Si Pedang Tumpul Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SIKAP dan ucapan anak perempuan itu bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api bernyala. Sin Wan marah bukan main. Dia malah dimaki-maki oleh anak yang mencuri pakaiannya! Aturan apa macam ini?

"Nona sungguh tak tahu diri!" katanya, biar pun marah tapi masih menjaga kata-katanya. “Nona sudah mencuri pakaianku, sedangkan selama hidupku, aku tidak pernah bertemu denganmu, tidak pernah mengganggumu. Sekarang dengan hormat aku minta pakaianku yang nona curi agar dikembalikan, mengapa nona malah memaki-maki aku?!"

"Siapa bilang engkau tidak mengganggu kami? Guruku dan aku sedang enak-enak mandi di situ," ia menuding ke sebelah hilir, "dan engkau mengotori air dengan mandi di sebelah atas! Setan kurang ajar, sepatutnya engkau dihajar. Akan tetapi cukup engkau minta maaf kepada kami dan kehilangan pakaian ini!" Anak perempuan itu lalu merobek-robek semua pakaian Sin Wan yang berada di tangannya!

Saking marahnya Sin Wan sampai tidak menyadari bahwa sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali bagi seorang anak perempuan dapat merobek-robek pakaiannya seolah-olah pakaian itu terbuat dari pada kertas saja! Dia terlalu marah untuk menyadari hal itu.

"Engkau sungguh tak tahu aturan!" bentaknya. "Andai kata benar tuduhanmu tadi bahwa aku mandi di sebelah hulu sehingga membuat air menjadi keruh, hal itu kulakukan tanpa kusadari. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ada orang sedang mandi di hilir. Dan engkau sekarang malah merobek-robek pakaianku. Sungguh engkau kurang ajar. Kalau tak ingat bahwa engkau ini anak perempuan, tentu hemmm…"

Anak perempuan itu segera melangkah maju sampai berdiri dekat sekali di hadapan Sin Wan, hanya dalam jarak kurang dari satu meter. “Hemmm apa? Hemmm apa? Hayo katakan, mau apa kau?"

"Kalau bukan anak perempuan. tentu kupukul kau agar tahu aturan!" Sin Wan terpaksa melanjutkan ancamannya karena dia pun merasa penasaran dan marah sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang anak perempuan senakal dan segalak ini!”

"Apa? Kamu? Mau memukul aku? Pukullah... hayo pukullah...!" anak perempuan itu maju lagi sehingga dadanya membentur dada Sin Wan dan dua tangannya bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.

"Aku bukan seorang pengecut yang suka memukul anak perempuan cengeng" Sin Wan menghardik.

Anak perempuan itu menjadi semakin marah. Kedua matanya yang lebar itu terbelalak, hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kuda marah. "Kau bilang aku cengeng? Setan iblis jahanam keparat kamu, ya? Hayo pukul, kalau kau tidak mau pukul, aku yang akan memukulmu!"

Akan tetapi Sin Wan tidak peduli lagi dan melangkah mundur untuk pergi saja dari situ, tidak mau melayani anak perempuan yang galaknya melebih ayam bertelur itu. Melihat dia tidak mau memukul dan malah mundur, anak perempuan itu menjadi semakin marah.

"Kalau kau tidak mau memukul, kau lihat pukulanku ini…!" Dia pun menerjang maju dan tangan kanannya memukul ke arah dada Sin Wan, juga kakinya bergerak menyambar dari pinggir, menyapu kedua kaki Sin Wan.

Tadinya Sin Wan menganggap bahwa pukulan seorang anak perempuan tentu tidak ada artinya. Apa lagi tubuhnya kebal dan sudah terlatih. Bahkan diam-diam dia ingin membuat anak perempuan itu menderita karena kegalakannya. Ia pun mengeraskan dadanya yang terpukul untuk menyambut pukulan dan membuat tangan yang memukul itu kesakitan.

"Dukkk...! Bressss...!"

Sin Wan terpelanting dan terjengkang! Terpelanting karena sepasang kakinya disapu dari pinggir oleh sebuah kaki kecil yang sangat kuat, dan pukulan pada dadanya membuat dia terjengkang! Pukulan itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali dan biar pun dia tidak terluka dan juga tidak menderita nyeri terlalu hebat, namun dia terjengkang sampai terguling-guling!

Dia meloncat bangkit kembali dan melihat betapa orang yang dipukulnya tidak menderita apa-apa, bahkan mampu bangkit dengan cepat. Anak perernpuan itu merasa penasaran, segera meloncat memberi serangan yang lebih hebat lagi. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mengandung tenaga sehingga tiap kali digerakkan, terdengar suara angin.

Tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang anak perempuan yang sama sekali tidak lemah, bahkan pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang kuat. Maka, begitu melihat anak perempuan itu menerjangnya, dia pun cepat mengelak dan menangkis. Tangkisannya yang disertai tenaga membuat lengan anak perempuan itu terpental dan hal ini membuatnya semakin galak dan ganas lagi. Serangan datang bertubi-tubi, bahkan kini kakinya juga ikut menyambar-nyambar.

Sin Wan sama sekali tidak ingin membalas, karena dia tetap berpendapat bahwa amat memalukan bagi seorang anak laki-laki untuk memukul perempuan. Biar pun dia terdesak, dia hanya menangkis dan mengelak saja. Akan tetapi anak perempuan itu ternyata bukan hanya mengerti sedikit ilmu silat. Sama sekali tidak! Bahkan andai kata dia melawan dan membalas dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia mampu memperoleh kemenangan dengan mudah! Anak ini sudah mendapat gemblengan dari seorang yang sakti, mungkin seperti mendiang Se Jit Kong saktinya!

"Desss...!" Kembali dia terjengkang ketika sebuah tendangan yang tidak disangka-sangka memasuki pertahanannya dan menghantam perut yang untung dapat dia keraskan sehingga tidak sampai terluka.

Ketika dia meloncat bangkit kembali, dia melihat anak perempuan itu membuat gerakan dengan kedua tangan, mirip gerakan menghimpun sinkang seperti yang pernah dilatihnya, yaitu ‘Menyambut Api Dari Langit’, akan tetapi ketika turun, lanjutannya berbeda. Kedua tangan anak itu melengkung ke kanan kiri, kemudian ketika kedua tangan itu membuat gerakan mendorong terdengar suara yang seperti ular mendesis. Kedua tangan itu seperti kepala dua ekor ular menghantam ke arah dadanya. Sin Wan cepat mengumpulkan tenaga sinkang dari pusarnya, lantas menyambut pukulan yang dia tahu merupakan pukulan berbahaya itu dengan kedua tangannya sendiri.

