Naga Beracun Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PANGERAN Li Si Bin tertawa lalu berkata kepada para dayang. "Kalian melihat sendiri. Contohlah wanita ini! Nah. kalian singkirkan guci arak ini, tutup dan simpan untuk penyelidikan nanti. Ambil arak lain yang tidak terlalu keras, dan anggur untuk Kwa lihiap (Pendekar Wanita Kwa). Bi Lan, mari kita makan siang, jangan sampai peristiwa tadi mengganggu makan siang kita."

Bi Lan mengangkat mukanya, memandang wajah pangeran itu, lalu matanya mengamati hidangan yang berada di atas meja, matanya membayangkan keraguan.

"Jangan khawatir, aku mempunyai batu kemala yang dapat kita pergunakan untuk menguji apakah ada masakan yang mengandung racun," kata pangeran itu dan iapun mempergunakan batu kemala tadi, setelah membersihkannya, untuk menguji semua masakan.

Ternyata hanya arak dalam guci sajalah yang mengandung racun, maka mereka lalu makan minum dengan hati tenang. Sambil makan dan minum, yang di layani oleh para dayang yang kini menjadi gembira sekali, dan ditemani Bi Lan yang sudah tidak sungkan atau canggung lagi, Pangeran Li Si Bin mengajak wanita itu bercakap-cakap. Akan tetapi, tiba-tiba kepala pengawal, yaitu Siok-ciangkun mohon menghadap. Maklum bahwa hal itu tentu ada hubungannya dengan yang diceritakan Bi Lan tadi, Pangeran Li Si Bin menyuruh panglima itu masuk.

Siok-ciangkun memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, melaporkan bahwa seorang thai-kam terbunuh di dapur istana, dan seorang laki-laki gendut yang ternyata seorang bekas thai-kam istana yang dikeluarkan, kedapatan mati terbunuh pula di taman.

"Hemm, kami sudah tahu, ciangkun. Thai-kam itu dibunuh oleh laki-laki gendut, dan laki-laki itu membunuh diri menelan racun ketika ditangkap oleh Kwa-lihiap ini. Jangan perkenankan orang keluar masuk istana hari ini. Aku sendiri yang akan memeriksa seluruh pelayan, thai-kam dan pengawal dalam istana. Kumpulkan mereka dan tak seorangpun boleh meninggalkan istana hari ini."

Setelah berkata demikian. Pangeran Li Si Bin memberi isyarat kepada Siok-ciangkun untuk meninggalkan ruangan makan. Dengan sikap tenang, dia lalu melanjutkan makan minum dan bercakap-cakap. Sikap pangeran ini menambah kekaguman dalam hati Bi Lan. Sungguh bukan sikap seorang pembesar yang sewenang-wenang ataupun cengeng, melainkan sikap seorang pendekar!

"Bi Lan, dahulu pernah aku mendengar nama besar Pendekar Rajawali Sakti yang kukagumi. Dia seorang pendekar yang terkenal dan sungguh merupakan suatu keberuntungan bahwa kini isteri pendekar itu mau membantu kami. Kalau boleh kami ketahui, bagaimana semuda ini engkau sudah menjadi janda? Apa yang menyebabkan kematian suamimu?"

Bi Lan tahu bahwa berhadapan dengan pangeran ini, tidak perlu menyembunyikan keadaannya. Juga beberapa orang dayang itu merupakan orang-orang kepercayaan, maka tidak ada salahnya kalau mereka hadir pula dalam percakapan ini, walaupun kini mereka nampak tidak mendengarkan percakapan itu.

"Suami hamba meninggal dunia karena sakit tua. pangeran," jawabnya singkat. "Karena tidak betah lagi tinggal dirumah, hamba lalu mengajak Lan Lan untuk pergi mengembara."

"Dan bagaimana dengan Siauw Can yang datang bersamamu di kota raja?" pangeran itu bertanya seperti sambil lalu, namun pandang matanya menyelidik.

Diam-diam Bi Lan terkejut dan semakin kagum. Pangeran ini tentu mempunyai banyak mata-mata yang tersebar di seluruh kota raja, sehingga tidak aneh kalau dia sudah tahu pula tentang Siauw Can! Jantungnya berdebar. Tahu pulakah pangeran ini bahwa Siauw Can sesungguhnya adalah Can Hong San dan dahulu pernah membela Kerajaan Sui ketika digulingkan oleh pangeran ini dan pasukannya? Bagaimanapun juga, ia dan Siauw Can telah memperkenalkan diri sebagai saudara misan kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, maka iapun harus tetap berpegang kepada pengakuan itu.

"Dia adalah kakak misan hamba pangeran. Diapun ingin mencari pekerjaan, dan kami mengadakan perjalanan bersama ke kota raja." jawabnya singkat.

Kini pandang mata pangeran itu semakin tajam penuh selidik sehingga kembali Bi Lan harus menundukkan mukanya. "Bi Lan, apakah hanya itu hubunganmu dengan Siauw Can? Hanya saudara misan dan tidak ada hubungan lainnya?"

Bi Lan tidak berani mengangkat mukanya, dan kedua pipinya terasa panas. Terbayanglah peristiwa malam itu, dimana ulah Siauw Can menghapus semua perasaan suka dan kagumnya terhadap pemuda itu. Ia tidak berbohong kalau sekarang, ia menggelengkan kepala dengan tegas dan mengangkat muka menentang tatapan mata pangeran itu dengan berani dan berkata,

"Kami hanya datang bersama ke kota raja. Selain hubungan misan, tidak ada hubungan apapun di antara kami. Kenapa paduka bertanya demikian, pangeran?"

"Aku ingin memperoleh kepastian tentang dirimu, Bi Lan. Aku merasa kagum dan juga kasihan kepadamu, Bi Lan. Engkau hidup sebagai seorang janda, dan harus menjaga seorang anak, dan engkau masih begini muda..."

Bi Lan tersenyum. Hampir lupa ia bahwa berhadapan dengan seorang pangeran, bahkan putra mahkota, calon kaisar, dan bahkan orang yang paling besar kekuasaannya di seluruh negeri, lebih besar dari pada kaisar sendiri. Ucapan pangeran itu demikian wajar dan biasa, seperti ucapan seorang laki-laki biasa saja. Ia menjadi semakin kagum.

"Maaf, pangeran, hamba yakin bahwa hamba lebih tua dari paduka. Usia hamba sudah duapuluh empat tahun..."

Pangeran Li Si Bin tertawa, bebas dan bergelak sehingga wajahnya yang tampan dan gagah itu nampak kekanak-kanakan. "Ha-ha-ha, bagaimanapun juga, aku merasa jauh lebih tua darimu, Bi Lan...!"

Mereka tidak bercakap-cakap lagi atau lebih tepat, pangeran itu tidak bicara lagi, maka Bi Lan juga tidak berani berkata apapun. Mereka melanjutkan makan minum sampai selesai dan wajah pangeran itu cerah berseri. Dia lalu bangkit berdiri.

"Aku harus mengadakan pemeriksaan sendiri dan melakukan pembersihan. Siapa tahu, di antara para pelayan dan pengawal di istana telah dikuasai pihak yang memusuhi kami."

Bi Lan bangkit dan memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih, berdiri menanti sampai sang pangeran meninggalkan ruangan makan itu sambil melemparkan senyum ramah kepadanya. Seorang pangeran yang gagah perkasa, tampan, agung dan sopan, pikir wanita itu, terbuai lamunan muluk ketika ia meninggalkan istana, kembali ke istana Pangeran Tua Li Siu Ti dengan sebuah kereta yang telah dipersiapkan untuk keperluannya setiap hari.

Begitu tiba di Istana Pangeran Tua, baru ia turun dari kereta, bukan hanya Lan Lan dalam pondongan pengasuh Cu-ma, akan tetapi juga nampak Siauw Can menyambutnya. Wajah pemuda itu nampak tegang dan ketika Bi Lan memondong puterinya yang dengan girang merangkulnya, Siauw Can bertanya, tidak memperdulikan ada Cu-ma di situ dan ada beberapa orang pengawal yang berjaga di depan Istana itu.

"Lan-moi, apakah yang terjadi di istana! Engkau baru saja pulang dari sana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi!" Pemuda itu nampak tegang.

Bi Lan mengerutkan alisnya dan memandang kepada pemuda yang pernah menggerakkan hatinya akan tetapi yang kini amat dicurigainya itu. "Bagaimana engkau tahu bahwa ada terjadi sesuatu di istana?" Ia balas bertanya dan sinar matanya memandang penuh selidik.

Melihat sinar mata Bi Lan, Siauw Can bersikap tenang. "Aih, tentu saja aku tahu, Lan-moi. Baru saja Pangeran Tua dipanggil ke istana dengan pesan agar segera datang menghadap karena ada urusan yang teramat penting. Pangeran Tua sendiri yang berkata kepadaku bahwa panggilan itu tidak seperti biasanya, dan hal itu hanya berarti bahwa di istana telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Nah, engkau baru saja datang dari istana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi."

Kecurigaan hati Bi Lan menghilang. Kiranya Pangeran Li Siu Ti telah dipanggil ke istana, tentu ada hubungannya dengan keinginan Pangeran Mahkota untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan terhadap para pelayan dan pengawal, semua petugas di istana. Dan tidak aneh kalau Siauw Can menanyakan apa yang telah terjadi di istana. Ia tidak ingin urusan itu didengar orang lain, maka sambil memondong Lan Lan, iapun berkata singkat,

"Kita bicara didalam saja."

Setelah mereka berada di ruangan dalam, mereka disambut oleh Li Ai Yin yang juga segera mengajukan pertanyaan kepada Bi Lan, "Enci Bi Lan, apakah yang telah terjadi di Istana?"

Bi Lan menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merangkul puterinya, lalu menarik napas panjang, "Ada orang mencoba untuk meracuni Pangeran Mahkota..."

"Ihhh...!" Ai Yin menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Betapa mengerikan. Dan bagaimana keadaan kakanda pangeran?"

Dari sikap dan ucapan gadis bangsawan itu, Bi Lan tahu bahwa bagaimanapun juga, ada perasaan sayang di hati gadis itu terhadap kakak sepupunya. "Jangan khawatir, nona. Beliau sehat-sehat saja karena arak beracun itu tidak sampai diminumnya."

"Lan-moi, bagaimana terjadinya? Siapa yang hendak meracuni Pangeran Mahkota dan bagaimana pula caranya, bagaimana pula usaha pembunuhan keji itu dapat digagalkan?" tanya Siauw Can ingin tahu sekali.

"Benar, enci Bi Lan. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya terjadi? Akupun ingin tahu sekali." kata Ai Yin.

"Nanti kalau Pangeran Tua pulang, tentu beliau dapat bercerita lebih jelas," kata Bi Lan mengelak.

"Tidak, aku ingin mendengar dari sekarang, enci Bi Lan! Aku sudah tidak sabar menanti pulangnya ayah!" kata gadis bangsawan itu.

Bi Lan terpaksa. Bagaimanapun juga, Pangeran Tua tentu akan mendengar segalanya dan kedua orang ini akan mendengarnya juga. Kalau ia bertahan dan tidak mau menceritakan, tentu menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Iapun menghela napas panjang.

"Siang tadi, ketika aku beristirahat dan berjalan-jalan seorang diri di taman bunga istana, aku melihat bayangan orang ke dapur istana. Aku menjadi curiga dan membayangi. Dia seorang gendut yang bertemu dengan seorang thai-kam di dapur. Aku mendengar thai-kam itu menegur si gendut mengapa ia harus memberikan guci arak itu kepada Pangeran Mahkota. Si gendut lalu membunuh thai-kam itu. Tentu saja aku mengejarnya, dia lari ke dalam taman dan aku berhasil merobohkannya. Ketika aku hendak menangkapnya, dia menelan racun dan mati seketika. Aku mengkhawatirkan kesehatan Pangeran Mahkota, maka cepat aku memasuki ruangan makan. Ketika melihat pangeran hendak minum arak dari sebuah guci, aku teringat akan ucapan thai-kam yang terbunuh dan kusambit cawan di tangan pangeran itu dengan sumpit. Ketika diperiksa, arak itu memang beracun!"

Ai Yin merangkul Bi Lan. "Aih, engkau hebat, enci Bi Lan. Engkau pantas menjadi guruku. Wah, namamu tentu akan tersohor di istana, aku ikut bangga karena engkau guruku. Dan telah menyelamatkan nyawa kakanda pangeran! Bukan main!" Gadis itu girang sekali. Karena ia dirangkul. Bi Lan terhalang dan tidak melihat perubahan pada wajah Siauw Can.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

"Hemm, bagaimanapun baiknya siasat itu, ternyata telah gagal dan bagaimana kalau thai-kam dan bekas thai-kam itu dapat tertangkap hidup-hiup? Tak dapat aku membayangkan akibatnya. Kalian berdua harus bekerja lebih baik dan hati-hati!"

Pangeran Tua Li Siu Ti mengomel panjang-pendek di dalam kamar pertemuan yang tertutup rapat itu. Mereka bertiga, Pangeran Tua Li Siu Ti, Poa Kiu, dan Siauw Can, membicarakan tentang usaha pembunuhan terhadap Pangeran Li Si Bin yang gagal. Usaha pembunuhan itu memang hasil siasat Poa Kiu dan Siauw Can.

Siauw Can mengepal tinju. "Pangeran, kalau tidak karena ulah Bi Lan, kalau tidak kebetulan Bi Lan berada di sana, tentu sekarang ini Pangeran Mahkota telah tewas!"

"Bagaimana juga, harap paduka tidak menjadi khawatir. Hamba telah berlaku amat hati-hati. Andaikata bekas thai-kam itu tertangkap hidup-hiduppun, dia tidak akan tahu siapa yang memberi banyak uang emas kepadanya dan yang menyurur dia menyelundupkan arak beracun ke istana. Juga, dia telah kami ancam tanpa dia mengenal kami, bahwa kalau dia tertawan, dia harus membunuh diri dengan racun. Kalau tidak, maka seluruh keluarganya di dusun akan kami bunuh. Dan ternyata ancaman itu cukup ampuh. Buktinya, dia memilih membunuh diri dari pada tertawan, sedangkan keluarganya di dusun dapat menikmati hidup berkecupan dengan upah yang telah kami berikan kepadanya."

Sang pangeran mengangguk-angguk dan wajahnya yang tadinya diliputi kegelisanan kini menjadi terang kembali, sikapnya menjadi tenang, lalu dia duduk berhadapan dengan dua orang kepercayaannya. "Lalu, apa yang dapat kita lakukan selanjutnya?"

"Harap paduka jangan tergesa-gesa. Kegagalan itu membuat Pangeran Mahkota menjadi waspada. Bahkan kabarnya para petugas di istana akan dipilih dengan seksama dan penjagaan diperketat. Tidak mungkinlah dalam waktu dekat ini menyelundupkan orang ke dalam istana. Kita harus nanti saat yang tepat dan kesempatan yang baik, pangeran."

"Hemm, engkau memang benar, Poa Kiu. Aku sebagai penasihat kaisar, tadi juga menasehati agar para petugas diganti dan dilakukan pemilihan yang cermat. Hal itu untuk menjauhkan diriku dari persangkaan. Akupun menasehatkan kepada kaisar agar mayat kedua orang itu digantung di pintu gerbang agar semua rakyat melihatnya dan agar tidak ada yang berani lagi melakukan percobaan pembunuhan di istana. Akan tetapi, sampai kapan kita harus menanti kesempatan?"

"Pangeran, usaha membunuh Pangeran Mahkota, untuk sementara ini harus ditangguhkan. Hal ini selain amat sukar, juga amat berbahaya bagi selamatan paduka sendiri. Kita harus mencari cara lain yang lebih halus."

"Cara lain yang bagaimana?" tanya Pangeran Tua tak sabar.

"Misalnya, dengan usaha agar Pangeran Mahkota mendapat nama buruk dan dikecam rakyat sebagai seorang pemuda yang tidak pantas kelak menggantikan ayahnya menjadi kaisar. Menonjolkan bahwa dia hanyalah keturunan darah Turki, dan kalau mungkin, kita usahakan agar Permaisuri bentrok dengan Pangeran Mahkota, atau setidaknya ada terjadi pertentangan di antara mereka..."

Pangeran Tua mengangguk-angguk. "Siasat ini baik sekali dan perlahan-lahan boleh kau cari jalannya untuk melaksanakannya. Akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak boleh tersangkut, karena aku adalah penasihat kaisar, bahkan kalau perlu, andaikata sampai terjadi kebocoran, aku tidak segan-segan untuk menasehatkan menghukum mereka yang mengacau di istana! Nah, engkau harus berhati-hati sekali, Poa Kiu. Jangan sampai rahasiamu terbongkar dan terpaksa aku harus menasehatkan kaisar agar menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu dan keluargamu!"

