Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MENDENGAR pernyataan mereka semua itu, Song Tek Hin dan Su Hong Ing merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang karena dengan bantuan enam orang itu, selain kedudukan mereka lebih kuat, juga mereka berdelapan akan dapat membantu Pek-liong dan Liong-li. Song Tek Hin segera memberi hormat kepada mereka dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Terima kasih, terima kasih, cu-wi (anda sekalian) sungguh merupakan sahabat-sahabat yang setia. Baiklah, mari kita bersama-sama membantu Pek-liong dan Hek-liong-li menghadapi para iblis kejam itu. Akan tetapi, kami percaya bahwa nona Ang-hwa dan nona Pek-hwa yang selama ini membantu Liong-li, tentu lebih berpengalaman dan dapat menjadi pimpinan kita.”

Ang-hwa dan Pek-hwa mengerling ke arah dua orang pembantu Pek-liong dan berkata, “Aih, mana kami berani. Di sini terdapat dua orang pembantu tai-hiap yang jauh lebih pandai dari pada kami. Sepantasnya mereka itulah yang menjadi pimpinan kita.”

Semua orang memandang kepada dua orang pria yang gagah itu. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Yang berkumis tipis memberi hormat kepada mereka dan dengan sikap yang serius dia berkata,

“Kami tidak berani mengatakan bahwa kami berdua yang paling pandai, akan tetapi mengingat akan pentingnya tugas yang kita hadapi, biarlah untuk sementara kami mewakili tai-hiap untuk memimpin gerakan ini, dengan ketentuan bahwa kalian semua harus membantu kami. Sebaiknya kalau kami memperkenalkan diri. Aku bernama Gui Keng Hong dan ini adalah adikku sendiri bernama Gui Keng Siu.” Dia menunjuk kepada adiknya yang alisnya tebal sehingga nampak gagah perkasa.

“Bagus, sekarang bagaimana kita harus bergerak? Harap kedua saudara Gui suka mengatur siasat dan membagi tugas,” kata Song Tek Hin.

“Pihak musuh teramat kuat. Bukan saja tiga orang datuk itu sakti, akan tetapi empat orang pembantunya, yaitu sisa dari Thai-san Ngo-kwi itu lihai bukan main. Kita bukanlah lawan mereka, dan di sana masih diperkuat pula oleh anak buah yang puluhan, mungkin ratusan orang banyaknya. Kami yakin bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih banyak dan lebih kuat, tentu Pek-liong tai-hiap dan Hek-liong li-hiap akan menggunakan siasat, tidak menyerang begitu saja dengan kekerasan. Oleh Karena itu, mari kita menyelundup ke sana dengan hati-hati. Kita harus selalu bersatu, tidak berpencar agar lebih kuat. Kalau ada penjaga yang melihat kita, kita bunuh mereka. Kita mengintai ke sarang itu dan melihat keadaan dan perkembangan selanjutnya, menanti sampai tai-hiap dan li-hiap turun tangan. Dengan demikian, kita dapat membantu mereka semampu kita.”

Berangkatlah delapan orang itu dengan penuh semangat, meninggalkan bukit yang menjadi tanah kuburan para pembantu Pek-liong dan Liong-li, menuruni bukit lalu mendaki Bukit Hitam yang menjadi sarang gerombolan yang dikepalai Kiu Lo-mo.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Pek-liong dan Liong dapat menyusup ke sarang gerombolan itu. Mereka melihat kenyataan betapa kini di luar sarang itu tidak terdapat penjagaan, dan ketika mereka menuju ke sarang itu, mendaki sejak dari kaki bukit, tidak menemui halangan, tidak nampak seorangpun anggauta gerombolan. Hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh pihak musuh yang tidak ingin kebobolan sehingga kini seluruh kekuatan dikerahkan untuk menjaga sebelah dalam sarang.

Matahari telah naik tinggi ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di luar sarang itu. Tadinya mereka hendak langsung saja menantang tiga orang datuk, menantang untuk membuat perhitungan antara mereka saja tanpa melibatkan orang lain dan agar mereka membebaskan anak kecil yang ditawan. Akan tetapi, melihat betapa seluruh kekuatan gerombolan dicurahkan ke dalam sarang, mereka maklum bahwa kalau mereka melakukan tantangan secara berterang, mereka tentu akan dikepung oleh ratusan orang dan hal ini amat berbahaya. Maka, mereka lalu memutuskan untuk menyelidiki terlebih dahulu sebelum turun tangan.

Ketika mereka mendapatkan tempat pengintaian dari balik pagar tembok dan mengintai ke dalam, mereka melihat betapa sarang itu sunyi seolah telah ditinggalkan penghuninya. Tidak terdengar suara apapun. Akan tetapi ketika mereka memandang ke bagian tengah, di sana terdapat sebatang pohon besar dan di bawah pohon itu nampak seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main seorang diri!

Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun, duduk di atas tanah dan bermain-main dengan daun-daun dan ranting-ranting kering, sedangkan pada kaki kirinya terdapat sehelai tali yang diikatkan pada batang pohon! Dan di sekeliling pohon itu, seolah mengepung anak kecil itu, nampak puluhan ekor ular besar kecil, siap untuk menyerang! Dan terdengar suara suling lirih yang agaknya mengendalikan ular-ular itu.

“Jahanam...!” Liong-li memaki lirih. Ia dan Pek-liong segera tahu apa artinya semua itu.

Anak itu tentulah anak dari Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang entah bagimana telah diculik oleh Pek-bwe Coa-ong dan jelas bahwa anak itu sengaja dibiarkan bermain-main di bawah pohon itu, dikurung ular-ular, dijadikan umpan untuk menarik mereka berdua datang ke situ. Akan tetapi merekapun tahu benar bahwa tempat yang nampaknya sunyi itu sebetulnya diawasi banyak orang dan sekali mereka hadir di sana, tentu akan muncul ratusan orang yang mengepung mereka. Itu bukan cara terbaik untuk mencoba membebaskan anak itu, pikir mereka.

Sebelum mereka berhasil membebaskan anak itu, tentu mereka telah dikepung dan akan sulitlah melawan mereka sambil melindungi anak itu, apa lagi kalau tiga datuk itu muncul. Menghadapi tiga orang datuk itu saja sudah merupakan hal yang amat berat bagi mereka, apa lagi kalau harus melindungi seorang anak kecil dan pihak musuh masih dibantu oleh ratusan orang anak buah!

Mereka sama sekali tidak takut mati, hanya takut tidak akan berhasil menyelamatkan anak itu. Mereka telah kehilangan banyak pembantu, dan mereka tidak ingin melihat orang lain menjadi korban lagi karena sisa Kiu Lo-mo hendak membalas dendam kepada mereka.

“Kita tunggu saja, melihat perkembangannya,” bisik Liong-li dan Pek-liong menganggukkan kepala tanda setuju.

Biarpun mereka berdua mengintai ke dalam, namun pengintaian itu dilakukan secara bergiliran. Seorang mengintai ke dalam akan tetapi yang lain menebarkan pandangan ke arah luar sarang sehingga mereka dapat mengamati seluruh jurusan dan tidak sampai dibokong pihak musuh.

Setelah beberapa lama mereka mengintai dan belum juga ada gerakan perubahan di dalam, dan anak kecil itu mulai bosan dengan mainannya dan mulai bangkit berdiri, melangkah pergi namun terjatuh karena kakinya diikat, menjadi bingung lalu memandang ke kanan kiri, mulai menangis memanggil-manggil ibu dan ayahnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan nampak sesosok tubuh melayang masuk dari pagar tembok. Bayangan kedua menyusul dan Liong-li menggenggam tinjunya.

“Ah, mereka itu sungguh ceroboh!” Pek-liong mencela lirih ketika melihat bahwa yang berloncatan masuk itu adalah Su Hong Ing yang disusul pula oleh suaminya, Song Tek Hin. Agaknya ibu dan ayah itu tidak dapat menahan diri ketika melihat keadaan anak mereka dan sudah berloncatan masuk dengan nekat untuk menyelamatkan anak mereka yang diikat di pohon itu.

Mata sepasang pendekar itu semakin terbelalak ketika berturut-turut nampak enam bayangan orang berloncatan masuk pula dan mereka itu bukan lain adalah Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, Ang-hwa dan Pek-hwa, juga Gui Keng Hok dan Gui Keh Siu, dua orang pembantu Pek-liong!

Tentu saja kedua orang pendekar itu terkejut, saling pandang akan tetapi mereka juga kagum karena ternyata empat orang sahabat dan empat orang pembantu mereka itu adalah orang-orang yang gagah perkasa dan setia kawan, siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong sahabat!

Namun, di samping kekaguman mereka, juga mereka kini menjadi khawatir sekali. Mereka berdua saja masih belum berani memasuki sarang itu, kini delapan orang itu dengan nekat masuk perangkap yang di pasang musuh!

