Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

LIONG LI yang menatap wajah Pek-liong, melihat keraguan itu dan ia merasa heran. Biasanya, tidak pernah Pek-liong bersikap ragu dan kaku seperti itu. “Ada apakah, Pek-liong?”

Kembali sepasang mata itu bertaut pandang dan kini Liong-li dapat menyelami perasaan pria itu dan sungguh ia merasa heran kepada diri sendiri karena mendadak ia merasa mukanya panas dan iapun menyadari bahwa tentu mukanya berubah kemerahan. Akan tetapi ia tetap menanti jawaban.

“Liong-li... rasanya seperti dalam mimpi...”

“Tidak, Pek-liong. Engkau tidak bermimpi, akupun tidak. Kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut. Akan tetapi Tuhan belum ingin kita mati, Pek-liong. Ketika aku, membawamu lari karena engkau terluka dan pingsan, aku terjerumus ke dalam jurang, yaitu tebing di belakang ini. Mestinya kita berdua mati terbanting di dasar tebing, akan tetapi aku melemparkan tali sutera hitam dan kebetulan dapat menyangkut akar pohon sehingga kita berdua selamat.”

“Bukan itu, Liong-li.”

Tentu saja Liong-li tahu, akan tetapi entah mengapa, sekali ini ia sendiri menjadi tidak wajar, mempunyai rasa malu. Rahasia yang terpendam amat dalam di hatinya, tadi terungkap dan ia merasa malu kalau-kalau rahasia itu akan diketahui Pek-liong.

“Apa maksudmu...?” Ia tergagap.

“Engkau tadi... menangis. Itu bukan engkau, Liong-li. Liong-li tidak pernah seperti itu, menangis seperti anak kecil, seperti seorang wanita lemah. Mengapa, Liong-li?”

“Dan engkau katakan bahwa mungkin dunia kiamat!” Liong-li mencoba untuk memecahkan ketegangan di antara mereka dengan kelakar. Akan tetapi Pek-liong menggeleng kepala perlahan, tetap memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hati rekannya.

“Selama kita berkenalan, belum pernah aku melihat engkau menangis seperti itu, Liong-li, maka tanpa kusengaja aku mengatakan bahwa tentu dunia sudah kiamat kalau Liong-li menangis seperti itu. Sebenarnya, mengapa engkau menangis seperti itu, Liong-li? Kita bukan penakut, kita tidak takut menghadapi kematian, bahkan engkau lebih berani dari pada aku menghadapi maut. Akan tetapi tadi, kenapa engkau menangis seperti orang ketakutan?”

Mereka kembali saling pandang dan Pek-liong melihat betapa bibir rekannya itu gemetar! Suatu tanda kelemahan perasaan yang belum pernah dia lihat sebelumnya! Kemudian terdengar jawaban Liong-li, dan suaranya mengandung getaran yang belum pernah didengar Pek-liong sebelumnya.

“Aku melihat dan menyangka engkau sudah menjadi mayat. Melihat engkau tewas, aku kehilangan akal, dunia seperti kiamat rasanya...”

Pek-liong merasa jantungnya berdebar. Sudah sering kali timbul debaran jantung aneh seperti ini setiap kali dia teringat kepada Liong-li, namun selalu dia berhasil menekan debaran aneh ini dengan meyakinkan hatinya bahwa dia dan Liong-li adalah rekan seperjuangan yang paling setia. Itu saja. Kini, debaran jantungnya lebih kuat dari pada biasanya, sukar untuk diredakan karena Liong-li berada di depannya dan pandang mata Liong-li demikian aneh! Maka, diapun cepat mengalihkan perhatian untuk memecahkan suasana yang mencekam hatinya itu.

“Liong-li, sembilan orang itu masih berada dalam cengkeraman ke tiga Iblis tua! Kita harus cepat menolong mereka!”

Liong-li seperti dihentakkan dengan tiba-tiba, seperti diseret turun dari, dunia lamunan yang amat indah, dan iapun terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kini berubah seperti biasanya, mengandung kecerdikan dan kewaspadaan.

“Benar sekali! Bagaimana kita dapat melupakan hal itu? Cepat, mari kita mencari jalan turun. Terpaksa kita harus mengitari bukit ini tiba di seberang sana, mendaki dari bagian yang berlawanan. Engkau sudah kuat berjalan cepat, Pek-liong?”

“Kurasa tenagaku sudah pulih kembali dan... eh, lihat itu!” teriaknya gembira bukan main.

Liong-li menengok dan iapun melihat kilauan sinar pedang yang menancap di atas tanah. Pedang Pek-liong-kiam! Agaknya, ketika roboh pingsan oleh serangan jarum dan pukulan tangan Ang I Sian-li, Pek-liong masih tetap memegang erat pedangnya, dan ketika Liong-li memondongnya dan membawanya lari sampai terjerumus ke dalam tebing jurang, pedang itu terlepas dari pegangannya dan meluncur jatuh lebih cepat dari pada badannya.

“Pek-liong-kiam!” seru Liong-li dan iapun ikut bergembira.

Pek-liong segera mengambil pedangnya dan memeriksanya. Tentu saja dia merasa girang sekali mendapatkan kembali pedangnya dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Dengan pedang di tangan, semangat bertambah besar.

Mereka segera mencari jalan turun ke kaki bukit, untuk kemudian mengitari bukit itu dan mendaki lagi menuju ke sarang gerombolan yang di pimpin tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Dan di sepanjang perjalanan ini, Pek-liong yang sudah mengalami perkelahian melawan tiga orang Iblis Tua membicarakannya dengan Liong-li, mencatat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka agar kalau mereka berdua harus berhadapan lagi dengan tiga orang Iblis Tua itu, mereka dapat lebih mempersiapkan diri.

“Kita harus waspada terhadap kipas lebar di tangan kiri Kim Pit Siu-cai,” kata Pek-liong mengingat-ingat. “Sepasang mouw-pit (pena bulu) darinya memang berbahaya, akan tetapi pedangku dapat menandinginya dan mengatasinya. Akan tetapi kalau dia mencabut kipasnya dengan tangan kiri, kita harus berhati-hati. Kipas itu dapat melepas jarum halus secara curang dan tidak terduga sama sekali.”

“Kalau begitu, kita harus mendahuluinya, sebelum sempat mempergunakan senjata rahasianya, kita harus merusak kipas itu dengan pedang. Kurasa jurus ke lima dari Sin-liong Kiam-sut kita akan mampu melakukan itu,” kata Liong-li dan rekannya mengangguk.

“Ang I Sian-li merupakan lawan paling lemah di antara mereka bertiga, akan tetapi kita harus berhati-hati terhadap tangan merahnya. Pukulan beracun itu dapat membahayakan kita kalau kita tidak berhati-hati.”

“Ang-tok-ciang (Tangan Beracun Merah) dari Iblis betina itu tentulah dilatih dengan menghisap darah bayi seperti yang pernah kita dengar dilakukan iblis betina itu. Ingin aku membuntungi kedua tangan merahnya!” kata pula Liong-li gemas, mengingat betapa tangan merah itu hampir menewaskan Pek-liong.

“Tentang Pek-bwe Coa-ong, dia memang lihai dengan tongkat ularnya. Akan tetapi dia kurang percaya kepada diri sendiri, lebih sering mengandalkan ular-ularnya. Kalau kita sudah dapat membasmi ular-ularnya, diapun menjadi gentar dan mudah dihadapi,” kata pula Pek-liong.

“Empat orang Thai-san Ngo-kwi juga selain golok mereka mengandalkan pukulan tangan merah yang panas, akan tetapi kiraku tidaklah seganas tangan merah Ang I Sian-li. Mungkin mereka itu menguasai Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah) akan tetapi bukan golok dan pukulan tangan merah itu yang membuat mereka kuat melainkan to-tin (barisan golok) mereka berempat. Kalau mereka maju berempat maka mereka dapat membentuk barisan dan bersatu dengan amat kuatnya, kiraku tidak kalah kuat dibandingkan seorang di antara Tiga Iblis Tua itu.”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Sekali ini, kita menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, apa lagi ditambah banyak anak buah mereka. Kita harus berhati-hati, akan tetapi kitapun tidak mungkin membiarkan sembilan orang itu menjadi tawanan mereka.”

