku merasa kasihan kepadamu dan kalau engkau suka, biarlah engkau tinggal beberapa lama di sini. Aku akan mengajarkan beberapa ilmu silat kepadamu agar engkau lebih kuat dan lebih mampu membelamu di dalam perjalananmu mencari Pamanmu. Bagaimana pendapatmu?"

Mendengar ucapan penolongnya itu, Bi Lan menjadi girang sekali dan segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar tua itu. "Sungguh berlimpahan Suhu, menumpuk budi kebaikan terhadap diri teecu, semoga Tuhan yang akan membalasnya. Teecu mentaati perintah Suhu..."

Liu Bhok Ki tersenyum, hatinya merasa lega sekali dan diapun memegang kedua pundak gadis itu dan menyuruhnya bangkit dan duduk kembali di atas pembaringannya. "Cukup, Bi Lan. Aku hanya ingin melengkapi kepandaianmu, akan tetapi kalau engkau suka mengakui aku sebagai gurumu, aku pun merasa gembira sekali. Ketahuilah bahwa selama hidupku, hanya mempunyai seorang saja murid dan kini kepandaiannya sudah jauh melampaui kepandaianku sendiri. Dan kau adalah murid ke dua, padahal engkau sudah menguasai banyak ilmu silat Siau lim-si dan aku hanya akan menambahi beberapa jurus saja untuk memperkuat dirimu dan sebagai bekal."

Demikianlah, mulai hari itu Bi Lan menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan setelah tubuhnya sehat kembali, mulailah ia merima gemblengan kakek perkasa itu yang mengajarkan jurus-jurus pilihan dari Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti Rajawali Terbang) dan juga dia pemberi petunjuk tentang ilmu siang-kiam pedang pasangan) kepada gadis itu sehingga dalam waktu tiga bulan saja, Bi Lan telah memperoleh kemajuan pesat.

Gadis yatim piatu itu pun tahu diri. Lama tinggal di pondok gurunya sebagai murid, ia bukan hanya mengantungkan diri sendiri dengan mempelajari ilmu silat saja. la rajin bekerja membersihkan pondok, mencuci pakaian, memasak dan menyediakan semua keperluan suhunya dengan penuh perhatian. Biarpun ia seorang gadis yang pendiam, namun ia selalu bersikap ramah, lembut dan penuh hormat kepada gurunya sehingga kakek perkasa itu merasa semakin sayang kepadanya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah memasak air dan membuatkan air teh panas untuk gurunya, kemudian ia menyapu pekarangan dan membawa pakaian kotor ke sumber air untuk mencucinya. Gurunya baru saja bangun dan kini gurunya sedang berlatih silat untuk melemaskan otot-otot. Setiap pagi, untuk setengah jam lamanya, Sin tiauw Liu Bhok Ki selalu bersilat untuk menjaga kesehatan dan kesegaran tubuhnya.

Liu Bhok Ki merasa segar dan gembira hatinya pagi itu. Semenjak Bi Lan berada di situ sebagai muridnya, Bhok Ki merasa seolah-olah kehidupan menjadi lebih menyenangkan. Kalau dahulu kadang-kadang dia merasa kesepian sekali, merasa betapa hidupnya sudah tidak ada guna dan manfaatnya lagi baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain, merasa tidak dibutuhkan manusia lain, kini dia merasa sebaliknya. Bi Lan membutuhkan bimbingannya! Dan dia merasa berguna, juga tidak lagi merasa kesepian. Kalau saja Bi Lan itu puterinya!

Dia menghentikan latihannya menyeka keringat dan duduk di atas batu di pekarangan depan rumahnya itu. Pekarangan itu sekarang nampak bersih. Daun-daun pohon kering tertumpuk sudut dan terbakar. Bunga-bunga tumbuh dengan segarnya. Memang tempat tinggalnya telah berubah sejak Bi Lan datang di situ. Pekarangan selalu bersih, bunga-bunga subur berkembang, dalam rumah juga bersih.

Semua pakaiannya tercuci bersih dan setiap hari pun ada saja sayur dimasak gadis itu dengan lezatnya. Kalau saja Bi Lan itu puterinya, pikirnya lagi. Akan tetapi, dia mengerutkan alisnya. Andaikata puterinyaa, setelah menikah pun akan meninggalkannya. Demikianlah hidup, pikirnya sambil menarik napas panjang. Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan.

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Memang demikianlah keadaan hidup ini. Kita selalu diombang-ambingkan senang dan susah. Senang kalau bertemu dan berkumpul, lalu susah kalau berpisah. Senang kalau mendapatkan, susah kalau kehilangan. Senang susah menjadi dua hal bertentangan yang silih berganti mencengkeram dan mempermainkan kita. Dan kita selalu menghendaki senang dan menolak susah. Bagaimana mungkin?

Senang dan susah merupakan dua muka yang tak dapat dipisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama. Kalau kita mengejar senang, tentu akan bertemu susah pula. Bahkan adanya senang karena ada susah dan sebaliknya. Kalau tidak ada senang, bagaimana tahu akan susah. Kalau tidak ada susah pun tidak mungkin mengenal senang. Seperti terang di gelap, seperti siang dan malam.

Biasanya, kalau ada kesadaran pada kita sehingga kita berusaha untuk mengatasi kesusahan, maka yang ingin kita atasi, yang ingin kita tiadakan atau hilangkan, tentu hanya susah itu saja. sebaliknya, senang ingin tetap kita rangkap dan kita miliki! Padahal keadaan seperti ini tidak mungkin. Keinginan ini pun timbul karena ingin senang, dengan cara ingin terlepas dari susah. Jadi yang masih sama saja! Bahkan susah itu sudah membuat ancang-ancang hendak menerka begitu kita menginginkan senang!

Susah dan senang bukan suatu keadaan, melainkan buatan hati dan pikir belaka. Merupakan kerjasama antara hati dan akal pikiran. Pikiran yang bergelimang nafsu yang timbul dari dayanya rendah selalu ingin mengulang segala pengalaman yang mengenakkan dan Menghindari segala pengalaman yang tidak enak. Kalau bertemu pengalaman yang mengenakkan, yang menguntungkan, maka hati pun senanglah. Kalau pikiran bertemu peristiwa yang dianggap tidak kuak dan merugikan, maka hati pun susah.

Enak atau tidak enak ini timbul dari pikiran daya-daya rendah. Suatu pengalaman yang mengenakkan selalu dikejar oleh pikiran, ingin diulang sampai menjadi suatu kebiasaan. Segala yang menyerangkan ingin dijadikan miliknya. Dari kemilikan ini, makin besarlah rasanya. Si AKU, makin berarti. Kemilikan ini yang memupuk dan membesarkan AKU. Karena itu, kalau terpisah dari yang dimilikinya, yang mengenakkan dan menyenangkan atau menguntungkan, hati terasa sakit.

Peristiwa yang terjadi di dunia ini tidaklah baik ataupun buruk. Baik buruknya hanya merupakan pendapat saja dari hati dan pikiran yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Suatu peristiwa yang saja dapat saja mendatangkan penilaian yang saling bertentangan bagi satu orang karena tergantung dari keadaan hati dan pikirannya. Seseorang menjadi sahabat baik kita karena kita menganggap dia mengenakkan hati, menguntungkan atau menyenangkan.

Kalau dia pergi atau merasa susah, merasa kehilangan kita selalu ingin agar dia dekat dengan kita. Akan tetapi, suatu ketika dia melakukan sesuatu yang merugikan kita tidak mengenakkan hati kita, dan diapun menjadi tidak menyenangkan! Kalau pergi kita merasa senang! Padahal, sebel itu kalau dia pergi kita merasa susah! Jelah bahwa senang dan susah adalah keada hati yang timbul dari pertimbangan pikir yang selalumengejar enak dan menghindarkan yang tidak enak.

Semua itu wajar. Hidup memang sudah disertai daya-daya rendah yang menjadi alat untuk mempertahankan hidup. Kalau daya-daya rendah itu tetap berfungsi menjadi alat, maka hidup pun baiklah. Yang gawat adalah kalau daya-daya rendah demikian kuatnya sehingga menjadi penguasa dan memperalat kita. Hidup kita seolah-olah hanya untuk mengejar pemuasan nafsu belaka. Pengejaran pemuasan nafsu inilah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang menimpang dari kebenaran. Bukan lagi hawa nafsu yang menjadi kuda dan kendalinya dan di tangan kita, melainkan kita yang menjadi kuda, dikendalikan nafsu!

Banyak daya upaya manusia untuk mengembalikan fungsi nafsu daya-daya rendah ini di tempatnya semula, yaitu sebagai hamba, sebagai alat dan daya upaya ini dilakukan melalui bermacam-macam agama, melalui ancaman hukuman dan harapan-harapan. Bahkan ada yang sengaja menjauhkan diri dari keramaian dunia, bertapa di tempat-tempat sunyi agar daya-daya rendah tidak mendapatkan sasaran, agar nafsu-nafsu dalam diri tidak dapat hidup subur karena tidak adanya pupuk.

Ada pula usaha melalui nasihat-nasihat, petuah. Namun, betapa sedikitnya hasil yang diperoleh dari semua usaha itu. Nafsu tetap merajalela di antara manusia. Manusia pada umum masih saja diperbudak nafsu daya-daya rendah sehingga perbuatan-perbuat sesat, jahat dan menyeleweng daripada kebenaran terjadi di seluruh dunia.

Selama usaha untuk menalukkan nafsu ini timbul dari hati dan akal pikiran maka selalu akan gagal. Karena hati dan akal pikiran sudah bergelimang dengan daya-daya rendah, sehingga apa pun yang dilakukan hati dan akal pikiran, selama berpamrih pula. Hati dan akal pikiran sudah mengerti bahwa perbuatan yang dilakukan itu tidak benar, namun hanya dan akal pikiran sendiri tidak berada karena memang sudah diperhamba oleh nafsu, sudah dipegang oleh nafsu semua kendalinya.

Hanya Tuhan yang akan mampu mengubah segalanya. Tuhan Maha Pencipta Tuhan pula yang menciptakan semua yang berada dalam diri manusia, Tuhan pula yang menganugerahkan nafsu sebag alat untuk hidup. Maka kalau alat itu merajalela dan mengubah kedudukannya menjadi penguasa, hanya Tuhan yang menciptakannya saja yang akan dapat fnengubahnya. Oleh karena itu, satu-satunya usaha yang dapat ditempuh oleh kita hanyalah menyerah kepada Tuhan!

Menyerah dengan pasrah, menyerah dengan Ikhlas, dengan sabar dan tawakal. Kita membiarkan pintu hati terbuka dan sekali cahaya Tuhan masuk, maka kekuasaan Tuhan yang akan membersihkan semua kekotoran dalam batin kita, kekuasaan Tuhan yang akan mengadakan perombakan, menaruh segalanya di tempatnya yang benar, dan mengadakan pembaharuan. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan memegang kendali dan memberi bimbingan.


Liu Bhok Ki duduk termenung, mengenangkan hidupnya yang penuh kepahitan. Semenjak kematian isterinya, tiga puluh tahun lebih yang lalu, sinar matahari kebahagiaan seolah-olah selalu bersembunyi, tertutup awan gelap baginya. Kemudian, setelah dia terbebas dari tekanan dendam, baru dia merasa lega dan bebas. Dan perjumpaannya dengan Bi Lan seolah-olah merupakan cahaya terang dan membuatnya merasa berbahagia sekali Ketika pikirannya membayangkan betapa gadis itu suatu ketika akan pergi meninggalkannya, untuk mencari pamannya alisnya berkerut dan dia cepat mengusir bayangan yang menyedihkan itu.

