Si Pedang Tumpul Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"Locianpwe, kami selalu merindukan persatuan terjalin erat di antara seluruh tokoh dalam dunia persilatan. Dengan adanya locianpwe sebagai Thai-pangcu, maka berarti bahwa seluruh kai-pang dapat dipersatukan. Ada gejala timbulnya perpecahan ketika locianpwe menghilang, dan dengan munculnya kembali locianpwe, kami harap agar seluruh kai-pang dapat dipersatukan kembali."

"Hamba memang bermaksud untuk mengunjungi rapat besar kai-pang yang bulan depan akan diadakan di Lok-yang, Yang mulia."

"Bagus sekali kalau begitu. Akan tetapi bukan hanya sekian, bukan hanya para kai-pang yang harus dipersatukan, namun seluruh dunia persilatan, seluruh tokoh kang-ouw. Oleh karena itu Sribaginda Kaisar sendiri sudah menyetujui supaya diadakan pertemuan besar di mana akan dilakukan pemilihan Bengcu yang akan memimpin seluruh dunia persilatan dan mewakili dunia persilatan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan kami percaya bahwa locianpwe akan mampu menjadi calon Bengcu, atau setidaknya locianpwe dapat menjaga agar yang dipilih menjadi Bengcu adalah orang yang betul-betul berjiwa pendekar dan pahlawan, bukan tokoh sesat yang akan menyelewengkan dunia kang-ouw. Apakah locianpwe mengerti akan maksud kami?"

"Hamba mengerti, Yang Mulia. Tanpa perintah paduka pun, hamba tentu akan melakukan pengawasan itu agar jangan sampai dunia persilatan diselewengkan ke arah kesesatan."

"Bagus, dan terima kasih, locianpwe. Kami percaya sepenuhnya kepada locianpwe. Kami akan memberi laporan kepada ayahanda Sribaginda Kaisar, juga akan memberi perintah kepada para pejabat tinggi di Lok-yang dan lain-lain agar mereka mempersiapkan bantuan kepada locianpwe. Kami dari pihak pemerintah tak akan mencampuri pemilihan itu secara langsung, melainkan hanya akan menjaga dan mendukung pihak yang kami anggap betul. Dan locianpwe merupakan satu di antara golongan yang kami pilih."

“Terima kasih, Yang Mulia."

"Kami tidak mau menjanjikan hadiah kepada locianpwe karena hal itu hanya merupakan penghinaan bagi seorang yang berjiwa pahlawan, akan tetapi percayalah bahwa kami tak akan melupakan jasa locianpwe yang besar bagi negara dan bangsa. Nah, sekarang kami ingin bicara dengan pemuda ini. Namamu Sin Wan, orang muda?"

Suara raja muda itu membuat Kui Siang merasa geli dalam hatinya karena seakan-akan raja muda itu sudah tua. Padahal apa bila dibandingkan dengan Sin Wan, raja muda itu pantas menjadi seorang kakaknya saja.

Sin Wan memberi hormat, "Benar, Yang Mulia."

"Dan engkau murid keponakan locianpwe Pek-sim Lo-kai?"

Sin Wan menoleh ke arah kakek itu. Dia tidak ingin berbohong, akan tetapi di pusat Ang-kin Kai-pang, kakek itu sudah mengakuinya sebagai murid keponakan. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, kakek itu tersenyum.

"Maaf, Yang Mulia. Sesungguhnya Sin Wan dan Kui Siang adalah murid-murid Sam-sian dan hamba akui sebagai murid keponakan karena hamba dengan Sam-sian akrab seperti saudara saja."

Raja Muda Yung Lo memandang terbelalak kepada Sin Wan, lalu kepada Kui Siang dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. "Aihhh...! Murid-murid Sam-sian, Tiga Dewa yang pernah berjasa menemukan kembali pusaka-pusaka istana yang hilang dicuri orang itu? Bukan main! Sam-sian adalah tiga tokoh besar yang telah berjasa. Jadi engkau ini murid mereka, Sin Wan! Akan tetapi kami melihat bahwa engkau bukan seorang pribumi, bukan orang Han. Benarkah?"

Sin Wan kagum kepada raja muda itu yang berpenglihatan tajam. Padahal baik cara dia bicara mau pun pakaian dan sikapnya, tiada bedanya antara dia dan orang Han. Sin Wan sendiri tidak menyadari bahwa walau pun kecil tetapi terdapat perbedaan pada matanya dan kulit wajahnya, dan dia memiliki ketampanan yang berbeda dengan orang Han.

"Benar sekali dugaan paduka, Yang Mulia. Sesungguhnya mendiang ayah dan ibu hamba adalah orang-orang Uighur."

"Hemm, pantas kalau begitu. Jadi engkau telah yatim piatu?”

"Benar, Yang Mulia. Sejak berusia sepuluh tahun hamba kehilangan ibu hamba, ada pun ayah hamba telah meninggal sewaktu hamba masih dalam kandungan, dan sejak berusia sepuluh tahun hamba menjadi murid ketiga orang guru hamba."

"Kalau begitu engkau seorang keturunan Bangsa Uighur, Sin Wan. Apakah kami dapat mengharapkan seorang suku Uighur untuk setia kepada kerajaan dan Dinasti Beng? Setia terhadap negara dan Bangsa Han. Kepada tanah air?" Sepasang mata itu mencorong dan mengamati wajah Sin Wan penuh selidik.

Ucapan yang menusuk hati itu diterima oleh Sin Wan dengan sikap tenang saja. Batinnya sudah digembleng secara hebat oleh ketiga orang gurunya, maka keseimbangannya tidak mudah terguncang. Dia pun menyambut pandang mata raja muda itu dengan sinar mata yang terang dan tenang.

"Yang Mulia, bagi hamba, di mana hamba hidup di situlah tanah air hamba karena airnya hamba minum dan hasil tanahnya hamba makan. Bangsa hamba adalah bangsa di dalam mana hamba hidup dan bergaul, mengalami suka duka bersama. Sejak kecil hamba hidup di antara Bangsa Han, bergaul dengan Bangsa Han, sehingga hamba akan merasa asing kalau berada di antara orang-orang Uighur sendiri, bahkan hamba pun hampir lupa akan Bahasa Uighur karena sejak kecil ibu selalu berbicara dalam Bahasa Han kepada hamba. Sejak kecil ketiga orang guru hamba mengajarkan kepada hamba agar selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin hamba akan dapat mengkhianati tanah air di mana hamba makan minum dan bangsa dengan siapa hamba bergaul dan mengalami suka duka bersama? Hamba tak akan menyangkal bahwa hamba adalah keturunan suku Uighur, akan tetapi hamba akan menyeleweng dari kebenaran bila hamba mengkhianati negara dan bangsa di mana hamba hidup!"

Ucapan itu penuh semangat dan sewajarnya karena keluar dari lubuk hati pemuda itu. Dia sendiri akan merasa asing, aneh dan kehilangan tempat berpijak kalau dia harus bersikap lain dari pada apa yang telah dia katakan itu.

Diam-diam Kui Siang memandang kepada suheng-nya dengan hati merasa heran bukan kepalang. Tiga orang suhu mereka tidak pernah bercerita tentang asal usul Sin Wan, dan suheng-nya itu sendiri pun hanya menceritakan bahwa dia yatim piatu. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa suheng-nya adalah seorang Uighur! Baginya tidak ada sedikit pun sisa-sisa orang Uighur pada suheng-nya, padahal menurut pengakuannya tadi, ayah bunda suheng-nya adalah Bangsa Uighur. Suheng-nya orang Uighur tulen! Sungguh tak disangkanya sama sekali.

