Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

THAI-SAN merupakan pegunungan yang puncak-puncaknya menjulang tinggi, bahkan ada sebagian puncaknya yang selalu diliputi salju. Pegunungan itu luas sekali, mempunyai banyak lembah yang penuh dengan hutan-hutan rimba yang liar. Hanya di kaki pegunungan itu dan di lereng bagian bawah saja nampak dusun-dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa puluh buah rumah sederhana. Penghuni dusun-dusun itu hanya petani-petani dan sebagian pula adalah pemburu-pemburu binatang. Hidup mereka amat sederhana dan dusun-dusun itu nampak kecil tidak berarti di pegunungan yang besar, tinggi dan luas itu.

Pada suatu hari, ketika matahari pagi mulai mengusiri kabut pagi di lereng-lereng pegunungan Thai-san, cuaca yang amat cerah itu mendatangkan suasana yang amat gembira dan bahagia. Di dalam keadaan mereka yang diam, pohon-pohon besar menikmati kehangatan sinar matahari pagi yang membebaskan mereka dari kedinginan yang menyelimuti mereka sepanjang malam, yang membuat daun-daun mereka hampir beku dan kini embun-embun berkilauan tergantung di daun-daun mereka. Embun itu makin menebal dan siap jatuh musnah di atas tanah di bawah sana. Pada ranting-ranting di mana hinggap burung-burung kecil yang berloncatan sambil berkicau, embun-embun itu sudah rontok sejak tadi.

Tempat yang sunyi, liar, luas dan banyak hutan dan bagian yang sukar sekali dimasuki manusia itu menjadi tempat yang amat disuka oleh para penjahat dan buruhan pemerintah, sebagai tempat untuk menyembunyikan diri. Ke situlah para penjahat besar melarikan diri kalau mereka dikejar oleh pasukan keamanan pemerintah atau oleh para pendekar yang memusuhi mereka. Oleh karena itu, tidak ada rakyat biasa berani mencoba untuk mendaki Pegunungan Thai-san, melewati daerah aman di kaki-kaki gunung.

Bahkan para pemburu tidak berani memasuki hutan yang masih asing bagi mereka, takut kalau bertemu dengan penjahat-penjahat besar yang bersembunyi. Oleh karena itu, para penduduk dusun yang melihat seorang pria tua berpakaian sasterawan seorang diri mendaki bukit pertama di pegunungan itu, memandang dengan heran dan juga khawatir. Orang itu mencari mati, bisik mereka, mati konyol!

Orang dusun yang miskin dan tidak membawa apa-apa yang berharga sekalipun tidak akan berani lancang mendaki pegunungan itu. Dan pria yang naik dari gunung sebelah selatan ini jelas bukan orang dusun yang miskin. Dia seorang yang berpakaian sasterawan, pakaian dari sutera putih yang bersih dan halus, membawa buntalan yang cukup besar dari kain kuning yang terbuat dari sutera pula, tangan kanan memegang sebuah kipas besar dan di pinggangnya terselip sebatang pena yang terbuat dari logam kuning berkilauan. Emas!

Dan dengan pakaian seperti itu, dia berani mendaki Pegunungan Thai-san! Mencari penyakit itu namanya, demikian para penduduk dusun saling berbisik. Bahkan seorang kakek dusun itu yang merasa kasihan, tadi menghadangnya dan menasihatinya agar jangan mendaki terlalu jauh karena pegunungan itu berbahaya. Namun sasterawan tua yang usianya tentu sudah ada enampuluh tahun itu, hanya mentertawakannya dan melangkah terus dengan gaya congkak.

Sasterawan itu melenggang, mendaki bukit dan diikuti pandang mata beberapa orang dusun yang tadi berusaha untuk memperingatkannya. Tubuhnya yang jangkung kurus itu tidak mengesankan dan setelah dia lenyap ditelan pohon-pohon di hutan pertama, para penduduk membicarakannya dengan hati tegang. Tak lama lagi sasterawan itu tentu akan mati di dalam hutan dan seluruh bawaannya, bahkan pakaiannya yang melekat di tubuhnya, akan habis dirampok orang dan tubuhnya yang dibiarkan telanjang di dalam hutan, tak lama lagipun akan habis digeroti binatang hutan yang buas!

Apa yang dikhawatirkan para penduduk dusun itu memang segera terjadi. Baru saja sasterawan tua itu tiba di tengah hutan pertama yang berada di lereng bukit, sudah melampaui batas yang aman, tiba-tiba saja bermunculan sebelas orang yang rata-rata berusia tiga puluh sampai empat puluh tahun, bertubuh kekar dan bersikap bengis. Dari wajah dan gerak gerik mereka saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Begitu berloncatan keluar dari balik pohon-pohon dan semak belukar, sebelas orang yang semua memegang golok besar itu sudah mengepungnya dengan setengah lingkaran. Pemimpin mereka, yang dahinya dihias codet bekas luka memanjang dari kanan ke kiri, menyeringai memperlihatkan giginya yang besar-besar, seperti seekor harimau yang mengancam calon mangsanya.

“Ha-ha-ha, kiranya seorang sasterawan sinting!” kata seorang di antara mereka sambil terkekeh seolah melihat sesuatu yang lucu.

Sasterawan itu bersikap tenang saja dan andaikata sebelas orang itu tidak terlalu mengagungkan diri sendiri dan selalu meremehkan orang lain, hal ini saja sebenarnya sudah merupakan hal yang luar biasa. Bagaimana seorang sasterawan tua yang dihadang sebelas orang penjahat yang demikian menyeramkan, masih dapat bersikap enak-enak saja? Tentu ada sesuatu yang diandalkan oleh sasterawan itu. Kalau tidak, sepantasnya dia sudah ketakutan sekali.

Sasterawan itu memandang kepada orang yang tadi mengatakan dia sinting. “Kenapa kau bilang aku sasterawan sinting?” tanyanya, suaranya lembut dan mulutnya tersenyum ramah.

Melihat sikap ini, sebelas orang itu bukan curiga, bahkan tertawa-tawa geli dan si codet yang menjadi pemimpin berkata, “Sasterawan gila! Kalau engkau tidak sinting, tentu tidak akan berani memasuki hutan ini seorang diri, membawa buntalan itu. Setidaknya, tentu terisi pakaian-pakaian bagus dan uang bekal perjalanan, ha-ha-ha!”

“Engkau benar, buntalan ini memang terisi pakaian bersih dan ada belasan tail emas lima puluh tail perak. Habis, kenapa?” tanya sasterawan itu.

“Dan pena di pinggangnya itu seperti emas!” kata seorang anggauta gerombolan itu sambil menunjuk ke arah benda yang terselip di pinggang sasterawan itu.

Sasterawan itu menyingkap bajunya dan meraba benda itu. Sebatang mouw-pit (pena bulu) yang gagangnya sepanjang dua jengkal sebesar jari telunjuk dan terbuat dari pada emas murni! “Wah, matamu sungguh jeli,” katanya memuji orang itu. “Pena ini memang terbuat dari pada emas.”

Para perampok itu, saling pandang dan kini mereka benar menduga bahwa sasterawan itu tentu gila. Membawa uang demikian banyak, benda berharga, memasuki hutan itu dan terang-terangan mengaku tentang uang dan pena emas. Si codet mengelebatkan goloknya.

“Sasterawan gila. Karena engkau berterus-terang, kamipun tidak ingin membunuhmu, bahkan membiarkan pakaianmu yang menempel di tubuhmu. Berikan buntalan dan kim-pit (pena emas) itu kepada kami dan kembalilah engkau cepat-cepat sebelum kami mengubah keputusan kami.”

