Si Bayangan Iblis Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

“TUTUP pintu ruangan ini dan jaga yang rapat. Jangan biarkan siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar sendiripun sebelum kuberi ijin masuk!” teriak sang permaisuri dengan marah sekali sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.

Mana mungkin sang permaisuri memerintahkan pengawalnya untuk melarang kaisar sendiri? Hal itu hanya menunjukkan betapa besar kemarahannya. Setelah pintu ditutup kembali, kini yang berada di ruangan itu hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang pengawal pribadi gadis kembar dan Liong-li. Kini Bu Cek Thian menyandarkan diri di kursinya dan menarik napas panjang.

“Menyebalkan, sungguh menyebalkan. Anak itu makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!” katanya seperti kepada dirinya sendiri.

“Yang Mulia, maaf pertanyaan hamba. Nampaknya... Pangeran Souw Cun kurang... Eh, kurang suka kepada paduka. Benarkah dugaan hamba?” tanya Liong-li dengan hati-hati.

Permaisuri itu memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan pintu. Dua orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela, memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di belakang sang permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat bahwa semua dalam keadaan terkunci dan aman, tidak ada orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.

Biarpun demikian, permaisuri itu masih menggapai kepada Liong-li agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu maju dan duduk bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.

“Siauw Cu, engkau telah kuangkat sebagai dayang pribadiku, juga pembantu dan pelindungku, membantu tugas kedua orang pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh mengetahui semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga.”

Liong-li merasa tidak enak. Ia tidak ingin mengetahui rahasia istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena adanya ia di istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan oleh Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana dan keluarga kaisar.

“Mohon paduka ingat bahwa tugas hamba adalah untuk menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba janjikan kepada Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis.”

“Hemm, Siauw Cu! Berapa kali engkau menekankan bahwa engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau bagaimana Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini? Akulah yang mendesak Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas ini kepadanya! Dan Kaisar telah menyerahkan kepadaku untuk mengatur semua penyelidikan ini sampai berhasil! Dengan demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga menjadi anak buahku. Mengerti?”

Diam-diam Liong-li terkejut. Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita tentang ini kepadanya. Ia belum pernah selama ini membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita yang demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang kekuasaan yang amat besar di istana, dan ia tidak akan merasa heran kalau wanita seperti ini dapat menguasai pula kaisar dan seluruh penghuni istana!

Akan tetapi, juga agaknya permaisuri ini menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu. Pertama ia pernah melihat thai-kam muda berkeliaran di waktu malam di daerah yang dihuni sang permaisuri, dan kedua, sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa pangeran itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan pemuda tampan yang menyamar sebagai dayang!

Dan melihat sinar mata tajam dan jalang dari permaisuri ini, Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini memiliki gairah nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar kamar sang kaisar! Ia sudah banyak mendengar tentang kehidupan para wanita di dalam harem kaisar, banyak wanita yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan lemah pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja merasa tersiksa, tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka sehingga walaupun selalu dijaga ketat, mereka itu senantiasa mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka lewat penyelewengan.

“Hamba siap menerima perintah paduka dan mendengar semua keterangan dari paduka,” akhirnya ia berkata.

“Duduklah di atas kursi itu dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw Cu. Tidak enak bicara kalau engkau berlutut di situ.”

Siauw Cu atau Liong-li mentaati perintah ini dan ia sudah duduk di atas sebuah kursi yang diangkatnya dekat di depan sang permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan dekat, ia melihat bahwa wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini masih memiliki kulit muka, leher dan tangan yang putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu terhias rapi sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya mengkilap dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum.

Seorang wanita yang cantik dan pandai sekali merawat dirinya sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun saja! Entah bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak diketahui kapan akan menyerang, dan setiap serangannya mengandung cengkeraman. maut!

Dengan suara bisik-bisik, Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan hati Liong-li. Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diam-diam, kebencian dan persaingan yang mengerikan. Walaupun semua itu tidak nampak sama sekali, ditutup oleh sikap berkeluarga dan taat kepada kaisar!

