Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SIN WAN dan Kui Siang mengerti maksud Raja Muda Yung Lo dan setelah menyanggupi, mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Pada hari itu juga Raja Muda Yung Lo kembali pula ke Peking bersama pasukannya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

"Aku harus membuat perhitungan dengan Si Kedok Hitam si jahanam itu!" Tung-hai-liong Ouwyang Cin mengepal tinju. "Tidak saja dia ingin memperalat aku dengan menawanmu, tetapi dia juga kurang ajar sekali, menguasai orang-orang kangouw yang dahulu tunduk kepadaku. Kita harus menyelidiki dan menangkap dia!"

Datuk kaum bajak laut di timur ini marah bukan main karena hampir saja dia, muridnya, serta puterinya yang sudah tertawan Si Kedok Hitam, celaka di tangan pemimpin mata-mata Mongol itu.

"Akan tetapi, suhu. Bukankah mereka itu menjanjikan kedudukan raja muda kepada suhu kalau perjuangan mereka berhasil?" Maniyoko bertanya.

"Persetan! Belum apa-apa dia sudah ingin memaksa kita untuk melakukan pembunuhan terhadap dua orang pangeran, seolah kita ini anak buahnya saja. Lebih lagi, dia menawan Akim, itu bukan kerja-sama namanya. Siapa sih dia itu hendak memperalat aku?"

"Memang kita harus mencarinya dan menghajarnya, ayah," kata Akim marah. "Kalau saja tidak ada Sin Wan, tentu kita sudah celaka."

"Hemm, pemuda itu? Akim, bagaimana engkau bisa mengenal pemuda itu dan siapakah dia?"

"Namanya Sin Wan, ayah. Memang aku telah mengenal dia sebelumnya. Dia murid Sam-sian dan menjadi wakil gurunya dalam melaksanakan tugas dari Kaisar untuk memerangi jaringan mata-mata Mongol."

"Hemm, agaknya sumoi akrab sekali dengan pemuda itu!" Maniyoko berkata dengan nada suara dingin.

Sepasang mata yang indah itu mencorong. "Aku mau akrab dengan dia atau pun dengan siapa juga, apa sangkut pautnya denganmu?!" bentaknya.

Dibentak begitu, Maniyoko terdiam dan mukanya berubah merah. Diam-diam dia merasa marah dan cemburu sekali. Teringatlah dia betapa dahulu dia pernah menawan Lili, akan tetapi pemuda itu pula yang menentangnya, kemudian mengalahkan dia dan merampas Lili yang telah ditawannya. Sekarang agaknya pemuda itu akan merebut Akim darinya.

Mendengar ucapan puterinya itu, Tung-hai-liong lalu bertanya, "Akim, apakah engkau dan pemuda murid Sam-sian itu saling mencinta?"

"Bila aku dan dia saling mencinta, apakah ayah hendak melarang?” Akim balas bertanya, sikapnya menantang.

Tung-hai-liong tertawa. "Sebenarnya aku ingin melihat engkau menjadi isteri suheng-mu, akan tetapi kalau engkau dan murid Sam-sian itu saling mencinta, aku pun tidak merasa keberatan engkau menjadi jodohnya asalkan Sam-sian sendiri yang mengajukan pinangan kepadaku."

"Tidak, ayah! Aku tidak mau menjadi isteri suheng, juga aku tidak sudi menjadi isteri laki-laki semacam Sin Wan yang tidak mencintaku melainkan mencinta wanita lain. Aku benci! Aku benci dia!" Gadis itu lalu lari meninggalkan ayahnya dan suheng-nya.

Melihat muridnya seperti orang yang kecewa dan agaknya perasaannya sangat terpukul oleh sikap Akim, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menghiburnya. "Maniyoko, kau beruntung bahwa Akim tidak sudi menjadi jodoh Sin Wan, berarti dia masih bebas dan kelak dapat kubujuk untuk mau menjadi jodohmu. Sekarang biarkan dia bertualang. Kita harus pulang karena setelah anak itu pergi, di rumah tidak ada orang."

"Jika suhu mengijinkan, teecu (murid) ingin mencari sumoi untuk diam-diam membayangi dan melindunginya. Jaringan mata-mata Mongol itu sungguh berbahaya, teecu khawatir sumoi akan terjebak dan tertawan lagi. Kalau suhu hendak pulang lebih dahulu, silakan."

Kakek itu mengangguk. "Begitu pun baik. Aku tidak sudi menjadi hamba dari orang-orang Mongol."

Guru dan murid ini kemudian berpisah. Tung-hai-liong Ouwyang Cin kembali ke timur, ada pun Maniyoko mencari sumoi-nya yang tadi lari ke selatan, tentu menuju ke kota raja.

Biar pun dia berhasil menyusul sumoi-nya, Maniyoko tetap tidak mau memperlihatkan diri. Sumoi-nya sedang kesal hatinya dan dia mengenal benar watak sumoi-nya. Kalau sedang dalam keadaan seperti itu, sumoi-nya amat sukar didekati dan kalau dia memperlihatkan diri, besar kemungkinan sumoi-nya akan menjadi semakin kesal dan marah. Maka dia pun hanya membayangi saja dari jauh sampai akhirnya mereka tiba di luar pintu gerbang kota raja Nan-king.

Di Jalan raya itu dia melihat rombongan Pangeran Mahkota yang dikawal ketat memasuki kota raja. Juga nampak jelas Jenderal Yauw Ti dalam sebuah kereta yang mengiringkan di belakang, dikawal oleh pasukan berkuda.

Tiba-tiba seseorang yang mengenakan kedok biru menghampirinya. Maniyoko sudah siap siaga untuk menyerang orang itu, akan tetapi si kedok biru memberi isyarat kepadanya, lalu berkata singkat,

"Yang Mulia mengundang saudara Maniyoko untuk bertemu. Mari!"

Maniyoko tertarik. Dia teringat akan kunjungan utusan yang menyerahkan hadiah kepada gurunya dan utusan itu pun mengatakan bahwa pimpinan mereka hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dia masih kecewa akan penolakan gurunya untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol yang menjanjikan kedudukan mulia, karena itu kini dia ingin tahu apa yang akan dikatakan pimpinan mata-mata Mongol itu kepadanya. Dia mengikuti bayangan itu yang bergerak amat cepat memasuki hutan kecil di sebelah timur jalan.

Setelah tiba di tengah hutan barulah si kedok biru berhenti dan Maniyoko berhenti pula di belakangnya. Ternyata di situ sudah berdiri dua orang yang aneh dan juga menyeramkan. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan tampan, bertubuh tinggi tegap dengan muka yang merah sekali, seolah muka itu dilumuri darah. Pakaiannya dari sutera putih yang halus mengkilap dan di punggungnya tergantung sebatang golok gergaji.

Sedangkan yang ke dua adalah seorang wanita, sedikit lebih muda namun masih ramping dan cantik, hanya saja warna kulit mukanya nampak mengerikan karena pucat mirip muka mayat. Pakaian wanita ini juga terbuat dari sutera putih halus dan pada pinggangnya yang ramping melingkar seekor ular yang sebetulnya senjata sabuk terbuat dari ular yang telah mati.

