Mestika Golok Naga Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"Sebetulnya kami sudah mulai mendesak dua orang wanita itu dan hanya tinggal menanti saatnya saja kami dapat menangkap dan merobohkan mereka. Akan tetapi muncul seorang pemuda yang membantu mereka. Pemuda itu yang menghadapi Hak-sicu sedangkan dua orang wanita itu mengamuk dan melawan kami lima belas orang pengawal. Tanpa bantuan Hak-sicu, kami kewalahan dan delapan orang dari kami tewas oleh dua orang wanita itu. Kemudian kami melihat Hak Bu Cu terlempar dan jatuh dekat wanita yang lebih tua itu dan wanita itu lalu membunuhnya. Kami tujuh orang lalu melarikan diri."

"Hemm, siapa pemuda itu?"

"Kami semua tidak mengenalnya, tai-jin. Dia melawan Hak-sicu menggunakan sebatang ranting."

"Sebatang ranting? Melawan Hak Bu Cu yang bersenjata golok?" seru Kui To Cin-jin sambil mengelus jenggotnya.

"Benar, to-tiang. Pemuda itu lihai sekali dan gerakannya begitu cepat hingga nampak bayangannya saja."

"Seperti apa macamnya pemuda itu ? Apa engkau akan dapat mengenalnya kalau bertemu dengan dia?" tanya Jin Kui.

"Kami bertujuh tidak dapat melihatnya dengan jelas, tai-jin. Selain sibuk diamuk oleh dua orang wanita itu, juga gerakan pemuda itu begitu cepat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja."

"Bodoh! Sialan. Sudah, engkau boleh pergi!" Bentak Jin Kui Sambil menggebrak meja.

Pengawal itu dengan lega hati cepat-cepat meninggalkan tempat itu setelah memberi hormat. Dia merasa beruntung sekali hanya dibentak, tidak dihukum.

Setelah pengawal itu pergi lima orang itu melanjutkan perundingan mereka. "Sekarang, bagaimana baiknya? Yang terutama sekali dihadapi adalah Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin. Bagaimana untuk menerangkan kepadanya bahwa pembantunya itu tewas di sini?"

Semua orang berdiam, memikir dan mencari jalan keluarnya.

"Tidak ada jalan lain," akhirnya Kui To Cin-jin mengemukakan pendapatnya, "kecuali menerangkan duduknya perkara yang sebenarnya, yaitu bahwa Hak-sicu tewas oleh pemberontak yang lihai. Tinggal mencari jalan untuk menghibur hatinya dan membuatnya berkurang kemarahannya."

"Bagaimana kalau mengirim barang berharga untuk mendingtnkan hatinya?" usul Panglima Ma Kiu It.

"Hmmm, kurasa itu tidak akan cukup. Selain Panglima Wu Chu sendiri kaya raya, juga Hak Bu Cu adalah pembantu utamanya yang amat disayang. Harus ada cara lain untuk menyenangkan hatinya," kata Perdana Menteri itu.

"Ahh, aku tahu caranya!" Tlba-tiba Jin Kiat berseru dengan girang. "Ayah ingat ketika dia pernah berkunjung ke sini sebagai utusan Raja Kin? Ayah mewakili kaisar menjamunya di Istana dan aku yang duduk di sebelahnya melihat bahwa dia terpesona sekali ketika melihat tarian puteri Sung Hiang Bwee. Matanya melotot sampai akan keluar dari rongganya dan berulang kali dia menelan ludah dan bertanya kepadaku tentang puteri itu. Ketika aku memberitahu bahwa Sung Hiang Bwee itu puteri kaisar dari seorang selir, dia nampak kecewa dan menyesal sekali, berulang kali mengatakan sayang. Aku tahu benar bahwa dia tergila-gila kepada puteri itu!"

"Kalau sudah begitu, mengapa?" Ayahnya mendesak.

"Kalau kita dapat menyerahkan Hiang Bwee kepada Panglima Wu Chu tentu kemarahannya akan hilang. Baginya tentu Hiang Bwee cukup berharga untuk menggantikan nyawa Hak Bu Cu," kata Jin Kiat dengan cerdik.

"Hemm, apa engkau sudah gila? la puteri kaisar! Bagaimana mungkin menyerahkannya kepada Panglima Wu Chu?"

"Hanya puteri selir, ayah. Kalau kita dapat menculiknya tanpa ada yang tahu dan mengirimnya ke utara, tentu tidak akan ada yang mengetahui dan kaisar sama sekali tidak akan menyangka kita yang melakukan hal itu."

Jin Kui mengelus jenggotnya, matanya yang sipit nampak seperti terpejam dan dia mulai mengangguk-angguk, senyum di bibirnya semakin mengejek. "Hemm, benar juga, akal itu boleh dikerjakan. Akan tetapi yang mengerjakan haruslah seorang ahli, tidak boleh sama Sekali sampai ketahuan orang,"

Dia mengelus jenggotnya dan memandang kepada empat orang itu dengan matanya yang sipit, "Lalu siapa kira-kira yang dapat melakukan penculikan itu tanpa diketahui orang?"

"Ayah, siapa lagi yang lebih tepat untuk melakukannya kecuali Panglima Ciang Sun Hok? Dia adalah bekas jagoan istana yang sudah hafal benar akan keadaan di istana. Kalau dia yang melakukannya, aku tanggung akan berhasil dengan baik."

Ciang Sun Hok nampak agak gelisah ketika mendengar ucapan pemuda itu, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah karena memang ia dahulunya merupakan jagoan istana dan dimasukkan ke sana juga atas bantuan Perdana Menteri yang kemudian menariknya menjadi pengawal pribadinya sendiri.

"Bagus, apakah engkau sanggup melakukannya, Ciang Sun Hok?" tanya Jin Kui kepada pengawal pribadinya itu.

"Semua perintah tai-jin akan saya taati. Akan tetapi yang menjadi persoalan bukanlah menculik puteri itu. Hal itu memang mudah saja dilakukan. Akan tetapi persoalannya adalah, bagaimana membawanya keluar dari kota raja tanpa diketahui orang?"

"Itu mudah diatur," kata Perdana Menteri Jin Kui. "Setelah berhasil menculiknya keluar istana, sembunyikan dalam rumah penginapan An-lok. Kemudian, pada keesokan paginya aku akan mengirim para selir pergi keluar kota mengunjungi kuil itu dan kesempatan itu kau pergunakan untuk menyelundupkan puteri itu ke dalam kereta sehingga ia dapat dibawa keluar kota raja tanpa banyak kesulitan."

"Bagus, itu bagus sekali, ayah! Setelah tiba di luar kota, biar aku sendiri yang memimpin pasukan untuk me ngantarnya dengan kereta ke utara."

"Jangan engkau, Jin Kiat. Kalau sampai ketahuan bahwa kita yang mengatur penculikan, kaisar tentu tidak akan mengampuni kita. Biar Ciang Sun Hok saja yang melakukan tugas Itu."

"Baik, tai-Jin. Akan saya laksanakan semua perintah tai-jin."