Mendengar ucapan itu, juga melihat sikap dan sinar mata pemuda itu, Raja Muda Yung Lo tersenyum girang. Wajahnya berseri dan dia pun berkata, "Hemm, kami hanya ingin tahu isi hatimu, Sin Wan. Kalau kita semua mau mengakui secara jujur, kami sendiri tidak tahu siapakah yang asli dan siapa pula yang tidak asli di antara kita semua!"

Pangeran atau raja muda itu tertawa. "Kita hanya mampu mengenal nenek moyang kita sampai kepada kakek buyut atau kakek canggah. Sebelum itu, siapa dapat yakin bahwa nenek moyang kita bukan keturunan suku lain? Siapa tahu di dalam tubuhku ini mengalir darah Uighur, atau darah Miauw, bahkan darah Mancu atau malah darah Mongol? Yang terpenting memang bukan keturunannya, tapi sepak terjangnya dalam hidup. Bagaimana pun darah manusia tetap darah manusia, apa bedanya? Keturunan apa pun, bila memang dia pengkhianat, tetap penghkianat, kalau dia pendekar atau pahlawan, tetap pahlawan. Nah, mengingat bahwa engkau murid Sam-sian, apa lagi kini datang bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai, kami percaya sepenuhnya kepadamu. Kepadamu kami juga menawarkan kerja sama demi kepentingan rakyat seperti yang kami tawarkan kepada locianpwe Pek-sim Lo-kai. Bagaimana kesanggupanmu, Sin Wan?”

"Hamba siap untuk bekerja sama, Yang Mulia.”

"Bagus Kami telah mendengar akan kemampuanmu, maka kami ingin engkau membantu kami sebagai seorang panglima pasukan keamanan yang khusus bergerak dalam usaha pemerintah mempersatukan dunia persilatan dan menjalin hubungan antara pemerintah dengan mereka. Maukah engkau menerimanya?"

Sin Wan terkejut. Dia diangkat menjadi seorang panglima! Sungguh merupakan hal yang mengejutkan sebab dia tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang perwira tinggi begitu saja! Akan tetapi dia pun teringat akan kesanggupannya kepada kakek Bu Lee Ki untuk membantunya mempersatukan kai-pang.

"Hamba berterima kasih sekali, dan tentu saja hamba mentaati perintah paduka. Tetapi kalau boleh hamba memohon, agar pengangkatan itu ditangguhkan dahulu karena hamba hendak membantu Bu-locianpwe untuk menghadiri pertemuan besar antara para pimpinan kai-pang di Lok-yang."

Tentu saja alasan ini mengandung maksud yang lain, yaitu bahwa dia ingin lebih dahulu mengantar sumoi-nya pulang ke Nan-king!

Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bagus, kami setuju. Memang urusan itu juga merupakan kepentingan kami dan masih dalam rangka tugasmu sebagai seorang panglima keamanan. Baik, engkau pergilah bersama Bu-locianpwe lebih dahulu, sekalian kelak melaporkan kepada kami bagaimana hasil pertemuan itu. Sekarang kami ingin bicara dengan nona Lim Kui Siang."

Gadis itu mengangkat muka memandang kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi melihat sinar mata yang amat tajam itu, dia pun menunduk kembali dan menanti dengan jantung berdebar. Apa yang dikehendaki raja muda itu darinya?

“Nona Lim Kui Siang, kami sudah mendengar pula laporan tentang kelihaian nona ketika bertanding melawan tokoh-tokoh Ang-kin Kai-pang dan kami merasa kagum sekali. Nona masih begini muda tetapi sudah memiliki kepandaian hebat, walau pun keheranan kami kini terjawab ketika mendengar bahwa nona adalah murid Sam-sian."

Dengan sikap tenang dan sopan Kui Siang memberi hormat, lantas menjawab, "Paduka terlalu memuji, Yang Mulia. Berkat bimbingan tiga orang suhu maka hamba bisa memiliki sedikit kemampuan untuk menjaga diri."

Senang hati raja muda itu mendengar kata-kata ini. Selain lihai gadis ini juga mempunyai watak pendekar, tidak suka menyombongkan diri, bahkan jawaban itu menunjukkan sikap yang rendah hati.

"Nona, kebetulan sekali kami membutuhkan seorang wanita selihai nona untuk menjadi pengawal keluarga kami. Kami sendiri sering kali memimpin pasukan mengusir pengacau-pengacau dari luar Tembok Besar sehingga harus meninggalkan keluarga. Hati kami akan merasa tenang dan tenteram kalau nona suka membantu kami dengan menjadi pengawal pribadi keluarga kami, yang mengepalai semua pasukan pengawal istana. Maukah nona menerimanya?"

Wajah gadis itu menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar. Seperti juga Sin Wan, dia terkejut bukan main. Begitu saja, secara mendadak dan amat mudah, ia diangkat menjadi kepala pengawal keluarga di dalam istana raja muda. Ini kedudukan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kedudukan mendiang ayahnya dulu! Kepala pengawal dalam istana adalah orang yang dipercaya sepenuhnya oleh raja muda untuk menjaga keamanan dan keselamatan keluarga!

Sejenak dia termangu. Dia melirik ke arah suheng-nya, akan tetapi suheng-nya sedang menundukkan mukanya. Ketika dia mengerling ke arah Bu Lee Ki, kakek itu memandang kepadanya dengan senyum, sedangkan pandang matanya jelas tidak mau mencampuri dan menyerahkan keputusannya kepadanya sendiri.

"Bagaimana jawabanmu, nona Lim?" raja muda itu bertanya.

"Hamba... hamba sekarang ingin pergi ke Nanking untuk menyembahyangi makam ayah bunda hamba...!" akhirnya Kui Siang menjawab.

"Aihhh... jadi seperti juga Sin Wan, engkau sudah yatim piatu, nona? Dan engkau berasal dari kota raja?"

Sin Wan maklum bahwa sumoi-nya merasa sungkan untuk memperkenalkan keluarganya. Mengingat bahwa ayah gadis itu seorang pembesar yang setia, dia pun tidak ragu-ragu membantu sumoi-nya.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Sumoi Lim Kui Siang adalah puteri tunggal dari mendiang Lim-taijin (pembesar Lim) yang menjabat pengurus gudang pusaka istana."

Mendengar ini, Raja Muda Yung Lo terbelalak lantas memandang tajam kepada gadis itu yang kini menundukkan mukanya. "Ahhh! Jadi ayahmu adalah mendiang paman Lim Cun, nona!"

Kui Siang hanya dapat mengangguk. "A-ha! Kalau begitu engkau adalah puteri seorang pejabat tinggi yang setia sampai mati! Bukankah mendiang ayahmu tewas akibat dibunuh penjahat yang mencuri pusaka-pusaka istana?"

"Benar, Yang Mulia."

"Lim Kui Siang, kiranya engkau masih orang sendiri! Dulu ayahmu adalah seorang pejabat yang setia dan kami sudah mengenalnya biar pun kami belum pernah berkenalan dengan keluarganya. Kami menjadi semakin yakin dan percaya sepenuhnya kepadamu. Baiklah, engkau boleh pergi dulu ke Nan-king menyembahyangi makam orang tuamu, sesudah itu engkau kembali ke sini dan mulai dengan tugasmu di istana. Bagaimana?”

Kui Siang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tentu saja. Dia memang tidak tahu bagaimana harus memulai hidupnya yang sebatang kara itu. Biar pun ada dua orang pamannya dan seorang bibi dari ayah, juga seorang paman dari ibunya, akan tetapi dia tidak suka kepada mereka karena dia tahu benar bahwa dulu mereka amat menginginkan peninggalan atau warisan harta dari orang tuanya.

