Si Bayangan Iblis Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

LIONG LI tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang pangeran yang berwatak halus, bukan saja halus budi bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara seribu orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang yang seperti ini! Ia sudah percaya seribu persen kepada Souw Han. “Nama saya? Siauw Cu...” ia masih mencoba tenang.

“Huh, kau kira aku bisa dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu adalah nama yang diperkenalkan Ibunda Permaisuri kepadaku. Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang berilmu tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh menangkap Si Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

Bukan main, pikir Liong-li, pangeran ini sungguh memiliki banyak segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk semua hal yang mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi. “Baiklah, Pangeran. Saya mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu dan saya tinggal di kota Lok-yang.”

Kini pangeran itu bangkit berdiri, menghampirinya dan mengamati wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh perhatian. Sepasang mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran sama sekali. “Hemm, kiranya engkau inilah yang berjuluk Hek-liong-li?”

Liong-li semakin kagum dan iapun bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk. “Paduka memang hebat, Pangeran. Benar, sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat, bergaul dengan para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan tetapi menurut yang saya dengar dari Yang Mulia Permaisuri, paduka hanya suka mempelajari sastera dan seni.”

Pangeran itu tersenyum dan Liong-li merasa hatinya seperti ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum sedemikian manisnya dari seorang pria!

“Aku juga banyak mendengarkan berita yang menarik dari luar istana, li-hiap (pendekar wanita).”

“Ihhh...! Pangeran, harap jangan menyebut saya li-hiap. Apalagi kalau sampai terdengar orang. Ingat, nama saya Siauw Cu!”

“Hemm, tidak enak rasanya menyebutmu Siauw Cu. Biarlah kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua dariku.”

“Tentu saja, Pangeran. Usia saya sudah duapuluh lima tahun.”

“Ah, sukar dipercaya. Kukira tadinya hanya lebih tua satu-dua tahun dari aku. Aku sudah dua puluh tahun.”

Bukan main, pikir Liong-li. Sudah duapuluh tahun dan agaknya belum pernah bergaul dengan wanita! Masih perjaka tulen! “Pangeran, saya bukan sekedar memuji. Biarpun paduka baru dua puluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki kebijaksanaan yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran Souw Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia Permaisuri.”

“Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau harus berhati-hati terhadap pangeran yang satu itu, Cu cici!”

Diam-diam Liong-li girang sekali mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang amat akrab dari seorang pangeran! “Dia kenapakah, Pangeran?”

Pangeran Souw Han menarik napas panjang, lalu duduk di depan Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan dekat, hanya dalam jarak dua meter saja. “Sebenarnya, tidak pantas bagiku, seorang pangeran, untuk membicarakan keburukan keadaan keluargaku sendiri. Akan tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk menangkap pengacau, biarlah aku ceritakan semua keadaan di istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini untuk menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk menyelidiki perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?”

“Eh? Apa hubungannya Si Bayangan Iblis dengan keluarga kerajaan, Pangeran?”

“Kukira hubungannya erat sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal dengan julukan Si Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam perang dingin.”

“Perang Dingin?” tanya Liong-li heran. “Maksud paduka...”

“Semacam permusuhan terselubung, permusuhan dan kebencian karena persaingan yang tidak dilakukan secara terbuka atau terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan perhatian ayahanda Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua itu, enci. Maka aku tidak perduli akan semua urusan istana, aku lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan seni.”

“Maukah paduka memberi penjelasan yang lebih terperinci? Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana kiranya Si Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka dalam hal ini, Pangeran.”

“Nanti dulu!” kata pangeran itu dan kini pandang matanya penuh selidik. “Engkau memang didatangkan oleh Ibunda Permaisuri dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi kepentingan Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menggeleng kepala. “Tidak, Pangeran. Terus terang saja, saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian Hui, dan saya diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia Permaisuri mengetahui rahasia saya.” Ia lalu menceritakan semua yang terjadi, kemudian menyambung, “Saya tidak berpihak kepada siapapun yang bermusuhan di istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan membantu agar istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi terganggu oleh penjahat yang melakukan pengacauan dengan pembunuhan-pembunuhan gelap.”

“Bagus! Kalau begitu, aku mau memberitahu kepadamu segala yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri sendiri. Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di istana!”

“Ehhh...??” Liong-li terkejut dan terbelalak.

Pangeran itu menarik napas panjang. “Aku merasa diriku sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu, cici. Akan tetapi entah mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan mampu mendatangkan ketenteraman di keluarga kami. Ibunda Permaisuri adalah seorang yang memiliki ambisi besar sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai seluruh kekuasaan di kerajaan. Ayahku... semoga Thian mengampuninya, ayahku seperti... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri. Memang harus kuakui bahwa beliau amat pandai, akan tetapi... kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas dan bahkan kejam terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus, mempunyai jagoan-jagoan...”

“Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi Hwa, gadis kembar yang menjadi pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang wanita yang lihai.”

“Mereka hanya dua di antaranya. Masih banyak lagi dan siapa saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda Permaisuri, jangan harap dapat hidup! Selain itu... ah, bagaimana, ya? Rasanya aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri.”

Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main. Ketika Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah menduga bahwa ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui bahkan disindirkan oleh pangeran itu. Kini, Pangeran Souw Han juga membayangkan adanya rahasia busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk menceritakan kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu bahwa hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis. Kalau mungkin, ia ingin mengetahui semua rahasia agar memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si Bayangan Iblis.

“Pangeran, kalau memang paduka merasa keberatan, lebih baik jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu menyangkut penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam diselundupkan ke istana bagian puteri?”

Pangeran itu membelalakkan matanya, “Kau... kau... sudah tahu?”

Liong-li tersenyum. “Saya hanya menduga saja, Pangeran.”

Pangeran Souw Han menghela napas. “Sudahlah, engkau sudah tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri. Beliau... ah, bagaimana, ya... sungguh memalukan. Beliau suka kepada pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan pribadinya, kita tidak perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat berambisi dan akan menempuh cara apapun saja untuk melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya.”

“Tapi, Pangeran. Dari Cian Ciang-kun saya mendengar bahwa korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si Bayangan Iblis terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar, dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban yang menentang beliau... sungguh membingungkan.”

“Itulah! Tadinya, ketika jatuh korban mereka yang menentang Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda Permaisuri. Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau, aku menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan memang sebaiknya kalau engkau dapat membongkar rahasia ini, Enci Cu.”

