Si Bayangan Iblis Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

HEK LIONG LI Lie Kim Cu memang baru saja memugar dan memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi seorang kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay, rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai berapa besarnya, dan setelah membagi harta karun itu dengan Pek-liong-eng, ia menjadi seorang yang kaya raya.

Mungkin kekayaannya tidak kalah dibandingkan dengan hartawan atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu memperbaiki rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja, dengan perabot rumah yang serba indah dan mahal.

Ketika para gadis pembantunya yang oleh penduduk Lok-yang disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju kembang) berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li Lie Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi gading yang indah sedangkan dua orang di antara para pembantunya, yaitu yang berpakaian kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya. Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang berdatangan merasa tegang. Setelah sembilan orang pembantunya berkumpul dan duduk di depannya dengan jajaran rapi, tenang dan penuh perhatian, Liong-li berkata dengan lirih namun jelas.

“Aku memanggil kalian untuk mendengarkan pengalaman enci Kuning dan enci Hijau.” Ia menoleh kepada dua orang pembantu itu, “Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi.”

Liong-li selalu menyebut enci (kakak perempuan) kepada sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya Li-hiap (Pendekar Wanita).

Dua orang pembantu itu lalu menceritakan pengalaman mereka ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat yang dibutuhkan nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena ada kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit itu memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua orang wanita ini sudah hafal akan keadaan di dalam hutan di bukit itu karena seringnya mereka ditugaskan mencari daun dan akar obat.

Semua pembantu mendengarkan dengan asyik, dan Liong-li sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi gading itu sambil termenung. Bukan main cantiknya ketika ia duduk seperti itu. Pakaiannya, yang terbuat dari sutera hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih dan halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing itu nampak cerah.

Mulut yang kecil dangan bibir merah yang selalu basah itu tak pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung pipinya mudah muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis. Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik jelita dan manis. Apalagi melihat tubuh yang padat berisi itu, dengan lekuk lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh kewanitaan yang hangat.

Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus, di dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan dahsyat dan ilmu silat yang maut! Rambutnya digelung tinggi, dihias tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil di atas bunga teratai. Walaupun ia kaya raya, namun Liong-li tidak suka mengenakan perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan hiasan rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang terhitung mahal hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang dipakai di lengan kirinya.

Setelah si baju hijau dan baju kuning selesai menceritakan pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain mengerutkan alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang kawan mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang merupakan pembantu tertua, segera berkata kepada Liong-li dengan penuh semangat.

“Li-hiap, biarkan kami beramai pergi ke Bukit Kuil dan menghajar kawanan perampok itu!”

Kawan-kawannya mengangguk membenarkan. Ingin mereka menebus kekalahan dua orang kawan mereka! Akan tetapi Liong-li menggeleng kepalanya. “Aku memanggil kalian agar kalian tahu duduknya perkara. Akan tetapi, bukan kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya dua orang berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu. Kalau dua orang itu berkedok hitam, itu berarti bahwa mereka hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan jelas bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain tersembunyi, ada rahasia di balik semua. Apalagi kalau diingat betapa mereka itu dalam belasan jurus sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan Ching-ci (enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui siapa mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh rahasia itu. Dan kedua adalah tawanan itu. Agaknya dia seorang pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!”

“Bagaimana Li-hiap dapat menduga demikian?” tanya si baju ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka semua sudah mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga amat cerdik.

“Hemm, mudah saja. Dia sudah menjadi tawanan dan dibelenggu kaki tangannya, namun dia masih berani melawan, itu tandanya dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci Hijau dan enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan diri, ini menunjukkan bahwa dia seorang pendekar yang baik hati. Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua enci tertawan musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan perasaan tidak enak di hati seorang pendekar. Karena itu, selain ingin tahu, siapa adanya dua orang berkedok hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria gagah perkasa itu. Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu mencariku, katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah pulang. Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian. Aku ingin badanku sejuk dan segar dalam menghadapi kemungkinan bahaya!”

Kurang lebih satu jam kemudian, Liong-li sudah keluar dari rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam dari sutera halus. Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi. Wanita ini hampir tidak pernah mempergunakan bedak atau pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali kalau dalam suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam pesta keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.

Dalam keadaan biasa, ia tidak pernah menggunakan bedak dan gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan segar kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi tadi nampak kemerahan seperti buah delima masak, sepasang bibirnya juga sudah merah basah tanpa gincu.

Ia mengenakan baju yang agak longgar dan panjang sehingga pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di pinggangnya itu tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat hitam itu, maka perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan amat menyolok, juga kulitnya nampak putih mulus.

Begitu keluar dari rumahnya, tiada hentinya Liong-li harus mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur sapa dan penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan pandang mata hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil yang sunyi agar jangan banyak terganggu, dan setelah berada di luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke Bukit Kuil yang nampak dari situ.

Tak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan ketika tiba di tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan mengambil sebatang ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai tongkat. Ia sudah mengenal baik bukit ini dan tahu di mana adanya kuil tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang hanya dikenal oleh orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan tetapi jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.

Sementara itu, Cian Hui atau Cian Ciang-kun dimasukkan ke dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan itu kotor penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai. Kedua lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua kakinya dibelenggu pula dengan rantai sehingga kedua kaki itu hanya dapat direnggangkan selebar satu meter saja. Dia dapat berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena kedua tangan diikat ke belakang.

Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Ketika dia melihat bahwa dua orang wanita manis ini dapat lolos dari ancaman bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya dibiarkan duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok itu hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka. Dua orang berkedok itu setelah melihat dia berada di ruangan itu, lalu berkata kepada para perampok agar dia dijaga baik-baik jangan sampai lari.

