Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SASTERAWAN itu membiarkan si muka bopeng lari kemudian dia pun membalik, menghadapi Pangeran Chu Hui San dan menjatuhkan diri berlutut dengan sikap hormat dan sopan sekali. "Hamba kira akan jauh lebih baik dan aman kalau paduka selalu ditemani seorang pengawal yang boleh dipercaya. Akhir-akhir ini banyak sekali terdapat penjahat dan para pemberontak yang tentu akan berbuat yang tidak baik terhadap paduka."

Tentu saja pangeran itu merasa berterima kasih karena tanpa munculnya sastrawan itu, tentu sekarang dia telah tewas dibunuh si muka bopeng tadi. Dia segera melangkah maju dan dengan kedua tangan menyentuh pundak sastrawan itu, dia berkata. "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku. Kami akan merasa senang sekali kalau saat ini engkau suka menemani dan menjaga keselamatanku."

"Hamba suka sekali, dan hamba siap mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka, pangeran!" kata sastrawan itu.

"Siapa namamu?"

"Hamba she (bernama keturunan) Yauw, nama hamba Lu Ta."

Pada saat itu pula wanita muda yang semenjak tadi berdiri ketakutan mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar. Tetapi Yauw Lu Ta segera meloncat dan sekali tangannya bergerak, dia telah menotok wanita itu pada pundaknya, membuat wanita itu menjadi lemas dan tentu akan jatuh ke atas lantai kalau Yauw Lu Ta tidak segera menyambutnya, memegang lengannya lantas mendudukkannya di atas lantai bersandar dinding. Wanita muda itu tak mampu bergerak, hanya sepasang matanya yang memandang dengan ketakutan.

"Yauw Siucai (Sastrawan Yauw), kalau dia tidak mau, suruh dia pergi. Kami tidak mau memperkosanya!" kata Pangeran Chui Hui San dengan suara mengandung kekecewaan. Wanita itu bukan saja menolak cintanya, bahkan suaminya hampir saja membunuhnya!

Yauw Lu Ta membungkuk sambil tersenyum. "Harap paduka jangan kecewa. Dalam satu menit dia akan berubah sama sekali dan akan melayani paduka dengan seluruh tubuh dan hatinya."

Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Ketika dibukanya, dalam bungkusan terisi bubuk merah. Melihat di atas meja dalam kamar itu terdapat cawan dan guci arak, dia menuangkan sedikit arak ke dalam cawan itu, dimasukkannya sedikit bubuk merah ke dalam cawan kemudian dia menghampiri wanita muda itu, tangan kiri menekan kanan-kiri mulut sehingga mulut itu terbuka, ditengadahkan, lalu isi cawan dia tuangkan ke dalam mulut. Di luar kehendaknya, wanita itu terpaksa menelan anggur dari cawan dan setelah itu barulah Yauw Lu Ta melepaskannya.

Pangeran Chu Hui San terus memandang penuh perhatian. Satu menit kemudian terjadi perubahan pada wajah wanita itu. Kedua pipinya kemerahan dan pandang matanya tidak lagi ketakutan, akan tetapi seperti orang yang mengantuk.

Yauw Lu Ta membebaskan totokannya dan dia pun berkata. "Kini paduka dapat berbuat apa pun terhadap dirinya. Dia pasti akan menyerahkan diri dengan suka rela dan penuh semangat. Hamba akan menjaga keamanan paduka di luar kamar." Yauw Lu Ta segera melangkah keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.

Sebenarnya, peristiwa tadi sudah mengusir semua gairah nafsu dari pikiran pangeran ini. Akan tetapi dia tertarik dan ingin sekali tahu apakah ucapan pengawal barunya itu benar. Dia lalu memandang wanita muda yang sudah dibebaskan dari totokan itu.

Sekarang wanita itu berlutut menghadap kepadanya, hanya menundukkan muka dan tidak berani memandangnya, juga tak mengeluarkan kata-kata, tidak pula menangis ketakutan lagi.

“Angkat mukamu!" kata pangeran itu dengan suara memerintah.

Wanita muda itu mengangkat muka memandangnya. Dan alangkah jauh bedanya dengan tadi. Wanita itu kini memandangnya dengan sikap malu-malu, dengan mata sayu sambil mulut mengulum senyum.

"Kesinilah," kata pula pangeran itu.

Wanita itu tampak tersipu, kemudian bangkit dan dengan malu-malu berjalan menghampiri Pangeran Chu Hui San. Ketika pangeran merangkulnya, dia pun mengeluarkan suara lirih dan menyandarkan mukanya ke dada pangeran itu.

“Siapa namamu, manis?"

"Nama hamba Bi Kim...” suaranya berbisik.

Sekarang bangkitlah kembali gairah di hati pangeran itu. Dia pun menuntun wanita itu ke pembaringan dan benarlah seperti yang dikatakan Yauw Lu Ta tadi, kini wanita itu sama sekali tidak menolaknya, bahkan melayaninya dengan suka rela dan penuh gairah.

Tentu saja semua itu merupakan siasat yang sudah diatur oleh Yauw Lu Ta atau Yaluta, pangeran Mongol itu! Ketika Kerajaan Mongol belum jatuh, dia masih kecil, baru belasan tahun usianya dan tidak dikenal. Karena itu tanpa ragu-ragu dia berani mempergunakan namanya, hanya diubah sedikit menjadi nama pribumi agar tidak ada yang tahu bahwa dia adalah bekas pangeran Mongol!

Sejak peristiwa di rumah pelesir itu, Pangeran Chu Hui San menerima Yauw Lu Ta yang disebutnya Yauw Siucai menjadi pengawal pribadinya, juga temannya berfoya-foya. Yauw Siucai amat pandai mengambil hatinya. Dengan adanya Yauw Siucai, putera mahkota ini dapat menikmati bermacam kesenangan yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali.

Dengan bantuan Yauw Siucai, wanita yang bagaimana keras pun akan menjadi lunak dan jinak. Bahkan saking percayanya pada Yauw Siucai, putera mahlota itu telah mengangkat sastrawan ini menjadi guru sastra dari puteranya yang bernama Chu Hong. Maka kuatlah kedudukan Yauw Siucai di istana putera mahkota.

Dengan cerdik sekali Yauw Lu Ta yang memang mendekati pangeran putera mahkota ini untuk tujuan yang lebih besar, menuntun Pangeran Chu Hui San yang lemah itu sehingga keadaan pangeran itu menjadi semakin rusak. Bukan saja bujukan Yauw Siucai membuat dia menjadi semakin menggila dalam mengejar kesenangan sehingga lupa diri, juga Yauw Siucai dengan cerdik menjerumuskan pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu menjadi seorang pecandu madat!

Yauw Siucai ingin agar kelak yang menjadi kaisar adalah orang yang lemah, tidak mampu dan yang berada di bawah pengaruhnya sehingga kalau dia mendapatkan kesempatan baik melakukan gerakan, maka pemerintahan di bawah kaisar semacam itu akan mudah dia robohkan dan dia dapat membangun kembali Kerajaan Goan (Mongol) yang pernah jaya!

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Sore itu udara cerah sekali. Langit tidak ternoda awan, dan walau pun matahari sudah condong jauh ke barat, namun sinarnya masih kuat dan hawa udara cukup gerah karena tidak ada angin bertiup.

Dengan langkah lebar dan tegap Panglima Bhok Cun Ki berjalan mendaki bukit Bambu Naga di luar kota raja. Dia sengaja berjalan kaki, tidak menunggang kuda. Pertama, agar tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ke dua supaya lebih mudah baginya untuk melihat bahwa tidak ada orang yang membayanginya. Dia tidak ingin anak-anaknya turut mencampuri urusan pribadinya.

