Si Pedang Tumpul Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pegunungan yang berderet sepanjang sembilan puluh kilometer itu memang patut dengan nama yang diberikan orang kepadanya sejak ribuan tahun yang silam, yaitu Gunung Api. Menakjubkan bila melihat pegunungan yang berkilauan merah seperti api yang membara itu. Baru melihat bentuk dan warnanya saja sudah menimbulkan perasaan panas, seperti orang melihat gunung yang terbakar membara.

Terlebih lagi jika mengingat bahwa di kaki pegunungan itu sebelah selatan adalah daerah Turfan, yaitu daerah yang dikenal sebagai tempat yang paling panas di seluruh daratan Cina. Daerah Turfan merupakan daerah berlekuk seperti mangkuk yang letaknya amat rendah.

Para musafir kelana atau rombongan pedagang yang melawat ke See-thian (dunia barat, yang dimaksudkan India), atau datang dari sana menuju ke timur, ketika melewati daerah Turfan yang mereka takuti ini dan memandang ke utara, selalu menganggap bahwa hawa panas itu tentu datang dari Gunung Api itu!

Sebenarnya tidaklah demikian. Pegunungan ini tidak mengandung api, bukan pula gunung berapi. Akan tetapi pegunungan ini terdiri dari batu padas yang warnanya merah laksana api membara. Tingginya sekitar lima ratus meter dari permukaan laut dan hawanya tidak begitu panas, meski pun pegunungan padas itu terlihat gundul karena jarang ada tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup di sana.

Hanya binatang onta dan kuda dari daerah itu saja yang sanggup membawa rombongan kafilah melintasi daerah Turfan. Pada saat tengah hari kadang-kadang hawanya demikian panas menyengat, bahkan lebih panas dari pada hawa di Gurun Gobi.

Namun, apa bila tidak memikirkan hal-hal yang merugikan dan membahayakan manusia, pemandangan alam di daerah itu memang sangatlah indahnya, keindahan yang tidak bisa didapatkan di daerah lain. Pantaslah kalau penduduk sekitar yang tinggal di wilayah yang lebih subur menganggap daerah ini sebagai tempat kediaman Dewa Api dan keluarganya.

Menurut dongeng setempat, Dewa Api telah melakukan kesalahan di kahyangan sehingga oleh Yang Maha Kuasa lalu dibuang ke Gunung Api dan menjadi penunggu pegunungan itu. Indah dan agung, pegunungan membara yang melintang tiada putusnya, seolah-olah menjadi benteng penghalang bagi para pedagang dari timur dan barat.

Di sepanjang jalan yang dibuat oleh kafilah, terdapat tulang rangka manusia dan binatang berserakan, tanda bahwa sudah banyak korban yang jatuh ketika melewati daerah Turfan. Maka timbullah kepercayaan bahwa Dewa Api telah menyuruh anak-anak buahnya untuk membantai orang-orang berdosa yang kebetulan melewati daerah itu. Makin lama makin jarang kafilah melalui daerah ini, dan kalau ada yang berani, tentu rombongan itu dikawal oleh sepasukan pengawal yang gagah berani dan berkepandaian tinggi.

Matahari telah bergeser ke langit barat ketika rombongan yang cukup besar itu memasuki daerah Turfan. Sepuluh ekor unta, lima belas ekor kuda, membawa tujuh belas orang dan banyak barang dagangan. Mereka datang dari timur, hendak menuju ke barat.

Dua orang yang bertubuh gemuk dan menunggang unta-unta terbesar adalah dua orang pedagang berbangsa Han. Lima belas orang berkuda adalah orang-orang dari suku Kasak yang terkenal gagah perkasa dan pandai menunggang kuda. Pada jaman itu, orang-orang Kasak yang terkenal jagoan mendapat banyak keuntungan dari pekerjaan mereka sebagai pengawal-pengawal yang boleh diandalkan.

Dua orang pedagang bangsa Han itu sama-sama berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka adalah pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman, tetapi biasanya mereka berdagang ke Tibet, Bhutan dan Nepal. Baru sekali ini mereka menuju ke See-thian untuk berdagang dan membawa barang dagangan yang sangat berharga, antara lain sutera dan batu-batu mulia yang di dunia barat mempunyai harga tinggi.

Begitu memasuki daerah Turfan mereka langsung disambut sengatan sinar matahari yang membuat mereka mengeluh. Beberapa kali mereka menoleh kepada pasukan pengawal, meminta agar dicarikan tempat teduh untuk beristirahat. Kepala pasukan pengawal, seorang Kasak yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, mengangkat tangan dan menggoyangnya sebagai tanda tak setuju.

"Kita harus dapat melewati Turfan sebelum malam tiba!"

Dan dia pun membunyikan cambuknya di belakang dua ekor onta itu, membuat dua ekor onta itu terkejut dan melangkah lebih cepat. Dua orang pedagang di atas punggung onta terangguk-angguk dan tidak berani membantah, karena dalam perjalanan yang berbahaya itu mereka harus tunduk kepada kepala pengawal yang mengatur keamanan perjalanan itu.

Mereka hanya dapat minum air teh jeruk untuk melarutkan ketidak senangan hati mereka. Setelah hati mereka sejuk kembali, dua orang saudagar itu terangguk-angguk melenggut di atas onta, sengatan matahari membuat mereka mengantuk sekali.

Tiba-tiba dua orang pedagang itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Begitu membuka mata, mereka melihat betapa sepuluh orang pengawal berkuda sudah mengelilingi onta mereka dengan sikap siaga, sedangkan lima orang lainnya, dipimpin kepala pengawal berhadapan dengan seorang laki-laki asing yang berdiri dengan sikap angkuh.

Laki-laki itu berusia hampir enam puluh tahun, tubuhnva tinggi tegap dengan dada yang bidang. Dua lengan bajunya digulung sampai siku membuat sepasang lengan itu nampak kekar dan dihias otot melingkar-lingkar. Rambutnya sudah bercampur uban, diikat ke atas dan tertutup sebuah caping lebar yang melindungi wajahnya dari sengatan matahari.

Telinganya yang lebar, bukit hidung yang tinggi, mata sipit yang kedua ujungnya menurun, bentuk pakaiannya, jelas menunjukkan bahwa pria itu adalah Bangsa Uigur. Suku Uigur dan suku Kasak merupakan dua suku bangsa yang paling banyak berada di daerah Sin-kiang atau daerah barat ini.

Kedua orang saudagar itu melihat betapa kepala pengawal marah-marah dan mengusir orang Uigur itu agar tidak menghalang di jalan. Akan tetapi orang Uigur itu hanya tertawa saja, suara ketawanya lantang dan bernada meremehkan.

Kepala pasukan semakin marah, kemudian bersama empat orang anak buahnya dia pun berloncatan turun dari atas kuda mereka dan segera menyerang orang Uigur tinggi besar itu dengan golok mereka. Penghadang itu tidak bersenjata, namun tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok yang menyambar-nyambar itu. Sungguh mengherankan dan mengagumkan sekali melihat tubuh yang tinggi besar itu dapat bergerak seringan itu, dengan kecepatan gerak seperti. seekor burung walet saja.

"Siapakah dia dan mengapa mereka berkelahi?" Saudagar gendut yang kepalanya botak bertanya kepada seorang anggota pengawal terdekat.

"Orang itu adalah seorang perampok."

"Ahhh...!" Dua orang saudagar memandang terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali.

"Tidak perlu khawatir. Sebentar lagi dia tentu dapat dibunuh," pengawal itu menghibur.

Akan tetapi, melihat betapa perampok itu belum juga dapat dirobohkan dan gerakannya seperti seekor burung walet saja, sepuluh orang pengawal yang bertugas melindungi dua orang pedagang itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan sekarang mereka semua telah mencabut senjata golok melengkung.

Sesudah belasan jurus lewat tanpa ada sebatang pun golok yang mampu menyentuhnya, perampok tinggi besar itu tertawa bergelak, kemudian kaki tangannya bergerak cepat dan dia mulai membalas serangan para pengeroyoknya. Dia memainkan ilmu silat yang aneh, kakinya berloncatan ke sana sini dan dua tangannya diputar-putar, seperti gerakan seekor burung. Akan tetapi akibatnya bukan main!