“Apakah selain Yang Mulia Permaisuri masih ada lagi orang lain yang kiranya patut dicurigai?”

“Aih, banyak permusuhan di sini. Di antara para pangeran juga banyak yang bersaingan memperebutkan perhatian ayahanda Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak membutuhkan kedudukan!”

“Bagaimana dengan pangeran Souw Cun?”

“Dia? Ah, diapun agaknya tidak perduli akan kedudukan dan kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang, berfoya-foya, mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan urusan negara?”

“Tapi, bukankah dia seorang pangeran yang pandai ilmu silat?”

“Kakanda Souw Cun? Aha, dia hanya suka pelesir, mana mampu ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih atau belajar ilmu silat.”

Diam-diam Liong-li merasa heran. Ketika pangeran itu memegang dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan yang terkandung dalam jari-jari tangan itu! “Kalau begitu, dia lebih suka mempelajari sastera seperti paduka?”

“Huh, Dia hanya belajar asal bisa baca huruf saja! Gurunya pun kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu yang disebut, Bouw Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam huruf saja, lagaknya seperti seorang maha guru, akan tetapi tata susilanya demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw Cun boleh kau lewatkan dari perhatianmu. Dia memang menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata keranjang dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan Si Bayangan Iblis.”

“Kalau dia tidak dapat dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut saya selidiki, Pangeran?”

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu. Terlalu ruwet, juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis. Aku sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah, benar, engkau bertugas menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat menduga siapa penjahat itu, akan tetapi biarlah kuceritakan kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua rahasianya yang kotor.”

Dengan perlahan dan sikap masih tenang sekali, Pangeran Souw Han lalu menceritakan keadaan keluarga ayahnya, yaitu Kaisar Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal yang tadinya amat rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada Liong-li, rahasia yang amat mengejutkan hati pendekar wanita itu.

Kiranya keadaan keluarga kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan persaingan yang kotor, kebencian dan iri hati. Bahkan ada fitnah memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban kejalangan nafsu para pangeran yang tidak menghendaki keturunan dari para dayang dan selir sehingga kalau ada selir atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap tanpa ketahuan jejaknya!

Dari Pangeran Souw Han pula ia tahu bahwa Sang Permaisuri mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah Pangeran Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan yang masih kecil. Secara halus Pangeran Souw Han menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran Li Tan adalah putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang bermalam di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para pangeran yang kebanyakan memiliki watak yang amat buruk, menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari hanya mengejar kesenangan.

“Biarpun dengan perasaan malu, terpaksa aku harus mengakui bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak hanyalah manusia-manusia yang tiada gunanya!”

“Aih, mengapa paduka demikian pahit, Pangeran? Banyak rakyat yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai para bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi derma kepada kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar.”

Liong-li sengaja memancing dengan memuji atau menyatakan kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak penasaran.

“Palsu! Semua itu palsu! Keagungan, kemuliaan dan kehormatan dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan dermaan itu tanda murah hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta lalu kau dermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu? Aku akan jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki dua puluh akan tetapi dengan rela memberikan yang sepuluh kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu pura-pura, munafik, bangsawan pakaian saja!”

Diam-diam Liong-li menjadi semakin bingung mendengar semua keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya merasa terharu bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga membongkar semua rahasia kebusukan keluarga istana yang sebelumnya tak pernah disangkanya.

Akan tetapi, semua keterangan itu sama sekali tidak membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan Iblis. Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar keterangan itu, boleh dibilang semua pangeran, semua selir, bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar sendiri bisa saja dicurigai sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis!

Biarlah, ia tidak akan memusingkan semua itu. Yang dicarinya adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa yakin akan dapat menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana. Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat itu keluar dari tempat persembunyiannya, tentu akan dapat ditangkapnya!

“Terima kasih atas semua keterangan paduka Pangeran. Mulai malam ini saya akan menyelinap keluar dari dalam kamar ini dan melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!”

“Mudah-mudahan begitulah, enci Cu. Akan tetapi harap engkau berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang yang telah dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu, pastilah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berbahaya sekali.”

“Terima kasih, Pangeran. Tentu saja saya akan berhati-hati sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka.”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya. “Siang ini engkau boleh mengaso dan tidur di pembaringan itu. Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku akan mengantarkan makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab.” Diapun melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-milih.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis Episode Si Bayangan Iblis jilid 12 karya kho ping hoo

Liong-li juga bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu saja di pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada di situ, walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan mengganggunya, bahkan mungkin sekali tidak akan pernah mau meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh itu!

Ia lalu melihat sebuah yang-kim (semacam gitar) tergantung di dinding. Diambilnya yang-kim itu dan iapun duduk di atas bangku lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari tangannya yang mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel dengan baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat baik buatannya.

Dalam keadaan melamun, seperti tanpa disengaja, dengan sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu. Lagu yang dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah, namanya lagu itu “Badai”. Dawai (senar) yang-kim itu berkentang-kenting, mula-mula membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun makin lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak, nadanya naik turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai yang semakin mendahsyat.

Pangeran Souw Han yang tadinya sudah memilih sebuah kitab sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya dia terduduk dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang memainkan yang-kim itu, telinganya menangkap semua nada itu dan segera dia mengenal lagunya.

Dia memandang kagum, sama sekali tidak pernah mengira bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang ahli silat, seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di dunia hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik jelita, halus tutur sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai sekali memainkan alat musik yang-kim!

Dia tidak jadi membaca kitab sajak yang masih dipegangnya, bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter dan memandang dari samping.

Betapapun juga, Liong-li hanyalah seorang wanita biasa. Sejak pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw Han, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang sama sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung dan dikagumi, akan tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin agar dirinya tidak dihadapi pria dengan sikap demikian dinginnya. Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han!

Tadinya ia memainkan yang-kim hanya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil menanti datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam saja. Akan tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu dapat menangkap gerak gerik Pangeran Souw Han yang melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri di sebelah kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi.

Hal ini membangkitkan kegembiraan dan meningkatkan harga dirinya, maka setelah habis memainkan lagu itu, jari-jarinya tidak berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya yang merdu!

“Badai menderu mengamuklah air dan salju angin puyuh menyapu bumi segala pohon dipaksa menari betapa buas dan gagah betapa indah!

