Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

AKAN tetapi, untuk mengambil orang, Hong San cepat menghampiri, dengan gerakan cepat tanpa diketahui orang, dia telah membebaskan totok? itu dan menarik lengan Kauw-cu itu bangkit berdiri kembali. Kini Kauw-cu sudah takluk benar karena dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih pandai darinya. Dia merasa seperti berhadapan dengan gurunya saja! Dia memberi hormat dan berkata lirih,

"Can Kongcu (Tuan Muda Can), saya mengaku kalah."

Dengan kepala tertunduk kauw-cu itu lalu mundur dan duduk kembali tempat semula. Akan tetapi dia segera berbisik kepada dua orang muridnya, Siok Ban dan Phoa Kian So yang tadi juga kalah ketika mengeroyok Hong San, agar mereka berdua mempersiapkan tempat duduk yang paling baik untuk pemuda yang kini berhadapan dengan Ban-tok Mo li itu. Dia sendiri lalu menonton dan ingin tahu Bagaimana Ban-tok Mo-li akan menandingi pemuda yang luar biasa itu.

Ban-tok Mo-li adalah seorang yang amat cerdik, juga ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Liu Seng Cu, atau para tamu yang hadir disitu. Sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), ia seorang ahli dalam menggunakan racun sehingga ilmu silatnya menjadi semakin berbahaya lagi.

Bukan hanya pukulan telapak tangannya yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-kuku jari tangannya mengandung racun, dan ia dapat pula mempergunakan ludah beracun untuk menyerang lawan! Ia tadi sudah melihat kehebatan pemuda itu bermain senjata. Golok Lui Seng Cu yang amat lihai itu pun sama sekali bukan tandingan pemuda itu. Kalau ia mempergunakan sepasang senjatanya, yaitu kipas dan pedang, agaknya akan berat pula baginya, untuk dapat keluar sebagai pemenang.

Maka mengingat akan keahliannya mempergunakan racun dalam pukulannya, pun ingin mengajak pemuda itu untuk bertanding dalam tangan kosong dulu sebelum terpaksa menggunakan kipas dai pedangnya. Seperti juga Lui Seng Cu tentu saja ia tidak rela kalau harus menjadi bawahan seorang pemuda, kecuali kalau ia sudah yakin bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya.

"Can Kongcu," ia menirukan panggilan yang dipergunakan Lui Seng Cu tadi. "Sebenarnya aku sendiri pun mulai percaya bahwa engkau adalah pewaris dari pendiri Thian-te-kauw dan engkau berhak memimpin perkumpulan kita. Akan tetapi karena kemunculanmu begini tiba-tiba, tentu saja hati kami menjadi penasaran. Karena itu, aku pun Ingin sekali menguji kepandaianmu, dan lebih dulu aku ingin menguji ilmu kepandaianmu bertangan kosong."

Hong San memandang dan hatinya kagum. Wanita ini kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih, bahkan hampir enam puluh tahun, akan tetapi sungguh orang takkan percaya kalau melihatnya. Pantasnya ia baru berusia tiga puluh tahun lebih! Masih cantik dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping, dan anehnya, ada sesuatu yang menarik hanya pada wajah itu, seperti wajah seorang wanita yang pernah dikenainya. Perasaan pemuda ini memang tidak menipunya.

Yang membuat ia merasa kenal adalah karena wajah Ban-tok Mo-li Pha Bi Cu mirip sekali, hanya berbeda usia dengan wajah puterinya, yaitu Sim Lan Ci, isteri Coa Siang Lee yang hampir saja menjadi korban perkosaan Hong San Hong San tersenyum. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ban-tok Mo-li adalah seorang wanita yang lihai lebih lihai dibandingkan Lui Seng Cu.

Dari nama julukannya saja dia pun sudah menduga bahwa wanita ini tentu ahli racun dan memiliki pukulan-pukulan beracun maka sengaja menantangnya bertanding dengan tangan kosong. Tentu saja dia tidak merasa gentar. Ayahnya adalah seorang datuk besar golongan sesat, dan dia sudah banyak belajar dari ayahnya tentang pukulan yang mengandung hawa beracun dan bagaimana untuk mengatasinya.

"Baik sekali, Ban-tok Mo-li. Aku pun tidak ingin kita yang hanya menguji kepandaian sampai terluka oleh senjata tajam walaupun aku tahu bahwa kedua tangan dan kedua kakimu tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam Pedang bagaimanapun. Nah, aku sudah siap!" Dia pun menyimpan kembali pedang dan sulingnya, lalu berdiri tegak menghadapi Ban-tok Mo-li, kelihatan tenang saja dan acuh, namun diam-diam dia siap siaga dengan penuh kewaspadaan.

"Can Kongcu, sambut seranganku!" Ban-tok Mo-li tanpa sungkan lagi mendahului, membuka serangan dengan pukulan tangan kanan terkepal ke arah muka disusul cengkeraman tangan kiri yang membentuk cakar ke arah perut.

"Bagus sekali!" Hong San memuji sambil mengelak ke belakang, akan tetapi kaki kanan wanita itu menyusul dengan tendangan dahsyat mengarah dadanya!"

"Plakkk!" Hong San menangkis dan tubuh Ban-tok Mo-li berputar di atas sebelah kaki saking kerasnya tangkisan itu. Namun, wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan sambil berputar, kaki tetap melancarkan tendangan susu bertubi-tubi.

Hong San berloncatan mengelak, ia membalas dengan tamparan tangannya kearah wanita itu. Karena tamparan hebat, maka terpaksa Ban-tok Mo-li menghentikan desakan tendangannya untuk mengelak. Kemudian ia mengeluarkan gerengan halus seperti seekor kucing yang dielus lehernya dan ke dua lengannya tergetar.

Hong San melihat betapa kedua tangan dan sebagian lengan yang nampak dari lengan baju itu berubah menghitam! Tahulah dia bahwa wanita itu telah mengeluarkan simpanannya yaitu kedua tangan bahkan sampai lengan yang mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka diam-diam dia pun mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuh dari hawa racun.

"Hyaaaaattt...!!" Wanita itu mengluarkan bentakan melengking dan ia sudah menerjang dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Angin pukulannya desir dan mengeluarkan suara bersuitan, dibarengi hawa panas dan bau yang amis. Itulah ilmu silatnya yang paling hebat dan mengerikan, yang diberi nama Ban-tok Hwa-kun (Silat Bunga selaksa Racun). Kedua tangan itu, sampai ke kuku-kukunya, mengandung racun yang dapat menghanguskan kulit dan daging lawan.

Hong San menyambutnya dengan ilmu Koai-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang dahsyat dan ganas. Dia menjaga diri dengan hati-hati sekali jangan sampai kulitnya tergores kuku-kuku runcing melengkung beracun itu. Karena dia memiliki sin-kang yang kuat, maka dari semua gerakannya timbul angin pukulan yang mendorong pergi semua hawa beracun yang keluar dari gerakan kedua tangan lawan.

Semua orang yang menonton pertandingan itu merasa tegang. Bukan main hebatnya gerakan Ban-tok Mo-li, bukan saja gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan, namun juga amat kuat karena setiap tangannya menampar atau memukul, terdengar angin bersiut. Akan tetapi mereka amat kagum kepada Hong San. Pemuda itu sama sekali tidak nampak terdesak, melainkan membalas dengan serangan dahsyatnya sehingga pertandingan itu berlangsung amat seru dan menegangkan.

Akan tetapi hal ini disengaja oleh Hong San. Dia melihat betapa wanita ini lebih lihai dan kelak akan dapat menjadi tangan kanannya yang boleh diandalkan. Selain itu, gairahnya sudah bangkit oleh gerak-gerik wanita yang usianya sudah lanjut namun masih cantik menarik ini, dan dia tidak ingin menanam kebencian dalam hati wanita itu. Kalau dia menghendaki, tentu pertandingan itu tidak akan berlangsung lama itu. Dia sengaja mengalah dan membuat pertandingan itu nampak seru dan ramai.

Setelah lewat lima puluh jurus, barulah dia mencari kesempatan baik dan ketika kedua tangan lawannya itu menyerang dengan cakaran dari kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke atas dan berjungkir balik, lalu di meluncur turun menyerang dari atas den gan kedua tangan melakukan pukulan dasyat ke arah ubun-ubun kepala lawan.

"Ihhhhh...!" Ban-tok Mo-li terkejut bukan main karena serangan itu sungguh dahsyat dan tidak mungkin baginya untuk mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya mengangkat kedua tangan menangkis dengan resiko terluka dalam karena tentu tenaga pemuda itu ditambah berat badannya akan merupakan beban yang sukar dapat ditahannya.

"Dukkk!" Ban-tok Mo-li terkejut ketika kedua lengannya bertemu dengan sebuah lengan saja, itu pun lunak. Ia segera menduga bahwa tentu tangan lain pemuda itu akan menyerangnya, namun terlambat. Jari tangan kiri Hong San sudah menotok punggungnya dan seketika tubuh Ban-tok Mo-li menjadi lemas, kehilangan tenaga dan ketika Hong San melayang turun, ia pun terhuyung dan hampir jatuh.

"Mo-li, hati-hati...!" Hong San menubruk, tangan kanan memegang pundak akan tetapi tangan kiri dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh siapapun, memegang payudara kanan Ban-tok Mo-li. Hanya memijat sekali saja namun tentu saja terasa sekali oleh wanita itu, yang juga merasa betapa totokan itu telah dibebaskan pula oleh Hong San ketika pemuda itu menahan sehingga ia tidak sampai terjatuh itu.

Wajah Ban-tok Mo-li menjadi merah sekali, akan tetapi bibirnya tersenyum dan matanya menatap tajam wajah yang tampan itu. Bukan main bocah ini, kirnya. Masih begitu muda, tampan pandai bicara, lincah jenaka, dan miliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan itu saja, bahkan tadi pemuda itu sempat memijat dadanya dan hal ini saja sudah jelas baginya bahwa kecantikannya masih sempat dikagumi pemuda itu.

Jantungnya berdebar dan ia melihat kesempatan baik untuk memperoleh seorang kekasih baru yang selain muda, tampan, akan tetapi juga lihai sekali dan agaknya akan menjadi seorang atasannya! Akan tetapi, ia harus menjaga nama besarnya, bukan hanya sebagai pang-Cu dari Thian-te-pang, akan tetapi juga sebagai Ban-tok Mo-li yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw.