“Engkau benar, Pek-liong. Tidak boleh sembilan orang itu mati karena kita. Kita harus dapat menyelundup ke sana secepatnya dan menolong mereka.”

Kini Pek-liong dan Liong-li sudah pulih kembali dari keadaan tidak wajar ketika perasaan mereka dicengkeram suatu getaran aneh yang membuat mereka hampir menjadi lemah. Kini mereka kembali menjadi sepasang manusia yang seolah tidak lagi mempunyai perasaan, penuh kewaspadaan dan penuh semangat untuk mengalahkan musuh-musuh mereka! Dan kalau mereka sudah seperti itu, sungguh tidak ada bahaya lebih besar dari pada menentang sepasang naga ini!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu sepasang naga yang sedang mencari jalan menuruni bukit untuk kemudian mendaki lagi dari lain bagian ke sarang gerombolan dan kita tengok keadaan Cian Ciang-kun (Panglima Cian) atau Cian Hui yang karena kecerdikannya berhasil lolos dari perangkap yang dipasang tiga Iblis Tua sehingga dia dan isterinya tidak sampai menjadi tawanan mereka seperti halnya suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing berikut putera mereka, Song Cu. Juga tidak seperti kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.

Ketika Pek-liong menemuinya dan mendengarkan semua pengalamannya, kemudian Pek-liong meninggalkan rumahnya dan pendekar itu menolak ketika dia hendak membantu dengan pasukan, Cian Hui merasa tidak enak hati. Tidak mungkin dia membiarkan saja para sahabatnya yang amat dikasihinya itu menghadapi bahaya besar.

Dia tahu bahwa sekali ini sisa Kiu Lo-mo pasti telah mempersiapkan diri. Kalau mereka itu menghimpun banyak anak buah, bagaimana mungkin Pek-liong dan Liong-li berdua saja menghadapi dan melawan mereka? Pula, para datuk sesat itu selain lihai juga curang dan tidak segan mempergunakan kelicikan, maka tentu saja dia amat mengkhawatirkan keselamatan kedua orang sahabatnya itu.

Setelah Pek-liong pergi, Cian Hui mengambil keputusan, bersama Cu Sui In isterinya, mengajak belasan orang jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, pergi berangkat mencari sarang gerombolan di bukit Hek-san lembah Huang-ho. Juga dia mengerahkan pasukan sebanyak tigaratus orang, pasukan pilihan, untuk berangkat ke sana karena dia menduga bahwa sekali ini, para musuh Pek-liong dan Liong-li tentu telah mempersiapkan anak buah yang cukup banyak maka mereka berani menantang kedua orang pendekar itu secara terang-terangan.

Karena membawa pasukan, tentu saja Cian Hui dan isterinya tidak dapat secepat Pek-liong tiba di tempat itu. Dia lalu mengatur pasukannya, disebarnya penyelidik dan setelah menemukan sarang gerombolan, dia lalu mengepung tempat itu dengan pasukannya. Dia sendiri bersama isterinya dan belasan orang jagoan kota raja mendaki ke sarang gerombolan dengan hati-hati.

Seregu pasukan ahli penyelidik alat-alat rahasia jebakan, telah lebih dahulu bergerak membersihkan dan membasmi jebakan-jebakan yang ada. Semak-semak belukar yang mencurigakan dibabat habis dan dibakar, dan dibuat jalan setapak yang aman ke arah sarang untuk Cian Hui dan isterinya, sedangkan tigaratus orang pasukan itu mendaki dengan posisi mengepung.

Pagi hari itu, para anak buah gerombolan sibuk mempersiapkan sembahyangan di tepi tebing. Panggung itu mereka selesaikan kemarin, dan segala persiapan untuk sembahyangan besar telah dibuat. Semua anak buah gerombolan masih dalam suasana berpesta gembira untuk merayakan kemenangan mereka atas musuh besar mereka, yaitu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang telah terjatuh ke dalam tebing jurang yang amat curam itu.

Sembilan orang tawanan dalam keadaan terbelenggu telah dikeluarkan dari dalam kamar tahanan dan diikat di batang pohon dekat panggung. Song Tek Hin dan Su Hong Ing tidak takut menghadapi kematian, tidak gentar terhadap keselamatan diri sendiri, akan tetapi mereka gelisah sekali melihat Song Cu, anak mereka yang menangis karena anak itupun diikat kaki tangannya dan digeletakkan di dekat mereka.

Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Su Hong Ing melihat keadaan puteranya, akan tetapi karena ia sendiri terikat kaki tangannya, ia tidak mampu berbuat apapun. Suaminya, Song Tek Hin, mengepal tinju dengan marah sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.

Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li; diikat pada batang pohon lain, demikian pula dua orang gadis pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Delapan orang itu adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Mereka tidak gentar menghadapi kematian dan yang membuat mereka gelisah hanyalah Song Cu anak berusia tiga tahun yang ikut menjadi tawanan, juga mereka gelisah memikirkan keadaan Pek-liong dan Liong-li.

Semalam muncul Kim Pit Siu-cai dan tempat tahanan dan laki-laki berusia enampuluh tahun yang masih tampan dan sikapnya halus namun kejam sekali ini berusaha membujuk Su Hong Ing dengan kata-kata yang kotor, tanpa memperdulikan tawanan lain yang ikut pula mendengarkan. Kepada ibu muda itu, Kim Pit Siu-cai menghampiri dan tersenyum-senyum. Bagi Kim Pit Siu-cai, Su Hong Ing merupakan wanita tercantik dan paling menggairahkan di antara empat orang wanita tawanan.

“Hemn, engkau cantik jelita, sungguh sayang kalau lehermu yang putih mulus itu dipenggal besok pagi,” katanya.

Su Hong Ing memandang tajam. “Aku tidak takut mati. Penggallah, siksalah, aku tidak takut. Hanya kuminta, demi prikemanusiaan, kalau kalian masih merasa menjadi manusia, bebaskan anakku! Dia tidak tahu apa-apa, dia baru berusia tiga tahun, bebaskan dia!”

Dan betapapun gagahnya, ibu muda ini tidak dapat menahan kegelisahannya dan iapun menangis! Song Tek Hin yang ikut mendengarkan dan melihat, tidak menyalahkan isterinya yang menangis. Dia sendiri ingin menangis kalau melihat bahaya maut mengancam puteranya yang masih kecil.

“Heh-heh-heh, nyonya manis. Mudah saja kalau engkau hendak menyelamatkan puteramu. Bersikaplah manis kepadaku, layani aku malam ini dan aku akan usahakan agar puteramu...”

“Jahanam busuk! Aku tidak sudi!” bentak Su Hong Ing dengan muka kemerahan dan mata melotot.

“Ha-ha-ha, engkau suka atau tidak, apa sukarnya bagiku untuk memondongmu ke kamarku, manis? Akan tetapi aku akan lebih suka kalau engkau melayaniku dengan suka rela...”

“Tidak!” Keparat jahanam, iblis busuk! Kalau engkau jamah saja diriku, aku akan bunuh diri dan kalau engkau membunuh anakku, arwahku akan selalu mengejarmu dan mengganggumu!”

Mendengar ancaman ini, mau tidak mau Kim Pit Siu-cai bergidik juga. Dia memandang kepada Kam Cian Li, juga kepada dua orang pembantu Liong-li. Mereka bertiga ini juga cantik menarik, akan tetapi pandang mata mereka kepadanya tidak ada bedanya dengan pandang mata ibu muda itu, tidak ada rasa takut atau menyerah sedikitpun dan dari pandang mata mereka saja tahulah dia bahwa kalau dia ingin menguasai mereka, dia harus menggunakan paksaan, harus memperkosa, dan kalau dia melakukan ini, mereka tentu akan membunuh diri.

Bagi orang-orang yang ahli silat seperti mereka, tidak sukar membunuh diri walau dalam keadaan terbelenggu sekalipun. Dengan menggigit putus lidah sendiri, atau dengan menahan dan menelan napas.

