Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 12

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Episode Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 12
ANG I SIAN LI berdiri bengong, merasa seperti mimpi ketika anak buahnya bersorak gembira melihat Hek-liong-li tewas! Akan tetapi, kemudian meledaklah kegembiraan dan kebanggaannya. Ia menyambar rambut Lan-hwa, menyeret mayat itu dan membawanya lari untuk dipamerkan kepada dua orang rekannya!

“Aku telah membunuh Hek-liong-li...!” Sambil menyeret mayat wanita berpakaian serba hitam itu pada rambutnya, Ang I Sian-li bersorak dan berteriak-teriak penuh kebanggaan. Ketika ia tiba di sarang mereka, Ang I Sian-li yang tadinya gembira dan bangga itu memandang bingung.

Ia melihat bahwa semua rekannya telah berkumpul di situ dan di atas tanah, di depan mereka, berserakan mayat-mayat para anggauta anak buah mereka, termasuk Sam-kwi, yaitu orang ketiga di antara Thai-san Ngo-kwi. Dan di dekat mayat San-kwi menggeletak pula mayat Hek-liong-li! Kalau tadinya ia berteriak-teriak telah berhasil membunuh Hek-liong-li, kini ia memandang bingung dan melemparkan mayat yang tadi diseretnya ke dekat mayat berpakaian serba hitam yang sudah lebih dahulu menggeletak di situ.

“Siapakah mayat itu?” tanyanya kepada dua orang rekannya sambil menuding ke arah mayat Hek-liong-li pertama.

“Hek-liong-li-palsu, mungkin seperti yang kau bawa ke sini, aku yang telah membunuhnya dengan mudah,” kata Kim Pit Siu-cai.

“Aihh...!” Sepasang mata nenek cantik pesolek itu terbelalak. “Kalau begitu yang kubunuh inipun palsu? Akan tetapi... kenapa banyak yang menyamar Hek-liong-li? Pantas kepandaiannya rendah saja, akan tetapi ia membawa Hek-liong-kiam!” katanya dengan nada suara penuh kekecewaan. “Coba lihat, samakah Hek-liong-kiam itu dengan yang ini?”

Kim Pit Siu-cai mengeluarkan sebatang pedang hitam yang tadi dirampasnya dari wanita yang disangkanya Hek-liong-li. Ang I Sian-li mengeluarkan pedang itu. Memang serupa. Mereka berdua memegang pedang dengan kedua tangan dan sekali mengerahkan tenaga, pedang itu patah menjadi dua potong. Dengan hati sebal kedua orang datuk itu melemparkan pedang rampasan mereka yang palsu itu ke atas tanah.

“Sialan! Kita dipermainkan Hek-liong-li!” kata Ang I Sian-li bersungut-sungut dan marah sekali.

“Tenanglah, Sian-li,” kata Pek-bwe Coa-ong yang merupakan orang tertua di antara tiga datuk sisa Sembilan Iblis itu. “Bagaimanapun juga, dua orang gadis yang menyamar Hek-liong-li ini pasti anak buahnya atau pembantunya, maka dapat membunuh dua orang inipun sudah merupakan pukulan bagi Hek-liong-li. Cepat atau lambat, Hek-liong-li pasti akan terjatuh ke tangan kita, mati atau hidup!”

“Memang lumayan dapat membunuh dua orang pembantunya, akan tetapi kitapun menderita kerugian yang tidak sedikit! Delapan orang anak buah kita tewas, belum dihitung yang terluka, dan terutama sekali Sam-kwi telah terbunuh oleh Hek-liong-li!”

Empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi yang berada di situ dan memandang kepada jenazah rekan mereka dengan wajah duka, kini mengepal tinju. “Aku bersumpah,” kata Thai-kwi, orang pertama yang tinggi besar hitam dan berusia empatpuluh lima tahun, dengan suara geram, “Kalau Hek-liong-li terjatuh ke tangan kami, akan kami permainkan dan kami perhina dan siksa sampai puas, baru akan kami bunuh, tubuhnya kami cincang dan dagingnya kami berikan kepada anjing!!”

“Aku akan minum darahnya!” kata pula Ji-kwi yang pendek gendut.

“Akan kumakan mentah-mentah sebagian jantungnya!” kata Su-kwi yang tinggi besar agak bongkok.

“Aku... aku akan memperkosanya sepuas hati,” kata Ngo-kwi yang sedang tubuhnya, galak dan mata keranjang, orang termuda dari mereka berusia tiga puluh lima tahun.