Empat orang pengeroyok roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali karena di kepala mereka telah terdapat luka berlubang bekas ditembusi jari tangan perampok itu! Bahkan kepala pengawal juga hanya mampu menghindarkan maut setelah dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

Kepala pengawal segera meloncat berdiri dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Dia menudingkan goloknya ke arah wajah perampok itu. "Siapakah engkau? Orang Uigur biasanya tidak saling mengganggu dengan kami Bangsa Kasak. Mengapa engkau hendak mengganggu pekerjaan kami?"

"Ha-ha-ha! Kalian orang-orang Kasak yang pelit! Aku hanya menghendaki batu-batu giok (kemala) itu. Serahkan kepadaku dan kalian boleh ambil semua sisa barangnya. Dua ekor babi gemuk ini kita sembelih saja!" kata si perampok yang tinggi besar itu.

"Orang rendah! Kami adalah orang-orang Kasak yang gagah! Kami bukan sahabat orang Han, akan tetapi sekali kami menerima tugas dan tanggung jawab, maka akan kami bela sampai mati! Jangan harap engkau akan bisa mengambil sepotong pun benda yang kami lindungi sebelum kami menggeletak sebagai mayat!" teriak pemimpin pengawal Kasak itu dengan suara lantang dan sikap gagah. Kemudian dia menoleh ke arah anak buahnya. "Bentuk barisan pedang bintang!"

Sepuluh orang pengawal yang tengah melindungi dua orang pedagang itu kini berloncatan mengepung perampok itu bersama kepala pasukan. Mereka segera membentuk barisan pedang bintang yang memiliki gerakan teratur, mengelilingi si perampok sambil berlarian dan memainkan golok yang digerak-gerakkan dari atas ke bawah, lantas diputar ke atas kembali. Gerakan ini mendatangkan sinar berkilauan karena tertimpa sinar matahari.

Akan tetapi perampok tinggi besar itu tidak menjadi gentar, bahkan tertawa. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring sambil menggerak-gerakkan dua lengannya, dan semua perampok melihat betapa sepasang lengan yang berkulit kecoklatan terbakar sinar matahari itu kini sudah berubah menjadi merah bagaikan api membara! Melihat ini, kepala pengawal terkejut bukan main.

"Kau... kau... adalah Datuk Besar Tangan Api?" Dia tergagap. "Bukankah engkau sudah mengundurkan diri bahkan kini tinggal di daerah kami Bangsa Kasak dan diterima dengan baik?"

"Ha-ha-ha, matamu masih awas. Nah, cepat serahkan kemala-kemala itu dan aku akan mengampuni kalian!" Si Tangan Api itu berkata.

"Bukan watak kami Bangsa Kasak untuk menyerah tanpa melawan!” kepala pengawal itu berseru. "Kami adalah orang-orang yang setia kepada tugas sampai mati!"

"Bagus, kalau begitu kalian akan mati!” bentak Si Tangan Api.

Kini barisan bintang yang terdiri dari sebelas orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan melakukan penyerangan dengan serentak dan teratur. Yang mereka sebut Barisan Pedang Bintang itu sesungguhnya adalah barisan pedang yang teratur rapi dan mereka mempelajarinya dari seorang perwira Bangsa Mongol ketika pasukan Mongol menyerbu ke Barat. Akan tetapi karena mereka biasa mempergunakan senjata golok, maka mereka bukan memainkan pedang melainkan golok.

Melihat senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan teratur sekali, Si Tangan Api bersikap tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah meninggalkan bibir. Dia menggunakan kedua tangannya yang telanjang sampai ke siku, kedua lengan yang kulitnya kemerahan seperti api membara, seperti Gunung Api yang nampak dari situ.

Ketika dia menggerakkan kedua lengannya menangkis, maka terdengar suara berdenting seolah-olah dua lengan itu terbuat dari pada baja! Dan setiap kali lengannya menangkis, pada saat golok lawan terpental, secepat kilat tangannya yang kedua menyambar.

"Bukkk!" Yang kena terpukul berteriak, tubuhnya terjengkang dan tak mampu bergerak lagi. Bagian tubuh yang terkena pukulan tangan terbuka itu berwarna hitam seperti terbakar dan ada bekas telapak tangan di bagian itu, dan orangnya tewas seketika!

Terdengar teriakan susul menyusul lantas sebelas orang pengeroyok itu roboh satu demi satu! Si Tangan Api menyapu dengan pandang matanya. Melihat lima belas orang Kasak itu sudah roboh semua dan tidak ada yang bargerak lagi, dia pun mengangkat muka ke atas lalu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh.

Dua orang saudagar yang menjadi ketakutan sudah merosot turun dari onta mereka dan melihat seluruh pengawal mereka sudah tewas, mereka lalu melarikan diri. Perut mereka yang gendut bergayutan karena tidak biasa bekerja keras apa lagi berlari. Mereka jatuh bangun dan belum ada seratus langkah, mereka sudah terengah-engah kehabisan napas. Melihat mereka lari, Si Tangan Api mengangkat tangan kanan ke atas lantas dia berteriak lantang, suaranya amat berpengaruh.

"Heiii...! Kalian berdua, berhenti...!"

Tiba-tiba saja dua orang yang lari terhuyung-huyung itu berhenti, seolah-olah kaki mereka mendadak melekat pada tanah yang mereka injak.

“Kembalilah kalian ke sini!” teriak pula Si Tangan Api.

Teriakan itu membuat mereka makin ketakutan. Mereka ingin melarikan diri secepatnya, ingin meninggalkan tempat itu sejauhnya, akan tetapi sungguh aneh. Kaki mereka bukan saja tidak mau diajak berlari, bahkan sekarang kaki itu membawa mereka membalik dan berlawanan dengan kehendak mereka, kedua kaki mereka justru melangkah menghampiri perampok yang telah membunuh semua pengawal mereka.

Tentu saja kedua orang ini menggigil ketakutan ketika berdiri di hadapan perampok yang menatap mereka sambil tersenyum itu. Mereka merasa bingung sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka merasa seperti dalam mimpi dan tidak mampu menguasai tubuh mereka lagi.

"Berlututlah kalian!" teriak pula Si Tangan Api.

Kini dua saudagar itu menjatuhkan diri berlutut. Bukan saja karena kaki mereka memang menghendaki begitu, akan tetapi juga karena rasa takut yang menghantui hati. Si Tangan Api menggunakan kakinya menendang dua batang golok yang banyak berserakan di situ, ke arah dua orang saudagar itu.

"Kalian ambil golok itu!"

Sungguh aneh. Perintah ini seolah tak mungkin dapat dibantah. Di luar kemauan mereka, dua orang pedagang itu menjulurkan tangan mengambil golok pada gagangnya.

"Nah, sekarang kalian bunuh diri dengan golok itu! Penggal leher kalian sendiri!"

Perintah yang benar-benar aneh. Tentu saja dalam hati kecil mereka, dua orang saudagar ini menentang dan tidak mau. Akan tetapi kekuatan yang sangat besar mendorong dalam benak mereka, dan tanpa dapat dicegah lagi tangan yang memegang golok itu mengayun golok dan dua orang pedagang itu menebas leher sendiri dengan golok di tangan masing-masing. Mereka tidak sempat mengeluarkan suara, roboh mandi darah yang bercucuran keluar dari luka parah pada leher mereka!

"Ha-ha-ha-ha, bagus! Baik ilmu silatku, tenagaku, mau pun ilmu sihirku, semuanya masih ampuh, ha-ha-ha!"

Sambil tertawa-tawa dia lalu memeriksa semua barang bawaan, mengambil kantung terisi perhiasan emas permata dan terutama sekali ukiran batu giok (kemala), memilih tiga ekor kuda, meloncat ke atas punggung seekor kuda dan menarik tali kendali dua ekor yang lain kemudian dia melarikan kuda meninggalkan tempat itu.

