Naga Beracun Jilid 01

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun Jilid 01
Thian ho-tang (Kuil Pardamaian Langit) di lorong Coa-san (Bukit Ular) merupakan sebuah kuil yang dihuni belasan orang nikouw (pendeta Buddhis wanita) dan kuil ini dikunjungi banyak tamu yang berdatangan dari dusun-dusun di sekitar daerah pegunungan itu. Mereka datang untuk bersembahyang, mohon bermacam-macam berkah. Ada yang minta kesembuhan bagi orang sakit, minta ringan jodoh, minta bertambahnya rejeki, naik pangkat dan segala macam keinginan lagi. Bahkan diam-diam banyak pula yang minta kutukan bagi orang lain yang dibencinya.

Kuil Thian ho-tang berada di luar dusun Mo-kim cung, sebuah dusun yang makmur karena tanah di pegununagn itu subur. Penduduknya semua petani dan mungkin kuil Thian ho-tang merupakan satu di antara sebab yang mendatangkan ketenteraman pada penduduk dusun itu.

Selain tiga belas orang nikouw yang bekerja di kuil itu, melayani para pengunjung, terdapat pula seorang nikouw tua yang pekerjaannya hanya membaca kitab, berdoa dan bersamadhi saja. Para nikouw di kuil itu menyebutnya Lo Nikouw (Nikouw Tua) dan tidak pernah mengusiknya. Lo Nikouw berada di situ sejak dua tahun yang lalu dan ia tinggal di kuil itu sebagai tempat peristirahatan atau pertapaan, dan kehadirannya ini dibiayai oleh puterinya yang tinggal di dusun Mo kim-cung.

Puterinya bernama Sim Lan Ci, berusia tiga puluh dua tahun yang tinggal di dusun itu bersama suaminya bernama Coa Siang Lee, dan anak tunggal mereka bernama Coa Thian Ki yang berusia lima tahun. Mantu dan puterinya itulah yang membawanya ke kuil, dan minta kepada para nikouw disitu untuk menerima nenek itu menjadi seorang nikouw dan bertapa di kuil itu. Mereka membiayai keperluan hidup nenek itu dengan sumbangan yang memadai sehingga biarpun Lo Nikouw tidak bekerja, namun para nikouw yang lain menghormatinya.

Hal ini bukan saja karena Coa Siang Lee dan isterinya membiayai kebutuhan hidup Lo Nikouw, akan tetapi juga karena suami isteri itu terkenal di dusunnya dan di daerah sekitarnya sebagai suami isteri yang budiman. Mereka juga hidup sebagai petani sederhana, namun suami isteri itu terkenal pandai ilmu pengobatan dan selalu menolong penduduk dusun itu yang menderita sakit, bahkan ada yang mengabarkan bahwa suami isteri itu selain budiman dan pandai mengobati, juga memiliki ilmu untuk menolak segala ancaman bahaya.

Pernah dusun itu diganggu beberapa ekor harimau yang suka menerkam kambing milik para penghuni dusun. Setelah pada suatu malam, suami isteri itu pergi menyelidik sedangkan para penghuni lain bersembunyi di dalam rumah karena takut, binatang-binatang buas itupun menghilang dan tidak pernah datang lagi. Tidak ada seorangpun penghuni yang tahu bahwa suami isteri itu sebetulnya memiliki ilmu kepandaian silat tinggi yang amat kuat!

Andaikata para nikouw mengetahui, siapa sebetulnya Lo Nikouw yang tampak alim itu, tentu mereka akan merasa ngeri. Ibu dari Nyonya Coa Siang Lee yang mereka kenal sebagai Lo Nikouw yang nampaknya lemah ini, pada dua tahun yang lalu masih merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang dan berjuluk Ban tok Mo li (Iblis wanita Selaksa Racun). Dari nama julukannya sudah dapat diketahui bahwa ia adalah Iblis Betina yang amat kejam.

Para pembaca kisah Naga Sakti Sungai Kuning tentu mengenal siapa Ban-tok Mo-li, siapa pula puterinya dan mantunya itu. Ban-tok Mo li bernama Phang Bi Cu, seorang wanita yang berwajah cantik jelita namun berhati kejam. Bahkan setelah menjadi nikouw di Thian ho-tong masih nampak bekas kecantikannya walaupun usianya sudah hampir enam puluh tahun. Dua tahun yang lalu, ia masih merajalela, bersekongkol dengan orang-orang lihai lainnya di dunia sesat.

Putrinya, Sim Lan Ci, walaupun putri seorang datuk sesat, namun tidak menjadi penjahat. Apalagi setelah Sim Lan Ci bertemu dan jatuh cinta dengan Coa Siang Lee. Ban-tok Mo-li menentang perjodohan putrinya dengan Coa Siang lee. Mereka nekat dan minggat meninggalkan Ban tok Mo li, kemudian hidup sebagai suami istri petani di dusun Mo kim cung, tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Coa Thian Ki, sudah berusia lima tahun.

Karena suami isteri ini pernah menderita sengsara akibat kekerasan yang selalu terjadi dalam kehidupan para ahli silat, maka setelah mereka mempunyai seorang anak, mereka berdua bersepakat untuk tidak mengajarkan ilmu silat kepada Thian Ki, putera mereka. Mereka menganggap bahwa kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan dan perkelahian, balas membalas dan dendam mendendam. Mereka hendak menjauhkan anak mereka dari semua kekerasan itu, maka sejak kecil Thian Ki hanya belajar membaca menulis dan kebudayaan lain, akan tetapi sama sekali tidak pernah diperkenalkan dengan ilmu silat.

Dalam ilmu silat, Coa Siang lee cukup lihai karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) dari kakeknya sendiri, Cou Song yang menjadi ketua Hok-houw-pang yang berada di dusun Ta-bun-cung dekat kota Po-yang sebelah utara sungai Huang ho di Propinsi Ho-nan. Adapun isterinya, Sim Lan Ci, bahkan lebih lihai lagi karena wanita ini adalah puteri dan murid Ban tok Mo li Phang Bi Cu, memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang penuh tipu daya, bahkan juga menguasai pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun.

Demikianlah keadaan suami isteri ahli silat yang hidup tenteram sebagai petani di dusun Mo-kim-cung itu. Tak seorangpun penduduk dusun tahu bahwa suami isteri ini sesungguhnya merupakan orang-orang yang amat lihai sehingga tidak mengherankan kalau mereka dengan mudahnya dapat mengusir harimau-harimau yang mengusik dusun itu.

Akan tetapi dua tahun yang lalu, ketika itu Thian Ki berusia tiga tahun muncullah pada suatu malam tanpa diketahui orang lain, Ban-tok Mo-li di dalam rumah keluarga itu. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya suami isteri itu melihat munculnya orang yang tidak pernah mereka sangka akan datang berkunjung itu. Bagaimanapun juga, Ban tok Mo-li Phang Bi Cu adalah ibu kandung Sim Lan Ci, maka nyonya ini segera menghampiri ibunya dan mereka berangkulan.

"Ibu...!" dan Sim Lan Ci menangis dalam rangkulan ibunya yang pernah mengusirnya karena ia hendak berjodoh dengan Coa Siang Lee. Sejak itu ia tidak pernah bertemu dengan ibunya. Dan ia merasa heran akan tetapi juga terharu ketika melihat bahwa ibunya juga menangis! Hampir ia tidak percaya ibunya menangis! Bahkan sejak ia kecilpun belum pernah ia melihat ibunya menangis. Akan tetapi kini ibunya menangis seperti anak kecil.

Melihat ini Siang Lee yang berhati lembut juga menjadi terharu, Ibu mertuanya itu adalah seorang datuk sesat yang amat kejam seperti iblis. Kini menangis seperti anak kecil dan hal ini membuktikan bahwa ibu mertuanya itu ternyata juga seorang wanita biasa yang berhati lemah dan cengeng.

"Ibu, selamat datang di rumah kami." Diapun memberi hormat, tidak mau mengingat lagi betapa dahulu Ban-tok Mo-li ingin membunuhnya karena dia meminang Lan Ci. Hanya karena Lan Ci melindunginya maka dia tidak sampai terbunuh oleh wanita iblis itu.