“Kalau dia mengamuk lagi, kalian bunuh saja dia!” kata si kedok hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi dan sampai tiga jam lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada para perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan kepada si kepala perampok yang bermuka berewok.

“Hai, Berewok! Kalian sudah mengambil kudaku, kenapa aku masih ditahan di sini? Apa yang hendak kalian lakukan dengan aku?”

Dengan wajah geram Si berewok itu menjawab. “Jangan banyak mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu seperti anjing sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?”

Cian Hui tertawa bergelak, suara ketawanya menembus keluar dari kuil itu. “Ha-ha- ha-ha! Kalian ini perampok-perampok busuk, penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu bahwa kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam tadi. Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok hitam, Berewok! Karena itu katakan saja, siapa mereka dan apa yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau mengaku, kelak kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan kupertimbangkan dosamu!”

“Manusia sombong! Engkau sudah seperti anjing dirantai, tinggal kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau masih banyak lagak? Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah engkau mengamuk, hemm... aku akan senang sekali mencabik-cabik perutmu agar ususmu berantakan!” Si Berewok marah sekali. Akan tetapi yang ditantangnya hanya tertawa bergelak.

Pada saat itu terdengar derap kaki kuda di luar. “Toa-ko, kenapa harus melayani orang sombong ini? Lebih baik lagi kalau toa-ko mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai berhasil. Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan tidak sabar.”

Cian Hui diam-diam merasa sedih. Kudanya akan dipaksa untuk menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan untuk menjinakkan kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu kelaparan. Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu, pikirnya.

Si berewok lalu keluar dari tempat penjagaan di depan ruangan itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti siul iseng saja, akan tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya dan kalau mendengar siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi tenang.

Dan memang perhitungannya itu tepat. Kuda hitam itu tadinya dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu gelisah. Bahkan karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan tetapi, begitu Si Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan itu. Kuda Hitam berhenti berlari dan ia menjadi tenang dan jinak. Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya dan mengelus lehernya, ia diam saja.

“Nah, kuda yang baik, engkau jinaklah dan menjadi kuda tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!” kata si berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon.

Melihat betapa kuda itu tetap jinak, Si Berewok mengira bahwa kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan dan dijinakkan dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan, dan semua ini diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok menjadi semakin girang dan bangga.

“Ha-ha-ha, aku sudah berhasil menjinakkannya! Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia menarik kendali kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.

Akan tetapi tiba-tiba saja, telinga kuda itu bergerak-gerak dan pendengarannya yang peka telah menerima isyarat melalui siulan majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga mengejutkan Si Berewok.

“Eh? Kenapa kembali?” Dia mencoba untuk menarik kendali akan tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan berlari seperti kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok membiarkan saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan menjepit perut kuda dengan kedua pahanya agar jangan sampai dia terpental jatuh.

Kuda Hitam itu berlari terus dan setelah tiba di depan kuil, kepala perampok mencoba untuk menarik kendali agar kuda itu berhenti berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan memasuki pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil yang lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu.

Tentu saja Si Berewok menjadi heran dan juga mulai takut, akan tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara siulan yang memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah meja tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan belakang! Setelah tiba di depan kamar di mana Cian Hui ditawan, barulah dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus bersiul dan kuda itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan, menggoyang-goyang tubuhnya.

Tentu saja Si Berewok yang berada di punggungnya terguncang-guncang, akan tetapi kepala perampok ini juga seorang ahli menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung kuda, mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus seperti seekor lintah! Anak buahnya yang melihat kuda itu mengamuk, pergi menjauh akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala rampok itu untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan terbanting!

Kuda itu terus meloncat-loncat seperti kemasukan setan, punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun merebahkan diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau kuda itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus! Maka, ketika kuda itu merebahkan diri, diapun meloncat turun. Begitu meloncat turun, kuda hitam itu menyepak dengan kaki belakangnya.

“Bukkkk!!” Pinggul dan paha Si berewok kena disepak. Tubuhnya terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun roboh dan mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk rasanya, seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti patah-patah.

“Kuda setan! Kuda terkutuk...!” Dia memaki-maki.

Dan Cian Hui tertawa bergelak. Setelah Cian Hui berhenti bersiul, kuda itupun menjadi tenang dan jinak kembali! Pada saat itu, di luar terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok yang agaknya baru tahu bahwa dia dipermainkan oleh tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan diapun bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam itu.

“Keretanya sudah siap. Bawalah dia dan lakukan seperti yang telah kami perintahkan!” kata yang bertubuh besar kepada kepala perampok yang mengangguk.

“Bagaimana dengan kuda iblis itu?” tanya si berewok kepada dua orang berkedok hitam.

“Tinggalkan di sini, biar kami yang urus. Nah, berangkatlah dan hati-hati jangan sampai dia lolos!”

Si Berewok lalu masuk ke dalam kamar, memegang lengan Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui bersikap tenang, akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam itu.

“Sobat, sungguh aku tidak mengerti apa yang kau kehendaki ini! Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak memperkenalkan diri? Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kau bunuh saja aku? Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu kepadaku!”

Akan tetapi, dua orang berkedok hitam itu hanya memberi isyarat kepada kepala perampok itu. “Hayo berangkat, jangan banyak cerewet kau!” bentak kepala perampok dan bersama belasan orang anak buahnya, dia menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis Episode Si Bayangan Iblis jilid 02 karya kho ping hoo

Ketika tiba di luar kuil, Cian Hui melihat sebuah kereta dengan dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang tidak besar dan yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah sekali. Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini, dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk mencoba meloloskan diri dari cengkeraman mereka.

