Si Pedang Tumpul Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SIN WAN merasa pinggulnya nyeri sekali, piut-miut rasanya berdenyut-denyut seperti mau pecah, panas dan pedih menusuk jantung, sementara tubuhnya masih lemas tak mampu bergerak karena totokan. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan semua penderitaan itu, bahkan dia tersenyum, senyum yang oleh Lili dianggap menantang dan menyakitkan hati. Kemudian Sin Wan berkata dengan suara lirih dan lembut tanpa kemarahan.

"Aku hanya ingin berkata bahwa sayang sekali engkau yang demikian cantik dan gagah, yang berkepandaian tinggi, telah dibikin gila oleh dendam sehingga menjadi kejam seperti setan."

Sepasang mata itu terbelalak dan tangan kanannya melayang.

"Plakk…!"

Keras sekali telapak tangan itu menghantam pipi kiri Sin Wan sehingga kepala pemuda itu terdorong ke kanan dan seketika pipi itu menjadi merah membiru dan membengkak.

"Kau maki aku seperti setan? Engkaulah yang setan, iblis, siluman! Kau... kau..., huh, aku benci padamu. Benciiii...!" Gadis itu mengeluarkan suara aneh, seperti tawa akan tetapi juga mirip tangis, atau suara antara keduanya itu. "Biar kau dimakan binatang buas!” Dan sekali melompat, gadis itu segera menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang mulai gelap itu.

Sin Wan termenung. Pipinya berdenyut-denyut keras, nyerinya dapat mengalahkan rasa nyeri di pinggul. Betapa galaknya gadis itu dan dia pun membayangkan Lili. Aneh, yang terbayang olehnya bukan peri laku yang menyiksanya tadi. Terbayang olehnya saat gadis itu tertidur pulas di dadanya! Yang terngiang di telinganya bukan caci-makinya, melainkan ucapan gadis itu yang mengaku cinta padanya.

Malam mulai tiba. Sinar rembulan yang menggantikan matahari tidak cukup kuat mengusir kegelapan malam, akan tetapi setidaknya mendatangkan cahaya yang menembus daun-daun pohon sehingga cuacanya tidak gelap benar, melainkan remang-remang. Dia belum mampu menggerakkan tubuhnya.

Totokan Lili ternyata lihai bukan kepalang. Agaknya dia harus menunggu satu dua jam lagi agar pengaruh totokan itu membuyar dan baru dia akan dapat mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali sabuk yang mengikat kaki serta tangannya pada pohon. Sebelum dia mampu mengerahkan tenaga, dia tidak berdaya. Terdengar suara gerengan di sana-sini.

"Harimau,” pikir Sin Wan, “atau sebangsa itu, binatang hutan yang liar!”

Kalau dia belum mampu menggunakan tenaga lantas ada binatang buas datang, tentu dia akan mati konyol! Dia akan menjadi mangsa binatang buas, kulit serta dagingnya akan digerogoti, dia akan dimakan hidup-hidup! Bukan main ngeri rasa hatinya membayangkan semua itu, akan tetapi perasaan ngeri dan takut itu langsung lenyap seketika sesudah dia teringat akan keyakinan hatinya terhadap kekuasaan Tuhan!

Sebagai manusia dia hanya sekedar alat. Hidup dan matinya milik Tuhan! Mengapa harus takut? Dia menyerah penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan! Apa bila Tuhan menghendaki dia mati, setiap saat pun dia siap dengan hati yang rela dan ikhlas. Bukan berarti-putus asa! Penyerahan dengan ikhlas tidak berarti putus asa.

Saat ini dia masih hidup dan selama dia masih hidup, dia akan menggunakan segala daya kemampuannya untuk bertahan hidup, untuk menjaga serta mempertahankan hidupnya. Akan tetapi kalau memang Tuhan menghendaki dia mati, dia tidak akan menyesal karena penyerahan seikhlasnya berarti ikhlas untuk hidup dan ikhlas pula untuk mati, menyerah kepada kekuasaan Tuhan!

Keyakinan serta penyerahannya ini mengusir semua rasa takut, bahkan Sin Wan dapat menghadapi keadaannya saat itu dengan senyum di bibir. Betapa menariknya kehidupan dan segala liku-likunya ini, dan kini dia sudah siap untuk menjadi saksi, mengikuti setiap pengalaman hidup sampai akhir.


Tiba-tiba terdengar gerengan keras dan Sin Wan menengok ke kiri. Lehernya sudah dapat dia gerakkan, namun ketika dia berusaha menggerakkan tangan dan kaki, kedua pasang anggota tubuh itu masih lemas dan tidak dapat dia gerakkan!

Dan dia melihat ada sepasang mata mencorong di dalam cuaca yang remang-remang itu. Nampaknya bayangan itu seperti seekor anjing yang berindap-indap menghampirinya, tapi gerengan ini jelas bukan gonggong atau salak anjing, melainkan auman harimau!

Sin Wan merasa betapa bulu tengkuknya kini meremang. Bagaimana pun juga nalurinya untuk mempertahankan hidup sudah mendatangkan kecemasan ketika dia sadar bahwa di hadapannya hadir seekor harimau yang mengancamnya yang sedang tak berdaya itu. Kini dia benar-benar akan mati konyol! Tetapi kepasrahan yang mutlak kembali menenangkan hatinya dan dia pun memandang ke arah harimau itu dengan tajam.

Dia pernah mendengar bahwa harimau takut beradu pandang mata dengan manusia dan kalah wibawa. Bahkan ada kemungkinan bahwa sesudah bertemu pandang, binatang itu akan merasa takut lantas pergi tanpa mengganggunya. Akan tetapi dia lupa bahwa ketika itu cuaca remang-remang dan mata manusia berbeda dengan mata harimau. Kekuasaan Tuhan adalah bijaksana dan adil, maka semua makhluk dan benda ciptaan Tuhan selalu dibekali sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masing-masing.

Harimau tidak berakal, tak pandai membuat alat penerangan, hidup di dalam hutan gelap, maka memiliki mata yang penglihatannya dapat menembus kegelapan sehingga matanya mencorong, sedangkan manusia dapat membuat alat penerangan untuk mengatasi gelap malam. Maka betapa pun tajam dia memandang, binatang itu tidak menjadi undur, bahkan menggereng semakin keras dan menghampiri semakin dekat.

Perlahan-lahan, dengan hati-hati binatang itu mendekati Sin Wan dan pemuda ini merasa betapa hidung binatang itu mengendus serta menyentuh kakinya. Dia memejamkan mata, menyerah kepada Tuhan, maklum bahwa kalau harimau itu menyerang maka dia tak akan mampu melindungi dirinya. Harimau itu mengaum keras, kaki depan kiri bergerak cepat ke arah paha Sin Wan.