Badai dahsyat dibukit itu akhirnyapun, lewat, berlalu sunyi, hening, sayu kelu, lelah, lembut tenang aman dan betapa indahnya!”


Lagu “Badai” itu memang indah sekali, dimulai dengan suara yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas dan liar, akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan akhirnya terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan alam hening setelah badai lewat.

Begitu Liong-li berhenti bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling yang melengking lembut, maka meninggi dan terdengarlah suling itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu “Badai”. Suara suling itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis jari-jari tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu itu, kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim yang amat serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang amat indahnya.

Setelah lagu itu habis dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak bersuara lagi, keadaan di kamar itu menjadi sunyi bukan main. Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di bibir Liong-li. Ia mulai melihat sinar kagum membayang di pandang mata pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup baginya, menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa, seorang pria normal, bukan manusia berhati kayu.

“Tiupan sulingmu amat indah, Pangeran.”

“Enci Cu, tidak kusangka engkau begitu pandai bermain yang-kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh heran...”

“Kenapa paduka heran, Pangeran?”

“Seorang wanita seperti engkau, enci Cu, yang selalu berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai bermain pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan, bagaimana mungkin dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi demikian merdunya, sedemikian lembutnya...”

“Pangeran, bukankah segala hal itu dapat saja dipelajari manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu terdapat keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat apa adanya? Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai mengamuk dahsyat, menggegap gempita, keras dan kasar, namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di sana. Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga terdapat keindahan di sana. Apakah hanya taman bunga dan gunung hijau yang tenang saja mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang kokoh kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana terdapat pula keindahan?”

“Engkau benar, enci Cu. Semua itu adalah ciptaan Tuhan, dan apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu sempurna dan indah. Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab filsafat?”

Liong-li tersenyum. “Di dalam kamar perpustakaanku di rumahku saja terdapat segala macam kitab filsafat dari ke tiga agama (Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran.”

“Amboiii...! Jangan katakan bahwa engkau pandai pula bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis halus, enci Cu!”

“Pandai sih tidak, Pangeran, akan tetapi saya pernah mempelajari itu semua.”

“Aih, kalau begitu engkau seorang wanita serba bisa, enci Cu! Hebat!”

Liong-li tersenyum. Hatinya girang. Pangeran Souw Han itu seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan dewa bukan pula pertapa! “Dibandingkan dengan paduka, saya bukan apa-apa, Pangeran.”

Pada saat itu, daun pintu kamar itu dan pintu kamar itu didorong orang dari luar dan terbuka Pangeran Souw Han membalikkan tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li berdebar tegang dan merasa tidak enak sekali karena ia mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!

Berubah sikap Pangeran Souw Han ketika melihat siapa orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia tidak jadi marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Ah, kiranya engkau yang datang, kakanda Pangeran Cun. Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan berkunjung? Membuat hatiku terkejut saja.”

Pangeran Souw Cun tertawa, lalu maju dan merangkul adik tirinya. “Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara semua saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling kukagumi dan kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi? Aku tadi lewat dan ingin sekali bertemu dan bicara denganmu, adikku.”

Sejak tadi Liong-li menunduk sambil mengerling tajam, namun tak pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka iapun pura-pura tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.

“Terima kasih, kakanda. Akan tetapi, tidak seperti biasa kakanda datang berkunjung. Ada keperluan apakah?”

“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, belum orang bicara engkau sudah dapat menebak isi hati orang. Memang ada keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu.”

“Aku ikut merasa girang, kakanda. Akan tetapi apakah itu yang mendatangkan bermacam perasaan?”

“Aku mendengar engkau diberi hadiah seorang gadis untuk menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah berita luar biasa itu?”

Seketika wajah Pangeran Souw Han menjadi kemerahan. ”Benar, kakanda. Apa anehnya itu?”

“Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda Pangeran! Berita itu merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang selir. Engkau? Ha-ha, sejak kapan engkau belajar bergaul dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau tidak mau. Para dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang kau jamah seorangpun. Dan tahu-tahu engkau kini menerima seorang selir! Apa tidak aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang, akan tetapi menjadi penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya wanita yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai seorang pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita itu. Dan ketika aku lewat tadi, aku mendengar permainan suling, yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau malah sudah rukun dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah selirmu yang hebat itu?”

Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh ke arah Liong-li yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka di atas meja. “Siauw Cu, ke sinilah dan perkenalkan, ini adalah kakanda Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat kepadanya,” kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau selirnya itu.

Liong-li meninggalkan kursinya dan menghampiri sambil menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat. “Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat menyambut kunjungan paduka,” katanya dengan sikap halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri, dan melihat sikap ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.

Akan tetapi Pangeran Souw Cun terbelalak menatap wajah yang cantik jelita itu. “Ah-ahhh... kiranya engkau? Bukankah engkau dayang pribadi Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menundukkan mukanya dan mengangguk. “Kami memang pernah bertemu satu kali, Pangeran.”

Tiba-tiba Pangeran Souw Cun tertawa dan memandang kepada wajah adiknya. “Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka engkau menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari, dan masih amat muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha, sungguh aku merasa semakin heran, dan aku kasihan sekali kepadamu, adikku!”

“Hemm, mengapa kakanda berkata demikian? Dan mengapa pula merasa kasihan kepadaku?”

“Adindaku, bagaimana mungkin seorang seperti engkau dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini? Katakan, benarkah engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?”

Selama hidupnya, Souw Han tidak pernah berbohong. Akan tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata lain? Kalau dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan rahasia gadis itu? “Aku cinta padanya, kakanda.”

“Kau? Yang selama ini tidak pernah bergaul dengan wanita? Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali itu, dan engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku tidak dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia sungguh tidak cocok untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia cantik manis, namun usianya tentu jauh lebih tua darimu! Nona, siapakah namamu?”

“Siauw Cu...” jawab Liong-li tanpa mengangkat mukanya, dan di dalam hatinya timbul perasaan panas bukan main.

“Siauw Cu, katakan dengan sejujurnya, berapa usiamu sekarang?”

Biarpun hatinya panas, namun Siauw Cu menjawab sejujurnya dan di dalam suaranya yang lembut terkandung ketegasan dan tantangan, seolah ia tidak takut mengemukakan usianya yang sebenarnya. “Usia saya sudah duapuluh lima tahun, Pangeran.”

