Naga Beracun Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Thian Ki tersenyum. Senang hatinya kalau anak itu bersikap manis kepadanya dan tidak rewel. Dia menganggap Kui Eng bukan hanya sebagai puteri suhunya, atau adik seperguruan, akan tetapi bahkan seperti adik kandung sendiri.

"Kui Eng. Sumoiku yang manis. Katakan, didunia ini siapa yang paling kau sayang?" tanyanya, pertanyaan yang seringkali dia ajukan karena jawabannya amat menyenangkan hatinya.

Kui Eng memegang tangan Thian Ki dan tertawa manja. "Suheng nakal, sudah beberapa kali kukatakan, sudah tahu, masih terus bertanya."

"Biar hatiku merasa yakin bahwa pengakuanmu ini sejujurnya dan sebenarnya, sumoi."

"Yang paling kusayang adalah engkau, Suheng Coa Thian Ki."

Thian Ki menunduk dan mencium rambut kepala sumoinya. "Sesudah aku, lalu siapa yang paling kau sayang?"

"Sesudah engkau, aku sayang kepada ibu."

"Eh? Ibumu...?"

"Kumaksudkan ibumu, bibi Sim Lan Ci. Kalau engkau menyebut ibu, kenapa aku harus menyebut bibi? Aku ingin menyebutnya ibu seperti engkau."

"Kenapa tidak? Engkau boleh menyebutnya ibu tentu saja, sumoi!"

"Kalau aku menyebut ibu kepada ibumu, engkaupun harus menyebut ayah kepada ayahku."

Thian Ki menatap wajah anak perempuan itu dengan kaget. "Ah, jangan begitu, sumoi. Bagaimana aku berani menyebut suhu dengan sebutan ayah?"

"Aku akan bilang kepada ayah. Kalau engkau tidak mau menyebut ayah kepada ayahku, akupun tidak mau menyebut ibu kepada ibumu."

"Tentu saja aku mau, akan tetapi aku tidak berani. Ayahmu akan marah..."

"Tidak, aku yang akan bilang kepadanya!"

Lan Ci yang mengintai, menjadi merah sekali mukanya. Kenapa ada peristiwa terjadi berturut-turut secara begitu kebetulan? Pangeran Cian Bu Ong melamarnya untuk menjadi isterinya, dan sekarang ia melihat dan mendengar percakapan antara Thian Ki dan Kui Eng yang seolah-olah ingin menjadi saudara dan saling mengakui ibu dan ayah masing-masing sebagai orang tua sendiri! Dia lalu muncul dan menghampiri kedua orang anak itu.

"Ibu...!" Thian Ki berseru girang, akan tetapi Kui Eng diam saja. Padahal biasanya setiap kali bertemu Lan Ci ia berlari dan minta dipondong dengan manja. Sekarang ia berdiri saja memandang dengan sikap ragu! Thian Ki teringat.

"Ibu, adik Kui Eng ingin menyebutmu ibu. Bolehkah?"

Lan Ci menghampiri Kui Eng dan berjongkok. "Tentu saja boleh, memang aku selalu menganggapnya sebagai anakku sendiri."

Mendengar ini, wajah Kui Eng merekah gembira dan iapun merangkul leher Lan Ci dan mulutnya memanggil-manggil seperti orang yang merasa amat rindu. "Ibu... ibu... ibu..."

Basah kedua mata Lan Ci. Dalam rangkulan dan dalam suara panggilan itu ia dapat merasakan benar betapa anak ini amat kehilangan ibu kandungnya! Dan semua kerinduan, semua kasih sayang anak itu kini ditumpahkan kepadanya karena tidak ada lagi penampungnya.

"Ibu, adik Kui Eng bilang bahwa yang paling disayangnya pertama adalah aku, dan ke dua ibu."

"Ih, jangan begitu, anakku." Lan Ci memondong dan menciumi Kui Eng. "Orang pertama yang kau sayang seharusnya ayahmu."

"Tidak, ayah nomor tiga. Karena ayah jarang mengajakku bermain-main."

Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, menjadi orang ke tigapun sudah untung! Masih untung mendapat kasih sayang anakku!" muncullah Cian Bu Ong yang sudah mandi dan berganti pakaian baru.

Melihat ayahnya begitu gembira tidak seperti biasanya, Kui Eng merosot dari pondongan Lan Ci dan lari kepada ayahnya yang menyambutnya dan mengangkat lalu memondongnya. "Ayah, aku ingin suheng Thian Ki menyebut ayah padamu. Ayah harus mau!"

Sepasang mata bekas pangeran itu terbelalak, lalu memandang kepada Thian Ki dan kepada Lan Ci, kemudian dia tertawa lagi. "Ha-ha-ha, tentu saja aku mau."

"Dan aku menyebut ibu kepada bibi Lan Ci. Bolehkah, ayah?"

"Ehh? Siapa yang mengajarimu ini?" Cian Bu Ong bertanya, pura-pura mengerutkan alisnya dan memandang kepada Lan Ci.

Wanita ini balas memandang dengan wajah berubah merah. "Tidak ada yang mengajarinya," katanya lirih.

"Ini kehendakku sendiri, ayah." Anak ini lalu turun dari pondongan ayahnya, menghampiri Thian Ki, memegang tangan Thian Ki dan menariknya menghampiri ayahnya. "Suheng, ayah sudah memberi ijin engkau menyebutnya ayah!"

Dengan sikap takut-takut, Thian Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. Kalau biasanya dia memberi hormat sambil menyebut suhu, kini dia menyebut ayah! Cian Bu Ong mengangguk-angguk dan dia mengangkat muka. Kembali dia bertemu pandang dengan Lan Ci.

"Thian Ki, engkau kesinilah!" kata Lan Ci, suaranya agak gemetar.

Ia adalah seorang wanita perkasa, bahkan dulu sebelum menjadi isteri Coa Siang Lee, sebagai puteri Ban-tok Mo-li, ia tidak pernah mengenal artinya sopan santun. Kini, timbul kegagahannya kembali dan ia menganggap bahwa tidak perlu bersembunyi di balik peraturan yang berpalsu-palsu. Lebih baik berterus terang menyelesaikan permasalahan sekarang juga. Thian Ki bangkit dan menghampiri ibunya, sedangkan Cian Bu Ong memondong pergi puterinya.

"Thian Ki, biarpun engkau baru berusia enam tahun akan tetapi aku tidak menganggap engkau anak kecil lagi. Engkau sudah pandai mengambil kesimpulan dan keputusan, maka aku akan berterus terang kepadamu dan kuminta engkau memberi jawaban sekarang juga. Thian Ki, gurumu telah melamarku untuk menjadi isterinya. Nah, bagaimana pendapatmu?"

Cian Bu Ong memandang kagum. Bukan main wanita itu! Dan luar biasa pula puteranya! Dia memondong puterinya dan memandang dengan penuh perhatian dan hatinyapun tegang menanti jawaban Thian Ki, anak ajaib itu.

Thian Ki tidak kaget mendengar pertanyaan ibunya. Dia mengangkat muka, memandang wajah ibunya, lalu menoleh dan memandang wajah gurunya, dan diapun memandang ibunya lagi. "Ibu, itu adalah urusan ibu dan suhu... eh. ayah, maka hanya ayah dan ibu saja yang berhak memutuskan. Adapun aku... aku hanya menyerahkan keputusannya kepada ibu saja, aku tidak berani dan tidak mau mencampuri urusan pribadi ibu."

Sungguh luar biasa jawaban itu, pikir Cian Bu Ong. Seolah bukan keluar dari mulut seorang anak berusia enam tahun, melainkan keluar dari mulut orang dewasa yang berpandangan luas.

"Akan tetapi hatiku tidak akan tenteram sebelum merasa yakin bahwa engkau tidak merasa keberatan dan menyetujuinya."

"Tentu saja aku tidak keberatan ibu dan kalau hal itu membahagiakan hati ibu, tentu saja aku setuju sepenuhnya."

Kedua pipi Lan Ci kembali menjadi merah sekali dan untuk mengatasi perasaan malu, ia berkata, "Kalau begitu, kau beri hormat lagi kepada... ayahmu itu Thian Ki."

Anak itu menurut. Dia menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut, "Ayah...!"

Saat itu, Cian Bu Ong memandang ke arah Lan Ci. Wanita itupun sedang memandangnya, ketika dua pasang mata bertemu pandang, Lan Ci mengangguk. Itu sudah cukup sebagai jawaban bahwa ia mau menerima lamaran bekas pangeran itu!

Cian Bu Ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, terima kasih, Tuhan! Terima kasih Tuhan, aku hidup kembali, ha-ha-ha aku hidup kembali!" Dan tiba-tiba dia melemparkan tubuh Kui Eng ke udara, lalu tangan kanannya menyambar tubuh Thiaan Ki yang juga dilontarkan ke atas!

Ketika tubuh Kui Eng melayang turun, disambutnya dengan tangan kiri dan dilontarkannya lagi ke atas, lebih tinggi daripada tadi. Demikian pula ketika tubuh Thian Ki meluncur turun, tubuh itu ditangkapnya dan dilontarkannya kembali ke atas. Dua anak itu dibuat mainan seperti dua butir bola saja, makin lama semakin tinggi.

Setelah tadi mengangguk memberi tanda setuju dan menerima lamaran Cian Bu Ong, Sim Lan Ci memejamkan kedua matanya dan berbisik dalam hatinya. "Coa Siang Lee, maafkan aku. Aku cinta padamu, akan tetapi engkau sudah tidak ada, dan aku kagum dan cinta kepadanya, maafkan aku kalau aku menyerahkan diriku kepada pria lain untuk menjadi isterinya."

Akan tetapi jeritan Kui Eng membuat Lan Ci membuka matanya kembali. Ia melihat betapa anak perempuan itu mulai merasa ngeri karena tubuhnya dilontarkan semakin tinggi oleh ayahnya. Thian Ki diam saja bahkan diam-diam anak ini memperhatikan cara gurunya melontar tubuhnya.

Sim Lan Ci meloncat. Tubuhnya melayang ke atas, menyambar tubuh Kui Eng yang dipondongnya dan iapun melayang turun kembali sambil memondong tubuh Kui Eng, menghadapi Cian Bu Ong dan menegur, "Kui Eng sudah menjerit ketakutan, mengapa masih dilanjutkan juga? Apa kau ingin agar anak kita ini kelak menjadi orang penakut?"

Cian Bu Ong sudah menangkap kembali tubuh Thian Ki dan dilepaskannya anak itu. Dia memandang kepada Lan Ci sambil tersenyum lebar dan menggeleng kepalanya, "Ya Tuhan, engkau sudah mulai berani melarang aku, ya?"

"Tentu saja," jawab Lan Ci. "Sebagai ibu akupun berhak mendidik dan melindungi anak kita!"

Mereka saling pandang, dan Cian Bu Ong tertawa bergelak, nampak berbahagia sekali dan Lan Ci terpaksa juga tersenyum dan mengerling penuh teguran. Melalui pandang mata saja mereka sudah dapat menangkap dan merasakan isi hati masing-masing dan hal seperti ini hanya dapat terjadi apabila dua hati telah saling kontak!

Demikianlah, dua bulan kemudian, setelah lewat setahun kematian Coa Siang Lee dan isteri Cian Bu Ong, mereka melangsungkan pernikahan yang sederhana, tidak dihadiri para bangsawan seperti layaknya seorang pangeran menikah. Juga tidak dihadiri orang-orang kang-ouw seperti layaknya seorang tokoh kang-ouw seperti Sim Lan Ci menikah, melainkan hanya dihadiri penduduk dusun yang tinggal di sekitar pegunungan itu. Sederhana namun amat meriah, dimeriahkan oleh kegembiraan Thian Ki dan Kui Eng, dan dihias senyum dan kerling mata penuh kasih sayang antara Sim Lan Ci dan Cian Bu Ong.

Dan sejak hari itu, Cian Bu Ong semakin rajin menggembleng Thian Ki dan Kui Eng. Dia tidak lagi memikirkan tentang kerajaan, akan tetapi dia ingin agar anak tiri dan anak kandungnya menjadi jago-jago paling tangguh di dunia persilatan sehingga namanya akan terangkat. Di samping itu, dia menemukan kemesraan dan kebahagiaan di samping isterinya yang ternyata amat mencintainya.

Di lain pihak, Lan Ci juga merasakan kebahagiaan yang mendalam. Suaminya yang sekarang jauh bedanya dengan suami pertamanya. Suaminya yang sekarang adalah seorang yang jantan, yang matang dalam pengalaman. Sehingga di samping sebagai suami yang mencinta, juga dari suaminya ini ia menerima bimbingan. Sehingga kadang ia menganggap suaminya ini juga gurunya yang amat pandai dalam segala hal. Ilmu silat yang dikuasai nyonya muda ini meningkat dengan cepatnya.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Perahu kecil itu meluncur dengan cepatnya di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan berhenti di luar dusun Hong-cun. Gadis yang naik perahu seorang diri ini dapat mendayung dan mengendalikan perahu dengan gerakan tangkas, tanda bahwa ia sudah terbiasa mengemudikan perahu. Setelah perahu itu menepi di pantai, iapun melangkah keluar dan menarik perahu itu ke darat.

Cara ia menarik tali perahu dan berhasil membuat perahu itu naik, padahal pantai itu tidak terlalu landai, membuktikan bahwa biarpun ia seorang wanita muda yang cantik dan nampak lembut, ternyata ia miliki tenaga yang kuat. Wanita itu masih muda, usianya sekitar duapuluh satu tahun lebih, berwajah bulat dan berkulit putih kemerahan. Hidungnya mancung dan matanya tajam. Wajah yang cantik dan manis. Di punggungnya menempel dua batang pedang bersilang, dan di atas pedang itu terdapat buntalan kain sutera kuning.

Dandanannya juga sederhana dan ringkas, semua ini menunjukkan bahwa ia seorang wanita kang-ouw yang suka melakukan perjalanan seorang diri dan mengandalkan ilmu kepandaian silat untuk melindung dirinya sendiri. Biarpun usianya paling banyak baru duapuluh dua tahun, akan tetapi wanita itu bukan gadis lagi, melainkan seorang janda! Ia adalah Kwa Bi Lan, yang baru saja ditinggal mati suaminya yang juga menjadi gurunya, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki, Si Rajawali Sakti!

Biarpun suaminya itu jauh lebih tua darinya, ketika ia menjadi isteri Liu Bhok Ki, suaminya yang juga gurunya itu sudah berusia enam puluh lima tahun dan ia sendiri baru sembian belas tahun, namun Kwa Bi Lan amat mencinta suaminya. Baginya, suaminya merupakan orang terbaik di dunia ini. Dahulunya ia adalah murid Si Rajawali Sakti, dan bahkan oleh gurunya itu ia dicalonkan jadi isteri murid gurunya yang pertama, yaitu Si Han Beng yang kini dijuluki Huang-ho Sin liong (Naga Sakti Sungai Kuning).

Akan tetapi Si Han Beng memilih wanita lain dan menikah dengan wanita lain itu. Hal itu membuat gurunya marah, dan seolah hendak menebus kesalahan ini, melihat betapa Bi Lan hancur hatinya dan patah semangat, Liu Bhok Ki lalu mengambil murid itu sebagai isterinya. Dia sendiri sudah menduda sejak puluhan tahun. Dan Bi Lan menerima pinangan gurunya, bukan karena terpaksa, melainkan karena ia merasa kagum, kasihan dan juga mencinta suhunya sebagai satu-satunya orang di dunia ini yang menyayanginya.

Tentu saja hal ini didorong pula oleh kepatahan hatinya karena Si Han Beng mengingkari janji dan menikah dengan gadis lain. Sin-tiauw Liu Bhok Ki merasa marah dan sakit hati bukan main karena Si Han Beng tidak memenuhi pesannya itu. Biarpun dia sudah menjadi suami Bi Lan namun hatinya masih tetap tertusuk dan batinnya terhimpit kemarahan terhadap Si Han Beng. Dia menjadi sakit-sakitan dan akhirnya, dalam rangkulan Bi Lan, dia menghembuskan napas terakhir sambil menyebut nama Si Han Beng dengan penuh kemarahan dan penyesalan.