"Brettttt...!" Celana Sin Wan terobek dengan mudah dan kulit pahanya ikut terkena cakaran sehingga terobek dan berdarah! Dia berusaha mengerahkan tenaga, namun tidak berhasil. Harimau itu kini undur, bukan untuk pergi, melainkan untuk mengambil ancang-ancang.

Darah yang mengalir dari paha Sin Wan yang tergores kuku itu membuat dia semakin liar. Kini binatang itu merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang untuk meloncat. Matilah aku sekarang, pikir Sin Wan. Binatang itu meloncat ke atas, menubruk ke arah Sin Wan.

"Cratttt...! Bukkk!"

Tubuh binatang itu terhenti di udara ketika sebatang pedang menyambutnya dengan satu tusukan memasuki perutnya, kemudian sebuah tendangan kilat membuat tubuh binatang itu terlempar. Biar pun telah terluka parah dan dari perutnya bercucuran darah, harimau itu tidak roboh atau menjadi takut, bahkan menjadi semakin nekat. Kini dia menubruk ke arah orang yang menyakitinya, yang berdiri di depan Sin Wan.

"Srattt...!" Tubuh harimau terpelanting dan matilah dia dengan leher hampir putus terbabat pedang!

Lili membersihkan pedangnya dengan menggosoknya pada kulit bangkai harimau. Dalam cuaca yang remang-remang Sin Wan terbelalak ketika mengenal bahwa yang membunuh harimau itu dan yang menyelamatkan dirinya adalah Lili. Hatinya merasa senang bukan main, bukan saja senang karena dia tidak mati konyol menjadi mangsa harimau, namun karena ternyata gadis itu tidak sejahat seperti yang ingin diperlihatkannya. Ternyata gadis itu tidak pernah meninggalkannya seperti ancamannya tadi, melainkan bersembunyi dan menjaganya, bahkan menyelamatkannya.

"Terima kasih, Lili...," katanya lirih.

Lili menyimpan pedangnya, lalu membalik untuk menghadapi pemuda itu. Alisnya berkerut karena ucapan Sin Wan yang terdengar lembut itu, juga wajah pemuda yang tersenyum penuh syukur kepadanya itu, seolah menusuk jantungnya.

"Aku telah memukulimu, menghinamu, memakimu bahkan menyiksamu, dan engkau tidak mendendam kepadaku?" tanyanya penasaran.

Sin Wan sudah dapat menggoyang kepalanya. "Kenapa aku harus mendendam? Sebelas tahun yang lalu aku juga pernah memukuli pinggulmu, jadi sekarang aku hanya membayar hutangku. Dulu aku terlampau keras kepadamu Lili, maka sudah sepatutnya jika engkau membalas."

Sepasang mata itu tertegun, dan senyum sadis itu perlahan-lahan berubah seperti orang hendak menangis. Semua ini dapat dilihat Sin Wan karena kebetulan cahaya bulan dapat menerobos celah-celah daun sehingga menerangi mereka. Lili memandang wajah pemuda itu, menatap ke arah pipi kiri Sin Wan yang membengkak. Dia menghampiri lebih dekat, lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Sin Wan tidak siap menerima tamparan lagi, tapi sekali ini tangan itu tidak menampar, melainkan mengusap dan membelai pipi yang membengkak itu.

"Sin Wan... " suara itu terdengar seperti rintihan tangis dan mulut gadis itu mendekati pipi yang bengkak sehingga menyentuh telinga, lalu terdengar dia berbisik, "Sin Wan aku cinta padamu... ahh, aku benci padamu...!"

Ia pun menggerakkan tangan menotok, membebaskan Sin Wan dari pengaruh totokannya tadi, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap dari situ. Sekarang Sin Wan dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Sejenak dia diam saja, membiarkan jalan darahnya pulih kembali dan sikap Lili tadi masih membuat dia tertegun. Gadis itu cinta padanya dan juga benci padanya! Bagaimana ini? Bagaimana mungkin ada orang mencinta sekaligus membenci?

Ia menggeleng kepalanya, lalu mengerahkan tenaga sinkang dan dengan mudah saja dia melepaskan tali pengikat kaki dan tangannya. Dia memegangi potongan kain sabuk sutera itu, mengamatinya dan menggeleng-geleng kepala lagi.

"Lili..., Lili..., sungguh aku tidak mengerti."

Dia lalu meninggalkan tempat itu, keluar dari hutan dan memasuki kota Lok-yang. Kakek Bu Lee Ki sudah memberi tahu kepadanya bahwa kakek itu dan Kui Siang akan menyewa kamar di losmen Ho-peng yang berada di ujung barat kota itu.

Tidak sukar untuk menemukan losmen di bagian barat kota itu, dan ketika Sin Wan minta keterangan dari pelayan losmen tentang kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang, ternyata pelayan itu telah mendapat pesan dari Bu Lee Ki dan segera mengantar pemuda itu ke kamarnya.

"ltulah dua kamar kakek dan nona itu," kata pelayan.

Sin Wan mengetuk pintu kamar Bu Lee Ki dan sejenak kemudian kakek itu membukakan pintu. Dia agak terkejut melihat celana Sin Wan yang robek, pahanya yang terluka berupa goresan memanjang, langkahnya yang sedikit terpincang-pincang serta pipi kirinya yang merah membengkak.

"Ehh? Apa yang terjadi?" tanyanya ketika mereka masuk kamar dan pintunya ditutupkan kembali oleh Bu Lee Ki.

Sin Wan merasa serba salah. Kalau dia bercerita tentang Lili, tentu dia harus menuturkan segalanya. Tetapi dia merasa malu, tidak ingin peristiwa di hutan tadi diketahui siapa pun. Akan tetapi bagaimana pula bila tidak diceritakan, karena keadaannya seperti itu. Dia pun teringat akan harimau itu, lalu berkata,

"Locianpwe, saya tersesat ke dalam hutan lalu diserang seekor harimau yang besar dan ganas. Saya berhasil membunuhnya, akan tetapi saya juga terluka, paha saya dicakarnya dan... begitulah." Dia tidak banyak bicara lagi, lalu membersihkan diri di kamar mandi dan bergantl pakaian.

"Di mana sumoi?" tanyanya setelah berganti pakaian.

Sesudah mendengar ceritanya, kakek itu nampak termenung. Jelas bahwa kakek itu tidak puas dan agaknya tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu dan tak mau berterus terang. Akan tetapi kakek itu tidak mendesak dan mendengar pertanyaan itu, dia pun tersenyum.

"Kalian orang-orang muda ini memang petualang-petualang yang sangat aneh. Tadi Kui Siang pulang dan tidak bicara apa-apa kepadaku. Dia langsung memasuki kamarnya dan aku mendengar betapa dia gelisah di kamarnya, malah aku seperti mendengar dia terisak menangis. Ahhh, sungguh lucu dan aneh. Dan engkau datang-datang seperti ini, baru saja berkelahi dengan harimau! Kalian orang-orang muda yang aneh…!"

