Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KETIKA melihat dara itu betul-betul menghadapinya dengan tangan kosong, si kedok hitam menjadi berani dan nekat. Sambil mengeluarkan teriakan melengking, dia pun menerjang dengan gerakan nekat sehingga seluruh tenaga serta kepandaiannya dia kerahkan untuk membunuh lawan. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat lolos dan entah bagaimana pula nasib kedua orang rekannya. Maka, sebelum tertawan dan dibunuh, dia harus dapat lebih dulu membunuh lawannya ini sehingga matinya tidak akan sia-sia.

Akan tetapi, dengan pahit dia segera melihat kenyataan bahwa kalau tadi ketika mereka bertanding dengan pedang mereka masih dapat dibilang seimbang, kini setelah bertanding dengan tangan kosong, dia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong gadis itu hebat bukan main. Kedua tangan yang mengepulkan uap putih itu mengandung tenaga yang membuat dia tergetar setiap kali mereka beradu lengan.

Dan betapa pun dia mendesak dan menerjang bertubi-tubi dengan cepat, tetap saja dia tidak mampu menyentuh tubuh lawannya yang bergerak cepat luar biasa. Dengan langkah berputar-putar yang aneh, tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri atau belakangnya.

Sesudah lewat tiga puluh jurus, si kedok hitam merasa pening, matanya berkunang dan gerakannya kacau balau sehingga dia tak lagi dapat melindungi dirinya dengan baik. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Siang untuk menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala lawan. Ketika lawannya mengelak ke sebelah kirinya, dia menyambut dengan serangan intinya, yaitu jari tangannya yang kiri menotok.

Terdengar bunyi bercuitan ketika dia mempergunakan ilmunya yang mengandung totokan Kiam-ci (Jari Pedang) dan tubuh lawan itu langsung roboh terjengkang. Saking cepatnya gerakan jari tangan gadis itu, sukar dilihat tetapi tahu-tahu si topeng hitam itu terjengkang roboh dan tewas seketika karena tepat di tengah dahinya telah tertembus jari tangan Kui Siang yang tiada ubahnya sebatang pedang runcing ketika dia menggunakan ilmunya.

Raja Muda Yung Lo bertepuk tangan memuji dengan hati girang dan kagum bukan main. "Bagus sekali, Nona Lim."

"Yang Mulia, di belakang masih ada dua orang penyerbu. Hamba hendak melihatnya ke sana!" kata Kui Siang dan tanpa menanti jawaban raja muda itu, dia pun sudah meloncat dengan cepat menuju ke belakang.

Akan tetapi setelah tiba di gardu penjagaan, dia merasa kecewa. Ada enam orang anak buahnya yang terluka, akan tetapi dua orang yang dikeroyok anak buahnya tadi mampu meloloskan diri walau pun menurut keterangan anak buahnya, kedua orang itu lari sambil membawa luka di tubuh mereka.

Kedok sutera hitam itu dibuka dari wajah orang yang sudah tewas, namun tidak ada yang mengenalnya. Akan tetapi dari bentuk wajahnya mudah diduga bahwa tentu dia adalah seorang Mongol atau setidaknya peranakan Mongol. Memang, sesudah menjajah selama hampir satu abad lamanya, bangsa Mongol sudah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu penduduk pribumi, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi jagoan ahli silat yang tangguh.

Pada keesokan harinya, setelah selesai mengadakan rapat pertemuan dengan para hulu balang, Raja muda Yung Lo masuk ke dalam ruang duduk di belakang, lalu dia memanggil Kui Siang agar datang menghadap karena ada urusan penting yang hendak dia bicarakan. Ketika Kui Siang memasuki ruang duduk di belakang, ruangan di mana raja muda itu suka mengadakan latihan silat, dia melihat Raja Muda Yung Lo dalam pakaian ringkas, pakaian olah raga, duduk seorang diri di situ. Tidak nampak seorang pun pengawal di ruangan itu, juga di luar ruangan.

Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Kui Siang yang menganggap raja muda itu sungguh kurang hati-hati membiarkan diri sendiri tanpa dikawal. Disangkanya bahwa raja muda itu akan mengajaknya berlatih silat, karena biasanya raja muda itu suka berbincang-bincang, bahkan berlatih silat dengannya.

"Yang Mulia, hamba tidak melihat seorang pun pengawal di sini. Sungguh berbahaya bila paduka berada seorang diri saja...”

Raja Muda Yung Lo tersenyum, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar wanita itu mengambil tempat duduk. "Kui Siang, duduklah. Mengapa berbahaya? Aku berada di dalam istana yang terkurung penjagaan rapat. Pula, aku bukan anak kecil atau orang lemah. Tidak suka aku ke mana-mana harus dijaga pengawal. Lagi pula sekarang aku ingin berdua saja denganmu, ada yang hendak kubicarakan denganmu."

Wajah gadis itu berubah kemerahan. Biasanya pangeran itu menyebutnya Nona Lim atau nona saja, mengapa sekarang menyebut namanya begitu saja? Perubahan sebutan yang bukan tidak menyenangkan karena lebih akrab, akan tetapi juga membuat dia tersipu.

"Yang Mulia hendak membicarakan kepentingan apakah dengan hamba?" tanya gadis ini dengan suara biasa saja sambil duduk menghadapi raja muda itu, terhalang sebuah meja.

Raja Muda Yung Lo memandang wajah Kui Siang, sambil beberapa kali menghela napas panjang, agaknya sukar baginya untuk berbicara. Yung Lo merupakan seorang pangeran yang semenjak dia kecil telah mengenal perjuangan ayahnya, mengenal perang. Bahkan sesudah dewasa dia merupakan seorang di antara pangeran yang paling rajin membantu ayahnya untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Beng yang baru.

Dia merupakan pangeran yang paling berjasa, paling cakap mengatur pasukan, karena itu oleh ayahnya, Kaisar Thai-cu pendiri Kerajaan Beng, dia lalu dipercaya untuk memimpin pertahanan yang terberat dan paling penting, yaitu pertahanan terhadap bangsa Mongol yang tentu saja selalu berusaha untuk membangun kembali kekuasaan mereka di selatan yang sudah runtuh. Karena kemampuannya, dia diangkat menjadi raja muda oleh kaisar, dan diberi hak serta kekuasaan di utara, dengan ibu kota Peking. Dan ternyata memang dia mampu.

Raja muda yang usianya baru tiga puluh tahun lebih ini memang gagah. Alisnya berbentuk golok, matanya dengan kedua ujung agak menyerong ke atas itu lebar dan bersinar tajam, hidungnya besar, mulutnya dan dagunya membayangkan keteguhan hati dan kemampuan besar, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pendeknya, wajah seorang laki-laki jantan.

Setelah beberapa kali menghela napas panjang dan nampak ragu, akhirnya raja muda itu berkata, “Kui Siang, sungguh aku sendiri merasa heran mengapa sekali ini terasa sangat berat dan sukar bagiku untuk bicara. Selama hidupku belum pernah aku merasa demikian tegang, dan hal ini saja sudah membuktikan kepadaku bahwa memang aku bicara dari hatiku, bukan sekedar bicara saja. Nah, ketahuilah bahwa semenjak pertama kali bertemu denganmu, ketika engkau datang bersama Sin Wan dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, aku merasa kagum sekali padamu. Karena kekagumanku, maka aku mengangkatmu menjadi kepala pengawal keluarga dan ternyata pilihan dan keputusanku itu memang tepat sekali. Engkau bekerja dengan baik, dapat membentuk pasukan pengawal wanita yang kuat dan dapat dipercaya, bahkan malam tadi engkau bersama pasukanmu telah berhasil menahan pembunuh-pembunuh yang dapat menyelinap masuk mengelabui para prajurit pengawal pria di luar istana."

"Hamba hanya melaksanakan tugas, Yang Mulia. Sayang bahwa dua orang di antara para penjahat itu lolos. Mereka adalah orang-orang tangguh dan pasukan hamba yang belum menguasal ilmu silat tinggi bukan lawan mereka."

Raja Muda Yung Lo tersenyum dan pandang matanya semakin terkagum. Gadis ini selain cantik jelita, manis budi, lihai ilmu silatnya, masih ditambah lagi rendah hati. Semua sifat inilah yang membuat dia terkagum-kagum sehingga dia telah mengambil keputusan bulat sebelum memanggil Kui Siang.

"Sudahlah, Kui Siang. Bagaimana pun juga pasukanmu telah berjasa besar, dan terutama sekali engkau sendiri. Aku ingin sekali mengutarakan isi hatiku kepadamu, tetapi apa bila pernyataanku ini menyinggung perasaanmu, aku harap engkau suka memaafkan aku, Kui Siang. Aku suka akan kejujuran, keterus-terangan, dari pada menyimpan sesuatu di hati, dan aku pun tidak ingin memaksakan kehendak dan keinginan hatiku terhadap orang lain, terutama sekali kepadamu. Jadi, bila nanti ucapanku ini tidak berkenan di hatimu, anggap saja tidak ada dan tetaplah bekerja seperti biasa. Engkau mau berjanji demikian?”

