Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SIN WAN maklum betapa setiap batang jari tangan milik nenek itu mengandung kekuatan dahsyat, bukan saja kerasnya laksana baja dan dapat menembus tengkorak kepalanya, akan tetapi juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Dengan gerakan lincah ia mengelak dan tubuhnya bergeser ke kanan sehingga terkaman lawan ke arah dadanya untuk merampas tengkorak itu luput. Akan tetapi tangan lain yang mencengkeram ke arah kepalanya terus mengikuti gerakan kepalanya dan melanjutkan serangannya.

Melihat ini Sin Wan segera mengerahkan tenaga Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan menangkis dari samping. Pergelangan tangannya beradu dengan pergelangan tangan wanita itu.

"Dukkkk!" Keduanya tergetar dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu mempunyai tenaga yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri, bahkan hawa beracun dari tangannya tidak mempengaruhinya. Sekarang ia menyerang lagi bertubi-tubi dengan totokan-totokan maut dari jari-jari tangannya yang mengandung ilmu Touw-kut-ci.

Tapi Sin Wan telah siap siaga. Dia mengelak, menangkis dan membalas serangan nenek itu sambil memainkan ilmu andalannya, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Dengan permainan ilmu hebat ini, dia dapat mengimbangi si nenek sakti, bahkan mampu mendesaknya.

"Huh-huh, bocah ini kelak akan berbahaya kalau tidak dibunuh sekarang!" tiba-tiba kakek muka merah berkata dan ketika dia bergerak, timbul angin yang menyambar dahsyat. Sin Wan cepat melompat ke belakang dan tangan kakek itu meluncur lewat dalam serangan totokan yang ganas sekali.

Kini Sin Wan terpaksa harus menghadapi pengeroyokan kedua orang itu. Dia masih terus bertahan dengan Sam-sian Sin-ciang, akan tetapi tidak lagi mendapat kesempatan untuk membalas, dan perlahan-lahan dia terdesak. Dia teringat akan ilmu yang baru saja dia pelajari dari kakek Bu Lee Ki, maka dia mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi gasing yang berputar sangat cepat seperti angin puyuh! Inilah ilmu Langkah Angin Puyuh yang dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki.

Menghadapi gerakan aneh yang membuat tubuh pemuda itu berpusing seperti gasing itu, kakek dan nenek iblis ini menjadi tercengang karena kehilangan sasaran. Mereka sedang memainkan Touw-kut-ci, yaitu semacam ilmu menotok dengan jari tangan, membutuhkan sasaran yang tepat. Kini tubuh itu berpusing seperti gasing, membuat mereka tidak tahu ke arah mana mereka harus menujukan serangan mereka.

Dua orang itu lalu melolos senjata mereka dari pinggang. Ternyata kakek muka merah itu mempunyai sebuah senjata golok yang punggungnya seperti gergaji, tipis dan berkilauan saking tajamnya. Begitu dia menggerakkan goloknya, terdengar bunyi nyaring berdesing dan nampak kilat menyambar.

Juga nenek Pek Bin Moli mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seekor ular! Ular yang sudah mati, panjangnya ada dua meter dan besarnya seperti lengan tangannya. Agaknya ular itu telah direndam semacam racun yang membuat ular itu tetap lemas seperti hidup, ulet dan kuat hingga dapat menahan bacokan senjata tajam, dan dari pangkal sampai ke ujung mengandung racun berbahaya. Ketika ia memutar senjatanya ini, nampak gulungan sinar hitam dan tercium bau amis yang memuakkan.

Melihat dua orang lawannya sudah mengeluarkan senjata yang amat berbahaya, Sin Wan juga segera menghunus pedangnya sambil meloncat jauh ke belakang. Kakek dan nenek itu memandang kepadanya, dan melihat pedang di tangan Sin Wan, mereka tidak dapat menahan tawa ejekan mereka.

"Hi-hi-hi-hik, Ang-ko. Lihat, anak itu sudah gila rupanya, hendak menghadapi kita dengan sebatang pedang rombengan!"

"Huh-huh! Bocah ini lumayan juga, Pek-moi. Tentu darahnya sangat baik untuk kita, dan ingat, jangan memandang rendah pedang itu. Dia adalah murid Sam-sian, tentu tak akan menggunakan pedang sembarangan."

Keduanya lalu menyerang secara ganas. Sin Wan cepat menggerakkan pedangnya untuk melindungi tubuhnya, memainkan Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari) yang dahulu pernah dipelajarinya dari mendiang Kiam-sian. Ilmu pedang ini pernah mengangkat nama Si Dewa Pedang Louw Sun dan merupakan ilmu pedang pilihan. Apa lagi Sin Wan menggunakan pedang tumpul yang ampuh, maka dirinya seperti dilindungi benteng baja yang amat kuat.

Golok pada tangan Ang Bin Moko serta sabuk ular di tangan Pek 8in Moli tidak mampu menembus lingkaran sinar bergulung di sekeliling tubuh Sin Wan. Dua senjata ampuh itu selalu membalik seperti tertolak perisai yang selain amat kuat, juga mengandung tenaga atau daya tolak yang luar biasa.

Namun tentu saja Sin Wan berada dalam keadaan yang terdesak dan terancam. Dalam sebuah pertandingan, tidak mungkin seseorang hanya mengandalkan pertahanan belaka, tanpa mampu balas menyerang. Apa lagi dia dikeroyok oleh dua orang yang sangat lihai.

Sin Wan sama sekali tidak mampu membalas karena serangan kedua orang lawannya itu datang bertubi-tubi dan sambung menyambung, yang berikut lebih dahsyat dari pada yang sebelumnya. Jika hanya mengelak dan menangkis terus tanpa mampu membalas sedikit pun, akhirnya setelah kekurangan tenaga dia akan terkena juga oleh senjata lawan.

Dua orang manusia iblis itu diam-diam kagum bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa hari ini mereka akan bertemu dengan seorang pemuda sehebat itu. Masih begitu muda, tetapi mampu menandingi pengeroyokan mereka berdua. Padahal tadinya mereka hampir yakin bahwa mereka berdua akan sanggup mengalahkan tokoh-tokoh persilatan lain dan akan berhasil merebut kedudukan sebagai jagoan nomor satu di dunia persilatan!

Yang sangat mengherankan mereka adalah bahwa Sam-sian sendiri dahulu belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Kenapa sekarang muridnya yang masih begini muda mampu bertahan sampai seratus jurus lebih terhadap pengeroyokan mereka?

Mereka tidak tahu bahwa seperti juga mereka, Sam-sian sudah bersama-sama merangkai iimu silat baru, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang sudah dikuasai Sin Wan sehingga pemuda itu kini lebih tangguh kalau dibandingkan dengan kepandaian guru-gurunya dahulu.

Dengan penuh penasaran, Ang Bin Moli dan Pek Bin Moli sekarang menambahi serangan mereka dengan selingan pukulan jarak jauh yang baru saja mereka latih, yaitu Toat-beng Tok-ciang. Setiap kali mereka melompat ke belakang, mereka melontarkan pukulan jarak jauh dan disusul oleh serangan senjata mereka dari jarak yang dekat.

Kombinasi serangan ini ternyata merepotkan Sin Wan. Suara bercuitan yang menyambar-nyambar itu malah lebih berbahaya dibandingkan sambaran kedua senjata itu. Ia memutar pedang tumpul dan juga mengerahkan tenaga Thian-te Sinkang pada tangan kiri untuk menangkis hawa pukulan beracun yang menyambar-nyambar itu.

Biar pun demikian, beberapa kali dia sempat terhuyung dan keadaannya gawat. Agaknya tidak lama lagi pemuda perkasa ini tentu akan roboh juga, tidak kuat menahan gelombang serangan Iblis Muka Merah dan Iblis Betina Muka Putih.

"Siiinggg...!"

Untuk kesekian kalinya sinar golok menyambar dahsyat ke arah leher Sin Wan. Pemuda yang tadinya terhuyung ketika menangkis serangan pukulan jarak jauh Pek Bin Moli ini tak sempat menangkis dan cepat merendahkan tubuh sehingga golok itu menyambar di atas kepalanya, nyaris membabat rambutnya. Dan pada saat itu terdengar bunyi bersiut keras lantas senjata ular panjang di tangan Pek bin Moli menyambar ke arah pinggang pemuda itu. Sin Wan nampaknya tak mampu menghindar dan ular itu bagaikan hidup, telah melilit pinggang Sin Wan.

"Hi-hi-hik...!" Pek Bin Moli tertawa dan menarik senjatanya yang telah membelit pinggang yang sudah nampak tidak berdaya itu.

Tubuh Sin Wan tertarik, akan tetapi alangkah kaget rasa hati wanita itu ketika tiba-tiba Sin Wan yang nampak tak berdaya dan tubuhnya terbetot tadi menggerakkan pedang ke arah pergelangan tangannya yang memegang ujung sabuk ular!

