Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

AKAN tetapi, keduanya adalah gadis-gadis yang terlatih dan gagah perkasa. Mereka mengamuk dan dan tidak mau menyerah begitu saja. Karena para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup dan tenaga merekapun besar, sedangkan dua orang gadis pelayan itu tidak memegang senjata, akhirnya Bunga Kuning tertendang roboh dan tertawan.

“Demikianlah, li-hiap. Saya berusaha melawan dan berusaha menolong Ui hwa, akan tetapi jumlah mereka terlalu banyak dan juga mereka itu lihai sehingga saya tidak berhasil menyelamatkan Bunga Kuning,” kata Bunga Biru dengan muka pucat dan mata sayu mengaku salah.

Liong-li mengerutkan alisnya. “Dan engkau melarikan diri?”

“Ah, bagaimana mungkin saya melarikan diri melihat rekan ditangkap, li-hiap? Dan inilah yang aneh. Mereka itu melarikan Bunga Kuning, meninggalkan saya begitu saja. Padahal kalau mereka terus mengeroyok, sudah pasti mereka akan dapat menangkap atau merobohkan saya. Mereka pergi melarikan Bunga Kuning ke dalam hutan. Karena merasa tidak mungkin dapat membebaskan rekan itu, terpaksa saya bergegas pulang untuk memberi laporan kepada li-hiap.”

Liong-li mengangguk-angguk dan ia duduk bertopang dagu, jari-jari tangannya, terutama ibu jari dan telunjuk tangan kiri, menggosok-gosok hidungnya. Itulah ciri khas dari pendekar wanita ini bahwa ia sedang berpikir keras! Kalau ia sedang menggunakan akal pikirannya, tanpa disadarinya ia membuat gerakan ini.

“Apanya yang aneh? Mereka menangkap Ui Hwa dan sengaja membebaskanmu agar engkau dapat melapor kepadaku,” katanya.

Mendengar ini, delapan orang pelayan itu mengerutkan alisnya. Bunga Biru memberanikan hatinya. “Akan tetapi, li-hiap, mengapa mereka melakukan hal itu? Apa maksud yang tersembunyi di balik penculikan itu?”

“Lan Hwa, begitu bodohkah engkau sehingga tidak dapat menduga apa maksud dari mereka?” Liong-li balas bertanya dan memandang tajam.

Bunga Biru menyadari kesalahannya dan cepat-cepat ia berkata, “Mereka menculik Bunga Kuning dan tidak membunuhnya, ini berarti bahwa mereka membutuhkan Bunga Kuning. Mereka melepas saya untuk melapor li-hiap, tentu bermaksud untuk memancing li-hiap keluar dari rumah ini dan menuju ke hutan sana. Bunga Kuning ditangkap sebagai umpan. Aih, kalau li-hiap ke sana, berarti mereka sudah memasang jebakan! Itu berbahaya sekali!”

“Bagus, pendapatmu benar, akan tetapi kurang lengkap. Kalau mereka menculik Bunga Kuning tentu berarti mereka membutuhkan ia dalam keadaan hidup. Dan ada dua kemungkinan di balik penculikan itu. Pertama, seperti yang kau duga, mereka hendak memancing aku pergi ke sana dan akan menjebakku. Kedua, dan ini lebih besar kemungkinannya, mereka hendak memaksa Li Hwa untuk membuka rahasia alat-alat rahasia di rumah ini agar mereka dapat menyerbu!”

“Maaf, li-hiap,” kata Bunga Putih. “Akan tetapi saya tidak melihat alasan untuk maksud yang kedua itu.”

“Alasannya jelas sekali. Mereka telah meledakkan arca di pekarangan, selain sebagai tantangan dan awal perang, juga mungkin untuk melihat apakah arca itu mengandung rahasia. Jelas mereka tidak berani memasuki rumah ini, dan mereka pikir kalau dapat menangkap seorang di antara kalian, mereka akan dapat memaksa yang ditangkap untuk membuka rahasia alat-alat yang berbahaya bagi mereka di sini.”

“Akan tetapi, sampai matipun kami yakin Bunga Kuning tidak akan sudi membuka rahasia itu,” kata seorang gadis berpakaian ungu.

Liong-li tersenyum. Terbayang dalam benaknya akal para penjahat untuk memaksa seseorang gadis mentaati kehendak mereka. Bermacam siksaan pernah ia alami dan ia sangsi apakah Bunga Kuning akan kuat bertahan kalau menghadapi siksaan iblis-iblis berupa manusia itu.

“Kuharap ia tidak keras kepala dan mati konyol,” katanya tenang. “Bagaimanapun juga, aku sudah siap menghadapi gerombolan penjahat itu dan pasti akan dapat kubasmi mereka!”

“Kami semua menanti perintah li-hiap dan siap membantu!” kata Bunga Biru yang masih perihatin mengenang nasib rekannya yang tertawan musuh.

“Siasat mereka itu kasar sekali dan kita balas pancingan mereka dengan pancingan pula. Aku tidak akan mencari Ui Hwa di hutan itu, akan tetapi siang ini kita pura-pura mencari di sekitar sana, tidak perlu memasuki hutan. Aku hanya ingin agar mereka melihat kita sibuk mencari Ui Hwa, seolah kita lengah dan tidak mengira mereka akan mempelajari rahasia alat-alat jebakan dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi, pada malam harinya, diam-diam kita berjaga-jaga kalau sampai mereka berani muncul dan memaksa Ui Hwa membuka rahasia, kita hantam mereka dan kita basmi mereka sampai ke akarnya!”

Delapan orang pelayan itu menyatakan kegembiraan mereka, dan sesuai dengan siasat yang diatur Liong-li, mereka delapan orang mengikuti Liong-li, pura-pura mencari Ui Hwa dengan Lan Hwa menjadi penunjuk jalan. Mereka mencari di sekitar tempat di mana Bunga Kuning ditawan tadi, akan tetapi tidak memasuki hutan. Setelah hari mulai gelap, Liong-li mengajak delapan orang pelayannya pulang dan malam itu, mereka mengatur penjagaan secara diam-diam, dan membiarkan keadaan rumah itu seperti malam-malam biasanya.

Memang tepat dugaan Liong-li. Bunga Kuning dibawa ke dalam hutan oleh belasan orang itu dan dihawa menghadap lima orang yang bukan lain adalah Thai-san Ngo-kwi! Ui Hwa atau Bunga Kuning, gadis pelayan yang mengenakan pakaian serba kuning ini, adalah seorang di antara para pelayan Liong-li yang paling cerdik. Begitu ia diringkus dan dilarikan oleh gerombolan itu, iapun mengerti bahwa gerombolan itu menculiknya dengan tujuan tertentu.

Buktinya, mereka membiarkan Bunga Biru lolos, pada hal kalau mereka kehendaki, mereka dapat pula menawan Bunga biru. Jelas bahwa penangkapan atas dirinya itu mempunyai maksud tertentu, bukan karena tertarik oleh kecantikannya. Bunga Biru lebih cantik dan lebih muda darinya. Tidak salah lagi pikirnya, ini tentu ada hubungannya dengan majikannya dan iapun teringat akan pengrusakan arca di pekarangan rumah Liong-li.

Ketika ia dihadapkan kepada lima orang pria yang kasar dan nampak bertampang seram itu, Bunga Kuning bersikap tenang walaupun kedua lengannya terikat di belakang punggung dan empat orang anak buah gerombolan menodongkan golok di tubuhnya. Ia tidak boleh bersikap lemah. Tidak percuma ia menjadi pelayan Hek-liong-li! Ia akan menghadapi maut dengan gagah.

Ketika lima orang pimpinan gerombolan itu melihat Ui Hwa yang berdiri tegak di depan mereka dalam keadaan terbelenggu, mereka saling pandang dan tersenyum lebar.

“Aha, seorang pelayan wanita yang cantik dan gagah,” kata Thai-kwi yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. “Engkau ini hanya seorang pelayan, akan tetapi lagakmu seperti seorang pendekar wanita yang kenamaan saja, ha-ha!”

Dengan sinar mata berani dan suara lantang Bunga Kuning menjawab, “Jiwa pendekar bukan hanya dimiliki para majikan, bangsawan, hartawan atau laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kuat saja! Bahkan banyak laki-laki yang kelihatannya kuat, berjiwa kerdil sebagai penjahat yang curang dan pengecut! Contohnya kalian ini yang mengeroyok dan menangkap seorang wanita!”

Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah berpengalaman, maka kata-kata yang mengandung hinaan ini tidak dapat membuat mereka marah. Mereka hanya menyeringai saja dan tahu bahwa gadis berpakaian kuning itu hanya menjaga “gengsi” sebagai pelayan seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Hek-liong-li.