“Harap kalian tenang dan kalau sampai Hek-liong-li terjatuh ke tangan kita, aku tidak akan melupakan kalian untuk berpesta. Akan tetapi, bukan Hek-liong-li saja yang kita hadapi. Masih ada Pek-liong-eng dan para pembantunya. Kita harus berhati-hati dan memperkuat penjagaan. Sian-li, Siu-cai, mari kita berunding di dalam,” kata Pek-bwe Coa-ong dan dia memerintahkan empat dari Ngo-kwi untuk mengurus jenazah-jenazah itu, dan menambahkan, “Gantung mayat dua orang Hek-liong-li palsu itu di pohon di luar pagar agar terlihat oleh Hek-liong-li!”

Tiga orang datuk itu lalu masuk dan mengadakan perundingan. “Jelas bahwa kini Liong-li sudah menerima tantangan kita. Ia pasti akan berdaya upaya untuk menyerbu masuk dan mencoba untuk membebaskan dua pasang tawanan kita. Mereka kini harus ditahan dalam kamar dan jangan sampai mereka itu mudah dibebaskan dari luar,” kata Pek-bwe Coa-ong.

“Jangan khawatir, Coa-ong. Mereka sudah kusuruh keram dalam kamar, bahkan aku telah menotok mereka dan kaki tangan mereka terbelenggu,” kata Ang I Sian-li.

“Bagus! Sekarang mari kita bicara tentang dua orang Hek-liong-li palsu itu. Kita ketahui bahwa Hek-liong-li mempunyai sembilan orang pembantu yang juga merupakan anak buah mereka. Jelaslah bahwa dua orang Liong-li palsu itu pasti dua orang di antara sembilan orang pembantunya. Berarti kini ia berada di luar bersama tujuh orang pembantunya.

“Kalau melihat betapa di seluruh penjuru bermunculan Hek-liong-li, jelas bahwa mereka semua itu mengenakan pakaian hitam dan menyamar sebagai Liong-li. Akan tetapi, di antara mereka, hanya Liong-li yang aseli saja yang harus kita hadapi dengan hati-hati. Kita harus mengerahkan tenaga, memasang barisan pendam dan sedapat mungkin membunuh semua pembantu Liong-li.”

“Coa-ong, kita jangan terlalu memusatkan perhatian kepada Liong-li seorang. Kita harus ingat bahwa di sana terdapat Pek-liong-eng pula. Dan diapun mempunyai enam orang pembantu pria yang lihai. Mungkin diapun seperti Liong-li, akan datang dibantu enam orang pelayannya itu,” kata Ang I Sian-li.

Mereka berunding dan mengatur siasat karena mereka bertiga mengambil keputusan nekat bahwa sekali ini mereka harus mampu membalas dendam kematian semua rekan mereka yang terbunuh oleh Pek-liong dan Liong-li. Sekarang atau tidak ada harapan lagi, pikir mereka. Dan saat itu, kedudukan mereka memang kuat. Bukan saja mereka bertiga merupakan lawan-lawan yang amat tangguh bagi Pek-liong dan Liong-li, juga mereka dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi yang kini tinggal empat orang dan ratusan orang anak buah mereka!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Delapan sosok bayangan orang itu menyelinap di balik semak-semak dan pohon-pohon. Hek-liong-li dan para pembantunya yang tinggal tujuh orang itu, dengan pakaian hitam-hitam, merangkak dan menyusup di antara semak-semak mendekati pohon besar di mana tergantung dua buah mayat berpakaian hitam itu. Terdengar isak tertahan di sana-sini ketika mereka melihat bahwa yang tergantung itu adalah mayat Bunga Biru dan Bunga Hijau!

Liong-li cepat membuat suara mendesis lirih untuk mengingatkan anak buahnya agar menahan isak mereka dan jangan membuat gaduh. Ia sendiri, menggigit bibir ketika melihat keadaan dua orang anak buahnya itu. Baju kedua mayat itu di bagian dada terobek dan nampak payudara mereka juga robek-robek tergores pedang. Dan pedang mereka, Hek-liong-kiam palsu yang sudah patah, ditusukkan di bawah perut sehingga tinggal nampak gagangnya saja.

“Jahanam busuk,” ia memaki dalam hati. Sungguh mereka itu bukan manusia, melainkan iblis yang teramat kejam, menyiksa jenazah seperti itu. Penghinaan yang luar biasa besarnya. Biarpun ia marah sekali, namun ia tetap tenang dan kemarahannya segera padam.

