Si Bayangan Iblis Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DERAP kaki kuda yang berlari congklang memecah kesunyian pagi itu di luar kota Lok-yang. Hari masih terlalu pagi dan hawa udara dinginnya bukan main, membuat para petani yang biasa bangun pagi, merasa malas untuk meninggalkan rumahnya, terutama sekali meninggalkan api unggun atau perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan menyamankan badan.

Musim semi menjelang tiba dan hawa dingin musim lalu masih tertinggal. Demikian dinginnya hawa udara pagi itu sehingga para ibu rumah tangga yang hendak memasak sesuatu dengan minyak, harus lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena minyaknya telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka banyak orang dusun di dalam rumah mereka merasa heran dan kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini dingin menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan dinginnya bagi si penunggang.

Memang penunggang kuda itu patut dikagumi. Dia seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun. Orangnya sungguh patut menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria itu berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang bidang. Dia menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus, pinggangnya bergerak lemas sesuai dengan larinya kuda yang congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah diketahui bahwa dia seorang ahli menunggang kuda.

Pakaiannya seperti pakaian orang kota, tidak pesolek, namun pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan nampak bersih, bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut kepalanya. Wajah pria ini sungguh mengesankan sebagai seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.

Wajah itu bentuknya hampir persegi karena dagunya yang siku dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu nampak keras dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu membayangkan senyum penuh pengertian, dan kadang giginya nampak berkilat putih dan berjajar rapi.

Di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis, juga lebat akan tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang dibiarkan tumbuh hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi dan ujungnya mancung. Sepasang matanya lebar dan hampir bulat dengan sinar yang tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi sepasang alis yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali.

Rambutnya juga hitam dan lebat, digelung ke atas dan diikat dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini lebih tepat disebut jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan akan menjadi terguncang dan tertarik.

Kini dia dan kudanya sudah meninggalkan dusun dan kota Lok-yang yang berada di balik bukit kecil di depan yang nampak dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk berlari cepat mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu, kembali dia membiarkan kudanya berjalan seenaknya. Masih terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu tergesa-gesa.

Tiba-tiba, di bagian yang agak terbuka dari hutan itu, dia melihat dua orang berloncatan keluar dari balik batang pohon. Dua orang laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis itu, berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak nyaring.

“Berhenti!!”

Pria itu menahan kudanya dan memandang kepada kedua orang yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan tetapi sinar matanya penuh teguran. “Hemm, siapakah kalian dan mengapa pula menahan perjalananku?”

“Tak perlu banyak cakap!” bentak orang kedua yang matanya sipit sekali. “Turun dari kudamu dan berikan kuda itu kepada kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!”

“Ehh? Kuda ini adalah kudaku sendiri, kenapa harus diberikan kepada kalian?”

“Cerewet benar kau! Turun, atau kami harus memaksamu? Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari pada menyerahkan kuda?” bentak orang pertama yang bermuka hitam.

Kini sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar keras dan sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut. “Hemm, kiranya kalian ini adalah dua orang perampok, ya? Tidak tahukah kalian bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa yang paling berat, dan sejahat-jahatnya perampok, merampok kuda juga dapat dihukum berat, dihukum mati?”

Dua orang perampok itu menjadi marah. Mereka saling pandang dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban yang banyak cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua orang perampok itu menyerbu ke depan. Akan tetapi pria yang gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil menepuk leher kudanya.

“Hek-ma (Kuda Hitam), hajar dua ekor anjing ini!”

Kuda tinggi hesar yang disebut Hek-ma itu tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah dua orang itu! Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan main. Mereka berlompatan ke sisi untuk menghindar, akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki perkasa itu sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu terlempar dan golok mereka terpental. Mereka terlempar dan terbanting keras, lalu bangkit kembali dan lari pontang panting sambil terpincang-pincang!

Pria itu tertawa bergelak, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun mengeluarkan suara meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang terdidik baik dan agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.

Memang demikianlah, pria itu adalah seorang panglima yang amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui, akan tetapi lebih dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima muda dari pasukan keamanan di kota raja yang bertugas menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya, memberantas kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah, membikin terang perkara yang gelap dan dia lebih banyak dikenal sebagai seorang penyelidik yang ulung dari pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota raja.

Sebelum menduduki jabatannya yang sekarang, Cian Ciang-kun adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang terkenal gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu, ketika dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira, bersama pasukannya membasmi pemberontakan di daerah utara, terjadilah malapetaka menimpa keluarganya.

Isteri dan anak tunggalnya yang baru berusia dua belas tahun, ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk menengok keluarga, dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas. Isteri dan anak Cian Ciang-kun juga tewas!

Setelah mendengar akan malapetaka ini, Cian Hui segera menghadap atasannya dan dia mohon agar diperbolehkan bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi menjadi perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia akan keluar dari pekerjaannya untuk memberantas kejahatan seorang diri saja. Permintaannya dikabulkan dan mulailah Cian Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan pembasmi kejahatan yang gigih.

Setahun setelah dia menjadi seorang panglima pasukan keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap para penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan sekitarnya menjadi aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi karena setiap kali terjadi kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan berhenti menyelidik dan berusaha untuk menangkap penjahatnya dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika! Tanpa ampun darinya bagi para penjahat!

Demikianlah keadaan Cian Hui atau Cian Ciang-kun. Sampai sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan isteri dan anak tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia dalam menunai tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang tinggi besar dan kuat.

Para penjahat mengenal nama besar Cian Ciang-kun dan mereka semua tahu bahwa selain gigih menentang kejahatan, memiliki pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya, juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia selalu membawa pedang sebagai tanda pangkat dan juga sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia berpakaian preman, dia tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang terselip di pinggang dan tersembunyi dibalik bajunya.

Cian Ciang-kun mentertawakan dua orang perampok yang lari tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil yang tidak memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani mencoba untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri, pikirnya. Ketika dia hendak menjalankan lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat serombongan orang berlari ke arahnya dari depan. Belasan orang yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah dibuatnya lari tunggang langgang.

