Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MENDENGAR ucapan Sin Wan, Ci Hwa berseru kaget, "Aihh, Wan-twako, mengapa harus dengan pedang? Bagaimana kalau kalian saling melukai?"

Mendengar ini, Bhok-ciangkun mencela puterinya. "Ci Hwa, masih belum tahukah engkau kalau orang yang ilmu pedangnya telah setinggi tingkat Sin Wan, tak mungkin pedangnya dapat melukai orang tanpa dikehendakinya? Pedang sudah merupakan bagian ujung dari tangannya, begitulah!"

Ci Han dan Ci Hwa tentu saja mengerti akan hal itu, namun karena tingkat mereka belum setinggi itu dan belum sempurna benar menguasai pedang, maka mereka memandang kagum.

"Baiklah, Sin Wan. Mari kita main-main sebentar dengan pedang." Panglima itu kemudian mencabut pedang yang tergantung pada pinggangnya. Akan tetapi Sin Wan agak meragu, lalu dengan perlahan dia mencabut pedangnya.

"Ihh! Mengapa pedangmu buruk amat, twako?" kembali Ci Hwa berseru. Gadis lincah ini begitu terbuka dan terus terang, ini membuktikan bahwa dia memang sudah akrab benar dengan Sin Wan sehingga tidak lagi merasa sungkan.

Kembali Bhok Cun Ki yang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, engkau seperti seekor anak burung yang baru belajar terbang, belum mengenal dunia luas, Ci Hwa. Lihat baik-baik. Yang dipegang Sin Wan itu adalah sebuah di antara pedang-pedang pusaka paling ampuh di dunia ini. Itulah Pedang Tumpul yang dahulu menjadi pusaka istana!"

"Wahhh...!" Ci Han dan Ci Hwa terbelalak kagum. Mereka telah mendengar akan pedang pusaka itu yang oleh kaisar dihadiahkan kepada Sam-sian bersama beberapa benda lain.

Sin Wan lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang itu telah lenyap, menyusup kembali ke dalam sarung pedang. "Ehhh? Mengapa pedangmu kau simpan kembali, Sin Wan?"

“Paman, aku tidak ingin kalau sampai pedangmu rusak oleh pedangku, maka sebaiknya kalau kita menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk latihan saja."

Dan tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke arah rak senjata. Demikian cepat gerakannya dan tahu-tahu dia sudah kembali ke tempat tadi, di depan panglima itu sambil membawa dua batang pedang yang biasa dipakai latihan.

Melihat gerakan secepat itu, Bhok Cun Ki dan kedua orang anaknya menjadi kagum, dan panglima itu merasa gembira. Ketika mendengar bahwa Sin Wan adalah murid Sam-sian dan telah memperoleh kepercayaan seorang sakti seperti Ciu-sian untuk mewakilinya, dia sudah percaya bahwa tentu pemuda itu telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi. Tetapi dia ingin membuktikan sendiri agar yakin bahwa pembantunya ini dapat dipercaya dan diandalkan.

"Bagus, usulmu itu baik sekali, Sin Wan!" katanya sambil dia menerima sebatang pedang dari pemuda itu.

Kini mereka sudah saling berhadapan dengan pedang di tangan. Karena maklum bahwa sebagai seorang pendekar Butong tentu panglima itu lihai sekali ilmu pedangnya, Sin Wan segera memasang kuda-kuda dari ilmu pedang yang dia pelajari dari mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang), yaitu Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari). Sebaliknya, Bhok-ciangkun memasang kuda-kuda ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah gerakannya namun amat tangguh itu.

"Silakan, paman," kata Sin Wan yang tidak berani bergerak lebih dahulu.

"Ha-ha, engkau terlalu sungkan, Sin Wan. Nah, aku akan memulai, bersiaplah engkau!" Setelah berkata demikian, panglima itu lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang di tangannya sudah bergerak dengan setengah lingkaran, lalu menusuk ke arah dada Sin Wan.

Dengan gerakan tenang Sin Wan mengelak, kemudian balas menyerang. Lawannya juga meloncat dan membalas. Terjadi serangan balas membalas dan keduanya mengandalkan kegesitan tubuh untuk mengelak. Makin lama semakin cepat gerakan mereka.

Pedang di tangan Sin Wan yang menjadi sinar bergulung-gulung itu sangat menyilaukan mata, sesuai dengan nama ilmunya. Namun lawannya juga tidak kalah cepat gerakannya, pedang di tangan panglima itu pun menjadi sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan.

"Tranggg...!” Bunga api berpijar ketika untuk pertama kalinya kedua pedang itu bertemu di udara.

Dua orang itu merasa betapa telapak tangan mereka tergetar. Ternyata dalam hal tenaga mereka pun berimbang. Kini kedua pedang itu saling sambar dan kadang bertemu sambil mengeluarkan bunga api. Dua gulungan sinar pedang saling belit laksana dua ekor naga berlaga di angkasa.

Sesudah lewat tiga puluh jurus, Sin Wan teringat akan maksudnya mengajak bertanding pedang. Tiba-tiba saja dia mengubah gerakannya dan kini dia sering bermain silat pedang dengan tubuh direndahkan. Cahaya pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, kadang kala tubuhnya bergulingan di atas lantai dan sinar pedang mencuat dari bawah.

Nampak betapa Bhok-ciangkun amat terkejut dan agak kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh itu. Setelah beberapa jurus lamanya Sin Wan mendesak, sambil menyapu kedua kaki lawan dengan pedangnya sehingga Bhok-ciangkun terpaksa berlompatan, Sin Wan berkata halus,

"Lawan ular yang paling tangguh adalah burung!"

Seketika teringatlah Bhok-ciangkun dan dia pun tahu mengapa pemuda itu kini mengubah ilmu pedangnya walau pun tadi pemuda itu tidak terdesak. Mendengar kata ‘ular’ ingatlah Bhok-ciangkun bahwa sore nanti dia harus bertanding melawan gadis yang datang dari Bukit Ular. Maka dia pun langsung mengubah ilmu pedangnya dan sekarang gerakannya menggunakan banyak loncatan sambil pedangnya menyambar-nyambar dari atas seperti seekor burung yang menandingi seekor ular!

Setelah lewat dua puluh jurus, Sin Wan mengubah lagi ilmu pedangnya dan kini kembali menggunakan Jit-kong Kiam-sut seperti tadi. Dan Bhok-ciangkun sudah cukup puas. Dia tadi sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, tapi semua serangannya dapat dipatahkan oleh Sin Wan. Dia tidak tahu apakah pemuda itu dapat mengalahkannya, namun yang jelas baginya, untuk dapat mengalahkan pemuda itu, agaknya akan merupakan hal yang sangat sukar baginya. Dan ini sudah memuaskan hatinya. Maka dia pun meloncat agak jauh ke belakang.

"Cukuplah, Sin Wan," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku baru tahu benar betapa lihainya murid dari Sam-sian!"

"Paman, ilmu pedang paman juga hebat dan indah, aku mengaku kalah," kata Sin Wan. Dengan sopan dia lalu menghampiri panglima itu, menerima pedang dan mengembalikan kedua pedang itu di rak senjata.

