Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAMUN ternyata mereka itu bukan seperti segerombolan anjing pemburu memperebutkan seekor kelinci, melainkan segerombolan anjing pemburu bertemu dengan seekor harimau betina yang galak dan perkasa!

Lili menyambut mereka dengan terjangan kaki tangannya. Gerakannya demikian tangkas, cepat dan kuat sekali sehingga dua belas orang pengawal yang merupakan pengawal pilihan itu segera terpelanting ke kanan kiri! Mereka terbanting dan mengaduh-aduh, mengalami patah tulang, babak belur dan benjol-benjol.

Kemudian bagaikan seekor burung walet tubuh Lili sudah menyambar ke arah Balkan dan Pangeran Ramamurti. Dua orang bangsawan ini terkejut dan hendak melarikan diri, akan tetapi sebuah tendangan membuat Balkan tersungkur dan sekali Lili menjulurkan tangan, dia telah mencengkeram pundak pangeran itu.

"Nona, apa kesalahanku, lepaskan!" kata pangeran itu meronta-ronta.

"Engkau lancang berani meminangku, ya?!" Lili membentak, lantas tangannya menampar beberapa kali. Kedua pipi pangeran itu menjadi merah membengkak. Lili mendorongnya dan dia pun terjengkang. "Engkau harus dihajar agar jangan berani lagi, datang ke sini!" kakinya menendang dan pangeran yang sedang merangkak bangun itu terlempar lagi.

"Lili, tahan!" terdengar bentakan nyaring.

Lili yang sudah ingin menggerakkan kakinya, cepat menahan tendangannya. Dia menoleh dan ternyata Sui In telah berdiri di situ dengan sikap marah. Sementara itu, Balkan yang sudah bangkit segera menolong Pangeran Ramamurti, memapahnya, dan bersama anak buah mereka yang sudah bangkit pula, mereka mencari kuda mereka, menunggang kuda dan rombongan itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

"Lili, engkau sungguh keterlaluan sekali! Apakah engkau sudah mulai berani menentang aku? Katakan, apakah engkau hendak menantang aku?" Cu Sui In marah sekali, matanya mencorong dan kedua tangannya bertolak pinggang.

Melihat ini, Lili menjatuhkan diri berlutut menghadap wanita yang pernah menjadi gurunya tapi sekarang menjadi suci-nya ini. Dia berlutut dan kedua matanya basah, akan tetapi dia mengeraskan hatinya sehingga tak sampai menangis. Dia bukan takut walau pun dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi suci-nya, akan tetapi dia berduka sekali melihat suci-nya demikian marah kepadanya dan sorot matanya seperti membencinya.

"Suci, sejak aku bisa mengingat, sejak kecil sekali, suci telah memeliharaku, merawat dan mendidik aku. Suci sayang kepadaku dan aku pun sangat sayang kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak akan mentaatimu? Suci, aku pasti akan mentaati apa pun yang suci perintahkan, dan aku akan membela suci dengan taruhan nyawa sekali pun. Akan tetapi… mengenai perjodohanku... bagaimana aku bisa melempar diriku ke dalam nasib yang akan menentukan hidupku selamanya? Suci, kalau aku menikah berarti aku berpisah dari suci, dan hidup selamanya di samping seorang laki-laki yang tidak kucinta. Bagaimana mungkin ini? Suci, kalau aku bersalah dan suci hendak menghukumku, silakan. Biar dihukum mati pun aku rela, tapi aku tetap tak akan mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak kucinta.”

Sui In tersenyum mengejek. "Huh, cinta? Mana ada cinta di dalam hati kaum pria? Kalau telah melampiaskan nafsu mereka. mereka pun akan bosan dan tidak mempedulikan kita lagi. Cinta? Cinta laki-laki adalah palsu, rayuan kosong hanya untuk memikat. Laki-laki itu seperti laba-laba yang memikat kupu-kupu agar terperangkap di sarangnya, kalau sudah dihisap sampai kering, bangkai kupu-kupu kemudian akan dicampakkan begitu saja. Aku menjodohkan engkau dengan seorang pangeran, itu berarti hidupmu akan terjamin, mulia, terhormat, berkecukupan sampai semua keturunanmu kelak. Namamu terjunjung tinggi, namaku dan nama ayahku ikut terangkat. Seorang pangeran, apa lagi kalau kelak menjadi raja, tidak akan mencampakkan isterinya begitu saja. Paling banyak dia menambah selir, akan tetapi isterinya akan tetap dimuliakan orang. Aku menyetujui perjodohan itu demi kebaikanmu, kenapa engkau menolak?"

"Maaf, suci. Bagaimana pun juga hati ini tidak akan merelakan kalau badan ini kuserahkan kepada orang yang tidak kucintai. Aku siap menerima hukuman asal suci jangan marah lagi kepadaku."

Sui In tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Kalau aku marah, semenjak tadi engkau telah kubunuh! Boleh saja engkau menolak lamaran, akan tetapi tak perlu bersikap kasar, apa lagi menyakiti rombongan pangeran itu. Sudahlah, apa engkau sudah memiliki pilihan hati, seorang pria yang kau cinta dan kau harapkan menjadi jodohmu?"

Karena dibesarkan di dalam lingkungan orang aneh, Lili juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh. Yang oleh wanita pada umumnya dianggap sebagai hal yang memalukan, mungkin baginya sama sekali tidak memalukan, begitu pula sebaliknya. Dia menjunjung kegagahan, wajar dan jujur, walau pun sering kali mengandalkan kekuatan dan kekerasan.

"Sudah, suci," jawabnya tegas.

Sui In mengerutkan alisnya, merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak tahu bahwa ternyata Lili sudah mempunyai seorang pacar! "Siapa dia? Pemuda dekat sini?"

"Dia orang jauh dan suci juga sudah mengenalnya."

"Kau amat cinta padanya?"

"Aku cinta padanya, merasa kagum, tetapi juga penasaran dan benci."

"Ehh?! Siapa pria aneh itu?"

"Dia Sin Wan, suci."

"Sin Wan...? Sepertinya nama itu pernah kudengar."

"Tentu saja. Dia murid dan putera mendiang Tangan Api Se Jit Kong."

"Aih, benar. Dia murid Sam-sian pula, bukan? Aihh, dia yang pernah memukuli pantatmu ketika engkau kecil itu?"

"Benar, akan tetapi aku sudah membalas memukuli pantatnya berikut bunganya. Aku... aku hanya mau berjodoh dengan dia, suci."

"Sudahlah. Engkau bilang selalu taat kepadaku. Sekarang aku akan memberimu sebuah tugas, maukah engkau melakukannya untuk aku?”

"Katakan apa tugas itu, suci. Akan kulakukan walau dengan pengorbanan nyawa sekali pun.”

“Mungkin saja engkau akan berkorban nyawa, karena orang yang kuingin agar kau bunuh ini memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”

"Suci ingin aku membunuh orang? Boleh saja, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu apa kesalahannya dan mengapa pula suci hendak membunuhnya."

"Dia adalah seorang pendekar yang perkasa, seorang tokoh Butong-pai yang sukar dicari tandingannya, terutama sekali ilmu pedangnya amat ditakuti orang. Akan tetapi aku yakin engkau akan dapat menandinginya dan mengalahkannya. Namanya Bhok Cun Ki, dan dia berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar perantau, tidak tentu tempat tinggalnya. Tetapi kalau engkau pergi ke Butong-pai dan mencari keterangan di markas Butong-pai, tentu engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."

"Hal itu mudah dilakukan, suci. Akan tetapi suci belum mengatakan mengapa suci hendak membunuhnya dan apa pula kesalahannya."

"Hemm, engkau bilang selalu taat kepadaku, kenapa sekarang kuberi tugas engkau malah ribut-ribut mendesak aku agar menceritakan sebab-sebabnya."

