Mestika Golok Naga Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DENGAN mudah dia mengelak dari sambaran pedang Jin Kiat, akan tetapi ketika pukulan jarak jauh dari Muka Tengkorak itu melandanya, dia terkejut. Kiranya tenaga Si Muka Tengkorak ini luar biasa kuatnya, maka tidak heran ketika dahulu dia terkena pukulan jarak jauh itu, dia sampai pingsan dan Pеk Hong San-jin sampai terluka parah yang menyebabkan kematiannya.

Cepat dia mengerahkan tenaga Jian-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) untuk melawan hantaman itu dan ketika kedua tangan bertemu, keduanya terdorong mundur, tanda bahwa tenaga yang terkandung dalam dorongan dan tangkisan itu seimbang kekuatannya.

Si Muka Tengkorak yang menjadi heran dan terkejut bukan main. Kini diapun teringat setelah memandang wajah Tiong Li. Tidak salah lagi, pemuda ini adalah pemuda remaja belasan tahun yang dulu pernah dilihatnya di Pek-hong San-kok, murid daгi Pек Hong San-jin. Dahulu, ketika baru berusia limabelas tahun saja sudah mampu menandingi Hak Bu Cu, dan sekarang ternyata telah memiliki tenaga sinkang yang mampu menandingi pukulan Angin Badai yang tadi dia lontarkan!

"Kau...?" bentaknya. "Kau murid Pеk Hong San-jin? Engkau yang telah membunuh muridku?"

"Hemm, kiranya engkau Si Muka Tengkorak yang dahulu datang bersama Si Golok Naga! Benar aku yang merobohkan muridmu, dia jahat sekali. Habis engkau mau apa!? Bagaimana engkau dapat bergabung dengan pasukan kerajaan?"

Mendengar percakapan itu, Jin Kiat sudah membentak dan memerintahkan anak buahnya, "Cepat, serang dan bunuh pemuda pemberontak ini..."

Dan Tiong Li sudah diserang dari semua jurusan. Karena lawannya yang mengeroyok amatlah banyaknya, Tiong Li lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh Jouw-sang-hui dan tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayang-bayang menghindarkan semua senjata yang menyambar ke arahnya.

Pada saat itu terdengar sorak sorai dan muncullah duapuluh orang yang berpakaian seperti petani, dipimpin seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa. Pemuda ini bersenjatakan sepasang kapak dan begitu terjun ke pertempuran, pemuda itu sudah merobohkan dua orang yang mengeroyok Tiong Li.

Melihat ini, Jin Kiat dan para perajurit menyambut dan terjadilah pertempuran sengit, sedangkan Si Muka Tengkorak bertanding melawan Tiong Li.

"Bunuh para pemberontak!" Jin Kiat berseru nyaring, akan tetapi hatinya gentar sekali ketika dia mengenal pemuda tinggi besar bersenjatakan sepasang kapak itu. Pemuda itu bukan lain adalah Gak Liu, putera mendiang Jenderal Gak Hui yang semenjak kematian ayahnya, tetap melanjutkan perjuangan menghimpun tenaga rakyat dan kadang juga menentang pasukan Sung sendiгi kalau melihat pasukan itu melakukan penindasan terhadap rakyat jelata!

Ketika tadi Gak Liu melihat Jin Kiat dan orang-orangnya mengeroyok serang pemuda, tidak sukar baginya untuk membantu pemuda itu karena dia tahu siapa Jin Kiat. Putera Perdana Menteri ini sudah berbuat dosa yang tak terhitung banyaknya. Terutama sekali merampas dan menodai wanita-wanita, baiк yang sudah bersuami maupun gadis-gadis yang dipaksanya, mengandalkan kedudukan, harta benda dan kekuatan. Gak Liu memang membenci sekali putera Perdana Menteri ini, sebagai putera musuh besarnya dan dia segera mengamuk dengan kapaknya, mendekati Jin Kiat.

Jin Kiat mengamuk dengan pedangnya dan dia mencari jalan untuk meloloskan diri. Setelah merobohkan dua orang pengikut Gak Liu, dia melompat ke luar dari pertempuran dan hendak melarikan diri. Memang Jin Kiat ini mempunyai watak pengecut. Melihat Si Muka Tengkorak belum juga dapat menang melawan pemuda itu, dan kemudian melihat Gak Liu, dia menjadi ketakutan dan berusaha meloloskan diri.

Akan tetapi dengan tiga kali lompatan jauh, Gak Liu sudah dapat menghadangnya. Kedua tangannya memegang kapaknya yang berlumuran darah dan wajahnya yang gagah itu nampak bengis sekali sehingga Jin Kiat menjadi semakin jerih.

"Gak Liu, minggir kau! Apakah engkau ingin dihukum mati pula seperti ayahmu!"

Bentakan ini sungguh salah alamat. Gak Liu tidak menjadi takut atau mundur mendengar bentakan ini, bahkan amarahnya maкin berkobar. "Jahanam busuk, engkaulah yang akan menerima hukuman mati dari ku!"

Dia menyerang dengan sepasang kapaknya dan Jin Kiat terpaksa melayaninya bertanding. Pertandingan mati-matian karena keduanya mengerti bahwa siapa yang kalah tidak akan lolos dari maut. Jin Kiat mengerahkan seluruh tenganya dan mengeluarkan semua iImu pedangnya untuk memenangkan pertandingan itu.

Sementara itu, rombongan perajurit itu mendapat serangan hebat dari para pejuang sehingga mereka terdesak. Juga pertandingan antara Tang Boa Lu dengan Tiong Li berlangsung tidak seimbang lagi. Betapapun lihainya Si Muka Tengkorak, namun menghadapi Tiong Li akhirnya dia kewalahan juga. Apa lagi ketika Tiong Li memainkan ilmu silat Ngo-heng-lian-hoan-kun, dia menjadi repot sekali. Dalam hal tenaga sinkang, dia juga tidak mampu menandingi pemuda itu.

Setelah bertanding lewat lima puluh jurus, Si Muka Tengkorak mulai terengah-engah dan mandi keringat. Terlalu banyak tenaga yang dia kerahkan. Padahal, lawannya masih nampak segar dan bahkan makin lama tenaganya menjadi semakin kuat. Tahulah Tang Boa Lu bahwa kalau dia nekat melanjutkan pertandingan itu, dia akan menderita kekalahan.

Dia tidak mau nekat mengadu nyawa karena dia hanya menjadi orang yang diperbantukan kepada Perdana Menteri Jin Kui. Untuk apa dia membela Jin Kiat sampai mati? Melihat pemuda itu terus mendesaknya, dia mengerahkan tenaga terakhir dan mengirim pukulan jarak jauh sambil mengeluarkan bentakan dahsyat. Kembali dia telah mengirim dengan pukulan jarak jauh yang bernama ilmu pukulan Angin Badai!

Akan tetapi sekali ini Tiong Li tidak mau memberi hati kepadanya. Dia sudah menyambut pukulan itu dengan Tai-lek-kim-kong-jiu! Dua tenaga sakti bertemu di udara menggetarkan bumi di sekitarnya dan akibatnya tubuh Si Muka Tengkorak terpental dan jatuh bergulingan, dari mulutnya keluar darah segar tanda bahwa dia telah terluka dalam!

Dia tahu akan bahaya, maka tubuhnya bergulingan terus, lalu dia melompat Jauh dan melarikan diri. Tiong Li tidak mengejarnya. Biarpun Si Muka Tengkorak itu yang menyebabkan kematian suhunya, namun dia tidak mendendam, sesuai dengan ajaran mendiang Pеk Hong San-jin. Dia hanya membantu para pejuang yang menghadapi para perajurit.

Tinggal enam orang perajurit yang masih melawan dan melihat keadaan mereka demikian terdesak, enam orang ini lalu melarikan diri cerai berai tanpa pimpinan lagi. Cuma tinggal Jin Kiat kini yang masih melawan Gak Liu mati-matian. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri lagi karena sepasang kapak di tangan Gak Liu mendesaknya dengan hebat.

Wajah Jin Kiat sudah menjadi pucat hatinya diliputi ketakutan yang amat sangat. Si Muka Tengkorak sudah melarikan diri, semua anak buahnya juga sudah tewas atau lari, tinggal dia sendiri. Akan tetapi Gak Liu juga tidak mengandalkan kawan-kawannya. Dia melarang anak buahnya yang hendak mengeroyok.

"Biarkan aku menghadapinya sendiri!" teriaknya ketika ada yang hendak membantunya.