“Engkau tentu tahu bahwa aku adalah Permaisuri, juga calon Ibu Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung, adalah seorang Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya, yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku sebagai putera mahkota, masih terdapat banyak lagi pangeran lain, juga puteri-puteri kaisar dan mantu-mantu kaisar.

“Mereka semua itu saling bersaing untuk mendapatkan kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil hati Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk saling melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka, tentu saja tidak di depan Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar terlalu sibuk dengan urusan negara sehingga tidak ada waktu lagi untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga sehingga keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam kekacauan ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhan-pembunuhan yang misterius itu.”

Permaisuri Bu Cek Thian menghela napas panjang dan ia nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li melihat wanita yang cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan lagi. “Akan tetapi, Yang mulia, apa hubungannya pembunuhan-pembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan Iblis itu dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?” Liong-li memancing.

“Memang tadinya kami menganggap bahwa itu hanya merupakan persaingan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi, semakin lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan keselamatan diriku sendiri terancam!”

Kini wajah permaisuri itu menjadi pucat dan hal ini tidak dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang tajam. “Pernahkah ada serangan yang ditujukan kepada paduka?”

Sang Permaisuri menjebikan bibir bawahnya yang merah dengan sikap menghina. “Mereka takkan mampu! Kalau saja mereka berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih ada lagi Bi Cu dan Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara mencurigakan di luar kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan itu melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia beracun yang agaknya tercecer.”

“Ah, kalau begitu menurut paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?”

Permaisuri itu menggeleng kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin pemimpinnya berada di istana, mungkin juga yang berkeliaran di istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu? Tugasmulah untuk menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang yang memperebutkan kedudukan dan mereka memiliki orang-orang yang berkepandaian tinggi.”

“Hamba yakin bahwa setidaknya pimpinan mereka, bahkan mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam istana, Yang Mulia.”

“Bagaimana engkau dapat yakin?”

“Cian Ciang-kun bukan seorang bodoh dan dia sudah menyebar para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah dapat menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa Si Bayangan Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang tidak dapat dimasuki para penyelidik, dan tempat seperti itu, di mana lagi kalau bukan dl istana? Dan setelah mendengar keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam istana induk, di bagian putera!”

“Hemm, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”

“Yang Mulia, kalau kepala penjahat itu berada di istana bagian puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos dari pengamatan paduka yang arif bijaksana?”

Bersinar sepasang mata yang indah itu karena ia yakin bahwa ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka. “Siauw Cu, engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan dugaanku, kalau Si Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam istana, tentu dia berada di bagian putera!”

“Hamba tahu dan yakin kebijaksanaan dan kecerdikan paduka. Apakah paduka telah menemukan orang yang paduka curigai, yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?”

Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Inilah yang membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang terdapat banyak orang yang pandai ilmu silat tinggi, namun mereka adalah hamba-hamba yang setia dan tidak mungkin mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku, tidak ada yang dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang mungkin bersembunyi di dalam istana.”

“Dia mungkin saja menyamar, Yang Mulia. Mungkin menyamar sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan, tukang kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau anggauta keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan pendapat hamba ini.”

“Tidak mengapa, Siauw Cu. Memang pendapatmu itu masuk di akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat membongkar rahasia ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam istana induk bagian pria.”

Berdebar rasa jantung Liong-li mendengar ini. “Akan tetapi. Yang Mulia. Bagaimana mungkin? Hamba seorang wanita dan...”

“Aku tahu. Engkau wanita dan cantik jelita lagi masih muda. Tak mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar, karena engkau terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus masuk ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir...”

“Tapi...!” Liong-li terkejut.

“Menjadi selir Sribaginda tidak mungkin karena hal itu tentu akan menyolok dan menarik perhatian. Akan tetapi menjadi dayangpun engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap perajurit pengawalpun akan berani menggoda dan mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang pangeran baru engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta agar engkau dijadikan selirnya yang baru?”

