Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

LIONG-LI tersenyum dan muncullah sepasang lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Pek I Kongcu Ciong Koan memandang dengan bengong. Dia terpesona oleh kecantikan Liong-li, akan tetapi juga diam-diam merasa kagum dan gentar karena dia sudah mendengar berita bahwa gadis jelita berjuluk Si Naga Hitam ini luar biasa lihainya, juga bertangan baja, tidak segan membunuh lawannya.

“Siauw-bin Ciu-kwi, aku datang bukan untuk kamu, melainkan untuk Pek-liong, manusia pengecut yang rendah ini! Jangan kalian ikut campur, kelak kalau ada alasannya yang kuat, aku akan mencari kamu! Hei, Pek-liong manusia tak tahu malu! Kiranya harga dirimu demikian rendah dan murah. Engkau telah bermain gila dengan gadis penyelam itu, dan untuk gadis itu engkau rela menjadi tawanan dan hinaan orang. Sungguh aku kecewa sekali dan merasa menyesal pernah menjadi temanmu!”

Semua orang menoleh kepada Pek-liong dan melihat betapa pemuda itu, walaupun masih setengah lumpuh oleh totokan, memandang kepada Liong-li dengan mata melotot dan muka merah.

“Hek-liong-li, tutup mulutmu yang kotor! Engkau sendiri bukan perempuan baik-baik, engkau melakukan perjinaan dengan Kam Sun Ting, siapa yang tidak tahu? Engkau melihat kesalahan orang sekecil-kecilnya tanpa melihat tengkukmu sendiri yang kotor! Memang aku ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu, habis engkau mau apa? Aku sudah muak bekerja sama dengan kamu yang penuh cemburu, yang selalu menghinaku dan tidak memandang sebelah mata! Engkau tidak pernah sadar bahwa sebenarnya, tanpa aku, engkau tidak ada artinya!”

“Jahanam busuk! Kurobek mulutmu!” bentak Liong-li marah.

“Coba saja kalau kau bisa! Kalau aku tidak dalam pengaruh totokan, akulah yang akan merobek mulutmu!”

Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi mengamati dua orang muda yang sedang bertengkar itu, tiba-tiba tertawa. “Ha-ha, sungguh lucu. Pek-liong dan Hek-liong-li bertengkar dan saling cemburu! Permainan apa pula ini? Pek-liong, biarlah kubebaskan totokanmu. Hendak kulihat kejujuranmu, apakah benar engkau hendak bersekutu dengan kami atau tidak. Engkau harus membunuh Liong-li untuk meyakinkan kami!”

Akan tetapi ketika Siauw-bin Ciu-kwi hendak menggerakkan tangan, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si berseru, “Beng-cu, sabar dulu! Harap Beng-cu tidak sampai terkecoh oleh mereka Bagaimana kalau setelah Beng-cu membebaskan touokannya, Pek-liong lalu bergabung dengan Liong-li dan mereka menyerang kita? Setidaknya, mereka berdua tentu berusaha untuk membebaskan diri!” Tentu saja wanita yang haus laki-laki ini akan merasa kecewa sekali kalau Pek-liong sampai lolos karena pemuda perkasa itu telah membangkitkan gairahnya.

“Ha-ha, aku bukanlah sebodoh engkau, Tok-sim Nio-cu! Biarkan kalau mereka berdua hendak menipuku. Biar mereka mengamuk, kita keroyok bersama. Biarkan mereka mencoba untuk meloloskan diri. Apa yang kita takutkan? Kita berada di atas perahu, di tengah telaga. Kemana mereka dapat melarikan diri? Betapapun lihainya mereka, di dalam air mereka tidak dapat banyak bergerak. Dan kita mempunyai Po-yang Sam-liong dan anak buahnya yang akan mudah menangkap mereka!”

Mendengar ini, Tok-sim Nio-cu diam saja dan memang benar apa yang dikatakan Beng-cu itu. Juga diam-diam Pek-liong dan Hek-liong-li harus mengakui kecerdikan si pendek gendut kepala botak itu.

“Siauw-bin Ciu-kwi, tidak perlu kalian khawatir. Aku datang untuk menghajar Pek-liong, bukan kalian!” kata pula Liong-li.

Siauw-bin Ciu-kwi lalu menggerakkan tangannya dan dua kali dia menotok punggung Pek-liong yang seketika merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan. Beng-cu itu memang sudah memperhitungkannya dengan matang. Selain mereka berada di tengah telaga, juga dia yakin bahwa Liong-li muncul tanpa membawa senjata. Demikian pula Pek-liong, tidak bersenjata, maka tentu saja dia dibantu para tokoh sesat tidak perlu takut menghadapi mereka, andaikata mereka benar-benar hendak menyerang mereka atau hendak meloloskan diri.

Pek-liong bangkit berdiri, lalu menghampiri Liong-li. Kedua orang ini berdiri berhadapan dengan sikap marah. Liong-li mencibir.

“Huh, pendekar yang berjuluk Pek-liong-eng ternyata hanyalah seorang laki-laki mata keranjang dan seorang pengecut!”

“Liong-li, mulutmu sungguh busuk sekali! Engkaulah perempuan rendah, gila laki-laki, akan kurobek mulutmu itu!”

Berkata demikian, Pek-liong sudah menyerang dengan cengkeraman ke arah Liong-li. Akan tetapi, gadis perkasa ini mengelak ke kiri dan dari kiri ia membalas dengan pukulan maut ke arah lambung Pek-liong. Dia menangkis dengan pengerahan tenaganya.

“Dukk!” Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang.

Liong-li mengeluarkan suara lengkingan nyaring dan iapun kini menerjang dan menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Pukulan dan tendangan menyambar bertubi-tubi, akan tetapi Pek-liong yang agaknya sudah menjadi marah sekali, mengelak, menangkis dan membalas tak kalah sengitnya.

Para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi sudah siap dengan senjata di tangan, mengepung dua orang yang sedang bertanding itu. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri berdiri menonton dengan penuh perhatian. Kalau dua orang itu hanya bersandiwara, tentu matanya yang tajam itu akan dapat menangkapnya, Dia seorang ahli silat kelas tinggi, tentu akan dapat membedakan mana yang perkelahian benar-benar dan mana yang pura-pura! Dan apa yang disaksikannya itu, tak dapat diragukan lagi merupakan suatu perkelahian sungguh-sungguh, bahkan setiap pukulan mengandung ancaman maut bagi lawan!

Tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak pernah melihat kalau dua orang ini sedang melakukan latihan pertandingan silat! Dua orang muda ini sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga mereka telah menguasai tenaga mereka sepenuhnya sehingga andaikata kepalan tangan atau ujung pedang mereka sudah menyentuh kulit lawan, mereka masih mampu menghentikan serangan mereka sampai di situ saja!

Kini Pek-liong nampak terdesak hebat oleh Liong-li yang mempergunakan ilmu silat Bi-jin-kun yang selain amat indah, juga mengandung banyak gerak tipu yang berbahaya. Pek-liong juga sudah memainkan Pek-liong Sin-kun, namun agaknya dia masih kalah cepat sehingga kecepatan gerakan Liong-li membuat dia sibuk juga. Karena kalah cepat, maka perkelahian itu dikendalikan oleh Liong-li dan Pek-liong terseret, hanya mampu mengelak dan menangkis saja untuk melindungi dirinya.

Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi lalu mengeluarkan sebatang pisau yang panjangnya dua jengkal, melemparkannya kepada Pek-liong sambil berseru, “Pek-liong, kau pergunakan ini!”

Pek-liong menerima pisau yang dilemparkan kepadanya itu dan kini dia menyerang dengan pisau itu. Gerakannya mantap, cepat dan kuat. Setelah dia mempergunakan pisau itu, mulailah Liong-li terdesak!

Wanita perkasa ini maklum akan lihainya lawan kalau mempergunakan senjata tajam, maka ia hanya menghindarkan diri dari desakan itu dengan ilmunya yang hebat, yaitu langkah ajaib Liu-seng-pouw yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak secara otomatis setiap kali pisau itu menyambar. Akan tetapi ia terdesak mundur sampai ke tepi perahu dan anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang mengepung terpaksa menyingkir.

“Pek-liong, engkau pengecut mengandalkan komplotanmu! Lain kali aku akan mencarimu lagi!” berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuh dan meloncat ke air. Akan tetapi, Pek-liong membentak.

“Liong-li, hendak lari ke mana kau?” Dan pisau di tangannya itupun meluncur lepas dari tangannya, dan semua orang melihat betapa dengan tepat sekali pisau itu menancap pada pinggul kanan Liong-li. Wanita itu terbanting ke permukaan air. Air muncrat tinggi dan semua orang lari ke tepi perahu, melihat betapa tubuh itu tenggelam dan permukaan air nampak kemerahan, merah karena darah! Agaknya, Liong-li yang terkena sambitan pisau itu tenggelam dan tewas!

Sampai lama mereka memandang ke air. Jelas, tidak ada muncul lagi wanita perkasa itu, dan di sekitar perahu besar itu tidak nampak adanya perahu lain. Perahu-perahu kecil para nelayan berada jauh dari perahu itu, dan tidak nampak gerakan mencurigakan di sekeliling tempat itu. Sampai lama keadaan sunyi dan hati mereka semua merasa tegang. Kesunyian itu dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya engkau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan kami, Pek-liong. Akan tetapi, mengapa engkau sampai membunuhnya? Mengapa engkau yang terkenal sebagai rekannya, kini tiba-tiba saja demikian membencinya? Hal ini agak aneh dan mencurigakan!” Beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dengan pandang mata penuh selidik.

“Pertanyaan yang tepat sekali! Mempunyai seorang rekan dan kawan yang sehebat itu, selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga amat cantik jelita dan menarik hati, kenapa tiba-tiba saja dimusuhi bahkan dibunuh? Hal ini amat mencurigakan, Beng-cu!” kata Pek I Kongcu.

“Hi-hik, aku tahu. Jawabannya mudah sekali. Semua laki laki memang tidak ada bedanya, Kongcu, seperti engkau juga. Semua laki-laki mempunyai penyakit yang sama, yaitu pembosan, apa lagi setelah bertemu dengan wanita lain yang masih baru, Pek-liong juga bosan kepada Hek-liong-li apa lagi setelah berjumpa dengan gadis penyelam itu, kemudian bertemu pula dengan aku di sini! Hi-hik, bukankah begitu, Pek-liong yang tampan?”

Pek I Kongcu cemberut, dan Pek-liong tersenyum. “Dugaan kalian semua keliru,” jawabnya. “Memang aku benci sekali kepadanya, dan iapun benci kepadaku, akan tetapi bukan karena bosan, melainkan karena Hek-liong-li telah mencuri pedang pusakaku!”

