Naga Beracun Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"Bi Lan, angkat mukamu dan pandanglah aku kalau bicara denganku. Aku tidak suka bicara dengan orang yang selalu menundukkan mukanya seperti orang yang menyembunyikan kesalahan." Ucapan itupun bukan kata-kata yang mengandung kemarahan, akan tetapi mengandung perintah yang mutlak dan tidak mungkin dapat dibantah atau tidak ditaati.

Bi Lan mengangkat muka memandang. "Hamba pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, pangeran..." katanya lirih, hampir tidak kuat menahan sinar mata mencorong seperti naga itu, yang memandang kepadanya dengan bersih dan jujur akan tetapi seperti hendak mengukur kedalaman isi hatinya.

"Hemm, sekarang ini jarang ada pendekar Siauw-lim-pai yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Sungguh sayang. Kelaliman Kerajaan Sui telah menghancurkan Siauw-lim-pai, sehingga ketuanya membakar diri! Sekarang aku bertemu murid Siauw-lim-pai yang pandai. Bi Lan, coba kau perlihatkan ilmu silatmu dengan melayaniku beberapa jurus."

Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin sudah menuju ke tempat tadi kedua orang wanita itu berlatih silat, yaitu dilapangan rumput yang luas dekat kolam ikan.

Bi Lan menunduk lagi. "Hamba... hamba tidak berani, pangeran..."

Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. "Ini perintah, Kwa Bi Lan!"

Ai Yin segera berkata. "Enci Bi lan, ayah sendiri tidak akan membangkang terhadap perintah pangeran Mahkota, apalagi engkau!" ia lalu menghampiri Bi Lan dan memondong Lan Lan. "Kupangku dulu Lan Lan, kau layani pangeran!"

Bi Lan terkejut. Hampir ia lupa bahwa pangeran yang berada di depannya ini merupakan orang yang paling berkuasa di kerajaan Tang! Bahkan menurut Siauw Can, kaisar sendiri, ayah pangeran ini, masih kalah besar kekuasaannya! Maka ia cepat memberi hormat lalu bangkit dan menghampiri pangeran yang sudah berada dilapangan rumput.

Pangeran itu tersenyum senang. "Nah, begitu sebaiknya, Bi Lan. Aku ingin melihat apakah engkau tepat untuk melatih pasukan pengawal wanita di istana yang sedang kupersiapkan! Bah, kau maju dan seranglah aku, dan jangan sungkan atau takut. Keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilainya."

Tepat dugaannya. Pangeran ini hendak menguji kepandaiannya dan mendengar bahwa pangeran ini ingin agar ia melatih pasukan pengawal di istana, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia akan menjadi pelatih di istana Kaisar! Bukan main! Tak pernah ia bermimpi untuk dapat memasuki istana Kaisar, apalagi menjadi pelatih di sana.

Ia melihat betapa pangeran itu sudah memasang kuda-kuda yang kokoh. Kuda-kuda yang dikenalnya sebagai kuda-kuda ilmu silat aliran Kun-lun-pai, maka iapun cepat menyalurkan sin-kang ke arah kedua tangannya, kemudian menggeser kakinya maju, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan, kemudian berkata lembut,

"Maafkan hamba!"

"Mulailah!" Pangeran Li Si Bin tampak gembira sekali melihat gerakan kaki dan tangan wanita itu yang biarpun nampak lembut dan indah, namun mengandung tenaga sin-kang yang membuat setiap gerakan itu Nampak mantap berisi.

Bi Lan tidak ragu-ragu lagi setelah melihat betapa pangeran itu memang seorang ahli silat. Ia menerjang maju dengan pukulan tangan terbuka, dan mempergunakan jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang pernah dipelajarinya sebelum ia menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Tentu saja ia memilih jurus-jurus terampuh, dan karena ia telah memperoleh kemajuan dalam hal sin-kang dan gin-kang setelah belajar kepada Sin-Tiauw Liu Bhok Ki.

Tentu saja gerakannya jauh lebih hebat dibandingkan sebelumnya. Gerakannya cepat dan setiap serangannya mengandung tenaga yang kuat sekali. Bi Lan menjadi kagum. Kiranya pangeran itu benar lihai sekali, melampaui dugaannya. Setiap serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu, dan setiap kali lengan mereka bertemu, ia merasa betapa lengannya tergetar hebat!

Agaknya Pangeran Li Si Bin tidak main-main dalam menguji wanita itu. Ia memang membutuhkan seorang pelatih yang baik untuk regu pengawalnya yang baru dibentuknya. Dia sedang membentuk sebuah regu pengawal wanita, terdiri dari para dayang, gadis-gadis muda pilihan untuk menjaga keamanan keluarga di dalam istana, sehingga tidak perlu menggunakan pengawal thai-kam (orang kebiri).

Memang banyak jagoan silat di istana, akan tetapi kalau dia menyuruh seorang jagoan untuk melatih dan menggebleng regu pengawal wanita itu, tentu akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Dia tidak dapat menyalahkan para jagoan itu. Siapa dapat bertahan diri menghadapi seregu dayang yang muda dan cantik-cantik itu?

Maka, sebaiknya mencari pelatih seorang wanita pula dan kalau Kwa Bi Lan ini mempunyai kepandaian tinggi seperti yang didengarnya, dia akan minta agar wanita ini menggembleng regunya itu. Karena dia ingin mengukur Bi Lan, maka Pangeran Li Si Bin segera membalas serangan Bi Lan dengan serangan yang tak kalah hebatnya!

Bi Lan cepat mengelak dan mengandalkan kecapatan gerakannya untuk menghindarkan diri. Akan tetapi pangeran itupun dapat begerak cepat mengimbangi kecepatannya, sehingga sejenak Bi Lan terdesak dan main mundur sambil mengelak dan menangkis! Karena pangeran itu terus mendesak, tiba-tiba Bi Lan mengubah gerakannya dan tubuhnya mencelat ke udara lalu ia menukik dan menyambar bagaikan seekor burung rajawali. Ia telah memainkan ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti Rajawali terbang), yang dipelajarinya dari mendiang suaminya!

Begitu ia menyerang dengan ilmu silat ini, keadaannya menjadi terbalik! Kini pangeran itu terdesak dan berulang-ulang dia berseru kaget dan kagum. Dengan serangan yang menyambar-nyambar seperti itu, pangeran Li Si Bin nampak bingung dan beberapa kali hampir saja tangan Bi Lan mengenai pundak dan dadanya. Akan tetapi tentu saja wanita itu tidak berani melanjutkan serangannya dan selalu menarik kembali serangannya, apabila serangannya hampir mengenai sasaran.

"Cukup...!" Pangeran Li Si Bin berseru dan Bi Lan meloncat mundur, merangkap kedua tangan memberi hormat.

"Harap paduka memaafkan hamba..."

"Wah, engkau memang hebat!" Pangeran itu berseru, "Akan tetapi, ilmu silatmu yang terakhir tadi tentu bukan dari Siauw-lim-pai!"

"Maafkan hamba, karena paduka tadi mendesak, terpaksa hamba mempergunakan ilmu simpanan itu yang memang bukan dari Siauw-lim-pai."

Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran karena sudah banyak dia mengenal ilmu silat, akan tetapi ilmu silat yang menyambar-nyambar dan membingungkannya seperti tadi belum pernah dilihatnya. "Ilmu silat apakah itu?"

"Namanya Hui-tiauw Sin-kun."

"Hemm, memang pantas. Engkau menyambar-nyambar bagaikan burung rajawali saja. Dari siapa engkau mempelajari ilmu hebat itu, Bi Lan?"

"Dari... mendiang suami hamba pangeran."

"Siapakah mendiang suamimu yang lihai itu?"

"Namanya Liu Bhok Ki..."

"Si Rajawali Sakti? Aih, pantas. Kiranya engkau isteri seorang pendekar besar. Hemm, jadi engkau ini isterinya dan dia sudah meninggal dunia? Engkau janda pendekar itu dan itu... anakmu?" Pangeran Li Si Bin menunjuk kepada Lan Lan.

"Benar, pangeran..."

Pada saat itu muncul Pangeran Tua Li Siu Ti sambil tertawa-tawa. Biarpun dia paman dari pangeran muda ini, namun karena kedudukannya kalah tinggi, Pangeran Li Siu Ti lebih dulu member hormat kepada keponakannya.

"Pangeran, sudah lamakah datang berkunjung? Ai Yin, kenapa tidak memberi tahu kepadaku?"

"Kanda pangeran menguji kepandaian enci Bi Lan, ayah," kata Ai Yin gembira dan bangga karena gurunya membuat pangeran itu kagum.

"Maaf, paman," kata pangeran Li Si Bin. "Saya mendengar tentang dua orang muda yang menjadi pengawal di sini. Saya kagum sekali setelah menguji kepandaian Kwa Bi Lan. Paman memang beruntung sekali mendapatkan dua orang muda itu sebagai pengawal pribadi. Setelah menguji Kwa Bi Lan, saya ingin mengajukan sebuah permintaan kepada paman, harap paman suka mengabulkannya."

Diam-diam pangeran Tua Li Siu Ti merasa khawatir. Mungkinkah putera mahkota ini tertarik kepada Bi Lan dan ingin mengambilnya untuk tinggal dalam istananya sendiri? Kalau demikian halnya, dia akan kehilangan sekali. Sukar mencari pengganti seorang wanita perkasa seperti Bi Lan. Tentu saja dia tidak berani menyatakan kekhawatirannya ini.

Tidak demikian dengan Ai Yin. Biarpun dia selalu bersikap ramah dan sopan penuh hormat kepada putera mahkota yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi, akan tetapi gadis ini lebih berani dan terbuka, tidak seperti ayahnya. Maka iapun segera berkata, "Aihh, kanda pangeran, apakah paduka akan membawa enci Bi Lan pindah dari sini ke istana paduka? Lalu bagaimana dengan saya?"

Pangeran Li Si Bin tersenyum. "Tidak, Ai Yin, aku hanya ingin agar ia suka melatih pasukan dayang pengawal khusus di istana, setiap hari beberapa jam saja. Tentu saja kalau paman pangeran membolehkan dan terutama sekali kalau Bi Lan yang bersangkutan tidak berkeberatan."

Bi Lan terbelalak. Pangeran ini yang kekuasaannya demikian besar, ternyata masih bersikap demikian lunak! Kalau ia tidak berkeberatan? Sungguh sikap yang sama sekali tidak pernah disangkanya, dan sikap pangeran ini membuat Bi Lan semakin kagum dan suka sekali kepada pangeran muda yang rendah hati dan tidak sewenang-wenang itu.

"Aih, tentu saja saya setuju, pangeran!" kata Pangeran Tua Li Siu Ti dengan ramah.

"Bagus! Terima kasih, paman. Dan bagaimana dengan engkau Bi Lan? Maukah engkau membantuku melatih pasukan dayang agar mereka dapat menjadi pengawal yang dapat diandalkan? Setiap hari tiga atau empat jam saja dan untuk jerih payahmu itu, tentu saja kami akan memberi imbalan."

"Hamba akan mentaati perintah paduka, pangeran." Kata Bi Lan dengan wajah berseri. Entah bagaimana, ia merasa senang dapat bekerja kepada seorang pangeran seperti ini!

"Baik, terima kasih. Mulai besok pagi, aku akan menyuruh jemput dengan kereta, setelah selesai melatih, engkau akan diantar kembali kesini dengan kereta. Kalau anakmu itu tidak dapat berpisah darimu, boleh kau ajak ke istana."

Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin berpamit dari rumah pamannya dan iapun melangkah keluar, diantar oleh Pangeran tua Li Siu Ti sampai di depan istananya.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Betapa indahnya taman itu, seperti taman sorga dalam dongeng. Matahari senja Nampak bulat merah redup, seperti sebuah lampu gantung yang besar dan bulat. Matahari sudah hampir menyelesaikan tugasnya sehari penuh dan biarpun nampaknya tidak berkuasa dan bersinar lagi, namun bekas kekuasaannya masih nampak membakar langit. Langit kebakaran, merah kuning dan ada garis-garis biru putih di sana-sini, adapula warna seperti lautan perak dihias awan putih lembut begumpal-gumpal seperti sekawanan domba putih sedang berangkat pulang ke kandang.

Keindahan alam yang membuat hati terasa nyaman, membuat orang ingin bersenandung. Dan sesosok bayangan seorang pria menghampiri. Bi Lan tersenyum dan perasaan hangat mesar menyelubungi hatinya. Betapa besar cinta kasihnya kepada suaminya! Suaminya, Sin-tiauw Liu Bhok Ki menghampirinya dengan langkahnya yang tegap, dengan wajahnya yang jantan, dengan sinar matanya yang penuh kasih dan penuh kebijaksanaan, dengan senyumnya yang menenangkan hati.

Ketika suaminya mendekat sambil mengembangkan kedua lengan, iapun membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan mesra. Bibir itu mengecup lehernya, panas. Terasa betapa lehernya digigit dengan dengus penuh nafsu. Suaminya tidak pernah berbuat hal seperti ini. Suaminya selalu tenang dan tidak pernah dilanda gairah nafsu yang menggelora seperti ini.

"Ihhh...!" ia merenggut dirinya lepas. Bukan suaminya! Dan ia tidak berada di dalam taman, di senja yang indah. Ia berada di dalam kamarnya, di atas pembaringan dan yang tadinya muncul sebagai suaminya dalam mimpi, ternyata adalah Siauw Can atau Can Hong San! Ia tadi bermimpi! Dan kenyataannya, Can Hong San telah memasuki kamarnya seperti maling dan tadi telah memeluknya dan mengecup, menggigit lehernya dengan penuh nafsu.

"Kau...!" bentaknya dengan lirih dan kini ia sudah meloncat turun dari atas pembaringan. Wajahnya menjadi merah dan terasa panas sekali ketika melihat betapa kancing bajunya bagian atas terlepas sebagian. Jari-jari tangannya cepat mengancingkan kembali baju itu dan matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.

"Bi Lan... Lan-moi... engkau tahu betapa aku mencintaimu, Lan-moi...! Aku cinta padamu dan tidak tahan lagi...Kuharap engkau tidak membuat aku terpaksa menggunakan paksaan..."

Bi Lan teringat bahwa kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi darinya dan kalau pemuda ini menggunakan paksaan, mungkin ia tidak akan mampu menghindarkan diri dari penghinaan, dari perkosaan. Cepat ia meloncat dan dilain saat, ia telah berada di dekat pembaringan kecil di sudut, di mana Lan Lan tertidur, dan sekali sambar, ia telah memondong anaknya yang masih tidur itu.

"Kalau engkau tidak segera pergi, aku akan berteriak dan melawan mati-matian, aku akan melaporkan kepada Pangeran Tua dan Pangeran Mahkota. Akan hancur semua pekerjaan kita selama ini!"

"Lan-moi, kenapa...? Bukankah selama ini aku baik kepadamu, selalu membantumu? Aku cinta padamu, dan aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku."

"Cukup, pergilah atau aku akan berteriak!" kembali Bi Lan mengancam.

Hal ini sungguh tidak disangka sama sekali Can Hong San atau yang sekarang dikenal sebagai Siauw Can. Tadinya dia merasa yakin bahwa kalau dia melakukan pendekatan, janda muda itu tentu akan menyambutnya dengan hangat. Dari sikap janda itu, sinar matanya kalau memandangnya, senyumnya, semuanya menunjukkan bahwa janda itu kagum dan suka kepadanya.

Apalagi kalau diingat bahwa sejak pertemuan pertama, dia selalu menolong janda itu, bukan saja menyelamatkannya, juga selanjutnya membimbingnya sehingga mereka berdua dapat memperoleh kedudukan yang menyenangkan dan mulia di rumah Pangeran Tua, bahkan janda itu kini ditugaskan melatih pasukan dayang di istana!

Dia tahu betapa Bi Lan merasa berhutang budi kepadanya, oleh karena itu, kalau dia melakukan pendekatan, tentu Bi Lan akan menyambutnya dengan mesra. Ketika tadi dia memperoleh kesempatan, berhasil menyelinap memasuki kamar janda itu, lalu merangkul, membelai dan mengecupnya, dalam keadaan setengah sadar Bi Lan menyambutnya dengan hangat. Akan tetapi, kenapa sekarang keadaannya berubah sama sekali? Tentu saja dia merasa kecewa bukan main, kecewa, mendongkol dan menyesal. Sia-sia saja semua kebaikan yang dilakukannya selama ini terhadap Bi Lan!

