Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PADA saat itu See-thian Coa-ong sedang menghadapi meja makan, sedang makan siang ditemani puterinya, Bi-coa Sianli, dan dilayani para selirnya yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Tang Bwe Li atau Lili tidak kelihatan karena gadis itu memang selalu ingin makan sendirian, tidak beramai-ramai bersama suci-nya dan gurunya. Begitu mendengar bunyi sasangkala ltu, Bi-coa Sianli Cu Sui In yang telah selesai makan langsung bangkit berdiri.

"Kurasa mereka sudah datang, ayah. Aku akan menyambut mereka dulu di ruang tamu. Nanti setelah segalanya beres baru mereka akan kuhadapkan kepada ayah."

See-thian Coa-ong hanya mengangguk saja tanpa menjawab, agaknya hatinya tak tertarik sama sekali dan dia lebih mencurahkan perhatian kepada masakan di atas meja. Cu Sui In lalu meninggalkan ruangan makan dan menyuruh anak buah di situ agar pergi menyambut para tamu dan membawa mereka ke ruangan tamu, sedangkan dia sendiri mencari Lili. Gadis itu berada di kamarnya, sedang membaca kitab sejarah.

"Lili, cepat engkau berdandan," kata Cu Sui In.

Lili melepaskan bukunya, lantas memandang kepada wanita cantik itu dengan mata yang dilebarkan. Ketika dia masih kecil wanita ini adalah gurunya, kemudian menjadi suci-nya. Hubungan antara mereka akrab sekali dan Lili merasa amat sayang kepada gurunya atau sucinya itu.

"Suci, kenapa aku harus berdandan?" tanyanya heran.

"Kita akan menyambut tamu agung dan aku ingin engkau kelihatan cantik."

"Aihh, siapa sih tamu agung itu, suci? Aku jadi ingin sekali tahu."

"Dia seorang pangeran. Hayo cepatlah, aku pun mau bertukar pakaian baru," kata Sui In yang meninggalkan sumoi-nya, memasuki kamarnya sendiri untuk berganti pakaian.

Setelah Sui In pergi, Lili bersungut-sungut. Dia adalah seorang gadis yang wataknya jujur dan galak, wajar dan tidak pesolek seperti suci-nya. Dia paling tidak suka mencari muka, maka sekarang pun hatinya memberontak sesudah mendengar bahwa dia harus bersolek karena akan menyambut tamu agung, seorang pangeran.

Akan tetapi dia pun merasa segan dan tidak berani membangkang terhadap perintah suci-nya yang tadinya gurunya itu, maka dengan uring-uringan dia pun berganti pakaian. Akan tetapi dia membiarkan wajahnya tanpa bedak dan gincu, hal yang sebenarnya juga tidak ada gunanya karena tanpa bedak pun kulit mukanya sudah putih kemerahan dan bibirnya sudah terlalu merah membasah meski pun tanpa gincu. Rambutnya yang sedikit kusut itu bahkan menambah kemanisan wajahnya.

Rombongan Pangeran Ramamurti telah disambut oleh anak buah See-thian Coa-ong dan diajak naik ke puncak. Kemudian pangeran itu bersama pamannya dipersilakan menanti di ruangan tamu, sedangkan dua belas orang pengawal mereka dijamu oleh anak buah Bukit Ular dengan ramah dan hormat seperti diperintahkan Dewi Ular.

Ramamurti dan Balkan menanti di ruang tamu yang cukup luas itu dengan hati berdebar-debar. Kedatangan mereka memang telah dijanjikan ketika dua bulan yang siilam mereka bertemu dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In yang pada saat itu sedang berkunjung ke daerah Bhutan. Bahkan wanita cantik yang lihai ini sudah menyelamatkan Pangeran Ramamurti dan Balkan yang sedang berburu binatang dan dikepung oleh belasan orang pemberontak yang menjadi pelarian. Cu Sui In yang menjadi penolong itu lalu diundang ke istana dan dijamu dengan hormat.

Kemudian, ketika mendengar bahwa Cu Sui In memiliki seorang sumoi yang masih gadis, Balkan mengusulkan supaya sumoi-nya itu bisa dijodohkan dengan Pangeran Ramamurti yang juga belum menikah. Tentu saja usul ini sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Balkan dan disetujui oleh sang pangeran.

Sebetulnya usul ini pun mengandung pamrih tertentu, yaitu mereka mengharapkan bahwa dengan adanya dukungan seorang isteri yang memiliki kepandaian tinggi maka kedudukan Pangeran Ramamurti akan menjadi makin kuat. Pada waktu itu memang terjadi semacam persaingan di antara para pangeran Bhutan yang hendak memperebutkan kekuasaan.

Dan Sui In juga menyatakan persetujuannya! Tentu saja Sui In tidak sembarangan saja menerima usul itu, melainkan telah dipertimbangkannya baik-baik. Dia melihat kedudukan pemuda itu cukup kuat, sebagai seorang pangeran Kerajaan Bhutan dan siapa tahu, kelak dengan bantuan Lili dapat menjadi raja di Bhutan! Itulah sebabnya maka dia menyatakan persetujuannya, dan minta agar pada hari itu mereka datang untuk mengajukan pinangan secara sah.

Ketika Sui In memberi tahu ayahnya mengenai usul perjodohan dengan pangeran Bhutan, See-thian Coa-ong menanggapinya dengan acuh saja. Sui In juga belum memberi tahu kepada Lili. Biasanya gadis itu selalu taat kepadanya, maka kali ini pun dia merasa yakin bahwa Lili akan mentaatinya. Apa lagi Pangeran Ramamurti bukan seorang pemuda yang buruk rupa. Ia cukup tampan, terpelajar, kaya raya, berkedudukan tinggi dan masih muda. Mau apa lagi?

Ketika dari pintu sebelah dalam muncul dua orang wanita cantik, Balkan dan Ramamurti cepat bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat sambil merangkap kedua tangan di depan dada sebagai salam.

"Cu-lihiap (pendekar wanita Cu)!" kata mereka sambil memberi hormat dan pandang mata Ramamurti melekat pada gadis yang berdiri di sebelah kiri Cu Sui In. Betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu, pikirnya dengan hati berdebar girang. Gadis secantik bidadari ini yang diusulkan menjadi isterinya? Seribu kali dia setuju!

"Saudara Balkan dan Pangeran Ramamurti, selamat datang di tempat kami dan silakan duduk. Perkenalkan, ini adalah sumoi-ku yang bernama Tang Bwe Li atau yang biasanya kami panggil Lili."

"Tang-siocia (nona Tang)!" kata Balkan memberi hormat yang segera dibalas sambil lalu oleh Lili.

"Nona Lili? Ahh, kiranya nona adalah seorang puteri yang cantik jelita seperti bidadari..." kata Pangeran Ramamurti.

Lili tersenyum geli karena merasa lucu sekali. Sikap pangeran itu mengingatkan dia akan pertunjukan sandiwara di panggung yang pernah ditontonnya ketika dia bersama Sui In merantau ke daerah timur yang ramai.

"Apakah engkau ini seorang pangeran sungguhan? Seorang pangeran asli?" ia bertanya.

"Lili!" bentak suci-nya. "Jangan main-main di depan pangeran!"

"Aihh, suci, aku tidak main-main. Aku hanya bertanya karena dia mengingatkan aku akan pangeran yang kita lihat bermain di panggung sandiwara itu. Betul tidak, suci?"