“Dua puluh lima tahun? Ha-ha-ha, engkau dengar sendiri, adinda Souw Han! Dan engkau belum genap dua puluh tahun! Dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun tidak mungkin menjadi seorang dayang yang masih gadis. Hayo katakan, Siauw Cu. Engkau bukan gadis lagi. Tidak benarkah begitu?”

Souw Han memandang kepada “selirnya” dengan hati penuh iba. Dia tahu betapa pertanyaan seperti itu amat menyakitkan perasaan seorang wanita, maka diapun berkata. “Kakanda Souw Cun, harap kakanda jangan bertanya hal-hal seperti itu kepada Siauw Cu. Siauw Cu, kalau engkau tidak suka, aku membolehkan engkau tidak usah menjawab pertanyaan kakanda Souw Cun tadi.”

“Ha-ha-ha, tentu saja ia tidak mau menjawabnya, atau kalau menjawab pun tentu ia membohong, ha-ha-ha!” Souw Cun tertawa.

Kini Liong-li mengangkat mukanya, memandang kepada Pangeran Souw Cun dengan sikap angkuh dan menantang, lalu keluarlah jawaban dari bibirnya. “Saya tidak perlu berpura-pura dan menyembunyikan kenyataan. Bukan saja saya tidak perawan lagi, bahkan ketika saya menjadi dayang Yang Mulia Permaisuri, saya sudah janda...”

Liong-li mengerling ke arah muka Pangeran Souw Han, akan tetapi pada wajah Pangeran itu tidak nampak perubahan apapun. Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Ia menjadi “selir” Pangeran Souw Han hanya pura-pura saja. Bagi pangeran itu, ia masih perawan atau sudah janda seratus kalipun apa bedanya? Akan tetapi Pangeran Souw Cun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, apa kukata tadi, adinda? Ia bukan hanya tidak perawan, bahkan sudah janda. Dan engkau, seorang pangeran yang masih perjaka tulen hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda yang usianya sudah duapuluh lima tahun? Bodoh, adikku, bodoh sekali dan itu rugi namanya. Juga memalukan keluarga! Aku ikut malu!”

Souw Han merasa tidak enak sekali kepada Liong-li. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu karena di balik wanita itu terdapat suatu rahasia yang harus dilindunginya. “Kakanda Souw Cun, mengapa kakanda mencampuri urusan pribadiku? Harap kakanda jangan mengganggu kami lebih lama lagi. Apa sih maksud kanda sebenarnya? Aku tidak pernah membikin malu keluarga!”

“Adinda! Engkau hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda, dan kau bilang tidak membikin malu keluarga?“

“Habis, apa maksud dan kehendak kakanda sekarang?” Souw Han mulai marah.

“Begini, adinda. Aku sayang padamu, dan aku tidak rela kalau engkau menyerahkan perjakamu kepada wanita tua ini. Kutukar saja ia dengan seorang gadis yang remaja, usianya baru limabelas tahun, jauh lebih cantik dari pada Siauw Cu, dan ia masih perawan. Nah, ialah yang lebih pantas menjadi selirmu, atau bahkan isterimu sekalipun. Tentang wanita ini, serahkan saja kepadaku untuk kujadikan dayang.”

“Mendengar ini, Pangeran Souw Han terkejut bukan main. Dia bukan pemain sandiwara yang baik, tidak seperti Liong-li yang sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada air mukanya. Ingin Pangeran Souw Han berteriak menolak usul itu, akan tetapi dia segera teringat akan rahasia Liong-li, maka diapun berkata dengan suara gelisah.

“Ah, kakanda Souw Cun, bagaimana mungkin aku dapat menukarnya dengan wanita lain? Ingat, kakanda, Siauw Cu ini adalah hadiah dari Ibunda Permaisuri dan aku... aku suka sekali padanya.”

Tiba-tiba Liong-li menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Han sambil menangis, menutupi mukanya dengan ujung lengan bajunya yang lebar panjang dan suaranya terdengar penuh isak ketika ia berkata, “Pangeran, hamba... hamba lebih baik mati kalau harus meninggalkan paduka...”

Diam-diam Pangeran Souw Han menjadi semakin kagum. Dia tahu bahwa Liong-li hanya bersandiwara, akan tetapi sandiwara itu dimainkannya dengan demikian cemerlang sehingga dia sendiripun sedikit juga tidak akan menyangka bahwa wanita itu berpura-pura. Maka, diapun memandang kepada Pangeran Souw Cun.

“Kakanda Pangeran, kakanda lihat sendiri. Kami sudah saling mencinta. Tidak ada wanita yang dapat menggantikannya. Aku hanya menghendaki Siauw Cu ini, bukan wanita lain.”

“Hem, benarkah itu?”

Ketika Liong-li mengerling dari sudut matanya yang ia tutupi dengan tangan, ia melihat betapa sinar mata Pangeran Souw Cun penuh kecurigaan dan selidik. Sungguh seorang pangeran yang berbahaya, pikirnya, dan ia mulai menduga bahwa maksud pangeran itu menghalangi ia diselir Pangeran Souw Han bukan semata karena cemburu atau iri, bukan semata karena pangeran itu sendiri menginginkan dirinya. Mungkin ada alasan lain, yaitu mencurigainya!

“Ah, jangan-jangan engkau kena dipengaruhi guna-guna adikku.”

“Tidak, kakanda. Aku memang cinta padanya, bukan hanya karena wajahnya, melainkan karena sikapnya, juga ia pandai bermain yang-kim, pandai bernyanyi dan mungkin masih memiliki beberapa macam kepandaian lagi yang belum kuketahui. Tentang usia dan tentang bukan perawan, aku tidak perduli!”

“Hemm, banyak kepandaiannya, ya? Eh, Siauw Cu, apakah engkau juga pandai ilmu silat?”

“Ah, kakanda!” seru Pangeran Souw Han, terkejut dan kekagetannya ini memang bukan pura-pura. “Bagaimana seorang wanita lembut seperti Siauw Cu ini pandai ilmu silat? Kalau menari mungkin ia dapat. Bukankah begitu, Siauw Cu?”

Liong-li yang sudah menghapus air matanya kini memandang kepada Pangeran Souw Han dengan sinar mata yang jelas membayangkan kasih sayang besar. “Kalau untuk paduka... apapun akan hamba lakukan, Pangeran. Hamba pernah mempelajari ilmu menari...”