Kakek itu tidak mendesak dan Sin Wan lalu merebahkan diri di pembaringan kecil di sudut kamar yang mempunyai dua buah pembaringan itu. Dan tidak lama kemudian dia sudah tidur pulas karena dia memang merasa lelah, lemas dan terutama sekali pinggulnya masih berdenyut-denyut, berlomba dengan denyut jantungnya.

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi dan merasa tubuhnya lebih segar walau pun rasa nyeri pada pinggulnya masih terasa, Sin Wan yang tidak melihat Kui Siang bertanya kepada Bu Lee Ki di mana adanya gadis itu.

Kakek itu mengerutkan alisnya, lalu menggelengkan kepala. "Entah apa yang telah terjadi dengan Kui Siang. Semalam dia pulang langsung ke kamarnya, dan sesudah tadi malam gelisah, pagi ini dia juga tidak keluar dari dalam kamarnya. Aku tadi sudah mengetuk daun pintu kamarnya dan bertanya. Dia membuka pintu dan mengeluh tidak enak badan, lantas rebah kembali. Pergilah engkau melihatnya. Sin Wan, aku khawatir ada apa-apa terjadi dengan sumoi-mu. Biasanya dia tidak seperti itu.”

Sin Wan merasa khawatir. Dia segera menghampiri kamar sumoi-nya lalu mengetuk daun pintu kamarnya. Beberapa kali dia mengetuk, tetapi tidak ada jawaban.

"Sumoi, harap buka pintu. Ini aku, Sin Wan ingin menjengukmu," katanya.

Juga tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap isak tangis tertahan. Tentu saja dia menjadi semakin khawatir! Maka didorongnya daun pintu itu perlahan, dan ternyata pintu itu tidak dikunci dari dalam dan dia pun memasuki kamar itu. Dilihatnya sumoi-nya duduk di pembaringan sambil menutupi mukanya dan menangis menyembunyikan tangisnya di balik bantal yang ditutupkan pada mukanya.

"Sumoi...! Engkau kenapakah?" tanya Sin Wan dengan kaget dan dia cepat menghampiri gadis itu, berdiri di depannya dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.

Mendengar ucapan itu dan merasa pundaknya disentuh tangan Sin Wan, tangis Kui Siang semakin mengguguk sampai pundaknya bergoyang-goyang. Tentu saja Sin Wan menjadi semakin khawatir.

"Sumoi, katakan kepadaku. Apa yang sudah terjadi denganmu?" Perlahan-lahan Sin Wan menurunkan bantal itu dari muka sumoi-nya dan dia terkejut melihat muka yang pucat dan basah air mata, sepasang mata yang menjadi merah dan agak bengkak karena terlampau banyak menangis itu.

"Engkau kenapakah, sumoi? Kenapa engkau berduka seperti ini?” tanya pula pemuda itu dengan suara yang penuh kegelisahan, tangan kiri masih memegang pundak, jari tangan kanan menyingkap rambut yang menutupi sebagian muka yang basah itu.

"Suheng...!" Kui Siang mengeluh kemudian dia pun menjatuhkan diri ke depan, merangkui pinggang suheng-nya dan menjatuhkan kepalanya di dada pemuda itu.

Sin Wan semakin terkejut. Dia merangkul sumoi-nya yang kini menangis di dadanya, dan sejenak dia membiarkan sumoi-nya menumpahkan kedukaannya, membiarkan sumoi-nya menangis pada dadanya. Perlahan-lahan terasa olehnya air mata yang hangat menembus bajunya dan membasahi kulit dadanya.

"Tenangkan hatimu, sumoi dan katakanlah apa yang telah terjadi, yang membuatmu sedih seperti ini?"

Setelah tangisnya terhenti, hanya tinggal sesenggukan jarang, sisa isak yang melepaskan sisa ganjalan di hatinya, akhirnya dengan muka masih disembunyikan di dada Sin Wan, Kui Siang berkata lirih,

"Suheng, betapa teganya hatimu menghancurkan kebahagiaanku, memusnahkan semua harapanku..."

"Ehh? Apa maksudmu, sumoi? Aku tidak mengerti...!"

"Tak kusangka bahwa engkau mempunyai seorang kekasih, suheng, mempunyai seorang pacar..." Suara itu bercampur isak.

Sin Wan membelalakkan matanya. "Heiiii! Apa pula ini, sumoi? Aku tidak punya pacar!"

Kui Siang mengangkat mukanya dari dada Sin Wan, sepasang matanya yang merah dan membendul itu mengamati wajah Sin Wan, dan mulutnya cemberut.

"Tidak ada gunanya menyangkal lagi, suheng. Tadi malam engkau berpacaran dengan seorang gadis cantik! Siapa gadis yang tertidur di pangkuanmu itu?”

Sin Wan terkejut bukan main. "Kau... kau tahu itu? Bagaimana engkau bisa tahu, sumoi?" Akan tetapi dia segera menyadari bahwa pertanyaannya ini sama saja dengan pengakuan bahwa dia benar-benar berpacaran dengan seorang gadis, maka cepat disambungnya, "Aku tidak berpacaran, sumoi. Dia bukan kekasihku, bukan pacarku."

Mata yang kemerahan itu mengeluarkan sinar marah. "Suheng, selama ini aku mengenal engkau sebagai seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berwatak pengecut dan berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi mengapa sekarang engkau menyangkal? Suheng, dengan mataku sendiri aku melihat gadis cantik itu tertidur di pangkuanmu, bersandar pada dadamu dan engkau memeluknya, dan sekarang engkau masih berani menyangkal...?”

Mengertilah Sin Wan bahwa semalam sumoi-nya telah menyaksikan peristiwa yang terjadi antara dia dan Lili, akan tetapi sayangnya, sumoi-nya hanya melihat ketika Lili tertidur di pangkuannya, tidak melihat yang lain, tidak melihat ketika Lili menyiksanya bahkan hampir membunuhnya.

"Sumoi, aku tidak menyangkal semua itu, yang kusangkal adalah bahwa dia itu pacarku. Sama sekali tidak, sumoi. Dengarlah ceritaku ini. Sebelas tahun yang lampau, ketika tiga orang suhu kita mengantarkan pusaka-pusaka istana bersama aku dengan kereta menuju ke kota raja, di tengah perjalanan kami bertemu Bi-coa Sian-li dengan seorang muridnya. Bi-coa Sian-li hendak merampas pusaka, akan tetapi gagal dan dia dikalahkan oleh tiga orang guru kita. Anak perempuan itu, murid Bi-coa Sian-li yang berusia sembilan tahun itu, lalu berkelahi denganku dan aku menghajarnya, kuhukum seperti anak kecil dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali."

Kui Siang mengerutkan alisnya. "Apa hubungannya cerita itu dengan kemesraan di hutan itu?" suaranya jelas mengandung kemarahan.

Diam-diam Sin Wan merasa heran. Kenapa sumoi-nya kelihatan marah sekali melihat Lili tertidur di pangkuannya dan kelihatan seolah dia dan Lili bermesraan dan berpacaran?