"Desss...!" Kini tubuh anak perempuan itu yang terpental dan terhuyung, bahkan ia tentu akan roboh kalau saja lengannya tidak disambar oleh wanita cantik yang menjadi gurunya.

"Kau tidak apa-apa?" Wanita cantik itu bertanya sambil meraba dada muridnya. Ailsnya berkerut ketika dia merasakan ada suatu ketidak wajaran pada muridnya.

"Subo, tangannya panas sekali...!" kata anak perempuan itu yang segera duduk bersila untuk mengatur nafas!

Wanita itu memandang kepada Sin wan dan melihat betapa kedua tangan anak laki-laki itu masih mengeluarkan uap tipis. Sekali tubuhnya bergerak, wanita itu telah meloncat dan berada di hadapan Sin Wan, membuat anak ini terkejut sekali. Gerakan wanita itu seperti menghilang saja!

"Katakan, apa hubunganmu dengan Iblis Tangan Api?!" wanita itu sekarang membentak, suaranya tetap halus namun mendesis seperti ular, dan dingin seperti salju, dan ketika Sin Wan memandang, sepasang mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng.

"Tidak ada hubungan apa-apa," jawabnya singkat dan dia segera memutar tubuh hendak pergi dari tempat itu.

"Tunggu! Engkau tidak boleh pergi begitu saja setelah memukul muridku."

Sin Wan menghadapi wanita itu dengan penasaran. "Bibi, aku sama sekali tidak pernah memukulnya."

"Hemm, coba kau pukul aku seperti gerakanmu tadi."

"Tapi aku tidak memukulnya, aku hanya menangkis pukulannya!" Sin Wan memprotes.

"Kalau begitu, kau tangkislah pukulanku ini!" Wanita itu lalu menggerakkan kedua tangan, cepat sekali seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, ke arah dada Sin Wan. Terpaksa, untuk menjaga diri, Sin Wan menyambut dengan dorongan kedua tangannya seperti tadi.

"Desss...!" Sekali ini tubuh Sin Wan yang terjengkang, bahkan terbanting keras sehingga dia merasa betapa dadanya terasa sesak dan sukar bernapas. Ketika bangkit duduk dia muntahkan darah segar dan merasa betapa dadanya nyeri.

Dengan terhuyung Sin Wan bangkit berdiri memandang kepada wanita itu dan bertanya, "Bibi, mengapa engkau memukulku? Apakah engkau akan membunuhku?" Pertanyaan itu mengandung keheranan dan penasaran, tapi sama sekali tidak membayangkan perasaan takut sedikit pun.

"Aku belum membunuhmu agar engkau dapat memberi tahu kepada Se Jit Kong bahwa aku akan membunuhnya!"

Mendengar bahwa wanita ini musuh Se Jit Kong, berkurang rasa tak senang dalam hati Sin Wan. "Bibi siapakah?”

"Katakan saja bahwa Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) yang memukulmu!"

Sin Wan lalu membalikkan tubuhnya dan dengan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dalam keadaan hampir telanjang, hanya memakai celana dalam yang pendek.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Tentu saja tiga orang kakek itu amat terkejut dan heran melihat murid mereka kembali ke situ dalam keadaan hampir telanjang, bahkan terluka dalam sehingga mukanya pucat dan bibirnya berlepotan darah.

"Siancai... apa yang terjadi padamu?" tanya Dewa Pedang, sedangkan Dewa Arak tanpa bicara lagi segera memeriksa tubuh muridnya.

Melihat betapa muridnya terluka dalam karena guncangan tenaga sinkang yang kuat, dia lalu menyuruh muridnya duduk bersila, dan dia pun bersila di depannya lalu menempelkan telapak tangan kirinya pada dada muridnya. Sementara itu Pek-mau-sian si Dewa Rambut Putih membantu dengan beberapa kali totokan serta tekanan pada punggung dan kedua pundak Sin Wan. Dalam waktu singkat saja kesehatan Sin Wan sudah pulih kembali.

“Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu," kata Dewa Pedang.

Sin Wan mengenakan pakaian yang diambilkan oleh Dewa Rambut Putih, kemudian dia menarik napas panjang dan menjawab, "Teecu sendiri masih merasa bingung dan heran, suhu. Ketika teecu mandi di anak sungai, ada seorang anak perempuan mencuri pakaian teecu, hanya meninggalkan sebuah celana pendek. Teecu lalu naik ke darat, mengenakan celana pendek itu dan mengejar anak perempuan yang mencuri pakaian itu. Ternyata dia seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang nakal dan lihai. Ia merobek-robek pakaian teecu dan menuduh teecu mengotorkan air karena mereka tadi mandi di sebelah hilir. Teecu tidak melihat mereka akibat terhalang oleh belokan sungai. Anak itu kemudian menantang, akan tetapi teecu tak mau melayani. Dia lalu menyerang bertubi-tubi sampai beberapa kali teecu jatuh. Ketika dia menyerang lagi dengan pukulan yang mengandung sinkang, teecu terpaksa menangkis sehingga dia pun terhuyung. Lalu gurunya memukul teecu..."

"Hemm, sungguh sewenang-wenang memukul anak kecil. Siapa gurunya itu?" Dewa Arak bertanya dengan alis berkerut.

“Akulah yang memukulnya. Kalian mau apa?”

Mendengar suara merdu itu, tiga orang pertapa segera memutar tubuh dan memandang. Mereka tertegun, sama sekali tidak menyangka bahwa guru anak perempuan seperti yang diceritakan oleh Sin Wan tadi ternyata adalah seorang gadis cantik yang nampaknya baru berusia dua puluh tahun walau pun sikapnya menunjukkan bahwa dia jauh lebih tua dari pada nampaknya. Seorang gadis yang berpakaian mewah seperti wanita bangsawan!

"Siancai...! Nona, kenapa engkau memukul seorang anak kecil yang tak berdosa?" Dewa Arak berseru.

"Pertama, karena dia mengotori air tempat kami mandi. Kedua, karena dia telah membuat muridku terhuyung hampir jatub. Ketiga, karena dia mempunyai ilmu pukulan Tangan Api! Mana Se Jit Kong? Apakah kalian anak-anak buahnya? Suruh dia keluar untuk menerima kematian!" Wanita itu berkata dengan suara galak.