Para anak buahnya tidak berani maju dan hanya menjadi penonton sambil mengepung tempat itu. Tentu saja Jin Kiat makin tak dapat lolos karena pengepungan itu, maka diapun melawan dengan nekat dan mati-matian. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya untuk melawan, akan tetapi sepasang kapak di tangan Gak Liu itu hebat bukan main, seperti sepasang naga berebut mestika, menyambar-nyambar dari segala jurusan.

"Singggg... tranggg...!!"

Pedang yang menyambar itu ditangkis oleh sepasang kapak yang menjepitnya dan pedang itu patah menjadi dua! Sebuah tendangan kaki Gak Liu membuat Jin Kiat jatuh tersungkur. Kini Jin Kiat tidak dapat lagi menahan rasa takutnya. Dia merangkak dan berlutut mengangkat kedua tangannya ke atas dan minta-minta ampun.

"Hemm, ingat engkau ketika para gadis dan wanita itu minta-minta ampun kepadamu? Apakah engkau mengampuni dan melepaskan mereka! Engkau malah menertawakan mereka. Rasakan ini!" Kapak itu menyambar dan mengenai kepala Jin Kiat yang seketika roboh terpelanting dengan kepala pecah. "Ini untuk hukumanmu. Terimalah ini, dan ini, dan ini...!"

Kedua kapak itu bertubi-tubi menghantami tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Di antara anak buah Gak Liu yang memalingkan muka karena tidak tahan melihat peristiwa yang mengerikan itu. Agaknya Gak Liu melampiaskan semua dendam atas kematian ayah dan saudara-saudaranya dan melampiaskan amarahnya kepada putera perdana Menteri Jin Kui yang dibencinya itu.

Tiba-tiba kapaknya tertahan di udara. Ada orang yang memegangi kedua lengannya dan dia tidak mampu menggerakkan tangan lagi walaupun dia sudah mengerahkan tenaga! Gak Liu terkejut dan menoleh. Ternyata yang menahan kedua tangannya adalah pemuda yang tadi bertanding dengan Si Muka Tengkorak.

"Sudah cukup, twa-ko. Menyiksa tubuh yang sudah menjadi mayat dan yang tak dapat melawan lagi bukanlah perbuatan seorang gagah, melainkan perbuatan seorang yang gila karena dendam."

Mendengar perkataan itu, Gak Liu menurunkan kedua kapaknya dan memandang kepada Tiong Li penuh perhatian, lalu dia memandang kepada mayat Jin Ki at yang hancur, kemudian menghela napas panjang.

"Engkau benar, sobat," Lalu dia memerintahkan semua anak buahnya untuk mengubur semua jenazah, bukan hanya jenazah teman-teman, akan tetapi juga jenazah semua perajurit termasuk jenazah Jin Kiat. Kemudian dia mengajak Ti ong Li duduk di bawah pohon untuk bercakap-cakap dan berkenalan,

"llmu silatmu hebat sekali, sobat muda. Siapakah namamu dan bagaimana engkau tahu-tahu dapat dikeroyok oleh Jin Kiat dan anak buahnya?"

"Nama saya Tan Tiong Li, dan sebelum saya menceritakan mengapa saya diserang mereka, lebih dulu saya ingin tahu siapakah twa-ko yang gagah perkasa ini?"

"Hemm, namaku Gak Liu."

"She Gak? Mengingatkan aku akan Jenderal Gak Hui," kata Tiong Li lebih ramah karena melihat Gak Liu juga ramah kepadanya.

"Mendiang Jenderal Gak Hui adalah ayahku."

Tiong Li terkejut dan cepat bangkit lalu memberi hormat. "Ah, kiranya putera mendiang Jenderal Gak Hui yang amat terkenal gagah perkasa dan budiman itu!? Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat!"

Gak Liu menghela napas panjang, "Aihhh, mendiang ayahku memang seorang gagah perkasa dan budiman. Akan tetapi aku... aku hanya seorang pejuang biasa yang kadang naik darah, sama sekali tidak budiman. Aku tidak mau membonceng ketenaran nama ayahku. Saudara Tiong Li, aku melihat iImu silatmu tinggi sekali. Bagaimana sampai engkau tadi dikeroyok oleh iblis kecil putera Perdana Menteri Jin Kui itu?"

Kembali Tiong Li terkejut, Dia sudah lama mendengar nama Perdana Menteri Jin Kui yang dibenci, banyak orang dan dimaki sebagai seorang menteri durna yang menghasut dan membujuk Kaisar sehingga mau mengalah terhadap Bangsa Kin, Jadi pemuda yang dibantai tadi adalah putera Menteri Jin Kui itu? Kini mengertilah dia. Dia sudah mendengar bahwa kematian Jenderal Gak Hui adalah gara-gara Perdana Menteri Jin Kui. Jadi sekarang putera Jenderal Gak Hui membuat pembalasan terhadap putera Perdana Menteri Jin Kui!

"Hemm, kiranya dia itu putera Perdana Menteri Jin Kui? Pantas engkau begitu membencinya, Gak-twako, tentu karena dendam."

"Bukan hanya dendam, Tan-te (adik Tan), akan tetapi pemuda itu memang seorang yang tidak kalah jahat dari ayahnya. Dia suka mempermainkan wanita dan diapun menindas rakyat yang tidak mau menjilat-jilat kepadanya. Dia sudah pantas mati seperti itu. Lalu bagaimana engkau sampai dimusuhi olehn dia?"

"Aku sendiri tidak tahu dengan jelas, twa-ko. Aku pernah menolong seorang puteri kaisar yang diculik penjahat. Aku mengantarnya pulang ke istana. Kaisar hendak memberi anugerah pangkat, akan tetapi aku tidak mau dan aku pergi meninggalkan istana. Eh, tahu-tahu di sini dikejar oleh rombongan itu dan pemuda tadi mengatakan bahwa dia diperintah oleh kaisar untuk membunuhku dengap alasan bahwa aku seorang pemberontak. Aku minta tanda perintah kaisar, akan tetapi dia tidak dapat membuktikannya maka aku melawan..."

"Hemm, bedebah itu! Sama dengan ayahnya. Menggunakan nama Kaisar yang lemah untuk menuduh semua orang pemberontak. Tan-te, engkau seorang yang berilmu tinggi, marilah engkau bergabung dengan kami!"

"Maaf, Gak-twako. Aku setuju sekali dengan perjuangan rakyat menentang Kerajaan Kin dari utara dan usaha untuk mengusir mereka dari tanah air. Akan tetapi akupun setia kepada Kerajaan Sung dan karenanya aku tidak suka memusuhi Kaisar yang harus kubela. Aku amat setuju dengan siкaр dan tindakan mendiang Jenderal Gak, ayahmu sendiri."

"Aaahh, itu merupakan suatu titik kelemahan! Karena kekerasan hatinya mempertahankan kelemahan itulah ayah sampat diracuni dan menemukan kematiannya secara menyedihkan sekali. Tidak, Tan-te, sikap itu keliru. Musuh besar kita memang Bangsa Kin yang harus kita usir dari tanah air, akan tetapi banyaк sekali pejabat korup dan penindas rakyat, pejabat yang pada lahirnya saja setia kepada kaisar akan tetapi pada dasarnya hanya mencari keuntungan sendiri, pejabat demikian itu malah melemahkan kerajaan dan perlu dibasmi. Kerajaan perlu dibersihkan dari para pejabat semacam itu!"

"Akan tetapi itupun merupakan pemberontakan karena mereka adalah pejabat pemerintah. Kecuali urusan pribadi, maka tidak akan melibatkan pemerintah. Kalau sudah merupakan permusuhan terbuka dengan pasukan mereka itu merupakan pemberontakan. Pantas saja kalian dianggap pemberontak."

Gak Liu tertawa. "ha-ha-ha, engkau masih hijau dalam hal perjuangan, Tan-te. Nanti kalau engkau sudah mengalami sendiri, apa lagi kalau sudah bentrok dengan Perdana Menteri Jin Kui, baru engkau mengerti apa yang kumaksudkan dengan membasmi para pejabat korup dan jahat,"

"Maaf, Gak-twako. Aku sendiri biarpun bersimpati kepada para pejuang, belum ingin melibatkan diri. Aku hanya ingin melangkah sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, melindungi mereka yang tertindas dan menentang mereka yang melakukan ke kerasan untuk memaksakan kehendaknya."

"Baiklah, Tan-te. Aku yakin akhirnya engkau akan bergabung juga dengan para pejuang."