“Hemm...!” Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Pek-liong-eng memiliki pedang pusaka ampuh yang disebut Pek-liong-po-kiam, dan diapun mendengar bahwa Hek-liong-li juga memiliki pedang pusaka Hek-liong-po-kiam. “Akan tetapi, aku melihat ia datang tanpa pedang sama sekali, bahkan pedangnya sendiripun tidak ada dibawanya!”

Pek-liong cemberut dan menarik napas panjang karena hatinya merasa kesal sekali. “Itulah pandainya ia berpura-pura! Tentu ia tidak mengira bahwa aku berada di antara beng-cu dan kawan-kawan di sini. Terjadi beberapa bulan yang lalu. Pedang itu bersamaku, dan aku tidur di rumahnya. Tapi pada keesokan harinya, pedangku telah lenyap dan dengan muka tebal ia tidak mengakuinya, itulah permulaan kami saling membenci!”

“Tapi ketika engkau mula-mula kami tangkap, engkau membanggakan Hek-liong-li yang katanya akan muncul menolongmu!” Pek I Kongcu mendesak untuk meyakinkan hatinya yang belum mau percaya.

Pek-liong tersenyum mengejek. “Lalu apa yang harus kulakukan dalam keadaan tidak berdaya itu? Aku hanya menakut-nakuti kalian. Buktinya, wanita itu begitu datang memaki-maki dan ingin membunuhku, dan akupun membalas sehingga kini ia tenggelam dan tewas. Sudahlah, tidak perlu lagi kita membicarakan orang yang sudah mati. Beng-cu, tadi kukatakan bahwa hasil usahamu itu sia-sia saja kalau hanya mendapatkan sebuah patung seperti itu. Memang berharga, akan tetapi apakah sepadan dengan jerih payahmu? Aku yakin patung itu merupakan rahasia pula.”

“Maksudmu? Rahasia apa pula yang terdapat pada patung emas ini?” Siauw-bin Ciu-kwi mengamati patung itu dengan alis berkerut.

“Hal itulah yang harus kita selidiki, Beng-cu. Coba berikan patung emas itu, biar kuperiksa.” Berkata demikian, Pek-liong menjulurkan tangannya. Dia tersenyum melihat betapa Pek I Kongcu dan yang lain-lain, kecuali Tok-sim Nio-cu, siap dengan senjata mereka untuk menyerang kepadanya. Siauw-bin Ciu-kwi juga memandang kepada para pembantunya, lalu dia tertawa dan menyerahkan patung emas itu kepada Pek-liong.

“Ha-ha-ha, kalian memang terlalu curiga. Seorang diri saja di sini, Pek-liong tidak akan dapat berbuat sesuatu yang bodoh. Aku mulai percaya kepadamu, Pek-liong. Nah, coba kau periksa patung itu, siapa tahu apa yang kau katakan itu benar.”

Pek-liong menerima patung emas itu, memandang ke sekeliling dan tersenyum menyaksikan sikap mereka, juga tersenyum manis kepada Tok-sim Nio-cu yang tidak mencurigainya. Wanita ini membalas senyumnya, mendekat dan menyentuh pundaknya dengan sikap manja.

“Pek-liong, aku percaya kepadamu. Rahasia apa sih yang terdapat pada patung emas ini?”

Dengan lembut Pek-liong melepaskan diri dari sentuhan lembut mesra itu, lalu dia menghadap Siauw-bin Ciu-kwi, menjawab kepada wanita itu sambil lalu saja, “Untuk itu aku harus menyelidikinya dulu.”

Dan diapun melakukan penyelidikan. Diamati patung emas itu, ditimang-timang dan semua gerakannya diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dan kaki tangannya dengan penuh perhatian. Sekali ini Pek-liong tidak bersandiwara. Dia memang benar-benar melakukan penyelidikan, mempergunakan segala kecerdikan akalnya.

Dia memang banyak tahu tentang barang-barang pusaka kuno dan sudah mempelajarinya, maka dari ciri-ciri ukirannya iapun dapat menduga bahwa patung emas ini sedikitnya berusia limaratus tahun. Ada setengah jam dia meneliti patung emas itu sehingga semua orang mulai menjadi tidak sabar lagi.

“Bagaimana, Pek-liong?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.

“Beng-cu, pergunakanlah pedang dan memenggal leher patung emas ini!” kata Pek-liong.

Tentu saja semua orang terkejut. Patung emas itu merupakan sebuah benda yang langka dan amat berharga, bukan hanya karena emasnya, melainkan karena merupakan benda pusaka kuno dengan ukirannya yang indah dan halus. Kalau dipenggal leher patung itu, sama saja dengan merusak dan mengurangi nilainya!

Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi yang menginginkan harta yang lebih berharga lagi, segera berkata kepada Tok-sim Nio-cu. “Nio-cu, pergunakan pedangmu memenggal leher patung itu seperti diminta oleh Pek-liong!”

Tok-sim Nio-cu mencabut pedangnya dan berkata kepada Pek-liong sambil tersenyum. “Pek-liong, tidak sayangkah patung begini indah dipenggal lehernya?”

Pek-liong menjawab. “Lakukan saja perintah Beng-cu. Buntungnya leher patung, dengan mudah dapat diutuhkan kembali oleh tukang emas!”

Mendengar ini barulah semua orang menyadari bahwa memang kerusakan itu dapat diperbaiki dan kalau sudah disambung kembali oleh tukang emas yang pandai tidak akan nampak bekasnya. Pedang di tangan Tok-sim Nio-cu berkilat menyambar dan buntunglah leher patung itu dengan sayatan yang rapi. Pek-liong melihat, seperti yang sudah diduga, bahwa tubuh patung itu berlubang dan dia melihat segulung kain di dalamnya.

“Berikan patung itu kepadaku!” Siauw-bin Ciu-kwi yang juga melihat gulungan kain itu berseru.

Pek-liong tersenyum dan menyerahkan patung emas. Dengan tangan yang jelas nampak gemetar saking tegang dan gembiranya, Siauw-bin Ciu-kwi mengambil gulungan kain itu dari dalam perut patung. Segera diperiksanya gulungan kain itu, dengan sikap hati-hati agar orang lain tidak melihat tulisan yang terdapat dalam gulungan kain. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan wajahnya berseri, lalu dia tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha... jasamu besar sekali, Pek-liong. Benar seperti dugaanmu, patung ini menyembunyikan rahasia besar. Ha-ha, kalau berhasil kita temukan harta karun ini, aku berjanji bahwa patung emas ini akan kuberikan sebagai hadiah kepadamu!”

“Terima kasih, Beng-cu. Sudah kuduga bahwa bekerja sama denganmu memang menguntungkan sekali!”

Siauw-bin Ciu-kwi menyimpan gulungan kain itu ke dalam jubahnya, lalu memandang kepada semua pembantunya dan berkata dengan suara berwibawa. “Mulai saat ini, Pek-liong menjadi pembantuku yang utama. Kalian tidak boleh mengganggunya! Peta rahasia Patung Emas yang ditemukan di dalam patung ini amat penting. Kalian tidak usah tahu dan ikuti saja aku untuk mendapatkan harta karun yang tak ternilai besarnya. Jangan khawatir, setelah harta karun itu berada di tanganku, kalian tentu akan memperoleh bagian masing-masing.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dan berkata dengan suara lantang. “Pek-liong, jasamu besar sekali. Akan tetapi aku masih merasa heran, bagaimana engkau dapat menduga bahwa di dalam patung terdapat rahasianya. Hayo ceritakan agar menambah pengertian rekan-rekanmu yang berada di sini, agar lain kali mereka mencoba menggunakan otak, jangan hanya pandai menggunakan hati dan tangan kaki saja!”

Pek-liong tersenyum dan memandang kepada para tokoh pembantu lainnya, sengaja berlagak tinggi hati untuk membuat hati mereka merasa tidak senang. “Ah, Beng-cu, sesungguhnya tidak sukar untuk menduga hal itu kalau saja kita mau mempergunakan akal pikiran kita. Melihat betapa penuh rahasia peta yang menunjukkan di mana adanya patung emas itu, dan betapa patung itu disimpan di dasar telaga, maka tidak mungkin kiranya kalau yang disembunyikan itu hanya sebuah patung emas sekecil itu. Tentu ada barang lain yang jauh lebih berharga, yang rahasianya berada di patung itu.

“Ketika aku menerima patung itu, maka dugaanku semakin kuat. Patung itu ringan saja, berarti di dalamnya berlubang, tidak seperti patung emas lainnya. Kalau pembuat patung emas membuat dalamnya berlubang, hal ini hanya dengan satu maksud, yaitu untuk menyimpan suatu benda yang teramat penting, yang jauh lebih berharga dari pada nilai patung itu sendiri. Pula, setelah mengamati secara teliti aku melihat ada guratan aneh pada leher patung, jelas itu merupakan tanda bahwa leher itu sambungan dan dikerjakan kurang cermat. Maka, sudah bulatlah dugaanku bahwa di dalam perut patung yang berlubang itu tentu disembunyikan benda yang amat berharga.”

“Ha-ha-ha, hebat sekali! Bagus sekali, kiranya engkau tidak hanya lihai ilmu silatmu, akan tetapi juga amat cerdik pikiranmu. Aku girang sekali dapat bekerja sama denganmu, Pek-liong.”

“Dan aku juga gembira sekali dapat membantumu, Beng-cu.”

“Dan akupun gembira kalau dapat menjadi pacarmu yang baru, Pek-liong!” kata Tok-sim Nio-cu genit.

“Nah, kalian lihat! Baru saja membantuku, jasa Pek-liong sudah jauh lebih besar dari pada jasa kalian selama ini! Maka dalam mengambil harta karun ini, kalian harap bekerja keras sehingga kalian pantas memperoleh bagian!”

Perahu besar lalu digerakkan menuju ke pantai, dan kini Pek-liong ikut mendaki Bukit Merak, menuju ke sarang yang dipergunakan oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Sekali ini bukan lagi sebagai tawanan, melainkan sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi. Namun, Pek-liong yang cerdik itu maklum bahwa sikap dan semua ucapan Siauw-bin Ciu-kwi kepadanya itu masih palsu, dan dia tahu bahwa diam-diam Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya mengamati semua gerak geriknya. Dia harus berhati-hati sekali!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 32 karya kho ping hoo

“Keparat! Tan Cin Hay itu sungguh jahat dan kejam bukan main!”