Maniyoko tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang datuk sakti yang amat lihai, yaitu Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, sepasang iblis yang amat lihai dan kejam, yang kini sudah menjadi kaki tangan Si Kedok Hitam, membantu gerakan para mata-mata Mongol. Akan tetapi karena di situ dia tidak melihat adanya Si Kedok Hitam, dia menduga bahwa dua orang ini tentulah pembantu pimpinan mata-mata itu, maka dia tidak berani bersikap angkuh dan tetap waspada karena dia belum tahu apa maksud mereka mengundangnya, padahal belum lama ini dia bersama suhu-nya serta sumoi-nya menentang mereka, dan sudah bertempur dengan mereka di atas perahu.

"Apa maksudnya aku diundang ke sini?" tanya Maniyoko sambil menoleh kepada si kedok biru yang tadi mengajaknya ke tempat itu.

Ang-bin Moko tertawa. "Engkau murid Tung-hai-liong dan namamu Maniyoko? Ingin tahu kenapa kami mengundangmu atas nama Yang Mulia? Lihatlah di sana itu!" Dia menuding ke arah belakangnya.

Maniyoko mengangkat muka memandang, maka terkejutlah dia. Di sana, kira-kira seratus meter dari situ, tampak Ouwyang Kim berdiri terikat pada sebatang pohon. Melihat betapa kepala gadis itu terkulai, dia pun dapat menduga bahwa sumoi-nya tentu dalam keadaan pingsan atau tertotok lemas.

"Apa yang kalian lakukan kepada sumoi? Hayo cepat bebaskan sumoi!" katanya dan dia pun sudah mencabut pedang samurainya dari punggung, siap untuk menerjang mereka.

"Tenanglah, orang muda dan simpan kembali pedangmu. Sejak semula Yang Mulia sudah menawarkan kerja sama dengan Tung-hai-liong, namun kerja sama itu gagal karena dia keras kepala.”

"Tapi kalian sudah menawan sumoi di perahu itu, tentu saja kami menentang kalian! Dan sekarang, kalian kembali menawan sumoi!" kata Maniyoko marah.

Pria dan wanita yang aneh itu tertawa. "Hi-hik-hik, orang muda yang tampan. Kalau kami menawan puteri Tung-hai-liong, hal itu kami lakukan karena dialah yang menyerang kami. Akan tetapi kami masih ingat akan persahabatan, maka kami tidak membunuhnya. Lihat, sekarang kami menawan dia juga dengan maksud baik, agar dia merasa berhutang budi padamu sehingga engkau pun meningkat dalam pandangan sumoi-mu. Bukankah engkau menghendaki agar sumoi-mu itu kelak dapat membalas cintamu dan menjadi isterimu?"

Maniyoko terkejut. Ternyata wanita yang mukanya seperti mayat itu sudah mengetahui isi hatinya. Tentu mereka itu telah mengintai dan mendengar percakapan antara dia dengan gurunya. "Apa maksud kalian? Sebenarnya, mau apa kalian menawan sumoi?"

Pek-bin Moli mendekati pemuda itu lantas berbisik-bisik. Maniyoko mengangguk-angguk. Tak lama kemudian sepasang iblis itu memberi isyarat lalu muncullah enam orang laki-laki yang berpakaian seragam seperti prajurit kerajaan yang memang telah menerima perintah dari sepasang iblis itu.

Enam orang itu lalu menghampiri Akim yang terbelenggu pada pohon, ada pun sepasang iblis itu cepat menghilang di balik pohon-pohon. Maniyoko juga menyelinap di balik semak belukar kemudian mengintai.

Enam orang itu mengambil air lalu menyiram kepala dan muka Akim dengan air. Gadis itu akhirnya siuman, dan melihat betapa dia terbelenggu pada pohon serta ada enam orang prajurit kerajaan berdiri di hadapannya, dia pun berusaha meronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi enam orang itu sudah mencabut pedang dan menodongkan senjata mereka kepadanya.

"Aihh, jangan mencoba untuk melepaskan diri, nona, atau pedang kami akan melumatkan tubuhmu."

Akim berhenti dan memandang kepada mereka dengan mata mendelik penuh kemarahan. Ketika tadi dia berjalan hendak menuju ke pintu gerbang kota raja, dia mendengar suara orang memanggilnya dari hutan itu. Dia memasuki hutan, lalu diserang dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Dia melakukan perlawanan namun akhirnya dia roboh tertotok dan tidak sadar lagi, pingsan.

"Siapa kalian dan mau apa kalian menangkapku? Lepaskan aku!"

Seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab sembarí tertawa, "Ha-ha-ha-ha, engkau masih bertanya lagi? Lihat pakaian seragam kami. Kami adalah anak-anak buah Panglima Bhok Cun Ki. Kami mendapat tugas menangkapmu dan menghukummu karena engkau telah berani menggoda calon mantu Bhok-ciangkun."

"Menggoda calon mantu Bhok-ciangkun? Kalian gila! Aku tidak kenal dengan calon mantu Bhok-ciangkun!" Akim membentak marah. Walau pun dia sudah terbelenggu dan ditodong pedang dalam keadaan tidak berdaya, namun sedikit pun dia tidak memperlihatkan rasa takut. "Lepaskan aku!"

"Ha-ha-ha, Bhok-ciangkun telah mengijinkan kami untuk berbuat apa saja terhadap dirimu dan kami tak akan melepaskanmu begitu saja, manis! Jangan berpura-pura. Calon mantu Bhok-ciangkun bernama Sin Wan, apakah engkau hendak menyangkal lagi?"

Sepasang mata itu terbelalak. Sin Wan? Dia calon menantu Bhok Cun Ki? Tentu saja dia tidak bisa menyangkal bahwa dia mencinta Sin Wan walau kini cintanya berubah menjadi perasaan sedih dan marah karena pemuda itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi baru sekarang dia tahu bahwa Sin Wan adalah calon menantu Bhok Cun Ki. Dia teringat akan pembelaan pemuda itu terhadap keluarga Bhok.

"Nah, sekarang engkau tidak dapat menyangkal lagi, bukan? Itulah sebabnya maka kami disuruh menangkap dan membunuhmu. Akan tetapi kami akan mengajakmu bersenang-senang dahulu sebelum membunuhmu. Ha-ha-ha-ha!" Enam pasang tangan itu bergerak, agaknya hendak meraba tubuh Akim yang terbelenggu.

"Jahanam, jangan mengganggu sumoi!" terdengar bentakan nyaring dan Maniyoko datang menyerbu dengan pedang samurai di tangan.

Enam orang itu terkejut sekali, menggerakkan pedang untuk mengeroyok Maniyoko. Akan tetapi pemuda itu mengamuk dengan pedang samurainya sehingga para pengeroyoknya menjadi gentar semua, apa lagi setelah tiga orang dirobohkan oleh tendangan-tendangan Maniyoko dan yang tiga orang lainnya terpaksa melepaskan pedangnya yang patah-patah ketika bertemu pedang samurai. Mereka berenam lalu melarikan diri dan Maniyoko tidak mengejarnya, melainkan cepat menghampiri sumoi-nya lalu melepaskan tali pengikatnya.

Tentu saja Akim gembira bukan main. Baru saja dia terlepas dari pada ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri. "Terima kasih, suheng. Syukurlah engkau datang, kalau tidak...”

"Sudahlah, sumoi. Siapakah mereka itu dan bagaimana engkau sampai dapat tertawan oleh orang-orang itu?"

Akim memungut pedangnya yang oleh para penawannya dilemparkan ke atas tanah, lalu mengikatkan lagi pedangnya di punggung dan dia pun mengepal tinju. "Kalau hanya mereka yang mengeroyokku, tidak mungkin aku dapat mereka tawan. Akan tetapi yang mengeroyokku adalah dua orang kakek dan nenek yang lihai bukan main. Dan yang lebih menggemaskan lagi, mereka itu disuruh oleh Bhok Cun Ki untuk menangkap, menghina dan membunuhku. Keparat Bhok Cun Ki itu! Aku harus membuat perhitungan dengan dia!"