Mengertilah dia kini mengapa dua orang itu tadi berani merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan! Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya, Cian Ciang-kun khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia pun dengan sikap tenang namun cepat meloncat turun dari kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu, sedangkan dia sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacung-acungkan golok dengan sikap beringas itu.

Melihat betapa orang tinggi tegap itu kini meloncat turun dari kuda dan menyambut mereka dengan sikap tenang dan di tangannya tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi lebih berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.

“Tahan...!” Bentakan menggeledek dari Cian Ciang-kun mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu, biarpun dengan sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di depannya dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang berwibawa sekali dan mempengaruhi mereka.

“Aku adalah seorang yang kebetulan lewat di sini dan sedang menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan mengapa kalian mengganggu aku?”

Seorang yang bermuka berewok dan bertubuh tinggi besar, agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau. “Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!”

“Ah, begitukah? Akan tetapi, mereka itu hendak merampas kudaku!” Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan segerombolan perampok.

“Sekarang, bukan hanya kudamu yang harus diserahkan kepada kami, akan tetapi juga nyawamu!” bentak si berewok, lalu dia memberi komando kepada teman-temannya, “Keroyok dan bunuh dia!!”

Hujan senjata golok dan pedang menyambar dari segala jurusan. Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun bergerak, dia telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan senjata aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling itu ditiup dan terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental dan tiga orang pengeroyok terhuyung.

Cian Ciang-kun tidak mau dikepung di tengah. Dia membobol ke kiri dan menangkis tiga batang golok dengan sulingnya, membuat golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka sempat mengepung lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang bagaikan seekor garuda, dan yang diserangnya adalah si muka berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.

Si berewok memegang sebatang golok besar yang kelihatan berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya dengan totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Trangg...!” Golok itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan tangan perampok berewok itu. Dia terkejut setengah mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka menyerang Cian Ciang-kun.

Terpaksa perwira yang gagah perkasa ini memutar sulingnya menangkis dan kembali empat batang golok dan pedang terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang lagi. Pada saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah menyambarnya dari belakang. Cian Hui miringkan tubuhnya dan golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya menampar dengan kerasnya.

“Bukkk!!” Punggung si berewok terkena tamparan tangan kiri Cian Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Pingsan! Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok, menepang mereka yang tadi terpelanting, dan merekapun lari cerai berai ke hutan lebat.

Cian Hui tidak mengejar, hanya berdiri tegak sambil tertawa. Dia menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di atas batu, di dekat kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi pertempuran, bahkan sering dibawa berperang ketika Cian Ciang-kun masih memegang kedudukannya yang dahulu, maka menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi panik. Kuda itu tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba mendekatinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ada orang asing mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau mempergunakan kakinya untuk menyepak.

Cian Ciang-kun menarik napas panjang. Di mana-mana terdapat orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja bersikap lunak, tidak membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi terjadi di daerah kota raja, tentu dia akan bersikap lebih keras, mungkin dibunuhnya mereka atau setidaknya akan dilumpuhkan, ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa heran sekali.

Bagaimana di luar kota Lok-yang terdapat gerombolan perampok seperti itu? Bagaimana kewibawaan para pejabat Lok-yang? Dia mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat keamanan di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia berhak menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas keamanan dari kota raja yang mengenal dan dikenal semua pejabat pusat.

“Hemm, salahkah pendengaranku tentang Hek-liong-li?” katanya kepada dirinya sendiri.

Dia mendengar bahwa Hek-liong-li adalah seorang pendekar wanita, atau setidaknya seorang wanita yang menentang kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia kang-ouw.

Akan tetapi mengapa gerombolan yang hanya merupakan penjahat-penjahat kecil tadi, yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani beraksi di luar kota Lok-yang? Andaikata mereka itu berani menghadapi para petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hek-liong-li yang kabarnya amat keras dan tidak mengenal ampun terhadap penjahat?

“Jangan-jangan Hek-liong-li hanya namanya saja yang besar, akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar wanita biasa saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan tenaga datang ke sini...” berbagai dugaan timbul di dalam hati Cian Ciang-kun yang sudah bangkit lagi untuk melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi, kembali dia tertegun karena mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan dan seperti tadi, kembali dia melihat belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi. Timbul kemarahan di hatinya. Orang-orang keparat itu tidak tahu diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan bersikap lunak lagi. Dia akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh pemimpin mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!

Yang datang memang orang-orang tadi, akan tetapi di antara mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain hitam yang menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang untuk melihat, dan lubang hidung untuk bernapas. Tubuh dua orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun, para perampok itu mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut dikepung. Yang meloncat maju adalah seorang di antara dua orang berpakaian serba hitam berkedok hitam itu, yang tubuhnya lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang sudah menggerakkan pedangnya.

“Singgg...!” Nampak sinar berkelebat dan bunyi berdesing nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini lihai, terbukti dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat pedang itu terpental.

“Trangggg...!!!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan sekali ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika sulingnya bertemu dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun berseru kaget dan pedangnya terpental pula. Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang! Cian Hui memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat muka memandang.

Orang itu sudah melintangkan pedang di depan dada. Sebatang pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya tajam sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan teriakan melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat kilat dengan cara penyerangan pedang yang aneh karena dia memegang gagang pedang itu dengan kedua tangannya!

Bukan main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke samping untuk mengelak, pedang itu membuat gerakan melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah yang berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!

“Hemmm...!” Cian Ciang-kun kembali mengelak sambil menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak ingin diserang terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga kalinya membuat gerakan melengkung dengan pedangnya sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan serangan sulingnya yang menusuk ke arah mata orang itu.