Mau tidak mau Sui In tersenyum geli. Lili memang gadis lincah jenaka yang jujur dan tak pernah mengenal takut. "Hushh, jangan sembarangan saja. Dia adalah seorang pangeran sejati, Pangeran Ramamurti dari Kerajaan Bhutan."

"Ahh, kiranya begitu? Maaf, karena yang membedakan antara orang biasa dan pangeran hanya pakaiannya, dan yang di panggung itu pun memakai pakaian seperti ini. Selamat datang, pangeran, dan silakan duduk," Lili berkata dengan sikap wajar sehingga Pangeran Ramamurti tidak tersinggung, bahkan merasa gembira sekali. Saking girangnya dia cepat menoleh kepada pamannya dan berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Bhutan,

"Paman, aku mau, Paman, mau sekali... aku setuju...!”

Tiba-tiba Lili bertanya, "Engkau mau apa, pangeran? Mau sekali apa? Dan apa yang kau setujui tadi?"

Pangeran Ramamurti menjadi terkejut setengah mati. Mukanya berubah kemerahan. Tak disangkanya bahwa Lili mengerti bahasa Bhutan! Gadis ini memang seorang kutu buku, suka mempelajari bahasa-bahasa. Bukan saja bahasa Bhutan, Nepal, juga bahasa Tibet dan bahasa daerah lainnya pernah dia pelajari.

"Ehh... ahhh... mau anu... mau duduk, aku... aku setuju untuk duduk dan bicara...,” jawab pangeran itu gagap.

Lili mengerutkan alis dan tertawa geli karena ia sendiri sama sekali tidak tahu apa maksud kunjungan ini, sama sekali tidak menduga bahwa yang dimaksudkan pangeran itu adalah mau dan setuju sekali menikah dengannya!

Akan tetapi di dalam kagetnya pangeran itu menjadi semakin kagum dan suka mendengar gadis itu pandai pula berbahasa Bhutan. Gadis seperti ini sungguh sukar dicari keduanya. Cantik jelita, pandai ilmu silat dan tentu boleh diandalkan sebagai sumoi dari Cu Sui In yang telah dia lihat sendlri kelihaiannya, ditambah pandai berbahasa Bhutan pula.

"Pangeran Ramamurti dan saudara Balkan, sebelum membicarakan urusan kita, marilah kupersilakan menghadap ayahku lebih dulu, kemudian menerima sambutan kami dengan jamuan makan. Setelah itu barulah kita bicara."

Tentu saja pihak tamu, yaitu pangeran dengan pamannya itu, hanya dapat menerima, apa lagi perjalanan jauh sudah membuat mereka haus, lapar dan lelah bukan main. Sambutan dengan jamuan makan tentu akan menyenangkan sekali. Mereka lalu diantar memasuki ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong telah menanti dengan sikap acuh.

Lili yang belum mengetahui bahwa kunjungan itu bermaksud melamar dirinya, mengikuti dari belakang sambil tersenyum-senyum. Dia masih merasa lucu melihat betapa suci-nya demikian menghormati seorang pangeran yang dianggapnya terlampau banyak lagak itu. Apakah suci-nya yang sejak kecil diketahuinya sebagai seorang wanita yang memandang rendah kaum pria itu kini tiba-tiba tertarik dan jatuh cinta kepada pangeran ini? Hampir dia terkekeh dan menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Alangkah lucunya bila suci-nya jatuh cinta kepada pangeran yang dianggapnya masih kekanak-kanakan ini!

Dewi Ular yang mengajak dua orang tamunya masuk, segera memperkenalkan mereka kepada ayahnya. See-thian Coa-ong duduk di kursinya dengan sikap angkuh berwibawa. Jelas bahwa datuk ini tidak mau memperlihatkan kerendahan diri terhadap pangeran itu.

"Ayah, inilah Pangeran Ramamurti dan pamannya, saudara Balkan seperti yang pernah kuceritakan itu," kata Bi-coa Sianli dengan nada suara bangga.

"Locianpwe, terimalah hormat kami," kata Balkan dan pangeran itu pun memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, sedikit membungkuk tetapi tidak berkata apa pun.

"Hemm, duduklah!" kata See-thian Coa-ong, mempersilakan dua orang itu duduk seperti mempersilakan dua orang tamu biasa saja. Jelas terbayang pada wajah dua orang tamu itu betapa mereka menjadi salah tingkah, bingung oleh sikap acuh kakek itu.

Lili tidak mampu menahan tawanya. "Suhu, dia adalah seorang pangeran tulen, pangeran dari negara Bhutan. Hebat, bukan?" katanya.

"Apanya yang hebat?" See-thian Coa-ong bertanya sambil menoleh kepada muridnya itu, alisnya berkerut.

“Haiii, tidak banggakah suhu menerima tamu seorang pangeran? Ingat, suhu, tidak setiap hari ada pangeran datang berkunjung. Pangeran itu putera raja, suhu, masih panas-panas keluar dari istana kerajaan!" Lili yang merasa semakin geli melihat sikap suhu-nya, cepat menambahkan.

"Hemm, apa anehnya raja dan pangeran? Sudah sering aku dijamu oleh raja-raja di istana mereka. Raja-raja juga manusia biasa seperti kita, apa bedanya?

"Bagaimana bisa sama, suhu? Dalam sebuah negara, raja hanya ada seorang saja, dan pangeran juga hanya beberapa orang. Tentu berbeda dengan orang-orang biasa seperti kita."

Pangeran Ramamurti tidak begitu pandai berbahasa Han, akan tetapi dia paham apa yang dibicarakan. Dia merasa gembira bukan main mendengar gadis yang dicalonkan menjadi jodohnya dan yang sekaligus sudah membuatnya jatuh bangun dalam cinta itu, membuat ia menjadi tergila-gila, memuji-mujinya dan berkeras mengatakan bahwa pangeran adalah manusia luar biasa, lain dari pada yang lain. Ini saja sudah menjadi lampu hijau baginya. Dia pun kurang enak mendengar kakek itu agaknya memandang rendah pangeran, tetapi untuk memperlihatkan bahwa dia cukup rendah hati, dia pun berkata sambil tersenyum ramah.

“Aihh, nona Lili. Apa yang diucapkan locianpwe ini benar sekali. Walau pun aku seorang pangeran yang mungkin kelak menjadi raja, akan tetapi aku hanyalah manusia biasa yang tiada bedanya dengan orang lain. Lihat, hidungku satu, mata dan telingaku dua, mulutku satu, jari tanganku masing-masing lima. Sama, bukan?" Pangeran itu menunjuk hidung, telinga, mata dan mulut, kemudian membuka sepuluh jari tangannya, memperlihatkannya kepada Lili. Gadis ini tidak dapat menahan tawanya sampai terpingkal-pingkal.

"Lili, bersikaplah yang pantas di depan tamu!" Cu Sui In menegur sumoi-nya.

Lili adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Dewi Ular kemudian Raja Ular yang merupakan orang-orang aneh di dunia kangouw. Dia sendiri pun ketularan watak aneh mereka yang tidak sudi dikekang oleh peraturan apa pun juga. Oleh karena itu, ketika tertawa tadi, Lili juga tidak menahan diri dan tertawa lepas dengan mulut ternganga, hal yang bagi wanita Han pada umumnya dianggap tidak bersusila!