Kui Siang mengangguk, jantungnya berdebar tegang. "Katakanlah, Yang Mulia."

"Kui Siang, setelah engkau bekerja di sini, kekagumanku makin bertambah-tambah, dan akhirnya aku melihat kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. Selama hidupku belum pernah aku melakukan pinangan secara langsung kepada seorang gadis, tetapi kali ini aku melanggar semua hukum adat yang berlaku. Sekarang aku meminangmu untuk menjadi isteriku, seorang di antara selirku, dengan demikian aku akan selalu bersamamu tanpa khawatir pada suatu hari engkau akan berpisah dariku.”

Kui Siang menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Dia dipinang oleh seorang raja muda! Walau pun hanya dipinang menjadi selir karena raja muda itu sudah beristeri dan mempunyai beberapa orang selir, akan tetapi hal itu sudah merupakan suatu kehormatan yang tak pernah dia mimpikan. Raja muda ini seorang pangeran! Dan harus dia akui bahwa dia juga kagum sekali kepada Yung Lo.

Hanya ada satu hal, malah ada dua hal yang membuat dia menunduk dengan hati seperti ditusuk. Pertama dia merasa bahwa hatinya telah menjadi milik Sin Wan. Ia mencinta Sin Wan dan sampai sekarang pun dia masih mencinta pemuda itu walau pun rasa baktinya terhadap orang tuanya tidak memungkinkan dia menikah dengan anak tiri dari pembunuh ayahnya itu. Dan kenyataan kedua adalah bahwa meski pun dia amat kagum dan hormat kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi dia tidak mencintanya.

Yang membuat dia bingung sekali adalah karena dia tidak berani atau tidak tega untuk menolak. Dia tahu bahwa betapa bijaksana pun Raja Muda Yung Lo, akan tetapi sebagai seorang lelaki yang ditolak cintanya oleh seorang wanita, tentu raja muda itu akan merasa tersinggung, akan merasa diremehkan, malu dan terpukul. Dia menjadi serba salah!

Menerima pinangan berarti bertentangan dengan perasaan hatinya, sedangkan menolak berarti akan menyinggung perasaan orang yang dijunjung dan dihormatinya, dan sesudah menolak, rasanya tak mungkin lagi dia mempertahankan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi di situ. Apa yang harus dia lakukan?

Raja Muda Yung Lo mengamati wajah yang menunduk itu dan sinar matanya memandang penuh selidik. Sebagai seorang yang berpengalaman, tanpa mendengar jawaban dengan kata-kata pun dia tahu bahwa pernyataannya tadi telah mengguncang hati Kui Siang dan membuat gadis itu merasa canggung, serba salah dan agaknya sukar untuk mengambil keputusan.

"Kui Siang, tak perlu engkau bingung menghadapi pinanganku. Ketahuilah bahwa selama ini aku tidak pernah meminang gadis. Semua wanita yang menjadi isteri dan selir-selirku hanya dihubungi seorang perantara yang menjadi utusan dan tidak seorang pun di antara mereka ragu-ragu untuk menerima pinanganku. Akan tetapi engkau lain Kui Siang. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis dari dunia persilatan, walau pun dahulu engkau seorang puteri bangsawan. Karena itu aku melamar sendiri dan engkau pun bebas untuk menentukan jawabanmu. Andai kata engkau tidak setuju sehingga tidak dapat menerima pinanganku, jangan takut untuk memberi jawaban sejujurnya."

Mendengar ucapan raja muda itu, Kui Siang mengangkat muka memandang. Sejenak dua pasang mata bertemu pandang, lalu bertaut dan akhirnya Kui Siang yang menundukkan mukanya. "Yang Mulia, maafkan hamba. Semua ini begitu tiba-tiba datangnya, dan tidak tersangka-sangka. Bagaimana mungkin hamba dapat menjawab seketika? Perkara ini menyangkut masa depan kehidupan hamba, sudah selayaknya kalau dipikirkan masak-masak sebelum menjawab, apa lagi paduka menghendaki agar hamba menjawab dengan sejujurnya."

Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk, kemudian mengelus jenggotnya yang rapi. Dia semakin kagum karena jawaban Kui Siang itu membuktikan bahwa gadis ini memang jujur dan bijaksana. "Baiklah, Kui Siang. Aku mengerti dan memang engkau benar. Nah, kuberi waktu sebulan kepadamu. Cukupkah waktu itu?"

Kui Siang menarik napas lega dan memandang kepada raja muda itu dengan sinar mata berterima kasih. "Terima kasih, Yang Mulia. Satu bulan sudah lebih dari pada cukup bagi hamba untuk mempertimbangkan dan memikirkannya."

"Nah, sekarang jangan pikirkan lagi pembicaraan kita tadi. Mari kita berlatih, dan aku ingin sekali mengenal lebih baik ilmu silat tangan kosong yang malam tadi kau gunakan untuk mengalahkan pembunuh. Belum pernah aku melihat engkau memainkannya. Silat apakah itu?"

Kini sikap raja muda itu sudah berubah sama sekali, pulih seperti biasa ramah dan sikap ini membuat Kui Siang amat bersyukur karena dia tidak merasa rikuh dan canggung lagi. Raja muda ini memang seorang laki-laki pilihan, bukan perayu, bukan pula pria yang suka mempergunakan kekuasaan harta mau pun kedudukan untuk menundukkan wanita dan mematahkan perlawanan mereka.

Dia pun bisa membayangkan betapa boleh dibilang setiap orang wanita akan menyambut pinangannya dengan hati dan tangan terbuka. Siapa tidak akan merasa bangga menjadi isteri atau selir pangeran yang kini menjadi raja muda, seorang laki-laki jantan yang selain berkedudukan tinggi, berwajah ganteng, gagah perkasa, juga jujur dan tidak congkak ini?

"Sin Wan....!" nama ini bergema terus, bahkan keluar melalui bisikan mulutnya ketika dia sudah rebah seorang diri di dalam kamarnya.

Pinangan Raja Muda Yung Lo mengundang kenangan lama dan membuat wajah Sin Wan terus saja terbayang di depan matanya. Sekuat hati Kui Siang mencoba untuk mengusir bayangan itu, namun semakin diusir, wajah suheng-nya itu nampak semakin jelas. Engkau bodoh, demikian dia memaki dirinya sendiri. Bagaimana dalam keadaan sedang menerima pinangan seorang laki-laki seperti Raja Muda Yung Lo, dia malah mengenang pemuda semacam Sin Wan itu? Seorang pemuda yang menurut para paman dan bibinya sama sekali tidak pantas menjadi suaminya!

Menurut mereka, Sin Wan adalah seorang pemuda berdarah bangsa liar, bukan pribumi, keturunan bahkan berdarah Uighur, bangsa biadab, selain itu dia juga seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa, pangkat tidak harta pun tidak. Apa yang diandalkannya untuk merjadi suaminya?

"Aih, mereka itu orang-orang tamak, mata duitan dan gila pangkat," ia membela Sin Wan.

Akan tetapi, satu hal yang membuat dia mengenang Sin Wan dengan hati tidak senang adalah kenyataan bahwa suheng-nya itu adalah putera dari mendiang Se Jit Kong, Si Iblis Tangan Api, datuk sesat yang jahat bukan kepalang, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya.

Bahkan kakek Bu Lee Ki, pemimpin semua Kai-pang yang bijaksana itu pun menjauhkan diri dari Sin Wan sesudah mengetahui bahwa Sin Wan putera Se Jit Kong! Bagaimana mungkin putera seorang datuk jahat seperti itu, walau pun hanya putera tiri, dapat menjadi seorang yang baik dan tidak akan mewarisi watak Se Jit Kong yang jahat?

Lalu terbayanglah wajah Sin Wan. Terbayang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berkulit gelap, wajahnya jantan dan tampan gagah. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok seperti alis Raja Muda Yung Lo, matanya lebar bersinar-sinar, hidungnya tinggi mancung agak besar, mulutnya membayangkan keteguhan hati. Tubuh itu berukuran sedang, tetapi bahunya bidang, tegap, dan langkahnya seperti langkah harimau.

"Sin Wan...,” dia menghela napas panjang.

Dia mencinta suheng-nya itu, pernah sangat mencintanya dan masih tetap mencintanya, dan mungkin takkan pernah mampu melupakannya. Baginya, kebangsaan Sin Wan, juga kenyataan bahwa dia miskin, papa dan tidak memiliki kedudukan, bukan apa-apa. Akan tetapi, dia adalah putera Se Jit Kong!

"Sin Wan....!" dia mengeluh sebelum akhirnya pulas dan di dalam tidur pun dia bermimpi, bertemu kembali dengan Sin Wan dan dalam mimpi itu pun dia tetap mencinta Sin Wan.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dahulu Kui Siang yang gelisah mempertimbangkan pinangan Raja Muda Yung Lo. Untung baginya bahwa Raja Muda Yung Lo memberi waktu sebulan kepadanya, cukup lama baginya untuk mempertimbangkan dengan masak sebelum memberi jawaban yang pasti.