Sasterawan itu mengangkat muka, menyapu mereka semua dengan pandang matanya, mengembangkan kipasnya dan mengebut-ngebutkan kipas untuk mengusir kegerahan, kemudian dia berkata, suaranya masih lembut namun kini mengandung kesungguhan. “Nanti dulu! Sebelum aku memenuhi semua permintaanmu, katakan dulu apakah kalian ini anak buah dari Thai-san Ngo-kwi (Lima Iblis Thai-san)?”

Sebelas orang itu saling pandang, dan si codet segera melangkah maju mendekat dan membentak. “Mengapa engkau menanyakan Thai-san Ngo-kwi?”

Sastrawan itu tersenyum. “Tidak apa-apa, hanya kalau kalian ini anak buah mereka, bawalah aku menghadap mereka karena kami adalah kenalan lama. Akan tetapi kalau kalian bukan anak buah mereka, hem, terpaksa aku harus membunuh kalian.”

Tentu saja sebelas orang itu menjadi terkejut dan juga marah bukan main mendengar ucapan yang sungguh tak pernah mereka sangka itu. Sasterawan yang tadinya mereka sangka gila itu ternyata kini malah mengancam hendak membunuh mereka semua! Biarpun mereka juga tentu saja tunduk akan kekuasaan Thai-san Ngo-kwi di wilayah pegunungan itu, namun mereka merupakan gerombolan tersendiri dan bukan anak buah lima orang kepala gerombolan itu.

“Sasterawan tua gila, berani kau main-main dengan kami? Andaikata kami anak buah mereka sekalipun, kami tidak akan sudi mengantar kau menghadap mereka. Dan kami bukan anak buah mereka. Kau hendak membunuh kami? Ha-ha-ha! Kesombonganmu ini harus kautebus dengan nyawa...!”

Si codet mengangkat goloknya ke atas dan menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah sasterawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia berteriak keras dan terjengkang, terbanting keras dan berkelonjotan sekarat karena tenggorokannya telah dimasuki sebatang jarum yang tadi tanpa dapat di lihat mata telah melesat keluar dari ujung gagang kipas yang dikebut-kebutkan!

Sepuluh orang anak buahnya terkejut dan marah sekali. Mereka semua menggerakkan golok dan mengepung, lalu menyerang dari segala jurusan. Namun, sasterawan itu hanya menggerakkan kipasnya beberapa kali dan sepuluh orang itupun menjerit dan roboh satu demi satu, semuanya roboh berkelonjotan dan tewas!

Sasterawan berpakaian putih itu tersenyum mengejek, mengebut-ngebutkan ujung lengan baju dan menggunakan tangannya mengebut jubah depan, yang agak kotor terkena debu, kemudian tanpa menoleh lagi dia melanjutkan pendakiannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

Siapakah sasterawan tua yang begitu lihai dan berdarah dingin sehingga dalam sekejap mata saja dia mampu membunuh sebelas orang penjahat seperti orang membunuh semut saja? Kalau sebelas orang itu mengetahui siapa dia, tentu mereka tidak akan berani berlagak hendak merampoknya.

Sasterawan itu adalah seorang datuk besar dunia persilatan, seorang tokoh besar kaum sesat yang termasuk seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Tak seorangpun tahu siapa namanya, hanya mengenal julukannya saja, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sasterawan Pena Emas) karena dia selalu mempergunakan pena emas untuk menulis dan juga untuk membunuh lawan yang lihai.

Datuk sesat berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus ini sebenarnya sudah lama sekali tidak pernah melakukan aksi di dunia kang-ouw, dan agaknya dia hendak menikmati sisa hidup di masa tua dengan ketenangan karena dia sudah kaya raya. Oleh karena itu, kalau sekarang dia turun ke dunia ramai, tentu ada sesuatu yang amat penting dan dapat diramalkan bahwa setelah datuk ini turun gunung tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Dan ini terbukti di hutan itu, di mana dia membunuh sebelas orang seenaknya saja!

Kim Pit Siu-cai selama bertahun-tahun ini seperti bersembunyi saja di rumahnya yang besar, di lereng sebuah bukit di pantai timur, dan memang sekali ini, dia mendaki Thai-san membawa kepentingan besar yang akan menggegerkan dunia kang-ouw.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua jilid 01 karya kho ping hoo

Pada hari itu juga, ketika Kim Pit Siu-cai mendaki bukit dari selatan bagian timur, dari arah selatan melalui daerah yang terpisah sepuluh lie saja dari jalan yang ditempuh Kim Pit Siu-cai, nampak seorang wanita yang juga mendaki bukit pertama Pegunungan Thai-san.

Pagi-pagi sekali, wanita itu memasuki dusun terakhir di lereng bukit sebelah bawah, sebuah dusun yang hanya mempunyai lima belas rumah, yaitu rumah keluarga para pemburu. Begitu ia memasuki dusun itu, terdengar tangis seorang bayi dan ternyata wanita itu memondong seorang bayi yang usianya paling banyak tiga bulan. Bayi yang gemuk dan kulitnya masih tipis kemerahan, seorang bayi perempuan yang sehat dan mungil.

“Diamlah, sayang, diamlah. Ibu sayang kepadamu, manis. Diamlah, sayang dan jangan menangis...” katanya dengan suara merdu dan seperti bernyanyi, dan ia mengayun-ayun bayi itu dalam pondongannya.

Kalau melihat keadaan wanita itu, tidak mungkin ia ibu anak itu. Wanita itu sedikitnya berusia lima puluh tahun, atau tentu lebih hanya nampak baru lima puluh tahun karena ia pesolek. Bentuk tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih nampak cantik karena ia memakai bedak, pemerah bibir dan pipi, penghitam alis dan tepi mata, rambutnya hanya sedikit terhias uban, dan di sisir rapi, di gelung ke atas.

Pakaiannyapun indah seperti pakaian wanita hartawan atau bangsawan. Sedangkan bayi perempuan itu, walaupun sehat gemuk dan mungil, akan tetapi mengenakan pakaian lusuh dari kain kasar, seperti biasa anak-anak dusun dari orang tua miskin. Biarpun diayun-ayun, bayi itu tetap menangis.

“Diamlah, sayang, apakah engkau lapar? Haus? Ibumu juga haus, sayang,” katanya dan wanita itu melihat sebuah bangku di depan pekarangan rumah kecil. Ia memasuki pekarangan dan duduk di atas bangku itu. Bayi itu dipondongnya, lalu diciuminya, dahinya, kedua pipinya, lehernya dan sampai lama ia membenamkan mukanya di leher bayi itu, yang baunya sedap. Anehnya, bayi itu segera berhenti menangis, berhenti meronta!

Daun pintu rumah kecil itu terbuka dan seorang ibu petani, isteri pemburu yang tinggal di situ, keluar sambil menggendong anaknya. Ia menggendong sambil menyusui bayinya dan keluar karena tertarik oleh tangis bayi tadi.

“Syukurlah anak itu sudah diam,” kata ibu itu sambil mendekat dan melihat pakaian wanita itu, ia terbelalak heran. “Eh, nyonya... dari manakah?” Belum pernah ia melihat wanita memakai pakaian seindah itu, dan rambut wanita itupun di gelung secara indah dan dihias emas permata.

Wanita itu masih membenamkan mukanya di leher anak yang kini terdiam, dan ia hanya mengangkat mukanya sedikit sehingga nampak hanya sepasang mata ke atas. Ketika melihat seorang wanita muda menyusui seorang bayi yang montok, matanya bersinar-sinar. Wanita yang masih menyembunyikan mukanya di leher bayinya dengan sikap penuh kasih sayang itu, tanpa memperlihatkan muka, berkata,

“Engkau masih menyusui? Tolonglah kau susui bayiku ini...” Wanita itu mencabut payudaranya dari mulut anaknya yang sudah kenyang dan dengan lapang hati ia bersedia untuk menyusui bayi orang lain.