Kalau berada di tempat sepi seperti ini, tentu saja tidak mungkin dia lolos, walaupun dia dapat memerintahkan kuda hitam untuk membantunya. Terdapat bahaya kuda yang disayanginya itu akan terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri dengan kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta ini melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia tentu akan dapat melompat keluar dan memberontak. Tentu hal ini akan menarik perhatian orang-orang dan dia mendapat kesempatan untuk diselamatkan.

Si berewok melangkah lebar ke arah kereta sambil menarik lengan Cian Hui, kemudian membentak. “Nah, masuklah, atau engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?”

Dia menyingkap tirai kereta dan membuka pintunya dan... tiba-tiba dia terbelalak, karena di dalam kereta itu nampak duduk seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.

“...eh, dewi... eh, babi... ah, cantiknya, manisnya... ah, siapakah engkau dan bagaimana...?” Kepala rampok berewokcitu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah terpesona melihat wanita berpakaian serba hitam itu.

Memang seorang yang mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita dan manis sekali, wajahnya nampak putih kemerahan dan mulus karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan tetapi juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat dan seluruh ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu setangkai bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya. Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang manis sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya, ditodongkannya ke arah hidung si berewok,

“Engkaulah babinya! Babi berewok!”

“Apa... apa kau bilang...?” Si berewok tergagap karena dia masih terpesona, juga terkejut karena tidak menduga akan melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam kereta itu. Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya sungguh tidak enak didengar!

“Aku bilang engkau babi berewok yang sekarat!” Wanita itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, ranting di tangannya itu meluncur ke arah leher si berewok.

Kepala rampok itu makin terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh terjengkang dan tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat! Melihat pimpinan mereka roboh dan berkelonjotan, belasan orang anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan marah. Mereka semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta, seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan mengayun cambuknya sambil membentak,

“Haiiii! Bagaimana engkau bisa berada di dalam keretaku?”

Akan tetapi wanita itu berseru dengan suaranya yang merdu, “Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku bertemu dengan dua ekor tikus besar berkedok itu!”

Tubuhnya meloncat dari kereta dan bagaikan seekor burung garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan melayang ke arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata terbelalak kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang mengintai dari lubang kain penutup muka itu.

Begitu melihat wanita cantik berpakaian serba hitam itu meloncat bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang berkedok itu sudah menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan pedangnya ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang ke arah leher wanita cantik itu! Betapa cepat, kuat dan juga kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka tidak ingin banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan serangan mereka.

Cian Hui memandang dengan muka agak pucat dan mata penuh kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang berkedok itu dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali! Diapun merasa terheran-heran mengapa wanita-wanita belaka yang datang bermunculan dan mencoba untuk menolongnya. Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan kuning.

Dan sekarang muncul seorang gadis lain berpakaian serba hitam yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua gadis cantik pertama itu! Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil membantu dua orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini?

“Wuuuuttt!” Pedang pertama menyambut dengan tusukan kilat ke arah perut.

“Singgg...!” Pedang kedua berdesing membacok ke arah leher.

Dan Cian Ciang-kun terbelalak! Tubuh nona berpakaian hitam itu sedang melayang dan disambut dua serangan maut itu, akan tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke atas dan dua serangan itupun luput!

Ketika tubuh meluncur ke bawah, tubuh itu didahului gulungan sinar kehijauan, yaitu sinar yang ditimbulkan oleh ranting di tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini meluncur turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang diputar, menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor naga menyambar turun dari angkasa!

Dua orang berkedok itupun terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu memiliki kecepatan gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi. Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.

“Takk! Takk!” Ranting itu bertemu dengan dua batang pedang, namun ranting itu tidak patah, sebaliknya, dua orang berkedok itu berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur pedang mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah pergelangan tangan mereka. Nyaris totokan itu mengenai sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan maklum bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.

“Hek... Liong... Li...?” Seru seorang di antara mereka yang bertubuh lebih besar.

Wanita cantik itu memang Lie Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li (Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja terkenal di daerah Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan dua orang di antara Kiu Lo-mo!

Liong-li tersenyum manis dan menudingkan rantingnya kepada dua orang berkedok hitam itu. “Kalian dua ekor anjing pengecut! Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di tanganku ini?”

Dua orang berkedok itu kini yakin bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok, namun jelas mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka yang gelisah.

“Kepung dan keroyok!” tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan orang perampok itu.

Mendengar perintah ini, belasan orang itu lalu menggerakkan senjata mereka menyerang Liong-li. Akan tetapi, wanita cantik ini menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw, menghindarkan diri dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya dengan serangan pedang, dibantu oleh para perampok.

Melihat betapa wanita cantik jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li seperti yang tadi juga sudah diduganya, Cian Hui kagum dan gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir. Dua orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua mempergunakan senjata pedang, sedangkan Liong-li hanya bersenjata sebatang ranting! Di samping itu masih ada lagi belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.

Timbul kekhawatiran di dalam hati Cian Hui. Bagaimanapun juga, kehebatan ilmu kepandaian wanita yang dijuluki Hek-liong-li itu baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum melihat betapa wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun ia masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di tangan itu Hek-liong-li akan mampu mengalahkan dua orang berkedok yang dibantu belasan orang anak buah perampok.

“Suiiiittt suiitt suiiiitttt!” Tiba-tiba Cian Ciang-kun mengeluarkan suara siulan nyaring melengking. Itu merupakan siulan perintah dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu masih dicancang di belakang kuil, akan tetapi begitu mendengar suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya putus, lalu dia lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi perkelahian.