Tiga orang pertapa itu saling pandang, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih tersenyum, akan tetapi Dewa Arak tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sungguh engkau memandang remeh kepada kami kalau menganggap kami anak buah Se Jit Kong! Anak ini memang pernah belajar ilmu dari Se Jit Kong, akan tetapi sekarang dia sudah menjadi murid kami dan Se Jit Kong telah meninggal dunia!"

Wanita cantik itu mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung panjang dan hitam itu. "Mati? Dia sudah mampus? Hemm... akan sia-sia sajakah perjalananku ini?"

Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang nyaring sekali, "Subo, pusaka-pusaka itu berada di dalam peti, di kereta ini!”

Semua orang langsung menoleh ke arah kereta! Sebuah kepala terjulur keluar dari tirai kereta, kepala anak perempuan yang dipanggil Li Li.

"Ihhh! Kiranya kalian sudah membunuhnya dan merampas pusaka-pusaka istana? Kalau begitu, serahkan nyawa dan pusaka!"

"Heiii, nona! Ketahuilah bahwa kami adalah utusan kaisar dan pusaka-pusaka itu sedang kami bawa kembali ke istana di kota raja!" Dewa Arak berteriak.

"Pusaka dan nyawa kalian harus diserahkan!" Wanita itu membentak dan tiba-tiba saja dia telah bergerak maju, jari tangannya meluncur dengan membentuk kepala ular menotok ke arah leher Dewa Arak.

"Haiii... ahhh, sungguh berbahaya dan galak!" Dewa Arak melempar tubuh ke belakang ketika melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Dari gerakan tangan itu saja dia tahu bahwa lawannya ini, meski pun masih muda namun ganas dan lihai sekali.

Dugaannya benar. Begitu dia melempar tubuh ke belakang, wanita itu telah menerjangnya lagi dengan serangan susulan yang dahsyat. Gerakan kedua lengannya laksana dua ekor ular yang menyambar-nyambar, menimbulkan suara bercuitan.

Diam-diam Dewa Pedang terkejut sekali karena dia mengenal ilmu pukulan yang tak kalah hebatnya bila dibandingkan ilmu pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang dikuasainya. Dewa Arak juga tahu akan hal ini, dia pun kini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk menghadapi desakan itu dan balas menyerang.

Wanita itu pun kelihatan terkejut melihat betapa lawannya tidak seperti yang disangkanya semula. Meski pun perutnya gendut, lawannya mempunyai gerakan yang amat lincah dan ketika menangkis dia mendapat kenyataan bahwa orang itu pun mempunyai sinkang yang amat kuat!

Melihat masih ada dua orang lain yang berdiri di pinggir, dia lalu mendapat akal. Dia harus cepat-cepat merobohkan mereka yang paling lemah lebih dahulu karena kalau mereka itu keburu mengeroyoknya, mungkin dia akan kewalahan!

Tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyambar ke kiri, ke arah Dewa Rambut Putih. Begitu dia menggerakkan tangan kiri, tujuh batang jarum secara bertubi-tubi menyambar ke arah tiga orang kakek itu, dan yang dijadikan sasaran adalah dada dan tenggorokan, tempat-tempat yang paling lemah!

"Siancai...!" Dewa Rambut Putih berseru dan seperti dua orang rekannya, dia pun berhasil mengebut jarum-jarum itu sehingga runtuh.

Kembali wanita itu terkejut. Serangan jarumnya dapat diruntuhkan dengan mudahnya oleh tiga orang kakek itu! "Mampuslah!" Dia menubruk ke kiri, menyerang Dewa Rambut Putih dengan dahsyatnya, mulutnya mendesis dan dua tangannya yang membentuk kepala ular itu kini terbuka dan mencengkeram seperti ular-ular yang menggigit, ada pun kuku-kuku jari tangannya sudah berubah menghijau!

"Hemm, benar-benar ganas...!" Dewa Rambut Putih melompat ke belakang menghindar, kemudian kipas di tangan kirinya mengebut. Angin keras menyambar ke arah wanita itu yang menjadi gelagapan dan terkejut karena ia mendapat kenyataan betapa kakek rambut putih ini tidak kalah lihainya dibandingkan kakek perut gendut.

"Wirrrrr...!" Tiba-tiba saja tangannya merenggut ke kepalanya sendiri dan semua tusuk sanggul telah direnggut dan dimasukkan saku. Rambutnya yang panjang sampai ke pinggul itu terlepas, kemudian begitu dia menggerakkan kepalanya, gumpalan rambut hitam yang harum dan panjang itu segera menyambar ke arah Si Dewa Rambut Putih.

"Hebat...!" Kembali Pek-mau-sian Thio Ki berseru.

Kebutan kipasnya ternyata tidak mampu menangkis rambut yang terus meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia harus melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik lima kali baru berhasil terhindar dari sergapan rambut panjang.

Wanita itu marah bukan main. Wajahnya yang cantik kini berubah kemerahan, sepasang matanya mencorong, mulutnya mendesis-desis dan rambutnya riap-riapan. Meski pun dia masih sangat cantik, namun ada sesuatu yang menyeramkan karena dia seperti berubah menjadi iblis yang cantik, atau siluman ular yang cantik namun berbahaya sekali.

Wanita ini memang marah bukan kepalang, maka begitu tangannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang pedang dari balik bajunya. Pedang itu pun aneh, gagang dan batang pedangnya menjadi satu. Gagangnya berupa ekor ular yang melingkar tebal, sedangkan ujung pedangnya berbentuk kepala seekor ular yang menjulurkan lidahnya. Lidah itu amat runcing dan sisik-sisik ular itu tajam. Sebatang pedang mirip ular! Dengan pedang aneh ini dia menyerang ke arah Kiam-sian!

Tentu saja Dewa Pedang maklum akan kelihaian lawan. Dia pun sudah mencabut pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan menangkis sambaran pedang ular.

"Cringgg...!" Nampak banyak bunga api berpijar dan berhamburan. Keduanya terkejut dan memeriksa pedang masing-masing. Kiranya kedua pedang itu sama kuatnya dan tidak menjadi rusak.

Wanita itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia mengira bahwa di dunia ini tidak ada atau jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandinginya, maka dengan penuh keyakinan diri dia memastikan bahwa Iblis Tangan Api pasti akan tewas di tangannya, dan pusaka istana akan terjatuh ke tangannya.

Akan tetapi siapa sangka, kini bertemu dengan tiga orang pendeta ini, dia tidak sanggup mengalahkan seorang saja di antara mereka walau pun dia sudah mencoba menyerang dengan ilmu pukulan beracun yang ampuh, jarum-jarum beracun, rambutnya, dan bahkan pedangnya!