Berulang kali Kam Sun Ting mengomel panjang pendek mencaci maki Pek-liong ketika dia bersama adiknya menyeret tubuh Liong-li yang lemas di balik tumbuh-tumbuhan teratai menuju ke perahu kecil mereka di tempat yang agak jauh.

“Ih, sudahlah, koko. Sudahi saja caci makimu yang tidak baik itu dan lebih baik kita memperhatikan keadaan li-hiap ini. Mari cepat bawa ia ke perahu!” Cian Li mencela kakaknya, hatinya merasa tidak enak mendengar kakaknya mencaci-maki Pek-liong.

Biarpun ia sendiri merasa kecewa melihat ulah Pek-liong, namun hatinya masih tidak rela membiarkan kakaknya mencaci maki seperti itu di depannya. Mereka lalu berenang dengan cepat setelah jauh dari perahu besar sehingga tidak kelihatan lagi dan tak lama kemudian, mereka sudah mengangkat tubuh Liong-li ke atas perahu.

“Li-moi, cepat dayung perahu ini ke daratan yang sunyi, aku akan mencoba merawat dan menyadarkan Liong-lihiap!” kata Sun Ting, khawatir melihat wajah pendekar wanita itu pucat dan matanya terpejam, akan tetapi perutnya tidak menggembung.

Dia memang sudah siap siaga. Sebelumnya telah diatur oleh pendekar wanita itu, yaitu dia disuruh membantu adiknya agar Cian Li dapat berhasil dan selamat. Dan dia dipesan agar bersama Cian Li siap di bawah permukaan air, bernapas melalui batang alang-alang yang berlubang, dan menanti di situ, siap menolong kalau ia sampai terpaksa meloncat ke air. Maka, dia dan adiknya dapat melihat perkelahian antara Pek-liong dan Liong-li tadi, melihat pula betapa Liong-li meloncat ke air dan terkena sambaran pisau.

Sun Ting mengajak adiknya menyelam dan tepat seperti yang sudah direncanakan oleh Liong-li, mereka berdua menyeret tubuh Liong-li ke bawah air sehingga tidak nampak oleh orang-orang di dalam perahu pendekar wanita itu timbul kembali. Mereka menyelam dan berenang di dalam air, lalu bersembunyi di balik tumbuhan teratai yang lebat, dan sambil bersembunyi, perlahan-lahan mereka berenang di balik tumbuhan itu menuju ke perahu yang cukup jauh dari situ.

Yang membuat Sun Ting khawatir adalah karena Liong-li sejak tadi pingsan dan ada pisau menancap di pinggulnya sebelah kanan. Sun Ting tidak berani mencabut pisau itu, dan melihat betapa Liong-li pingsan dan pucat, bahkan napasnya hampir tidak ada, dalam kepanikannya, dia lalu membuka mulut pendekar wanita itu dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri lalu meniup sekuatnya untuk membantu paru-paru gadis perkasa itu.

Pada saat dia melakukan perawatan itu, sedikitpun tidak ada perasaan apapun di hatinya kecuali ingin menyelamatkan Liong-li, tidak timbul kemesraan atau nafsu walaupun diam-diam dia sudah jatuh cinta kepada pendekar wanita itu. Akhirnya, setelah melakukan perawatan itu beberapa kali, Liong-li gelagapan, membuka matanya dan melihat betapa pemuda penyelam itu meniup melalui mulutnya, dengan lembut ia mendorong dada pemuda itu, lalu berbatuk-batuk.

“Cukup... aduhh...! Ketika ia miringkan tubuhnya, baru terasa olehnya bahwa ada pisau menancap di pinggul kanannya. Dirabanya pinggul itu. “Sun Ting, cepat ambilkan buntalan obat, dalam buntalan pakaianku itu buntalan kuning...”

Sun Ting membuka buntalan pakaian Liong-li yang memang ditinggalkan di perahu itu, dan mengambilkan sebuah buntalan kuning kecil. Ketika buntalan ini dibukanya, maka terisi bubukan kuning yang amat halus.

“Sun Ting, akan kucabut pisau ini, lalu kau robek kain yang menutupi pinggul yang luka, taburkan obat itu di atas luka, pergunakan jarimu untuk menekan-nekan agar obat itu masuk ke dalam lukanya,” Liong-li lalu mencabut pisau itu yang ternyata masuk sedalam satu jari panjang.

Darah keluar dari luka di pinggul itu dan Sun Ting merobek celana yang menutupi pinggul. Dengan tekanan-tekanan jarinya pada jalan darah tertentu, pendarahan itu berhenti dan Liong-li menyuruh pemuda itu menaburkan obat bubuk kuning halus. Sun Ting menaburkan obat dan menekan-nekan obat ke dalam luka. Juga dia tidak merasakan apa-apa melihat pinggul yang putih mulus dan halus di depan matanya itu, karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa gadis perkasa itu terluka parah.

“Biarkan dulu sampai obat yang berada di luar luka mengering, jangan ditutupi bagian yang terluka itu,” kata Liong-li, kemudian kepada Cian Li ia berkata, “Adik manis, tolong kau ambilkan dua batang pedang yang kuikat di bawah perahu ini.”

Tadi sebelum ia dan Sun Ting meninggalkan perahu, Liong-li yang selalu berhati-hati itu menyembunyikan sepasang pedang pusaka, yaitu Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di bawah perahu. Cian Li mengangguk dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menghentikan perahu dan menyelam. Tak lama kemudian ia sudah muncul kembali membawa dua batang pedang yang amat ampuh itu.

“Sekarang, dayunglah perahu ke pantai yang sunyi, aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Pek-liong masih berada dengan mereka dan aku tahu bahwa keselamatannya masih terancam hebat.”

Sun Ting mengepal tinjunya dengan gemas. “Ah, lihiap, mengapa masih memikirkan orang jahat itu? Dia telah berubah menjadi seorang penjahat keji! Sungguh tidak tahu malu, dia telah melukaimu dengan curang...”

“Tepat seperti yang kukehendaki, Sun Ting. Memang Pek-liong seorang yang cerdik luar biasa dan dia dapat membaca setiap isi hati dan pikiranku. Untung dia berlaku cepat dan dapat melukai pinggulku, kalau tidak tentu mereka akan semakin mencurigainya. Mudah-mudahan saja pengorbanan pinggulku ini tidak sia-sia!”

Tentu saja kakak beradik itu terbelalak memandang kepada pendekar wanita itu. “Lihiap...! Apa maksudmu? Benarkah bahwa Tan-taihiap tidak berkhianat, tidak bersekutu dengan penjahat dan dengan kejam sekali telah melukaimu?”

Pendekar wanita itu masih menelungkup. Pinggulnya terbuka dan bukit pinggul itu menjulang ke atas, indah bentuknya dan putih mulus kemerahan. Ia menggeleng kepalanya sambil tersenyum. “Sama sekali tidak! Sampai dunia kiamat, Pek liong tidak akan mengkhianati aku, dan tidak akan sudi menjadi kaki tangan penjahat.”

“Akan tetapi, lihiap! Bukankah tadi dia memaki-makimu dengan kata-kata kotor, bahkan lalu menyerangmu? Dia sudah mengaku dengan lantang bahwa dia ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi untuk mendapatkan bagian harta karun. Bahkan dia telah memakimu dengan kata-kata kotor, menuduhmu secara keji dan...”

Liong-li mengangkat tangannya unluk menutupi mulut Sun Ting yang agaknya hendak memaki itu, dan ia tersenyum. “Kalian adalah dua orang muda yang berjiwa bersih dan polos, tentu saja tidak mengerti akan sepak terjang kami berdua. Menghadapi para penjahat keji dan lihai seperti mereka, kita harus mempergunakan siasat pula.”

“Akan tetapi, lihiap. Kalau taihiap tidak ingin bekerja sama dengan mereka, tadi dia dapat bersama lihiap meloncat ke air dan kami berdua yang akan mampu melarikan kalian dengan selamat. Kenapa dia tinggal di perahu itu?” Cian Li juga membantah, merasa penasaran dan khawatir karena pendekar yang dikaguminya itu kini masih berada bersama para penjahat keji itu.

“Tadinya aku memang bermaksud untuk membebaskan engkau dan dia, adik manis. Akan tetapi ketika aku mendengar ucapan Pek-liong kepadamu, ucapan keras yang sengaja dia keluarkan agar aku dapat mendengarnya, bahwa dia ingin bekerja sama dengan Beng-cu untuk mendapat bagian harta karun, aku tahu akan rencananya. Maka, aku harus bersandiwara sesuai dengan rencananya agar dia berhasil. Aku harus berusaha agar dia dapat diterima oleh gerombolan penjahat itu dan dipercaya. Ketika dia melukai aku dengan pisau dan aku jatuh ke air terus kelihatan tenggelam dan tewas, tentu dia diterima dengan gembira oleh Beng-cu, bahkan mungkin menjadi orang kepercayaannya!”

“Ah, kalau begitu... Tan-taihiap tadi... dan lihiap, hanya bermain sandiwara saja? Semua itu merupakan siasat ji-wi (kalian) agar Tan-taihiap dapat dipercaya dan diterima sebagai sekutu gerombolan penjahat itu?” tanya Sun Ting dengan muka merah, teringat betapa tadi dia telah memaki-maki Pek-liong.

“Sudah jelas begitu masih bertanya lagi!” Cian Li berkata dengan mulut cemberut. “Dasar engkau yang tidak mengenal budi orang, koko, belum apa-apa sudah mencela dan memaki-maki!”

“Ah, ah... aku menyesal sekali... akan tetapi siapa tahu bahwa mereka itu bersandiwara? Melihat betapa lihiap benar-benar terluka oleh pisau, siapa mengira bahwa hal itu disengaja?” Sun Ting membela diri.

Liong-li tersenyum. “Sudahlah, bukan salah Sun Ting. Memang bagi orang lain, kami berdua sukar dimengerti. Serahkan saja kepada kami berdua untuk menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu.”

“Tapi... tapi, lihiap. Mengapa taihiap harus menyerahkan diri, harus menjadi sekutu mereka walaupun hanya berpura-pura? Mengapa pula lihiap harus mengorbankan diri seperti ini? Apa perlunya bekerja sama dengan para penjahat itu?”

“Tentu ada alasannya bagi Pek-liong untuk berbuat demikian. Hanya dia yang mengetahui dan aku hanya melengkapi peranannya saja. Tentu ada hal yang amat penting, teramat penting bagi kami berdua maka dia memainkan sandiwara itu. Karena itu, kita harus waspada dan di darat, kalian tidak mungkin dapat membantu kami. Kepandaian kalian jauh dari pada cukup untuk melawan mereka. Kalau kalian membantu, bahkan kalian akan melemahkan kami, karena kami harus melindungi kalian. Belum lagi kalau kalian ditawan dan dijadikan sandera, memaksa kami untuk menyerah. Kalian tunggu saja di tepi telaga. Kalau kalian melihat perahu mereka berlayar baru kalian boleh membayangi dari jauh, apa lagi kalau melihat ada Pek-liong di perahu itu. Kalian siap sedia untuk menolong kalau kami sampai membutuhkan pertolongan di air, seperti keadaanku tadi. Mengerti?”