Tentu saja cerita putera dan puterinya tentang gadis yang memiliki pedang Ular Putih itu seketika mengingatkan dia akan riwayat hidupnya dahulu, ketika dia belum menikah. Dia pernah saling berkenalan dan bersahabat dengan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai dan akhirnya dia dan wanita itu yang bernama Cu Sui In saling jatuh cinta.

Waktu itu dia sendiri adalah seorang pendekar muda Butong-pai, dan gadis itu memang cantik dan pandai, sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang serasi dan cocok sekali. Hubungan di antara mereka sudah amat intim dan mesra, bahkan keduanya sudah demikian saling percaya bahwa mereka akan menjadi suami isteri sehingga mereka saling menyerahkan diri.

Namun beberapa hari kemudian dia memperoleh kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah puteri See-thian Coa-ong! Malah di dunia kangouw kekasihnya itu dikenal dengan julukan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) yang terkenal ganas dan kejam! Melihat kenyataan pahit ini, seketika dia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dan meninggalkan Cu Sui In.

Sebagai seorang pendekar penentang golongan sesat, tidak mungkin dia menikah dengan seorang puteri datuk sesat! Tentu saja seluruh dunia kangouw akan mentertawakannya, dan bagaimana dia akan tetap dapat menentang kejahatan kalau beristeri seorang tokoh jahat?

"Ahh, Sui In..." Dia menghela napas panjang dan mengeluh dalam hati, "kenapa sampai sekarang engkau masih mendendam? Dan mengapa pula tidak datang sendiri mencariku, akan tetapi menyuruh muridmu?"

Sesudah tiba di puncak bukit yang amat sunyi itu, dia berdiri di puncak yang datar, yang dikelilingi hutan bambu yang lebat. Di situ banyak terdapat bambu yang batangnya seperti tubuh ular naga, maka disebut bambu naga. Meski pun dia tidak melihat bayangan orang, akan tetapi dia merasa bahwa ada orang yang mengintai dan mengamatinya. Oleh karena itu dia berdiri dengan tegak, kedua kaki terpentang, lalu dia berkata dengan suara yang lantang.

"Nona berpedang Ular Putih, aku Bhok Cun Ki telah datang memenuhi undanganmu!"

Memang sejak tadi Lili telah mengintai dari balik semak belukar. Sejak laki-laki itu mendaki lereng dekat puncak, dia sudah tahu dan ketika pria itu telah mendekat, dia memandang kagum.

Jadi inikah kekasih suci-nya yang telah meninggalkan suci-nya hingga membuatnya hidup merana? Pantas kalau suci-nya tergila-gila. Memang pria ini seorang laki-laki yang gagah perkasa dan ganteng. Sekarang pun dalam usia yang mendekati lima puluh tahun pria itu masih nampak tegap dan ganteng, dengan penampilan seorang pendekar tulen. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan langkahnya ketika mendaki puncak tadi bagaikan langkah seekor harimau. Dari atas puncak itu dia terus mengamati dan melihat bahwa pria ini memang datang seorang diri, dan ini pun menunjukkan bahwa dia memang gagah dan berani, dan tidak curang.

"Bagus, kiranya engkau yang bernama Bhok Cun Ki!"

Bhok Cun Ki membalikkan tubuh dan melihat bayangan berkelebat, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang gadis yang cantik. Dia mengamati penuh perhatian. Seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun yang cantik manis, dengan sikap yang dingin dan galak, namun matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang tak boleh dipandang ringan. Dia memberi hormat sepantasnya dengan merangkap kedua tangan di depan dada.

"Apakah hubunganmu dengan Cu Sui In, nona? Apakah engkau muridnya?" Bhok Cun Ki langsung bertanya karena dia sudah yakin bahwa inilah gadis yang telah mencarinya dan mengalahkan putera dan puterinya.

"Cu Sui In adalah suci-ku. Hemmm…, agaknya engkau sudah dapat menduga bahwa aku datang diutus oleh suci untuk membunuhmu?"

Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan mengangguk. "Aku sudah dapat menduganya. Kiranya engkau adalah sumoi-nya, dan engkau murid See-thian Coa-ong. Pantas engkau lihai. Akan tetapi, terima kasih bahwa engkau tidak membunuh kedua orang anakku. Hal ini saja sudah mengherankan karena biasanya orang-orang dari Bukit Ular tidak pernah membiarkan lawannya hidup."

Lili mengerutkan sepasang alisnya. "Aku bukan pembunuh! Aku hanya ditugaskan untuk membunuhmu, bukan membunuh anak-anakmu. Nah, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Engkau atau aku yang akan mati hari ini!" Lili mencabut pedangnya dan nampaklah sinar putih menyilaukan mata tertimpa sinar matahari senja.

Bhok Cun Ki mengeluh dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa urusan pribadinya dengan Cu Sui In akan menimbulkan peristiwa yang dihadapinya sekarang ini. Dia ditantang oleh seorang gadis muda!

"Nona, siapakah namamu?" tanyanya dengan suara lembut karena begitu melihat gadis itu, walau pun dia nampak galak dan dingin, menimbulkan perasaan suka dalam hatinya. Dia merasa berhadapan dengan anak sendiri atau keponakan sendiri.

Bagaimana dia, seorang pendekar Butong-pai, seorang panglima, dapat merasa enak hati menyambut tantangan mengadu nyawa seorang gadis yang lebih pantas menjadi anaknya atau keponakannya?

"Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan adu nyawa ini, Bhok Cun Ki!" kata Lili dengan tegas.

"Memang benar sekali, akan tetapi kalau engkau kalah dan mati, engkau akan tahu siapa yang membunuhmu, sebaliknya kalau aku yang kalah dan mati, arwahku bisa penasaran karena aku tidak tahu siapa yang membunuhku." Bhok Cun Ki bicara dengan nada suara serius, akan tetapi juga mengandung kelakar.

Lili merasa sukar sekali untuk mempertahankan kekakuannya, juga di dalam hatinya tidak mempunyai masalah pribadi dengan pria ini, karena itu dia pun tidak dapat merasa benci. Bahkan dia merasa kagum karena dia berhadapan dengan seorang laki-laki jantan yang bersikap begitu tenang.

"Baik, namaku biasa disebut orang Lili.”

"Nona Lili, nama yang bagus. Akan tetapi kenapa suci-mu Cu Sui In tidak datang sendiri membunuhku, melainkan menyuruh engkau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan kami?"

"Aku hanya menunaikan tugas. Jangan tanya kepadaku, tanyakan saja kepada suci, akan tetapi tidak ada kesempatan lagi bagimu karena engkau akan mati ditanganku."

Bhok Cun Ki tersenyum. "Nona Lili, engkau masih begini muda tetapi sudah mempunyai kepandaian tinggi dan sangat pemberani. Sungguh sayang seorang muda seperti nona ini melakukan pertandingan mengadu nyawa. Aku sendiri sudah cukup tua, dan mati bagiku bukan apa-apa. Akan tetapi engkau masih begini muda dan berhak untuk hidup lebih lama dan menikmati hidupmu. Tahukah engkau mengapa suci-mu itu menyuruhmu mencariku dan membunuhku?"

