Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 41 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar besar. Dia menghargai kehormatan lebih besar daripada nyawa. Kalau dia sudah mengeluarkan janji, sampai matipun harus dia hadapi untuk memenuhi janji itu. Maka, mendengar bahwa muridnya sudah berjanji kepada Giok Cu untuk menemaninya menghadap Ban-tok Mo-li dia pun mengangguk-angguk, dan tidak mau dia melarang. Apalagi dia tahu bahwa gadis bernama Giok Cu adalah seorang teman sejak kecil dari Han Beng maka sudah sewajarnya kalau Han Beng membantunya mencari pembunuh ayah ibu gadis itu.

"Baiklah, Han Beng. Engkau boleh menemani Giok Cu menemui Ban-tok Mo-li sambil berpikir-pikir tentang keinginanku menjodohkan engkau dengar Bi Lan. Setelah selesai urusan dengan Ban-tok Mo-li itu, engkau segera kembalilah kesini dan kita membuat persiapan untuk perayaan pernikahanmu."

Han Beng mengangkat muka memandang kepada gurunya. "Akan tetapi, Suhu. Bagaimana mungkin Suhu sudah dapat demikian memastikan? Padahal, baru saja teecu bertemu dengan Sumoi. Belun tentu Sumoi okan menyetujui ikatan itu!”

Liu Bhok Ki tersenyum. "Aku yakin ia tidak akan menolak, la seorang gadis yang baik dan penurut. Aku akan mencari pamannya, Lie Koan Tek, yang merupakan wali tunggalnya dan akan kubicarakan tentang urusan perjodohan kalian itu dengan pendekar Siauw-lim-pai itu..."

Han Beng tidak menjawab lagi, akan tetapi hatinya merasa tidak enak bahkan khawatir sekali.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Kaisar Yang Ti (604-618) merupakan kaisar kedua dari wangsa Sui, setelah menggantikan mendiang Kaisar Yang Cien yang merupakan kaisar pertama dari dinasti Sui. Kaisar Yang Cien memulai dengan penggalian terusan-terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce. Dan setelah dia meninggal dalam tahun 604, penggantinya, yaitu Kaisar Yang Ti yang sekarang melanjutkan pekerjaan itu, bahkan memperluasnya sehingga terusan itu digali sampai ke Hang-couw.

Kaisar Yang Ti bukan hanya giat melakukan penggalian terusan yang besar artinya bagi lalu lintas perdagangan, namun dia juga terkenal giat dengan gerakan balatentaranya untuk menundukkan negara-negara tetangga. Juga dia amat aktip dalam gerakan politik untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas kekuasaan kerajaannya. Bahkan saja Tongkin dan Annam di bagian selatan dia serbu, bahkan di utara dia pun melakukan gerakan.

Pada waktu itu, daerah utara didiami bermacam suku bangsa yang oleh bangsa Han dianggap sebagai bangsa "liar". Di antara mereka adalah bangsa Toba, Turki dan Mongol. Mereka semua adalah bangsa Nomad yang berpindah-pindah untuk mencari daerah subur untuk memelihara ternak, dan daerah di mana terdapat banyak binatang untuk diburu. Dan seringkali terjadi perselisihan dan pertempuran antara suku-suku bangsa itu karena mereka memperebutkan daerah yang subur.

Keadaan mereka yang hidup saling bermusuhan itulah yang dimanfaatkan oleh Kaisar Yang Ti. Dia mengirim orang-orangnya yang pandai untuk memperuncing pertentangan antara suku-suku bangsa itu, mendukung yang satu membasmi yang lain. Dengan cara demikian, kedudukan suku-suku bangsa itu menjadi lemah dan setelah itu barulah bala tentara dinasti Sui menyerbu, akhirnya daerah utara dapat dikuasainya tanpa menemukan perlawanan yang berarti karena suku-suku bangsa itu sudah menjadi lemah karena saling gempur sendiri.

Untuk memuaskan ambisinya yang besar, Yang Ti belum merasa cukup dengan menaklukkan daerah utara dan barat itu. Dia masih mencoba untuk menguasai Timur laut, yang sekarang termasuk daerah Mancuria dan Korea. Namun, berkali-kali pasukannya mengalami kegagalan.

Di samping ambisinya yang besar sehingga dia seringkali memimpin pasukannya sendiri untuk memperluas kekuasaan dan wilayahnya, dan melanjutkan penggalian terusan, juga Kaisar Yang Ti terkenal sebagai seorang kaisar yang mata keranjang. Selir dan dayangnya tak terhitung banyaknya. Dan dia begitu mata keranjang sehingga dia memaksa dua orang selir ayahnya, ketika ayahnya masih hidup, untuk menjadi kekasihnya.

Bahkan setelah ayahnya meninggal dunia, dia menarik dua orang selirnya yang masih muda itu menjadi selirnya sendiri. Hal ini tentu saja membuat beberapa orang menteri yang setia mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, selir-selir itu adalah isteri mendiang ayahnya, jadi termasuk ibu tirinya!

Menurut catatan yang kemudian ditinggalkan dan diketahui umum setelah Kerajaan Sui jatuh, Kaisar Yang Ti termasuk mempunyai permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam selir utama dan tujuh puluh dua selir muda. Di samping itu masih ada tiga ribu orang perawan-perawan istana yang menjadi dayang dan juga setiap orang dari para gadis ini dapat saja setiap waktu diharuskan melayani kaisar yang tidak pernah merasa puas itu!

Semua pembesar tinggi di istana tahu belaka bahwa Kaisar Yang Ti merupakan seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahinya dan selalu dia memenuhi dorongan nafsunya dengan cara yang menyolok dan kadang tidak tahu malu. Ketika dia mengadakan pembukaan dan pelayaran pertama merayakan selesainya penggalian terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, atau menghubungkan daerah utara dan selatan, dia menggunakan perahu di terusan yang lebarnya sekitar tiga puluh kaki itu.

Perahunya besar dan mewah, dan dia memerintahkan beberapa ratus orang perawan istana atau dayang-dayang muda yang cantik manis untuk menarik perahunya hilir mudik di tepi terusan itu. Ratusan orang gadis remaja yang cantik itu sambil bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa, menarik tali yang dihias kembang-kembang, diiringi suling dan yang-kim. Dari perahunya, Kaisar Yang Ti menikmati penglihatan yang amat indah menggairahkan itu.

Pakaian para dayang yang beraneka warna, dari sutera yang halus, membayangkan bentuk-bentuk tubuh para gadis remaja yang bagaikan kembang sedang mulai mekar. Bayangan para dayang itu terpantul di dalam air dalam keadaan terbalik. Mendengarkan suara mereka bernyanyi dan tertawa merdu, melihat gerakan tubuh mereka yang lemah gemulai, goyangan pinggang dan pinggul, cukup mendorong gairah dalam hati kaisar itu dan nafsu berahinya berkobar. Untuk melayani hasratnya, di perahu yang besar itu telah siap para selirnya sehingga Sang Kaisar, di balik tirai perahu, dapat melampiaskan nafsunya sepuas hati sambil mendengarkan nyanyian dan tertawaan para dayang remaja.

Apalagi kalau sedang di dalam istana, bahkan di waktu melakukan perjalanan daratpun, Sang Kaisar yang menjadi budak nafsu-nafsunya itu tidak pernah lupa mengajak beberapa orang selir terkasih. Keretanya sengaja dibangun secara istimewa, besar dan panjang, bukan hanya cukup untuk dia duduk dilayani lima enam orang selir, bahkan tempat duduk itu dapat pula dijadikan tempat tidur! Tirai kereta itu dihiasi permata mutu manikam dan keleningan kecil-kecil yang mengeluarkan bunyi musik, suara ini dapat menyembunyikan suara-suara lain yang keluar dari kerongkongan sang Kaisar dan para selirnya.

Dalam keroyalannya yang luar biasa, yang jauh melampaui kemewahan para kaisar dahulu, Kaisar Yang Ti mengutus seorang ahli bangunan terbesar di jaman itu, yaitu Siang Seng, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-yang. Bangunan istana yang luar biasa besarnya dan megahnya dan dikerjakan siang malam selama satu setengah tahun oleh tidak kurang dari lima puluh ribu orang tukang yang pandai! Sungguh merupakan suatu pekerjaan berat juga suatu kemewahan dan keroyalan yang luar biasa.

Istana induk yang amat megah dan mewah itu dikelilingi tiga puluh enam istana yang lebih kecil, dibangun di antara hutan bunga beraneka ragam dan warna! Istana induk menjulang tinggi, berkilauan ditimpa sinar matahari, seperti sebuah menara raksasa dari emas. Di beranda yang mengelilingi setiap loteng setiap hari kalau kaisar berada di situ ratusan orang gadis dayang bermain musik, menari dan bernyanyi sambil berbisik-bisik, bersendau gurau dan hujan senyum manis dan kerling memikat, dan pakaian mereka yang tipis hampir tembus pandang itu membayangkan tubuh mereka yang mulai matang.

Kamar Sang Kaisar sendiri memang dibangun sebagai tempat untuk pelesir untuk bersenang-senang mengumbar nafsu bersama para selir dan dayang. Ruangan kamar itu amat luas, terlalu luas untuk sebuah kamar tidur, sebuah ruagan yang dapat menampung seratus meja. Tempat ini merupakan harem Sang Kaisar, di mana para selir yang terpilih untuk menghiburnya hari itu, sedikitnya tiga puluh orang, dengan pakaian minim hampir telanjang, berkeliaran, bermain-main, bersendau-gurau atau hanya rebahan di atas lantai yang ditilami kasur dengan bulu-bulu harimau dan permadani dari barat.

Ruangan itu penuh dengan cermin yang dipasang di sekelilingnya, pada dinding. Dari lubang-lubang di dinding mengepul lembut asap dupa harum dari bermacam bunga, sehingga mereka yang berada di dalam ruangan itu merasa seolah-olah mereka berada di dalam sebuah taman yang penuh bunga mekar. Lampu-lampu gantung beraneka warna, dengan lilin di dalamnya, menambah semarak dan romantis ruangan itu.

Begitu Sang Kaisar memasuki ruangan itu, delapan orang pengawal thaikam (orang kebiri) menyambutnya sambil berlutut dan mereka dengan hormat membantunya menanggalkan pakaian kebesaran, menggantikannya dengan pakaian yang longgar dari sutera dan kulit harimau. Para thaikam itu lalu keluar dan berjaga di luar ruangan. Kaisar sendiri disambut oleh salam halus "Ban-swe" (Panjang Usia) oleh mulut para wanita muda yang cantik itu. Tangan-tangan kecil lembut dan halus putih mulus segera menyuguhkan anggur gin-seng, buah-buahan, manisan atau daging panggang, apa saja yang dikehendaki Sang Kaisar sudah tersedia di tempat itu.