Ia tidak boleh marah karena tentu tiga orang datuk itu sengaja memperlakukan dua buah mayat itu sedemikian rupa untuk memancing kemarahannya. Dan orang marah tentu akan kehilangan keseimbangan dan akan mengambil tindakan yang nekat dan ceroboh. Tidak, ia tidak boleh marah. Pihak musuh terlalu berbahaya.

“Kalian kurung tempat ini dan tunggu saja, biar aku yang memeriksa keadaan lapangan. Begitu muncul pihak musuh, lima orang membantuku, dan engkau, Ang-hwa (Bunga Merah) dan Pek-hwa (Bunga Putih), kalian yang kutugaskan menurunkan dan mengambil dua jenazah Bunga Hijau dan Bunga Biru. Akan tetapi tunggu, sampai aku memberi tanda aman, baru kalian berdua boleh bergerak. Yang lain-lain juga harus menunggu isyaratku, baru boleh membantuku.” Liong-li berbisik-bisik mengatur siasat dan membagi tugas.

Setelah semua mengerti betul, Liong-li membawa sebatang tongkat dari cabang pohon yang panjangnya tidak kurang dari dua setengah meter, lalu meloncat keluar dari tempat pengintaiannya. Malam itu tidak gelap sekali karena ada bulan tiga perempat menerangi bumi. Kebetulan langit bersih sehingga cahaya bulan tiga perempat itu tidak terhalang awan.

Dengan tongkatnya, Liong-li mencari jalan dengan hati-hati, mencoba dan meneliti di sebelah depan dengan tongkatnya agar tidak sampai terperangkap. Ternyata tempat itu tidak dipasangi jebakan. Liong-li maju terus menghampiri pohon di mana dua orang anak buahnya mati tergantung, tetap waspada ketika melangkah maju dengan perlahan dan hati-hati.

Biarpun ia tidak mengeluarkan suara menangis, namun kedua matanya menjadi basah ketika ia tiba di bawah pohon, melihat dua orang anak buahnya tergantung seperti itu. Mereka tewas karena membantunya! Tadinya ia sudah khawatir dan tidak ingin mengorbankan anak buahnya, akan tetapi mereka memaksa. Mereka rela mati demi membantunya! Mulutnya bergerak membaca doa dan mengucapkan selamat jalan kepada Bunga Hijau dan Bunga Biru.

Tiga orang datuk membuat perhitungan bahwa Liong-li yang amat cerdik itu pasti akan mudah terpancing dengan dua buah mayat itu. Mereka memperhitungkan bahwa yang mencoba untuk mengambil mayat tentu hanya anak buah Liong-li. Maka merekapun hanya menyuruh empat orang Thai-san Ngo-kwi untuk mewakili mereka membawa anak buah menjaga tempat itu. Mereka tidak tahu bahwa justeru perhitungan mereka ini sudah diperhitungkan pula oleh Liong-li.

Gadis perkasa ini memperhitungkan bahwa tiga orang datuk itu tentu tidak mengira ia berani nekat membahayakan diri menghampiri mayat. Justru karena ini, maka ia malah datang! Bagaikan bermain catur, kalau para datuk sesat membuat perhitungan sampai tiga langkah, Liong-li membuat perhitungan sampai empat-lima langkah!

Ketika Thai-kwi yang memimpin pengepungan itu melihat munculnya seorang wanita berpakaian hitam, dia tersenyum. Hemm, tidak mungkin aku dapat dikelabuhi lagi, pikirnya. Liong-li, aku tahu bahwa yang muncul itu tentu seorang di antara anak buahmu yang menyamar! Bersama semua anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang, dia dan adik-adiknya mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu.

Liong-li dapat menduga bahwa semua gerakannya tentu diikuti banyak pasang mata dari pihak lawan. Ia tetap berhati-hati, sudah memperhitungkan pula bahwa tentu ia dianggap seorang di antara Liong-li palsu. Ia merasa lega bahwa tempat itu tidak dipasangi jebakan sehingga memudahkan anak buahnya untuk merampas mayat.