Cian Hui sendiri telah meloncat ke depan, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia tidak dapat mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat dengan rantai yang panjangnya sekitar satu meter antara kedua kakinya. Biarpun hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan tendangan dengan sebelah kaki, namun dia dapat bergerak leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat dan kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.

“Desss...!” Anggauta perampok itu terjengkang dan tak mampu bangkit kembali karena selain dadanya dihantam dua buah kaki itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang tegap tinggi itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil meloncat ke depan, dia mengamuk!

Di dekatnya, Hek-ma (Kuda Hitam) juga meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan menyerang perampok terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat membuat orang yang disepak terlempar sampai beberapa meter jauhnya!

Sejenak Liong-li melirik ke arah pria tinggi tegap yang mengamuk bersama kudanya itu dan sinar kagum memancar dari sepasang mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera Liong-li mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus dapat membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka. Siapa mereka itu dan apa maksudnya menangkap dan menawan pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa pria gagah perkasa itu.

Melihat betapa Hek-liong-li hanya memegang sebatang ranting, tidak mempergunakan pedangnya yang amat terkenal sebagai pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka baru dapat merobohkan Liong-li selagi wanita itu mempergunakan rantingnya, dan belum sempat mempergunakan pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka secara dahsyat sekali.

Akan tetapi, dengan menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, Liong-li seperti menari-nari saja dan selalu lolos dari sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung rantingnya yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau siku lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi terkejut bukan main dan semakin lama mereka menjadi semakin jerih.

Liong-li mempergunakan kesempatan selagi dua orang menjadi gentar itu untuk mendesak. Ranting di tangannya berubah menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu kadang-kadang menyambar sinar ujung ranting.

“Lepaskan kedok itu!” Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung rantingnya menusuk ke arah muka orang itu dengan getaran yang membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar tubuhnya.

Orang itu terkejut sekali. Matanya terancam dan kalau sampai terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua mata atau satu diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan mengait kedok hitam sehingga terlepas dan nampak wajah orang itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li bergerak menyambar ke depan dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!

Melihat ini, orang kedua yang tubuhnya juga tinggi besar, akan tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi terkejut dan ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.

“Hemm, hendak lari ke mana engkau?” Liong-li membentak dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan ranting itupun meluncur bagaikan anak panah.

“Cappp!” punggung belakang pundak kanan si tinggi besar berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.

Melihat dua orang lawannya sudah roboh. Liong-li lalu memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya. Pria itu mengamuk, meloncat dan menendang dengan kedua kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau tidak, tubuhnya terbanting ke atas tanah.

Juga kuda hitam itu mengamuk membantu majikannya, menyepak, menubruk, menggigit! Belasan orang perampok itu benar-benar menghadapi kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok.

Melihat hal itu, Liong-li lalu meloncat dan dua kali tangannya menampar, dua orang perampok terpelanting roboh. Beberapa kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun roboh semua!

Cian Hui sudah bersiul panjang menenangkan kuda hitamnya yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan setelah perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu berhadapan dan saling pandang. Sejenak keduanya seperti terpesona, saling pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui berkata dengan senyum cerah.

“Hek-liong-li, alangkah senangnya mendapat kesempatan menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula malah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman maut!”

“Siapakah engkau dan ada kepentingan apakah mencariku?” tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan pandang matanya terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.

“Namaku Cian Hui dan aku datang dari kota raja. Ada urusan penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk mencarimu, li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku dihadang dan ditawan oleh dua orang berkedok itu.”

“Siapakan mereka itu?”

“Aku sendiripun ingin sekali mengetahui... heiiii...! Tahan dia...!” Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke depan karena kaki tangannya masih terbelenggu.

Mendengar ini, Liong-li cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di mana dua orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang teramat cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian Hui tadi terkejut melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah apa. Akan tetapi hal itu cukup membuat ia meloncat seperti terbang cepatnya melakukan pengejaran.

Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap di balik pohon-pohon dan biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya berlari bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan lagi bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk memeriksa tubuh dua orang berkedok itu, ternyata mereka telah tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal lagi!

“Keparat!” Liong-li memaki sambil mengepal tinju dan menoleh ke arah lenyapnya bayangan tadi.

Cian Hui meloncat-loncat seperti katak menghampiri dan melihat keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu memungut sebatang golok milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan Cian Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di pinggul dan pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua orang berkedok itu.

“Aih, sayang.” Dia menarik napas panjang. “Sungguh iblis itu lihai sekali. Tentu ada rahasia yang amat gawat sehingga dia datang dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga merusak mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja menunjukkan bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia yang meliputi pembunuhan di kota raja!”

“Pembunuhan di kota raja? Apa maksudmu?” Liong-li bertanya dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh selidik.

Cian Hui mengangguk dan kembali menghela napas panjang. “Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang untuk mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk membongkar rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara aneh di kota raja. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira pasukan keamanan yang bertugas membasmi kejahatan yang terjadi di kota raja.”

“Cian Ciang-kun, tidakkah lebih baik kalau kita bicara di rumahku saja? Sekarang, yang terpenting adalah menyelidiki siapa sesungguhnya dua orang berkedok ini.”

“Sayang mereka sudah tewas dan muka mereka tak dapat dikenal...”

“Kita bisa bertanya kepada anggauta penjahat yang masih hidup,” kata Liong-li dan iapun bangkit dan meneliti para penjahat yang rebah malang melintang itu.

Ada beberapa orang di antara mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut hanya terluka pada kakinya sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si gendut itu mengaduh-aduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui menghampirinya.