"Siapakah Bhok Cun Ki itu dan mengapa pula dia menyuruh anak buahnya menawanmu, sumoi?"

"Dia seorang panglima di kota raja. Sombongnya bukan main! Baru aku ketahui bahwa dia adalah calon mertua Sin Wan, dan dia menangkapku karena aku dianggap menggoda Sin Wan. Keparat! Siapa yang ingin merebut mantu orang? Aku harus membuat perhitungan, sekarang juga!"

"Tenanglah, sumoi. Memang penghinaan ini harus kita balas, tetapi mengingat dia adalah seorang panglima, maka kita harus berhati-hati dan menyerbu ke sana secara diam-diam, jangan sampai kita dikepung ratusan orang prajurit. Aku akan membantumu, Akim."

"Baik, terima kasih suheng. Dan bagaimana suheng dapat berada di sini? Di mana ayah?"

"Suhu telah pulang dan suhu yang mengutusku untuk menyusulmu agar dapat membantu dan menemanimu!” Dua orang kakak beradik seperguruan ini dengan hati penuh dendam lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota raja.

Tentu saja Maniyoko tidak menuturkan kepada sumoi-nya tentang pertemuannya dengan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, tidak menceritakan betapa dia kini sudah bergabung dan bekerja sama dengan anak buah Yang Mulia dan bahwa tugasnya yang pertama adalah membantu Akim untuk membunuh Panglima Bhok Cun Ki yang dianggap berbahaya dan musuh besar Yang Mulia!

********************

Bhok Cun Ki pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Panglima ini baru saja dipanggil oleh Sribaginda Kaisar dan di persidangan itu, di mana hadir pula Jenderal Shu Ta serta para menteri, Kaisar marah-marah sambil memaki-maki Bhok Cun Ki yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan sehingga jaringan mata-mata semakin mengganas. Bahkan hampir saja Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo dan Putera Mahkota terbunuh oleh serbuan anak buah jaringan mata-mata musuh. Berita yang sampai kepada Kaisar adalah bahwa berkat ketangkasan Jenderal Yauw Ti dan pasukannya, maka usaha pembunuhan itu dapat digagalkan!

"Bagaimana sih usahamu menghancurkan jaringan mata-mata di kota raja? Huhh, sampai kami tidak dapat tidur karena siapa lagi yang dapat kami percaya? Seolah-olah diri kami dikurung oleh mata-mata musuh, dan tidak tahu lagi siapa kawan siapa lawan!" demikian antara lain Sribaginda Kaisar Thai-cu yang kini selalu nampak gelisah itu memarahi Bhok Cun Ki. "Bhok-ciangkun, apa bila dalam waktu satu bulan engkau belum juga sanggup menghancurkan jaringan mata-mata di sini, kami mulai curiga jangan-jangan engkau telah diperalat pula oleh mereka. Sebulan engkau harus mampu menghancurkan mereka, atau kau akan kami anggap pemberontak dan pengkhianat, dan seluruh keluargamu akan kami suruh dijatuhi hukuman mati!"

Ucapan Kaisar ini terasa seperti kilat menyambar di hari panas, amat mengejutkan, akan tetapi juga bagaikan ujung pedang menusuk jantung. Selama puluhan tahun dia mengabdi dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan, sudah tak terhitung banyaknya jasa-jasa yang disumbangkan untuk negara dan sekarang dia menerima hadiah ancaman seberat itu dari Kaisar!

Memang dia tahu bahwa selama beberapa tahun ini sudah terjadi perubahan hebat pada diri Kaisar, sikap dan perangainya berubah sama sekali. Pejuang besar Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar itu, yang pada mulanya memerintah dengan bijaksana dan baik, akhir-akhir ini berubah menjadi pemarah, selalu curiga, tidak percaya lagi terhadap orang-orang yang tadinya setia kepadanya, juga kejam bukan main, begitu mudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang tadinya sangat dekat dengannya, yang tadinya sangat setia kepadanya.

Setelah tiba di rumah Bhok Cun Ki tidak menceritakan tentang ancaman Kaisar itu kepada keluarganya. Dia tahu bahwa terutama sekali Cu Sui In yang baru saja menjadi isterinya yang sah dan tinggal di rumahnya sebagai isteri terkasih, tentu akan merasa marah dan penasaran sekali kalau mendengar akan peristiwa di istana tadi.

Cu Sui In tentu akan marah dan mungkin melakukan hal-hal yang bahkan akan membuat Kaisar semakin curiga padanya. Oleh karena itu dia hanya menceritakan tentang peristiwa di luar kota Cin-an ketika Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota mengadakan pesta pertemuan, tentang penyerbuan mata-mata yang berhasil digagalkan.

"Sekarang kita tinggal menanti pulangnya Lili. Pasti dia membawa keterangan yang lebih lengkap mengenai peristiwa itu," kata Bhok Cun Ki. "Sebaiknya kalau mulai hari ini kalian berdua turut waspada dan berjaga-jaga, karena agaknya gerombolan mata-mata semakin nekat dan mengganas," pesannya kepada Ci Han dan Ci Hwa.

Entah kenapa, setelah kembali dari istana hati Bhok Cun Ki merasa tidak tenang dan tidak enak, seolah sikap Kaisar itu ada kaitannya dengan kegiatan jaringan mata-mata. Timbul kekhawatirannya bahwa mungkin saja semua ini sengaja diatur oleh musuh, dan bukan tidak mungkin musuh mengirim pembunuh ke rumahnya!

Tentu saja dia tidak khawatir, karena di samping dia sendiri dan dua orang anaknya yang memiliki kepandaian cukup untuk membela diri, di sampingnya kini terdapat pula isterinya, Cu Sui In yang boleh diandalkan, bahkan lebih lihai darinya.

Pada malam berikutnya, lewat tengah malam, Ci Han bertugas melakukan perondaan di sekitar rumah keluarganya, menggantikan adiknya, Ci Hwa yang bertugas jaga sejak sore sampai tengah malam. Mereka hanya berjaga-jaga dan kadang meronda, kalau-kalau ada musuh yang menyusup masuk karena di luar pekarangan rumah mereka sudah terdapat pasukan penjaga yang siang malam menjaga keamanan rumah keluarga panglima itu.

Ketika Ci Han berkeliling sampai di taman keluarga yang berada di belakang rumah, tiba-tiba dia berhenti melangkah karena melihat bayangan orang berkelebat. Akan tetapi tidak terdengar suara apa pun, karena itu dia meragu, mengira bahwa mungkin itu permainan bayangan pohon yang digerakkan angin malam. Biar pun demikian, dia memasuki taman untuk memeriksa. Taman itu cukup terang karena di sana sini terdapat lampu gantung. Akan tetapi udaranya dingin bukan main.

Dengan tangan kanan pada gagang pedang yang tergantung di pinggang kirinya, Ci Han melangkah dengan hati-hati ke dalam taman bunga itu. Tiba-tiba dia terkejut karena dari balik rumpun bunga yang tebal muncul dua bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Di bawah cahaya lampu dia sempat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik.

Dia merasa sudah pernah mengenal wajah gadis cantik itu, namun sebelum dia sempat menegur, dua orang itu telah menyerangnya dengan gerakan yang sangat cepat. Ci Han mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja pedangnya tercabut, gadis itu telah berhasil menotok pundaknya sehingga dia pun terpelanting. Pemuda itu menyambar tubuhnya, lalu memanggul tubuhnya yang lemas tak berdaya.