"Lan-moi, benarkah engkau menolak cintaku? Engkau mengusirku?"

"Sudahlah, pergi cepat! Aku bukan menggertak saja!" Bi Lan mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di dinding.

"Baik, aku pergi. Tak kusangka bahwa engkau adalah seorang perempuan yang tidak mengenal budi!"

"Dan aku tidak menyangka bahwa engkau hanyalah seekor binatang buas berbulu domba!" balas Bi Lan.

"Uhh!" Siauw Can keluar dari dalam kamar itu melalui daun jendela, sepeti masuknya tadi.

Bi Lan menutupkan daun jendela, merebahkan kembali Lan Lan, kemudian ia terhuyung dan menjatuhkan diri di atas pembaringannya. Seluruh tubuhnya gemetar dan lemas, dan iapun tak dapat menahan diri lagi, menangis tanpa suara! Betapa mengerikan bahaya yang tadi mengancam dirinya. Kalau saja ia tidak bermimpi bertemu mendiang suaminya, kalau saja ia tidak sadar, betapa akan mudahnya terjeblos, betapa akan mudahnya menyeleweng dan menyerahkan dirinya kepada pemuda yang sesungguhnya amat dikagumi dan disukainya!

Dan kini ia menangis bukan karena marah, melainkan karena penyesalan melihat kenyataan yang amat pahit itu. Siauw Can bukanlah pria seperti yang dibayangkannya semula! Dan inilah yang membuatnya kini menangis. Ia merasa kehilangan seorang sahabat baik, seorang yang selama ini dianggapnya seperti kakak sendiri. Bahkan ia harus mengakui bahwa besar sekali kemungkinannya kelak ia akan menerima cinta kasih pemuda itu dengan hangat, dengan penuh harapan. Akan tetapi kini semua telah musnah!

Semua telah hancur, karena perbuatan Siauw Can malam itu. Ia kini merasa hidup seorang diri, dan tidak dapat mengandalkan siapapun. Sementara itu, Siauw Can memasuki kamarnya dengan wajah muram. Berulang kali dia mengenal tinju dan menyumpah-sumpah dalam hatinya. Dia telah gagal sama sekali! Kegagalan yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan. Dia memang sengaja hendak merayu Bi Lan, bahkan kalau perlu menggunakan paksaan untuk menggauli janda itu.

Sekali Bi Lan telah menyerahkan dirinya, dia tidak akan kehilangan janda yang sesungguhnya telah menjatuhkan hatinya itu. Dia mencintai Bi Lan. Inilah yang memusingkan dirinya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dia tidak akan sekecewa ini. Banyak wanita yang lebih cantik daripada Bi Lan bias dia dapatkan. Akan tetapi dia mencintai Bi Lan dan tidak ingin kehilangan Bi Lan.

Tadinya, usahanya malam ini adalah untuk mengikat agar Bi Lan tidak akan terlepas lagi dari tangannya. Dia merencanakan hal yang lebih besar. Dia ingin mendekati Li Ai Yin! Kalau dia berhasil mendapatkan dara bangsawan itu, membuatnya tergila-gila, dan berhasil menjadi mantu Pangeran Tua, tentu dia memperoleh kemajuan yang hebat!

Dan biarpun hal itu tetjadi, kalau Bi Lan sudah berhasil dikuasainya, tentu Bi Lan tidak dapat berbuat sesuatu! Kelak dia menikah dengan Ai Yin, dan Bi Lan menjadi selirnya. Betapa akan membahagiakan hatinya. Wanita yang akan mengangkat derajatnya menjadi isterinya dan wanita yang dicintanya menjadi selirnya!

Akan tetapi, dia telah gagal sama sekali! Bi Lan menolaknya, dan ancaman Bi Lan bisa berbahaya. Tidak, selama dia tidak mengganggu lagi, Bi Lan juga tidak akan begitu bodoh untuk melaporkan apa-apa kepada Pangeran Tua maupun Putera Mahkota. Laporan yang tidak ada buktinya! Pula, kalau melaporkan peristiwa semalam, kedua orang bangsawan itupun tidak akan mencampuri, dan andaikata kedua bangsawan itu tidak suka kepadanya, tentu Bi Lan akan terbawa pula.

Siauw Can merebahkan diri tanpa melepas sepatunya, rebah terlentang di atas pembaringannya sambil melamun. Kini dia telah tahu akan segala rahasia Pangeran Tua. Pangeran itu merupakan orang yang berambisi besar dan seorang pembenci Turki. Dan dia sendiri telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Tua Li Siu Ti, disamping Poa Kiu. Baru kemarin dia menerima tugas yang amat berat, akan tetapi juga amat rahasia. Tugas itu saja menunjukkan betapa Pangeran Li Siu Ti percaya sepenuhnya kepadanya. Dan jantungnya masih berdebar tegang kalau dia mengenang kembali tugasnya itu, yang dilaksanakan dengan baiknya malam kemarin.

Sebelumnya dia sudah melakukan penyelidikan sehubungan dengan tugas rahasia itu dan dia tahu bahwa Gala Sing, putera Raja Baducin, pemuda berusia tigapuluh tahun yang tukang pelesir dan mata keranjang itu, malam itu berada di pondok indahnya di luar kota raja. Seperti biasa, Gala Sing bersenang-senang di pondoknya itu, dijaga oleh seregu anak buahnya, tukang-tukang pukulnya.

Setelah membuat rencana dengan masak, seorang diri dia menyusup ke dalam istana bagian puteri dan tidak terlalu sukar baginya untuk menangkap seorang selir kaisar, menotoknya sehingga tidak dapat bergerak dan tak mampu bersuara lagi. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Siauw Can berhasil memanggul selir yang dimasukkannya ke dalam kantung kain besar itu keluar dari tembok istana, bahkan membawanya keluar dari kotaraja, menuju ke pondok indah milik Gala Sing di lereng sebuah bukit kecil. Gegerlah istana di malam hari itu!

Beberapa orang dayang yang melayani selir itu, hanya melihat bayangan hitam berkelebat, berkedok dan selir itu diculik si bayangan hitam. Mereka menjerit dan para pengawal segera mencoba melakukan pencarian, namun sia-sia. Bayangan itu telah menghilang bersama selir kaisar. Mendengar ini, kaisar menjadi marah dan malam itu juga, kaisar memerintahkan pasukan keamanan untuk melakukan penggeledahan dan pencarian di seluruh kota raja. Namun sia-sia saja hasilnya.

Dan pada keesokan harinya, yaitu pagi-pagi tadi, terjadi kejadian yang lebih menghebohkan lagi. Para pengawal Gala Sing, pagi itu menemukan majikan mereka, Gala Sing, sudah menggeletak di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati! Dadanya terluka bekas tusukan pisau yang menembus jantungnya! Dan di sampingnya, Nampak selir kaisar yang sudah mati dengan tangan kanan masih memegang pisau yang menancap di dadanya sendiri.

Seperti keadaan Gala Sing, selir inipun mati dalam keadaan telanjang bulat. Selain mereka berdua, di lantai juga terdapat mayat lain, mayat seorang gadis penari yang malam itu dipanggil oleh Gala Sing untuk menemaninya bersenang-senang. Juga penari ini tewas dengan tusukan di dada dan leher.

Para penyelidik dari kota raja segera berdatangan dan menurut pemeriksaan mereka, selir itu telah diperkosa. Mudah saja diambil kesimpulan melihat keadaan di kamar itu. Tentu selir itu diculik orang, dan dibawa ke kamar itu, diperkosa oleh Gala Sing. Kemudian selir itu mendapat kesempatan untuk menyambar pisau, menusuk Gala Sing, juga membunuh penari yang mungkin membantu Gala Sing, kemudian untuk mencuci aib, membunuh diri sendiri. Tidak ada kemungkian lain lagi, kecuali kesimpulan itu!

Siauw Can tersenyum sendiri. Dia telah bertindak cerdik sekali. Tugas rahasia itu adalah agar Gala Sing dibunuh dan agar diatur supaya terjadi bentrok antara pihak kaisar dan pihak Raja Muda Baducin. Hanya itu tugasnya dan dia sendiri yang mengatur siasatnya. Tentu saja dia yang menculik selir itu dan tanpa setahu para penjaga di luar pondok indah itu, dia berhasil membawa selir itu masuk. Dia membunuh Gala Sing dan penari itu. Dia pula yang memperkosa selir itu kemudian membunuhnya, akan tetapi semua itu diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesimpulan di atas tadi!

Dan benar saja. Terjadi geger dan keadaan menjadi gawat. Raja Muda Baducin marah-marah dan berduka sekali karena putera tersayang tewas. Juga kaisar mencak-mencak karena selirnya diculik, diperkosa dan membunuh diri. Hal itu dianggap suatu penghinaan besar sekali. Dan Pangeran Tua Li Siu Ti merangkul pundaknya dengan girang bukan main.

"Tidak percuma engkau menjadi tangan kananku!" bisik pangeran itu setelah mendengar berita yang menghebohkan itu. Dan sore tadi, Pangeran Li Siu Ti dipanggil oleh kaisar. Tentu diadakan rapat atau perundingan yang serius sekali sehubungan dengan peristiwa itu sehingga sampai malam pangeran Tua belum juga kembali. Dan kesempatan itu dia pergunakan untuk mendekati Bi Lan. Namun sekali ini dia gagal!

Tidak mengapa, dia menghibur diri sendiri. Bi Lan tentu tidak akan berani menceritakan kepada siapapun juga. Andaikan diceritakanpun, apa salahnya kalau dia menyatakan cintanya kepada seorang janda, walaupun janda itu diakuinya sebagai saudara misan? Tentu Bi Lan akan ditertawakan orang dan hal itu bahkan mendatangkan aib bagi dirinya sebagai janda muda! Tidak, Bi Lan tidak akan membuka mulut.

Biarlah malam ini gagal, kelak masih banyak kesempatan dan masih banyak cara untuk membuat usahanya berhasil. Sekarang dia harus mengatur langkah berikutnya, yaitu pendekatan terhadap Li Ai Yin. Siauw Can atau Can Hong San pernah menyesali semua perbuatannya yang sesat, dan ketika dia bertemu dengan Bi Lan, dia sedang berusaha untuk menjadi orang baik! Dia ingin belajar menjadi orang baik.

Kebaikan adalah suatu keadaan batin, keadaan batin yang bersih dari pada pengaruh nafsu daya rendah. Keadaan batin, yaitu akal pikiran yang sepenuhnya digerakkan oleh jiwa, dibimbing kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih! Belajar baik atau melatih kebaikan hanya akan membuahkan kemunafikan, karena kebaikan itu timbul dari keinginan. Ingin Baik! Dan keinginan baik ini tentu timbul pula ari keadaan. Seperti Hong San.

Setelah dia hidup bergelimang kejahatan, dia mendapat kenyataan bahwa hidup secara itu tidak mendatangkan keuntungan, bahkan membuat dia selalu gagal dan sengsara. Kegagalan hidup dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perbuatan jahatnya itulah yang menimbulkan keinginan di dalam hatinya, ingin menjadi orang baik!

Tentu saja pamrihnya adalah agar akibat perbuatan baik itu membuat dia berhasil dan senang dalam hidupnya. Jadi, kebaikan itu bukanlah sasaran mutlak, melainkan hanya akan dipergunakan sebagai suatu cara untuk mencapai tujuannya, yaitu kesenangan. Sasaran dari nafsu hanyalah satu, yaitu kesenangan!

Usaha seperti itu, yaitu belajar menjadi baik, berlatih menjadi baik, jelas masih merupakan hasil karya nafsu, karena sasarannya adalah kesenangan sebagai akibat kebaikannya. Kalaupun orang menjadi baik karena itu, maka kebaikannya hanya merupakan kemunafikan belaka. Kebaikan seperti itu hanya polesan, mudah luntur. Karena yang diutamakan sasarannya, yaitu kesenangan, maka kebaikan yang hanya menjadi cadar itu dapat saja dengan mudah diganti dengan kebalikannya, yaitu kejahatan, asalkan sasarannya lebih cepat dapat dicapai, yaitu kesenangan.

Apakah kalau begitu kita tidak perlu belajar menjadi orang baik? Siapa sesungguhnya yang mengajukan pertanyaan seperti itu? Siapa yang ingin belajar menajdi orang baik? Tentu saja pikiaran, dan pikiran kita telah bergelimang nafsu, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah. Dengan keadaan seperti itu, apapun yang diusahakan pikiran selalu hanya demi kepentingan diri pribadi. Dan ini memang menjadi tugas dari pikiaran.

Pikiran merupakan satu di antara alat yang membantu manusia agar hidupnya di dunia dapat dipertahankan dpat diatur. Demikian pula dengan daya-daya rendah yang menyertai jiwa dalam kehidupannya sebagai manusia di dunia ini. Daya-daya rendah itu memang disertakan kepada kita sebagai alat, sebagai pembantu. Tanpa adanya nafsu-nafsu itu, kita tidak akan hidup sebagai manusia.

Akan tetapi, kalau sampai nafsu-nafsu yang semula ditugaskan menjadi pembantu kita itu dibiarkan meliar dan menjadi majikan, mencengkeram dan menguasai hati dan akal pikiran, maka kita akan diseret dan yang kita kejar hanyalah kesenangan-kesenangan duniawi yang membuat kita mabok dan tidak pantang melakukan hal-hal yang amat buruk. Lalu bagaimana daya kita? Kita hidup membutuhkan nafsu, akan tetapi nafsu juga yang menyeret kita ke dalam kegelapan. Kitapun tidak dapat mengendalikan nafsu, karena kita yang ingin mengendalikan inipun dikemudikan nafsu!

Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menguasai nafsu kecuali kekuasaan Sang Maha Pencipta. Tuhan yang mencipta semua itu, dan hanya Tuhan pula yang akan dapat mengatur dan membereskan keadaan yang menyimpang dari kebenaran itu. Kini manusia hanya tinggal menyerah! Kita menyerah sepenuhnya dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuas, batin dan lahir.

Batinnya menyerah kepada Tuhan sebagai dasar yang kokoh, lahirnya kita berusaha dan berikhtiar agar selalu melalui jalan hidup yang benar. Dengan demikian terdapat keseimbangan lahir dan batin. Doa dan kerja! Yang dua ini harus selalu jalan bersama. Hidup bagaikan naik perahu. Doa merupakan kemudinya, kerja merupakan pendayungnya. Tanpa kemudi perahu akan tersesat. Tanpa pendayung, perahu takkan maju. Tanpa kerjasama antara keduanya, perahu akan ditelan ombak.


********************

"Sialan, semua siasat kita telah gagal akibat ulah Pangeran Li Si Bin keparat itu!"

Pangeran Tua Li Siu Ti berjalan mondar-mandir di ruangan rumahnya yang luas itu, wajahnya muram alisnya berkerut dan kedua tangannya dikepal. Dia marah sekali. Yang menjadi saksi ulahnya ini hanya dua orang saja, dua orang kepercayaannya, yaitu Poa Kiu dan Siauw Can! Tentu saja kalau orang lain mendengar ucapannya tadi, orang itu akan terkejut dan heran bukan main mendengar pembesar itu berani memaki Pangeran Li Si Bin!

Kemudian tiba-tiba pangeran tua itu menjatuhkan diri duduk di atas kursinya berhadapan dengan dua orang kepercayaannya dan berkata dengan tegas, "Kalian berdualah yang kupercaya. Kalian harus menemukan cara bagiku, dan harus berhasil! Poa Kiu, pergunakan kecerdikanmu dan engkau Siauw Can, pergunakan kepandaian silatmu!"

Siauw Can saling pandang dengan Poa Kiu. Siauw Can atau Can Hong San diam-diam merasa heran mengapa majikannya itu membenci benar orang-orang Turki dan mengapa pula hendak mengadu domba antara orang-orang Turki dengan kaisar.

"Harap paduka ceritakan dulu, kenapa paduka marah-marah? Bukankah tugas saya telah terlaksana dengan baik?" Tanya Siauw Can, penasaran.