“Baiklah, mari saya susui anak itu...” Ucapanya terhenti dan ia terbelalak memandang kepada wajah cantik yang kini sudah diangkat dari leher anak itu. Wajah yang cantik, dengan perhiasan anting-anting dan kalung yang mewah, akan tetapi wajah yang pantasnya menjadi nenek dari bayi itu. Bukan ini yang membuat isteri pemburu itu terbelalak, akan tetapi juga sinar mata yang tajam menusuk dan noda merah berlepotan sedikit pada ujung bibir.

“Nah, susuilah anakku, dan mari kugendongkan dulu anakmu itu,” kata si wanita cantik.

Isteri pemburu menggeleng kepala, akan tetapi karena ia tadi sudah menyatakan setuju, iapun tidak melawan ketika anaknya diraih dari gendongannya dan sebagai gantinya, ia memondong bayi dari tangan wanita cantik itu.

“Aduh montoknya...! Sayang, engkau manis sekali, hemm, tentu belum tiga bulan anak ini. Mari ikut ibu, sayang...” Wanita cantik itu mencumbu bayi montok itu.

Di lain pihak, isteri pemburu yang payudaranya masih menetes-netes air susu dan siap hendak menyusui bayi yang dipondongnya, terbelalak ketika melihat keadaan bayi itu. Seorang bayi perempuan yang badannya montok sehat, akan tetapi ketika ia memandangnya, muka bayi itu pucat seperti kertas, bahkan kebiruan, matanya mendelik dari lehernya yang mulus itu berlepotan darah, napasnya tinggal satu-satu!

Ia menjerit. “Iiihhh... anak ini...!” Ia mengangkat muka dan melihat betapa wanita cantik itu melenggang santai meninggalkan tempat itu, keluar dari pekarangan rumahnya. “Heiiiii... tidak... tidaaaaak...! Kembalikan anakku...!” Ia mengejar keluar.

Mendadak wanita cantik itu membalikkan tubuhnya, matanya mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum dan ketika ia menyeringai itu, nampak sebelah dalam bibirnya masih berlepotan darah, juga sebagian giginya! “Kita tukar saja, bayi ini untukku dan bayi itu untukmu.”

“Tidak! Kembalikan anakku! Kembalikan... tolooonggg...!” Isteri pemburu yang sudah ngeri ketakutan itu menjerit minta tolong.

Seorang laki-laki yang bertubuh tegap meloncat keluar dari dalam rumah itu. Dia adalah suami wanita yang mempunyai anak tadi. Dia heran mendengar jeritan isterinya dan ketika keluar, ia melihat isterinya mengejar seorang wanita cantik. Wanita itu membalik dan nampak tangannya bergerak dan tiba-tiba dia melihat isterinya terjungkal dan roboh dengan bayi masih dalam pondongannya.

“Heiiii...!” Pemburu itu meloncat dengan kaget dan marah.

Ketika dekat dengan isterinya, ia berlutut dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat isterinya sudah rebah dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan bayi dalam pondongannya yang pucat sekali itu bukanlah anaknya. Pantas isterinya tadi berteriak minta dikembalikan anaknya. Isterinya dibunuh wanita cantik itu dan tentu anaknya yang kini dibawa pergi wanita itu.

Tangis bayi menyadarkan dan dia menoleh, memandang wanita berpakaian serba merah yang cantik dan bertubuh ramping itu. Wanita itu menimang-nimang bayinya sambil melangkah pergi.

“Diamlah, sayang, diamlah... ibu sayang padamu...”

“Heiii, tunggu...!!” Pemburu itu bangkit dan lari mengejar, lalu menghadang di depan wanita itu yang menghentikan langkahnya. “Engkau siluman! Kenapa kau bunuh isteriku? Dan itu anakku, kembalikan!” bentak si pemburu dengan marah sekali.

Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya, tersenyum mengejek. “Minggirlah kalau engkau tidak ingin menyusul isterimu.”

Tentu saja pemburu itu marah bukan main. “Siluman jahat!” bentaknya dan diapun menerjang maju sambil mengangkat tangan kanannya ke atas lalu menghantam ke arah kepala wanita cantik itu.

Dengan tenang saja, wajahnya masih tersenyum wanita itu menyambut tangan si pemburu dengan tangan kirinya. Begitu pergelangan tangan kanan pemburu itu dapat ditangkapnya, si pemburu mengaduh kesakitan. Seluruh otot pergelangan tangan dan tulang-tulangnya seperti putus-putus dan patah-patah. Tiba-tiba tangan kecil halus yang menangkap pergelangan tangan kanan itu lepas dan sebuah tamparan tangan itu menyambar ke arah dahi si pemburu.

“Plakk!” Pemburu itu mengeluh dan terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas!

Anak bayi itu masih menangis dan wanita itu mendekapnya sambil menimang-nimang, “Diamlah sayang... diamlah anakku...” dan iapun melangkah pergi dengan tenang.

Para tetangga mendengar teriakan-teriakan dan tangis bayi itu. Lima orang pemburu menghambur keluar dari rumah masing-masing dan lari ke rumah pemburu yang tewas. Ketika melihat pemburu dan isterinya menggeletak tak bergerak di pekarangan rumah mereka, lima orang pemburu itu segera dapat menduga apa yang terjadi. Mereka melihat sahabat mereka dan isterinya tewas, dan seorang wanita cantik meninggalkan pekarangan rumah itu sambil memondong seorang bayi yang menangis! Tentu wanita itu telah menculik bayi mereka dan membunuh suami isteri itu!!

“Heiii... tunggu...!!”

“Berhenti...!!”

Sambil berteriak-teriak, lima orang pemburu itu berlari mengejar wanita itu sambil mencabut golok mereka dan tak lama kemudian, mereka telah dapat menyusul dan menghadangnya, mengepung setengah lingkaran dengan sikap mengancam. Wanita itu telah tiba di tepi hutan di luar dusun dan kini ia mengangkat mukanya, memandang kepada lima orang pemburu yang marah itu dengan bibir tersenyum.

“Kalian mau apa? Biarkan aku pergi,” kata wanita itu dengan suara lembut.

“Engkau membunuh seorang kawanku dan isterinya, dan menculik putera mereka?”

Wanita itu tersenyum dan mengangguk dengan sikap seorang yang tidak merasa bersalah sedikit pun.

“Engkau membunuh dan menculik dan mau pergi begitu saja?”

“Habis kalian mau apa? Jangan mencampuri urusanku kalau kalian tidak ingin menyusul dua orang itu.”

Mendengar ancaman itu, lima orang pemburu itu semakin marah. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita iblis yang amat aneh dan kejam, seorang penculik bayi dan pembunuh.

“Serahkan bayi itu dan menyerahlah, kalau tidak ingin kami bunuh!” bentak mereka.

“Hemm, aku tidak banyak waktu untuk melayani kalian. Membunuh kalianpun tidak ada harganya!” kata wanita itu dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat jauh dan tiba di hutan itu.

Pada saat itu, dua orang pemburu lain keluar dari dalam hutan karena mereka baru saja pulang memasang jerat. Melihat lima orang rekan mereka mengejar seorang wanita cantik yang memondong bayi, mereka tahu bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu dan merekapun menghadang di depan wanita itu sambil melintangkan tombak mereka.

“Berhenti dulu!” seru mereka.

Melihat dua orang kawan mereka, lima orang itu berteriak-teriak. “Iblis wanita itu telah membunuh A-ciu dan isterinya dan menculik anak mereka!”

Dua orang pemburu yang memegang tombak itu terkejut bukan main dan tentu saja mereka sudah melintangkan tombak dan mengancam sehingga wanita itu kini berhenti lagi. Akan tetapi ia masih tersenyum-senyum ketika akhirnya lima orang pengejarnya tadi tiba di situ dan tujuh orang pemburu mengepungnya dengan senjata di tangan dan sikap bengis mengancam.