Si Bayangan Iblis Jilid 02

HEK LIONG LI Lie Kim Cu memang baru saja memugar dan memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi seorang kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay, rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai berapa besarnya, dan setelah membagi harta karun itu dengan Pek-liong-eng, ia menjadi seorang yang kaya raya.

Mungkin kekayaannya tidak kalah dibandingkan dengan hartawan atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu memperbaiki rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja, dengan perabot rumah yang serba indah dan mahal.

Ketika para gadis pembantunya yang oleh penduduk Lok-yang disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju kembang) berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li Lie Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi gading yang indah sedangkan dua orang di antara para pembantunya, yaitu yang berpakaian kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya. Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang berdatangan merasa tegang. Setelah sembilan orang pembantunya berkumpul dan duduk di depannya dengan jajaran rapi, tenang dan penuh perhatian, Liong-li berkata dengan lirih namun jelas.

“Aku memanggil kalian untuk mendengarkan pengalaman enci Kuning dan enci Hijau.” Ia menoleh kepada dua orang pembantu itu, “Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi.”

Liong-li selalu menyebut enci (kakak perempuan) kepada sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya Li-hiap (Pendekar Wanita).

Dua orang pembantu itu lalu menceritakan pengalaman mereka ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat yang dibutuhkan nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena ada kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit itu memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua orang wanita ini sudah hafal akan keadaan di dalam hutan di bukit itu karena seringnya mereka ditugaskan mencari daun dan akar obat.

Semua pembantu mendengarkan dengan asyik, dan Liong-li sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi gading itu sambil termenung. Bukan main cantiknya ketika ia duduk seperti itu. Pakaiannya, yang terbuat dari sutera hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih dan halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing itu nampak cerah.

Mulut yang kecil dangan bibir merah yang selalu basah itu tak pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung pipinya mudah muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis. Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik jelita dan manis. Apalagi melihat tubuh yang padat berisi itu, dengan lekuk lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh kewanitaan yang hangat.

Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus, di dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan dahsyat dan ilmu silat yang maut! Rambutnya digelung tinggi, dihias tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil di atas bunga teratai. Walaupun ia kaya raya, namun Liong-li tidak suka mengenakan perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan hiasan rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang terhitung mahal hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang dipakai di lengan kirinya.

Setelah si baju hijau dan baju kuning selesai menceritakan pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain mengerutkan alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang kawan mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang merupakan pembantu tertua, segera berkata kepada Liong-li dengan penuh semangat.

“Li-hiap, biarkan kami beramai pergi ke Bukit Kuil dan menghajar kawanan perampok itu!”

Kawan-kawannya mengangguk membenarkan. Ingin mereka menebus kekalahan dua orang kawan mereka! Akan tetapi Liong-li menggeleng kepalanya. “Aku memanggil kalian agar kalian tahu duduknya perkara. Akan tetapi, bukan kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya dua orang berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu. Kalau dua orang itu berkedok hitam, itu berarti bahwa mereka hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan jelas bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain tersembunyi, ada rahasia di balik semua. Apalagi kalau diingat betapa mereka itu dalam belasan jurus sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan Ching-ci (enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui siapa mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh rahasia itu. Dan kedua adalah tawanan itu. Agaknya dia seorang pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!”

“Bagaimana Li-hiap dapat menduga demikian?” tanya si baju ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka semua sudah mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga amat cerdik.

“Hemm, mudah saja. Dia sudah menjadi tawanan dan dibelenggu kaki tangannya, namun dia masih berani melawan, itu tandanya dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci Hijau dan enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan diri, ini menunjukkan bahwa dia seorang pendekar yang baik hati. Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua enci tertawan musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan perasaan tidak enak di hati seorang pendekar. Karena itu, selain ingin tahu, siapa adanya dua orang berkedok hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria gagah perkasa itu. Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu mencariku, katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah pulang. Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian. Aku ingin badanku sejuk dan segar dalam menghadapi kemungkinan bahaya!”

Kurang lebih satu jam kemudian, Liong-li sudah keluar dari rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam dari sutera halus. Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi. Wanita ini hampir tidak pernah mempergunakan bedak atau pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali kalau dalam suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam pesta keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.

Dalam keadaan biasa, ia tidak pernah menggunakan bedak dan gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan segar kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi tadi nampak kemerahan seperti buah delima masak, sepasang bibirnya juga sudah merah basah tanpa gincu.

Ia mengenakan baju yang agak longgar dan panjang sehingga pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di pinggangnya itu tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat hitam itu, maka perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan amat menyolok, juga kulitnya nampak putih mulus.

Begitu keluar dari rumahnya, tiada hentinya Liong-li harus mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur sapa dan penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan pandang mata hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil yang sunyi agar jangan banyak terganggu, dan setelah berada di luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke Bukit Kuil yang nampak dari situ.

Tak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan ketika tiba di tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan mengambil sebatang ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai tongkat. Ia sudah mengenal baik bukit ini dan tahu di mana adanya kuil tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang hanya dikenal oleh orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan tetapi jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.

Sementara itu, Cian Hui atau Cian Ciang-kun dimasukkan ke dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan itu kotor penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai. Kedua lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua kakinya dibelenggu pula dengan rantai sehingga kedua kaki itu hanya dapat direnggangkan selebar satu meter saja. Dia dapat berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena kedua tangan diikat ke belakang.

Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Ketika dia melihat bahwa dua orang wanita manis ini dapat lolos dari ancaman bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya dibiarkan duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok itu hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka. Dua orang berkedok itu setelah melihat dia berada di ruangan itu, lalu berkata kepada para perampok agar dia dijaga baik-baik jangan sampai lari.