Dan dia sendiri adalah seorang laki-laki yang angkuh, yakin akan ketampanan dan kepandaiannya merayu wanita. Kalau sampai ada wanita menolaknya dan dia harus memperkosanya, hal itu akan merupakan pukulan bagi harga dirinya! Sikap empat orang wanita itu sudah membuyarkan gairahnya dan malam itu lewat tanpa gangguan terhadap empat orang wanita itu.

Setelah Kim Pit Siu-cai pergi, Kam Cian Li berkata, “Akupun akan membunuh diri kalau dia berani menjamahku.” Dua orang pembantu Liong-li juga menyetujui sikap itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik, sembilan orang tawanan itu sudah diikat di batang pohon dekat panggung tempat sembahyang. Tiga orang Iblis Tua datang dan mereka menghampiri para tawanan.

Kim Pit Siu-cai memandang empat orang wanita yang semalam menolaknya dan dia pun tertawa. “Ha-ha-ha, akan kulihat apakah kalian tidak meratap minta ampun kalau seorang demi seorang kami siksa dan kami bunuh untuk korban sembahyangan terhadap arwah para rekan kami.”

“Hi-hik, biarpun anak itu bukan bayi lagi, darahnya masih cukup bersih. Berikan kepadaku, biar kuhisap darahnya sampai habis!” kata Ang I Sian-li dan Song Tek Hin bersama isterinya, meronta-ronta dalam ikatan mereka, namun sia-sia belaka. Ikatan itu terlampau kuat.

“Ang I Sian-li, dengarlah sumpah kami berdua, ayah ibu anak itu. Kalau engkau melakukan apa yang kau katakan itu, kami bersumpah, setelah kami mati, arwah kami akan bersatu dan mengganggu siang malam, sampai engkau menjadi gila, menjadi tersiksa sedikit demi sedikit, sampai akhirnya engkau mampus dan arwah kami tetap akan mengejar arwahmu!”

Suara Song Tek Hin ini terdengar penuh perasaan dan amat menyeramkan bagi Ang I Sian-li sehingga wajah iblis betina ini menjadi agak pucat juga. Pada jaman itu, orang-orang masih amat tahyul dan percaya benar bahwa apa yang disumpahkan itu tentu akan menjadi kenyataan. Tentu saja hal ini membuat Ang I Sian-li merasa ngeri juga.

Pek-bwe Coa-ong kini berkata kepada para tahanan. “Sebetulnya, secara pribadi kami tidak bermusuhan dengan kalian semua. Akan tetapi, kalian adalah sahabat-sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kami tidak mendapatkan kenikmatan menyaksikan penderitaan mereka ketika tewas terjungkal ke dalam jurang. Maka, sebagai gantinya, kami ingin melihat kalian menderita dalam siksaan ketika kami bunuh, dan kami yakin bahwa arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga akan melihat kalian tersiksa dan menderita karena kalian mati karena mereka!”

Pada saat itu , seolah-olah menjawab ucapan Pek-bwe Coa-ong, terdengar teriak-teriakan dan robohnya banyak anak buah gerombolan, disusul sorak sorai yang riuh rendah. Tiga Iblis Tua itu menjadi terkejut, dan empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang lebih dahulu melihat datangnya penyerbuan itu, berteriak.

“Pasukan pemerintah...! Mereka mengepung kita...!!”

Gegerlah seketika keadaan di sarang gerombolan itu. Anak buah gerombolan menjadi panik karena dari semua jurusan datang pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Pek-bwe Coa-ong terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Bagaimanapun juga, kalau hanya menghadapi pasukan pemerintah, dia tidak gentar.

“Semua tenang, lawan dan bunuh mereka semua! Kita tidak akan kalah!” Dia sendiri bersama dua orang rekannya, juga empat orang Thai-san Ngo-kwi, mengamuk dan begitu mereka bergerak, mereka merobohkan perajurit-perajurit yang menyerbu dengan mudah.

Hal ini membangkitkan semangat anak buah mereka. Akan tetapi, kini muncul Cian Hui, Cu Sui In, dan belasan orang jagoan istana yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga tiga orang Iblis Tua itu dan empat orang murid keponakan mereka terkepung.

Sementara itu, pasukan sudah bertempur melawan anak buah gerombolan dan ternyata jumlah pasukan pemerintah hampir tiga kali lebih besar sehingga anak buah gerombolan segera terdesak hebat. Mereka tidak dapat lari, karena tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah.

Melihat keadaan ini, Tiga Iblis Tua menjadi panik juga. Kim Pit Siu-cai yang cerdik segera berkata, “Kita pergunakan tawanan menjadi sandera! Cepat!”

Mereka bertiga lalu memutar senjata sehingga para pengeroyok terpaksa mundur dan mereka segera berloncatan ke arah di mana tadi sembilan orang tawanan itu mereka ikat. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka memandang dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat!

Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu telah berdiri di situ, semua tawanan telah terlepas dari ikatan, bahkan kini delapan orang tawanan dewasa telah memegang sebatang pedang dan anak kecil itu telah berada dalam gendongan ibunya dengan aman! Dan di sekitar tempat itu. belasan penjaga telah roboh dan tewas!

Memang ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di tempat itu, setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka mendengar suara ribut-ribut orang bertempur. Cepat mereka lari naik dan dengan girang mereka melihat bahwa Cian Hui telah menyerbu sarang gerombolan itu dengan banyak sekali pasukan pemerintah.

Tentu saja mereka lebih mementingkan menolong para tawanan lebih dahulu. Mereka melihat para tawanan itu diikat di batang pohon dekat tebing jurang di mana telah dibangun sebuah panggung tempat upacara sembahyang. Belasan orang anak buah gerombolan menjaga tempat itu. Dengan mudah mereka merobohkan belasan orang itu dengan pedang mereka, membebaskan para tawanan, mengambil pedang dari anak buah gerombolan yang roboh dan kini mereka semua telah memegang senjata, siap untuk membasmi gerombolan!

Liong-li tersenyum manis ketika melihat Tiga Iblis Tua itu. Juga Pek-liong tersenyum. Di lain pihak, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat. Mereka seperti bertemu setan di tengah hari. Dua orang musuh besar yang tadinya mereka yakin tentu mati terbanting remuk di dasar jurang, tiba-tiba kini muncul, membebaskan semua tawanan dan berdiri menghadapi mereka dengan pedang pusaka masing-masing di tangan! Pada saat itu, terdengar suara Cian Ciang-kun membentak dengan lantang sekali, terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur.

“Kami telah mengepung tempat ini dengan ratusan orang perajurit! Yang melawan akan ditumpas dan dibunuh habis! Menyerahlah, dan kami tidak akan membunuh kalian, hanya menangkap dan menghadapkan kalian ke pengadilan!”

Teriakan ini amat berpengaruh. Para anak buah gerombolan memang sudah panik karena mereka melihat betapa pasukan itu berjumlah besar sekali sehingga tiap orang anak buah gerombolan dikeroyok tiga-empat orang perajurit. Kalau mereka melawan terus, jelas mereka semua akan mati konyol. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut, menakluk!

Empat orang Thai-san Ngo-kwi membentak-bentak memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melanjutkan perlawanan, namun perintah mereka tidak dihiraukan lagi karena para anak buah gerombolan itu tidak ingin mati konyol. Mereka yang menakluk segera dilucuti senjatanya dan diborgol, dan kepungan para perajurit di tempat itu menjadi semakin ketat.

“Cian Ciang-kun, terima kasih, engkau telah menyelamatkan para tawanan!” kata Liong-li girang sekali.

Cian Hui hanya mengangguk, lalu sekali lagi membentak, ditujukan kepada Tiga Iblis Tua dan empat Thai-san Ngo-kwi. “Sekali lagi, menyerahlah kalian semua sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!”

Tiba-tiba Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li hanyalah dua orang pengecut yang mempergunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk mengepung dan mengeroyok kami!”

“Liong-li, kalau memang engkau benar pendekar wanita yang memiliki keberanian, mari kita bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan keroyokan!” kata pula Pek-bwe Coa-ong.