"Sin Wan, terima kasih atas petunjukmu tadi," kata Bhok Cun Ki.

Kedua orang anaknya tidak mengerti apa yang telah terjadi, akan tetapi Sin Wan hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Setelah mendengar keterangan Bhok Cun Ki tentang tanda-tanda rahasia untuk mengenal anak buah panglima itu yang disebar sebagai penyelidik di kota raja, Sin Wan lalu pergi ke kamarnya untuk membuat persiapan. Dia akan memulai tugasnya hari itu juga, melakukan penyelidikan di kota raja dalam usahanya membantu Bhok-ciangkun untuk memberantas jaringan mata-mata Mongol.

Ketika dia hendak meninggalkan kamarnya setelah bertukar pakaian yang tadi basah oleh keringat, dia bertemu dengan Ci Han dan Ci Hwa di ruangan depan kamarnya. Agaknya kakak dan adik itu sengaja mencarinya. Sin Wan pun menyambut mereka, kemudian tiga orang muda itu duduk di ruangan itu.

“Twako, ajaklah aku melakukan penyelidikan supaya menambah luas pengetahuanku!” Ci Han membujuk.

Sin Wan tersenyum. "Bagaimana mungkin, Han-te (adik Han). Aku harus bekerja sebagai seorang penyelidik, dan dalam hal ini aku beruntung karena di kota raja tidak ada orang yang mengenalku. Ini akan memudahkan pekerjaanku, karena aku bisa bergerak dengan leluasa, melakukan pengamatan terhadap siapa saja yang hendak kuamati. Tetapi engkau adalah seorang pemuda yang sangat dikenal oleh semua orang di kota raja. Orang-orang yang kita curigai, siang-siang tentu sudah berjaga diri dan bersikap hati-hati begitu melihat engkau muncul. Maaf, aku terpaksa tidak dapat membawamu serta, Han-te."

"Aku pun tadinya ingin ikut untuk menambah pengalaman, twako. Akan tetapi mendengar alasanmu tadi, kini aku mengerti bahwa pekerjaanmu harus dilakukan secara rahasia, dan kami berdua tak mungkin menyembunyikan keadaan diri kami. Ehh, Han-koko, kalau tidak mungkin kita bekerja sama dengan kakak Sin Wan, sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja membantu ayah. Aku akan pergi seperti sedang berpesiar atau berjalan-jalan, akan tetapi mulai sekarang aku akan waspada. Siapa tahu aku akan dapat menangkap seorang mata-mata Mongol."

"Hwa-moi, engkau jangan main-main. Ini bukanlah pekerjaan ringan. Menurut ayah, kalau orang Mongol mengirim mata-mata, sudah pasti dia lihai sekali!"

"Aku tidak takut! Kita di kota raja, takut apa? Semua orang akan membantuku!"

Kakak beradik itu lalu meninggalkan Sin Wan, namun tak lama kemudian Ci Hwa muncul lagi, dan kini sendirian saja. "Wan-twako, ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu berdua saja."

"Ehh? Apakah itu, Hwa-moi? Duduklah dan ceritakanlah yang hendak kau bicarakan itu," jawab Sin Wan dan kembali mereka duduk di tempat tadi.

"Twako, aku khawatir sekali terhadap keselamatan ayah kalau dia pergi bertanding sore nanti."

"Jangan khawatir, ayahmu seorang yang berkepandaian tinggi. Siapa pun takkan mudah mengalahkannya." Sin Wan menghibur dengan sungguh-sungguh dan sejujurnya karena dia maklum bahwa betapa pun lihainya, Lili tidak akan mudah mengalahkan panglima itu.

"Akan tetapi aku tetap khawatir sekali, twako. Gadis siluman itu lihai bukan main. Melihat engkau tadi mengadu kepandaian dengan ayah, aku merasa yakin bahwa hanya engkau yang akan mampu mengalahkannya. Wan-twako, maukah engkau menolongku?"

"Menolongmu? Tentu saja aku mau, Hwa-moi," kata Sin Wan sambil menatap wajah yang manis itu.

"Kalau begitu, kau lindungilah ayahku!"

Sin Wan mengerutkan kedua alisnya, "Ayahmu telah menekankan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan itu, Hwa-moi?”

"Aku tidak minta engkau mencampuri urusan itu, twako. Aku hanya minta supaya engkau mau melindunginya secara diam-diam. Jika sampai ayah terancam bahaya maut, engkau dapat melindunginya. Maukah engkau berjanji, twako? Aku... aku… akan berterima kasih sekali padamu," Gadis itu menyentuh tangan Sin Wan, lalu menggenggam tangan itu dan mengguncangnya, pandang matanya penuh harapan, penuh permohonan.

Sin Wan tidak tega untuk menolaknya. Dan memang di lubuk hatinya dia sedang mencari jalan bagaimana caranya agar dapat melindungi panglima itu dari ancaman maut tangan Lili, maka dia pun mengangguk, "Baiklah, akan kuusahakan, Hwa-moi."

Tangan yang kecil itu menggenggam jari-jari tangan Sin Wan, kemudian melepaskannya. "Twako, terima kasih! Terima kasih, dan aku yakin bahwa percayaanku kepadamu tidak akan sia-sia. Aku sendiri tidak akan duduk diam. Aku akan pergi keluar, dan kalau Han-koko mencari mata-mata Mongol, aku akan mencari gadis siluman itu. Kalau dia berada di kota, aku akan menyerangnya dan memanggil pasukan penjaga untuk membantuku!"

"Jangan, Hwa-moi. Itu berbahaya sekali!”

"Aku tidak takut!"

"Tapi ayahmu telah melarangmu...”

"Melarang aku mencampuri urusannya? Tentu saja aku tak akan melanggar larangannya. Akan tetapi dia tidak melarang aku membalas kekalahanku dari gadis siluman itu!" Ci Hwa lalu meninggalkan ruangan itu.

Sin Wan termangu dalam lamunan. Benar-benar berbahaya, pikirnya. Orang semacam Lili dapat melakukan apa saja. Dia harus melindungi Ci Hwa lebih dahulu sebelum melindungi ayahnya. Dan dia pun segera keluar.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Putera Mahkota atau Pangeran Chu Hui San sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat baik dari ayahnya, yaitu Kaisar Thai-cu yang dahulu bernama Chu Goan Ciang. Kalau ayahnya seorang pejuang yang gigih, lalu mendirikan kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisar yang bijaksana, sebaliknya pangeran yang merupakan putera mahkota yang sulung itu sejak mudanya adalah seorang yang lemah dan kurang bersemangat.

Pangeran Chu Hui San seperti mabok kemuliaan dan yang disukai hanyalah bersenang-senang saja. Biar pun dia sudah beristeri dan memiliki belasan orang selir, masih saja dia haus akan kecantikan wanita.

Puteranya yang baru berusia enam tahun lebih itulah yang agaknya mewarisi kecerdikan dan semangat kakeknya. Puteranya bernama Chu Hong dan karena semangatnya inilah maka Pangeran kecil Chu Hong menjadi kesayangan kakeknya. Bahkan kakeknya, Kaisar Thai-cu sendiri yang sering mendidik Chu Hong, menanamkan jiwa kepahlawanan melalui dongeng-dongeng. Tidak jarang kaisar ini membiarkan cucunya tercinta itu tidur di dalam kamarnya!

