Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

“PENTING! Belum saatnya bicara sekarang. Kau tunggu di sini!” Dan tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu sudah bergantung pada akar pohon dan sebentar saja lenyap ke bawah tebing yang amat curam!

Wajah Sun Ting menjadi pucat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Akan tetapi dia tidak berani menjenguk ke tepi tebing jurang, karena selain dia merasa terlalu ngeri, juga dia takut kalau ada orang melihat dia menjenguk ke bawah. Maka, diapun pura-pura kepanasan dan membuka baju, duduk seperti orang berteduh di bawah pohon itu. Akan tetapi matanya hampir tak pernah berkedip memandang ke tepi jurang ke mana pendekar wanita itu tadi lenyap.

Ternyata tidak lebih dari dua menit Liong-li menuruni jurang. Dua menit yang bagi Sun Ting sama dengan dua jam! Dan wajah pendekar wanita itu berseri, mulutnya terhias senyuman yang membuat wajahnya menjadi semakin manis. Tanpa setahu Sun Ting, kini di pinggangnya terselip dua batang pedang.

Kalau tadinya ketika menuruni jurang ia hanya membawa pedangnya sendiri, yaitu Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang agak pendek, kini setelah muncul dari jurang ia membawa pula Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) yang lebih panjang di pinggangnya. Selain itu, juga ia mengantongi sehelai kertas yang memuat tulisan singkat. Bunyi surat tulisan Pek-liong itu seperti berikut:

“Terpaksa menyerah karena gadis itu mereka tawan. Entah akan dibawa kemana. Cari Po-yang Sam-liong.”

Hanya itulah isi tulisan, tanpa disehut namanya atau nama pengirim. Akan tetapi baginya sudah jelas sekali. Sahabatnya itu dipaksa menyerah kepada pihak musuh karena mereka telah menawan gadis she Kam adik Sun Ting itu! Dan ia harus mencari Po-yang Sam-liong. Hal ini berarti bahwa di antara para musuh itu terdapat Po-yang Sam-liong yang tentu akan dapat membawa ia ke sarang gerombolan musuh. Gawat!

“Bagaimana, lihiap?”

Melihat kekhawatiran dan ketegangan membayang pada pandang mata pemuda itu, Liong-li berpendapat bahwa sebaiknya pemuda itu diberitahu akan keadaan yang sebenarnya. Dia perlu ketenangan agar dapat merupakan pembantu yang berguna.

“Mari kita berjalan menuju ke telaga, Sun Ting. Benarkah dugaanku bahwa untuk mencari Po-yang Sam-liong, sebaiknya kita pergi melakukan penyelidikan ke Telaga Po-yang?”

Pemuda itu mengangguk, hatinya penuh ketegangan dan mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuruni bukit menuju ke telaga yang nampak dari lereng itu.

“Sun Ting, tenangkan hatimu. Mereka, Pek-liong-eng dan adikmu itu, telah menjadi tawanan musuh.”

“Ah! Tentu Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya!” Sun Ting mengepal tinju. “Akan tetapi Pek-liong-eng demikian lihainya, bagaimana mungkin dia dapat tertawan?”

“Mereka lebih dulu menawan adikmu dan memaksa Pek-liong-eng untuk menyerah. Kita tidak tahu mereka dibawa ke mana, dan hanya Po-yang Sam-liong yang mengetahuinya. Maka, kita harus mencari mereka secepat mungkin. Mari kita menyewa perahu.”

“Nanti dulu, lihiap. Untuk melawan Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya amatlah berbahaya. Akan tetapi kalau berada di air, biar dikeroyok mereka bertiga, aku sanggup mengalahkan mereka. Lihiap sebaiknya membawa bekal perlengkapan renang dan menyelam, untuk persiapan kalau-kalau semua itu lihiap perlukan.”

Karena ia sendiri bukan seorang ahli renang yang hebat, hanya sekedar dapat mencegah tenggelam saja, Liong-li menurut. Yang dibawa oleh Sun Ting adalah sepasang sepatu yang lebar seperti cakar bebek, dan sebuah pipit lemas kecil yang panjang. Pipa lemas ini dapat dipergunakan untuk bernapas di dalam air selagi menyelam, karena ujungnya diberi pengapung sehingga pipa itu ujungnya akan selalu berada di atas permukaan air dan dapat menyalurkan udara baru kepada si penyelam.

Setelah membawa perlengkapan dan mengajarkan kepada Liong-li, bagaimana mempergunakan benda-benda itu, mereka lalu naik sebuah perahu kecil, tidak menyewa, melainkan perahu milik Sun Ting sendiri. Untuk menyembunyikan diri, mereka berdua mempergunakan caping yang lebar sekali, yang biasa dipergunakan para nelayan untuk melindungi muka mereka dari terik matahari kalau mereka mencari ikan di telaga.

Caping lebar itu diberi tali yang dikalungkan di bawah dagu sehingga tidak terbang terbawa angin. Mereka mendayung perahu sambil menyembunyikan muka di balik caping, berputar-putaran dan akhirnya dari jauh mereka melihat perahu besar yang ditumpangi Po-yang Sam-liong! Melihat mereka, Sun Ting cepat mendayung perahunya menjauh.

“Itulah mereka...!” bisiknya kepada Liong-li.

Wanita perkasa ini melihat ke arah Sun Ting menunjuk dan melihat perahu besar itu. Yang nampak dari situ hanyalah tiga orang laki-laki raksasa yang berdiri di kepala perahu. Dengan otaknya yang cerdik dan cekatan sekali, Liong-li bertanya.

“Mereka yang disebut Po-yang Sam-liong?”

“Benar.”

“Hemm, tentu ada banyak orang lain di sana. Mari kita mendekat, Sun Ting.”

Sun Ting menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin mendekat. Mereka akan curiga dan kita akan ketahuan.”

“Ah, bukankah telaga ini tempat umum dan kita sudah menyamar dalam pakaian nelayan? Caping ini dapat menyembunyikan muka kita.”

“Engkau tidak mengerti, enci.” Dia berhenti sebentar, tergagap.

Dan Liong-li tersenyum dan dapat mengerti apa yang menyebabkan pemuda itu tergagap. “Sun Ting, engkau boleh saja menyebut lihiap atau enci, seenak mu sajalah, bagiku sama saja. Nah, teruskan keteranganmu.”

Sun Ting bernapas lega. Memang, dalam keadaan tegang, dia merasa sukar menyebut enci, lebih suka menyebut lihiap karena sebutan ini selalu mengingatkan dia bahwa wanita ini memiliki kesaktian, lihai sekali dan boleh dipercaya, boleh diandalkan. Namun, dalam keadaan tenang, dia memang lebih sering menyebut enci, sebutan yang lebih akrab.

“Begini, enci. Coba kaulihat di sana itu. Semua perahu, besar atau kecil, yang bertemu dengan perahu besar itu, pasti menyimpang dan menyingkir jauh-jauh. Kalau perahu kita mendekat, hal itu akan nampak luar biasa sekali dan pasti menarik perhatian Po-yang Sam-liong. Kita sama sekali tidak boleh mendekatkan perahu, hal itu akan menggagalkan penyelidikan kita.”

Liong-li mengangguk girang. Pemuda inipun pandai mempergunakan otaknya! “Habis, kalau tidak mendekatkan perahu, bagaimana kita akan dapat melakukan penyelidikan?”

Pemuda itu tersenyum, senyum kemenangan karena baru sekarang dia merasa “lebih” dibandingkan Liong-li. Dan wanita perkasa itu, memandang dengan sinar mata kagum. Bukan main gantengnya pemuda ini kalau sudah tersenyum seperti itu, pikirnya, akan tetapi segera ditekannya gairah hatinya.

“Enci, sebaiknya kita membayangi mereka dari jauh saja, pura-pura kita mencari ikan dengan demikian mereka tidak mencurigai kita dan kita akan tahu ke mana perahu mereka pergi. Kalau mereka sudah menghentikan perahu, barulah kita mendekat, akan tetapi tanpa menggunakan perahu lagi. Kita dapat berenang mendekati mereka.”

Liong-li merasa kurang jelas. “Kita sudah membawa perlengkapan sehingga dapat mengintai dengan berenang, akan tetapi tentu mereka akan melihat kita?”

“Tidak, enci. Kita dapat bersembunyi di situ.” Pemuda itu menunjuk ke kiri.

Dan Liong-li melihat daun dan bunga teratai yang lebat terapung di permukaan air. Ia tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. “Engkau hebat, Sun Ting!”

Sun Ting menjadi gembira sekali dan diapun cepat mengambil tumbuh-tumbuhan yang terapung di permukaan air itu, memasukannya ke dalam perahunya. Kemudian, perlahan-lahan mereka mendayung perahu, mengikuti perahu besar Po-yang Sam-liong itu dari kejauhan. Setelah perahu besar itu berhenti dan melempar jangkar di tengah telaga, Sun Ting bergumam lirih, dan menghentikan perahunya.

“Aneh, mereka berhenti di tempat yang biasa kami pergunakan untuk mencari batu dari dasar telaga!”

“Hemm, agaknya ada hubungannya dengan pekerjaanmu itu, Sun Ting. Kita harus menyelidiki ke sana.”

“Memang sebaiknya kita mendekat dengan berenang dan kita meninggalkan perahu di sini.”