Poa Kiu bergidik. "Hamba mengerti, Pangeran. Yang pertama adalah keselamatan paduka tidak tersangkut, dan ke dua barulah berhasilnya siasat itu."

"Bagus kalau engkau sudah mengerti. Engkau boleh bekerja sama dengan Siauw Can. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Siauw Can? Apakah kau memiliki siasat lain, kecuali yang sudah dikemukakan Poa Kiu?"

"Hamba masih mempunyai satu harapan untuk melenyapkan Pangeran Mahkota, pangeran..."

"Hushhhhh! Engkau akan memancing bahaya bagi kita? Tadi sudah dibicarakan bahwa untuk sementara waktu ini, tidak mungkin siasat itu dilaksanakan. Siapa yang akan mampu menembus benteng pertahanan para pengawal di istana?"

"Hamba sendiri tidak dapat, akan tetapi ada orang yang dapat, pangeran."

"Siapakah dia?"

"Ia adalah adik misan hamba sendiri, Bi Lan."

Sepasang mata yang cerdik dan licik dari Pangeran Tua Li Siu Ti nampak berseri. Seketika iapun dapat melihat kemungkinan itu. "Ah, engkau benar! Setiap hari Bi Lan memasuki istana, tentu saja ia tidak dicurigai, apa lagi baru saja ia yang menyelamatkan nyawa Pangeran Mahkota. Akan tetapi apakah ia mau membantu?" Pangeran Tua mengerutkan alisnya, ragu-ragu karena dia sudah melihat sikap Bi Lan. Wanita itu keras hati dan agaknya sukar ditundukkan.

"Kita harus bekerja dengan tenang dan hati-hati, pangeran. Memang adik misan hamba itu keras kepala dan keras hati. Akan tetapi hamba akan membujuknya perlahan-lahan agar ia mau membantu."

Biarpun mulutnya berkata demikian, di dalam, hatinya Siauw Can yakin benar bahwa Bi Lan tidak mungkin mau kalau disuruh mencelakai Putera Mahkota, apa lagi membunuhnya. Kalau dia berani berjanji Kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, itu adalah karena dia hendak mempergunakan cara lain untuk memaksa Bi Lan suka bekerja sama! Ada Poa Kiu yang dapat membantunya. Dengan kerja sama yang baik, tentu mereka berdua akan mampu menundukkan Bi Lan dan kalau wanita itu sudah mau bekerja sama, membinasakan pangeran Li Si Bin bukan merupakan hal yang mustahil lagi.

********************

"Terlalu! Sungguh keterlaluan sekali! Orang-orang Turki mencoreng muka kita dengan kotoran, mencemarkan kehormatan keluarga dan menghina kita dan paduka membiarkan begitu saja? Apakah Baducin dan anak buahnya yang biadab itu tidak akan mentertawakan paduka? Selir paduka di culik, diperkosa dan dibunuh, dan paduka hanya diam mengelus dada saja! Apakah karena permaisuri muda orang Turki, lalu paduka membiarkan saja keluarga kita diinjak-injak kehormatannya?"

Permaisuri itu berkata dengan nada suara yang penasaran dan kesedihan, sambil menggunakan sapu tangan menghapus air mata yang jatuh berderai! Kaisar Tang Kao Cu duduk dengan wajah muram, alisnya berkerut dan berulang kali dia menghela napas panjang.

"Tenanglah dan jangan menuruti perasaan saja. Bukankah Gala Sing, putera Raja Muda Baducin yang berdosa itu telah menerima hukumannya dan tewas?"

"Apakah cukup dengan itu? Tentu orang-orang Turki itu akan berpendapat bahwa semua wanita dalam istana ini boleh saja diganggu dan dihina, kalau tertangkap mungkin dibunuh, akan tetapi kalau tidak? Mereka semua akan menertawakan keluarga istana!" kata pula sang permaisuri dengan marah.

Kaisar Tang Kao Cu kehilangan kesabarannya dan memandang kepada permaisurinya dan bertanya kaku, "Habis, kalau menurut pendapatmu, kita harus berbuat apa terhadap mereka?"

"Mereka adalah orang-orang biadab, orang-orang asing yang sepantasnya diusir semua dari negara kita. Perintahkan mereka pulang ke negara mereka sendiri dan jangan lagi memperbolehkan mereka berada di kota raja!"

"Akan tetapi, hal itu tidak mungkin! Engkau tahu bahwa Pangeran Mahkota Li Si Bin amat membutuhkan bantuan mereka untuk menundukkan para pemberontak yang masih mengacau di sana sini. Dan engkau tentu tahu pula bahwa merekalah yang membantu kita menggulingkan Kerajaan Sui. Li Si Bin sendiri yang minta kepada kami untuk lebih mementingkan urusan negara daripada urusan pribadi. Dan di antara kami dan Raja Muda Baducin telah berdamai, saling memaafkan."

"Paduka telah dipengaruhi orang-orang Turki! Aihh, nasib kami sungguh celaka, dapat dihina oleh orang-orang biadab tanpa kami dapat berdaya sama sekali." Permaisuri menangis.

Kaisar Tang Kao Cu menjadi jengkel dan dia meninggalkan permaisurinya. Dia tahu bahwa permaisurinya itu bagaimanapun juga adalah seorang wanita yang tidak lepas dari pengaruh cemburu. Karena permaisuri tidak mempunyai putera, dan dia mengangkat ibu Li Si Bin, seorang wanita Turki, sebagai permaisuri muda, bahkan sebagai ibu kandung putera mahkota, maka tentu saja permaisuri merasa tersisihkan dan merasa diancam kedudukannya.

Dia sendiri tadinya memang marah bukan main kepada Raja Muda Baducin, pemimpin orang-orang Turki karena selirnya diculik, diperkosa dan sampai membunuh diri, oleh putera Baducin. Akan tetapi, puteranya, Pangeran Li Si Bin membujuknya dan menyadarkannya. Dan biarpun dia seorang ayah, biar dia yang menjadi kaisar, namun dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat membantah puteranya itu. Puteranya yang menjadi panglima besar, puteranya yang berhasil memimpin pasukan menggulingkan kerajaan Sui, bahkan puteranya yang mengangkat dia menjadi kaisar!

Sejak percakapan itu terjadi, permaisuri mulai diracuni dendam kebencian terhadap Pangeran Mahkota Li Si Bin, anak tirinya yang dianggapnya keturunan bangsa biadab! Dan dengan sendirinya iapun menerima dengan hati terhibur ketika adik suaminya. Pangeran Li Siu Ti, mendekatinya. Pangeran Li Siu Ti adalah adik kaisar.

Dan karena keduanya sama-sama tidak suka kepada Pangeran Mahkota yang berdarah Turki itu tentu saja mereka merasa saling cocok dan hal ini memudahkan Pangeran Li Siu Ti untuk menyelundupkan seorang thai-kam baru sebagai pelayan di istana bagian puteri, tentu saja mereka dengan bantuan Permaisuri yang tidak tahu bahwa thai-kam baru yang diusulkan Pangeran Li Siu Ti itu bertugas sebagai mata-mata di dalam istana!

Bukan itu saja usaha yang dilakukan oleh Pangeran Li Siu Ti yang menugaskan Poa Kiu dan Siauw Can untuk mengatur segala macam siasat demi tercapainya tujuannya, yaitu merusak nama baik Pangeran Mahkota atau kalau mungkin membunuhnya,agar kelak mahkota dapat terjatuh ke tangan Pangeran Li Siu Ti!

Seperti juga keadaan hati akal pikiran setiap orang di dunia ini, juga Pangeran Li Siu Ti, Poa Kiu maupun Siauw Can, sama sekali tidak merasa bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang tidak baik. Setiap manusia akan selalu membenarkan tindakan mereka, selama tindakan itu bertujuan baik bagi diri sendiri.

Hati dan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu mementingkan pamrih dalam setiap perbuatan, pamrih untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri, dan setiap kali hati nurani mencela dan menegur perbuatan itu, maka hati dan akal pikiran akan menjadi pembela yang gigih dan cerdik, selalu akan mencari alasan-alasan kuat untuk membenarkan tindakan mereka.

Pangeran Li Siu Ti tidak pernah merasa bahwa perbuatannya itu didorong oleh iri dan keinginan untuk berkuasa, melainkan menganggap sebagai perbuatan yang baik karena dia menganggap bahwa Li Si Bin tidak pantas menjadi calon kaisar. Seorang berdarah Turki tidak patut menjadi kaisar dan dialah yang lebih berhak dan lebih pantas. Poa Kiu juga menganggap semua tindakannya benar karena hal itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu yang setia.

Juga Siauw Can menganggap dirinya benar karena dia ingin memperoleh kedudukan yang baik dan wajarlah kalau dia membantu Pangeran Li Siu Ti yang dianggapnya akan dapat menariknya ke tingkat yang tinggi. Hanya ada sebuah hal yang selalu meresahkan hati Siauw Can, yaitu mengenal Kwa Bi Lan. Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan. Kalau malam itu dia berusaha menggauli Bi Lan, bukan semata-mata karena ia tidak mampu mengendalikan nafsu berahinya. Sama sekali bukan.

Dia mencinta Bi Lan dan ingin memperisteri wanita itu. Akan tetapi, kemudian setelah dia melihat Ai Yin, akal pikirannya bekerja dan dia melihat betapa cita-citanya akan dapat tercapai kalau dia dapat memperisteri Ai Yin! Dia akan menjadi mantu Pangeran Tua yang kelak mungkin akan menjadi kaisar! Dia ingin memperisteri Ai Yin karena ingin memperoleh kedudukan tinggi, berbeda dengan keinginannya memperisteri Bi Lan karena memang mencinta janda itu.

Maka, diapun ingin menjadi suami Ai Yin akan tetapi tidak ingin kehilangan Bi Lan, dan dia berusaha menggauli janda itu karena sekali janda itu telah menyerahkan diri kepadanya, tentu takkan dapat terlepas lagi dan dia akan mengambil Bi Lan sebagai isteri ke dua! Akan tetapi, Bi Lan menolak, bahkan marah-marah dan sejak itu, sikap Bi Lan dingin terhadapnya. Ini yang amat meresahkan hati Siauw Can.

Sekarang, sesuai dengan rencana yang diatur bersama Poa Kiu, bukan hanya cinta yang mendorong Siauw Can untuk memiliki Bi Lan, melainkan juga untuk dapat memperalat janda itu yang kini mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Li Si Bin dan setiap hari memasuki istana kaisar. Siauw Can mulai mendekati Bi Lan dan dengan wajah penuh penyesalan, dengan suara menggetar sedih dia membujuk Bi Lan pada suatu sore, ketika mendapatkan kesempatan bicara empat mata dengan janda muda itu.

"Lan-moi, kenapa engkau masih nampak marah kepadaku? Sudah berkali-kali aku minta maaf kepadamu. Lan-moi, aku memang bersalah malam itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta padamu, aku rindu padamu dan malam itu aku tidak dapat menahan diri sehingga melakukan hal yang tidak sepatutnya kulakukan. Aku minta maaf, Lan-moi."

Bi Lan menarik napas panjang. Sebetulnya, ia pernah tertarik kepada pemuda ini dan betapa akan mudahnya membalas cintanya. Akan tetapi, peristiwa malam itu sungguh telah menyapu bersih semua perasaannya terhadap Siauw Can! Biarpun demikian, ia tidak dapat merasa benci kepada pemuda ini, karena iapun dapat memakluminya sekarang.

Ia teringat akan semua kebaikan Siauw Can, teringat betapa pemuda itulah yang mengajaknya ke kota raja sehingga kini ia mendapatkan pekerjaan yang baik dan terhormat. Semua penghuni istana kaisar bahkan menghormatinya karena ia telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Mahkota. Semua itu dapat terjadi karena Siauw Can yang mengajaknya ke kota raja. Kalau ia tidak bertemu dengan pemuda itu, entah bagaimana keadaannya sekarang.

"Can-toako, aku sudah melupakan peristiwa itu. Aku memaafkanmu, akan tetapi kuminta mulai saat ini, engkau jangan lagi bicara tentang cinta padaku. Aku hanya akan menjadi muak dan teringat akan peristiwa itu lagi saja. Kita hanya sahabat, toako, dan untuk membalas semua kebaikanmu, aku berjanji tidak akan membuka rahasia dirimu kepada siapapun juga."

Hanya itulah yang dapat dihasilkan Siauw Can biarpun dia sudah mencoba untuk bersikap manis, lembut, merendah bahkan merengek terhadap Bi Lan. Agaknya janda itu sudah menutup pintu hatinya terhadap cintanya! Sikap Bi Lan ini, selain mengecewakan hati Siauw Can karena cintanya ditolak, juga membuat dia bingung. Dia harus dapat memperalat Bi Lan demi membuat jasa besar kepada Pangeran Tua. Diapun merundingkan hal ini dengan Poa Kiu, mengatur siasat.

Siauw Can juga tak pernah lalai memperhatikan Ai Yin. Sejak semula dia sudah berusaha mendekati gadis bangsawan itu dan dia mengerahkan segala daya untuk menaklukkan hati gadis itu. Dia memang tampan, lincah dan pandai bicara. Apalagi karena dia mendapatkan kesempatan. Ai Yin bukan hanya belajar ilmu silat dari Bi Lan, akan tetapi juga seringkali meminta petunjuk darinya dan setiap kali Bi Lan pergi ke istana untuk melatih para dayang istana, Siauw Can selalu mempergunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk kepada Ai Yin.

Dengan sendirinya, pergaulan mereka menjadi akrab dan gadis bangsawan yang kurang pengalaman itu, yang memiliki pembawaan manja dan genit, tentu saja mudah runtuh oleh seorang pria yang berpengalaman seperti Siauw Can. Pemuda ini bukan saja mempergunakan ketampanan dan kegagahannya untuk menarik perhatian, bahkan dia mempergunakan kekuatan sihirnya yang pernah dia pelajari dari mendiang ayahnya. Terhadap seorang yang memiliki tenaga sakti sekuat Bi Lan, kekuatan sihirnya itu tidak akan bermanfaat. Akan tetapi terhadap Ai Yin, guna-guna sihir yang dipergunakan Siauw Can tentu saja amat ampuh!

Siauw Can bersikap hati-hati dan lembut, tidak mau mempergunakan kekerasan, tidak mau terseret oleh nafsunya sendiri yang bahkan mungkin dapat menggagalkan usahanya. Dia harus dapat memikat Ai Yin dan mendapatkan gadis itu sebagai isterinya secara terhormat, dapat diterima dengan baik oleh gadis itu dan keluarganya. Maka diapun berperan sebagai seorang pemuda yang sungguh jatuh cinta, yang sopan dan menghormati gadis yang dicintanya!

Ketika dia pada suatu pagi, setelah memberi petunjuk ilmu silat kepada Ai Yin, melihat kesempatan baik, diapun mendekati Ai Yin yang duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Gadis itu tampak segar, kedua pipinya kemerahan, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah oleh keringat setelah tadi berlatih silat dan menggunakan tenaga. Ia tersenyum, cerah dan menyusut keringat dengan saputangan sambil memandang kepada Siauw Can dengan wajah berseri.

"Bagaimana pendapatmu, toako? Sudah majukah gerakanku?" Ai Yin memanggil pemuda itu toako (kakak) menirukan Bi Lan. Dia tidak senang kalau disebut taihiap (pendekar besar), maka Ai Yin menyebutnya toako yang menyenangkan kedua pihak.

"Baik sekali, nona. Engkau memang berbakat, gerakanmu cukup cekatan, cukup kuat, cepat dan indah. Bahkan gerakanmu lebih indah dibandingkan gerakan Lan-moi."

Ai Yin tertawa dan ketika mulutnya terbuka, nampak rongga mulut yang merah dan deretan gigi yang putih dan rapi. "Hi-hik. Engkau memuji terlalu tinggi, toako. Mana mungkin gerakanku lebih indah dibandingkan gerakan enci Lan? Engkau merayu, ya?"

Siauw Can tersenyum, akan tetapi lalu berkata dengan serius. "Sungguh mati, aku berani bersumpah, nona. Aku tidak merayu, dan bukan memuji kosong, hanya berkata sesungguhnya. Tentu saja engkau tidak dapat menyamai kelihaian Lan-moi, akan tetapi dalam keindahan gerakan, nona jauh lebih hebat. Kalau nona bermain silat, gerakanmu seperti seorang bidadari sedang menari, gerakan kaki tangan dan badanmu..."