Tidak dapat terlalu disalahkan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing. Ibu yang mana di dunia ini tidak akan nekat untuk menyelamatkan anaknya? Melihat anaknya di bawah pohon, kakinya diikat, bermain seorang diri bahkan kini mulai menangis memanggili ayah dan ibunya, dikepung oleh banyak ular pula, bagaimana mungkin ia akan dapat bersabar dan berdiam diri?

Hong Ing sudah meloncat dan lari ke arah bawah pohon, meloncati ular-ular itu. Melihat isterinya nekat, Tek Hin cepat menyusul dan kini keduanya sudah berada di bawah pohon.

“Ibuuu... ayaaahhh...!” Anak kecil itu girang bukan main melihat ayah dan ibunya, akan tetapi karena dia berlari, kakinya tertahan oleh tali dan diapun jatuh lagi.

Hong Ing cepat menyambar tubuh puteranya sedangkan Tek Hin cepat memutuskan tali yang mengikat kaki anaknya. Ibu itu memeluk anaknya sambil menangis saking gembiranya melihat Song Cu dalam keadaan selamat.

Pada saat itu, kakak beradik Kam, dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong sudah berloncatan pula, meloncati ular-ular yang mengepung dan berkumpul dengan Tek Hin dan Hong Ing untuk melindungi mereka.

Apa yang dikhawatirkan Pek-liong dan Liong-li segera terjadi. Tempat yang tadinya sunyi itu tiba-tiba saja penuh dengan anak buah gerombolan yang muncul dari tempat persembunyian mereka. Bahkan kini suara suling yang tadinya lirih itu terdengar nyaring dan semakin banyak ular berkumpul mengepung pohon itu dan mereka mulai mendesis-desis'. Di luar lingkaran ular itu nampak anak buah gerombolan mengepung pohon di bawah mana delapan orang itu berkumpul, dalam jumlah yang puluhan orang banyaknya.

Turun tangan pada saat seperti itu akan membahayakan keselamatan delapan orang dan anak itu, maka Pek-liong dan Liong-li meloncat ke atas pagar tembok dan terdengar suara Liong-li berseru nyaring.

“Pek-bwe Coa-ong! Kalau kalian bertiga hendak membuat perhitungan dengan kami berdua, jangan bertindak curang. Bebaskan delapan orang dan anak itu yang tidak ada sangkutannya dengan urusan kita, dan mari kita mengadu kepandaian seperti orang gagah!”

Kini nampaklah Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li bersama empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Pek-bwe Coa-ong masih meniup sulingnya untuk menguasai ular ularnya yang mengepung pohon itu, dan Ang I Sian-li yang mewakilinya menjawab sambil terkekeh genit.

“Hi-hik, Pek-liong dan Liong-li, kalau kalian mempunyai keberanian dan kepandaian, coba kalian bebaskan mereka ini dari tangan kami, heh-heh!”

Kim Pit Siu-cai sudah meloncat ke dalam kepungan ular itu dan tubuhnya bergerak cepat, kipas dan mouw-pit (pena bulu) di tangannya bergerak menyerang delapan orang itu. Mereka mencoba untuk membela diri, namun tingkat kepandaian Kim Pit Siu-cai terlalu tinggi bagi mereka.

Apa lagi Ang I Sian-li juga kini meloncat masuk dan dua orang itu dalam waktu yang singkat saja telah berhasil menotok roboh delapan orang itu. Mereka rebah malang melintang tak mampu bergerak lagi dan anak kecil itu yang kini menangis karena dia tadi terjatuh bersama ibunya yang memondongnya.

Melihat ini, sepasang pendekar itu maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat mundur lagi. Dengan gerakan seperti sepasang garuda menyambar, mereka melayang turun dari atas pagar tembok.

Para anak buah gerombolan itu tanpa dikomando telah menyambut maju dengan senjata mereka, agaknya mereka berlumba ingin membuat jasa. Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan mengaduh ketika Pek-liong dan Liong-li menggerakkan kaki tangan mereka dan delapan orang anak buah gerombolan itu terpelanting dan tidak mampu bangun kembali! Tentu saja yang lain menjadi gentar.

“Berhenti! Jangan serang, kepung saja!” teriak Pek-bwe Coa-ong dan kini empat orang Thai-san Ngo-kwi sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menyeret tubuh delapan orang dan anak kecil itu, membawa mereka ke tempat tahanan dan menjaga dengan ketat. Lalu mereka berempatpun ikut mengepung Pek-liong dan Liong-li.

Pek-liong tersenyum mengejek. “Sejak dahulu kami tahu bahwa Kiu Lo-mo hanya namanya saja yang besar, akan tetapi mereka itu bukan lain hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya. Mereka bukan orang-orang yang pantas menyebut diri mereka datuk persilatan. Hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, curang dan pengecut-pengecut besar!”

“Hemm, dua orang bocah sombong yang bermulut besar!” teriak Ang I Sian-li. “Kematian sudah di depan mata dan kalian masih berani bicara sombong? Lihat saja, sebentar lagi kalian akan kami tawan dan sebelum kami membunuh kalian, akan kami siksa dulu, jantung kalian akan kami pergunakan untuk obat kuat, kepala kalian kami jadikan korban sembahyangan terhadap rekan-rekan kami...”

“Sian-li, biarkan kami yang menangkap Hek-liong-li! Ia telah menewaskan Sam-kwi!” tiba-tiba Thai-kwi berseru dan tiga orang adiknya juga mengeluarkan seruan marah.

Mereka berempat sudah mencabut golok masing-masing dan sudah pula mengerahkan ilmu pukulan mereka yang ampuh, yang membuat tangan kiri mereka nampak kemerahan. Di samping ilmu golok yang lihai, empat orang ini, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi ini memiliki ilmu pukulan Ang-hwe-ciang (Tangan api merah) yang amat lihai. Mereka merasa yakin bahwa kalau mereka berempat maju mengeroyok seorang Liong-li, mereka pasti akan menang dan dapat membalaskan dendam kematian guru mereka dan juga kematian Sam-kwi yang baru beberapa hari ini tewas oleh Liong-li.

Tiga orang datuk itupun sebenarnya merasa gentar menghadapi Pek-liong dan Liong-li walaupun mengingat bahwa mereka bertiga, mereka tidak takut dan yakin akan dapat menundukkan dua orang musuh besar itu. Maka, kini mendengar permintaan Thai-kwi, Pek-bwe Coa-ong mengangguk. Dia ingin pula melihat sampai di mana kelihaian Liong-li agar dapat mengukur, pula diapun ingin memperlihatkan bahwa mereka bertiga bukan pengecut seperti dikatakan Pek-liong tadi dan memberi kesempatan kepada Pek-liong dan Liong-li untuk membela diri, tidak dikeroyok oleh anak buah mereka!

“Hemm, kami kira Liong-li tidak akan berani kalau maju seorang diri menghadapi kalian berempat!” Pek-bwe Coa-ong bekata.

Dia tidak tahu bahwa justeru inilah kesempatan baik bagi Liong-li dan Pek-liong. Kalau mereka berdua dapat menyinggung rasa kehormatan tiga orang datuk itu dan dapat memancing mereka untuk bertanding secara jujur, besar kemungkinan sepasang pendekar ini akan mampu meloloskan diri dan menolong delapan orang tawanan itu. Setidaknya, kalau dapat menewaskan sebagian dari mereka berarti sudah mengurangi kekuatan musuh.

Liong-li melangkah maju dan tertawa. Manis bukan main kalau pendekar wanita ini tertawa, namun bagi yang sudah mengenalnya, tawa semanis itu merupakan tanda bahaya bagi musuhnya karena tawa itu hanya muncul kalau wanita perkasa itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh syaraf di tubuhnya sudah siap dan ia berada dalam kewaspadaan tertinggi.

“Memang kepalang tanggung kalau aku hanya membunuh Sam-kwi tanpa membunuh empat yang lain. Majulah kalian berempat, akan kukirim kalian menyusul arwah guru kalian Siauw-bin Ciu-kwi dan Sam-kwi!”

Dari penyelidikannya, Liong-li sudah tahu bahwa Thai-san Ngo-kwi adalah murid Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo yang telah tewas di tangannya, ketika bersama Pek-liong ia menentang iblis itu. Dan sengaja ia menyebut nama guru mereka itu dan Sam-kwi untuk memanaskan hati mereka. Usahanya berhasil. Empat orang itu gemetar saking marahnya dan mereka sudah berlompatan maju mengepung Liong-li dari depan, belakang, kanan dan kiri!

Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li berdiri menonton dan tempat pertandingan itu dikepung oleh anak buah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya sehingga tidak ada tempat untuk melarikan diri bagi kedua orang pendekar itu. Pek-liong sendiri berdiri dengan sikap tenang, walaupun dalam hati dia masih mencari jalan keluar bagaimana agar dia dan Liong-li dapat menolong para tawanan kemudian lobos dari tempat itu.