Liong-li bergidik. Ia akan dengan senang hati dan suka rela menyerahkan badannya kepada pria yang disukanya, dan ia sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita ini bukan sekedar ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong membenci kepada pangeran itu yang dianggapnya membayangkan kepalsuan dan kekejian.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba... hamba mengabdikan diri dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh hamba. Hamba... tidak suka menjadi selir pangeran itu...” lalu disambungnya oepat, “Hamba tidak akan menyerahkan diri kepada pria manapun yang tidak hamba sukai...”

Tadinya Liong-li merasa khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan marah akan tetapi ternyata tidak. Permaisuri Bu Cek Thian tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia menoleh ke belakang.

“Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu ini seorang wanita gagah yang bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu. Kalau engkau tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku percaya, seorang pangeran yang baik sekali dan kalau engkau tidak menghendaki, aku yakin dia tidak akan suka menyentuhmu.”

Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran, yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela?

Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius, dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.

“Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?”

“Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu.”

“Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya? Tentu beliau akan menolak.”

“Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat sopan dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?”

Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau curiga kepada hamba?”

“Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han tidak mau mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan kepadanya bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi kepadamu.”

“Baiklah kalau begitu, Yang Mulia.”

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode si bayangan iblis jilid 11 karya kho ping hoo

Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, namun sikapnya demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang mengundangnya.

Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan dada.

“Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat dan bahagia selalu,” katanya. Ucapannya juga lembut dan halus, dengan kata-kata yang indah.

Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan Sang Permaisuri itu.

Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.

Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi. Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.

Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.

Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung, sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu memang merah karena segar dan sehat.

Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-benar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang demikian tampannya! Seperti gambar saja!

“Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu? Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan seni.”

“Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari.”

“Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting sekali.”

Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.

“Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?“

“Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong aku?”

“Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera paduka, Ibunda.”

Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar, akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.

“Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?”

Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu. “Ibunda Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para petugas keamanan.”

“Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu tertangkap?”

Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan nampak indah. “Ibunda Yang Mulia, bagaimana seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang penjahat yang demikian lihainya?”

“Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!” Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk dengan kepala tunduk.

“Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu. Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis, bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk, dibagian putera...”

“Ehhh? Jadi menurut Ibunda... Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?” Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.

“Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa.”

“Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?”

“Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!”

“Ahh...!” Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.

“Bagaimana mungkin, Ibunda? Paduka mengerti bahwa hamba... hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir...! Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran lain yang mempunyai banyak selir?”

Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala. “Aku tidak percaya kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu.”

“Tapi tapi ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu. Akan tetapi selir? Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah mempunyai lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak mencurigakan.”

“Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu, tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain.”

“Tapi... tapi... Ibunda...”

“Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!

“Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini adalah seorang pendekar wanita.

“Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria. Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir, menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?”

Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya, diapun kagum.

“Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati oleh para pangeran lainnya.” Kemudian ditambahkannya sambil mengerling ke arah Liong-li, “Dan asal saja ia tidak menganggu pelajaran hamba!”

Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang pangeran itu dan berkata. “Harap paduka tenangkan hati, Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau mengganggu paduka sedetikpun!”

Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata harimau di malam hari!

“Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu.”

Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm, tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.

Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar, tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm... jantungnya berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga dirinya sendiri.

Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim, lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias, memandang kagum.

“Nona... sungguh cantik jelita...” kata dayang itu.

Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah bagaimana nasibnya kelak.

Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.

“Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu menjaga kecantikanmu itu,” kata Liong-li dan iapun bangkit setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw Han masih menantinya.

Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.

“Siauw Cu, sungguh... sudah kuduga... engkau cantik jelita sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita yang memiliki kecantikan luar biasa!”

Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa penasaran dan kecewa! Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.

“Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada nona... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu terganggu.”

Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja demikian.

“Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja dari istana ini!” katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.

Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut pernyataan Liong-li itu dengan gembira, “Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?”

“Sudah,” kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi “pengantar” Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw Han!

Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil. Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam barisan dua-dua yang rapi.

Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat, dari bagian puteri memasuki istana induk.

Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali tidak mau berdekatan dengan wanita!

Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari!

********************

Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh “suaminya” yang lemah lembut itu kepada beberapa orang dayang, ia merasa canggung bukan main.

Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya sebagai wanita.

Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh membuat ia merasa rendah diri.

Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu. Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!

Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam gelisah.

Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali, juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah, bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Pangeran,” ia memanggil lirih.

Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li menjadi semakin geli.

“Pangeran, saya... saya tidak ingin mengganggu paduka. Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal? Di mana kamar saya?”

“Di mana lagi?” Pangeran itu berkata, bukan menjawab melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing cemberutnya. “Aku tidak seperti para pangeran lain yang mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku, kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul, Pangeran Souw Han cemberut. Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar sekali kalau hanya untuk dua orang!

Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku, almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal. Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini muram dan mulut yang indah itu cemberut.

“Tempat tidurnya... hanya sebuah...?” Ia bertanya, hanya untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.

Pangeran itu mengangguk. “Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!”

“Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar sebelah saja, Pangeran.”

“Itu baik sekali!” Pangeran Souw Han berseru gembira sambil bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.

“Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku. Bagaimana mungkin seorang... selir tidur di kamar dayang? Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan marah kepadaku!”

“Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap keluar dan melakukan penyelidikan...”

“Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam kembali ke kamar ini...”

“Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu, di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas pembaringan paduka dan...”

Tiba-tiba pangeran itu bangkit berdiri dan memandang kepada Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut. “Siauw Cu! Kau kira aku ini orang apa?”

Liong-li terbelalak. “Paduka? Paduka seorang pangeran yang terhormat...”

“Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu engkau?”

Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah bicara.

“Dan kau kira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enak-enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu menghargai kaum wanita yang lemah?”

Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui segala kekagumannya! “Lalu... lalu... bagaimana maksud paduka? Saya... hamba... hanya menurut saja...”

“Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?” Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi mengandung perintah yang tidak mau dibantah.

Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!

“Aku yang akan tidur di atas lantai!”

Buyarlah semua renungan Liong-li dan ia terkejut lagi, memandang aneh. “Tapi... tapi... bagaimana mungkin hamba tidur di atas pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran... tidur dilantai...?” Liong-li benar-benar terkejut.

“Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa? Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik.”

Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis, hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang putera kaisar ia berkata, “Pangeran, paduka... paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang... hebat!”

Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan, “Hushh, jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu...?”

Si Bayangan Iblis Jilid 11

“TUTUP pintu ruangan ini dan jaga yang rapat. Jangan biarkan siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar sendiripun sebelum kuberi ijin masuk!” teriak sang permaisuri dengan marah sekali sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.

Mana mungkin sang permaisuri memerintahkan pengawalnya untuk melarang kaisar sendiri? Hal itu hanya menunjukkan betapa besar kemarahannya. Setelah pintu ditutup kembali, kini yang berada di ruangan itu hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang pengawal pribadi gadis kembar dan Liong-li. Kini Bu Cek Thian menyandarkan diri di kursinya dan menarik napas panjang.

“Menyebalkan, sungguh menyebalkan. Anak itu makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!” katanya seperti kepada dirinya sendiri.

“Yang Mulia, maaf pertanyaan hamba. Nampaknya... Pangeran Souw Cun kurang... Eh, kurang suka kepada paduka. Benarkah dugaan hamba?” tanya Liong-li dengan hati-hati.

Permaisuri itu memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan pintu. Dua orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela, memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di belakang sang permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat bahwa semua dalam keadaan terkunci dan aman, tidak ada orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.

Biarpun demikian, permaisuri itu masih menggapai kepada Liong-li agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu maju dan duduk bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.

“Siauw Cu, engkau telah kuangkat sebagai dayang pribadiku, juga pembantu dan pelindungku, membantu tugas kedua orang pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh mengetahui semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga.”

Liong-li merasa tidak enak. Ia tidak ingin mengetahui rahasia istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena adanya ia di istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan oleh Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana dan keluarga kaisar.

“Mohon paduka ingat bahwa tugas hamba adalah untuk menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba janjikan kepada Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis.”

“Hemm, Siauw Cu! Berapa kali engkau menekankan bahwa engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau bagaimana Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini? Akulah yang mendesak Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas ini kepadanya! Dan Kaisar telah menyerahkan kepadaku untuk mengatur semua penyelidikan ini sampai berhasil! Dengan demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga menjadi anak buahku. Mengerti?”