Wanita mana di dunia ini yang hatinya tidak runtuh menghadapi pujian, apa lagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pria muda tampan? Bahkan andaikata ia tahu bahwa pujian itu hanya rayuan gombal sekalipun, hati wanita itu akan berkembang dan penuh rasa senang dan bangga! Agaknya memang sudah pembawaan alam, berlaku untuk mahluk apapun juga, betina selalu suka sekali dipuji dan pria selalu suka sekali memuji! Percaya atau tidak bahwa pujian Siauw Can itu benar, tetap saja hati Ai Yin menjadi senang bukan main dan tawanya lepas dan gembira.

"Jangan bohong kau, Can-toako! Enci Lan seringkali menegurku, mengatakan bahwa yang membuat gerakanku kaku adalah badanku, ehh... pinggulku, katanya terlalu menonjol ke belakang!"

Siauw Can membelalakkan matanya dan berkata dengan nada penuh penasaran, "Ah, Lan-moi terlalu kejam untuk mencelamu. Hem, menurut penglihatankku, justeru pinggulmu amat indah bentuknya dan membuat gerakanmu nampak serasi dan menawan!"

Kembali Ai Yin tersenyum, akan tetapi sekali ini ia mengerling genit dan kedua pipinya agak kemerahan. Siauw Can yang sudah berpengalaman dapat melihat bahwa gadis itu sudah mulai terpikat. Dia mengenal batas dan tidak melanjutkan rayuannya karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan. Dia bersikap biasa kembali dan dengan sopan dia mulai pula memberi petunjuk-petunjuk sehingga gadis itu kehilangan rasa canggungnya.

Akan tetapi diam-diam benih yang ditanam Siauw Can mulai tumbuh, dan sepasang mata yang manja itu mulai memandang Siauw Can bukan hanya karena kagum akan kepandaiannya, akan tetapi juga dengan perhatian yang lain, perhatian seorang gadis remaja yang mulai tertarik kepada seorang pria yang menyenangkan hatinya, yang pandai mengelus perasaannya. Jerat mulai dipasang untuk menangkap kelinci muda yang belum berpengalaman itu, perangkap mulai dipasang terhadap burung yang baru belajar terbang.

Sikap Siauw Can yang mulai berubah, rayuan-rayuan maut berupa pujian-pujian dengan suara lembut, pandang mata yang jelas membayangkan berahi, senyum-senyum penuh pikatan, membuat Ai Yin maklum bahwa pemuda yang selama ini dianggapnya sebagai seorang pendekar yang membantu ayahnya itu cinta kepadanya!

Hal ini merupakan pengalaman baru bagi gadis bangsawan ini, membuat ia kadang suka melamun dalam kamarnya. Ia mulai gelisah dan akhirnya, pada suatu kesempatan ia berdua saja dengan Bi Lan, ia mengaku terus terang kepada pendekar wanita yang menjadi sahabat dan gurunya itu!

"Enci Bi Lan, aku ingin membicarakan sesuatu, akan tetapi engkau harus berjanji dulu padaku bahwa engkau akan merahasiakan semuanya ini dan juga bahwa engkau tidak akan merasa tersinggung!"

Bi Lan memandang gadis itu dengan sinar mata penuh selidik. Ia mengenal Ai Yin sebagai seorang dara remaja yang cantik, genit dan manja. Akan tetapi yang memiliki dasar watak yang baik, yang akrab pula dengan saudara sepupunya, yaitu Pangeran Mahkota Li Si Bin. Iapun merasa sayang kepada Ai Yin, sungguhpun ia tahu bahwa gadis itu sebagai murid tidaklah memuaskan karena tidak memiliki bakat ilmu silat.

"Baik, nona, aku berjanji tidak akan merasa tersinggung dan akan merahasiakan apa yang akan kaubicarakan," jawabnya sambil tersenyum, merasa seperti menghadapi seorang anak-anak yang manja.

Setelah bersangsi sebentar, dengan kedua pipi berubah merah, Ai Yin lalu bertata. "Enci Lan, kakak misanmu itu..."

Diam-diam Bi Lan terkejut. Ada apa dengan Siauw Can? Jantungnya berdebar. Jangan-jangan pemuda itu mengulang lagi perbuatannya seperti yang pernah dilakukan kepadanya pada malam itu, dan kini yang didekatinya adalah gadis bangsawan ini. "Can-toako? Kenapa dengan dia?" tanyanya cepat.

Melihat Bi Lan terkejut. Ai Yin tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. enci. Hanya dia... dia agaknya jatuh cinta padaku..."

Dara itu menundukkan mukanya dengan malu-malu dan Bi Lan terbelalak. Hemm, kiranya Siauw Can kini mengalihkan perhatian dan perasaannya kepada gadis bangsawan yang usianya baru tujuhbelas tahun ini. Akan tetapi, agaknya Ai Yin juga dapat menerima perasaan pemuda itu. Kalau tidak demikian, tentu akan berbeda sikapnya. Tentu dara itu akan marah-marah, tidak bersikap malu-malu seperti ini.

Sikap malu-malu menghadapi pernyataan cinta seorang pria sama artinya dengan menyambut pernyataan itu dengan senang hati. Dara ini telah terpikat dan jatuh hati pula kepada Siauw Can! Akan tetapi, apa salahnya? Siauw Can adalah seorang pemuda yang baik. Tampan dan gagah, dan menjadi orang kepercayaan Pangeran Tua, ayah gadis ini. Ia tidak melihat suatu cacat pada diri Siauw Can, kecuali peristiwa malam itu yang telah dapat ia maklumi.

"Siocia (nona), dia tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya kepadamu, bukan?" Bi Lan memancing dan gadis itu cepat menggeleng kepala dan mengangkat muka memandangnya.

"Tidak, dia amat baik kepadaku, enci."

"Hemm, kalau begitu... kenapa kau ceritakan hal ini kepadaku?"

Wajah Ai Yin menjadi semakin merah. "Aku... aku bingung, enci, aku... aku takut karena belum pernah aku merasakan seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku ingin bertanya kepadamu, bagaimana pendapatmu tentang pemuda yang menjadi kakak misanmu itu?"

Bi Lan terharu. Sukar baginya membayangkan bagaimana akan rasanya andaikata pernyataan dan pertanyaan Ai Yin itu diajukan kepadanya sebelum terjadi peristiwa malam itu! Ia sendiri tadinya menyukai Siauw Can. Akan tetapi sekarang, yang ada dalam hatinya hanya perasaan haru. Dara bangsawan itu demikian percaya kepadanya sehingga menanyakan urusan yang demikian pribadi kepadanya. Bi Lan menegang tangan Ai Yin dan dengan suara gemetar karena haru iapun berkata,

"Nona, sepanjang yang kuketahui, Can-toako adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Bagiku dia cukup gagah dan baik. Tentu saja aku tidak mengenalnya lebih dalam karena kamipun baru bertemu beberapa bulan yang lalu. Nona, apakah... engkau juga cinta padanya?"

Kembali Ai Yin menanduk, ia memang genit dan manja, juga lincah, akan tetapi sekali ini dalam urusan cinta, ia berubah menjadi pemalu! Ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, enci. Aku memang kagum padanya, dan suka padanya, dan segala hal pada dirinya menarik hatiku, membuat aku selalu ingat dan kadang tak dapat tidur..."

Bi Lan tersenyum. Itu tandanya cinta, walaupun mungkin cinta remaja! "Nona, apakah engkau mengharapkan nasihat dariku?"

Ai Yin mengangkat muka dan memandang Bi Lan dengan mata penuh harap. "Benar sekali, enci Lan. Aku sedang bingung dan ragu, bagaimana baiknya menghadapi urusan ini?"

"Pernahkah dia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia cinta padamu, nona?"

"Terang-terangan memang belum, akan tetapi gerak-geriknya, sinar matanya, suaranya, pujian-pujiannya, semua itu sudah jelas. Agaknya diapun merasa ragu dan bimbang, takut untuk mengatakannya."

"Hem, kalau begitu, kau tunggu saja sampai ia berkata terus terang, nona. Dia seorang gagah, kurasa dia akan berani berterus terang kalau memang dia cinta padamu. Dan kalau dia sudah menyatakan cintanya, jawablah saja bahwa kalau benar dia mencintamu, dia harus berani melamarmu kepada orang tuamu."

"Aih, mana dia berani, enci?"

"Biar itu menjadi ujian baginya, nona. Kalau memang dia mencintamu, kenapa tidak berani! Jangankan hanya melamar kepada orang tuamu, kalau dia benar mencinta, biar menyeberangi lautan api umpamanya, tentu akan dia lakukan. Bukankah begitu?"

Wajah gadis itu berseri-seri. Betapa senangnya kalau mempunyai seorang calon suami yang demikian besar cintanya sampai mau menyeberangi lautan api! Setelah bicara dengan Bi Lan, makin besar rasa hati Ai Yin dan diapun kini tidak ragu-ragu lagi, sudah bertekad untuk menerima cinta kasih pemuda itu.

Kalau saja Bi Lan tahu! Kalau saja ia mengenal siapa sebenarnya Siauw Can atau Can Hong San. Tentu ia akan dengan tegas mencegah puteri bangsawan itu tergelincir dan terjebak ke dalam perangkap!

********************

Beberapa bulan kemudian. Seperti yang dinasehatkan Bi Lan, ketika pada suatu hari Siauw Can memberanikan diri mengaku cintanya kepada Ai Yin, gadis bangsawan itu menjawab bahwa untuk membuktikan cintanya, Siauw Can harus melamarnya pada ayahnya! Siauw Can terbelalak mendengar ini dan dia nampak gelisah.

"Akan tetapi, bagaimana mungkin itu, nona? Bagaimana aku akan berani melamarmu? Ayahmu adalah Pangeran Tua, majikanku, dan aku sendiri sebatangkara, tiada orang tua lagi. Aku tidak mempunyai wakil dan..."

"Cukup alasan itu, toako!" Li Ai Yin memotong marah. "Kau bilang bahwa engkau mencintaku. Akan tetapi baru kusuruh mengajukan pinangan saja engkau tidak berani! Bagaimana aku dapat mempercayaimu?" kata Ai Yin yang segera pergi meninggalkan pemuda itu.

Siauw Can termenung dan menjadi serba salah. Tadinya dia ingin memikat dulu gadis bangsawan itu sampai menjadi kekasihnya, baru perlahahan-lahan mengatur perjodohan. Siapa kira, gadis ini langsung saja minta dibuktikan cintanya dengan mengajukan lamaran! Sekarang menjadi serba salah. Tidak memenuhi permintaan Ai Yin tentu gadis itu akan marah dan menganggap cintanya hanya pura-pura. Memenuhi permintaan, dia merasa takut! Karena bingung, diapun lari menjumpai Poa Kiu dan minta nasihat rekan yang lebih tua itu.

Mendengar keterangan Siauw Can, Poa Kiu yang kurus bongkok mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hemm, jadi nona Ai Yin jatuh cinta padamu dan minta agar ia dilamar? Betapa baik nasibmu, Siauw Can. Baiklah, aku akan menjadi walimu dan akan kuajukan lamaran kepada Pangeran. Mudah-mudahan saja beliau dapat menerima pinanganmu."

"Akan tetapi kuharap paman berhati-hati, jangan sampai beliau marah kepada kita..." kata Siauw Can dengan lega walaupun kekhawatirannya masih membuatnya gelisah.

Demikianlah, dengan hati-hati Poa Kiu menghadap Pangeran Li Siu Ti dan melaporkan tentang hubungan asmara antara Siauw Can dan Ai Yin, dan tentang keinginan hati Siauw Can untuk mengajukan pinangan, akan tetapi pemuda itu takut-takut.

Pangeran Tua Li Siu Ti tidak marah. Dia memang suka kepada pemuda itu, akan tetapi menerima seorang pemuda biasa sebagai mantu merupakan hal yang harus diimbali dengan jasa yang besar di pihak Siauw Can. Maka, diapun mengajukan syarat, bahwa apabila Siauw Can berhasil membunuh atau setidaknya melukai Pangeran Mahkota Li Si Bin, barulah dia akan menerima pinangan pemuda itu.

Mendengar ini, Siauw Can segera mencari akal dan mengatur siasat, dibantu oleh Poa Kiu yang mengharapkan bahwa apabila kelak Siauw Can menjadi mantu Pangeran Li Siu Ti, tentu pemuda itu tidak akan melupakan jasanya dan diapun akan ikut terangkat naik derajat dan kedudukannya.

Bi Lan sama sekali tidak tahu akan persekutuan yang dikepalai Pangeran Tua Li Siu Ti. Baginya, pangeran itu adalah adik kaisar yang berkedudukan tinggi karena menjadi penasihat kaisar. Sama sekali ia tidak pernah bermimpi bahwa pangeran itu mempunyai cita-cita untuk kelak menjadi kaisar dan untuk cita-cita ini, dia sanggup melakukan apa saja.

Apa lagi karena hubungannya dengan Ai Yin amat akrabnya, sedangkan gadis bangsawan itu biarpun genit dan manja, dinilainya seorang yang berbudi baik, bahkan amat sayang dan hormat kepada Pangeran Mahkota. Ia tidak tahu betapa cita-cita Pangeran Tua Li Siu Ti itu bahkan mengancam dirinya, karena ia dekat dengan Pangeran Li Si Bin dan dapat keluar masuk istana setiap hari tanpa dicurigai dan dengan bebas pula.

Pada suatu hari, ketika seperti biasa ia berada di istana untuk melaksanakan tugasnya melatih silat kepada para dayang, seorang pengawal memberi tahu kepadanya bahwa ada dua orang perajurit pengawal dari istana Pangeran Tua datang minta bertemu dengannya untuk menyampaikan berita yang amat penting. Tentu saja Bi Lan menjadi heran mendengar ini. akan tetapi ia cepat keluar untuk menemui dua orang perajurit itu. Mereka nampak gugup dan ketakutan, dan begitu bertemu dengan Bi Lan, seorang di antara mereka berkata dengan cemas.

"Celaka, Kwa-lihiap! Nona kecil Lan Lan telah hilang...!"

Sepasang mata itu terbelalak. "Apa? Bukankah ia diasuh oleh Cu-ma?"

"Kami dapatkan Cu-ma duduk di bangku taman dalam keadaan tak sadar, dan nona kecil tidak ada. Sudah kami cari kemana-mana tidak berhasil."

Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Bi Lan segera berlari meninggalkan pintu gerbang istana, membuat para penjaga di pintu gerbang terheran-heran dan tentu saja mereka segera bertanya kepada dua orang perajurit yang datang dari istana Pangeran Tua itu. Dua orang perajurit inipun menceritakan tentang hilangnya Lan Lan, puteri Kwa Bi Lan. Segera tersebarlah berita itu dari mulut ke mulut dan sebentar saja berita itu sampai ke telinga Pangeran Mahkota Li Si Bin. Pangeran yang menaruh perhatian kepada Bi Lan ini merasa khawatir dan diapun segera bergegas pergi berkunjung ke istana Pangeran Tua.

Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, tanpa memperdulikan orang-orang yang dijumpai dalam perjalanan, yang memandang dengan heran dan kaget ketika mereka melihat bayangan berkelebat saking cepatnya dan tak lama kemudian ia sudah tiba di istana Pangeran Tua. Ia disambut oleh para penjaga dan pelayan, dan segera ia diantar ke kamar Cu-ma, wanita pengasuh yang biasanya mengasuh Lan Lan setiap kali ia pergi ke istana kaisar.

Mereka telah mengangkat tubuh Cu dan membaringkannya ke dalam kamar pelayan itu sendiri. Bi lan segera memeriksa dan melihat Cu-ma berada dalam keadaan tidak dapat bergerak dan tak dapat berbicara. Ia telah ditotok secara lihai! Bi Lan cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh Cu-ma dan akhirnya wanita setengah tua itu dapat bergerak dan menangis.

"Cu-ma, apa yang telah terjadi? Di mana Lan Lan?" Bi Lan bertanya, suaranya tegas dan keras. "Hentikan tangismu dan ceritakan yang jelas!"

Sambil menahan tangis dan masih nampak gugup, Cu-ma bercerita bahwa tadi seperti biasa, setelah Bi Lan berangkat ke istana, ia mengajak Lan Lan bermain di dalam taman bunga. Kebetulan musim bunga telah tiba dan taman istana itu indah sekali. Bunga beraneka warna dan bentuk sedang mekar dan keharuman semerbak di taman itu. Cu-ma membiarkan Lan Lan bermain-main di atas rumput dan dia mengawasi sambil duduk di atas bangku.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi, lihiap. Tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan sebelum saya dapat berbuat sesuatu, tubuh saya tak dapat digerakkan lagi dan saya tidak dapat mengeluarkan suara. Akan tetapi saya masih dapat melihat betapa bayangan itu menyambar tubuh nona kecil Lan Lan dan membawanya pergi seperti terbang cepatnya."