Mereka lalu berpisah dan Tiong Li memandang kepergian orang gagah itu bersama anak buahnya dengan termenung. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya tentang Jenderal Gak Hui, dan dia melihat betapa Gak Liu itupun memiliki kegagahan yang mengagumkan. Kalau para pejuang seperti Gak Liu itu pendiriannya, agaknya Bangsa Kin akan dapat diusir keluar dari tanah air. Sayang, Kaisar memang lemah dengan adanya banyak pejabat macam Jin Kui yang mempengaruhinya.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Si Muka Tengkorak melarikan diri kembali ke gedung Perdana Menteri Jin Kui membawa luka dalam dan membawa berita buruk. Dia masih sempat mengintai ketika Jin Kiat terbunuh oleh Gak Liu dan dia bergegas kembali ke rumah Perdana Menteri Jin Kui untuk melapor.

Sepasang mata sipit yang biasanya bergerak cepat dengan cerdiknya Itu kini terbelalak, mukanya sebentar pucat Sebentar merah ketika dia mendengar laporan tentang kematian puteranya. "Apa...? Gak Liu membunuh Jin Kiat puteraku? Celaka...! Jahanam betul! Ahhhhh..."

Hampir gila Jin Kui dibuatnya karena marah dan sedih hatinya. Dia berjalan hilir mudik di ruangan itu, sebentar mengepal tinju, sebentar menangis seperti orang gila. Dia segera mengumpulkan semua orang kepercayaannya untuk diajak berunding.

Ciang Sun Hok, jagoan yang dipercaya itu, lalu Kui To Cin-jin yang menjadi guru Jin Kiat, Ma Kiu It panglima pengawal Jin Kui, dan Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak hadir sambil menundukkan muka karena maklum bahwa majikan mereka sedang marah dan berduka.

"Celaka...! Mereka membunuh anak ku! Apa yang kita perbuat sekarang?" Berulang kali Jin Kui berteriak dan akhirnya Kui To Cin-jin memberanikan dirinya untuk bicara.

"Tai-jin, karena jelas bahwa pembunuhnya adalah Gak Liu, maka kita kerahkan pasukan untuk mencari dan menangkap pemberontak itu."

"Akan tetapi semua ini gara-gara puteri selir itu!, Kalau Jin Kiat tidak mengejar pemuda bernama Tan Tiong Li itu tentu dia tidak akan tewas di tangan Gak Liu. Puteri selir itu harus tetap ditangkap dan terutama Tiong Li itu harus dapat dibunuh!"

Kui To Cin-jin berkata, "Maaf,Tai-jin. Untuk menghadapi Tan Tiong Li tidaklah mudah. Saya sendiri sudah merasakan ? kehebatan ilmu kepandaiannya, seorang pemuda sakti. Karena itu, kalau tai-jin setuju, saya akan memanggil beberapa orang kawan yang berilmu tinggi dari utara untuk bersama-sama menghadapinya."

"Baik, engkau boleh berangkat sekarang juga untuk memanggil mereka!" kata Jin Kui yang sudah marah dan bernafsu sekali untuk membalas penyebab kematian puteranya.

Setelah berunding, dia lalu menetapkan keputusannya. Pertama, puteri Sung Hiang Bwee harus tetap ditangkap dan diserahkan kepada Panglima Wu Chen dari Kerajaan Kin. Kedua, sebarkan fitnah bahwa yang menculik sang puteri adalah para pemberontak yang dipimpin oleh Gak Liu. Ke tiga mengerahkan pasukan untuk melakukan pembersihan terhadap para pemberontak. Ke empat, mencari Tan Tiong Li dan Gak Liu sampai dapat dan membunuh mereka. Dan kelima dari para penyidik kini telah diketahui bahwa dua orang wanita yang membantu para pemberontak adalah Ban-tok Sian-li dan muridnya dari Lembah Maut dan harus diserbu.

Dan untuk pelaksanaan semua ini, Kui To Cin-jin akan memanggil dua orang sutenya dari utara. Dua orang sutenya itu adalah pertapa-pertapa dari Kui-san dan memiki ilmu kepandaian yang tidak dibawah tingkat ilmu kepandaian Kui To Cin jin sendiri. Mereka adalah kakak beradik, yang tua berusia limapuluh tujuh tahun dan bernama Ouw Yang Bian berjuluk Toat-beng-jiauw (Cakar Pencabut Nyawa) dan adiknya Ouw Yang Sian berusia limapuluh tahun berjuluk Hek-bin- kwi (Setan Muka Hitam).

Sebagai para sute dari Kui To Cin-jin memang kepandaian masing-masing tidak setinggi kepandaian Kui To Cin-jin, akan tetapi kalau mereka maju bersama, Kui To Cin- jin itupun tidak akan mampu menandingi mereka.

Malam yang sunyi. Kembali di Istana ada bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu dia sudah berada di atas genteng kamar Sung Hiang Bwee. Semenjak terjadi penculikan atas diri puteri selir ini, Kaisar memerintahkan kepada para pengawal agar setiap malam diadakan penjagaan secara bergantian di depan kamar sang puteri.

Maka pada saat itupun nampak empat orang pengawal berdiri di depan kamar sang puteri. Akan tetapi bayangan hitam yang memakai kedok ini tidak merasa gentar, bahkan dia lalu melayang turun di depan empat orang itu. Sebelum empat orang itu sempat berteriak, baru menggerakkan senjata mereka, tahu-tahu mereka telah roboh semua, tertotok dengan kecepatan luar biasa.

Kemudian si kedok hitam mendobrak daun pintu. Dua orang dayang yang menemani Hiang Bwee terkejut dan berteriak, akan tetapi sebelum suara mereka sempat keluar dengan nyaring, tubuh mereka juga sudah roboh pingsan. Tinggal sang puteri yang terbelalak memandang, lupa untuk menjerit saking kaget dan takutnya.

Orang berkedok yang amat lihai itu cepat menyambarnya, menotoknya dan memanggulnya setelah memasukannya kedalam karung sutera. Seperti yang dilakukan oleh Ciang Sun Hok dahulu, sekarang ini diapun melarikan diri melalui jalan rahasia sehingga dia tiba di luar istana tanpa diketahui orang lain.

Kini, berbeda dengan penculikan terdahulu, di luar istana sudah menanti sebuah kereta yang ditumpangi oleh perdana Menteri Jin Kui sendiri! Si kedok hitam lalu membawa masuk puteri dalam karung sutera hitam itu. kemudian setelah memberi Isyarat dia lalu berkelebat lenyap. Pelaku penculikan yang amat lihai ini bukan lain adalah Si Muka Tengkorak sendiri. Kereta lalu dijalankan oleh kusir kereta menuju ke rumah gedung Perdana Menteri Jin Kui.

Andaikata ada orang melihat kereta itu, tentu takkan ada yang berani mencoba untuk menegur atau menyelidiki karena siapa orangnya berani menegur Perdana Menteri Jin Kui? Kereta itu masuk halaman gedung terus ke belakang, ke arah istana dan di sini, tanpa terlihat orang lain, sang puteri diturunkan dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar.

Hiang bwee dikeluarkan dari karung sutera dan direbahkan di pembaringan dalam keadaan tertotok, kemudian kaki tangannya diikat dengan kain sehingga seandainya totokannya sudah punah, iapun tidak akan mampu bergerak. Hiang Bwee hanya melihat dua orang berkedok hitam yang mengeluarkannya dari dalam karung hitam dan yang mengikat kaki tangannya.

Ketika ia sudah terbebas dari totokan, ia meronta-ronta-namun usahanya sia-sia karena kaki tangannya terikat kuat oleh kain sehingga ia tidak merasa nyeri, hanya tidak mampu bergerak. Ia membuka mulut hendak mengeluarkan teriakan minta tolong, akan tetapi seorang berkedok masuk kamarnya dan berkata,

"Nona, sebaiknya nona tidak mengeluarkan suara kalau tidak ingin kutotok lagi sehingga tidak mampu bergerak."

Hiang Bwee tentu saja merasa tidak enak kalau ditotok, maka ia lalu mengangguk. "Kalau nona berjanji akan diam saja dan menurut, kami tidak akan mengganggu nona dan tidak akan membe- lenggumu lagi."

"Aku akan menurut. Lepaskan ikatan kaki tanganku," kata puteri itu.

