Si Pedang Tumpul Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MAKA pada saat itu bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan yang saling bertentangan. Di satu pihak muncul perkumpulan-perkumpulan golongan sesat atau para penjahat yang dipergunakan oleh para pembesar yang berniat memberontak, dan di pihak lain golongan para pendekar yang membantu pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan.

Tentu saja golongan para pendekar ini mendapatkan dukungan dari rakyat jelata yang tak ingin melihat kehidupan mereka dirusak kembali oleh para pengacau. Juga mereka baru saja terbebas dari perang yang amat mengerikan dan menjatuhkan banyak korban, maka mereka tidak menghendaki timbul perang baru yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata belaka.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Pada suatu pagi, dua orang wanita cantik mendayung perahu mereka yang kecil mungil ke darat sungai Kuning di sebelah utara kota besar Lok-yang. Mereka menarik perahu ke darat, lalu memanggil seorang di antara para nelayan yang berada di pantai.

"Paman, maukah engkau menyimpan perahu ini untuk kami? Boleh paman pakai untuk keperluan paman, akan tetapi jika sewaktu-waktu kami datang membutuhkannya, paman harus mengembalikan kepada kami," kata wanita yang muda.

Nelayan itu memandang heran, akan tetapi karena perahu itu biar pun kecil cukup kokoh dan indah, dia pun mengangguk. "Baiklah, nona. Biar anakku yang merawatnya dan dia pula yang menggunakan untuk sekadar mencari ikan, Namaku A Liok, nona. Kelak kalau nona hendak mengambilnya kembali, tanyakan saja kepada orang di sini."

Gadis itu mengangguk, kemudian dua orang wanita cantik itu pergi meninggalkan pantai sungai, menuju ke barat, melalui jalan raya yang menuju ke kota Lok-yang. Dua orang wanita itu adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan Tang Bwe Li!

Setahun lebih yang lalu mereka datang ke Pek-in-kok dan Si Dewi Ular itu sudah berhasil membunuh Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, walau pun dia sendlri juga terluka parah. Namun kini dia telah sembuh sama sekali dan meski pun usianya kini sudah empat puluh tahun lebih, Cu Sui In masih nampak cantik jelita seperti belum ada tiga puluh tahun usianya.

Rambutnya masih digelung tinggi, dan rambut itu masih hitam panjang, gelungnya model sanggul para puteri bangsawan dengan dihias emas permata berbentuk burung Hong dan bunga teratai. Pakaiannya juga indah, terbuat dari sutera mahal berkembang. Wajahnya yang cantik jelita itu bertambah cantik dengan olesan bedak tipis serta pemerah bibir dan pipi. Alisnya kecil melengkung dan hitam karena ditata dengan cukuran dan penghitam alis. Sepasang matanya tajam dan mengandung sesuatu yang dingin dan menyeramkan.

Hidungnya mancung, akan tetapi yang paling menggairahkan hati pria adalah mulutnya. Mulut itu memang indah bentuknya, bahkan tanpa pemerah bibir pun sepasang bibir itu sebetulnya sudah merah membasah karena sehat, sepasang bibir yang hidup dan dapat bergerak-gerak pada ujungnya, penuh dan tipis lembut. Akan tetapi semua kecantikan itu menjadi kereng dengan adanya sebatang pedang yang bergagang dan bersarung indah tergantung pada punggungnya, tertutup buntalan pakaian dan sutera kuning.

Tang Bwe Li yang kini berusia dua puluh tahun tidaklah secantik dan seanggun gurunya yang kini menjadi suci-nya itu. Namun dara ini jauh lebih manis! Lesung di pipinya, kerling tajam pada matanya, senyum sinis pada mulutnya, hidung yang dapat kembang kempis itu, ditambah gayanya yang lincah jenaka dan galak, membuat hati setiap orang pria yang melihatnya menjadi gemas-gemas sayang.

Beberapa bulan yang lalu Tang Bwe Li atau yang biasa dipanggil Lili, pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Himalaya di mana suhu-nya, See-thian Coa-ong Cu Kiat dan suci-nya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In, tinggal. Dia telah melakukan perjalanan seorang diri untuk mencari Dewa Arak dan muridnya, anak laki-laki yang dulu pernah menampari pinggulnya sampai panas dan merah, yang tidak diketahui namanya akan tetapi amat dibencinya itu.

Dia hendak mewakili suci-nya yang sedang mengobati luka dalam karena tendangan Pek-mau-sian. Akan tetapi Lili tidak berhasil menemukan Dewa Arak di Pek-in-kok. Dia hanya melihat dua buah makam, yaitu makam Kiam-san dan Pek-mau-sian. Dia sudah mencari ke sekitar lembah itu, namun sia-sia sehingga dengan marah-marah terpaksa dia kembali ke rumah suhu-nya dan melapor kepada suci-nya.

Dewi Ular juga menjadi kecewa sekali, maka setelah dia sembuh sama sekali, dia segera mengajak sumoi-nya turun gunung. Selain hendak mencari Dewa Arak dan muridnya, juga mereka berdua ingin memenuhi pesan See-thian Coa-ong Cu Kiat.

Datuk ini sudah mendengar akan perubahan besar yang terjadi semenjak penjajah Mongol diusir dari daratan Cina. Dia merasa sudah tua dan tidak semestinya terus mengasingkan diri di Pegunungan Himalaya.

"Sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk mencari kedudukan, karena kaisarnya adalah bangsa sendiri," katanya.

"Apakah ayah bercita-cita untuk menjadi seorang pembesar?” tanya Dewi Ular heran.

"Ha-ha-ha, siapa ingin menjadi pejabat? Kalau menjadi pejabat, aku harus menjadi kaisar! Ahh, tidak, Sui In. Kita adalah orang-orang dunia persilatan. Aku mendengar bahwa kini para orang gagah di dunia kang-ouw mendapat angin baik dari pemerintah yang baru. Aku ingin menjadi bengcu (pemimpin) dari rimba persilatan!"

"Suhu, di dalam perjalananku mencari Dewa Arak, aku pun mendengar bahwa tahun ini, yaitu pada akhir tahun, akan ada pertemuan besar antara para pimpinan partai persilatan dan mungkin dalam pertemuan itu akan dilakukan pemilihan ketua atau pemimpin baru," kata Lili.

"Bagus! Akhir tahun masih cukup lama, masih sembilan bulan lagi. Kalian berangkatlah lebih dahulu, menyusun kekuatan dan sedapat mungkin membentuk sebuah perkumpulan yang kuat untuk menjadi anak buah kita. Kelak pada saatnya aku akan muncul di tempat pertemuan puncak itu. Bwe Li, di mana pertemuan itu diadakan? Biasanya pertemuan semacam itu diadakan di Thai-san "

"Menurut yang kudengar memang akan diadakan di puncak Thai-san, suhu," kata gadis itu.

"Nah, kalau begitu, kalian berangkatlah. Menurut sejarah, dahulu perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan yang amat kuat dan memiliki anak buah paling banyak di antara semua perkumpulan. Bahkan partai pengemis di utara dahulu pernah menjadi penghalang bagi penjajah Mongol pada saat hendak menyerbu ke selatan. Akan tetapi, karena adanya pengkhianatan di antara para pimpinan, partai pengemis dapat dikuasai oleh orang-orang Mongol dan akhirnya diadu domba hingga pecah belah. Bahkan ketika jaman penjajahan Mongol, partai itu dilarang sehingga anak buahnya cerai berai. Sekarang, setelah penjajah lenyap, kurasa mereka tentu membangun kembali partai pengemis. Apa bila kalian dapat menguasai mereka, bila kalian dapat menjadi pimpinan kai-pang (partai pengemis), tentu kedudukan kita akan menjadi kuat dan disegani."