Biarpun tadi kekalahannya tidak kelihatan mutlak berkat sikap Hong San, namun tetap saja semua orang melihat betapa ia terhuyung akan jatuh dan bahkan dibantu oleh Hong San sehingga tidak jadi terpelanting jatuh. Kini ia habis memperlihatkan kehebatannya bermain senjata, bukan saja kepada Hong San akan tetapi juga kepada semua orang yang berada di situ. Selain itu, juga ingin membuktikan sendiri kehebatan pedang dan suling di tangan pemuda itu.

"Singgggg...!" Nampak sinar merah berkelebat dan tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang kemerahan dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang terbuka dan di atas Kipas itu nampak gambar kelabang dan kalajengking, seolah-olah memberi isarat bahwa kipas itu mengandung racun seperti binatang itu! Pedang kemerahan itu pun merupakan pedang beracun yang disebut Ang-tok Po-kiam (Pedang Pusaka Racun Merah). Ban-tok Mo-li memiliki dua batang pedang.

Yang sebuah lagi adalah Cui-mo Hek-kiam yang hitam dan pedang hitam ini telah ia beri kepada Sim Lan Ci, puterinya. Yang dipegangnya itu, Ang-tok Po-kiam juga merupakan pedang pusaka yang ampuh karena telah direndam racun ular mer ahyang amat berbahaya. Jangankan sampai tertusuk atau terbacok pedang itu, baru tergores sedikit saja kulitnya, kalau sudah berdarah, maka luka itu akan melepuh dan kalau tidak cepat mendapatkan obat pemunah, racunnya akan naik dengan darah dan membuat seluruh tubuh yang dilalui racun itu melepuh membengkak!

"Can Kongcu, hebat ilmu silatmu dengan tangan kosong. Sekarang, harap tidak bersikap pelit, berilah petunjuk kepadaku dalam ilmu silat bersenjata..." jelas bahwa ucapan Ban-tok Mo-li itu mulai merendahkan diri dan menghormat, seperti orang bicara kepada lawan yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya.

Senang hati Hong San mendengar itu dan dia pun ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada wanita cantik ini dan kepada semua orang yang hadir. Dia tidak mengeluarkan suling dan pedang seperti tadi, melainkan kini memegang suling di tangan kanan dan dia mengambil caping (topi lebar) dengan tangan kiri!

"Mo-li, bagaimanapun juga, aku adalah seorang pria dan engkau seorang wanita. Tidak enak kalau aku harus menggunakan senjata tajam terhadap seorang wanita. Nah, aku menggunakan suling dan capingku ini saja dan kita main-main sebentar. Aku sudah siap, Ban-tok Mo-li, engkau boleh mulai menyerangku!"

Diam-diam Ban-tok Mo-li mendongkol juga. Pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Betapapun lihainya pemuda itu, kalau senjatanya hanya suling dan caping bambu, mana akan mampu menghadapi pedang dan kipasnya yang merupakan senjata senjata beracun yang ampuh sekali? Hemm pikirnya. Kalau engkau kalah dan mati terluka oleh senjataku, salahmu sendiri dan engkau layak mampus karena telah memandang rendah kepadaku.

Akan tetapi kalau engkau dengan senjata seperti itu mampu menandingiku, sungguh pantas menjadi atasanku dan lebih pantas la menjadi kekasihku! Dengan pikiran demikian, Ban-tok Mo-li mengeluarkan jerit melengking dan pedangnya berkelebat menjadi sinar merah menyambar denga tusukan ke arah ulu hati, sedangkan kipasnya ditutup dan ditusukkan sebagai totokan ke arah leher.

Hong San menangkis pedang denga santai, menggunakan sulingnya dan totokan kipas itu pun dapat dihalau dengan menggerakkan capingnya yang lebar. Caping itu dapat bertugas seperti perisai dan ketika gagang kipas menyambar, terdengar bunyi keras dan tahulah Ban-tok Mo-li bahwa caping yang dipandangnya rendah itu ternyata hanya di luarnya saja merupakan anyaman bambu, akan tetapi di sebelah dalamnya terlindung baja atau besi atau semacam logam yang kuat. Ia pun tidak berani memandang rendah dan memainkan pedang dan kipasnya dengan cepat sehingga nampak gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Hong San menggerakkan sulingnya dan terdengar suling itu seperti ditiup dan dimainkan. Dan caping itu ternyata mampu melindungi tubuhnya dari sambarang hawa beracun dari pedang dan kipas! Sebaliknya, dari kanan kiri atas atau bawah caping, mencuat suling secara tiba-tiba dan sukar diduga, melakukan totokan-totokan yang amat cepat. Ban-tok Mo-li menjadi bingung dan beberapa kali nyaris jalan darah dibagian depan tubuhnya tertotok.

Setidaknya, ujung suling sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang peka dan ia pun semakin kagum. Pemuda itu masih sempat main-main dan menyatakan berahinya lewat sentuhan-sentuhan ujung suling! Tentu saja amat sukar diduga dari mana suling itu akan mencuat ke luar karena tertutup caping. Sedangkan semua serangan pedang dan kipasnya selalu dapat dihindarkan oleh Hong San.

Akhirnya, setelah lewat hampir lima puluh jurus, tenaga Ban-tok Mo-li mulai berkurang dan napasnya mulai memburu Hong San tidak mau membikin malu wanita itu, maka ujung sulingnya secepal kilat menotok siku kanan dan ketika pedang lawan terlepas dari tangan yang mendadak lumpuh itu, dia cepat menempel pedang dengan sulingnya dan memutar pedang itu sedemikian rupa sel hingga terus menempel pada sulingnya dan tidak sampai jatuh!

Ban-tok Mo-li terkejut dan cepat melompat ke belakang. Dirampasnya pedang dari tangannya sudah merupakan bukti cukup jelas bahwa ia memang kalah pandai. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hong San yang memberi ia kekalahan terhormat, tidak sampai terluka atau roboh, bahkan pedangnya pun tidak sampai terjatuh ke lantai! Hong San lalu menggerakkan tangan dan pedang itu terlepas dari suling, lalu melayang ke arah Ban-tok Mo-li yang menerima dengan tangan kanannya dan wanita ini pun memberi hormat kepada pemuda itu tanpa malu lagi.

"Can Kongcu telah memberi petunjuk kepadaku, aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah." Kemudian, wanita itu berdiri menghadap ke arah mereka yang duduk di bawah panggung, lalu berkata dengan suara lantang, "Para anggauta Thian-te-pang, dengarlah. Mulai detik ini, aku memerintahkan kalian semua untuk mengakui dan menerima Can Kongcu sebagai pemimpin kita semua!"

Ucapan yang nyaring ini disambut tepuk sorak para anggauta Thian-te-pang yang sudah merasa kagum sekali melihat betapa pemuda tampan itu dapat mengalahkan kauwcu dan pangcu, suatu hal yang mereka anggap luar biasa sekali. Apalagi mereka tadi pun menyaksikan dengan mata kepada sendiri betapa pemuda itu mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong yang hidup!

Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu juga segera bangkit menghampiri Can Hong San dengan sikap hormat dia mempersilakan pemuda itu duduk di kursi kehormatan yang berada di antara dia dan Ban-tok Mo-li. Tempat itu memang telah diaturnya ketika pemuda itu bertanding melayani Ban-tok Mo-li. Dia sudah menduga bahwa Ban-tok Mo-li juga bukan tandingan pemuda sakti itu, maka dia sudah mengatur sebuah tempat duduk terhormat bagi Hong San.

Tentu saja Hong San merasa gembira sekali melihat sikap dua orang itu! Setelah duduk di atas kursi di antara mereka, dia lalu berkata kepada mereka. "Hek-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li, seperti sudah kukatakan tadi, aku datang untuk menuntut hakku sebagai ahli waris mendiang Ayahku, menjadi orang nomor satu dalam Thian-te-pang. Akan tetapi itu bukan berarti aku merampas kedudukan kalian. Aku tidak ingin repot bekerja menjadi kauwcu atau pang-cu. Biarlah kalian lanjutkan kedudukan kalian sebagai kauwcu dan pangcu, akan tetapi kalian adalah pembantu-pembantuku. Akulah pemimpin umumnya, dan aku tidak ingin disebut pemimpin atau ketua, cukup kalau kalian dan semua anggauta menyebut aku Can Kongcu saja. Akan tetapi seluruh harta milik dan pemasukan uang harus berada di bawah pengamatanku dan aku yang menentukan dan mengatur semuanya. Mengertikah kalian?"

Tentu saja kedua orang ini merasa girang sekali. Mereka tidak kehilangan muka dan juga tidak kehilangan kekuasaan. Maka keduanya mengangguk-angguk dan secara langsung maka kauwcu dari Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan dengan lantang dia lalu bicara kepada semua orang yang hadir.

"Para tamu yang terhormat, sobat-sobat dan para anggauta Thian-te-kauw dan Thian-te-pang! Kami mengumumkan bahwa mulai detik ini, Kongcu Can Hong San ini menjadi pemimpin besar kita. Semua harus tunduk kepada perintahnya dan kebijaksanaannya. Ketahuilah bahwa Kongcu adalah putera dari mendiang Suhu kami, yaitu Cui-beng Sai-kong, pendiri Thian-te-kauw. Hidup Can Kong-cu!"

Serentak para anggauta, juga para tamu berteriak, "Hidup Can Kongcu!"

Hong San tersenyum-senyum penuh kegembiraan. "Nah, mari kita lanjutkan pesta perayaan ini. Urusan dalam perkumpulan kita dapat kita bicarakan lain waktu di antara kita sendiri."

Para tamu lalu datang satu demi satu untuk memperkenalkan diri kepada Hong San. Di antara mereka itu, yang merasa amat kagum dan menyatakan ingin sekali membantu sepenuhnya adalah Siangkoan Tek, putera Siangkoan Bok, Ji Ban To murid Ouw Kok Sian, dan dua orang murid Lui Seng Cu sendiri, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So. Empat orang pemuda ini merasa kagum bukan main kepada Hong San dan mereka berempat merasa gembira untuk dapat membantu seorang seperti Hong San.

Dan Hong San sendiri senang kepada mereka, apalagi mengingat bahwa mereka adalah murid-murid dan putera orang-orang yang pandai dan berpengaruh. Ketika hidangan dikeluarkan, Hong San bahkan mengundang mereka berempat itu untuk duduk semeja dengan dia, bersama Ban-tok Mo-li dan lui Seng Cu.

