Si Pedang Tumpul Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TENTU saja Dewa Rambut Putih terkejut sekali. Untuk menangkis sudah tidak mungkin lagi karena kedua senjatanya sudah melekat pada rambut dan pedang, dan untuk mengelak, jaraknya sudah terlampau dekat. Serangan itu sangat ganas dan licik, sama sekali tidak disangkanya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah menarik tubuh atas ke belakang dan untuk menyelamatkan diri, dia mengangkat kaki menendang.

"Crokkk...! Desssss...!"

Cengkeraman tangan kiri dengan kuku hitam itu masuk ke dada Pek-mau-sian, pada detik yang sama dengan tendangan kaki Dewa Rambut Putih itu yang mengenai lambung Dewi Ular Cantik. Tubuh Pek-mau-sian Thio Ki terjengkang pada saat tubuh Bi-coa Sian-li Cu Sui In terlempar ke belakang sampai dua meter jauhnya.

Dewa Arak segera berlari menghampiri rekannya yang roboh terjengkang, sedangkan Lili meloncat menghampiri suci-nya yang tidak roboh, akan tetapi ketika tubuhnya turun, dia terhuyung dan muntahkan darah segar!

Sekali pandang saja Dewa Arak sudah tahu bahwa rekannya, Dewa Rambut Putih, telah tewas seketika. Dadanya menjadi hitam oleh pengaruh racun dari kuku tangan kiri lawan. Rekannya itu tewas tanpa menderita, lebih beruntung dibandingkan Dewa Pedang yang tewas setelah tadi sempat menderita beberapa lamanya. Dua rekannya telah tewas.

Dewa Arak menarik napas panjang dan sambil meneguk araknya dia memandang ke arah wanita cantik itu. Wanita cantik itu mengibaskan tangan Lili yang hendak menolongnya, bahkan kini telah berdiri tegak walau pun wajah yang cantik itu kini terlihat pucat sekali.

Dia hendak bicara kepada Dewa Arak, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya darah lagi, maka dia pun cepat duduk bersila, mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati luka di bagian dalam tubuhnya yang terguncang akibat tendangan Dewa Rambut Putih tadi. Tendangan itu mengandung hawa atau tenaga sakti Awan Putih, maka dapat mengguncang isi perut wanita itu.

"Suci, biar aku yang menghadapi tua bangka yang seorang lagi itu," kata Lili yang sudah siap untuk menyerang Dewa Arak yang masih enak-enak minum arak dari gucinya.

Wanita yang masih duduk bersila itu membuka matanya, memandang kepada sumoi-nya. Sejenak dia tidak bicara karena sedang mengatur pernapasan. Setelah agak reda dia pun berkata lirih. "Sumoi, sudah kukatakan supaya kau jangan ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku. Sekarang tidak mungkin aku dapat menantang Dewa Arak, maka biarlah hari ini kubiarkan dia hidup. Lain hari akan kucari dia! Kecuali kalau dia ingin menuntut balas atas kematian dua orang rekannya!"

Mendengar ini, Dewa Arak tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Dewi Ular, apakah engkau mulai merasa menyesal karena membunuh mereka? Ha-ha-ha-ha, engkau sudah begitu berjasa terhadap dua orang sahabatku, dan engkau menyuruh aku membalas dendam padamu? Ha-ha-ha-ha, sayang engkau terluka, nona. Bila tidak, tentu aku pun akan kau bebaskan dari pada kurungan hidup yang palsu ini. Masih untung ada arak, kalau tidak, alangkah menjemukan, apa lagi setelah dua orang sahabatku pergi."

Cu Sui In bangkit berdiri. Napasnya tidak terengah lagi walau pun mukanya masih pucat. "Jika engkau hendak membalas dendam, biar terluka aku akan melayanimu, Dewa Arak. Kalau tidak, jangan kira bahwa aku melarikan diri karena takut oleh pembalasanmu."

"Ha-ha-ha, engkau memang wanita gagah Dewi Ular. Agaknya engkau hendak menutupi semua kesengsaraan hatimu dengan sikap gagah dan tak mau kalah dengan mengangkat harga diri setinggi mungkin. Aihh, aku kasihan kepadamu, Dewi Ular!"

Mendengar ini Lili mengerutkan alisnya lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu, “Hei, tua bangka pemabok! Engkau jangan sembarangan berbicara! Katakan kepada muridmu si Kerbau-sapi-kuda-kucing itu bahwa sekali waktu aku akan mencarinya untuk membalas penghinaannya kepadaku sepuluh tahun yang lalu!”

"Sudahlah, sumoi. Dia pemabok akan tetapi ucapannya benar. Mari kita pergi!" kata Cu Sui In. Lili tidak berani membantah, dan kedua orang wanita itu lalu menuruni lembah itu, diikuti pandang mata Dewa Arak yang menggelengkan kepalanya.

Setelah matahari naik tinggi, dari lereng sebelah timur nampak dua orang muda mendaki ke puncak memasuki Lembah Awan Putih sambil membawa bermacam barang belanjaan. Mereka adalah Sin Wan dan Kui Siang yang baru saja pulang dari kota Yin-coan di mana mereka berbelanja bermacam barang untuk menyambut datangnya tahun baru seperti yang diusulkan guru-guru mereka.

Dengan gembira mereka berlari mendaki tebing yang curam itu. Mereka membeli pakaian, bukan hanya untuk mereka berdua, tapi juga untuk tiga orang suhu mereka. Juga mereka membeli roti kering, daging kering, bumbu-bumbu masak, bahkan membeli pula lima ekor ayam dan telur asin.

Ketika mereka tiba di lembah, mereka melihat suasana di situ sunyi sekali. Biasanya pada tengah hari seperti itu tiga orang guru mereka itu berada di luar pondok dan ada saja yang mereka kerjakan. Namun sekarang suasana di luar pondok sangat sunyi. Ketika mereka menghampiri pondok, mereka mendengar suara Dewa Arak bicara dengan suara lantang.

"Aihh, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, sungguh aku merasa iri kepadamu! Kalian mendapat kesempatan untuk lebih dahulu pergi meninggalkan dunia yang sudah menjadi tempat kotor karena ulah para manusia, terbebas dari sengsara badan dan batin. Kalian tewas sebagai orang-orang gagah dan mendapat kehormatan tewas di tangan lawan yang berilmu tinggi. Kalian tidak akan kecewa, akan tetapi aku? Aihh, siapa tahu kelak aku mati digerogoti kuman-kuman kecil. Ahh, sungguh aku iri sekali terhadap kalian!”

Mendengar ucapan itu, tentu saja Sin Wan dan Kui Siang menjadi heran, akan tetapi juga terkejut sekali. Mereka lalu berlari masuk seperti berlomba dan sejenak mereka terpukau, berdiri saja memandang tubuh dua orang kakek yang terbujur kaku di atas pembaringan masing-masing! Dua orang guru mereka itu telah menjadi jenazah!

"Suhuuu...!" Kui Siang menjerit dan melompat, secara bergantian menubruk dua jenazah itu sambil menangis dan memanggil-manggil.

Gadis ini memang sangat sayang kepada tiga orang guru mereka, yang seakan menjadi pengganti orang tuanya. Dan kini ia mendapatkan dua orang di antara tiga gurunya tewas begitu saja. pada hal ketika pagi tadi dia berangkat ke kota Yin-coan bersama Sin Wan dua orang gurunya itu masih dalam keadaan sehat, tidak sakit apa pun.

Sin Wan berdiri sambil menundukkan wajahnya, memejamkan matanya kemudian dengan suara lirih dia pun berdoa. "Ya Allah, mereka berasal dariMu dan kini Engkau berkenan memanggil mereka kembali kepadaMu. Semoga Allah Maha Kasih menerima mereka dan memberi tempat yang penuh bahagia abadi."

Kemudian dia menghampiri Kui Siang yang masih sesenggukan menangisi kematian dua orang gurunya, menyentuh pundaknya dan berkata, "Sumoi, sangat tidak baik menangisi dua orang guru kita yang sudah meninggal dunia. Tidak baik untuk mereka. Hentikanlah tangismu sumoi."

Kui Siang mengangkat mukanya yang basah oleh air mata. "Aduh, suheng... bagaimana aku tak boleh menangis? Hatiku hancur melihat dua orang suhu meninggal dunia dengan mendadak...” Tiba-tiba gadis itu meloncat berdiri dan membalik, memandang Dewa Arak yang masih menghadapi guci arak dan masih tersenyum-senyum itu.

"Aku harus membalas kematian mereka! Suhu, siapa yang membunuh mereka? Katakan, siapa yang membunuh mereka?"

Dewa Arak tersenyum memandang kepada muridnya itu. "Kui Siang, kalau engkau tahu siapa yang membunuh mereka, lalu engkau mau apa?"

"Teecu (murid) akan membalas dendam atas kematian suhu berdua! Teecu akan mencari pembunuh itu dan kubunuh dia!" kata gadis itu sambil mengepal tinju dan meraba gagang pedang Jit-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya.

"Kau mau tahu yang membunuh mereka? Yang membunuh adalah Tuhan."

Kui Siang memandang kepada gurunya dengan dua mata terbelalak "Tuhan? Suhu, apa maksud suhu? Teecu tidak mengerti...!”

"Ha-ha-ha-ha!" Dewi Arak meneguk lagi arak dari gucinya, Sin Wan mendekati sumoi-nya.