"Ehh, mengapa, suci? Apakah aku bersikap tidak pantas? Apanya yang tidak pantas?" Lili membantah.

Jangankan sekarang ketika wanita itu sudah menjadi kakak seperguruannya, ketika masih disebut subo (ibu guru) sekali pun, dia suka membantah kalau memang menganggap dia yang benar. Dia memang taat dan segan, akan tetapi tidak membuta.

"Engkau tertawa tanpa terkendali!" tegur suci-nya.

"Ahh? Aku merasa senang dan geli, ingin tertawa lalu aku tertawa, kenapa tidak pantas? Kalau aku ingin tertawa lalu kutahan dan kusembunyikan, barulah tidak pantas. Bukankah begitu, pangeran? Tolong katakan, apakah aku tadi sudah bersikap tidak pantas di depan pangeran?" Lili mendekatkan mukanya, dicondongkan ke depan, ke arah pangeran itu.

Pangeran Ramamurti menggosok-gosok hidungnya, nampak senang sekali. "Aihh, tidak, sama sekali...”

"Maksudmu tidak pantas?"

"Pantas... pantas...!" jawab pangeran itu berulang-ulang sehingga Lili menjadi makin geli dan.tertawa lagi.

Cu Sui In sudah tahu akan watak nakal dan lincah suka menggoda orang dari sumoi-nya. Pada saat itu pula kebetulan pelayan datang melapor bahwa hidangan untuk menjamu tamu sudah tersedia di meja ruangan makan.

"Silakan, Pangeran Ramamurti dan Saudara Balkan. Mari silakan makan minum dahulu, baru kita nanti bicara." Cu Sui In mempersilakan. "Mari kita temani tamu-tamu kita, Lili."

"Akan tetapi aku sudah makan, suci."

"Biarlah, kita minum-minum saja sekedar menemani mereka. Aku pun sudah makan tadi."

See-thian Coa-ong yang bersikap acuh hanya mengangguk saja ketika dua orang tamu itu permisi. Mereka lalu pergi ke ruangan makan dan untuk mencegah agar sumoi-nya yang nakal itu tidak menggoda tamunya lagi, Cu Sui In sendiri yang melayani mereka dengan suguhan arak dan masakan-masakan yang lezat, dibantu oleh para pelayan wanita.

"Sambil makan minum kami hendak memperlihatkan tarian yang khas dari tempat tinggal Pangeran," kata Cu Sui In dan sang pangeran mengangguk-angguk girang.

Sui In memberi isyarat kepada para pelayan dan terdengarlah suara dua buah yang-kim (kecapi) ditabuh dengan suara melengking merdu, lalu disusul suara suling. Sehelai tirai sutera diangkat perlahan-lahan, lantas nampaklah tiga orang wanita cantik yang bermain suling dan dua yang-kim itu.

Kemudian, dari kamar bagian dalam, muncul lima orang gadis. Mereka berlari-lari kecil di atas jari-jari kaki mereka seolah meluncur saja, dan lima orang gadis itu muda-muda dan cantik-cantik, mengenakan pakaian serba tipis yang menggairahkan. Kemudian, sesudah mereka memberi hormat ke arah tamu, mulailah mereka menari mengikuti suara yang-kim dan suling.

Pangeran Ramamurti terpesona. Di negerinya juga banyak terdapat penari yang pandai menari perut, akan tetapi gerakan kelima orang penari ini lain sekali. Tubuh mereka yang ramping berlenggang-lenggok seperti tubuh ular!

Lengking suling itu semakin meninggi dan tiba-tiba saja Lili bangkit dari tempat duduknya, lantas dia pun menari dengan gerakan yang berlenggang lenggok seperti ular pula. Lima orang penari itu tersenyum dan mereka menari-nari mengelilingi Lili, merupakan paduan yang amat serasi.

Pangeran Ramamurti semakin terpesona sehingga tiada hentinya mulutnya mengeluarkan suara pujian. Lili memang suka sekali menari. Setiap melihat tarian, apa lagi mendengar suara yang-kim dan suling memainkan lagu yang amat dikenalnya itu, lagu ular, dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut menari!

Para pemain musik dan penari itu sudah tahu akan kesukaan Lili, maka mereka hanya tersenyum dan tiba-tiba saja peniup suling memainkan lagu lain. Sulingnya melengking-lengking dan mengandung getaran aneh. Lili juga segera mengubah gerakan tarinya dan lima orang penari itu kini duduk mengellingi sambil bersimpuh, bertepuk tangan mengiringi musik dan tarian.

"Ular...! Ular...!" seru Ramamurti dan Balkan sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi ke atas kursi ketika mereka melihat puluhan ular memasuki ruangan itu dari segala penjuru.

"Harap kalian tenang, tidak apa-apa," Cu Sui In sambil tersenyum.

Dua orang tamu itu lupa makan. Kini mereka terbelalak dengan heran, kagum bercampur khawatir melihat betapa lima orang penari itu sudah bangkit lagi dan menari di sekeliling Lili. Seperti juga Lili yang memainkan dua ekor ular putih yang nampak ganas, lima orang penari itu menari dengan ular-ular bergantungan di tubuh.

Ini baru benar-benar tari ular, pikir pangeran itu dengan kagum. Di negerinya juga ada tari ular, ada pula pawang ular. Tetapi biasanya, dalam tarian ular itu si penari menggunakan ular-ular yang sudah dijinakkan sehingga tidak dapat menyerang atau menggigit lagi. Akan tetapi enam orang penari ini mempermainkan ular-ular liar yang agaknya tadi tertarik dan berdatangan setelah mendengar tiupan suling istimewa itu.

Setelah suara suling mengusir pergi ular-ular itu dan para penari menghentikan tariannya, Pangeran Ramamurti dan Balkan bertepuk tangan memuji. Kemudian, setelah dua orang tamu itu selesai makan, mereka diajak menghadap lagi ke ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong masih duduk.

"Nah, sekarang harap ji-wi (kalian berdua) beritahukan maksud kunjungan ji-wi kepada kami," kata Cu Sui In kepada dua orang tamunya.

Para pelayan sudah disuruh keluar dari ruangan itu sehingga di sana hanya ada dua orang tamu itu dan di pihak tuan rumah ada tiga orang. Sikap See-thian Coa-Ong masih acuh saja. Kalau Sui In merasa setuju dan bangga sekali menyambut usul perjodohan antara Lili dan Pangeran Bhutan, akan tetapi ayahnya tidak demikian. See-thian Coa-ong tidak menolak, namun juga tidak gembira dan acuh saja, menyerahkan urusan itu kepada puterinya dan kepada Lili sendiri.

"Locianpwe dan Cu-lihiap, kunjungan kami ini bermaksud untuk menyambung persesuaian pendapat di antara kami dan Cu-lihiap ketika lihiap berkunjung ke negeri kami dua bulan yang lalu, yaitu kami datang untuk meminang nona Tang Bwe Li agar dapat menjadi jodoh Pangeran Ramamurti...”

"Gila...! Lancang...!” Tiba-tiba Lili meloncat bangun dari kursinya, mukanya merah, kedua matanya mencorong memandang ke arah dua orang tamu itu, membuat mereka terkejut.