Dia akan ke Nanking, selain bersembahyang juga akan mengurus harta peninggalan itu yang dahulu oleh Ciu-sian dititipkan kepada Ciang-Ciangkun, seorang perwira yang setia dan jujur, bahkan juga sahabat baik ayahnya, "Baiklah, Yang Mulia, hamba akan mentaati perintah paduka."

Bukan main senang rasa hati Pangeran yang menjadi Raja Muda di Peking itu. Dia segera memerintahkan para pelayan untuk mengeluarkan hidangan makan malam, kemudian dia mengajak empat orang tamunya untuk makan malam bersamanya. Ini suatu kehormatan yang luar biasa, terutama bagi Thio Sam Ki. Dia seorang ketua pengemis makan malam bersama Yang Mulia Raja Muda Yung Lo! Baginya peristiwa ini akan menjadi dongeng yang takkan henti-hentinya dia ceritakan dan banggakan kepada anak cucunya kelak!

Mendengar bahwa mereka akan segera berangkat ke selatan, Raja Muda Yung Lo lalu memberi hadiah lima ekor kuda pilihan untuk mereka, karena ketua Ang-kin Kai-pang, yaitu Ciok An, akan ikut mengawani ketuanya menghadiri rapat besar pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang.

Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan. Sementara itu Raja Muda Yung Lo segera membuat surat laporan panjang kepada ayahnya mengenai rapat besar kai-pang, mengenai Bu Lee Ki, Sin Wan dan Lim Kui Siang.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

"Kalian tak perlu banyak bertanya!" kata gadis itu sambil bertolak pinggang di depan pintu gapura pusat perkampungan Hwa I Kai-pang yang megah. "Panggil saja ketua kalian dan suruh dia keluar, katakan bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

Sejak kemunculannya gadis yang galak itu telah menarik perhatian banyak anggota Hwa I Kai-pang. Tadinya dia melangkah hendak begitu saja memasuki gapura tanpa peduli akan para penjaga, dan setelah para penjaga menghadang, dia pun marah-marah! Tadinya para anggota Hwa I Kai-pang hendak marah-marah, tetapi ketika melihat bahwa gadis itu seorang dara jelita berusia dua puluh tahunan yang wajahnya manis sekali, maka timbul kegembiraan mereka untuk menggoda.

"Aduhai nona manis, mengapa susah payah mencari pangcu kami? Marilah bertemu dan bicara saja dengan aku di gardu sini, kan lebih asyik! Aku adalah kepala jaga, dan dapat kusuruh semua anak buahku ini menyingkir supaya kita berdua dapat bicara tanpa ada gangguan." Tentu saja ucapan ini disambut suara tawa para temannya.

Gadis itu memang Tang Bwe Li atau Lili. Ia mendapat tugas dari Bi-coa Sian-li Cu Sui In, yaitu bekas gurunya yang sekarang sudah menjadi kakak seperguruannya untuk pergi melakukan penyelidikan kepada Hwa I Kai–pang yang menjadi saingan Hek I Kai-pang yang telah mereka kuasai. Akan tetapi Lili adalah seorang dara yang keras hati dan juga memandang rendah semua orang.

Perlu apa harus bersusah payah melakukan penyelidikan seperti seorang pencuri, pikirnya. Lebih baik temui saja ketua Hwa I Kai-pang, taklukkan dia lantas paksa dengan kekerasan agar dia mau mencalonkan suci-nya sebagai pemimpin besar kai-pang, habis perkara. Lebih mudah dan cepat, juga tidak harus menyelinap masuk seperti pencuri!

Tingkat kepandaian Souw-pangcu dari Hek I Kai-pang juga hanya sebegitu saja. Tentu tingkat kepandaian ketua Hwa I Kai-pang juga tidak jauh selisihnya sehingga akan mudah dia kalahkan.

Mendengar ucapan yang kurang ajar itu, Lili menoleh dan melihat bahwa yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tubuhnya tinggi kurus berjenggot pendek jarang dan berkumis tipis. Demikian kurusnya orang itu sehingga nampak seperti kerangka dibungkus kulit. Matanya yang dalam menunjukkan bahwa dia adalah seorang mata keranjang dan hidung belang.

Lili menggapai ke arah orang itu yang berada di depan gardu. Tentu saja laki-laki anggota Hwa I Kai-pang yang pada hari itu menjadi kepala jaga itu menjadi gembira bukan main dan diiringi tawa iri kawan-kawannya, dia pun melangkah lebar menghampiri Lili. Sesudah berhadapan dia pun menjadi semakin kagum. Dara ini memang cantik sekali!

Secara kurang ajar dia mengembang-kempiskan hidungnya, lalu memuji, "Aduh, alangkah harum baunya! Mawar merah yang cantik jelita dan berbau harum! Adik manis, siapakah namamu?”

Sejak muncul Lili tak pernah meninggalkan seyumnya, senyum yang rnengandung ejekan, senyum sinis ketinggian hati. "Sebaliknya aku mencium bau busuk keluar dari mulutmu!”

Orang itu terbelalak, sementara kawan-kawannya yang tadi merasa iri, kini tertawa geli, mentertawakan rekan mereka yang ceriwis itu. "Apa kau bilang?" Baru saja si tinggi kurus itu mengeluarkan pertanyaan ini, secepat kilat kaki Lili telah menendang sebongkah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu melayang dengan kuatnya ke atas, tepat menghantam mulut yang sedang terbuka karena bicara itu.

"Auuppp...!" Batu itu menghantam keras sekali sehingga merobek bibir dan merontokkan gigi, memasuki mulut dengan paksa sehingga mulut itu terkuak lebar, lebih lebar dari pada kemampuannya karena tepi mulut itu sudah terobek!

"Uhh... ahhh... ahhhhh...!" Si tinggi kurus itu menekuk tubuhnya, mencoba dengan kedua tangan untuk mengeluarkan batu dari mulut dan merintih-rintih kesakitan.

Mulut yang robek itu berdarah dan teman-temannya yang tadinya tertawa-tawa, sekarang menjadi terkejut dan cepat menolong. Batu itu akhirnya dapat dikeluarkan, dan akibatnya sungguh mengerikan karena mulut itu robek pada kedua pipinya, bibirnya pecah-pecah dan semua gigi depan, baik yang atas mau pun yang bawah, patah-patah! Si tinggi kurus itu tidak akan mati karena lukanya, akan tetapi dia akan menderita cacat pada mukanya.

“Nah, siapa lagi yang berani bermulut busuk? Majulah!"

Seorang anggota Hwa I Kai-pang yang lebih tua segera melangkah maju, sedangkan tak kurang dari dua puluh orang kawannya kini sudah berada di pintu gapura itu. "Nona siapakah dan ada keperluan apa hendak mencari pangcu kami?" Orang ini lebih berhati-hati.

"Tidak perlu kalian tahu siapa dan mengapa aku ingin bertemu dengan pangcu dari Hwa I Kai-pang. Katakan saja bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dengan dia, sekarang juga! Dia yang keluar menemuiku atau aku yang akan masuk mencarinya!"

Biar pun para anggota Hwa I Kai-pang itu dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang sembarangan, terbukti ketika dengan sebuah batu yang ditendangnya dia dapat merobek mulut si tinggi kurus, tapi mereka merasa penasaran juga. Dia hanya seorang gadis muda dan mereka adalah para anggota Hwa I Kai-pang yang rata-rata memiliki kepandaian silat.