Perundingan untuk mengatur siasat dilanjutkan sampai jauh malam dan akhirnya mereka bubaran, masing-masing mempersiapkan diri untuk rencana itu.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Sung Hiang Bwee adalah puteri kaisar dari selir yang ke empat. Seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita seperti bidadari dan sejak kecil puteri ini telah mempelajari segala macam kesenian, terutama sekali seni tari. Demikian indah dan pandainya ia menari sehingga setiap kali kaisar menyambut datangnya tamu agung sang puteri menerima perintah Ayahnya untuk memperlihatkan kemahirannya menari.

Karena ia seorang puteri, tentu saja martabatnya tidak dapat disamakan dengan para penari biasa, dan kalau ia menari, karena semua orang tahu bahwa ia puteri kaisar, tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kecuali tepuk tangan memuji keidahannya menari.

Banyak sudah para putera bangsawan dan hartawan yang tergila-gila kepada puteri ini, akan tetapi sang puteri belum senang bergaul dengan pria. Juga kaisar belum melihat adanya seorang pemuda yang pantas menjadi suami puterinya yang cantiк itu, maka sampai berusia delapan belas tahun Sung Hiang Âwee masih belum bertunangan. la tinggal di istana bagian puteri dan mengajarkan seni tari kepada para puteri istana lain yang masih kecil, yaitu adik adik dan keponakan-keponakannya, puteri dari para pangeran tua dan muda.

Pada malam itu, setelah puteri mengajarkan tari kepada para muridnya, la beristirahat di bangunan tengah taman yang indah. Di bangunan terbuka ini ia merasa sejuk setelah tadi berkeringat mengajarkan tari. Angin malam yang sejuk seperti mengipasi dirinya sehingga ia yang duduk di atas bangku menjadi mengantuk. Dua orang dayang yang melayaninya, duduk di atas lantai, menunggu sang puteri yang duduk melenggut.

Tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan dua orang dayahg itu tiba-tiba merasa tubuh mereka kejang, lalu lemas dan tahu-tahu mereka telah jatuh pingsan tertotok. Mendengar suara kedua orang dayang pelayannya roboh, Sung Hiang Bwee terkejut dan menengok. la melihat seorang laki-laki berpakaian dan berkedok hitam sudah berdiri di depannya. Sebelum ia sempat berteriak, laki-laki itu sudah menotoknya dan iapun roboh dengan lemas tak ingat apa- apa lagi.

Orang behpakaian dan berkedok hitam itu mengeluarkan sebuah kantung hitam besar, memasukkan tubuh sang puteri ke dalam karung sutera itu, lalu memanggulnya dan sekali berkelebat dia sudah melayang pergi dengan cepat sekali dari tempat itu. Tidak ada orang lain melihat apa yang dia lakukan ini.

Ternyata orang itu adalah Ciang Sun Hok, pengawal pribadi Perdana Menteri Jin Kui. Dia sudah melakukan persiapan dengan baiknya, mengenakan pakaian dan kedok hitam sehingga andaikata ada juga yang melihatnya, tentu tidak akan mengenalnya. Dia sudah membuat perhitungan, tahu akan kebiasaan sang puteri yang setelah melatih tari biasanya memang mencari angin sejuk di taman itu.

Maka mudah saja dia menculik puteri itu, dan sekarang setelah menangkap sang puteri, dia juga mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh para pengawai istana. Sebentar saja dia sudah keluar dari daerah istana, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan tanpa ada yang mengetahuinya, dia sudah melompat naik ke atas atap rumah penginapan An-lok. Dia memang sudah memesan kepada pemilik rumah penginapan untuk mendapatkan sebuah kamar paling belakang dan tidak boleh siapapun juga mendekati kamar itu.

Dengan jalan melalui jendela, dia memasuki kamar itu, mengeluarkan sang puteri dari karung sutera dan merebahkan sang puteri yang masih dalam keadaan lemas tertotok itu ke atas pembaringan. Sung Hiang Bwee yang sudah sadar hanya dapat memandang dengan wajah ketakutan, akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara. la hanya melihat betapa orang itu tidak mengganggunya, setelah merebahkan ia di atas pembaringan, orang berkedok hitam itu lalu meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintunya dari luar.

Ciang Sun Hok memang keluar untuk mendengarkan berita. Ternyata sunyi saja, tanda bahwa hilangnya sang puteri belum diketahui orang dan hatinya merasa lega. Sekarang tinggal melanjutkan sesuai rencana, yaitu pada besok pagi-pagi menunggu Menteri Jin Kui yang akan mengirim para selirnya berpesiar keluar kota raja dan menyelundupkan sang puteri dalam kereta para selir itu.

Akan tetapi perhitungan rencana siasat yang sudah diatur sebaiknya itu ternyata tidak memperhitungkan hal-hal yang terjadi secara kebetulan. Tanpa mereka duga, kebetulan sekali Tiong Li yang berada di kota raja malam itu juga bermalam di hotel An-lok!

Kamarnya agak di belakang dan karena malam itu dia belum tidur, masih duduk melamun, dia mendengar jejak кaкi di atas genteng itu, betapapun hati-hati Ciang Sun Hok berlompatan. Andaikata penculiк itu tidak membawa beban, belum tentu Tiong Li dapat mendengarkan jejak kakinya, akan tetapi beban itu cukup berat dan membuat kakinya agak berat menginjak atap sehingga terdengar oleh telinga Tiong Li yang terlatih baik.

Tentu saja Tiong Li menjadi curiga mendengar jejak kaki di atas genteng itu. Cepat dia lalu berpakaian, mengenakan sepatu dan tak lama kemudian dia sudah melompat naik ke atas atap rumah. Sunyi saja di atas rumah itu dan mulailah Tiong Li mengintai ke kamar-kamar belakang.

Dan di kamar paling belakang itulah dia melihat seorang gadis sedang rebah telentang, tidak bergerak sama sekali, hanya matanya saja yang memandang ke sana sini dengan ketakutan. Sekali pandang saja dia sudah dapat menduga bahwa gadis itu rebah secara tidak wajar dan mungkin sekali dalam keadaan tertotok. Maka, setelah membongkar jendela dengan mudahnya, dia melompat ke dalam kamar.

Sung Hiang Bwee terkejut, sekali melihat seorang pemuda berpakaian putih tiba-tiba meloncat masuk dari jendela. la terbelalak akan tetapi pemuda itu menaruh telunjuk di depan, mulut dan berbisik,

"Jangan takut, nona. Aku datang untuk menolongmu!"

Setelah berkata demikian, dia menotok jalan darah di tubuh gadis itu. sehingga Hiang Bwee dapat bergerak lagi. Akan tetapi karena sudah mendapat isyarat, ia tidak berteriak.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan masuklah Ciang Sun Hok yang masih berkedok. Dia terkejut dan heran melihat seorang pemuda berpakaian putih sudah berada di kamar dan sang puteri sudah dapat duduk dipembaringan. Tahulah dia bahwa pemuda itu yang menolongnya, maka tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tiong Li dengan pukulan dahsyat.

Ciang Sun Hok adalah seorang jagoan yang lihai sekali, memiliki tenaga yang amat kuat. Pukulan yang ditujukan ke arah Tiong Li mendatangkan angin berdesir keras. Akan tetapi dengan tenang sekali Tiong Li menangkis pukulan itu dengan lengannya.

"Dukk..." Dua lengan bertemu dan Ciang Sun Hok terkejut sekali, merasa seperti bertemu dengan lengan yang amat lunak sehingga tenaganya lenyap begitu bertemu dengan lengan itu!