“Lili, hentikan itu!" Cu Sui In membentak, juga marah. "Sikapmu itu tidak patut dan sangat memalukan!"

"Tapi... tapi, suci... mereka ini kurang ajar kepadaku!" bantah Lili.

"Engkau yang kurang ajar! Sudah jamaknya gadis dewasa seperti engkau dilamar orang, dan tidak seperti itu sikap seorang gadis yang menerima lamaran. Kau diamlah, ini urusan orang-orang tua!"

"Tidak suci. Aku tidak mau! Aku tidak sudi berjodoh dengan dia!"

"Lili, ini sudah keterlaluan!" Cu Sui In bangkit berdiri dan mukanya berubah merah karena marah dan malu.

"Suci mengatakan aku keterlaluan? Suci sendiri sampai sekarang tidak mau menikah dan malah hendak memaksaku menikah, itu baru namanya keterlaluan! Kenapa tidak suci saja yang berjodoh dengan pangeran ini?" Setelah berkata demikian Lili mengepal tinju hendak menyerang dua orang tamu itu, membuat Pangeran Ramamurti menjadi pucat ketakutan.

"Lili, mundur kau!" bentak See-thian Coa-ong.

Mendengar bentakan gurunya ini, Lili mengendur, matanya menjadi merah dan basah. Dia membanting kakinya dan lari keluar dari ruangan itu, kembali ke kamarnya. Sesudah gadis itu pergi, keadaan di dalam ruangan itu sunyi. Sunyi yang menegangkan hati. Kemudian terdengar Pangeran Ramamurti berkata dalam bahasanya sendiri kepada Balkan.

"Paman, mari kita pulang saja. Kalau lamaran kita ditolak, untuk apa kita lama di sini?”

Mendengar ini Sui In cepat berkata. "Harap ji-wi memaafkan sumoi-ku. Ia memang keras hati dan tentu saja dia merasa malu. Kami harap ji-wi suka bersabar dulu. Aku yang akan membujuknya. Sekarang ini kami belum dapat mengambil keputusan mengenai pinangan ji-wi. Baiklah, nanti bulan depan saja kami akan mengirim berita keputusan kami. Sekali lagi, harap maafkan."

Ucapan itu merupakan permintaan maaf dan juga pengusiran secara halus. Memang Sui In yang merasa tidak enak sekali oleh sikap Lili tadi, merasa bahwa lebih baik kalau dua orang tamunya itu pergi saja dulu. Balkan dan pangeran itu lalu berpamit. Terlebih dulu mereka berpamit kepada See-thian Coa-ong, dan kakek yang semenjak tadi diam saja dan acuh ini tiba-tiba bertanya kepada Pangeran Ramamurti,

"Engkau ini adalah seorang pangeran, kenapa tidak mencari jodoh seorang puteri bangsawan? Bagaimana mungkin orang semacam engkau ini kelak dapat mengendalikan seorang isteri seperti Lili?”

See-thian Coa-ong tertawa bergelak dan seperti biasa, senyum dan tawa kakek ini selalu mengandung ejekan dan memandang rendah orang lain. Pangeran Ramamurti tidak menjawab. Dia dan pamannya lalu berpamit kepada Sui In dan meninggalkan puncak Bukit Ular, diikuti pasukan kecil pengawal mereka.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

"Berhenti...!" Lili yang berdiri menghadang di tengah jalan mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat kepada pasukan berkuda itu untuk berhenti.

Pangeran Ramamurti dan Balkan segera menahan kendali kuda mereka, begitu pula dua belas orang pengawal mereka. Melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Lili yang nampak demikian gagah dan cantik, berdiri tegak di tengah jalan, kedua kaki terpentang, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat ke atas, wajah Pangeran Ramamurti yang tadinya murung itu kini menjadi girang sekali. Dia cepat-cepat meloncat turun dari atas kudanya, wajahnya yang tampan tersenyum.

"Aihh, kiranya nona Lili! Nona, apakah engkau menghadang di sini untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku?" Dalam suaranya terkandung penuh harapan.

"Pangeran Ramamurti, engkau telah menghinaku dan sekarang masih mengharapkan aku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu?! Aku menghadang untuk memberi hajaran kepada kalian yang telah menghinaku!"

Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapannya, wajah pangeran itu menjadi pucat dan dia melangkah mundur. Pamannya, Balkan, sudah melompat turun pula dari atas kudanya dan dia menghadapi gadis itu dengan sikap tenang.

"Maaf, nona Tang Bwe Li, kami benar-benar tidak mengerti kenapa nona marah kepada kami? Kami datang dengan baik-baik dan dengan sikap hormat untuk meminang diri nona. Bagaimana nona dapat mengatakan bahwa kami telah menghinamu?"

"Tidak menghinaku, ya? Bagus! Kalian datang melamarku begitu saja, tanpa memberi tahu aku lebih dulu, tidak menyelidiki dulu apakah aku suka atau tidak. Memangnya aku ini sebuah boneka yang tidak mempunyai pikiran sendiri? Atau aku ini seekor kuda saja yang boleh kalian tawar dan hendak membeliku dengan kedudukan dan hartamu? Kalian telah membikin aku malu!"

Balkan adalah seorang dari golongan rakyat biasa, namun karena kakaknya perempuan menjadi isteri raja Bhutan, maka dia merasa dirinya besar dan sudah menjadi seorang bangsawan tinggi, paman dari Pangeran Ramamurti. Kini, melihat sikap Lili yang sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada keponakannya dan kepadanya, timbullah kemarahannya. Gadis ini terlalu menghina, pikirnya.

"Nona Tang Bwe Li, ingat bahwa yang meminangmu adalah seorang pangeran kerajaan Bhutan! Biasanya, di Bhutan, jika pangeran menghendaki seorang wanita, cukup dengan melambaikan tangan saja dan setiap orang wanita akan datang menyerahkan diri dengan bangga. Karena mengingat bahwa nona adalah bangsa lain, maka kami mempergunakan cara yang sopan dan lazim, melakukan pinangan dengan resmi. Bahkan sebelum kami datang meminang, kami telah membicarakannya dengan lihiap Cu Sui In dan dia sudah menyetujuinya. Sepatutnya nona merasa terhormat dan bangga, bukan merasa terhina. Ini sungguh tidak adil sama sekali!"

Mendapat jawaban seperti ini, kemarahan Lili makin berkobar seperti api disiram minyak. “Bagus! Kalian sudah menghinaku tapi masih menyalahkan aku pula. Kalian harus dihajar agar tidak berani muncul lagi ke sini, tidak lagi menyinggung urusan perjodohan!"

Balkan juga marah. Gadis ini terlalu menghina, sepantasnya kalau ditawan dan dibawa ke Bhutan, dipaksa menikah dengan Pangeran Ramamurti! Dia pun memberi isyarat kepada pasukan pengawal. "Tangkap nona yang lancang mulut ini!"

Dua belas orang pengawal itu sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan seperti segerombolan anjing pemburu mengeroyok seekor kelinci, mereka segera menerjang ke arah Lili dengan tangan terjulur panjang. Melihat kecantikan dara itu, timbul gairah mereka dan kini mereka seolah berlomba untuk memperebutkan gadis itu, supaya mereka dapat lebih dulu menerkam, memeluk dan menangkapnya. Mereka berlomba untuk bisa meraba tubuh yang padat itu, atau setidaknya bersentuhan lengan...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 03

PADA saat itu See-thian Coa-ong sedang menghadapi meja makan, sedang makan siang ditemani puterinya, Bi-coa Sianli, dan dilayani para selirnya yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Tang Bwe Li atau Lili tidak kelihatan karena gadis itu memang selalu ingin makan sendirian, tidak beramai-ramai bersama suci-nya dan gurunya. Begitu mendengar bunyi sasangkala ltu, Bi-coa Sianli Cu Sui In yang telah selesai makan langsung bangkit berdiri.