Dia tahu bahwa kalau dia dan Liong-li dapat mengalahkan Thai-san Ngo-kwi dan tiga orang datuk itu, para tokoh sesat itu tentu tidak sungkan untuk mempergunakan anak buah mereka yang amat banyak untuk mengeroyok dia dan Liong-li. Walaupun dia dan Liong-li tidak gentar menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, namun bagaimana mereka berdua akan mampu menolong delapan orang tawanan bersama anak kecil itu keluar dari tempat tahanan?

Kini empat orang itu telah mengepung Liong-li yang masih nampak tenang dan Pek-liong menyingkirkan dulu semua pikiran karena dia harus memperhatikan jalannya pertandingan antara Liong-li dan empat orang pengeroyoknya. Dia harus waspada dan siap menolong Liong-li kalau sampai terancam bahaya.

Andaikata Liong-li sampai kalah dan terancam bahaya, dia tidak merasa malu untuk membantunya, karena bukankah kini Liong-li juga dikeroyok empat orang? Pula, dia tidak dapat percaya begitu saja bahwa tiga orang datuk itu tidak akan turun tangan membantu empat orang murid-murid keponakan mereka itu.

Sikap empat orang Thai-san Ngo-kwi itu memang menyeramkan. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan segala kekejaman mengandalkan kekuatan dan kepandaian, juga mereka dalam keadaan marah sekali sehingga sinar mata mereka sudah membayangkan kebuasan dan kekejaman.

Thai-kwi yang berusia empatpuluh lima tahun itu memimpin penyerangan. Pria yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam ini seperti raksasa, goloknya juga besar dan berkilauan saking tajamnya. Thai-kwi berdiri di depan Liong-li, menghadapi Liong-li sambil melintangkan goloknya di depan dada dan tangan kirinya yang kemerahan itu diangkat ke atas kepala.

Ji-kwi, orang kedua yang bertubuh gendut pendek berusia empatpuluh tiga tahun, juga melintangkan goloknya dan mengangkat tangannya yang kemerahan ke atas kepala, berdiri di belakang Liong-li. Su-kwi yang berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, berdiri di sebelah kanan Liong-li, sedangkan Ngo-kwi orang kelima yang bertubuh sedang berusia tiga puluh lima tahun, berdiri di sebelah kirinya.

Empat orang Thai-san Ngokwi itu sudah siap dengan golok mereka dan tangan merah mereka, dan pandang mata mereka menyinarkan nafsu membunuh seperti empat ekor harimau kelaparan mengurung seekor domba.

Liong-li bersikap tenang saja. Hek-liong-kiam masih berada di sarungnya dan ia berdiri dengan tegak dan nampak santai, namun setiap syaraf di tubuhnya bergetar, dari ujung rambut kepala sampai ke tumit kakinya dalam keadaan siap waspada, pandang matanya mengukur jarak, telinganya yang terlatih itu dapat menangkap setiap gerakan lawan yang berada di belakang dan tidak nampak, juga di kanan kiri sehingga sikapnya seolah ia hanya menghadapi lawan yang berada di depan saja.

“Liong-li, engkau mampus sekarang!” terdengar Thai-kwi membentak nyaring, akan tetapi dia tidak menggerakkan goloknya. Sebaliknya, Ji-kwi yang gendut pendek dan berada di belakang Liong-li itulah yang bergerak, menyerang dengan membacokkan goloknya dari atas ke bawah seperti orang membelah kayu, hendak membelah tubuh wanita perkasa itu dari atas ke bawah.

“Singggg...!!” Golok itu berubah menjadi sinar menyambar dari atas ke bawah, namun yang disambarnya hanya udara kosong saja karena tubuh Liong-li sudah bergeser ke kiri. Ji-kwi yang luput serangannya itu terus meloncat ke depan sedangkan Thai-kwi kini membabatkan goloknya ke arah leher Liong-li.

Wanita ini kembali mengelak dengan loncatan dan kini Thai-kwi dan Ji-kwi berganti kedudukan. Ji-kwi yang berada di depan Liong-li sedangkan Thai-kwi di belakangnya. Dari arah kirinya, Ngo-kwi menyerang dengan goloknya, dan berbareng pada saat itu, dari kanan Su-kwi juga menyerang sehingga dua batang golok mengguntingnya dari kanan kiri, yang sebatang menyambar leher, yang kedua menyambar paha.

Nampak sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar suara nyaring dua kali ketika pedang Naga Hitam tercabut dan diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus menangkis serangan dari kanan kiri itu.

Trangg... cringggg...!!”

Tidak nampak bagaimana Liong-li mencabut pedangnya, karena pedang itu tiba-tiba saja sudah nampak menyambar, berubah menjadi sinar bergulung-gulung hitam mengerikan dan sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri itu, sedangkan tubuhnya sudah bergerak mundur.

Golok di tangan Ngo-kwi dan Su-kwi adalah golok mustika yang tajam dan kuat, namun ketika tertangkis sinar hitam Hek-liong-kiam kedua batang golok itu terpental dan kedua orang anggauta Thai-san Ngo-kwi terkejut karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar, panas dan hampir golok terlepas dari genggaman mereka. Cepat mereka meloncat mundur.

Setelah menangkis, Liong-li yang melangkah mundur, sudah membalikkan tubuhnya dan bagaikan seekor naga, pedangnya sudah meluncur dan menyerang orang yang tadinya berada di belakangnya, yaitu Thai-kwi. Serangan tusukan pedang itu amat cepatnya dankalau bukan Thai-kwi yang diserang, kiranya akan sulitlah bagi lawan untuk menyelamatkan diri.

Namun, Thai-kwi merupakan orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi, ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan diapun membuang tubuh ke belakang, lalu bergulingan menjauh sedangkan Ji-kwi sudah membantu suhengnya dengan serangan kilat dari belakang Liong-li. Bahkan Su-kwi dan Ngo-kwi juga sudah menghadang dengan serangan dari kanan kiri.

Liong-li terpaksa memutar tubuh dan mengerakkan pedang melindungi diri sehingga tubuhnya tertutup gulungan sinar hitam yang sulit ditembus senjata lawan. Pertandingan ini sungguh menegangkan. Biarpun tingkat kepandaian Liong-li jelas lebih tinggi dari mereka, akan tetapi karena mereka itu empat orang maju bersama, dan mereka memiliki pengalaman perkelahian keroyokan sehingga mereka dapat bekerja sama seperti barisan golok, saling menunjang saling melindungi, maka tidak mudah bagi Liong-li untuk merobohkan seorang pun dari mereka.

Sebelum berhasil merobohkan seorang, yang tiga orang sudah cepat menekannya sehingga terpaksa ia melepaskan orang yang didesaknya itu. Sebaliknya, empat orang itupun tidak dapat merobohkan Liong-li. Senjata mereka terasa sukar sekali untuk dapat menembus sinar hitam dari Hek-liong-kiam, maka kini mereka berempat hanya bertahan saling melindungi saja, membentuk benteng dari empat golok yang amat sukar dibobolkan. Telah lima puluh jurus lewat, akan tetapi belum juga Liong-li berhasil merobohkan seorangpun dari empat pengeroyoknya, walaupun empat orang itu sudah terdesak dan bahkan jarang sekali dapat membalas.

Melihat ini, Ang I Sian-li menjadi tidak sabar lagi. Kalau sampai empat orang murid keponakan itu kalah dan tewas, hal itu berarti melemahkan pihaknya dan “memberi hati” kepada Pek-liong dan Liong-li. Maka, tanpa banyak cakap lagi Ang I Sian-li mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan melompat, langsung saja menyerang Liong-li dengan dahsyatnya.

“Cring-trangg...” Liong-li menangkis dan kedua orang wanita tangguh itu terhuyung ke belakang.

“Iblis betina curang!” bentak Pek-liong sambil melompat ke depan. Akan tetapi dia sudah disambut Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong yang sudah menyerang Pek-liong dengan senjata mereka yang ampuh.

Pek-liong cepat mencabut pedangnya dan begitu Pek-liong-kiam diputar, nampak gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar dan menangkis sepasang mouw-pit di tangan Kim Pit Siu-cai dan tongkat ekor ular putih di tangan Pek-bwe Coa-ong. Tingkat kepandaian dua orang iblis tua itu sudah amat tinggi, bahkan kalau seorang di antara mereka maju melawan Pek-liong saja, tidak akan mudah bagi Pek-liong untuk menang. Kini mereka maju berdua, tentu saja pendekar itu segera terdesak hebat.

Keadaannya tidak jauh bedanya dengan Liong-li. Tingkat kepandaian Ang I Sian-li juga seimbang dengan Liong-li, kini ia maju membantu empat orang dari Thai-san Ngo-kwi, tentu saja Liong-li segera terdesak hebat. Sepasang pendekar itu tentu saja maklum bahwa tidak ada gunanya mencaci maki atau mencela kecurangan lawan. Mereka maklum pula bahwa pihak lawan tidak mungkin akan mau melepaskan mereka berdua. Pihak lawan amat mendendam dan membenci mereka, akan melakukan apa saja untuk dapat menangkap dan membunuh mereka berdua.