Sepasang mata yang tajam mengintai dari balik ke dua lubang. Akan tetapi ternyata orang itupun dapat bergerak lincah sekali. Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan Cian Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke arah ubun-ubun kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu membalas dengan serangan pedangnya yang kadang-kadang dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua tangan itu.

Terjadilah perkelahian yang bukan main seru dan dahsyatnya. Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun harus diakui oleh Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya, juga silat pedang yang dimainkan dengan suling.

Ilmu silat yang dimainkan Cian Hui adalah ilmu silat keluarga Cian yang turun temurun, dari aliran utara bercampur dengan aliran pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari Shan-tung. Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan, memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang lincah dalam daya penyerangan.

Pertandingan itu sungguh amat seru dan setelah lewat limapuluh jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada dalam bahaya. Baru menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai seorang kawan yang juga berkedok, dan anak buah mereka ada belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi bahaya maut.

Hanya satu yang ditakuti di dunia ini, ialah melakukan perbuatan sesat! Selama dia berada di pihak yang benar, dia akan membela diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak mau memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengalahkan lawannya yang amat lihai itu. Agaknya, lawannya juga penasaran sekali dan dari gerakannya yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok itu marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua ditujukan untuk membunuhnya.

Tiba-tiba orang berkedok ke dua berkata, “Jangan bunuh dia! Kita membutuhkan dia hidup-hidup!”

Setelah berkata demikian, orang berkedok ke dua yang lebih besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam pertempuran dan diam-diam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang lebih gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua pedang yang digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu melindungi dirinya dengan ilmu silatnya yang amat kuat di segi pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai yang melindungi seluruh tubuhnya.

“Tempel sulingnya!” tiba-tiba orang ke dua itu berseru.

Orang pertama menggerakkan pedangnya dengan kuat, ditangkis oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut karena tiba-tiba, ketika sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling melekat! Dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah menyambar tengkuknya.

“Plakk!” Cian Hui roboh pingsan!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode si bayangan iblis jilid 01 karya kho ping hoo

Cian Hui merasa bahwa dia menunggang kuda, akan tetapi tidak duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia mencoba menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak berhasil dan tahulah dia bahwa kaki tangannya terbelenggu dan bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas kuda, diikat dengan perut kuda!

Dia membuka matanya perlahan, melirik ke kanan kiri dan diapun teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan! Mereka itu kini menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di tengah-tengah. Nampak pula olehnya dua orang berpakaian hitam dan berkedok, juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di antara mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega.

Tentu tidak ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin sudah ada tadi yang terbanting jatuh ketika mencoba untuk menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun karena melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia tidak, dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa.

Kalau mereka menawannya, berarti mereka menghendaki dia hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan mereka. Kata-kata mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan bahasa daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih besar tubuhnya, melarang kawannya membunuhnya karena mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa? Sukar menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka.

Bersabarlah engkau, katanya kepada dirinya sendiri. Nanti engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali yang membelenggu kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru karena dia merasa lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya lemas dan memejamkan kembali matanya.

Dia teringat akan tugasnya menuju ke Lok-yang. Mencari Hek-liong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar wanita itu, akan tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang cantik dan masih muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun.

Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li bersama seorang rekannya yang juga amat terkenal bernama atau berjuluk Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di antara para penjahat itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)!

Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li (Nona Naga Hitam) bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua, telah berhasil membasmi dan membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa!

Untuk menenangkan hati dan melewatkan waktu, Cian Hui melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang Hek-liong-li seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak menggambarkan wajah Hek-liong-li secara terperinci, hanya mengatakan bahwa wanita itu cantik. Tinggalnya di dalam kota Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah, dan pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan teratai dan di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri cantik menunggang seekor angsa.

Hanya itulah yang dia ketahui tentang Hek-liong-li yang kabarnya bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia dapat mengenai wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang bangsawan yang kabarnya melakukan korupsi karena gila judi sehingga masuk penjara dan tewas di dalam penjara.

Betapa Lie Kim Cu, ketika itu masih seorang gadis berusia enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong, seorang pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang. Kemudian, tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang tahu, tiba-tiba saja gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah muncul sebagai seorang wanita sakti pembasmi kejahatan!

Cian Ciang-kun, menghentikan lamunannya karena mereka telah berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat bahwa rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam hutan.

“Turunkan dia dan bawa ke kamar ruangan belakang!” kata si kedok hitam yang kurus.

Dua orang anggauta perampok segera menyeret tubuh Cian Hui turun dari atas punggung kuda. Begitu dia diturunkan dan berdiri dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda dan Si Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui, mencium-cium majikannya itu sambil meringkik-ringkik.

Dua orang anggauta perampok cepat menghampiri dan mereka mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi sambil meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka sampai tubuh kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dan mengaduh-aduh karena tulang iga mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang, akan tetapi lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.

“Tenangkan kuda itu, kalau tidak akan kami bunuh!” tiba-tiba si kedok hitam yang besar berkata kepada Cian Hui.

Cian Ciang-kun khawatir kalau sampai kudanya dibunuh, maka diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang tadinya tinggi lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang, dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan ekornya dan tidak membantah atau meronta ketika seorang anggauta perampok memegang kendali dan menuntunnya.

Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita yang usianya sekitar tiga puluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan orang kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan keduanya membawa keranjang kecil yang berisi beberapa macam daun obat. Di punggung mereka tergantung sebatang pedang.

“Heii, apa yang telah terjadi di sini?” tanya si baju hijau yang mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.

“Kenapa orang ini dibelenggu? Kalian ini siapa?” tanya yang berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.

Melihat munculnya dua orang wanita yang cantik itu, para anggauta perampok saling pandang dan mereka menyeringai. “Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita yang memang sedang kelaparan!”

“Tangkap mereka dan malam ini kita berpesta!”

“Aduh manisnya! Siapa yang lebih dulu menangkapnya, dia yang berhak mendapat bagian pertama!”