Sunyi senyap di tempat pembantaian manusia itu. Kesunyian yang amat mencekam dan mengerikan. Tiga ekor burung semacam rajawali terbang lalu, dan mereka mengeluarkan bunyi mencicit panjang. Agaknya tiga ekor burung itu juga turut merasa ngeri dan prihatin menyaksikan akibat ulah manusia yang dikenal sebagai makhluk paling mulia dan paling tinggi derajatnya di seluruh permukaan bumi.

Bagi burung-burung itu, tidak ada makhluk yang lebih ganas dari pada manusia. Manusia membunuhi makhluk lain hanya demi mengejar kepuasan dan kesenangan, bukan karena kebutuhan mutlak.

Hawa udara yang biasanya memang sangat panas itu menjadi semakin panas saja. Nafsu adalah api yang paling panas, yang dapat membakar segala sesuatu dengan liar apa bila tidak terkendali. Bahkan sekarang matahari bersembunyi di balik segumpal awan, seolah merasa malu melihat apa yang terjadi di daerah Turfan itu.

Hanya untuk satu kantung emas permata seorang manusia tega membunuh tujuh belas orang manusia lain dengan hati dan tangan dingin. Hanya untuk merampas satu kantung benda mati, karena benda itu dianggap dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan bagi gairah nafsunya.

Kurang lebih satu jam setelah Si Tangan Api pergi, muncul tiga orang pria lain di daerah yang panas itu. Mereka berusia sekitar lima puluh tahun dan mereka berpakaian seperti pendeta atau pertapa, pakaian yang sangat sederhana dari kain kasar berwarna putih dan kuning.

Di daerah barat ini terdapat banyak pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan ramai, maka kehadiran tiga orang ini tentu bukan merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi jika mereka berada di timur tentu dunia persilatan akan mengenal mereka dengan baik karena mereka ini merupakan tiga orang manusia sakti yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa)!

Biar pun selama ini mereka bertiga itu tidak pernah muncul berbareng di dunia persilatan, akan tetapi karena ketiganya merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, maka mereka mendapat julukan Sam Sian. Mereka sudah jarang sekali muncul di dunia ramai semenjak mereka mengundurkan diri pada belasan tahun yang lalu.

Ciu-sian (Dewa Arak) diberikan sebagai julukan Tong Kui yang bermuka selalu kemerahan seperti orang mabok. Wataknya ugal-ugalan seperti orang mabok, perutnya gendut walau pun tubuhnya tidak terlampau gemuk sehingga dia nampak seperti kanak-kanak bertubuh besar yang berpenyakit cacingan. Pakaiannya penuh tambalan.

Dilihat sepintas lalu, tidak ada apa-apanya yang mengesankan. Namun orang ini memiliki ilmu kepandaian silat tangan kosong yang sulit ditemukan keduanya, dan dia pun memiliki sinkang (tenaga sakti) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat dahsyat.

Orang ke dua bersama Louw Sun. Dia dijuluki Kiam-sian (Dewa Pedang) karena memang ilmu pedangnya sulit dikalahkan, bahkan selama ini belum pernah ada orang yang mampu menandinginya. Mukanya kekuningan dan tubuhnya tinggi kurus.

Walau pun julukannya Dewa Pedang, namun tidak nampak dia membawa pedang seperti para pendekar lainnya yang menaruh pedang di punggung atau di pinggang. Selain ilmu pedang dia juga ahli dalam banyak macam ilmu silat, ahli pula tentang filsafat Agama To. Kepalanya dilindungi dengan sebuah caping lebar dan pakaiannya yang juga sederhana itu nampak bersih.

Orang ke tiga bernama Thio Ki dan dia dijuluki Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Entah kenapa, sejak berusia tiga puluh tahun rambutnya telah berubah putih semua. Wajahnya tampan dan dia selalu tersenyum ramah sehingga rambut yang kesemuanya sudah putih itu tidak membuat dia nampak tua. Tubuhnya kurus sedang dengan pakaian yang terbuat dari kain sederhana akan tetapi potongannya rapi walau pun tetap longgar seperti pakaian pendeta. Pada pinggangnya terselip sebuah kipas bergagang gading, lagak dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan atau setidaknya terpelajar.

Penampilannya menunjukkan seorang yang lemah. Akan tetapi justru penampilannya ini yang menyembunyikan kepandaian hebat. Selain ahli silat yang tingkatnya tidak di bawah dua orang rekannya, Dewa Rambut Putih ini pun memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!

Tiga orang sakti itu segera melihat beberapa ekor kuda yang berlarian liar. Kuda-kuda itu masih dipasangi kendali. Tentu saja mereka merasa penasaran, namun mereka langsung bisa menduga bahwa para penunggang kuda-kuda ini tentu akan merasa kehilangan. Dan peristiwa ini membuktikan adanya kejadian yang tak wajar. Tanpa bicara lagi mereka pun segera menggunakan ilmu berlari cepat, menuju ke arah dari mana datangnya kuda-kuda itu.

Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat pembantaian tadi. Mereka menghampiri dan sejenak mengamati mayat-mayat itu, kemudian tahu bahwa mereka itu telah menjadi korban pembantaian.

"Siancai (damai)...! Di mana-mana nafsu menguasai manusia sehingga terjadi kejahatan keji! Sungguh menyedihkan sekali, siancai...!"

Kiam-sian Louw Sun menarik napas panjang. "Pek-mau-sian, engkau pernah bilang bahwa seluruh alam mayapada ini berputar karena keseimbangan antara Im (negatif) dan Yang (positif). Kalau tidak ada malam, mana ada siang? Kalau tidak ada kejahatan, mana ada kebajikan? Yang disebut baik baru ada kalau ada keburukan. Nah, kenapa sekarang engkau merasa bersedih?"

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Ciu-sian Tong Kui tertawa sambil berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan dan barang-barang dagangan serba mahal yang juga berserakan, di antaranya gulungan sutera-sutera indah. ”Mati bukan persoalan, semua manusia mesti mati. Hanya, cara kematian itulah yang paling penting! Mereka semua ini mati konyol namanya, mati penasaran sehingga roh-roh mereka menjadi setan penasaran!" Tiba-tiba Dewa Arak itu berhenti tertawa. "Ihhh...! Dia ini belum mati!” teriaknya.

Dua orang rekannya berkelebat cepat dan kini mereka bertiga sudah berjongkok di dekat tubuh kepala pengawal. Dia mempunyai tubuh yang lebih kuat dari pada teman-temannya, maka kalau semua anak buahnya mati seketika terkena hantaman lawan, dia juga roboh akan tetapi masih dapat bertahan.

Setelah tiga orang sakti itu memeriksanya sejenak, tahulah mereka bahwa orang ini tidak mungkin dapat diselamatkan pula. Ciu-sian Tong Kui menotok jalan darah di tengkuk dan kedua pundak, lalu mengurut dada. Kepala pengawal itu mengeluh lirih, membuka kedua matanya dan memandang tiga wajah di atasnya itu dengan mata kuyu.

"Apa yang terjadi? Siapa yang membunuh kalian?" tanya Dewa Pedang.

Si kepala pengawal memejamkan mata, mengerahkan tenaga terakhir, lantas membuka matanya lagi. Dengan sukar mulutnya bergerak mengeluarkan suara yang parau sesudah dia muntah darah menghitam.

"Si... Tangan... Api..." Dia terkulai dan matanya terpejam.

. Tiga orang itu terbelalak dan kelihatan bersemangat ketika mendengar disebutnya nama Si Tangan Api. Melihat keadaan orang yang terluka parah itu, Dewa Rambut Putih segera mengerahkan kekuatan batinnya, mengusap muka dan dada orang itu. Dan sungguh aneh, kepala pengawal yang tadi kelihatan sudah putus napasnya itu membuka matanya yang sudah kosong sinar, seperti orang mimpi saja.

"Cepat katakan, di mana Si Tangan Api?" kata Dewa Rambut Putih, suaranya tidak wajar, melengking dan penuh getaran yang berwibawa.

Kiranya orang sakti ini sedang menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan sihirnya untuk memberi dorongan semangat sehingga pada saat-saat terakhir orang yang sudah sekarat itu masih akan dapat memberi keterangan yang diinginkannya.