"Kita bawa dia keluar. Cepat!" kata si gadis dan pemuda itu lalu meloncat, mengikuti gadis itu yang bergerak cepat dan ringan seperti burung terbang saja. Mereka adalah Ouwyang Kim dan suheng-nya, Maniyoko.

Seperti kita ketahui, Akim sudah termakan siasat yang dilakukan secara cerdik oleh para pemberontak yang menyamar sebagai prajurit anak buah Bhok Cun Ki, yang menawannya dan mengancam hendak memperkosanya lalu membunuhnya. Sudah diatur oleh mereka yang berhasil memperalat Maniyoko sehingga pemuda inilah yang menyelamatkan sumoi-nya.

Sesudah Akim marah dan mendendam kepada Bhok Cun Ki, Maniyoko kemudian beraksi membantunya, padahal keadaan ini memang sudah diatur agar Ouwyang Kim membunuh Bhok-ciangkun dengan bantuan Maniyoko. Kalau sampai usaha ini berhasil, tentu saja pihak musuh akan mendapatkan keuntungan karena Bhok Cun Ki merupakan lawan dan penghalang yang amat berbahaya. Andai kata terbalik, justru Ouwyang Kim dan Maniyoko yang tewas di tangan panglima yang lihai itu, maka pihak pemberontak juga untung karena tentu akan terjadi permusuhan antara Bhok-ciangkun dan Tung-hai-liong Ouwyang Cin!

Ci Han yang tak mampu bergerak lagi itu kemudian dilarikan ke dalam sebuah pondok di tengah hutan, di luar kota raja. Agaknya memang telah diatur sehingga dengan Maniyoko sebagai penunjuk jalan, mereka dapat lolos keluar dari kota raja dengan mudah. Mereka meloncati pagar tembok, dan seakan-akan sengaja dibiarkan saja oleh para penjaga, atau memang mereka itu tidak melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu.

Maniyoko melemparkan tubuh Ci Han ke atas sebuah dipan, lantas sekali dia menotok, Ci Han dapat bergerak kembali. Pemuda ini menggosok-gosok kedua lengannya yang terasa masih lemas, matanya mencorong memandang kepada kedua orang itu di bawah cahaya lampu yang cukup terang.

"Siapakah kalian dan mengapa pula kalian menawanku?" tanya Ci Han, sikapnya tenang dan gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

"Keparat, sudah menjadi tawanan masih bersikap sombong? Engkau perlu dihajar sedikit agar tidak bersikap angkuh!" kata Maniyoko dan dia pun menampar ke arah pipi Ci Han.

Ci Han yang kini telah terbebas dari totokan tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar begitu saja. Semenjak kecil dia sudah mempelajari ilmu dari ayahnya, maka dia pun cepat menangkis dengan pengerahan tenaganya.

"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ci Han terjengkang saking kuatnya lengan lawannya sehingga dia terkejut bukan main. Kiranya kedua orang penawannya itu lihai bukan main. Tadi pun demikian cepatnya gadis itu menotoknya roboh dan kini, sekali mengadu tenaga, dia pun terjengkang oleh pemuda itu.

"Suheng, hentikan itu!" tiba-tiba gadis itu berseru. Maniyoko yang sudah siap menghajar segera menarik kembali tangannya dan hanya berdiri bersungut-sungut.

"Sumoi, menghadapi bocah bangsawan sombong ini tidak perlu memberi hati!" Maniyoko mengomel. Akan tetapi dia tak bergerak lagi karena dia tidak berani menentang kehendak sumoi-nya.

Setelah Ci Han bangkit lagi dan berdiri tegak, meski pun terkejut namun dia sama sekali tidak takut, Ouwyang Kim menghampirinya dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh perhatian.

"Engkau tentu yang bernama. Bhok Ci Han, bukan?" tanyanya dengan sikap angkuh dan dingin.

"Benar, dan siapa engkau, nona? Apa pula artinya semua ini?"

"Hemm, aku menawanmu sehubungan dengan maksudku untuk membunuh Bhok Cun Ki."

Ci Han tidak merasa heran kalau ada orang-orang memusuhi ayahnya. Sebagai seorang panglima petugas keamanan yang sudah membasmi banyak sekali gerombolan penjahat, tentu saja ayahnya dimusuhi banyak orang kangouw. Akan tetapi kalau yang memusuhi adalah seorang gadis secantik ini dan suheng-nya yang juga gagah dan tampan, sungguh dia merasa amat heran.

"Nona, ayahku adalah seorang panglima pembasmi kejahatan, dia bukan orang jahat..." Dia memancing untuk mengetahui keadaan gadis itu.

"Sebagai anaknya tentu saja engkau mengatakan dia bukan orang jahat. Akan tetapi baru kemarin dulu dia telah menghinaku, mengutus orang untuk menangkap dan membunuhku! Kau bilang perbuatan itu tidak jahat? Aku harus membalasnya, maka aku menangkapmu untuk memaksa dia datang ke sini menyerahkan nyawanya kepadaku! Ayahmu seorang pengecut, mengirim banyak orang untuk mengeroyokku, menawanku, bahkan menyuruh orang-orang itu memperkosaku sebelum membunuhku!"

"Tidak mungkin! Tak mungkin ayah berbuat seperti itu! Kalau dia menangkap gerombolan penjahat, tentu akan diadili dulu. Sama sekali tidak mungkin dia menyuruh anak buahnya membunuh orang, apa lagi memperkosa wanita, aku tidak percaya!" Ci Han membantah keras karena merasa penasaran sekali.

"Huhh, ayahnya anjing, anaknya tentu anjing pula!" Maniyoko membentak.

"Tutup mulutmu yang kotor!" Ci Han balas membentak. "Kami adalah keluarga terhormat, orang-orang yang selalu setia kepada pemerintah, juga selalu menentang kejahatan, tidak mungkin kami sudi berbuat jahat. Ini tentu fitnah!"

"Bhok Ci Han, bagaimana pun engkau menyangkal, aku sendiri yang telah mengalaminya. Terserah engkau mau percaya atau tidak. Sekarang engkau harus menulis surat kepada ayahmu, minta supaya dia datang ke sini seorang diri. Kalau dia tidak mau datang, maka engkau akan kubunuh!"

"Aku tidak sudi!" bentak Ci Han dengan berani. "Nona, pikirkan baik-baik. Apa yang kau lakukan ini adalah suatu kejahatan! Engkau sudah ditipu orang, ayahku kena difitnah. Aku berani bertaruh dengan nyawaku bahwa bukan ayah yang menyuruh orang-orang untuk menawanmu."

"Mereka berpakaian seragam prajurit, mengaku disuruh ayahmu....”

"Bisa saja penjahat memalsukannya. Buktinya, di kota Cin-an para penyerbu yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo juga menyamar sebagai prajurit! Ingatlah, nona, sekali ini mungkin nona telah ditipu orang. Orang yang memiliki ilmu tinggi seperti nona sebaiknya berlaku waspada dan jangan sampai melakukan perbuatan jahat yang kelak hanya akan menimbulkan penyesalan dalam kehidupanmu."

"Sumoi, biar kuhajar mulut orang ini!" Maniyoko sudah bangkit berdiri dan menghampiri Ci Han yang masih berdiri tegak.