"Suci, aku tidak mau melupakan nasehat suhu. Kita tidak perlu berpihak kepada golongan mana pun, akan tetapi kita harus bertanggung jawab atas semua perbuatan kita. Itu baru gagah namanya. Setiap perbuatan kita harus dilandasi alasan kuat sehingga kita tak ragu-ragu melaksanakannya. Nah, karena itu aku ingin mengetahui dulu apa alasannya maka aku harus membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."

Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In biasanya berwatak keras, galak dan tidak sabar terhadap orang lain. Namun terhadap Lili dia tidak pernah memperlihatkan sikap kerasnya itu. Dia terlalu sayang kepada muridnya yang sekarang menjadi sumoi-nya itu. Dan kini, mendengar ucapan Lili itu, dia bahkan tersenyum.

Lili sendiri terpesona kalau melihat suci-nya tersenyum. Senyum suci-nya itu belum tentu dia lihat seminggu sekali! Bila suci-nya yang biasanya berwajah dingin itu tersenyum, dia benar-benar pantas disebut dewi karena nampak cantik jelita dan anggun. Betapa senyum seseorang dapat membuat wajahnya menjadi hidup dan cerah, bagaikan matahari muncul dari balik awan hitam.

"Lili, engkau benar-benar ingin tahu sebabnya? Sebabnya adalah karena Bhok Cun Ki itu adalah kekasihku...”

Lili memandang suci-nya dengan mata dibelalakkan lebar-lebar, dan kini Cu Sui In yang terpesona penuh kagum. Sumoi-nya ini memang cantik jelita, akan tetapi kalau matanya dibelalakkan seperti itu, sepasang mata itu menjadi besar dan bercahaya seperti bintang sehingga wajah itu manis bukan main.

"Aihhn, suci. Ini namanya puncak keanehan! Kalau memang dia itu kekasih suci, kenapa malah harus dibunuh?"

"Dua puluh tiga tahun yang lalu, ketika aku berusia dua puluh tahun dan dia berusia dua puluh dua tahun, kami saling mencinta dan kami saling bersumpah untuk sehidup semati. Bahkan aku sudah menyerahkan semua yang ada padaku kepadanya, menyerahkan jiwa ragaku kepadanya, akan tetapi... sesudah dia mengetahui bahwa aku adalah puteri See-thian Coa-ong, dia yang menganggap dirinya seorang pendekar Butong-pai lantas mundur dan meninggalkan aku, memutuskan hubungan. Padahal aku telah menyerahkan segala-galanya. Dia telah mengkhianatiku, bahkan kemudian dia menikah dengan seorang puteri bangsawan."

Wajah Lili berubah merah karena marah. "Suci! Kenapa sekian lamanya suci diam saja? Laki-laki pengkhianat semacam itu sudah selayaknya dibunuh. Kenapa dahulu suci tidak mencarinya dan membunuhnya? Dia tidak pantas hidup!"

Cu Sui In menggelengkan kepala dengan wajah sedih dan beberapa kali dia menghela napas panjang. "Sudah kucoba untuk mengeraskan hati, tetapi sia-sia saja, Lili. Aku... aku tidak tega membununnya, aku tetap mencintanya, sampai sekarang. Karena itu aku minta bantuanmu...”

"Suci, engkau membikin aku bingung saja. Jika sampai sekarang suci tetap mencintanya, kenapa suci melepaskannya begitu saja? Kenapa suci tidak bunuh saja perempuan yang merampasnya dan paksa dia menjadi suami suci?”

Sepasang mata Dewi ular Cantik itu mencorong marah. "Tidak! Aku tidak sudi mengemis cintanya! Tidak usah banyak komentar. Mau atau tidak engkau melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?”

"Tentu saja, suci. Aku siap melaksanakannya, aku siap membelamu meski pun aku harus mempertaruhkan nyawaku."

“Lili...” Sui In merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu. "Engkau memang anak baik, engkau sumoi yang baik. Pergilah, Lili, cari dia sampai dapat, kemudian bunuh dia, bunuh isterinya, bunuh anak mereka kalau ada. Lakukan itu untuk aku yang menderita selama dua puluh tiga tahun ini."

"Baik, suci. Jangan khawatir. Aku akan mencarinya, aku akan membunuhnya berikut anak isterinya. Pengorbanan suci selama dua puluh tiga tahun ini harus ditebus dengan nyawa mereka. Selama puluhan tahun suci menderita, tidak mau berdekatan dengan pria, semua itu demi cinta suci kepadanya. Tetapi dia malah meninggalkan suci dan menikah dengan perempuan lain!" Lili mengepal tinju.

"Nah, berangkatlah, Lili. Dengan ilmu pedang Pek-coa Kiam-sut, aku yakin engkau akan mampu mengalahkan ilmu pedangnya dari Butong-pai."

Ketika Lili berpamit kepada gurunya, setelah menceritakan tugas yang diberikan Cu Sui In kepadanya, See-thian Coa-ong menggeleng-gelengkan kepala.

"Manusia bisa gila karena cinta. Sui In mengubur dendam selama dua puluh tahun lebih dalam hatinya dan sekarang menghendaki engkau yang mewakilinya. Bahkan saat aku hendak turun tangan, dia selalu melarang. Sekarang aku tahu, ternyata dia menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kemampuan untuk mewakilinya. Kiranya selama ini dia menanam dendamnya karena dia sendiri tidak tega melakukannya, ha-ha-ha!”

Ketika Lili hendak berangkat, Cu Sui In mengantarnya sampai ke bawah puncak. “Lili, jika tugasmu sudah selesai, jangan pulang ke sini. Tahun depan aku dan ayah akan pergi ke Thai-san, di mana akan diadakan pemilihan bengcu sebagai pemimpin seluruh dunia persilatan dan merupakan jago nomor satu. Nah, di sanalah kita berjumpa, tahun depan satu bulan sesudah Perayaan Musim Semi atau Sin-cia. Kalau engkau kembali ke sini, aku khawatir kita tak akan dapat saling bertemu. Kalau kita bertemu di sana, engkau dapat memperkuat rombongan ayah.”

"Baik, suci."

Mereka berangkulan dan saling cium, lalu Lili menggunakan ilmu berlari cepat menuruni Puncak Bukit Ular, diikuti pandang mata Cu Sui In yang kini nampak tersenyum namun kedua matanya basah air mata!

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Malam itu gelap sekali. Di langit tidak ada bulan, tidak ada bintang karena semua bintang tertutup oleh awan hitam. Gelap gulita dan hawa udara amat dinginnya. Musim salju telah mendekati akhir, namun hawa udara justru sangat dingin sampai menusuk tulang. Semua air membeku dan gerimis salju hampir tidak pernah berhenti.

Karena malam begitu gelap dan dingin, maka kota Peking, walau pun merupakan ibu kota ke dua setelah Nan-king, malam itu sunyi sekali. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumah yang dihangatkan perapian. Kalau pun terpaksa keluar rumah karena mempunyai keperluan penting, mereka mengenakan pakaian kapas atau bulu yang tebal, menutupi kepala dan muka. Namun tetap saja hawa dingin menyusup ke dalam badan, bibir pecah-pecah dan pernapasan terasa sesak.

Di dalam istana Raja Muda Yung-Lo juga nampak sunyi. Para penjaga mengamankan dan menyamankan diri di dalam gardu-gardu penjagaan yang dihangatkan dengan perapian. Yang terpaksa melakukan perondaan, berpakaian tebal dan melakukan perondaan cepat-cepat agar bisa segera kembali ke gardu yang hangat. Lagi pula dalam udara sedingin itu, malam segelap itu, siapa sih orang yang usil dan mencari penyakit melakukan kejahatan di dalam istana yang terjaga ketat?

Para petugas jaga itu agaknya lupa bahwa orang-orang Mongol tidak pernah melepaskan segala kesempatan. Mereka adalah orang-orang yang masih merasa sangat penasaran ketika Kerajaan Mongol runtuh sedemikian mudahnya setelah bangsa Mongol menguasai Cina hampir seabad lamanya (1170-1260).