Gadis itu memaksa hendak menemui ketua mereka yang sedang keluar dan telah melukai si tinggi kurus rekan mereka. Bagaimana mereka bisa membiarkan saja tanpa membalas? Akan rusak nama besar Hwa I Kai-pang dan akan menjadi buah tertawaan umum karena kejadian itu dilihat pula oleh umum yang menonton dari jarak jauh di seberang jalan depan perkampungan Hwa I Kai-pang.

"Nona, engkau sungguh lancang. Pangcu sedang tidak berada di sini, dan engkau sudah melukai seorang rekan kami tanpa sebab. Karena itu terpaksa kami harus menahanmu di sini dan menanti sampai pulangnya pangcu kami agar memberi keputusan kepadamu atas perbuatanmu ini."

Biar pun ucapan itu sopan dan tidak kasar, namun cukup membuat wajah Lili menjadi merah dan matanya terbelalak karena marah. "Apa?! Kalian hendak menahanku, hendak menangkap aku? Apakah kalian ini orang-orang Hwa I Kai-pang sudah gila? Suruh saja ketua kalian keluar. Kalian bukan lawanku!"

Kata-kata ini tentu saja membuat banyak anggota Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. "Bocah sombong, kau berani melawan kami yang banyak ini?" tegur anggota yang sudah berpengalaman itu.

"Tidak berani? Huh, lekas suruh keluar seluruh anggota Hwa I Kai-pang! Biar ada seratus orang sekali pun akan kuhajar semua kalau berani melawanku!"

Tentu saja para anggota Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka segera bergerak maju mengepung Lili dan terdengar teriakan-teriakan marah. "Tangkap bocah sombong ini!"

"Dia harus dihajar, dia berani menghina Hwa I Kai-pang!"

Beberapa orang serentak menubruk untuk menangkap dara jelita itu, bukan hanya karena marah, namun juga karena ingin meringkus tubuh yang sangat menggairahkan itu. Akan tetapi, begitu tubuh Lili bergerak dan berkelebatan, dia telah sibuk dengan kaki tangannya membagi-bagi tamparan dan tendangan, dan akibatnya, dalam satu gebrakan saja empat orang pengoroyok telah terpelanting ke kanan kiri, ada yang mukanya membengkak, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dan sambungan lututnya terkilir!

Yang lain menjadi semakin marah, dan sekarang belasan orang sudah mengepung dan mengeroyok gadis itu. Agaknya para anggota Hwa I Kai-pang masih belum mau percaya bahwa mereka yang berjumlah banyak tidak akan mampu meringkus gadis itu. Karena itu dengan hanya mempergunakan tangan kosong mereka pun seperti segerombolan srigala mengeroyok seekor domba, berlomba untuk membekuk batang leher gadis jelita itu.

Akan tetapi Lili mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan, tubuhnya tidak bisa disentuh apa lagi ditangkap. Bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dia menyelinap di antara tangan-tangan yang meraihnya, berloncatan ke sana sini dan kadang-kadang tinggi di atas kepala para pengeroyoknya, dan setiap ada kesempatan tangan atau kakinya pasti merobohkan seorang pengeroyok. Tubuhnya berlenggang-lenggok secara aneh, bagaikan gerakan ular saja, namun semua serangan lawan tidak pernah menyentuh tubuhnya, dan setiap kali dia menggerakkan kaki atau tangan, pasti seorang lawan terpelanting. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, kurang lebih dua puluh orang anggota Hwa I Kai-pang sudah terpelanting roboh!

Sekali meloncat Lili telah mendekati seorang di antara mereka dan kaki kirinya menginjak dada. Orang itu terengah-engah, merasa dadanya bagai dihimpit benda yang ratusan kati beratnya, membuat dia sukar bernapas dan matanya terbelalak, mukanya merah seperti udang direbus.

"Hayo cepat katakan, di mana ketua Hwa I Kai-pang?" Lili bertanya. "Kalau engkau tidak mengaku, dadamu akan kuinjak sampai pecah!”

"Saya... uh-uhhh... saya tidak berani bohong... uhhh, pangcu pergi ke luar kota, entah ke mana... saya hanya anggota biasa...!"

Lili melepaskan injakannya dan orang itu megap-megap bagaikan ikan yang dilempar ke darat, meneguk udara dengan lahapnya seperti orang kehausan. Lili memandang kepada mereka yang bergelimpangan di tanah.

"Salah kalian sendiri yang mencari penyakit! Katakan kepada ketua kalian bahwa besok pagi-pagi aku akan kembali untuk bicara dengan dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu membalikkan tubuhnya, mengebut-ngebutkan ujung pakaian lantas melangkah pergi dari situ dengan santai.

Semua orang yang tadi melihat perkelahian itu mengikutinya dengan pandang mata penuh kagum dan khawatir. Akan tetapi tak seorang pun berani menegur Lili yang melenggang pergi seenaknya, menuju ke pintu gerbang barat.

Baru saja bayangan Lili lenyap di sebuah tikungan, serombongan orang datang ke tempat itu dari timur. Mereka terdiri dari delapan orang dan begitu melihat keadaan para anak buah Hwa I Kai-pang, seorang di antara mereka cepat berlari menghampiri.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya orang itu kepada mereka. Para anak buah Hwa I Kai-pang yang masih kesakitan, girang melihat munculnya orang itu yang bukan lain adalah ketua mereka.

Orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan namanya adalah Siok Cu. Pakaiannya juga berkembang-kembang dengan tambalan dari kain yang baru. Ketika dia mendengar keterangan para anak buahnya bahwa baru saja ada seorang gadis muda yang berkeras hendak bertemu dengan ketua Hwa I Kai-pang dan bersikap sombong lalu menghajar mereka semua, Siok-pangcu menjadi marah bukan main.

"Keparat!" serunya marah. "Di mana gadis sombong itu sekarang?"

"Dia tadi pergi ke sana, pangcu," kata anak buahnya sambil menunjuk ke barat.

“Aku harus mengejarnya!"

Akan tetapi sebelum Siok-pangcu lari mengejar, tujuh orang yang tadi datang bersamanya telah berada di dekatnya. Seorang pemuda berusia dua puluh enam tahun yang bertubuh pendek, berlengan panjang, pakaiannya mewah dan pesolek, berwajah tampan dan selalu tersenyum-senyum, segera menyentuh lengannya.

“Pangcu, ada aku di sini, kenapa pangcu hendak bersusah payah sendiri? Tinggallah saja di sini bersama suhu, aku yang akan menangkapkan gadis itu untukmu."

Kakek yang datang bersama mereka, yang tubuhnya besar, perutnya gendut sekali serta kepalanya botak, terkekeh. "Heh-heh-heh, pangcu, apa yang dikatakan Maniyoko benar. Biarlah dia memperlihatkan jasanya yang pertama!"

Kakek ini adalah seorang datuk yang sangat terkenal di sepanjang pantai timur, bahkan di Lautan Pohai, karena dia adalah Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin. Kakek ini menjadi datuk para bajak laut dan semua golongan hitam di daerah pantai timur. Dia bahkan terkenal sekali di kepulauan Jepang sebab dia adalah seorang peranakan Jepang.

Ada pun pemuda tampan itu adalah Maniyoko, seorang pemuda Jepang yang menjadi muridnya. Senang hati Siok Cu mendengar kesanggupan tamunya itu. Setelah Maniyoko mendengar keterangan para anggota Hwa I Kai-pang tentang ciri-ciri gadis pengacau itu, dia segera mengajak lima orang anak buah ayahnya untuk melakukan pengejaran dengan cepat menuju ke barat...