Si kedok hitam itu bukan lain adalah Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak akan mampu berbuat sesuatu. Andaikata berteriak sekalipun, tidak akan terdengar oleh orang di luar gedung. Maka, sesuai dengan pesan Perdana Menteri Jin Kui bahwa nona yang akan dipersembahkan kepada Panglima Besar Wu Chu itu jangan sampai menderita, dia lalu melepaskan ikatan kaki tangannya.

Hiang Bwee lalu bangkit duduk, menggosok gosok kaki tangan bekas ikatan. la memandang ke kanan kiri. Kamar itu indah dan besar, bukan kamar orang biasa. Tentu kamar seorang yang kaya raya, pikirnya. la bangkit dan hendak menghampiri pintu. Akan tetapi Si Muka Tengkorak berkata,

"Sebaiknya nona tidak beranjak dari kamar ini. Kamar ini terjaga ketat dan nona tidak akan bisa melarikan diri." Setelah berkata demikian, Si Mijka Tengkorak yang berkedok itupun keluar dari kamar itu dan menjaga di luar kamar bersama para pengawal.

Hiang Bwee membuka daun pintu yang segera ditutupnya kembali ketika la menghadapi todongan tombak empat orang pengawal. Ketika ia membuka daun jendela, iapun melihat ujung tombak dan dua orang penjaga di luar jendela. Ditutupkannya kembali daun jendela itu dan iapun duduk di atas kursi. Mengapa ia diculik? Siapa penculiknya? Tidak, bukan orang berkedok itu. Tentu orang berkedok itu hanya seorang utusan, dan ada orang di balik semua ini yang mendalanginya. Akan tetapi apa maunya orang itu menyuruh menculiknya?

Hatinya mulai merasa takut dan teringatlah ia kepada Tan Tiong Li! Ah, kalau saja Tiong Li menjadi pengawalnya dan berada di Istana, belum tentu ia akan dapat diculik orang. Akan tetapi, siapa tahu pendekar itu akan muncul lagi menolongnya. la ingin berteriak, ingin menjerit minta tolong.

Akan tetapi ia teringat dan menahan keinginannya. Menjerit belum tentu terdengar orang dan akibatnya ia akan ditotok kembali. Ah, tidak enak. Lebih baik begini. Setidaknya ia masih dapat bebas bergerak dan bicara. Akhirnya sang puteri melupakan segalanya dan merebahkan dirinya di tempat tidur yang indah itu dan dapat tidur pulas.

Pada keesokan harinya, pagi pagi sudah muncul dua orang dayang yang membawa air untuk mencuci badan, bahkan melayaninya. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk menanyai mereka, keduanya hanya menggeleng kepala dan tidak mengeluarkan suara, tidak berani bicara sepatah katapun! Hiang Bwee tidak perduli, setelah membersihkan badan ia lalu makan sarapan yang dibawa oleh dua orang wanita pembantu itu. Setelah selesai, dua orang wanita itu keluar lagi. Tak lama kemudian, si kedok hitam masuk lagi. Hiang Bwee segera meregurnya.

"Siapakah engkau? Mengapa engkau menculikku dan membawaku ke sini? Apakah engkau tidak takut akan hukuman berat kalau sampai tertangkap?"

"Nona, harap jangan banyak bertanya dan menurutlah saja," kata si kedok hitam dan tiba-tiba saja tangannya menyambar. Hiang Bwee terkulai dalam keadaan pingsan.

la lalu dipondong dan diangkat keluar dari dalam kamar dan tak lama kemudian la sudah berada di dalam sebuah kereta, di tengah-tengah antara empat orang selir Perdana Menteri Jin Kui! Karena dijepit di tengah-tengah, puteri itu nampaknya seperti seorang di antara selir-selir itu. Padahal puteri itu berada dalam keadaan pingsan.

Kereta itu dijalankan menuju ke pintu gerbang utara, dikawal oleh seorang perwira pengawal yang menunggang kuda. Ketika melewati penjagaan pintu gerbang, Semua perwira memberitahukan kepada para penjaga bahwa para selir Perdana Menteri pagi itu hendak pergi mengunjungi kuil yang berada di luar kota.

Para penjaga tidak berani banyak rewel, hanya menjenguk sebentar ketika tirai kereta disingkap oleh seorang selir dan melihat bahwa yang berada di dalam kereta adalah selir-selir yang muda dan cantik. Kereta lalu malewati plntu gerbang dan menuju ke utara.

Setelah agak jauh dari pintu gerbang, telah menanti sebuah kereta lain yang lebih kecil. Kereta ini dikusiri oleh Ciang Sun Hok sendiri dan bahkan dikawal oleh Si Muka Tengkorak. Sang puteri lalu dipindahkan ke dalam kereta dan kemudian kereta para selir melanjutkan perjalanan ke kuil. Setelah sang puteri dipindahkan ke dalam kereta kecil, ditemani Si Muka Tengkorak, dengan cepat tangan Tang Boa Lu membebaskan totokannya. Hiang Bwee sadar kembali, membuka matanya dan ia menahan jerltnya ketika melihat seorang yang mukanya seperti tengkorak duduk dl depannya.

"Sssst, tidak perlu menjerit nona. Tidak akan ada yang mendengar dan kalau engkau menjerit, terpaksa aku akan menotokmu pingsan lagi. Aku tidak akan mengganggumu!"

Hiang Bwee memandang muka itu dengan jijik dan ngeri. "Siapakah engkau? Dan aku... akan dibawa kemanakah?"

"Aku adalah seorang panglima Kerajaan Kin..."

"Ohhh...!" Hiang Bwee terkejut sekali mendengar bahwa ia telah terjatuh ke tangan musuh!"

"Jangan takut, nona kami tidak akan mengganggumu engkau hanya dijadikan tawanan dan akan kuserahkan kepada panglima kami. Kalau nona diam saja dan menurut, kami akan memperlakukanmu dengan baik."

Hiang Bwee hanya mengangguk-angguk, matanya masih terbelalak, mukanya masih pucat. la maklum bahwa untuk sementara ini ia tidak dapat berbuat sesuatu dan memang lebih baik menurut saja dari pada dibuat pingsan seperti tadi.

Kereta lalu dibalapkan menuju ke utara, memasuki daerah antara Kin dan Sung yang merupakan daerah tak bertuan. Kereta itu berjalan dengan cepat karena ditarik oleh empat ekor kuda. Akan tetapi ketika kereta sudah mendekati daerah Kin, tiba-tiba saja dari balik rumpun alang-alang dan batang-batang pohon berlompatan belasan orang, Kereta terpaksa berhenti karena dihadang orang-orang yang memegang pedang dan golok. Jumlah mereka ada lima belas orang, dipimpin seorang pemuda yang tampan dan gagah memegang pedang.

"Berhenti! Siapa di kereta dan hendak pergi ke-mana?" Bentak pemuda itu.

Mendengar ini, dan melihat ada belasan orang menghadang kereta. Hiang Bwee berteriak, "Aku puteri Kaisar diculik..." Suaranya terhenti karena Si Muka Tengkorak sudah menotoknya

Tang Boa Lu segera meloncat keluar dari dalam kereta dan bersama Ciang Sun Hok menghadapi belasan orang itu.

"Kalian jangan mencampuri urusan kami...!!" bentak Ciang Sun Hok. "Aku adalah Seorang panglima perrgawal dari Perdana Menteri Jin Kui, dan harus mengantarkan gadis ini ke suatu tempat."

"Bebaskan sang puteri!" terdengar teriakan.

"Bunuh antek Menteri Jin Kui yang jahat!" terdengar teriakan lain.

Akan tetapi pemuda yang memimpin gerombolan itu mengangkat tangan kiri ke atas menyuruh anak buahnya berhenti berteriak, kemudian dia berkata kepada Ciang Sun Hok. "Benarkah gadis itu puteri kaisar yang diculik? Tidak mungkin engkau panglima Perdana Menteri kalau engkau menculik seorang puteri istana!"

Karena didesak demiklan itu, Ciang Sun Hok menjadi marah dan dia membentak, "Kalian memang harus dibasmi!"

Dan dia sudah menubruk kedepan dengan cengkeramannya. Pemuda Itu terkejut melihat serangan yang amat dahsyat Itu. Dia melompat ke belakang dan menggerakkan pedangnya menyerang dan begitu dia mainkan pedangnya, tahulah Ciang Sun Hok bahwa dia berhadapan dengan seorang murid Kun-lun-pai yang hebat sekali llmu pedangnya. Maka diapun mencabut pedang dari punggungnya dan mereka sudah terlibat dalam perkelahian yang seru...