Para Pangeran Mongol yang berhasil menyelamatkan diri ke utara langsung membentuk sebuah jaringan dalam usaha mereka untuk menegakkan kembali kerajaan Mongol yang bertujuan menguasai Cina. Mereka menyusun jaringan mata-mata, lalu mengirim banyak orang pandai yang menyusup ke sebelah selatan Tembok Besar. Bahkan ada pangeran yang mengirim rombongan mata-mata yang pandai, melakukan penyusupan tidak melalui Tembok Besar di utara yang terjaga ketat, melainkan mengambil jalan memutar dari arah barat.

Malam yang sunyi dan dingin itu, yang membuat para penjaga serta pengawal di istana Raja Muda Yung Lo menjadi lengah dan malas, tidak lepas dari pengamatan para mata-mata Mongol. Dalam kegelapan malam itu, di waktu sebagian besar penduduk kota sudah meringkuk di dalam kamar masing-masing berselimut tebal, nampak tiga sosok bayangan berkelebatan di atas pagar tembok istana dan melayang turun di sebelah dalam! Dengan gerakan ringan dan cepat mereka menyelinap ke dalam taman, menghampiri bangunan istana yang megah dengan hati-hati sekali.

Gerakan mereka yang tanpa ragu-ragu dalam menghindari gardu-gardu penjagaan sudah membuktikan bahwa mereka bertiga itu mengenal baik sekali keadaan di situ dan semua gerakan mereka penuh dengan perhitungan yang matang.

Sementara itu di sebelah dalam istana tampak seorang wanita cantik berpakaian ringkas. Sebatang pedang menempel di punggungnya, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang suling perak. Wanita ini berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Di dagu kanannya terdapat hiasan bawaan lahir, yaitu setitik tahi lalat yang membuat wajahnya nampak semakin manis.

Matanya lembut akan tetapi kadang kala mencorong penuh wibawa. Bibirnya merah segar dengan bentuk menggairahkan. Pembawaannya amat tenang dan anggun, tetapi langkah kakinya menunjukkan bahwa dia memiliki tenaga dan kegesitan.

Ketika wanita melewati gardu penjagaan di dekat kolam ikan, di bagian paling dalam dari istana itu, di taman bunga kecil yang berada paling dalam, tempat bermain para wanita istana, dia pun menghampiri gardu. Melihat tiga orang prajurit pengawal wanita melenggut hampir pulas di bangku panjang, dia mengerutkan alisnya lantas jari tangannya mengetuk dinding gardu.

"Tok-tok-tokk!"

Tiga orang penjaga itu terkejut dan cepat berloncatan bangun sambil menyambar pedang mereka. Mereka langsung terbelalak ketika melihat bahwa yang mengejutkan mereka itu adalah atasan mereka.

Dengan alis berkerut wanita itu lalu menegur. "Beginikah caranya melakukan penjagaan? Kalian telah lengah! Seorang petugas yang baik tidak gentar menghadapi hawa dingin dan kesukaran apa pun!"

"Maafkan kami, Lim-lihiap (pendekar wanita Lim)," kata seorang di antara mereka sambil berdiri tegak dan memberi hormat.

"Baiklah, untung tidak terjadi apa-apa. Dalam keadaan yang amat dingin dan sunyi seperti ini, ketika para penjaga dalam keadaan lengah dan mengantuk, para penjahat sering kali mengambil kesempatan untuk bergerak. Lakukan penjagaan dengan ketat dan waspada!" Sesudah berkata demikian wanita itu meninggalkan mereka untuk melakukan perondaan dan pemeriksaan terhadap anak buahnya yang bertugas jaga di lingkungan istana itu.

Wanita muda yang perkasa ini adalah Lim Kui Siang, yang kini oleh raja muda Yung Lo telah dipercaya untuk menjadi kepala pengawal keluarga Raja Muda itu. Gadis perkasa ini memiliki ilmu kepandaian tinggi karena dia adalah murid Sam-sian pula. Dia adalah sumoi dari Sin Wan. Sebenarnya antara Lim Kui Siang dan Sin Wan yang saudara seperguruan itu terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam.

Bahkan guru-guru mereka pernah mengusulkan agar dua orang murid mereka yang saling mencinta itu dapat menjadi suami isteri. Keduanya menerima dengan baik dan Kui Siang memang sejak kecil kagum kepada Sin Wan, biar pun Sin Wan seorang yang berbangsa Uighur, bukan pribumi, sedangkan dia sendiri adalah puteri bangsawan karena mendiang ayahnya keturunan atau kebangsawanan.

Ketika Sin Wan melamarnya kepada para paman dan bibinya sebagai wakil ayah bunda yang sudah tiada, mereka menolak dan tidak menyetujui perjodohan itu. Bahkan mereka menghina Sin Wan yang dikatakan keturunan bangsa biadab! Kui Siang pun marah lantas mengusir para paman dan bibinya yang hanya mendekatinya karena menginginkan harta peninggalan ayahnya.

Kemudian dengan sepenuh hati ia hendak menghibur Sin Wan dan nekat melangsungkan perjodohan dengan suheng-nya itu. Tapi pada saat terakhir dia mendapat kenyataan yang sangat pahit baginya, yaitu bahwa Sin Wan adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong, yaitu Iblis Tangan Api yang telah membunuh ayahnya!

Biar pun Sin Wan hanya anak tiri, tetapi kenyataan ini membuat Kui Siang amat terpukul. Hancur rasa hatinya dan dia tidak mau mendekati suheng-nya lagi. Dia lalu meninggaikan suheng-nya itu dengan perasaan hancur. Ia amat mencinta suheng-nya, akan tetapi bagaimana mungkin dia berjodoh dengan anak angkat orang yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya? Dia akan merasa durhaka terhadap orang tuanya.

Sambil membawa hati yang remuk, dari tempat tinggal orang tuanya di kota raja Nan-king, Kui Siang lalu pergi ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, menjadi kepala pasukan pengawal keluarga pangeran atau raja muda itu. Kui Siang pun bekerja dengan tekun dan penuh pengabdian, bahkan dia mengganti pasukan thai-kam (laki-laki kebiri) dengan pasukan wanita yang digemblengnya.

Melihat ketekunan Kui Siang ini, Raja Muda Yung Lo semakin kagum. Sejak mengundang dan menjamu Pek-sim lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki yang datang bersama Sin Wan dan Kui Siang, dan melihat Kui Siang, Raja Muda Yung Lo merasa kagum dan tertarik sekali kepada ketiga orang ini.

Dia mendukung Bu Lee Ki untuk menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), menawarkan kedudukan panglima kepada Sin Wan, dan kedudukan kepala pengawal keluarga istana kepada Kui Siang. Sin Wan yang patah hati karena penolakan Kui Siang yang memutuskan hubungan cinta di antara mereka, tidak kembali ke Peking. Akan tetapi Kui Siang yang juga menderita duka itu, kembali ke Peking dan menerima penawaran kedudukan itu untuk menghibur hatinya.

Selama berada di istana dan bertugas sebagai kepala pengawal keluarga Raja Muda, Kui Siang melihat kenyataan betapa sikap raja muda itu terhadap dirinya demikian baiknya. Dari pandang mata raja muda itu ia tahu bahwa pria itu jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, biar pun dia sendiri kagum kepada raja muda ini, dia masih tidak mampu melupakan Sin Wan dan karena itu ia bersikap dingin saja sehingga Raja Muda Yung Lo belum berkenan menyatakan isi hatinya.

Di malam yang sunyi, gelap dan dingin itu, seperti biasa Kui Siang melakukan perondaan untuk memeriksa anak buahnya supaya mereka melakukan penjagaan dengan sebaiknya. Ketika dia melakukan pemeriksaan di bagian belakang, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan ke arah gardu penjagaan di belakang, kemudian terdengar jerit seorang wanita pengawal.

Kui Siang cepat meloncat ke tempat itu dan mendengar suara orang berkelahi. Dilihatnya betapa seorang anak buahnya menggeletak mandi darah, dan dua orang pengawal lain sedang berkelahi melawan dua orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup sutera hitam yang memiliki kepandaian amat lihai.