Dia lalu mengamuk dengan pedang dan rambutnya, dan sepak terjangnya memang amat menggiriskan. Kalau bukan Sam Sian yang diamuknya, tentu sudah jatuh korban di antara mereka. Tiga orang pendeta itu membela diri tetapi sengaja tidak mau merobohkan wanita itu, apa lagi membunuh atau melukainya.

Sementara itu Sin Wan sudah cepat lari menghampiri kereta ketika melihat betapa anak perempuan yang nakal dan galak itu sudah berada di kereta. Ketika subo-nya muncul tadi, agaknya kesempatan itu dipergunakan oleh si anak perempuan untuk menyusup ke atas kereta.

"Engkau pencuri kecil! Engkau hendak mencuri apa lagi di situ? Hayo cepat turun atau...”

"Atau apa, hah?" Anak perempuan itu kini membuka tirai kemudian berdiri di dalam kereta sambil bertolak pinggang dan memandang galak, "Atau apa? Kau mau apa kalau aku tak mau turun?"

Sin Wan memandang gemas. Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya. Anak ini sungguh keterlaluan sekali. Tetapi Sin Wan masih teringat bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Sungguh tak patut bila seorang anak laki-laki menyerang dan memukul anak perempuan. Bagaimana sikapnya andai kata anak itu adiknya yang nakal?

"Akan kuseret kau turun dari kereta dan kupukul pinggulmu lima kali biar kau tahu rasa!" Sin Wan mengancam, menganggap anak perempuan itu adik sendiri yang perlu dihajar. Pikiran ini menolong meredakan kemarahannya, karena kalau dia tidak menganggap anak perempuan itu adik sendiri, tentu akan timbul kemarahan yang melahirkan kebencian.

Akan tetapi jawaban itu malah membuat si anak perempuan membelalakkan mata saking kaget dan marahnya, "Apa...?! Kamu... kamu..., kurang ajar, berani hendak menyeretku dan memukuli pinggulku? Agaknya engkau telah bosan hidup, ya?!" teriaknya dan dia pun cepat meloncat turun, bukan sembarang meloncat melainkan meloncat sambil menerkam seperti seekor burung garuda yang menyerang seekor domba!

Sin Wan segera mengelak dan ketika tubuh anak itu lewat di sisinya, dia mencoba untuk menangkap lengan anak itu. Dia berhasil menangkap lengan kiri anak itu dengan tangan kanannya. Selagi dia hendak meringkusnya, tiba-tiba anak itu membalik tangan kanannya yang membentuk kepala ular dan meluncur ke arah matanya, lantas lengan yang sudah dipegangnya tadi, yang licin bagaikan ular, tahu-tahu sudah berhasil melepaskan diri dan mencengkeram ke arah lehernya! Sungguh merupakan serangan yang sangat hebat, biar pun dilakukan oleh dua tangan anak perempuan!

"Ihhh, kau ular kecil!" Sin Wan memaki sambil meloncat ke belakang. Memang gerakan kedua lengan anak itu mengingatkan dia akan gerakan ular.

Dimaki ular kecil, anak perempuan itu semakin marah. "Kuhajar kau, kubunuh kau!”

Dia lalu mengamuk, menyerang bertubi-tubi dan saking marahnya, serangannya banyak ngawur dan tidak menurut gerakan silat lagi, melainkan gerakan seorang perempuan yang marah, mencakar, mencengkeram, menampar dan menjambak!

Menghadapi anak perempuan yang mengamuk itu, Sin Wan menjadi kewalahan bahkan pipi kirinya sudah kena dicakar kuku jari tangan anak itu hingga lecet dan berdarah! Tetapi akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan anak itu. Anak itu meronta, kemudian menggigit lengan Sin Wan.

"Aduh!" Sin Wan merenggut lengannya lepas dan kulit lengannya juga lecet berdarah.

“Kau anak liar!" bentaknya dan berhasil menelikung kedua lengan anak itu ke belakang.

Ditariknya anak itu mendekati kereta. Dia lalu duduk di anak tangga kereta dan memaksa anak perempuan itu menelungkup melintang di atas pahanya, kemudian dengan tangan kanan memegang kedua pergelangan tangan anak itu sehingga tak mampu bergerak lagi, dia menggunakan telapak tangan kirinya untuk menampari pinggul yang menonjol ke atas itu.

"Engkau mencakar dan menggigit, hukumannya kutambah menjadi sepuluh kali pukulan!" Dan tangan Sin Wan berulang-ulang menampari pinggul anak perempuan itu.

"Plak...! Plak...! Plak...!"

Anak perempuan itu menjerit-jerit, bukan karena sakit pada pantatnya, akan tetapi sakit pada hatinya. Dia merasa dihina bukan main oleh anak laki-laki itu.

"Plak...! Plak...! Plak...!" Setelah sepuluh kali, baru Sin Wan menghentikan tamparannya. Telapak tangannya terasa panas setelah sepuluh kali menampar itu.

"Subo... tolong...!" Anak perempuan itu menjerit-jerit dan menangis!

"Hemm, engkau memang bersalah, pantas dihukum, kenapa harus menangis?" Sin Wan melepaskan anak itu dan memandang dengan hati mulai merasa kasihan. Bagaimana pun galaknya, dia hanya seorang anak perempuan kecil.

Dia mulai merasa malu atas perbuatannya sendiri, akan tetapi ketika melihat lengan dan pipinya berdarah, penyesalannya menghilang dan dia bahkan merasa geli melihat anak itu menggunakan kedua tangan mengusap-usap pinggulnya yang ditampari tadi.

Anak perempuan itu menoleh kepada subo-nya untuk minta bantuan. Namun dia langsung tertegun ketika melihat subo-nya terlempar dan jatuh terjengkang!

Wanita itu bangkit, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan mereka bertiga, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, kedua tangan mulai menyanggul rambutnya yang awut-awutan, tiada hentinya memandang kepada tiga orang itu dan bertanya,

"Siapakah kalian bertiga?” Suaranya tetap merdu tapi mengandung kemarahan tertahan.

Dewa Arak mewakili rekan-rekannya berkata, "Hemm, kepandaianmu hebat sekali, nona, akan tetapi sayang, engkau sungguh ganas dan kejam! Kami adalah tiga orang tua yang tak suka mencari permusuhan. Aku Si Tukang Mabuk, dia ini Si Tukang Pedang dan yang itu Si Rambut Putih!" Mereka bertiga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai dewa seperti yang dikatakan orang-orang kang-ouw untuk menghormati mereka, walau pun ada kalanya mereka saling menyebut dewa untuk mengejek kawannya...!