"Ihhhh...!" Dia menarik tangannya.

"Brettt!" Pedang tumpul menyambar ke arah sabuk itu dan ular itu terpotong menjadi dua!

Gerakan pemuda itu sungguh tak pernah disangka lawan. Dia sudah menggunakan ilmu yang baru saja dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, yaitu mempergunakan tenaga ‘Mengalah Untuk Menang'. Nenek itu melompat ke belakang, dan wajahnya yang putih pucat itu menjadi sedikit kemerahan. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking tinggi dan menggunakan sabuk yang tinggal satu meter lebih itu untuk menyerang lagi. Kembali Sin Wan terdesak, tetapi pada saat itu terdengar suara orang tertawa dan disusul ucapan yang gembira.

"Heh-heh-ho-ho-ho! Kiranya sepasang iblis tanpa malu-malu mengeroyok seorang muda. Kulihat kemajuan kalian hanya dalam kecurangan saja, dan dengan modal ini kalian ingin merajai dunia persilatan? Ha-ha-ha!"

Sin Wan meloncat ke belakang dan wajahnya berseri. Belum melihat orangnya saja dia sudah mengenal suara itu. Dan sekarang pemilik suara itu berada di situ. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, mukanya merah segar seperti orang mabok, perutnya gendut seperti anak-anak berpenyakit cacingan, pakaiannya tambal-tambalan dan sikapnya ugal-ugalan, mulutnya tersenyum nakal.

"Suhu...!" Sin Wan berseru girang sekali. Kakek itu memang gurunya, orang yang sedang dicari-carinya, Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui, seorang di antara Sam-sian!

Ciu Sian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, lihat mereka lari terbirit-birit. Dasar licik, biar pun mereka sudah memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, tetap saja mereka akan lari kalau melihat keadaan tidak menguntungkan,."

"Suhu, terima kasih, suhu. Tadi hampir saja teecu sudah tidak kuat bertahan lagi. Kalau suhu tidak cepat datang...”

"Ha-ha-ha, mereka memang berbahaya sekali, Sin Wan. Akan tetapi kulihat pertandingan tadi berat sebelah. Pertama, engkau dikeroyok dua. Dan ke dua, jika mereka menyerang dengan ganas untuk membunuh, sebaliknya engkau hanya bertahan saja, sama sekali tak memiliki niat merobohkan mereka. Sin Wan, aku khawatir sikapmu yang suka mengalah itu kelak akan mencelakai dirimu sendiri. Akan tetapi mengapa engkau berkelahi dengan sepasang iblis itu?"

Sin Wan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja? Teecu datang ke sini mencari suhu, karena teecu merindukan suhu. Lalu di sini teecu bertemu dengan mereka dan...”

"Ehh? Tengkorak siapa itu yang tergantung di dadamu?"

"Ini adalah tengkorak mendiang suhu Kiam-Sian dan suhu Pek-mau-sian."

"Eh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi? Aku baru saja tiba dan melihat bekas lilin di atas meja di pondok, maka aku mencarimu ke sini."

"Suhu, ketika teecu datang ke sini untuk mencari suhu, teecu segera menuju ke makam kedua suhu. Ternyata dua makam itu telah dibongkar orang, bahkan peti matinya dibuka dan tengkorak di dalamnya lenyap. Teecu menanti sampai malam tiba dan bulan muncul, barulah teecu melakukan penyelidikan. Teecu mendengar suara, maka teecu menghampiri tempat ini dan melihat dua orang itu sedang melatih ilmu pukulan jarak jauh sambil duduk di atas tumpukan tengkorak itu. Di antara tengkorak-tengkorak itu terdapat dua tengkorak ini yang menurut mereka adalah tengkorak dari suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian. Teecu segera minta dikembalikannya tengkorak-tengkorak ini. Mereka menyerang teecu dan terjadilah perkelahian tadi."

"Siancai...! Untuk mencapai tujuan, orang sesat tidak pantang mempergunakan cara apa pun juga. Tengkorak yang berserakan di sini berlubang-lubang, tentu mereka melatih diri dengan ilmu sesat."

"Menurut pendengaran teecu, mereka tadi sedang melatih ilmu Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci."

"Ahhh…! Kalau kedua ilmu itu sudah mereka latih dengan sempurna, maka akan sukarlah menandingi mereka. Mari kita urus dahulu kerangka dan tengkorak kedua orang gurumu. Kasihan sekali kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, sampai sudah mati pun tubuh kalian masih diganggu orang jahat!" Mereka berdua lantas meninggalkan tempat itu dan pergi ke makam dua orang anggota Sam-sian.

Dengan hati-hati Sin Wan mengembalikan dua buah tengkorak itu ke peti masing-masing. Di antara kedua tengkorak itu, hanya kepala yang menonjol ke belakang itu yang menjadi pegangannya bahwa itu adalah tengkorak Pek-mau-sian. Di bawah sinar bulan yang sudah berada di atas kepala, Ciu Sian melihat dua buah peti mati yang terbuka itu dan sejenak dia tertegun. Lalu dia menarik napas panjang.

"Kiam-sian dan Pek-mau-sian, kalau kalian sudah menjadi seperti ini, siapa lagi yang bisa mengenali kalian? Tak peduli kerangka kalian adalah kerangka dua orang datuk persilatan yang ternama, atau kerangka raja, atau kerangka seorang jembel miskin yang papa; siapa yang akan mengetahuinya? Kalau sudah mati semua akan sama saja, tidak ada gunanya kecuali untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bersama daging kulit yang membentuk rupa berbeda-beda, lenyap pula segaia macam martabat, kedudukan, kehormatan, kekayaan dan kepandaian. Kiam-sian dan Pek-mau-sian, apakah tidak lebih baik kalau sisa-sisamu ini dilenyapkan saja sama sekali agar tidak meninggalkan pemandangan yang tidak sedap ini?"

Sin Wan membiarkan gurunya bicara sendiri kepada kerangka dalam dua buah peti mati itu. Sesudah suhu-nya berhenti bicara barulah dia bertanya, "Suhu, apa yang akan suhu lakukan dengan kerangka kedua suhu ini? Menguburkan mereka kembali?"

"Untuk kemudian apa bila tidak terjaga akan dibongkar orang lagi? Atau digerogoti cacing, tikus atau semut sehingga akan habis sedikit demi sedikit? Tidak, Sin Wan, lebih baik kita perabukan saja mereka, dan aku yakin mereka tidak akan keberatan kalau mereka masih dapat melihat betapa sisa-sisa mereka diperabukan."

"Akan tetapi, suhu, teecu pernah mendengar dari mendiang ibu bahwa orang mati harus dikubur, dikembalikan kepada bumi dari mana jasad ini berasal. Berasal dari tanah maka dikembalikan kepada tanah, bukankah itu sudah tepat sekali?"

"Bukan hanya unsur tanah yang membentuk tubuh manusia, Sin Wan. Ada empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara. Nah, kalau kita bakar menjadi abu, itu pun berarti kembali ke asalnya. Dikembalikan ke tanah menjadi debu, dikembalikan ke api menjadi abu, apa bedanya? Sesudah mati, jasmani tidak ada artinya lagi, tidak perlu diributkan. Kalau jiwa masih berada di dalam badan, nah, barulah jasmani perlu diperhatikan dan dirawat baik-baik, dijaga baik-baik dalam keadaan bersih karena badan merupakan anugerah bagi jiwa, memungkinkan jiwa hidup di dunia ini. Akan tetapi aneh sekali. Selagi hidup badan tidak diperhatikan, bahkan dirusak karena hendak menuruti segala perintah nafsu daya rendah. Kalau sudah mati dan badan tidak dihuni jiwa lagi, malah diributkan. Sungguh lucu!"

Sin Wan tidak dapat membantah pendapat Ciu Sian ini. Dia menurut saja dan membantu suhu-nya membakar dua kerangka dan tengkorak itu sampai menjadi abu.

“Sewaktu kami tinggal di sini, Kiam-sian dan Pek-mau-sian sangat menyenangi tempat ini. Karena itu kita biarkan sisa mereka, yaitu abu ini agar menikmati tempat ini sebebasnya."

Setelah berkata demikian Ciu Sian mengajak muridnya ke puncak Pek-in-kok dan mereka berdua menaburkan abu kedua kerangka yang tidak terlampau banyak itu ke udara. Angin malam menyambar abu itu kemudian membawanya bertebaran di seluruh lembah. Hampir pagi hari keduanya kembali ke pondok, karena bulan pun telah surut ke barat. Sin Wan menyalakan lilin dan mereka pun duduk berhadapan di atas bangku, terhalang meja.

"Nah, sekarang ceritakan semua pengalamanmu, Sin Wan. Di mana sumoi-mu sekarang dan mengapa dia tidak ikut denganmu ke sini?" Ciu Sian bertanya setelah meneguk arak dari guci araknya.