"Bhok Cun Ki, mengapa engkau begini cerewet, sih? Agaknya dahulu suci terpikat oleh kapandaianmu merayu dengan kata-kata. Tentu saja aku tahu kenapa suci ingin agar aku membunuhmu. Engkau telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, sebab engkau telah membuat dia merana sehingga sampai sekarang suci-ku tidak berumah tangga. Engkau merayunya dengan ketampananmu, kepandaianmu merayu, dengan semua janji palsumu. Sudahlah, aku pun tidak peduli. Yang penting aku harus membunuhmu. Cepat keluarkan pedangmu, atau aku akan membuat engkau mati konyol!" Gadis itu lalu menggerakkan pedangnya sehingga berkelebatan dan mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.

“Tunggu sebentar, nona. Aku tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau ini mau membunuh orang yang belum siap melawan. Dengarlah dahulu, baru kita bertanding agar engkau mengetahui urusan antara aku dan suci-mu itu, agar kita berdua dapat bertanding dengan penuh kesadaran. Memang kuakui bahwa ketika aku masih muda, di antara aku dan suci-mu Cu Sui In terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam, bahkan kami berdua telah saling berjanji dan bersepakat untuk menjadi suami isteri. Aku mencintai dia dengan sepenuh hatiku, bahkan sampai sekarang pun aku masih mencintanya. Akan tetapi dia menipuku. Tadinya dia tidak berterus terang mengenai dirinya. Sesudah aku mengetahui bahwa dia adalah puteri See-thian Coa-Ong dan dia berjuluk Bi-coa Sianli, seorang tokoh sesat, juga puteri seorang datuk sesat yang melakukan banyak kekejaman dan kejahatan, bagaimana mungkin aku berjodoh dengannya? Tentu seluruh pimpinan Butong-pai akan mengutuk aku, karena sebagai seorang pendekar aku harus menentang golongan sesat, bukan mengawini puteri seorang di antara para datuknya, yaitu See-thian Coa-ong. Nah, itulah sebabnya aku memisahkan diri walau pun aku selalu mencintanya."

"Omong kosong! Cinta macam apa kalau memakai persyaratan? Cinta macam apa yang bisa dibeli dengan keadaan seseorang? Yang kau cinta itu orangnya, pribadinya, ataukah kedudukannya dan namanya? Ingat, aku pun murid See-thian Coa-ong pula, dan bagiku, suhu jauh lebih jantan dari pada engkau yang mengaku pendekar! Setidaknya, suhu tidak pernah menjual omong kosong dan rayuan gombal kepada seorang wanita!"

Wajah Bhok Cun Ki berkerut-kerut dan berubah agak pucat, matanya terlihat bingung dan gelisah! Selama hidupnya, baru sekali inilah dia merasa menyesal bukan main. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Cu Sui In, akan tetapi selama ini dia selalu menghibur perasaannya, menghibur batinnya bahwa dia meninggalkan Sui In karena melihat bahwa dia dan Sui In tidak akan dapat menjadi suami isteri yang rukun. Namun semua itu hanya hiburan belaka bagi perbuatan mengkhianati kasih di antara mereka.

Di dalam hati kecilnya dia sudah merasa menyesal mengapa dia tergesa-gesa mengambil keputusan memutuskan cintanya itu. Padahal dia tahu betapa Sui In sangat mencintanya, dan demi cinta kasih mereka itu, bukan tidak mungkin dia akan dapat menuntun Sui In kembali ke jalan benar! Kini, dari mulut gadis itu dia seperti mendengarkan suara hatinya sendiri yang setiap kali membuatnya menyesal.

"Sudahlah, memang aku merasa bersalah kepada Sui In. Akan tetapi, nona muda, jangan harap orang lain akan dapat membunuhku. Kalau Cu Sui In sendiri yang datang, aku akan menyerahkan nyawaku tanpa melawan. Tapi kalau dia mewakilkannya kepada orang lain, jangankan engkau, biar pun andai kata See-thian Coa-ong sendiri yang datang, aku akan melawan dan membela diri."

"Bagus, aku pun bukan orang yang suka membunuh lawan yang tidak mau membela diri. Hayo, cabut senjatamu karena sudah cukup banyak kita bicara!" bentak Lili dengan sikap garang.

Bhok Cun Ki tersenyum, kemudian ia pun mencabut pedangnya. Nampak sinar kehijauan berkelebat pada waktu dia mencabut pedang Ceng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau) yang merupakan sebatang pedang pusaka dari Butong-pai. Hanya murid yang sudah berjasa mengangkat nama baik Butong-pai saja yang berhak menerima hadiah sebatang senjata pusaka Butong-pai, dan Bhok-ciangkun ini seorang di antara para pendekar Butong-pai yang tangguh.

"Aku sudah siap, nona Lili!" katanya.

"Lihat pedang!" Lili membentak.

Dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya yang berbentuk ular putih itu, mulai dengan serangannya. Karena dia telah tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) dan menurut suci-nya amat lihai, begitu menyerang dia sudah menggunakan jurus yang amat dahsyat. Pedangnya berubah menjadi sinar putih, meluncur cepat bagaikan anak panah menusuk ke arah tenggorokan lawan.

"Wirrrr...! Singgg...!”

Pedang itu berdesing ketika luput dari sasarannya karena Bhok Cun Ki sudah mengelak dengan cepat, lantas dari samping pedangnya berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah mata kiri Lili! Serangan balasan ini pun sungguh dahsyat, cepat serta mengandung tenaga sehingga pedangnya berdesing nyaring.

Tetapi Lili telah mengelak dengan merendahkan tubuhnya, kemudian kaki kirinya mencuat ke arah pusar lawan, disusul pedangnya menyambar dari kanan ke kiri membabat leher!

"Wuuuutttt...!"

Kembali Bhok-ciangkun menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan meloncat ke belakang. Dengan amat cepatnya Lili sudah meloncat ke depan, menyusulkan serangan lanjutan yang makin hebat. Pedangnya bagaikan seekor ular meluncur dibarengi tubuhnya yang merendah, dan pedang itu menusuk ke arah kedua lutut kaki lawan secara bertubi! Seolah-olah ada banyak sekali ular yang menyerang dan mematuk ke arah lutut dan kalau sekali saja lutut itu terkena patukan pedang ular, tentu Bhok-ciangkun akan roboh!

Namun Bhok-ciangkun adalah seorang pendekar pedang yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam bertanding dengan pedang. Sebagai seorang pendekar pedang, sudah banyak dia bertanding melawan orang-orang dari berbagai golongan. Tentu saja dia tidak mudah dikalahkan begitu saja dan dia sudah melihat bahayanya serangan yang dilakukan gadis itu ke arah kedua lututnya.

Dengan ringan sekali tubuhnya meloncat ke atas, berjungkir balik lantas turun ke belakang Lili dan membalas dengan serangan pedangnya yang diputar dengan cepatnya. Dia mulai memainkan jurus-jurus ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah dan kuat, juga sangat cepat sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung!

Lili terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang lawan. Dia pun tak mau kalah, maka dia memainkan pedangnya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi cahaya putih yang bergulung-gulung.

Kadang-kadang dua gulungan putih dan hijau itu retak dan putus ketika sepasang pedang beradu di udara, menimbulkan percikan bunga api dan mengeluarkan bunyi berkerontang nyaring. Keduanya merasa tangan kanan masing-masing tergetar, maka tahulah mereka bahwa lawan memiliki tenaga yang tangguh dan keadaan mereka berimbang.

Akan tetapi, setelah lewat lima puluh jurus mulailah sinar putih itu terkurung tertekan oleh sinar hijau. Bagaimana pun juga ilmu pedang yang dimainkan Bhok Cun Ki memang hebat sekali. Lagi pula dia mempunyai banyak pengalaman bertanding, jauh lebih banyak kalau dibandingkan lawannya.