Demikianlah, dua orang wanita itu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu mereka turun dari perahu dan menuju ke Lok-yang. Mereka mendengar dalam perjalanan mereka bahwa memang sekarang kai-pang mulai nampak kuat kembali, di mana-mana diadakan persatuan pengemis dan pusatnya berada di tiga tempat.

Pengemis utara berpusat di Pe-king, pengemis barat berpusat di Lok-yang dan pengemis timur dan selatan berpusat di Nan-king, kota raja. Itulah sebabnya kini dua orang wanita itu menuju ke Lok-yang. Kalau saja mereka bisa menguasai cabang barat di Lok-yang ini, maka akan memudahkan mereka menuju pada kedudukan puncak yang berpusat di kota Nan-king.

Ketika mereka memasuki Lok-yang, Lili yang jarang melihat kota besar, menjadi kagum. Lok-yang adalah bekas kota raja, maka selain besar dan ramai, kota ini juga amat indah. Di sana terdapat banyak bangunan indah bekas istana, juga gedung-gedung besar yang dulunya menjadi tempat tinggal para pembesar tinggi. Nampak berderet toko-toko besar penuh barang dagangan, juga terdapat banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar.

Sesudah berjalan-jalan di kota itu, Sui In yang tidak heran melihat keramaian kota karena dia sudah sering berkunjung ke kota-kota besar, berkata, "Sungguh luar biasa!"

"Apanya yang luar biasa, suci? Memang kota ini ramai dan indah..."

"Bukan itu maksudku. Coba kau lihat, sumoi, tidak ada seorang pun pengemis nampak di kota ini. Padahal menurut keterangan kota Lok-yang merupakan pusat dari para pengemis daerah barat."

"Ahh, benar juga, suci. Tentu telah terjadi sesuatu, atau mungkin mereka itu sudah pindah ke kota lain?"

"Andai kata benar mereka pindah pun, mengapa di kota besar seperti ini tidak kelihatan seorang pun pengemis? Ini sungguh aneh!" kata Dewi Ular.

Mereka lantas mencari kamar di rumah penginapan. Karena baru saja mereka melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, siang itu mereka beristirahat dan setelah mandi sore, Dewi Ular mengajak sumoi-nya untuk keluar mencari makanan sambil berjalan-jalan untuk melihat keadaan dan menyelidiki tentang para pengemis.

Kota Lok-yang di malam hari memang makin semarak. Toko-toko dibuka dengan lampu-lampu gantung yang terang, juga jalan raya diterangi lampu-lampu. Banyak orang berlalu lalang, berjalan-jalan atau berbelanja di toko, di warung-warung, bahkan di dalam taman kota yang indah, yang pada waktu jaman penjajahan hanya untuk kaum bangsawan atau pembesar saja tetapi kini dibuka untuk umum dan ramai sekali.

Dua orang wanita itu turut merasa gembira dengan ramainya suasana. Langit cerah dan bulan mulai muncul, membuat suasana semakin gembira. Sui In dan Bwe Li kini duduk di sebuah kedai nasi, duduk pada meja paling luar sambil menonton keramaian di jalan raya, juga memesan makanan dan air teh.

Selagi mereka makan, tiba-tiba Bwe Li menyentuh lengan suci-nya dan dengan pandang mata dia memberi isyarat ke sebelah kanan. Sui In menengok dan dia melihat seorang pengemis datang rnenghampiri kedai itu. Seorang pengemis yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tegap dan sehat, pakaiannya serba hitam, bahkan rambutnya yang panjang juga diikat dengan pita hitam.

Bila melihat perawakannya, sungguh tak pantas seorang pria muda yang masih kuat dan tidak cacat itu menjadi pengemis! Juga gerak-geriknya tidak menunjukkan seperti seorang pemalas, melainkan sigap dan langkahnya lebar. Akan tetapi wajahnya membayangkan kekerasan dan matanya liar.

Dua orang wanita itu kini menunda makan dan mengikuti gerak gerik pengemis itu dengan pandang mata mereka. Pengemis muda itu kini menghampiri sebuah meja paling depan dekat pintu kedai, di mana duduk tiga orang laki-laki yang sedang makan bakmi.

"Tuan-tuan, bagilah sedikit rejeki untukku dan beri sedekah untukku," kata pengemis itu, sikap dan suaranya angkuh seperti orang menagih hutang saja.

Tiga orang yang sedang makan itu nampak terganggu, akan tetapi yang tertua di antara mereka agaknya tidak ingin ribut-ribut, mengambil sepotong uang kecil dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada si pengemis. Pengemis baju hitam itu menerima uang kecil, mengamatinya kemudian dia pun mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang itu dengan marah.

"Kalian hanya memberi sekeping tembaga ini? Untuk membeli semangkok bakmi juga tak cukup! Kalian berani menghinaku, ya?" Pengemis itu membanting uang kecil itu ke atas meja. Uang itu menancap di meja depan tiga orang itu yang menjadi terkejut sekali.

Pria yang tertua itu lantas berkata, "Engkau tidak mau diberi sebegitu? Lalu, berapa yang kau minta?"

Pengemis itu menggapai ke arah pelayan yang kebetulan sedang berada di dekat sana, lalu dia bertanya, "Coba hitung, berapa harga semua hidangan tiga orang ini."

Pelayan itu memandang heran. Benarkah pengemis ini hendak membayar makanan tiga orang itu maka menanyakan harganya? Dia menghitung-hitungkan lalu berkata, "Semua sekeping uang perak," jawabnya.

Pengemis itu lalu menjulurkan tangan ke arah tiga orang tamu itu. "Nah, berikan sekeping perak kepadaku!"

Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mana ada pengemis yang minta sedekah sebanyak harga makanan mereka bertiga? Dengan paksaan pula! Dan pelayan itu pun kini mengerti bahwa pengemis baju hitam ini mencari gara-gara. Pada waktu itu keadaan kota Lok-yang aman dan hampir tidak pernah ada gangguan kejahatan. Hal ini membuat pelayan itu berani menentang, merasa bahwa ada pasukan keamanan di Lok-yang.

"Bung, harap jangan memaksa dan membuat ribut di kedai ini, jangan mengganggu tamu kami," bujuknya.

Pengemis baju hitam itu menoleh, memandang kepada pelayan itu, lalu tangannya meraih ujung meja, mencengkeramnya dan ujung meja dari kayu keras itu segera remuk di dalam cengkeraman si pengemis!

"Apakah kepalamu lebih keras dari pada kayu meja ini?” katanya lirih akan tetapi sangat menyeramkan.

Pelayan itu mundur dengan muka pucat, dan tiga orang tamu juga menjadi pucat. Tamu tertua cepat-cepat mengambil sekeping perak dan menyerahkannya kepada pengemis itu. Tanpa bicara lagi pengemis itu menerima uang sekeping perak, lalu meninggalkan meja itu. Ketika dia memandang kepada Sui In dan Bwe Li, matanya terbelalak dan mulut yang tadinya kaku dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar secara kurang ajar. Sekarang dia menghampiri meja Sui In dan Bwe Li.

Agaknya sikap pengemis muda itu semakin berani ketika dia melihat wanita cantik yang lebih tua memandang kepadanya dengan tenang dan tidak malu-malu, sedangkan gadis yang manis itu bahkan memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum!