Guci araknya itu indah dan antik karena benda itu hadiah dari Kaisar Thai-cu kepadanya. Dia mendapat hadiah guci arak berikut arak tua yang sudah lama habis, mendiang Kiam-sian mendapat hadiah Pedang Tumpul yang sekarang menjadi millk Sin Wan, sedangkan mendiang Pek-mau-sian menerima hadiah sebuah kitab kamus dan suling perak. Kitab kamus itu kini disimpan Sin Wan dan suling peraknya disimpan Kui Siang.

Dengan singkat Sin Wan menceritakan pengalamannya selama dia dan sumoi-nya, Lim Kui Siang, berpisah meninggalkan gurunya ini setahun lebih yang lalu, sesudah Ciu Sian menggembleng mereka selama satu tahun di dalam sebuah hutan di puncak bukit yang amat terpencil. Dia dan Kui Siang bertemu dengan kakek sakti Pek-Sim Lo-kai Bu Lee Ki, bahkan menjadi tamu undangan Pangeran Yung Lo di Peking bersama kakek itu.

Kemudian mereka berdua menerima petunjuk ilmu silat dari kakek Bu Lee Ki, membantu kakek itu menertibkan kembali semua pemimpin kai-pang (perkumpulan pengemis), juga ikut membantu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki memenangkan perebutan kedudukan pemimpin besar sekalian kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis). Tak lupa dia menuturkan pula betapa dia dan sumoi-nya sudah diberi anugerah kedudukan oleh Pangeran Yung Lo. Dia akan dijadikan seorang panglima muda sedangkan Kui Siang diangkat menjadi pengawal pribadi sang pangeran.

"Ha-ha, bagus sekali kalau begitu!" Ciu-sian tertawa bangga mendengar murid-muridnya memperoleh penghargaan dari Pangeran Yung Lo yang menjadi raja muda di kota Peking. "Pangeran Yung Lo adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, menjadi raja muda yang berkuasa di daerah utara. Beliau yang berjasa besar membendung para pengacau dari utara, dan beliau yang bekerja keras membersihkan orang-orang Mongol yang masih ingin merebut kembali kekuasaan di negeri ini."

"Memang beliau seorang pangeran yang gagah dan bijaksana, suhu."

"Kalau begitu kenapa engkau pergi ke sini mencariku? Dan di mana Kui Siang sekarang? Kenapa kalian berpisah?"

Sin Wan menarik napas panjang. Kalau pertanyaan suhu-nya ini diajukan beberapa pekan yang lalu, mungkin saja dia akan menangis saking sedihnya. Akan tetapi luka itu sudah hampir mengering, kedukaan itu telah kehilangan sengatnya. Dia hanya merasa nelangsa, tidak terbenam dalam duka yang menekan.

"Suhu, locianpwe Bu Lee Ki dan sumoi, dua orang yang selama ini akrab dengan teecu, kini telah menjauhkan diri dari teecu. Tanpa disengaja mereka berdua mendengar bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong. Mendengar itu, Bu-locianpwe yang kini telah menjadi thai-pangcu merasa tidak semestinya bergaul dengan teecu, kecuali kalau kelak teecu dapat membuktikan bahwa teecu tidaklah jahat seperti mendiang ayah tiri teecu itu. Ada pun sumoi...”

Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Bagaimana dengan Kui Siang?"

Sin Wan termenung. "Suhu, teecu sama sekali tidak bisa menyalahkan sumoi. Suhu tahu bahwa keluarga sumoi hancur oleh Se Jit Kong. Kalau dia mendengar teecu adalah anak tiri Se Jit Kong kemudian dia memisahkan diri, maka hal itu sudah sepantasnya. Mereka sudah meninggalkan teecu agar jangan tercemar oleh nama busuk teecu yang berlepotan dosa Se.Jit Kong. Bahkan mungkin saja Pangeran Yung Lo akan bersikap lain bila mana mendengar teecu adalah anak tiri Se Jit Kong. Teecu sudah kehilangan segalanya, maka teecu teringat kepada suhu dan mencari ke sini...”

Mendengar ucapan yang menyedihkan itu, Dewa Arak tertawa bergelak! Kalau orang lain yang berhadapan dengan Cui-sian pasti dia akan tersinggung, setidaknya akan penasaran dan heran. Mendengar kesengsaraan murid sendiri malah tertawa bergelak seperti orang kegirangan! Akan tetapi Sin Wan sudah mengenal watak suhu-nya ini dengan baik, maka dia pun tidak merasa heran. Dia tahu bahwa suhu-nya ini amat sayang kepadanya, akan tetapi kakek ini tidak pernah mau memperlihatkan apa yang dirasakannya.

"Ha-ha-ha-ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, alangkah akan menjemukan apa bila lautan itu selalu tenang saja, tidak pernah bergelombang. Justru menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan bersembunyi di dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, dan sebaliknya orang akan menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran dapat membuat orang menjadi tumpul dan lengah."

Sin Wan menghela napas panjang. "Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi, suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya...”

Kembali kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha, ucapanmu itu membikin malu guru-gurumu yang sudah menggemblengmu. Menjadi daun kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam apa ini? Berkeluh kesah, menangis dan cengeng! Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, dan selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana-mana, kadang-kadang mengenakan jubah bersih seperti musang berbulu ayam. Nafsu mendorong manusia untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri ini pun bukan lain hanyalah kesenangan. Manusia menginginkan kekayaan, kedudukan, kepandaian, kemasyhuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya mengagumkan, semua itu pun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Jika pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa kedukaan. Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoi-mu, merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan akhirnya berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng, dan itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."

"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi teecu tidak dapat membohongi diri sendiri. Hati teecu memang terasa nyeri dan perih, bagaimana teecu dapat melenyapkannya? Apakah teecu harus memaksa diri untuk menghilangkan duka yang amat menyiksa ini? Harus menekan perasaan dan melupakan semua kenangan lama?"

"Sin Wan, tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Ada pun duka di hati itu adalah akibat ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara engkau menerima dan menghadapinya! Kalau kini engkau hendak berusaha melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini? Keinginan untuk tidak berduka sebenarnya sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah melihat bahwa duka mendatangkan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi senang! Engkau telah terseret dalam lingkaran setan kalau begitu, Sin Wan."

Pemuda itu tertegun. Bingung. "Lalu, apa yang harus teecu lakukan untuk menghilangkan duka ini, suhu?"

"Selama engkau masih ingin mengubah keadaan, berarti engkau masih terseret di dalam lingkungan itu. Yang ingin mengubah itu adalah si keadaan itu sendiri, masih dalam satu ruangan yang dikuasai nafsu. Kalau aku menjawab bahwa engkau jangan melakukan apa-apa, maka jangan melakukan apa-apa ini pun masih sama saja, masih satu usaha untuk mengubah keadaan."

"Wah, teecu menjadi bingung, Suhu."

Kakek itu tertawa kembali, lalu meneguk arak dari guci araknya. Setelah tiga kali tegukan barulah dia bicara. "Sin Wan, dahulu ketika ibumu meninggal dunia, engkau mengucapkan sebaris kalimat dari agama ibumu yang sampai sekarang masih teringat olehku. Kalimat itu berbunyi: Dari Allah kembali kepada Allah. Nah, kenapa engkau lupakan itu? Mengapa engkau tidak mengembalikan dan menyerahkan saja kepada Tuhan? Serahkan segalanya dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran. Dengan berbekal pada penyerahan total dan mutlak ini, amatilah dirimu sendiri, amatilah duka di dalam dirimu itu tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menghilangkannya. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan menertibkan semua bentuk nafsu yang menguasai dirimu."

Wajah Sin Wan berseri. "Terima kasih, suhu! Ya Allah, ya Tuhan, dengan adanya Tangan Tuhan yang membimbing, kenapa hamba melupakan ini dan menjadi lemah, cengeng dan putus asa? Terima kasih, suhu!"

Melihat betapa muridnya seketika dapat terbebas dari cengkeraman duka, Dewa Arak lalu tertawa lagi dengan senangnya. "Ha-ha-ha-ha, ini baru benar! Sin Wan, tadi ketika engkau menghadapi sepasang iblis, aku melihat ilmu kepandaianmu telah maju pesat dan engkau pasti akan mampu mengalahkan mereka kalau saja Sam-sian Sin-ciang sudah kau kuasai dengan sempurna. Sayang engkau belum matang. Maka biarlah kita menggunakan waktu beberapa bulan di sini untuk mematangkan ilmu yang kau kuasai itu, karena ada tugas penting yang akan kuserahkan kepadamu!”

"Tugas apakah, suhu?" tanya Sin Wan penuh semangat. Pada saat itu tak ada sedikit pun bekas kedukaannya yang tadi. Memang, duka hanyalah sebuah kenangan belaka. Kalau tidak dikenang, tidak diingat, duka pun tidak ada!

