Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEK BWE COA ONG merasa tidak akan ada gunanya menggunakan ilmunya memanggil ular-ular di daerah itu. Tempat itu terkepung ratusan orang perajurit. Ular-ular itu pasti tidak akan berani datang, dan kalaupun ada yang berani, tentu akan diinjak-injak lumat oleh para perajurit.

“Haiiiiittt...!!” Pek-bwe Coa-ong Gan Ki menyerang dengan tongkatnya, gerakannya hebat bukan main, mendatangkan angin keras dan tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Liong-li. Namun, pendekar wanita ini dapat mengelak dengan mudah dan pedangnya yang diputar menjadi gulungan sinar hitam itu mencuat dengan tusukan balasan ke arah dada.

“Trakkk...!” Tongkat ular kering yang keras itu menangkis dan keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.

“Pek-liong-eng, sambutlah senjataku!” Kim Pit Siu-cai juga berteriak dan begitu Pek-liong melintangkan pedangnya, dia sudah menyerang.

Pek-liong menggerakkan pedangnya dan kedua orang yang lihai inipun sudah saling serang dengan sengitnya. Keduanya menggunakan kecepatan sehingga tidak nampak lagi, yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar putih dari pedang Naga Putih dan gulungan sinar kuning dari sepasang mouw-pit.

Melihat betapa kedua orang rekannya sudah turun tangan menyerang lawan masing-masing, timbul perasaan ngeri di hati Ang I Sian-li, takut kalau ia nanti tertinggal seorang diri. Maka iapun menghampiri Cian Hui dan Cu Sui In, sambil tersenyum manis berkata,

“Apakah kalian suami isteri yang tampan dan cantik sudah siap untuk mati?”

Cian Hui menoleh kepada para jagoan istana yang masih berdiri menjadi penonton. “Kalian jangan mencampuri, akan tetapi kalau mereka curang dan banyak tingkah, kerahkan pasukan dan hancurkan mereka!”

Dalam pesan ini tersembunyi isyarat bahwa kalau pihak Liong-li dan Pek-liong bersama kawan-kawannya terancam bahaya, mereka diminta turun tangan membantu dengan pengerahan pasukan! Cu Sui In yang telah melintangkan sepasang pedangnya di depan dada, berkata sambil tersenyum mengejek.

“Ang I Sian-li, seharusnya engkau berganti pakaian dulu, pakaianmu yang merah itu diganti warna putih karena engkau akan mati dan engkau sendiri yang akan berkabung atas kematianmu. Orang-orang lain akan menyambut kematian seorang iblis betina jahat kejam sepertimu dengan sorak sorai karena gembira.”

Nyonya Cian Hui ini memang pandai bicara. Ang I Sian-li memandang dengan alis berkerut. Ia sendiri biasanya pandai bicara dan mengejek, akan tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk dapat bersikap seperti itu.

“Lihat pedangku!” bentaknya dan iapun sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang. Serangannya ditujukan kepada Cu Sui In karena diam-diam ia marah dan membenci wanita cantik itu yang telah mengejeknya.

“Trang-tranggg...!!”

Pedang kirinya ditangkis Cu Sui In, dan pedang kanannya ditangkis suling baja di tangan Can Hui yang melindungi isterinya. Mereka berdua membalas dengan serangan kilat sehingga Ang I Sian-li harus bergerak cepat untuk melindungi dirinya. Perkelahian antara iblis betina ini melawan suami isteri itu pun terjadi dengan sengit dan serunya, membuat kagum dan tegang hati mereka yang menjadi penonton.

Yang paling terdesak adalah empat orang Thai-san Ngo-kwi. Delapan orang pengeroyok mereka terus mendesak, terutama sekali dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Mereka berempat ini agaknya mendendam karena kematian rekan-rekan mereka dan kini dendam itu mereka salurkan dan timpakan kepada empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sehingga mereka menyerang mati-matian dengan sengit sekali.

Thai-san Ngo-kwi, Lima Setan Thai-san yang kini tinggal empat orang itu, dengan nekat berusaha untuk melindungi diri dan memutar golok mereka diseling pukulan tangan kiri yang telah berubah merah. Akan tetapi, semua pertahanan mereka bobol karena datangnya serangan bertubi dan sambung-menyambung dari delapan orang lawan mereka.

Akhirnya, pedang di tangan Liok San yang tangkas itu berhasil melukai lutut kiri Thai-kwi. Orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi ini terpelanting dan segera para pengeroyoknya menghujankan senjata mereka sehingga dia tidak dapat bangun kembali, tewas dengan tubuh penuh luka!

Melihat ini, tiga orang adiknya menjadi panik, juga marah dan nekat. Namun, tentu saja mereka menjadi semakin lemah dengan robohnya orang pertama dari mereka.

Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang pembantu Liong-li, yang paling ganas di antara para pengeroyok itu karena merasa sakit hati melihat rekan-rekannya tewas dalam keadaan menyedihkan, segera berhasil merobohkan dua orang lagi, yaitu Su-kwi dan Ngo-kwi yang begitu roboh juga menjadi makanan banyak senjata sehingga merekapun tewas seketika. Tinggal Ji-kwi dan tentu saja dia tidak mampu bertahan dan diapun roboh dan tewas dengan tubuh rusak.

Tewasnya empat orang dari Thai-san Ngo-kwi ini disambut sorak sorai para perajurit, dan tentu saja tiga orang Iblis Tua menjadi semakin gentar dan panik. Pek-bwe Coa-ong yang melawan Hek-liong-li merasa gentar bukan main. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmunya, namun gulungan sinar hitam dari pedang Hek-liong-li hebat bukan main. Ilmu yang dia andalkan, yaitu memanggil barisan ular untuk membantunya, saat itu tidak dapat dia pergunakan.