Bahkan di dalam sejarah, kaisar terkenal pula sebagai seorang yang menyuruh para ahli di jaman itu menciptakan segala macam alat untuk memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam, segala macam perabot atau alat yang ditunjuk untuk mendatangkan kesenangan yang lebih. Barulah Sang Kaisar ini agak menjadi jinak dan tidak seliar sebelumnya setelah ia mendapatkan seorang selir baru Han Cun Ji.

Selir inilah yang dapat merebut hatinya, dan semenjak ada selir ini, Kaisar Yang Ti tidak begitu haus lagi, seolah-olah segala rasa lapar dan hausnya telah terpuaskan oleh Sang Selir yang terkasih ini. Dan timbul kembali nafsunya untuk bertualang, untuk menundukkan daerah-daerah yang belum dikuasainya. Dalam hal ini pun dia kadang-kadang melampaui batas kekuatan pasukannya.

Ketika dia memimpin pasukannya dan mati-matian berusaha untuk menundukkan daerah Shansi Utara, pasukannya terpecah belan oleh siasat pihak musuh dan hanya dengan pasukan pengawal yang tidak begitu besar jumlahnya, Kaisar Yang Ti terkepung oleh suku bangsa Turki. Nyaris keselamatan kaisar itu terancam hebat kalau saja pada saat itu tidak muncul seorang perwira yang bersama pasukannya dengan gagah berani menerjang dan membobolkan kepungan, berhasil menyelamatkan Kaisar Yang Ti dari ancaman maut.

Perwira yang gagah perkasa ini adalah Li Si Bin, yang kelak merupakan seorang tokoh yang amat penting dalam sejarah karena perwira ini pula yang kelak menjatuhkan Kerajaan Sui dan bahkan kelak dia akan menjadi seorang kaisar yang terkenal di dalam jaman dinasti berikutnya yaitu dinasti Tang (618-907)!

Demikianlah sedikit tentang keadaan kaisar yang berkuasa di jaman cerita ini terjadi. Ketika itu, istana megah dan mewah di Lok-yang sedang dibangun dan hampir selesai karena pembangunan sudah berlangsung setahun.

********************

Pada suatu pagi, dua orang muda memasuki kota Lok-yang. Mereka bukan lain adalah Han Beng dan Giok Cu. Mereka telah meninggalkan Kim-hong-san setelah tinggal di rumah Liu Bhok Ki dan murid barunya, Kwa Bi Lan selama belasan hari lamanya. Ketika mereka berpamit untuk pergi mengunjungi Ban-tok Mo-li di Ceng-touw, Liu Bhok Ki menyetujuinya.

Pendekar tua ini ingin agar muridnya, Han Beng, segera menyelesaikan tugas yang dijanjikan kepada Giok Cu, lalu pulang dan memberikan jawaban pasti tentang usul ikatan perjodohan dengan Bi Lan. Dan pandangan mata yang berpengalaman dari Liu Bhok Ki melihat betapa ada perubahan sikap dalam diri gadis yang menjadi muridnya itu setelah Han Beng dan Giok Cu pergi!

Muridnya itu, yang tadinya biarpun pendiam selalu bergembira, kini setelah Han Beng pergi, gadis itu nampak seringkali termenung, bahkan murung! Hal ini bagi Liu Bhok Ki merupakan suatu pertanda baik! Beberapa kali, secara halus dia memancing pendapat Bi Lan tentang Han Beng.

"Bagaimana pendapatmu tentang Si Han Beng, Suhengmu itu, Bi Lan?" tanyanya sambil lalu ketika mereka membicarakan dua orang muda yang baru saja meninggalkan tempat itu.

"Suheng Si Han Beng? Ah, dia seorang yang baik sekali, gagah perkasa dan ramah. Teecu mendapatkan petunjuk berharga ketika melatih Hui-tiauw Sin-kun di bagian yang paling sulit, Suhu."

Liu Bhok Ki mengangguk-angguk dan tersenyum. "Memang, dia kini telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Naga Sakti Sungai Kuning! Ha-ha, sungguh aku bangga mempunyai murid seperti dia. Kau tahu, sekarang kepandaiannya jauh melampaui tingkatku, dia dua kali lebih lihai daripada aku, ha-ha-ha "

Bi Lan semakin kagum. "Sungguh hebat. Teecu juga bangga mempunyai Suheng seperti dia, Suhu."

Liu Bhok Ki tidak mendesak terus atau memancing terus. Pertemuan antara dua orang muridnya itu baru satu kali terjadi, dan tidak enak kalau bertanya tentang perasaan hati gadis pendiam itu tentang Han Beng. Biarlah, dia akan menanti dengan sabar. Dia hampir yakin bahwa Bi Lan pasti menerima dengan hati terbuka kalau dijodohkan dengan Han Beng. Yang mengkhawatirkannya adalah kalau Han Beng yang menolak mengingat betapa akrabnya hubungan muridnya itu dengan Giok Cu.

Kita kembali kepada Han Beng dan Giok Cu. Mereka tiba di Lok-yang karena mereka tertarik mendengar bahwa di kota itu dibangun sebuah istana yang amat megah dan mewah, amat indah sehingga berita tentang pembangunan itu terdengar sampai jauh, menjadi bahan pergunjingan orang. Ada yang mengagumi ada pula yang mencela karena kaisar terlalu royal. Berita-berita yang mereka dengar di sepanjang perjalanan itu menarik perhatian mereka, terutama sekali Giok Cu.

"Kaisar macam apa yang kita miliki sekarang?" Gadis itu mengepal tinju. "Rakyat diperas dan dipaksa untuk bekerja sampai mati menggali terusan. Suhu Hek Bin Hwesio pernah menjelaskan kepadaku bahwa bagaimanapun juga, niat menggali terusan itu masih dapat dibenarkan karena kalau hal itu sudah dilaksanakan, maka rakyat pula yang akan banyak menerima keuntungan. Terusan itu dapat dimanfaatkan oleh rakyat, bukan saja untuk mengairi sawah ladang di daerah yang dilalui terusan, akan tetapi juga mereka dapat mengangkut hasil ladang ke kota lain dengan lebih mudah dan murah. Biarlah, walau pelaksanaannya mengorbankan banyak rakyat, terusan itu kelak akan berguna pula bagi rakyat. Akan tetapi istana yang besar dan indah? Apa gunanya untuk rakyat? Hanya untuk kesenangan kaisar dan keluarganya saja! Dan pembangunan itu menggunakan uang negara yang besar! Sungguh membikin hatiku penasaran dan aku harus melihat pembangunan itu dengan mata sendiri."

Han Beng dapat mengerti akan kemarahan di hati Giok Cu. Dia sendiri, kalau tidak digembleng oleh Pek I Tojin tentang kehidupan dan isinya, pasti akan merasa penasaran pula. Akibat pembangunan dan penggalian Terusan Besar, gadis itu kehilangan ayah ibunya, seperti juga dia. Gadis itu masih bersabar dan menerima nasib. Nasihat Hek Bin Hwesio agaknya menyadarkannya bahwa kematian ayah ibunya sebagai akibat penggalian terusan itu dapat dianggap, sebagai pengorbanan karena kelak terusan itu akan dinikmati pula oleh rakyat banyak.

Akan tetapi pembangunan istana yang megah dan mewah? Memang membuat orang merasa penasaran, setidaknya orang-orang yang masih menghargai keadilan di dunia ini. Betapa banyaknya rakyat jelata yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk makan esok hari pun masih belum ada ketentuan. Dan kaisar mereka membangun istana untuk pelesir. Padahal, biaya untuk membangun istana itu kalau dibagikan rakyat yang kelaparan, akan menolong puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu nyawa orang!

Pagi itu, Han Beng dan Giok Cu memasuki kota Lok-yang. "Giok Cu, aku berpesan kepadamu dengan sungguh, agar engkau suka menahan kesabaran hatimu. Jangan menurutkan hati yang panas kalau melihat bangunan istana itu. Ingat kalau engkau menimbulkan keributan, hal itu sama sekali tidak akan menolong rakyat, tidak akan menghentikan pembangunan itu. Sebaliknya, engkau hanya akan menimbulkan kekacauan yang membahayakan kita sendiri."

"Aku tidak takut!" jawab gadis itu lantang.

Han Beng tersenyum. Giok Cu sungguh merupakan seorang gadis yang tabah dan pemberani, terlalu pemberani malah. Teringatlah dia akan anak perempuan yang menjadi sahabatnya dahulu. Sejak kecil Giok Cu memang nakal, manja, lincah jenaka dan pemberani. Betapa seorang anak perempuan berani melawan seekor ular anak naga! Untuk membantu dia yang telah digigit ular itu, Giok Cu juga menggigit ular dengan keberanian luar biasa! Dan kini, setelah menjadi seorang gadis yang dewasa, cantik jelita, dan memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja keberaniannya semakin hebat!

"Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Giok Cu. Aku pun tidak takut menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi untuk apa kita membiarkan diri dalam bahaya kalau bukan untuk suatu tujuan yang memang perlu sekali kita lakukan. Dalam hal pembangunan istana ini kita tidak mempunyai kepentingan apa pun dan tidak akan dapat mencampuri sama sekali. Dan kita masih menghadapi tugas yang lebih penting, yaitu mencari Ban-tok Mo-li, maka tidak perlu terjun ke dalam bahaya untuk yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita."

Biarpun ia berwatak keras dan berani namun Giok Cu setelah menjadi murid Hek Bin Hwesio, sudah dibiasakan menggunakan pikiran sehat. Ia dapat memahami ucapan Han Beng tadi dia pun mengangguk. "Baiklah, Han Beng. Aku pun hanya ingin melihat seperti apa bangunan istana yang menjadi bahan percakapan semua orang itu. Setelah melihat kita akan melanjutkan perjalanan ke Ceng-touw."

Tentu saja Han Beng menjadi girang sekali. Makin lama dia merasa semakin kagum dan suka kepada gadis yang dulu menjadi sahabat baiknya di waktu kecil ini. Seorang gadis yang lincah Jenaka dan pandai bicara, akan tetapi juga bijaksana dan mau menerima pendapat orang lain! Biasanya, gadis yang lincah dan pandai seperti ini suka berwatak tinggi hati dan merasa pintar sendiri sehingga nampak kebodohannya. Akan tetapi Giok Cu tidak. Ia dapat menerima pendapat orang lain dan menyetujuinya kalau dianggapnya pendapat itu patut dituruti karena memang tepat dan benar.

"Kalau begitu, kita tidak perlu bermalam di sini, bukan? Hari ini masih pagi, kita dapat melihat-lihat sehari ini dan siang nanti kita melanjutkan perjalanan menuju ke Ceng-touw. Bagaimana pendapatmu?" kata Han Beng.

