Si Pedang Tumpul Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pek-mau-sian Thio Ki menggerakkan bibirnya ke arah senyum, matanya menatap wajah rekannya dengan tajam dan dia menggerakkan telunjuknya menuding muka rekan itu.

"Dewa Arak, engkau ini selalu ugal-ugalan, akan tetapi hati dan pikiranmu terbuka. Seperti juga kalian, aku tidak mau terbelenggu nafsu dan perasaan, tak mau terikat oleh apa pun. Aku hanya termenung memikirkan kebodohan wanita itu. Dia telah mengambil jalan sesat. Bagaimana mungkin dia menebus dosa dengan cara membunuh diri? Itu namanya bukan menebus dosa, melainkan menambah dosa menjadi semakin besar lagi!"

Sejak tadi Sin Wan mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Tiga orang tua itu memiliki pandangan yang aneh-aneh, yang berbeda dengan umum, namun diam-diam dia dapat menemukan kebenaran dalam ucapan mereka yang janggal itu. Akan tetapi, mendengar ucapan Pek-mau-sian Thio Ki, dia merasa terkejut dan penasaran, juga ingin sekali tahu.

"Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan bahwa dengan membunuh diri, ibuku telah berdosa? Bukankah ibuku seorang wanita yang berhati bersih, yang tidak akan sudi diperisteri pembunuh suaminya kalau saja tidak ingin menyelamatkan aku? Sesudah aku tidak terancam lagi, ibu menebus semua aib itu dengan membunuh diri, kenapa locianpwe menganggap dia berdosa?”

"Ha-ha-ha-ha!" Dewa Arak tertawa, "Anak baik, aku tidak tahu apakah dia berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang tahu! Akan tetapi aku tahu bahwa dia bodoh. Alangkah piciknya orang yang membunuh diri! Kita tidak bisa menghidupkan, bagaimana boleh mematikan? Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi bunuh diri merupakan kematian yang dipaksakan, karena itu rohnya akan menjadi penasaran! Bodoh sekali ibumu, Sin Wan, perbuatannya itu tidak boleh kau tiru."

Sin Wan masih penasaran, maka dia menoleh kepada dua orang pendeta yang lain. Dewa Pedang mengelus jenggot dan menggelengkan kepala. Ia menarik napas panjang. "Bunuh diri merupakan perbuatan sesat. Bagaimana mungkin persoalan bisa diselesaikan dengan bunuh diri? Bunuh diri adalah perbuatan yang penuh nafsu dan nafsu akan melekat terus sehingga menjadi pengganggu yang tiada habisnya. Selama dalam kehidupan ini kita tidak mampu membebaskan diri dari ikatan dan cengkeraman nafsu. Ibumu benar-benar patut dikasihani, anak baik."

Sin Wan merasa semakin sedih.

“Sejak muda sekali, semenjak berusia delapan belas tahun, baru saja setahun mengecap kebahagiaan bersama suaminya, ibumu telah direnggut dari kebahagiaan dan sejak itu dia menderita siksaan lahir batin, dan sekarang setelah mati masih menanggung dosa!”

Sin Wan masih penasaran dan menoleh kepada Dewa Rambut Putih yang pertama kali mengatakan bahwa ibunya telah melakukan dosa karena membunuh diri. "Locianpwe, mendiang ibuku adalah seorang wanita yang saleh, selalu taat kepada Allah, juga tidak pernah melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dia menyerahkan diri kepada pembunuh suaminya dengan hanya satu tujuan mulia, yaitu ingin menyelamatkan nyawa anaknya. Apakah itu dapat dikatakan salah dan dosa?"

Karena anak itu bicara sambil memandang kepadanya, Dewa Rambut Putih tersenyum. "Sin Wan. ibumu telah terjebak ke dalam kekeliruan pendapat yang disilaukan oleh tujuan sehingga dia menghalalkan segala cara agar bisa mencapai tujuannya. Tujuannya adalah menyelamatkan anak dalam kandungan, kemudian menyelamatkan anaknya setelah lahir. Memang hal itu merupakan kewajiban seorang ibu, memelihara anaknya! Akan tetapi baik buruk dan benar salahnya bukan terletak pada tujuannya, melainkan dalam caranya atau pelaksanaannya. Karena silau oleh tujuannya dia memejamkan mata dan menempuh cara yang tidak selayaknya dia lakukan. Bagaimana mungkin cara yang salah dapat mencapai tujuan yang benar, cara yang kotor dapat mencapai tujuan yang bersih? Cara merupakan pohonnya, dan tujuan merupakan buahnya. Pohon yang buruk mana dapat menghasilkan buah yang baik?"

Sin Wan tertegun. Ucapan kakek rambut putih ini merupakan tusukan yang paling dalam dan membuka mata hatinya. Kasihan ibunya. Ibunya tidak sengaja melakukan perbuatan yang kotor dan salah. Dia harus sedapat mungkin membela lbunya!

"Akan tetapi, locianpwe, bukankah ibu telah berhasil menyelamatkan aku? Andai kata ibu menolak kehendak pembunuh suaminya, bukankah hal itu berarti ibu membunuhku pula? Padahal yang terutama baginya adalah menyelamatkan anaknya!"

"Siancai...! Anak baik, mati hidup berada di tangan Tuhan. Jika Dia menghendaki engkau mati, siapa yang akan sanggup menyelamatkanmu? Sebaliknya, kalau Dia menghendaki engkau hidup. siapa pula yang akan dapat membunuhmu?"

Kalimat terakhir ini langsung disambar dan dipegang oleh Sin Wan sebagai bahan untuk membela terhadap lbunya dan juga hiburan dalam hatinya. "Kalau begitu, locianpwe, kematian ibuku tentu juga telah dihendaki oleh Tuhan. Benarkah demikian?"

“Tentu saja!" jawab Pek-mau-sian Thio Ki dengan pasti. "Kalau tidak dikehendaki Tuhan, tentu dia tidak akan mati."

"Nah, kalau begitu ibu tak berdosa! Ibu hanya melakukan sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan!" kata anak itu dengan nada penuh kemenangan.

Tiga orang pertapa itu saling pandang dan ketiganya lalu tertawa. Sin Wan memandang kepada mereka bergantian dengan heran.

"Mengapa samwi (anda bertiga) tertawa? Apakah aku mengeluarkan kata-kata yang tidak benar?"

"Siancai... engkau ini seorang anak yang berpandangan luas dan mempunyai bakat baik untuk mempelajari ilmu tentang kehidupan, Sin Wan," kata Dewa Pedang. "Memang tidak keliru bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan, karena memang Tuhan-lah yang menentukan segalanya. Ada pun sikap menyerah dan pasrah kepada Tuhan merupakan sikap yang sudah sepatutnya dilakukan manusia. Akan tetapi bukan berarti menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa-apa! Juga bukan berarti kita mempersekutu Tuhan, atau bahkan menuntut agar Tuhan bekerja demi kepentingan kita! Tuhan menciptakan kita terlahir di dunia ini lengkap dengan semua alat untuk hidup, untuk bekerja, untuk berikhtiar mempertahankan hidup kita, untuk memuja Tuhan melalui segala perbuatan kita. Jika kita tidak berbuat apa-apa, itu berarti kita melalaikan tugas hidup kita. Karena kita diberi hati akal pikiran, diberi pengertian mengenai baik dan buruk, tentu saja menjadi tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia ini. Berarti kita membantu pekerjaan Tuhan! Bagaimana Tuhan dapat membantu kita kalau kita tidak berusaha membantu diri kita sendiri?"

"Maksud locianpwe?”