Setelah suaminya yang juga gurunya meninggal dunia, perasaan hati Kwa Bi Lan dipenuhi dendam terhadap Si Han Beng. Pria itu yang membuat hidupnya menderita! Kalau Si Han Beng tidak mengingkari janjinya dan menikah dengannya, tentu Liu Bhok Ki tidak mati, demikian pikirnya.

Dan iapun tidak harus mengalami derita batin seperti ini, hidup sebatangkara ditinggal orang yang paling dicintanya. Mula-mula ia menderita patah hati karena calon suaminya itu menikah dengan wanita lain. Kemudian ia menderita kehancuran hati karena guru dan juga suaminya meninggal dunia. Dan semua deritanya ini karena ulah Si Han Beng! Ketika ia mendarat di tepi Sungai Kuning, di luar dusun Hong-cun, Bi Lan merasa hatinya tegang juga.

Setelah lama ragu-ragu dan lama pula mencari-cari, akhirnya tiba juga ia di kampung tempat tinggal bekas tunangan yang kini dianggap sebagai musuh besarnya itu. Ketika la berjalan memasuki dusun, ia melihat seorang laki-laki setengah tua memanggul cangkul, agaknya hendak pergi ke ladang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan kagum dan heran, karena tidak biasa ada wanita kota yang cantik memasuki dusun yang aman tenteram itu. Bi Lan menghampirinya dan tersenyum ramah.

"Maaf, paman. Dapatkah paman menunjukkan dimana rumah keluarga Si Han Beng?"

Pria itu terbelalak, heran bukan main melihat seorang wanita muda menyebut nama pendekar saktu itu begitu saja. "Nona... maksudkan... rumah keluarga Si Tai-hiap (Pendekar Besar Si) yang berjuluk Huang-ho Sin-liong?"

Dengan girang Bi Lan mengangguk, akan tetapi juga hatinya berdebar. Ia tahu bahwa orang yang dicarinya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, bahkan tingkat kepandaiannya, menurut mendiang suaminya, lebih tinggi dari pada tingkat suaminya yang juga menjadi gurunya. Kalau mendiang suaminya saja kalah pandai, apa lagi dia! Akan tetapi ia sudah bertekat untuk membunuh Si Han Beng atau dibunuh olehnya.

"Benar, paman. Dimana rumahnya."

Pria itu menunjuk ke kiri. "Di ujung jalan ini, yang mempunyai taman di depan rumah dan kebun di kanan kiri dan belakang. Cat pintu dan jendelanya hijau."

"Terima kasih, paman." Bi Lan memutar tubuh dan cepat menyusuri jalan itu. Terbayang betapa ia akan bertemu dengan isteri Si Han Beng yang sudah ia ketahui bernama Bu Giok Cu dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Hatinya terasa panas, entah karena iri atau cemburu. Akan tetapi ia sama sekali tidak takut. Memang ia sudah bertekad untuk mengadu nyawa. Untuk apa hidup lebih lama lagi kalau ia sudah tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan tidak ada seorangpun yang mencintanya? Hidupnya tiada gunanya lagi, lebih baik menyusul suaminya yang sayang kepadanya.

Tak lama kemudian wanita perkasa ini sudah menyelinap di balik pohon dan mengintai ke arah dua orang anak yang sedang berada di kebun samping. Seorang anak laki-laki berusia enam tahun sedang mengasuh seorang anak perempuan yang usianya baru dua tahun lebih. Anak laki-laki itu tampan dan bertubuh tinggi tegap. Sedangkan anak perempuan itu, yang masih kecil, kelihatan lincah mungil dan manis sekali.

Anak laki-laki itu patut menjadi putera Si Han Beng, pikir Bi Lan sambil mengenang kembali wajah bekas tunangan yang kini dibencinya itu. Akan tetapi tidak mungkin, bantahnya. Si Han Beng menikah dengan gadis lain belum ada empat tahun dan anak laki-laki itu sedikitnya berusia enam tahun. Kalau anak perempuan itu lebih pantas menjadi anak Si Han Beng.

Dua orang anak itu memang The Siong Ki dan Si Hong Lan. Seperti kita ketahui, Siong Ki berhasil tiba di tempat tinggal pendekar sakti Si Han Beng dan diterima menjadi murid pendekar itu. Siong Ki pandai membawa diri, pandai menyenangkan hati keluarga Si, bahkan dengan sabar dia mengasuh Si Hong Lan puteri gurunya. Diapun rajin bekerja, membersihkan rumah dan pekarangan dan melakukan segala macam pekerjaan membantu para pelayan sehingga para pelayanpun suka kepadanya. Melihat kegiatan pemuda cilik ini, timbul perasaan suka pula di hati Si Han Beng dan diapun mulai melatih Siong Ki dengan dasar-dasar ilmu silat.

Pagi hari itu, setelah selesai menyapu pekarangan dan mengisi semua bak dengan air, Siong Ki sudah mengajak Hong Lan bermain-main di dalam kebun. Matahari sudah naik tinggi. Dia selalu diajar ilmu silat kalau matahari sudah mulai condong ke barat, setiap sore hari. Dari pagi sampai siang, dia bekerja, kalau tidak mengasuh Hong Lan, tentu membantu pekerjaan rumah atau ladang. Hong Lan juga suka sekali kepadanya, karena Siong Ki pandai menyenangkan hati anak itu.

Saat itu, Siong Ki memberi mainan sempritan yang dia buat dari daun bambu muda. Hong Lan ikut meniup-niup sempritan sederhana itu dan kalau sempritan itu dapat ditiupnya sampai mengelukan bunyi, anak itu tertawa-tawa dan berteriak-teriak gembira.

"Suheng baik... suheng baik..." berulang-ulang anak perempuan itu berseru.

"Engkau juga baik dan manis sekali, sumoi, tidak rewel." kata Siong Ki dan dari percakapan antara dua orang anak itu Bi Lan dapat menduga bahwa anak laki-laki itu tentulah murid Si Han Beng dan anak perempuan itu tentu anaknya.

"Tidak mungkin kalau Han Beng mempunyai seorang murid yang usianya baru dua tahun."

Dan melihat wajah anak perempuan yang manis dan mungil itu, tiba-tiba menyelinap suatu keinginan di hati Bi Lan. Mengapa tidak? Kalau ia membalas dendam kepada Si Han Beng, kiranya tidak mungkin ia akan mampu mengalahkan pendekar itu dan isterinya, dan akhirnya ia yang akan mati konyol. Walaupun ia sudah bertekad dan tidak takut mati, akan tetapi apa artinya kalau ia mati konyol? Hanya akan membuat Si Han Beng dan isterinya menjadi semakin bebas dan senang saja, tidak lagi mengkhawatirkan pembalasan. Dan ia seorang yang akan menderita.

Tidak, ia harus mengikuti pikiran yang menyelinap dalam benaknya tadi. Ia harus membuat Si Han Beng dan isterinya menderita, setidaknya menderita batin. Akan tetapi, sebelum itu, ia ingin melihat bagaimana sikap bekas tunangan itu kalau mendengar tentang kematian suhunya, atau suaminya!

Kwa Bi Lan bukanlah seorang wanita jahat, bahkan ia dahulu murid Siauw lim-pai yang berjiwa pendekar. Apa lagi setelah menjadi murid dan isteri Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, ia menjadi seorang wanita gagah. Kalau ia membenci Han Beng dan ingin membunuhnya, hal itu terdorong oleh sakit hati dan duka, bukan watak yang jahat.

Maka, begitu melihat Hong Lan, anak yang manis dan lincah itu, seketika api dendam yang membuat ia ingin membunuh orang itu padam dengan sendirinya, bagaimana mungkin ia dapat membunuh orang tua anak kecil yang mungil itu? Bukankah kalau ia membunuh orang tuanya, anak itu akan menjadi terlantar dan menderita? Itulah sebabnya, maka pikiran lain menyelinap ke dalam benaknya yang sama sekali mengubah niat hatinya semula.

Siong Ki tidak terkejut melihat munculnya seorang wanita cantik yang tidak dikenalnya dari balik pohon, melainkan heran dan dia memandang lengan sinar mata penuh pertanyaan.

Bi Lan tersenyum manis. "Anak yang baik, apakah engkau murid Huang-ho Sin Liong Si Han Beng? Dan anak perempuan yang mungil ini puterinya?"

Siong Ki adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mengenal siapa wanita ini, tidak tahu apakah ini sahabat ataukah musuh gurunya. Oleh karena itu dia bersikap hati-hati walaupun sopan.

"Maafkan saya, enci. Akan tetapi siapakah enci?"

"Aku adalah sahabat baik dari Si Han Beng, namaku Kwa Bi Lan. Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau murid dan ini anaknya?"

Karena wanita itu mengaku sahabat gurunya, dan telah memperkenalkan diri, Siong Ki merasa tidak enak kalau tidak memperkenalkan diri. Dia mengangguk dan berkata dengan hormat. "Maaf kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak tahu bahwa enci adalah sahabat baik suhu. Memang benar saya Siong Ki adalah murid suhu dan sumoi Si Hong Lan ini adalah puterinya."

Pada saat itu, muncullah Si Han Beng dan Bu Giok Cu dari pintu samping rumah mereka. Mereka memang sedang mencari puteri mereka dan Siong Ki. Melihat seorang wanita muda yang cantik berada pula di kebun mereka, suami isteri ini segera menghampiri dan memandang dengan heran.

"Siong Ki, siapakah nona ini..." tanya Han Beng sambil memandang Bi Lan dengan penuh selidik. Sementara itu Bu Giok Cu juga sudah memondong puterinya dan ikut mengamati Bi Lan dengan heran.

Sejak tadi Bi Lan memandang kepada suami isteri itu dan jantungnya berdebar tegang, hatinya terasa panas. Si Han Beng masih nampak gagah perkasa seperti dahulu, bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kejantanan, sedangkan Bu Giok Cu juga masih nampak cantik jelita dan lincah seperti yang pernah dilihatnya dahulu ketika Giok Cu bersama Han Beng datang berkunjung kerumah gurunya, mendiang Liu Bhok Ki sebelum ia menjadi isteri gurunya itu.

Entah kenapa, setelah bertemu dengan mereka. Ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata dan hanya memandang dengan hati dipenuhi iri. Mereka demikian berbahagia. Menjadi suami isteri dan sudah mempunyai seorang anak. Begitu berbahagia, sedangkan ia...?!

Han Beng segera menyadari bahwa sebagai tuan rumah dia harus menyambut orang asing sebagai tamunya dengan sikap hormat. Maka diapun mengangkat dua tangan ke depan dada memberi hormat dan bertanya, "Siapakah nona dan ada keperluan apakah berkunjung ke rumah kami?"

Bi Lan tersenyum, senyum yang getir. Bahkan wajahnyapun tidak diingat lagi oleh laki-laki yang pernah ditunangkan dengannya itu! Dengan suara yang pahit iapun berkata, "Lupa kepada adik seperguruan masih tidak mengapa, akan tetapi kalau sudah melupakan guru, itu sungguh keterlaluan."

"Nona, apa maksud ucapan nona itu?" Han Beng bertanya, memandang tajam penuh selidik dan sikapnya serius. Juga Bu Giok Cu memandang tajam dan mulai bercuriga melihat sikap gadis cantik yang tidak dikenalnya itu.

"Suheng, benar-benarkah suheng sudah lupa kepadaku, dan kepada suhu kita?" Sekali ini suara Bi Lan mengandung getaran isak tertahan, karena ia merasa sangat berduka dan kecewa.

"Ahhh! Bukankah engkau Kwa Bi Lan murid locian-pwe Liu Bok Ki itu?" tiba-tiba Bu Giok Cu berseru.

Bi Lan memandang kepada wanita yang tadinya dianggap telah merampas calon suaminya itu. "Kiranya enci Bu Giok Cu masih teringat kepadaku."

"Sumoi Kwa Bi Lan...! Ah, kiranya engkaukah ini? Kita dahulu hanya sempat bertemu sebentar saja, sumoi, hingga aku lupa lagi kepadamu. Maafkan aku."

Bi Lan mengerutkan alisnya. "Perkenalan antara kita memang singkat, akan tetapi hubungan antara kita bukan tidak penting, suheng..."

"Aih, tentu saja. Kita saudara seperguruan..." kata Han Beng, belum ingat akan hubungan jodoh yang pernah dipesankan gurunya yang pertama itu.

Bu Giok Cu ingat akan hal itu, maka ia pun cepat berkata. "Adik Kwa Bi Lan tentu datang membawa kabar penting. Tidak pantas kalau kita menyambutnya dikebun begini. Mari, adik Bi Lan, kita bicara di dalam."

"Ah, benar. Mari silakan, sumoi. Kita bicara di dalam. Siong Ki, kau ajak lagi sumoimu bermain-main di sini sebentar," kata Han Beng dan Giok Cu lalu menyerahkan lagi Hong Lan kepada Siong Ki.

Suami isteri itu mempersilakan tamunya memasuki rumah dan mereka lalu duduk di dalam ruangan tamu yang sederhana namun cukup luas. Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Sebetulnya, Bi Lan tidak terlalu menyesal bahwa ia tidak menjadi isteri Han Beng. Belum ada rasa cinta dalam hatinya terhadap pria ini, dahulupun yang ada hanya kekaguman. Cintanya bahkan tertuju kepada gurunya, mendiang Liu Bhok Ki. Ia tidak putus cinta, melainkan merasa terhina dan diremehkan, di samping pendekar ini menjadi biang keladi kesedihan Liu Bhok Ki sehingga suaminya itu meninggal dunia dalam keadaan penasaran dan berduka.

"Nah, adik Kwa Bi Lan.bSetelah kami mengucapkan selamat datang, sekarang katakanlah, apa maksud kunjunganmu ini? Apakah membawa suatu kepentingan tertentu, ataukah hanya hendak berkunjung saja?" tanya Bu Giok Cu karena di dalam hatinya, wanita ini sudah merasa tidak enak.

Ia sudah mendengar dari suaminya bahwa dahulu, suaminya pernah dipesan oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki agar kelak menjadi jodoh Kwa Bi Lan, sumoi dari suaminya sendiri. Akan tetapi kemudian Hek-bin Hwesio yang menjadi gurunya, dan Pek I Tojin guru suaminya menjodohkan ia dan suaminya. Ia bahkan pernah mengingatkan suaminya agar mengabari Liu Bhok Ki, akan tetapi suaminya tidak mau karena merasa tidak enak harus menentang usul perjodohan guru pertamanya itu. Kini, gadis yang dulu dijodohkan dengan suaminya itu tiba-tiba muncul! Tentu saja ia merasa tidak enak sekali.

Mendengar pertanyaan Giok Cu, Bi Lan menghela napas panjang. Kalau menurut apa yang dibayangkan sebelum ia bertemu dengan puteri mereka tadi, begitu bertemu Han Beng, ia akan memaki-makinya dan menantangnya, bahkan langsung saja menyerangnya untuk mengadu nyawa. Akan tetapi sekarang, ia tidak bernapsu untuk mengadu nyawa, untuk mati, karena ia pasti mati kalau bertanding melawan mereka ini. Ia ingin hidup untuk dapat mendengar dan melihat Han Beng menderita!

"Benar, sumoi. Katakanlah, apa yang menjadi maksud kedatanganmu ini? Apakah hanya berkunjung ataukah diutus oleh suhu?"

Hampir saja Bi Lan berteriak bahwa ia diutus oleh suhu mereka untuk mencabut nyawa Han Beng! Akan tetapi ia menahan kemarahannya, memandang kepada pria itu dan berkata lirih, "Suheng kedatanganku ini hanya mempunyai satu maksud, yaitu aku ingin bercerita tentang suhu kepadamu."

Wajah Han Beng menjadi cerah berseri. "Ah, akupun ingin sekali mendengar tentang suhu. Ceritakanlah, sumoi, kuharap suhu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja! Ceritakanlah."