"Sin Wan, baru-baru ini aku pernah berkunjung ke kota raja dan sempat bertemu dengan Sribaginda Kaisar. Beliau amat khawatir melihat keadaan di dalam negeri. Kerajaan Beng yang baru ini masih menghadapi banyak ancaman, terutama sekali dari bangsa Mongol yang selalu berusaha keras untuk merebut kembali kekuasaan di selatan, dan para bajak laut Jepang yang merupakan gangguan di sepanjang pantai timur. Beliau khawatir sekali kalau-kalau pengaruh Mongol yang mungkin akan mengirim orang pandai, akan membuat beberapa orang pejabat berkhianat. Pasukan keamanan tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi penyusupan mata-mata Mongol yang pandai. Selain itu, berita tentang akan diadakannya pemilihan bengcu (pemimpin) bagi dunia persilatan juga cukup menimbulkan kekhawatiran kaisar sebab pertandingan antara datuk-datuk besar di dunia persilatan bisa saja mendatangkan pertempuran besar dan kekacauan."

"Lalu apa yang dapat teecu lakukan, suhu?" tanya Sin Wan, merasa dirinya kecil dalam menghadapi permasalahan negara yang demikian gawat dan besar.

"Kaisar minta bantuanku untuk melakukan penyelidikan terhadap semuanya itu, terutama sekali terhadap gerakan para mata-mata Mongol. Kaisar juga minta agar aku mengadakan pendekatan kepada semua calon bengcu dan membujuk mereka agar pemilihan bengcu bisa dilakukan dengan cara damai sehingga tidak sampai menimbulkan pertempuran. Aku tidak tega dan tak berani menolak permintaan Sribaginda, akan tetapi aku pun menyadari bahwa aku sudah tua dan tidak ada kegairahan lagi dalam hatiku untuk bertualang. Oleh karena itu aku teringat kepadamu dan datang ke sini dengan harapan akan menunggumu siapa tahu engkau sewaktu-waktu akan datang. Ehh, tidak tahunya kedatangan kita di sini bersamaan waktunya. Ini namanya jodoh. Sin Wan. Agaknya Tuhan menghendaki bahwa engkaulah yang akan menunaikan tugas itu, mewakili aku."

Sin Wan mengerutkan kedua alisnya, diam-diam merasa gentar. "Akan tetapi bagaimana mungkin teecu dapat melakukan tugas itu, suhu? Teecu hanya seorang berkebangsaan Uighur yang yatim piatu dan miskin, mana mungkin teecu mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas yang begitu besar dan penting? Bahkan teecu adalah anak tiri dari seorang penjahat besar...”

"Ha-ha-ha, memang baik sekali untuk berendah hati Sin Wan, akan tetapi jangan sekali-kali berendah diri! Aku percaya engkau mempunyai kemampuan itu, asalkan engkau telah mematangkan semua ilmumu. Nah, aku akan membantumu mematangkan ilmumu. Dan mengenai nama yang berlepotan dosa Se Jit Kong, justru inilah kesempatan baik bagimu untuk mencuci bersih noda yang mencemarkan namamu. Nah, sanggupkah engkau?"

Tergugah semangat Sin Wan. "Teecu mentaati semua perintah dan petunjuk suhu!"

Kakek itu tertawa girang dan mulailah dia membuka rahasia ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sin Wan, memberi petunjuk-petunjuk sehingga dalam waktu singkat pemuda yang tingkat kepandaiannya memang sudah menyamai guru-gurunya itu, memperoleh kemajuan pesat sekali.

Sesudah dia menguasai benar Sam-sian Sin-ciang dengan sempurna, baru dia menyadari bahwa dengan ilmu itu, apa lagi jika ditambah bantuan Pedang Tumpul, dia akan sanggup menghadapi dan mengatasi lawan-lawan seperti sepasang iblis tempo hari.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Rombongan berkuda itu terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam yang mengawal seorang pemuda dan seorang setengah tua yang dari pakaian mereka bisa diduga bahwa mereka berdua adalah bangsawan-bangsawan kerajaan Bhutan. Juga selosin prajurit itu adalah prajurit Bhutan dengan baju perang yang berkilauan. Pemuda itu sendiri bertubuh jangkung, wajahnya tampan seperti wanita, juga gerak-geriknya lembut, tidak jantan.

Dia adalah seorang pangeran Bhutan dari selir, bernama Pangeran Ramamurti, berusia dua puluh lima tahun. Ada pun lelaki setengah tua itu adalah pamannya dari ibu, bernama Balkan. Rombongan berkuda itu terlihat kelelahan, tanda bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh. Memang mereka datang dari Kerajaan Bhutan dan kini mereka mendaki Bukit Ular, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Himalaya.

Matahari sudah naik tinggi dan hari itu amat cerah. Namun tidak ada orang yang nampak di lereng bukit itu, bahkan dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit. Memang Bukit Ular ini merupakan bukit yang terkenal di daerah itu, tidak ada orang berani mendaki bukit itu tanpa ijin dari penghuni. Siapakah penghuni bukit yang amat ditakuti orang itu?

Di puncak Bukit Ular terdapat sebuah bangunan besar seperti istana. Di situ tinggal See-thian Coa-ong (Raja Dunia Barat) Cu Kiat, salah seorang di antara para datuk besar dunia persilatan di waktu itu. Raja Ular itu berusia sekitar enam puluh delapan tahun, tubuhnya tinggi kurus, matanya tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan matanya sipit seperti mata orang Mongol asli, sipit dengan kedua ujungnya menurun. Kumis serta jenggotnya tebal dan mulutnya selalu dihias senyum mengejek.

Biar pun See-thian Coa-ong Cu Kiat mempunyai banyak isteri, namun dia hanya memiliki seorang anak saja, yaitu seorang wanita bernama Cu Sui In yarig kini telah berusia empat puluh tiga tahun dan belum menikah. Seperti juga ayahnya, Sui In yang merupakan anak tunggal ini memiiiki ilmu kepandaian yang hebat, bahkan dia sudah membuat nama besar di dunia kangouw sehingga mendapat julukan Bi-Coa Sianli (Dewi Ular Cantik).

Biar pun usianya sudah empat puluh tiga tahun, namun dia cantik dan kelihatan jauh lebih muda, seperti baru tiga puluh tahun saja. Pakaiannya selalu mewah dan pesolek, alisnya melengkung hitam dan matanya tajam seperti mata ayahnya. Wajahnya cantik, hidungnya mancung dan mulutnya menggairahkan. Tubuhnya padat ramping penuh daya tarik.

Selain ayah dan anak yang ditakuti orang di dunia kangouw itu, masih ada seorang gadis lagi yang menjadi penghuni gedung itu. Dia seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, wajahnya manis dengan lesung pipit menghias sudut mulutnya yang selalu dihias senyum. Mukanya bulat dan kulitnya putih kemerahan, hidungnya lucu dapat kembang kempis.

Gadis ini bernama Tang Bwe Li yang di rumah itu biasa dipanggil Lili, tentu saja dengan sebutan nona kalau yang memanggil para pelayan. Tadinya dia merupakan murid dari Bi-Coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi karena akhirnya dia diambil murid pula oleh See-thian Coa-ong, dia lalu memanggll Suci (kakak seperguruan) kepada Cu Sui In, hal yang amat menyenangkan hati Dewi Ular itu.

Selain mereka bertiga dan ditambah belasan orang selir See-thian Coa-ong, di puncak itu tinggal pula tiga puluh orang laki-laki yang menjadi anak buah dan pelayan See-thian Coa-ong. Puncak itu ditakuti orang bukan hanya karena penghuninya, akan tetapi juga karena di daerah puncak itu terdapat banyak ular-ular berbisa.

Ular-ular ini memang sengaja dikumpulkan dan dibiarkan hidup di situ oleh See-thian Coa-ong yang merupakan pawang ular yang lihai, sehingga tepatlah kalau puncak itu disebut Puncak Bukit Ular, dan nama ini sesuai pula dengan penghuninya yang berjuluk Raja Ular dan puterinya, Dewi Ular.

Rombongan berkuda itu berhenti di lereng dekat puncak, di depan sebuah pintu gerbang yang merupakan batas tempat tinggal dan wilayah kekuasaan See-thian Coa-ong.

"Kenapa berhenti di sini, paman?" tanya Pangeran Ramamurti kepada pamannya.

"Penghuni puncak adalah seorang datuk besar, dan nama bukit ini adalah Bukit Ular, kita harus berhati-hati. Pula, sebagai tamu kita harus sopan karena di gapura ini tidak nampak penjaga."