“Baik, enci,” kata Sun Ting dan kembali dia menyebut enci, hal ini menandakan bahwa ketegangan telah lewat dan dia kembali bersikap mesra, “Akan tetapi, engkau masih terluka...”

“Aku akan beristirahat di perahu ini. Dalam waktu beberapa jam saja luka ini akan mengering dan aku akan dapat melakukan penyelidikan di Bukit Merak. Kuyakin bahwa tentu Pek-liong diajak ke sana oleh mereka.”

Tiba-tiba Cian Li mengepal tinju dan mukanya berubah marah. “Sayang aku tidak berhasil membuat perempuan laknat itu mati tenggelam!”

Ia teringat kepada Tok-sim Nio-cu dan merasa cemburu, apa lagi mengingat bahwa kini Pek-liong menjadi sekutu mereka. Tentu hal ini akan dipergunakan sebagai kesempatan baik oleh perempuan genit itu untuk memikat hati Pek-liong.

Liong-li tersenyum. Ia dapat membaca jalan pikiran gadis penyelam yang manis itu, dan sambil mengamati wajah dan tubuh orang ia berkata, “Jangan khawatir, adik manis. Aku mengenal benar siapa Pek-liong. Dia tidak akan mudah jatuh oleh rayuan segala macam wanita macam si genit itu. Aku tahu selera Pek-liong. Gadis seperti engkau inilah kiranya akan memenuhi seleranya!”

Mendengar ucapan pendekar wanita ini, seketika wajah Cian Li tersipu malu dan ketika perahu tiba di tepi yang sunyi, ia lalu meloncat ke darat dan menalikan tali perahu pada sebatang pohon. “Aku akan mencari kayu kering pembuat api unggun,” katanya dan iapun pergi.

Sun Ting masih duduk menjaga di dekat Liong-li yang masih menelungkup. Dengan penuh rasa iba dan sayang, dia memandang bukit pinggul yang terluka itu. Obat bubuk kuning itu nampak telah membuat luka itu mengering, akan tetapi di sekeliling luka itu masih nampak betapa kulit yang halus mulus itu kemerahan.

“Enci, sakit benarkah rasanya pinggulmu...?” tanya Sun Ting lirih dan seperti otomatis, jari-jari tangannya mengelus-elus sekeliling luka, seolah-olah dengan jari jari tangannya dia ingin mengusir perasaan nyeri yang ada.

Mendengar pertanyaan itu dan merasa betapa jari-jari tangan itu mengelus lembut, Liong-li merasa bulu tengkuknya meremang. “Ah, tidak berapa nyeri, Sun Ting. Sebentar lagi tentu sembuh. Setelah cuaca gelap nanti, aku akan pergi menyelidik ke Bukit Merak.”

Sun Ting tidak menjawab, tangannya masih mengelus bukit pinggul itu di sekeliling luka. “Enci, bukit pinggulmu indah sekali bentuknya, dan putih mulus...” katanya lirih.

Liong-li merasa betapa jantungnya berdebar, maka ia lalu berkata cepat, “Lepaskan tanganmu, Sun Ting. Aku akan duduk, tutupkan selimut itu pada pinggulku, lukanya sudah mengering.”

Biarpun dengan lambat, seolah merasa tidak rela pinggul itu ditutupi Sun Ting melakukan perintah itu dan sambil tersenyum Liong-li berkata kepadanya. “Engkau perayu nakal! Tugas masih bertumpuk untuk kita, belum waktunya bersenang-senang. Nah, bantulah adikmu mengumpulkan kayu kering, dan coba cari makanan karena sebelum pergi, aku ingin makan dulu. Cepat pergi, jangan bengong saja, aku hendak berganti pakaian!”

Sun Ting meloncat ke darat dan setelah melangkah belasan kaki dia menengok. Dia melihat betapa pendekar wanita itu telah menanggalkan pakaiannya! Kalau menurut dorongan nafsunya, ingin dia membalikkan tubuh dan menikmati penglihatan itu, akan tetapi kesopanan memaksanya cepat membuang muka dan melanjutkan langkahnya.

Liong-li melihat semua ini dan iapun tersenyum. Seorang pemuda yang amat baik, dan amat menyenangkan, pikirnya dan kedua pipinya berubah merah, lesung pipitnya bermain di kanan kiri bibirnya. Iapun cepat berganti pakaian kering, pakaian serba hitam yang ringkas dan menyelipkan sepasang pedang pusaka di punggung.

Dengan cepat dibereskannya rambutnya yang tadi basah dan awut-awutan. Disisirnya rapi dan digelung ke atas, diikat saputangan sutera merah dam ditusuk dengan tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil. Ia mengenakan sepatunya yang tadi dilepas di dalam perahu kecil, dan lengkaplah sudah ia, siap untuk melakukan penyelidikan, siap untuk bertempur!

Kakak beradik itu datang membawa kayu kering yang cukup, dan Sun Ting membawa pula tiga ekor ikan yang tadi didapatnya dengan menjala di tepi telaga. Mereka lalu duduk memghadapi api unggun dan ketika matahari mulai tenggelam di barat, mereka makan panggang ikan.

Setelah cuaca mulai gelap, pergilah Liong-li meninggalkan kakak beradik itu di tepi telaga. Dengan tenang Liong-li melakukan perjalanan menuju ke Bukit Merak setelah mendapat petunjuk dari Sun Ting tentang letak Bukit Merak. Malam itu kebetulan bulan purnama, maka setelah bulan muncul, pendekar wanita ini dapat melakukan perjalanan tanpa banyak kesukaran.

Sun Ting dan adiknya lalu kembali ke dusun mereka di luar kota Nan-cang. Mereka mengumpulkan pakaian dan perbekalan di rumah mereka yang sudah diaduk-aduk oleh para penjahat ketika mereka mencari peta dahulu itu. Malam itu mereka bermalam di rumah sendiri, baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka kembali ke telaga, mendayung perahu mereka dan mulai dengan pengamatan mereka kalau-kalau ada perahu penjahat berlayar. Akan tetapi, sehari itu mereka tidak melihat ada perahu penjahat, tidak melihat pula bayangan Pek-liong maupan Liong-li sehingga diam-diam hati kedua orang kakak beradik ini diliputi penuh kekhawatiran.

********************

Di bawah sinar bulan purnama, Liong-li mendaki Bukit Merak. Ia menduga bahwa sarang penjahat itu tentu tidak semudah itu didaki orang. Tentu di sana terkandung banyak perangkap dan juga terdapat para penjaga. Dugaannya memang benar. Beberapa kali dia berhadapan dengan perangkap-perangkap, seperti lubang jebakan yang ditutup rumput, tali-tali yang kalau tersangkut kaki menurunkan jala atau membuat tombak dan anak panah datang berhamburan dari kanan kiri.

Namun, Liong-li adalah seorang wanita perkasa yang amat cerdik dan sudah banyak pengalamannya, maka ia selalu berhati-hati dan setiap kali melihat ketidakwajaran di depan, ia selalu menguji keamanan tempat itu dengan lemparan kayu atau batu. Maka, tak pernah ia terperosok ke dalam jebakan atau terserang senjata rahasia yang dipasang di jalan menuju ke sarang penjahat di lereng Bukit Merak.

Ketika ia melalui daerah yang penuh pohon sehingga di bawah pohon terlalu gelap dan terlalu berbahaya untuk dilalui, Liong-li lalu mempergunakan kepandaiannya dan iapun meloncat ke atas pohon, kemudian bagaikan seekor tupai saja, ia berloncatan dari pohon ke pohon, menuju ke lereng di mana sudah nampak sinar-sinar lampu dari perkampungan penjahat.

Dan perhitungannya memang tepat. Setelah ia melalui jalan atas di antara pohon-pohon, ia tidak pernah berhadapan dengan perangkap lagi. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw-bin Ciu-kwi jauh lebih cerdik dari pada yang disangkanya. Biarpun tidak dipasangi perangkap, namun di luar kesadarannya, ketika ia berloncatan dari pohon ke pohon, kakinya menyangkut dan membikin putus tali halus yang berhubungan dengan tanda bahaya yang dipasang di rumah tinggal Siauw-bin Ciu-kwi!

Beng-cu kaum penjahat ini tahu bahwa ada tamu tak diundang datang berkunjung malam itu. Dia dapat menduga bahwa tamu yang datang melalui pohon-pohon sudah pasti bukan kawan, maka cepat dia memanggil para pembantunya.

“Ada musuh datang, entah berapa orang banyaknya. Mereka lihai, datang berkunjung melalui pohon-pohon. Cepat kalian hadang dan robohkan mereka, hidup atau mati!”

Siauw-bin Ciu-kwi merasa khawatir sekali setelah peta rahasia dari Patung Emas berada di tangannya. Dia merahasiakan isi peta itu dari para pembantunya, bahkan Tok-sim Nio-cu yang merupakan pembantu utamanya, juga pacarnya pun tidak diberitahu. Hanya siang tadi dia memerintahkan Po-yang Sam-liong untuk mengumpulkan bantuan tenaga kasar sebanyak lima puluh orang.

Tak seorangpun di antara para pembatunya dapat menduga untuk apa beng-cu mereka membutuhkan tenaga kasar sebanyak lima puluh orang itu. Po-yang Sam-liong diberi tugas itu karena mereka adalah tokoh-tokoh di sekitar daerah Telaga Po-yang sehingga tentu akan lebih mudah mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka akan diberi gaji besar, demikian beng-cu berjanji. Untuk mengumpulkan lima puluh orang, Po-yang Sam-liong minta waktu selama tiga hari.

Demikianlah, sambil menanti orang-orang yang dikumpulkan Po-yang Sam-liong, Siauw-bin Ciu-kwi selalu berhati-hati dan memesan para pembantunya untuk berjaga-jaga. Diam-diam diapun membisiki para pembantu lama untuk mengamati sepak terjang dan gerak-gerik Pek-liong walaupun pada lahirnya Pek-liong seolah-olah sudah dianggap sebagai seorang pembantu yang dipercaya pula. Malam itu, ketika Beng-cu memanggil mereka dan memberitahu adanya musuh yang datang berkunjung, Pek-liong juga mendapat tugas untuk menyambut musuh...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 32

LIONG-LI tersenyum dan muncullah sepasang lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Pek I Kongcu Ciong Koan memandang dengan bengong. Dia terpesona oleh kecantikan Liong-li, akan tetapi juga diam-diam merasa kagum dan gentar karena dia sudah mendengar berita bahwa gadis jelita berjuluk Si Naga Hitam ini luar biasa lihainya, juga bertangan baja, tidak segan membunuh lawannya.