“Hebat, gadis yang manis. Engkau memang gagah berani dan cantik pula. Sayang hanya seorang pelayan! Tentu engkau cerdik pula dan tahu mengapa kami menawanmu, bukan?”

Gadis itu tahu bahwa ia berhadapan dengan penjahat-penjahat besar, maka tidak ada gunanya berpura-pura. Bahkan ia harus bersikap terbuka agar ia dapat menjenguk isi hati mereka dan mengetahui rahasia mereka agar ada manfaatnya apabila ia dapat lagi bertemu dengan nona majikannya sebagai bahan laporan.

“Selama hidupku, aku belum pernah bertemu dengan kalian, dan tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian. Oleh karena itu, kalian menawanku tentu bukan karena aku, melainkan karena nona majikanku, Hek-liong-lihiap!”

“Heh-heh-heh, boleh juga nona ini!” kata Ji-kwi yang berperut gendut.

“Kalau tidak cerdik, mana bisa menjadi pelayan Hek-liong-li?” kata Thai-kwi, sengaja memuji karena dia ingin gadis itu bersikap terbuka karena bangga sehingga keterangan gadis itu akan menguntungkan mereka. “Hei, nona yang manis dan cerdik, bagaimana engkau bisa menduga bahwa kami menangkapmu karena Hek-liong-li?”

“Hem, orang bodoh sekalipun akan dapat menduganya. Pertama, nona majikanku terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selalu menentang para penjahat seperti kalian. Kedua, kalian tentu yang menghancurkan arca wanita dengan angsa di pekarangan rumah nona majikanku. Kalian tak berani menyerbu ke dalam rumah, maka kini kalian menangkap aku. Begitu, bukan?”

“Bukan main!” Thai-kwi memuji lagi. “Hebat memang dan kami kagum sekali, nona. Akan tetapi engkau tentu tidak tahu untuk apa engkau kami tangkap.”

“Huh, apa sukarnya menduga cara kerja kalian? Tentu kalian menawan aku untuk memancing nona majikanku ke sini agar kalian dapat mengepung dan mengeroyoknya, atau memasang jebakan secara curang. Jangan kalian mimpi! Nona majikanku tidaklah begitu bodoh untuk masuk ke dalam perangkap yang kalian pasang. Apa artinya seorang pelayan seperti aku? Tidak cukup berharga bagi majikanku untuk membahayakan dirinya. Perangkap kalian takkan berhasil!”

Lima orang pemimpin gerombolan itu saling pandang dan sekali ini benar-benar mereka kelihatan kecewa dan terkejut. Apa yang dikatakan Ui-wa memang tepat sekali! Sam-kwi yang tinggi kurus adalah orang paling cerdik di antara lima kepala gerombolan itu.

“Nona, kalau majikanmu merasa diri terlalu tinggi dan engkau dianggap hanya sebagai pelayan yang rendah saja dan yang tidak pantas dibela dengan taruhan nyawa, kenapa engkau kini hendak membela majikanmu mati-matian? Alangkah bodohnya bagi seorang gadis cantik dan cerdik sepertimu ini!”

Bunga Kuning memutar otaknya. Mereka ini menghendaki sesuatu, pikirnya. Ia harus bersikap cerdik dan sebaiknya kalau ia memberi sedikit, mengalah dan berlagak seolah ia condong menerima “nasihat” itu. “Lalu, apa kehendakmu?” tanyanya memancing.

Sam-kwi tersenyum dan memberi kedipan mata kepada saudara-saudaranya. “Nona yang baik, siapakah namamu?”

“Aku disebut Ui Hwa.”

“Hem, Bunga Kuning? Begini maksud kami. Engkau sudah menjadi tawanan kami karena Hek-liong-li. Memang tadinya kami hendak memancing datang ke sini mencarimu. Akan tetapi setelah, mendengar ucapanmu tadi, kami mengerti bahwa siasat kami itu tidak ada gunanya. Ketahuilah bahwa kami menaruh dendam yang mendalam terhadap Hek-liong-li. Ia telah membunuh guru kami dan kini kami harus membalas dendam. Kalau engkau dapat membantu kami, maka kami tentu tidak akan membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau berkeras hendak membela majikanmu dengan taruhan nyawa, hemm... ini bukan saja akan membunuhmu, bahkan kami akan menyiksamu dengan menyerahkan engkau kepada anak buah kami. Ingat, ada puluhan orang anak buah kami dan mereka itu semua sudah berbulan-bulan tidak berdekatan dengan wanita! Kami akan menyerahkan engkau kepada mereka sampai engkau mati!”

Jelas ini bukan ancaman kosong belaka. Orang-orang seperti iblis itu tentu dapat melakukan kekejian yang bagaimanapun juga! Ui Hwa tidak takut mati, sebagai pelayan Hek-liong-li ia tahu bahwa setiap saat nyawanya terancam maut. Akan tetapi tidak pernah ia membayangkan siksaan seperti itu dan iapun tidak mau menyembunyikan kengeriannya. Wajahnya menjadi pucat, tarikan mukanya menunjukkan ketakutan yang amat sangat, dan kedua pundaknya menggigil karena ngeri.

“Tidak... jangan... jangan lakukan itu...” ia berbisik seperti meratap. Mudah saja ia melakukan ini, tidak perlu bersandiwara karena memang saat itu ia merasa takut dan, ngeri.

“Tentu saja kami tidak akan melakukan hal itu kepadamu kalau engkau suka membantu kami agar kami berhasil membalas dendam kepada Hek-liong-li,” kata Thai-kwi dengan nada mengancam, girang melihat hasil gertakan sutenya.

“Tapi kalian mimpi yang bukan-bukan! Bagaimana aku akan dapat membantu kalian mengalahkan nona majikanku? Kepandaiannya amat tinggi dan biar ada dua puluh orang macam aku ini, tidak akan mampu menandinginya.”

“Urusan menyerang dan membunuhnya adalah urusan kami. Engkau hanya membantu kami agar kami dapat menyelundup masuk ke dalam rumah Hek-liong-li dengan aman, melalui jebakan-jebakan rahasia yang tentu kau kenal baik. Nah, engkau menjadi penunjuk jalan masuk ke dalam rumah sampai ke kamar Hek-Liong-li dan kami akan mengampuni nyawamu. Bagaimana?”

Bunga Kuning mengerutkan alisnya, berpikir-pikir dan mempertimbangkan tawaran itu, ia nampak ragu dan sangsi, “Tapi... tapi... kalau li-hiap mengetahui hal itu, mengenal aku yang berkhianat, tentu ia tidak akan mau mengampuni aku! Kalian membebaskan aku, akan tetapi li-hiap lalu menghukumku, apa bedanya?”

“Ha-ha, jangan khawatir, nona. Engkau akan kami beri pakaian lain, bukan serba kuning, dan wajahmu kami beri penyamaran agar kelihatan hitam dan sukar dikenal orang,” kata Thai-kwi.

“Nanti dulu, toa-suheng,” kata Sam-kwi yang cerdik. “Kurasa cara itu kurang baik. Lebih baik nona ini membuatkan peta dari rumah Liong-li, menggambarkan keadaan semua tempat yang mengandung rahasia alat jebakan itu, iapun tidak perlu ikut masuk. Kalau gambarannya benar dan kita berhasil, ia kita bebaskan dengan hadiah. Kalau gambarannya palsu dan kita terjebak, kita masih belum terlambat untuk menyerahkan ia kepada anak buah kita yang kelaparan!”

“Jangan...!” Ui Hwa meratap ketakutan. “Kalau kubuatkan peta, kalian tentu akan tetap terjebak. Lika-liku rahasia jebakan di sana amat sulit dan selalu berubah. Hanya dengan melihat keadaannya, aku dapat melihat perubahan itu dan bertindak sesuai dengan perubahannya. Kalau hanya menurut peta, kalian pasti akan gagal dan terjebak. Kenapa kalian masih ragu dan tidak percaya kepadaku? Kalian takut kalau aku menipu kalian, bukan? Nah, kita pergi bersama, kalau aku menipu, setiap saat kalian dapat menangkap atau membunuhku!”

Lima orang itu saling pandang. “Baiklah, malam ini kita bergerak. Sementara ini engkau boleh beristirahat, Bunga Kuning,” kata Thai-kwi.

Gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah kamar, kaki tangannya dipasangi rantai panjang sehingga biarpun ia mampu bergerak, namun sulit untuk melarikan diri. Ia disuguhi makan minum dan bunga Kuning mempergunakan kesempatan ini untuk memperkuat dirinya. Ia makan dan minum, lalu merebahkan diri dan memulihkan tenaganya.