Si Pedang Tumpul Jilid 08

SIKAP dan ucapan anak perempuan itu bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api bernyala. Sin Wan marah bukan main. Dia malah dimaki-maki oleh anak yang mencuri pakaiannya! Aturan apa macam ini?

"Nona sungguh tak tahu diri!" katanya, biar pun marah tapi masih menjaga kata-katanya. “Nona sudah mencuri pakaianku, sedangkan selama hidupku, aku tidak pernah bertemu denganmu, tidak pernah mengganggumu. Sekarang dengan hormat aku minta pakaianku yang nona curi agar dikembalikan, mengapa nona malah memaki-maki aku?!"

"Siapa bilang engkau tidak mengganggu kami? Guruku dan aku sedang enak-enak mandi di situ," ia menuding ke sebelah hilir, "dan engkau mengotori air dengan mandi di sebelah atas! Setan kurang ajar, sepatutnya engkau dihajar. Akan tetapi cukup engkau minta maaf kepada kami dan kehilangan pakaian ini!" Anak perempuan itu lalu merobek-robek semua pakaian Sin Wan yang berada di tangannya!

Saking marahnya Sin Wan sampai tidak menyadari bahwa sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali bagi seorang anak perempuan dapat merobek-robek pakaiannya seolah-olah pakaian itu terbuat dari pada kertas saja! Dia terlalu marah untuk menyadari hal itu.

"Engkau sungguh tak tahu aturan!" bentaknya. "Andai kata benar tuduhanmu tadi bahwa aku mandi di sebelah hulu sehingga membuat air menjadi keruh, hal itu kulakukan tanpa kusadari. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ada orang sedang mandi di hilir. Dan engkau sekarang malah merobek-robek pakaianku. Sungguh engkau kurang ajar. Kalau tak ingat bahwa engkau ini anak perempuan, tentu hemmm…"

Anak perempuan itu segera melangkah maju sampai berdiri dekat sekali di hadapan Sin Wan, hanya dalam jarak kurang dari satu meter. “Hemmm apa? Hemmm apa? Hayo katakan, mau apa kau?"

"Kalau bukan anak perempuan. tentu kupukul kau agar tahu aturan!" Sin Wan terpaksa melanjutkan ancamannya karena dia pun merasa penasaran dan marah sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang anak perempuan senakal dan segalak ini!”

"Apa? Kamu? Mau memukul aku? Pukullah... hayo pukullah...!" anak perempuan itu maju lagi sehingga dadanya membentur dada Sin Wan dan dua tangannya bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.

"Aku bukan seorang pengecut yang suka memukul anak perempuan cengeng" Sin Wan menghardik.

Anak perempuan itu menjadi semakin marah. Kedua matanya yang lebar itu terbelalak, hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kuda marah. "Kau bilang aku cengeng? Setan iblis jahanam keparat kamu, ya? Hayo pukul, kalau kau tidak mau pukul, aku yang akan memukulmu!"

Akan tetapi Sin Wan tidak peduli lagi dan melangkah mundur untuk pergi saja dari situ, tidak mau melayani anak perempuan yang galaknya melebih ayam bertelur itu. Melihat dia tidak mau memukul dan malah mundur, anak perempuan itu menjadi semakin marah.

"Kalau kau tidak mau memukul, kau lihat pukulanku ini…!" Dia pun menerjang maju dan tangan kanannya memukul ke arah dada Sin Wan, juga kakinya bergerak menyambar dari pinggir, menyapu kedua kaki Sin Wan.

Tadinya Sin Wan menganggap bahwa pukulan seorang anak perempuan tentu tidak ada artinya. Apa lagi tubuhnya kebal dan sudah terlatih. Bahkan diam-diam dia ingin membuat anak perempuan itu menderita karena kegalakannya. Ia pun mengeraskan dadanya yang terpukul untuk menyambut pukulan dan membuat tangan yang memukul itu kesakitan.

"Dukkk...! Bressss...!"

Sin Wan terpelanting dan terjengkang! Terpelanting karena sepasang kakinya disapu dari pinggir oleh sebuah kaki kecil yang sangat kuat, dan pukulan pada dadanya membuat dia terjengkang! Pukulan itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali dan biar pun dia tidak terluka dan juga tidak menderita nyeri terlalu hebat, namun dia terjengkang sampai terguling-guling!

Dia meloncat bangkit kembali dan melihat betapa orang yang dipukulnya tidak menderita apa-apa, bahkan mampu bangkit dengan cepat. Anak perernpuan itu merasa penasaran, segera meloncat memberi serangan yang lebih hebat lagi. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mengandung tenaga sehingga tiap kali digerakkan, terdengar suara angin.

Tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang anak perempuan yang sama sekali tidak lemah, bahkan pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang kuat. Maka, begitu melihat anak perempuan itu menerjangnya, dia pun cepat mengelak dan menangkis. Tangkisannya yang disertai tenaga membuat lengan anak perempuan itu terpental dan hal ini membuatnya semakin galak dan ganas lagi. Serangan datang bertubi-tubi, bahkan kini kakinya juga ikut menyambar-nyambar.

Sin Wan sama sekali tidak ingin membalas, karena dia tetap berpendapat bahwa amat memalukan bagi seorang anak laki-laki untuk memukul perempuan. Biar pun dia terdesak, dia hanya menangkis dan mengelak saja. Akan tetapi anak perempuan itu ternyata bukan hanya mengerti sedikit ilmu silat. Sama sekali tidak! Bahkan andai kata dia melawan dan membalas dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia mampu memperoleh kemenangan dengan mudah! Anak ini sudah mendapat gemblengan dari seorang yang sakti, mungkin seperti mendiang Se Jit Kong saktinya!

"Desss...!" Kembali dia terjengkang ketika sebuah tendangan yang tidak disangka-sangka memasuki pertahanannya dan menghantam perut yang untung dapat dia keraskan sehingga tidak sampai terluka.

Ketika dia meloncat bangkit kembali, dia melihat anak perempuan itu membuat gerakan dengan kedua tangan, mirip gerakan menghimpun sinkang seperti yang pernah dilatihnya, yaitu ‘Menyambut Api Dari Langit’, akan tetapi ketika turun, lanjutannya berbeda. Kedua tangan anak itu melengkung ke kanan kiri, kemudian ketika kedua tangan itu membuat gerakan mendorong terdengar suara yang seperti ular mendesis. Kedua tangan itu seperti kepala dua ekor ular menghantam ke arah dadanya. Sin Wan cepat mengumpulkan tenaga sinkang dari pusarnya, lantas menyambut pukulan yang dia tahu merupakan pukulan berbahaya itu dengan kedua tangannya sendiri.