"Sumoi, suhu berkata benar. Kematian kedua orang suhu, atau kematian siapa pun juga di dunia ini, baru dapat terjadi kalau memang dikehendaki Tuhan! Tanpa kehendak Tuhan, siapa yang akan mampu membunuh siapa? Segala kehendak Tuhan pun jadilah, sumoi!"

"Ha-ha-ha, suheng-mu benar, Kui Siang. Nah, kalau yang membunuh dua orang gurumu ini Tuhan, apakah engkau juga mendendam kepada Tuhan dan hendak membunuh Tuhan untuk membalas dendam?"

Kui Siang tertegun dan menjadi bingung. "Tetapi... tetapi... bagaimana Tuhan membunuh kedua guruku ini? Teecu bingung, suhu, tidak mengerti dan mohon penjelasan. Apa yang telah terjadi sampai kedua orang suhu ini meninggal dunia?"

"Duduklah dengan tenang, Kui Siang. Hentikan tangismu dan marilah kita antar kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian dengan percakapan tentang kematian agar engkau mengerti. Sin Wan, apa bila ada yang terlewat, kau lengkapi keteranganku kepada sumoi-mu. Nah, Kui Siang. Setiap manusia dilahirkan dan kemudian mengalami kematian. Kelahiran dan kematian setiap orang berada di tangan Tuhan, telah dikehendaki oleh Tuhan! Tentu saja, seperti juga segala peristiwa di dunia ini, kelahiran dan kematian pun ada penyebabnya yang hanya menjadi jalan atau lantaran saja. Tentu saja Tuhan tidak mengulurkan tangan seperti kita untuk mencabut nyawa seseorang, tetapi melalui suatu sebab. Ada kematian karena penyakit, ada kematian karena bencana alam, ada pula kematian karena bunuh membunuh, baik dalam perang atau pun dalam perkelahian. Kita harus menghadapi setiap kematian sebagai satu hal yang wajar, sebagai bukti bahwa hidup di dunia ini tidak abadi, dan bukti bahwa Tuhan Maha Kuasa dan tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang akan mampu menghindarkan kita dari kematian apa bila Tuhan sudah menghendakinya. Sebaliknya, tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang dapat membunuh kita apa bila Tuhan tidak menghendaki kita mati! Nah, kalau kematian itu ditentukan oleh Tuhan, maka setiap kematian, kalau ditanya pembunuhnya, maka pembunuhnya adalah Tuhan! Kalau kita hendak mendendam, maka kepada Tuhanlah dendam itu ditujukan dan itu merupakan dosa yang teramat besar!"

"Tapi, suhu! Yang melakukan pembunuhan adalah manusia lain, walau pun kematian itu di tangan Tuhan!" bantah Kui Siang, "Kalau ada orang membunuh orang lain yang tidak berdosa, maka si pembunuh itulah yang bertanggung jawab dan dia harus dihukum!"

"Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Dan kau bicara tentang hukum. Setiap dosa tidak akan dapat bebas dari hukuman Tuhan, dan ada pula hukuman manusia, yaitu hukum yang diadakan oleh negara, oleh masyarakat, oleh agama. Tetapi membalas dendam tidak termasuk di dalam hukum apa pun, kecuali hukum nafsu setan, hukum kebencian, Andai kata kedua orang gurumu ini mati karena suatu penyakit, karena kuman, apakah engkau juga akan membalas dendam kepada kuman, kepada penyakit? Andai kata kedua orang gurumu ini mati karena banjir, apakah engkau juga akan mendendam kepada air? Kalau mati karena terbakar, apakah engkau akan mendendam kepada api? Dan masih banyak lagi penyebab kematian yang banyak menjadi lantaran saja."

Kui Siang tertegun sehingga sejenak dia bengong saja. Dia merasa bulu-bulu tengkuknya meremang, melihat kenyataan yang sama sekali tak pernah dipikirkan sebelumnya.

"Tapi... tapi... bila dua orang suhu dibunuh orang jahat, apakah teecu harus mendiamkan saja orang jahat itu membunuh dua orang suhuku? Apakah teecu harus mendiamkan pula penjahat itu merajalela menyebar maut, membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?"

"Sumoi, bukan begitu maksud suhu. Tentu saja kita harus menentang setiap perbuatan jahat. Kalau kebetulan kita melihat penjahat yang sudah membunuh dua orang guru kita, atau membunuh siapa pun juga, atau penjahat lain yang mana pun juga, kalau kita melihat dia melakukan kejahatan, sudah menjadi kewajiban kita untuk mencegah perbuatan jahat itu dilakukan. Akan tetapi kita hanya menentang dan memberantas kejahatan berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, bukan demi membalas dendam karena kebencian atau sakit hati."

Kui Siang mengangguk-angguk. Setelah mendengarkan penjelasan suheng-nya tadi, baru sekarang dia teringat akan ajaran-ajaran dari kedua orang gurunya yang kini sudah rebah telentang tanpa nyawa itu.

"Nah, engkau mulai mengerti agaknya, Kui Siang. Kita harus mengetahui bahwa budi dan dendam, kedua-duanya merupakan belenggu pengikat kita kepada hukum karma. Hukum karma merupakan mata rantai yang tiada berkeputusan selama kita terikat oleh belenggu tadi.”

"Suhu, mohon dijelaskan tentang karma."

"Hukum karma adalah hukum sebab akibat, Kui Siang. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan akibat itu dapat menjadi sebab baru lagi sehingga mata rantai itu menjadi sambung menyambung tiada berkeputusan. Sama halnya jika engkau menendang sebuah batu dari puncak bukit, batu itu menjadi sebab tergelincirnya batu ke dua. Akibat ini menjadi sebab lain lagi karena batu ke dua menimpa batu ke tiga dari selanjutnya."

"Kalau begitu kita tidak berdaya, suhu. Kita menjadi permainan karma, menjadi permainan hukum sebab dan akibat."

"Jika kita membiarkan diri terikat, memang demikian, Kui Siang. Akan tetapi Tuhan Maha Kasih kepada kita. Tuhan sudah memberi alat yang serba lengkap kepada kita manusia, yaitu dengan nafsu-nafsu untuk mempertahankan hidup, dengan hati dan akal pikiran, juga menyertakan pula kesadaran jiwa. Kekuasaan Tuhan akan membimbing kita, Kui Siang, menyadarkan kita sehingga kita bisa mematahkan ikatan belenggu sebab akibat dan tidak terseret oleh berputarnya roda karma."

"Mohon penjelasan, suhu, berilah contohnya."

"Sin Wan, aku ingin mendengar apakah engkau sudah mengerti benar. Coba engkau saja yang menerangkan kepada sumoi-mu."

“Baik, suhu. Akan tetapi bila ada kekeliruan harap suhu suka membetulkan dan memberi penjelasan. Sebelumnya teecu harap suhu suka memberi tahu, bagaimana kedua orang suhu ini sampai tewas agar dapat teecu gunakan sebagai contoh tentang ikatan belenggu karma."

Dewa Arak menarik napas panjang. "Pada waktu kalian turun dari lembah tadi, dan kami bertiga sedang duduk di luar pondok menikmati cahaya matahari pagi, muncullah Bi-coa Sian-li Cu Sui In bersama seorang gadis yang disebutnya sumoi."

"Siapakah Bi-coa Sian-li Cu Sui In itu?” Kui Siang bertanya.

"Sumoi, dia adalah seorang tokoh kang-ouw wanita yang pada sepuluh tahun yang silam pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana dari tangan guru-guru kita," kata Sin Wan yang masih ingat kepada wanita galak itu, juga ingat kepada anak perempuan yang ketika itu mengaku sebagai murid Dewi Ular Cantik.

"Sepuluh tahun yang silam wanita itu gagal merampas pusaka dari kami, dan kekalahan sepuluh tahun yang lalu itu membuat dia menaruh dendam. Dia datang mencari kami dan menantang kami untuk bertanding satu lawan satu untuk menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja kami tidak menanggapi, akan tetapi dia memaksa dan akan membunuh kami apa bila kami tak mau menyambut tantangannya. Tentu saja kami tidak mau dibunuh begitu saja sehingga mati konyol. Maka Kiam-sian kemudian menyambut tantangannya."

"Tapi Louw-suhu (guru Louw) sudah mengatakan tidak akan bertanding lagi, dan beliau telah menyerahkan Jit-kong-kiam kepada teecu dan Pedang Tumpul kepada suheng!" seru Kui Siang, lalu dia menoleh dan memandang ke arah wajah jenazah Kiam-sian Louw Sun.

Dewa Arak tersenyum. "Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, setiap benda yang berbentuk pedang dapat saja menjadi senjata pengganti pedang. Dia melawan Dewi Ular itu dengan sebatang ranting pohon."

"Ahhh...! Dan Louw-suhu melawannya dengan ranting, sedangkan lawan mempergunakan pedang pusaka?” teriak Kui Siang.

"Bukan hanya karena itu. Akan tetapi memang harus kami akui bahwa ilmu kepandaian Dewi Ular Cantik tidak dapat disamakan dengan tingkatnya sepuluh tahun yang lalu. Dia lihai bukan main dan akhirnya, sesudah melalui pertandingan yang seru dan hebat, guru kalian Kiam-sian Louw Sun tewas di tangan Dewi Ular Cantik."