Liong-li tertawa. “Hemm, Pek-bwe Coa-ong! Sekarang, dalam keadaan terdesak dan tersudut, engkau mengeluarkan kata-kata besar! Lupa bahwa kalian bertiga telah mempergunakan kecurangan dan kelicikan tanpa mengenal malu, menangkapi para sahabat kami yang tidak berdosa hanya untuk memancing kami datang! Kemudian, setelah kami berdua datang, kalian menggunakan pengeroyokan dan jebakan! Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang curang macam kalian. Kami menerima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu dan aku akan melawanmu, Coa-ong!”

“Aku akan menandingi Kim Pit Siu-cai!” kata Pek-liong sambil maju pula dengan sikapnya yang tenang dan gagah.

“Hi-hik, dan siapa berani melawan aku?” kata Ang I Sian-li dengan sikap sombong karena ia merasa yakin bahwa selain Pek-liong dan Hek-liong-li, tidak akan ada yang mampu menandinginya.

“Biar aku yang mengatur!” Liong-li berseru dan ia memandang kepada Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In. Ia maklum bahwa Cian Hui memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh, dan isterinya, murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Ia sudah mengukur bahwa kalau suami isteri itu maju bersama, pasti Ang I Sian-li tidak akan mampu menang. “Cian Ciang-kun, dan engkau enci Cu Sui In, maukah kalian berdua mewakili kami melawan Ang I Sian-li?”

Suami isteri ini selain lihai juga cukup cerdik. Mereka maklum sepenuhnya bahwa Liong-li tidak akan mencelakakan mereka. Kalau Liong-li minta mereka berdua menghadapi iblis betina itu, tentu Liong-li sudah mempunyai ukuran bahwa mereka akan menang, maka mereka segera menyanggupi. Cian Hui sudah memegang suling baja di tangan kanan, sedangkan isterinya, Cu Sui In sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang).

“Hi-hik, sepasang suami isteri yang tampan dan cantik. Sayang hari ini akan tewas di ujung pedangku,” kata Ang I Sian-li. “Selain kami bertiga, masih ada empat orang pembantu kami, yaitu Thai-san Ngo-kwi. Siapa yang akan menandingi mereka, Liong-li? Suruh mereka maju sekarang karena Thai-san Ngo-kwi yang akan maju lebih dahulu!”

Iblis betina ini memang cerdik. Ia sengaja menantang dan menyuruh empat orang murid keponakan itu maju lebih dahulu untuk memastikan bahwa mereka berempat tidak seperti anak buah lainnya, menakluk kepada musuh! Empat orang itu adalah, Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Mereka maklum bahwa menakluk pun bagi mereka pasti tidak ada pengampunan, maka lebih baik melawan mati-matian.

“Kami tidak akan mengikut-sertakan pasukan pemerintah,” kata Pek-liong dengan suaranya yang tenang. “Di sini kami juga mempunyai teman-teman yang setia, maka biarlah teman-teman kami yang tadinya menjadi tawanan menghadapi mareka.” Pek-liong memaksudkan dua orang pembantunya, dua orang pembantu Liong-li, kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, dan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.

Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. Dia maklum akan kelihaian empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Biarpun delapan orang pengeroyok yang menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li itu juga lihai, terutama empat orang pembantu mereka, namun dia khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka, maka dia cepat berkata,

“Isteri saudara Song Tek Hin menggendong puteranya, tidak baik kalau ia disuruh bertanding. Di antara para temanku ini ada yang bukan anggauta pasukan pemerintah, maka biarlah dia yang menggantikan nyonya muda itu! Liok-toako, harap kau suka membantu kami menghadapi empat orang kepala perampok dari Thai-san itu!”

Seorang di antara jagoan istana yang bernama Liok San adalah seorang ahli silat yang tangguh, bahkan tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki Cian Hui. Inilah sebabnya mengapa Cian Hui memilih dia untuk mewakill Su Hong Ing yang menggendong puteranya. Dengan majunya Liok San ini, otomatis keadaan mereka yang akan melawan ke empat Thai-san Ngo-kwi senjadi jauh lebih kuat lagi!

Pek-liong juga maklum akan kecerdikan Cian Hui, maka diapun mengangguk. “Nah, siapa yang akan bertanding lebih dulu, Kim Pit Siu-cai?” tantang Pek-liong.

Seperti juga Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai tidak menghendaki empat orang murid keponakan yang menjadi pembantu utama itu menakluk kepada pihak musuh, maka diapun berkata, “Biarlah ke empat Thai-san Ngo-kwi yang maju lebih dulu!”

Empat orang itu maklum bahwa tidak ada jalan keluar, maka merekapun cepat melangkah maju dan membentuk barisan golok dengan sikap mereka yang galak.

Liok San maklum bahwa kalau sahabatnya, Cian Hui menyuruh dia membantu melawan empat orang tokoh sesat ini, tentu para pembantu dan sahabat Pek-liong dan Liong-li tidak memiliki ilmu setinggi dua orang pendekar itu. Maka, dia yang bukan hanya memiliki ilmu silat, akan tetapi sebagai seorang jagoan istana dan panglima, dia memiliki pula ilmu perang dan membentuk barisan, dia segera mengambil komando atas tujuh orang rekannya yang hendak maju mengeroyok empat orang penjahat itu.

“Kita serang mereka dengan berputar melingkari mereka! Menyerang sambil membantu teman yang berada di kanan. Ingat, yang kiri membantu yang kanan!”

Setelah berteriak demikian, Liok San mulai menyerang sedangkan tujuh orang lainnya, yaitu kakak beradik Kam, dua orang pembantu Pek-liong, dua orang pembantu Liong-li dan Song Tek Hin sudah cepat mengurung dan mengelilingi empat orang itu dan menyerang dengan senjata masing-masing.

Mereka semua maklum bahwa jagoan istana yang usianya sudah limapuluhan tahun dan bertubuh tinggi kurus, bersenjatakan pedang itu tentulah seorang yang lihai dan ahli mengatur barisan, maka merekapun mentaati petunjuknya. Mereka menyerang sambil siap membantu dan melindungi teman yang berada di sebelah kanan.

Empat orang Thai-san Ngo-kwi itu mengamuk dengan golok mereka, akan tetapi menghadapi barisan yang mengelilingi mereka dan saling bantu itu, mereka tidak sempat mengatur barisan golok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi, biarpun empat orang Thai-san Ngo-kwi hendak memaksakan dan mendesak seorang lawan, tetap saja usaha ini gagal karena lawan lain akan membantu dan lawan itu akan terus berputar menyerang musuh yang berada di sebelah kanan.

Dengan demikian, delapan orang itu berputar terus dan membuat empat orang tokoh sesat itu merasa seperti dikeroyok masing-masing oleh delapan orang! Karena bingung, mereka melawan dengan membuta mengandalkan gerakan golok mereka yang cukup lihai. Akan tetapi karena siasat Liok San membuat delapan orang itu dapat saling bantu dan saling melindungi, maka semua serangan golok empat orang penjahat itu selalu dapat ditangkis, dan sebaliknya, mereka dihujani serangan yang bertubi-tubi datangnya.

Tiga orang Iblis Tua melihat pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Akan tetapi mereka tidak dapat membantu, juga tidak mungkin melarikan diri dari tempat yang terkepung ratusan orang perajurit itu. Mereka hanya dapat mengambil keputusan untuk melawan mati-matian.

“Hek-liong-li, tunggu apa lagi! Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita sekarang juga!”

Pek-bwe Coa-ong membentak dengan marah dan nekat. Dia sudah melintangkan tongkat ularnya di depan dada, menantang Liong-li. Tempat itu memang cukup luas untuk bertanding, maka Liong-li sambil tersenyum menghampiri dengan Pedang Naga Hitam di tangan.

“Engkau tergesa-gesa ingin cepat menyusul saudara-saudaramu yang telah mati lebih dulu? Baik, mari kuantar engkau dengan pedangku!” kata Liong-li sambil melintangkan pedangnya di depan dada...

Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 16

LIONG LI yang menatap wajah Pek-liong, melihat keraguan itu dan ia merasa heran. Biasanya, tidak pernah Pek-liong bersikap ragu dan kaku seperti itu. “Ada apakah, Pek-liong?”

Kembali sepasang mata itu bertaut pandang dan kini Liong-li dapat menyelami perasaan pria itu dan sungguh ia merasa heran kepada diri sendiri karena mendadak ia merasa mukanya panas dan iapun menyadari bahwa tentu mukanya berubah kemerahan. Akan tetapi ia tetap menanti jawaban.

“Liong-li... rasanya seperti dalam mimpi...”

“Tidak, Pek-liong. Engkau tidak bermimpi, akupun tidak. Kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut. Akan tetapi Tuhan belum ingin kita mati, Pek-liong. Ketika aku, membawamu lari karena engkau terluka dan pingsan, aku terjerumus ke dalam jurang, yaitu tebing di belakang ini. Mestinya kita berdua mati terbanting di dasar tebing, akan tetapi aku melemparkan tali sutera hitam dan kebetulan dapat menyangkut akar pohon sehingga kita berdua selamat.”

“Bukan itu, Liong-li.”

Tentu saja Liong-li tahu, akan tetapi entah mengapa, sekali ini ia sendiri menjadi tidak wajar, mempunyai rasa malu. Rahasia yang terpendam amat dalam di hatinya, tadi terungkap dan ia merasa malu kalau-kalau rahasia itu akan diketahui Pek-liong.

“Apa maksudmu...?” Ia tergagap.

“Engkau tadi... menangis. Itu bukan engkau, Liong-li. Liong-li tidak pernah seperti itu, menangis seperti anak kecil, seperti seorang wanita lemah. Mengapa, Liong-li?”

“Dan engkau katakan bahwa mungkin dunia kiamat!” Liong-li mencoba untuk memecahkan ketegangan di antara mereka dengan kelakar. Akan tetapi Pek-liong menggeleng kepala perlahan, tetap memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hati rekannya.

“Selama kita berkenalan, belum pernah aku melihat engkau menangis seperti itu, Liong-li, maka tanpa kusengaja aku mengatakan bahwa tentu dunia sudah kiamat kalau Liong-li menangis seperti itu. Sebenarnya, mengapa engkau menangis seperti itu, Liong-li? Kita bukan penakut, kita tidak takut menghadapi kematian, bahkan engkau lebih berani dari pada aku menghadapi maut. Akan tetapi tadi, kenapa engkau menangis seperti orang ketakutan?”

Mereka kembali saling pandang dan Pek-liong melihat betapa bibir rekannya itu gemetar! Suatu tanda kelemahan perasaan yang belum pernah dia lihat sebelumnya! Kemudian terdengar jawaban Liong-li, dan suaranya mengandung getaran yang belum pernah didengar Pek-liong sebelumnya.

“Aku melihat dan menyangka engkau sudah menjadi mayat. Melihat engkau tewas, aku kehilangan akal, dunia seperti kiamat rasanya...”

Pek-liong merasa jantungnya berdebar. Sudah sering kali timbul debaran jantung aneh seperti ini setiap kali dia teringat kepada Liong-li, namun selalu dia berhasil menekan debaran aneh ini dengan meyakinkan hatinya bahwa dia dan Liong-li adalah rekan seperjuangan yang paling setia. Itu saja. Kini, debaran jantungnya lebih kuat dari pada biasanya, sukar untuk diredakan karena Liong-li berada di depannya dan pandang mata Liong-li demikian aneh! Maka, diapun cepat mengalihkan perhatian untuk memecahkan suasana yang mencekam hatinya itu.

“Liong-li, sembilan orang itu masih berada dalam cengkeraman ke tiga Iblis tua! Kita harus cepat menolong mereka!”

Liong-li seperti dihentakkan dengan tiba-tiba, seperti diseret turun dari, dunia lamunan yang amat indah, dan iapun terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kini berubah seperti biasanya, mengandung kecerdikan dan kewaspadaan.

“Benar sekali! Bagaimana kita dapat melupakan hal itu? Cepat, mari kita mencari jalan turun. Terpaksa kita harus mengitari bukit ini tiba di seberang sana, mendaki dari bagian yang berlawanan. Engkau sudah kuat berjalan cepat, Pek-liong?”

“Kurasa tenagaku sudah pulih kembali dan... eh, lihat itu!” teriaknya gembira bukan main.

Liong-li menengok dan iapun melihat kilauan sinar pedang yang menancap di atas tanah. Pedang Pek-liong-kiam! Agaknya, ketika roboh pingsan oleh serangan jarum dan pukulan tangan Ang I Sian-li, Pek-liong masih tetap memegang erat pedangnya, dan ketika Liong-li memondongnya dan membawanya lari sampai terjerumus ke dalam tebing jurang, pedang itu terlepas dari pegangannya dan meluncur jatuh lebih cepat dari pada badannya.

“Pek-liong-kiam!” seru Liong-li dan iapun ikut bergembira.

Pek-liong segera mengambil pedangnya dan memeriksanya. Tentu saja dia merasa girang sekali mendapatkan kembali pedangnya dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Dengan pedang di tangan, semangat bertambah besar.

Mereka segera mencari jalan turun ke kaki bukit, untuk kemudian mengitari bukit itu dan mendaki lagi menuju ke sarang gerombolan yang di pimpin tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Dan di sepanjang perjalanan ini, Pek-liong yang sudah mengalami perkelahian melawan tiga orang Iblis Tua membicarakannya dengan Liong-li, mencatat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka agar kalau mereka berdua harus berhadapan lagi dengan tiga orang Iblis Tua itu, mereka dapat lebih mempersiapkan diri.

“Kita harus waspada terhadap kipas lebar di tangan kiri Kim Pit Siu-cai,” kata Pek-liong mengingat-ingat. “Sepasang mouw-pit (pena bulu) darinya memang berbahaya, akan tetapi pedangku dapat menandinginya dan mengatasinya. Akan tetapi kalau dia mencabut kipasnya dengan tangan kiri, kita harus berhati-hati. Kipas itu dapat melepas jarum halus secara curang dan tidak terduga sama sekali.”

“Kalau begitu, kita harus mendahuluinya, sebelum sempat mempergunakan senjata rahasianya, kita harus merusak kipas itu dengan pedang. Kurasa jurus ke lima dari Sin-liong Kiam-sut kita akan mampu melakukan itu,” kata Liong-li dan rekannya mengangguk.

“Ang I Sian-li merupakan lawan paling lemah di antara mereka bertiga, akan tetapi kita harus berhati-hati terhadap tangan merahnya. Pukulan beracun itu dapat membahayakan kita kalau kita tidak berhati-hati.”

“Ang-tok-ciang (Tangan Beracun Merah) dari Iblis betina itu tentulah dilatih dengan menghisap darah bayi seperti yang pernah kita dengar dilakukan iblis betina itu. Ingin aku membuntungi kedua tangan merahnya!” kata pula Liong-li gemas, mengingat betapa tangan merah itu hampir menewaskan Pek-liong.

“Tentang Pek-bwe Coa-ong, dia memang lihai dengan tongkat ularnya. Akan tetapi dia kurang percaya kepada diri sendiri, lebih sering mengandalkan ular-ularnya. Kalau kita sudah dapat membasmi ular-ularnya, diapun menjadi gentar dan mudah dihadapi,” kata pula Pek-liong.

“Empat orang Thai-san Ngo-kwi juga selain golok mereka mengandalkan pukulan tangan merah yang panas, akan tetapi kiraku tidaklah seganas tangan merah Ang I Sian-li. Mungkin mereka itu menguasai Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah) akan tetapi bukan golok dan pukulan tangan merah itu yang membuat mereka kuat melainkan to-tin (barisan golok) mereka berempat. Kalau mereka maju berempat maka mereka dapat membentuk barisan dan bersatu dengan amat kuatnya, kiraku tidak kalah kuat dibandingkan seorang di antara Tiga Iblis Tua itu.”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Sekali ini, kita menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, apa lagi ditambah banyak anak buah mereka. Kita harus berhati-hati, akan tetapi kitapun tidak mungkin membiarkan sembilan orang itu menjadi tawanan mereka.”