"Aihh, nona-nona yang cantik manis seperti bidadari kahyangan, berilah sedekah padaku, kudoakan semoga kalian semakin cantik dan makin menggairahkan!" kata pengemis itu. Sikap dan suaranya sama sekali bukan lagi seperti seorang pengemis yang minta-minta, melainkan seperti seorang laki-laki mata keranjang menggoda wanita.

Sui In tidak sudi melayani orang itu. Dia melanjutkan makan dan seolah-olah pengemis itu hanya seekor lalat saja. Namun Bwe Li yang diam-diam menjadi marah karena pengemis itu berani mengeluarkan ucapan kurang ajar terhadap dia dan suci-nya, bertanya.

"Hemm apa yang kau minta, pengemis?"

Ketika pengemis itu tadi memperlihatkan kekerasan dan paksaan saat meminta sedekah kepada tiga orang tamu, Sui In dan Bwe Li hanya memandang saja dan sama sekali tidak peduli. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Akan tetapi sekarang pengemis itu langsung mengganggu mereka!

Pengemis itu tersenyum semakin lebar dan matanya bermain dengan kedipan penuh arti. "Perhiasan di rambut enci itu indah sekali, berikan kepadaku sebagai sedekah," katanya sambil memandang pada perhiasan burung hong dan teratai terbuat dari emas permata di rambut Sui In.

Bwe Li mendongkol bukan main. Perhiasan suci-nya itu adalah sebuah benda yang amat mahal harganya, apa lagi itu pemberian suhu-nya dan menurut suci-nya, benda itu dahulu pernah menjadi perhiasan rambut salah seorang puteri kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol. Maka, selain mahal, juga benda itu merupakan benda pusaka yang tidak ternilai harganya, dan kini seorang jembel minta benda ini begitu saja sebagai sedekah!

Ingin Bwe Li tertawa karena menganggap hal ini lucu sekali. Dia melirik kepada suci-nya yang masih tenang dan enak-enak makan saja, maka dia tahu bahwa suci-nya tidak sudi melayani pengemis itu.

"Kalau tidak kami berikan, lalu kau mau apa?" tanya Bwe Li, mengira bahwa pengemis itu tentu akan menjual lagak lagi dengan memamerkan kekuatan tangannya mencengkeram hancur ujung meja.

Akan tetapi sekali ini pengemis itu agaknya tidak ingin memperlihatkan kehebatannya. Dia mendekatkan mukanya kepada Bwe Li dan berkata lirih. "Kalau tidak kalian berikan, sebagai gantinya boleh engkau ikut denganku dan melayaniku semalam ini, nona manis."

Bwe Li terbelalak. Mukanya langsung berubah merah dan terasa panas bukan main. Akan tetapi hanya sebentar. Dia telah menerima gemblengan seorang datuk besar seperti See-thian Coa-ong, maka tentu saja dia sudah dapat menguasai perasaannya.

"Haiiii, kalian lihat ada monyet menari-nari!" teriaknya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menggerakkan sisa kuah yang berada di mangkoknya. Kuah itu mengandung saos tomat dan bubuk merica yang pedas.

Demikian cepatnya gerakan tangan Bwe Li dan sama sekali tidak diduga oleh si pengemis sehingga dia tidak sempat untuk mengelak. Kuah dengan sambalnya itu tepat mengenai mukanya, memasuki hidung dan matanya.

Seketika itu pula pengemis baju hitam itu berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari-nari, persis seperti yang diteriakkan Bwe Li atau Lili tadi! Semua orang segera menengok dan terdengar ada yang tertawa, terutama sekali tiga orang yang tadi kena diperas sekeping perak oleh si pengemis.

Hanya orang-orang yang pernah terkena merica pada mata dan hidungnya saja yang bisa menceritakan bagaimana rasanya. Pengemis itu berjingkrak-jingkrak sambil menggosok mata dan hidungnya, megap-megap bagai ikan dilempar ke darat, lalu berbangkis-bangkis dengan air mata bercucuran. Makin digosok, makin pedas rasa matanya dan makin hebat ‘tangisnya’.

Saking nyeri, pedih dan panasnya, ia membuat gerakan seperti monyet yang menari-nari, berlenggang-lenggok dengan kaki naik turun, tubuh berputar-putar dan kedua lengannya membuat gerakan yang lucu dan aneh-aneh. Akhirnya, di bawah riuh rendah suara tawa para penonton, pengemis itu dapat membuka matanya yang menjadi merah, juga semua merica agaknya sudah keluar melalui bangkis-bangkis tadi, akan tetapi air matanya masih bercucuran dari kedua matanya yang masih terasa panas dan pedas! Dia memandang kepada Lili dengan mata mendelik, walau pun harus sering berkedip menahan pedas!.

Lili dan Sui In masih melanjutkan makan, bahkan Sui In sudah selesai dan Lili juga sudah hampir selesai. Pengemis itu mengeluarkan suara menggereng bagaikan seekor harimau marah sehingga para penonton sudah tak berani tertawa lagi dan kini hanya memandang dengan hati tegang. Apa lagi mereka yang tadi melihat betapa kuatnya tangan pengemis itu menghancurkan ujung meja. Mereka mengkhawatirkan nasib dua orang wanita cantik itu.

Mendengar suara gerengan itu, Lili menoleh memandang, "Ihh, anjing geladak ini sungguh tidak tahu aturan!" kata Lili sambil tersenyum mengejek. "Sudah diberi kuah tetapi masih belum puas dan menggereng-gereng minta lagi. Cepat pergilah dari sini, memualkan perut dan mengurangi selera makan saja. Kau bau!”

Dapat dibayangkan betapa marahnya pengemis baju hitam itu. Dia menggereng lagi dan dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan terbuka, dia lantas menubruk ke arah Lili, hendak menangkap wanita itu. Lili tidak bangkit dari duduknya, hanya kakinya segera mencuat dengan kecepatan kilat ketika tubuh orang itu sudah dekat dan kedua tangan itu sudah hampir menyentuh pundaknya.

"Ngekkk…!" Ujung sepatu itu tepat memasuki perut di bawah ulu hati membuat tubuh si pengemis baju hitam terjengkang sehingga pantatnya terbanting keras ke atas tanah. Sejenak dia hanya mampu bangkit duduk, tangan kiri menekan perut yang seketika terasa mulas, dan tangan kanan meraba-raba pantat yang nyeri karena ketika terbanting tadi, pantatnya menjatuhi sebuah batu sebesar kepalan tangan.

Dia menyeringai, akan tetapi seringainya tidak seperti tadi ketika dia menggoda dua orang wanita itu. Kini dia menyeringai kesakitan, akan tetapi juga bercampur kemarahan. Orang yang biasa mengagulkan diri sendirl memang tak tahu diri, selalu meremehkan orang lain sehingga pelajaran yang diterimanya tadi tidak cukup membuat dia menjadi sadar, bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran.

"Keparat, kubunuh kau...!" bentaknya dan sekarang tangannya telah memegang sebatang golok kecil yang tadi disembunyikan di bawah bajunya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar menyambar dari samping, ke arah muka pengemis itu.

"Crottttt...!

“Aughhhh...!" Pengemis itu terpelanting, goloknya terlepas dan sepasang tangannya meraba mukanya dengan mata terbelalak. Sebatang sumpit bambu sudah menembus muka, dari pipi kanan ke pipi kiri! Sumpit itu memasuki kulit pipi, menembus geraham kanan sampai keluar dari kulit pipi yang lain sehingga muka itu seperti disate!