********************

Si Pedang Tumpul Jilid 19

"Locianpwe, kami selalu merindukan persatuan terjalin erat di antara seluruh tokoh dalam dunia persilatan. Dengan adanya locianpwe sebagai Thai-pangcu, maka berarti bahwa seluruh kai-pang dapat dipersatukan. Ada gejala timbulnya perpecahan ketika locianpwe menghilang, dan dengan munculnya kembali locianpwe, kami harap agar seluruh kai-pang dapat dipersatukan kembali."

"Hamba memang bermaksud untuk mengunjungi rapat besar kai-pang yang bulan depan akan diadakan di Lok-yang, Yang mulia."

"Bagus sekali kalau begitu. Akan tetapi bukan hanya sekian, bukan hanya para kai-pang yang harus dipersatukan, namun seluruh dunia persilatan, seluruh tokoh kang-ouw. Oleh karena itu Sribaginda Kaisar sendiri sudah menyetujui supaya diadakan pertemuan besar di mana akan dilakukan pemilihan Bengcu yang akan memimpin seluruh dunia persilatan dan mewakili dunia persilatan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan kami percaya bahwa locianpwe akan mampu menjadi calon Bengcu, atau setidaknya locianpwe dapat menjaga agar yang dipilih menjadi Bengcu adalah orang yang betul-betul berjiwa pendekar dan pahlawan, bukan tokoh sesat yang akan menyelewengkan dunia kang-ouw. Apakah locianpwe mengerti akan maksud kami?"

"Hamba mengerti, Yang Mulia. Tanpa perintah paduka pun, hamba tentu akan melakukan pengawasan itu agar jangan sampai dunia persilatan diselewengkan ke arah kesesatan."

"Bagus, dan terima kasih, locianpwe. Kami percaya sepenuhnya kepada locianpwe. Kami akan memberi laporan kepada ayahanda Sribaginda Kaisar, juga akan memberi perintah kepada para pejabat tinggi di Lok-yang dan lain-lain agar mereka mempersiapkan bantuan kepada locianpwe. Kami dari pihak pemerintah tak akan mencampuri pemilihan itu secara langsung, melainkan hanya akan menjaga dan mendukung pihak yang kami anggap betul. Dan locianpwe merupakan satu di antara golongan yang kami pilih."

“Terima kasih, Yang Mulia."

"Kami tidak mau menjanjikan hadiah kepada locianpwe karena hal itu hanya merupakan penghinaan bagi seorang yang berjiwa pahlawan, akan tetapi percayalah bahwa kami tak akan melupakan jasa locianpwe yang besar bagi negara dan bangsa. Nah, sekarang kami ingin bicara dengan pemuda ini. Namamu Sin Wan, orang muda?"

Suara raja muda itu membuat Kui Siang merasa geli dalam hatinya karena seakan-akan raja muda itu sudah tua. Padahal apa bila dibandingkan dengan Sin Wan, raja muda itu pantas menjadi seorang kakaknya saja.

Sin Wan memberi hormat, "Benar, Yang Mulia."

"Dan engkau murid keponakan locianpwe Pek-sim Lo-kai?"

Sin Wan menoleh ke arah kakek itu. Dia tidak ingin berbohong, akan tetapi di pusat Ang-kin Kai-pang, kakek itu sudah mengakuinya sebagai murid keponakan. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, kakek itu tersenyum.

"Maaf, Yang Mulia. Sesungguhnya Sin Wan dan Kui Siang adalah murid-murid Sam-sian dan hamba akui sebagai murid keponakan karena hamba dengan Sam-sian akrab seperti saudara saja."

Raja Muda Yung Lo memandang terbelalak kepada Sin Wan, lalu kepada Kui Siang dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. "Aihhh...! Murid-murid Sam-sian, Tiga Dewa yang pernah berjasa menemukan kembali pusaka-pusaka istana yang hilang dicuri orang itu? Bukan main! Sam-sian adalah tiga tokoh besar yang telah berjasa. Jadi engkau ini murid mereka, Sin Wan! Akan tetapi kami melihat bahwa engkau bukan seorang pribumi, bukan orang Han. Benarkah?"

Sin Wan kagum kepada raja muda itu yang berpenglihatan tajam. Padahal baik cara dia bicara mau pun pakaian dan sikapnya, tiada bedanya antara dia dan orang Han. Sin Wan sendiri tidak menyadari bahwa walau pun kecil tetapi terdapat perbedaan pada matanya dan kulit wajahnya, dan dia memiliki ketampanan yang berbeda dengan orang Han.

"Benar sekali dugaan paduka, Yang Mulia. Sesungguhnya mendiang ayah dan ibu hamba adalah orang-orang Uighur."

"Hemm, pantas kalau begitu. Jadi engkau telah yatim piatu?”

"Benar, Yang Mulia. Sejak berusia sepuluh tahun hamba kehilangan ibu hamba, ada pun ayah hamba telah meninggal sewaktu hamba masih dalam kandungan, dan sejak berusia sepuluh tahun hamba menjadi murid ketiga orang guru hamba."

"Kalau begitu engkau seorang keturunan Bangsa Uighur, Sin Wan. Apakah kami dapat mengharapkan seorang suku Uighur untuk setia kepada kerajaan dan Dinasti Beng? Setia terhadap negara dan Bangsa Han. Kepada tanah air?" Sepasang mata itu mencorong dan mengamati wajah Sin Wan penuh selidik.

Ucapan yang menusuk hati itu diterima oleh Sin Wan dengan sikap tenang saja. Batinnya sudah digembleng secara hebat oleh ketiga orang gurunya, maka keseimbangannya tidak mudah terguncang. Dia pun menyambut pandang mata raja muda itu dengan sinar mata yang terang dan tenang.

"Yang Mulia, bagi hamba, di mana hamba hidup di situlah tanah air hamba karena airnya hamba minum dan hasil tanahnya hamba makan. Bangsa hamba adalah bangsa di dalam mana hamba hidup dan bergaul, mengalami suka duka bersama. Sejak kecil hamba hidup di antara Bangsa Han, bergaul dengan Bangsa Han, sehingga hamba akan merasa asing kalau berada di antara orang-orang Uighur sendiri, bahkan hamba pun hampir lupa akan Bahasa Uighur karena sejak kecil ibu selalu berbicara dalam Bahasa Han kepada hamba. Sejak kecil ketiga orang guru hamba mengajarkan kepada hamba agar selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin hamba akan dapat mengkhianati tanah air di mana hamba makan minum dan bangsa dengan siapa hamba bergaul dan mengalami suka duka bersama? Hamba tak akan menyangkal bahwa hamba adalah keturunan suku Uighur, akan tetapi hamba akan menyeleweng dari kebenaran bila hamba mengkhianati negara dan bangsa di mana hamba hidup!"

Ucapan itu penuh semangat dan sewajarnya karena keluar dari lubuk hati pemuda itu. Dia sendiri akan merasa asing, aneh dan kehilangan tempat berpijak kalau dia harus bersikap lain dari pada apa yang telah dia katakan itu.

Diam-diam Kui Siang memandang kepada suheng-nya dengan hati merasa heran bukan kepalang. Tiga orang suhu mereka tidak pernah bercerita tentang asal usul Sin Wan, dan suheng-nya itu sendiri pun hanya menceritakan bahwa dia yatim piatu. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa suheng-nya adalah seorang Uighur! Baginya tidak ada sedikit pun sisa-sisa orang Uighur pada suheng-nya, padahal menurut pengakuannya tadi, ayah bunda suheng-nya adalah Bangsa Uighur. Suheng-nya orang Uighur tulen! Sungguh tak disangkanya sama sekali.