"Poa Kiu, kau ceritakan kepadanya." Kata Pangeran Tua Li Siu Ti. "Kauceritakan segalanya, kemudian kalian berunding dan nanti sampaikan usul-usul kalian kepadaku!" Setelah berkata demikian, Li Siu Ti bangkit dan meninggalkan dua orang kepercayaannya itu berbicara berdua saja di ruangan tertutup itu.

"Sungguh heran, mengapa dia marah-marah?" Tanya Siauw Can setelah pembesar itu pergi. "Bukankah tugasku sudah kulaksanakan dengan berhasil baik? Kenapa dia mengatakan siasat kita gagal karena ulah Pangeran Li Si Bin? Apa artinya itu?"

Poa Kiu menghela napas panjang. Pangeran Tua Li Siu Ti sudah menceritakan segalanya kepadanya dan dia tahu bahwa Siauw Can dapat dipercaya. Bukankah tadi pangeran tua itu menyuruh dia menceritakan segalanya kepada pemuda perkasa itu?

"Tugas yang kau laksanakan dengan baik itu bertujuan mengadu domba antara orang-orang Turki dan Kaisar memang hampir berhasil. Kaisar marah-marah karena selirnya diculik dan diperkosa dan dibunuh, dan raja Muda Baducin juga marah-marah karena puteranya, Gala Sing, terbunuh. Memang keduanya sudah siap untuk saling menyalahkan dan kemungkinan besar terjadi bentrokan dan permusuhan di antara mereka. Akan tetapi muncullah Pangeran Li Si Bin dan pangeran ini melerai, mengakurkan kembali Baducin dan Kaisar. Dia mengatakan bahwa urusan pribadi tidak semestinya berkembang menjadi urusan Negara. Dan dia menghibur kedua belah pihak, mengatakan bahwa penculik dan pemerkosa selir kaisar sudah terhukum dan terbunuh, sebaliknya pembunuh Gala Sing juga sudah membunuh diri. Keduanya sudah mati, semua dendam sudah terbalas. Nah, turun tangannya Pangeran Li Si Bin itulah yang membuat keributan mereda, dan baik Baducin maupun Kaisar sudah dapat menerima kenyataan dan tidak marah-marah lagi."

Siauw Can mengangguk-angguk. Pantas saja Pangeran Li Siu Ti marah-marah karena memang semua jeruh payahnya itu sia-sia saja, tidak ada hasilnya. Sudah sejak dia diterima menjadi pembantu pangeran Li Siu Ti, dia merasa heran mengapa majikannya yang adik kaisar itu nampaknya tidak suka kepada kaisar dan membenci orang Turki. Kesempatan baik ini harus dia pergunakan untuk mengetahui dasar pemikiran dan perasaan majikannya, apalagi karena dia bercita-cita untuk dapat menjadi mantunya!

"Paman Poa," kini sebagai rekan dia menyebut paman kepada pembesar itu, "kalau boleh aku mengetahui, kenapa Pangeran Li Siu Ti membenci orang-orang Turki dan mengapa pula nampaknya tidak suka kepada Pangeran Li Si Bin?"

Poa Kiu mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kalau engkau mengetahui semuanya, Siauw Can, dan pangeran juga sudah memberi ijin kepadaku untuk menceritakannya kepadamu."

Pembesar itu lalu menceritakan semua keadaan dengan terus terang kepada Siauw Can. Pangeran Tua Li Siu Ti merasa ikut berjasa ketika terjadi gerakan menggulingkan Kerajaan Sui. Ketika kakaknya, Li Goan, diangkat menjadi kaisar pertama Kerajaan Tang sebagai Kaisar Tang Kao Cu, Pangeran Li Siu Ti tentu saja mengharapkan agar kelak dia menjadi pengganti kakaknya.

Mengingat bahwa kakaknya tidak mempunyai anak laki-laki dari permaisuri. Akan tetapi, ketika Li Si Bin menjadi putera mahkota, mulailah dia merasa iri dan marah. Li Si Bin hanyalah anak dari selir bangsa Turki! Perasaan iri hati ini membuat ia membenci orang-orang Turki yang membantu Li Si Bin.

"Demikianlah Siauw Can. Pangeran Tua Li Siu Ti merasa bahwa dialah keturunan keluarga Li yang asli setelah kakaknya, dan Pangeran Li Si Bin hanyalah seorang berdarah Turki yang tidak pantas menjadi putera mahkota dan kelak menggantikan kedudukan kaisar. Karena orang-orang Turki itu mendukung Pangeran Li Si Bin, maka mereka perlu disingkirkan, dan untuk itulah engkau bertugas mengadu domba itu. AKan tetapi ternyata siasat itu gagal, maka kita harus mencari siasat baru."

Siauw Can menganggu-angguk. "Ah, kalau saja tahu lebih dahulu, tentu aku tidak menyetujui siasat mengadu domba itu. Bagaimana mungkin mereka diadu domba kalau Pangeran Li Si Bin berdarah Turki pula? Tentu dia akan selalu menentang perpecahan di antara mereka.! Sebaiknya diatur agar kedudukan pemerintahan menjadi lemah dengan jalan membujuk Kaisar dan Putera Mahkota agar tenggelam ke dalam kesenangan dan kurang memperhatikan pemerintahan. Dengan jalan demikian, para pejabat tinggi dan rakyat akan merasa tidak suka kepada kaisar. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan menjatuhkan mereka. Sementara itu, Pangeran Li SIu Ti harus dapat mengangkat namanya agar popular di kalangan rakyat. Juga perlu mengumpulkan orang-orang pandai untuk membantu."

"Hemm, kiranya di samping lihai ilmu silatmu, juga engkau memiliki kecerdikan, Siauw Can. Engkau telah dapat melihat cita-cita menjatuhkan kaisar dan putera mahkota, agar kedudukan kaisar dapat beliau kuasai. Dan kalau kita membantu sekuat tenaga, kita akan dapat menikmati hasilnya."

Siauw Can mengangguk-angguk. Dalam keadaan seperti itu, dia harus menempel orang kurus bungkuk ini! "Baik, paman Poa Kiu. Aku akan membantumu sekuat tenagaku. Bahkan semua usulku tadi anggap saja sebagai buah pikiranmu sendiri terhadap pangeran. Engkauolah yang mengatur semuanya, aku yang melaksanakan. Engkau menjadi otak pangeran, aku yang menjadi kaki tangannya. Tentu kita harus saling bantu, bukan?"

Poa Kiu amat cerdik. Dia tahu bahwa ada udang di balik batu, maka dia harus mengetahui udang macam apa itu. "Siauw Can, aku terima uluran tanganmu. Nah, jangan ragu, katakan bantuan apa yang dapat kuberikan padamu."

Siauw Can juga tidak kalah cerdiknya. Dia dapat menjenguk isi hati orang itu, maka diapun tidak merasa ragu lagi untuk membuka rahasia hatinya. "Paman tentu mengerti bahwa seorang laki-laki harus dapat memperhitungkan dan menyesuaikan jalan pikiran dan perasaan hatinya. Nah. Terus terang saja, hatiku tertarik oleh puteri Li Ai Yin, dan aku jatuh cinta kepadanya. Aku yakin bahwa tidak sukar menjatuhkan hati puteri itu. Kalau saja aku dapat menjadi suaminya, maka seiringlah jalannya perasaan dan pikiranku. Aku mendapatkan isteri yang tercinta, juga aku mendapatkan mertua yang kita bantu agar kelak menjadi kaisar. Dengan demikian maka ikatan hubungan di antara kita dapat lebih erat lagi. Bukankah begitu, paman?"

Poa Kiu memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Pemuda ini memang hebat. Tinggi ilmu silatnya, cerdik dan mempunyai ambisi yang besar! Dia menagangguk dan mengelus jenggotnya yang jarang. "Semua itu memang baik sekali, Siauw Can. Akan tetapi dalam hubungan asmara ini, bagaimana aku dapat membantumu?"

Siauw Can tersenyum. "Urusanku dengan Ai Yin, tentu tidak perlu dibantu, karena itu tergantung dari diriku sendiri. Akan tetapi setidaknya paman dapat membantu agar aku nampak berharga di mata pangeran, agar kelak tidak timbul tentangan darinya kalau tiba saatnya aku melamar puterinya."

"Ahhh, baiklah. Itu mudah sekali, Siauw Can. Tentu saja engkaupun harus memperlihatkan jasa-jasa yang lebih banyak lagi."

"Kalau kita berkerja sama, pasti kita berdua akan dapat membuat jasa, paman."

"Akan tetapi, bagaimana dengan nyonya muda Kwa Bi Lan, adik misanmu itu? Apakah ia akan suka bekerja sama dengan kita?"

"Ia adalah seorang wanita dan ia belum tahu akan kerjasama ini, ia belum tahu pula akan cita-cita pangeran. Menghadapi wanita haruslah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Biarlah semua ini kita rahasiakan dulu darinya dan perlahan-lahan aku akan membujuknya agar ia suka membantu kita. Serahkan saja ia kepadaku, aku akan berusaha untuk menundukkannya."

"Baik kalau begitu. Aku merasa agak khawatir. Pertama, ia seorang wanita yang lihai dan kedua, dan ini yang paling berbahaya, ia telah ditarik oleh Pangeran Li Si Bin untuk melatih pasukan dayang setiap hari. Ini berarti ia dekat dengan putera mahkota dan bisa berbahaya sekali..."

"Atau bisa menguntungkan sekali!" kata Siauw Can tersenyum. "Kalau aku berhasil menundukkannya, bukankah kedekatannya dengan putera mahkota itu mendatangkan keuntungan besar? Ia dapat kita jadikan mata-mata yang dapat selalu mengamati gerak-gerik kaisar dan putera mahkota."

Poa Kiu tertawa girang. "Ah, engkau benar dan engkau cerdik, Siauw Can. Engkau harus dapat menundukkan adik misanmu yang cantik dan janda itu!"

Dalam ucapan ini jelas terkandung dorongan yang sejalan dengan pikiran Siauw Can, yaitu bahwa dia harus dapat menundukkan Bi Lan lahir batin, yaitu lahirnya wanita itu harus jatuh ke dalam pelukannya, sehingga batinnya akan selalu taat akan semua kehendak dan perintahnya!

Dan pemuda yang cerdik ini sudah dapat menemukan cara yang amat baik dan yang pasti akan berhasil! Akan tetapi dia tidak boleh tergesa-gesa. Baru saja dia gagal mendekati Bi Land an membuat janda muda itu marah. Dia harus pandai membawa diri, memperlihatkan penyesalannya agar kemarahan Bi Lan mereda dan wanita itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya.

Setelah Pangeran Tua Li Siu Ti memasuki kembali ruangan itu, mereka bertiga lalu berbisik-bisik mengatur siasat. Sebuah siasat yang diajukan Poa Kiu dan Siauw Can amat mengejutkan hati Pangeran Li Siu Ti. Siasat itu adalah membunuh Putera Mahkota, Pangeran Li Si Bin!

Wajah Pangeran Tua Li Siu Ti seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada dua orang kepercayaannya. "Alangkah baiknya kalau dapat terjadi! Akan tetapi mana mungkin! Li Si Bin seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tangguh dan sukar dikalahkan! Selain itu, diapun mempunyai banyak pengawal pandai, dan selalu terjaga. Di belakangnya ada balatentara seluruh kerajaan, ratusan ribu orang yang setiap saat siap melaksanakan perintahnya! Bagaimana mungkin menyingkirkannya? Kalau gagal dan ketahuan, ah, ngeri aku membayangkan akibatnya! Tentu seluruh anggota keluarga kita, sampai ke para pelayan dan binatang peliharaan, akan dibasmi habis!"

"Harap paduka tidak khawatir," kata Poa Kiu. "Hamba berdua Siauw Can telah merencanakan siasat yang baik dan halus. Siauw Can akan mempergunakan kepandaiannya dan kalau sampai berhasil siasat itu, maka Pangeran Li Si Bin akan tewas tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya."

Mereka bertiga lalu berbisik-bisik dan nampaknya Pangeran Tua Li Siu Ti girang sekali. Dia nampak mengangguk-angguk dan tersenyum-senyum mengelus jenggotnya dan berulang kali mulutnya berkata,

"Bagus... bagus sekali...!"

Saking girang rasa hatinya, pangeran itu lalu menutup pembicaraan itu dengan sebuah pesta yang meriah, pesta antara mereka bertiga yang dihadiri pula oleh isteri dan lima orang selir pangeran itu, dan anak tunggalnya, yaitu Li Ai Yin, gadis cantik genit dan manja yang tidak malu-malu lagi memperlihatkan kekagumannya kepada Siauw Can.

Mereka makan minum sampai jauh malam dengan penuh kegembiraan dan peristiwa ini saja sudah membesarkan hati Siauw Can, karena dari Poa Kiu dia mendengar bahwa diajak makan bersama seluruh keluarga pangeran berarti bahwa dia telah dipercaya sepenuhnya, seperti halnya Poa Kiu sendiri.

********************

Dengan penuh kesungguhan hati, Kwa Bi Lan mengajarkan ilmu silat kepada para dayang. Para dayang ini merupakan gadis-gadis pilihan, bukan saja muda dan cantik, akan tetapi rata-rata memiliki kecerdikan dan tubuh yang sehat. Mereka itu pandai dengan segala macam bentuk kesenian, pandai menari, bernyanyi, memainkan alat musik, membaca sajak.

Oleh karena itu tidak sukar bagi Bi Lan untuk mengajarkan ilmu silat kepada tigapuluh orang dayang-dayang istana itu. Ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian, atas petunjuk Pangeran Li Si Bin, ia mengajarkan ilmu silat menggunakan senjata sabuk yang diambil dari Ilmu Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti rajawali terbang).

Dengan ilmu silat sabuk itu, dibentuklah Ang-kin-tin (Barisan sabuk merah). Ang-kin-tin ini bukan saja dapat memainkan sabuk sebagai senjata ampuh, akan tetapi mereka juga menggabungkan gerak silat itu dengan ilmu tarian yang mereka kuasai, sehingga kalau tidak dipergunakan untuk berkelahi, mereka itu dapat menggunakan sabuk merah mereka untuk menari-nari dengan indahnya. Sabuk sutera merah panjang di tangan mereka dapat digerakkan membentuk bermacam-macam bunga bahkan huruf!

Pangeran Li Si Bin merasa girang bukan main melihat kemajuan para dayang, dan tugas Bi Lan melatih para dayang di istana itu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk saling jumpa. Pangeran Mahkota itu semakin kagum kepada Bi Lan, sebaliknya Bi Lan juga sangat kagum kepada pangeran yang tampan gagah perkasa dan manis budi ini. Ia mendapatkan segala sifat jantan pada diri putera mahkota ini. Pangeran itu dapat bersikap lemah lembut, ramah dan manis budi, akan tetapi kalau perlu, dia dapat pula bersikap keras dan tangan besi, sehingga selain disayang oleh semua orang, diapun disegani dan dihormati.

Kalau ada kesempatan kedua orang itu bercakap-cakap, dari percakapan ini saja tahulah Bi Lan bahwa pangeran itu seorang yang berjiwa pendekar, juga amat mencinta tanah air dan bangsa, mencintai rakyat dan ingin melakukan segalanya demi kebaikan rakyat. Juga pangeran ini memiliki pengetahuan luas, bahkan dekat dan mengenal tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk dunia persilatan.

Semenjak peristiwa yang amat mengecewakan hatinya malam itu, ketika Siauw Can berusaha untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, lenyaplah semua perasaan suka dan kagum terhadap pemuda itu. Dan kini semua perasaan suka dan kagum itu beralih kepada Pangeran Li Si Bin! Tentu saja ia tahu diri dan hanya tinggal mengagumi saja, tidak berani mengharapkan yang lebih daripada hubungan di antara mereka seperti sekarang. Ia hanya seorang pekerja dan petugas, tiada bedanya dengan ratusan orang lain yang bekerja di lingkungan istana itu.