Mendengar suara Siang Lee, nenek itu menghentikan tangisnya, melepaskan rangkulannya dan memandang kepada mantunya. "Coa Siang Lee, kau maafkanlah sikapku dahulu kepadamu."

Kembali Siang Lee dan isterinya merasa terkejut dan heran. Sungguh terjadi perubahan sikap yang luar biasa pada wanita itu! Dahulu, jangan harap Ban-tok Mo-li akan sudi minta maaf, apalagi kepada seorang muda yang menjadi mantunya!

Siang Lee memberi hormat. "Ibu, harap jangan ingat lagi urusan yang lalu. Mari silakan duduk, ibu."

"Duduklah, ibu, dan ceritakan apa yang ibu kehendaki maka datang mengunjungi kami," kata pula Lan Ci yang masih merasa heran, bahkan diam-diam ia rasa curiga. Ia sudah mengenal benar bagaimana watak ibunya ini yang penuh kelicikan dan kekejaman!

Ban-tok Mo-li duduk dan menghela napas panjang. Terbayanglah semua pengalaman yang pahit. Semenjak ditinggal puterinya, ia berulang kali mengalami kegagalan. Bahkan yang terakhir sekali ia nyaris tewas di tangan para pendekar ketika perkumpulan dimana ia menjadi ketuanya, yaitu Thian-te-pang, dibasmi oleh para pendekar. Ia menjadi putus asa, lalu melarikan diri kerumah puterinya yang selama ini tidak di akuinya lagi. Semua cita-citanya kandas dan ia hampir putus asa.

"Lan Ci, aku datang minta tolong kepada engkau dan suamimu."

Suami isteri itu saling pandang. Hampir mereka tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Ban-tok Mo-li minta tolong kepada mereka?

"Tentu saja, ibu. Kalau kami dapat membantumu, tentu akan kami lakukan, ada apakah, ibu?"

"Aku sudah bosan dengan kehidupan lama. Hanya kegagalan, kehancuran dan kekecewaan saja yang kurasakan. Aku sudah muak, Lan Ci. Aku ingin beristirahat, aku ingin hidup tenteram. Aku ingin... menebus dosa-dosaku dan menjadi nikouw. Aku minta tolong agar kalian dapat mencarikan tempat yang baik untukku. Aku ingin bertapa, aku ingin menjadi nikouw untuk menebus dosa."

Nenek yang masih cantik itu menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia tidak berpura-pura dan jelas sekali bahwa ia memang sedang berduka dan tertekan perasaannya. Suami isteri itu kembali saling pandang.

"Di luar dusun ini, tak jauh dari sini terdapat sebuah kuil yang dihuni beberapa orang nikouw, ibu. Kalau ibu suka..."

"Bagus!" Ban-tok Mo-li berseru. "Usahakan agar aku dapat diterima menjadi nikouw di sana dan dapat bertapa mengasingkan diri di sana."

Demikianlah, Siang Lee dan Lan Ci akhirnya berhasil membujuk para nikouw di Kuil Thian ho-tang untuk menerima Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sebagai seorang nikouw dan bertapa di sebuah kamar belakang kuil itu. Mereka menerima dengan senang hati ketika mendengar bahwa yang akan menjadi nikouw adalah ibu dari Sim Lan Ci yang mereka kenal sangat dermawan dan baik hati, apa lagi karena suami isteri itu memberi biaya secukupnya untuk keperluan nikouw tua yang kini disebut Lo Nikouw (Pendeta Wanita Tua) itu. Lo Nikouw digunduli kepalanya dan mengenakan jubah pendeta. Kerjanya setiap hari hanyalah mempelajari agama, berdoa dan bersamadhi.

Dan menurut pengamatan Siang Lee dan Lan Ci, agaknya ibu mereka itu benar-benar sudah bertobat, sehingga diam-diam mereka bersyukur kepada Tuhan dan mengharapkan agar nenek itu akan terus menjadi orang beribadat sampai akhir hayatnya. Mereka seringkali datang berkunjung ke kuil bersama Coa Thian Ki sehingga Lo Nikouw merasa terhibur.

Setelah lewat dua tahun, Thian Ki begitu akrab dengan neneknya dan seringkali Lo Nikouw minta agar cucunya itu diperbolehkan bermalam di kuil bersamanya. Karena merasa kasihan kepada ibunya yang hidup terasing, Lan Ci dan suaminya menyetujuinya, namun diam-diam mereka minta ibu mereka berjanji agar tidak mengajarkan ilmu silat kepada Thian Ki.

"Ibu sendiri sudah mengalami, juga kami berdua, betapa ilmu silat hanya mendatangkan malapetaka bagi kita. Setelah kami berdua meninggalkan dunia kangouw, tidak lagi berkecimpung dalam dunia persilatan, kami merasa tenteram dan damai. Karena itu, ibu, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan ilmu silat kepada Thian Ki, agar dia kelak hidup dalam suasana yang tenteram dan damai."

"Omitohud...!" Lo Nikouw merangkap kedua tangan di depan dada. "Sungguh pikiran kalian itu baik sekali. Pin-ni (aku) setuju sekali dengan pendapat kalian."

Setelah Lo Nikouw berkata seperti itu, legalah hati Siang Lee dan Lan Ci dan mereka dapat meninggalkan putera mereka di kuil itu dengan lega. Ada kebaikan dapat diperoleh kedua pihak. Bagi Lo Nikouw, kehadiran Thian Ki merupakan penghibur yang akan membuatnya tidak kesepian dan gembira. Sebaliknya, sering bermain di kuil juga amat baik bagi Thian Ki, karena anak ini mulai didekatkan kepada aran-ajaran yang baik.

Dan agaknya, setelah dua tahun tinggal di kuil, Lo Nikouw mulai nampak sehat dan segar, wajahnya nampak lembut dan alim dan tidak lagi kelihatan ia berduka atau tenggelam dalam kekecewaan. Juga Thian Ki amat akrab dengan neneknya sehingga sedikitnya seminggu sekali anak ini tidur di kamar neneknya, di bagian belakang kuil.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Suatu malam yang sunyi dan menyeramkan. Hujan turun sejak sore. Udara teramat dinginnya dan menjelang tengah malam, tidak ada suara liam-keng (membaca doa) lagi di dalam Kuil Thian-ho-tang, tanda bahwa semua nikouw sudah tidur. Semua daun pintu sudah tertutup sejak tadi karena udara yong dingin menyerang ke dalam. Pula, di malam sedingin itu, tidak akan ada tamu datang berkunjung yang perlu mereka layani.

Akan tetapi, dimalam dingin dan sunyi itu, ketika semua nikouw sudah tidur pulas, di dalam kamar bagian belakang kuil itu, kamar yang menyendiri terjadi kesibukan luar biasa tanpa mengeluarkan suara. Kesibukan yang terjadi di kamar Lo Nikouw itu kalau terlihat orang lain akan menimbulkan perasaan ngeri dan seram.

Kamar itu memang besar. Di sudut terdapat sebuah dipan kayu yang cukup besar untuk ditiduri berdua. Di sudut yang lain terdapat sebuah almari pakaian dari kayu pula. Sebuah meja dan dua buah kursi terdapat di dekat pembaringan. Selain itu, tidak terdapat perabot lain lagi sehingga kamar itu nampak kosong dan luas.

Akan tetapi di atas perapian yang biasanya dinyalakan untuk mendatangkan hawa hangat di kamar itu, kini terdapat sebuah panci besar yang terisi air setengahnya dan sedang digodok. Belum mendidih. Agaknya udara yang dingin dan menembus ke dalam kamar itu membuat air yang dimasak lebih lama mendidih dari pada biasanya.

Lo Nikouw duduk bersila, diatas pembaringan. Wajahnya yang kini nampak lembut itu tersenyum. Matanya tak pernah berkedip memandang kepada anak yang rebah terlentang di atas pembaringan, di depannya. Anak itu telanjang bulat, pulas dan tidak akan bangun sebelum dikehendaki nenek itu, karena Thian Ki, anak itu, memang pulas secara tidak wajar. Bahkan lebih tepat dikatakan pingsan dari pada tidur.