"...di... Yin-ning... Yi-li..." Hanya sekian saja orang itu dapat bicara. Dia pun terkulai dan tewas. Akan tetapi disebutnya Yin-ning dan Yi-li itu saja sudah cukup bagi Tiga Dewa.

Telah berbulan-bulan mereka berkeliaran di daerah barat ini, bahkan menjelajahi Tibet dan Sin-kiang untuk mencari satu orang saja, yaitu Si Tangan Api! Mereka tahu bahwa Yin-ning adalah sebuah kota yang terdapat di daerah Yi-li, daerah yang menjadi pusat tempat tinggal orang-orang Kasak.

Siapakah Tiga Dewa dan apa hubungan mereka dengan Si Tangan Api? Seperti telah kita ketahui, Tiga Dewa adalah tiga orang tokoh persilatan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sebenarnya sejak belasan tahun yang silam mereka sudah menarik diri dari dunia persilatan, tekun bertapa untuk memajukan perkembangan jiwa mereka. Namun akhirnya mereka keluar juga ketika mereka mendengar bahwa di dunia persilatan terjadi kegemparan. Di dunia persilatan muncul seorang jagoan, seorang datuk golongan sesat yang berjuluk Si Tangan Api.

Datuk ini bukan hanya menguasai dunia kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan), akan tetapi dia juga mempergunakan ilmu kepandaiannya yang hebat untuk menaklukkan para pimpinan perguruan-perguruan silat besar seperti Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Bu-tong-pai, bahkan berani pula menghina pimpinan Siauw-lim-pai! Mendengar akan hal ini, Tiga Dewa terpaksa keluar dari tempat pertapaan mereka dan memenuhi permintaan para pimpinan perguruan-perguruan silat itu untuk menghadapi Si Tangan Api!

Akan tetapi, mereka terlambat. Si Tangan Api telah melarikan diri setelah melakukan hal yang amat menggemparkan, yaitu dia sudah memasuki gudang pusaka dari istana kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka! Tentu saja Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama Dinasti Beng menjadi sangat marah dan melalui para jagoan-jagoan istana dan penasehatnya, Kaisar Thai-cu juga minta bantuan Tiga Dewa untuk menangkap Si Tangan Api dan merampas kembali benda-benda pusaka itu.

Demikianlah, Tiga Dewa kemudian melakukan penyelidikan dan mereka mengikuti jejak Si Tangan Api yang memboyong keluarganya ke barat. Tetapi sesampainya di barat mereka kehilangan jejak. Mereka mencari-cari sampai berbulan-bulan lamanya, namun belum juga berhasil menemukan datuk sesat yang mereka cari itu. Kalau di timur, dunia persilatan mengenal Si Tangan Api sehingga akan mudah mencari jejaknya. Akan tetapi di daerah barat ini, agaknya tak seorang pun mengenal namanya.

Akhirnya tibalah mereka di daerah Turfan dan secara kebetulan mereka melihat korban keganasan tangan Si Tangan Api, dan kebetulan pula seorang di antara para korban itu masih sempat memberi keterangan kepada mereka sebelum mati. Setelah mendengar keterangan dari kepala pengawal, tiga orang sakti itu saling pandang, kemudian Ciu-sian Tong Kui tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha-ha-ha, akhirnya Tuhan berkenan mengulurkan bantuan kepada kita!"

"Hwe-siang-kwi (Iblis Tangan Api), sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!" kata pula Kiam-sian Louw Sun sambil meraba gagang pedang yang tak pernah meninggalkan pinggangnya. Dari luar tidak nampak dia membawa pedang, tapi sesungguhnya sebatang pedang yang aneh, pedang yang lentur tipis, melilit pinggangnya di dalam sarung pedang dari kulit ular.

Pek-mou-sian Thio Ki tersenyum lebar dan menengadah memandang langit. "Cepat atau lambat setiap pohon yang buruk pasti akan menghasilkan buah yang buruk pula. Setiap kejahatan membawa hukumannya sendiri, seperti setiap kebaikan membawa pahalanya sendiri. Tuhan Maha Adil dan Maha Kuasa.”

"Lalu bagaimana dengan mayat-mayat ini? Tak mungkin kita dapat meninggalkan mereka begini saja," kata Dewa Arak.

"Engkau benar, Ciu-sian. Aku pun tidak akan tega membiarkan mereka seperti itu," Dewa Pedang membenarkan. " Entah bagaimana pendapat Pek-mou-sian,"

"Tentu saja kita harus mengubur mayat-mayat itu lebih dulu," jawab Dewa Rambut Putih.

"Kenapa tidak dibakar saja, Pek-mou-sian?" tanya Ciu-sian Si Dewa Arak.

"Itu sama saja. Jasmani kita terdiri dari empat unsur, api, air, tanah, dan udara. Sesudah jasmani ditinggalkan jiwa, maka dia kembali ke asalnya, empat unsur itu kembali kepada sumbernya. Dalam keadaan seperti ini, paling mudah dan tepat kalau kita menguburkan mereka. Untuk membakar mereka, kita kekurangan bahan bakar dan akan makan waktu, sedangkan kita perlu segera mencari Si Tangan Api ke daerah Yi-li.”

Dua orang yang lain mengangguk setuju. Di antara mereka bertiga memang Dewa Rambut Putih yang paling pandai mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan. Tiga orang sakti itu lalu bekerja dengan cepat menggali sebuah lubang yang besar, mempergunakan golok-golok yang berserakan di situ. Sebelum senja tiba, mereka sudah selesai mengubur tujuh belas mayat itu ke dalam sebuah lubang yang besar dan menimbuni lubang itu.

Kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran terhadap Si Tangan Api. Dewa Arak tidak lupa mengambil beberapa meter sutera putih dan kuning untuk pengganti pakaian mereka kelak kalau ada kesempatan untuk membuatnya…

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Daerah Yi-li adalah nama yang diberikan kepada daerah subur di lembah Sungai Yi-li yang letaknya di perbatasan Cina bagian barat laut. Lembah itu sangat subur, di sini terbentang luas padang yang hijau dan subur, indah permai. Padang inilah yang disebut daerah Yi-li, yang termasuk wilayah Sin-kiang. Daerah ini menjadi pusat tempat tinggal Suku Bangsa Uigur dan Kasak.

Dua suku bangsa ini merupakan penghuni yang paling besar jumlahnya dan yang sudah turun temurun tinggal di daerah itu. Sebetulnya masih banyak lagi suku-suku bangsa yang tinggal di sana, namun jumlah mereka hanya sedikit saja, misalnya suku Mongol, Mancu, Usbek, Tartar, Sipo, dan sebagainya. Bahkan ada pula suku Han yang merupakan suku terbesar dan mengaku sebagai pribumi di Cina.

Walau pun bangsa Han hanya merupakan kelompok kecil saja, namun tentu saja mereka tetap terpandang karena setelah kekuasaan Mongol jatuh, kini Cina kembali dikuasai oleh kerajaan baru yang disebut Dinasti Beng (Terang), yang dipimpin oleh orang-orang Han. Padahal, kalau silsilah seseorang ditelusuri benar-benar, maka sukarlah dipastikan bahwa seseorang itu benar-benar asli!

Pernikahan antar suku sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, apa lagi dalam sebuah negara yang daerahnya luas dan memiliki puluhan macam suku. Tapi rupa-rupanya kaum peranakan, yaitu keturunan dari hasil kawin campuran itu, tetap mempertahankan kelas mereka dan mengaku sebagai Suku Han, karena cap pribumi ini agaknya mendatangkan semacam perasaan unggul dan bangga. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah bermacam-macam suku, hasil perkawinan nenek moyang mereka dengan suku-suku lain, baik dari pihak nenek moyang ayah mau pun ibu.

Di daerah Yi-li, yang paling kuat karena jumlahnya paling banyak adalah Suku Kasak dan Suku Uigur. Mereka hidup berkelompok tapi terpisah, meski dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap bergaul karena saling membutuhkan. Di dalam pasar mereka bersatu, juga warung-warung teh atau rumah-rumah makan menjadi tempat pertemuan dan pergaulan antar suku yang tidak membeda-bedakan...