Mestika Golok Naga Jilid 09

DENGAN mudah dia mengelak dari sambaran pedang Jin Kiat, akan tetapi ketika pukulan jarak jauh dari Muka Tengkorak itu melandanya, dia terkejut. Kiranya tenaga Si Muka Tengkorak ini luar biasa kuatnya, maka tidak heran ketika dahulu dia terkena pukulan jarak jauh itu, dia sampai pingsan dan Pеk Hong San-jin sampai terluka parah yang menyebabkan kematiannya.

Cepat dia mengerahkan tenaga Jian-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) untuk melawan hantaman itu dan ketika kedua tangan bertemu, keduanya terdorong mundur, tanda bahwa tenaga yang terkandung dalam dorongan dan tangkisan itu seimbang kekuatannya.

Si Muka Tengkorak yang menjadi heran dan terkejut bukan main. Kini diapun teringat setelah memandang wajah Tiong Li. Tidak salah lagi, pemuda ini adalah pemuda remaja belasan tahun yang dulu pernah dilihatnya di Pek-hong San-kok, murid daгi Pек Hong San-jin. Dahulu, ketika baru berusia limabelas tahun saja sudah mampu menandingi Hak Bu Cu, dan sekarang ternyata telah memiliki tenaga sinkang yang mampu menandingi pukulan Angin Badai yang tadi dia lontarkan!

"Kau...?" bentaknya. "Kau murid Pеk Hong San-jin? Engkau yang telah membunuh muridku?"

"Hemm, kiranya engkau Si Muka Tengkorak yang dahulu datang bersama Si Golok Naga! Benar aku yang merobohkan muridmu, dia jahat sekali. Habis engkau mau apa!? Bagaimana engkau dapat bergabung dengan pasukan kerajaan?"

Mendengar percakapan itu, Jin Kiat sudah membentak dan memerintahkan anak buahnya, "Cepat, serang dan bunuh pemuda pemberontak ini..."

Dan Tiong Li sudah diserang dari semua jurusan. Karena lawannya yang mengeroyok amatlah banyaknya, Tiong Li lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh Jouw-sang-hui dan tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayang-bayang menghindarkan semua senjata yang menyambar ke arahnya.

Pada saat itu terdengar sorak sorai dan muncullah duapuluh orang yang berpakaian seperti petani, dipimpin seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa. Pemuda ini bersenjatakan sepasang kapak dan begitu terjun ke pertempuran, pemuda itu sudah merobohkan dua orang yang mengeroyok Tiong Li.

Melihat ini, Jin Kiat dan para perajurit menyambut dan terjadilah pertempuran sengit, sedangkan Si Muka Tengkorak bertanding melawan Tiong Li.

"Bunuh para pemberontak!" Jin Kiat berseru nyaring, akan tetapi hatinya gentar sekali ketika dia mengenal pemuda tinggi besar bersenjatakan sepasang kapak itu. Pemuda itu bukan lain adalah Gak Liu, putera mendiang Jenderal Gak Hui yang semenjak kematian ayahnya, tetap melanjutkan perjuangan menghimpun tenaga rakyat dan kadang juga menentang pasukan Sung sendiгi kalau melihat pasukan itu melakukan penindasan terhadap rakyat jelata!

Ketika tadi Gak Liu melihat Jin Kiat dan orang-orangnya mengeroyok serang pemuda, tidak sukar baginya untuk membantu pemuda itu karena dia tahu siapa Jin Kiat. Putera Perdana Menteri ini sudah berbuat dosa yang tak terhitung banyaknya. Terutama sekali merampas dan menodai wanita-wanita, baiк yang sudah bersuami maupun gadis-gadis yang dipaksanya, mengandalkan kedudukan, harta benda dan kekuatan. Gak Liu memang membenci sekali putera Perdana Menteri ini, sebagai putera musuh besarnya dan dia segera mengamuk dengan kapaknya, mendekati Jin Kiat.

Jin Kiat mengamuk dengan pedangnya dan dia mencari jalan untuk meloloskan diri. Setelah merobohkan dua orang pengikut Gak Liu, dia melompat ke luar dari pertempuran dan hendak melarikan diri. Memang Jin Kiat ini mempunyai watak pengecut. Melihat Si Muka Tengkorak belum juga dapat menang melawan pemuda itu, dan kemudian melihat Gak Liu, dia menjadi ketakutan dan berusaha meloloskan diri.

Akan tetapi dengan tiga kali lompatan jauh, Gak Liu sudah dapat menghadangnya. Kedua tangannya memegang kapaknya yang berlumuran darah dan wajahnya yang gagah itu nampak bengis sekali sehingga Jin Kiat menjadi semakin jerih.

"Gak Liu, minggir kau! Apakah engkau ingin dihukum mati pula seperti ayahmu!"

Bentakan ini sungguh salah alamat. Gak Liu tidak menjadi takut atau mundur mendengar bentakan ini, bahkan amarahnya maкin berkobar. "Jahanam busuk, engkaulah yang akan menerima hukuman mati dari ku!"

Dia menyerang dengan sepasang kapaknya dan Jin Kiat terpaksa melayaninya bertanding. Pertandingan mati-matian karena keduanya mengerti bahwa siapa yang kalah tidak akan lolos dari maut. Jin Kiat mengerahkan seluruh tenganya dan mengeluarkan semua iImu pedangnya untuk memenangkan pertandingan itu.

Sementara itu, rombongan perajurit itu mendapat serangan hebat dari para pejuang sehingga mereka terdesak. Juga pertandingan antara Tang Boa Lu dengan Tiong Li berlangsung tidak seimbang lagi. Betapapun lihainya Si Muka Tengkorak, namun menghadapi Tiong Li akhirnya dia kewalahan juga. Apa lagi ketika Tiong Li memainkan ilmu silat Ngo-heng-lian-hoan-kun, dia menjadi repot sekali. Dalam hal tenaga sinkang, dia juga tidak mampu menandingi pemuda itu.

Setelah bertanding lewat lima puluh jurus, Si Muka Tengkorak mulai terengah-engah dan mandi keringat. Terlalu banyak tenaga yang dia kerahkan. Padahal, lawannya masih nampak segar dan bahkan makin lama tenaganya menjadi semakin kuat. Tahulah Tang Boa Lu bahwa kalau dia nekat melanjutkan pertandingan itu, dia akan menderita kekalahan.

Dia tidak mau nekat mengadu nyawa karena dia hanya menjadi orang yang diperbantukan kepada Perdana Menteri Jin Kui. Untuk apa dia membela Jin Kiat sampai mati? Melihat pemuda itu terus mendesaknya, dia mengerahkan tenaga terakhir dan mengirim pukulan jarak jauh sambil mengeluarkan bentakan dahsyat. Kembali dia telah mengirim dengan pukulan jarak jauh yang bernama ilmu pukulan Angin Badai!

Akan tetapi sekali ini Tiong Li tidak mau memberi hati kepadanya. Dia sudah menyambut pukulan itu dengan Tai-lek-kim-kong-jiu! Dua tenaga sakti bertemu di udara menggetarkan bumi di sekitarnya dan akibatnya tubuh Si Muka Tengkorak terpental dan jatuh bergulingan, dari mulutnya keluar darah segar tanda bahwa dia telah terluka dalam!

Dia tahu akan bahaya, maka tubuhnya bergulingan terus, lalu dia melompat Jauh dan melarikan diri. Tiong Li tidak mengejarnya. Biarpun Si Muka Tengkorak itu yang menyebabkan kematian suhunya, namun dia tidak mendendam, sesuai dengan ajaran mendiang Pеk Hong San-jin. Dia hanya membantu para pejuang yang menghadapi para perajurit.

Tinggal enam orang perajurit yang masih melawan dan melihat keadaan mereka demikian terdesak, enam orang ini lalu melarikan diri cerai berai tanpa pimpinan lagi. Cuma tinggal Jin Kiat kini yang masih melawan Gak Liu mati-matian. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri lagi karena sepasang kapak di tangan Gak Liu mendesaknya dengan hebat.

Wajah Jin Kiat sudah menjadi pucat hatinya diliputi ketakutan yang amat sangat. Si Muka Tengkorak sudah melarikan diri, semua anak buahnya juga sudah tewas atau lari, tinggal dia sendiri. Akan tetapi Gak Liu juga tidak mengandalkan kawan-kawannya. Dia melarang anak buahnya yang hendak mengeroyok.

"Biarkan aku menghadapinya sendiri!" teriaknya ketika ada yang hendak membantunya.