Kui Siang segera mengeluarkan suling peraknya kemudian meniupkan isyarat. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi yang dapat terdengar oleh semua anak buah yang sedang melakukan penjagaan. Dia merasa yakin bahwa sebentar lagi tempat itu akan dipenuhi anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang lebih. Dia sendiri tidak membantu anak buahnya menghadapi dua orang lawan yang lihai, namun cepat sekali dia meloncat ke dalam dan menuju ke arah ruangan di mana terdapat kamar Raja Muda Yung Lo dan keluarganya.

Kui Siang maklum bahwa dalam keadaan bahaya maka dapat dipastikan bahwa sasaran utama musuh tentulah sang raja muda. Karena itu dia membiarkan anak buahnya yang menghadapi penyerbu, sedangkan dia sendiri harus menjaga keselamatan raja muda dan keluarganya. Perhitungannya ternyata tepat. Baru saja dia tiba di depan kamar sang raja muda, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat laksana seekor burung besar melayang turun ke dalam ruangan yang nampaknya sunyi itu.

"Penjahat keji, menyerahlah kau!" bentak Kui Siang sambil meloncat keluar menghadapi bayangan hitam itu.

Bayangan itu memakai pakaian serba hitam, mukanya dari hidung ke bawah tertutup kain sutera hitam. Yang kelihatan hanyalah sepasang matanya yang mencorong tajam. Tubuh itu tinggi kurus dan gerakannya tadi ringan dan gesit sekali. Agaknya bayangan itu terkejut melihat Kui Siang. Tadinya dia mengira bahwa dua orang kawannya yang memancing keributan di gardu penjagaan belakang itu tentu akan menarik semua pengawal ke sana sehingga dia akan leluasa bergerak membunuh raja muda. Tapi siapa kira, pemimpin pasukan pengawal yang dia dengar memiliki ilmu kepandaian tinggi ini bahkan tiba-tiba saja muncul di situ. Tanpa banyak cakap lagi bayangan itu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat, menusuk ke dada Kui Siang.

"Singggg...!"

Saking kuatnya tusukan ini, pedang itu sudah mengeluarkan suara berdesing ketika lewat di samping tubuh Kui Siang yang mengelak dengan gerakan cepat. Namun pedang yang luput dari sasaran itu lantas membalik, kini menyambar dan membacok ke arah leher!

Kui Siang terkejut juga. Ternyata penyerang ini memang lihai dan mempunyai gerakan pedang yang cepat dan kuat. Dia pun melompat ke belakang sambil mencabut Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) peninggalan mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang). Nampak cahaya menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut. Ketika Kui Siang memutar pedangnya, lenyaplah bentuk pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang membuat ruangan itu nampak lebih terang. Itulah ilmu pedang Sinar Matahari yang amat hebat.

"Ihhh...!" Si kedok hitam itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi dia pun sama sekali bukan orang lemah. Pedangnya berkelebatan, menangkis dan balas menyerang sehingga dalam waktu singkat saja keduanya telah saling serang dengan mati-matian!

Setelah mereka bertanding selama dua puluh lima jurus, tahulah Kui Siang bahwa lawan ini bukan orang sembarangan. Pembunuh ini adalah seorang ahli pedang yang tangguh, maka ia pun mengimbangi permainan pedangnya dengan bantuan tangan kirinya yang kini turut pula menyerang dengan tebasan-tebasan tangan miring. Setiap kali tangan kirinya menyambar, terdengarlah suara bersiut dan tangan itu amat berbahaya karena dia sudah mempergunakan ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang menotok seperti tusukan pedang.

Pintu kamar besar keluarga raja muda itu terbuka, lantas muncullah Raja Muda Yung Lo dengan pedang di tangan. Juga dari kanan kiri bermunculan para pengawal pribadi, akan tetapi ketika para pengawal itu hendak mengeroyok si kedok hitam, Raja Muda Yung Lo memberi isyarat dengan tangan agar mereka tidak bergerak.

Agaknya raja muda yang juga memiliki kepandaian lumayan itu dapat melihat betapa Kui Siang tidak akan kalah oleh si kedok hitam, maka dia ingin menonton pertandingan hebat itu! Kini para pengawal hanya mengepung ruangan itu, tidak memberi jalan kepada lawan untuk lolos.

Agaknya si kedok hitam maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka dia berlaku nekat, menyerang dengan lebih gencar dengan maksud supaya kalau dia tewas pun dia akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi Kui Siang juga maklum akan kehadiran Raja Muda Yung Lo, maka dia mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya, terus mendesak lawan.

Si kedok hitam yang menerima tugas rahasia membunuh Raja Muda Yung Lo, melihat kesempatan baik karena raja muda itu berdIri di situ menonton perkelahian, secara diam-diam dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dengan tangan kiri. Begitu mendapat kesempatan baik, tangan kirinya lantas bergerak cepat menyambitkan tiga buah thi-lian-ci (biji teratai besi), yaitu senjata rahasia berbentuk biji teratai yang terbuat dari pada besi.

"Awas, Yang Mulia…l" Kui Siang berseru kaget seraya pedangnya bergerak cepat sekali menghantam pedang lawan karena saat itu lawan sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang Raja Muda Yung Lo.

Akan tetapi Raja Muda Yung Lo bukan seorang lemah. Dia juga pernah belajar ilmu silat, malah selama ini dia menjadi panglima yang memimpin pasukan besar yang menggempur sisa-sisa pasukan Mongol di daerah utara. Dia sudah mengalami banyak pertempuran, maka kalau hanya diserang senjata rahasia seperti itu saja, bukan merupakan hal yang berbahaya baginya. Tanpa diperingatkan Kui Siang pun, dia tidak akan mudah dirobohkan dengan serangan senjata rahasia thi-lian-ci.

Dia telah memutar pedangnya dan tiga buah thi-lian-ci itu pun terpukul runtuh. Sebaliknya pedang di tangan penyerang itu segera terlepas dan terpental ketika dipukul pedang Kui Siang sehingga kini si kedok hitam tidak lagi memegang senjata. Agaknya dia tahu bahwa akan sia-sia melarikan diri, maka dia pun berkata dengan suara angkuh kepada Kui Siang,

"Kalau memang engkau seorang gagah, mari kita melanjutkan pertandingan dengan tangan kosong!”

Kui Siang mengerutkan alis. Dia tidak sedang mengadu ilmu menguji kepandaian masing-masing, melainkan sedang menghadapi seorang penjahat yang hendak membunuh Raja Muda Yung Lo, maka tentu saja dia tidak beminat melayani tantangan orang yang sudah terdesak dan tinggal menangkap saja itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah raja muda itu, dia melihat raja muda itu mengangguk dan tersenyum kepadanya kemudian berkata,

"Nona Lim, aku ingin sekali melihat engkau mengalahkan jahanam ini dalam pertandingan tangan kosong."

Kui Siang sudah mengenal watak Yung Lo yang suka sekali akan kegagahan. Tentu kini Yung Lo ingin melihat adu kepandaian karena si penyerang itu cukup tangguh. Dan ia pun yakin bahwa raja muda itu sudah bersiap-siap bersama para pengawalnya kalau sampai dia terdesak atau terancam bahaya.

“Baik, Yang Mulia," katanya.

Dia pun menyimpan kembali Jit-kong-kiam, lalu menghadapi penjahat itu dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa penjahat itu lihai, maka begitu menghadapinya, dia sudah mengerahkan tenaga untuk memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu peninggalan tiga orang gurunya yang amat dia andalkan. Karena Sam-sian Sin-ciang mengandung unsur ilmu-ilmu ketiga orang Sam-sian, maka selain dalam kedua tangan gadis itu mengandung tenaga Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi), juga kedua telapak tangannya mengepulkan uap putih karena ilmu itu mengandung pula Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sakti Awan Putih) dari Pek-mau-sian Thio Ki...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 04

NAMUN ternyata mereka itu bukan seperti segerombolan anjing pemburu memperebutkan seekor kelinci, melainkan segerombolan anjing pemburu bertemu dengan seekor harimau betina yang galak dan perkasa!