“Engkau benar, Pek-liong. Tidak boleh sembilan orang itu mati karena kita. Kita harus dapat menyelundup ke sana secepatnya dan menolong mereka.”

Kini Pek-liong dan Liong-li sudah pulih kembali dari keadaan tidak wajar ketika perasaan mereka dicengkeram suatu getaran aneh yang membuat mereka hampir menjadi lemah. Kini mereka kembali menjadi sepasang manusia yang seolah tidak lagi mempunyai perasaan, penuh kewaspadaan dan penuh semangat untuk mengalahkan musuh-musuh mereka! Dan kalau mereka sudah seperti itu, sungguh tidak ada bahaya lebih besar dari pada menentang sepasang naga ini!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu sepasang naga yang sedang mencari jalan menuruni bukit untuk kemudian mendaki lagi dari lain bagian ke sarang gerombolan dan kita tengok keadaan Cian Ciang-kun (Panglima Cian) atau Cian Hui yang karena kecerdikannya berhasil lolos dari perangkap yang dipasang tiga Iblis Tua sehingga dia dan isterinya tidak sampai menjadi tawanan mereka seperti halnya suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing berikut putera mereka, Song Cu. Juga tidak seperti kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.

Ketika Pek-liong menemuinya dan mendengarkan semua pengalamannya, kemudian Pek-liong meninggalkan rumahnya dan pendekar itu menolak ketika dia hendak membantu dengan pasukan, Cian Hui merasa tidak enak hati. Tidak mungkin dia membiarkan saja para sahabatnya yang amat dikasihinya itu menghadapi bahaya besar.

Dia tahu bahwa sekali ini sisa Kiu Lo-mo pasti telah mempersiapkan diri. Kalau mereka itu menghimpun banyak anak buah, bagaimana mungkin Pek-liong dan Liong-li berdua saja menghadapi dan melawan mereka? Pula, para datuk sesat itu selain lihai juga curang dan tidak segan mempergunakan kelicikan, maka tentu saja dia amat mengkhawatirkan keselamatan kedua orang sahabatnya itu.

Setelah Pek-liong pergi, Cian Hui mengambil keputusan, bersama Cu Sui In isterinya, mengajak belasan orang jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, pergi berangkat mencari sarang gerombolan di bukit Hek-san lembah Huang-ho. Juga dia mengerahkan pasukan sebanyak tigaratus orang, pasukan pilihan, untuk berangkat ke sana karena dia menduga bahwa sekali ini, para musuh Pek-liong dan Liong-li tentu telah mempersiapkan anak buah yang cukup banyak maka mereka berani menantang kedua orang pendekar itu secara terang-terangan.

Karena membawa pasukan, tentu saja Cian Hui dan isterinya tidak dapat secepat Pek-liong tiba di tempat itu. Dia lalu mengatur pasukannya, disebarnya penyelidik dan setelah menemukan sarang gerombolan, dia lalu mengepung tempat itu dengan pasukannya. Dia sendiri bersama isterinya dan belasan orang jagoan kota raja mendaki ke sarang gerombolan dengan hati-hati.

Seregu pasukan ahli penyelidik alat-alat rahasia jebakan, telah lebih dahulu bergerak membersihkan dan membasmi jebakan-jebakan yang ada. Semak-semak belukar yang mencurigakan dibabat habis dan dibakar, dan dibuat jalan setapak yang aman ke arah sarang untuk Cian Hui dan isterinya, sedangkan tigaratus orang pasukan itu mendaki dengan posisi mengepung.

Pagi hari itu, para anak buah gerombolan sibuk mempersiapkan sembahyangan di tepi tebing. Panggung itu mereka selesaikan kemarin, dan segala persiapan untuk sembahyangan besar telah dibuat. Semua anak buah gerombolan masih dalam suasana berpesta gembira untuk merayakan kemenangan mereka atas musuh besar mereka, yaitu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang telah terjatuh ke dalam tebing jurang yang amat curam itu.

Sembilan orang tawanan dalam keadaan terbelenggu telah dikeluarkan dari dalam kamar tahanan dan diikat di batang pohon dekat panggung. Song Tek Hin dan Su Hong Ing tidak takut menghadapi kematian, tidak gentar terhadap keselamatan diri sendiri, akan tetapi mereka gelisah sekali melihat Song Cu, anak mereka yang menangis karena anak itupun diikat kaki tangannya dan digeletakkan di dekat mereka.

Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Su Hong Ing melihat keadaan puteranya, akan tetapi karena ia sendiri terikat kaki tangannya, ia tidak mampu berbuat apapun. Suaminya, Song Tek Hin, mengepal tinju dengan marah sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.

Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li; diikat pada batang pohon lain, demikian pula dua orang gadis pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Delapan orang itu adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Mereka tidak gentar menghadapi kematian dan yang membuat mereka gelisah hanyalah Song Cu anak berusia tiga tahun yang ikut menjadi tawanan, juga mereka gelisah memikirkan keadaan Pek-liong dan Liong-li.

Semalam muncul Kim Pit Siu-cai dan tempat tahanan dan laki-laki berusia enampuluh tahun yang masih tampan dan sikapnya halus namun kejam sekali ini berusaha membujuk Su Hong Ing dengan kata-kata yang kotor, tanpa memperdulikan tawanan lain yang ikut pula mendengarkan. Kepada ibu muda itu, Kim Pit Siu-cai menghampiri dan tersenyum-senyum. Bagi Kim Pit Siu-cai, Su Hong Ing merupakan wanita tercantik dan paling menggairahkan di antara empat orang wanita tawanan.

“Hemn, engkau cantik jelita, sungguh sayang kalau lehermu yang putih mulus itu dipenggal besok pagi,” katanya.

Su Hong Ing memandang tajam. “Aku tidak takut mati. Penggallah, siksalah, aku tidak takut. Hanya kuminta, demi prikemanusiaan, kalau kalian masih merasa menjadi manusia, bebaskan anakku! Dia tidak tahu apa-apa, dia baru berusia tiga tahun, bebaskan dia!”

Dan betapapun gagahnya, ibu muda ini tidak dapat menahan kegelisahannya dan iapun menangis! Song Tek Hin yang ikut mendengarkan dan melihat, tidak menyalahkan isterinya yang menangis. Dia sendiri ingin menangis kalau melihat bahaya maut mengancam puteranya yang masih kecil.

“Heh-heh-heh, nyonya manis. Mudah saja kalau engkau hendak menyelamatkan puteramu. Bersikaplah manis kepadaku, layani aku malam ini dan aku akan usahakan agar puteramu...”

“Jahanam busuk! Aku tidak sudi!” bentak Su Hong Ing dengan muka kemerahan dan mata melotot.

“Ha-ha-ha, engkau suka atau tidak, apa sukarnya bagiku untuk memondongmu ke kamarku, manis? Akan tetapi aku akan lebih suka kalau engkau melayaniku dengan suka rela...”

“Tidak!” Keparat jahanam, iblis busuk! Kalau engkau jamah saja diriku, aku akan bunuh diri dan kalau engkau membunuh anakku, arwahku akan selalu mengejarmu dan mengganggumu!”

Mendengar ancaman ini, mau tidak mau Kim Pit Siu-cai bergidik juga. Dia memandang kepada Kam Cian Li, juga kepada dua orang pembantu Liong-li. Mereka bertiga ini juga cantik menarik, akan tetapi pandang mata mereka kepadanya tidak ada bedanya dengan pandang mata ibu muda itu, tidak ada rasa takut atau menyerah sedikitpun dan dari pandang mata mereka saja tahulah dia bahwa kalau dia ingin menguasai mereka, dia harus menggunakan paksaan, harus memperkosa, dan kalau dia melakukan ini, mereka tentu akan membunuh diri.

Bagi orang-orang yang ahli silat seperti mereka, tidak sukar membunuh diri walau dalam keadaan terbelenggu sekalipun. Dengan menggigit putus lidah sendiri, atau dengan menahan dan menelan napas.