Balkan yang telah mempunyai banyak pengalaman itu lalu memerintahkan pasukan untuk menyembunyikan terompet yang terbuat dari tanduk. Segera terdengar bunyi sasangkala memecah kesunyian tempat itu...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 02

SIN WAN maklum betapa setiap batang jari tangan milik nenek itu mengandung kekuatan dahsyat, bukan saja kerasnya laksana baja dan dapat menembus tengkorak kepalanya, akan tetapi juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Dengan gerakan lincah ia mengelak dan tubuhnya bergeser ke kanan sehingga terkaman lawan ke arah dadanya untuk merampas tengkorak itu luput. Akan tetapi tangan lain yang mencengkeram ke arah kepalanya terus mengikuti gerakan kepalanya dan melanjutkan serangannya.

Melihat ini Sin Wan segera mengerahkan tenaga Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan menangkis dari samping. Pergelangan tangannya beradu dengan pergelangan tangan wanita itu.

"Dukkkk!" Keduanya tergetar dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu mempunyai tenaga yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri, bahkan hawa beracun dari tangannya tidak mempengaruhinya. Sekarang ia menyerang lagi bertubi-tubi dengan totokan-totokan maut dari jari-jari tangannya yang mengandung ilmu Touw-kut-ci.

Tapi Sin Wan telah siap siaga. Dia mengelak, menangkis dan membalas serangan nenek itu sambil memainkan ilmu andalannya, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Dengan permainan ilmu hebat ini, dia dapat mengimbangi si nenek sakti, bahkan mampu mendesaknya.

"Huh-huh, bocah ini kelak akan berbahaya kalau tidak dibunuh sekarang!" tiba-tiba kakek muka merah berkata dan ketika dia bergerak, timbul angin yang menyambar dahsyat. Sin Wan cepat melompat ke belakang dan tangan kakek itu meluncur lewat dalam serangan totokan yang ganas sekali.

Kini Sin Wan terpaksa harus menghadapi pengeroyokan kedua orang itu. Dia masih terus bertahan dengan Sam-sian Sin-ciang, akan tetapi tidak lagi mendapat kesempatan untuk membalas, dan perlahan-lahan dia terdesak. Dia teringat akan ilmu yang baru saja dia pelajari dari kakek Bu Lee Ki, maka dia mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi gasing yang berputar sangat cepat seperti angin puyuh! Inilah ilmu Langkah Angin Puyuh yang dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki.

Menghadapi gerakan aneh yang membuat tubuh pemuda itu berpusing seperti gasing itu, kakek dan nenek iblis ini menjadi tercengang karena kehilangan sasaran. Mereka sedang memainkan Touw-kut-ci, yaitu semacam ilmu menotok dengan jari tangan, membutuhkan sasaran yang tepat. Kini tubuh itu berpusing seperti gasing, membuat mereka tidak tahu ke arah mana mereka harus menujukan serangan mereka.

Dua orang itu lalu melolos senjata mereka dari pinggang. Ternyata kakek muka merah itu mempunyai sebuah senjata golok yang punggungnya seperti gergaji, tipis dan berkilauan saking tajamnya. Begitu dia menggerakkan goloknya, terdengar bunyi nyaring berdesing dan nampak kilat menyambar.

Juga nenek Pek Bin Moli mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seekor ular! Ular yang sudah mati, panjangnya ada dua meter dan besarnya seperti lengan tangannya. Agaknya ular itu telah direndam semacam racun yang membuat ular itu tetap lemas seperti hidup, ulet dan kuat hingga dapat menahan bacokan senjata tajam, dan dari pangkal sampai ke ujung mengandung racun berbahaya. Ketika ia memutar senjatanya ini, nampak gulungan sinar hitam dan tercium bau amis yang memuakkan.

Melihat dua orang lawannya sudah mengeluarkan senjata yang amat berbahaya, Sin Wan juga segera menghunus pedangnya sambil meloncat jauh ke belakang. Kakek dan nenek itu memandang kepadanya, dan melihat pedang di tangan Sin Wan, mereka tidak dapat menahan tawa ejekan mereka.

"Hi-hi-hi-hik, Ang-ko. Lihat, anak itu sudah gila rupanya, hendak menghadapi kita dengan sebatang pedang rombengan!"

"Huh-huh! Bocah ini lumayan juga, Pek-moi. Tentu darahnya sangat baik untuk kita, dan ingat, jangan memandang rendah pedang itu. Dia adalah murid Sam-sian, tentu tak akan menggunakan pedang sembarangan."

Keduanya lalu menyerang secara ganas. Sin Wan cepat menggerakkan pedangnya untuk melindungi tubuhnya, memainkan Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari) yang dahulu pernah dipelajarinya dari mendiang Kiam-sian. Ilmu pedang ini pernah mengangkat nama Si Dewa Pedang Louw Sun dan merupakan ilmu pedang pilihan. Apa lagi Sin Wan menggunakan pedang tumpul yang ampuh, maka dirinya seperti dilindungi benteng baja yang amat kuat.

Golok pada tangan Ang Bin Moko serta sabuk ular di tangan Pek 8in Moli tidak mampu menembus lingkaran sinar bergulung di sekeliling tubuh Sin Wan. Dua senjata ampuh itu selalu membalik seperti tertolak perisai yang selain amat kuat, juga mengandung tenaga atau daya tolak yang luar biasa.

Namun tentu saja Sin Wan berada dalam keadaan yang terdesak dan terancam. Dalam sebuah pertandingan, tidak mungkin seseorang hanya mengandalkan pertahanan belaka, tanpa mampu balas menyerang. Apa lagi dia dikeroyok oleh dua orang yang sangat lihai.

Sin Wan sama sekali tidak mampu membalas karena serangan kedua orang lawannya itu datang bertubi-tubi dan sambung menyambung, yang berikut lebih dahsyat dari pada yang sebelumnya. Jika hanya mengelak dan menangkis terus tanpa mampu membalas sedikit pun, akhirnya setelah kekurangan tenaga dia akan terkena juga oleh senjata lawan.

Dua orang manusia iblis itu diam-diam kagum bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa hari ini mereka akan bertemu dengan seorang pemuda sehebat itu. Masih begitu muda, tetapi mampu menandingi pengeroyokan mereka berdua. Padahal tadinya mereka hampir yakin bahwa mereka berdua akan sanggup mengalahkan tokoh-tokoh persilatan lain dan akan berhasil merebut kedudukan sebagai jagoan nomor satu di dunia persilatan!

Yang sangat mengherankan mereka adalah bahwa Sam-sian sendiri dahulu belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Kenapa sekarang muridnya yang masih begini muda mampu bertahan sampai seratus jurus lebih terhadap pengeroyokan mereka?

Mereka tidak tahu bahwa seperti juga mereka, Sam-sian sudah bersama-sama merangkai iimu silat baru, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang sudah dikuasai Sin Wan sehingga pemuda itu kini lebih tangguh kalau dibandingkan dengan kepandaian guru-gurunya dahulu.

Dengan penuh penasaran, Ang Bin Moli dan Pek Bin Moli sekarang menambahi serangan mereka dengan selingan pukulan jarak jauh yang baru saja mereka latih, yaitu Toat-beng Tok-ciang. Setiap kali mereka melompat ke belakang, mereka melontarkan pukulan jarak jauh dan disusul oleh serangan senjata mereka dari jarak yang dekat.

Kombinasi serangan ini ternyata merepotkan Sin Wan. Suara bercuitan yang menyambar-nyambar itu malah lebih berbahaya dibandingkan sambaran kedua senjata itu. Ia memutar pedang tumpul dan juga mengerahkan tenaga Thian-te Sinkang pada tangan kiri untuk menangkis hawa pukulan beracun yang menyambar-nyambar itu.

Biar pun demikian, beberapa kali dia sempat terhuyung dan keadaannya gawat. Agaknya tidak lama lagi pemuda perkasa ini tentu akan roboh juga, tidak kuat menahan gelombang serangan Iblis Muka Merah dan Iblis Betina Muka Putih.

"Siiinggg...!"

Untuk kesekian kalinya sinar golok menyambar dahsyat ke arah leher Sin Wan. Pemuda yang tadinya terhuyung ketika menangkis serangan pukulan jarak jauh Pek Bin Moli ini tak sempat menangkis dan cepat merendahkan tubuh sehingga golok itu menyambar di atas kepalanya, nyaris membabat rambutnya. Dan pada saat itu terdengar bunyi bersiut keras lantas senjata ular panjang di tangan Pek bin Moli menyambar ke arah pinggang pemuda itu. Sin Wan nampaknya tak mampu menghindar dan ular itu bagaikan hidup, telah melilit pinggang Sin Wan.

"Hi-hi-hik...!" Pek Bin Moli tertawa dan menarik senjatanya yang telah membelit pinggang yang sudah nampak tidak berdaya itu.

Tubuh Sin Wan tertarik, akan tetapi alangkah kaget rasa hati wanita itu ketika tiba-tiba Sin Wan yang nampak tak berdaya dan tubuhnya terbetot tadi menggerakkan pedang ke arah pergelangan tangannya yang memegang ujung sabuk ular!