Kini Lili mulai terdesak! Gadis yang keras hati dan pemberani ini maklum bahwa kalau dia hanya mainkan ilmu pedang biasa saja, hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, ia tak akan menang melawan ilmu pedang lawan yang demikian hebatnya.

Tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis nyaring lantas gerakan pedangnya berubah. Bukan hanya gerakan pedangnya yang berubah, melainkan juga gerakan tubuhnya. Kini tubuh gadis itu, kedua lengannya serta gerakan pedang itu, mengandung gerakan seekor ular! Berlenggang lenggok dan menyerang dari bawah dengan tusukan, bacokan, seperti ular memagut, disertai desis mengerikan seperti seekor ular cobra yang marah!

Bhok Cun Ki terkejut juga menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu. Tahulah dia bahwa gadis itu mengeluarkan inti dari ilmu silatnya yang bersumber dari gerakan ular dan ilmu ini yang membuat nama besar See-thian Coa-ong sangat ditakuti orang.

Gadis itu memang sangat lihai dan berbahaya sekali. Bukan hanya pedang putih itu yang berbahaya, menyambar-nyambar dari bawah seperti seekor ular beracun pembawa maut, akan tetapi juga tangan kirinya membantu dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Tangan itu menotok, mencengkeram dan gerakannya seperti seekor ular pula.

Dihujani serangan dari bawah seperti itu, keadaannya menjadi berbalik. Kalau tadi Bhok Cun Ki berhasil mendesak lawan, sekarang dia lebih banyak mengelak atau menangkis, dan segera terdesak sebab dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya. Dia merasa seolah-olah dikeroyok banyak ular beracun.

Akan tetapi, setelah belasan jurus lewat dan dia terdesak semakin hebat, teringatlah dia akan pertandingan ujian dalam permainan pedang melawan Sin Wan pagi tadi. Pemuda itu berkata bahwa lawan ular yang tangguh adalah burung! Kini mengertilah Bhok Cun Ki bahwa secara tidak langsung pemuda itu telah memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus melayani gadis ini! Dia pun mengerahkan tenaga, mengeluarkan bentakan nyaring dan mendadak tubuhnya meloncat ke atas, lantas menukik turun dan menyerang dari atas dengan pedangnya!

Lili yang kini terkejut dan cepat menangkis, akan tetapi Bhok Cun Ki sudah melanjutkan serangkaian serangannya yang membuat gadis itu repot. Ketika Lili melempar diri ke atas tanah bergulingan kemudian membentuk serangan baru dari bawah, kembali tubuh Bhok-ciangkun melompat tinggi ke atas. Sekarang dia tidak mau menangkis atau mengelak ke samping, namun menghadapi serangan gadis itu dengan loncatan tinggi kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar bagaikan seekor rajawali menyerang seekor ular.

Kembali keadaan menjadi berbalik, sekarang Lili yang terdesak karena seperti seekor ular menghadapi burung yang dapat terbang, dia tidak diberi kesempatan menyerang lawan, sebaliknya lawan menghujankan serangan yang dimulai dari atas.

Hal ini membuat Lili menjadi penasaran dan marah sekali. Ketika untuk kesekian kalinya Bhok Cun Ki mendesaknya dengan serangan bertubi, dia mengeluarkan teriakan nyaring, pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya sambil tangan kirinya mendorong dengan pengerahan tenaga dari ilmu Tok-coa-kun (silat ular beracun). Dorongan ini hebat sekali sebab dari telapak tangan kiri itu keluar uap kehitaman. Itulah pukulan beracun yang amat ganas!

"Haiiiitttt…!" Bhok Cun Ki yang mengenal pukulan maut segera meloncat lagi ke atas, lalu menukik bagaikan seekor burung garuda.

Pada saat itu pula dari arah kiri dia melihat ada sinar hitam meluncur ke arah dadanya. Ia tahu bahwa dia diserang oleh senjata rahasia yang berbahaya. Karena tubuhnya sedang berada di udara dan tidak dapat mengelak, dia mengerahkan tenaga pada pedangnya dan menangkis senjata rahasia yang hanya berupa sinar hitam itu.

"Cringgg…!" Dan sinar hitam itu tertangkis, meluncur ke bawah mengarah ke Lili.

"Awas...!" Bhok Cun Ki berseru memperingatkan, namun terlambat.

Lili sama sekali tidak menyangka bahwa akan ada senjata rahasia meluncur sedemikian cepatnya oleh tangkisan pedang lawan yang berada di atas sehingga sebelum tahu apa yang terjadi, tiba-tiba dia merasa nyeri pada pundak kirinya dan senjata rahasia itu telah menancap di pundaknya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan matanya berkunang, lalu gelap! Lili roboh pingsan.

"Pengecut curang!" teriak Bhok Cun Ki dan tubuhnya sudah melayang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi. Tapi dia tidak menemukan orangnya. Agaknya penyerang gelap itu telah melarikan diri dengan cepat.

Karena cuaca mulai remang-remang, Bhok Cun Ki cepat menghampiri Lili. Gadis itu rebah miring dan ketika dia memeriksanya, dia pun terkejut. Sebatang paku hitam menancap di pundak itu. Paku itu masuk semua ke dalam daging pundak, dan panjang paku itu sama dengan jari kelingkingnya. Paku beracun!

Hal ini dapat dilihatnya dengan seketika sesudah merobek baju gadis itu dan melihat betapa di sekitar luka itu nampak tanda hitam kebiruan. Segera dia menotok beberapa bagian dari pundak itu, menghentikan jalan darah supaya racun paku itu tidak menyebar luas, lantas dicabutnya paku itu. Karena dia tidak membawa obat, maka tubuh gadis yang masih pingsan itu dipanggulnya dan dibawanya lari cepat kembali ke kota raja.

Tentu saja para penjaga menjadi terkejut melihat panglima itu memanggul seorang gadis yang pingsan dan mereka pun cepat memberi pertolongan, menyediakan kereta sehingga Bhok-ciangkun dapat membawa Lili pulang tanpa menarik banyak perhatian.

Kedatangan Bhok-ciangkun disambut dengan girang oleh Ci Han dan Ci Hwa. Akan tetapi mereka juga amat terheran-heran saat melihat ayahnya memondong tubuh seorang gadis yang bukan lain adalah Lili, gadis yang hendak membunuhnya!

"Ayah, kenapa ayah membawa siluman ini ke sini?" tanya Ci Hwa.

"Apa yang terjadi, ayah," tanya Ci Han.

Sin Wan yang juga berada di situ tidak bertanya karena dia sudah mengetahui segalanya. Dia sudah berjanji kepada Ci Hwa untuk melindungi Bhok-ciangkun supaya tidak sampai celaka di tangan Lili. Karena itu, sebelum Bhok-ciangkun berangkat, dia telah mendahului naik mendaki bukit Bambu Naga dengan mengambil jalan memutar sambil bersembunyi, kemudian dia menyembunyikan diri di balik semak belukar di puncak.

Karena itu dia melihat pertemuan antara Bhok Cun Ki dengan Lili, bahkan mendengarkan semua percakapan di antara mereka. Kemudian tahulah dia urusan pribadi apa yang ada antara Bhok Cun Ki dan Bi-coa Sianli Cu Sui In.

Diam-diam dia merasa terharu dan kasihan kepada mereka berdua. Cinta antara pria dan wanita merupakan perpaduan dari sorga dan neraka. Kalau berkembang dan berhasil baik membuat keduanya merasa seperti di sorga, sebaliknya kegagalan cinta membuat orang merana seperti tersiksa di neraka...!