Si Pedang Tumpul Jilid 01

Pegunungan yang berderet sepanjang sembilan puluh kilometer itu memang patut dengan nama yang diberikan orang kepadanya sejak ribuan tahun yang silam, yaitu Gunung Api. Menakjubkan bila melihat pegunungan yang berkilauan merah seperti api yang membara itu. Baru melihat bentuk dan warnanya saja sudah menimbulkan perasaan panas, seperti orang melihat gunung yang terbakar membara.

Terlebih lagi jika mengingat bahwa di kaki pegunungan itu sebelah selatan adalah daerah Turfan, yaitu daerah yang dikenal sebagai tempat yang paling panas di seluruh daratan Cina. Daerah Turfan merupakan daerah berlekuk seperti mangkuk yang letaknya amat rendah.

Para musafir kelana atau rombongan pedagang yang melawat ke See-thian (dunia barat, yang dimaksudkan India), atau datang dari sana menuju ke timur, ketika melewati daerah Turfan yang mereka takuti ini dan memandang ke utara, selalu menganggap bahwa hawa panas itu tentu datang dari Gunung Api itu!

Sebenarnya tidaklah demikian. Pegunungan ini tidak mengandung api, bukan pula gunung berapi. Akan tetapi pegunungan ini terdiri dari batu padas yang warnanya merah laksana api membara. Tingginya sekitar lima ratus meter dari permukaan laut dan hawanya tidak begitu panas, meski pun pegunungan padas itu terlihat gundul karena jarang ada tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup di sana.

Hanya binatang onta dan kuda dari daerah itu saja yang sanggup membawa rombongan kafilah melintasi daerah Turfan. Pada saat tengah hari kadang-kadang hawanya demikian panas menyengat, bahkan lebih panas dari pada hawa di Gurun Gobi.

Namun, apa bila tidak memikirkan hal-hal yang merugikan dan membahayakan manusia, pemandangan alam di daerah itu memang sangatlah indahnya, keindahan yang tidak bisa didapatkan di daerah lain. Pantaslah kalau penduduk sekitar yang tinggal di wilayah yang lebih subur menganggap daerah ini sebagai tempat kediaman Dewa Api dan keluarganya.

Menurut dongeng setempat, Dewa Api telah melakukan kesalahan di kahyangan sehingga oleh Yang Maha Kuasa lalu dibuang ke Gunung Api dan menjadi penunggu pegunungan itu. Indah dan agung, pegunungan membara yang melintang tiada putusnya, seolah-olah menjadi benteng penghalang bagi para pedagang dari timur dan barat.

Di sepanjang jalan yang dibuat oleh kafilah, terdapat tulang rangka manusia dan binatang berserakan, tanda bahwa sudah banyak korban yang jatuh ketika melewati daerah Turfan. Maka timbullah kepercayaan bahwa Dewa Api telah menyuruh anak-anak buahnya untuk membantai orang-orang berdosa yang kebetulan melewati daerah itu. Makin lama makin jarang kafilah melalui daerah ini, dan kalau ada yang berani, tentu rombongan itu dikawal oleh sepasukan pengawal yang gagah berani dan berkepandaian tinggi.

Matahari telah bergeser ke langit barat ketika rombongan yang cukup besar itu memasuki daerah Turfan. Sepuluh ekor unta, lima belas ekor kuda, membawa tujuh belas orang dan banyak barang dagangan. Mereka datang dari timur, hendak menuju ke barat.

Dua orang yang bertubuh gemuk dan menunggang unta-unta terbesar adalah dua orang pedagang berbangsa Han. Lima belas orang berkuda adalah orang-orang dari suku Kasak yang terkenal gagah perkasa dan pandai menunggang kuda. Pada jaman itu, orang-orang Kasak yang terkenal jagoan mendapat banyak keuntungan dari pekerjaan mereka sebagai pengawal-pengawal yang boleh diandalkan.

Dua orang pedagang bangsa Han itu sama-sama berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka adalah pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman, tetapi biasanya mereka berdagang ke Tibet, Bhutan dan Nepal. Baru sekali ini mereka menuju ke See-thian untuk berdagang dan membawa barang dagangan yang sangat berharga, antara lain sutera dan batu-batu mulia yang di dunia barat mempunyai harga tinggi.

Begitu memasuki daerah Turfan mereka langsung disambut sengatan sinar matahari yang membuat mereka mengeluh. Beberapa kali mereka menoleh kepada pasukan pengawal, meminta agar dicarikan tempat teduh untuk beristirahat. Kepala pasukan pengawal, seorang Kasak yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, mengangkat tangan dan menggoyangnya sebagai tanda tak setuju.

"Kita harus dapat melewati Turfan sebelum malam tiba!"

Dan dia pun membunyikan cambuknya di belakang dua ekor onta itu, membuat dua ekor onta itu terkejut dan melangkah lebih cepat. Dua orang pedagang di atas punggung onta terangguk-angguk dan tidak berani membantah, karena dalam perjalanan yang berbahaya itu mereka harus tunduk kepada kepala pengawal yang mengatur keamanan perjalanan itu.

Mereka hanya dapat minum air teh jeruk untuk melarutkan ketidak senangan hati mereka. Setelah hati mereka sejuk kembali, dua orang saudagar itu terangguk-angguk melenggut di atas onta, sengatan matahari membuat mereka mengantuk sekali.

Tiba-tiba dua orang pedagang itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Begitu membuka mata, mereka melihat betapa sepuluh orang pengawal berkuda sudah mengelilingi onta mereka dengan sikap siaga, sedangkan lima orang lainnya, dipimpin kepala pengawal berhadapan dengan seorang laki-laki asing yang berdiri dengan sikap angkuh.

Laki-laki itu berusia hampir enam puluh tahun, tubuhnva tinggi tegap dengan dada yang bidang. Dua lengan bajunya digulung sampai siku membuat sepasang lengan itu nampak kekar dan dihias otot melingkar-lingkar. Rambutnya sudah bercampur uban, diikat ke atas dan tertutup sebuah caping lebar yang melindungi wajahnya dari sengatan matahari.

Telinganya yang lebar, bukit hidung yang tinggi, mata sipit yang kedua ujungnya menurun, bentuk pakaiannya, jelas menunjukkan bahwa pria itu adalah Bangsa Uigur. Suku Uigur dan suku Kasak merupakan dua suku bangsa yang paling banyak berada di daerah Sin-kiang atau daerah barat ini.

Kedua orang saudagar itu melihat betapa kepala pengawal marah-marah dan mengusir orang Uigur itu agar tidak menghalang di jalan. Akan tetapi orang Uigur itu hanya tertawa saja, suara ketawanya lantang dan bernada meremehkan.

Kepala pasukan semakin marah, kemudian bersama empat orang anak buahnya dia pun berloncatan turun dari atas kuda mereka dan segera menyerang orang Uigur tinggi besar itu dengan golok mereka. Penghadang itu tidak bersenjata, namun tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok yang menyambar-nyambar itu. Sungguh mengherankan dan mengagumkan sekali melihat tubuh yang tinggi besar itu dapat bergerak seringan itu, dengan kecepatan gerak seperti. seekor burung walet saja.

"Siapakah dia dan mengapa mereka berkelahi?" Saudagar gendut yang kepalanya botak bertanya kepada seorang anggota pengawal terdekat.

"Orang itu adalah seorang perampok."

"Ahhh...!" Dua orang saudagar memandang terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali.

"Tidak perlu khawatir. Sebentar lagi dia tentu dapat dibunuh," pengawal itu menghibur.

Akan tetapi, melihat betapa perampok itu belum juga dapat dirobohkan dan gerakannya seperti seekor burung walet saja, sepuluh orang pengawal yang bertugas melindungi dua orang pedagang itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan sekarang mereka semua telah mencabut senjata golok melengkung.

Sesudah belasan jurus lewat tanpa ada sebatang pun golok yang mampu menyentuhnya, perampok tinggi besar itu tertawa bergelak, kemudian kaki tangannya bergerak cepat dan dia mulai membalas serangan para pengeroyoknya. Dia memainkan ilmu silat yang aneh, kakinya berloncatan ke sana sini dan dua tangannya diputar-putar, seperti gerakan seekor burung. Akan tetapi akibatnya bukan main!

