Mestika Golok Naga Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Musim Semi telah berusia satu bulan. Pegunungan Liong-san, dari kaki sampai ke puncak, nampak hijau karena semua tumbuh-tumbuhan berdaun dan berbunga, mendatangkan suasana yang sejuk segar.

Angin musim semi bertiup sepoi-sepoi menggerakkan padang rumput ilalang yang seolah menjadi lautan rumput yang bergoyang-goyang mengombak. Kalau orang berdiri di lereng tengah, melihat ke puncak Liong-san, akan nampak puncak itu muncul dari balik awan yang mengelilinginya, seolah puncak itu ter gantung pada langit dan di puncak itu masih nampak sebagian berwarna putih karena masih ada sisa salju. Kalau orang memandang ke bawah, akan nampak pemandangan yang teramat indahnya.

Kelompok-kelompok hutan diseling jurang yang curam, lalu di bawah sana nampak sawah ladang hijau menguning, dusun-dusun kecil dan padang-paaang rurnput. Segaris sungai berlenggak-lenggok seperti seekor naga menuruniy bukit, makin jauh semakin lebar.

Pagi itu udara amat cerahnya. Matahari pagi bersinar terang dan sejak pagi nampak kesibukan di sepanjang lereng itu. Burung-burung beterbangan sambil berkicau saling sahutan, binatang-binatang kecil seperti tupai dan kelenci sudah keluar mencari makan.

Kekuasaan Tuhan nampak di mana-mana, memberi kehidupan dan kebahagiaan kepada apa dan siapa saja yang dapat menerimanya. Berkah Tuhan berIimpahan, tak pernah kurang, kepada semua mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Selalu ada tersedia untuk menyambung kehidupan atau untuk me nikmati kehidupan.

Air, hawa udara, sinar matahari, tak pernah habis-habisnya menghidupi semua yang ada di permukaan bumi ini. Kekuasaan Tuhan berada di dalam mata kita yang membuat kita dapat melihat segala sesuatu yang nampak. Kekuasaan Tuhan terdapat di dalam pemandangan alam semesta yang amat indahnya. Kita tinggal membuka mata melihatnya untuk dapat menikmati semua itu.

Namun sungguh sayang. Kadangkala kita tidak melihat semua keindahan itu.'Butakah kita? Mata badan kita tidak buta, akan tetapi mata batin kita yang buta. Batin kita dipenuhi segala macam persoalan, disibukkan segala macam masalah yang dibuat oleh pikiran kita sendiri sehingga biarpun mata kita terbuka, kita tidak dapat melihat betapa Kekuasaan Tuhan bekerja dan hasilnya terbentang luas di depan mata kita.

Lihatlah awan yang berarak di seputar puncak itu. Betapa ajaibnya. Lihatlah ujung-ujung ranting penuh daun itu yang menari-nari ditiup angin. Betapa menakjubkan. Rasakanlah mengalirnya hawa sejuk segar itu ke dalam paru paru kita. Betapa nikmat dan segarnya.

Dengarlah kicau burung, dendang percik air sungai, bisikan rumput ilalang digerakkan angin. Betapa merdunya. Namun semua itu lenyap, lewat begitu saia di depan mata, di depan telinga, di depan panca indera kita yanq secang sibuk sendiri oleh hati akal pikiran yang menumpuk masalah. Berbahagialah orang yang dapat menikmati itu semua.

Hidup adalah berkah. hidup adalah nikmat, hidup adalah bahagia. Hampir semua orang di dunia ini mengejar-ngejar atau mencari kebahagian dengan berbagai cara, bahkan ada cara menyiksa diri untuk mencari kebahagiaan! Padahal, kalau kita simak, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa kita mendambakan, membutunkan kebahagiaan?

Jawabannya hanya satu, Yakni bahwa kita mencari kebahagiaan karena kita MERASA tidak berbahagia. Bukankah demikian halnya? Kita mendambakan kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia.

Kebahagiaan adalah suatu keadaan hati perasaan. Kalau dalam keadaan tidak berbahagia kita mencari ke bahagiaan, mungkinkah kita akan dapat nenemukannya? Tidakkah yang lebih penting kita menyelidiki, apa yang menyebabkan kita tidak berbahagia itu ? Kalau sebab yang membuat kita tidak berbahagia itu tidak ada lagi, Perlukah kita mencari kebahagiaan? Tentu saja tidak perlu lagi, kita tidak butuh bahagia lagi karena kita SUDAH berbahagia!

Sama halnya dengan kesehatan. Dalam keadaan sakit mengejar-ngejar kesehatan jelas tidak mungkin. Kesehatan adalah suatu keadaan badan. Kalau sebab yang membuat kita sakit atau tidak sehat itu sudah hilang, kita tidak membutuhkan kesehatan lagi karena kita sudah sehat! Akan tetapi seperti juaa kesehatan, kebahagiaan tidak dirasakan oleh kita, Kalau kita sehat, apakah kita merasa sehat ? Kita baru merasa membutuhkan kesehatan begitu kita sakit .

Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita tidak merasakan betapa Tuhan menciptakan kita dengan sempurna, betapa kebahagiaan sudah ada pada diri kita, namun kita baru merasakan kalau ada sesuatu yang mengganggu sehingga kita merasa tidak berbahagia. Terpujilah Tuhan Maha Kasih. BerkahNya sudah berlimpahan. Tinggal kita mampu untuk menerimanya atau tidak!


Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo
Di puncak Liong-san (Gunung Naga) yang dingin itu, yang dari lereng nampak dikelilingi awan dan sunyi senyap itu, pada pagi hari itu tidaklah sunyi. Di puncak yang datar dan penuh batu besar itu nampak empat orang sedang duduk bersila saling berhadapan, dan mereka itu nampaknya sedang berbantahan.

"Sian-cai...!" Seorang di antara mereka, seorang tosu (pendeta agama To) berseru.

"Kami dari Hoasan-pai selalu mempertanggung-jawabkan perbuatan kami. Kalau kami yang mengambil golok mestika itu, pasti akan kamu akui! akan tetapi pinto (aku) berani memastikan bahwa perbuatan itu tidak dilakukan oleh seorang di antara kami!" Tosu ini adalah Thian Seng Cu, seorang tokoh dari partai Hoa-sanpai, seorang tosu yang terkenal lihai berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus.

"Kalau ada seorang di antara para pengawal itu tewas karena pukulan Tiat ciang (Tangan Besi). Itu pasti ada orang lain yang mencuri ilmu perkumpulan kami dan menggunakannya. Kami tidak akan pernah mempergunakan Tiat-ciang untuk membunuh orang dan mencuri golok mestika!"

"0mitohud...!" Seru seorang hwesio yang gemuk, berusia sekitar lima puluh tahun Juga. "Apa yang diucapkan Thian Seng Cu Tosu adalah suara hati pinceng Juga! Seorang pengawal telah tewas dengan pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), akan tetapi pinceng berani tanggung bahwa pukulan itu tidak dilakukan oleh seorang murid Siauw lim-pai. Murid Siauw-lim-pai tidak akan mencuri golok mestika dari gudang pusaka istana!" Hwesio itu bernama Tek Hwat Hwe-sio, seorang tokoh Siauw lim-pai tingkat tiga.