Giok Cu mengangguk. "Kalau tidak terjadi sesuatu dan kalau tidak ada sesuatu yang menarik, memang tidak perlu kita bermalam di sini. Mari kita melihat bangunan istana itu!"

Dan keduanya tak lama kemudian sudah terpukau memandang bangunan istana itu dari luar pagar, dari tempat yang agak jauh karena selain para pekerja, mereka atau orang luar tidak diperkenankan memasuki pagar. Dari jauh pun sudah nampak bangunan yang hebat itu. Istana induknya sudah jadi dan menjulang tinggi di atas pohon-pohon, sudah nampak megah walaupun belum dicat. Para pekerja yang seperti semut banyaknya, sepagi itu sudah bekerja, karena memang siang malam pembangunan itu dikerjakan tiada hentinya. Mereka kini sudah mulai dengan bangunan-bangunan lebih kecil yang mengelilingi bangunan induk, sudah jadi lebih dan dua puluh buah.

"Bukan main...!" kata Han Beng tertegun karena selama hidupnya belum pernah dia melihat bangunan sehebat itu. "Alangkah besar dan luasnya!"

"Hemmm, entah berapa banyak emas dan perak dikeluarkan untuk membiayai bangunan itu. Akan tetapi lihat, Han Beng, para pekerja itu bekerja dengan giat dan gembira. Jelas bahwa mereka bukanlah pekerja-pekerja paksa, bahkan mungkin mereka mendapatkan perlakuan baik dan gaji yang cukup besar," kata Giok Cu.

Ternyata bukan hanya mereka saja yang berada di luar pagar dan melihat pembangunan istana itu. Ada pula belasan orang lain dan di antara mereka terdapat empat orang pemuda yang usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Mereka itu berpakaian seperti para pemuda kota, dengan lagak yang tinggi hati dan nakal. Sudah lajim bahwa lebih mudah bagi syaitan atau nafsu untuk menggoda hati orang apabila orang itu berkumpul dengan orang-orang lain yang sepaham.

Seorang pemuda mungkin tidak akan begitu berani berlagak atau berbuat sesuatu yang tidak layak, tidak begitu nampak kenakalannya. Akan tetapi kalau pemuda itu berkumpul dengan pemuda-pemuda lain yang menjadi kawannya, maka dia pun akan menjadi berbeda daripada kalau dia seorang diri saja. Kalau dia seorang diri, walaupun nafsu mendorong dan membujuknya untuk melakukan hal-hal yang tidak patut, masih ada rasa takut, rasa malu dan sebagainya yang menghalangi dia melakukan tindakan yang didorong nafsu dan setan. Akan tetapi, kalau sudah berkelompok, maka rasa takut, malu atau yang lain itu pun menipis atau bahkan lenyap sama sekali! Menghadapi segerombolan orang muda, setan menjadi lebih leluasa menggoda hati.

Demikian pula dengan empat orang pemuda itu. Tadinya, mereka bersikap biasa, melihat pembangunan istana, mengagumi keindahan bentuk istana yang megah itu seperti para penonton lainnya. Akan tetapi begitu muncul seorang gadis cantik seperti Giok Cu, sikap mereka berubah sama sekali. Kini mereka tidak lagi nonton bangunan, melainkan nonton gadis cantik dan mulailah mereka menyeringai, tersenyum atau tertawa, saling berbisik sambil melirik ke arah Giok Cu.

Godaan nafsu atau godaan setan memang seperti berkobarnya api, dari sedikit lalu makin lama makin membesar kalau tidak segera dipadamkan. Kalau tadinya mereka itu menyeringai dan berbisik-bisik, akhirnya bisikan mereka menjadi semakin keras sehingga terdengar orang lain, dan suara ketawa mereka pun makin keras.

"Yang laki-laki memang banyak harapan diterima bekerja. Lihat bentuk badannya tinggi besar seperti kuli kasar. Tentu dia diterima sebagai kuli angkat-angkat batu dan kayu!" kata seorang di antara mereka sambil melirik ke arah Han Beng dan Giok Cu.

"Memang, potongan badannya seperti kuli kasar. Dia dibutuhkan untuk pembangunan ini. Akan tetapi perempuan itu, mana mungkin diterima walaupun ia.... hemmm, cantik dan manis seperti malu?" orang ke dua berkata sambil terkekeh. Teman-temannya juga tertawa.

"Kenapa tidak? Di manapun kalau perempuan, apalagi yang jelita seperti ia, pasti diterima dengan tangan terbuka..."

“... dan pakaian terbuka...” Ha-ha-ha!"

Mereka tertawa-tawa kembali. Han Beng dan Giok Cu mendengar percakapan itu, akan tetapi karena percakapan itu tidak jelas menyinggung mereka maka keduanya pun diam saja, walaupun sepasang alis Giok Cu sudah berkerut karena ialah satu-satunya wanita situ, maka siapa lagi yang dibicarakan kalau bukan dirinya? Akan tetapi masih ingat akan pesan Han Beng tadi, maka ia pun pura-pura tidak mendengar saja.

"Akan tetapi seorang gadis, disuruh bekerja apa?"

"Bekerja apa? Biar ia duduk atau berdiri saja di tempat pekerjaan, tanggung para pekerja semakin bersemangat dalam pekerjaan dan lupa untuk pulang, ha-ha-ha!"

"Dan malamnya tentu akan dijadi rebutan oleh para mandornya!"

"Ihhh, sayang sekali kalau hanya mendapatkan mandor. Lebih baik mendapatkan aku, setidaknya Ayahku mempunyai toko yang cukup besar!"

"Menjadi milikku lebih tepat! Ayahku pegawai pemerintah!"

Ramailah empat orang itu berebutan, merasa bahwa masing-masing lebih pantas memiliki wanita itu.

"Sudahlah, siapa tahu ia menginginkan menjadi seorang di antara dayang Kaisar? Kabarnya tempat ini kelak akan penuh dengan dayang dan selir Kaisar."

"Ssssst, lihat. Ia membawa pedang! Jangan-jangan ia seorang wanita kang-ouw!"

"Ah, mana mungkin? Lihat, kulitnya begitu mulus, halus dan pinggangnya ramping. Ia wanita seratus prosen, lemah gemulai. Pedang itu tentu hanya untuk menakut-nakuti saja, ha-ha-ha!"

"Bunga yang indah biasanya tidak harum baunya!"

"Siapa bilang! Bunga mawar itu indah dan harum. Coba kudekati, baunya harum atau tidak!"

Wajah Giok Cu semakin merah dan ia tentu akan mengajak Han Beng pergi dari situ karena takut kalau tidak tahan lagi, akan tetapi pada saat itu, pemuda bermuka bopeng karena penyakit cacar yang bicara paling akhir tadi sudah melangkah dan mendekatinya, mendekatkan muka dan hidungnya kembang kempis mencium-cium. Jarak antara muka itu dengan pundaknya hanya dua jengkal saja. Begitu beraninya pemuda itu!

"Aduh, harum... harum...!" pemuda itu berseru dan tiga orang kawannya tertawa dan memuji "keberanian" kawan mereka yang muka bopeng dan agaknya menjadi pemimpin mereka itu.

"Wuuuttt... plakkk!"

"Aduuuuuh...!” Tubuh pemuda muka bopeng itu terpelanting dan mulutnya bocor mengucurkah darah karena empat buah giginya copot ketika tangan Giok Cu menamparnya tadi.

Gadis itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Masih untung bagi pemuda itu bahwa Giok Cu tidak menggunakan tenaga sakti. Kalau ia mempergunakan tenaga saktinya, bisa remuk tulang rahang pemuda itu, atau kalau ia menggunakan tenaga beracun, pemuda muka bopeng itu tentu tewas seketika! Kini, hanya giginya empat buah copot dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Dia melompat bangun dan menjadi marah bukan main.

"Perempuan rendah, berani engkau memukulku?" bentaknya dan dia pun menyerang dengan tubrukan seperti seekor biruang menubruk domba, dan tiga orang kawannya juga berebut maju untuk menangkap gadis yang sejak tadi telah membuat mereka tergila-gila. Mereka berempat masih lebih terpengaruh keinginan untuk merangkul gadis itu daripada untuk memukul.

Giok Cu menggerakkan kaki tangannya. Terdengar empat orang pemuda itu mengaduh. Pertama adalah Si Muka Bopeng yang menyerang lebih dulu, menerima tendangan pada perutnya.

"Ngekkk! Aughhhhh...!" Dia muntah-muntah dan memegangi perutnya, tidak dapat bangkit kembali, hanya berjongkok sambil muntah dan mengaduh karena perutnya seketika mulas. Agaknya usus buntunya kena tertendang ujung sepatu Giok Cu, nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum rasa perutnya. Orang ke dua dari kiri disambut sambaran tangan kiri yang mengenai dadanya.

"Plakkk! Hukkk...!" Pemuda itu pun terpelanting, dan tidak mampu bangkit, hanya duduk terbatuk-batuk seperti mendadak sakit asmanya kambuh terengah-engah terasa sesak dan nyeri dalam dada.

Orang ke tiga dari kanan juga disambar tangan kanan mengenai lehernya dan dia pun terpelanting, lalu bergulingan dengan leher bengkok karena lehernya terasa nyeri seperti patah tulangnya. Bahkan suaranya mengaduh tidak jelas lagi! Orang ke empat disambut tendangan pula sehingga terjengkang dan karena kepalanya dengan kerasnya membentur tanah, maka dia pun pingsan seketika mungkin gegar otak!

Gegerlah para penonton di situ. Da pada saat itu, terdengar bunyi roda kereta dan derap kaki kuda. Sebuah kereta berhenti di situ, dikawal oleh selosin pasukan pengawal. Semua orang minggir dan seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang sikapnya agung dan berwibawa, turun dari kereta. Dia melihat kearah empat pemuda yang masih belum dapat bangkit bahkan seorang masih pingsan dan yang tiga lagi mengaduh-aduh, memijat perut, ada yang mengurut-urut dada, ada yang lehernya bengkok. Kemudian dia memandang kepada gadis cantik jelita yang, berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, muka merah karena marah.

"Apa yang terjadi disini?" Pria berpakaian pembesar itu bertanya dan dia pun maju menghampiri tempat keributan itu.

Giok Cu yang sudah marah, membalik dan menghadapi laki-laki itu. Disangkanya laki-laki itu tentu hendak membela empat orang pemuda itu maka ia pun berkata dengan nada menantang, Siapa saja yang membela empat ekor tikus busuk ini akan kuhajar!”

Akan tetapi pembesar itu sama sekali tidak nampak takut, melainkan menentang pandangan mata Giok Cu dengan tajam penuh selidik. "Siapa yang membela siapa, Nona? Kami hanya bertanya apa yang telah terjadi disini? Mengapa terjadi perkelahian di sini?"