Tiba-tiba dia memandang ke depan dan alisnya berkerut kembali! Dia lihat dua sosok tubuh orang mendaki puncak bukit itu. Dari gerakan mereka tahulah dia bahwa dua orang yang mendaki puncak itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Hatinya marasa tegang. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini pun datang gangguan? Siapa yang berani mendaki bukit ini kalau bukan mereka yang datang dengan niat buruk terhadap dirinya?

Sudah lama dia meninggalkan dunia kang-ouw sehingga boleh dibilang dia sudah putus hubungan dengan para tokoh persilatan, maka tidak masuk di akal kalau ada tokoh kang-ouw yang sengaja datar berkunjung dengan iktikad baik. Dia sudah siap siaga, akan tetapi tetap duduk dengan sikap tenang. Bahkan ketika kedua orang itu sudah tiba di depannya, Liu Bhok Ki tidak mengangkat muka memandang, melainkan tetap menunduk, akan tetapi tentu saja dia mengikuti gerakan mereka itu pendengarannya.

"Suhu...!"

Suara ini yang membuatnya cepat angkat muka. Seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah berdiri di depannya, bersama seorang gadis yang cantik jelita! Pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di depannya dan kembali suaranya yang amat dikenalnya itu menggetarkan perasaan Liu Bhok Ki.

"Suhu...!"

Wajah Liu Bhok Ki kini berseri, sinar matanya mencorong dan suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Han Beng muridku...!"

Semenjak peristiwa yang terjadi di rumah Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, yaitu pertemuannya yang terakhir kalinya dengan muridnya, dia merasa semakin kagum dan sayang kepada muridnya ini. Seorang murid yang berani menyerahkan nyawanya demi untuk menyadarkan hatinya yang ketika itu menjadi buta dan mabuk oleh dendam.

Sejak itulah dia merasa betapa selama puluhan tahun hidupnya dipenuhi racun dendam, selama puluh tahun hatinya terhimpit oleh gunung dendam yang membuat hidup terasa seperti dalam neraka. Dan muridnya inilah yang menghapus racun itu, yang menyingkirkan gunung itu, yang membuat dia menjadi seorang manusia yang bebas.

"Suhu sehat dan baik-baik saja, bukan?" Han Beng berkata lagi.

Liu Bhok Ki mengangguk dan kini dia memandang kepada gadis cantik yang datang bersama muridnya itu. Seorang gadis yang wajahnya cantik, berbentuk bulat telur, dengan tubuh yang tinggi semampai dan ramping, pakaiannya rapi dan bersih, bibirnya yang merah sehat itu selalu tersenyum, matanya jeli dan kocak. Gagang pedang yang tersembul belakang pundak itu saja menunjukkan bahwa gadis ini bukan seorang wanita lemah.

"Han Beng, siapakah Nona yang datang bersamamu ini?"

Sebelum Han Beng menjawab, Giok Cusudah mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan memberi hormat. "Lo-cian-pwe, dua belas tahun yang lalu Lo-cian-pwe pernah berjumpa dengan saya di Sungai Huang-ho. Apakah Lo-Cian-pwe sudah melupakan saya?" Berkata demikian, Giok Cu menatap wajah Si Rajawali Sakti itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Eh? Bertemu di Huang-ho? Kapankah itu, Nona? Dan di mana?" Dia bertanya heran.

"Dua belas tahun yang lalu, di atas perahu dekat pusaran maut ketika terjadi perebutan anak naga. Ketika itu, seperti juga Han Beng, saya dijadikan perebutan oleh para tokoh kang-ouw, dan Ayah Ibu saya menderita luka di atas perahu mereka..." Giok Cu bukan sekedar mengingatkan, akan tetapi juga memancing sambil menatap tajam wajah Pendekar tua itu.

Sin-tiauw Liu Bhok Ki mengingat-ingat dan membayangkan peristiwa yang terjadi dua belas tahun yang lalu itu. Peristiwa memperebutkan anak naga Sungai Huang-ho yang takkan terlupakan selama hidupnya karena dalam peristiwa itulah dia bertemu dengan Han Beng yang kemudian menjadi muridnya. Teringatlah dia akan seorang gadis cilik yang kemudian ikut pula diperebutkan orang-orang kang-ouw karena seperti juga Han Beng, gadis itu telah bergulat dengan "anak naga" dan menggigit serta menghisap darah anak naga itu.

"Ahhhhh... sekarang aku ingat! Engkau adalah gadis cilik yang pemberani itu yang bersama Han Beng melawan anak naga dan berhasil membunuhnya dan menghisap pula darahnya. Bukankah engkau gadis cilik itu?"

Bukan itu yang dikehendaki Giok. "Benar, Lo-cian-pwe. Dan Lo-cian-pwe tentu masih ingat kepada Ayah Ibunya berada dalam perahu dalam keadaan terluka. Lo-cian-pwe bersama Han Beng datang dengan perahu lain dan naik perahu orang tuaku, bukan?" Tentu Lo-cian-pwe masih ingat apa yang terjadi dengan Ayah Ibuku pada waktu itu ia sengaja tidak melanjutkan karena ingin memancing pendekar tua itu.

Tanpa berpikir panjang lagi, Liu Bhok Ki sudah tentu saja ingat akan semua itu. Dia mengangguk-angguk. "Ya benar, aku ingat semuanya. Setelah menyelamatkan Han Beng dari tangan tokoh-tokoh sesat itu, Han Beng mengajak aku mencari kedua orang tuanya. Akan tetapi gagal, dan kami bertemu dengan orang tuamu di perahu yang juga menderita luka-luka. Aku bahkan masih sempat mengobati mereka sebelum kami berdua meninggalkan mereka."

Giok Cu memandang semakin tajam dan penuh selidik sehingga Liu Bhok Ki terheran, lalu berseru, "Ah, Nona, kenapa engkau memandangku seperti itu?"

Sejak tadi Han Beng hanya diam saja, bahkan menundukkan mukanya. Dia mengerti akan sikap Giok Cu. Dia tahu bahwa gadis itu, walaupun percaya kepadanya, namun masih merasa penasaran dan ingin mendengar sendiri pengakuan gurunya, dan kini gadis itu memancing-mancing agar Liu Bhok Ki menceritakannya apa yang sesungguhnya terjadi ketika itu. Dia sengaja diam saja tidak mau mencampuri karena dia yakin akan kebersihan gurunya maka tidak perlu dia membelanya. Biarlah gadis itu mendapat keyakinan sendiri setelah bicara dengan gurunya yang dia percaya dapat mengusut semua keraguan dari hati Giok Cu.

"Lo-cian-pwe, apakah yang Lo-cianpwe lakukan ketika naik ke perahu Ayah Ibuku?" tanyanya dan pandang matanya menatap tajam.

Liu Bhok Ki memandang heran. "Eh? Apa yang kulakukan? Aku bertanya kepada orang tuamu tentang orang tua Han Beng, kemudian melihat mereka menderita luka-luka, aku lalu mengobatinya."

"Apakah ketika Lo-cian-pwe mengobati mereka, Ayah dan Ibuku itu menderita luka-luka parah?"

Liu Bhok Ki menggeleng kepala dengan tegas. "Sama sekali tidak! Luka yang mereka derita hanya luka di luar saja, dan aku yakin setelah kuobati ketika itu mereka tentu sembuh kembali."

Giok Cu membayangkan ketika ia bersama subonya berada di perahu ayah Ibunya itu. Ayah ibunya yang ia temukan dalam keadaan terluka, akan tetapi mereka tidak parah, dan mereka bercerita bahwa mereka diserang oleh orang-orang jahat, mereka terluka dan hanya seorang saja pembantu mereka selamat. Yang lain tewas. Juga ayah bundanya yang menceritakannya bahwa orang tua Han Beng tewas. Juga ayahnya bercerita bahwa Han Beng dan Liu Bhok Ki, pendekar tua itu yang mengobati mereka, demikian cerita ayahnya.

Dan tiba-tiba Ban-tok Mo-li yang berseru keras mengatakan bahwa ayah bundanya diracuni Liu Bhok Ki dan ayah ibunya tiba-tiba terkulai dan tewas dengan muka berubah menghitam! Racun yang amat keras dan dapat menewaskan orang seketika. Hal itu tentu saja baru diketahuinya setelah ia mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Ayah ibunya tewas oleh racun jahat yang merenggut nyawa orang seketika, bukan racun yang membunuh perlahan-lahan.

Kalau benar Liu Bhok Ki yang meracuni ayah ibunya, tentu ayah ibunya sudah tewas ketika ia dan Ban-tok Mo-li tiba perahu mereka. Jelas bahwa ayah ibunya tewas oleh racun yang membunuh mereka seketika, dan racun itu pasti bukan dari Liu Bhok Ki datangnya dan lebih masuk akal kalau Ban-tok Mo-li yang meracuni mereka!

"Lo-cian-pwe adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, tentu Lo-cian-pwe tidak sudi untuk berbohong, dan bukan seorang pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya...”

"Heiiiii! Nona, apa maksud kata-katamu itu?" Liu Bhok Ki terbelalak dan wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong.

"Ketika Lo-cian-pwe berada di perahu orang tua saya itu, Lo-cian-pwe mengobati ataukah meracuni mereka?"

Dengan alis berkerut dan mata mencorong pendekar tua itu bertanya, suaranya dalam dan berwibawa, "Nona, mengapa engkau bertanya demikian? Aku telah mengobati mereka. Kenapa aku harus meracuni mereka? Tidak ada alasan sama sekali! Dan mengapa pula engkau menduga bahwa aku telah meracuni orang tuamu?"

"Karena ketika saya dan Subo tiba di perahu orang tua saya itu, saya menemukan mereka dalam keadaan terluka dan tak lama kemudian mereka tewas keracunan. Dan menurut keterangan Subo (Ibu Guru), mereka itu tewas karena Lo-cian-pwe yang meracuni mereka."

Liu Bhok Ki semakin terkejut. "Aku meracuni mereka? Gilakah sudah Subomu itu? Siapa gurumu itu yang bermulut demikian lancang melempar fitnah kepadaku?"

"Subo adalah Ban-tok Mo-li..."

"Ahhhhh! Pantas kalau begitu! Iblis betina ahli racun itu yang mengatakannya? Ha-ha-ha, Nona. Kalau ada orang yang dapat membunuh orang lain dengan racun tanpa diketahui, orang itu adalah Ban-tok Mo-li! Jelas bahwa Ban-tok Mo-li itulah yang telah meracuni orang tuamumu, bukan aku!"

“Akan tetapi, ia adalah guru saya. Bagaimana mungkin ia yang sudah mengambil saya sebagai murid, membunuh orang tua saya?" Giok Cu membantah.

Tiba-tiba Liu Bhok Ki tertawa. "Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, akan tetapi juga amat penasaran! Nona, engkau mengaku sebagai murid Ban-tok Mo-li akan tetapi agaknya engkau belum mengenal siapa adanya gurumu itu! Ia seorang tokoh sesat yang amat jahat, seorang wanita iblis yang tidak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Dan engkau agaknya lebih percaya kepada Ban-tok Mo-li daripada kepadaku, bahkan menduga bahwa aku yang telah membunuh orang tuamu? Heiii, Hai Beng, apa alasanmu engkau mengajak murid Ban-tok Mo-li ini datang ke sini?”