"Desss...!" Kini tubuh anak perempuan itu yang terpental dan terhuyung, bahkan ia tentu akan roboh kalau saja lengannya tidak disambar oleh wanita cantik yang menjadi gurunya.

"Kau tidak apa-apa?" Wanita cantik itu bertanya sambil meraba dada muridnya. Ailsnya berkerut ketika dia merasakan ada suatu ketidak wajaran pada muridnya.

"Subo, tangannya panas sekali...!" kata anak perempuan itu yang segera duduk bersila untuk mengatur nafas!

Wanita itu memandang kepada Sin wan dan melihat betapa kedua tangan anak laki-laki itu masih mengeluarkan uap tipis. Sekali tubuhnya bergerak, wanita itu telah meloncat dan berada di hadapan Sin Wan, membuat anak ini terkejut sekali. Gerakan wanita itu seperti menghilang saja!

"Katakan, apa hubunganmu dengan Iblis Tangan Api?!" wanita itu sekarang membentak, suaranya tetap halus namun mendesis seperti ular, dan dingin seperti salju, dan ketika Sin Wan memandang, sepasang mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng.

"Tidak ada hubungan apa-apa," jawabnya singkat dan dia segera memutar tubuh hendak pergi dari tempat itu.

"Tunggu! Engkau tidak boleh pergi begitu saja setelah memukul muridku."

Sin Wan menghadapi wanita itu dengan penasaran. "Bibi, aku sama sekali tidak pernah memukulnya."

"Hemm, coba kau pukul aku seperti gerakanmu tadi."

"Tapi aku tidak memukulnya, aku hanya menangkis pukulannya!" Sin Wan memprotes.

"Kalau begitu, kau tangkislah pukulanku ini!" Wanita itu lalu menggerakkan kedua tangan, cepat sekali seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, ke arah dada Sin Wan. Terpaksa, untuk menjaga diri, Sin Wan menyambut dengan dorongan kedua tangannya seperti tadi.

"Desss...!" Sekali ini tubuh Sin Wan yang terjengkang, bahkan terbanting keras sehingga dia merasa betapa dadanya terasa sesak dan sukar bernapas. Ketika bangkit duduk dia muntahkan darah segar dan merasa betapa dadanya nyeri.

Dengan terhuyung Sin Wan bangkit berdiri memandang kepada wanita itu dan bertanya, "Bibi, mengapa engkau memukulku? Apakah engkau akan membunuhku?" Pertanyaan itu mengandung keheranan dan penasaran, tapi sama sekali tidak membayangkan perasaan takut sedikit pun.

"Aku belum membunuhmu agar engkau dapat memberi tahu kepada Se Jit Kong bahwa aku akan membunuhnya!"

Mendengar bahwa wanita ini musuh Se Jit Kong, berkurang rasa tak senang dalam hati Sin Wan. "Bibi siapakah?”

"Katakan saja bahwa Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) yang memukulmu!"

Sin Wan lalu membalikkan tubuhnya dan dengan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dalam keadaan hampir telanjang, hanya memakai celana dalam yang pendek.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Tentu saja tiga orang kakek itu amat terkejut dan heran melihat murid mereka kembali ke situ dalam keadaan hampir telanjang, bahkan terluka dalam sehingga mukanya pucat dan bibirnya berlepotan darah.

"Siancai... apa yang terjadi padamu?" tanya Dewa Pedang, sedangkan Dewa Arak tanpa bicara lagi segera memeriksa tubuh muridnya.

Melihat betapa muridnya terluka dalam karena guncangan tenaga sinkang yang kuat, dia lalu menyuruh muridnya duduk bersila, dan dia pun bersila di depannya lalu menempelkan telapak tangan kirinya pada dada muridnya. Sementara itu Pek-mau-sian si Dewa Rambut Putih membantu dengan beberapa kali totokan serta tekanan pada punggung dan kedua pundak Sin Wan. Dalam waktu singkat saja kesehatan Sin Wan sudah pulih kembali.

“Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu," kata Dewa Pedang.

Sin Wan mengenakan pakaian yang diambilkan oleh Dewa Rambut Putih, kemudian dia menarik napas panjang dan menjawab, "Teecu sendiri masih merasa bingung dan heran, suhu. Ketika teecu mandi di anak sungai, ada seorang anak perempuan mencuri pakaian teecu, hanya meninggalkan sebuah celana pendek. Teecu lalu naik ke darat, mengenakan celana pendek itu dan mengejar anak perempuan yang mencuri pakaian itu. Ternyata dia seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang nakal dan lihai. Ia merobek-robek pakaian teecu dan menuduh teecu mengotorkan air karena mereka tadi mandi di sebelah hilir. Teecu tidak melihat mereka akibat terhalang oleh belokan sungai. Anak itu kemudian menantang, akan tetapi teecu tak mau melayani. Dia lalu menyerang bertubi-tubi sampai beberapa kali teecu jatuh. Ketika dia menyerang lagi dengan pukulan yang mengandung sinkang, teecu terpaksa menangkis sehingga dia pun terhuyung. Lalu gurunya memukul teecu..."

"Hemm, sungguh sewenang-wenang memukul anak kecil. Siapa gurunya itu?" Dewa Arak bertanya dengan alis berkerut.

“Akulah yang memukulnya. Kalian mau apa?”

Mendengar suara merdu itu, tiga orang pertapa segera memutar tubuh dan memandang. Mereka tertegun, sama sekali tidak menyangka bahwa guru anak perempuan seperti yang diceritakan oleh Sin Wan tadi ternyata adalah seorang gadis cantik yang nampaknya baru berusia dua puluh tahun walau pun sikapnya menunjukkan bahwa dia jauh lebih tua dari pada nampaknya. Seorang gadis yang berpakaian mewah seperti wanita bangsawan!

"Siancai...! Nona, kenapa engkau memukul seorang anak kecil yang tak berdosa?" Dewa Arak berseru.

"Pertama, karena dia mengotori air tempat kami mandi. Kedua, karena dia telah membuat muridku terhuyung hampir jatub. Ketiga, karena dia mempunyai ilmu pukulan Tangan Api! Mana Se Jit Kong? Apakah kalian anak-anak buahnya? Suruh dia keluar untuk menerima kematian!" Wanita itu berkata dengan suara galak.