“Hubungannya erat sekali, sumoi. Dengarlah ceritaku selanjutnya. Sore tadi aku melihat seorang gadis dikeroyok oleh orang-orang lihai sebanyak enam orang. Gadis itu juga lihai, akan tetapi enam orang lawannya itu selain lihai juga sangat licik dan akhirnya gadis itu tertawan dalam sehelai jala yang ada kaitan beracun. Melihat gadis itu dalam ancaman bahaya, aku lalu menolongnya sehingga enam orang penjahat itu melarikan diri. Gadis itu keracunan, maka aku segera mengobatinya dan mengusir racun dari tubuhnya. Mungkin karena kepayahan, gadis itu lalu bersandar dan tertidur, dan agaknya saat itulah engkau melihat kami dan menyangka bahwa kami bermesraan dan berpacaran. Padahal tidaklah demikian. Bahkan sayang sekali engkau tidak melihat kelanjutannya, karena kalau engkau melihatnya, tentu akan lain sekali sikapmu."

Kini sinar mata itu mulai terang dan tertarik, karena bagaimana pun juga Kui Siang amat menghormati dan percaya kepada suheng-nya itu. "Lanjutannya bagaimana?” tanyanya, suaranya masih parau karena tangis semalam suntuk, akan tetapi matanya tidak sesayu tadi.

“Setelah gadis itu sembuh dan terbangun, kami bicara dan setelah aku mengaku sebagai murid Sam-sian, gadis itu terkejut kemudian tiba-tiba dia menotokku sehingga aku tidak dapat bergerak lagi. Kiranya dia adalah anak perempuan yang sebelas tahun lalu pernah kuhajar itu!"

"Murid Bi-coa Sian-li, pembunuh kedua orang guru kita?"

Sin Wan mengangguk. "Benar, dia bernama Lili dan dia amat lihai. Aku ditotoknya hingga aku menjadi lumpuh."

"Lili...?" Sin Wan teringat. "Ehh, nama lengkapnya Tang Bwe Li."

"Engkau sudah memanggilnya dengan demikian akrab, suheng? Teruskanlah, bagaimana selanjutnya," kata pula Kui Siang dan kini suaranya terdengar kaku.

"Dia membalas dendamnya sebelas tahun yang silam. Dia membalas memukuli pinggulku sampai puluhan kali. Kemudian dia mengikatku pada batang pohon dan meninggalkan aku agar dimakan binatang buas."

Gadis itu membelalakkan matanya. "Betapa kejamnya! Gadis keparat!"

"Setelah dia pergi dan aku belum mampu menggerakkan kaki tanganku, muncullah seekor harimau besar, sumoi. Binatang itu menghampiri aku, mengendus dan sempat mencakar robek celanaku dan melukai paha. Kemudian dia menerkam dan aku telah pasrah karena tidak mampu bergerak melawan...”

“Lalu bagaimana, suheng? Lalu bagaimana?" Sekarang Kui Siang sudah bangkit berdiri dan memegang kedua lengan suheng-nya, nampak khawatir bukan main.

"Pada saat harimau menerkam aku, ketika tubuhnya meloncat di udara, dia disambut oleh tusukan pedang dan tewas seketika, sumoi. Aku telah ditolong dan diselamatkan...”

"Siapa yang menolongmu itu, suheng?" tanya Kui Siang, ingin sekali tahu siapa penolong yang telah merenggut nyawa suheng-nya dari ancaman maut.

"Gadis itu, sumoi. Lili yang menyelamatkan aku."

"Ahhhh...!" Sepasang tangan yang tadi memegang lengan Sin Wan dengan kuat, tiba-tiba menjadi lemas dan terlepas. Jelas bahwa Kui Siang nampak terpukul dan kecewa bukan main mendengar bahwa yang menyelamatkan suheng-nya adalah gadis itu pula.

"Aku sendiri terheran-heran, sumoi. Tadinya dia demikian kejam dan ganas, menyiksaku bahkan hampir membunuhku, sengaja mengikatku supaya dimakan binatang buas, akan tetapi ketika aku nyaris dimakan harimau, ternyata dia pula yang menolongku."

"Itu hanya berarti... ahhh, suheng. Apakah engkau cinta kepadanya?" tiba-tiba gadis itu kembali menatap tajam wajah suheng-nya.

Sin Wan menggelengkan kepala. "Tidak, sumoi. Kami baru bertemu beberapa jam saja, bagaimana aku bisa mencintanya? Apa lagi dia hampir saja membunuhku. Ia menyiksaku, bahkan sampai sekarang pun rasa nyeri di pinggulku masih berdenyut-denyut. Tidak, aku tidak dapat cinta kepadanya, sumoi."

Aneh sekali! Sumoi-nya, yang matanya masih merah, sekarang memandang kepadanya dengan senyum tipis!

"Benarkah, suheng?" sumoi-nya bertanya.

Sin Wan memegang kedua pundak sumoi-nya, "Aku tak pernah bohong, sumoi. Sekarang aku ingin bertanya dan harap engkau tidak berbohong pula. Aku bersumpah bahwa aku tadi tidak berpacaran dengan Lili, tetapi andai kata benar demikian, lalu mengapa engkau menjadi begitu bersedih? Mengapa?”

Wajah itu berubah merah dan sampai sejenak lamanya Kui Siang tak mampu menjawab. Dengan muka ditundukkan kemudian dia pun berkata lirih, "Suheng, aku tahu bahwa aku tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, aku juga tahu bahwa tidak sepantasnya aku menjadi marah dan bersedih melihat engkau dan gadis itu di hutan...," suaranya menjadi gemetar dan dia menangis lagi.

"Sumoi, kenapa? Katakan, kenapa?" Sin Wan mengguncang kedua pundak sumoi-nya.

"Karena... karena hatiku dibakar dan ditusuk-tusuk oleh rasa cemburu yang sangat hebat, Suheng. Maafkan aku..."

"Sumoi...!” Sin Wan terkejut dan Kui Siang menangis sambil merangkul pinggang pemuda itu, menangis di dadanya seperti tadi.

"Maafkan aku, suheng... karena aku tidak ingin kehilangan engkau, aku takut kehilangan engkau, aku tidak ingin berpisah darimu selama hidupku, suheng... aku cinta padamu..." dan dia pun menangis tersedu-sedu.

Sin Wan tertegun lalu dia pun merangkul. Sejenak dia bengong. Dalam waktu satu malam saja ada dua orang gadis yang mengaku cinta kepadanya. Lili mengaku benci akan tetapi cinta. Kui Siang mengaku cemburu akan tetapi cinta!

Apakah cinta seorang wanita harus disertai cemburu dan dapat berubah menjadi benci? Apakah cinta itu mengandung cemburu dan benci? Dia merasa bingung. Akan tetapi tidak bingung kalau harus memilih di antara keduanya...