Memang tepat apa yang menjadi persangkaan Raja Muda Yung Lo dan para pembantunya bahwa pembunuh yang tewas di tangan Kui Siang itu adalah seorang mata-mata Mongol. Beberapa hari sejak kegagalan tiga orang pembunuh yang berhasil menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo itu, dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit yang sunyi, nampak berkelebatnya bayangan beberapa orang memasuki kuil tua itu.

Di dalam ruang belakang kuil tua itu telah duduk menanti seorang lelaki yang berpakaian serba hitam. Tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut, akan tetapi wajahnya tertutup topeng hitam pula, terbuat dari sutera yang hanya memperlihatkan sepasang matanya yang tajam mencorong. Karena kepalanya juga tertutup, sukarlah menaksir bagaimana bentuk wajahnya dan berapa kira-kira usianya. Namun mata itu sungguh berwibawa dan tajam menyeramkan.

Dan di luar kuil tua itu, di empat penjuru, ada banyak penjaga yang bersembunyi sambil mengamati keadaan kuil dan mereka memperhatikan dengan teliti siapa saja yang datang memasuki kuil di siang hari itu. Dari tempat mereka berjaga, kalau ada orang menuju kuil, baru mendaki puncak bukit itu saja sudah kelihatan sehingga tempat itu betul-betul aman, tidak mungkin dapat dikunjungi orang luar tanpa mereka melihatnya.

Beberapa bayangan orang yang berkelebat memasuki kuil itu ternyata adalah lima orang yang dari gerakan mereka mudah saja diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Memang mereka adalah lima orang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, terdiri dari lima orang saudara seperguruan yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali permainan golok besar mereka.

Mereka dikenal sebagai Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam) dan ke limanya memang selalu mengenakan pakaian serba hitam, walau pun bukan terbuat dari sutera hitam halus seperti yang dipakai laki-laki yang duduk di ruangan belakang kuil itu. Sesuai namanya, Hek I Ngo-liong terdiri dari lima orang. Orang pertama adalah Coa Ok yang berusia lima puluh tiga tahun dan bertubuh gendut. Adik kandungnya yang bernama Coa Kun, yang kini usianya lima puluh tahun dan bertubuh pendek dengan kepala botak menjadi orang yang ke dua.

Orang ke tiga dan ke empat juga dua orang kakak beradik, bernama Bhe It berusia lima puluh tahun yang tinggi kurus dan Bhe Siu berusia empat puluh lima tahun yang wajahnya tampan dan pesolek. Sedangkan orang ke lima bernama Kwan Su berusia empat puluh tahun, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya paling jelek karena hitam dan penuh cacat bekas cacar.

Mereka masing-masing mempunyai ilmu golok yang tangguh, apa lagi mereka biasa maju bersama, maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka kalau maju bersama sebagai to-tin (barisan golok), sukar dapat dikalahkan lawan. Belasan tahun yang lalu, ketika terjadi perebutan benda-benda pusaka istana kaisar yang dicuri Se Jit Kong kemudian terjatuh ke tangan Sam-sian, Hek I Ngo-liong ini juga pernah ikut mencoba merampasnya dari tangan Sam-sian. Akan tetapi mereka bukan tandingan Sam-sian. Biar pun mereka maju berlima menghadapi mendiang Kiam-sian, Dewa Pedang yang semula terdesak itu akhirnya dapat mengalahkan mereka.

Kalau seorang Dewa Pedang saja dengan susah payah baru dapat mengalahkan mereka, maka dapat dibayangkan betapa tangguhnya kelima orang Naga Baju Hitam ini! Mereka tangguh, kejam, tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, bahkan congkak. Akan tetapi kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat sikap mereka pada saat memasuki ruangan belakang kuil tua dan berhadapan dengan si kedok hitam yang duduk di atas kursi, orang akan merasa heran. Lima orang Hek I Ngo-liong itu memberi hormat dengan sikap yang merendah sekali. Mereka mengangkat kedua tangan ke depan dada, lantas membungkuk sampai pinggang mereka terlipat ke depan, dan dengan irama kacau mereka menyebut, “Yang Mulia" kepada orang berkedok itu!

Tanpa bangkit dari tempat duduknya dan dengan sikap penuh wibawa, orang berkedok itu memandang lima orang pendatang dengan sinar matanya yang mencorong penuh selidik, lalu mengangguk dan terdengarlah suaranya yang dalam dan parau, namun kata-katanya teratur rapi seperti cara bicara seorang bangsawan tinggi.

"Selamat datang, Hek I Ngo-liong. Duduklah, kita masih menunggu datangnya beberapa rekan lagi.”

"Baik Yang Mulia," kata Coa Ok mewakili mereka berlima, dan mereka pun mengambil tempat duduk.

Di sana sudah diatur bangku-bangku yang mengelilingi sebuah meja besar. Karena orang berkedok itu hanya duduk dengan tegak, tidak memandang lagi kepada mereka, juga tak mengeluarkan sepatah kata pun, diam seperti patung, Hek I Ngo-liong juga duduk diam. Bahkan lima orang yang biasanya acuh dan tidak menghormati orang lain ini, yang biasa bersikap kasar dan mau menang sendiri, kini seperti lima ekor tikus berhadapan dengan seekor kucing yang galak. Mereka mati kutu dan tidak berani bergerak!

Memang mengherankan sekali. Akan tetapi bila orang sudah tahu siapa si kedok hitam ini, tentu mereka mengerti mengapa Hek I Ngo-liong bersikap demikian takut. Mereka berlima juga tak pernah melihat wajah asli si kedok hitam dan hanya mengenalnya sebagai ‘Yang Mulia’ saja. Mereka hanya tahu bahwa si kedok hitam ini memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang rata-rata lihai bukan main. Yang membuat dia ditakuti adalah karena mudah saja dia membunuh orang, akan tetapi juga mudah memberi hadiah yang luar biasa royalnya.

Hek I Ngo-liong sendiri sudah banyak menerima hadiah dari Yang Mulia, dan mereka tahu bahwa mereka berlima sama sekali bukanlah tandingan dari orang aneh itu. Mereka juga tahu bahwa Yang Mulia ini merupakan seorang di antara para pimpinan yang berusaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol! Mereka bekerja secara rahasia, akan tetapi sudah membuat jaringan yang kuat, mempunyai banyak anak buah yang dijadikan mata-mata dan tersebar di mana-mana.

Tidak lama kemudian nampak ada dua bayangan orang berkelebat dan muncul dua orang yang berpakaian ringkas. Keduanya bertubuh tinggi kurus dan melihat usia mereka, tentu mereka berusia sekitar empat puluh tahun. Wajah keduanya pucat dan biar pun gerakan mereka masih ringan dan cepat, namun yang seorang agak terpincang dan seorang lagi membungkuk.

Ternyata keduanya sedang menderita luka, seorang terluka pada paha dan seorang lagi di punggung. Begitu tiba di ruangan itu, keduanya menjatuhkan diri dan memberi hormat dengan setengah berlutut kepada Yang Mulia.

Sepasang mata di balik kedok itu berkilat menyambar. "Kalian berdua yang telah gagal menunaikan tugas, duduklah dulu."

Dengan wajah nampak pucat kedua orang itu bangkit, menggumamkan terima kasih lalu duduk di sudut terjauh dari tempat duduk si kedok hitam. Suasana sunyi, bukan saja amat mencekam bagi dua orang itu, melainkan Hek I Ngo-liong yang biasanya tabah itu pun nampak saling pandang dan jelas bahwa mereka pun merasa tegang.

Tidak lama kemudian berkelebat bayangan lain dan di situ sudah berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi kurus, usianya enam puluh tahun lebih dan di punggungnya nampak sarung pedang yang berisi dua batang pedang pasangan. Begitu tiba di ruangan itu, dia menatap ruangan itu dengan pandang matanya, kemudian melangkah maju menghadapi si kedok hitam dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

"Yang Mulia, saya datang mewakili semua saudara saya seperti yang dikehendaki Yang Mulia.”

Orang berkedok itu memandang sejenak lalu mengangguk-angguk. "Engkau yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding), bukan? Engkau mewakili Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Setan Tanpa Tanding)? Duduklah!"

Orang yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo itu menghaturkan terima kasih, kemudian mengambil tempat duduk. Dia saling pandang dengan Hek I Ngo-liong dan si Iblis Pedang kelihatan terkejut, agaknya tidak menyangka bahwa lima orang pandai itu berada pula di situ. Akan tetapi dia tidak berani mengeluarkan kata apa pun, dan di pihak lima orang tokoh itu pun nampaknya menahan untuk tidak berkata apa-apa ketika mereka melihat hadirnya salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, karena orang berkedok itu masih belum bergerak atau mengeluarkan kata-kata, agaknya masih menanti munculnya orang lain. Oleh karena itu delapan orang yang sudah datang itu juga diam saja di atas bangku masing-masing, dengan sikap menunggu.