Sebelum terjadi peristiwa di malam itu, ia memang pernah merasa suka dan kagum kepada Siauw Can, bahkan ia akan menerima dengan hati dan tangan terbuka, seandainya pemuda itu mengajaknya hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, semua harapan itu telah hancur oleh perbuatan Siauw Can. Kalau bukan Siauw Can yang melakukan perbuatan itu terhadap dirinya, ia tentu tidak akan mau sudah sebelum membunuh laki-laki itu.

Akan tetapi ia telah menganggap Siauw Can sebagai sahabat baik, dan pemuda itu telah minta maaf. Ia mau melupakan peristiwa itu, akan tetapi tentu saja semua perasaan sukanya terhadap pemuda itu lenyap sudah. Ia tahu bahwa Siauw Can mencintainya, akan tetapi pemuda itu menodai cintanya dengan perbuatan yang tidak senonoh.

Pagi itu, seperti biasa, Bi Lan melatih para dayang bersilat dengan sabuk sutera merah mereka. Gerakan mereka sudah cukup baik dan tangkas, hanya masih kurang tenaga. Dengan teliti Bi Lan mengamati mereka dan dengan tekun memberi petunjuk-petunjuknya. Dan pagi itu, pangeran Li Si Bin berkenan hadir dan dengan wajah berseri pangeran itu menonton. Hatinya senang karena dia melihat kemajuan pesat pada para dayang, dan dia semakin kagum karena ketika Bi Lan memberi contoh kepada para dayang dengan bersilat sabuk sutera merah, janda muda itu nampak seperti seorang dewi yang turun dari kahyangan dan menari-nari!

Setelah Bi Lan selesai memberi contoh dan kini para dayang berlatih dengan giat, Pangeran Li Si Bin menggapai dan memberi isyarat kepada Bi Lan untuk mendekat. Bi Lan menghampiri dan memberi hormat dengan setengah berlutut.

"Bangkit dan duduklah di sini," kata pangeran itu dengan ramah sambil menunjuk kea rah sebuah bangku. Bi Lan duduk di depan pangeran itu sambil menundukkan muka. Biarpun mereka sudah sering bercakap dan berjumpa, tetap saja Bi Lan tidak sanggup berpandangan terlalu lama dengan sepasang mata yang memiliki wibawa sedemikian kuatnya. Ia selalu merasa seperti seorang anak kecil berhadapan dengan gurunya, dengan perasaan bersalah.

"Bi Lan, kalau engkau melatih pasukan dayang di sini, lalu bagaimana dengan anakmu?"

Diam-diam Bi Lan terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Pangeran Li Si Bin menanyakan anaknya. Segera terbayanglah wajah Hong Lan. Kalau ia bertugas di istana, dititipkannya Hong Lan kepada Cu-ma, pelayan wanita setengah tua tukang masak yang menjadi sahabat baiknya di istana pangeran Tua Li Siu Ti. Cu-ma ini dahulunya pengasuh Ai Yin di waktu gadis ini masih kecil, dan sekarang menjadi tukang masak gadis itu untuk keperluan-keperluan kecil.

"Lan Lan hamba tinggalkan di istana Pangeran Tua dalam asuhan Cu-ma, pangeran," jawabnya.

"Lan Lan? Hemm, bagus sekali nama panggilan itu. Siapa nama anakmu?"

"Namanya Hong Lan."

"Kalau begitu nama lengkapnya tentu Liu Hong Lan, bukan? Mendiang suamimu yang berjuluk Si Rajawali Sakti itu bernama Liu Bhok Ki."

Bi Lan mengangguk membenarkan. Apapun yang terjadi, ia akan tetap mengakui Lan Lan sebagai anaknya, dan tentu saja nama keluarganya Liu, menurut nama keluarga mendiang suaminya.

"Bi Lan, kami merasa senang sekali dengan hasil tugasmu melatih para dayang. Untuk menyatakan terima kasih kami, maka kami harap siang ini sebelum engkau kembali ke rumah paman Li Siu Ti, engkau suka kami ajak makan siang bersama kami. Nanti kalau makan siang sudah siap, engkau akan diberi tahu."

Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Diajak makan siang bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan suatu kehormatan yang amat luar biasa. Tentu saja ia merasa canggung dan sungkan, akan tetapi untuk menolak, ia tidak berani. Itu akan merupakan suatu penghinaan terhadap pangeran itu.

"Baik, Pangeran." Katanya.

Setelah Pangeran Li Si Bin meninggalkan ruangan belajar silat itu, Bi Lan melamun dan akhirnya ia membubarkan para muridnya, karena ia tidak dapat memusatkan lagi perhatiannya. Ia lalu pergi ke taman bunga yang amat luas di bagian belakang istana. Karena mendapat kepercayaan Putera Mahkota, apalagi karena semua petugas mengenalnya sebagai guru dan pelatih para dayang, Bi Lan sudah biasa berjalan-jalan di taman dan tidak ada seorangpun petugas yang melarangnya. Perasaan hatinya terguncang oleh undangan makan siang Pangeran Li Si Bin. Sampai lama dia termenung, duduk di tepi kolam ikan emas, agak terlindung dan tersembunyi di balik semak berbunga.

Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Sebagai seorang ahli silat yang sudah bertualang di dunia persilatan, sudah terbiasa menghadapi bahaya, Bi Lan sudah waspada dan cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintai. Bayangan itu mencurigakan sekali. Kalau orang itu seorang tukang kebun atau petugas istana, tentu gerakannya tidak seperti itu. Orang itu berloncatan dari pohon ke pohon, bersembunyi, kadang berjongkok di balik semak, menuju ke dapur yang terletak di bagian belakang bangunan yang menjadi ruangan makan.

Dari dapur, para petugas, yaitu para dayang dan para thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas membawa hidangan ke kamar makan, akan melalui lorong pendek dari dapur ke ruangan makan yang jendelanya menghadap ke taman itu. Melihat bayangan itu menyelinap masuk ke dalam dapur melalui jendela dengan gerakan ringan, Bi Lan semakin curiga. Ia lalu mengintai ke dalam dapur melalui jendela. Agaknya hidangan sudah dikeluarkan dan dapur itu nampak sunyi.

Ia melihat orang tadi berdiri di dekat pintu. Ia tidak mengenal laki-laki itu yang bertubuh gendut pendek, usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan kulit mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Tak lama kemudian, dari pintu dapur masuklah seorang thai-kam yang biasa bertugas membawa hidangan dari dapur ke ruangan makan. Ketika thai-kam itu melihat laki-laki itu, dia kelihatan terkejut. Akan tetapi, si gendut itu sudah menangkap pergelangan tangan thai-kam itu dan bertanya dengan suara mendesis, "Sudah kau hidangkan guci arak itu?"

"Sudah, akan tetapi kenapa engkau memaksa aku untuk menghidangkan guci arak yang itu? Aku tidak mengerti dan..."

Pada saat itu, si gendut sudah menggerakkan tangannya dan sebatang pisau menancap ke dada thai-kam itu dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, si gendut sudah menotok lehernya, sehingga dia terkulai roboh tanpa dapat bersuara lagi.

"Heiiii, apa yang kau lakukan itu?" bentak Bi Lan sambil membuka daun jendela.

Akan tetapi, orang gendut itu tidak menjawab, bahkan cepat melompat bagaikan seekor rusa, melarikan diri keluar dari dapur itu ke dalam taman. Melihat ini, Bi Lan segera lari mengejar dan dengan mudah saja ia dapat menyusul. Orang gendut itu tiba-tiba membalik dan di tangannya sudah terdapat dua batang pisau seperti yang tadi dia pakai membunuh thai-kam di dapur. Diapun cepat menggerakkan kedua pisau itu menyerang Bi Lan!

Akan tetapi betapa kuat dan cepat gerakan serangan kedua pisau itu, bagi Bi Lan masih terlalu lambat, sehingga dengan amat mudahnya ia mengelak mundur dan ketika sepasang pisau itu menyambar lewat dari kanan dan kiri, kakinya mencuat dan menendang kea rah lutut kiri penyerangnya. Akan tetapi, ternyata penyerangnya itupun bukan orang lemah.

Dia mampu meloncat ke samping sehingga tendangan itu luput, dan kembali dia menubruk ke depan, menggerakkan sepasang pisaunya dengan ganas. Orang itu menyerang untuk membunuh, serangan orang yang nekat dan yang melihat bahwa jalan satu-satunya baginya untuk dapat meloloskan diri hanya membunuh siapa saja yang menghalanginya.

"Pembunuh keparat!" Bi Lan berseru marah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung rajawali menyambar, tubuhnya meluncur kea rah lawan dengan kedua tangan mencakar dan menampar.

Orang gendut itu berusaha untuk menyambut dengan sepasang pisaunya, akan tetapi kedua pundaknya sudah lebih dahulu kena dicakar dan ditampar sehingga sepasang senjata itu terlepas jatuh. Ketika orang itu hendak melarikan diri, kembali tangan bi Lan bergerak, sekali ini kearah tengkuk dan orang itupun jatuh tersungkur!

Bi Lan menginjak punggungnya dan membentak, "Hayo katakan, kenapa engkau membunuh thai-kam itu!" Akan tetapi, tangan kiri si gendut itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya sendiri dan diapun terkulai. Ketika Bi Lan memeriksanya, ternyata dia telah mati dengan muka berubah menghitam. Racun! Teringat akan ini, berubah wajah Bi Lan. Racun! Dan si gendut ini agaknya menyuruh dengan paksa thai-kam tadi menghidangkan guci arak kepada Pangeran Mahkota!

Ketika para pengawal lari berdatangan mendengar keributan itu, Bi Lan berkata, "Jaga mayat pembunuh ini!"

Dan diapun sudah melompat dan bagaikan terbang secepatnya ia memasuki ruangan makan, dimana ia harus hadir atas undangan Pangeran Li Si Bin. Akan tetapi saat itu ia sama sekali tidak teringat akan undangan makan siang itu, dan ia memasuki ruangan itu bukan untuk memenuhi undangan makan. Begitu tiba di ambang pintu, dimana terdapat sebuah meja yang menjadi tempat persediaan cadangan mangkok dan sumpit.

Ia melihat pangeran itu yang dilayani para dayang,sedang mengangkat cawan arak ke mulutnya. Celaka, pikir Bi Lan dan wajahnya pucat sekali. Tidak ada waktu lagi untuk mencegah hal amat dikhawatirkannya, maka tangannya menyambar sebatang sumpit dari atas meja dan sekali tangan itu bergerak, sumpit melayang seperti anak panah ke arah pangeran.

"Sing... trang...!"

Cawan yang bibirnya sudah menempel di bibir Pangeran Li Si Bin itu terlempar dan isinya tumpah, muncrat ke mana-mana. Akan tetapi pangeran bersikap tenang. Dia menoleh ke arah Bi Lan, melihat betapa wajah wanita itu pucat sekali. Sepasang mata pangeran itu mencorong, dan dia berkata dengan suara yang lembut, namun berwibawa sekali sehingga terasa oleh Bi Lan seperti pedang yang menembus jantungnya.

"Bi Lan, engkau kuundang makan siang dan aku sudah menantimu. Akan tetapi, engkau datang dan melakukan ini? Apa maksudmu?"

Tentu saja pangeran yang juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi itu dapat mengenal serangan untuk membunuhnya atau serangan untuk mencegahnya minum arak dari cawan tadi. Kalau wanita itu menghendaki, tentu bukan sumpit yang disambitkan, melainkan senjata rahasia yang ampuh, dan bukan cawan ditangannya yang dijadikan sasaran, melainkan anggota tubuhnya yang mematikan. Akan tetapi kalau demikian halnya, tentu diapun sudah mengelak atau menangkis.

Saking tegang, gelisah dan juga sungkan, Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut kepada pangeran itu. Biasanya ia memberi hormat dengan membungkuk atau hanya berlutut dengan sebelah kaki saja. "Ampunkan hamba, pangeran. Akan tetapi... arak itu... arak itu mungkin sekali mengandung racun!" Katanya agak gagap karena tentu saja ia sendiri belum yakin akan hal itu, hanya baru dugaan saja.

Sepasang mata yang mencorong itu terbelalak. Tanpa banyak cakap lagi Pangeran Li Si Bin yang sejak muda sudah bergaul dengan dunia kangouw dan mempunyai banyak pengalaman, lalu mengambil guci arak darimana tadi dia menuangkan arak ke dalam cawannya, menciumnya, lalu mengeluarkan sebuah mainan batu giok putih yang tergantung di leher, mencelupkan batu kemala itu ke dalam arak. Tak lama kemudian dia mengangkat lagi batu giok itu dan ternyata warna putih itu berubah menjadi kehijauan!

"Hemm, engkau benar Bi Lan. Kalau kuminum arak dalam cawan tadi, mungkin aku sudah mati. Racun ini kehijauan, tidak berbau dan tidak ada rasanya, amat berbahaya. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa arak yang akan kuminum itu mengandung racun? Bangkitlah, dan duduklah, ceritakan semuanya, Bi Lan."

Para dayang, tujuh orang banyaknya yang ditugaskan melayani pangeran yang akan makan siang dengan Bi Lan, saling pandang dengan wajah pucat sekali. Mereka ketakutan dan terkejut bukan main ketika melihat bahwa arak yang hampir saja diminum pangeran itu beracun! Andaikan pangeran itu tadi meminumnya dan tewas, mereka tentu akan terseret dan takkan diampuni lagi walaupun mereka sama sekali tidak tahu menahu akan arak beracun itu. Merekapun nyaris tewas dan baru saja lolos dari cengkeraman maut bersama pangeran Mahkota!

Bi Lan bangkit dan dengan langkah tenang menghampiri meja, lalu duduk menghadapi meja, berhadapan dengan pangeran itu yang menatapnya dengan penuh perhatian, akan tetapi dengan alis berkerut, karena dia belum tahu atau menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi.

"Pangeran, tadi ketika hamba berjalan-jalan di taman, hamba melihat bayangan orang bergerak cepat memasuki dapur. Hamba merasa curiga dan membayanginya. Dia seorang laki-laki gendut dan di dapur, dia berbicara dengan seorang thai-kam. Thai-kam itu berkata mengapa dia harus menghidangkan guci arak itu kepada paduka. Tiba-tiba si gendut itu membunuh si thai-kam. Hamba terkejut dan melompat masuk. Si gendut melarikan diri ke dalam taman dan hamba berhasil mengejarnya. Dia menyerang hamba dan hamba berhasil merobohkannya dan hendak menawannya. Akan tetapi dia membunuh diri dengan menelan racun. Lalu hamba teringat akan ucapan thai-kam tadi, tentang guci arak yang dihidangkan pada paduka. Melihat si gendut itu ahli racun, hamba lalu menjadi curiga dan cepat hamba lari ke sini dan terpaksa hamba melemparkan sumpit untuk mencegah paduka minum arak itu."

Kini pangeran itu mengangguk-angguk dan matanya mengeluarkan sinar kagum. "Bi Lan, engkau sungguh hebat, bukan saja engkau lihai dan cantik, akan tetapi engkau juga amat cerdik dan setia. Hanya kecerdikanmu yang tadi telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh aku berhutang budi dan nyawa kepadamu, Bi Lan. Bagaimana aku dapat membalasnya? Terima kasih, Bi Lan."

Kalau tadi wajah Bi Lan pucat sekali karena tegang, cemas dan juga sungkan, kini wajah itu berubah kemerahan sehingga wajahnya menjadi semakin manis, dan dia tidak berani menentang pandang mata pangeran itu yang kini bersinar-sinar penuh kagum.

Melihat wanita yang dikaguminya itu menunduk dengan kedua pipi kemerahan, Pangeran Li Si Bin yang jarang tertarik wajah cantik itu, kini tersenyum dan hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa tidak mudah mendapatkan seorang wanita seperti Bi Lan ini. Cantik jelita, masih muda, berkepandaian silat tinggi, cerdik dan setia! Biarpun wanita ini telah menjadi janda dengan seorang anak, namun ia jauh lebih menarik daripada gadis yang manapun! Mungkin karena merasa berhutang budi dan nyawa, saat itu sang pangeran telah jatuh hati kepada Kwa Bi Lan!

"Mengapa pangeran berkata demikian? Hamba hanyalah melaksanakan tugas hamba, dan tidak ada yang perlu dipuji," kata Bi Lan lirih tanpa berani mengangkat mukanya...