Bermacam-macam ucapan mereka yang nadanya menggoda, kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok hitam itu hanya diam saja, memandang dari samping. Dua orang wanita itu mengerutkan alisnya, dan mata mereka yang jeli mengeluarkan sinar marah.

“Enci, mereka ini tentu penjahat-penjahat yang pantas dibasmi. Mari kita hajar mereka!” bentak si baju kuning.

Akan tetapi, belasan perampok kasar itu, yang sudah terbiasa melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang kepada kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala perampok inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani dan beramai-ramai belasan orang itu mengepung dua orang wanita itu, seperti segerombolan srigala mengepung dua ekor domba muda yang lunak dagingnya.

Akan tetapi, dua orang wanita itu sama sekali bukan dua ekor domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua ekor harimau muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan hijau dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang tangan dengan rakus hendak menerkam. Begitu dua orang wanita itu menampar dan menendang, para perampok itu mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan!

Terkejutlah si berewok melihat betapa belasan orang anak buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan dan tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan golok besarnya diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia disambut oleh wanita baju hijau yang sudah mencabut pedang dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara si berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih mengamuk dikeroyok oleh para perampok.

Diam-diam Cian Hui menjadi kagum. Dua orang wanita yang manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya membawa keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas dan ilmu silat mereka lihai juga! “Nona-nona, hati-hati, si kedok hitam itu lihai sekali!” teriaknya ketika melihat betapa dua orang berkedok itu melangkah maju.

“Kalian mundur semua!” bentak si Kedok Hitam yang bertubuh kurus.

Para perampok, juga kepala perampok berewok, berloncatan mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu menerjang maju dengan tangan kosong.

Si baju kuning menangkis pukulan si kedok hitam dan ia mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan marah ia mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan pedang mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan ganas. Dua orang berkedok itupun sudah mengeluarkan senjata mereka, pedang yang agak melengkung dan bergagang panjang dan lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua orang gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main mundur, hanya mampu mengelak dan menangkis saja.

Melihat ini, Cian Hui merasa khawatir bukan main. Dua orang wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka kalau sampai mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam dan merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu merasa menyesal karena dialah yang menjadi penyebabnya.

“Heii, dua orang sobat berkedok!” teriaknya lantang. “Tidak malukah kalian menyerang dua orang gadis yang sama sekali tidak bersalah? Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan hayo lepaskan aku, biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!”

Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, namun Cian Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke atas dan tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan dari atas, tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki yang terbelenggu lebih dahulu. Diapun berseru. “Nona-nona, larilah kalian!”

Dua orang berkedok itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu masih mampu melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja serangan itu tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke samping dan begitu tubuh Cian Ciang-kun turun, mereka menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap oleh beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke dalam bangunan bekas kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk berloncatan dun melarikan dini.

Dua orang berkedok hitam mencoba untuk melakukan pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu, seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohon-pohon dan semak-semak di situ. Sebentar saja kedua nona itu sudah lenyap. Dua orang berkedok hitam, tidak berani mengejar terus. Mereka kurang begitu hafal akan keadaan di hutan itu dan mereka maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh semak belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke kuil tua dan membiarkan dua orang gadis itu lolos.

********************

Rumah di sudut barat kota Lok-yang itu masih baru. Mungil dan indah bentuknya, memiliki pekarangan yang luas di bagian depan dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam ikan penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali. Arca puteri cantik menunggang angsa amat halus pahatannya, dengan sikap manja puteri itu merangkul leher angsa yang panjang seperti membelai seorang kekasih.

Di sekeliling kolam tumbuh bunga-bunga mawar beraneka warna, sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa di pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan biru yang mungil berada di bawah pohon-pohon yang rindang. Sungguh pekarangan itu membuat orang akan merasa betah berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar dan diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih.

Jendela dan pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garis-garis merah. Manis sekali, akan tetapi juga menimbulkan kesan anggun. Dan melihat bentuk atapnya yang nampak dari luar, rumah itu tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas pekarangan rumah itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang tingginya tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi ujung tombak-tombak meruncing yang dicat merah.

Semua penghuni kota Lok-yang, tua muda, laki perampuan, tahu belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat tinggal Liong-li (Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap (Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan mengaguminya, juga para pejahat karena wanita perkasa itu dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan yang gigih.

Pengaruh Liong-li terhadap para penjahat lebih besar dari pada pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu tinggal di situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi anak buahnya, pelayannya, juga pembantunya.

Sembilan orang wanita itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai karena mereka digembleng sendiri oleh Liong-li. Merekapun semuanya manis-manis, berusia antara tiga puluh tahunan dan mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan baju cerah berkembang dengan warna-warna menyolok. Ada yang merah, hijau, kuning, biru dan sebagainya, tidak ada yang sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di pekarangan depan rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang besar beraneka warna menambah semarak pekarangan itu.

Akan tetapi pada siang hari itu, setelah dari luar nampak masuk dua orang di antara. mereka yang berpakaian hijau dan kuning, terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di taman belakang atau di pekarangan, segera memasuki rumah. Suara keleningan nyaring merdu itu adalah tanda bahwa mereka dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat penting.

Mereka berada di sebelah dalam rumah, di ruangan belakang yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak terdapat banyak perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu terdapat pula sebuah rak berisi segala macam senjata. Lantainya bersih, temboknya bersih dan hawanya cukup karena ruangan ini mempunyai banyak jendela yang dibiarkan terbuka, jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.

Sebuah lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang amat baik. Bukan hanya merupakan ruangan latihan silat, juga tempat ini dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan rapat dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum mereka berkumpul di situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua pintu luar dan samping dan belakang sehingga tidak akan ada orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang mereka percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.

Padahal, mereka tidak pernah merasa khawatir akan ada orang luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu dipasangi banyak perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada mereka apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia dipasang nona mereka. Salah injak lantai saja akan menimbulkan bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang halus dengan kaki saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam lubang di bawah tanah dan banyak macam lagi...