Sementara itu, Thai-san Ngo-kwi dan para anak buahnya melakukan pengintaian ketika melihat Hek-liong-li dan delapan orang gadis pelayannya melakukan pencarian di sekitar tempat diculiknya Bunga Kuning tadi. Melihat betapa mereka tidak berani memasuki hutan, di mana sudah dipasang barisan pendam dan jebakan, Thai-san Ngo-kwi mengintai sambil berunding.

“Mereka semua meninggalkan rumah, hal itu berarti bahwa mereka terlalu percaya kepada rahasia di rumah mereka. Mereka tentu lengah kalau berada di rumah itu dan sekali orang kita dapat menyelinap masuk, tentu tidak sukar untuk membunuhnya,” kata Thai-kwi girang.

Setelah cuaca mulai gelap dan rombongan Hek-liong-li yang tidak berhasil menemukan Bunga Kuning yang diculik orang itu pergi, Thai-san Ngo-kwi membuat persiapan. Mereka memberikan pakaian serba hitam yang menutupi pakaian kuning Ui Hwa, juga mereka menggunakan arang untuk menghitamkan muka gadis itu sehingga akan sukarlah mengenal gadis itu, apa lagi di waktu malam.

Semua peristiwa yang terjadi pada Liong-li merupakan hasil atau langkah-langkah pertama dari pertemuan antara tiga orang tiga tokoh Kiu Lo-mo di Bukit Hitam bersama Thai-san Ngo-kwi dalam usaha mereka membalas dendam kepada Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Mereka akan menggunakan segala macam cara untuk melampiaskan dendam mereka, yaitu membunuh sepasang pendekar itu.

Dan Thai-san Ngo-kwi bertugas untuk mengadakan gangguan terhadap Hek-liong-li, serangan-serangan kecil sebelum serangan besar yang mematikan tiba. Penghancuran arca, penangkap atas diri Bunga Kuning, semua itu hanya merupakan percobaan kecil-kecilan saja. Tiga orang datuk besar dari Kiu Lo-mo itu amat cerdik.

Mereka yang berdiri di belakang layar mengatur kesemuanya, dan mereka tidak tergesa-gesa. Bahkan ketika mereka dilapori tentang ditangkapnya Bunga Kuning, mereka yang mengatur siasat dan pada malam hari itupun, mereka tidak membolehkan Thai-san Ngo-kwi sendiri yang maju mengantar Bunga Kuning menyelundup ke dalam rumah Hek-liong-li.

“Kita tidak boleh memandang rendah Hek-liong-li dan sembilan orang pelayannya. Jangan sampai untuk hasil yang kecil kita mempertaruhkan nyawa Thai-san Ngo-kwi,”

Demikian kata Kim Pit Siu-cai kepada suheng dan sumoinya. Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan mereka merupakan pembantu-pembantu utama yang penting bagi mereka.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Malam itu gelap sekali. Langit tak berbintang, tertutup awan awan gelap. Karena cuaca yang buruk, maka belum juga tengah malam, kota Lok-yang sudah sepi sekali. Sore-sore sudah banyak yang memasuki kamar tidur atau setidaknya berada di dalam rumah. Mereka yang suka bermalam panjang, lebih senang berada di rumah kawan-kawan atau di rumah pelesir atau rumah judi yang hangat. Bahkan para peronda penjaga keamanan pun nampak malas untuk berkeliaran di malam gelap dan dingin itu.

Keadaan yang sunyi ini menguntungkan dua orang berpakaian serba hitam yang menggandeng seorang lain yang juga berpakaian serba hitam. Orang yang digandeng ini adalah Bunga Kuning yang mukanya sudah dihitamkan dengan arang dan pakaiannya yang serba kuning kini tertutup pakaian hitam.

Kedua lengan gadis ini setengah lumpuh karena sebelum berangkat, Thai-kwi telah menotok kedua pundaknya. Kedua kakinya masih dapat bergerak lincah, akan tetapi karena kedua pergelangan kaki itu dibelenggu dengan rantai, tentu saja ia tidak akan mampu berlari cepat. Dan dua orang yang mengawalnya itu adalah dua orang anak buah Thai-san Ngo-kwi yang paling lihai. Mereka sudah siap dengan pedang di tangan sehingga sewaktu-waktu, apabila Bunga Kuning membuat gerakan mencurigakan, mereka akan dapat membunuhnya!

Pagar tembok dua meter yang atasnya dipasangi tombak merah itu bukan penghalang bagi dua orang penjahat itu. Dengan ringan mereka meloncat bersama Bunga Kuning yang juga meloncat ke atas tembok, melewati tombak merah dan tak lama kemudian mereka sudah berindap-indap dan menyusup-nyusup di antara pohon-pohon bunga di sebelah kiri bangunan tempat tinggal Hek-liong-li.

Gelap di situ dan lampu-lampu gantung yang dipasang di sekitar rumah itu nampak berkelap-kelip, ditelan kegelapan yang pekat. Ketika tiba di belakang bangunan itu, di luar sebuah pintu besi yang tertutup rapat, Bunga Kuning memberi isyarat dengan matanya ke arah sebuah batu besar yang berdiri di balik semak rumpun bunga dan berbisik.

“Putar batu itu ke kiri dua kali.”

Seorang di antara dua pengawalnya, yang bertubuh tinggi besar, segera menghampiri batu besar itu dan menggunakan kedua tangan untuk memutar batu besar itu dua kali. Tanpa mengeluarkan suara, pintu besi itupun terbuka! Orang kedua yang bertubuh tinggi kurus tetap memegangi lengan Bunga Kuning dan sebelah tangannya memegang pedang, sikapnya waspada. Mereka bertiga masuk dan Bunga Kuning menunjuk ke arah tombol besi yang berada di balik pintu.

“Dorong tombol itu untuk menutup pintu dan tarik kalau hendak membukanya,” bisiknya.

Kembali si tinggi besar mencoba tombol itu dan benar saja. Pintu itu mudah dibuka dan ditutup dari dalam menggunakan tombol itu. Bunga Kuning membawa dua orang itu masuk semakin dalam, melalui bermacam-macam alat rahasia yang rumit-rumit. Dua orang itu diam-diam merasa gembira, karena agaknya tawanan itu tidak menipu mereka. Mereka bukan saja bertugas untuk membunuh Hek-liong-li kalau terbuka kesempatan. Andaikata tidak, mereka sudah mengetahui akan rahasia jebakan yang dipasang di rumah itu, yang semula amat ditakuti oleh Thai-san Ngo-kwi.

Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sejak mereka memasuki pagar tembok, semua gerakan mereka telah diikuti oleh Hek-liong-li dan delapan orang pelayannya! Bagaimana mungkin begitu? Kiranya ketika berada di luar pagar tembok tadi, tanpa diketahui dua orang penawannya, Bunga Kuning secara sengaja menginjak sebuah batu tersembunyi yang sengaja dipasang di situ. Kalau batu itu terinjak, maka di dalam akan ada tanda bahwa di luar pagar tembok ada orang yang mendekat. Dan sejak itu, Liong-li sudah melakukan pengintaian!

Untung saja Bunga Kuning memberi tanda itu. Andaikata tidak, dalam kegelapan itu, mungkin saja ia sendiri akan menjadi korban penyergapan Hek-liong-li dan para pelayannya. Karena ia menginjak tanda itu, maka Hek-liong-li menjadi waspada.

Ketika ia mengintai, ia melihat orang ketiga yang ditawan itu, dengan rantai di kedua kaki. Biarpun muka itu sudah dihitamkan dengan arang, dan pakaian kuning tertutup baju hitam, Liong-li segera dapat mengenalnya sebagai si Bunga Kuning. Diam-diam Liong-li merasa gembira juga kagum terhadap anak buahnya itu, yang biarpun berada dalam keadaan gawat dan terancam maut, masih dapat bersikap tenang dan cerdik sesuai dengan gemblengan yang ia berikan kepada semua anak buahnya.

Bunga Kuning maklum sepenuhnya bahwa injakan batu tanda bahaya tadi tentu telah membuat semua rekan dan juga majikannya waspada. Maka, iapun tidak membuat usaha untuk menyerang kedua orang pengawalnya. Tidak perlu ia membahayakan dan mempertaruhkan nyawanya, karena sekali nonanya keluar turun tangan, dua orang kasar ini tentu akan mudah dibuat tidak berdaya tanpa ia mempertaruhkan nyawanya seperti kalau ia sendiri yang memberontak dan menyerang.