Dengan tongkatnya, ia memeriksa tali gantungan. Tidak dipasangi perangkap pula. Ia masih menanti munculnya serangan musuh, dan diam-diam, tangan kirinya sudah mempersiapkan segenggam jarum hitamnya di tangan kiri. Jarang Liong-li mempergunakan senjata rahasia, jarum-jarum hitamnya selalu tersimpan saja dalam kantung kecil yang tergantung di pinggang. Akan tetapi sekali ini, ia menghadapi musuh yang mempunyai banyak anak buah dan ia sudah mengambil keputusan untuk tidak bersikap lunak terhadap mereka, apa lagi setelah dua orang pembantunya tewas dan disiksa seperti itu.

Melihat belum juga ada gerakan dari pihak musuh, tiba-tiba Liong-li meloncat ke atas, sinar hitam berkelebat dan dua sosok tubuh mayat yang tadinya tergantung itu terjatuh ke atas tanah. Pada saat itulah, dari arah belakang dan sebelah kirinya, meluncur puluhan batang anak panah ke arah dirinya! Ia memutar pedangnya dan semua anak panah runtuh, dan sambil memutar pedang, ia menggerakkan tangan kirinya dan sinar lembut hitam meluncur ke berbagai arah, yaitu ke arah dari mana datangnya anak panah tadi.

Terdengar pekik kesakitan di sana sini dan Liong-li tersenyum karena ia tahu bahwa seperti telah diaturnya tadi, tujuh orang anak buahnya sudah pula melepas senjata mereka, yaitu anak panah-anak panah kecil yang bisa dilepas dari busur sekali tarik lima batang! Tujuh orang anak buahnya sudah menyerang, membarengi serangan musuh, menjatuhkan beberapa korban yang tadi terdengar menjerit tanpa tempat sembunyi anak buahnya diketahui musuh.

Thai-kwi menjadi marah dan dia memberi aba-aba. Dua puluh orang anak buahnya tinggal lima belas orang karena yang lima orang terjungkal, terkena senjata rahasia lawan. Lima belas orang itu, ditambah dia dan adik-adiknya yang semua berjumlah empat orang, menyerbu dengan teriakan marah ke arah Liong-li.

Liong-li kembali tersenyum dan pada saat itu, lebih banyak lagi anak panah menyambar, menyongsong belasan orang yang menyerbu itu dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang roboh! Kini tinggal empat belas orang lagi dan iapun memberi isyarat dengan mengangkat pedangnya ke atas.

Melihat isyarat ini, muncullah lima orang wanita berpakaian hitam, menyambut serbuan belasan orang itu, sedangkan Liong-li sendiri menghadapi pengeroyokan Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Sementara itu, Ang-hwa dan Pek-hwa sudah meloncat dan cepat mereka menyambar dua buah mayat rekan mereka dan membawanya pergi.

“Tangkap hidup-hidup! Yang inilah Liong-li yang aseli!” teriak Thai-kwi dan bersama tiga orang adiknya dia menyerang dengan membabi-buta kepada Liong-li. Lima orang anak buah menyambut lima orang anak buah Liong-li, sedangkan lima orang lain sudah ikut mengeroyok Liong-li!

Thai-kwi meniup tanda bahaya yang melengking-lengking. Liong-li maklum bahwa keadaannya bisa berbahaya kalau tiga orang datuk itu muncul. Sekarangpun, tanda bahaya itu sudah mengundang datangnya belasan orang anak buah lain yang kebetulan berada di sekitar tempat itu sehingga ia dan lima orang anak buahnya harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali lawan.

Selagi Liong-li dan para pembantunya mengamuk, merobohkan banyak pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh, tiba-tiba nampak sinar api berkobar di sana sini dan teriakan kebakaran. Ternyata sarang ketiga Kiu Lo-mo itu terbakar di sana sini! Tentu saja para pengeroyok menjadi panik dan Thai-kwi sendiri memberi aba-aba agar anak buahnya mundur karena dia ingin membawa anak buahnya membantu memadamkan kebakaran yang terjadi di sedikitnya enam tempat itu!

“Jangan kejar!” Liong-li berseru dan mengajak lima orang pembantunya menyusup dan menghilang di antara pohon-pohon, menyusul Ang-hwa dan Pek-hwa yang sudah membawa dua buah mayat rekan mereka itu ke seberang sungai, mempergunakan perahu yang mereka sembunyikan di tepi sungai, dalam semak belukar.

Liong-li tersenyum puas, bukan hanya karena mereka telah berhasil merobohkan lagi beberapa orang anak buah musuh, juga bukan hanya karena ia berhasil mengambil jenazah dua orang pembantunya agar dapat dikubur dengan baik, akan tetapi terutama sekali melihat adanya kebakaran di enam tempat tadi.