Setelah menghela nafas beberapa kali, Bi Lan mulai bercerita. "Suheng suhu telah mendengar akan pernikahanmu dengan enci Bu Giok Cu dan suheng sama sekali tidak memberi tahu suhu, apa lagi mengundangnya."

"Sudah kudesak agar dia mengundang locian-pwe Liu Bhok Ki, akan tetapi dia tidak mau!" Bu Giok Cu berkata sambil memandang suaminya penuh teguran.

"Bukan tidak mau, akan tetapi tidak berani," kata Han Beng, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya seperti orang yang merasa telah terlalu banyak bicara.

"Kenapa, suheng?" Bi Lan mendesak cepat. "Kenapa suheng tidak berani memberitahu kepada suhu tentang pernikahan suheng?"

Han Beng tidak menjawab, hanya menoleh ke arah isterinya. Tentu saja dia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan itu, merasa sungkan terhadap Bi Lan untuk menyebutkan alasannya.

Melihat keraguan Han Beng, Bi Lan berkata, "Suheng, kalau Suheng ingin aku bicara sejujurnya tentang suhu, maka sebaiknya kalau suheng juga bersikap terbuka dan jujur. Kalau suheng tidak berani bersikap terbuka, akupun tidak ingin bercerita apa-apa lagi."

Bu Giok Cu memandang kepada suaminya. "Sebaiknya engkau bicara terus terang saja untuk menebus kesalahan sikapmu terhadap gurumu. Tidak perlu sungkan lagi."

Han Beng mengangguk dan menarik napas panjang. Dia merasa menyesal sekali mengapa dahulu dia tidak berterus terang saja kepada gurunya bahwa dia mencintai Giok Cu dan tidak mau dijodohkan dengan gadis lain. Akibatnya ketika dia menikah dengan Giok Cu, dia tidak berani mengabari gurunya, dan sekarangpun dia merasa sungkan untuk mengaku terus terang kepada Bi Lan.

"Baiklah, aku bicara terus terang dan kuharap engkau tidak merasa tersinggung, sumoi. Sebelumnya, maafkan aku kalau ceritaku menyinggung perasaanmu."

"Kalau engkau berterus terang, mengapa aku mesti tersinggung, suheng? Ceritakanlah."

"Aku tidak berani mengabari suhu, tidak berani mengundangnya, karena aku merasa bersalah kepada suhu. Dahulu, ketika aku bersama Giok Cu berkunjung ke tempat kediaman suhu, dan bahkan bertemu dengan engkau di sana, ketika itu suhu bicara empat mata denganku dan suhu dalam kesempatan itu telah menjodohkan aku dengan engkau, sumoi. Dia berpesan agar kelak aku berjodoh denganmu. Nah, karena aku saling mencinta dengan Bu Giok Cu dan kemudian atas usul guru kami masing-masing, yaitu Hok-bin Hwesio dan Pek I Tojin, kami menikah dan teringat akan pesan suhu Liu Bhok Ki, aku merasa sungkan dan tidak berani memberi kabar. Aku telah bicara terus terang, sumoi."

Bi Lan tidak heran mendengar keterangan itu, tentu saja ia sudah tahu semuanya dan dapat menduganya. Ia tidak merasa sakit hati karena ia ditolak oleh suhengnya yang mencinta gadis lain. Ia sendiripun mencinta pria lain, yaitu gurunya sendiri. Yang membuat ia menyesal adalah karena ulah suhengnya, maka gurunya yang juga suaminya itu menderita tekanan bathin sampai sakit-sakitan dan meninggal dunia dalam keadaan berduka.

"Bagus sekali, engkau telah berterus terang, suheng. Nah, akupun hendak bercerita sejujurnya kepadamu. Seperti kukatakan tadi, suhu telah mendengar pernikahanmu dengan enci Giok Cu tanpa mengundangnya, dan sejak itu, suhu sakit-sakitan karena merasa penasaran, menyesal dan berduka. Aku tahu akan semua itu karena suhu berterus terang kepadaku. Suhu marah dan menyesal, suhu merasa sakit hati kepadamu, suheng!"

"Aih, suhu, teecu memang berdosa besar. Sumoi, tolonglah, kalau engkau pulang dan bertemu suhu, mintakan ampun kepadanya untukku... ah, tidak, aku sendiri yang akan ke sana. Aku harus cepat pergi menghadap suhu dengan isteri dan anakku untuk mohon ampun."

"Tidak ada gunanya, suheng. Lebih baik suheng mendengarkan kelanjutan ceritaku. Melihat suhu demikian menderita, hatiku hancur dan aku merasa amat kasihan kepada suhu. Suhu telah kehilangan segalanya, demikian pula aku. Kami berdua tidak memiliki apa-apa lagi, tidak ada lagi seorangpun didunia ini yang menyayangi kami. Timbul perasaan kasihan dan sayang dalam hatiku, dan akupun mengambil keputusan untuk menyerahkan diriku, hidupku, segalanya, untuk membahagiakan hati suhu. Dengan suka rela, bahkan dengan desakanku, kami menikah menjadi suami isteri..."

Suami isteri itu saling pandang nampak terkejut bukan main. "Sungguh suatu pengorbanan yang besar..." kata Giok Cu lirih.

"Sumoi, betapa mulia hatimu. Engkau begitu berbakti kepada suhu, sedang aku..."

"Tidak ada pengorbanan! Tidak ada kemuliaan hati dan kebaktian. Aku menikah dengan suhu karena memang aku cinta kepadanya, dan dia cinta padaku. Kami menjadi suami isteri karena kami saling mencintai!" Bi Lan berkata dengan suara nyaring, setengah membentak sehingga mengejutkan suami isteri itu.

"Kalau begitu, biarlah kami mengucapkan selamat kepadamu atas pernikahan dengan suhu...!"

"Tunda dulu ucapan selamat itu sampai aku selesai menceritakan keadaan suhumu, suheng. Biarpun kami sudah menikah dan aku berusaha sekuat tenaga untuk menghiburnya dan mengusir kedukaan suamiku, akan tetapi usahaku sia-sia belaka. Guru dan suamiku itu masih tak mampu melupakanmu, dan sakit hatinya tak pernah mereda. Api sakit hati membakarnya, membuat dia sakit-sakitan dan akhirnya, dia tak kuat bertahan lagi setelah berbulan-bulan rebah dan menderita sakit lahir batin, suamiku itu meninggal dunia..."

"Ahh...!" Giok Cu mengeluh.

"Suhuuu...!" Han Beng menutupi muka dengan kedua tangan dan dia terisak, tubuhnya terguncang dan dari celah-celah jari tangannya mengalir keluar air matanya. "Aih, suhu, teecu berdosa besar kepada suhu... teecu... berdosa besar..."

Sebuah tangan dengan lembut menyentuh pundak Han Beng. "Sudahlah, semua itu telah lewat, gurumu telah tiada. Tidak ada gunanya disesali dan ditangisi. Kelak engkau dapat saja pergi mengunjungi makam gurumu dan mohon ampun di depan makamnya kalau engkau merasa bersalah kepadanya."

Hiburan dari isterinya ini menyadarkan Han Beng dan diapun menghapus air matanya. Dengan dua mata merah dia memandang kepada Bi Lan dan melihat wanita muda itupun kini menunduk, tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi kedua pundak bergoyang dan air mata menetes-netes turun dari kedua pipinya.

"Aku... aku dapat merasakan penderitaanmu, aku ikut berduka cita... sumoi... ataukah subo (ibu guru)..." kata Han Beng dengan terharu.

Bi Lan menghapus air matanya dan menggeleng kepala, masih menunduk. "Aku bukan apa-apamu lagi, bukan apa-apa. Bukan tunangan karena engkau sudah memilih wanita lain. Bukan sumoi karena telah menikah dengan guru kita. Bukan pula subo karena suamiku telah tiada. Aku... aku hanya seorang yang sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa lagi..."

Giok Cu merasa kasihan sekali. "Sungguh buruk nasibmu, sungguh kasihan sekali engkau, adik Bi Lan. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untukmu. Katakan saja, apa yang dapat kami lakukan untuk membantumu, mengurangi penderitaanmu?"

Bi Lan menggeleng kepala. "Terima kasih, tidak ada yang dapat kalian lakukan untukku. Biarkan aku sendiri. Di dunia ini, tidak ada lagi orang yang dapat kucinta atau mencintaku, tidak ada siapa-siapa lagi. Aku hanya menanti datangnya saat aku menyusul suamiku. Dialah satu-satunya orang yang mencintaiku..." Setelah berkata demikian, Bi Lan bangkit dari duduknya, kemudian tanpa pamit lagi ia melangkah keluar dari ruangan itu, terus menuju keluar rumah.

Han Beng hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang isterinya. Dia menoleh dan memandang isterinya. Giok Cu menggeleng kepala perlahan dan berbisik, "Ia benar. Tidak dapat kita melakukan apapun untuknya. Biarkan ia sendiri..."

Han Beng memejamkan matanya. "Suhuuu...!" keluhnya dan dia tentu roboh kalau saja tidak cepat dirangkul oleh isterinya dan dia kembali menangis di pundak isterinya.

Malam itu, Han Beng dan Giok Cu tidak dapat tidur. Hal ini terutama sekali karena Han Beng tenggelam dalam duka dan penyesalan, dan akhirnya baru Han Beng terhibur ketika isterinya menyetujui untuk mereka berdua bersama anak mereka pergi mengunjungi makam Si Rajawali Sakti, dimana Han Beng ingin bersembahyang bersama anak isterinya dan mohon ampun kepada guru pertamanya itu.

Mereka akan berangkat tiga hari lagi dan pada keesokan harinya, mereka telah membuat persiapan. Karena waktu itu sedang musim panen, maka suami isteri itu hendak menyelesaikan dulu sisa panenan yang tinggal satu dua hari lagi, baru mereka akan berangkat. Pada keesokan harinya, sejak pagi Han Beng dan Giok Cu sudah pergi meninggalkan rumah, pergi ke sawah untuk mengepalai dan mengatur mereka yang membantu panen.

Seperti biasa, Siong Ki setelah bekerja pagi, lalu mengasuh Hong Lan bermain-main di taman. Keadaan sunyi di taman. Semua orang dewasa pergi ke sawah ladang karena musim panen. Siong Ki menurunkan Hong Lan duduk di atas rumput, dan dia sendiri duduk di dekat anak itu sambil menganyam rumput, membuatkan mainan untuk sumoinya. Ketika Kwa Bi Lan muncul seperti kemarin, diapun tidak terkejut dan tidak merasa heran lagi. Dari suhunya dia mendengar bahwa wanita muda yang cantik itu memang sahabat gurunya yang datang berkunjung. Dia bahkan tersenyum dan memberi hormat.

"Selamat pagi, enci..."

Akan tetapi Bi Lan tidak memperdulikan Siong Ki. Ia menghampiri Hong Lan dan mengelus kepala anak itu dengan lembut dan mesra, dan pandang matanya yang ditujukan mengamati wajah anak perempuan itu penuh rasa kagum dan sayang. Suaranyapun terdengar halus ketika ia bertanya, "Anak manis, siapakah namamu?"

Semua anak kecil mempunyai kepekaan yang tidak lagi dipunyai orang dewasa. Kepekaan atau naluri ini adalah pembawaan jiwa yang masih belum terselubung nafsu. Pada saat dilahirkan, anak manusia memiliki naluri ini, memiliki kepekaan karena jiwanya masih murni, bagaikan sinar pelita yang belum terselubung kotoran sehingga masih memancar keluar melalui panca indranya. Kelak, kalau anak itu sudah mulai mempergunakan hati dan akal pikirannya, dan nafsu yang menjadi alat kebutuhan jasmaninya mulai mengambil alih kekuasaan atas diri manusia, maka kepekaan itu pudar.

Sinar pelita dari jiwa tertutup nafsu dan orang hidup lebih mengandalkan hati akal pikirannya yang bergelimang nafsu menciptakan segala macam dosa dan kekacauan dalam kehidupan ini. Makin pandai orang mempergunakan hati akal pikirannya, semakin keruh keadaan dunia, karena manusia dikendalikan nafsu yang sifatnya hanya mengejar kesenangan diri pribadi, sehingga terjadilah tumbukan-tumbukan dan tabrakan kepentingan yang menimbulkan pertikaian, permusuhan, bahkan perang!


Pada saat membelai dan bicara kepada Hong Lan, maka anak itupun memandang kepada Bi Lan sambil tersenyum cerah menjawab dengan suaranya yang nyaring dan lucu. "Namaku Si Hong Lan, bibi."

"Nama yang bagus, cocok dengan wajahmu yang manis. Hong Lan, mari kupondong dan kuberi mainan yang indah."

Hong Lan tidak membantah ketika digendong. "Mainan apa, bibi?"

"Nanti kupetikkan bunga merah, kutangkapkan kupu-kupu kuning."

"Bibi baik, bibi baik sekali, suheng” Hong Lan bersorak.

Akan tetapi Siong Ki mengerutkan alisnya. Dia belum mengenal benar siapa wanita cantik itu, karena merasa khawatir kalau Hong Lan diajak pergi bermain-main. "Maaf, bibi. Sumoi Hong Lan belum kuberi sarapan pagi. Mari, sumoi, kita makan dulu..." Siong Ki menjulurkan kedua tangannya untuk mengambil sumoinya dari pondongan Bi Lan.

Akan tetapi sekali Bi Lan menggerakkan tangan kirinya menotok. Siong Ki tak mampu bergerak dalam posisi berdiri dengan kedua tangan terjulur. Bi Lan lalu berjongkok, tangan kiri memondong Hong Lan, dan tangan kanan dengan jari telunjuk terjulur mencoret-coret di atas tanah di depan Siong Ki. Kemudian, sambil memondong Hong Lan, ia berkelebat lenyap dari tempat itu, meninggalkan Siong Ki yang masih berdiri kaku seperti arca!

Tak lama kemudian, seorang pelayan keluar dan dia terheran-heran melihat Siong Ki yang berdiri dengan tangan terjulur seperti patung, tak bergerak-gerak.

"Eh, engkau kenapa?” tanyanya.

Siong Ki tidak mampu menengok, akan tetapi dia masih dapat bicara walaupun, dengan kaku dan sukar, "Cepat... beritahu suhu... cepat... sumoi diculik orang...”

Sebagai pelayan suami isteri pendekar, pelayan itupun sudah tanggap dan dia segera lari mencari majikannya yang sedang sibuk mengatur orang-orang yang sedang panen. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Si Han Beng dan Bu Giok Cu ketika mendengar laporan pelayan itu bahwa Siong Ki berdiri seperti patung tak mampu bergerak dan mengatakan bahwa Hong Lan diculik orang.

Mereka lalu berlari cepat, seperti berlomba pulang ke rumah. Semua petani terkejut dan kagum bukan main melihat suami isteri yang mereka kenal sebagai sepasang pendekar namun yang tak pernah mereka lihat kepandaiannya itu, kini berlari seperti terbang saja meninggalkan sawah. Baru sekarang mereka menyaksikan suami isteri itu memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa.

Suami isteri itu tiba di pekarangan rumah mereka dan setelah Han Beng membebaskan totokan yang membuat muridnya tak mampu bergerak, Siong Ki cepat menunjuk ke bawah, di depannya. "Ia meninggalkan tulisan di situ..."

Han Beng dan Giok Cu cepat membaca tulisan itu. Huruf-hurufnya jelas karena jari yang mencoret-coret di atas tanah itu menggunakan tenaga sin-kang, sehingga tanah itu seperti dicoret dengan pensil baja saja.

Suheng Si Han Beng. Engkau telah membuat aku berpisah selamanya dari orang yang kucinta. Aku akan membuat engkau berpisah sementara dari anak yang kau sayang. Aku berhak menyayang dan disayang. Aku sayang Hong Lan dan ingin menikmati hidup bersamanya. Setelah beberapa tahun, aku akan mengembalikannya kepadamu. Suheng, jangan kejar kami, karena terpaksa aku akan membunuh Hong Lan, lalu membunuh diri sendiri, Kwa Bi Lan.

"Aih, anakku...!" Giok Cu menjadi pucat wajahnya setelah selesai membaca coretan tulisan di tanah itu. "Aku harus mengejar iblis betina itu...!"