Mereka tahu bahwa kalau mereka melawan terus, akhirnya mereka akan kalah dan roboh juga. Tanpa kata ataupun isyarat, keduanya yang sudah memiliki kepekaan terhadap satu sama lain, segera mengatur langkah sehingga akhirnya mereka itu dapat bersatu, beradu punggung dan saling melindungi.

Namun, hal inipun tidak akan menolong mereka. Pihak lawan terlampau kuat. Baru tiga orang di antara Kiu Lo-mo itu saja sudah merupakan lawan yang amat berat hagi mereka, apa lagi ditambah empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang juga sudah lihai sekali. Dan di situ masih terdapat kurang lebih seratus orang anak buah gerombolan yang mengepung tempat itu.

Sebetulnya, keadaan ini membuat hati sepasang pendekar itu menjadi gentar. Yang membuat mereka ragu dan bingung adalah karena empat orang pembantu mereka, empat orang sahabat mereka, dan seorang anak kecil telah menjadi tawanan musuh!

Kalau mereka berdua sampai roboh dan tertawan, atau tewas, berarti tidak ada harapan bagi sembilan orang tawanan itu, dan mereka semua tidak mungkin dapat terlepas dari tangan para penjahat. Tentu mereka akan tewas dalam keadaan yang lebih menyedihkan lagi. Karena memikirkan keselamatan sembilan orang itulah maka Pek-liong dan Liong-li mengambil keputusan untuk meloloskan diri, melarikan diri dari kepungan agar mereka tetap hidup dan dapat menyusun siasat baru untuk menolong sembilan orang tawanan itu.

Akan tetapi, tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat meloloskan diri karena selain tiga orang datuk itu bersama empat orang murid keponakan mereka mengepung ketat dan mendesak dengan hebat, juga di situ terdapat lebih dari seratus orang anak buah gerombolan itu mengepung dengan berbagai senjata di tangan.

Diam-diam Pek-liong dan Liong-li membuat perhitungan dengan otak mereka yang cerdas. Kalau mereka melanjutkan perkelahian itu, akhirnya mereka akan roboh dan tewas, demikian pula sembilan orang tawanan itu tentu akan tewas. Satu-satunya jalan adalah menerjang ke dalam barisan anak buah gerombolan yang rapat kepungannya itu. Kalau mereka dapat menyerbu dan terjun ke tengah-tengah mereka, tentu tiga orang datuk dan empat orang murid keponakan mereka itu tidak akan dapat mengeroyok.

Ketika mendapat kesempatan dalam keadaan terdesak itu, Liong-li berbisik kepada rekannya, “Kita terjun ke tengah?”

Pek-liong merasa girang karena memang dia mempunyai pendapat yang sama. Dia mengangguk. “Engkau dulu, aku melindungi!” bisiknya.

Pada saat itu, senjata para pengeroyok sedang gencar menyerang. Liong-li dan Pek-liong memutar pedangnya dan mereka mengatur sedemikian rupa sehingga pedang bersinar putih di tangan Pek-liong yang menjadi semakin lebar melindungi mereka berdua. Liong-li menggunakan gerakan tiba-tiba menyerang ke kiri di mana berdiri Ngo-kwi, orang termuda dari Thai-san Ngo-kwi. Serangannya dahsyat bukan main karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga Ngo-kwi terkejut bukan main.

Goloknya hampir terlepas dari tangannya ketika dia menangkis dan dia terhuyung ke belakang. Kesempatan inilah yang dipergunakan Liong-li untuk meloncat, melalui atas kepala Ngo-kwi, menuju ke arah kelompok anak buah yang mengepung dari luar. Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong marah.

“Kejar, kepung, jangan biarkan ia lolos!”

Akan tetapi, kekacauan timbul karena gerakan Liong-li itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pek-liong untuk menjatuhkan diri ke lantai dan bergulingan sambil menggerakkan pedangnya. Para pengepungnya terkejut dan terpaksa mundur. Melihat kesempatan ini, Pek-liong juga cepat melompat sambil mengerahkan tenaganya dan bagaikan seekor naga menerjang awan, diapun terjun di tengah-tengah anak buah gerombolan yang mengepung ketat.

Gegerlah anak buah gerombolan itu ketika dua orang yang tadinya dikeroyok dan didesak para pimpinan mereka tiba-tiba saja meloncat dan terjun di tengah-tengah mereka. Mereka menjadi panik seperti sekelompok domba yang tiba-tiba melihat dua ekor harimau mengamuk di tengah-tengah antara mereka!

Tentu saja mereka berusaha untuk menggunakan senjata dan menyerang kedua orang ini. Akan tetapi, serangan para anak buah itu tidak ada artinya bagi Liong-li dan Pek-liong. Dengan mudah mereka merobohkan setiap orang penyerang dan mereka menyusup-nyusup di antara anak buah gerombolan sehingga tiga orang Iblis Tua dan empat murid keponakan mereka sukar sekali untuk dapat mengeroyok kedua orang musuh itu seperti tadi. Mereka bertujuh terhalang oleh padatnya anak buah mereka sendiri yang tadi mengepung tempat itu.

Bagaikan sepasang naga, Liong-li dan Pek-liong mengamuk. Akan tetapi mereka bukan mengamuk untuk membunuh sebanyak mungkin anak buah gerombolan, melainkan untuk membuka jalan darah dan melarikan diri. Mereka harus melarikan diri lebih dulu, kemudian baru mengatur siasat untuk menyelamatkan sembilan orang yang ditawan musuh.

Kalau mereka nekat, mereka akhirnya akan tewas dan sembilan orang itupun tidak akan tertolong lagi. Mereka yakin bahwa selama mereka berdua belum tertawan atau tewas, sembilan orang tawanan itu masih ada harapan dan tidak akan dibunuh oleh tiga orang Iblis Tua.

Biarpun mereka sudah berhasil terjun ke tengah-tengah antara anak buah gerombolan, namun masih tidak mudah untuk membebaskan diri. Tiga orang iblis tua dan empat orang murid mereka itu masih terus melakukan pengejaran, dibantu oleh anak buah mereka yang banyak jumlahnya. Karena tidak dapat melarikan diri ke jalan yang pernah mereka lalui karena terhadang, terpaksa Liong-li dan Pek-liong lari ke arah barat, di mana terdapat sebuah hutan. Mereka sekali ini tidak mau berpencar. Dengan bersatu, mereka jauh lebih kuat untuk saling melindungi.

“Lepas anak panah! Serang mereka dengan senjata rahasia!”

Tiga orang datuk itu mengejar sambil berteriak-teriak. Anak buah mereka segera melepaskan anak panah dan berbagai senjata rahasia. Liong-li dan Pek-liong terpaksa memutar pedang melindungi tubuh mereka. Mereka lari sambil mundur dan memutar pedang.

Sepasang pendekar itu sama sekali tidak tahu bahwa sisa dari Sembilan Iblis Tua itu sekali ini sudah bertekad untuk menawan atau membunuh mereka. Sisa tiga orang dari Kiu Lo-mo itu sudah lama merencanakan balas dendam ini. Mereka telah mengatur segalanya dan begitu melihat Liong-li dan Pek-liong berhasil melarikan diri, merekapun cepat mengatur siasat seperti yang sudah mereka perhitungkan kalau-kalau menghadapi keadaan seperti sekarang.

Kini mereka memilih tempat yang agak kering untuk duduk dan mereka berdua pertama-tama menyelidiki keadaan di sekitar mereka. Mereka memandang ke sekeliling dengan sinar mata penuh selidik. Tempat itu terang karena biarpun sudah condong ke barat, matahari masih tinggi dan terang.

Tengah hari telah lewat dua tiga jam, namun senja masih beberapa jam lagi akan tiba. Dinding tebing itu curam dan tinggi sekali sehingga bagian atasnya tidak nampak jelas. Diam-diam kedua pendekar itu memuji syukur kepada Tuhan bahwa mereka tidak tewas terjatuh dari tempat setinggi itu. Untuk memanjat ke atas tebing merupakan hal yang tidak mungkin. Tidak ada orang yang akan dapat mendaki atau menuruni dinding tebing yang, terjal dan setinggi itu. Mereka lalu memandang dan mengamati bagian lain.

Tebing itu memanjang dengan ketinggian yang sama. Tak mungkin naik kembali. Di seberangnya, lereng itu menurun melalui banyak jurang dan hutan liar. Hanya ke sanalah satu-satunya jalan keluar, yang akan membawa mereka ke kaki bukit sebelah sana. Mereka berdiri memandang ke arah bawah, lalu keduanya saling pandang dan dua pasang mata itu bertaut, lalu Pek-liong dengan sikap canggung dan tersipu berkata, lirih.

“Liong-li...” Dia tidak melanjutkan kata-katanya...

Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 15

MENDENGAR pernyataan mereka semua itu, Song Tek Hin dan Su Hong Ing merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang karena dengan bantuan enam orang itu, selain kedudukan mereka lebih kuat, juga mereka berdelapan akan dapat membantu Pek-liong dan Liong-li. Song Tek Hin segera memberi hormat kepada mereka dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Terima kasih, terima kasih, cu-wi (anda sekalian) sungguh merupakan sahabat-sahabat yang setia. Baiklah, mari kita bersama-sama membantu Pek-liong dan Hek-liong-li menghadapi para iblis kejam itu. Akan tetapi, kami percaya bahwa nona Ang-hwa dan nona Pek-hwa yang selama ini membantu Liong-li, tentu lebih berpengalaman dan dapat menjadi pimpinan kita.”

Ang-hwa dan Pek-hwa mengerling ke arah dua orang pembantu Pek-liong dan berkata, “Aih, mana kami berani. Di sini terdapat dua orang pembantu tai-hiap yang jauh lebih pandai dari pada kami. Sepantasnya mereka itulah yang menjadi pimpinan kita.”

Semua orang memandang kepada dua orang pria yang gagah itu. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Yang berkumis tipis memberi hormat kepada mereka dan dengan sikap yang serius dia berkata,

“Kami tidak berani mengatakan bahwa kami berdua yang paling pandai, akan tetapi mengingat akan pentingnya tugas yang kita hadapi, biarlah untuk sementara kami mewakili tai-hiap untuk memimpin gerakan ini, dengan ketentuan bahwa kalian semua harus membantu kami. Sebaiknya kalau kami memperkenalkan diri. Aku bernama Gui Keng Hong dan ini adalah adikku sendiri bernama Gui Keng Siu.” Dia menunjuk kepada adiknya yang alisnya tebal sehingga nampak gagah perkasa.

“Bagus, sekarang bagaimana kita harus bergerak? Harap kedua saudara Gui suka mengatur siasat dan membagi tugas,” kata Song Tek Hin.

“Pihak musuh teramat kuat. Bukan saja tiga orang datuk itu sakti, akan tetapi empat orang pembantunya, yaitu sisa dari Thai-san Ngo-kwi itu lihai bukan main. Kita bukanlah lawan mereka, dan di sana masih diperkuat pula oleh anak buah yang puluhan, mungkin ratusan orang banyaknya. Kami yakin bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih banyak dan lebih kuat, tentu Pek-liong tai-hiap dan Hek-liong li-hiap akan menggunakan siasat, tidak menyerang begitu saja dengan kekerasan. Oleh Karena itu, mari kita menyelundup ke sana dengan hati-hati. Kita harus selalu bersatu, tidak berpencar agar lebih kuat. Kalau ada penjaga yang melihat kita, kita bunuh mereka. Kita mengintai ke sarang itu dan melihat keadaan dan perkembangan selanjutnya, menanti sampai tai-hiap dan li-hiap turun tangan. Dengan demikian, kita dapat membantu mereka semampu kita.”

Berangkatlah delapan orang itu dengan penuh semangat, meninggalkan bukit yang menjadi tanah kuburan para pembantu Pek-liong dan Liong-li, menuruni bukit lalu mendaki Bukit Hitam yang menjadi sarang gerombolan yang dikepalai Kiu Lo-mo.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Pek-liong dan Liong dapat menyusup ke sarang gerombolan itu. Mereka melihat kenyataan betapa kini di luar sarang itu tidak terdapat penjagaan, dan ketika mereka menuju ke sarang itu, mendaki sejak dari kaki bukit, tidak menemui halangan, tidak nampak seorangpun anggauta gerombolan. Hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh pihak musuh yang tidak ingin kebobolan sehingga kini seluruh kekuatan dikerahkan untuk menjaga sebelah dalam sarang.

Matahari telah naik tinggi ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di luar sarang itu. Tadinya mereka hendak langsung saja menantang tiga orang datuk, menantang untuk membuat perhitungan antara mereka saja tanpa melibatkan orang lain dan agar mereka membebaskan anak kecil yang ditawan. Akan tetapi, melihat betapa seluruh kekuatan gerombolan dicurahkan ke dalam sarang, mereka maklum bahwa kalau mereka melakukan tantangan secara berterang, mereka tentu akan dikepung oleh ratusan orang dan hal ini amat berbahaya. Maka, mereka lalu memutuskan untuk menyelidiki terlebih dahulu sebelum turun tangan.

Ketika mereka mendapatkan tempat pengintaian dari balik pagar tembok dan mengintai ke dalam, mereka melihat betapa sarang itu sunyi seolah telah ditinggalkan penghuninya. Tidak terdengar suara apapun. Akan tetapi ketika mereka memandang ke bagian tengah, di sana terdapat sebatang pohon besar dan di bawah pohon itu nampak seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main seorang diri!

Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun, duduk di atas tanah dan bermain-main dengan daun-daun dan ranting-ranting kering, sedangkan pada kaki kirinya terdapat sehelai tali yang diikatkan pada batang pohon! Dan di sekeliling pohon itu, seolah mengepung anak kecil itu, nampak puluhan ekor ular besar kecil, siap untuk menyerang! Dan terdengar suara suling lirih yang agaknya mengendalikan ular-ular itu.

“Jahanam...!” Liong-li memaki lirih. Ia dan Pek-liong segera tahu apa artinya semua itu.

Anak itu tentulah anak dari Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang entah bagimana telah diculik oleh Pek-bwe Coa-ong dan jelas bahwa anak itu sengaja dibiarkan bermain-main di bawah pohon itu, dikurung ular-ular, dijadikan umpan untuk menarik mereka berdua datang ke situ. Akan tetapi merekapun tahu benar bahwa tempat yang nampaknya sunyi itu sebetulnya diawasi banyak orang dan sekali mereka hadir di sana, tentu akan muncul ratusan orang yang mengepung mereka. Itu bukan cara terbaik untuk mencoba membebaskan anak itu, pikir mereka.

Sebelum mereka berhasil membebaskan anak itu, tentu mereka telah dikepung dan akan sulitlah melawan mereka sambil melindungi anak itu, apa lagi kalau tiga datuk itu muncul. Menghadapi tiga orang datuk itu saja sudah merupakan hal yang amat berat bagi mereka, apa lagi kalau harus melindungi seorang anak kecil dan pihak musuh masih dibantu oleh ratusan orang anak buah!

Mereka sama sekali tidak takut mati, hanya takut tidak akan berhasil menyelamatkan anak itu. Mereka telah kehilangan banyak pembantu, dan mereka tidak ingin melihat orang lain menjadi korban lagi karena sisa Kiu Lo-mo hendak membalas dendam kepada mereka.

“Kita tunggu saja, melihat perkembangannya,” bisik Liong-li dan Pek-liong menganggukkan kepala tanda setuju.

Biarpun mereka berdua mengintai ke dalam, namun pengintaian itu dilakukan secara bergiliran. Seorang mengintai ke dalam akan tetapi yang lain menebarkan pandangan ke arah luar sarang sehingga mereka dapat mengamati seluruh jurusan dan tidak sampai dibokong pihak musuh.

Setelah beberapa lama mereka mengintai dan belum juga ada gerakan perubahan di dalam, dan anak kecil itu mulai bosan dengan mainannya dan mulai bangkit berdiri, melangkah pergi namun terjatuh karena kakinya diikat, menjadi bingung lalu memandang ke kanan kiri, mulai menangis memanggil-manggil ibu dan ayahnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan nampak sesosok tubuh melayang masuk dari pagar tembok. Bayangan kedua menyusul dan Liong-li menggenggam tinjunya.

“Ah, mereka itu sungguh ceroboh!” Pek-liong mencela lirih ketika melihat bahwa yang berloncatan masuk itu adalah Su Hong Ing yang disusul pula oleh suaminya, Song Tek Hin. Agaknya ibu dan ayah itu tidak dapat menahan diri ketika melihat keadaan anak mereka dan sudah berloncatan masuk dengan nekat untuk menyelamatkan anak mereka yang diikat di pohon itu.

Mata sepasang pendekar itu semakin terbelalak ketika berturut-turut nampak enam bayangan orang berloncatan masuk pula dan mereka itu bukan lain adalah Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, Ang-hwa dan Pek-hwa, juga Gui Keng Hok dan Gui Keh Siu, dua orang pembantu Pek-liong!

Tentu saja kedua orang pendekar itu terkejut, saling pandang akan tetapi mereka juga kagum karena ternyata empat orang sahabat dan empat orang pembantu mereka itu adalah orang-orang yang gagah perkasa dan setia kawan, siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong sahabat!

Namun, di samping kekaguman mereka, juga mereka kini menjadi khawatir sekali. Mereka berdua saja masih belum berani memasuki sarang itu, kini delapan orang itu dengan nekat masuk perangkap yang di pasang musuh!