Wajah Kui Siang menjadi merah, akan tetapi dia masih menahan kemarahannya. "Apakah Thio-suhu (guru Thio) juga tewas oleh iblis betina itu, suhu?”

Dewa Arak mengangguk. "Setelah Dewa Pedang roboh. Dewa Rambut Putih lantas maju melawan Dewi Ular Cantik. Pertandingan antara mereka lebih seru dan sebenarnya Dewi Ular telah kehabisan tenaga. Akan tetapi dia memang lihai dan mempunyai banyak siasat. Akhirnya, dengan memakai rambutnya sebagai senjata. Dewi Ular berhasil merobohkan dan menewaskan Dewa Rambut Putih walau pun dia sendiri terkena tendangan Pek-mau-sian dan menderita luka dalam yang cukup parah. Dalam keadaan terluka dia dan sumoi-nya lalu pergi."

"Iblis betina keparat!" Kui Siang bangkit lagi kemarahannya yang sejak tadi ditahannya.

"Hemm, mau apa engkau, Kui Siang?!" bentak Dewa Arak, sekali ini tidak tertawa lagi.

Kui Siang sadar, lalu membalik dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya sambil menangis. "Suhu, ampunkan teecu...“ katanya di antara isaknya.

"Suhu, Maafkan sumoi," kata Sin Wan. "Teecu sendiri juga merasa panas di hati. Suhu. Teecu dan sumoi hanyalah manusia-manusia biasa yang tidak mungkin dapat begitu saja membebaskan diri dari pada nafsu perasaan. Teecu berdua amat menyayang Louw-suhu dan Thio-suhu, tentu hati ini sakit sekali mendengar ada orang membunuh mereka. Teecu sendiri mengerti bahwa perasaan ini hanya permainan nafsu dan tidak benar kalau teecu menurutkannya, akan tetapi mungkin sumoi belum mengerti benar."

"Heh-heh-heh, karena itu kau jelaskan padanya tentang karma tadi, Sin Wan."

"Begini sumoi. Jika kita mau menelusuri secara teliti, maka kematian dua orang guru kita yang tercinta hanya merupakan akibat dari pada sebab-sebab yang lalu. Bila kita telusuri, maka sebab-sebab itu kait-mengait seperti mata rantai. Mereka tewas sebagai akibat dari pembalasan dendam Dewi Ular Cantik yang pernah mereka kalahkan dalam perkelahian pertama. Perkelahian pertama itu menjadi sebab perkelahian ke dua ini. Dan perkelahian pertama itu pun adalah akibat dari sebab yang lain, yaitu karena guru-guru kita bertugas merampas kembali pusaka dari istana. Tugas itu pun ada sebabnya, yaitu karena guru-guru kita adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang dimintai tolong oleh kaisar dan ketua perkumpulan persilatan. Nah, bila ditelusuri terus, maka sebab-sebab yang menjadi mata rantai itu tidak akan ada habisnya, sumoi."

"Ha-ha-ha-ha, mungkin yang menjadi sebab pertama adalah karena... dahulu kami bertiga dilahirkan di dunia ini! Kalau kami tidak dilahirkan, mana mungkin akan terjadi semua itu? Ha-ha-ha!"

"Demikianlah, sumoi. Sebab akibat yang disebut karma ini merupakan mata rantai yang tiada putusnya, dan masih akan berkepanjangan kalau kita tidak menghentikannya agar mata rantai itu putus. Contohnya begini. Kematian kedua orang guru kita menjadi akibat yang dapat menjadi sebab lain, yaitu apa bila kita menaruh dendam sakit hati. Mungkin kita lantas mencari Dew Ular Cantik dan kita berusaha membunuhnya untuk membalas dendam atas kematian kedua orang guru kita. Katakanlah kita berhasil sehingga dia mati di tangan kita, mata rantai itu tidak akan habis. Mungkin ada saudaranya, gurunya, atau muridnya yang merasa sakit hati dan mendendam kemudian mencari kita untuk menuntut balas, demikian seterusnya."

"He-he-heh, kemudian muridnya atau anaknya saling mendendam dan saling membalas, saling bermusuhan, maka timbullah perang! Nafsu itu seperti api, bila dibiarkan merajalela maka dari sepercik bunga api dapat menjadi lautan api yang membakar dunia ha-ha-ha!"

"Begitulah, sumoi. Walau pun hati kita panas, namun pengertian ini harus kita laksanakan di dalam kehidupan. Kita hentikan rangkaian karma ini sampai di sini saja. Kita patahkan mata rantai ini supaya kita tidak terikat belenggu karma. Tidak seharusnya kita menaruh dendam kebencian kepada Dewi Ular Cantik."

"Aku mengerti, suheng," kata Kui Siang dan kini suaranya terdengar tenang. "Akan tetapi apakah kita harus mendiamkan saja orang-orang jahat dan kejam seperti Dewi Ular Cantik itu berkeliaran begitu saja menyebar maut di antara orang-orang yang tidak berdosa? Kita berpeluk tangan begitu saja?”

"Ha-ha-ha-ha, anak manis. Tentu saja tidak! Kalau kalian diam saja, lalu untuk apa kalian menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari Ilmu dari Sam Sian? Kalian harus turun tangan menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang benar dan yang lemah tertindas, menentang yang jahat dan yang lalim. Akan tetapi ingat. yang kalian tentang bukanlah pribadinya, melainkan perbuatannya. Kalian menentang orang jahat berdasarkan jiwa pendekar, bukan karena sakit hati, bukan karena dendam, dan sama sekali bukan karena membenci seseorang. Perbuatan yang berdasarkan kebencian adalah perbuatan yang terdorong oleh nafsu, dan semua perbuatan yang terdorong oleh nafsu tentu akan menjadi mata rantai hukum karma."

"Terima kasih, suhu, teecu mulai mengerti. Teecu juga masih ingat akan semua ajaran budi pekerti yang pernah teecu terima dari mendiang Louw-suhu dan Thio-suhu. Teecu harus menjadi seorang pendekar yang selalu mengambil jalan benar, taat kepada perintah Tuhan yang diperuntukkan manusia lewat agama dan ajaran-ajaran para budiman, teecu harus berperikemanusiaan, harus menjunjung keadilan, menolong sesamanya, berpribudi baik dan hidup rukun dan saling bantu, harus..."

"Kui Siang, dan kau juga Sin Wan. Segala ajaran memang baik, akan tetapi kalian ingat baik-baik. Pokok dari pada semua ajaran itu adalah bahwa kita harus. Ber-TUHAN! Ber- Tuhan bukan hanya di mulut, melainkan ber-Tuhan dengan seluruh jiwa raga, tercermin di dalam hati akal pikiran, dalam kata-kata dan dalam perbuatan. Ber-Tuhan bukan berarti munafik, melainkan kita menyembah dan berbakti kepada Tuhan setiap saat, setiap detik ingat kepada Tuhan sehingga segala apa yang kita pikir, kita katakan, kita lakukan selalu dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih. Orang yang ber-Tuhan, benar-benar ber-Tuhan, sudah pasti dia itu berperikemanusiaan, sudah pasti dia itu adil dan berpribudi baik, tolong-menolong dan hidup rukun dengan sesama, sudah pasti dia itu tidak kejam. Pendeknya, orang yang ber-Tuhan sudah pasti hatinya bersih dan baik! Sebaliknya, orang yang berbuat baik, yang mengaku berperikemanusiaan, mengaku adil, belum tentu dia itu ber-Tuhan. Bila demikian keadaannya, maka semua kebaikannya itu berdasarkan nafsu, semua kebaikannya itu munafik dan palsu, karena tentu didasari pamrih demi keuntungan dan kepentingan diri pribadi! Tapi orang yang ber-Tuhan akan melakukan segala sesuatu demi baktinya terhadap Tuhan, sebagai dharma sehingga semua perbuatannya itu tanpa dikotori pamrih demi keuntungan diri pribadi. Mengertikah kalian?"

"Teecu mengerti, suhu," kata Sin Wan.

Kui Siang hanya mengangguk karena pengertiannya belum mendalam, bahkan dia masih agak bingung. Sejak kecil dia telah banyak menderita, yaitu semenjak dia berusia sepuluh tahun. Ayahnya dibunuh penjahat yang mencuri pusaka istana, tak lama kemudian ibunya meninggal pula karena duka dan jatuh sakit. Para paman dan bibinya adalah orang-orang yang berambisi untuk mengambil bagian dari harta warisan orang tuanya. Sejak kecil dia sudah banyak menderita dan kecewa.

Dan kini, sesudah selama sepuluh tahun hidup bersama tiga orang gurunya, menyayangi mereka seperti orang tua sendiri, dua di antara tiga orang gurunya kembali dibunuh orang! Dan kalau dia menderita sakit hati dan mendendam, hal itu tidaklah benar! Terjadi perang dalam batinnya yang membuat dia merasa ragu dan bingung.

Tiba-tiba Dewa Arak tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sudah cukup kita berbicara seperti pendeta-pendeta tua perenung! Kita harus membuat persiapan. Kita kubur jenazah Kiam-sian dan Pek-mau-sian di lembah ini, kemudian kalian ikut dengan aku pergi meninggalkan Pek-in-kok."

"Meninggalkan Pek-in-kok? Kita akan pergi ke mana suhu?" tanya Sin Wan yang merasa heran.