Kedua ujung tongkatnya yang terbuat dari ular berekor putih yang sudah mengering dan keras, juga beracun, sudah retak-retak beradu dengan pedang Hek-liong-kiam dan napasnya mulai terengah. Biarpun tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat kepandaian Liong-li, namun usianya yang sudah cukup tua itu membuat dia kalah dalam daya tahan dan sudah mulai loyo dan terengah. Tiba-tiba, teringat akan senjata terakhir andalannya, tangan kirinya merogo ke dalam baju, kemudian begitu tangan itu bergerak, nampak sinar putih berdesis menyambar ke arah leher Liong-li.

Wanita perkasa ini terkejut karena benda itu menyambar dari jarak dekat ke arah lehernya. Ia mencium bau yang amis sekali dan saat itu, tongkat lawan menusuk ke arah lambungnya. Cepat ia miringkan tubuhnya dan pedangnya menyabet ke arah benda putih yang menyambar ke arah lehernya itu.

“Crakk!” Darah menetes dan benda itu putus menjadi dua potong. Benda itu ternyata seekor ular sebesar jari kelingking. Potongan bagian ekor jatuh ke bawah, akan tetapi bagian kepala terlempar ke samping dan meluncur ka arah Cian Hui yang sedang mengeroyok Ang I Sian-li.

Cian Hui dan isterinya belum berhasil mendesak Ang I Sian-li yang amat lihai. Suami isteri ini terutama sekali harus berhati-hati terhadap tangan kiri iblis betina itu yang tamparannya lebih berbahaya dari pada sambaran pedangnya.

Kadang-kadang, iblis betina itu menyatukan kedua pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menampar-nampar, mengeluarkan hawa yang berbau busuk seperti bangkai dan tangan itu berubah merah sekali. Karena maklum bahwa tangan kiri itu mengandung racun berbahaya, maka Cian Hui dan Cu Sui In berhati-hati sekali.

Pada saat mereka berdua masih saling serang dengan Ang I Sian-li, tiba-tiba ada benda putih menyambar ke arah Cian Hui. Perwira itu terkejut, cepat menggerakkan suling baja di tangannya menangkis atau memukul ke arah benda itu, memukul agar benda yang tidak diketahuinya apa itu membelok ke arah lawannya.

“Plakk!” Tangkisannya berhasil dan benda itu dengan kecepatan kilat kini menyambar ke arah Ang I Sian-li. Wanita ini tidak tahu benda apa itu, maka ia yang sedang menggunakan tangan kiri untuk menyerang kedua orang pengeroyoknya cepat menangkap benda putih itu dengan tangan kirinya yang ampuh. Tiba-tiba Ang I Sian-li menjerit dan roboh terjengkang!

Kiranya benda putih itu adalah potongan ular bagian kepala dan setengah badannya, ketika ditangkapnya, ular yang bagian bawah dan ekornya sudah buntung itu langsung menggigit tangan yang menangkapnya. Begitu tergigit, hawa panas yang tak tertahankan lagi menyusup ke dalam tubuh Ang I Sian-li dan iapun roboh, menjerit-jerit dan berkelonjotan!

Cian Hui dan isterinya saling berpegang tangan dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak ngeri, namun siap dengan senjata mereka menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi, Ang I Sian-li tidak mungkin dapat menyerang mereka lagi. Wanita itu berkelonjotan sambil terus menjerit-jerit seperti orang gila, dan yang mengerikan sekali, tangan yang tergigit tadi, yang tadinya berwarna merah sekali, kini berubah putih! Warna putih menjalar naik dan akhirnya Ang I Sian-li tewas dengan tubuh berubah putih seperti kapur!

Melihat betapa iblis betina itu tewas, tentu saja Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong menjadi semakin panik dan gentar. Terutama sekali Pek-bwe Coa-ong yang sudah kehilangan ular putih yang ampuh tadi. Ular putih yang dijadikan senjata rahasia itu, tidak dapat membunuh Liong-li, bahkan telah membunuh rekannya sendiri, Ang I Sian-li.

Matinya Ang I Sian-li merupakan peristiwa kebetulan, dan agaknya memang sudah tiba saatnya ia menerima hukuman atas semua kejahatannya yang amat keji dan kejam. Mungkin saja ular putih itu penjelmaan seorang di antara bayi-bayi yang dihisap darahnya sampai habis olehnya.

Mungkin karena ngeri melihat kematian Ang I Sian-li, tiba-tiba Kim Pit Siu-cai mengeluarkan kipasnya yang lebar. Justeru saat inilah yang dinanti-nanti dengan penuh kewaspadaan oleh Pek-liong. Begitu lawan mencabut kipas, sebelum kipas dikembangkan, terutama sebelum kipas dapat mengeluarkan jarum-jarum beracunnya yang pernah melukai punggungnya, pedang Pek-liong-kiam berkelebat dan menyambar dengan sangat cepat dan dahsyat!

Kim Pit Siu-cai menjadi terkejut dan karena pedang yang menjadi sinar putih menyambar dari sebelah kiri, otomatis diapun mengangkat kipas untuk menangkis.

“Crakkkk!” Kipas itu patah-patah menjadi beberapa potong! Kim Pit Siu-cai terkejut dan cepat tangan kanannya bergerak. Sebatang di antara kedua mouw-pit di tangan kanan itu meluncur ke arah dada Pek-liong.

Namun pendekar ini dapat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kim Pit Siu-cai untuk melompat pula ke atas panggung yang didirikan anak buahnya dan yang sedianya akan dipergunakan untuk melakukan sembahyangan besar dengan korban sembilan orang tawanan itu.

Pada saat yang bersamaan, Pek-bwe Coa-ong yang sudah jerih itupun melompat ke atas panggung mengikuti perbuatan rekannya. Kini keduanya telah melompat ke atas panggung itu.

“Jahanam tua, kalian tak dapat lolos dari tangan kami!” bentak Liong-li dan Pek-liong yang mengejar ke panggung.

“Ha-ha-ha, siapa bilang kami tidak dapat lolos? Mari, Coa-ong!” kata Kim Pit Siu-cai dan kedua orang Iblis Tua itu berpegang tangan lalu keduanya meloncat ke bawah tebing jurang di mana kemarin Liong-li dan Pek-liong terjerumus!