Mendengar ucapan itu, juga melihat sikap dan sinar mata pemuda itu, Raja Muda Yung Lo tersenyum girang. Wajahnya berseri dan dia pun berkata, "Hemm, kami hanya ingin tahu isi hatimu, Sin Wan. Kalau kita semua mau mengakui secara jujur, kami sendiri tidak tahu siapakah yang asli dan siapa pula yang tidak asli di antara kita semua!"

Pangeran atau raja muda itu tertawa. "Kita hanya mampu mengenal nenek moyang kita sampai kepada kakek buyut atau kakek canggah. Sebelum itu, siapa dapat yakin bahwa nenek moyang kita bukan keturunan suku lain? Siapa tahu di dalam tubuhku ini mengalir darah Uighur, atau darah Miauw, bahkan darah Mancu atau malah darah Mongol? Yang terpenting memang bukan keturunannya, tapi sepak terjangnya dalam hidup. Bagaimana pun darah manusia tetap darah manusia, apa bedanya? Keturunan apa pun, bila memang dia pengkhianat, tetap penghkianat, kalau dia pendekar atau pahlawan, tetap pahlawan. Nah, mengingat bahwa engkau murid Sam-sian, apa lagi kini datang bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai, kami percaya sepenuhnya kepadamu. Kepadamu kami juga menawarkan kerja sama demi kepentingan rakyat seperti yang kami tawarkan kepada locianpwe Pek-sim Lo-kai. Bagaimana kesanggupanmu, Sin Wan?”

"Hamba siap untuk bekerja sama, Yang Mulia.”

"Bagus Kami telah mendengar akan kemampuanmu, maka kami ingin engkau membantu kami sebagai seorang panglima pasukan keamanan yang khusus bergerak dalam usaha pemerintah mempersatukan dunia persilatan dan menjalin hubungan antara pemerintah dengan mereka. Maukah engkau menerimanya?"

Sin Wan terkejut. Dia diangkat menjadi seorang panglima! Sungguh merupakan hal yang mengejutkan sebab dia tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang perwira tinggi begitu saja! Akan tetapi dia pun teringat akan kesanggupannya kepada kakek Bu Lee Ki untuk membantunya mempersatukan kai-pang.

"Hamba berterima kasih sekali, dan tentu saja hamba mentaati perintah paduka. Tetapi kalau boleh hamba memohon, agar pengangkatan itu ditangguhkan dahulu karena hamba hendak membantu Bu-locianpwe untuk menghadiri pertemuan besar antara para pimpinan kai-pang di Lok-yang."

Tentu saja alasan ini mengandung maksud yang lain, yaitu bahwa dia ingin lebih dahulu mengantar sumoi-nya pulang ke Nan-king!

Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bagus, kami setuju. Memang urusan itu juga merupakan kepentingan kami dan masih dalam rangka tugasmu sebagai seorang panglima keamanan. Baik, engkau pergilah bersama Bu-locianpwe lebih dahulu, sekalian kelak melaporkan kepada kami bagaimana hasil pertemuan itu. Sekarang kami ingin bicara dengan nona Lim Kui Siang."

Gadis itu mengangkat muka memandang kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi melihat sinar mata yang amat tajam itu, dia pun menunduk kembali dan menanti dengan jantung berdebar. Apa yang dikehendaki raja muda itu darinya?

“Nona Lim Kui Siang, kami sudah mendengar pula laporan tentang kelihaian nona ketika bertanding melawan tokoh-tokoh Ang-kin Kai-pang dan kami merasa kagum sekali. Nona masih begini muda tetapi sudah memiliki kepandaian hebat, walau pun keheranan kami kini terjawab ketika mendengar bahwa nona adalah murid Sam-sian."

Dengan sikap tenang dan sopan Kui Siang memberi hormat, lantas menjawab, "Paduka terlalu memuji, Yang Mulia. Berkat bimbingan tiga orang suhu maka hamba bisa memiliki sedikit kemampuan untuk menjaga diri."

Senang hati raja muda itu mendengar kata-kata ini. Selain lihai gadis ini juga mempunyai watak pendekar, tidak suka menyombongkan diri, bahkan jawaban itu menunjukkan sikap yang rendah hati.

"Nona, kebetulan sekali kami membutuhkan seorang wanita selihai nona untuk menjadi pengawal keluarga kami. Kami sendiri sering kali memimpin pasukan mengusir pengacau-pengacau dari luar Tembok Besar sehingga harus meninggalkan keluarga. Hati kami akan merasa tenang dan tenteram kalau nona suka membantu kami dengan menjadi pengawal pribadi keluarga kami, yang mengepalai semua pasukan pengawal istana. Maukah nona menerimanya?"

Wajah gadis itu menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar. Seperti juga Sin Wan, dia terkejut bukan main. Begitu saja, secara mendadak dan amat mudah, ia diangkat menjadi kepala pengawal keluarga di dalam istana raja muda. Ini kedudukan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kedudukan mendiang ayahnya dulu! Kepala pengawal dalam istana adalah orang yang dipercaya sepenuhnya oleh raja muda untuk menjaga keamanan dan keselamatan keluarga!

Sejenak dia termangu. Dia melirik ke arah suheng-nya, akan tetapi suheng-nya sedang menundukkan mukanya. Ketika dia mengerling ke arah Bu Lee Ki, kakek itu memandang kepadanya dengan senyum, sedangkan pandang matanya jelas tidak mau mencampuri dan menyerahkan keputusannya kepadanya sendiri.

"Bagaimana jawabanmu, nona Lim?" raja muda itu bertanya.

"Hamba... hamba sekarang ingin pergi ke Nanking untuk menyembahyangi makam ayah bunda hamba...!" akhirnya Kui Siang menjawab.

"Aihhh... jadi seperti juga Sin Wan, engkau sudah yatim piatu, nona? Dan engkau berasal dari kota raja?"

Sin Wan maklum bahwa sumoi-nya merasa sungkan untuk memperkenalkan keluarganya. Mengingat bahwa ayah gadis itu seorang pembesar yang setia, dia pun tidak ragu-ragu membantu sumoi-nya.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Sumoi Lim Kui Siang adalah puteri tunggal dari mendiang Lim-taijin (pembesar Lim) yang menjabat pengurus gudang pusaka istana."

Mendengar ini, Raja Muda Yung Lo terbelalak lantas memandang tajam kepada gadis itu yang kini menundukkan mukanya. "Ahhh! Jadi ayahmu adalah mendiang paman Lim Cun, nona!"

Kui Siang hanya dapat mengangguk. "A-ha! Kalau begitu engkau adalah puteri seorang pejabat tinggi yang setia sampai mati! Bukankah mendiang ayahmu tewas akibat dibunuh penjahat yang mencuri pusaka-pusaka istana?"

"Benar, Yang Mulia."

"Lim Kui Siang, kiranya engkau masih orang sendiri! Dulu ayahmu adalah seorang pejabat yang setia dan kami sudah mengenalnya biar pun kami belum pernah berkenalan dengan keluarganya. Kami menjadi semakin yakin dan percaya sepenuhnya kepadamu. Baiklah, engkau boleh pergi dulu ke Nan-king menyembahyangi makam orang tuamu, sesudah itu engkau kembali ke sini dan mulai dengan tugasmu di istana. Bagaimana?”

Kui Siang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tentu saja. Dia memang tidak tahu bagaimana harus memulai hidupnya yang sebatang kara itu. Biar pun ada dua orang pamannya dan seorang bibi dari ayah, juga seorang paman dari ibunya, akan tetapi dia tidak suka kepada mereka karena dia tahu benar bahwa dulu mereka amat menginginkan peninggalan atau warisan harta dari orang tuanya.