Sepasang mata Hek-liong-li yang tajam dan mencorong, menembus kegelapan ketika ia mengintai keadaan Bunga Kuning dan dua orang penawannya. Ia menanti saat yang tepat untuk turun tangan tanpa membahayakan keselamatan anak buahnya itu. Ia amat menyayang para anak buahnya, bukan saja menganggap mereka itu pembantu setia, akan tetapi juga kawan-kawan yang akrab dan murid-murid yang taat.

Bunga Kuning yang masih digandeng si tinggi kurus juga dapat menduga bahwa tentu nonanya sedang membuat persiapan dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Ia melihat betapa si tinggi kurus selalu menggandeng lengan kirinya yang setengah lumpuh, dan pedangnya selalu ditodongkan di lehernya. Adapun si tinggi besar selalu melangkah di belakangnya, dengan pedang menodong punggungnya pula.

Iapun sengaja membawa dua orang penawannya itu ke tempat-tempat terbuka dengan maksud memberi kesempatan kepada Liong-li untuk turun tangan. Setiap kali tiba di tempat terbuka, ia sengaja berhenti. Pada saat yang baik, Bunga Kuning berhenti di bawah sebatang pohon. Ia sengaja mengajak mereka keluar dari ruangan belakang ketika mereka membisikkan bahwa mereka ingin agar Bunga Kuning menunjukkan tempat tidur Hek-liong-li?

“Nona kami selalu tidur di bangunan kecil yang berada di taman, tidak pernah tidur di dalam gedung induk,” bisik Bunga Kuning, “kalau ingin melihatnya, kita harus menyeberangi taman itu.”

Demikianlah, ketika tiba di bawah sebatang pohon dan banyak semak berbunga di sekitar situ, Bunga Kuning sengaja berhenti. Lampu yang tergantung di pohon, sebuah lampu taman yang indah dan cukup terang, membuat mereka bertiga menjadi sasaran yang jelas. Iapun mengatur jarak sehingga si tinggi besar yang berada di belakang itupun berada agak di kanan sehingga kalau ia harus menyingkir, ia dapat meloncat ke sebelah kiri yang paling jauh dari jangkauan kedua orang pengawalnya.

Dan perhitungan Bunga Kuning ini memang sesuai dengan perhitungan Hek-liong-li. Melihat betapa kembali anak buahnya itu berhenti, kini di bawah pohon yang ada lampu penerangannya, ia yang mengintai dari balik semak di sebelah depan agak ke kanan, segera turun tangan. Akan tetapi Liong-li bukanlah seorang yang berwatak curang. Tidak sudi ia kalau harus bertindak curang melukai lawan secara sembunyi, apa lagi membunuhnya. Ia hanya ingin menggunakan serangan gelap untuk memberi kesempatan kepada Bunga Kuning menghindarkan diri dari penodongan pedang.

“Wuut...! Wuuuutt...!” Dua butir kerikil menyambar dengan cepatnya ke arah dua orang yang menodong Bunga Kuning dengan pedang itu.

Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Bunga Kuning. Begitu mendengar kedua orang itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan iapun cepat melempar tubuhnya dengan tangan masih setengah lumpuh dan kedua kaki dipasangi rantai itu ke arah kiri, dan bergulingan atas tanah.

Kawan-kawannya cepat menolongnya, membuka rantai dari kakinya dan memulihkan kedua lengannya yang tertotok. Adapun dua orang pengawal yang tadinya terkejut setengah mati karena tiba-tiba saja lengan mereka dekat siku terasa nyeri dan lumpuh sehingga pedang mereka terlepas, kini cepat menyambar pula pedang mereka karena kelumpuhan itu hanya beberapa detik saja dan pulih kembali.

Akan tetapi mereka telah terlambat karena mereka telah dikepung oleh sembilan orang wajah cantik yang berpakaian berwarna-warni termasuk Bunga Kuning yang tadi mereka tawan dan kini sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan, dan di depan mereka berdiri seorang wanita yang amat cantik, tidak bersenjata, berpakaian ringkas yang membuat bentuk tubuhnya nampak jelas, pakaian dari sutera tipis halus berwarna hitam, namun indah karena ada hiasan hitam kelabu di tepi baju dan ada sulaman naga hitam di dalam lingkaran abu-abu.

“Hek-liong-li...!” Dua orang itu menggerakkan bibir menyebut nama ini, akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Mereka itu terpesona, kagum, kaget, dan juga takut setengah mati. Kalau saja mereka tidak menahan diri sekuat tenaga, tentu celana mereka sudah menjadi basah saking takut dan ngerinya menghadapi pendekar wanita yang tiba-tiba saja muncul ini.

Di antara sembilan orang nona pelayan atau juga pembantu dan murid Hek-liong-li ada yang menyalakan lampu lain sehingga tempat itu menjadi terang sekali. Dua orang laki-laki yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu kini menghadapi Liong-li dengan muka pucat dan kaki gemetar. Sepasang mata wanita cantik itu seperti mata naga, mencorong dan menembus seperti menusuk jantung mereka.

“Hemm, kiranya kalian dua ekor anjing busuk yang telah merusak arcaku dan mencoba pula untuk meracuni aku di rumah makan!”

Ucapan wanita cantik itu terdengar merdu dan halus, namun mengandung hawa dingin yang menusuk tulang, mengandung ancaman yang membuat kedua orang itu menggigil.

“Bukan... bukan kami yang melakukan itu...!” Kini si tinggi besar berkata dengan muka pucat sekali.

“Li-hiap, yang berdiri di belakang semua itu adalah Thai-san Ngo-kwi yang berdiam di puncak Bukit Hitam. Dua orang ini adalah anak buah mereka.” Bunga Kuning melapor. “Dan dua ekor anjing ini harap li-hiap serahkan saja kepada saya, li-hiap!”

“Dan kepada saya!” kata pula Bunga Biru. “Kami berdua yang pernah mereka serang dengan curang dan kini tiba saatnya kami berdua melakukan pembalasan.”

Liong-li tersenyum dan mengangguk. “Mereka berdua telah mengetahui rahasia tempat kita, walaupun hanya sebagian saja. Mereka memang layak mampus agar tidak dapat membuka rahasia.”

Bunga Kuning dan Bunga Biru, dengan pedang di tangan, menghampiri dua orang laki-laki yang berwajah pucat ketakutan itu.

“Nah, tikus-tikus busuk, kini kita dua lawan dua. Hayo perlihatkan kegaranganmu sekarang!” teriak Bunga Kuning yang segera menerjang dengan pedangnya, menyerang si tinggi kurus yang tadi selalu mencengkeram lengan dan menodongnya.

Adapun si Bunga Biru sudah maju pula menyerang laki-laki tinggi besar. Tidak ada pilihan lain bagi dua orang anak buah Thai-san Ngo-kwi kecuali melawan mati-matian untuk membela diri. Namun, bukan saja mereka memang kalah tingkat dibandingkan dua orang pelayan yang juga murid-murid Liong-li itu, akan tetapi di samping itu merekapun sudah ketakutan setengah mati dan rasa takut ini mengurangi tenaga dan kecepatan mereka. Adu silat pedang itu berlangsung hanya dua puluh jurus lebih dan akhirnya dua orang laki-laki itupun roboh tersungkur dengan dada ditembusi pedang dan mereka tewas seketika.

“Bungkus dengan kain kasar mayat mereka, masukkan dalam kereta pengangkut barang dan siapkan di depan. Tiga orang ikut bersamaku, dan yang lain menjaga rumah baik-baik. Aku sendiri yang akan mengirimkan hadiah ini kepada Thai-san Ngo-kwi di Bukit Hitam!” kata Hek-liong-li.

Tak lama kemudian, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda besar mendaki Bukit Hitam. Pintu dan tirai kereta itu tertutup dan yang nampak hanyalah seorang gadis berpakaian merah memegang kendali kuda. Dua buah lentera kereta itu menerangi jalan karena biarpun malam sudah amat larut mendekati fajar, namun cuaca masih amat gelapnya.

Dari jauh hanya nampak dua buah nyala api dari dua lentera itu bergerak-gerak menakutkan. Tentu akan disangka semacam setan kalau orang melihat dari jauh. Dua orang pelayan Liong-li yang lain, yang berbaju kuning dan biru, berada di dalam kereta. Dua orang anak buah ini dipilih karena mereka pernah dibawa ke puncak bukit itu dan mengenal jalan. Tidak ada pelayan lain kecuali yang tiga orang itu. Bahkan Hek-liong-li sendiri tidak nampak di kereta!

Sebelum tiba di puncak, menjelang fajar, cuaca tidak begitu gelap lagi walau masih remang-remang karena sinar matahari baru menjenguk sedikit di balik puncak. Namun burung-burung jenis yang rajin, sudah bangun dan membuat persiapan bekerja sambil berteriak saling memanggil...

Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 04

AKAN tetapi, keduanya adalah gadis-gadis yang terlatih dan gagah perkasa. Mereka mengamuk dan dan tidak mau menyerah begitu saja. Karena para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup dan tenaga merekapun besar, sedangkan dua orang gadis pelayan itu tidak memegang senjata, akhirnya Bunga Kuning tertendang roboh dan tertawan.

“Demikianlah, li-hiap. Saya berusaha melawan dan berusaha menolong Ui hwa, akan tetapi jumlah mereka terlalu banyak dan juga mereka itu lihai sehingga saya tidak berhasil menyelamatkan Bunga Kuning,” kata Bunga Biru dengan muka pucat dan mata sayu mengaku salah.

Liong-li mengerutkan alisnya. “Dan engkau melarikan diri?”

“Ah, bagaimana mungkin saya melarikan diri melihat rekan ditangkap, li-hiap? Dan inilah yang aneh. Mereka itu melarikan Bunga Kuning, meninggalkan saya begitu saja. Padahal kalau mereka terus mengeroyok, sudah pasti mereka akan dapat menangkap atau merobohkan saya. Mereka pergi melarikan Bunga Kuning ke dalam hutan. Karena merasa tidak mungkin dapat membebaskan rekan itu, terpaksa saya bergegas pulang untuk memberi laporan kepada li-hiap.”

Liong-li mengangguk-angguk dan ia duduk bertopang dagu, jari-jari tangannya, terutama ibu jari dan telunjuk tangan kiri, menggosok-gosok hidungnya. Itulah ciri khas dari pendekar wanita ini bahwa ia sedang berpikir keras! Kalau ia sedang menggunakan akal pikirannya, tanpa disadarinya ia membuat gerakan ini.

“Apanya yang aneh? Mereka menangkap Ui Hwa dan sengaja membebaskanmu agar engkau dapat melapor kepadaku,” katanya.

Mendengar ini, delapan orang pelayan itu mengerutkan alisnya. Bunga Biru memberanikan hatinya. “Akan tetapi, li-hiap, mengapa mereka melakukan hal itu? Apa maksud yang tersembunyi di balik penculikan itu?”

“Lan Hwa, begitu bodohkah engkau sehingga tidak dapat menduga apa maksud dari mereka?” Liong-li balas bertanya dan memandang tajam.

Bunga Biru menyadari kesalahannya dan cepat-cepat ia berkata, “Mereka menculik Bunga Kuning dan tidak membunuhnya, ini berarti bahwa mereka membutuhkan Bunga Kuning. Mereka melepas saya untuk melapor li-hiap, tentu bermaksud untuk memancing li-hiap keluar dari rumah ini dan menuju ke hutan sana. Bunga Kuning ditangkap sebagai umpan. Aih, kalau li-hiap ke sana, berarti mereka sudah memasang jebakan! Itu berbahaya sekali!”

“Bagus, pendapatmu benar, akan tetapi kurang lengkap. Kalau mereka menculik Bunga Kuning tentu berarti mereka membutuhkan ia dalam keadaan hidup. Dan ada dua kemungkinan di balik penculikan itu. Pertama, seperti yang kau duga, mereka hendak memancing aku pergi ke sana dan akan menjebakku. Kedua, dan ini lebih besar kemungkinannya, mereka hendak memaksa Li Hwa untuk membuka rahasia alat-alat rahasia di rumah ini agar mereka dapat menyerbu!”

“Maaf, li-hiap,” kata Bunga Putih. “Akan tetapi saya tidak melihat alasan untuk maksud yang kedua itu.”

“Alasannya jelas sekali. Mereka telah meledakkan arca di pekarangan, selain sebagai tantangan dan awal perang, juga mungkin untuk melihat apakah arca itu mengandung rahasia. Jelas mereka tidak berani memasuki rumah ini, dan mereka pikir kalau dapat menangkap seorang di antara kalian, mereka akan dapat memaksa yang ditangkap untuk membuka rahasia alat-alat yang berbahaya bagi mereka di sini.”

“Akan tetapi, sampai matipun kami yakin Bunga Kuning tidak akan sudi membuka rahasia itu,” kata seorang gadis berpakaian ungu.

Liong-li tersenyum. Terbayang dalam benaknya akal para penjahat untuk memaksa seseorang gadis mentaati kehendak mereka. Bermacam siksaan pernah ia alami dan ia sangsi apakah Bunga Kuning akan kuat bertahan kalau menghadapi siksaan iblis-iblis berupa manusia itu.

“Kuharap ia tidak keras kepala dan mati konyol,” katanya tenang. “Bagaimanapun juga, aku sudah siap menghadapi gerombolan penjahat itu dan pasti akan dapat kubasmi mereka!”

“Kami semua menanti perintah li-hiap dan siap membantu!” kata Bunga Biru yang masih perihatin mengenang nasib rekannya yang tertawan musuh.

“Siasat mereka itu kasar sekali dan kita balas pancingan mereka dengan pancingan pula. Aku tidak akan mencari Ui Hwa di hutan itu, akan tetapi siang ini kita pura-pura mencari di sekitar sana, tidak perlu memasuki hutan. Aku hanya ingin agar mereka melihat kita sibuk mencari Ui Hwa, seolah kita lengah dan tidak mengira mereka akan mempelajari rahasia alat-alat jebakan dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi, pada malam harinya, diam-diam kita berjaga-jaga kalau sampai mereka berani muncul dan memaksa Ui Hwa membuka rahasia, kita hantam mereka dan kita basmi mereka sampai ke akarnya!”

Delapan orang pelayan itu menyatakan kegembiraan mereka, dan sesuai dengan siasat yang diatur Liong-li, mereka delapan orang mengikuti Liong-li, pura-pura mencari Ui Hwa dengan Lan Hwa menjadi penunjuk jalan. Mereka mencari di sekitar tempat di mana Bunga Kuning ditawan tadi, akan tetapi tidak memasuki hutan. Setelah hari mulai gelap, Liong-li mengajak delapan orang pelayannya pulang dan malam itu, mereka mengatur penjagaan secara diam-diam, dan membiarkan keadaan rumah itu seperti malam-malam biasanya.

Memang tepat dugaan Liong-li. Bunga Kuning dibawa ke dalam hutan oleh belasan orang itu dan dihawa menghadap lima orang yang bukan lain adalah Thai-san Ngo-kwi! Ui Hwa atau Bunga Kuning, gadis pelayan yang mengenakan pakaian serba kuning ini, adalah seorang di antara para pelayan Liong-li yang paling cerdik. Begitu ia diringkus dan dilarikan oleh gerombolan itu, iapun mengerti bahwa gerombolan itu menculiknya dengan tujuan tertentu.

Buktinya, mereka membiarkan Bunga Biru lolos, pada hal kalau mereka kehendaki, mereka dapat pula menawan Bunga biru. Jelas bahwa penangkapan atas dirinya itu mempunyai maksud tertentu, bukan karena tertarik oleh kecantikannya. Bunga Biru lebih cantik dan lebih muda darinya. Tidak salah lagi pikirnya, ini tentu ada hubungannya dengan majikannya dan iapun teringat akan pengrusakan arca di pekarangan rumah Liong-li.

Ketika ia dihadapkan kepada lima orang pria yang kasar dan nampak bertampang seram itu, Bunga Kuning bersikap tenang walaupun kedua lengannya terikat di belakang punggung dan empat orang anak buah gerombolan menodongkan golok di tubuhnya. Ia tidak boleh bersikap lemah. Tidak percuma ia menjadi pelayan Hek-liong-li! Ia akan menghadapi maut dengan gagah.

Ketika lima orang pimpinan gerombolan itu melihat Ui Hwa yang berdiri tegak di depan mereka dalam keadaan terbelenggu, mereka saling pandang dan tersenyum lebar.

“Aha, seorang pelayan wanita yang cantik dan gagah,” kata Thai-kwi yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. “Engkau ini hanya seorang pelayan, akan tetapi lagakmu seperti seorang pendekar wanita yang kenamaan saja, ha-ha!”

Dengan sinar mata berani dan suara lantang Bunga Kuning menjawab, “Jiwa pendekar bukan hanya dimiliki para majikan, bangsawan, hartawan atau laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kuat saja! Bahkan banyak laki-laki yang kelihatannya kuat, berjiwa kerdil sebagai penjahat yang curang dan pengecut! Contohnya kalian ini yang mengeroyok dan menangkap seorang wanita!”

Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah berpengalaman, maka kata-kata yang mengandung hinaan ini tidak dapat membuat mereka marah. Mereka hanya menyeringai saja dan tahu bahwa gadis berpakaian kuning itu hanya menjaga “gengsi” sebagai pelayan seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Hek-liong-li.