Can Hong San merasa betapa bintangnya terang. Dia memberi selamat pada dirinya sendiri yang sudah memilih tempat yang amat tepat baginya. Apalagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Thian-te-pang telah merupakan sebuah perkumpulan yang kaya! Dia dapat mempergunakan kekayaan itu sesuka hatinya. Selain itu, juga mulai hari itu, Ban-tok Mo-li, wanita yang masih amat cantik dan menggairahkan itu, wanita yang memiliki banyak sekali pengalaman, selalu menemaninya dan melimpahkan cinta yang berkobar-kobar kepadanya.

Lebih menyenangkan hatinya lagi, para anggauta Thian-te-pang yang wanita, banyak di antara mereka yang muda dan cantik, agaknya juga berlomba untuk mendekatinya dan menjadi kekasihnya! Sekali pukul saja, Hong San kini telah dibanjiri harta, kedudukan terhormat, wanita-wanita cantik dan segala kesenangan dapat diraihnya dengan amat mudahnya!

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Liu Bhok Ki yang berjalan seorang diri meninggalkan rumah suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci itu sungguh jauh berbeda dengan Liu Bhok Ki ketika datang ke dusun itu kemarin. Kini dia melangkah dengan hati ringan dengan dada lapang dan perasaan penuh bahagia. Dia merasa seolah-olah ada batu besar sekali yang selama bertahun talah menekan hatinya, kini telah lenyap membuat dadanya terasa lapang sekali.

Kakek berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar itu nampak lebih muda dari biasanya. Dadanya yang bidang itu makin membusung, langkahnya bagaikan langkah seekor harimau jantan dan sepasang matanya mencorong, bibirnya yang terhias kumis dan jenggot itu tersenyum cerah, bahkan ketika mendaki bukit itu, dia setengah berlari sambi bersenandung! Sin-tiauw Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti itu bersenandung!

Sungguh suatu hal yang luar biasa sekali dan kalau ada orang yang sudah mengenalnya mendengar senandung itu, tentu dia akan terheran-heran. Pendekar yang biasanya berwatak kasar dan keras itu hampir tidak pernah kelihatan bergembira, dan pada hari ini dia berjalan kaki seorang diri sambil bersenandung!

Tidak mengherankan kalau kita mengingat akan keadaan hidup pendekar yang perkasa ini. Sejak muda dia menderita sakit hati, dendam yang setinggi langit sedalam lautan. Hatinya disakiti oleh isterinya yang mengkhianatinya, yang melakukan penyelewengan dengan pria lain. Padahal dia amat menyayangi isterinya itu!

Dendam ini membuatnya seperti gila dan membuat dia menjadi seorang yang luar biasa kejamnya terhadap dua orang yang berjina itu. Dia menyimpan kepala isterinya dan kasih isterinya, dan setiap hari dia seperti menyiksa dua buah kepala itu! Bahkan lebih dari itu, dia mendendam kepada keturunan dan keluarga dengan isterinya dan kekasih isterinya.

Kepada putera kekasih isterinya putera keponakan isterinya datang untuk membalas dendam dan membunuhnya, dia menangkap mereka, bahkan dengan memberi obat perangsang dia membuat mereka itu terangsang dan melakukan hubungan suami isteri. Dia ingin menghukum mereka itu sehebatnya. Dia ingin merasa berdua itu menjadi suami isteri, saling mencinta, kemudian selagi mereka hidup bahagia, dia ingin muridnya merusak kebahagiaan rumah tangga mereka dengan merayu si isteri atau memperkosanya, agar hancur luluh hati mereka dua!

Akan tetapi, ternyata muridnya, Si Han Beng, tidak melakukan perintahnya itu, bahkan membela mereka. Dan dalam keadaan marah itu, suami isteri putera mereka pun menyerahkannya di tangannya. Dan dia pun sadar! Dia sadar akan semua kesalahannya, sadang betapa dia menjadi seperti gila karena cemburu dan dendam. Terutama sekali anak mereka itulah yang membuatnya sadar, seorang anak kecil berusia tiga tahun yang lucu dan pemberani! Dan kini dia telah bebas!

Dan baru sekarang dia mengenal apa yang dinamakan kebahagiaan itu! Kebahagiaan adalah kebebasan! Bebas dari segala perasan seperti marah, dendam, benci, iri, malu, takut dan sebagainya. Juga bebas dari perasaan senang yang timbul dari nafsu. Sebelum ini dia terikat oleh senang dan susah, puas dan kecewa yang bukan lain hanya permainan daya-daya rendah atau nafsu-nafsu dalam dirinya.


Ketika dia tiba di tepi sebuah hutan kecil di lereng bukit, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara orang berkelahi. Tak salah lagi, suara berdentingnya senjata-senjata tajam saling bertemu, dan terdengar pula teriakan-teriakan banyak orang. Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar perkasa yang berjuluk Sin-tiauw, tentu saja setiap kali ada perkelahian atau adu ilmu silat, hatinya tertarik sekali. Apalagi suara orang berkelahi itu terjadi di dalam hutan, maka dia pun merasa khawatir kalau-kalau sedang terjadi kejahatan di dalam hutan itu. Dia segera mengerahkan tenaganya dan berlari cepat memasuki hutan.

Ketika dia tiba di tempat terbuka tengah hutan itu, dia melihat seorang wanita muda yang memegang sepasa pedang dikeroyok oleh sedikitnya lima belas orang! Dan di situ sudah menggeletak lima orang dalam keadaan terluka. Agaknya gadis itu mengamuk berhasil merobohkan lima orang, akan tetapi pengeroyoknya masih banyak dan di antara para pengeroyok terdapat dua orang laki-laki setengah tua yang cukup lihai. Gadis itu telah menderita beberapa luka, pakaiannya sudah berlepotan darah dan gerakannya mulai mengendur sehingga ia terancam bahaya maut!

Melihat ini, tentu saja Liu Bhok tak dapat tinggal diam saja. Dia melihat betapa kini dua orang di antara para pengeroyok yang paling lihai itu memang "masing-masing mempergunakan sebatang golok besar, mendesak Si Gadis berbaju hijau. Gadis itu melawan matian-matian, memutar sepasang pedangnya, namun terdesak dan terhuyung.

"Tranggggg...!" Pertemuan pedang kanannya dengan golok seorang di antara dua pengeroyok itu demikian kerasnya sehingga pedang di tangan gadis itu terpental dan lepas dari tangannya. Padahal, pada saat itu, orang ke dua sudah mengayun goloknya membacok ke arah kepalanya. Sungguh berbahaya sekali keadaan gadis itu dan agaknya sudah tidak ada waktu lagi baginya untuk dapat menghindarkan diri dari bacokan kilat itu. Tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping dan sinar ini menangkis golok yang membacok kepala gadis berbaju hijau.

"Plakkk!" Sinar putih itu ternyata sehelai sabuk sutera yang telah menangkis golok, sekaligus menggulungnya dan sekali tarik, golok di tangan laki-laki itu terlepas dan berpindah ke tangan Liu Bhok Ki!

Semua pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh empat tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa. Mereka merasa penasaran sekali karena mereka sudah hampir berhasil merobohkan wanita itu, akan tetapi kini muncul seorang kakek yang menggagalkan usaha mereka! Dua orang lihai yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu, dengan marah lalu memberi aba-aba untuk mengeroyok Liu Bhok Ki!

Liu Bhok Ki melihat betapa gadis berbaju hijau itu terhuyung dan jatuh terduduk, lalu gadis itu memejamkan mata dan agaknya sedang menderita nyeri yang hebat. Dia pun cepat mendekati gadis itu, tanpa ragu lagi dia menotok punggungnya sehingga gadis itu roboh pingsan dan segera dipondongnya gadis itu. Pada saat itu, belasan orang itu sudah maju mengeroyoknya.

Liu Bhok Ki menggerakkan sabuk putihnya dan tubuhnya berloncatan bagaikan seekor rajawali sakti, menyambar-nyambar dan dalam waktu beberapa menit saja, hampir semua senjata di tangan para pengeroyok telah terampas dari tangan mereka. Ada yang terlibat sabuk dan ditarik lepas, ada yang terlepas karena pergelangan tangan pemegangnya tertotok ujung sabuk. Dan sabuk itu pun lalu lecut-lecut seperti cambuk dengan mengeluarkan suara ledakan-ledakan. Kocar-kacirlah para pengeroyok itu dan tak lama kemudian mereka semua melarikan diri sambil membawa teman-teman yang tadi terluka oleh gadis itu.

Liu Bhok Ki berdiri dengan memondong tubuh gadis yang pingsan itu, sejenak memandang kepada mereka yang melarikan diri. Pada saat itu baru dia rasa keadaan hatinya sudah mengalami perubahan yang luar biasa. Tanpa disengaja, tadi dalam perkelahian itu, dia sama sekali tidak mau melukai berat para pengeroyoknya, apalagi merobohkan dan membunuhnya! Padahal, dahulu kalau dia berhadapan dengan lawan, dia tidak mengenal ampun lagi! Lebih-lebih lagi kalau lawannya itu orang-orang jahat. Dan gerombolan yang mengeroyok seorang wanita seperti itu, mana bisa disebut orang-orang baik?

Liu Bhok Ki tidak menyesali perubahan pada dirinya, hanya merasa heran saja, kemudian dia membawa pergi gadis itu keluar dari dalam hutan, membawanya mendaki bukit dan setelah tiba puncak, di mana terdapat sebatang pohon yang lebat daunnya, dia berhenti merebahkan tubuh gadis itu ke atas tanah bertilamkan rumput tebal.

Dengan lembut dia menyadarkan gadis itu dari pingsannya. Gadis itu membuka matanya dan begitu melihat seorang laki-laki duduk di dekatnya, ia mengeluarkan seruan tertahan dan cepat meloncat bangun dengan sikap menyerang. Akan tetapi karena luka-lukanya, ia pun terpelanting dan tentu akan roboh terbanting kalau saja Liu Bhok Ki tidak menangkap lengannya.

"Nona, tenanglah. Aku bukan musuhmu. Mereka itu sudah melarikan diri."

Gadis itu mengamati wajah Liu Bhok Ki dan teringatlah dia bahwa kakek itu yang tadi muncul menyelamatkan sambaran golok. Akan tetapi ia pun teringat bahwa setelah itu, kakek itu merontoknya sehingga ia roboh dan tidak ingat apa-apa lagi.

"Tapi... tapi kenapa engkau menotokku dan membuat aku pingsan?" tanyanya penuh keraguan dan dengan sikap masih siap untuk menyerang walaupun seluruh tubuhnya terasa nyeri, dan terutama sekali luka di paha kirinya mendatangkan rasa panas bukan main.