Tiga orang pertapa itu saling pandang, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih tersenyum, akan tetapi Dewa Arak tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sungguh engkau memandang remeh kepada kami kalau menganggap kami anak buah Se Jit Kong! Anak ini memang pernah belajar ilmu dari Se Jit Kong, akan tetapi sekarang dia sudah menjadi murid kami dan Se Jit Kong telah meninggal dunia!"

Wanita cantik itu mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung panjang dan hitam itu. "Mati? Dia sudah mampus? Hemm... akan sia-sia sajakah perjalananku ini?"

Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang nyaring sekali, "Subo, pusaka-pusaka itu berada di dalam peti, di kereta ini!”

Semua orang langsung menoleh ke arah kereta! Sebuah kepala terjulur keluar dari tirai kereta, kepala anak perempuan yang dipanggil Li Li.

"Ihhh! Kiranya kalian sudah membunuhnya dan merampas pusaka-pusaka istana? Kalau begitu, serahkan nyawa dan pusaka!"

"Heiii, nona! Ketahuilah bahwa kami adalah utusan kaisar dan pusaka-pusaka itu sedang kami bawa kembali ke istana di kota raja!" Dewa Arak berteriak.

"Pusaka dan nyawa kalian harus diserahkan!" Wanita itu membentak dan tiba-tiba saja dia telah bergerak maju, jari tangannya meluncur dengan membentuk kepala ular menotok ke arah leher Dewa Arak.

"Haiii... ahhh, sungguh berbahaya dan galak!" Dewa Arak melempar tubuh ke belakang ketika melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Dari gerakan tangan itu saja dia tahu bahwa lawannya ini, meski pun masih muda namun ganas dan lihai sekali.

Dugaannya benar. Begitu dia melempar tubuh ke belakang, wanita itu telah menerjangnya lagi dengan serangan susulan yang dahsyat. Gerakan kedua lengannya laksana dua ekor ular yang menyambar-nyambar, menimbulkan suara bercuitan.

Diam-diam Dewa Pedang terkejut sekali karena dia mengenal ilmu pukulan yang tak kalah hebatnya bila dibandingkan ilmu pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang dikuasainya. Dewa Arak juga tahu akan hal ini, dia pun kini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk menghadapi desakan itu dan balas menyerang.

Wanita itu pun kelihatan terkejut melihat betapa lawannya tidak seperti yang disangkanya semula. Meski pun perutnya gendut, lawannya mempunyai gerakan yang amat lincah dan ketika menangkis dia mendapat kenyataan bahwa orang itu pun mempunyai sinkang yang amat kuat!

Melihat masih ada dua orang lain yang berdiri di pinggir, dia lalu mendapat akal. Dia harus cepat-cepat merobohkan mereka yang paling lemah lebih dahulu karena kalau mereka itu keburu mengeroyoknya, mungkin dia akan kewalahan!

Tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyambar ke kiri, ke arah Dewa Rambut Putih. Begitu dia menggerakkan tangan kiri, tujuh batang jarum secara bertubi-tubi menyambar ke arah tiga orang kakek itu, dan yang dijadikan sasaran adalah dada dan tenggorokan, tempat-tempat yang paling lemah!

"Siancai...!" Dewa Rambut Putih berseru dan seperti dua orang rekannya, dia pun berhasil mengebut jarum-jarum itu sehingga runtuh.

Kembali wanita itu terkejut. Serangan jarumnya dapat diruntuhkan dengan mudahnya oleh tiga orang kakek itu! "Mampuslah!" Dia menubruk ke kiri, menyerang Dewa Rambut Putih dengan dahsyatnya, mulutnya mendesis dan dua tangannya yang membentuk kepala ular itu kini terbuka dan mencengkeram seperti ular-ular yang menggigit, ada pun kuku-kuku jari tangannya sudah berubah menghijau!

"Hemm, benar-benar ganas...!" Dewa Rambut Putih melompat ke belakang menghindar, kemudian kipas di tangan kirinya mengebut. Angin keras menyambar ke arah wanita itu yang menjadi gelagapan dan terkejut karena ia mendapat kenyataan betapa kakek rambut putih ini tidak kalah lihainya dibandingkan kakek perut gendut.

"Wirrrrr...!" Tiba-tiba saja tangannya merenggut ke kepalanya sendiri dan semua tusuk sanggul telah direnggut dan dimasukkan saku. Rambutnya yang panjang sampai ke pinggul itu terlepas, kemudian begitu dia menggerakkan kepalanya, gumpalan rambut hitam yang harum dan panjang itu segera menyambar ke arah Si Dewa Rambut Putih.

"Hebat...!" Kembali Pek-mau-sian Thio Ki berseru.

Kebutan kipasnya ternyata tidak mampu menangkis rambut yang terus meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia harus melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik lima kali baru berhasil terhindar dari sergapan rambut panjang.

Wanita itu marah bukan main. Wajahnya yang cantik kini berubah kemerahan, sepasang matanya mencorong, mulutnya mendesis-desis dan rambutnya riap-riapan. Meski pun dia masih sangat cantik, namun ada sesuatu yang menyeramkan karena dia seperti berubah menjadi iblis yang cantik, atau siluman ular yang cantik namun berbahaya sekali.

Wanita ini memang marah bukan kepalang, maka begitu tangannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang pedang dari balik bajunya. Pedang itu pun aneh, gagang dan batang pedangnya menjadi satu. Gagangnya berupa ekor ular yang melingkar tebal, sedangkan ujung pedangnya berbentuk kepala seekor ular yang menjulurkan lidahnya. Lidah itu amat runcing dan sisik-sisik ular itu tajam. Sebatang pedang mirip ular! Dengan pedang aneh ini dia menyerang ke arah Kiam-sian!

Tentu saja Dewa Pedang maklum akan kelihaian lawan. Dia pun sudah mencabut pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan menangkis sambaran pedang ular.

"Cringgg...!" Nampak banyak bunga api berpijar dan berhamburan. Keduanya terkejut dan memeriksa pedang masing-masing. Kiranya kedua pedang itu sama kuatnya dan tidak menjadi rusak.

Wanita itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia mengira bahwa di dunia ini tidak ada atau jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandinginya, maka dengan penuh keyakinan diri dia memastikan bahwa Iblis Tangan Api pasti akan tewas di tangannya, dan pusaka istana akan terjatuh ke tangannya.

Akan tetapi siapa sangka, kini bertemu dengan tiga orang pendeta ini, dia tidak sanggup mengalahkan seorang saja di antara mereka walau pun dia sudah mencoba menyerang dengan ilmu pukulan beracun yang ampuh, jarum-jarum beracun, rambutnya, dan bahkan pedangnya!