Dia melompat ke samping lalu menyerang lagi dengan pukulan yang lebih hebat, sekali ini dia memukul dengan jari tangan terbuka, seperti orang mendorong. Inilah jurus Mendorong Kereta Emas, sebuah pukulan yang disertai tenaga sln-kang yang kuat sekali. Melihat ini, Tiong Li juga mendorongkan tangan kanannya sehingga kedua telapak tangan bertemu di udara.

"Desss..." Sekali ini Ciang Sun Hok merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan dinding baja yang amat keras dan akibatnya, dia terdorong ke belakang sampai menabrak dinding.

Pengawal itu terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa lawannya amat tangguh. Dia khawatir bahwa suara gaduh perkelahian itu akan terdengar orang dan rahasianya akan terbuka, maka tanpa bicara apa-apa lagi tubuhnya menyelinap keluar dari pintu kamar itu, pergi melarikan diri. Lebih baik pergi sekarang sebelum terbuka kedoknya!

Tiong Li tidak mengejar, melainkan menoleh kepada gadis yang duduk ke takutan di atas pembaringan itu. "Nona siapakah dan apa yang telah terjadi? Siapa pula si kedok hitam itu?"

"Terima kasih atas pertolonganmu, tai-hiap. Aku bernama Sung Hiang Bwee, seorang puteri istana. Tadi ketika berada di taman istana, muncul si kedok hitam itu membuatku pingsan dan membawaku ke tempat ini. Aku tidak tahu siapa dia dan mengapa dia menculikku."

Tiong Li terkejut sekali dan sejenak dia hanya dapat menatap wajah yang cantik jelita itu. Pantas demikian cantik dan pakaiannya demikian indah, pikirnya. Kiranya seorang puteri Kaisar.

"Maafkan saya, nona. Saya tidak tahu bahwa поna seorang puteri istana!" katanya sambil memberi hormat.

"Sudahlah, dalam keadaan begini tidak perlu bersikap sungkan," kata Hiang Bwee. "Engkau telah menyelamatkan aku dari penculikan, tolonglah antar aku pulang ke istana!"

"Baik, tuan puteri," kata Tiong Li dengan siкàр hormat.

Sementara itu, Ciang Sun Hok melarikan diri dari hotel, langsung menghadap Perdana Menteri Jin Kui untuk melaporkan kegagalannya karena munculnya seorang pemuda baju putih di dalam kamar hotel di mana dia menyekap puteri Sung Hiang Bwee.

Mendengar ini, Jin Kui menjadi marah. "Apakah mungkin pemuda itu yang telah menyebabkan tewasnya Hak Bu Cu?"

"Mungkin sekali, tai-jin. Ilmu silatnya sungguh hebat sekali dan karena saya khawatir kalau keributan itu menarik perhatian banyak orang, terpaksa saya meninggalkan pergi sebelum ada orang datang."

"Tentu puteri itu akan diantar pulang ke istana. Biar aku sendiri membawa pasukan menghadangnya " kata Jin Kui yang merasa penasaran sekali karena rencananya gagal.

Dia lalu membawa dua losin pengawal, diikuti pula oleh jagoan Ciang Sun Hok untuk menghadang perjalanan pulang puteri Sung Hiang Bwee.

Demikianlah, ketika Tiong Li mengantar sang puteri kembali ke istana dengan berjalan kaki, mereka berdua bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jin Kui.

"Tangkap penculik!" teriak sang perdana menteri.

Ciang Sun Hok dan para pengawal sudah mengepung Tiong LI dengan siкàр mengancam.

"Tahan...!" Seru puteri Sung Hiang Bwee sambil mengangkat tangan ke atas. "Jin-taijin harap jangan salah sangka. Pemuda ini sama sekali tidak menculikku, bahkan dia yang membebaskan aku dari tangan penculik! Kalau kalian mengeroyok dan mencelakai dia, aku akan melapor kepada ayahanda Kaisar!"

Gertakan ini mengena. Jin Kui segera memberi aba-aba agar pasukannya mundur. "Ah, begitukah? Kalau begitu kami salah sangka. Siapakah namamu, orang muda?"

"Nana saya Tan Tiong Li, taijin,"! jawab Tiong Li dengan hormat. "Kebetulan saja saya membebaskan sang puteri dari tangan penculik dan saya memenuhi perintah sang puteri untuk mengantarkannya pulang ke istana."

"Bagus, jasamu akan dicatat, Tiong Li. Sekarang pergilah dan serahkan sang puteri kepada kami. Kami yang akan mengantarkannya pulang ke istana."

"Baiк, tai-jin."

"Tidak, Jin-taijin. Saya ingin mengajak penolong saya ini ke istana dan melaporkan tentang jasanya kepada ayahanda kaisar!" kata puteri itu.

Dan terpaksa Jin Kui tidak dapat membantah. Maka, bersama pasukannya dia lalu mengawal kedua orang itu memasuki istana.

Malam itu juga kaisar menerima puterinya yang dikawal Tiong Li. Kaisar marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya diculik orang. Jin Kui yang ikut menghadap segera mendahului.

"Tidak salah lagi, Yang Mulia. Ini pasti perbuatan kaum pemberontak laknat itu!"

"Benar, kita harus hancurkan pemberontak-pemberontak itu. Kalau tidak, tindakan mereka akan menjadi semakin-kurang ajar!"

Kaisar lalu memandang kepada Tiong Li, "Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama hamba Tan Tiong Li, Yang Mulia."

"Tiong Li, jasamu besar sekali telah menyelamatkan puteri kami. Karena itu, kami hendak menghadiahkan pangkat perwira pengawal kepadamu."

"Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Banyak terima kasih atas anugerah yang paduka berikan kepada hamba. Akan tetapi hamba minta waktu, Yang Mulia. Pada saat ini hamba masih mempunyai banyak urusan pribadi yang harus diselesaikan, maka perkenankan hamba menyelesaikan urusan pribadi lebih dahulu, barulah kelak hamba akan menaati perintah paduka..."

"Hemm, baiklah. Kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu, datanglah menghadap kepada kami dan kami akan memberi anugerah pangkat kepadamu."

Setelah mendapat perkenan dari Kaisar, Tiong Li lalu meninggalkan istana. Akan tetapi ketika dia sudah tiba di ruangan paling depan, tiba-tiba ada yang memanggilnya.

"Tan-taihiap...!"

Tiong Li menengok dan alangkah herannya melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah sang puteri, Sung Hiang Bwee. Tentu puteri itu telah mengambil jalan pintas maka dapat mendahuluinya tiba di ruangan luar itu.

"Tuan Puteri..." Dia memberi hormat.

"Ah, Tai-hiap, jangan menyebutku tuan Puteri. Namaku Sung Hiang-Bwee," kata puteri itu dengan ramah dan manis.

"Eh, nona Sung Hiang Bwee..."

"Hah, begitu lebih akrab, bukan Tai-hiap, kenapa engkau menolak pemberian pangkat oleh ayahanda kaisar? Aku ingin sekali engkau menerimanya sehingga engkau dapat tinggal di istana, menjadi pengawal dan kita dapat setiap saat saling berjumpa..."

"Saya belum siap untuk menjadi pengawal, nona. Saya masih mempunyai banyak urusan pribadi dan masih ingin bebas dari ikatan pekerjaan."