“Ah, celaka, mereka dapat meloloskan diri!” kata Cian Hui sambil menjenguk ke bawah.

Akan tetapi Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan tersenyum, “Mereka tidak akan lolos, Ciang-kun. Sekarang juga mereka telah tewas dengan tubuh remuk. Tebing jurang ini teramat dalam dan kami berdua kemarin juga terjatuh ke situ, hanya Tuhan belum menghendaki kami tewas, maka kebetulan saja kami dapat lolos dari maut.”

Akan tetapi Cian Hui masih belum yakin, maka atas petunjuk Pek-liong dan Liong-li, dia menyuruh seregu pasukan untuk memeriksa di bawah sana, melalui jalan mengitari bukit.

Keadaan menjadi sunyi setelah pertempuran berakhir. Cian Hui mengatur pasukan. Setelah menyingkirkan mayat-mayat, lalu menggiring puluhan orang anak buah gerombolan sebagai tawanan, kembali ke kota raja. Ketika Cian Hui mengajak sepasang pendekar itu untuk ikut berkunjung ke kota raja, mereka menolak dengan halus.

“Harap Ciang-kun pergi dulu, lain hari pasti kami berdua akan berkunjung.”

Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing, dengan berbahagia mengajak puteranya, Song Cu, pulang dan keluarga ini tentu saja merasa berbahagia bukan main setelah terbebas dari ancaman maut, terutama atas diri putera mereka. Mereka berpamit dari Pek-liong dan Liong-li, dan meninggalkan tempat itu, bergabung dengan pasukan agar lebih aman di dalam perjalanan.

Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Dengan berat hati mereka meninggalkan tempat itu setelah Pek-liong dan Liong-li mengajak kakak beradik itu bicara berempat saja, dan sepasang pendekar ini menasihatkan kepada kakak beradik itu untuk membentuk rumah tangga dan mencari pasangan masing-masing.

“Harap kalian lenyapkan mimpi tentang diri kami berdua,” demikian kata Pek-liong. “Dalam ke hidupan ini kami berdua tidak dapat berjodoh dengan kalian berdua, mudah-mudahan saja dalam kehidupan yang lain kita akan dapat saling berjodoh.”

Terpaksa kakak beradik itupun pergi dan Kam Cian Li pergi dengan kedua mata basah air mata. Namun kini mereka yakin bahwa sepasang pendekar itu bukan jodoh mereka dan mereka tidak perlu mengharapkan. Merekapun mengambil keputusan untuk memilih jodoh mereka, karena sesungguhnya, banyak sudah pemuda yang meminang Cian Li, dan banyak pula gadis-gadis yang menaksir Sun Ting yang masih muda, gagah, tampan dan kaya raya itu.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Kini hanya tinggal Pek-hwa dan Ang-hwa, juga kedua orang pembantu Pek-liong, yang masih berada di tepi tebing itu. Mereka memandang kepada sepasang pendekar itu penuh pertanyaan dan menanti perintah. Pek-liong kembali saling pandang dengan Liong-li. Pek-liong berkata kepada kedua orang pembantunya, suaranya mengandung keharuan karena kini hanya tinggal dua orang itulah pembantunya.

“Kalian turunlah dulu, tinggalkan aku di sini.”

Liong-li juga berkata cepat kepada kedua orang pembantunya. “Pek-hwa dan Ang-hwa, kalian pulanglah dulu, tinggalkan kami berdua di sini sejenak.”

Empat orang itu agaknya memaklumi bahwa sepasang pendekar itu ingin bercakap-cakap tanpa gangguan siapapun, maka merekapun mengangguk dan segera mereka berempat menuruni tempat itu.

Matahari telah lewat tengah hari, mulai condong ke barat. Suasana hening sekali setelah tadi tempat itu menjadi medan laga. Pek-liong dan Liong-li masih berdiri memandang sampai keempat orang pembantu mereka tak nampak lagi bayangannya.

Kemudian mereka saling pandang. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, seperti baru pertama kali mereka saling pandang, pandang mata itu bertaut dan sungguh aneh, mereka merasa betapa jantung mereka berdebar keras. Mereka seolah-olah menemukan sesuatu dalam wajah mereka masing-masing, sesuatu yang tak pernah mereka lihat atau rasakan.

“Liong-li...”

“Pek-liong...”

Keduanya berdiam diri lagi. Kemudian Pek-liong menghela napas panjang, lalu berkata lembut. “Liong-li, mari kita duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”

Mereka duduk di atas batu, berhadapan, kembali saling tatap. Liong-li mengangguk karena ia dapat merasakan apa yang dirasakan Pek-liong. “Akupun ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Pek-liong.”

“Liong-li, ada sesuatu yang terjadi dalam hati kita berdua. Benarkah itu?”

Liong-li hanya memandang dan mengangguk. Ah betapa mereka sudah dapat membaca isi hati masing-masing! Sesungguhnya, tanpa bicarapun mereka dapat merasakan apa yang dirasakan pihak lain!

“Sejak di dasar jurang itu?” Pek-liong ingin yakin. Liong-li mengangguk. “Engkau menangisi aku, Liong-li?”

Liong-li mengangguk. “Melihat engkau mati, dunia seperti kiamat bagiku, Pek-liong, dan aku menyadari bahwa tanpa engkau, aku tidak mungkin dapat bertahan hidup. Perasaanku hancur lebur melihat engkau yang kusangka mati.”

Pek-liong mengangguk. “Dan ketika itu aku bermimpi, kita berdua mendayung perahu, mengarungi samudera luas, hanya kita berdua... dan ketika aku sadar dan melihatmu, ahhh, aku mengerti, Liong-li. Aku... pada saat itu... sampai sekarang aku... timbul cintaku melihatmu!”

“Aku mengerti, Pek-liong. Selama ini kita saling merindukan, akan tetapi kita mencoba untuk melepas kerinduan itu melalui orang lain. Betapa bodohnya kita ini, kita saling merasa malu untuk mengakui kenyataan itu. Atau kita terlalu sombong?” Ia tersenyum dan Pek-liong juga tersenyum.