"Ihhhh...!" Dia menarik tangannya.

"Brettt!" Pedang tumpul menyambar ke arah sabuk itu dan ular itu terpotong menjadi dua!

Gerakan pemuda itu sungguh tak pernah disangka lawan. Dia sudah menggunakan ilmu yang baru saja dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, yaitu mempergunakan tenaga ‘Mengalah Untuk Menang'. Nenek itu melompat ke belakang, dan wajahnya yang putih pucat itu menjadi sedikit kemerahan. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking tinggi dan menggunakan sabuk yang tinggal satu meter lebih itu untuk menyerang lagi. Kembali Sin Wan terdesak, tetapi pada saat itu terdengar suara orang tertawa dan disusul ucapan yang gembira.

"Heh-heh-ho-ho-ho! Kiranya sepasang iblis tanpa malu-malu mengeroyok seorang muda. Kulihat kemajuan kalian hanya dalam kecurangan saja, dan dengan modal ini kalian ingin merajai dunia persilatan? Ha-ha-ha!"

Sin Wan meloncat ke belakang dan wajahnya berseri. Belum melihat orangnya saja dia sudah mengenal suara itu. Dan sekarang pemilik suara itu berada di situ. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, mukanya merah segar seperti orang mabok, perutnya gendut seperti anak-anak berpenyakit cacingan, pakaiannya tambal-tambalan dan sikapnya ugal-ugalan, mulutnya tersenyum nakal.

"Suhu...!" Sin Wan berseru girang sekali. Kakek itu memang gurunya, orang yang sedang dicari-carinya, Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui, seorang di antara Sam-sian!

Ciu Sian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, lihat mereka lari terbirit-birit. Dasar licik, biar pun mereka sudah memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, tetap saja mereka akan lari kalau melihat keadaan tidak menguntungkan,."

"Suhu, terima kasih, suhu. Tadi hampir saja teecu sudah tidak kuat bertahan lagi. Kalau suhu tidak cepat datang...”

"Ha-ha-ha, mereka memang berbahaya sekali, Sin Wan. Akan tetapi kulihat pertandingan tadi berat sebelah. Pertama, engkau dikeroyok dua. Dan ke dua, jika mereka menyerang dengan ganas untuk membunuh, sebaliknya engkau hanya bertahan saja, sama sekali tak memiliki niat merobohkan mereka. Sin Wan, aku khawatir sikapmu yang suka mengalah itu kelak akan mencelakai dirimu sendiri. Akan tetapi mengapa engkau berkelahi dengan sepasang iblis itu?"

Sin Wan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja? Teecu datang ke sini mencari suhu, karena teecu merindukan suhu. Lalu di sini teecu bertemu dengan mereka dan...”

"Ehh? Tengkorak siapa itu yang tergantung di dadamu?"

"Ini adalah tengkorak mendiang suhu Kiam-Sian dan suhu Pek-mau-sian."

"Eh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi? Aku baru saja tiba dan melihat bekas lilin di atas meja di pondok, maka aku mencarimu ke sini."

"Suhu, ketika teecu datang ke sini untuk mencari suhu, teecu segera menuju ke makam kedua suhu. Ternyata dua makam itu telah dibongkar orang, bahkan peti matinya dibuka dan tengkorak di dalamnya lenyap. Teecu menanti sampai malam tiba dan bulan muncul, barulah teecu melakukan penyelidikan. Teecu mendengar suara, maka teecu menghampiri tempat ini dan melihat dua orang itu sedang melatih ilmu pukulan jarak jauh sambil duduk di atas tumpukan tengkorak itu. Di antara tengkorak-tengkorak itu terdapat dua tengkorak ini yang menurut mereka adalah tengkorak dari suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian. Teecu segera minta dikembalikannya tengkorak-tengkorak ini. Mereka menyerang teecu dan terjadilah perkelahian tadi."

"Siancai...! Untuk mencapai tujuan, orang sesat tidak pantang mempergunakan cara apa pun juga. Tengkorak yang berserakan di sini berlubang-lubang, tentu mereka melatih diri dengan ilmu sesat."

"Menurut pendengaran teecu, mereka tadi sedang melatih ilmu Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci."

"Ahhh…! Kalau kedua ilmu itu sudah mereka latih dengan sempurna, maka akan sukarlah menandingi mereka. Mari kita urus dahulu kerangka dan tengkorak kedua orang gurumu. Kasihan sekali kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, sampai sudah mati pun tubuh kalian masih diganggu orang jahat!" Mereka berdua lantas meninggalkan tempat itu dan pergi ke makam dua orang anggota Sam-sian.

Dengan hati-hati Sin Wan mengembalikan dua buah tengkorak itu ke peti masing-masing. Di antara kedua tengkorak itu, hanya kepala yang menonjol ke belakang itu yang menjadi pegangannya bahwa itu adalah tengkorak Pek-mau-sian. Di bawah sinar bulan yang sudah berada di atas kepala, Ciu Sian melihat dua buah peti mati yang terbuka itu dan sejenak dia tertegun. Lalu dia menarik napas panjang.

"Kiam-sian dan Pek-mau-sian, kalau kalian sudah menjadi seperti ini, siapa lagi yang bisa mengenali kalian? Tak peduli kerangka kalian adalah kerangka dua orang datuk persilatan yang ternama, atau kerangka raja, atau kerangka seorang jembel miskin yang papa; siapa yang akan mengetahuinya? Kalau sudah mati semua akan sama saja, tidak ada gunanya kecuali untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bersama daging kulit yang membentuk rupa berbeda-beda, lenyap pula segaia macam martabat, kedudukan, kehormatan, kekayaan dan kepandaian. Kiam-sian dan Pek-mau-sian, apakah tidak lebih baik kalau sisa-sisamu ini dilenyapkan saja sama sekali agar tidak meninggalkan pemandangan yang tidak sedap ini?"

Sin Wan membiarkan gurunya bicara sendiri kepada kerangka dalam dua buah peti mati itu. Sesudah suhu-nya berhenti bicara barulah dia bertanya, "Suhu, apa yang akan suhu lakukan dengan kerangka kedua suhu ini? Menguburkan mereka kembali?"

"Untuk kemudian apa bila tidak terjaga akan dibongkar orang lagi? Atau digerogoti cacing, tikus atau semut sehingga akan habis sedikit demi sedikit? Tidak, Sin Wan, lebih baik kita perabukan saja mereka, dan aku yakin mereka tidak akan keberatan kalau mereka masih dapat melihat betapa sisa-sisa mereka diperabukan."

"Akan tetapi, suhu, teecu pernah mendengar dari mendiang ibu bahwa orang mati harus dikubur, dikembalikan kepada bumi dari mana jasad ini berasal. Berasal dari tanah maka dikembalikan kepada tanah, bukankah itu sudah tepat sekali?"

"Bukan hanya unsur tanah yang membentuk tubuh manusia, Sin Wan. Ada empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara. Nah, kalau kita bakar menjadi abu, itu pun berarti kembali ke asalnya. Dikembalikan ke tanah menjadi debu, dikembalikan ke api menjadi abu, apa bedanya? Sesudah mati, jasmani tidak ada artinya lagi, tidak perlu diributkan. Kalau jiwa masih berada di dalam badan, nah, barulah jasmani perlu diperhatikan dan dirawat baik-baik, dijaga baik-baik dalam keadaan bersih karena badan merupakan anugerah bagi jiwa, memungkinkan jiwa hidup di dunia ini. Akan tetapi aneh sekali. Selagi hidup badan tidak diperhatikan, bahkan dirusak karena hendak menuruti segala perintah nafsu daya rendah. Kalau sudah mati dan badan tidak dihuni jiwa lagi, malah diributkan. Sungguh lucu!"

Sin Wan tidak dapat membantah pendapat Ciu Sian ini. Dia menurut saja dan membantu suhu-nya membakar dua kerangka dan tengkorak itu sampai menjadi abu.

“Sewaktu kami tinggal di sini, Kiam-sian dan Pek-mau-sian sangat menyenangi tempat ini. Karena itu kita biarkan sisa mereka, yaitu abu ini agar menikmati tempat ini sebebasnya."

Setelah berkata demikian Ciu Sian mengajak muridnya ke puncak Pek-in-kok dan mereka berdua menaburkan abu kedua kerangka yang tidak terlampau banyak itu ke udara. Angin malam menyambar abu itu kemudian membawanya bertebaran di seluruh lembah. Hampir pagi hari keduanya kembali ke pondok, karena bulan pun telah surut ke barat. Sin Wan menyalakan lilin dan mereka pun duduk berhadapan di atas bangku, terhalang meja.

"Nah, sekarang ceritakan semua pengalamanmu, Sin Wan. Di mana sumoi-mu sekarang dan mengapa dia tidak ikut denganmu ke sini?" Ciu Sian bertanya setelah meneguk arak dari guci araknya.