“Kalau dia mengamuk lagi, kalian bunuh saja dia!” kata si kedok hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi dan sampai tiga jam lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada para perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan kepada si kepala perampok yang bermuka berewok.

“Hai, Berewok! Kalian sudah mengambil kudaku, kenapa aku masih ditahan di sini? Apa yang hendak kalian lakukan dengan aku?”

Dengan wajah geram Si berewok itu menjawab. “Jangan banyak mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu seperti anjing sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?”

Cian Hui tertawa bergelak, suara ketawanya menembus keluar dari kuil itu. “Ha-ha- ha-ha! Kalian ini perampok-perampok busuk, penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu bahwa kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam tadi. Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok hitam, Berewok! Karena itu katakan saja, siapa mereka dan apa yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau mengaku, kelak kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan kupertimbangkan dosamu!”

“Manusia sombong! Engkau sudah seperti anjing dirantai, tinggal kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau masih banyak lagak? Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah engkau mengamuk, hemm... aku akan senang sekali mencabik-cabik perutmu agar ususmu berantakan!” Si Berewok marah sekali. Akan tetapi yang ditantangnya hanya tertawa bergelak.

Pada saat itu terdengar derap kaki kuda di luar. “Toa-ko, kenapa harus melayani orang sombong ini? Lebih baik lagi kalau toa-ko mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai berhasil. Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan tidak sabar.”

Cian Hui diam-diam merasa sedih. Kudanya akan dipaksa untuk menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan untuk menjinakkan kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu kelaparan. Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu, pikirnya.

Si berewok lalu keluar dari tempat penjagaan di depan ruangan itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti siul iseng saja, akan tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya dan kalau mendengar siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi tenang.

Dan memang perhitungannya itu tepat. Kuda hitam itu tadinya dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu gelisah. Bahkan karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan tetapi, begitu Si Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan itu. Kuda Hitam berhenti berlari dan ia menjadi tenang dan jinak. Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya dan mengelus lehernya, ia diam saja.

“Nah, kuda yang baik, engkau jinaklah dan menjadi kuda tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!” kata si berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon.

Melihat betapa kuda itu tetap jinak, Si Berewok mengira bahwa kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan dan dijinakkan dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan, dan semua ini diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok menjadi semakin girang dan bangga.

“Ha-ha-ha, aku sudah berhasil menjinakkannya! Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia menarik kendali kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.

Akan tetapi tiba-tiba saja, telinga kuda itu bergerak-gerak dan pendengarannya yang peka telah menerima isyarat melalui siulan majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga mengejutkan Si Berewok.

“Eh? Kenapa kembali?” Dia mencoba untuk menarik kendali akan tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan berlari seperti kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok membiarkan saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan menjepit perut kuda dengan kedua pahanya agar jangan sampai dia terpental jatuh.

Kuda Hitam itu berlari terus dan setelah tiba di depan kuil, kepala perampok mencoba untuk menarik kendali agar kuda itu berhenti berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan memasuki pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil yang lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu.

Tentu saja Si Berewok menjadi heran dan juga mulai takut, akan tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara siulan yang memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah meja tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan belakang! Setelah tiba di depan kamar di mana Cian Hui ditawan, barulah dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus bersiul dan kuda itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan, menggoyang-goyang tubuhnya.

Tentu saja Si Berewok yang berada di punggungnya terguncang-guncang, akan tetapi kepala perampok ini juga seorang ahli menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung kuda, mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus seperti seekor lintah! Anak buahnya yang melihat kuda itu mengamuk, pergi menjauh akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala rampok itu untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan terbanting!

Kuda itu terus meloncat-loncat seperti kemasukan setan, punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun merebahkan diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau kuda itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus! Maka, ketika kuda itu merebahkan diri, diapun meloncat turun. Begitu meloncat turun, kuda hitam itu menyepak dengan kaki belakangnya.

“Bukkkk!!” Pinggul dan paha Si berewok kena disepak. Tubuhnya terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun roboh dan mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk rasanya, seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti patah-patah.

“Kuda setan! Kuda terkutuk...!” Dia memaki-maki.

Dan Cian Hui tertawa bergelak. Setelah Cian Hui berhenti bersiul, kuda itupun menjadi tenang dan jinak kembali! Pada saat itu, di luar terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok yang agaknya baru tahu bahwa dia dipermainkan oleh tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan diapun bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam itu.

“Keretanya sudah siap. Bawalah dia dan lakukan seperti yang telah kami perintahkan!” kata yang bertubuh besar kepada kepala perampok yang mengangguk.

“Bagaimana dengan kuda iblis itu?” tanya si berewok kepada dua orang berkedok hitam.

“Tinggalkan di sini, biar kami yang urus. Nah, berangkatlah dan hati-hati jangan sampai dia lolos!”

Si Berewok lalu masuk ke dalam kamar, memegang lengan Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui bersikap tenang, akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam itu.

“Sobat, sungguh aku tidak mengerti apa yang kau kehendaki ini! Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak memperkenalkan diri? Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kau bunuh saja aku? Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu kepadaku!”

Akan tetapi, dua orang berkedok hitam itu hanya memberi isyarat kepada kepala perampok itu. “Hayo berangkat, jangan banyak cerewet kau!” bentak kepala perampok dan bersama belasan orang anak buahnya, dia menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis Episode Si Bayangan Iblis jilid 02 karya kho ping hoo

Ketika tiba di luar kuil, Cian Hui melihat sebuah kereta dengan dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang tidak besar dan yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah sekali. Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini, dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk mencoba meloloskan diri dari cengkeraman mereka.