Lili menyambut mereka dengan terjangan kaki tangannya. Gerakannya demikian tangkas, cepat dan kuat sekali sehingga dua belas orang pengawal yang merupakan pengawal pilihan itu segera terpelanting ke kanan kiri! Mereka terbanting dan mengaduh-aduh, mengalami patah tulang, babak belur dan benjol-benjol.

Kemudian bagaikan seekor burung walet tubuh Lili sudah menyambar ke arah Balkan dan Pangeran Ramamurti. Dua orang bangsawan ini terkejut dan hendak melarikan diri, akan tetapi sebuah tendangan membuat Balkan tersungkur dan sekali Lili menjulurkan tangan, dia telah mencengkeram pundak pangeran itu.

"Nona, apa kesalahanku, lepaskan!" kata pangeran itu meronta-ronta.

"Engkau lancang berani meminangku, ya?!" Lili membentak, lantas tangannya menampar beberapa kali. Kedua pipi pangeran itu menjadi merah membengkak. Lili mendorongnya dan dia pun terjengkang. "Engkau harus dihajar agar jangan berani lagi, datang ke sini!" kakinya menendang dan pangeran yang sedang merangkak bangun itu terlempar lagi.

"Lili, tahan!" terdengar bentakan nyaring.

Lili yang sudah ingin menggerakkan kakinya, cepat menahan tendangannya. Dia menoleh dan ternyata Sui In telah berdiri di situ dengan sikap marah. Sementara itu, Balkan yang sudah bangkit segera menolong Pangeran Ramamurti, memapahnya, dan bersama anak buah mereka yang sudah bangkit pula, mereka mencari kuda mereka, menunggang kuda dan rombongan itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

"Lili, engkau sungguh keterlaluan sekali! Apakah engkau sudah mulai berani menentang aku? Katakan, apakah engkau hendak menantang aku?" Cu Sui In marah sekali, matanya mencorong dan kedua tangannya bertolak pinggang.

Melihat ini, Lili menjatuhkan diri berlutut menghadap wanita yang pernah menjadi gurunya tapi sekarang menjadi suci-nya ini. Dia berlutut dan kedua matanya basah, akan tetapi dia mengeraskan hatinya sehingga tak sampai menangis. Dia bukan takut walau pun dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi suci-nya, akan tetapi dia berduka sekali melihat suci-nya demikian marah kepadanya dan sorot matanya seperti membencinya.

"Suci, sejak aku bisa mengingat, sejak kecil sekali, suci telah memeliharaku, merawat dan mendidik aku. Suci sayang kepadaku dan aku pun sangat sayang kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak akan mentaatimu? Suci, aku pasti akan mentaati apa pun yang suci perintahkan, dan aku akan membela suci dengan taruhan nyawa sekali pun. Akan tetapi… mengenai perjodohanku... bagaimana aku bisa melempar diriku ke dalam nasib yang akan menentukan hidupku selamanya? Suci, kalau aku menikah berarti aku berpisah dari suci, dan hidup selamanya di samping seorang laki-laki yang tidak kucinta. Bagaimana mungkin ini? Suci, kalau aku bersalah dan suci hendak menghukumku, silakan. Biar dihukum mati pun aku rela, tapi aku tetap tak akan mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak kucinta.”

Sui In tersenyum mengejek. "Huh, cinta? Mana ada cinta di dalam hati kaum pria? Kalau telah melampiaskan nafsu mereka. mereka pun akan bosan dan tidak mempedulikan kita lagi. Cinta? Cinta laki-laki adalah palsu, rayuan kosong hanya untuk memikat. Laki-laki itu seperti laba-laba yang memikat kupu-kupu agar terperangkap di sarangnya, kalau sudah dihisap sampai kering, bangkai kupu-kupu kemudian akan dicampakkan begitu saja. Aku menjodohkan engkau dengan seorang pangeran, itu berarti hidupmu akan terjamin, mulia, terhormat, berkecukupan sampai semua keturunanmu kelak. Namamu terjunjung tinggi, namaku dan nama ayahku ikut terangkat. Seorang pangeran, apa lagi kalau kelak menjadi raja, tidak akan mencampakkan isterinya begitu saja. Paling banyak dia menambah selir, akan tetapi isterinya akan tetap dimuliakan orang. Aku menyetujui perjodohan itu demi kebaikanmu, kenapa engkau menolak?"

"Maaf, suci. Bagaimana pun juga hati ini tidak akan merelakan kalau badan ini kuserahkan kepada orang yang tidak kucintai. Aku siap menerima hukuman asal suci jangan marah lagi kepadaku."

Sui In tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Kalau aku marah, semenjak tadi engkau telah kubunuh! Boleh saja engkau menolak lamaran, akan tetapi tak perlu bersikap kasar, apa lagi menyakiti rombongan pangeran itu. Sudahlah, apa engkau sudah memiliki pilihan hati, seorang pria yang kau cinta dan kau harapkan menjadi jodohmu?"

Karena dibesarkan di dalam lingkungan orang aneh, Lili juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh. Yang oleh wanita pada umumnya dianggap sebagai hal yang memalukan, mungkin baginya sama sekali tidak memalukan, begitu pula sebaliknya. Dia menjunjung kegagahan, wajar dan jujur, walau pun sering kali mengandalkan kekuatan dan kekerasan.

"Sudah, suci," jawabnya tegas.

Sui In mengerutkan alisnya, merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak tahu bahwa ternyata Lili sudah mempunyai seorang pacar! "Siapa dia? Pemuda dekat sini?"

"Dia orang jauh dan suci juga sudah mengenalnya."

"Kau amat cinta padanya?"

"Aku cinta padanya, merasa kagum, tetapi juga penasaran dan benci."

"Ehh?! Siapa pria aneh itu?"

"Dia Sin Wan, suci."

"Sin Wan...? Sepertinya nama itu pernah kudengar."

"Tentu saja. Dia murid dan putera mendiang Tangan Api Se Jit Kong."

"Aih, benar. Dia murid Sam-sian pula, bukan? Aihh, dia yang pernah memukuli pantatmu ketika engkau kecil itu?"

"Benar, akan tetapi aku sudah membalas memukuli pantatnya berikut bunganya. Aku... aku hanya mau berjodoh dengan dia, suci."

"Sudahlah. Engkau bilang selalu taat kepadaku. Sekarang aku akan memberimu sebuah tugas, maukah engkau melakukannya untuk aku?”

"Katakan apa tugas itu, suci. Akan kulakukan walau dengan pengorbanan nyawa sekali pun.”

“Mungkin saja engkau akan berkorban nyawa, karena orang yang kuingin agar kau bunuh ini memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”

"Suci ingin aku membunuh orang? Boleh saja, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu apa kesalahannya dan mengapa pula suci hendak membunuhnya."

"Dia adalah seorang pendekar yang perkasa, seorang tokoh Butong-pai yang sukar dicari tandingannya, terutama sekali ilmu pedangnya amat ditakuti orang. Akan tetapi aku yakin engkau akan dapat menandinginya dan mengalahkannya. Namanya Bhok Cun Ki, dan dia berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar perantau, tidak tentu tempat tinggalnya. Tetapi kalau engkau pergi ke Butong-pai dan mencari keterangan di markas Butong-pai, tentu engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."

"Hal itu mudah dilakukan, suci. Akan tetapi suci belum mengatakan mengapa suci hendak membunuhnya dan apa pula kesalahannya."

"Hemm, engkau bilang selalu taat kepadaku, kenapa sekarang kuberi tugas engkau malah ribut-ribut mendesak aku agar menceritakan sebab-sebabnya."