“Siauw-bin Ciu-kwi, aku datang bukan untuk kamu, melainkan untuk Pek-liong, manusia pengecut yang rendah ini! Jangan kalian ikut campur, kelak kalau ada alasannya yang kuat, aku akan mencari kamu! Hei, Pek-liong manusia tak tahu malu! Kiranya harga dirimu demikian rendah dan murah. Engkau telah bermain gila dengan gadis penyelam itu, dan untuk gadis itu engkau rela menjadi tawanan dan hinaan orang. Sungguh aku kecewa sekali dan merasa menyesal pernah menjadi temanmu!”

Semua orang menoleh kepada Pek-liong dan melihat betapa pemuda itu, walaupun masih setengah lumpuh oleh totokan, memandang kepada Liong-li dengan mata melotot dan muka merah.

“Hek-liong-li, tutup mulutmu yang kotor! Engkau sendiri bukan perempuan baik-baik, engkau melakukan perjinaan dengan Kam Sun Ting, siapa yang tidak tahu? Engkau melihat kesalahan orang sekecil-kecilnya tanpa melihat tengkukmu sendiri yang kotor! Memang aku ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu, habis engkau mau apa? Aku sudah muak bekerja sama dengan kamu yang penuh cemburu, yang selalu menghinaku dan tidak memandang sebelah mata! Engkau tidak pernah sadar bahwa sebenarnya, tanpa aku, engkau tidak ada artinya!”

“Jahanam busuk! Kurobek mulutmu!” bentak Liong-li marah.

“Coba saja kalau kau bisa! Kalau aku tidak dalam pengaruh totokan, akulah yang akan merobek mulutmu!”

Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi mengamati dua orang muda yang sedang bertengkar itu, tiba-tiba tertawa. “Ha-ha, sungguh lucu. Pek-liong dan Hek-liong-li bertengkar dan saling cemburu! Permainan apa pula ini? Pek-liong, biarlah kubebaskan totokanmu. Hendak kulihat kejujuranmu, apakah benar engkau hendak bersekutu dengan kami atau tidak. Engkau harus membunuh Liong-li untuk meyakinkan kami!”

Akan tetapi ketika Siauw-bin Ciu-kwi hendak menggerakkan tangan, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si berseru, “Beng-cu, sabar dulu! Harap Beng-cu tidak sampai terkecoh oleh mereka Bagaimana kalau setelah Beng-cu membebaskan touokannya, Pek-liong lalu bergabung dengan Liong-li dan mereka menyerang kita? Setidaknya, mereka berdua tentu berusaha untuk membebaskan diri!” Tentu saja wanita yang haus laki-laki ini akan merasa kecewa sekali kalau Pek-liong sampai lolos karena pemuda perkasa itu telah membangkitkan gairahnya.

“Ha-ha, aku bukanlah sebodoh engkau, Tok-sim Nio-cu! Biarkan kalau mereka berdua hendak menipuku. Biar mereka mengamuk, kita keroyok bersama. Biarkan mereka mencoba untuk meloloskan diri. Apa yang kita takutkan? Kita berada di atas perahu, di tengah telaga. Kemana mereka dapat melarikan diri? Betapapun lihainya mereka, di dalam air mereka tidak dapat banyak bergerak. Dan kita mempunyai Po-yang Sam-liong dan anak buahnya yang akan mudah menangkap mereka!”

Mendengar ini, Tok-sim Nio-cu diam saja dan memang benar apa yang dikatakan Beng-cu itu. Juga diam-diam Pek-liong dan Hek-liong-li harus mengakui kecerdikan si pendek gendut kepala botak itu.

“Siauw-bin Ciu-kwi, tidak perlu kalian khawatir. Aku datang untuk menghajar Pek-liong, bukan kalian!” kata pula Liong-li.

Siauw-bin Ciu-kwi lalu menggerakkan tangannya dan dua kali dia menotok punggung Pek-liong yang seketika merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan. Beng-cu itu memang sudah memperhitungkannya dengan matang. Selain mereka berada di tengah telaga, juga dia yakin bahwa Liong-li muncul tanpa membawa senjata. Demikian pula Pek-liong, tidak bersenjata, maka tentu saja dia dibantu para tokoh sesat tidak perlu takut menghadapi mereka, andaikata mereka benar-benar hendak menyerang mereka atau hendak meloloskan diri.

Pek-liong bangkit berdiri, lalu menghampiri Liong-li. Kedua orang ini berdiri berhadapan dengan sikap marah. Liong-li mencibir.

“Huh, pendekar yang berjuluk Pek-liong-eng ternyata hanyalah seorang laki-laki mata keranjang dan seorang pengecut!”

“Liong-li, mulutmu sungguh busuk sekali! Engkaulah perempuan rendah, gila laki-laki, akan kurobek mulutmu itu!”

Berkata demikian, Pek-liong sudah menyerang dengan cengkeraman ke arah Liong-li. Akan tetapi, gadis perkasa ini mengelak ke kiri dan dari kiri ia membalas dengan pukulan maut ke arah lambung Pek-liong. Dia menangkis dengan pengerahan tenaganya.

“Dukk!” Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang.

Liong-li mengeluarkan suara lengkingan nyaring dan iapun kini menerjang dan menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Pukulan dan tendangan menyambar bertubi-tubi, akan tetapi Pek-liong yang agaknya sudah menjadi marah sekali, mengelak, menangkis dan membalas tak kalah sengitnya.

Para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi sudah siap dengan senjata di tangan, mengepung dua orang yang sedang bertanding itu. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri berdiri menonton dengan penuh perhatian. Kalau dua orang itu hanya bersandiwara, tentu matanya yang tajam itu akan dapat menangkapnya, Dia seorang ahli silat kelas tinggi, tentu akan dapat membedakan mana yang perkelahian benar-benar dan mana yang pura-pura! Dan apa yang disaksikannya itu, tak dapat diragukan lagi merupakan suatu perkelahian sungguh-sungguh, bahkan setiap pukulan mengandung ancaman maut bagi lawan!

Tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak pernah melihat kalau dua orang ini sedang melakukan latihan pertandingan silat! Dua orang muda ini sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga mereka telah menguasai tenaga mereka sepenuhnya sehingga andaikata kepalan tangan atau ujung pedang mereka sudah menyentuh kulit lawan, mereka masih mampu menghentikan serangan mereka sampai di situ saja!

Kini Pek-liong nampak terdesak hebat oleh Liong-li yang mempergunakan ilmu silat Bi-jin-kun yang selain amat indah, juga mengandung banyak gerak tipu yang berbahaya. Pek-liong juga sudah memainkan Pek-liong Sin-kun, namun agaknya dia masih kalah cepat sehingga kecepatan gerakan Liong-li membuat dia sibuk juga. Karena kalah cepat, maka perkelahian itu dikendalikan oleh Liong-li dan Pek-liong terseret, hanya mampu mengelak dan menangkis saja untuk melindungi dirinya.

Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi lalu mengeluarkan sebatang pisau yang panjangnya dua jengkal, melemparkannya kepada Pek-liong sambil berseru, “Pek-liong, kau pergunakan ini!”

Pek-liong menerima pisau yang dilemparkan kepadanya itu dan kini dia menyerang dengan pisau itu. Gerakannya mantap, cepat dan kuat. Setelah dia mempergunakan pisau itu, mulailah Liong-li terdesak!

Wanita perkasa ini maklum akan lihainya lawan kalau mempergunakan senjata tajam, maka ia hanya menghindarkan diri dari desakan itu dengan ilmunya yang hebat, yaitu langkah ajaib Liu-seng-pouw yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak secara otomatis setiap kali pisau itu menyambar. Akan tetapi ia terdesak mundur sampai ke tepi perahu dan anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang mengepung terpaksa menyingkir.

“Pek-liong, engkau pengecut mengandalkan komplotanmu! Lain kali aku akan mencarimu lagi!” berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuh dan meloncat ke air. Akan tetapi, Pek-liong membentak.

“Liong-li, hendak lari ke mana kau?” Dan pisau di tangannya itupun meluncur lepas dari tangannya, dan semua orang melihat betapa dengan tepat sekali pisau itu menancap pada pinggul kanan Liong-li. Wanita itu terbanting ke permukaan air. Air muncrat tinggi dan semua orang lari ke tepi perahu, melihat betapa tubuh itu tenggelam dan permukaan air nampak kemerahan, merah karena darah! Agaknya, Liong-li yang terkena sambitan pisau itu tenggelam dan tewas!

Sampai lama mereka memandang ke air. Jelas, tidak ada muncul lagi wanita perkasa itu, dan di sekitar perahu besar itu tidak nampak adanya perahu lain. Perahu-perahu kecil para nelayan berada jauh dari perahu itu, dan tidak nampak gerakan mencurigakan di sekeliling tempat itu. Sampai lama keadaan sunyi dan hati mereka semua merasa tegang. Kesunyian itu dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya engkau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan kami, Pek-liong. Akan tetapi, mengapa engkau sampai membunuhnya? Mengapa engkau yang terkenal sebagai rekannya, kini tiba-tiba saja demikian membencinya? Hal ini agak aneh dan mencurigakan!” Beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dengan pandang mata penuh selidik.

“Pertanyaan yang tepat sekali! Mempunyai seorang rekan dan kawan yang sehebat itu, selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga amat cantik jelita dan menarik hati, kenapa tiba-tiba saja dimusuhi bahkan dibunuh? Hal ini amat mencurigakan, Beng-cu!” kata Pek I Kongcu.

“Hi-hik, aku tahu. Jawabannya mudah sekali. Semua laki laki memang tidak ada bedanya, Kongcu, seperti engkau juga. Semua laki-laki mempunyai penyakit yang sama, yaitu pembosan, apa lagi setelah bertemu dengan wanita lain yang masih baru, Pek-liong juga bosan kepada Hek-liong-li apa lagi setelah berjumpa dengan gadis penyelam itu, kemudian bertemu pula dengan aku di sini! Hi-hik, bukankah begitu, Pek-liong yang tampan?”

Pek I Kongcu cemberut, dan Pek-liong tersenyum. “Dugaan kalian semua keliru,” jawabnya. “Memang aku benci sekali kepadanya, dan iapun benci kepadaku, akan tetapi bukan karena bosan, melainkan karena Hek-liong-li telah mencuri pedang pusakaku!”