Guci araknya itu indah dan antik karena benda itu hadiah dari Kaisar Thai-cu kepadanya. Dia mendapat hadiah guci arak berikut arak tua yang sudah lama habis, mendiang Kiam-sian mendapat hadiah Pedang Tumpul yang sekarang menjadi millk Sin Wan, sedangkan mendiang Pek-mau-sian menerima hadiah sebuah kitab kamus dan suling perak. Kitab kamus itu kini disimpan Sin Wan dan suling peraknya disimpan Kui Siang.

Dengan singkat Sin Wan menceritakan pengalamannya selama dia dan sumoi-nya, Lim Kui Siang, berpisah meninggalkan gurunya ini setahun lebih yang lalu, sesudah Ciu Sian menggembleng mereka selama satu tahun di dalam sebuah hutan di puncak bukit yang amat terpencil. Dia dan Kui Siang bertemu dengan kakek sakti Pek-Sim Lo-kai Bu Lee Ki, bahkan menjadi tamu undangan Pangeran Yung Lo di Peking bersama kakek itu.

Kemudian mereka berdua menerima petunjuk ilmu silat dari kakek Bu Lee Ki, membantu kakek itu menertibkan kembali semua pemimpin kai-pang (perkumpulan pengemis), juga ikut membantu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki memenangkan perebutan kedudukan pemimpin besar sekalian kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis). Tak lupa dia menuturkan pula betapa dia dan sumoi-nya sudah diberi anugerah kedudukan oleh Pangeran Yung Lo. Dia akan dijadikan seorang panglima muda sedangkan Kui Siang diangkat menjadi pengawal pribadi sang pangeran.

"Ha-ha, bagus sekali kalau begitu!" Ciu-sian tertawa bangga mendengar murid-muridnya memperoleh penghargaan dari Pangeran Yung Lo yang menjadi raja muda di kota Peking. "Pangeran Yung Lo adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, menjadi raja muda yang berkuasa di daerah utara. Beliau yang berjasa besar membendung para pengacau dari utara, dan beliau yang bekerja keras membersihkan orang-orang Mongol yang masih ingin merebut kembali kekuasaan di negeri ini."

"Memang beliau seorang pangeran yang gagah dan bijaksana, suhu."

"Kalau begitu kenapa engkau pergi ke sini mencariku? Dan di mana Kui Siang sekarang? Kenapa kalian berpisah?"

Sin Wan menarik napas panjang. Kalau pertanyaan suhu-nya ini diajukan beberapa pekan yang lalu, mungkin saja dia akan menangis saking sedihnya. Akan tetapi luka itu sudah hampir mengering, kedukaan itu telah kehilangan sengatnya. Dia hanya merasa nelangsa, tidak terbenam dalam duka yang menekan.

"Suhu, locianpwe Bu Lee Ki dan sumoi, dua orang yang selama ini akrab dengan teecu, kini telah menjauhkan diri dari teecu. Tanpa disengaja mereka berdua mendengar bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong. Mendengar itu, Bu-locianpwe yang kini telah menjadi thai-pangcu merasa tidak semestinya bergaul dengan teecu, kecuali kalau kelak teecu dapat membuktikan bahwa teecu tidaklah jahat seperti mendiang ayah tiri teecu itu. Ada pun sumoi...”

Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Bagaimana dengan Kui Siang?"

Sin Wan termenung. "Suhu, teecu sama sekali tidak bisa menyalahkan sumoi. Suhu tahu bahwa keluarga sumoi hancur oleh Se Jit Kong. Kalau dia mendengar teecu adalah anak tiri Se Jit Kong kemudian dia memisahkan diri, maka hal itu sudah sepantasnya. Mereka sudah meninggalkan teecu agar jangan tercemar oleh nama busuk teecu yang berlepotan dosa Se.Jit Kong. Bahkan mungkin saja Pangeran Yung Lo akan bersikap lain bila mana mendengar teecu adalah anak tiri Se Jit Kong. Teecu sudah kehilangan segalanya, maka teecu teringat kepada suhu dan mencari ke sini...”

Mendengar ucapan yang menyedihkan itu, Dewa Arak tertawa bergelak! Kalau orang lain yang berhadapan dengan Cui-sian pasti dia akan tersinggung, setidaknya akan penasaran dan heran. Mendengar kesengsaraan murid sendiri malah tertawa bergelak seperti orang kegirangan! Akan tetapi Sin Wan sudah mengenal watak suhu-nya ini dengan baik, maka dia pun tidak merasa heran. Dia tahu bahwa suhu-nya ini amat sayang kepadanya, akan tetapi kakek ini tidak pernah mau memperlihatkan apa yang dirasakannya.

"Ha-ha-ha-ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, alangkah akan menjemukan apa bila lautan itu selalu tenang saja, tidak pernah bergelombang. Justru menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan bersembunyi di dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, dan sebaliknya orang akan menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran dapat membuat orang menjadi tumpul dan lengah."

Sin Wan menghela napas panjang. "Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi, suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya...”

Kembali kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha, ucapanmu itu membikin malu guru-gurumu yang sudah menggemblengmu. Menjadi daun kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam apa ini? Berkeluh kesah, menangis dan cengeng! Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, dan selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana-mana, kadang-kadang mengenakan jubah bersih seperti musang berbulu ayam. Nafsu mendorong manusia untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri ini pun bukan lain hanyalah kesenangan. Manusia menginginkan kekayaan, kedudukan, kepandaian, kemasyhuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya mengagumkan, semua itu pun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Jika pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa kedukaan. Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoi-mu, merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan akhirnya berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng, dan itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."

"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi teecu tidak dapat membohongi diri sendiri. Hati teecu memang terasa nyeri dan perih, bagaimana teecu dapat melenyapkannya? Apakah teecu harus memaksa diri untuk menghilangkan duka yang amat menyiksa ini? Harus menekan perasaan dan melupakan semua kenangan lama?"

"Sin Wan, tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Ada pun duka di hati itu adalah akibat ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara engkau menerima dan menghadapinya! Kalau kini engkau hendak berusaha melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini? Keinginan untuk tidak berduka sebenarnya sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah melihat bahwa duka mendatangkan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi senang! Engkau telah terseret dalam lingkaran setan kalau begitu, Sin Wan."

Pemuda itu tertegun. Bingung. "Lalu, apa yang harus teecu lakukan untuk menghilangkan duka ini, suhu?"

"Selama engkau masih ingin mengubah keadaan, berarti engkau masih terseret di dalam lingkungan itu. Yang ingin mengubah itu adalah si keadaan itu sendiri, masih dalam satu ruangan yang dikuasai nafsu. Kalau aku menjawab bahwa engkau jangan melakukan apa-apa, maka jangan melakukan apa-apa ini pun masih sama saja, masih satu usaha untuk mengubah keadaan."

"Wah, teecu menjadi bingung, Suhu."

Kakek itu tertawa kembali, lalu meneguk arak dari guci araknya. Setelah tiga kali tegukan barulah dia bicara. "Sin Wan, dahulu ketika ibumu meninggal dunia, engkau mengucapkan sebaris kalimat dari agama ibumu yang sampai sekarang masih teringat olehku. Kalimat itu berbunyi: Dari Allah kembali kepada Allah. Nah, kenapa engkau lupakan itu? Mengapa engkau tidak mengembalikan dan menyerahkan saja kepada Tuhan? Serahkan segalanya dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran. Dengan berbekal pada penyerahan total dan mutlak ini, amatilah dirimu sendiri, amatilah duka di dalam dirimu itu tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menghilangkannya. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan menertibkan semua bentuk nafsu yang menguasai dirimu."

Wajah Sin Wan berseri. "Terima kasih, suhu! Ya Allah, ya Tuhan, dengan adanya Tangan Tuhan yang membimbing, kenapa hamba melupakan ini dan menjadi lemah, cengeng dan putus asa? Terima kasih, suhu!"

Melihat betapa muridnya seketika dapat terbebas dari cengkeraman duka, Dewa Arak lalu tertawa lagi dengan senangnya. "Ha-ha-ha-ha, ini baru benar! Sin Wan, tadi ketika engkau menghadapi sepasang iblis, aku melihat ilmu kepandaianmu telah maju pesat dan engkau pasti akan mampu mengalahkan mereka kalau saja Sam-sian Sin-ciang sudah kau kuasai dengan sempurna. Sayang engkau belum matang. Maka biarlah kita menggunakan waktu beberapa bulan di sini untuk mematangkan ilmu yang kau kuasai itu, karena ada tugas penting yang akan kuserahkan kepadamu!”

"Tugas apakah, suhu?" tanya Sin Wan penuh semangat. Pada saat itu tak ada sedikit pun bekas kedukaannya yang tadi. Memang, duka hanyalah sebuah kenangan belaka. Kalau tidak dikenang, tidak diingat, duka pun tidak ada!