Pada saat itu, Ai Yin datang berlari memasuki kamar itu dan ia duduk di tepi pembaringan Cu-ma, memegang tangan Bi Lan dan wajah gadis ini pun tegang. "Aku juga ikut mencari kemana-mana, akan tetapi tidak berhasil, enci Bi Lan." katanya dengan wajah cemas.

"Tenanglah, nona, dan biar aku mencari keterangan dulu dari Cu-ma," kata Bi Lan. Iapun merasa gelisah, akan tetapi sikapnya tenang. "Cu-ma, bagaimana bentuk wajah dan tubuh bayangan itu?"

"Saya tidak sempat melihat wajahnya, lihiap. Pakaiannya serba hitam, dan saya yang tidak mampu bergerak, hanya sempat melihat tubuh belakangnya saja. Rambutnya dibungkus kain kepala warna hitam pula, dan bentuk tubuhnya sedang."

"Laki-laki atau wanita melihat bentuk tubuhnya itu?"

"Bentuk tubuh itu sedang saja, bisa laki laki dan bisa juga wanita."

"Dia tidak mengeluarkan kata-kata?"

"Tidak, Lihiap."

"Apakah Lan Lan tidak menangis ketika dilarikan orang itu?"

"Saya tidak mendengar nona kecil menangis. Semua berlangsung demikian cepatnya..." Cuma menangis lagi.

"Enci Lan, siapa kira-kira yang berani menculik Lan Lan? Apakah engkau mempunyai musuh?"

Bi Lan hanya menggeleng kepalanya dan tiba-tiba ia bertanya kepada gadis bangsawan itu. "Nona, di mana kakak misanku Siauw Can?" Dalam keadaaan seperti itu, semua orang patut dicurigai, pikir Bi Lan. Ia tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Siauw Can, akan tetapi kenapa pemuda itu tidak nampak, padahal seluruh isi rumah nampak bingung karena lenyapnya Lan Lan diculik orang.

"Dia? Sejak pagi tadi dia pergi mengawal ayah keluar rumah. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan diculik orang. Juga ayah belum tahu karena mereka belum pulang. Enci Lan, kau harus dapat menemukan kembali Lan Lan dan menangkap penjahat yang menculiknya!"

Sebelum Bi lan menjawab, terdengar suara gaduh para pelayan yang berlutut memberi hormat dan muncullah Pangeran Li Si Bin. "Bi Lan, kami mendengar putrimu diculik orang! Apa yang sesungguhnya terjadi?" tanya pangeran itu.

Bi Lan tidak kehilangan ketenangannya dan bersama Ai Yin ia memberi hormat kepada pangeran itu. "Kakanda Pangeran, paduka harus menolong Lan Lan..." Ai Yin segera berkata.

"Tenanglah, Ai Yin dan biarkan Bi Lan menceritakan apa yang terjadi," kata pangeran itu dengan sikap tenang dan dia sudah duduk di sebuah kursi dalam kamar pelayan itu.

Bi Lan menceritakan semua yang terjadi dengan sejelasnya kepada Pangeran Li Si Bin. Setelah mendengar apa yang terjadi, pangeran itu menjadi marah sekali. "Jangan khawatir, Bi Lan. Sekarang juga aku akan mengerahkan seluruh pasukan keamanan untuk mencari anakmu itu dan engkau boleh menghentikan dulu tugasmu mengajar di istana dan mencari anakmu sampai dapat."

Pangeran itu lalu meninggalkan istana Pangeran Tua memanggil panglimanya dan memerintahkan agar panglima itu mengerahkan pasukan mencari anak yang hilang itu. Segera para perajurit berjaga di semua pintu gerbang, melakukan pencarian dan penggeledahan, bahkan menangkapi orang-orang yang dicurigai. Belum pernah terjadi keributan seperti itu hanya karena hilangnya seorang anak kecil, yang melibatkan seluruh perajurit pasukan keamanan!

Bi Lan sendiri tidak tinggal diam. Ia mencari ke mana-mana, namun tidak menemukan jejak Lan Lan. Akhirnya ia termenung di dalam kamarnya seorang diri saja. Mulailah ia menduga bahwa besar sekali kemungkinan kini Lan Lan berada bersama ayah ibunya! Ayah dan ibu Lan Lan, Si Han Beng dan Bu Giok Cu, adalah sepasang suami isteri pendekar yang amat lihai, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali. Siapa lagi yang akan menculik Lan Lan kalau bukan mereka?

Mungkin ibu anak itu yang datang untuk mengambil kembali puterinya. Kalau benar mereka yang datang mengambil kembali puteri mereka, iapun tidak dapat berbuat sesuatu. Kalau dulu ia mampu melarikan Lan Lan hal itu hanya karena suami isteri itu tidak tahu dan suami isteri itu tentu saja tidak berani sembarangan mengejarnya karena takut kalau ia melaksanakannya ancamannya, yaitu akan membunuh Lan Lan kalau mereka mengejar.

Bi Lan menarik napas panjang. Ia telah terlanjur cinta kepada anak itu dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Bahkan kepada Pangeran Mahkota saja ia mengakui Lan Lan sebagai puterinya. Biarpun kini Pangeran Li Si Bin yang mempunyai kekuasaan besar itu membantunya, tidak mungkin kalau ia minta bantuan pangeran itu untuk merampas Lan Lan dari ayah ibunya sendiri! Hal itu berarti ia harus membuka rahasianya bahwa selama ini ia membohongi semua orang, membohongi sang pangeran bahwa Lan Lan bukan anaknya sendiri melainkan anak curian!

Lewat tengah hari, Pangeran Tua Li Siu Ti dan para pengawal yang dipimpin Siauw Can pulang. Begitu mendengar tentang terculiknya Lan Lan, Siauw Can segera mencari Bi Lan di kamarnya.

"Lan-moi, apa yang telah terjadi? Aku mendengar Lan Lan diculik orang! Benarkah ini?"

Bi Lan mengamati wajah pemuda itu dan ia mengangguk. "Pagi tadi, ketika aku sedang berada di istana, dan Lan Lan diasuh Cu-ma di taman, ada bayangan orang menotok roboh Cu-ma dan membawa lari Lan Lan."

"Ah, keparat! Kalau aku berada di rumah, tak mungkin hal ini terjadi! Akan kubekuk leher penculik jahanam itu, Lan-moi. Percayalah, aku akan mencari dan menemukan kembali anakmu!"

Bi Lan menggeleng kepala dan menghela napas. "Sudah kucari ke mana-mana akan tetapi tidak ada jejaknya, Can-toako. Bahkan Pangeran Mahkota juga sudah mengerahkan pasukan untuk mencarinya. Penculik itu agaknya lihai sekali. Dia dan Lan Lan seperti menghilang saja..."

Wajah Bi Lan nampak berduka sekali karena ia hampir yakin bahwa Lan Lan tentu diambil kembali oleh orang tuanya dan kalau hal itu terjadi, berarti kehilangan Lan Lan untuk selamanya. Dan tiba-tiba saja ia merasa amat kesepian. Melihat wanita itu hampir menangis, Siauw Can menghiburnya.

"Aku akan membantumu, Lan-moi. Betapapun lihainya, kalau engkau dan aku maju bersama, mustahil kita tidak akan mampu mengalahkannya merebut kembali anakmu."

Pada saat itu Pangeran Tua Li Siu Ti datang dan berada di luar kamar Bi Lan. Wanita itu cepat keluar dan memberi hormat. "Aku ikut merasa menyesal sekali mendengar anakmu diculik orang, Bi Lan. Ah, kalau tahu akan muncul bencana, tentu aku tidak mengajak Siauw Can pergi hingga dia berada di rumah dan akan mampu mencegah terjadinya penculikan itu. Para penjaga yang tidak becus itu! Akan kuhukum mereka yang bertugas pagi tadi. Mereka lalai sehingga tidak tahu ada penjahat masuk dan menculik anakmu!"

"Harap paduka tidak menyalahkan para penjaga, Pangeran. Penculik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga tidak akan sukar baginya untuk menyelinap masuk dan melarikan Lan Lan keluar tanpa diketahui para penjaga. Dari cara dia menotok Cu-ma, dan betapa dia mampu bersembunyi dan meloloskan diri dari pengejaran dan pencarian pasukan keamanan yang dikerahkan Pangeran Mahkota, saya tahu bahwa dia lihai bukan main," kata Bi Lan yang tidak ingin para penjaga disalahkan. Karena andaikata ia sendiri menjadi penculiknya, iapun akan mampu melakukan hal itu tanpa diketahui para penjaga.

Sekarang ia sama sekali tidak dapat mencurigai Siauw Can. Sudah jelas dari penjelasan Pangeran Li Siu Ti bahwa ketika peristiwa terjadi, Siauw Can sedang mengawal dan menemani pangeran itu. Akan tetapi agaknya memang tidak perlu mencurigai orang lain. Ia hampir yakin bahwa pelaku penculikan itu pasti orang tua Lan Lan sendiri.Hanya mereka yang berkepentingan untuk merampas kembali Lan Lan. Kalau orang lain, untuk apa menculik Lan Lan, menempuh bahaya besar menculik anak kecil dari Istana Pangeran Tua."

Kini hati Bi Lan sudah mulai tenang. Kalau yang menculik Lan Lan itu orang tua anak itu sendiri, ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Lan Lan. Akan tetapi, makin dikenang, semakin sedih hatinya dan ia merasa kehilangan. Malam ini ia tidak mampu tidur, gelisah di atas pembaringan, apa lagi kalau ia melihat pembaringan yang ditidurinya itu kosong, tidak nampak lagi Lan Lan yang lucu di sebelahnya.

Bunyi lirih di atas kamarnya membuat ia waspada. Ketika ada benda putih meluncur dari atas langit-langit kamar, ia cepat bangkit, mengenakan sepatu dan membuka jendela, lalu melihat keluar, langsung saja ia melayang ke arah atas genteng untuk mencari orang yang meluncurkan benda ke dalam kamarnya. Akan tetapi setelah berada di atas genting, ia tidak melihat bayangan seorangpun. Betapa cepat gerakan orang itu.

Ia mandang ke sekeliling, sunyi dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Atap istana itu sunyi lengang, dan bintang-bintang berkeredepan di angkasa. Sayang tidak dapat ditanya, karena pasti bintang-bintang itu tadi tahu siapa yang berada di atas kamarnya. Ia membetulkan letak genteng yang dibuka orang, lalu teringat akan benda putih yang dilemparkan ke dalam kamarnya dan ia meloncat turun, kembali ke dalam kamarnya tanpa menimbulkan kegaduhan.

Setelah memasuki kamarnya, Bi Lan menyalakan lampu penerangan sehingga kamarnya menjadi terang. Ia melihat sebuah bungkusan diatas lantai. Kertas putih yang ada tulisannya membungkus suatu, kecil saja, setengah kepalan tangannya, dengan hati-hati ia mengambil bungkusan itu. Bungkusan diatur sedemikian rupa sehingga tanpa membukanya, ia dapat membaca tulisan di kertas pembungkusnya.

"Kalau dalam waktu tiga hari Putera Mahkota belum juga tewas dengan racun ini, Lan Lan akan dikembalikan sebagai mayat!"

Bi Lan terbelalak, kedua tangannya menggigil. Ia meletakkan bungkusan itu ke atas meja. Memandanginya dengan jijik seperti memandang seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Lan Lan ternyata diculik orang yang hendak memaksanya membunuh Pangeran Li Si Bin dengan racun dalam bungkusan itu! Jelas bahwa ini tentu ada hubungannya dengan bekas thai-kam gendut yang pernah mencoba untuk meracuni putera mahkota.

Dan thai-kam itu membunuh diri, maka yang berdiri di belakangnya, yang menyuruhnya meracuni putera mahkota, tentulah orang yang amat ditakutinya. Dan kini agaknya orang yang menginginkan kematian pangeran Li Si Bin itu hendak mempergunakan ia untuk membunuhnya. Dengan cara yang teramat keji dan licik, yaitu menculik Lan Lan dan mengancam nyawa anak itu yang harus ditukar dengan nyawa Pangeran Li Si Bini.! Ini merupakan pemerasan yang teramat hina dan kotor.

Dengan jari-jari tangan gemetar Bi Lan membuka bungkusan dan benar saja, di dalamnya terdapat bubuk putih yang sama sekali tidak berbau akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu benda itu merupakan racun yang amat berbahaya. Ia membungkusnya kembali, lalu duduk termenung memandangi bungkusan racun itu. Ia menjadi bingung dan panik. Ia dihadapkan pada ancaman yang amat merisaukan hatinya. Ia harus memilih.

Berat mana? Li Si Bin atau Lan Lan? Tentu saja ia tidak ingin melihat keduanya terbunuh, ia mencinta Lan Lan, menganggap anak itu seperti anaknya sendiri. Akan tetapi ia juga mencinta Pangeran Li Si Bin! Ia bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk kedua orang ini. Dan sekarang, ia diharuskan memilih antara keduanya. Membunuh Pangeran Li Si Bin atau melihat Lan Lan dibunuh!

"Jahanam keparat busuk!" Bi Lan menepuk ujung meja di depannya sehingga remuk dan ia bangkit, mengepal tinju. Kalau saja penculik Lan Lan itu berada di situ, tentu akan diserangnya, diremukkan kepalanya, dipatahkan tulang lehernya! Karena tidak ada orang yang dapat ia jadikan sasaran kemarahannya, Bi Lan lalu melempar diri ke atas pembaringan dan menangis!

Sejak kematian suaminya, baru sekarang ia menangis dalam arti kata yang sesungguhnya. Menangis karena ia merasa betapa nelangsa hatinya, betapa sunyi hidupnya, betapa ia membutuhkan seorang yang dekat dengannya, yang mencintanya dan dicintanya. Ia tadinya sudah mendapatkan cinta itu dalam diri Lan Lan, akan tetapi kini pada saat ia menemukan lagi cinta yang lebih sempurna, dalam diri putera mahkota, kedua orang yang amat dicintanya itu terancam bahaya maut. Seorang di antara mereka harus mati. Dan lebih hebat lagi, mati di tangannya! Apa yang harus ia lakukan?

Tiga hari tidaklah lama dan bagaimana ia dapat mengatasi keadaan ini! Hampir saja ia menengok kepada Siauw Can, akan tetapi mengingat perbuatan Siauw Can kepadanya di malam itu, ia bergidik. Jangan-jangan kalau dimintai tolong, Siauw Can bahkan akan mengajukan syarat yang membuat ia akan menjadi semakin bingung, dan belum tentu Siauw Can akan mampu menolongnya. Apakah demi keselamatan Lan Lan ia harus membunuh putera mahkota dengan racun itu? Ah, tidak, tidak!!

"Aduh, pangeran, apa yang harus hamba lakukan...!?"

Bi Lan menangis di depan Pangeran Li Si Bin yang memandang dengan mata terbelalak kepada wanita yang berlutut di depan kakinya itu. Sikap seperti itu sungguh tak pernah dapat dibayangkannya. Bi Lan yang biasanya demikian gagah perkasa, kini menangis dan berlutut di depan kakinya seperti seorang wanita lemah yang cengeng!

Akan tetapi timbul kekhawatiran juga di hati pangeran ini. Kalau sampai seorang wanita gagah perkasa seperti Bi Lan bersikap selemah itu tentu ada sebab yang amat hebat. "Bi Lan, tenanglah dan ceritakan, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang biasanya gagah perkasa bersikap selemah ini?"

"Silakan paduka membacanya sendiri, pangeran." Bi Lan menyerahkan bungkusan itu dengan tangan gemetar kepada Putera Mahkota.

Pangeran Li Si Bin yang masih merasa heran itu menerima bungkusan dan membaca tulisannya. Wajahnya berubah agak pucat dan dia menaruh bungkusan itu ke atas meja, lalu memandang kepada wanita yang masih berlutut dengan muka ditundukkan, masih terisak menangis itu.

"Bi Lan, engkau tentu amat mencinta Lan Lan, puterimu itu, bukan?"

Bi Lan mengangkat mukanya yang pucat dan air mata masih mengalir membasahi kedua pipinya. "Pangeran, sungguhpun Lan Lan hanya anak angkat hamba, namun hamba mencintanya seperti anak kandung hamba sendiri."

Pangeran itu membelalakkan mata. Ini kenyataan baru yang mencengangkan hatinya tentang wanita ini. "Anak angkat? Jadi ia bukan anak kandung Rajawali Sakti, mendiang suamimu?"

Bi Lan menggeleng kepala, "Ia adalah anak angkat hamba, pangeran. Akan tetapi hamba mencintainya dan hamba siap mempertaruhkan nyawa hamba untuk menyelamatkannya."

"Hemm, kalau begitu, Bi Lan, kenapa engkau membawa surat dan racun ini kepadaku? Untuk menyelamatkan anak angkatmu itu, kenapa tidak kau lakukan saja perintah dalam surat itu...?"