Tidak dapat terlalu disalahkan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing. Ibu yang mana di dunia ini tidak akan nekat untuk menyelamatkan anaknya? Melihat anaknya di bawah pohon, kakinya diikat, bermain seorang diri bahkan kini mulai menangis memanggili ayah dan ibunya, dikepung oleh banyak ular pula, bagaimana mungkin ia akan dapat bersabar dan berdiam diri?

Hong Ing sudah meloncat dan lari ke arah bawah pohon, meloncati ular-ular itu. Melihat isterinya nekat, Tek Hin cepat menyusul dan kini keduanya sudah berada di bawah pohon.

“Ibuuu... ayaaahhh...!” Anak kecil itu girang bukan main melihat ayah dan ibunya, akan tetapi karena dia berlari, kakinya tertahan oleh tali dan diapun jatuh lagi.

Hong Ing cepat menyambar tubuh puteranya sedangkan Tek Hin cepat memutuskan tali yang mengikat kaki anaknya. Ibu itu memeluk anaknya sambil menangis saking gembiranya melihat Song Cu dalam keadaan selamat.

Pada saat itu, kakak beradik Kam, dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong sudah berloncatan pula, meloncati ular-ular yang mengepung dan berkumpul dengan Tek Hin dan Hong Ing untuk melindungi mereka.

Apa yang dikhawatirkan Pek-liong dan Liong-li segera terjadi. Tempat yang tadinya sunyi itu tiba-tiba saja penuh dengan anak buah gerombolan yang muncul dari tempat persembunyian mereka. Bahkan kini suara suling yang tadinya lirih itu terdengar nyaring dan semakin banyak ular berkumpul mengepung pohon itu dan mereka mulai mendesis-desis'. Di luar lingkaran ular itu nampak anak buah gerombolan mengepung pohon di bawah mana delapan orang itu berkumpul, dalam jumlah yang puluhan orang banyaknya.

Turun tangan pada saat seperti itu akan membahayakan keselamatan delapan orang dan anak itu, maka Pek-liong dan Liong-li meloncat ke atas pagar tembok dan terdengar suara Liong-li berseru nyaring.

“Pek-bwe Coa-ong! Kalau kalian bertiga hendak membuat perhitungan dengan kami berdua, jangan bertindak curang. Bebaskan delapan orang dan anak itu yang tidak ada sangkutannya dengan urusan kita, dan mari kita mengadu kepandaian seperti orang gagah!”

Kini nampaklah Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li bersama empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Pek-bwe Coa-ong masih meniup sulingnya untuk menguasai ular ularnya yang mengepung pohon itu, dan Ang I Sian-li yang mewakilinya menjawab sambil terkekeh genit.

“Hi-hik, Pek-liong dan Liong-li, kalau kalian mempunyai keberanian dan kepandaian, coba kalian bebaskan mereka ini dari tangan kami, heh-heh!”

Kim Pit Siu-cai sudah meloncat ke dalam kepungan ular itu dan tubuhnya bergerak cepat, kipas dan mouw-pit (pena bulu) di tangannya bergerak menyerang delapan orang itu. Mereka mencoba untuk membela diri, namun tingkat kepandaian Kim Pit Siu-cai terlalu tinggi bagi mereka.

Apa lagi Ang I Sian-li juga kini meloncat masuk dan dua orang itu dalam waktu yang singkat saja telah berhasil menotok roboh delapan orang itu. Mereka rebah malang melintang tak mampu bergerak lagi dan anak kecil itu yang kini menangis karena dia tadi terjatuh bersama ibunya yang memondongnya.

Melihat ini, sepasang pendekar itu maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat mundur lagi. Dengan gerakan seperti sepasang garuda menyambar, mereka melayang turun dari atas pagar tembok.

Para anak buah gerombolan itu tanpa dikomando telah menyambut maju dengan senjata mereka, agaknya mereka berlumba ingin membuat jasa. Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan mengaduh ketika Pek-liong dan Liong-li menggerakkan kaki tangan mereka dan delapan orang anak buah gerombolan itu terpelanting dan tidak mampu bangun kembali! Tentu saja yang lain menjadi gentar.

“Berhenti! Jangan serang, kepung saja!” teriak Pek-bwe Coa-ong dan kini empat orang Thai-san Ngo-kwi sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menyeret tubuh delapan orang dan anak kecil itu, membawa mereka ke tempat tahanan dan menjaga dengan ketat. Lalu mereka berempatpun ikut mengepung Pek-liong dan Liong-li.

Pek-liong tersenyum mengejek. “Sejak dahulu kami tahu bahwa Kiu Lo-mo hanya namanya saja yang besar, akan tetapi mereka itu bukan lain hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya. Mereka bukan orang-orang yang pantas menyebut diri mereka datuk persilatan. Hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, curang dan pengecut-pengecut besar!”

“Hemm, dua orang bocah sombong yang bermulut besar!” teriak Ang I Sian-li. “Kematian sudah di depan mata dan kalian masih berani bicara sombong? Lihat saja, sebentar lagi kalian akan kami tawan dan sebelum kami membunuh kalian, akan kami siksa dulu, jantung kalian akan kami pergunakan untuk obat kuat, kepala kalian kami jadikan korban sembahyangan terhadap rekan-rekan kami...”

“Sian-li, biarkan kami yang menangkap Hek-liong-li! Ia telah menewaskan Sam-kwi!” tiba-tiba Thai-kwi berseru dan tiga orang adiknya juga mengeluarkan seruan marah.

Mereka berempat sudah mencabut golok masing-masing dan sudah pula mengerahkan ilmu pukulan mereka yang ampuh, yang membuat tangan kiri mereka nampak kemerahan. Di samping ilmu golok yang lihai, empat orang ini, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi ini memiliki ilmu pukulan Ang-hwe-ciang (Tangan api merah) yang amat lihai. Mereka merasa yakin bahwa kalau mereka berempat maju mengeroyok seorang Liong-li, mereka pasti akan menang dan dapat membalaskan dendam kematian guru mereka dan juga kematian Sam-kwi yang baru beberapa hari ini tewas oleh Liong-li.

Tiga orang datuk itupun sebenarnya merasa gentar menghadapi Pek-liong dan Liong-li walaupun mengingat bahwa mereka bertiga, mereka tidak takut dan yakin akan dapat menundukkan dua orang musuh besar itu. Maka, kini mendengar permintaan Thai-kwi, Pek-bwe Coa-ong mengangguk. Dia ingin pula melihat sampai di mana kelihaian Liong-li agar dapat mengukur, pula diapun ingin memperlihatkan bahwa mereka bertiga bukan pengecut seperti dikatakan Pek-liong tadi dan memberi kesempatan kepada Pek-liong dan Liong-li untuk membela diri, tidak dikeroyok oleh anak buah mereka!

“Hemm, kami kira Liong-li tidak akan berani kalau maju seorang diri menghadapi kalian berempat!” Pek-bwe Coa-ong bekata.

Dia tidak tahu bahwa justeru inilah kesempatan baik bagi Liong-li dan Pek-liong. Kalau mereka berdua dapat menyinggung rasa kehormatan tiga orang datuk itu dan dapat memancing mereka untuk bertanding secara jujur, besar kemungkinan sepasang pendekar ini akan mampu meloloskan diri dan menolong delapan orang tawanan itu. Setidaknya, kalau dapat menewaskan sebagian dari mereka berarti sudah mengurangi kekuatan musuh.

Liong-li melangkah maju dan tertawa. Manis bukan main kalau pendekar wanita ini tertawa, namun bagi yang sudah mengenalnya, tawa semanis itu merupakan tanda bahaya bagi musuhnya karena tawa itu hanya muncul kalau wanita perkasa itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh syaraf di tubuhnya sudah siap dan ia berada dalam kewaspadaan tertinggi.

“Memang kepalang tanggung kalau aku hanya membunuh Sam-kwi tanpa membunuh empat yang lain. Majulah kalian berempat, akan kukirim kalian menyusul arwah guru kalian Siauw-bin Ciu-kwi dan Sam-kwi!”

Dari penyelidikannya, Liong-li sudah tahu bahwa Thai-san Ngo-kwi adalah murid Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo yang telah tewas di tangannya, ketika bersama Pek-liong ia menentang iblis itu. Dan sengaja ia menyebut nama guru mereka itu dan Sam-kwi untuk memanaskan hati mereka. Usahanya berhasil. Empat orang itu gemetar saking marahnya dan mereka sudah berlompatan maju mengepung Liong-li dari depan, belakang, kanan dan kiri!

Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li berdiri menonton dan tempat pertandingan itu dikepung oleh anak buah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya sehingga tidak ada tempat untuk melarikan diri bagi kedua orang pendekar itu. Pek-liong sendiri berdiri dengan sikap tenang, walaupun dalam hati dia masih mencari jalan keluar bagaimana agar dia dan Liong-li dapat menolong para tawanan kemudian lobos dari tempat itu.