Si Bayangan Iblis Jilid 12

LIONG LI tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang pangeran yang berwatak halus, bukan saja halus budi bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara seribu orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang yang seperti ini! Ia sudah percaya seribu persen kepada Souw Han. “Nama saya? Siauw Cu...” ia masih mencoba tenang.

“Huh, kau kira aku bisa dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu adalah nama yang diperkenalkan Ibunda Permaisuri kepadaku. Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang berilmu tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh menangkap Si Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

Bukan main, pikir Liong-li, pangeran ini sungguh memiliki banyak segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk semua hal yang mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi. “Baiklah, Pangeran. Saya mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu dan saya tinggal di kota Lok-yang.”

Kini pangeran itu bangkit berdiri, menghampirinya dan mengamati wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh perhatian. Sepasang mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran sama sekali. “Hemm, kiranya engkau inilah yang berjuluk Hek-liong-li?”

Liong-li semakin kagum dan iapun bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk. “Paduka memang hebat, Pangeran. Benar, sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat, bergaul dengan para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan tetapi menurut yang saya dengar dari Yang Mulia Permaisuri, paduka hanya suka mempelajari sastera dan seni.”

Pangeran itu tersenyum dan Liong-li merasa hatinya seperti ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum sedemikian manisnya dari seorang pria!

“Aku juga banyak mendengarkan berita yang menarik dari luar istana, li-hiap (pendekar wanita).”

“Ihhh...! Pangeran, harap jangan menyebut saya li-hiap. Apalagi kalau sampai terdengar orang. Ingat, nama saya Siauw Cu!”

“Hemm, tidak enak rasanya menyebutmu Siauw Cu. Biarlah kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua dariku.”

“Tentu saja, Pangeran. Usia saya sudah duapuluh lima tahun.”

“Ah, sukar dipercaya. Kukira tadinya hanya lebih tua satu-dua tahun dari aku. Aku sudah dua puluh tahun.”

Bukan main, pikir Liong-li. Sudah duapuluh tahun dan agaknya belum pernah bergaul dengan wanita! Masih perjaka tulen! “Pangeran, saya bukan sekedar memuji. Biarpun paduka baru dua puluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki kebijaksanaan yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran Souw Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia Permaisuri.”

“Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau harus berhati-hati terhadap pangeran yang satu itu, Cu cici!”

Diam-diam Liong-li girang sekali mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang amat akrab dari seorang pangeran! “Dia kenapakah, Pangeran?”

Pangeran Souw Han menarik napas panjang, lalu duduk di depan Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan dekat, hanya dalam jarak dua meter saja. “Sebenarnya, tidak pantas bagiku, seorang pangeran, untuk membicarakan keburukan keadaan keluargaku sendiri. Akan tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk menangkap pengacau, biarlah aku ceritakan semua keadaan di istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini untuk menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk menyelidiki perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?”

“Eh? Apa hubungannya Si Bayangan Iblis dengan keluarga kerajaan, Pangeran?”

“Kukira hubungannya erat sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal dengan julukan Si Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam perang dingin.”

“Perang Dingin?” tanya Liong-li heran. “Maksud paduka...”

“Semacam permusuhan terselubung, permusuhan dan kebencian karena persaingan yang tidak dilakukan secara terbuka atau terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan perhatian ayahanda Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua itu, enci. Maka aku tidak perduli akan semua urusan istana, aku lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan seni.”

“Maukah paduka memberi penjelasan yang lebih terperinci? Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana kiranya Si Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka dalam hal ini, Pangeran.”

“Nanti dulu!” kata pangeran itu dan kini pandang matanya penuh selidik. “Engkau memang didatangkan oleh Ibunda Permaisuri dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi kepentingan Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menggeleng kepala. “Tidak, Pangeran. Terus terang saja, saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian Hui, dan saya diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia Permaisuri mengetahui rahasia saya.” Ia lalu menceritakan semua yang terjadi, kemudian menyambung, “Saya tidak berpihak kepada siapapun yang bermusuhan di istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan membantu agar istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi terganggu oleh penjahat yang melakukan pengacauan dengan pembunuhan-pembunuhan gelap.”

“Bagus! Kalau begitu, aku mau memberitahu kepadamu segala yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri sendiri. Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di istana!”

“Ehhh...??” Liong-li terkejut dan terbelalak.

Pangeran itu menarik napas panjang. “Aku merasa diriku sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu, cici. Akan tetapi entah mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan mampu mendatangkan ketenteraman di keluarga kami. Ibunda Permaisuri adalah seorang yang memiliki ambisi besar sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai seluruh kekuasaan di kerajaan. Ayahku... semoga Thian mengampuninya, ayahku seperti... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri. Memang harus kuakui bahwa beliau amat pandai, akan tetapi... kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas dan bahkan kejam terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus, mempunyai jagoan-jagoan...”

“Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi Hwa, gadis kembar yang menjadi pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang wanita yang lihai.”

“Mereka hanya dua di antaranya. Masih banyak lagi dan siapa saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda Permaisuri, jangan harap dapat hidup! Selain itu... ah, bagaimana, ya? Rasanya aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri.”

Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main. Ketika Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah menduga bahwa ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui bahkan disindirkan oleh pangeran itu. Kini, Pangeran Souw Han juga membayangkan adanya rahasia busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk menceritakan kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu bahwa hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis. Kalau mungkin, ia ingin mengetahui semua rahasia agar memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si Bayangan Iblis.

“Pangeran, kalau memang paduka merasa keberatan, lebih baik jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu menyangkut penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam diselundupkan ke istana bagian puteri?”

Pangeran itu membelalakkan matanya, “Kau... kau... sudah tahu?”

Liong-li tersenyum. “Saya hanya menduga saja, Pangeran.”

Pangeran Souw Han menghela napas. “Sudahlah, engkau sudah tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri. Beliau... ah, bagaimana, ya... sungguh memalukan. Beliau suka kepada pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan pribadinya, kita tidak perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat berambisi dan akan menempuh cara apapun saja untuk melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya.”

“Tapi, Pangeran. Dari Cian Ciang-kun saya mendengar bahwa korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si Bayangan Iblis terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar, dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban yang menentang beliau... sungguh membingungkan.”

“Itulah! Tadinya, ketika jatuh korban mereka yang menentang Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda Permaisuri. Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau, aku menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan memang sebaiknya kalau engkau dapat membongkar rahasia ini, Enci Cu.”