Tangan kanan nenek itu memegang sebuah mangkok yang terisi cairan merah seperti darah. Kemudian, ia menggunakan tangan kiri untuk membaluri seluruh tubuh anak itu dengan cairan merah. Seluruh tubuh dibaluri, sampai ke mukanya, kepalanya, ujung kakinya dan telapak kakinya. Dibalikkan tubuh Thian Ki dan bagian belakang juga dilumuri cairan merah itu sampai habis dan seluruh permukaan tubuh anak itu menjadi merah seperti dicat!

Ia membiarkan sampai cairan merah itu mengering di tubuh Thian Ki, kemudian ia memeriksa air di panci yang di godok. Air itu mulai mendidih dan ia menuangkan cairan hitam ke dalam air itu. Nampak uap hitam mengepul tebal dari dalam panci dan tercium bau yang harum tapi aneh. Lo Nikouw lalu menghampiri pembaringan, memondong tubuh Thian Ki yang telanjang bulat dan berwarna merah itu, kemudian ia... memasukkan tubuh anak itu ke dalam panci air mendidih!

Mula-mula tubuh bagian atas, dari kepala ke pinggang yang dimasukkan panci, tidak lama, lalu dibalikkan dari pinggang ke kaki. Juga hanya sebentar, kemudian tubuh itu direndam sampai ke leher dan Lo Nikouw menggunakan tangan untuk memercikkan air yang kehitaman dan panas itu ke muka dan kepala Thian Ki! Warna merah itu terhapus dan setelah seluruh tubuh bersih dari warna merah, Lo Nikouw menurunkan panci dan membawa tubuh yang kini mengepulkan uap panas itu ke pembaringan kembali.

Tubuh anak itu telentang. Anehnya, kulitnya tidak melepuh dan anak itu masih pingsan dan pulas, dadanya turun naik dengan halus, dan kulit tubuhnya yang terkena air mendidih itu hanya nampak kemerahan dan segar. Hanya di bagian bawah pusar dan sekitarnya, nampak ada warna hitam kemerahan yang membayang di bawah kulit!

Kini Lo Nikouw dengan penuh perhatian, dan dengan mata tak pernah berkedip duduk bersila di dekat anak itu, tangan kanannya memegang sebatang jarum yang berwarna kehijauan. Jarum yang mengandung racun berbahaya sekali. Sekali tusuk saja dengan jarum itu, orang biasa akan tewas seketika! Akan tetapi kini ia menggunakan jarum beracun itu untuk menusuki bagian-bagian tertentu dari tubuh cucunya!

Apa yang sedang dilakukan Lo Ni-kouw? Apakah nenek ini hendak mencelakai cucunya sendiri? Sama sekali tidak! Peristiwa seperti terjadi pada malam ini sudah dilakukannya sejak ia pertama kali mengajak Thian Ki tidur di situ. Diam-diam nenek ini merasa penasaran sekali mendengar bahwa puterinya, Lan Ci dan mantunya Siang Lee, mengambil keputusan untuk tidak mengajarkan silat kepada Thian Ki. Ia merasa penasaran. Padahal ia sudah siap untuk mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada cucunya. Untuk berterus membantah keputusan anak dan mantunya, la tidak berani. Ia sedang bersembunyi dan mencari ketenangan di situ, tidak boleh ia memulai dengan memusuhi anak dan mantunya.

Maka, diam-diam timbul gagasannya yang ia anggap amat baik dan menguntungkan bagi cucunya yang amat disayanginya itu. Ia ingin membuat cucunya menjadi seorang Tok-tong (Anak Beracun)! Biarpun oleh ayah ibunya tidak diberi pelajaran ilmu silat, kalau cucunya itu memiliki tubuh yang kebal kuat dan beracun, maka dia akan menjadi seorang yang mampu menjaga diri dari serangan orang lain!

Demikianlah, semenjak dua tahun yang lalu, diajaknya cucunya kadang-kadang tidur bersamanya di kuil dan kesempatan ini ia pergunakan untuk menggembleng cucunya itu agar menjadi Tok-tong! Mula-mula, ia membuat cucunya pingsan dengan totokan sehingga apapun yang ia lakukan kepada cucunya, anak itu tidak mengetahui atau menyadarinya. Ia mulai memasukkan racun, hawa beracun ke dalam tubuh cucunya melalui obat, melalui penggodokan dan juga penyaluran hawa sakti dari tubuhnya.

Dan pada malam hari ini merupakan proses terakhir bagi cucunya. Perut di bawah pusar sudah memperlihatkan tanda merah kehitaman, hal itu berarti bahwa kekuatan atau tenaga dalam di pusar sudah bangkit, dan warna hitam itu menunjukkan bahwa tenaga itu sudah mengandung hawa beracun!

Setelah selesai menusuki jalan darah tertentu di tubuh cucunya dengan jarum beracun sehingga racun itu mulai beredar di seluruh tubuhnya, Lo Nikouw memandang dengan puas, lalu mengenakan kembali pakaian pada tubuh cucunya, membebaskan totokan sehingga kini Thian Ki tidur pulas dengan wajar. Akan tetapi, anak ini mulai mengigau dan mengeluh karena dia merasa tubuhnya panas.

Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi anak itu terbangun, kemudian disuruh mandi oleh Lo Nikouw, dan rambutnya disisiri oleh neneknya, banyak rambut kepalanya yang rontok terlepas. Lo Nikouw tidak merasa heran, bahkan gembira karena maklum bahwa hal itu menandakan bahwa hawa beracun sudah mengalir sampai ke kepala. Iapun menyembunyikan rontokan rambut itu sehingga Thian Ki tidak mengetahuinya. Anak ini tidak menderita lagi, tubuhnya biasa saja tidak lagi terasa panas. Wajahnya nampak kemerahan dan segar, matanya bersinar tajam. Sepintas lalu anak ini nampak sehat dan takkan ada orang menyangka bahwa sejak malam tadi, dia sudah menjadi Tok-tong yang memiliki kelainan pada tubuhnya!

"Cucuku, engkau akan menjadi orang yang kokoh kuat, seorang yang gagah perkasa kelak," katanya setelah selesai menyisiri rambut Thian Ki.

Anak itu memandang neneknya dengan sinar mata yang jernih akan tetapi juga mengandung keheranan. "Untuk apa Nek? Bukankah dalam kitab, agama disebutkan bahwa jalan utama adalah tanpa kekerasan dan tidak melakukan perlawanan?"

"Omitohud... engkau benar sekali, cucuku. Akan tetapi lihatlah contoh di luar kamar. Mari, mari kita melihat keluar." Nenek itu membimbing cucunya dan mereka keluar dari kamar, melihat ke kebun di mana terdapat sisa akibat hujan semalam. Air hujan membuat selokan kecil di situ penuh air yang menghanyutkan daun-daun kering dan lumpur.

"Lihat itu, cucuku. Batu-batu itu, seperti juga daun-daun itu, tidak melakukan kekerasan, tidak melawan. Akan tetapi, alangkah gagahnya batu-batu itu, diterjang air masih tetap teguh dan kokoh kuat, sebaliknya lumpur dan daun-daun itu hanyut dan dipermainkan air. Nah, bukankah jauh lebih baik menjadi seperti batu itu daripada seperti tanah lumpur dan segala kotoran yang dihanyutkan air? Engkau tidak perlu melakukan perlawanan, tidak perlu menggunakan kekerasan, namun apabila dirimu kokoh kuat, engkau tidak akan mudah dipermainkan orang lain."

Thian Ki mendengarkan dengan alis berkerut, tidak mengerti mengapa neneknya bicara seperti itu. Sejak kecil, ayah ibunya selalu menekankan bahwa hidup haruslah lemah lembut dan menjauhi kekerasan dan baginya, orang gagah perkasa yang mempergunakan kekerasan adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan karenanya jahat. Kenapa kini neneknya mengatakan bahwa dia akan menjadi seorang yang kokoh kuat dan gagah perkasa?