O-ho...!" Seorang di antara mereka, yang barpakaian seperti seorang sasterawan, berseru nyaring. "Kalau Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai tidak mengambil golok mestika itu, apakah ada yang menyangka bahwa Butong-pai mengambilnya? Kami juga bukan golongan pencuri yang suka mencuri golok mestika. Biarpun di antara para pengawal ada yang tewas karena senjata rahasia Touw-kut-teng, namun aku berani tanggung bahwa itu bukanlah perbuatan murid Butong-pai!"

Orang berpakaian sasterawan ini adalah Kiang Cun, seorang tokoh Butong-pai yang lihai pula. Usia nya empatpuluh tahun lebih dan tubuhnya sedang saja, hanya sepasang matanya yang menarik perhatian karena tajamnya seperti mata elang.

"Sian-cai...! Di antara kita memang tidak mungkin ada yang mencuri golok mestika itu. Kami dari Kun-lun-pai juga tidak pernah mencurigai perkumpulan sam-wi (anda bertiga), seperti juga kami tidak tahu menahu tentang lenyapnya golok mestika. Kematian seorang pengawal akibat pukulan Pek-lek-jiau (Tangan Geledek) bukan merupakan bukti bahwa murid kami yang melakukannya. Setiap ilmu yang sudah dipelajari oleh ratusan orang murid, bisa saja bocor keluar dan dipelajari oleh orang lain, lalu dipergunakan untuk melakukan fitnah kepada kami! Justeru kami mengundang sam-wi berkumpul di Liong-san ini untuk membicarakan urusan itu, bukan saling menuduh, Pencuri telah mempergunakan ilmu-ilmu dan senjata rahasia kita untuk membunuhi para pengawal. Berarti perkumpulan kita berempat yang difitnah. Sudah menjadl kewajiban kami untuk menyelidiki dan menangkap pencuri yang melempar fitnah kepada perkumpulan kami berempat itu!"

"Hemm, benar sekali apa yang dikatakan Ciong-tosu!"

Orang yang disebut Ciong-tosu itu adalah seorang tosu dari Kun-lun-pai, tubuhnya tinggi besar dan jenggotnya panjang sampai ke dada, nampaknya gagah sekali dalam usianya yang 1imapuluh tahun.

"Karena itu, pinto harap agar kita semua pulang keperkumpulan masing-masing dan mengerahkan para anggauta untuk melakukan penyelidikan. Menyelidiki si pencuri memang tidak mudah, maka jalan satu-satunya adalah mencari golok mestika itu. Dan satu-satunya cara untuk memancing si pencuri adalah mengabarkan bahwa golok mestika yang dicurinya itu adalah palsu!"

Tiga orang yang lain mengangguk-angguk setuju. Pada saat itu terdengar suara orang tertawa bergelak dan sinar hitam halus menyambar ke arah mereka. Semua orang mengelak dari sambaran senjata rahasia ini, kecuali Kiang Gun, tokoh Butong-pai itu. Dia menggunakan dua jari tangannya menjepit dan menangkap senjata rahasia itu,

"Touw kut-teng (Paku Penembus Tulang)!" Serunya kaget mengenal senjata rahasia dari perkumpulannya.

"Kurang ajar, siapa menggunakan Touw-kut-teng?"

Semua orang berloncatan dan membalikkan tubuh ke arah dari mana datangnya sambaran senjata rahasia itu. Mereka melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, telah berdiri tak jauh dari tempat mereka dan bertolak pinggang sambil tertawa bergelak.

Kiang Cun melangkah ke depan dan menegur dengan suara lantang, "Siapa engkau berani menggunakan senjata rahasia Touw-kut-teng kami?"

"Ha-ha-ha! Selain Touw-kut-teng, akupun pandai menggunakan Tiat-ciang dari Hoa-san-pai, Ang-see-ciang dari Siauw-lim-pai, dan Pek-lek-jiau dari Kun-lun-pai. Ha-ha-ha-ha!"

Siapa raksasa muka hitam itu congkak sekali. Wajahnya memang menyeramkan. Kepalanya botak, rambutnya yang jarang itu kaku seperti kawat, demikian pula jenggot dan kumisnya, kaku bercampur uban. Alisnya tebal, matanya besar dan terbelalak, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Segala anggauta tubuh orang ini nampaknya besar dan tebal, tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kekar seperti batu karang.

Mendengar ucapan orang itu, empat tokoh partai besar itu terbelalak kaget dan hampir berbareng mereka berseru, "Pencuri golok mestika...!!"

Ciong-tosu, tokoh Kun-lun-pai, melompat ke depan menghadapi raksasa itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah raksasa itu sambil membentak, "Kiranya engkau pencuri golok mestika dan telah melempar fitnah kepada kami! Sekarang berhadapan dengan kami, sebaiknya engkau menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke kota raja!"

"Ha-ha-ha, engkau Ciong-tosu dari Kun-lun-pai, bukan? Kalau aku takut kepada kalian, perlu apa aku keluar menemui kalian di sini?"

"Sian-cai...! Manusia sombong katakan siapa namamu!" kata Ciong-tosu marah.

"Apa perlunya aku memperkenalkan nama kalau kalian semua akan mati? Ha-ha-ha!" Dia menggerakkan tangan kanan dan...

"Singggg...!!i" sebatang golok yang berkilauan telah dicabut dari balik bajunya yang longgar. Mudah sekali, dikenal golok yang terdapat ukiran Naga itu, dan indah sekali. Itulah tentunya Mestika Golok Naga yang telah dicuri dari gudang pusaka istana!

"Sebut saja aku Si Golok Naga, ha-ha-ha!"

Ciong-tosu semakin marah. Dia mencabut pedangnya dan membentak nyaring, "Manusta sombong, lihat pedang!"

Dan diapun menyerang dengan tusukan kilat bertubi-tubi karena dia menggunakan jurus maut Liong-li-coan-ciam. (Liong-li Menusuk Dengan Jarum). Jurus ini dahsyat sekali dengan pedang menusuk bertubi-tubi ke arah tiga belas-jalan darah di bagian depan tubuh lawan.

Akan tetapi raksasa hitam itu sambil tertawa bergelak memutar goloknya dan terdengar suara berdencing nyaring dari pertemuan kedua senjata itu yang mengakibatkan Ciong-tosu terhuyung! Semua tokoh itu terkejut. ilmu kepandaian Ciong-tosu dari Kun-lun-pai itu sudah cukup tinggi, akan tetapi dalam segebrakan saja dia sudah terhuyung.

Para tokoh empat partai itu adalah tokoh-tokoh kelas tiga, kepandaian mereka sudah tinggi maka mereka juga segan untuk melakukan pengeroyokan dan tadi ketika Ciong-tosu maju, merekapun hanya menjadi penonton.

"Ha-ha-ha, dengan kepandaian serendah itu engkau hendak menangkap Si Golok Naga? Ha-ha-ha, kalian berempat majulah semua, agar lebih cepat dan lebih mudah aku membunuh! kalian!" tantang si raksasa dengan siapa sombong.

Empat orang tokoh itu. kini tidak pantang untuk maju bersama karena mereka ditantang dan juga jelas bahwa Ilmu kepandaian raksasa itu tinggi sekali sehingga kalau mereka maju satu demi satu, tak mungkin mereka akan mampu menandinginya. Kiang Cun, tokoh Butong-pai mencabut pula pedanqnya, Thian ceng Cu tokoh Hoa-san-pai juga mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan Tek Hwat Hwe-sio dari Siauw-Iim-pai maju dengan tangan kosong karena hwesio ini selain tidak membawa senjata, juga ujung kedua lengan bajunya dapat menjadi senjata yang ampuh.