"Sin Wan, baru-baru ini aku pernah berkunjung ke kota raja dan sempat bertemu dengan Sribaginda Kaisar. Beliau amat khawatir melihat keadaan di dalam negeri. Kerajaan Beng yang baru ini masih menghadapi banyak ancaman, terutama sekali dari bangsa Mongol yang selalu berusaha keras untuk merebut kembali kekuasaan di selatan, dan para bajak laut Jepang yang merupakan gangguan di sepanjang pantai timur. Beliau khawatir sekali kalau-kalau pengaruh Mongol yang mungkin akan mengirim orang pandai, akan membuat beberapa orang pejabat berkhianat. Pasukan keamanan tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi penyusupan mata-mata Mongol yang pandai. Selain itu, berita tentang akan diadakannya pemilihan bengcu (pemimpin) bagi dunia persilatan juga cukup menimbulkan kekhawatiran kaisar sebab pertandingan antara datuk-datuk besar di dunia persilatan bisa saja mendatangkan pertempuran besar dan kekacauan."

"Lalu apa yang dapat teecu lakukan, suhu?" tanya Sin Wan, merasa dirinya kecil dalam menghadapi permasalahan negara yang demikian gawat dan besar.

"Kaisar minta bantuanku untuk melakukan penyelidikan terhadap semuanya itu, terutama sekali terhadap gerakan para mata-mata Mongol. Kaisar juga minta agar aku mengadakan pendekatan kepada semua calon bengcu dan membujuk mereka agar pemilihan bengcu bisa dilakukan dengan cara damai sehingga tidak sampai menimbulkan pertempuran. Aku tidak tega dan tak berani menolak permintaan Sribaginda, akan tetapi aku pun menyadari bahwa aku sudah tua dan tidak ada kegairahan lagi dalam hatiku untuk bertualang. Oleh karena itu aku teringat kepadamu dan datang ke sini dengan harapan akan menunggumu siapa tahu engkau sewaktu-waktu akan datang. Ehh, tidak tahunya kedatangan kita di sini bersamaan waktunya. Ini namanya jodoh. Sin Wan. Agaknya Tuhan menghendaki bahwa engkaulah yang akan menunaikan tugas itu, mewakili aku."

Sin Wan mengerutkan kedua alisnya, diam-diam merasa gentar. "Akan tetapi bagaimana mungkin teecu dapat melakukan tugas itu, suhu? Teecu hanya seorang berkebangsaan Uighur yang yatim piatu dan miskin, mana mungkin teecu mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas yang begitu besar dan penting? Bahkan teecu adalah anak tiri dari seorang penjahat besar...”

"Ha-ha-ha, memang baik sekali untuk berendah hati Sin Wan, akan tetapi jangan sekali-kali berendah diri! Aku percaya engkau mempunyai kemampuan itu, asalkan engkau telah mematangkan semua ilmumu. Nah, aku akan membantumu mematangkan ilmumu. Dan mengenai nama yang berlepotan dosa Se Jit Kong, justru inilah kesempatan baik bagimu untuk mencuci bersih noda yang mencemarkan namamu. Nah, sanggupkah engkau?"

Tergugah semangat Sin Wan. "Teecu mentaati semua perintah dan petunjuk suhu!"

Kakek itu tertawa girang dan mulailah dia membuka rahasia ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sin Wan, memberi petunjuk-petunjuk sehingga dalam waktu singkat pemuda yang tingkat kepandaiannya memang sudah menyamai guru-gurunya itu, memperoleh kemajuan pesat sekali.

Sesudah dia menguasai benar Sam-sian Sin-ciang dengan sempurna, baru dia menyadari bahwa dengan ilmu itu, apa lagi jika ditambah bantuan Pedang Tumpul, dia akan sanggup menghadapi dan mengatasi lawan-lawan seperti sepasang iblis tempo hari.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Rombongan berkuda itu terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam yang mengawal seorang pemuda dan seorang setengah tua yang dari pakaian mereka bisa diduga bahwa mereka berdua adalah bangsawan-bangsawan kerajaan Bhutan. Juga selosin prajurit itu adalah prajurit Bhutan dengan baju perang yang berkilauan. Pemuda itu sendiri bertubuh jangkung, wajahnya tampan seperti wanita, juga gerak-geriknya lembut, tidak jantan.

Dia adalah seorang pangeran Bhutan dari selir, bernama Pangeran Ramamurti, berusia dua puluh lima tahun. Ada pun lelaki setengah tua itu adalah pamannya dari ibu, bernama Balkan. Rombongan berkuda itu terlihat kelelahan, tanda bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh. Memang mereka datang dari Kerajaan Bhutan dan kini mereka mendaki Bukit Ular, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Himalaya.

Matahari sudah naik tinggi dan hari itu amat cerah. Namun tidak ada orang yang nampak di lereng bukit itu, bahkan dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit. Memang Bukit Ular ini merupakan bukit yang terkenal di daerah itu, tidak ada orang berani mendaki bukit itu tanpa ijin dari penghuni. Siapakah penghuni bukit yang amat ditakuti orang itu?

Di puncak Bukit Ular terdapat sebuah bangunan besar seperti istana. Di situ tinggal See-thian Coa-ong (Raja Dunia Barat) Cu Kiat, salah seorang di antara para datuk besar dunia persilatan di waktu itu. Raja Ular itu berusia sekitar enam puluh delapan tahun, tubuhnya tinggi kurus, matanya tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan matanya sipit seperti mata orang Mongol asli, sipit dengan kedua ujungnya menurun. Kumis serta jenggotnya tebal dan mulutnya selalu dihias senyum mengejek.

Biar pun See-thian Coa-ong Cu Kiat mempunyai banyak isteri, namun dia hanya memiliki seorang anak saja, yaitu seorang wanita bernama Cu Sui In yarig kini telah berusia empat puluh tiga tahun dan belum menikah. Seperti juga ayahnya, Sui In yang merupakan anak tunggal ini memiiiki ilmu kepandaian yang hebat, bahkan dia sudah membuat nama besar di dunia kangouw sehingga mendapat julukan Bi-Coa Sianli (Dewi Ular Cantik).

Biar pun usianya sudah empat puluh tiga tahun, namun dia cantik dan kelihatan jauh lebih muda, seperti baru tiga puluh tahun saja. Pakaiannya selalu mewah dan pesolek, alisnya melengkung hitam dan matanya tajam seperti mata ayahnya. Wajahnya cantik, hidungnya mancung dan mulutnya menggairahkan. Tubuhnya padat ramping penuh daya tarik.

Selain ayah dan anak yang ditakuti orang di dunia kangouw itu, masih ada seorang gadis lagi yang menjadi penghuni gedung itu. Dia seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, wajahnya manis dengan lesung pipit menghias sudut mulutnya yang selalu dihias senyum. Mukanya bulat dan kulitnya putih kemerahan, hidungnya lucu dapat kembang kempis.

Gadis ini bernama Tang Bwe Li yang di rumah itu biasa dipanggil Lili, tentu saja dengan sebutan nona kalau yang memanggil para pelayan. Tadinya dia merupakan murid dari Bi-Coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi karena akhirnya dia diambil murid pula oleh See-thian Coa-ong, dia lalu memanggll Suci (kakak seperguruan) kepada Cu Sui In, hal yang amat menyenangkan hati Dewi Ular itu.

Selain mereka bertiga dan ditambah belasan orang selir See-thian Coa-ong, di puncak itu tinggal pula tiga puluh orang laki-laki yang menjadi anak buah dan pelayan See-thian Coa-ong. Puncak itu ditakuti orang bukan hanya karena penghuninya, akan tetapi juga karena di daerah puncak itu terdapat banyak ular-ular berbisa.

Ular-ular ini memang sengaja dikumpulkan dan dibiarkan hidup di situ oleh See-thian Coa-ong yang merupakan pawang ular yang lihai, sehingga tepatlah kalau puncak itu disebut Puncak Bukit Ular, dan nama ini sesuai pula dengan penghuninya yang berjuluk Raja Ular dan puterinya, Dewi Ular.

Rombongan berkuda itu berhenti di lereng dekat puncak, di depan sebuah pintu gerbang yang merupakan batas tempat tinggal dan wilayah kekuasaan See-thian Coa-ong.

"Kenapa berhenti di sini, paman?" tanya Pangeran Ramamurti kepada pamannya.

"Penghuni puncak adalah seorang datuk besar, dan nama bukit ini adalah Bukit Ular, kita harus berhati-hati. Pula, sebagai tamu kita harus sopan karena di gapura ini tidak nampak penjaga."

Balkan yang telah mempunyai banyak pengalaman itu lalu memerintahkan pasukan untuk menyembunyikan terompet yang terbuat dari tanduk. Segera terdengar bunyi sasangkala memecah kesunyian tempat itu...