Han Beng yang sejak tadi memang diam saja dan masih berlutut, kini bangkit berdiri. "Suhu, teecu sudah mencoba untuk meyakinkan hati Giok Cu bahwa Suhu sama sekali tidak membunuh orang tuanya, dan teecu juga sudah menduga bahwa yang membunuh mereka adalah Ban-tok Mo-li sendiri. Akan tetapi Giok Cu masih belum puas. Untuk meyakinkan hatinya, maka ia ingin mendengar sendiri keterangan dari Suhu. Karena itulah maka ia datang bersama teecu menghadap Suhu."

"Akan tetapi, ia menjadi murid Ban-tok Mo-Ii, bagaimana dapat dipercaya? Ban-Tok Mo-li amat jahat, dan orang yang menjadi muridnya..."

"Akan tetapi, Suhu! Giok Cu akhir-akhir ini telah menjadi murid Hek-bin Hwesio selama lima tahun!" Han Beng membela.

Sepasang mata Liu Bhok Ki kembali terbelalak ketika ia mendengar ucapan muridnya itu dan dia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Kalau gadis ini sudah menjadi murid hwesio yang sakti itu, maka lain persoalannya!

"Ah, kiranya begitu? Nona, kalau begitu, tentu engkau sudah cukup dewasa dan bijaksana untuk menilai dan menduga siapa sebenarnya pembunuh Ayah Ibumu. Apakah engkau masih meragukan aku dan masih ada sangkaan bahwa aku yang telah membunuh Ayah Ibumu yang tidak kukenal, kubunuh begitu saja tanpa alasan sama sekali? Andaikata aku mempunyai kepentingan harus membunuh Ibumu pun, aku tidak akan mempergunaka racun, Nona. Kiranya pukulanku masih cukup ampuh untuk membunuh orang kalau hal itu kukehendaki."

Giok Cu menarik napas panjang. "Maafkan saya, Lo-cian-pwe. Tentu Lo-cian pwe dapat mempertimbangkan bagaimana perasaan saya yang melihat Ayah Ibu tewas di depan mata saya karena di bunuh dan diracuni orang. Setelah mendengar keterangan dan pendapat Han Beng memang saya mulai menyangsikan pemberitahuan Subo Ban-tok Mo-li yang dahulu tentu saja saya percaya sepenuhnya. Sejak kecil, saya mengandung dendam yang mendalam terhadap Lo-cian-pwe yang saya anggap sebagai pembunuh orang tua saya. Akan tetapi, saya merasa belum puas kalau tidak bertemu sendiri dengan Lo-cian-pwe."

"Hemmm, aku dapat mengerti, Nona. Dan bagaimana pendapatmu sekarang! Apakah engkau masih juga belum yakin bahwa aku bukan pembunuh orang tuamu?"

Giok Cu agak tersipu, akan tetapi ia memang seorang gadis yang tabah dan memiliki watak yang lincah maka ia pun tersenyum. "Sekarang saya baru yakin bahwa bukan Lo-cian-pwe yang membunuh Ayah Ibuku. Dari sini saya akan menemui Subo Ban-tok Mo-li dan akan menuntut agar ia berterus terang tentang kematian Ayah dan Ibu saya."

Liu Bhok Ki tertawa, hatinya merasa lega sekali. "Tidak ada orang lain yang membunuh orang tuamu dengan racun yang jahat, Nona..."

"Lo-cian-pwe, harap jangan membuat saya merasa sungkan dengan sebutan nona. Lo-cian-pwe adalah guru Han Beng, ia sudah menjadi sahabat baik saya sejak kami masih kecil, maka harap Lo-cian-pwe menyebut nama saya saja tanpa nona. Nama saya Bu Giok Cu."

Sepasang mata Liu Bhok Ki berseru dan dia mulai suka kepada gadis yang Sikapnya lincah dan terbuka ini. "Baiklah Giok Cu. Aku bukan orang yang suka melempar fitnah dan menuduh yang bukan-bukan. Akan tetapi, agaknya engkau belum mengenal benar watak dari Ban-tok Mo li walaupun wanita itu pernah menjadi gurumu. Aku percaya bahwa Ban-tok Mo-li sajalah yang akan dapat melakukan kekejaman seperti itu, membunuh orang tuamu yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak bersalah apapun. Dan kurasa ia membunuh mereka bukan tanpa alasan, la melihat bahwa engkau telah menghisap darah anak naga, maka ia ingin mengambilmu sebagai murid. Dan agaknya ia ingin memutuskan seluruh ikatanmu dengan keluargamu, dan untuk itu, ia tidak segan membunuh orang tuamu sehingga engkau menjadi sebatangkara dan tentu saja amat tergantung kepadanya."

Giok Cu mengangguk-angguk. "Agaknya pendapat Lo-cian-pwe itu memang benar. Dan terus terang saja, sekarang ini hubungan antara kami sudah putus sebagai guru dan murid, bahkan ia menganggap saya sebagai musuh. Hampir saja beberapa tahun yang lalu saya sudah mati di tangannya kalau saja tidak muncul Suhu Hek-bin Hwesio yang menyelamatkan saya dan kemudian mengambil saya sebagai murid."

"Bagus sekali kalau begitu, Giok Cu. Ketahuilah bahwa orang yang dibenci dan dimusuhi Ban-tok Mo-li adalah orang yang baik. Dan aku percaya bahwa engkau seorang gadis yang baik, apalagi engkau telah menjadi murid Hek-bin Hwesio."

Pada saat itu, muncullah Kwa Bi Lan dari dapur. Han Beng memandang dengan heran. Tak disangkanya bahwa di tempat tinggal suhunya terdapat seorang gadis yang tidak dikenalnya. Seorang gadis yang cantik manis, dengan wajah bulat dan kulit putih mulus, sepasang matanya tajam berwibawa dan hidungnya mancung. Namun, gadis itu nampak kaget melihat bahwa di situ terdapat dua orang tamu, seorang pemuda dan seorang gadis yang tidak dikenalnya dan ia pun hanya berdiri dengan muka ditundukkan dan tidak mengeluarkan kata apa pun, bahkan kelihatan canggung dan ragu.

"Suhu, siapakah Nona ini?" Han Beng yang bertanya kepada gurunya.

Liu Bhok Ki tertawa. "Ha-ha-ha, aku sampai lupa, Han Beng, atau memang belum sempat bicara tentang dirinya. Gadis ini adalah Kwa Bi Lan dan ia Sumoimu (Adik Seperguruanmu), Han Beng. Lalu dia berkata kepada Bi Lan, "Bi Lan inilah Si Han Beng, muridku dan Suhengmu seperti yang pernah kuceritakan kepadamu."

"Suheng...!" kata Bi Lan lirih dengan muka kemerahan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.

"Sumoi!" kata Han Beng dengan girang, lalu membalas penghormatan itu lantas berkata kepada suhunya. "Ah, kiranya Suhu mempunyai seorang murid baru? Teecu merasa girang sekali!"

"Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan Bi Lan ketika dia dikeroyok banyak penjahat. Aku membantunya dan ia pun menjadi muridku. Ketahuilah, Han Beng, bahwa Sumoimu ini hidup sebatangkara dan ia tadinya dalam perjalanan mencari Pamannya, yaitu Lie Koan Tek. Engkau pernah mendengar nama itu, bukan?"

"Tentu saja! Bukankah dia itu pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu, Suhu? Ah, Sumoi, kiranya engkau keponakan pendekar terkenal itu? Mari perkenalkan, Sumoi. Ini adalah Bu Giok Cu, seorang sahabatku sejak kecil, dan ia adalah murid... Hek Bin Hwesio.”

Bi Lan kagum mendengar ini. "Enci Giok Cu, sungguh mengagumkan sekali bahwa engkau adalah murid dari Lo-cian-pwe Hek Bin Hwesio. Dia adalah Paman Guru dari para pimpinan Siauw-lim-pai dan masih terhitung Susiok couw (Paman Kakek Guru) dariku. Kalau begitu, engkau masih terhitung Bibi Guruku sendiri!"

Giok Cu tersenyum dan muncul kelincahan dan keramahannya, la merangkul Bi Lan. "Ihhh, Adik Bi Lan. Engkau hanya satu dua tahun lebih muda dariku kukira, maka tidak sepantasnya kalau aku menjadi Bibi Gurumu. Biarlah kita menjadi enci adik saja. Engkau sebatangkara, bukan? Sama dengan aku, maka kita seperti enci adik. Dan sebagai Suheng dari Han Beng, engkau tentu lihai bukan main dan aku sama sekali tidak patut menjadi Bibi Gurumu."

Bi Lan yang pendiam menjadi gembira sekali bertemu dengan Giok Cu yang ramah dan lincah, dan keduanya sudah akrab sekali. Melihat ini, Liu Bhok Ki tersenyum.

"Giok Cu, engkau masuklah ke dalam dan bantulah Bi Lan di dapur. Aku ingin bercakap-cakap dengan Han Beng dan mendengarkan segala pengalamannya semenjak kami saling berpisah."

Giok Cu juga tidak malu-malu lagi dan kedua orang gadis itu bergandeng tangan masuk ke dalam rumah. Liu Bhok Ki mengajak Han Beng untuk bercakap-cakap di ruangan luar dan dia pun minta kepada pemuda itu untuk menceritakan semua pengalamannya.

Dengan singkat Han Beng menceritakan semua pengalamannya semenjak dia neninggalkan suhunya, menjadi murid Sin-ciang Kai-ong, kemudian menjadi murid Pek I Tojin dan betapa dia kemudian dikenal sebagai Huang-ho Sin-long (Naga Sakti Sungai Kuning). Tentu saja Liu Bhok Ki merasa gembira dan kagum bukan main, terutama mendengar bahwa muridnya itu telah menjadi murid Pek I Tojin yang sakti!

Juga gembira mendengar betapa muridnya telah membantu pemerintah membasmi gerombolan penjahat yang mengadu domba antara para hwesio dan para tosu. Ketika Han Beng menceritakan bahwa dia mengangkat saudara dengan Coa Siang Lee Liu Bhok Ki gembira bukan main.

"Bagus, bagus, Han Beng. Berita yang paling membahagiakan hatiku. Engkau akan menebus, walaupun sedikit dosaku terhadap Ayah Coa Siang Lee dan Bibi Sim Lan Ci. Ah, aku girang sekali. Dan pesanku kepadamu, Han Beng, kelak jangan engkau melupakan anak mereka yang bernama Thian Ki itu. Dialah yang telah menyadarkan aku dari cengkeraman dendam! Kelak kau wakililah untuk mendidiknya, Han Beng, menjadikan dia seorang pendekar yang budiman.

Han Beng menarik napas panjang. "Suhu Kakak Coa Siang Lee dan isterinya sudah bersumpah dan mengambil keputusan bahwa mereka tidak akan memberi pelajaran ilmu silat kepada Thian Ki. Mereka telah mengalami betapa pahitnya kehidupan para ahli silat yang selalu dimusuhi orang. Mereka hendak menjadikan Thian Ki seorang biasa saja agar tidak memiliki banyak musuh kelak dan dapat hidup tenteram dan berbahagia, tidak seperti ayah ibunya."