Naga Beracun Jilid 13

PANGERAN Li Si Bin tertawa lalu berkata kepada para dayang. "Kalian melihat sendiri. Contohlah wanita ini! Nah. kalian singkirkan guci arak ini, tutup dan simpan untuk penyelidikan nanti. Ambil arak lain yang tidak terlalu keras, dan anggur untuk Kwa lihiap (Pendekar Wanita Kwa). Bi Lan, mari kita makan siang, jangan sampai peristiwa tadi mengganggu makan siang kita."

Bi Lan mengangkat mukanya, memandang wajah pangeran itu, lalu matanya mengamati hidangan yang berada di atas meja, matanya membayangkan keraguan.

"Jangan khawatir, aku mempunyai batu kemala yang dapat kita pergunakan untuk menguji apakah ada masakan yang mengandung racun," kata pangeran itu dan iapun mempergunakan batu kemala tadi, setelah membersihkannya, untuk menguji semua masakan.

Ternyata hanya arak dalam guci sajalah yang mengandung racun, maka mereka lalu makan minum dengan hati tenang. Sambil makan dan minum, yang di layani oleh para dayang yang kini menjadi gembira sekali, dan ditemani Bi Lan yang sudah tidak sungkan atau canggung lagi, Pangeran Li Si Bin mengajak wanita itu bercakap-cakap. Akan tetapi, tiba-tiba kepala pengawal, yaitu Siok-ciangkun mohon menghadap. Maklum bahwa hal itu tentu ada hubungannya dengan yang diceritakan Bi Lan tadi, Pangeran Li Si Bin menyuruh panglima itu masuk.

Siok-ciangkun memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, melaporkan bahwa seorang thai-kam terbunuh di dapur istana, dan seorang laki-laki gendut yang ternyata seorang bekas thai-kam istana yang dikeluarkan, kedapatan mati terbunuh pula di taman.

"Hemm, kami sudah tahu, ciangkun. Thai-kam itu dibunuh oleh laki-laki gendut, dan laki-laki itu membunuh diri menelan racun ketika ditangkap oleh Kwa-lihiap ini. Jangan perkenankan orang keluar masuk istana hari ini. Aku sendiri yang akan memeriksa seluruh pelayan, thai-kam dan pengawal dalam istana. Kumpulkan mereka dan tak seorangpun boleh meninggalkan istana hari ini."

Setelah berkata demikian. Pangeran Li Si Bin memberi isyarat kepada Siok-ciangkun untuk meninggalkan ruangan makan. Dengan sikap tenang, dia lalu melanjutkan makan minum dan bercakap-cakap. Sikap pangeran ini menambah kekaguman dalam hati Bi Lan. Sungguh bukan sikap seorang pembesar yang sewenang-wenang ataupun cengeng, melainkan sikap seorang pendekar!

"Bi Lan, dahulu pernah aku mendengar nama besar Pendekar Rajawali Sakti yang kukagumi. Dia seorang pendekar yang terkenal dan sungguh merupakan suatu keberuntungan bahwa kini isteri pendekar itu mau membantu kami. Kalau boleh kami ketahui, bagaimana semuda ini engkau sudah menjadi janda? Apa yang menyebabkan kematian suamimu?"

Bi Lan tahu bahwa berhadapan dengan pangeran ini, tidak perlu menyembunyikan keadaannya. Juga beberapa orang dayang itu merupakan orang-orang kepercayaan, maka tidak ada salahnya kalau mereka hadir pula dalam percakapan ini, walaupun kini mereka nampak tidak mendengarkan percakapan itu.

"Suami hamba meninggal dunia karena sakit tua. pangeran," jawabnya singkat. "Karena tidak betah lagi tinggal dirumah, hamba lalu mengajak Lan Lan untuk pergi mengembara."

"Dan bagaimana dengan Siauw Can yang datang bersamamu di kota raja?" pangeran itu bertanya seperti sambil lalu, namun pandang matanya menyelidik.

Diam-diam Bi Lan terkejut dan semakin kagum. Pangeran ini tentu mempunyai banyak mata-mata yang tersebar di seluruh kota raja, sehingga tidak aneh kalau dia sudah tahu pula tentang Siauw Can! Jantungnya berdebar. Tahu pulakah pangeran ini bahwa Siauw Can sesungguhnya adalah Can Hong San dan dahulu pernah membela Kerajaan Sui ketika digulingkan oleh pangeran ini dan pasukannya? Bagaimanapun juga, ia dan Siauw Can telah memperkenalkan diri sebagai saudara misan kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, maka iapun harus tetap berpegang kepada pengakuan itu.

"Dia adalah kakak misan hamba pangeran. Diapun ingin mencari pekerjaan, dan kami mengadakan perjalanan bersama ke kota raja." jawabnya singkat.

Kini pandang mata pangeran itu semakin tajam penuh selidik sehingga kembali Bi Lan harus menundukkan mukanya. "Bi Lan, apakah hanya itu hubunganmu dengan Siauw Can? Hanya saudara misan dan tidak ada hubungan lainnya?"

Bi Lan tidak berani mengangkat mukanya, dan kedua pipinya terasa panas. Terbayanglah peristiwa malam itu, dimana ulah Siauw Can menghapus semua perasaan suka dan kagumnya terhadap pemuda itu. Ia tidak berbohong kalau sekarang, ia menggelengkan kepala dengan tegas dan mengangkat muka menentang tatapan mata pangeran itu dengan berani dan berkata,

"Kami hanya datang bersama ke kota raja. Selain hubungan misan, tidak ada hubungan apapun di antara kami. Kenapa paduka bertanya demikian, pangeran?"

"Aku ingin memperoleh kepastian tentang dirimu, Bi Lan. Aku merasa kagum dan juga kasihan kepadamu, Bi Lan. Engkau hidup sebagai seorang janda, dan harus menjaga seorang anak, dan engkau masih begini muda..."

Bi Lan tersenyum. Hampir lupa ia bahwa berhadapan dengan seorang pangeran, bahkan putra mahkota, calon kaisar, dan bahkan orang yang paling besar kekuasaannya di seluruh negeri, lebih besar dari pada kaisar sendiri. Ucapan pangeran itu demikian wajar dan biasa, seperti ucapan seorang laki-laki biasa saja. Ia menjadi semakin kagum.

"Maaf, pangeran, hamba yakin bahwa hamba lebih tua dari paduka. Usia hamba sudah duapuluh empat tahun..."

Pangeran Li Si Bin tertawa, bebas dan bergelak sehingga wajahnya yang tampan dan gagah itu nampak kekanak-kanakan. "Ha-ha-ha, bagaimanapun juga, aku merasa jauh lebih tua darimu, Bi Lan...!"

Mereka tidak bercakap-cakap lagi atau lebih tepat, pangeran itu tidak bicara lagi, maka Bi Lan juga tidak berani berkata apapun. Mereka melanjutkan makan minum sampai selesai dan wajah pangeran itu cerah berseri. Dia lalu bangkit berdiri.

"Aku harus mengadakan pemeriksaan sendiri dan melakukan pembersihan. Siapa tahu, di antara para pelayan dan pengawal di istana telah dikuasai pihak yang memusuhi kami."

Bi Lan bangkit dan memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih, berdiri menanti sampai sang pangeran meninggalkan ruangan makan itu sambil melemparkan senyum ramah kepadanya. Seorang pangeran yang gagah perkasa, tampan, agung dan sopan, pikir wanita itu, terbuai lamunan muluk ketika ia meninggalkan istana, kembali ke istana Pangeran Tua Li Siu Ti dengan sebuah kereta yang telah dipersiapkan untuk keperluannya setiap hari.

Begitu tiba di Istana Pangeran Tua, baru ia turun dari kereta, bukan hanya Lan Lan dalam pondongan pengasuh Cu-ma, akan tetapi juga nampak Siauw Can menyambutnya. Wajah pemuda itu nampak tegang dan ketika Bi Lan memondong puterinya yang dengan girang merangkulnya, Siauw Can bertanya, tidak memperdulikan ada Cu-ma di situ dan ada beberapa orang pengawal yang berjaga di depan Istana itu.

"Lan-moi, apakah yang terjadi di istana! Engkau baru saja pulang dari sana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi!" Pemuda itu nampak tegang.

Bi Lan mengerutkan alisnya dan memandang kepada pemuda yang pernah menggerakkan hatinya akan tetapi yang kini amat dicurigainya itu. "Bagaimana engkau tahu bahwa ada terjadi sesuatu di istana?" Ia balas bertanya dan sinar matanya memandang penuh selidik.

Melihat sinar mata Bi Lan, Siauw Can bersikap tenang. "Aih, tentu saja aku tahu, Lan-moi. Baru saja Pangeran Tua dipanggil ke istana dengan pesan agar segera datang menghadap karena ada urusan yang teramat penting. Pangeran Tua sendiri yang berkata kepadaku bahwa panggilan itu tidak seperti biasanya, dan hal itu hanya berarti bahwa di istana telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Nah, engkau baru saja datang dari istana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi."

Kecurigaan hati Bi Lan menghilang. Kiranya Pangeran Li Siu Ti telah dipanggil ke istana, tentu ada hubungannya dengan keinginan Pangeran Mahkota untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan terhadap para pelayan dan pengawal, semua petugas di istana. Dan tidak aneh kalau Siauw Can menanyakan apa yang telah terjadi di istana. Ia tidak ingin urusan itu didengar orang lain, maka sambil memondong Lan Lan, iapun berkata singkat,

"Kita bicara didalam saja."

Setelah mereka berada di ruangan dalam, mereka disambut oleh Li Ai Yin yang juga segera mengajukan pertanyaan kepada Bi Lan, "Enci Bi Lan, apakah yang telah terjadi di Istana?"

Bi Lan menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merangkul puterinya, lalu menarik napas panjang, "Ada orang mencoba untuk meracuni Pangeran Mahkota..."

"Ihhh...!" Ai Yin menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Betapa mengerikan. Dan bagaimana keadaan kakanda pangeran?"

Dari sikap dan ucapan gadis bangsawan itu, Bi Lan tahu bahwa bagaimanapun juga, ada perasaan sayang di hati gadis itu terhadap kakak sepupunya. "Jangan khawatir, nona. Beliau sehat-sehat saja karena arak beracun itu tidak sampai diminumnya."

"Lan-moi, bagaimana terjadinya? Siapa yang hendak meracuni Pangeran Mahkota dan bagaimana pula caranya, bagaimana pula usaha pembunuhan keji itu dapat digagalkan?" tanya Siauw Can ingin tahu sekali.

"Benar, enci Bi Lan. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya terjadi? Akupun ingin tahu sekali." kata Ai Yin.

"Nanti kalau Pangeran Tua pulang, tentu beliau dapat bercerita lebih jelas," kata Bi Lan mengelak.

"Tidak, aku ingin mendengar dari sekarang, enci Bi Lan! Aku sudah tidak sabar menanti pulangnya ayah!" kata gadis bangsawan itu.

Bi Lan terpaksa. Bagaimanapun juga, Pangeran Tua tentu akan mendengar segalanya dan kedua orang ini akan mendengarnya juga. Kalau ia bertahan dan tidak mau menceritakan, tentu menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Iapun menghela napas panjang.

"Siang tadi, ketika aku beristirahat dan berjalan-jalan seorang diri di taman bunga istana, aku melihat bayangan orang ke dapur istana. Aku menjadi curiga dan membayangi. Dia seorang gendut yang bertemu dengan seorang thai-kam di dapur. Aku mendengar thai-kam itu menegur si gendut mengapa ia harus memberikan guci arak itu kepada Pangeran Mahkota. Si gendut lalu membunuh thai-kam itu. Tentu saja aku mengejarnya, dia lari ke dalam taman dan aku berhasil merobohkannya. Ketika aku hendak menangkapnya, dia menelan racun dan mati seketika. Aku mengkhawatirkan kesehatan Pangeran Mahkota, maka cepat aku memasuki ruangan makan. Ketika melihat pangeran hendak minum arak dari sebuah guci, aku teringat akan ucapan thai-kam yang terbunuh dan kusambit cawan di tangan pangeran itu dengan sumpit. Ketika diperiksa, arak itu memang beracun!"

Ai Yin merangkul Bi Lan. "Aih, engkau hebat, enci Bi Lan. Engkau pantas menjadi guruku. Wah, namamu tentu akan tersohor di istana, aku ikut bangga karena engkau guruku. Dan telah menyelamatkan nyawa kakanda pangeran! Bukan main!" Gadis itu girang sekali. Karena ia dirangkul. Bi Lan terhalang dan tidak melihat perubahan pada wajah Siauw Can.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

"Hemm, bagaimanapun baiknya siasat itu, ternyata telah gagal dan bagaimana kalau thai-kam dan bekas thai-kam itu dapat tertangkap hidup-hiup? Tak dapat aku membayangkan akibatnya. Kalian berdua harus bekerja lebih baik dan hati-hati!"

Pangeran Tua Li Siu Ti mengomel panjang-pendek di dalam kamar pertemuan yang tertutup rapat itu. Mereka bertiga, Pangeran Tua Li Siu Ti, Poa Kiu, dan Siauw Can, membicarakan tentang usaha pembunuhan terhadap Pangeran Li Si Bin yang gagal. Usaha pembunuhan itu memang hasil siasat Poa Kiu dan Siauw Can.

Siauw Can mengepal tinju. "Pangeran, kalau tidak karena ulah Bi Lan, kalau tidak kebetulan Bi Lan berada di sana, tentu sekarang ini Pangeran Mahkota telah tewas!"

"Bagaimana juga, harap paduka tidak menjadi khawatir. Hamba telah berlaku amat hati-hati. Andaikata bekas thai-kam itu tertangkap hidup-hiduppun, dia tidak akan tahu siapa yang memberi banyak uang emas kepadanya dan yang menyurur dia menyelundupkan arak beracun ke istana. Juga, dia telah kami ancam tanpa dia mengenal kami, bahwa kalau dia tertawan, dia harus membunuh diri dengan racun. Kalau tidak, maka seluruh keluarganya di dusun akan kami bunuh. Dan ternyata ancaman itu cukup ampuh. Buktinya, dia memilih membunuh diri dari pada tertawan, sedangkan keluarganya di dusun dapat menikmati hidup berkecupan dengan upah yang telah kami berikan kepadanya."

Sang pangeran mengangguk-angguk dan wajahnya yang tadinya diliputi kegelisanan kini menjadi terang kembali, sikapnya menjadi tenang, lalu dia duduk berhadapan dengan dua orang kepercayaannya. "Lalu, apa yang dapat kita lakukan selanjutnya?"

"Harap paduka jangan tergesa-gesa. Kegagalan itu membuat Pangeran Mahkota menjadi waspada. Bahkan kabarnya para petugas di istana akan dipilih dengan seksama dan penjagaan diperketat. Tidak mungkinlah dalam waktu dekat ini menyelundupkan orang ke dalam istana. Kita harus nanti saat yang tepat dan kesempatan yang baik, pangeran."

"Hemm, engkau memang benar, Poa Kiu. Aku sebagai penasihat kaisar, tadi juga menasehati agar para petugas diganti dan dilakukan pemilihan yang cermat. Hal itu untuk menjauhkan diriku dari persangkaan. Akupun menasehatkan kepada kaisar agar mayat kedua orang itu digantung di pintu gerbang agar semua rakyat melihatnya dan agar tidak ada yang berani lagi melakukan percobaan pembunuhan di istana. Akan tetapi, sampai kapan kita harus menanti kesempatan?"

"Pangeran, usaha membunuh Pangeran Mahkota, untuk sementara ini harus ditangguhkan. Hal ini selain amat sukar, juga amat berbahaya bagi selamatan paduka sendiri. Kita harus mencari cara lain yang lebih halus."

"Cara lain yang bagaimana?" tanya Pangeran Tua tak sabar.

"Misalnya, dengan usaha agar Pangeran Mahkota mendapat nama buruk dan dikecam rakyat sebagai seorang pemuda yang tidak pantas kelak menggantikan ayahnya menjadi kaisar. Menonjolkan bahwa dia hanyalah keturunan darah Turki, dan kalau mungkin, kita usahakan agar Permaisuri bentrok dengan Pangeran Mahkota, atau setidaknya ada terjadi pertentangan di antara mereka..."

Pangeran Tua mengangguk-angguk. "Siasat ini baik sekali dan perlahan-lahan boleh kau cari jalannya untuk melaksanakannya. Akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak boleh tersangkut, karena aku adalah penasihat kaisar, bahkan kalau perlu, andaikata sampai terjadi kebocoran, aku tidak segan-segan untuk menasehatkan menghukum mereka yang mengacau di istana! Nah, engkau harus berhati-hati sekali, Poa Kiu. Jangan sampai rahasiamu terbongkar dan terpaksa aku harus menasehatkan kaisar agar menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu dan keluargamu!"