Si Bayangan Iblis Jilid 01

DERAP kaki kuda yang berlari congklang memecah kesunyian pagi itu di luar kota Lok-yang. Hari masih terlalu pagi dan hawa udara dinginnya bukan main, membuat para petani yang biasa bangun pagi, merasa malas untuk meninggalkan rumahnya, terutama sekali meninggalkan api unggun atau perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan menyamankan badan.

Musim semi menjelang tiba dan hawa dingin musim lalu masih tertinggal. Demikian dinginnya hawa udara pagi itu sehingga para ibu rumah tangga yang hendak memasak sesuatu dengan minyak, harus lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena minyaknya telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka banyak orang dusun di dalam rumah mereka merasa heran dan kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini dingin menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan dinginnya bagi si penunggang.

Memang penunggang kuda itu patut dikagumi. Dia seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun. Orangnya sungguh patut menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria itu berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang bidang. Dia menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus, pinggangnya bergerak lemas sesuai dengan larinya kuda yang congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah diketahui bahwa dia seorang ahli menunggang kuda.

Pakaiannya seperti pakaian orang kota, tidak pesolek, namun pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan nampak bersih, bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut kepalanya. Wajah pria ini sungguh mengesankan sebagai seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.

Wajah itu bentuknya hampir persegi karena dagunya yang siku dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu nampak keras dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu membayangkan senyum penuh pengertian, dan kadang giginya nampak berkilat putih dan berjajar rapi.

Di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis, juga lebat akan tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang dibiarkan tumbuh hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi dan ujungnya mancung. Sepasang matanya lebar dan hampir bulat dengan sinar yang tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi sepasang alis yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali.

Rambutnya juga hitam dan lebat, digelung ke atas dan diikat dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini lebih tepat disebut jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan akan menjadi terguncang dan tertarik.

Kini dia dan kudanya sudah meninggalkan dusun dan kota Lok-yang yang berada di balik bukit kecil di depan yang nampak dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk berlari cepat mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu, kembali dia membiarkan kudanya berjalan seenaknya. Masih terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu tergesa-gesa.

Tiba-tiba, di bagian yang agak terbuka dari hutan itu, dia melihat dua orang berloncatan keluar dari balik batang pohon. Dua orang laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis itu, berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak nyaring.

“Berhenti!!”

Pria itu menahan kudanya dan memandang kepada kedua orang yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan tetapi sinar matanya penuh teguran. “Hemm, siapakah kalian dan mengapa pula menahan perjalananku?”

“Tak perlu banyak cakap!” bentak orang kedua yang matanya sipit sekali. “Turun dari kudamu dan berikan kuda itu kepada kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!”

“Ehh? Kuda ini adalah kudaku sendiri, kenapa harus diberikan kepada kalian?”

“Cerewet benar kau! Turun, atau kami harus memaksamu? Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari pada menyerahkan kuda?” bentak orang pertama yang bermuka hitam.

Kini sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar keras dan sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut. “Hemm, kiranya kalian ini adalah dua orang perampok, ya? Tidak tahukah kalian bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa yang paling berat, dan sejahat-jahatnya perampok, merampok kuda juga dapat dihukum berat, dihukum mati?”

Dua orang perampok itu menjadi marah. Mereka saling pandang dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban yang banyak cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua orang perampok itu menyerbu ke depan. Akan tetapi pria yang gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil menepuk leher kudanya.

“Hek-ma (Kuda Hitam), hajar dua ekor anjing ini!”

Kuda tinggi hesar yang disebut Hek-ma itu tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah dua orang itu! Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan main. Mereka berlompatan ke sisi untuk menghindar, akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki perkasa itu sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu terlempar dan golok mereka terpental. Mereka terlempar dan terbanting keras, lalu bangkit kembali dan lari pontang panting sambil terpincang-pincang!

Pria itu tertawa bergelak, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun mengeluarkan suara meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang terdidik baik dan agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.

Memang demikianlah, pria itu adalah seorang panglima yang amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui, akan tetapi lebih dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima muda dari pasukan keamanan di kota raja yang bertugas menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya, memberantas kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah, membikin terang perkara yang gelap dan dia lebih banyak dikenal sebagai seorang penyelidik yang ulung dari pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota raja.

Sebelum menduduki jabatannya yang sekarang, Cian Ciang-kun adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang terkenal gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu, ketika dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira, bersama pasukannya membasmi pemberontakan di daerah utara, terjadilah malapetaka menimpa keluarganya.

Isteri dan anak tunggalnya yang baru berusia dua belas tahun, ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk menengok keluarga, dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas. Isteri dan anak Cian Ciang-kun juga tewas!

Setelah mendengar akan malapetaka ini, Cian Hui segera menghadap atasannya dan dia mohon agar diperbolehkan bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi menjadi perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia akan keluar dari pekerjaannya untuk memberantas kejahatan seorang diri saja. Permintaannya dikabulkan dan mulailah Cian Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan pembasmi kejahatan yang gigih.

Setahun setelah dia menjadi seorang panglima pasukan keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap para penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan sekitarnya menjadi aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi karena setiap kali terjadi kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan berhenti menyelidik dan berusaha untuk menangkap penjahatnya dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika! Tanpa ampun darinya bagi para penjahat!

Demikianlah keadaan Cian Hui atau Cian Ciang-kun. Sampai sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan isteri dan anak tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia dalam menunai tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang tinggi besar dan kuat.

Para penjahat mengenal nama besar Cian Ciang-kun dan mereka semua tahu bahwa selain gigih menentang kejahatan, memiliki pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya, juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia selalu membawa pedang sebagai tanda pangkat dan juga sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia berpakaian preman, dia tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang terselip di pinggang dan tersembunyi dibalik bajunya.

Cian Ciang-kun mentertawakan dua orang perampok yang lari tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil yang tidak memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani mencoba untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri, pikirnya. Ketika dia hendak menjalankan lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat serombongan orang berlari ke arahnya dari depan. Belasan orang yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah dibuatnya lari tunggang langgang.