"Aku terpaksa, Nona. Kalau tidak kubikin pingsan, tentu engkau akan tetap mengamuk dan hal itu berbahaya sekali karena engkau sudah terluka parah. Tentu engkau tidak mau pula kupondong. Setelah membuat engkau pingsan dan memondongmu, aku berhasil memaksa mereka melarikan diri."

Sepasang mata yang tajam itu mengamati Liu Bhok Ki penuh perhatian, kemudian ketegangannya melunak dan ia pun terkulai dan jatuh terduduk, lalu terdengar suaranya lemah, "Harap Lo-cian-pwe sudi memaafkan aku. Karena tidak mengenal maka aku tadi mengira Lo-cian-pwe seorang di antara mereka dan aduhhh..." la mengeluh dan kedatangannya memijat-mijat paha kiri.

"Cukup, jangan banyak cakap dulu Nona. Engkau terluka parah dan agaknya yang paling parah adalah luka di pahamu. Biarkan aku memeriksanya. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan."

Agaknya gadis itu sudah percaya penuh kepada Liu Bhok Ki. Ia hanya mengangguk dan membiarkan kakek itu memeriksa luka di paha kirinya. Ketika melihat betapa celana di bagian paha dirobek dan penuh darah, Liu Bhok berkata,

"Maaf, untuk dapat memeriksa dengan baik, celana ini terpaksa dirobek sedikit di bagian yang terluka. Engkau tidak keberatan, Nona?"

Gadis itu menggeleng kepala. Dengan hati-hati Liu Bhok Ki merobek sedikit celana itu di bagian paha yang terluka sehingga luka itu pun nampak jelas. Liu Bhok Ki adalah seorang laki-laki jantan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Walaupun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah dekat dengan wanita, namun dia telah mampu menundukkan gejolak nafsunya sehingga melihat kulit paha yang putih mulus itu dia sama sekali tidak tergerak. Yang menjadi pusat perhatiannya hanyalah luka itu. Luka tusukan yang tidak berapa lebar, dan dalamnya juga tidak sampai mengenai tulang. Akan tetapi melihat keadaan luka yang membengkak dan kehitaman itu, dia mengerutkan alisnya.

"Nona, engkau terluka oleh senjata beracun!"

Gadis itu mengangguk. "Yang melukai aku di paha adalah sebatang pisau yang dipergunakan secara curang oleh seorang di antara kedua pemimpin gerombolan itu. Mungkin pisau itu yang beracun. Aughhh... nyeri, panas rasanya...!" Gadis itu mengeluh.

"Untung bahwa racun ini hanya racun biasa saja, Nona. Belum terlalu jauh menjalar, hanya di sekitar luka. Engkau tidak berkeberatan kalau aku menyedot racun itu dan luka di pahamu?"

Sejenak mereka saling pandang dan melihat sinar mata tajam yang penuh kejujuran itu, gadis itu lalu mengangguk. Liu Bhok Ki lalu menundukkan mukanya dan menyedot luka itu dengan mulut. Di mengerahkan sin-kang sehingga sedotannya itu kuat sekali. Setelah menyedot dia meludahkan darah bercampur racun yang tersedot, lalu mengulangi lagi. Sampai lima kali dia menyedot dan setiap kali disedot, gadis itu merasakan kenyerian yang menusuk jantung namun dia mempertahankan diri dan tidak mau mengeluh, hanya menggigit bibir sendiri.

"Nah, sekarang kurasa racun itu sudah keluar semua," kata Liu Bhok Ki sambil menyusut bibirnya, dan memeriksa luka itu. "Dengan obat luka tentu akan cepat sembuh."

Dia lalu mengeluarkan obat bubuk dari saku bajunya, menaburkan obat itu kedalam luka dan membalut paha itu dengan kain bersih robekan sabuknya. Setelah itu, dia memeriksa luka-luka lain, akan tetapi hanya luka biasa saja, tidak berbahaya.

Gadis itu kembali memberi hormat. "Lo-cian-pwe telah menolong diriku bahkan telah menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada Lo-cian-pwe, tentu aku sudah tewas di tangan gerombolan itu."

"Sudahlah, Nona. Engkau tidak perlu banyak sungkan dan tidak boleh terlalu banyak bicara. Jawab saja secara pendek hal-hal pokok yang ingin kuketahui. Gerombolan apakah mereka tadi?"

"Mereka perampok-perampok," jawab gadis itu.

"Bagaimana engkau bentrok dengan mereka? Jelaskan singkat saja."

"Ketika aku lewat di sini aku melihat mereka itu merampok sebuah keluarga yang lemah. Aku menolong keluarga itu dan berhasil mengusir para perampok. Akan tetapi mereka itu datang lagi membawa dua orang yang lihai tadi dan aku terdesak."

Liu Bhok Ki mengangkat tangan. "Cukup, Nona. Aku melihat engkau lemah kali, kalau bicara engkau menjadi pu¬cat dan nampak kesakitan. Apakah ada sesuatu yang terasa sakit?"

"Dalam dadaku... nyeri dan kalau bicara... ah, semakin nyeri."

"Coba aku memeriksanya," kata Liu Bhok Ki dan dia pun berdiri di belakang gadis itu, lalu berlutut sedangkan gadis itu duduk bersila. Liu Bhok Ki menempelkan telapak tangannya pada punggung itu, menekan-nekan.

"Ah, ternyata selain luka beracun pahamu,, juga engkau menderita luka dalam oleh pukulan yang cukup kuat Nona."

"Tadi... Si Muka Hitam itu... berhasil memukul punggungku."

"Hemmm, sekarang ke manakah engkau hendak pergi?" tanya Liu Bhok Ki kini sudah berada kembali di depan gadis itu sambil memperhatikan wajah yang bulat berkulit putih dan bermata tajam itu.

"Aku akan melanjutkan perjalanan mungkin ke kota raja. Aku sedang mencari Pamanku..." kata gadis itu lirih dan hati-hati karena kalau dipakai bicara, dadanya seperti ditusuk rasanya.

Liu Bhok Ki menggeleng-geleng kepalanya. "Nona, engkau perlu mengaso dan perlu perawatan. Keadaanmu tidak memungkinkan engkau melakukan perjalanan, apalagi yang jauh dan seorang diri pula. Engkau seorang gadis muda, itu akan menghadapi banyak rintangan di jalan dan dalam keadaan seperti ini, itu akan berbahaya sekali. Kalau engkau mau, Nona, marilah engkau ikut bersamaku. Aku akan melanjutkan perjalanan dengan berperahu sehingga tidak melelahkan dan kalau tiba di tempat tinggalku, aku akan merawatmu sampai sembuh. Kalau engkau sudah sembuh dan sehat kembali, baru engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Sekarang tidak perlu banyak bicara. Kalau engkau mau, marilah."

Gadis itu nampak ragu dan bingung, ucapan kakek itu memang benar. Ia terluka parah dan dalam keadaan seperti itu, kalau muncul orang-orang jahat, dan mengganggunya, tentu ia tidak akan mampu membela diri lagi. Akan tetapi, ia baru saja bertemu dengan kakek ini. Sama sekali tidak mengenalnya dan tidak tahu orang macam apakah adanya kakek ini.

"Lo-cian-pwe... siapakah...?" Akhirnya ia memberanikan diri bertanya belum mengambil keputusan.

Liu Bhok Ki tersenyum. Dia dapat menduga apa yang membuat gadis itu meragu, maka dia pun menjawab, "Harap engkau jangan khawatir, Nona. Aku Bhok Ki. disebut orang Sin-tiauw dan selamanya aku tidak pernah berbuat jahat apalagi kepada seorang gadis muda yang sepantasnya menjadi anakku."

Sepasang mata bintang itu terbelak "Ah, kiranya Lo-cian-pwe adalah Sin tiauw Liu Bhok Ki? Paman pernah bercerita kepadaku tentang Lo-cian-pwe."

"Siapakah Pamanmu itu?"

"Dia bernama Lie Koan Tek "

"Lie Koan Tek? Tokoh Siauw-Lim pai itu? Pantas kulihat tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu adalah ilmu pedang Siauw Lim-pai. Kiranya engkau murid Siauw lim-pai! bagaimana, Nona? Apakah engkau menerima usulku tadi demi kebaikan sendiri?"

Keraguan kini lenyap sama sekali dan mata gadis itu. Sudah lama ia dengar tentang nama besar Sin-tiauw Liu Bhok Ki sebagai seorang pendekar perkasa walaupun menurut pamannya, watak pendekar ini aneh dan keras. Namun, ia tidak melihat kekerasan dalam sepak terjangnya tadi.

"Baiklah, Lo-cian-pwe dan sebelumnya terima kasih atas kebaikan Lo-cian-pwe kepadaku."

"Hemmm, siapakah namamu? Sudah pantasnya aku mengetahuinya."

Gadis itu agak tersipu. Orang telah melimpahkan bantuan kepadanya dan ia pun lupa untuk memperkenalkan namanya! "Namaku Bi Lan, Lo-cian-pwe."

"Nah, Bi Lan, mari kau ikut dengan aku. Terpaksa engkau harus kupondong karena kakimu itu akan menjadi bengkak kalau kau pakai berjalan jauh. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dan setelah tiba di sana, kita selanjutnya menggunakan perahu."

Gadis itu tidak membantah, dan ia melawan perasaan malunya dengan memejamkan mata ketika merasa betapa tubuhnya diangkat oleh lengan yang kokoh kuat itu. Sambil memondong tubuh gadis i Liu Bhok Ki mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dalam waktu dua jam saja dia sudah tiba di Sungai Huang ho. Dia lalu menyewa perahu melanjutkan perjalanan sampai ke kaki bukit Kim-hong-san di lembah Huang-ho.

Kemudian, kembali dia memondong tubuh Bi Lan mendaki puncak dan semenjak hari itu Sin-tiauw Liu Bhok Ki merawat Bi Lan dengan penuh perhatian. Gadis itu merasa terharu dan bersukur sekali karena kakek itu merawatnya dengan penuh ketelitian seolah-olah ia dirawat oleh ayahnya sendiri. Setelah gadis itu agak pulih kesehatannya dan tidak lagi nyeri dadanya kalau bicara, barulah Liu Bhok Ki menanyakan riwayatnya. Bi Lan kini tinggal sedikit lemah saja, akan tetapi luka-lukanya sudah sembuh, baik luka di badan maupun luka di dalam dadanya...