Naga Beracun Jilid 12

"Bi Lan, angkat mukamu dan pandanglah aku kalau bicara denganku. Aku tidak suka bicara dengan orang yang selalu menundukkan mukanya seperti orang yang menyembunyikan kesalahan." Ucapan itupun bukan kata-kata yang mengandung kemarahan, akan tetapi mengandung perintah yang mutlak dan tidak mungkin dapat dibantah atau tidak ditaati.

Bi Lan mengangkat muka memandang. "Hamba pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, pangeran..." katanya lirih, hampir tidak kuat menahan sinar mata mencorong seperti naga itu, yang memandang kepadanya dengan bersih dan jujur akan tetapi seperti hendak mengukur kedalaman isi hatinya.

"Hemm, sekarang ini jarang ada pendekar Siauw-lim-pai yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Sungguh sayang. Kelaliman Kerajaan Sui telah menghancurkan Siauw-lim-pai, sehingga ketuanya membakar diri! Sekarang aku bertemu murid Siauw-lim-pai yang pandai. Bi Lan, coba kau perlihatkan ilmu silatmu dengan melayaniku beberapa jurus."

Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin sudah menuju ke tempat tadi kedua orang wanita itu berlatih silat, yaitu dilapangan rumput yang luas dekat kolam ikan.

Bi Lan menunduk lagi. "Hamba... hamba tidak berani, pangeran..."

Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. "Ini perintah, Kwa Bi Lan!"

Ai Yin segera berkata. "Enci Bi lan, ayah sendiri tidak akan membangkang terhadap perintah pangeran Mahkota, apalagi engkau!" ia lalu menghampiri Bi Lan dan memondong Lan Lan. "Kupangku dulu Lan Lan, kau layani pangeran!"

Bi Lan terkejut. Hampir ia lupa bahwa pangeran yang berada di depannya ini merupakan orang yang paling berkuasa di kerajaan Tang! Bahkan menurut Siauw Can, kaisar sendiri, ayah pangeran ini, masih kalah besar kekuasaannya! Maka ia cepat memberi hormat lalu bangkit dan menghampiri pangeran yang sudah berada dilapangan rumput.

Pangeran itu tersenyum senang. "Nah, begitu sebaiknya, Bi Lan. Aku ingin melihat apakah engkau tepat untuk melatih pasukan pengawal wanita di istana yang sedang kupersiapkan! Bah, kau maju dan seranglah aku, dan jangan sungkan atau takut. Keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilainya."

Tepat dugaannya. Pangeran ini hendak menguji kepandaiannya dan mendengar bahwa pangeran ini ingin agar ia melatih pasukan pengawal di istana, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia akan menjadi pelatih di istana Kaisar! Bukan main! Tak pernah ia bermimpi untuk dapat memasuki istana Kaisar, apalagi menjadi pelatih di sana.

Ia melihat betapa pangeran itu sudah memasang kuda-kuda yang kokoh. Kuda-kuda yang dikenalnya sebagai kuda-kuda ilmu silat aliran Kun-lun-pai, maka iapun cepat menyalurkan sin-kang ke arah kedua tangannya, kemudian menggeser kakinya maju, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan, kemudian berkata lembut,

"Maafkan hamba!"

"Mulailah!" Pangeran Li Si Bin tampak gembira sekali melihat gerakan kaki dan tangan wanita itu yang biarpun nampak lembut dan indah, namun mengandung tenaga sin-kang yang membuat setiap gerakan itu Nampak mantap berisi.

Bi Lan tidak ragu-ragu lagi setelah melihat betapa pangeran itu memang seorang ahli silat. Ia menerjang maju dengan pukulan tangan terbuka, dan mempergunakan jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang pernah dipelajarinya sebelum ia menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Tentu saja ia memilih jurus-jurus terampuh, dan karena ia telah memperoleh kemajuan dalam hal sin-kang dan gin-kang setelah belajar kepada Sin-Tiauw Liu Bhok Ki.

Tentu saja gerakannya jauh lebih hebat dibandingkan sebelumnya. Gerakannya cepat dan setiap serangannya mengandung tenaga yang kuat sekali. Bi Lan menjadi kagum. Kiranya pangeran itu benar lihai sekali, melampaui dugaannya. Setiap serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu, dan setiap kali lengan mereka bertemu, ia merasa betapa lengannya tergetar hebat!

Agaknya Pangeran Li Si Bin tidak main-main dalam menguji wanita itu. Ia memang membutuhkan seorang pelatih yang baik untuk regu pengawalnya yang baru dibentuknya. Dia sedang membentuk sebuah regu pengawal wanita, terdiri dari para dayang, gadis-gadis muda pilihan untuk menjaga keamanan keluarga di dalam istana, sehingga tidak perlu menggunakan pengawal thai-kam (orang kebiri).

Memang banyak jagoan silat di istana, akan tetapi kalau dia menyuruh seorang jagoan untuk melatih dan menggebleng regu pengawal wanita itu, tentu akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Dia tidak dapat menyalahkan para jagoan itu. Siapa dapat bertahan diri menghadapi seregu dayang yang muda dan cantik-cantik itu?

Maka, sebaiknya mencari pelatih seorang wanita pula dan kalau Kwa Bi Lan ini mempunyai kepandaian tinggi seperti yang didengarnya, dia akan minta agar wanita ini menggembleng regunya itu. Karena dia ingin mengukur Bi Lan, maka Pangeran Li Si Bin segera membalas serangan Bi Lan dengan serangan yang tak kalah hebatnya!

Bi Lan cepat mengelak dan mengandalkan kecapatan gerakannya untuk menghindarkan diri. Akan tetapi pangeran itupun dapat begerak cepat mengimbangi kecepatannya, sehingga sejenak Bi Lan terdesak dan main mundur sambil mengelak dan menangkis! Karena pangeran itu terus mendesak, tiba-tiba Bi Lan mengubah gerakannya dan tubuhnya mencelat ke udara lalu ia menukik dan menyambar bagaikan seekor burung rajawali. Ia telah memainkan ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti Rajawali terbang), yang dipelajarinya dari mendiang suaminya!

Begitu ia menyerang dengan ilmu silat ini, keadaannya menjadi terbalik! Kini pangeran itu terdesak dan berulang-ulang dia berseru kaget dan kagum. Dengan serangan yang menyambar-nyambar seperti itu, pangeran Li Si Bin nampak bingung dan beberapa kali hampir saja tangan Bi Lan mengenai pundak dan dadanya. Akan tetapi tentu saja wanita itu tidak berani melanjutkan serangannya dan selalu menarik kembali serangannya, apabila serangannya hampir mengenai sasaran.

"Cukup...!" Pangeran Li Si Bin berseru dan Bi Lan meloncat mundur, merangkap kedua tangan memberi hormat.

"Harap paduka memaafkan hamba..."

"Wah, engkau memang hebat!" Pangeran itu berseru, "Akan tetapi, ilmu silatmu yang terakhir tadi tentu bukan dari Siauw-lim-pai!"

"Maafkan hamba, karena paduka tadi mendesak, terpaksa hamba mempergunakan ilmu simpanan itu yang memang bukan dari Siauw-lim-pai."

Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran karena sudah banyak dia mengenal ilmu silat, akan tetapi ilmu silat yang menyambar-nyambar dan membingungkannya seperti tadi belum pernah dilihatnya. "Ilmu silat apakah itu?"

"Namanya Hui-tiauw Sin-kun."

"Hemm, memang pantas. Engkau menyambar-nyambar bagaikan burung rajawali saja. Dari siapa engkau mempelajari ilmu hebat itu, Bi Lan?"

"Dari... mendiang suami hamba pangeran."

"Siapakah mendiang suamimu yang lihai itu?"

"Namanya Liu Bhok Ki..."

"Si Rajawali Sakti? Aih, pantas. Kiranya engkau isteri seorang pendekar besar. Hemm, jadi engkau ini isterinya dan dia sudah meninggal dunia? Engkau janda pendekar itu dan itu... anakmu?" Pangeran Li Si Bin menunjuk kepada Lan Lan.

"Benar, pangeran..."

Pada saat itu muncul Pangeran Tua Li Siu Ti sambil tertawa-tawa. Biarpun dia paman dari pangeran muda ini, namun karena kedudukannya kalah tinggi, Pangeran Li Siu Ti lebih dulu member hormat kepada keponakannya.

"Pangeran, sudah lamakah datang berkunjung? Ai Yin, kenapa tidak memberi tahu kepadaku?"

"Kanda pangeran menguji kepandaian enci Bi Lan, ayah," kata Ai Yin gembira dan bangga karena gurunya membuat pangeran itu kagum.

"Maaf, paman," kata pangeran Li Si Bin. "Saya mendengar tentang dua orang muda yang menjadi pengawal di sini. Saya kagum sekali setelah menguji kepandaian Kwa Bi Lan. Paman memang beruntung sekali mendapatkan dua orang muda itu sebagai pengawal pribadi. Setelah menguji Kwa Bi Lan, saya ingin mengajukan sebuah permintaan kepada paman, harap paman suka mengabulkannya."

Diam-diam pangeran Tua Li Siu Ti merasa khawatir. Mungkinkah putera mahkota ini tertarik kepada Bi Lan dan ingin mengambilnya untuk tinggal dalam istananya sendiri? Kalau demikian halnya, dia akan kehilangan sekali. Sukar mencari pengganti seorang wanita perkasa seperti Bi Lan. Tentu saja dia tidak berani menyatakan kekhawatirannya ini.

Tidak demikian dengan Ai Yin. Biarpun dia selalu bersikap ramah dan sopan penuh hormat kepada putera mahkota yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi, akan tetapi gadis ini lebih berani dan terbuka, tidak seperti ayahnya. Maka iapun segera berkata, "Aihh, kanda pangeran, apakah paduka akan membawa enci Bi Lan pindah dari sini ke istana paduka? Lalu bagaimana dengan saya?"

Pangeran Li Si Bin tersenyum. "Tidak, Ai Yin, aku hanya ingin agar ia suka melatih pasukan dayang pengawal khusus di istana, setiap hari beberapa jam saja. Tentu saja kalau paman pangeran membolehkan dan terutama sekali kalau Bi Lan yang bersangkutan tidak berkeberatan."

Bi Lan terbelalak. Pangeran ini yang kekuasaannya demikian besar, ternyata masih bersikap demikian lunak! Kalau ia tidak berkeberatan? Sungguh sikap yang sama sekali tidak pernah disangkanya, dan sikap pangeran ini membuat Bi Lan semakin kagum dan suka sekali kepada pangeran muda yang rendah hati dan tidak sewenang-wenang itu.

"Aih, tentu saja saya setuju, pangeran!" kata Pangeran Tua Li Siu Ti dengan ramah.

"Bagus! Terima kasih, paman. Dan bagaimana dengan engkau Bi Lan? Maukah engkau membantuku melatih pasukan dayang agar mereka dapat menjadi pengawal yang dapat diandalkan? Setiap hari tiga atau empat jam saja dan untuk jerih payahmu itu, tentu saja kami akan memberi imbalan."

"Hamba akan mentaati perintah paduka, pangeran." Kata Bi Lan dengan wajah berseri. Entah bagaimana, ia merasa senang dapat bekerja kepada seorang pangeran seperti ini!

"Baik, terima kasih. Mulai besok pagi, aku akan menyuruh jemput dengan kereta, setelah selesai melatih, engkau akan diantar kembali kesini dengan kereta. Kalau anakmu itu tidak dapat berpisah darimu, boleh kau ajak ke istana."

Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin berpamit dari rumah pamannya dan iapun melangkah keluar, diantar oleh Pangeran tua Li Siu Ti sampai di depan istananya.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Betapa indahnya taman itu, seperti taman sorga dalam dongeng. Matahari senja Nampak bulat merah redup, seperti sebuah lampu gantung yang besar dan bulat. Matahari sudah hampir menyelesaikan tugasnya sehari penuh dan biarpun nampaknya tidak berkuasa dan bersinar lagi, namun bekas kekuasaannya masih nampak membakar langit. Langit kebakaran, merah kuning dan ada garis-garis biru putih di sana-sini, adapula warna seperti lautan perak dihias awan putih lembut begumpal-gumpal seperti sekawanan domba putih sedang berangkat pulang ke kandang.

Keindahan alam yang membuat hati terasa nyaman, membuat orang ingin bersenandung. Dan sesosok bayangan seorang pria menghampiri. Bi Lan tersenyum dan perasaan hangat mesar menyelubungi hatinya. Betapa besar cinta kasihnya kepada suaminya! Suaminya, Sin-tiauw Liu Bhok Ki menghampirinya dengan langkahnya yang tegap, dengan wajahnya yang jantan, dengan sinar matanya yang penuh kasih dan penuh kebijaksanaan, dengan senyumnya yang menenangkan hati.

Ketika suaminya mendekat sambil mengembangkan kedua lengan, iapun membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan mesra. Bibir itu mengecup lehernya, panas. Terasa betapa lehernya digigit dengan dengus penuh nafsu. Suaminya tidak pernah berbuat hal seperti ini. Suaminya selalu tenang dan tidak pernah dilanda gairah nafsu yang menggelora seperti ini.

"Ihhh...!" ia merenggut dirinya lepas. Bukan suaminya! Dan ia tidak berada di dalam taman, di senja yang indah. Ia berada di dalam kamarnya, di atas pembaringan dan yang tadinya muncul sebagai suaminya dalam mimpi, ternyata adalah Siauw Can atau Can Hong San! Ia tadi bermimpi! Dan kenyataannya, Can Hong San telah memasuki kamarnya seperti maling dan tadi telah memeluknya dan mengecup, menggigit lehernya dengan penuh nafsu.

"Kau...!" bentaknya dengan lirih dan kini ia sudah meloncat turun dari atas pembaringan. Wajahnya menjadi merah dan terasa panas sekali ketika melihat betapa kancing bajunya bagian atas terlepas sebagian. Jari-jari tangannya cepat mengancingkan kembali baju itu dan matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.

"Bi Lan... Lan-moi... engkau tahu betapa aku mencintaimu, Lan-moi...! Aku cinta padamu dan tidak tahan lagi...Kuharap engkau tidak membuat aku terpaksa menggunakan paksaan..."

Bi Lan teringat bahwa kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi darinya dan kalau pemuda ini menggunakan paksaan, mungkin ia tidak akan mampu menghindarkan diri dari penghinaan, dari perkosaan. Cepat ia meloncat dan dilain saat, ia telah berada di dekat pembaringan kecil di sudut, di mana Lan Lan tertidur, dan sekali sambar, ia telah memondong anaknya yang masih tidur itu.

"Kalau engkau tidak segera pergi, aku akan berteriak dan melawan mati-matian, aku akan melaporkan kepada Pangeran Tua dan Pangeran Mahkota. Akan hancur semua pekerjaan kita selama ini!"

"Lan-moi, kenapa...? Bukankah selama ini aku baik kepadamu, selalu membantumu? Aku cinta padamu, dan aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku."

"Cukup, pergilah atau aku akan berteriak!" kembali Bi Lan mengancam.

Hal ini sungguh tidak disangka sama sekali Can Hong San atau yang sekarang dikenal sebagai Siauw Can. Tadinya dia merasa yakin bahwa kalau dia melakukan pendekatan, janda muda itu tentu akan menyambutnya dengan hangat. Dari sikap janda itu, sinar matanya kalau memandangnya, senyumnya, semuanya menunjukkan bahwa janda itu kagum dan suka kepadanya.

Apalagi kalau diingat bahwa sejak pertemuan pertama, dia selalu menolong janda itu, bukan saja menyelamatkannya, juga selanjutnya membimbingnya sehingga mereka berdua dapat memperoleh kedudukan yang menyenangkan dan mulia di rumah Pangeran Tua, bahkan janda itu kini ditugaskan melatih pasukan dayang di istana!

Dia tahu betapa Bi Lan merasa berhutang budi kepadanya, oleh karena itu, kalau dia melakukan pendekatan, tentu Bi Lan akan menyambutnya dengan mesra. Ketika tadi dia memperoleh kesempatan, berhasil menyelinap memasuki kamar janda itu, lalu merangkul, membelai dan mengecupnya, dalam keadaan setengah sadar Bi Lan menyambutnya dengan hangat. Akan tetapi, kenapa sekarang keadaannya berubah sama sekali? Tentu saja dia merasa kecewa bukan main, kecewa, mendongkol dan menyesal. Sia-sia saja semua kebaikan yang dilakukannya selama ini terhadap Bi Lan!