Dia tahu bahwa kalau dia dan Liong-li dapat mengalahkan Thai-san Ngo-kwi dan tiga orang datuk itu, para tokoh sesat itu tentu tidak sungkan untuk mempergunakan anak buah mereka yang amat banyak untuk mengeroyok dia dan Liong-li. Walaupun dia dan Liong-li tidak gentar menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, namun bagaimana mereka berdua akan mampu menolong delapan orang tawanan bersama anak kecil itu keluar dari tempat tahanan?

Kini empat orang itu telah mengepung Liong-li yang masih nampak tenang dan Pek-liong menyingkirkan dulu semua pikiran karena dia harus memperhatikan jalannya pertandingan antara Liong-li dan empat orang pengeroyoknya. Dia harus waspada dan siap menolong Liong-li kalau sampai terancam bahaya.

Andaikata Liong-li sampai kalah dan terancam bahaya, dia tidak merasa malu untuk membantunya, karena bukankah kini Liong-li juga dikeroyok empat orang? Pula, dia tidak dapat percaya begitu saja bahwa tiga orang datuk itu tidak akan turun tangan membantu empat orang murid-murid keponakan mereka itu.

Sikap empat orang Thai-san Ngo-kwi itu memang menyeramkan. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan segala kekejaman mengandalkan kekuatan dan kepandaian, juga mereka dalam keadaan marah sekali sehingga sinar mata mereka sudah membayangkan kebuasan dan kekejaman.

Thai-kwi yang berusia empatpuluh lima tahun itu memimpin penyerangan. Pria yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam ini seperti raksasa, goloknya juga besar dan berkilauan saking tajamnya. Thai-kwi berdiri di depan Liong-li, menghadapi Liong-li sambil melintangkan goloknya di depan dada dan tangan kirinya yang kemerahan itu diangkat ke atas kepala.

Ji-kwi, orang kedua yang bertubuh gendut pendek berusia empatpuluh tiga tahun, juga melintangkan goloknya dan mengangkat tangannya yang kemerahan ke atas kepala, berdiri di belakang Liong-li. Su-kwi yang berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, berdiri di sebelah kanan Liong-li, sedangkan Ngo-kwi orang kelima yang bertubuh sedang berusia tiga puluh lima tahun, berdiri di sebelah kirinya.

Empat orang Thai-san Ngokwi itu sudah siap dengan golok mereka dan tangan merah mereka, dan pandang mata mereka menyinarkan nafsu membunuh seperti empat ekor harimau kelaparan mengurung seekor domba.

Liong-li bersikap tenang saja. Hek-liong-kiam masih berada di sarungnya dan ia berdiri dengan tegak dan nampak santai, namun setiap syaraf di tubuhnya bergetar, dari ujung rambut kepala sampai ke tumit kakinya dalam keadaan siap waspada, pandang matanya mengukur jarak, telinganya yang terlatih itu dapat menangkap setiap gerakan lawan yang berada di belakang dan tidak nampak, juga di kanan kiri sehingga sikapnya seolah ia hanya menghadapi lawan yang berada di depan saja.

“Liong-li, engkau mampus sekarang!” terdengar Thai-kwi membentak nyaring, akan tetapi dia tidak menggerakkan goloknya. Sebaliknya, Ji-kwi yang gendut pendek dan berada di belakang Liong-li itulah yang bergerak, menyerang dengan membacokkan goloknya dari atas ke bawah seperti orang membelah kayu, hendak membelah tubuh wanita perkasa itu dari atas ke bawah.

“Singggg...!!” Golok itu berubah menjadi sinar menyambar dari atas ke bawah, namun yang disambarnya hanya udara kosong saja karena tubuh Liong-li sudah bergeser ke kiri. Ji-kwi yang luput serangannya itu terus meloncat ke depan sedangkan Thai-kwi kini membabatkan goloknya ke arah leher Liong-li.

Wanita ini kembali mengelak dengan loncatan dan kini Thai-kwi dan Ji-kwi berganti kedudukan. Ji-kwi yang berada di depan Liong-li sedangkan Thai-kwi di belakangnya. Dari arah kirinya, Ngo-kwi menyerang dengan goloknya, dan berbareng pada saat itu, dari kanan Su-kwi juga menyerang sehingga dua batang golok mengguntingnya dari kanan kiri, yang sebatang menyambar leher, yang kedua menyambar paha.

Nampak sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar suara nyaring dua kali ketika pedang Naga Hitam tercabut dan diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus menangkis serangan dari kanan kiri itu.

Trangg... cringggg...!!”

Tidak nampak bagaimana Liong-li mencabut pedangnya, karena pedang itu tiba-tiba saja sudah nampak menyambar, berubah menjadi sinar bergulung-gulung hitam mengerikan dan sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri itu, sedangkan tubuhnya sudah bergerak mundur.

Golok di tangan Ngo-kwi dan Su-kwi adalah golok mustika yang tajam dan kuat, namun ketika tertangkis sinar hitam Hek-liong-kiam kedua batang golok itu terpental dan kedua orang anggauta Thai-san Ngo-kwi terkejut karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar, panas dan hampir golok terlepas dari genggaman mereka. Cepat mereka meloncat mundur.

Setelah menangkis, Liong-li yang melangkah mundur, sudah membalikkan tubuhnya dan bagaikan seekor naga, pedangnya sudah meluncur dan menyerang orang yang tadinya berada di belakangnya, yaitu Thai-kwi. Serangan tusukan pedang itu amat cepatnya dankalau bukan Thai-kwi yang diserang, kiranya akan sulitlah bagi lawan untuk menyelamatkan diri.

Namun, Thai-kwi merupakan orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi, ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan diapun membuang tubuh ke belakang, lalu bergulingan menjauh sedangkan Ji-kwi sudah membantu suhengnya dengan serangan kilat dari belakang Liong-li. Bahkan Su-kwi dan Ngo-kwi juga sudah menghadang dengan serangan dari kanan kiri.

Liong-li terpaksa memutar tubuh dan mengerakkan pedang melindungi diri sehingga tubuhnya tertutup gulungan sinar hitam yang sulit ditembus senjata lawan. Pertandingan ini sungguh menegangkan. Biarpun tingkat kepandaian Liong-li jelas lebih tinggi dari mereka, akan tetapi karena mereka itu empat orang maju bersama, dan mereka memiliki pengalaman perkelahian keroyokan sehingga mereka dapat bekerja sama seperti barisan golok, saling menunjang saling melindungi, maka tidak mudah bagi Liong-li untuk merobohkan seorang pun dari mereka.

Sebelum berhasil merobohkan seorang, yang tiga orang sudah cepat menekannya sehingga terpaksa ia melepaskan orang yang didesaknya itu. Sebaliknya, empat orang itupun tidak dapat merobohkan Liong-li. Senjata mereka terasa sukar sekali untuk dapat menembus sinar hitam dari Hek-liong-kiam, maka kini mereka berempat hanya bertahan saling melindungi saja, membentuk benteng dari empat golok yang amat sukar dibobolkan. Telah lima puluh jurus lewat, akan tetapi belum juga Liong-li berhasil merobohkan seorangpun dari empat pengeroyoknya, walaupun empat orang itu sudah terdesak dan bahkan jarang sekali dapat membalas.

Melihat ini, Ang I Sian-li menjadi tidak sabar lagi. Kalau sampai empat orang murid keponakan itu kalah dan tewas, hal itu berarti melemahkan pihaknya dan “memberi hati” kepada Pek-liong dan Liong-li. Maka, tanpa banyak cakap lagi Ang I Sian-li mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan melompat, langsung saja menyerang Liong-li dengan dahsyatnya.

“Cring-trangg...” Liong-li menangkis dan kedua orang wanita tangguh itu terhuyung ke belakang.

“Iblis betina curang!” bentak Pek-liong sambil melompat ke depan. Akan tetapi dia sudah disambut Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong yang sudah menyerang Pek-liong dengan senjata mereka yang ampuh.

Pek-liong cepat mencabut pedangnya dan begitu Pek-liong-kiam diputar, nampak gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar dan menangkis sepasang mouw-pit di tangan Kim Pit Siu-cai dan tongkat ekor ular putih di tangan Pek-bwe Coa-ong. Tingkat kepandaian dua orang iblis tua itu sudah amat tinggi, bahkan kalau seorang di antara mereka maju melawan Pek-liong saja, tidak akan mudah bagi Pek-liong untuk menang. Kini mereka maju berdua, tentu saja pendekar itu segera terdesak hebat.

Keadaannya tidak jauh bedanya dengan Liong-li. Tingkat kepandaian Ang I Sian-li juga seimbang dengan Liong-li, kini ia maju membantu empat orang dari Thai-san Ngo-kwi, tentu saja Liong-li segera terdesak hebat. Sepasang pendekar itu tentu saja maklum bahwa tidak ada gunanya mencaci maki atau mencela kecurangan lawan. Mereka maklum pula bahwa pihak lawan tidak mungkin akan mau melepaskan mereka berdua. Pihak lawan amat mendendam dan membenci mereka, akan melakukan apa saja untuk dapat menangkap dan membunuh mereka berdua.