Mengertilah dia kini mengapa dua orang itu tadi berani merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan! Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya, Cian Ciang-kun khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia pun dengan sikap tenang namun cepat meloncat turun dari kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu, sedangkan dia sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacung-acungkan golok dengan sikap beringas itu.

Melihat betapa orang tinggi tegap itu kini meloncat turun dari kuda dan menyambut mereka dengan sikap tenang dan di tangannya tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi lebih berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.

“Tahan...!” Bentakan menggeledek dari Cian Ciang-kun mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu, biarpun dengan sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di depannya dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang berwibawa sekali dan mempengaruhi mereka.

“Aku adalah seorang yang kebetulan lewat di sini dan sedang menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan mengapa kalian mengganggu aku?”

Seorang yang bermuka berewok dan bertubuh tinggi besar, agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau. “Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!”

“Ah, begitukah? Akan tetapi, mereka itu hendak merampas kudaku!” Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan segerombolan perampok.

“Sekarang, bukan hanya kudamu yang harus diserahkan kepada kami, akan tetapi juga nyawamu!” bentak si berewok, lalu dia memberi komando kepada teman-temannya, “Keroyok dan bunuh dia!!”

Hujan senjata golok dan pedang menyambar dari segala jurusan. Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun bergerak, dia telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan senjata aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling itu ditiup dan terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental dan tiga orang pengeroyok terhuyung.

Cian Ciang-kun tidak mau dikepung di tengah. Dia membobol ke kiri dan menangkis tiga batang golok dengan sulingnya, membuat golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka sempat mengepung lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang bagaikan seekor garuda, dan yang diserangnya adalah si muka berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.

Si berewok memegang sebatang golok besar yang kelihatan berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya dengan totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Trangg...!” Golok itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan tangan perampok berewok itu. Dia terkejut setengah mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka menyerang Cian Ciang-kun.

Terpaksa perwira yang gagah perkasa ini memutar sulingnya menangkis dan kembali empat batang golok dan pedang terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang lagi. Pada saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah menyambarnya dari belakang. Cian Hui miringkan tubuhnya dan golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya menampar dengan kerasnya.

“Bukkk!!” Punggung si berewok terkena tamparan tangan kiri Cian Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Pingsan! Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok, menepang mereka yang tadi terpelanting, dan merekapun lari cerai berai ke hutan lebat.

Cian Hui tidak mengejar, hanya berdiri tegak sambil tertawa. Dia menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di atas batu, di dekat kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi pertempuran, bahkan sering dibawa berperang ketika Cian Ciang-kun masih memegang kedudukannya yang dahulu, maka menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi panik. Kuda itu tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba mendekatinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ada orang asing mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau mempergunakan kakinya untuk menyepak.

Cian Ciang-kun menarik napas panjang. Di mana-mana terdapat orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja bersikap lunak, tidak membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi terjadi di daerah kota raja, tentu dia akan bersikap lebih keras, mungkin dibunuhnya mereka atau setidaknya akan dilumpuhkan, ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa heran sekali.

Bagaimana di luar kota Lok-yang terdapat gerombolan perampok seperti itu? Bagaimana kewibawaan para pejabat Lok-yang? Dia mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat keamanan di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia berhak menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas keamanan dari kota raja yang mengenal dan dikenal semua pejabat pusat.

“Hemm, salahkah pendengaranku tentang Hek-liong-li?” katanya kepada dirinya sendiri.

Dia mendengar bahwa Hek-liong-li adalah seorang pendekar wanita, atau setidaknya seorang wanita yang menentang kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia kang-ouw.

Akan tetapi mengapa gerombolan yang hanya merupakan penjahat-penjahat kecil tadi, yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani beraksi di luar kota Lok-yang? Andaikata mereka itu berani menghadapi para petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hek-liong-li yang kabarnya amat keras dan tidak mengenal ampun terhadap penjahat?

“Jangan-jangan Hek-liong-li hanya namanya saja yang besar, akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar wanita biasa saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan tenaga datang ke sini...” berbagai dugaan timbul di dalam hati Cian Ciang-kun yang sudah bangkit lagi untuk melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi, kembali dia tertegun karena mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan dan seperti tadi, kembali dia melihat belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi. Timbul kemarahan di hatinya. Orang-orang keparat itu tidak tahu diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan bersikap lunak lagi. Dia akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh pemimpin mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!

Yang datang memang orang-orang tadi, akan tetapi di antara mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain hitam yang menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang untuk melihat, dan lubang hidung untuk bernapas. Tubuh dua orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun, para perampok itu mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut dikepung. Yang meloncat maju adalah seorang di antara dua orang berpakaian serba hitam berkedok hitam itu, yang tubuhnya lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang sudah menggerakkan pedangnya.

“Singgg...!” Nampak sinar berkelebat dan bunyi berdesing nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini lihai, terbukti dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat pedang itu terpental.

“Trangggg...!!!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan sekali ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika sulingnya bertemu dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun berseru kaget dan pedangnya terpental pula. Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang! Cian Hui memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat muka memandang.

Orang itu sudah melintangkan pedang di depan dada. Sebatang pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya tajam sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan teriakan melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat kilat dengan cara penyerangan pedang yang aneh karena dia memegang gagang pedang itu dengan kedua tangannya!

Bukan main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke samping untuk mengelak, pedang itu membuat gerakan melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah yang berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!

“Hemmm...!” Cian Ciang-kun kembali mengelak sambil menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak ingin diserang terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga kalinya membuat gerakan melengkung dengan pedangnya sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan serangan sulingnya yang menusuk ke arah mata orang itu.