Dia akan ke Nanking, selain bersembahyang juga akan mengurus harta peninggalan itu yang dahulu oleh Ciu-sian dititipkan kepada Ciang-Ciangkun, seorang perwira yang setia dan jujur, bahkan juga sahabat baik ayahnya, "Baiklah, Yang Mulia, hamba akan mentaati perintah paduka."

Bukan main senang rasa hati Pangeran yang menjadi Raja Muda di Peking itu. Dia segera memerintahkan para pelayan untuk mengeluarkan hidangan makan malam, kemudian dia mengajak empat orang tamunya untuk makan malam bersamanya. Ini suatu kehormatan yang luar biasa, terutama bagi Thio Sam Ki. Dia seorang ketua pengemis makan malam bersama Yang Mulia Raja Muda Yung Lo! Baginya peristiwa ini akan menjadi dongeng yang takkan henti-hentinya dia ceritakan dan banggakan kepada anak cucunya kelak!

Mendengar bahwa mereka akan segera berangkat ke selatan, Raja Muda Yung Lo lalu memberi hadiah lima ekor kuda pilihan untuk mereka, karena ketua Ang-kin Kai-pang, yaitu Ciok An, akan ikut mengawani ketuanya menghadiri rapat besar pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang.

Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan. Sementara itu Raja Muda Yung Lo segera membuat surat laporan panjang kepada ayahnya mengenai rapat besar kai-pang, mengenai Bu Lee Ki, Sin Wan dan Lim Kui Siang.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

"Kalian tak perlu banyak bertanya!" kata gadis itu sambil bertolak pinggang di depan pintu gapura pusat perkampungan Hwa I Kai-pang yang megah. "Panggil saja ketua kalian dan suruh dia keluar, katakan bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

Sejak kemunculannya gadis yang galak itu telah menarik perhatian banyak anggota Hwa I Kai-pang. Tadinya dia melangkah hendak begitu saja memasuki gapura tanpa peduli akan para penjaga, dan setelah para penjaga menghadang, dia pun marah-marah! Tadinya para anggota Hwa I Kai-pang hendak marah-marah, tetapi ketika melihat bahwa gadis itu seorang dara jelita berusia dua puluh tahunan yang wajahnya manis sekali, maka timbul kegembiraan mereka untuk menggoda.

"Aduhai nona manis, mengapa susah payah mencari pangcu kami? Marilah bertemu dan bicara saja dengan aku di gardu sini, kan lebih asyik! Aku adalah kepala jaga, dan dapat kusuruh semua anak buahku ini menyingkir supaya kita berdua dapat bicara tanpa ada gangguan." Tentu saja ucapan ini disambut suara tawa para temannya.

Gadis itu memang Tang Bwe Li atau Lili. Ia mendapat tugas dari Bi-coa Sian-li Cu Sui In, yaitu bekas gurunya yang sekarang sudah menjadi kakak seperguruannya untuk pergi melakukan penyelidikan kepada Hwa I Kai–pang yang menjadi saingan Hek I Kai-pang yang telah mereka kuasai. Akan tetapi Lili adalah seorang dara yang keras hati dan juga memandang rendah semua orang.

Perlu apa harus bersusah payah melakukan penyelidikan seperti seorang pencuri, pikirnya. Lebih baik temui saja ketua Hwa I Kai-pang, taklukkan dia lantas paksa dengan kekerasan agar dia mau mencalonkan suci-nya sebagai pemimpin besar kai-pang, habis perkara. Lebih mudah dan cepat, juga tidak harus menyelinap masuk seperti pencuri!

Tingkat kepandaian Souw-pangcu dari Hek I Kai-pang juga hanya sebegitu saja. Tentu tingkat kepandaian ketua Hwa I Kai-pang juga tidak jauh selisihnya sehingga akan mudah dia kalahkan.

Mendengar ucapan yang kurang ajar itu, Lili menoleh dan melihat bahwa yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tubuhnya tinggi kurus berjenggot pendek jarang dan berkumis tipis. Demikian kurusnya orang itu sehingga nampak seperti kerangka dibungkus kulit. Matanya yang dalam menunjukkan bahwa dia adalah seorang mata keranjang dan hidung belang.

Lili menggapai ke arah orang itu yang berada di depan gardu. Tentu saja laki-laki anggota Hwa I Kai-pang yang pada hari itu menjadi kepala jaga itu menjadi gembira bukan main dan diiringi tawa iri kawan-kawannya, dia pun melangkah lebar menghampiri Lili. Sesudah berhadapan dia pun menjadi semakin kagum. Dara ini memang cantik sekali!

Secara kurang ajar dia mengembang-kempiskan hidungnya, lalu memuji, "Aduh, alangkah harum baunya! Mawar merah yang cantik jelita dan berbau harum! Adik manis, siapakah namamu?”

Sejak muncul Lili tak pernah meninggalkan seyumnya, senyum yang rnengandung ejekan, senyum sinis ketinggian hati. "Sebaliknya aku mencium bau busuk keluar dari mulutmu!”

Orang itu terbelalak, sementara kawan-kawannya yang tadi merasa iri, kini tertawa geli, mentertawakan rekan mereka yang ceriwis itu. "Apa kau bilang?" Baru saja si tinggi kurus itu mengeluarkan pertanyaan ini, secepat kilat kaki Lili telah menendang sebongkah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu melayang dengan kuatnya ke atas, tepat menghantam mulut yang sedang terbuka karena bicara itu.

"Auuppp...!" Batu itu menghantam keras sekali sehingga merobek bibir dan merontokkan gigi, memasuki mulut dengan paksa sehingga mulut itu terkuak lebar, lebih lebar dari pada kemampuannya karena tepi mulut itu sudah terobek!

"Uhh... ahhh... ahhhhh...!" Si tinggi kurus itu menekuk tubuhnya, mencoba dengan kedua tangan untuk mengeluarkan batu dari mulut dan merintih-rintih kesakitan.

Mulut yang robek itu berdarah dan teman-temannya yang tadinya tertawa-tawa, sekarang menjadi terkejut dan cepat menolong. Batu itu akhirnya dapat dikeluarkan, dan akibatnya sungguh mengerikan karena mulut itu robek pada kedua pipinya, bibirnya pecah-pecah dan semua gigi depan, baik yang atas mau pun yang bawah, patah-patah! Si tinggi kurus itu tidak akan mati karena lukanya, akan tetapi dia akan menderita cacat pada mukanya.

“Nah, siapa lagi yang berani bermulut busuk? Majulah!"

Seorang anggota Hwa I Kai-pang yang lebih tua segera melangkah maju, sedangkan tak kurang dari dua puluh orang kawannya kini sudah berada di pintu gapura itu. "Nona siapakah dan ada keperluan apa hendak mencari pangcu kami?" Orang ini lebih berhati-hati.

"Tidak perlu kalian tahu siapa dan mengapa aku ingin bertemu dengan pangcu dari Hwa I Kai-pang. Katakan saja bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dengan dia, sekarang juga! Dia yang keluar menemuiku atau aku yang akan masuk mencarinya!"

Biar pun para anggota Hwa I Kai-pang itu dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang sembarangan, terbukti ketika dengan sebuah batu yang ditendangnya dia dapat merobek mulut si tinggi kurus, tapi mereka merasa penasaran juga. Dia hanya seorang gadis muda dan mereka adalah para anggota Hwa I Kai-pang yang rata-rata memiliki kepandaian silat.