Karena merasa bahwa di air dialah yang dapat memimpin, Sun Ting dengan cekatan lalu melemparkan jangkar untuk menahan perahu, dan dia membuka pakaian luarnya. Dengan hati bangga dia melihat betapa pandang mata wanita jelita itu ditujukan kepada tubuhnya dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.

Memang, Liong-li memandang tubuh pemuda itu dengan kagum. Tubuh yang biasa bermain dalam air itu memang tegap, dengan otot-otot sempurna menggembung di balik kulit yang halus. Dadanya bidang, dengan tonjolan-tonjolan sempurna, pinggang ramping dan perut kempis, paha dan betisnya seperti kaki katak. Ia sendiripun menanggalkan pakaian luarnya dan ia tersenyum ketika kini tiba giliran Sun Ting untuk mengamati tubuh yang padat dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang masak itu.

Liong-li mengenakan tambahan kaki katak untuk memudahkan ia bergerak dalam air, dan membawa pipa kecil untuk dipakai mengambil napas ke permukaan air di waktu menyelam. Kemudian, keduanya berenang sambil bersembunyi di bawah atau di antara daun-daun dari bunga teratai, mendekati perahu besar.

Demikianlah. dengan bersembunyi di balik bunga teratai mereka mengintai dan alangkah kaget hati mereka ketika melihat Pek-liong dan Cian Li telah menjadi tawanan di perahu itu. Dari tempat persembunyiannya, Liong-li mengamati orang-orang yang berada di dalam perahu, maklum bahwa mereka itu tentulah orang-orang pandai dan tokoh-tokoh dunia hitam. Ia melihat pula Pek-liong yang berdiri dengan sikapnya yang tenang.

Melihat sahabat dan rekannya ini, berdebar rasa jantung dalam dada Liong-li. Betapa sudah amat rindunya kepada Pek-liong! Dan Pek-liong kelihatan sehat, bahkan lebih tegap dan lebih gagah dari pada dahulu. Sikapnya yang tenang itu, walaupun kaki dan tangannya dibelenggu rantai, membuat hati Liong-li merasa terharu bercampur bangga. Tidak ada orang kedua segagah dan setabah Pek-liong, juga amat cerdik dan berani menghadapi ancaman maut tanpa berkedip mata!

Iapun melihat seorang gadis cantik manis yang kelihatan cemberut dan khawatir, kemudian melihat gadis itu membuka pakaian luarnya. Liong-li memandang kagum. Seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh indah. Ia teringat akan keindahan bentuk tubuh Sun Ting.

“Apakah gadis itu adikmu yang bernama Kam Cian Li itu?”

“Benar, cici, dan aku merasa heran sekali apa yang ia akan lakukan di sana itu. Ia menanggalkan pakaian, mengenakan pakaian selam, itu berarti ia akan menyelam.” Sun Ting termenung lalu melanjutkan dengan ragu dan khawatir. “Akan tetapi, kenapa...?”

Liong-li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. “Mari kita renungkan sebentar,” bisiknya. “Pek-liong menyerah karena Cian Li ditawan, dan kini mereka berdua dibawa ke sini oleh para penjahat itu. Pek-liong dibelenggu dan kelihatan tidak melawan sedangkan adikmu itu kini hendak menyelam. Hemm, agaknya ini ada hubungannya dengan rahasia peta Patung Emas!”

“Peta Patung emas?” Sun Ting bertanya heran.

“Itulah yang diperebutkan oleh kawanan penjahat itu, demikian menurut isi surat Pek-liong. Agaknya kini adikmu dipaksa untuk menyelam dan mencari sesuatu, dan Pek-liong tidak berdaya selama adikmu menjadi tawanan mereka.”

“Kalau begitu, biar aku menyelam dan menghubungi adikku di dalam air...”

“Jangan dulu. Lihat...!”

Pada saat itulah Cian Li mendorong Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan kedua orang wanita itu terjatuh ke dalam air. Mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu kelabakan di dalam air kemudian tenggelam seperti diseret ke bawah.

“Ha-ha, bagus adikku! Seret mereka satu demi satu ke bawah air sampai mereka mati lemas!” Sun Ting berkata girang. “Biar aku membantunya!”

Akan tetapi Liong-li menangkap lengannya. “Jangan, kita lihat bagaimana perkembangannya. Kau lihat, biarpun terbelenggu, Pek-liong mampu melindungi adikmu. Ketika raksasa pakaian hitam itu tadi memukul ke arah adikmu yang menerjang wanita cantik itu, Pek-liong menangkisnya. Dan raksasa itu bertenaga besar. Benar Pek-liong, mereka mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Kita harus berhati-hati dan melihat dulu perkembangannya sebelum turun tangan.”

Sementara itu, Pek-liong tersenyum gembira melihat betapa Cian Li telah mampu melampiaskan amarahnya kepada Tok-sim Nio-cu, wanita lihai itu tanpa si wanita sesat mampu membela diri! Sungguh Cian Li amat hebat, penuh keberanian, pikirnya. Melihat betapa Tok-sim Nio-cu masih terengah-engah biarpun perutnya sudah kempis kembali, wajahnya pucat dan matanya liar, dia tidak dapat menahan ketawanya. Apa lagi melihat rambut itu basah awut-awutan, pupurnya luntur dan pakaiannya juga basah kuyup. Seperti seekor kucing yang tadinya angkuh memamerkan kecantikannya, kini basah kuyup dan jelek!

Akan tetapi, dia melihat sinar maut berkilat di mata Tok-sim Nio-cu setiap kali wanita itu memandang ke arah air. Berbahaya, pikirnya. Wanita ini bisa berbahaya sekali dan mungkin saja dalam kemarahannya ia akan membunuh Cian Li begitu gadis itu muncul kembali ke atas.

“Beng-cu, kalau aku menjadi engkau, aku akan berhati-hati agar jangan sampai namaku menjadi rusak sebagai orang yang suka melanggar janjinya terhadap nona Kam Cian Li!” kata Pek-liong sambil tersenyum mengejek.

Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Hemm, aku bukan seorang yang suka melanggar janjiku. Aku seorang beng-cu, mengerti? Seorang beng-cu, seperti seorang raja, tidak akan melanggar janji!”

“Akan tetapi ada orang lain yang akan membuat engkau terpaksa melanggar janjimu, beng-cu. Aku khawatir begitu nona Kam muncul, ia akan dibunuh oleh Tok-sim Nio-cu!”

Siauw-bin Ciu-kwi menoleh kepada Tok-sim Nio-cu dan matanya berkilat. “Ia tidak akan berani!”

Ucapan ini sudah cukup bagi Pek-liong, karena itu merupakan jaminan keselamatan bagi Cian Li. Tok-sim Nio-cu jelas tidak akan berani turun tangan mengganggu Cian Li. Tok-sim Nio-cu menyeringai dan memandang kepada Pek-liong. Kemarahannya terhadap Cian Li lebih besar dari pada gairahnya terhadap Pek-liong.

“Pek-liong. kau kira aka tidak akan dapat membalasnya kelak setelah ia dibebaskan oleh beng-cu? Hemmm, kelak akan kubikin hancur seluruh tubuhnya, kulit mukanya akan kusayat-sayat!”

Di dalam batinnya, Pek-liong berjanji, “Sebelum kau lakukan itu, engkau akan lebih dulu kubunuh!”

Akan tetapi pada saat itu, semua orang memperhatikan munculnya sebuah kepala di permukaan air. Kepala Cian Li! Gadis itu mengguncang kepala sehingga rambut yang basah kuyup dan menutupi mukanya itu tersibak dan nampaklah mukanya yang cantik dan kemerahan. Ia mengambil pernapasan panjang di atas permukaan air, lalu nampak tangan kanannya yang memegang sebuah guci. Dari jauh, Sun Ting berbisik heran.

“Aih, benda apakah yang berada di tangan Cian Li itu? Aku tidak pernah melihatnya.”

“Sttt... kulihat itu sebuah guci. Dan adikmu menyerahkannya kepada si gendut kepala botak. Hemm, agaknya dia itulah yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo! Dan lihat, semua orang kini mengepung dan mengancam Pek-liong!”

Dua orang pengintai itu memandang dengan khawatir. Memang kini setelah Cian Li naik ke atas perahu, ia menyerahkan guci itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan memang sudah diatur sebelumnya, Siauw-bin Ciu-kwi yang menerima guci itu kini berdiri di belakang Pek-liong sambil mendekatkan tangan, siap menyerang, sedangkan para pembantunya juga semua telah menodongkan senjata kepada pendekar yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu.

“Hei...! Apa artinya lelucon ini, Siauw-bin Ciu-kwi?” bentak Pek-liong.

“Kalian memang tak tahu malu!” tiba-tiba Cian Li membentak dengan suara nyaring. “Kalian sudah berjanji akan membebaskan aku kalau aku menyerahkan peta itu, dan sekarang kalian malah mengancam Hay-koko?”