"Contohnya, untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu Tuhan sudah menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman untuk kita. Akan tetapi untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan, maka kita harus mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan sesudah itu tugas kita masih belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan bila sudah menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti bagaimana cara yang terbaik untuk bisa memperoleh makanan, yaitu dengan bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Pelaksanaannya itulah yang menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja. Kita pun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam maya pada ini, baik yang bergerak mau pun yang tidak, hidup tumbuh dan bekerja? Pohon pun tiada hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya. Mengertikah engkau, Sin Wan?"

Anak itu mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya. Tiga orang pertapa itu seperti menguak kesadarannya, membuka hatinya dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran yang dapat dia rasakan.

Sekarang ibunya telah meninggal. Musuh besarnya juga telah meninggal. Semua itu telah dikehendaki Tuhan, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ibuku, demikian pikirnya dan teringat akan ajaran ibunya tentang agama Islam, yaitu agama ibunya, dia pun bergumam lirih. "Innalilahi wainna illahi rojiun...”

"Hemm, apa artinya ucapan itu, Sin Wan?" tanya Pek-mau sian Thio Ki.

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, demikianlah yang diajarkan ibu kepadaku dalam menghadapi kematian."

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan! Ha-ha-ha…! Bagus sekali itu, Sin Wan!" kata Dewa Arak. "Itu merupakan penyerahan yang mutlak atas kekuasaan Tuhan. Bagus sekali!"

"Siancai… siancai! Semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan, semua agama mengajarkan bahwa ADA SESUATU YANG MAHA KUASA, yaitu yang kita sebut Tuhan. Sesudah kini engkau mengerti, kami ingin mengajak engkau pulang ke rumahmu karena ada satu urusan penting yang akan kami bicarakan denganmu, Sin Wan," kata Pek-mau-sian Thio Ki.

Sin Wan memandang kepada pertapa berambut putih itu. "Locianpwe tentu maksudkan benda-benda pusaka yang dicuri oleh... ayah tiriku dari gudang pusaka istana kaisar itu bukan?"

"Hemmm, engkau memang anak yang cerdik sekali," kata Dewa Pedang dengan kagum. "Memang benar, kami adalah utusan Sribaginda Kaisar untuk membawa kembali benda-benda pusaka yang dicuri Se Jit Kong itu."

"Sebentar, locianpwe. Aku belum memberi penghormatan terakhir kepada ayah tiriku."

Sin Wan lalu berlari menuju ke makam Se Jit Kong yang berada di ujung yang berlawanan dari tanah perkuburan itu, dan dengan sikap hormat dia memberi penghormatan di depan makam itu. Tiga orang tosu itu mengikutinya dan memandang perbuatan Sin Wan dengan sinar mata yang kagum dan mereka mengangguk-angguk.

Setelah selesai, Sin Wan menghadapi mereka. "Mari, sam-wi locianpwe, peti terisi benda-benda pusaka itu akan kuserahkan kepada sam-wi."

Mereka berjalan meninggalkan tanah kuburan, dan karena tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk mengenal isi hati Sin Wan, Dewa Arak lalu bertanya, "Sin Wan, mengapa engkau tadi memberi hormat kepada makam Se Jit Kong? Bukankah dia telah membunuh ayah kandungmu dan juga telah menculik dan memaksa ibumu?"

Sambil melangkah Sin Wan menundukkan kepalanya dan menggeleng, lantas menjawab, "Aku harus menghormati dia karena aku teringat akan kebaikan-kebaikannya. Dia selalu baik kepadaku, dan kulihat dia baik pula kepada ibuku."

"Ha-ha-ha, engkau sama juga dengan yang lain, Sin Wan, menilai kebaikan dari keadaan lahir saja. Kebaikan macam itu palsu adanya."

"Ehhh? Bagaimana locianpwe mengatakan palsu? Aku yang merasakan sendiri dan dia memang amat baik kepada ibu dan aku. Dia lembut dan mentaati ibu, dia menyayangku dan mengajarku dengan sepenuh hati."

"Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Tentu saja dia baik kepadamu karena dia harus berbaik, kalau tidak, tentu ibumu takkan sudi menyerahkan diri kepadanya. Kebaikan macam itu datang dari nafsu, hanya merupakan akal-akalan saja karena kebaikan macam itu berpamrih. Itu bukan kebaikan namanya, melainkan cara yang licik untuk mendapatkan suatu hasil, ha-ha-ha!"

Walau pun masih kecil Sin Wan sudah membaca banyak macam kitab, maka dia dapat mengerti apa yang menjadi inti ucapan Dewa Arak. Dia menjadi semakin kagum terhadap tiga orang tua itu dan dia ingin sekali dapat menjadi murid mereka.

Bila dia berguru kepada mereka maka dia dapat mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat, akan tetapi juga lima pengetahuan tentang hidup. Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota Yin-ning karena tanah kuburan itu berada di luar kota. Matahari sudah condong rendah ke barat.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Ketika tiga orang pertapa dan Sin Wan memasuki pekarangan rumah itu, mereka terkejut sekali melihat salah seorang di antara para pelayan sudah rebah di ruangan depan dalam keadaan terluka parah. Sin Wan cepat berlutut di dekat pelayan itu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya. Pek-mau-sian Thio Ki yang pandai ilmu pengobatan segera menolong pelayan itu.

"Celaka... tuan muda... tadi ada lima orang yang datang dengan kereta, kami kira tamu... mereka menyerbu dan melarikan peti hitam."

"Itu peti benda-benda pusaka!" kata Sin Wan kaget.

"Mari kita kejar mereka !" kata Ciu-sian.

Dia menyambar tubuh Sin Wan lantas berlari cepat seperti terbang saja. Di antara mereka bertiga memang Dewa Arak yang memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang paling tinggi tingkatnya, maka dia yang memondong tubuh Sin Wan. Dua orang tosu lainnya juga berlari mengejar dan sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Yin-ning mengikuti jejak kereta yang meninggalkan jalur rodanya di tanah yang agak basah.

Karena tiga orang itu melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan ilmu berlari cepat yang membuat tubuh mereka seperti terbang saja, maka tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul sebuah kereta yang berada tidak jauh di depan, di luar sebuah hutan. Agaknya kereta itu hendak memasuki hutan dan bersembunyi sambil melewatkan malam di tempat gelap itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kelima orang yang berada di kereta ketika tiba-tiba mereka melihat tiga orang dan seorang anak laki-laki berdiri menghadang di depan kereta. Seorang di antara mereka yang menjadi kusir cepat membentak sambil mencambuki dua ekor kudanya. Dua ekor kuda itu meringkik lantas meloncat ke depan, menubruk ke arah Tiga Dewa dan Sin Wan!

Dewa Arak tertawa, kemudian menyambar tubuh Sin Wan dan dia sudah meloncat tinggi melewati kuda lantas hinggap di atas kereta, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih menyambut dua ekor kuda itu dengan menangkap kendali di dekat mulut, lalu sekali tarik, dua ekor kuda itu segera jatuh berlutut dengan kaki depan mereka dan tak mampu berkutik lagi!

Lima sosok bayangan hitam berloncatan dari kereta itu dan ternyata mereka adalah lima orang berpakaian hitam yang rata-rata nampak kokoh serta menyeramkan, berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Sebatang golok besar terselip di punggung mereka.

Dewa Arak meloncat turun lagi dan kini tiga oraag kakek itu berdiri menghadapi lima orang berpakaian hitam. Sin Wan berdiri agak di belakang Sam Sian sambil memandang penuh perhatian kepada lima orang itu.