"Akan tetapi, tai-hiap, kalau engkau pergi, sampai kapan kita akan dapat saling bertemu kembali?" gadis itu bertanya, suaranya terdengar penuh kecewa dan penyesalan.

"Sekali waktu kita tentu akan dapat bertemu kembali, nona. Setelah saya merasa bahwa saatnya tiba, saya tentu akan menghadap Sribaginda Kaisar kembali untuk membantu beliau."

"Benarkah, tai-hiap? Saya akan selalu menanti kedatanganmu. Saya akan merasa kehilangan sekali kalau taihiap tidak segera datang kembali. Selamat Jalan, tai-hiap."

"Selamat tinggal, nona."

Mereka berpisah karena sudah nampak beberapa orang dayang dan pengawal memandang mereka dari kejauhan dengan sinar mata heran. Dan diam-diam Tiong Li merasa heran akan sikap gadis puteri kaisar itu. Kenapa sikapnya demikian ramah dan akrab? Apakah karena merasa telah ditolongnya? Dia merasa tidak enak sendiri. Hiang Bwee adalah puteri kaisar, dan dia hanya seorang pemuda miskin putera petani dan pemburu sederhana. Agaknya tidak pantas kalau mereka bersahabat.

Tiong Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia bercakap-cakap dengan Hiang Bwee tadi, terdapat sepasang mata yang mengintai dengan sinar mata mencorong penuh iri hati dan kemarahan. Mata itu adalah mata Jin Kiat!

Sebetulnya, sudah lama Jin Kiat tergila-gila kepada Hiang Bwee dan beberapa kali dia dengan jelas menyatakan perasaan hatinya kepada gadis itu. Akan tetapi Hiang Bwee tidak menanggapinya, bahkan membelakanginya, tidak perduli bahkan kelihatan tidak suka kepadanya. Karena itu, untuk membalas sakit hatinya, dia mengusulkan kepada ayahnya agar menculik dan menyerahkan gadis itu kepada Wu Chu, panglima Kin itu.

Akan tetapi, penculikan itu digagalkan seorang pemuda dan kini dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa Hiang Bwee bercakap-cakap dengan pemuda itu, dengan sikap demikian mesra. Hati siapa takkan menjadi panas dan cemburu?

********************

Jin Kiat mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran terhadap Tiong Li. Akan tetapi dia tidak berani turun tangan di kota raja. Tiong Li baru saja akan dihadiahi pangkat oleh kaisar. Kalau dia menyerangnya, maka tentu kaisar yang berterima kasih kepada pemuda itu menjadi tidak senang kepadanya. Dia hanya membayangi dengan dua losin pasukan dan ditemani pula oleh seorang yang berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka seperti tengkorak.

Itulah Tang Boa Lu, Manusia Tengkorak, guru dari mendiang Hak Bu Cu. Manusia Tengkorak ini yang dahulu bersama Hak Bu Cu telah menyerang Pек Hong San jin sehingga mengakibatkan tewasnya hwe-shiо pertapa di Liong San itu. Tang Boa Lu ini memang diperbantu kan kepada Perdana Menteri Jin Kui oleh pang lima Bangsa Kin yaitu Wu Chu. Melihat sepak terjang Tiong Li, Jin Kiat menduga bahwa agaknya pemuda yang lihai inilah yang telah menyelamatkan Hiang Bwee dari penculikan, yang dulu pernah mengalahkan dan mengakibatkan kematian Hak Bu Cu.

Menurut para pengawal, pemuda yang mengalahkan Hak Bu Cu dan menyebabkan Hak Bu Cu tewas di tangan Ban-tok Sian-li, adalah seorang pemuda yang terlalu cepat gerakannya sehingga tidak dapat dikenali wajahnya, akan tetapi para pengawal itu mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main. Dan pemuda yang menolong Hiang Bwee inipun amat lihai sehingga jagoan istana Ciang Sun Hok tidak mampu menandinginya.

Inilah sebabnya ketika melakukan pengejaran, dia mengajak Tang Boa Lu. Dan Manusia Tengkorak ini pun ikut dengan penuh semangat ketika diberitahu bahwa mungkin pemuda yang dikejarnya itu yang telah menewaskan Hak Bu Cu, muridnya.

Betapa senang rasa hati Jin Kiat, ketika dia melihat Tiong Li pergi ke rumah penginapan An-lok untuk mengambil pakaiannya dan membayar sewa kamar, kemudian pemuda itu langsung saja pergi keluar dari kota raja. melalui pintu selatan. Terbukalah kesempatannya untuk menyerang dan membunuh pemuda itu! Mereka segera melakukan pengejaran dan setelah tiba di tempat yang sunyi, cukup jauh dari pintu gerbang selatan, Jin Kiat dan Tang Boa Lu membawa dua losin pasukan itu menyusul dan mengepung Tiong Li.

"Berhenti!" bentak Jin Kiat sambil mencabut pedangnya.

Dihadang dan dikepung dua puluh enam orang itu, Tiong Li bersikap tenang saja, apa lagi ketika melihat рakaian para anak buah pasukan itu adalah рàкàian perajurit Kerajaan Sung. Baru saja dia hendak diangkat perwira oleh kaisar, maka tentu saja kini dia tidak berprasangka buruk terhadap pasukan Sung.

"Ciang-kun," katanya kepada Jin Kiat yang berpakaian panglima. "Ada keperluan apakah ciang kun menyusul saya? Apakah ada perintah dari Sribaginda Kaisar?"

"Benar, Sribaginda Kaisar mengutus kami untuk menangkapmu!" bentak Jin Kiat.

Tentu saja Tiong Li merasa terkejut sekali mendengar ucapan yang ketus ini. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Apa kesalahanku?"

"Kesalahanmu sudah jelas! Engkau seorang pemberontak! Engkau membantu dua orang wanita pemberontak melawan pasukan pemerintah. Engkau harus ditangkap!"

Tiong Li teringat akan pertempurannya ketika dia membantu Ban-tok Sian Li dari The Siang Hwi, dan tentang pertandinqannya melawan Si Golok Naga. "Hemm, kalau benar Sribaginda Kaisar memerintahkan untuk menangkap aku, Coba perlihatkan surat perintahnya " Dia merasa curiga.

"Tidak perlu surat perintah! Engkau menyerah atau kami akan menggunakan kekerasan membunuhmu!" bentak Jin Kiat.

"Kukira tidak akan semudah itu, sobat! Tanpa surat perintah Kaisar, aku tidak akan menyerah!"

Mendengar ini, Jin Kiat lalu bегseru keras, "Serang! Bunuh!!"

Jin Kiat sendiri sudah menggerakkan pedangnya menyerang Tiong Li sedangkan Si Muka Tengkorak juga sudah menggerakkan kedua tangannya memukul dari jarak jauh.

Melihat Si Muka Tengkorak, walaupun kini mengenakan pakaian panglima, Tiong Li tiba-tiba teringat. Orang inilah yang dulu bersama Si Golok Naga mengeroyok suhunya, Pек Hong San-jin! Kini mengertilah dia mengapa kelompok pasukan ini, yang dipimpin oleh pemuda tampan dan Si Muka Tengkorak, menghadangnya dan hendak menangkapnya. Tentu Si Muka Tengkorak itu akan membalaskan kematian Si Golok Naga...!

