Naga Beracun Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"Kalau begitu, mari kita main-main sebentar, karena aku harus melihat dulu kemampuanmu, apakah pantas menjadi pembantuku atau tidak," kata Pangeran Cian Bu Ong sambil bangkit dari tempat duduknya.

Akan tetapi Hong San cepat berkata, "Pangeran, sungguh tidak baik kalau aku yang akan menjadi pembantu utamamu ini bertanding denganmu, walaupun hanya untuk menguji kepandaian. Aku akan merasa tidak enak kalau sampai kesalahan tangan melukaimu. Sebaiknya, biarkan empat orang calon pembantu yang lain ini maju bersama mengeroyokku, sehingga selain pangeran dapat menilai kepandaianku, juga mereka itu dapat menerima bahwa aku lebih unggul dari mereka dan kelak aku yang menjadi pembantu utama dan mereka itu harus tunduk dan taat kepadaku."

Pangeran Cian Bu Ong tersenyum dan makin kagum. Apakah ucapan itu hanya merupakan bualan kosong belaka? Atau benarkah pemuda itu mampu menandingi pengeroyokan empat orang calon pembantunya yang cukup lihai itu? Dia sendiripun harus berhati-hati kalau dikeroyok empat orang itu! Inilah kesempatan baik untuk benar-benar menguji Can Hong San.

"Baik. Nah, kalian berempat sudah mendengar sendiri. Wakililah aku untuk bersama maju menandingi dan menguji ke pandaian Can Hong San!" Perintahnya kepada empat orang itu.

Gan Lui, Gulana, dan Thio Ki Lok segera bangkit. Ini merupakan perintah pertama, maka mereka segera bangkit dengan penuh semangat, bukan saja untuk mentaati perintah pangeran Cian Bu Ong, akan tetapi juga untuk menundukkan pemuda yang mereka anggap terlalu sombong itu. Akan tetapi, Lie Koan Tek tidak bangkit berdiri.

"Lie Koan Tek, kenapa engkau tidak bangkit? Majulah dan ikutlah mengeroyok untuk menguji kepandaian Can Hong San," kata sang pangeran.

"Maaf, Pangeran. Saya bukanlah seorang pengecut. Kalau diperintahkan menguji pemuda ini, biarlah saya lakukan sendiri saja. Kalah atau menang merupakan hal yang biasa dalam pertandingan silat. Akan tetapi untuk mengeroyok, saya merasa malu dan enggan. Maaf!"

Pangeran Cian Bu Ong maklum akan sikap seorang pendekar sejati seperti murid Siauw-lim-pai ini. "Kalau begitu biarlah nanti saja kalau perlu engkau menguji sendiri. Kini yang tiga orang kuperintahkan untuk mengeroyok dan menguji kepandaian Can Hong San!"

Tiga orang itu tidak memiliki pendapat yang sama dengan Lie Koan Tek. Mereka tadi sudah membuktikan sendiri betapa saktinya pangeran itu dan mereka sudah merasa tunduk benar. Di dalam hati mereka telah menjadi pembantu yang setia, karena mereka melihat harapan baik sekali bagi keuntungan mereka sendiri kalau mereka mengabdi kepada pangeran itu.

Maka, begitu menerima perintah ini, mereka bertiga berloncatan dan berhadapan dengan Can Hong San. Disamping ketaatan mereka terhadap pangera Cian Bu Ong, mereka juga ingin menghajar pemuda yang amat sombong itu, yang berani memandang rendah kepada mereka dengan menantang agar mereka mengeroyoknya!

"Orang muda," kata Thio Ki Lok yang pendek gendut. "Kami bertiga sebagai orang-orang yang lebih tua darimu, sebetulnya juga merasa tidak enak kalau harus mengeroyokmu. Akan tetapi kami mentaati perintah Pangeran yang kami hormati. Sekarang, apakah engkau masih tetap menantang kami bertiga untuk maju bersama? Hati-hati, orang muda, jangan sampai tulang-tulangmu yang masih muda akan menjadi patah-patah menghadapi serangan kami."

"Lebih baik engkau menghadapi kami satu demi satu, orang muda," kata pula Gan Lui.

"Akupun setuju satu lawan satu!" sambung Gulana.

Bagaimanapun juga, tiga orang ini sudah menganggap diri sendiri terlalu pandai sehingga kalau mereka harus mengeroyok seorang lawan muda, mereka merasa malu dan hal ini akan menurunkan derajat mereka sebagai ahli-ahli silat tingkat atas.

"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi. Aku menantang kalian semua maju berbareng untuk mempersingkat waktu, juga untuk memudahkan Pangeran dalam menilai kepandaianku. Kalau aku kalah, anggap saja aku tidak pantas membantu Pangeran!"

Sungguh ucapan ini amat sombong terdengarnya oleh tiga orang jagoan itu. Akan tetapi sesungguhnya Can Hong San bukan seorang pemuda yang sebodoh itu. Dia bukan sekedar menyombongkan diri, melainkan ingin menimbulkan kesan dalam hati sang pangeran dan kalau dia sudah berani bicara seperti itu adalah karena dia sudah yakin akan mampu mengalahkan tiga orang pengeroyok itu, atau bahkan empat orang bersama Lie Koan Tek. Dia sudah dapat mengukur sampai dimana tingkat kepandaian mereka itu ketika tadi mereka satu demi satu diuji oleh Pangeran Cian Bu Ong.

Tiga orang itu merasa penasaran mendengar tantangan Hong San dan merekapun serentak mengambil sikap menyerang, memasang kuda-kuda, mengurung Hong San dengan kedudukan tiga sudut.

"Mulailah!" kata Hong San, masih berdiri biasa saja tanpa memasang kuda-kuda, akan tetapi pada saat itu, seluruh otot dan syaraf di tubuhnya menggetar dan dalam keadaan siap siaga.

"Heiillittttt...!" Thio Kie Lok menyerang lebih dulu dengan pukulan tangan kirinya dengan lengan yang pendek. Kalau Hong San menangkis, tangan yang memukul itu tentu akan berubah menjadi mencengkeram. Pada saat yang hanya sedetik selisihnya, Gan Lui juga sudah menyerang dari samping kiri, menampar dengan telapak tangan ke arah kepala pemuda itu.

"Hemmmn...!" Tiba-tiba saja tubuh Hong San bergerak, kedua kakinya bergeser dan dua serangan itu dapat hindarkannya dengan amat mudahnya, dengan meliuk dan miringkan tubuh.

"Haahhhh...!" Gulana menyambut dengan tendangan kakinya yang panjang.

"Wuuuut...!" Tendangan itupun dapat dielakkan oleh Hong San sehingga melayang dengan cepat mengeluarkan angin keras. Thio Ki Lok dan Gan Lui sudah menerjang lagi, demikian pula Gulana. Tiga orang yang merasa penasaran karena serangan pertama mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh Hong San, kini menyerang lebih dahsyat dari tiga jurusan.

Dan kini Pangeran Cian Bu Ong kagum. Tubuh pemuda itu demikian lincahnya sehingga bagaikan seekor burung walet saja, berkelebatan di antara sambaran pukulan dan tendangan. Sampai belasan jurus tiga orang itu menghujamkan serangan mereka, namun selalu dapat dielakkan oleh Hong San.

"Hyeeeehhh...!" Gan Lui yang merasa semakin penasaran, menubruk dari samping kiri dan kedua tangan yang membentuk cakar harimau itu sudah menerkam ke arah leher dan dada.

"Pergilah!" Hong San membentak dan kini lengan kirinya diputar menangkis, pergelangan tangannya berputar dan tangan dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah Gan Lui.

Orang tinggi kurus ini berseru kaget karena lengannya terasa sakit bukan main ketika ditangkis Hong San dan sebelum dia dapat mencegahnya, tubuhnya terdorong keras dan diapun terjengkang! Saat itu, sebatang kaki yang panjang dan besar menyambar ke arah perut Hong San. Itulah tendangan kaki Gulana. Hong San hanya miringkan tubuh sedikit sehingga kaki itu menyerempet bajunya.

Secepat kilat dia menangkap tumit dan mendorongnya ke atas dan Gulana terlempar sampai beberapa meter. Thio Ki Lok hendak mempergunakan kesempatan selagi Hong San diserang Gulana tadi untuk menerkam dari samping dan dia sudah berhasil merangkul leher Hong San, menggunakan ilmu gulatnya, kedua tangan memasuki bawah ketiak dan mencengkeram di belakang tengkuk Hong San. Agaknya dia hendak membuat pemuda itu tidak berdaya dengan kuncian gulat Mongol itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika kaki Hong San menendang ke belakang, mengenai kedua lututnya sehingga otomatis kakinya kehilangan tenaga dan kembali dia berteriak karena tangan Hong San sudah menangkap ibu jari kedua tangan yang mencengkram tengkuk pemuda itu, sehingga tentu saja cengkeramannya mengendur karena kekuatan setiap tangan terletak pada ibu jarinya.

Dalam keadaan kaki kehilangan tenaga dan cengkeraman mengendur itu, begitu Hong San membuat gerakan membungkuk dan melempar dengan pundak, tubuh pendek gendut itupun terlempar melalui atas punggung Hong San dan jatuh terbanting ke depan pemuda itu! Ketika tiga orang pengeroyok itu bangkit dengan muka menyeringai kesakitan. Pangeran Cian Bu Ong bertepuk tangan memuji.

"Bagus, bagus! Engkau memang telah membuktikan kemampuanmu, Hong San! Kami girang sekali mendapat bantuanmu dan mulai saat ini, engkau kami angkat menjadi pembantu utama! Akan tetapi jangan mengira bahwa dengan ilmumu itu, engkau akan dapat mengalahkan aku, ha ha ha!"

Can Hong San adalah seorang cerdik. Dari cara pangeran itu tadi mengalahkan empat orang calon pembantu itu, diapun tahu bahwa pangeran itu lihai dan memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga dia sendiri tidak berani yakin akan mampu mengalahkannya. Pula setelah dia diangkat menjadi pembantu utama, tentu saja dia harus bersikap tunduk.

"Aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Pangeran. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin kusuka untuk membantumu? Akan tetapi kuharap engkau suka berhati-hati terhadap murid Siauw-lim-pai ini." Hong San menunjuk kepada Lie Koan Tek.

Pendekar ini menentang pandang mata Hong San dengan penuh keberanian. Walapun dia tahu bahwa dia tidak akan menang kalau bertanding dengan pemuda yang lihai luar biasa itu, akan tetapi bukan watak pendekar Siauw-lim-pai ini untuk memperlihatkan perasaan takut.

"Hemm, aku adalah seorang laki-laki sejati yang sekali berjanji akan menepatinya sampai mati. Kurasa Pangeran harus berhati-hati terhadapmu,Can Hong San."

"Keparat! Majulah kalau engkau berani melawan aku dan kalau engkau sudah bosan hidup!" Hong San menantang dengan muka merah.

"Hemm, biarpun engkau lihai sekali jangan dikira aku akan takut menghadapi maut di tanganmu!" Lie Koan Tek bangkit berdiri dan membusungkan dadanya.

Pangeran Cian Bu Ong cepat melangkah maju menengahi. "Ah, apa yang kalian lakukan ini? Kalian akan kubebaskan untuk membantuku, bukan untuk berkelahi dan saling bermusuhan sendiri! Apa gunanya aku membebaskan kalian, kalau hanya untuk melihat kalian saling bunuh?"

"Maafkan saya, Pangeran," kata Lie Koan Tek yang segera melihat betapa tidak baiknya sikapnya tadi terhadap sang pangeran.

"Maaf," kata pula Hong San yang tentu saja tidak ingin kalau Pangeran itu menjadi tidak suka kepadanya.

"Ketahuilah, aku sekeluarga dan para pengikut sedang hendak menyelamatkan diri keluar dari Po-yang dan kalian kuminta membantu untuk melindungi. Kemudian kelak kalian membantuku menegakkan kembali kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Sui yang telah jatuh. Dan selama kalian membantuku, kalian tidak boleh mementingkan perasaan dan urusan pribadi, harus mentaati semua perintahku. Sekarang tiba saatnya kalian berjanji. Kalau kalian mau taat, aku akan membebaskan kalian, kalau tidak mau, akupun akan meninggalkan kalian di sini."

Lima orang itu serempak menyatakan janji mereka untuk menaati Pangeran Cian Bu Ong. Mereka maklum bahwa, jika mereka tidak dibebaskan oleh pangeran itu, tidak mungkin mereka melarikan diri atas usaha sendiri, karena mereka akan menghadapi ribuan orang prajurit penjaga, dan kalau mereka ditinggalkan di situ, mereka hanya akan menghadapi ancaman mati konyol. Tidak ada pilihan kecuali membantu pangeran ini.

Lie Koan Tek sendiri menaruh harapan besar pada diri pangeran itu. Pemerintahan kaisar Kerajaan Sui yang lalu telah mendatangkan banyak kesengsaraan terhadap rakyat, bahkan Siauw-lim-si juga diserbu dan dibakar karena Siauw-lim-si membela rakyat jelata. Dia mengharapkan kalau Pangeran Cian Bu Ong berhasll merebut tahta kerajaan, dia akan menjadi seorang kaisar yang baik budi dan memakmurkan kehidupan rakyat jelata.

Demikianlah, lima orang hukuman yang lihai itu dibebaskan dengan mudah oleh Pangeran Cian Bu Ong dan mereka menjadi pengawal-pengawal keluarga pangeran itu yang melarikan diri dari Po-yang.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

"Kongcu datang...!" Teriakan-teriakan gembira terdengar dari para anggota Hek-houw-pang di gardu penjagaan pintu gerbang dusun Mo-kim-cung.

Biarpun sudah belasan tahun meninggalkan Hek-houw-pang, namun para anggota Hek-houw-pang masih ingat kepada Siang Lee dan begitu Siang Lee muncul di depan pintu gerbang dusun, mereka menyambut dengan gembira sekali.

Pemuda cucu ketua lama Hek houw-pang itu yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Coa, meninggalkan Hek-houw-pang karena urusan pribadi, karena kakeknya melarang dia menikah dengan puteri Ban-tok Mo-li. Terhadap Hek-houw pang Siang Lee tidak mempunyai kesalahan apapun, maka para anggota Hek houw-pang masih memandangnya sebagai keluarga pimpinan mereka.

Segera para murid Hek-houw-pang merubung Siang Lee yang datang bersama isterinya, Sim Lan Ci dan putera mereka, Coa Thian Ki. Akan tetapi mendengar bahwa kakeknya, Coa Song, yang sudah tua sekali masih hidup, Siang Lee tidak mau berlama-lama bicara dengan para suheng dan sutenya, melainkan langsung saja mengajak anak isterinya berkunjung ke rumah induk perkumpulan itu, yang menjadi tempat tinggal ketua Hek-houw-pang.

Karena pada waktu itu keadaan sedang tegang, para murid Hek-houw-pang yang melakukan penjagaan ketat sehubngan dengan pesan dari komandan pasukan yang datang berkunjung, maka berita tentang kedatangan Coa Kongcu segera tersiar dengan cepat. Mendengar bahwa Coa Siang Lee pulang, ketua Hek-houw-pang, Kam Seng Hin dan isterinya, Poa Liu Hwa segera keluar menyambut.

Ketika Coa Siang Lee dengan isteri dan anaknya tiba di ruangan depan rumah keluarga Coa itu, dia disambut oleh Kam Seng Hin dan isterinya, juga anak mereka, Kam Cin. Beberapa orang murid Hek-houw-pang yang tadi mengikuti tamu itu sudah membisikkan kepada Siang Lee bahwa ketua Hek-houw-pang sekarang adalah murid Hek-houw-pang yang bernama Kam Seng Hin dan yang menikah dengan Poa Liu Hwa, cucu luar Coa Song atau adik misannya. Tentu saja dia mengenal keduanya dan dia merasa bergembira. Dia mengenal Kam Seng Hin sebagai sutenya (adik seperguruannya) yang gagah perkasa.