"Kita pergi ke tempat lain yang tidak diketahui orang, supaya Dewi Ular Cantik tidak akan dapat menemukan kita."

"Tapi, suhu!" Kui Siang berkata dengan penasaran sekali. "Mengapa kita harus melarikan diri dari iblis betina itu? Memang kita tidak perlu mendendam kepadanya, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita takut padanya sehingga kita harus lari dan menyembunyikan diri!"

Sekali ini Sin Wan juga berpihak sumoi-nya. Walau pun dia tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya terhadap Dewa Arak juga menuntut penjelasan.

"Heh-heh, kau kira aku takut menghadapi Dewi Ular Cantik? Sama sekali tidak takut, juga aku tidak suka melihat kalian takut kepadanya atau kepada siapa pun juga. Rasa takut kita harus kita tujukan hanya kepada Tuhan saja, takut kalau sampai kita terseret nafsu melakukan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Tuhan! Tidak, aku mengajak kalian pergi dari sini supaya kalian dapat melatih ilmu kami secara tekun dan tenang tanpa ada gangguan selama satu tahun. Setelah kalian menguasai Sam-sian Sin ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), baru hatiku tenteram dan kalian boleh turun gunung."

"Sam-sian Sin-ciang?" tanya Kui Siang. "Teecu belum pernah mendengarnya dari suhu bertiga."

"Itulah hasil ketekunanku selama beberapa tahun ini. Sayang sekali Kiam-sian dan Pek-mau-sian sudah terlalu malas untuk mempelajari dan melatih ilmu ini. Andai kata mereka mengusainya, bagaimana mungkin Dewi Ular Cantik mampu mengalahkan mereka!"

Dewa Arak bersama dua orang muridnya lalu mengubur dua jenazah itu di Lembah Awan Putih, kemudian menyembahyangi dua makam itu dengan hormat walau pun sederhana.

Setelah tiga hari jenazah itu dikuburkan, pada hari ke empat mereka meninggalkan Pek-in-kok, menuju ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh Dewa Arak sendiri. Di situ dia menggembleng dua orang muridnya, mengajarkan ilmu baru yang selama bertahun-tahun disusunnya dari inti sari ilmu Tiga Dewa.

Dalam Sam-sian Sin-ciang ini termasuk unsur-unsur dari llmunya sendiri seperti Ciu-sian Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak), Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan Hui-nio Poan-soan (Langkah Berputaran Burung Terbang). Dari ilmu silat milik Kiam-sian dia mengambil inti sari dari Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Cahaya Matahari) serta ilmu menotok jalan darah Kiam-ci (Jari Pedang), dan dari Pek-mau-sian dia mengambil inti sari Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih) dan Sin-siauw Kun-hoat (Silat Suling Sakti).

Dari semua ilmu ini yang sudah diambil inti sarinya, dia menciptakan Sam-sian Sin-ciang dan ilmu inilah yang dia ajarkan kepada Sin Wan dan Kui Siang. Kalau yang mempelajari ilmu Sam-sian Sin-ciang ini orang lain, betapa pun pandainya dia, tentu akan memerlukan waktu bertahun-tahun saking sulitnya. Tetapi karena dua orang muda itu sudah mengenal semua ilmu yang digabungkan menjadi ilmu silat sakti itu, tentu saja mereka lebih mudah mempelajarinya dan dalam waktu setahun, setelah berlatih dengan tekun, mereka dapat menguasai ilmu itu dengan sebaiknya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Harus diakui oleh sejarah bahwa semenjak kekuasaan penjajah Mongol dienyahkan oleh pasukan rakyat yang dipimpin pemuda petani Cu Goan Ciang yang kemudian mendirikan Dinasti Beng dan menjadi Kaisar Thai-cu, Tiongkok dapat dipersatukan kembali. Di bawah pimpinan Jenderal Shu Ta, tangan kanan Kaisar Thai-cu, sisa-sisa pasukan Mongol yang masih berada di wilayah Cina berhasil dipukul mundur sampai mereka kembali ke tempat asal mereka di utara, yaitu daerah Mongol.

Setelah sampai di daerahnya sendiri barulah orang-orang Mongol dapat mempertahankan diri. Daerah yang sangat keras dan sukar itu menyulitkan pasukan yang dipimpin Jenderat Shu Ta sehingga dia hanya dapat membersihkan daerah kekuasaannya dari orang-orang Mongol, namun tidak mampu menumpas Bangsa Mongol di daerah mereka sendiri.

Biar pun berasal dari keluarga petani, akan tetapi sesudah menjadi kaisar ternyata Kaisar Thai-cu mempunyai kemampuan memimpin yang mengagumkan. Hal ini karena dia amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang yang ahli dalam bidang masing-masing dan menghargai para cerdik pandai sehingga dengan bantuan orang-orang yang ahli, dia pun mampu mengendalikan pemerintahan dengan baik.

Kedudukan kaisar ini sangat kuat karena dia adalah orang yang telah mampu dan berhasil meruntuhkan kekuasaan penjajah Mongol sehingga sudah mengembalikan harga diri dan kedaulatan bangsa. Jasa ini saja sudah membuat dia dikagumi dan dihormati oleh seluruh rakyat, tidak peduli dari golongan mau pun suku bangsa apa saja, karena bukankah dia yang sudah membebaskan rakyat semua suku dan golongan itu dari penindasan penjajah Mongol?

Juga Kaisar Thai-cu yang dahulunya bernama Cu Goan Ciang ini memanfaatkan akar dari pohon pemerintahannya, yaitu bala tentara dan rakyat jelata. Ia merangkul keduanya. Dia menghargai jasa bala tentaranya, menjamin kehidupan keluarga mereka, menambah daya kekuatan mereka dengan menggembleng seluruh prajurit dengan ilmu-ilmu perang, tidak pelit membagi-bagi hadiah, dan pandai menghargai jasa setiap orang prajurit. Juga kaisar ini merangkul rakyat, memperhatikan kehidupan rakyat jelata, menyuburkan perdagangan dengan membuka pintu selebar-lebarnya.

Dia membangkitkan semangat membangun dalam segala bidang karena semangat rakyat harus disalurkan dan penyaluran yang paling sehat dan menguntungkan bangsa hanyalah semangat membangun! Di samping itu, Kaisar Thai-cu juga mempergunakan tangan besi untuk menertibkan keamanan, menjaga ketenteraman kehidupan rakyat serta menumpas semua golongan yang sifatnya hanya menjadi perusak dan penghalang pembangunan.

Pada masa itu, gangguan yang terbesar bagi kerajaan baru Beng-tiauw adalah rongrongan dari orang-orang Mongol yang tentu saja masih merasa penasaran dan ingin menegakkan kembali kekuasaan mereka yang telah hancur. Mereka melakukan gangguan di sepanjang perbatasan barat dan utara.

Di samping gangguan dari orang-orang Mongol ini, yang tidak segan-segan menggunakan segala daya untuk bersekutu dan membujuk pejabat-pejabat daerah untuk memberontak, juga pemerintah sedang menghadapi rongrongan dari para bajak laut yang merajalela di lautan timur. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Jepang yang terkenal sebagai bajak laut yang tangguh.

Karena sukar sekali untuk membasmi bajak laut ini yang mempunyai daerah pelarian yang sangat luas di lautan apa bila dikejar, maka Kaisar Thai-cu bersama para penasehatnya memberikan perhatian yang serius terhadap keadaan rakyat di pantai-pantai yang menjadi sasaran para bajak laut. Para penduduk pantai itu ditampung dan dlpindahkan ke daerah pedalaman sehingga menyulitkan para bajak laut untuk mengganggu mereka.

Demikianlah, di bawah pimpinan Kaisar Thai-cu yang bijaksana, tentu saja sebagian besar rakyat mendukungnya dan Kerajaan Beng (Terang) menjadi benar-benar gemilang. Tetapi di dunia yang dwimuka ini tentu saja tidak ada yang sempurna. Demikian pula dengan keberhasilan yang dicapai Kaisar Thal-cu. Ada saja golongan yang merasa tidak puas.

Mereka ini sebagian besar adalah mereka yang di waktu pemerintahan penjajah berhasil menduduki pangkat yang tinggi dan kehidupan yang mewah dan mulia. Setelah Kerajaan Goan-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mongol runtuh, maka runtuh pula kedudukan mereka, bahkan banyak juga di antara mereka yang menjadi korban perang, sebagai pihak yang membela kerajaan penjajah yang kalah.

Ada pula golongan yang tidak puas kerena merasa tidak mendapatkan bagian dari hasil kemenangan pemerintah Beng-tiauw. Ada pula golongan hitam dan kalangan sesat yang merasa tersudut karena pemerintah menggunakan tangan besi menentang kejahatan dan memberi hukuman berat kepada para pengacau. Ada pula pejabat daerah yang merasa bahwa jasanya lebih besar dari pada kedudukan yang mereka peroleh sehingga mereka ini condong untuk merasa tak puas dan mudah dihasut golongan yang tidak suka kepada pemerintah baru.

Golongan-golongan itu adalah orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan negara dan bangsa, yang mudah saja dibujuk oleh orang-orang Mongol untuk mengadakan persekutuan! Akan tetapi golongan rakyat yang menentang pemerintahan ini diimbangi pula dengan golongan para pendekar yang mendukung pemerintah...!