“Hebat, gadis yang manis. Engkau memang gagah berani dan cantik pula. Sayang hanya seorang pelayan! Tentu engkau cerdik pula dan tahu mengapa kami menawanmu, bukan?”

Gadis itu tahu bahwa ia berhadapan dengan penjahat-penjahat besar, maka tidak ada gunanya berpura-pura. Bahkan ia harus bersikap terbuka agar ia dapat menjenguk isi hati mereka dan mengetahui rahasia mereka agar ada manfaatnya apabila ia dapat lagi bertemu dengan nona majikannya sebagai bahan laporan.

“Selama hidupku, aku belum pernah bertemu dengan kalian, dan tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian. Oleh karena itu, kalian menawanku tentu bukan karena aku, melainkan karena nona majikanku, Hek-liong-lihiap!”

“Heh-heh-heh, boleh juga nona ini!” kata Ji-kwi yang berperut gendut.

“Kalau tidak cerdik, mana bisa menjadi pelayan Hek-liong-li?” kata Thai-kwi, sengaja memuji karena dia ingin gadis itu bersikap terbuka karena bangga sehingga keterangan gadis itu akan menguntungkan mereka. “Hei, nona yang manis dan cerdik, bagaimana engkau bisa menduga bahwa kami menangkapmu karena Hek-liong-li?”

“Hem, orang bodoh sekalipun akan dapat menduganya. Pertama, nona majikanku terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selalu menentang para penjahat seperti kalian. Kedua, kalian tentu yang menghancurkan arca wanita dengan angsa di pekarangan rumah nona majikanku. Kalian tak berani menyerbu ke dalam rumah, maka kini kalian menangkap aku. Begitu, bukan?”

“Bukan main!” Thai-kwi memuji lagi. “Hebat memang dan kami kagum sekali, nona. Akan tetapi engkau tentu tidak tahu untuk apa engkau kami tangkap.”

“Huh, apa sukarnya menduga cara kerja kalian? Tentu kalian menawan aku untuk memancing nona majikanku ke sini agar kalian dapat mengepung dan mengeroyoknya, atau memasang jebakan secara curang. Jangan kalian mimpi! Nona majikanku tidaklah begitu bodoh untuk masuk ke dalam perangkap yang kalian pasang. Apa artinya seorang pelayan seperti aku? Tidak cukup berharga bagi majikanku untuk membahayakan dirinya. Perangkap kalian takkan berhasil!”

Lima orang pemimpin gerombolan itu saling pandang dan sekali ini benar-benar mereka kelihatan kecewa dan terkejut. Apa yang dikatakan Ui-wa memang tepat sekali! Sam-kwi yang tinggi kurus adalah orang paling cerdik di antara lima kepala gerombolan itu.

“Nona, kalau majikanmu merasa diri terlalu tinggi dan engkau dianggap hanya sebagai pelayan yang rendah saja dan yang tidak pantas dibela dengan taruhan nyawa, kenapa engkau kini hendak membela majikanmu mati-matian? Alangkah bodohnya bagi seorang gadis cantik dan cerdik sepertimu ini!”

Bunga Kuning memutar otaknya. Mereka ini menghendaki sesuatu, pikirnya. Ia harus bersikap cerdik dan sebaiknya kalau ia memberi sedikit, mengalah dan berlagak seolah ia condong menerima “nasihat” itu. “Lalu, apa kehendakmu?” tanyanya memancing.

Sam-kwi tersenyum dan memberi kedipan mata kepada saudara-saudaranya. “Nona yang baik, siapakah namamu?”

“Aku disebut Ui Hwa.”

“Hem, Bunga Kuning? Begini maksud kami. Engkau sudah menjadi tawanan kami karena Hek-liong-li. Memang tadinya kami hendak memancing datang ke sini mencarimu. Akan tetapi setelah, mendengar ucapanmu tadi, kami mengerti bahwa siasat kami itu tidak ada gunanya. Ketahuilah bahwa kami menaruh dendam yang mendalam terhadap Hek-liong-li. Ia telah membunuh guru kami dan kini kami harus membalas dendam. Kalau engkau dapat membantu kami, maka kami tentu tidak akan membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau berkeras hendak membela majikanmu dengan taruhan nyawa, hemm... ini bukan saja akan membunuhmu, bahkan kami akan menyiksamu dengan menyerahkan engkau kepada anak buah kami. Ingat, ada puluhan orang anak buah kami dan mereka itu semua sudah berbulan-bulan tidak berdekatan dengan wanita! Kami akan menyerahkan engkau kepada mereka sampai engkau mati!”

Jelas ini bukan ancaman kosong belaka. Orang-orang seperti iblis itu tentu dapat melakukan kekejian yang bagaimanapun juga! Ui Hwa tidak takut mati, sebagai pelayan Hek-liong-li ia tahu bahwa setiap saat nyawanya terancam maut. Akan tetapi tidak pernah ia membayangkan siksaan seperti itu dan iapun tidak mau menyembunyikan kengeriannya. Wajahnya menjadi pucat, tarikan mukanya menunjukkan ketakutan yang amat sangat, dan kedua pundaknya menggigil karena ngeri.

“Tidak... jangan... jangan lakukan itu...” ia berbisik seperti meratap. Mudah saja ia melakukan ini, tidak perlu bersandiwara karena memang saat itu ia merasa takut dan, ngeri.

“Tentu saja kami tidak akan melakukan hal itu kepadamu kalau engkau suka membantu kami agar kami berhasil membalas dendam kepada Hek-liong-li,” kata Thai-kwi dengan nada mengancam, girang melihat hasil gertakan sutenya.

“Tapi kalian mimpi yang bukan-bukan! Bagaimana aku akan dapat membantu kalian mengalahkan nona majikanku? Kepandaiannya amat tinggi dan biar ada dua puluh orang macam aku ini, tidak akan mampu menandinginya.”

“Urusan menyerang dan membunuhnya adalah urusan kami. Engkau hanya membantu kami agar kami dapat menyelundup masuk ke dalam rumah Hek-liong-li dengan aman, melalui jebakan-jebakan rahasia yang tentu kau kenal baik. Nah, engkau menjadi penunjuk jalan masuk ke dalam rumah sampai ke kamar Hek-Liong-li dan kami akan mengampuni nyawamu. Bagaimana?”

Bunga Kuning mengerutkan alisnya, berpikir-pikir dan mempertimbangkan tawaran itu, ia nampak ragu dan sangsi, “Tapi... tapi... kalau li-hiap mengetahui hal itu, mengenal aku yang berkhianat, tentu ia tidak akan mau mengampuni aku! Kalian membebaskan aku, akan tetapi li-hiap lalu menghukumku, apa bedanya?”

“Ha-ha, jangan khawatir, nona. Engkau akan kami beri pakaian lain, bukan serba kuning, dan wajahmu kami beri penyamaran agar kelihatan hitam dan sukar dikenal orang,” kata Thai-kwi.

“Nanti dulu, toa-suheng,” kata Sam-kwi yang cerdik. “Kurasa cara itu kurang baik. Lebih baik nona ini membuatkan peta dari rumah Liong-li, menggambarkan keadaan semua tempat yang mengandung rahasia alat jebakan itu, iapun tidak perlu ikut masuk. Kalau gambarannya benar dan kita berhasil, ia kita bebaskan dengan hadiah. Kalau gambarannya palsu dan kita terjebak, kita masih belum terlambat untuk menyerahkan ia kepada anak buah kita yang kelaparan!”

“Jangan...!” Ui Hwa meratap ketakutan. “Kalau kubuatkan peta, kalian tentu akan tetap terjebak. Lika-liku rahasia jebakan di sana amat sulit dan selalu berubah. Hanya dengan melihat keadaannya, aku dapat melihat perubahan itu dan bertindak sesuai dengan perubahannya. Kalau hanya menurut peta, kalian pasti akan gagal dan terjebak. Kenapa kalian masih ragu dan tidak percaya kepadaku? Kalian takut kalau aku menipu kalian, bukan? Nah, kita pergi bersama, kalau aku menipu, setiap saat kalian dapat menangkap atau membunuhku!”

Lima orang itu saling pandang. “Baiklah, malam ini kita bergerak. Sementara ini engkau boleh beristirahat, Bunga Kuning,” kata Thai-kwi.

Gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah kamar, kaki tangannya dipasangi rantai panjang sehingga biarpun ia mampu bergerak, namun sulit untuk melarikan diri. Ia disuguhi makan minum dan bunga Kuning mempergunakan kesempatan ini untuk memperkuat dirinya. Ia makan dan minum, lalu merebahkan diri dan memulihkan tenaganya.