Hatinya tidak syak lagi, itu pasti hasil perbuatan Pek-liong-eng! Siapa lagi kalau Pek-liong yang datang di saat sedemikian tepatnya, dan menggunakan siasat demikian cerdiknya untuk mengacaukan musuh dan menolong ia dan para pembantunya yang sedang terkepung dan terancam?

Malam itu juga, Liong-li dan tujuh orang pembantunya mengubur dua jenazah dengan sederhana namun penuh khidmat. Setelah melakukan sembahyang secara sederhana di depan kedua makam itu, Liong-li dan anak buahnya berunding di depan makam, duduk di atas rumput.

“Kematian Bunga Biru dan Bunga Hijau membuktikan betapa lihai dan berbahayanya pihak musuh,” Liong-li berkata. “Tiga orang datuk itu, sisa dari Sembilan Iblis, agaknya menyusun kekuatan dan bertekad untuk membalas dendam dan membunuh aku dan Pek-liong. Melihat betapa dua orang rekan kalian telah tewas, dan mengingat akan besarnya bahaya, sekali lagi aku peringatkan kepada kalian. Aku tidak ingin melihat jatuhnya lebih banyak korban lagi di antara kita, maka kalian boleh meninggalkan aku. Aku akan berjuang sendiri menentang mereka, bersama Pek-liong.”

Ang-hwa (Bunga Merah) segera mendahului teman-temannya menjawab. “Li-hiap, kenapa lagi-lagi Li-hiap berkata demikian? Li-hiap, sudah bertahun-tahun li-hiap membimbing kami, mengajarkan kami bagaimana sikap seorang gagah sehingga kami merasa menjadi manusia yang berarti. Dalam suatu pertentangan, di mana kita berdiri sebagai penentang perbuatan jahat, tentu saja terjadi korban. Dua orang rekan kami tewas, namun mereka tewas sebagai naga, sebagai harimau, dan di pihak musuh juga banyak yang tewas, lebih banyak dari pada kerugian yang kita derita. Li-hiap, kalau kami tewas, seperti Bunga Hijau dan Bunga Biru, kami akan merasa bangga. Bukan karena kami tewas membantu li-hiap, melainkan tewas karena menentang kejahatan. Bukankah li-hiap selalu mengatakan lebih baik mati sebagai harimau melawan musuh yang jahat, dari pada mati sebagai babi disembelih atau lari seperti anjing yang ketakutan? Saya sendiri, saya akan tetap bersama li-hiap menghadapi tiga orang datuk dari Kiu Lo-mo itu?”

Enam orang temannya serentak menyatakan setuju dan tak seorangpun yang mau meninggalkan Liong-li. Liong-li merasa terharu. “Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan usaha kita membasmi mereka, bersama Pek-liong. Akan tetapi karena pihak lawan sudah mengetahui keadaan kita, maka kita akan menanti dulu sampai ada berita dari Pek-liong sehingga kita dapat bekerja sama dengan dia. Pihak musuh terlalu tangguh untuk kita hadapi sendiri.”

********************

Dugaan Liong-l.i memang benar. Yang melakukan pembakaran-pembakaran di sarang gerombolan pada malam hari itu adalah Pek-liong-eng dan enam orang pembantunya. Setelah Pek-liong menemukan surat yang ditinggalkan Liong-li untuknya dan dia mengadakan pembicaraan dengan Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In, dia lalu pergi ke lembah Sungai Kuning dan di suatu tempat yang memang telah dia janjikan kepada enam orang pembantunya, dia mengadakan pertemuan dengan mereka.

Tempat pertemuan itu di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang letaknya di lereng bukit kecil di pantai Sungai Kuning. Dalam petualangannya dahulu, Pek-liong pernah mempergunakan kuil tua ini sebagai tempat bersembunyi, maka kini diapun hendak memanfaatkan tempat itu untuk menjadi tempat pertemuannya dengan enam orang pelayan atau pembantunya. Bukit itu tak pernah dikunjungi orang, dan kuil itu terlalu tua untuk dijadikan kuil baru, dan terlalu seram untuk dijadikan tempat tinggal, tempatnya sunyi dan jauh tetangga.