Mestika Golok Naga Jilid 08

"Sebetulnya kami sudah mulai mendesak dua orang wanita itu dan hanya tinggal menanti saatnya saja kami dapat menangkap dan merobohkan mereka. Akan tetapi muncul seorang pemuda yang membantu mereka. Pemuda itu yang menghadapi Hak-sicu sedangkan dua orang wanita itu mengamuk dan melawan kami lima belas orang pengawal. Tanpa bantuan Hak-sicu, kami kewalahan dan delapan orang dari kami tewas oleh dua orang wanita itu. Kemudian kami melihat Hak Bu Cu terlempar dan jatuh dekat wanita yang lebih tua itu dan wanita itu lalu membunuhnya. Kami tujuh orang lalu melarikan diri."

"Hemm, siapa pemuda itu?"

"Kami semua tidak mengenalnya, tai-jin. Dia melawan Hak-sicu menggunakan sebatang ranting."

"Sebatang ranting? Melawan Hak Bu Cu yang bersenjata golok?" seru Kui To Cin-jin sambil mengelus jenggotnya.

"Benar, to-tiang. Pemuda itu lihai sekali dan gerakannya begitu cepat hingga nampak bayangannya saja."

"Seperti apa macamnya pemuda itu ? Apa engkau akan dapat mengenalnya kalau bertemu dengan dia?" tanya Jin Kui.

"Kami bertujuh tidak dapat melihatnya dengan jelas, tai-jin. Selain sibuk diamuk oleh dua orang wanita itu, juga gerakan pemuda itu begitu cepat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja."

"Bodoh! Sialan. Sudah, engkau boleh pergi!" Bentak Jin Kui Sambil menggebrak meja.

Pengawal itu dengan lega hati cepat-cepat meninggalkan tempat itu setelah memberi hormat. Dia merasa beruntung sekali hanya dibentak, tidak dihukum.

Setelah pengawal itu pergi lima orang itu melanjutkan perundingan mereka. "Sekarang, bagaimana baiknya? Yang terutama sekali dihadapi adalah Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin. Bagaimana untuk menerangkan kepadanya bahwa pembantunya itu tewas di sini?"

Semua orang berdiam, memikir dan mencari jalan keluarnya.

"Tidak ada jalan lain," akhirnya Kui To Cin-jin mengemukakan pendapatnya, "kecuali menerangkan duduknya perkara yang sebenarnya, yaitu bahwa Hak-sicu tewas oleh pemberontak yang lihai. Tinggal mencari jalan untuk menghibur hatinya dan membuatnya berkurang kemarahannya."

"Bagaimana kalau mengirim barang berharga untuk mendingtnkan hatinya?" usul Panglima Ma Kiu It.

"Hmmm, kurasa itu tidak akan cukup. Selain Panglima Wu Chu sendiri kaya raya, juga Hak Bu Cu adalah pembantu utamanya yang amat disayang. Harus ada cara lain untuk menyenangkan hatinya," kata Perdana Menteri itu.

"Ahh, aku tahu caranya!" Tlba-tiba Jin Kiat berseru dengan girang. "Ayah ingat ketika dia pernah berkunjung ke sini sebagai utusan Raja Kin? Ayah mewakili kaisar menjamunya di Istana dan aku yang duduk di sebelahnya melihat bahwa dia terpesona sekali ketika melihat tarian puteri Sung Hiang Bwee. Matanya melotot sampai akan keluar dari rongganya dan berulang kali dia menelan ludah dan bertanya kepadaku tentang puteri itu. Ketika aku memberitahu bahwa Sung Hiang Bwee itu puteri kaisar dari seorang selir, dia nampak kecewa dan menyesal sekali, berulang kali mengatakan sayang. Aku tahu benar bahwa dia tergila-gila kepada puteri itu!"

"Kalau sudah begitu, mengapa?" Ayahnya mendesak.

"Kalau kita dapat menyerahkan Hiang Bwee kepada Panglima Wu Chu tentu kemarahannya akan hilang. Baginya tentu Hiang Bwee cukup berharga untuk menggantikan nyawa Hak Bu Cu," kata Jin Kiat dengan cerdik.

"Hemm, apa engkau sudah gila? la puteri kaisar! Bagaimana mungkin menyerahkannya kepada Panglima Wu Chu?"

"Hanya puteri selir, ayah. Kalau kita dapat menculiknya tanpa ada yang tahu dan mengirimnya ke utara, tentu tidak akan ada yang mengetahui dan kaisar sama sekali tidak akan menyangka kita yang melakukan hal itu."

Jin Kui mengelus jenggotnya, matanya yang sipit nampak seperti terpejam dan dia mulai mengangguk-angguk, senyum di bibirnya semakin mengejek. "Hemm, benar juga, akal itu boleh dikerjakan. Akan tetapi yang mengerjakan haruslah seorang ahli, tidak boleh sama Sekali sampai ketahuan orang,"

Dia mengelus jenggotnya dan memandang kepada empat orang itu dengan matanya yang sipit, "Lalu siapa kira-kira yang dapat melakukan penculikan itu tanpa diketahui orang?"

"Ayah, siapa lagi yang lebih tepat untuk melakukannya kecuali Panglima Ciang Sun Hok? Dia adalah bekas jagoan istana yang sudah hafal benar akan keadaan di istana. Kalau dia yang melakukannya, aku tanggung akan berhasil dengan baik."

Ciang Sun Hok nampak agak gelisah ketika mendengar ucapan pemuda itu, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah karena memang ia dahulunya merupakan jagoan istana dan dimasukkan ke sana juga atas bantuan Perdana Menteri yang kemudian menariknya menjadi pengawal pribadinya sendiri.

"Bagus, apakah engkau sanggup melakukannya, Ciang Sun Hok?" tanya Jin Kui kepada pengawal pribadinya itu.

"Semua perintah tai-jin akan saya taati. Akan tetapi yang menjadi persoalan bukanlah menculik puteri itu. Hal itu memang mudah saja dilakukan. Akan tetapi persoalannya adalah, bagaimana membawanya keluar dari kota raja tanpa diketahui orang?"

"Itu mudah diatur," kata Perdana Menteri Jin Kui. "Setelah berhasil menculiknya keluar istana, sembunyikan dalam rumah penginapan An-lok. Kemudian, pada keesokan paginya aku akan mengirim para selir pergi keluar kota mengunjungi kuil itu dan kesempatan itu kau pergunakan untuk menyelundupkan puteri itu ke dalam kereta sehingga ia dapat dibawa keluar kota raja tanpa banyak kesulitan."

"Bagus, itu bagus sekali, ayah! Setelah tiba di luar kota, biar aku sendiri yang memimpin pasukan untuk me ngantarnya dengan kereta ke utara."

"Jangan engkau, Jin Kiat. Kalau sampai ketahuan bahwa kita yang mengatur penculikan, kaisar tentu tidak akan mengampuni kita. Biar Ciang Sun Hok saja yang melakukan tugas Itu."

"Baik, tai-Jin. Akan saya laksanakan semua perintah tai-jin."