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 39

AKAN tetapi, untuk mengambil orang, Hong San cepat menghampiri, dengan gerakan cepat tanpa diketahui orang, dia telah membebaskan totok? itu dan menarik lengan Kauw-cu itu bangkit berdiri kembali. Kini Kauw-cu sudah takluk benar karena dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih pandai darinya. Dia merasa seperti berhadapan dengan gurunya saja! Dia memberi hormat dan berkata lirih,

"Can Kongcu (Tuan Muda Can), saya mengaku kalah."

Dengan kepala tertunduk kauw-cu itu lalu mundur dan duduk kembali tempat semula. Akan tetapi dia segera berbisik kepada dua orang muridnya, Siok Ban dan Phoa Kian So yang tadi juga kalah ketika mengeroyok Hong San, agar mereka berdua mempersiapkan tempat duduk yang paling baik untuk pemuda yang kini berhadapan dengan Ban-tok Mo li itu. Dia sendiri lalu menonton dan ingin tahu Bagaimana Ban-tok Mo-li akan menandingi pemuda yang luar biasa itu.

Ban-tok Mo-li adalah seorang yang amat cerdik, juga ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Liu Seng Cu, atau para tamu yang hadir disitu. Sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), ia seorang ahli dalam menggunakan racun sehingga ilmu silatnya menjadi semakin berbahaya lagi.

Bukan hanya pukulan telapak tangannya yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-kuku jari tangannya mengandung racun, dan ia dapat pula mempergunakan ludah beracun untuk menyerang lawan! Ia tadi sudah melihat kehebatan pemuda itu bermain senjata. Golok Lui Seng Cu yang amat lihai itu pun sama sekali bukan tandingan pemuda itu. Kalau ia mempergunakan sepasang senjatanya, yaitu kipas dan pedang, agaknya akan berat pula baginya, untuk dapat keluar sebagai pemenang.

Maka mengingat akan keahliannya mempergunakan racun dalam pukulannya, pun ingin mengajak pemuda itu untuk bertanding dalam tangan kosong dulu sebelum terpaksa menggunakan kipas dai pedangnya. Seperti juga Lui Seng Cu tentu saja ia tidak rela kalau harus menjadi bawahan seorang pemuda, kecuali kalau ia sudah yakin bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya.

"Can Kongcu," ia menirukan panggilan yang dipergunakan Lui Seng Cu tadi. "Sebenarnya aku sendiri pun mulai percaya bahwa engkau adalah pewaris dari pendiri Thian-te-kauw dan engkau berhak memimpin perkumpulan kita. Akan tetapi karena kemunculanmu begini tiba-tiba, tentu saja hati kami menjadi penasaran. Karena itu, aku pun Ingin sekali menguji kepandaianmu, dan lebih dulu aku ingin menguji ilmu kepandaianmu bertangan kosong."

Hong San memandang dan hatinya kagum. Wanita ini kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih, bahkan hampir enam puluh tahun, akan tetapi sungguh orang takkan percaya kalau melihatnya. Pantasnya ia baru berusia tiga puluh tahun lebih! Masih cantik dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping, dan anehnya, ada sesuatu yang menarik hanya pada wajah itu, seperti wajah seorang wanita yang pernah dikenainya. Perasaan pemuda ini memang tidak menipunya.

Yang membuat ia merasa kenal adalah karena wajah Ban-tok Mo-li Pha Bi Cu mirip sekali, hanya berbeda usia dengan wajah puterinya, yaitu Sim Lan Ci, isteri Coa Siang Lee yang hampir saja menjadi korban perkosaan Hong San Hong San tersenyum. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ban-tok Mo-li adalah seorang wanita yang lihai lebih lihai dibandingkan Lui Seng Cu.

Dari nama julukannya saja dia pun sudah menduga bahwa wanita ini tentu ahli racun dan memiliki pukulan-pukulan beracun maka sengaja menantangnya bertanding dengan tangan kosong. Tentu saja dia tidak merasa gentar. Ayahnya adalah seorang datuk besar golongan sesat, dan dia sudah banyak belajar dari ayahnya tentang pukulan yang mengandung hawa beracun dan bagaimana untuk mengatasinya.

"Baik sekali, Ban-tok Mo-li. Aku pun tidak ingin kita yang hanya menguji kepandaian sampai terluka oleh senjata tajam walaupun aku tahu bahwa kedua tangan dan kedua kakimu tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam Pedang bagaimanapun. Nah, aku sudah siap!" Dia pun menyimpan kembali pedang dan sulingnya, lalu berdiri tegak menghadapi Ban-tok Mo-li, kelihatan tenang saja dan acuh, namun diam-diam dia siap siaga dengan penuh kewaspadaan.

"Can Kongcu, sambut seranganku!" Ban-tok Mo-li tanpa sungkan lagi mendahului, membuka serangan dengan pukulan tangan kanan terkepal ke arah muka disusul cengkeraman tangan kiri yang membentuk cakar ke arah perut.

"Bagus sekali!" Hong San memuji sambil mengelak ke belakang, akan tetapi kaki kanan wanita itu menyusul dengan tendangan dahsyat mengarah dadanya!"

"Plakkk!" Hong San menangkis dan tubuh Ban-tok Mo-li berputar di atas sebelah kaki saking kerasnya tangkisan itu. Namun, wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan sambil berputar, kaki tetap melancarkan tendangan susu bertubi-tubi.

Hong San berloncatan mengelak, ia membalas dengan tamparan tangannya kearah wanita itu. Karena tamparan hebat, maka terpaksa Ban-tok Mo-li menghentikan desakan tendangannya untuk mengelak. Kemudian ia mengeluarkan gerengan halus seperti seekor kucing yang dielus lehernya dan ke dua lengannya tergetar.

Hong San melihat betapa kedua tangan dan sebagian lengan yang nampak dari lengan baju itu berubah menghitam! Tahulah dia bahwa wanita itu telah mengeluarkan simpanannya yaitu kedua tangan bahkan sampai lengan yang mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka diam-diam dia pun mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuh dari hawa racun.

"Hyaaaaattt...!!" Wanita itu mengluarkan bentakan melengking dan ia sudah menerjang dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Angin pukulannya desir dan mengeluarkan suara bersuitan, dibarengi hawa panas dan bau yang amis. Itulah ilmu silatnya yang paling hebat dan mengerikan, yang diberi nama Ban-tok Hwa-kun (Silat Bunga selaksa Racun). Kedua tangan itu, sampai ke kuku-kukunya, mengandung racun yang dapat menghanguskan kulit dan daging lawan.

Hong San menyambutnya dengan ilmu Koai-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang dahsyat dan ganas. Dia menjaga diri dengan hati-hati sekali jangan sampai kulitnya tergores kuku-kuku runcing melengkung beracun itu. Karena dia memiliki sin-kang yang kuat, maka dari semua gerakannya timbul angin pukulan yang mendorong pergi semua hawa beracun yang keluar dari gerakan kedua tangan lawan.

Semua orang yang menonton pertandingan itu merasa tegang. Bukan main hebatnya gerakan Ban-tok Mo-li, bukan saja gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan, namun juga amat kuat karena setiap tangannya menampar atau memukul, terdengar angin bersiut. Akan tetapi mereka amat kagum kepada Hong San. Pemuda itu sama sekali tidak nampak terdesak, melainkan membalas dengan serangan dahsyatnya sehingga pertandingan itu berlangsung amat seru dan menegangkan.

Akan tetapi hal ini disengaja oleh Hong San. Dia melihat betapa wanita ini lebih lihai dan kelak akan dapat menjadi tangan kanannya yang boleh diandalkan. Selain itu, gairahnya sudah bangkit oleh gerak-gerik wanita yang usianya sudah lanjut namun masih cantik menarik ini, dan dia tidak ingin menanam kebencian dalam hati wanita itu. Kalau dia menghendaki, tentu pertandingan itu tidak akan berlangsung lama itu. Dia sengaja mengalah dan membuat pertandingan itu nampak seru dan ramai.

Setelah lewat lima puluh jurus, barulah dia mencari kesempatan baik dan ketika kedua tangan lawannya itu menyerang dengan cakaran dari kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke atas dan berjungkir balik, lalu di meluncur turun menyerang dari atas den gan kedua tangan melakukan pukulan dasyat ke arah ubun-ubun kepala lawan.

"Ihhhhh...!" Ban-tok Mo-li terkejut bukan main karena serangan itu sungguh dahsyat dan tidak mungkin baginya untuk mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya mengangkat kedua tangan menangkis dengan resiko terluka dalam karena tentu tenaga pemuda itu ditambah berat badannya akan merupakan beban yang sukar dapat ditahannya.

"Dukkk!" Ban-tok Mo-li terkejut ketika kedua lengannya bertemu dengan sebuah lengan saja, itu pun lunak. Ia segera menduga bahwa tentu tangan lain pemuda itu akan menyerangnya, namun terlambat. Jari tangan kiri Hong San sudah menotok punggungnya dan seketika tubuh Ban-tok Mo-li menjadi lemas, kehilangan tenaga dan ketika Hong San melayang turun, ia pun terhuyung dan hampir jatuh.

"Mo-li, hati-hati...!" Hong San menubruk, tangan kanan memegang pundak akan tetapi tangan kiri dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh siapapun, memegang payudara kanan Ban-tok Mo-li. Hanya memijat sekali saja namun tentu saja terasa sekali oleh wanita itu, yang juga merasa betapa totokan itu telah dibebaskan pula oleh Hong San ketika pemuda itu menahan sehingga ia tidak sampai terjatuh itu.

Wajah Ban-tok Mo-li menjadi merah sekali, akan tetapi bibirnya tersenyum dan matanya menatap tajam wajah yang tampan itu. Bukan main bocah ini, kirnya. Masih begitu muda, tampan pandai bicara, lincah jenaka, dan miliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan itu saja, bahkan tadi pemuda itu sempat memijat dadanya dan hal ini saja sudah jelas baginya bahwa kecantikannya masih sempat dikagumi pemuda itu.

Jantungnya berdebar dan ia melihat kesempatan baik untuk memperoleh seorang kekasih baru yang selain muda, tampan, akan tetapi juga lihai sekali dan agaknya akan menjadi seorang atasannya! Akan tetapi, ia harus menjaga nama besarnya, bukan hanya sebagai pang-Cu dari Thian-te-pang, akan tetapi juga sebagai Ban-tok Mo-li yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw.