Salah seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang sekepal sebelah, melangkah maju dan dengan sikap gagah dan suara menggeledek dia mengajukan pertanyaan sambil menudingkan dua jari tangan kiri ke arah tiga orang kakek. "Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan kami Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam)?"

Ciu Sian Si Dewa Arak tertawa. "Ha-ha-ha, banyak benar naga di jaman ini! Sekali muncul sampai ada lima ekor! Padahal di jaman dulu naga merupakan makhluk dewa yang dipuja sebagai penguasa lautan dan penguasa hujan! Hek I Ngo-liong, nama kami tiada harganya untuk kalian ketahui. Yang penting kami harap kalian bisa mempertahankan julukan naga sebagai makhluk sakti yang membantu pekerjaan Tuhan, juga mau mengembalikan peti yang kalian curi dari rumah Se Jit Kong!"

Lima orang itu otomatis menoleh ke arah kereta sehingga mudah diduga bahwa peti itu tentu disimpan di dalam kereta. Si kumis melintang mengerutkan alisnya mendengar olok-olok kakek yang mukanya merah dan sikapnya seperti pemabukan itu. "Agaknya kalian bertiga adalah orang-orang yang mengenal peraturan di dunia kangouw. Se Jit Kong mencuri pusaka dari gudang istana, lalu kami mencurinya dari dia. Semua itu menggunakan kekerasan. Dan kalian ingin minta begitu saja dari kami?"

“Heh-heh-heh, gagahnya! Lalu apa yang harus kami lakukan untuk dapat menerima peti berisi pusaka-pusaka istana itu?” tanya pula Dewa Arak.

"Kalian harus dapat mengalahkan golok kami!"

Setelah berkata demikian, lima orang itu menggerakkan tangan kanan ke belakang.

"Sing-sing-sing-sing-sing…!"

Nampak lima sinar berkelebatan dan Hek I Ngo-liong telah mencabut golok besar mereka. Golok pada tangan mereka itu lebar dan putih berkilauan saking tajamnya, ujungnya agak melengkung ke belakang dan runcing, gagangnya dihias ronce-ronce kuning. Dari gerakan mereka ketika mencabut golok saja sudah dapat diketahui bahwa mereka berlima adalah ahli-ahli golok yang tangguh.

Sekarang lima orang itu sudah berbaris setengah lingkaran menghadapi tiga orang kakek ini, tubuh mereka agak direndahkan, kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, lengan kiri lurus dengan jari telunjuk menuding ke arah lawan, dan golok di tangan kanan diangkat di belakang kepala dengan lengan melengkung sehingga golok itu lurus menunjuk ke arah lawan di depan pula. Gagah sekali kuda-kuda mereka ini, dan melihat pasangan itu, Dewa Pedang mengangguk-angguk.

"Agaknya ini yang dikenal dengan sebutan Ngo-liong To-tin (Barisan Golok Lima Naga) itu, ya? Bagus, tentu cukup baik untuk pinto (aku) berlatih pedang!"

Tidak terdengar suara apa-apa, namun tiba-tiba saja ada kilat menyambar dan tahu-tahu Kiam-sian Louw Sun yang tinggi kurus itu, yang tadi tidak nampak membawa pedang kini telah memegang sebatang pedang yang tipis, pedang yang tali melilit pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari)! Kakek ahli pedang ini tidak melepaskan jubahnya, juga tidak melepas capingnya yang menutupi kepala dan menyembunyikan mukanya.

Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih juga sudah bersiap membantu Dewa Pedang, namun Kiam-sian Louw Sun berkata, "Kalian berdua menjadi penonton sajalah. Aku ingin sekali berlatih, dan sekarang kebetulan ada mereka yang menjadi teman berlatih baik sekali!"

Maka mengertilah Ciu-sian dan Pek-mau-sian bahwa rekan mereka ltu sedang ketagihan bermain pedang sehingga timbul kegembiraannya menghadapi Barisan Golok Lima Naga itu, tentu saja untuk melatih dan menguji ilmu pedangnya. Karena itu mereka pun mundur ke belakang dan hanya menjadi penonton saja.

Sin Wan juga berdiri menonton dengan hati sedikit tegang. Dia mulai melihat kenyataan betapa kehidupan orang-orang yang menjadi ahli silat selalu dipenuhi pertentangan. Ayah tirinya sendiri selalu dimusuhi orang, dan sekarang ketiga orang pendeta ini pun demikian. Dan kalau bentuk kehidupan sudah sedemikian rupa, agaknya orang harus mengandalkan kepandaian silatnya untuk dapat bertahan, untuk dapat menang, bahkan agar dapat hidup lebih lama.

Dia mulai penasaran! Dia teringat akan cerita ibunya. Ayahnya, atau orang yang tadinya dianggapnya sebagai ayahnya, adalah seorang jahat. Tetapi tiga orang pendeta ini adalah orang-orang yang baik. Akan tetapi kenapa sama saja? Baik ayahnya mau pun tiga orang kakek ini selalu dihadapi musuh yang setiap saat siap mengadu nyawa! Dia tak dapat menahan perasaan penasaran dalam hatinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan perasaan ini menjadi pertanyaan kepada mereka.

Hek I Ngo-liong menjadi marah sekali karena mereka merasa diremehkan. Mereka adalah Hek I Ngo-liong yang sudah mendapatkan nama besar di dunia kang-ouw (sungai telaga, daerah persilatan) sehingga orang-orang kangouw yang tidak memiliki tingkat yang tinggi jarang ada yang berani menentang mereka.

Tapi kini laki-laki berpakaian pendeta ini melarang kawan-kawannya untuk membantunya dan hendak menghadapi Barisan Golok Lima Naga mereka seorang diri saja! Ini namanya penghinaan!

"Tosu sombong, engkau memang sudah bosan hidup!" bentak si kumis melintang dan dia mengelebatkan goloknya.

Gerakan ini merupakan isyarat atau aba-aba kepada empat orang rekannya, dan mereka pun bergerak secara aneh, berputaran membentuk lingkaran mengepung Kiam-sian Louw Sun. Setelah mengepung, mereka terus berlari mengitari Si Dewa Pedang, hanya berhenti untuk berganti posisi kedua tangan kemudian berlari lagi.

Dewa Pedang yang berada di tengah-tengah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang agak ditekuk. Dia membuat kuda-kuda yang disebut Menunggang Kuda. Kedua lengannya bersilang di depan dada, pedang di tangan kanan dalam kedudukan tegak lurus mengarah ke luar pula. Tubuhnya tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak, melirik ke kanan kiri dengan tenang namun tidak pernah berkedip mengikuti gerakan lima orang lawannya.

Tiba-tiba si kumis melintang mengeluarkan bentakan nyaring dan pada saat itu dia berada di belakang Dewa Pedang. Bentakannya disusul menyambarnya golok besar di tangannya ke arah tengkuk Dewa Pedang.

"Syuuuuttt...!" Biar pun golok menyambar dari belakang ke arah tengkuk, namun tubuh belakang Kiam–sian Louw Sun seolah mempunyai mata. Dengan tenang saja dia merendahkan tubuhnya hingga golok menyambar lewat di atas kepalanya. Pada detik berikutnya, seorang lawan dari kiri sudah membacokkan goloknya pula, kini golok itu menyambar dengan babatan ke arah kedua kakinya!

Dengan tubuh masih ditekuk rendah Dewa Pedang lalu melompat ke atas menghindarkan babatan pedang, hanya untuk menerima bacokan susulan dari kanan. Dia menggerakkan pedang menangkis.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar. Dewa Pedang memutar tubuh, sekarang pedangnya yang menangkis tadi menggunakan tenaga pentalan tangkisan, melindungi tubuhnya dari dua serangan lain dari golok berikutnya secara beruntun.