Kalau berada di tempat sepi seperti ini, tentu saja tidak mungkin dia lolos, walaupun dia dapat memerintahkan kuda hitam untuk membantunya. Terdapat bahaya kuda yang disayanginya itu akan terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri dengan kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta ini melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia tentu akan dapat melompat keluar dan memberontak. Tentu hal ini akan menarik perhatian orang-orang dan dia mendapat kesempatan untuk diselamatkan.

Si berewok melangkah lebar ke arah kereta sambil menarik lengan Cian Hui, kemudian membentak. “Nah, masuklah, atau engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?”

Dia menyingkap tirai kereta dan membuka pintunya dan... tiba-tiba dia terbelalak, karena di dalam kereta itu nampak duduk seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.

“...eh, dewi... eh, babi... ah, cantiknya, manisnya... ah, siapakah engkau dan bagaimana...?” Kepala rampok berewokcitu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah terpesona melihat wanita berpakaian serba hitam itu.

Memang seorang yang mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita dan manis sekali, wajahnya nampak putih kemerahan dan mulus karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan tetapi juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat dan seluruh ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu setangkai bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya. Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang manis sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya, ditodongkannya ke arah hidung si berewok,

“Engkaulah babinya! Babi berewok!”

“Apa... apa kau bilang...?” Si berewok tergagap karena dia masih terpesona, juga terkejut karena tidak menduga akan melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam kereta itu. Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya sungguh tidak enak didengar!

“Aku bilang engkau babi berewok yang sekarat!” Wanita itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, ranting di tangannya itu meluncur ke arah leher si berewok.

Kepala rampok itu makin terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh terjengkang dan tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat! Melihat pimpinan mereka roboh dan berkelonjotan, belasan orang anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan marah. Mereka semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta, seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan mengayun cambuknya sambil membentak,

“Haiiii! Bagaimana engkau bisa berada di dalam keretaku?”

Akan tetapi wanita itu berseru dengan suaranya yang merdu, “Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku bertemu dengan dua ekor tikus besar berkedok itu!”

Tubuhnya meloncat dari kereta dan bagaikan seekor burung garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan melayang ke arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata terbelalak kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang mengintai dari lubang kain penutup muka itu.

Begitu melihat wanita cantik berpakaian serba hitam itu meloncat bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang berkedok itu sudah menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan pedangnya ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang ke arah leher wanita cantik itu! Betapa cepat, kuat dan juga kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka tidak ingin banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan serangan mereka.

Cian Hui memandang dengan muka agak pucat dan mata penuh kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang berkedok itu dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali! Diapun merasa terheran-heran mengapa wanita-wanita belaka yang datang bermunculan dan mencoba untuk menolongnya. Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan kuning.

Dan sekarang muncul seorang gadis lain berpakaian serba hitam yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua gadis cantik pertama itu! Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil membantu dua orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini?

“Wuuuuttt!” Pedang pertama menyambut dengan tusukan kilat ke arah perut.

“Singgg...!” Pedang kedua berdesing membacok ke arah leher.

Dan Cian Ciang-kun terbelalak! Tubuh nona berpakaian hitam itu sedang melayang dan disambut dua serangan maut itu, akan tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke atas dan dua serangan itupun luput!

Ketika tubuh meluncur ke bawah, tubuh itu didahului gulungan sinar kehijauan, yaitu sinar yang ditimbulkan oleh ranting di tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini meluncur turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang diputar, menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor naga menyambar turun dari angkasa!

Dua orang berkedok itupun terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu memiliki kecepatan gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi. Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.

“Takk! Takk!” Ranting itu bertemu dengan dua batang pedang, namun ranting itu tidak patah, sebaliknya, dua orang berkedok itu berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur pedang mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah pergelangan tangan mereka. Nyaris totokan itu mengenai sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan maklum bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.

“Hek... Liong... Li...?” Seru seorang di antara mereka yang bertubuh lebih besar.

Wanita cantik itu memang Lie Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li (Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja terkenal di daerah Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan dua orang di antara Kiu Lo-mo!

Liong-li tersenyum manis dan menudingkan rantingnya kepada dua orang berkedok hitam itu. “Kalian dua ekor anjing pengecut! Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di tanganku ini?”

Dua orang berkedok itu kini yakin bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok, namun jelas mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka yang gelisah.

“Kepung dan keroyok!” tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan orang perampok itu.

Mendengar perintah ini, belasan orang itu lalu menggerakkan senjata mereka menyerang Liong-li. Akan tetapi, wanita cantik ini menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw, menghindarkan diri dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya dengan serangan pedang, dibantu oleh para perampok.

Melihat betapa wanita cantik jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li seperti yang tadi juga sudah diduganya, Cian Hui kagum dan gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir. Dua orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua mempergunakan senjata pedang, sedangkan Liong-li hanya bersenjata sebatang ranting! Di samping itu masih ada lagi belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.

Timbul kekhawatiran di dalam hati Cian Hui. Bagaimanapun juga, kehebatan ilmu kepandaian wanita yang dijuluki Hek-liong-li itu baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum melihat betapa wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun ia masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di tangan itu Hek-liong-li akan mampu mengalahkan dua orang berkedok yang dibantu belasan orang anak buah perampok.

“Suiiiittt suiitt suiiiitttt!” Tiba-tiba Cian Ciang-kun mengeluarkan suara siulan nyaring melengking. Itu merupakan siulan perintah dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu masih dicancang di belakang kuil, akan tetapi begitu mendengar suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya putus, lalu dia lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi perkelahian.