Dia lalu mengamuk dengan pedang dan rambutnya, dan sepak terjangnya memang amat menggiriskan. Kalau bukan Sam Sian yang diamuknya, tentu sudah jatuh korban di antara mereka. Tiga orang pendeta itu membela diri tetapi sengaja tidak mau merobohkan wanita itu, apa lagi membunuh atau melukainya.

Sementara itu Sin Wan sudah cepat lari menghampiri kereta ketika melihat betapa anak perempuan yang nakal dan galak itu sudah berada di kereta. Ketika subo-nya muncul tadi, agaknya kesempatan itu dipergunakan oleh si anak perempuan untuk menyusup ke atas kereta.

"Engkau pencuri kecil! Engkau hendak mencuri apa lagi di situ? Hayo cepat turun atau...”

"Atau apa, hah?" Anak perempuan itu kini membuka tirai kemudian berdiri di dalam kereta sambil bertolak pinggang dan memandang galak, "Atau apa? Kau mau apa kalau aku tak mau turun?"

Sin Wan memandang gemas. Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya. Anak ini sungguh keterlaluan sekali. Tetapi Sin Wan masih teringat bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Sungguh tak patut bila seorang anak laki-laki menyerang dan memukul anak perempuan. Bagaimana sikapnya andai kata anak itu adiknya yang nakal?

"Akan kuseret kau turun dari kereta dan kupukul pinggulmu lima kali biar kau tahu rasa!" Sin Wan mengancam, menganggap anak perempuan itu adik sendiri yang perlu dihajar. Pikiran ini menolong meredakan kemarahannya, karena kalau dia tidak menganggap anak perempuan itu adik sendiri, tentu akan timbul kemarahan yang melahirkan kebencian.

Akan tetapi jawaban itu malah membuat si anak perempuan membelalakkan mata saking kaget dan marahnya, "Apa...?! Kamu... kamu..., kurang ajar, berani hendak menyeretku dan memukuli pinggulku? Agaknya engkau telah bosan hidup, ya?!" teriaknya dan dia pun cepat meloncat turun, bukan sembarang meloncat melainkan meloncat sambil menerkam seperti seekor burung garuda yang menyerang seekor domba!

Sin Wan segera mengelak dan ketika tubuh anak itu lewat di sisinya, dia mencoba untuk menangkap lengan anak itu. Dia berhasil menangkap lengan kiri anak itu dengan tangan kanannya. Selagi dia hendak meringkusnya, tiba-tiba anak itu membalik tangan kanannya yang membentuk kepala ular dan meluncur ke arah matanya, lantas lengan yang sudah dipegangnya tadi, yang licin bagaikan ular, tahu-tahu sudah berhasil melepaskan diri dan mencengkeram ke arah lehernya! Sungguh merupakan serangan yang sangat hebat, biar pun dilakukan oleh dua tangan anak perempuan!

"Ihhh, kau ular kecil!" Sin Wan memaki sambil meloncat ke belakang. Memang gerakan kedua lengan anak itu mengingatkan dia akan gerakan ular.

Dimaki ular kecil, anak perempuan itu semakin marah. "Kuhajar kau, kubunuh kau!”

Dia lalu mengamuk, menyerang bertubi-tubi dan saking marahnya, serangannya banyak ngawur dan tidak menurut gerakan silat lagi, melainkan gerakan seorang perempuan yang marah, mencakar, mencengkeram, menampar dan menjambak!

Menghadapi anak perempuan yang mengamuk itu, Sin Wan menjadi kewalahan bahkan pipi kirinya sudah kena dicakar kuku jari tangan anak itu hingga lecet dan berdarah! Tetapi akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan anak itu. Anak itu meronta, kemudian menggigit lengan Sin Wan.

"Aduh!" Sin Wan merenggut lengannya lepas dan kulit lengannya juga lecet berdarah.

“Kau anak liar!" bentaknya dan berhasil menelikung kedua lengan anak itu ke belakang.

Ditariknya anak itu mendekati kereta. Dia lalu duduk di anak tangga kereta dan memaksa anak perempuan itu menelungkup melintang di atas pahanya, kemudian dengan tangan kanan memegang kedua pergelangan tangan anak itu sehingga tak mampu bergerak lagi, dia menggunakan telapak tangan kirinya untuk menampari pinggul yang menonjol ke atas itu.

"Engkau mencakar dan menggigit, hukumannya kutambah menjadi sepuluh kali pukulan!" Dan tangan Sin Wan berulang-ulang menampari pinggul anak perempuan itu.

"Plak...! Plak...! Plak...!"

Anak perempuan itu menjerit-jerit, bukan karena sakit pada pantatnya, akan tetapi sakit pada hatinya. Dia merasa dihina bukan main oleh anak laki-laki itu.

"Plak...! Plak...! Plak...!" Setelah sepuluh kali, baru Sin Wan menghentikan tamparannya. Telapak tangannya terasa panas setelah sepuluh kali menampar itu.

"Subo... tolong...!" Anak perempuan itu menjerit-jerit dan menangis!

"Hemm, engkau memang bersalah, pantas dihukum, kenapa harus menangis?" Sin Wan melepaskan anak itu dan memandang dengan hati mulai merasa kasihan. Bagaimana pun galaknya, dia hanya seorang anak perempuan kecil.

Dia mulai merasa malu atas perbuatannya sendiri, akan tetapi ketika melihat lengan dan pipinya berdarah, penyesalannya menghilang dan dia bahkan merasa geli melihat anak itu menggunakan kedua tangan mengusap-usap pinggulnya yang ditampari tadi.

Anak perempuan itu menoleh kepada subo-nya untuk minta bantuan. Namun dia langsung tertegun ketika melihat subo-nya terlempar dan jatuh terjengkang!

Wanita itu bangkit, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan mereka bertiga, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, kedua tangan mulai menyanggul rambutnya yang awut-awutan, tiada hentinya memandang kepada tiga orang itu dan bertanya,

"Siapakah kalian bertiga?” Suaranya tetap merdu tapi mengandung kemarahan tertahan.

Dewa Arak mewakili rekan-rekannya berkata, "Hemm, kepandaianmu hebat sekali, nona, akan tetapi sayang, engkau sungguh ganas dan kejam! Kami adalah tiga orang tua yang tak suka mencari permusuhan. Aku Si Tukang Mabuk, dia ini Si Tukang Pedang dan yang itu Si Rambut Putih!" Mereka bertiga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai dewa seperti yang dikatakan orang-orang kang-ouw untuk menghormati mereka, walau pun ada kalanya mereka saling menyebut dewa untuk mengejek kawannya...!