Setelah enam orang pembantunya lengkap berada di situ, Pek-liong menyuruh seorang pembantu berjaga di luar dan seorang lagi di belakang kuil, kemudian dia mengajak empat pembantu lain untuk bicara di dalam. Dia mendengar laporan hasil penyelidikan mereka bahwa di lembah Sungai Kuning terdapat sebuah tempat yang agaknya dijadikan sarang penjahat.

Mereka berenam belum melihat adanya tiga datuk besar sisa Kiu Lo-mo, akan tetapi mereka melihat adanya Thai-san Ngo-kwi dan ratusan orang anak buahnya, yaitu orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan sesat. Juga bahwa tempat itu amat berbahaya, agaknya dipasangi banyak perangkap dan dijaga ketat.

“Apakah kalian sudah melihat tanda-tanda hadirnya Hek-liong-li di sana? Atau para pembantunya?” tanya Pek-liong.

“Kami hanya beberapa kali melihat sosok bayangan hitam-hitam berkelebat dan menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, akan tetapi kami belum jelas apakah mereka itu Liong-lihiap dengan para pembantunya. Seperti pesan tai-hiap, kami tidak mengadakan kontak dengan siapapun, hanya melakukan penyelidikan di sekitar Hek-san (Bukit Hitam) di lembah Huang-ho (Sungai Kuning).”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Baiklah, mulai sekarang, untuk sementara kita jadikan kuil ini sebagai markas. Bukit Hitam berada di depan, tak jauh dari sini dan malam ini kita melakukan penyelidikan ke bukit itu, menyelidiki sarang gerombolan yang kalian temukan. Persiapkan segalanya, juga minyak bakar, siapa tahu kita dapat mempergunakannya, setidaknya untuk menggunakan siasat membakar semak memaksa ular keluar dari sarangnya. Aku ingin memperoleh kepastian apakah gerombolan yang kalian temukan itu benar merupakan anak buah tiga orang datuk Kiu Lo-mo ataukah bukan.”

Demikianlah, setelah hari mulai gelap, Pek-liong dan enam orang pembantunya mendaki bukit Hitam, melakukan penyelidikan. Mereka berpencar, bergerak naik walaupun mereka menjaga jarak agar dapat saling berhubungan melalui isyarat yang biasa mereka lakukan dalam gelap, yaitu suara burung malam. Untuk keperluan penyelidikan kali ini, Pek-liong mempergunakan jubah luar yang berwarna biru yang panjang dan lebar menutupi pakaiannya yang serba putih.

Ketika dia menggunakan ilmunya bergerak ringan dan cepat menyusup di antara semak dan pohon itulah Pek-liong melihat adanya dua buah mayat wanita yang digantung di pohon besar, di luar perkampungan gerombolan. Dia terkejut juga melihat betapa dua orang wanita yang telah tewas itu mengenakan pakaian hitam-hitam seperti pakaian Liong-li, juga gagang pedang yang menancap di bawah perut mereka adalah gagang pedang mirip Hek-liong-kiam.

Dan diam-diam dia mengeluarkan makian marah melihat keadaan dua buah mayat yang tersiksa secara mengerikan itu. Tak syak lagi, inilah bekas tangan keji seorang datuk! Hanya manusia yang berhati kejam seperti iblis sajalah yang mampu melakukan perbuatan keji terhadap manusia lain seperti itu.

Kemudian pandang matanya yang tajam melihat pergerakan di balik semak dan dia melihat sesosok bayangan yang mendekati pohon di mana dua mayat itu tergantung. Jantungnya berdebar. Dia yakin bahwa sosok itu adalah Liong-li. Memang wajahnya tidak nampak jelas dan demikian pula bentuk tubuhnya karena dia berpakaian serba hitam. Akan tetapi gerakan tubuh itu ketika melangkah, menyelinap dan memegang tongkat panjangnya. Itulah Liong-li, tak salah lagi!

Dia memberi isyarat kepada enam orang pembantunya dengan suara burung malam yang memanjang satu kali. Panjang satu kali berarti agar mereka berhenti di tempat dan waspada, menanti perintah berikutnya! Pek-liong melihat betapa Liong-li membabat putus tali gantungan kedua mayat itu dan pada saat itu, datanglah serangan anak panah dari barisan pendam pihak musuh.

Pek-liong tersenyum ketika melihat Liong-li beraksi menyebar jarum dan diikuti anak-anak panah kecil dari para pembantu pendekar wanita itu. Akan tetapi, walaupun pertempuran itu tidak membutuhkan bantuannya karena Liong-li tidak akan kalah, namun ketika para gerombolan datang semakin banyak, Pek-liong cepat memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengikutinya merayap naik ke bukit Hitam.