“Agaknya kalian memang sudah bosan hidup,” katanya santai saja.

“Engkau yang bosan hidup, iblis betina jahat!” bentak seorang pemburu termuda yang sudah tak dapat menahan kemarahannya. Dari belakang wanita itu, dia membacokkan goloknya ke arah kepalanya.

Wanita itu nampaknya tidak tahu bahwa dirinya diserang dari belakang, akan tetapi begitu golok menyambar dekat kepalanya dari atas, tubuhnya tiba-tiba miring dan berputar, dan begitu golok lewat menyambar di pinggir tubuhnya, tangan kanannya bergerak menampar, jari-jari tangannya mengenai pelipis penyerang itu dan diapun roboh terpelanting dan berkelojotan sekarat! Wanita itu tersenyum, tangan kirinya memondong dan mendekap bayi yang masih menangis, dan menghadapi enam orang pemburu yang lain dengan tangan kanan yang kosong saja.

Enam orang pemburu sudah menyerangnya dari segala jurusan. Namun, tubuh wanita berpakaian merah itu sungguh gesit bukan main. Bagaikan seekor burung merah, tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok dan tombak, menyelinap dan tak pernah ada senjata mampu menyentuh ujung, baju atau ujung rambutnya.

Sambil berkelebatan, tangan kanannya membagi-bagi tamparan dan setiap kali ada pemburu yang kena ditampar, tentu terpelanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali karena tewas seketika. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orang pemburu itu sudah roboh semua. Tewas!

Dan wanita itu berlenggang memasuki hutan, mendaki bukit. Sebentar saja lenyap ditelan pohon-pohon, dan hanya tangis bayi itu saja yang menjadi petunjuk ke arah mana ia pergi. Tujuh orang pemburu yang lain datang mengejar dari perkampungan mereka. Mereka itu terkejut bukan main melihat mayat kawan-kawan mereka berserakan. Dengan hati gentar mereka mencoba untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya mereka menemukan bayi putera rekan mereka yang tadi diculik. Bayi itu telah tewas dengan leher terluka bekas gigitan dan hisapan!

Gegerlah mereka dan dengan hati duka, marah dan juga takut mereka mengurus jenazah rekan-rekan mereka. Tahulah para pemburu itu bahwa wanita baju merah itu tentu seorang iblis betina, seorang wanita yang melatih ilmu sesat dan mengorbankan nyawa dan darah anak-anak bayi. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan iblis betina itu, apa lagi iblis itu lenyap tanpa meninggalkan bekas lagi.

Para pemburu itu menduga benar. Wanita yang nampak cantik pesolek itu memang seorang iblis betina, seorang datuk sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw di selatan. Ia berjuluk indah sekali, yaitu Ang I Sian-li (Dewi baju merah), seolah-olah ia seorang dewi yang selain cantik jelita juga berwatak mulia!

Padahal, ia seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang tersohor itu, dan kejamnya tidak kalah oleh rekan-rekannya. Ia juga hidup kaya raya di pegunungan selatan, dan sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw. Kini, begitu muncul, ia telah memperlihatkan kekejaman yang mendirikan bulu roma, hanya untuk memuaskan “kehausan” akan darah bayi untuk memperkuat ilmunya!

********************

Thai-san Ngo-kwi adalah lima orang tokoh kang-ouw yang sudah lama berkuasa di sekitar Pegunungan Thai-san, mengepalai para penjahat yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Pekerjaan mereka adalah menguasai jalan-jalan dan dusun-dusun di sekitar pegunungan itu. Kalau ada orang lewat di jalan yang mereka kuasai, maka orang lewat itu harus membayar pajak, kalau tidak ingin disiksa atau dibunuh.

Dan para kepala dusun juga membayar pajak kepada mereka kalau tidak ingin dusunnya diobrak-abrik. Dari hasil pemerasan dan perampokan inilah mereka hidup, bahkan Thai-san Ngo-kwi dapat hidup cukup mewah karena di beberapa kota di kaki gunung itu, mereka juga menguasai rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesir.

Mereka sendiri selalu tinggal di sarang mereka, di puncak Bukit Hitam, yaitu satu di antara puluhan buah bukit di Pegunungan Thai-san. Di puncak Bukit Hitam itu terdapat perkampungan mereka, dan di tengah-tengah berdiri bangunan besar yang cukup mewah, tempat tinggal Thai-san Ngo-kwi yang tidak pernah berkeluarga itu.

Bangunan ini dikelilingi bangunan-bangunan lain yang menjadi tempat tinggal anak buah mereka yang jumlahnya seratus orang lebih. Juga tidak seorangpun di antara anggauta mereka itu diperbolehkan berkeluarga. Perkampungan para penjahat itu dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi, seperti sebuah benteng saja, dan di pintu gerbang siang malam selalu dijaga!

Thai-san Ngo-kwi merupakan lima orang bersaudara seperguruan dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan kuat. Usia mereka dari tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun dan mereka itu dikenal dari yang pertama sampai yang ke lima sebagai Thai-kwi (Setan Pertama), Ji-kwi (Setan Kedua), Sam-kwi (Setan Ketiga), Su-kwi (Setan Keempat) dan Ngo-kwi (Setan Kelima).

Selain lima orang yang memiliki ilmu silat dahsyat dan kuat itu, juga anak buah mereka yang jumlahnya banyak merupakan suatu kekuatan yang disegani lawan. Karena itu, Thai-san Ngo-kwi dapat merajalela tanpa ada yang berani menentang mereka.

Pada pagi hari itu, hari yang istimewa di mana terjadi hal-hal menyeramkan di kaki pegunungan sebelah selatan karena munculnya Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li, di sarang gerombolan penjahat itupun terjadi hal yang aneh. Matahari telah naik agak tinggi, telah mengusir embun dan hawa dingin sehingga belasan orang anak buah gerombolan yang berjaga di pintu gerbang, tidak lagi kedinginan. Api unggun sudah dipadamkan dan mereka duduk berjemur di bawah sinar matahari pagi yang hangat lembut sambil bercakap-cakap. Pintu gerbang sudah sejak tadi dibuka dan para anggauta gerombolan sudah berlalu lalang keluar masuk.

Tiba-tiba para penjaga itu memandang keluar dan belasan orang itu segera bangkit berdiri dan menghadang di pintu gerbang, memandang kepada seorang pria yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di depan pintu gerbang itu. Hal ini sungguh merupakan suatu keanehan.

Bagaimana mungkin ada orang dapat sampai ke pintu gerbang itu? Padahal, di bawah bukit sana terdapat banyak anak buah gerombolan dan orang ini pasti telah dihadang sebelum dapat tiba di pintu gerbang! Ataukah orang ini mengambil jalan melalui hutan-hutan dan sengaja bersembunyi, menyelundup sampai ke situ.

“Heii, orang tua! Siapa engkau dan mau apa engkau datang ke sini?” bentak seorang anggauta gerombolan yang mukanya bopeng bekas cacar. “Hayo cepat pergi dari sini kalau tidak ingin kupenggal batang lehermu!”

“Tidak, dia harus berlutut dan minta-minta ampun, lalu kita tangkap dia dan seret dia menghadap pimpinan!” kata orang kedua yang mukanya hitam.

Kakek itu berdiri di depan mereka. Seorang kakek yang usianya enampuluh lima tahun, rambut dan kumisnya sudah putih semua, nampak tua dan ringkih, dengan pakaian yang agak kusut. Kakek ini memegang sebatang tongkat berbentuk ular. Kalau tongkat itu dari kayu yang diukir, maka sungguh pandai pengukirnya karena mirip ular benar-benar. Gagangnya menjadi kepala ular dan ujungnya menjadi ekor ular...

Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 01

THAI-SAN merupakan pegunungan yang puncak-puncaknya menjulang tinggi, bahkan ada sebagian puncaknya yang selalu diliputi salju. Pegunungan itu luas sekali, mempunyai banyak lembah yang penuh dengan hutan-hutan rimba yang liar. Hanya di kaki pegunungan itu dan di lereng bagian bawah saja nampak dusun-dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa puluh buah rumah sederhana. Penghuni dusun-dusun itu hanya petani-petani dan sebagian pula adalah pemburu-pemburu binatang. Hidup mereka amat sederhana dan dusun-dusun itu nampak kecil tidak berarti di pegunungan yang besar, tinggi dan luas itu.

Pada suatu hari, ketika matahari pagi mulai mengusiri kabut pagi di lereng-lereng pegunungan Thai-san, cuaca yang amat cerah itu mendatangkan suasana yang amat gembira dan bahagia. Di dalam keadaan mereka yang diam, pohon-pohon besar menikmati kehangatan sinar matahari pagi yang membebaskan mereka dari kedinginan yang menyelimuti mereka sepanjang malam, yang membuat daun-daun mereka hampir beku dan kini embun-embun berkilauan tergantung di daun-daun mereka. Embun itu makin menebal dan siap jatuh musnah di atas tanah di bawah sana. Pada ranting-ranting di mana hinggap burung-burung kecil yang berloncatan sambil berkicau, embun-embun itu sudah rontok sejak tadi.

Tempat yang sunyi, liar, luas dan banyak hutan dan bagian yang sukar sekali dimasuki manusia itu menjadi tempat yang amat disuka oleh para penjahat dan buruhan pemerintah, sebagai tempat untuk menyembunyikan diri. Ke situlah para penjahat besar melarikan diri kalau mereka dikejar oleh pasukan keamanan pemerintah atau oleh para pendekar yang memusuhi mereka. Oleh karena itu, tidak ada rakyat biasa berani mencoba untuk mendaki Pegunungan Thai-san, melewati daerah aman di kaki-kaki gunung.

Bahkan para pemburu tidak berani memasuki hutan yang masih asing bagi mereka, takut kalau bertemu dengan penjahat-penjahat besar yang bersembunyi. Oleh karena itu, para penduduk dusun yang melihat seorang pria tua berpakaian sasterawan seorang diri mendaki bukit pertama di pegunungan itu, memandang dengan heran dan juga khawatir. Orang itu mencari mati, bisik mereka, mati konyol!

Orang dusun yang miskin dan tidak membawa apa-apa yang berharga sekalipun tidak akan berani lancang mendaki pegunungan itu. Dan pria yang naik dari gunung sebelah selatan ini jelas bukan orang dusun yang miskin. Dia seorang yang berpakaian sasterawan, pakaian dari sutera putih yang bersih dan halus, membawa buntalan yang cukup besar dari kain kuning yang terbuat dari sutera pula, tangan kanan memegang sebuah kipas besar dan di pinggangnya terselip sebatang pena yang terbuat dari logam kuning berkilauan. Emas!

Dan dengan pakaian seperti itu, dia berani mendaki Pegunungan Thai-san! Mencari penyakit itu namanya, demikian para penduduk dusun saling berbisik. Bahkan seorang kakek dusun itu yang merasa kasihan, tadi menghadangnya dan menasihatinya agar jangan mendaki terlalu jauh karena pegunungan itu berbahaya. Namun sasterawan tua yang usianya tentu sudah ada enampuluh tahun itu, hanya mentertawakannya dan melangkah terus dengan gaya congkak.

Sasterawan itu melenggang, mendaki bukit dan diikuti pandang mata beberapa orang dusun yang tadi berusaha untuk memperingatkannya. Tubuhnya yang jangkung kurus itu tidak mengesankan dan setelah dia lenyap ditelan pohon-pohon di hutan pertama, para penduduk membicarakannya dengan hati tegang. Tak lama lagi sasterawan itu tentu akan mati di dalam hutan dan seluruh bawaannya, bahkan pakaiannya yang melekat di tubuhnya, akan habis dirampok orang dan tubuhnya yang dibiarkan telanjang di dalam hutan, tak lama lagipun akan habis digeroti binatang hutan yang buas!

Apa yang dikhawatirkan para penduduk dusun itu memang segera terjadi. Baru saja sasterawan tua itu tiba di tengah hutan pertama yang berada di lereng bukit, sudah melampaui batas yang aman, tiba-tiba saja bermunculan sebelas orang yang rata-rata berusia tiga puluh sampai empat puluh tahun, bertubuh kekar dan bersikap bengis. Dari wajah dan gerak gerik mereka saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Begitu berloncatan keluar dari balik pohon-pohon dan semak belukar, sebelas orang yang semua memegang golok besar itu sudah mengepungnya dengan setengah lingkaran. Pemimpin mereka, yang dahinya dihias codet bekas luka memanjang dari kanan ke kiri, menyeringai memperlihatkan giginya yang besar-besar, seperti seekor harimau yang mengancam calon mangsanya.

“Ha-ha-ha, kiranya seorang sasterawan sinting!” kata seorang di antara mereka sambil terkekeh seolah melihat sesuatu yang lucu.

Sasterawan itu bersikap tenang saja dan andaikata sebelas orang itu tidak terlalu mengagungkan diri sendiri dan selalu meremehkan orang lain, hal ini saja sebenarnya sudah merupakan hal yang luar biasa. Bagaimana seorang sasterawan tua yang dihadang sebelas orang penjahat yang demikian menyeramkan, masih dapat bersikap enak-enak saja? Tentu ada sesuatu yang diandalkan oleh sasterawan itu. Kalau tidak, sepantasnya dia sudah ketakutan sekali.

Sasterawan itu memandang kepada orang yang tadi mengatakan dia sinting. “Kenapa kau bilang aku sasterawan sinting?” tanyanya, suaranya lembut dan mulutnya tersenyum ramah.

Melihat sikap ini, sebelas orang itu bukan curiga, bahkan tertawa-tawa geli dan si codet yang menjadi pemimpin berkata, “Sasterawan gila! Kalau engkau tidak sinting, tentu tidak akan berani memasuki hutan ini seorang diri, membawa buntalan itu. Setidaknya, tentu terisi pakaian-pakaian bagus dan uang bekal perjalanan, ha-ha-ha!”

“Engkau benar, buntalan ini memang terisi pakaian bersih dan ada belasan tail emas lima puluh tail perak. Habis, kenapa?” tanya sasterawan itu.

“Dan pena di pinggangnya itu seperti emas!” kata seorang anggauta gerombolan itu sambil menunjuk ke arah benda yang terselip di pinggang sasterawan itu.

Sasterawan itu menyingkap bajunya dan meraba benda itu. Sebatang mouw-pit (pena bulu) yang gagangnya sepanjang dua jengkal sebesar jari telunjuk dan terbuat dari pada emas murni! “Wah, matamu sungguh jeli,” katanya memuji orang itu. “Pena ini memang terbuat dari pada emas.”

Para perampok itu, saling pandang dan kini mereka benar menduga bahwa sasterawan itu tentu gila. Membawa uang demikian banyak, benda berharga, memasuki hutan itu dan terang-terangan mengaku tentang uang dan pena emas. Si codet mengelebatkan goloknya.

“Sasterawan gila. Karena engkau berterus-terang, kamipun tidak ingin membunuhmu, bahkan membiarkan pakaianmu yang menempel di tubuhmu. Berikan buntalan dan kim-pit (pena emas) itu kepada kami dan kembalilah engkau cepat-cepat sebelum kami mengubah keputusan kami.”