Sebelum gadis itu menjawab dengan ketus, tiba-tiba Han Beng berseru girang "Liu Tai-jin! Aih, Giok Cu, apakah engkau tidak mengenalnya? Dia adalah Liu Tai-jin, utusan dari kota raja yang kita jumpai di kota Siong-an itu!"

Giok Cu segera teringat dan ia pun seperti Han Beng memberi hormat. "Liu Tai-jin, maafkan saya," katanya. Tentu saja ia teringat. Pernah bersama Can Hong San ia bahkan menghadang pembesar ini yang disangkanya jahat dan korup.

Pembesar itu memang Liu Tai-jin, pembesar kepercayaan kaisar dari kota raja yang suka diutus menjadi peneliti dan pemeriksa para petugas dan memberi hukuman kepada mereka yang korup dan nyeleweng. Dia pun segera ingat kepada Han Beng.

"Ah, kiranya Huang-ho Sin-liong yang berada di sini!" serunya dan dia pun cepat membalas penghormatan mereka. "Dan Nona ini adalah Li-hiap (Pendekar Wanita) yang gagah perkasa itu!"

Seorang diantara pemuda yang tadi pingsan, kini sudah siuman dan mereka berempat menjadi pucat dan mendekam dengan tubuh menggigil ketika mendengar ucapan pembesar itu bahwa pemuda dan gadis yang mereka ganggu tadi adalah dua orang pendekar yang gagah perkasa! Bahkan pemuda itu adalah Naga Sakti Sungai Kuning yang namanya menggetarkan seluruh lembah Sungai Huang-ho! Mereka ingin melarikan diri, akan tetapi kedua kaki mereka tidak dapat digerakkan karena menggigil. Bahkan dua orang di antara mereka, saking takutnya, tak dapat menahan lagi bocor di tempat sehingga celana mereka basah kuyup!

"Tai-hiap, Li-hiap, apa yang terjadi di sini?" pembesar itu bertanya sambil memandang kepada empat orang pemuda itu.

"Maafkan saya, Liu Tai-jin," kata Giok Cu. "Mereka itu bersikap kurang ajar karena saya seorang wanita, mulut mereka kotor sekali dan sikap mereka tidak sopan sehingga terpaksa saya menghajar mereka!"

Pejabat tinggi itu dengan mata mencorong dan alis berkerut memandang kepada empat orang pemuda itu. Melihat keadaan mereka, dia pun tersenyum. "Li-hiap, kami kira hajaran itu sudah cukup bagi mereka. Apakah perlu di tambah lagi?"

Mendengar ini, empat orang yang sudah ketakutan setengah mati, bukan hanya karena mendengar bahwa dua oran muda yang mereka ganggu adalah pendekar-pendekar sakti, juga mereka takut sekali kepada Liu Tai-jin yang terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang selain besar kekuasaannya, juga adil dan tegas, tidak mau disogok, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Giok Cu.

"Li-hiap, ampunkan kami, ampunkan kami..." kata Si Muka Bopeng, dan tiga orang kawannya juga ikut pula mohon ampun.

Giok Cu menggangguk kepada Liu Tai-jin. Memang mereka itu kurang ajar, akan tetapi hajaran yang diberikan tadi sudah lebih dari cukup. "Asal kalian berjanji mulai sekarang tidak ugal-ugalan dan tidak akan mengganggu wanita lagi, aku tidak akan mematahkan semua tulang kaki tanganmu!"

Mendengar ini, empat orang itu menjadi semakin ketakutan dan seperti empat ekor ayam mematuk gabah, mereka mengangguk-angguk membenturkan dahi di tanah sambil berkata berulang-ulang,

"... tidak berani lagi, tidak berani lagi... tidak berani lagi..."

"Nah, cukuplah. Berterima kasihlah kalian kepada Liu Tai-jin yang bijaksana, kalau tidak ada beliau, tentu aku tidak mau memberi ampun kepada kalian!"

Empat orang pemuda itu lalu berlutut menghadap Liu Tai-jin dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Liu Tai-jin tersenyum, senang melihat sikap Giok Cu. Kalau ada beberapa orang pendekar seperti gadis ini di setiap kota, tentu akan aman keadaannya. "Sudah, kalian pergilah!" katanya.

Dan empat orang itu lalu bangkit, terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang melihat peristiwa itu diam-diam merasa kagum kepada Giok Cu yang selain merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, juga ternyata menjadi kenalan Liu Tai-jin yang disegani semua orang.

"Tai-hiap dan Li-hiap, bagaimana kalian dapat berada di sini? Apakah hanya kebetulan saja, ataukah memang sengaja datang untuk melihat pembangunan istana ini?"

"Dalam perjalanan, kami mendengar semua orang membicarakan pembangunan istana di Lok-yang ini, maka kami sengaja lewat di sini untuk menontonnya, kata Han Beng.

"Kalau begitu, mari masuk saja. Ji-wi (Kalian Berdua) dapat melihat keadaan di sebelah dalam istana. Mari naiklah ke dalam kereta kami."

Han Beng dan Giok Cu naik ke dalam kereta bersama pembesar itu dan para penonton memandang dengan kagum dan juga iri melihat betapa dua orang muda itu mendapat kesempatan yang amat langka itu, yaitu melihat keadaan istana itu dari dalam...!

Han Beng dan Giok Cu mengagumi istana yang luar biasa megahnya itu. Biarpun belum dicat, namun istana itu sudah nampak indah bukan main. Liu Tai-jin membawa mereka berkeliling dan menerangkan segalanya kepada mereka sehingga dua orang muda itu semakin kagum dan juga merasa senang sekali mereka telah mendapatkan kesempatan yang demikian baiknya.

Setelah melihat-lihat, Liu Tai-jin mengajak mereka memasuki sebuah ruangan yang dia pergunakan untuk tempat duduk apabila dia datang ke tempat itu. Mereka duduk berhadapan dan pelayan menghidangkan minuman dan makanan kecil. Liu Tai-jin lalu menyuruh semua pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan dan membiarkan mereka bertiga bercakap-cakap.

"Ji-wi (Kalian) tentu heran melihat aku bertugas di sini," pejabat tinggi itu berkata.

Han Beng dan Giok Cu memandang kepadanya dan Han Beng berkata, "Memang kami merasa agak heran. Bukankah Tai-jin biasanya bekerja sebagai pejabat yang mengontrol pekerjaan para petugas, dan memberantas penyelewengan yang dilakukan para pejabat di luar kota raja..."

Liu Tai-jin menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Memang benar. Itulah pekerjaanku dan aku senang dengan pekerjaan itu. Aku paling membenci pembesar yang melakukan korup, menindas rakyat dan mencuri uang negara, menumpuk harta kekayaan untuk diri sendiri dan tidak melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Demi mencari harta, banyak pula pembesar yang bertindak sewenang-wenang, bahkan curang, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Aku senang sekali bekerja memberantas segala penyelewengan itu walaupun pekerjaan itu amat berbahaya dan membuat aku dibenci dan dimusuhi banyak pejabat. Akan tetapi Sri baginda terlalu percaya kepadaku sehingga untuk pembangunan istana ini pun beliau memerintahkan aku untuk melakukan pengamatan di sini agar pekerjaan dilaksanakan sebaik mungkin, agar bahan-bahan bangunannya tidak dicuri, dikurangi mutunya dan tidak terjadi korupsi. Nah, begitulah. Terpaksa aku harus bekerja menjadi pengawas di tempat ini."

"Kalau Tai-jin yang menangani, tentu pembangunan ini cepat selesai dengan baik," kata Giok Cu.

Liu Tai-jin tertawa, tahu bahwa pujian pendekar wanita itu bukan sekedar basa-basi belaka. "Pembangunan negara baru akan berhasil kalau semua petugas dan karyawannya bekerja dengan jujur dan setia, kalau semua pekerja, dari yang tinggi sampai yang paling rendah, tidak menjadi hamba nafsu rendah untuk menyenangkan diri sendiri dan melakukan korupsi. Semua tenaga harus bersatu untuk pembangunan, barulah pembangunan itu akan berhasil dengan baik. Tidak mungkin hanya tergantung pada satu orang saja. Tugasku di sini hanya mengawasi dan menjamin lancarnya pekerjaan dan bersihnya para pekerja. Akan tetapi, para tukang itulah yang menangani. Tanpa para tukang, bahkan tanpa para kuli kasar, pembangunan tidak akan selesai. Semua harus bersatu dan bekerja sama. Aih, maaf. Aku lupa bahwa Ji-wi bukan petugas negara. Apakah Ji-wi akan lama tinggal di Lok-yang?"

Giok Cu menggeleng kepala. "Tidak Tai-jin. Mungkin hari ini juga kami aka melanjutkan perjalanan."

"Ji-wi akan pergi ke manakah?"

"Kami bermaksud pergi ke Ceng touw..."

Pembesar itu nampak terkejut mendengar ini, dan wajahnya berseri, pandang matanya penuh harap. "Ke Ceng-touw...? Ah, kalau saja aku tidak terikat oleh tugasku mengawasi pembangunan istana Lok-yang ini, tentu aku sudah pergi ke Ceng-touw. Ada perkembangan yang amat gawat di sana!"

"Perkembangan yang amat gawat. Apakah itu, Tai-jin? Apa yang telah terjadi di sana?" Giok Cu bertanya.

"Ji-wi dapat membantu kami dalam hal ini," kata pembesar itu. "Kalau Ji-wi pergi ke Ceng-touw, tolonglah selidik kebenaran berita yang kami dengar tentang sebuah perkumpulan agama baru yang kabarnya makin besar pengaruh dan kekuasaannya sehingga tidak saja perkumpulan itu menundukkan perkumpulan lain dan menguasai dunia kang-ouw, bahkan mereka mulai menanamkan pengaruh mereka kepada para pejabat setempat. Gerakan mereka di luar bukan urusanku, melainkan tugas para petugas keamanan untuk mengawasi mereka. Akan tetapi kalau mereka sudah menanamkan kuku mereka mencengkeram para pejabat, ini berbahaya sekali, dapat menyeret para pejabat ke dalam kesesatan dan harus dicegah..."

"Liu Tai-jin, perkumpulan agama apakah itu?" tanya Giok Cu, jantungnya berdebar karena ia sudah dapat menduga. Perkumpulan agama apalagi kalau bukan Thian-te-kauw yang menyembah Thian-te Kwi-ong, perkumpulan yang dipimpin oleh Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan Ban-tok Mo-li?

"Perkumpulan Thian-te-pang yang berdasarkan agama baru Thian-te-kauw dan berpusat di Ceng-touw..."