“Kini terasa sekali olehku. Kita saling mencinta, Liong-li. Bukan, bukan cinta yang kita paksakan seperti sebelum ini, kita memaksa diri bahwa kita mencinta hanya sebagai sahabat setia, sehidup semati, saling bantu dan saling melindungi. Tidak, kita saling mencinta, lebih dari itu. Kita saling bersatu! Bukan begitu? Seharusnya kita sejak dahulu bersatu...”

“Engkau benar, Pek-liong. Baru sekarang kusadari, atau pada saat engkau kusangka mati kemarin. Seharusnya sejak dahulu kita berani mengakui itu, saling mencinta sebagai seorang pria dan seorang wanita. Andaikata dahulu demikian, kiranya kita tidak menjadi petualang seperti sekarang, menanam banyak bibit permusuhan, bahkan menyeret orang lain.”

“Sudahlah, yang sudah biarkan lalu. Belum terlambat, bukan? Nah, Hek-liong-li Lie Kim Cu, sebagai seorang yang sejak dahulu jatuh cinta padamu, sekarang aku meminangmu. Maukah engkau menjadi isteriku?”

Mereka saling pandang, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah. Dalam pandang mata itu, selain saling pengertian, terdapat kemesraan yang sedalam samudera dan kedua mata Liong-li perlahan-lahan menjadi basah! Air mata berlinang di matanya. Linangan air mata seorang wanita yang mendambakan pria yang dicintanya. Ia menggangguk.

“Dengan bahagia aku mau menjadi isterimu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay!”

Dan keduanya merasa geli, merasa lucu, lalu entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya sudah saling rangkul dan bertemu dan bersatunya kedua hati itu diwakili bibir mereka dalam ciuman yang mesra.

Betapa anehnya! Sepasang pendekar yang amat lihai, yang amat cerdik, sebelum ini demikian bodohnya sehingga mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan bahwa mereka saling mencinta, saling mendambakan, saling merindukan! Baru sekarang mereka tahu bahwa masing-masing tidak pernah dapat mencinta pria atau wanita lain, walaupun mereka coba untuk mencari penggantinya.

Menjelang senja, sambil bergandeng tangan, Pek-liong dan Liong-li menuruni lembah Bukit Hek-san itu. Ketika mereka melihat empat orang itu menghadang dengan sikap hormat, mereka tidak merasa heran, juga tidak saling melepaskan gandengan tangan mereka. Mereka memandang, dan ternyata dua orang pembantu Pek-liong dan dua orang pembantu Liong-li kini telah menjadi dua pasang!

“Eh, kalian belum pulang, Ang-hwa dan Pek-hwa?” tanya Liong-li.

“Harap li-hiap memaafkan kami. Kami telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke rumah Li-hiap. Maafkan kami berdua...” kata Ang-hwa, mewakili Pek-hwa yang hanya menunduk saja.

“Hemmm...?” Liong-li tidak marah, melainkan memandang kepada Pek-liong dan keduanya seperti dapat memaklumi.

“Tai-hiap, kami berdua juga mengambil keputusan untuk pulang ke dusun kami masing-masing, tidak pulang ke rumah tai-hiap.

Maafkan kami,” kata seorang di antara dua orang pembantu Pek-liong.

“Kalian akan... menikah?” Pek-liong dan Liong-li bertanya, hampir berbareng.

Dua pasang orang muda itu mengangguk dan menunduk, muka mereka berubah merah sekali. Pek-liong dan Liong-li tertawa bergelak, masih saling berpegang tangan, tertawa geli dan juga bahagia.

“Kiong-hi (selamat)!” kata Pek-liong kepada dua orang pembantunya, “Aku girang sekali mendengar berita ini dan tentu saja aku setuju sepenuhnya.”

“Akan tetapi, kalian tidak boleh mendahului kami, Ang-hwa dan Pek-hwa. Aku ingin kalian menjadi pengapitku kalau aku melangsungkan pernikahanku!” kata Liong-li.

Ang-hwa dan Pek-hwa terkejut dan cepat mengangkat muka, memandang wajah nona mereka dengan mata terbelalak.

Pek-liong tersenyum dan berkata kepada dua orang pembantunya. “Kalian berdua juga harus bersabar dan sebelum menikah, harus lebih dulu menjadi pengapitku. Setuju?”

Kini mereka berempat mengerti. Ang-hwa dan Pek-hwa lupa bahwa mereka adalah bekas pembantu dan pelayan Liong-li. Keduanya menubruk dan merangkul nona mereka, menciumi dengan air mata bercucuran akan tetapi sambil tertawa-tawa! Juga kedua orang pembantu Pek-liong segera memberi selamat kepada bekas majikan mereka.

Akhirnya, mereka saling berpisah. Seperti telah mereka sepakati bersama, Pek-liong akan pulang ke rumahnya sendiri bersama dua orang pembantunya, juga Liong-li akan pulang ke rumahnya sendiri bersama Ang-hwa dan Pek-hwa. Akan tetapi Pek-liong akan singgah di rumah Cian Ciang-kun karena hanya perwira sahabat baik mereka itulah yang dapat mereka mintai tolong untuk menjadi wali dan perantara, juga yang mengatur semua keperluan pesta pernikahan antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!

Demikianlah, selesai sudah kisah petualangan Pendekar Naga Putih dan Nona Naga Hitam itu. Mereka menjual rumah masing-masing, setelah menjadi suami isteri mereka pindah tinggal di lereng sebuah bukit yang indah dan sunyi, dekat Telaga Barat, hidup dalam keadaan tenteram dan penuh damai karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka seolah hendak menebus semua kehilangan masa lalu dan tenggelam dengan kebahagiaan mereka berdua.

Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua dan sampai jumpa di lain kisah!