Di antara delapan orang itu hanya Bu-tek Kiam-mo seorang saja yang berani mengangkat muka memandang kepada si kedok hitam. Hanya dia yang bersikap sebagai tamu, bukan sebagai hamba. Hal ini karena baru sekarang Bu-tek Kiam-mo memperoleh kesempatan menghadap Yang Mulia, tokoh baru yang sangat menggemparkan dan yang sudah lama dia dengar namanya.

Lagi pula dia belum menjadi hamba orang aneh ini. Dia mewakili semua saudaranya yang berjumlah tiga belas orang bersama dirinya, dan mereka adalah anak buah dari Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin, datuk besar yang menguasai lautan timur, bahkan kekuasaannya diakui oleh para bajak laut Jepang dan para tokoh kang-ouw di sepanjang pantai laut timur.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan, seperti burung malam namun suara itu meninggi dan menggetarkan jantung. Mendengar suara ini si kedok hitam cepat menggerakkan kepala, menoleh dan memandang ke arah pintu. Baru sekarang ini dia memperlihatkan perhatian, padahal kedatangan delapan orang tadi hanya disambutnya dengan sikap acuh saja. Kini sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri, seolah dia mengharapkan sesuatu yang menyenangkan akan terjadi.

Memang gerakan kedua orang yang muncul sekarang ini sangat berbeda. Berkelebatnya bayangan mereka hampir tidak kelihatan, seolah-olah ada dua iblis yang tiba-tiba muncul dari tiada. Tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri dua orang yang aneh, baik wajah mereka, pakaian mereka, mau pun sikap mereka.

Orang pertama adalah pria yang usianya kurang lebih enam puluh tahun tetapi nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya tinggi tegap dan mukanya berwarna aneh sekali, merah seperti dicat dengan darah! Pakaiannya sutera putih hingga warna mukanya yang merah itu menjadi semakin cerah. Di punggungnya terdapat sebatang senjata golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Laki-laki ini adalah Ang-bin Moko (Iblis Jantan Muka Merah).

Sedangkan orang kedua tentu saja Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih), wanita yang usianya satu dua tahun lebih muda, masih cantik dan ramping namun mukanya sepucat muka mayat dan pakaiannya juga sutera putih seperti yang dipakai Ang-bin Moko. Wanita ini tidak memegang atau membawa senjata, akan tetapi sabuk yang melilit pinggangnya adalah seekor ular yang sudah mati dan itulah senjatanya yang amat ampuh!

Sejenak kedua orang itu hanya berdiri memandang ke arah si kedok hitam, dan orang yang tadi acuh saja itu kini pun bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar nampak gagah dan menambah kewibawaannya, apa lagi karena pakaiannya yang serba hitam itu terbuat dari sutera yang halus. Dia pun diam saja dan menyambut pandang mata kedua orang yang datang berkunjung itu dengan penuh selidik.

"Ang-ko, inikah orang yang akan memberi pekerjaan dan memimpin kita?" Pek-bin Mo-li tiba-tiba bertanya kepada temannya. Suaranya terdengar nyaring tinggi dan lembut, tetapi mengandung suara dingin mengejek.

“Ha-ha, agaknya benar, Pek-moi. Kita akan menjadi pembantu seorang yang bersembunyi di balik topeng? Ha-ha-ha, lucu juga!" jawab Ang-bin Moko, juga suaranya mengandung ejekan dan memandang rendah.

Pasangan ini memang terkenal sebagai pasangan iblis yang tidak pernah mengenal takut, memandang diri sendiri terpandai. Sekali ini mereka menerima undangan dari Yang Mulia, nama yang telah sering mereka dengar dari para tokoh kang-ouw sebagai nama seorang pemimpin rahasia yang tidak sayang melimpahkan hadiah secara demikian royal sebagai imbalan jasa seseorang, akan tetapi yang juga tak segan-segan untuk membunuh dengan amat kejam siapa saja yang menjadi penghalang.

Mendengar ucapan sepasang iblis itu, si kedok hitam lalu mendengus, dan suaranya yang sopan terpelajar seperti bangsawan tinggi itu terdengar penuh wibawa ketika dia bicara, "Kami mengenal nama besar Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, dan sikap angkuh mereka memang mengesankan, namun kalau keangkuhan itu tidak mengandung kenyataan akan ilmu yang benar-benar tinggi, maka keangkuhan itu hanya akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan belaka. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, kalau melihat sikap kalian, kami pun menjadi ragu dan tidak akan berani memperbantukan tenaga kalian tanpa terlebih dahulu menyaksikan kemampuan kalian!"

Sepasang iblis itu saling pandang dan alis mereka berkerut. Betapa pun halusnya, ucapan itu merupakan sebuah tantangan! Mereka maklum bahwa selain memiliki ilmu kepandaian tinggi orang berkedok yang hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia ini juga mempunyai anak buah yang banyak sekali, dan mereka terdiri dari orang-orang lihai yang tentu kini banyak bersembunyi di sekitar tempat itu.

Mereka bukan orang-orang bodoh yang mencari perkara dan memancing kesulitan bagi mereka sendiri. Tapi mereka pun bukan orang-orang yang membiarkan setiap tantangan lewat tanpa menyambutnya. Ang-bin Moko menghadapi si kedok hitam dengan mata mengeluarkan cahaya berkilat.

"Yang Mulia, apakah ucapan Yang Mulia itu merupakan tantangan ataukah hanya sekedar ujian belaka?"

Suara di balik kedok itu terkekeh, juga kekeh yang sopan. "Heh-heh, kalian berdua kami undang bukan untuk dijadikan musuh, melainkan diajak bekerja sama. Tentu saja kami hanya ingin menguji apakah benar tingkat kepandaian kalian sesuai dengan nama besar dan sikap kalian."

"Bagus sekali!" Pek-bin Moli berteriak nyaring. "Siapakah yang hendak menguji kami dan bagaimana pula caranya?!" sikap serta suaranya menantang, dan wajahnya yang sepucat muka mayat itu nampak cantik akan tetapi mengerikan, matanya jelalatan memandang ke sekeliling seolah mencari musuh.

"Karena kalian adalah orang-orang yang sangat terkenal, maka biarlah kami sendiri yang akan menguji. Kalian boleh maju bersama dan kalau dalam sepuluh jurus kalian sanggup mengalahkan kami, maka kalian boleh menjadi pembantu kami dan menentukan sendiri besarnya upah kalian."

Sepasang iblis itu saling pandang kemudian keduanya menyeringai. Mengeroyok selama sepuluh jurus? Dan tadi orang ini menjanjikan kalau mereka menang boleh menentukan sendiri besarnya upah mereka? Orang ini tentu gila, dan juga tentu kaya bukan main!

"Bagaimana kalau kami gagal?"

"Apa bila kalian gagal dan tewas maka kami akan menguburkan jenazah kalian baik-baik, akan tetapi kalau kalian gagal dan tidak tewas, kalian boleh menjadi pembantu kami, akan tetapi kami yang akan menentukan besarnya upah kalian."

Kembali sepasang iblis itu saling pandang, lalu mereka tertawa. Orang ini tentu gila, pikir mereka. Bagaimana mungkin dia dapat bertahan terhadap pengeroyokan mereka selama sepuluh jurus? Dan membayangkan kemungkinan dia dapat menewaskan mereka dalam sepuluh jurus. Gila!

Tiba-tiba Ang-bin Moko tertawa bergelak. "Baiklah, kami setuju!" dan tanpa menggerakkan bibirnya, dia mengirim suara kepada Pek-bin Moli, “kita lucuti kedoknya...”

Mengirim suara seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sakti yang sangat kuat. Hanya getaran suara saja yang mengudara dan ditangkap oleh orang yang dikirimi suara, telinga lain tidak dapat mendengar apa-apa. Akan tetapi, betapa kaget hati sepasang iblis itu ketika terdengar si kedok hitam berkata tenang.

"Jangan harap kalian dapat melakukan niat itu! Nah, kalian mulailah!" tiba-tiba tubuh yang tinggi besar itu melayang ke kiri, ke arah ruangan yang cukup luas, lantas tubuhnya berdiri tegak lurus dengan perut menggendut, hanya sepasang mata di balik kedok itu saja yang nampak hidup, mencorong dan penuh kewaspadaan.

Sepasang iblis itu belum juga bergerak dari tempat mereka berdiri. Ang-bin Moko yang bersikap hati-hati segera bertanya. "Yang Mulia, selama sepuluh jurus ini kita bertanding dengan tangan kosong ataukah bersenjata?"

Si kedok hitam kembali terkekeh sopan. "Heh-heh, kami pernah mendengar bahwa golok gergajimu dan sabuk ular Pek-bin Moli hanya dapat dipakai untuk menakut-nakuti lawan saja, akan tetapi yang lebih ampuh adalah Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci kalian. Benarkah itu?"