"Singgg...! Trang-tranggg...!" Lebih banyak lagi bunga api berpijar.

Kiranya barisan lima batang golok itu mempergunakan jurus yang mereka namakan Lima Rajawali Mengepung Ular. Sang lawan diibaratkan ular dan mereka mengepung kemudian mengirim serangan bertubi-tubi dan beruntun secara teratur sekali. Setiap serangan yang dihindarkan lawan langsung disusul serangan dari orang ke dua, ke tiga dan selanjutnya sehingga lawan yang dikepung tidak diberi kesempatan sama sekali untuk membalas!

Kiam-sian Louw Sun adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah kenyang dengan pengalaman. Sebelum dia menjadi pertapa dan tak pernah atau jarang lagi terjun di dunia persilatan, ia telah menjadi petualang dan sering menghadapi lawan yang tangguh dengan berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Oleh karena itu, dalam segebrakan saja, tahulah dia bahwa dia dalam keadaan yang berbahaya dan tidak menguntungkan.

Walau pun dia mampu melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedangnya, namun lima orang lawannya bukan orang lemah, apa lagi mereka memegang golok yang tidak mudah dirusak oleh pedang pusakanya. Kalau dia harus selalu mengelak dan menangkis, tanpa dapat membalas, berarti dia dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya.

Mendadak Dewa Pedang mengeluarkan suara melengking tinggi, kini pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, tubuhnya tertutup oleh benteng sinar pedang sehingga lima orang lawannya sukar untuk menembus sinar pedang itu dan tubuhnya lalu meloncat ke atas, lalu berjungkir balik membuat salto sampai tujuh kali baru dia turun dan sudah berada di luar kepungan!

Dengan cara demikian Dewa Pedang berhasil membuyarkan kepungan barisan golok itu. Dia tidak mau dikepung lagi. Untuk mencegah hal ini terjadi maka dia mendahului mereka dengan serangannya! Karena pedangnya memang lihai bukan main, orang yang diserang menjadi terhuyung dan baru dapat terhindar dari ciuman ujung pedangnya setelah dibantu oleh satu dua orang rekannya.

Begitu gagal menyerang Dewa Pedang segera membalik dan meloncat untuk menyerang pengeroyok lain! Dengan cara demikian kelima orang itu sama sekali tidak sempat untuk melakukan pengepungan seperti tadi.

Barisan golok itu sekarang membuat bentuk barisan lain atas isyarat si kumis melintang. Mereka mempergunakan siasat Dua Golok Tiga Perisai untuk menghadapi gerakan Dewa Pedang itu. Mereka berkelompok dan setiap serangan Dewa Pedang selalu dihadapi oleh tiga orang pengeroyok yang saling bantu untuk menghalau serangan pedang, seolah-olah ketiga orang itu membentuk tiga perisai melindungi diri, dan pada saat itu pula dua orang pengeroyok lain sudah menyerang Dewa Pedang dari belakang atau kanan kiri!

Siasat ini akhirnya merepotkan Kiam-sian Louw Sun pula. Serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan karena dihadapi tiga orang sekaligus, sedangkan dua orang lainnya selalu membalas dengan cepat sehingga dia tidak mungkin dapat melanjutkan serangan tanpa membahayakan diri sendiri.

Sin Wan melihat betapa dua orang kakek lain sekarang malah duduk bersila dan menjadi penonton. Sedikit pun tidak bergerak membantu kawan yang nampaknya sedang terdesak dan terancam bahaya itu. Hal ini membuat Sin Wan penasaran.

"Mengapa ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) tidak segera membantu locianpwe yang terancam bahaya itu, malah enak-enakan menonton dan tersenyum-senyum?" tegurnya sambil memandang kepada Dewa Arak yang kini bahkan meneguk arak dari guci sambil tersenyum senang seperti orang yang menikmati pertunjukan wayang di panggung saja!

"Heh-heh-heh! Sin Wan, apa kau ingin melihat Dewa Pedang marah-marah kepada kami? Apa bila kami membantunya, dia akan menganggap itu suatu penghinaan dan dia bahkan akan menyambut bantuan kami dengan sambaran pedangnya yang lihai itu!” kata si Dewa Arak.

"Ahh, kenapa begitu?" Sin Wan bertanya, tak percaya.

Sekarang Dewa Rambut Putih yang berkata seperti orang bersajak. "Seorang bijaksana memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak. Seorang pendekar menaruh kehormatan lebih tinggi dari pada nyawa. Seorang gagah memegang janjinya sampai mati dan selamanya takkan pernah menyesali perbuatannya!"

"Ha-ha-ha-ha, dan si Dewa Pedang adalah seorang bijaksana dan seorang pendekar yang gagah!" Dewa Arak menyambung.

Sin Wan mengerti, lantas mengangguk kagum dan dia pun memandang kembali ke arah pertandingan. Ia kini mengerti bahwa pada saat maju menghadapi lima orang itu, pertapa berpedang itu sudah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka, dan tindakannya melawan mereka merupakan suatu keputusan bahwa dia akan menghadapi segala akibatnya seperti sebuah janji yang tak akan dijilatnya kembali dan takkan pernah menyesal andai kata dia kalah dan tewas. Karena itu, kalau dia dibantu, dia tentu akan menjadi marah karena bantuan kawan-kawannya itu sama dengan merendahkan dia!

Begitu memandang ke arah pertandingan, Sin Wan menjadi kagum. Kiranya kini pertapa itu sama sekali tidak terdesak lagi. Gerakannya demikian cepatnya seperti seekor burung walet dan pedangnya menjadi gulungan cahaya yang menyilaukan mata. Karena dia terus berloncatan ke sana sini, maka lima orang pengeroyoknya mendapatkan kesukaran untuk rnenyudutkannya.

Mereka pun terpaksa mengejar ke sana sini dengan kacau dan tidak memiliki kesempatan untuk membentuk atau mengatur barisan kembali. Menghadapi seorang lawan seperti ini, mereka merasa seperti menghadapi lawan yang lebih banyak jumlahnya.

Memang benar seperti yang dikatakan Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih tadi. Sebelum menghadapi lima orang itu seorang diri saja, Kiam-sian Louw Sun telah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka. Dari gerakan mereka ketika meloncat turun dari kereta, juga ketika mereka mencabut golok dan memasang barisan, dia sudah dapat mengukur sampai di mana kira-kira kekuatan mereka.

Kini, setelah dia berhasil keluar dari himpitan barisan golok, Dewa Pedang meloncat jauh ke kiri, ke lawan yang paling ujung dan begitu lawan ini menyambutnya dengan bacokan golok, dia menangkis sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti) disalurkan lewat pedang sehingga ketika pedang bertemu golok, pedang itu seperti mengandung semberani yang amat kuat, menyedot dan menempel golok. Si pemegang golok terkejut sekali ketika tidak mampu melepaskan goloknya dari tempelan pedang dan pada saat itu pula tangan Kiam-sian Louw Sun sudah meluncur ke depan.

"Cratt...!" Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas dan dia meloncat ke belakang, memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan yang tercium tangan kiri Kiam-sian tadi terluka dan berdarah seperti ditusuk pedang! Ternyata dengan tangan kirinya si Dewa Pedang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kalau dia menggunakan ilmu itu, tangan kirinya seperti pedang saja, dapat melukai lawan...!