Biarpun tadi kekalahannya tidak kelihatan mutlak berkat sikap Hong San, namun tetap saja semua orang melihat betapa ia terhuyung akan jatuh dan bahkan dibantu oleh Hong San sehingga tidak jadi terpelanting jatuh. Kini ia habis memperlihatkan kehebatannya bermain senjata, bukan saja kepada Hong San akan tetapi juga kepada semua orang yang berada di situ. Selain itu, juga ingin membuktikan sendiri kehebatan pedang dan suling di tangan pemuda itu.

"Singgggg...!" Nampak sinar merah berkelebat dan tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang kemerahan dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang terbuka dan di atas Kipas itu nampak gambar kelabang dan kalajengking, seolah-olah memberi isarat bahwa kipas itu mengandung racun seperti binatang itu! Pedang kemerahan itu pun merupakan pedang beracun yang disebut Ang-tok Po-kiam (Pedang Pusaka Racun Merah). Ban-tok Mo-li memiliki dua batang pedang.

Yang sebuah lagi adalah Cui-mo Hek-kiam yang hitam dan pedang hitam ini telah ia beri kepada Sim Lan Ci, puterinya. Yang dipegangnya itu, Ang-tok Po-kiam juga merupakan pedang pusaka yang ampuh karena telah direndam racun ular mer ahyang amat berbahaya. Jangankan sampai tertusuk atau terbacok pedang itu, baru tergores sedikit saja kulitnya, kalau sudah berdarah, maka luka itu akan melepuh dan kalau tidak cepat mendapatkan obat pemunah, racunnya akan naik dengan darah dan membuat seluruh tubuh yang dilalui racun itu melepuh membengkak!

"Can Kongcu, hebat ilmu silatmu dengan tangan kosong. Sekarang, harap tidak bersikap pelit, berilah petunjuk kepadaku dalam ilmu silat bersenjata..." jelas bahwa ucapan Ban-tok Mo-li itu mulai merendahkan diri dan menghormat, seperti orang bicara kepada lawan yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya.

Senang hati Hong San mendengar itu dan dia pun ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada wanita cantik ini dan kepada semua orang yang hadir. Dia tidak mengeluarkan suling dan pedang seperti tadi, melainkan kini memegang suling di tangan kanan dan dia mengambil caping (topi lebar) dengan tangan kiri!

"Mo-li, bagaimanapun juga, aku adalah seorang pria dan engkau seorang wanita. Tidak enak kalau aku harus menggunakan senjata tajam terhadap seorang wanita. Nah, aku menggunakan suling dan capingku ini saja dan kita main-main sebentar. Aku sudah siap, Ban-tok Mo-li, engkau boleh mulai menyerangku!"

Diam-diam Ban-tok Mo-li mendongkol juga. Pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Betapapun lihainya pemuda itu, kalau senjatanya hanya suling dan caping bambu, mana akan mampu menghadapi pedang dan kipasnya yang merupakan senjata senjata beracun yang ampuh sekali? Hemm pikirnya. Kalau engkau kalah dan mati terluka oleh senjataku, salahmu sendiri dan engkau layak mampus karena telah memandang rendah kepadaku.

Akan tetapi kalau engkau dengan senjata seperti itu mampu menandingiku, sungguh pantas menjadi atasanku dan lebih pantas la menjadi kekasihku! Dengan pikiran demikian, Ban-tok Mo-li mengeluarkan jerit melengking dan pedangnya berkelebat menjadi sinar merah menyambar denga tusukan ke arah ulu hati, sedangkan kipasnya ditutup dan ditusukkan sebagai totokan ke arah leher.

Hong San menangkis pedang denga santai, menggunakan sulingnya dan totokan kipas itu pun dapat dihalau dengan menggerakkan capingnya yang lebar. Caping itu dapat bertugas seperti perisai dan ketika gagang kipas menyambar, terdengar bunyi keras dan tahulah Ban-tok Mo-li bahwa caping yang dipandangnya rendah itu ternyata hanya di luarnya saja merupakan anyaman bambu, akan tetapi di sebelah dalamnya terlindung baja atau besi atau semacam logam yang kuat. Ia pun tidak berani memandang rendah dan memainkan pedang dan kipasnya dengan cepat sehingga nampak gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Hong San menggerakkan sulingnya dan terdengar suling itu seperti ditiup dan dimainkan. Dan caping itu ternyata mampu melindungi tubuhnya dari sambarang hawa beracun dari pedang dan kipas! Sebaliknya, dari kanan kiri atas atau bawah caping, mencuat suling secara tiba-tiba dan sukar diduga, melakukan totokan-totokan yang amat cepat. Ban-tok Mo-li menjadi bingung dan beberapa kali nyaris jalan darah dibagian depan tubuhnya tertotok.

Setidaknya, ujung suling sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang peka dan ia pun semakin kagum. Pemuda itu masih sempat main-main dan menyatakan berahinya lewat sentuhan-sentuhan ujung suling! Tentu saja amat sukar diduga dari mana suling itu akan mencuat ke luar karena tertutup caping. Sedangkan semua serangan pedang dan kipasnya selalu dapat dihindarkan oleh Hong San.

Akhirnya, setelah lewat hampir lima puluh jurus, tenaga Ban-tok Mo-li mulai berkurang dan napasnya mulai memburu Hong San tidak mau membikin malu wanita itu, maka ujung sulingnya secepal kilat menotok siku kanan dan ketika pedang lawan terlepas dari tangan yang mendadak lumpuh itu, dia cepat menempel pedang dengan sulingnya dan memutar pedang itu sedemikian rupa sel hingga terus menempel pada sulingnya dan tidak sampai jatuh!

Ban-tok Mo-li terkejut dan cepat melompat ke belakang. Dirampasnya pedang dari tangannya sudah merupakan bukti cukup jelas bahwa ia memang kalah pandai. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hong San yang memberi ia kekalahan terhormat, tidak sampai terluka atau roboh, bahkan pedangnya pun tidak sampai terjatuh ke lantai! Hong San lalu menggerakkan tangan dan pedang itu terlepas dari suling, lalu melayang ke arah Ban-tok Mo-li yang menerima dengan tangan kanannya dan wanita ini pun memberi hormat kepada pemuda itu tanpa malu lagi.

"Can Kongcu telah memberi petunjuk kepadaku, aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah." Kemudian, wanita itu berdiri menghadap ke arah mereka yang duduk di bawah panggung, lalu berkata dengan suara lantang, "Para anggauta Thian-te-pang, dengarlah. Mulai detik ini, aku memerintahkan kalian semua untuk mengakui dan menerima Can Kongcu sebagai pemimpin kita semua!"

Ucapan yang nyaring ini disambut tepuk sorak para anggauta Thian-te-pang yang sudah merasa kagum sekali melihat betapa pemuda tampan itu dapat mengalahkan kauwcu dan pangcu, suatu hal yang mereka anggap luar biasa sekali. Apalagi mereka tadi pun menyaksikan dengan mata kepada sendiri betapa pemuda itu mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong yang hidup!

Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu juga segera bangkit menghampiri Can Hong San dengan sikap hormat dia mempersilakan pemuda itu duduk di kursi kehormatan yang berada di antara dia dan Ban-tok Mo-li. Tempat itu memang telah diaturnya ketika pemuda itu bertanding melayani Ban-tok Mo-li. Dia sudah menduga bahwa Ban-tok Mo-li juga bukan tandingan pemuda sakti itu, maka dia sudah mengatur sebuah tempat duduk terhormat bagi Hong San.

Tentu saja Hong San merasa gembira sekali melihat sikap dua orang itu! Setelah duduk di atas kursi di antara mereka, dia lalu berkata kepada mereka. "Hek-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li, seperti sudah kukatakan tadi, aku datang untuk menuntut hakku sebagai ahli waris mendiang Ayahku, menjadi orang nomor satu dalam Thian-te-pang. Akan tetapi itu bukan berarti aku merampas kedudukan kalian. Aku tidak ingin repot bekerja menjadi kauwcu atau pang-cu. Biarlah kalian lanjutkan kedudukan kalian sebagai kauwcu dan pangcu, akan tetapi kalian adalah pembantu-pembantuku. Akulah pemimpin umumnya, dan aku tidak ingin disebut pemimpin atau ketua, cukup kalau kalian dan semua anggauta menyebut aku Can Kongcu saja. Akan tetapi seluruh harta milik dan pemasukan uang harus berada di bawah pengamatanku dan aku yang menentukan dan mengatur semuanya. Mengertikah kalian?"

Tentu saja kedua orang ini merasa girang sekali. Mereka tidak kehilangan muka dan juga tidak kehilangan kekuasaan. Maka keduanya mengangguk-angguk dan secara langsung maka kauwcu dari Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan dengan lantang dia lalu bicara kepada semua orang yang hadir.

"Para tamu yang terhormat, sobat-sobat dan para anggauta Thian-te-kauw dan Thian-te-pang! Kami mengumumkan bahwa mulai detik ini, Kongcu Can Hong San ini menjadi pemimpin besar kita. Semua harus tunduk kepada perintahnya dan kebijaksanaannya. Ketahuilah bahwa Kongcu adalah putera dari mendiang Suhu kami, yaitu Cui-beng Sai-kong, pendiri Thian-te-kauw. Hidup Can Kong-cu!"

Serentak para anggauta, juga para tamu berteriak, "Hidup Can Kongcu!"

Hong San tersenyum-senyum penuh kegembiraan. "Nah, mari kita lanjutkan pesta perayaan ini. Urusan dalam perkumpulan kita dapat kita bicarakan lain waktu di antara kita sendiri."

Para tamu lalu datang satu demi satu untuk memperkenalkan diri kepada Hong San. Di antara mereka itu, yang merasa amat kagum dan menyatakan ingin sekali membantu sepenuhnya adalah Siangkoan Tek, putera Siangkoan Bok, Ji Ban To murid Ouw Kok Sian, dan dua orang murid Lui Seng Cu sendiri, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So. Empat orang pemuda ini merasa kagum bukan main kepada Hong San dan mereka berempat merasa gembira untuk dapat membantu seorang seperti Hong San.

Dan Hong San sendiri senang kepada mereka, apalagi mengingat bahwa mereka adalah murid-murid dan putera orang-orang yang pandai dan berpengaruh. Ketika hidangan dikeluarkan, Hong San bahkan mengundang mereka berempat itu untuk duduk semeja dengan dia, bersama Ban-tok Mo-li dan lui Seng Cu.