"Suci...!" kata Lili memandang suci-nya.

"Aku mendahului, agar engkau tidak membunuhnya. Kita butuh keterangan darinya..."

Tiba-tiba saja dua orang wanita itu terkejut mendengar pengemis itu mengeluarkan suara aneh. Ketika mereka memandang, tubuh pengemis itu berkelojotan dalam sekarat. Tentu saja Sui In kaget bukan main. Tadi dia menyerang dengan sambitan sumpit tidak dengan niat membunuh dan dia yakin bahwa orang itu hanya terluka dan tidak akan mati. Kenapa kini tahu-tahu orang itu berkelojotan sekarat? Tentu ada penyerang lain, pikirnya.

Pada saat itu muncul dua orang pengemis berpakaian hitam. Mereka adalah orang-orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun, sikap mereka berwibawa dan gerakan mereka ringan karena tahu-tahu mereka telah berkelebat dan muncul di situ. Mereka memandang ke arah tubuh pengemis yang berkelonjotan, lalu mereka menghadapi Cu Sui In dan Tang Bwe Li, sejenak mengamati wajah dua orang wanita itu, kemudian mereka menghampiri meja dua orang wanita itu.

"Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang merobohkan dia?" tanya seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus sambil menuding ke arah tubuh pengemis yang masih berkelonjotan.

"Aku yang melukainya dengan sumpit," kata Sui In tenang dan suaranya acuh saja seolah tidak ada sesuatu yang perlu diributkan.

Lili yang berwatak galak segera berkata pula. "Anjing geladak ini memang pantas dihajar. Apakah kalian pemeliharanya? Kenapa tidak kalian ajar adat kepadanya?”

Dua orang pengemis tua itu saling pandang, kemudian serentak mereka melangkah maju mendekat. Si tinggi kurus mengangkat dua tangannya ke depan dada, sedangkan orang ke dua yang bertubuh gemuk pendek juga mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Mereka lalu memberi hormat kepada Sui In dan Lili.

"Kami dari Hek I Kai-pang (Partai Pengemis Baju Hitam) mohon maaf kepada nona," kata si tinggi kurus.

"Kami berterima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepada anggota kami," kata si gemuk pendek. Dua orang pengemis tua itu lalu memberi hormat.

Sui In dan Bwe Li tersenyum mengejek. Tanpa berdiri, masih sambil duduk, mereka pun mengangkat kedua tangan ke depan dada, membalas penghormatan itu. Tadi dua orang pengemis itu bukan sembarang menghormat saja, namun mengerahkan tenaga sakti yang disalurkan melalui lengan mereka ketika mereka menggerakkan tangan memberi hormat.

Sebetulnya mereka telah melakukan serangan jarak jauh untuk menguji kepandaian dua orang wanita yang sudah merobohkan anak buah mereka itu. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dari gerakan tangan kedua orang wanita itu pun tiba-tiba menyambar tenaga dahsyat yang menyambut tenaga mereka sehingga membuat tenaga mereka membalik dan mereka pun terhuyung!

Pada saat itu pula terdengar suara orang. "Ciangkun lihat saja, di mana-mana anggota pengemis Baju Hitam selalu membikin kekacauan!"

Nampaklah serombongan orang datang ke tempat itu. Pasukan yang terdiri dari belasan orang dikepalai seorang perwira datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang juga mengenakan pakaian tambal-tambalan. Namun pakaiannya bukan berwarna hitam seperti pengemis yang lain, melainkan berkembang-kembang! Dialah yang tadi berbicara dengan suara lantang kepada komandan pasukan kecil itu.

Melihat yang datang rombongan penjaga keamanan, dua orang pengemis baju hitam yang telah dapat menguasai diri mereka karena terkejut mendapat sambutan dua orang wanita itu, lalu memberi hormat kepada komandan pasukan dan pengemis baju kembang.

"Sobat dari Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), mengapa menuduh yang bukan-bukan terhadap kami orang-orang segolongan?" kata pengemis baju hitam yang tinggi kurus.

Pengemis baju kembang yang tinggi besar dan bermuka hitam itu tersenyum mengejek. "Sobat-sobat dari Hek I Kai-pang, bukannya aku menuduh yang tidak-tidak kepada orang segolongan. Akan tetapi semua orang di kedai ini pun tahu belaka betapa anggota kalian ini tadi memaksa ketika minta sedekah, kemudian bahkan menggoda dua orang nona ini. Bukankah itu berarti bahwa para pengemis Hek I Kai-pang adalah orang-orang yang suka membuat kekacauan?”

Dua orang pengemis baju hitam memandang ke sekeliling. Ketika melihat betapa semua orang mengangguk dan membenarkan ucapan pengemis baju kembang, mereka menarik napas dan pengemis tinggi kurus berkata,

"Anggota perkumpulan kami sudah membuat kesalahan. Akan tetapi dia sudah menebus dengan nyawanya, sudah terhukum. Biarlah ini menjadi peringatan bagi kami supaya kami lebih ketat mengawasi anak buah kami. Ciangkun, maafkan, kami akan membawa pergi mayat anggota kami.”

Setelah berkata demikian, si gemuk pendek memondong tubuh pengemis yang telah mati itu, dan sesudah keduanya memandang sejenak kepada Sui In dan Bwe Li, mereka lalu pergi dari situ dengan cepat.

"Ciangkun, mestinya mereka berdua tadi ditangkap saja untuk dihadapkan ke pengadilan," kata pengemis baju kembang kepada perwira yang menjadi pemimpin pasukan penjaga keamanan itu.

Perwira itu menggelengkan kepala. "Yang bersalah sudah mati. Dua orang pengemis baju hitam itu tidak melakukan kesalahan apa pun, bagaimana kami bisa menangkap mereka? Sudahlah, selama ini tidak ada pengemis baju hitam yang membuat kekacauan."

Sui In segera membayar harga makanan, lantas memberi isyarat kepada sumoi-nya untuk cepat meninggalkan tempat itu. Ketika suci-nya mengajak dia berlari menyelinap di dalam kegelapan, Bwe Li bertanya lirih, "Ada apakah, suci?"

"Ssttt, kita membayangi para pengemis baju hitam itu," kata Sui In.

Mereka berdua mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan sebentar saja mereka telah dapat menyusul dua orang pengemis baju hitam yang berjalan cepat sambil memondong tubuh anak buah mereka yang telah menjadi mayat itu.

Dua orang baju hitam itu keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah barat dan kurang lebih tiga li dari kota, mereka memasuki sebuah perkampungan di mana terdapat rumah-rumah yang cukup besar. Kiranya Hek I Kai-pang memiliki perkampungan para pengemis baju hitam di situ, dan di tengah perkampungan berdiri sebuah gedung yang cukup besar dan cukup megah, dikelilingi rumah-rumah yang lebih kecil.

Ketika dua orang pengemis itu masuk sambil memondong mayat seorang pengemis baju hitam, maka gegerlah perkampungan itu. Mereka semua mengikuti dua orang pengemis itu menuju ke gedung besar dan memasuki ruangan yang luas di mana telah menunggu ketua mereka yang sudah lebih dulu diberi tahu.

Karena mereka semua hanya mencurahkan perhatian kepada dua orang pengemis yang memondong mayat seorang kawan mereka, maka para pengemis baju hitam itu menjadi lengah. Hal ini tentu saja memudahkan Sui In dan Lili yang mempergunakan kepandaian mereka menyelinap memasuki perkampungan itu dan mereka sudah mengintai ke dalam ruangan dari atas atap...