"Jangan, suheng!" Akim juga membentak suheng-nya...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 30

SIN WAN dan Kui Siang mengerti maksud Raja Muda Yung Lo dan setelah menyanggupi, mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Pada hari itu juga Raja Muda Yung Lo kembali pula ke Peking bersama pasukannya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

"Aku harus membuat perhitungan dengan Si Kedok Hitam si jahanam itu!" Tung-hai-liong Ouwyang Cin mengepal tinju. "Tidak saja dia ingin memperalat aku dengan menawanmu, tetapi dia juga kurang ajar sekali, menguasai orang-orang kangouw yang dahulu tunduk kepadaku. Kita harus menyelidiki dan menangkap dia!"

Datuk kaum bajak laut di timur ini marah bukan main karena hampir saja dia, muridnya, serta puterinya yang sudah tertawan Si Kedok Hitam, celaka di tangan pemimpin mata-mata Mongol itu.

"Akan tetapi, suhu. Bukankah mereka itu menjanjikan kedudukan raja muda kepada suhu kalau perjuangan mereka berhasil?" Maniyoko bertanya.

"Persetan! Belum apa-apa dia sudah ingin memaksa kita untuk melakukan pembunuhan terhadap dua orang pangeran, seolah kita ini anak buahnya saja. Lebih lagi, dia menawan Akim, itu bukan kerja-sama namanya. Siapa sih dia itu hendak memperalat aku?"

"Memang kita harus mencarinya dan menghajarnya, ayah," kata Akim marah. "Kalau saja tidak ada Sin Wan, tentu kita sudah celaka."

"Hemm, pemuda itu? Akim, bagaimana engkau bisa mengenal pemuda itu dan siapakah dia?"

"Namanya Sin Wan, ayah. Memang aku telah mengenal dia sebelumnya. Dia murid Sam-sian dan menjadi wakil gurunya dalam melaksanakan tugas dari Kaisar untuk memerangi jaringan mata-mata Mongol."

"Hemm, agaknya sumoi akrab sekali dengan pemuda itu!" Maniyoko berkata dengan nada suara dingin.

Sepasang mata yang indah itu mencorong. "Aku mau akrab dengan dia atau pun dengan siapa juga, apa sangkut pautnya denganmu?!" bentaknya.

Dibentak begitu, Maniyoko terdiam dan mukanya berubah merah. Diam-diam dia merasa marah dan cemburu sekali. Teringatlah dia betapa dahulu dia pernah menawan Lili, akan tetapi pemuda itu pula yang menentangnya, kemudian mengalahkan dia dan merampas Lili yang telah ditawannya. Sekarang agaknya pemuda itu akan merebut Akim darinya.

Mendengar ucapan puterinya itu, Tung-hai-liong lalu bertanya, "Akim, apakah engkau dan pemuda murid Sam-sian itu saling mencinta?"

"Bila aku dan dia saling mencinta, apakah ayah hendak melarang?” Akim balas bertanya, sikapnya menantang.

Tung-hai-liong tertawa. "Sebenarnya aku ingin melihat engkau menjadi isteri suheng-mu, akan tetapi kalau engkau dan murid Sam-sian itu saling mencinta, aku pun tidak merasa keberatan engkau menjadi jodohnya asalkan Sam-sian sendiri yang mengajukan pinangan kepadaku."

"Tidak, ayah! Aku tidak mau menjadi isteri suheng, juga aku tidak sudi menjadi isteri laki-laki semacam Sin Wan yang tidak mencintaku melainkan mencinta wanita lain. Aku benci! Aku benci dia!" Gadis itu lalu lari meninggalkan ayahnya dan suheng-nya.

Melihat muridnya seperti orang yang kecewa dan agaknya perasaannya sangat terpukul oleh sikap Akim, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menghiburnya. "Maniyoko, kau beruntung bahwa Akim tidak sudi menjadi jodoh Sin Wan, berarti dia masih bebas dan kelak dapat kubujuk untuk mau menjadi jodohmu. Sekarang biarkan dia bertualang. Kita harus pulang karena setelah anak itu pergi, di rumah tidak ada orang."

"Jika suhu mengijinkan, teecu (murid) ingin mencari sumoi untuk diam-diam membayangi dan melindunginya. Jaringan mata-mata Mongol itu sungguh berbahaya, teecu khawatir sumoi akan terjebak dan tertawan lagi. Kalau suhu hendak pulang lebih dahulu, silakan."

Kakek itu mengangguk. "Begitu pun baik. Aku tidak sudi menjadi hamba dari orang-orang Mongol."

Guru dan murid ini kemudian berpisah. Tung-hai-liong Ouwyang Cin kembali ke timur, ada pun Maniyoko mencari sumoi-nya yang tadi lari ke selatan, tentu menuju ke kota raja.

Biar pun dia berhasil menyusul sumoi-nya, Maniyoko tetap tidak mau memperlihatkan diri. Sumoi-nya sedang kesal hatinya dan dia mengenal benar watak sumoi-nya. Kalau sedang dalam keadaan seperti itu, sumoi-nya amat sukar didekati dan kalau dia memperlihatkan diri, besar kemungkinan sumoi-nya akan menjadi semakin kesal dan marah. Maka dia pun hanya membayangi saja dari jauh sampai akhirnya mereka tiba di luar pintu gerbang kota raja Nan-king.

Di Jalan raya itu dia melihat rombongan Pangeran Mahkota yang dikawal ketat memasuki kota raja. Juga nampak jelas Jenderal Yauw Ti dalam sebuah kereta yang mengiringkan di belakang, dikawal oleh pasukan berkuda.

Tiba-tiba seseorang yang mengenakan kedok biru menghampirinya. Maniyoko sudah siap siaga untuk menyerang orang itu, akan tetapi si kedok biru memberi isyarat kepadanya, lalu berkata singkat,

"Yang Mulia mengundang saudara Maniyoko untuk bertemu. Mari!"

Maniyoko tertarik. Dia teringat akan kunjungan utusan yang menyerahkan hadiah kepada gurunya dan utusan itu pun mengatakan bahwa pimpinan mereka hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dia masih kecewa akan penolakan gurunya untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol yang menjanjikan kedudukan mulia, karena itu kini dia ingin tahu apa yang akan dikatakan pimpinan mata-mata Mongol itu kepadanya. Dia mengikuti bayangan itu yang bergerak amat cepat memasuki hutan kecil di sebelah timur jalan.

Setelah tiba di tengah hutan barulah si kedok biru berhenti dan Maniyoko berhenti pula di belakangnya. Ternyata di situ sudah berdiri dua orang yang aneh dan juga menyeramkan. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan tampan, bertubuh tinggi tegap dengan muka yang merah sekali, seolah muka itu dilumuri darah. Pakaiannya dari sutera putih yang halus mengkilap dan di punggungnya tergantung sebatang golok gergaji.

Sedangkan yang ke dua adalah seorang wanita, sedikit lebih muda namun masih ramping dan cantik, hanya saja warna kulit mukanya nampak mengerikan karena pucat mirip muka mayat. Pakaian wanita ini juga terbuat dari sutera putih halus dan pada pinggangnya yang ramping melingkar seekor ular yang sebetulnya senjata sabuk terbuat dari ular yang telah mati.