"Kurasa mereka sudah datang, ayah. Aku akan menyambut mereka dulu di ruang tamu. Nanti setelah segalanya beres baru mereka akan kuhadapkan kepada ayah."

See-thian Coa-ong hanya mengangguk saja tanpa menjawab, agaknya hatinya tak tertarik sama sekali dan dia lebih mencurahkan perhatian kepada masakan di atas meja. Cu Sui In lalu meninggalkan ruangan makan dan menyuruh anak buah di situ agar pergi menyambut para tamu dan membawa mereka ke ruangan tamu, sedangkan dia sendiri mencari Lili. Gadis itu berada di kamarnya, sedang membaca kitab sejarah.

"Lili, cepat engkau berdandan," kata Cu Sui In.

Lili melepaskan bukunya, lantas memandang kepada wanita cantik itu dengan mata yang dilebarkan. Ketika dia masih kecil wanita ini adalah gurunya, kemudian menjadi suci-nya. Hubungan antara mereka akrab sekali dan Lili merasa amat sayang kepada gurunya atau sucinya itu.

"Suci, kenapa aku harus berdandan?" tanyanya heran.

"Kita akan menyambut tamu agung dan aku ingin engkau kelihatan cantik."

"Aihh, siapa sih tamu agung itu, suci? Aku jadi ingin sekali tahu."

"Dia seorang pangeran. Hayo cepatlah, aku pun mau bertukar pakaian baru," kata Sui In yang meninggalkan sumoi-nya, memasuki kamarnya sendiri untuk berganti pakaian.

Setelah Sui In pergi, Lili bersungut-sungut. Dia adalah seorang gadis yang wataknya jujur dan galak, wajar dan tidak pesolek seperti suci-nya. Dia paling tidak suka mencari muka, maka sekarang pun hatinya memberontak sesudah mendengar bahwa dia harus bersolek karena akan menyambut tamu agung, seorang pangeran.

Akan tetapi dia pun merasa segan dan tidak berani membangkang terhadap perintah suci-nya yang tadinya gurunya itu, maka dengan uring-uringan dia pun berganti pakaian. Akan tetapi dia membiarkan wajahnya tanpa bedak dan gincu, hal yang sebenarnya juga tidak ada gunanya karena tanpa bedak pun kulit mukanya sudah putih kemerahan dan bibirnya sudah terlalu merah membasah meski pun tanpa gincu. Rambutnya yang sedikit kusut itu bahkan menambah kemanisan wajahnya.

Rombongan Pangeran Ramamurti telah disambut oleh anak buah See-thian Coa-ong dan diajak naik ke puncak. Kemudian pangeran itu bersama pamannya dipersilakan menanti di ruangan tamu, sedangkan dua belas orang pengawal mereka dijamu oleh anak buah Bukit Ular dengan ramah dan hormat seperti diperintahkan Dewi Ular.

Ramamurti dan Balkan menanti di ruang tamu yang cukup luas itu dengan hati berdebar-debar. Kedatangan mereka memang telah dijanjikan ketika dua bulan yang siilam mereka bertemu dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In yang pada saat itu sedang berkunjung ke daerah Bhutan. Bahkan wanita cantik yang lihai ini sudah menyelamatkan Pangeran Ramamurti dan Balkan yang sedang berburu binatang dan dikepung oleh belasan orang pemberontak yang menjadi pelarian. Cu Sui In yang menjadi penolong itu lalu diundang ke istana dan dijamu dengan hormat.

Kemudian, ketika mendengar bahwa Cu Sui In memiliki seorang sumoi yang masih gadis, Balkan mengusulkan supaya sumoi-nya itu bisa dijodohkan dengan Pangeran Ramamurti yang juga belum menikah. Tentu saja usul ini sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Balkan dan disetujui oleh sang pangeran.

Sebetulnya usul ini pun mengandung pamrih tertentu, yaitu mereka mengharapkan bahwa dengan adanya dukungan seorang isteri yang memiliki kepandaian tinggi maka kedudukan Pangeran Ramamurti akan menjadi makin kuat. Pada waktu itu memang terjadi semacam persaingan di antara para pangeran Bhutan yang hendak memperebutkan kekuasaan.

Dan Sui In juga menyatakan persetujuannya! Tentu saja Sui In tidak sembarangan saja menerima usul itu, melainkan telah dipertimbangkannya baik-baik. Dia melihat kedudukan pemuda itu cukup kuat, sebagai seorang pangeran Kerajaan Bhutan dan siapa tahu, kelak dengan bantuan Lili dapat menjadi raja di Bhutan! Itulah sebabnya maka dia menyatakan persetujuannya, dan minta agar pada hari itu mereka datang untuk mengajukan pinangan secara sah.

Ketika Sui In memberi tahu ayahnya mengenai usul perjodohan dengan pangeran Bhutan, See-thian Coa-ong menanggapinya dengan acuh saja. Sui In juga belum memberi tahu kepada Lili. Biasanya gadis itu selalu taat kepadanya, maka kali ini pun dia merasa yakin bahwa Lili akan mentaatinya. Apa lagi Pangeran Ramamurti bukan seorang pemuda yang buruk rupa. Ia cukup tampan, terpelajar, kaya raya, berkedudukan tinggi dan masih muda. Mau apa lagi?

Ketika dari pintu sebelah dalam muncul dua orang wanita cantik, Balkan dan Ramamurti cepat bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat sambil merangkap kedua tangan di depan dada sebagai salam.

"Cu-lihiap (pendekar wanita Cu)!" kata mereka sambil memberi hormat dan pandang mata Ramamurti melekat pada gadis yang berdiri di sebelah kiri Cu Sui In. Betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu, pikirnya dengan hati berdebar girang. Gadis secantik bidadari ini yang diusulkan menjadi isterinya? Seribu kali dia setuju!

"Saudara Balkan dan Pangeran Ramamurti, selamat datang di tempat kami dan silakan duduk. Perkenalkan, ini adalah sumoi-ku yang bernama Tang Bwe Li atau yang biasanya kami panggil Lili."

"Tang-siocia (nona Tang)!" kata Balkan memberi hormat yang segera dibalas sambil lalu oleh Lili.

"Nona Lili? Ahh, kiranya nona adalah seorang puteri yang cantik jelita seperti bidadari..." kata Pangeran Ramamurti.

Lili tersenyum geli karena merasa lucu sekali. Sikap pangeran itu mengingatkan dia akan pertunjukan sandiwara di panggung yang pernah ditontonnya ketika dia bersama Sui In merantau ke daerah timur yang ramai.

"Apakah engkau ini seorang pangeran sungguhan? Seorang pangeran asli?" ia bertanya.

"Lili!" bentak suci-nya. "Jangan main-main di depan pangeran!"

"Aihh, suci, aku tidak main-main. Aku hanya bertanya karena dia mengingatkan aku akan pangeran yang kita lihat bermain di panggung sandiwara itu. Betul tidak, suci?"