Si Pedang Tumpul Jilid 13

MAKA pada saat itu bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan yang saling bertentangan. Di satu pihak muncul perkumpulan-perkumpulan golongan sesat atau para penjahat yang dipergunakan oleh para pembesar yang berniat memberontak, dan di pihak lain golongan para pendekar yang membantu pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan.

Tentu saja golongan para pendekar ini mendapatkan dukungan dari rakyat jelata yang tak ingin melihat kehidupan mereka dirusak kembali oleh para pengacau. Juga mereka baru saja terbebas dari perang yang amat mengerikan dan menjatuhkan banyak korban, maka mereka tidak menghendaki timbul perang baru yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata belaka.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Pada suatu pagi, dua orang wanita cantik mendayung perahu mereka yang kecil mungil ke darat sungai Kuning di sebelah utara kota besar Lok-yang. Mereka menarik perahu ke darat, lalu memanggil seorang di antara para nelayan yang berada di pantai.

"Paman, maukah engkau menyimpan perahu ini untuk kami? Boleh paman pakai untuk keperluan paman, akan tetapi jika sewaktu-waktu kami datang membutuhkannya, paman harus mengembalikan kepada kami," kata wanita yang muda.

Nelayan itu memandang heran, akan tetapi karena perahu itu biar pun kecil cukup kokoh dan indah, dia pun mengangguk. "Baiklah, nona. Biar anakku yang merawatnya dan dia pula yang menggunakan untuk sekadar mencari ikan, Namaku A Liok, nona. Kelak kalau nona hendak mengambilnya kembali, tanyakan saja kepada orang di sini."

Gadis itu mengangguk, kemudian dua orang wanita cantik itu pergi meninggalkan pantai sungai, menuju ke barat, melalui jalan raya yang menuju ke kota Lok-yang. Dua orang wanita itu adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan Tang Bwe Li!

Setahun lebih yang lalu mereka datang ke Pek-in-kok dan Si Dewi Ular itu sudah berhasil membunuh Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, walau pun dia sendlri juga terluka parah. Namun kini dia telah sembuh sama sekali dan meski pun usianya kini sudah empat puluh tahun lebih, Cu Sui In masih nampak cantik jelita seperti belum ada tiga puluh tahun usianya.

Rambutnya masih digelung tinggi, dan rambut itu masih hitam panjang, gelungnya model sanggul para puteri bangsawan dengan dihias emas permata berbentuk burung Hong dan bunga teratai. Pakaiannya juga indah, terbuat dari sutera mahal berkembang. Wajahnya yang cantik jelita itu bertambah cantik dengan olesan bedak tipis serta pemerah bibir dan pipi. Alisnya kecil melengkung dan hitam karena ditata dengan cukuran dan penghitam alis. Sepasang matanya tajam dan mengandung sesuatu yang dingin dan menyeramkan.

Hidungnya mancung, akan tetapi yang paling menggairahkan hati pria adalah mulutnya. Mulut itu memang indah bentuknya, bahkan tanpa pemerah bibir pun sepasang bibir itu sebetulnya sudah merah membasah karena sehat, sepasang bibir yang hidup dan dapat bergerak-gerak pada ujungnya, penuh dan tipis lembut. Akan tetapi semua kecantikan itu menjadi kereng dengan adanya sebatang pedang yang bergagang dan bersarung indah tergantung pada punggungnya, tertutup buntalan pakaian dan sutera kuning.

Tang Bwe Li yang kini berusia dua puluh tahun tidaklah secantik dan seanggun gurunya yang kini menjadi suci-nya itu. Namun dara ini jauh lebih manis! Lesung di pipinya, kerling tajam pada matanya, senyum sinis pada mulutnya, hidung yang dapat kembang kempis itu, ditambah gayanya yang lincah jenaka dan galak, membuat hati setiap orang pria yang melihatnya menjadi gemas-gemas sayang.

Beberapa bulan yang lalu Tang Bwe Li atau yang biasa dipanggil Lili, pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Himalaya di mana suhu-nya, See-thian Coa-ong Cu Kiat dan suci-nya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In, tinggal. Dia telah melakukan perjalanan seorang diri untuk mencari Dewa Arak dan muridnya, anak laki-laki yang dulu pernah menampari pinggulnya sampai panas dan merah, yang tidak diketahui namanya akan tetapi amat dibencinya itu.

Dia hendak mewakili suci-nya yang sedang mengobati luka dalam karena tendangan Pek-mau-sian. Akan tetapi Lili tidak berhasil menemukan Dewa Arak di Pek-in-kok. Dia hanya melihat dua buah makam, yaitu makam Kiam-san dan Pek-mau-sian. Dia sudah mencari ke sekitar lembah itu, namun sia-sia sehingga dengan marah-marah terpaksa dia kembali ke rumah suhu-nya dan melapor kepada suci-nya.

Dewi Ular juga menjadi kecewa sekali, maka setelah dia sembuh sama sekali, dia segera mengajak sumoi-nya turun gunung. Selain hendak mencari Dewa Arak dan muridnya, juga mereka berdua ingin memenuhi pesan See-thian Coa-ong Cu Kiat.

Datuk ini sudah mendengar akan perubahan besar yang terjadi semenjak penjajah Mongol diusir dari daratan Cina. Dia merasa sudah tua dan tidak semestinya terus mengasingkan diri di Pegunungan Himalaya.

"Sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk mencari kedudukan, karena kaisarnya adalah bangsa sendiri," katanya.

"Apakah ayah bercita-cita untuk menjadi seorang pembesar?” tanya Dewi Ular heran.

"Ha-ha-ha, siapa ingin menjadi pejabat? Kalau menjadi pejabat, aku harus menjadi kaisar! Ahh, tidak, Sui In. Kita adalah orang-orang dunia persilatan. Aku mendengar bahwa kini para orang gagah di dunia kang-ouw mendapat angin baik dari pemerintah yang baru. Aku ingin menjadi bengcu (pemimpin) dari rimba persilatan!"

"Suhu, di dalam perjalananku mencari Dewa Arak, aku pun mendengar bahwa tahun ini, yaitu pada akhir tahun, akan ada pertemuan besar antara para pimpinan partai persilatan dan mungkin dalam pertemuan itu akan dilakukan pemilihan ketua atau pemimpin baru," kata Lili.

"Bagus! Akhir tahun masih cukup lama, masih sembilan bulan lagi. Kalian berangkatlah lebih dahulu, menyusun kekuatan dan sedapat mungkin membentuk sebuah perkumpulan yang kuat untuk menjadi anak buah kita. Kelak pada saatnya aku akan muncul di tempat pertemuan puncak itu. Bwe Li, di mana pertemuan itu diadakan? Biasanya pertemuan semacam itu diadakan di Thai-san "

"Menurut yang kudengar memang akan diadakan di puncak Thai-san, suhu," kata gadis itu.

"Nah, kalau begitu, kalian berangkatlah. Menurut sejarah, dahulu perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan yang amat kuat dan memiliki anak buah paling banyak di antara semua perkumpulan. Bahkan partai pengemis di utara dahulu pernah menjadi penghalang bagi penjajah Mongol pada saat hendak menyerbu ke selatan. Akan tetapi, karena adanya pengkhianatan di antara para pimpinan, partai pengemis dapat dikuasai oleh orang-orang Mongol dan akhirnya diadu domba hingga pecah belah. Bahkan ketika jaman penjajahan Mongol, partai itu dilarang sehingga anak buahnya cerai berai. Sekarang, setelah penjajah lenyap, kurasa mereka tentu membangun kembali partai pengemis. Apa bila kalian dapat menguasai mereka, bila kalian dapat menjadi pimpinan kai-pang (partai pengemis), tentu kedudukan kita akan menjadi kuat dan disegani."