"Lan-moi, benarkah engkau menolak cintaku? Engkau mengusirku?"

"Sudahlah, pergi cepat! Aku bukan menggertak saja!" Bi Lan mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di dinding.

"Baik, aku pergi. Tak kusangka bahwa engkau adalah seorang perempuan yang tidak mengenal budi!"

"Dan aku tidak menyangka bahwa engkau hanyalah seekor binatang buas berbulu domba!" balas Bi Lan.

"Uhh!" Siauw Can keluar dari dalam kamar itu melalui daun jendela, sepeti masuknya tadi.

Bi Lan menutupkan daun jendela, merebahkan kembali Lan Lan, kemudian ia terhuyung dan menjatuhkan diri di atas pembaringannya. Seluruh tubuhnya gemetar dan lemas, dan iapun tak dapat menahan diri lagi, menangis tanpa suara! Betapa mengerikan bahaya yang tadi mengancam dirinya. Kalau saja ia tidak bermimpi bertemu mendiang suaminya, kalau saja ia tidak sadar, betapa akan mudahnya terjeblos, betapa akan mudahnya menyeleweng dan menyerahkan dirinya kepada pemuda yang sesungguhnya amat dikagumi dan disukainya!

Dan kini ia menangis bukan karena marah, melainkan karena penyesalan melihat kenyataan yang amat pahit itu. Siauw Can bukanlah pria seperti yang dibayangkannya semula! Dan inilah yang membuatnya kini menangis. Ia merasa kehilangan seorang sahabat baik, seorang yang selama ini dianggapnya seperti kakak sendiri. Bahkan ia harus mengakui bahwa besar sekali kemungkinannya kelak ia akan menerima cinta kasih pemuda itu dengan hangat, dengan penuh harapan. Akan tetapi kini semua telah musnah!

Semua telah hancur, karena perbuatan Siauw Can malam itu. Ia kini merasa hidup seorang diri, dan tidak dapat mengandalkan siapapun. Sementara itu, Siauw Can memasuki kamarnya dengan wajah muram. Berulang kali dia mengenal tinju dan menyumpah-sumpah dalam hatinya. Dia telah gagal sama sekali! Kegagalan yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan. Dia memang sengaja hendak merayu Bi Lan, bahkan kalau perlu menggunakan paksaan untuk menggauli janda itu.

Sekali Bi Lan telah menyerahkan dirinya, dia tidak akan kehilangan janda yang sesungguhnya telah menjatuhkan hatinya itu. Dia mencintai Bi Lan. Inilah yang memusingkan dirinya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dia tidak akan sekecewa ini. Banyak wanita yang lebih cantik daripada Bi Lan bias dia dapatkan. Akan tetapi dia mencintai Bi Lan dan tidak ingin kehilangan Bi Lan.

Tadinya, usahanya malam ini adalah untuk mengikat agar Bi Lan tidak akan terlepas lagi dari tangannya. Dia merencanakan hal yang lebih besar. Dia ingin mendekati Li Ai Yin! Kalau dia berhasil mendapatkan dara bangsawan itu, membuatnya tergila-gila, dan berhasil menjadi mantu Pangeran Tua, tentu dia memperoleh kemajuan yang hebat!

Dan biarpun hal itu tetjadi, kalau Bi Lan sudah berhasil dikuasainya, tentu Bi Lan tidak dapat berbuat sesuatu! Kelak dia menikah dengan Ai Yin, dan Bi Lan menjadi selirnya. Betapa akan membahagiakan hatinya. Wanita yang akan mengangkat derajatnya menjadi isterinya dan wanita yang dicintanya menjadi selirnya!

Akan tetapi, dia telah gagal sama sekali! Bi Lan menolaknya, dan ancaman Bi Lan bisa berbahaya. Tidak, selama dia tidak mengganggu lagi, Bi Lan juga tidak akan begitu bodoh untuk melaporkan apa-apa kepada Pangeran Tua maupun Putera Mahkota. Laporan yang tidak ada buktinya! Pula, kalau melaporkan peristiwa semalam, kedua orang bangsawan itupun tidak akan mencampuri, dan andaikata kedua bangsawan itu tidak suka kepadanya, tentu Bi Lan akan terbawa pula.

Siauw Can merebahkan diri tanpa melepas sepatunya, rebah terlentang di atas pembaringannya sambil melamun. Kini dia telah tahu akan segala rahasia Pangeran Tua. Pangeran itu merupakan orang yang berambisi besar dan seorang pembenci Turki. Dan dia sendiri telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Tua Li Siu Ti, disamping Poa Kiu. Baru kemarin dia menerima tugas yang amat berat, akan tetapi juga amat rahasia. Tugas itu saja menunjukkan betapa Pangeran Li Siu Ti percaya sepenuhnya kepadanya. Dan jantungnya masih berdebar tegang kalau dia mengenang kembali tugasnya itu, yang dilaksanakan dengan baiknya malam kemarin.

Sebelumnya dia sudah melakukan penyelidikan sehubungan dengan tugas rahasia itu dan dia tahu bahwa Gala Sing, putera Raja Baducin, pemuda berusia tigapuluh tahun yang tukang pelesir dan mata keranjang itu, malam itu berada di pondok indahnya di luar kota raja. Seperti biasa, Gala Sing bersenang-senang di pondoknya itu, dijaga oleh seregu anak buahnya, tukang-tukang pukulnya.

Setelah membuat rencana dengan masak, seorang diri dia menyusup ke dalam istana bagian puteri dan tidak terlalu sukar baginya untuk menangkap seorang selir kaisar, menotoknya sehingga tidak dapat bergerak dan tak mampu bersuara lagi. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Siauw Can berhasil memanggul selir yang dimasukkannya ke dalam kantung kain besar itu keluar dari tembok istana, bahkan membawanya keluar dari kotaraja, menuju ke pondok indah milik Gala Sing di lereng sebuah bukit kecil. Gegerlah istana di malam hari itu!

Beberapa orang dayang yang melayani selir itu, hanya melihat bayangan hitam berkelebat, berkedok dan selir itu diculik si bayangan hitam. Mereka menjerit dan para pengawal segera mencoba melakukan pencarian, namun sia-sia. Bayangan itu telah menghilang bersama selir kaisar. Mendengar ini, kaisar menjadi marah dan malam itu juga, kaisar memerintahkan pasukan keamanan untuk melakukan penggeledahan dan pencarian di seluruh kota raja. Namun sia-sia saja hasilnya.

Dan pada keesokan harinya, yaitu pagi-pagi tadi, terjadi kejadian yang lebih menghebohkan lagi. Para pengawal Gala Sing, pagi itu menemukan majikan mereka, Gala Sing, sudah menggeletak di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati! Dadanya terluka bekas tusukan pisau yang menembus jantungnya! Dan di sampingnya, Nampak selir kaisar yang sudah mati dengan tangan kanan masih memegang pisau yang menancap di dadanya sendiri.

Seperti keadaan Gala Sing, selir inipun mati dalam keadaan telanjang bulat. Selain mereka berdua, di lantai juga terdapat mayat lain, mayat seorang gadis penari yang malam itu dipanggil oleh Gala Sing untuk menemaninya bersenang-senang. Juga penari ini tewas dengan tusukan di dada dan leher.

Para penyelidik dari kota raja segera berdatangan dan menurut pemeriksaan mereka, selir itu telah diperkosa. Mudah saja diambil kesimpulan melihat keadaan di kamar itu. Tentu selir itu diculik orang, dan dibawa ke kamar itu, diperkosa oleh Gala Sing. Kemudian selir itu mendapat kesempatan untuk menyambar pisau, menusuk Gala Sing, juga membunuh penari yang mungkin membantu Gala Sing, kemudian untuk mencuci aib, membunuh diri sendiri. Tidak ada kemungkian lain lagi, kecuali kesimpulan itu!

Siauw Can tersenyum sendiri. Dia telah bertindak cerdik sekali. Tugas rahasia itu adalah agar Gala Sing dibunuh dan agar diatur supaya terjadi bentrok antara pihak kaisar dan pihak Raja Muda Baducin. Hanya itu tugasnya dan dia sendiri yang mengatur siasatnya. Tentu saja dia yang menculik selir itu dan tanpa setahu para penjaga di luar pondok indah itu, dia berhasil membawa selir itu masuk. Dia membunuh Gala Sing dan penari itu. Dia pula yang memperkosa selir itu kemudian membunuhnya, akan tetapi semua itu diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesimpulan di atas tadi!

Dan benar saja. Terjadi geger dan keadaan menjadi gawat. Raja Muda Baducin marah-marah dan berduka sekali karena putera tersayang tewas. Juga kaisar mencak-mencak karena selirnya diculik, diperkosa dan membunuh diri. Hal itu dianggap suatu penghinaan besar sekali. Dan Pangeran Tua Li Siu Ti merangkul pundaknya dengan girang bukan main.

"Tidak percuma engkau menjadi tangan kananku!" bisik pangeran itu setelah mendengar berita yang menghebohkan itu. Dan sore tadi, Pangeran Li Siu Ti dipanggil oleh kaisar. Tentu diadakan rapat atau perundingan yang serius sekali sehubungan dengan peristiwa itu sehingga sampai malam pangeran Tua belum juga kembali. Dan kesempatan itu dia pergunakan untuk mendekati Bi Lan. Namun sekali ini dia gagal!

Tidak mengapa, dia menghibur diri sendiri. Bi Lan tentu tidak akan berani menceritakan kepada siapapun juga. Andaikan diceritakanpun, apa salahnya kalau dia menyatakan cintanya kepada seorang janda, walaupun janda itu diakuinya sebagai saudara misan? Tentu Bi Lan akan ditertawakan orang dan hal itu bahkan mendatangkan aib bagi dirinya sebagai janda muda! Tidak, Bi Lan tidak akan membuka mulut.

Biarlah malam ini gagal, kelak masih banyak kesempatan dan masih banyak cara untuk membuat usahanya berhasil. Sekarang dia harus mengatur langkah berikutnya, yaitu pendekatan terhadap Li Ai Yin. Siauw Can atau Can Hong San pernah menyesali semua perbuatannya yang sesat, dan ketika dia bertemu dengan Bi Lan, dia sedang berusaha untuk menjadi orang baik! Dia ingin belajar menjadi orang baik.

Kebaikan adalah suatu keadaan batin, keadaan batin yang bersih dari pada pengaruh nafsu daya rendah. Keadaan batin, yaitu akal pikiran yang sepenuhnya digerakkan oleh jiwa, dibimbing kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih! Belajar baik atau melatih kebaikan hanya akan membuahkan kemunafikan, karena kebaikan itu timbul dari keinginan. Ingin Baik! Dan keinginan baik ini tentu timbul pula ari keadaan. Seperti Hong San.

Setelah dia hidup bergelimang kejahatan, dia mendapat kenyataan bahwa hidup secara itu tidak mendatangkan keuntungan, bahkan membuat dia selalu gagal dan sengsara. Kegagalan hidup dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perbuatan jahatnya itulah yang menimbulkan keinginan di dalam hatinya, ingin menjadi orang baik!

Tentu saja pamrihnya adalah agar akibat perbuatan baik itu membuat dia berhasil dan senang dalam hidupnya. Jadi, kebaikan itu bukanlah sasaran mutlak, melainkan hanya akan dipergunakan sebagai suatu cara untuk mencapai tujuannya, yaitu kesenangan. Sasaran dari nafsu hanyalah satu, yaitu kesenangan!

Usaha seperti itu, yaitu belajar menjadi baik, berlatih menjadi baik, jelas masih merupakan hasil karya nafsu, karena sasarannya adalah kesenangan sebagai akibat kebaikannya. Kalaupun orang menjadi baik karena itu, maka kebaikannya hanya merupakan kemunafikan belaka. Kebaikan seperti itu hanya polesan, mudah luntur. Karena yang diutamakan sasarannya, yaitu kesenangan, maka kebaikan yang hanya menjadi cadar itu dapat saja dengan mudah diganti dengan kebalikannya, yaitu kejahatan, asalkan sasarannya lebih cepat dapat dicapai, yaitu kesenangan.

Apakah kalau begitu kita tidak perlu belajar menjadi orang baik? Siapa sesungguhnya yang mengajukan pertanyaan seperti itu? Siapa yang ingin belajar menajdi orang baik? Tentu saja pikiaran, dan pikiran kita telah bergelimang nafsu, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah. Dengan keadaan seperti itu, apapun yang diusahakan pikiran selalu hanya demi kepentingan diri pribadi. Dan ini memang menjadi tugas dari pikiaran.

Pikiran merupakan satu di antara alat yang membantu manusia agar hidupnya di dunia dapat dipertahankan dpat diatur. Demikian pula dengan daya-daya rendah yang menyertai jiwa dalam kehidupannya sebagai manusia di dunia ini. Daya-daya rendah itu memang disertakan kepada kita sebagai alat, sebagai pembantu. Tanpa adanya nafsu-nafsu itu, kita tidak akan hidup sebagai manusia.

Akan tetapi, kalau sampai nafsu-nafsu yang semula ditugaskan menjadi pembantu kita itu dibiarkan meliar dan menjadi majikan, mencengkeram dan menguasai hati dan akal pikiran, maka kita akan diseret dan yang kita kejar hanyalah kesenangan-kesenangan duniawi yang membuat kita mabok dan tidak pantang melakukan hal-hal yang amat buruk. Lalu bagaimana daya kita? Kita hidup membutuhkan nafsu, akan tetapi nafsu juga yang menyeret kita ke dalam kegelapan. Kitapun tidak dapat mengendalikan nafsu, karena kita yang ingin mengendalikan inipun dikemudikan nafsu!

Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menguasai nafsu kecuali kekuasaan Sang Maha Pencipta. Tuhan yang mencipta semua itu, dan hanya Tuhan pula yang akan dapat mengatur dan membereskan keadaan yang menyimpang dari kebenaran itu. Kini manusia hanya tinggal menyerah! Kita menyerah sepenuhnya dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuas, batin dan lahir.

Batinnya menyerah kepada Tuhan sebagai dasar yang kokoh, lahirnya kita berusaha dan berikhtiar agar selalu melalui jalan hidup yang benar. Dengan demikian terdapat keseimbangan lahir dan batin. Doa dan kerja! Yang dua ini harus selalu jalan bersama. Hidup bagaikan naik perahu. Doa merupakan kemudinya, kerja merupakan pendayungnya. Tanpa kemudi perahu akan tersesat. Tanpa pendayung, perahu takkan maju. Tanpa kerjasama antara keduanya, perahu akan ditelan ombak.


********************

"Sialan, semua siasat kita telah gagal akibat ulah Pangeran Li Si Bin keparat itu!"

Pangeran Tua Li Siu Ti berjalan mondar-mandir di ruangan rumahnya yang luas itu, wajahnya muram alisnya berkerut dan kedua tangannya dikepal. Dia marah sekali. Yang menjadi saksi ulahnya ini hanya dua orang saja, dua orang kepercayaannya, yaitu Poa Kiu dan Siauw Can! Tentu saja kalau orang lain mendengar ucapannya tadi, orang itu akan terkejut dan heran bukan main mendengar pembesar itu berani memaki Pangeran Li Si Bin!

Kemudian tiba-tiba pangeran tua itu menjatuhkan diri duduk di atas kursinya berhadapan dengan dua orang kepercayaannya dan berkata dengan tegas, "Kalian berdualah yang kupercaya. Kalian harus menemukan cara bagiku, dan harus berhasil! Poa Kiu, pergunakan kecerdikanmu dan engkau Siauw Can, pergunakan kepandaian silatmu!"

Siauw Can saling pandang dengan Poa Kiu. Siauw Can atau Can Hong San diam-diam merasa heran mengapa majikannya itu membenci benar orang-orang Turki dan mengapa pula hendak mengadu domba antara orang-orang Turki dengan kaisar.

"Harap paduka ceritakan dulu, kenapa paduka marah-marah? Bukankah tugas saya telah terlaksana dengan baik?" Tanya Siauw Can, penasaran.