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 41

Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar besar. Dia menghargai kehormatan lebih besar daripada nyawa. Kalau dia sudah mengeluarkan janji, sampai matipun harus dia hadapi untuk memenuhi janji itu. Maka, mendengar bahwa muridnya sudah berjanji kepada Giok Cu untuk menemaninya menghadap Ban-tok Mo-li dia pun mengangguk-angguk, dan tidak mau dia melarang. Apalagi dia tahu bahwa gadis bernama Giok Cu adalah seorang teman sejak kecil dari Han Beng maka sudah sewajarnya kalau Han Beng membantunya mencari pembunuh ayah ibu gadis itu.

"Baiklah, Han Beng. Engkau boleh menemani Giok Cu menemui Ban-tok Mo-li sambil berpikir-pikir tentang keinginanku menjodohkan engkau dengar Bi Lan. Setelah selesai urusan dengan Ban-tok Mo-li itu, engkau segera kembalilah kesini dan kita membuat persiapan untuk perayaan pernikahanmu."

Han Beng mengangkat muka memandang kepada gurunya. "Akan tetapi, Suhu. Bagaimana mungkin Suhu sudah dapat demikian memastikan? Padahal, baru saja teecu bertemu dengan Sumoi. Belun tentu Sumoi okan menyetujui ikatan itu!”

Liu Bhok Ki tersenyum. "Aku yakin ia tidak akan menolak, la seorang gadis yang baik dan penurut. Aku akan mencari pamannya, Lie Koan Tek, yang merupakan wali tunggalnya dan akan kubicarakan tentang urusan perjodohan kalian itu dengan pendekar Siauw-lim-pai itu..."

Han Beng tidak menjawab lagi, akan tetapi hatinya merasa tidak enak bahkan khawatir sekali.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Kaisar Yang Ti (604-618) merupakan kaisar kedua dari wangsa Sui, setelah menggantikan mendiang Kaisar Yang Cien yang merupakan kaisar pertama dari dinasti Sui. Kaisar Yang Cien memulai dengan penggalian terusan-terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce. Dan setelah dia meninggal dalam tahun 604, penggantinya, yaitu Kaisar Yang Ti yang sekarang melanjutkan pekerjaan itu, bahkan memperluasnya sehingga terusan itu digali sampai ke Hang-couw.

Kaisar Yang Ti bukan hanya giat melakukan penggalian terusan yang besar artinya bagi lalu lintas perdagangan, namun dia juga terkenal giat dengan gerakan balatentaranya untuk menundukkan negara-negara tetangga. Juga dia amat aktip dalam gerakan politik untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas kekuasaan kerajaannya. Bahkan saja Tongkin dan Annam di bagian selatan dia serbu, bahkan di utara dia pun melakukan gerakan.

Pada waktu itu, daerah utara didiami bermacam suku bangsa yang oleh bangsa Han dianggap sebagai bangsa "liar". Di antara mereka adalah bangsa Toba, Turki dan Mongol. Mereka semua adalah bangsa Nomad yang berpindah-pindah untuk mencari daerah subur untuk memelihara ternak, dan daerah di mana terdapat banyak binatang untuk diburu. Dan seringkali terjadi perselisihan dan pertempuran antara suku-suku bangsa itu karena mereka memperebutkan daerah yang subur.

Keadaan mereka yang hidup saling bermusuhan itulah yang dimanfaatkan oleh Kaisar Yang Ti. Dia mengirim orang-orangnya yang pandai untuk memperuncing pertentangan antara suku-suku bangsa itu, mendukung yang satu membasmi yang lain. Dengan cara demikian, kedudukan suku-suku bangsa itu menjadi lemah dan setelah itu barulah bala tentara dinasti Sui menyerbu, akhirnya daerah utara dapat dikuasainya tanpa menemukan perlawanan yang berarti karena suku-suku bangsa itu sudah menjadi lemah karena saling gempur sendiri.

Untuk memuaskan ambisinya yang besar, Yang Ti belum merasa cukup dengan menaklukkan daerah utara dan barat itu. Dia masih mencoba untuk menguasai Timur laut, yang sekarang termasuk daerah Mancuria dan Korea. Namun, berkali-kali pasukannya mengalami kegagalan.

Di samping ambisinya yang besar sehingga dia seringkali memimpin pasukannya sendiri untuk memperluas kekuasaan dan wilayahnya, dan melanjutkan penggalian terusan, juga Kaisar Yang Ti terkenal sebagai seorang kaisar yang mata keranjang. Selir dan dayangnya tak terhitung banyaknya. Dan dia begitu mata keranjang sehingga dia memaksa dua orang selir ayahnya, ketika ayahnya masih hidup, untuk menjadi kekasihnya.

Bahkan setelah ayahnya meninggal dunia, dia menarik dua orang selirnya yang masih muda itu menjadi selirnya sendiri. Hal ini tentu saja membuat beberapa orang menteri yang setia mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, selir-selir itu adalah isteri mendiang ayahnya, jadi termasuk ibu tirinya!

Menurut catatan yang kemudian ditinggalkan dan diketahui umum setelah Kerajaan Sui jatuh, Kaisar Yang Ti termasuk mempunyai permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam selir utama dan tujuh puluh dua selir muda. Di samping itu masih ada tiga ribu orang perawan-perawan istana yang menjadi dayang dan juga setiap orang dari para gadis ini dapat saja setiap waktu diharuskan melayani kaisar yang tidak pernah merasa puas itu!

Semua pembesar tinggi di istana tahu belaka bahwa Kaisar Yang Ti merupakan seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahinya dan selalu dia memenuhi dorongan nafsunya dengan cara yang menyolok dan kadang tidak tahu malu. Ketika dia mengadakan pembukaan dan pelayaran pertama merayakan selesainya penggalian terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, atau menghubungkan daerah utara dan selatan, dia menggunakan perahu di terusan yang lebarnya sekitar tiga puluh kaki itu.

Perahunya besar dan mewah, dan dia memerintahkan beberapa ratus orang perawan istana atau dayang-dayang muda yang cantik manis untuk menarik perahunya hilir mudik di tepi terusan itu. Ratusan orang gadis remaja yang cantik itu sambil bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa, menarik tali yang dihias kembang-kembang, diiringi suling dan yang-kim. Dari perahunya, Kaisar Yang Ti menikmati penglihatan yang amat indah menggairahkan itu.

Pakaian para dayang yang beraneka warna, dari sutera yang halus, membayangkan bentuk-bentuk tubuh para gadis remaja yang bagaikan kembang sedang mulai mekar. Bayangan para dayang itu terpantul di dalam air dalam keadaan terbalik. Mendengarkan suara mereka bernyanyi dan tertawa merdu, melihat gerakan tubuh mereka yang lemah gemulai, goyangan pinggang dan pinggul, cukup mendorong gairah dalam hati kaisar itu dan nafsu berahinya berkobar. Untuk melayani hasratnya, di perahu yang besar itu telah siap para selirnya sehingga Sang Kaisar, di balik tirai perahu, dapat melampiaskan nafsunya sepuas hati sambil mendengarkan nyanyian dan tertawaan para dayang remaja.

Apalagi kalau sedang di dalam istana, bahkan di waktu melakukan perjalanan daratpun, Sang Kaisar yang menjadi budak nafsu-nafsunya itu tidak pernah lupa mengajak beberapa orang selir terkasih. Keretanya sengaja dibangun secara istimewa, besar dan panjang, bukan hanya cukup untuk dia duduk dilayani lima enam orang selir, bahkan tempat duduk itu dapat pula dijadikan tempat tidur! Tirai kereta itu dihiasi permata mutu manikam dan keleningan kecil-kecil yang mengeluarkan bunyi musik, suara ini dapat menyembunyikan suara-suara lain yang keluar dari kerongkongan sang Kaisar dan para selirnya.

Dalam keroyalannya yang luar biasa, yang jauh melampaui kemewahan para kaisar dahulu, Kaisar Yang Ti mengutus seorang ahli bangunan terbesar di jaman itu, yaitu Siang Seng, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-yang. Bangunan istana yang luar biasa besarnya dan megahnya dan dikerjakan siang malam selama satu setengah tahun oleh tidak kurang dari lima puluh ribu orang tukang yang pandai! Sungguh merupakan suatu pekerjaan berat juga suatu kemewahan dan keroyalan yang luar biasa.

Istana induk yang amat megah dan mewah itu dikelilingi tiga puluh enam istana yang lebih kecil, dibangun di antara hutan bunga beraneka ragam dan warna! Istana induk menjulang tinggi, berkilauan ditimpa sinar matahari, seperti sebuah menara raksasa dari emas. Di beranda yang mengelilingi setiap loteng setiap hari kalau kaisar berada di situ ratusan orang gadis dayang bermain musik, menari dan bernyanyi sambil berbisik-bisik, bersendau gurau dan hujan senyum manis dan kerling memikat, dan pakaian mereka yang tipis hampir tembus pandang itu membayangkan tubuh mereka yang mulai matang.

Kamar Sang Kaisar sendiri memang dibangun sebagai tempat untuk pelesir untuk bersenang-senang mengumbar nafsu bersama para selir dan dayang. Ruangan kamar itu amat luas, terlalu luas untuk sebuah kamar tidur, sebuah ruagan yang dapat menampung seratus meja. Tempat ini merupakan harem Sang Kaisar, di mana para selir yang terpilih untuk menghiburnya hari itu, sedikitnya tiga puluh orang, dengan pakaian minim hampir telanjang, berkeliaran, bermain-main, bersendau-gurau atau hanya rebahan di atas lantai yang ditilami kasur dengan bulu-bulu harimau dan permadani dari barat.

Ruangan itu penuh dengan cermin yang dipasang di sekelilingnya, pada dinding. Dari lubang-lubang di dinding mengepul lembut asap dupa harum dari bermacam bunga, sehingga mereka yang berada di dalam ruangan itu merasa seolah-olah mereka berada di dalam sebuah taman yang penuh bunga mekar. Lampu-lampu gantung beraneka warna, dengan lilin di dalamnya, menambah semarak dan romantis ruangan itu.

Begitu Sang Kaisar memasuki ruangan itu, delapan orang pengawal thaikam (orang kebiri) menyambutnya sambil berlutut dan mereka dengan hormat membantunya menanggalkan pakaian kebesaran, menggantikannya dengan pakaian yang longgar dari sutera dan kulit harimau. Para thaikam itu lalu keluar dan berjaga di luar ruangan. Kaisar sendiri disambut oleh salam halus "Ban-swe" (Panjang Usia) oleh mulut para wanita muda yang cantik itu. Tangan-tangan kecil lembut dan halus putih mulus segera menyuguhkan anggur gin-seng, buah-buahan, manisan atau daging panggang, apa saja yang dikehendaki Sang Kaisar sudah tersedia di tempat itu.