Raksasa hitam yang menggunakan julukan Si Golok Naga itu masih tertawa, amat memandang rendah empat orang lawan yang sudah mengepungnya, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggerang seperti harimau dan empat orang itu terkejut sekali karena mereka merasa betapa Jantung mereka terguncang dan mereka terhuyung.

Pada saat itu, Si Golok Naga menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Golok itu berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan suara angin menderu-deru. Empat orang tokoh partai besar itu makin terkejut lagi Samar-samar mereka mengenal ilmu golok itu seperti ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Ilmu Golok Lima Harimau Menjaga Pintu), akan tetapi gerakan itu memiliki perkembangan yang aneh dan juga kokoh kuat sekali.

Mereka segera menggerakkan senjata menyerang dari empat jurusan. Tek Hwat Hwe-Sio menggerakkan kedua tangannya yang didahului oleh sepasang ujung lengan bajunya, gerakannya mengandung tenaga sinkang dan mendatangkan angin menyambar-nyambar.

Pedang Kiang Cun tokoh Bu tong-pai juga bergerak cepat dan indah seperti yang menjadi keistimewaan Ilmu pedang Butong-pai. Demikian pula Ciong tosu sudah menyerang lagi dengan pedangnya dan Thian Seng Cu dari Hoa-San-pai memainkan siang-kiamnya dengan cepat.

Biarpun dikeroyok oleh ampat tokoh partai besar yang berilmu tinggi, namun raksasa hitam itu sama sekali tidak takut. Dia masih dapat tartawa-tawa ketlka golok di tangannya membantuk benteng sinar yang menghalau semua serangan empat orang itu.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Biarpun tingkat kepandaian Si Golok Naga itu jauh lebih tinggi, akan tetapi karena empat orang tokoh itu maju bersama, mereka dapat menandingi juga dan pertandingan itu terjadi dengan hebatnya.

Sejak tadi, seorang laki-laki tengah tua berusia empatpuluhan tahun bersama seorang anak laki-laki. berusia lima tahun mendekam di balik semak belukar dengan tubuh gemetaran karana takut. Laki-laki itu seorang penduduk dusun yang pekerjaannya di samplng bertanl, juga kadang kala memburu binatang untuk penambah penghasilannya yang sederhana.

Orang itu bernama Tan Hok, dan puteranya bernama Tan Tiong Li. Pada hari itu, tidak seperti biasanya, Tan Hok mengajak puteranya untuk mendaki ke puncak karena sejak tadi mereka tidak menemukan binatang buruan di lereng.

Ketika mereka melihat di puncak ada orang-orang aneh, mereka lalu bersembunyi karena takut. Apa lagi ketika muncul raksasa hitam yang kini bertanding dengan empat orang tokoh partai besar itu. Mereka menjadi ketakutan dan mendekam di balik semak belukar dengan tubuh gemetar.

Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya ketika Si Golok Naga mengubah ilmu goloknya yang kini menyambar-nyambar bagaikan kilat. Empat orang pengeroyoknya berusaha untuk melindungi dirinya masing-masing, akan tetapi sia sia belaka. Golok Naga itu menyamba dahsyat, mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan dan robohlah Tek Hwat Hwe-sio yang pertama kali kena disambar sinar golok sehingga dadanya terluka lebar dan dia roboh dan tewas seketika!

Tiga orang rekannya menjadi merah dan mengamuk, akan tetapi belum lewat lima jurus, Ciong-tosu dari Kun-lun-pai juga roboh dan tewas dengan leher hampir putus!

Tan Hok dan anaknya menjadi semakin ketakutan melihat robohnya dua orang dengan darah muncrat mengerikan itu. Tan Hok segera menangkap tangan puteranya diajak bangkit dan melarikan diri dari tempat itu .

Gerakan mereka terlihat oleh Si Golok Naga, akan tetapi karena masih menghadapi dua orang pengeroyok Si Golok Naga melanjutkan amukannya dan berturut-turut Kiang Cun dan Thian Seng Cu juga roboh dan tewas.

Si Golok Naga tertawa bergelak dan ketika terlihat akan ayah dan anak yang tadi bersembunyi dan melarlkan diri, dia segera melompat dan melakukan pengejaran .

"Hei...!! kalian berdua, berhenti!" teriak Si Golok Naga ketika melihat dua orang itu sudah berlari cukup jauh, dilereng puncak bukit di depan.

Mendengar teriakan yang amat nyaring itu, Tan Hok semakin panik. Dia lalu mendorong puteranya agar naik ke puncak bukit itu dan berkata, "Naiklah kau ke puncak itu dan bersembunyi di sana! Aku akan memancing dia agar mengejar ke jurusan lain!"

Tan Tiong Li memang baru lima tahun akan tetapi dia seorang anak yang cerdik sekali. Dia sudah dapat mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya, maka diapun mendaki puncak itu seorang diri sedangkan ayahnya sengaja berlari ke padang rumput agar dapat nampak oleh pengejarnya. Ayah ini tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri. Baginya, yang terpenting adalah keselamatan anaknya.

Usaha pancingannya berhasil. Si Golok Naga melihat dia lari melintasi padang rumput segera melakukan pengejaran. Tak lama kemudian Tan Hok dapat tersusul dengan mudah dan tanpa banyak cakap lagi Si Golok Naga menggerakkan goloknya dan putuslah leher Tan Hok Dia roboh dan kepalanya menggelinding jatuh dari tubuhnya.

Si Golok Naga memandang ke kanan kiri. "Ehh, tadi dia bersama seorang anak kecil. Ke mana perginya anak itu? Celaka dia akan menjadi saksi yang merugikan. Aku harus dapat menemukan dan membunuhnya!" katanya seorang diri dan melihat di depan terdapat puncak itu, dia lalu mendaki puncak dengan golok di tangan. Dia merasa yakin bahwa anak itu tentu menyembunyikan diri di puncak itu.

Dengan napas terengah-engah Tan Tiong Li dapat tiba di puncak bukit itu. Dia lelah sekali dan kehabisan napas, maka ketika tiba-tiba dari balik batu besar itu muncul seorang-manusia, dia begitu terkejut dan ketakutan sehingga tubuhnya terguling dan dia sudah berlutut sambil menangis.

Dua tangan dengan lembut menariknya bangun dan Tiong Li melihat bahwa orang itu bukanlah raksasa hitam yang tadi mengejar dia dan ayahnya, melainkan seorang hwesio tua yang berjubah kuning. Hwesio tua itu tersenyum kepadanya.

"Omitohud... seorang anak kecil mendaki puncak seorang diri. Anak yang baik, siapakah engkau dan kenapa engkau berlari-lari ke tempat ini?"

"Lo suhu... saya dikejar-kejar seorang raksasa hitam yang hendak membunuh saya..."

Hwesio itu masih tersenyum, "Raksasa hitam? Di mana ada raksasa hitam, anak yang baik? Engkau mengkhayal barangkali."

"Tidak, lo-suhu. Sungguh raksasa itu telah membunuh banyak orang di puncak sana dengan goloknya. Mengerikan. Dia lalu mengejar ayah dan saya..."

"Ayahmu? Mana ayahmu?"

"Ayah berlari ke arah lain agar raksasa itu tidak mengejar saya. Tolonglah, lo-suhu..."