Si Pedang Tumpul Jilid 06

Pek-mau-sian Thio Ki menggerakkan bibirnya ke arah senyum, matanya menatap wajah rekannya dengan tajam dan dia menggerakkan telunjuknya menuding muka rekan itu.

"Dewa Arak, engkau ini selalu ugal-ugalan, akan tetapi hati dan pikiranmu terbuka. Seperti juga kalian, aku tidak mau terbelenggu nafsu dan perasaan, tak mau terikat oleh apa pun. Aku hanya termenung memikirkan kebodohan wanita itu. Dia telah mengambil jalan sesat. Bagaimana mungkin dia menebus dosa dengan cara membunuh diri? Itu namanya bukan menebus dosa, melainkan menambah dosa menjadi semakin besar lagi!"

Sejak tadi Sin Wan mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Tiga orang tua itu memiliki pandangan yang aneh-aneh, yang berbeda dengan umum, namun diam-diam dia dapat menemukan kebenaran dalam ucapan mereka yang janggal itu. Akan tetapi, mendengar ucapan Pek-mau-sian Thio Ki, dia merasa terkejut dan penasaran, juga ingin sekali tahu.

"Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan bahwa dengan membunuh diri, ibuku telah berdosa? Bukankah ibuku seorang wanita yang berhati bersih, yang tidak akan sudi diperisteri pembunuh suaminya kalau saja tidak ingin menyelamatkan aku? Sesudah aku tidak terancam lagi, ibu menebus semua aib itu dengan membunuh diri, kenapa locianpwe menganggap dia berdosa?”

"Ha-ha-ha-ha!" Dewa Arak tertawa, "Anak baik, aku tidak tahu apakah dia berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang tahu! Akan tetapi aku tahu bahwa dia bodoh. Alangkah piciknya orang yang membunuh diri! Kita tidak bisa menghidupkan, bagaimana boleh mematikan? Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi bunuh diri merupakan kematian yang dipaksakan, karena itu rohnya akan menjadi penasaran! Bodoh sekali ibumu, Sin Wan, perbuatannya itu tidak boleh kau tiru."

Sin Wan masih penasaran, maka dia menoleh kepada dua orang pendeta yang lain. Dewa Pedang mengelus jenggot dan menggelengkan kepala. Ia menarik napas panjang. "Bunuh diri merupakan perbuatan sesat. Bagaimana mungkin persoalan bisa diselesaikan dengan bunuh diri? Bunuh diri adalah perbuatan yang penuh nafsu dan nafsu akan melekat terus sehingga menjadi pengganggu yang tiada habisnya. Selama dalam kehidupan ini kita tidak mampu membebaskan diri dari ikatan dan cengkeraman nafsu. Ibumu benar-benar patut dikasihani, anak baik."

Sin Wan merasa semakin sedih.

“Sejak muda sekali, semenjak berusia delapan belas tahun, baru saja setahun mengecap kebahagiaan bersama suaminya, ibumu telah direnggut dari kebahagiaan dan sejak itu dia menderita siksaan lahir batin, dan sekarang setelah mati masih menanggung dosa!”

Sin Wan masih penasaran dan menoleh kepada Dewa Rambut Putih yang pertama kali mengatakan bahwa ibunya telah melakukan dosa karena membunuh diri. "Locianpwe, mendiang ibuku adalah seorang wanita yang saleh, selalu taat kepada Allah, juga tidak pernah melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dia menyerahkan diri kepada pembunuh suaminya dengan hanya satu tujuan mulia, yaitu ingin menyelamatkan nyawa anaknya. Apakah itu dapat dikatakan salah dan dosa?"

Karena anak itu bicara sambil memandang kepadanya, Dewa Rambut Putih tersenyum. "Sin Wan. ibumu telah terjebak ke dalam kekeliruan pendapat yang disilaukan oleh tujuan sehingga dia menghalalkan segala cara agar bisa mencapai tujuannya. Tujuannya adalah menyelamatkan anak dalam kandungan, kemudian menyelamatkan anaknya setelah lahir. Memang hal itu merupakan kewajiban seorang ibu, memelihara anaknya! Akan tetapi baik buruk dan benar salahnya bukan terletak pada tujuannya, melainkan dalam caranya atau pelaksanaannya. Karena silau oleh tujuannya dia memejamkan mata dan menempuh cara yang tidak selayaknya dia lakukan. Bagaimana mungkin cara yang salah dapat mencapai tujuan yang benar, cara yang kotor dapat mencapai tujuan yang bersih? Cara merupakan pohonnya, dan tujuan merupakan buahnya. Pohon yang buruk mana dapat menghasilkan buah yang baik?"

Sin Wan tertegun. Ucapan kakek rambut putih ini merupakan tusukan yang paling dalam dan membuka mata hatinya. Kasihan ibunya. Ibunya tidak sengaja melakukan perbuatan yang kotor dan salah. Dia harus sedapat mungkin membela lbunya!

"Akan tetapi, locianpwe, bukankah ibu telah berhasil menyelamatkan aku? Andai kata ibu menolak kehendak pembunuh suaminya, bukankah hal itu berarti ibu membunuhku pula? Padahal yang terutama baginya adalah menyelamatkan anaknya!"

"Siancai...! Anak baik, mati hidup berada di tangan Tuhan. Jika Dia menghendaki engkau mati, siapa yang akan sanggup menyelamatkanmu? Sebaliknya, kalau Dia menghendaki engkau hidup. siapa pula yang akan dapat membunuhmu?"

Kalimat terakhir ini langsung disambar dan dipegang oleh Sin Wan sebagai bahan untuk membela terhadap lbunya dan juga hiburan dalam hatinya. "Kalau begitu, locianpwe, kematian ibuku tentu juga telah dihendaki oleh Tuhan. Benarkah demikian?"

“Tentu saja!" jawab Pek-mau-sian Thio Ki dengan pasti. "Kalau tidak dikehendaki Tuhan, tentu dia tidak akan mati."

"Nah, kalau begitu ibu tak berdosa! Ibu hanya melakukan sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan!" kata anak itu dengan nada penuh kemenangan.

Tiga orang pertapa itu saling pandang dan ketiganya lalu tertawa. Sin Wan memandang kepada mereka bergantian dengan heran.

"Mengapa samwi (anda bertiga) tertawa? Apakah aku mengeluarkan kata-kata yang tidak benar?"

"Siancai... engkau ini seorang anak yang berpandangan luas dan mempunyai bakat baik untuk mempelajari ilmu tentang kehidupan, Sin Wan," kata Dewa Pedang. "Memang tidak keliru bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan, karena memang Tuhan-lah yang menentukan segalanya. Ada pun sikap menyerah dan pasrah kepada Tuhan merupakan sikap yang sudah sepatutnya dilakukan manusia. Akan tetapi bukan berarti menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa-apa! Juga bukan berarti kita mempersekutu Tuhan, atau bahkan menuntut agar Tuhan bekerja demi kepentingan kita! Tuhan menciptakan kita terlahir di dunia ini lengkap dengan semua alat untuk hidup, untuk bekerja, untuk berikhtiar mempertahankan hidup kita, untuk memuja Tuhan melalui segala perbuatan kita. Jika kita tidak berbuat apa-apa, itu berarti kita melalaikan tugas hidup kita. Karena kita diberi hati akal pikiran, diberi pengertian mengenai baik dan buruk, tentu saja menjadi tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia ini. Berarti kita membantu pekerjaan Tuhan! Bagaimana Tuhan dapat membantu kita kalau kita tidak berusaha membantu diri kita sendiri?"

"Maksud locianpwe?”