"Poa Kiu, kau ceritakan kepadanya." Kata Pangeran Tua Li Siu Ti. "Kauceritakan segalanya, kemudian kalian berunding dan nanti sampaikan usul-usul kalian kepadaku!" Setelah berkata demikian, Li Siu Ti bangkit dan meninggalkan dua orang kepercayaannya itu berbicara berdua saja di ruangan tertutup itu.

"Sungguh heran, mengapa dia marah-marah?" Tanya Siauw Can setelah pembesar itu pergi. "Bukankah tugasku sudah kulaksanakan dengan berhasil baik? Kenapa dia mengatakan siasat kita gagal karena ulah Pangeran Li Si Bin? Apa artinya itu?"

Poa Kiu menghela napas panjang. Pangeran Tua Li Siu Ti sudah menceritakan segalanya kepadanya dan dia tahu bahwa Siauw Can dapat dipercaya. Bukankah tadi pangeran tua itu menyuruh dia menceritakan segalanya kepada pemuda perkasa itu?

"Tugas yang kau laksanakan dengan baik itu bertujuan mengadu domba antara orang-orang Turki dan Kaisar memang hampir berhasil. Kaisar marah-marah karena selirnya diculik dan diperkosa dan dibunuh, dan raja Muda Baducin juga marah-marah karena puteranya, Gala Sing, terbunuh. Memang keduanya sudah siap untuk saling menyalahkan dan kemungkinan besar terjadi bentrokan dan permusuhan di antara mereka. Akan tetapi muncullah Pangeran Li Si Bin dan pangeran ini melerai, mengakurkan kembali Baducin dan Kaisar. Dia mengatakan bahwa urusan pribadi tidak semestinya berkembang menjadi urusan Negara. Dan dia menghibur kedua belah pihak, mengatakan bahwa penculik dan pemerkosa selir kaisar sudah terhukum dan terbunuh, sebaliknya pembunuh Gala Sing juga sudah membunuh diri. Keduanya sudah mati, semua dendam sudah terbalas. Nah, turun tangannya Pangeran Li Si Bin itulah yang membuat keributan mereda, dan baik Baducin maupun Kaisar sudah dapat menerima kenyataan dan tidak marah-marah lagi."

Siauw Can mengangguk-angguk. Pantas saja Pangeran Li Siu Ti marah-marah karena memang semua jeruh payahnya itu sia-sia saja, tidak ada hasilnya. Sudah sejak dia diterima menjadi pembantu pangeran Li Siu Ti, dia merasa heran mengapa majikannya yang adik kaisar itu nampaknya tidak suka kepada kaisar dan membenci orang Turki. Kesempatan baik ini harus dia pergunakan untuk mengetahui dasar pemikiran dan perasaan majikannya, apalagi karena dia bercita-cita untuk dapat menjadi mantunya!

"Paman Poa," kini sebagai rekan dia menyebut paman kepada pembesar itu, "kalau boleh aku mengetahui, kenapa Pangeran Li Siu Ti membenci orang-orang Turki dan mengapa pula nampaknya tidak suka kepada Pangeran Li Si Bin?"

Poa Kiu mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kalau engkau mengetahui semuanya, Siauw Can, dan pangeran juga sudah memberi ijin kepadaku untuk menceritakannya kepadamu."

Pembesar itu lalu menceritakan semua keadaan dengan terus terang kepada Siauw Can. Pangeran Tua Li Siu Ti merasa ikut berjasa ketika terjadi gerakan menggulingkan Kerajaan Sui. Ketika kakaknya, Li Goan, diangkat menjadi kaisar pertama Kerajaan Tang sebagai Kaisar Tang Kao Cu, Pangeran Li Siu Ti tentu saja mengharapkan agar kelak dia menjadi pengganti kakaknya.

Mengingat bahwa kakaknya tidak mempunyai anak laki-laki dari permaisuri. Akan tetapi, ketika Li Si Bin menjadi putera mahkota, mulailah dia merasa iri dan marah. Li Si Bin hanyalah anak dari selir bangsa Turki! Perasaan iri hati ini membuat ia membenci orang-orang Turki yang membantu Li Si Bin.

"Demikianlah Siauw Can. Pangeran Tua Li Siu Ti merasa bahwa dialah keturunan keluarga Li yang asli setelah kakaknya, dan Pangeran Li Si Bin hanyalah seorang berdarah Turki yang tidak pantas menjadi putera mahkota dan kelak menggantikan kedudukan kaisar. Karena orang-orang Turki itu mendukung Pangeran Li Si Bin, maka mereka perlu disingkirkan, dan untuk itulah engkau bertugas mengadu domba itu. AKan tetapi ternyata siasat itu gagal, maka kita harus mencari siasat baru."

Siauw Can menganggu-angguk. "Ah, kalau saja tahu lebih dahulu, tentu aku tidak menyetujui siasat mengadu domba itu. Bagaimana mungkin mereka diadu domba kalau Pangeran Li Si Bin berdarah Turki pula? Tentu dia akan selalu menentang perpecahan di antara mereka.! Sebaiknya diatur agar kedudukan pemerintahan menjadi lemah dengan jalan membujuk Kaisar dan Putera Mahkota agar tenggelam ke dalam kesenangan dan kurang memperhatikan pemerintahan. Dengan jalan demikian, para pejabat tinggi dan rakyat akan merasa tidak suka kepada kaisar. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan menjatuhkan mereka. Sementara itu, Pangeran Li SIu Ti harus dapat mengangkat namanya agar popular di kalangan rakyat. Juga perlu mengumpulkan orang-orang pandai untuk membantu."

"Hemm, kiranya di samping lihai ilmu silatmu, juga engkau memiliki kecerdikan, Siauw Can. Engkau telah dapat melihat cita-cita menjatuhkan kaisar dan putera mahkota, agar kedudukan kaisar dapat beliau kuasai. Dan kalau kita membantu sekuat tenaga, kita akan dapat menikmati hasilnya."

Siauw Can mengangguk-angguk. Dalam keadaan seperti itu, dia harus menempel orang kurus bungkuk ini! "Baik, paman Poa Kiu. Aku akan membantumu sekuat tenagaku. Bahkan semua usulku tadi anggap saja sebagai buah pikiranmu sendiri terhadap pangeran. Engkauolah yang mengatur semuanya, aku yang melaksanakan. Engkau menjadi otak pangeran, aku yang menjadi kaki tangannya. Tentu kita harus saling bantu, bukan?"

Poa Kiu amat cerdik. Dia tahu bahwa ada udang di balik batu, maka dia harus mengetahui udang macam apa itu. "Siauw Can, aku terima uluran tanganmu. Nah, jangan ragu, katakan bantuan apa yang dapat kuberikan padamu."

Siauw Can juga tidak kalah cerdiknya. Dia dapat menjenguk isi hati orang itu, maka diapun tidak merasa ragu lagi untuk membuka rahasia hatinya. "Paman tentu mengerti bahwa seorang laki-laki harus dapat memperhitungkan dan menyesuaikan jalan pikiran dan perasaan hatinya. Nah. Terus terang saja, hatiku tertarik oleh puteri Li Ai Yin, dan aku jatuh cinta kepadanya. Aku yakin bahwa tidak sukar menjatuhkan hati puteri itu. Kalau saja aku dapat menjadi suaminya, maka seiringlah jalannya perasaan dan pikiranku. Aku mendapatkan isteri yang tercinta, juga aku mendapatkan mertua yang kita bantu agar kelak menjadi kaisar. Dengan demikian maka ikatan hubungan di antara kita dapat lebih erat lagi. Bukankah begitu, paman?"

Poa Kiu memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Pemuda ini memang hebat. Tinggi ilmu silatnya, cerdik dan mempunyai ambisi yang besar! Dia menagangguk dan mengelus jenggotnya yang jarang. "Semua itu memang baik sekali, Siauw Can. Akan tetapi dalam hubungan asmara ini, bagaimana aku dapat membantumu?"

Siauw Can tersenyum. "Urusanku dengan Ai Yin, tentu tidak perlu dibantu, karena itu tergantung dari diriku sendiri. Akan tetapi setidaknya paman dapat membantu agar aku nampak berharga di mata pangeran, agar kelak tidak timbul tentangan darinya kalau tiba saatnya aku melamar puterinya."

"Ahhh, baiklah. Itu mudah sekali, Siauw Can. Tentu saja engkaupun harus memperlihatkan jasa-jasa yang lebih banyak lagi."

"Kalau kita berkerja sama, pasti kita berdua akan dapat membuat jasa, paman."

"Akan tetapi, bagaimana dengan nyonya muda Kwa Bi Lan, adik misanmu itu? Apakah ia akan suka bekerja sama dengan kita?"

"Ia adalah seorang wanita dan ia belum tahu akan kerjasama ini, ia belum tahu pula akan cita-cita pangeran. Menghadapi wanita haruslah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Biarlah semua ini kita rahasiakan dulu darinya dan perlahan-lahan aku akan membujuknya agar ia suka membantu kita. Serahkan saja ia kepadaku, aku akan berusaha untuk menundukkannya."

"Baik kalau begitu. Aku merasa agak khawatir. Pertama, ia seorang wanita yang lihai dan kedua, dan ini yang paling berbahaya, ia telah ditarik oleh Pangeran Li Si Bin untuk melatih pasukan dayang setiap hari. Ini berarti ia dekat dengan putera mahkota dan bisa berbahaya sekali..."

"Atau bisa menguntungkan sekali!" kata Siauw Can tersenyum. "Kalau aku berhasil menundukkannya, bukankah kedekatannya dengan putera mahkota itu mendatangkan keuntungan besar? Ia dapat kita jadikan mata-mata yang dapat selalu mengamati gerak-gerik kaisar dan putera mahkota."

Poa Kiu tertawa girang. "Ah, engkau benar dan engkau cerdik, Siauw Can. Engkau harus dapat menundukkan adik misanmu yang cantik dan janda itu!"

Dalam ucapan ini jelas terkandung dorongan yang sejalan dengan pikiran Siauw Can, yaitu bahwa dia harus dapat menundukkan Bi Lan lahir batin, yaitu lahirnya wanita itu harus jatuh ke dalam pelukannya, sehingga batinnya akan selalu taat akan semua kehendak dan perintahnya!

Dan pemuda yang cerdik ini sudah dapat menemukan cara yang amat baik dan yang pasti akan berhasil! Akan tetapi dia tidak boleh tergesa-gesa. Baru saja dia gagal mendekati Bi Land an membuat janda muda itu marah. Dia harus pandai membawa diri, memperlihatkan penyesalannya agar kemarahan Bi Lan mereda dan wanita itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya.

Setelah Pangeran Tua Li Siu Ti memasuki kembali ruangan itu, mereka bertiga lalu berbisik-bisik mengatur siasat. Sebuah siasat yang diajukan Poa Kiu dan Siauw Can amat mengejutkan hati Pangeran Li Siu Ti. Siasat itu adalah membunuh Putera Mahkota, Pangeran Li Si Bin!

Wajah Pangeran Tua Li Siu Ti seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada dua orang kepercayaannya. "Alangkah baiknya kalau dapat terjadi! Akan tetapi mana mungkin! Li Si Bin seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tangguh dan sukar dikalahkan! Selain itu, diapun mempunyai banyak pengawal pandai, dan selalu terjaga. Di belakangnya ada balatentara seluruh kerajaan, ratusan ribu orang yang setiap saat siap melaksanakan perintahnya! Bagaimana mungkin menyingkirkannya? Kalau gagal dan ketahuan, ah, ngeri aku membayangkan akibatnya! Tentu seluruh anggota keluarga kita, sampai ke para pelayan dan binatang peliharaan, akan dibasmi habis!"

"Harap paduka tidak khawatir," kata Poa Kiu. "Hamba berdua Siauw Can telah merencanakan siasat yang baik dan halus. Siauw Can akan mempergunakan kepandaiannya dan kalau sampai berhasil siasat itu, maka Pangeran Li Si Bin akan tewas tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya."

Mereka bertiga lalu berbisik-bisik dan nampaknya Pangeran Tua Li Siu Ti girang sekali. Dia nampak mengangguk-angguk dan tersenyum-senyum mengelus jenggotnya dan berulang kali mulutnya berkata,

"Bagus... bagus sekali...!"

Saking girang rasa hatinya, pangeran itu lalu menutup pembicaraan itu dengan sebuah pesta yang meriah, pesta antara mereka bertiga yang dihadiri pula oleh isteri dan lima orang selir pangeran itu, dan anak tunggalnya, yaitu Li Ai Yin, gadis cantik genit dan manja yang tidak malu-malu lagi memperlihatkan kekagumannya kepada Siauw Can.

Mereka makan minum sampai jauh malam dengan penuh kegembiraan dan peristiwa ini saja sudah membesarkan hati Siauw Can, karena dari Poa Kiu dia mendengar bahwa diajak makan bersama seluruh keluarga pangeran berarti bahwa dia telah dipercaya sepenuhnya, seperti halnya Poa Kiu sendiri.

********************

Dengan penuh kesungguhan hati, Kwa Bi Lan mengajarkan ilmu silat kepada para dayang. Para dayang ini merupakan gadis-gadis pilihan, bukan saja muda dan cantik, akan tetapi rata-rata memiliki kecerdikan dan tubuh yang sehat. Mereka itu pandai dengan segala macam bentuk kesenian, pandai menari, bernyanyi, memainkan alat musik, membaca sajak.

Oleh karena itu tidak sukar bagi Bi Lan untuk mengajarkan ilmu silat kepada tigapuluh orang dayang-dayang istana itu. Ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian, atas petunjuk Pangeran Li Si Bin, ia mengajarkan ilmu silat menggunakan senjata sabuk yang diambil dari Ilmu Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti rajawali terbang).

Dengan ilmu silat sabuk itu, dibentuklah Ang-kin-tin (Barisan sabuk merah). Ang-kin-tin ini bukan saja dapat memainkan sabuk sebagai senjata ampuh, akan tetapi mereka juga menggabungkan gerak silat itu dengan ilmu tarian yang mereka kuasai, sehingga kalau tidak dipergunakan untuk berkelahi, mereka itu dapat menggunakan sabuk merah mereka untuk menari-nari dengan indahnya. Sabuk sutera merah panjang di tangan mereka dapat digerakkan membentuk bermacam-macam bunga bahkan huruf!

Pangeran Li Si Bin merasa girang bukan main melihat kemajuan para dayang, dan tugas Bi Lan melatih para dayang di istana itu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk saling jumpa. Pangeran Mahkota itu semakin kagum kepada Bi Lan, sebaliknya Bi Lan juga sangat kagum kepada pangeran yang tampan gagah perkasa dan manis budi ini. Ia mendapatkan segala sifat jantan pada diri putera mahkota ini. Pangeran itu dapat bersikap lemah lembut, ramah dan manis budi, akan tetapi kalau perlu, dia dapat pula bersikap keras dan tangan besi, sehingga selain disayang oleh semua orang, diapun disegani dan dihormati.

Kalau ada kesempatan kedua orang itu bercakap-cakap, dari percakapan ini saja tahulah Bi Lan bahwa pangeran itu seorang yang berjiwa pendekar, juga amat mencinta tanah air dan bangsa, mencintai rakyat dan ingin melakukan segalanya demi kebaikan rakyat. Juga pangeran ini memiliki pengetahuan luas, bahkan dekat dan mengenal tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk dunia persilatan.

Semenjak peristiwa yang amat mengecewakan hatinya malam itu, ketika Siauw Can berusaha untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, lenyaplah semua perasaan suka dan kagum terhadap pemuda itu. Dan kini semua perasaan suka dan kagum itu beralih kepada Pangeran Li Si Bin! Tentu saja ia tahu diri dan hanya tinggal mengagumi saja, tidak berani mengharapkan yang lebih daripada hubungan di antara mereka seperti sekarang. Ia hanya seorang pekerja dan petugas, tiada bedanya dengan ratusan orang lain yang bekerja di lingkungan istana itu.