Mau tidak mau Sui In tersenyum geli. Lili memang gadis lincah jenaka yang jujur dan tak pernah mengenal takut. "Hushh, jangan sembarangan saja. Dia adalah seorang pangeran sejati, Pangeran Ramamurti dari Kerajaan Bhutan."

"Ahh, kiranya begitu? Maaf, karena yang membedakan antara orang biasa dan pangeran hanya pakaiannya, dan yang di panggung itu pun memakai pakaian seperti ini. Selamat datang, pangeran, dan silakan duduk," Lili berkata dengan sikap wajar sehingga Pangeran Ramamurti tidak tersinggung, bahkan merasa gembira sekali. Saking girangnya dia cepat menoleh kepada pamannya dan berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Bhutan,

"Paman, aku mau, Paman, mau sekali... aku setuju...!”

Tiba-tiba Lili bertanya, "Engkau mau apa, pangeran? Mau sekali apa? Dan apa yang kau setujui tadi?"

Pangeran Ramamurti menjadi terkejut setengah mati. Mukanya berubah kemerahan. Tak disangkanya bahwa Lili mengerti bahasa Bhutan! Gadis ini memang seorang kutu buku, suka mempelajari bahasa-bahasa. Bukan saja bahasa Bhutan, Nepal, juga bahasa Tibet dan bahasa daerah lainnya pernah dia pelajari.

"Ehh... ahhh... mau anu... mau duduk, aku... aku setuju untuk duduk dan bicara...,” jawab pangeran itu gagap.

Lili mengerutkan alis dan tertawa geli karena ia sendiri sama sekali tidak tahu apa maksud kunjungan ini, sama sekali tidak menduga bahwa yang dimaksudkan pangeran itu adalah mau dan setuju sekali menikah dengannya!

Akan tetapi di dalam kagetnya pangeran itu menjadi semakin kagum dan suka mendengar gadis itu pandai pula berbahasa Bhutan. Gadis seperti ini sungguh sukar dicari keduanya. Cantik jelita, pandai ilmu silat dan tentu boleh diandalkan sebagai sumoi dari Cu Sui In yang telah dia lihat sendlri kelihaiannya, ditambah pandai berbahasa Bhutan pula.

"Pangeran Ramamurti dan saudara Balkan, sebelum membicarakan urusan kita, marilah kupersilakan menghadap ayahku lebih dulu, kemudian menerima sambutan kami dengan jamuan makan. Setelah itu barulah kita bicara."

Tentu saja pihak tamu, yaitu pangeran dengan pamannya itu, hanya dapat menerima, apa lagi perjalanan jauh sudah membuat mereka haus, lapar dan lelah bukan main. Sambutan dengan jamuan makan tentu akan menyenangkan sekali. Mereka lalu diantar memasuki ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong telah menanti dengan sikap acuh.

Lili yang belum mengetahui bahwa kunjungan itu bermaksud melamar dirinya, mengikuti dari belakang sambil tersenyum-senyum. Dia masih merasa lucu melihat betapa suci-nya demikian menghormati seorang pangeran yang dianggapnya terlampau banyak lagak itu. Apakah suci-nya yang sejak kecil diketahuinya sebagai seorang wanita yang memandang rendah kaum pria itu kini tiba-tiba tertarik dan jatuh cinta kepada pangeran ini? Hampir dia terkekeh dan menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Alangkah lucunya bila suci-nya jatuh cinta kepada pangeran yang dianggapnya masih kekanak-kanakan ini!

Dewi Ular yang mengajak dua orang tamunya masuk, segera memperkenalkan mereka kepada ayahnya. See-thian Coa-ong duduk di kursinya dengan sikap angkuh berwibawa. Jelas bahwa datuk ini tidak mau memperlihatkan kerendahan diri terhadap pangeran itu.

"Ayah, inilah Pangeran Ramamurti dan pamannya, saudara Balkan seperti yang pernah kuceritakan itu," kata Bi-coa Sianli dengan nada suara bangga.

"Locianpwe, terimalah hormat kami," kata Balkan dan pangeran itu pun memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, sedikit membungkuk tetapi tidak berkata apa pun.

"Hemm, duduklah!" kata See-thian Coa-ong, mempersilakan dua orang itu duduk seperti mempersilakan dua orang tamu biasa saja. Jelas terbayang pada wajah dua orang tamu itu betapa mereka menjadi salah tingkah, bingung oleh sikap acuh kakek itu.

Lili tidak mampu menahan tawanya. "Suhu, dia adalah seorang pangeran tulen, pangeran dari negara Bhutan. Hebat, bukan?" katanya.

"Apanya yang hebat?" See-thian Coa-ong bertanya sambil menoleh kepada muridnya itu, alisnya berkerut.

“Haiii, tidak banggakah suhu menerima tamu seorang pangeran? Ingat, suhu, tidak setiap hari ada pangeran datang berkunjung. Pangeran itu putera raja, suhu, masih panas-panas keluar dari istana kerajaan!" Lili yang merasa semakin geli melihat sikap suhu-nya, cepat menambahkan.

"Hemm, apa anehnya raja dan pangeran? Sudah sering aku dijamu oleh raja-raja di istana mereka. Raja-raja juga manusia biasa seperti kita, apa bedanya?

"Bagaimana bisa sama, suhu? Dalam sebuah negara, raja hanya ada seorang saja, dan pangeran juga hanya beberapa orang. Tentu berbeda dengan orang-orang biasa seperti kita."

Pangeran Ramamurti tidak begitu pandai berbahasa Han, akan tetapi dia paham apa yang dibicarakan. Dia merasa gembira bukan main mendengar gadis yang dicalonkan menjadi jodohnya dan yang sekaligus sudah membuatnya jatuh bangun dalam cinta itu, membuat ia menjadi tergila-gila, memuji-mujinya dan berkeras mengatakan bahwa pangeran adalah manusia luar biasa, lain dari pada yang lain. Ini saja sudah menjadi lampu hijau baginya. Dia pun kurang enak mendengar kakek itu agaknya memandang rendah pangeran, tetapi untuk memperlihatkan bahwa dia cukup rendah hati, dia pun berkata sambil tersenyum ramah.

“Aihh, nona Lili. Apa yang diucapkan locianpwe ini benar sekali. Walau pun aku seorang pangeran yang mungkin kelak menjadi raja, akan tetapi aku hanyalah manusia biasa yang tiada bedanya dengan orang lain. Lihat, hidungku satu, mata dan telingaku dua, mulutku satu, jari tanganku masing-masing lima. Sama, bukan?" Pangeran itu menunjuk hidung, telinga, mata dan mulut, kemudian membuka sepuluh jari tangannya, memperlihatkannya kepada Lili. Gadis ini tidak dapat menahan tawanya sampai terpingkal-pingkal.

"Lili, bersikaplah yang pantas di depan tamu!" Cu Sui In menegur sumoi-nya.

Lili adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Dewi Ular kemudian Raja Ular yang merupakan orang-orang aneh di dunia kangouw. Dia sendiri pun ketularan watak aneh mereka yang tidak sudi dikekang oleh peraturan apa pun juga. Oleh karena itu, ketika tertawa tadi, Lili juga tidak menahan diri dan tertawa lepas dengan mulut ternganga, hal yang bagi wanita Han pada umumnya dianggap tidak bersusila!