Biar pun usianya sudah empat puluh tahun, Pangeran Mahkota Chu Hui San masih suka berlagak seperti seorang pemuda remaja saja. Pakaiannya selalu mewah dan dia sering kali meloloskan diri dari istana, tidak mau dikawal sehingga dia dapat melancong dengan bebas seperti halnya para kongcu (tuan muda) bangsawan. Tentu saja dia pun banyak bergaul dengan para kongcu bangsawan lainnya yang memiliki kebiasaan dan kesukaan seperti dia, yaitu menghambur-hamburkan uang dan beroyal-royalan sepuas hati.

Pada suatu hari, pagi-pagi pangeran Chu Hui San sudah berada di beranda loteng rumah pelesir Seruni, yaitu sebuah rumah pelesir yang terbesar di kota raja. Tentu saja pengurus rumah pelesir Seruni dan semua penghuninya, para gadis penghibur, menyambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan pada waktu pangeran mahkota bersama dua orang temannya, yakni dua orang kongcu bangsawan lain, muncul dan mereka seolah berebut menawarkan diri untuk menghibur tiga orang tamu itu terutama sang pangeran.

Siapa tahu pangeran mahkota terpikat olehku kemudian membawaku ke istana menjadi selirnya, dan apa bila kelak sang pangeran menjadi kaisar berarti dia akan menjadi selir kaisar! Demikian diharapkan oleh setiap orang gadis penghibur itu.

Akan tetapi sekali ini Pangeran Chu Hui San dan kedua orang kawannya agaknya sudah merasa jemu dengan mereka. Mereka bertiga hanya minta disediakan sarapan pagi yang mewah, dan setelah makan pagi mereka bertiga duduk di beranda loteng dan melihat-lihat mereka yang berlalu lalang di atas jalan raya di bawah depan loteng.

Pagi itu seperti biasa banyak wanita tua muda berlalu lalang di jalan raya, untuk pergi ke pasar dan pulangnya para wanita itu melewati jalan itu sebab pasar terletak dekat dengan rumah pelesir itu. Dan tiga orang lelaki bangsawan ini menjadi iseng. Mereka melempar-lemparkan kwaci dan kacang ke bawah setiap kali ada gadis atau wanita muda lewat di bawah sana. Wanita yang terkena lemparan kwaci atau kacang, kalau hendak marah pun tidak jadi, bahkan tersenyum malu dan bangga ketika mereka melihat siapa laki-laki yang mengganggunya itu. Wanita mana yang tak akan merasa senang diganggu oleh Pangeran Mahkota?

Dari jauh nampak seorang wanita muda melangkah gontai di atas jalan raya. Dia seorang wanita muda, usianya sekitar dua puluh tahun dan bentuk tubuhnya yang ramping sangat menggiurkan dan menggairahkan. Langkahnya dan lenggangnya amat memikat, dengan tubuh lentur lemas dan berlekuk lengkung sempurna.

Pada waktu itu musim panas sudah tiba dan karena hawa udara panas, para wanitanya mengenakan pakaian yang lebih tipis dan longgar hingga keindahan bentuk tubuh mereka lebih dapat dikagumi dari pada kalau mereka mengenakan pakaian tebal di musim dingin. Wanita muda ini membawa keranjang gantung yang kosong sehingga mudah dimengerti bahwa dia tentu sedang menuju ke pasar untuk berbelanja. Bajunya yang biru muda itu nampak baru.

Pangeran Chu Hui San memandang kepada wanita itu lantas berkata kepada dua orang temannya. "Tunggu! Yang baju biru muda itu untukku, biar aku yang menembaknya!"

Istilah menembak itu mereka gunakan untuk menyambitkan kwaci dan kacang ke bawah. Dua orang temannya adalah pemuda pemuda bangsawan yang selalu ingin memperoleh kesan baik dengan menjilat, maka mendengar permintaan ltu, segera mereka mentaati dan hanya menjadi penonton. Putera Mahkota itu mempersiapkan kacang yang besar dan ketika wanita itu berlenggang di bawah loteng, dia membidik dan menyambitkan kacang itu ke bawah.

"Tukk!" Kacang itu tepat mengenai kepala wanita itu. Memang tidak mendatangkan rasa sakit, akan tetapi cukup mengagetkan dan wanita itu cepat mengangkat muka memandang ke atas. Dilihatnya tiga orang pria berpakaian mewah tertawa-tawa.

Akan tetapi Pangeran Chu Hui San terpesona. Ketika wanita itu memandang ke atas, dia melihat sebuah wajah yang cantik manis, dan tidak seperti wanita lain yang begitu melihat siapa penyambitnya lalu melempar senyum dan kerling memikat, wanita itu justru berani cemberut, mengerling marah lalu membuang muka! Akan tetapi semua tarikan muka yang lain dari pada yang lain itu, yang tidak bermanis-manis dan tidak menjual murah, bahkan nampak demikian memikat bagi Pangeran Chu Hui San.

"Cui-ma, cepat kejarlah perempuan itu. Aku menginginkannya, sekarang juga!” kata sang putera mahkota yang sejak kecil sudah terbiasa segala kehendaknya selalu terpenuhi.

Mendengar perintah ini, nyonya kurus yang berada di belakang mereka lalu terbongkok-bongkok melayaninya kemudian bergegas turun dari loteng. Dari atas beranda loteng itu, Pangeran Chu Hui San dan dua orang temannya dapat melihat betapa mucikari itu berlari keluar diikuti dua orang laki-laki berewok tinggi besar dan mereka bertiga cepat mengejar wanita muda yang jalannya belum jauh itu.

Mereka melihat betapa mucikari itu bersama dua orang jagoannya telah dapat menyusul. Wanita muda itu nampak menolak, menggeleng kepala dan kelihatan marah-marah, tidak dapat dibujuk oleh mucikari itu dengan omongan manis. Sang mucikari sendiri, bibi Cui atau dipanggil Cui-ma, merasa heran bukan kepalang melihat ada seorang wanita muda berani menolak ajakan putera mahkota! Tidak peduli dia telah menikah atau belum, rakyat jelata atau bangsawan, belum pernah ada wanita yang menolak ajakan yang seolah-olah merupakan bulan jatuh ke pangkuan itu.

Karena wanita muda itu menolak, dua orang tukang pukul sudah menangkap dua lengan wanita itu dan tanpa kesulitan kedua orang jagoan yang kuat itu memaksa dan menarik wanita muda itu ikut ke dalam rumah pelesir. Tak seorang pun yang berani melerai ketika melihat ada seorang wanita muda dipaksa masuk ke rumah itu oleh seorang wanita tua dan dua orang jagoannya.

Cui-ma memang disegani, bukan hanya karena dia mempunyai tukang pukul, melainkan terutama sekali karena di belakang mucikari ini berdiri bangsawan-bangsawan tinggi yang merupakan langganannya sehingga dia bisa mendapatkan pembelaan dari kalangan atas. Petugas rendahan biasa saja, mana ada yang berani menentangnya? Bahkan mungkin akan berhadapan dengan atasannya sendiri nanti!