Kembali sepasang iblis itu saling pandang. Hebat juga orang ini. Tentu mempunyai seribu telinga maka dapat mengetahui ilmu simpanan mereka. Dan sesudah mengetahui, masih berani menantang mereka berdua untuk mengeroyoknya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dia andalkan untuk menandingi kedua ilmu baru mereka...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 05

KETIKA melihat dara itu betul-betul menghadapinya dengan tangan kosong, si kedok hitam menjadi berani dan nekat. Sambil mengeluarkan teriakan melengking, dia pun menerjang dengan gerakan nekat sehingga seluruh tenaga serta kepandaiannya dia kerahkan untuk membunuh lawan. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat lolos dan entah bagaimana pula nasib kedua orang rekannya. Maka, sebelum tertawan dan dibunuh, dia harus dapat lebih dulu membunuh lawannya ini sehingga matinya tidak akan sia-sia.

Akan tetapi, dengan pahit dia segera melihat kenyataan bahwa kalau tadi ketika mereka bertanding dengan pedang mereka masih dapat dibilang seimbang, kini setelah bertanding dengan tangan kosong, dia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong gadis itu hebat bukan main. Kedua tangan yang mengepulkan uap putih itu mengandung tenaga yang membuat dia tergetar setiap kali mereka beradu lengan.

Dan betapa pun dia mendesak dan menerjang bertubi-tubi dengan cepat, tetap saja dia tidak mampu menyentuh tubuh lawannya yang bergerak cepat luar biasa. Dengan langkah berputar-putar yang aneh, tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri atau belakangnya.

Sesudah lewat tiga puluh jurus, si kedok hitam merasa pening, matanya berkunang dan gerakannya kacau balau sehingga dia tak lagi dapat melindungi dirinya dengan baik. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Siang untuk menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala lawan. Ketika lawannya mengelak ke sebelah kirinya, dia menyambut dengan serangan intinya, yaitu jari tangannya yang kiri menotok.

Terdengar bunyi bercuitan ketika dia mempergunakan ilmunya yang mengandung totokan Kiam-ci (Jari Pedang) dan tubuh lawan itu langsung roboh terjengkang. Saking cepatnya gerakan jari tangan gadis itu, sukar dilihat tetapi tahu-tahu si topeng hitam itu terjengkang roboh dan tewas seketika karena tepat di tengah dahinya telah tertembus jari tangan Kui Siang yang tiada ubahnya sebatang pedang runcing ketika dia menggunakan ilmunya.

Raja Muda Yung Lo bertepuk tangan memuji dengan hati girang dan kagum bukan main. "Bagus sekali, Nona Lim."

"Yang Mulia, di belakang masih ada dua orang penyerbu. Hamba hendak melihatnya ke sana!" kata Kui Siang dan tanpa menanti jawaban raja muda itu, dia pun sudah meloncat dengan cepat menuju ke belakang.

Akan tetapi setelah tiba di gardu penjagaan, dia merasa kecewa. Ada enam orang anak buahnya yang terluka, akan tetapi dua orang yang dikeroyok anak buahnya tadi mampu meloloskan diri walau pun menurut keterangan anak buahnya, kedua orang itu lari sambil membawa luka di tubuh mereka.

Kedok sutera hitam itu dibuka dari wajah orang yang sudah tewas, namun tidak ada yang mengenalnya. Akan tetapi dari bentuk wajahnya mudah diduga bahwa tentu dia adalah seorang Mongol atau setidaknya peranakan Mongol. Memang, sesudah menjajah selama hampir satu abad lamanya, bangsa Mongol sudah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu penduduk pribumi, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi jagoan ahli silat yang tangguh.

Pada keesokan harinya, setelah selesai mengadakan rapat pertemuan dengan para hulu balang, Raja muda Yung Lo masuk ke dalam ruang duduk di belakang, lalu dia memanggil Kui Siang agar datang menghadap karena ada urusan penting yang hendak dia bicarakan. Ketika Kui Siang memasuki ruang duduk di belakang, ruangan di mana raja muda itu suka mengadakan latihan silat, dia melihat Raja Muda Yung Lo dalam pakaian ringkas, pakaian olah raga, duduk seorang diri di situ. Tidak nampak seorang pun pengawal di ruangan itu, juga di luar ruangan.

Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Kui Siang yang menganggap raja muda itu sungguh kurang hati-hati membiarkan diri sendiri tanpa dikawal. Disangkanya bahwa raja muda itu akan mengajaknya berlatih silat, karena biasanya raja muda itu suka berbincang-bincang, bahkan berlatih silat dengannya.

"Yang Mulia, hamba tidak melihat seorang pun pengawal di sini. Sungguh berbahaya bila paduka berada seorang diri saja...”

Raja Muda Yung Lo tersenyum, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar wanita itu mengambil tempat duduk. "Kui Siang, duduklah. Mengapa berbahaya? Aku berada di dalam istana yang terkurung penjagaan rapat. Pula, aku bukan anak kecil atau orang lemah. Tidak suka aku ke mana-mana harus dijaga pengawal. Lagi pula sekarang aku ingin berdua saja denganmu, ada yang hendak kubicarakan denganmu."

Wajah gadis itu berubah kemerahan. Biasanya pangeran itu menyebutnya Nona Lim atau nona saja, mengapa sekarang menyebut namanya begitu saja? Perubahan sebutan yang bukan tidak menyenangkan karena lebih akrab, akan tetapi juga membuat dia tersipu.

"Yang Mulia hendak membicarakan kepentingan apakah dengan hamba?" tanya gadis ini dengan suara biasa saja sambil duduk menghadapi raja muda itu, terhalang sebuah meja.

Raja Muda Yung Lo memandang wajah Kui Siang, sambil beberapa kali menghela napas panjang, agaknya sukar baginya untuk berbicara. Yung Lo merupakan seorang pangeran yang semenjak dia kecil telah mengenal perjuangan ayahnya, mengenal perang. Bahkan sesudah dewasa dia merupakan seorang di antara pangeran yang paling rajin membantu ayahnya untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Beng yang baru.

Dia merupakan pangeran yang paling berjasa, paling cakap mengatur pasukan, karena itu oleh ayahnya, Kaisar Thai-cu pendiri Kerajaan Beng, dia lalu dipercaya untuk memimpin pertahanan yang terberat dan paling penting, yaitu pertahanan terhadap bangsa Mongol yang tentu saja selalu berusaha untuk membangun kembali kekuasaan mereka di selatan yang sudah runtuh. Karena kemampuannya, dia diangkat menjadi raja muda oleh kaisar, dan diberi hak serta kekuasaan di utara, dengan ibu kota Peking. Dan ternyata memang dia mampu.

Raja muda yang usianya baru tiga puluh tahun lebih ini memang gagah. Alisnya berbentuk golok, matanya dengan kedua ujung agak menyerong ke atas itu lebar dan bersinar tajam, hidungnya besar, mulutnya dan dagunya membayangkan keteguhan hati dan kemampuan besar, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pendeknya, wajah seorang laki-laki jantan.

Setelah beberapa kali menghela napas panjang dan nampak ragu, akhirnya raja muda itu berkata, “Kui Siang, sungguh aku sendiri merasa heran mengapa sekali ini terasa sangat berat dan sukar bagiku untuk bicara. Selama hidupku belum pernah aku merasa demikian tegang, dan hal ini saja sudah membuktikan kepadaku bahwa memang aku bicara dari hatiku, bukan sekedar bicara saja. Nah, ketahuilah bahwa semenjak pertama kali bertemu denganmu, ketika engkau datang bersama Sin Wan dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, aku merasa kagum sekali padamu. Karena kekagumanku, maka aku mengangkatmu menjadi kepala pengawal keluarga dan ternyata pilihan dan keputusanku itu memang tepat sekali. Engkau bekerja dengan baik, dapat membentuk pasukan pengawal wanita yang kuat dan dapat dipercaya, bahkan malam tadi engkau bersama pasukanmu telah berhasil menahan pembunuh-pembunuh yang dapat menyelinap masuk mengelabui para prajurit pengawal pria di luar istana."

"Hamba hanya melaksanakan tugas, Yang Mulia. Sayang bahwa dua orang di antara para penjahat itu lolos. Mereka adalah orang-orang tangguh dan pasukan hamba yang belum menguasal ilmu silat tinggi bukan lawan mereka."

Raja Muda Yung Lo tersenyum dan pandang matanya semakin terkagum. Gadis ini selain cantik jelita, manis budi, lihai ilmu silatnya, masih ditambah lagi rendah hati. Semua sifat inilah yang membuat dia terkagum-kagum sehingga dia telah mengambil keputusan bulat sebelum memanggil Kui Siang.

"Sudahlah, Kui Siang. Bagaimana pun juga pasukanmu telah berjasa besar, dan terutama sekali engkau sendiri. Aku ingin sekali mengutarakan isi hatiku kepadamu, tetapi apa bila pernyataanku ini menyinggung perasaanmu, aku harap engkau suka memaafkan aku, Kui Siang. Aku suka akan kejujuran, keterus-terangan, dari pada menyimpan sesuatu di hati, dan aku pun tidak ingin memaksakan kehendak dan keinginan hatiku terhadap orang lain, terutama sekali kepadamu. Jadi, bila nanti ucapanku ini tidak berkenan di hatimu, anggap saja tidak ada dan tetaplah bekerja seperti biasa. Engkau mau berjanji demikian?”