Liu Bhok Ki juga menarik napas panjang. "Hemmm, itu adalah perkiraan mereka. Apakah kalau orang tidak dapat membela diri lalu tidak ada yang datang mengganggu? Bahkan yang lemah akan selalu ditindas oleh yang kuat. Akan tetapi, tentu saja tidak baik menentang kehendak mereka. Mereka yang berhak menentukan bagaimana harus mendidik putera mereka. Akan tetapi, jangan lupakan keponakanmu itu dan andaikata engkau kelak tidak diperbolehan menjadi gurunya, engkau amatilah ia untuk membalas budi anak itu kepadaku, Han Beng."

Hati pemuda itu merasa terharu. Memang, gurunya ini baru sadar setelah melihat Thian Ki yang berlutut di depannya. Seolah-olah anak itu yang menyadarkannya. Padahal, yang menyadarkan manusia hanya Tuhan, dan kekuasaan Tuhan dapat menyusup kemanapun juga, dapat pula menyusup ke dalam diri Thian Ki yang dipergunakan oleh Tuhan untuk menyadarkan Liu Bhok Ki dari mabuk dendam.

"Teecu berjanji akan mentaati pesan Suhu."

Wajah pendekar tua itu berseri karena dia merasa yakin bahwa muridnya ini kelak akan memegang janjinya. Kemudian dengan hati-hati dia bertanya. "Han Beng, sejauh manakah hubunganmu dengan Giok Cu?"

Terkejut hati Han Beng mendengar pertanyaan itu. Dia memandang wajah gurunya dengan penuh selidik, akan tetapi segera menjawab karena melihati sikap gurunya itu bersungguh-sungguh. "Suhu, apakah yang Suhu maksudkan? Sejak kecil teecu telah berkenalan dan menjadi sahabat Giok Cu, bahkan keluarga kami menjadi sahabat, senasib sependeritaan karena melarikan diri mengungsi dari jangkauan tangan para petugas yang memaksa orang menjadi pekerja paksa. Tentu saja kami bersahabat baik, Suhu."

"Yang kumaksudkan, sampai sejauh manakah keakrabanmu dengan Giok Cu?"

Wajah Han Beng menjadi kemerahan. Teecu tetap tidak mengerti, Suhu. Hubungan kami wajar saja, sebagai dua orang sahabat yang sama-sama kehilangan orang tua dalam perjalanan bersama. Bahkan sama-sama bergulat dengan ular, eh, anak naga itu, lalu bersama pula menjadi rebutan orang-orang kang-ouw. Anehkah kalau kami menjadi sahabat amat akrab, Suhu?"

Pendekar tua itu mengangguk-angguk. Muridnya ini berwatak polos dan jujur, dan biarpun usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh empat tahun, namun agaknya masih hijau dalam urusan pergaulan dengan wanita sehingga tidak dapat menangkap maksud pertanyaannya tadi. Dia tidak mau mendesak, tidak ingin menyinggung perasaan muridnya dan mengotori perasaan murni antara dua orang sahabat itu.

"Sekarang akan kutanyakan hal lain, Han Beng. Apakah selama ini engkau telah menemukan calon jodohmu? Apakah engkau sudah menjatuhkan hatimu kepada seorang gadis yang kau pilih sebagai calon isterimu?"

Ditanya demikian, Han Beng terbelalak, tersipu dan menjadi bingung. "Teecu... teecu... tidak mengerti... eh, maksud teecu, teecu belum berpikir sama sekali tentang perjodohan, Suhu."

"Jadi belum ada pilihan?"

Suhunya mendesak dan terpaksa Han Beng menggeleng kepala walaupun di dasar hatinya dia tahu benar bahwa hatinya telah memilih seorang gadis, bahwa dia mencinta seorang gadis. Dahulu, pernah dia merasa tertarik kepada Souw Hui Im, akan tetapi setelah mendengar Hui Im telah bertunangan dengan pemuda lain, dia pun “mundur teratur" dan mengalah, meninggalkan Hui Im bersama tunangannya walaupun dia maklum pula bahwa Hui Im mencintanya.

Kemudian dia bertemu dengan Giok Cu seketika dia jatuh cinta. Akan tetapi, bagaimana dia berani menyatakan rasa hatinya ini kepada suhunya? Giok Cu sendiri belum tahu akan rahasia hatinya itu. Maka, mendengar desakan itu, dia pun menggeleng tanpa menjawab.

"Bagus sekali! Aduh, betapa lega dan senangnya rasa hatiku mendengar bahwa engkau belum mempunyai pilihan, muridku. Dengar baik-baik, Han Beng. Engkau tahu betapa aku sayang sekali kepadamu, dan bahwa engkau selain sebagai muridku, juga kuanggap sebagai anakku sendiri karena engkau sudah tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga."

Han Beng merasa terharu. "Terima kasih banyak atas segala budi kebaikan Suhu," katanya.

"Karena itulah, Han Beng, aku amat memperhatikan keadaan dirimu. Engkau kini sudah berusia dua puluh empat tahun. Dan sebagai guru, juga pengganti orang tuamu, aku ingin sekali melihat engkau hidup berbahagia, berumah tangga dengan baik, memiliki seorang isteri yang pilihan dan mempunyai anak-anak yang sehat. Dan Thian agaknya menaruh kasihan kepadaku, maka Dia mengirimkan seorang calon mantu itu kepadaku. Han Beng, aku ingin agar engkau suka berjodoh dengan Kwa Bi Lan, Sumoimu tadi. Bagaimana pendapatmu, Han Beng? Bukankah ia seorang gadis yang memenuhi syarat sebagai seorang isteri yang baik, la cukup cantik, bakatnya dalam ilmu silat baik sekali, murid Siauw-lim-pai dan selama ia hidup di sini aku melihat bahwa ia seorang anak yang rajin dari pandai, mengatur rumah tangga, juga wataknya pendiam dan sopan berbudi bahasa baik."

Han Beng terpukau dan berdiam diri, tak bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Dia terkejut bukan main, lebih kaget daripada kalau diserang dengan pedang secara tiba-tiba. Dia tidak mampu menjawab, bahkan tidak mampu berpikir karena pikirannya sudah berputar putar tidak karuan, mengikuti gerak jantungnya yang berdebar karena terguncang oleh kata-kata suhunya tadi.

Liu Bhok Ki dapat memaklumi keadaan muridnya dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, jangan engkau tertegun seperti itu, Han Beng. Engkau seorang laki-laki, apa anehnya kalau tiba saatnya engkau harus beristeri? Pikirlah baik-baik. Kala engkau sudah beristeri, dengan seorang isteri sebaik Bi Lan, hidupmu akan tenteram. Berumah tangga, berkeluarga, dan engkau bekerja untuk menghidupi keluargamu. Tidak menjadi seorang pengelana yang tidak menentu hidupnya, tidak menentu pekerjaan dan tempat tinggalnya. Dan aku sudah tua, muridku. Aku ingin pula mondok di rumah tanggamu, mengasuh cucu-cucuku kelak, ha-ba-ha!"

Han Beng merasa tersudut. Apa yang harus dia katakan? Dia tahu bahwa gurunya ini memiliki watak yang jujur akan tetapi keras bukan main. Kalau dia begitu saja menjawab bahwa dia tidak setuju dan menolak usul gurunya, tentu dia akan menyakiti hati gurunya yang dihormati dan disayangnya itu. Akan tetapi dia pun tentu saja tidak mungkin dapat menerima ikatan jodoh semudah itu!

Dia belum mengenal Bi Lan, belum tahu akan watak atau isi hati gadis itu. Dia dan Bi Lan bukanlah dua ekor ayam atau anjing atau sapi yang dapat dikawinkan begitu saja. Bagaimana mungkin dia dapat hidup di samping seorang wanita selama hidupnya, kalau dia tidak mencinta wanita itu dan sebaliknya wanita itu tidak mencintanya? Dan di sana masih ada Giok Cu? Bagaimana mungkin dia meninggalkan Giok Cu dan menikah denngan gadis lain? Dia harus lebih dulu mengetahui isi hati Giok Cu, dan mengetahui pula isi hati Bi Lan.

Bahkan yang terpenting adalah isi hati Giok Cu, karena bagaimanapun perasaan Bi Lan terhadap dirinya, tidak begitu penting baginya. Dia tidak mencinta Bi Lan bahkan berkenalan pun baru saja. Yan penting, kalau memang Giok Cu mencintanya, tidak mungkin dia menikah dengan Bi Lan atau gadis lain mana pun Kecuali kalau Giok Cu tidak mencintainya, mungkin baru dia dapat memenuhi permintaan gurunya, semata-mata demi membalas budi kebaikan gurunya itu.

"Hei, Han Beng, kenapa engkau dian saja? Jawablah!"

Seruan Liu Bhok Ki ini menyadarkan Han Beng dan dengan gagap dia menjawab, "Bagaimana teecu harus menjawab Suhu? Urusan ini... terlalu tiba-tiba dan teecu sendiri bingung. Teecu membutuhkan waktu untuk memikirkan usul Suhu ini."

Pendekar tua itu mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, engkau memang terlalu berhati-hati. Kuberi waktu padamu. Berapa lama engkau hendak memikirkan persoalan ini dan memberi jawaban pasti kepadaku?"

Han Beng yang lebih dulu ingin menyelami perasaan hati Giok Cu terhadap dirinya, lalu berkata, "Suhu, teecu sudah berjanji kepada Giok Cu untuk menghadap Suhu dan bertanya tentang kematian orang tuanya. Kemudian dari sini, kami akan mendatangi Ban-tok Mo-li untuk menuntut pertanggungan jawab dari wanita iblis itu. Nah, setelah teecu menemaninya bertemu dengan Ban-tok Mo-li, barulah teecu akan kembali ke sini dan memberi jawaban yang pasti kepada suhu..."

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 40

Kwi Bi Lan hidup berdua saja dengan ibunya karena ayahnya telah meninggal dunia ketika ia masih kecil. Oleh pamanya, yaitu Lie Koan Tek adik kandung ibunya, ia dimasukkan ke dalam perguruan silat seorang murid Siauw-lim-pai, bahkan kemudian pamannya itu melanjutkan memberi pelajaran ilmu silat Siauw-Lim pai kepada keponakannya itu.

Bi Lan dan ibunya hidup di sebuah dusun sebagai petani. Biarpun agak jarang, namun Lie Koan Tek tentu singgah di dusun itu kalau dia kebetulan melakukan perjalanan melalui daerah itu sehingga hubungan antara paman dan keponakan itu cukup akrab. Akan tetapi, dua bulan yag lalu, ibu Bi Lan jatuh sakit dan meninggal dunia.

Tentu saja Bi Lan yang menjadi sebatangkara itu merasa berduka sekali. Hanya dibantu oleh para tetangga, ia mengurus penguburan jenazah Ibunya, dan setelah itu ia hidup menyendiri kesepian. Pamannya Lie Koan Tek yang sudah lama tidak pernah datang itu ditunggu-tunggunya, akan tetapi tidak pernah muncul. Akhirnya, Bi Lan mengambil keputusan nekat untuk mencari pamannya.

"Paman memberi dua alamatnya kepada kami, yaitu di kuil Siauw-lim-dan di kota raja. Karena kota raja lebih dekat, maka saya hendak menyusul dan mencarinya di sana, Lo-cian-pwe."