Mendengar gadis itu menyebut Hay-koko kepada Pek-liong, dan melihat sikapnya yang demikian beraninya untuk membela Pek-liong, Liong-li tersenyum. Sikap dan kata-kata itu saja sudah jelas baginya untuk menduga bahwa seperti banyak wanita lain, gadis penyelam yang bertubuh indah dan berwajah manis itu telah jatuh cinta kepada Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

“Ha-ha-ha, aku memang sudah berjanji untuk membebaskanmu, nona Kam dan aku Siauw-bin Ciu-kwi tidak akan menarik kembali janjiku kepadamu! Akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk membebaskan Pek-liong! Khawatir kalau-kalau dia akan membuat banyak ulah, maka dia harus dijaga sebelum aku melihat apakah peta yang kau berikan kepadaku ini tulen ataukah palsu!”

Setelah berkata demikian, Siauw-bin Ciu-kwi yang membiarkan para pembantunya menodongkan senjata mereka kepada Pek-liong, dia sendiri lalu membuka tutup guci dan mengeluarkan isinya. Segulung peta yang sama benar dengan peta yang berada di tangannya, yaitu bagian yang hilang.

Dia cepat membuka gulungan peta itu, mencocokkan dengan bagian yang berada padanya dan ternyata memang peta yang diserahkan Cian Li itu merupakan sambungan peta yang dia dapatkan! Dan setelah disambung, baru mudah dimengerti bahwa peta itu menunjukkan di mana adanya Patung Emas! Dengan sepasang matanya yang mencorong kejam itu, Siauw-bin Ciu-kwi mempelajari peta dan wajahnya berseri. Dia sudah memperoleh petunjuk di mana adanya Patung Emas!

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 31 karya kho ping hoo

Menurut petunjuk peta yang sudah digabungkan itu, Patung Emas ternyata disembunyikan di dasar telaga itu, di bagian barat dengan ukuran lima tombak dari pulau kecil yang menonjol keluar selebar beberapa meter persegi. Tempat itu mudah dicari! Akan tetapi diapun menyadari bahwa untuk mengambil patung itu, dibutuhkan tenaga seorang penyelam yang pandai! Maka, dia masih membutuhkan tenaga nona Kam Cian Li! Pada hal, dia telah berjanji membebaskannya.

Tiba-tiba saja Siauw-bin Ciu-kwi meloncat dan tangan kanannya membuat gerakan seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Pek-liong. Melihat ini, Pek-liong terkejut.

“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak membunuhku secara pengecut?” Dia sudah siap untuk melawan mati-matian.

Akan tetapi beng-cu itu tidak melanjutkan serangannya, melainkan berkata kepada Cian Li. “Nona Kam Cian Li, aku sudah berjanji bahwa engkau akan kubebaskan kalau sudah menyerahkan peta. Peta ini memang tulen dan engkau boleh bebas. Akan tetapi, kalau engkau pergi sekarang dan tidak mau membantu kami sekali lagi, terpaksa aku akan membunuh Pek-liong di depanmu sebelum engkau pergi!”

Tentu saja Cian Li terkejut bukan main dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong. Ia tidak perduli betapa ada beberapa pasang mata dari para pembantu beng-cu itu melotot penuh gairah memandang kepadanya, terutama kepada tubuhnya yang seperti telanjang bulat saja karena pakaian selam yang menempel di tubuhnya ketat seperti kulit kedua karena basah.

“Apa... apa maksudmu? Aku akan membantu kalian, asal kalian sekali ini berjanji tidak akan membunuh Hay-koko!”

“Bagus! Kuterima syaratmu itu, nona Kam. Menurut peta ini, tempat penyimpanan Patung emas berada di dasar telaga pula, di bagian lain dekat pulau kecil di sebelah barat. Nah, engkau harus menyelam sekali lagi untuk mengambilkan patung emas itu untuk kami, dan kami berjanji bahwa kami tidak akan membunuh Pek-liong!”

“Cian Li, jangan percaya mereka...!” Pek-liong berseru akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi bergerak menotok punggungnya dan Pek-liong roboh dengan tubuh lemas.

“Apa yang kau lakukan ini?” Cian Li berteriak dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong yang sudah tidak berdaya dan terkulai itu.

“Aku hanya menotoknya agar dia tidak dapat sembarangan memberontak dan membikin kacau. Sekali lagi kujanjikan, nona Kam, bahwa kalau engkau suka membantu kami, sekali lagi menyelam untuk mengambil patung emas dari dasar telaga, maka aku tidak akan membunuh Pek-liong!”

“Engkau mau bersumpah bahwa engkau tidak akan membunuh Hay-koko?” Cian Li mendesak.

Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum menyeringai. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan gadis itu, tentu pertanyaan itu saja sulah menjadi alasan cukup baginya untuk membunuh Cian Li! “Aku bersumpah tidak akan membunuh Pek-liong kalau engkau berhasil mengambil patung emas dari dasar telaga!”

“Baik, mari bawa aku ke tempat itu dan aku akan membantumu mengambil patung emas,” kata Cian Li dengan hati lega.

Sementara itu, Pek-liong maklum bahwa dia tentu saja tidak mungkin dapat mempercayai orang sejahat Siauw-bin Ciu-kwi. Dia harus bertindak cerdik karena dia harus menyelamatkan diri sendiri, juga menyelamatkan Cian Li. Kalau saja gadis itu sudah bebas, dia tidak begitu khawatir lagi. Betapapun juga, dia harus berhati-hati karena dia maklum bahwa selain lihai, juga Siauw-bin Ciu-kwi amat cerdik.

Ketika melihat perahu besar itu mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat, Liong-li dan Sun Ting juga sudah berada di perahu kecil mereka dan mendayung perlahan-lahan membayangi perahu besar itu dari jauh. Baru setelah perahu besar berhenti melempar jangkar keluar mereka berdua juga menghentikan perahu mereka dan seperti tadi, mereka mendekati perahu, bersembunyi di balik tumbuhan bunga teratai sampai mereka berada dekat dan bukan hanya dapat melihat, akan tetapi juga dapat mendengar percakapan di atas perahu besar.

Melihat daerah di mana perahu besar berhenti, Cian Li terkejut dan ia segera berkata kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Aih, daerah ini merupakan bagian paling dalam dari telaga! Tidak mudah mencari barang di dasar yang amat dalam ini. Aku tidak akan dapat bertahan lama di bawah sana. Terlalu dalam!”

Dengan mata terbelalak ngeri Cian Li yang berdiri di kepala perahu melihat ke air yang nampak agak kehitaman tanda bahwa bagian itu memang dalam sekali. Tiba-tiba terdengar teriakan,

“Li-moi, jangan mau menyelam di situ. Berbahaya sekali...!”

Semua orang menengok dan melihat seorang laki-laki berenang dengan gerakan kuat dan cepat sekali menuju ke perahu besar. Melihat orang itu, Siauw-bin Ciu-kwi menyeringai, “Nona Kam, bukankah dia itu kakakmu?”

Sementara itu, melihat munculnya Sun Ting yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, Cian Li terkejut. “Koko, kenapa kau ke sini? Pergilah cepat...!”

“Tidak, aku harus membantumu!” kata Sun Ting dan dia sudah merayap naik ke perahu melalui rantai jangkar, dengan gerakan yang cekatan. Di lain saat dia telah berada di atas perahu besar. Sedetik dia bertemu pandang dengan Pek-liong, akan tetapi Sun Ting seperti tidak perduli kepada pendekar itu. Dia memandang kepada Cian Li penuh kekhawatiran. Akan tetapi tiba-tiba, beberapa batang senjata telah menodong tubuh Sun Ting. Pemuda ini membalik, memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan berkata dengan suara lantang mengandung kemarahan.

“Kalian sungguh kejam! Kalian hendak memaksa adikku menyelam di tempat yang amat dalam ini?”

Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum lebar, hatinya girang sekali melihat munculnya kakak gadis itu. “Ha-ha-ha, ia sudah berjanji akan membantu kami mengambil patung emas di dasar telaga ini.”

“Koko, dia memaksaku, kalau aku tidak mau, dia akan membunuh Hay-ko? Untuk keselamatan Hay-ko aku terpaksa menyanggupi.”

“Benar ucapannya itu, orang muda. Ia sudah berjanji dan akupun sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong kalau ia bisa mengambilkan patung emas yang berada di dasar telaga ini. Kalau engkau melihat bahwa tempat ini dalam dan berbabaya, tentu saja engkau boleh membantu adikmu, ha-ha!”

“Memang aku mau membantu adikku dalam pekerjaan berbahaya ini. Akan tetapi aku minta agar aku mendengar pula janji itu. Kalau kami berdua berhasil menemukan benda yang kalian cari, maka kami berdua akan kalian bebaskan, dan juga Tan-taihiap akan kalian bebaskan? Berjanjilah, atau, kalau tidak, kami tidak akan menyelam, biar kalian bunuh sekalipun!”

Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Anak muda, jangan membuat kami marah! Aku sudah saling berjanji dengan adikmu, kalau ia dapat mengambilkan patung emas itu, kami akan membebaskan ia dan kami sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong.”

“Tapi...” Sun Ting hendak membantah karena dia tetap hendak menuntut agar Pek-liong dibebaskan.

Melihat ini, Pek-liong segera berkata. “Saudara Kam Sun Ting, sudahlah jangan engkau pikirkan lagi aku! Kalian penuhi permintaan Beng-cu, ambil patung emas itu dari dasar telaga. Aku sudah pasti tidak akan mereka bunuh, karena selain Beng-cu sudah berjanji kepada adikmu, juga aku kini yakin bahwa tiada gunanya menentang Beng-cu. Aku ingin membantunya agar aku mendapatkan bagian harta karun itu!”