Pangeran Chu Hui San sedang duduk menanti seorang diri di dalam kamar yang mewah ketika wanita muda itu masih bersama keranjangnya didorong masuk dari luar dan daun pintu segera ditutup kembali dari luar. Bagai seekor anak kelinci yang dilempar ke dalam kerangkeng harimau, wanita itu berdiri menggigil sambil menangis, tidak berani berkutik, hanya bersandar pada dinding memeluk keranjangnya.

"Ampun... ampunkan aku... lepaskan aku... aku sudah bersuami, suamiku amat keras dan galak sekali..." ia meratap ketakutan tanpa berani mengangkat mukanya yang menunduk.

Akan tetapi, alasan bahwa wanita itu sudah bersuami tidak meredakan gelora gairah sang pangeran. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat sikap wanita itu. Kenapa dia begitu berani dan sama sekali tidak menghormatinya?

"Nyonya muda yang manis, pandanglah aku. Apakah engkau tidak tahu, siapa aku?” Dia memerintah.

Dengan ketakutan wanita itu mengangkat muka memandang, tetapi dia sama sekali tidak nampak terkejut, bahkan dia menggeleng kepalanya, "Aku tidak mengenal engkau siapa, akan tetapi mohon kau lepaskan aku, jangan ganggu aku...”

"Hemm, aku adalah pangeran, putera mahkota, tahu?"

Wanita itu kembali memandang dengan kedua mata terbelalak, lalu keranjangnya jatuh mengelinding dan dia pun menjatuhkan diri berlutut menyernbah-nyembah. “Ahh... ampun hamba... hamba tidak tahu, hamba baru sebulan berada di kota raja, hamba dari dusun, setelah menikah baru di sini... mohon paduka suka mengampuni hamba dan membiarkan hamba pergi...”

Pangeran itu semakin heran. "Aku suka padamu, manis. Kesinilah dan jangan takut. Aku akan memberi hadiah besar kepadamu.“

"Tidak... tidak... mohon paduka mengampuni hamba... hamba baru satu bulan menikah, hamba tidak berani, suami hamba galak..."

"Aihh, pengantin baru, ya? Heh-heh, aku suka pengantin baru. Tentang suamimu, jangan takut. Dia tak akan berani memarahimu kalau tahu bahwa pangeran putera mahkota yang mengajakmu. Kesinilah!"

Pangeran Chu Hui San semakin bergairah karena selama ini belum pernah dia bertemu dengan wanita yang tidak segera lari ke dalam pelukannya. Malah dia yang kini turun dari pembaringan dan menghampiri wanita yang menggigil ketakutan itu. Akan tetapi baru saja dia memegang lengan wanita itu untuk ditariknya, dia mendengar suara gedebukan di luar kamar, suara orang berkelahi.

Dia terkejut dan heran, kemudian dia membuka daun pintu untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata dua orang tukang pukul berewokan itu sedang mengeroyok seorang lelaki muka bopeng yang juga tinggi besar. Akan tetapi laki-laki bopeng itu lihai sekali, dan ketika sang pangeran membuka daun pintu, tepat dia melihat betapa kedua orang tukang pukul itu sedang dihantam roboh!

"Cang-ko (kakak Cang),...!" Wanita cantik yang berada di dalam kamar Pangeran Chu Hui San menjerit ketika dia melihat laki-laki bopeng itu.

“Kim-moi (adik Kim)!" Laki-laki itu berteriak lalu dia pun cepat menerjang masuk ke dalam kamar. "Aku tahu engkau berada di sini!” bentaknya, dan dengan mata melotot dia pun memandang kepada isterinya, lalu kepada sang pangeran. Ketika dia memandang kepada pangeran itu, Pangeran Chu Hui San berkata dengan sikap gagah dan marah.

"Orang kasar, butakah matamu? Aku adalah Pangeran Chu Hui San! Hayo cepat engkau pergi dari sini atau akan kusuruh orang menangkap dan menghukum siksa sampai mati!"

Akan tetapi si muka bopeng itu menyeringai, "Aku tahu engkau pangeran putera mahkota yang mata keranjang itu. Engkau berani menghina isteriku! Biar aku akan dihukum mati, akan tetapi sekarang engkau yang akan kusiksa sampai mati lebih dulu!"

Si muka bopeng menghampiri sang pangeran dengan langkah lambat tapi sikapnya amat menyeramkan. Pangeran yang satu ini memang berwatak lemah. Melihat gertakannya tak berhasil, dia pun melangkah mundur dan mukanya mulai membayangkan ketakutan.

"Jangan... maafkan aku dan engkau akan kuganjar hadiah yang besar...”

"Tidak ada hadiah besar dari pada membunuh orang yang telah berani menghina isteriku tercinta!" bentak orang itu dengan geram dan dia sudah siap untuk menubruk.

Tiba-tiba seseorang muncul di ambang pintu kamar itu. Akan tetapi kemunculannya tidak membesarkan harapan sang pangeran, karena dia hanyalah seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang berpakaian seperti seorang sastrawan muda, mungkin sastrawan kaya karena pakaiannya nampak mewah. Apa artinya seorang sastrawan lemah terhadap si muka bopeng yang tangguh ini? Dua orang jagoan tukang pukul di rumah pelesir itu pun sudah dia pukul roboh.

"Muka bopeng, jangan kurang ajar kau!" sastrawan itu membentak dan biar pun suaranya lembut tetapi mengandung getaran berwibawa sehingga tiba-tiba si bopeng menghentikan langkahnya lantas memutar tubuh menghadapi sastrawan itu, nampaknya terkejut. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menegur dan mencelanya hanya seorang sastrawan yang terlihat lemah, dia menjadi semakin berang. Dengan langkah lebar dia menghampiri sastrawan itu dengan sikap mengancam.

"Jahanam, siapakah engkau yang berani mencampuri urusanku?" Dia mengepal tinju dan siap menerjang.

"Engkaulah yang jahanam! Alangkah beraninya engkau mengancam yang mulia pangeran putera mahkota yang sepatutnya kau sembah. Hayo cepat berlutut minta ampun!"

Akan tetapi si muka bopeng menjawabnya dengan gerengan kemudian dia pun menerjang dengan ganas ke arah sastrawan itu. Pangeran Chui Hui San menyangka penolongnya itu tentu roboh dengan sekali pukul dan dia sudah siap untuk melarikan diri. Akan tetapi dia terbelalak.

Pada saat si muka bopeng yang tinggi besar itu menerjang, sastrawan itu mengelebatkan kipas yang berada di tangannya dan entah bagaimana, tiba-tiba saja si muka bopeng itu yang terpelanting ke atas lantai!

Dia merangkak bangun, meloncat lantas menerjang lagi, akan tetapi disambut tendangan yang mengenai dadanya hingga membuat dia terjengkang dan terbanting keras. Si muka bopeng terengah-engah dan sepasang matanya terbelalak ketakutan, lalu dia bangkit dan membalikkan diri, cepat lari keluar dari dalam kamar itu...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 11

MENDENGAR ucapan Sin Wan, Ci Hwa berseru kaget, "Aihh, Wan-twako, mengapa harus dengan pedang? Bagaimana kalau kalian saling melukai?"