Dan dia sendiri adalah seorang laki-laki yang angkuh, yakin akan ketampanan dan kepandaiannya merayu wanita. Kalau sampai ada wanita menolaknya dan dia harus memperkosanya, hal itu akan merupakan pukulan bagi harga dirinya! Sikap empat orang wanita itu sudah membuyarkan gairahnya dan malam itu lewat tanpa gangguan terhadap empat orang wanita itu.

Setelah Kim Pit Siu-cai pergi, Kam Cian Li berkata, “Akupun akan membunuh diri kalau dia berani menjamahku.” Dua orang pembantu Liong-li juga menyetujui sikap itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik, sembilan orang tawanan itu sudah diikat di batang pohon dekat panggung tempat sembahyang. Tiga orang Iblis Tua datang dan mereka menghampiri para tawanan.

Kim Pit Siu-cai memandang empat orang wanita yang semalam menolaknya dan dia pun tertawa. “Ha-ha-ha, akan kulihat apakah kalian tidak meratap minta ampun kalau seorang demi seorang kami siksa dan kami bunuh untuk korban sembahyangan terhadap arwah para rekan kami.”

“Hi-hik, biarpun anak itu bukan bayi lagi, darahnya masih cukup bersih. Berikan kepadaku, biar kuhisap darahnya sampai habis!” kata Ang I Sian-li dan Song Tek Hin bersama isterinya, meronta-ronta dalam ikatan mereka, namun sia-sia belaka. Ikatan itu terlampau kuat.

“Ang I Sian-li, dengarlah sumpah kami berdua, ayah ibu anak itu. Kalau engkau melakukan apa yang kau katakan itu, kami bersumpah, setelah kami mati, arwah kami akan bersatu dan mengganggu siang malam, sampai engkau menjadi gila, menjadi tersiksa sedikit demi sedikit, sampai akhirnya engkau mampus dan arwah kami tetap akan mengejar arwahmu!”

Suara Song Tek Hin ini terdengar penuh perasaan dan amat menyeramkan bagi Ang I Sian-li sehingga wajah iblis betina ini menjadi agak pucat juga. Pada jaman itu, orang-orang masih amat tahyul dan percaya benar bahwa apa yang disumpahkan itu tentu akan menjadi kenyataan. Tentu saja hal ini membuat Ang I Sian-li merasa ngeri juga.

Pek-bwe Coa-ong kini berkata kepada para tahanan. “Sebetulnya, secara pribadi kami tidak bermusuhan dengan kalian semua. Akan tetapi, kalian adalah sahabat-sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kami tidak mendapatkan kenikmatan menyaksikan penderitaan mereka ketika tewas terjungkal ke dalam jurang. Maka, sebagai gantinya, kami ingin melihat kalian menderita dalam siksaan ketika kami bunuh, dan kami yakin bahwa arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga akan melihat kalian tersiksa dan menderita karena kalian mati karena mereka!”

Pada saat itu , seolah-olah menjawab ucapan Pek-bwe Coa-ong, terdengar teriak-teriakan dan robohnya banyak anak buah gerombolan, disusul sorak sorai yang riuh rendah. Tiga Iblis Tua itu menjadi terkejut, dan empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang lebih dahulu melihat datangnya penyerbuan itu, berteriak.

“Pasukan pemerintah...! Mereka mengepung kita...!!”

Gegerlah seketika keadaan di sarang gerombolan itu. Anak buah gerombolan menjadi panik karena dari semua jurusan datang pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Pek-bwe Coa-ong terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Bagaimanapun juga, kalau hanya menghadapi pasukan pemerintah, dia tidak gentar.

“Semua tenang, lawan dan bunuh mereka semua! Kita tidak akan kalah!” Dia sendiri bersama dua orang rekannya, juga empat orang Thai-san Ngo-kwi, mengamuk dan begitu mereka bergerak, mereka merobohkan perajurit-perajurit yang menyerbu dengan mudah.

Hal ini membangkitkan semangat anak buah mereka. Akan tetapi, kini muncul Cian Hui, Cu Sui In, dan belasan orang jagoan istana yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga tiga orang Iblis Tua itu dan empat orang murid keponakan mereka terkepung.

Sementara itu, pasukan sudah bertempur melawan anak buah gerombolan dan ternyata jumlah pasukan pemerintah hampir tiga kali lebih besar sehingga anak buah gerombolan segera terdesak hebat. Mereka tidak dapat lari, karena tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah.

Melihat keadaan ini, Tiga Iblis Tua menjadi panik juga. Kim Pit Siu-cai yang cerdik segera berkata, “Kita pergunakan tawanan menjadi sandera! Cepat!”

Mereka bertiga lalu memutar senjata sehingga para pengeroyok terpaksa mundur dan mereka segera berloncatan ke arah di mana tadi sembilan orang tawanan itu mereka ikat. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka memandang dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat!

Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu telah berdiri di situ, semua tawanan telah terlepas dari ikatan, bahkan kini delapan orang tawanan dewasa telah memegang sebatang pedang dan anak kecil itu telah berada dalam gendongan ibunya dengan aman! Dan di sekitar tempat itu. belasan penjaga telah roboh dan tewas!

Memang ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di tempat itu, setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka mendengar suara ribut-ribut orang bertempur. Cepat mereka lari naik dan dengan girang mereka melihat bahwa Cian Hui telah menyerbu sarang gerombolan itu dengan banyak sekali pasukan pemerintah.

Tentu saja mereka lebih mementingkan menolong para tawanan lebih dahulu. Mereka melihat para tawanan itu diikat di batang pohon dekat tebing jurang di mana telah dibangun sebuah panggung tempat upacara sembahyang. Belasan orang anak buah gerombolan menjaga tempat itu. Dengan mudah mereka merobohkan belasan orang itu dengan pedang mereka, membebaskan para tawanan, mengambil pedang dari anak buah gerombolan yang roboh dan kini mereka semua telah memegang senjata, siap untuk membasmi gerombolan!

Liong-li tersenyum manis ketika melihat Tiga Iblis Tua itu. Juga Pek-liong tersenyum. Di lain pihak, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat. Mereka seperti bertemu setan di tengah hari. Dua orang musuh besar yang tadinya mereka yakin tentu mati terbanting remuk di dasar jurang, tiba-tiba kini muncul, membebaskan semua tawanan dan berdiri menghadapi mereka dengan pedang pusaka masing-masing di tangan! Pada saat itu, terdengar suara Cian Ciang-kun membentak dengan lantang sekali, terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur.

“Kami telah mengepung tempat ini dengan ratusan orang perajurit! Yang melawan akan ditumpas dan dibunuh habis! Menyerahlah, dan kami tidak akan membunuh kalian, hanya menangkap dan menghadapkan kalian ke pengadilan!”

Teriakan ini amat berpengaruh. Para anak buah gerombolan memang sudah panik karena mereka melihat betapa pasukan itu berjumlah besar sekali sehingga tiap orang anak buah gerombolan dikeroyok tiga-empat orang perajurit. Kalau mereka melawan terus, jelas mereka semua akan mati konyol. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut, menakluk!

Empat orang Thai-san Ngo-kwi membentak-bentak memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melanjutkan perlawanan, namun perintah mereka tidak dihiraukan lagi karena para anak buah gerombolan itu tidak ingin mati konyol. Mereka yang menakluk segera dilucuti senjatanya dan diborgol, dan kepungan para perajurit di tempat itu menjadi semakin ketat.

“Cian Ciang-kun, terima kasih, engkau telah menyelamatkan para tawanan!” kata Liong-li girang sekali.

Cian Hui hanya mengangguk, lalu sekali lagi membentak, ditujukan kepada Tiga Iblis Tua dan empat Thai-san Ngo-kwi. “Sekali lagi, menyerahlah kalian semua sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!”

Tiba-tiba Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li hanyalah dua orang pengecut yang mempergunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk mengepung dan mengeroyok kami!”

“Liong-li, kalau memang engkau benar pendekar wanita yang memiliki keberanian, mari kita bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan keroyokan!” kata pula Pek-bwe Coa-ong.