Perundingan untuk mengatur siasat dilanjutkan sampai jauh malam dan akhirnya mereka bubaran, masing-masing mempersiapkan diri untuk rencana itu.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Sung Hiang Bwee adalah puteri kaisar dari selir yang ke empat. Seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita seperti bidadari dan sejak kecil puteri ini telah mempelajari segala macam kesenian, terutama sekali seni tari. Demikian indah dan pandainya ia menari sehingga setiap kali kaisar menyambut datangnya tamu agung sang puteri menerima perintah Ayahnya untuk memperlihatkan kemahirannya menari.

Karena ia seorang puteri, tentu saja martabatnya tidak dapat disamakan dengan para penari biasa, dan kalau ia menari, karena semua orang tahu bahwa ia puteri kaisar, tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kecuali tepuk tangan memuji keidahannya menari.

Banyak sudah para putera bangsawan dan hartawan yang tergila-gila kepada puteri ini, akan tetapi sang puteri belum senang bergaul dengan pria. Juga kaisar belum melihat adanya seorang pemuda yang pantas menjadi suami puterinya yang cantiк itu, maka sampai berusia delapan belas tahun Sung Hiang Âwee masih belum bertunangan. la tinggal di istana bagian puteri dan mengajarkan seni tari kepada para puteri istana lain yang masih kecil, yaitu adik adik dan keponakan-keponakannya, puteri dari para pangeran tua dan muda.

Pada malam itu, setelah puteri mengajarkan tari kepada para muridnya, la beristirahat di bangunan tengah taman yang indah. Di bangunan terbuka ini ia merasa sejuk setelah tadi berkeringat mengajarkan tari. Angin malam yang sejuk seperti mengipasi dirinya sehingga ia yang duduk di atas bangku menjadi mengantuk. Dua orang dayang yang melayaninya, duduk di atas lantai, menunggu sang puteri yang duduk melenggut.

Tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan dua orang dayahg itu tiba-tiba merasa tubuh mereka kejang, lalu lemas dan tahu-tahu mereka telah jatuh pingsan tertotok. Mendengar suara kedua orang dayang pelayannya roboh, Sung Hiang Bwee terkejut dan menengok. la melihat seorang laki-laki berpakaian dan berkedok hitam sudah berdiri di depannya. Sebelum ia sempat berteriak, laki-laki itu sudah menotoknya dan iapun roboh dengan lemas tak ingat apa- apa lagi.

Orang behpakaian dan berkedok hitam itu mengeluarkan sebuah kantung hitam besar, memasukkan tubuh sang puteri ke dalam karung sutera itu, lalu memanggulnya dan sekali berkelebat dia sudah melayang pergi dengan cepat sekali dari tempat itu. Tidak ada orang lain melihat apa yang dia lakukan ini.

Ternyata orang itu adalah Ciang Sun Hok, pengawal pribadi Perdana Menteri Jin Kui. Dia sudah melakukan persiapan dengan baiknya, mengenakan pakaian dan kedok hitam sehingga andaikata ada juga yang melihatnya, tentu tidak akan mengenalnya. Dia sudah membuat perhitungan, tahu akan kebiasaan sang puteri yang setelah melatih tari biasanya memang mencari angin sejuk di taman itu.

Maka mudah saja dia menculik puteri itu, dan sekarang setelah menangkap sang puteri, dia juga mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh para pengawai istana. Sebentar saja dia sudah keluar dari daerah istana, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan tanpa ada yang mengetahuinya, dia sudah melompat naik ke atas atap rumah penginapan An-lok. Dia memang sudah memesan kepada pemilik rumah penginapan untuk mendapatkan sebuah kamar paling belakang dan tidak boleh siapapun juga mendekati kamar itu.

Dengan jalan melalui jendela, dia memasuki kamar itu, mengeluarkan sang puteri dari karung sutera dan merebahkan sang puteri yang masih dalam keadaan lemas tertotok itu ke atas pembaringan. Sung Hiang Bwee yang sudah sadar hanya dapat memandang dengan wajah ketakutan, akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara. la hanya melihat betapa orang itu tidak mengganggunya, setelah merebahkan ia di atas pembaringan, orang berkedok hitam itu lalu meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintunya dari luar.

Ciang Sun Hok memang keluar untuk mendengarkan berita. Ternyata sunyi saja, tanda bahwa hilangnya sang puteri belum diketahui orang dan hatinya merasa lega. Sekarang tinggal melanjutkan sesuai rencana, yaitu pada besok pagi-pagi menunggu Menteri Jin Kui yang akan mengirim para selirnya berpesiar keluar kota raja dan menyelundupkan sang puteri dalam kereta para selir itu.

Akan tetapi perhitungan rencana siasat yang sudah diatur sebaiknya itu ternyata tidak memperhitungkan hal-hal yang terjadi secara kebetulan. Tanpa mereka duga, kebetulan sekali Tiong Li yang berada di kota raja malam itu juga bermalam di hotel An-lok!

Kamarnya agak di belakang dan karena malam itu dia belum tidur, masih duduk melamun, dia mendengar jejak кaкi di atas genteng itu, betapapun hati-hati Ciang Sun Hok berlompatan. Andaikata penculiк itu tidak membawa beban, belum tentu Tiong Li dapat mendengarkan jejak kakinya, akan tetapi beban itu cukup berat dan membuat kakinya agak berat menginjak atap sehingga terdengar oleh telinga Tiong Li yang terlatih baik.

Tentu saja Tiong Li menjadi curiga mendengar jejak kaki di atas genteng itu. Cepat dia lalu berpakaian, mengenakan sepatu dan tak lama kemudian dia sudah melompat naik ke atas atap rumah. Sunyi saja di atas rumah itu dan mulailah Tiong Li mengintai ke kamar-kamar belakang.

Dan di kamar paling belakang itulah dia melihat seorang gadis sedang rebah telentang, tidak bergerak sama sekali, hanya matanya saja yang memandang ke sana sini dengan ketakutan. Sekali pandang saja dia sudah dapat menduga bahwa gadis itu rebah secara tidak wajar dan mungkin sekali dalam keadaan tertotok. Maka, setelah membongkar jendela dengan mudahnya, dia melompat ke dalam kamar.

Sung Hiang Bwee terkejut, sekali melihat seorang pemuda berpakaian putih tiba-tiba meloncat masuk dari jendela. la terbelalak akan tetapi pemuda itu menaruh telunjuk di depan, mulut dan berbisik,

"Jangan takut, nona. Aku datang untuk menolongmu!"

Setelah berkata demikian, dia menotok jalan darah di tubuh gadis itu. sehingga Hiang Bwee dapat bergerak lagi. Akan tetapi karena sudah mendapat isyarat, ia tidak berteriak.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan masuklah Ciang Sun Hok yang masih berkedok. Dia terkejut dan heran melihat seorang pemuda berpakaian putih sudah berada di kamar dan sang puteri sudah dapat duduk dipembaringan. Tahulah dia bahwa pemuda itu yang menolongnya, maka tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tiong Li dengan pukulan dahsyat.

Ciang Sun Hok adalah seorang jagoan yang lihai sekali, memiliki tenaga yang amat kuat. Pukulan yang ditujukan ke arah Tiong Li mendatangkan angin berdesir keras. Akan tetapi dengan tenang sekali Tiong Li menangkis pukulan itu dengan lengannya.

"Dukk..." Dua lengan bertemu dan Ciang Sun Hok terkejut sekali, merasa seperti bertemu dengan lengan yang amat lunak sehingga tenaganya lenyap begitu bertemu dengan lengan itu!