Ia hendak meloncat, akan tetapi tangannya dipegang suaminya. "Tunggu dulu... apakah kau ingin ia membunuh anak kita? Aku yakin ia tidak menggertak kosong belaka," kata Han Beng sambil menunjuk ke arah kalimat terakhir itu. Giok Cu membacanya lagi, "Suheng, jangan kejar kami, karena terpaksa aku akan membunuh Hong Lan, lalu membunuh diri sendiri."

"Ahhh... tapi... tapi... bagaimana dengan anak kita...?" Suara wanita perkasa itu mengandung tangis karena ia merasa khawatir bukan main.

Han Beng merangkul isterinya. Wajahnya sendiri juga pucat dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main, akan tetapi dia tidak bingung seperti isterinya.

"Giok Cu, aku yakin bahwa ia tidak akan mencelakai anak kita, akan tetapi kalau kita mengejarnya, pasti ia akan nekat. Ia seorang yang sudah putus asa, dapat melakukan apa saja..."

"Tapi... tapi ... kenapa ia melakukan ini? Kenapa ia culik anakku?"

Han Beng menarik nafas panjang. "Aku dapat memakluminya. Pertama, ia masih merasa bahwa akulah yang membuat ia sengsara, aku yang menyebabkan kematian suhu, orang yang dicintanya. Karena itu ia ingin membalas dendam, ingin membuatku merasakan penderitaan kehilangan orang yang kucinta, walaupun tidak selamanya seperti yang dijanjikannya, hanya untuk sementara. Dan selain itu, ia pun haus kasih sayang. Ingin menyayang dan disayang. Dan agaknya da suka sekali pada anak kita, ia ingin mencurahkan kasih sayangnya kepada anak kita, karena itu, jangan khawatir...”

"Jangan khawatir kau bilang? Aku ibu Hong Lan! Anakku diculik orang, mungkin seorang iblis betina, dan kau bilang aku jangan khawatir?"

"Giok Cu, aku tahu siapa Kwa Bi Lan. Sebelum menjadi murid suhu Liu Bhok Ki, ia adalah murid Siauw-lim-pai. Kemudian digembleng oleh suhu Liu Bhok Ki bahkan menjadi isterinya. Ia bukan iblis betina, ia seorang wanita berjiwa pendekar. Aku yakin ia akan memegang janji dan akan mengembalikan anak kita dalam keadaan selamat."

Giok Cu memandang suaminya dengan alis berkerut. "Enak saja engkau bicara membelanya! Ia menculik anak kita, ingat? Aku diharuskan berpisah dari anakku untuk beberapa tahun, dan aku harus tinggal diam saja? Aih, apakah engkau tidak dapat merasakan bagaimana penderitaan seorang ibu kalau dipisahkan dari anaknya yang baru berusia dua tahun lebih!"

Han Beng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya yang pucat. "Aku mengaku bersalah, isteriku. Akulah yang menyebabkan semua ini, aku biang keladinya dan aku siap menerima hukuman apapun..."

Melihat suaminya begitu bersedih dan menyesal, meredalah kemarahan Giok Cu dan iapun merangkul pundak suaminya dan menangis di pundak orang yang dicintainya itu. "Lalu... apa... yang harus kita lakukan...?" Rintihnya memelas.

"Tidak ada yang dapat kita lakukan sementara ini kecuali... menunggu dan pasrah kepada Tuhan. Kelak, kalau keadaan sudah mereda, kalau ia sudah tidak mengira kita akan mencarinya lagi, barulah aku akan berusaha menyelidiki dimana ia membawa anak kita, dan akan kuusahakan untuk merebutnya kembali tanpa membahayakan anak kita. Sementara ini, maafkan aku. Akulah yang menyebabkan engkau menderita batin..."

Akan tetapi. Giok Cu sudah terhibur dan dapat mengerti kebenaran ucapan suaminya. Memang berbahaya sekali kalau sekarang ia melakukan pengejaran. Wanita yang sudah putus asa itu tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Hong Lan lalu membunuh diri sendiri sebelum sempat merebut kembali anak itu! Kalau sekarang ia dibiarkan pergi, setelah beberapa lama tentu wanita itu akan mengira bahwa mereka tidak lagi melakukan pengejaran dan akan menjadi lengah. Nah, itulah saatnya mereka berusaha merebut kembali anak mereka.

Melihat kedukaan gurunya, Siong Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Beng. "Suhu, teecu yang bersalah tak mampu menjaga sumoi dengan baik. Kalau suhu mengijinkan, teecu akan pergi mencari sumoi sampai dapat dan membawanya kembali kepada suhu."

"Bangkitlah dan bekerjalah seperti biasa. Juga yang rajin berlatih silat. Jangan bicarakan dengan siapapun urusan hilangnya sumoimu. Engkau tidak bersalah, Siong Ki," kata Han Beng dan diapun menggandeng isterinya, diajak masuk ke dalam rumah.

Sejak hari itu, suami isteri pendekar ini merasa hidup mereka tidak lengkap lagi. Mereka telah berusaha setelah lewat beberapa bulan untuk mencari anak mereka yang dilarikan Bi Lan, namun tidak berhasil. Bi Lan menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu saja Bu Giok Cu menderita batin yang cukup hebat, merasa gelisah selalu. Lebih-lebih Han Beng karena pendekar ini merasa bahwa ialah yang bersalah, dan dia menganggap hal ini sebagai hukuman dari mendiang gurunya.

Seringkali dia duduk melamun dan mengeluh. Kenapa selama hidupnya gurunya itu, Sin-tiauw Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti, mengisi hidupnya dengan dendam dan pembalasan? Mula-mula selama puluhan tahun, gurunya itu membalas dendamnya secara keji sekali terhadap isterinya dan kekasih isterinya karena penyelewengan isterinya. Biarpun dirinya sudah membunuh mereka, dendamnya belum juga hilang dan dia masih "menyiksa" isteri dan kekasih isterinya itu dengan membiarkan kepala mereka selalu bersamanya!

Kini, gurunya yang sudah mati itupun melampiaskan dendamnya kepadanya karena kesalahannya tidak mentaati perintahnya menikah dengan Kwa Bi Lan. Dan pembalasan dendam ini dilakukan mendiang suhunya melalui Bi Lan! Mungkinkah Kwa Bi Lan setelah menjadi murid dan isteri Liu Bhok Ki, mewarisi pula watak pendendam yang hebat itu?

Karena tidak adanya Hong Lan, Han Beng menggembleng The Siong Ki dengan sungguh-sungguh. Dan anak ini memang berbakat baik sekali sehingga memperoleh kemajuan pesat.

********************

Kemanakah perginya Kwa Bi Lan yang membawa lari Si Hong Lan sehingga setelah lewat beberapa bulan, suami isteri perkasa dari Hong-cun itu tidak berhasil menemukan jejaknya? Mari kita ikut jejak Bi Lan setelah ia meninggalkan dusun Hong-cun sambil memondong Hong Lan.

Biarpun Kwa Bi Lan bersikap manis kepada Hong Lan, menghiburnya sepanjang jalan, bahkan membelikan pakaian dan mainan di toko, tetap saja Hong Lan mulai rewel ketika ia teringat akan ayah bundanya dan merindukan mereka, juga merindukan Siong Ki. Berulang kali ia rewel, menangis dan minta pulang. Bi Lan yang tidak mempunyai pengalaman dengan anak-anak, berusaha semampunya untuk menghibur, namun Hong Lan tetap menangis.

Saking jengkel dan sedihnya, ketika pada suatu malam Hong Lan menangis terus di dalam kamar sebuah rumah penginapan, Bi Lan juga ikut menangis! Dan sungguh aneh, begitu Bi Lan menangis, Hong Lan berhenti menangis! Anak itu memandang Bi Lan yang menangis dengan kedua mata merah. Sinar matanya penuh keheranan, bahkan mengandung iba.

"Bibi... kenapa menangis?”

Sungguh aneh, begitu mendengar anak itu berhenti menangis dan bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Bi Lan makin mengguguk menangis, merangkul anak itu dan tangisnya menjadi tersedu-sedu! Sudah terlalu lama ia tidak menangis, terlalu lama memendam duka yang disembunyikan saja di dalam hatinya, tidak pernah mendapat kesempatan mengeluarkan duka nestapa yang menekan hatinya. Kini ditanya mengapa ia menangis oleh suara kanak-kanak itu, ia menjadi demikian sedih, demikian terharu sehingga ia terguguk seperti anak kecil!

Hong Lan semakin kasihan kepada wanita yang selama ini amat manis dan baik kepadanya, yang agaknya bahkan lebih baik dan lebih sayang padanya daripada ibunya sendiri. Maka, melihat wanita ini mengguguk, iapun merangkul dan mencium pipi yang basah itu.

"Bibi, jangan menangis... bibi, jangan menangis..." Ia merengek, agak ketakutan melihat wanita itu menangis begitu sedihnya.

Mendengar ini, Bi Lan mengerahkan tenaganya untuk menahan dan menghentikan tangisnya. Ia mengangkat mukanya yang masih basah, dan ia memaksa tersenyum sambil memandang wajah anak itu yang juga masih basah. "Tidak, aku tidak menangis, Hong Lan sayang, aku tidak menangis... lihat, aku sudah tertawa."

Hong Lan menatap wajah itu. Wajah yang memelas sekali, nampaknya saja mulut itu tersenyum ramah, akan tetapi dua matanya merah dan pipinya basah mata. Tangis campur tawa yang mengharukan. Namun, anak itu agaknya lega begitu Bi Lan tidak mengguguk lagi. Dengan jari tangannya yang kecil-kecil, Hong Lan mengusap bawah kedua mata Bi Lan.

"Bibi, kenapa tadi menangis?"

Hong Lan menciumnya penuh kasih sayang. Ia dapat merasakan kehangatan kasih sayang anak itu kepadanya dan lebih dari pada itu, kehangatan rasa cinta kasihnya kepada anak itu! Alangkah melegakan dan membahagiakan, dapat mencurahkan kasih sayang kepada seseorang, apa lagi kalau dibalasnya! Dibalas atau tidak, mencurahkan kasih sayang ke seseorang merupakan kebahagiaan yang sejak kematian suaminya tak pernah ia rasakan lagi! Dan kini, seluruh kerinduannya akan kasih sayang, baik memberi atau menerima, ia curahkan kepada Hong Lan!

"Anakku yang baik. Aku menangis karena melihat engkau menangis, aku bersedih kalau engkau menangis, Hong Lan."

"Aku tidak akan menangis lagi, bibi..."

Bi Lan menciumnya dan mendekap muka anak itu ke dadanya. "Anakku... kau anakku yang manis, kenapa kau tidak menyebut ibu kepadaku? Sebut aku ibu, Hong Lan..."

"Tapi... engkau bukan ibuku..." Hong Lan memandang ragu.

Bi Lan kembali menciumnya penuh kasih sayang. "Anakku, mulai sekarang, aku jadi pengganti ibumu, juga pengganti ayahmu, pengganti suhengmu, pengganti segalanya. Sebut aku ibu dan engkau membuat aku senang sekali, Lan Lan!"

Hong Lan terbelalak girang mendengar sebutan itu. "Ibu juga memanggilku Lan Lan!"

Bi Lan tersenyum. "Tentu saja, dan akupun sekarang menjadi ibumu dan memanggilmu Lan Lan. Nah, kau mau bukan menjadi anakku dan menyebutku ibu?"

Lan Lan tersenyum dan mencium pipi wanita itu, " Aku senang sekali, ibu."

Bi Lan mendekap anak itu dan merasa berbahagia bukan main. Dan sejak malam itu, benar saja Lan Lan tidak pernah rewel lagi. Bahkan karena pandainya Bi Lan menghiburnya, dan mengajaknya melihat-lihat kota-kota yang ramai, pemandangan yang indah-indah, lambat laun Lan Lan mulai melupakan ayah, ibu dan suhengnya. Mereka itu makin kabur seperti merupakan bayang-bayang dalam mimpi saja.

Sebulan setelah Bi Lan melarikan Lan Lan dari rumahnya, pada suatu siang jalanannya melalui sebuah hutan di tepi sungai. Ia memang menuju ke barat untuk pulang ke Kim-hong-san, tempat tinggal mendiang suaminya, untuk hidup di sana berdua dengan Lan Lan. Karena berjalan ke barat melawan arus air Sungai Huang ho, maka ia melakukan perjalanan lewat darat, menyusuri sepanjang pantai sungai yang amat lebar itu. Dan siang itu, sambil memondong Lan Lan yang kini tidak rewel lagi, Bi Lan berjalan memasuki hutan di pantai sungai.

Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya karena pendengarannya menangkap gerakan orang di belakangnya. Ia menengok dengan cepat dan melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menyelinap lenyap di antara pohon-pohon. Ia tidak dapat melihat jelas karena gerakan orang itu cepat sekali, hanya tahu bahwa orang itu tentu seorang pria yang berpakaian serba biru. Karena sampai beberapa lamanya ia menanti, tidak ada gerakan yang mencurigakan, iapun melanjutkan perjalanan.

Baru puluhan langkah ia berjalan, ia berhenti lagi karena terdengar tiupan suling yang amat merdu. Suara suling itu meliuk-liuk, turun naik dengan getaran halus. Bi Lan memejamkan kedua matanya. Suara suling itu demikian indah, melengking halus dan seperti menarik-narik jantungnya, dan tak terasa lagi dua titik air mata tergenang di pelupuk matanya.

Tiupan suling itu demikian merdu, demikian indah, akan tetapi juga mengharukan seperti tangis sebuah hati yang merana. Sepantasnya orang yang meniup suling seperti itu adalah seorang yang sedang dilanda duka, pikirnya. Akan tetapi, sungguh mengherankan. Siapa pula yang pandai meniup suling seperti itu di tengah hutan lebat yang sunyi ini?

Bi Lan melihat pula betapa Lan Lan juga memperhatikan suara itu. "Ibu, suara apakah itu?"

"Itu suara suling, Lan Lan. Suara suling yang ditiup oleh seorang ahli, amat indahnya."

"Seperti ada yang menangis, ibu," kata anak itu.

Betapa tajam dan peka perasaan anakku ini, pikir Bi Lan dengan bangga. Memang tak salah lagi, peniup suling itu dilanda kesedihan dan tangis dari hatinya keluar melalui tiupan sulingnya. Maka, iapun mempergunakan kepandaiann dan berlari cepat ke arah suara itu dan melihat si penyuling! Jantungnya berdebar.

Seorang pemuda yang tampan berpakaian seperti seorang pelajar atau sastrawan, sedang duduk di bawah pohon dan meniup sulingnya. Yang membuat ia berdebar bukan karena pemuda itu tampan sekali, wajahnya yang dilindungi caping lebar itu memiliki hidung yang besar mancung, dan bibir yang nampak sayu. Yang membuat Bi Lan terkejut adalah pakaian sasterawan muda itu. Serba biru!

Ia teringat akan orang yang tadi berkelebat di belakangnya. Bagaimana kini tahu-tahu orang itu telah berada jauh di depannya dan meniup suling? Ia tidak melihat orang berlari melewatinya! Kalau benar peniup suling ini orang yang tadi berkelebat dibelakangnya, alangkah cepatnya orang itu dapat berada di situ.

Biarpun hatinya tertarik, akan tetapi karena ia tidak mengenal orang itu, tidak sepantasnya kalau ia terlalu lama memperhatikan seorang laki-laki asing, maka iapun berjalan terus meninggalkan tempat itu sambil memondong Lan Lan yang terus memandang ke arah si peniup suling yang agaknya juga tidak memperdulikan mereka, melainkan asyik meniup suling sambil menundukkan mukanya.

Sambil berjalan terus meninggalkan pemuda itu sampai suara sulingnya tidak terdengar lagi, mau tidak mau Bi Lan masih terkenang kepada si peniup suling. Harus diakuinya bahwa pria muda itu tampan sekali, dan nampaknya seperti seorang sasterawan muda yang lemah. Akan tetapi, iapun tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang yang nampaknya lemah akan tetapi sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi...