Demikianlah, dua orang wanita itu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu mereka turun dari perahu dan menuju ke Lok-yang. Mereka mendengar dalam perjalanan mereka bahwa memang sekarang kai-pang mulai nampak kuat kembali, di mana-mana diadakan persatuan pengemis dan pusatnya berada di tiga tempat.

Pengemis utara berpusat di Pe-king, pengemis barat berpusat di Lok-yang dan pengemis timur dan selatan berpusat di Nan-king, kota raja. Itulah sebabnya kini dua orang wanita itu menuju ke Lok-yang. Kalau saja mereka bisa menguasai cabang barat di Lok-yang ini, maka akan memudahkan mereka menuju pada kedudukan puncak yang berpusat di kota Nan-king.

Ketika mereka memasuki Lok-yang, Lili yang jarang melihat kota besar, menjadi kagum. Lok-yang adalah bekas kota raja, maka selain besar dan ramai, kota ini juga amat indah. Di sana terdapat banyak bangunan indah bekas istana, juga gedung-gedung besar yang dulunya menjadi tempat tinggal para pembesar tinggi. Nampak berderet toko-toko besar penuh barang dagangan, juga terdapat banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar.

Sesudah berjalan-jalan di kota itu, Sui In yang tidak heran melihat keramaian kota karena dia sudah sering berkunjung ke kota-kota besar, berkata, "Sungguh luar biasa!"

"Apanya yang luar biasa, suci? Memang kota ini ramai dan indah..."

"Bukan itu maksudku. Coba kau lihat, sumoi, tidak ada seorang pun pengemis nampak di kota ini. Padahal menurut keterangan kota Lok-yang merupakan pusat dari para pengemis daerah barat."

"Ahh, benar juga, suci. Tentu telah terjadi sesuatu, atau mungkin mereka itu sudah pindah ke kota lain?"

"Andai kata benar mereka pindah pun, mengapa di kota besar seperti ini tidak kelihatan seorang pun pengemis? Ini sungguh aneh!" kata Dewi Ular.

Mereka lantas mencari kamar di rumah penginapan. Karena baru saja mereka melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, siang itu mereka beristirahat dan setelah mandi sore, Dewi Ular mengajak sumoi-nya untuk keluar mencari makanan sambil berjalan-jalan untuk melihat keadaan dan menyelidiki tentang para pengemis.

Kota Lok-yang di malam hari memang makin semarak. Toko-toko dibuka dengan lampu-lampu gantung yang terang, juga jalan raya diterangi lampu-lampu. Banyak orang berlalu lalang, berjalan-jalan atau berbelanja di toko, di warung-warung, bahkan di dalam taman kota yang indah, yang pada waktu jaman penjajahan hanya untuk kaum bangsawan atau pembesar saja tetapi kini dibuka untuk umum dan ramai sekali.

Dua orang wanita itu turut merasa gembira dengan ramainya suasana. Langit cerah dan bulan mulai muncul, membuat suasana semakin gembira. Sui In dan Bwe Li kini duduk di sebuah kedai nasi, duduk pada meja paling luar sambil menonton keramaian di jalan raya, juga memesan makanan dan air teh.

Selagi mereka makan, tiba-tiba Bwe Li menyentuh lengan suci-nya dan dengan pandang mata dia memberi isyarat ke sebelah kanan. Sui In menengok dan dia melihat seorang pengemis datang rnenghampiri kedai itu. Seorang pengemis yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tegap dan sehat, pakaiannya serba hitam, bahkan rambutnya yang panjang juga diikat dengan pita hitam.

Bila melihat perawakannya, sungguh tak pantas seorang pria muda yang masih kuat dan tidak cacat itu menjadi pengemis! Juga gerak-geriknya tidak menunjukkan seperti seorang pemalas, melainkan sigap dan langkahnya lebar. Akan tetapi wajahnya membayangkan kekerasan dan matanya liar.

Dua orang wanita itu kini menunda makan dan mengikuti gerak gerik pengemis itu dengan pandang mata mereka. Pengemis muda itu kini menghampiri sebuah meja paling depan dekat pintu kedai, di mana duduk tiga orang laki-laki yang sedang makan bakmi.

"Tuan-tuan, bagilah sedikit rejeki untukku dan beri sedekah untukku," kata pengemis itu, sikap dan suaranya angkuh seperti orang menagih hutang saja.

Tiga orang yang sedang makan itu nampak terganggu, akan tetapi yang tertua di antara mereka agaknya tidak ingin ribut-ribut, mengambil sepotong uang kecil dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada si pengemis. Pengemis baju hitam itu menerima uang kecil, mengamatinya kemudian dia pun mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang itu dengan marah.

"Kalian hanya memberi sekeping tembaga ini? Untuk membeli semangkok bakmi juga tak cukup! Kalian berani menghinaku, ya?" Pengemis itu membanting uang kecil itu ke atas meja. Uang itu menancap di meja depan tiga orang itu yang menjadi terkejut sekali.

Pria yang tertua itu lantas berkata, "Engkau tidak mau diberi sebegitu? Lalu, berapa yang kau minta?"

Pengemis itu menggapai ke arah pelayan yang kebetulan sedang berada di dekat sana, lalu dia bertanya, "Coba hitung, berapa harga semua hidangan tiga orang ini."

Pelayan itu memandang heran. Benarkah pengemis ini hendak membayar makanan tiga orang itu maka menanyakan harganya? Dia menghitung-hitungkan lalu berkata, "Semua sekeping uang perak," jawabnya.

Pengemis itu lalu menjulurkan tangan ke arah tiga orang tamu itu. "Nah, berikan sekeping perak kepadaku!"

Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mana ada pengemis yang minta sedekah sebanyak harga makanan mereka bertiga? Dengan paksaan pula! Dan pelayan itu pun kini mengerti bahwa pengemis baju hitam ini mencari gara-gara. Pada waktu itu keadaan kota Lok-yang aman dan hampir tidak pernah ada gangguan kejahatan. Hal ini membuat pelayan itu berani menentang, merasa bahwa ada pasukan keamanan di Lok-yang.

"Bung, harap jangan memaksa dan membuat ribut di kedai ini, jangan mengganggu tamu kami," bujuknya.

Pengemis baju hitam itu menoleh, memandang kepada pelayan itu, lalu tangannya meraih ujung meja, mencengkeramnya dan ujung meja dari kayu keras itu segera remuk di dalam cengkeraman si pengemis!

"Apakah kepalamu lebih keras dari pada kayu meja ini?” katanya lirih akan tetapi sangat menyeramkan.

Pelayan itu mundur dengan muka pucat, dan tiga orang tamu juga menjadi pucat. Tamu tertua cepat-cepat mengambil sekeping perak dan menyerahkannya kepada pengemis itu. Tanpa bicara lagi pengemis itu menerima uang sekeping perak, lalu meninggalkan meja itu. Ketika dia memandang kepada Sui In dan Bwe Li, matanya terbelalak dan mulut yang tadinya kaku dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar secara kurang ajar. Sekarang dia menghampiri meja Sui In dan Bwe Li.

Agaknya sikap pengemis muda itu semakin berani ketika dia melihat wanita cantik yang lebih tua memandang kepadanya dengan tenang dan tidak malu-malu, sedangkan gadis yang manis itu bahkan memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum!