"Suci, aku tidak mau melupakan nasehat suhu. Kita tidak perlu berpihak kepada golongan mana pun, akan tetapi kita harus bertanggung jawab atas semua perbuatan kita. Itu baru gagah namanya. Setiap perbuatan kita harus dilandasi alasan kuat sehingga kita tak ragu-ragu melaksanakannya. Nah, karena itu aku ingin mengetahui dulu apa alasannya maka aku harus membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."

Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In biasanya berwatak keras, galak dan tidak sabar terhadap orang lain. Namun terhadap Lili dia tidak pernah memperlihatkan sikap kerasnya itu. Dia terlalu sayang kepada muridnya yang sekarang menjadi sumoi-nya itu. Dan kini, mendengar ucapan Lili itu, dia bahkan tersenyum.

Lili sendiri terpesona kalau melihat suci-nya tersenyum. Senyum suci-nya itu belum tentu dia lihat seminggu sekali! Bila suci-nya yang biasanya berwajah dingin itu tersenyum, dia benar-benar pantas disebut dewi karena nampak cantik jelita dan anggun. Betapa senyum seseorang dapat membuat wajahnya menjadi hidup dan cerah, bagaikan matahari muncul dari balik awan hitam.

"Lili, engkau benar-benar ingin tahu sebabnya? Sebabnya adalah karena Bhok Cun Ki itu adalah kekasihku...”

Lili memandang suci-nya dengan mata dibelalakkan lebar-lebar, dan kini Cu Sui In yang terpesona penuh kagum. Sumoi-nya ini memang cantik jelita, akan tetapi kalau matanya dibelalakkan seperti itu, sepasang mata itu menjadi besar dan bercahaya seperti bintang sehingga wajah itu manis bukan main.

"Aihhn, suci. Ini namanya puncak keanehan! Kalau memang dia itu kekasih suci, kenapa malah harus dibunuh?"

"Dua puluh tiga tahun yang lalu, ketika aku berusia dua puluh tahun dan dia berusia dua puluh dua tahun, kami saling mencinta dan kami saling bersumpah untuk sehidup semati. Bahkan aku sudah menyerahkan semua yang ada padaku kepadanya, menyerahkan jiwa ragaku kepadanya, akan tetapi... sesudah dia mengetahui bahwa aku adalah puteri See-thian Coa-ong, dia yang menganggap dirinya seorang pendekar Butong-pai lantas mundur dan meninggalkan aku, memutuskan hubungan. Padahal aku telah menyerahkan segala-galanya. Dia telah mengkhianatiku, bahkan kemudian dia menikah dengan seorang puteri bangsawan."

Wajah Lili berubah merah karena marah. "Suci! Kenapa sekian lamanya suci diam saja? Laki-laki pengkhianat semacam itu sudah selayaknya dibunuh. Kenapa dahulu suci tidak mencarinya dan membunuhnya? Dia tidak pantas hidup!"

Cu Sui In menggelengkan kepala dengan wajah sedih dan beberapa kali dia menghela napas panjang. "Sudah kucoba untuk mengeraskan hati, tetapi sia-sia saja, Lili. Aku... aku tidak tega membununnya, aku tetap mencintanya, sampai sekarang. Karena itu aku minta bantuanmu...”

"Suci, engkau membikin aku bingung saja. Jika sampai sekarang suci tetap mencintanya, kenapa suci melepaskannya begitu saja? Kenapa suci tidak bunuh saja perempuan yang merampasnya dan paksa dia menjadi suami suci?”

Sepasang mata Dewi ular Cantik itu mencorong marah. "Tidak! Aku tidak sudi mengemis cintanya! Tidak usah banyak komentar. Mau atau tidak engkau melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?”

"Tentu saja, suci. Aku siap melaksanakannya, aku siap membelamu meski pun aku harus mempertaruhkan nyawaku."

“Lili...” Sui In merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu. "Engkau memang anak baik, engkau sumoi yang baik. Pergilah, Lili, cari dia sampai dapat, kemudian bunuh dia, bunuh isterinya, bunuh anak mereka kalau ada. Lakukan itu untuk aku yang menderita selama dua puluh tiga tahun ini."

"Baik, suci. Jangan khawatir. Aku akan mencarinya, aku akan membunuhnya berikut anak isterinya. Pengorbanan suci selama dua puluh tiga tahun ini harus ditebus dengan nyawa mereka. Selama puluhan tahun suci menderita, tidak mau berdekatan dengan pria, semua itu demi cinta suci kepadanya. Tetapi dia malah meninggalkan suci dan menikah dengan perempuan lain!" Lili mengepal tinju.

"Nah, berangkatlah, Lili. Dengan ilmu pedang Pek-coa Kiam-sut, aku yakin engkau akan mampu mengalahkan ilmu pedangnya dari Butong-pai."

Ketika Lili berpamit kepada gurunya, setelah menceritakan tugas yang diberikan Cu Sui In kepadanya, See-thian Coa-ong menggeleng-gelengkan kepala.

"Manusia bisa gila karena cinta. Sui In mengubur dendam selama dua puluh tahun lebih dalam hatinya dan sekarang menghendaki engkau yang mewakilinya. Bahkan saat aku hendak turun tangan, dia selalu melarang. Sekarang aku tahu, ternyata dia menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kemampuan untuk mewakilinya. Kiranya selama ini dia menanam dendamnya karena dia sendiri tidak tega melakukannya, ha-ha-ha!”

Ketika Lili hendak berangkat, Cu Sui In mengantarnya sampai ke bawah puncak. “Lili, jika tugasmu sudah selesai, jangan pulang ke sini. Tahun depan aku dan ayah akan pergi ke Thai-san, di mana akan diadakan pemilihan bengcu sebagai pemimpin seluruh dunia persilatan dan merupakan jago nomor satu. Nah, di sanalah kita berjumpa, tahun depan satu bulan sesudah Perayaan Musim Semi atau Sin-cia. Kalau engkau kembali ke sini, aku khawatir kita tak akan dapat saling bertemu. Kalau kita bertemu di sana, engkau dapat memperkuat rombongan ayah.”

"Baik, suci."

Mereka berangkulan dan saling cium, lalu Lili menggunakan ilmu berlari cepat menuruni Puncak Bukit Ular, diikuti pandang mata Cu Sui In yang kini nampak tersenyum namun kedua matanya basah air mata!

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Malam itu gelap sekali. Di langit tidak ada bulan, tidak ada bintang karena semua bintang tertutup oleh awan hitam. Gelap gulita dan hawa udara amat dinginnya. Musim salju telah mendekati akhir, namun hawa udara justru sangat dingin sampai menusuk tulang. Semua air membeku dan gerimis salju hampir tidak pernah berhenti.

Karena malam begitu gelap dan dingin, maka kota Peking, walau pun merupakan ibu kota ke dua setelah Nan-king, malam itu sunyi sekali. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumah yang dihangatkan perapian. Kalau pun terpaksa keluar rumah karena mempunyai keperluan penting, mereka mengenakan pakaian kapas atau bulu yang tebal, menutupi kepala dan muka. Namun tetap saja hawa dingin menyusup ke dalam badan, bibir pecah-pecah dan pernapasan terasa sesak.

Di dalam istana Raja Muda Yung-Lo juga nampak sunyi. Para penjaga mengamankan dan menyamankan diri di dalam gardu-gardu penjagaan yang dihangatkan dengan perapian. Yang terpaksa melakukan perondaan, berpakaian tebal dan melakukan perondaan cepat-cepat agar bisa segera kembali ke gardu yang hangat. Lagi pula dalam udara sedingin itu, malam segelap itu, siapa sih orang yang usil dan mencari penyakit melakukan kejahatan di dalam istana yang terjaga ketat?

Para petugas jaga itu agaknya lupa bahwa orang-orang Mongol tidak pernah melepaskan segala kesempatan. Mereka adalah orang-orang yang masih merasa sangat penasaran ketika Kerajaan Mongol runtuh sedemikian mudahnya setelah bangsa Mongol menguasai Cina hampir seabad lamanya (1170-1260).