“Hemm...!” Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Pek-liong-eng memiliki pedang pusaka ampuh yang disebut Pek-liong-po-kiam, dan diapun mendengar bahwa Hek-liong-li juga memiliki pedang pusaka Hek-liong-po-kiam. “Akan tetapi, aku melihat ia datang tanpa pedang sama sekali, bahkan pedangnya sendiripun tidak ada dibawanya!”

Pek-liong cemberut dan menarik napas panjang karena hatinya merasa kesal sekali. “Itulah pandainya ia berpura-pura! Tentu ia tidak mengira bahwa aku berada di antara beng-cu dan kawan-kawan di sini. Terjadi beberapa bulan yang lalu. Pedang itu bersamaku, dan aku tidur di rumahnya. Tapi pada keesokan harinya, pedangku telah lenyap dan dengan muka tebal ia tidak mengakuinya, itulah permulaan kami saling membenci!”

“Tapi ketika engkau mula-mula kami tangkap, engkau membanggakan Hek-liong-li yang katanya akan muncul menolongmu!” Pek I Kongcu mendesak untuk meyakinkan hatinya yang belum mau percaya.

Pek-liong tersenyum mengejek. “Lalu apa yang harus kulakukan dalam keadaan tidak berdaya itu? Aku hanya menakut-nakuti kalian. Buktinya, wanita itu begitu datang memaki-maki dan ingin membunuhku, dan akupun membalas sehingga kini ia tenggelam dan tewas. Sudahlah, tidak perlu lagi kita membicarakan orang yang sudah mati. Beng-cu, tadi kukatakan bahwa hasil usahamu itu sia-sia saja kalau hanya mendapatkan sebuah patung seperti itu. Memang berharga, akan tetapi apakah sepadan dengan jerih payahmu? Aku yakin patung itu merupakan rahasia pula.”

“Maksudmu? Rahasia apa pula yang terdapat pada patung emas ini?” Siauw-bin Ciu-kwi mengamati patung itu dengan alis berkerut.

“Hal itulah yang harus kita selidiki, Beng-cu. Coba berikan patung emas itu, biar kuperiksa.” Berkata demikian, Pek-liong menjulurkan tangannya. Dia tersenyum melihat betapa Pek I Kongcu dan yang lain-lain, kecuali Tok-sim Nio-cu, siap dengan senjata mereka untuk menyerang kepadanya. Siauw-bin Ciu-kwi juga memandang kepada para pembantunya, lalu dia tertawa dan menyerahkan patung emas itu kepada Pek-liong.

“Ha-ha-ha, kalian memang terlalu curiga. Seorang diri saja di sini, Pek-liong tidak akan dapat berbuat sesuatu yang bodoh. Aku mulai percaya kepadamu, Pek-liong. Nah, coba kau periksa patung itu, siapa tahu apa yang kau katakan itu benar.”

Pek-liong menerima patung emas itu, memandang ke sekeliling dan tersenyum menyaksikan sikap mereka, juga tersenyum manis kepada Tok-sim Nio-cu yang tidak mencurigainya. Wanita ini membalas senyumnya, mendekat dan menyentuh pundaknya dengan sikap manja.

“Pek-liong, aku percaya kepadamu. Rahasia apa sih yang terdapat pada patung emas ini?”

Dengan lembut Pek-liong melepaskan diri dari sentuhan lembut mesra itu, lalu dia menghadap Siauw-bin Ciu-kwi, menjawab kepada wanita itu sambil lalu saja, “Untuk itu aku harus menyelidikinya dulu.”

Dan diapun melakukan penyelidikan. Diamati patung emas itu, ditimang-timang dan semua gerakannya diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dan kaki tangannya dengan penuh perhatian. Sekali ini Pek-liong tidak bersandiwara. Dia memang benar-benar melakukan penyelidikan, mempergunakan segala kecerdikan akalnya.

Dia memang banyak tahu tentang barang-barang pusaka kuno dan sudah mempelajarinya, maka dari ciri-ciri ukirannya iapun dapat menduga bahwa patung emas ini sedikitnya berusia limaratus tahun. Ada setengah jam dia meneliti patung emas itu sehingga semua orang mulai menjadi tidak sabar lagi.

“Bagaimana, Pek-liong?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.

“Beng-cu, pergunakanlah pedang dan memenggal leher patung emas ini!” kata Pek-liong.

Tentu saja semua orang terkejut. Patung emas itu merupakan sebuah benda yang langka dan amat berharga, bukan hanya karena emasnya, melainkan karena merupakan benda pusaka kuno dengan ukirannya yang indah dan halus. Kalau dipenggal leher patung itu, sama saja dengan merusak dan mengurangi nilainya!

Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi yang menginginkan harta yang lebih berharga lagi, segera berkata kepada Tok-sim Nio-cu. “Nio-cu, pergunakan pedangmu memenggal leher patung itu seperti diminta oleh Pek-liong!”

Tok-sim Nio-cu mencabut pedangnya dan berkata kepada Pek-liong sambil tersenyum. “Pek-liong, tidak sayangkah patung begini indah dipenggal lehernya?”

Pek-liong menjawab. “Lakukan saja perintah Beng-cu. Buntungnya leher patung, dengan mudah dapat diutuhkan kembali oleh tukang emas!”

Mendengar ini barulah semua orang menyadari bahwa memang kerusakan itu dapat diperbaiki dan kalau sudah disambung kembali oleh tukang emas yang pandai tidak akan nampak bekasnya. Pedang di tangan Tok-sim Nio-cu berkilat menyambar dan buntunglah leher patung itu dengan sayatan yang rapi. Pek-liong melihat, seperti yang sudah diduga, bahwa tubuh patung itu berlubang dan dia melihat segulung kain di dalamnya.

“Berikan patung itu kepadaku!” Siauw-bin Ciu-kwi yang juga melihat gulungan kain itu berseru.

Pek-liong tersenyum dan menyerahkan patung emas. Dengan tangan yang jelas nampak gemetar saking tegang dan gembiranya, Siauw-bin Ciu-kwi mengambil gulungan kain itu dari dalam perut patung. Segera diperiksanya gulungan kain itu, dengan sikap hati-hati agar orang lain tidak melihat tulisan yang terdapat dalam gulungan kain. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan wajahnya berseri, lalu dia tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha... jasamu besar sekali, Pek-liong. Benar seperti dugaanmu, patung ini menyembunyikan rahasia besar. Ha-ha, kalau berhasil kita temukan harta karun ini, aku berjanji bahwa patung emas ini akan kuberikan sebagai hadiah kepadamu!”

“Terima kasih, Beng-cu. Sudah kuduga bahwa bekerja sama denganmu memang menguntungkan sekali!”

Siauw-bin Ciu-kwi menyimpan gulungan kain itu ke dalam jubahnya, lalu memandang kepada semua pembantunya dan berkata dengan suara berwibawa. “Mulai saat ini, Pek-liong menjadi pembantuku yang utama. Kalian tidak boleh mengganggunya! Peta rahasia Patung Emas yang ditemukan di dalam patung ini amat penting. Kalian tidak usah tahu dan ikuti saja aku untuk mendapatkan harta karun yang tak ternilai besarnya. Jangan khawatir, setelah harta karun itu berada di tanganku, kalian tentu akan memperoleh bagian masing-masing.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dan berkata dengan suara lantang. “Pek-liong, jasamu besar sekali. Akan tetapi aku masih merasa heran, bagaimana engkau dapat menduga bahwa di dalam patung terdapat rahasianya. Hayo ceritakan agar menambah pengertian rekan-rekanmu yang berada di sini, agar lain kali mereka mencoba menggunakan otak, jangan hanya pandai menggunakan hati dan tangan kaki saja!”

Pek-liong tersenyum dan memandang kepada para tokoh pembantu lainnya, sengaja berlagak tinggi hati untuk membuat hati mereka merasa tidak senang. “Ah, Beng-cu, sesungguhnya tidak sukar untuk menduga hal itu kalau saja kita mau mempergunakan akal pikiran kita. Melihat betapa penuh rahasia peta yang menunjukkan di mana adanya patung emas itu, dan betapa patung itu disimpan di dasar telaga, maka tidak mungkin kiranya kalau yang disembunyikan itu hanya sebuah patung emas sekecil itu. Tentu ada barang lain yang jauh lebih berharga, yang rahasianya berada di patung itu.

“Ketika aku menerima patung itu, maka dugaanku semakin kuat. Patung itu ringan saja, berarti di dalamnya berlubang, tidak seperti patung emas lainnya. Kalau pembuat patung emas membuat dalamnya berlubang, hal ini hanya dengan satu maksud, yaitu untuk menyimpan suatu benda yang teramat penting, yang jauh lebih berharga dari pada nilai patung itu sendiri. Pula, setelah mengamati secara teliti aku melihat ada guratan aneh pada leher patung, jelas itu merupakan tanda bahwa leher itu sambungan dan dikerjakan kurang cermat. Maka, sudah bulatlah dugaanku bahwa di dalam perut patung yang berlubang itu tentu disembunyikan benda yang amat berharga.”

“Ha-ha-ha, hebat sekali! Bagus sekali, kiranya engkau tidak hanya lihai ilmu silatmu, akan tetapi juga amat cerdik pikiranmu. Aku girang sekali dapat bekerja sama denganmu, Pek-liong.”

“Dan aku juga gembira sekali dapat membantumu, Beng-cu.”

“Dan akupun gembira kalau dapat menjadi pacarmu yang baru, Pek-liong!” kata Tok-sim Nio-cu genit.

“Nah, kalian lihat! Baru saja membantuku, jasa Pek-liong sudah jauh lebih besar dari pada jasa kalian selama ini! Maka dalam mengambil harta karun ini, kalian harap bekerja keras sehingga kalian pantas memperoleh bagian!”

Perahu besar lalu digerakkan menuju ke pantai, dan kini Pek-liong ikut mendaki Bukit Merak, menuju ke sarang yang dipergunakan oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Sekali ini bukan lagi sebagai tawanan, melainkan sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi. Namun, Pek-liong yang cerdik itu maklum bahwa sikap dan semua ucapan Siauw-bin Ciu-kwi kepadanya itu masih palsu, dan dia tahu bahwa diam-diam Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya mengamati semua gerak geriknya. Dia harus berhati-hati sekali!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 32 karya kho ping hoo

“Keparat! Tan Cin Hay itu sungguh jahat dan kejam bukan main!”