Mendengar ucapan yang lantang ini, Sun Ting terbelalak memandang kepada pendekar itu. “Apa? Engkau... engkau akan membantu mereka ini, taihiap...?” tanyanya hampir tidak percaya.

Juga Cian Li memandang heran kepada pendekar itu. Kalau ia membantu para penjahat itu mengambil peta dan kini mengambil patung emas adalah karena terpaksa, karena ia ingin menyelamatkan Pek-liong. Akan tetapi sekarang pendekar itu tiba-tiba berbalik pikiran dan hendak membantu para penjahat dengan pamrih memperoleh bagian harta karun!

“Hay-ko...!” Iapun berseru heran.

Pek-liong melambaikan tangannya dengan sikap tak sabar, akan tetapi ternyata tangannya itu lemas tak bertenaga dan baru dia teringat bahwa dia masih belum pulih dari totokan Siauw-bin Ciu-kwi yang lihai. “Sudahlah, kalian jangan mencampuri urusan pribadiku. Penuhi saja permintaan beng-cu dan kalian segera pergi dengan bebas dari sini dan selanjutnya jangan lagi mencampuri urusan kami.”

Mendengar ini, kakak beradik itu memandang marah, dan Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Bagus, Pek-liong. Aku akan senang sekali bekerja sama denganmu. Akan tetapi maksud baikmu itu harus diuji dulu kebenarannya!”

Sun Ting dan Cian Li tidak banyak cakap lagi. Biarpun di dalam hati mereka marah kepada Pek-liong, dan merasa bahwa pendekar itu tidak pantas lagi dibela, akan tetapi Cian Li tetap ingin menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia telah berhutang budi kepada Pek-liong, akan tetapi karena memang ia telah jatuh cinta. Kalau ia tidak memenuhi permintaan beng-cu mengambilkan patung emas yang telah ia pelajari dari peta dan ketahui di mana letaknya, tentu Pek-liong akan dibunuh!

“Mari, Ting-ko, bantu aku!” katanya dan ia menggandeng tangan kakaknya, lalu diajak terjun ke air.

Mengagumkan sekali melihat betapa dua orang kakak beradik itu menimpa air seperti dua batang tombak saja, tidak menimbulkan suara berisik dan tubuh mereka segera lenyap di telan air. Kalau saja tidak ada kakaknya, biarpun terpaksa tentu akan sukar bagi Cian Li untuk menemukan patung emas itu karena bagian ini memang dalam dan agak gelap.

Hanya dengan meraba-raba, akhirnya ia menemukan guha seperti yang dimaksudkan dalam petunjuk peta yang sudah lengkap itu. Bersama Sun Ting ia memasuki guha dan benar saja, di sudut guha kecil itu ia menemukan sebuah patung yang tingginya kurang lebih satu kaki. Patung itu cukup berat dan Sun Ting lalu membawanya, dan mereka berdua segera naik ke permukaan air.

Mereka yang berada di dalam perahu besar, semua menjenguk ke air dengan penuh ketegangan hati, penuh harapan dan kecemasan. Begitu nampak dua buah kepala itu muncul dan kakak beradik itu terengah-engah memenuhi paru-paru dengan udara baru, Siauw-bin Ciu-kwi segera berteriak dari atas.

“Sudah kalian temukan patung emas itu?”

Sun Ting mengangkat tangan kanannya dan nampaklah sebuah patung yang berkilauan karena terbuat dari emas murni! Semua orang berseru kagum dan Siauw-bin Ciu-kwi segera berkata, “Cepat naik ke perahu dan serahkan kepada kami!”

“Akan kulemparkan ke atas dan kami berdua akan segera pergi dari sini!” kata Sun Ting.

“Baik, lemparkanlah!” teriak Siauw-bin Ciu-kwi.

“Tapi jangan langgar sumpahmu! Kalian tidak akan membunuh Tan-taihiap!” Cian Li berseru dan suaranya mengandung isak karena hatinya kecewa sekali melihat betapa pendekar yang dipuja dan dicintanya itu akhirnya merendahkan diri menjadi kaki tangan penjahat.

“Ha-ha, jangan khawatir, nona. Kami tidak akan membunuhnya, apa lagi dia kini menjadi sekutu kami. Nah, lemparkan patung emas itu!”

Sun Ting melemparkan benda itu ke atas perahu, disambar oleh tangan Siauw-bin Ciu-kwi. Semua orang mengagumi patung emas itu yang tentu merupakan benda berharga, bukan saja berharga amat mahal karena terbuat dari emas murni, akan tetapi juga berharga karena merupakan benda kuno yang antik.

Biarpun tubuhnya masih belum bebas dari pengaruh totokan dan dia belum dapat bergerak leluasa, namun Pek-liong sudah dapat memutar tubuhnya yang rebah dan ia memandang ke arah Siauw-bin Ciu-kwi yang sedang mengamati patung emas itu bersama para pembantunya. Dia melihat bahwa patung emas itu memang indah, sebuah patung emas Dewi Kwan Im Po-sat yang ukirannya amat indah.

Tentu patung itu amat mahal, akan tetapi belum cukup mahal untuk diributkan dan dijadikan perebutan, dan dia tahu bahwa orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu tidak akan sudi bersusah payah kalau hanya untuk mendapatkan sebuah patung emas semacam itu. Dia juga melihat betapa wajah Siauw-bin Ciu-kwi sudah mengandung kekecewaan, walaupun para pembantunya berseri-seri mengamati patung emas itu.

Dugaannya benar. Dan dari jauhpun dia tahu bahwa patung emas itu bukan sembarang patung. Dia sudah banyak mempelajari tentang patung kuno dan diam-diam dia menduga bahwa tentu patung itu menyimpan rahasia yang amat penting. Kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin orang jaman dahulu menyembunyikan patung itu dengan menyertai petanya pula! Patung emas seperti itu bukan merupakan harta karun yang luar biasa, dan orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu akan bisa mendapatkan dengan mencuri simpanan hartawan besar atau bangsawan tinggi.

Sementara itu, kakak beradik she Kam sudah menyelam kembali dan berenang dengan cepat bagaikan dua ekor ikan saja, meninggalkan perahu besar, akan tetapi mereka tidak diperdulikan lagi oleh para penjahat yang mengagumi patung emas.

Ada satu hal lain yang diyakini oleh hati Pek-liong, yaitu kehadiran Liong-li. Dia tahu bahwa sudah pasti Liong-li datang bersama Sun Ting dan sekarang entah berada di mana rekannya itu. Dari sikap Sun Ting yang demikian tabahnya saja diapun sudah menduga bahwa keberanian Sun Ting itu tentu ada penyebabnya, dan penyebab itu kiranya bukan lain karena ada Liong-li di belakangnya! Akan tetapi di mana adanya Liong-li?

Dia tahu bahwa biarpun Liong-li pandai berenang, namun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kakak beradik Kam dan tentu wanita perkasa itu tidak akan begitu sembrono untuk mengandalkan kepandaian renangnya menghadapi kawanan penjahat itu. Baru Po-yang Sam-liong saja sudah memiliki ilmu renang yang jauh lebih pandai dari Liong-li. Namun, hatinya tetap yakin bahwa Liong-li tidak berada jauh dari situ, maka diapun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Beng-cu! Apa artinya kalau yang kau cari dengan susah payah itu ternyata hanya sebuah patung emas seperti itu? Ha-ha, dalam semalam saja aku akan mampu mendapatkan beberapa buah patung emas seperti itu untukmu! Itulah kalau engkau mempunyai pembantu-pembantu yang tidak becus! Kalau kita berdua bekerja sama, tentu hasilnya akan seratus kali lebih besar dari pada itu!”

Pek-liong berkata dengan suara lantang, sengaja dikuatkan agar terdengar oleh Liong-li yang berada entah di mana, akan tetapi diharapkannya tidak terlalu jauh sehingga dapat mendengar ucapannya.

Kerut merut di antara alis Siauw-bin Ciu-kwi makin mendalam. Memang dia merasa kecewa sekali melihat hasil jerih payah selama ini. Hanya sebuah patung emas seperti itu! Memang mahal, akan tetapi dia mengharapkan harta karun yang lebih berharga lagi. Dia dapat membayangkan bahwa kalau dia mempunyai seorang pembantu seperti Pek-liong, tentu hasil usaha mereka akan lebih hebat. Akan tetapi tentu saja dia masih belum percaya akan kebenaran kata-kata pendekar itu.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring halus, “Pek-liong, engkau sungguh seorang manusia tidak tahu malu!”

Semua orang terkejut. Siauw-bin Ciu-kwi sekali meloncat sudah mendekati Pek-liong, patung emas masuk ke dalam jubahnya. Dia cerdik sekali dan siap menyerang Pek-liong yang dijadikan sandera.

Dari bawah perahu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya telah berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian serba hitam, pakaian yang ringkas dan basah, ketat menempel pada tubuhnya yang padat ramping dan matang itu.

Begitu melihat wanita berpakaian hitam ini, Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya dapat menduga siapa yang datang. Siauw-bin Ciu-kwi sudah membentak garang. “Apakah yang datang ini Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam)?”