Mendengar ini, Bhok-ciangkun mencela puterinya. "Ci Hwa, masih belum tahukah engkau kalau orang yang ilmu pedangnya telah setinggi tingkat Sin Wan, tak mungkin pedangnya dapat melukai orang tanpa dikehendakinya? Pedang sudah merupakan bagian ujung dari tangannya, begitulah!"

Ci Han dan Ci Hwa tentu saja mengerti akan hal itu, namun karena tingkat mereka belum setinggi itu dan belum sempurna benar menguasai pedang, maka mereka memandang kagum.

"Baiklah, Sin Wan. Mari kita main-main sebentar dengan pedang." Panglima itu kemudian mencabut pedang yang tergantung pada pinggangnya. Akan tetapi Sin Wan agak meragu, lalu dengan perlahan dia mencabut pedangnya.

"Ihh! Mengapa pedangmu buruk amat, twako?" kembali Ci Hwa berseru. Gadis lincah ini begitu terbuka dan terus terang, ini membuktikan bahwa dia memang sudah akrab benar dengan Sin Wan sehingga tidak lagi merasa sungkan.

Kembali Bhok Cun Ki yang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, engkau seperti seekor anak burung yang baru belajar terbang, belum mengenal dunia luas, Ci Hwa. Lihat baik-baik. Yang dipegang Sin Wan itu adalah sebuah di antara pedang-pedang pusaka paling ampuh di dunia ini. Itulah Pedang Tumpul yang dahulu menjadi pusaka istana!"

"Wahhh...!" Ci Han dan Ci Hwa terbelalak kagum. Mereka telah mendengar akan pedang pusaka itu yang oleh kaisar dihadiahkan kepada Sam-sian bersama beberapa benda lain.

Sin Wan lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang itu telah lenyap, menyusup kembali ke dalam sarung pedang. "Ehhh? Mengapa pedangmu kau simpan kembali, Sin Wan?"

“Paman, aku tidak ingin kalau sampai pedangmu rusak oleh pedangku, maka sebaiknya kalau kita menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk latihan saja."

Dan tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke arah rak senjata. Demikian cepat gerakannya dan tahu-tahu dia sudah kembali ke tempat tadi, di depan panglima itu sambil membawa dua batang pedang yang biasa dipakai latihan.

Melihat gerakan secepat itu, Bhok Cun Ki dan kedua orang anaknya menjadi kagum, dan panglima itu merasa gembira. Ketika mendengar bahwa Sin Wan adalah murid Sam-sian dan telah memperoleh kepercayaan seorang sakti seperti Ciu-sian untuk mewakilinya, dia sudah percaya bahwa tentu pemuda itu telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi. Tetapi dia ingin membuktikan sendiri agar yakin bahwa pembantunya ini dapat dipercaya dan diandalkan.

"Bagus, usulmu itu baik sekali, Sin Wan!" katanya sambil dia menerima sebatang pedang dari pemuda itu.

Kini mereka sudah saling berhadapan dengan pedang di tangan. Karena maklum bahwa sebagai seorang pendekar Butong tentu panglima itu lihai sekali ilmu pedangnya, Sin Wan segera memasang kuda-kuda dari ilmu pedang yang dia pelajari dari mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang), yaitu Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari). Sebaliknya, Bhok-ciangkun memasang kuda-kuda ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah gerakannya namun amat tangguh itu.

"Silakan, paman," kata Sin Wan yang tidak berani bergerak lebih dahulu.

"Ha-ha, engkau terlalu sungkan, Sin Wan. Nah, aku akan memulai, bersiaplah engkau!" Setelah berkata demikian, panglima itu lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang di tangannya sudah bergerak dengan setengah lingkaran, lalu menusuk ke arah dada Sin Wan.

Dengan gerakan tenang Sin Wan mengelak, kemudian balas menyerang. Lawannya juga meloncat dan membalas. Terjadi serangan balas membalas dan keduanya mengandalkan kegesitan tubuh untuk mengelak. Makin lama semakin cepat gerakan mereka.

Pedang di tangan Sin Wan yang menjadi sinar bergulung-gulung itu sangat menyilaukan mata, sesuai dengan nama ilmunya. Namun lawannya juga tidak kalah cepat gerakannya, pedang di tangan panglima itu pun menjadi sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan.

"Tranggg...!” Bunga api berpijar ketika untuk pertama kalinya kedua pedang itu bertemu di udara.

Dua orang itu merasa betapa telapak tangan mereka tergetar. Ternyata dalam hal tenaga mereka pun berimbang. Kini kedua pedang itu saling sambar dan kadang bertemu sambil mengeluarkan bunga api. Dua gulungan sinar pedang saling belit laksana dua ekor naga berlaga di angkasa.

Sesudah lewat tiga puluh jurus, Sin Wan teringat akan maksudnya mengajak bertanding pedang. Tiba-tiba saja dia mengubah gerakannya dan kini dia sering bermain silat pedang dengan tubuh direndahkan. Cahaya pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, kadang kala tubuhnya bergulingan di atas lantai dan sinar pedang mencuat dari bawah.

Nampak betapa Bhok-ciangkun amat terkejut dan agak kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh itu. Setelah beberapa jurus lamanya Sin Wan mendesak, sambil menyapu kedua kaki lawan dengan pedangnya sehingga Bhok-ciangkun terpaksa berlompatan, Sin Wan berkata halus,

"Lawan ular yang paling tangguh adalah burung!"

Seketika teringatlah Bhok-ciangkun dan dia pun tahu mengapa pemuda itu kini mengubah ilmu pedangnya walau pun tadi pemuda itu tidak terdesak. Mendengar kata ‘ular’ ingatlah Bhok-ciangkun bahwa sore nanti dia harus bertanding melawan gadis yang datang dari Bukit Ular. Maka dia pun langsung mengubah ilmu pedangnya dan sekarang gerakannya menggunakan banyak loncatan sambil pedangnya menyambar-nyambar dari atas seperti seekor burung yang menandingi seekor ular!

Setelah lewat dua puluh jurus, Sin Wan mengubah lagi ilmu pedangnya dan kini kembali menggunakan Jit-kong Kiam-sut seperti tadi. Dan Bhok-ciangkun sudah cukup puas. Dia tadi sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, tapi semua serangannya dapat dipatahkan oleh Sin Wan. Dia tidak tahu apakah pemuda itu dapat mengalahkannya, namun yang jelas baginya, untuk dapat mengalahkan pemuda itu, agaknya akan merupakan hal yang sangat sukar baginya. Dan ini sudah memuaskan hatinya. Maka dia pun meloncat agak jauh ke belakang.

"Cukuplah, Sin Wan," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku baru tahu benar betapa lihainya murid dari Sam-sian!"

"Paman, ilmu pedang paman juga hebat dan indah, aku mengaku kalah," kata Sin Wan. Dengan sopan dia lalu menghampiri panglima itu, menerima pedang dan mengembalikan kedua pedang itu di rak senjata.