"Coa suheng (kakak seperguruan Coa)!" Kam Seng Hin dan isterinya menyambut dengan gembira sambil memberi hormat.

"Kam sute, engkau menjadi pangcu dari Hek-houw-pang sekarang? Dan engkau menjadi suami dari adikku Liu Hwa ini? Ah, aku girang sekali, sute. Perkenalkan, ini isteriku, dan ini anakku Coa Thian Ki."

Kam Seng Hin memberi hormat kepada Lan Ci dan menyebut "toa-so" (kakak ipar). Liu Hwa juga menyambut Lan Ci dengan sikap ramah dan manis, lalu ia memperkenalkan puteranya, Kam Cin. Ketika Kam Cin diperkenalkan dengan Thian Ki, dengan sikap ramah dan lincah Cin Cin, demikian panggilan akrabnya lalu memegang tangan Thian Ki.

Mereka sebaya, sama-sama lima tahun usianya. "Thian Ki, mari kita bermain di taman belakang. Kami mempunyai kolam ikan di sana dan kemarin seorang paman memberi sepasang ikan emas yang lucu bermata besar. Mari...!"

"Kam Cin..." panggil Siang Lee melihat betapa keponakannya itu sudah menarik Thian Ki diajak bermain-main.

Cin-Cin berhenti dan memandang kepada Siang Lee dengan sikap tidak malu-malu. "Supek (uwa guru), semua orang memanggilku Cin Cin, harap supek, pek-bo dan juga Thian Ki menyebut aku Cin Cin saja."

Siang Lee dan isterinya tertawa. Kam Cin atau Cin Cin itu seorang anak yang mungil, tampan, tabah dan kelihatan cerdik sekali. "Baiklah, Cin Cin, kuminta engkau jangan mengajak Thian Ki pergi bermain-main dulu. Dia harus lebih dulu kuperkenalkan kepada kakek buyutnya."

"Ah, jangan khawatir, supek. Sekarang juga akan kuajak Thian Ki menghadap kakek buyut!"

Setelah berkata demikian, Cin Cin sudah menarik tangan Thian Ki, berlari keluar dari ruangan itu. Melihat ini Siang Lee dan Lan Ci tertawa, demikian pula ayah dan ibu Cin Cin.

"Cin Cin memang bandel dan manja sekali," kata Liu Hwa.

"Baiknya dia tidak nakal," sambung suaminya.

"Kulihat anak kalian itu cerdik dan lincah. Mari kita menghadap kongkong (kakek) lebih dulu," kata Siang Lee dan mereka berempat lalu pergi ke kamar kakek Coa Song yang berada di bagian belakang.

Ketika mereka memasuki kamar yang besar itu, ternyata dua orang anak itu sudah berada di situ, duduk di atas lantai dekat kedua kaki kakek Coa Song yang nampak gembira bukan main. Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu, diiringkan oleh Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa.

"Kong-kong..." kata Siang Lee dengan suara penuh keharuan. Dia tadi sudah mendengar sepintas dari Kam Sen Hin bahwa kakeknya seringkali menanyakan dirinya, dan nampaknya kakeknya sudah melupakan pertentangan yang telah lampau. Melihat betapa kakeknya menarik Thian Ki dengan wajah gembira itu sudah membuktikan kebenaran keterangan Kam Seng Hin itu.

"Kong-kong..." Lan Ci juga memanggil dengan sikap hormat.

Sejak tadi kakek Coa Song yang usianya sudah mendekati delapan puluh tahun itu telah menyambut kemunculan cucunya itu dengan wajah cerah dan mata berseri. "Siang Lee, engkau baru datang? Dan itu isterimu yang dulu? Aku sudah berkenalan dengan putera kalian, Thian Ki. Aku girang sekali kalian sehat-sehat saja dan masih ingat untuk pulang ke sini..."

Mendengar suara kakeknya yang agaknya menyesali sikapnya yang dahulu itu. Siang Lee segera mengalihkan percakapan. "Kong-kong, saya merasa girang sekali melihat kong-kong masih sehat. Semoga Tuhan selalu memberkahi kong-kong dengan panjang usia dan sehat selalu."

"Sudah lama sekali aku merindukanmu, Siang Lee. Dan sekarang engkau datang bersama isterimu dan puteramu yang tampan gagah ini. Ah, betapa gembira hatiku. Seng Hin, suruh buatkan masakan dan minuman, kita adakan pesta keluarga untuk menyambut Siang Lee!"

Kakek itu kelihatan gembira bukan main. Tak lama kemudian, Kam Seng Hin dan isterinya meninggalkan Siang Lee dan Lan Ci bertiga saja dengan kakek mereka, sedangkan Thian Ki sudah diajak pergi ke taman oleh Cin Cin. Kakek Coa Song menghujani Siang Lee dengan pertanyaan dan suami isteri itu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak berpisah dari kakek itu. Ketika mendengar pengakuan Siang Lee dan Lan Ci bahwa mereka tidak mengajarkan ilmu silat sama sekali kepada Thian Ki, kakek Coa Song mengerutkan alisnya tanda tidak setuju.

"Eh, kenapa begitu? Aku tahu bahwa ilmu silatmu sudah maju pesat, tentu sekarang tingkat kepandaianmu tidak ada yang dapat menandinginya di Hek-houw-pang ini. Juga isterimu memiliki kepandaian yang tinggi. Kenapa kalian tidak mengajarkan ilmu silat kepada putra kalian?"

"Kong-kong, kami berdua sudah mengalami cukup banyak kesengsaraan yang disebabkan oleh kehidupan sebagai ahli Silat. Betapa di dunia ini penuh degan permusuhan dendam mendendam yang menjadi bunga kehidupan di dunia persilatan. Tidak, kong-kong, kami tidak ingin melihat putera kami terlibat dalam dunia yang penuh kekerasan itu. Kami tidak sanggup membayangkan dia kelak menjadi orang yang hidupnya selalu terancam bahaya, hidupnya dikelilingi oleh permusuhan, kekerasan, darah dan maut!"

Kakek itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kangouw, tentu saja dia dapat merasakan kebenaran yang terkandung dalam ucapan cucunya itu. "Akan tetapi, cucuku yang baik. Justru karena dunia ini penuh kekerasan, penuh orang-orang jahat yang menggunakan kekerasan terhadap orang lain untuk memaksakan kehendak mereka, maka kita perlu membekali diri dengan ilmu silat untuk membela diri sendiri dan untuk membela orang-orang lemah tertindas, untuk menentang kejahatan."

Kakek itu berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Apakah kalian ingin melihat putra kalian kelak menjadi seorang yang lemah dan menjadi korban penindasan orang-orang jahat?"

"Tidak, kong-kong. Justru karena tidak bisa silat maka dia akan hidup aman dan tenteram. Kami sudah mengalaminya sendiri. Semenjak kami berdua hidup sebagai petani di dusun kecil, kami tidak pernah mengalami kekerasan lagi. Orang-orang yang hidup di dusun dan tidak mengenal ilmu silat, tidak pernah berkelahi, tidak pernah bermusuhan. Kami ingin anak kami kelak hidup berbahagia, tenteram dan aman."

Kakek itu menghela napas panjang, "Dia adalah anak kalian, tentu saja kalian yang paling berhak untuk menentukan. Akan tetapi, Siang Lee, ingatlah, Thian Ki satu-satunya penerus keluarga Coa. Bagaimana kelak jadinya dengan Hek-houw-pang kalau tidak ada seorang she Coa yang melanjutkan? Bahkan engkau sendiri sepantasnya sekarang menggantikan sutemu untuk menjadi ketua Hek-houw-pang. Itu sudah menjadi hakmu, dan dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul darinya."

"Aih, terima kasih, kong-kong. Akan tetapi, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak lagi memasuki dunia persilatan. Kami hendak melupakan kehidupan yang lampau, memulai dengan kehidupan baru yang bebas dari kekerasan dan ilmu silat."

Diam-diam kakek Coa Song merasa kecewa, akan tetapi dia tidak menyatakan hal ini. Sementara itu, selagi orang tuanya bercakap-cakap dengan kakek buyutnya, Thian Ki diajak Cin Cin bermain-main di dalam taman yang cukup luas itu. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan dan Cin Cin dengan bangga memperlihatkan ikan-ikannya yang beraneka warna di kolam itu.

Setelah bosan melihat ikan, Cin-Cin lalu mengajak Thian Ki duduk di atas bangku yang dilindungi payon seperti payung bentuknya. Mereka segera jadi akrab sekali karena Cin Cin adalah seorang anak yang lincah jenaka dan pandai bicara, pandai bergaul, beda dengan Thian Ki, yang biarpun juga cerdik sekali, namun Thian Ki lebih pendiam dibandingkan Cin Cin yang kalau bicara seperti air terjun yang tak kunjung putus.

"Thian Ki, mari kita latihan," tiba-tiba Cin Cin berkata.

Thian Ki memandang kawan barunya itu dengan heran. "Latihan? Latihan apa?"

Cin Cin tertawa. "Aih, pakai tanya segala! Latihan apa lagi kalau bukan latihan silat? Kita adalah anak ahli silat, tentu saja aku mengajak latihan silat. Tentu engkau jauh lebih pandai daripadaku, karena aku dengar bahwa supek Coa Siang Lee dan supek-bo memiliki ilmu silat yang tinggi."

Thian Ki tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah belajar silat, Cin Cin."

Cin Cin memandang dengan sepasang matanya yang jernih itu terbelalak lebar. "Aih, tidak mungkin!" serunya heran.

Thian Ki tertawa. "Apanya yang tidak mungkin? Ayah dan ibu tidak pernah mengajarkan ilmu silat kepadaku, dan akupun tidak suka mempelajarinya. Maka, sedikitpun aku tidak bisa bermain silat Cin Cin."

"Tapi... tapi... mengapa?" Cin Cin tertegun heran, memandang kepada Thian Ki dengan sikap masih belum dapat percaya.

Thian Ki tersenyum. "Cin Cin, andaikata aku bisa silat, tentu kita sekarang sudah saling serang yang kau katakan latihan tadi. Dalam latihan silat tentu ada yang kena pukul dan hal ini bisa mendatangkan perasaan tidak senang dan dendam. Akan tetapi sebaliknya, karena aku tidak bisa silat, tentu engkau tidak bisa memaksa aku untuk berlatih. Kita tidak saling serang, tidak saling pukul, tidak saling tendang dan kita tidak mungkin merasa marah dan dendam, dan tetap bergaul dengan akrab. Nah, itulah sebabnya mengapa aku tidak diajar ilmu silat oleh ayah ibuku."

Cin Cin mengangguk-angguk, akan tetapi tetap saja masih merasa penasaran sekali. Dia akan menanyakan hal yang dianggapnya aneh ini kepada ayah ibunya. Ketika mereka semua menghadapi meja dan makan minum bersama, suasananya sungguh menggembirakan.

Sudah lama kakek Coa Song tidak memperlihatkan diri dan kini dia nampak gembira sekali, bukan hanya kakek Coa Song, Kam Seng Hin dan anak isterinya yang menyambut kedatangan Siang Lee dan anak isterinyapun hadir dalam pesta keluarga itu. Juga para murid tingkat tinggi sebanyak enam orang ikut pula hadir. Dalam kesempatan ini Siang Lee memberi keterangan terhadap segala macam pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Kemudian diapun bertanya akan perubahan suasana di dusun itu kepada Kam Seng Hin.

"Kam-sute, ketika aku memasuki dusun Ta-bun-cung, aku melihat betapa para anak buah Hek-houw-pang melakukan penjagaan dengan ketat. Apakah yang telah terjadi? Seolah-olah ada bahaya mengancam dusun kita ini."

Mendengar pertanyaan ini, Kam Seng Hin memandang kepada kakeknya dan kakek Coa Song yang menjawab. "Benar, memang ada bahaya mengancam kita, Siang Lee. Bukan hanya mengancam kita, akan tetapi mengancam seluruh penduduk dusun ini dan dusun-dusun disekitarnya.

Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu, kami kedatangan pasukan Kerajaan Tang yang minta bantuan kami untuk ikut mencari seorang buronan pemerintah yang amat berbahaya. Buronan itu adalah seorang pangeran, masih keluarga dengan kaisar Kerajaan Sui yang sudah jatuh."

"Akan tetapi, kong-kong. Bukankah selama ini Hek-houw-pang tidak mencampuri urusan pemerintah?"

"Memang benar, akan tetapi sekali ini kita tidak boleh tinggal diam saja, Engkau tahu betapa buruknya pemerintah Kerajaan Sui dan kita mendengar pula tentang kegagahan Panglima Li Si Bin yang telah menjatuhkan kaisar yan lalim itu. Kini, seluruh harapan rakyat digantungkan kepada kebijaksanaan dinasti Tang. Karena itu, kalau ada sisa keluarga Kerajaan Sui yang membuat kekacauan, sudah sepatutnya kalau kita membantu pemerintah baru yang hendak membasminya."

"Kalau buronan itu hanya seorang pangeran saja, kenapa Hek-houw-pang harus mengerahkan semua tenaga untuk melakukan penjagaan ketat?"

"Aih, engkau tidak tahu siapa buronan itu, Siang Lee. Bukan saja dia mempunyai anak buah dan pengikut, juga dia adalah seorang yang amat lihai, dulu merupakan seorang di antara jagoan istana Kerajaan Sui yang sakti."

"Hemm, begitukah? Siapa dia, kongkong?"

"Dia adalah Pangeran Cian Bu Ong. Dia sendiri seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kita belum tahu berapa banyak pengikutnya dan orang macam apa adanya mereka. Kebetulan sekali engkau dan isterimu datang, Siang Lee, maka kuharap kalian akan dapat membantu sutemu untuk menangkap buronan yang berbahaya itu."

Siang Lee dan isterinya saling pandang, merasa aneh. Bertahun-tahun mereka hidup rukun dan damai di dusun mereka, dan kini, dalam perjalanan menengok kakek mereka, begitu tiba di situ mereka dihadapkan dengan kekerasan lagi. Diam-diam mereka merasa khawatir, bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk Thian Ki yang terpaksa akan dihadapkan dengan kekerasan.

"Tentu saja kami akan membantu semampu kami, kong-kong. Hanya sudah bertahun-tahun kami tidak pernah berkelahi, tidak pernah berlatih," kata Siang Lee.

Mereka mengharapkan bahwa selama mereka berada di situ, yang mereka rencanakan beberapa hari lamanya, tidak akan terjadi sesuatu, dan mereka mengambil keputusan untuk tidak tinggal terlalu lama di dusun itu.

"Mari ke sini, Thian Ki. Di sini banyak kataknya dan besar-besar!" kata Cin Cin sambil menggerak-gerakkan obor ditangannya.

Thian Ki menghampiri, dengan obor di tangan kiri dan sebatang kayu pemukul di tangan kanan. Malam itu Cin Cin mengajaknya untuk menangkap katak hijau. Dalam bulan itu memang banyak katak hijau yang gemuk-gemuk dan Cin Cin suka sekali makan daging katak hijau yang lezat. Setelah mendapat perkenan ayah ibu mereka, dua orang anak ini pergi menangkap katak hijau di tepi sungai.

Cin Cin sudah hafal tempat di mana terdapat katak gemuk dalam jumlah besar, yaitu di tepi sungai yang merupakan rawa. Sebuah kantung kain yang mereka bawa sudah hampir penuh katak hijau. Ketika Cin Cin ingin mengajak Thian Ki pulang, tiba-tiba dia mendengar saudara misannya itu berteriak kesakitan. Dia cepat meloncat ke dekat Thian Ki.

"Ada apa, Thian Ki?" tanyanya sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi agar dapat melihat lebih jelas.

"Ah, kakiku... agaknya digigit sesuatu..." kata Thian Ki yang tadi melepaskan obornya. Dia mengambil obornya yang masih menyala, lalu mereka berdua melihat ke arah kaki Thian Ki.

"Ihhhhh! Ular...!" teriak Cin Cin yang melihatnya lebih dulu.

Thian Ki juga melihat seekor ular melilit betisnya dan menggigit betis bagian bawah. Dia menggerakkan tangan hendak menangkap ular itu.

"Jangan sentuh!" Cin Cin berseru. "Itu ular belang hitam, beracun sekali!"

Dengan mendekatkan obor, Cin Cin hendak menggunakan kayu pemukul katak untuk melepaskan ular itu dari kaki Thian Ki. Akan tetapi, dia merasa heran karena ular itu agaknya sudah menempel di kaki Thian Ki dan sama sekali tidak bergerak-gerak biarpun sudah ia congkel-congkel dengan kayu.

"Ehhhhhh...? Ular ini sudah mati!" teriaknya heran. "Tapi jangan pegang, Thian Ki. Lebih baik mari lekas pulang, lapor kepada orang tua kita. Engkau dapat berlari?"

"Dapat...!" Dan keduanya berlari-larian pulang, meninggalkan kantong terisi katak yang sejak tadi mereka kumpulkan. Dan ular itupun masih menempel di kaki kiri Thian Ki.

Tentu saja keluarga itu terkejut ketika dua orang anak itu datang berlari-larian, apalagi ketika Cin Cin berteriak "ular, ular!" setelah memasuki perkampungan mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat ular yang membelit betis kiri Thian Ki.

"Jangan sentuh! Itu ular belang hitam yang amat berbahaya!" teriak kakek Coa Song ketika melihat ular sebesar ibu jari kaki dan yang panjangnya hanya satu setengah kaki itu. Wajah kakek ini pucat ketika melihat betapa kepala ular itu masih menempel di betis cucu buyutnya, masih menggigit! Dia tahu bahwa gigitan ular itu boleh dibilang tidak ada obatnya! Dia cepat mengambil kain, menggunakan kain untuk melindungi tangan dan menangkap ular itu pada lehernya lalu dia menarik. Ular itu terlepas dan kakek itu terbelalak.

"Ular ini sudah mati!"

Lan Ci sudah merangkul puteranya dan Siang Lee juga memegang pergelangan tangan puteranya. Dia juga pucat dan khawatir sekali karena sebagai penduduk dusun itu diapun tahu bahwa gigitan ular belang hitam ini berarti maut. Kakek Coa Song, Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa juga merasa gelisah sekali. Mereka cepat mengambilkan air panas dan obat anti racun. Akan tetapi tiba-tiba Lan Ci berseru.

"Harap mundur dan biarkan aku memeriksa anakku. Minta lampu yang terang, air panas dan pisau tajam!"

Siang Lee maklum bahwa isterinya adalah puteri Ban-tok Mo-li, karenanya isterinya tentu ahli tentang racun. Kakek Coa Song ingat akan hal itu, demikian pula Kam Seng Hin dan isterinya yang sudah mendengar tentang toa-so mereka. Cepat mereka mundur dan memper siapkan semua yang diminta Lan Ci.

Dengan tenang namun sigap Lan Ci mengangkat tubuh anaknya dan merebahkannya di atas meja. Lampu-lampu di dekatnya sehingga semua orang dapat melihat ular itu dengan jelas. Lan Ci cepat membalurkan obat bubuk kuning pada tangannya, lalu dengan berani ia memegang ular yang tadi sudah ditarik lepas dari kaki puteranya. Ia harus memeriksa dulu racun macam apa yang ada pada ular itu agar dapat menentukan obat penawarnya. Akan tetapi ia terbelalak ketika memandang ular mati di tangannya itu. Tubuh ular itu seperti terbakar hangus! Ia memandang kepada Cin Cin.

"Apakah engkau tadi membakar ular itu, Cin Cin? Membakar dengan obormu?" tanyanya sambil menoleh kepada Cin Cin.

"Tidak, supek-bo!"

Siang Lee juga mendekat untuk memeriksa. Ular itu benar sudah mati, mati terbakar! Karena sukar memeriksa racun dari ular yang sudah gosong itu, Lan Ci lalu memeriksa luka di betis Thian Ki. Dan kembali ia terbelalak! Tidak nampak keracunan pada luka itu. Hanya luka kecil yang mengeluarkan sedikit darah. Bekas gigitan itu tidak ada tanda keracunan, seperti tertusuk duri saja! Ia memandang kepada Thian Ki yang juga memandangnya. Siang Lee kembali memeriksa tekanan nadi anaknya. Normal!

"Thian Ki..." Lan Ci memanggil anaknya.

"Kenapa, ibu? Tidak apa-apa, bukan?"

Lan Ci menggeleng kepalanya. "Bagaimana rasanya? Apakah panas? Atau ada perasaan nyeri yang luar biasa, apakah kepalamu pening dan jantungmu berdenyut keras?"

Thian Ki tersenyum, menggelengkan kepala dan bangkit duduk. "Sama sekali tidak, ibu. Aku tadi hanya terkejut dan rasa gigitan itu hanya perih sedikit, akan tetapi sekarang sudah sembuh lagi. Ular apakah itu, ibu?"

Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran, akan tetapi juga gembira bukan main. Kakek Coa Song seperti tidak percaya dan dia bahkan kini memeriksa sendiri. Akhirnya dia tersenyum lebar penuh kelegaaan hati. Cucu buyutnya itu memang sama sekali tidak keracunan, betapapun tidak mungkinnya hal itu.

"Apakah ular itu sudah kehilangan racunnya ketika menggigit anakmu?" tanyanya kepada Lan Ci.

Nyonya muda itu mengambil ular itu, lalu sebatang tusuk sanggul perak dicabutnya dari sanggulnya. Di bawah pandang mata semua orang, nyonya muda itu menggosok-gosok ujung tusuk sanggul perak itu ke mulut ular, di antara taring-taringnya. Dan semua orang mengeluarkan seruan ngeri karena segera tusuk sanggul yang tadinya putih bersih itu tiba-tiba menjadi kehijauan lalu menghitam! Lan Ci juga terbelalak menoleh kepada puteranya yang hanya ikut memandang tidak mengerti.

"Racun dimulut ular ini cukup kuat untuk membunuh sepuluh orang dewasa!" kata Lan Ci. "Aku akan memeriksa apa yang membuat binatang ini mati terbakar."

Lan Ci menggunakan pisau menyayat tubuh ular itu, memeriksa di bawah sinar lampu yang terang. Dan iapun memandang kepada suaminya dengan mata terbuka lebar, penuh keheranan dan kekagetan.

"Ada apa?" Siang Lee bertanya khawatir.

"Ular ini... terserang racun yang amat hebat!"

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran dan bertanya-tanya. Lan Ci diam saja, hanya mengerling sejenak kepada suaminya lalu kepada puteranya.

"Bangkai ular ini harus dikubur yang dalam. Kalau ada anjing makan dagingnya, anjing itu akan mati."

Kam Seng Hin lalu menyuruh seorang anggota Hek-houw-pang untuk melakukan penguburan itu di kebun belakang. Peristiwa ini membuat semua orang bertanya-tanya. Akan tetapi mereka semua memaklumi ketika Lan Ci mengajak puteranya itu memasuki kamar. Siang Lee yang masih berkhawatir mengikuti dari belakang. Kini Cin Cin yang dirubung semua orang dan anak ini menceritakan terjadinya peristiwa yang mengejutkan dan menggelisahkan tadi.

Setelah semua orang memasuki kamar masing-masing, Kam Seng Hin memberi nasehat kepada Cin Cin, "Anakku, engkau lihat tadi sikap Thian Ki. Biarpun nyawanya terancam maut, dia begitu tenang, begitu tabah. Engkau harus mencontoh sikapnya itu. Menjadi seorang gagah haruslah tenang dan tabah, biar menghadapi maut sekalipun. Jangan cengeng seperti seorang perempuan lemah."

"Benar kata ayahmu, Cin Cin. Engkau harus menjadi orang yang gagah perkasa dan sikap Thian Ki tadi memang mengagumkan sekali. Sungguh heran kalau anak seperti itu tidak diajar ilmu silat," kata Poa Liu Hwa.

Sementara itu, setelah Thian Ki tidur pulas, Lan Ci memberi isyarat kepada suaminya. Mereka turun dari pembaringan dan bercakap-cakap dengan suara berbisik di sudut kamar, menjauhi pembaringan itu. Tadi mereka berdua melakukan pemeriksaan lagi dengan teliti kepada tubuh putera mereka, sampai mereka merasa yakin benar bahwa Thian Ki tidak keracunan.

"Aku khawatir sekali," kata Sim Lan Ci dengan suara berbisik.

"Hemm, kenapa? Bukankah dia sama sekali tidak keracunan? Kita sepantasnya bersyukur, kenapa engkau malah khawatir?" tanya Siang Lee, juga berbisik.

Lan Ci mengerutkan alisnya. "Tadinya aku sendiri merasa heran melihat gigitan ular yang amat berbisa itu tidak membuat dia keracunan. Akan tetapi setelah aku memeriksa keadaan ular itu, mengertilah aku dan akupun merasa khawatir bukan main."

"Apa yang kaukhawatirkan?" Siang Lee yang melihat wajah isterinya berubah pucat, merangkulnya dengan penuh sayang. "Jangan membikin aku bingung, katakan apa yang mengkhawatirkan hatimu."

Dan begitu dirangkul suaminya, Lan Ci menangis di dada suaminya! Tentu saja Siang Lee menjadi semakin kaget dan heran. Didekapnya isterinya dan diusapnya air matanya. "Aih, engkau membikin aku menjadi semakin bingung. Kenapakah, sayang?"

Lan Ci mengeraskan hatinya dan membiarkan suaminya mengusap air matanya. Kemudian ia berhasil menenangkan hatinya dan beberapa kali ia menghela napas panjang. "Dahulu, sebelum aku ikut denganmu, ibuku pernah bercerita bahwa ibu senang mempelajari cara membuat seorang anak menjadi Tok-tong (Anak Beracun). Aku tidak begitu memperhatikannya dan sudah melupakan hal itu lagi ketika ibu menjadi nikouw. Akan tetapi melihat keadaan Thian Ki, aku tahu bahwa anak kita telah menjadi Tok-tong!"

"Ahh...!!!" Siang Lee terbelalak memandang kepada isterinya, lalu ke arah Thian Ki yang tidur pulas di pembaringan. "Tok-tong...? Apa artinya itu...?"

"Artinya, anak kita yang kita ingin didik menjadi orang yang tidak mengenal ilmu silat itu kini telah memiliki tubuh yang membuat dia menjadi orang yang amat berbahaya! Engkau lihat saja tadi buktinya. Seekor ular berbisa yang amat berbahaya, setelah menggigit dia, tidak membuat Thian Ki keracunan, bahkan ular itu sendiri yang keracunan dan mati seperti terbakar. Apalagi kalau ada manusia yang menyerangnya!"

"Aduhh...! Ba... Bagaimana ini...?" Siang Lee menjadi pucat dan dia memandang ke arah puteranya. "Dia harus disembuhkan. Racun itu harus dibuang dari tubuhnya!"

Dengan sedih Lan Ci menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku teringat sekarang semua keterangan ibu. Anak yang akan dijadikan Tok-tong itu bukan saja diberi minum racun, juga tubuh digodok dengan air beracun, kemudian ditusuki jarum beracun dan dimasuki hawa beracun yang hanya dapat dilakukan oleh ibu. Otomatis badan anak itu menjadi beracun, seperti binatang beracun lainnya dan tidak ada yang dapat menghilangkan racun itu dari tubuhnya."

"Celaka! Ya Tuhan, kenapa ia melakukan itu kepada anak kita?" Siang Lee mengepal tinju dan mukanya berubah merah karena marah. "Ibumu jahat sekali! Sudah menjadi nikouw masih mencelakai anak kita!"

Kini Lan Ci yang merangkul suaminya. "Tenanglah, koko. Dalam keadaan seperti ini kita harus tetap tenang agar dapat mencari jalan keluar yang tepat untuk anak kita."

Sejenak mereka berangkulan dan akhirnya Siang Lee dapat menenangkan hatinya. "Ceritakan semua, apa akibatnya setelah anak kita menjadi Tok-tong," kata Siang Lee dan suaranya mengandung kepahitan yang hebat. Anak satu-satunya, yang disayangnya dan yang diharapkan akan menjadi seorang anak yang jauh dari kekerasan dan ilmu silat, kini bahkan telah menjadi anak beracun yang berbahaya!

"Thian Ki telah menjadi Tok-tong dan tidak ada obat yang dapat memulihkannya. Dia akan tumbuh dewasa secara normal. Akan tetapi tubuhnya telah mengandung racun. Kalau dia tidak diberi tahu, tanpa disengaja dia bisa mengeluarkan hawa beracun, ludah beracun, bahkan pukulan tangannya dapat mengandung racun. Kita hanya dapat melatihnya agar dia dapat mengendalikan diri, mengendalikan hawa beracun di tubuhnya itu."

"Apa tidak ada akibat lain? Benarkah tidak ada cara untuk menghilangkan racun itu?"

"Akibat yang amat menakutkan, kalau dia tahu akan kemampuan hebat dalam dirinya untuk merobohkan orang lain, kalau dia berambisi untuk menjadi jagoan, tentu dia akan mencelakai banyak orang. Dan ada satu cara untuk menghilangkan racun itu, akan tetapi..."

"Tidak ada tapi! Apa cara itu? Akan kutempuh lautan api sekalipun untuk mencarikan obatnya."

"Racun itu akan dapat berkurang sedikit demi sedikit kalau dia... berhubungan badan dengan wanita. Akan tetapi, setiap orang wanita yang berhubungan dengan dia akan mati keracunan. Entah berapa banyak wanita yang akan mati sebelum dia bersih dari racun itu."

"Ya Tuhan...!!! Siang Lee seketika menjadi lemas. Kalau obatnya macam itu, sampai matipun dia tidak akan mengijinkan puteranya membunuh banyak wanita.

"Tidak ada lain jalan, suamiku. Kita harus memberitahu anak kita sekarang juga, agar jangan sampai terlambat. Bayangkan saja kalau dia tidak tahu dan besok pagi bermain-main dengan Cin Cin, kesalahan tangan memukulnya, dapat saja tanpa disengaja hawa beracun itu bekerja dan Cin Cin tewas di tangannya!"

Siang Lee nampak terkejut sekali. "Celaka, engkau benar! Dia harus diberitahu agar menyadari keadaan dirinya dan tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi baru saja mereka mendekati tempat tidur, di luar kamar mereka terdengar suara gaduh, disusul ketukan pintu kamar mereka dari luar.

"Suheng! Coa-suheng dan toa-so, harap buka pintu, cepat! Ada hal yang penting sekali!" terdengar suara Seng Hin, ketua Hek-houw-pang.

Tentu saja Siang Lee dan Lan Ci terkejut, mereka menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan keadaan anak mereka yang mengejutkan itu. Siang Lee cepat membuka daun pintu dan ternyata Seng Hin sudah berdiri di situ bersama Poa Liu Hwa yang memondong tubuh Cin Cin. Mereka kelihatan panik.

"Ada apakah, sute?" tanya Siang Lee.

"Coa-suheng, mereka telah menyerbu dusun kita!" kata Kam Seng Hin.

"Mereka siapa?" tanya Siang Lee.

"Mungkin anak buah orang buruan itu. Mereka lihai sekali dan beberapa orang anak buah kita telah roboh. Karena suheng dan toaso tidak mau berkelahi, maka kami hendak menitipkan Cin Cin di sini. Mohon suheng suka menjaga dan melindungi anak kami ini."

Poa Liu Hwa menurunkan Cin Cin dan mereka berdua lalu berloncatan keluar dari dalam kamar itu. "Ayah! Ibu! Aku ikut...!" Cin Cin berseru dan lari mengejar. Akan tetapi Siang Lee telah menangkap lengannya, lalu mengangkat dan memondong anak itu.

"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu akan bertempur, berbahaya sekali kalau kau ikut dengan mereka..."

"Aku tidak takut, supek! Aku akan membantu ayah dan ibu menyerang musuh!" Cin Cin meronta.

"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu telah menitipkan engkau kepada kami, kami harus menjaga dan melindungimu. Mereka akan marah kalau engkau menyusul ke sana. Di sinilah bersama kami dan Thian Ki."

"Ayah, apakah yang terjadi? Apa ribut-ribut itu?" Thian Ki yang terbangun oleh suara gaduh di luar itu sudah turun dari pembaringan dan menghampiri ayah ibunya. "Eh, Cin Cin disini?"

"Cin Cin, berjanjilah bahwa engkau akan berada di sini bersama Thian Ki dan tidak akan mencari ayah ibumu," kata Siang Lee sambil menurunkan Cin Cin yang sudah tidak meronta lagi setelah anak itu melihat Thian Ki.

"Baik, supek. Aku akan berada di sini bersama Thian Ki."

Dari situ terdengar suara orang bertempur di luar. Siang Lee dan istrinya saling pandang. "Kita harus menengok keadaan kong-kong, dan melihat apa yang terjadi," kata Siang Lee kepada isterinya.

Lan Ci mengangguk dan Siang Lee kini menghadapi dua orang anak yang sudah saling berpegang tangan dengan wajah tegang itu. "Thian Ki dan Cin Cin, kalian dengar baik-baik. Dusun ini diserbu orang-orang jahat, kami orang-orang tua harus melawan mereka, akan tetapi kalian berdua tidak boleh keluar. Kalian harus bersembunyi di sini sampai kami kembali dan jangan sekali-kali keluar. Mengerti?"

"Baik, ayah."

"Baik, supek."

Suami isteri itu hendak melangkah ke luar, akan tetapi di ambang di ambang pintu, Lan Ci kembali memasuki kamar itu dan memegang tangan Thian Ki lalu menariknya dan berkata, "Thian Ki, engkau ke sini sebentar, ibu mau bicara penting!"

Thian Ki menurut saja diajak ibunya ke sudut kamar dan ibunya berbisik-bisik di telinganya. "Thian Ki, ditubuhmu terdapat hawa beracun. Ingat ular tadi mati ketika menggigit kakimu. Kelak engkau harus mencari obat penawarnya, dan jangan sekali-kali engkau menikah sebelum sembuh. Setiap wanita akan mati kalau berdekatan denganmu. Ingat baik-baik ini," kata Lan Ci dengan suara berbisik dan sebelum Thian Ki yang menjadi bengong itu sempat bertanya, ia sudah meninggalkannya dan bersama suaminya ia lalu keluar dari dalam kamar itu setelah menutupkan daun pintunya.

Cin Cin menghampiri Thian Ki yang masih tertegun bingung. "Thian Ki, apa yang dipesankan ibumu tadi?" tanya Cin Cin sambil memegang tangan Thian Ki.

Thian Ki menggeleng kepala. "Tidak apa-apa Cin Cin. Ibu hanya pesan agar kita tidak keluar dari sini karena di luar amat berbahaya, dan bahwa aku harus melindungimu."

"Thian Ki, engkau tidak pandai silat, bagaimana akan dapat melindungiku? Akan tetapi jangan khawatir, aku dapat melindungi diriku sendiri, bahkan aku yang akan melindungimu, kalau ada orang jahat berani masuk ke sini akan kuhajar!" Cin Cin mengepal kedua tinjunya.

Akan tetapi Thian Ki tidak tersenyum melihat kelucuan Cin Cin itu. Dia sedang bingung. Ucapan ibunya masih terngiang di telinganya dan dia tidak mengerti artinya. Dia keracunan. Ular itu tadi mati sendiri begitu menggigit kakinya. Akan tetapi, apa artinya setiap wanita akan mati kalau berdekatan dengannya? Ibunya juga seorang wanita dan selama ini dekat dengannya, akan tetapi ibunya tidak mati! Dia sungguh tidak mengerti. Akan tapi dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencari obat kalau benar di tubuhnya terdapat hawa beracun.

Sebetulnya, apakah yang terjadi di dusun itu? Benar seperti dugaan Hek-houw-pang-cu yang mendengar laporan para anggotanya, malam itu rombongan Pangeran Cian Bu Ong tiba di dusun itu! Mula-mula, pada malam hari yang gelap itu, menjelang tengah malam, lima orang menghampiri gardu penjagaan di pintu gerbang dusun Ta bun-cung. Mereka itu bukan lain adalah lima orang pembantu Utama Pangeran Cian Bu Ong, lima orang bekas narapidana yang dia bebaskan, yaitu Gan Lui, Lie Koan Tek, Thio Ki Lok, Gulana dan Can Hong San.

Mereka diutus Pangeran Cian Bu Ong untuk melakukan penyelidikan sebagai pembuka jalan di dusun itu. Dari mata-matanya, pangeran itu sudah mendengar bahwa daerah itu dilindungi oleh Hek-houw-pang dan bahwa perkumpulan orang gagah ini sudah didatangi pasukan Kerajaan Tang dan dimintai bantuan untuk menghadang dan menangkapnya.

Maka dia bersikap hati-hati dan lebih dulu mengirim orang-orang kepercayaan sebelum mengajak rombongannya masuk ke dusun itu. Tentu saja para anggota Hek-houw pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang itu menjadi terkejut dan curiga ketika melihat munculnya lima orang asing secara tiba-tiba di tengah malam itu.

"Heii, berhenti! Siapa kalian dan hendak ke mana?" kepala jaga berseru dan bersama duabelas orang anggota Hek-houw-pang lainnya dia meloncat menghadang lima orang itu sambil mengamati dengan penuh selidik. Seorang penjaga menyalakan sebuah lampu lain yang lebih besar sehingga tempat itu tidak segelap tadi.

Biarpun dia yang paling muda, namun Can Hong San secara resmi telah diangkat sebagai pembantu utama oleh pangeran Cian Bu Ong, dan empat orang yang lain diwajibkan untuk membantunya. Karena ini merupakan perintah pangeran itu, maka Lie Koan Tek mentaati perintah itu dan dia menganggap orang muda itu sebagai atasannya. Tiga orang jagoan yang lain tentu saja tunduk kepada Hong San karena mereka bertiga sudah pernah dikalahkan oleh pemuda perkasa ini. Kini Hong San melangkah maju dan dengan sikap angkuh dia menghadapi kepala jaga yang berkepala botak itu.

"Apakah kalian ini anak buah perkumpulan yang dinamakan Hek-houw-pang?" tanya Hong San, suaranya dingin mengandung ejekan yang memandang rendah.

Sudah lazim bagi orang-orang muda. DaIam keadaan melakukan penjagaan keamanan itu, timbul sikap gagah-gagahan karena bangga dan merasa kuat. Demikian pula dengan orang-orang Hek-houw-pang itu. Mereka mengangkat dada dan tangan mereka siap meraba gagang senjata yang tergantung di pinggang seperti pedang dan golok, atau tombak yang berada di rak senjata di gardu itu.

"Benar sekali. Kami adalah murid-murid Hek-houw-pang yang melakukan penjagaan untuk keamanan dusun kami!" jawab si botak. "Siapakah kalian?"

"Hemm, bagus kalau kalian ini orang-orang Hek-houw-pang. Nah, sekarang cepat beritahukan kepada ketua kalian bahwa kami ingin bertemu karena urusan yang amat penting," kata Hong San, sikapnya masih dingin.

Para murid Hek-houw-pang itu saling pandang dan si botak bersikap hati-hati. Siapa tahu, lima orang ini adalah sahabat-sahabat ketua mereka yang datang berkunjung sebagai tamu. Orang-orang kang-ouw memang banyak yang aneh. Berkunjung di tengah malam seperti itu bukan suatu pantangan bagi mereka.

"Jadi cu-wi (anda sekalian) ingin bertemu dengan pang-cu kami?" tanya si botak, kini sikapnya agak menghormati dan ragu-ragu. "Akan tetapi, kami harus melaporkan dulu siapa cu-wi dan apa keperluan cu-wi hendak menghadap pang-cu kami."

"Katakan saja kepada pang-cu kalian bahwa kami berlima diutus oleh pangeran Cian Bu Ong..."

Baru bicara sampai di situ, para murid Hek-houw-pang sudah terkejut sekali. "Pemberontak!"

"Tangkap!"

"Kepung...!"

Tiga belas orang itu serentak mencabut senjata dan mengepung lima orang yang bersikap tenang itu. Si botak yang memegang sebatang pedang, menudingkan telunjuk kirinya ke muka Can Hong San dan dia berseru dengan nyaring.

"Lebih baik kalian lima orang pemberontak menyerah kepada kami daripada harus kami tangkap dengan kekerasan!"

Hong San mengerutkan alisnya. Pangeran Cian Bu Ong sudah marah ketika mendengar bahwa Hek-houw-pang mengambil sikap bermusuhan dengan dia dan akan membantu pasukan Kerajaan Tang untuk menangkapnya. Dia sudah berpesan kepada Hong San bahwa kalau ketua Hek-houw-pang mau diajak kerja sama, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau mereka berkeras menentangnya, maka lebih baik perkumpulan itu dibasmi saja!

"Hemm, orang Hek-houw-pang. Sekali lagi, panggil ketuamu ke sini agar kami dapat bicara. Atau kami akan mengambil jalan berdarah untuk menangkap ketua kalian!"

"Serbuuuu! Hancurkan pemberontak!" teriak si botak dan dia sendiri sudah menyerang Hong San dengan pedangnya, karena pemuda itu berdiri paling depan. Juga para murid lain sudah menggunakan senjata mereka untuk menyerang empat orang rekan Hong San.

Hong San adalah seorang muda yang amat lihai. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja serangan murid tingkat ke dua dari Hek-houw-pang itu tidak ada artinya bagi dirinya. Bahkan kalau dia mau melindungi tubuhnya dengan sin-kang, pedang itu tidak akan mampu menyentuhnya, akan tetapi, Hong San sama sekali tidak mengelak, bahkan menangkap pedang si botak yang menyerang dengan bacokan.

Tangan kirinya menangkap pedang itu seolah pedang itu bukan benda baja tajam yang digerakkan dengan tenaga besar, melainkan sebatang pedang kayu tumpul yang digerakkan tangan seorang anak kecil saja. Dan tangan kanannya dibarengi dengan tamparan ke arah kepala botak itu.

"Prakkkk!" Si botak terjengkang dan roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak dan pedangnya terampas berada dalam cengkeraman tangan kiri Hong San. Pemuda ini tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali dia melemparkan pedang rampasan itu ke kiri, seorang pengeroyok roboh dan pedang itu menancap di dadanya sampai menembus punggung!

Empat orang rekannya juga sudah di keroyok banyak murid Hek-houw-pang. Gan Lui merobohkan seorang pengeroyok yang tewas seketika oleh senjata cambuknya, Thio Ki Lok juga menewaskan seorang pengeroyok dengan golok gergaji. Demikian pula Gulana meremukkan kepala seorang pengeroyok dengan tongkat bajanya. Hanya Lie Koan Tek yang tampak ragu-ragu. Melihat betapa sudah ada lima orang roboh tewas, dia melompat ke depan.

"Tahan semua senjata!" teriaknya dengan suara lantang sekali karena tokoh Siauw-lim-pai ini mengerahkan khi-kang sehingga suaranya keluar dari perut dan amat nyaring. "Kami utusan pangeran Cian Bu Ong datang untuk mengajak bekerja sama, bukan bermusuhan. Kerajaan telah dirampas pemberontak, apakah kalian hendak membantu pemberontak Tang? Mari kita bicara dengan baik dan kami persilakan ketua Hek-houw-pang untuk keluar bicara dengan kami!"

"Akulah ketua Hek-houw-pang!" Tiba-tiba terdengar suara keren dan Kam Seng Hin telah berdiri di situ, didampingi oleh isterinya, Poa Liu Hwa. Ketua yang berusia empat puluh tahun ini, yang bertubuh tinggi besar dan gagah, nampak marah sekali melihat betapa lima orang murid Hek-houw-pang telah roboh tewas. "Kailan anjing-anjing penjilat Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak! Kami adalah rakyat yang tunduk dan taat kepada pemerintah yang sah!"

Lie Koan Tek merasa khawatir sekali melihat sikap ketua Hek-houw-pang itu. Dia tahu benar betapa lihainya empat orang rekannya, terutama sekali Can Hong San yang masih muda itu, dan betapa kejamnya hati mereka. Kalau dibiarkan saja perkelahian berlangsung lagi, tentu semua orang Hek-houw-pang akan terbunuh mati. Maka diapun cepat mendahului dengan suaranya yang lantang.

"Ketua Hek-houw-pang ternyata masih muda dan gagah. Pangcu, ketahuilah bahwa pendirianmu itu keliru. Pemerintah yang sah adalah kerajaan Sui yang jatuh ke tangan pemberontak yang kini mendirikan Kerajaan Tang. Kalau engkau ingin menjadi seorang pahlawan, seharusnya engkau membela Kerajaan Sui, bukan Kerajaan Tang yang didirikan para pemberontak!"

"Tidak perlu memutar-balikkan kenyataan!" bentak pula Kam Seng Hin marah. "Setiap orang tentu tahu betapa lalimnya kaisar terakhir kerajaan Sui, menindas dan mencekik rakyat. Panglima Li Si Bin adalah seorang pejuang rakyat, seorang pahlawan yang mengenyahkan kaisar lalim dan sekarang membangun pemerintahan baru yang bersih dan adil. Kemudian Pangeran Cian Bu Ong memberontak di Pohai, lalu sekarang menjadi pelarian. Siapa tidak tahu akan hal itu? Sebaiknya kalau kalian menyerah agar kami tangkap dan kami hadapkan kepada pemerintah."

"Jahanam sombong!" bentak Can Hong San marah dan diapun sudah menerjang dengan tangan kirinya, menampar ke arah kepala Kam Seng Hin. Ketua Hek-houw-pang ini merupakan seorang murid kepala dan tentu saja sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia, maka melihat tamparan itu, Kam Seng Hin cepat menangkis sambil mengeluarkan seluruh tenaga.

"Plukkkk!" Begitu tangkisannya bertemu dengan tangan Hong San, tubuh tinggi besar ketua itu terpelanting dan terbanting keras! Tentu saja semua anggota Hek-houw-pang terkejut. Poa-Liu Hwa menolong suaminya dan beberapa orang anggota Hek-houw-pang menyerang Hong San dengan senjata mereka. Juga para anggota Hek-houw-pang lainnya yang sudah berkumpul telah mengepung dan mengeroyok empat orang yang lain dengan senjata mereka.

Biarpun dengan hati yang berat, karena dikepung dan dikeroyok, Lie Koan Tek terpaksa membela diri. Akan tetapi, kalau dia hanya mengelak dan menangkis saja dan merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh atau melukai dengan berat, empat orang lainnya sebaliknya seperti berpesta-pora menyebar maut di antara para anggota Hek-houw-pang.

Poa Liu Hwa yang menolong suaminya mendapat kenyataan bahwa suaminya tidak terluka, maka mereka berdua lalu menghunus senjata dan ikut pula mengeroyok. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Can Hong San tidak menggunakan pedangnya. Pihak lawan dianggap terlalu lemah sehingga cukup dengan suling di tangan kiri dan tangan kanan yang kosong saja, dia sudah menyebar maut.

Sudah enam orang roboh dan tewas oleh totokan suling di tangan kiri atau hantaman tangan kanannya. Dia mengamuk sambil tersenyum gembira seperti orang yang sedang membunuhi tikus saja. Melihat ini, Kam Seng Hin yang bersama isterinya tadi mengeroyok Gulana, menjadi marah sekali. Sambil berteriak nyaring dia membalik dan menerjang Can Hong San, membantu anak buahnya mengeroyok pemuda tampan ini...

Naga Beracun Jilid 02

"Kalau begitu, mari kita main-main sebentar, karena aku harus melihat dulu kemampuanmu, apakah pantas menjadi pembantuku atau tidak," kata Pangeran Cian Bu Ong sambil bangkit dari tempat duduknya.

Akan tetapi Hong San cepat berkata, "Pangeran, sungguh tidak baik kalau aku yang akan menjadi pembantu utamamu ini bertanding denganmu, walaupun hanya untuk menguji kepandaian. Aku akan merasa tidak enak kalau sampai kesalahan tangan melukaimu. Sebaiknya, biarkan empat orang calon pembantu yang lain ini maju bersama mengeroyokku, sehingga selain pangeran dapat menilai kepandaianku, juga mereka itu dapat menerima bahwa aku lebih unggul dari mereka dan kelak aku yang menjadi pembantu utama dan mereka itu harus tunduk dan taat kepadaku."

Pangeran Cian Bu Ong tersenyum dan makin kagum. Apakah ucapan itu hanya merupakan bualan kosong belaka? Atau benarkah pemuda itu mampu menandingi pengeroyokan empat orang calon pembantunya yang cukup lihai itu? Dia sendiripun harus berhati-hati kalau dikeroyok empat orang itu! Inilah kesempatan baik untuk benar-benar menguji Can Hong San.

"Baik. Nah, kalian berempat sudah mendengar sendiri. Wakililah aku untuk bersama maju menandingi dan menguji ke pandaian Can Hong San!" Perintahnya kepada empat orang itu.

Gan Lui, Gulana, dan Thio Ki Lok segera bangkit. Ini merupakan perintah pertama, maka mereka segera bangkit dengan penuh semangat, bukan saja untuk mentaati perintah pangeran Cian Bu Ong, akan tetapi juga untuk menundukkan pemuda yang mereka anggap terlalu sombong itu. Akan tetapi, Lie Koan Tek tidak bangkit berdiri.

"Lie Koan Tek, kenapa engkau tidak bangkit? Majulah dan ikutlah mengeroyok untuk menguji kepandaian Can Hong San," kata sang pangeran.

"Maaf, Pangeran. Saya bukanlah seorang pengecut. Kalau diperintahkan menguji pemuda ini, biarlah saya lakukan sendiri saja. Kalah atau menang merupakan hal yang biasa dalam pertandingan silat. Akan tetapi untuk mengeroyok, saya merasa malu dan enggan. Maaf!"

Pangeran Cian Bu Ong maklum akan sikap seorang pendekar sejati seperti murid Siauw-lim-pai ini. "Kalau begitu biarlah nanti saja kalau perlu engkau menguji sendiri. Kini yang tiga orang kuperintahkan untuk mengeroyok dan menguji kepandaian Can Hong San!"

Tiga orang itu tidak memiliki pendapat yang sama dengan Lie Koan Tek. Mereka tadi sudah membuktikan sendiri betapa saktinya pangeran itu dan mereka sudah merasa tunduk benar. Di dalam hati mereka telah menjadi pembantu yang setia, karena mereka melihat harapan baik sekali bagi keuntungan mereka sendiri kalau mereka mengabdi kepada pangeran itu.

Maka, begitu menerima perintah ini, mereka bertiga berloncatan dan berhadapan dengan Can Hong San. Disamping ketaatan mereka terhadap pangera Cian Bu Ong, mereka juga ingin menghajar pemuda yang amat sombong itu, yang berani memandang rendah kepada mereka dengan menantang agar mereka mengeroyoknya!

"Orang muda," kata Thio Ki Lok yang pendek gendut. "Kami bertiga sebagai orang-orang yang lebih tua darimu, sebetulnya juga merasa tidak enak kalau harus mengeroyokmu. Akan tetapi kami mentaati perintah Pangeran yang kami hormati. Sekarang, apakah engkau masih tetap menantang kami bertiga untuk maju bersama? Hati-hati, orang muda, jangan sampai tulang-tulangmu yang masih muda akan menjadi patah-patah menghadapi serangan kami."

"Lebih baik engkau menghadapi kami satu demi satu, orang muda," kata pula Gan Lui.

"Akupun setuju satu lawan satu!" sambung Gulana.

Bagaimanapun juga, tiga orang ini sudah menganggap diri sendiri terlalu pandai sehingga kalau mereka harus mengeroyok seorang lawan muda, mereka merasa malu dan hal ini akan menurunkan derajat mereka sebagai ahli-ahli silat tingkat atas.

"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi. Aku menantang kalian semua maju berbareng untuk mempersingkat waktu, juga untuk memudahkan Pangeran dalam menilai kepandaianku. Kalau aku kalah, anggap saja aku tidak pantas membantu Pangeran!"

Sungguh ucapan ini amat sombong terdengarnya oleh tiga orang jagoan itu. Akan tetapi sesungguhnya Can Hong San bukan seorang pemuda yang sebodoh itu. Dia bukan sekedar menyombongkan diri, melainkan ingin menimbulkan kesan dalam hati sang pangeran dan kalau dia sudah berani bicara seperti itu adalah karena dia sudah yakin akan mampu mengalahkan tiga orang pengeroyok itu, atau bahkan empat orang bersama Lie Koan Tek. Dia sudah dapat mengukur sampai dimana tingkat kepandaian mereka itu ketika tadi mereka satu demi satu diuji oleh Pangeran Cian Bu Ong.

Tiga orang itu merasa penasaran mendengar tantangan Hong San dan merekapun serentak mengambil sikap menyerang, memasang kuda-kuda, mengurung Hong San dengan kedudukan tiga sudut.

"Mulailah!" kata Hong San, masih berdiri biasa saja tanpa memasang kuda-kuda, akan tetapi pada saat itu, seluruh otot dan syaraf di tubuhnya menggetar dan dalam keadaan siap siaga.

"Heiillittttt...!" Thio Kie Lok menyerang lebih dulu dengan pukulan tangan kirinya dengan lengan yang pendek. Kalau Hong San menangkis, tangan yang memukul itu tentu akan berubah menjadi mencengkeram. Pada saat yang hanya sedetik selisihnya, Gan Lui juga sudah menyerang dari samping kiri, menampar dengan telapak tangan ke arah kepala pemuda itu.

"Hemmmn...!" Tiba-tiba saja tubuh Hong San bergerak, kedua kakinya bergeser dan dua serangan itu dapat hindarkannya dengan amat mudahnya, dengan meliuk dan miringkan tubuh.

"Haahhhh...!" Gulana menyambut dengan tendangan kakinya yang panjang.

"Wuuuut...!" Tendangan itupun dapat dielakkan oleh Hong San sehingga melayang dengan cepat mengeluarkan angin keras. Thio Ki Lok dan Gan Lui sudah menerjang lagi, demikian pula Gulana. Tiga orang yang merasa penasaran karena serangan pertama mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh Hong San, kini menyerang lebih dahsyat dari tiga jurusan.

Dan kini Pangeran Cian Bu Ong kagum. Tubuh pemuda itu demikian lincahnya sehingga bagaikan seekor burung walet saja, berkelebatan di antara sambaran pukulan dan tendangan. Sampai belasan jurus tiga orang itu menghujamkan serangan mereka, namun selalu dapat dielakkan oleh Hong San.

"Hyeeeehhh...!" Gan Lui yang merasa semakin penasaran, menubruk dari samping kiri dan kedua tangan yang membentuk cakar harimau itu sudah menerkam ke arah leher dan dada.

"Pergilah!" Hong San membentak dan kini lengan kirinya diputar menangkis, pergelangan tangannya berputar dan tangan dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah Gan Lui.

Orang tinggi kurus ini berseru kaget karena lengannya terasa sakit bukan main ketika ditangkis Hong San dan sebelum dia dapat mencegahnya, tubuhnya terdorong keras dan diapun terjengkang! Saat itu, sebatang kaki yang panjang dan besar menyambar ke arah perut Hong San. Itulah tendangan kaki Gulana. Hong San hanya miringkan tubuh sedikit sehingga kaki itu menyerempet bajunya.

Secepat kilat dia menangkap tumit dan mendorongnya ke atas dan Gulana terlempar sampai beberapa meter. Thio Ki Lok hendak mempergunakan kesempatan selagi Hong San diserang Gulana tadi untuk menerkam dari samping dan dia sudah berhasil merangkul leher Hong San, menggunakan ilmu gulatnya, kedua tangan memasuki bawah ketiak dan mencengkeram di belakang tengkuk Hong San. Agaknya dia hendak membuat pemuda itu tidak berdaya dengan kuncian gulat Mongol itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika kaki Hong San menendang ke belakang, mengenai kedua lututnya sehingga otomatis kakinya kehilangan tenaga dan kembali dia berteriak karena tangan Hong San sudah menangkap ibu jari kedua tangan yang mencengkram tengkuk pemuda itu, sehingga tentu saja cengkeramannya mengendur karena kekuatan setiap tangan terletak pada ibu jarinya.

Dalam keadaan kaki kehilangan tenaga dan cengkeraman mengendur itu, begitu Hong San membuat gerakan membungkuk dan melempar dengan pundak, tubuh pendek gendut itupun terlempar melalui atas punggung Hong San dan jatuh terbanting ke depan pemuda itu! Ketika tiga orang pengeroyok itu bangkit dengan muka menyeringai kesakitan. Pangeran Cian Bu Ong bertepuk tangan memuji.

"Bagus, bagus! Engkau memang telah membuktikan kemampuanmu, Hong San! Kami girang sekali mendapat bantuanmu dan mulai saat ini, engkau kami angkat menjadi pembantu utama! Akan tetapi jangan mengira bahwa dengan ilmumu itu, engkau akan dapat mengalahkan aku, ha ha ha!"

Can Hong San adalah seorang cerdik. Dari cara pangeran itu tadi mengalahkan empat orang calon pembantu itu, diapun tahu bahwa pangeran itu lihai dan memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga dia sendiri tidak berani yakin akan mampu mengalahkannya. Pula setelah dia diangkat menjadi pembantu utama, tentu saja dia harus bersikap tunduk.

"Aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Pangeran. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin kusuka untuk membantumu? Akan tetapi kuharap engkau suka berhati-hati terhadap murid Siauw-lim-pai ini." Hong San menunjuk kepada Lie Koan Tek.

Pendekar ini menentang pandang mata Hong San dengan penuh keberanian. Walapun dia tahu bahwa dia tidak akan menang kalau bertanding dengan pemuda yang lihai luar biasa itu, akan tetapi bukan watak pendekar Siauw-lim-pai ini untuk memperlihatkan perasaan takut.

"Hemm, aku adalah seorang laki-laki sejati yang sekali berjanji akan menepatinya sampai mati. Kurasa Pangeran harus berhati-hati terhadapmu,Can Hong San."

"Keparat! Majulah kalau engkau berani melawan aku dan kalau engkau sudah bosan hidup!" Hong San menantang dengan muka merah.

"Hemm, biarpun engkau lihai sekali jangan dikira aku akan takut menghadapi maut di tanganmu!" Lie Koan Tek bangkit berdiri dan membusungkan dadanya.

Pangeran Cian Bu Ong cepat melangkah maju menengahi. "Ah, apa yang kalian lakukan ini? Kalian akan kubebaskan untuk membantuku, bukan untuk berkelahi dan saling bermusuhan sendiri! Apa gunanya aku membebaskan kalian, kalau hanya untuk melihat kalian saling bunuh?"

"Maafkan saya, Pangeran," kata Lie Koan Tek yang segera melihat betapa tidak baiknya sikapnya tadi terhadap sang pangeran.

"Maaf," kata pula Hong San yang tentu saja tidak ingin kalau Pangeran itu menjadi tidak suka kepadanya.

"Ketahuilah, aku sekeluarga dan para pengikut sedang hendak menyelamatkan diri keluar dari Po-yang dan kalian kuminta membantu untuk melindungi. Kemudian kelak kalian membantuku menegakkan kembali kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Sui yang telah jatuh. Dan selama kalian membantuku, kalian tidak boleh mementingkan perasaan dan urusan pribadi, harus mentaati semua perintahku. Sekarang tiba saatnya kalian berjanji. Kalau kalian mau taat, aku akan membebaskan kalian, kalau tidak mau, akupun akan meninggalkan kalian di sini."

Lima orang itu serempak menyatakan janji mereka untuk menaati Pangeran Cian Bu Ong. Mereka maklum bahwa, jika mereka tidak dibebaskan oleh pangeran itu, tidak mungkin mereka melarikan diri atas usaha sendiri, karena mereka akan menghadapi ribuan orang prajurit penjaga, dan kalau mereka ditinggalkan di situ, mereka hanya akan menghadapi ancaman mati konyol. Tidak ada pilihan kecuali membantu pangeran ini.

Lie Koan Tek sendiri menaruh harapan besar pada diri pangeran itu. Pemerintahan kaisar Kerajaan Sui yang lalu telah mendatangkan banyak kesengsaraan terhadap rakyat, bahkan Siauw-lim-si juga diserbu dan dibakar karena Siauw-lim-si membela rakyat jelata. Dia mengharapkan kalau Pangeran Cian Bu Ong berhasll merebut tahta kerajaan, dia akan menjadi seorang kaisar yang baik budi dan memakmurkan kehidupan rakyat jelata.

Demikianlah, lima orang hukuman yang lihai itu dibebaskan dengan mudah oleh Pangeran Cian Bu Ong dan mereka menjadi pengawal-pengawal keluarga pangeran itu yang melarikan diri dari Po-yang.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

"Kongcu datang...!" Teriakan-teriakan gembira terdengar dari para anggota Hek-houw-pang di gardu penjagaan pintu gerbang dusun Mo-kim-cung.

Biarpun sudah belasan tahun meninggalkan Hek-houw-pang, namun para anggota Hek-houw-pang masih ingat kepada Siang Lee dan begitu Siang Lee muncul di depan pintu gerbang dusun, mereka menyambut dengan gembira sekali.

Pemuda cucu ketua lama Hek houw-pang itu yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Coa, meninggalkan Hek-houw-pang karena urusan pribadi, karena kakeknya melarang dia menikah dengan puteri Ban-tok Mo-li. Terhadap Hek-houw pang Siang Lee tidak mempunyai kesalahan apapun, maka para anggota Hek houw-pang masih memandangnya sebagai keluarga pimpinan mereka.

Segera para murid Hek-houw-pang merubung Siang Lee yang datang bersama isterinya, Sim Lan Ci dan putera mereka, Coa Thian Ki. Akan tetapi mendengar bahwa kakeknya, Coa Song, yang sudah tua sekali masih hidup, Siang Lee tidak mau berlama-lama bicara dengan para suheng dan sutenya, melainkan langsung saja mengajak anak isterinya berkunjung ke rumah induk perkumpulan itu, yang menjadi tempat tinggal ketua Hek-houw-pang.

Karena pada waktu itu keadaan sedang tegang, para murid Hek-houw-pang yang melakukan penjagaan ketat sehubngan dengan pesan dari komandan pasukan yang datang berkunjung, maka berita tentang kedatangan Coa Kongcu segera tersiar dengan cepat. Mendengar bahwa Coa Siang Lee pulang, ketua Hek-houw-pang, Kam Seng Hin dan isterinya, Poa Liu Hwa segera keluar menyambut.

Ketika Coa Siang Lee dengan isteri dan anaknya tiba di ruangan depan rumah keluarga Coa itu, dia disambut oleh Kam Seng Hin dan isterinya, juga anak mereka, Kam Cin. Beberapa orang murid Hek-houw-pang yang tadi mengikuti tamu itu sudah membisikkan kepada Siang Lee bahwa ketua Hek-houw-pang sekarang adalah murid Hek-houw-pang yang bernama Kam Seng Hin dan yang menikah dengan Poa Liu Hwa, cucu luar Coa Song atau adik misannya. Tentu saja dia mengenal keduanya dan dia merasa bergembira. Dia mengenal Kam Seng Hin sebagai sutenya (adik seperguruannya) yang gagah perkasa.

"Coa suheng (kakak seperguruan Coa)!" Kam Seng Hin dan isterinya menyambut dengan gembira sambil memberi hormat.

"Kam sute, engkau menjadi pangcu dari Hek-houw-pang sekarang? Dan engkau menjadi suami dari adikku Liu Hwa ini? Ah, aku girang sekali, sute. Perkenalkan, ini isteriku, dan ini anakku Coa Thian Ki."

Kam Seng Hin memberi hormat kepada Lan Ci dan menyebut "toa-so" (kakak ipar). Liu Hwa juga menyambut Lan Ci dengan sikap ramah dan manis, lalu ia memperkenalkan puteranya, Kam Cin. Ketika Kam Cin diperkenalkan dengan Thian Ki, dengan sikap ramah dan lincah Cin Cin, demikian panggilan akrabnya lalu memegang tangan Thian Ki.

Mereka sebaya, sama-sama lima tahun usianya. "Thian Ki, mari kita bermain di taman belakang. Kami mempunyai kolam ikan di sana dan kemarin seorang paman memberi sepasang ikan emas yang lucu bermata besar. Mari...!"

"Kam Cin..." panggil Siang Lee melihat betapa keponakannya itu sudah menarik Thian Ki diajak bermain-main.

Cin-Cin berhenti dan memandang kepada Siang Lee dengan sikap tidak malu-malu. "Supek (uwa guru), semua orang memanggilku Cin Cin, harap supek, pek-bo dan juga Thian Ki menyebut aku Cin Cin saja."

Siang Lee dan isterinya tertawa. Kam Cin atau Cin Cin itu seorang anak yang mungil, tampan, tabah dan kelihatan cerdik sekali. "Baiklah, Cin Cin, kuminta engkau jangan mengajak Thian Ki pergi bermain-main dulu. Dia harus lebih dulu kuperkenalkan kepada kakek buyutnya."

"Ah, jangan khawatir, supek. Sekarang juga akan kuajak Thian Ki menghadap kakek buyut!"

Setelah berkata demikian, Cin Cin sudah menarik tangan Thian Ki, berlari keluar dari ruangan itu. Melihat ini Siang Lee dan Lan Ci tertawa, demikian pula ayah dan ibu Cin Cin.

"Cin Cin memang bandel dan manja sekali," kata Liu Hwa.

"Baiknya dia tidak nakal," sambung suaminya.

"Kulihat anak kalian itu cerdik dan lincah. Mari kita menghadap kongkong (kakek) lebih dulu," kata Siang Lee dan mereka berempat lalu pergi ke kamar kakek Coa Song yang berada di bagian belakang.

Ketika mereka memasuki kamar yang besar itu, ternyata dua orang anak itu sudah berada di situ, duduk di atas lantai dekat kedua kaki kakek Coa Song yang nampak gembira bukan main. Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu, diiringkan oleh Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa.

"Kong-kong..." kata Siang Lee dengan suara penuh keharuan. Dia tadi sudah mendengar sepintas dari Kam Sen Hin bahwa kakeknya seringkali menanyakan dirinya, dan nampaknya kakeknya sudah melupakan pertentangan yang telah lampau. Melihat betapa kakeknya menarik Thian Ki dengan wajah gembira itu sudah membuktikan kebenaran keterangan Kam Seng Hin itu.

"Kong-kong..." Lan Ci juga memanggil dengan sikap hormat.

Sejak tadi kakek Coa Song yang usianya sudah mendekati delapan puluh tahun itu telah menyambut kemunculan cucunya itu dengan wajah cerah dan mata berseri. "Siang Lee, engkau baru datang? Dan itu isterimu yang dulu? Aku sudah berkenalan dengan putera kalian, Thian Ki. Aku girang sekali kalian sehat-sehat saja dan masih ingat untuk pulang ke sini..."

Mendengar suara kakeknya yang agaknya menyesali sikapnya yang dahulu itu. Siang Lee segera mengalihkan percakapan. "Kong-kong, saya merasa girang sekali melihat kong-kong masih sehat. Semoga Tuhan selalu memberkahi kong-kong dengan panjang usia dan sehat selalu."

"Sudah lama sekali aku merindukanmu, Siang Lee. Dan sekarang engkau datang bersama isterimu dan puteramu yang tampan gagah ini. Ah, betapa gembira hatiku. Seng Hin, suruh buatkan masakan dan minuman, kita adakan pesta keluarga untuk menyambut Siang Lee!"

Kakek itu kelihatan gembira bukan main. Tak lama kemudian, Kam Seng Hin dan isterinya meninggalkan Siang Lee dan Lan Ci bertiga saja dengan kakek mereka, sedangkan Thian Ki sudah diajak pergi ke taman oleh Cin Cin. Kakek Coa Song menghujani Siang Lee dengan pertanyaan dan suami isteri itu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak berpisah dari kakek itu. Ketika mendengar pengakuan Siang Lee dan Lan Ci bahwa mereka tidak mengajarkan ilmu silat sama sekali kepada Thian Ki, kakek Coa Song mengerutkan alisnya tanda tidak setuju.

"Eh, kenapa begitu? Aku tahu bahwa ilmu silatmu sudah maju pesat, tentu sekarang tingkat kepandaianmu tidak ada yang dapat menandinginya di Hek-houw-pang ini. Juga isterimu memiliki kepandaian yang tinggi. Kenapa kalian tidak mengajarkan ilmu silat kepada putra kalian?"

"Kong-kong, kami berdua sudah mengalami cukup banyak kesengsaraan yang disebabkan oleh kehidupan sebagai ahli Silat. Betapa di dunia ini penuh degan permusuhan dendam mendendam yang menjadi bunga kehidupan di dunia persilatan. Tidak, kong-kong, kami tidak ingin melihat putera kami terlibat dalam dunia yang penuh kekerasan itu. Kami tidak sanggup membayangkan dia kelak menjadi orang yang hidupnya selalu terancam bahaya, hidupnya dikelilingi oleh permusuhan, kekerasan, darah dan maut!"

Kakek itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kangouw, tentu saja dia dapat merasakan kebenaran yang terkandung dalam ucapan cucunya itu. "Akan tetapi, cucuku yang baik. Justru karena dunia ini penuh kekerasan, penuh orang-orang jahat yang menggunakan kekerasan terhadap orang lain untuk memaksakan kehendak mereka, maka kita perlu membekali diri dengan ilmu silat untuk membela diri sendiri dan untuk membela orang-orang lemah tertindas, untuk menentang kejahatan."

Kakek itu berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Apakah kalian ingin melihat putra kalian kelak menjadi seorang yang lemah dan menjadi korban penindasan orang-orang jahat?"

"Tidak, kong-kong. Justru karena tidak bisa silat maka dia akan hidup aman dan tenteram. Kami sudah mengalaminya sendiri. Semenjak kami berdua hidup sebagai petani di dusun kecil, kami tidak pernah mengalami kekerasan lagi. Orang-orang yang hidup di dusun dan tidak mengenal ilmu silat, tidak pernah berkelahi, tidak pernah bermusuhan. Kami ingin anak kami kelak hidup berbahagia, tenteram dan aman."

Kakek itu menghela napas panjang, "Dia adalah anak kalian, tentu saja kalian yang paling berhak untuk menentukan. Akan tetapi, Siang Lee, ingatlah, Thian Ki satu-satunya penerus keluarga Coa. Bagaimana kelak jadinya dengan Hek-houw-pang kalau tidak ada seorang she Coa yang melanjutkan? Bahkan engkau sendiri sepantasnya sekarang menggantikan sutemu untuk menjadi ketua Hek-houw-pang. Itu sudah menjadi hakmu, dan dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul darinya."

"Aih, terima kasih, kong-kong. Akan tetapi, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak lagi memasuki dunia persilatan. Kami hendak melupakan kehidupan yang lampau, memulai dengan kehidupan baru yang bebas dari kekerasan dan ilmu silat."

Diam-diam kakek Coa Song merasa kecewa, akan tetapi dia tidak menyatakan hal ini. Sementara itu, selagi orang tuanya bercakap-cakap dengan kakek buyutnya, Thian Ki diajak Cin Cin bermain-main di dalam taman yang cukup luas itu. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan dan Cin Cin dengan bangga memperlihatkan ikan-ikannya yang beraneka warna di kolam itu.

Setelah bosan melihat ikan, Cin-Cin lalu mengajak Thian Ki duduk di atas bangku yang dilindungi payon seperti payung bentuknya. Mereka segera jadi akrab sekali karena Cin Cin adalah seorang anak yang lincah jenaka dan pandai bicara, pandai bergaul, beda dengan Thian Ki, yang biarpun juga cerdik sekali, namun Thian Ki lebih pendiam dibandingkan Cin Cin yang kalau bicara seperti air terjun yang tak kunjung putus.

"Thian Ki, mari kita latihan," tiba-tiba Cin Cin berkata.

Thian Ki memandang kawan barunya itu dengan heran. "Latihan? Latihan apa?"

Cin Cin tertawa. "Aih, pakai tanya segala! Latihan apa lagi kalau bukan latihan silat? Kita adalah anak ahli silat, tentu saja aku mengajak latihan silat. Tentu engkau jauh lebih pandai daripadaku, karena aku dengar bahwa supek Coa Siang Lee dan supek-bo memiliki ilmu silat yang tinggi."

Thian Ki tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah belajar silat, Cin Cin."

Cin Cin memandang dengan sepasang matanya yang jernih itu terbelalak lebar. "Aih, tidak mungkin!" serunya heran.

Thian Ki tertawa. "Apanya yang tidak mungkin? Ayah dan ibu tidak pernah mengajarkan ilmu silat kepadaku, dan akupun tidak suka mempelajarinya. Maka, sedikitpun aku tidak bisa bermain silat Cin Cin."

"Tapi... tapi... mengapa?" Cin Cin tertegun heran, memandang kepada Thian Ki dengan sikap masih belum dapat percaya.

Thian Ki tersenyum. "Cin Cin, andaikata aku bisa silat, tentu kita sekarang sudah saling serang yang kau katakan latihan tadi. Dalam latihan silat tentu ada yang kena pukul dan hal ini bisa mendatangkan perasaan tidak senang dan dendam. Akan tetapi sebaliknya, karena aku tidak bisa silat, tentu engkau tidak bisa memaksa aku untuk berlatih. Kita tidak saling serang, tidak saling pukul, tidak saling tendang dan kita tidak mungkin merasa marah dan dendam, dan tetap bergaul dengan akrab. Nah, itulah sebabnya mengapa aku tidak diajar ilmu silat oleh ayah ibuku."

Cin Cin mengangguk-angguk, akan tetapi tetap saja masih merasa penasaran sekali. Dia akan menanyakan hal yang dianggapnya aneh ini kepada ayah ibunya. Ketika mereka semua menghadapi meja dan makan minum bersama, suasananya sungguh menggembirakan.

Sudah lama kakek Coa Song tidak memperlihatkan diri dan kini dia nampak gembira sekali, bukan hanya kakek Coa Song, Kam Seng Hin dan anak isterinya yang menyambut kedatangan Siang Lee dan anak isterinyapun hadir dalam pesta keluarga itu. Juga para murid tingkat tinggi sebanyak enam orang ikut pula hadir. Dalam kesempatan ini Siang Lee memberi keterangan terhadap segala macam pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Kemudian diapun bertanya akan perubahan suasana di dusun itu kepada Kam Seng Hin.

"Kam-sute, ketika aku memasuki dusun Ta-bun-cung, aku melihat betapa para anak buah Hek-houw-pang melakukan penjagaan dengan ketat. Apakah yang telah terjadi? Seolah-olah ada bahaya mengancam dusun kita ini."

Mendengar pertanyaan ini, Kam Seng Hin memandang kepada kakeknya dan kakek Coa Song yang menjawab. "Benar, memang ada bahaya mengancam kita, Siang Lee. Bukan hanya mengancam kita, akan tetapi mengancam seluruh penduduk dusun ini dan dusun-dusun disekitarnya.

Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu, kami kedatangan pasukan Kerajaan Tang yang minta bantuan kami untuk ikut mencari seorang buronan pemerintah yang amat berbahaya. Buronan itu adalah seorang pangeran, masih keluarga dengan kaisar Kerajaan Sui yang sudah jatuh."

"Akan tetapi, kong-kong. Bukankah selama ini Hek-houw-pang tidak mencampuri urusan pemerintah?"

"Memang benar, akan tetapi sekali ini kita tidak boleh tinggal diam saja, Engkau tahu betapa buruknya pemerintah Kerajaan Sui dan kita mendengar pula tentang kegagahan Panglima Li Si Bin yang telah menjatuhkan kaisar yan lalim itu. Kini, seluruh harapan rakyat digantungkan kepada kebijaksanaan dinasti Tang. Karena itu, kalau ada sisa keluarga Kerajaan Sui yang membuat kekacauan, sudah sepatutnya kalau kita membantu pemerintah baru yang hendak membasminya."

"Kalau buronan itu hanya seorang pangeran saja, kenapa Hek-houw-pang harus mengerahkan semua tenaga untuk melakukan penjagaan ketat?"

"Aih, engkau tidak tahu siapa buronan itu, Siang Lee. Bukan saja dia mempunyai anak buah dan pengikut, juga dia adalah seorang yang amat lihai, dulu merupakan seorang di antara jagoan istana Kerajaan Sui yang sakti."

"Hemm, begitukah? Siapa dia, kongkong?"

"Dia adalah Pangeran Cian Bu Ong. Dia sendiri seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kita belum tahu berapa banyak pengikutnya dan orang macam apa adanya mereka. Kebetulan sekali engkau dan isterimu datang, Siang Lee, maka kuharap kalian akan dapat membantu sutemu untuk menangkap buronan yang berbahaya itu."

Siang Lee dan isterinya saling pandang, merasa aneh. Bertahun-tahun mereka hidup rukun dan damai di dusun mereka, dan kini, dalam perjalanan menengok kakek mereka, begitu tiba di situ mereka dihadapkan dengan kekerasan lagi. Diam-diam mereka merasa khawatir, bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk Thian Ki yang terpaksa akan dihadapkan dengan kekerasan.

"Tentu saja kami akan membantu semampu kami, kong-kong. Hanya sudah bertahun-tahun kami tidak pernah berkelahi, tidak pernah berlatih," kata Siang Lee.

Mereka mengharapkan bahwa selama mereka berada di situ, yang mereka rencanakan beberapa hari lamanya, tidak akan terjadi sesuatu, dan mereka mengambil keputusan untuk tidak tinggal terlalu lama di dusun itu.

"Mari ke sini, Thian Ki. Di sini banyak kataknya dan besar-besar!" kata Cin Cin sambil menggerak-gerakkan obor ditangannya.

Thian Ki menghampiri, dengan obor di tangan kiri dan sebatang kayu pemukul di tangan kanan. Malam itu Cin Cin mengajaknya untuk menangkap katak hijau. Dalam bulan itu memang banyak katak hijau yang gemuk-gemuk dan Cin Cin suka sekali makan daging katak hijau yang lezat. Setelah mendapat perkenan ayah ibu mereka, dua orang anak ini pergi menangkap katak hijau di tepi sungai.

Cin Cin sudah hafal tempat di mana terdapat katak gemuk dalam jumlah besar, yaitu di tepi sungai yang merupakan rawa. Sebuah kantung kain yang mereka bawa sudah hampir penuh katak hijau. Ketika Cin Cin ingin mengajak Thian Ki pulang, tiba-tiba dia mendengar saudara misannya itu berteriak kesakitan. Dia cepat meloncat ke dekat Thian Ki.

"Ada apa, Thian Ki?" tanyanya sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi agar dapat melihat lebih jelas.

"Ah, kakiku... agaknya digigit sesuatu..." kata Thian Ki yang tadi melepaskan obornya. Dia mengambil obornya yang masih menyala, lalu mereka berdua melihat ke arah kaki Thian Ki.

"Ihhhhh! Ular...!" teriak Cin Cin yang melihatnya lebih dulu.

Thian Ki juga melihat seekor ular melilit betisnya dan menggigit betis bagian bawah. Dia menggerakkan tangan hendak menangkap ular itu.

"Jangan sentuh!" Cin Cin berseru. "Itu ular belang hitam, beracun sekali!"

Dengan mendekatkan obor, Cin Cin hendak menggunakan kayu pemukul katak untuk melepaskan ular itu dari kaki Thian Ki. Akan tetapi, dia merasa heran karena ular itu agaknya sudah menempel di kaki Thian Ki dan sama sekali tidak bergerak-gerak biarpun sudah ia congkel-congkel dengan kayu.

"Ehhhhhh...? Ular ini sudah mati!" teriaknya heran. "Tapi jangan pegang, Thian Ki. Lebih baik mari lekas pulang, lapor kepada orang tua kita. Engkau dapat berlari?"

"Dapat...!" Dan keduanya berlari-larian pulang, meninggalkan kantong terisi katak yang sejak tadi mereka kumpulkan. Dan ular itupun masih menempel di kaki kiri Thian Ki.

Tentu saja keluarga itu terkejut ketika dua orang anak itu datang berlari-larian, apalagi ketika Cin Cin berteriak "ular, ular!" setelah memasuki perkampungan mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat ular yang membelit betis kiri Thian Ki.

"Jangan sentuh! Itu ular belang hitam yang amat berbahaya!" teriak kakek Coa Song ketika melihat ular sebesar ibu jari kaki dan yang panjangnya hanya satu setengah kaki itu. Wajah kakek ini pucat ketika melihat betapa kepala ular itu masih menempel di betis cucu buyutnya, masih menggigit! Dia tahu bahwa gigitan ular itu boleh dibilang tidak ada obatnya! Dia cepat mengambil kain, menggunakan kain untuk melindungi tangan dan menangkap ular itu pada lehernya lalu dia menarik. Ular itu terlepas dan kakek itu terbelalak.

"Ular ini sudah mati!"

Lan Ci sudah merangkul puteranya dan Siang Lee juga memegang pergelangan tangan puteranya. Dia juga pucat dan khawatir sekali karena sebagai penduduk dusun itu diapun tahu bahwa gigitan ular belang hitam ini berarti maut. Kakek Coa Song, Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa juga merasa gelisah sekali. Mereka cepat mengambilkan air panas dan obat anti racun. Akan tetapi tiba-tiba Lan Ci berseru.

"Harap mundur dan biarkan aku memeriksa anakku. Minta lampu yang terang, air panas dan pisau tajam!"

Siang Lee maklum bahwa isterinya adalah puteri Ban-tok Mo-li, karenanya isterinya tentu ahli tentang racun. Kakek Coa Song ingat akan hal itu, demikian pula Kam Seng Hin dan isterinya yang sudah mendengar tentang toa-so mereka. Cepat mereka mundur dan memper siapkan semua yang diminta Lan Ci.

Dengan tenang namun sigap Lan Ci mengangkat tubuh anaknya dan merebahkannya di atas meja. Lampu-lampu di dekatnya sehingga semua orang dapat melihat ular itu dengan jelas. Lan Ci cepat membalurkan obat bubuk kuning pada tangannya, lalu dengan berani ia memegang ular yang tadi sudah ditarik lepas dari kaki puteranya. Ia harus memeriksa dulu racun macam apa yang ada pada ular itu agar dapat menentukan obat penawarnya. Akan tetapi ia terbelalak ketika memandang ular mati di tangannya itu. Tubuh ular itu seperti terbakar hangus! Ia memandang kepada Cin Cin.

"Apakah engkau tadi membakar ular itu, Cin Cin? Membakar dengan obormu?" tanyanya sambil menoleh kepada Cin Cin.

"Tidak, supek-bo!"

Siang Lee juga mendekat untuk memeriksa. Ular itu benar sudah mati, mati terbakar! Karena sukar memeriksa racun dari ular yang sudah gosong itu, Lan Ci lalu memeriksa luka di betis Thian Ki. Dan kembali ia terbelalak! Tidak nampak keracunan pada luka itu. Hanya luka kecil yang mengeluarkan sedikit darah. Bekas gigitan itu tidak ada tanda keracunan, seperti tertusuk duri saja! Ia memandang kepada Thian Ki yang juga memandangnya. Siang Lee kembali memeriksa tekanan nadi anaknya. Normal!

"Thian Ki..." Lan Ci memanggil anaknya.

"Kenapa, ibu? Tidak apa-apa, bukan?"

Lan Ci menggeleng kepalanya. "Bagaimana rasanya? Apakah panas? Atau ada perasaan nyeri yang luar biasa, apakah kepalamu pening dan jantungmu berdenyut keras?"

Thian Ki tersenyum, menggelengkan kepala dan bangkit duduk. "Sama sekali tidak, ibu. Aku tadi hanya terkejut dan rasa gigitan itu hanya perih sedikit, akan tetapi sekarang sudah sembuh lagi. Ular apakah itu, ibu?"

Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran, akan tetapi juga gembira bukan main. Kakek Coa Song seperti tidak percaya dan dia bahkan kini memeriksa sendiri. Akhirnya dia tersenyum lebar penuh kelegaaan hati. Cucu buyutnya itu memang sama sekali tidak keracunan, betapapun tidak mungkinnya hal itu.

"Apakah ular itu sudah kehilangan racunnya ketika menggigit anakmu?" tanyanya kepada Lan Ci.

Nyonya muda itu mengambil ular itu, lalu sebatang tusuk sanggul perak dicabutnya dari sanggulnya. Di bawah pandang mata semua orang, nyonya muda itu menggosok-gosok ujung tusuk sanggul perak itu ke mulut ular, di antara taring-taringnya. Dan semua orang mengeluarkan seruan ngeri karena segera tusuk sanggul yang tadinya putih bersih itu tiba-tiba menjadi kehijauan lalu menghitam! Lan Ci juga terbelalak menoleh kepada puteranya yang hanya ikut memandang tidak mengerti.

"Racun dimulut ular ini cukup kuat untuk membunuh sepuluh orang dewasa!" kata Lan Ci. "Aku akan memeriksa apa yang membuat binatang ini mati terbakar."

Lan Ci menggunakan pisau menyayat tubuh ular itu, memeriksa di bawah sinar lampu yang terang. Dan iapun memandang kepada suaminya dengan mata terbuka lebar, penuh keheranan dan kekagetan.

"Ada apa?" Siang Lee bertanya khawatir.

"Ular ini... terserang racun yang amat hebat!"

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran dan bertanya-tanya. Lan Ci diam saja, hanya mengerling sejenak kepada suaminya lalu kepada puteranya.

"Bangkai ular ini harus dikubur yang dalam. Kalau ada anjing makan dagingnya, anjing itu akan mati."

Kam Seng Hin lalu menyuruh seorang anggota Hek-houw-pang untuk melakukan penguburan itu di kebun belakang. Peristiwa ini membuat semua orang bertanya-tanya. Akan tetapi mereka semua memaklumi ketika Lan Ci mengajak puteranya itu memasuki kamar. Siang Lee yang masih berkhawatir mengikuti dari belakang. Kini Cin Cin yang dirubung semua orang dan anak ini menceritakan terjadinya peristiwa yang mengejutkan dan menggelisahkan tadi.

Setelah semua orang memasuki kamar masing-masing, Kam Seng Hin memberi nasehat kepada Cin Cin, "Anakku, engkau lihat tadi sikap Thian Ki. Biarpun nyawanya terancam maut, dia begitu tenang, begitu tabah. Engkau harus mencontoh sikapnya itu. Menjadi seorang gagah haruslah tenang dan tabah, biar menghadapi maut sekalipun. Jangan cengeng seperti seorang perempuan lemah."

"Benar kata ayahmu, Cin Cin. Engkau harus menjadi orang yang gagah perkasa dan sikap Thian Ki tadi memang mengagumkan sekali. Sungguh heran kalau anak seperti itu tidak diajar ilmu silat," kata Poa Liu Hwa.

Sementara itu, setelah Thian Ki tidur pulas, Lan Ci memberi isyarat kepada suaminya. Mereka turun dari pembaringan dan bercakap-cakap dengan suara berbisik di sudut kamar, menjauhi pembaringan itu. Tadi mereka berdua melakukan pemeriksaan lagi dengan teliti kepada tubuh putera mereka, sampai mereka merasa yakin benar bahwa Thian Ki tidak keracunan.

"Aku khawatir sekali," kata Sim Lan Ci dengan suara berbisik.

"Hemm, kenapa? Bukankah dia sama sekali tidak keracunan? Kita sepantasnya bersyukur, kenapa engkau malah khawatir?" tanya Siang Lee, juga berbisik.

Lan Ci mengerutkan alisnya. "Tadinya aku sendiri merasa heran melihat gigitan ular yang amat berbisa itu tidak membuat dia keracunan. Akan tetapi setelah aku memeriksa keadaan ular itu, mengertilah aku dan akupun merasa khawatir bukan main."

"Apa yang kaukhawatirkan?" Siang Lee yang melihat wajah isterinya berubah pucat, merangkulnya dengan penuh sayang. "Jangan membikin aku bingung, katakan apa yang mengkhawatirkan hatimu."

Dan begitu dirangkul suaminya, Lan Ci menangis di dada suaminya! Tentu saja Siang Lee menjadi semakin kaget dan heran. Didekapnya isterinya dan diusapnya air matanya. "Aih, engkau membikin aku menjadi semakin bingung. Kenapakah, sayang?"

Lan Ci mengeraskan hatinya dan membiarkan suaminya mengusap air matanya. Kemudian ia berhasil menenangkan hatinya dan beberapa kali ia menghela napas panjang. "Dahulu, sebelum aku ikut denganmu, ibuku pernah bercerita bahwa ibu senang mempelajari cara membuat seorang anak menjadi Tok-tong (Anak Beracun). Aku tidak begitu memperhatikannya dan sudah melupakan hal itu lagi ketika ibu menjadi nikouw. Akan tetapi melihat keadaan Thian Ki, aku tahu bahwa anak kita telah menjadi Tok-tong!"

"Ahh...!!!" Siang Lee terbelalak memandang kepada isterinya, lalu ke arah Thian Ki yang tidur pulas di pembaringan. "Tok-tong...? Apa artinya itu...?"

"Artinya, anak kita yang kita ingin didik menjadi orang yang tidak mengenal ilmu silat itu kini telah memiliki tubuh yang membuat dia menjadi orang yang amat berbahaya! Engkau lihat saja tadi buktinya. Seekor ular berbisa yang amat berbahaya, setelah menggigit dia, tidak membuat Thian Ki keracunan, bahkan ular itu sendiri yang keracunan dan mati seperti terbakar. Apalagi kalau ada manusia yang menyerangnya!"

"Aduhh...! Ba... Bagaimana ini...?" Siang Lee menjadi pucat dan dia memandang ke arah puteranya. "Dia harus disembuhkan. Racun itu harus dibuang dari tubuhnya!"

Dengan sedih Lan Ci menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku teringat sekarang semua keterangan ibu. Anak yang akan dijadikan Tok-tong itu bukan saja diberi minum racun, juga tubuh digodok dengan air beracun, kemudian ditusuki jarum beracun dan dimasuki hawa beracun yang hanya dapat dilakukan oleh ibu. Otomatis badan anak itu menjadi beracun, seperti binatang beracun lainnya dan tidak ada yang dapat menghilangkan racun itu dari tubuhnya."

"Celaka! Ya Tuhan, kenapa ia melakukan itu kepada anak kita?" Siang Lee mengepal tinju dan mukanya berubah merah karena marah. "Ibumu jahat sekali! Sudah menjadi nikouw masih mencelakai anak kita!"

Kini Lan Ci yang merangkul suaminya. "Tenanglah, koko. Dalam keadaan seperti ini kita harus tetap tenang agar dapat mencari jalan keluar yang tepat untuk anak kita."

Sejenak mereka berangkulan dan akhirnya Siang Lee dapat menenangkan hatinya. "Ceritakan semua, apa akibatnya setelah anak kita menjadi Tok-tong," kata Siang Lee dan suaranya mengandung kepahitan yang hebat. Anak satu-satunya, yang disayangnya dan yang diharapkan akan menjadi seorang anak yang jauh dari kekerasan dan ilmu silat, kini bahkan telah menjadi anak beracun yang berbahaya!

"Thian Ki telah menjadi Tok-tong dan tidak ada obat yang dapat memulihkannya. Dia akan tumbuh dewasa secara normal. Akan tetapi tubuhnya telah mengandung racun. Kalau dia tidak diberi tahu, tanpa disengaja dia bisa mengeluarkan hawa beracun, ludah beracun, bahkan pukulan tangannya dapat mengandung racun. Kita hanya dapat melatihnya agar dia dapat mengendalikan diri, mengendalikan hawa beracun di tubuhnya itu."

"Apa tidak ada akibat lain? Benarkah tidak ada cara untuk menghilangkan racun itu?"

"Akibat yang amat menakutkan, kalau dia tahu akan kemampuan hebat dalam dirinya untuk merobohkan orang lain, kalau dia berambisi untuk menjadi jagoan, tentu dia akan mencelakai banyak orang. Dan ada satu cara untuk menghilangkan racun itu, akan tetapi..."

"Tidak ada tapi! Apa cara itu? Akan kutempuh lautan api sekalipun untuk mencarikan obatnya."

"Racun itu akan dapat berkurang sedikit demi sedikit kalau dia... berhubungan badan dengan wanita. Akan tetapi, setiap orang wanita yang berhubungan dengan dia akan mati keracunan. Entah berapa banyak wanita yang akan mati sebelum dia bersih dari racun itu."

"Ya Tuhan...!!! Siang Lee seketika menjadi lemas. Kalau obatnya macam itu, sampai matipun dia tidak akan mengijinkan puteranya membunuh banyak wanita.

"Tidak ada lain jalan, suamiku. Kita harus memberitahu anak kita sekarang juga, agar jangan sampai terlambat. Bayangkan saja kalau dia tidak tahu dan besok pagi bermain-main dengan Cin Cin, kesalahan tangan memukulnya, dapat saja tanpa disengaja hawa beracun itu bekerja dan Cin Cin tewas di tangannya!"

Siang Lee nampak terkejut sekali. "Celaka, engkau benar! Dia harus diberitahu agar menyadari keadaan dirinya dan tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi baru saja mereka mendekati tempat tidur, di luar kamar mereka terdengar suara gaduh, disusul ketukan pintu kamar mereka dari luar.

"Suheng! Coa-suheng dan toa-so, harap buka pintu, cepat! Ada hal yang penting sekali!" terdengar suara Seng Hin, ketua Hek-houw-pang.

Tentu saja Siang Lee dan Lan Ci terkejut, mereka menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan keadaan anak mereka yang mengejutkan itu. Siang Lee cepat membuka daun pintu dan ternyata Seng Hin sudah berdiri di situ bersama Poa Liu Hwa yang memondong tubuh Cin Cin. Mereka kelihatan panik.

"Ada apakah, sute?" tanya Siang Lee.

"Coa-suheng, mereka telah menyerbu dusun kita!" kata Kam Seng Hin.

"Mereka siapa?" tanya Siang Lee.

"Mungkin anak buah orang buruan itu. Mereka lihai sekali dan beberapa orang anak buah kita telah roboh. Karena suheng dan toaso tidak mau berkelahi, maka kami hendak menitipkan Cin Cin di sini. Mohon suheng suka menjaga dan melindungi anak kami ini."

Poa Liu Hwa menurunkan Cin Cin dan mereka berdua lalu berloncatan keluar dari dalam kamar itu. "Ayah! Ibu! Aku ikut...!" Cin Cin berseru dan lari mengejar. Akan tetapi Siang Lee telah menangkap lengannya, lalu mengangkat dan memondong anak itu.

"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu akan bertempur, berbahaya sekali kalau kau ikut dengan mereka..."

"Aku tidak takut, supek! Aku akan membantu ayah dan ibu menyerang musuh!" Cin Cin meronta.

"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu telah menitipkan engkau kepada kami, kami harus menjaga dan melindungimu. Mereka akan marah kalau engkau menyusul ke sana. Di sinilah bersama kami dan Thian Ki."

"Ayah, apakah yang terjadi? Apa ribut-ribut itu?" Thian Ki yang terbangun oleh suara gaduh di luar itu sudah turun dari pembaringan dan menghampiri ayah ibunya. "Eh, Cin Cin disini?"

"Cin Cin, berjanjilah bahwa engkau akan berada di sini bersama Thian Ki dan tidak akan mencari ayah ibumu," kata Siang Lee sambil menurunkan Cin Cin yang sudah tidak meronta lagi setelah anak itu melihat Thian Ki.

"Baik, supek. Aku akan berada di sini bersama Thian Ki."

Dari situ terdengar suara orang bertempur di luar. Siang Lee dan istrinya saling pandang. "Kita harus menengok keadaan kong-kong, dan melihat apa yang terjadi," kata Siang Lee kepada isterinya.

Lan Ci mengangguk dan Siang Lee kini menghadapi dua orang anak yang sudah saling berpegang tangan dengan wajah tegang itu. "Thian Ki dan Cin Cin, kalian dengar baik-baik. Dusun ini diserbu orang-orang jahat, kami orang-orang tua harus melawan mereka, akan tetapi kalian berdua tidak boleh keluar. Kalian harus bersembunyi di sini sampai kami kembali dan jangan sekali-kali keluar. Mengerti?"

"Baik, ayah."

"Baik, supek."

Suami isteri itu hendak melangkah ke luar, akan tetapi di ambang di ambang pintu, Lan Ci kembali memasuki kamar itu dan memegang tangan Thian Ki lalu menariknya dan berkata, "Thian Ki, engkau ke sini sebentar, ibu mau bicara penting!"

Thian Ki menurut saja diajak ibunya ke sudut kamar dan ibunya berbisik-bisik di telinganya. "Thian Ki, ditubuhmu terdapat hawa beracun. Ingat ular tadi mati ketika menggigit kakimu. Kelak engkau harus mencari obat penawarnya, dan jangan sekali-kali engkau menikah sebelum sembuh. Setiap wanita akan mati kalau berdekatan denganmu. Ingat baik-baik ini," kata Lan Ci dengan suara berbisik dan sebelum Thian Ki yang menjadi bengong itu sempat bertanya, ia sudah meninggalkannya dan bersama suaminya ia lalu keluar dari dalam kamar itu setelah menutupkan daun pintunya.

Cin Cin menghampiri Thian Ki yang masih tertegun bingung. "Thian Ki, apa yang dipesankan ibumu tadi?" tanya Cin Cin sambil memegang tangan Thian Ki.

Thian Ki menggeleng kepala. "Tidak apa-apa Cin Cin. Ibu hanya pesan agar kita tidak keluar dari sini karena di luar amat berbahaya, dan bahwa aku harus melindungimu."

"Thian Ki, engkau tidak pandai silat, bagaimana akan dapat melindungiku? Akan tetapi jangan khawatir, aku dapat melindungi diriku sendiri, bahkan aku yang akan melindungimu, kalau ada orang jahat berani masuk ke sini akan kuhajar!" Cin Cin mengepal kedua tinjunya.

Akan tetapi Thian Ki tidak tersenyum melihat kelucuan Cin Cin itu. Dia sedang bingung. Ucapan ibunya masih terngiang di telinganya dan dia tidak mengerti artinya. Dia keracunan. Ular itu tadi mati sendiri begitu menggigit kakinya. Akan tetapi, apa artinya setiap wanita akan mati kalau berdekatan dengannya? Ibunya juga seorang wanita dan selama ini dekat dengannya, akan tetapi ibunya tidak mati! Dia sungguh tidak mengerti. Akan tapi dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencari obat kalau benar di tubuhnya terdapat hawa beracun.

Sebetulnya, apakah yang terjadi di dusun itu? Benar seperti dugaan Hek-houw-pang-cu yang mendengar laporan para anggotanya, malam itu rombongan Pangeran Cian Bu Ong tiba di dusun itu! Mula-mula, pada malam hari yang gelap itu, menjelang tengah malam, lima orang menghampiri gardu penjagaan di pintu gerbang dusun Ta bun-cung. Mereka itu bukan lain adalah lima orang pembantu Utama Pangeran Cian Bu Ong, lima orang bekas narapidana yang dia bebaskan, yaitu Gan Lui, Lie Koan Tek, Thio Ki Lok, Gulana dan Can Hong San.

Mereka diutus Pangeran Cian Bu Ong untuk melakukan penyelidikan sebagai pembuka jalan di dusun itu. Dari mata-matanya, pangeran itu sudah mendengar bahwa daerah itu dilindungi oleh Hek-houw-pang dan bahwa perkumpulan orang gagah ini sudah didatangi pasukan Kerajaan Tang dan dimintai bantuan untuk menghadang dan menangkapnya.

Maka dia bersikap hati-hati dan lebih dulu mengirim orang-orang kepercayaan sebelum mengajak rombongannya masuk ke dusun itu. Tentu saja para anggota Hek-houw pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang itu menjadi terkejut dan curiga ketika melihat munculnya lima orang asing secara tiba-tiba di tengah malam itu.

"Heii, berhenti! Siapa kalian dan hendak ke mana?" kepala jaga berseru dan bersama duabelas orang anggota Hek-houw-pang lainnya dia meloncat menghadang lima orang itu sambil mengamati dengan penuh selidik. Seorang penjaga menyalakan sebuah lampu lain yang lebih besar sehingga tempat itu tidak segelap tadi.

Biarpun dia yang paling muda, namun Can Hong San secara resmi telah diangkat sebagai pembantu utama oleh pangeran Cian Bu Ong, dan empat orang yang lain diwajibkan untuk membantunya. Karena ini merupakan perintah pangeran itu, maka Lie Koan Tek mentaati perintah itu dan dia menganggap orang muda itu sebagai atasannya. Tiga orang jagoan yang lain tentu saja tunduk kepada Hong San karena mereka bertiga sudah pernah dikalahkan oleh pemuda perkasa ini. Kini Hong San melangkah maju dan dengan sikap angkuh dia menghadapi kepala jaga yang berkepala botak itu.

"Apakah kalian ini anak buah perkumpulan yang dinamakan Hek-houw-pang?" tanya Hong San, suaranya dingin mengandung ejekan yang memandang rendah.

Sudah lazim bagi orang-orang muda. DaIam keadaan melakukan penjagaan keamanan itu, timbul sikap gagah-gagahan karena bangga dan merasa kuat. Demikian pula dengan orang-orang Hek-houw-pang itu. Mereka mengangkat dada dan tangan mereka siap meraba gagang senjata yang tergantung di pinggang seperti pedang dan golok, atau tombak yang berada di rak senjata di gardu itu.

"Benar sekali. Kami adalah murid-murid Hek-houw-pang yang melakukan penjagaan untuk keamanan dusun kami!" jawab si botak. "Siapakah kalian?"

"Hemm, bagus kalau kalian ini orang-orang Hek-houw-pang. Nah, sekarang cepat beritahukan kepada ketua kalian bahwa kami ingin bertemu karena urusan yang amat penting," kata Hong San, sikapnya masih dingin.

Para murid Hek-houw-pang itu saling pandang dan si botak bersikap hati-hati. Siapa tahu, lima orang ini adalah sahabat-sahabat ketua mereka yang datang berkunjung sebagai tamu. Orang-orang kang-ouw memang banyak yang aneh. Berkunjung di tengah malam seperti itu bukan suatu pantangan bagi mereka.

"Jadi cu-wi (anda sekalian) ingin bertemu dengan pang-cu kami?" tanya si botak, kini sikapnya agak menghormati dan ragu-ragu. "Akan tetapi, kami harus melaporkan dulu siapa cu-wi dan apa keperluan cu-wi hendak menghadap pang-cu kami."

"Katakan saja kepada pang-cu kalian bahwa kami berlima diutus oleh pangeran Cian Bu Ong..."

Baru bicara sampai di situ, para murid Hek-houw-pang sudah terkejut sekali. "Pemberontak!"

"Tangkap!"

"Kepung...!"

Tiga belas orang itu serentak mencabut senjata dan mengepung lima orang yang bersikap tenang itu. Si botak yang memegang sebatang pedang, menudingkan telunjuk kirinya ke muka Can Hong San dan dia berseru dengan nyaring.

"Lebih baik kalian lima orang pemberontak menyerah kepada kami daripada harus kami tangkap dengan kekerasan!"

Hong San mengerutkan alisnya. Pangeran Cian Bu Ong sudah marah ketika mendengar bahwa Hek-houw-pang mengambil sikap bermusuhan dengan dia dan akan membantu pasukan Kerajaan Tang untuk menangkapnya. Dia sudah berpesan kepada Hong San bahwa kalau ketua Hek-houw-pang mau diajak kerja sama, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau mereka berkeras menentangnya, maka lebih baik perkumpulan itu dibasmi saja!

"Hemm, orang Hek-houw-pang. Sekali lagi, panggil ketuamu ke sini agar kami dapat bicara. Atau kami akan mengambil jalan berdarah untuk menangkap ketua kalian!"

"Serbuuuu! Hancurkan pemberontak!" teriak si botak dan dia sendiri sudah menyerang Hong San dengan pedangnya, karena pemuda itu berdiri paling depan. Juga para murid lain sudah menggunakan senjata mereka untuk menyerang empat orang rekan Hong San.

Hong San adalah seorang muda yang amat lihai. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja serangan murid tingkat ke dua dari Hek-houw-pang itu tidak ada artinya bagi dirinya. Bahkan kalau dia mau melindungi tubuhnya dengan sin-kang, pedang itu tidak akan mampu menyentuhnya, akan tetapi, Hong San sama sekali tidak mengelak, bahkan menangkap pedang si botak yang menyerang dengan bacokan.

Tangan kirinya menangkap pedang itu seolah pedang itu bukan benda baja tajam yang digerakkan dengan tenaga besar, melainkan sebatang pedang kayu tumpul yang digerakkan tangan seorang anak kecil saja. Dan tangan kanannya dibarengi dengan tamparan ke arah kepala botak itu.

"Prakkkk!" Si botak terjengkang dan roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak dan pedangnya terampas berada dalam cengkeraman tangan kiri Hong San. Pemuda ini tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali dia melemparkan pedang rampasan itu ke kiri, seorang pengeroyok roboh dan pedang itu menancap di dadanya sampai menembus punggung!

Empat orang rekannya juga sudah di keroyok banyak murid Hek-houw-pang. Gan Lui merobohkan seorang pengeroyok yang tewas seketika oleh senjata cambuknya, Thio Ki Lok juga menewaskan seorang pengeroyok dengan golok gergaji. Demikian pula Gulana meremukkan kepala seorang pengeroyok dengan tongkat bajanya. Hanya Lie Koan Tek yang tampak ragu-ragu. Melihat betapa sudah ada lima orang roboh tewas, dia melompat ke depan.

"Tahan semua senjata!" teriaknya dengan suara lantang sekali karena tokoh Siauw-lim-pai ini mengerahkan khi-kang sehingga suaranya keluar dari perut dan amat nyaring. "Kami utusan pangeran Cian Bu Ong datang untuk mengajak bekerja sama, bukan bermusuhan. Kerajaan telah dirampas pemberontak, apakah kalian hendak membantu pemberontak Tang? Mari kita bicara dengan baik dan kami persilakan ketua Hek-houw-pang untuk keluar bicara dengan kami!"

"Akulah ketua Hek-houw-pang!" Tiba-tiba terdengar suara keren dan Kam Seng Hin telah berdiri di situ, didampingi oleh isterinya, Poa Liu Hwa. Ketua yang berusia empat puluh tahun ini, yang bertubuh tinggi besar dan gagah, nampak marah sekali melihat betapa lima orang murid Hek-houw-pang telah roboh tewas. "Kailan anjing-anjing penjilat Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak! Kami adalah rakyat yang tunduk dan taat kepada pemerintah yang sah!"

Lie Koan Tek merasa khawatir sekali melihat sikap ketua Hek-houw-pang itu. Dia tahu benar betapa lihainya empat orang rekannya, terutama sekali Can Hong San yang masih muda itu, dan betapa kejamnya hati mereka. Kalau dibiarkan saja perkelahian berlangsung lagi, tentu semua orang Hek-houw-pang akan terbunuh mati. Maka diapun cepat mendahului dengan suaranya yang lantang.

"Ketua Hek-houw-pang ternyata masih muda dan gagah. Pangcu, ketahuilah bahwa pendirianmu itu keliru. Pemerintah yang sah adalah kerajaan Sui yang jatuh ke tangan pemberontak yang kini mendirikan Kerajaan Tang. Kalau engkau ingin menjadi seorang pahlawan, seharusnya engkau membela Kerajaan Sui, bukan Kerajaan Tang yang didirikan para pemberontak!"

"Tidak perlu memutar-balikkan kenyataan!" bentak pula Kam Seng Hin marah. "Setiap orang tentu tahu betapa lalimnya kaisar terakhir kerajaan Sui, menindas dan mencekik rakyat. Panglima Li Si Bin adalah seorang pejuang rakyat, seorang pahlawan yang mengenyahkan kaisar lalim dan sekarang membangun pemerintahan baru yang bersih dan adil. Kemudian Pangeran Cian Bu Ong memberontak di Pohai, lalu sekarang menjadi pelarian. Siapa tidak tahu akan hal itu? Sebaiknya kalau kalian menyerah agar kami tangkap dan kami hadapkan kepada pemerintah."

"Jahanam sombong!" bentak Can Hong San marah dan diapun sudah menerjang dengan tangan kirinya, menampar ke arah kepala Kam Seng Hin. Ketua Hek-houw-pang ini merupakan seorang murid kepala dan tentu saja sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia, maka melihat tamparan itu, Kam Seng Hin cepat menangkis sambil mengeluarkan seluruh tenaga.

"Plukkkk!" Begitu tangkisannya bertemu dengan tangan Hong San, tubuh tinggi besar ketua itu terpelanting dan terbanting keras! Tentu saja semua anggota Hek-houw-pang terkejut. Poa-Liu Hwa menolong suaminya dan beberapa orang anggota Hek-houw-pang menyerang Hong San dengan senjata mereka. Juga para anggota Hek-houw-pang lainnya yang sudah berkumpul telah mengepung dan mengeroyok empat orang yang lain dengan senjata mereka.

Biarpun dengan hati yang berat, karena dikepung dan dikeroyok, Lie Koan Tek terpaksa membela diri. Akan tetapi, kalau dia hanya mengelak dan menangkis saja dan merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh atau melukai dengan berat, empat orang lainnya sebaliknya seperti berpesta-pora menyebar maut di antara para anggota Hek-houw-pang.

Poa Liu Hwa yang menolong suaminya mendapat kenyataan bahwa suaminya tidak terluka, maka mereka berdua lalu menghunus senjata dan ikut pula mengeroyok. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Can Hong San tidak menggunakan pedangnya. Pihak lawan dianggap terlalu lemah sehingga cukup dengan suling di tangan kiri dan tangan kanan yang kosong saja, dia sudah menyebar maut.

Sudah enam orang roboh dan tewas oleh totokan suling di tangan kiri atau hantaman tangan kanannya. Dia mengamuk sambil tersenyum gembira seperti orang yang sedang membunuhi tikus saja. Melihat ini, Kam Seng Hin yang bersama isterinya tadi mengeroyok Gulana, menjadi marah sekali. Sambil berteriak nyaring dia membalik dan menerjang Can Hong San, membantu anak buahnya mengeroyok pemuda tampan ini...