Dan selanjutnya, dari luar perkampungan itu, mereka menyerang perkampungan dengan anak panah yang membawa kain yang dicelup minyak dan dibakar sehingga perkampungan gerombolan itu dihujani api dari atas dan terjadilah kebakaran-kebakaran yang membuat para gerombolan panik dan membuat empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi terpaksa menarik mundur anak buahnya yang sedang mengeroyok Liong-li dan lima orang pembantunya.

Setelah berhasil mengacaukan perkampungan itu dan melihat betapa Liong-li dan para pembantunya dapat melarikan diri terlepas dari kepungan banyak lawan, Pek-liong dan kawan-kawannya juga turun dari Hek-san dan menuju ke kuil tempat persembunyian mereka.

Pada keesokan harinya, Pek-liong dan enam orang pembantunya keluar dari kuil untuk melakukan penyelidikan lagi karena dia belum merasa yakin apakah benar gerombolan di Hek-san itu dipimpin oleh tiga datuk dan di situ pula ditahannya Song Tek Hin dan Su Hong Ing, dan kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.

Mereka bertujuh kini menyamar dan karena Pek-liong memang ahli dalam ilmu penyamaran, enam orang pembantunya juga menyamar dengan baik sekali sehingga sukar dikenali keadaan aselinya. Pek-liong sendiri menyamar sebagai seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, rambutnya sudah putih semua dan demikian pula kumis dan jenggotnya, putih tidak teratur seperti seorang petani tua yang punggungnya agak bongkok dan berjalan memegang sebatang tongkat bambu butut.

Tak seorangpun tahu bahwa di dalam bambu itu tersembunyi Pek-liong-kiam! Dia memesan kepada enam orang pembantunya agar berhati-hati menyelidiki sekitar perkampungan gerombolan di bukit Hitam, sedangkan dia sendiri ingin mencari di mana Liong-li dan para pembantunya berada. Dari puncak bukit dimana kuil tua itu berdiri, Pek-liong lebih dahulu meneliti keadaan. Nampak bukit Hitam menjulang didepan, penuh dengan hutan lebat. Bukit itu berada di pantai sungai Kuning, yang airnya tenang dan keruh.

Liong-li selalu berhati-hati, pikirnya. Tentu ia tidak mau tinggal terlalu dekat di kaki Hek-san, akan tetapi juga tidak terlalu jauh sehingga dapat selalu mengawasi sarang gerombolan itu. Dan semalam, mereka berhasil mengambil dua jenazah yang digantung di pohon, ini berarti bahwa mereka dapat dengan leluasa mendaki Hek-san. Tentu mereka tidak jauh dari Bukit Hitam itu, pikirnya. Akan tetapi di mana? Kalau di seberang sana, tentu terlalu jauh.

Tiba-tiba pandang matanya bersinar gembira Ah, tentu saja! Perahu-perahu itu! Banyak perahu nelayan di sana, dan perahu para pedagang yang lalu lalang. Kalau Liong-li tinggal di dalam perahu, tentu tidak akan dicurigai siapapun dan ia dapat selalu dekat dengan pantai di mana Hek-san berdiri, dapat selalu mengamati bukit itu.

Tak lama kemudian, kakek yang agak bungkuk itu berhasil menyewa sebuah perahu kecil yang di dayungnya sendiri. Perahu kecil itu didayungnya mendekati perahu-perahu lain sampai akhirnya dia melihat sebuah perahu kecil yang didayung dua orang gadis yang segera dikenalnya sebagai dua di antara para pembantu Liong-li. Di perahu itu nampak pula panci-panci yang agaknya penuh masakan. Tentu kedua orang wanita itu baru saja pulang membeli makanan ke pedusunan di tepi sungai, pikir Pek-liong dan tanpa menimbulkan kecurigaan, diapun mendayung perahu mengikuti perahu kecil itu.

Hek-liong-li sungguh berhati-hati sekali, pikir Pek-liong. Untuk membeli makanan saja, yang disuruhnya adalah Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang yang paling lihai dan paling dipercaya di antara semua pembantunya. Ini tentu untuk menjamin agar tidak terjadi sesuatu ketika mereka mencari makanan. Perahu kecil yang didayung Ang-hwa dan Pek-hwa itu mendekati sebuah perahu besar cat hitam. Ang-hwa melemparkan tali yang ujungnya ada kaitannya dan kaitan itu membuat perahu kecil terikat dengan perahu besar.