Berulang kali Kam Sun Ting mengomel panjang pendek mencaci maki Pek-liong ketika dia bersama adiknya menyeret tubuh Liong-li yang lemas di balik tumbuh-tumbuhan teratai menuju ke perahu kecil mereka di tempat yang agak jauh.

“Ih, sudahlah, koko. Sudahi saja caci makimu yang tidak baik itu dan lebih baik kita memperhatikan keadaan li-hiap ini. Mari cepat bawa ia ke perahu!” Cian Li mencela kakaknya, hatinya merasa tidak enak mendengar kakaknya mencaci-maki Pek-liong.

Biarpun ia sendiri merasa kecewa melihat ulah Pek-liong, namun hatinya masih tidak rela membiarkan kakaknya mencaci maki seperti itu di depannya. Mereka lalu berenang dengan cepat setelah jauh dari perahu besar sehingga tidak kelihatan lagi dan tak lama kemudian, mereka sudah mengangkat tubuh Liong-li ke atas perahu.

“Li-moi, cepat dayung perahu ini ke daratan yang sunyi, aku akan mencoba merawat dan menyadarkan Liong-lihiap!” kata Sun Ting, khawatir melihat wajah pendekar wanita itu pucat dan matanya terpejam, akan tetapi perutnya tidak menggembung.

Dia memang sudah siap siaga. Sebelumnya telah diatur oleh pendekar wanita itu, yaitu dia disuruh membantu adiknya agar Cian Li dapat berhasil dan selamat. Dan dia dipesan agar bersama Cian Li siap di bawah permukaan air, bernapas melalui batang alang-alang yang berlubang, dan menanti di situ, siap menolong kalau ia sampai terpaksa meloncat ke air. Maka, dia dan adiknya dapat melihat perkelahian antara Pek-liong dan Liong-li tadi, melihat pula betapa Liong-li meloncat ke air dan terkena sambaran pisau.

Sun Ting mengajak adiknya menyelam dan tepat seperti yang sudah direncanakan oleh Liong-li, mereka berdua menyeret tubuh Liong-li ke bawah air sehingga tidak nampak oleh orang-orang di dalam perahu pendekar wanita itu timbul kembali. Mereka menyelam dan berenang di dalam air, lalu bersembunyi di balik tumbuhan teratai yang lebat, dan sambil bersembunyi, perlahan-lahan mereka berenang di balik tumbuhan itu menuju ke perahu yang cukup jauh dari situ.

Yang membuat Sun Ting khawatir adalah karena Liong-li sejak tadi pingsan dan ada pisau menancap di pinggulnya sebelah kanan. Sun Ting tidak berani mencabut pisau itu, dan melihat betapa Liong-li pingsan dan pucat, bahkan napasnya hampir tidak ada, dalam kepanikannya, dia lalu membuka mulut pendekar wanita itu dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri lalu meniup sekuatnya untuk membantu paru-paru gadis perkasa itu.

Pada saat dia melakukan perawatan itu, sedikitpun tidak ada perasaan apapun di hatinya kecuali ingin menyelamatkan Liong-li, tidak timbul kemesraan atau nafsu walaupun diam-diam dia sudah jatuh cinta kepada pendekar wanita itu. Akhirnya, setelah melakukan perawatan itu beberapa kali, Liong-li gelagapan, membuka matanya dan melihat betapa pemuda penyelam itu meniup melalui mulutnya, dengan lembut ia mendorong dada pemuda itu, lalu berbatuk-batuk.

“Cukup... aduhh...! Ketika ia miringkan tubuhnya, baru terasa olehnya bahwa ada pisau menancap di pinggul kanannya. Dirabanya pinggul itu. “Sun Ting, cepat ambilkan buntalan obat, dalam buntalan pakaianku itu buntalan kuning...”

Sun Ting membuka buntalan pakaian Liong-li yang memang ditinggalkan di perahu itu, dan mengambilkan sebuah buntalan kuning kecil. Ketika buntalan ini dibukanya, maka terisi bubukan kuning yang amat halus.

“Sun Ting, akan kucabut pisau ini, lalu kau robek kain yang menutupi pinggul yang luka, taburkan obat itu di atas luka, pergunakan jarimu untuk menekan-nekan agar obat itu masuk ke dalam lukanya,” Liong-li lalu mencabut pisau itu yang ternyata masuk sedalam satu jari panjang.

Darah keluar dari luka di pinggul itu dan Sun Ting merobek celana yang menutupi pinggul. Dengan tekanan-tekanan jarinya pada jalan darah tertentu, pendarahan itu berhenti dan Liong-li menyuruh pemuda itu menaburkan obat bubuk kuning halus. Sun Ting menaburkan obat dan menekan-nekan obat ke dalam luka. Juga dia tidak merasakan apa-apa melihat pinggul yang putih mulus dan halus di depan matanya itu, karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa gadis perkasa itu terluka parah.

“Biarkan dulu sampai obat yang berada di luar luka mengering, jangan ditutupi bagian yang terluka itu,” kata Liong-li, kemudian kepada Cian Li ia berkata, “Adik manis, tolong kau ambilkan dua batang pedang yang kuikat di bawah perahu ini.”

Tadi sebelum ia dan Sun Ting meninggalkan perahu, Liong-li yang selalu berhati-hati itu menyembunyikan sepasang pedang pusaka, yaitu Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di bawah perahu. Cian Li mengangguk dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menghentikan perahu dan menyelam. Tak lama kemudian ia sudah muncul kembali membawa dua batang pedang yang amat ampuh itu.

“Sekarang, dayunglah perahu ke pantai yang sunyi, aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Pek-liong masih berada dengan mereka dan aku tahu bahwa keselamatannya masih terancam hebat.”

Sun Ting mengepal tinjunya dengan gemas. “Ah, lihiap, mengapa masih memikirkan orang jahat itu? Dia telah berubah menjadi seorang penjahat keji! Sungguh tidak tahu malu, dia telah melukaimu dengan curang...”

“Tepat seperti yang kukehendaki, Sun Ting. Memang Pek-liong seorang yang cerdik luar biasa dan dia dapat membaca setiap isi hati dan pikiranku. Untung dia berlaku cepat dan dapat melukai pinggulku, kalau tidak tentu mereka akan semakin mencurigainya. Mudah-mudahan saja pengorbanan pinggulku ini tidak sia-sia!”

Tentu saja kakak beradik itu terbelalak memandang kepada pendekar wanita itu. “Lihiap...! Apa maksudmu? Benarkah bahwa Tan-taihiap tidak berkhianat, tidak bersekutu dengan penjahat dan dengan kejam sekali telah melukaimu?”

Pendekar wanita itu masih menelungkup. Pinggulnya terbuka dan bukit pinggul itu menjulang ke atas, indah bentuknya dan putih mulus kemerahan. Ia menggeleng kepalanya sambil tersenyum. “Sama sekali tidak! Sampai dunia kiamat, Pek liong tidak akan mengkhianati aku, dan tidak akan sudi menjadi kaki tangan penjahat.”

“Akan tetapi, lihiap! Bukankah tadi dia memaki-makimu dengan kata-kata kotor, bahkan lalu menyerangmu? Dia sudah mengaku dengan lantang bahwa dia ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi untuk mendapatkan bagian harta karun. Bahkan dia telah memakimu dengan kata-kata kotor, menuduhmu secara keji dan...”

Liong-li mengangkat tangannya unluk menutupi mulut Sun Ting yang agaknya hendak memaki itu, dan ia tersenyum. “Kalian adalah dua orang muda yang berjiwa bersih dan polos, tentu saja tidak mengerti akan sepak terjang kami berdua. Menghadapi para penjahat keji dan lihai seperti mereka, kita harus mempergunakan siasat pula.”

“Akan tetapi, lihiap. Kalau taihiap tidak ingin bekerja sama dengan mereka, tadi dia dapat bersama lihiap meloncat ke air dan kami berdua yang akan mampu melarikan kalian dengan selamat. Kenapa dia tinggal di perahu itu?” Cian Li juga membantah, merasa penasaran dan khawatir karena pendekar yang dikaguminya itu kini masih berada bersama para penjahat keji itu.

“Tadinya aku memang bermaksud untuk membebaskan engkau dan dia, adik manis. Akan tetapi ketika aku mendengar ucapan Pek-liong kepadamu, ucapan keras yang sengaja dia keluarkan agar aku dapat mendengarnya, bahwa dia ingin bekerja sama dengan Beng-cu untuk mendapat bagian harta karun, aku tahu akan rencananya. Maka, aku harus bersandiwara sesuai dengan rencananya agar dia berhasil. Aku harus berusaha agar dia dapat diterima oleh gerombolan penjahat itu dan dipercaya. Ketika dia melukai aku dengan pisau dan aku jatuh ke air terus kelihatan tenggelam dan tewas, tentu dia diterima dengan gembira oleh Beng-cu, bahkan mungkin menjadi orang kepercayaannya!”

“Ah, kalau begitu... Tan-taihiap tadi... dan lihiap, hanya bermain sandiwara saja? Semua itu merupakan siasat ji-wi (kalian) agar Tan-taihiap dapat dipercaya dan diterima sebagai sekutu gerombolan penjahat itu?” tanya Sun Ting dengan muka merah, teringat betapa tadi dia telah memaki-maki Pek-liong.

“Sudah jelas begitu masih bertanya lagi!” Cian Li berkata dengan mulut cemberut. “Dasar engkau yang tidak mengenal budi orang, koko, belum apa-apa sudah mencela dan memaki-maki!”

“Ah, ah... aku menyesal sekali... akan tetapi siapa tahu bahwa mereka itu bersandiwara? Melihat betapa lihiap benar-benar terluka oleh pisau, siapa mengira bahwa hal itu disengaja?” Sun Ting membela diri.

Liong-li tersenyum. “Sudahlah, bukan salah Sun Ting. Memang bagi orang lain, kami berdua sukar dimengerti. Serahkan saja kepada kami berdua untuk menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu.”

“Tapi... tapi, lihiap. Mengapa taihiap harus menyerahkan diri, harus menjadi sekutu mereka walaupun hanya berpura-pura? Mengapa pula lihiap harus mengorbankan diri seperti ini? Apa perlunya bekerja sama dengan para penjahat itu?”

“Tentu ada alasannya bagi Pek-liong untuk berbuat demikian. Hanya dia yang mengetahui dan aku hanya melengkapi peranannya saja. Tentu ada hal yang amat penting, teramat penting bagi kami berdua maka dia memainkan sandiwara itu. Karena itu, kita harus waspada dan di darat, kalian tidak mungkin dapat membantu kami. Kepandaian kalian jauh dari pada cukup untuk melawan mereka. Kalau kalian membantu, bahkan kalian akan melemahkan kami, karena kami harus melindungi kalian. Belum lagi kalau kalian ditawan dan dijadikan sandera, memaksa kami untuk menyerah. Kalian tunggu saja di tepi telaga. Kalau kalian melihat perahu mereka berlayar baru kalian boleh membayangi dari jauh, apa lagi kalau melihat ada Pek-liong di perahu itu. Kalian siap sedia untuk menolong kalau kami sampai membutuhkan pertolongan di air, seperti keadaanku tadi. Mengerti?”