Maniyoko tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang datuk sakti yang amat lihai, yaitu Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, sepasang iblis yang amat lihai dan kejam, yang kini sudah menjadi kaki tangan Si Kedok Hitam, membantu gerakan para mata-mata Mongol. Akan tetapi karena di situ dia tidak melihat adanya Si Kedok Hitam, dia menduga bahwa dua orang ini tentulah pembantu pimpinan mata-mata itu, maka dia tidak berani bersikap angkuh dan tetap waspada karena dia belum tahu apa maksud mereka mengundangnya, padahal belum lama ini dia bersama suhu-nya serta sumoi-nya menentang mereka, dan sudah bertempur dengan mereka di atas perahu.

"Apa maksudnya aku diundang ke sini?" tanya Maniyoko sambil menoleh kepada si kedok biru yang tadi mengajaknya ke tempat itu.

Ang-bin Moko tertawa. "Engkau murid Tung-hai-liong dan namamu Maniyoko? Ingin tahu kenapa kami mengundangmu atas nama Yang Mulia? Lihatlah di sana itu!" Dia menuding ke arah belakangnya.

Maniyoko mengangkat muka memandang, maka terkejutlah dia. Di sana, kira-kira seratus meter dari situ, tampak Ouwyang Kim berdiri terikat pada sebatang pohon. Melihat betapa kepala gadis itu terkulai, dia pun dapat menduga bahwa sumoi-nya tentu dalam keadaan pingsan atau tertotok lemas.

"Apa yang kalian lakukan kepada sumoi? Hayo cepat bebaskan sumoi!" katanya dan dia pun sudah mencabut pedang samurainya dari punggung, siap untuk menerjang mereka.

"Tenanglah, orang muda dan simpan kembali pedangmu. Sejak semula Yang Mulia sudah menawarkan kerja sama dengan Tung-hai-liong, namun kerja sama itu gagal karena dia keras kepala.”

"Tapi kalian sudah menawan sumoi di perahu itu, tentu saja kami menentang kalian! Dan sekarang, kalian kembali menawan sumoi!" kata Maniyoko marah.

Pria dan wanita yang aneh itu tertawa. "Hi-hik-hik, orang muda yang tampan. Kalau kami menawan puteri Tung-hai-liong, hal itu kami lakukan karena dialah yang menyerang kami. Akan tetapi kami masih ingat akan persahabatan, maka kami tidak membunuhnya. Lihat, sekarang kami menawan dia juga dengan maksud baik, agar dia merasa berhutang budi padamu sehingga engkau pun meningkat dalam pandangan sumoi-mu. Bukankah engkau menghendaki agar sumoi-mu itu kelak dapat membalas cintamu dan menjadi isterimu?"

Maniyoko terkejut. Ternyata wanita yang mukanya seperti mayat itu sudah mengetahui isi hatinya. Tentu mereka itu telah mengintai dan mendengar percakapan antara dia dengan gurunya. "Apa maksud kalian? Sebenarnya, mau apa kalian menawan sumoi?"

Pek-bin Moli mendekati pemuda itu lantas berbisik-bisik. Maniyoko mengangguk-angguk. Tak lama kemudian sepasang iblis itu memberi isyarat lalu muncullah enam orang laki-laki yang berpakaian seragam seperti prajurit kerajaan yang memang telah menerima perintah dari sepasang iblis itu.

Enam orang itu lalu menghampiri Akim yang terbelenggu pada pohon, ada pun sepasang iblis itu cepat menghilang di balik pohon-pohon. Maniyoko juga menyelinap di balik semak belukar kemudian mengintai.

Enam orang itu mengambil air lalu menyiram kepala dan muka Akim dengan air. Gadis itu akhirnya siuman, dan melihat betapa dia terbelenggu pada pohon serta ada enam orang prajurit kerajaan berdiri di hadapannya, dia pun berusaha meronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi enam orang itu sudah mencabut pedang dan menodongkan senjata mereka kepadanya.

"Aihh, jangan mencoba untuk melepaskan diri, nona, atau pedang kami akan melumatkan tubuhmu."

Akim berhenti dan memandang kepada mereka dengan mata mendelik penuh kemarahan. Ketika tadi dia berjalan hendak menuju ke pintu gerbang kota raja, dia mendengar suara orang memanggilnya dari hutan itu. Dia memasuki hutan, lalu diserang dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Dia melakukan perlawanan namun akhirnya dia roboh tertotok dan tidak sadar lagi, pingsan.

"Siapa kalian dan mau apa kalian menangkapku? Lepaskan aku!"

Seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab sembarí tertawa, "Ha-ha-ha-ha, engkau masih bertanya lagi? Lihat pakaian seragam kami. Kami adalah anak-anak buah Panglima Bhok Cun Ki. Kami mendapat tugas menangkapmu dan menghukummu karena engkau telah berani menggoda calon mantu Bhok-ciangkun."

"Menggoda calon mantu Bhok-ciangkun? Kalian gila! Aku tidak kenal dengan calon mantu Bhok-ciangkun!" Akim membentak marah. Walau pun dia sudah terbelenggu dan ditodong pedang dalam keadaan tidak berdaya, namun sedikit pun dia tidak memperlihatkan rasa takut. "Lepaskan aku!"

"Ha-ha-ha, Bhok-ciangkun telah mengijinkan kami untuk berbuat apa saja terhadap dirimu dan kami tak akan melepaskanmu begitu saja, manis! Jangan berpura-pura. Calon mantu Bhok-ciangkun bernama Sin Wan, apakah engkau hendak menyangkal lagi?"

Sepasang mata itu terbelalak. Sin Wan? Dia calon menantu Bhok Cun Ki? Tentu saja dia tidak bisa menyangkal bahwa dia mencinta Sin Wan walau kini cintanya berubah menjadi perasaan sedih dan marah karena pemuda itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi baru sekarang dia tahu bahwa Sin Wan adalah calon menantu Bhok Cun Ki. Dia teringat akan pembelaan pemuda itu terhadap keluarga Bhok.

"Nah, sekarang engkau tidak dapat menyangkal lagi, bukan? Itulah sebabnya maka kami disuruh menangkap dan membunuhmu. Akan tetapi kami akan mengajakmu bersenang-senang dahulu sebelum membunuhmu. Ha-ha-ha-ha!" Enam pasang tangan itu bergerak, agaknya hendak meraba tubuh Akim yang terbelenggu.

"Jahanam, jangan mengganggu sumoi!" terdengar bentakan nyaring dan Maniyoko datang menyerbu dengan pedang samurai di tangan.

Enam orang itu terkejut sekali, menggerakkan pedang untuk mengeroyok Maniyoko. Akan tetapi pemuda itu mengamuk dengan pedang samurainya sehingga para pengeroyoknya menjadi gentar semua, apa lagi setelah tiga orang dirobohkan oleh tendangan-tendangan Maniyoko dan yang tiga orang lainnya terpaksa melepaskan pedangnya yang patah-patah ketika bertemu pedang samurai. Mereka berenam lalu melarikan diri dan Maniyoko tidak mengejarnya, melainkan cepat menghampiri sumoi-nya lalu melepaskan tali pengikatnya.

Tentu saja Akim gembira bukan main. Baru saja dia terlepas dari pada ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri. "Terima kasih, suheng. Syukurlah engkau datang, kalau tidak...”

"Sudahlah, sumoi. Siapakah mereka itu dan bagaimana engkau sampai dapat tertawan oleh orang-orang itu?"

Akim memungut pedangnya yang oleh para penawannya dilemparkan ke atas tanah, lalu mengikatkan lagi pedangnya di punggung dan dia pun mengepal tinju. "Kalau hanya mereka yang mengeroyokku, tidak mungkin aku dapat mereka tawan. Akan tetapi yang mengeroyokku adalah dua orang kakek dan nenek yang lihai bukan main. Dan yang lebih menggemaskan lagi, mereka itu disuruh oleh Bhok Cun Ki untuk menangkap, menghina dan membunuhku. Keparat Bhok Cun Ki itu! Aku harus membuat perhitungan dengan dia!"