"Lihat pula pohon-pohon itu, cucuku." Lo Nikouw menuding ke arah pohon-pohon yang tumbuh di kebun. Angin pagi itu masih bertiup kuat membuat pohon-pohon itu bergoyang-goyang dnn banyak daun rontok. "Nah, biarpun sama-sama tidak melakukan perlawanan, namun daun-daun yang kokoh kuat tidak gugur, sebaliknya daun yang ringkih akan rontok tertiup angin. Apakah engkau tidak lebih suka menjadi batu karang yang kokoh daripada menjadi lumpur, tidak lebih senang menjadi daun yang kokoh daripada daun yang lemah? Hujan dan angin badai itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan angin dan badai kehidupan yang akan menerjangmu, cucuku."

Tentu saja anak berusia lima tahun itu belum dapat membayangkan makna dari ucapan nenek itu. "Aku akan mentaati nasehat ayah dan ibu, nek, yaitu aku akan menentang setiap terjangan angin dan badai, namun bukan dengan kekerasan."

Percakapan terhenti karena terdengar suara Lan Ci memanggil-manggil putranya. "Thian Ki...! Sudah bangunkah engkau...?"

"Ibuuuu...!" Thian Ki berseru dan berlari keluar. Kiranya ayah dan ibunya sudah datang menjemputnya seperti biasa kalau dia bermalam di kuil.

Lo Nikouw juga menanggalkan sikap yang tadi bersungguh-sungguh dan ia melangkah keluar perlahan-lahan dengan wajah tersenyum lembut. Siang Lee dan Lan Ci memberi hormat kepada Lo Nikouw yang mempersilakan mereka duduk didalam.

"Ibu." kata Lan Ci. "kami ingin pamit dari ibu karena kami akan berkunjung ke Ta-bun-cung."

Lo Nikouw memandang kepada puterinya, lalu kepada mantunya, dengan sinar mata tak mengerti.

"Sudah bertahun-tahun saya tidak berkunjung ke Hek-houw-pang di Ta-bun cung, ibu. Saya ingin menengok keadaan kakek saya dan para paman."

Lo Nikouw mengangguk-angguk. Teringatlah ia bahwa mantunya adalah cucu ketua Hek-houw-pang. "Hemmm, bukankah kalian pernah bercerita bahwa ketua Hek-houw-pang yang menjadi kakek Siang Lee tidak merestui perjodohan kalian?"

"Benar ibu, itu dahulu. Sekarang setelah kami mempunyai seorang putera saya yakin bahwa kong-kong (kakek) akan menerima kami dengan baik. Saya telah rindu sekali kepada kampung halaman, dan saya juga ingin bersembahyang di makam ayah." kata Siang Lee.

Kembali nikouw itu termenung. Ia tahu benar siapa mendiang ayah mantunya ini. Nama ayah Coa Siang Lee adalah Coa Kun Tian, putera ketua Hek-hou-pang, seorang pria yang tampan dan ganteng dan berwatak mata keranjang. Adik kandungnya yang bernama Phang Hui Cu telah menikah dengan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki, akan tetapi adiknya itu tergoda oleh Coa Kun Tian sehingga terjadi hubungan gelap di antara mereka.

Ketika penyelewengan Phang Hui Cu itu diketahui oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki, maka pendekar itu menjadi marah dan membunuh isterinya sendiri dan Coa Kun Tian, kekasih isterinya. Ia boleh merasa tidak suka kepada Coa Kun Tian. Akan tetapi orang itu sudah meninggal dunia, dan bagaimanapun juga, mantunya adalah putera kandung Coa Kun Tian. Sudah sewajarnya kalau sekarang mantunya ingin bersembahyang di makam ayahnya.

"Apakah kalian hendak mengajak Thian Ki? Lebih baik tinggalkan saja dia di sini bersamaku, perjalanan itu jauh dan tentu akan melelahkan dia."

"Akan tetapi, ibu. Justru kami pergi ke sana untuk memperkenalkan Thian Ki kepada keluarga nenek-moyangnya, keluarga Coa dan juga kepada Hek-houw-pang," kata Siang Lee. lsterinya mengangguk membenarkan.

Melihat sikap puteri dan mantunya itu, Lo Nikouw hanya menghela napas panjang. "Omitohud... kalau begitu terserah kepada kalian. Akan tetapi berhati-hatilah menjaga Thian Ki. Cucuku itu kelak akan menjadi orang yang hebat...!"

Suami isteri itu tidak dapat menangkap makna yang tersembunyi di balik kata-kata itu, akan tetapi mereka girang mendengar pujian Lo Nikouw. Mereka berpamit lalu mengajak Thian Ki pulang ke dusun. Dan pada keesokan harinya, mereka bertiga meninggalkan dusun Mo-kim-cung melakukan perjalanan jauh menuju ke Ta bun-cung, yang menjadi kampung halaman Siang Lee.

********************

Tiga tahun yang lalu terjadi peristiwa hebat dalam Kerajaan Sui. Kaisar dinasti Sui, yaitu Kaisar Yang Ti, terlalu suka berperang dan mendirikan istana yang indah-indah. Semua ini makan biaya yang amat besar dan tentu saja sumber biaya itu didapat dari penghisapan terhadap rakyat jelata. Ditambah lagi dengan pembangunan Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, maka kehidupan rakyat jelata semakin tertindas. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan, dan terjadilah pemberontakan-pemberontakan di mana-mana.

Pemberontakan yang paling hebat dan yang akhirnya menghancurkan dinasti Kerajaan Sui adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Li Si Bin, putera Li Goan, kepala daerah Shan-si. Sebagai seorang perwira tinggi, Li Si Bin pernah berjasa besar terhadap Kaisar Yang Ti. Yaitu ketika dalam petualangannya memimpin pasukan untuk memerangi semua negara tetangga dan menundukkan suku-suku bangsa, pernah Kaisar Yang Ti terjebak dalam perangkap musuh di daerah Shan-si utara. Dalam keadaan terancam bahaya inilah muncul Li Si Bin bersama pasukannya yang menyelamatkan Kaisar Yang Ti.

Akan tetapi, disamping kegagahannya. Li Si Bin juga terkenal sebagai seorang yang keras dan dia berani menentang kebijaksanaan kaisar dengan menegur peraturan yang mencekik leher rakyat. Sikap ini membuat Kaisar Yang Ti tidak suka kepadanya, bahkan mencurigainya. Apa lagi kalau diingat bahwa biarpun ayahnya seorang Han, namun ibu dari Li Si Bin adalah keturunan Bangsa Turki di utara.

Pada tahun 617, Li Si Bin mengadakan persekutuan dengan Bangsa Turki dan dia melakukan penyerbuan ke Tiang-an (Tiongkok). Pemberontakan ini berhasil. Kaisar Yang Ti melarikan diri ke selatan, ke Yang-couw akan tetapi di tempat ini, Kaisar Yang Ti disambut oleh para pemberontak sehingga dia terbunuh dalam pertempuran. Adapun kotaraja diduduki oleh Si Bin.

Untuk menarik dukungan para pembesar yang masih setia kepada dinasti Sui, Li Si Bin mengangkat seorang cucu dari Yang Ti untuk dijadikan kaisar. Akan tetapi sesungguhnya, dialah yang berkuasa dan kaisar itupun hanya menjadi kaisar boneka. Dan kedudukan inipun hanya beberapa bulan saja. Setelah suasana mereda dan semua kekuasaan mutlak berada di tangannya, semua pejabat tinggi diganti dengan orang yang mendukungnya, Li Si Bin membujuk ayahnya sendiri untuk menjadi kaisar dan menurunkan kaisar boneka cucu Yang Ti itu.

Ayah Li Si Bin itu menjadi kaisar dan berjuluk Tang Kao Cu sebagai kaisar pertama dari dinasti Tang (Kaisar Tang Kao Cu 618-627). Akan tetapi karena dia menjadi kaisar karena pengaruh puteranya, maka biarpun dia menjadi kaisar selama sembilan tahun, tetap saja yang berdiri di belakang layar sebagai pengaturnya dan pemegang kekuasaan adalah puteranya sendiri yang menjadi putera mahkota!