"Sin Wan, terima kasih atas petunjukmu tadi," kata Bhok Cun Ki.

Kedua orang anaknya tidak mengerti apa yang telah terjadi, akan tetapi Sin Wan hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Setelah mendengar keterangan Bhok Cun Ki tentang tanda-tanda rahasia untuk mengenal anak buah panglima itu yang disebar sebagai penyelidik di kota raja, Sin Wan lalu pergi ke kamarnya untuk membuat persiapan. Dia akan memulai tugasnya hari itu juga, melakukan penyelidikan di kota raja dalam usahanya membantu Bhok-ciangkun untuk memberantas jaringan mata-mata Mongol.

Ketika dia hendak meninggalkan kamarnya setelah bertukar pakaian yang tadi basah oleh keringat, dia bertemu dengan Ci Han dan Ci Hwa di ruangan depan kamarnya. Agaknya kakak dan adik itu sengaja mencarinya. Sin Wan pun menyambut mereka, kemudian tiga orang muda itu duduk di ruangan itu.

“Twako, ajaklah aku melakukan penyelidikan supaya menambah luas pengetahuanku!” Ci Han membujuk.

Sin Wan tersenyum. "Bagaimana mungkin, Han-te (adik Han). Aku harus bekerja sebagai seorang penyelidik, dan dalam hal ini aku beruntung karena di kota raja tidak ada orang yang mengenalku. Ini akan memudahkan pekerjaanku, karena aku bisa bergerak dengan leluasa, melakukan pengamatan terhadap siapa saja yang hendak kuamati. Tetapi engkau adalah seorang pemuda yang sangat dikenal oleh semua orang di kota raja. Orang-orang yang kita curigai, siang-siang tentu sudah berjaga diri dan bersikap hati-hati begitu melihat engkau muncul. Maaf, aku terpaksa tidak dapat membawamu serta, Han-te."

"Aku pun tadinya ingin ikut untuk menambah pengalaman, twako. Akan tetapi mendengar alasanmu tadi, kini aku mengerti bahwa pekerjaanmu harus dilakukan secara rahasia, dan kami berdua tak mungkin menyembunyikan keadaan diri kami. Ehh, Han-koko, kalau tidak mungkin kita bekerja sama dengan kakak Sin Wan, sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja membantu ayah. Aku akan pergi seperti sedang berpesiar atau berjalan-jalan, akan tetapi mulai sekarang aku akan waspada. Siapa tahu aku akan dapat menangkap seorang mata-mata Mongol."

"Hwa-moi, engkau jangan main-main. Ini bukanlah pekerjaan ringan. Menurut ayah, kalau orang Mongol mengirim mata-mata, sudah pasti dia lihai sekali!"

"Aku tidak takut! Kita di kota raja, takut apa? Semua orang akan membantuku!"

Kakak beradik itu lalu meninggalkan Sin Wan, namun tak lama kemudian Ci Hwa muncul lagi, dan kini sendirian saja. "Wan-twako, ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu berdua saja."

"Ehh? Apakah itu, Hwa-moi? Duduklah dan ceritakanlah yang hendak kau bicarakan itu," jawab Sin Wan dan kembali mereka duduk di tempat tadi.

"Twako, aku khawatir sekali terhadap keselamatan ayah kalau dia pergi bertanding sore nanti."

"Jangan khawatir, ayahmu seorang yang berkepandaian tinggi. Siapa pun takkan mudah mengalahkannya." Sin Wan menghibur dengan sungguh-sungguh dan sejujurnya karena dia maklum bahwa betapa pun lihainya, Lili tidak akan mudah mengalahkan panglima itu.

"Akan tetapi aku tetap khawatir sekali, twako. Gadis siluman itu lihai bukan main. Melihat engkau tadi mengadu kepandaian dengan ayah, aku merasa yakin bahwa hanya engkau yang akan mampu mengalahkannya. Wan-twako, maukah engkau menolongku?"

"Menolongmu? Tentu saja aku mau, Hwa-moi," kata Sin Wan sambil menatap wajah yang manis itu.

"Kalau begitu, kau lindungilah ayahku!"

Sin Wan mengerutkan kedua alisnya, "Ayahmu telah menekankan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan itu, Hwa-moi?”

"Aku tidak minta engkau mencampuri urusan itu, twako. Aku hanya minta supaya engkau mau melindunginya secara diam-diam. Jika sampai ayah terancam bahaya maut, engkau dapat melindunginya. Maukah engkau berjanji, twako? Aku... aku… akan berterima kasih sekali padamu," Gadis itu menyentuh tangan Sin Wan, lalu menggenggam tangan itu dan mengguncangnya, pandang matanya penuh harapan, penuh permohonan.

Sin Wan tidak tega untuk menolaknya. Dan memang di lubuk hatinya dia sedang mencari jalan bagaimana caranya agar dapat melindungi panglima itu dari ancaman maut tangan Lili, maka dia pun mengangguk, "Baiklah, akan kuusahakan, Hwa-moi."

Tangan yang kecil itu menggenggam jari-jari tangan Sin Wan, kemudian melepaskannya. "Twako, terima kasih! Terima kasih, dan aku yakin bahwa percayaanku kepadamu tidak akan sia-sia. Aku sendiri tidak akan duduk diam. Aku akan pergi keluar, dan kalau Han-koko mencari mata-mata Mongol, aku akan mencari gadis siluman itu. Kalau dia berada di kota, aku akan menyerangnya dan memanggil pasukan penjaga untuk membantuku!"

"Jangan, Hwa-moi. Itu berbahaya sekali!”

"Aku tidak takut!"

"Tapi ayahmu telah melarangmu...”

"Melarang aku mencampuri urusannya? Tentu saja aku tak akan melanggar larangannya. Akan tetapi dia tidak melarang aku membalas kekalahanku dari gadis siluman itu!" Ci Hwa lalu meninggalkan ruangan itu.

Sin Wan termangu dalam lamunan. Benar-benar berbahaya, pikirnya. Orang semacam Lili dapat melakukan apa saja. Dia harus melindungi Ci Hwa lebih dahulu sebelum melindungi ayahnya. Dan dia pun segera keluar.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Putera Mahkota atau Pangeran Chu Hui San sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat baik dari ayahnya, yaitu Kaisar Thai-cu yang dahulu bernama Chu Goan Ciang. Kalau ayahnya seorang pejuang yang gigih, lalu mendirikan kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisar yang bijaksana, sebaliknya pangeran yang merupakan putera mahkota yang sulung itu sejak mudanya adalah seorang yang lemah dan kurang bersemangat.

Pangeran Chu Hui San seperti mabok kemuliaan dan yang disukai hanyalah bersenang-senang saja. Biar pun dia sudah beristeri dan memiliki belasan orang selir, masih saja dia haus akan kecantikan wanita.

Puteranya yang baru berusia enam tahun lebih itulah yang agaknya mewarisi kecerdikan dan semangat kakeknya. Puteranya bernama Chu Hong dan karena semangatnya inilah maka Pangeran kecil Chu Hong menjadi kesayangan kakeknya. Bahkan kakeknya, Kaisar Thai-cu sendiri yang sering mendidik Chu Hong, menanamkan jiwa kepahlawanan melalui dongeng-dongeng. Tidak jarang kaisar ini membiarkan cucunya tercinta itu tidur di dalam kamarnya!