"Siapakah Bhok Cun Ki itu dan mengapa pula dia menyuruh anak buahnya menawanmu, sumoi?"

"Dia seorang panglima di kota raja. Sombongnya bukan main! Baru aku ketahui bahwa dia adalah calon mertua Sin Wan, dan dia menangkapku karena aku dianggap menggoda Sin Wan. Keparat! Siapa yang ingin merebut mantu orang? Aku harus membuat perhitungan, sekarang juga!"

"Tenanglah, sumoi. Memang penghinaan ini harus kita balas, tetapi mengingat dia adalah seorang panglima, maka kita harus berhati-hati dan menyerbu ke sana secara diam-diam, jangan sampai kita dikepung ratusan orang prajurit. Aku akan membantumu, Akim."

"Baik, terima kasih suheng. Dan bagaimana suheng dapat berada di sini? Di mana ayah?"

"Suhu telah pulang dan suhu yang mengutusku untuk menyusulmu agar dapat membantu dan menemanimu!” Dua orang kakak beradik seperguruan ini dengan hati penuh dendam lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota raja.

Tentu saja Maniyoko tidak menuturkan kepada sumoi-nya tentang pertemuannya dengan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, tidak menceritakan betapa dia kini sudah bergabung dan bekerja sama dengan anak buah Yang Mulia dan bahwa tugasnya yang pertama adalah membantu Akim untuk membunuh Panglima Bhok Cun Ki yang dianggap berbahaya dan musuh besar Yang Mulia!

********************

Bhok Cun Ki pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Panglima ini baru saja dipanggil oleh Sribaginda Kaisar dan di persidangan itu, di mana hadir pula Jenderal Shu Ta serta para menteri, Kaisar marah-marah sambil memaki-maki Bhok Cun Ki yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan sehingga jaringan mata-mata semakin mengganas. Bahkan hampir saja Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo dan Putera Mahkota terbunuh oleh serbuan anak buah jaringan mata-mata musuh. Berita yang sampai kepada Kaisar adalah bahwa berkat ketangkasan Jenderal Yauw Ti dan pasukannya, maka usaha pembunuhan itu dapat digagalkan!

"Bagaimana sih usahamu menghancurkan jaringan mata-mata di kota raja? Huhh, sampai kami tidak dapat tidur karena siapa lagi yang dapat kami percaya? Seolah-olah diri kami dikurung oleh mata-mata musuh, dan tidak tahu lagi siapa kawan siapa lawan!" demikian antara lain Sribaginda Kaisar Thai-cu yang kini selalu nampak gelisah itu memarahi Bhok Cun Ki. "Bhok-ciangkun, apa bila dalam waktu satu bulan engkau belum juga sanggup menghancurkan jaringan mata-mata di sini, kami mulai curiga jangan-jangan engkau telah diperalat pula oleh mereka. Sebulan engkau harus mampu menghancurkan mereka, atau kau akan kami anggap pemberontak dan pengkhianat, dan seluruh keluargamu akan kami suruh dijatuhi hukuman mati!"

Ucapan Kaisar ini terasa seperti kilat menyambar di hari panas, amat mengejutkan, akan tetapi juga bagaikan ujung pedang menusuk jantung. Selama puluhan tahun dia mengabdi dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan, sudah tak terhitung banyaknya jasa-jasa yang disumbangkan untuk negara dan sekarang dia menerima hadiah ancaman seberat itu dari Kaisar!

Memang dia tahu bahwa selama beberapa tahun ini sudah terjadi perubahan hebat pada diri Kaisar, sikap dan perangainya berubah sama sekali. Pejuang besar Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar itu, yang pada mulanya memerintah dengan bijaksana dan baik, akhir-akhir ini berubah menjadi pemarah, selalu curiga, tidak percaya lagi terhadap orang-orang yang tadinya setia kepadanya, juga kejam bukan main, begitu mudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang tadinya sangat dekat dengannya, yang tadinya sangat setia kepadanya.

Setelah tiba di rumah Bhok Cun Ki tidak menceritakan tentang ancaman Kaisar itu kepada keluarganya. Dia tahu bahwa terutama sekali Cu Sui In yang baru saja menjadi isterinya yang sah dan tinggal di rumahnya sebagai isteri terkasih, tentu akan merasa marah dan penasaran sekali kalau mendengar akan peristiwa di istana tadi.

Cu Sui In tentu akan marah dan mungkin melakukan hal-hal yang bahkan akan membuat Kaisar semakin curiga padanya. Oleh karena itu dia hanya menceritakan tentang peristiwa di luar kota Cin-an ketika Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota mengadakan pesta pertemuan, tentang penyerbuan mata-mata yang berhasil digagalkan.

"Sekarang kita tinggal menanti pulangnya Lili. Pasti dia membawa keterangan yang lebih lengkap mengenai peristiwa itu," kata Bhok Cun Ki. "Sebaiknya kalau mulai hari ini kalian berdua turut waspada dan berjaga-jaga, karena agaknya gerombolan mata-mata semakin nekat dan mengganas," pesannya kepada Ci Han dan Ci Hwa.

Entah kenapa, setelah kembali dari istana hati Bhok Cun Ki merasa tidak tenang dan tidak enak, seolah sikap Kaisar itu ada kaitannya dengan kegiatan jaringan mata-mata. Timbul kekhawatirannya bahwa mungkin saja semua ini sengaja diatur oleh musuh, dan bukan tidak mungkin musuh mengirim pembunuh ke rumahnya!

Tentu saja dia tidak khawatir, karena di samping dia sendiri dan dua orang anaknya yang memiliki kepandaian cukup untuk membela diri, di sampingnya kini terdapat pula isterinya, Cu Sui In yang boleh diandalkan, bahkan lebih lihai darinya.

Pada malam berikutnya, lewat tengah malam, Ci Han bertugas melakukan perondaan di sekitar rumah keluarganya, menggantikan adiknya, Ci Hwa yang bertugas jaga sejak sore sampai tengah malam. Mereka hanya berjaga-jaga dan kadang meronda, kalau-kalau ada musuh yang menyusup masuk karena di luar pekarangan rumah mereka sudah terdapat pasukan penjaga yang siang malam menjaga keamanan rumah keluarga panglima itu.

Ketika Ci Han berkeliling sampai di taman keluarga yang berada di belakang rumah, tiba-tiba dia berhenti melangkah karena melihat bayangan orang berkelebat. Akan tetapi tidak terdengar suara apa pun, karena itu dia meragu, mengira bahwa mungkin itu permainan bayangan pohon yang digerakkan angin malam. Biar pun demikian, dia memasuki taman untuk memeriksa. Taman itu cukup terang karena di sana sini terdapat lampu gantung. Akan tetapi udaranya dingin bukan main.

Dengan tangan kanan pada gagang pedang yang tergantung di pinggang kirinya, Ci Han melangkah dengan hati-hati ke dalam taman bunga itu. Tiba-tiba dia terkejut karena dari balik rumpun bunga yang tebal muncul dua bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Di bawah cahaya lampu dia sempat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik.

Dia merasa sudah pernah mengenal wajah gadis cantik itu, namun sebelum dia sempat menegur, dua orang itu telah menyerangnya dengan gerakan yang sangat cepat. Ci Han mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja pedangnya tercabut, gadis itu telah berhasil menotok pundaknya sehingga dia pun terpelanting. Pemuda itu menyambar tubuhnya, lalu memanggul tubuhnya yang lemas tak berdaya.