Kui Siang mengangguk, jantungnya berdebar tegang. "Katakanlah, Yang Mulia."

"Kui Siang, setelah engkau bekerja di sini, kekagumanku makin bertambah-tambah, dan akhirnya aku melihat kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. Selama hidupku belum pernah aku melakukan pinangan secara langsung kepada seorang gadis, tetapi kali ini aku melanggar semua hukum adat yang berlaku. Sekarang aku meminangmu untuk menjadi isteriku, seorang di antara selirku, dengan demikian aku akan selalu bersamamu tanpa khawatir pada suatu hari engkau akan berpisah dariku.”

Kui Siang menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Dia dipinang oleh seorang raja muda! Walau pun hanya dipinang menjadi selir karena raja muda itu sudah beristeri dan mempunyai beberapa orang selir, akan tetapi hal itu sudah merupakan suatu kehormatan yang tak pernah dia mimpikan. Raja muda ini seorang pangeran! Dan harus dia akui bahwa dia juga kagum sekali kepada Yung Lo.

Hanya ada satu hal, malah ada dua hal yang membuat dia menunduk dengan hati seperti ditusuk. Pertama dia merasa bahwa hatinya telah menjadi milik Sin Wan. Ia mencinta Sin Wan dan sampai sekarang pun dia masih mencinta pemuda itu walau pun rasa baktinya terhadap orang tuanya tidak memungkinkan dia menikah dengan anak tiri dari pembunuh ayahnya itu. Dan kenyataan kedua adalah bahwa meski pun dia amat kagum dan hormat kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi dia tidak mencintanya.

Yang membuat dia bingung sekali adalah karena dia tidak berani atau tidak tega untuk menolak. Dia tahu bahwa betapa bijaksana pun Raja Muda Yung Lo, akan tetapi sebagai seorang lelaki yang ditolak cintanya oleh seorang wanita, tentu raja muda itu akan merasa tersinggung, akan merasa diremehkan, malu dan terpukul. Dia menjadi serba salah!

Menerima pinangan berarti bertentangan dengan perasaan hatinya, sedangkan menolak berarti akan menyinggung perasaan orang yang dijunjung dan dihormatinya, dan sesudah menolak, rasanya tak mungkin lagi dia mempertahankan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi di situ. Apa yang harus dia lakukan?

Raja Muda Yung Lo mengamati wajah yang menunduk itu dan sinar matanya memandang penuh selidik. Sebagai seorang yang berpengalaman, tanpa mendengar jawaban dengan kata-kata pun dia tahu bahwa pernyataannya tadi telah mengguncang hati Kui Siang dan membuat gadis itu merasa canggung, serba salah dan agaknya sukar untuk mengambil keputusan.

"Kui Siang, tak perlu engkau bingung menghadapi pinanganku. Ketahuilah bahwa selama ini aku tidak pernah meminang gadis. Semua wanita yang menjadi isteri dan selir-selirku hanya dihubungi seorang perantara yang menjadi utusan dan tidak seorang pun di antara mereka ragu-ragu untuk menerima pinanganku. Akan tetapi engkau lain Kui Siang. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis dari dunia persilatan, walau pun dahulu engkau seorang puteri bangsawan. Karena itu aku melamar sendiri dan engkau pun bebas untuk menentukan jawabanmu. Andai kata engkau tidak setuju sehingga tidak dapat menerima pinanganku, jangan takut untuk memberi jawaban sejujurnya."

Mendengar ucapan raja muda itu, Kui Siang mengangkat muka memandang. Sejenak dua pasang mata bertemu pandang, lalu bertaut dan akhirnya Kui Siang yang menundukkan mukanya. "Yang Mulia, maafkan hamba. Semua ini begitu tiba-tiba datangnya, dan tidak tersangka-sangka. Bagaimana mungkin hamba dapat menjawab seketika? Perkara ini menyangkut masa depan kehidupan hamba, sudah selayaknya kalau dipikirkan masak-masak sebelum menjawab, apa lagi paduka menghendaki agar hamba menjawab dengan sejujurnya."

Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk, kemudian mengelus jenggotnya yang rapi. Dia semakin kagum karena jawaban Kui Siang itu membuktikan bahwa gadis ini memang jujur dan bijaksana. "Baiklah, Kui Siang. Aku mengerti dan memang engkau benar. Nah, kuberi waktu sebulan kepadamu. Cukupkah waktu itu?"

Kui Siang menarik napas lega dan memandang kepada raja muda itu dengan sinar mata berterima kasih. "Terima kasih, Yang Mulia. Satu bulan sudah lebih dari pada cukup bagi hamba untuk mempertimbangkan dan memikirkannya."

"Nah, sekarang jangan pikirkan lagi pembicaraan kita tadi. Mari kita berlatih, dan aku ingin sekali mengenal lebih baik ilmu silat tangan kosong yang malam tadi kau gunakan untuk mengalahkan pembunuh. Belum pernah aku melihat engkau memainkannya. Silat apakah itu?"

Kini sikap raja muda itu sudah berubah sama sekali, pulih seperti biasa ramah dan sikap ini membuat Kui Siang amat bersyukur karena dia tidak merasa rikuh dan canggung lagi. Raja muda ini memang seorang laki-laki pilihan, bukan perayu, bukan pula pria yang suka mempergunakan kekuasaan harta mau pun kedudukan untuk menundukkan wanita dan mematahkan perlawanan mereka.

Dia pun bisa membayangkan betapa boleh dibilang setiap orang wanita akan menyambut pinangannya dengan hati dan tangan terbuka. Siapa tidak akan merasa bangga menjadi isteri atau selir pangeran yang kini menjadi raja muda, seorang laki-laki jantan yang selain berkedudukan tinggi, berwajah ganteng, gagah perkasa, juga jujur dan tidak congkak ini?

"Sin Wan....!" nama ini bergema terus, bahkan keluar melalui bisikan mulutnya ketika dia sudah rebah seorang diri di dalam kamarnya.

Pinangan Raja Muda Yung Lo mengundang kenangan lama dan membuat wajah Sin Wan terus saja terbayang di depan matanya. Sekuat hati Kui Siang mencoba untuk mengusir bayangan itu, namun semakin diusir, wajah suheng-nya itu nampak semakin jelas. Engkau bodoh, demikian dia memaki dirinya sendiri. Bagaimana dalam keadaan sedang menerima pinangan seorang laki-laki seperti Raja Muda Yung Lo, dia malah mengenang pemuda semacam Sin Wan itu? Seorang pemuda yang menurut para paman dan bibinya sama sekali tidak pantas menjadi suaminya!

Menurut mereka, Sin Wan adalah seorang pemuda berdarah bangsa liar, bukan pribumi, keturunan bahkan berdarah Uighur, bangsa biadab, selain itu dia juga seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa, pangkat tidak harta pun tidak. Apa yang diandalkannya untuk merjadi suaminya?

"Aih, mereka itu orang-orang tamak, mata duitan dan gila pangkat," ia membela Sin Wan.

Akan tetapi, satu hal yang membuat dia mengenang Sin Wan dengan hati tidak senang adalah kenyataan bahwa suheng-nya itu adalah putera dari mendiang Se Jit Kong, Si Iblis Tangan Api, datuk sesat yang jahat bukan kepalang, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya.

Bahkan kakek Bu Lee Ki, pemimpin semua Kai-pang yang bijaksana itu pun menjauhkan diri dari Sin Wan sesudah mengetahui bahwa Sin Wan putera Se Jit Kong! Bagaimana mungkin putera seorang datuk jahat seperti itu, walau pun hanya putera tiri, dapat menjadi seorang yang baik dan tidak akan mewarisi watak Se Jit Kong yang jahat?

Lalu terbayanglah wajah Sin Wan. Terbayang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berkulit gelap, wajahnya jantan dan tampan gagah. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok seperti alis Raja Muda Yung Lo, matanya lebar bersinar-sinar, hidungnya tinggi mancung agak besar, mulutnya membayangkan keteguhan hati. Tubuh itu berukuran sedang, tetapi bahunya bidang, tegap, dan langkahnya seperti langkah harimau.

"Sin Wan...,” dia menghela napas panjang.

Dia mencinta suheng-nya itu, pernah sangat mencintanya dan masih tetap mencintanya, dan mungkin takkan pernah mampu melupakannya. Baginya, kebangsaan Sin Wan, juga kenyataan bahwa dia miskin, papa dan tidak memiliki kedudukan, bukan apa-apa. Akan tetapi, dia adalah putera Se Jit Kong!

"Sin Wan....!" dia mengeluh sebelum akhirnya pulas dan di dalam tidur pun dia bermimpi, bertemu kembali dengan Sin Wan dan dalam mimpi itu pun dia tetap mencinta Sin Wan.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dahulu Kui Siang yang gelisah mempertimbangkan pinangan Raja Muda Yung Lo. Untung baginya bahwa Raja Muda Yung Lo memberi waktu sebulan kepadanya, cukup lama baginya untuk mempertimbangkan dengan masak sebelum memberi jawaban yang pasti.