Biar pun usianya sudah empat puluh tahun, Pangeran Mahkota Chu Hui San masih suka berlagak seperti seorang pemuda remaja saja. Pakaiannya selalu mewah dan dia sering kali meloloskan diri dari istana, tidak mau dikawal sehingga dia dapat melancong dengan bebas seperti halnya para kongcu (tuan muda) bangsawan. Tentu saja dia pun banyak bergaul dengan para kongcu bangsawan lainnya yang memiliki kebiasaan dan kesukaan seperti dia, yaitu menghambur-hamburkan uang dan beroyal-royalan sepuas hati.

Pada suatu hari, pagi-pagi pangeran Chu Hui San sudah berada di beranda loteng rumah pelesir Seruni, yaitu sebuah rumah pelesir yang terbesar di kota raja. Tentu saja pengurus rumah pelesir Seruni dan semua penghuninya, para gadis penghibur, menyambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan pada waktu pangeran mahkota bersama dua orang temannya, yakni dua orang kongcu bangsawan lain, muncul dan mereka seolah berebut menawarkan diri untuk menghibur tiga orang tamu itu terutama sang pangeran.

Siapa tahu pangeran mahkota terpikat olehku kemudian membawaku ke istana menjadi selirnya, dan apa bila kelak sang pangeran menjadi kaisar berarti dia akan menjadi selir kaisar! Demikian diharapkan oleh setiap orang gadis penghibur itu.

Akan tetapi sekali ini Pangeran Chu Hui San dan kedua orang kawannya agaknya sudah merasa jemu dengan mereka. Mereka bertiga hanya minta disediakan sarapan pagi yang mewah, dan setelah makan pagi mereka bertiga duduk di beranda loteng dan melihat-lihat mereka yang berlalu lalang di atas jalan raya di bawah depan loteng.

Pagi itu seperti biasa banyak wanita tua muda berlalu lalang di jalan raya, untuk pergi ke pasar dan pulangnya para wanita itu melewati jalan itu sebab pasar terletak dekat dengan rumah pelesir itu. Dan tiga orang lelaki bangsawan ini menjadi iseng. Mereka melempar-lemparkan kwaci dan kacang ke bawah setiap kali ada gadis atau wanita muda lewat di bawah sana. Wanita yang terkena lemparan kwaci atau kacang, kalau hendak marah pun tidak jadi, bahkan tersenyum malu dan bangga ketika mereka melihat siapa laki-laki yang mengganggunya itu. Wanita mana yang tak akan merasa senang diganggu oleh Pangeran Mahkota?

Dari jauh nampak seorang wanita muda melangkah gontai di atas jalan raya. Dia seorang wanita muda, usianya sekitar dua puluh tahun dan bentuk tubuhnya yang ramping sangat menggiurkan dan menggairahkan. Langkahnya dan lenggangnya amat memikat, dengan tubuh lentur lemas dan berlekuk lengkung sempurna.

Pada waktu itu musim panas sudah tiba dan karena hawa udara panas, para wanitanya mengenakan pakaian yang lebih tipis dan longgar hingga keindahan bentuk tubuh mereka lebih dapat dikagumi dari pada kalau mereka mengenakan pakaian tebal di musim dingin. Wanita muda ini membawa keranjang gantung yang kosong sehingga mudah dimengerti bahwa dia tentu sedang menuju ke pasar untuk berbelanja. Bajunya yang biru muda itu nampak baru.

Pangeran Chu Hui San memandang kepada wanita itu lantas berkata kepada dua orang temannya. "Tunggu! Yang baju biru muda itu untukku, biar aku yang menembaknya!"

Istilah menembak itu mereka gunakan untuk menyambitkan kwaci dan kacang ke bawah. Dua orang temannya adalah pemuda pemuda bangsawan yang selalu ingin memperoleh kesan baik dengan menjilat, maka mendengar permintaan ltu, segera mereka mentaati dan hanya menjadi penonton. Putera Mahkota itu mempersiapkan kacang yang besar dan ketika wanita itu berlenggang di bawah loteng, dia membidik dan menyambitkan kacang itu ke bawah.

"Tukk!" Kacang itu tepat mengenai kepala wanita itu. Memang tidak mendatangkan rasa sakit, akan tetapi cukup mengagetkan dan wanita itu cepat mengangkat muka memandang ke atas. Dilihatnya tiga orang pria berpakaian mewah tertawa-tawa.

Akan tetapi Pangeran Chu Hui San terpesona. Ketika wanita itu memandang ke atas, dia melihat sebuah wajah yang cantik manis, dan tidak seperti wanita lain yang begitu melihat siapa penyambitnya lalu melempar senyum dan kerling memikat, wanita itu justru berani cemberut, mengerling marah lalu membuang muka! Akan tetapi semua tarikan muka yang lain dari pada yang lain itu, yang tidak bermanis-manis dan tidak menjual murah, bahkan nampak demikian memikat bagi Pangeran Chu Hui San.

"Cui-ma, cepat kejarlah perempuan itu. Aku menginginkannya, sekarang juga!” kata sang putera mahkota yang sejak kecil sudah terbiasa segala kehendaknya selalu terpenuhi.

Mendengar perintah ini, nyonya kurus yang berada di belakang mereka lalu terbongkok-bongkok melayaninya kemudian bergegas turun dari loteng. Dari atas beranda loteng itu, Pangeran Chu Hui San dan dua orang temannya dapat melihat betapa mucikari itu berlari keluar diikuti dua orang laki-laki berewok tinggi besar dan mereka bertiga cepat mengejar wanita muda yang jalannya belum jauh itu.

Mereka melihat betapa mucikari itu bersama dua orang jagoannya telah dapat menyusul. Wanita muda itu nampak menolak, menggeleng kepala dan kelihatan marah-marah, tidak dapat dibujuk oleh mucikari itu dengan omongan manis. Sang mucikari sendiri, bibi Cui atau dipanggil Cui-ma, merasa heran bukan kepalang melihat ada seorang wanita muda berani menolak ajakan putera mahkota! Tidak peduli dia telah menikah atau belum, rakyat jelata atau bangsawan, belum pernah ada wanita yang menolak ajakan yang seolah-olah merupakan bulan jatuh ke pangkuan itu.

Karena wanita muda itu menolak, dua orang tukang pukul sudah menangkap dua lengan wanita itu dan tanpa kesulitan kedua orang jagoan yang kuat itu memaksa dan menarik wanita muda itu ikut ke dalam rumah pelesir. Tak seorang pun yang berani melerai ketika melihat ada seorang wanita muda dipaksa masuk ke rumah itu oleh seorang wanita tua dan dua orang jagoannya.

Cui-ma memang disegani, bukan hanya karena dia mempunyai tukang pukul, melainkan terutama sekali karena di belakang mucikari ini berdiri bangsawan-bangsawan tinggi yang merupakan langganannya sehingga dia bisa mendapatkan pembelaan dari kalangan atas. Petugas rendahan biasa saja, mana ada yang berani menentangnya? Bahkan mungkin akan berhadapan dengan atasannya sendiri nanti!