Naga Beracun Jilid 08

Thian Ki tersenyum. Senang hatinya kalau anak itu bersikap manis kepadanya dan tidak rewel. Dia menganggap Kui Eng bukan hanya sebagai puteri suhunya, atau adik seperguruan, akan tetapi bahkan seperti adik kandung sendiri.

"Kui Eng. Sumoiku yang manis. Katakan, didunia ini siapa yang paling kau sayang?" tanyanya, pertanyaan yang seringkali dia ajukan karena jawabannya amat menyenangkan hatinya.

Kui Eng memegang tangan Thian Ki dan tertawa manja. "Suheng nakal, sudah beberapa kali kukatakan, sudah tahu, masih terus bertanya."

"Biar hatiku merasa yakin bahwa pengakuanmu ini sejujurnya dan sebenarnya, sumoi."

"Yang paling kusayang adalah engkau, Suheng Coa Thian Ki."

Thian Ki menunduk dan mencium rambut kepala sumoinya. "Sesudah aku, lalu siapa yang paling kau sayang?"

"Sesudah engkau, aku sayang kepada ibu."

"Eh? Ibumu...?"

"Kumaksudkan ibumu, bibi Sim Lan Ci. Kalau engkau menyebut ibu, kenapa aku harus menyebut bibi? Aku ingin menyebutnya ibu seperti engkau."

"Kenapa tidak? Engkau boleh menyebutnya ibu tentu saja, sumoi!"

"Kalau aku menyebut ibu kepada ibumu, engkaupun harus menyebut ayah kepada ayahku."

Thian Ki menatap wajah anak perempuan itu dengan kaget. "Ah, jangan begitu, sumoi. Bagaimana aku berani menyebut suhu dengan sebutan ayah?"

"Aku akan bilang kepada ayah. Kalau engkau tidak mau menyebut ayah kepada ayahku, akupun tidak mau menyebut ibu kepada ibumu."

"Tentu saja aku mau, akan tetapi aku tidak berani. Ayahmu akan marah..."

"Tidak, aku yang akan bilang kepadanya!"

Lan Ci yang mengintai, menjadi merah sekali mukanya. Kenapa ada peristiwa terjadi berturut-turut secara begitu kebetulan? Pangeran Cian Bu Ong melamarnya untuk menjadi isterinya, dan sekarang ia melihat dan mendengar percakapan antara Thian Ki dan Kui Eng yang seolah-olah ingin menjadi saudara dan saling mengakui ibu dan ayah masing-masing sebagai orang tua sendiri! Dia lalu muncul dan menghampiri kedua orang anak itu.

"Ibu...!" Thian Ki berseru girang, akan tetapi Kui Eng diam saja. Padahal biasanya setiap kali bertemu Lan Ci ia berlari dan minta dipondong dengan manja. Sekarang ia berdiri saja memandang dengan sikap ragu! Thian Ki teringat.

"Ibu, adik Kui Eng ingin menyebutmu ibu. Bolehkah?"

Lan Ci menghampiri Kui Eng dan berjongkok. "Tentu saja boleh, memang aku selalu menganggapnya sebagai anakku sendiri."

Mendengar ini, wajah Kui Eng merekah gembira dan iapun merangkul leher Lan Ci dan mulutnya memanggil-manggil seperti orang yang merasa amat rindu. "Ibu... ibu... ibu..."

Basah kedua mata Lan Ci. Dalam rangkulan dan dalam suara panggilan itu ia dapat merasakan benar betapa anak ini amat kehilangan ibu kandungnya! Dan semua kerinduan, semua kasih sayang anak itu kini ditumpahkan kepadanya karena tidak ada lagi penampungnya.

"Ibu, adik Kui Eng bilang bahwa yang paling disayangnya pertama adalah aku, dan ke dua ibu."

"Ih, jangan begitu, anakku." Lan Ci memondong dan menciumi Kui Eng. "Orang pertama yang kau sayang seharusnya ayahmu."

"Tidak, ayah nomor tiga. Karena ayah jarang mengajakku bermain-main."

Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, menjadi orang ke tigapun sudah untung! Masih untung mendapat kasih sayang anakku!" muncullah Cian Bu Ong yang sudah mandi dan berganti pakaian baru.

Melihat ayahnya begitu gembira tidak seperti biasanya, Kui Eng merosot dari pondongan Lan Ci dan lari kepada ayahnya yang menyambutnya dan mengangkat lalu memondongnya. "Ayah, aku ingin suheng Thian Ki menyebut ayah padamu. Ayah harus mau!"

Sepasang mata bekas pangeran itu terbelalak, lalu memandang kepada Thian Ki dan kepada Lan Ci, kemudian dia tertawa lagi. "Ha-ha-ha, tentu saja aku mau."

"Dan aku menyebut ibu kepada bibi Lan Ci. Bolehkah, ayah?"

"Ehh? Siapa yang mengajarimu ini?" Cian Bu Ong bertanya, pura-pura mengerutkan alisnya dan memandang kepada Lan Ci.

Wanita ini balas memandang dengan wajah berubah merah. "Tidak ada yang mengajarinya," katanya lirih.

"Ini kehendakku sendiri, ayah." Anak ini lalu turun dari pondongan ayahnya, menghampiri Thian Ki, memegang tangan Thian Ki dan menariknya menghampiri ayahnya. "Suheng, ayah sudah memberi ijin engkau menyebutnya ayah!"

Dengan sikap takut-takut, Thian Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. Kalau biasanya dia memberi hormat sambil menyebut suhu, kini dia menyebut ayah! Cian Bu Ong mengangguk-angguk dan dia mengangkat muka. Kembali dia bertemu pandang dengan Lan Ci.

"Thian Ki, engkau kesinilah!" kata Lan Ci, suaranya agak gemetar.

Ia adalah seorang wanita perkasa, bahkan dulu sebelum menjadi isteri Coa Siang Lee, sebagai puteri Ban-tok Mo-li, ia tidak pernah mengenal artinya sopan santun. Kini, timbul kegagahannya kembali dan ia menganggap bahwa tidak perlu bersembunyi di balik peraturan yang berpalsu-palsu. Lebih baik berterus terang menyelesaikan permasalahan sekarang juga. Thian Ki bangkit dan menghampiri ibunya, sedangkan Cian Bu Ong memondong pergi puterinya.

"Thian Ki, biarpun engkau baru berusia enam tahun akan tetapi aku tidak menganggap engkau anak kecil lagi. Engkau sudah pandai mengambil kesimpulan dan keputusan, maka aku akan berterus terang kepadamu dan kuminta engkau memberi jawaban sekarang juga. Thian Ki, gurumu telah melamarku untuk menjadi isterinya. Nah, bagaimana pendapatmu?"

Cian Bu Ong memandang kagum. Bukan main wanita itu! Dan luar biasa pula puteranya! Dia memondong puterinya dan memandang dengan penuh perhatian dan hatinyapun tegang menanti jawaban Thian Ki, anak ajaib itu.

Thian Ki tidak kaget mendengar pertanyaan ibunya. Dia mengangkat muka, memandang wajah ibunya, lalu menoleh dan memandang wajah gurunya, dan diapun memandang ibunya lagi. "Ibu, itu adalah urusan ibu dan suhu... eh. ayah, maka hanya ayah dan ibu saja yang berhak memutuskan. Adapun aku... aku hanya menyerahkan keputusannya kepada ibu saja, aku tidak berani dan tidak mau mencampuri urusan pribadi ibu."

Sungguh luar biasa jawaban itu, pikir Cian Bu Ong. Seolah bukan keluar dari mulut seorang anak berusia enam tahun, melainkan keluar dari mulut orang dewasa yang berpandangan luas.

"Akan tetapi hatiku tidak akan tenteram sebelum merasa yakin bahwa engkau tidak merasa keberatan dan menyetujuinya."

"Tentu saja aku tidak keberatan ibu dan kalau hal itu membahagiakan hati ibu, tentu saja aku setuju sepenuhnya."

Kedua pipi Lan Ci kembali menjadi merah sekali dan untuk mengatasi perasaan malu, ia berkata, "Kalau begitu, kau beri hormat lagi kepada... ayahmu itu Thian Ki."

Anak itu menurut. Dia menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut, "Ayah...!"

Saat itu, Cian Bu Ong memandang ke arah Lan Ci. Wanita itupun sedang memandangnya, ketika dua pasang mata bertemu pandang, Lan Ci mengangguk. Itu sudah cukup sebagai jawaban bahwa ia mau menerima lamaran bekas pangeran itu!

Cian Bu Ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, terima kasih, Tuhan! Terima kasih Tuhan, aku hidup kembali, ha-ha-ha aku hidup kembali!" Dan tiba-tiba dia melemparkan tubuh Kui Eng ke udara, lalu tangan kanannya menyambar tubuh Thiaan Ki yang juga dilontarkan ke atas!

Ketika tubuh Kui Eng melayang turun, disambutnya dengan tangan kiri dan dilontarkannya lagi ke atas, lebih tinggi daripada tadi. Demikian pula ketika tubuh Thian Ki meluncur turun, tubuh itu ditangkapnya dan dilontarkannya kembali ke atas. Dua anak itu dibuat mainan seperti dua butir bola saja, makin lama semakin tinggi.

Setelah tadi mengangguk memberi tanda setuju dan menerima lamaran Cian Bu Ong, Sim Lan Ci memejamkan kedua matanya dan berbisik dalam hatinya. "Coa Siang Lee, maafkan aku. Aku cinta padamu, akan tetapi engkau sudah tidak ada, dan aku kagum dan cinta kepadanya, maafkan aku kalau aku menyerahkan diriku kepada pria lain untuk menjadi isterinya."

Akan tetapi jeritan Kui Eng membuat Lan Ci membuka matanya kembali. Ia melihat betapa anak perempuan itu mulai merasa ngeri karena tubuhnya dilontarkan semakin tinggi oleh ayahnya. Thian Ki diam saja bahkan diam-diam anak ini memperhatikan cara gurunya melontar tubuhnya.

Sim Lan Ci meloncat. Tubuhnya melayang ke atas, menyambar tubuh Kui Eng yang dipondongnya dan iapun melayang turun kembali sambil memondong tubuh Kui Eng, menghadapi Cian Bu Ong dan menegur, "Kui Eng sudah menjerit ketakutan, mengapa masih dilanjutkan juga? Apa kau ingin agar anak kita ini kelak menjadi orang penakut?"

Cian Bu Ong sudah menangkap kembali tubuh Thian Ki dan dilepaskannya anak itu. Dia memandang kepada Lan Ci sambil tersenyum lebar dan menggeleng kepalanya, "Ya Tuhan, engkau sudah mulai berani melarang aku, ya?"

"Tentu saja," jawab Lan Ci. "Sebagai ibu akupun berhak mendidik dan melindungi anak kita!"

Mereka saling pandang, dan Cian Bu Ong tertawa bergelak, nampak berbahagia sekali dan Lan Ci terpaksa juga tersenyum dan mengerling penuh teguran. Melalui pandang mata saja mereka sudah dapat menangkap dan merasakan isi hati masing-masing dan hal seperti ini hanya dapat terjadi apabila dua hati telah saling kontak!

Demikianlah, dua bulan kemudian, setelah lewat setahun kematian Coa Siang Lee dan isteri Cian Bu Ong, mereka melangsungkan pernikahan yang sederhana, tidak dihadiri para bangsawan seperti layaknya seorang pangeran menikah. Juga tidak dihadiri orang-orang kang-ouw seperti layaknya seorang tokoh kang-ouw seperti Sim Lan Ci menikah, melainkan hanya dihadiri penduduk dusun yang tinggal di sekitar pegunungan itu. Sederhana namun amat meriah, dimeriahkan oleh kegembiraan Thian Ki dan Kui Eng, dan dihias senyum dan kerling mata penuh kasih sayang antara Sim Lan Ci dan Cian Bu Ong.

Dan sejak hari itu, Cian Bu Ong semakin rajin menggembleng Thian Ki dan Kui Eng. Dia tidak lagi memikirkan tentang kerajaan, akan tetapi dia ingin agar anak tiri dan anak kandungnya menjadi jago-jago paling tangguh di dunia persilatan sehingga namanya akan terangkat. Di samping itu, dia menemukan kemesraan dan kebahagiaan di samping isterinya yang ternyata amat mencintainya.

Di lain pihak, Lan Ci juga merasakan kebahagiaan yang mendalam. Suaminya yang sekarang jauh bedanya dengan suami pertamanya. Suaminya yang sekarang adalah seorang yang jantan, yang matang dalam pengalaman. Sehingga di samping sebagai suami yang mencinta, juga dari suaminya ini ia menerima bimbingan. Sehingga kadang ia menganggap suaminya ini juga gurunya yang amat pandai dalam segala hal. Ilmu silat yang dikuasai nyonya muda ini meningkat dengan cepatnya.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Perahu kecil itu meluncur dengan cepatnya di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan berhenti di luar dusun Hong-cun. Gadis yang naik perahu seorang diri ini dapat mendayung dan mengendalikan perahu dengan gerakan tangkas, tanda bahwa ia sudah terbiasa mengemudikan perahu. Setelah perahu itu menepi di pantai, iapun melangkah keluar dan menarik perahu itu ke darat.

Cara ia menarik tali perahu dan berhasil membuat perahu itu naik, padahal pantai itu tidak terlalu landai, membuktikan bahwa biarpun ia seorang wanita muda yang cantik dan nampak lembut, ternyata ia miliki tenaga yang kuat. Wanita itu masih muda, usianya sekitar duapuluh satu tahun lebih, berwajah bulat dan berkulit putih kemerahan. Hidungnya mancung dan matanya tajam. Wajah yang cantik dan manis. Di punggungnya menempel dua batang pedang bersilang, dan di atas pedang itu terdapat buntalan kain sutera kuning.

Dandanannya juga sederhana dan ringkas, semua ini menunjukkan bahwa ia seorang wanita kang-ouw yang suka melakukan perjalanan seorang diri dan mengandalkan ilmu kepandaian silat untuk melindung dirinya sendiri. Biarpun usianya paling banyak baru duapuluh dua tahun, akan tetapi wanita itu bukan gadis lagi, melainkan seorang janda! Ia adalah Kwa Bi Lan, yang baru saja ditinggal mati suaminya yang juga menjadi gurunya, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki, Si Rajawali Sakti!

Biarpun suaminya itu jauh lebih tua darinya, ketika ia menjadi isteri Liu Bhok Ki, suaminya yang juga gurunya itu sudah berusia enam puluh lima tahun dan ia sendiri baru sembian belas tahun, namun Kwa Bi Lan amat mencinta suaminya. Baginya, suaminya merupakan orang terbaik di dunia ini. Dahulunya ia adalah murid Si Rajawali Sakti, dan bahkan oleh gurunya itu ia dicalonkan jadi isteri murid gurunya yang pertama, yaitu Si Han Beng yang kini dijuluki Huang-ho Sin liong (Naga Sakti Sungai Kuning).

Akan tetapi Si Han Beng memilih wanita lain dan menikah dengan wanita lain itu. Hal itu membuat gurunya marah, dan seolah hendak menebus kesalahan ini, melihat betapa Bi Lan hancur hatinya dan patah semangat, Liu Bhok Ki lalu mengambil murid itu sebagai isterinya. Dia sendiri sudah menduda sejak puluhan tahun. Dan Bi Lan menerima pinangan gurunya, bukan karena terpaksa, melainkan karena ia merasa kagum, kasihan dan juga mencinta suhunya sebagai satu-satunya orang di dunia ini yang menyayanginya.

Tentu saja hal ini didorong pula oleh kepatahan hatinya karena Si Han Beng mengingkari janji dan menikah dengan gadis lain. Sin-tiauw Liu Bhok Ki merasa marah dan sakit hati bukan main karena Si Han Beng tidak memenuhi pesannya itu. Biarpun dia sudah menjadi suami Bi Lan namun hatinya masih tetap tertusuk dan batinnya terhimpit kemarahan terhadap Si Han Beng. Dia menjadi sakit-sakitan dan akhirnya, dalam rangkulan Bi Lan, dia menghembuskan napas terakhir sambil menyebut nama Si Han Beng dengan penuh kemarahan dan penyesalan.