Liu Bhok Ki mengelus jenggotnya merasa iba kepada gadis ini. Bi Lan telah memiliki ilmu silat Siau lim-pai yang cukup tangguh namun kepandaian itu masih belum cukup untuk bekal seorang gadis muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri.

"Kota raja itu ramai dan luas, Bi Lan. Tahukah engkau di mana rumah tinggal Lie Koan Tek?"

Bi Lan menarik napas panjang. "Paman Lie Koan Tek tidak pernah memberitahu dengan jelas di mana letaknya hanya di kota raja saja. Saya akan mencari keterangan di sana."

"Aih, sungguh berbahaya sekali, Bi Lan. Perjalanan ke kota raja cukup jauh dan melalui daerah-daerah rawan, banyak sekali orang jahat di dunia ini engkau tentu akan menemui banyak halangan. Biarpun aku tahu bahwa engkau telah menguasai ilmu silat cukup baik, namun kiranya masih belum cukup untuk melindungi dirimu dari gangguan para tokoh sesat di dunia kang-ouw."

"Bagaimanapun juga, saya harus berani menghadapi bahaya itu, Lo-cian-pwe. Saya tidak mungkin hidup sebatangkara saja di dunia ini. Saya masih mempunyai seorang paman, maka saya akan menumpang hidup pada Paman Lie Koan Tek."

"Memang benar pendapatmu itu. Akan tetapi setelah engkau bertemu denganku, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya seperti itu? Bi Lan, terus terang saja, aku merasa kasihan kepadamu dan kalau engkau suka, biarlah engkau tinggal beberapa lama di sini. Aku akan mengajarkan beberapa ilmu silat kepadamu agar engkau lebih kuat dan lebih mampu membelamu di dalam perjalananmu mencari Pamanmu. Bagaimana pendapatmu?"

Mendengar ucapan penolongnya itu, Bi Lan menjadi girang sekali dan segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar tua itu. "Sungguh berlimpahan Suhu, menumpuk budi kebaikan terhadap diri teecu, semoga Tuhan yang akan membalasnya. Teecu mentaati perintah Suhu..."

Liu Bhok Ki tersenyum, hatinya merasa lega sekali dan diapun memegang kedua pundak gadis itu dan menyuruhnya bangkit dan duduk kembali di atas pembaringannya. "Cukup, Bi Lan. Aku hanya ingin melengkapi kepandaianmu, akan tetapi kalau engkau suka mengakui aku sebagai gurumu, aku pun merasa gembira sekali. Ketahuilah bahwa selama hidupku, hanya mempunyai seorang saja murid dan kini kepandaiannya sudah jauh melampaui kepandaianku sendiri. Dan kau adalah murid ke dua, padahal engkau sudah menguasai banyak ilmu silat Siau lim-si dan aku hanya akan menambahi beberapa jurus saja untuk memperkuat dirimu dan sebagai bekal."

Demikianlah, mulai hari itu Bi Lan menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan setelah tubuhnya sehat kembali, mulailah ia merima gemblengan kakek perkasa itu yang mengajarkan jurus-jurus pilihan dari Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti Rajawali Terbang) dan juga dia pemberi petunjuk tentang ilmu siang-kiam pedang pasangan) kepada gadis itu sehingga dalam waktu tiga bulan saja, Bi Lan telah memperoleh kemajuan pesat.

Gadis yatim piatu itu pun tahu diri. Lama tinggal di pondok gurunya sebagai murid, ia bukan hanya mengantungkan diri sendiri dengan mempelajari ilmu silat saja. la rajin bekerja membersihkan pondok, mencuci pakaian, memasak dan menyediakan semua keperluan suhunya dengan penuh perhatian. Biarpun ia seorang gadis yang pendiam, namun ia selalu bersikap ramah, lembut dan penuh hormat kepada gurunya sehingga kakek perkasa itu merasa semakin sayang kepadanya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah memasak air dan membuatkan air teh panas untuk gurunya, kemudian ia menyapu pekarangan dan membawa pakaian kotor ke sumber air untuk mencucinya. Gurunya baru saja bangun dan kini gurunya sedang berlatih silat untuk melemaskan otot-otot. Setiap pagi, untuk setengah jam lamanya, Sin tiauw Liu Bhok Ki selalu bersilat untuk menjaga kesehatan dan kesegaran tubuhnya.

Liu Bhok Ki merasa segar dan gembira hatinya pagi itu. Semenjak Bi Lan berada di situ sebagai muridnya, Bhok Ki merasa seolah-olah kehidupan menjadi lebih menyenangkan. Kalau dahulu kadang-kadang dia merasa kesepian sekali, merasa betapa hidupnya sudah tidak ada guna dan manfaatnya lagi baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain, merasa tidak dibutuhkan manusia lain, kini dia merasa sebaliknya. Bi Lan membutuhkan bimbingannya! Dan dia merasa berguna, juga tidak lagi merasa kesepian. Kalau saja Bi Lan itu puterinya!

Dia menghentikan latihannya menyeka keringat dan duduk di atas batu di pekarangan depan rumahnya itu. Pekarangan itu sekarang nampak bersih. Daun-daun pohon kering tertumpuk sudut dan terbakar. Bunga-bunga tumbuh dengan segarnya. Memang tempat tinggalnya telah berubah sejak Bi Lan datang di situ. Pekarangan selalu bersih, bunga-bunga subur berkembang, dalam rumah juga bersih.

Semua pakaiannya tercuci bersih dan setiap hari pun ada saja sayur dimasak gadis itu dengan lezatnya. Kalau saja Bi Lan itu puterinya, pikirnya lagi. Akan tetapi, dia mengerutkan alisnya. Andaikata puterinyaa, setelah menikah pun akan meninggalkannya. Demikianlah hidup, pikirnya sambil menarik napas panjang. Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan.

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Memang demikianlah keadaan hidup ini. Kita selalu diombang-ambingkan senang dan susah. Senang kalau bertemu dan berkumpul, lalu susah kalau berpisah. Senang kalau mendapatkan, susah kalau kehilangan. Senang susah menjadi dua hal bertentangan yang silih berganti mencengkeram dan mempermainkan kita. Dan kita selalu menghendaki senang dan menolak susah. Bagaimana mungkin?

Senang dan susah merupakan dua muka yang tak dapat dipisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama. Kalau kita mengejar senang, tentu akan bertemu susah pula. Bahkan adanya senang karena ada susah dan sebaliknya. Kalau tidak ada senang, bagaimana tahu akan susah. Kalau tidak ada susah pun tidak mungkin mengenal senang. Seperti terang di gelap, seperti siang dan malam.

Biasanya, kalau ada kesadaran pada kita sehingga kita berusaha untuk mengatasi kesusahan, maka yang ingin kita atasi, yang ingin kita tiadakan atau hilangkan, tentu hanya susah itu saja. sebaliknya, senang ingin tetap kita rangkap dan kita miliki! Padahal keadaan seperti ini tidak mungkin. Keinginan ini pun timbul karena ingin senang, dengan cara ingin terlepas dari susah. Jadi yang masih sama saja! Bahkan susah itu sudah membuat ancang-ancang hendak menerka begitu kita menginginkan senang!

Susah dan senang bukan suatu keadaan, melainkan buatan hati dan pikir belaka. Merupakan kerjasama antara hati dan akal pikiran. Pikiran yang bergelimang nafsu yang timbul dari dayanya rendah selalu ingin mengulang segala pengalaman yang mengenakkan dan Menghindari segala pengalaman yang tidak enak. Kalau bertemu pengalaman yang mengenakkan, yang menguntungkan, maka hati pun senanglah. Kalau pikiran bertemu peristiwa yang dianggap tidak kuak dan merugikan, maka hati pun susah.

Enak atau tidak enak ini timbul dari pikiran daya-daya rendah. Suatu pengalaman yang mengenakkan selalu dikejar oleh pikiran, ingin diulang sampai menjadi suatu kebiasaan. Segala yang menyerangkan ingin dijadikan miliknya. Dari kemilikan ini, makin besarlah rasanya. Si AKU, makin berarti. Kemilikan ini yang memupuk dan membesarkan AKU. Karena itu, kalau terpisah dari yang dimilikinya, yang mengenakkan dan menyenangkan atau menguntungkan, hati terasa sakit.

Peristiwa yang terjadi di dunia ini tidaklah baik ataupun buruk. Baik buruknya hanya merupakan pendapat saja dari hati dan pikiran yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Suatu peristiwa yang saja dapat saja mendatangkan penilaian yang saling bertentangan bagi satu orang karena tergantung dari keadaan hati dan pikirannya. Seseorang menjadi sahabat baik kita karena kita menganggap dia mengenakkan hati, menguntungkan atau menyenangkan.

Kalau dia pergi atau merasa susah, merasa kehilangan kita selalu ingin agar dia dekat dengan kita. Akan tetapi, suatu ketika dia melakukan sesuatu yang merugikan kita tidak mengenakkan hati kita, dan diapun menjadi tidak menyenangkan! Kalau pergi kita merasa senang! Padahal, sebel itu kalau dia pergi kita merasa susah! Jelah bahwa senang dan susah adalah keada hati yang timbul dari pertimbangan pikir yang selalumengejar enak dan menghindarkan yang tidak enak.

Semua itu wajar. Hidup memang sudah disertai daya-daya rendah yang menjadi alat untuk mempertahankan hidup. Kalau daya-daya rendah itu tetap berfungsi menjadi alat, maka hidup pun baiklah. Yang gawat adalah kalau daya-daya rendah demikian kuatnya sehingga menjadi penguasa dan memperalat kita. Hidup kita seolah-olah hanya untuk mengejar pemuasan nafsu belaka. Pengejaran pemuasan nafsu inilah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang menimpang dari kebenaran. Bukan lagi hawa nafsu yang menjadi kuda dan kendalinya dan di tangan kita, melainkan kita yang menjadi kuda, dikendalikan nafsu!

Banyak daya upaya manusia untuk mengembalikan fungsi nafsu daya-daya rendah ini di tempatnya semula, yaitu sebagai hamba, sebagai alat dan daya upaya ini dilakukan melalui bermacam-macam agama, melalui ancaman hukuman dan harapan-harapan. Bahkan ada yang sengaja menjauhkan diri dari keramaian dunia, bertapa di tempat-tempat sunyi agar daya-daya rendah tidak mendapatkan sasaran, agar nafsu-nafsu dalam diri tidak dapat hidup subur karena tidak adanya pupuk.

Ada pula usaha melalui nasihat-nasihat, petuah. Namun, betapa sedikitnya hasil yang diperoleh dari semua usaha itu. Nafsu tetap merajalela di antara manusia. Manusia pada umum masih saja diperbudak nafsu daya-daya rendah sehingga perbuatan-perbuat sesat, jahat dan menyeleweng daripada kebenaran terjadi di seluruh dunia.

Selama usaha untuk menalukkan nafsu ini timbul dari hati dan akal pikiran maka selalu akan gagal. Karena hati dan akal pikiran sudah bergelimang dengan daya-daya rendah, sehingga apa pun yang dilakukan hati dan akal pikiran, selama berpamrih pula. Hati dan akal pikiran sudah mengerti bahwa perbuatan yang dilakukan itu tidak benar, namun hanya dan akal pikiran sendiri tidak berada karena memang sudah diperhamba oleh nafsu, sudah dipegang oleh nafsu semua kendalinya.