Memang tepat apa yang menjadi persangkaan Raja Muda Yung Lo dan para pembantunya bahwa pembunuh yang tewas di tangan Kui Siang itu adalah seorang mata-mata Mongol. Beberapa hari sejak kegagalan tiga orang pembunuh yang berhasil menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo itu, dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit yang sunyi, nampak berkelebatnya bayangan beberapa orang memasuki kuil tua itu.

Di dalam ruang belakang kuil tua itu telah duduk menanti seorang lelaki yang berpakaian serba hitam. Tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut, akan tetapi wajahnya tertutup topeng hitam pula, terbuat dari sutera yang hanya memperlihatkan sepasang matanya yang tajam mencorong. Karena kepalanya juga tertutup, sukarlah menaksir bagaimana bentuk wajahnya dan berapa kira-kira usianya. Namun mata itu sungguh berwibawa dan tajam menyeramkan.

Dan di luar kuil tua itu, di empat penjuru, ada banyak penjaga yang bersembunyi sambil mengamati keadaan kuil dan mereka memperhatikan dengan teliti siapa saja yang datang memasuki kuil di siang hari itu. Dari tempat mereka berjaga, kalau ada orang menuju kuil, baru mendaki puncak bukit itu saja sudah kelihatan sehingga tempat itu betul-betul aman, tidak mungkin dapat dikunjungi orang luar tanpa mereka melihatnya.

Beberapa bayangan orang yang berkelebat memasuki kuil itu ternyata adalah lima orang yang dari gerakan mereka mudah saja diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Memang mereka adalah lima orang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, terdiri dari lima orang saudara seperguruan yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali permainan golok besar mereka.

Mereka dikenal sebagai Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam) dan ke limanya memang selalu mengenakan pakaian serba hitam, walau pun bukan terbuat dari sutera hitam halus seperti yang dipakai laki-laki yang duduk di ruangan belakang kuil itu. Sesuai namanya, Hek I Ngo-liong terdiri dari lima orang. Orang pertama adalah Coa Ok yang berusia lima puluh tiga tahun dan bertubuh gendut. Adik kandungnya yang bernama Coa Kun, yang kini usianya lima puluh tahun dan bertubuh pendek dengan kepala botak menjadi orang yang ke dua.

Orang ke tiga dan ke empat juga dua orang kakak beradik, bernama Bhe It berusia lima puluh tahun yang tinggi kurus dan Bhe Siu berusia empat puluh lima tahun yang wajahnya tampan dan pesolek. Sedangkan orang ke lima bernama Kwan Su berusia empat puluh tahun, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya paling jelek karena hitam dan penuh cacat bekas cacar.

Mereka masing-masing mempunyai ilmu golok yang tangguh, apa lagi mereka biasa maju bersama, maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka kalau maju bersama sebagai to-tin (barisan golok), sukar dapat dikalahkan lawan. Belasan tahun yang lalu, ketika terjadi perebutan benda-benda pusaka istana kaisar yang dicuri Se Jit Kong kemudian terjatuh ke tangan Sam-sian, Hek I Ngo-liong ini juga pernah ikut mencoba merampasnya dari tangan Sam-sian. Akan tetapi mereka bukan tandingan Sam-sian. Biar pun mereka maju berlima menghadapi mendiang Kiam-sian, Dewa Pedang yang semula terdesak itu akhirnya dapat mengalahkan mereka.

Kalau seorang Dewa Pedang saja dengan susah payah baru dapat mengalahkan mereka, maka dapat dibayangkan betapa tangguhnya kelima orang Naga Baju Hitam ini! Mereka tangguh, kejam, tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, bahkan congkak. Akan tetapi kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat sikap mereka pada saat memasuki ruangan belakang kuil tua dan berhadapan dengan si kedok hitam yang duduk di atas kursi, orang akan merasa heran. Lima orang Hek I Ngo-liong itu memberi hormat dengan sikap yang merendah sekali. Mereka mengangkat kedua tangan ke depan dada, lantas membungkuk sampai pinggang mereka terlipat ke depan, dan dengan irama kacau mereka menyebut, “Yang Mulia" kepada orang berkedok itu!

Tanpa bangkit dari tempat duduknya dan dengan sikap penuh wibawa, orang berkedok itu memandang lima orang pendatang dengan sinar matanya yang mencorong penuh selidik, lalu mengangguk dan terdengarlah suaranya yang dalam dan parau, namun kata-katanya teratur rapi seperti cara bicara seorang bangsawan tinggi.

"Selamat datang, Hek I Ngo-liong. Duduklah, kita masih menunggu datangnya beberapa rekan lagi.”

"Baik Yang Mulia," kata Coa Ok mewakili mereka berlima, dan mereka pun mengambil tempat duduk.

Di sana sudah diatur bangku-bangku yang mengelilingi sebuah meja besar. Karena orang berkedok itu hanya duduk dengan tegak, tidak memandang lagi kepada mereka, juga tak mengeluarkan sepatah kata pun, diam seperti patung, Hek I Ngo-liong juga duduk diam. Bahkan lima orang yang biasanya acuh dan tidak menghormati orang lain ini, yang biasa bersikap kasar dan mau menang sendiri, kini seperti lima ekor tikus berhadapan dengan seekor kucing yang galak. Mereka mati kutu dan tidak berani bergerak!

Memang mengherankan sekali. Akan tetapi bila orang sudah tahu siapa si kedok hitam ini, tentu mereka mengerti mengapa Hek I Ngo-liong bersikap demikian takut. Mereka berlima juga tak pernah melihat wajah asli si kedok hitam dan hanya mengenalnya sebagai ‘Yang Mulia’ saja. Mereka hanya tahu bahwa si kedok hitam ini memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang rata-rata lihai bukan main. Yang membuat dia ditakuti adalah karena mudah saja dia membunuh orang, akan tetapi juga mudah memberi hadiah yang luar biasa royalnya.

Hek I Ngo-liong sendiri sudah banyak menerima hadiah dari Yang Mulia, dan mereka tahu bahwa mereka berlima sama sekali bukanlah tandingan dari orang aneh itu. Mereka juga tahu bahwa Yang Mulia ini merupakan seorang di antara para pimpinan yang berusaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol! Mereka bekerja secara rahasia, akan tetapi sudah membuat jaringan yang kuat, mempunyai banyak anak buah yang dijadikan mata-mata dan tersebar di mana-mana.

Tidak lama kemudian nampak ada dua bayangan orang berkelebat dan muncul dua orang yang berpakaian ringkas. Keduanya bertubuh tinggi kurus dan melihat usia mereka, tentu mereka berusia sekitar empat puluh tahun. Wajah keduanya pucat dan biar pun gerakan mereka masih ringan dan cepat, namun yang seorang agak terpincang dan seorang lagi membungkuk.

Ternyata keduanya sedang menderita luka, seorang terluka pada paha dan seorang lagi di punggung. Begitu tiba di ruangan itu, keduanya menjatuhkan diri dan memberi hormat dengan setengah berlutut kepada Yang Mulia.

Sepasang mata di balik kedok itu berkilat menyambar. "Kalian berdua yang telah gagal menunaikan tugas, duduklah dulu."

Dengan wajah nampak pucat kedua orang itu bangkit, menggumamkan terima kasih lalu duduk di sudut terjauh dari tempat duduk si kedok hitam. Suasana sunyi, bukan saja amat mencekam bagi dua orang itu, melainkan Hek I Ngo-liong yang biasanya tabah itu pun nampak saling pandang dan jelas bahwa mereka pun merasa tegang.

Tidak lama kemudian berkelebat bayangan lain dan di situ sudah berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi kurus, usianya enam puluh tahun lebih dan di punggungnya nampak sarung pedang yang berisi dua batang pedang pasangan. Begitu tiba di ruangan itu, dia menatap ruangan itu dengan pandang matanya, kemudian melangkah maju menghadapi si kedok hitam dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

"Yang Mulia, saya datang mewakili semua saudara saya seperti yang dikehendaki Yang Mulia.”

Orang berkedok itu memandang sejenak lalu mengangguk-angguk. "Engkau yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding), bukan? Engkau mewakili Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Setan Tanpa Tanding)? Duduklah!"

Orang yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo itu menghaturkan terima kasih, kemudian mengambil tempat duduk. Dia saling pandang dengan Hek I Ngo-liong dan si Iblis Pedang kelihatan terkejut, agaknya tidak menyangka bahwa lima orang pandai itu berada pula di situ. Akan tetapi dia tidak berani mengeluarkan kata apa pun, dan di pihak lima orang tokoh itu pun nampaknya menahan untuk tidak berkata apa-apa ketika mereka melihat hadirnya salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, karena orang berkedok itu masih belum bergerak atau mengeluarkan kata-kata, agaknya masih menanti munculnya orang lain. Oleh karena itu delapan orang yang sudah datang itu juga diam saja di atas bangku masing-masing, dengan sikap menunggu.