Sebelum terjadi peristiwa di malam itu, ia memang pernah merasa suka dan kagum kepada Siauw Can, bahkan ia akan menerima dengan hati dan tangan terbuka, seandainya pemuda itu mengajaknya hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, semua harapan itu telah hancur oleh perbuatan Siauw Can. Kalau bukan Siauw Can yang melakukan perbuatan itu terhadap dirinya, ia tentu tidak akan mau sudah sebelum membunuh laki-laki itu.

Akan tetapi ia telah menganggap Siauw Can sebagai sahabat baik, dan pemuda itu telah minta maaf. Ia mau melupakan peristiwa itu, akan tetapi tentu saja semua perasaan sukanya terhadap pemuda itu lenyap sudah. Ia tahu bahwa Siauw Can mencintainya, akan tetapi pemuda itu menodai cintanya dengan perbuatan yang tidak senonoh.

Pagi itu, seperti biasa, Bi Lan melatih para dayang bersilat dengan sabuk sutera merah mereka. Gerakan mereka sudah cukup baik dan tangkas, hanya masih kurang tenaga. Dengan teliti Bi Lan mengamati mereka dan dengan tekun memberi petunjuk-petunjuknya. Dan pagi itu, pangeran Li Si Bin berkenan hadir dan dengan wajah berseri pangeran itu menonton. Hatinya senang karena dia melihat kemajuan pesat pada para dayang, dan dia semakin kagum karena ketika Bi Lan memberi contoh kepada para dayang dengan bersilat sabuk sutera merah, janda muda itu nampak seperti seorang dewi yang turun dari kahyangan dan menari-nari!

Setelah Bi Lan selesai memberi contoh dan kini para dayang berlatih dengan giat, Pangeran Li Si Bin menggapai dan memberi isyarat kepada Bi Lan untuk mendekat. Bi Lan menghampiri dan memberi hormat dengan setengah berlutut.

"Bangkit dan duduklah di sini," kata pangeran itu dengan ramah sambil menunjuk kea rah sebuah bangku. Bi Lan duduk di depan pangeran itu sambil menundukkan muka. Biarpun mereka sudah sering bercakap dan berjumpa, tetap saja Bi Lan tidak sanggup berpandangan terlalu lama dengan sepasang mata yang memiliki wibawa sedemikian kuatnya. Ia selalu merasa seperti seorang anak kecil berhadapan dengan gurunya, dengan perasaan bersalah.

"Bi Lan, kalau engkau melatih pasukan dayang di sini, lalu bagaimana dengan anakmu?"

Diam-diam Bi Lan terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Pangeran Li Si Bin menanyakan anaknya. Segera terbayanglah wajah Hong Lan. Kalau ia bertugas di istana, dititipkannya Hong Lan kepada Cu-ma, pelayan wanita setengah tua tukang masak yang menjadi sahabat baiknya di istana pangeran Tua Li Siu Ti. Cu-ma ini dahulunya pengasuh Ai Yin di waktu gadis ini masih kecil, dan sekarang menjadi tukang masak gadis itu untuk keperluan-keperluan kecil.

"Lan Lan hamba tinggalkan di istana Pangeran Tua dalam asuhan Cu-ma, pangeran," jawabnya.

"Lan Lan? Hemm, bagus sekali nama panggilan itu. Siapa nama anakmu?"

"Namanya Hong Lan."

"Kalau begitu nama lengkapnya tentu Liu Hong Lan, bukan? Mendiang suamimu yang berjuluk Si Rajawali Sakti itu bernama Liu Bhok Ki."

Bi Lan mengangguk membenarkan. Apapun yang terjadi, ia akan tetap mengakui Lan Lan sebagai anaknya, dan tentu saja nama keluarganya Liu, menurut nama keluarga mendiang suaminya.

"Bi Lan, kami merasa senang sekali dengan hasil tugasmu melatih para dayang. Untuk menyatakan terima kasih kami, maka kami harap siang ini sebelum engkau kembali ke rumah paman Li Siu Ti, engkau suka kami ajak makan siang bersama kami. Nanti kalau makan siang sudah siap, engkau akan diberi tahu."

Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Diajak makan siang bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan suatu kehormatan yang amat luar biasa. Tentu saja ia merasa canggung dan sungkan, akan tetapi untuk menolak, ia tidak berani. Itu akan merupakan suatu penghinaan terhadap pangeran itu.

"Baik, Pangeran." Katanya.

Setelah Pangeran Li Si Bin meninggalkan ruangan belajar silat itu, Bi Lan melamun dan akhirnya ia membubarkan para muridnya, karena ia tidak dapat memusatkan lagi perhatiannya. Ia lalu pergi ke taman bunga yang amat luas di bagian belakang istana. Karena mendapat kepercayaan Putera Mahkota, apalagi karena semua petugas mengenalnya sebagai guru dan pelatih para dayang, Bi Lan sudah biasa berjalan-jalan di taman dan tidak ada seorangpun petugas yang melarangnya. Perasaan hatinya terguncang oleh undangan makan siang Pangeran Li Si Bin. Sampai lama dia termenung, duduk di tepi kolam ikan emas, agak terlindung dan tersembunyi di balik semak berbunga.

Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Sebagai seorang ahli silat yang sudah bertualang di dunia persilatan, sudah terbiasa menghadapi bahaya, Bi Lan sudah waspada dan cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintai. Bayangan itu mencurigakan sekali. Kalau orang itu seorang tukang kebun atau petugas istana, tentu gerakannya tidak seperti itu. Orang itu berloncatan dari pohon ke pohon, bersembunyi, kadang berjongkok di balik semak, menuju ke dapur yang terletak di bagian belakang bangunan yang menjadi ruangan makan.

Dari dapur, para petugas, yaitu para dayang dan para thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas membawa hidangan ke kamar makan, akan melalui lorong pendek dari dapur ke ruangan makan yang jendelanya menghadap ke taman itu. Melihat bayangan itu menyelinap masuk ke dalam dapur melalui jendela dengan gerakan ringan, Bi Lan semakin curiga. Ia lalu mengintai ke dalam dapur melalui jendela. Agaknya hidangan sudah dikeluarkan dan dapur itu nampak sunyi.

Ia melihat orang tadi berdiri di dekat pintu. Ia tidak mengenal laki-laki itu yang bertubuh gendut pendek, usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan kulit mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Tak lama kemudian, dari pintu dapur masuklah seorang thai-kam yang biasa bertugas membawa hidangan dari dapur ke ruangan makan. Ketika thai-kam itu melihat laki-laki itu, dia kelihatan terkejut. Akan tetapi, si gendut itu sudah menangkap pergelangan tangan thai-kam itu dan bertanya dengan suara mendesis, "Sudah kau hidangkan guci arak itu?"

"Sudah, akan tetapi kenapa engkau memaksa aku untuk menghidangkan guci arak yang itu? Aku tidak mengerti dan..."

Pada saat itu, si gendut sudah menggerakkan tangannya dan sebatang pisau menancap ke dada thai-kam itu dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, si gendut sudah menotok lehernya, sehingga dia terkulai roboh tanpa dapat bersuara lagi.

"Heiiii, apa yang kau lakukan itu?" bentak Bi Lan sambil membuka daun jendela.

Akan tetapi, orang gendut itu tidak menjawab, bahkan cepat melompat bagaikan seekor rusa, melarikan diri keluar dari dapur itu ke dalam taman. Melihat ini, Bi Lan segera lari mengejar dan dengan mudah saja ia dapat menyusul. Orang gendut itu tiba-tiba membalik dan di tangannya sudah terdapat dua batang pisau seperti yang tadi dia pakai membunuh thai-kam di dapur. Diapun cepat menggerakkan kedua pisau itu menyerang Bi Lan!

Akan tetapi betapa kuat dan cepat gerakan serangan kedua pisau itu, bagi Bi Lan masih terlalu lambat, sehingga dengan amat mudahnya ia mengelak mundur dan ketika sepasang pisau itu menyambar lewat dari kanan dan kiri, kakinya mencuat dan menendang kea rah lutut kiri penyerangnya. Akan tetapi, ternyata penyerangnya itupun bukan orang lemah.

Dia mampu meloncat ke samping sehingga tendangan itu luput, dan kembali dia menubruk ke depan, menggerakkan sepasang pisaunya dengan ganas. Orang itu menyerang untuk membunuh, serangan orang yang nekat dan yang melihat bahwa jalan satu-satunya baginya untuk dapat meloloskan diri hanya membunuh siapa saja yang menghalanginya.

"Pembunuh keparat!" Bi Lan berseru marah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung rajawali menyambar, tubuhnya meluncur kea rah lawan dengan kedua tangan mencakar dan menampar.

Orang gendut itu berusaha untuk menyambut dengan sepasang pisaunya, akan tetapi kedua pundaknya sudah lebih dahulu kena dicakar dan ditampar sehingga sepasang senjata itu terlepas jatuh. Ketika orang itu hendak melarikan diri, kembali tangan bi Lan bergerak, sekali ini kearah tengkuk dan orang itupun jatuh tersungkur!

Bi Lan menginjak punggungnya dan membentak, "Hayo katakan, kenapa engkau membunuh thai-kam itu!" Akan tetapi, tangan kiri si gendut itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya sendiri dan diapun terkulai. Ketika Bi Lan memeriksanya, ternyata dia telah mati dengan muka berubah menghitam. Racun! Teringat akan ini, berubah wajah Bi Lan. Racun! Dan si gendut ini agaknya menyuruh dengan paksa thai-kam tadi menghidangkan guci arak kepada Pangeran Mahkota!

Ketika para pengawal lari berdatangan mendengar keributan itu, Bi Lan berkata, "Jaga mayat pembunuh ini!"

Dan diapun sudah melompat dan bagaikan terbang secepatnya ia memasuki ruangan makan, dimana ia harus hadir atas undangan Pangeran Li Si Bin. Akan tetapi saat itu ia sama sekali tidak teringat akan undangan makan siang itu, dan ia memasuki ruangan itu bukan untuk memenuhi undangan makan. Begitu tiba di ambang pintu, dimana terdapat sebuah meja yang menjadi tempat persediaan cadangan mangkok dan sumpit.

Ia melihat pangeran itu yang dilayani para dayang,sedang mengangkat cawan arak ke mulutnya. Celaka, pikir Bi Lan dan wajahnya pucat sekali. Tidak ada waktu lagi untuk mencegah hal amat dikhawatirkannya, maka tangannya menyambar sebatang sumpit dari atas meja dan sekali tangan itu bergerak, sumpit melayang seperti anak panah ke arah pangeran.

"Sing... trang...!"

Cawan yang bibirnya sudah menempel di bibir Pangeran Li Si Bin itu terlempar dan isinya tumpah, muncrat ke mana-mana. Akan tetapi pangeran bersikap tenang. Dia menoleh ke arah Bi Lan, melihat betapa wajah wanita itu pucat sekali. Sepasang mata pangeran itu mencorong, dan dia berkata dengan suara yang lembut, namun berwibawa sekali sehingga terasa oleh Bi Lan seperti pedang yang menembus jantungnya.

"Bi Lan, engkau kuundang makan siang dan aku sudah menantimu. Akan tetapi, engkau datang dan melakukan ini? Apa maksudmu?"

Tentu saja pangeran yang juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi itu dapat mengenal serangan untuk membunuhnya atau serangan untuk mencegahnya minum arak dari cawan tadi. Kalau wanita itu menghendaki, tentu bukan sumpit yang disambitkan, melainkan senjata rahasia yang ampuh, dan bukan cawan ditangannya yang dijadikan sasaran, melainkan anggota tubuhnya yang mematikan. Akan tetapi kalau demikian halnya, tentu diapun sudah mengelak atau menangkis.

Saking tegang, gelisah dan juga sungkan, Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut kepada pangeran itu. Biasanya ia memberi hormat dengan membungkuk atau hanya berlutut dengan sebelah kaki saja. "Ampunkan hamba, pangeran. Akan tetapi... arak itu... arak itu mungkin sekali mengandung racun!" Katanya agak gagap karena tentu saja ia sendiri belum yakin akan hal itu, hanya baru dugaan saja.

Sepasang mata yang mencorong itu terbelalak. Tanpa banyak cakap lagi Pangeran Li Si Bin yang sejak muda sudah bergaul dengan dunia kangouw dan mempunyai banyak pengalaman, lalu mengambil guci arak darimana tadi dia menuangkan arak ke dalam cawannya, menciumnya, lalu mengeluarkan sebuah mainan batu giok putih yang tergantung di leher, mencelupkan batu kemala itu ke dalam arak. Tak lama kemudian dia mengangkat lagi batu giok itu dan ternyata warna putih itu berubah menjadi kehijauan!

"Hemm, engkau benar Bi Lan. Kalau kuminum arak dalam cawan tadi, mungkin aku sudah mati. Racun ini kehijauan, tidak berbau dan tidak ada rasanya, amat berbahaya. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa arak yang akan kuminum itu mengandung racun? Bangkitlah, dan duduklah, ceritakan semuanya, Bi Lan."

Para dayang, tujuh orang banyaknya yang ditugaskan melayani pangeran yang akan makan siang dengan Bi Lan, saling pandang dengan wajah pucat sekali. Mereka ketakutan dan terkejut bukan main ketika melihat bahwa arak yang hampir saja diminum pangeran itu beracun! Andaikan pangeran itu tadi meminumnya dan tewas, mereka tentu akan terseret dan takkan diampuni lagi walaupun mereka sama sekali tidak tahu menahu akan arak beracun itu. Merekapun nyaris tewas dan baru saja lolos dari cengkeraman maut bersama pangeran Mahkota!

Bi Lan bangkit dan dengan langkah tenang menghampiri meja, lalu duduk menghadapi meja, berhadapan dengan pangeran itu yang menatapnya dengan penuh perhatian, akan tetapi dengan alis berkerut, karena dia belum tahu atau menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi.

"Pangeran, tadi ketika hamba berjalan-jalan di taman, hamba melihat bayangan orang bergerak cepat memasuki dapur. Hamba merasa curiga dan membayanginya. Dia seorang laki-laki gendut dan di dapur, dia berbicara dengan seorang thai-kam. Thai-kam itu berkata mengapa dia harus menghidangkan guci arak itu kepada paduka. Tiba-tiba si gendut itu membunuh si thai-kam. Hamba terkejut dan melompat masuk. Si gendut melarikan diri ke dalam taman dan hamba berhasil mengejarnya. Dia menyerang hamba dan hamba berhasil merobohkannya dan hendak menawannya. Akan tetapi dia membunuh diri dengan menelan racun. Lalu hamba teringat akan ucapan thai-kam tadi, tentang guci arak yang dihidangkan pada paduka. Melihat si gendut itu ahli racun, hamba lalu menjadi curiga dan cepat hamba lari ke sini dan terpaksa hamba melemparkan sumpit untuk mencegah paduka minum arak itu."

Kini pangeran itu mengangguk-angguk dan matanya mengeluarkan sinar kagum. "Bi Lan, engkau sungguh hebat, bukan saja engkau lihai dan cantik, akan tetapi engkau juga amat cerdik dan setia. Hanya kecerdikanmu yang tadi telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh aku berhutang budi dan nyawa kepadamu, Bi Lan. Bagaimana aku dapat membalasnya? Terima kasih, Bi Lan."

Kalau tadi wajah Bi Lan pucat sekali karena tegang, cemas dan juga sungkan, kini wajah itu berubah kemerahan sehingga wajahnya menjadi semakin manis, dan dia tidak berani menentang pandang mata pangeran itu yang kini bersinar-sinar penuh kagum.

Melihat wanita yang dikaguminya itu menunduk dengan kedua pipi kemerahan, Pangeran Li Si Bin yang jarang tertarik wajah cantik itu, kini tersenyum dan hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa tidak mudah mendapatkan seorang wanita seperti Bi Lan ini. Cantik jelita, masih muda, berkepandaian silat tinggi, cerdik dan setia! Biarpun wanita ini telah menjadi janda dengan seorang anak, namun ia jauh lebih menarik daripada gadis yang manapun! Mungkin karena merasa berhutang budi dan nyawa, saat itu sang pangeran telah jatuh hati kepada Kwa Bi Lan!

"Mengapa pangeran berkata demikian? Hamba hanyalah melaksanakan tugas hamba, dan tidak ada yang perlu dipuji," kata Bi Lan lirih tanpa berani mengangkat mukanya...