Can Hong San merasa betapa bintangnya terang. Dia memberi selamat pada dirinya sendiri yang sudah memilih tempat yang amat tepat baginya. Apalagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Thian-te-pang telah merupakan sebuah perkumpulan yang kaya! Dia dapat mempergunakan kekayaan itu sesuka hatinya. Selain itu, juga mulai hari itu, Ban-tok Mo-li, wanita yang masih amat cantik dan menggairahkan itu, wanita yang memiliki banyak sekali pengalaman, selalu menemaninya dan melimpahkan cinta yang berkobar-kobar kepadanya.

Lebih menyenangkan hatinya lagi, para anggauta Thian-te-pang yang wanita, banyak di antara mereka yang muda dan cantik, agaknya juga berlomba untuk mendekatinya dan menjadi kekasihnya! Sekali pukul saja, Hong San kini telah dibanjiri harta, kedudukan terhormat, wanita-wanita cantik dan segala kesenangan dapat diraihnya dengan amat mudahnya!

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Liu Bhok Ki yang berjalan seorang diri meninggalkan rumah suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci itu sungguh jauh berbeda dengan Liu Bhok Ki ketika datang ke dusun itu kemarin. Kini dia melangkah dengan hati ringan dengan dada lapang dan perasaan penuh bahagia. Dia merasa seolah-olah ada batu besar sekali yang selama bertahun talah menekan hatinya, kini telah lenyap membuat dadanya terasa lapang sekali.

Kakek berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar itu nampak lebih muda dari biasanya. Dadanya yang bidang itu makin membusung, langkahnya bagaikan langkah seekor harimau jantan dan sepasang matanya mencorong, bibirnya yang terhias kumis dan jenggot itu tersenyum cerah, bahkan ketika mendaki bukit itu, dia setengah berlari sambi bersenandung! Sin-tiauw Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti itu bersenandung!

Sungguh suatu hal yang luar biasa sekali dan kalau ada orang yang sudah mengenalnya mendengar senandung itu, tentu dia akan terheran-heran. Pendekar yang biasanya berwatak kasar dan keras itu hampir tidak pernah kelihatan bergembira, dan pada hari ini dia berjalan kaki seorang diri sambil bersenandung!

Tidak mengherankan kalau kita mengingat akan keadaan hidup pendekar yang perkasa ini. Sejak muda dia menderita sakit hati, dendam yang setinggi langit sedalam lautan. Hatinya disakiti oleh isterinya yang mengkhianatinya, yang melakukan penyelewengan dengan pria lain. Padahal dia amat menyayangi isterinya itu!

Dendam ini membuatnya seperti gila dan membuat dia menjadi seorang yang luar biasa kejamnya terhadap dua orang yang berjina itu. Dia menyimpan kepala isterinya dan kasih isterinya, dan setiap hari dia seperti menyiksa dua buah kepala itu! Bahkan lebih dari itu, dia mendendam kepada keturunan dan keluarga dengan isterinya dan kekasih isterinya.

Kepada putera kekasih isterinya putera keponakan isterinya datang untuk membalas dendam dan membunuhnya, dia menangkap mereka, bahkan dengan memberi obat perangsang dia membuat mereka itu terangsang dan melakukan hubungan suami isteri. Dia ingin menghukum mereka itu sehebatnya. Dia ingin merasa berdua itu menjadi suami isteri, saling mencinta, kemudian selagi mereka hidup bahagia, dia ingin muridnya merusak kebahagiaan rumah tangga mereka dengan merayu si isteri atau memperkosanya, agar hancur luluh hati mereka dua!

Akan tetapi, ternyata muridnya, Si Han Beng, tidak melakukan perintahnya itu, bahkan membela mereka. Dan dalam keadaan marah itu, suami isteri putera mereka pun menyerahkannya di tangannya. Dan dia pun sadar! Dia sadar akan semua kesalahannya, sadang betapa dia menjadi seperti gila karena cemburu dan dendam. Terutama sekali anak mereka itulah yang membuatnya sadar, seorang anak kecil berusia tiga tahun yang lucu dan pemberani! Dan kini dia telah bebas!

Dan baru sekarang dia mengenal apa yang dinamakan kebahagiaan itu! Kebahagiaan adalah kebebasan! Bebas dari segala perasan seperti marah, dendam, benci, iri, malu, takut dan sebagainya. Juga bebas dari perasaan senang yang timbul dari nafsu. Sebelum ini dia terikat oleh senang dan susah, puas dan kecewa yang bukan lain hanya permainan daya-daya rendah atau nafsu-nafsu dalam dirinya.


Ketika dia tiba di tepi sebuah hutan kecil di lereng bukit, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara orang berkelahi. Tak salah lagi, suara berdentingnya senjata-senjata tajam saling bertemu, dan terdengar pula teriakan-teriakan banyak orang. Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar perkasa yang berjuluk Sin-tiauw, tentu saja setiap kali ada perkelahian atau adu ilmu silat, hatinya tertarik sekali. Apalagi suara orang berkelahi itu terjadi di dalam hutan, maka dia pun merasa khawatir kalau-kalau sedang terjadi kejahatan di dalam hutan itu. Dia segera mengerahkan tenaganya dan berlari cepat memasuki hutan.

Ketika dia tiba di tempat terbuka tengah hutan itu, dia melihat seorang wanita muda yang memegang sepasa pedang dikeroyok oleh sedikitnya lima belas orang! Dan di situ sudah menggeletak lima orang dalam keadaan terluka. Agaknya gadis itu mengamuk berhasil merobohkan lima orang, akan tetapi pengeroyoknya masih banyak dan di antara para pengeroyok terdapat dua orang laki-laki setengah tua yang cukup lihai. Gadis itu telah menderita beberapa luka, pakaiannya sudah berlepotan darah dan gerakannya mulai mengendur sehingga ia terancam bahaya maut!

Melihat ini, tentu saja Liu Bhok tak dapat tinggal diam saja. Dia melihat betapa kini dua orang di antara para pengeroyok yang paling lihai itu memang "masing-masing mempergunakan sebatang golok besar, mendesak Si Gadis berbaju hijau. Gadis itu melawan matian-matian, memutar sepasang pedangnya, namun terdesak dan terhuyung.

"Tranggggg...!" Pertemuan pedang kanannya dengan golok seorang di antara dua pengeroyok itu demikian kerasnya sehingga pedang di tangan gadis itu terpental dan lepas dari tangannya. Padahal, pada saat itu, orang ke dua sudah mengayun goloknya membacok ke arah kepalanya. Sungguh berbahaya sekali keadaan gadis itu dan agaknya sudah tidak ada waktu lagi baginya untuk dapat menghindarkan diri dari bacokan kilat itu. Tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping dan sinar ini menangkis golok yang membacok kepala gadis berbaju hijau.

"Plakkk!" Sinar putih itu ternyata sehelai sabuk sutera yang telah menangkis golok, sekaligus menggulungnya dan sekali tarik, golok di tangan laki-laki itu terlepas dan berpindah ke tangan Liu Bhok Ki!

Semua pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh empat tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa. Mereka merasa penasaran sekali karena mereka sudah hampir berhasil merobohkan wanita itu, akan tetapi kini muncul seorang kakek yang menggagalkan usaha mereka! Dua orang lihai yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu, dengan marah lalu memberi aba-aba untuk mengeroyok Liu Bhok Ki!

Liu Bhok Ki melihat betapa gadis berbaju hijau itu terhuyung dan jatuh terduduk, lalu gadis itu memejamkan mata dan agaknya sedang menderita nyeri yang hebat. Dia pun cepat mendekati gadis itu, tanpa ragu lagi dia menotok punggungnya sehingga gadis itu roboh pingsan dan segera dipondongnya gadis itu. Pada saat itu, belasan orang itu sudah maju mengeroyoknya.

Liu Bhok Ki menggerakkan sabuk putihnya dan tubuhnya berloncatan bagaikan seekor rajawali sakti, menyambar-nyambar dan dalam waktu beberapa menit saja, hampir semua senjata di tangan para pengeroyok telah terampas dari tangan mereka. Ada yang terlibat sabuk dan ditarik lepas, ada yang terlepas karena pergelangan tangan pemegangnya tertotok ujung sabuk. Dan sabuk itu pun lalu lecut-lecut seperti cambuk dengan mengeluarkan suara ledakan-ledakan. Kocar-kacirlah para pengeroyok itu dan tak lama kemudian mereka semua melarikan diri sambil membawa teman-teman yang tadi terluka oleh gadis itu.

Liu Bhok Ki berdiri dengan memondong tubuh gadis yang pingsan itu, sejenak memandang kepada mereka yang melarikan diri. Pada saat itu baru dia rasa keadaan hatinya sudah mengalami perubahan yang luar biasa. Tanpa disengaja, tadi dalam perkelahian itu, dia sama sekali tidak mau melukai berat para pengeroyoknya, apalagi merobohkan dan membunuhnya! Padahal, dahulu kalau dia berhadapan dengan lawan, dia tidak mengenal ampun lagi! Lebih-lebih lagi kalau lawannya itu orang-orang jahat. Dan gerombolan yang mengeroyok seorang wanita seperti itu, mana bisa disebut orang-orang baik?

Liu Bhok Ki tidak menyesali perubahan pada dirinya, hanya merasa heran saja, kemudian dia membawa pergi gadis itu keluar dari dalam hutan, membawanya mendaki bukit dan setelah tiba puncak, di mana terdapat sebatang pohon yang lebat daunnya, dia berhenti merebahkan tubuh gadis itu ke atas tanah bertilamkan rumput tebal.

Dengan lembut dia menyadarkan gadis itu dari pingsannya. Gadis itu membuka matanya dan begitu melihat seorang laki-laki duduk di dekatnya, ia mengeluarkan seruan tertahan dan cepat meloncat bangun dengan sikap menyerang. Akan tetapi karena luka-lukanya, ia pun terpelanting dan tentu akan roboh terbanting kalau saja Liu Bhok Ki tidak menangkap lengannya.

"Nona, tenanglah. Aku bukan musuhmu. Mereka itu sudah melarikan diri."

Gadis itu mengamati wajah Liu Bhok Ki dan teringatlah dia bahwa kakek itu yang tadi muncul menyelamatkan sambaran golok. Akan tetapi ia pun teringat bahwa setelah itu, kakek itu merontoknya sehingga ia roboh dan tidak ingat apa-apa lagi.

"Tapi... tapi kenapa engkau menotokku dan membuat aku pingsan?" tanyanya penuh keraguan dan dengan sikap masih siap untuk menyerang walaupun seluruh tubuhnya terasa nyeri, dan terutama sekali luka di paha kirinya mendatangkan rasa panas bukan main.