Empat orang pengeroyok roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali karena di kepala mereka telah terdapat luka berlubang bekas ditembusi jari tangan perampok itu! Bahkan kepala pengawal juga hanya mampu menghindarkan maut setelah dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

Kepala pengawal segera meloncat berdiri dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Dia menudingkan goloknya ke arah wajah perampok itu. "Siapakah engkau? Orang Uigur biasanya tidak saling mengganggu dengan kami Bangsa Kasak. Mengapa engkau hendak mengganggu pekerjaan kami?"

"Ha-ha-ha! Kalian orang-orang Kasak yang pelit! Aku hanya menghendaki batu-batu giok (kemala) itu. Serahkan kepadaku dan kalian boleh ambil semua sisa barangnya. Dua ekor babi gemuk ini kita sembelih saja!" kata si perampok yang tinggi besar itu.

"Orang rendah! Kami adalah orang-orang Kasak yang gagah! Kami bukan sahabat orang Han, akan tetapi sekali kami menerima tugas dan tanggung jawab, maka akan kami bela sampai mati! Jangan harap engkau akan bisa mengambil sepotong pun benda yang kami lindungi sebelum kami menggeletak sebagai mayat!" teriak pemimpin pengawal Kasak itu dengan suara lantang dan sikap gagah. Kemudian dia menoleh ke arah anak buahnya. "Bentuk barisan pedang bintang!"

Sepuluh orang pengawal yang tengah melindungi dua orang pedagang itu kini berloncatan mengepung perampok itu bersama kepala pasukan. Mereka segera membentuk barisan pedang bintang yang memiliki gerakan teratur, mengelilingi si perampok sambil berlarian dan memainkan golok yang digerak-gerakkan dari atas ke bawah, lantas diputar ke atas kembali. Gerakan ini mendatangkan sinar berkilauan karena tertimpa sinar matahari.

Akan tetapi perampok tinggi besar itu tidak menjadi gentar, bahkan tertawa. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring sambil menggerak-gerakkan dua lengannya, dan semua perampok melihat betapa sepasang lengan yang berkulit kecoklatan terbakar sinar matahari itu kini sudah berubah menjadi merah bagaikan api membara! Melihat ini, kepala pengawal terkejut bukan main.

"Kau... kau... adalah Datuk Besar Tangan Api?" Dia tergagap. "Bukankah engkau sudah mengundurkan diri bahkan kini tinggal di daerah kami Bangsa Kasak dan diterima dengan baik?"

"Ha-ha-ha, matamu masih awas. Nah, cepat serahkan kemala-kemala itu dan aku akan mengampuni kalian!" Si Tangan Api itu berkata.

"Bukan watak kami Bangsa Kasak untuk menyerah tanpa melawan!” kepala pengawal itu berseru. "Kami adalah orang-orang yang setia kepada tugas sampai mati!"

"Bagus, kalau begitu kalian akan mati!” bentak Si Tangan Api.

Kini barisan bintang yang terdiri dari sebelas orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan melakukan penyerangan dengan serentak dan teratur. Yang mereka sebut Barisan Pedang Bintang itu sesungguhnya adalah barisan pedang yang teratur rapi dan mereka mempelajarinya dari seorang perwira Bangsa Mongol ketika pasukan Mongol menyerbu ke Barat. Akan tetapi karena mereka biasa mempergunakan senjata golok, maka mereka bukan memainkan pedang melainkan golok.

Melihat senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan teratur sekali, Si Tangan Api bersikap tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah meninggalkan bibir. Dia menggunakan kedua tangannya yang telanjang sampai ke siku, kedua lengan yang kulitnya kemerahan seperti api membara, seperti Gunung Api yang nampak dari situ.

Ketika dia menggerakkan kedua lengannya menangkis, maka terdengar suara berdenting seolah-olah dua lengan itu terbuat dari pada baja! Dan setiap kali lengannya menangkis, pada saat golok lawan terpental, secepat kilat tangannya yang kedua menyambar.

"Bukkk!" Yang kena terpukul berteriak, tubuhnya terjengkang dan tak mampu bergerak lagi. Bagian tubuh yang terkena pukulan tangan terbuka itu berwarna hitam seperti terbakar dan ada bekas telapak tangan di bagian itu, dan orangnya tewas seketika!

Terdengar teriakan susul menyusul lantas sebelas orang pengeroyok itu roboh satu demi satu! Si Tangan Api menyapu dengan pandang matanya. Melihat lima belas orang Kasak itu sudah roboh semua dan tidak ada yang bargerak lagi, dia pun mengangkat muka ke atas lalu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh.

Dua orang saudagar yang menjadi ketakutan sudah merosot turun dari onta mereka dan melihat seluruh pengawal mereka sudah tewas, mereka lalu melarikan diri. Perut mereka yang gendut bergayutan karena tidak biasa bekerja keras apa lagi berlari. Mereka jatuh bangun dan belum ada seratus langkah, mereka sudah terengah-engah kehabisan napas. Melihat mereka lari, Si Tangan Api mengangkat tangan kanan ke atas lantas dia berteriak lantang, suaranya amat berpengaruh.

"Heiii...! Kalian berdua, berhenti...!"

Tiba-tiba saja dua orang yang lari terhuyung-huyung itu berhenti, seolah-olah kaki mereka mendadak melekat pada tanah yang mereka injak.

“Kembalilah kalian ke sini!” teriak pula Si Tangan Api.

Teriakan itu membuat mereka makin ketakutan. Mereka ingin melarikan diri secepatnya, ingin meninggalkan tempat itu sejauhnya, akan tetapi sungguh aneh. Kaki mereka bukan saja tidak mau diajak berlari, bahkan sekarang kaki itu membawa mereka membalik dan berlawanan dengan kehendak mereka, kedua kaki mereka justru melangkah menghampiri perampok yang telah membunuh semua pengawal mereka.

Tentu saja kedua orang ini menggigil ketakutan ketika berdiri di hadapan perampok yang menatap mereka sambil tersenyum itu. Mereka merasa bingung sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka merasa seperti dalam mimpi dan tidak mampu menguasai tubuh mereka lagi.

"Berlututlah kalian!" teriak pula Si Tangan Api.

Kini dua saudagar itu menjatuhkan diri berlutut. Bukan saja karena kaki mereka memang menghendaki begitu, akan tetapi juga karena rasa takut yang menghantui hati. Si Tangan Api menggunakan kakinya menendang dua batang golok yang banyak berserakan di situ, ke arah dua orang saudagar itu.

"Kalian ambil golok itu!"

Sungguh aneh. Perintah ini seolah tak mungkin dapat dibantah. Di luar kemauan mereka, dua orang pedagang itu menjulurkan tangan mengambil golok pada gagangnya.

"Nah, sekarang kalian bunuh diri dengan golok itu! Penggal leher kalian sendiri!"

Perintah yang benar-benar aneh. Tentu saja dalam hati kecil mereka, dua orang saudagar ini menentang dan tidak mau. Akan tetapi kekuatan yang sangat besar mendorong dalam benak mereka, dan tanpa dapat dicegah lagi tangan yang memegang golok itu mengayun golok dan dua orang pedagang itu menebas leher sendiri dengan golok di tangan masing-masing. Mereka tidak sempat mengeluarkan suara, roboh mandi darah yang bercucuran keluar dari luka parah pada leher mereka!

"Ha-ha-ha-ha, bagus! Baik ilmu silatku, tenagaku, mau pun ilmu sihirku, semuanya masih ampuh, ha-ha-ha!"

Sambil tertawa-tawa dia lalu memeriksa semua barang bawaan, mengambil kantung terisi perhiasan emas permata dan terutama sekali ukiran batu giok (kemala), memilih tiga ekor kuda, meloncat ke atas punggung seekor kuda dan menarik tali kendali dua ekor yang lain kemudian dia melarikan kuda meninggalkan tempat itu.