Setelah suaminya yang juga gurunya meninggal dunia, perasaan hati Kwa Bi Lan dipenuhi dendam terhadap Si Han Beng. Pria itu yang membuat hidupnya menderita! Kalau Si Han Beng tidak mengingkari janjinya dan menikah dengannya, tentu Liu Bhok Ki tidak mati, demikian pikirnya.

Dan iapun tidak harus mengalami derita batin seperti ini, hidup sebatangkara ditinggal orang yang paling dicintanya. Mula-mula ia menderita patah hati karena calon suaminya itu menikah dengan wanita lain. Kemudian ia menderita kehancuran hati karena guru dan juga suaminya meninggal dunia. Dan semua deritanya ini karena ulah Si Han Beng! Ketika ia mendarat di tepi Sungai Kuning, di luar dusun Hong-cun, Bi Lan merasa hatinya tegang juga.

Setelah lama ragu-ragu dan lama pula mencari-cari, akhirnya tiba juga ia di kampung tempat tinggal bekas tunangan yang kini dianggap sebagai musuh besarnya itu. Ketika la berjalan memasuki dusun, ia melihat seorang laki-laki setengah tua memanggul cangkul, agaknya hendak pergi ke ladang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan kagum dan heran, karena tidak biasa ada wanita kota yang cantik memasuki dusun yang aman tenteram itu. Bi Lan menghampirinya dan tersenyum ramah.

"Maaf, paman. Dapatkah paman menunjukkan dimana rumah keluarga Si Han Beng?"

Pria itu terbelalak, heran bukan main melihat seorang wanita muda menyebut nama pendekar saktu itu begitu saja. "Nona... maksudkan... rumah keluarga Si Tai-hiap (Pendekar Besar Si) yang berjuluk Huang-ho Sin-liong?"

Dengan girang Bi Lan mengangguk, akan tetapi juga hatinya berdebar. Ia tahu bahwa orang yang dicarinya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, bahkan tingkat kepandaiannya, menurut mendiang suaminya, lebih tinggi dari pada tingkat suaminya yang juga menjadi gurunya. Kalau mendiang suaminya saja kalah pandai, apa lagi dia! Akan tetapi ia sudah bertekat untuk membunuh Si Han Beng atau dibunuh olehnya.

"Benar, paman. Dimana rumahnya."

Pria itu menunjuk ke kiri. "Di ujung jalan ini, yang mempunyai taman di depan rumah dan kebun di kanan kiri dan belakang. Cat pintu dan jendelanya hijau."

"Terima kasih, paman." Bi Lan memutar tubuh dan cepat menyusuri jalan itu. Terbayang betapa ia akan bertemu dengan isteri Si Han Beng yang sudah ia ketahui bernama Bu Giok Cu dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Hatinya terasa panas, entah karena iri atau cemburu. Akan tetapi ia sama sekali tidak takut. Memang ia sudah bertekad untuk mengadu nyawa. Untuk apa hidup lebih lama lagi kalau ia sudah tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan tidak ada seorangpun yang mencintanya? Hidupnya tiada gunanya lagi, lebih baik menyusul suaminya yang sayang kepadanya.

Tak lama kemudian wanita perkasa ini sudah menyelinap di balik pohon dan mengintai ke arah dua orang anak yang sedang berada di kebun samping. Seorang anak laki-laki berusia enam tahun sedang mengasuh seorang anak perempuan yang usianya baru dua tahun lebih. Anak laki-laki itu tampan dan bertubuh tinggi tegap. Sedangkan anak perempuan itu, yang masih kecil, kelihatan lincah mungil dan manis sekali.

Anak laki-laki itu patut menjadi putera Si Han Beng, pikir Bi Lan sambil mengenang kembali wajah bekas tunangan yang kini dibencinya itu. Akan tetapi tidak mungkin, bantahnya. Si Han Beng menikah dengan gadis lain belum ada empat tahun dan anak laki-laki itu sedikitnya berusia enam tahun. Kalau anak perempuan itu lebih pantas menjadi anak Si Han Beng.

Dua orang anak itu memang The Siong Ki dan Si Hong Lan. Seperti kita ketahui, Siong Ki berhasil tiba di tempat tinggal pendekar sakti Si Han Beng dan diterima menjadi murid pendekar itu. Siong Ki pandai membawa diri, pandai menyenangkan hati keluarga Si, bahkan dengan sabar dia mengasuh Si Hong Lan puteri gurunya. Diapun rajin bekerja, membersihkan rumah dan pekarangan dan melakukan segala macam pekerjaan membantu para pelayan sehingga para pelayanpun suka kepadanya. Melihat kegiatan pemuda cilik ini, timbul perasaan suka pula di hati Si Han Beng dan diapun mulai melatih Siong Ki dengan dasar-dasar ilmu silat.

Pagi hari itu, setelah selesai menyapu pekarangan dan mengisi semua bak dengan air, Siong Ki sudah mengajak Hong Lan bermain-main di dalam kebun. Matahari sudah naik tinggi. Dia selalu diajar ilmu silat kalau matahari sudah mulai condong ke barat, setiap sore hari. Dari pagi sampai siang, dia bekerja, kalau tidak mengasuh Hong Lan, tentu membantu pekerjaan rumah atau ladang. Hong Lan juga suka sekali kepadanya, karena Siong Ki pandai menyenangkan hati anak itu.

Saat itu, Siong Ki memberi mainan sempritan yang dia buat dari daun bambu muda. Hong Lan ikut meniup-niup sempritan sederhana itu dan kalau sempritan itu dapat ditiupnya sampai mengelukan bunyi, anak itu tertawa-tawa dan berteriak-teriak gembira.

"Suheng baik... suheng baik..." berulang-ulang anak perempuan itu berseru.

"Engkau juga baik dan manis sekali, sumoi, tidak rewel." kata Siong Ki dan dari percakapan antara dua orang anak itu Bi Lan dapat menduga bahwa anak laki-laki itu tentulah murid Si Han Beng dan anak perempuan itu tentu anaknya.

"Tidak mungkin kalau Han Beng mempunyai seorang murid yang usianya baru dua tahun."

Dan melihat wajah anak perempuan yang manis dan mungil itu, tiba-tiba menyelinap suatu keinginan di hati Bi Lan. Mengapa tidak? Kalau ia membalas dendam kepada Si Han Beng, kiranya tidak mungkin ia akan mampu mengalahkan pendekar itu dan isterinya, dan akhirnya ia yang akan mati konyol. Walaupun ia sudah bertekad dan tidak takut mati, akan tetapi apa artinya kalau ia mati konyol? Hanya akan membuat Si Han Beng dan isterinya menjadi semakin bebas dan senang saja, tidak lagi mengkhawatirkan pembalasan. Dan ia seorang yang akan menderita.

Tidak, ia harus mengikuti pikiran yang menyelinap dalam benaknya tadi. Ia harus membuat Si Han Beng dan isterinya menderita, setidaknya menderita batin. Akan tetapi, sebelum itu, ia ingin melihat bagaimana sikap bekas tunangan itu kalau mendengar tentang kematian suhunya, atau suaminya!

Kwa Bi Lan bukanlah seorang wanita jahat, bahkan ia dahulu murid Siauw lim-pai yang berjiwa pendekar. Apa lagi setelah menjadi murid dan isteri Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, ia menjadi seorang wanita gagah. Kalau ia membenci Han Beng dan ingin membunuhnya, hal itu terdorong oleh sakit hati dan duka, bukan watak yang jahat.

Maka, begitu melihat Hong Lan, anak yang manis dan lincah itu, seketika api dendam yang membuat ia ingin membunuh orang itu padam dengan sendirinya, bagaimana mungkin ia dapat membunuh orang tua anak kecil yang mungil itu? Bukankah kalau ia membunuh orang tuanya, anak itu akan menjadi terlantar dan menderita? Itulah sebabnya, maka pikiran lain menyelinap ke dalam benaknya yang sama sekali mengubah niat hatinya semula.

Siong Ki tidak terkejut melihat munculnya seorang wanita cantik yang tidak dikenalnya dari balik pohon, melainkan heran dan dia memandang lengan sinar mata penuh pertanyaan.

Bi Lan tersenyum manis. "Anak yang baik, apakah engkau murid Huang-ho Sin Liong Si Han Beng? Dan anak perempuan yang mungil ini puterinya?"

Siong Ki adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mengenal siapa wanita ini, tidak tahu apakah ini sahabat ataukah musuh gurunya. Oleh karena itu dia bersikap hati-hati walaupun sopan.

"Maafkan saya, enci. Akan tetapi siapakah enci?"

"Aku adalah sahabat baik dari Si Han Beng, namaku Kwa Bi Lan. Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau murid dan ini anaknya?"

Karena wanita itu mengaku sahabat gurunya, dan telah memperkenalkan diri, Siong Ki merasa tidak enak kalau tidak memperkenalkan diri. Dia mengangguk dan berkata dengan hormat. "Maaf kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak tahu bahwa enci adalah sahabat baik suhu. Memang benar saya Siong Ki adalah murid suhu dan sumoi Si Hong Lan ini adalah puterinya."

Pada saat itu, muncullah Si Han Beng dan Bu Giok Cu dari pintu samping rumah mereka. Mereka memang sedang mencari puteri mereka dan Siong Ki. Melihat seorang wanita muda yang cantik berada pula di kebun mereka, suami isteri ini segera menghampiri dan memandang dengan heran.

"Siong Ki, siapakah nona ini..." tanya Han Beng sambil memandang Bi Lan dengan penuh selidik. Sementara itu Bu Giok Cu juga sudah memondong puterinya dan ikut mengamati Bi Lan dengan heran.

Sejak tadi Bi Lan memandang kepada suami isteri itu dan jantungnya berdebar tegang, hatinya terasa panas. Si Han Beng masih nampak gagah perkasa seperti dahulu, bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kejantanan, sedangkan Bu Giok Cu juga masih nampak cantik jelita dan lincah seperti yang pernah dilihatnya dahulu ketika Giok Cu bersama Han Beng datang berkunjung kerumah gurunya, mendiang Liu Bhok Ki sebelum ia menjadi isteri gurunya itu.

Entah kenapa, setelah bertemu dengan mereka. Ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata dan hanya memandang dengan hati dipenuhi iri. Mereka demikian berbahagia. Menjadi suami isteri dan sudah mempunyai seorang anak. Begitu berbahagia, sedangkan ia...?!

Han Beng segera menyadari bahwa sebagai tuan rumah dia harus menyambut orang asing sebagai tamunya dengan sikap hormat. Maka diapun mengangkat dua tangan ke depan dada memberi hormat dan bertanya, "Siapakah nona dan ada keperluan apakah berkunjung ke rumah kami?"

Bi Lan tersenyum, senyum yang getir. Bahkan wajahnyapun tidak diingat lagi oleh laki-laki yang pernah ditunangkan dengannya itu! Dengan suara yang pahit iapun berkata, "Lupa kepada adik seperguruan masih tidak mengapa, akan tetapi kalau sudah melupakan guru, itu sungguh keterlaluan."

"Nona, apa maksud ucapan nona itu?" Han Beng bertanya, memandang tajam penuh selidik dan sikapnya serius. Juga Bu Giok Cu memandang tajam dan mulai bercuriga melihat sikap gadis cantik yang tidak dikenalnya itu.

"Suheng, benar-benarkah suheng sudah lupa kepadaku, dan kepada suhu kita?" Sekali ini suara Bi Lan mengandung getaran isak tertahan, karena ia merasa sangat berduka dan kecewa.

"Ahhh! Bukankah engkau Kwa Bi Lan murid locian-pwe Liu Bok Ki itu?" tiba-tiba Bu Giok Cu berseru.

Bi Lan memandang kepada wanita yang tadinya dianggap telah merampas calon suaminya itu. "Kiranya enci Bu Giok Cu masih teringat kepadaku."

"Sumoi Kwa Bi Lan...! Ah, kiranya engkaukah ini? Kita dahulu hanya sempat bertemu sebentar saja, sumoi, hingga aku lupa lagi kepadamu. Maafkan aku."

Bi Lan mengerutkan alisnya. "Perkenalan antara kita memang singkat, akan tetapi hubungan antara kita bukan tidak penting, suheng..."

"Aih, tentu saja. Kita saudara seperguruan..." kata Han Beng, belum ingat akan hubungan jodoh yang pernah dipesankan gurunya yang pertama itu.

Bu Giok Cu ingat akan hal itu, maka ia pun cepat berkata. "Adik Kwa Bi Lan tentu datang membawa kabar penting. Tidak pantas kalau kita menyambutnya dikebun begini. Mari, adik Bi Lan, kita bicara di dalam."

"Ah, benar. Mari silakan, sumoi. Kita bicara di dalam. Siong Ki, kau ajak lagi sumoimu bermain-main di sini sebentar," kata Han Beng dan Giok Cu lalu menyerahkan lagi Hong Lan kepada Siong Ki.

Suami isteri itu mempersilakan tamunya memasuki rumah dan mereka lalu duduk di dalam ruangan tamu yang sederhana namun cukup luas. Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Sebetulnya, Bi Lan tidak terlalu menyesal bahwa ia tidak menjadi isteri Han Beng. Belum ada rasa cinta dalam hatinya terhadap pria ini, dahulupun yang ada hanya kekaguman. Cintanya bahkan tertuju kepada gurunya, mendiang Liu Bhok Ki. Ia tidak putus cinta, melainkan merasa terhina dan diremehkan, di samping pendekar ini menjadi biang keladi kesedihan Liu Bhok Ki sehingga suaminya itu meninggal dunia dalam keadaan penasaran dan berduka.

"Nah, adik Kwa Bi Lan.bSetelah kami mengucapkan selamat datang, sekarang katakanlah, apa maksud kunjunganmu ini? Apakah membawa suatu kepentingan tertentu, ataukah hanya hendak berkunjung saja?" tanya Bu Giok Cu karena di dalam hatinya, wanita ini sudah merasa tidak enak.

Ia sudah mendengar dari suaminya bahwa dahulu, suaminya pernah dipesan oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki agar kelak menjadi jodoh Kwa Bi Lan, sumoi dari suaminya sendiri. Akan tetapi kemudian Hek-bin Hwesio yang menjadi gurunya, dan Pek I Tojin guru suaminya menjodohkan ia dan suaminya. Ia bahkan pernah mengingatkan suaminya agar mengabari Liu Bhok Ki, akan tetapi suaminya tidak mau karena merasa tidak enak harus menentang usul perjodohan guru pertamanya itu. Kini, gadis yang dulu dijodohkan dengan suaminya itu tiba-tiba muncul! Tentu saja ia merasa tidak enak sekali.

Mendengar pertanyaan Giok Cu, Bi Lan menghela napas panjang. Kalau menurut apa yang dibayangkan sebelum ia bertemu dengan puteri mereka tadi, begitu bertemu Han Beng, ia akan memaki-makinya dan menantangnya, bahkan langsung saja menyerangnya untuk mengadu nyawa. Akan tetapi sekarang, ia tidak bernapsu untuk mengadu nyawa, untuk mati, karena ia pasti mati kalau bertanding melawan mereka ini. Ia ingin hidup untuk dapat mendengar dan melihat Han Beng menderita!

"Benar, sumoi. Katakanlah, apa yang menjadi maksud kedatanganmu ini? Apakah hanya berkunjung ataukah diutus oleh suhu?"

Hampir saja Bi Lan berteriak bahwa ia diutus oleh suhu mereka untuk mencabut nyawa Han Beng! Akan tetapi ia menahan kemarahannya, memandang kepada pria itu dan berkata lirih, "Suheng kedatanganku ini hanya mempunyai satu maksud, yaitu aku ingin bercerita tentang suhu kepadamu."

Wajah Han Beng menjadi cerah berseri. "Ah, akupun ingin sekali mendengar tentang suhu. Ceritakanlah, sumoi, kuharap suhu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja! Ceritakanlah."