Hanya Tuhan yang akan mampu mengubah segalanya. Tuhan Maha Pencipta Tuhan pula yang menciptakan semua yang berada dalam diri manusia, Tuhan pula yang menganugerahkan nafsu sebag alat untuk hidup. Maka kalau alat itu merajalela dan mengubah kedudukannya menjadi penguasa, hanya Tuhan yang menciptakannya saja yang akan dapat fnengubahnya. Oleh karena itu, satu-satunya usaha yang dapat ditempuh oleh kita hanyalah menyerah kepada Tuhan!

Menyerah dengan pasrah, menyerah dengan Ikhlas, dengan sabar dan tawakal. Kita membiarkan pintu hati terbuka dan sekali cahaya Tuhan masuk, maka kekuasaan Tuhan yang akan membersihkan semua kekotoran dalam batin kita, kekuasaan Tuhan yang akan mengadakan perombakan, menaruh segalanya di tempatnya yang benar, dan mengadakan pembaharuan. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan memegang kendali dan memberi bimbingan.


Liu Bhok Ki duduk termenung, mengenangkan hidupnya yang penuh kepahitan. Semenjak kematian isterinya, tiga puluh tahun lebih yang lalu, sinar matahari kebahagiaan seolah-olah selalu bersembunyi, tertutup awan gelap baginya. Kemudian, setelah dia terbebas dari tekanan dendam, baru dia merasa lega dan bebas. Dan perjumpaannya dengan Bi Lan seolah-olah merupakan cahaya terang dan membuatnya merasa berbahagia sekali Ketika pikirannya membayangkan betapa gadis itu suatu ketika akan pergi meninggalkannya, untuk mencari pamannya alisnya berkerut dan dia cepat mengusir bayangan yang menyedihkan itu.

Tiba-tiba dia memandang ke depan dan alisnya berkerut kembali! Dia lihat dua sosok tubuh orang mendaki puncak bukit itu. Dari gerakan mereka tahulah dia bahwa dua orang yang mendaki puncak itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Hatinya marasa tegang. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini pun datang gangguan? Siapa yang berani mendaki bukit ini kalau bukan mereka yang datang dengan niat buruk terhadap dirinya?

Sudah lama dia meninggalkan dunia kang-ouw sehingga boleh dibilang dia sudah putus hubungan dengan para tokoh persilatan, maka tidak masuk di akal kalau ada tokoh kang-ouw yang sengaja datar berkunjung dengan iktikad baik. Dia sudah siap siaga, akan tetapi tetap duduk dengan sikap tenang. Bahkan ketika kedua orang itu sudah tiba di depannya, Liu Bhok Ki tidak mengangkat muka memandang, melainkan tetap menunduk, akan tetapi tentu saja dia mengikuti gerakan mereka itu pendengarannya.

"Suhu...!"

Suara ini yang membuatnya cepat angkat muka. Seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah berdiri di depannya, bersama seorang gadis yang cantik jelita! Pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di depannya dan kembali suaranya yang amat dikenalnya itu menggetarkan perasaan Liu Bhok Ki.

"Suhu...!"

Wajah Liu Bhok Ki kini berseri, sinar matanya mencorong dan suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Han Beng muridku...!"

Semenjak peristiwa yang terjadi di rumah Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, yaitu pertemuannya yang terakhir kalinya dengan muridnya, dia merasa semakin kagum dan sayang kepada muridnya ini. Seorang murid yang berani menyerahkan nyawanya demi untuk menyadarkan hatinya yang ketika itu menjadi buta dan mabuk oleh dendam.

Sejak itulah dia merasa betapa selama puluhan tahun hidupnya dipenuhi racun dendam, selama puluh tahun hatinya terhimpit oleh gunung dendam yang membuat hidup terasa seperti dalam neraka. Dan muridnya inilah yang menghapus racun itu, yang menyingkirkan gunung itu, yang membuat dia menjadi seorang manusia yang bebas.

"Suhu sehat dan baik-baik saja, bukan?" Han Beng berkata lagi.

Liu Bhok Ki mengangguk dan kini dia memandang kepada gadis cantik yang datang bersama muridnya itu. Seorang gadis yang wajahnya cantik, berbentuk bulat telur, dengan tubuh yang tinggi semampai dan ramping, pakaiannya rapi dan bersih, bibirnya yang merah sehat itu selalu tersenyum, matanya jeli dan kocak. Gagang pedang yang tersembul belakang pundak itu saja menunjukkan bahwa gadis ini bukan seorang wanita lemah.

"Han Beng, siapakah Nona yang datang bersamamu ini?"

Sebelum Han Beng menjawab, Giok Cusudah mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan memberi hormat. "Lo-cian-pwe, dua belas tahun yang lalu Lo-cian-pwe pernah berjumpa dengan saya di Sungai Huang-ho. Apakah Lo-Cian-pwe sudah melupakan saya?" Berkata demikian, Giok Cu menatap wajah Si Rajawali Sakti itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Eh? Bertemu di Huang-ho? Kapankah itu, Nona? Dan di mana?" Dia bertanya heran.

"Dua belas tahun yang lalu, di atas perahu dekat pusaran maut ketika terjadi perebutan anak naga. Ketika itu, seperti juga Han Beng, saya dijadikan perebutan oleh para tokoh kang-ouw, dan Ayah Ibu saya menderita luka di atas perahu mereka..." Giok Cu bukan sekedar mengingatkan, akan tetapi juga memancing sambil menatap tajam wajah Pendekar tua itu.

Sin-tiauw Liu Bhok Ki mengingat-ingat dan membayangkan peristiwa yang terjadi dua belas tahun yang lalu itu. Peristiwa memperebutkan anak naga Sungai Huang-ho yang takkan terlupakan selama hidupnya karena dalam peristiwa itulah dia bertemu dengan Han Beng yang kemudian menjadi muridnya. Teringatlah dia akan seorang gadis cilik yang kemudian ikut pula diperebutkan orang-orang kang-ouw karena seperti juga Han Beng, gadis itu telah bergulat dengan "anak naga" dan menggigit serta menghisap darah anak naga itu.

"Ahhhhh... sekarang aku ingat! Engkau adalah gadis cilik yang pemberani itu yang bersama Han Beng melawan anak naga dan berhasil membunuhnya dan menghisap pula darahnya. Bukankah engkau gadis cilik itu?"

Bukan itu yang dikehendaki Giok. "Benar, Lo-cian-pwe. Dan Lo-cian-pwe tentu masih ingat kepada Ayah Ibunya berada dalam perahu dalam keadaan terluka. Lo-cian-pwe bersama Han Beng datang dengan perahu lain dan naik perahu orang tuaku, bukan?" Tentu Lo-cian-pwe masih ingat apa yang terjadi dengan Ayah Ibuku pada waktu itu ia sengaja tidak melanjutkan karena ingin memancing pendekar tua itu.

Tanpa berpikir panjang lagi, Liu Bhok Ki sudah tentu saja ingat akan semua itu. Dia mengangguk-angguk. "Ya benar, aku ingat semuanya. Setelah menyelamatkan Han Beng dari tangan tokoh-tokoh sesat itu, Han Beng mengajak aku mencari kedua orang tuanya. Akan tetapi gagal, dan kami bertemu dengan orang tuamu di perahu yang juga menderita luka-luka. Aku bahkan masih sempat mengobati mereka sebelum kami berdua meninggalkan mereka."

Giok Cu memandang semakin tajam dan penuh selidik sehingga Liu Bhok Ki terheran, lalu berseru, "Ah, Nona, kenapa engkau memandangku seperti itu?"

Sejak tadi Han Beng hanya diam saja, bahkan menundukkan mukanya. Dia mengerti akan sikap Giok Cu. Dia tahu bahwa gadis itu, walaupun percaya kepadanya, namun masih merasa penasaran dan ingin mendengar sendiri pengakuan gurunya, dan kini gadis itu memancing-mancing agar Liu Bhok Ki menceritakannya apa yang sesungguhnya terjadi ketika itu. Dia sengaja diam saja tidak mau mencampuri karena dia yakin akan kebersihan gurunya maka tidak perlu dia membelanya. Biarlah gadis itu mendapat keyakinan sendiri setelah bicara dengan gurunya yang dia percaya dapat mengusut semua keraguan dari hati Giok Cu.

"Lo-cian-pwe, apakah yang Lo-cianpwe lakukan ketika naik ke perahu Ayah Ibuku?" tanyanya dan pandang matanya menatap tajam.

Liu Bhok Ki memandang heran. "Eh? Apa yang kulakukan? Aku bertanya kepada orang tuamu tentang orang tua Han Beng, kemudian melihat mereka menderita luka-luka, aku lalu mengobatinya."

"Apakah ketika Lo-cian-pwe mengobati mereka, Ayah dan Ibuku itu menderita luka-luka parah?"

Liu Bhok Ki menggeleng kepala dengan tegas. "Sama sekali tidak! Luka yang mereka derita hanya luka di luar saja, dan aku yakin setelah kuobati ketika itu mereka tentu sembuh kembali."

Giok Cu membayangkan ketika ia bersama subonya berada di perahu ayah Ibunya itu. Ayah ibunya yang ia temukan dalam keadaan terluka, akan tetapi mereka tidak parah, dan mereka bercerita bahwa mereka diserang oleh orang-orang jahat, mereka terluka dan hanya seorang saja pembantu mereka selamat. Yang lain tewas. Juga ayah bundanya yang menceritakannya bahwa orang tua Han Beng tewas. Juga ayahnya bercerita bahwa Han Beng dan Liu Bhok Ki, pendekar tua itu yang mengobati mereka, demikian cerita ayahnya.

Dan tiba-tiba Ban-tok Mo-li yang berseru keras mengatakan bahwa ayah bundanya diracuni Liu Bhok Ki dan ayah ibunya tiba-tiba terkulai dan tewas dengan muka berubah menghitam! Racun yang amat keras dan dapat menewaskan orang seketika. Hal itu tentu saja baru diketahuinya setelah ia mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Ayah ibunya tewas oleh racun jahat yang merenggut nyawa orang seketika, bukan racun yang membunuh perlahan-lahan.

Kalau benar Liu Bhok Ki yang meracuni ayah ibunya, tentu ayah ibunya sudah tewas ketika ia dan Ban-tok Mo-li tiba perahu mereka. Jelas bahwa ayah ibunya tewas oleh racun yang membunuh mereka seketika, dan racun itu pasti bukan dari Liu Bhok Ki datangnya dan lebih masuk akal kalau Ban-tok Mo-li yang meracuni mereka!

"Lo-cian-pwe adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, tentu Lo-cian-pwe tidak sudi untuk berbohong, dan bukan seorang pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya...”

"Heiiiii! Nona, apa maksud kata-katamu itu?" Liu Bhok Ki terbelalak dan wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong.

"Ketika Lo-cian-pwe berada di perahu orang tua saya itu, Lo-cian-pwe mengobati ataukah meracuni mereka?"

Dengan alis berkerut dan mata mencorong pendekar tua itu bertanya, suaranya dalam dan berwibawa, "Nona, mengapa engkau bertanya demikian? Aku telah mengobati mereka. Kenapa aku harus meracuni mereka? Tidak ada alasan sama sekali! Dan mengapa pula engkau menduga bahwa aku telah meracuni orang tuamu?"