Sementara itu, Thai-san Ngo-kwi dan para anak buahnya melakukan pengintaian ketika melihat Hek-liong-li dan delapan orang gadis pelayannya melakukan pencarian di sekitar tempat diculiknya Bunga Kuning tadi. Melihat betapa mereka tidak berani memasuki hutan, di mana sudah dipasang barisan pendam dan jebakan, Thai-san Ngo-kwi mengintai sambil berunding.

“Mereka semua meninggalkan rumah, hal itu berarti bahwa mereka terlalu percaya kepada rahasia di rumah mereka. Mereka tentu lengah kalau berada di rumah itu dan sekali orang kita dapat menyelinap masuk, tentu tidak sukar untuk membunuhnya,” kata Thai-kwi girang.

Setelah cuaca mulai gelap dan rombongan Hek-liong-li yang tidak berhasil menemukan Bunga Kuning yang diculik orang itu pergi, Thai-san Ngo-kwi membuat persiapan. Mereka memberikan pakaian serba hitam yang menutupi pakaian kuning Ui Hwa, juga mereka menggunakan arang untuk menghitamkan muka gadis itu sehingga akan sukarlah mengenal gadis itu, apa lagi di waktu malam.

Semua peristiwa yang terjadi pada Liong-li merupakan hasil atau langkah-langkah pertama dari pertemuan antara tiga orang tiga tokoh Kiu Lo-mo di Bukit Hitam bersama Thai-san Ngo-kwi dalam usaha mereka membalas dendam kepada Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Mereka akan menggunakan segala macam cara untuk melampiaskan dendam mereka, yaitu membunuh sepasang pendekar itu.

Dan Thai-san Ngo-kwi bertugas untuk mengadakan gangguan terhadap Hek-liong-li, serangan-serangan kecil sebelum serangan besar yang mematikan tiba. Penghancuran arca, penangkap atas diri Bunga Kuning, semua itu hanya merupakan percobaan kecil-kecilan saja. Tiga orang datuk besar dari Kiu Lo-mo itu amat cerdik.

Mereka yang berdiri di belakang layar mengatur kesemuanya, dan mereka tidak tergesa-gesa. Bahkan ketika mereka dilapori tentang ditangkapnya Bunga Kuning, mereka yang mengatur siasat dan pada malam hari itupun, mereka tidak membolehkan Thai-san Ngo-kwi sendiri yang maju mengantar Bunga Kuning menyelundup ke dalam rumah Hek-liong-li.

“Kita tidak boleh memandang rendah Hek-liong-li dan sembilan orang pelayannya. Jangan sampai untuk hasil yang kecil kita mempertaruhkan nyawa Thai-san Ngo-kwi,”

Demikian kata Kim Pit Siu-cai kepada suheng dan sumoinya. Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan mereka merupakan pembantu-pembantu utama yang penting bagi mereka.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Malam itu gelap sekali. Langit tak berbintang, tertutup awan awan gelap. Karena cuaca yang buruk, maka belum juga tengah malam, kota Lok-yang sudah sepi sekali. Sore-sore sudah banyak yang memasuki kamar tidur atau setidaknya berada di dalam rumah. Mereka yang suka bermalam panjang, lebih senang berada di rumah kawan-kawan atau di rumah pelesir atau rumah judi yang hangat. Bahkan para peronda penjaga keamanan pun nampak malas untuk berkeliaran di malam gelap dan dingin itu.

Keadaan yang sunyi ini menguntungkan dua orang berpakaian serba hitam yang menggandeng seorang lain yang juga berpakaian serba hitam. Orang yang digandeng ini adalah Bunga Kuning yang mukanya sudah dihitamkan dengan arang dan pakaiannya yang serba kuning kini tertutup pakaian hitam.

Kedua lengan gadis ini setengah lumpuh karena sebelum berangkat, Thai-kwi telah menotok kedua pundaknya. Kedua kakinya masih dapat bergerak lincah, akan tetapi karena kedua pergelangan kaki itu dibelenggu dengan rantai, tentu saja ia tidak akan mampu berlari cepat. Dan dua orang yang mengawalnya itu adalah dua orang anak buah Thai-san Ngo-kwi yang paling lihai. Mereka sudah siap dengan pedang di tangan sehingga sewaktu-waktu, apabila Bunga Kuning membuat gerakan mencurigakan, mereka akan dapat membunuhnya!

Pagar tembok dua meter yang atasnya dipasangi tombak merah itu bukan penghalang bagi dua orang penjahat itu. Dengan ringan mereka meloncat bersama Bunga Kuning yang juga meloncat ke atas tembok, melewati tombak merah dan tak lama kemudian mereka sudah berindap-indap dan menyusup-nyusup di antara pohon-pohon bunga di sebelah kiri bangunan tempat tinggal Hek-liong-li.

Gelap di situ dan lampu-lampu gantung yang dipasang di sekitar rumah itu nampak berkelap-kelip, ditelan kegelapan yang pekat. Ketika tiba di belakang bangunan itu, di luar sebuah pintu besi yang tertutup rapat, Bunga Kuning memberi isyarat dengan matanya ke arah sebuah batu besar yang berdiri di balik semak rumpun bunga dan berbisik.

“Putar batu itu ke kiri dua kali.”

Seorang di antara dua pengawalnya, yang bertubuh tinggi besar, segera menghampiri batu besar itu dan menggunakan kedua tangan untuk memutar batu besar itu dua kali. Tanpa mengeluarkan suara, pintu besi itupun terbuka! Orang kedua yang bertubuh tinggi kurus tetap memegangi lengan Bunga Kuning dan sebelah tangannya memegang pedang, sikapnya waspada. Mereka bertiga masuk dan Bunga Kuning menunjuk ke arah tombol besi yang berada di balik pintu.

“Dorong tombol itu untuk menutup pintu dan tarik kalau hendak membukanya,” bisiknya.

Kembali si tinggi besar mencoba tombol itu dan benar saja. Pintu itu mudah dibuka dan ditutup dari dalam menggunakan tombol itu. Bunga Kuning membawa dua orang itu masuk semakin dalam, melalui bermacam-macam alat rahasia yang rumit-rumit. Dua orang itu diam-diam merasa gembira, karena agaknya tawanan itu tidak menipu mereka. Mereka bukan saja bertugas untuk membunuh Hek-liong-li kalau terbuka kesempatan. Andaikata tidak, mereka sudah mengetahui akan rahasia jebakan yang dipasang di rumah itu, yang semula amat ditakuti oleh Thai-san Ngo-kwi.

Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sejak mereka memasuki pagar tembok, semua gerakan mereka telah diikuti oleh Hek-liong-li dan delapan orang pelayannya! Bagaimana mungkin begitu? Kiranya ketika berada di luar pagar tembok tadi, tanpa diketahui dua orang penawannya, Bunga Kuning secara sengaja menginjak sebuah batu tersembunyi yang sengaja dipasang di situ. Kalau batu itu terinjak, maka di dalam akan ada tanda bahwa di luar pagar tembok ada orang yang mendekat. Dan sejak itu, Liong-li sudah melakukan pengintaian!

Untung saja Bunga Kuning memberi tanda itu. Andaikata tidak, dalam kegelapan itu, mungkin saja ia sendiri akan menjadi korban penyergapan Hek-liong-li dan para pelayannya. Karena ia menginjak tanda itu, maka Hek-liong-li menjadi waspada.

Ketika ia mengintai, ia melihat orang ketiga yang ditawan itu, dengan rantai di kedua kaki. Biarpun muka itu sudah dihitamkan dengan arang, dan pakaian kuning tertutup baju hitam, Liong-li segera dapat mengenalnya sebagai si Bunga Kuning. Diam-diam Liong-li merasa gembira juga kagum terhadap anak buahnya itu, yang biarpun berada dalam keadaan gawat dan terancam maut, masih dapat bersikap tenang dan cerdik sesuai dengan gemblengan yang ia berikan kepada semua anak buahnya.

Bunga Kuning maklum sepenuhnya bahwa injakan batu tanda bahaya tadi tentu telah membuat semua rekan dan juga majikannya waspada. Maka, iapun tidak membuat usaha untuk menyerang kedua orang pengawalnya. Tidak perlu ia membahayakan dan mempertaruhkan nyawanya, karena sekali nonanya keluar turun tangan, dua orang kasar ini tentu akan mudah dibuat tidak berdaya tanpa ia mempertaruhkan nyawanya seperti kalau ia sendiri yang memberontak dan menyerang.