Sepasang mata yang tajam mengintai dari balik ke dua lubang. Akan tetapi ternyata orang itupun dapat bergerak lincah sekali. Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan Cian Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke arah ubun-ubun kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu membalas dengan serangan pedangnya yang kadang-kadang dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua tangan itu.

Terjadilah perkelahian yang bukan main seru dan dahsyatnya. Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun harus diakui oleh Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya, juga silat pedang yang dimainkan dengan suling.

Ilmu silat yang dimainkan Cian Hui adalah ilmu silat keluarga Cian yang turun temurun, dari aliran utara bercampur dengan aliran pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari Shan-tung. Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan, memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang lincah dalam daya penyerangan.

Pertandingan itu sungguh amat seru dan setelah lewat limapuluh jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada dalam bahaya. Baru menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai seorang kawan yang juga berkedok, dan anak buah mereka ada belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi bahaya maut.

Hanya satu yang ditakuti di dunia ini, ialah melakukan perbuatan sesat! Selama dia berada di pihak yang benar, dia akan membela diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak mau memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengalahkan lawannya yang amat lihai itu. Agaknya, lawannya juga penasaran sekali dan dari gerakannya yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok itu marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua ditujukan untuk membunuhnya.

Tiba-tiba orang berkedok ke dua berkata, “Jangan bunuh dia! Kita membutuhkan dia hidup-hidup!”

Setelah berkata demikian, orang berkedok ke dua yang lebih besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam pertempuran dan diam-diam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang lebih gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua pedang yang digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu melindungi dirinya dengan ilmu silatnya yang amat kuat di segi pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai yang melindungi seluruh tubuhnya.

“Tempel sulingnya!” tiba-tiba orang ke dua itu berseru.

Orang pertama menggerakkan pedangnya dengan kuat, ditangkis oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut karena tiba-tiba, ketika sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling melekat! Dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah menyambar tengkuknya.

“Plakk!” Cian Hui roboh pingsan!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode si bayangan iblis jilid 01 karya kho ping hoo

Cian Hui merasa bahwa dia menunggang kuda, akan tetapi tidak duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia mencoba menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak berhasil dan tahulah dia bahwa kaki tangannya terbelenggu dan bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas kuda, diikat dengan perut kuda!

Dia membuka matanya perlahan, melirik ke kanan kiri dan diapun teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan! Mereka itu kini menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di tengah-tengah. Nampak pula olehnya dua orang berpakaian hitam dan berkedok, juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di antara mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega.

Tentu tidak ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin sudah ada tadi yang terbanting jatuh ketika mencoba untuk menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun karena melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia tidak, dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa.

Kalau mereka menawannya, berarti mereka menghendaki dia hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan mereka. Kata-kata mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan bahasa daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih besar tubuhnya, melarang kawannya membunuhnya karena mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa? Sukar menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka.

Bersabarlah engkau, katanya kepada dirinya sendiri. Nanti engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali yang membelenggu kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru karena dia merasa lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya lemas dan memejamkan kembali matanya.

Dia teringat akan tugasnya menuju ke Lok-yang. Mencari Hek-liong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar wanita itu, akan tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang cantik dan masih muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun.

Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li bersama seorang rekannya yang juga amat terkenal bernama atau berjuluk Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di antara para penjahat itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)!

Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li (Nona Naga Hitam) bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua, telah berhasil membasmi dan membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa!

Untuk menenangkan hati dan melewatkan waktu, Cian Hui melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang Hek-liong-li seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak menggambarkan wajah Hek-liong-li secara terperinci, hanya mengatakan bahwa wanita itu cantik. Tinggalnya di dalam kota Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah, dan pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan teratai dan di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri cantik menunggang seekor angsa.

Hanya itulah yang dia ketahui tentang Hek-liong-li yang kabarnya bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia dapat mengenai wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang bangsawan yang kabarnya melakukan korupsi karena gila judi sehingga masuk penjara dan tewas di dalam penjara.

Betapa Lie Kim Cu, ketika itu masih seorang gadis berusia enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong, seorang pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang. Kemudian, tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang tahu, tiba-tiba saja gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah muncul sebagai seorang wanita sakti pembasmi kejahatan!

Cian Ciang-kun, menghentikan lamunannya karena mereka telah berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat bahwa rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam hutan.

“Turunkan dia dan bawa ke kamar ruangan belakang!” kata si kedok hitam yang kurus.

Dua orang anggauta perampok segera menyeret tubuh Cian Hui turun dari atas punggung kuda. Begitu dia diturunkan dan berdiri dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda dan Si Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui, mencium-cium majikannya itu sambil meringkik-ringkik.

Dua orang anggauta perampok cepat menghampiri dan mereka mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi sambil meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka sampai tubuh kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dan mengaduh-aduh karena tulang iga mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang, akan tetapi lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.

“Tenangkan kuda itu, kalau tidak akan kami bunuh!” tiba-tiba si kedok hitam yang besar berkata kepada Cian Hui.

Cian Ciang-kun khawatir kalau sampai kudanya dibunuh, maka diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang tadinya tinggi lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang, dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan ekornya dan tidak membantah atau meronta ketika seorang anggauta perampok memegang kendali dan menuntunnya.

Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita yang usianya sekitar tiga puluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan orang kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan keduanya membawa keranjang kecil yang berisi beberapa macam daun obat. Di punggung mereka tergantung sebatang pedang.

“Heii, apa yang telah terjadi di sini?” tanya si baju hijau yang mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.

“Kenapa orang ini dibelenggu? Kalian ini siapa?” tanya yang berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.

Melihat munculnya dua orang wanita yang cantik itu, para anggauta perampok saling pandang dan mereka menyeringai. “Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita yang memang sedang kelaparan!”

“Tangkap mereka dan malam ini kita berpesta!”

“Aduh manisnya! Siapa yang lebih dulu menangkapnya, dia yang berhak mendapat bagian pertama!”