Liong-li tertawa. “Hemm, Pek-bwe Coa-ong! Sekarang, dalam keadaan terdesak dan tersudut, engkau mengeluarkan kata-kata besar! Lupa bahwa kalian bertiga telah mempergunakan kecurangan dan kelicikan tanpa mengenal malu, menangkapi para sahabat kami yang tidak berdosa hanya untuk memancing kami datang! Kemudian, setelah kami berdua datang, kalian menggunakan pengeroyokan dan jebakan! Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang curang macam kalian. Kami menerima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu dan aku akan melawanmu, Coa-ong!”

“Aku akan menandingi Kim Pit Siu-cai!” kata Pek-liong sambil maju pula dengan sikapnya yang tenang dan gagah.

“Hi-hik, dan siapa berani melawan aku?” kata Ang I Sian-li dengan sikap sombong karena ia merasa yakin bahwa selain Pek-liong dan Hek-liong-li, tidak akan ada yang mampu menandinginya.

“Biar aku yang mengatur!” Liong-li berseru dan ia memandang kepada Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In. Ia maklum bahwa Cian Hui memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh, dan isterinya, murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Ia sudah mengukur bahwa kalau suami isteri itu maju bersama, pasti Ang I Sian-li tidak akan mampu menang. “Cian Ciang-kun, dan engkau enci Cu Sui In, maukah kalian berdua mewakili kami melawan Ang I Sian-li?”

Suami isteri ini selain lihai juga cukup cerdik. Mereka maklum sepenuhnya bahwa Liong-li tidak akan mencelakakan mereka. Kalau Liong-li minta mereka berdua menghadapi iblis betina itu, tentu Liong-li sudah mempunyai ukuran bahwa mereka akan menang, maka mereka segera menyanggupi. Cian Hui sudah memegang suling baja di tangan kanan, sedangkan isterinya, Cu Sui In sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang).

“Hi-hik, sepasang suami isteri yang tampan dan cantik. Sayang hari ini akan tewas di ujung pedangku,” kata Ang I Sian-li. “Selain kami bertiga, masih ada empat orang pembantu kami, yaitu Thai-san Ngo-kwi. Siapa yang akan menandingi mereka, Liong-li? Suruh mereka maju sekarang karena Thai-san Ngo-kwi yang akan maju lebih dahulu!”

Iblis betina ini memang cerdik. Ia sengaja menantang dan menyuruh empat orang murid keponakan itu maju lebih dahulu untuk memastikan bahwa mereka berempat tidak seperti anak buah lainnya, menakluk kepada musuh! Empat orang itu adalah, Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Mereka maklum bahwa menakluk pun bagi mereka pasti tidak ada pengampunan, maka lebih baik melawan mati-matian.

“Kami tidak akan mengikut-sertakan pasukan pemerintah,” kata Pek-liong dengan suaranya yang tenang. “Di sini kami juga mempunyai teman-teman yang setia, maka biarlah teman-teman kami yang tadinya menjadi tawanan menghadapi mareka.” Pek-liong memaksudkan dua orang pembantunya, dua orang pembantu Liong-li, kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, dan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.

Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. Dia maklum akan kelihaian empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Biarpun delapan orang pengeroyok yang menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li itu juga lihai, terutama empat orang pembantu mereka, namun dia khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka, maka dia cepat berkata,

“Isteri saudara Song Tek Hin menggendong puteranya, tidak baik kalau ia disuruh bertanding. Di antara para temanku ini ada yang bukan anggauta pasukan pemerintah, maka biarlah dia yang menggantikan nyonya muda itu! Liok-toako, harap kau suka membantu kami menghadapi empat orang kepala perampok dari Thai-san itu!”

Seorang di antara jagoan istana yang bernama Liok San adalah seorang ahli silat yang tangguh, bahkan tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki Cian Hui. Inilah sebabnya mengapa Cian Hui memilih dia untuk mewakill Su Hong Ing yang menggendong puteranya. Dengan majunya Liok San ini, otomatis keadaan mereka yang akan melawan ke empat Thai-san Ngo-kwi senjadi jauh lebih kuat lagi!

Pek-liong juga maklum akan kecerdikan Cian Hui, maka diapun mengangguk. “Nah, siapa yang akan bertanding lebih dulu, Kim Pit Siu-cai?” tantang Pek-liong.

Seperti juga Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai tidak menghendaki empat orang murid keponakan yang menjadi pembantu utama itu menakluk kepada pihak musuh, maka diapun berkata, “Biarlah ke empat Thai-san Ngo-kwi yang maju lebih dulu!”

Empat orang itu maklum bahwa tidak ada jalan keluar, maka merekapun cepat melangkah maju dan membentuk barisan golok dengan sikap mereka yang galak.

Liok San maklum bahwa kalau sahabatnya, Cian Hui menyuruh dia membantu melawan empat orang tokoh sesat ini, tentu para pembantu dan sahabat Pek-liong dan Liong-li tidak memiliki ilmu setinggi dua orang pendekar itu. Maka, dia yang bukan hanya memiliki ilmu silat, akan tetapi sebagai seorang jagoan istana dan panglima, dia memiliki pula ilmu perang dan membentuk barisan, dia segera mengambil komando atas tujuh orang rekannya yang hendak maju mengeroyok empat orang penjahat itu.

“Kita serang mereka dengan berputar melingkari mereka! Menyerang sambil membantu teman yang berada di kanan. Ingat, yang kiri membantu yang kanan!”

Setelah berteriak demikian, Liok San mulai menyerang sedangkan tujuh orang lainnya, yaitu kakak beradik Kam, dua orang pembantu Pek-liong, dua orang pembantu Liong-li dan Song Tek Hin sudah cepat mengurung dan mengelilingi empat orang itu dan menyerang dengan senjata masing-masing.

Mereka semua maklum bahwa jagoan istana yang usianya sudah limapuluhan tahun dan bertubuh tinggi kurus, bersenjatakan pedang itu tentulah seorang yang lihai dan ahli mengatur barisan, maka merekapun mentaati petunjuknya. Mereka menyerang sambil siap membantu dan melindungi teman yang berada di sebelah kanan.

Empat orang Thai-san Ngo-kwi itu mengamuk dengan golok mereka, akan tetapi menghadapi barisan yang mengelilingi mereka dan saling bantu itu, mereka tidak sempat mengatur barisan golok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi, biarpun empat orang Thai-san Ngo-kwi hendak memaksakan dan mendesak seorang lawan, tetap saja usaha ini gagal karena lawan lain akan membantu dan lawan itu akan terus berputar menyerang musuh yang berada di sebelah kanan.

Dengan demikian, delapan orang itu berputar terus dan membuat empat orang tokoh sesat itu merasa seperti dikeroyok masing-masing oleh delapan orang! Karena bingung, mereka melawan dengan membuta mengandalkan gerakan golok mereka yang cukup lihai. Akan tetapi karena siasat Liok San membuat delapan orang itu dapat saling bantu dan saling melindungi, maka semua serangan golok empat orang penjahat itu selalu dapat ditangkis, dan sebaliknya, mereka dihujani serangan yang bertubi-tubi datangnya.

Tiga orang Iblis Tua melihat pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Akan tetapi mereka tidak dapat membantu, juga tidak mungkin melarikan diri dari tempat yang terkepung ratusan orang perajurit itu. Mereka hanya dapat mengambil keputusan untuk melawan mati-matian.

“Hek-liong-li, tunggu apa lagi! Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita sekarang juga!”

Pek-bwe Coa-ong membentak dengan marah dan nekat. Dia sudah melintangkan tongkat ularnya di depan dada, menantang Liong-li. Tempat itu memang cukup luas untuk bertanding, maka Liong-li sambil tersenyum menghampiri dengan Pedang Naga Hitam di tangan.

“Engkau tergesa-gesa ingin cepat menyusul saudara-saudaramu yang telah mati lebih dulu? Baik, mari kuantar engkau dengan pedangku!” kata Liong-li sambil melintangkan pedangnya di depan dada...