Diam-diam Liong-li terkejut. Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita tentang ini kepadanya. Ia belum pernah selama ini membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita yang demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang kekuasaan yang amat besar di istana, dan ia tidak akan merasa heran kalau wanita seperti ini dapat menguasai pula kaisar dan seluruh penghuni istana!

Akan tetapi, juga agaknya permaisuri ini menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu. Pertama ia pernah melihat thai-kam muda berkeliaran di waktu malam di daerah yang dihuni sang permaisuri, dan kedua, sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa pangeran itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan pemuda tampan yang menyamar sebagai dayang!

Dan melihat sinar mata tajam dan jalang dari permaisuri ini, Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini memiliki gairah nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar kamar sang kaisar! Ia sudah banyak mendengar tentang kehidupan para wanita di dalam harem kaisar, banyak wanita yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan lemah pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja merasa tersiksa, tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka sehingga walaupun selalu dijaga ketat, mereka itu senantiasa mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka lewat penyelewengan.

“Hamba siap menerima perintah paduka dan mendengar semua keterangan dari paduka,” akhirnya ia berkata.

“Duduklah di atas kursi itu dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw Cu. Tidak enak bicara kalau engkau berlutut di situ.”

Siauw Cu atau Liong-li mentaati perintah ini dan ia sudah duduk di atas sebuah kursi yang diangkatnya dekat di depan sang permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan dekat, ia melihat bahwa wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini masih memiliki kulit muka, leher dan tangan yang putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu terhias rapi sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya mengkilap dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum.

Seorang wanita yang cantik dan pandai sekali merawat dirinya sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun saja! Entah bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak diketahui kapan akan menyerang, dan setiap serangannya mengandung cengkeraman. maut!

Dengan suara bisik-bisik, Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan hati Liong-li. Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diam-diam, kebencian dan persaingan yang mengerikan. Walaupun semua itu tidak nampak sama sekali, ditutup oleh sikap berkeluarga dan taat kepada kaisar!

“Engkau tentu tahu bahwa aku adalah Permaisuri, juga calon Ibu Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung, adalah seorang Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya, yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku sebagai putera mahkota, masih terdapat banyak lagi pangeran lain, juga puteri-puteri kaisar dan mantu-mantu kaisar.

“Mereka semua itu saling bersaing untuk mendapatkan kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil hati Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk saling melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka, tentu saja tidak di depan Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar terlalu sibuk dengan urusan negara sehingga tidak ada waktu lagi untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga sehingga keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam kekacauan ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhan-pembunuhan yang misterius itu.”

Permaisuri Bu Cek Thian menghela napas panjang dan ia nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li melihat wanita yang cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan lagi. “Akan tetapi, Yang mulia, apa hubungannya pembunuhan-pembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan Iblis itu dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?” Liong-li memancing.

“Memang tadinya kami menganggap bahwa itu hanya merupakan persaingan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi, semakin lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan keselamatan diriku sendiri terancam!”

Kini wajah permaisuri itu menjadi pucat dan hal ini tidak dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang tajam. “Pernahkah ada serangan yang ditujukan kepada paduka?”

Sang Permaisuri menjebikan bibir bawahnya yang merah dengan sikap menghina. “Mereka takkan mampu! Kalau saja mereka berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih ada lagi Bi Cu dan Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara mencurigakan di luar kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan itu melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia beracun yang agaknya tercecer.”

“Ah, kalau begitu menurut paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?”

Permaisuri itu menggeleng kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin pemimpinnya berada di istana, mungkin juga yang berkeliaran di istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu? Tugasmulah untuk menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang yang memperebutkan kedudukan dan mereka memiliki orang-orang yang berkepandaian tinggi.”

“Hamba yakin bahwa setidaknya pimpinan mereka, bahkan mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam istana, Yang Mulia.”

“Bagaimana engkau dapat yakin?”

“Cian Ciang-kun bukan seorang bodoh dan dia sudah menyebar para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah dapat menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa Si Bayangan Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang tidak dapat dimasuki para penyelidik, dan tempat seperti itu, di mana lagi kalau bukan dl istana? Dan setelah mendengar keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam istana induk, di bagian putera!”