Pangeran Chu Hui San sedang duduk menanti seorang diri di dalam kamar yang mewah ketika wanita muda itu masih bersama keranjangnya didorong masuk dari luar dan daun pintu segera ditutup kembali dari luar. Bagai seekor anak kelinci yang dilempar ke dalam kerangkeng harimau, wanita itu berdiri menggigil sambil menangis, tidak berani berkutik, hanya bersandar pada dinding memeluk keranjangnya.

"Ampun... ampunkan aku... lepaskan aku... aku sudah bersuami, suamiku amat keras dan galak sekali..." ia meratap ketakutan tanpa berani mengangkat mukanya yang menunduk.

Akan tetapi, alasan bahwa wanita itu sudah bersuami tidak meredakan gelora gairah sang pangeran. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat sikap wanita itu. Kenapa dia begitu berani dan sama sekali tidak menghormatinya?

"Nyonya muda yang manis, pandanglah aku. Apakah engkau tidak tahu, siapa aku?” Dia memerintah.

Dengan ketakutan wanita itu mengangkat muka memandang, tetapi dia sama sekali tidak nampak terkejut, bahkan dia menggeleng kepalanya, "Aku tidak mengenal engkau siapa, akan tetapi mohon kau lepaskan aku, jangan ganggu aku...”

"Hemm, aku adalah pangeran, putera mahkota, tahu?"

Wanita itu kembali memandang dengan kedua mata terbelalak, lalu keranjangnya jatuh mengelinding dan dia pun menjatuhkan diri berlutut menyernbah-nyembah. “Ahh... ampun hamba... hamba tidak tahu, hamba baru sebulan berada di kota raja, hamba dari dusun, setelah menikah baru di sini... mohon paduka suka mengampuni hamba dan membiarkan hamba pergi...”

Pangeran itu semakin heran. "Aku suka padamu, manis. Kesinilah dan jangan takut. Aku akan memberi hadiah besar kepadamu.“

"Tidak... tidak... mohon paduka mengampuni hamba... hamba baru satu bulan menikah, hamba tidak berani, suami hamba galak..."

"Aihh, pengantin baru, ya? Heh-heh, aku suka pengantin baru. Tentang suamimu, jangan takut. Dia tak akan berani memarahimu kalau tahu bahwa pangeran putera mahkota yang mengajakmu. Kesinilah!"

Pangeran Chu Hui San semakin bergairah karena selama ini belum pernah dia bertemu dengan wanita yang tidak segera lari ke dalam pelukannya. Malah dia yang kini turun dari pembaringan dan menghampiri wanita yang menggigil ketakutan itu. Akan tetapi baru saja dia memegang lengan wanita itu untuk ditariknya, dia mendengar suara gedebukan di luar kamar, suara orang berkelahi.

Dia terkejut dan heran, kemudian dia membuka daun pintu untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata dua orang tukang pukul berewokan itu sedang mengeroyok seorang lelaki muka bopeng yang juga tinggi besar. Akan tetapi laki-laki bopeng itu lihai sekali, dan ketika sang pangeran membuka daun pintu, tepat dia melihat betapa kedua orang tukang pukul itu sedang dihantam roboh!

"Cang-ko (kakak Cang),...!" Wanita cantik yang berada di dalam kamar Pangeran Chu Hui San menjerit ketika dia melihat laki-laki bopeng itu.

“Kim-moi (adik Kim)!" Laki-laki itu berteriak lalu dia pun cepat menerjang masuk ke dalam kamar. "Aku tahu engkau berada di sini!” bentaknya, dan dengan mata melotot dia pun memandang kepada isterinya, lalu kepada sang pangeran. Ketika dia memandang kepada pangeran itu, Pangeran Chu Hui San berkata dengan sikap gagah dan marah.

"Orang kasar, butakah matamu? Aku adalah Pangeran Chu Hui San! Hayo cepat engkau pergi dari sini atau akan kusuruh orang menangkap dan menghukum siksa sampai mati!"

Akan tetapi si muka bopeng itu menyeringai, "Aku tahu engkau pangeran putera mahkota yang mata keranjang itu. Engkau berani menghina isteriku! Biar aku akan dihukum mati, akan tetapi sekarang engkau yang akan kusiksa sampai mati lebih dulu!"

Si muka bopeng menghampiri sang pangeran dengan langkah lambat tapi sikapnya amat menyeramkan. Pangeran yang satu ini memang berwatak lemah. Melihat gertakannya tak berhasil, dia pun melangkah mundur dan mukanya mulai membayangkan ketakutan.

"Jangan... maafkan aku dan engkau akan kuganjar hadiah yang besar...”

"Tidak ada hadiah besar dari pada membunuh orang yang telah berani menghina isteriku tercinta!" bentak orang itu dengan geram dan dia sudah siap untuk menubruk.

Tiba-tiba seseorang muncul di ambang pintu kamar itu. Akan tetapi kemunculannya tidak membesarkan harapan sang pangeran, karena dia hanyalah seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang berpakaian seperti seorang sastrawan muda, mungkin sastrawan kaya karena pakaiannya nampak mewah. Apa artinya seorang sastrawan lemah terhadap si muka bopeng yang tangguh ini? Dua orang jagoan tukang pukul di rumah pelesir itu pun sudah dia pukul roboh.

"Muka bopeng, jangan kurang ajar kau!" sastrawan itu membentak dan biar pun suaranya lembut tetapi mengandung getaran berwibawa sehingga tiba-tiba si bopeng menghentikan langkahnya lantas memutar tubuh menghadapi sastrawan itu, nampaknya terkejut. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menegur dan mencelanya hanya seorang sastrawan yang terlihat lemah, dia menjadi semakin berang. Dengan langkah lebar dia menghampiri sastrawan itu dengan sikap mengancam.

"Jahanam, siapakah engkau yang berani mencampuri urusanku?" Dia mengepal tinju dan siap menerjang.

"Engkaulah yang jahanam! Alangkah beraninya engkau mengancam yang mulia pangeran putera mahkota yang sepatutnya kau sembah. Hayo cepat berlutut minta ampun!"

Akan tetapi si muka bopeng menjawabnya dengan gerengan kemudian dia pun menerjang dengan ganas ke arah sastrawan itu. Pangeran Chui Hui San menyangka penolongnya itu tentu roboh dengan sekali pukul dan dia sudah siap untuk melarikan diri. Akan tetapi dia terbelalak.

Pada saat si muka bopeng yang tinggi besar itu menerjang, sastrawan itu mengelebatkan kipas yang berada di tangannya dan entah bagaimana, tiba-tiba saja si muka bopeng itu yang terpelanting ke atas lantai!

Dia merangkak bangun, meloncat lantas menerjang lagi, akan tetapi disambut tendangan yang mengenai dadanya hingga membuat dia terjengkang dan terbanting keras. Si muka bopeng terengah-engah dan sepasang matanya terbelalak ketakutan, lalu dia bangkit dan membalikkan diri, cepat lari keluar dari dalam kamar itu...