“Apakah selain Yang Mulia Permaisuri masih ada lagi orang lain yang kiranya patut dicurigai?”

“Aih, banyak permusuhan di sini. Di antara para pangeran juga banyak yang bersaingan memperebutkan perhatian ayahanda Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak membutuhkan kedudukan!”

“Bagaimana dengan pangeran Souw Cun?”

“Dia? Ah, diapun agaknya tidak perduli akan kedudukan dan kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang, berfoya-foya, mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan urusan negara?”

“Tapi, bukankah dia seorang pangeran yang pandai ilmu silat?”

“Kakanda Souw Cun? Aha, dia hanya suka pelesir, mana mampu ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih atau belajar ilmu silat.”

Diam-diam Liong-li merasa heran. Ketika pangeran itu memegang dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan yang terkandung dalam jari-jari tangan itu! “Kalau begitu, dia lebih suka mempelajari sastera seperti paduka?”

“Huh, Dia hanya belajar asal bisa baca huruf saja! Gurunya pun kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu yang disebut, Bouw Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam huruf saja, lagaknya seperti seorang maha guru, akan tetapi tata susilanya demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw Cun boleh kau lewatkan dari perhatianmu. Dia memang menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata keranjang dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan Si Bayangan Iblis.”

“Kalau dia tidak dapat dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut saya selidiki, Pangeran?”

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu. Terlalu ruwet, juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis. Aku sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah, benar, engkau bertugas menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat menduga siapa penjahat itu, akan tetapi biarlah kuceritakan kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua rahasianya yang kotor.”

Dengan perlahan dan sikap masih tenang sekali, Pangeran Souw Han lalu menceritakan keadaan keluarga ayahnya, yaitu Kaisar Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal yang tadinya amat rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada Liong-li, rahasia yang amat mengejutkan hati pendekar wanita itu.

Kiranya keadaan keluarga kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan persaingan yang kotor, kebencian dan iri hati. Bahkan ada fitnah memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban kejalangan nafsu para pangeran yang tidak menghendaki keturunan dari para dayang dan selir sehingga kalau ada selir atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap tanpa ketahuan jejaknya!

Dari Pangeran Souw Han pula ia tahu bahwa Sang Permaisuri mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah Pangeran Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan yang masih kecil. Secara halus Pangeran Souw Han menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran Li Tan adalah putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang bermalam di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para pangeran yang kebanyakan memiliki watak yang amat buruk, menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari hanya mengejar kesenangan.

“Biarpun dengan perasaan malu, terpaksa aku harus mengakui bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak hanyalah manusia-manusia yang tiada gunanya!”

“Aih, mengapa paduka demikian pahit, Pangeran? Banyak rakyat yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai para bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi derma kepada kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar.”

Liong-li sengaja memancing dengan memuji atau menyatakan kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak penasaran.

“Palsu! Semua itu palsu! Keagungan, kemuliaan dan kehormatan dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan dermaan itu tanda murah hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta lalu kau dermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu? Aku akan jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki dua puluh akan tetapi dengan rela memberikan yang sepuluh kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu pura-pura, munafik, bangsawan pakaian saja!”

Diam-diam Liong-li menjadi semakin bingung mendengar semua keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya merasa terharu bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga membongkar semua rahasia kebusukan keluarga istana yang sebelumnya tak pernah disangkanya.

Akan tetapi, semua keterangan itu sama sekali tidak membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan Iblis. Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar keterangan itu, boleh dibilang semua pangeran, semua selir, bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar sendiri bisa saja dicurigai sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis!

Biarlah, ia tidak akan memusingkan semua itu. Yang dicarinya adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa yakin akan dapat menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana. Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat itu keluar dari tempat persembunyiannya, tentu akan dapat ditangkapnya!

“Terima kasih atas semua keterangan paduka Pangeran. Mulai malam ini saya akan menyelinap keluar dari dalam kamar ini dan melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!”

“Mudah-mudahan begitulah, enci Cu. Akan tetapi harap engkau berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang yang telah dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu, pastilah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berbahaya sekali.”

“Terima kasih, Pangeran. Tentu saja saya akan berhati-hati sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka.”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya. “Siang ini engkau boleh mengaso dan tidur di pembaringan itu. Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku akan mengantarkan makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab.” Diapun melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-milih.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis Episode Si Bayangan Iblis jilid 12 karya kho ping hoo

Liong-li juga bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu saja di pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada di situ, walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan mengganggunya, bahkan mungkin sekali tidak akan pernah mau meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh itu!

Ia lalu melihat sebuah yang-kim (semacam gitar) tergantung di dinding. Diambilnya yang-kim itu dan iapun duduk di atas bangku lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari tangannya yang mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel dengan baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat baik buatannya.

Dalam keadaan melamun, seperti tanpa disengaja, dengan sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu. Lagu yang dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah, namanya lagu itu “Badai”. Dawai (senar) yang-kim itu berkentang-kenting, mula-mula membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun makin lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak, nadanya naik turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai yang semakin mendahsyat.

Pangeran Souw Han yang tadinya sudah memilih sebuah kitab sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya dia terduduk dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang memainkan yang-kim itu, telinganya menangkap semua nada itu dan segera dia mengenal lagunya.

Dia memandang kagum, sama sekali tidak pernah mengira bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang ahli silat, seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di dunia hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik jelita, halus tutur sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai sekali memainkan alat musik yang-kim!

Dia tidak jadi membaca kitab sajak yang masih dipegangnya, bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter dan memandang dari samping.

Betapapun juga, Liong-li hanyalah seorang wanita biasa. Sejak pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw Han, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang sama sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung dan dikagumi, akan tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin agar dirinya tidak dihadapi pria dengan sikap demikian dinginnya. Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han!

Tadinya ia memainkan yang-kim hanya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil menanti datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam saja. Akan tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu dapat menangkap gerak gerik Pangeran Souw Han yang melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri di sebelah kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi.

Hal ini membangkitkan kegembiraan dan meningkatkan harga dirinya, maka setelah habis memainkan lagu itu, jari-jarinya tidak berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya yang merdu!

“Badai menderu mengamuklah air dan salju angin puyuh menyapu bumi segala pohon dipaksa menari betapa buas dan gagah betapa indah!