Poa Kiu bergidik. "Hamba mengerti, Pangeran. Yang pertama adalah keselamatan paduka tidak tersangkut, dan ke dua barulah berhasilnya siasat itu."

"Bagus kalau engkau sudah mengerti. Engkau boleh bekerja sama dengan Siauw Can. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Siauw Can? Apakah kau memiliki siasat lain, kecuali yang sudah dikemukakan Poa Kiu?"

"Hamba masih mempunyai satu harapan untuk melenyapkan Pangeran Mahkota, pangeran..."

"Hushhhhh! Engkau akan memancing bahaya bagi kita? Tadi sudah dibicarakan bahwa untuk sementara waktu ini, tidak mungkin siasat itu dilaksanakan. Siapa yang akan mampu menembus benteng pertahanan para pengawal di istana?"

"Hamba sendiri tidak dapat, akan tetapi ada orang yang dapat, pangeran."

"Siapakah dia?"

"Ia adalah adik misan hamba sendiri, Bi Lan."

Sepasang mata yang cerdik dan licik dari Pangeran Tua Li Siu Ti nampak berseri. Seketika iapun dapat melihat kemungkinan itu. "Ah, engkau benar! Setiap hari Bi Lan memasuki istana, tentu saja ia tidak dicurigai, apa lagi baru saja ia yang menyelamatkan nyawa Pangeran Mahkota. Akan tetapi apakah ia mau membantu?" Pangeran Tua mengerutkan alisnya, ragu-ragu karena dia sudah melihat sikap Bi Lan. Wanita itu keras hati dan agaknya sukar ditundukkan.

"Kita harus bekerja dengan tenang dan hati-hati, pangeran. Memang adik misan hamba itu keras kepala dan keras hati. Akan tetapi hamba akan membujuknya perlahan-lahan agar ia mau membantu."

Biarpun mulutnya berkata demikian, di dalam, hatinya Siauw Can yakin benar bahwa Bi Lan tidak mungkin mau kalau disuruh mencelakai Putera Mahkota, apa lagi membunuhnya. Kalau dia berani berjanji Kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, itu adalah karena dia hendak mempergunakan cara lain untuk memaksa Bi Lan suka bekerja sama! Ada Poa Kiu yang dapat membantunya. Dengan kerja sama yang baik, tentu mereka berdua akan mampu menundukkan Bi Lan dan kalau wanita itu sudah mau bekerja sama, membinasakan pangeran Li Si Bin bukan merupakan hal yang mustahil lagi.

********************

"Terlalu! Sungguh keterlaluan sekali! Orang-orang Turki mencoreng muka kita dengan kotoran, mencemarkan kehormatan keluarga dan menghina kita dan paduka membiarkan begitu saja? Apakah Baducin dan anak buahnya yang biadab itu tidak akan mentertawakan paduka? Selir paduka di culik, diperkosa dan dibunuh, dan paduka hanya diam mengelus dada saja! Apakah karena permaisuri muda orang Turki, lalu paduka membiarkan saja keluarga kita diinjak-injak kehormatannya?"

Permaisuri itu berkata dengan nada suara yang penasaran dan kesedihan, sambil menggunakan sapu tangan menghapus air mata yang jatuh berderai! Kaisar Tang Kao Cu duduk dengan wajah muram, alisnya berkerut dan berulang kali dia menghela napas panjang.

"Tenanglah dan jangan menuruti perasaan saja. Bukankah Gala Sing, putera Raja Muda Baducin yang berdosa itu telah menerima hukumannya dan tewas?"

"Apakah cukup dengan itu? Tentu orang-orang Turki itu akan berpendapat bahwa semua wanita dalam istana ini boleh saja diganggu dan dihina, kalau tertangkap mungkin dibunuh, akan tetapi kalau tidak? Mereka semua akan menertawakan keluarga istana!" kata pula sang permaisuri dengan marah.

Kaisar Tang Kao Cu kehilangan kesabarannya dan memandang kepada permaisurinya dan bertanya kaku, "Habis, kalau menurut pendapatmu, kita harus berbuat apa terhadap mereka?"

"Mereka adalah orang-orang biadab, orang-orang asing yang sepantasnya diusir semua dari negara kita. Perintahkan mereka pulang ke negara mereka sendiri dan jangan lagi memperbolehkan mereka berada di kota raja!"

"Akan tetapi, hal itu tidak mungkin! Engkau tahu bahwa Pangeran Mahkota Li Si Bin amat membutuhkan bantuan mereka untuk menundukkan para pemberontak yang masih mengacau di sana sini. Dan engkau tentu tahu pula bahwa merekalah yang membantu kita menggulingkan Kerajaan Sui. Li Si Bin sendiri yang minta kepada kami untuk lebih mementingkan urusan negara daripada urusan pribadi. Dan di antara kami dan Raja Muda Baducin telah berdamai, saling memaafkan."

"Paduka telah dipengaruhi orang-orang Turki! Aihh, nasib kami sungguh celaka, dapat dihina oleh orang-orang biadab tanpa kami dapat berdaya sama sekali." Permaisuri menangis.

Kaisar Tang Kao Cu menjadi jengkel dan dia meninggalkan permaisurinya. Dia tahu bahwa permaisurinya itu bagaimanapun juga adalah seorang wanita yang tidak lepas dari pengaruh cemburu. Karena permaisuri tidak mempunyai putera, dan dia mengangkat ibu Li Si Bin, seorang wanita Turki, sebagai permaisuri muda, bahkan sebagai ibu kandung putera mahkota, maka tentu saja permaisuri merasa tersisihkan dan merasa diancam kedudukannya.

Dia sendiri tadinya memang marah bukan main kepada Raja Muda Baducin, pemimpin orang-orang Turki karena selirnya diculik, diperkosa dan sampai membunuh diri, oleh putera Baducin. Akan tetapi, puteranya, Pangeran Li Si Bin membujuknya dan menyadarkannya. Dan biarpun dia seorang ayah, biar dia yang menjadi kaisar, namun dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat membantah puteranya itu. Puteranya yang menjadi panglima besar, puteranya yang berhasil memimpin pasukan menggulingkan kerajaan Sui, bahkan puteranya yang mengangkat dia menjadi kaisar!

Sejak percakapan itu terjadi, permaisuri mulai diracuni dendam kebencian terhadap Pangeran Mahkota Li Si Bin, anak tirinya yang dianggapnya keturunan bangsa biadab! Dan dengan sendirinya iapun menerima dengan hati terhibur ketika adik suaminya. Pangeran Li Siu Ti, mendekatinya. Pangeran Li Siu Ti adalah adik kaisar.

Dan karena keduanya sama-sama tidak suka kepada Pangeran Mahkota yang berdarah Turki itu tentu saja mereka merasa saling cocok dan hal ini memudahkan Pangeran Li Siu Ti untuk menyelundupkan seorang thai-kam baru sebagai pelayan di istana bagian puteri, tentu saja mereka dengan bantuan Permaisuri yang tidak tahu bahwa thai-kam baru yang diusulkan Pangeran Li Siu Ti itu bertugas sebagai mata-mata di dalam istana!

Bukan itu saja usaha yang dilakukan oleh Pangeran Li Siu Ti yang menugaskan Poa Kiu dan Siauw Can untuk mengatur segala macam siasat demi tercapainya tujuannya, yaitu merusak nama baik Pangeran Mahkota atau kalau mungkin membunuhnya,agar kelak mahkota dapat terjatuh ke tangan Pangeran Li Siu Ti!

Seperti juga keadaan hati akal pikiran setiap orang di dunia ini, juga Pangeran Li Siu Ti, Poa Kiu maupun Siauw Can, sama sekali tidak merasa bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang tidak baik. Setiap manusia akan selalu membenarkan tindakan mereka, selama tindakan itu bertujuan baik bagi diri sendiri.

Hati dan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu mementingkan pamrih dalam setiap perbuatan, pamrih untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri, dan setiap kali hati nurani mencela dan menegur perbuatan itu, maka hati dan akal pikiran akan menjadi pembela yang gigih dan cerdik, selalu akan mencari alasan-alasan kuat untuk membenarkan tindakan mereka.

Pangeran Li Siu Ti tidak pernah merasa bahwa perbuatannya itu didorong oleh iri dan keinginan untuk berkuasa, melainkan menganggap sebagai perbuatan yang baik karena dia menganggap bahwa Li Si Bin tidak pantas menjadi calon kaisar. Seorang berdarah Turki tidak patut menjadi kaisar dan dialah yang lebih berhak dan lebih pantas. Poa Kiu juga menganggap semua tindakannya benar karena hal itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu yang setia.

Juga Siauw Can menganggap dirinya benar karena dia ingin memperoleh kedudukan yang baik dan wajarlah kalau dia membantu Pangeran Li Siu Ti yang dianggapnya akan dapat menariknya ke tingkat yang tinggi. Hanya ada sebuah hal yang selalu meresahkan hati Siauw Can, yaitu mengenal Kwa Bi Lan. Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan. Kalau malam itu dia berusaha menggauli Bi Lan, bukan semata-mata karena ia tidak mampu mengendalikan nafsu berahinya. Sama sekali bukan.

Dia mencinta Bi Lan dan ingin memperisteri wanita itu. Akan tetapi, kemudian setelah dia melihat Ai Yin, akal pikirannya bekerja dan dia melihat betapa cita-citanya akan dapat tercapai kalau dia dapat memperisteri Ai Yin! Dia akan menjadi mantu Pangeran Tua yang kelak mungkin akan menjadi kaisar! Dia ingin memperisteri Ai Yin karena ingin memperoleh kedudukan tinggi, berbeda dengan keinginannya memperisteri Bi Lan karena memang mencinta janda itu.

Maka, diapun ingin menjadi suami Ai Yin akan tetapi tidak ingin kehilangan Bi Lan, dan dia berusaha menggauli janda itu karena sekali janda itu telah menyerahkan diri kepadanya, tentu takkan dapat terlepas lagi dan dia akan mengambil Bi Lan sebagai isteri ke dua! Akan tetapi, Bi Lan menolak, bahkan marah-marah dan sejak itu, sikap Bi Lan dingin terhadapnya. Ini yang amat meresahkan hati Siauw Can.

Sekarang, sesuai dengan rencana yang diatur bersama Poa Kiu, bukan hanya cinta yang mendorong Siauw Can untuk memiliki Bi Lan, melainkan juga untuk dapat memperalat janda itu yang kini mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Li Si Bin dan setiap hari memasuki istana kaisar. Siauw Can mulai mendekati Bi Lan dan dengan wajah penuh penyesalan, dengan suara menggetar sedih dia membujuk Bi Lan pada suatu sore, ketika mendapatkan kesempatan bicara empat mata dengan janda muda itu.

"Lan-moi, kenapa engkau masih nampak marah kepadaku? Sudah berkali-kali aku minta maaf kepadamu. Lan-moi, aku memang bersalah malam itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta padamu, aku rindu padamu dan malam itu aku tidak dapat menahan diri sehingga melakukan hal yang tidak sepatutnya kulakukan. Aku minta maaf, Lan-moi."

Bi Lan menarik napas panjang. Sebetulnya, ia pernah tertarik kepada pemuda ini dan betapa akan mudahnya membalas cintanya. Akan tetapi, peristiwa malam itu sungguh telah menyapu bersih semua perasaannya terhadap Siauw Can! Biarpun demikian, ia tidak dapat merasa benci kepada pemuda ini, karena iapun dapat memakluminya sekarang.

Ia teringat akan semua kebaikan Siauw Can, teringat betapa pemuda itulah yang mengajaknya ke kota raja sehingga kini ia mendapatkan pekerjaan yang baik dan terhormat. Semua penghuni istana kaisar bahkan menghormatinya karena ia telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Mahkota. Semua itu dapat terjadi karena Siauw Can yang mengajaknya ke kota raja. Kalau ia tidak bertemu dengan pemuda itu, entah bagaimana keadaannya sekarang.

"Can-toako, aku sudah melupakan peristiwa itu. Aku memaafkanmu, akan tetapi kuminta mulai saat ini, engkau jangan lagi bicara tentang cinta padaku. Aku hanya akan menjadi muak dan teringat akan peristiwa itu lagi saja. Kita hanya sahabat, toako, dan untuk membalas semua kebaikanmu, aku berjanji tidak akan membuka rahasia dirimu kepada siapapun juga."

Hanya itulah yang dapat dihasilkan Siauw Can biarpun dia sudah mencoba untuk bersikap manis, lembut, merendah bahkan merengek terhadap Bi Lan. Agaknya janda itu sudah menutup pintu hatinya terhadap cintanya! Sikap Bi Lan ini, selain mengecewakan hati Siauw Can karena cintanya ditolak, juga membuat dia bingung. Dia harus dapat memperalat Bi Lan demi membuat jasa besar kepada Pangeran Tua. Diapun merundingkan hal ini dengan Poa Kiu, mengatur siasat.

Siauw Can juga tak pernah lalai memperhatikan Ai Yin. Sejak semula dia sudah berusaha mendekati gadis bangsawan itu dan dia mengerahkan segala daya untuk menaklukkan hati gadis itu. Dia memang tampan, lincah dan pandai bicara. Apalagi karena dia mendapatkan kesempatan. Ai Yin bukan hanya belajar ilmu silat dari Bi Lan, akan tetapi juga seringkali meminta petunjuk darinya dan setiap kali Bi Lan pergi ke istana untuk melatih para dayang istana, Siauw Can selalu mempergunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk kepada Ai Yin.

Dengan sendirinya, pergaulan mereka menjadi akrab dan gadis bangsawan yang kurang pengalaman itu, yang memiliki pembawaan manja dan genit, tentu saja mudah runtuh oleh seorang pria yang berpengalaman seperti Siauw Can. Pemuda ini bukan saja mempergunakan ketampanan dan kegagahannya untuk menarik perhatian, bahkan dia mempergunakan kekuatan sihirnya yang pernah dia pelajari dari mendiang ayahnya. Terhadap seorang yang memiliki tenaga sakti sekuat Bi Lan, kekuatan sihirnya itu tidak akan bermanfaat. Akan tetapi terhadap Ai Yin, guna-guna sihir yang dipergunakan Siauw Can tentu saja amat ampuh!

Siauw Can bersikap hati-hati dan lembut, tidak mau mempergunakan kekerasan, tidak mau terseret oleh nafsunya sendiri yang bahkan mungkin dapat menggagalkan usahanya. Dia harus dapat memikat Ai Yin dan mendapatkan gadis itu sebagai isterinya secara terhormat, dapat diterima dengan baik oleh gadis itu dan keluarganya. Maka diapun berperan sebagai seorang pemuda yang sungguh jatuh cinta, yang sopan dan menghormati gadis yang dicintanya!

Ketika dia pada suatu pagi, setelah memberi petunjuk ilmu silat kepada Ai Yin, melihat kesempatan baik, diapun mendekati Ai Yin yang duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Gadis itu tampak segar, kedua pipinya kemerahan, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah oleh keringat setelah tadi berlatih silat dan menggunakan tenaga. Ia tersenyum, cerah dan menyusut keringat dengan saputangan sambil memandang kepada Siauw Can dengan wajah berseri.

"Bagaimana pendapatmu, toako? Sudah majukah gerakanku?" Ai Yin memanggil pemuda itu toako (kakak) menirukan Bi Lan. Dia tidak senang kalau disebut taihiap (pendekar besar), maka Ai Yin menyebutnya toako yang menyenangkan kedua pihak.

"Baik sekali, nona. Engkau memang berbakat, gerakanmu cukup cekatan, cukup kuat, cepat dan indah. Bahkan gerakanmu lebih indah dibandingkan gerakan Lan-moi."

Ai Yin tertawa dan ketika mulutnya terbuka, nampak rongga mulut yang merah dan deretan gigi yang putih dan rapi. "Hi-hik. Engkau memuji terlalu tinggi, toako. Mana mungkin gerakanku lebih indah dibandingkan gerakan enci Lan? Engkau merayu, ya?"

Siauw Can tersenyum, akan tetapi lalu berkata dengan serius. "Sungguh mati, aku berani bersumpah, nona. Aku tidak merayu, dan bukan memuji kosong, hanya berkata sesungguhnya. Tentu saja engkau tidak dapat menyamai kelihaian Lan-moi, akan tetapi dalam keindahan gerakan, nona jauh lebih hebat. Kalau nona bermain silat, gerakanmu seperti seorang bidadari sedang menari, gerakan kaki tangan dan badanmu..."