Cerita ini dimulai dalam tahun 620 dan sudah dua tahun Kaisar Tang Kao Cu menduduki tahta Kerajaan Tang. Adapun Li Si Bin sendiri selain menjadi pangeran atau putera mahkota, juga masih melanjutkan kedudukannya yang semula, yaitu mengepalai seluruh angkatan perang dinasti Tang.

Di bagian manapun di dunia ini, peperangan menimbulkan kekacauan. Bukan saja kekacauan karena pertempuran antara kedua pihak, dan dilandanya kota-kota dan dusun-dusun oleh pertempuran, akan tetapi terutama sekali munculnya para penjahat dari dunia sesat yang melihat kesempatan baik sekali untuk merajalela. Dalam perang, pemerintah tidak dapat lagi mengendalikan keamanan. Apalagi tempat-tempat yang jauh dari pasukan pemerintah, menjadi medan pesta pora bagi para penjahat, seolah-olah semua tikus keluar karena tidak ada kucing.

Celakanya, dalam waktu perang, agaknya setan dan iblis merajalela menguasai benak kebanyakan manusia sehingga pasukan kedua pihak yang berperangpun tiba-tiba saja berubah ganas dan kejam, membunuhi penduduk tanpa alasan yang kuat. Sedikit saja sebuah pasukan mencurigai sebuah desa yang dianggap berpihak kepada lawan, tentu disikat habis. Banyak pula yang mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau seperti itu untuk bertindak sendiri-sendiri membalas dendam.

Hanya mereka yang teguh imannya kepada Tuhan sajalah yang masih selalu sadar untuk tetap berdiri di jalan yang benar. Bahkan para pendekar bermunculan seolah menjadi imbangan dari munculnya para tokoh sesat. Para pendekar ini yang menentang kejahatan yang terjadi di mana-mana. Ada pula para pendekar yang membentuk perkumpulan di tempat masing-masing untuk menjaga keamanan penduduk, menggantikan tugas pasukan keamanan pemerintah yang tidak ada pada waktu perang itu.

Perkumpulan orang gagah Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) merupakan satu di antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah yang mengerahkan anggotanya untuk menjaga keamanan penduduk di dusun mereka, bahkan siap pula membantu penduduk dusun-dusun di sekitarnya.

Kakek Coa Song yang selama puluhan tahun menjadi ketua Hek-houw-pang, kini berusia tujuh puluh sembilan tahun, sudah terlalu tua untuk aktif dalam perkumpulan. Karena kakek ini hanya mempunyai seorang putera yang sudah lama tewas, yaitu Coa Kun Tian, dan tidak mempunyai anak laki-laki lainnya kecuali tiga orang anak perempuan, maka dia lalu menunjuk Kam Seng Hin untuk menggantikannya, semenjak kerajaan Sui jatuh dan diganti Kerajaan Tang tiga tahun yang lalu.

Kam Seng Hin berusia empat puluh tahun, tinggi besar dan gagah. Dia juga murid Hek-houw pang yang menikah dengan seorang cucu perempuan dari Coa Song, maka biarpun dia bukan keturunan Coa, diapun bukan orang luar. Pertama masih murid Hek-houw-pang. Kedua masih cucu mantu dari kakek Coa Song. Karena hanya pendekar inilah yang dianggap mampu, diapun diangkat oleh Coa Song untuk memimpin Hek-houw-pang.

Dan memang pilihan kakek Coa Song ini tidak keliru. Kam Seng Hin yang dibantu isterinya, Poa Liu Hwa, cucu-luar kakek Coa Song, ternyata mampu mengangkat nama Hek-houw pang sebagai sebuah perkumpulan orang gagah. Ketika terjadi kekacauan akibat perang, Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa memimpin semua anggota Hek houw pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orung itu untuk menjadi pasukan keamanan yang mempertahankan keamanan penduduk dusun Ta-bun-cung dan dusun-dusun di sekitarnya. Mereka menentang dan mengusir setiap penjahat atau gerombolan perampok yang hendak mengacau di daerah itu.

Karena sepak terjang orang-orang Hek-houw-pang ini, maka nama perkumpulan itu menjadi harum, dipuji semua penghuni dusun-dusun di sekitarnya, dan mengalirlah sumbangan-sumbangan dari para penduduk yang berterima kasih. Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa hanya mempunyai seorang anak yang pada waktu itu usianya sudah lima tahun. Seorang anak yang mungil, berwajah tampan dan berotak cerdas sekali.

Dan sejak kecil oleh orang tuanya, juga oleh kakek Coa Song sendiri, anak yang diberi nama Kam Cin ini digembleng ilmu silat keluarga Coa yang menjadi ilmu dari Hek houw-pang. Baik kakek Coa Song maupun ketua Hek-houw-pang dan isterinya, menanamkan jiwa kependekaran ke dalam hati dan pikiran Kam Cin, sehingga sejak kecil anak ini memiliki watak yang gagah, pemberani, dan lincah.

Semua anak buah atau murid Hek-houw-pang menyayangi Kam Cin yang amat tampan dan gagah ini. Ketampanan dan kemungilannya membuat dia disebut dengan nama kesayangan Cin Cin. Biarpun dia disayang dan dimanja oleh semua orang, namun Cin Cin atau Kam Cin tidak menjadi manja, tidak pernah merengek dan kemanjaannya hanya nampak pada wataknya yang lincah gembira saja.

Segala kekacauan yang terjadi dunia ini sesungguhnya hanya merupakan akibat belaka dari ulah manusia sendiri. Yang merasakan kekacauan adalah manusia sendiri pula. Perang terjadi karena ulah manusia. Setiap perbuatan manusia hampir selalu didorong oleh nafsu daya rendah sehingga dengan sendirinya mendatangkan akibat yang menyengsarakan manusia sendiri.

Perang merupakan konflik antara manusia karena didorong nafsu daya rendah masing-masing, hingga timbul bentrokan kepentingan diri sendiri dan tentu saja terjadi perang untuk mempertahankan kebenaran masing-masing. Kebenaran masing-masing adalah kebenaran yang dilandasi kepentingan diri sendiri. Kesadaran akan kelemahan dan kesalahan diri sendiri hanya terdapat kalau kita mau mawas diri tanpa penilaian, melihat keadaan diri sendiri, mengamati pikiran sendiri, karena pikiran yang menimbulkan perbuatan dan ucapan.

Kalau kita mau melakukan pengamatan diri sendiri setiap saat, akan nampaklah betapa suara setan menguasai pikiran dan hati kita, membujuk merayu dan menipu, menyeret kita ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan panca-indra kita yang lemah karena bergelimang nafsu. Demikian lemah dan kotornya hati dan akal pikiran kita sehingga biarpun kita sudah sadar akan kesalahan dan kesesatan diri sendiri, namun kita tetap tidak kuasa, tidak mampu untuk menghentikan penyelewengan kita yang sudah kita sadari itu!

Satu-satunya jalan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengnn penuh keikhlasan dan ketawakalan, memohon kemuruhan Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan kita dan mampu membebaskan jiwa kita dari cengkeraman nafsu daya rendah.


Setelah dinasti Sui jatuh dua tahun yang lalu, dan atas desakan Li Si Bin yang usianya baru tujuh belas tahun itu, ayahnya mengangkat diri menjadi kaisar baru, yaitu Kaisar Tang Kao Cu sebagai kaisar pertama dari dinasti Tang, perang tidak juga berhenti. Kerajaan Sui memang sudah roboh, diganti Kerajaan Tang. Akan tetapi banyak gubernur dan raja muda yang bangkit dan tidak mau mengakui dinasti Tang yang baru itu. Maka selama beberapa tahun, Li Si Bin memimpin pasukan mengadakan pembersihan di mana-mana, terutama memadamkan pemberontakan para pembesar daerah Lok-yang.