Si Pedang Tumpul Jilid 22

SIN WAN merasa pinggulnya nyeri sekali, piut-miut rasanya berdenyut-denyut seperti mau pecah, panas dan pedih menusuk jantung, sementara tubuhnya masih lemas tak mampu bergerak karena totokan. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan semua penderitaan itu, bahkan dia tersenyum, senyum yang oleh Lili dianggap menantang dan menyakitkan hati. Kemudian Sin Wan berkata dengan suara lirih dan lembut tanpa kemarahan.

"Aku hanya ingin berkata bahwa sayang sekali engkau yang demikian cantik dan gagah, yang berkepandaian tinggi, telah dibikin gila oleh dendam sehingga menjadi kejam seperti setan."

Sepasang mata itu terbelalak dan tangan kanannya melayang.

"Plakk…!"

Keras sekali telapak tangan itu menghantam pipi kiri Sin Wan sehingga kepala pemuda itu terdorong ke kanan dan seketika pipi itu menjadi merah membiru dan membengkak.

"Kau maki aku seperti setan? Engkaulah yang setan, iblis, siluman! Kau... kau..., huh, aku benci padamu. Benciiii...!" Gadis itu mengeluarkan suara aneh, seperti tawa akan tetapi juga mirip tangis, atau suara antara keduanya itu. "Biar kau dimakan binatang buas!” Dan sekali melompat, gadis itu segera menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang mulai gelap itu.

Sin Wan termenung. Pipinya berdenyut-denyut keras, nyerinya dapat mengalahkan rasa nyeri di pinggul. Betapa galaknya gadis itu dan dia pun membayangkan Lili. Aneh, yang terbayang olehnya bukan peri laku yang menyiksanya tadi. Terbayang olehnya saat gadis itu tertidur pulas di dadanya! Yang terngiang di telinganya bukan caci-makinya, melainkan ucapan gadis itu yang mengaku cinta padanya.

Malam mulai tiba. Sinar rembulan yang menggantikan matahari tidak cukup kuat mengusir kegelapan malam, akan tetapi setidaknya mendatangkan cahaya yang menembus daun-daun pohon sehingga cuacanya tidak gelap benar, melainkan remang-remang. Dia belum mampu menggerakkan tubuhnya.

Totokan Lili ternyata lihai bukan kepalang. Agaknya dia harus menunggu satu dua jam lagi agar pengaruh totokan itu membuyar dan baru dia akan dapat mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali sabuk yang mengikat kaki serta tangannya pada pohon. Sebelum dia mampu mengerahkan tenaga, dia tidak berdaya. Terdengar suara gerengan di sana-sini.

"Harimau,” pikir Sin Wan, “atau sebangsa itu, binatang hutan yang liar!”

Kalau dia belum mampu menggunakan tenaga lantas ada binatang buas datang, tentu dia akan mati konyol! Dia akan menjadi mangsa binatang buas, kulit serta dagingnya akan digerogoti, dia akan dimakan hidup-hidup! Bukan main ngeri rasa hatinya membayangkan semua itu, akan tetapi perasaan ngeri dan takut itu langsung lenyap seketika sesudah dia teringat akan keyakinan hatinya terhadap kekuasaan Tuhan!

Sebagai manusia dia hanya sekedar alat. Hidup dan matinya milik Tuhan! Mengapa harus takut? Dia menyerah penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan! Apa bila Tuhan menghendaki dia mati, setiap saat pun dia siap dengan hati yang rela dan ikhlas. Bukan berarti-putus asa! Penyerahan dengan ikhlas tidak berarti putus asa.

Saat ini dia masih hidup dan selama dia masih hidup, dia akan menggunakan segala daya kemampuannya untuk bertahan hidup, untuk menjaga serta mempertahankan hidupnya. Akan tetapi kalau memang Tuhan menghendaki dia mati, dia tidak akan menyesal karena penyerahan seikhlasnya berarti ikhlas untuk hidup dan ikhlas pula untuk mati, menyerah kepada kekuasaan Tuhan!

Keyakinan serta penyerahannya ini mengusir semua rasa takut, bahkan Sin Wan dapat menghadapi keadaannya saat itu dengan senyum di bibir. Betapa menariknya kehidupan dan segala liku-likunya ini, dan kini dia sudah siap untuk menjadi saksi, mengikuti setiap pengalaman hidup sampai akhir.


Tiba-tiba terdengar gerengan keras dan Sin Wan menengok ke kiri. Lehernya sudah dapat dia gerakkan, namun ketika dia berusaha menggerakkan tangan dan kaki, kedua pasang anggota tubuh itu masih lemas dan tidak dapat dia gerakkan!

Dan dia melihat ada sepasang mata mencorong di dalam cuaca yang remang-remang itu. Nampaknya bayangan itu seperti seekor anjing yang berindap-indap menghampirinya, tapi gerengan ini jelas bukan gonggong atau salak anjing, melainkan auman harimau!

Sin Wan merasa betapa bulu tengkuknya kini meremang. Bagaimana pun juga nalurinya untuk mempertahankan hidup sudah mendatangkan kecemasan ketika dia sadar bahwa di hadapannya hadir seekor harimau yang mengancamnya yang sedang tak berdaya itu. Kini dia benar-benar akan mati konyol! Tetapi kepasrahan yang mutlak kembali menenangkan hatinya dan dia pun memandang ke arah harimau itu dengan tajam.

Dia pernah mendengar bahwa harimau takut beradu pandang mata dengan manusia dan kalah wibawa. Bahkan ada kemungkinan bahwa sesudah bertemu pandang, binatang itu akan merasa takut lantas pergi tanpa mengganggunya. Akan tetapi dia lupa bahwa ketika itu cuaca remang-remang dan mata manusia berbeda dengan mata harimau. Kekuasaan Tuhan adalah bijaksana dan adil, maka semua makhluk dan benda ciptaan Tuhan selalu dibekali sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masing-masing.

Harimau tidak berakal, tak pandai membuat alat penerangan, hidup di dalam hutan gelap, maka memiliki mata yang penglihatannya dapat menembus kegelapan sehingga matanya mencorong, sedangkan manusia dapat membuat alat penerangan untuk mengatasi gelap malam. Maka betapa pun tajam dia memandang, binatang itu tidak menjadi undur, bahkan menggereng semakin keras dan menghampiri semakin dekat.

Perlahan-lahan, dengan hati-hati binatang itu mendekati Sin Wan dan pemuda ini merasa betapa hidung binatang itu mengendus serta menyentuh kakinya. Dia memejamkan mata, menyerah kepada Tuhan, maklum bahwa kalau harimau itu menyerang maka dia tak akan mampu melindungi dirinya. Harimau itu mengaum keras, kaki depan kiri bergerak cepat ke arah paha Sin Wan.