"Karena ketika saya dan Subo tiba di perahu orang tua saya itu, saya menemukan mereka dalam keadaan terluka dan tak lama kemudian mereka tewas keracunan. Dan menurut keterangan Subo (Ibu Guru), mereka itu tewas karena Lo-cian-pwe yang meracuni mereka."

Liu Bhok Ki semakin terkejut. "Aku meracuni mereka? Gilakah sudah Subomu itu? Siapa gurumu itu yang bermulut demikian lancang melempar fitnah kepadaku?"

"Subo adalah Ban-tok Mo-li..."

"Ahhhhh! Pantas kalau begitu! Iblis betina ahli racun itu yang mengatakannya? Ha-ha-ha, Nona. Kalau ada orang yang dapat membunuh orang lain dengan racun tanpa diketahui, orang itu adalah Ban-tok Mo-li! Jelas bahwa Ban-tok Mo-li itulah yang telah meracuni orang tuamumu, bukan aku!"

“Akan tetapi, ia adalah guru saya. Bagaimana mungkin ia yang sudah mengambil saya sebagai murid, membunuh orang tua saya?" Giok Cu membantah.

Tiba-tiba Liu Bhok Ki tertawa. "Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, akan tetapi juga amat penasaran! Nona, engkau mengaku sebagai murid Ban-tok Mo-li akan tetapi agaknya engkau belum mengenal siapa adanya gurumu itu! Ia seorang tokoh sesat yang amat jahat, seorang wanita iblis yang tidak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Dan engkau agaknya lebih percaya kepada Ban-tok Mo-li daripada kepadaku, bahkan menduga bahwa aku yang telah membunuh orang tuamu? Heiii, Hai Beng, apa alasanmu engkau mengajak murid Ban-tok Mo-li ini datang ke sini?”

Han Beng yang sejak tadi memang diam saja dan masih berlutut, kini bangkit berdiri. "Suhu, teecu sudah mencoba untuk meyakinkan hati Giok Cu bahwa Suhu sama sekali tidak membunuh orang tuanya, dan teecu juga sudah menduga bahwa yang membunuh mereka adalah Ban-tok Mo-li sendiri. Akan tetapi Giok Cu masih belum puas. Untuk meyakinkan hatinya, maka ia ingin mendengar sendiri keterangan dari Suhu. Karena itulah maka ia datang bersama teecu menghadap Suhu."

"Akan tetapi, ia menjadi murid Ban-tok Mo-Ii, bagaimana dapat dipercaya? Ban-Tok Mo-li amat jahat, dan orang yang menjadi muridnya..."

"Akan tetapi, Suhu! Giok Cu akhir-akhir ini telah menjadi murid Hek-bin Hwesio selama lima tahun!" Han Beng membela.

Sepasang mata Liu Bhok Ki kembali terbelalak ketika ia mendengar ucapan muridnya itu dan dia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Kalau gadis ini sudah menjadi murid hwesio yang sakti itu, maka lain persoalannya!

"Ah, kiranya begitu? Nona, kalau begitu, tentu engkau sudah cukup dewasa dan bijaksana untuk menilai dan menduga siapa sebenarnya pembunuh Ayah Ibumu. Apakah engkau masih meragukan aku dan masih ada sangkaan bahwa aku yang telah membunuh Ayah Ibumu yang tidak kukenal, kubunuh begitu saja tanpa alasan sama sekali? Andaikata aku mempunyai kepentingan harus membunuh Ibumu pun, aku tidak akan mempergunaka racun, Nona. Kiranya pukulanku masih cukup ampuh untuk membunuh orang kalau hal itu kukehendaki."

Giok Cu menarik napas panjang. "Maafkan saya, Lo-cian-pwe. Tentu Lo-cian pwe dapat mempertimbangkan bagaimana perasaan saya yang melihat Ayah Ibu tewas di depan mata saya karena di bunuh dan diracuni orang. Setelah mendengar keterangan dan pendapat Han Beng memang saya mulai menyangsikan pemberitahuan Subo Ban-tok Mo-li yang dahulu tentu saja saya percaya sepenuhnya. Sejak kecil, saya mengandung dendam yang mendalam terhadap Lo-cian-pwe yang saya anggap sebagai pembunuh orang tua saya. Akan tetapi, saya merasa belum puas kalau tidak bertemu sendiri dengan Lo-cian-pwe."

"Hemmm, aku dapat mengerti, Nona. Dan bagaimana pendapatmu sekarang! Apakah engkau masih juga belum yakin bahwa aku bukan pembunuh orang tuamu?"

Giok Cu agak tersipu, akan tetapi ia memang seorang gadis yang tabah dan memiliki watak yang lincah maka ia pun tersenyum. "Sekarang saya baru yakin bahwa bukan Lo-cian-pwe yang membunuh Ayah Ibuku. Dari sini saya akan menemui Subo Ban-tok Mo-li dan akan menuntut agar ia berterus terang tentang kematian Ayah dan Ibu saya."

Liu Bhok Ki tertawa, hatinya merasa lega sekali. "Tidak ada orang lain yang membunuh orang tuamu dengan racun yang jahat, Nona..."

"Lo-cian-pwe, harap jangan membuat saya merasa sungkan dengan sebutan nona. Lo-cian-pwe adalah guru Han Beng, ia sudah menjadi sahabat baik saya sejak kami masih kecil, maka harap Lo-cian-pwe menyebut nama saya saja tanpa nona. Nama saya Bu Giok Cu."

Sepasang mata Liu Bhok Ki berseru dan dia mulai suka kepada gadis yang Sikapnya lincah dan terbuka ini. "Baiklah Giok Cu. Aku bukan orang yang suka melempar fitnah dan menuduh yang bukan-bukan. Akan tetapi, agaknya engkau belum mengenal benar watak dari Ban-tok Mo li walaupun wanita itu pernah menjadi gurumu. Aku percaya bahwa Ban-tok Mo-li sajalah yang akan dapat melakukan kekejaman seperti itu, membunuh orang tuamu yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak bersalah apapun. Dan kurasa ia membunuh mereka bukan tanpa alasan, la melihat bahwa engkau telah menghisap darah anak naga, maka ia ingin mengambilmu sebagai murid. Dan agaknya ia ingin memutuskan seluruh ikatanmu dengan keluargamu, dan untuk itu, ia tidak segan membunuh orang tuamu sehingga engkau menjadi sebatangkara dan tentu saja amat tergantung kepadanya."

Giok Cu mengangguk-angguk. "Agaknya pendapat Lo-cian-pwe itu memang benar. Dan terus terang saja, sekarang ini hubungan antara kami sudah putus sebagai guru dan murid, bahkan ia menganggap saya sebagai musuh. Hampir saja beberapa tahun yang lalu saya sudah mati di tangannya kalau saja tidak muncul Suhu Hek-bin Hwesio yang menyelamatkan saya dan kemudian mengambil saya sebagai murid."

"Bagus sekali kalau begitu, Giok Cu. Ketahuilah bahwa orang yang dibenci dan dimusuhi Ban-tok Mo-li adalah orang yang baik. Dan aku percaya bahwa engkau seorang gadis yang baik, apalagi engkau telah menjadi murid Hek-bin Hwesio."

Pada saat itu, muncullah Kwa Bi Lan dari dapur. Han Beng memandang dengan heran. Tak disangkanya bahwa di tempat tinggal suhunya terdapat seorang gadis yang tidak dikenalnya. Seorang gadis yang cantik manis, dengan wajah bulat dan kulit putih mulus, sepasang matanya tajam berwibawa dan hidungnya mancung. Namun, gadis itu nampak kaget melihat bahwa di situ terdapat dua orang tamu, seorang pemuda dan seorang gadis yang tidak dikenalnya dan ia pun hanya berdiri dengan muka ditundukkan dan tidak mengeluarkan kata apa pun, bahkan kelihatan canggung dan ragu.

"Suhu, siapakah Nona ini?" Han Beng yang bertanya kepada gurunya.

Liu Bhok Ki tertawa. "Ha-ha-ha, aku sampai lupa, Han Beng, atau memang belum sempat bicara tentang dirinya. Gadis ini adalah Kwa Bi Lan dan ia Sumoimu (Adik Seperguruanmu), Han Beng. Lalu dia berkata kepada Bi Lan, "Bi Lan inilah Si Han Beng, muridku dan Suhengmu seperti yang pernah kuceritakan kepadamu."

"Suheng...!" kata Bi Lan lirih dengan muka kemerahan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.

"Sumoi!" kata Han Beng dengan girang, lalu membalas penghormatan itu lantas berkata kepada suhunya. "Ah, kiranya Suhu mempunyai seorang murid baru? Teecu merasa girang sekali!"

"Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan Bi Lan ketika dia dikeroyok banyak penjahat. Aku membantunya dan ia pun menjadi muridku. Ketahuilah, Han Beng, bahwa Sumoimu ini hidup sebatangkara dan ia tadinya dalam perjalanan mencari Pamannya, yaitu Lie Koan Tek. Engkau pernah mendengar nama itu, bukan?"

"Tentu saja! Bukankah dia itu pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu, Suhu? Ah, Sumoi, kiranya engkau keponakan pendekar terkenal itu? Mari perkenalkan, Sumoi. Ini adalah Bu Giok Cu, seorang sahabatku sejak kecil, dan ia adalah murid... Hek Bin Hwesio.”

Bi Lan kagum mendengar ini. "Enci Giok Cu, sungguh mengagumkan sekali bahwa engkau adalah murid dari Lo-cian-pwe Hek Bin Hwesio. Dia adalah Paman Guru dari para pimpinan Siauw-lim-pai dan masih terhitung Susiok couw (Paman Kakek Guru) dariku. Kalau begitu, engkau masih terhitung Bibi Guruku sendiri!"

Giok Cu tersenyum dan muncul kelincahan dan keramahannya, la merangkul Bi Lan. "Ihhh, Adik Bi Lan. Engkau hanya satu dua tahun lebih muda dariku kukira, maka tidak sepantasnya kalau aku menjadi Bibi Gurumu. Biarlah kita menjadi enci adik saja. Engkau sebatangkara, bukan? Sama dengan aku, maka kita seperti enci adik. Dan sebagai Suheng dari Han Beng, engkau tentu lihai bukan main dan aku sama sekali tidak patut menjadi Bibi Gurumu."

Bi Lan yang pendiam menjadi gembira sekali bertemu dengan Giok Cu yang ramah dan lincah, dan keduanya sudah akrab sekali. Melihat ini, Liu Bhok Ki tersenyum.

"Giok Cu, engkau masuklah ke dalam dan bantulah Bi Lan di dapur. Aku ingin bercakap-cakap dengan Han Beng dan mendengarkan segala pengalamannya semenjak kami saling berpisah."

Giok Cu juga tidak malu-malu lagi dan kedua orang gadis itu bergandeng tangan masuk ke dalam rumah. Liu Bhok Ki mengajak Han Beng untuk bercakap-cakap di ruangan luar dan dia pun minta kepada pemuda itu untuk menceritakan semua pengalamannya.

Dengan singkat Han Beng menceritakan semua pengalamannya semenjak dia neninggalkan suhunya, menjadi murid Sin-ciang Kai-ong, kemudian menjadi murid Pek I Tojin dan betapa dia kemudian dikenal sebagai Huang-ho Sin-long (Naga Sakti Sungai Kuning). Tentu saja Liu Bhok Ki merasa gembira dan kagum bukan main, terutama mendengar bahwa muridnya itu telah menjadi murid Pek I Tojin yang sakti!