Dia melompat ke samping lalu menyerang lagi dengan pukulan yang lebih hebat, sekali ini dia memukul dengan jari tangan terbuka, seperti orang mendorong. Inilah jurus Mendorong Kereta Emas, sebuah pukulan yang disertai tenaga sln-kang yang kuat sekali. Melihat ini, Tiong Li juga mendorongkan tangan kanannya sehingga kedua telapak tangan bertemu di udara.

"Desss..." Sekali ini Ciang Sun Hok merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan dinding baja yang amat keras dan akibatnya, dia terdorong ke belakang sampai menabrak dinding.

Pengawal itu terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa lawannya amat tangguh. Dia khawatir bahwa suara gaduh perkelahian itu akan terdengar orang dan rahasianya akan terbuka, maka tanpa bicara apa-apa lagi tubuhnya menyelinap keluar dari pintu kamar itu, pergi melarikan diri. Lebih baik pergi sekarang sebelum terbuka kedoknya!

Tiong Li tidak mengejar, melainkan menoleh kepada gadis yang duduk ke takutan di atas pembaringan itu. "Nona siapakah dan apa yang telah terjadi? Siapa pula si kedok hitam itu?"

"Terima kasih atas pertolonganmu, tai-hiap. Aku bernama Sung Hiang Bwee, seorang puteri istana. Tadi ketika berada di taman istana, muncul si kedok hitam itu membuatku pingsan dan membawaku ke tempat ini. Aku tidak tahu siapa dia dan mengapa dia menculikku."

Tiong Li terkejut sekali dan sejenak dia hanya dapat menatap wajah yang cantik jelita itu. Pantas demikian cantik dan pakaiannya demikian indah, pikirnya. Kiranya seorang puteri Kaisar.

"Maafkan saya, nona. Saya tidak tahu bahwa поna seorang puteri istana!" katanya sambil memberi hormat.

"Sudahlah, dalam keadaan begini tidak perlu bersikap sungkan," kata Hiang Bwee. "Engkau telah menyelamatkan aku dari penculikan, tolonglah antar aku pulang ke istana!"

"Baik, tuan puteri," kata Tiong Li dengan siкàр hormat.

Sementara itu, Ciang Sun Hok melarikan diri dari hotel, langsung menghadap Perdana Menteri Jin Kui untuk melaporkan kegagalannya karena munculnya seorang pemuda baju putih di dalam kamar hotel di mana dia menyekap puteri Sung Hiang Bwee.

Mendengar ini, Jin Kui menjadi marah. "Apakah mungkin pemuda itu yang telah menyebabkan tewasnya Hak Bu Cu?"

"Mungkin sekali, tai-jin. Ilmu silatnya sungguh hebat sekali dan karena saya khawatir kalau keributan itu menarik perhatian banyak orang, terpaksa saya meninggalkan pergi sebelum ada orang datang."

"Tentu puteri itu akan diantar pulang ke istana. Biar aku sendiri membawa pasukan menghadangnya " kata Jin Kui yang merasa penasaran sekali karena rencananya gagal.

Dia lalu membawa dua losin pengawal, diikuti pula oleh jagoan Ciang Sun Hok untuk menghadang perjalanan pulang puteri Sung Hiang Bwee.

Demikianlah, ketika Tiong Li mengantar sang puteri kembali ke istana dengan berjalan kaki, mereka berdua bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jin Kui.

"Tangkap penculik!" teriak sang perdana menteri.

Ciang Sun Hok dan para pengawal sudah mengepung Tiong LI dengan siкàр mengancam.

"Tahan...!" Seru puteri Sung Hiang Bwee sambil mengangkat tangan ke atas. "Jin-taijin harap jangan salah sangka. Pemuda ini sama sekali tidak menculikku, bahkan dia yang membebaskan aku dari tangan penculik! Kalau kalian mengeroyok dan mencelakai dia, aku akan melapor kepada ayahanda Kaisar!"

Gertakan ini mengena. Jin Kui segera memberi aba-aba agar pasukannya mundur. "Ah, begitukah? Kalau begitu kami salah sangka. Siapakah namamu, orang muda?"

"Nana saya Tan Tiong Li, taijin,"! jawab Tiong Li dengan hormat. "Kebetulan saja saya membebaskan sang puteri dari tangan penculik dan saya memenuhi perintah sang puteri untuk mengantarkannya pulang ke istana."

"Bagus, jasamu akan dicatat, Tiong Li. Sekarang pergilah dan serahkan sang puteri kepada kami. Kami yang akan mengantarkannya pulang ke istana."

"Baiк, tai-jin."

"Tidak, Jin-taijin. Saya ingin mengajak penolong saya ini ke istana dan melaporkan tentang jasanya kepada ayahanda kaisar!" kata puteri itu.

Dan terpaksa Jin Kui tidak dapat membantah. Maka, bersama pasukannya dia lalu mengawal kedua orang itu memasuki istana.

Malam itu juga kaisar menerima puterinya yang dikawal Tiong Li. Kaisar marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya diculik orang. Jin Kui yang ikut menghadap segera mendahului.

"Tidak salah lagi, Yang Mulia. Ini pasti perbuatan kaum pemberontak laknat itu!"

"Benar, kita harus hancurkan pemberontak-pemberontak itu. Kalau tidak, tindakan mereka akan menjadi semakin-kurang ajar!"

Kaisar lalu memandang kepada Tiong Li, "Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama hamba Tan Tiong Li, Yang Mulia."

"Tiong Li, jasamu besar sekali telah menyelamatkan puteri kami. Karena itu, kami hendak menghadiahkan pangkat perwira pengawal kepadamu."

"Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Banyak terima kasih atas anugerah yang paduka berikan kepada hamba. Akan tetapi hamba minta waktu, Yang Mulia. Pada saat ini hamba masih mempunyai banyak urusan pribadi yang harus diselesaikan, maka perkenankan hamba menyelesaikan urusan pribadi lebih dahulu, barulah kelak hamba akan menaati perintah paduka..."

"Hemm, baiklah. Kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu, datanglah menghadap kepada kami dan kami akan memberi anugerah pangkat kepadamu."

Setelah mendapat perkenan dari Kaisar, Tiong Li lalu meninggalkan istana. Akan tetapi ketika dia sudah tiba di ruangan paling depan, tiba-tiba ada yang memanggilnya.

"Tan-taihiap...!"

Tiong Li menengok dan alangkah herannya melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah sang puteri, Sung Hiang Bwee. Tentu puteri itu telah mengambil jalan pintas maka dapat mendahuluinya tiba di ruangan luar itu.

"Tuan Puteri..." Dia memberi hormat.

"Ah, Tai-hiap, jangan menyebutku tuan Puteri. Namaku Sung Hiang-Bwee," kata puteri itu dengan ramah dan manis.

"Eh, nona Sung Hiang Bwee..."

"Hah, begitu lebih akrab, bukan Tai-hiap, kenapa engkau menolak pemberian pangkat oleh ayahanda kaisar? Aku ingin sekali engkau menerimanya sehingga engkau dapat tinggal di istana, menjadi pengawal dan kita dapat setiap saat saling berjumpa..."

"Saya belum siap untuk menjadi pengawal, nona. Saya masih mempunyai banyak urusan pribadi dan masih ingin bebas dari ikatan pekerjaan."