Sementara itu, para pembantunya dengan senjatanya di tangan sudah siap untuk mengeroyok...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 31

“PENTING! Belum saatnya bicara sekarang. Kau tunggu di sini!” Dan tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu sudah bergantung pada akar pohon dan sebentar saja lenyap ke bawah tebing yang amat curam!

Wajah Sun Ting menjadi pucat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Akan tetapi dia tidak berani menjenguk ke tepi tebing jurang, karena selain dia merasa terlalu ngeri, juga dia takut kalau ada orang melihat dia menjenguk ke bawah. Maka, diapun pura-pura kepanasan dan membuka baju, duduk seperti orang berteduh di bawah pohon itu. Akan tetapi matanya hampir tak pernah berkedip memandang ke tepi jurang ke mana pendekar wanita itu tadi lenyap.

Ternyata tidak lebih dari dua menit Liong-li menuruni jurang. Dua menit yang bagi Sun Ting sama dengan dua jam! Dan wajah pendekar wanita itu berseri, mulutnya terhias senyuman yang membuat wajahnya menjadi semakin manis. Tanpa setahu Sun Ting, kini di pinggangnya terselip dua batang pedang.

Kalau tadinya ketika menuruni jurang ia hanya membawa pedangnya sendiri, yaitu Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang agak pendek, kini setelah muncul dari jurang ia membawa pula Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) yang lebih panjang di pinggangnya. Selain itu, juga ia mengantongi sehelai kertas yang memuat tulisan singkat. Bunyi surat tulisan Pek-liong itu seperti berikut:

“Terpaksa menyerah karena gadis itu mereka tawan. Entah akan dibawa kemana. Cari Po-yang Sam-liong.”

Hanya itulah isi tulisan, tanpa disehut namanya atau nama pengirim. Akan tetapi baginya sudah jelas sekali. Sahabatnya itu dipaksa menyerah kepada pihak musuh karena mereka telah menawan gadis she Kam adik Sun Ting itu! Dan ia harus mencari Po-yang Sam-liong. Hal ini berarti bahwa di antara para musuh itu terdapat Po-yang Sam-liong yang tentu akan dapat membawa ia ke sarang gerombolan musuh. Gawat!

“Bagaimana, lihiap?”

Melihat kekhawatiran dan ketegangan membayang pada pandang mata pemuda itu, Liong-li berpendapat bahwa sebaiknya pemuda itu diberitahu akan keadaan yang sebenarnya. Dia perlu ketenangan agar dapat merupakan pembantu yang berguna.

“Mari kita berjalan menuju ke telaga, Sun Ting. Benarkah dugaanku bahwa untuk mencari Po-yang Sam-liong, sebaiknya kita pergi melakukan penyelidikan ke Telaga Po-yang?”

Pemuda itu mengangguk, hatinya penuh ketegangan dan mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuruni bukit menuju ke telaga yang nampak dari lereng itu.

“Sun Ting, tenangkan hatimu. Mereka, Pek-liong-eng dan adikmu itu, telah menjadi tawanan musuh.”

“Ah! Tentu Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya!” Sun Ting mengepal tinju. “Akan tetapi Pek-liong-eng demikian lihainya, bagaimana mungkin dia dapat tertawan?”

“Mereka lebih dulu menawan adikmu dan memaksa Pek-liong-eng untuk menyerah. Kita tidak tahu mereka dibawa ke mana, dan hanya Po-yang Sam-liong yang mengetahuinya. Maka, kita harus mencari mereka secepat mungkin. Mari kita menyewa perahu.”

“Nanti dulu, lihiap. Untuk melawan Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya amatlah berbahaya. Akan tetapi kalau berada di air, biar dikeroyok mereka bertiga, aku sanggup mengalahkan mereka. Lihiap sebaiknya membawa bekal perlengkapan renang dan menyelam, untuk persiapan kalau-kalau semua itu lihiap perlukan.”

Karena ia sendiri bukan seorang ahli renang yang hebat, hanya sekedar dapat mencegah tenggelam saja, Liong-li menurut. Yang dibawa oleh Sun Ting adalah sepasang sepatu yang lebar seperti cakar bebek, dan sebuah pipit lemas kecil yang panjang. Pipa lemas ini dapat dipergunakan untuk bernapas di dalam air selagi menyelam, karena ujungnya diberi pengapung sehingga pipa itu ujungnya akan selalu berada di atas permukaan air dan dapat menyalurkan udara baru kepada si penyelam.

Setelah membawa perlengkapan dan mengajarkan kepada Liong-li, bagaimana mempergunakan benda-benda itu, mereka lalu naik sebuah perahu kecil, tidak menyewa, melainkan perahu milik Sun Ting sendiri. Untuk menyembunyikan diri, mereka berdua mempergunakan caping yang lebar sekali, yang biasa dipergunakan para nelayan untuk melindungi muka mereka dari terik matahari kalau mereka mencari ikan di telaga.

Caping lebar itu diberi tali yang dikalungkan di bawah dagu sehingga tidak terbang terbawa angin. Mereka mendayung perahu sambil menyembunyikan muka di balik caping, berputar-putaran dan akhirnya dari jauh mereka melihat perahu besar yang ditumpangi Po-yang Sam-liong! Melihat mereka, Sun Ting cepat mendayung perahunya menjauh.

“Itulah mereka...!” bisiknya kepada Liong-li.

Wanita perkasa ini melihat ke arah Sun Ting menunjuk dan melihat perahu besar itu. Yang nampak dari situ hanyalah tiga orang laki-laki raksasa yang berdiri di kepala perahu. Dengan otaknya yang cerdik dan cekatan sekali, Liong-li bertanya.

“Mereka yang disebut Po-yang Sam-liong?”

“Benar.”

“Hemm, tentu ada banyak orang lain di sana. Mari kita mendekat, Sun Ting.”

Sun Ting menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin mendekat. Mereka akan curiga dan kita akan ketahuan.”

“Ah, bukankah telaga ini tempat umum dan kita sudah menyamar dalam pakaian nelayan? Caping ini dapat menyembunyikan muka kita.”

“Engkau tidak mengerti, enci.” Dia berhenti sebentar, tergagap.

Dan Liong-li tersenyum dan dapat mengerti apa yang menyebabkan pemuda itu tergagap. “Sun Ting, engkau boleh saja menyebut lihiap atau enci, seenak mu sajalah, bagiku sama saja. Nah, teruskan keteranganmu.”

Sun Ting bernapas lega. Memang, dalam keadaan tegang, dia merasa sukar menyebut enci, lebih suka menyebut lihiap karena sebutan ini selalu mengingatkan dia bahwa wanita ini memiliki kesaktian, lihai sekali dan boleh dipercaya, boleh diandalkan. Namun, dalam keadaan tenang, dia memang lebih sering menyebut enci, sebutan yang lebih akrab.

“Begini, enci. Coba kaulihat di sana itu. Semua perahu, besar atau kecil, yang bertemu dengan perahu besar itu, pasti menyimpang dan menyingkir jauh-jauh. Kalau perahu kita mendekat, hal itu akan nampak luar biasa sekali dan pasti menarik perhatian Po-yang Sam-liong. Kita sama sekali tidak boleh mendekatkan perahu, hal itu akan menggagalkan penyelidikan kita.”

Liong-li mengangguk girang. Pemuda inipun pandai mempergunakan otaknya! “Habis, kalau tidak mendekatkan perahu, bagaimana kita akan dapat melakukan penyelidikan?”

Pemuda itu tersenyum, senyum kemenangan karena baru sekarang dia merasa “lebih” dibandingkan Liong-li. Dan wanita perkasa itu, memandang dengan sinar mata kagum. Bukan main gantengnya pemuda ini kalau sudah tersenyum seperti itu, pikirnya, akan tetapi segera ditekannya gairah hatinya.

“Enci, sebaiknya kita membayangi mereka dari jauh saja, pura-pura kita mencari ikan dengan demikian mereka tidak mencurigai kita dan kita akan tahu ke mana perahu mereka pergi. Kalau mereka sudah menghentikan perahu, barulah kita mendekat, akan tetapi tanpa menggunakan perahu lagi. Kita dapat berenang mendekati mereka.”

Liong-li merasa kurang jelas. “Kita sudah membawa perlengkapan sehingga dapat mengintai dengan berenang, akan tetapi tentu mereka akan melihat kita?”

“Tidak, enci. Kita dapat bersembunyi di situ.” Pemuda itu menunjuk ke kiri.

Dan Liong-li melihat daun dan bunga teratai yang lebat terapung di permukaan air. Ia tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. “Engkau hebat, Sun Ting!”

Sun Ting menjadi gembira sekali dan diapun cepat mengambil tumbuh-tumbuhan yang terapung di permukaan air itu, memasukannya ke dalam perahunya. Kemudian, perlahan-lahan mereka mendayung perahu, mengikuti perahu besar Po-yang Sam-liong itu dari kejauhan. Setelah perahu besar itu berhenti dan melempar jangkar di tengah telaga, Sun Ting bergumam lirih, dan menghentikan perahunya.

“Aneh, mereka berhenti di tempat yang biasa kami pergunakan untuk mencari batu dari dasar telaga!”

“Hemm, agaknya ada hubungannya dengan pekerjaanmu itu, Sun Ting. Kita harus menyelidiki ke sana.”

“Memang sebaiknya kita mendekat dengan berenang dan kita meninggalkan perahu di sini.”