"Aihh, nona-nona yang cantik manis seperti bidadari kahyangan, berilah sedekah padaku, kudoakan semoga kalian semakin cantik dan makin menggairahkan!" kata pengemis itu. Sikap dan suaranya sama sekali bukan lagi seperti seorang pengemis yang minta-minta, melainkan seperti seorang laki-laki mata keranjang menggoda wanita.

Sui In tidak sudi melayani orang itu. Dia melanjutkan makan dan seolah-olah pengemis itu hanya seekor lalat saja. Namun Bwe Li yang diam-diam menjadi marah karena pengemis itu berani mengeluarkan ucapan kurang ajar terhadap dia dan suci-nya, bertanya.

"Hemm apa yang kau minta, pengemis?"

Ketika pengemis itu tadi memperlihatkan kekerasan dan paksaan saat meminta sedekah kepada tiga orang tamu, Sui In dan Bwe Li hanya memandang saja dan sama sekali tidak peduli. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Akan tetapi sekarang pengemis itu langsung mengganggu mereka!

Pengemis itu tersenyum semakin lebar dan matanya bermain dengan kedipan penuh arti. "Perhiasan di rambut enci itu indah sekali, berikan kepadaku sebagai sedekah," katanya sambil memandang pada perhiasan burung hong dan teratai terbuat dari emas permata di rambut Sui In.

Bwe Li mendongkol bukan main. Perhiasan suci-nya itu adalah sebuah benda yang amat mahal harganya, apa lagi itu pemberian suhu-nya dan menurut suci-nya, benda itu dahulu pernah menjadi perhiasan rambut salah seorang puteri kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol. Maka, selain mahal, juga benda itu merupakan benda pusaka yang tidak ternilai harganya, dan kini seorang jembel minta benda ini begitu saja sebagai sedekah!

Ingin Bwe Li tertawa karena menganggap hal ini lucu sekali. Dia melirik kepada suci-nya yang masih tenang dan enak-enak makan saja, maka dia tahu bahwa suci-nya tidak sudi melayani pengemis itu.

"Kalau tidak kami berikan, lalu kau mau apa?" tanya Bwe Li, mengira bahwa pengemis itu tentu akan menjual lagak lagi dengan memamerkan kekuatan tangannya mencengkeram hancur ujung meja.

Akan tetapi sekali ini pengemis itu agaknya tidak ingin memperlihatkan kehebatannya. Dia mendekatkan mukanya kepada Bwe Li dan berkata lirih. "Kalau tidak kalian berikan, sebagai gantinya boleh engkau ikut denganku dan melayaniku semalam ini, nona manis."

Bwe Li terbelalak. Mukanya langsung berubah merah dan terasa panas bukan main. Akan tetapi hanya sebentar. Dia telah menerima gemblengan seorang datuk besar seperti See-thian Coa-ong, maka tentu saja dia sudah dapat menguasai perasaannya.

"Haiiii, kalian lihat ada monyet menari-nari!" teriaknya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menggerakkan sisa kuah yang berada di mangkoknya. Kuah itu mengandung saos tomat dan bubuk merica yang pedas.

Demikian cepatnya gerakan tangan Bwe Li dan sama sekali tidak diduga oleh si pengemis sehingga dia tidak sempat untuk mengelak. Kuah dengan sambalnya itu tepat mengenai mukanya, memasuki hidung dan matanya.

Seketika itu pula pengemis baju hitam itu berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari-nari, persis seperti yang diteriakkan Bwe Li atau Lili tadi! Semua orang segera menengok dan terdengar ada yang tertawa, terutama sekali tiga orang yang tadi kena diperas sekeping perak oleh si pengemis.

Hanya orang-orang yang pernah terkena merica pada mata dan hidungnya saja yang bisa menceritakan bagaimana rasanya. Pengemis itu berjingkrak-jingkrak sambil menggosok mata dan hidungnya, megap-megap bagai ikan dilempar ke darat, lalu berbangkis-bangkis dengan air mata bercucuran. Makin digosok, makin pedas rasa matanya dan makin hebat ‘tangisnya’.

Saking nyeri, pedih dan panasnya, ia membuat gerakan seperti monyet yang menari-nari, berlenggang-lenggok dengan kaki naik turun, tubuh berputar-putar dan kedua lengannya membuat gerakan yang lucu dan aneh-aneh. Akhirnya, di bawah riuh rendah suara tawa para penonton, pengemis itu dapat membuka matanya yang menjadi merah, juga semua merica agaknya sudah keluar melalui bangkis-bangkis tadi, akan tetapi air matanya masih bercucuran dari kedua matanya yang masih terasa panas dan pedas! Dia memandang kepada Lili dengan mata mendelik, walau pun harus sering berkedip menahan pedas!.

Lili dan Sui In masih melanjutkan makan, bahkan Sui In sudah selesai dan Lili juga sudah hampir selesai. Pengemis itu mengeluarkan suara menggereng bagaikan seekor harimau marah sehingga para penonton sudah tak berani tertawa lagi dan kini hanya memandang dengan hati tegang. Apa lagi mereka yang tadi melihat betapa kuatnya tangan pengemis itu menghancurkan ujung meja. Mereka mengkhawatirkan nasib dua orang wanita cantik itu.

Mendengar suara gerengan itu, Lili menoleh memandang, "Ihh, anjing geladak ini sungguh tidak tahu aturan!" kata Lili sambil tersenyum mengejek. "Sudah diberi kuah tetapi masih belum puas dan menggereng-gereng minta lagi. Cepat pergilah dari sini, memualkan perut dan mengurangi selera makan saja. Kau bau!”

Dapat dibayangkan betapa marahnya pengemis baju hitam itu. Dia menggereng lagi dan dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan terbuka, dia lantas menubruk ke arah Lili, hendak menangkap wanita itu. Lili tidak bangkit dari duduknya, hanya kakinya segera mencuat dengan kecepatan kilat ketika tubuh orang itu sudah dekat dan kedua tangan itu sudah hampir menyentuh pundaknya.

"Ngekkk…!" Ujung sepatu itu tepat memasuki perut di bawah ulu hati membuat tubuh si pengemis baju hitam terjengkang sehingga pantatnya terbanting keras ke atas tanah. Sejenak dia hanya mampu bangkit duduk, tangan kiri menekan perut yang seketika terasa mulas, dan tangan kanan meraba-raba pantat yang nyeri karena ketika terbanting tadi, pantatnya menjatuhi sebuah batu sebesar kepalan tangan.

Dia menyeringai, akan tetapi seringainya tidak seperti tadi ketika dia menggoda dua orang wanita itu. Kini dia menyeringai kesakitan, akan tetapi juga bercampur kemarahan. Orang yang biasa mengagulkan diri sendirl memang tak tahu diri, selalu meremehkan orang lain sehingga pelajaran yang diterimanya tadi tidak cukup membuat dia menjadi sadar, bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran.

"Keparat, kubunuh kau...!" bentaknya dan sekarang tangannya telah memegang sebatang golok kecil yang tadi disembunyikan di bawah bajunya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar menyambar dari samping, ke arah muka pengemis itu.

"Crottttt...!

“Aughhhh...!" Pengemis itu terpelanting, goloknya terlepas dan sepasang tangannya meraba mukanya dengan mata terbelalak. Sebatang sumpit bambu sudah menembus muka, dari pipi kanan ke pipi kiri! Sumpit itu memasuki kulit pipi, menembus geraham kanan sampai keluar dari kulit pipi yang lain sehingga muka itu seperti disate!