Para Pangeran Mongol yang berhasil menyelamatkan diri ke utara langsung membentuk sebuah jaringan dalam usaha mereka untuk menegakkan kembali kerajaan Mongol yang bertujuan menguasai Cina. Mereka menyusun jaringan mata-mata, lalu mengirim banyak orang pandai yang menyusup ke sebelah selatan Tembok Besar. Bahkan ada pangeran yang mengirim rombongan mata-mata yang pandai, melakukan penyusupan tidak melalui Tembok Besar di utara yang terjaga ketat, melainkan mengambil jalan memutar dari arah barat.

Malam yang sunyi dan dingin itu, yang membuat para penjaga serta pengawal di istana Raja Muda Yung Lo menjadi lengah dan malas, tidak lepas dari pengamatan para mata-mata Mongol. Dalam kegelapan malam itu, di waktu sebagian besar penduduk kota sudah meringkuk di dalam kamar masing-masing berselimut tebal, nampak tiga sosok bayangan berkelebatan di atas pagar tembok istana dan melayang turun di sebelah dalam! Dengan gerakan ringan dan cepat mereka menyelinap ke dalam taman, menghampiri bangunan istana yang megah dengan hati-hati sekali.

Gerakan mereka yang tanpa ragu-ragu dalam menghindari gardu-gardu penjagaan sudah membuktikan bahwa mereka bertiga itu mengenal baik sekali keadaan di situ dan semua gerakan mereka penuh dengan perhitungan yang matang.

Sementara itu di sebelah dalam istana tampak seorang wanita cantik berpakaian ringkas. Sebatang pedang menempel di punggungnya, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang suling perak. Wanita ini berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Di dagu kanannya terdapat hiasan bawaan lahir, yaitu setitik tahi lalat yang membuat wajahnya nampak semakin manis.

Matanya lembut akan tetapi kadang kala mencorong penuh wibawa. Bibirnya merah segar dengan bentuk menggairahkan. Pembawaannya amat tenang dan anggun, tetapi langkah kakinya menunjukkan bahwa dia memiliki tenaga dan kegesitan.

Ketika wanita melewati gardu penjagaan di dekat kolam ikan, di bagian paling dalam dari istana itu, di taman bunga kecil yang berada paling dalam, tempat bermain para wanita istana, dia pun menghampiri gardu. Melihat tiga orang prajurit pengawal wanita melenggut hampir pulas di bangku panjang, dia mengerutkan alisnya lantas jari tangannya mengetuk dinding gardu.

"Tok-tok-tokk!"

Tiga orang penjaga itu terkejut dan cepat berloncatan bangun sambil menyambar pedang mereka. Mereka langsung terbelalak ketika melihat bahwa yang mengejutkan mereka itu adalah atasan mereka.

Dengan alis berkerut wanita itu lalu menegur. "Beginikah caranya melakukan penjagaan? Kalian telah lengah! Seorang petugas yang baik tidak gentar menghadapi hawa dingin dan kesukaran apa pun!"

"Maafkan kami, Lim-lihiap (pendekar wanita Lim)," kata seorang di antara mereka sambil berdiri tegak dan memberi hormat.

"Baiklah, untung tidak terjadi apa-apa. Dalam keadaan yang amat dingin dan sunyi seperti ini, ketika para penjaga dalam keadaan lengah dan mengantuk, para penjahat sering kali mengambil kesempatan untuk bergerak. Lakukan penjagaan dengan ketat dan waspada!" Sesudah berkata demikian wanita itu meninggalkan mereka untuk melakukan perondaan dan pemeriksaan terhadap anak buahnya yang bertugas jaga di lingkungan istana itu.

Wanita muda yang perkasa ini adalah Lim Kui Siang, yang kini oleh raja muda Yung Lo telah dipercaya untuk menjadi kepala pengawal keluarga Raja Muda itu. Gadis perkasa ini memiliki ilmu kepandaian tinggi karena dia adalah murid Sam-sian pula. Dia adalah sumoi dari Sin Wan. Sebenarnya antara Lim Kui Siang dan Sin Wan yang saudara seperguruan itu terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam.

Bahkan guru-guru mereka pernah mengusulkan agar dua orang murid mereka yang saling mencinta itu dapat menjadi suami isteri. Keduanya menerima dengan baik dan Kui Siang memang sejak kecil kagum kepada Sin Wan, biar pun Sin Wan seorang yang berbangsa Uighur, bukan pribumi, sedangkan dia sendiri adalah puteri bangsawan karena mendiang ayahnya keturunan atau kebangsawanan.

Ketika Sin Wan melamarnya kepada para paman dan bibinya sebagai wakil ayah bunda yang sudah tiada, mereka menolak dan tidak menyetujui perjodohan itu. Bahkan mereka menghina Sin Wan yang dikatakan keturunan bangsa biadab! Kui Siang pun marah lantas mengusir para paman dan bibinya yang hanya mendekatinya karena menginginkan harta peninggalan ayahnya.

Kemudian dengan sepenuh hati ia hendak menghibur Sin Wan dan nekat melangsungkan perjodohan dengan suheng-nya itu. Tapi pada saat terakhir dia mendapat kenyataan yang sangat pahit baginya, yaitu bahwa Sin Wan adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong, yaitu Iblis Tangan Api yang telah membunuh ayahnya!

Biar pun Sin Wan hanya anak tiri, tetapi kenyataan ini membuat Kui Siang amat terpukul. Hancur rasa hatinya dan dia tidak mau mendekati suheng-nya lagi. Dia lalu meninggaikan suheng-nya itu dengan perasaan hancur. Ia amat mencinta suheng-nya, akan tetapi bagaimana mungkin dia berjodoh dengan anak angkat orang yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya? Dia akan merasa durhaka terhadap orang tuanya.

Sambil membawa hati yang remuk, dari tempat tinggal orang tuanya di kota raja Nan-king, Kui Siang lalu pergi ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, menjadi kepala pasukan pengawal keluarga pangeran atau raja muda itu. Kui Siang pun bekerja dengan tekun dan penuh pengabdian, bahkan dia mengganti pasukan thai-kam (laki-laki kebiri) dengan pasukan wanita yang digemblengnya.

Melihat ketekunan Kui Siang ini, Raja Muda Yung Lo semakin kagum. Sejak mengundang dan menjamu Pek-sim lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki yang datang bersama Sin Wan dan Kui Siang, dan melihat Kui Siang, Raja Muda Yung Lo merasa kagum dan tertarik sekali kepada ketiga orang ini.

Dia mendukung Bu Lee Ki untuk menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), menawarkan kedudukan panglima kepada Sin Wan, dan kedudukan kepala pengawal keluarga istana kepada Kui Siang. Sin Wan yang patah hati karena penolakan Kui Siang yang memutuskan hubungan cinta di antara mereka, tidak kembali ke Peking. Akan tetapi Kui Siang yang juga menderita duka itu, kembali ke Peking dan menerima penawaran kedudukan itu untuk menghibur hatinya.

Selama berada di istana dan bertugas sebagai kepala pengawal keluarga Raja Muda, Kui Siang melihat kenyataan betapa sikap raja muda itu terhadap dirinya demikian baiknya. Dari pandang mata raja muda itu ia tahu bahwa pria itu jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, biar pun dia sendiri kagum kepada raja muda ini, dia masih tidak mampu melupakan Sin Wan dan karena itu ia bersikap dingin saja sehingga Raja Muda Yung Lo belum berkenan menyatakan isi hatinya.

Di malam yang sunyi, gelap dan dingin itu, seperti biasa Kui Siang melakukan perondaan untuk memeriksa anak buahnya supaya mereka melakukan penjagaan dengan sebaiknya. Ketika dia melakukan pemeriksaan di bagian belakang, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan ke arah gardu penjagaan di belakang, kemudian terdengar jerit seorang wanita pengawal.

Kui Siang cepat meloncat ke tempat itu dan mendengar suara orang berkelahi. Dilihatnya betapa seorang anak buahnya menggeletak mandi darah, dan dua orang pengawal lain sedang berkelahi melawan dua orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup sutera hitam yang memiliki kepandaian amat lihai.