Cian Hui sendiri telah meloncat ke depan, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia tidak dapat mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat dengan rantai yang panjangnya sekitar satu meter antara kedua kakinya. Biarpun hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan tendangan dengan sebelah kaki, namun dia dapat bergerak leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat dan kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.

“Desss...!” Anggauta perampok itu terjengkang dan tak mampu bangkit kembali karena selain dadanya dihantam dua buah kaki itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang tegap tinggi itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil meloncat ke depan, dia mengamuk!

Di dekatnya, Hek-ma (Kuda Hitam) juga meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan menyerang perampok terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat membuat orang yang disepak terlempar sampai beberapa meter jauhnya!

Sejenak Liong-li melirik ke arah pria tinggi tegap yang mengamuk bersama kudanya itu dan sinar kagum memancar dari sepasang mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera Liong-li mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus dapat membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka. Siapa mereka itu dan apa maksudnya menangkap dan menawan pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa pria gagah perkasa itu.

Melihat betapa Hek-liong-li hanya memegang sebatang ranting, tidak mempergunakan pedangnya yang amat terkenal sebagai pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka baru dapat merobohkan Liong-li selagi wanita itu mempergunakan rantingnya, dan belum sempat mempergunakan pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka secara dahsyat sekali.

Akan tetapi, dengan menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, Liong-li seperti menari-nari saja dan selalu lolos dari sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung rantingnya yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau siku lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi terkejut bukan main dan semakin lama mereka menjadi semakin jerih.

Liong-li mempergunakan kesempatan selagi dua orang menjadi gentar itu untuk mendesak. Ranting di tangannya berubah menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu kadang-kadang menyambar sinar ujung ranting.

“Lepaskan kedok itu!” Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung rantingnya menusuk ke arah muka orang itu dengan getaran yang membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar tubuhnya.

Orang itu terkejut sekali. Matanya terancam dan kalau sampai terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua mata atau satu diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan mengait kedok hitam sehingga terlepas dan nampak wajah orang itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li bergerak menyambar ke depan dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!

Melihat ini, orang kedua yang tubuhnya juga tinggi besar, akan tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi terkejut dan ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.

“Hemm, hendak lari ke mana engkau?” Liong-li membentak dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan ranting itupun meluncur bagaikan anak panah.

“Cappp!” punggung belakang pundak kanan si tinggi besar berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.

Melihat dua orang lawannya sudah roboh. Liong-li lalu memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya. Pria itu mengamuk, meloncat dan menendang dengan kedua kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau tidak, tubuhnya terbanting ke atas tanah.

Juga kuda hitam itu mengamuk membantu majikannya, menyepak, menubruk, menggigit! Belasan orang perampok itu benar-benar menghadapi kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok.

Melihat hal itu, Liong-li lalu meloncat dan dua kali tangannya menampar, dua orang perampok terpelanting roboh. Beberapa kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun roboh semua!

Cian Hui sudah bersiul panjang menenangkan kuda hitamnya yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan setelah perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu berhadapan dan saling pandang. Sejenak keduanya seperti terpesona, saling pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui berkata dengan senyum cerah.

“Hek-liong-li, alangkah senangnya mendapat kesempatan menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula malah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman maut!”

“Siapakah engkau dan ada kepentingan apakah mencariku?” tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan pandang matanya terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.

“Namaku Cian Hui dan aku datang dari kota raja. Ada urusan penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk mencarimu, li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku dihadang dan ditawan oleh dua orang berkedok itu.”

“Siapakan mereka itu?”

“Aku sendiripun ingin sekali mengetahui... heiiii...! Tahan dia...!” Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke depan karena kaki tangannya masih terbelenggu.

Mendengar ini, Liong-li cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di mana dua orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang teramat cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian Hui tadi terkejut melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah apa. Akan tetapi hal itu cukup membuat ia meloncat seperti terbang cepatnya melakukan pengejaran.

Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap di balik pohon-pohon dan biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya berlari bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan lagi bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk memeriksa tubuh dua orang berkedok itu, ternyata mereka telah tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal lagi!

“Keparat!” Liong-li memaki sambil mengepal tinju dan menoleh ke arah lenyapnya bayangan tadi.

Cian Hui meloncat-loncat seperti katak menghampiri dan melihat keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu memungut sebatang golok milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan Cian Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di pinggul dan pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua orang berkedok itu.

“Aih, sayang.” Dia menarik napas panjang. “Sungguh iblis itu lihai sekali. Tentu ada rahasia yang amat gawat sehingga dia datang dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga merusak mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja menunjukkan bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia yang meliputi pembunuhan di kota raja!”

“Pembunuhan di kota raja? Apa maksudmu?” Liong-li bertanya dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh selidik.

Cian Hui mengangguk dan kembali menghela napas panjang. “Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang untuk mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk membongkar rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara aneh di kota raja. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira pasukan keamanan yang bertugas membasmi kejahatan yang terjadi di kota raja.”

“Cian Ciang-kun, tidakkah lebih baik kalau kita bicara di rumahku saja? Sekarang, yang terpenting adalah menyelidiki siapa sesungguhnya dua orang berkedok ini.”

“Sayang mereka sudah tewas dan muka mereka tak dapat dikenal...”

“Kita bisa bertanya kepada anggauta penjahat yang masih hidup,” kata Liong-li dan iapun bangkit dan meneliti para penjahat yang rebah malang melintang itu.

Ada beberapa orang di antara mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut hanya terluka pada kakinya sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si gendut itu mengaduh-aduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui menghampirinya.