Si Pedang Tumpul Jilid 12

TENTU saja Dewa Rambut Putih terkejut sekali. Untuk menangkis sudah tidak mungkin lagi karena kedua senjatanya sudah melekat pada rambut dan pedang, dan untuk mengelak, jaraknya sudah terlampau dekat. Serangan itu sangat ganas dan licik, sama sekali tidak disangkanya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah menarik tubuh atas ke belakang dan untuk menyelamatkan diri, dia mengangkat kaki menendang.

"Crokkk...! Desssss...!"

Cengkeraman tangan kiri dengan kuku hitam itu masuk ke dada Pek-mau-sian, pada detik yang sama dengan tendangan kaki Dewa Rambut Putih itu yang mengenai lambung Dewi Ular Cantik. Tubuh Pek-mau-sian Thio Ki terjengkang pada saat tubuh Bi-coa Sian-li Cu Sui In terlempar ke belakang sampai dua meter jauhnya.

Dewa Arak segera berlari menghampiri rekannya yang roboh terjengkang, sedangkan Lili meloncat menghampiri suci-nya yang tidak roboh, akan tetapi ketika tubuhnya turun, dia terhuyung dan muntahkan darah segar!

Sekali pandang saja Dewa Arak sudah tahu bahwa rekannya, Dewa Rambut Putih, telah tewas seketika. Dadanya menjadi hitam oleh pengaruh racun dari kuku tangan kiri lawan. Rekannya itu tewas tanpa menderita, lebih beruntung dibandingkan Dewa Pedang yang tewas setelah tadi sempat menderita beberapa lamanya. Dua rekannya telah tewas.

Dewa Arak menarik napas panjang dan sambil meneguk araknya dia memandang ke arah wanita cantik itu. Wanita cantik itu mengibaskan tangan Lili yang hendak menolongnya, bahkan kini telah berdiri tegak walau pun wajah yang cantik itu kini terlihat pucat sekali.

Dia hendak bicara kepada Dewa Arak, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya darah lagi, maka dia pun cepat duduk bersila, mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati luka di bagian dalam tubuhnya yang terguncang akibat tendangan Dewa Rambut Putih tadi. Tendangan itu mengandung hawa atau tenaga sakti Awan Putih, maka dapat mengguncang isi perut wanita itu.

"Suci, biar aku yang menghadapi tua bangka yang seorang lagi itu," kata Lili yang sudah siap untuk menyerang Dewa Arak yang masih enak-enak minum arak dari gucinya.

Wanita yang masih duduk bersila itu membuka matanya, memandang kepada sumoi-nya. Sejenak dia tidak bicara karena sedang mengatur pernapasan. Setelah agak reda dia pun berkata lirih. "Sumoi, sudah kukatakan supaya kau jangan ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku. Sekarang tidak mungkin aku dapat menantang Dewa Arak, maka biarlah hari ini kubiarkan dia hidup. Lain hari akan kucari dia! Kecuali kalau dia ingin menuntut balas atas kematian dua orang rekannya!"

Mendengar ini, Dewa Arak tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Dewi Ular, apakah engkau mulai merasa menyesal karena membunuh mereka? Ha-ha-ha-ha, engkau sudah begitu berjasa terhadap dua orang sahabatku, dan engkau menyuruh aku membalas dendam padamu? Ha-ha-ha-ha, sayang engkau terluka, nona. Bila tidak, tentu aku pun akan kau bebaskan dari pada kurungan hidup yang palsu ini. Masih untung ada arak, kalau tidak, alangkah menjemukan, apa lagi setelah dua orang sahabatku pergi."

Cu Sui In bangkit berdiri. Napasnya tidak terengah lagi walau pun mukanya masih pucat. "Jika engkau hendak membalas dendam, biar terluka aku akan melayanimu, Dewa Arak. Kalau tidak, jangan kira bahwa aku melarikan diri karena takut oleh pembalasanmu."

"Ha-ha-ha, engkau memang wanita gagah Dewi Ular. Agaknya engkau hendak menutupi semua kesengsaraan hatimu dengan sikap gagah dan tak mau kalah dengan mengangkat harga diri setinggi mungkin. Aihh, aku kasihan kepadamu, Dewi Ular!"

Mendengar ini Lili mengerutkan alisnya lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu, “Hei, tua bangka pemabok! Engkau jangan sembarangan berbicara! Katakan kepada muridmu si Kerbau-sapi-kuda-kucing itu bahwa sekali waktu aku akan mencarinya untuk membalas penghinaannya kepadaku sepuluh tahun yang lalu!”

"Sudahlah, sumoi. Dia pemabok akan tetapi ucapannya benar. Mari kita pergi!" kata Cu Sui In. Lili tidak berani membantah, dan kedua orang wanita itu lalu menuruni lembah itu, diikuti pandang mata Dewa Arak yang menggelengkan kepalanya.

Setelah matahari naik tinggi, dari lereng sebelah timur nampak dua orang muda mendaki ke puncak memasuki Lembah Awan Putih sambil membawa bermacam barang belanjaan. Mereka adalah Sin Wan dan Kui Siang yang baru saja pulang dari kota Yin-coan di mana mereka berbelanja bermacam barang untuk menyambut datangnya tahun baru seperti yang diusulkan guru-guru mereka.

Dengan gembira mereka berlari mendaki tebing yang curam itu. Mereka membeli pakaian, bukan hanya untuk mereka berdua, tapi juga untuk tiga orang suhu mereka. Juga mereka membeli roti kering, daging kering, bumbu-bumbu masak, bahkan membeli pula lima ekor ayam dan telur asin.

Ketika mereka tiba di lembah, mereka melihat suasana di situ sunyi sekali. Biasanya pada tengah hari seperti itu tiga orang guru mereka itu berada di luar pondok dan ada saja yang mereka kerjakan. Namun sekarang suasana di luar pondok sangat sunyi. Ketika mereka menghampiri pondok, mereka mendengar suara Dewa Arak bicara dengan suara lantang.

"Aihh, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, sungguh aku merasa iri kepadamu! Kalian mendapat kesempatan untuk lebih dahulu pergi meninggalkan dunia yang sudah menjadi tempat kotor karena ulah para manusia, terbebas dari sengsara badan dan batin. Kalian tewas sebagai orang-orang gagah dan mendapat kehormatan tewas di tangan lawan yang berilmu tinggi. Kalian tidak akan kecewa, akan tetapi aku? Aihh, siapa tahu kelak aku mati digerogoti kuman-kuman kecil. Ahh, sungguh aku iri sekali terhadap kalian!”

Mendengar ucapan itu, tentu saja Sin Wan dan Kui Siang menjadi heran, akan tetapi juga terkejut sekali. Mereka lalu berlari masuk seperti berlomba dan sejenak mereka terpukau, berdiri saja memandang tubuh dua orang kakek yang terbujur kaku di atas pembaringan masing-masing! Dua orang guru mereka itu telah menjadi jenazah!

"Suhuuu...!" Kui Siang menjerit dan melompat, secara bergantian menubruk dua jenazah itu sambil menangis dan memanggil-manggil.

Gadis ini memang sangat sayang kepada tiga orang guru mereka, yang seakan menjadi pengganti orang tuanya. Dan kini ia mendapatkan dua orang di antara tiga gurunya tewas begitu saja. pada hal ketika pagi tadi dia berangkat ke kota Yin-coan bersama Sin Wan dua orang gurunya itu masih dalam keadaan sehat, tidak sakit apa pun.

Sin Wan berdiri sambil menundukkan wajahnya, memejamkan matanya kemudian dengan suara lirih dia pun berdoa. "Ya Allah, mereka berasal dariMu dan kini Engkau berkenan memanggil mereka kembali kepadaMu. Semoga Allah Maha Kasih menerima mereka dan memberi tempat yang penuh bahagia abadi."

Kemudian dia menghampiri Kui Siang yang masih sesenggukan menangisi kematian dua orang gurunya, menyentuh pundaknya dan berkata, "Sumoi, sangat tidak baik menangisi dua orang guru kita yang sudah meninggal dunia. Tidak baik untuk mereka. Hentikanlah tangismu sumoi."

Kui Siang mengangkat mukanya yang basah oleh air mata. "Aduh, suheng... bagaimana aku tak boleh menangis? Hatiku hancur melihat dua orang suhu meninggal dunia dengan mendadak...” Tiba-tiba gadis itu meloncat berdiri dan membalik, memandang Dewa Arak yang masih menghadapi guci arak dan masih tersenyum-senyum itu.

"Aku harus membalas kematian mereka! Suhu, siapa yang membunuh mereka? Katakan, siapa yang membunuh mereka?"

Dewa Arak tersenyum memandang kepada muridnya itu. "Kui Siang, kalau engkau tahu siapa yang membunuh mereka, lalu engkau mau apa?"

"Teecu (murid) akan membalas dendam atas kematian suhu berdua! Teecu akan mencari pembunuh itu dan kubunuh dia!" kata gadis itu sambil mengepal tinju dan meraba gagang pedang Jit-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya.

"Kau mau tahu yang membunuh mereka? Yang membunuh adalah Tuhan."

Kui Siang memandang kepada gurunya dengan dua mata terbelalak "Tuhan? Suhu, apa maksud suhu? Teecu tidak mengerti...!”

"Ha-ha-ha-ha!" Dewi Arak meneguk lagi arak dari gucinya, Sin Wan mendekati sumoi-nya.