Di antara delapan orang itu hanya Bu-tek Kiam-mo seorang saja yang berani mengangkat muka memandang kepada si kedok hitam. Hanya dia yang bersikap sebagai tamu, bukan sebagai hamba. Hal ini karena baru sekarang Bu-tek Kiam-mo memperoleh kesempatan menghadap Yang Mulia, tokoh baru yang sangat menggemparkan dan yang sudah lama dia dengar namanya.

Lagi pula dia belum menjadi hamba orang aneh ini. Dia mewakili semua saudaranya yang berjumlah tiga belas orang bersama dirinya, dan mereka adalah anak buah dari Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin, datuk besar yang menguasai lautan timur, bahkan kekuasaannya diakui oleh para bajak laut Jepang dan para tokoh kang-ouw di sepanjang pantai laut timur.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan, seperti burung malam namun suara itu meninggi dan menggetarkan jantung. Mendengar suara ini si kedok hitam cepat menggerakkan kepala, menoleh dan memandang ke arah pintu. Baru sekarang ini dia memperlihatkan perhatian, padahal kedatangan delapan orang tadi hanya disambutnya dengan sikap acuh saja. Kini sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri, seolah dia mengharapkan sesuatu yang menyenangkan akan terjadi.

Memang gerakan kedua orang yang muncul sekarang ini sangat berbeda. Berkelebatnya bayangan mereka hampir tidak kelihatan, seolah-olah ada dua iblis yang tiba-tiba muncul dari tiada. Tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri dua orang yang aneh, baik wajah mereka, pakaian mereka, mau pun sikap mereka.

Orang pertama adalah pria yang usianya kurang lebih enam puluh tahun tetapi nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya tinggi tegap dan mukanya berwarna aneh sekali, merah seperti dicat dengan darah! Pakaiannya sutera putih hingga warna mukanya yang merah itu menjadi semakin cerah. Di punggungnya terdapat sebatang senjata golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Laki-laki ini adalah Ang-bin Moko (Iblis Jantan Muka Merah).

Sedangkan orang kedua tentu saja Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih), wanita yang usianya satu dua tahun lebih muda, masih cantik dan ramping namun mukanya sepucat muka mayat dan pakaiannya juga sutera putih seperti yang dipakai Ang-bin Moko. Wanita ini tidak memegang atau membawa senjata, akan tetapi sabuk yang melilit pinggangnya adalah seekor ular yang sudah mati dan itulah senjatanya yang amat ampuh!

Sejenak kedua orang itu hanya berdiri memandang ke arah si kedok hitam, dan orang yang tadi acuh saja itu kini pun bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar nampak gagah dan menambah kewibawaannya, apa lagi karena pakaiannya yang serba hitam itu terbuat dari sutera yang halus. Dia pun diam saja dan menyambut pandang mata kedua orang yang datang berkunjung itu dengan penuh selidik.

"Ang-ko, inikah orang yang akan memberi pekerjaan dan memimpin kita?" Pek-bin Mo-li tiba-tiba bertanya kepada temannya. Suaranya terdengar nyaring tinggi dan lembut, tetapi mengandung suara dingin mengejek.

“Ha-ha, agaknya benar, Pek-moi. Kita akan menjadi pembantu seorang yang bersembunyi di balik topeng? Ha-ha-ha, lucu juga!" jawab Ang-bin Moko, juga suaranya mengandung ejekan dan memandang rendah.

Pasangan ini memang terkenal sebagai pasangan iblis yang tidak pernah mengenal takut, memandang diri sendiri terpandai. Sekali ini mereka menerima undangan dari Yang Mulia, nama yang telah sering mereka dengar dari para tokoh kang-ouw sebagai nama seorang pemimpin rahasia yang tidak sayang melimpahkan hadiah secara demikian royal sebagai imbalan jasa seseorang, akan tetapi yang juga tak segan-segan untuk membunuh dengan amat kejam siapa saja yang menjadi penghalang.

Mendengar ucapan sepasang iblis itu, si kedok hitam lalu mendengus, dan suaranya yang sopan terpelajar seperti bangsawan tinggi itu terdengar penuh wibawa ketika dia bicara, "Kami mengenal nama besar Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, dan sikap angkuh mereka memang mengesankan, namun kalau keangkuhan itu tidak mengandung kenyataan akan ilmu yang benar-benar tinggi, maka keangkuhan itu hanya akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan belaka. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, kalau melihat sikap kalian, kami pun menjadi ragu dan tidak akan berani memperbantukan tenaga kalian tanpa terlebih dahulu menyaksikan kemampuan kalian!"

Sepasang iblis itu saling pandang dan alis mereka berkerut. Betapa pun halusnya, ucapan itu merupakan sebuah tantangan! Mereka maklum bahwa selain memiliki ilmu kepandaian tinggi orang berkedok yang hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia ini juga mempunyai anak buah yang banyak sekali, dan mereka terdiri dari orang-orang lihai yang tentu kini banyak bersembunyi di sekitar tempat itu.

Mereka bukan orang-orang bodoh yang mencari perkara dan memancing kesulitan bagi mereka sendiri. Tapi mereka pun bukan orang-orang yang membiarkan setiap tantangan lewat tanpa menyambutnya. Ang-bin Moko menghadapi si kedok hitam dengan mata mengeluarkan cahaya berkilat.

"Yang Mulia, apakah ucapan Yang Mulia itu merupakan tantangan ataukah hanya sekedar ujian belaka?"

Suara di balik kedok itu terkekeh, juga kekeh yang sopan. "Heh-heh, kalian berdua kami undang bukan untuk dijadikan musuh, melainkan diajak bekerja sama. Tentu saja kami hanya ingin menguji apakah benar tingkat kepandaian kalian sesuai dengan nama besar dan sikap kalian."

"Bagus sekali!" Pek-bin Moli berteriak nyaring. "Siapakah yang hendak menguji kami dan bagaimana pula caranya?!" sikap serta suaranya menantang, dan wajahnya yang sepucat muka mayat itu nampak cantik akan tetapi mengerikan, matanya jelalatan memandang ke sekeliling seolah mencari musuh.

"Karena kalian adalah orang-orang yang sangat terkenal, maka biarlah kami sendiri yang akan menguji. Kalian boleh maju bersama dan kalau dalam sepuluh jurus kalian sanggup mengalahkan kami, maka kalian boleh menjadi pembantu kami dan menentukan sendiri besarnya upah kalian."

Sepasang iblis itu saling pandang kemudian keduanya menyeringai. Mengeroyok selama sepuluh jurus? Dan tadi orang ini menjanjikan kalau mereka menang boleh menentukan sendiri besarnya upah mereka? Orang ini tentu gila, dan juga tentu kaya bukan main!

"Bagaimana kalau kami gagal?"

"Apa bila kalian gagal dan tewas maka kami akan menguburkan jenazah kalian baik-baik, akan tetapi kalau kalian gagal dan tidak tewas, kalian boleh menjadi pembantu kami, akan tetapi kami yang akan menentukan besarnya upah kalian."

Kembali sepasang iblis itu saling pandang, lalu mereka tertawa. Orang ini tentu gila, pikir mereka. Bagaimana mungkin dia dapat bertahan terhadap pengeroyokan mereka selama sepuluh jurus? Dan membayangkan kemungkinan dia dapat menewaskan mereka dalam sepuluh jurus. Gila!

Tiba-tiba Ang-bin Moko tertawa bergelak. "Baiklah, kami setuju!" dan tanpa menggerakkan bibirnya, dia mengirim suara kepada Pek-bin Moli, “kita lucuti kedoknya...”

Mengirim suara seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sakti yang sangat kuat. Hanya getaran suara saja yang mengudara dan ditangkap oleh orang yang dikirimi suara, telinga lain tidak dapat mendengar apa-apa. Akan tetapi, betapa kaget hati sepasang iblis itu ketika terdengar si kedok hitam berkata tenang.

"Jangan harap kalian dapat melakukan niat itu! Nah, kalian mulailah!" tiba-tiba tubuh yang tinggi besar itu melayang ke kiri, ke arah ruangan yang cukup luas, lantas tubuhnya berdiri tegak lurus dengan perut menggendut, hanya sepasang mata di balik kedok itu saja yang nampak hidup, mencorong dan penuh kewaspadaan.

Sepasang iblis itu belum juga bergerak dari tempat mereka berdiri. Ang-bin Moko yang bersikap hati-hati segera bertanya. "Yang Mulia, selama sepuluh jurus ini kita bertanding dengan tangan kosong ataukah bersenjata?"

Si kedok hitam kembali terkekeh sopan. "Heh-heh, kami pernah mendengar bahwa golok gergajimu dan sabuk ular Pek-bin Moli hanya dapat dipakai untuk menakut-nakuti lawan saja, akan tetapi yang lebih ampuh adalah Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci kalian. Benarkah itu?"

Kembali sepasang iblis itu saling pandang. Hebat juga orang ini. Tentu mempunyai seribu telinga maka dapat mengetahui ilmu simpanan mereka. Dan sesudah mengetahui, masih berani menantang mereka berdua untuk mengeroyoknya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dia andalkan untuk menandingi kedua ilmu baru mereka...