Sunyi senyap di tempat pembantaian manusia itu. Kesunyian yang amat mencekam dan mengerikan. Tiga ekor burung semacam rajawali terbang lalu, dan mereka mengeluarkan bunyi mencicit panjang. Agaknya tiga ekor burung itu juga turut merasa ngeri dan prihatin menyaksikan akibat ulah manusia yang dikenal sebagai makhluk paling mulia dan paling tinggi derajatnya di seluruh permukaan bumi.

Bagi burung-burung itu, tidak ada makhluk yang lebih ganas dari pada manusia. Manusia membunuhi makhluk lain hanya demi mengejar kepuasan dan kesenangan, bukan karena kebutuhan mutlak.

Hawa udara yang biasanya memang sangat panas itu menjadi semakin panas saja. Nafsu adalah api yang paling panas, yang dapat membakar segala sesuatu dengan liar apa bila tidak terkendali. Bahkan sekarang matahari bersembunyi di balik segumpal awan, seolah merasa malu melihat apa yang terjadi di daerah Turfan itu.

Hanya untuk satu kantung emas permata seorang manusia tega membunuh tujuh belas orang manusia lain dengan hati dan tangan dingin. Hanya untuk merampas satu kantung benda mati, karena benda itu dianggap dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan bagi gairah nafsunya.

Kurang lebih satu jam setelah Si Tangan Api pergi, muncul tiga orang pria lain di daerah yang panas itu. Mereka berusia sekitar lima puluh tahun dan mereka berpakaian seperti pendeta atau pertapa, pakaian yang sangat sederhana dari kain kasar berwarna putih dan kuning.

Di daerah barat ini terdapat banyak pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan ramai, maka kehadiran tiga orang ini tentu bukan merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi jika mereka berada di timur tentu dunia persilatan akan mengenal mereka dengan baik karena mereka ini merupakan tiga orang manusia sakti yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa)!

Biar pun selama ini mereka bertiga itu tidak pernah muncul berbareng di dunia persilatan, akan tetapi karena ketiganya merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, maka mereka mendapat julukan Sam Sian. Mereka sudah jarang sekali muncul di dunia ramai semenjak mereka mengundurkan diri pada belasan tahun yang lalu.

Ciu-sian (Dewa Arak) diberikan sebagai julukan Tong Kui yang bermuka selalu kemerahan seperti orang mabok. Wataknya ugal-ugalan seperti orang mabok, perutnya gendut walau pun tubuhnya tidak terlampau gemuk sehingga dia nampak seperti kanak-kanak bertubuh besar yang berpenyakit cacingan. Pakaiannya penuh tambalan.

Dilihat sepintas lalu, tidak ada apa-apanya yang mengesankan. Namun orang ini memiliki ilmu kepandaian silat tangan kosong yang sulit ditemukan keduanya, dan dia pun memiliki sinkang (tenaga sakti) dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat dahsyat.

Orang ke dua bersama Louw Sun. Dia dijuluki Kiam-sian (Dewa Pedang) karena memang ilmu pedangnya sulit dikalahkan, bahkan selama ini belum pernah ada orang yang mampu menandinginya. Mukanya kekuningan dan tubuhnya tinggi kurus.

Walau pun julukannya Dewa Pedang, namun tidak nampak dia membawa pedang seperti para pendekar lainnya yang menaruh pedang di punggung atau di pinggang. Selain ilmu pedang dia juga ahli dalam banyak macam ilmu silat, ahli pula tentang filsafat Agama To. Kepalanya dilindungi dengan sebuah caping lebar dan pakaiannya yang juga sederhana itu nampak bersih.

Orang ke tiga bernama Thio Ki dan dia dijuluki Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Entah kenapa, sejak berusia tiga puluh tahun rambutnya telah berubah putih semua. Wajahnya tampan dan dia selalu tersenyum ramah sehingga rambut yang kesemuanya sudah putih itu tidak membuat dia nampak tua. Tubuhnya kurus sedang dengan pakaian yang terbuat dari kain sederhana akan tetapi potongannya rapi walau pun tetap longgar seperti pakaian pendeta. Pada pinggangnya terselip sebuah kipas bergagang gading, lagak dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan atau setidaknya terpelajar.

Penampilannya menunjukkan seorang yang lemah. Akan tetapi justru penampilannya ini yang menyembunyikan kepandaian hebat. Selain ahli silat yang tingkatnya tidak di bawah dua orang rekannya, Dewa Rambut Putih ini pun memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!

Tiga orang sakti itu segera melihat beberapa ekor kuda yang berlarian liar. Kuda-kuda itu masih dipasangi kendali. Tentu saja mereka merasa penasaran, namun mereka langsung bisa menduga bahwa para penunggang kuda-kuda ini tentu akan merasa kehilangan. Dan peristiwa ini membuktikan adanya kejadian yang tak wajar. Tanpa bicara lagi mereka pun segera menggunakan ilmu berlari cepat, menuju ke arah dari mana datangnya kuda-kuda itu.

Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat pembantaian tadi. Mereka menghampiri dan sejenak mengamati mayat-mayat itu, kemudian tahu bahwa mereka itu telah menjadi korban pembantaian.

"Siancai (damai)...! Di mana-mana nafsu menguasai manusia sehingga terjadi kejahatan keji! Sungguh menyedihkan sekali, siancai...!"

Kiam-sian Louw Sun menarik napas panjang. "Pek-mau-sian, engkau pernah bilang bahwa seluruh alam mayapada ini berputar karena keseimbangan antara Im (negatif) dan Yang (positif). Kalau tidak ada malam, mana ada siang? Kalau tidak ada kejahatan, mana ada kebajikan? Yang disebut baik baru ada kalau ada keburukan. Nah, kenapa sekarang engkau merasa bersedih?"

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Ciu-sian Tong Kui tertawa sambil berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan dan barang-barang dagangan serba mahal yang juga berserakan, di antaranya gulungan sutera-sutera indah. ”Mati bukan persoalan, semua manusia mesti mati. Hanya, cara kematian itulah yang paling penting! Mereka semua ini mati konyol namanya, mati penasaran sehingga roh-roh mereka menjadi setan penasaran!" Tiba-tiba Dewa Arak itu berhenti tertawa. "Ihhh...! Dia ini belum mati!” teriaknya.

Dua orang rekannya berkelebat cepat dan kini mereka bertiga sudah berjongkok di dekat tubuh kepala pengawal. Dia mempunyai tubuh yang lebih kuat dari pada teman-temannya, maka kalau semua anak buahnya mati seketika terkena hantaman lawan, dia juga roboh akan tetapi masih dapat bertahan.

Setelah tiga orang sakti itu memeriksanya sejenak, tahulah mereka bahwa orang ini tidak mungkin dapat diselamatkan pula. Ciu-sian Tong Kui menotok jalan darah di tengkuk dan kedua pundak, lalu mengurut dada. Kepala pengawal itu mengeluh lirih, membuka kedua matanya dan memandang tiga wajah di atasnya itu dengan mata kuyu.

"Apa yang terjadi? Siapa yang membunuh kalian?" tanya Dewa Pedang.

Si kepala pengawal memejamkan mata, mengerahkan tenaga terakhir, lantas membuka matanya lagi. Dengan sukar mulutnya bergerak mengeluarkan suara yang parau sesudah dia muntah darah menghitam.

"Si... Tangan... Api..." Dia terkulai dan matanya terpejam.

. Tiga orang itu terbelalak dan kelihatan bersemangat ketika mendengar disebutnya nama Si Tangan Api. Melihat keadaan orang yang terluka parah itu, Dewa Rambut Putih segera mengerahkan kekuatan batinnya, mengusap muka dan dada orang itu. Dan sungguh aneh, kepala pengawal yang tadi kelihatan sudah putus napasnya itu membuka matanya yang sudah kosong sinar, seperti orang mimpi saja.

"Cepat katakan, di mana Si Tangan Api?" kata Dewa Rambut Putih, suaranya tidak wajar, melengking dan penuh getaran yang berwibawa.

Kiranya orang sakti ini sedang menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan sihirnya untuk memberi dorongan semangat sehingga pada saat-saat terakhir orang yang sudah sekarat itu masih akan dapat memberi keterangan yang diinginkannya.