Bahkan di dalam sejarah, kaisar terkenal pula sebagai seorang yang menyuruh para ahli di jaman itu menciptakan segala macam alat untuk memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam, segala macam perabot atau alat yang ditunjuk untuk mendatangkan kesenangan yang lebih. Barulah Sang Kaisar ini agak menjadi jinak dan tidak seliar sebelumnya setelah ia mendapatkan seorang selir baru Han Cun Ji.

Selir inilah yang dapat merebut hatinya, dan semenjak ada selir ini, Kaisar Yang Ti tidak begitu haus lagi, seolah-olah segala rasa lapar dan hausnya telah terpuaskan oleh Sang Selir yang terkasih ini. Dan timbul kembali nafsunya untuk bertualang, untuk menundukkan daerah-daerah yang belum dikuasainya. Dalam hal ini pun dia kadang-kadang melampaui batas kekuatan pasukannya.

Ketika dia memimpin pasukannya dan mati-matian berusaha untuk menundukkan daerah Shansi Utara, pasukannya terpecah belan oleh siasat pihak musuh dan hanya dengan pasukan pengawal yang tidak begitu besar jumlahnya, Kaisar Yang Ti terkepung oleh suku bangsa Turki. Nyaris keselamatan kaisar itu terancam hebat kalau saja pada saat itu tidak muncul seorang perwira yang bersama pasukannya dengan gagah berani menerjang dan membobolkan kepungan, berhasil menyelamatkan Kaisar Yang Ti dari ancaman maut.

Perwira yang gagah perkasa ini adalah Li Si Bin, yang kelak merupakan seorang tokoh yang amat penting dalam sejarah karena perwira ini pula yang kelak menjatuhkan Kerajaan Sui dan bahkan kelak dia akan menjadi seorang kaisar yang terkenal di dalam jaman dinasti berikutnya yaitu dinasti Tang (618-907)!

Demikianlah sedikit tentang keadaan kaisar yang berkuasa di jaman cerita ini terjadi. Ketika itu, istana megah dan mewah di Lok-yang sedang dibangun dan hampir selesai karena pembangunan sudah berlangsung setahun.

********************

Pada suatu pagi, dua orang muda memasuki kota Lok-yang. Mereka bukan lain adalah Han Beng dan Giok Cu. Mereka telah meninggalkan Kim-hong-san setelah tinggal di rumah Liu Bhok Ki dan murid barunya, Kwa Bi Lan selama belasan hari lamanya. Ketika mereka berpamit untuk pergi mengunjungi Ban-tok Mo-li di Ceng-touw, Liu Bhok Ki menyetujuinya.

Pendekar tua ini ingin agar muridnya, Han Beng, segera menyelesaikan tugas yang dijanjikan kepada Giok Cu, lalu pulang dan memberikan jawaban pasti tentang usul ikatan perjodohan dengan Bi Lan. Dan pandangan mata yang berpengalaman dari Liu Bhok Ki melihat betapa ada perubahan sikap dalam diri gadis yang menjadi muridnya itu setelah Han Beng dan Giok Cu pergi!

Muridnya itu, yang tadinya biarpun pendiam selalu bergembira, kini setelah Han Beng pergi, gadis itu nampak seringkali termenung, bahkan murung! Hal ini bagi Liu Bhok Ki merupakan suatu pertanda baik! Beberapa kali, secara halus dia memancing pendapat Bi Lan tentang Han Beng.

"Bagaimana pendapatmu tentang Si Han Beng, Suhengmu itu, Bi Lan?" tanyanya sambil lalu ketika mereka membicarakan dua orang muda yang baru saja meninggalkan tempat itu.

"Suheng Si Han Beng? Ah, dia seorang yang baik sekali, gagah perkasa dan ramah. Teecu mendapatkan petunjuk berharga ketika melatih Hui-tiauw Sin-kun di bagian yang paling sulit, Suhu."

Liu Bhok Ki mengangguk-angguk dan tersenyum. "Memang, dia kini telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Naga Sakti Sungai Kuning! Ha-ha, sungguh aku bangga mempunyai murid seperti dia. Kau tahu, sekarang kepandaiannya jauh melampaui tingkatku, dia dua kali lebih lihai daripada aku, ha-ha-ha "

Bi Lan semakin kagum. "Sungguh hebat. Teecu juga bangga mempunyai Suheng seperti dia, Suhu."

Liu Bhok Ki tidak mendesak terus atau memancing terus. Pertemuan antara dua orang muridnya itu baru satu kali terjadi, dan tidak enak kalau bertanya tentang perasaan hati gadis pendiam itu tentang Han Beng. Biarlah, dia akan menanti dengan sabar. Dia hampir yakin bahwa Bi Lan pasti menerima dengan hati terbuka kalau dijodohkan dengan Han Beng. Yang mengkhawatirkannya adalah kalau Han Beng yang menolak mengingat betapa akrabnya hubungan muridnya itu dengan Giok Cu.

Kita kembali kepada Han Beng dan Giok Cu. Mereka tiba di Lok-yang karena mereka tertarik mendengar bahwa di kota itu dibangun sebuah istana yang amat megah dan mewah, amat indah sehingga berita tentang pembangunan itu terdengar sampai jauh, menjadi bahan pergunjingan orang. Ada yang mengagumi ada pula yang mencela karena kaisar terlalu royal. Berita-berita yang mereka dengar di sepanjang perjalanan itu menarik perhatian mereka, terutama sekali Giok Cu.

"Kaisar macam apa yang kita miliki sekarang?" Gadis itu mengepal tinju. "Rakyat diperas dan dipaksa untuk bekerja sampai mati menggali terusan. Suhu Hek Bin Hwesio pernah menjelaskan kepadaku bahwa bagaimanapun juga, niat menggali terusan itu masih dapat dibenarkan karena kalau hal itu sudah dilaksanakan, maka rakyat pula yang akan banyak menerima keuntungan. Terusan itu dapat dimanfaatkan oleh rakyat, bukan saja untuk mengairi sawah ladang di daerah yang dilalui terusan, akan tetapi juga mereka dapat mengangkut hasil ladang ke kota lain dengan lebih mudah dan murah. Biarlah, walau pelaksanaannya mengorbankan banyak rakyat, terusan itu kelak akan berguna pula bagi rakyat. Akan tetapi istana yang besar dan indah? Apa gunanya untuk rakyat? Hanya untuk kesenangan kaisar dan keluarganya saja! Dan pembangunan itu menggunakan uang negara yang besar! Sungguh membikin hatiku penasaran dan aku harus melihat pembangunan itu dengan mata sendiri."

Han Beng dapat mengerti akan kemarahan di hati Giok Cu. Dia sendiri, kalau tidak digembleng oleh Pek I Tojin tentang kehidupan dan isinya, pasti akan merasa penasaran pula. Akibat pembangunan dan penggalian Terusan Besar, gadis itu kehilangan ayah ibunya, seperti juga dia. Gadis itu masih bersabar dan menerima nasib. Nasihat Hek Bin Hwesio agaknya menyadarkannya bahwa kematian ayah ibunya sebagai akibat penggalian terusan itu dapat dianggap, sebagai pengorbanan karena kelak terusan itu akan dinikmati pula oleh rakyat banyak.

Akan tetapi pembangunan istana yang megah dan mewah? Memang membuat orang merasa penasaran, setidaknya orang-orang yang masih menghargai keadilan di dunia ini. Betapa banyaknya rakyat jelata yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk makan esok hari pun masih belum ada ketentuan. Dan kaisar mereka membangun istana untuk pelesir. Padahal, biaya untuk membangun istana itu kalau dibagikan rakyat yang kelaparan, akan menolong puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu nyawa orang!

Pagi itu, Han Beng dan Giok Cu memasuki kota Lok-yang. "Giok Cu, aku berpesan kepadamu dengan sungguh, agar engkau suka menahan kesabaran hatimu. Jangan menurutkan hati yang panas kalau melihat bangunan istana itu. Ingat kalau engkau menimbulkan keributan, hal itu sama sekali tidak akan menolong rakyat, tidak akan menghentikan pembangunan itu. Sebaliknya, engkau hanya akan menimbulkan kekacauan yang membahayakan kita sendiri."

"Aku tidak takut!" jawab gadis itu lantang.

Han Beng tersenyum. Giok Cu sungguh merupakan seorang gadis yang tabah dan pemberani, terlalu pemberani malah. Teringatlah dia akan anak perempuan yang menjadi sahabatnya dahulu. Sejak kecil Giok Cu memang nakal, manja, lincah jenaka dan pemberani. Betapa seorang anak perempuan berani melawan seekor ular anak naga! Untuk membantu dia yang telah digigit ular itu, Giok Cu juga menggigit ular dengan keberanian luar biasa! Dan kini, setelah menjadi seorang gadis yang dewasa, cantik jelita, dan memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja keberaniannya semakin hebat!

"Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Giok Cu. Aku pun tidak takut menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi untuk apa kita membiarkan diri dalam bahaya kalau bukan untuk suatu tujuan yang memang perlu sekali kita lakukan. Dalam hal pembangunan istana ini kita tidak mempunyai kepentingan apa pun dan tidak akan dapat mencampuri sama sekali. Dan kita masih menghadapi tugas yang lebih penting, yaitu mencari Ban-tok Mo-li, maka tidak perlu terjun ke dalam bahaya untuk yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita."

Biarpun ia berwatak keras dan berani namun Giok Cu setelah menjadi murid Hek Bin Hwesio, sudah dibiasakan menggunakan pikiran sehat. Ia dapat memahami ucapan Han Beng tadi dia pun mengangguk. "Baiklah, Han Beng. Aku pun hanya ingin melihat seperti apa bangunan istana yang menjadi bahan percakapan semua orang itu. Setelah melihat kita akan melanjutkan perjalanan ke Ceng-touw."

Tentu saja Han Beng menjadi girang sekali. Makin lama dia merasa semakin kagum dan suka kepada gadis yang dulu menjadi sahabat baiknya di waktu kecil ini. Seorang gadis yang lincah Jenaka dan pandai bicara, akan tetapi juga bijaksana dan mau menerima pendapat orang lain! Biasanya, gadis yang lincah dan pandai seperti ini suka berwatak tinggi hati dan merasa pintar sendiri sehingga nampak kebodohannya. Akan tetapi Giok Cu tidak. Ia dapat menerima pendapat orang lain dan menyetujuinya kalau dianggapnya pendapat itu patut dituruti karena memang tepat dan benar.

"Kalau begitu, kita tidak perlu bermalam di sini, bukan? Hari ini masih pagi, kita dapat melihat-lihat sehari ini dan siang nanti kita melanjutkan perjalanan menuju ke Ceng-touw. Bagaimana pendapatmu?" kata Han Beng.