“Hemm, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”

“Yang Mulia, kalau kepala penjahat itu berada di istana bagian puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos dari pengamatan paduka yang arif bijaksana?”

Bersinar sepasang mata yang indah itu karena ia yakin bahwa ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka. “Siauw Cu, engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan dugaanku, kalau Si Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam istana, tentu dia berada di bagian putera!”

“Hamba tahu dan yakin kebijaksanaan dan kecerdikan paduka. Apakah paduka telah menemukan orang yang paduka curigai, yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?”

Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Inilah yang membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang terdapat banyak orang yang pandai ilmu silat tinggi, namun mereka adalah hamba-hamba yang setia dan tidak mungkin mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku, tidak ada yang dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang mungkin bersembunyi di dalam istana.”

“Dia mungkin saja menyamar, Yang Mulia. Mungkin menyamar sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan, tukang kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau anggauta keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan pendapat hamba ini.”

“Tidak mengapa, Siauw Cu. Memang pendapatmu itu masuk di akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat membongkar rahasia ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam istana induk bagian pria.”

Berdebar rasa jantung Liong-li mendengar ini. “Akan tetapi. Yang Mulia. Bagaimana mungkin? Hamba seorang wanita dan...”

“Aku tahu. Engkau wanita dan cantik jelita lagi masih muda. Tak mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar, karena engkau terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus masuk ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir...”

“Tapi...!” Liong-li terkejut.

“Menjadi selir Sribaginda tidak mungkin karena hal itu tentu akan menyolok dan menarik perhatian. Akan tetapi menjadi dayangpun engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap perajurit pengawalpun akan berani menggoda dan mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang pangeran baru engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta agar engkau dijadikan selirnya yang baru?”

Liong-li bergidik. Ia akan dengan senang hati dan suka rela menyerahkan badannya kepada pria yang disukanya, dan ia sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita ini bukan sekedar ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong membenci kepada pangeran itu yang dianggapnya membayangkan kepalsuan dan kekejian.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba... hamba mengabdikan diri dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh hamba. Hamba... tidak suka menjadi selir pangeran itu...” lalu disambungnya oepat, “Hamba tidak akan menyerahkan diri kepada pria manapun yang tidak hamba sukai...”

Tadinya Liong-li merasa khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan marah akan tetapi ternyata tidak. Permaisuri Bu Cek Thian tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia menoleh ke belakang.

“Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu ini seorang wanita gagah yang bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu. Kalau engkau tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku percaya, seorang pangeran yang baik sekali dan kalau engkau tidak menghendaki, aku yakin dia tidak akan suka menyentuhmu.”

Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran, yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela?

Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius, dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.

“Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?”

“Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu.”

“Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya? Tentu beliau akan menolak.”

“Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat sopan dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?”

Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau curiga kepada hamba?”

“Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han tidak mau mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan kepadanya bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi kepadamu.”

“Baiklah kalau begitu, Yang Mulia.”

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode si bayangan iblis jilid 11 karya kho ping hoo

Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, namun sikapnya demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang mengundangnya.

Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan dada.

“Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat dan bahagia selalu,” katanya. Ucapannya juga lembut dan halus, dengan kata-kata yang indah.

Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan Sang Permaisuri itu.

Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.

Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi. Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.

Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.

Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung, sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu memang merah karena segar dan sehat.

Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-benar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang demikian tampannya! Seperti gambar saja!

“Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu? Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan seni.”

“Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari.”

“Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting sekali.”

Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.

“Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?“

“Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong aku?”

“Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera paduka, Ibunda.”

Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar, akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.

“Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?”

Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu. “Ibunda Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para petugas keamanan.”

“Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu tertangkap?”

Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan nampak indah. “Ibunda Yang Mulia, bagaimana seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang penjahat yang demikian lihainya?”

“Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!” Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk dengan kepala tunduk.

“Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu. Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis, bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk, dibagian putera...”

“Ehhh? Jadi menurut Ibunda... Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?” Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.

“Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa.”

“Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?”

“Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!”

“Ahh...!” Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.