Demikianlah, Hek-houw-pang juga harus melakukan keamanan selama pemerintah yang baru masih sibuk mengadakan operasi pembersihan di mana-mana sehingga roda pemerintahan belum dapat berjaIan lancar. Banyak dusun, termasuk Ta bun cung yang tidak mempunyai kepala dusun angkatan pemerintah. Maka penduduk Ta bun-cung dan juga penduduk dusun-dusun sekitarnya, sepakat untuk mengangkat pangcu dari Hek-houw-pang untuk sementara menjadi kepala dari semua dusun itu. Demi menjaga ketertiban dusun-dusun itu, Kam Song Hin, ketua Hek-houw-pang, terpaksa menerima pengangkatan yang amat penting dan juga berat itu sebagai kepala dari semua dusun, tentu saja kini tanggung-jawabnya menjadi mutlak!

Biarpun pada waktu itu Li Si Bin haru berusia sekitar dua puluh tahun, namun ternyata dia sudah menunjukkan bakat besar untuk menjadi seorang pemimpin besar pula. Memang, baru dua tahun dinasti Tang didirikan, dan pemerintah belum dapat mengatur seluruh daerah kerajaan yang amat luas itu, keamanan dan ketertiban belum terlaksana dengan baik, apalagi karena dia sendiri masih sibuk melakukan pembersihan menumpas mereka yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Tang yang baru.

Namun dia mendengar laporan para penyelidik yang disebarnya, dan memperhatikan keadaan yang sekecil-kecilnya. Dia mendengar pula akan sepak terjang Hek-houw-pang, dan dia amat menghargai usaha Hek-houw-pang yang membantu pemerintah secara tidak langsung dengan menjamin keamanan daerah dekat kota Po-yang itu.

Pada suatu hari, tampak kesibukan di dusun Ta-bun-cung, terutama sekali di rumah perkumpulan Hek houw-pang yang cukup besar. Perumahan Hek-houw pang terdiri dari beberapa buah bangunan yang bagian induknya dijadikan tempat tinggal keluarga pang-cu (ketua) Kam Seng Hin. Keluarga ini terdiri dari Kam Seng Hin, isterinya Poa Liu Hwa, putera mereka Kam Cin dan kakek Coa Song. Dan di bangunan-bangunan samping tinggal para murid atau anggota Hek-houw-pang yang belum berkeluarga, tidak kurang dari limabelas orang jumlahnya.

Mengapa nampak kesibukan di dusun itu? Ternyata pada pagi hari itu seorang perwira diiringkan dua losin prajurit yang merupakan pasukan dari pemerintah, datang berkunjung. Sikap perwira ini dan pasukannya baik, sehingga menghilangkan kecurigaan dan kekhawatiran penduduk, apa lagi ketika perwira itu mengatakan bahwa dia diutus oleh panglima di kota raja untuk bertemu dengan Hek-houw-pang. Perwira itu lalu diterima oleh Kam Seng Hin dan istrinya, diajak bicara di dalam sedangkan pasukannya menanti dan beristirahat di luar, di pekarangan yang cukup luas dan dilayani oleh para anak buah Hek houw-pang.

"Sribaginda Kaisar sendiri yang mengutus Panglima untuk menghubungi Hek-houw pang, pangcu. Sribaginda Kaisar sangat berkenan mendengar akan perjuangan Hek-houw pang mengamankan daerah ini. Jasa Hek-houw-pang sudah dicatat di kota raja."

Tentu saja pangcu Kam Seng Hin dan isterinya merasa bergembira sekali mendengar pujian ini. Hati siapa tak merasa gembira mendengar bahwa Kaisar sendiri menaruh perhatian kepada mereka yang berada di dusun?

"Aih, ciangkun. Sebetulnya yang kami lakukan ini hanyalah untuk memenuhi tugas kami sebagai perkumpulan orang gagah yang selalu menentang kejahatan. Saya kira ini merupakan tugas setiap warga negara."

Perwira itu tersenyum. "Pangcu memang seorang pendekar yang gagah, maka dapat memimpin anak-buahnya menjadi orang-orang yang gagah dan baik pula. Karena itu, kami dari pasukan pemerintah, atas nama Kaisar, ingin minta bantuan pangcu."

Kam Seng Hin dan isterinya saling pandang, lalu ketua itu memandang kepada perwira itu dengan sikap heran. "Pemerintah hendak minta bantuan kami? Ciangkun (perwira), bantuan apakah yang dapat kami berikan? Kami hanya perkumpulan kecil di dusun yang sepi."

"Justru itulah Hek-houw-pang dapat membantu pemerintah, pangcu. Ketahuilah bahwa pasukan pemerintah yang baru saja menghancurkan kekuatan pemberontak yang dipimpin oleh seorang raja muda dari Po-yang, keluarga kerajaan Sui yang sudah jatuh. Akan tetapi, raja muda itu dapat meloloskan diri bersama para pengikutnya dan selama dia belum tertangkap, akan selalu ada bahaya pemberontakannya. Dia seorang yang berbahaya, amat pandai, bahkan Panglima sendiri memberi peringatan kepada para perwira agar berhati-hati dan sedapat mungkin menangkapnya, hidup atau mati."

"Apa hubungannya semua itu dengan Hek-houw-pang, ciangkun? Apa yang dapat kami lakukan untuk membantu Sribaginda Kaisar?"

"Pangcu, seperti kukatakan tadi, raja muda itu melarikan diri dari Po-yang dan menurut penyelidikan, dia dan para pengikutnya melarikan diri ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho dan mungkin sekali berada di sekitar daerah ini, maka pangcu dapat membantu pemerintah untuk ikut mencari dan menangkap raja muda itu, hidup ataupun mati."

Barulah Kam Seng Hin mengerti. "Siapakah nama raja muda itu, ciangkun. Biarpun kami tinggal di dusun ini, tidak jauh dari Po-yang, akan tetapi kami tidak mengenal para pembesar dan bangsawan."

"Namanya Pangeran Cian Bu Ong. Dia masih saudara dari Kaisar Yang Ti dari dinasti Sui yang dijatuhkan. Usianya sekitar lima puluh tahun dan tentu jarang ada yang mengenalnya karena tadinya dia berada di kota raja. Setelah dinasti Sui jatuh, dari kota raja dia melarikan diri ke Po-yang dan di sana dia menyusun pemberontakan. Bukan hanya dia yang lihai sekali, dia mengajak beberapa orang jagoan yang sedang menjalani hukuman selama hidup di penjara Po-yang."

Lalu perwira itu menggambarkan bentuk muka dan keadaan pangeran pelarian itu kepada Kam Seng Hin. Setelah perwira itu bersama pasukannya meninggalkan dusun Ta-bun-cung, Kam pangcu lalu mengajak istrinya untuk menghadap kakek Coa Song di dalam kamarnya yang juga menjadi tempat pertapaannya. Mereka menceritakan semua yang baru saja terjadi berkenaan dengan kunjungan pasukan pemerintah dan minta nasehat dari kakek yang sudah lama lebih banyak bertapa di dalam kamarnya itu.

"Pangeran Cian Bu Ong? Hemmm. Aku pernah mendengar nama itu, belasan tahun yang lalu. Memang kabarnya mendiang Kaisar Yang Ti mempunyai banyak jagoan istana dan di antaranya terdapat pangeran yang memiliki tubuh kebal dan ilmu silat yang lihai. Mungkin itulah orangnya. Kalian harus berhati-hati dan mulai sekarang, sebaiknya kalau kalian mengerahkan semua tenaga orang muda di dusun-dusun agar mereka melakukan penjagaan di dusun masing-masing. Ada baiknya memberi latihan ilmu silat kepada mereka untuk menambah semangat mereka. Hek houw-pang tidak pernah mencampuri urusan pemerintah, akan tetapi kalau ada ancaman bagi rakyat, kita harus bertindak untuk mengamankan kehidupan rakyat..."

Mendengar nasihat kakek mereka itu, Kam Seng Hin dan isterinya lalu mengumpulkan semua murid atau anak buah Hek houw-pang, membagi-bagi tugas kepada mereka untuk mengumpulkan para pemuda di dusun-dusun sekitarnya, membentuk pasukan penjaga keamanan dan melatih silat kepada mereka. Dusun Ta-bun-cung sendiri dijaga ketat siang malam.