"Ehh, mengapa, suci? Apakah aku bersikap tidak pantas? Apanya yang tidak pantas?" Lili membantah.

Jangankan sekarang ketika wanita itu sudah menjadi kakak seperguruannya, ketika masih disebut subo (ibu guru) sekali pun, dia suka membantah kalau memang menganggap dia yang benar. Dia memang taat dan segan, akan tetapi tidak membuta.

"Engkau tertawa tanpa terkendali!" tegur suci-nya.

"Ahh? Aku merasa senang dan geli, ingin tertawa lalu aku tertawa, kenapa tidak pantas? Kalau aku ingin tertawa lalu kutahan dan kusembunyikan, barulah tidak pantas. Bukankah begitu, pangeran? Tolong katakan, apakah aku tadi sudah bersikap tidak pantas di depan pangeran?" Lili mendekatkan mukanya, dicondongkan ke depan, ke arah pangeran itu.

Pangeran Ramamurti menggosok-gosok hidungnya, nampak senang sekali. "Aihh, tidak, sama sekali...”

"Maksudmu tidak pantas?"

"Pantas... pantas...!" jawab pangeran itu berulang-ulang sehingga Lili menjadi makin geli dan.tertawa lagi.

Cu Sui In sudah tahu akan watak nakal dan lincah suka menggoda orang dari sumoi-nya. Pada saat itu pula kebetulan pelayan datang melapor bahwa hidangan untuk menjamu tamu sudah tersedia di meja ruangan makan.

"Silakan, Pangeran Ramamurti dan Saudara Balkan. Mari silakan makan minum dahulu, baru kita nanti bicara." Cu Sui In mempersilakan. "Mari kita temani tamu-tamu kita, Lili."

"Akan tetapi aku sudah makan, suci."

"Biarlah, kita minum-minum saja sekedar menemani mereka. Aku pun sudah makan tadi."

See-thian Coa-ong yang bersikap acuh hanya mengangguk saja ketika dua orang tamu itu permisi. Mereka lalu pergi ke ruangan makan dan untuk mencegah agar sumoi-nya yang nakal itu tidak menggoda tamunya lagi, Cu Sui In sendiri yang melayani mereka dengan suguhan arak dan masakan-masakan yang lezat, dibantu oleh para pelayan wanita.

"Sambil makan minum kami hendak memperlihatkan tarian yang khas dari tempat tinggal Pangeran," kata Cu Sui In dan sang pangeran mengangguk-angguk girang.

Sui In memberi isyarat kepada para pelayan dan terdengarlah suara dua buah yang-kim (kecapi) ditabuh dengan suara melengking merdu, lalu disusul suara suling. Sehelai tirai sutera diangkat perlahan-lahan, lantas nampaklah tiga orang wanita cantik yang bermain suling dan dua yang-kim itu.

Kemudian, dari kamar bagian dalam, muncul lima orang gadis. Mereka berlari-lari kecil di atas jari-jari kaki mereka seolah meluncur saja, dan lima orang gadis itu muda-muda dan cantik-cantik, mengenakan pakaian serba tipis yang menggairahkan. Kemudian, sesudah mereka memberi hormat ke arah tamu, mulailah mereka menari mengikuti suara yang-kim dan suling.

Pangeran Ramamurti terpesona. Di negerinya juga banyak terdapat penari yang pandai menari perut, akan tetapi gerakan kelima orang penari ini lain sekali. Tubuh mereka yang ramping berlenggang-lenggok seperti tubuh ular!

Lengking suling itu semakin meninggi dan tiba-tiba saja Lili bangkit dari tempat duduknya, lantas dia pun menari dengan gerakan yang berlenggang lenggok seperti ular pula. Lima orang penari itu tersenyum dan mereka menari-nari mengelilingi Lili, merupakan paduan yang amat serasi.

Pangeran Ramamurti semakin terpesona sehingga tiada hentinya mulutnya mengeluarkan suara pujian. Lili memang suka sekali menari. Setiap melihat tarian, apa lagi mendengar suara yang-kim dan suling memainkan lagu yang amat dikenalnya itu, lagu ular, dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut menari!

Para pemain musik dan penari itu sudah tahu akan kesukaan Lili, maka mereka hanya tersenyum dan tiba-tiba saja peniup suling memainkan lagu lain. Sulingnya melengking-lengking dan mengandung getaran aneh. Lili juga segera mengubah gerakan tarinya dan lima orang penari itu kini duduk mengellingi sambil bersimpuh, bertepuk tangan mengiringi musik dan tarian.

"Ular...! Ular...!" seru Ramamurti dan Balkan sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi ke atas kursi ketika mereka melihat puluhan ular memasuki ruangan itu dari segala penjuru.

"Harap kalian tenang, tidak apa-apa," Cu Sui In sambil tersenyum.

Dua orang tamu itu lupa makan. Kini mereka terbelalak dengan heran, kagum bercampur khawatir melihat betapa lima orang penari itu sudah bangkit lagi dan menari di sekeliling Lili. Seperti juga Lili yang memainkan dua ekor ular putih yang nampak ganas, lima orang penari itu menari dengan ular-ular bergantungan di tubuh.

Ini baru benar-benar tari ular, pikir pangeran itu dengan kagum. Di negerinya juga ada tari ular, ada pula pawang ular. Tetapi biasanya, dalam tarian ular itu si penari menggunakan ular-ular yang sudah dijinakkan sehingga tidak dapat menyerang atau menggigit lagi. Akan tetapi enam orang penari ini mempermainkan ular-ular liar yang agaknya tadi tertarik dan berdatangan setelah mendengar tiupan suling istimewa itu.

Setelah suara suling mengusir pergi ular-ular itu dan para penari menghentikan tariannya, Pangeran Ramamurti dan Balkan bertepuk tangan memuji. Kemudian, setelah dua orang tamu itu selesai makan, mereka diajak menghadap lagi ke ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong masih duduk.

"Nah, sekarang harap ji-wi (kalian berdua) beritahukan maksud kunjungan ji-wi kepada kami," kata Cu Sui In kepada dua orang tamunya.

Para pelayan sudah disuruh keluar dari ruangan itu sehingga di sana hanya ada dua orang tamu itu dan di pihak tuan rumah ada tiga orang. Sikap See-thian Coa-Ong masih acuh saja. Kalau Sui In merasa setuju dan bangga sekali menyambut usul perjodohan antara Lili dan Pangeran Bhutan, akan tetapi ayahnya tidak demikian. See-thian Coa-ong tidak menolak, namun juga tidak gembira dan acuh saja, menyerahkan urusan itu kepada puterinya dan kepada Lili sendiri.

"Locianpwe dan Cu-lihiap, kunjungan kami ini bermaksud untuk menyambung persesuaian pendapat di antara kami dan Cu-lihiap ketika lihiap berkunjung ke negeri kami dua bulan yang lalu, yaitu kami datang untuk meminang nona Tang Bwe Li agar dapat menjadi jodoh Pangeran Ramamurti...”

"Gila...! Lancang...!” Tiba-tiba Lili meloncat bangun dari kursinya, mukanya merah, kedua matanya mencorong memandang ke arah dua orang tamu itu, membuat mereka terkejut.