"Kita bawa dia keluar. Cepat!" kata si gadis dan pemuda itu lalu meloncat, mengikuti gadis itu yang bergerak cepat dan ringan seperti burung terbang saja. Mereka adalah Ouwyang Kim dan suheng-nya, Maniyoko.

Seperti kita ketahui, Akim sudah termakan siasat yang dilakukan secara cerdik oleh para pemberontak yang menyamar sebagai prajurit anak buah Bhok Cun Ki, yang menawannya dan mengancam hendak memperkosanya lalu membunuhnya. Sudah diatur oleh mereka yang berhasil memperalat Maniyoko sehingga pemuda inilah yang menyelamatkan sumoi-nya.

Sesudah Akim marah dan mendendam kepada Bhok Cun Ki, Maniyoko kemudian beraksi membantunya, padahal keadaan ini memang sudah diatur agar Ouwyang Kim membunuh Bhok-ciangkun dengan bantuan Maniyoko. Kalau sampai usaha ini berhasil, tentu saja pihak musuh akan mendapatkan keuntungan karena Bhok Cun Ki merupakan lawan dan penghalang yang amat berbahaya. Andai kata terbalik, justru Ouwyang Kim dan Maniyoko yang tewas di tangan panglima yang lihai itu, maka pihak pemberontak juga untung karena tentu akan terjadi permusuhan antara Bhok-ciangkun dan Tung-hai-liong Ouwyang Cin!

Ci Han yang tak mampu bergerak lagi itu kemudian dilarikan ke dalam sebuah pondok di tengah hutan, di luar kota raja. Agaknya memang telah diatur sehingga dengan Maniyoko sebagai penunjuk jalan, mereka dapat lolos keluar dari kota raja dengan mudah. Mereka meloncati pagar tembok, dan seakan-akan sengaja dibiarkan saja oleh para penjaga, atau memang mereka itu tidak melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu.

Maniyoko melemparkan tubuh Ci Han ke atas sebuah dipan, lantas sekali dia menotok, Ci Han dapat bergerak kembali. Pemuda ini menggosok-gosok kedua lengannya yang terasa masih lemas, matanya mencorong memandang kepada kedua orang itu di bawah cahaya lampu yang cukup terang.

"Siapakah kalian dan mengapa pula kalian menawanku?" tanya Ci Han, sikapnya tenang dan gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

"Keparat, sudah menjadi tawanan masih bersikap sombong? Engkau perlu dihajar sedikit agar tidak bersikap angkuh!" kata Maniyoko dan dia pun menampar ke arah pipi Ci Han.

Ci Han yang kini telah terbebas dari totokan tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar begitu saja. Semenjak kecil dia sudah mempelajari ilmu dari ayahnya, maka dia pun cepat menangkis dengan pengerahan tenaganya.

"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ci Han terjengkang saking kuatnya lengan lawannya sehingga dia terkejut bukan main. Kiranya kedua orang penawannya itu lihai bukan main. Tadi pun demikian cepatnya gadis itu menotoknya roboh dan kini, sekali mengadu tenaga, dia pun terjengkang oleh pemuda itu.

"Suheng, hentikan itu!" tiba-tiba gadis itu berseru. Maniyoko yang sudah siap menghajar segera menarik kembali tangannya dan hanya berdiri bersungut-sungut.

"Sumoi, menghadapi bocah bangsawan sombong ini tidak perlu memberi hati!" Maniyoko mengomel. Akan tetapi dia tak bergerak lagi karena dia tidak berani menentang kehendak sumoi-nya.

Setelah Ci Han bangkit lagi dan berdiri tegak, meski pun terkejut namun dia sama sekali tidak takut, Ouwyang Kim menghampirinya dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh perhatian.

"Engkau tentu yang bernama. Bhok Ci Han, bukan?" tanyanya dengan sikap angkuh dan dingin.

"Benar, dan siapa engkau, nona? Apa pula artinya semua ini?"

"Hemm, aku menawanmu sehubungan dengan maksudku untuk membunuh Bhok Cun Ki."

Ci Han tidak merasa heran kalau ada orang-orang memusuhi ayahnya. Sebagai seorang panglima petugas keamanan yang sudah membasmi banyak sekali gerombolan penjahat, tentu saja ayahnya dimusuhi banyak orang kangouw. Akan tetapi kalau yang memusuhi adalah seorang gadis secantik ini dan suheng-nya yang juga gagah dan tampan, sungguh dia merasa amat heran.

"Nona, ayahku adalah seorang panglima pembasmi kejahatan, dia bukan orang jahat..." Dia memancing untuk mengetahui keadaan gadis itu.

"Sebagai anaknya tentu saja engkau mengatakan dia bukan orang jahat. Akan tetapi baru kemarin dulu dia telah menghinaku, mengutus orang untuk menangkap dan membunuhku! Kau bilang perbuatan itu tidak jahat? Aku harus membalasnya, maka aku menangkapmu untuk memaksa dia datang ke sini menyerahkan nyawanya kepadaku! Ayahmu seorang pengecut, mengirim banyak orang untuk mengeroyokku, menawanku, bahkan menyuruh orang-orang itu memperkosaku sebelum membunuhku!"

"Tidak mungkin! Tak mungkin ayah berbuat seperti itu! Kalau dia menangkap gerombolan penjahat, tentu akan diadili dulu. Sama sekali tidak mungkin dia menyuruh anak buahnya membunuh orang, apa lagi memperkosa wanita, aku tidak percaya!" Ci Han membantah keras karena merasa penasaran sekali.

"Huhh, ayahnya anjing, anaknya tentu anjing pula!" Maniyoko membentak.

"Tutup mulutmu yang kotor!" Ci Han balas membentak. "Kami adalah keluarga terhormat, orang-orang yang selalu setia kepada pemerintah, juga selalu menentang kejahatan, tidak mungkin kami sudi berbuat jahat. Ini tentu fitnah!"

"Bhok Ci Han, bagaimana pun engkau menyangkal, aku sendiri yang telah mengalaminya. Terserah engkau mau percaya atau tidak. Sekarang engkau harus menulis surat kepada ayahmu, minta supaya dia datang ke sini seorang diri. Kalau dia tidak mau datang, maka engkau akan kubunuh!"

"Aku tidak sudi!" bentak Ci Han dengan berani. "Nona, pikirkan baik-baik. Apa yang kau lakukan ini adalah suatu kejahatan! Engkau sudah ditipu orang, ayahku kena difitnah. Aku berani bertaruh dengan nyawaku bahwa bukan ayah yang menyuruh orang-orang untuk menawanmu."

"Mereka berpakaian seragam prajurit, mengaku disuruh ayahmu....”

"Bisa saja penjahat memalsukannya. Buktinya, di kota Cin-an para penyerbu yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo juga menyamar sebagai prajurit! Ingatlah, nona, sekali ini mungkin nona telah ditipu orang. Orang yang memiliki ilmu tinggi seperti nona sebaiknya berlaku waspada dan jangan sampai melakukan perbuatan jahat yang kelak hanya akan menimbulkan penyesalan dalam kehidupanmu."

"Sumoi, biar kuhajar mulut orang ini!" Maniyoko sudah bangkit berdiri dan menghampiri Ci Han yang masih berdiri tegak.

"Jangan, suheng!" Akim juga membentak suheng-nya...