"Brettttt...!" Celana Sin Wan terobek dengan mudah dan kulit pahanya ikut terkena cakaran sehingga terobek dan berdarah! Dia berusaha mengerahkan tenaga, namun tidak berhasil. Harimau itu kini undur, bukan untuk pergi, melainkan untuk mengambil ancang-ancang.

Darah yang mengalir dari paha Sin Wan yang tergores kuku itu membuat dia semakin liar. Kini binatang itu merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang untuk meloncat. Matilah aku sekarang, pikir Sin Wan. Binatang itu meloncat ke atas, menubruk ke arah Sin Wan.

"Cratttt...! Bukkk!"

Tubuh binatang itu terhenti di udara ketika sebatang pedang menyambutnya dengan satu tusukan memasuki perutnya, kemudian sebuah tendangan kilat membuat tubuh binatang itu terlempar. Biar pun telah terluka parah dan dari perutnya bercucuran darah, harimau itu tidak roboh atau menjadi takut, bahkan menjadi semakin nekat. Kini dia menubruk ke arah orang yang menyakitinya, yang berdiri di depan Sin Wan.

"Srattt...!" Tubuh harimau terpelanting dan matilah dia dengan leher hampir putus terbabat pedang!

Lili membersihkan pedangnya dengan menggosoknya pada kulit bangkai harimau. Dalam cuaca yang remang-remang Sin Wan terbelalak ketika mengenal bahwa yang membunuh harimau itu dan yang menyelamatkan dirinya adalah Lili. Hatinya merasa senang bukan main, bukan saja senang karena dia tidak mati konyol menjadi mangsa harimau, namun karena ternyata gadis itu tidak sejahat seperti yang ingin diperlihatkannya. Ternyata gadis itu tidak pernah meninggalkannya seperti ancamannya tadi, melainkan bersembunyi dan menjaganya, bahkan menyelamatkannya.

"Terima kasih, Lili...," katanya lirih.

Lili menyimpan pedangnya, lalu membalik untuk menghadapi pemuda itu. Alisnya berkerut karena ucapan Sin Wan yang terdengar lembut itu, juga wajah pemuda yang tersenyum penuh syukur kepadanya itu, seolah menusuk jantungnya.

"Aku telah memukulimu, menghinamu, memakimu bahkan menyiksamu, dan engkau tidak mendendam kepadaku?" tanyanya penasaran.

Sin Wan sudah dapat menggoyang kepalanya. "Kenapa aku harus mendendam? Sebelas tahun yang lalu aku juga pernah memukuli pinggulmu, jadi sekarang aku hanya membayar hutangku. Dulu aku terlampau keras kepadamu Lili, maka sudah sepatutnya jika engkau membalas."

Sepasang mata itu tertegun, dan senyum sadis itu perlahan-lahan berubah seperti orang hendak menangis. Semua ini dapat dilihat Sin Wan karena kebetulan cahaya bulan dapat menerobos celah-celah daun sehingga menerangi mereka. Lili memandang wajah pemuda itu, menatap ke arah pipi kiri Sin Wan yang membengkak. Dia menghampiri lebih dekat, lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Sin Wan tidak siap menerima tamparan lagi, tapi sekali ini tangan itu tidak menampar, melainkan mengusap dan membelai pipi yang membengkak itu.

"Sin Wan... " suara itu terdengar seperti rintihan tangis dan mulut gadis itu mendekati pipi yang bengkak sehingga menyentuh telinga, lalu terdengar dia berbisik, "Sin Wan aku cinta padamu... ahh, aku benci padamu...!"

Ia pun menggerakkan tangan menotok, membebaskan Sin Wan dari pengaruh totokannya tadi, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap dari situ. Sekarang Sin Wan dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Sejenak dia diam saja, membiarkan jalan darahnya pulih kembali dan sikap Lili tadi masih membuat dia tertegun. Gadis itu cinta padanya dan juga benci padanya! Bagaimana ini? Bagaimana mungkin ada orang mencinta sekaligus membenci?

Ia menggeleng kepalanya, lalu mengerahkan tenaga sinkang dan dengan mudah saja dia melepaskan tali pengikat kaki dan tangannya. Dia memegangi potongan kain sabuk sutera itu, mengamatinya dan menggeleng-geleng kepala lagi.

"Lili..., Lili..., sungguh aku tidak mengerti."

Dia lalu meninggalkan tempat itu, keluar dari hutan dan memasuki kota Lok-yang. Kakek Bu Lee Ki sudah memberi tahu kepadanya bahwa kakek itu dan Kui Siang akan menyewa kamar di losmen Ho-peng yang berada di ujung barat kota itu.

Tidak sukar untuk menemukan losmen di bagian barat kota itu, dan ketika Sin Wan minta keterangan dari pelayan losmen tentang kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang, ternyata pelayan itu telah mendapat pesan dari Bu Lee Ki dan segera mengantar pemuda itu ke kamarnya.

"ltulah dua kamar kakek dan nona itu," kata pelayan.

Sin Wan mengetuk pintu kamar Bu Lee Ki dan sejenak kemudian kakek itu membukakan pintu. Dia agak terkejut melihat celana Sin Wan yang robek, pahanya yang terluka berupa goresan memanjang, langkahnya yang sedikit terpincang-pincang serta pipi kirinya yang merah membengkak.

"Ehh? Apa yang terjadi?" tanyanya ketika mereka masuk kamar dan pintunya ditutupkan kembali oleh Bu Lee Ki.

Sin Wan merasa serba salah. Kalau dia bercerita tentang Lili, tentu dia harus menuturkan segalanya. Tetapi dia merasa malu, tidak ingin peristiwa di hutan tadi diketahui siapa pun. Akan tetapi bagaimana pula bila tidak diceritakan, karena keadaannya seperti itu. Dia pun teringat akan harimau itu, lalu berkata,

"Locianpwe, saya tersesat ke dalam hutan lalu diserang seekor harimau yang besar dan ganas. Saya berhasil membunuhnya, akan tetapi saya juga terluka, paha saya dicakarnya dan... begitulah." Dia tidak banyak bicara lagi, lalu membersihkan diri di kamar mandi dan bergantl pakaian.

"Di mana sumoi?" tanyanya setelah berganti pakaian.

Sesudah mendengar ceritanya, kakek itu nampak termenung. Jelas bahwa kakek itu tidak puas dan agaknya tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu dan tak mau berterus terang. Akan tetapi kakek itu tidak mendesak dan mendengar pertanyaan itu, dia pun tersenyum.

"Kalian orang-orang muda ini memang petualang-petualang yang sangat aneh. Tadi Kui Siang pulang dan tidak bicara apa-apa kepadaku. Dia langsung memasuki kamarnya dan aku mendengar betapa dia gelisah di kamarnya, malah aku seperti mendengar dia terisak menangis. Ahhh, sungguh lucu dan aneh. Dan engkau datang-datang seperti ini, baru saja berkelahi dengan harimau! Kalian orang-orang muda yang aneh…!"