Sepasang mata Hek-liong-li yang tajam dan mencorong, menembus kegelapan ketika ia mengintai keadaan Bunga Kuning dan dua orang penawannya. Ia menanti saat yang tepat untuk turun tangan tanpa membahayakan keselamatan anak buahnya itu. Ia amat menyayang para anak buahnya, bukan saja menganggap mereka itu pembantu setia, akan tetapi juga kawan-kawan yang akrab dan murid-murid yang taat.

Bunga Kuning yang masih digandeng si tinggi kurus juga dapat menduga bahwa tentu nonanya sedang membuat persiapan dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Ia melihat betapa si tinggi kurus selalu menggandeng lengan kirinya yang setengah lumpuh, dan pedangnya selalu ditodongkan di lehernya. Adapun si tinggi besar selalu melangkah di belakangnya, dengan pedang menodong punggungnya pula.

Iapun sengaja membawa dua orang penawannya itu ke tempat-tempat terbuka dengan maksud memberi kesempatan kepada Liong-li untuk turun tangan. Setiap kali tiba di tempat terbuka, ia sengaja berhenti. Pada saat yang baik, Bunga Kuning berhenti di bawah sebatang pohon. Ia sengaja mengajak mereka keluar dari ruangan belakang ketika mereka membisikkan bahwa mereka ingin agar Bunga Kuning menunjukkan tempat tidur Hek-liong-li?

“Nona kami selalu tidur di bangunan kecil yang berada di taman, tidak pernah tidur di dalam gedung induk,” bisik Bunga Kuning, “kalau ingin melihatnya, kita harus menyeberangi taman itu.”

Demikianlah, ketika tiba di bawah sebatang pohon dan banyak semak berbunga di sekitar situ, Bunga Kuning sengaja berhenti. Lampu yang tergantung di pohon, sebuah lampu taman yang indah dan cukup terang, membuat mereka bertiga menjadi sasaran yang jelas. Iapun mengatur jarak sehingga si tinggi besar yang berada di belakang itupun berada agak di kanan sehingga kalau ia harus menyingkir, ia dapat meloncat ke sebelah kiri yang paling jauh dari jangkauan kedua orang pengawalnya.

Dan perhitungan Bunga Kuning ini memang sesuai dengan perhitungan Hek-liong-li. Melihat betapa kembali anak buahnya itu berhenti, kini di bawah pohon yang ada lampu penerangannya, ia yang mengintai dari balik semak di sebelah depan agak ke kanan, segera turun tangan. Akan tetapi Liong-li bukanlah seorang yang berwatak curang. Tidak sudi ia kalau harus bertindak curang melukai lawan secara sembunyi, apa lagi membunuhnya. Ia hanya ingin menggunakan serangan gelap untuk memberi kesempatan kepada Bunga Kuning menghindarkan diri dari penodongan pedang.

“Wuut...! Wuuuutt...!” Dua butir kerikil menyambar dengan cepatnya ke arah dua orang yang menodong Bunga Kuning dengan pedang itu.

Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Bunga Kuning. Begitu mendengar kedua orang itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan iapun cepat melempar tubuhnya dengan tangan masih setengah lumpuh dan kedua kaki dipasangi rantai itu ke arah kiri, dan bergulingan atas tanah.

Kawan-kawannya cepat menolongnya, membuka rantai dari kakinya dan memulihkan kedua lengannya yang tertotok. Adapun dua orang pengawal yang tadinya terkejut setengah mati karena tiba-tiba saja lengan mereka dekat siku terasa nyeri dan lumpuh sehingga pedang mereka terlepas, kini cepat menyambar pula pedang mereka karena kelumpuhan itu hanya beberapa detik saja dan pulih kembali.

Akan tetapi mereka telah terlambat karena mereka telah dikepung oleh sembilan orang wajah cantik yang berpakaian berwarna-warni termasuk Bunga Kuning yang tadi mereka tawan dan kini sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan, dan di depan mereka berdiri seorang wanita yang amat cantik, tidak bersenjata, berpakaian ringkas yang membuat bentuk tubuhnya nampak jelas, pakaian dari sutera tipis halus berwarna hitam, namun indah karena ada hiasan hitam kelabu di tepi baju dan ada sulaman naga hitam di dalam lingkaran abu-abu.

“Hek-liong-li...!” Dua orang itu menggerakkan bibir menyebut nama ini, akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Mereka itu terpesona, kagum, kaget, dan juga takut setengah mati. Kalau saja mereka tidak menahan diri sekuat tenaga, tentu celana mereka sudah menjadi basah saking takut dan ngerinya menghadapi pendekar wanita yang tiba-tiba saja muncul ini.

Di antara sembilan orang nona pelayan atau juga pembantu dan murid Hek-liong-li ada yang menyalakan lampu lain sehingga tempat itu menjadi terang sekali. Dua orang laki-laki yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu kini menghadapi Liong-li dengan muka pucat dan kaki gemetar. Sepasang mata wanita cantik itu seperti mata naga, mencorong dan menembus seperti menusuk jantung mereka.

“Hemm, kiranya kalian dua ekor anjing busuk yang telah merusak arcaku dan mencoba pula untuk meracuni aku di rumah makan!”

Ucapan wanita cantik itu terdengar merdu dan halus, namun mengandung hawa dingin yang menusuk tulang, mengandung ancaman yang membuat kedua orang itu menggigil.

“Bukan... bukan kami yang melakukan itu...!” Kini si tinggi besar berkata dengan muka pucat sekali.

“Li-hiap, yang berdiri di belakang semua itu adalah Thai-san Ngo-kwi yang berdiam di puncak Bukit Hitam. Dua orang ini adalah anak buah mereka.” Bunga Kuning melapor. “Dan dua ekor anjing ini harap li-hiap serahkan saja kepada saya, li-hiap!”

“Dan kepada saya!” kata pula Bunga Biru. “Kami berdua yang pernah mereka serang dengan curang dan kini tiba saatnya kami berdua melakukan pembalasan.”

Liong-li tersenyum dan mengangguk. “Mereka berdua telah mengetahui rahasia tempat kita, walaupun hanya sebagian saja. Mereka memang layak mampus agar tidak dapat membuka rahasia.”

Bunga Kuning dan Bunga Biru, dengan pedang di tangan, menghampiri dua orang laki-laki yang berwajah pucat ketakutan itu.

“Nah, tikus-tikus busuk, kini kita dua lawan dua. Hayo perlihatkan kegaranganmu sekarang!” teriak Bunga Kuning yang segera menerjang dengan pedangnya, menyerang si tinggi kurus yang tadi selalu mencengkeram lengan dan menodongnya.

Adapun si Bunga Biru sudah maju pula menyerang laki-laki tinggi besar. Tidak ada pilihan lain bagi dua orang anak buah Thai-san Ngo-kwi kecuali melawan mati-matian untuk membela diri. Namun, bukan saja mereka memang kalah tingkat dibandingkan dua orang pelayan yang juga murid-murid Liong-li itu, akan tetapi di samping itu merekapun sudah ketakutan setengah mati dan rasa takut ini mengurangi tenaga dan kecepatan mereka. Adu silat pedang itu berlangsung hanya dua puluh jurus lebih dan akhirnya dua orang laki-laki itupun roboh tersungkur dengan dada ditembusi pedang dan mereka tewas seketika.

“Bungkus dengan kain kasar mayat mereka, masukkan dalam kereta pengangkut barang dan siapkan di depan. Tiga orang ikut bersamaku, dan yang lain menjaga rumah baik-baik. Aku sendiri yang akan mengirimkan hadiah ini kepada Thai-san Ngo-kwi di Bukit Hitam!” kata Hek-liong-li.

Tak lama kemudian, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda besar mendaki Bukit Hitam. Pintu dan tirai kereta itu tertutup dan yang nampak hanyalah seorang gadis berpakaian merah memegang kendali kuda. Dua buah lentera kereta itu menerangi jalan karena biarpun malam sudah amat larut mendekati fajar, namun cuaca masih amat gelapnya.

Dari jauh hanya nampak dua buah nyala api dari dua lentera itu bergerak-gerak menakutkan. Tentu akan disangka semacam setan kalau orang melihat dari jauh. Dua orang pelayan Liong-li yang lain, yang berbaju kuning dan biru, berada di dalam kereta. Dua orang anak buah ini dipilih karena mereka pernah dibawa ke puncak bukit itu dan mengenal jalan. Tidak ada pelayan lain kecuali yang tiga orang itu. Bahkan Hek-liong-li sendiri tidak nampak di kereta!

Sebelum tiba di puncak, menjelang fajar, cuaca tidak begitu gelap lagi walau masih remang-remang karena sinar matahari baru menjenguk sedikit di balik puncak. Namun burung-burung jenis yang rajin, sudah bangun dan membuat persiapan bekerja sambil berteriak saling memanggil...