“Lili, hentikan itu!" Cu Sui In membentak, juga marah. "Sikapmu itu tidak patut dan sangat memalukan!"

"Tapi... tapi, suci... mereka ini kurang ajar kepadaku!" bantah Lili.

"Engkau yang kurang ajar! Sudah jamaknya gadis dewasa seperti engkau dilamar orang, dan tidak seperti itu sikap seorang gadis yang menerima lamaran. Kau diamlah, ini urusan orang-orang tua!"

"Tidak suci. Aku tidak mau! Aku tidak sudi berjodoh dengan dia!"

"Lili, ini sudah keterlaluan!" Cu Sui In bangkit berdiri dan mukanya berubah merah karena marah dan malu.

"Suci mengatakan aku keterlaluan? Suci sendiri sampai sekarang tidak mau menikah dan malah hendak memaksaku menikah, itu baru namanya keterlaluan! Kenapa tidak suci saja yang berjodoh dengan pangeran ini?" Setelah berkata demikian Lili mengepal tinju hendak menyerang dua orang tamu itu, membuat Pangeran Ramamurti menjadi pucat ketakutan.

"Lili, mundur kau!" bentak See-thian Coa-ong.

Mendengar bentakan gurunya ini, Lili mengendur, matanya menjadi merah dan basah. Dia membanting kakinya dan lari keluar dari ruangan itu, kembali ke kamarnya. Sesudah gadis itu pergi, keadaan di dalam ruangan itu sunyi. Sunyi yang menegangkan hati. Kemudian terdengar Pangeran Ramamurti berkata dalam bahasanya sendiri kepada Balkan.

"Paman, mari kita pulang saja. Kalau lamaran kita ditolak, untuk apa kita lama di sini?”

Mendengar ini Sui In cepat berkata. "Harap ji-wi memaafkan sumoi-ku. Ia memang keras hati dan tentu saja dia merasa malu. Kami harap ji-wi suka bersabar dulu. Aku yang akan membujuknya. Sekarang ini kami belum dapat mengambil keputusan mengenai pinangan ji-wi. Baiklah, nanti bulan depan saja kami akan mengirim berita keputusan kami. Sekali lagi, harap maafkan."

Ucapan itu merupakan permintaan maaf dan juga pengusiran secara halus. Memang Sui In yang merasa tidak enak sekali oleh sikap Lili tadi, merasa bahwa lebih baik kalau dua orang tamunya itu pergi saja dulu. Balkan dan pangeran itu lalu berpamit. Terlebih dulu mereka berpamit kepada See-thian Coa-ong, dan kakek yang semenjak tadi diam saja dan acuh ini tiba-tiba bertanya kepada Pangeran Ramamurti,

"Engkau ini adalah seorang pangeran, kenapa tidak mencari jodoh seorang puteri bangsawan? Bagaimana mungkin orang semacam engkau ini kelak dapat mengendalikan seorang isteri seperti Lili?”

See-thian Coa-ong tertawa bergelak dan seperti biasa, senyum dan tawa kakek ini selalu mengandung ejekan dan memandang rendah orang lain. Pangeran Ramamurti tidak menjawab. Dia dan pamannya lalu berpamit kepada Sui In dan meninggalkan puncak Bukit Ular, diikuti pasukan kecil pengawal mereka.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

"Berhenti...!" Lili yang berdiri menghadang di tengah jalan mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat kepada pasukan berkuda itu untuk berhenti.

Pangeran Ramamurti dan Balkan segera menahan kendali kuda mereka, begitu pula dua belas orang pengawal mereka. Melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Lili yang nampak demikian gagah dan cantik, berdiri tegak di tengah jalan, kedua kaki terpentang, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat ke atas, wajah Pangeran Ramamurti yang tadinya murung itu kini menjadi girang sekali. Dia cepat-cepat meloncat turun dari atas kudanya, wajahnya yang tampan tersenyum.

"Aihh, kiranya nona Lili! Nona, apakah engkau menghadang di sini untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku?" Dalam suaranya terkandung penuh harapan.

"Pangeran Ramamurti, engkau telah menghinaku dan sekarang masih mengharapkan aku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu?! Aku menghadang untuk memberi hajaran kepada kalian yang telah menghinaku!"

Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapannya, wajah pangeran itu menjadi pucat dan dia melangkah mundur. Pamannya, Balkan, sudah melompat turun pula dari atas kudanya dan dia menghadapi gadis itu dengan sikap tenang.

"Maaf, nona Tang Bwe Li, kami benar-benar tidak mengerti kenapa nona marah kepada kami? Kami datang dengan baik-baik dan dengan sikap hormat untuk meminang diri nona. Bagaimana nona dapat mengatakan bahwa kami telah menghinamu?"

"Tidak menghinaku, ya? Bagus! Kalian datang melamarku begitu saja, tanpa memberi tahu aku lebih dulu, tidak menyelidiki dulu apakah aku suka atau tidak. Memangnya aku ini sebuah boneka yang tidak mempunyai pikiran sendiri? Atau aku ini seekor kuda saja yang boleh kalian tawar dan hendak membeliku dengan kedudukan dan hartamu? Kalian telah membikin aku malu!"

Balkan adalah seorang dari golongan rakyat biasa, namun karena kakaknya perempuan menjadi isteri raja Bhutan, maka dia merasa dirinya besar dan sudah menjadi seorang bangsawan tinggi, paman dari Pangeran Ramamurti. Kini, melihat sikap Lili yang sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada keponakannya dan kepadanya, timbullah kemarahannya. Gadis ini terlalu menghina, pikirnya.

"Nona Tang Bwe Li, ingat bahwa yang meminangmu adalah seorang pangeran kerajaan Bhutan! Biasanya, di Bhutan, jika pangeran menghendaki seorang wanita, cukup dengan melambaikan tangan saja dan setiap orang wanita akan datang menyerahkan diri dengan bangga. Karena mengingat bahwa nona adalah bangsa lain, maka kami mempergunakan cara yang sopan dan lazim, melakukan pinangan dengan resmi. Bahkan sebelum kami datang meminang, kami telah membicarakannya dengan lihiap Cu Sui In dan dia sudah menyetujuinya. Sepatutnya nona merasa terhormat dan bangga, bukan merasa terhina. Ini sungguh tidak adil sama sekali!"

Mendapat jawaban seperti ini, kemarahan Lili makin berkobar seperti api disiram minyak. “Bagus! Kalian sudah menghinaku tapi masih menyalahkan aku pula. Kalian harus dihajar agar tidak berani muncul lagi ke sini, tidak lagi menyinggung urusan perjodohan!"

Balkan juga marah. Gadis ini terlalu menghina, sepantasnya kalau ditawan dan dibawa ke Bhutan, dipaksa menikah dengan Pangeran Ramamurti! Dia pun memberi isyarat kepada pasukan pengawal. "Tangkap nona yang lancang mulut ini!"

Dua belas orang pengawal itu sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan seperti segerombolan anjing pemburu mengeroyok seekor kelinci, mereka segera menerjang ke arah Lili dengan tangan terjulur panjang. Melihat kecantikan dara itu, timbul gairah mereka dan kini mereka seolah berlomba untuk memperebutkan gadis itu, supaya mereka dapat lebih dulu menerkam, memeluk dan menangkapnya. Mereka berlomba untuk bisa meraba tubuh yang padat itu, atau setidaknya bersentuhan lengan...