Juga gembira mendengar betapa muridnya telah membantu pemerintah membasmi gerombolan penjahat yang mengadu domba antara para hwesio dan para tosu. Ketika Han Beng menceritakan bahwa dia mengangkat saudara dengan Coa Siang Lee Liu Bhok Ki gembira bukan main.

"Bagus, bagus, Han Beng. Berita yang paling membahagiakan hatiku. Engkau akan menebus, walaupun sedikit dosaku terhadap Ayah Coa Siang Lee dan Bibi Sim Lan Ci. Ah, aku girang sekali. Dan pesanku kepadamu, Han Beng, kelak jangan engkau melupakan anak mereka yang bernama Thian Ki itu. Dialah yang telah menyadarkan aku dari cengkeraman dendam! Kelak kau wakililah untuk mendidiknya, Han Beng, menjadikan dia seorang pendekar yang budiman.

Han Beng menarik napas panjang. "Suhu Kakak Coa Siang Lee dan isterinya sudah bersumpah dan mengambil keputusan bahwa mereka tidak akan memberi pelajaran ilmu silat kepada Thian Ki. Mereka telah mengalami betapa pahitnya kehidupan para ahli silat yang selalu dimusuhi orang. Mereka hendak menjadikan Thian Ki seorang biasa saja agar tidak memiliki banyak musuh kelak dan dapat hidup tenteram dan berbahagia, tidak seperti ayah ibunya."

Liu Bhok Ki juga menarik napas panjang. "Hemmm, itu adalah perkiraan mereka. Apakah kalau orang tidak dapat membela diri lalu tidak ada yang datang mengganggu? Bahkan yang lemah akan selalu ditindas oleh yang kuat. Akan tetapi, tentu saja tidak baik menentang kehendak mereka. Mereka yang berhak menentukan bagaimana harus mendidik putera mereka. Akan tetapi, jangan lupakan keponakanmu itu dan andaikata engkau kelak tidak diperbolehan menjadi gurunya, engkau amatilah ia untuk membalas budi anak itu kepadaku, Han Beng."

Hati pemuda itu merasa terharu. Memang, gurunya ini baru sadar setelah melihat Thian Ki yang berlutut di depannya. Seolah-olah anak itu yang menyadarkannya. Padahal, yang menyadarkan manusia hanya Tuhan, dan kekuasaan Tuhan dapat menyusup kemanapun juga, dapat pula menyusup ke dalam diri Thian Ki yang dipergunakan oleh Tuhan untuk menyadarkan Liu Bhok Ki dari mabuk dendam.

"Teecu berjanji akan mentaati pesan Suhu."

Wajah pendekar tua itu berseri karena dia merasa yakin bahwa muridnya ini kelak akan memegang janjinya. Kemudian dengan hati-hati dia bertanya. "Han Beng, sejauh manakah hubunganmu dengan Giok Cu?"

Terkejut hati Han Beng mendengar pertanyaan itu. Dia memandang wajah gurunya dengan penuh selidik, akan tetapi segera menjawab karena melihati sikap gurunya itu bersungguh-sungguh. "Suhu, apakah yang Suhu maksudkan? Sejak kecil teecu telah berkenalan dan menjadi sahabat Giok Cu, bahkan keluarga kami menjadi sahabat, senasib sependeritaan karena melarikan diri mengungsi dari jangkauan tangan para petugas yang memaksa orang menjadi pekerja paksa. Tentu saja kami bersahabat baik, Suhu."

"Yang kumaksudkan, sampai sejauh manakah keakrabanmu dengan Giok Cu?"

Wajah Han Beng menjadi kemerahan. Teecu tetap tidak mengerti, Suhu. Hubungan kami wajar saja, sebagai dua orang sahabat yang sama-sama kehilangan orang tua dalam perjalanan bersama. Bahkan sama-sama bergulat dengan ular, eh, anak naga itu, lalu bersama pula menjadi rebutan orang-orang kang-ouw. Anehkah kalau kami menjadi sahabat amat akrab, Suhu?"

Pendekar tua itu mengangguk-angguk. Muridnya ini berwatak polos dan jujur, dan biarpun usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh empat tahun, namun agaknya masih hijau dalam urusan pergaulan dengan wanita sehingga tidak dapat menangkap maksud pertanyaannya tadi. Dia tidak mau mendesak, tidak ingin menyinggung perasaan muridnya dan mengotori perasaan murni antara dua orang sahabat itu.

"Sekarang akan kutanyakan hal lain, Han Beng. Apakah selama ini engkau telah menemukan calon jodohmu? Apakah engkau sudah menjatuhkan hatimu kepada seorang gadis yang kau pilih sebagai calon isterimu?"

Ditanya demikian, Han Beng terbelalak, tersipu dan menjadi bingung. "Teecu... teecu... tidak mengerti... eh, maksud teecu, teecu belum berpikir sama sekali tentang perjodohan, Suhu."

"Jadi belum ada pilihan?"

Suhunya mendesak dan terpaksa Han Beng menggeleng kepala walaupun di dasar hatinya dia tahu benar bahwa hatinya telah memilih seorang gadis, bahwa dia mencinta seorang gadis. Dahulu, pernah dia merasa tertarik kepada Souw Hui Im, akan tetapi setelah mendengar Hui Im telah bertunangan dengan pemuda lain, dia pun “mundur teratur" dan mengalah, meninggalkan Hui Im bersama tunangannya walaupun dia maklum pula bahwa Hui Im mencintanya.

Kemudian dia bertemu dengan Giok Cu seketika dia jatuh cinta. Akan tetapi, bagaimana dia berani menyatakan rasa hatinya ini kepada suhunya? Giok Cu sendiri belum tahu akan rahasia hatinya itu. Maka, mendengar desakan itu, dia pun menggeleng tanpa menjawab.

"Bagus sekali! Aduh, betapa lega dan senangnya rasa hatiku mendengar bahwa engkau belum mempunyai pilihan, muridku. Dengar baik-baik, Han Beng. Engkau tahu betapa aku sayang sekali kepadamu, dan bahwa engkau selain sebagai muridku, juga kuanggap sebagai anakku sendiri karena engkau sudah tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga."

Han Beng merasa terharu. "Terima kasih banyak atas segala budi kebaikan Suhu," katanya.

"Karena itulah, Han Beng, aku amat memperhatikan keadaan dirimu. Engkau kini sudah berusia dua puluh empat tahun. Dan sebagai guru, juga pengganti orang tuamu, aku ingin sekali melihat engkau hidup berbahagia, berumah tangga dengan baik, memiliki seorang isteri yang pilihan dan mempunyai anak-anak yang sehat. Dan Thian agaknya menaruh kasihan kepadaku, maka Dia mengirimkan seorang calon mantu itu kepadaku. Han Beng, aku ingin agar engkau suka berjodoh dengan Kwa Bi Lan, Sumoimu tadi. Bagaimana pendapatmu, Han Beng? Bukankah ia seorang gadis yang memenuhi syarat sebagai seorang isteri yang baik, la cukup cantik, bakatnya dalam ilmu silat baik sekali, murid Siauw-lim-pai dan selama ia hidup di sini aku melihat bahwa ia seorang anak yang rajin dari pandai, mengatur rumah tangga, juga wataknya pendiam dan sopan berbudi bahasa baik."

Han Beng terpukau dan berdiam diri, tak bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Dia terkejut bukan main, lebih kaget daripada kalau diserang dengan pedang secara tiba-tiba. Dia tidak mampu menjawab, bahkan tidak mampu berpikir karena pikirannya sudah berputar putar tidak karuan, mengikuti gerak jantungnya yang berdebar karena terguncang oleh kata-kata suhunya tadi.

Liu Bhok Ki dapat memaklumi keadaan muridnya dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, jangan engkau tertegun seperti itu, Han Beng. Engkau seorang laki-laki, apa anehnya kalau tiba saatnya engkau harus beristeri? Pikirlah baik-baik. Kala engkau sudah beristeri, dengan seorang isteri sebaik Bi Lan, hidupmu akan tenteram. Berumah tangga, berkeluarga, dan engkau bekerja untuk menghidupi keluargamu. Tidak menjadi seorang pengelana yang tidak menentu hidupnya, tidak menentu pekerjaan dan tempat tinggalnya. Dan aku sudah tua, muridku. Aku ingin pula mondok di rumah tanggamu, mengasuh cucu-cucuku kelak, ha-ba-ha!"

Han Beng merasa tersudut. Apa yang harus dia katakan? Dia tahu bahwa gurunya ini memiliki watak yang jujur akan tetapi keras bukan main. Kalau dia begitu saja menjawab bahwa dia tidak setuju dan menolak usul gurunya, tentu dia akan menyakiti hati gurunya yang dihormati dan disayangnya itu. Akan tetapi dia pun tentu saja tidak mungkin dapat menerima ikatan jodoh semudah itu!

Dia belum mengenal Bi Lan, belum tahu akan watak atau isi hati gadis itu. Dia dan Bi Lan bukanlah dua ekor ayam atau anjing atau sapi yang dapat dikawinkan begitu saja. Bagaimana mungkin dia dapat hidup di samping seorang wanita selama hidupnya, kalau dia tidak mencinta wanita itu dan sebaliknya wanita itu tidak mencintanya? Dan di sana masih ada Giok Cu? Bagaimana mungkin dia meninggalkan Giok Cu dan menikah denngan gadis lain? Dia harus lebih dulu mengetahui isi hati Giok Cu, dan mengetahui pula isi hati Bi Lan.

Bahkan yang terpenting adalah isi hati Giok Cu, karena bagaimanapun perasaan Bi Lan terhadap dirinya, tidak begitu penting baginya. Dia tidak mencinta Bi Lan bahkan berkenalan pun baru saja. Yan penting, kalau memang Giok Cu mencintanya, tidak mungkin dia menikah dengan Bi Lan atau gadis lain mana pun Kecuali kalau Giok Cu tidak mencintainya, mungkin baru dia dapat memenuhi permintaan gurunya, semata-mata demi membalas budi kebaikan gurunya itu.

"Hei, Han Beng, kenapa engkau dian saja? Jawablah!"

Seruan Liu Bhok Ki ini menyadarkan Han Beng dan dengan gagap dia menjawab, "Bagaimana teecu harus menjawab Suhu? Urusan ini... terlalu tiba-tiba dan teecu sendiri bingung. Teecu membutuhkan waktu untuk memikirkan usul Suhu ini."

Pendekar tua itu mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, engkau memang terlalu berhati-hati. Kuberi waktu padamu. Berapa lama engkau hendak memikirkan persoalan ini dan memberi jawaban pasti kepadaku?"

Han Beng yang lebih dulu ingin menyelami perasaan hati Giok Cu terhadap dirinya, lalu berkata, "Suhu, teecu sudah berjanji kepada Giok Cu untuk menghadap Suhu dan bertanya tentang kematian orang tuanya. Kemudian dari sini, kami akan mendatangi Ban-tok Mo-li untuk menuntut pertanggungan jawab dari wanita iblis itu. Nah, setelah teecu menemaninya bertemu dengan Ban-tok Mo-li, barulah teecu akan kembali ke sini dan memberi jawaban yang pasti kepada suhu..."