Seorang wanita pembantu Liong-li lainnya menurunkan sebuah tangga kayu dan kedua orang wanita itu lalu naik ke perahu besar melalui tangga kayu, membawa panci-panci yang kelihatannya terisi makanan yang masih panas. Tentu saja kedua orang wanita itu tidak mau melompat begitu saja ke perahu besar karena hal itu tentu akan menarik perhatian orang-orang, yang berada di perahu-perahu lain. Ang-hwa dan Pek-hwa disambut para pelayan lain dengan gembira.

“Wah, sungguh beruntung sekali kita hari ini dapat makan masak daging sapi dan ayam panggang. Juga ada anggur merah yang sedap,” kata Ang-hwa.

Tentu saja rekan-rekannya merasa heran dan bertanya dari mana Ang-hwa dan Pek-hwa bisa mendapatkan masakan-masakan mewah itu. “Enci Ang-hwa, apakah ada restoran besar di tepi sungai?” tanya seorang pembantu.

Ang-hwa tertawa. “Ihh, mana ada restoran besar di tepi pantai yang hanya ada dusun? Restoran besar hanya terdapat di kota besar. Kami berdua memang sedang mujur. Ketika kami bertanya-tanya kepada penghuni dusun itu, kebetulan sekali yang kami tanyai adalah sepasang suami isteri tua, yang dahulu di waktu mudanya pernah bekerja sebagai juru masak di rumah makan besar di kota.

“Nah, mereka suka sekali menolong dan kami memberi bahan dan bumbu, membeli daging sapi dan menyembelih ayam dan merekapun memasakkan untuk kami dengan sedikit imbalan. Dan setelah kami mencicipi sedikit, ternyata masakan mereka memang lezat bukan main.”

“Wah, kalau begitu kalian telah mendahului makan?” para pelayan itu menggoda.

“Hussh, mana kami berani?” kata Pek-hwa. “Sebelum li-hiap makan, kami tidak berani mendahuluinya. Kami hanya mencicipi sedikit ketika mereka masak di dapur, lalu kami menunggu di ruangan depan rumah mereka.”

Tiba-tiba muncul Liong-li dari dalam bilik perahu besar itu. Alisnya berkerut ketika ia memandang kepada dua orang pembantunya itu dan menegur mereka, “Ang-hwa, Pek-hwa, kalian terlalu senang sehingga menjadi lengah.”

Dua orang pembantu itu saling pandang, lalu memandang kepada Liong-li. Ang-hwa bertanya, “Li-hiap, apa yang li-hiap maksudkan dengan kelengahan kami?”

“Dari atas perahu, aku melihat bahwa kalian berdua dibayangi orang, dan kalian tetap tidak tahu. Bukankah itu lengah namanya?”

“Ehh...!!” Mereka berdua segera menengok dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak melihat hal yang mencurigakan. Perahu-perahu nelayan tetap seperti tadi, juga perahu-perahu para pedagang yang hilir mudik. Seorang kakek dengan caping lebar sedang duduk di perahu kecilnya, tak jauh dari situ, dan dia mengail ikan.

“Maaf, li-hiap. Kami tidak melihat hal-hal yang mencurigakan.”

“Lihat baik-baik pengail tua itu. Di bagian air di mana dia mengail, arusnya begitu kuat, bagaimana mungkin mendapatkan ikan mengail di air yang deras itu? Itu menunjukkan bahwa dia bukan pengail atau memang sedang memancing perhatian kita,” kata Liong-li.

“Ah, li-hiap benar!” seru Pek-hwa.

“Maafkan kelengahan kami, li-hiap. Mungkin dia mata-mata musuh, maka biarlah saya membocorkan perahunya dengan anak panah,” kata Ang-hwa, marah kepada kakek pengail itu. Liong-li hanya tersenyum dan mengangguk, matanya bersinar-sinar.

Dari balik bangunan bilik perahu, agar tidak kelihatan orang lain, Ang-hwa memasang dua batang anak panah kecil yang busurnya dan sekali jepret, dua batang anak panah itu meluncur ke arah perahu kecil, mengarah badan perahu bagian bawah karena Ang-hwa ingin kedua batang anak panahnya menembus bagian itu sehingga perahu itu akan menjadi bocor...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.