"Contohnya, untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu Tuhan sudah menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman untuk kita. Akan tetapi untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan, maka kita harus mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan sesudah itu tugas kita masih belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan bila sudah menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti bagaimana cara yang terbaik untuk bisa memperoleh makanan, yaitu dengan bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Pelaksanaannya itulah yang menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja. Kita pun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam maya pada ini, baik yang bergerak mau pun yang tidak, hidup tumbuh dan bekerja? Pohon pun tiada hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya. Mengertikah engkau, Sin Wan?"

Anak itu mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya. Tiga orang pertapa itu seperti menguak kesadarannya, membuka hatinya dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran yang dapat dia rasakan.

Sekarang ibunya telah meninggal. Musuh besarnya juga telah meninggal. Semua itu telah dikehendaki Tuhan, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ibuku, demikian pikirnya dan teringat akan ajaran ibunya tentang agama Islam, yaitu agama ibunya, dia pun bergumam lirih. "Innalilahi wainna illahi rojiun...”

"Hemm, apa artinya ucapan itu, Sin Wan?" tanya Pek-mau sian Thio Ki.

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, demikianlah yang diajarkan ibu kepadaku dalam menghadapi kematian."

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan! Ha-ha-ha…! Bagus sekali itu, Sin Wan!" kata Dewa Arak. "Itu merupakan penyerahan yang mutlak atas kekuasaan Tuhan. Bagus sekali!"

"Siancai… siancai! Semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan, semua agama mengajarkan bahwa ADA SESUATU YANG MAHA KUASA, yaitu yang kita sebut Tuhan. Sesudah kini engkau mengerti, kami ingin mengajak engkau pulang ke rumahmu karena ada satu urusan penting yang akan kami bicarakan denganmu, Sin Wan," kata Pek-mau-sian Thio Ki.

Sin Wan memandang kepada pertapa berambut putih itu. "Locianpwe tentu maksudkan benda-benda pusaka yang dicuri oleh... ayah tiriku dari gudang pusaka istana kaisar itu bukan?"

"Hemmm, engkau memang anak yang cerdik sekali," kata Dewa Pedang dengan kagum. "Memang benar, kami adalah utusan Sribaginda Kaisar untuk membawa kembali benda-benda pusaka yang dicuri Se Jit Kong itu."

"Sebentar, locianpwe. Aku belum memberi penghormatan terakhir kepada ayah tiriku."

Sin Wan lalu berlari menuju ke makam Se Jit Kong yang berada di ujung yang berlawanan dari tanah perkuburan itu, dan dengan sikap hormat dia memberi penghormatan di depan makam itu. Tiga orang tosu itu mengikutinya dan memandang perbuatan Sin Wan dengan sinar mata yang kagum dan mereka mengangguk-angguk.

Setelah selesai, Sin Wan menghadapi mereka. "Mari, sam-wi locianpwe, peti terisi benda-benda pusaka itu akan kuserahkan kepada sam-wi."

Mereka berjalan meninggalkan tanah kuburan, dan karena tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk mengenal isi hati Sin Wan, Dewa Arak lalu bertanya, "Sin Wan, mengapa engkau tadi memberi hormat kepada makam Se Jit Kong? Bukankah dia telah membunuh ayah kandungmu dan juga telah menculik dan memaksa ibumu?"

Sambil melangkah Sin Wan menundukkan kepalanya dan menggeleng, lantas menjawab, "Aku harus menghormati dia karena aku teringat akan kebaikan-kebaikannya. Dia selalu baik kepadaku, dan kulihat dia baik pula kepada ibuku."

"Ha-ha-ha, engkau sama juga dengan yang lain, Sin Wan, menilai kebaikan dari keadaan lahir saja. Kebaikan macam itu palsu adanya."

"Ehhh? Bagaimana locianpwe mengatakan palsu? Aku yang merasakan sendiri dan dia memang amat baik kepada ibu dan aku. Dia lembut dan mentaati ibu, dia menyayangku dan mengajarku dengan sepenuh hati."

"Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Tentu saja dia baik kepadamu karena dia harus berbaik, kalau tidak, tentu ibumu takkan sudi menyerahkan diri kepadanya. Kebaikan macam itu datang dari nafsu, hanya merupakan akal-akalan saja karena kebaikan macam itu berpamrih. Itu bukan kebaikan namanya, melainkan cara yang licik untuk mendapatkan suatu hasil, ha-ha-ha!"

Walau pun masih kecil Sin Wan sudah membaca banyak macam kitab, maka dia dapat mengerti apa yang menjadi inti ucapan Dewa Arak. Dia menjadi semakin kagum terhadap tiga orang tua itu dan dia ingin sekali dapat menjadi murid mereka.

Bila dia berguru kepada mereka maka dia dapat mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat, akan tetapi juga lima pengetahuan tentang hidup. Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota Yin-ning karena tanah kuburan itu berada di luar kota. Matahari sudah condong rendah ke barat.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Ketika tiga orang pertapa dan Sin Wan memasuki pekarangan rumah itu, mereka terkejut sekali melihat salah seorang di antara para pelayan sudah rebah di ruangan depan dalam keadaan terluka parah. Sin Wan cepat berlutut di dekat pelayan itu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya. Pek-mau-sian Thio Ki yang pandai ilmu pengobatan segera menolong pelayan itu.

"Celaka... tuan muda... tadi ada lima orang yang datang dengan kereta, kami kira tamu... mereka menyerbu dan melarikan peti hitam."

"Itu peti benda-benda pusaka!" kata Sin Wan kaget.

"Mari kita kejar mereka !" kata Ciu-sian.

Dia menyambar tubuh Sin Wan lantas berlari cepat seperti terbang saja. Di antara mereka bertiga memang Dewa Arak yang memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang paling tinggi tingkatnya, maka dia yang memondong tubuh Sin Wan. Dua orang tosu lainnya juga berlari mengejar dan sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Yin-ning mengikuti jejak kereta yang meninggalkan jalur rodanya di tanah yang agak basah.

Karena tiga orang itu melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan ilmu berlari cepat yang membuat tubuh mereka seperti terbang saja, maka tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul sebuah kereta yang berada tidak jauh di depan, di luar sebuah hutan. Agaknya kereta itu hendak memasuki hutan dan bersembunyi sambil melewatkan malam di tempat gelap itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kelima orang yang berada di kereta ketika tiba-tiba mereka melihat tiga orang dan seorang anak laki-laki berdiri menghadang di depan kereta. Seorang di antara mereka yang menjadi kusir cepat membentak sambil mencambuki dua ekor kudanya. Dua ekor kuda itu meringkik lantas meloncat ke depan, menubruk ke arah Tiga Dewa dan Sin Wan!

Dewa Arak tertawa, kemudian menyambar tubuh Sin Wan dan dia sudah meloncat tinggi melewati kuda lantas hinggap di atas kereta, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih menyambut dua ekor kuda itu dengan menangkap kendali di dekat mulut, lalu sekali tarik, dua ekor kuda itu segera jatuh berlutut dengan kaki depan mereka dan tak mampu berkutik lagi!

Lima sosok bayangan hitam berloncatan dari kereta itu dan ternyata mereka adalah lima orang berpakaian hitam yang rata-rata nampak kokoh serta menyeramkan, berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Sebatang golok besar terselip di punggung mereka.

Dewa Arak meloncat turun lagi dan kini tiga oraag kakek itu berdiri menghadapi lima orang berpakaian hitam. Sin Wan berdiri agak di belakang Sam Sian sambil memandang penuh perhatian kepada lima orang itu.