T A M A T

CERSIL KARYA KHO PING HOO SELANJUTNYA:

SERIAL SI PEDANG TUMPUL

Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 17

PEK BWE COA ONG merasa tidak akan ada gunanya menggunakan ilmunya memanggil ular-ular di daerah itu. Tempat itu terkepung ratusan orang perajurit. Ular-ular itu pasti tidak akan berani datang, dan kalaupun ada yang berani, tentu akan diinjak-injak lumat oleh para perajurit.

“Haiiiiittt...!!” Pek-bwe Coa-ong Gan Ki menyerang dengan tongkatnya, gerakannya hebat bukan main, mendatangkan angin keras dan tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Liong-li. Namun, pendekar wanita ini dapat mengelak dengan mudah dan pedangnya yang diputar menjadi gulungan sinar hitam itu mencuat dengan tusukan balasan ke arah dada.

“Trakkk...!” Tongkat ular kering yang keras itu menangkis dan keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.

“Pek-liong-eng, sambutlah senjataku!” Kim Pit Siu-cai juga berteriak dan begitu Pek-liong melintangkan pedangnya, dia sudah menyerang.

Pek-liong menggerakkan pedangnya dan kedua orang yang lihai inipun sudah saling serang dengan sengitnya. Keduanya menggunakan kecepatan sehingga tidak nampak lagi, yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar putih dari pedang Naga Putih dan gulungan sinar kuning dari sepasang mouw-pit.

Melihat betapa kedua orang rekannya sudah turun tangan menyerang lawan masing-masing, timbul perasaan ngeri di hati Ang I Sian-li, takut kalau ia nanti tertinggal seorang diri. Maka iapun menghampiri Cian Hui dan Cu Sui In, sambil tersenyum manis berkata,

“Apakah kalian suami isteri yang tampan dan cantik sudah siap untuk mati?”

Cian Hui menoleh kepada para jagoan istana yang masih berdiri menjadi penonton. “Kalian jangan mencampuri, akan tetapi kalau mereka curang dan banyak tingkah, kerahkan pasukan dan hancurkan mereka!”

Dalam pesan ini tersembunyi isyarat bahwa kalau pihak Liong-li dan Pek-liong bersama kawan-kawannya terancam bahaya, mereka diminta turun tangan membantu dengan pengerahan pasukan! Cu Sui In yang telah melintangkan sepasang pedangnya di depan dada, berkata sambil tersenyum mengejek.

“Ang I Sian-li, seharusnya engkau berganti pakaian dulu, pakaianmu yang merah itu diganti warna putih karena engkau akan mati dan engkau sendiri yang akan berkabung atas kematianmu. Orang-orang lain akan menyambut kematian seorang iblis betina jahat kejam sepertimu dengan sorak sorai karena gembira.”

Nyonya Cian Hui ini memang pandai bicara. Ang I Sian-li memandang dengan alis berkerut. Ia sendiri biasanya pandai bicara dan mengejek, akan tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk dapat bersikap seperti itu.

“Lihat pedangku!” bentaknya dan iapun sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang. Serangannya ditujukan kepada Cu Sui In karena diam-diam ia marah dan membenci wanita cantik itu yang telah mengejeknya.

“Trang-tranggg...!!”

Pedang kirinya ditangkis Cu Sui In, dan pedang kanannya ditangkis suling baja di tangan Can Hui yang melindungi isterinya. Mereka berdua membalas dengan serangan kilat sehingga Ang I Sian-li harus bergerak cepat untuk melindungi dirinya. Perkelahian antara iblis betina ini melawan suami isteri itu pun terjadi dengan sengit dan serunya, membuat kagum dan tegang hati mereka yang menjadi penonton.

Yang paling terdesak adalah empat orang Thai-san Ngo-kwi. Delapan orang pengeroyok mereka terus mendesak, terutama sekali dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Mereka berempat ini agaknya mendendam karena kematian rekan-rekan mereka dan kini dendam itu mereka salurkan dan timpakan kepada empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sehingga mereka menyerang mati-matian dengan sengit sekali.

Thai-san Ngo-kwi, Lima Setan Thai-san yang kini tinggal empat orang itu, dengan nekat berusaha untuk melindungi diri dan memutar golok mereka diseling pukulan tangan kiri yang telah berubah merah. Akan tetapi, semua pertahanan mereka bobol karena datangnya serangan bertubi dan sambung-menyambung dari delapan orang lawan mereka.

Akhirnya, pedang di tangan Liok San yang tangkas itu berhasil melukai lutut kiri Thai-kwi. Orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi ini terpelanting dan segera para pengeroyoknya menghujankan senjata mereka sehingga dia tidak dapat bangun kembali, tewas dengan tubuh penuh luka!

Melihat ini, tiga orang adiknya menjadi panik, juga marah dan nekat. Namun, tentu saja mereka menjadi semakin lemah dengan robohnya orang pertama dari mereka.

Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang pembantu Liong-li, yang paling ganas di antara para pengeroyok itu karena merasa sakit hati melihat rekan-rekannya tewas dalam keadaan menyedihkan, segera berhasil merobohkan dua orang lagi, yaitu Su-kwi dan Ngo-kwi yang begitu roboh juga menjadi makanan banyak senjata sehingga merekapun tewas seketika. Tinggal Ji-kwi dan tentu saja dia tidak mampu bertahan dan diapun roboh dan tewas dengan tubuh rusak.

Tewasnya empat orang dari Thai-san Ngo-kwi ini disambut sorak sorai para perajurit, dan tentu saja tiga orang Iblis Tua menjadi semakin gentar dan panik. Pek-bwe Coa-ong yang melawan Hek-liong-li merasa gentar bukan main. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmunya, namun gulungan sinar hitam dari pedang Hek-liong-li hebat bukan main. Ilmu yang dia andalkan, yaitu memanggil barisan ular untuk membantunya, saat itu tidak dapat dia pergunakan.