Wanita mana di dunia ini yang hatinya tidak runtuh menghadapi pujian, apa lagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pria muda tampan? Bahkan andaikata ia tahu bahwa pujian itu hanya rayuan gombal sekalipun, hati wanita itu akan berkembang dan penuh rasa senang dan bangga! Agaknya memang sudah pembawaan alam, berlaku untuk mahluk apapun juga, betina selalu suka sekali dipuji dan pria selalu suka sekali memuji! Percaya atau tidak bahwa pujian Siauw Can itu benar, tetap saja hati Ai Yin menjadi senang bukan main dan tawanya lepas dan gembira.

"Jangan bohong kau, Can-toako! Enci Lan seringkali menegurku, mengatakan bahwa yang membuat gerakanku kaku adalah badanku, ehh... pinggulku, katanya terlalu menonjol ke belakang!"

Siauw Can membelalakkan matanya dan berkata dengan nada penuh penasaran, "Ah, Lan-moi terlalu kejam untuk mencelamu. Hem, menurut penglihatankku, justeru pinggulmu amat indah bentuknya dan membuat gerakanmu nampak serasi dan menawan!"

Kembali Ai Yin tersenyum, akan tetapi sekali ini ia mengerling genit dan kedua pipinya agak kemerahan. Siauw Can yang sudah berpengalaman dapat melihat bahwa gadis itu sudah mulai terpikat. Dia mengenal batas dan tidak melanjutkan rayuannya karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan. Dia bersikap biasa kembali dan dengan sopan dia mulai pula memberi petunjuk-petunjuk sehingga gadis itu kehilangan rasa canggungnya.

Akan tetapi diam-diam benih yang ditanam Siauw Can mulai tumbuh, dan sepasang mata yang manja itu mulai memandang Siauw Can bukan hanya karena kagum akan kepandaiannya, akan tetapi juga dengan perhatian yang lain, perhatian seorang gadis remaja yang mulai tertarik kepada seorang pria yang menyenangkan hatinya, yang pandai mengelus perasaannya. Jerat mulai dipasang untuk menangkap kelinci muda yang belum berpengalaman itu, perangkap mulai dipasang terhadap burung yang baru belajar terbang.

Sikap Siauw Can yang mulai berubah, rayuan-rayuan maut berupa pujian-pujian dengan suara lembut, pandang mata yang jelas membayangkan berahi, senyum-senyum penuh pikatan, membuat Ai Yin maklum bahwa pemuda yang selama ini dianggapnya sebagai seorang pendekar yang membantu ayahnya itu cinta kepadanya!

Hal ini merupakan pengalaman baru bagi gadis bangsawan ini, membuat ia kadang suka melamun dalam kamarnya. Ia mulai gelisah dan akhirnya, pada suatu kesempatan ia berdua saja dengan Bi Lan, ia mengaku terus terang kepada pendekar wanita yang menjadi sahabat dan gurunya itu!

"Enci Bi Lan, aku ingin membicarakan sesuatu, akan tetapi engkau harus berjanji dulu padaku bahwa engkau akan merahasiakan semuanya ini dan juga bahwa engkau tidak akan merasa tersinggung!"

Bi Lan memandang gadis itu dengan sinar mata penuh selidik. Ia mengenal Ai Yin sebagai seorang dara remaja yang cantik, genit dan manja. Akan tetapi yang memiliki dasar watak yang baik, yang akrab pula dengan saudara sepupunya, yaitu Pangeran Mahkota Li Si Bin. Iapun merasa sayang kepada Ai Yin, sungguhpun ia tahu bahwa gadis itu sebagai murid tidaklah memuaskan karena tidak memiliki bakat ilmu silat.

"Baik, nona, aku berjanji tidak akan merasa tersinggung dan akan merahasiakan apa yang akan kaubicarakan," jawabnya sambil tersenyum, merasa seperti menghadapi seorang anak-anak yang manja.

Setelah bersangsi sebentar, dengan kedua pipi berubah merah, Ai Yin lalu bertata. "Enci Lan, kakak misanmu itu..."

Diam-diam Bi Lan terkejut. Ada apa dengan Siauw Can? Jantungnya berdebar. Jangan-jangan pemuda itu mengulang lagi perbuatannya seperti yang pernah dilakukan kepadanya pada malam itu, dan kini yang didekatinya adalah gadis bangsawan ini. "Can-toako? Kenapa dengan dia?" tanyanya cepat.

Melihat Bi Lan terkejut. Ai Yin tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. enci. Hanya dia... dia agaknya jatuh cinta padaku..."

Dara itu menundukkan mukanya dengan malu-malu dan Bi Lan terbelalak. Hemm, kiranya Siauw Can kini mengalihkan perhatian dan perasaannya kepada gadis bangsawan yang usianya baru tujuhbelas tahun ini. Akan tetapi, agaknya Ai Yin juga dapat menerima perasaan pemuda itu. Kalau tidak demikian, tentu akan berbeda sikapnya. Tentu dara itu akan marah-marah, tidak bersikap malu-malu seperti ini.

Sikap malu-malu menghadapi pernyataan cinta seorang pria sama artinya dengan menyambut pernyataan itu dengan senang hati. Dara ini telah terpikat dan jatuh hati pula kepada Siauw Can! Akan tetapi, apa salahnya? Siauw Can adalah seorang pemuda yang baik. Tampan dan gagah, dan menjadi orang kepercayaan Pangeran Tua, ayah gadis ini. Ia tidak melihat suatu cacat pada diri Siauw Can, kecuali peristiwa malam itu yang telah dapat ia maklumi.

"Siocia (nona), dia tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya kepadamu, bukan?" Bi Lan memancing dan gadis itu cepat menggeleng kepala dan mengangkat muka memandangnya.

"Tidak, dia amat baik kepadaku, enci."

"Hemm, kalau begitu... kenapa kau ceritakan hal ini kepadaku?"

Wajah Ai Yin menjadi semakin merah. "Aku... aku bingung, enci, aku... aku takut karena belum pernah aku merasakan seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku ingin bertanya kepadamu, bagaimana pendapatmu tentang pemuda yang menjadi kakak misanmu itu?"

Bi Lan terharu. Sukar baginya membayangkan bagaimana akan rasanya andaikata pernyataan dan pertanyaan Ai Yin itu diajukan kepadanya sebelum terjadi peristiwa malam itu! Ia sendiri tadinya menyukai Siauw Can. Akan tetapi sekarang, yang ada dalam hatinya hanya perasaan haru. Dara bangsawan itu demikian percaya kepadanya sehingga menanyakan urusan yang demikian pribadi kepadanya. Bi Lan menegang tangan Ai Yin dan dengan suara gemetar karena haru iapun berkata,

"Nona, sepanjang yang kuketahui, Can-toako adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Bagiku dia cukup gagah dan baik. Tentu saja aku tidak mengenalnya lebih dalam karena kamipun baru bertemu beberapa bulan yang lalu. Nona, apakah... engkau juga cinta padanya?"

Kembali Ai Yin menanduk, ia memang genit dan manja, juga lincah, akan tetapi sekali ini dalam urusan cinta, ia berubah menjadi pemalu! Ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, enci. Aku memang kagum padanya, dan suka padanya, dan segala hal pada dirinya menarik hatiku, membuat aku selalu ingat dan kadang tak dapat tidur..."

Bi Lan tersenyum. Itu tandanya cinta, walaupun mungkin cinta remaja! "Nona, apakah engkau mengharapkan nasihat dariku?"

Ai Yin mengangkat muka dan memandang Bi Lan dengan mata penuh harap. "Benar sekali, enci Lan. Aku sedang bingung dan ragu, bagaimana baiknya menghadapi urusan ini?"

"Pernahkah dia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia cinta padamu, nona?"

"Terang-terangan memang belum, akan tetapi gerak-geriknya, sinar matanya, suaranya, pujian-pujiannya, semua itu sudah jelas. Agaknya diapun merasa ragu dan bimbang, takut untuk mengatakannya."

"Hem, kalau begitu, kau tunggu saja sampai ia berkata terus terang, nona. Dia seorang gagah, kurasa dia akan berani berterus terang kalau memang dia cinta padamu. Dan kalau dia sudah menyatakan cintanya, jawablah saja bahwa kalau benar dia mencintamu, dia harus berani melamarmu kepada orang tuamu."

"Aih, mana dia berani, enci?"

"Biar itu menjadi ujian baginya, nona. Kalau memang dia mencintamu, kenapa tidak berani! Jangankan hanya melamar kepada orang tuamu, kalau dia benar mencinta, biar menyeberangi lautan api umpamanya, tentu akan dia lakukan. Bukankah begitu?"

Wajah gadis itu berseri-seri. Betapa senangnya kalau mempunyai seorang calon suami yang demikian besar cintanya sampai mau menyeberangi lautan api! Setelah bicara dengan Bi Lan, makin besar rasa hati Ai Yin dan diapun kini tidak ragu-ragu lagi, sudah bertekad untuk menerima cinta kasih pemuda itu.

Kalau saja Bi Lan tahu! Kalau saja ia mengenal siapa sebenarnya Siauw Can atau Can Hong San. Tentu ia akan dengan tegas mencegah puteri bangsawan itu tergelincir dan terjebak ke dalam perangkap!

********************

Beberapa bulan kemudian. Seperti yang dinasehatkan Bi Lan, ketika pada suatu hari Siauw Can memberanikan diri mengaku cintanya kepada Ai Yin, gadis bangsawan itu menjawab bahwa untuk membuktikan cintanya, Siauw Can harus melamarnya pada ayahnya! Siauw Can terbelalak mendengar ini dan dia nampak gelisah.

"Akan tetapi, bagaimana mungkin itu, nona? Bagaimana aku akan berani melamarmu? Ayahmu adalah Pangeran Tua, majikanku, dan aku sendiri sebatangkara, tiada orang tua lagi. Aku tidak mempunyai wakil dan..."

"Cukup alasan itu, toako!" Li Ai Yin memotong marah. "Kau bilang bahwa engkau mencintaku. Akan tetapi baru kusuruh mengajukan pinangan saja engkau tidak berani! Bagaimana aku dapat mempercayaimu?" kata Ai Yin yang segera pergi meninggalkan pemuda itu.

Siauw Can termenung dan menjadi serba salah. Tadinya dia ingin memikat dulu gadis bangsawan itu sampai menjadi kekasihnya, baru perlahahan-lahan mengatur perjodohan. Siapa kira, gadis ini langsung saja minta dibuktikan cintanya dengan mengajukan lamaran! Sekarang menjadi serba salah. Tidak memenuhi permintaan Ai Yin tentu gadis itu akan marah dan menganggap cintanya hanya pura-pura. Memenuhi permintaan, dia merasa takut! Karena bingung, diapun lari menjumpai Poa Kiu dan minta nasihat rekan yang lebih tua itu.

Mendengar keterangan Siauw Can, Poa Kiu yang kurus bongkok mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hemm, jadi nona Ai Yin jatuh cinta padamu dan minta agar ia dilamar? Betapa baik nasibmu, Siauw Can. Baiklah, aku akan menjadi walimu dan akan kuajukan lamaran kepada Pangeran. Mudah-mudahan saja beliau dapat menerima pinanganmu."

"Akan tetapi kuharap paman berhati-hati, jangan sampai beliau marah kepada kita..." kata Siauw Can dengan lega walaupun kekhawatirannya masih membuatnya gelisah.

Demikianlah, dengan hati-hati Poa Kiu menghadap Pangeran Li Siu Ti dan melaporkan tentang hubungan asmara antara Siauw Can dan Ai Yin, dan tentang keinginan hati Siauw Can untuk mengajukan pinangan, akan tetapi pemuda itu takut-takut.

Pangeran Tua Li Siu Ti tidak marah. Dia memang suka kepada pemuda itu, akan tetapi menerima seorang pemuda biasa sebagai mantu merupakan hal yang harus diimbali dengan jasa yang besar di pihak Siauw Can. Maka, diapun mengajukan syarat, bahwa apabila Siauw Can berhasil membunuh atau setidaknya melukai Pangeran Mahkota Li Si Bin, barulah dia akan menerima pinangan pemuda itu.

Mendengar ini, Siauw Can segera mencari akal dan mengatur siasat, dibantu oleh Poa Kiu yang mengharapkan bahwa apabila kelak Siauw Can menjadi mantu Pangeran Li Siu Ti, tentu pemuda itu tidak akan melupakan jasanya dan diapun akan ikut terangkat naik derajat dan kedudukannya.

Bi Lan sama sekali tidak tahu akan persekutuan yang dikepalai Pangeran Tua Li Siu Ti. Baginya, pangeran itu adalah adik kaisar yang berkedudukan tinggi karena menjadi penasihat kaisar. Sama sekali ia tidak pernah bermimpi bahwa pangeran itu mempunyai cita-cita untuk kelak menjadi kaisar dan untuk cita-cita ini, dia sanggup melakukan apa saja.

Apa lagi karena hubungannya dengan Ai Yin amat akrabnya, sedangkan gadis bangsawan itu biarpun genit dan manja, dinilainya seorang yang berbudi baik, bahkan amat sayang dan hormat kepada Pangeran Mahkota. Ia tidak tahu betapa cita-cita Pangeran Tua Li Siu Ti itu bahkan mengancam dirinya, karena ia dekat dengan Pangeran Li Si Bin dan dapat keluar masuk istana setiap hari tanpa dicurigai dan dengan bebas pula.

Pada suatu hari, ketika seperti biasa ia berada di istana untuk melaksanakan tugasnya melatih silat kepada para dayang, seorang pengawal memberi tahu kepadanya bahwa ada dua orang perajurit pengawal dari istana Pangeran Tua datang minta bertemu dengannya untuk menyampaikan berita yang amat penting. Tentu saja Bi Lan menjadi heran mendengar ini. akan tetapi ia cepat keluar untuk menemui dua orang perajurit itu. Mereka nampak gugup dan ketakutan, dan begitu bertemu dengan Bi Lan, seorang di antara mereka berkata dengan cemas.

"Celaka, Kwa-lihiap! Nona kecil Lan Lan telah hilang...!"

Sepasang mata itu terbelalak. "Apa? Bukankah ia diasuh oleh Cu-ma?"

"Kami dapatkan Cu-ma duduk di bangku taman dalam keadaan tak sadar, dan nona kecil tidak ada. Sudah kami cari kemana-mana tidak berhasil."

Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Bi Lan segera berlari meninggalkan pintu gerbang istana, membuat para penjaga di pintu gerbang terheran-heran dan tentu saja mereka segera bertanya kepada dua orang perajurit yang datang dari istana Pangeran Tua itu. Dua orang perajurit inipun menceritakan tentang hilangnya Lan Lan, puteri Kwa Bi Lan. Segera tersebarlah berita itu dari mulut ke mulut dan sebentar saja berita itu sampai ke telinga Pangeran Mahkota Li Si Bin. Pangeran yang menaruh perhatian kepada Bi Lan ini merasa khawatir dan diapun segera bergegas pergi berkunjung ke istana Pangeran Tua.

Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, tanpa memperdulikan orang-orang yang dijumpai dalam perjalanan, yang memandang dengan heran dan kaget ketika mereka melihat bayangan berkelebat saking cepatnya dan tak lama kemudian ia sudah tiba di istana Pangeran Tua. Ia disambut oleh para penjaga dan pelayan, dan segera ia diantar ke kamar Cu-ma, wanita pengasuh yang biasanya mengasuh Lan Lan setiap kali ia pergi ke istana kaisar.

Mereka telah mengangkat tubuh Cu dan membaringkannya ke dalam kamar pelayan itu sendiri. Bi lan segera memeriksa dan melihat Cu-ma berada dalam keadaan tidak dapat bergerak dan tak dapat berbicara. Ia telah ditotok secara lihai! Bi Lan cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh Cu-ma dan akhirnya wanita setengah tua itu dapat bergerak dan menangis.

"Cu-ma, apa yang telah terjadi? Di mana Lan Lan?" Bi Lan bertanya, suaranya tegas dan keras. "Hentikan tangismu dan ceritakan yang jelas!"

Sambil menahan tangis dan masih nampak gugup, Cu-ma bercerita bahwa tadi seperti biasa, setelah Bi Lan berangkat ke istana, ia mengajak Lan Lan bermain di dalam taman bunga. Kebetulan musim bunga telah tiba dan taman istana itu indah sekali. Bunga beraneka warna dan bentuk sedang mekar dan keharuman semerbak di taman itu. Cu-ma membiarkan Lan Lan bermain-main di atas rumput dan dia mengawasi sambil duduk di atas bangku.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi, lihiap. Tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan sebelum saya dapat berbuat sesuatu, tubuh saya tak dapat digerakkan lagi dan saya tidak dapat mengeluarkan suara. Akan tetapi saya masih dapat melihat betapa bayangan itu menyambar tubuh nona kecil Lan Lan dan membawanya pergi seperti terbang cepatnya."