Kui Siang segera mengeluarkan suling peraknya kemudian meniupkan isyarat. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi yang dapat terdengar oleh semua anak buah yang sedang melakukan penjagaan. Dia merasa yakin bahwa sebentar lagi tempat itu akan dipenuhi anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang lebih. Dia sendiri tidak membantu anak buahnya menghadapi dua orang lawan yang lihai, namun cepat sekali dia meloncat ke dalam dan menuju ke arah ruangan di mana terdapat kamar Raja Muda Yung Lo dan keluarganya.

Kui Siang maklum bahwa dalam keadaan bahaya maka dapat dipastikan bahwa sasaran utama musuh tentulah sang raja muda. Karena itu dia membiarkan anak buahnya yang menghadapi penyerbu, sedangkan dia sendiri harus menjaga keselamatan raja muda dan keluarganya. Perhitungannya ternyata tepat. Baru saja dia tiba di depan kamar sang raja muda, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat laksana seekor burung besar melayang turun ke dalam ruangan yang nampaknya sunyi itu.

"Penjahat keji, menyerahlah kau!" bentak Kui Siang sambil meloncat keluar menghadapi bayangan hitam itu.

Bayangan itu memakai pakaian serba hitam, mukanya dari hidung ke bawah tertutup kain sutera hitam. Yang kelihatan hanyalah sepasang matanya yang mencorong tajam. Tubuh itu tinggi kurus dan gerakannya tadi ringan dan gesit sekali. Agaknya bayangan itu terkejut melihat Kui Siang. Tadinya dia mengira bahwa dua orang kawannya yang memancing keributan di gardu penjagaan belakang itu tentu akan menarik semua pengawal ke sana sehingga dia akan leluasa bergerak membunuh raja muda. Tapi siapa kira, pemimpin pasukan pengawal yang dia dengar memiliki ilmu kepandaian tinggi ini bahkan tiba-tiba saja muncul di situ. Tanpa banyak cakap lagi bayangan itu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat, menusuk ke dada Kui Siang.

"Singggg...!"

Saking kuatnya tusukan ini, pedang itu sudah mengeluarkan suara berdesing ketika lewat di samping tubuh Kui Siang yang mengelak dengan gerakan cepat. Namun pedang yang luput dari sasaran itu lantas membalik, kini menyambar dan membacok ke arah leher!

Kui Siang terkejut juga. Ternyata penyerang ini memang lihai dan mempunyai gerakan pedang yang cepat dan kuat. Dia pun melompat ke belakang sambil mencabut Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) peninggalan mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang). Nampak cahaya menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut. Ketika Kui Siang memutar pedangnya, lenyaplah bentuk pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang membuat ruangan itu nampak lebih terang. Itulah ilmu pedang Sinar Matahari yang amat hebat.

"Ihhh...!" Si kedok hitam itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi dia pun sama sekali bukan orang lemah. Pedangnya berkelebatan, menangkis dan balas menyerang sehingga dalam waktu singkat saja keduanya telah saling serang dengan mati-matian!

Setelah mereka bertanding selama dua puluh lima jurus, tahulah Kui Siang bahwa lawan ini bukan orang sembarangan. Pembunuh ini adalah seorang ahli pedang yang tangguh, maka ia pun mengimbangi permainan pedangnya dengan bantuan tangan kirinya yang kini turut pula menyerang dengan tebasan-tebasan tangan miring. Setiap kali tangan kirinya menyambar, terdengarlah suara bersiut dan tangan itu amat berbahaya karena dia sudah mempergunakan ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang menotok seperti tusukan pedang.

Pintu kamar besar keluarga raja muda itu terbuka, lantas muncullah Raja Muda Yung Lo dengan pedang di tangan. Juga dari kanan kiri bermunculan para pengawal pribadi, akan tetapi ketika para pengawal itu hendak mengeroyok si kedok hitam, Raja Muda Yung Lo memberi isyarat dengan tangan agar mereka tidak bergerak.

Agaknya raja muda yang juga memiliki kepandaian lumayan itu dapat melihat betapa Kui Siang tidak akan kalah oleh si kedok hitam, maka dia ingin menonton pertandingan hebat itu! Kini para pengawal hanya mengepung ruangan itu, tidak memberi jalan kepada lawan untuk lolos.

Agaknya si kedok hitam maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka dia berlaku nekat, menyerang dengan lebih gencar dengan maksud supaya kalau dia tewas pun dia akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi Kui Siang juga maklum akan kehadiran Raja Muda Yung Lo, maka dia mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya, terus mendesak lawan.

Si kedok hitam yang menerima tugas rahasia membunuh Raja Muda Yung Lo, melihat kesempatan baik karena raja muda itu berdIri di situ menonton perkelahian, secara diam-diam dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dengan tangan kiri. Begitu mendapat kesempatan baik, tangan kirinya lantas bergerak cepat menyambitkan tiga buah thi-lian-ci (biji teratai besi), yaitu senjata rahasia berbentuk biji teratai yang terbuat dari pada besi.

"Awas, Yang Mulia…l" Kui Siang berseru kaget seraya pedangnya bergerak cepat sekali menghantam pedang lawan karena saat itu lawan sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang Raja Muda Yung Lo.

Akan tetapi Raja Muda Yung Lo bukan seorang lemah. Dia juga pernah belajar ilmu silat, malah selama ini dia menjadi panglima yang memimpin pasukan besar yang menggempur sisa-sisa pasukan Mongol di daerah utara. Dia sudah mengalami banyak pertempuran, maka kalau hanya diserang senjata rahasia seperti itu saja, bukan merupakan hal yang berbahaya baginya. Tanpa diperingatkan Kui Siang pun, dia tidak akan mudah dirobohkan dengan serangan senjata rahasia thi-lian-ci.

Dia telah memutar pedangnya dan tiga buah thi-lian-ci itu pun terpukul runtuh. Sebaliknya pedang di tangan penyerang itu segera terlepas dan terpental ketika dipukul pedang Kui Siang sehingga kini si kedok hitam tidak lagi memegang senjata. Agaknya dia tahu bahwa akan sia-sia melarikan diri, maka dia pun berkata dengan suara angkuh kepada Kui Siang,

"Kalau memang engkau seorang gagah, mari kita melanjutkan pertandingan dengan tangan kosong!”

Kui Siang mengerutkan alis. Dia tidak sedang mengadu ilmu menguji kepandaian masing-masing, melainkan sedang menghadapi seorang penjahat yang hendak membunuh Raja Muda Yung Lo, maka tentu saja dia tidak beminat melayani tantangan orang yang sudah terdesak dan tinggal menangkap saja itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah raja muda itu, dia melihat raja muda itu mengangguk dan tersenyum kepadanya kemudian berkata,

"Nona Lim, aku ingin sekali melihat engkau mengalahkan jahanam ini dalam pertandingan tangan kosong."

Kui Siang sudah mengenal watak Yung Lo yang suka sekali akan kegagahan. Tentu kini Yung Lo ingin melihat adu kepandaian karena si penyerang itu cukup tangguh. Dan ia pun yakin bahwa raja muda itu sudah bersiap-siap bersama para pengawalnya kalau sampai dia terdesak atau terancam bahaya.

“Baik, Yang Mulia," katanya.

Dia pun menyimpan kembali Jit-kong-kiam, lalu menghadapi penjahat itu dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa penjahat itu lihai, maka begitu menghadapinya, dia sudah mengerahkan tenaga untuk memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu peninggalan tiga orang gurunya yang amat dia andalkan. Karena Sam-sian Sin-ciang mengandung unsur ilmu-ilmu ketiga orang Sam-sian, maka selain dalam kedua tangan gadis itu mengandung tenaga Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi), juga kedua telapak tangannya mengepulkan uap putih karena ilmu itu mengandung pula Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sakti Awan Putih) dari Pek-mau-sian Thio Ki...