"Suci...!" kata Lili memandang suci-nya.

"Aku mendahului, agar engkau tidak membunuhnya. Kita butuh keterangan darinya..."

Tiba-tiba saja dua orang wanita itu terkejut mendengar pengemis itu mengeluarkan suara aneh. Ketika mereka memandang, tubuh pengemis itu berkelojotan dalam sekarat. Tentu saja Sui In kaget bukan main. Tadi dia menyerang dengan sambitan sumpit tidak dengan niat membunuh dan dia yakin bahwa orang itu hanya terluka dan tidak akan mati. Kenapa kini tahu-tahu orang itu berkelojotan sekarat? Tentu ada penyerang lain, pikirnya.

Pada saat itu muncul dua orang pengemis berpakaian hitam. Mereka adalah orang-orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun, sikap mereka berwibawa dan gerakan mereka ringan karena tahu-tahu mereka telah berkelebat dan muncul di situ. Mereka memandang ke arah tubuh pengemis yang berkelonjotan, lalu mereka menghadapi Cu Sui In dan Tang Bwe Li, sejenak mengamati wajah dua orang wanita itu, kemudian mereka menghampiri meja dua orang wanita itu.

"Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang merobohkan dia?" tanya seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus sambil menuding ke arah tubuh pengemis yang masih berkelonjotan.

"Aku yang melukainya dengan sumpit," kata Sui In tenang dan suaranya acuh saja seolah tidak ada sesuatu yang perlu diributkan.

Lili yang berwatak galak segera berkata pula. "Anjing geladak ini memang pantas dihajar. Apakah kalian pemeliharanya? Kenapa tidak kalian ajar adat kepadanya?”

Dua orang pengemis tua itu saling pandang, kemudian serentak mereka melangkah maju mendekat. Si tinggi kurus mengangkat dua tangannya ke depan dada, sedangkan orang ke dua yang bertubuh gemuk pendek juga mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Mereka lalu memberi hormat kepada Sui In dan Lili.

"Kami dari Hek I Kai-pang (Partai Pengemis Baju Hitam) mohon maaf kepada nona," kata si tinggi kurus.

"Kami berterima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepada anggota kami," kata si gemuk pendek. Dua orang pengemis tua itu lalu memberi hormat.

Sui In dan Bwe Li tersenyum mengejek. Tanpa berdiri, masih sambil duduk, mereka pun mengangkat kedua tangan ke depan dada, membalas penghormatan itu. Tadi dua orang pengemis itu bukan sembarang menghormat saja, namun mengerahkan tenaga sakti yang disalurkan melalui lengan mereka ketika mereka menggerakkan tangan memberi hormat.

Sebetulnya mereka telah melakukan serangan jarak jauh untuk menguji kepandaian dua orang wanita yang sudah merobohkan anak buah mereka itu. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dari gerakan tangan kedua orang wanita itu pun tiba-tiba menyambar tenaga dahsyat yang menyambut tenaga mereka sehingga membuat tenaga mereka membalik dan mereka pun terhuyung!

Pada saat itu pula terdengar suara orang. "Ciangkun lihat saja, di mana-mana anggota pengemis Baju Hitam selalu membikin kekacauan!"

Nampaklah serombongan orang datang ke tempat itu. Pasukan yang terdiri dari belasan orang dikepalai seorang perwira datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang juga mengenakan pakaian tambal-tambalan. Namun pakaiannya bukan berwarna hitam seperti pengemis yang lain, melainkan berkembang-kembang! Dialah yang tadi berbicara dengan suara lantang kepada komandan pasukan kecil itu.

Melihat yang datang rombongan penjaga keamanan, dua orang pengemis baju hitam yang telah dapat menguasai diri mereka karena terkejut mendapat sambutan dua orang wanita itu, lalu memberi hormat kepada komandan pasukan dan pengemis baju kembang.

"Sobat dari Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), mengapa menuduh yang bukan-bukan terhadap kami orang-orang segolongan?" kata pengemis baju hitam yang tinggi kurus.

Pengemis baju kembang yang tinggi besar dan bermuka hitam itu tersenyum mengejek. "Sobat-sobat dari Hek I Kai-pang, bukannya aku menuduh yang tidak-tidak kepada orang segolongan. Akan tetapi semua orang di kedai ini pun tahu belaka betapa anggota kalian ini tadi memaksa ketika minta sedekah, kemudian bahkan menggoda dua orang nona ini. Bukankah itu berarti bahwa para pengemis Hek I Kai-pang adalah orang-orang yang suka membuat kekacauan?”

Dua orang pengemis baju hitam memandang ke sekeliling. Ketika melihat betapa semua orang mengangguk dan membenarkan ucapan pengemis baju kembang, mereka menarik napas dan pengemis tinggi kurus berkata,

"Anggota perkumpulan kami sudah membuat kesalahan. Akan tetapi dia sudah menebus dengan nyawanya, sudah terhukum. Biarlah ini menjadi peringatan bagi kami supaya kami lebih ketat mengawasi anak buah kami. Ciangkun, maafkan, kami akan membawa pergi mayat anggota kami.”

Setelah berkata demikian, si gemuk pendek memondong tubuh pengemis yang telah mati itu, dan sesudah keduanya memandang sejenak kepada Sui In dan Bwe Li, mereka lalu pergi dari situ dengan cepat.

"Ciangkun, mestinya mereka berdua tadi ditangkap saja untuk dihadapkan ke pengadilan," kata pengemis baju kembang kepada perwira yang menjadi pemimpin pasukan penjaga keamanan itu.

Perwira itu menggelengkan kepala. "Yang bersalah sudah mati. Dua orang pengemis baju hitam itu tidak melakukan kesalahan apa pun, bagaimana kami bisa menangkap mereka? Sudahlah, selama ini tidak ada pengemis baju hitam yang membuat kekacauan."

Sui In segera membayar harga makanan, lantas memberi isyarat kepada sumoi-nya untuk cepat meninggalkan tempat itu. Ketika suci-nya mengajak dia berlari menyelinap di dalam kegelapan, Bwe Li bertanya lirih, "Ada apakah, suci?"

"Ssttt, kita membayangi para pengemis baju hitam itu," kata Sui In.

Mereka berdua mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan sebentar saja mereka telah dapat menyusul dua orang pengemis baju hitam yang berjalan cepat sambil memondong tubuh anak buah mereka yang telah menjadi mayat itu.

Dua orang baju hitam itu keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah barat dan kurang lebih tiga li dari kota, mereka memasuki sebuah perkampungan di mana terdapat rumah-rumah yang cukup besar. Kiranya Hek I Kai-pang memiliki perkampungan para pengemis baju hitam di situ, dan di tengah perkampungan berdiri sebuah gedung yang cukup besar dan cukup megah, dikelilingi rumah-rumah yang lebih kecil.

Ketika dua orang pengemis itu masuk sambil memondong mayat seorang pengemis baju hitam, maka gegerlah perkampungan itu. Mereka semua mengikuti dua orang pengemis itu menuju ke gedung besar dan memasuki ruangan yang luas di mana telah menunggu ketua mereka yang sudah lebih dulu diberi tahu.

Karena mereka semua hanya mencurahkan perhatian kepada dua orang pengemis yang memondong mayat seorang kawan mereka, maka para pengemis baju hitam itu menjadi lengah. Hal ini tentu saja memudahkan Sui In dan Lili yang mempergunakan kepandaian mereka menyelinap memasuki perkampungan itu dan mereka sudah mengintai ke dalam ruangan dari atas atap...