Bermacam-macam ucapan mereka yang nadanya menggoda, kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok hitam itu hanya diam saja, memandang dari samping. Dua orang wanita itu mengerutkan alisnya, dan mata mereka yang jeli mengeluarkan sinar marah.

“Enci, mereka ini tentu penjahat-penjahat yang pantas dibasmi. Mari kita hajar mereka!” bentak si baju kuning.

Akan tetapi, belasan perampok kasar itu, yang sudah terbiasa melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang kepada kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala perampok inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani dan beramai-ramai belasan orang itu mengepung dua orang wanita itu, seperti segerombolan srigala mengepung dua ekor domba muda yang lunak dagingnya.

Akan tetapi, dua orang wanita itu sama sekali bukan dua ekor domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua ekor harimau muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan hijau dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang tangan dengan rakus hendak menerkam. Begitu dua orang wanita itu menampar dan menendang, para perampok itu mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan!

Terkejutlah si berewok melihat betapa belasan orang anak buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan dan tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan golok besarnya diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia disambut oleh wanita baju hijau yang sudah mencabut pedang dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara si berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih mengamuk dikeroyok oleh para perampok.

Diam-diam Cian Hui menjadi kagum. Dua orang wanita yang manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya membawa keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas dan ilmu silat mereka lihai juga! “Nona-nona, hati-hati, si kedok hitam itu lihai sekali!” teriaknya ketika melihat betapa dua orang berkedok itu melangkah maju.

“Kalian mundur semua!” bentak si Kedok Hitam yang bertubuh kurus.

Para perampok, juga kepala perampok berewok, berloncatan mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu menerjang maju dengan tangan kosong.

Si baju kuning menangkis pukulan si kedok hitam dan ia mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan marah ia mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan pedang mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan ganas. Dua orang berkedok itupun sudah mengeluarkan senjata mereka, pedang yang agak melengkung dan bergagang panjang dan lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua orang gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main mundur, hanya mampu mengelak dan menangkis saja.

Melihat ini, Cian Hui merasa khawatir bukan main. Dua orang wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka kalau sampai mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam dan merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu merasa menyesal karena dialah yang menjadi penyebabnya.

“Heii, dua orang sobat berkedok!” teriaknya lantang. “Tidak malukah kalian menyerang dua orang gadis yang sama sekali tidak bersalah? Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan hayo lepaskan aku, biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!”

Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, namun Cian Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke atas dan tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan dari atas, tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki yang terbelenggu lebih dahulu. Diapun berseru. “Nona-nona, larilah kalian!”

Dua orang berkedok itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu masih mampu melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja serangan itu tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke samping dan begitu tubuh Cian Ciang-kun turun, mereka menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap oleh beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke dalam bangunan bekas kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk berloncatan dun melarikan dini.

Dua orang berkedok hitam mencoba untuk melakukan pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu, seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohon-pohon dan semak-semak di situ. Sebentar saja kedua nona itu sudah lenyap. Dua orang berkedok hitam, tidak berani mengejar terus. Mereka kurang begitu hafal akan keadaan di hutan itu dan mereka maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh semak belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke kuil tua dan membiarkan dua orang gadis itu lolos.

********************

Rumah di sudut barat kota Lok-yang itu masih baru. Mungil dan indah bentuknya, memiliki pekarangan yang luas di bagian depan dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam ikan penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali. Arca puteri cantik menunggang angsa amat halus pahatannya, dengan sikap manja puteri itu merangkul leher angsa yang panjang seperti membelai seorang kekasih.

Di sekeliling kolam tumbuh bunga-bunga mawar beraneka warna, sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa di pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan biru yang mungil berada di bawah pohon-pohon yang rindang. Sungguh pekarangan itu membuat orang akan merasa betah berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar dan diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih.

Jendela dan pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garis-garis merah. Manis sekali, akan tetapi juga menimbulkan kesan anggun. Dan melihat bentuk atapnya yang nampak dari luar, rumah itu tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas pekarangan rumah itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang tingginya tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi ujung tombak-tombak meruncing yang dicat merah.

Semua penghuni kota Lok-yang, tua muda, laki perampuan, tahu belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat tinggal Liong-li (Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap (Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan mengaguminya, juga para pejahat karena wanita perkasa itu dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan yang gigih.

Pengaruh Liong-li terhadap para penjahat lebih besar dari pada pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu tinggal di situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi anak buahnya, pelayannya, juga pembantunya.

Sembilan orang wanita itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai karena mereka digembleng sendiri oleh Liong-li. Merekapun semuanya manis-manis, berusia antara tiga puluh tahunan dan mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan baju cerah berkembang dengan warna-warna menyolok. Ada yang merah, hijau, kuning, biru dan sebagainya, tidak ada yang sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di pekarangan depan rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang besar beraneka warna menambah semarak pekarangan itu.

Akan tetapi pada siang hari itu, setelah dari luar nampak masuk dua orang di antara. mereka yang berpakaian hijau dan kuning, terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di taman belakang atau di pekarangan, segera memasuki rumah. Suara keleningan nyaring merdu itu adalah tanda bahwa mereka dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat penting.

Mereka berada di sebelah dalam rumah, di ruangan belakang yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak terdapat banyak perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu terdapat pula sebuah rak berisi segala macam senjata. Lantainya bersih, temboknya bersih dan hawanya cukup karena ruangan ini mempunyai banyak jendela yang dibiarkan terbuka, jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.

Sebuah lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang amat baik. Bukan hanya merupakan ruangan latihan silat, juga tempat ini dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan rapat dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum mereka berkumpul di situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua pintu luar dan samping dan belakang sehingga tidak akan ada orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang mereka percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.

Padahal, mereka tidak pernah merasa khawatir akan ada orang luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu dipasangi banyak perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada mereka apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia dipasang nona mereka. Salah injak lantai saja akan menimbulkan bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang halus dengan kaki saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam lubang di bawah tanah dan banyak macam lagi...