Karena merasa bahwa di air dialah yang dapat memimpin, Sun Ting dengan cekatan lalu melemparkan jangkar untuk menahan perahu, dan dia membuka pakaian luarnya. Dengan hati bangga dia melihat betapa pandang mata wanita jelita itu ditujukan kepada tubuhnya dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.

Memang, Liong-li memandang tubuh pemuda itu dengan kagum. Tubuh yang biasa bermain dalam air itu memang tegap, dengan otot-otot sempurna menggembung di balik kulit yang halus. Dadanya bidang, dengan tonjolan-tonjolan sempurna, pinggang ramping dan perut kempis, paha dan betisnya seperti kaki katak. Ia sendiripun menanggalkan pakaian luarnya dan ia tersenyum ketika kini tiba giliran Sun Ting untuk mengamati tubuh yang padat dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang masak itu.

Liong-li mengenakan tambahan kaki katak untuk memudahkan ia bergerak dalam air, dan membawa pipa kecil untuk dipakai mengambil napas ke permukaan air di waktu menyelam. Kemudian, keduanya berenang sambil bersembunyi di bawah atau di antara daun-daun dari bunga teratai, mendekati perahu besar.

Demikianlah. dengan bersembunyi di balik bunga teratai mereka mengintai dan alangkah kaget hati mereka ketika melihat Pek-liong dan Cian Li telah menjadi tawanan di perahu itu. Dari tempat persembunyiannya, Liong-li mengamati orang-orang yang berada di dalam perahu, maklum bahwa mereka itu tentulah orang-orang pandai dan tokoh-tokoh dunia hitam. Ia melihat pula Pek-liong yang berdiri dengan sikapnya yang tenang.

Melihat sahabat dan rekannya ini, berdebar rasa jantung dalam dada Liong-li. Betapa sudah amat rindunya kepada Pek-liong! Dan Pek-liong kelihatan sehat, bahkan lebih tegap dan lebih gagah dari pada dahulu. Sikapnya yang tenang itu, walaupun kaki dan tangannya dibelenggu rantai, membuat hati Liong-li merasa terharu bercampur bangga. Tidak ada orang kedua segagah dan setabah Pek-liong, juga amat cerdik dan berani menghadapi ancaman maut tanpa berkedip mata!

Iapun melihat seorang gadis cantik manis yang kelihatan cemberut dan khawatir, kemudian melihat gadis itu membuka pakaian luarnya. Liong-li memandang kagum. Seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh indah. Ia teringat akan keindahan bentuk tubuh Sun Ting.

“Apakah gadis itu adikmu yang bernama Kam Cian Li itu?”

“Benar, cici, dan aku merasa heran sekali apa yang ia akan lakukan di sana itu. Ia menanggalkan pakaian, mengenakan pakaian selam, itu berarti ia akan menyelam.” Sun Ting termenung lalu melanjutkan dengan ragu dan khawatir. “Akan tetapi, kenapa...?”

Liong-li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. “Mari kita renungkan sebentar,” bisiknya. “Pek-liong menyerah karena Cian Li ditawan, dan kini mereka berdua dibawa ke sini oleh para penjahat itu. Pek-liong dibelenggu dan kelihatan tidak melawan sedangkan adikmu itu kini hendak menyelam. Hemm, agaknya ini ada hubungannya dengan rahasia peta Patung Emas!”

“Peta Patung emas?” Sun Ting bertanya heran.

“Itulah yang diperebutkan oleh kawanan penjahat itu, demikian menurut isi surat Pek-liong. Agaknya kini adikmu dipaksa untuk menyelam dan mencari sesuatu, dan Pek-liong tidak berdaya selama adikmu menjadi tawanan mereka.”

“Kalau begitu, biar aku menyelam dan menghubungi adikku di dalam air...”

“Jangan dulu. Lihat...!”

Pada saat itulah Cian Li mendorong Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan kedua orang wanita itu terjatuh ke dalam air. Mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu kelabakan di dalam air kemudian tenggelam seperti diseret ke bawah.

“Ha-ha, bagus adikku! Seret mereka satu demi satu ke bawah air sampai mereka mati lemas!” Sun Ting berkata girang. “Biar aku membantunya!”

Akan tetapi Liong-li menangkap lengannya. “Jangan, kita lihat bagaimana perkembangannya. Kau lihat, biarpun terbelenggu, Pek-liong mampu melindungi adikmu. Ketika raksasa pakaian hitam itu tadi memukul ke arah adikmu yang menerjang wanita cantik itu, Pek-liong menangkisnya. Dan raksasa itu bertenaga besar. Benar Pek-liong, mereka mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Kita harus berhati-hati dan melihat dulu perkembangannya sebelum turun tangan.”

Sementara itu, Pek-liong tersenyum gembira melihat betapa Cian Li telah mampu melampiaskan amarahnya kepada Tok-sim Nio-cu, wanita lihai itu tanpa si wanita sesat mampu membela diri! Sungguh Cian Li amat hebat, penuh keberanian, pikirnya. Melihat betapa Tok-sim Nio-cu masih terengah-engah biarpun perutnya sudah kempis kembali, wajahnya pucat dan matanya liar, dia tidak dapat menahan ketawanya. Apa lagi melihat rambut itu basah awut-awutan, pupurnya luntur dan pakaiannya juga basah kuyup. Seperti seekor kucing yang tadinya angkuh memamerkan kecantikannya, kini basah kuyup dan jelek!

Akan tetapi, dia melihat sinar maut berkilat di mata Tok-sim Nio-cu setiap kali wanita itu memandang ke arah air. Berbahaya, pikirnya. Wanita ini bisa berbahaya sekali dan mungkin saja dalam kemarahannya ia akan membunuh Cian Li begitu gadis itu muncul kembali ke atas.

“Beng-cu, kalau aku menjadi engkau, aku akan berhati-hati agar jangan sampai namaku menjadi rusak sebagai orang yang suka melanggar janjinya terhadap nona Kam Cian Li!” kata Pek-liong sambil tersenyum mengejek.

Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Hemm, aku bukan seorang yang suka melanggar janjiku. Aku seorang beng-cu, mengerti? Seorang beng-cu, seperti seorang raja, tidak akan melanggar janji!”

“Akan tetapi ada orang lain yang akan membuat engkau terpaksa melanggar janjimu, beng-cu. Aku khawatir begitu nona Kam muncul, ia akan dibunuh oleh Tok-sim Nio-cu!”

Siauw-bin Ciu-kwi menoleh kepada Tok-sim Nio-cu dan matanya berkilat. “Ia tidak akan berani!”

Ucapan ini sudah cukup bagi Pek-liong, karena itu merupakan jaminan keselamatan bagi Cian Li. Tok-sim Nio-cu jelas tidak akan berani turun tangan mengganggu Cian Li. Tok-sim Nio-cu menyeringai dan memandang kepada Pek-liong. Kemarahannya terhadap Cian Li lebih besar dari pada gairahnya terhadap Pek-liong.

“Pek-liong. kau kira aka tidak akan dapat membalasnya kelak setelah ia dibebaskan oleh beng-cu? Hemmm, kelak akan kubikin hancur seluruh tubuhnya, kulit mukanya akan kusayat-sayat!”

Di dalam batinnya, Pek-liong berjanji, “Sebelum kau lakukan itu, engkau akan lebih dulu kubunuh!”

Akan tetapi pada saat itu, semua orang memperhatikan munculnya sebuah kepala di permukaan air. Kepala Cian Li! Gadis itu mengguncang kepala sehingga rambut yang basah kuyup dan menutupi mukanya itu tersibak dan nampaklah mukanya yang cantik dan kemerahan. Ia mengambil pernapasan panjang di atas permukaan air, lalu nampak tangan kanannya yang memegang sebuah guci. Dari jauh, Sun Ting berbisik heran.

“Aih, benda apakah yang berada di tangan Cian Li itu? Aku tidak pernah melihatnya.”

“Sttt... kulihat itu sebuah guci. Dan adikmu menyerahkannya kepada si gendut kepala botak. Hemm, agaknya dia itulah yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo! Dan lihat, semua orang kini mengepung dan mengancam Pek-liong!”

Dua orang pengintai itu memandang dengan khawatir. Memang kini setelah Cian Li naik ke atas perahu, ia menyerahkan guci itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan memang sudah diatur sebelumnya, Siauw-bin Ciu-kwi yang menerima guci itu kini berdiri di belakang Pek-liong sambil mendekatkan tangan, siap menyerang, sedangkan para pembantunya juga semua telah menodongkan senjata kepada pendekar yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu.

“Hei...! Apa artinya lelucon ini, Siauw-bin Ciu-kwi?” bentak Pek-liong.

“Kalian memang tak tahu malu!” tiba-tiba Cian Li membentak dengan suara nyaring. “Kalian sudah berjanji akan membebaskan aku kalau aku menyerahkan peta itu, dan sekarang kalian malah mengancam Hay-koko?”