Para anak buahnya tidak berani maju dan hanya menjadi penonton sambil mengepung tempat itu. Tentu saja Jin Kiat makin tak dapat lolos karena pengepungan itu, maka diapun melawan dengan nekat dan mati-matian. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya untuk melawan, akan tetapi sepasang kapak di tangan Gak Liu itu hebat bukan main, seperti sepasang naga berebut mestika, menyambar-nyambar dari segala jurusan.

"Singggg... tranggg...!!"

Pedang yang menyambar itu ditangkis oleh sepasang kapak yang menjepitnya dan pedang itu patah menjadi dua! Sebuah tendangan kaki Gak Liu membuat Jin Kiat jatuh tersungkur. Kini Jin Kiat tidak dapat lagi menahan rasa takutnya. Dia merangkak dan berlutut mengangkat kedua tangannya ke atas dan minta-minta ampun.

"Hemm, ingat engkau ketika para gadis dan wanita itu minta-minta ampun kepadamu? Apakah engkau mengampuni dan melepaskan mereka! Engkau malah menertawakan mereka. Rasakan ini!" Kapak itu menyambar dan mengenai kepala Jin Kiat yang seketika roboh terpelanting dengan kepala pecah. "Ini untuk hukumanmu. Terimalah ini, dan ini, dan ini...!"

Kedua kapak itu bertubi-tubi menghantami tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Di antara anak buah Gak Liu yang memalingkan muka karena tidak tahan melihat peristiwa yang mengerikan itu. Agaknya Gak Liu melampiaskan semua dendam atas kematian ayah dan saudara-saudaranya dan melampiaskan amarahnya kepada putera perdana Menteri Jin Kui yang dibencinya itu.

Tiba-tiba kapaknya tertahan di udara. Ada orang yang memegangi kedua lengannya dan dia tidak mampu menggerakkan tangan lagi walaupun dia sudah mengerahkan tenaga! Gak Liu terkejut dan menoleh. Ternyata yang menahan kedua tangannya adalah pemuda yang tadi bertanding dengan Si Muka Tengkorak.

"Sudah cukup, twa-ko. Menyiksa tubuh yang sudah menjadi mayat dan yang tak dapat melawan lagi bukanlah perbuatan seorang gagah, melainkan perbuatan seorang yang gila karena dendam."

Mendengar perkataan itu, Gak Liu menurunkan kedua kapaknya dan memandang kepada Tiong Li penuh perhatian, lalu dia memandang kepada mayat Jin Ki at yang hancur, kemudian menghela napas panjang.

"Engkau benar, sobat," Lalu dia memerintahkan semua anak buahnya untuk mengubur semua jenazah, bukan hanya jenazah teman-teman, akan tetapi juga jenazah semua perajurit termasuk jenazah Jin Kiat. Kemudian dia mengajak Ti ong Li duduk di bawah pohon untuk bercakap-cakap dan berkenalan,

"llmu silatmu hebat sekali, sobat muda. Siapakah namamu dan bagaimana engkau tahu-tahu dapat dikeroyok oleh Jin Kiat dan anak buahnya?"

"Nama saya Tan Tiong Li, dan sebelum saya menceritakan mengapa saya diserang mereka, lebih dulu saya ingin tahu siapakah twa-ko yang gagah perkasa ini?"

"Hemm, namaku Gak Liu."

"She Gak? Mengingatkan aku akan Jenderal Gak Hui," kata Tiong Li lebih ramah karena melihat Gak Liu juga ramah kepadanya.

"Mendiang Jenderal Gak Hui adalah ayahku."

Tiong Li terkejut dan cepat bangkit lalu memberi hormat. "Ah, kiranya putera mendiang Jenderal Gak Hui yang amat terkenal gagah perkasa dan budiman itu!? Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat!"

Gak Liu menghela napas panjang, "Aihhh, mendiang ayahku memang seorang gagah perkasa dan budiman. Akan tetapi aku... aku hanya seorang pejuang biasa yang kadang naik darah, sama sekali tidak budiman. Aku tidak mau membonceng ketenaran nama ayahku. Saudara Tiong Li, aku melihat iImu silatmu tinggi sekali. Bagaimana sampai engkau tadi dikeroyok oleh iblis kecil putera Perdana Menteri Jin Kui itu?"

Kembali Tiong Li terkejut, Dia sudah lama mendengar nama Perdana Menteri Jin Kui yang dibenci, banyak orang dan dimaki sebagai seorang menteri durna yang menghasut dan membujuk Kaisar sehingga mau mengalah terhadap Bangsa Kin, Jadi pemuda yang dibantai tadi adalah putera Menteri Jin Kui itu? Kini mengertilah dia. Dia sudah mendengar bahwa kematian Jenderal Gak Hui adalah gara-gara Perdana Menteri Jin Kui. Jadi sekarang putera Jenderal Gak Hui membuat pembalasan terhadap putera Perdana Menteri Jin Kui!

"Hemm, kiranya dia itu putera Perdana Menteri Jin Kui? Pantas engkau begitu membencinya, Gak-twako, tentu karena dendam."

"Bukan hanya dendam, Tan-te (adik Tan), akan tetapi pemuda itu memang seorang yang tidak kalah jahat dari ayahnya. Dia suka mempermainkan wanita dan diapun menindas rakyat yang tidak mau menjilat-jilat kepadanya. Dia sudah pantas mati seperti itu. Lalu bagaimana engkau sampai dimusuhi olehn dia?"

"Aku sendiri tidak tahu dengan jelas, twa-ko. Aku pernah menolong seorang puteri kaisar yang diculik penjahat. Aku mengantarnya pulang ke istana. Kaisar hendak memberi anugerah pangkat, akan tetapi aku tidak mau dan aku pergi meninggalkan istana. Eh, tahu-tahu di sini dikejar oleh rombongan itu dan pemuda tadi mengatakan bahwa dia diperintah oleh kaisar untuk membunuhku dengap alasan bahwa aku seorang pemberontak. Aku minta tanda perintah kaisar, akan tetapi dia tidak dapat membuktikannya maka aku melawan..."

"Hemm, bedebah itu! Sama dengan ayahnya. Menggunakan nama Kaisar yang lemah untuk menuduh semua orang pemberontak. Tan-te, engkau seorang yang berilmu tinggi, marilah engkau bergabung dengan kami!"

"Maaf, Gak-twako. Aku setuju sekali dengan perjuangan rakyat menentang Kerajaan Kin dari utara dan usaha untuk mengusir mereka dari tanah air. Akan tetapi akupun setia kepada Kerajaan Sung dan karenanya aku tidak suka memusuhi Kaisar yang harus kubela. Aku amat setuju dengan siкaр dan tindakan mendiang Jenderal Gak, ayahmu sendiri."

"Aaahh, itu merupakan suatu titik kelemahan! Karena kekerasan hatinya mempertahankan kelemahan itulah ayah sampat diracuni dan menemukan kematiannya secara menyedihkan sekali. Tidak, Tan-te, sikap itu keliru. Musuh besar kita memang Bangsa Kin yang harus kita usir dari tanah air, akan tetapi banyaк sekali pejabat korup dan penindas rakyat, pejabat yang pada lahirnya saja setia kepada kaisar akan tetapi pada dasarnya hanya mencari keuntungan sendiri, pejabat demikian itu malah melemahkan kerajaan dan perlu dibasmi. Kerajaan perlu dibersihkan dari para pejabat semacam itu!"

"Akan tetapi itupun merupakan pemberontakan karena mereka adalah pejabat pemerintah. Kecuali urusan pribadi, maka tidak akan melibatkan pemerintah. Kalau sudah merupakan permusuhan terbuka dengan pasukan mereka itu merupakan pemberontakan. Pantas saja kalian dianggap pemberontak."

Gak Liu tertawa. "ha-ha-ha, engkau masih hijau dalam hal perjuangan, Tan-te. Nanti kalau engkau sudah mengalami sendiri, apa lagi kalau sudah bentrok dengan Perdana Menteri Jin Kui, baru engkau mengerti apa yang kumaksudkan dengan membasmi para pejabat korup dan jahat,"

"Maaf, Gak-twako. Aku sendiri biarpun bersimpati kepada para pejuang, belum ingin melibatkan diri. Aku hanya ingin melangkah sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, melindungi mereka yang tertindas dan menentang mereka yang melakukan ke kerasan untuk memaksakan kehendaknya."

"Baiklah, Tan-te. Aku yakin akhirnya engkau akan bergabung juga dengan para pejuang."