Kedua ujung tongkatnya yang terbuat dari ular berekor putih yang sudah mengering dan keras, juga beracun, sudah retak-retak beradu dengan pedang Hek-liong-kiam dan napasnya mulai terengah. Biarpun tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat kepandaian Liong-li, namun usianya yang sudah cukup tua itu membuat dia kalah dalam daya tahan dan sudah mulai loyo dan terengah. Tiba-tiba, teringat akan senjata terakhir andalannya, tangan kirinya merogo ke dalam baju, kemudian begitu tangan itu bergerak, nampak sinar putih berdesis menyambar ke arah leher Liong-li.

Wanita perkasa ini terkejut karena benda itu menyambar dari jarak dekat ke arah lehernya. Ia mencium bau yang amis sekali dan saat itu, tongkat lawan menusuk ke arah lambungnya. Cepat ia miringkan tubuhnya dan pedangnya menyabet ke arah benda putih yang menyambar ke arah lehernya itu.

“Crakk!” Darah menetes dan benda itu putus menjadi dua potong. Benda itu ternyata seekor ular sebesar jari kelingking. Potongan bagian ekor jatuh ke bawah, akan tetapi bagian kepala terlempar ke samping dan meluncur ka arah Cian Hui yang sedang mengeroyok Ang I Sian-li.

Cian Hui dan isterinya belum berhasil mendesak Ang I Sian-li yang amat lihai. Suami isteri ini terutama sekali harus berhati-hati terhadap tangan kiri iblis betina itu yang tamparannya lebih berbahaya dari pada sambaran pedangnya.

Kadang-kadang, iblis betina itu menyatukan kedua pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menampar-nampar, mengeluarkan hawa yang berbau busuk seperti bangkai dan tangan itu berubah merah sekali. Karena maklum bahwa tangan kiri itu mengandung racun berbahaya, maka Cian Hui dan Cu Sui In berhati-hati sekali.

Pada saat mereka berdua masih saling serang dengan Ang I Sian-li, tiba-tiba ada benda putih menyambar ke arah Cian Hui. Perwira itu terkejut, cepat menggerakkan suling baja di tangannya menangkis atau memukul ke arah benda itu, memukul agar benda yang tidak diketahuinya apa itu membelok ke arah lawannya.

“Plakk!” Tangkisannya berhasil dan benda itu dengan kecepatan kilat kini menyambar ke arah Ang I Sian-li. Wanita ini tidak tahu benda apa itu, maka ia yang sedang menggunakan tangan kiri untuk menyerang kedua orang pengeroyoknya cepat menangkap benda putih itu dengan tangan kirinya yang ampuh. Tiba-tiba Ang I Sian-li menjerit dan roboh terjengkang!

Kiranya benda putih itu adalah potongan ular bagian kepala dan setengah badannya, ketika ditangkapnya, ular yang bagian bawah dan ekornya sudah buntung itu langsung menggigit tangan yang menangkapnya. Begitu tergigit, hawa panas yang tak tertahankan lagi menyusup ke dalam tubuh Ang I Sian-li dan iapun roboh, menjerit-jerit dan berkelonjotan!

Cian Hui dan isterinya saling berpegang tangan dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak ngeri, namun siap dengan senjata mereka menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi, Ang I Sian-li tidak mungkin dapat menyerang mereka lagi. Wanita itu berkelonjotan sambil terus menjerit-jerit seperti orang gila, dan yang mengerikan sekali, tangan yang tergigit tadi, yang tadinya berwarna merah sekali, kini berubah putih! Warna putih menjalar naik dan akhirnya Ang I Sian-li tewas dengan tubuh berubah putih seperti kapur!

Melihat betapa iblis betina itu tewas, tentu saja Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong menjadi semakin panik dan gentar. Terutama sekali Pek-bwe Coa-ong yang sudah kehilangan ular putih yang ampuh tadi. Ular putih yang dijadikan senjata rahasia itu, tidak dapat membunuh Liong-li, bahkan telah membunuh rekannya sendiri, Ang I Sian-li.

Matinya Ang I Sian-li merupakan peristiwa kebetulan, dan agaknya memang sudah tiba saatnya ia menerima hukuman atas semua kejahatannya yang amat keji dan kejam. Mungkin saja ular putih itu penjelmaan seorang di antara bayi-bayi yang dihisap darahnya sampai habis olehnya.

Mungkin karena ngeri melihat kematian Ang I Sian-li, tiba-tiba Kim Pit Siu-cai mengeluarkan kipasnya yang lebar. Justeru saat inilah yang dinanti-nanti dengan penuh kewaspadaan oleh Pek-liong. Begitu lawan mencabut kipas, sebelum kipas dikembangkan, terutama sebelum kipas dapat mengeluarkan jarum-jarum beracunnya yang pernah melukai punggungnya, pedang Pek-liong-kiam berkelebat dan menyambar dengan sangat cepat dan dahsyat!

Kim Pit Siu-cai menjadi terkejut dan karena pedang yang menjadi sinar putih menyambar dari sebelah kiri, otomatis diapun mengangkat kipas untuk menangkis.

“Crakkkk!” Kipas itu patah-patah menjadi beberapa potong! Kim Pit Siu-cai terkejut dan cepat tangan kanannya bergerak. Sebatang di antara kedua mouw-pit di tangan kanan itu meluncur ke arah dada Pek-liong.

Namun pendekar ini dapat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kim Pit Siu-cai untuk melompat pula ke atas panggung yang didirikan anak buahnya dan yang sedianya akan dipergunakan untuk melakukan sembahyangan besar dengan korban sembilan orang tawanan itu.

Pada saat yang bersamaan, Pek-bwe Coa-ong yang sudah jerih itupun melompat ke atas panggung mengikuti perbuatan rekannya. Kini keduanya telah melompat ke atas panggung itu.

“Jahanam tua, kalian tak dapat lolos dari tangan kami!” bentak Liong-li dan Pek-liong yang mengejar ke panggung.

“Ha-ha-ha, siapa bilang kami tidak dapat lolos? Mari, Coa-ong!” kata Kim Pit Siu-cai dan kedua orang Iblis Tua itu berpegang tangan lalu keduanya meloncat ke bawah tebing jurang di mana kemarin Liong-li dan Pek-liong terjerumus!