Mendengar gadis itu menyebut Hay-koko kepada Pek-liong, dan melihat sikapnya yang demikian beraninya untuk membela Pek-liong, Liong-li tersenyum. Sikap dan kata-kata itu saja sudah jelas baginya untuk menduga bahwa seperti banyak wanita lain, gadis penyelam yang bertubuh indah dan berwajah manis itu telah jatuh cinta kepada Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

“Ha-ha-ha, aku memang sudah berjanji untuk membebaskanmu, nona Kam dan aku Siauw-bin Ciu-kwi tidak akan menarik kembali janjiku kepadamu! Akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk membebaskan Pek-liong! Khawatir kalau-kalau dia akan membuat banyak ulah, maka dia harus dijaga sebelum aku melihat apakah peta yang kau berikan kepadaku ini tulen ataukah palsu!”

Setelah berkata demikian, Siauw-bin Ciu-kwi yang membiarkan para pembantunya menodongkan senjata mereka kepada Pek-liong, dia sendiri lalu membuka tutup guci dan mengeluarkan isinya. Segulung peta yang sama benar dengan peta yang berada di tangannya, yaitu bagian yang hilang.

Dia cepat membuka gulungan peta itu, mencocokkan dengan bagian yang berada padanya dan ternyata memang peta yang diserahkan Cian Li itu merupakan sambungan peta yang dia dapatkan! Dan setelah disambung, baru mudah dimengerti bahwa peta itu menunjukkan di mana adanya Patung Emas! Dengan sepasang matanya yang mencorong kejam itu, Siauw-bin Ciu-kwi mempelajari peta dan wajahnya berseri. Dia sudah memperoleh petunjuk di mana adanya Patung Emas!

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 31 karya kho ping hoo

Menurut petunjuk peta yang sudah digabungkan itu, Patung Emas ternyata disembunyikan di dasar telaga itu, di bagian barat dengan ukuran lima tombak dari pulau kecil yang menonjol keluar selebar beberapa meter persegi. Tempat itu mudah dicari! Akan tetapi diapun menyadari bahwa untuk mengambil patung itu, dibutuhkan tenaga seorang penyelam yang pandai! Maka, dia masih membutuhkan tenaga nona Kam Cian Li! Pada hal, dia telah berjanji membebaskannya.

Tiba-tiba saja Siauw-bin Ciu-kwi meloncat dan tangan kanannya membuat gerakan seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Pek-liong. Melihat ini, Pek-liong terkejut.

“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak membunuhku secara pengecut?” Dia sudah siap untuk melawan mati-matian.

Akan tetapi beng-cu itu tidak melanjutkan serangannya, melainkan berkata kepada Cian Li. “Nona Kam Cian Li, aku sudah berjanji bahwa engkau akan kubebaskan kalau sudah menyerahkan peta. Peta ini memang tulen dan engkau boleh bebas. Akan tetapi, kalau engkau pergi sekarang dan tidak mau membantu kami sekali lagi, terpaksa aku akan membunuh Pek-liong di depanmu sebelum engkau pergi!”

Tentu saja Cian Li terkejut bukan main dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong. Ia tidak perduli betapa ada beberapa pasang mata dari para pembantu beng-cu itu melotot penuh gairah memandang kepadanya, terutama kepada tubuhnya yang seperti telanjang bulat saja karena pakaian selam yang menempel di tubuhnya ketat seperti kulit kedua karena basah.

“Apa... apa maksudmu? Aku akan membantu kalian, asal kalian sekali ini berjanji tidak akan membunuh Hay-koko!”

“Bagus! Kuterima syaratmu itu, nona Kam. Menurut peta ini, tempat penyimpanan Patung emas berada di dasar telaga pula, di bagian lain dekat pulau kecil di sebelah barat. Nah, engkau harus menyelam sekali lagi untuk mengambilkan patung emas itu untuk kami, dan kami berjanji bahwa kami tidak akan membunuh Pek-liong!”

“Cian Li, jangan percaya mereka...!” Pek-liong berseru akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi bergerak menotok punggungnya dan Pek-liong roboh dengan tubuh lemas.

“Apa yang kau lakukan ini?” Cian Li berteriak dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong yang sudah tidak berdaya dan terkulai itu.

“Aku hanya menotoknya agar dia tidak dapat sembarangan memberontak dan membikin kacau. Sekali lagi kujanjikan, nona Kam, bahwa kalau engkau suka membantu kami, sekali lagi menyelam untuk mengambil patung emas dari dasar telaga, maka aku tidak akan membunuh Pek-liong!”

“Engkau mau bersumpah bahwa engkau tidak akan membunuh Hay-koko?” Cian Li mendesak.

Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum menyeringai. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan gadis itu, tentu pertanyaan itu saja sulah menjadi alasan cukup baginya untuk membunuh Cian Li! “Aku bersumpah tidak akan membunuh Pek-liong kalau engkau berhasil mengambil patung emas dari dasar telaga!”

“Baik, mari bawa aku ke tempat itu dan aku akan membantumu mengambil patung emas,” kata Cian Li dengan hati lega.

Sementara itu, Pek-liong maklum bahwa dia tentu saja tidak mungkin dapat mempercayai orang sejahat Siauw-bin Ciu-kwi. Dia harus bertindak cerdik karena dia harus menyelamatkan diri sendiri, juga menyelamatkan Cian Li. Kalau saja gadis itu sudah bebas, dia tidak begitu khawatir lagi. Betapapun juga, dia harus berhati-hati karena dia maklum bahwa selain lihai, juga Siauw-bin Ciu-kwi amat cerdik.

Ketika melihat perahu besar itu mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat, Liong-li dan Sun Ting juga sudah berada di perahu kecil mereka dan mendayung perlahan-lahan membayangi perahu besar itu dari jauh. Baru setelah perahu besar berhenti melempar jangkar keluar mereka berdua juga menghentikan perahu mereka dan seperti tadi, mereka mendekati perahu, bersembunyi di balik tumbuhan bunga teratai sampai mereka berada dekat dan bukan hanya dapat melihat, akan tetapi juga dapat mendengar percakapan di atas perahu besar.

Melihat daerah di mana perahu besar berhenti, Cian Li terkejut dan ia segera berkata kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Aih, daerah ini merupakan bagian paling dalam dari telaga! Tidak mudah mencari barang di dasar yang amat dalam ini. Aku tidak akan dapat bertahan lama di bawah sana. Terlalu dalam!”

Dengan mata terbelalak ngeri Cian Li yang berdiri di kepala perahu melihat ke air yang nampak agak kehitaman tanda bahwa bagian itu memang dalam sekali. Tiba-tiba terdengar teriakan,

“Li-moi, jangan mau menyelam di situ. Berbahaya sekali...!”

Semua orang menengok dan melihat seorang laki-laki berenang dengan gerakan kuat dan cepat sekali menuju ke perahu besar. Melihat orang itu, Siauw-bin Ciu-kwi menyeringai, “Nona Kam, bukankah dia itu kakakmu?”

Sementara itu, melihat munculnya Sun Ting yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, Cian Li terkejut. “Koko, kenapa kau ke sini? Pergilah cepat...!”

“Tidak, aku harus membantumu!” kata Sun Ting dan dia sudah merayap naik ke perahu melalui rantai jangkar, dengan gerakan yang cekatan. Di lain saat dia telah berada di atas perahu besar. Sedetik dia bertemu pandang dengan Pek-liong, akan tetapi Sun Ting seperti tidak perduli kepada pendekar itu. Dia memandang kepada Cian Li penuh kekhawatiran. Akan tetapi tiba-tiba, beberapa batang senjata telah menodong tubuh Sun Ting. Pemuda ini membalik, memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan berkata dengan suara lantang mengandung kemarahan.

“Kalian sungguh kejam! Kalian hendak memaksa adikku menyelam di tempat yang amat dalam ini?”

Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum lebar, hatinya girang sekali melihat munculnya kakak gadis itu. “Ha-ha-ha, ia sudah berjanji akan membantu kami mengambil patung emas di dasar telaga ini.”

“Koko, dia memaksaku, kalau aku tidak mau, dia akan membunuh Hay-ko? Untuk keselamatan Hay-ko aku terpaksa menyanggupi.”

“Benar ucapannya itu, orang muda. Ia sudah berjanji dan akupun sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong kalau ia bisa mengambilkan patung emas yang berada di dasar telaga ini. Kalau engkau melihat bahwa tempat ini dalam dan berbabaya, tentu saja engkau boleh membantu adikmu, ha-ha!”

“Memang aku mau membantu adikku dalam pekerjaan berbahaya ini. Akan tetapi aku minta agar aku mendengar pula janji itu. Kalau kami berdua berhasil menemukan benda yang kalian cari, maka kami berdua akan kalian bebaskan, dan juga Tan-taihiap akan kalian bebaskan? Berjanjilah, atau, kalau tidak, kami tidak akan menyelam, biar kalian bunuh sekalipun!”

Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Anak muda, jangan membuat kami marah! Aku sudah saling berjanji dengan adikmu, kalau ia dapat mengambilkan patung emas itu, kami akan membebaskan ia dan kami sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong.”

“Tapi...” Sun Ting hendak membantah karena dia tetap hendak menuntut agar Pek-liong dibebaskan.

Melihat ini, Pek-liong segera berkata. “Saudara Kam Sun Ting, sudahlah jangan engkau pikirkan lagi aku! Kalian penuhi permintaan Beng-cu, ambil patung emas itu dari dasar telaga. Aku sudah pasti tidak akan mereka bunuh, karena selain Beng-cu sudah berjanji kepada adikmu, juga aku kini yakin bahwa tiada gunanya menentang Beng-cu. Aku ingin membantunya agar aku mendapatkan bagian harta karun itu!”