Sasterawan itu mengangkat muka, menyapu mereka semua dengan pandang matanya, mengembangkan kipasnya dan mengebut-ngebutkan kipas untuk mengusir kegerahan, kemudian dia berkata, suaranya masih lembut namun kini mengandung kesungguhan. “Nanti dulu! Sebelum aku memenuhi semua permintaanmu, katakan dulu apakah kalian ini anak buah dari Thai-san Ngo-kwi (Lima Iblis Thai-san)?”

Sebelas orang itu saling pandang, dan si codet segera melangkah maju mendekat dan membentak. “Mengapa engkau menanyakan Thai-san Ngo-kwi?”

Sastrawan itu tersenyum. “Tidak apa-apa, hanya kalau kalian ini anak buah mereka, bawalah aku menghadap mereka karena kami adalah kenalan lama. Akan tetapi kalau kalian bukan anak buah mereka, hem, terpaksa aku harus membunuh kalian.”

Tentu saja sebelas orang itu menjadi terkejut dan juga marah bukan main mendengar ucapan yang sungguh tak pernah mereka sangka itu. Sasterawan yang tadinya mereka sangka gila itu ternyata kini malah mengancam hendak membunuh mereka semua! Biarpun mereka juga tentu saja tunduk akan kekuasaan Thai-san Ngo-kwi di wilayah pegunungan itu, namun mereka merupakan gerombolan tersendiri dan bukan anak buah lima orang kepala gerombolan itu.

“Sasterawan tua gila, berani kau main-main dengan kami? Andaikata kami anak buah mereka sekalipun, kami tidak akan sudi mengantar kau menghadap mereka. Dan kami bukan anak buah mereka. Kau hendak membunuh kami? Ha-ha-ha! Kesombonganmu ini harus kautebus dengan nyawa...!”

Si codet mengangkat goloknya ke atas dan menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah sasterawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia berteriak keras dan terjengkang, terbanting keras dan berkelonjotan sekarat karena tenggorokannya telah dimasuki sebatang jarum yang tadi tanpa dapat di lihat mata telah melesat keluar dari ujung gagang kipas yang dikebut-kebutkan!

Sepuluh orang anak buahnya terkejut dan marah sekali. Mereka semua menggerakkan golok dan mengepung, lalu menyerang dari segala jurusan. Namun, sasterawan itu hanya menggerakkan kipasnya beberapa kali dan sepuluh orang itupun menjerit dan roboh satu demi satu, semuanya roboh berkelonjotan dan tewas!

Sasterawan berpakaian putih itu tersenyum mengejek, mengebut-ngebutkan ujung lengan baju dan menggunakan tangannya mengebut jubah depan, yang agak kotor terkena debu, kemudian tanpa menoleh lagi dia melanjutkan pendakiannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

Siapakah sasterawan tua yang begitu lihai dan berdarah dingin sehingga dalam sekejap mata saja dia mampu membunuh sebelas orang penjahat seperti orang membunuh semut saja? Kalau sebelas orang itu mengetahui siapa dia, tentu mereka tidak akan berani berlagak hendak merampoknya.

Sasterawan itu adalah seorang datuk besar dunia persilatan, seorang tokoh besar kaum sesat yang termasuk seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Tak seorangpun tahu siapa namanya, hanya mengenal julukannya saja, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sasterawan Pena Emas) karena dia selalu mempergunakan pena emas untuk menulis dan juga untuk membunuh lawan yang lihai.

Datuk sesat berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus ini sebenarnya sudah lama sekali tidak pernah melakukan aksi di dunia kang-ouw, dan agaknya dia hendak menikmati sisa hidup di masa tua dengan ketenangan karena dia sudah kaya raya. Oleh karena itu, kalau sekarang dia turun ke dunia ramai, tentu ada sesuatu yang amat penting dan dapat diramalkan bahwa setelah datuk ini turun gunung tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Dan ini terbukti di hutan itu, di mana dia membunuh sebelas orang seenaknya saja!

Kim Pit Siu-cai selama bertahun-tahun ini seperti bersembunyi saja di rumahnya yang besar, di lereng sebuah bukit di pantai timur, dan memang sekali ini, dia mendaki Thai-san membawa kepentingan besar yang akan menggegerkan dunia kang-ouw.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua jilid 01 karya kho ping hoo

Pada hari itu juga, ketika Kim Pit Siu-cai mendaki bukit dari selatan bagian timur, dari arah selatan melalui daerah yang terpisah sepuluh lie saja dari jalan yang ditempuh Kim Pit Siu-cai, nampak seorang wanita yang juga mendaki bukit pertama Pegunungan Thai-san.

Pagi-pagi sekali, wanita itu memasuki dusun terakhir di lereng bukit sebelah bawah, sebuah dusun yang hanya mempunyai lima belas rumah, yaitu rumah keluarga para pemburu. Begitu ia memasuki dusun itu, terdengar tangis seorang bayi dan ternyata wanita itu memondong seorang bayi yang usianya paling banyak tiga bulan. Bayi yang gemuk dan kulitnya masih tipis kemerahan, seorang bayi perempuan yang sehat dan mungil.

“Diamlah, sayang, diamlah. Ibu sayang kepadamu, manis. Diamlah, sayang dan jangan menangis...” katanya dengan suara merdu dan seperti bernyanyi, dan ia mengayun-ayun bayi itu dalam pondongannya.

Kalau melihat keadaan wanita itu, tidak mungkin ia ibu anak itu. Wanita itu sedikitnya berusia lima puluh tahun, atau tentu lebih hanya nampak baru lima puluh tahun karena ia pesolek. Bentuk tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih nampak cantik karena ia memakai bedak, pemerah bibir dan pipi, penghitam alis dan tepi mata, rambutnya hanya sedikit terhias uban, dan di sisir rapi, di gelung ke atas.

Pakaiannyapun indah seperti pakaian wanita hartawan atau bangsawan. Sedangkan bayi perempuan itu, walaupun sehat gemuk dan mungil, akan tetapi mengenakan pakaian lusuh dari kain kasar, seperti biasa anak-anak dusun dari orang tua miskin. Biarpun diayun-ayun, bayi itu tetap menangis.

“Diamlah, sayang, apakah engkau lapar? Haus? Ibumu juga haus, sayang,” katanya dan wanita itu melihat sebuah bangku di depan pekarangan rumah kecil. Ia memasuki pekarangan dan duduk di atas bangku itu. Bayi itu dipondongnya, lalu diciuminya, dahinya, kedua pipinya, lehernya dan sampai lama ia membenamkan mukanya di leher bayi itu, yang baunya sedap. Anehnya, bayi itu segera berhenti menangis, berhenti meronta!

Daun pintu rumah kecil itu terbuka dan seorang ibu petani, isteri pemburu yang tinggal di situ, keluar sambil menggendong anaknya. Ia menggendong sambil menyusui bayinya dan keluar karena tertarik oleh tangis bayi tadi.

“Syukurlah anak itu sudah diam,” kata ibu itu sambil mendekat dan melihat pakaian wanita itu, ia terbelalak heran. “Eh, nyonya... dari manakah?” Belum pernah ia melihat wanita memakai pakaian seindah itu, dan rambut wanita itupun di gelung secara indah dan dihias emas permata.

Wanita itu masih membenamkan mukanya di leher anak yang kini terdiam, dan ia hanya mengangkat mukanya sedikit sehingga nampak hanya sepasang mata ke atas. Ketika melihat seorang wanita muda menyusui seorang bayi yang montok, matanya bersinar-sinar. Wanita yang masih menyembunyikan mukanya di leher bayinya dengan sikap penuh kasih sayang itu, tanpa memperlihatkan muka, berkata,

“Engkau masih menyusui? Tolonglah kau susui bayiku ini...” Wanita itu mencabut payudaranya dari mulut anaknya yang sudah kenyang dan dengan lapang hati ia bersedia untuk menyusui bayi orang lain.