Kini hwe-sio itu tidak tersenyum lagi melainkan mengerutkan alisnya karena dia mulai percaya bahwa anak ini tidak berbohong dan tidak berkhayal. Dia lalu memandang ke bawah puncak dan pada saat itu dia melihat seorang laki laki tinggi besar bermuka hitam membawa sebatang golok yang berkilauan sedang berlari cepat mendaki puncak itu.

"Omitohud... agaknya semua ceritamu benar, anak baik. Jangan takut, pinceng akan melindungimu dari raksasa hitam itu."

Sementara itu, Si Golok Naga dengan penasaran mendaki untuk mencari anak yang hilang itu. Anak itu harus mati! Tidak seorangpun yang menyaksikan apa yang terjadi di puncak sana tadi boleh hidup. Akhirnya dia tiba di puncak dan melihat anak itu berlutut di depan seorang hwesio tua renta. Dia menyarungkan goloknya dan tertawa.

"Ha-ha-ha, bocah setan, kiranya engkau bersembunyi di sini!" Tangannya yang panjang itu dijulurkan ke depan hendak mencengkeram Tiong Li. Akan tetapi tangan itu bertemu tangan lain yang lembut.

"Omitohud, hendak kau apakan anak ini, sobat?"

Si Golok Naga mengerutkan alisnya yang tebal ketika merasa betapa gerakan tangannya tertahan. "Hemm, Jangan ikut-ikut, hwesio tua. Jangan mencampuri urusanku dan serahkan anak itu ke padaku!"

"Engkau belum menjawab pertanyaan ku, sobat. Hendak kauapakan anak ini?"

"Persetan, keparat! Anak itu harus mat! ditanganku!" bentak raksasa hitam itu.

"Omitohud, siapa yang berbuat jahat terhadap orang yang tidak bersalah atau berdosa, maka kejahatan itu akan berbalik menimpa dirinya sendiri, bagaikan menebarkan debu melawan arah angin yang akan berbalik menimpa yang menebarkannya." Hwe-sio itu mengucapkan pelajaran agama Buddha dengan suara yang lantang namun lembut mengingatkan.

"Hwe-sio tua, kalau engkau banyak cakap lagi, engkaupun akan kubunuh! Serahkan anak itu!"

Kembali hwe-sio tua itu menjawab dengan ayat-ayat dalam pelajaran agama Buddha. "Dia yang melaksanakan kehendaknya dengan jalan kekerasan tidaklah benar. Bijaksanalah dia yang menimbang antara yang salah dan yang bernar."

Ketika raksasa hitam itu nampak semakin marah, hwe-sio tua itu berkata lagi, "Anak ini bukan apa-apamu, dan sudah lari ke sini mencari perlindungan kepada pinceng. Pinceng harap engkau orang gagah suka memandang muka pinceng dan tidak mengganggunya lagi."

"Hwe-sio yang bosan hidup. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku enggan membunuhmu karena engkau seorang pendeta dan tidak mempunyai urusan apapun denganku. Akan tetapi anak ini harus mati di tanganku. Hyaaaattt...!"

Dia lalu mengirim pukulan maut dengan tangan kanannya ke arah kepala anak itu, Pukulan itu hebat dan dahsyat bukan main. Jangankan sampai kepalan itu, baru angin pukulannya saja sudah dapat membunuh orang karena hawa sin-kang yang keluar dari gerakan pukulan itu.

"Plakk!" kepalan kanan yang besar dan keras itu bertemu telapak tangan yang lunak halus seperti telapak tangan kanak-kanak. Dan pukulan itu terhenti dan tenaganya seolah amblas masuk ke dalam air. Si raksasa hitam merasa seperti memukul agar-agar atau air saja.

Tentu saja dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya dan memandang hwe-sio tua yang tidak dikenal nya itu. Kini baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti!

"Omitohud, sadarlah, sobat. Lalang merupakan bencana bagi ladang padi dan kebencian adalah bencana bagi kemanusiaan, karena itu persembahan yang disajikan kepada mereka yang bebas dari kebencian mendatangkan pahala besar. Sobat yang baik, kekerasan hanya akan mendatangkan kehancuran bagi dirimu sendiri, ingatlah itu."

Si raksasa hitam yang baru saja dengan mudahnya membunuh empat orang tokoh partai besar, tentu saja tidak mendengarkan semua peringatan hwe-sio tua itu. Dia sudah mencabut goloknya yang baru saja minum darah lima orang itu, golok yang sebulan lalu dicurinya dari gudang pusaka Istana, yaitu Mestika Golok Naga.

Begitu mencabut golok itu, si raksasa hitam lalu menyerang dengan bacokan ke arah kepala hwe-sio tua itu Golok menyambar dengan suara berdesing, cepat dan kuat bukan main. Akan tetapi hwe-sio itu hanya menyebut, "Omitohud...!" dan sedikit membungkukkan tubuhnya, golok itu luput. Si raksasa hitam menjadi penasaran dan semakin marah. Serangannya lalu dilanjutkan dengah bacokan-bacokan lain yang lebih kuat lagi.

Akan tetapi, dia merasa seperti membacok bayangan saja. Betapapun cepatnya dia menggerakkan goloknya, namun bacokannya tidak pernah mengenai sasaran, seolah tubuh kakek itu sudah tergeser lebih dulu, terdorong angin serangannya, seperti orang menyerang sehelai bulu yang amat ringan. Karena kakek itu terus menerus mengelak, raksasa hitam itu mendapat akal. Yang penting baginya adalah membunuh anak itu karena anak itu yang tadi menyaksikan pertemuannya dengan empat orang tokoh partai besar.

Maka tiba-tiba saja dia membalik dan kini goloknya menyambar ke arah anak yang masih berlutut. Akan tetapi golok itu tertahan di udara! Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata goloknya sudah dijepit dua buah jari tangan kakek itu.

Cepat dia membalik dan menggerak kan goloknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya tak dapat digerakkan lagi karna secepat kilat kakek itu telah menotok bawah lengannya, membuat lengan itu lumpuh seketika. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kirinya, kakek melanjutkan dengan totokan satu jari yang amat dahsyat, dalam sekejap mata saja tiga jalan darah terpenting di tubuhnya telah tertotok dan dia tidak dapat bergerak lagi seperti sebuah patung!

"Omitohud...! Sobat, mulai hari ini, sadarlah dan kembalilah ke jalan benar. Kalau engkau melanjutkan kejahatanmu, maka kejahatan itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan yang amat hebat. Nah, pergilah!"

Dia menepuk pundak raksasa hitam itu dan tubuh itu terhuyung ke belakang akan tetapi dia telah mampu bergerak kembali. Kini yakinlah si raksasa hitam bahwa dia tidak akan mampu menandingi hwe-sio tua itu, maka diapun melompat pergi dengan cepat.

"Nah, sekarang pembunuh itu telah pergi. Marilah kita cari ayahmu, anak yang baik," kata hwe-sio tua itu sambil menggandeng tangan Tiong Li. Mereka menuruni puncak dan tak lama kemudian mereka berdua sudah menemukan tubuh Tan Hok yang sudah menjadi mayat dengan kepala terpisah.

"Omitohud...!" Hwe-sio tua itu merangkap kedua tangannya dan melihat Tiong Li menjerit dan menangis, berlutut memeluki tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat. Hwe-sio tua itu menggeleng-geleng kepalanya.

"Omitohud, bagaimana dunia dapat menjadi tempat yang damai kalau nafsu dan kekerasan merajalela menguasai hati manusia...?"