Salah seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang sekepal sebelah, melangkah maju dan dengan sikap gagah dan suara menggeledek dia mengajukan pertanyaan sambil menudingkan dua jari tangan kiri ke arah tiga orang kakek. "Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan kami Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam)?"

Ciu Sian Si Dewa Arak tertawa. "Ha-ha-ha, banyak benar naga di jaman ini! Sekali muncul sampai ada lima ekor! Padahal di jaman dulu naga merupakan makhluk dewa yang dipuja sebagai penguasa lautan dan penguasa hujan! Hek I Ngo-liong, nama kami tiada harganya untuk kalian ketahui. Yang penting kami harap kalian bisa mempertahankan julukan naga sebagai makhluk sakti yang membantu pekerjaan Tuhan, juga mau mengembalikan peti yang kalian curi dari rumah Se Jit Kong!"

Lima orang itu otomatis menoleh ke arah kereta sehingga mudah diduga bahwa peti itu tentu disimpan di dalam kereta. Si kumis melintang mengerutkan alisnya mendengar olok-olok kakek yang mukanya merah dan sikapnya seperti pemabukan itu. "Agaknya kalian bertiga adalah orang-orang yang mengenal peraturan di dunia kangouw. Se Jit Kong mencuri pusaka dari gudang istana, lalu kami mencurinya dari dia. Semua itu menggunakan kekerasan. Dan kalian ingin minta begitu saja dari kami?"

“Heh-heh-heh, gagahnya! Lalu apa yang harus kami lakukan untuk dapat menerima peti berisi pusaka-pusaka istana itu?” tanya pula Dewa Arak.

"Kalian harus dapat mengalahkan golok kami!"

Setelah berkata demikian, lima orang itu menggerakkan tangan kanan ke belakang.

"Sing-sing-sing-sing-sing…!"

Nampak lima sinar berkelebatan dan Hek I Ngo-liong telah mencabut golok besar mereka. Golok pada tangan mereka itu lebar dan putih berkilauan saking tajamnya, ujungnya agak melengkung ke belakang dan runcing, gagangnya dihias ronce-ronce kuning. Dari gerakan mereka ketika mencabut golok saja sudah dapat diketahui bahwa mereka berlima adalah ahli-ahli golok yang tangguh.

Sekarang lima orang itu sudah berbaris setengah lingkaran menghadapi tiga orang kakek ini, tubuh mereka agak direndahkan, kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, lengan kiri lurus dengan jari telunjuk menuding ke arah lawan, dan golok di tangan kanan diangkat di belakang kepala dengan lengan melengkung sehingga golok itu lurus menunjuk ke arah lawan di depan pula. Gagah sekali kuda-kuda mereka ini, dan melihat pasangan itu, Dewa Pedang mengangguk-angguk.

"Agaknya ini yang dikenal dengan sebutan Ngo-liong To-tin (Barisan Golok Lima Naga) itu, ya? Bagus, tentu cukup baik untuk pinto (aku) berlatih pedang!"

Tidak terdengar suara apa-apa, namun tiba-tiba saja ada kilat menyambar dan tahu-tahu Kiam-sian Louw Sun yang tinggi kurus itu, yang tadi tidak nampak membawa pedang kini telah memegang sebatang pedang yang tipis, pedang yang tali melilit pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari)! Kakek ahli pedang ini tidak melepaskan jubahnya, juga tidak melepas capingnya yang menutupi kepala dan menyembunyikan mukanya.

Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih juga sudah bersiap membantu Dewa Pedang, namun Kiam-sian Louw Sun berkata, "Kalian berdua menjadi penonton sajalah. Aku ingin sekali berlatih, dan sekarang kebetulan ada mereka yang menjadi teman berlatih baik sekali!"

Maka mengertilah Ciu-sian dan Pek-mau-sian bahwa rekan mereka ltu sedang ketagihan bermain pedang sehingga timbul kegembiraannya menghadapi Barisan Golok Lima Naga itu, tentu saja untuk melatih dan menguji ilmu pedangnya. Karena itu mereka pun mundur ke belakang dan hanya menjadi penonton saja.

Sin Wan juga berdiri menonton dengan hati sedikit tegang. Dia mulai melihat kenyataan betapa kehidupan orang-orang yang menjadi ahli silat selalu dipenuhi pertentangan. Ayah tirinya sendiri selalu dimusuhi orang, dan sekarang ketiga orang pendeta ini pun demikian. Dan kalau bentuk kehidupan sudah sedemikian rupa, agaknya orang harus mengandalkan kepandaian silatnya untuk dapat bertahan, untuk dapat menang, bahkan agar dapat hidup lebih lama.

Dia mulai penasaran! Dia teringat akan cerita ibunya. Ayahnya, atau orang yang tadinya dianggapnya sebagai ayahnya, adalah seorang jahat. Tetapi tiga orang pendeta ini adalah orang-orang yang baik. Akan tetapi kenapa sama saja? Baik ayahnya mau pun tiga orang kakek ini selalu dihadapi musuh yang setiap saat siap mengadu nyawa! Dia tak dapat menahan perasaan penasaran dalam hatinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan perasaan ini menjadi pertanyaan kepada mereka.

Hek I Ngo-liong menjadi marah sekali karena mereka merasa diremehkan. Mereka adalah Hek I Ngo-liong yang sudah mendapatkan nama besar di dunia kang-ouw (sungai telaga, daerah persilatan) sehingga orang-orang kangouw yang tidak memiliki tingkat yang tinggi jarang ada yang berani menentang mereka.

Tapi kini laki-laki berpakaian pendeta ini melarang kawan-kawannya untuk membantunya dan hendak menghadapi Barisan Golok Lima Naga mereka seorang diri saja! Ini namanya penghinaan!

"Tosu sombong, engkau memang sudah bosan hidup!" bentak si kumis melintang dan dia mengelebatkan goloknya.

Gerakan ini merupakan isyarat atau aba-aba kepada empat orang rekannya, dan mereka pun bergerak secara aneh, berputaran membentuk lingkaran mengepung Kiam-sian Louw Sun. Setelah mengepung, mereka terus berlari mengitari Si Dewa Pedang, hanya berhenti untuk berganti posisi kedua tangan kemudian berlari lagi.

Dewa Pedang yang berada di tengah-tengah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang agak ditekuk. Dia membuat kuda-kuda yang disebut Menunggang Kuda. Kedua lengannya bersilang di depan dada, pedang di tangan kanan dalam kedudukan tegak lurus mengarah ke luar pula. Tubuhnya tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak, melirik ke kanan kiri dengan tenang namun tidak pernah berkedip mengikuti gerakan lima orang lawannya.

Tiba-tiba si kumis melintang mengeluarkan bentakan nyaring dan pada saat itu dia berada di belakang Dewa Pedang. Bentakannya disusul menyambarnya golok besar di tangannya ke arah tengkuk Dewa Pedang.

"Syuuuuttt...!" Biar pun golok menyambar dari belakang ke arah tengkuk, namun tubuh belakang Kiam–sian Louw Sun seolah mempunyai mata. Dengan tenang saja dia merendahkan tubuhnya hingga golok menyambar lewat di atas kepalanya. Pada detik berikutnya, seorang lawan dari kiri sudah membacokkan goloknya pula, kini golok itu menyambar dengan babatan ke arah kedua kakinya!

Dengan tubuh masih ditekuk rendah Dewa Pedang lalu melompat ke atas menghindarkan babatan pedang, hanya untuk menerima bacokan susulan dari kanan. Dia menggerakkan pedang menangkis.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar. Dewa Pedang memutar tubuh, sekarang pedangnya yang menangkis tadi menggunakan tenaga pentalan tangkisan, melindungi tubuhnya dari dua serangan lain dari golok berikutnya secara beruntun.