“Baik, enci,” kata Sun Ting dan kembali dia menyebut enci, hal ini menandakan bahwa ketegangan telah lewat dan dia kembali bersikap mesra, “Akan tetapi, engkau masih terluka...”

“Aku akan beristirahat di perahu ini. Dalam waktu beberapa jam saja luka ini akan mengering dan aku akan dapat melakukan penyelidikan di Bukit Merak. Kuyakin bahwa tentu Pek-liong diajak ke sana oleh mereka.”

Tiba-tiba Cian Li mengepal tinju dan mukanya berubah marah. “Sayang aku tidak berhasil membuat perempuan laknat itu mati tenggelam!”

Ia teringat kepada Tok-sim Nio-cu dan merasa cemburu, apa lagi mengingat bahwa kini Pek-liong menjadi sekutu mereka. Tentu hal ini akan dipergunakan sebagai kesempatan baik oleh perempuan genit itu untuk memikat hati Pek-liong.

Liong-li tersenyum. Ia dapat membaca jalan pikiran gadis penyelam yang manis itu, dan sambil mengamati wajah dan tubuh orang ia berkata, “Jangan khawatir, adik manis. Aku mengenal benar siapa Pek-liong. Dia tidak akan mudah jatuh oleh rayuan segala macam wanita macam si genit itu. Aku tahu selera Pek-liong. Gadis seperti engkau inilah kiranya akan memenuhi seleranya!”

Mendengar ucapan pendekar wanita ini, seketika wajah Cian Li tersipu malu dan ketika perahu tiba di tepi yang sunyi, ia lalu meloncat ke darat dan menalikan tali perahu pada sebatang pohon. “Aku akan mencari kayu kering pembuat api unggun,” katanya dan iapun pergi.

Sun Ting masih duduk menjaga di dekat Liong-li yang masih menelungkup. Dengan penuh rasa iba dan sayang, dia memandang bukit pinggul yang terluka itu. Obat bubuk kuning itu nampak telah membuat luka itu mengering, akan tetapi di sekeliling luka itu masih nampak betapa kulit yang halus mulus itu kemerahan.

“Enci, sakit benarkah rasanya pinggulmu...?” tanya Sun Ting lirih dan seperti otomatis, jari-jari tangannya mengelus-elus sekeliling luka, seolah-olah dengan jari jari tangannya dia ingin mengusir perasaan nyeri yang ada.

Mendengar pertanyaan itu dan merasa betapa jari-jari tangan itu mengelus lembut, Liong-li merasa bulu tengkuknya meremang. “Ah, tidak berapa nyeri, Sun Ting. Sebentar lagi tentu sembuh. Setelah cuaca gelap nanti, aku akan pergi menyelidik ke Bukit Merak.”

Sun Ting tidak menjawab, tangannya masih mengelus bukit pinggul itu di sekeliling luka. “Enci, bukit pinggulmu indah sekali bentuknya, dan putih mulus...” katanya lirih.

Liong-li merasa betapa jantungnya berdebar, maka ia lalu berkata cepat, “Lepaskan tanganmu, Sun Ting. Aku akan duduk, tutupkan selimut itu pada pinggulku, lukanya sudah mengering.”

Biarpun dengan lambat, seolah merasa tidak rela pinggul itu ditutupi Sun Ting melakukan perintah itu dan sambil tersenyum Liong-li berkata kepadanya. “Engkau perayu nakal! Tugas masih bertumpuk untuk kita, belum waktunya bersenang-senang. Nah, bantulah adikmu mengumpulkan kayu kering, dan coba cari makanan karena sebelum pergi, aku ingin makan dulu. Cepat pergi, jangan bengong saja, aku hendak berganti pakaian!”

Sun Ting meloncat ke darat dan setelah melangkah belasan kaki dia menengok. Dia melihat betapa pendekar wanita itu telah menanggalkan pakaiannya! Kalau menurut dorongan nafsunya, ingin dia membalikkan tubuh dan menikmati penglihatan itu, akan tetapi kesopanan memaksanya cepat membuang muka dan melanjutkan langkahnya.

Liong-li melihat semua ini dan iapun tersenyum. Seorang pemuda yang amat baik, dan amat menyenangkan, pikirnya dan kedua pipinya berubah merah, lesung pipitnya bermain di kanan kiri bibirnya. Iapun cepat berganti pakaian kering, pakaian serba hitam yang ringkas dan menyelipkan sepasang pedang pusaka di punggung.

Dengan cepat dibereskannya rambutnya yang tadi basah dan awut-awutan. Disisirnya rapi dan digelung ke atas, diikat saputangan sutera merah dam ditusuk dengan tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil. Ia mengenakan sepatunya yang tadi dilepas di dalam perahu kecil, dan lengkaplah sudah ia, siap untuk melakukan penyelidikan, siap untuk bertempur!

Kakak beradik itu datang membawa kayu kering yang cukup, dan Sun Ting membawa pula tiga ekor ikan yang tadi didapatnya dengan menjala di tepi telaga. Mereka lalu duduk memghadapi api unggun dan ketika matahari mulai tenggelam di barat, mereka makan panggang ikan.

Setelah cuaca mulai gelap, pergilah Liong-li meninggalkan kakak beradik itu di tepi telaga. Dengan tenang Liong-li melakukan perjalanan menuju ke Bukit Merak setelah mendapat petunjuk dari Sun Ting tentang letak Bukit Merak. Malam itu kebetulan bulan purnama, maka setelah bulan muncul, pendekar wanita ini dapat melakukan perjalanan tanpa banyak kesukaran.

Sun Ting dan adiknya lalu kembali ke dusun mereka di luar kota Nan-cang. Mereka mengumpulkan pakaian dan perbekalan di rumah mereka yang sudah diaduk-aduk oleh para penjahat ketika mereka mencari peta dahulu itu. Malam itu mereka bermalam di rumah sendiri, baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka kembali ke telaga, mendayung perahu mereka dan mulai dengan pengamatan mereka kalau-kalau ada perahu penjahat berlayar. Akan tetapi, sehari itu mereka tidak melihat ada perahu penjahat, tidak melihat pula bayangan Pek-liong maupan Liong-li sehingga diam-diam hati kedua orang kakak beradik ini diliputi penuh kekhawatiran.

********************

Di bawah sinar bulan purnama, Liong-li mendaki Bukit Merak. Ia menduga bahwa sarang penjahat itu tentu tidak semudah itu didaki orang. Tentu di sana terkandung banyak perangkap dan juga terdapat para penjaga. Dugaannya memang benar. Beberapa kali dia berhadapan dengan perangkap-perangkap, seperti lubang jebakan yang ditutup rumput, tali-tali yang kalau tersangkut kaki menurunkan jala atau membuat tombak dan anak panah datang berhamburan dari kanan kiri.

Namun, Liong-li adalah seorang wanita perkasa yang amat cerdik dan sudah banyak pengalamannya, maka ia selalu berhati-hati dan setiap kali melihat ketidakwajaran di depan, ia selalu menguji keamanan tempat itu dengan lemparan kayu atau batu. Maka, tak pernah ia terperosok ke dalam jebakan atau terserang senjata rahasia yang dipasang di jalan menuju ke sarang penjahat di lereng Bukit Merak.

Ketika ia melalui daerah yang penuh pohon sehingga di bawah pohon terlalu gelap dan terlalu berbahaya untuk dilalui, Liong-li lalu mempergunakan kepandaiannya dan iapun meloncat ke atas pohon, kemudian bagaikan seekor tupai saja, ia berloncatan dari pohon ke pohon, menuju ke lereng di mana sudah nampak sinar-sinar lampu dari perkampungan penjahat.

Dan perhitungannya memang tepat. Setelah ia melalui jalan atas di antara pohon-pohon, ia tidak pernah berhadapan dengan perangkap lagi. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw-bin Ciu-kwi jauh lebih cerdik dari pada yang disangkanya. Biarpun tidak dipasangi perangkap, namun di luar kesadarannya, ketika ia berloncatan dari pohon ke pohon, kakinya menyangkut dan membikin putus tali halus yang berhubungan dengan tanda bahaya yang dipasang di rumah tinggal Siauw-bin Ciu-kwi!

Beng-cu kaum penjahat ini tahu bahwa ada tamu tak diundang datang berkunjung malam itu. Dia dapat menduga bahwa tamu yang datang melalui pohon-pohon sudah pasti bukan kawan, maka cepat dia memanggil para pembantunya.

“Ada musuh datang, entah berapa orang banyaknya. Mereka lihai, datang berkunjung melalui pohon-pohon. Cepat kalian hadang dan robohkan mereka, hidup atau mati!”

Siauw-bin Ciu-kwi merasa khawatir sekali setelah peta rahasia dari Patung Emas berada di tangannya. Dia merahasiakan isi peta itu dari para pembantunya, bahkan Tok-sim Nio-cu yang merupakan pembantu utamanya, juga pacarnya pun tidak diberitahu. Hanya siang tadi dia memerintahkan Po-yang Sam-liong untuk mengumpulkan bantuan tenaga kasar sebanyak lima puluh orang.

Tak seorangpun di antara para pembatunya dapat menduga untuk apa beng-cu mereka membutuhkan tenaga kasar sebanyak lima puluh orang itu. Po-yang Sam-liong diberi tugas itu karena mereka adalah tokoh-tokoh di sekitar daerah Telaga Po-yang sehingga tentu akan lebih mudah mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka akan diberi gaji besar, demikian beng-cu berjanji. Untuk mengumpulkan lima puluh orang, Po-yang Sam-liong minta waktu selama tiga hari.

Demikianlah, sambil menanti orang-orang yang dikumpulkan Po-yang Sam-liong, Siauw-bin Ciu-kwi selalu berhati-hati dan memesan para pembantunya untuk berjaga-jaga. Diam-diam diapun membisiki para pembantu lama untuk mengamati sepak terjang dan gerak-gerik Pek-liong walaupun pada lahirnya Pek-liong seolah-olah sudah dianggap sebagai seorang pembantu yang dipercaya pula. Malam itu, ketika Beng-cu memanggil mereka dan memberitahu adanya musuh yang datang berkunjung, Pek-liong juga mendapat tugas untuk menyambut musuh...