Giok Cu mengangguk. "Kalau tidak terjadi sesuatu dan kalau tidak ada sesuatu yang menarik, memang tidak perlu kita bermalam di sini. Mari kita melihat bangunan istana itu!"

Dan keduanya tak lama kemudian sudah terpukau memandang bangunan istana itu dari luar pagar, dari tempat yang agak jauh karena selain para pekerja, mereka atau orang luar tidak diperkenankan memasuki pagar. Dari jauh pun sudah nampak bangunan yang hebat itu. Istana induknya sudah jadi dan menjulang tinggi di atas pohon-pohon, sudah nampak megah walaupun belum dicat. Para pekerja yang seperti semut banyaknya, sepagi itu sudah bekerja, karena memang siang malam pembangunan itu dikerjakan tiada hentinya. Mereka kini sudah mulai dengan bangunan-bangunan lebih kecil yang mengelilingi bangunan induk, sudah jadi lebih dan dua puluh buah.

"Bukan main...!" kata Han Beng tertegun karena selama hidupnya belum pernah dia melihat bangunan sehebat itu. "Alangkah besar dan luasnya!"

"Hemmm, entah berapa banyak emas dan perak dikeluarkan untuk membiayai bangunan itu. Akan tetapi lihat, Han Beng, para pekerja itu bekerja dengan giat dan gembira. Jelas bahwa mereka bukanlah pekerja-pekerja paksa, bahkan mungkin mereka mendapatkan perlakuan baik dan gaji yang cukup besar," kata Giok Cu.

Ternyata bukan hanya mereka saja yang berada di luar pagar dan melihat pembangunan istana itu. Ada pula belasan orang lain dan di antara mereka terdapat empat orang pemuda yang usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Mereka itu berpakaian seperti para pemuda kota, dengan lagak yang tinggi hati dan nakal. Sudah lajim bahwa lebih mudah bagi syaitan atau nafsu untuk menggoda hati orang apabila orang itu berkumpul dengan orang-orang lain yang sepaham.

Seorang pemuda mungkin tidak akan begitu berani berlagak atau berbuat sesuatu yang tidak layak, tidak begitu nampak kenakalannya. Akan tetapi kalau pemuda itu berkumpul dengan pemuda-pemuda lain yang menjadi kawannya, maka dia pun akan menjadi berbeda daripada kalau dia seorang diri saja. Kalau dia seorang diri, walaupun nafsu mendorong dan membujuknya untuk melakukan hal-hal yang tidak patut, masih ada rasa takut, rasa malu dan sebagainya yang menghalangi dia melakukan tindakan yang didorong nafsu dan setan. Akan tetapi, kalau sudah berkelompok, maka rasa takut, malu atau yang lain itu pun menipis atau bahkan lenyap sama sekali! Menghadapi segerombolan orang muda, setan menjadi lebih leluasa menggoda hati.

Demikian pula dengan empat orang pemuda itu. Tadinya, mereka bersikap biasa, melihat pembangunan istana, mengagumi keindahan bentuk istana yang megah itu seperti para penonton lainnya. Akan tetapi begitu muncul seorang gadis cantik seperti Giok Cu, sikap mereka berubah sama sekali. Kini mereka tidak lagi nonton bangunan, melainkan nonton gadis cantik dan mulailah mereka menyeringai, tersenyum atau tertawa, saling berbisik sambil melirik ke arah Giok Cu.

Godaan nafsu atau godaan setan memang seperti berkobarnya api, dari sedikit lalu makin lama makin membesar kalau tidak segera dipadamkan. Kalau tadinya mereka itu menyeringai dan berbisik-bisik, akhirnya bisikan mereka menjadi semakin keras sehingga terdengar orang lain, dan suara ketawa mereka pun makin keras.

"Yang laki-laki memang banyak harapan diterima bekerja. Lihat bentuk badannya tinggi besar seperti kuli kasar. Tentu dia diterima sebagai kuli angkat-angkat batu dan kayu!" kata seorang di antara mereka sambil melirik ke arah Han Beng dan Giok Cu.

"Memang, potongan badannya seperti kuli kasar. Dia dibutuhkan untuk pembangunan ini. Akan tetapi perempuan itu, mana mungkin diterima walaupun ia.... hemmm, cantik dan manis seperti malu?" orang ke dua berkata sambil terkekeh. Teman-temannya juga tertawa.

"Kenapa tidak? Di manapun kalau perempuan, apalagi yang jelita seperti ia, pasti diterima dengan tangan terbuka..."

“... dan pakaian terbuka...” Ha-ha-ha!"

Mereka tertawa-tawa kembali. Han Beng dan Giok Cu mendengar percakapan itu, akan tetapi karena percakapan itu tidak jelas menyinggung mereka maka keduanya pun diam saja, walaupun sepasang alis Giok Cu sudah berkerut karena ialah satu-satunya wanita situ, maka siapa lagi yang dibicarakan kalau bukan dirinya? Akan tetapi masih ingat akan pesan Han Beng tadi, maka ia pun pura-pura tidak mendengar saja.

"Akan tetapi seorang gadis, disuruh bekerja apa?"

"Bekerja apa? Biar ia duduk atau berdiri saja di tempat pekerjaan, tanggung para pekerja semakin bersemangat dalam pekerjaan dan lupa untuk pulang, ha-ha-ha!"

"Dan malamnya tentu akan dijadi rebutan oleh para mandornya!"

"Ihhh, sayang sekali kalau hanya mendapatkan mandor. Lebih baik mendapatkan aku, setidaknya Ayahku mempunyai toko yang cukup besar!"

"Menjadi milikku lebih tepat! Ayahku pegawai pemerintah!"

Ramailah empat orang itu berebutan, merasa bahwa masing-masing lebih pantas memiliki wanita itu.

"Sudahlah, siapa tahu ia menginginkan menjadi seorang di antara dayang Kaisar? Kabarnya tempat ini kelak akan penuh dengan dayang dan selir Kaisar."

"Ssssst, lihat. Ia membawa pedang! Jangan-jangan ia seorang wanita kang-ouw!"

"Ah, mana mungkin? Lihat, kulitnya begitu mulus, halus dan pinggangnya ramping. Ia wanita seratus prosen, lemah gemulai. Pedang itu tentu hanya untuk menakut-nakuti saja, ha-ha-ha!"

"Bunga yang indah biasanya tidak harum baunya!"

"Siapa bilang! Bunga mawar itu indah dan harum. Coba kudekati, baunya harum atau tidak!"

Wajah Giok Cu semakin merah dan ia tentu akan mengajak Han Beng pergi dari situ karena takut kalau tidak tahan lagi, akan tetapi pada saat itu, pemuda bermuka bopeng karena penyakit cacar yang bicara paling akhir tadi sudah melangkah dan mendekatinya, mendekatkan muka dan hidungnya kembang kempis mencium-cium. Jarak antara muka itu dengan pundaknya hanya dua jengkal saja. Begitu beraninya pemuda itu!

"Aduh, harum... harum...!" pemuda itu berseru dan tiga orang kawannya tertawa dan memuji "keberanian" kawan mereka yang muka bopeng dan agaknya menjadi pemimpin mereka itu.

"Wuuuttt... plakkk!"

"Aduuuuuh...!” Tubuh pemuda muka bopeng itu terpelanting dan mulutnya bocor mengucurkah darah karena empat buah giginya copot ketika tangan Giok Cu menamparnya tadi.

Gadis itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Masih untung bagi pemuda itu bahwa Giok Cu tidak menggunakan tenaga sakti. Kalau ia mempergunakan tenaga saktinya, bisa remuk tulang rahang pemuda itu, atau kalau ia menggunakan tenaga beracun, pemuda muka bopeng itu tentu tewas seketika! Kini, hanya giginya empat buah copot dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Dia melompat bangun dan menjadi marah bukan main.

"Perempuan rendah, berani engkau memukulku?" bentaknya dan dia pun menyerang dengan tubrukan seperti seekor biruang menubruk domba, dan tiga orang kawannya juga berebut maju untuk menangkap gadis yang sejak tadi telah membuat mereka tergila-gila. Mereka berempat masih lebih terpengaruh keinginan untuk merangkul gadis itu daripada untuk memukul.

Giok Cu menggerakkan kaki tangannya. Terdengar empat orang pemuda itu mengaduh. Pertama adalah Si Muka Bopeng yang menyerang lebih dulu, menerima tendangan pada perutnya.

"Ngekkk! Aughhhhh...!" Dia muntah-muntah dan memegangi perutnya, tidak dapat bangkit kembali, hanya berjongkok sambil muntah dan mengaduh karena perutnya seketika mulas. Agaknya usus buntunya kena tertendang ujung sepatu Giok Cu, nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum rasa perutnya. Orang ke dua dari kiri disambut sambaran tangan kiri yang mengenai dadanya.

"Plakkk! Hukkk...!" Pemuda itu pun terpelanting, dan tidak mampu bangkit, hanya duduk terbatuk-batuk seperti mendadak sakit asmanya kambuh terengah-engah terasa sesak dan nyeri dalam dada.

Orang ke tiga dari kanan juga disambar tangan kanan mengenai lehernya dan dia pun terpelanting, lalu bergulingan dengan leher bengkok karena lehernya terasa nyeri seperti patah tulangnya. Bahkan suaranya mengaduh tidak jelas lagi! Orang ke empat disambut tendangan pula sehingga terjengkang dan karena kepalanya dengan kerasnya membentur tanah, maka dia pun pingsan seketika mungkin gegar otak!

Gegerlah para penonton di situ. Da pada saat itu, terdengar bunyi roda kereta dan derap kaki kuda. Sebuah kereta berhenti di situ, dikawal oleh selosin pasukan pengawal. Semua orang minggir dan seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang sikapnya agung dan berwibawa, turun dari kereta. Dia melihat kearah empat pemuda yang masih belum dapat bangkit bahkan seorang masih pingsan dan yang tiga lagi mengaduh-aduh, memijat perut, ada yang mengurut-urut dada, ada yang lehernya bengkok. Kemudian dia memandang kepada gadis cantik jelita yang, berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, muka merah karena marah.

"Apa yang terjadi disini?" Pria berpakaian pembesar itu bertanya dan dia pun maju menghampiri tempat keributan itu.

Giok Cu yang sudah marah, membalik dan menghadapi laki-laki itu. Disangkanya laki-laki itu tentu hendak membela empat orang pemuda itu maka ia pun berkata dengan nada menantang, Siapa saja yang membela empat ekor tikus busuk ini akan kuhajar!”

Akan tetapi pembesar itu sama sekali tidak nampak takut, melainkan menentang pandangan mata Giok Cu dengan tajam penuh selidik. "Siapa yang membela siapa, Nona? Kami hanya bertanya apa yang telah terjadi disini? Mengapa terjadi perkelahian di sini?"