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 12

SASTERAWAN itu membiarkan si muka bopeng lari kemudian dia pun membalik, menghadapi Pangeran Chu Hui San dan menjatuhkan diri berlutut dengan sikap hormat dan sopan sekali. "Hamba kira akan jauh lebih baik dan aman kalau paduka selalu ditemani seorang pengawal yang boleh dipercaya. Akhir-akhir ini banyak sekali terdapat penjahat dan para pemberontak yang tentu akan berbuat yang tidak baik terhadap paduka."

Tentu saja pangeran itu merasa berterima kasih karena tanpa munculnya sastrawan itu, tentu sekarang dia telah tewas dibunuh si muka bopeng tadi. Dia segera melangkah maju dan dengan kedua tangan menyentuh pundak sastrawan itu, dia berkata. "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku. Kami akan merasa senang sekali kalau saat ini engkau suka menemani dan menjaga keselamatanku."

"Hamba suka sekali, dan hamba siap mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka, pangeran!" kata sastrawan itu.

"Siapa namamu?"

"Hamba she (bernama keturunan) Yauw, nama hamba Lu Ta."

Pada saat itu pula wanita muda yang semenjak tadi berdiri ketakutan mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar. Tetapi Yauw Lu Ta segera meloncat dan sekali tangannya bergerak, dia telah menotok wanita itu pada pundaknya, membuat wanita itu menjadi lemas dan tentu akan jatuh ke atas lantai kalau Yauw Lu Ta tidak segera menyambutnya, memegang lengannya lantas mendudukkannya di atas lantai bersandar dinding. Wanita muda itu tak mampu bergerak, hanya sepasang matanya yang memandang dengan ketakutan.

"Yauw Siucai (Sastrawan Yauw), kalau dia tidak mau, suruh dia pergi. Kami tidak mau memperkosanya!" kata Pangeran Chui Hui San dengan suara mengandung kekecewaan. Wanita itu bukan saja menolak cintanya, bahkan suaminya hampir saja membunuhnya!

Yauw Lu Ta membungkuk sambil tersenyum. "Harap paduka jangan kecewa. Dalam satu menit dia akan berubah sama sekali dan akan melayani paduka dengan seluruh tubuh dan hatinya."

Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Ketika dibukanya, dalam bungkusan terisi bubuk merah. Melihat di atas meja dalam kamar itu terdapat cawan dan guci arak, dia menuangkan sedikit arak ke dalam cawan itu, dimasukkannya sedikit bubuk merah ke dalam cawan kemudian dia menghampiri wanita muda itu, tangan kiri menekan kanan-kiri mulut sehingga mulut itu terbuka, ditengadahkan, lalu isi cawan dia tuangkan ke dalam mulut. Di luar kehendaknya, wanita itu terpaksa menelan anggur dari cawan dan setelah itu barulah Yauw Lu Ta melepaskannya.

Pangeran Chu Hui San terus memandang penuh perhatian. Satu menit kemudian terjadi perubahan pada wajah wanita itu. Kedua pipinya kemerahan dan pandang matanya tidak lagi ketakutan, akan tetapi seperti orang yang mengantuk.

Yauw Lu Ta membebaskan totokannya dan dia pun berkata. "Kini paduka dapat berbuat apa pun terhadap dirinya. Dia pasti akan menyerahkan diri dengan suka rela dan penuh semangat. Hamba akan menjaga keamanan paduka di luar kamar." Yauw Lu Ta segera melangkah keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.

Sebenarnya, peristiwa tadi sudah mengusir semua gairah nafsu dari pikiran pangeran ini. Akan tetapi dia tertarik dan ingin sekali tahu apakah ucapan pengawal barunya itu benar. Dia lalu memandang wanita muda yang sudah dibebaskan dari totokan itu.

Sekarang wanita itu berlutut menghadap kepadanya, hanya menundukkan muka dan tidak berani memandangnya, juga tak mengeluarkan kata-kata, tidak pula menangis ketakutan lagi.

“Angkat mukamu!" kata pangeran itu dengan suara memerintah.

Wanita muda itu mengangkat muka memandangnya. Dan alangkah jauh bedanya dengan tadi. Wanita itu kini memandangnya dengan sikap malu-malu, dengan mata sayu sambil mulut mengulum senyum.

"Kesinilah," kata pula pangeran itu.

Wanita itu tampak tersipu, kemudian bangkit dan dengan malu-malu berjalan menghampiri Pangeran Chu Hui San. Ketika pangeran merangkulnya, dia pun mengeluarkan suara lirih dan menyandarkan mukanya ke dada pangeran itu.

“Siapa namamu, manis?"

"Nama hamba Bi Kim...” suaranya berbisik.

Sekarang bangkitlah kembali gairah di hati pangeran itu. Dia pun menuntun wanita itu ke pembaringan dan benarlah seperti yang dikatakan Yauw Lu Ta tadi, kini wanita itu sama sekali tidak menolaknya, bahkan melayaninya dengan suka rela dan penuh gairah.

Tentu saja semua itu merupakan siasat yang sudah diatur oleh Yauw Lu Ta atau Yaluta, pangeran Mongol itu! Ketika Kerajaan Mongol belum jatuh, dia masih kecil, baru belasan tahun usianya dan tidak dikenal. Karena itu tanpa ragu-ragu dia berani mempergunakan namanya, hanya diubah sedikit menjadi nama pribumi agar tidak ada yang tahu bahwa dia adalah bekas pangeran Mongol!

Sejak peristiwa di rumah pelesir itu, Pangeran Chu Hui San menerima Yauw Lu Ta yang disebutnya Yauw Siucai menjadi pengawal pribadinya, juga temannya berfoya-foya. Yauw Siucai amat pandai mengambil hatinya. Dengan adanya Yauw Siucai, putera mahkota ini dapat menikmati bermacam kesenangan yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali.

Dengan bantuan Yauw Siucai, wanita yang bagaimana keras pun akan menjadi lunak dan jinak. Bahkan saking percayanya pada Yauw Siucai, putera mahlota itu telah mengangkat sastrawan ini menjadi guru sastra dari puteranya yang bernama Chu Hong. Maka kuatlah kedudukan Yauw Siucai di istana putera mahkota.

Dengan cerdik sekali Yauw Lu Ta yang memang mendekati pangeran putera mahkota ini untuk tujuan yang lebih besar, menuntun Pangeran Chu Hui San yang lemah itu sehingga keadaan pangeran itu menjadi semakin rusak. Bukan saja bujukan Yauw Siucai membuat dia menjadi semakin menggila dalam mengejar kesenangan sehingga lupa diri, juga Yauw Siucai dengan cerdik menjerumuskan pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu menjadi seorang pecandu madat!

Yauw Siucai ingin agar kelak yang menjadi kaisar adalah orang yang lemah, tidak mampu dan yang berada di bawah pengaruhnya sehingga kalau dia mendapatkan kesempatan baik melakukan gerakan, maka pemerintahan di bawah kaisar semacam itu akan mudah dia robohkan dan dia dapat membangun kembali Kerajaan Goan (Mongol) yang pernah jaya!

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Sore itu udara cerah sekali. Langit tidak ternoda awan, dan walau pun matahari sudah condong jauh ke barat, namun sinarnya masih kuat dan hawa udara cukup gerah karena tidak ada angin bertiup.

Dengan langkah lebar dan tegap Panglima Bhok Cun Ki berjalan mendaki bukit Bambu Naga di luar kota raja. Dia sengaja berjalan kaki, tidak menunggang kuda. Pertama, agar tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ke dua supaya lebih mudah baginya untuk melihat bahwa tidak ada orang yang membayanginya. Dia tidak ingin anak-anaknya turut mencampuri urusan pribadinya.