"Aku terpaksa, Nona. Kalau tidak kubikin pingsan, tentu engkau akan tetap mengamuk dan hal itu berbahaya sekali karena engkau sudah terluka parah. Tentu engkau tidak mau pula kupondong. Setelah membuat engkau pingsan dan memondongmu, aku berhasil memaksa mereka melarikan diri."

Sepasang mata yang tajam itu mengamati Liu Bhok Ki penuh perhatian, kemudian ketegangannya melunak dan ia pun terkulai dan jatuh terduduk, lalu terdengar suaranya lemah, "Harap Lo-cian-pwe sudi memaafkan aku. Karena tidak mengenal maka aku tadi mengira Lo-cian-pwe seorang di antara mereka dan aduhhh..." la mengeluh dan kedatangannya memijat-mijat paha kiri.

"Cukup, jangan banyak cakap dulu Nona. Engkau terluka parah dan agaknya yang paling parah adalah luka di pahamu. Biarkan aku memeriksanya. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan."

Agaknya gadis itu sudah percaya penuh kepada Liu Bhok Ki. Ia hanya mengangguk dan membiarkan kakek itu memeriksa luka di paha kirinya. Ketika melihat betapa celana di bagian paha dirobek dan penuh darah, Liu Bhok berkata,

"Maaf, untuk dapat memeriksa dengan baik, celana ini terpaksa dirobek sedikit di bagian yang terluka. Engkau tidak keberatan, Nona?"

Gadis itu menggeleng kepala. Dengan hati-hati Liu Bhok Ki merobek sedikit celana itu di bagian paha yang terluka sehingga luka itu pun nampak jelas. Liu Bhok Ki adalah seorang laki-laki jantan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Walaupun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah dekat dengan wanita, namun dia telah mampu menundukkan gejolak nafsunya sehingga melihat kulit paha yang putih mulus itu dia sama sekali tidak tergerak. Yang menjadi pusat perhatiannya hanyalah luka itu. Luka tusukan yang tidak berapa lebar, dan dalamnya juga tidak sampai mengenai tulang. Akan tetapi melihat keadaan luka yang membengkak dan kehitaman itu, dia mengerutkan alisnya.

"Nona, engkau terluka oleh senjata beracun!"

Gadis itu mengangguk. "Yang melukai aku di paha adalah sebatang pisau yang dipergunakan secara curang oleh seorang di antara kedua pemimpin gerombolan itu. Mungkin pisau itu yang beracun. Aughhh... nyeri, panas rasanya...!" Gadis itu mengeluh.

"Untung bahwa racun ini hanya racun biasa saja, Nona. Belum terlalu jauh menjalar, hanya di sekitar luka. Engkau tidak berkeberatan kalau aku menyedot racun itu dan luka di pahamu?"

Sejenak mereka saling pandang dan melihat sinar mata tajam yang penuh kejujuran itu, gadis itu lalu mengangguk. Liu Bhok Ki lalu menundukkan mukanya dan menyedot luka itu dengan mulut. Di mengerahkan sin-kang sehingga sedotannya itu kuat sekali. Setelah menyedot dia meludahkan darah bercampur racun yang tersedot, lalu mengulangi lagi. Sampai lima kali dia menyedot dan setiap kali disedot, gadis itu merasakan kenyerian yang menusuk jantung namun dia mempertahankan diri dan tidak mau mengeluh, hanya menggigit bibir sendiri.

"Nah, sekarang kurasa racun itu sudah keluar semua," kata Liu Bhok Ki sambil menyusut bibirnya, dan memeriksa luka itu. "Dengan obat luka tentu akan cepat sembuh."

Dia lalu mengeluarkan obat bubuk dari saku bajunya, menaburkan obat itu kedalam luka dan membalut paha itu dengan kain bersih robekan sabuknya. Setelah itu, dia memeriksa luka-luka lain, akan tetapi hanya luka biasa saja, tidak berbahaya.

Gadis itu kembali memberi hormat. "Lo-cian-pwe telah menolong diriku bahkan telah menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada Lo-cian-pwe, tentu aku sudah tewas di tangan gerombolan itu."

"Sudahlah, Nona. Engkau tidak perlu banyak sungkan dan tidak boleh terlalu banyak bicara. Jawab saja secara pendek hal-hal pokok yang ingin kuketahui. Gerombolan apakah mereka tadi?"

"Mereka perampok-perampok," jawab gadis itu.

"Bagaimana engkau bentrok dengan mereka? Jelaskan singkat saja."

"Ketika aku lewat di sini aku melihat mereka itu merampok sebuah keluarga yang lemah. Aku menolong keluarga itu dan berhasil mengusir para perampok. Akan tetapi mereka itu datang lagi membawa dua orang yang lihai tadi dan aku terdesak."

Liu Bhok Ki mengangkat tangan. "Cukup, Nona. Aku melihat engkau lemah kali, kalau bicara engkau menjadi pu¬cat dan nampak kesakitan. Apakah ada sesuatu yang terasa sakit?"

"Dalam dadaku... nyeri dan kalau bicara... ah, semakin nyeri."

"Coba aku memeriksanya," kata Liu Bhok Ki dan dia pun berdiri di belakang gadis itu, lalu berlutut sedangkan gadis itu duduk bersila. Liu Bhok Ki menempelkan telapak tangannya pada punggung itu, menekan-nekan.

"Ah, ternyata selain luka beracun pahamu,, juga engkau menderita luka dalam oleh pukulan yang cukup kuat Nona."

"Tadi... Si Muka Hitam itu... berhasil memukul punggungku."

"Hemmm, sekarang ke manakah engkau hendak pergi?" tanya Liu Bhok Ki kini sudah berada kembali di depan gadis itu sambil memperhatikan wajah yang bulat berkulit putih dan bermata tajam itu.

"Aku akan melanjutkan perjalanan mungkin ke kota raja. Aku sedang mencari Pamanku..." kata gadis itu lirih dan hati-hati karena kalau dipakai bicara, dadanya seperti ditusuk rasanya.

Liu Bhok Ki menggeleng-geleng kepalanya. "Nona, engkau perlu mengaso dan perlu perawatan. Keadaanmu tidak memungkinkan engkau melakukan perjalanan, apalagi yang jauh dan seorang diri pula. Engkau seorang gadis muda, itu akan menghadapi banyak rintangan di jalan dan dalam keadaan seperti ini, itu akan berbahaya sekali. Kalau engkau mau, Nona, marilah engkau ikut bersamaku. Aku akan melanjutkan perjalanan dengan berperahu sehingga tidak melelahkan dan kalau tiba di tempat tinggalku, aku akan merawatmu sampai sembuh. Kalau engkau sudah sembuh dan sehat kembali, baru engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Sekarang tidak perlu banyak bicara. Kalau engkau mau, marilah."

Gadis itu nampak ragu dan bingung, ucapan kakek itu memang benar. Ia terluka parah dan dalam keadaan seperti itu, kalau muncul orang-orang jahat, dan mengganggunya, tentu ia tidak akan mampu membela diri lagi. Akan tetapi, ia baru saja bertemu dengan kakek ini. Sama sekali tidak mengenalnya dan tidak tahu orang macam apakah adanya kakek ini.

"Lo-cian-pwe... siapakah...?" Akhirnya ia memberanikan diri bertanya belum mengambil keputusan.

Liu Bhok Ki tersenyum. Dia dapat menduga apa yang membuat gadis itu meragu, maka dia pun menjawab, "Harap engkau jangan khawatir, Nona. Aku Bhok Ki. disebut orang Sin-tiauw dan selamanya aku tidak pernah berbuat jahat apalagi kepada seorang gadis muda yang sepantasnya menjadi anakku."

Sepasang mata bintang itu terbelak "Ah, kiranya Lo-cian-pwe adalah Sin tiauw Liu Bhok Ki? Paman pernah bercerita kepadaku tentang Lo-cian-pwe."

"Siapakah Pamanmu itu?"

"Dia bernama Lie Koan Tek "

"Lie Koan Tek? Tokoh Siauw-Lim pai itu? Pantas kulihat tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu adalah ilmu pedang Siauw Lim-pai. Kiranya engkau murid Siauw lim-pai! bagaimana, Nona? Apakah engkau menerima usulku tadi demi kebaikan sendiri?"

Keraguan kini lenyap sama sekali dan mata gadis itu. Sudah lama ia dengar tentang nama besar Sin-tiauw Liu Bhok Ki sebagai seorang pendekar perkasa walaupun menurut pamannya, watak pendekar ini aneh dan keras. Namun, ia tidak melihat kekerasan dalam sepak terjangnya tadi.

"Baiklah, Lo-cian-pwe dan sebelumnya terima kasih atas kebaikan Lo-cian-pwe kepadaku."

"Hemmm, siapakah namamu? Sudah pantasnya aku mengetahuinya."

Gadis itu agak tersipu. Orang telah melimpahkan bantuan kepadanya dan ia pun lupa untuk memperkenalkan namanya! "Namaku Bi Lan, Lo-cian-pwe."

"Nah, Bi Lan, mari kau ikut dengan aku. Terpaksa engkau harus kupondong karena kakimu itu akan menjadi bengkak kalau kau pakai berjalan jauh. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dan setelah tiba di sana, kita selanjutnya menggunakan perahu."

Gadis itu tidak membantah, dan ia melawan perasaan malunya dengan memejamkan mata ketika merasa betapa tubuhnya diangkat oleh lengan yang kokoh kuat itu. Sambil memondong tubuh gadis i Liu Bhok Ki mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dalam waktu dua jam saja dia sudah tiba di Sungai Huang ho. Dia lalu menyewa perahu melanjutkan perjalanan sampai ke kaki bukit Kim-hong-san di lembah Huang-ho.

Kemudian, kembali dia memondong tubuh Bi Lan mendaki puncak dan semenjak hari itu Sin-tiauw Liu Bhok Ki merawat Bi Lan dengan penuh perhatian. Gadis itu merasa terharu dan bersukur sekali karena kakek itu merawatnya dengan penuh ketelitian seolah-olah ia dirawat oleh ayahnya sendiri. Setelah gadis itu agak pulih kesehatannya dan tidak lagi nyeri dadanya kalau bicara, barulah Liu Bhok Ki menanyakan riwayatnya. Bi Lan kini tinggal sedikit lemah saja, akan tetapi luka-lukanya sudah sembuh, baik luka di badan maupun luka di dalam dadanya...