Sebelum gadis itu menjawab dengan ketus, tiba-tiba Han Beng berseru girang "Liu Tai-jin! Aih, Giok Cu, apakah engkau tidak mengenalnya? Dia adalah Liu Tai-jin, utusan dari kota raja yang kita jumpai di kota Siong-an itu!"

Giok Cu segera teringat dan ia pun seperti Han Beng memberi hormat. "Liu Tai-jin, maafkan saya," katanya. Tentu saja ia teringat. Pernah bersama Can Hong San ia bahkan menghadang pembesar ini yang disangkanya jahat dan korup.

Pembesar itu memang Liu Tai-jin, pembesar kepercayaan kaisar dari kota raja yang suka diutus menjadi peneliti dan pemeriksa para petugas dan memberi hukuman kepada mereka yang korup dan nyeleweng. Dia pun segera ingat kepada Han Beng.

"Ah, kiranya Huang-ho Sin-liong yang berada di sini!" serunya dan dia pun cepat membalas penghormatan mereka. "Dan Nona ini adalah Li-hiap (Pendekar Wanita) yang gagah perkasa itu!"

Seorang diantara pemuda yang tadi pingsan, kini sudah siuman dan mereka berempat menjadi pucat dan mendekam dengan tubuh menggigil ketika mendengar ucapan pembesar itu bahwa pemuda dan gadis yang mereka ganggu tadi adalah dua orang pendekar yang gagah perkasa! Bahkan pemuda itu adalah Naga Sakti Sungai Kuning yang namanya menggetarkan seluruh lembah Sungai Huang-ho! Mereka ingin melarikan diri, akan tetapi kedua kaki mereka tidak dapat digerakkan karena menggigil. Bahkan dua orang di antara mereka, saking takutnya, tak dapat menahan lagi bocor di tempat sehingga celana mereka basah kuyup!

"Tai-hiap, Li-hiap, apa yang terjadi di sini?" pembesar itu bertanya sambil memandang kepada empat orang pemuda itu.

"Maafkan saya, Liu Tai-jin," kata Giok Cu. "Mereka itu bersikap kurang ajar karena saya seorang wanita, mulut mereka kotor sekali dan sikap mereka tidak sopan sehingga terpaksa saya menghajar mereka!"

Pejabat tinggi itu dengan mata mencorong dan alis berkerut memandang kepada empat orang pemuda itu. Melihat keadaan mereka, dia pun tersenyum. "Li-hiap, kami kira hajaran itu sudah cukup bagi mereka. Apakah perlu di tambah lagi?"

Mendengar ini, empat orang yang sudah ketakutan setengah mati, bukan hanya karena mendengar bahwa dua oran muda yang mereka ganggu adalah pendekar-pendekar sakti, juga mereka takut sekali kepada Liu Tai-jin yang terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang selain besar kekuasaannya, juga adil dan tegas, tidak mau disogok, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Giok Cu.

"Li-hiap, ampunkan kami, ampunkan kami..." kata Si Muka Bopeng, dan tiga orang kawannya juga ikut pula mohon ampun.

Giok Cu menggangguk kepada Liu Tai-jin. Memang mereka itu kurang ajar, akan tetapi hajaran yang diberikan tadi sudah lebih dari cukup. "Asal kalian berjanji mulai sekarang tidak ugal-ugalan dan tidak akan mengganggu wanita lagi, aku tidak akan mematahkan semua tulang kaki tanganmu!"

Mendengar ini, empat orang itu menjadi semakin ketakutan dan seperti empat ekor ayam mematuk gabah, mereka mengangguk-angguk membenturkan dahi di tanah sambil berkata berulang-ulang,

"... tidak berani lagi, tidak berani lagi... tidak berani lagi..."

"Nah, cukuplah. Berterima kasihlah kalian kepada Liu Tai-jin yang bijaksana, kalau tidak ada beliau, tentu aku tidak mau memberi ampun kepada kalian!"

Empat orang pemuda itu lalu berlutut menghadap Liu Tai-jin dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Liu Tai-jin tersenyum, senang melihat sikap Giok Cu. Kalau ada beberapa orang pendekar seperti gadis ini di setiap kota, tentu akan aman keadaannya. "Sudah, kalian pergilah!" katanya.

Dan empat orang itu lalu bangkit, terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang melihat peristiwa itu diam-diam merasa kagum kepada Giok Cu yang selain merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, juga ternyata menjadi kenalan Liu Tai-jin yang disegani semua orang.

"Tai-hiap dan Li-hiap, bagaimana kalian dapat berada di sini? Apakah hanya kebetulan saja, ataukah memang sengaja datang untuk melihat pembangunan istana ini?"

"Dalam perjalanan, kami mendengar semua orang membicarakan pembangunan istana di Lok-yang ini, maka kami sengaja lewat di sini untuk menontonnya, kata Han Beng.

"Kalau begitu, mari masuk saja. Ji-wi (Kalian Berdua) dapat melihat keadaan di sebelah dalam istana. Mari naiklah ke dalam kereta kami."

Han Beng dan Giok Cu naik ke dalam kereta bersama pembesar itu dan para penonton memandang dengan kagum dan juga iri melihat betapa dua orang muda itu mendapat kesempatan yang amat langka itu, yaitu melihat keadaan istana itu dari dalam...!

Han Beng dan Giok Cu mengagumi istana yang luar biasa megahnya itu. Biarpun belum dicat, namun istana itu sudah nampak indah bukan main. Liu Tai-jin membawa mereka berkeliling dan menerangkan segalanya kepada mereka sehingga dua orang muda itu semakin kagum dan juga merasa senang sekali mereka telah mendapatkan kesempatan yang demikian baiknya.

Setelah melihat-lihat, Liu Tai-jin mengajak mereka memasuki sebuah ruangan yang dia pergunakan untuk tempat duduk apabila dia datang ke tempat itu. Mereka duduk berhadapan dan pelayan menghidangkan minuman dan makanan kecil. Liu Tai-jin lalu menyuruh semua pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan dan membiarkan mereka bertiga bercakap-cakap.

"Ji-wi (Kalian) tentu heran melihat aku bertugas di sini," pejabat tinggi itu berkata.

Han Beng dan Giok Cu memandang kepadanya dan Han Beng berkata, "Memang kami merasa agak heran. Bukankah Tai-jin biasanya bekerja sebagai pejabat yang mengontrol pekerjaan para petugas, dan memberantas penyelewengan yang dilakukan para pejabat di luar kota raja..."

Liu Tai-jin menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Memang benar. Itulah pekerjaanku dan aku senang dengan pekerjaan itu. Aku paling membenci pembesar yang melakukan korup, menindas rakyat dan mencuri uang negara, menumpuk harta kekayaan untuk diri sendiri dan tidak melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Demi mencari harta, banyak pula pembesar yang bertindak sewenang-wenang, bahkan curang, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Aku senang sekali bekerja memberantas segala penyelewengan itu walaupun pekerjaan itu amat berbahaya dan membuat aku dibenci dan dimusuhi banyak pejabat. Akan tetapi Sri baginda terlalu percaya kepadaku sehingga untuk pembangunan istana ini pun beliau memerintahkan aku untuk melakukan pengamatan di sini agar pekerjaan dilaksanakan sebaik mungkin, agar bahan-bahan bangunannya tidak dicuri, dikurangi mutunya dan tidak terjadi korupsi. Nah, begitulah. Terpaksa aku harus bekerja menjadi pengawas di tempat ini."

"Kalau Tai-jin yang menangani, tentu pembangunan ini cepat selesai dengan baik," kata Giok Cu.

Liu Tai-jin tertawa, tahu bahwa pujian pendekar wanita itu bukan sekedar basa-basi belaka. "Pembangunan negara baru akan berhasil kalau semua petugas dan karyawannya bekerja dengan jujur dan setia, kalau semua pekerja, dari yang tinggi sampai yang paling rendah, tidak menjadi hamba nafsu rendah untuk menyenangkan diri sendiri dan melakukan korupsi. Semua tenaga harus bersatu untuk pembangunan, barulah pembangunan itu akan berhasil dengan baik. Tidak mungkin hanya tergantung pada satu orang saja. Tugasku di sini hanya mengawasi dan menjamin lancarnya pekerjaan dan bersihnya para pekerja. Akan tetapi, para tukang itulah yang menangani. Tanpa para tukang, bahkan tanpa para kuli kasar, pembangunan tidak akan selesai. Semua harus bersatu dan bekerja sama. Aih, maaf. Aku lupa bahwa Ji-wi bukan petugas negara. Apakah Ji-wi akan lama tinggal di Lok-yang?"

Giok Cu menggeleng kepala. "Tidak Tai-jin. Mungkin hari ini juga kami aka melanjutkan perjalanan."

"Ji-wi akan pergi ke manakah?"

"Kami bermaksud pergi ke Ceng touw..."

Pembesar itu nampak terkejut mendengar ini, dan wajahnya berseri, pandang matanya penuh harap. "Ke Ceng-touw...? Ah, kalau saja aku tidak terikat oleh tugasku mengawasi pembangunan istana Lok-yang ini, tentu aku sudah pergi ke Ceng-touw. Ada perkembangan yang amat gawat di sana!"

"Perkembangan yang amat gawat. Apakah itu, Tai-jin? Apa yang telah terjadi di sana?" Giok Cu bertanya.

"Ji-wi dapat membantu kami dalam hal ini," kata pembesar itu. "Kalau Ji-wi pergi ke Ceng-touw, tolonglah selidik kebenaran berita yang kami dengar tentang sebuah perkumpulan agama baru yang kabarnya makin besar pengaruh dan kekuasaannya sehingga tidak saja perkumpulan itu menundukkan perkumpulan lain dan menguasai dunia kang-ouw, bahkan mereka mulai menanamkan pengaruh mereka kepada para pejabat setempat. Gerakan mereka di luar bukan urusanku, melainkan tugas para petugas keamanan untuk mengawasi mereka. Akan tetapi kalau mereka sudah menanamkan kuku mereka mencengkeram para pejabat, ini berbahaya sekali, dapat menyeret para pejabat ke dalam kesesatan dan harus dicegah..."

"Liu Tai-jin, perkumpulan agama apakah itu?" tanya Giok Cu, jantungnya berdebar karena ia sudah dapat menduga. Perkumpulan agama apalagi kalau bukan Thian-te-kauw yang menyembah Thian-te Kwi-ong, perkumpulan yang dipimpin oleh Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan Ban-tok Mo-li?

"Perkumpulan Thian-te-pang yang berdasarkan agama baru Thian-te-kauw dan berpusat di Ceng-touw..."