Mereka tahu bahwa kalau mereka melawan terus, akhirnya mereka akan kalah dan roboh juga. Tanpa kata ataupun isyarat, keduanya yang sudah memiliki kepekaan terhadap satu sama lain, segera mengatur langkah sehingga akhirnya mereka itu dapat bersatu, beradu punggung dan saling melindungi.

Namun, hal inipun tidak akan menolong mereka. Pihak lawan terlampau kuat. Baru tiga orang di antara Kiu Lo-mo itu saja sudah merupakan lawan yang amat berat hagi mereka, apa lagi ditambah empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang juga sudah lihai sekali. Dan di situ masih terdapat kurang lebih seratus orang anak buah gerombolan yang mengepung tempat itu.

Sebetulnya, keadaan ini membuat hati sepasang pendekar itu menjadi gentar. Yang membuat mereka ragu dan bingung adalah karena empat orang pembantu mereka, empat orang sahabat mereka, dan seorang anak kecil telah menjadi tawanan musuh!

Kalau mereka berdua sampai roboh dan tertawan, atau tewas, berarti tidak ada harapan bagi sembilan orang tawanan itu, dan mereka semua tidak mungkin dapat terlepas dari tangan para penjahat. Tentu mereka akan tewas dalam keadaan yang lebih menyedihkan lagi. Karena memikirkan keselamatan sembilan orang itulah maka Pek-liong dan Liong-li mengambil keputusan untuk meloloskan diri, melarikan diri dari kepungan agar mereka tetap hidup dan dapat menyusun siasat baru untuk menolong sembilan orang tawanan itu.

Akan tetapi, tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat meloloskan diri karena selain tiga orang datuk itu bersama empat orang murid keponakan mereka mengepung ketat dan mendesak dengan hebat, juga di situ terdapat lebih dari seratus orang anak buah gerombolan itu mengepung dengan berbagai senjata di tangan.

Diam-diam Pek-liong dan Liong-li membuat perhitungan dengan otak mereka yang cerdas. Kalau mereka melanjutkan perkelahian itu, akhirnya mereka akan roboh dan tewas, demikian pula sembilan orang tawanan itu tentu akan tewas. Satu-satunya jalan adalah menerjang ke dalam barisan anak buah gerombolan yang rapat kepungannya itu. Kalau mereka dapat menyerbu dan terjun ke tengah-tengah mereka, tentu tiga orang datuk dan empat orang murid keponakan mereka itu tidak akan dapat mengeroyok.

Ketika mendapat kesempatan dalam keadaan terdesak itu, Liong-li berbisik kepada rekannya, “Kita terjun ke tengah?”

Pek-liong merasa girang karena memang dia mempunyai pendapat yang sama. Dia mengangguk. “Engkau dulu, aku melindungi!” bisiknya.

Pada saat itu, senjata para pengeroyok sedang gencar menyerang. Liong-li dan Pek-liong memutar pedangnya dan mereka mengatur sedemikian rupa sehingga pedang bersinar putih di tangan Pek-liong yang menjadi semakin lebar melindungi mereka berdua. Liong-li menggunakan gerakan tiba-tiba menyerang ke kiri di mana berdiri Ngo-kwi, orang termuda dari Thai-san Ngo-kwi. Serangannya dahsyat bukan main karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga Ngo-kwi terkejut bukan main.

Goloknya hampir terlepas dari tangannya ketika dia menangkis dan dia terhuyung ke belakang. Kesempatan inilah yang dipergunakan Liong-li untuk meloncat, melalui atas kepala Ngo-kwi, menuju ke arah kelompok anak buah yang mengepung dari luar. Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong marah.

“Kejar, kepung, jangan biarkan ia lolos!”

Akan tetapi, kekacauan timbul karena gerakan Liong-li itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pek-liong untuk menjatuhkan diri ke lantai dan bergulingan sambil menggerakkan pedangnya. Para pengepungnya terkejut dan terpaksa mundur. Melihat kesempatan ini, Pek-liong juga cepat melompat sambil mengerahkan tenaganya dan bagaikan seekor naga menerjang awan, diapun terjun di tengah-tengah anak buah gerombolan yang mengepung ketat.

Gegerlah anak buah gerombolan itu ketika dua orang yang tadinya dikeroyok dan didesak para pimpinan mereka tiba-tiba saja meloncat dan terjun di tengah-tengah mereka. Mereka menjadi panik seperti sekelompok domba yang tiba-tiba melihat dua ekor harimau mengamuk di tengah-tengah antara mereka!

Tentu saja mereka berusaha untuk menggunakan senjata dan menyerang kedua orang ini. Akan tetapi, serangan para anak buah itu tidak ada artinya bagi Liong-li dan Pek-liong. Dengan mudah mereka merobohkan setiap orang penyerang dan mereka menyusup-nyusup di antara anak buah gerombolan sehingga tiga orang Iblis Tua dan empat murid keponakan mereka sukar sekali untuk dapat mengeroyok kedua orang musuh itu seperti tadi. Mereka bertujuh terhalang oleh padatnya anak buah mereka sendiri yang tadi mengepung tempat itu.

Bagaikan sepasang naga, Liong-li dan Pek-liong mengamuk. Akan tetapi mereka bukan mengamuk untuk membunuh sebanyak mungkin anak buah gerombolan, melainkan untuk membuka jalan darah dan melarikan diri. Mereka harus melarikan diri lebih dulu, kemudian baru mengatur siasat untuk menyelamatkan sembilan orang yang ditawan musuh.

Kalau mereka nekat, mereka akhirnya akan tewas dan sembilan orang itupun tidak akan tertolong lagi. Mereka yakin bahwa selama mereka berdua belum tertawan atau tewas, sembilan orang tawanan itu masih ada harapan dan tidak akan dibunuh oleh tiga orang Iblis Tua.

Biarpun mereka sudah berhasil terjun ke tengah-tengah antara anak buah gerombolan, namun masih tidak mudah untuk membebaskan diri. Tiga orang iblis tua dan empat orang murid mereka itu masih terus melakukan pengejaran, dibantu oleh anak buah mereka yang banyak jumlahnya. Karena tidak dapat melarikan diri ke jalan yang pernah mereka lalui karena terhadang, terpaksa Liong-li dan Pek-liong lari ke arah barat, di mana terdapat sebuah hutan. Mereka sekali ini tidak mau berpencar. Dengan bersatu, mereka jauh lebih kuat untuk saling melindungi.

“Lepas anak panah! Serang mereka dengan senjata rahasia!”

Tiga orang datuk itu mengejar sambil berteriak-teriak. Anak buah mereka segera melepaskan anak panah dan berbagai senjata rahasia. Liong-li dan Pek-liong terpaksa memutar pedang melindungi tubuh mereka. Mereka lari sambil mundur dan memutar pedang.

Sepasang pendekar itu sama sekali tidak tahu bahwa sisa dari Sembilan Iblis Tua itu sekali ini sudah bertekad untuk menawan atau membunuh mereka. Sisa tiga orang dari Kiu Lo-mo itu sudah lama merencanakan balas dendam ini. Mereka telah mengatur segalanya dan begitu melihat Liong-li dan Pek-liong berhasil melarikan diri, merekapun cepat mengatur siasat seperti yang sudah mereka perhitungkan kalau-kalau menghadapi keadaan seperti sekarang.

Kini mereka memilih tempat yang agak kering untuk duduk dan mereka berdua pertama-tama menyelidiki keadaan di sekitar mereka. Mereka memandang ke sekeliling dengan sinar mata penuh selidik. Tempat itu terang karena biarpun sudah condong ke barat, matahari masih tinggi dan terang.

Tengah hari telah lewat dua tiga jam, namun senja masih beberapa jam lagi akan tiba. Dinding tebing itu curam dan tinggi sekali sehingga bagian atasnya tidak nampak jelas. Diam-diam kedua pendekar itu memuji syukur kepada Tuhan bahwa mereka tidak tewas terjatuh dari tempat setinggi itu. Untuk memanjat ke atas tebing merupakan hal yang tidak mungkin. Tidak ada orang yang akan dapat mendaki atau menuruni dinding tebing yang, terjal dan setinggi itu. Mereka lalu memandang dan mengamati bagian lain.

Tebing itu memanjang dengan ketinggian yang sama. Tak mungkin naik kembali. Di seberangnya, lereng itu menurun melalui banyak jurang dan hutan liar. Hanya ke sanalah satu-satunya jalan keluar, yang akan membawa mereka ke kaki bukit sebelah sana. Mereka berdiri memandang ke arah bawah, lalu keduanya saling pandang dan dua pasang mata itu bertaut, lalu Pek-liong dengan sikap canggung dan tersipu berkata, lirih.

“Liong-li...” Dia tidak melanjutkan kata-katanya...