Sebetulnya, apakah yang terjadi di Po-yang? Dan kenapa Panglima Besar, juga Putera Mahkota seperti Li Si Bin sampai memerintahkan panglimanya melakukan pengejaran bahkan minta bantuan Hek-houw-pang untuk melakukan pencarian dan penangkapan?

Seperti telah diceritakan oleh perwira yang mengunjungi Hek-houw-pang di Po-yang, seperti juga di banyak daerah lain, terdapat pemberontakan dari mereka yang masih setia kepada Kerajaan Sui atau mereka yang tidak mau mengakui kekuasaan kerajaan baru dan hendak berdiri sendiri. Pemberontakan itu dipimpin oleh Pangeran Cian Bu Ong yang melarikan diri dari kota raja setelah kotaraja terjatuh ke tangan pasukan Li Si Bin.

Akan tetapi, pemberontakan itupun dapat dilumpuhkan oleh pasukan kerajaan Tang karena jumlahnya yang jauh kalah besar. Pangeran Cian Bu Ong sendiri adalah seorang yang sakti, akan tetapi apa artinya kesaktian seseorang menghadapi pasukan yang puluhan ribu orang jumlahnya?

Dia melibat betapa pasukannya hancur dan sebentar lagi pasukan musuh tentu akan menyerbu Po-yang, maka dia segera mengumpulkan para pengikutnya yang masih setia kepadanya untuk lari mengungsi dari Po-yang membawa semua harta yang dimilikinya, juga dia cepat memasuki penjara besar di Po-yang. Pada masa itu, penjara di Po-yang merupakan penjara terbesar di seluruh negeri. Para penjahat terbesar dihukum dalam penjara ini, dan hampir semua penjahat yang dihukum seumur hidup berada di situ. Pangeran Cian Bu Ong memerintahkan kepala penjara untuk menghadapkan lima orang penjahat yang paling lihai dengan kaki tangan diborgol.

Setelah lima orang penjahat itu berdiri di depannya, dia menyuruh semua penjaga keluar, membiarkan dia sendiri berhadapan dengan mereka. Dengan teliti dia mengamati lima orang laki-laki yang berdiri di depannya itu, lalu dia melihat catatan nama-nama mereka di sehelai kertas. Sebelum menyuruh mereka menghadap, tentu saja lebih dahulu dia telah mempelajari tentang mereka dengan teliti.

"Siapa yang bernama Gan Lui?" tanya bangsawan itu dengan sikap berwibawa dan suara keren.

Seorang di antara lima orang hukuman itu melangkah maju. "Saya yang bernama Gan Lui," katanya.

Cian Bu Ong mengamati orang itu dan alisnya berkerut. Gan Lui seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun, bermuka kuning dan matanya sipit, kumisnya jarang seperti kumis tikus, dan mulutnya selalu cemberut. Menurut catatan, Gan Lui dihukum seumur hidup karena telah membunuh belasan orang prajurit Kerajaan Sui ketika dia mencoba untuk menyelundup ke istana.

Gan Lui ini adalah putera mendiang Kiu-bwe-houw Gan Lok (Harimau Ekor Sembilan) yang tewas oleh pasukan pemerintah. Maka Gan Lui mendendam kepada kaisar Kerajaan Sui, dan berusaha menyelundup ke istana untuk membunuh kaisar! Akan tetapi, dia dikeroyok dan biarpun belasan orang prajurit pengawal tewas di tangannya, namun dia sendiri tertangkap dan dihukum seumur hidup!

"Kalau engkau suka membantuku, sekarang juga aku akan dapat membebaskanmu," kata Cian Bu Ong sambil mengamati wajah itu dengan sinar mata penuh selidik.

Gan Lui yang tadinya hanya cemberut saja, ketika mendengar ucapan ini, seketika sepasang mata yang sipit itu bersinar-sinar dan wajahnya berseri penuh harapan. "Benarkah itu? Dan siapakah paduka?" tanyanya penuh gairah.

"Belum tiba saatnya engkau mengetahui siapa aku. Jawab dulu, apakah engkau suka membantuku kalau kubebaskan?"

"Tentu saja saya akan senang sekali!"

"Hemm, hendak kulihat dulu apakah engkau cukup memiliki kemampuan untuk menjadi pembantuku. Rantai belenggu kaki dan tanganmu itu tidak berapa kuat kulihat. Nah, engkau boleh mematahkannya."

Gan Lui membelalakkan matanya, demikian pula empat orang hukuman yang lain. Andaikata mereka mampu mematahkan belenggu sekalipun, mereka tidak berani melakukan hal itu karena ini dianggap pemberontakan dan mereka akan tertangkap kembali dan mengalami siksaan hebat. "Saya tidak berani melakukannya..."

"Aku yang menyuruh, takut apa? Tak kan ada yang berani melarangku!" kata Pangeran Cian Bu Ong.

Mendengar ini Gan Lui lalu mengumpulkan napas dan mengerahkan sin-kangnya. "Krekk.! Krekk!" Rantai belenggu pada kaki dan tangannya itu patah! Biarpun pergelangan kaki dan tangannya masih dibelenggu, namun kaki tangan itu sudah dapat bergerak bebas karena rantainya patah.

"Nah, sekarang coba engkau menyerangku! Keluarkan semua kepandaianmu, dan kerahkan semua tenagamu!" kata pula pangeran itu sambil bangkit dan menuju ke tengah ruangan yang cukup lebar itu.

Kembali lima orang hukuman itu terbelalak. Akan tetapi Gan Lui sudah maklum betapa orang tinggi besar dan gagah perkasa itu hendak mengujinya. Maka diapun tldak meragukan lagi. Dia harus memperlihatkan kepandaiannya kalau ingin dibebaskan dan dapat membantu orang yang tidak dikenalnya ini.

"Baiklah, harap paduka berhati-hati! Lihat serangan!"

Gan Lui sudah melompat dan menyerang dengan kedua tangannya membentuk cakar harimau. Ternyata dia sudah menggunakan kepandaian simpanannya, yaitu Houw- jiauw kun (Silat Cakar Harimau). Ketika memainkan ilmu silat ini, kedua tangan membentuk cakar harimau dan gerakan kedua lengan itu mirip gerakan sepasang kaki depan harimau, mencakar dan memukul. Juga dia mengerahkan tenaga sin kangnya sehingga ketika dua tangan itu bergerak, terdengar suara angin berciutan.

Pangeran Cian Bu Ong mengikuti gerakan Gan Lui ini dengan pandang mata penuh selidik. Tidak buruk, pikirnya girang dan diapun menggerakkan kedua lengannya. Gan Lui terkejut bukan main, juga terheran-heran ketika merasa betapa kedua tangannya itu selalu membalik sebelum mengenai tubuh lawan, seolah ada tenaga tidak nampak yang menjadi perisai melindungi tubuh lawan yang tinggi besar itu. Dan tubuh itupun bergerak mengelak dengan sedikit gerakan saja, namun membuat semua serangannya menyeleweng dan tidak pernah dapat menyentuhnya.

Pangeran Cian Bu Ong terus mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang amat kuat sampai belasan jurus lamanya untuk menilai kepandaian Gan Lui. Kemudian, tiba-tiba dia membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya. Serangan balasan ini demikian cepat dan tidak terduga datangnya sehingga Gan Lui terkejut dan cepat diapun melindungi dirinya dengan kedua lengan yang menangkis ke sana-sini, juga kakinya bergeser dengan gesit untuk menghindarkan diri dari hujan serangan lawan. Barulah dia tahu bahwa orang yang seperti bangsawan dan yang mengujinya ini ternyata lihai bukan main!

"Terima ini!" Pangeran Cian Bu Ong berseru dan tangannya menghantam dengan tamparan dari atas.

Gan Lui terkejut, karena datangnya tamparan demikian cepatnya, maka dia lalu mengangkat kedua lengannya untuk menangkis sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya.

"Plakkk!" Kedua tangan Gan Lui bertemu dengan tangan kanan Pangeran Cian Bu Ong dan akibatnya tubuh Gan Lui terjengkang dan terguling-guling seperti dilanda angin badai yang amat kuat. Gan Lui terkejut bukan main. Untung lawannya tidak ingin mencelakainya sehingga dia tidak terluka. Dia melompat bangun dan cepat memberi hormat dengan hati tulus.