Badai dahsyat dibukit itu akhirnyapun, lewat, berlalu sunyi, hening, sayu kelu, lelah, lembut tenang aman dan betapa indahnya!”


Lagu “Badai” itu memang indah sekali, dimulai dengan suara yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas dan liar, akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan akhirnya terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan alam hening setelah badai lewat.

Begitu Liong-li berhenti bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling yang melengking lembut, maka meninggi dan terdengarlah suling itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu “Badai”. Suara suling itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis jari-jari tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu itu, kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim yang amat serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang amat indahnya.

Setelah lagu itu habis dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak bersuara lagi, keadaan di kamar itu menjadi sunyi bukan main. Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di bibir Liong-li. Ia mulai melihat sinar kagum membayang di pandang mata pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup baginya, menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa, seorang pria normal, bukan manusia berhati kayu.

“Tiupan sulingmu amat indah, Pangeran.”

“Enci Cu, tidak kusangka engkau begitu pandai bermain yang-kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh heran...”

“Kenapa paduka heran, Pangeran?”

“Seorang wanita seperti engkau, enci Cu, yang selalu berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai bermain pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan, bagaimana mungkin dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi demikian merdunya, sedemikian lembutnya...”

“Pangeran, bukankah segala hal itu dapat saja dipelajari manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu terdapat keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat apa adanya? Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai mengamuk dahsyat, menggegap gempita, keras dan kasar, namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di sana. Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga terdapat keindahan di sana. Apakah hanya taman bunga dan gunung hijau yang tenang saja mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang kokoh kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana terdapat pula keindahan?”

“Engkau benar, enci Cu. Semua itu adalah ciptaan Tuhan, dan apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu sempurna dan indah. Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab filsafat?”

Liong-li tersenyum. “Di dalam kamar perpustakaanku di rumahku saja terdapat segala macam kitab filsafat dari ke tiga agama (Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran.”

“Amboiii...! Jangan katakan bahwa engkau pandai pula bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis halus, enci Cu!”

“Pandai sih tidak, Pangeran, akan tetapi saya pernah mempelajari itu semua.”

“Aih, kalau begitu engkau seorang wanita serba bisa, enci Cu! Hebat!”

Liong-li tersenyum. Hatinya girang. Pangeran Souw Han itu seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan dewa bukan pula pertapa! “Dibandingkan dengan paduka, saya bukan apa-apa, Pangeran.”

Pada saat itu, daun pintu kamar itu dan pintu kamar itu didorong orang dari luar dan terbuka Pangeran Souw Han membalikkan tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li berdebar tegang dan merasa tidak enak sekali karena ia mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!

Berubah sikap Pangeran Souw Han ketika melihat siapa orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia tidak jadi marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Ah, kiranya engkau yang datang, kakanda Pangeran Cun. Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan berkunjung? Membuat hatiku terkejut saja.”

Pangeran Souw Cun tertawa, lalu maju dan merangkul adik tirinya. “Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara semua saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling kukagumi dan kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi? Aku tadi lewat dan ingin sekali bertemu dan bicara denganmu, adikku.”

Sejak tadi Liong-li menunduk sambil mengerling tajam, namun tak pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka iapun pura-pura tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.

“Terima kasih, kakanda. Akan tetapi, tidak seperti biasa kakanda datang berkunjung. Ada keperluan apakah?”

“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, belum orang bicara engkau sudah dapat menebak isi hati orang. Memang ada keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu.”

“Aku ikut merasa girang, kakanda. Akan tetapi apakah itu yang mendatangkan bermacam perasaan?”

“Aku mendengar engkau diberi hadiah seorang gadis untuk menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah berita luar biasa itu?”

Seketika wajah Pangeran Souw Han menjadi kemerahan. ”Benar, kakanda. Apa anehnya itu?”

“Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda Pangeran! Berita itu merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang selir. Engkau? Ha-ha, sejak kapan engkau belajar bergaul dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau tidak mau. Para dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang kau jamah seorangpun. Dan tahu-tahu engkau kini menerima seorang selir! Apa tidak aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang, akan tetapi menjadi penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya wanita yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai seorang pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita itu. Dan ketika aku lewat tadi, aku mendengar permainan suling, yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau malah sudah rukun dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah selirmu yang hebat itu?”

Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh ke arah Liong-li yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka di atas meja. “Siauw Cu, ke sinilah dan perkenalkan, ini adalah kakanda Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat kepadanya,” kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau selirnya itu.

Liong-li meninggalkan kursinya dan menghampiri sambil menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat. “Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat menyambut kunjungan paduka,” katanya dengan sikap halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri, dan melihat sikap ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.

Akan tetapi Pangeran Souw Cun terbelalak menatap wajah yang cantik jelita itu. “Ah-ahhh... kiranya engkau? Bukankah engkau dayang pribadi Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menundukkan mukanya dan mengangguk. “Kami memang pernah bertemu satu kali, Pangeran.”

Tiba-tiba Pangeran Souw Cun tertawa dan memandang kepada wajah adiknya. “Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka engkau menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari, dan masih amat muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha, sungguh aku merasa semakin heran, dan aku kasihan sekali kepadamu, adikku!”

“Hemm, mengapa kakanda berkata demikian? Dan mengapa pula merasa kasihan kepadaku?”

“Adindaku, bagaimana mungkin seorang seperti engkau dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini? Katakan, benarkah engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?”

Selama hidupnya, Souw Han tidak pernah berbohong. Akan tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata lain? Kalau dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan rahasia gadis itu? “Aku cinta padanya, kakanda.”

“Kau? Yang selama ini tidak pernah bergaul dengan wanita? Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali itu, dan engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku tidak dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia sungguh tidak cocok untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia cantik manis, namun usianya tentu jauh lebih tua darimu! Nona, siapakah namamu?”

“Siauw Cu...” jawab Liong-li tanpa mengangkat mukanya, dan di dalam hatinya timbul perasaan panas bukan main.

“Siauw Cu, katakan dengan sejujurnya, berapa usiamu sekarang?”

Biarpun hatinya panas, namun Siauw Cu menjawab sejujurnya dan di dalam suaranya yang lembut terkandung ketegasan dan tantangan, seolah ia tidak takut mengemukakan usianya yang sebenarnya. “Usia saya sudah duapuluh lima tahun, Pangeran.”