Setelah menghela nafas beberapa kali, Bi Lan mulai bercerita. "Suheng suhu telah mendengar akan pernikahanmu dengan enci Bu Giok Cu dan suheng sama sekali tidak memberi tahu suhu, apa lagi mengundangnya."

"Sudah kudesak agar dia mengundang locian-pwe Liu Bhok Ki, akan tetapi dia tidak mau!" Bu Giok Cu berkata sambil memandang suaminya penuh teguran.

"Bukan tidak mau, akan tetapi tidak berani," kata Han Beng, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya seperti orang yang merasa telah terlalu banyak bicara.

"Kenapa, suheng?" Bi Lan mendesak cepat. "Kenapa suheng tidak berani memberitahu kepada suhu tentang pernikahan suheng?"

Han Beng tidak menjawab, hanya menoleh ke arah isterinya. Tentu saja dia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan itu, merasa sungkan terhadap Bi Lan untuk menyebutkan alasannya.

Melihat keraguan Han Beng, Bi Lan berkata, "Suheng, kalau Suheng ingin aku bicara sejujurnya tentang suhu, maka sebaiknya kalau suheng juga bersikap terbuka dan jujur. Kalau suheng tidak berani bersikap terbuka, akupun tidak ingin bercerita apa-apa lagi."

Bu Giok Cu memandang kepada suaminya. "Sebaiknya engkau bicara terus terang saja untuk menebus kesalahan sikapmu terhadap gurumu. Tidak perlu sungkan lagi."

Han Beng mengangguk dan menarik napas panjang. Dia merasa menyesal sekali mengapa dahulu dia tidak berterus terang saja kepada gurunya bahwa dia mencintai Giok Cu dan tidak mau dijodohkan dengan gadis lain. Akibatnya ketika dia menikah dengan Giok Cu, dia tidak berani mengabari gurunya, dan sekarangpun dia merasa sungkan untuk mengaku terus terang kepada Bi Lan.

"Baiklah, aku bicara terus terang dan kuharap engkau tidak merasa tersinggung, sumoi. Sebelumnya, maafkan aku kalau ceritaku menyinggung perasaanmu."

"Kalau engkau berterus terang, mengapa aku mesti tersinggung, suheng? Ceritakanlah."

"Aku tidak berani mengabari suhu, tidak berani mengundangnya, karena aku merasa bersalah kepada suhu. Dahulu, ketika aku bersama Giok Cu berkunjung ke tempat kediaman suhu, dan bahkan bertemu dengan engkau di sana, ketika itu suhu bicara empat mata denganku dan suhu dalam kesempatan itu telah menjodohkan aku dengan engkau, sumoi. Dia berpesan agar kelak aku berjodoh denganmu. Nah, karena aku saling mencinta dengan Bu Giok Cu dan kemudian atas usul guru kami masing-masing, yaitu Hok-bin Hwesio dan Pek I Tojin, kami menikah dan teringat akan pesan suhu Liu Bhok Ki, aku merasa sungkan dan tidak berani memberi kabar. Aku telah bicara terus terang, sumoi."

Bi Lan tidak heran mendengar keterangan itu, tentu saja ia sudah tahu semuanya dan dapat menduganya. Ia tidak merasa sakit hati karena ia ditolak oleh suhengnya yang mencinta gadis lain. Ia sendiripun mencinta pria lain, yaitu gurunya sendiri. Yang membuat ia menyesal adalah karena ulah suhengnya, maka gurunya yang juga suaminya itu menderita tekanan bathin sampai sakit-sakitan dan meninggal dunia dalam keadaan berduka.

"Bagus sekali, engkau telah berterus terang, suheng. Nah, akupun hendak bercerita sejujurnya kepadamu. Seperti kukatakan tadi, suhu telah mendengar pernikahanmu dengan enci Giok Cu tanpa mengundangnya, dan sejak itu, suhu sakit-sakitan karena merasa penasaran, menyesal dan berduka. Aku tahu akan semua itu karena suhu berterus terang kepadaku. Suhu marah dan menyesal, suhu merasa sakit hati kepadamu, suheng!"

"Aih, suhu, teecu memang berdosa besar. Sumoi, tolonglah, kalau engkau pulang dan bertemu suhu, mintakan ampun kepadanya untukku... ah, tidak, aku sendiri yang akan ke sana. Aku harus cepat pergi menghadap suhu dengan isteri dan anakku untuk mohon ampun."

"Tidak ada gunanya, suheng. Lebih baik suheng mendengarkan kelanjutan ceritaku. Melihat suhu demikian menderita, hatiku hancur dan aku merasa amat kasihan kepada suhu. Suhu telah kehilangan segalanya, demikian pula aku. Kami berdua tidak memiliki apa-apa lagi, tidak ada lagi seorangpun didunia ini yang menyayangi kami. Timbul perasaan kasihan dan sayang dalam hatiku, dan akupun mengambil keputusan untuk menyerahkan diriku, hidupku, segalanya, untuk membahagiakan hati suhu. Dengan suka rela, bahkan dengan desakanku, kami menikah menjadi suami isteri..."

Suami isteri itu saling pandang nampak terkejut bukan main. "Sungguh suatu pengorbanan yang besar..." kata Giok Cu lirih.

"Sumoi, betapa mulia hatimu. Engkau begitu berbakti kepada suhu, sedang aku..."

"Tidak ada pengorbanan! Tidak ada kemuliaan hati dan kebaktian. Aku menikah dengan suhu karena memang aku cinta kepadanya, dan dia cinta padaku. Kami menjadi suami isteri karena kami saling mencintai!" Bi Lan berkata dengan suara nyaring, setengah membentak sehingga mengejutkan suami isteri itu.

"Kalau begitu, biarlah kami mengucapkan selamat kepadamu atas pernikahan dengan suhu...!"

"Tunda dulu ucapan selamat itu sampai aku selesai menceritakan keadaan suhumu, suheng. Biarpun kami sudah menikah dan aku berusaha sekuat tenaga untuk menghiburnya dan mengusir kedukaan suamiku, akan tetapi usahaku sia-sia belaka. Guru dan suamiku itu masih tak mampu melupakanmu, dan sakit hatinya tak pernah mereda. Api sakit hati membakarnya, membuat dia sakit-sakitan dan akhirnya, dia tak kuat bertahan lagi setelah berbulan-bulan rebah dan menderita sakit lahir batin, suamiku itu meninggal dunia..."

"Ahh...!" Giok Cu mengeluh.

"Suhuuu...!" Han Beng menutupi muka dengan kedua tangan dan dia terisak, tubuhnya terguncang dan dari celah-celah jari tangannya mengalir keluar air matanya. "Aih, suhu, teecu berdosa besar kepada suhu... teecu... berdosa besar..."

Sebuah tangan dengan lembut menyentuh pundak Han Beng. "Sudahlah, semua itu telah lewat, gurumu telah tiada. Tidak ada gunanya disesali dan ditangisi. Kelak engkau dapat saja pergi mengunjungi makam gurumu dan mohon ampun di depan makamnya kalau engkau merasa bersalah kepadanya."

Hiburan dari isterinya ini menyadarkan Han Beng dan diapun menghapus air matanya. Dengan dua mata merah dia memandang kepada Bi Lan dan melihat wanita muda itupun kini menunduk, tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi kedua pundak bergoyang dan air mata menetes-netes turun dari kedua pipinya.

"Aku... aku dapat merasakan penderitaanmu, aku ikut berduka cita... sumoi... ataukah subo (ibu guru)..." kata Han Beng dengan terharu.

Bi Lan menghapus air matanya dan menggeleng kepala, masih menunduk. "Aku bukan apa-apamu lagi, bukan apa-apa. Bukan tunangan karena engkau sudah memilih wanita lain. Bukan sumoi karena telah menikah dengan guru kita. Bukan pula subo karena suamiku telah tiada. Aku... aku hanya seorang yang sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa lagi..."

Giok Cu merasa kasihan sekali. "Sungguh buruk nasibmu, sungguh kasihan sekali engkau, adik Bi Lan. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untukmu. Katakan saja, apa yang dapat kami lakukan untuk membantumu, mengurangi penderitaanmu?"

Bi Lan menggeleng kepala. "Terima kasih, tidak ada yang dapat kalian lakukan untukku. Biarkan aku sendiri. Di dunia ini, tidak ada lagi orang yang dapat kucinta atau mencintaku, tidak ada siapa-siapa lagi. Aku hanya menanti datangnya saat aku menyusul suamiku. Dialah satu-satunya orang yang mencintaiku..." Setelah berkata demikian, Bi Lan bangkit dari duduknya, kemudian tanpa pamit lagi ia melangkah keluar dari ruangan itu, terus menuju keluar rumah.

Han Beng hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang isterinya. Dia menoleh dan memandang isterinya. Giok Cu menggeleng kepala perlahan dan berbisik, "Ia benar. Tidak dapat kita melakukan apapun untuknya. Biarkan ia sendiri..."

Han Beng memejamkan matanya. "Suhuuu...!" keluhnya dan dia tentu roboh kalau saja tidak cepat dirangkul oleh isterinya dan dia kembali menangis di pundak isterinya.

Malam itu, Han Beng dan Giok Cu tidak dapat tidur. Hal ini terutama sekali karena Han Beng tenggelam dalam duka dan penyesalan, dan akhirnya baru Han Beng terhibur ketika isterinya menyetujui untuk mereka berdua bersama anak mereka pergi mengunjungi makam Si Rajawali Sakti, dimana Han Beng ingin bersembahyang bersama anak isterinya dan mohon ampun kepada guru pertamanya itu.

Mereka akan berangkat tiga hari lagi dan pada keesokan harinya, mereka telah membuat persiapan. Karena waktu itu sedang musim panen, maka suami isteri itu hendak menyelesaikan dulu sisa panenan yang tinggal satu dua hari lagi, baru mereka akan berangkat. Pada keesokan harinya, sejak pagi Han Beng dan Giok Cu sudah pergi meninggalkan rumah, pergi ke sawah untuk mengepalai dan mengatur mereka yang membantu panen.

Seperti biasa, Siong Ki setelah bekerja pagi, lalu mengasuh Hong Lan bermain-main di taman. Keadaan sunyi di taman. Semua orang dewasa pergi ke sawah ladang karena musim panen. Siong Ki menurunkan Hong Lan duduk di atas rumput, dan dia sendiri duduk di dekat anak itu sambil menganyam rumput, membuatkan mainan untuk sumoinya. Ketika Kwa Bi Lan muncul seperti kemarin, diapun tidak terkejut dan tidak merasa heran lagi. Dari suhunya dia mendengar bahwa wanita muda yang cantik itu memang sahabat gurunya yang datang berkunjung. Dia bahkan tersenyum dan memberi hormat.

"Selamat pagi, enci..."

Akan tetapi Bi Lan tidak memperdulikan Siong Ki. Ia menghampiri Hong Lan dan mengelus kepala anak itu dengan lembut dan mesra, dan pandang matanya yang ditujukan mengamati wajah anak perempuan itu penuh rasa kagum dan sayang. Suaranyapun terdengar halus ketika ia bertanya, "Anak manis, siapakah namamu?"

Semua anak kecil mempunyai kepekaan yang tidak lagi dipunyai orang dewasa. Kepekaan atau naluri ini adalah pembawaan jiwa yang masih belum terselubung nafsu. Pada saat dilahirkan, anak manusia memiliki naluri ini, memiliki kepekaan karena jiwanya masih murni, bagaikan sinar pelita yang belum terselubung kotoran sehingga masih memancar keluar melalui panca indranya. Kelak, kalau anak itu sudah mulai mempergunakan hati dan akal pikirannya, dan nafsu yang menjadi alat kebutuhan jasmaninya mulai mengambil alih kekuasaan atas diri manusia, maka kepekaan itu pudar.

Sinar pelita dari jiwa tertutup nafsu dan orang hidup lebih mengandalkan hati akal pikirannya yang bergelimang nafsu menciptakan segala macam dosa dan kekacauan dalam kehidupan ini. Makin pandai orang mempergunakan hati akal pikirannya, semakin keruh keadaan dunia, karena manusia dikendalikan nafsu yang sifatnya hanya mengejar kesenangan diri pribadi, sehingga terjadilah tumbukan-tumbukan dan tabrakan kepentingan yang menimbulkan pertikaian, permusuhan, bahkan perang!


Pada saat membelai dan bicara kepada Hong Lan, maka anak itupun memandang kepada Bi Lan sambil tersenyum cerah menjawab dengan suaranya yang nyaring dan lucu. "Namaku Si Hong Lan, bibi."

"Nama yang bagus, cocok dengan wajahmu yang manis. Hong Lan, mari kupondong dan kuberi mainan yang indah."

Hong Lan tidak membantah ketika digendong. "Mainan apa, bibi?"

"Nanti kupetikkan bunga merah, kutangkapkan kupu-kupu kuning."

"Bibi baik, bibi baik sekali, suheng” Hong Lan bersorak.

Akan tetapi Siong Ki mengerutkan alisnya. Dia belum mengenal benar siapa wanita cantik itu, karena merasa khawatir kalau Hong Lan diajak pergi bermain-main. "Maaf, bibi. Sumoi Hong Lan belum kuberi sarapan pagi. Mari, sumoi, kita makan dulu..." Siong Ki menjulurkan kedua tangannya untuk mengambil sumoinya dari pondongan Bi Lan.

Akan tetapi sekali Bi Lan menggerakkan tangan kirinya menotok. Siong Ki tak mampu bergerak dalam posisi berdiri dengan kedua tangan terjulur. Bi Lan lalu berjongkok, tangan kiri memondong Hong Lan, dan tangan kanan dengan jari telunjuk terjulur mencoret-coret di atas tanah di depan Siong Ki. Kemudian, sambil memondong Hong Lan, ia berkelebat lenyap dari tempat itu, meninggalkan Siong Ki yang masih berdiri kaku seperti arca!

Tak lama kemudian, seorang pelayan keluar dan dia terheran-heran melihat Siong Ki yang berdiri dengan tangan terjulur seperti patung, tak bergerak-gerak.

"Eh, engkau kenapa?” tanyanya.

Siong Ki tidak mampu menengok, akan tetapi dia masih dapat bicara walaupun, dengan kaku dan sukar, "Cepat... beritahu suhu... cepat... sumoi diculik orang...”

Sebagai pelayan suami isteri pendekar, pelayan itupun sudah tanggap dan dia segera lari mencari majikannya yang sedang sibuk mengatur orang-orang yang sedang panen. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Si Han Beng dan Bu Giok Cu ketika mendengar laporan pelayan itu bahwa Siong Ki berdiri seperti patung tak mampu bergerak dan mengatakan bahwa Hong Lan diculik orang.

Mereka lalu berlari cepat, seperti berlomba pulang ke rumah. Semua petani terkejut dan kagum bukan main melihat suami isteri yang mereka kenal sebagai sepasang pendekar namun yang tak pernah mereka lihat kepandaiannya itu, kini berlari seperti terbang saja meninggalkan sawah. Baru sekarang mereka menyaksikan suami isteri itu memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa.

Suami isteri itu tiba di pekarangan rumah mereka dan setelah Han Beng membebaskan totokan yang membuat muridnya tak mampu bergerak, Siong Ki cepat menunjuk ke bawah, di depannya. "Ia meninggalkan tulisan di situ..."

Han Beng dan Giok Cu cepat membaca tulisan itu. Huruf-hurufnya jelas karena jari yang mencoret-coret di atas tanah itu menggunakan tenaga sin-kang, sehingga tanah itu seperti dicoret dengan pensil baja saja.

Suheng Si Han Beng. Engkau telah membuat aku berpisah selamanya dari orang yang kucinta. Aku akan membuat engkau berpisah sementara dari anak yang kau sayang. Aku berhak menyayang dan disayang. Aku sayang Hong Lan dan ingin menikmati hidup bersamanya. Setelah beberapa tahun, aku akan mengembalikannya kepadamu. Suheng, jangan kejar kami, karena terpaksa aku akan membunuh Hong Lan, lalu membunuh diri sendiri, Kwa Bi Lan.

"Aih, anakku...!" Giok Cu menjadi pucat wajahnya setelah selesai membaca coretan tulisan di tanah itu. "Aku harus mengejar iblis betina itu...!"