“Baiklah, mari saya susui anak itu...” Ucapanya terhenti dan ia terbelalak memandang kepada wajah cantik yang kini sudah diangkat dari leher anak itu. Wajah yang cantik, dengan perhiasan anting-anting dan kalung yang mewah, akan tetapi wajah yang pantasnya menjadi nenek dari bayi itu. Bukan ini yang membuat isteri pemburu itu terbelalak, akan tetapi juga sinar mata yang tajam menusuk dan noda merah berlepotan sedikit pada ujung bibir.

“Nah, susuilah anakku, dan mari kugendongkan dulu anakmu itu,” kata si wanita cantik.

Isteri pemburu menggeleng kepala, akan tetapi karena ia tadi sudah menyatakan setuju, iapun tidak melawan ketika anaknya diraih dari gendongannya dan sebagai gantinya, ia memondong bayi dari tangan wanita cantik itu.

“Aduh montoknya...! Sayang, engkau manis sekali, hemm, tentu belum tiga bulan anak ini. Mari ikut ibu, sayang...” Wanita cantik itu mencumbu bayi montok itu.

Di lain pihak, isteri pemburu yang payudaranya masih menetes-netes air susu dan siap hendak menyusui bayi yang dipondongnya, terbelalak ketika melihat keadaan bayi itu. Seorang bayi perempuan yang badannya montok sehat, akan tetapi ketika ia memandangnya, muka bayi itu pucat seperti kertas, bahkan kebiruan, matanya mendelik dari lehernya yang mulus itu berlepotan darah, napasnya tinggal satu-satu!

Ia menjerit. “Iiihhh... anak ini...!” Ia mengangkat muka dan melihat betapa wanita cantik itu melenggang santai meninggalkan tempat itu, keluar dari pekarangan rumahnya. “Heiiiii... tidak... tidaaaaak...! Kembalikan anakku...!” Ia mengejar keluar.

Mendadak wanita cantik itu membalikkan tubuhnya, matanya mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum dan ketika ia menyeringai itu, nampak sebelah dalam bibirnya masih berlepotan darah, juga sebagian giginya! “Kita tukar saja, bayi ini untukku dan bayi itu untukmu.”

“Tidak! Kembalikan anakku! Kembalikan... tolooonggg...!” Isteri pemburu yang sudah ngeri ketakutan itu menjerit minta tolong.

Seorang laki-laki yang bertubuh tegap meloncat keluar dari dalam rumah itu. Dia adalah suami wanita yang mempunyai anak tadi. Dia heran mendengar jeritan isterinya dan ketika keluar, ia melihat isterinya mengejar seorang wanita cantik. Wanita itu membalik dan nampak tangannya bergerak dan tiba-tiba dia melihat isterinya terjungkal dan roboh dengan bayi masih dalam pondongannya.

“Heiiii...!” Pemburu itu meloncat dengan kaget dan marah.

Ketika dekat dengan isterinya, ia berlutut dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat isterinya sudah rebah dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan bayi dalam pondongannya yang pucat sekali itu bukanlah anaknya. Pantas isterinya tadi berteriak minta dikembalikan anaknya. Isterinya dibunuh wanita cantik itu dan tentu anaknya yang kini dibawa pergi wanita itu.

Tangis bayi menyadarkan dan dia menoleh, memandang wanita berpakaian serba merah yang cantik dan bertubuh ramping itu. Wanita itu menimang-nimang bayinya sambil melangkah pergi.

“Diamlah, sayang, diamlah... ibu sayang padamu...”

“Heiii, tunggu...!!” Pemburu itu bangkit dan lari mengejar, lalu menghadang di depan wanita itu yang menghentikan langkahnya. “Engkau siluman! Kenapa kau bunuh isteriku? Dan itu anakku, kembalikan!” bentak si pemburu dengan marah sekali.

Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya, tersenyum mengejek. “Minggirlah kalau engkau tidak ingin menyusul isterimu.”

Tentu saja pemburu itu marah bukan main. “Siluman jahat!” bentaknya dan diapun menerjang maju sambil mengangkat tangan kanannya ke atas lalu menghantam ke arah kepala wanita cantik itu.

Dengan tenang saja, wajahnya masih tersenyum wanita itu menyambut tangan si pemburu dengan tangan kirinya. Begitu pergelangan tangan kanan pemburu itu dapat ditangkapnya, si pemburu mengaduh kesakitan. Seluruh otot pergelangan tangan dan tulang-tulangnya seperti putus-putus dan patah-patah. Tiba-tiba tangan kecil halus yang menangkap pergelangan tangan kanan itu lepas dan sebuah tamparan tangan itu menyambar ke arah dahi si pemburu.

“Plakk!” Pemburu itu mengeluh dan terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas!

Anak bayi itu masih menangis dan wanita itu mendekapnya sambil menimang-nimang, “Diamlah sayang... diamlah anakku...” dan iapun melangkah pergi dengan tenang.

Para tetangga mendengar teriakan-teriakan dan tangis bayi itu. Lima orang pemburu menghambur keluar dari rumah masing-masing dan lari ke rumah pemburu yang tewas. Ketika melihat pemburu dan isterinya menggeletak tak bergerak di pekarangan rumah mereka, lima orang pemburu itu segera dapat menduga apa yang terjadi. Mereka melihat sahabat mereka dan isterinya tewas, dan seorang wanita cantik meninggalkan pekarangan rumah itu sambil memondong seorang bayi yang menangis! Tentu wanita itu telah menculik bayi mereka dan membunuh suami isteri itu!!

“Heiii... tunggu...!!”

“Berhenti...!!”

Sambil berteriak-teriak, lima orang pemburu itu berlari mengejar wanita itu sambil mencabut golok mereka dan tak lama kemudian, mereka telah dapat menyusul dan menghadangnya, mengepung setengah lingkaran dengan sikap mengancam. Wanita itu telah tiba di tepi hutan di luar dusun dan kini ia mengangkat mukanya, memandang kepada lima orang pemburu yang marah itu dengan bibir tersenyum.

“Kalian mau apa? Biarkan aku pergi,” kata wanita itu dengan suara lembut.

“Engkau membunuh seorang kawanku dan isterinya, dan menculik putera mereka?”

Wanita itu tersenyum dan mengangguk dengan sikap seorang yang tidak merasa bersalah sedikit pun.

“Engkau membunuh dan menculik dan mau pergi begitu saja?”

“Habis kalian mau apa? Jangan mencampuri urusanku kalau kalian tidak ingin menyusul dua orang itu.”

Mendengar ancaman itu, lima orang pemburu itu semakin marah. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita iblis yang amat aneh dan kejam, seorang penculik bayi dan pembunuh.

“Serahkan bayi itu dan menyerahlah, kalau tidak ingin kami bunuh!” bentak mereka.

“Hemm, aku tidak banyak waktu untuk melayani kalian. Membunuh kalianpun tidak ada harganya!” kata wanita itu dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat jauh dan tiba di hutan itu.

Pada saat itu, dua orang pemburu lain keluar dari dalam hutan karena mereka baru saja pulang memasang jerat. Melihat lima orang rekan mereka mengejar seorang wanita cantik yang memondong bayi, mereka tahu bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu dan merekapun menghadang di depan wanita itu sambil melintangkan tombak mereka.

“Berhenti dulu!” seru mereka.

Melihat dua orang kawan mereka, lima orang itu berteriak-teriak. “Iblis wanita itu telah membunuh A-ciu dan isterinya dan menculik anak mereka!”

Dua orang pemburu yang memegang tombak itu terkejut bukan main dan tentu saja mereka sudah melintangkan tombak dan mengancam sehingga wanita itu kini berhenti lagi. Akan tetapi ia masih tersenyum-senyum ketika akhirnya lima orang pengejarnya tadi tiba di situ dan tujuh orang pemburu mengepungnya dengan senjata di tangan dan sikap bengis mengancam.