"Sumoi, suhu berkata benar. Kematian kedua orang suhu, atau kematian siapa pun juga di dunia ini, baru dapat terjadi kalau memang dikehendaki Tuhan! Tanpa kehendak Tuhan, siapa yang akan mampu membunuh siapa? Segala kehendak Tuhan pun jadilah, sumoi!"

"Ha-ha-ha, suheng-mu benar, Kui Siang. Nah, kalau yang membunuh dua orang gurumu ini Tuhan, apakah engkau juga mendendam kepada Tuhan dan hendak membunuh Tuhan untuk membalas dendam?"

Kui Siang tertegun dan menjadi bingung. "Tetapi... tetapi... bagaimana Tuhan membunuh kedua guruku ini? Teecu bingung, suhu, tidak mengerti dan mohon penjelasan. Apa yang telah terjadi sampai kedua orang suhu ini meninggal dunia?"

"Duduklah dengan tenang, Kui Siang. Hentikan tangismu dan marilah kita antar kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian dengan percakapan tentang kematian agar engkau mengerti. Sin Wan, apa bila ada yang terlewat, kau lengkapi keteranganku kepada sumoi-mu. Nah, Kui Siang. Setiap manusia dilahirkan dan kemudian mengalami kematian. Kelahiran dan kematian setiap orang berada di tangan Tuhan, telah dikehendaki oleh Tuhan! Tentu saja, seperti juga segala peristiwa di dunia ini, kelahiran dan kematian pun ada penyebabnya yang hanya menjadi jalan atau lantaran saja. Tentu saja Tuhan tidak mengulurkan tangan seperti kita untuk mencabut nyawa seseorang, tetapi melalui suatu sebab. Ada kematian karena penyakit, ada kematian karena bencana alam, ada pula kematian karena bunuh membunuh, baik dalam perang atau pun dalam perkelahian. Kita harus menghadapi setiap kematian sebagai satu hal yang wajar, sebagai bukti bahwa hidup di dunia ini tidak abadi, dan bukti bahwa Tuhan Maha Kuasa dan tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang akan mampu menghindarkan kita dari kematian apa bila Tuhan sudah menghendakinya. Sebaliknya, tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang dapat membunuh kita apa bila Tuhan tidak menghendaki kita mati! Nah, kalau kematian itu ditentukan oleh Tuhan, maka setiap kematian, kalau ditanya pembunuhnya, maka pembunuhnya adalah Tuhan! Kalau kita hendak mendendam, maka kepada Tuhanlah dendam itu ditujukan dan itu merupakan dosa yang teramat besar!"

"Tapi, suhu! Yang melakukan pembunuhan adalah manusia lain, walau pun kematian itu di tangan Tuhan!" bantah Kui Siang, "Kalau ada orang membunuh orang lain yang tidak berdosa, maka si pembunuh itulah yang bertanggung jawab dan dia harus dihukum!"

"Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Dan kau bicara tentang hukum. Setiap dosa tidak akan dapat bebas dari hukuman Tuhan, dan ada pula hukuman manusia, yaitu hukum yang diadakan oleh negara, oleh masyarakat, oleh agama. Tetapi membalas dendam tidak termasuk di dalam hukum apa pun, kecuali hukum nafsu setan, hukum kebencian, Andai kata kedua orang gurumu ini mati karena suatu penyakit, karena kuman, apakah engkau juga akan membalas dendam kepada kuman, kepada penyakit? Andai kata kedua orang gurumu ini mati karena banjir, apakah engkau juga akan mendendam kepada air? Kalau mati karena terbakar, apakah engkau akan mendendam kepada api? Dan masih banyak lagi penyebab kematian yang banyak menjadi lantaran saja."

Kui Siang tertegun sehingga sejenak dia bengong saja. Dia merasa bulu-bulu tengkuknya meremang, melihat kenyataan yang sama sekali tak pernah dipikirkan sebelumnya.

"Tapi... tapi... bila dua orang suhu dibunuh orang jahat, apakah teecu harus mendiamkan saja orang jahat itu membunuh dua orang suhuku? Apakah teecu harus mendiamkan pula penjahat itu merajalela menyebar maut, membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?"

"Sumoi, bukan begitu maksud suhu. Tentu saja kita harus menentang setiap perbuatan jahat. Kalau kebetulan kita melihat penjahat yang sudah membunuh dua orang guru kita, atau membunuh siapa pun juga, atau penjahat lain yang mana pun juga, kalau kita melihat dia melakukan kejahatan, sudah menjadi kewajiban kita untuk mencegah perbuatan jahat itu dilakukan. Akan tetapi kita hanya menentang dan memberantas kejahatan berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, bukan demi membalas dendam karena kebencian atau sakit hati."

Kui Siang mengangguk-angguk. Setelah mendengarkan penjelasan suheng-nya tadi, baru sekarang dia teringat akan ajaran-ajaran dari kedua orang gurunya yang kini sudah rebah telentang tanpa nyawa itu.

"Nah, engkau mulai mengerti agaknya, Kui Siang. Kita harus mengetahui bahwa budi dan dendam, kedua-duanya merupakan belenggu pengikat kita kepada hukum karma. Hukum karma merupakan mata rantai yang tiada berkeputusan selama kita terikat oleh belenggu tadi.”

"Suhu, mohon dijelaskan tentang karma."

"Hukum karma adalah hukum sebab akibat, Kui Siang. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan akibat itu dapat menjadi sebab baru lagi sehingga mata rantai itu menjadi sambung menyambung tiada berkeputusan. Sama halnya jika engkau menendang sebuah batu dari puncak bukit, batu itu menjadi sebab tergelincirnya batu ke dua. Akibat ini menjadi sebab lain lagi karena batu ke dua menimpa batu ke tiga dari selanjutnya."

"Kalau begitu kita tidak berdaya, suhu. Kita menjadi permainan karma, menjadi permainan hukum sebab dan akibat."

"Jika kita membiarkan diri terikat, memang demikian, Kui Siang. Akan tetapi Tuhan Maha Kasih kepada kita. Tuhan sudah memberi alat yang serba lengkap kepada kita manusia, yaitu dengan nafsu-nafsu untuk mempertahankan hidup, dengan hati dan akal pikiran, juga menyertakan pula kesadaran jiwa. Kekuasaan Tuhan akan membimbing kita, Kui Siang, menyadarkan kita sehingga kita bisa mematahkan ikatan belenggu sebab akibat dan tidak terseret oleh berputarnya roda karma."

"Mohon penjelasan, suhu, berilah contohnya."

"Sin Wan, aku ingin mendengar apakah engkau sudah mengerti benar. Coba engkau saja yang menerangkan kepada sumoi-mu."

“Baik, suhu. Akan tetapi bila ada kekeliruan harap suhu suka membetulkan dan memberi penjelasan. Sebelumnya teecu harap suhu suka memberi tahu, bagaimana kedua orang suhu ini sampai tewas agar dapat teecu gunakan sebagai contoh tentang ikatan belenggu karma."

Dewa Arak menarik napas panjang. "Pada waktu kalian turun dari lembah tadi, dan kami bertiga sedang duduk di luar pondok menikmati cahaya matahari pagi, muncullah Bi-coa Sian-li Cu Sui In bersama seorang gadis yang disebutnya sumoi."

"Siapakah Bi-coa Sian-li Cu Sui In itu?” Kui Siang bertanya.

"Sumoi, dia adalah seorang tokoh kang-ouw wanita yang pada sepuluh tahun yang silam pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana dari tangan guru-guru kita," kata Sin Wan yang masih ingat kepada wanita galak itu, juga ingat kepada anak perempuan yang ketika itu mengaku sebagai murid Dewi Ular Cantik.

"Sepuluh tahun yang silam wanita itu gagal merampas pusaka dari kami, dan kekalahan sepuluh tahun yang lalu itu membuat dia menaruh dendam. Dia datang mencari kami dan menantang kami untuk bertanding satu lawan satu untuk menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja kami tidak menanggapi, akan tetapi dia memaksa dan akan membunuh kami apa bila kami tak mau menyambut tantangannya. Tentu saja kami tidak mau dibunuh begitu saja sehingga mati konyol. Maka Kiam-sian kemudian menyambut tantangannya."

"Tapi Louw-suhu (guru Louw) sudah mengatakan tidak akan bertanding lagi, dan beliau telah menyerahkan Jit-kong-kiam kepada teecu dan Pedang Tumpul kepada suheng!" seru Kui Siang, lalu dia menoleh dan memandang ke arah wajah jenazah Kiam-sian Louw Sun.

Dewa Arak tersenyum. "Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, setiap benda yang berbentuk pedang dapat saja menjadi senjata pengganti pedang. Dia melawan Dewi Ular itu dengan sebatang ranting pohon."

"Ahhh...! Dan Louw-suhu melawannya dengan ranting, sedangkan lawan mempergunakan pedang pusaka?” teriak Kui Siang.

"Bukan hanya karena itu. Akan tetapi memang harus kami akui bahwa ilmu kepandaian Dewi Ular Cantik tidak dapat disamakan dengan tingkatnya sepuluh tahun yang lalu. Dia lihai bukan main dan akhirnya, sesudah melalui pertandingan yang seru dan hebat, guru kalian Kiam-sian Louw Sun tewas di tangan Dewi Ular Cantik."