“Ah, celaka, mereka dapat meloloskan diri!” kata Cian Hui sambil menjenguk ke bawah.

Akan tetapi Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan tersenyum, “Mereka tidak akan lolos, Ciang-kun. Sekarang juga mereka telah tewas dengan tubuh remuk. Tebing jurang ini teramat dalam dan kami berdua kemarin juga terjatuh ke situ, hanya Tuhan belum menghendaki kami tewas, maka kebetulan saja kami dapat lolos dari maut.”

Akan tetapi Cian Hui masih belum yakin, maka atas petunjuk Pek-liong dan Liong-li, dia menyuruh seregu pasukan untuk memeriksa di bawah sana, melalui jalan mengitari bukit.

Keadaan menjadi sunyi setelah pertempuran berakhir. Cian Hui mengatur pasukan. Setelah menyingkirkan mayat-mayat, lalu menggiring puluhan orang anak buah gerombolan sebagai tawanan, kembali ke kota raja. Ketika Cian Hui mengajak sepasang pendekar itu untuk ikut berkunjung ke kota raja, mereka menolak dengan halus.

“Harap Ciang-kun pergi dulu, lain hari pasti kami berdua akan berkunjung.”

Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing, dengan berbahagia mengajak puteranya, Song Cu, pulang dan keluarga ini tentu saja merasa berbahagia bukan main setelah terbebas dari ancaman maut, terutama atas diri putera mereka. Mereka berpamit dari Pek-liong dan Liong-li, dan meninggalkan tempat itu, bergabung dengan pasukan agar lebih aman di dalam perjalanan.

Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Dengan berat hati mereka meninggalkan tempat itu setelah Pek-liong dan Liong-li mengajak kakak beradik itu bicara berempat saja, dan sepasang pendekar ini menasihatkan kepada kakak beradik itu untuk membentuk rumah tangga dan mencari pasangan masing-masing.

“Harap kalian lenyapkan mimpi tentang diri kami berdua,” demikian kata Pek-liong. “Dalam ke hidupan ini kami berdua tidak dapat berjodoh dengan kalian berdua, mudah-mudahan saja dalam kehidupan yang lain kita akan dapat saling berjodoh.”

Terpaksa kakak beradik itupun pergi dan Kam Cian Li pergi dengan kedua mata basah air mata. Namun kini mereka yakin bahwa sepasang pendekar itu bukan jodoh mereka dan mereka tidak perlu mengharapkan. Merekapun mengambil keputusan untuk memilih jodoh mereka, karena sesungguhnya, banyak sudah pemuda yang meminang Cian Li, dan banyak pula gadis-gadis yang menaksir Sun Ting yang masih muda, gagah, tampan dan kaya raya itu.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Kini hanya tinggal Pek-hwa dan Ang-hwa, juga kedua orang pembantu Pek-liong, yang masih berada di tepi tebing itu. Mereka memandang kepada sepasang pendekar itu penuh pertanyaan dan menanti perintah. Pek-liong kembali saling pandang dengan Liong-li. Pek-liong berkata kepada kedua orang pembantunya, suaranya mengandung keharuan karena kini hanya tinggal dua orang itulah pembantunya.

“Kalian turunlah dulu, tinggalkan aku di sini.”

Liong-li juga berkata cepat kepada kedua orang pembantunya. “Pek-hwa dan Ang-hwa, kalian pulanglah dulu, tinggalkan kami berdua di sini sejenak.”

Empat orang itu agaknya memaklumi bahwa sepasang pendekar itu ingin bercakap-cakap tanpa gangguan siapapun, maka merekapun mengangguk dan segera mereka berempat menuruni tempat itu.

Matahari telah lewat tengah hari, mulai condong ke barat. Suasana hening sekali setelah tadi tempat itu menjadi medan laga. Pek-liong dan Liong-li masih berdiri memandang sampai keempat orang pembantu mereka tak nampak lagi bayangannya.

Kemudian mereka saling pandang. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, seperti baru pertama kali mereka saling pandang, pandang mata itu bertaut dan sungguh aneh, mereka merasa betapa jantung mereka berdebar keras. Mereka seolah-olah menemukan sesuatu dalam wajah mereka masing-masing, sesuatu yang tak pernah mereka lihat atau rasakan.

“Liong-li...”

“Pek-liong...”

Keduanya berdiam diri lagi. Kemudian Pek-liong menghela napas panjang, lalu berkata lembut. “Liong-li, mari kita duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”

Mereka duduk di atas batu, berhadapan, kembali saling tatap. Liong-li mengangguk karena ia dapat merasakan apa yang dirasakan Pek-liong. “Akupun ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Pek-liong.”

“Liong-li, ada sesuatu yang terjadi dalam hati kita berdua. Benarkah itu?”

Liong-li hanya memandang dan mengangguk. Ah betapa mereka sudah dapat membaca isi hati masing-masing! Sesungguhnya, tanpa bicarapun mereka dapat merasakan apa yang dirasakan pihak lain!

“Sejak di dasar jurang itu?” Pek-liong ingin yakin. Liong-li mengangguk. “Engkau menangisi aku, Liong-li?”

Liong-li mengangguk. “Melihat engkau mati, dunia seperti kiamat bagiku, Pek-liong, dan aku menyadari bahwa tanpa engkau, aku tidak mungkin dapat bertahan hidup. Perasaanku hancur lebur melihat engkau yang kusangka mati.”

Pek-liong mengangguk. “Dan ketika itu aku bermimpi, kita berdua mendayung perahu, mengarungi samudera luas, hanya kita berdua... dan ketika aku sadar dan melihatmu, ahhh, aku mengerti, Liong-li. Aku... pada saat itu... sampai sekarang aku... timbul cintaku melihatmu!”

“Aku mengerti, Pek-liong. Selama ini kita saling merindukan, akan tetapi kita mencoba untuk melepas kerinduan itu melalui orang lain. Betapa bodohnya kita ini, kita saling merasa malu untuk mengakui kenyataan itu. Atau kita terlalu sombong?” Ia tersenyum dan Pek-liong juga tersenyum.