"Singgg...! Trang-tranggg...!" Lebih banyak lagi bunga api berpijar.

Kiranya barisan lima batang golok itu mempergunakan jurus yang mereka namakan Lima Rajawali Mengepung Ular. Sang lawan diibaratkan ular dan mereka mengepung kemudian mengirim serangan bertubi-tubi dan beruntun secara teratur sekali. Setiap serangan yang dihindarkan lawan langsung disusul serangan dari orang ke dua, ke tiga dan selanjutnya sehingga lawan yang dikepung tidak diberi kesempatan sama sekali untuk membalas!

Kiam-sian Louw Sun adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah kenyang dengan pengalaman. Sebelum dia menjadi pertapa dan tak pernah atau jarang lagi terjun di dunia persilatan, ia telah menjadi petualang dan sering menghadapi lawan yang tangguh dengan berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Oleh karena itu, dalam segebrakan saja, tahulah dia bahwa dia dalam keadaan yang berbahaya dan tidak menguntungkan.

Walau pun dia mampu melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedangnya, namun lima orang lawannya bukan orang lemah, apa lagi mereka memegang golok yang tidak mudah dirusak oleh pedang pusakanya. Kalau dia harus selalu mengelak dan menangkis, tanpa dapat membalas, berarti dia dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya.

Mendadak Dewa Pedang mengeluarkan suara melengking tinggi, kini pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, tubuhnya tertutup oleh benteng sinar pedang sehingga lima orang lawannya sukar untuk menembus sinar pedang itu dan tubuhnya lalu meloncat ke atas, lalu berjungkir balik membuat salto sampai tujuh kali baru dia turun dan sudah berada di luar kepungan!

Dengan cara demikian Dewa Pedang berhasil membuyarkan kepungan barisan golok itu. Dia tidak mau dikepung lagi. Untuk mencegah hal ini terjadi maka dia mendahului mereka dengan serangannya! Karena pedangnya memang lihai bukan main, orang yang diserang menjadi terhuyung dan baru dapat terhindar dari ciuman ujung pedangnya setelah dibantu oleh satu dua orang rekannya.

Begitu gagal menyerang Dewa Pedang segera membalik dan meloncat untuk menyerang pengeroyok lain! Dengan cara demikian kelima orang itu sama sekali tidak sempat untuk melakukan pengepungan seperti tadi.

Barisan golok itu sekarang membuat bentuk barisan lain atas isyarat si kumis melintang. Mereka mempergunakan siasat Dua Golok Tiga Perisai untuk menghadapi gerakan Dewa Pedang itu. Mereka berkelompok dan setiap serangan Dewa Pedang selalu dihadapi oleh tiga orang pengeroyok yang saling bantu untuk menghalau serangan pedang, seolah-olah ketiga orang itu membentuk tiga perisai melindungi diri, dan pada saat itu pula dua orang pengeroyok lain sudah menyerang Dewa Pedang dari belakang atau kanan kiri!

Siasat ini akhirnya merepotkan Kiam-sian Louw Sun pula. Serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan karena dihadapi tiga orang sekaligus, sedangkan dua orang lainnya selalu membalas dengan cepat sehingga dia tidak mungkin dapat melanjutkan serangan tanpa membahayakan diri sendiri.

Sin Wan melihat betapa dua orang kakek lain sekarang malah duduk bersila dan menjadi penonton. Sedikit pun tidak bergerak membantu kawan yang nampaknya sedang terdesak dan terancam bahaya itu. Hal ini membuat Sin Wan penasaran.

"Mengapa ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) tidak segera membantu locianpwe yang terancam bahaya itu, malah enak-enakan menonton dan tersenyum-senyum?" tegurnya sambil memandang kepada Dewa Arak yang kini bahkan meneguk arak dari guci sambil tersenyum senang seperti orang yang menikmati pertunjukan wayang di panggung saja!

"Heh-heh-heh! Sin Wan, apa kau ingin melihat Dewa Pedang marah-marah kepada kami? Apa bila kami membantunya, dia akan menganggap itu suatu penghinaan dan dia bahkan akan menyambut bantuan kami dengan sambaran pedangnya yang lihai itu!” kata si Dewa Arak.

"Ahh, kenapa begitu?" Sin Wan bertanya, tak percaya.

Sekarang Dewa Rambut Putih yang berkata seperti orang bersajak. "Seorang bijaksana memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak. Seorang pendekar menaruh kehormatan lebih tinggi dari pada nyawa. Seorang gagah memegang janjinya sampai mati dan selamanya takkan pernah menyesali perbuatannya!"

"Ha-ha-ha-ha, dan si Dewa Pedang adalah seorang bijaksana dan seorang pendekar yang gagah!" Dewa Arak menyambung.

Sin Wan mengerti, lantas mengangguk kagum dan dia pun memandang kembali ke arah pertandingan. Ia kini mengerti bahwa pada saat maju menghadapi lima orang itu, pertapa berpedang itu sudah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka, dan tindakannya melawan mereka merupakan suatu keputusan bahwa dia akan menghadapi segala akibatnya seperti sebuah janji yang tak akan dijilatnya kembali dan takkan pernah menyesal andai kata dia kalah dan tewas. Karena itu, kalau dia dibantu, dia tentu akan menjadi marah karena bantuan kawan-kawannya itu sama dengan merendahkan dia!

Begitu memandang ke arah pertandingan, Sin Wan menjadi kagum. Kiranya kini pertapa itu sama sekali tidak terdesak lagi. Gerakannya demikian cepatnya seperti seekor burung walet dan pedangnya menjadi gulungan cahaya yang menyilaukan mata. Karena dia terus berloncatan ke sana sini, maka lima orang pengeroyoknya mendapatkan kesukaran untuk rnenyudutkannya.

Mereka pun terpaksa mengejar ke sana sini dengan kacau dan tidak memiliki kesempatan untuk membentuk atau mengatur barisan kembali. Menghadapi seorang lawan seperti ini, mereka merasa seperti menghadapi lawan yang lebih banyak jumlahnya.

Memang benar seperti yang dikatakan Dewa Arak dan Dewa Rambut Putih tadi. Sebelum menghadapi lima orang itu seorang diri saja, Kiam-sian Louw Sun telah memperhitungkan bahwa dia akan mampu menandingi mereka. Dari gerakan mereka ketika meloncat turun dari kereta, juga ketika mereka mencabut golok dan memasang barisan, dia sudah dapat mengukur sampai di mana kira-kira kekuatan mereka.

Kini, setelah dia berhasil keluar dari himpitan barisan golok, Dewa Pedang meloncat jauh ke kiri, ke lawan yang paling ujung dan begitu lawan ini menyambutnya dengan bacokan golok, dia menangkis sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti) disalurkan lewat pedang sehingga ketika pedang bertemu golok, pedang itu seperti mengandung semberani yang amat kuat, menyedot dan menempel golok. Si pemegang golok terkejut sekali ketika tidak mampu melepaskan goloknya dari tempelan pedang dan pada saat itu pula tangan Kiam-sian Louw Sun sudah meluncur ke depan.

"Cratt...!" Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas dan dia meloncat ke belakang, memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan yang tercium tangan kiri Kiam-sian tadi terluka dan berdarah seperti ditusuk pedang! Ternyata dengan tangan kirinya si Dewa Pedang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kalau dia menggunakan ilmu itu, tangan kirinya seperti pedang saja, dapat melukai lawan...!