Wajah Kui Siang menjadi merah, akan tetapi dia masih menahan kemarahannya. "Apakah Thio-suhu (guru Thio) juga tewas oleh iblis betina itu, suhu?”

Dewa Arak mengangguk. "Setelah Dewa Pedang roboh. Dewa Rambut Putih lantas maju melawan Dewi Ular Cantik. Pertandingan antara mereka lebih seru dan sebenarnya Dewi Ular telah kehabisan tenaga. Akan tetapi dia memang lihai dan mempunyai banyak siasat. Akhirnya, dengan memakai rambutnya sebagai senjata. Dewi Ular berhasil merobohkan dan menewaskan Dewa Rambut Putih walau pun dia sendiri terkena tendangan Pek-mau-sian dan menderita luka dalam yang cukup parah. Dalam keadaan terluka dia dan sumoi-nya lalu pergi."

"Iblis betina keparat!" Kui Siang bangkit lagi kemarahannya yang sejak tadi ditahannya.

"Hemm, mau apa engkau, Kui Siang?!" bentak Dewa Arak, sekali ini tidak tertawa lagi.

Kui Siang sadar, lalu membalik dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya sambil menangis. "Suhu, ampunkan teecu...“ katanya di antara isaknya.

"Suhu, Maafkan sumoi," kata Sin Wan. "Teecu sendiri juga merasa panas di hati. Suhu. Teecu dan sumoi hanyalah manusia-manusia biasa yang tidak mungkin dapat begitu saja membebaskan diri dari pada nafsu perasaan. Teecu berdua amat menyayang Louw-suhu dan Thio-suhu, tentu hati ini sakit sekali mendengar ada orang membunuh mereka. Teecu sendiri mengerti bahwa perasaan ini hanya permainan nafsu dan tidak benar kalau teecu menurutkannya, akan tetapi mungkin sumoi belum mengerti benar."

"Heh-heh-heh, karena itu kau jelaskan padanya tentang karma tadi, Sin Wan."

"Begini sumoi. Jika kita mau menelusuri secara teliti, maka kematian dua orang guru kita yang tercinta hanya merupakan akibat dari pada sebab-sebab yang lalu. Bila kita telusuri, maka sebab-sebab itu kait-mengait seperti mata rantai. Mereka tewas sebagai akibat dari pembalasan dendam Dewi Ular Cantik yang pernah mereka kalahkan dalam perkelahian pertama. Perkelahian pertama itu menjadi sebab perkelahian ke dua ini. Dan perkelahian pertama itu pun adalah akibat dari sebab yang lain, yaitu karena guru-guru kita bertugas merampas kembali pusaka dari istana. Tugas itu pun ada sebabnya, yaitu karena guru-guru kita adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang dimintai tolong oleh kaisar dan ketua perkumpulan persilatan. Nah, bila ditelusuri terus, maka sebab-sebab yang menjadi mata rantai itu tidak akan ada habisnya, sumoi."

"Ha-ha-ha-ha, mungkin yang menjadi sebab pertama adalah karena... dahulu kami bertiga dilahirkan di dunia ini! Kalau kami tidak dilahirkan, mana mungkin akan terjadi semua itu? Ha-ha-ha!"

"Demikianlah, sumoi. Sebab akibat yang disebut karma ini merupakan mata rantai yang tiada putusnya, dan masih akan berkepanjangan kalau kita tidak menghentikannya agar mata rantai itu putus. Contohnya begini. Kematian kedua orang guru kita menjadi akibat yang dapat menjadi sebab lain, yaitu apa bila kita menaruh dendam sakit hati. Mungkin kita lantas mencari Dew Ular Cantik dan kita berusaha membunuhnya untuk membalas dendam atas kematian kedua orang guru kita. Katakanlah kita berhasil sehingga dia mati di tangan kita, mata rantai itu tidak akan habis. Mungkin ada saudaranya, gurunya, atau muridnya yang merasa sakit hati dan mendendam kemudian mencari kita untuk menuntut balas, demikian seterusnya."

"He-he-heh, kemudian muridnya atau anaknya saling mendendam dan saling membalas, saling bermusuhan, maka timbullah perang! Nafsu itu seperti api, bila dibiarkan merajalela maka dari sepercik bunga api dapat menjadi lautan api yang membakar dunia ha-ha-ha!"

"Begitulah, sumoi. Walau pun hati kita panas, namun pengertian ini harus kita laksanakan di dalam kehidupan. Kita hentikan rangkaian karma ini sampai di sini saja. Kita patahkan mata rantai ini supaya kita tidak terikat belenggu karma. Tidak seharusnya kita menaruh dendam kebencian kepada Dewi Ular Cantik."

"Aku mengerti, suheng," kata Kui Siang dan kini suaranya terdengar tenang. "Akan tetapi apakah kita harus mendiamkan saja orang-orang jahat dan kejam seperti Dewi Ular Cantik itu berkeliaran begitu saja menyebar maut di antara orang-orang yang tidak berdosa? Kita berpeluk tangan begitu saja?”

"Ha-ha-ha-ha, anak manis. Tentu saja tidak! Kalau kalian diam saja, lalu untuk apa kalian menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari Ilmu dari Sam Sian? Kalian harus turun tangan menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang benar dan yang lemah tertindas, menentang yang jahat dan yang lalim. Akan tetapi ingat. yang kalian tentang bukanlah pribadinya, melainkan perbuatannya. Kalian menentang orang jahat berdasarkan jiwa pendekar, bukan karena sakit hati, bukan karena dendam, dan sama sekali bukan karena membenci seseorang. Perbuatan yang berdasarkan kebencian adalah perbuatan yang terdorong oleh nafsu, dan semua perbuatan yang terdorong oleh nafsu tentu akan menjadi mata rantai hukum karma."

"Terima kasih, suhu, teecu mulai mengerti. Teecu juga masih ingat akan semua ajaran budi pekerti yang pernah teecu terima dari mendiang Louw-suhu dan Thio-suhu. Teecu harus menjadi seorang pendekar yang selalu mengambil jalan benar, taat kepada perintah Tuhan yang diperuntukkan manusia lewat agama dan ajaran-ajaran para budiman, teecu harus berperikemanusiaan, harus menjunjung keadilan, menolong sesamanya, berpribudi baik dan hidup rukun dan saling bantu, harus..."

"Kui Siang, dan kau juga Sin Wan. Segala ajaran memang baik, akan tetapi kalian ingat baik-baik. Pokok dari pada semua ajaran itu adalah bahwa kita harus. Ber-TUHAN! Ber- Tuhan bukan hanya di mulut, melainkan ber-Tuhan dengan seluruh jiwa raga, tercermin di dalam hati akal pikiran, dalam kata-kata dan dalam perbuatan. Ber-Tuhan bukan berarti munafik, melainkan kita menyembah dan berbakti kepada Tuhan setiap saat, setiap detik ingat kepada Tuhan sehingga segala apa yang kita pikir, kita katakan, kita lakukan selalu dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih. Orang yang ber-Tuhan, benar-benar ber-Tuhan, sudah pasti dia itu berperikemanusiaan, sudah pasti dia itu adil dan berpribudi baik, tolong-menolong dan hidup rukun dengan sesama, sudah pasti dia itu tidak kejam. Pendeknya, orang yang ber-Tuhan sudah pasti hatinya bersih dan baik! Sebaliknya, orang yang berbuat baik, yang mengaku berperikemanusiaan, mengaku adil, belum tentu dia itu ber-Tuhan. Bila demikian keadaannya, maka semua kebaikannya itu berdasarkan nafsu, semua kebaikannya itu munafik dan palsu, karena tentu didasari pamrih demi keuntungan dan kepentingan diri pribadi! Tapi orang yang ber-Tuhan akan melakukan segala sesuatu demi baktinya terhadap Tuhan, sebagai dharma sehingga semua perbuatannya itu tanpa dikotori pamrih demi keuntungan diri pribadi. Mengertikah kalian?"

"Teecu mengerti, suhu," kata Sin Wan.

Kui Siang hanya mengangguk karena pengertiannya belum mendalam, bahkan dia masih agak bingung. Sejak kecil dia telah banyak menderita, yaitu semenjak dia berusia sepuluh tahun. Ayahnya dibunuh penjahat yang mencuri pusaka istana, tak lama kemudian ibunya meninggal pula karena duka dan jatuh sakit. Para paman dan bibinya adalah orang-orang yang berambisi untuk mengambil bagian dari harta warisan orang tuanya. Sejak kecil dia sudah banyak menderita dan kecewa.

Dan kini, sesudah selama sepuluh tahun hidup bersama tiga orang gurunya, menyayangi mereka seperti orang tua sendiri, dua di antara tiga orang gurunya kembali dibunuh orang! Dan kalau dia menderita sakit hati dan mendendam, hal itu tidaklah benar! Terjadi perang dalam batinnya yang membuat dia merasa ragu dan bingung.

Tiba-tiba Dewa Arak tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sudah cukup kita berbicara seperti pendeta-pendeta tua perenung! Kita harus membuat persiapan. Kita kubur jenazah Kiam-sian dan Pek-mau-sian di lembah ini, kemudian kalian ikut dengan aku pergi meninggalkan Pek-in-kok."

"Meninggalkan Pek-in-kok? Kita akan pergi ke mana suhu?" tanya Sin Wan yang merasa heran.