Mereka lalu berpisah dan Tiong Li memandang kepergian orang gagah itu bersama anak buahnya dengan termenung. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya tentang Jenderal Gak Hui, dan dia melihat betapa Gak Liu itupun memiliki kegagahan yang mengagumkan. Kalau para pejuang seperti Gak Liu itu pendiriannya, agaknya Bangsa Kin akan dapat diusir keluar dari tanah air. Sayang, Kaisar memang lemah dengan adanya banyak pejabat macam Jin Kui yang mempengaruhinya.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Si Muka Tengkorak melarikan diri kembali ke gedung Perdana Menteri Jin Kui membawa luka dalam dan membawa berita buruk. Dia masih sempat mengintai ketika Jin Kiat terbunuh oleh Gak Liu dan dia bergegas kembali ke rumah Perdana Menteri Jin Kui untuk melapor.

Sepasang mata sipit yang biasanya bergerak cepat dengan cerdiknya Itu kini terbelalak, mukanya sebentar pucat Sebentar merah ketika dia mendengar laporan tentang kematian puteranya. "Apa...? Gak Liu membunuh Jin Kiat puteraku? Celaka...! Jahanam betul! Ahhhhh..."

Hampir gila Jin Kui dibuatnya karena marah dan sedih hatinya. Dia berjalan hilir mudik di ruangan itu, sebentar mengepal tinju, sebentar menangis seperti orang gila. Dia segera mengumpulkan semua orang kepercayaannya untuk diajak berunding.

Ciang Sun Hok, jagoan yang dipercaya itu, lalu Kui To Cin-jin yang menjadi guru Jin Kiat, Ma Kiu It panglima pengawal Jin Kui, dan Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak hadir sambil menundukkan muka karena maklum bahwa majikan mereka sedang marah dan berduka.

"Celaka...! Mereka membunuh anak ku! Apa yang kita perbuat sekarang?" Berulang kali Jin Kui berteriak dan akhirnya Kui To Cin-jin memberanikan dirinya untuk bicara.

"Tai-jin, karena jelas bahwa pembunuhnya adalah Gak Liu, maka kita kerahkan pasukan untuk mencari dan menangkap pemberontak itu."

"Akan tetapi semua ini gara-gara puteri selir itu!, Kalau Jin Kiat tidak mengejar pemuda bernama Tan Tiong Li itu tentu dia tidak akan tewas di tangan Gak Liu. Puteri selir itu harus tetap ditangkap dan terutama Tiong Li itu harus dapat dibunuh!"

Kui To Cin-jin berkata, "Maaf,Tai-jin. Untuk menghadapi Tan Tiong Li tidaklah mudah. Saya sendiri sudah merasakan ? kehebatan ilmu kepandaiannya, seorang pemuda sakti. Karena itu, kalau tai-jin setuju, saya akan memanggil beberapa orang kawan yang berilmu tinggi dari utara untuk bersama-sama menghadapinya."

"Baik, engkau boleh berangkat sekarang juga untuk memanggil mereka!" kata Jin Kui yang sudah marah dan bernafsu sekali untuk membalas penyebab kematian puteranya.

Setelah berunding, dia lalu menetapkan keputusannya. Pertama, puteri Sung Hiang Bwee harus tetap ditangkap dan diserahkan kepada Panglima Wu Chen dari Kerajaan Kin. Kedua, sebarkan fitnah bahwa yang menculik sang puteri adalah para pemberontak yang dipimpin oleh Gak Liu. Ke tiga mengerahkan pasukan untuk melakukan pembersihan terhadap para pemberontak. Ke empat, mencari Tan Tiong Li dan Gak Liu sampai dapat dan membunuh mereka. Dan kelima dari para penyidik kini telah diketahui bahwa dua orang wanita yang membantu para pemberontak adalah Ban-tok Sian-li dan muridnya dari Lembah Maut dan harus diserbu.

Dan untuk pelaksanaan semua ini, Kui To Cin-jin akan memanggil dua orang sutenya dari utara. Dua orang sutenya itu adalah pertapa-pertapa dari Kui-san dan memiki ilmu kepandaian yang tidak dibawah tingkat ilmu kepandaian Kui To Cin jin sendiri. Mereka adalah kakak beradik, yang tua berusia limapuluh tujuh tahun dan bernama Ouw Yang Bian berjuluk Toat-beng-jiauw (Cakar Pencabut Nyawa) dan adiknya Ouw Yang Sian berusia limapuluh tahun berjuluk Hek-bin- kwi (Setan Muka Hitam).

Sebagai para sute dari Kui To Cin-jin memang kepandaian masing-masing tidak setinggi kepandaian Kui To Cin-jin, akan tetapi kalau mereka maju bersama, Kui To Cin- jin itupun tidak akan mampu menandingi mereka.

Malam yang sunyi. Kembali di Istana ada bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu dia sudah berada di atas genteng kamar Sung Hiang Bwee. Semenjak terjadi penculikan atas diri puteri selir ini, Kaisar memerintahkan kepada para pengawal agar setiap malam diadakan penjagaan secara bergantian di depan kamar sang puteri.

Maka pada saat itupun nampak empat orang pengawal berdiri di depan kamar sang puteri. Akan tetapi bayangan hitam yang memakai kedok ini tidak merasa gentar, bahkan dia lalu melayang turun di depan empat orang itu. Sebelum empat orang itu sempat berteriak, baru menggerakkan senjata mereka, tahu-tahu mereka telah roboh semua, tertotok dengan kecepatan luar biasa.

Kemudian si kedok hitam mendobrak daun pintu. Dua orang dayang yang menemani Hiang Bwee terkejut dan berteriak, akan tetapi sebelum suara mereka sempat keluar dengan nyaring, tubuh mereka juga sudah roboh pingsan. Tinggal sang puteri yang terbelalak memandang, lupa untuk menjerit saking kaget dan takutnya.

Orang berkedok yang amat lihai itu cepat menyambarnya, menotoknya dan memanggulnya setelah memasukannya kedalam karung sutera. Seperti yang dilakukan oleh Ciang Sun Hok dahulu, sekarang ini diapun melarikan diri melalui jalan rahasia sehingga dia tiba di luar istana tanpa diketahui orang lain.

Kini, berbeda dengan penculikan terdahulu, di luar istana sudah menanti sebuah kereta yang ditumpangi oleh perdana Menteri Jin Kui sendiri! Si kedok hitam lalu membawa masuk puteri dalam karung sutera hitam itu. kemudian setelah memberi Isyarat dia lalu berkelebat lenyap. Pelaku penculikan yang amat lihai ini bukan lain adalah Si Muka Tengkorak sendiri. Kereta lalu dijalankan oleh kusir kereta menuju ke rumah gedung Perdana Menteri Jin Kui.

Andaikata ada orang melihat kereta itu, tentu takkan ada yang berani mencoba untuk menegur atau menyelidiki karena siapa orangnya berani menegur Perdana Menteri Jin Kui? Kereta itu masuk halaman gedung terus ke belakang, ke arah istana dan di sini, tanpa terlihat orang lain, sang puteri diturunkan dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar.

Hiang bwee dikeluarkan dari karung sutera dan direbahkan di pembaringan dalam keadaan tertotok, kemudian kaki tangannya diikat dengan kain sehingga seandainya totokannya sudah punah, iapun tidak akan mampu bergerak. Hiang Bwee hanya melihat dua orang berkedok hitam yang mengeluarkannya dari dalam karung hitam dan yang mengikat kaki tangannya.

Ketika ia sudah terbebas dari totokan, ia meronta-ronta-namun usahanya sia-sia karena kaki tangannya terikat kuat oleh kain sehingga ia tidak merasa nyeri, hanya tidak mampu bergerak. Ia membuka mulut hendak mengeluarkan teriakan minta tolong, akan tetapi seorang berkedok masuk kamarnya dan berkata,

"Nona, sebaiknya nona tidak mengeluarkan suara kalau tidak ingin kutotok lagi sehingga tidak mampu bergerak."

Hiang Bwee tentu saja merasa tidak enak kalau ditotok, maka ia lalu mengangguk. "Kalau nona berjanji akan diam saja dan menurut, kami tidak akan mengganggu nona dan tidak akan membe- lenggumu lagi."

"Aku akan menurut. Lepaskan ikatan kaki tanganku," kata puteri itu.