Tentu saja cerita putera dan puterinya tentang gadis yang memiliki pedang Ular Putih itu seketika mengingatkan dia akan riwayat hidupnya dahulu, ketika dia belum menikah. Dia pernah saling berkenalan dan bersahabat dengan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai dan akhirnya dia dan wanita itu yang bernama Cu Sui In saling jatuh cinta.

Waktu itu dia sendiri adalah seorang pendekar muda Butong-pai, dan gadis itu memang cantik dan pandai, sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang serasi dan cocok sekali. Hubungan di antara mereka sudah amat intim dan mesra, bahkan keduanya sudah demikian saling percaya bahwa mereka akan menjadi suami isteri sehingga mereka saling menyerahkan diri.

Namun beberapa hari kemudian dia memperoleh kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah puteri See-thian Coa-ong! Malah di dunia kangouw kekasihnya itu dikenal dengan julukan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) yang terkenal ganas dan kejam! Melihat kenyataan pahit ini, seketika dia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dan meninggalkan Cu Sui In.

Sebagai seorang pendekar penentang golongan sesat, tidak mungkin dia menikah dengan seorang puteri datuk sesat! Tentu saja seluruh dunia kangouw akan mentertawakannya, dan bagaimana dia akan tetap dapat menentang kejahatan kalau beristeri seorang tokoh jahat?

"Ahh, Sui In..." Dia menghela napas panjang dan mengeluh dalam hati, "kenapa sampai sekarang engkau masih mendendam? Dan mengapa pula tidak datang sendiri mencariku, akan tetapi menyuruh muridmu?"

Sesudah tiba di puncak bukit yang amat sunyi itu, dia berdiri di puncak yang datar, yang dikelilingi hutan bambu yang lebat. Di situ banyak terdapat bambu yang batangnya seperti tubuh ular naga, maka disebut bambu naga. Meski pun dia tidak melihat bayangan orang, akan tetapi dia merasa bahwa ada orang yang mengintai dan mengamatinya. Oleh karena itu dia berdiri dengan tegak, kedua kaki terpentang, lalu dia berkata dengan suara yang lantang.

"Nona berpedang Ular Putih, aku Bhok Cun Ki telah datang memenuhi undanganmu!"

Memang sejak tadi Lili telah mengintai dari balik semak belukar. Sejak laki-laki itu mendaki lereng dekat puncak, dia sudah tahu dan ketika pria itu telah mendekat, dia memandang kagum.

Jadi inikah kekasih suci-nya yang telah meninggalkan suci-nya hingga membuatnya hidup merana? Pantas kalau suci-nya tergila-gila. Memang pria ini seorang laki-laki yang gagah perkasa dan ganteng. Sekarang pun dalam usia yang mendekati lima puluh tahun pria itu masih nampak tegap dan ganteng, dengan penampilan seorang pendekar tulen. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan langkahnya ketika mendaki puncak tadi bagaikan langkah seekor harimau. Dari atas puncak itu dia terus mengamati dan melihat bahwa pria ini memang datang seorang diri, dan ini pun menunjukkan bahwa dia memang gagah dan berani, dan tidak curang.

"Bagus, kiranya engkau yang bernama Bhok Cun Ki!"

Bhok Cun Ki membalikkan tubuh dan melihat bayangan berkelebat, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang gadis yang cantik. Dia mengamati penuh perhatian. Seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun yang cantik manis, dengan sikap yang dingin dan galak, namun matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang tak boleh dipandang ringan. Dia memberi hormat sepantasnya dengan merangkap kedua tangan di depan dada.

"Apakah hubunganmu dengan Cu Sui In, nona? Apakah engkau muridnya?" Bhok Cun Ki langsung bertanya karena dia sudah yakin bahwa inilah gadis yang telah mencarinya dan mengalahkan putera dan puterinya.

"Cu Sui In adalah suci-ku. Hemmm…, agaknya engkau sudah dapat menduga bahwa aku datang diutus oleh suci untuk membunuhmu?"

Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan mengangguk. "Aku sudah dapat menduganya. Kiranya engkau adalah sumoi-nya, dan engkau murid See-thian Coa-ong. Pantas engkau lihai. Akan tetapi, terima kasih bahwa engkau tidak membunuh kedua orang anakku. Hal ini saja sudah mengherankan karena biasanya orang-orang dari Bukit Ular tidak pernah membiarkan lawannya hidup."

Lili mengerutkan sepasang alisnya. "Aku bukan pembunuh! Aku hanya ditugaskan untuk membunuhmu, bukan membunuh anak-anakmu. Nah, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Engkau atau aku yang akan mati hari ini!" Lili mencabut pedangnya dan nampaklah sinar putih menyilaukan mata tertimpa sinar matahari senja.

Bhok Cun Ki mengeluh dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa urusan pribadinya dengan Cu Sui In akan menimbulkan peristiwa yang dihadapinya sekarang ini. Dia ditantang oleh seorang gadis muda!

"Nona, siapakah namamu?" tanyanya dengan suara lembut karena begitu melihat gadis itu, walau pun dia nampak galak dan dingin, menimbulkan perasaan suka dalam hatinya. Dia merasa berhadapan dengan anak sendiri atau keponakan sendiri.

Bagaimana dia, seorang pendekar Butong-pai, seorang panglima, dapat merasa enak hati menyambut tantangan mengadu nyawa seorang gadis yang lebih pantas menjadi anaknya atau keponakannya?

"Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan adu nyawa ini, Bhok Cun Ki!" kata Lili dengan tegas.

"Memang benar sekali, akan tetapi kalau engkau kalah dan mati, engkau akan tahu siapa yang membunuhmu, sebaliknya kalau aku yang kalah dan mati, arwahku bisa penasaran karena aku tidak tahu siapa yang membunuhku." Bhok Cun Ki bicara dengan nada suara serius, akan tetapi juga mengandung kelakar.

Lili merasa sukar sekali untuk mempertahankan kekakuannya, juga di dalam hatinya tidak mempunyai masalah pribadi dengan pria ini, karena itu dia pun tidak dapat merasa benci. Bahkan dia merasa kagum karena dia berhadapan dengan seorang laki-laki jantan yang bersikap begitu tenang.

"Baik, namaku biasa disebut orang Lili.”

"Nona Lili, nama yang bagus. Akan tetapi kenapa suci-mu Cu Sui In tidak datang sendiri membunuhku, melainkan menyuruh engkau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan kami?"

"Aku hanya menunaikan tugas. Jangan tanya kepadaku, tanyakan saja kepada suci, akan tetapi tidak ada kesempatan lagi bagimu karena engkau akan mati ditanganku."

Bhok Cun Ki tersenyum. "Nona Lili, engkau masih begini muda tetapi sudah mempunyai kepandaian tinggi dan sangat pemberani. Sungguh sayang seorang muda seperti nona ini melakukan pertandingan mengadu nyawa. Aku sendiri sudah cukup tua, dan mati bagiku bukan apa-apa. Akan tetapi engkau masih begini muda dan berhak untuk hidup lebih lama dan menikmati hidupmu. Tahukah engkau mengapa suci-mu itu menyuruhmu mencariku dan membunuhku?"