"Saya mengaku kalah!"

Pangeran Cian Bu Ong hanya tersenyum dan memberi isyarat kepada Gan Lui untuk duduk di atas bangku. Kemudian ia kembali ke mejanya, memeriksa kertas catatan. "Siapa yang bernama Lie Koan Tek?"

Orang ke dua maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada. "Saya yang bernama Lie Koan Tek, Pangeran." kata orang ini dengan lantang.

Cian Bu Ong mengamati penuh perhatian. Dari catatannya dia mengetahui bahwa laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa ini adalah seorang pendekar gagah murid Siauw-lim-pai. Dia dihukum karena bersikap memberontak terhadap Kerajaan Sui, dan hal ini mudah dimengerti kalau diingat betapa kuil Siauw lim-pai pernah dibakar oleh pasukan pemerintah dan banyak sekali murid Siauw lim-pai yang tewas.

"Lie Koan Tek, bagaimana engkau tahu bahwa aku seorang pangeran?"

"Nama besar paduka sudah terkenal di seluruh penjuru," kata Lie Koan Tek yang berwatak keras dan jujur itu.

"Kalau engkau mau kubebaskan dan membantuku, perlihatkan kemampuanmu Lie Koan Tek," kata Pangeran Cian Bu Ong.

Lie Koan Tek mengerahkan tenaga dan rantai pada belenggu kaki tangannya juga patah-patah seperti yang terjaadi pada Gan Lui tadi.

"Bagus.! Sekarang, kau boleh menyerangku dan keluarkan semua kepandaian dan tenagamu!"

Tanpa sungkan lagi Lie Koan Tek lalu menggerakkan kaki tangannya menyerang, mengeluarkan jurus-jurus Siauw lim-pai yang paling tangguh yang dikuasainya. Pangeran Cian Bu Ong gembira sekali. Pendekar ini lebih unggul dibandingkan Gan Lui. Walau selisihnya hanya sedikit. Diapun melayani sampai belasan jurus, kemudian sapuan kakinya membuat Lie Koan Tek terpelanting. Pendekar ini kagum bukan main. Jarang dia bertemu dengan orang selihai pangeran ini, dan dia mengakui kebesaran nama Pangeran Cian Bu Ong. Dia menjura dan mengaku kalah. Pangeran Cian Bu Ong persilakan dia duduk di samping Gan Lui.

Orang ke tiga adalah Thio Ki Lok, berusia lima puluh tahun, dihukum karena dia perampok tunggal yang sadis dan lihai., Tubuhnya pendek dengan perut gendut, wajahnya kekanak-kanakan, akan tetapi pandang matanya licik dan kejam. Selain ilmu silat, dia pandai ilmu gulat Mongol, dan senjata andalannya adalah golok gergaji. Karena tingkat kepandaiannya masih sedikit di bawah Gan Lui, maka dalam belasan jurus diapun dikalahkan Pangeran Cian Bu Ong.

Orang ke empat adalah seorang peranakan Turki, bernama Gulana. Kulitnya hitam seperti arang, tubuhnya tinggi besar dan rambutnya yang hitam panjang digelung, ditutup sorban putih. Dia menguasal ilmu silat yang aneh, lengannya yang panjang itu berbahaya sekali, karena dia pandai menangkap dan membanting lawan. Juga kakinya yang panjang pandai mengirim tendangan kilat. Senjata yang biasa dia mainkan adalah tongkat baja. Diapun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Gan Lui, dan dirobohkan oleh Pangeran Cian Bu Ong dalam belasan jurus. Sikapnya yang angkuh berubah setelah dia merasakan sendiri kehebatan pangeran itu dan diapun mengaku kalah.

Kini Pangeran Cian Bu Ong menghadapi orang ke lima. Dari catatannya dia tahu bahwa orang ini yang paling tangguh di antara mereka semua, maka sengaja dia menghadapinya sebagai orang terakhir. Sebelum bicara, dia mengamati dengan penuh perhatian dan memandang kagum. Orang itu masih muda sekali, tidak akan lebih dari dua puluh tujuh tahun usianya. Wajahnya tampan sekali dan sikapnya juga lembut, sama sekali tidak pantas menjadi orang hukuman. Matanya mencorong seperti mata naga. Hidungnya agak besar dan mancung, bibirnya merah penuh gairah. Melihat tubuhnya yang sedang dan sikapnya yang lembut, orang takkan menyangka dia pandai ilmu silat. Lebih pantas menjadi seorang siu-cay (pelajar) yang pandai menulis sajak.

"Namamu Can Hong San?" tanya Pangeran Cian Bu Ong.

Pemuda itu mengangguk, sikapnya angkuh. Pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal mendiang Cui-beng Sai-kong, seorang datuk besar dunia sesat, pendiri dari agama sesat Thian te-kauw. Pemuda yang tampan dan nampak halus lembut ini adalah seorang yang memiliki watak aneh, hampir tidak normal, bahkan dia telah membunuh ayahnya sendiri. Kemudian, dia pernah menjadi pemimpin besar perkumpulan sesat dari agama Thian-te-kauw yang didirikan ayahnya. Ketika perkumpulan sesat ini diserbu oleh pasukan pemerintah yang dibantu para pendekar, diapun tertawan, perkumpulannya hancur dan dia dijatuhi hukuman seumur hidup.

"Bagaimana, Can Hong San. maukah engkau membantu kami seperti empat orang gagah lainnya ini?" tanya Pangeran Cian Bu Ong.

"Nanti dulu, Pangeran. Sebelum aku memberi jawaban, aku harus mengetahui dulu, bantuan apa yang harus kuberikan kepadamu?" Biarpun ucapannya lembut dan sopan, namun kata-katanya menunjukkan bahwa dia tidak mau merendahkan diri kepada pangeran ini. Dia tahu bahwa Kerajaan Sui sudah jatuh, sehingga pangeran ini sekarang sudah bukan pangeran lagi namanya! Dan bukan watak Coa Hong San untuk merendahkan diri kepada siapapun juga.

Melihat sikap pemuda ini yang tidak menghormatinya, Pangeran Cian Bu Ong tidak menjadi marah, bahkan tersenyum. Lebih baik menghadapi orang yang terang-terangan tidak menghormatinya dari pada orang yang bersikap menjilat namun tidak diketahuinya benar bagaimana keadaan isi hatinya! Akan tetapi ia masih memancing dan pura-pura kurang senang, dan mengerutkan alisnya.

"Can Hong San. Tahukan engkau bahwa kalau tidak kami tolong, engkau tentu akan dihukum mati, atau bahkan dibunuh oleh penguasa baru yang tidak mau memelihara orang hukuman seumur hidup?"

"Pangeran tentu tahu bahwa orang seperti aku tidak takut mati. Katakan dulu, bantuan apa yang harus kuberikan padamu, baru aku akan memutuskan mau atau tidak!"

Makin kagumlah hati Pangeran Cian Bu Ong. Seorang seperti pemuda inilah yang dapat diharapkan menjadi seorang pembantunya yang setia dan baik! "Baiklah, Hong San. Ketahuilah bahwa Kerajaan Sui telah jatuh oleh Li Si Bin yang memberontak sehingga kini ayahnya yang menjadi kaisar dan mendirikan dinasti Tang. Usahaku untuk memberontak di Po-yang juga gagal. Terpaksa aku harus melarikan diri dan menjadi buruan pemerintah yang baru. Akan tetapi, aku tidak putus asa dan akan berusaha untuk menghimpun kekuatan. Nah, kalau engkau suka, mari bekerja sama denganku. Kalau kita berhasil kelak, kita sama-sama menikmati hasilnya. Setidaknya engkau akan bebas dan mempunyai harapan, dari pada sampai mati menjadi orang hukuman, bukan?"

"Hemm, baiklah kalau begitu, Pangeran. Aku menerima uluran tanganmu," jawab Can Hong San yang sebenarnya sejak tadi sudah merasa girang sekali bahwa dia akan dibebaskan dan mendapatkan harapan baru...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.