Mestika Golok Naga Jilid 01

Musim Semi telah berusia satu bulan. Pegunungan Liong-san, dari kaki sampai ke puncak, nampak hijau karena semua tumbuh-tumbuhan berdaun dan berbunga, mendatangkan suasana yang sejuk segar.

Angin musim semi bertiup sepoi-sepoi menggerakkan padang rumput ilalang yang seolah menjadi lautan rumput yang bergoyang-goyang mengombak. Kalau orang berdiri di lereng tengah, melihat ke puncak Liong-san, akan nampak puncak itu muncul dari balik awan yang mengelilinginya, seolah puncak itu ter gantung pada langit dan di puncak itu masih nampak sebagian berwarna putih karena masih ada sisa salju. Kalau orang memandang ke bawah, akan nampak pemandangan yang teramat indahnya.

Kelompok-kelompok hutan diseling jurang yang curam, lalu di bawah sana nampak sawah ladang hijau menguning, dusun-dusun kecil dan padang-paaang rurnput. Segaris sungai berlenggak-lenggok seperti seekor naga menuruniy bukit, makin jauh semakin lebar.

Pagi itu udara amat cerahnya. Matahari pagi bersinar terang dan sejak pagi nampak kesibukan di sepanjang lereng itu. Burung-burung beterbangan sambil berkicau saling sahutan, binatang-binatang kecil seperti tupai dan kelenci sudah keluar mencari makan.

Kekuasaan Tuhan nampak di mana-mana, memberi kehidupan dan kebahagiaan kepada apa dan siapa saja yang dapat menerimanya. Berkah Tuhan berIimpahan, tak pernah kurang, kepada semua mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Selalu ada tersedia untuk menyambung kehidupan atau untuk me nikmati kehidupan.

Air, hawa udara, sinar matahari, tak pernah habis-habisnya menghidupi semua yang ada di permukaan bumi ini. Kekuasaan Tuhan berada di dalam mata kita yang membuat kita dapat melihat segala sesuatu yang nampak. Kekuasaan Tuhan terdapat di dalam pemandangan alam semesta yang amat indahnya. Kita tinggal membuka mata melihatnya untuk dapat menikmati semua itu.

Namun sungguh sayang. Kadangkala kita tidak melihat semua keindahan itu.'Butakah kita? Mata badan kita tidak buta, akan tetapi mata batin kita yang buta. Batin kita dipenuhi segala macam persoalan, disibukkan segala macam masalah yang dibuat oleh pikiran kita sendiri sehingga biarpun mata kita terbuka, kita tidak dapat melihat betapa Kekuasaan Tuhan bekerja dan hasilnya terbentang luas di depan mata kita.

Lihatlah awan yang berarak di seputar puncak itu. Betapa ajaibnya. Lihatlah ujung-ujung ranting penuh daun itu yang menari-nari ditiup angin. Betapa menakjubkan. Rasakanlah mengalirnya hawa sejuk segar itu ke dalam paru paru kita. Betapa nikmat dan segarnya.

Dengarlah kicau burung, dendang percik air sungai, bisikan rumput ilalang digerakkan angin. Betapa merdunya. Namun semua itu lenyap, lewat begitu saia di depan mata, di depan telinga, di depan panca indera kita yanq secang sibuk sendiri oleh hati akal pikiran yang menumpuk masalah. Berbahagialah orang yang dapat menikmati itu semua.

Hidup adalah berkah. hidup adalah nikmat, hidup adalah bahagia. Hampir semua orang di dunia ini mengejar-ngejar atau mencari kebahagian dengan berbagai cara, bahkan ada cara menyiksa diri untuk mencari kebahagiaan! Padahal, kalau kita simak, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa kita mendambakan, membutunkan kebahagiaan?

Jawabannya hanya satu, Yakni bahwa kita mencari kebahagiaan karena kita MERASA tidak berbahagia. Bukankah demikian halnya? Kita mendambakan kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia.

Kebahagiaan adalah suatu keadaan hati perasaan. Kalau dalam keadaan tidak berbahagia kita mencari ke bahagiaan, mungkinkah kita akan dapat nenemukannya? Tidakkah yang lebih penting kita menyelidiki, apa yang menyebabkan kita tidak berbahagia itu ? Kalau sebab yang membuat kita tidak berbahagia itu tidak ada lagi, Perlukah kita mencari kebahagiaan? Tentu saja tidak perlu lagi, kita tidak butuh bahagia lagi karena kita SUDAH berbahagia!

Sama halnya dengan kesehatan. Dalam keadaan sakit mengejar-ngejar kesehatan jelas tidak mungkin. Kesehatan adalah suatu keadaan badan. Kalau sebab yang membuat kita sakit atau tidak sehat itu sudah hilang, kita tidak membutuhkan kesehatan lagi karena kita sudah sehat! Akan tetapi seperti juaa kesehatan, kebahagiaan tidak dirasakan oleh kita, Kalau kita sehat, apakah kita merasa sehat ? Kita baru merasa membutuhkan kesehatan begitu kita sakit .

Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita tidak merasakan betapa Tuhan menciptakan kita dengan sempurna, betapa kebahagiaan sudah ada pada diri kita, namun kita baru merasakan kalau ada sesuatu yang mengganggu sehingga kita merasa tidak berbahagia. Terpujilah Tuhan Maha Kasih. BerkahNya sudah berlimpahan. Tinggal kita mampu untuk menerimanya atau tidak!


Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo
Di puncak Liong-san (Gunung Naga) yang dingin itu, yang dari lereng nampak dikelilingi awan dan sunyi senyap itu, pada pagi hari itu tidaklah sunyi. Di puncak yang datar dan penuh batu besar itu nampak empat orang sedang duduk bersila saling berhadapan, dan mereka itu nampaknya sedang berbantahan.

"Sian-cai...!" Seorang di antara mereka, seorang tosu (pendeta agama To) berseru.

"Kami dari Hoasan-pai selalu mempertanggung-jawabkan perbuatan kami. Kalau kami yang mengambil golok mestika itu, pasti akan kamu akui! akan tetapi pinto (aku) berani memastikan bahwa perbuatan itu tidak dilakukan oleh seorang di antara kami!" Tosu ini adalah Thian Seng Cu, seorang tokoh dari partai Hoa-sanpai, seorang tosu yang terkenal lihai berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus.

"Kalau ada seorang di antara para pengawal itu tewas karena pukulan Tiat ciang (Tangan Besi). Itu pasti ada orang lain yang mencuri ilmu perkumpulan kami dan menggunakannya. Kami tidak akan pernah mempergunakan Tiat-ciang untuk membunuh orang dan mencuri golok mestika!"

"0mitohud...!" Seru seorang hwesio yang gemuk, berusia sekitar lima puluh tahun Juga. "Apa yang diucapkan Thian Seng Cu Tosu adalah suara hati pinceng Juga! Seorang pengawal telah tewas dengan pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), akan tetapi pinceng berani tanggung bahwa pukulan itu tidak dilakukan oleh seorang murid Siauw lim-pai. Murid Siauw-lim-pai tidak akan mencuri golok mestika dari gudang pusaka istana!" Hwesio itu bernama Tek Hwat Hwe-sio, seorang tokoh Siauw lim-pai tingkat tiga.