“Agaknya kalian memang sudah bosan hidup,” katanya santai saja.

“Engkau yang bosan hidup, iblis betina jahat!” bentak seorang pemburu termuda yang sudah tak dapat menahan kemarahannya. Dari belakang wanita itu, dia membacokkan goloknya ke arah kepalanya.

Wanita itu nampaknya tidak tahu bahwa dirinya diserang dari belakang, akan tetapi begitu golok menyambar dekat kepalanya dari atas, tubuhnya tiba-tiba miring dan berputar, dan begitu golok lewat menyambar di pinggir tubuhnya, tangan kanannya bergerak menampar, jari-jari tangannya mengenai pelipis penyerang itu dan diapun roboh terpelanting dan berkelojotan sekarat! Wanita itu tersenyum, tangan kirinya memondong dan mendekap bayi yang masih menangis, dan menghadapi enam orang pemburu yang lain dengan tangan kanan yang kosong saja.

Enam orang pemburu sudah menyerangnya dari segala jurusan. Namun, tubuh wanita berpakaian merah itu sungguh gesit bukan main. Bagaikan seekor burung merah, tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok dan tombak, menyelinap dan tak pernah ada senjata mampu menyentuh ujung, baju atau ujung rambutnya.

Sambil berkelebatan, tangan kanannya membagi-bagi tamparan dan setiap kali ada pemburu yang kena ditampar, tentu terpelanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali karena tewas seketika. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orang pemburu itu sudah roboh semua. Tewas!

Dan wanita itu berlenggang memasuki hutan, mendaki bukit. Sebentar saja lenyap ditelan pohon-pohon, dan hanya tangis bayi itu saja yang menjadi petunjuk ke arah mana ia pergi. Tujuh orang pemburu yang lain datang mengejar dari perkampungan mereka. Mereka itu terkejut bukan main melihat mayat kawan-kawan mereka berserakan. Dengan hati gentar mereka mencoba untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya mereka menemukan bayi putera rekan mereka yang tadi diculik. Bayi itu telah tewas dengan leher terluka bekas gigitan dan hisapan!

Gegerlah mereka dan dengan hati duka, marah dan juga takut mereka mengurus jenazah rekan-rekan mereka. Tahulah para pemburu itu bahwa wanita baju merah itu tentu seorang iblis betina, seorang wanita yang melatih ilmu sesat dan mengorbankan nyawa dan darah anak-anak bayi. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan iblis betina itu, apa lagi iblis itu lenyap tanpa meninggalkan bekas lagi.

Para pemburu itu menduga benar. Wanita yang nampak cantik pesolek itu memang seorang iblis betina, seorang datuk sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw di selatan. Ia berjuluk indah sekali, yaitu Ang I Sian-li (Dewi baju merah), seolah-olah ia seorang dewi yang selain cantik jelita juga berwatak mulia!

Padahal, ia seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang tersohor itu, dan kejamnya tidak kalah oleh rekan-rekannya. Ia juga hidup kaya raya di pegunungan selatan, dan sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw. Kini, begitu muncul, ia telah memperlihatkan kekejaman yang mendirikan bulu roma, hanya untuk memuaskan “kehausan” akan darah bayi untuk memperkuat ilmunya!

********************

Thai-san Ngo-kwi adalah lima orang tokoh kang-ouw yang sudah lama berkuasa di sekitar Pegunungan Thai-san, mengepalai para penjahat yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Pekerjaan mereka adalah menguasai jalan-jalan dan dusun-dusun di sekitar pegunungan itu. Kalau ada orang lewat di jalan yang mereka kuasai, maka orang lewat itu harus membayar pajak, kalau tidak ingin disiksa atau dibunuh.

Dan para kepala dusun juga membayar pajak kepada mereka kalau tidak ingin dusunnya diobrak-abrik. Dari hasil pemerasan dan perampokan inilah mereka hidup, bahkan Thai-san Ngo-kwi dapat hidup cukup mewah karena di beberapa kota di kaki gunung itu, mereka juga menguasai rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesir.

Mereka sendiri selalu tinggal di sarang mereka, di puncak Bukit Hitam, yaitu satu di antara puluhan buah bukit di Pegunungan Thai-san. Di puncak Bukit Hitam itu terdapat perkampungan mereka, dan di tengah-tengah berdiri bangunan besar yang cukup mewah, tempat tinggal Thai-san Ngo-kwi yang tidak pernah berkeluarga itu.

Bangunan ini dikelilingi bangunan-bangunan lain yang menjadi tempat tinggal anak buah mereka yang jumlahnya seratus orang lebih. Juga tidak seorangpun di antara anggauta mereka itu diperbolehkan berkeluarga. Perkampungan para penjahat itu dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi, seperti sebuah benteng saja, dan di pintu gerbang siang malam selalu dijaga!

Thai-san Ngo-kwi merupakan lima orang bersaudara seperguruan dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan kuat. Usia mereka dari tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun dan mereka itu dikenal dari yang pertama sampai yang ke lima sebagai Thai-kwi (Setan Pertama), Ji-kwi (Setan Kedua), Sam-kwi (Setan Ketiga), Su-kwi (Setan Keempat) dan Ngo-kwi (Setan Kelima).

Selain lima orang yang memiliki ilmu silat dahsyat dan kuat itu, juga anak buah mereka yang jumlahnya banyak merupakan suatu kekuatan yang disegani lawan. Karena itu, Thai-san Ngo-kwi dapat merajalela tanpa ada yang berani menentang mereka.

Pada pagi hari itu, hari yang istimewa di mana terjadi hal-hal menyeramkan di kaki pegunungan sebelah selatan karena munculnya Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li, di sarang gerombolan penjahat itupun terjadi hal yang aneh. Matahari telah naik agak tinggi, telah mengusir embun dan hawa dingin sehingga belasan orang anak buah gerombolan yang berjaga di pintu gerbang, tidak lagi kedinginan. Api unggun sudah dipadamkan dan mereka duduk berjemur di bawah sinar matahari pagi yang hangat lembut sambil bercakap-cakap. Pintu gerbang sudah sejak tadi dibuka dan para anggauta gerombolan sudah berlalu lalang keluar masuk.

Tiba-tiba para penjaga itu memandang keluar dan belasan orang itu segera bangkit berdiri dan menghadang di pintu gerbang, memandang kepada seorang pria yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di depan pintu gerbang itu. Hal ini sungguh merupakan suatu keanehan.

Bagaimana mungkin ada orang dapat sampai ke pintu gerbang itu? Padahal, di bawah bukit sana terdapat banyak anak buah gerombolan dan orang ini pasti telah dihadang sebelum dapat tiba di pintu gerbang! Ataukah orang ini mengambil jalan melalui hutan-hutan dan sengaja bersembunyi, menyelundup sampai ke situ.

“Heii, orang tua! Siapa engkau dan mau apa engkau datang ke sini?” bentak seorang anggauta gerombolan yang mukanya bopeng bekas cacar. “Hayo cepat pergi dari sini kalau tidak ingin kupenggal batang lehermu!”

“Tidak, dia harus berlutut dan minta-minta ampun, lalu kita tangkap dia dan seret dia menghadap pimpinan!” kata orang kedua yang mukanya hitam.

Kakek itu berdiri di depan mereka. Seorang kakek yang usianya enampuluh lima tahun, rambut dan kumisnya sudah putih semua, nampak tua dan ringkih, dengan pakaian yang agak kusut. Kakek ini memegang sebatang tongkat berbentuk ular. Kalau tongkat itu dari kayu yang diukir, maka sungguh pandai pengukirnya karena mirip ular benar-benar. Gagangnya menjadi kepala ular dan ujungnya menjadi ekor ular...