Mendengar ucapan yang lantang ini, Sun Ting terbelalak memandang kepada pendekar itu. “Apa? Engkau... engkau akan membantu mereka ini, taihiap...?” tanyanya hampir tidak percaya.

Juga Cian Li memandang heran kepada pendekar itu. Kalau ia membantu para penjahat itu mengambil peta dan kini mengambil patung emas adalah karena terpaksa, karena ia ingin menyelamatkan Pek-liong. Akan tetapi sekarang pendekar itu tiba-tiba berbalik pikiran dan hendak membantu para penjahat dengan pamrih memperoleh bagian harta karun!

“Hay-ko...!” Iapun berseru heran.

Pek-liong melambaikan tangannya dengan sikap tak sabar, akan tetapi ternyata tangannya itu lemas tak bertenaga dan baru dia teringat bahwa dia masih belum pulih dari totokan Siauw-bin Ciu-kwi yang lihai. “Sudahlah, kalian jangan mencampuri urusan pribadiku. Penuhi saja permintaan beng-cu dan kalian segera pergi dengan bebas dari sini dan selanjutnya jangan lagi mencampuri urusan kami.”

Mendengar ini, kakak beradik itu memandang marah, dan Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Bagus, Pek-liong. Aku akan senang sekali bekerja sama denganmu. Akan tetapi maksud baikmu itu harus diuji dulu kebenarannya!”

Sun Ting dan Cian Li tidak banyak cakap lagi. Biarpun di dalam hati mereka marah kepada Pek-liong, dan merasa bahwa pendekar itu tidak pantas lagi dibela, akan tetapi Cian Li tetap ingin menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia telah berhutang budi kepada Pek-liong, akan tetapi karena memang ia telah jatuh cinta. Kalau ia tidak memenuhi permintaan beng-cu mengambilkan patung emas yang telah ia pelajari dari peta dan ketahui di mana letaknya, tentu Pek-liong akan dibunuh!

“Mari, Ting-ko, bantu aku!” katanya dan ia menggandeng tangan kakaknya, lalu diajak terjun ke air.

Mengagumkan sekali melihat betapa dua orang kakak beradik itu menimpa air seperti dua batang tombak saja, tidak menimbulkan suara berisik dan tubuh mereka segera lenyap di telan air. Kalau saja tidak ada kakaknya, biarpun terpaksa tentu akan sukar bagi Cian Li untuk menemukan patung emas itu karena bagian ini memang dalam dan agak gelap.

Hanya dengan meraba-raba, akhirnya ia menemukan guha seperti yang dimaksudkan dalam petunjuk peta yang sudah lengkap itu. Bersama Sun Ting ia memasuki guha dan benar saja, di sudut guha kecil itu ia menemukan sebuah patung yang tingginya kurang lebih satu kaki. Patung itu cukup berat dan Sun Ting lalu membawanya, dan mereka berdua segera naik ke permukaan air.

Mereka yang berada di dalam perahu besar, semua menjenguk ke air dengan penuh ketegangan hati, penuh harapan dan kecemasan. Begitu nampak dua buah kepala itu muncul dan kakak beradik itu terengah-engah memenuhi paru-paru dengan udara baru, Siauw-bin Ciu-kwi segera berteriak dari atas.

“Sudah kalian temukan patung emas itu?”

Sun Ting mengangkat tangan kanannya dan nampaklah sebuah patung yang berkilauan karena terbuat dari emas murni! Semua orang berseru kagum dan Siauw-bin Ciu-kwi segera berkata, “Cepat naik ke perahu dan serahkan kepada kami!”

“Akan kulemparkan ke atas dan kami berdua akan segera pergi dari sini!” kata Sun Ting.

“Baik, lemparkanlah!” teriak Siauw-bin Ciu-kwi.

“Tapi jangan langgar sumpahmu! Kalian tidak akan membunuh Tan-taihiap!” Cian Li berseru dan suaranya mengandung isak karena hatinya kecewa sekali melihat betapa pendekar yang dipuja dan dicintanya itu akhirnya merendahkan diri menjadi kaki tangan penjahat.

“Ha-ha, jangan khawatir, nona. Kami tidak akan membunuhnya, apa lagi dia kini menjadi sekutu kami. Nah, lemparkan patung emas itu!”

Sun Ting melemparkan benda itu ke atas perahu, disambar oleh tangan Siauw-bin Ciu-kwi. Semua orang mengagumi patung emas itu yang tentu merupakan benda berharga, bukan saja berharga amat mahal karena terbuat dari emas murni, akan tetapi juga berharga karena merupakan benda kuno yang antik.

Biarpun tubuhnya masih belum bebas dari pengaruh totokan dan dia belum dapat bergerak leluasa, namun Pek-liong sudah dapat memutar tubuhnya yang rebah dan ia memandang ke arah Siauw-bin Ciu-kwi yang sedang mengamati patung emas itu bersama para pembantunya. Dia melihat bahwa patung emas itu memang indah, sebuah patung emas Dewi Kwan Im Po-sat yang ukirannya amat indah.

Tentu patung itu amat mahal, akan tetapi belum cukup mahal untuk diributkan dan dijadikan perebutan, dan dia tahu bahwa orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu tidak akan sudi bersusah payah kalau hanya untuk mendapatkan sebuah patung emas semacam itu. Dia juga melihat betapa wajah Siauw-bin Ciu-kwi sudah mengandung kekecewaan, walaupun para pembantunya berseri-seri mengamati patung emas itu.

Dugaannya benar. Dan dari jauhpun dia tahu bahwa patung emas itu bukan sembarang patung. Dia sudah banyak mempelajari tentang patung kuno dan diam-diam dia menduga bahwa tentu patung itu menyimpan rahasia yang amat penting. Kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin orang jaman dahulu menyembunyikan patung itu dengan menyertai petanya pula! Patung emas seperti itu bukan merupakan harta karun yang luar biasa, dan orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu akan bisa mendapatkan dengan mencuri simpanan hartawan besar atau bangsawan tinggi.

Sementara itu, kakak beradik she Kam sudah menyelam kembali dan berenang dengan cepat bagaikan dua ekor ikan saja, meninggalkan perahu besar, akan tetapi mereka tidak diperdulikan lagi oleh para penjahat yang mengagumi patung emas.

Ada satu hal lain yang diyakini oleh hati Pek-liong, yaitu kehadiran Liong-li. Dia tahu bahwa sudah pasti Liong-li datang bersama Sun Ting dan sekarang entah berada di mana rekannya itu. Dari sikap Sun Ting yang demikian tabahnya saja diapun sudah menduga bahwa keberanian Sun Ting itu tentu ada penyebabnya, dan penyebab itu kiranya bukan lain karena ada Liong-li di belakangnya! Akan tetapi di mana adanya Liong-li?

Dia tahu bahwa biarpun Liong-li pandai berenang, namun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kakak beradik Kam dan tentu wanita perkasa itu tidak akan begitu sembrono untuk mengandalkan kepandaian renangnya menghadapi kawanan penjahat itu. Baru Po-yang Sam-liong saja sudah memiliki ilmu renang yang jauh lebih pandai dari Liong-li. Namun, hatinya tetap yakin bahwa Liong-li tidak berada jauh dari situ, maka diapun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Beng-cu! Apa artinya kalau yang kau cari dengan susah payah itu ternyata hanya sebuah patung emas seperti itu? Ha-ha, dalam semalam saja aku akan mampu mendapatkan beberapa buah patung emas seperti itu untukmu! Itulah kalau engkau mempunyai pembantu-pembantu yang tidak becus! Kalau kita berdua bekerja sama, tentu hasilnya akan seratus kali lebih besar dari pada itu!”

Pek-liong berkata dengan suara lantang, sengaja dikuatkan agar terdengar oleh Liong-li yang berada entah di mana, akan tetapi diharapkannya tidak terlalu jauh sehingga dapat mendengar ucapannya.

Kerut merut di antara alis Siauw-bin Ciu-kwi makin mendalam. Memang dia merasa kecewa sekali melihat hasil jerih payah selama ini. Hanya sebuah patung emas seperti itu! Memang mahal, akan tetapi dia mengharapkan harta karun yang lebih berharga lagi. Dia dapat membayangkan bahwa kalau dia mempunyai seorang pembantu seperti Pek-liong, tentu hasil usaha mereka akan lebih hebat. Akan tetapi tentu saja dia masih belum percaya akan kebenaran kata-kata pendekar itu.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring halus, “Pek-liong, engkau sungguh seorang manusia tidak tahu malu!”

Semua orang terkejut. Siauw-bin Ciu-kwi sekali meloncat sudah mendekati Pek-liong, patung emas masuk ke dalam jubahnya. Dia cerdik sekali dan siap menyerang Pek-liong yang dijadikan sandera.

Dari bawah perahu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya telah berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian serba hitam, pakaian yang ringkas dan basah, ketat menempel pada tubuhnya yang padat ramping dan matang itu.

Begitu melihat wanita berpakaian hitam ini, Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya dapat menduga siapa yang datang. Siauw-bin Ciu-kwi sudah membentak garang. “Apakah yang datang ini Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam)?”

Sementara itu, para pembantunya dengan senjatanya di tangan sudah siap untuk mengeroyok...