Kakek itu tidak mendesak dan Sin Wan lalu merebahkan diri di pembaringan kecil di sudut kamar yang mempunyai dua buah pembaringan itu. Dan tidak lama kemudian dia sudah tidur pulas karena dia memang merasa lelah, lemas dan terutama sekali pinggulnya masih berdenyut-denyut, berlomba dengan denyut jantungnya.

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi dan merasa tubuhnya lebih segar walau pun rasa nyeri pada pinggulnya masih terasa, Sin Wan yang tidak melihat Kui Siang bertanya kepada Bu Lee Ki di mana adanya gadis itu.

Kakek itu mengerutkan alisnya, lalu menggelengkan kepala. "Entah apa yang telah terjadi dengan Kui Siang. Semalam dia pulang langsung ke kamarnya, dan sesudah tadi malam gelisah, pagi ini dia juga tidak keluar dari dalam kamarnya. Aku tadi sudah mengetuk daun pintu kamarnya dan bertanya. Dia membuka pintu dan mengeluh tidak enak badan, lantas rebah kembali. Pergilah engkau melihatnya. Sin Wan, aku khawatir ada apa-apa terjadi dengan sumoi-mu. Biasanya dia tidak seperti itu.”

Sin Wan merasa khawatir. Dia segera menghampiri kamar sumoi-nya lalu mengetuk daun pintu kamarnya. Beberapa kali dia mengetuk, tetapi tidak ada jawaban.

"Sumoi, harap buka pintu. Ini aku, Sin Wan ingin menjengukmu," katanya.

Juga tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap isak tangis tertahan. Tentu saja dia menjadi semakin khawatir! Maka didorongnya daun pintu itu perlahan, dan ternyata pintu itu tidak dikunci dari dalam dan dia pun memasuki kamar itu. Dilihatnya sumoi-nya duduk di pembaringan sambil menutupi mukanya dan menangis menyembunyikan tangisnya di balik bantal yang ditutupkan pada mukanya.

"Sumoi...! Engkau kenapakah?" tanya Sin Wan dengan kaget dan dia cepat menghampiri gadis itu, berdiri di depannya dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.

Mendengar ucapan itu dan merasa pundaknya disentuh tangan Sin Wan, tangis Kui Siang semakin mengguguk sampai pundaknya bergoyang-goyang. Tentu saja Sin Wan menjadi semakin khawatir.

"Sumoi, katakan kepadaku. Apa yang sudah terjadi denganmu?" Perlahan-lahan Sin Wan menurunkan bantal itu dari muka sumoi-nya dan dia terkejut melihat muka yang pucat dan basah air mata, sepasang mata yang menjadi merah dan agak bengkak karena terlampau banyak menangis itu.

"Engkau kenapakah, sumoi? Kenapa engkau berduka seperti ini?” tanya pula pemuda itu dengan suara yang penuh kegelisahan, tangan kiri masih memegang pundak, jari tangan kanan menyingkap rambut yang menutupi sebagian muka yang basah itu.

"Suheng...!" Kui Siang mengeluh kemudian dia pun menjatuhkan diri ke depan, merangkui pinggang suheng-nya dan menjatuhkan kepalanya di dada pemuda itu.

Sin Wan semakin terkejut. Dia merangkul sumoi-nya yang kini menangis di dadanya, dan sejenak dia membiarkan sumoi-nya menumpahkan kedukaannya, membiarkan sumoi-nya menangis pada dadanya. Perlahan-lahan terasa olehnya air mata yang hangat menembus bajunya dan membasahi kulit dadanya.

"Tenangkan hatimu, sumoi dan katakanlah apa yang telah terjadi, yang membuatmu sedih seperti ini?"

Setelah tangisnya terhenti, hanya tinggal sesenggukan jarang, sisa isak yang melepaskan sisa ganjalan di hatinya, akhirnya dengan muka masih disembunyikan di dada Sin Wan, Kui Siang berkata lirih,

"Suheng, betapa teganya hatimu menghancurkan kebahagiaanku, memusnahkan semua harapanku..."

"Ehh? Apa maksudmu, sumoi? Aku tidak mengerti...!"

"Tak kusangka bahwa engkau mempunyai seorang kekasih, suheng, mempunyai seorang pacar..." Suara itu bercampur isak.

Sin Wan membelalakkan matanya. "Heiiii! Apa pula ini, sumoi? Aku tidak punya pacar!"

Kui Siang mengangkat mukanya dari dada Sin Wan, sepasang matanya yang merah dan membendul itu mengamati wajah Sin Wan, dan mulutnya cemberut.

"Tidak ada gunanya menyangkal lagi, suheng. Tadi malam engkau berpacaran dengan seorang gadis cantik! Siapa gadis yang tertidur di pangkuanmu itu?”

Sin Wan terkejut bukan main. "Kau... kau tahu itu? Bagaimana engkau bisa tahu, sumoi?" Akan tetapi dia segera menyadari bahwa pertanyaannya ini sama saja dengan pengakuan bahwa dia benar-benar berpacaran dengan seorang gadis, maka cepat disambungnya, "Aku tidak berpacaran, sumoi. Dia bukan kekasihku, bukan pacarku."

Mata yang kemerahan itu mengeluarkan sinar marah. "Suheng, selama ini aku mengenal engkau sebagai seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berwatak pengecut dan berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi mengapa sekarang engkau menyangkal? Suheng, dengan mataku sendiri aku melihat gadis cantik itu tertidur di pangkuanmu, bersandar pada dadamu dan engkau memeluknya, dan sekarang engkau masih berani menyangkal...?”

Mengertilah Sin Wan bahwa semalam sumoi-nya telah menyaksikan peristiwa yang terjadi antara dia dan Lili, akan tetapi sayangnya, sumoi-nya hanya melihat ketika Lili tertidur di pangkuannya, tidak melihat yang lain, tidak melihat ketika Lili menyiksanya bahkan hampir membunuhnya.

"Sumoi, aku tidak menyangkal semua itu, yang kusangkal adalah bahwa dia itu pacarku. Sama sekali tidak, sumoi. Dengarlah ceritaku ini. Sebelas tahun yang lampau, ketika tiga orang suhu kita mengantarkan pusaka-pusaka istana bersama aku dengan kereta menuju ke kota raja, di tengah perjalanan kami bertemu Bi-coa Sian-li dengan seorang muridnya. Bi-coa Sian-li hendak merampas pusaka, akan tetapi gagal dan dia dikalahkan oleh tiga orang guru kita. Anak perempuan itu, murid Bi-coa Sian-li yang berusia sembilan tahun itu, lalu berkelahi denganku dan aku menghajarnya, kuhukum seperti anak kecil dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali."

Kui Siang mengerutkan alisnya. "Apa hubungannya cerita itu dengan kemesraan di hutan itu?" suaranya jelas mengandung kemarahan.

Diam-diam Sin Wan merasa heran. Kenapa sumoi-nya kelihatan marah sekali melihat Lili tertidur di pangkuannya dan kelihatan seolah dia dan Lili bermesraan dan berpacaran?