Pada saat itu, Ai Yin datang berlari memasuki kamar itu dan ia duduk di tepi pembaringan Cu-ma, memegang tangan Bi Lan dan wajah gadis ini pun tegang. "Aku juga ikut mencari kemana-mana, akan tetapi tidak berhasil, enci Bi Lan." katanya dengan wajah cemas.

"Tenanglah, nona, dan biar aku mencari keterangan dulu dari Cu-ma," kata Bi Lan. Iapun merasa gelisah, akan tetapi sikapnya tenang. "Cu-ma, bagaimana bentuk wajah dan tubuh bayangan itu?"

"Saya tidak sempat melihat wajahnya, lihiap. Pakaiannya serba hitam, dan saya yang tidak mampu bergerak, hanya sempat melihat tubuh belakangnya saja. Rambutnya dibungkus kain kepala warna hitam pula, dan bentuk tubuhnya sedang."

"Laki-laki atau wanita melihat bentuk tubuhnya itu?"

"Bentuk tubuh itu sedang saja, bisa laki laki dan bisa juga wanita."

"Dia tidak mengeluarkan kata-kata?"

"Tidak, Lihiap."

"Apakah Lan Lan tidak menangis ketika dilarikan orang itu?"

"Saya tidak mendengar nona kecil menangis. Semua berlangsung demikian cepatnya..." Cuma menangis lagi.

"Enci Lan, siapa kira-kira yang berani menculik Lan Lan? Apakah engkau mempunyai musuh?"

Bi Lan hanya menggeleng kepalanya dan tiba-tiba ia bertanya kepada gadis bangsawan itu. "Nona, di mana kakak misanku Siauw Can?" Dalam keadaaan seperti itu, semua orang patut dicurigai, pikir Bi Lan. Ia tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Siauw Can, akan tetapi kenapa pemuda itu tidak nampak, padahal seluruh isi rumah nampak bingung karena lenyapnya Lan Lan diculik orang.

"Dia? Sejak pagi tadi dia pergi mengawal ayah keluar rumah. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan diculik orang. Juga ayah belum tahu karena mereka belum pulang. Enci Lan, kau harus dapat menemukan kembali Lan Lan dan menangkap penjahat yang menculiknya!"

Sebelum Bi lan menjawab, terdengar suara gaduh para pelayan yang berlutut memberi hormat dan muncullah Pangeran Li Si Bin. "Bi Lan, kami mendengar putrimu diculik orang! Apa yang sesungguhnya terjadi?" tanya pangeran itu.

Bi Lan tidak kehilangan ketenangannya dan bersama Ai Yin ia memberi hormat kepada pangeran itu. "Kakanda Pangeran, paduka harus menolong Lan Lan..." Ai Yin segera berkata.

"Tenanglah, Ai Yin dan biarkan Bi Lan menceritakan apa yang terjadi," kata pangeran itu dengan sikap tenang dan dia sudah duduk di sebuah kursi dalam kamar pelayan itu.

Bi Lan menceritakan semua yang terjadi dengan sejelasnya kepada Pangeran Li Si Bin. Setelah mendengar apa yang terjadi, pangeran itu menjadi marah sekali. "Jangan khawatir, Bi Lan. Sekarang juga aku akan mengerahkan seluruh pasukan keamanan untuk mencari anakmu itu dan engkau boleh menghentikan dulu tugasmu mengajar di istana dan mencari anakmu sampai dapat."

Pangeran itu lalu meninggalkan istana Pangeran Tua memanggil panglimanya dan memerintahkan agar panglima itu mengerahkan pasukan mencari anak yang hilang itu. Segera para perajurit berjaga di semua pintu gerbang, melakukan pencarian dan penggeledahan, bahkan menangkapi orang-orang yang dicurigai. Belum pernah terjadi keributan seperti itu hanya karena hilangnya seorang anak kecil, yang melibatkan seluruh perajurit pasukan keamanan!

Bi Lan sendiri tidak tinggal diam. Ia mencari ke mana-mana, namun tidak menemukan jejak Lan Lan. Akhirnya ia termenung di dalam kamarnya seorang diri saja. Mulailah ia menduga bahwa besar sekali kemungkinan kini Lan Lan berada bersama ayah ibunya! Ayah dan ibu Lan Lan, Si Han Beng dan Bu Giok Cu, adalah sepasang suami isteri pendekar yang amat lihai, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali. Siapa lagi yang akan menculik Lan Lan kalau bukan mereka?

Mungkin ibu anak itu yang datang untuk mengambil kembali puterinya. Kalau benar mereka yang datang mengambil kembali puteri mereka, iapun tidak dapat berbuat sesuatu. Kalau dulu ia mampu melarikan Lan Lan hal itu hanya karena suami isteri itu tidak tahu dan suami isteri itu tentu saja tidak berani sembarangan mengejarnya karena takut kalau ia melaksanakannya ancamannya, yaitu akan membunuh Lan Lan kalau mereka mengejar.

Bi Lan menarik napas panjang. Ia telah terlanjur cinta kepada anak itu dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Bahkan kepada Pangeran Mahkota saja ia mengakui Lan Lan sebagai puterinya. Biarpun kini Pangeran Li Si Bin yang mempunyai kekuasaan besar itu membantunya, tidak mungkin kalau ia minta bantuan pangeran itu untuk merampas Lan Lan dari ayah ibunya sendiri! Hal itu berarti ia harus membuka rahasianya bahwa selama ini ia membohongi semua orang, membohongi sang pangeran bahwa Lan Lan bukan anaknya sendiri melainkan anak curian!

Lewat tengah hari, Pangeran Tua Li Siu Ti dan para pengawal yang dipimpin Siauw Can pulang. Begitu mendengar tentang terculiknya Lan Lan, Siauw Can segera mencari Bi Lan di kamarnya.

"Lan-moi, apa yang telah terjadi? Aku mendengar Lan Lan diculik orang! Benarkah ini?"

Bi Lan mengamati wajah pemuda itu dan ia mengangguk. "Pagi tadi, ketika aku sedang berada di istana, dan Lan Lan diasuh Cu-ma di taman, ada bayangan orang menotok roboh Cu-ma dan membawa lari Lan Lan."

"Ah, keparat! Kalau aku berada di rumah, tak mungkin hal ini terjadi! Akan kubekuk leher penculik jahanam itu, Lan-moi. Percayalah, aku akan mencari dan menemukan kembali anakmu!"

Bi Lan menggeleng kepala dan menghela napas. "Sudah kucari ke mana-mana akan tetapi tidak ada jejaknya, Can-toako. Bahkan Pangeran Mahkota juga sudah mengerahkan pasukan untuk mencarinya. Penculik itu agaknya lihai sekali. Dia dan Lan Lan seperti menghilang saja..."

Wajah Bi Lan nampak berduka sekali karena ia hampir yakin bahwa Lan Lan tentu diambil kembali oleh orang tuanya dan kalau hal itu terjadi, berarti kehilangan Lan Lan untuk selamanya. Dan tiba-tiba saja ia merasa amat kesepian. Melihat wanita itu hampir menangis, Siauw Can menghiburnya.

"Aku akan membantumu, Lan-moi. Betapapun lihainya, kalau engkau dan aku maju bersama, mustahil kita tidak akan mampu mengalahkannya merebut kembali anakmu."

Pada saat itu Pangeran Tua Li Siu Ti datang dan berada di luar kamar Bi Lan. Wanita itu cepat keluar dan memberi hormat. "Aku ikut merasa menyesal sekali mendengar anakmu diculik orang, Bi Lan. Ah, kalau tahu akan muncul bencana, tentu aku tidak mengajak Siauw Can pergi hingga dia berada di rumah dan akan mampu mencegah terjadinya penculikan itu. Para penjaga yang tidak becus itu! Akan kuhukum mereka yang bertugas pagi tadi. Mereka lalai sehingga tidak tahu ada penjahat masuk dan menculik anakmu!"

"Harap paduka tidak menyalahkan para penjaga, Pangeran. Penculik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga tidak akan sukar baginya untuk menyelinap masuk dan melarikan Lan Lan keluar tanpa diketahui para penjaga. Dari cara dia menotok Cu-ma, dan betapa dia mampu bersembunyi dan meloloskan diri dari pengejaran dan pencarian pasukan keamanan yang dikerahkan Pangeran Mahkota, saya tahu bahwa dia lihai bukan main," kata Bi Lan yang tidak ingin para penjaga disalahkan. Karena andaikata ia sendiri menjadi penculiknya, iapun akan mampu melakukan hal itu tanpa diketahui para penjaga.

Sekarang ia sama sekali tidak dapat mencurigai Siauw Can. Sudah jelas dari penjelasan Pangeran Li Siu Ti bahwa ketika peristiwa terjadi, Siauw Can sedang mengawal dan menemani pangeran itu. Akan tetapi agaknya memang tidak perlu mencurigai orang lain. Ia hampir yakin bahwa pelaku penculikan itu pasti orang tua Lan Lan sendiri.Hanya mereka yang berkepentingan untuk merampas kembali Lan Lan. Kalau orang lain, untuk apa menculik Lan Lan, menempuh bahaya besar menculik anak kecil dari Istana Pangeran Tua."

Kini hati Bi Lan sudah mulai tenang. Kalau yang menculik Lan Lan itu orang tua anak itu sendiri, ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Lan Lan. Akan tetapi, makin dikenang, semakin sedih hatinya dan ia merasa kehilangan. Malam ini ia tidak mampu tidur, gelisah di atas pembaringan, apa lagi kalau ia melihat pembaringan yang ditidurinya itu kosong, tidak nampak lagi Lan Lan yang lucu di sebelahnya.

Bunyi lirih di atas kamarnya membuat ia waspada. Ketika ada benda putih meluncur dari atas langit-langit kamar, ia cepat bangkit, mengenakan sepatu dan membuka jendela, lalu melihat keluar, langsung saja ia melayang ke arah atas genteng untuk mencari orang yang meluncurkan benda ke dalam kamarnya. Akan tetapi setelah berada di atas genting, ia tidak melihat bayangan seorangpun. Betapa cepat gerakan orang itu.

Ia mandang ke sekeliling, sunyi dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Atap istana itu sunyi lengang, dan bintang-bintang berkeredepan di angkasa. Sayang tidak dapat ditanya, karena pasti bintang-bintang itu tadi tahu siapa yang berada di atas kamarnya. Ia membetulkan letak genteng yang dibuka orang, lalu teringat akan benda putih yang dilemparkan ke dalam kamarnya dan ia meloncat turun, kembali ke dalam kamarnya tanpa menimbulkan kegaduhan.

Setelah memasuki kamarnya, Bi Lan menyalakan lampu penerangan sehingga kamarnya menjadi terang. Ia melihat sebuah bungkusan diatas lantai. Kertas putih yang ada tulisannya membungkus suatu, kecil saja, setengah kepalan tangannya, dengan hati-hati ia mengambil bungkusan itu. Bungkusan diatur sedemikian rupa sehingga tanpa membukanya, ia dapat membaca tulisan di kertas pembungkusnya.

"Kalau dalam waktu tiga hari Putera Mahkota belum juga tewas dengan racun ini, Lan Lan akan dikembalikan sebagai mayat!"

Bi Lan terbelalak, kedua tangannya menggigil. Ia meletakkan bungkusan itu ke atas meja. Memandanginya dengan jijik seperti memandang seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Lan Lan ternyata diculik orang yang hendak memaksanya membunuh Pangeran Li Si Bin dengan racun dalam bungkusan itu! Jelas bahwa ini tentu ada hubungannya dengan bekas thai-kam gendut yang pernah mencoba untuk meracuni putera mahkota.

Dan thai-kam itu membunuh diri, maka yang berdiri di belakangnya, yang menyuruhnya meracuni putera mahkota, tentulah orang yang amat ditakutinya. Dan kini agaknya orang yang menginginkan kematian pangeran Li Si Bin itu hendak mempergunakan ia untuk membunuhnya. Dengan cara yang teramat keji dan licik, yaitu menculik Lan Lan dan mengancam nyawa anak itu yang harus ditukar dengan nyawa Pangeran Li Si Bini.! Ini merupakan pemerasan yang teramat hina dan kotor.

Dengan jari-jari tangan gemetar Bi Lan membuka bungkusan dan benar saja, di dalamnya terdapat bubuk putih yang sama sekali tidak berbau akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu benda itu merupakan racun yang amat berbahaya. Ia membungkusnya kembali, lalu duduk termenung memandangi bungkusan racun itu. Ia menjadi bingung dan panik. Ia dihadapkan pada ancaman yang amat merisaukan hatinya. Ia harus memilih.

Berat mana? Li Si Bin atau Lan Lan? Tentu saja ia tidak ingin melihat keduanya terbunuh, ia mencinta Lan Lan, menganggap anak itu seperti anaknya sendiri. Akan tetapi ia juga mencinta Pangeran Li Si Bin! Ia bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk kedua orang ini. Dan sekarang, ia diharuskan memilih antara keduanya. Membunuh Pangeran Li Si Bin atau melihat Lan Lan dibunuh!

"Jahanam keparat busuk!" Bi Lan menepuk ujung meja di depannya sehingga remuk dan ia bangkit, mengepal tinju. Kalau saja penculik Lan Lan itu berada di situ, tentu akan diserangnya, diremukkan kepalanya, dipatahkan tulang lehernya! Karena tidak ada orang yang dapat ia jadikan sasaran kemarahannya, Bi Lan lalu melempar diri ke atas pembaringan dan menangis!

Sejak kematian suaminya, baru sekarang ia menangis dalam arti kata yang sesungguhnya. Menangis karena ia merasa betapa nelangsa hatinya, betapa sunyi hidupnya, betapa ia membutuhkan seorang yang dekat dengannya, yang mencintanya dan dicintanya. Ia tadinya sudah mendapatkan cinta itu dalam diri Lan Lan, akan tetapi kini pada saat ia menemukan lagi cinta yang lebih sempurna, dalam diri putera mahkota, kedua orang yang amat dicintanya itu terancam bahaya maut. Seorang di antara mereka harus mati. Dan lebih hebat lagi, mati di tangannya! Apa yang harus ia lakukan?

Tiga hari tidaklah lama dan bagaimana ia dapat mengatasi keadaan ini! Hampir saja ia menengok kepada Siauw Can, akan tetapi mengingat perbuatan Siauw Can kepadanya di malam itu, ia bergidik. Jangan-jangan kalau dimintai tolong, Siauw Can bahkan akan mengajukan syarat yang membuat ia akan menjadi semakin bingung, dan belum tentu Siauw Can akan mampu menolongnya. Apakah demi keselamatan Lan Lan ia harus membunuh putera mahkota dengan racun itu? Ah, tidak, tidak!!

"Aduh, pangeran, apa yang harus hamba lakukan...!?"

Bi Lan menangis di depan Pangeran Li Si Bin yang memandang dengan mata terbelalak kepada wanita yang berlutut di depan kakinya itu. Sikap seperti itu sungguh tak pernah dapat dibayangkannya. Bi Lan yang biasanya demikian gagah perkasa, kini menangis dan berlutut di depan kakinya seperti seorang wanita lemah yang cengeng!

Akan tetapi timbul kekhawatiran juga di hati pangeran ini. Kalau sampai seorang wanita gagah perkasa seperti Bi Lan bersikap selemah itu tentu ada sebab yang amat hebat. "Bi Lan, tenanglah dan ceritakan, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang biasanya gagah perkasa bersikap selemah ini?"

"Silakan paduka membacanya sendiri, pangeran." Bi Lan menyerahkan bungkusan itu dengan tangan gemetar kepada Putera Mahkota.

Pangeran Li Si Bin yang masih merasa heran itu menerima bungkusan dan membaca tulisannya. Wajahnya berubah agak pucat dan dia menaruh bungkusan itu ke atas meja, lalu memandang kepada wanita yang masih berlutut dengan muka ditundukkan, masih terisak menangis itu.

"Bi Lan, engkau tentu amat mencinta Lan Lan, puterimu itu, bukan?"

Bi Lan mengangkat mukanya yang pucat dan air mata masih mengalir membasahi kedua pipinya. "Pangeran, sungguhpun Lan Lan hanya anak angkat hamba, namun hamba mencintanya seperti anak kandung hamba sendiri."

Pangeran itu membelalakkan mata. Ini kenyataan baru yang mencengangkan hatinya tentang wanita ini. "Anak angkat? Jadi ia bukan anak kandung Rajawali Sakti, mendiang suamimu?"

Bi Lan menggeleng kepala, "Ia adalah anak angkat hamba, pangeran. Akan tetapi hamba mencintainya dan hamba siap mempertaruhkan nyawa hamba untuk menyelamatkannya."

"Hemm, kalau begitu, Bi Lan, kenapa engkau membawa surat dan racun ini kepadaku? Untuk menyelamatkan anak angkatmu itu, kenapa tidak kau lakukan saja perintah dalam surat itu...?"