"Bhok Cun Ki, mengapa engkau begini cerewet, sih? Agaknya dahulu suci terpikat oleh kapandaianmu merayu dengan kata-kata. Tentu saja aku tahu kenapa suci ingin agar aku membunuhmu. Engkau telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, sebab engkau telah membuat dia merana sehingga sampai sekarang suci-ku tidak berumah tangga. Engkau merayunya dengan ketampananmu, kepandaianmu merayu, dengan semua janji palsumu. Sudahlah, aku pun tidak peduli. Yang penting aku harus membunuhmu. Cepat keluarkan pedangmu, atau aku akan membuat engkau mati konyol!" Gadis itu lalu menggerakkan pedangnya sehingga berkelebatan dan mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.

“Tunggu sebentar, nona. Aku tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau ini mau membunuh orang yang belum siap melawan. Dengarlah dahulu, baru kita bertanding agar engkau mengetahui urusan antara aku dan suci-mu itu, agar kita berdua dapat bertanding dengan penuh kesadaran. Memang kuakui bahwa ketika aku masih muda, di antara aku dan suci-mu Cu Sui In terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam, bahkan kami berdua telah saling berjanji dan bersepakat untuk menjadi suami isteri. Aku mencintai dia dengan sepenuh hatiku, bahkan sampai sekarang pun aku masih mencintanya. Akan tetapi dia menipuku. Tadinya dia tidak berterus terang mengenai dirinya. Sesudah aku mengetahui bahwa dia adalah puteri See-thian Coa-Ong dan dia berjuluk Bi-coa Sianli, seorang tokoh sesat, juga puteri seorang datuk sesat yang melakukan banyak kekejaman dan kejahatan, bagaimana mungkin aku berjodoh dengannya? Tentu seluruh pimpinan Butong-pai akan mengutuk aku, karena sebagai seorang pendekar aku harus menentang golongan sesat, bukan mengawini puteri seorang di antara para datuknya, yaitu See-thian Coa-ong. Nah, itulah sebabnya aku memisahkan diri walau pun aku selalu mencintanya."

"Omong kosong! Cinta macam apa kalau memakai persyaratan? Cinta macam apa yang bisa dibeli dengan keadaan seseorang? Yang kau cinta itu orangnya, pribadinya, ataukah kedudukannya dan namanya? Ingat, aku pun murid See-thian Coa-ong pula, dan bagiku, suhu jauh lebih jantan dari pada engkau yang mengaku pendekar! Setidaknya, suhu tidak pernah menjual omong kosong dan rayuan gombal kepada seorang wanita!"

Wajah Bhok Cun Ki berkerut-kerut dan berubah agak pucat, matanya terlihat bingung dan gelisah! Selama hidupnya, baru sekali inilah dia merasa menyesal bukan main. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Cu Sui In, akan tetapi selama ini dia selalu menghibur perasaannya, menghibur batinnya bahwa dia meninggalkan Sui In karena melihat bahwa dia dan Sui In tidak akan dapat menjadi suami isteri yang rukun. Namun semua itu hanya hiburan belaka bagi perbuatan mengkhianati kasih di antara mereka.

Di dalam hati kecilnya dia sudah merasa menyesal mengapa dia tergesa-gesa mengambil keputusan memutuskan cintanya itu. Padahal dia tahu betapa Sui In sangat mencintanya, dan demi cinta kasih mereka itu, bukan tidak mungkin dia akan dapat menuntun Sui In kembali ke jalan benar! Kini, dari mulut gadis itu dia seperti mendengarkan suara hatinya sendiri yang setiap kali membuatnya menyesal.

"Sudahlah, memang aku merasa bersalah kepada Sui In. Akan tetapi, nona muda, jangan harap orang lain akan dapat membunuhku. Kalau Cu Sui In sendiri yang datang, aku akan menyerahkan nyawaku tanpa melawan. Tapi kalau dia mewakilkannya kepada orang lain, jangankan engkau, biar pun andai kata See-thian Coa-ong sendiri yang datang, aku akan melawan dan membela diri."

"Bagus, aku pun bukan orang yang suka membunuh lawan yang tidak mau membela diri. Hayo, cabut senjatamu karena sudah cukup banyak kita bicara!" bentak Lili dengan sikap garang.

Bhok Cun Ki tersenyum, kemudian ia pun mencabut pedangnya. Nampak sinar kehijauan berkelebat pada waktu dia mencabut pedang Ceng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau) yang merupakan sebatang pedang pusaka dari Butong-pai. Hanya murid yang sudah berjasa mengangkat nama baik Butong-pai saja yang berhak menerima hadiah sebatang senjata pusaka Butong-pai, dan Bhok-ciangkun ini seorang di antara para pendekar Butong-pai yang tangguh.

"Aku sudah siap, nona Lili!" katanya.

"Lihat pedang!" Lili membentak.

Dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya yang berbentuk ular putih itu, mulai dengan serangannya. Karena dia telah tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) dan menurut suci-nya amat lihai, begitu menyerang dia sudah menggunakan jurus yang amat dahsyat. Pedangnya berubah menjadi sinar putih, meluncur cepat bagaikan anak panah menusuk ke arah tenggorokan lawan.

"Wirrrr...! Singgg...!”

Pedang itu berdesing ketika luput dari sasarannya karena Bhok Cun Ki sudah mengelak dengan cepat, lantas dari samping pedangnya berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah mata kiri Lili! Serangan balasan ini pun sungguh dahsyat, cepat serta mengandung tenaga sehingga pedangnya berdesing nyaring.

Tetapi Lili telah mengelak dengan merendahkan tubuhnya, kemudian kaki kirinya mencuat ke arah pusar lawan, disusul pedangnya menyambar dari kanan ke kiri membabat leher!

"Wuuuutttt...!"

Kembali Bhok-ciangkun menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan meloncat ke belakang. Dengan amat cepatnya Lili sudah meloncat ke depan, menyusulkan serangan lanjutan yang makin hebat. Pedangnya bagaikan seekor ular meluncur dibarengi tubuhnya yang merendah, dan pedang itu menusuk ke arah kedua lutut kaki lawan secara bertubi! Seolah-olah ada banyak sekali ular yang menyerang dan mematuk ke arah lutut dan kalau sekali saja lutut itu terkena patukan pedang ular, tentu Bhok-ciangkun akan roboh!

Namun Bhok-ciangkun adalah seorang pendekar pedang yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam bertanding dengan pedang. Sebagai seorang pendekar pedang, sudah banyak dia bertanding melawan orang-orang dari berbagai golongan. Tentu saja dia tidak mudah dikalahkan begitu saja dan dia sudah melihat bahayanya serangan yang dilakukan gadis itu ke arah kedua lututnya.

Dengan ringan sekali tubuhnya meloncat ke atas, berjungkir balik lantas turun ke belakang Lili dan membalas dengan serangan pedangnya yang diputar dengan cepatnya. Dia mulai memainkan jurus-jurus ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah dan kuat, juga sangat cepat sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung!

Lili terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang lawan. Dia pun tak mau kalah, maka dia memainkan pedangnya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi cahaya putih yang bergulung-gulung.

Kadang-kadang dua gulungan putih dan hijau itu retak dan putus ketika sepasang pedang beradu di udara, menimbulkan percikan bunga api dan mengeluarkan bunyi berkerontang nyaring. Keduanya merasa tangan kanan masing-masing tergetar, maka tahulah mereka bahwa lawan memiliki tenaga yang tangguh dan keadaan mereka berimbang.

Akan tetapi, setelah lewat lima puluh jurus mulailah sinar putih itu terkurung tertekan oleh sinar hijau. Bagaimana pun juga ilmu pedang yang dimainkan Bhok Cun Ki memang hebat sekali. Lagi pula dia mempunyai banyak pengalaman bertanding, jauh lebih banyak kalau dibandingkan lawannya.