“Hubungannya erat sekali, sumoi. Dengarlah ceritaku selanjutnya. Sore tadi aku melihat seorang gadis dikeroyok oleh orang-orang lihai sebanyak enam orang. Gadis itu juga lihai, akan tetapi enam orang lawannya itu selain lihai juga sangat licik dan akhirnya gadis itu tertawan dalam sehelai jala yang ada kaitan beracun. Melihat gadis itu dalam ancaman bahaya, aku lalu menolongnya sehingga enam orang penjahat itu melarikan diri. Gadis itu keracunan, maka aku segera mengobatinya dan mengusir racun dari tubuhnya. Mungkin karena kepayahan, gadis itu lalu bersandar dan tertidur, dan agaknya saat itulah engkau melihat kami dan menyangka bahwa kami bermesraan dan berpacaran. Padahal tidaklah demikian. Bahkan sayang sekali engkau tidak melihat kelanjutannya, karena kalau engkau melihatnya, tentu akan lain sekali sikapmu."

Kini sinar mata itu mulai terang dan tertarik, karena bagaimana pun juga Kui Siang amat menghormati dan percaya kepada suheng-nya itu. "Lanjutannya bagaimana?” tanyanya, suaranya masih parau karena tangis semalam suntuk, akan tetapi matanya tidak sesayu tadi.

“Setelah gadis itu sembuh dan terbangun, kami bicara dan setelah aku mengaku sebagai murid Sam-sian, gadis itu terkejut kemudian tiba-tiba dia menotokku sehingga aku tidak dapat bergerak lagi. Kiranya dia adalah anak perempuan yang sebelas tahun lalu pernah kuhajar itu!"

"Murid Bi-coa Sian-li, pembunuh kedua orang guru kita?"

Sin Wan mengangguk. "Benar, dia bernama Lili dan dia amat lihai. Aku ditotoknya hingga aku menjadi lumpuh."

"Lili...?" Sin Wan teringat. "Ehh, nama lengkapnya Tang Bwe Li."

"Engkau sudah memanggilnya dengan demikian akrab, suheng? Teruskanlah, bagaimana selanjutnya," kata pula Kui Siang dan kini suaranya terdengar kaku.

"Dia membalas dendamnya sebelas tahun yang silam. Dia membalas memukuli pinggulku sampai puluhan kali. Kemudian dia mengikatku pada batang pohon dan meninggalkan aku agar dimakan binatang buas."

Gadis itu membelalakkan matanya. "Betapa kejamnya! Gadis keparat!"

"Setelah dia pergi dan aku belum mampu menggerakkan kaki tanganku, muncullah seekor harimau besar, sumoi. Binatang itu menghampiri aku, mengendus dan sempat mencakar robek celanaku dan melukai paha. Kemudian dia menerkam dan aku telah pasrah karena tidak mampu bergerak melawan...”

“Lalu bagaimana, suheng? Lalu bagaimana?" Sekarang Kui Siang sudah bangkit berdiri dan memegang kedua lengan suheng-nya, nampak khawatir bukan main.

"Pada saat harimau menerkam aku, ketika tubuhnya meloncat di udara, dia disambut oleh tusukan pedang dan tewas seketika, sumoi. Aku telah ditolong dan diselamatkan...”

"Siapa yang menolongmu itu, suheng?" tanya Kui Siang, ingin sekali tahu siapa penolong yang telah merenggut nyawa suheng-nya dari ancaman maut.

"Gadis itu, sumoi. Lili yang menyelamatkan aku."

"Ahhhh...!" Sepasang tangan yang tadi memegang lengan Sin Wan dengan kuat, tiba-tiba menjadi lemas dan terlepas. Jelas bahwa Kui Siang nampak terpukul dan kecewa bukan main mendengar bahwa yang menyelamatkan suheng-nya adalah gadis itu pula.

"Aku sendiri terheran-heran, sumoi. Tadinya dia demikian kejam dan ganas, menyiksaku bahkan hampir membunuhku, sengaja mengikatku supaya dimakan binatang buas, akan tetapi ketika aku nyaris dimakan harimau, ternyata dia pula yang menolongku."

"Itu hanya berarti... ahhh, suheng. Apakah engkau cinta kepadanya?" tiba-tiba gadis itu kembali menatap tajam wajah suheng-nya.

Sin Wan menggelengkan kepala. "Tidak, sumoi. Kami baru bertemu beberapa jam saja, bagaimana aku bisa mencintanya? Apa lagi dia hampir saja membunuhku. Ia menyiksaku, bahkan sampai sekarang pun rasa nyeri di pinggulku masih berdenyut-denyut. Tidak, aku tidak dapat cinta kepadanya, sumoi."

Aneh sekali! Sumoi-nya, yang matanya masih merah, sekarang memandang kepadanya dengan senyum tipis!

"Benarkah, suheng?" sumoi-nya bertanya.

Sin Wan memegang kedua pundak sumoi-nya, "Aku tak pernah bohong, sumoi. Sekarang aku ingin bertanya dan harap engkau tidak berbohong pula. Aku bersumpah bahwa aku tadi tidak berpacaran dengan Lili, tetapi andai kata benar demikian, lalu mengapa engkau menjadi begitu bersedih? Mengapa?”

Wajah itu berubah merah dan sampai sejenak lamanya Kui Siang tak mampu menjawab. Dengan muka ditundukkan kemudian dia pun berkata lirih, "Suheng, aku tahu bahwa aku tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, aku juga tahu bahwa tidak sepantasnya aku menjadi marah dan bersedih melihat engkau dan gadis itu di hutan...," suaranya menjadi gemetar dan dia menangis lagi.

"Sumoi, kenapa? Katakan, kenapa?" Sin Wan mengguncang kedua pundak sumoi-nya.

"Karena... karena hatiku dibakar dan ditusuk-tusuk oleh rasa cemburu yang sangat hebat, Suheng. Maafkan aku..."

"Sumoi...!” Sin Wan terkejut dan Kui Siang menangis sambil merangkul pinggang pemuda itu, menangis di dadanya seperti tadi.

"Maafkan aku, suheng... karena aku tidak ingin kehilangan engkau, aku takut kehilangan engkau, aku tidak ingin berpisah darimu selama hidupku, suheng... aku cinta padamu..." dan dia pun menangis tersedu-sedu.

Sin Wan tertegun lalu dia pun merangkul. Sejenak dia bengong. Dalam waktu satu malam saja ada dua orang gadis yang mengaku cinta kepadanya. Lili mengaku benci akan tetapi cinta. Kui Siang mengaku cemburu akan tetapi cinta!

Apakah cinta seorang wanita harus disertai cemburu dan dapat berubah menjadi benci? Apakah cinta itu mengandung cemburu dan benci? Dia merasa bingung. Akan tetapi tidak bingung kalau harus memilih di antara keduanya...