“Kini terasa sekali olehku. Kita saling mencinta, Liong-li. Bukan, bukan cinta yang kita paksakan seperti sebelum ini, kita memaksa diri bahwa kita mencinta hanya sebagai sahabat setia, sehidup semati, saling bantu dan saling melindungi. Tidak, kita saling mencinta, lebih dari itu. Kita saling bersatu! Bukan begitu? Seharusnya kita sejak dahulu bersatu...”

“Engkau benar, Pek-liong. Baru sekarang kusadari, atau pada saat engkau kusangka mati kemarin. Seharusnya sejak dahulu kita berani mengakui itu, saling mencinta sebagai seorang pria dan seorang wanita. Andaikata dahulu demikian, kiranya kita tidak menjadi petualang seperti sekarang, menanam banyak bibit permusuhan, bahkan menyeret orang lain.”

“Sudahlah, yang sudah biarkan lalu. Belum terlambat, bukan? Nah, Hek-liong-li Lie Kim Cu, sebagai seorang yang sejak dahulu jatuh cinta padamu, sekarang aku meminangmu. Maukah engkau menjadi isteriku?”

Mereka saling pandang, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah. Dalam pandang mata itu, selain saling pengertian, terdapat kemesraan yang sedalam samudera dan kedua mata Liong-li perlahan-lahan menjadi basah! Air mata berlinang di matanya. Linangan air mata seorang wanita yang mendambakan pria yang dicintanya. Ia menggangguk.

“Dengan bahagia aku mau menjadi isterimu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay!”

Dan keduanya merasa geli, merasa lucu, lalu entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya sudah saling rangkul dan bertemu dan bersatunya kedua hati itu diwakili bibir mereka dalam ciuman yang mesra.

Betapa anehnya! Sepasang pendekar yang amat lihai, yang amat cerdik, sebelum ini demikian bodohnya sehingga mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan bahwa mereka saling mencinta, saling mendambakan, saling merindukan! Baru sekarang mereka tahu bahwa masing-masing tidak pernah dapat mencinta pria atau wanita lain, walaupun mereka coba untuk mencari penggantinya.

Menjelang senja, sambil bergandeng tangan, Pek-liong dan Liong-li menuruni lembah Bukit Hek-san itu. Ketika mereka melihat empat orang itu menghadang dengan sikap hormat, mereka tidak merasa heran, juga tidak saling melepaskan gandengan tangan mereka. Mereka memandang, dan ternyata dua orang pembantu Pek-liong dan dua orang pembantu Liong-li kini telah menjadi dua pasang!

“Eh, kalian belum pulang, Ang-hwa dan Pek-hwa?” tanya Liong-li.

“Harap li-hiap memaafkan kami. Kami telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke rumah Li-hiap. Maafkan kami berdua...” kata Ang-hwa, mewakili Pek-hwa yang hanya menunduk saja.

“Hemmm...?” Liong-li tidak marah, melainkan memandang kepada Pek-liong dan keduanya seperti dapat memaklumi.

“Tai-hiap, kami berdua juga mengambil keputusan untuk pulang ke dusun kami masing-masing, tidak pulang ke rumah tai-hiap.

Maafkan kami,” kata seorang di antara dua orang pembantu Pek-liong.

“Kalian akan... menikah?” Pek-liong dan Liong-li bertanya, hampir berbareng.

Dua pasang orang muda itu mengangguk dan menunduk, muka mereka berubah merah sekali. Pek-liong dan Liong-li tertawa bergelak, masih saling berpegang tangan, tertawa geli dan juga bahagia.

“Kiong-hi (selamat)!” kata Pek-liong kepada dua orang pembantunya, “Aku girang sekali mendengar berita ini dan tentu saja aku setuju sepenuhnya.”

“Akan tetapi, kalian tidak boleh mendahului kami, Ang-hwa dan Pek-hwa. Aku ingin kalian menjadi pengapitku kalau aku melangsungkan pernikahanku!” kata Liong-li.

Ang-hwa dan Pek-hwa terkejut dan cepat mengangkat muka, memandang wajah nona mereka dengan mata terbelalak.

Pek-liong tersenyum dan berkata kepada dua orang pembantunya. “Kalian berdua juga harus bersabar dan sebelum menikah, harus lebih dulu menjadi pengapitku. Setuju?”

Kini mereka berempat mengerti. Ang-hwa dan Pek-hwa lupa bahwa mereka adalah bekas pembantu dan pelayan Liong-li. Keduanya menubruk dan merangkul nona mereka, menciumi dengan air mata bercucuran akan tetapi sambil tertawa-tawa! Juga kedua orang pembantu Pek-liong segera memberi selamat kepada bekas majikan mereka.

Akhirnya, mereka saling berpisah. Seperti telah mereka sepakati bersama, Pek-liong akan pulang ke rumahnya sendiri bersama dua orang pembantunya, juga Liong-li akan pulang ke rumahnya sendiri bersama Ang-hwa dan Pek-hwa. Akan tetapi Pek-liong akan singgah di rumah Cian Ciang-kun karena hanya perwira sahabat baik mereka itulah yang dapat mereka mintai tolong untuk menjadi wali dan perantara, juga yang mengatur semua keperluan pesta pernikahan antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!

Demikianlah, selesai sudah kisah petualangan Pendekar Naga Putih dan Nona Naga Hitam itu. Mereka menjual rumah masing-masing, setelah menjadi suami isteri mereka pindah tinggal di lereng sebuah bukit yang indah dan sunyi, dekat Telaga Barat, hidup dalam keadaan tenteram dan penuh damai karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka seolah hendak menebus semua kehilangan masa lalu dan tenggelam dengan kebahagiaan mereka berdua.

Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua dan sampai jumpa di lain kisah!

T A M A T

CERSIL KARYA KHO PING HOO SELANJUTNYA:

SERIAL SI PEDANG TUMPUL