"...di... Yin-ning... Yi-li..." Hanya sekian saja orang itu dapat bicara. Dia pun terkulai dan tewas. Akan tetapi disebutnya Yin-ning dan Yi-li itu saja sudah cukup bagi Tiga Dewa.

Telah berbulan-bulan mereka berkeliaran di daerah barat ini, bahkan menjelajahi Tibet dan Sin-kiang untuk mencari satu orang saja, yaitu Si Tangan Api! Mereka tahu bahwa Yin-ning adalah sebuah kota yang terdapat di daerah Yi-li, daerah yang menjadi pusat tempat tinggal orang-orang Kasak.

Siapakah Tiga Dewa dan apa hubungan mereka dengan Si Tangan Api? Seperti telah kita ketahui, Tiga Dewa adalah tiga orang tokoh persilatan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sebenarnya sejak belasan tahun yang silam mereka sudah menarik diri dari dunia persilatan, tekun bertapa untuk memajukan perkembangan jiwa mereka. Namun akhirnya mereka keluar juga ketika mereka mendengar bahwa di dunia persilatan terjadi kegemparan. Di dunia persilatan muncul seorang jagoan, seorang datuk golongan sesat yang berjuluk Si Tangan Api.

Datuk ini bukan hanya menguasai dunia kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan), akan tetapi dia juga mempergunakan ilmu kepandaiannya yang hebat untuk menaklukkan para pimpinan perguruan-perguruan silat besar seperti Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Bu-tong-pai, bahkan berani pula menghina pimpinan Siauw-lim-pai! Mendengar akan hal ini, Tiga Dewa terpaksa keluar dari tempat pertapaan mereka dan memenuhi permintaan para pimpinan perguruan-perguruan silat itu untuk menghadapi Si Tangan Api!

Akan tetapi, mereka terlambat. Si Tangan Api telah melarikan diri setelah melakukan hal yang amat menggemparkan, yaitu dia sudah memasuki gudang pusaka dari istana kaisar dan mencuri belasan buah benda pusaka! Tentu saja Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama Dinasti Beng menjadi sangat marah dan melalui para jagoan-jagoan istana dan penasehatnya, Kaisar Thai-cu juga minta bantuan Tiga Dewa untuk menangkap Si Tangan Api dan merampas kembali benda-benda pusaka itu.

Demikianlah, Tiga Dewa kemudian melakukan penyelidikan dan mereka mengikuti jejak Si Tangan Api yang memboyong keluarganya ke barat. Tetapi sesampainya di barat mereka kehilangan jejak. Mereka mencari-cari sampai berbulan-bulan lamanya, namun belum juga berhasil menemukan datuk sesat yang mereka cari itu. Kalau di timur, dunia persilatan mengenal Si Tangan Api sehingga akan mudah mencari jejaknya. Akan tetapi di daerah barat ini, agaknya tak seorang pun mengenal namanya.

Akhirnya tibalah mereka di daerah Turfan dan secara kebetulan mereka melihat korban keganasan tangan Si Tangan Api, dan kebetulan pula seorang di antara para korban itu masih sempat memberi keterangan kepada mereka sebelum mati. Setelah mendengar keterangan dari kepala pengawal, tiga orang sakti itu saling pandang, kemudian Ciu-sian Tong Kui tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha-ha-ha, akhirnya Tuhan berkenan mengulurkan bantuan kepada kita!"

"Hwe-siang-kwi (Iblis Tangan Api), sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!" kata pula Kiam-sian Louw Sun sambil meraba gagang pedang yang tak pernah meninggalkan pinggangnya. Dari luar tidak nampak dia membawa pedang, tapi sesungguhnya sebatang pedang yang aneh, pedang yang lentur tipis, melilit pinggangnya di dalam sarung pedang dari kulit ular.

Pek-mou-sian Thio Ki tersenyum lebar dan menengadah memandang langit. "Cepat atau lambat setiap pohon yang buruk pasti akan menghasilkan buah yang buruk pula. Setiap kejahatan membawa hukumannya sendiri, seperti setiap kebaikan membawa pahalanya sendiri. Tuhan Maha Adil dan Maha Kuasa.”

"Lalu bagaimana dengan mayat-mayat ini? Tak mungkin kita dapat meninggalkan mereka begini saja," kata Dewa Arak.

"Engkau benar, Ciu-sian. Aku pun tidak akan tega membiarkan mereka seperti itu," Dewa Pedang membenarkan. " Entah bagaimana pendapat Pek-mou-sian,"

"Tentu saja kita harus mengubur mayat-mayat itu lebih dulu," jawab Dewa Rambut Putih.

"Kenapa tidak dibakar saja, Pek-mou-sian?" tanya Ciu-sian Si Dewa Arak.

"Itu sama saja. Jasmani kita terdiri dari empat unsur, api, air, tanah, dan udara. Sesudah jasmani ditinggalkan jiwa, maka dia kembali ke asalnya, empat unsur itu kembali kepada sumbernya. Dalam keadaan seperti ini, paling mudah dan tepat kalau kita menguburkan mereka. Untuk membakar mereka, kita kekurangan bahan bakar dan akan makan waktu, sedangkan kita perlu segera mencari Si Tangan Api ke daerah Yi-li.”

Dua orang yang lain mengangguk setuju. Di antara mereka bertiga memang Dewa Rambut Putih yang paling pandai mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan. Tiga orang sakti itu lalu bekerja dengan cepat menggali sebuah lubang yang besar, mempergunakan golok-golok yang berserakan di situ. Sebelum senja tiba, mereka sudah selesai mengubur tujuh belas mayat itu ke dalam sebuah lubang yang besar dan menimbuni lubang itu.

Kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran terhadap Si Tangan Api. Dewa Arak tidak lupa mengambil beberapa meter sutera putih dan kuning untuk pengganti pakaian mereka kelak kalau ada kesempatan untuk membuatnya…

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Daerah Yi-li adalah nama yang diberikan kepada daerah subur di lembah Sungai Yi-li yang letaknya di perbatasan Cina bagian barat laut. Lembah itu sangat subur, di sini terbentang luas padang yang hijau dan subur, indah permai. Padang inilah yang disebut daerah Yi-li, yang termasuk wilayah Sin-kiang. Daerah ini menjadi pusat tempat tinggal Suku Bangsa Uigur dan Kasak.

Dua suku bangsa ini merupakan penghuni yang paling besar jumlahnya dan yang sudah turun temurun tinggal di daerah itu. Sebetulnya masih banyak lagi suku-suku bangsa yang tinggal di sana, namun jumlah mereka hanya sedikit saja, misalnya suku Mongol, Mancu, Usbek, Tartar, Sipo, dan sebagainya. Bahkan ada pula suku Han yang merupakan suku terbesar dan mengaku sebagai pribumi di Cina.

Walau pun bangsa Han hanya merupakan kelompok kecil saja, namun tentu saja mereka tetap terpandang karena setelah kekuasaan Mongol jatuh, kini Cina kembali dikuasai oleh kerajaan baru yang disebut Dinasti Beng (Terang), yang dipimpin oleh orang-orang Han. Padahal, kalau silsilah seseorang ditelusuri benar-benar, maka sukarlah dipastikan bahwa seseorang itu benar-benar asli!

Pernikahan antar suku sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, apa lagi dalam sebuah negara yang daerahnya luas dan memiliki puluhan macam suku. Tapi rupa-rupanya kaum peranakan, yaitu keturunan dari hasil kawin campuran itu, tetap mempertahankan kelas mereka dan mengaku sebagai Suku Han, karena cap pribumi ini agaknya mendatangkan semacam perasaan unggul dan bangga. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah bermacam-macam suku, hasil perkawinan nenek moyang mereka dengan suku-suku lain, baik dari pihak nenek moyang ayah mau pun ibu.

Di daerah Yi-li, yang paling kuat karena jumlahnya paling banyak adalah Suku Kasak dan Suku Uigur. Mereka hidup berkelompok tapi terpisah, meski dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap bergaul karena saling membutuhkan. Di dalam pasar mereka bersatu, juga warung-warung teh atau rumah-rumah makan menjadi tempat pertemuan dan pergaulan antar suku yang tidak membeda-bedakan...