Si kedok hitam itu bukan lain adalah Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak akan mampu berbuat sesuatu. Andaikata berteriak sekalipun, tidak akan terdengar oleh orang di luar gedung. Maka, sesuai dengan pesan Perdana Menteri Jin Kui bahwa nona yang akan dipersembahkan kepada Panglima Besar Wu Chu itu jangan sampai menderita, dia lalu melepaskan ikatan kaki tangannya.

Hiang Bwee lalu bangkit duduk, menggosok gosok kaki tangan bekas ikatan. la memandang ke kanan kiri. Kamar itu indah dan besar, bukan kamar orang biasa. Tentu kamar seorang yang kaya raya, pikirnya. la bangkit dan hendak menghampiri pintu. Akan tetapi Si Muka Tengkorak berkata,

"Sebaiknya nona tidak beranjak dari kamar ini. Kamar ini terjaga ketat dan nona tidak akan bisa melarikan diri." Setelah berkata demikian, Si Mijka Tengkorak yang berkedok itupun keluar dari kamar itu dan menjaga di luar kamar bersama para pengawal.

Hiang Bwee membuka daun pintu yang segera ditutupnya kembali ketika la menghadapi todongan tombak empat orang pengawal. Ketika ia membuka daun jendela, iapun melihat ujung tombak dan dua orang penjaga di luar jendela. Ditutupkannya kembali daun jendela itu dan iapun duduk di atas kursi. Mengapa ia diculik? Siapa penculiknya? Tidak, bukan orang berkedok itu. Tentu orang berkedok itu hanya seorang utusan, dan ada orang di balik semua ini yang mendalanginya. Akan tetapi apa maunya orang itu menyuruh menculiknya?

Hatinya mulai merasa takut dan teringatlah ia kepada Tan Tiong Li! Ah, kalau saja Tiong Li menjadi pengawalnya dan berada di Istana, belum tentu ia akan dapat diculik orang. Akan tetapi, siapa tahu pendekar itu akan muncul lagi menolongnya. la ingin berteriak, ingin menjerit minta tolong.

Akan tetapi ia teringat dan menahan keinginannya. Menjerit belum tentu terdengar orang dan akibatnya ia akan ditotok kembali. Ah, tidak enak. Lebih baik begini. Setidaknya ia masih dapat bebas bergerak dan bicara. Akhirnya sang puteri melupakan segalanya dan merebahkan dirinya di tempat tidur yang indah itu dan dapat tidur pulas.

Pada keesokan harinya, pagi pagi sudah muncul dua orang dayang yang membawa air untuk mencuci badan, bahkan melayaninya. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk menanyai mereka, keduanya hanya menggeleng kepala dan tidak mengeluarkan suara, tidak berani bicara sepatah katapun! Hiang Bwee tidak perduli, setelah membersihkan badan ia lalu makan sarapan yang dibawa oleh dua orang wanita pembantu itu. Setelah selesai, dua orang wanita itu keluar lagi. Tak lama kemudian, si kedok hitam masuk lagi. Hiang Bwee segera meregurnya.

"Siapakah engkau? Mengapa engkau menculikku dan membawaku ke sini? Apakah engkau tidak takut akan hukuman berat kalau sampai tertangkap?"

"Nona, harap jangan banyak bertanya dan menurutlah saja," kata si kedok hitam dan tiba-tiba saja tangannya menyambar. Hiang Bwee terkulai dalam keadaan pingsan.

la lalu dipondong dan diangkat keluar dari dalam kamar dan tak lama kemudian la sudah berada di dalam sebuah kereta, di tengah-tengah antara empat orang selir Perdana Menteri Jin Kui! Karena dijepit di tengah-tengah, puteri itu nampaknya seperti seorang di antara selir-selir itu. Padahal puteri itu berada dalam keadaan pingsan.

Kereta itu dijalankan menuju ke pintu gerbang utara, dikawal oleh seorang perwira pengawal yang menunggang kuda. Ketika melewati penjagaan pintu gerbang, Semua perwira memberitahukan kepada para penjaga bahwa para selir Perdana Menteri pagi itu hendak pergi mengunjungi kuil yang berada di luar kota.

Para penjaga tidak berani banyak rewel, hanya menjenguk sebentar ketika tirai kereta disingkap oleh seorang selir dan melihat bahwa yang berada di dalam kereta adalah selir-selir yang muda dan cantik. Kereta lalu malewati plntu gerbang dan menuju ke utara.

Setelah agak jauh dari pintu gerbang, telah menanti sebuah kereta lain yang lebih kecil. Kereta ini dikusiri oleh Ciang Sun Hok sendiri dan bahkan dikawal oleh Si Muka Tengkorak. Sang puteri lalu dipindahkan ke dalam kereta dan kemudian kereta para selir melanjutkan perjalanan ke kuil. Setelah sang puteri dipindahkan ke dalam kereta kecil, ditemani Si Muka Tengkorak, dengan cepat tangan Tang Boa Lu membebaskan totokannya. Hiang Bwee sadar kembali, membuka matanya dan ia menahan jerltnya ketika melihat seorang yang mukanya seperti tengkorak duduk dl depannya.

"Sssst, tidak perlu menjerit nona. Tidak akan ada yang mendengar dan kalau engkau menjerit, terpaksa aku akan menotokmu pingsan lagi. Aku tidak akan mengganggumu!"

Hiang Bwee memandang muka itu dengan jijik dan ngeri. "Siapakah engkau? Dan aku... akan dibawa kemanakah?"

"Aku adalah seorang panglima Kerajaan Kin..."

"Ohhh...!" Hiang Bwee terkejut sekali mendengar bahwa ia telah terjatuh ke tangan musuh!"

"Jangan takut, nona kami tidak akan mengganggumu engkau hanya dijadikan tawanan dan akan kuserahkan kepada panglima kami. Kalau nona diam saja dan menurut, kami akan memperlakukanmu dengan baik."

Hiang Bwee hanya mengangguk-angguk, matanya masih terbelalak, mukanya masih pucat. la maklum bahwa untuk sementara ini ia tidak dapat berbuat sesuatu dan memang lebih baik menurut saja dari pada dibuat pingsan seperti tadi.

Kereta lalu dibalapkan menuju ke utara, memasuki daerah antara Kin dan Sung yang merupakan daerah tak bertuan. Kereta itu berjalan dengan cepat karena ditarik oleh empat ekor kuda. Akan tetapi ketika kereta sudah mendekati daerah Kin, tiba-tiba saja dari balik rumpun alang-alang dan batang-batang pohon berlompatan belasan orang, Kereta terpaksa berhenti karena dihadang orang-orang yang memegang pedang dan golok. Jumlah mereka ada lima belas orang, dipimpin seorang pemuda yang tampan dan gagah memegang pedang.

"Berhenti! Siapa di kereta dan hendak pergi ke-mana?" Bentak pemuda itu.

Mendengar ini, dan melihat ada belasan orang menghadang kereta. Hiang Bwee berteriak, "Aku puteri Kaisar diculik..." Suaranya terhenti karena Si Muka Tengkorak sudah menotoknya

Tang Boa Lu segera meloncat keluar dari dalam kereta dan bersama Ciang Sun Hok menghadapi belasan orang itu.

"Kalian jangan mencampuri urusan kami...!!" bentak Ciang Sun Hok. "Aku adalah Seorang panglima perrgawal dari Perdana Menteri Jin Kui, dan harus mengantarkan gadis ini ke suatu tempat."

"Bebaskan sang puteri!" terdengar teriakan.

"Bunuh antek Menteri Jin Kui yang jahat!" terdengar teriakan lain.

Akan tetapi pemuda yang memimpin gerombolan itu mengangkat tangan kiri ke atas menyuruh anak buahnya berhenti berteriak, kemudian dia berkata kepada Ciang Sun Hok. "Benarkah gadis itu puteri kaisar yang diculik? Tidak mungkin engkau panglima Perdana Menteri kalau engkau menculik seorang puteri istana!"

Karena didesak demiklan itu, Ciang Sun Hok menjadi marah dan dia membentak, "Kalian memang harus dibasmi!"

Dan dia sudah menubruk kedepan dengan cengkeramannya. Pemuda Itu terkejut melihat serangan yang amat dahsyat Itu. Dia melompat ke belakang dan menggerakkan pedangnya menyerang dan begitu dia mainkan pedangnya, tahulah Ciang Sun Hok bahwa dia berhadapan dengan seorang murid Kun-lun-pai yang hebat sekali llmu pedangnya. Maka diapun mencabut pedang dari punggungnya dan mereka sudah terlibat dalam perkelahian yang seru...