Gadis itu memaksa hendak menemui ketua mereka yang sedang keluar dan telah melukai si tinggi kurus rekan mereka. Bagaimana mereka bisa membiarkan saja tanpa membalas? Akan rusak nama besar Hwa I Kai-pang dan akan menjadi buah tertawaan umum karena kejadian itu dilihat pula oleh umum yang menonton dari jarak jauh di seberang jalan depan perkampungan Hwa I Kai-pang.

"Nona, engkau sungguh lancang. Pangcu sedang tidak berada di sini, dan engkau sudah melukai seorang rekan kami tanpa sebab. Karena itu terpaksa kami harus menahanmu di sini dan menanti sampai pulangnya pangcu kami agar memberi keputusan kepadamu atas perbuatanmu ini."

Biar pun ucapan itu sopan dan tidak kasar, namun cukup membuat wajah Lili menjadi merah dan matanya terbelalak karena marah. "Apa?! Kalian hendak menahanku, hendak menangkap aku? Apakah kalian ini orang-orang Hwa I Kai-pang sudah gila? Suruh saja ketua kalian keluar. Kalian bukan lawanku!"

Kata-kata ini tentu saja membuat banyak anggota Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. "Bocah sombong, kau berani melawan kami yang banyak ini?" tegur anggota yang sudah berpengalaman itu.

"Tidak berani? Huh, lekas suruh keluar seluruh anggota Hwa I Kai-pang! Biar ada seratus orang sekali pun akan kuhajar semua kalau berani melawanku!"

Tentu saja para anggota Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka segera bergerak maju mengepung Lili dan terdengar teriakan-teriakan marah. "Tangkap bocah sombong ini!"

"Dia harus dihajar, dia berani menghina Hwa I Kai-pang!"

Beberapa orang serentak menubruk untuk menangkap dara jelita itu, bukan hanya karena marah, namun juga karena ingin meringkus tubuh yang sangat menggairahkan itu. Akan tetapi, begitu tubuh Lili bergerak dan berkelebatan, dia telah sibuk dengan kaki tangannya membagi-bagi tamparan dan tendangan, dan akibatnya, dalam satu gebrakan saja empat orang pengoroyok telah terpelanting ke kanan kiri, ada yang mukanya membengkak, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dan sambungan lututnya terkilir!

Yang lain menjadi semakin marah, dan sekarang belasan orang sudah mengepung dan mengeroyok gadis itu. Agaknya para anggota Hwa I Kai-pang masih belum mau percaya bahwa mereka yang berjumlah banyak tidak akan mampu meringkus gadis itu. Karena itu dengan hanya mempergunakan tangan kosong mereka pun seperti segerombolan srigala mengeroyok seekor domba, berlomba untuk membekuk batang leher gadis jelita itu.

Akan tetapi Lili mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan, tubuhnya tidak bisa disentuh apa lagi ditangkap. Bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dia menyelinap di antara tangan-tangan yang meraihnya, berloncatan ke sana sini dan kadang-kadang tinggi di atas kepala para pengeroyoknya, dan setiap ada kesempatan tangan atau kakinya pasti merobohkan seorang pengeroyok. Tubuhnya berlenggang-lenggok secara aneh, bagaikan gerakan ular saja, namun semua serangan lawan tidak pernah menyentuh tubuhnya, dan setiap kali dia menggerakkan kaki atau tangan, pasti seorang lawan terpelanting. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, kurang lebih dua puluh orang anggota Hwa I Kai-pang sudah terpelanting roboh!

Sekali meloncat Lili telah mendekati seorang di antara mereka dan kaki kirinya menginjak dada. Orang itu terengah-engah, merasa dadanya bagai dihimpit benda yang ratusan kati beratnya, membuat dia sukar bernapas dan matanya terbelalak, mukanya merah seperti udang direbus.

"Hayo cepat katakan, di mana ketua Hwa I Kai-pang?" Lili bertanya. "Kalau engkau tidak mengaku, dadamu akan kuinjak sampai pecah!”

"Saya... uh-uhhh... saya tidak berani bohong... uhhh, pangcu pergi ke luar kota, entah ke mana... saya hanya anggota biasa...!"

Lili melepaskan injakannya dan orang itu megap-megap bagaikan ikan yang dilempar ke darat, meneguk udara dengan lahapnya seperti orang kehausan. Lili memandang kepada mereka yang bergelimpangan di tanah.

"Salah kalian sendiri yang mencari penyakit! Katakan kepada ketua kalian bahwa besok pagi-pagi aku akan kembali untuk bicara dengan dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu membalikkan tubuhnya, mengebut-ngebutkan ujung pakaian lantas melangkah pergi dari situ dengan santai.

Semua orang yang tadi melihat perkelahian itu mengikutinya dengan pandang mata penuh kagum dan khawatir. Akan tetapi tak seorang pun berani menegur Lili yang melenggang pergi seenaknya, menuju ke pintu gerbang barat.

Baru saja bayangan Lili lenyap di sebuah tikungan, serombongan orang datang ke tempat itu dari timur. Mereka terdiri dari delapan orang dan begitu melihat keadaan para anak buah Hwa I Kai-pang, seorang di antara mereka cepat berlari menghampiri.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya orang itu kepada mereka. Para anak buah Hwa I Kai-pang yang masih kesakitan, girang melihat munculnya orang itu yang bukan lain adalah ketua mereka.

Orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan namanya adalah Siok Cu. Pakaiannya juga berkembang-kembang dengan tambalan dari kain yang baru. Ketika dia mendengar keterangan para anak buahnya bahwa baru saja ada seorang gadis muda yang berkeras hendak bertemu dengan ketua Hwa I Kai-pang dan bersikap sombong lalu menghajar mereka semua, Siok-pangcu menjadi marah bukan main.

"Keparat!" serunya marah. "Di mana gadis sombong itu sekarang?"

"Dia tadi pergi ke sana, pangcu," kata anak buahnya sambil menunjuk ke barat.

“Aku harus mengejarnya!"

Akan tetapi sebelum Siok-pangcu lari mengejar, tujuh orang yang tadi datang bersamanya telah berada di dekatnya. Seorang pemuda berusia dua puluh enam tahun yang bertubuh pendek, berlengan panjang, pakaiannya mewah dan pesolek, berwajah tampan dan selalu tersenyum-senyum, segera menyentuh lengannya.

“Pangcu, ada aku di sini, kenapa pangcu hendak bersusah payah sendiri? Tinggallah saja di sini bersama suhu, aku yang akan menangkapkan gadis itu untukmu."

Kakek yang datang bersama mereka, yang tubuhnya besar, perutnya gendut sekali serta kepalanya botak, terkekeh. "Heh-heh-heh, pangcu, apa yang dikatakan Maniyoko benar. Biarlah dia memperlihatkan jasanya yang pertama!"

Kakek ini adalah seorang datuk yang sangat terkenal di sepanjang pantai timur, bahkan di Lautan Pohai, karena dia adalah Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin. Kakek ini menjadi datuk para bajak laut dan semua golongan hitam di daerah pantai timur. Dia bahkan terkenal sekali di kepulauan Jepang sebab dia adalah seorang peranakan Jepang.

Ada pun pemuda tampan itu adalah Maniyoko, seorang pemuda Jepang yang menjadi muridnya. Senang hati Siok Cu mendengar kesanggupan tamunya itu. Setelah Maniyoko mendengar keterangan para anggota Hwa I Kai-pang tentang ciri-ciri gadis pengacau itu, dia segera mengajak lima orang anak buah ayahnya untuk melakukan pengejaran dengan cepat menuju ke barat...

********************