O-ho...!" Seorang di antara mereka, yang barpakaian seperti seorang sasterawan, berseru nyaring. "Kalau Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai tidak mengambil golok mestika itu, apakah ada yang menyangka bahwa Butong-pai mengambilnya? Kami juga bukan golongan pencuri yang suka mencuri golok mestika. Biarpun di antara para pengawal ada yang tewas karena senjata rahasia Touw-kut-teng, namun aku berani tanggung bahwa itu bukanlah perbuatan murid Butong-pai!"

Orang berpakaian sasterawan ini adalah Kiang Cun, seorang tokoh Butong-pai yang lihai pula. Usia nya empatpuluh tahun lebih dan tubuhnya sedang saja, hanya sepasang matanya yang menarik perhatian karena tajamnya seperti mata elang.

"Sian-cai...! Di antara kita memang tidak mungkin ada yang mencuri golok mestika itu. Kami dari Kun-lun-pai juga tidak pernah mencurigai perkumpulan sam-wi (anda bertiga), seperti juga kami tidak tahu menahu tentang lenyapnya golok mestika. Kematian seorang pengawal akibat pukulan Pek-lek-jiau (Tangan Geledek) bukan merupakan bukti bahwa murid kami yang melakukannya. Setiap ilmu yang sudah dipelajari oleh ratusan orang murid, bisa saja bocor keluar dan dipelajari oleh orang lain, lalu dipergunakan untuk melakukan fitnah kepada kami! Justeru kami mengundang sam-wi berkumpul di Liong-san ini untuk membicarakan urusan itu, bukan saling menuduh, Pencuri telah mempergunakan ilmu-ilmu dan senjata rahasia kita untuk membunuhi para pengawal. Berarti perkumpulan kita berempat yang difitnah. Sudah menjadl kewajiban kami untuk menyelidiki dan menangkap pencuri yang melempar fitnah kepada perkumpulan kami berempat itu!"

"Hemm, benar sekali apa yang dikatakan Ciong-tosu!"

Orang yang disebut Ciong-tosu itu adalah seorang tosu dari Kun-lun-pai, tubuhnya tinggi besar dan jenggotnya panjang sampai ke dada, nampaknya gagah sekali dalam usianya yang 1imapuluh tahun.

"Karena itu, pinto harap agar kita semua pulang keperkumpulan masing-masing dan mengerahkan para anggauta untuk melakukan penyelidikan. Menyelidiki si pencuri memang tidak mudah, maka jalan satu-satunya adalah mencari golok mestika itu. Dan satu-satunya cara untuk memancing si pencuri adalah mengabarkan bahwa golok mestika yang dicurinya itu adalah palsu!"

Tiga orang yang lain mengangguk-angguk setuju. Pada saat itu terdengar suara orang tertawa bergelak dan sinar hitam halus menyambar ke arah mereka. Semua orang mengelak dari sambaran senjata rahasia ini, kecuali Kiang Gun, tokoh Butong-pai itu. Dia menggunakan dua jari tangannya menjepit dan menangkap senjata rahasia itu,

"Touw kut-teng (Paku Penembus Tulang)!" Serunya kaget mengenal senjata rahasia dari perkumpulannya.

"Kurang ajar, siapa menggunakan Touw-kut-teng?"

Semua orang berloncatan dan membalikkan tubuh ke arah dari mana datangnya sambaran senjata rahasia itu. Mereka melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, telah berdiri tak jauh dari tempat mereka dan bertolak pinggang sambil tertawa bergelak.

Kiang Cun melangkah ke depan dan menegur dengan suara lantang, "Siapa engkau berani menggunakan senjata rahasia Touw-kut-teng kami?"

"Ha-ha-ha! Selain Touw-kut-teng, akupun pandai menggunakan Tiat-ciang dari Hoa-san-pai, Ang-see-ciang dari Siauw-lim-pai, dan Pek-lek-jiau dari Kun-lun-pai. Ha-ha-ha-ha!"

Siapa raksasa muka hitam itu congkak sekali. Wajahnya memang menyeramkan. Kepalanya botak, rambutnya yang jarang itu kaku seperti kawat, demikian pula jenggot dan kumisnya, kaku bercampur uban. Alisnya tebal, matanya besar dan terbelalak, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Segala anggauta tubuh orang ini nampaknya besar dan tebal, tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kekar seperti batu karang.

Mendengar ucapan orang itu, empat tokoh partai besar itu terbelalak kaget dan hampir berbareng mereka berseru, "Pencuri golok mestika...!!"

Ciong-tosu, tokoh Kun-lun-pai, melompat ke depan menghadapi raksasa itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah raksasa itu sambil membentak, "Kiranya engkau pencuri golok mestika dan telah melempar fitnah kepada kami! Sekarang berhadapan dengan kami, sebaiknya engkau menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke kota raja!"

"Ha-ha-ha, engkau Ciong-tosu dari Kun-lun-pai, bukan? Kalau aku takut kepada kalian, perlu apa aku keluar menemui kalian di sini?"

"Sian-cai...! Manusia sombong katakan siapa namamu!" kata Ciong-tosu marah.

"Apa perlunya aku memperkenalkan nama kalau kalian semua akan mati? Ha-ha-ha!" Dia menggerakkan tangan kanan dan...

"Singggg...!!i" sebatang golok yang berkilauan telah dicabut dari balik bajunya yang longgar. Mudah sekali, dikenal golok yang terdapat ukiran Naga itu, dan indah sekali. Itulah tentunya Mestika Golok Naga yang telah dicuri dari gudang pusaka istana!

"Sebut saja aku Si Golok Naga, ha-ha-ha!"

Ciong-tosu semakin marah. Dia mencabut pedangnya dan membentak nyaring, "Manusta sombong, lihat pedang!"

Dan diapun menyerang dengan tusukan kilat bertubi-tubi karena dia menggunakan jurus maut Liong-li-coan-ciam. (Liong-li Menusuk Dengan Jarum). Jurus ini dahsyat sekali dengan pedang menusuk bertubi-tubi ke arah tiga belas-jalan darah di bagian depan tubuh lawan.

Akan tetapi raksasa hitam itu sambil tertawa bergelak memutar goloknya dan terdengar suara berdencing nyaring dari pertemuan kedua senjata itu yang mengakibatkan Ciong-tosu terhuyung! Semua tokoh itu terkejut. ilmu kepandaian Ciong-tosu dari Kun-lun-pai itu sudah cukup tinggi, akan tetapi dalam segebrakan saja dia sudah terhuyung.

Para tokoh empat partai itu adalah tokoh-tokoh kelas tiga, kepandaian mereka sudah tinggi maka mereka juga segan untuk melakukan pengeroyokan dan tadi ketika Ciong-tosu maju, merekapun hanya menjadi penonton.

"Ha-ha-ha, dengan kepandaian serendah itu engkau hendak menangkap Si Golok Naga? Ha-ha-ha, kalian berempat majulah semua, agar lebih cepat dan lebih mudah aku membunuh! kalian!" tantang si raksasa dengan siapa sombong.

Empat orang tokoh itu. kini tidak pantang untuk maju bersama karena mereka ditantang dan juga jelas bahwa Ilmu kepandaian raksasa itu tinggi sekali sehingga kalau mereka maju satu demi satu, tak mungkin mereka akan mampu menandinginya. Kiang Cun, tokoh Butong-pai mencabut pula pedanqnya, Thian ceng Cu tokoh Hoa-san-pai juga mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan Tek Hwat Hwe-sio dari Siauw-Iim-pai maju dengan tangan kosong karena hwesio ini selain tidak membawa senjata, juga ujung kedua lengan bajunya dapat menjadi senjata yang ampuh.