Kini Lili mulai terdesak! Gadis yang keras hati dan pemberani ini maklum bahwa kalau dia hanya mainkan ilmu pedang biasa saja, hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, ia tak akan menang melawan ilmu pedang lawan yang demikian hebatnya.

Tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis nyaring lantas gerakan pedangnya berubah. Bukan hanya gerakan pedangnya yang berubah, melainkan juga gerakan tubuhnya. Kini tubuh gadis itu, kedua lengannya serta gerakan pedang itu, mengandung gerakan seekor ular! Berlenggang lenggok dan menyerang dari bawah dengan tusukan, bacokan, seperti ular memagut, disertai desis mengerikan seperti seekor ular cobra yang marah!

Bhok Cun Ki terkejut juga menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu. Tahulah dia bahwa gadis itu mengeluarkan inti dari ilmu silatnya yang bersumber dari gerakan ular dan ilmu ini yang membuat nama besar See-thian Coa-ong sangat ditakuti orang.

Gadis itu memang sangat lihai dan berbahaya sekali. Bukan hanya pedang putih itu yang berbahaya, menyambar-nyambar dari bawah seperti seekor ular beracun pembawa maut, akan tetapi juga tangan kirinya membantu dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Tangan itu menotok, mencengkeram dan gerakannya seperti seekor ular pula.

Dihujani serangan dari bawah seperti itu, keadaannya menjadi berbalik. Kalau tadi Bhok Cun Ki berhasil mendesak lawan, sekarang dia lebih banyak mengelak atau menangkis, dan segera terdesak sebab dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya. Dia merasa seolah-olah dikeroyok banyak ular beracun.

Akan tetapi, setelah belasan jurus lewat dan dia terdesak semakin hebat, teringatlah dia akan pertandingan ujian dalam permainan pedang melawan Sin Wan pagi tadi. Pemuda itu berkata bahwa lawan ular yang tangguh adalah burung! Kini mengertilah Bhok Cun Ki bahwa secara tidak langsung pemuda itu telah memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus melayani gadis ini! Dia pun mengerahkan tenaga, mengeluarkan bentakan nyaring dan mendadak tubuhnya meloncat ke atas, lantas menukik turun dan menyerang dari atas dengan pedangnya!

Lili yang kini terkejut dan cepat menangkis, akan tetapi Bhok Cun Ki sudah melanjutkan serangkaian serangannya yang membuat gadis itu repot. Ketika Lili melempar diri ke atas tanah bergulingan kemudian membentuk serangan baru dari bawah, kembali tubuh Bhok-ciangkun melompat tinggi ke atas. Sekarang dia tidak mau menangkis atau mengelak ke samping, namun menghadapi serangan gadis itu dengan loncatan tinggi kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar bagaikan seekor rajawali menyerang seekor ular.

Kembali keadaan menjadi berbalik, sekarang Lili yang terdesak karena seperti seekor ular menghadapi burung yang dapat terbang, dia tidak diberi kesempatan menyerang lawan, sebaliknya lawan menghujankan serangan yang dimulai dari atas.

Hal ini membuat Lili menjadi penasaran dan marah sekali. Ketika untuk kesekian kalinya Bhok Cun Ki mendesaknya dengan serangan bertubi, dia mengeluarkan teriakan nyaring, pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya sambil tangan kirinya mendorong dengan pengerahan tenaga dari ilmu Tok-coa-kun (silat ular beracun). Dorongan ini hebat sekali sebab dari telapak tangan kiri itu keluar uap kehitaman. Itulah pukulan beracun yang amat ganas!

"Haiiiitttt…!" Bhok Cun Ki yang mengenal pukulan maut segera meloncat lagi ke atas, lalu menukik bagaikan seekor burung garuda.

Pada saat itu pula dari arah kiri dia melihat ada sinar hitam meluncur ke arah dadanya. Ia tahu bahwa dia diserang oleh senjata rahasia yang berbahaya. Karena tubuhnya sedang berada di udara dan tidak dapat mengelak, dia mengerahkan tenaga pada pedangnya dan menangkis senjata rahasia yang hanya berupa sinar hitam itu.

"Cringgg…!" Dan sinar hitam itu tertangkis, meluncur ke bawah mengarah ke Lili.

"Awas...!" Bhok Cun Ki berseru memperingatkan, namun terlambat.

Lili sama sekali tidak menyangka bahwa akan ada senjata rahasia meluncur sedemikian cepatnya oleh tangkisan pedang lawan yang berada di atas sehingga sebelum tahu apa yang terjadi, tiba-tiba dia merasa nyeri pada pundak kirinya dan senjata rahasia itu telah menancap di pundaknya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan matanya berkunang, lalu gelap! Lili roboh pingsan.

"Pengecut curang!" teriak Bhok Cun Ki dan tubuhnya sudah melayang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi. Tapi dia tidak menemukan orangnya. Agaknya penyerang gelap itu telah melarikan diri dengan cepat.

Karena cuaca mulai remang-remang, Bhok Cun Ki cepat menghampiri Lili. Gadis itu rebah miring dan ketika dia memeriksanya, dia pun terkejut. Sebatang paku hitam menancap di pundak itu. Paku itu masuk semua ke dalam daging pundak, dan panjang paku itu sama dengan jari kelingkingnya. Paku beracun!

Hal ini dapat dilihatnya dengan seketika sesudah merobek baju gadis itu dan melihat betapa di sekitar luka itu nampak tanda hitam kebiruan. Segera dia menotok beberapa bagian dari pundak itu, menghentikan jalan darah supaya racun paku itu tidak menyebar luas, lantas dicabutnya paku itu. Karena dia tidak membawa obat, maka tubuh gadis yang masih pingsan itu dipanggulnya dan dibawanya lari cepat kembali ke kota raja.

Tentu saja para penjaga menjadi terkejut melihat panglima itu memanggul seorang gadis yang pingsan dan mereka pun cepat memberi pertolongan, menyediakan kereta sehingga Bhok-ciangkun dapat membawa Lili pulang tanpa menarik banyak perhatian.

Kedatangan Bhok-ciangkun disambut dengan girang oleh Ci Han dan Ci Hwa. Akan tetapi mereka juga amat terheran-heran saat melihat ayahnya memondong tubuh seorang gadis yang bukan lain adalah Lili, gadis yang hendak membunuhnya!

"Ayah, kenapa ayah membawa siluman ini ke sini?" tanya Ci Hwa.

"Apa yang terjadi, ayah," tanya Ci Han.

Sin Wan yang juga berada di situ tidak bertanya karena dia sudah mengetahui segalanya. Dia sudah berjanji kepada Ci Hwa untuk melindungi Bhok-ciangkun supaya tidak sampai celaka di tangan Lili. Karena itu, sebelum Bhok-ciangkun berangkat, dia telah mendahului naik mendaki bukit Bambu Naga dengan mengambil jalan memutar sambil bersembunyi, kemudian dia menyembunyikan diri di balik semak belukar di puncak.

Karena itu dia melihat pertemuan antara Bhok Cun Ki dengan Lili, bahkan mendengarkan semua percakapan di antara mereka. Kemudian tahulah dia urusan pribadi apa yang ada antara Bhok Cun Ki dan Bi-coa Sianli Cu Sui In.

Diam-diam dia merasa terharu dan kasihan kepada mereka berdua. Cinta antara pria dan wanita merupakan perpaduan dari sorga dan neraka. Kalau berkembang dan berhasil baik membuat keduanya merasa seperti di sorga, sebaliknya kegagalan cinta membuat orang merana seperti tersiksa di neraka...!