“Bagaimana mungkin, Ibunda? Paduka mengerti bahwa hamba... hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir...! Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran lain yang mempunyai banyak selir?”

Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala. “Aku tidak percaya kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu.”

“Tapi tapi ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu. Akan tetapi selir? Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah mempunyai lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak mencurigakan.”

“Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu, tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain.”

“Tapi... tapi... Ibunda...”

“Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!

“Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini adalah seorang pendekar wanita.

“Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria. Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir, menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?”

Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya, diapun kagum.

“Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati oleh para pangeran lainnya.” Kemudian ditambahkannya sambil mengerling ke arah Liong-li, “Dan asal saja ia tidak menganggu pelajaran hamba!”

Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang pangeran itu dan berkata. “Harap paduka tenangkan hati, Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau mengganggu paduka sedetikpun!”

Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata harimau di malam hari!

“Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu.”

Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm, tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.

Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar, tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm... jantungnya berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga dirinya sendiri.

Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim, lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias, memandang kagum.

“Nona... sungguh cantik jelita...” kata dayang itu.

Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah bagaimana nasibnya kelak.

Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.

“Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu menjaga kecantikanmu itu,” kata Liong-li dan iapun bangkit setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw Han masih menantinya.

Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.

“Siauw Cu, sungguh... sudah kuduga... engkau cantik jelita sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita yang memiliki kecantikan luar biasa!”

Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa penasaran dan kecewa! Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.

“Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada nona... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu terganggu.”

Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja demikian.

“Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja dari istana ini!” katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.

Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut pernyataan Liong-li itu dengan gembira, “Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?”

“Sudah,” kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi “pengantar” Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw Han!

Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil. Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam barisan dua-dua yang rapi.

Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat, dari bagian puteri memasuki istana induk.

Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali tidak mau berdekatan dengan wanita!

Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari!

********************

Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh “suaminya” yang lemah lembut itu kepada beberapa orang dayang, ia merasa canggung bukan main.

Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya sebagai wanita.

Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh membuat ia merasa rendah diri.

Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu. Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!

Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam gelisah.

Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali, juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah, bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Pangeran,” ia memanggil lirih.

Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li menjadi semakin geli.

“Pangeran, saya... saya tidak ingin mengganggu paduka. Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal? Di mana kamar saya?”

“Di mana lagi?” Pangeran itu berkata, bukan menjawab melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing cemberutnya. “Aku tidak seperti para pangeran lain yang mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku, kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul, Pangeran Souw Han cemberut. Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar sekali kalau hanya untuk dua orang!

Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku, almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal. Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini muram dan mulut yang indah itu cemberut.

“Tempat tidurnya... hanya sebuah...?” Ia bertanya, hanya untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.

Pangeran itu mengangguk. “Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!”

“Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar sebelah saja, Pangeran.”

“Itu baik sekali!” Pangeran Souw Han berseru gembira sambil bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.

“Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku. Bagaimana mungkin seorang... selir tidur di kamar dayang? Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan marah kepadaku!”

“Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap keluar dan melakukan penyelidikan...”

“Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam kembali ke kamar ini...”

“Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu, di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas pembaringan paduka dan...”

Tiba-tiba pangeran itu bangkit berdiri dan memandang kepada Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut. “Siauw Cu! Kau kira aku ini orang apa?”

Liong-li terbelalak. “Paduka? Paduka seorang pangeran yang terhormat...”

“Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu engkau?”

Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah bicara.

“Dan kau kira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enak-enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu menghargai kaum wanita yang lemah?”

Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui segala kekagumannya! “Lalu... lalu... bagaimana maksud paduka? Saya... hamba... hanya menurut saja...”

“Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?” Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi mengandung perintah yang tidak mau dibantah.

Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!

“Aku yang akan tidur di atas lantai!”

Buyarlah semua renungan Liong-li dan ia terkejut lagi, memandang aneh. “Tapi... tapi... bagaimana mungkin hamba tidur di atas pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran... tidur dilantai...?” Liong-li benar-benar terkejut.

“Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa? Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik.”

Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis, hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang putera kaisar ia berkata, “Pangeran, paduka... paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang... hebat!”

Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan, “Hushh, jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu...?”