Raksasa hitam yang menggunakan julukan Si Golok Naga itu masih tertawa, amat memandang rendah empat orang lawan yang sudah mengepungnya, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggerang seperti harimau dan empat orang itu terkejut sekali karena mereka merasa betapa Jantung mereka terguncang dan mereka terhuyung.

Pada saat itu, Si Golok Naga menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Golok itu berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan suara angin menderu-deru. Empat orang tokoh partai besar itu makin terkejut lagi Samar-samar mereka mengenal ilmu golok itu seperti ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Ilmu Golok Lima Harimau Menjaga Pintu), akan tetapi gerakan itu memiliki perkembangan yang aneh dan juga kokoh kuat sekali.

Mereka segera menggerakkan senjata menyerang dari empat jurusan. Tek Hwat Hwe-Sio menggerakkan kedua tangannya yang didahului oleh sepasang ujung lengan bajunya, gerakannya mengandung tenaga sinkang dan mendatangkan angin menyambar-nyambar.

Pedang Kiang Cun tokoh Bu tong-pai juga bergerak cepat dan indah seperti yang menjadi keistimewaan Ilmu pedang Butong-pai. Demikian pula Ciong tosu sudah menyerang lagi dengan pedangnya dan Thian Seng Cu dari Hoa-San-pai memainkan siang-kiamnya dengan cepat.

Biarpun dikeroyok oleh ampat tokoh partai besar yang berilmu tinggi, namun raksasa hitam itu sama sekali tidak takut. Dia masih dapat tartawa-tawa ketlka golok di tangannya membantuk benteng sinar yang menghalau semua serangan empat orang itu.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Biarpun tingkat kepandaian Si Golok Naga itu jauh lebih tinggi, akan tetapi karena empat orang tokoh itu maju bersama, mereka dapat menandingi juga dan pertandingan itu terjadi dengan hebatnya.

Sejak tadi, seorang laki-laki tengah tua berusia empatpuluhan tahun bersama seorang anak laki-laki. berusia lima tahun mendekam di balik semak belukar dengan tubuh gemetaran karana takut. Laki-laki itu seorang penduduk dusun yang pekerjaannya di samplng bertanl, juga kadang kala memburu binatang untuk penambah penghasilannya yang sederhana.

Orang itu bernama Tan Hok, dan puteranya bernama Tan Tiong Li. Pada hari itu, tidak seperti biasanya, Tan Hok mengajak puteranya untuk mendaki ke puncak karena sejak tadi mereka tidak menemukan binatang buruan di lereng.

Ketika mereka melihat di puncak ada orang-orang aneh, mereka lalu bersembunyi karena takut. Apa lagi ketika muncul raksasa hitam yang kini bertanding dengan empat orang tokoh partai besar itu. Mereka menjadi ketakutan dan mendekam di balik semak belukar dengan tubuh gemetar.

Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya ketika Si Golok Naga mengubah ilmu goloknya yang kini menyambar-nyambar bagaikan kilat. Empat orang pengeroyoknya berusaha untuk melindungi dirinya masing-masing, akan tetapi sia sia belaka. Golok Naga itu menyamba dahsyat, mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan dan robohlah Tek Hwat Hwe-sio yang pertama kali kena disambar sinar golok sehingga dadanya terluka lebar dan dia roboh dan tewas seketika!

Tiga orang rekannya menjadi merah dan mengamuk, akan tetapi belum lewat lima jurus, Ciong-tosu dari Kun-lun-pai juga roboh dan tewas dengan leher hampir putus!

Tan Hok dan anaknya menjadi semakin ketakutan melihat robohnya dua orang dengan darah muncrat mengerikan itu. Tan Hok segera menangkap tangan puteranya diajak bangkit dan melarikan diri dari tempat itu .

Gerakan mereka terlihat oleh Si Golok Naga, akan tetapi karena masih menghadapi dua orang pengeroyok Si Golok Naga melanjutkan amukannya dan berturut-turut Kiang Cun dan Thian Seng Cu juga roboh dan tewas.

Si Golok Naga tertawa bergelak dan ketika terlihat akan ayah dan anak yang tadi bersembunyi dan melarlkan diri, dia segera melompat dan melakukan pengejaran .

"Hei...!! kalian berdua, berhenti!" teriak Si Golok Naga ketika melihat dua orang itu sudah berlari cukup jauh, dilereng puncak bukit di depan.

Mendengar teriakan yang amat nyaring itu, Tan Hok semakin panik. Dia lalu mendorong puteranya agar naik ke puncak bukit itu dan berkata, "Naiklah kau ke puncak itu dan bersembunyi di sana! Aku akan memancing dia agar mengejar ke jurusan lain!"

Tan Tiong Li memang baru lima tahun akan tetapi dia seorang anak yang cerdik sekali. Dia sudah dapat mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya, maka diapun mendaki puncak itu seorang diri sedangkan ayahnya sengaja berlari ke padang rumput agar dapat nampak oleh pengejarnya. Ayah ini tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri. Baginya, yang terpenting adalah keselamatan anaknya.

Usaha pancingannya berhasil. Si Golok Naga melihat dia lari melintasi padang rumput segera melakukan pengejaran. Tak lama kemudian Tan Hok dapat tersusul dengan mudah dan tanpa banyak cakap lagi Si Golok Naga menggerakkan goloknya dan putuslah leher Tan Hok Dia roboh dan kepalanya menggelinding jatuh dari tubuhnya.

Si Golok Naga memandang ke kanan kiri. "Ehh, tadi dia bersama seorang anak kecil. Ke mana perginya anak itu? Celaka dia akan menjadi saksi yang merugikan. Aku harus dapat menemukan dan membunuhnya!" katanya seorang diri dan melihat di depan terdapat puncak itu, dia lalu mendaki puncak dengan golok di tangan. Dia merasa yakin bahwa anak itu tentu menyembunyikan diri di puncak itu.

Dengan napas terengah-engah Tan Tiong Li dapat tiba di puncak bukit itu. Dia lelah sekali dan kehabisan napas, maka ketika tiba-tiba dari balik batu besar itu muncul seorang-manusia, dia begitu terkejut dan ketakutan sehingga tubuhnya terguling dan dia sudah berlutut sambil menangis.

Dua tangan dengan lembut menariknya bangun dan Tiong Li melihat bahwa orang itu bukanlah raksasa hitam yang tadi mengejar dia dan ayahnya, melainkan seorang hwesio tua yang berjubah kuning. Hwesio tua itu tersenyum kepadanya.

"Omitohud... seorang anak kecil mendaki puncak seorang diri. Anak yang baik, siapakah engkau dan kenapa engkau berlari-lari ke tempat ini?"

"Lo suhu... saya dikejar-kejar seorang raksasa hitam yang hendak membunuh saya..."

Hwesio itu masih tersenyum, "Raksasa hitam? Di mana ada raksasa hitam, anak yang baik? Engkau mengkhayal barangkali."

"Tidak, lo-suhu. Sungguh raksasa itu telah membunuh banyak orang di puncak sana dengan goloknya. Mengerikan. Dia lalu mengejar ayah dan saya..."

"Ayahmu? Mana ayahmu?"

"Ayah berlari ke arah lain agar raksasa itu tidak mengejar saya. Tolonglah, lo-suhu..."