"Kita pergi ke tempat lain yang tidak diketahui orang, supaya Dewi Ular Cantik tidak akan dapat menemukan kita."

"Tapi, suhu!" Kui Siang berkata dengan penasaran sekali. "Mengapa kita harus melarikan diri dari iblis betina itu? Memang kita tidak perlu mendendam kepadanya, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita takut padanya sehingga kita harus lari dan menyembunyikan diri!"

Sekali ini Sin Wan juga berpihak sumoi-nya. Walau pun dia tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya terhadap Dewa Arak juga menuntut penjelasan.

"Heh-heh, kau kira aku takut menghadapi Dewi Ular Cantik? Sama sekali tidak takut, juga aku tidak suka melihat kalian takut kepadanya atau kepada siapa pun juga. Rasa takut kita harus kita tujukan hanya kepada Tuhan saja, takut kalau sampai kita terseret nafsu melakukan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Tuhan! Tidak, aku mengajak kalian pergi dari sini supaya kalian dapat melatih ilmu kami secara tekun dan tenang tanpa ada gangguan selama satu tahun. Setelah kalian menguasai Sam-sian Sin ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), baru hatiku tenteram dan kalian boleh turun gunung."

"Sam-sian Sin-ciang?" tanya Kui Siang. "Teecu belum pernah mendengarnya dari suhu bertiga."

"Itulah hasil ketekunanku selama beberapa tahun ini. Sayang sekali Kiam-sian dan Pek-mau-sian sudah terlalu malas untuk mempelajari dan melatih ilmu ini. Andai kata mereka mengusainya, bagaimana mungkin Dewi Ular Cantik mampu mengalahkan mereka!"

Dewa Arak bersama dua orang muridnya lalu mengubur dua jenazah itu di Lembah Awan Putih, kemudian menyembahyangi dua makam itu dengan hormat walau pun sederhana.

Setelah tiga hari jenazah itu dikuburkan, pada hari ke empat mereka meninggalkan Pek-in-kok, menuju ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh Dewa Arak sendiri. Di situ dia menggembleng dua orang muridnya, mengajarkan ilmu baru yang selama bertahun-tahun disusunnya dari inti sari ilmu Tiga Dewa.

Dalam Sam-sian Sin-ciang ini termasuk unsur-unsur dari llmunya sendiri seperti Ciu-sian Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak), Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan Hui-nio Poan-soan (Langkah Berputaran Burung Terbang). Dari ilmu silat milik Kiam-sian dia mengambil inti sari dari Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Cahaya Matahari) serta ilmu menotok jalan darah Kiam-ci (Jari Pedang), dan dari Pek-mau-sian dia mengambil inti sari Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih) dan Sin-siauw Kun-hoat (Silat Suling Sakti).

Dari semua ilmu ini yang sudah diambil inti sarinya, dia menciptakan Sam-sian Sin-ciang dan ilmu inilah yang dia ajarkan kepada Sin Wan dan Kui Siang. Kalau yang mempelajari ilmu Sam-sian Sin-ciang ini orang lain, betapa pun pandainya dia, tentu akan memerlukan waktu bertahun-tahun saking sulitnya. Tetapi karena dua orang muda itu sudah mengenal semua ilmu yang digabungkan menjadi ilmu silat sakti itu, tentu saja mereka lebih mudah mempelajarinya dan dalam waktu setahun, setelah berlatih dengan tekun, mereka dapat menguasai ilmu itu dengan sebaiknya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Harus diakui oleh sejarah bahwa semenjak kekuasaan penjajah Mongol dienyahkan oleh pasukan rakyat yang dipimpin pemuda petani Cu Goan Ciang yang kemudian mendirikan Dinasti Beng dan menjadi Kaisar Thai-cu, Tiongkok dapat dipersatukan kembali. Di bawah pimpinan Jenderal Shu Ta, tangan kanan Kaisar Thai-cu, sisa-sisa pasukan Mongol yang masih berada di wilayah Cina berhasil dipukul mundur sampai mereka kembali ke tempat asal mereka di utara, yaitu daerah Mongol.

Setelah sampai di daerahnya sendiri barulah orang-orang Mongol dapat mempertahankan diri. Daerah yang sangat keras dan sukar itu menyulitkan pasukan yang dipimpin Jenderat Shu Ta sehingga dia hanya dapat membersihkan daerah kekuasaannya dari orang-orang Mongol, namun tidak mampu menumpas Bangsa Mongol di daerah mereka sendiri.

Biar pun berasal dari keluarga petani, akan tetapi sesudah menjadi kaisar ternyata Kaisar Thai-cu mempunyai kemampuan memimpin yang mengagumkan. Hal ini karena dia amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang yang ahli dalam bidang masing-masing dan menghargai para cerdik pandai sehingga dengan bantuan orang-orang yang ahli, dia pun mampu mengendalikan pemerintahan dengan baik.

Kedudukan kaisar ini sangat kuat karena dia adalah orang yang telah mampu dan berhasil meruntuhkan kekuasaan penjajah Mongol sehingga sudah mengembalikan harga diri dan kedaulatan bangsa. Jasa ini saja sudah membuat dia dikagumi dan dihormati oleh seluruh rakyat, tidak peduli dari golongan mau pun suku bangsa apa saja, karena bukankah dia yang sudah membebaskan rakyat semua suku dan golongan itu dari penindasan penjajah Mongol?

Juga Kaisar Thai-cu yang dahulunya bernama Cu Goan Ciang ini memanfaatkan akar dari pohon pemerintahannya, yaitu bala tentara dan rakyat jelata. Ia merangkul keduanya. Dia menghargai jasa bala tentaranya, menjamin kehidupan keluarga mereka, menambah daya kekuatan mereka dengan menggembleng seluruh prajurit dengan ilmu-ilmu perang, tidak pelit membagi-bagi hadiah, dan pandai menghargai jasa setiap orang prajurit. Juga kaisar ini merangkul rakyat, memperhatikan kehidupan rakyat jelata, menyuburkan perdagangan dengan membuka pintu selebar-lebarnya.

Dia membangkitkan semangat membangun dalam segala bidang karena semangat rakyat harus disalurkan dan penyaluran yang paling sehat dan menguntungkan bangsa hanyalah semangat membangun! Di samping itu, Kaisar Thai-cu juga mempergunakan tangan besi untuk menertibkan keamanan, menjaga ketenteraman kehidupan rakyat serta menumpas semua golongan yang sifatnya hanya menjadi perusak dan penghalang pembangunan.

Pada masa itu, gangguan yang terbesar bagi kerajaan baru Beng-tiauw adalah rongrongan dari orang-orang Mongol yang tentu saja masih merasa penasaran dan ingin menegakkan kembali kekuasaan mereka yang telah hancur. Mereka melakukan gangguan di sepanjang perbatasan barat dan utara.

Di samping gangguan dari orang-orang Mongol ini, yang tidak segan-segan menggunakan segala daya untuk bersekutu dan membujuk pejabat-pejabat daerah untuk memberontak, juga pemerintah sedang menghadapi rongrongan dari para bajak laut yang merajalela di lautan timur. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Jepang yang terkenal sebagai bajak laut yang tangguh.

Karena sukar sekali untuk membasmi bajak laut ini yang mempunyai daerah pelarian yang sangat luas di lautan apa bila dikejar, maka Kaisar Thai-cu bersama para penasehatnya memberikan perhatian yang serius terhadap keadaan rakyat di pantai-pantai yang menjadi sasaran para bajak laut. Para penduduk pantai itu ditampung dan dlpindahkan ke daerah pedalaman sehingga menyulitkan para bajak laut untuk mengganggu mereka.

Demikianlah, di bawah pimpinan Kaisar Thai-cu yang bijaksana, tentu saja sebagian besar rakyat mendukungnya dan Kerajaan Beng (Terang) menjadi benar-benar gemilang. Tetapi di dunia yang dwimuka ini tentu saja tidak ada yang sempurna. Demikian pula dengan keberhasilan yang dicapai Kaisar Thal-cu. Ada saja golongan yang merasa tidak puas.

Mereka ini sebagian besar adalah mereka yang di waktu pemerintahan penjajah berhasil menduduki pangkat yang tinggi dan kehidupan yang mewah dan mulia. Setelah Kerajaan Goan-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mongol runtuh, maka runtuh pula kedudukan mereka, bahkan banyak juga di antara mereka yang menjadi korban perang, sebagai pihak yang membela kerajaan penjajah yang kalah.

Ada pula golongan yang tidak puas kerena merasa tidak mendapatkan bagian dari hasil kemenangan pemerintah Beng-tiauw. Ada pula golongan hitam dan kalangan sesat yang merasa tersudut karena pemerintah menggunakan tangan besi menentang kejahatan dan memberi hukuman berat kepada para pengacau. Ada pula pejabat daerah yang merasa bahwa jasanya lebih besar dari pada kedudukan yang mereka peroleh sehingga mereka ini condong untuk merasa tak puas dan mudah dihasut golongan yang tidak suka kepada pemerintah baru.

Golongan-golongan itu adalah orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan negara dan bangsa, yang mudah saja dibujuk oleh orang-orang Mongol untuk mengadakan persekutuan! Akan tetapi golongan rakyat yang menentang pemerintahan ini diimbangi pula dengan golongan para pendekar yang mendukung pemerintah...!