"Akan tetapi, tai-hiap, kalau engkau pergi, sampai kapan kita akan dapat saling bertemu kembali?" gadis itu bertanya, suaranya terdengar penuh kecewa dan penyesalan.

"Sekali waktu kita tentu akan dapat bertemu kembali, nona. Setelah saya merasa bahwa saatnya tiba, saya tentu akan menghadap Sribaginda Kaisar kembali untuk membantu beliau."

"Benarkah, tai-hiap? Saya akan selalu menanti kedatanganmu. Saya akan merasa kehilangan sekali kalau taihiap tidak segera datang kembali. Selamat Jalan, tai-hiap."

"Selamat tinggal, nona."

Mereka berpisah karena sudah nampak beberapa orang dayang dan pengawal memandang mereka dari kejauhan dengan sinar mata heran. Dan diam-diam Tiong Li merasa heran akan sikap gadis puteri kaisar itu. Kenapa sikapnya demikian ramah dan akrab? Apakah karena merasa telah ditolongnya? Dia merasa tidak enak sendiri. Hiang Bwee adalah puteri kaisar, dan dia hanya seorang pemuda miskin putera petani dan pemburu sederhana. Agaknya tidak pantas kalau mereka bersahabat.

Tiong Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia bercakap-cakap dengan Hiang Bwee tadi, terdapat sepasang mata yang mengintai dengan sinar mata mencorong penuh iri hati dan kemarahan. Mata itu adalah mata Jin Kiat!

Sebetulnya, sudah lama Jin Kiat tergila-gila kepada Hiang Bwee dan beberapa kali dia dengan jelas menyatakan perasaan hatinya kepada gadis itu. Akan tetapi Hiang Bwee tidak menanggapinya, bahkan membelakanginya, tidak perduli bahkan kelihatan tidak suka kepadanya. Karena itu, untuk membalas sakit hatinya, dia mengusulkan kepada ayahnya agar menculik dan menyerahkan gadis itu kepada Wu Chu, panglima Kin itu.

Akan tetapi, penculikan itu digagalkan seorang pemuda dan kini dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa Hiang Bwee bercakap-cakap dengan pemuda itu, dengan sikap demikian mesra. Hati siapa takkan menjadi panas dan cemburu?

********************

Jin Kiat mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran terhadap Tiong Li. Akan tetapi dia tidak berani turun tangan di kota raja. Tiong Li baru saja akan dihadiahi pangkat oleh kaisar. Kalau dia menyerangnya, maka tentu kaisar yang berterima kasih kepada pemuda itu menjadi tidak senang kepadanya. Dia hanya membayangi dengan dua losin pasukan dan ditemani pula oleh seorang yang berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka seperti tengkorak.

Itulah Tang Boa Lu, Manusia Tengkorak, guru dari mendiang Hak Bu Cu. Manusia Tengkorak ini yang dahulu bersama Hak Bu Cu telah menyerang Pек Hong San jin sehingga mengakibatkan tewasnya hwe-shiо pertapa di Liong San itu. Tang Boa Lu ini memang diperbantu kan kepada Perdana Menteri Jin Kui oleh pang lima Bangsa Kin yaitu Wu Chu. Melihat sepak terjang Tiong Li, Jin Kiat menduga bahwa agaknya pemuda yang lihai inilah yang telah menyelamatkan Hiang Bwee dari penculikan, yang dulu pernah mengalahkan dan mengakibatkan kematian Hak Bu Cu.

Menurut para pengawal, pemuda yang mengalahkan Hak Bu Cu dan menyebabkan Hak Bu Cu tewas di tangan Ban-tok Sian-li, adalah seorang pemuda yang terlalu cepat gerakannya sehingga tidak dapat dikenali wajahnya, akan tetapi para pengawal itu mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main. Dan pemuda yang menolong Hiang Bwee inipun amat lihai sehingga jagoan istana Ciang Sun Hok tidak mampu menandinginya.

Inilah sebabnya ketika melakukan pengejaran, dia mengajak Tang Boa Lu. Dan Manusia Tengkorak ini pun ikut dengan penuh semangat ketika diberitahu bahwa mungkin pemuda yang dikejarnya itu yang telah menewaskan Hak Bu Cu, muridnya.

Betapa senang rasa hati Jin Kiat, ketika dia melihat Tiong Li pergi ke rumah penginapan An-lok untuk mengambil pakaiannya dan membayar sewa kamar, kemudian pemuda itu langsung saja pergi keluar dari kota raja. melalui pintu selatan. Terbukalah kesempatannya untuk menyerang dan membunuh pemuda itu! Mereka segera melakukan pengejaran dan setelah tiba di tempat yang sunyi, cukup jauh dari pintu gerbang selatan, Jin Kiat dan Tang Boa Lu membawa dua losin pasukan itu menyusul dan mengepung Tiong Li.

"Berhenti!" bentak Jin Kiat sambil mencabut pedangnya.

Dihadang dan dikepung dua puluh enam orang itu, Tiong Li bersikap tenang saja, apa lagi ketika melihat рakaian para anak buah pasukan itu adalah рàкàian perajurit Kerajaan Sung. Baru saja dia hendak diangkat perwira oleh kaisar, maka tentu saja kini dia tidak berprasangka buruk terhadap pasukan Sung.

"Ciang-kun," katanya kepada Jin Kiat yang berpakaian panglima. "Ada keperluan apakah ciang kun menyusul saya? Apakah ada perintah dari Sribaginda Kaisar?"

"Benar, Sribaginda Kaisar mengutus kami untuk menangkapmu!" bentak Jin Kiat.

Tentu saja Tiong Li merasa terkejut sekali mendengar ucapan yang ketus ini. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Apa kesalahanku?"

"Kesalahanmu sudah jelas! Engkau seorang pemberontak! Engkau membantu dua orang wanita pemberontak melawan pasukan pemerintah. Engkau harus ditangkap!"

Tiong Li teringat akan pertempurannya ketika dia membantu Ban-tok Sian Li dari The Siang Hwi, dan tentang pertandinqannya melawan Si Golok Naga. "Hemm, kalau benar Sribaginda Kaisar memerintahkan untuk menangkap aku, Coba perlihatkan surat perintahnya " Dia merasa curiga.

"Tidak perlu surat perintah! Engkau menyerah atau kami akan menggunakan kekerasan membunuhmu!" bentak Jin Kiat.

"Kukira tidak akan semudah itu, sobat! Tanpa surat perintah Kaisar, aku tidak akan menyerah!"

Mendengar ini, Jin Kiat lalu bегseru keras, "Serang! Bunuh!!"

Jin Kiat sendiri sudah menggerakkan pedangnya menyerang Tiong Li sedangkan Si Muka Tengkorak juga sudah menggerakkan kedua tangannya memukul dari jarak jauh.

Melihat Si Muka Tengkorak, walaupun kini mengenakan pakaian panglima, Tiong Li tiba-tiba teringat. Orang inilah yang dulu bersama Si Golok Naga mengeroyok suhunya, Pек Hong San-jin! Kini mengertilah dia mengapa kelompok pasukan ini, yang dipimpin oleh pemuda tampan dan Si Muka Tengkorak, menghadangnya dan hendak menangkapnya. Tentu Si Muka Tengkorak itu akan membalaskan kematian Si Golok Naga...!