Kini hwe-sio itu tidak tersenyum lagi melainkan mengerutkan alisnya karena dia mulai percaya bahwa anak ini tidak berbohong dan tidak berkhayal. Dia lalu memandang ke bawah puncak dan pada saat itu dia melihat seorang laki laki tinggi besar bermuka hitam membawa sebatang golok yang berkilauan sedang berlari cepat mendaki puncak itu.

"Omitohud... agaknya semua ceritamu benar, anak baik. Jangan takut, pinceng akan melindungimu dari raksasa hitam itu."

Sementara itu, Si Golok Naga dengan penasaran mendaki untuk mencari anak yang hilang itu. Anak itu harus mati! Tidak seorangpun yang menyaksikan apa yang terjadi di puncak sana tadi boleh hidup. Akhirnya dia tiba di puncak dan melihat anak itu berlutut di depan seorang hwesio tua renta. Dia menyarungkan goloknya dan tertawa.

"Ha-ha-ha, bocah setan, kiranya engkau bersembunyi di sini!" Tangannya yang panjang itu dijulurkan ke depan hendak mencengkeram Tiong Li. Akan tetapi tangan itu bertemu tangan lain yang lembut.

"Omitohud, hendak kau apakan anak ini, sobat?"

Si Golok Naga mengerutkan alisnya yang tebal ketika merasa betapa gerakan tangannya tertahan. "Hemm, Jangan ikut-ikut, hwesio tua. Jangan mencampuri urusanku dan serahkan anak itu ke padaku!"

"Engkau belum menjawab pertanyaan ku, sobat. Hendak kauapakan anak ini?"

"Persetan, keparat! Anak itu harus mat! ditanganku!" bentak raksasa hitam itu.

"Omitohud, siapa yang berbuat jahat terhadap orang yang tidak bersalah atau berdosa, maka kejahatan itu akan berbalik menimpa dirinya sendiri, bagaikan menebarkan debu melawan arah angin yang akan berbalik menimpa yang menebarkannya." Hwe-sio itu mengucapkan pelajaran agama Buddha dengan suara yang lantang namun lembut mengingatkan.

"Hwe-sio tua, kalau engkau banyak cakap lagi, engkaupun akan kubunuh! Serahkan anak itu!"

Kembali hwe-sio tua itu menjawab dengan ayat-ayat dalam pelajaran agama Buddha. "Dia yang melaksanakan kehendaknya dengan jalan kekerasan tidaklah benar. Bijaksanalah dia yang menimbang antara yang salah dan yang bernar."

Ketika raksasa hitam itu nampak semakin marah, hwe-sio tua itu berkata lagi, "Anak ini bukan apa-apamu, dan sudah lari ke sini mencari perlindungan kepada pinceng. Pinceng harap engkau orang gagah suka memandang muka pinceng dan tidak mengganggunya lagi."

"Hwe-sio yang bosan hidup. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku enggan membunuhmu karena engkau seorang pendeta dan tidak mempunyai urusan apapun denganku. Akan tetapi anak ini harus mati di tanganku. Hyaaaattt...!"

Dia lalu mengirim pukulan maut dengan tangan kanannya ke arah kepala anak itu, Pukulan itu hebat dan dahsyat bukan main. Jangankan sampai kepalan itu, baru angin pukulannya saja sudah dapat membunuh orang karena hawa sin-kang yang keluar dari gerakan pukulan itu.

"Plakk!" kepalan kanan yang besar dan keras itu bertemu telapak tangan yang lunak halus seperti telapak tangan kanak-kanak. Dan pukulan itu terhenti dan tenaganya seolah amblas masuk ke dalam air. Si raksasa hitam merasa seperti memukul agar-agar atau air saja.

Tentu saja dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya dan memandang hwe-sio tua yang tidak dikenal nya itu. Kini baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti!

"Omitohud, sadarlah, sobat. Lalang merupakan bencana bagi ladang padi dan kebencian adalah bencana bagi kemanusiaan, karena itu persembahan yang disajikan kepada mereka yang bebas dari kebencian mendatangkan pahala besar. Sobat yang baik, kekerasan hanya akan mendatangkan kehancuran bagi dirimu sendiri, ingatlah itu."

Si raksasa hitam yang baru saja dengan mudahnya membunuh empat orang tokoh partai besar, tentu saja tidak mendengarkan semua peringatan hwe-sio tua itu. Dia sudah mencabut goloknya yang baru saja minum darah lima orang itu, golok yang sebulan lalu dicurinya dari gudang pusaka Istana, yaitu Mestika Golok Naga.

Begitu mencabut golok itu, si raksasa hitam lalu menyerang dengan bacokan ke arah kepala hwe-sio tua itu Golok menyambar dengan suara berdesing, cepat dan kuat bukan main. Akan tetapi hwe-sio itu hanya menyebut, "Omitohud...!" dan sedikit membungkukkan tubuhnya, golok itu luput. Si raksasa hitam menjadi penasaran dan semakin marah. Serangannya lalu dilanjutkan dengah bacokan-bacokan lain yang lebih kuat lagi.

Akan tetapi, dia merasa seperti membacok bayangan saja. Betapapun cepatnya dia menggerakkan goloknya, namun bacokannya tidak pernah mengenai sasaran, seolah tubuh kakek itu sudah tergeser lebih dulu, terdorong angin serangannya, seperti orang menyerang sehelai bulu yang amat ringan. Karena kakek itu terus menerus mengelak, raksasa hitam itu mendapat akal. Yang penting baginya adalah membunuh anak itu karena anak itu yang tadi menyaksikan pertemuannya dengan empat orang tokoh partai besar.

Maka tiba-tiba saja dia membalik dan kini goloknya menyambar ke arah anak yang masih berlutut. Akan tetapi golok itu tertahan di udara! Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata goloknya sudah dijepit dua buah jari tangan kakek itu.

Cepat dia membalik dan menggerak kan goloknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya tak dapat digerakkan lagi karna secepat kilat kakek itu telah menotok bawah lengannya, membuat lengan itu lumpuh seketika. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kirinya, kakek melanjutkan dengan totokan satu jari yang amat dahsyat, dalam sekejap mata saja tiga jalan darah terpenting di tubuhnya telah tertotok dan dia tidak dapat bergerak lagi seperti sebuah patung!

"Omitohud...! Sobat, mulai hari ini, sadarlah dan kembalilah ke jalan benar. Kalau engkau melanjutkan kejahatanmu, maka kejahatan itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan yang amat hebat. Nah, pergilah!"

Dia menepuk pundak raksasa hitam itu dan tubuh itu terhuyung ke belakang akan tetapi dia telah mampu bergerak kembali. Kini yakinlah si raksasa hitam bahwa dia tidak akan mampu menandingi hwe-sio tua itu, maka diapun melompat pergi dengan cepat.

"Nah, sekarang pembunuh itu telah pergi. Marilah kita cari ayahmu, anak yang baik," kata hwe-sio tua itu sambil menggandeng tangan Tiong Li. Mereka menuruni puncak dan tak lama kemudian mereka berdua sudah menemukan tubuh Tan Hok yang sudah menjadi mayat dengan kepala terpisah.

"Omitohud...!" Hwe-sio tua itu merangkap kedua tangannya dan melihat Tiong Li menjerit dan menangis, berlutut memeluki tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat. Hwe-sio tua itu menggeleng-geleng kepalanya.

"Omitohud, bagaimana dunia dapat menjadi tempat yang damai kalau nafsu dan kekerasan merajalela menguasai hati manusia...?"