“Dua puluh lima tahun? Ha-ha-ha, engkau dengar sendiri, adinda Souw Han! Dan engkau belum genap dua puluh tahun! Dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun tidak mungkin menjadi seorang dayang yang masih gadis. Hayo katakan, Siauw Cu. Engkau bukan gadis lagi. Tidak benarkah begitu?”

Souw Han memandang kepada “selirnya” dengan hati penuh iba. Dia tahu betapa pertanyaan seperti itu amat menyakitkan perasaan seorang wanita, maka diapun berkata. “Kakanda Souw Cun, harap kakanda jangan bertanya hal-hal seperti itu kepada Siauw Cu. Siauw Cu, kalau engkau tidak suka, aku membolehkan engkau tidak usah menjawab pertanyaan kakanda Souw Cun tadi.”

“Ha-ha-ha, tentu saja ia tidak mau menjawabnya, atau kalau menjawab pun tentu ia membohong, ha-ha-ha!” Souw Cun tertawa.

Kini Liong-li mengangkat mukanya, memandang kepada Pangeran Souw Cun dengan sikap angkuh dan menantang, lalu keluarlah jawaban dari bibirnya. “Saya tidak perlu berpura-pura dan menyembunyikan kenyataan. Bukan saja saya tidak perawan lagi, bahkan ketika saya menjadi dayang Yang Mulia Permaisuri, saya sudah janda...”

Liong-li mengerling ke arah muka Pangeran Souw Han, akan tetapi pada wajah Pangeran itu tidak nampak perubahan apapun. Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Ia menjadi “selir” Pangeran Souw Han hanya pura-pura saja. Bagi pangeran itu, ia masih perawan atau sudah janda seratus kalipun apa bedanya? Akan tetapi Pangeran Souw Cun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, apa kukata tadi, adinda? Ia bukan hanya tidak perawan, bahkan sudah janda. Dan engkau, seorang pangeran yang masih perjaka tulen hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda yang usianya sudah duapuluh lima tahun? Bodoh, adikku, bodoh sekali dan itu rugi namanya. Juga memalukan keluarga! Aku ikut malu!”

Souw Han merasa tidak enak sekali kepada Liong-li. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu karena di balik wanita itu terdapat suatu rahasia yang harus dilindunginya. “Kakanda Souw Cun, mengapa kakanda mencampuri urusan pribadiku? Harap kakanda jangan mengganggu kami lebih lama lagi. Apa sih maksud kanda sebenarnya? Aku tidak pernah membikin malu keluarga!”

“Adinda! Engkau hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda, dan kau bilang tidak membikin malu keluarga?“

“Habis, apa maksud dan kehendak kakanda sekarang?” Souw Han mulai marah.

“Begini, adinda. Aku sayang padamu, dan aku tidak rela kalau engkau menyerahkan perjakamu kepada wanita tua ini. Kutukar saja ia dengan seorang gadis yang remaja, usianya baru limabelas tahun, jauh lebih cantik dari pada Siauw Cu, dan ia masih perawan. Nah, ialah yang lebih pantas menjadi selirmu, atau bahkan isterimu sekalipun. Tentang wanita ini, serahkan saja kepadaku untuk kujadikan dayang.”

“Mendengar ini, Pangeran Souw Han terkejut bukan main. Dia bukan pemain sandiwara yang baik, tidak seperti Liong-li yang sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada air mukanya. Ingin Pangeran Souw Han berteriak menolak usul itu, akan tetapi dia segera teringat akan rahasia Liong-li, maka diapun berkata dengan suara gelisah.

“Ah, kakanda Souw Cun, bagaimana mungkin aku dapat menukarnya dengan wanita lain? Ingat, kakanda, Siauw Cu ini adalah hadiah dari Ibunda Permaisuri dan aku... aku suka sekali padanya.”

Tiba-tiba Liong-li menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Han sambil menangis, menutupi mukanya dengan ujung lengan bajunya yang lebar panjang dan suaranya terdengar penuh isak ketika ia berkata, “Pangeran, hamba... hamba lebih baik mati kalau harus meninggalkan paduka...”

Diam-diam Pangeran Souw Han menjadi semakin kagum. Dia tahu bahwa Liong-li hanya bersandiwara, akan tetapi sandiwara itu dimainkannya dengan demikian cemerlang sehingga dia sendiripun sedikit juga tidak akan menyangka bahwa wanita itu berpura-pura. Maka, diapun memandang kepada Pangeran Souw Cun.

“Kakanda Pangeran, kakanda lihat sendiri. Kami sudah saling mencinta. Tidak ada wanita yang dapat menggantikannya. Aku hanya menghendaki Siauw Cu ini, bukan wanita lain.”

“Hem, benarkah itu?”

Ketika Liong-li mengerling dari sudut matanya yang ia tutupi dengan tangan, ia melihat betapa sinar mata Pangeran Souw Cun penuh kecurigaan dan selidik. Sungguh seorang pangeran yang berbahaya, pikirnya, dan ia mulai menduga bahwa maksud pangeran itu menghalangi ia diselir Pangeran Souw Han bukan semata karena cemburu atau iri, bukan semata karena pangeran itu sendiri menginginkan dirinya. Mungkin ada alasan lain, yaitu mencurigainya!

“Ah, jangan-jangan engkau kena dipengaruhi guna-guna adikku.”

“Tidak, kakanda. Aku memang cinta padanya, bukan hanya karena wajahnya, melainkan karena sikapnya, juga ia pandai bermain yang-kim, pandai bernyanyi dan mungkin masih memiliki beberapa macam kepandaian lagi yang belum kuketahui. Tentang usia dan tentang bukan perawan, aku tidak perduli!”

“Hemm, banyak kepandaiannya, ya? Eh, Siauw Cu, apakah engkau juga pandai ilmu silat?”

“Ah, kakanda!” seru Pangeran Souw Han, terkejut dan kekagetannya ini memang bukan pura-pura. “Bagaimana seorang wanita lembut seperti Siauw Cu ini pandai ilmu silat? Kalau menari mungkin ia dapat. Bukankah begitu, Siauw Cu?”

Liong-li yang sudah menghapus air matanya kini memandang kepada Pangeran Souw Han dengan sinar mata yang jelas membayangkan kasih sayang besar. “Kalau untuk paduka... apapun akan hamba lakukan, Pangeran. Hamba pernah mempelajari ilmu menari...”