Ia hendak meloncat, akan tetapi tangannya dipegang suaminya. "Tunggu dulu... apakah kau ingin ia membunuh anak kita? Aku yakin ia tidak menggertak kosong belaka," kata Han Beng sambil menunjuk ke arah kalimat terakhir itu. Giok Cu membacanya lagi, "Suheng, jangan kejar kami, karena terpaksa aku akan membunuh Hong Lan, lalu membunuh diri sendiri."

"Ahhh... tapi... tapi... bagaimana dengan anak kita...?" Suara wanita perkasa itu mengandung tangis karena ia merasa khawatir bukan main.

Han Beng merangkul isterinya. Wajahnya sendiri juga pucat dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main, akan tetapi dia tidak bingung seperti isterinya.

"Giok Cu, aku yakin bahwa ia tidak akan mencelakai anak kita, akan tetapi kalau kita mengejarnya, pasti ia akan nekat. Ia seorang yang sudah putus asa, dapat melakukan apa saja..."

"Tapi... tapi ... kenapa ia melakukan ini? Kenapa ia culik anakku?"

Han Beng menarik nafas panjang. "Aku dapat memakluminya. Pertama, ia masih merasa bahwa akulah yang membuat ia sengsara, aku yang menyebabkan kematian suhu, orang yang dicintanya. Karena itu ia ingin membalas dendam, ingin membuatku merasakan penderitaan kehilangan orang yang kucinta, walaupun tidak selamanya seperti yang dijanjikannya, hanya untuk sementara. Dan selain itu, ia pun haus kasih sayang. Ingin menyayang dan disayang. Dan agaknya da suka sekali pada anak kita, ia ingin mencurahkan kasih sayangnya kepada anak kita, karena itu, jangan khawatir...”

"Jangan khawatir kau bilang? Aku ibu Hong Lan! Anakku diculik orang, mungkin seorang iblis betina, dan kau bilang aku jangan khawatir?"

"Giok Cu, aku tahu siapa Kwa Bi Lan. Sebelum menjadi murid suhu Liu Bhok Ki, ia adalah murid Siauw-lim-pai. Kemudian digembleng oleh suhu Liu Bhok Ki bahkan menjadi isterinya. Ia bukan iblis betina, ia seorang wanita berjiwa pendekar. Aku yakin ia akan memegang janji dan akan mengembalikan anak kita dalam keadaan selamat."

Giok Cu memandang suaminya dengan alis berkerut. "Enak saja engkau bicara membelanya! Ia menculik anak kita, ingat? Aku diharuskan berpisah dari anakku untuk beberapa tahun, dan aku harus tinggal diam saja? Aih, apakah engkau tidak dapat merasakan bagaimana penderitaan seorang ibu kalau dipisahkan dari anaknya yang baru berusia dua tahun lebih!"

Han Beng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya yang pucat. "Aku mengaku bersalah, isteriku. Akulah yang menyebabkan semua ini, aku biang keladinya dan aku siap menerima hukuman apapun..."

Melihat suaminya begitu bersedih dan menyesal, meredalah kemarahan Giok Cu dan iapun merangkul pundak suaminya dan menangis di pundak orang yang dicintainya itu. "Lalu... apa... yang harus kita lakukan...?" Rintihnya memelas.

"Tidak ada yang dapat kita lakukan sementara ini kecuali... menunggu dan pasrah kepada Tuhan. Kelak, kalau keadaan sudah mereda, kalau ia sudah tidak mengira kita akan mencarinya lagi, barulah aku akan berusaha menyelidiki dimana ia membawa anak kita, dan akan kuusahakan untuk merebutnya kembali tanpa membahayakan anak kita. Sementara ini, maafkan aku. Akulah yang menyebabkan engkau menderita batin..."

Akan tetapi. Giok Cu sudah terhibur dan dapat mengerti kebenaran ucapan suaminya. Memang berbahaya sekali kalau sekarang ia melakukan pengejaran. Wanita yang sudah putus asa itu tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Hong Lan lalu membunuh diri sendiri sebelum sempat merebut kembali anak itu! Kalau sekarang ia dibiarkan pergi, setelah beberapa lama tentu wanita itu akan mengira bahwa mereka tidak lagi melakukan pengejaran dan akan menjadi lengah. Nah, itulah saatnya mereka berusaha merebut kembali anak mereka.

Melihat kedukaan gurunya, Siong Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Beng. "Suhu, teecu yang bersalah tak mampu menjaga sumoi dengan baik. Kalau suhu mengijinkan, teecu akan pergi mencari sumoi sampai dapat dan membawanya kembali kepada suhu."

"Bangkitlah dan bekerjalah seperti biasa. Juga yang rajin berlatih silat. Jangan bicarakan dengan siapapun urusan hilangnya sumoimu. Engkau tidak bersalah, Siong Ki," kata Han Beng dan diapun menggandeng isterinya, diajak masuk ke dalam rumah.

Sejak hari itu, suami isteri pendekar ini merasa hidup mereka tidak lengkap lagi. Mereka telah berusaha setelah lewat beberapa bulan untuk mencari anak mereka yang dilarikan Bi Lan, namun tidak berhasil. Bi Lan menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu saja Bu Giok Cu menderita batin yang cukup hebat, merasa gelisah selalu. Lebih-lebih Han Beng karena pendekar ini merasa bahwa ialah yang bersalah, dan dia menganggap hal ini sebagai hukuman dari mendiang gurunya.

Seringkali dia duduk melamun dan mengeluh. Kenapa selama hidupnya gurunya itu, Sin-tiauw Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti, mengisi hidupnya dengan dendam dan pembalasan? Mula-mula selama puluhan tahun, gurunya itu membalas dendamnya secara keji sekali terhadap isterinya dan kekasih isterinya karena penyelewengan isterinya. Biarpun dirinya sudah membunuh mereka, dendamnya belum juga hilang dan dia masih "menyiksa" isteri dan kekasih isterinya itu dengan membiarkan kepala mereka selalu bersamanya!

Kini, gurunya yang sudah mati itupun melampiaskan dendamnya kepadanya karena kesalahannya tidak mentaati perintahnya menikah dengan Kwa Bi Lan. Dan pembalasan dendam ini dilakukan mendiang suhunya melalui Bi Lan! Mungkinkah Kwa Bi Lan setelah menjadi murid dan isteri Liu Bhok Ki, mewarisi pula watak pendendam yang hebat itu?

Karena tidak adanya Hong Lan, Han Beng menggembleng The Siong Ki dengan sungguh-sungguh. Dan anak ini memang berbakat baik sekali sehingga memperoleh kemajuan pesat.

********************

Kemanakah perginya Kwa Bi Lan yang membawa lari Si Hong Lan sehingga setelah lewat beberapa bulan, suami isteri perkasa dari Hong-cun itu tidak berhasil menemukan jejaknya? Mari kita ikut jejak Bi Lan setelah ia meninggalkan dusun Hong-cun sambil memondong Hong Lan.

Biarpun Kwa Bi Lan bersikap manis kepada Hong Lan, menghiburnya sepanjang jalan, bahkan membelikan pakaian dan mainan di toko, tetap saja Hong Lan mulai rewel ketika ia teringat akan ayah bundanya dan merindukan mereka, juga merindukan Siong Ki. Berulang kali ia rewel, menangis dan minta pulang. Bi Lan yang tidak mempunyai pengalaman dengan anak-anak, berusaha semampunya untuk menghibur, namun Hong Lan tetap menangis.

Saking jengkel dan sedihnya, ketika pada suatu malam Hong Lan menangis terus di dalam kamar sebuah rumah penginapan, Bi Lan juga ikut menangis! Dan sungguh aneh, begitu Bi Lan menangis, Hong Lan berhenti menangis! Anak itu memandang Bi Lan yang menangis dengan kedua mata merah. Sinar matanya penuh keheranan, bahkan mengandung iba.

"Bibi... kenapa menangis?”

Sungguh aneh, begitu mendengar anak itu berhenti menangis dan bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Bi Lan makin mengguguk menangis, merangkul anak itu dan tangisnya menjadi tersedu-sedu! Sudah terlalu lama ia tidak menangis, terlalu lama memendam duka yang disembunyikan saja di dalam hatinya, tidak pernah mendapat kesempatan mengeluarkan duka nestapa yang menekan hatinya. Kini ditanya mengapa ia menangis oleh suara kanak-kanak itu, ia menjadi demikian sedih, demikian terharu sehingga ia terguguk seperti anak kecil!

Hong Lan semakin kasihan kepada wanita yang selama ini amat manis dan baik kepadanya, yang agaknya bahkan lebih baik dan lebih sayang padanya daripada ibunya sendiri. Maka, melihat wanita ini mengguguk, iapun merangkul dan mencium pipi yang basah itu.

"Bibi, jangan menangis... bibi, jangan menangis..." Ia merengek, agak ketakutan melihat wanita itu menangis begitu sedihnya.

Mendengar ini, Bi Lan mengerahkan tenaganya untuk menahan dan menghentikan tangisnya. Ia mengangkat mukanya yang masih basah, dan ia memaksa tersenyum sambil memandang wajah anak itu yang juga masih basah. "Tidak, aku tidak menangis, Hong Lan sayang, aku tidak menangis... lihat, aku sudah tertawa."

Hong Lan menatap wajah itu. Wajah yang memelas sekali, nampaknya saja mulut itu tersenyum ramah, akan tetapi dua matanya merah dan pipinya basah mata. Tangis campur tawa yang mengharukan. Namun, anak itu agaknya lega begitu Bi Lan tidak mengguguk lagi. Dengan jari tangannya yang kecil-kecil, Hong Lan mengusap bawah kedua mata Bi Lan.

"Bibi, kenapa tadi menangis?"

Hong Lan menciumnya penuh kasih sayang. Ia dapat merasakan kehangatan kasih sayang anak itu kepadanya dan lebih dari pada itu, kehangatan rasa cinta kasihnya kepada anak itu! Alangkah melegakan dan membahagiakan, dapat mencurahkan kasih sayang kepada seseorang, apa lagi kalau dibalasnya! Dibalas atau tidak, mencurahkan kasih sayang ke seseorang merupakan kebahagiaan yang sejak kematian suaminya tak pernah ia rasakan lagi! Dan kini, seluruh kerinduannya akan kasih sayang, baik memberi atau menerima, ia curahkan kepada Hong Lan!

"Anakku yang baik. Aku menangis karena melihat engkau menangis, aku bersedih kalau engkau menangis, Hong Lan."

"Aku tidak akan menangis lagi, bibi..."

Bi Lan menciumnya dan mendekap muka anak itu ke dadanya. "Anakku... kau anakku yang manis, kenapa kau tidak menyebut ibu kepadaku? Sebut aku ibu, Hong Lan..."

"Tapi... engkau bukan ibuku..." Hong Lan memandang ragu.

Bi Lan kembali menciumnya penuh kasih sayang. "Anakku, mulai sekarang, aku jadi pengganti ibumu, juga pengganti ayahmu, pengganti suhengmu, pengganti segalanya. Sebut aku ibu dan engkau membuat aku senang sekali, Lan Lan!"

Hong Lan terbelalak girang mendengar sebutan itu. "Ibu juga memanggilku Lan Lan!"

Bi Lan tersenyum. "Tentu saja, dan akupun sekarang menjadi ibumu dan memanggilmu Lan Lan. Nah, kau mau bukan menjadi anakku dan menyebutku ibu?"

Lan Lan tersenyum dan mencium pipi wanita itu, " Aku senang sekali, ibu."

Bi Lan mendekap anak itu dan merasa berbahagia bukan main. Dan sejak malam itu, benar saja Lan Lan tidak pernah rewel lagi. Bahkan karena pandainya Bi Lan menghiburnya, dan mengajaknya melihat-lihat kota-kota yang ramai, pemandangan yang indah-indah, lambat laun Lan Lan mulai melupakan ayah, ibu dan suhengnya. Mereka itu makin kabur seperti merupakan bayang-bayang dalam mimpi saja.

Sebulan setelah Bi Lan melarikan Lan Lan dari rumahnya, pada suatu siang jalanannya melalui sebuah hutan di tepi sungai. Ia memang menuju ke barat untuk pulang ke Kim-hong-san, tempat tinggal mendiang suaminya, untuk hidup di sana berdua dengan Lan Lan. Karena berjalan ke barat melawan arus air Sungai Huang ho, maka ia melakukan perjalanan lewat darat, menyusuri sepanjang pantai sungai yang amat lebar itu. Dan siang itu, sambil memondong Lan Lan yang kini tidak rewel lagi, Bi Lan berjalan memasuki hutan di pantai sungai.

Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya karena pendengarannya menangkap gerakan orang di belakangnya. Ia menengok dengan cepat dan melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menyelinap lenyap di antara pohon-pohon. Ia tidak dapat melihat jelas karena gerakan orang itu cepat sekali, hanya tahu bahwa orang itu tentu seorang pria yang berpakaian serba biru. Karena sampai beberapa lamanya ia menanti, tidak ada gerakan yang mencurigakan, iapun melanjutkan perjalanan.

Baru puluhan langkah ia berjalan, ia berhenti lagi karena terdengar tiupan suling yang amat merdu. Suara suling itu meliuk-liuk, turun naik dengan getaran halus. Bi Lan memejamkan kedua matanya. Suara suling itu demikian indah, melengking halus dan seperti menarik-narik jantungnya, dan tak terasa lagi dua titik air mata tergenang di pelupuk matanya.

Tiupan suling itu demikian merdu, demikian indah, akan tetapi juga mengharukan seperti tangis sebuah hati yang merana. Sepantasnya orang yang meniup suling seperti itu adalah seorang yang sedang dilanda duka, pikirnya. Akan tetapi, sungguh mengherankan. Siapa pula yang pandai meniup suling seperti itu di tengah hutan lebat yang sunyi ini?

Bi Lan melihat pula betapa Lan Lan juga memperhatikan suara itu. "Ibu, suara apakah itu?"

"Itu suara suling, Lan Lan. Suara suling yang ditiup oleh seorang ahli, amat indahnya."

"Seperti ada yang menangis, ibu," kata anak itu.

Betapa tajam dan peka perasaan anakku ini, pikir Bi Lan dengan bangga. Memang tak salah lagi, peniup suling itu dilanda kesedihan dan tangis dari hatinya keluar melalui tiupan sulingnya. Maka, iapun mempergunakan kepandaiann dan berlari cepat ke arah suara itu dan melihat si penyuling! Jantungnya berdebar.

Seorang pemuda yang tampan berpakaian seperti seorang pelajar atau sastrawan, sedang duduk di bawah pohon dan meniup sulingnya. Yang membuat ia berdebar bukan karena pemuda itu tampan sekali, wajahnya yang dilindungi caping lebar itu memiliki hidung yang besar mancung, dan bibir yang nampak sayu. Yang membuat Bi Lan terkejut adalah pakaian sasterawan muda itu. Serba biru!

Ia teringat akan orang yang tadi berkelebat di belakangnya. Bagaimana kini tahu-tahu orang itu telah berada jauh di depannya dan meniup suling? Ia tidak melihat orang berlari melewatinya! Kalau benar peniup suling ini orang yang tadi berkelebat dibelakangnya, alangkah cepatnya orang itu dapat berada di situ.

Biarpun hatinya tertarik, akan tetapi karena ia tidak mengenal orang itu, tidak sepantasnya kalau ia terlalu lama memperhatikan seorang laki-laki asing, maka iapun berjalan terus meninggalkan tempat itu sambil memondong Lan Lan yang terus memandang ke arah si peniup suling yang agaknya juga tidak memperdulikan mereka, melainkan asyik meniup suling sambil menundukkan mukanya.

Sambil berjalan terus meninggalkan pemuda itu sampai suara sulingnya tidak terdengar lagi, mau tidak mau Bi Lan masih terkenang kepada si peniup suling. Harus diakuinya bahwa pria muda itu tampan sekali, dan nampaknya seperti seorang sasterawan muda yang lemah. Akan tetapi, iapun tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang yang nampaknya lemah akan tetapi sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi...