Mestika Golok Naga Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SETELAH semua gejolak cinta itu mereda. Siang Hwi bertanya, "Sekarang kita hendak pergi ke mana, koko?"

Tiong Li lalu menceritakan tentang lenyapnya puteri Sung Hiang Bwee. "Puteri itu menurut keterangan yang kudapatkan dari percakapan Perdana Menteri Jin Kui, telah dibawa, ke utara dan diserahkan kepada Panglima Wu Chu, panglima besar Bangsa Kin. Akan tetapi Perdana Menteri melakukan fitnah sehingga Kaisar mengumumkan penangkapan atas diriku dengan tuduhan menculik puteri itu."

"Ihh, betapa jahatnya Perdana Menteri itu!" kata Siang Hwi.

"Jahat dan licik sekali, Hwi-moi Karena itu, aku harus menyusul ke utara untuk menemukan kembali sang puteri dan mengembalikan kepada Kaisar. Barulah dengan demikian namaku akan bersih dan kedok Perdana Menteri Jin Kui akan terbuka. Dan engkau ikut menemaniku mencari sang puteri."

"Ke daerah kekuasaan Kin?"

"Ya benar, ke utara."

"Baiklah, koko, ke manapun engkau pergi, aku ikut."

Demikianlah, sepasang kekasih ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke utara, melewati perbatasan atau daerah tak bertuan dan memasuki wilayah Kerajaan Kin.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Pada suatu pagi Tiong Li dan Siang Hwi memasuki kota Lok-yang. Kota ini menjadi ibu kota ke dua sesudah Kai Feng yang tetap dijadikan kota raja oleh Bangsa Kin. Bangsa Kin memerintah dengan tangan besi sehingga rakyat Bangsa Han merasa tertindas akan tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu.

Pasukan Bangsa Kin adalah pasukan yang kuat dan kejam, terutama sekali terhadap rakyat jelata Bangsa Han. Betapapun juga, Kerajaan Kin membiarkan rakyat berdagang seperti biasa sehingga keadaan kota-kota cukup ramai dengan perdagangan. Yang memberatkan rakyat adalah pajak yang dipungut secara liar dan sembarangan. Para pejabatnya mempunyai wewenang sehingga siàрà yang dapat memberi suapan besar, merekalah yang lolos dari himpitan pajak.

Di antara para orang Han yang pandai banyak pula yang mengabdi kepada Kerajaan Kin dan mereka yang benar-benar setia mendapat penghargaan dan menduduki pangkat tinggi. Akan tetapi banyak pula orang pandai yang bahkan menyembunyikan diri. Tidak mau membantu pemerintah Kin walaupun mereka juga tidak melakukan pemberontakan biarpun diam-diam mereka masih mengharapkan kembalinya pemerintah Kerajaan Sung.

Tiong Li dan Siang Hwi memasuki kota Lok-yang karena mereka mendengar bahwa PangIima Besar Wu Chu berkedudukan di Lok-yang walaupun perbentengan besarnya berada di luar kota Lok-yang. Di sini mereka tidak dikenal maka mereka merasa aman untuk melakukan penyelidikan. Di Kerajaan Sung, Tiong Li sudah merupakan buronan pemerintah yang gambarnya terpampang di mana-mana sehingga tentu saja dia tidak dapat melakukan perjalanan dengan aman.

Setelah mendapatkan dua kamar disebuah rumah penginapan, Tiong Li mengajak kekasihnya untuk keluar dan mereka memasuki sebuah rumah makan yang tidak jauh letaknya dari gedung tempat tinggal Panglima Wu Chu. Mereka tadi sudah berjalan-jalan di sekitar gedung itu dan melihat betapa gedung itu terjaga ketat oleh para perajurit.

Sambil memesan makan, mereka menanti datangnya masakan sambil bicara berbisik-bisik. "Mungkinkah sang puteri berada di gedung tadi?" tanya Siang Hwi berbisik. "Dan apa yang akan kau lakukan selanjutnya, koko?"

"Kita harus menyelidiki hal itu. Hwi-moi. Penjagaan amat ketat, maka biarlah aku sendiri yang malam nanti me-akukan penyelidikan ke dalam gedung tu untuk melihat apakah sang puteri berada di dalam ataukah tidak. Engkau menanti saja di rumah penginapan, Hwi-moi."

Siang Hwi mengangguk, maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat menyelinap masuk kedalam gedung itu tanpa diketahui penjaga dan kalau ia ikut, ia hanya akan mengganggu dan merepotkan saja. Mungkin ia masih dapat menggunakan ginkangnya untuk menyelinap masuk, akan tetapi andaikata ketahuan, maka sukarlah baginya untuk meloloskan diri tanpa ketahuan mengingat bahwa di gedung panglima besar itu tentu terdapat banyak jagoan yang lihai.

Hidangan datang dan keduanya makan minum tanpa bercakap-cakap. Pada saat itu masuk tiga orang berpakaian perwira Kin dan dengan lagak sombong dan suara keras mereka minta disediakan arak baik dan bebek panggang.

"Cepat sediakan dan araknya yang terbaik! Panggang bebeknya yang kering sehingga kulitnya renyah dan sedap!" teriak mereka. Mereka berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun.

Tiong Li melirik ke arah kiri. Di sana duduk seorang kakek berusia enam puluhan tahun dan kakek ini duduk seorang diri, capingnya yang lebar diletakkan di atas meja dan rambutnya panjang digelung ke atas. Dia melihat betapa kakek itu memandang kepada tiga orang perwira dengan alis berkerut tanda tidak senang hatinya.

Seorang perwira yang termuda kebetulan melihat Siang Hwi dan dia menyeringai. "Wah, ada bidadari di sini!" katanya kepada dua orang kawannya. Mereka semua menengok dan memandang kepada Siang Hwi.

"Hebat! Kalau engkau berhasil mengajak ia minum bersama kita, barulah engkau patut disebut jagoan jantan!" kata seorang di antara mereka kepada perwira termuda.

"Hem, mengapa tidak? Kalian lihat saja!" kata perwira itu sambil bangkit dari tempat duduknya, kemudian dengan langkah agak terhuyung karena dia sudah minum setengah mabok sebelum masuk rumah makan itu, dia menghampiri meja Siang Hwi dan Tiong Li.

"Nona yang jelita, kami mengundang nona untuk minum-minum bersama kami sambil menikmati bebek panggang. Harap nona tidak menolak, dan kami akan memberi hadiah yang besar."

Siang Hwi mengerutkan alisnya dan menurutkan hatinya, ingin ia menghajar perwira itu. Akan tetapi pandang mata Tiong Li melarangnya dan iapun menjawab ketus. "Aku sudah makan dan minum," katanya sambil menunjuk ke atas meja.

"Aih, makan sayur begini mana enaknya? Kami mengundangmu dengan hormat, nona. Kami perwira-perwira dari panglima besar. Marilah!" Perwira itu memegang lengan kiri Siang Hwi dan berusaha menariknya.

Dengan gemas sekali Siang Hwi lalu menggunakan telunjuk tangan kanannya, menggunakan kuku telunjuk itu menggurat lengan yang memeganginya sambil berkata. "Aku tidak mau. Lepaskan tanganku!"

Tiong Li bangkit berdiri dan memberi hormat kepada perwira itu. "Ciangkun, isteriku sudah makan minum bersama aku suaminya, dan tidak menghendaki makan minum bersama ciangkun, harap tidak memaksa."

Perwira itu melepaskan tangan Siang Hwi dan memandang kepada Tiong Li dengan mata melotot. "Isterimu? Apa salahnya kalau hanya menemani kami makan minum?"

Pada saat itu, tiba-tiba kakek di meja sebelah kiri itu berkata. "Hemmm, agaknya Panglima Besar Wu Chu tidak dapat mendidik para perwira pembantunya. Hendak kulihat apa yang akan dilakukan kalau aku melaporkan Hal ini kepadanya!"

Perwira itu terkejut dan memandang kepada kakek itu. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi kata-kata kakek itu agaknya membuatnya jerih. Dia menghampiri meja kawan-kawannya, berbisik-bisik kemudian mereka bertiga meninggalkan rumah makan tanpa menanti pesanan mereka.

Tiong Li dan Siang Hwi mengerling ke arah kakek itu, akan tetapi kakek itu minum arak dari cawannya dan tidak memperdulikan mereka. Karena peristiwa itu keduanya merasa tidak enak, takut menjadi perhatian orang maka keduanya segera menghabiskan makanan dan membayar lalu meninggalkan rumah makan itu.

Mereka berdua lalu mengunjungi taman rakyat yang terkenal indah di Lok yang, akan tetapi baru saja mereka memasuki taman itu, mereka melihat kakek yang tadi sudah berada di depan, duduk di atas sebuah bangku! Melihat mereka, kakek itu mengangkat capingnya sambil tersenyum.

Diam-diam Tiong Li terkejut. Begitu cepatnya kakek itu mendahului mereka ke tempat ini, sungguh mengejutkan dan betapa cepatnya. Dia lalu mengambil Keputusan untuk berkenalan karena dia merasa dibayangi oleh kakek itu. Di ajaknya Siang Hwi menghampiri kakek yang duduk di atas bangku itu. Untung di tempat itu tidak ada orang lain sehingga dia dapat bicara dengan leluasa.

"Maafkan kami, paman. Kami ingin menghaturkan terima kasih atas pertolongan paman di rumah makan tadi, mengusir tiga orang perwira yang hendak kurang ajar," kata Tiong Li sambil mengangkat tangan memberi hormat, di turut oleh Siang Hwi.

"Hemm, kalian bukan suami isteri, mengapa mengaku suami isteri?" tanya kakek itu dengan suara mengejek.

Kedua orang muda itu terkejut. "Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa..." kata Siang Hwi.

"Sikap kalian menunjukkan bahwa kalian bukan atau belum menjadi suami isteri!" kata kakek itu.

"Alasan itu hanya untuk menolak ajakan perwira tadi, paman," kata Tiong Li cepat.

"Kalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kalian dapat menjaga diri dengan baik, tanpa bantuanku mereka bertiga tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadap kailan. Akan tetapi kenapa nona begitu kejam? Perwira itu memang kurang ajar, akan tetapi perlukah membuat dia terluka beracun yang amat berbahaya?"

Tiong Li terkejut. Dia sendiri tidak melihat kekasihnya menyerang orang tadi, bagaimana dapat dikatakan melukai beracun yang berbahaya? Dia menoleh kepada Siang Hwi dan melihat kekasihnya merasa terkejut dan heran pula.

"Engkau melihat apakah, paman?"

"Hemm, engkau menggurat lengannya dengan kuku jarimu dan aku melihat guratan itu sudah menimbulkan warna merah kebiruan yang membengkak!"

"Hwi-moi...!!" Tiong Li kini memandang kekasihnya dengan mata terbelalak.

Siang Hwi tersenyum. "Hebat sekali ketajaman pandanganmu, paman. Akan tetapi engkau jangan khawatir, koko. Aku hanya menggurat kulit lengannya dan dia hanya akan menderita sakit bengkak pada lengannya itu tanpa membahayakan nyawanya. Apa kau kira aku begitu mudah membunuh orang? Biarlah sekedar memberi hajaran agar lain kali dia tidak akan memandang rendah kaum wanita, dan diapun tidak akan tahu bahwa aku yang membuat lengannya membengkak."

Tiong Li kini menghadapi kakek itu dan memberi hormat pula. "Kiranya paman seorang yang amat lihai, harap maafkan kami yang tidak mengenal paman."

"Sudahlah, akan tetapi pesanku agar kalian berhati-hati di sini. Banyak terdapat jagoan yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau perbuatan nona tadi diketahui oleh seorang di antara para jagoan, tentu kalian dicurigai sebagai mata-mata Kerajaan Sung dan keadaan bisa berbahaya. Selamat tinggal!"

Setelah berkata demikian, kakek bercaping itu lalu bangkit dan berjalan pergi dengan cepat. Karena di taman itu terdapat banyak orang yang mulai berdatangan, Tiong Li dan Siang Hwi tidak berani melakukan pengejaran.

"Wah, belum apa-apa sudah bertemu dengan perwira kurang ajar dan seorang kakek yang lihai ," kata Tiong Li. "Mulai sekarang kita harus berhati-hati dan waspada, jangan mencari keributan."

"Akan tetapi bagaimana kalau ada orang berbuat atau berkata kurang ajar terhadap diriku, koko? Apakah harus di diamkan saja?"

"Tentu saja tidak, akan tetapi dari pada menanggapi mereka, lebih baik kita tinggal pergi."

"Kalau mereka mengejar dan memaksa?"

"Wah, kalau begitu, aku sendiri akan turun tangan menghajar mereka. Aku tidak ingin siapa saja mengganggumu, Hwi-moi!"

Mendengar jawaban ini barulah puas hati Siang Hwi. "Aku menaati semua pesanmu, koko."

"Nah, malam ini aku jadi melakukan penyelidikan ke rumah Panglima Besar Wu Chu dan engkau menanti aku di kamar penginapan."

"Baik, koko."

********************

Bayangan Tiong Li berkelebat seperti burung malam ketika dia berlompatan di luar tembok pagar rumah gedung Panglima Besar Wu Chu. Dengan mudah dia dapat melompati pagar tembok yang tidak ada penjaganya dan melompat masuk ke bagian dalam pagar tembok itu.

Setelah mendekam agak lama di taman dan melihat keadaan sudah aman, para petugas jaga sudah meronda lewat, dia lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga, menuju ke bagian belakang gedung itu. Dia pikir kalau benar sang puteri berada disitu, tentu berada di bagian belakang gedung, di bagian puteri.

Setelah melihat sekeliling tidak nampak penjaga, dia lalu melompat ke atas genteng. Akan tetapi baru saja dia berjalan beberapa meter, kakinya menyangkut tali yang agaknya banyak di pasang di situ. Segera terdengar suara hiruk pikuk disusul suara kentungan dan terompet dibunyikan orang.

Celaka kiranya kakinya tadi menyangkut alat yang sengaja dipasang orang sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk. Kedatangannya telah ketahuan! Tentu saja dia tidak berani mengambil resiko. Dilihatnya dari atas genteng betapa para penjaga sudah banyak berlarian, bahkan ada yang dengan gesitnya melompat Keatas genteng. Di antara para penjaga itu terdapat banyak orang lihai pikirnya dan diapun cepat melompat turun dan lari ke dalam taman.

. Ada penjaga yang melihat bayangannya lalu berteriak mengejar. Banyak penjaga melakukan pengejaran. Akan tetapi dengan cepat sekail tubuh Tiong Li sudah melayang naik ke pagar tembok, lalu melompat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Dia berhasil lolos, akan tetapi nyaris saja dia terkepung!

Karena tidak mungkin malam itu mengadakan, penyelidikan, dia lalu berlari cepat menuju ke rumah penginapan. Akan tetapi ternyata dua kamar mereka telah kosong. Tidak nampak Siang Hwi di dalamnya dan sebagai gantinya dia melihat sebatang pisau belati tertancap di atas meja menusuk sehelai surat. Dengan jantung berdebar tegang dia membaca surat itu.

"Kalau hendak bertemu dengan gadis itu, pergilah ke lereng bukit Fu-niu-san di selatan."

Tiong Li membuang pisau itu dan mengantungi suratnya, lalu tubuhnya melesat lagi keluar dari jendela. Jantungnya berdebar penuh kegelisahan. Mencari puteri Sung Hiang Bwee yang di culik orang belum berhasil, kini Siang Hwi telah diculik orang pula! Atau demikian mudahkah Siang Hwi diculik orang?

Dia tidak percaya. Gadis itu memiliki kepandaian tinggi dan cukup lihai untuk membela diri, bahkan memiliki banyak macam pukulan beracun yang ampuh. Hanya orang yang amat tinggi ke pandaiannya saja yang akan mampu menun dukkan dan menculik Siang Hwi. Akan tetapi mengapa penculik meninggalkan surat? Jelas, penculik itu sengaja memancingnya untuk datang ke Fu-niu-san. Dia tidak takut. Biar harus ke neraka sekalipun, untuk menolong Siang Hwi, akan didatanginya juga!

Fu-niu-san terletak di sebelah selatan kota Lok-yang, maka dia lalu keluar dari kota itu melalui pintu gerbang selatan, dan terus berlari cepat menuju ke bukit itu. Akan tetapi malam terlalu gelap baginya. Terpaksa dia berjalan perlahan melanjutkan tujuannya ke bukit itu.

Baru pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar, dia tiba di kaki bukit Fu-niu-san. Ke mana dia harus pergi? Perbukitan itu terlalu luas dan tentu saja mempunyai lereng yang tak terhitung banyaknya! Akan tetapi tiba-tiba, dalam keremangan fajar itu dia melihat api berkelap-kelip di atas sebuah lereng di depannya. Di seluruh tempat itu hanya ada api itu yang nampak, tidak ada di tempat lain lagi dan ini tentu bukan hal yang kebetulan saja. Agaknya orang telah memberi tanda kepadanya! Diapun tanpa ragu lagi terus mendaki lereng di depan itu.

Api itu ternyata sebuah api unggun yang sengaja dibuat orang di depan sebuah pondok besar yang terpencil! Dan di sekitar pondok itu berdiri belasan orang yang semua memegang sebatang golok. Dari sinar api unggun itu Tiong Li melihat bahwa golok yang mereka pegang itu merupakan sebatang golok besar yang berukir naga. Mestika Goloki Naga! Kenapa begitu banyak? Tiong Li teringat akan golok yang dahulu dirampasnya dari Si Golok Naga. Mestika Golok Naga yang dipegang oleh Hak Bu Cu itu ternyata palsu, dan kini begitu banyak orang memegang golok yang persis seperti Mestika Golok Naga. Tentu saja semuanya palsu!

Dia menjadi khawatir sekali akan nasib Siang Hwi. Maka, diapun dengan berani meloncat ke depan belasan orang itu yang segera mengepungnya. Pintu pondok itu terbuka dan dengan heran sekali Tiong Li melihat seorang laki-laki tinggi besar yang berusia kurang lebih empat puluh tahun berdiri tegak dengan golok semacam pula di tangan. Dan di sebelahnya berdiri Siang Hwi! Akan tetapi gadis ini bebas, dan bahkan tersenyum kepadanya!

"Hwi-moi...!"

"Koko, akhirnya engkau datang juga."

Siang Hwi lari menghampiri Tiong Li dan pemuda itu memegang kedua tangannya. "Hwi-moi, apa yang terjadi? Kenapa engkau berada di sini?"

"Perkenalkan, koko. ini adalah Ciu-ciangkun. Dialah yang mengajak aku ke sini karena katanya kalau aku berada di rumah penginapan, akan berbahaya sekali. Katanya engkau belum tentu berhasil dan diketahui rumah penginapan di mana kita bermalam, kita tentu akan dikejar dan ditangkap. Maka dia mengajakku ke sini dan sengaja mengundangmu datang ke sini. Mereka memperlakukan aku dengan hormat dan baik, koko. Dan Ciu-ciangkun ini telah mengenal subo."

Ciu Bhok Hi, perwira itu memberi hormat kepada Tiong Li. "Kami telah mendengar tentang namamu, saudara Tiong Li. Bukankah engkau yang menjadi orang buronan Kerajaan Sung? Dan nona ini adalah murid Ban-tok Sian-li yang kebetulan telah kukenal. Namaku Ciu Bhok Hi dan aku menjadi komandan dari pasukan Golok Naga yang membantu Panglima Besar Wu Chu. Kami semua sudah mengetahui bahwa engkau hendak mendatangi gedung panglima besar..."

"Akan tetapi kalau sudah mengetahui, mengapa memancing aku ke sini, dan tidak mengepung dan menyerangku di sana saja? Apa artinya semua ini?"

"Ha-ha-ha engkau begitu tidak sabar. Marilah masuk kedalam pondok, saudara Tan Tiong Li. Kita bicara di dalam!"

Dengan berani Tiong Li menghampiri dan mereka bertiga, Tiong Li Siang Hwi dan komandan itu memasuki pondok. Sementara itu, cuaca sudah mulai terang, akan tetapi api lampu penerangan dalam pondok masih dinyalakan.

Tiong Li dan Siang Hwi duduk di atas kursi menghadapi meja bundar yang besar, berhadapan dengan Ciu Bhok Hi. Setelah memandang tamunya dengan penuh perhatian, Ciu Bhok Hi menghela napas panjang.

"Tidak kusangka bahwa orang yang menggegerkan Kerajaan Sung masih begini muda. Bahkan engkau telah dapat menandingi jagoan-jagoan seperti mendiang Hak Bu Cu dan juga Tang Boa Lu, sungguh mengagumkan sekali!"

"Ciangkun terlalu memuji. Sebaiknya ciangkun cepat menceritakan apa maksud ciangkun memancing kami berdua datang ke tempat ini."

"Semua ini menunjukkan bahwa Panglima Besar Wu Chu adalah seorang yang dapat menghargai dan menghormati orang orang pandai seperti taihiap. Panglima kami tidak menghendaki menyambut tai-hiap sebagai musuh, melainkan ingin sekali jika taihiap sudi membantu pemerintah Kin. Di Kerajaan Sung taihiap sudah dimusuhi, dijadikan orang buronan, karena itu alangkah baiknya kalau taihiap mulai sekarang hidup di sini. Panglima Besar Wu Chu sudah menyediakan pangkat yang tinggi untuk taihiap dan siocia."

Tiong Li mengerutkan alisnya. Agaknya kedatangan di Kerajaan Kin disalah tafsirkan oleh mereka, disangka dia melarikan diri karena menjadi orang buruan pemerintah Sung. "Hemm, aku menjadi orang buruan karena di fitnah, disangka menculik seorang puteri Istana. Karena itu, aku harus membuktikan bahwa bukan aku penculiknya, dan aku mendengar bahwa sang puteri itu telah berada di rumah gedung Panglima Wu Chu."

"Memang benar, akan tetapi Panglima Wu Chu bukan seorang yang suka menculik wanita. Beliau menerima puteri itu sebagai hadiah dari seseorang..."

"Aku tahu! Tentu dari Perdana Menteri Jin Kui, bukan? Sungguh laknat Perdana Menteri itu!"

"Sudahlah, taihiap. Tugasku hanya untuk membujukmu agar suka bekerja dengan panglima besar kami. Bagaimana jawabanmu?"

"Kalau aku menolak?"

"Taihiap, kepandaianmu boleh jadi tinggi, akan tetapi ketahuilah bahwa pasukan golok naga kami adalah pasukan yang amat tangguh dan kami kira taihiap berdua tidak akan dapat lolos dari sini dengan selamat. Akan tetapi kami tidak menghendaki hal ini terjadi, maka harap taihiap suka mempertimbangkan dengan baik."

"Hemm, kalau aku menerima, apa tugasku?"

"Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung telah bersahabat baik. Antara raja dan Kaisar Sung telah ada kesepakatan untuk tidak saling menyerang. Akan tetapi, masih banyak bekas pengikut Panglima Gak Hui yang tidak mau menerima perdamaian itu dan mereka masih suka membuat kacau dan menyerang pasukan kami. Tugas taihiap adalah membasmi pengacau itu yang berada di perbatasan, demi berlangsungnya hubungan baik antara ke dua negara."

"Hemm, bagaimana, Hwi-moi, pendapatmu?"

"Aku hanya menyerah kepadamu, koko," kata gadis itu sejujurnya karena memang ia bingung memikirkan hal itu.

"Yang aku sama sekali tidak mengerti, bagaimana engkau dapat mengetahu gerak-gerik kami, ciangkun?" tanya Tiong Li kepada Ciu Bhok Hi.

Orang yang ditanya tertawa. "Ha-ha-ha, ini menunjukkan ketelitian kami, taihiap. Semenjak taihiap memasuki wilayah kami, kami telah menerima kabar bahwa taihiap berdua mungkin masuk daerah kami dan kami telah menyebar mata-mata untuk menyelidiki. Dan ketika taihiap berdua berada di rumah penginapan, di rumah makan, peristiwa dengan para perwira yang kurang ajar, semua peristiwa itu telah kami ketahui belaka."

"Ahhhh!" Tiong Li terbelalak. "Mengerti aku sekarang! Kakek yang bercaping itu!"

"Ha-ha-ha, dia hanya seorang di antara mata-mata kami, taihiap. Nah, ketahuilah bahwa kami semua telah siap siaga dengan baik sekali. Kalau semua kekuatan kami ini ditambah lagi dengan kekuatan taihiap yang lihai, pasti Panglima Besar Wu Chu akan menjadi girang sekali dan dengan bantuan taihiap, semua perusuh di perbatasan itu akan dapat dibasmi habis."

"Tidak, aku terpaksa tidak dapat menerima penawaran kedudukan oleh panglima kalian. Selain aku sendiri masih mempunyai banyak urusan pribadi, juga aku tidak ingin terikat oleh kedudukan di manapun. Sampaikan maafku kepada panglimamu."

"Taihiap, apa lagi yang menjadi penghalang bagi taihiap untuk membantu Kerajaan Kin? Banyak pendekar yang membantunya, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw juga membantu. Kalau ada urusan pribadi, taihiap dapat mengandalkan kami untuk membereskannya."

"Ciu-ciangkun, Li-koko sudah jelas menyatakan tidak setuju, apakah masih belum jelas bagimu? Ketahuilah, sekali Li-koko mengeluarkan pernyataan tidak akan ditarik kembali dan kami berdua tidak akan menuruti permintaanmu!" kata Siang Hwi yang agaknya gembira dengan penolakan Tiong Li itu.

"Bagus! Kalau begitu jangan harap dapat keluar dari tempat ini dengan selamat! Hanya ada dua pilihan, menjadi kawan atau menjadi lawan!" kata Ci Bhok Hi sambil melompat keluar.

"Bagaimana, koko?"

"Kita lawan mereka dan melarikan diri!" kata Tiong Li dengan tenang. "Siapkan pedangmu, karena mungkin pasukan Golok Naga ini berbahaya."

Siang Hwi mencabut pedangnya dan mereka berdua keluar pula dari pondoik itu. Dan mereka melihat bahwa mereka telah terkepung oleh delapan belas orang yang semua memegang golok, dipimpin oleh Ciu Bhok Hi. Melihat sikap dan kedudukan mereka, barisan golok itu nampaknya memang teratur rapi sekali.

"Ciu-ciangkun, kami tidak menghendaki permusuhan. Maka, biarkan kami pergi!" Tiong Li masih membujuk.

"Menyerah atau mati!" bentak Ciu Bhok Hi dan diapun sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.

Tiga orang menerjang maju dan menyerang dengan golok mereka terhadap diri Tiong Li sedangkan tiga orang lagi menyerang Siang Hwi. Gadis itu memutar pedangnya dan menangkis tiga batang golok itu lalu balas menyerang, akan tetapi pedangnya bertemu dengan golok-golok lain yang menangkis.

Tiong Li menggunakan gerakan Jauw sang-hui, dengan cepat tubuhnya berkelebat di antara gulungan sinar golok dan semua bacokan golok. Akan tetapi tiga batang golok lain sudah menyusul dan segera kedua orang itu dikepung dan dikeroyok dengan hebatnya. Memang hebat sekali barisan golok itu.

Akan tetapi tidak terlalu hebat bagi Tiong Li, bahkan Siang Hwi juga dapat membela diri dengan pedangnya. Memang rapi sekali susunan penyerangan golok itu, akan tetapi karena kepandaian pribadi masing-masing tidaklah terlalu tinggi, tenaga sinkang mereka tidak terlalu kuat, maka mudah bagi Tiong Li untuk mulai membalas beberapa orang sudah bergelimpangan jatuh bangun.

Setelah merobohkan delapan orang dengan tendangan dan tamparan tangannya, Tiong Li mengajak Siang Hwi untuk melarikan diri. Dia bahkan menyambar tangan gadis itu dan diajaknya berlari cepat menggunakan ilmu Jouw-sang-hui. Biarpun para anggauta barisan golok itu melakukan pengejaran, namun sebentar saja kedua orang itu lenyap di balik pohon-pohon.

Selagi Tiong Li dan Siang Hwi berlari cepat tiba-tiba muncul seorang hweshio tua di depan mereka yang mengangkat tangan ke atas menahan mereka. Tiong Li dan Siang Hwi berhenti akan tetapi mereka curiga. Jangan-jangan hwe-shio inipun kaki tangan Panglima Besar Wu Chu, seorang mata-mata!

"Siapakah lo-suhu dan ada keperluan apakah menghadang perjalanan kami?" tanya Tiong Li dengan suara tegas.

"Omitohud, pinceng melihat kalian dikejar-kejar pasukan Golok Naga, sebaiknya kalau pinceng membantu kalian bersembunyi. Bukankah kalian ini warga Sung yang setia?"

"Dan lo-cianpwe, bukankah seorang mata-mata dari Panglima Wu Chu?" tanya Siang Hwi yang juga curiga, dan pedangnya sudah siap-untuk menyerangnya.

"Omitohud, kalau benar pinceng mata-mata, engkau lalu mau apa nona?"

"Engkau layak mampus!" Bentak Siang Hwi yang segera membacokkan pedangnya.

Akan tetapi dengan lincah sekali hwe-shio tua gemuk itu mengelak. Siang Hwi menyerang terus sampai tujuh kali beruntun, akan tetapi semua serangannya mengenai tempat kosong dan hwe-shio itu kini meloncat ke atas sebuah dahan pohon yang tinggi. Tiong Li melihat gerakan ginkang yang hebat itu dan mencegah Siang Hwi mengejar terus.

"Lo-suhu, benarkah lo-suhu mata-mata dari Wu Chu yang ditugaskan menangkap kami?" tanyanya karena kalau benar demikian, dia sendiri hendak melawannya.

Hwe-shio itu melayang turun. "Omitohud, ilmu pedang yang hebat sekali. Nona, harap jangan terburu nafsu. Aku juga seorang yang setia kepada Kerajaan Sung. Bagaimana engkau tega menyangka pin-ceng itu pengkhianat yang mengabdi kepada Kin? Percayalah, pinceng bermaksud untuk menyembunyikan kalian dan kalau keadaan sudah mereda, baru kalian boleh melanjutkan perjalanan. Sekarang ini setelah kalian dikejar Barisan Golok Naga, keadaan kalian berbahaya dan kemanapun kalian pergi ke wilayah ini, tentu akan menjadi orang buruan. Pinceng Ceng Ho Hwe-shio, seorang murid Siauw-lim-pai, apakah kalian masih juga tidak percaya?"

Tiong Li cepat memberi hormat. "Kalau begitu, kami percaya dan sebelumnya kami menghaturkan terima kasih atas kebaikan lo-suhu."

"Marilah, jangan bicara saja, ikuti pin-ceng," kata hwe-shio itu yang lalu mendaki sebuah lereng menuju ke kuil yang berada di puncak bukit.

Tiong Li dan Siang Hwi mengikutinya dan ternyata hweshio itu dapat berlari cepat sekali sehingga Siang Hwi terpaksa harus mengerahkan tenaga agar jangan sampai tertinggal. Tentu saja tidak demikian dengan Tiong Li yang dapat mengikuti hwe-shio itu tanpa, banyak mengerahkan tenaga.

Kuil itu cukup besar dan dihuni oleh dua puluh orang hwe-shio. Dan ternyata mereka ini, walaupun tidak menentang pemerintah Kin secara terang-terangan, semua adalah orang-orang yang masih setia kepada Kerajaan Sung. Tiong Li dan Siang Hwi mendapatkan dua buah kamar di sebelah dalam, dan mereka mendengar pula ketika diluar banyak orang berdatangan.

Rombongan itu adalah Barisan Golok Naga yang mengejar sampai ke kuil, akan tetapi ketika Ceng Ho Hwe-shio mengatakan bahwa dua orang yang dicari tidak kelihatan datang ke kuil, rombongan itu tanpa memeriksa percaya saja lalu pergi.

Hal ini menunjukkan bahwa para hwe-shio itu dipercaya oleh pemerintah Kin. Dan memang hal ini adalah karena Siauw-lim pai tidak pernah memberontak atau memperlihatkan sikap melawan. Dan di antara para pejabat Bangsa Kin yang menganut agama Buddha, maka mereka itu menghormati para hwe-shio dari kuil itu...

Mestika Golok Naga Jilid 13

SETELAH semua gejolak cinta itu mereda. Siang Hwi bertanya, "Sekarang kita hendak pergi ke mana, koko?"

Tiong Li lalu menceritakan tentang lenyapnya puteri Sung Hiang Bwee. "Puteri itu menurut keterangan yang kudapatkan dari percakapan Perdana Menteri Jin Kui, telah dibawa, ke utara dan diserahkan kepada Panglima Wu Chu, panglima besar Bangsa Kin. Akan tetapi Perdana Menteri melakukan fitnah sehingga Kaisar mengumumkan penangkapan atas diriku dengan tuduhan menculik puteri itu."

"Ihh, betapa jahatnya Perdana Menteri itu!" kata Siang Hwi.

"Jahat dan licik sekali, Hwi-moi Karena itu, aku harus menyusul ke utara untuk menemukan kembali sang puteri dan mengembalikan kepada Kaisar. Barulah dengan demikian namaku akan bersih dan kedok Perdana Menteri Jin Kui akan terbuka. Dan engkau ikut menemaniku mencari sang puteri."

"Ke daerah kekuasaan Kin?"

"Ya benar, ke utara."

"Baiklah, koko, ke manapun engkau pergi, aku ikut."

Demikianlah, sepasang kekasih ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke utara, melewati perbatasan atau daerah tak bertuan dan memasuki wilayah Kerajaan Kin.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Pada suatu pagi Tiong Li dan Siang Hwi memasuki kota Lok-yang. Kota ini menjadi ibu kota ke dua sesudah Kai Feng yang tetap dijadikan kota raja oleh Bangsa Kin. Bangsa Kin memerintah dengan tangan besi sehingga rakyat Bangsa Han merasa tertindas akan tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu.

Pasukan Bangsa Kin adalah pasukan yang kuat dan kejam, terutama sekali terhadap rakyat jelata Bangsa Han. Betapapun juga, Kerajaan Kin membiarkan rakyat berdagang seperti biasa sehingga keadaan kota-kota cukup ramai dengan perdagangan. Yang memberatkan rakyat adalah pajak yang dipungut secara liar dan sembarangan. Para pejabatnya mempunyai wewenang sehingga siàрà yang dapat memberi suapan besar, merekalah yang lolos dari himpitan pajak.

Di antara para orang Han yang pandai banyak pula yang mengabdi kepada Kerajaan Kin dan mereka yang benar-benar setia mendapat penghargaan dan menduduki pangkat tinggi. Akan tetapi banyak pula orang pandai yang bahkan menyembunyikan diri. Tidak mau membantu pemerintah Kin walaupun mereka juga tidak melakukan pemberontakan biarpun diam-diam mereka masih mengharapkan kembalinya pemerintah Kerajaan Sung.

Tiong Li dan Siang Hwi memasuki kota Lok-yang karena mereka mendengar bahwa PangIima Besar Wu Chu berkedudukan di Lok-yang walaupun perbentengan besarnya berada di luar kota Lok-yang. Di sini mereka tidak dikenal maka mereka merasa aman untuk melakukan penyelidikan. Di Kerajaan Sung, Tiong Li sudah merupakan buronan pemerintah yang gambarnya terpampang di mana-mana sehingga tentu saja dia tidak dapat melakukan perjalanan dengan aman.

Setelah mendapatkan dua kamar disebuah rumah penginapan, Tiong Li mengajak kekasihnya untuk keluar dan mereka memasuki sebuah rumah makan yang tidak jauh letaknya dari gedung tempat tinggal Panglima Wu Chu. Mereka tadi sudah berjalan-jalan di sekitar gedung itu dan melihat betapa gedung itu terjaga ketat oleh para perajurit.

Sambil memesan makan, mereka menanti datangnya masakan sambil bicara berbisik-bisik. "Mungkinkah sang puteri berada di gedung tadi?" tanya Siang Hwi berbisik. "Dan apa yang akan kau lakukan selanjutnya, koko?"

"Kita harus menyelidiki hal itu. Hwi-moi. Penjagaan amat ketat, maka biarlah aku sendiri yang malam nanti me-akukan penyelidikan ke dalam gedung tu untuk melihat apakah sang puteri berada di dalam ataukah tidak. Engkau menanti saja di rumah penginapan, Hwi-moi."

Siang Hwi mengangguk, maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat menyelinap masuk kedalam gedung itu tanpa diketahui penjaga dan kalau ia ikut, ia hanya akan mengganggu dan merepotkan saja. Mungkin ia masih dapat menggunakan ginkangnya untuk menyelinap masuk, akan tetapi andaikata ketahuan, maka sukarlah baginya untuk meloloskan diri tanpa ketahuan mengingat bahwa di gedung panglima besar itu tentu terdapat banyak jagoan yang lihai.

Hidangan datang dan keduanya makan minum tanpa bercakap-cakap. Pada saat itu masuk tiga orang berpakaian perwira Kin dan dengan lagak sombong dan suara keras mereka minta disediakan arak baik dan bebek panggang.

"Cepat sediakan dan araknya yang terbaik! Panggang bebeknya yang kering sehingga kulitnya renyah dan sedap!" teriak mereka. Mereka berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun.

Tiong Li melirik ke arah kiri. Di sana duduk seorang kakek berusia enam puluhan tahun dan kakek ini duduk seorang diri, capingnya yang lebar diletakkan di atas meja dan rambutnya panjang digelung ke atas. Dia melihat betapa kakek itu memandang kepada tiga orang perwira dengan alis berkerut tanda tidak senang hatinya.

Seorang perwira yang termuda kebetulan melihat Siang Hwi dan dia menyeringai. "Wah, ada bidadari di sini!" katanya kepada dua orang kawannya. Mereka semua menengok dan memandang kepada Siang Hwi.

"Hebat! Kalau engkau berhasil mengajak ia minum bersama kita, barulah engkau patut disebut jagoan jantan!" kata seorang di antara mereka kepada perwira termuda.

"Hem, mengapa tidak? Kalian lihat saja!" kata perwira itu sambil bangkit dari tempat duduknya, kemudian dengan langkah agak terhuyung karena dia sudah minum setengah mabok sebelum masuk rumah makan itu, dia menghampiri meja Siang Hwi dan Tiong Li.

"Nona yang jelita, kami mengundang nona untuk minum-minum bersama kami sambil menikmati bebek panggang. Harap nona tidak menolak, dan kami akan memberi hadiah yang besar."

Siang Hwi mengerutkan alisnya dan menurutkan hatinya, ingin ia menghajar perwira itu. Akan tetapi pandang mata Tiong Li melarangnya dan iapun menjawab ketus. "Aku sudah makan dan minum," katanya sambil menunjuk ke atas meja.

"Aih, makan sayur begini mana enaknya? Kami mengundangmu dengan hormat, nona. Kami perwira-perwira dari panglima besar. Marilah!" Perwira itu memegang lengan kiri Siang Hwi dan berusaha menariknya.

Dengan gemas sekali Siang Hwi lalu menggunakan telunjuk tangan kanannya, menggunakan kuku telunjuk itu menggurat lengan yang memeganginya sambil berkata. "Aku tidak mau. Lepaskan tanganku!"

Tiong Li bangkit berdiri dan memberi hormat kepada perwira itu. "Ciangkun, isteriku sudah makan minum bersama aku suaminya, dan tidak menghendaki makan minum bersama ciangkun, harap tidak memaksa."

Perwira itu melepaskan tangan Siang Hwi dan memandang kepada Tiong Li dengan mata melotot. "Isterimu? Apa salahnya kalau hanya menemani kami makan minum?"

Pada saat itu, tiba-tiba kakek di meja sebelah kiri itu berkata. "Hemmm, agaknya Panglima Besar Wu Chu tidak dapat mendidik para perwira pembantunya. Hendak kulihat apa yang akan dilakukan kalau aku melaporkan Hal ini kepadanya!"

Perwira itu terkejut dan memandang kepada kakek itu. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi kata-kata kakek itu agaknya membuatnya jerih. Dia menghampiri meja kawan-kawannya, berbisik-bisik kemudian mereka bertiga meninggalkan rumah makan tanpa menanti pesanan mereka.

Tiong Li dan Siang Hwi mengerling ke arah kakek itu, akan tetapi kakek itu minum arak dari cawannya dan tidak memperdulikan mereka. Karena peristiwa itu keduanya merasa tidak enak, takut menjadi perhatian orang maka keduanya segera menghabiskan makanan dan membayar lalu meninggalkan rumah makan itu.

Mereka berdua lalu mengunjungi taman rakyat yang terkenal indah di Lok yang, akan tetapi baru saja mereka memasuki taman itu, mereka melihat kakek yang tadi sudah berada di depan, duduk di atas sebuah bangku! Melihat mereka, kakek itu mengangkat capingnya sambil tersenyum.

Diam-diam Tiong Li terkejut. Begitu cepatnya kakek itu mendahului mereka ke tempat ini, sungguh mengejutkan dan betapa cepatnya. Dia lalu mengambil Keputusan untuk berkenalan karena dia merasa dibayangi oleh kakek itu. Di ajaknya Siang Hwi menghampiri kakek yang duduk di atas bangku itu. Untung di tempat itu tidak ada orang lain sehingga dia dapat bicara dengan leluasa.

"Maafkan kami, paman. Kami ingin menghaturkan terima kasih atas pertolongan paman di rumah makan tadi, mengusir tiga orang perwira yang hendak kurang ajar," kata Tiong Li sambil mengangkat tangan memberi hormat, di turut oleh Siang Hwi.

"Hemm, kalian bukan suami isteri, mengapa mengaku suami isteri?" tanya kakek itu dengan suara mengejek.

Kedua orang muda itu terkejut. "Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa..." kata Siang Hwi.

"Sikap kalian menunjukkan bahwa kalian bukan atau belum menjadi suami isteri!" kata kakek itu.

"Alasan itu hanya untuk menolak ajakan perwira tadi, paman," kata Tiong Li cepat.

"Kalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kalian dapat menjaga diri dengan baik, tanpa bantuanku mereka bertiga tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadap kailan. Akan tetapi kenapa nona begitu kejam? Perwira itu memang kurang ajar, akan tetapi perlukah membuat dia terluka beracun yang amat berbahaya?"

Tiong Li terkejut. Dia sendiri tidak melihat kekasihnya menyerang orang tadi, bagaimana dapat dikatakan melukai beracun yang berbahaya? Dia menoleh kepada Siang Hwi dan melihat kekasihnya merasa terkejut dan heran pula.

"Engkau melihat apakah, paman?"

"Hemm, engkau menggurat lengannya dengan kuku jarimu dan aku melihat guratan itu sudah menimbulkan warna merah kebiruan yang membengkak!"

"Hwi-moi...!!" Tiong Li kini memandang kekasihnya dengan mata terbelalak.

Siang Hwi tersenyum. "Hebat sekali ketajaman pandanganmu, paman. Akan tetapi engkau jangan khawatir, koko. Aku hanya menggurat kulit lengannya dan dia hanya akan menderita sakit bengkak pada lengannya itu tanpa membahayakan nyawanya. Apa kau kira aku begitu mudah membunuh orang? Biarlah sekedar memberi hajaran agar lain kali dia tidak akan memandang rendah kaum wanita, dan diapun tidak akan tahu bahwa aku yang membuat lengannya membengkak."

Tiong Li kini menghadapi kakek itu dan memberi hormat pula. "Kiranya paman seorang yang amat lihai, harap maafkan kami yang tidak mengenal paman."

"Sudahlah, akan tetapi pesanku agar kalian berhati-hati di sini. Banyak terdapat jagoan yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau perbuatan nona tadi diketahui oleh seorang di antara para jagoan, tentu kalian dicurigai sebagai mata-mata Kerajaan Sung dan keadaan bisa berbahaya. Selamat tinggal!"

Setelah berkata demikian, kakek bercaping itu lalu bangkit dan berjalan pergi dengan cepat. Karena di taman itu terdapat banyak orang yang mulai berdatangan, Tiong Li dan Siang Hwi tidak berani melakukan pengejaran.

"Wah, belum apa-apa sudah bertemu dengan perwira kurang ajar dan seorang kakek yang lihai ," kata Tiong Li. "Mulai sekarang kita harus berhati-hati dan waspada, jangan mencari keributan."

"Akan tetapi bagaimana kalau ada orang berbuat atau berkata kurang ajar terhadap diriku, koko? Apakah harus di diamkan saja?"

"Tentu saja tidak, akan tetapi dari pada menanggapi mereka, lebih baik kita tinggal pergi."

"Kalau mereka mengejar dan memaksa?"

"Wah, kalau begitu, aku sendiri akan turun tangan menghajar mereka. Aku tidak ingin siapa saja mengganggumu, Hwi-moi!"

Mendengar jawaban ini barulah puas hati Siang Hwi. "Aku menaati semua pesanmu, koko."

"Nah, malam ini aku jadi melakukan penyelidikan ke rumah Panglima Besar Wu Chu dan engkau menanti aku di kamar penginapan."

"Baik, koko."

********************

Bayangan Tiong Li berkelebat seperti burung malam ketika dia berlompatan di luar tembok pagar rumah gedung Panglima Besar Wu Chu. Dengan mudah dia dapat melompati pagar tembok yang tidak ada penjaganya dan melompat masuk ke bagian dalam pagar tembok itu.

Setelah mendekam agak lama di taman dan melihat keadaan sudah aman, para petugas jaga sudah meronda lewat, dia lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga, menuju ke bagian belakang gedung itu. Dia pikir kalau benar sang puteri berada disitu, tentu berada di bagian belakang gedung, di bagian puteri.

Setelah melihat sekeliling tidak nampak penjaga, dia lalu melompat ke atas genteng. Akan tetapi baru saja dia berjalan beberapa meter, kakinya menyangkut tali yang agaknya banyak di pasang di situ. Segera terdengar suara hiruk pikuk disusul suara kentungan dan terompet dibunyikan orang.

Celaka kiranya kakinya tadi menyangkut alat yang sengaja dipasang orang sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk. Kedatangannya telah ketahuan! Tentu saja dia tidak berani mengambil resiko. Dilihatnya dari atas genteng betapa para penjaga sudah banyak berlarian, bahkan ada yang dengan gesitnya melompat Keatas genteng. Di antara para penjaga itu terdapat banyak orang lihai pikirnya dan diapun cepat melompat turun dan lari ke dalam taman.

. Ada penjaga yang melihat bayangannya lalu berteriak mengejar. Banyak penjaga melakukan pengejaran. Akan tetapi dengan cepat sekail tubuh Tiong Li sudah melayang naik ke pagar tembok, lalu melompat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Dia berhasil lolos, akan tetapi nyaris saja dia terkepung!

Karena tidak mungkin malam itu mengadakan, penyelidikan, dia lalu berlari cepat menuju ke rumah penginapan. Akan tetapi ternyata dua kamar mereka telah kosong. Tidak nampak Siang Hwi di dalamnya dan sebagai gantinya dia melihat sebatang pisau belati tertancap di atas meja menusuk sehelai surat. Dengan jantung berdebar tegang dia membaca surat itu.

"Kalau hendak bertemu dengan gadis itu, pergilah ke lereng bukit Fu-niu-san di selatan."

Tiong Li membuang pisau itu dan mengantungi suratnya, lalu tubuhnya melesat lagi keluar dari jendela. Jantungnya berdebar penuh kegelisahan. Mencari puteri Sung Hiang Bwee yang di culik orang belum berhasil, kini Siang Hwi telah diculik orang pula! Atau demikian mudahkah Siang Hwi diculik orang?

Dia tidak percaya. Gadis itu memiliki kepandaian tinggi dan cukup lihai untuk membela diri, bahkan memiliki banyak macam pukulan beracun yang ampuh. Hanya orang yang amat tinggi ke pandaiannya saja yang akan mampu menun dukkan dan menculik Siang Hwi. Akan tetapi mengapa penculik meninggalkan surat? Jelas, penculik itu sengaja memancingnya untuk datang ke Fu-niu-san. Dia tidak takut. Biar harus ke neraka sekalipun, untuk menolong Siang Hwi, akan didatanginya juga!

Fu-niu-san terletak di sebelah selatan kota Lok-yang, maka dia lalu keluar dari kota itu melalui pintu gerbang selatan, dan terus berlari cepat menuju ke bukit itu. Akan tetapi malam terlalu gelap baginya. Terpaksa dia berjalan perlahan melanjutkan tujuannya ke bukit itu.

Baru pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar, dia tiba di kaki bukit Fu-niu-san. Ke mana dia harus pergi? Perbukitan itu terlalu luas dan tentu saja mempunyai lereng yang tak terhitung banyaknya! Akan tetapi tiba-tiba, dalam keremangan fajar itu dia melihat api berkelap-kelip di atas sebuah lereng di depannya. Di seluruh tempat itu hanya ada api itu yang nampak, tidak ada di tempat lain lagi dan ini tentu bukan hal yang kebetulan saja. Agaknya orang telah memberi tanda kepadanya! Diapun tanpa ragu lagi terus mendaki lereng di depan itu.

Api itu ternyata sebuah api unggun yang sengaja dibuat orang di depan sebuah pondok besar yang terpencil! Dan di sekitar pondok itu berdiri belasan orang yang semua memegang sebatang golok. Dari sinar api unggun itu Tiong Li melihat bahwa golok yang mereka pegang itu merupakan sebatang golok besar yang berukir naga. Mestika Goloki Naga! Kenapa begitu banyak? Tiong Li teringat akan golok yang dahulu dirampasnya dari Si Golok Naga. Mestika Golok Naga yang dipegang oleh Hak Bu Cu itu ternyata palsu, dan kini begitu banyak orang memegang golok yang persis seperti Mestika Golok Naga. Tentu saja semuanya palsu!

Dia menjadi khawatir sekali akan nasib Siang Hwi. Maka, diapun dengan berani meloncat ke depan belasan orang itu yang segera mengepungnya. Pintu pondok itu terbuka dan dengan heran sekali Tiong Li melihat seorang laki-laki tinggi besar yang berusia kurang lebih empat puluh tahun berdiri tegak dengan golok semacam pula di tangan. Dan di sebelahnya berdiri Siang Hwi! Akan tetapi gadis ini bebas, dan bahkan tersenyum kepadanya!

"Hwi-moi...!"

"Koko, akhirnya engkau datang juga."

Siang Hwi lari menghampiri Tiong Li dan pemuda itu memegang kedua tangannya. "Hwi-moi, apa yang terjadi? Kenapa engkau berada di sini?"

"Perkenalkan, koko. ini adalah Ciu-ciangkun. Dialah yang mengajak aku ke sini karena katanya kalau aku berada di rumah penginapan, akan berbahaya sekali. Katanya engkau belum tentu berhasil dan diketahui rumah penginapan di mana kita bermalam, kita tentu akan dikejar dan ditangkap. Maka dia mengajakku ke sini dan sengaja mengundangmu datang ke sini. Mereka memperlakukan aku dengan hormat dan baik, koko. Dan Ciu-ciangkun ini telah mengenal subo."

Ciu Bhok Hi, perwira itu memberi hormat kepada Tiong Li. "Kami telah mendengar tentang namamu, saudara Tiong Li. Bukankah engkau yang menjadi orang buronan Kerajaan Sung? Dan nona ini adalah murid Ban-tok Sian-li yang kebetulan telah kukenal. Namaku Ciu Bhok Hi dan aku menjadi komandan dari pasukan Golok Naga yang membantu Panglima Besar Wu Chu. Kami semua sudah mengetahui bahwa engkau hendak mendatangi gedung panglima besar..."

"Akan tetapi kalau sudah mengetahui, mengapa memancing aku ke sini, dan tidak mengepung dan menyerangku di sana saja? Apa artinya semua ini?"

"Ha-ha-ha engkau begitu tidak sabar. Marilah masuk kedalam pondok, saudara Tan Tiong Li. Kita bicara di dalam!"

Dengan berani Tiong Li menghampiri dan mereka bertiga, Tiong Li Siang Hwi dan komandan itu memasuki pondok. Sementara itu, cuaca sudah mulai terang, akan tetapi api lampu penerangan dalam pondok masih dinyalakan.

Tiong Li dan Siang Hwi duduk di atas kursi menghadapi meja bundar yang besar, berhadapan dengan Ciu Bhok Hi. Setelah memandang tamunya dengan penuh perhatian, Ciu Bhok Hi menghela napas panjang.

"Tidak kusangka bahwa orang yang menggegerkan Kerajaan Sung masih begini muda. Bahkan engkau telah dapat menandingi jagoan-jagoan seperti mendiang Hak Bu Cu dan juga Tang Boa Lu, sungguh mengagumkan sekali!"

"Ciangkun terlalu memuji. Sebaiknya ciangkun cepat menceritakan apa maksud ciangkun memancing kami berdua datang ke tempat ini."

"Semua ini menunjukkan bahwa Panglima Besar Wu Chu adalah seorang yang dapat menghargai dan menghormati orang orang pandai seperti taihiap. Panglima kami tidak menghendaki menyambut tai-hiap sebagai musuh, melainkan ingin sekali jika taihiap sudi membantu pemerintah Kin. Di Kerajaan Sung taihiap sudah dimusuhi, dijadikan orang buronan, karena itu alangkah baiknya kalau taihiap mulai sekarang hidup di sini. Panglima Besar Wu Chu sudah menyediakan pangkat yang tinggi untuk taihiap dan siocia."

Tiong Li mengerutkan alisnya. Agaknya kedatangan di Kerajaan Kin disalah tafsirkan oleh mereka, disangka dia melarikan diri karena menjadi orang buruan pemerintah Sung. "Hemm, aku menjadi orang buruan karena di fitnah, disangka menculik seorang puteri Istana. Karena itu, aku harus membuktikan bahwa bukan aku penculiknya, dan aku mendengar bahwa sang puteri itu telah berada di rumah gedung Panglima Wu Chu."

"Memang benar, akan tetapi Panglima Wu Chu bukan seorang yang suka menculik wanita. Beliau menerima puteri itu sebagai hadiah dari seseorang..."

"Aku tahu! Tentu dari Perdana Menteri Jin Kui, bukan? Sungguh laknat Perdana Menteri itu!"

"Sudahlah, taihiap. Tugasku hanya untuk membujukmu agar suka bekerja dengan panglima besar kami. Bagaimana jawabanmu?"

"Kalau aku menolak?"

"Taihiap, kepandaianmu boleh jadi tinggi, akan tetapi ketahuilah bahwa pasukan golok naga kami adalah pasukan yang amat tangguh dan kami kira taihiap berdua tidak akan dapat lolos dari sini dengan selamat. Akan tetapi kami tidak menghendaki hal ini terjadi, maka harap taihiap suka mempertimbangkan dengan baik."

"Hemm, kalau aku menerima, apa tugasku?"

"Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung telah bersahabat baik. Antara raja dan Kaisar Sung telah ada kesepakatan untuk tidak saling menyerang. Akan tetapi, masih banyak bekas pengikut Panglima Gak Hui yang tidak mau menerima perdamaian itu dan mereka masih suka membuat kacau dan menyerang pasukan kami. Tugas taihiap adalah membasmi pengacau itu yang berada di perbatasan, demi berlangsungnya hubungan baik antara ke dua negara."

"Hemm, bagaimana, Hwi-moi, pendapatmu?"

"Aku hanya menyerah kepadamu, koko," kata gadis itu sejujurnya karena memang ia bingung memikirkan hal itu.

"Yang aku sama sekali tidak mengerti, bagaimana engkau dapat mengetahu gerak-gerik kami, ciangkun?" tanya Tiong Li kepada Ciu Bhok Hi.

Orang yang ditanya tertawa. "Ha-ha-ha, ini menunjukkan ketelitian kami, taihiap. Semenjak taihiap memasuki wilayah kami, kami telah menerima kabar bahwa taihiap berdua mungkin masuk daerah kami dan kami telah menyebar mata-mata untuk menyelidiki. Dan ketika taihiap berdua berada di rumah penginapan, di rumah makan, peristiwa dengan para perwira yang kurang ajar, semua peristiwa itu telah kami ketahui belaka."

"Ahhhh!" Tiong Li terbelalak. "Mengerti aku sekarang! Kakek yang bercaping itu!"

"Ha-ha-ha, dia hanya seorang di antara mata-mata kami, taihiap. Nah, ketahuilah bahwa kami semua telah siap siaga dengan baik sekali. Kalau semua kekuatan kami ini ditambah lagi dengan kekuatan taihiap yang lihai, pasti Panglima Besar Wu Chu akan menjadi girang sekali dan dengan bantuan taihiap, semua perusuh di perbatasan itu akan dapat dibasmi habis."

"Tidak, aku terpaksa tidak dapat menerima penawaran kedudukan oleh panglima kalian. Selain aku sendiri masih mempunyai banyak urusan pribadi, juga aku tidak ingin terikat oleh kedudukan di manapun. Sampaikan maafku kepada panglimamu."

"Taihiap, apa lagi yang menjadi penghalang bagi taihiap untuk membantu Kerajaan Kin? Banyak pendekar yang membantunya, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw juga membantu. Kalau ada urusan pribadi, taihiap dapat mengandalkan kami untuk membereskannya."

"Ciu-ciangkun, Li-koko sudah jelas menyatakan tidak setuju, apakah masih belum jelas bagimu? Ketahuilah, sekali Li-koko mengeluarkan pernyataan tidak akan ditarik kembali dan kami berdua tidak akan menuruti permintaanmu!" kata Siang Hwi yang agaknya gembira dengan penolakan Tiong Li itu.

"Bagus! Kalau begitu jangan harap dapat keluar dari tempat ini dengan selamat! Hanya ada dua pilihan, menjadi kawan atau menjadi lawan!" kata Ci Bhok Hi sambil melompat keluar.

"Bagaimana, koko?"

"Kita lawan mereka dan melarikan diri!" kata Tiong Li dengan tenang. "Siapkan pedangmu, karena mungkin pasukan Golok Naga ini berbahaya."

Siang Hwi mencabut pedangnya dan mereka berdua keluar pula dari pondoik itu. Dan mereka melihat bahwa mereka telah terkepung oleh delapan belas orang yang semua memegang golok, dipimpin oleh Ciu Bhok Hi. Melihat sikap dan kedudukan mereka, barisan golok itu nampaknya memang teratur rapi sekali.

"Ciu-ciangkun, kami tidak menghendaki permusuhan. Maka, biarkan kami pergi!" Tiong Li masih membujuk.

"Menyerah atau mati!" bentak Ciu Bhok Hi dan diapun sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.

Tiga orang menerjang maju dan menyerang dengan golok mereka terhadap diri Tiong Li sedangkan tiga orang lagi menyerang Siang Hwi. Gadis itu memutar pedangnya dan menangkis tiga batang golok itu lalu balas menyerang, akan tetapi pedangnya bertemu dengan golok-golok lain yang menangkis.

Tiong Li menggunakan gerakan Jauw sang-hui, dengan cepat tubuhnya berkelebat di antara gulungan sinar golok dan semua bacokan golok. Akan tetapi tiga batang golok lain sudah menyusul dan segera kedua orang itu dikepung dan dikeroyok dengan hebatnya. Memang hebat sekali barisan golok itu.

Akan tetapi tidak terlalu hebat bagi Tiong Li, bahkan Siang Hwi juga dapat membela diri dengan pedangnya. Memang rapi sekali susunan penyerangan golok itu, akan tetapi karena kepandaian pribadi masing-masing tidaklah terlalu tinggi, tenaga sinkang mereka tidak terlalu kuat, maka mudah bagi Tiong Li untuk mulai membalas beberapa orang sudah bergelimpangan jatuh bangun.

Setelah merobohkan delapan orang dengan tendangan dan tamparan tangannya, Tiong Li mengajak Siang Hwi untuk melarikan diri. Dia bahkan menyambar tangan gadis itu dan diajaknya berlari cepat menggunakan ilmu Jouw-sang-hui. Biarpun para anggauta barisan golok itu melakukan pengejaran, namun sebentar saja kedua orang itu lenyap di balik pohon-pohon.

Selagi Tiong Li dan Siang Hwi berlari cepat tiba-tiba muncul seorang hweshio tua di depan mereka yang mengangkat tangan ke atas menahan mereka. Tiong Li dan Siang Hwi berhenti akan tetapi mereka curiga. Jangan-jangan hwe-shio inipun kaki tangan Panglima Besar Wu Chu, seorang mata-mata!

"Siapakah lo-suhu dan ada keperluan apakah menghadang perjalanan kami?" tanya Tiong Li dengan suara tegas.

"Omitohud, pinceng melihat kalian dikejar-kejar pasukan Golok Naga, sebaiknya kalau pinceng membantu kalian bersembunyi. Bukankah kalian ini warga Sung yang setia?"

"Dan lo-cianpwe, bukankah seorang mata-mata dari Panglima Wu Chu?" tanya Siang Hwi yang juga curiga, dan pedangnya sudah siap-untuk menyerangnya.

"Omitohud, kalau benar pinceng mata-mata, engkau lalu mau apa nona?"

"Engkau layak mampus!" Bentak Siang Hwi yang segera membacokkan pedangnya.

Akan tetapi dengan lincah sekali hwe-shio tua gemuk itu mengelak. Siang Hwi menyerang terus sampai tujuh kali beruntun, akan tetapi semua serangannya mengenai tempat kosong dan hwe-shio itu kini meloncat ke atas sebuah dahan pohon yang tinggi. Tiong Li melihat gerakan ginkang yang hebat itu dan mencegah Siang Hwi mengejar terus.

"Lo-suhu, benarkah lo-suhu mata-mata dari Wu Chu yang ditugaskan menangkap kami?" tanyanya karena kalau benar demikian, dia sendiri hendak melawannya.

Hwe-shio itu melayang turun. "Omitohud, ilmu pedang yang hebat sekali. Nona, harap jangan terburu nafsu. Aku juga seorang yang setia kepada Kerajaan Sung. Bagaimana engkau tega menyangka pin-ceng itu pengkhianat yang mengabdi kepada Kin? Percayalah, pinceng bermaksud untuk menyembunyikan kalian dan kalau keadaan sudah mereda, baru kalian boleh melanjutkan perjalanan. Sekarang ini setelah kalian dikejar Barisan Golok Naga, keadaan kalian berbahaya dan kemanapun kalian pergi ke wilayah ini, tentu akan menjadi orang buruan. Pinceng Ceng Ho Hwe-shio, seorang murid Siauw-lim-pai, apakah kalian masih juga tidak percaya?"

Tiong Li cepat memberi hormat. "Kalau begitu, kami percaya dan sebelumnya kami menghaturkan terima kasih atas kebaikan lo-suhu."

"Marilah, jangan bicara saja, ikuti pin-ceng," kata hwe-shio itu yang lalu mendaki sebuah lereng menuju ke kuil yang berada di puncak bukit.

Tiong Li dan Siang Hwi mengikutinya dan ternyata hweshio itu dapat berlari cepat sekali sehingga Siang Hwi terpaksa harus mengerahkan tenaga agar jangan sampai tertinggal. Tentu saja tidak demikian dengan Tiong Li yang dapat mengikuti hwe-shio itu tanpa, banyak mengerahkan tenaga.

Kuil itu cukup besar dan dihuni oleh dua puluh orang hwe-shio. Dan ternyata mereka ini, walaupun tidak menentang pemerintah Kin secara terang-terangan, semua adalah orang-orang yang masih setia kepada Kerajaan Sung. Tiong Li dan Siang Hwi mendapatkan dua buah kamar di sebelah dalam, dan mereka mendengar pula ketika diluar banyak orang berdatangan.

Rombongan itu adalah Barisan Golok Naga yang mengejar sampai ke kuil, akan tetapi ketika Ceng Ho Hwe-shio mengatakan bahwa dua orang yang dicari tidak kelihatan datang ke kuil, rombongan itu tanpa memeriksa percaya saja lalu pergi.

Hal ini menunjukkan bahwa para hwe-shio itu dipercaya oleh pemerintah Kin. Dan memang hal ini adalah karena Siauw-lim pai tidak pernah memberontak atau memperlihatkan sikap melawan. Dan di antara para pejabat Bangsa Kin yang menganut agama Buddha, maka mereka itu menghormati para hwe-shio dari kuil itu...